II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan (Institutional Theory) Scot dalam Hessels dan Terjesen (2008) menyatakan bahwa kelembagaan merupakan struktur

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan (Institutional Theory) Scot dalam Hessels dan Terjesen (2008) menyatakan bahwa kelembagaan merupakan struktur"

Transkripsi

1 II. TINJAUAN PUSTAKA Teori Kelembagaan (Institutional Theory) Scot dalam Hessels dan Terjesen (2008) menyatakan bahwa kelembagaan merupakan struktur sosial yang telah mencapai ketahanan tertinggi dan terdiri dari budaya kognitif, normatif, dan regulatif yang sarat dengan perubahan. Elemen-elemen ini secara bersamasama mempengaruhi kegiatan dan sumber daya untuk memberikan stabilitas dan makna bagi kehidupan sosial. Dalam upaya memberikan stabilitas ini maka sebuah lembaga perlu memperhatikan unsur-unsur seperti rules, norms, cultural benefit, peran dan sumber daya material. Hal inilah yang dapat membentuk komitmen organisasi dalam memberikan stabilitas melalui berbagai kebijakan dan program yang ada. Teori kelembagaan menggambarkan hubungan antara organisasi dengan lingkungannya; tentang bagaimana dan mengapa organisasi menjalankan sebuah struktur dan proses serta bagaimana konsekuensi dari proses kelembagaan yang dijalankan tersebut (Meyer dan Rowan, 1977). Scott (2008) dalam Villadsen (2011) menyatakan bahwa teori ini dapat digunakan untuk menjelaskan peran dan pengambilan keputusan dalam organisasi bahwa struktur, proses dan peran organisasi seringkali dipengaruhi oleh keyakinan dan aturan yang dianut oleh lingkungan organisasi. Misalnya organisasi yang berorientasi pada 8

2 layanan publik, dalam pengambilan keputusan sudah tentu dipengaruhi oleh keyakinan dan aturan yang berlaku di pemerintah pusat, pemerintah daerah dan lingkungan masyarakat. Berangkat dari hal ini, maka dapat dijelaskan bahwa organisasi sebagai pihak yang menerapkan kebijakan harus memiliki komitmen yang kuat dalam menjalankan tugasnya agar tujuan akhir dari sebuah kebijakan dapat tercapai. Teori ini menjadi penjelas yang kuat dan populer bagi tindakan individu maupun organisasi yang disebabkan oleh faktor eksogen, eksternal, sosial, ekspektasi masyarakat, dan lingkungan (Ridha dan Basuki, 2012). Faktor-faktor ini cenderung menunjuk pada hubungan organisasi dengan pihak eksternal, seperti domain Negara (state), sektor swasta (private), akademisi dan masyarakat (society). Organisasi pemerintah selaku pihak internal memiliki legitimasi untuk mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pemerintahannya kepada pihak eksternal.dengan demikian dalam menjalankan fungsinya, organisasi rentan juga terhadap tekanan eksternal. Bagi organisasi pemerintah, secara umum yang diutamakan adalah legitimasi dan kepentingan politik. Organisasi yang mengutamakan legitimasi akan memiliki kecenderungan untuk berusaha 9

3 menyesuaikan diri pada harapan eksternal atau sosial (DiMaggio dan Powell 1983; Ashworth et al., 2009). Penyesuaian pada harapan eksternal atau sosial mengakibatkan timbulnya kecenderungan organisasi untuk memisahkan kegiatan internal mereka dan berfokus pada sistem yang sifatnya simbolis pada pihak eksternal (Meyer dan Rowan, 1977). Secara tidak langsung, kemauan organisasi tersebut telah menggambarkan kuatnya komitmen organisasi tersebut. Misalnya, jika masyarakat mengharapkan untuk menegakkan kesetaraan gender dalam seluruh aspek pembangunan maka idelnya organisasi harus mewujudkan hal tersebut demi kepentingan legitimasinya di mata masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Meyer dan Rowan (1977) bahwa banyak posisi, kebijakan, program dan prosedur internal organisasi dipengaruhi oleh opini publik, pandangan konstituen, pengetahuan sah melalui sistem pendidikan, prestise sosial, hukum, dan pengadilan. Inti dari pandangan tersebut adalah perilaku dan keputusan yang diambil oleh organisasi cenderung dipengaruhi oleh institusi yang ada di luar organisasi. Organisasi akan berupaya untuk menyesuaikan diri dengan harapan eksternal untuk mempertahankankan eksistensi dan legitimasinya. Hal ini memang merupakan bentuk pengabdian organisasi pemerintah terhadap masyarakat. Namun, organisasi 10

4 ini pun harus memiliki komitmen yang kuat agar mendukung dirinya untuk pencapaian tujuan suatu kebijakan, seperti kesetaraan gender. Jika organisasi tidak memiliki komitmen yang kuat maka secara perlahan harapan-harapan eksternal tersebut dapat menjadi seperti tekanan bagi organisasi karena sepanjang waktu organisasi harus menyesuaikan praktiknya dengan harapan eksternal. Tekanan seperti inilah yang disebut tekanan eksternal. Tekanan eksternal dapat dijadikan sebagai variabel yang memoderasi (mengganggu) hubungan antara komitmen organisasi dengan kinerja penyusunan ARG. Isomorfisme Kelembagaan (Institutional Isomorphism) Hawley (1968) dalam DiMaggio dan Powell (1983) menyatakan bahwa isomorfisme (isomorphism) adalah proses yang mendorong satu unit dalam suatu populasi untuk menyerupai unit yang lain dalam menghadapi kondisi lingkungan yang sama. Dorongan ini dapat bersifat memaksa atau menekan organisasi (coercive).penelitian terbaru telah menunjukkan bagaimana organisasi publik menjadi subjek tekanan institusional yang mendalam sehingga menyebabkan pada umumnya organisasi publik menjadi lebih mirip (Ashworth et al., 2009). Tekanan institusional ini dapat dicerminkan melalui 11

5 banyaknya peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah. Banyaknya peraturan ini dapat mengganggu komitmen organisasi dalam penerapan suatu praktik yang baru. Apalagi dalam kondisi ketidakpastian, organisasi banyak yang memilih untuk meniru (mimetic) praktek organisasi lain bukan karena memahami esensi penerapan praktik tersebut. Tekanan institusional inilahyang membawa organisasi publik pada sebuah kesamaan praktik atau isomorfisme. Dengan kata lain, kemiripan praktik yang terjadi di pemerintahan dapat disebabkan oleh adanya peraturan dari pemerintah pusat. Coercive isomorphism adalah respon terhadap tekanan dari organisasi lain di mana organisasi kita bergantung serta tekanan untuk memenuhi harapan masyarakat. Respon ini dapat berarti bahwa proses penerapan peraturan atau penyesuaian menuju kesamaan terjadi dengan suatu paksaan. Perasaan terpaksa ini juga datang dari pengaruh politik dan masalah legitimasi. Mimetic isomorphism terjadi jika organisasi bercita-cita untuk meniru proses, strukturdan praktek organisasi lain. Ini merupakan respon terhadap situasi ketidakpastian di mana organisasi berada di bawah tekanan untuk meningkatkan kinerja, tetapi tidak mengetahui bagaimana cara untuk mencapai tujuan ini. Normative isomorphism diasosiasikan dengan profesionalisasi dan 12

