ARAHAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN LADA (Piper nigrum L) DI KABUPATEN BELITUNG RIYADI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ARAHAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN LADA (Piper nigrum L) DI KABUPATEN BELITUNG RIYADI"

Transkripsi

1 ARAHAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN LADA (Piper nigrum L) DI KABUPATEN BELITUNG RIYADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Arahan dan Strategi Pengembangan Perkebunan Lada (Piper nigrum L) Di Kabupaten Belitung adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, November 2012 Riyadi NRP A

3 ABSTRACT RIYADI. Directions and Development Strategies for Pepper (Piper nigrum L) Plantation in Belitung Regency. Under direction of SANTUN R.P SITORUS and WIDIATMAKA Pepper (Piper nigrum L) is one of plantation commodities in the Belitung Regency and has been well known in international market. However, in recent years the total area and production has declined. Therefore it requires an effort to determine potential areas in terms of comparative advantage and competitive terms, also factors that influence the development of pepper plantation as well as its development strategy. The analysis which are used consist of Location Quotient (LQ), Shift Share Analysis (SSA), land suitability analysis, marketing margins, Analytical Hierarchy Process (AHP) and combining AHP and SWOT (A'WOT). The results showed that the Membalong sub district be prioritized in the development of pepper plantations. The most influential factor in development of pepper is land. Other factors influencing development of pepper based on degree of its influence are human resources, technology, market, and capital, respectively. Some of the proposed strategies are optimizing and maintaining natural resources potential, increasing the quality and quantity of products, diversification of processed pepper products, and improve bargaining position of the farmers. Keywords : pepper, development strategy, land suitability, AHP and A WOT

4 RINGKASAN RIYADI. Arahan dan Strategi Pengembangan Perkebunan Lada (Piper nigrum L) di Kabupaten Belitung. Dibimbing oleh SANTUN R.P SITORUS dan WIDIATMAKA Salah satu komoditas unggulan perkebunan di Kabupaten Belitung adalah lada (Piper nigrum L). Lada masih menjadi tumpuan petani di Belitung di samping komoditas perkebunan lainnya seperti karet, kelapa sawit, kelapa dan aren. Areal penanaman lada pada akhir tahun 2011 seluas 7.423,74 ha (Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung, 2011). Namun luas areal perkebunan lada tersebut telah berkurang dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya. Mengingat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dikenal sebagai salah satu sentra produksi lada di Indonesia, maka eksistensi lada perlu diperhatikan terutama dalam pengembangan wilayah. Keberadaan lada perlu dipertahankan mengingat komoditas perkebunan ini cukup menjanjikan untuk peningkatan ekonomi petani. Berbagai fenomena yang muncul seperti maraknya penambangan timah ilegal dan faktor-faktor lain yang merusak lahan potensial untuk pengembangan pertanian khususnya perkebunan lada perlu dikendalikan. Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan upaya untuk mengembalikan kejayaan lada di Kabupaten Belitung. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan dan memberikan solusi dalam pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) mengidentifikasi dan menganalisis sentra perkebunan lada berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah ; (2) menganalisis dan memetakan wilayah yang berpotensi untuk pengembangan areal perkebunan lada berdasarkan kesesuaian lahannya ; (3) menganalisis rantai pemasaran dan persentase harga jual yang diterima petani lada di Kabupaten Belitung; (4) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung menurut persepsi stakeholders ; (5) merumuskan arahan dan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Belitung. Kegiatan persiapan, penelitian lapang, analisis data dan penyusunan tesis dilaksanakan selama 6 bulan, yaitu dari bulan April sampai dengan September Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa data pengamatan lapang, wawancara dan pengisian kuesioner. Data sekunder berupa data dan peta yang diperoleh dari berbagai instansi/ lembaga baik pemerintah maupun swasta. Beberapa metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ; analisis Location Quotient (LQ), Shift Share Analisis (SSA), analisis kesesuaian lahan, analisis margin pemasaran, Analytical Hierarchy Process (AHP) dan analisis AHP kombinasi SWOT (A WOT). Berdasarkan analisis LQ, kecamatan yang memiliki nilai LQ di atas 1 (LQ>1) adalah kecamatan Membalong. Menurut Rustiadi et al. (2011), wilayah yang memiliki keunggulan komparatif memiliki nilai LQ>1. Hal ini berarti kecamatan Membalong memiliki keunggulan komparatif dibandingkan kecamatan lainnya. Hasil analisis Shift Share (SSA) menunjukkan bahwa kecamatan Membalong memiliki nilai differential Shift positif yang artinya kinerja sektor di

5 level lokal dalam hal ini perkebunan lada memiliki potensi yang masih bisa dikembangkan. Berdasarkan analisis kesesuaian lahan aktual untuk penanaman lada diketahui bahwa lahan dengan kelas S2 paling dominan di Kabupaten Belitung dibandingkan dengan kelas yang lain (S3 dan N). Lahan dengan kelas S2 memiliki luas ha atau sekitar 52,18%, yang tersebar di semua kecamatan. Kecamatan Membalong memiliki lahan dengan kelas S2 terluas yang mencapai ha. Luas lahan S3 aktual untuk tanaman lada di Kabupaten Belitung adalah ha atau 37,85 %. Lahan kelas S3 ini juga tersebar atau menempati masingmasing kecamatan yang ada di Kabupaten Belitung. Lokasi terluas dari lahan kelas S3 berada di kecamatan Membalong. Berdasarkan analisis margin pemasaran diketahui bahwa secara umum rantai pemasaran lada di Kabupaten Belitung ada 2 (dua) rantai pemasaran. Rantai pemasaran 1 dengan rantai pemasaran yang dimulai dari petani yang menjual ke pedagang pengumpul I, kemudian pedagang pengumpul I menjual ke pedagang pengumpul II untuk selanjutnya menjual ke eksportir. Rantai pemasaran 2 pada dasarnya lebih pendek dari rantai pemasaran 1, karena di rantai pemasaran 2 ini petani langsung menjual ke pedagang pengumpul II dan pedagang pengumpul II menjual ke eksportir. Persentase harga yang diterima petani melalui rantai pemasaran 1 sebesar 78,82 % atau lebih rendah dari persentase harga yang diterima pada rantai pemasaran 2 yaitu 82,35 %. Berdasarkan hasil Analytical Hierarchy Process (AHP) diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada secara prioritas berdasarkan urutan pengaruhnya yaitu lahan dengan nilai eigenvalue (0,4391), sumberdaya manusia (SDM) (0,2297), teknologi (0,1453), pasar (0,1107) dan modal (0,0751). Lahan menjadi faktor yang paling mempengaruhi pengembangan perkebunan lada. Faktor lain yang berpengaruh secara berurutan berdasarkan tingkat pengaruhnya adalah sumberdaya manusia (SDM), teknologi, pasar dan modal. Analisis arahan pengembangan perkebunan lada dilakukan dengan metode Sistem Informasi Geografis yang bertujuan mengetahui lokasi yang berpotensi untuk pengembangan perkebunan lada. Metode ini memadukan peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Belitung Tahun , Peta Penggunaan Lahan Tahun 2009, peta kesesuaian lahan aktual dan hasil analisis LQ dan SSA. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa Kabupaten Belitung memiliki luas lahan arahan pengembangan lada seluas ha. Dari luas tersebut, ha (57,19%) berada di kecamatan Membalong. Dengan demikian, maka kecamatan Membalong menjadi lokasi prioritas arahan untuk pengembangan lada. Rumusan strategi pengembangan perkebunan lada dilakukan dengan menggunakan metode A WOT. Metode ini merupakan perpaduan AHP dan SWOT. Berdasarkan analisis A WOT, beberapa strategi yang dapat dirumuskan adalah (1) mengoptimalkan dan menjaga potensi SDA untuk pengembangan perkebunan lada; (2) peningkatan kualitas dan kuantitas produk dengan berbagai penerapan teknologi; (3) diversifikasi produk olahan lada; (4) meningkatkan posisi tawar petani dan peluang pasar dalam siklus pemasaran lada dengan penguatan kelembagaan tani. Kata kunci: lada, strategi pengembangan, kesesuaian lahan, AHP dan A WOT

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

7 ARAHAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN LADA (Piper nigrum L) DI KABUPATEN BELITUNG RIYADI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

8 Judul Tesis Nama NRP : Arahan Dan Strategi Pengembangan Perkebunan Lada (Piper nigrum L) Di Kabupaten Belitung : Riyadi : A Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Ketua Dr. Ir. Widiatmaka, DAA Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr Tanggal Ujian : 23 November 2012 Tanggal Lulus :

9 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Ir. Atang Sutandi, M.Si, Ph.D

10 Kupersembahkan Karya ini Kepada: Kedua orang tua tercinta; Ayahanda Rahman dan Ibunda Ani, Istriku terkasih Yuniarty, S.Kep dan Kedua anakku tersayang: Naurah Syakira & Rafif Al Ghifari, serta keluarga besarku yang telah memberikan dukungan selama ini

11 PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April sampai Oktober ini adalah Arahan dan Strategi Pengembangan Perkebunan Lada (Piper nigrum L) di Kabupaten Belitung. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus selaku ketua komisi pembimbing dan ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah atas segala motivasi, arahan dan bimbingan yang diberikan dari tahap awal sampai penyelesaian tesis ini. 2. Bapak Dr. Ir. Widiatmaka, DAA selaku anggota komisi pembimbing atas segala dukungan, motivasi, arahan dan bimbingan yang diberikan selama penelitian sampai penyelesaian tesis ini. 3. Ibu Dr. Dra. Khursatul Munibah, M.Sc selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB beserta seluruh staf pengajar dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB 4. Kepala Pusbindiklatren Bappenas beserta jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis 5. Dinas Pertanian dan Kehutanan, Badan Pendidikan dan Pelatihan, dan Pemerintah Kabupaten Belitung yang telah memberikan izin dan bantuan kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini 6. Rekan-rekan PWL Bappenas dan Reguler Angkatan 2011 atas dukungan dan kerjasamanya selama ini, serta pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu dalam membantu penyelesaian tesis ini Terima kasih yang istimewa disampaikan kepada istriku Yuniarty, S.Kep dan anakku Naurah Syakira dan Rafif Al Ghifari beserta seluruh keluarga besar di Belitung, atas segala do a dan dukungan selama ini. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat. Amiin. Bogor, November 2012 Riyadi

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tanjungpandan, Kabupaten Belitung pada tanggal 13 November 1982 sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Rahman dan Ibu Ani. Telah menikah dengan Yuniarty, S.Kep dan dikaruniai dua orang anak ; Naurah Syakira dan Rafif Al Ghifari. Tahun 2001 penulis lulus SMA Negeri I Tanjungpandan dan diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi (sekarang Ilmu dan Teknologi Pangan), Fakultas Teknologi Pertanian dan lulus tahun Pada tahun 2006 Penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Belitung dan ditempatkan pada Dinas Pertanian dan Kehutanan. Penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah pascasarjana pada tahun 2011 dan diterima pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) IPB dengan bantuan pembiayaan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren Bappenas).