6 menangkap tekanan normatif yang muncul di bidang tertentu. Jadi kemiripan terjadi atas dasar tekanan yang dikaitkan dengan profesionalisme(dimaggio dan Powell, 1983). Penyusunan Anggaran Responsif Gender Pengertian Gender Gender adalah segala sesuatu yang diasosiasikan dengan jenis kelamin seseorang, termasuk juga peran, tingkah laku, preferensi, dan atribut lainnya yang menerangkan kelaki-lakian atau kewanitaan di budaya tertentu (Baron and Byrne, 1979 dalam Kestari, 2011). Hal serupa dikatakan oleh Kessler dan McKenna (1978) dalam Kestari (2011), bahwa gender adalah sesuatu yang dilihat sebagai psychological, social, and culturalaspects of maleness and femaleness. Gender tidak dibawa sejak lahir melainkan dipelajari melalui sosialisasi. Oleh sebab itu, gender dapat berubah. Proses sosialisasi yang membentuk persepsi diri dan aspirasi semacam ini dinamakan sosialisasi gender (gendersocialization). Pengertian Anggaran Responsif Gender Secara umum, anggaran Pemerintah Daerah di Indonesia belum memiliki perspektif gender. Anggaran tersebut lebih merupakan alokasi keuangan yang bersifat aggregate sehingga faktor 13

7 manusia secara sosial dan budaya yang berbeda, disamakan tanpa terpikirkan. Hal ini kemudian menghasilkan kebijakan yang bias sehingga dampak yang muncul seringkali tidak mendatangkan manfaat setara bagi perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu, pembangunan belum sungguh-sungguh ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan memperhatikan kesenjangan gender (Mundayat, 2006 dalam Kestari, 2011). ARG merupakan sistem penganggaran yang mengakomodasikan keadilan bagi perempuan dan lakilaki dalam memperoleh akses dan manfaat yang setara, serta berpartisipasi dalam mengambil keputusan dan mengontrol sumber daya (PPRG Bappeda Kota Salatiga, 2013). Menurut Budlender et al (2006), ARG merupakan alat untuk memfasilitasi suatu usaha berdampak gender dalam anggaran pemerintah. ARG menambahkan item E ke-4 yaitu equity ke dalam tiga E penganggaran: efficiency, effectivenes dan economy. ARG tidak menambah beban kerja pemerintah namun memperkuat apa yang dilakukan pemerintah (Budlender, 2011 dalam Kestari 2011). Definisi konsep ARG di atas kemudian dikembangkan oleh PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional) sehingga sesuai dengan konteks di Indonesia, di mana kemiskinan ada di mana-mana (Sundari, 2008 dalam Kestari, 2011). ARG adalah 14

8 anggaran yang berpihak kepada masyarakat, memprioritaskan pembangunan manusia] dan meresponi kebutuhan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Implementasi ARG dapat meresponi kebutuhan berdasarkan lokasi geografis (desa-kota), kemampuan yang berbeda (normalpenyandang cacat), dan kelompok umur (anak, remaja, lansia). Berdasarkan konsep ARG ini, maka definisi ARG yang digunakan dalam penelitian ini adalah anggaran yang berpihak kepada seluruh kelompok masyarakat, yang memberi keadilan bagi perempuan dan laki-laki dalam memperoleh akses, manfaat, partispasi dan kontrol terhadap sumber daya serta kesetaraan terhadap kesempatan dan peluang dalam memilih dan menikmati hasil pembangunan. Kinerja Penyusunan Anggaran Responsif Gender Prawirosentono (1999) menyatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang di dalam satu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing untuk mencapai tujuan organisasi.kinerja mencakup beberapa variabel yang berkaitan yaitu input, perilaku-perilaku (proses), output dan outcome(dampak). Menurut Budlender (2006), proses penyusunan anggaran responsif gender (ARG) merupakan 15

9 serangkaian aktivitas penentuan kebijakan untuk pengalokasian anggaran ke dalam program pemerintah, yang memenuhi kebutuhan dan kepentingan kelompok sosial yang berbeda secara merata. Sedangkan Rostanty (2007) menyebutnya sebagai strategi untuk mengurangi kesenjangan gender dalam pembangunan dengan menggunakan perspektif gender dalam proses pengalokasian anggaran. Kedua definisi ini memiliki arti bahwa proses penyusunan ARG idealnya harus menjamin perempuan dan laki-laki dalam memperoleh akses (acces), kontrol (control), manfaat dan partisipasi secara merata dalam pengambilan keputusan dan menikmati hasil pembangunan. Berdasarkan definisi di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa kinerja penyusunan anggaran responsif gender merupakan tingkat capaian pengalokasian anggaran ke dalam program pemerintah yang memenuhi kebutuhan dan kepentingan kelompok sosial yang berbeda secara merata. UNIFEM (United Nation Development Fund for Women) menyebutkan bahwa ARG memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. ARG bukan anggaran terpisah bagi laki-laki atau perempuan; 2. Fokus pada kesetaraan gender dan PUG dalam semua aspek penganggaran; 3. Meningkatkan keterlibatan aktif dan partisipasi stakeholder perempuan; 16

10 4. Monitoring dan evaluasi belanja dan penerimaan pemerintah dilakukan dengan responsif gender; 5. Meningkatkan efektivitas penggunaan sumbersumber untuk mencapai kesetaraan gender dan pengembangan sumber daya manusia; 6. Menekankan pada re-prioritas daripada meningkatkan keseluruhan belanja pemerintah; 7. Melakukan re-orientasi dari program-program dalam sektor-sektor dari pada menambah angka pada sektor-sektor khusus. Suatu anggaran bisa dikatakan responsif gender jika memenuhi kriteria umum anggaran responsif gender. Kriteria ini disusun berdasarkan targettarget dalam MDGs (Millenium Development Goals)dan CEDAW (Convention on the Elimination ofall Forms of Discrimination Against Women) yang dapat dijabarkan lebih lanjut ke dalam program dan kegiatan daerah yang sesuai dengan kebutuhan daerah tersebut. Kriteria umum ARG mencakup (Sundari et al, 2008 dalam Kestari, 2011): 1. Memprioritaskan pembangunan manusia; 2. Memprioritaskan upaya untuk mengurangi kesenjangan gender; 3. Memprioritaskan upaya penyediaan pelayanan publik yang berkualitas bagi masyarakat; 4. Memprioritaskan upaya peningkatan daya beli masyarakat. 17

11 Secara umum, tujuan penyusunan ARG adalah memastikan apakah perempuan dan laki-laki diperlakukan adil dan setara dalam memperoleh akses, kontrol, partisipasi dan memperoleh manfaat (AKPM) yang sama dalam pembangunan. Akses yaitu peluang atau kesempatan dalam memperoleh atau menggunakan sumber daya tertentu. Kontrol yaitu penguasaan, wewenang atau kekuatan untuk mengambil keputusan. Partisipasi yaitu keikutsertaan seseorang/kelompok dalam suatu kegiatan dan atau pengambilan keputusan. Manfaat yaitu kegunaan sumber daya yang dapat dinikmati secara optimal. Pengintegrasian perspektif gender menjadikan perencanaan lebih tepat sasaran dan efektif, karena didahului oleh analisis determinan sosial dan perspektif gender.sebuah anggaran dikatakan responsif gender jika proses penyusunan melibatkan langkah-langkah sebagai berikut: Teknik atau cara mengintegrasikan gender dalam proses penyusunan anggaran dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut (Rinusu, 2006:59): a. Mengidentifikasi masalah yang dihadapi laki-laki dan perempuan dan menyusun prioritas kebutuhannya. b. Menetapkan program dan proyek sesuai hasil pemetaan kebutuhan yang telah diidentifikasi dan disepakati bersama dengan masyarakat. 18

12 c. Menetapkan perkiraan anggaran untuk membiayai program dan proyek. d. Mengukur keberhasilan pelaksanaan program dan proyek, apakah mempunyai manfaat dan dampak terhadap perubahan masyarakat sebelum dan sesudah proyek diberlakukan. Selain itu, teknik pengintegrasian gender dalam proses penyusunan anggaran dapat dilakukan dengan langkah seperti berikut: a. Melakukan analisis gender untuk mengetahui peran dan relasi gender yaitu perempuan dan laki-laki yang mempengaruhi status dan kebutuhan mereka; b. Melakukan perencanaan kebijakan, program, dan kontrol terhadap upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang setara antara perempuan dan laki-laki sehingga perempuan dan laki-laki sesuai dengan status dan kebutuhan mereka; c. Menyusun anggaran berdasarkan hasil analisis gender untuk mencapai target indikator kinerja 19

13 program dan kegiatan yang adil terhadap perempuan dan laki-laki; d. Menjadi alat monitoring dan evaluasi untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan program dan kegiatan, khususnya dalam menurunkan kesenjangan status antara perempuan dan laki-laki. Dengan demikian, dengan pemahaman yang benar mengenai pengarusutamaan gender maka proses penyusunan ARG pun dapat terlaksana dengan benar dan pada akhirnya menghasilkan kinerja yang baik. Capaian dari penyusunan ARG dapat berupa dokumen anggaran yang telah mengakomodasi kebutuhan gender yang berbeda. Berhasil atau tidaknya sebuah proses penyusunan ARG dapat terlihat pada kinerja yang dihasilkan. Aliran terakhir dari proses pengarusutamaan gender dalam anggaran pemda ini adalah tercapainya kesejahteraan masyarakat secara merata dan berkurangnya kesenjangan gender. Komitmen Organisasi Komitmen Organisasi didefinisikan sebagai kuatnya keinginan untuk tetap sebagai anggota organisasi, bekerja keras sesuai sasaran organisasi, serta menerima nilai dan tujuan organisasi (Luthans, 2005).Dengan kata lain, sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan di mana anggota organisasi 20

14 mengekspresikan perhatian dan keberhasilannya terhadap organisasi. Komitmen organisasi biasanya tumbuh disebabkan oleh individu dalam organisasi yang memiliki ikatan emosional terhadap organisasi. Ikatan emosional tersebut meliputi dukungan moral dan penerimaan nilai yang ada untuk mengabdi pada organisasi. Setiap organisasi perlu memiliki komitmen yang tinggi dalam penyelenggaraan tugasnya sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh nilai lingkungan yang bertentangan. Komitmen organisasi dapat diasosiasikan dengan normative isomorphism. Normative isomorphismmenggambarkan bahwa organisasi secara profesional mengerti tentang norma, peraturan atau regulasi yang ada (DiMaggio and Powell, 1983). Sehingga walaupun norma dan regulasi tersebut bersifat menekan namum anggota organisasi tetap mematuhinya sebagai bentuk pengabdiannya kepada organisasi. Hal ini merupakan bentuk komitmen individu dalam organisasi tersebut. Organisasi berada dalam lingkungan yang majemuk dan dinamis sehingga terkadang dapat terpengaruholeh norma serta aturan yang telah lama berlaku di lingkungan tersebut. Untuk itu, dibutuhkan komitmen yang tinggi agar organisasi dapat tetap berpraktik sesuai norma dan regulasi, 21

15 dengan tujuan mengabdi bagi organisasi.bagi organisasi publik, norma tersebut dapat berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan lingkungan masyarakat. Aturan-aturan ini bersifat dinamis, dapat berubah seiring meningkatnya kebutuhan organisasi. Namun terkadang perubahan tersebut juga mempengaruhi pertumbuhan organisasi. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Dacin et al (2002) bahwa perubahan dalam institusi atau organisasi dapat berdampak pada masalah komitmen dan integritas organisasi tersebut. Paine (1994) menyatakan bahwa strategi integritas merupakan sesuatu yang lebih luas, lebih dalam dan lebih menuntut daripada inisiatif kepatuhan atas hukum. Kepatuhan atas hukum dan peraturan akan terwujud bila diikuti oleh komitmen organisasi yang tinggi. Institusionalisasi merupakan proses penetapan suatu karakter yang ditentukan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi organisasi (Selznick, 1992 dalam Dacin, 2002). Kesetaraan gender merupakan salah satu nilai (Inpres No 9 tahun 2000) yang harus dipegang oleh organisasi dalam penyusunan ARG untuk menunjang pembangunan yang berkeadilan gender. Oleh sebab itu, ARG perlu diterapkan dalam sebuah organisasi publik. Penerapan ARG membutuhkan komitmen yang tinggi dari organisasi. Komitmen organisasi yang tinggi akan 22