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... iii v DAFTAR LAMPIRAN... vii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah Evaluasi Kesesuaian Lahan Komoditas Unggulan Prospek Pengembangan Perkebunan Lada (Piper nigrum L) Tinjauan Studi Terdahulu METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Sumber Data dan Informasi Penelitian Metode Pengumpulan Data Teknik Analisis Data Analisis Sentra Perkebunan Lada Analisis Location Quotient (LQ) Shift Share Analysis (SSA) Analisis Wilayah Yang Berpotensi Untuk Pengembangan Perkebunan Lada Analisis Margin Pemasaran Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan Perkebunan Lada Analisis Arahan dan Strategi Pengembangan Perkebunan Lada Analisis Lokasi Arahan Pengembangan Perkebunan Lada Analisis A WOT KONDISI UMUM KABUPATEN BELITUNG Kondisi Fisik Daerah Letak Geografi Topografi... 43

14 ii Geologi Fisiografi Tanah Hidrologi Iklim Alokasi Penggunaan Lahan Kependudukan dan Sosial Budaya Kependudukan Sosial Budaya Perekonomian Daerah Potensi Pertanian di Kabupaten Belitung Komoditas Pertanian Utama Peranan Subsektor Perkebunan Perkembangan Perkebunan Lada HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Sentra Perkebunan Lada Analisis dan Pemetaan Wilayah Yang Berpotensi Untuk Pengembangan Perkebunan Lada Analisis Margin Pemasaran Lada di Kabupaten Belitung Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan Lada Persepsi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Persepsi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Persepsi Dinas Pertanian dan Kehutanan Persepsi Dinas Perindagkop dan Penanaman Modal Persepsi Badan Pengelolaan, Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) Persepsi Balai Penyuluhan Pertanian Persepsi Akademisi Persepsi Tokoh Masyarakat Persepsi Penyuluh Pertanian Persepsi Petani Persepsi Seluruh Stakeholders Arahan dan Strategi Pengembangan Perkebunan Lada di Kabupaten Belitung Arahan Pengembangan Perkebunan Lada di Kabupaten Belitung Strategi Pengembangan Perkebunan Lada di Kabupaten Belitung KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

15 iii DAFTAR TABEL Halaman 1 Jenis dan sumber data, teknik analisis data dan output penelitian Skala dasar ranking Analytical Hierarchy Process (AHP) Matriks Internal Strategic Factor Analysis Summary (IFAS) Matriks Eksternal Strategic Factor Analysis Summary (EFAS) Fluktuasi iklim di Kabupaten Belitung tahun Perkembangan penduduk per kecamatan di Kabupaten Belitung tahun Kepadatan penduduk dan sex ratio menurut kecamatan di Kabupaten Belitung tahun Persentase distribusi PDRB Kabupaten Belitung atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun Luas panen, produksi dan produktifitas tanaman pangan Kabupaten Belitung tahun Luas areal dan produksi tanaman perkebunan Kabupaten Belitung tahun Luas areal perkebunan lada tiap kecamatan di Kabupaten Belitung tahun Nilai ekspor lada dari beberapa negara produsen Lada Nilai analisis LQ perkebunan lada tahun Nilai Shift Share Analysis komoditas perkebunan lada di Belitung Nilai Shift Share Analysis komoditas perkebunan di kecamatan Membalong Kelas kesesuaian lahan aktual pada setiap satuan lahan Sebaran kelas kesesuaian lahan aktual di tiap kecamatan Luas wilayah yang berpotensi untuk perkebunan lada Margin pemasaran dan akumulasi biaya di tiap tingkatan pemasaran Harga yang diterima petani dan margin pemasaran terhadap harga jual eksportir Kriteria penentuan arahan pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung Pembagian prioritas arahan pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung Arahan pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung

16 iv 24 Faktor-faktor kekuatan,kelemahan, peluang dan ancaman Hasil analisis matriks Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS) Hasil analisis matriks External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS)

17 v DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian Peta lokasi penelitian Kerangka operasional penelitian Struktur hierarki AHP dalam penilaian faktor-faktor pengembangan perkebunan lada Model matriks internal eksternal Model matriks space Model matriks SWOT Alokasi penggunaan lahan di Kabupaten Belitung Nilai analisis LQ perkebunan lada tiap kecamatan di Kabupaten Belitung tahun Peta kelas kesesuaian lahan aktual tanaman lada Peta wilayah yang berpotensi untuk perkebunan lada Rantai pemasaran lada Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi anggota DPRD Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi anggota DPRD Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi Bappeda Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi Bappeda Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi Dinas Pertanian dan Kehutanan Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi Dinas Pertanian dan Kehutanan Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi Dinas Perindagkop dan Penanaman Modal Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi Dinas Perindagkop dan Penanaman Modal Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi BP3L... 86

18 vi 22 Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi BP3L Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi Balai Penyuluh Pertanian Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi Balai Penyuluh Pertanian Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi akademisi Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi akademisi Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi tokoh masyarakat Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi tokoh masyarakat Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi penyuluh pertanian Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi penyuluh pertanian Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi petani Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi petani Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi seluruh stakeholders Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi seluruh stakeholders Peta arahan pengembangan lada Hasil analisis matriks internal eksternal Hasil analisis matriks space Hasil analisis matriks SWOT

19 vii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Kriteria kesesuaian lahan tanaman lada (Piper nigrum L) Peta penggunaan lahan Kabupaten Belitung tahun Peta RTRW Kabupaten Belitung tahun Peta satuan lahan Kabupaten Belitung Penilaian kelas kesesuaian lahan pada masing-masing satuan lahan Luasan areal komoditas perkebunan Kabupaten Belitung tahun Luasan areal komoditas perkebunan Kabupaten Belitung tahun Luasan areal komoditas perkebunan Kabupaten Belitung tahun Luasan areal komoditas perkebunan Kabupaten Belitung tahun Nilai analisis LQ semua komoditas perkebunan tahun Nilai analisis LQ semua komoditas perkebunan tahun Nilai analisis LQ semua komoditas perkebunan tahun Nilai analisis LQ semua komoditas perkebunan tahun Nilai analisis Shift Share tahun 2008/ Kuesioner AHP untuk menjaring persepsi stakeholders Kuesioner untuk analisis A WOT Pembobotan faktor strategi internal dan eksternal hasil AHP Perhitungan rating faktor strategi internal dan eksternal

20 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Belitung merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kabupaten yang memiliki luas 2.293,69 km 2 ini dihuni jiwa (Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung, 2012). Berbagai sektor pendukung perekonomian masyarakat dikembangkan di kabupaten ini, baik sektor pertanian, jasa, industri pengolahan dan sebagainya. Salah satu sektor yang akhir-akhir ini banyak diusahakan masyarakat adalah sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor dominan dalam menopang perekonomian disamping sektor pertambangan/penggalian. Sektor ini banyak diusahakan masyarakat mengingat prospek ekonominya yang cukup baik. Dengan demikian, pembangunan perekonomian yang pro rakyat perlu ditingkatkan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan upaya penggalian, pengkajian dan pengembangan sektor pertanian terutama subsektor perkebunan dalam mendukung pengembangan wilayah di Kabupaten Belitung. Pengkajian sub sektor perkebunan sebagai salah satu sub sektor di sektor pertanian diperlukan, karena sub sektor perkebunan terutama perkebunan lada telah diusahakan turun temurun di Kabupaten Belitung, bahkan lada menjadi icon dan ditetapkan sebagai komoditas unggulan Kabupaten Belitung oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Belitung. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung (2012), diketahui bahwa persentase tertinggi penyumbang PDRB Kabupaten Belitung tahun 2011 adalah sektor pertanian yaitu 23,25% diikuti sektor industri pengolahan 21,67 % serta sektor jasa-jasa sebesar 15,26 %. Keberadaan sektor pertanian dalam hal ini sub sektor perkebunan memang menjadi andalan masyarakat Kabupaten Belitung karena keberadaan tambang timah rakyat yang mulai menurun dengan keterbatasan lahan penambangan dan fluktuasi harga timah di pasaran. Salah satu komoditas perkebunan yang menjadi primadona di Kabupaten Belitung adalah lada (Piper nigrum L). Tanaman lada masih menjadi tumpuan sebagian besar petani di Kabupaten Belitung disamping komoditas perkebunan

21 2 lainnya seperti karet, kelapa sawit, kelapa dan aren. Areal penanaman lada pada akhir tahun 2011 adalah seluas 7.423,74 ha (Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung, 2012). Namun jumlah areal perkebunan lada tersebut telah menyusut dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya, sebagai gambaran luas areal perkebunan lada pada akhir tahun 2001 mencapai ha (Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung, 2002) Di pasar internasional, komoditas lada khususnya lada putih menjadi salah satu komoditas perkebunan yang diperhitungkan. Berdasarkan data International Pepper Community (2012), diketahui bahwa Indonesia merupakan negara eksportir lada putih terbesar kedua setelah Vietnam. Data tahun 2010 menunjukkan total ekspor lada putih Indonesia mencapai ton, dari angka tersebut, Indonesia berkontribusi sekitar 32% dari total ekspor lada putih dunia yang mencapai ton. Vietnam tahun 2010 mampu mengekspor lada putih sebanyak ton. Berdasarkan data International Pepper Community (2012), lada putih Indonesia diimpor oleh negara-negara di kawasan Amerika, Asia, Eropa dan Pasifik Oceania. Nilai permintaan lada putih Indonesia oleh beberapa negara importir di kawasan tersebut menunjukkan peningkatan, dimana tahun 2010 negara-negara tersebut mengimpor lada putih sebanyak ton atau naik sekitar 17,34 % dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai ton. Mengingat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah dikenal sebagai salah satu sentra produksi lada di Indonesia khususnya lada putih, maka eksistensi lada perlu diperhatikan terutama dalam pengembangan wilayah. Keberadaan lada perlu dipertahankan mengingat komoditas perkebunan ini cukup menjanjikan untuk peningkatan ekonomi petani. Berbagai fenomena yang muncul akhir-akhir ini seperti maraknya penambangan timah ilegal dan faktor-faktor lain yang merusak lahan potensial untuk pengembangan pertanian khususnya perkebunan lada perlu dikendalikan. Konversi lahan yang tidak bertanggungjawab harus diminimalisir oleh pemerintah. Hal ini penting guna memberikan alokasi ruang yang lebih terbuka bagi pengembangan perkebunan lada ke depan. Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan upaya untuk mengembalikan kejayaan lada di Kabupaten Belitung. Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka

22 3 Belitung telah mengambil langkah dengan melakukan revitalisasi perkebunan lada yang bertujuan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas lada sebagai andalan ekspor nasional, meningkatkan pendapatan petani lada sekaligus mempercepat pengurangan tingkat kemiskinan khususnya di daerah sentra produksi lada (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006). Langkah tersebut antara lain peningkatan produktivitas, mutu hasil, efisiensi biaya produksi dan pemasaran, serta manajemen stok melalui pengembangan inovasi teknologi dan kelembagaan. Namun, langkah revitalisasi ini kurang berjalan optimal dan secara umum belum semua petani menikmati dampak positif dari kebijakan pemerintah tersebut (Pranoto, 2011) Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan dan memberikan solusi dalam pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Dalam penelitian ini dikaji upaya pengembangan areal perkebunan lada dengan memetakan potensi lahan yang sesuai dengan persyaratan budidaya lada secara spasial dan biofisik. Penelitian ini juga menganalisis margin pemasaran lada untuk mengetahui dan menilai efisiensi pemasaran lada serta memberikan masukan dalam upaya melindungi petani lada. Disamping itu, penelitian ini juga menggali permasalahan dan harapan dari berbagai stakeholders terhadap faktorfaktor yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada. Hasil analisis dan olahan data dari penelitian ini diharapkan menjadi pertimbangan dalam merumuskan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung Perumusan Masalah Sektor pertanian di Kabupaten Belitung merupakan sektor penyumbang terbesar dari total PDRB kabupaten. Namun upaya menjaga keberadaan sektor pertanian masih kurang diperhatikan. Hal ini tampak pada terjadinya konversi lahan pertanian seiring dengan semakin banyaknya aktivitas penduduk yang bergerak dalam sektor lain seperti pertambangan. Padahal jika dilihat sejarahnya, sektor pertanian dalam hal ini komoditas lada sudah dikenal luas, baik lingkup nasional maupun internasional. Penyusutan luas areal perkebunan lada semakin memprihatinkan akibat konversi lahan perkebunan lada menjadi pertambangan timah ilegal dan sebagainya.

23 4 Dalam perencanaan pengembangan wilayah di Kabupaten Belitung, pengembangan sektor pertanian harus diperhatikan mengingat share sektor ini terhadap PDRB Kabupaten Belitung cukup besar. Keberadaan sektor pertanian terutama eksistensi komoditas lada yang sudah menjadi icon daerah perlu diperhatikan dan dikembangkan agar produksinya bisa meningkat lagi. Selain itu, prospek usaha perkebunan ini cukup baik dengan harga lada yang semakin menguat beberapa tahun terakhir. Hal penting lainnya, usaha perkebunan lada mampu mempertahankan kelestarian lahan dari eksploitasi pertambangan timah ilegal yang merusak lingkungan. Untuk mewujudkan usaha pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung, dibutuhkan strategi konkrit yang dapat menjadi arahan bagi pembuat kebijakan dalam perencanaan dan pengembangan wilayah ke depan. Berbagai permasalahan seperti belum teridentifikasinya sentra perkebunan lada berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah serta belum terpetakannya wilayah yang berpotensi untuk pengembangan lada, harus segera ditemukan jawabannya. Disamping itu, permasalahan rantai pemasaran lada juga perlu dianalisis guna mengetahui sejauh mana efisiensi rantai pemasaran dalam arti keuntungan yang diperoleh petani dibandingkan dengan modal dan pengorbanannya. Permasalahan lain yang perlu dikaji yaitu terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada dan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Dengan memperhatikan beberapa permasalahan di atas, maka pertanyaan penelitian yang dikaji adalah : 1. Wilayah mana saja di Kabupaten Belitung yang saat ini merupakan sentra perkebunan lada berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah? 2. Wilayah mana saja yang berpotensi untuk pengembangan areal perkebunan lada di Kabupaten Belitung? 3. Bagaimana kondisi rantai pemasaran lada di Kabupaten Belitung? 4. Bagaimana persepsi stakeholders terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung? 5. Bagaimana arahan dan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung?

24 5 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi dan menganalisis sentra perkebunan lada berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah. 2. Menganalisis dan memetakan wilayah yang berpotensi untuk pengembangan areal perkebunan lada berdasarkan kesesuaian lahannya. 3. Menganalisis rantai pemasaran dan persentase harga jual yang diterima petani lada di Kabupaten Belitung. 4. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung menurut persepsi stakeholders 5. Merumuskan arahan dan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan pembangunan pertanian khususnya dalam mempertahankan dan mengembangkan keberadaan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. 2. Sebagai bahan masukan dalam kebijakan penatagunaan lahan di Kabupaten Belitung. 3. Sebagai bahan pertimbangan dan acuan masyarakat khususnya yang bergerak dalam usaha perkebunan lada.

25 6 1.5 Kerangka Pemikiran Penelitian arahan dan strategi pengembangan perkebunan lada (Piper nigrum L) di Kabupaten Belitung didasari kerangka berpikir dengan melihat kondisi aktual dan faktual yang terjadi di Kabupaten Belitung. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung (2012) dapat diketahui bahwa PDRB Kabupaten Belitung tahun 2011 masih didominasi oleh sektor pertanian yang menjadi penyumbang terbesar dengan share sektor pertanian sebesar 23,25%. Sub sektor perkebunan memegang peranan besar di sektor pertanian ini selain sub sektor perikanan. Salah satu komoditas perkebunan yang banyak diusahakan penduduk saat ini adalah lada. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung (2012) diketahui bahwa total luas areal perkebunan lada mencapai 7.423,74 ha, diikuti kelapa sawit rakyat dan karet. Namun angka luas areal perkebunan lada tersebut jauh lebih rendah dibandingkan luas perkebunan lada tahun 2001 yang mencapai ha. Dengan demikian telah terjadi penyusutan luas areal perkebunan lada sebesar 38,5%. Kondisi ini tentu perlu diperhatikan dan dilakukan upaya pencegahannya. Mengingat lada di Kabupaten Belitung sudah menjadi icon perkebunan dan dinilai cukup prospektif dalam mengangkat taraf hidup petani, maka perlu dilakukan upaya dan strategi untuk mempertahankan dan mengembangkan perkebunan lada ke depan. Dengan memperhatikan kondisi faktual yang ada, maka perlu dilakukan analisis mengenai potensi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung yang meliputi analisis dan pemetaan wilayah pengembangan areal perkebunan lada, analisis rantai pemasaran serta penggalian persepsi stakeholders mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada. Berbagai analisis tersebut sangat penting dan dibutuhkan untuk merumuskan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Secara ringkas, kerangka pikir dari penelitian ini dapat digambarkan dalam bentuk diagram alir seperti disajikan pada Gambar 1.

26 Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian 7

27 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengembangan Wilayah Pengembangan suatu wilayah pada dasarnya bertujuan agar wilayah itu berkembang menuju tingkat perkembangan yang diinginkan. Pengembangan wilayah dilakukan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimilikinya secara harmonis, serasi dan terpadu dengan pendekatan yang bersifat komprehensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup untuk pembangunan berkelanjutan. Pemahaman konsep mengenai wilayah sangat penting dalam pengembangan suatu wilayah. Ada beberapa pengertian wilayah yang harus dipahami terlebih dahulu. Konsep wilayah dalam proses penataan ruang harus meliputi konsep ruang sebagai ruang wilayah ekonomi, ruang wilayah sosial budaya, ruang wilayah ekologi dan ruang wilayah politik. Wilayah itu sendiri adalah batasan geografis (deliniasi yang dibatasi oleh koordinat geografis ) yang mempunyai pengertian/maksud tertentu atau sesuai fungsi tertentu (Djakapermana, 2010) Wilayah juga didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut (subwilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional (Rustiadi et al. 2011). Menurut Undang-Undang Penataan Ruang No 26 tahun 2007, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2007). Sementara itu, pengertian ruang menurut Undang-Undang yang sama adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Dengan pengertian ruang tersebut, maka ada ruang untuk kegiatan manusia melakukan kegiatannya (budidaya) dan ada ruang untuk kelangsungan makhluk hidup lainnya yang harus dipelihara, dijaga dan bahkan dilindungi agar kehidupannya bisa tetap berlangsung (Djakapermana, 2010)

28 10 Karakteristik dan potensi suatu wilayah sangat menentukan dalam menerapkan strategi pengembangan suatu wilayah. Oleh karena itu, sebelum melakukan perumusan kebijakan yang dilaksanakan akan lebih baik mengetahui tipe/jenis wilayahnya. Menurut Tarigan (2004), salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pengembangan wilayah adalah menyusun perencanaan wilayah. Perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah (termasuk perencanaan pergerakan dalam wilayah) dan perencanaan kegiatan pada ruang wilayah tersebut (Tarigan, 2004). Perencanaan pembangunan wilayah biasanya terkait dengan apa yang sudah ada di wilayah tersebut. Pengembangan suatu wilayah erat kaitannya dengan pembangunan wilayah. Pembangunan wilayah adalah kegiatan yang dilakukan secara terencana untuk mencapai hasil yang lebih baik di masa yang akan datang. Sebagai proses yang bersifat terpadu, pembangunan dilaksanakan berdasarkan potensi lokal yang dimiliki, baik potensi sumberdaya alam, manusia, buatan, maupun sumberdaya sosial. Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Tujuan akhir pembangunan adalah tercapainya kesejahteraan bagi masyarakat (Rustiadi et al. 2011). Untuk menilai pembangunan dapat digunakan beberapa indikator sebagai berikut: a. Indikator berbasis tujuan pembangunan: (1) produktivitas, efisiensi dan pertumbuhan (growth); (2) pemerataan, keadilan dan keberimbangan (equity); dan (3) keberlanjutan (sustainability). b. Indikator pembangunan berbasis sumberdaya, yaitu cara mengukur tingkat kinerja pembangunan dengan mengembangkan berbagai ukuran operasional berdasarkan pemanfaatan dan kondisi sumberdaya yang meliputi sumberdaya manusia, alam, buatan, dan sumberdaya sosial. c. Indikator pembangunan berbasis proses; merupakan suatu cara mengukur kinerja pembangunan dengan mengedepankan proses pembangunan itu sendiri dengan melihat input, proses atau implementasi, output, outcome, benefit, dan impact.

29 11 Menurut Rustiadi et al. (2011), pembangunan regional yang berimbang merupakan pembangunan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan kapabilitas dan kebutuhan wilayah, yaitu adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian, diharapkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan yang merupakan hasil interaksi yang saling memperkuat diantara sesama wilayah yang terlibat, sehingga dapat mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah (disparitas pembangunan regional). 2.2 Evaluasi Kesesuaian Lahan Pertumbuhan suatu wilayah akan berdampak pada peningkatan kebutuhan dan persaingan dalam penggunaan lahan. Kondisi tersebut mengharuskan perlunya pemikiran yang seksama dalam mengambil keputusan pemanfaatan yang paling menguntungkan dari sumberdaya lahan yang terbatas dengan tetap memperhatikan tindakan konservasinya untuk penggunaan di masa yang akan datang (Sitorus, 2004) Analisis potensi kesesuaian lahan tidak terlepas dari evaluasi lahan baik secara fisik maupun daya dukung sosial ekonomi terhadap pengembangan suatu kegiatan pada lahan atau lokasi tertentu. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tataguna lahan dan merupakan proses penilaian suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu. Menurut Sitorus (2004), evaluasi sumber daya lahan pada hakekatnya merupakan proses untuk menduga potensi sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaannya. Adapun kerangka dasar dari evaluasi sumberdaya lahan adalah membandingkan persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan sifat sumberdaya yang ada pada lahan tersebut. Dasar pemikiran utama dalam prosedur evaluasi suatu lahan adalah kenyataan bahwa berbagai penggunaan lahan membutuhkan persyaratan yang berbeda-beda. Oleh karena itu dibutuhkan keterangan-keterangan tentang lahan tersebut yang menyangkut berbagai aspek sesuai dengan rencana peruntukan yang dipertimbangkan.

30 12 Fungsi evaluasi sumberdaya lahan adalah memberikan pengertian tentang hubungan-hubungan antara kondisi lahan dan penggunaannya serta memberikan kepada perencana berbagai perbandingan dan alternatif pilihan penggunaan yang dapat diharapkan berhasil (Sitorus, 2004). Dengan demikian manfaat yang mendasar dari evaluasi sumberdaya lahan adalah untuk menilai kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu serta memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari perubahan penggunaan lahan yang akan dilakukan (Sitorus, 2004) Inti evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini, maka akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut. Tujuan evaluasi lahan (Land evaluation atau Land Assesment) adalah menentukan nilai suatu lahan untuk tujuan tertentu. Menurut FAO (1976), dalam evaluasi lahan perlu memperhatikan aspek ekonomi, sosial, serta lingkungan yang berkaitan dengan perencanaan tataguna lahan. Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tataguna lahan. Isu utama dalam evaluasi lahan adalah menjawab pertanyaan yaitu lahan manakah yang terbaik untuk suatu jenis penggunaan lahan dan penggunaan lahan apa yang terbaik untuk suatu lahan tertentu. Hasil evaluasi lahan dapat dijadikan dasar untuk memilih berbagai komoditas pertanian alternatif yang akan dikembangkan dalam suatu wilayah. Hasil evaluasi suatu lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tataguna lahan yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, disamping dapat menimbulkan terjadinya kerusakan lahan, juga akan meningkatkan masalah kemiskinan dan sosial lainnya bahkan dapat menghancurkan suatu kebudayaan yang sebelumnya telah berkembang. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), logika dilakukannya evaluasi lahan adalah : 1. Sifat lahan beragam, sehingga perlu dikelompokkan ke dalam satuan-satuan yang lebih seragam, yang memiliki potensi yang sama.