16 mendorong organisasi untuk berusaha keras mencapai tujuan organisasi (Porter et. al., 1974).Pemda sebagai pelaku dalam penyusunan anggaran perlu memiliki komitmen yang kuat untuk mendukung penyusunan ARG (Diop-Tine,2002). Sawer (2002) dalam Rubin dan Bartle (2005) menyatakan bahwa kurangnya komitmenorganisasi menjadi alasanutama tidak optimalnya kinerja penyusunan ARG. Hasil penelitian sebelumnya yang ditemukan oleh Karim (2006) dalam Nordiana (2009) bahwa komitmen organisasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja penyusunan ARG. Komitmen ini terwujudkan melalui tersedianya data terpilah gender, adanya kepekaan gender dari perencana dan pembuat keputusan, kesadaran dari pengambil kebijakan. Berdasarkan teori dan uraian di atas, dapat diduga bahwa kinerja penyusunan ARG sangat bergantung pada besarnya komitmen organisasi. Semakin tinggi komitmen organisasi maka kinerjapenyusunan ARG semakin baik, artinya semakin menghasilkan anggaran yang responsif gender; menjawab kebutuhan gender secara merata. Untuk itu, dirumuskan hipotesis pertama sebagai berikut: 23

17 H1: Komitmen organisasi berpengaruh positif terhadap kinerja penyusunan anggaran responsif gender. Tekanan Eksternal Tekanan eksternal adalah suatu daya dari luar organisasi yang membatasi ruang gerak organisasi sehingga dapat menurunkan tingkat kemampuan, menimbulkan kejenuhan dan rasa tertekan bagi organisasi dalam melaksanakan tugas (Frumkin and Galaskiewicz, 2004). Menurut Olivier Nay (2011) tekanan eksternal dapat dirasakan melalui banyaknya peraturan legal, budaya birokrasi organisasi, adanya klaim/tuntutan langsung pemangku kepentingan (mitrakebijakan, organisasimasyarakat, masyarakat, pihak swasta). Tekanan eksternal memaksakan organisasi untuk melakukan suatu tindakan demi memenuhi harapan eksternal.halini menunjukkan bahwa organisasi yang mengutamakan legitimasi cenderung menerima tekanan dari lingkungannya sehingga tekanan eksternal ini yang memastikan cara organisasi berpraktik (DiMaggio dan Powell, 1983). Coercive isomorphism terjadi karena tekanan dari pihak ekternal, seperti organisasi lain dan masyarakat. Hal inimerupakan hasil dari tekanan formal dan informal yang diberikan pada organisasi oleh organisasi lain di mana organisasi bergantung dalam menjalankan fungsinya. Coercive isomorphism juga dapat berasal dari pengaruh politik dan kebutuhan untuk legitimasi 24

18 (DiMaggio dan Powell, 1983). Kekuatan koersif ini terkait dengan tekanan yang diberikan oleh peraturan pemerintah atau lembaga lain untuk mengadopsi suatu struktur atau sistem (Ashworth et al., 2009). Adanya peraturan ini ditujukan untuk mengatur praktik yang ada agar menjadi lebih baik. Di sisi lain, peraturan ini pun dapat menyebabkan adanya kecenderungan organisasi untuk memperoleh legitimasi (legitimate coercive) (scott, 2004), sehingga hanya menekankan aspek-aspek positif agar organisasi terlihat baik oleh pihak eksternal. Perubahan organisasi yang didasari kekuatan koersif dapat menyebabkan organisasi lebih mempertimbangkan pengaruh politik daripada teknis (Ashworth et al., 2009). Tekanan yang diberikan melalui peraturan dan kebijakan menjadi sebuah saranabagi pemerintah kota dalam penyelenggaraan tugasnya. Namun terkadang semakin banyak tekanan yang diberikan dapat berakibat pada kejenuhan pemerintah kota dalam penerapan suatu praktik. Tekanan melalui peraturan yang lebih dipengaruhi oleh legitimasi akan mengakibatkan praktik-praktik yang terjadi dalam organisasi hanya bersifat formalitas yang ditujukan untuk memperoleh legitimasi, dan tidak didukung oleh kesadaran yang kuat. 25

19 Berkaitan dengan penyusunan ARG, berhasil atau tidaknya proses penyusunan ARG ini bergantung pada seberapa banyak tekanan yang datang dari pihak-pihak eksternal. Hasil penelitian Frumkin and Galaskiewicz (2004) menemukan bahwa tekanan yang semakin kuat dapat menyebabkan organisasi merasa jenuh, mengganggu komitmen organisasi sehingga tidak berusaha keras bekerja dalam hal ini untuk menyusun ARG. Dengan kata lain, tekanan eksternal yang tinggi dapat mengganggu komitmen organisasi untuk mencapai kinerja penyusunan ARG. Demikian pula halnya, dengan rendahnya tekanan eksternal, diduga dapat mendukung komitmen organisasi untuk mencapai kinerja penyusunan yang baik. Berdasarkan teori dan uraian di atas, dapat dirumuskan hipotesis kedua sebagai berikut: H2: Tekanan eksternal memoderasi hubungan komitmen organisasi dengan kinerja penyusunan anggaran responsif gender. Komitmen organisasi yang tinggi dapat mendukung pencapaian kinerja penyusunan ARG yang tinggi pula jika tekanan eksternal yang dirasakan rendah, dan sebaliknya tidak mendukung pencapaian kinerja penyusunan ARG jika tekanan eksternalnya tinggi. Ketidakpastian Lingkungan Ketidakpastian Lingkungan didefinisikan sebagai rasa ketidakmampuan individu untuk memprediksi 26

20 sesuatu yang terjadi di lingkungannya secara akurat (Darlis, 2002). Luthans (2005) mendefinisikannya sebagai situasi seseorang yang terkendala untuk memprediksi situasi di sekitar sehingga mencoba untuk melakukan sesuatu dalam menghadapinya. Duncan (1972) dalam Darlis (2002) mendefinisikannya sebagai keterbatasan individu dalam menilai probabilitas gagal atau berhasil keputusan yang disebabkan karena kesulitan memprediksi kemungkinan di masa depan. Seperti yang dikemukakan Fisher (1996) dalam Darlis (2002) bahwa pada kondisi ketidakpastian tinggi, maka individu sulit memprediksi kegagalan dan keberhasilan dari keputusan yang dibuatnya. Ketidakpastian lingkungan dapat dikaitkan dengan isomorfisme mimetik. Isomorfisme mimetik adalah kecenderungan organisasi untuk memodelkan dirinya pada praktik organisasi lain (DiMaggio dan Powell, 1983) yang muncul sebagai tanggapan terhadap suatu ketidakpastian lingkungan (Mizruchi dan Fein, 1999). Isomorfisme mimetik dapat ditunjukkan dengan cara meniru praktik terbaik di lapangan (benchmarking) dan pelaku dalam organisasi yang berpengalaman (leading players) (Tuttle and Dillard, 2007). Ketidakpastian ini dapat disebabkan oleh hal di dalam maupun di luar organisasi, seperti 27