31 13 2. Keragaman ini mempengaruhi jenis-jenis penggunaan lahan yang sesuai untuk masing-masing satuan lahan 3. Keragaman ini bersifat sistematik sehingga dapat dipetakan 4. Kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu dapat dievaluasi dengan ketepatan tinggi bila data yang diperlukan untuk evaluasi cukup tersedia dan berkualitas baik. 5. Pengambilan keputusan atau penggunaan lahan dapat menggunakan peta kesesuaian lahan sebagai salah satu dasar untuk mengambil keputusan dalam perencanaan tataguna lahan. Dari uraian diatas, maka evaluasi lahan harus dilakukan agar rencana tataguna lahan dapat berjalan dengan optimal. Disamping itu, prediksi yang didasarkan atas kesesuaian lahan untuk berbagai kegiatan produksi dan pengelolaan lahan juga akan memberikan makna yang besar bagi program pembangunan. Melalui prediksi ini juga, konsekuensi-konsekuensi sebaliknya dapat diramalkan, sehingga peringatan-peringatan terhadap lahan yang seharusnya tidak diusahakan/ ditanami dapat dihindari. 2.3 Komoditas Unggulan Komoditas unggulan merupakan komoditas andalan yang memiliki posisi strategis untuk dikembangkan di suatu wilayah yang penetapannya didasarkan pada berbagai pertimbangan baik secara teknis (kondisi tanah dan iklim) maupun sosial ekonomi dan kelembagaan (penguasaan teknologi, kemampuan sumberdaya manusia, infrastruktur, dan kondisi sosial budaya setempat). Penetapan komoditas unggulan di suatu wilayah menjadi suatu keharusan dengan pertimbangan bahwa komoditas-komoditas yang mampu bersaing secara berkelanjutan dengan komoditas yang sama di wilayah lain adalah komoditas yang diusahakan secara efisien dari sisi teknologi dan sosial ekonomi serta memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Disamping itu, faktor kemampuan suatu wilayah untuk dapat memproduksi dan memasarkan komoditas yang sesuai dengan kondisi lahan dan iklim di wilayah tertentu juga sangat terbatas. Dalam menetapkan suatu komoditas menjadi komoditas unggulan dapat dilakukan dengan berbagai metode. Salah satu metode yang paling umum

32 14 digunakan yaitu metode Location Quotient (LQ) (Hendayana, 2003). Metode ini lebih bersifat analisis dasar yang dapat memberikan gambaran tentang pemusatan aktifitas atau sektor basis saat ini. Berbagai komoditas unggulan di sektor pertanian telah banyak dikaji oleh para peneliti di berbagai lembaga penelitian terutama di lingkungan Kementerian Pertanian. Penentuan komoditas unggulan merupakan langkah awal menuju pembangunan pertanian yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi globalisasi perdagangan (Hendayana, 2003). Penetapan komoditas unggulan perlu dilakukan sebagai acuan dalam penyusunan prioritas program pembangunan oleh penentu kebijakan mengingat berbagai keterbatasan sumberdaya yang dimiliki baik sumberdaya keuangan, sumberdaya manusia, maupun sumberdaya lahan. Selain itu, keberhasilan pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan juga diharapkan akan lebih baik karena kegiatan yang dijalankan lebih terfokus pada program yang diprioritaskan. Batasan wilayah dalam penetapan komoditas unggulan biasanya merupakan wilayah administrasi baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten maupun kecamatan. Hendayana (2003) telah mengidentifikasi komoditas unggulan pertanian pada tingkat nasional dengan menggunakan metode LQ. Hasilnya menunjukkan bahwa metode LQ sebagai salah satu pendekatan model ekonomi basis yang relevan dan dapat digunakan sebagai salah satu teknik untuk mengidentifikasi komoditas unggulan. 2.4 Prospek Pengembangan Perkebunan Lada (Piper nigrum L) Salah satu komoditas perkebunan yang paling menonjol di Kabupaten Belitung adalah lada. Disamping sangat berperan besar dalam menyumbangkan devisa negara, lada merupakan salah satu jenis rempah yang paling penting diantara rempah-rempah lainnya dan tidak dapat digantikan dengan rempah lainnya. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil utama lada dan mempunyai peranan penting dalam perdagangan lada dunia. Pasokan lada di Indonesia dalam perdagangan dunia salah satunya dipenuhi dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yaitu lada putih dengan sebutan Muntok White

33 15 Pepper dan dari Propinsi Lampung berupa lada hitam yang dikenal sebagai Lampung Black Pepper sejak sebelum Perang Dunia II. Lada merupakan komoditas ekspor potensial di Indonesia. Pada tahun 2010, produksi lada di Indonesia menduduki urutan kedua dunia setelah Vietnam. Lada menyumbang devisa negara terbesar keempat untuk komoditas perkebunan setelah minyak sawit, karet dan kopi. Lada Indonesia masih mempunyai kekuatan dan peluang untuk dikembangkan karena lahan yang sesuai untuk lada masih cukup luas, biaya produksi lebih rendah dari negara pesaing, tersedianya teknologi budidaya yang efisien serta adanya peluang untuk melakukan diversifikasi produk guna mengantisifasi harga lada yang fluktuatif. Lada adalah King of Spice, rajanya rempah-rempah dan komoditas perdagangan dunia. Tanaman lada mempunyai sejarah yang panjang dan terkait erat dengan perjalanan bangsa Indonesia. Lada merupakan produk rempah tertua dan terpenting dalam perdagangan dunia. Lada adalah produk pertama yang diperdagangkan antara Barat dan Timur. Pada tahun , perdagangan lada memiliki kedudukan yang sangat penting. Pada waktu itu, lada bukan hanya digunakan untuk rempah-rempah, tetapi juga sebagai alat tukar dan mas kawin. Menurut George et al. (2005), lada berperan penting dalam perekonomian Indonesia sebagai penghasil devisa, penyedia lapangan kerja, bahan baku industri, dan untuk konsumsi langsung. Devisa dari lada menempati urutan keempat setelah minyak sawit (CPO), karet, dan kopi. Di Indonesia, lada digunakan sebagai bahan baku industri makanan siap saji, obat-obatan, dan kosmetik. Di beberapa negara, khususnya Perancis, industri parfum memiliki ketergantungan yang besar pada lada. Makanan tradisional maupun masakan Eropa yang berkembang di Indonesia juga menggunakan lada sebagai penyedap. Konsumsi lada di Indonesia mencapai 60 g/kapita/tahun. Dengan jumlah penduduk 220 juta orang, diperlukan ton lada/tahun atau 19,6% dari produksi lada nasional. Secara umum lada dapat dikelompokkan menjadi lada putih dan lada hitam. Keduanya dibedakan karena proses pengolahan hasil panennya yang berbeda sehingga produk akhirnya juga berbeda. Lada putih merupakan produk olahan lada yang umum dilakukan dan dihasilkan oleh petani lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung khususnya di Kabupaten Belitung. Lada putih ini

34 16 berbeda pengolahannya dengan lada hitam yang biasa diusahakan dan diproduksi oleh petani lada di Lampung. Pengolahan lada putih di Kabupaten Belitung umumnya masih dilakukan dengan cara tradisional. Menurut Laksamanahardja (1990), proses pengolahan lada putih secara tradisional dilakukan dengan melakukan perendaman terhadap buah lada yang telah masak petik selama 8-10 hari, yang kemudian diikuti dengan penggilasan dan pencucian dengan menggunakan air mengalir atau kolam air tergenang. Jika proses perendaman telah dianggap cukup waktunya, buah lada diangkat dan dituang ke dalam keranjang rotan atau ke dalam bak kayu untuk digilas agar kulitnya terkelupas. Kemudian biji lada yang sudah terpisah dari kulitnya dibilas dengan air bersih lalu dijemur di bawah sinar matahari selama 4-5 hari (tergantung intensitas sinar matahari). Menurut Laksamanahardja (1990), waktu perendaman yang terbaik adalah 8 hari dan sebaiknya tidak melakukan penundaan perendaman artinya buah lada yang terkumpul dari hasil pemanenan langsung direndam. Penundaan perendaman akan menyebabkan kadar minyak atsiri menurun dan aromanya agak berkurang. Perbedaan mendasar lada putih dan lada hitam adalah pada proses pengolahan. Lada putih diolah dengan proses perendaman, penggilasan, pencucian dan penjemuran, sementara lada hitam tidak dilakukan proses pengolahan seperti lada putih. Proses pengolahan lada hitam dilakukan dengan melakukan penjemuran langsung terhadap lada hasil panen sampai benar-benar mengering, tanpa dilakukan perendaman sebagaimana pada pengolahan lada putih (Laksamanahardja, 1990). Indonesia merupakan negara pengekspor lada putih terbesar di pasar internasional dalam kurun waktu 2001 sampai dengan Pada tahun 2002, volume ekspor lada putih Indonesia mencapai ton atau 70% dari total ekspor lada putih dunia saat itu yang mencapai angka tertinggi ton. Namun, pada tahun 2009 dan 2010, volume ekspor lada putih Indonesia menurun dan berada di urutan kedua di bawah Vietnam. Tahun 2009 dan 2010, total ekspor lada putih Indonesia hanya ton dan ton, jauh di bawah Vietnam yang mencapai ton (International Pepper Community, 2012).

35 17 Mengingat peran Provinsi Kepulauan Bangka Belitung khususnya Kabupaten Belitung dalam kancah perladaan nasional dan internasional cukup besar, maka penurunan areal tanam dan produksi lada putih (Piper nigrum L) akan berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi petani lada khususnya, dan perladaan nasional umumnya. Untuk itu, pada penelitian ini akan dibahas arahan dan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung yang diharapkan dapat berkontribusi positif bagi masyarakat daerah tersebut. 2.5 Tinjauan Studi Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu dijelaskan dalam sub bab ini terutama yang terkait dengan pengembangan perkebunan dan usaha tani lada. Judul penelitian, pengarang serta hasil penelitian akan diuraikan secara singkat untuk memberikan gambaran dan mencari keterkaitan dengan penelitian yang akan dibahas dalam tesis ini. Berbagai penelitian terdahulu ini diharapkan akan memperkuat argumentasi dan analisis pengembangan perkebunan lada yang diteliti. Pranoto (2011) menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap keuntungan dan daya saing lada putih (Muntok white pepper) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa usaha tani lada putih di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung layak dikembangkan karena menguntungkan secara finansial dan memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Pola budidaya yang masih tradisional perlu diubah dengan melakukan pola budidaya anjuran yang ramah lingkungan dengan menggunakan tiang panjat hidup. Disamping itu perlunya pengembangan teknologi budidaya dan menciptakan pasar domestik agar kestabilan harga dapat dipertahankan. Syam (2002) meneliti mengenai analisis efisiensi produksi dan faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat produksi lada di Bangka Belitung. Metode analisis menggunakan fungsi produksi Stochastic Frontier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha tani lada masih menguntungkan bagi petani, dengan rataan TE (Technological Efficiency) untuk petani sampel lada adalah Hal ini menunjukkan bahwa masih ada peluang untuk meningkatkan produksi lada, dari segi sebaran TE (Technological Efficiency). Komoditas lada tidak memiliki sebaran yang merata. Ini berarti bahwa masih ada peluang untuk meningkatkan

36 18 kapabilitas managerial sebagai faktor internal yang dapat mempengaruhi proses/fungsi produksi lada. Penelitian yang dilakukan Kemala (2011) mengenai strategi pengembangan agribisnis lada untuk meningkatkan pendapatan petani, memberikan gambaran akan berbagai persoalan yang dihadapi petani lada baik pada subsistem hulu maupun subsistem hilir. Penelitian ini memberikan berbagai strategi pemecahan masalah meliputi pentingnya membangun kebun bibit untuk penangkaran lada, mengembangkan pusat pertumbuhan lada berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah serta penguatan kelembagaan dan teknologi. Penelitian yang dilakukan Muslim dan Nurasa (2007) yang menganalisis margin pemasaran lada putih dalam mendukung daya saing produk agroindustri lada Indonesia menunjukkan bahwa permintaan dan harga lada dalam negeri sampai ke tingkat petani sangat dipengaruhi oleh harga patokan dari luar negeri. Penelitian ini mengungkapkan bahwa komoditas lada putih masih menjadi andalan sumber devisa non migas di Indonesia. Namun persoalan kualitas masih menjadi hambatan utama bagi produk lada Indonesia untuk bersaing di pasar internasional. Dalam penelitian ini juga diungkap bahwa permintaan lada di level internasional menunjukkan peningkatan yang relatif besar sehingga masih memungkinkan untuk peningkatan produksi lada dengan membuka areal perkebunan lada yang baru.

37 III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang meliputi seluruh kecamatan di Kabupaten Belitung. Kabupaten Belitung merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Secara geografis, Kabupaten Belitung terletak antara ,5 Bujur Timur dan Lintang Selatan dengan luas wilayah daratan 2.293,69 km 2. Kegiatan persiapan, penelitian lapang, pengolahan dan analisis data serta penyusunan tesis dilaksanakan selama 6 bulan, yaitu dari bulan April sampai September Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2. SELAT GASPAR KABUPATEN BELITUNG TIMUR Gambar 2. Peta lokasi penelitian 3.2 Sumber Data dan Informasi Penelitian Sumber data dan informasi pada penelitian ini berasal dari : a. Sumber data primer

38 20 Data primer bersumber dari hasil wawancara dan pengisian kuesioner oleh stakeholders yang terkait dengan usaha budidaya lada baik sebagai pelaku utama, pembuat kebijakan maupun yang terlibat dalam pemasaran lada baik pedagang pengumpul tingkat desa, kecamatan maupun eksportir. Beberapa pihak yang terlibat menjadi responden dalam penelitian ini meliputi unsur Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Belitung, Dinas Perindagkop dan Penanaman Modal Kab. Belitung, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kab. Belitung, Anggota DPRD Kab. Belitung, Badan Pengelolaan, Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) Provinsi Kep. Bangka Belitung, akademisi dari Universitas Bangka Belitung, Tokoh Masyarakat, Penyuluh Pertanian, UPTD Balai Informasi Penyuluhan Pertanian dan petani lada. b. Sumber data sekunder Data sekunder bersumber dari dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kab. Belitung, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kab. Belitung, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab.Belitung, Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Pengelolaan, Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) Provinsi Kep. Bangka Belitung, International Pepper Community (IPC) serta instansi-instansi lain yang berkompeten dengan data-data yang diperlukan. 3.3 Metode Pengumpulan Data Mengawali pelaksanaan penelitian, dilakukan penggalian data dan informasi dasar dengan cara mengumpulkan data dan informasi dari instansi-instansi terkait, melakukan pengamatan langsung ke lapangan dan melakukan wawancara. Wawancara dilakukan dengan meminta pendapat melalui kuesioner kepada pelaku utama (petani) dari perwakilan tiap kecamatan, pembuat kebijakan atau dinas terkait, pelaku pemasaran lada, penyuluh pertanian dan akademisi. Informasi dan data yang berhasil dikumpulkan selanjutnya digunakan sebagai bahan dasar untuk kuesioner utama. Pengambilan sampel (responden) untuk wawancara dilakukan dengan teknik sampling non probabilitas yaitu dengan melalui pendekatan purposive sampling dimana sampel (responden) ditentukan berdasarkan pertimbangan penelitian. Penentuan jumlah responden dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut.

39 21 Untuk melakukan wawancara dan pengisian kuesioner pada kuesioner pendahuluan, maka dilakukan pengambilan sampel dari berbagai pihak yang terkait dengan usaha budidaya lada baik dari unsur pelaku utama (petani lada) yang tersebar di tiap kecamatan, pembuat kebijakan (Dinas Pertanian dan Kehutanan dan Bappeda Kabupaten Belitung), Penyuluh Pertanian, Ketua Kelompok Tani, Balai Informasi Penyuluhan Pertanian Kabupaten Belitung, akademisi dan tokoh masyarakat. Jumlah semua responden berjumlah 35 orang. Kuesioner pada tahap pertama akan menjadi dasar pertanyaan pada kuesioner utama baik untuk kuesioner Analytical Hierarchy Process (AHP) maupun analisis A WOT. Kuesioner utama digunakan untuk menjaring persepsi responden guna mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengembangan perkebunan lada yang dilakukan dengan teknik Analytical Hierarchy Process (AHP) dimana wawancara dan pengisian kuesioner dilakukan dengan pendekatan purposive sampling, dan sampel (responden) ditentukan berdasarkan pertimbangan penelitian. Dalam pelaksanaan Analytical Hierarchy Process (AHP), jumlah responden dipilih sebanyak 10 (sepuluh) orang yang mewakili Bappeda Kabupaten Belitung, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Belitung, Dinas Peridustrian, Perdagangan, Koperasi dan Penanaman Modal Kabupaten Belitung, Anggota DPRD Kabupaten Belitung, akademisi dari Universitas Bangka Belitung, Badan Pengelolaan, Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, penyuluh pertanian, UPTD Balai Informasi Penyuluhan Pertanian, tokoh masyarakat dan petani lada. Untuk menjaring persepsi responden guna mengetahui faktor-faktor SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities dan Threats), dilakukan dengan menjaring persepsi responden dari masing-masing kriteria SWOT tersebut yang bobotnya ditentukan oleh tiap responden melalui perbandingan berpasangan (pairwise comparison). Metode ini disebut metode A WOT yaitu menggabungkan kombinasi antara AHP dan SWOT. Dalam pelaksanaan A WOT ini, jumlah responden ditentukan sebanyak 10 (sepuluh) orang dengan pendekatan purposive sampling, dimana sampel (responden) ditentukan berdasarkan pertimbangan penelitian.

40 Teknik Analisis Data Untuk mengetahui arahan dan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung, terlebih dahulu harus diketahui gambaran umum potensi dan karakteristik daerah berdasarkan data-data sekunder yang terkumpul. Dari berbagai data sekunder tersebut, kemudian dilakukan analisis data yang dipadukan dengan kuesioner (analisis data primer) untuk kemudian diolah dan dijadikan dasar dalam penentuan arahan dan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Matriks analisis penelitian disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis dan sumber data, teknik analisis data dan output yang diharapkan No Tujuan Jenis Data Sumber Data Teknik Analisis Data Output Yang Diharapkan 1. Mengidentifikasi Luas areal BPS dan menganalisis perkebunan lada Dinas sentra perkebunan di tiap kecamatan Pertanian lada berdasarkan di Kabupaten dan keunggulan Belitung Kehutanan komparatif dan Kab. kompetitif wilayah Belitung Analisis Location Quotient Shift Share Analysis Diketahuinya sentra perkebunan lada berdasarkan keunggulan kompetitif dan komparatif wilayah 2. Menganalisis dan memetakan wilayah yang berpotensi untuk pengembangan areal perkebunan lada Peta satuan lahan (land unit), peta penggunaan lahan (land use), peta kawasan hutan, peta kawasan penambangan timah, peta kawasan perkebunan besar, peta administrasi, data tabular curah hujan. Spesifikasi persyaratan kesesuaian lahan lada. Bappeda Kab. Belitung Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian Distanhut P4W IPB Analisis data Diketahuinya spasial dengan metode Sistem Informasi kesesuaian lahan perkebunan lada Geografis secara spasial dan sesuai dengan aspek biofisik Diketahuinya peta wilayah yang berpotensi untuk perkebunan lada

41 23 Tabel 1. (lanjutan) No. Tujuan Jenis Data Sumber Data 3. Menganalisis rantai Data harga lada di Wawancara pemasaran lada dan tingkat petani, Distanhut persentase harga pedagang jual yang diterima pengumpul kec, petani pedagang pengumpul kab. dan eksportir 4. Mengidentifikasi Hasil wawancara/ Hasil persepsi stakeholders tentang pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung kuesioner Analisis Teknik Analisis Data Analisis margin pemasaran Analytical Hierarchy Process Output Yang Diharapkan Diketahuinya tingkat efisiensi margin pemasaran lada Diketahui persepsi stakeholders terhadap faktor faktor pengembangan perkebunan lada di Kab. Belitung 5. Merumuskan arahan dan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung Peta satuan lahan (land unit), peta penggunaan lahan (land use), peta RTRW, peta kawasan hutan, peta kawasan penambangan timah, peta kawasan perkebunan besar, peta administrasi. Hasil wawancara/ kuesioner Bappeda Kab. Belitung P4W IPB Data-Data dari International Pepper Community Analisis SIG Analisis A WOT Arahan dan strategi yang tepat dalam pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung Dari Tabel 1 diketahui bahwa dalam penelitian ini dilakukan beberapa tahapan dan teknik analisis data. Untuk mengidentifikasi dan menganalisis sentra perkebunan lada berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah digunakan teknik analisis Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA). Location Quotient (LQ) yang dalam penelitian ini dilakukan menggunakan data luas areal tanam lada tahun 2008, 2009, 2010 dan tahun Sementara untuk Shift Share Analysis (SSA) menggunakan kombinasi dua titik tahun yaitu tahun 2008 dan Untuk menganalisis dan memetakan wilayah yang berpotensi dan menjadi arahan untuk pengembangan areal perkebunan lada dilakukan analisis kesesuaian lahan secara spasial dan biofisik yang dipadukan dengan peta penggunaan lahan

42 24 (land use) eksisting dengan metode Sistem Informasi Geografis. Analisis ini menggunakan berbagai peta tematik dan tetap mengacu pada persyaratan kualitas lahan tanaman lada. Efisiensi margin pemasaran dan rantai tata niaga lada akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis margin pemasaran. Untuk mengetahui persepsi stakeholders terhadap faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengembangan perkebunan lada akan dilakukan pengumpulan data melalui wawancara dan pengisian kuesioner yang selanjutnya diolah datanya menggunakan teknik Analytical Hierarchy Process (AHP). Berbagai analisis tersebut sangat penting dan dibutuhkan untuk merumuskan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Strategi pengembangan perkebunan lada ini didasari dengan analisis A WOT (kombinasi AHP dan SWOT) terhadap berbagai faktor faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam pengembangan perkebunan lada. Kerangka operasional penelitian disajikan pada Gambar 3. Gambar 3. Kerangka operasional penelitian

43 25 Beberapa teknik analisis yang dilakukan berdasarkan Tabel 1 dan kerangka operasional diuraikan berikut ini Analisis Sentra Perkebunan Lada Analisis sentra perkebunan lada dalam penelitian ini didasari oleh keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah. Metode yang digunakan yaitu Location Quotient (LQ) untuk menganalisis keunggulan komparatif dan Shift Share Analysis (SSA) untuk menganalisis keunggulan kompetitif wilayah. Teknik analisis Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA) diuraikan berikut ini Analisis Location Quotient (LQ) Analisis LQ digunakan untuk mengetahui lokasi pemusatan/basis aktivitas dan menunjukkan peranan sektor dan mengetahui kapasitas ekspor perekonomian wilayah serta tingkat kecukupan barang/jasa dari produksi suatu wilayah. Untuk komoditas yang berbasis lahan seperti tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan, perhitungannya didasarkan pada lahan pertanian (luas panen atau luas tanam), produksi atau produktivitas (Hendayana, 2003). Menurut Rustiadi et al. (2011), analisis LQ merupakan suatu indeks untuk membandingkan pangsa sub wilayah dalam aktifitas tertentu dengan pangsa aktifitas tersebut dalam wilayah secara agregat. Secara lebih operasional, LQ didefinisikan sebagai rasio persentase dari total aktifitas pada sub wilayah ke-i terhadap persentase aktifitas total wilayah dengan rumus sebagai berikut. LQ = X /X. X. /X.. Keterangan : LQ X X. X. X.. = Nilai LQ untuk aktivitas ke-j di wilayah ke-i = derajat aktivitas ke j pada wilayah ke-i = derajat aktivitas total pada wilayah ke-i = derajat aktifitas ke-j pada total wilayah = derajat aktifitas total wilayah