21 perubahan peraturan atau kebijakan yang cepat dalam satu rentang waktu tertentu serta adanya perbedaan peraturan. Ketidakpastian mengakibatkan organisasi mengubah proses dan struktrurnya. Hasil penelitian Govindarajan (1984) menemukan bahwa perubahan proses dan struktur yang seringkali terjadi dapat mengganggu komitmen organisasi dalam melaksanan tugasnya. Dengan demikian ketidakpastian lingkungan ini turut mempengaruhi komitmen organisasi dalam mencapai kinerja penyusunan ARG. Perubahan proses dan struktur organisasi sebagai respon terhadap ketidakpastian lingkungan tidaklah mudah. Ketidaksiapan organisasi terhadap suatu perubahan peraturan dapat mengakibatkan rendahnya pemahaman organisasi terhadap peraturan yang baru. Dalam situasi yang tidak pasti ini, pemimpin organisasi akan memutuskan bahwa respon terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan meniru organisasi yang mereka anggap berhasil (Mizruchi dan Fein, 1999). Implementasi ARG telah menjadi perhatian pemerintah sejak awal era reformasi pada tahun 2000, dengan adanya UU terkait pengarusutamaan gender. Telah ada banyak peraturan yang dibuat pemerintah untuk menyukseskan jalannya amanat ARG ini, namun fakta menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan gender di masyarakat (Nordiana, 2009; Kestari, 2011; Sopanah, 2012). Ketidakpastian yang terjadi di 28

22 lingkungan pemerintahan melalui perubahan peraturan dan tumpang tindihnya peraturan dapat membuat organisasi merasa jenuh sehingga berdampak pada upaya atau komitmen organisasi dalam menerapkan peraturan-peraturan tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa baik atau tidaknya kinerja penyusunan ARG dapat bergantung pada kepastian lingkungan organisasi tersebut. Berdasarkan teori dan uraian di atas maka dapat dirumuskan hipotesis ketiga sebagai berikut: H3: Ketidakpastian lingkungan memoderasi hubungan komitmen organisasi dengam kinerja penyusunan anggaran responsif gender. Ketidakpastian lingkungan yang tinggi dapat mengganggu komitmen organisasi dalam proses penyusunan ARG. Komitmen organisasi yang tinggi mendukung pencapaian kinerja penyusunan ARG yang tinggi pula apabila tingkat ketidakpastian lingkungan rendah. Sebaliknya komitmen organisasi yang rendah tidak dapat mendukung pencapaian kinerja penyusunan ARG yang tinggi apabila tingkat ketidakpastian lingkungan tinggi. 29

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Pemikiran yang mendasari teori institusional (Institutional Theory) adalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Pemikiran yang mendasari teori institusional (Institutional Theory) adalah BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Teori Institusional Pemikiran yang mendasari teori institusional (Institutional Theory) adalah didasarkan pada pemikiran bahwa untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Sejak tahun 2000 Pemerintah Indonesia telah menyadari adanya kesenjangan gender dalam pengelolaan dan penggunaan anggaran publik.

I. PENDAHULUAN Sejak tahun 2000 Pemerintah Indonesia telah menyadari adanya kesenjangan gender dalam pengelolaan dan penggunaan anggaran publik. I. PENDAHULUAN Sejak tahun 2000 Pemerintah Indonesia telah menyadari adanya kesenjangan gender dalam pengelolaan dan penggunaan anggaran publik. Hal ini terlihat dari munculnya Instruksi Presiden (Inpres)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Grand Theory a. Teori Institusional Pemikiran yang mendasari teori institusional adalah didasari pada pemikiran bahwa untuk bertahan hidup. Organisasi harus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Informasi yang didistribusikan kepada masyarakat harus bersifat tulus,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Informasi yang didistribusikan kepada masyarakat harus bersifat tulus, 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Informasi yang didistribusikan kepada masyarakat harus bersifat tulus, terbuka, integritas dan tepat waktu (Ang, 1997). Ketepatan waktu pelaporan informasi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DANRERANGKA PEMIKIRAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DANRERANGKA PEMIKIRAN BAB II KAJIAN PUSTAKA DANRERANGKA PEMIKIRAN A. Kajian Pustaka 1. Kajian Terhadap Teori Sebelum menjelaskan kajian terhadap tekanan eksternal dan komitmen manajemen, kiranya peneliti perlu menjelaskan teori

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Institusional Pemikiran yang mendasari teori institusional (Institutional Theory) adalah didasarkan pada pemikiran bahwa untuk bertahan hidup, organisasi

Lebih terperinci

II. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini bertujuan mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja penyusunan ARG di pemerintah kota

II. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini bertujuan mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja penyusunan ARG di pemerintah kota II. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini bertujuan mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja penyusunan ARG di pemerintah kota Salatiga, yang diawali dengan melakukan pilot test terhadap

Lebih terperinci

PENGARUSUTAMAAN GENDER DI INDONESIA

PENGARUSUTAMAAN GENDER DI INDONESIA PENGARUSUTAMAAN GENDER DI INDONESIA Oleh: Iklilah Muzayyanah DF., M.Si 1 (Dipresentasikan pada Workshop Pengarusutamaan Gender dan Anak di Perguruan Tinggi Agama Islam) Hotel T, 1 Oktober 2014 APA PENGARUSUTAMAAN

Lebih terperinci

V. SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

V. SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN V. SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN Simpulan Berdasarkan pembahasan pada penelitian ini yang telah dijabarkan sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa komitmen organisasi berpengaruh positif

Lebih terperinci

melaksanakan amanat rakyat (Aliyah dan Nahar, 2012).

melaksanakan amanat rakyat (Aliyah dan Nahar, 2012). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perhatian terhadap isu transparansi keuangan publik di Indonesia semakin meningkat dalam dekade terakhir ini. Hal ini terutama disebabkan oleh dua faktor yaitu:

Lebih terperinci

PENERAPAN PUG DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

PENERAPAN PUG DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN PENERAPAN PUG DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DEPUTI BIDANG PUG BIDANG EKONOMI KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK PERPRES NO. 5 TAHUN 2010 RPJMN 2010-2014 A. 3

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara melindungi dan menjamin

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara melindungi

Lebih terperinci

C KONSEP PENGURUSUTAMAAN/ MAINSTREAMING GENDER

C KONSEP PENGURUSUTAMAAN/ MAINSTREAMING GENDER C KONSEP PENGURUSUTAMAAN/ MAINSTREAMING GENDER 1. Tentang Lahirnya PUG Pengarusutamaan Gender PUG secara formal diadopsi dalam Beijing Flatform For Action BPFA tahun yang menyatakan bahwa pemerintah dan