44 26 i = wilayah/kecamatan yang diteliti j = aktivitas ekonomi yang dilakukan Jika nilai LQ > 1, komoditas tanaman perkebunan ke-i memiliki keunggulan komparatif untuk dikembangkan di suatu wilayah (kecamatan) Jika nilai LQ < 1, komoditas tanaman perkebunan ke-i tidak memiliki keunggulan komparatif untuk dikembangkan di suatu wilayah (kecamatan) Dalam penelitian ini, analisis Location Quotient (LQ) dilakukan dengan mengambil dasar perbandingan yaitu luas areal tanam perkebunan. Luas areal perkebunan lada dari masing-masing kecamatan dibandingkan dengan luas areal perkebunan di kecamatan yang bersangkutan. Kemudian hasil perbandingan tersebut dibandingkan dengan hasil luas areal perkebunan lada di Kabupaten Belitung dengan total luas areal perkebunan di Kabupaten Belitung Shift Share Analysis (SSA) Menurut Rustiadi et al. (2011), Shift Share Analysis (SSA) dilakukan untuk memahami pergeseran struktur aktivitas di suatu lokasi tertentu dibandingkan dengan suatu referensi (dengan cakupan wilayah lebih luas) dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur aktivitas dari hasil Shift Share Analysis juga menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktivitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktivitas dalam cakupan wilayah lebih luas. Rumus untuk menghitung Shift Share Analysis sebagai berikut : Keterangan : a = komponen share b = komponen proportional shift c = komponen differential shift X.. X.i X ij t 1 t 0 = Nilai total aktivitas dalam total wilayah = Nilai total aktivitas tertentu dalam total wilayah = Nilai aktivitas tertentu dalam unit wilayah = titik tahun akhir = titik tahun awal

45 Pelaksanaan Shift Share Analysis (SSA) pada penelitian ini menggunakan data dasar dari luas areal tanam perkebunan lada baik di masing-masing kecamatan maupun total luas areal perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Disamping itu digunakan juga data total luas areal perkebunan di Kabupaten Belitung. Dengan melakukan pengolahan data melalui Shift Share Analysis (SSA), diharapkan akan diketahui nilai komponen share, proportional shift dan differential shift dari masing-masing komoditas perkebunan di tiap kecamatan. Wilayah/kecamatan dimana nilai differential shift komoditas ladanya menunjukkan angka positif, maka perkebunan lada di kecamatan tersebut memiliki keunggulan kompetitif untuk pengembangan perkebunan lada ke depan Analisis Wilayah Yang Berpotensi Untuk Pengembangan Perkebunan Lada Analisis wilayah yang berpotensi untuk pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung dalam penelitian ini dilakukan dengan memadukan peta kesesuaian lahan aktual dengan peta penggunaan lahan (land use) eksisting. Peta kesesuaian lahan aktual lada dalam penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada analisis kesesuaian lahan menurut FAO dalam "Framework of Land Evaluation" (FAO,1976). Sistem FAO dapat dipakai untuk klasifikasi kuantitatif maupun kualitatif tergantung dari data yang tersedia (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Analisis wilayah yang berpotensi untuk pengembangan perkebunan lada dilakukan dengan pengolahan data sekunder menggunakan metode Sistem Informasi Geografis (SIG). Data sekunder yang digunakan dalam analisis ini terdiri dari beberapa peta tematik antara lain peta satuan lahan (land unit) Kabupaten Belitung, peta penggunaan lahan (land use) eksisting tahun 2009 dan peta administrasi Kabupaten Belitung. Disamping itu dalam analisis wilayah yang berpotensi ini juga digunakan kriteria persyaratan kesesuaian lahan untuk perkebunan lada yang dikeluarkan oleh Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP). Analisis wilayah yang berpotensi untuk pengembangan lada diawali dengan melakukan analisis dan membuat peta kesesuaian lahan aktual lada. Peta 27

46 28 kesesuaian lahan aktual lada dibuat dengan memadukan peta satuan lahan (land unit) dengan persyaratan kualitas lahan untuk tanaman lada yang dikeluarkan oleh BBSDLP sehingga diperoleh kelas kesesuaian lahan aktual pada tiap satuan lahan di Kabupaten Belitung. Kelas yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi 3 (tiga) dalam ordo S (sesuai) dan satu kelas yang dipakai dalam ordo N (tidak sesuai). Peta kesesuaian lahan perkebunan lada pada penelitian ini berupa kelas dan sub kelas. Menurut Sitorus (2004) dan Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), sistem FAO menjabarkan kelas kesesuaian lahan sebagai berikut : Kelas S1 : Sangat sesuai (Highly suitable). Lahan ini tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan. Kelas S2 : Cukup sesuai (Moderately suitable) Lahan yang mempunyai pembatas-pembatas agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan. Kelas S3 : Sesuai marginal (Marginally suitable) Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan. Kelas N : Tidak sesuai (Not suitable) Lahan ini mempunyai pembatas permanen sehingga mencegah segala kemungkinan perlakuan. Dengan demikian lahan ini tidak dijadikan arahan pengembangan lada. Untuk mengetahui wilayah yang berpotensi bagi pengembangan perkebunan lada, maka peta kesesuaian lahan aktual lada dari tiap satuan lahan di Kabupaten Belitung tersebut dioverlay dengan peta penggunaan lahan (land use existing) tahun Hasil perpaduan peta kesesuaian lahan dengan peta penggunaan lahan menghasilkan wilayah yang berpotensi untuk pengembangan lada, meskipun belum tentu menjadi arahan pengembangan perkebunan lada. Wilayah yang berpotensi ini selanjutnya perlu dipadukan dengan peta Rencana

47 29 Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Belitung tahun untuk mengetahui apakah wilayah tersebut menjadi lokasi arahan atau bukan bagi pengembangan perkebunan lada. Penentuan lokasi arahan akan dibahas pada sub metode selanjutnya pada penelitian ini Analisis Margin Pemasaran Margin pemasaran adalah perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima oleh petani (Rahim dan Hastuti, 2008). Analisis margin pemasaran digunakan untuk mengetahui siapakah yang menikmati keuntungan terbesar dari rantai pemasaran yang ada. Semakin besar nilai proporsi margin keuntungan yang diterima petani berarti bargaining position petani lebih menguntungkan, demikian pula sebaliknya. Dari rantai-rantai pemasaran yang terbentuk di masyarakat, dengan analisis margin pemasaran maka rantai pemasaran yang terefisien akan diketahui. Masukan tersebut merupakan hal yang penting dalam rangka pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Analisis ini dilakukan menggunakan data hasil wawancara dan kuesioner dari petani, pedagang pengumpul tingkat desa, pengumpul tingkat kecamatan, dan pedagang besar (eksportir) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Menurut Rahim dan Hastuti (2008), apabila dalam pemasaran suatu produk pertanian terdapat lembaga pemasaran yang melakukan fungsi-fungsi pemasaran, margin pemasaran secara matematis dapat ditulis sebagai berikut: = Cij, + Keterangan : M = Margin Pemasaran Mj = Margin tataniaga (Rp/kg) lembaga tataniaga ke-j (j=1,2,,m) dan m adalah jumlah lembaga tataniaga yang terlibat. Cij = Biaya pemasaran untuk melaksanakan fungsi pemasaran ke-i oleh lembaga pemasaran ke-j = Keuntungan yang diperoleh oleh lembaga pemasaran ke j = Jumlah jenis biaya pemasaran = Jumlah lembaga pemasaran

48 Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan Perkebunan Lada Penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik Analytical Hierarchy Process (AHP). Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem, dimana analisis ini dapat digunakan untuk memahami suatu sistem dan membantu dalam melakukan prediksi dan pengambilan keputusan. Menurut Marimin (2008), prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberikan nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tertinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut. Dalam menentukan arahan pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung, maka perlu diketahui persepsi stakeholders terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada tersebut. Menurut Saaty (1980), langkah-langkah yang dilakukan dalam metode AHP sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi atau menetapkan masalah-masalah yang muncul 2. Menetapkan tujuan, kriteria dan hasil yang ingin dicapai 3. Mengidentifikasi kriteria-kriteria yang mempunyai pengaruh terhadap masalah yang ditetapkan 4. Menetapkan struktur hierarki 5. Menetukan hubungan antara masalah dengan tujuan, hasil yang diharapkan, pelaku /obyek yang berkaitan dengan masalah, dan nilai masing-masing faktor 6. Membandingkan alternatif-alternatif (comparative judgement) 7. Menentukan faktor-faktor yang menjadi prioritas 8. Menentukan urutan alternatif-alternatif dengan memperhatikan logical consistency.

49 31 Menurut Marimin (2008), beberapa prinsip dasar kerja AHP dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Penyusunan Hierarki Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur-unsurnya, dan setiap unsur kemudian diuraikan menjadi beberapa kriteria dari unsur yang bersangkutan untuk selanjutnya disusun menjadi struktur hierarki. 2. Penilaian Kriteria Kriteria dinilai melalui perbandingan berpasangan. Dalam menentukan tingkat kepentingan (bobot) dari elemen keputusan, penilaian pendapat (judgement) dilakukan dengan menggunakan fungsi berpikir dan dikombinasi dengan intuisi, perasaan, penginderaan dan pengetahuan. Penilaian pendapat ini dilakukan dengan perbandingan berpasangan yaitu membandingkan setiap elemen dengan elemen lainnya pada setiap tingkatan hierarki secara berpasangan sehingga akhirnya dapat diketahui tingkat kepentingan elemen dalam pendapat yang bersifat kualitatif. Untuk mengkuantifikasi pendapat tersebut, digunakan skala penilaian sehingga diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka (kuantitatif). Hasil penilaian disajikan dalam bentuk matriks pairwise comparison. Menurut Saaty (1980), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat seperti Tabel 2. Tabel 2. Skala dasar ranking Analytical Hierarchy Process (AHP) Nilai Keterangan 1 Kedua elemen sama pentingnya 3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari elemen yang lain 5 Elemen yang satu lebih penting dari elemen yang lain 7 Elemen yang satu jelas lebih penting dari elemen yang lain 9 Elemen yang satu mutlak lebih penting dari elemen yang lain 2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan

50 32 3. Penentuan Prioritas Berdasarkan matriks perbandingan berpasangan, kemudian dicari nilai eigen valuenya untuk mendapatkan prioritas lokal. Nilai-nilai perbandingan relatif tersebut kemudian diolah untuk mendapatkan peringkat relatif dari keseluruhan kriteria. Baik kriteria kualitatif maupun kriteria kuantitatif, dapat dibandingkan sesuai dengan judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik. 4. Konsistensi logis Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan kriteria yang logis. Jika penilaian tidak konsisten, maka proses harus diulang untuk memperoleh penilaian yang lebih tepat. Dalam penelitian ini, teknik AHP digunakan untuk mengetahui persepsi stakeholders terhadap faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Berbagai faktor-faktor yang ditawarkan dalam kuesioner tersebut merupakan hasil penggalian kuesioner pendahuluan yang diperkuat dengan berbagai referensi tertulis mengenai faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengembangan perkebunan lada. Berbagai faktor-faktor yang terjaring dari persepsi responden pada kuesioner pendahuluan kemudian diranking berdasarkan jumlah/frekuesi faktor yang terbanyak dipilih oleh responden. Kemudian dipilih 5 (lima) faktor teratas/tertinggi yang disesuaikan dengan referensi tertulis mengenai pengembangan lada. Teknik ini sekaligus ingin mengetahui kriteria yang paling berpengaruh dari masing-masing faktor yang ditentukan. Struktur hierarki dari Analytical Hierarchy Process (AHP) dalam penelitian ini disajikan seperti pada Gambar 4.