Lebih terperinci

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Jenis Kelamin Unit/ SKPD IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Demografi Objek Penelitian Demografi data dari objek penelitian dalam penelitian ini ditampilkan pada Tabel 4.1, yaitu berisi data mengenai jenis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah yang dilaksanakan pada tahun 2001 dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah yang dilaksanakan pada tahun 2001 dan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah yang dilaksanakan pada tahun 2001 dan undang-undang yang mengatur tentang otonomi daerah dalam UU No. 32 tahun 2004, menjelaskan bahwa definisi

Lebih terperinci

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA. a. INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA. a. INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam 10 BAB. II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengarusutamaan Gender (PUG) 1. Kebijakan Pengarusutamaan Gender Terkait dengan Pengarusutamaan Gender (PUG), terdapat beberapa isitilah yang dapat kita temukan, antara lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi pengelolaan keuangan negara di Indonesia yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi pengelolaan keuangan negara di Indonesia yang ditandai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Reformasi pengelolaan keuangan negara di Indonesia yang ditandai dengan lahirnya paket perundang-undangan di bidang keuangan negara telah mengamanatkan agar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelola yang baik (good corporate governance) tidak hanya berlaku bagi. pertanggungjawaban kinerja organisasi.

BAB I PENDAHULUAN. kelola yang baik (good corporate governance) tidak hanya berlaku bagi. pertanggungjawaban kinerja organisasi. BAB I 1.1 Pengantar PENDAHULUAN Tuntutan mengenai pengelolaan suatu organisasi berdasarkan sistem tata kelola yang baik (good corporate governance) tidak hanya berlaku bagi organisasi di sektor pemerintahan

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA SABANG NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER DALAM PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

PERATURAN WALIKOTA SABANG NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER DALAM PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA PERATURAN WALIKOTA SABANG NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER DALAM PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA SABANG, Menimbang : a. bahwa dokumen perencanaan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PPdan PA. Perencanaan. Penganggaran. Responsif Gender.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PPdan PA. Perencanaan. Penganggaran. Responsif Gender. No.615, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PPdan PA. Perencanaan. Penganggaran. Responsif Gender. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA DAN KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA

KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA DAN KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA DAN KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2011 NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan. PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial,

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial, kemasyarakatan serta ekonomi sehingga menimbulkan tuntutan yang beragam terhadap pengelolaan

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN, PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

WALIKOTA PEKALONGAN, PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai Daerah

BAB I PENDAHULUAN. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai Daerah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Reformasi pada tahun 1998 merupakan momentum yang menandai berakhirnya sistem ketatanegaraan Indonesia yang bersifat sentralistik. Pasca runtuhnya rezim orde baru,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab pendahuluan dalam sebuah laporan penelitian menyajikan latar

BAB I PENDAHULUAN. Bab pendahuluan dalam sebuah laporan penelitian menyajikan latar BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan dalam sebuah laporan penelitian menyajikan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, hingga kontribusi yang diharapkan dari penelitian. Disamping

Lebih terperinci

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 28

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 28 BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 28 PERATURAN BUPATI BANJARNEGARA NOMOR 28 TAHUN 2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

Lebih terperinci

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender XVII Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender Salah satu strategi pokok pembangunan Propinsi Jawa Timur 2009-2014 adalah pengarusutamaan gender. Itu artinya, seluruh proses perencanaan,

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 62 TAHUN 2015 TENTANG BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN MEKANISME PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA DENGAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA DENGAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA DENGAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI BIDANG

Lebih terperinci

Penelitian ini bertujuan menangkap suatu fenomena. ini merupakan pengembangan dari research gap yang ditemukan pada penelitian Rubin dan Bartle (2005)

Penelitian ini bertujuan menangkap suatu fenomena. ini merupakan pengembangan dari research gap yang ditemukan pada penelitian Rubin dan Bartle (2005) SARIPATI Penelitian ini bertujuan menangkap suatu fenomena kepemerintahan dari pegawai pemerintah kota Salatiga dalam menyusun anggaran responsif gender. Penelitian ini merupakan pengembangan dari research

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 119 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 119 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 119 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYUSUNAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% perempuan dan kaitannya dalam penyusunan anggaran responsif gender. Yang menjadi fokus dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 10 BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Teori Keagenan Teori keagenan sudah mulai berkembang berawal dari adanya penelitian oleh Jensen dan Meckling (1976) yang mengacu

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER PADA SATUAN KERJA PERANGKAT ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

B A B I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional B A B I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Agar peran pemerintah bersama masyarakat semakin efektif dan efisien dalam upaya mewujudkan sistem pemerintahan yang baik (good

Lebih terperinci

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 Tambahan Le

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 Tambahan Le WALIKOTA PAREPARE PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 79 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN RENCANA KERJA SATUAN KERJA PEMERINTAH DAERAH BERPERSPEKTIF GENDER KOTA PAREPARE WALIKOTA PAREPARE

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.463, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Monitoring dan Evaluasi. Penganggaran. Responsif Gender. Panduan. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

PENGARUSUTAMAAN GENDER MELALUI PPRG KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

PENGARUSUTAMAAN GENDER MELALUI PPRG KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK PENGARUSUTAMAAN GENDER MELALUI PPRG KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK PENGARUSUTAMAAN GENDER Strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan dan program

Lebih terperinci

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI DALAM NEGERI PADA

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI DALAM NEGERI PADA KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI DALAM NEGERI PADA ACARA PELUNCURAN STRATEGI NASIONAL (STRANAS) PERCEPATAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) MELALUI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER KABUPATEN SINJAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER KABUPATEN SINJAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER KABUPATEN SINJAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan

Lebih terperinci

PENGANTAR DAN PENGENALAN PUG & IMPLEMENTASINYA

PENGANTAR DAN PENGENALAN PUG & IMPLEMENTASINYA PENGANTAR DAN PENGENALAN PUG & IMPLEMENTASINYA YULFITA RAHARJO (MATERI DISAJIKAN PADA SOSIALISASI PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DILINGKUNGAN DJKN, 3 MAY 2018) TAK KENAL MAKA TAK SAYANG Tujuhbelas tahun

Lebih terperinci

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 34 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYUSUNAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER (PPRG)

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 34 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYUSUNAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER (PPRG) BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 34 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYUSUNAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER (PPRG) BUPATI MALANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mengintegrasikan

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN MALANG. BAB I KETENTUAN UMUM

PERATURAN BUPATI TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN MALANG. BAB I KETENTUAN UMUM BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 33 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan dan pembangunan di Indonesia setelah masa kejayaan

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan dan pembangunan di Indonesia setelah masa kejayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sistem pemerintahan dan pembangunan di Indonesia setelah masa kejayaan orde baru telah mengalami banyak perubahan. Dalam pelaksanaannya, Indonesia yang menggunakan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

STRATEGI PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak STRATEGI PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN OLEH: DEPUTI BIDANG PUG BIDANG POLITIK SOSIAL DAN HUKUM Disampaikan

Lebih terperinci

Good Governance. Etika Bisnis

Good Governance. Etika Bisnis Good Governance Etika Bisnis Good Governance Good Governance Memiliki pengertian pengaturan yang baik, hal ini sebenarnya sangat erat kaitannya dengan pelaksanaaan etika yang baik dari perusahaan Konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta penegasan istilah. Bab ini ini akan

BAB I PENDAHULUAN. masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta penegasan istilah. Bab ini ini akan BAB I PENDAHULUAN Bab ini merupakan kajian awal yang memberi pengantar tentang penelitian yang akan dilakukan, meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1429, 2014 KPP & PA. Sistem Data Gender Dan Anak. Penyelenggaraan. Pedoman. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB 4 UPAYA MEREFLEKSIKAN PREFERENSI LOKAL DALAM PENYUSUNAN PRIORITAS PEMBANGUNAN KOTA BANDUNG

BAB 4 UPAYA MEREFLEKSIKAN PREFERENSI LOKAL DALAM PENYUSUNAN PRIORITAS PEMBANGUNAN KOTA BANDUNG 92 BAB 4 UPAYA MEREFLEKSIKAN PREFERENSI LOKAL DALAM PENYUSUNAN PRIORITAS PEMBANGUNAN KOTA BANDUNG 4.1 Penyusunan Prioritas Pembangunan Kota Pada Era Otonomi Daerah Penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia

Lebih terperinci

KONSEP GENDER & DATA TERPILAH MENURUT JENIS KELAMIN

KONSEP GENDER & DATA TERPILAH MENURUT JENIS KELAMIN Australia Indonesia Partnership for Economic Governance KONSEP GENDER & DATA TERPILAH MENURUT JENIS KELAMIN Yulfita Raharjo (AIPEG Gender Adviser) OUTLINE PENYAJIAN Memahami Gender & Konsep2 yang terkait

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maksud dan tujuan pembangunan. Tidaklah mudah untuk mengadakan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. maksud dan tujuan pembangunan. Tidaklah mudah untuk mengadakan perubahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk menyampaikan maksud dan tujuan pembangunan. Tidaklah mudah untuk mengadakan perubahan pembangunan di setiap

Lebih terperinci

ARTIKEL 11 KEGIATAN WORKSHOP PENINGKATAN

ARTIKEL 11 KEGIATAN WORKSHOP PENINGKATAN ARTIKEL 11 KEGIATAN WORKSHOP PENINGKATAN KAPASITAS PENGARUSUTAMAAN GENDER BIDANG PENDIDIKAN PROVINSI ACEH Kota Banda Aceh, 4-6 Septemberi 2014 Oleh: Subi Sudarto A. Pentingnya Workshop Peningkatan Kapasitas

Lebih terperinci

KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA DENGAN

KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA DENGAN KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA DENGAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA Nomor : 06/MEN.PP & PA/5/2010 Nomor

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN NASIONAL BERWAWASAN GENDER

PEMBANGUNAN NASIONAL BERWAWASAN GENDER PEMBANGUNAN NASIONAL BERWAWASAN GENDER oleh : Sally Astuty Wardhani Asdep Gender dalam Pendidikan Kementerian PP dan PA Disampaikan pada : Rapat koordinasi PUG Bidang Pendidikan lintas Sektor Batam, 29

Lebih terperinci

KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA KEMENTERIAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA DAN KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA

KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA KEMENTERIAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA DAN KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA KEMENTERIAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA DAN KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA Nomor Nomor NK.13/Menhut-II/2011 30 /MPP-PA/D.I/08 /2011

Lebih terperinci

dalam Pembangunan Nasional;

dalam Pembangunan Nasional; Anggaran Responsif Gender (ARG) Penyusunan GBS Direktorat Jenderal Anggaran gg Kementerian Keuangan g 1. Dasar Hukum ARG a. UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; b. UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1. Variabel Laten dan Indikator Empiris

LAMPIRAN 1. Variabel Laten dan Indikator Empiris LAMPIRAN 1 Variabel Laten dan Indikator Empiris Variabel Indikator Empiris Komitmen Organisasi (Luthans, 2005) Tekanan Eksternal (Frumkin and Galaskiewicz, 2004) Ketidakpastian Lingkungan (Darlis, 2002)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sesuai dengan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya

BAB 1 PENDAHULUAN. sesuai dengan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kinerja instansi pemerintah kini menjadi sorotan dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat terhadap penyelenggaraan administrasi publik. Masyarakat sering

Lebih terperinci

RESUME PARAMETER KESETARAAN GENDER DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

RESUME PARAMETER KESETARAAN GENDER DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN RESUME RESUME PARAMETER KESETARAAN GENDER DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1. Apa latar belakang perlunya parameter gender dalam pembentukan peraturan perundangundangan. - Bahwa masih berlangsungnya

Lebih terperinci

BUPATI SERANG PROVINSI BANTEN

BUPATI SERANG PROVINSI BANTEN SALINAN Menimbang BUPATI SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG, : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hasil pengujian penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB I PENDAHULUAN. hasil pengujian penelitian, dan sistematika penulisan. 1 BAB I PENDAHULUAN Bab pendahuluan dalam sebuah laporan ilmiah merupakan pengantar bagi pembaca untuk mengetahui apa yang diteliti. Bab ini menjelaskan pemikiran peneliti terkait pertanyaan mengapa penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) 105 Tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah merupakan titik reformasi keuangan daerah.