51 33 Pengembangan Perkebunan Lada (Piper nigrum L) di Kabupaten Belitung Lahan Sumberdaya Manusia Pasar Modal Teknologi Konversi Lahan Harga Lahan Kesesuaian Lahan Keterampilan Teknis Budidaya Etos Kerja Ketersediaan Tenaga Kerja Kelayakan dan Kestabilan Harga Penyerapan Produk Efisiensi Rantai Pemasaran Modal Pribadi Pinjaman Dana Pemerintah Sistem Ijon Tek. Budidaya Tek. Pasca Panen Tek. Pengolahan Gambar 4. Struktur hierarki AHP dalam penilaian faktor-faktor pengembangan perkebunan lada Penyebaran kuesioner merupakan teknik untuk menangkap persepsi responden yang kemudian jawaban yang disampaikan responden diolah menggunakan program Expert Choice 11 dan Microsoft Excell. Dengan pengolahan data dari kuesioner tersebut, maka dapat diketahui persepsi masingmasing responden dan persepsi keseluruhan responden mengenai bobot dan prioritas kepentingan dari tiap faktor yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung Analisis Arahan dan Strategi Pengembangan Perkebunan Lada Analisis arahan dan strategi pengembangan perkebunan lada meliputi analisis penentuan lokasi yang menjadi arahan untuk pengembangan perkebunan lada dan strategi pengembangan perkebunan lada. Analisis lokasi arahan pengembangan perkebunan lada dilakukan dengan metode Sistem Informasi Geografis, sedangkan untuk strategi pengembangan perkebunan lada dilakukan

52 34 dengan metode A WOT (kombinasi AHP dan SWOT). Analisis lokasi arahan dan strategi pengembangan perkebunan lada diuraikan berikut ini Analisis Lokasi Arahan Pengembangan Perkebunan Lada Lokasi yang akan dijadikan arahan pengembangan perkebunan lada dapat diketahui dengan membuat peta arahan pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung dan memperhatikan hasil analisis sentra perkebunan lada (LQ dan SSA) dari sub metode yang dilakukan sebelumnya. Pembuatan peta lokasi arahan diawali dengan menyiapkan peta kesesuaian lahan aktual untuk tanaman lada. Selanjutnya peta tersebut dioverlay dengan peta RTRW tahun , sehingga didapatkan peta kesesuaian lahan tanaman lada pada kawasan perkebunan. Kemudian dilakukan overlay lagi dengan peta penggunaan pahan tahun 2009 dengan tujuan untuk mendapatkan lahan-lahan yang masih memungkinkan untuk pengembangan tanaman lada. Mengingat di Kabupaten Belitung terdapat beberapa perkebunan besar swasta, kawasan penambangan timah dan kawasan hutan, maka peta-peta tematik dari kawasan perkebunan, kawasan penambangan dan kawasan hutan juga dilakukan overlay dengan peta kelas kesesuaian lahan aktual agar lokasi arahan berada di luar kawasan penambangan timah, perkebunan besar dan kawasan hutan tersebut. Peta RTRW yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta RTRW Kabupaten Belitung tahun RTRW Kabupaten Belitung masih dalam tahap proses penyempurnaan saat penelitian ini berlangsung. Analisis lokasi arahan pengembangan perkebunan lada ke depan dapat disempurnakan dengan metode yang sama seperti tertera pada penelitian ini, hanya untuk arahannya menggunakan peta RTRW Kabupaten Belitung tahun Analisis A WOT Analisis A WOT dilakukan untuk menentukan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Teknik A WOT yang merupakan kombinasi AHP dan SWOT diawali dengan menganalisis faktor internal dan eksternal pengembangan perkebunan lada. Analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman adalah metode yang umum digunakan melalui pendekatan sistematis dalam mendukung suatu keputusan.

53 35 Menurut Leskinen et al. (2006), A WOT merupakan metode yang menunjukkan bagaimana analisis AHP dan SWOT dapat digunakan dalam proses penentuan suatu strategi. Dalam penelitian yang dilakukan dengan mengambil studi kasus di Balai Penelitian Hutan Finlandia, dimana A WOT diterapkan untuk menganalisis perencanaan strategis dari Balai Penelitian Hutan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan. Osuna dan Aranda (2007) menggunakan kombinasi antara SWOT dan AHP untuk perencanaan strategis dalam pengembangan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan. Metode A WOT yang diterapkan dalam penelitian tersebut untuk menentukan pembobotan dalam analisis SWOT. Tujuannya adalah untuk mengurangi subyektifitas penilaian terhadap faktor-faktor internal dan eksternal, baik menyangkut kekuatan, kelemahan, peluang maupun ancaman. Metode A WOT yang diaplikasikan dalam penelitian ini menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) dalam menentukan pembobotan pada saat analisis SWOT. Tujuan penggunaan Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah mengurangi subjektifitas dalam pembobotan masing-masing faktor dari kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Nilai bobot dari masing-masing faktor internal dan eksternal tersebut juga diperoleh dengan pengolahan data yang didukung oleh program Expert Choice 11 dan Microsoft Excell. Pelaksanaan analisis A WOT diawali dengan pengumpulan data kuesioner melalui survei atau wawancara (kuesioner pendahuluan). Kemudian data yang diperoleh terkait kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dikerucutkan dan dijadikan bahan untuk mendapatkan bobot dan rating masing-masing faktor SWOT, dimana bobot didapat dari AHP. Selanjutnya dilakukan analisis faktor strategi internal (IFAS) dan faktor strategi eksternal (EFAS), analisis matriks internal-eksternal (IE), analisis matriks space dan tahap pengambilan keputusan dengan SWOT. Analisis Faktor Strategi Internal dan Eksternal Analisis faktor strategi internal dan eksternal bertujuan untuk mengetahui besarnya nilai atau skor dari masing-masing faktor internal dan eksternal yang

54 36 mencakup kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Dengan melakukan analisis faktor strategi internal dan eksternal diharapkan akan mampu menganalisa faktor kekuatan dan kelemahan dari dalam serta faktor peluang dan ancaman dari luar terhadap strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Analisis Faktor Strategi Internal Analisis faktor strategi internal dilakukan untuk mengetahui faktor kekuatan dan kelemahan dalam menentukan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Proses dalam analisis ini dilakukan dengan membuat matriks Internal Strategic Factor Analysis Summary (IFAS) seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Matriks Internal Strategic Factor Analysis Summary (IFAS) Faktor-Faktor Bobot Rating Skor Strategi Internal Kekuatan : Dan seterusnya Kelemahan : Dan seterusnya Jumlah 1,000 Langkah-langkah penyusunan matriks Internal Strategic Factor Analysis Summary (IFAS) sebagai berikut : 1. Menyusun faktor-faktor kekuatan dan kelemahan sebanyak 5 sampai 10 faktor yang menentukan strategi pengembangan perkebunan lada. 2. Memasukkan bobot masing-masing faktor kekuatan dan kelemahan pada kolom 2 (dua) dari analisis AHP yang merupakan gabungan persepsi semua responden setelah dikalikan setengah, sehingga jumlah bobot sama dengan satu 3. Memasukkan nilai rating (pengaruh) pada kolom 3 (tiga) dari masing-masing faktor kekuatan dan kelemahan dengan memberi skala 4 (sangat kuat) sampai dengan 1 (sangat lemah). Nilai rating disini merupakan hasil pembulatan dari nilai rata-rata semua responden

55 4. Kolom 4 (empat) diisi hasil kali bobot pada kolom 2 (dua) dengan rating pada kolom 3. Hasil yang diperoleh berupa nilai yang bervariasi dari 1 sampai dengan Langkah selanjutnya adalah menjumlahkan skor pada kolom 4 untuk memperoleh nilai jumlah skor dari faktor internal. Nilai jumlah skor ini akan digunakan dalam analisis matriks internal eksternal. Analisis Faktor Strategi Eksternal Analisis faktor strategi eksternal dilakukan untuk mengetahui faktor peluang dan ancaman dalam menentukan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Proses dalam analisis ini dilakukan dengan membuat matriks Eksternal Strategic Factor Analysis Summary (EFAS) seperti disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Matriks Eksternal Strategic Factor Analysis Summary (EFAS) Faktor-Faktor Bobot Rating Skor Strategi Eksternal Peluang : Dan seterusnya Ancaman : Dan seterusnya Jumlah 1, Langkah-langkah penyusunan matriks Eksternal Strategic Factor Analysis Summary (EFAS) sebagai berikut : 1. Menyusun faktor-faktor peluang dan ancaman sebanyak 5 sampai 10 faktor yang menentukan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung 2. Memasukkan bobot masing-masing faktor peluang dan ancaman pada kolom 2 (dua) dari analisis AHP yang merupakan gabungan persepsi semua responden setelah dikalikan setengah, sehingga jumlah bobot sama dengan satu 3. Memasukkan nilai rating (pengaruh) pada kolom 3 (tiga) dari masing-masing faktor peluang dan ancaman dengan memberi skala 4 (sangat kuat) sampai

56 38 dengan 1 (sangat lemah). Nilai rating disini merupakan hasil pembulatan dari nilai rata-rata semua responden 4. Kolom 4 (empat) diisi hasil kali bobot pada kolom 2 (dua) dengan rating pada kolom Langkah selanjutnya adalah menjumlahkan skor pada kolom 4 untuk memperoleh nilai jumlah skor dari faktor eksternal. Nilai jumlah skor ini akan digunakan dalam analisis matriks internal eksternal. Analisis Matriks Internal Eksternal (IE) Pembuatan model matriks Internal Eksternal (IE) digunakan untuk memposisikan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Parameter dasar yang digunakan dalam penentuan posisi nilai dalam matriks ini adalah jumlah skor dari masing-masing faktor internal dan faktor eksternal. Matriks Internal Eksternal ditampilkan seperti Gambar 5. Nilai Jumlah Skor Faktor Strategi Internal Tinggi Rata-Rata Lemah GROWTH GROWTH RETRENCHMENT Nilai Jumlah Skor Faktor Strategi Eksternal Tinggi Rata-Rata Lemah Konsentrasi melalui integrasi vertikal STABILITY Hati-Hati GROWTH Diversifikasi Konsentrik Konsentrasi melalui integrasi horizontal GROWTH Konsentrasi melalui integrasi horizontal STABILITY Tidak ada perubahan profit strategi GROWTH Diversifikasi Konglomerat Turn around RETRENCHMENT Captive Company atau Divestmen RETRENCHMENT Bangkrut atau likuidasi Gambar 5. Model matriks internal eksternal

57 39 Menurut Rangkuti (2009), matriks internal eksternal dapat digunakan dalam mengidentifikasi suatu strategi yang relevan berdasarkan sembilan sel matriks IE. Kesembilan sel tersebut secara garis besar dapat dikelompokkan kedalam tiga strategi utama yaitu : 1. Growth strategy yaitu strategi yang didesain untuk pertumbuhan sendiri (sel 1,2 dan 5) atau melalui diversifikasi (sel 7 dan 8) 2. Stability strategy yaitu penerapan strategi yang dilakukan tanpa mengubah arah strategi yang telah ditetapkan (sel 4) 3. Retrenchment strategy yaitu strategi dengan memperkecil atau mengurangi usaha yang dilakukan. Analisis Matriks Space Analisis matriks space digunakan dalam penelitian ini sebagai upaya untuk mempertajam strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Dengan menganalisis matriks space, maka dapat diketahui perpaduan faktor internal dan eksternal yang berada pada kuadran dari matriks space yang dibuat. Menurut Rangkuti (2009), matriks space digunakan untuk mempertajam posisi dan arah pengembangan dari analisis matriks internal dan eksternal. Parameter yang digunakan dalam analisis ini adalah selisih dari skor faktor internal (kekuatan-kelemahan) dan selisih dari skor faktor eksternal (peluangancaman). Menurut Marimin (2008), dalam membuat suatu keputusan untuk memilih alternatif strategi sebaiknya dilakukan setelah perusahaan mengetahui terlebih dahulu posisi perusahaan berada pada kuadran yang mana dari matriks space. Dengan mengetahui posisi perusahaan, maka strategi yang akan diambil akan lebih tepat dan sesuai dengan kondisi internal dan eksternal perusahaan saat ini. Posisi perusahaan dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kuadran yaitu Kuadran I, II, III, dan IV. Pada kuadran I, strategi yang tepat adalah strategi agresif, kuadran II strategi diversifikasi, kuadran III strategi turn around dan kuadran IV menggunakan strategi defensif (Marimin, 2008). Posisi perusahaan dapat ditunjukkan dalam empat kuadran dengan penjelasan masing-masing kuadran seperti disajikan pada Gambar 6.