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 1 TAHUN 2014

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 1 TAHUN 2014 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 1 TAHUN 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 36 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan sofware dalam hidup dan kehidupan manusia darinya manusia hidup, tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. merupakan sofware dalam hidup dan kehidupan manusia darinya manusia hidup, tumbuh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbincang tentang persoalan pendidikan memang tidak ada habisnya. Semakin dibicarakan dan didialektikakan semakin tidak menemukan ujungnya. Bukan karena pendidikan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PP&PA. Strategi Nasional. Sosial Budaya.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PP&PA. Strategi Nasional. Sosial Budaya. No.20, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PP&PA. Strategi Nasional. Sosial Budaya. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01

Lebih terperinci

Sambutan Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial RI

Sambutan Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial RI Sambutan Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial RI Sebagaimana telah kita ketahui bersama Bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional / RPJMN 2005 2025 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

Lebih terperinci

BUPATI SOPPENG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOPPENG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI SOPPENG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOPPENG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH 1 BUPATI SOPPENG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOPPENG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SOPPENG,

Lebih terperinci

IRZHA FRISKANOV. S / D Kata Kunci : Pengarusutamaan Gender, Kesetaraan Gender, dan Pernyataan Belanja Gender

IRZHA FRISKANOV. S / D Kata Kunci : Pengarusutamaan Gender, Kesetaraan Gender, dan Pernyataan Belanja Gender ASPEK HUKUM INSTRUKSI GUBERNUR No 188.54/207/Bappeda-G.ST/2011 TENTANG IMPLEMENTASI PERNYATAAN BELANJA GENDER DALAM PENGARUSUTAMAAN KESETARAAN GENDER DI PROVINSI SULAWESI TENGAH IRZHA FRISKANOV. S / D

Lebih terperinci

WALI KOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALI KOTA CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI KOTA CIREBON

WALI KOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALI KOTA CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI KOTA CIREBON -- WALI KOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALI KOTA CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI KOTA CIREBON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALI KOTA CIREBON, Menimbang

Lebih terperinci

Rancangan Final 8 April 2013

Rancangan Final 8 April 2013 PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER PADA SATUAN KERJA PERANGKAT ACEH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM GUBERNUR ACEH, Menimbang: a. bahwa dokumen perencanaan

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH

PROVINSI JAWA TENGAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG MEKANISME PENYUSUNAN PROGRAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 26 Tahun 2016 Seri E Nomor 18 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 26 Tahun 2016 Seri E Nomor 18 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG BERITA DAERAH KOTA BOGOR Nomor 26 Tahun 2016 Seri E Nomor 18 PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER KOTA BOGOR Diundangkan dalam Berita Daerah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Bab pendahuluan ini menjelaskan pemikiran peneliti terkait pertanyaan

BAB I. Pendahuluan. Bab pendahuluan ini menjelaskan pemikiran peneliti terkait pertanyaan BAB I Pendahuluan Bab pendahuluan ini menjelaskan pemikiran peneliti terkait pertanyaan mengapa penelitian ini dilakukan. Bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian yang

Lebih terperinci

WALI KOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALI KOTA DEPOK NOMOR 7 TAHUN 2017

WALI KOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALI KOTA DEPOK NOMOR 7 TAHUN 2017 SALINAN WALI KOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALI KOTA DEPOK NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN WALI KOTA NOMOR 36 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYUSUNAN PERENCANAAN DAN

Lebih terperinci

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA. Frida Purwanti Universitas Diponegoro

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA. Frida Purwanti Universitas Diponegoro PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KOLABORATIF TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA Frida Purwanti Universitas Diponegoro Permasalahan TNKJ Tekanan terhadap kawasan makin meningkat karena pola pemanfaatan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA MASYARAKAT DI BIDANG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015

PERATURAN MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015 PERATURAN MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alat untuk melaksanakan strategi organisasi, oleh sebab itu anggaran harus

BAB I PENDAHULUAN. alat untuk melaksanakan strategi organisasi, oleh sebab itu anggaran harus BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu organisasi baik organisasi publik maupun swasta pasti memiliki tujuan yang hendak dicapai. Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan suatu strategi yang

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN

Bab I Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN Bab I Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam era globalisasi ini, tuntutan terhadap paradigma good governance dalam seluruh kegiatan tidak dapat dielakkan lagi. Istilah good

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Peran Pekerjaan dan Keluarga Fenomena wanita bekerja di luar rumah oleh banyak pihak dianggap sebagai sesuatu yang relatif baru bagi masyarakat Indonesia. Kendati semakin lumrah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas dari sebuah perencanaan baik perencanaan yang berasal dari atas maupun perencanaan yang berasal dari bawah. Otonomi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN

PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

Lebih terperinci

ANGGARAN RESPONSIF GENDER Anggaran Responsif Gender (ARG) DAN PENYUSUNAN GENDER BUDGET STATEMENT

ANGGARAN RESPONSIF GENDER Anggaran Responsif Gender (ARG) DAN PENYUSUNAN GENDER BUDGET STATEMENT ANGGARAN RESPONSIF GENDER Anggaran Responsif Gender (ARG) DAN PENYUSUNAN GENDER BUDGET STATEMENT Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Tahun 2012 1. Dasar Hukum ARG a. UU No. 17 Tahun 2003

Lebih terperinci

4.9 Anggaran Responsif Gender Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun , telah menetapkan tiga strategi pengarusutamaan

4.9 Anggaran Responsif Gender Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun , telah menetapkan tiga strategi pengarusutamaan 4.9 Anggaran Responsif Gender Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014, telah menetapkan tiga strategi pengarusutamaan pembangunan nasional yaitu Pemerintahan yang Baik, Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Salah satu tantangan terberat bagi bangsa Indonesia pada era globalisasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Salah satu tantangan terberat bagi bangsa Indonesia pada era globalisasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tantangan terberat bagi bangsa Indonesia pada era globalisasi ini adalah bagaimana menyiapkan sumber daya manusia yang memiliki kualitas, kapabilitas dan

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PUG DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN PSP

EFEKTIVITAS PUG DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN PSP EFEKTIVITAS PUG DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN PSP Oleh : Sekretariat Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Disampaikan Pada Acara Koordinasi dan Sinkronisasi Pengarusutamaan Gender dalam Mendukung

Lebih terperinci

Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender di Kementerian Keuangan

Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender di Kementerian Keuangan KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender di Kementerian Keuangan Jakarta, Juni 2012 1 2 Peran Kementerian Keuangan dalam Penerapan PPRG 1. Urgensi PPRG 1. Mengacu

Lebih terperinci

BAB I INTRODUKSI. Dana transfer Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah untuk. pemerintah desa mencapai 90% dari total dana yang dikelola desa

BAB I INTRODUKSI. Dana transfer Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah untuk. pemerintah desa mencapai 90% dari total dana yang dikelola desa BAB I INTRODUKSI 1.1 Latar Belakang Dana transfer Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah untuk pemerintah desa mencapai 90% dari total dana yang dikelola desa (BPKP, 2015). Semakin besar dana publik yang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG

PEMERINTAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG PEMERINTAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG NOMOR 04 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN (PPRG) DALAM PERUBAHAN IKLIM

KEBIJAKAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN (PPRG) DALAM PERUBAHAN IKLIM KEBIJAKAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN (PPRG) DALAM PERUBAHAN IKLIM Disampaikan Oleh: Drg. Ida Suselo Wulan, MM Deputi Bidang PUG Bidang Politik, Sosial dan Hukum Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, PERATURAN BUPATI PANDEGLANG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

Lebih terperinci