58 40 Berbagai Peluang Kuadran III Strategi Turn-Around Kuadran I Strategi Agresif Kekuatan Eksternal Kuadran IV Strategi Defensif Kuadran II Strategi Diversifikasi Kekuatan Internal Berbagai Ancaman Gambar 6. Model matriks space Kuadran I, menandakan posisi sangat menguntungkan, dimana perusahaan memiliki kekuatan dan peluang sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada dengan menerapkan strategi pertumbuhan yang agresif. Kuadran II, menunjukkan perusahaan menghadapi berbagai ancaman, namun masih mempunyai kekuatan sehingga strategi yang diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan menerapkan strategi diversifikasi. Kuadran III, pada kuadran ini perusahaan mempunyai peluang yang sangat besar namun disisi lain memiliki kelemahan internal. Menghadapi situasi ini perusahaan harus berusaha meminimalkan masalah-masalah internal untuk merebut peluang pasar. Kuadran IV, menunjukkan perusahaan berada pada posisi yang tidak menguntungkan karena disamping menghadapi ancaman juga menghadapi kelemahan internal.

59 41 Analisis SWOT Menurut Marimin (2008), proses yang dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT agar menghasilkan keputusan yang lebih tepat perlu memperhatikan berbagai tahapan sebagai berikut : 1. Tahap pengambilan data yaitu evaluasi faktor eksternal dan internal. 2. Tahap analisis yaitu pembuatan matriks internal eksternal dan matriks space. 3. Tahap pengambilan keputusan. Matriks SWOT seperti pada Gambar 7 menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi oleh perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki (Marimin, 2008). Dari matriks ini akan terbentuk empat kemungkinan alternatif strategi. Faktor Eksternal Faktor Internal STRENGHT (S) WEAKNESSES (W) OPPORTUNITIES (O) Strategi SO Strategi WO THREATHS (T) Strategi ST Strategi WT Gambar 7. Model matriks SWOT Analisis matriks SWOT menghasilkan 4 (empat) set kemungkinan alternatif suatu strategi yaitu 1. Strategi SO yaitu strategi yang dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. 2. Strategi ST yaitu strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi segala ancaman yang mungkin timbul. 3. Strategi WO yaitu strategi yang diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. 4. Strategi WT yaitu strategi yang didasari pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.

60 IV. KONDISI UMUM KABUPATEN BELITUNG 4.1 Kondisi Fisik Daerah Kabupaten Belitung merupakan daerah kepulauan yang memiliki karakter dan kondisi fisik daerah yang khas. Beberapa bahasan yang berkaitan dengan kondisi fisik daerah pada wilayah studi adalah letak geografi, topografi, geologi, fisiografi, tanah dan lahan, hidrologi, iklim, dan penggunaan lahan. Masingmasing karakter tersebut diuraikan secara tersendiri pada bagian di bawah ini Letak Geografi Kabupaten Belitung merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Secara geografis Kabupaten Belitung terletak antara ,5 Bujur Timur dan Lintang Selatan dengan batasbatas sebelah Utara berbatasan dengan Laut Natuna; sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Belitung Timur; sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Jawa dan sebelah Barat berbatasan dengan Selat Gaspar. Secara administratif Kabupaten Belitung terdiri atas 5 (lima) kecamatan dengan 40 (empat puluh) desa dan 2 (dua) kelurahan, dengan luas wilayah daratan 2.293,69 km 2. Jumlah penduduk di Kabupaten Belitung pada akhir tahun 2011 mencapai jiwa (Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung, 2012) Topografi Topografi Kabupaten Belitung relatif datar dengan ketinggian maksimum 500 m dari permukaan laut yang berada di daerah Gunung Tajam. Daerah hilir (pantai) terdiri atas beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) utama, yaitu di sebelah Utara DAS Buding, di sebelah Selatan DAS Pala dan Kembiri, serta di sebelah Barat DAS Berang dan Cerucuk. Keadaan batuan didominasi oleh Kwarsa, Pasir, batuan Alluvial, dan batuan Granit. Menurut letaknya, batuan Kwarsa dan Pasir tersebar secara merata di seluruh wilayah kecamatan, sedangkan batuan Alluvial tidak ditemukan di Kecamatan Selat Nasik (Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung, 2012).

61 44 Wilayah pantai merupakan kawasan yang memiliki tingkat kemiringan lereng rendah antara 5 10%. Tutupan lahan wilayah pantai merupakan dataran yang bervariasi yaitu hutan, perkebunan, rawa, permukiman, dan pantai berpasir. Sebagian besar wilayah muara merupakan kawasan rawa dengan hutan bakau, namun pada beberapa tempat merupakan kawasan pantai berpasir putih dan pantai berbatu. Tipe perairan di Kabupaten Belitung terdiri atas laut, pantai dan perairan umum (kolong, rawa-rawa dan sungai). Kolong adalah istilah untuk menyebut kawasan lingkungan bekas tambang yang digenangi air. Perairan pantai umumnya tidak terlalu dalam, berkisar antara m, sedangkan yang agak jauh mencapai m bahkan di beberapa tempat, kedalaman 5 m baru dijumpai pada jarak hingga 500 m dari garis pantai. Dasar laut umumnya berpasir dan berlumpur disertai batu karang. Menurut tipe substrat, dasar perairan Kabupaten Belitung bagian barat secara umum dapat dibagi menjadi paparan batu karang (reef flats) dan paparan pasir gravel. Permukaan paparan kebanyakan tidak rata, terdapat parit air (moat) dan sebagian tergenang air dengan kedalaman 0,5-5 m Geologi Menurut Widagdo et al. (1990), Pulau Belitung dikelompokkan dalam empat formasi geologi yaitu batuan Plutonik berupa Granit (ptgr) berumur Perm sampai Kapur, formasi Bintan anggota Batupasir (TRbp) dan formasi Bintan anggota Batupasir dan Batulempung (TRbl) yang berumur Trias serta Aluvium (Qal) berumur Holosen. Formasi Granit (ptgr) Formasi ini berumur Perm sampai Kapur. Batu granit mempunyai tekstur agak halus sampai kasar dengan didominasi oleh mineral Kuarsa, Ortoklas, Albit, Oligoklas dan Biotit dengan inklusi Zirkon, Muskovit, Apatit, Amfibol, Turmalin, Ortit, dan Titanit. Formasi Granit sebagian besar berada di sisi Barat Laut pulau Belitung yang di beberapa tempat berasosiasi dengan batuan Sedimen terutama di daerah cekungan atau kaki lereng di sekitar Tanjung Binga. Sebagian lain dari batuan Granit terdapat di sebelah Timur Laut pulau Belitung.

62 45 Formasi Bintan (TRbl dan TRbp) Formasi ini menempati sebagian besar Kabupaten Belitung dimana formasi Bintan yang dimaksud berumur Trias baik anggota Batu Pasir dan Batu Lempung (TRbl) ataupun Batu Pasir (TRbp) dan di beberapa tempat terdapat selang-seling antara Batu Pasir dan Batu Lempung. Formasi Bintan anggota Batu Pasir dan Batu Lempung kadang-kadang berselingan dengan serpihan yang terkikis. Sisipan batu pasir dalam batu lempung banyak mengandung besi dan arang. Formasi Bintan anggota batu pasir sebagian besar terdiri dari kuarsa. Berdasarkan hasil analisis Mineralogi, komposisi mineral formasi Bintan didominasi oleh Kuarsa keruh, Kuarsa bening, Opak, Zirkon, disamping ada Turmalin. Aluvium (Qal) Aluvium merupakan endapan muda (Qal) berumur Holosen yang berupa endapan sungai, rawa dan pantai. Endapan sungai terutama terdiri dari liat, debu, pasir dan bahan kasar. Adapun endapan rawa berupa lempung berwarna gelap, lempung liat yang mengandung lempung pasiran, sedangkan endapan pantai berupa endapan kasar dan pasir halus yang mengandung pecahan Koral dan Moluska. Aluvium pada umumnya menempati daerah aliran sungai dan pantai Fisiografi Menurut Widagdo et al. (1990), keadaan Fisiografi di Pulau Belitung dapat dikelompokkan atas enam grup yaitu; grup Aluvial (A), Marin (B), Perbukitan (H), Pegunungan dan Plato (M), Dataran (P), serta grup Aneka Bentuk (X). Karakteristik dan penjelasan dari masing-masing grup Fisiografi dapat diuraikan sebagai berikut. Grup Aluvial (A) merupakan bentukan yang terjadi sebagai aktivitas aliran sungai (fluvial) ataupun longsoran (koluvial). Bentuk permukaan lahan umumnya datar sampai agak cekung (0-3%), bahan penyusun berupa endapan campuran berumur Holosen dari endapan liat, debu, pasir dan beberapa tempat ditutupi oleh bahan organik.

63 46 Grup Marin (B) merupakan bentukan dari proses marin atau proses yang berlangsung di lingkungan marin. Grup ini menyebar sepanjang pantai, terutama di bagian Tenggara dan Utara menempati daerah dengan ketinggian hingga 10 m dari permukaan laut (dpl). Pada daerah tertentu banyak dijumpai batuan granit dalam ukuran besar yang muncul dalam lingkungan marin. Grup Perbukitan (H) terbentuk dari 2 macam bahan yaitu dari bahan batu Granit (ptgr) berumur Perm sampai Kapur dan batuan Sedimen formasi Bintan berumur Trias yang terdiri atas bahan Batupasir (TRbp) dan Batupasir dan Batulempung (TRbl). Pada daerah perbukitan dari bahan batuan sedimen banyak dijumpai lapisan konkresi besi dengan kedalaman antara 0,5 hingga lebih dari 1 m dari permukaan tanah. Penyebaran perbukitan dari batuan Granit maupun batuan Sedimen terpencar-pencar dengan ketinggian antara m dpl. Grup Pegunungan dan Plato (M) mengalami proses pembentukan yang sama dengan grup perbukitan, tetapi memiliki amplitudo relief lebih dari 300 m. Di pegunungan yang berasal dari batuan sedimen dijumpai lapisan konkresi besi pada kedalaman yang bervariasi, sedangkan pada pegunungan dari batuan granit banyak dijumpai singkapan batuan. Grup Dataran (P) terbentuk dari bahan batuan Plutonik berupa Granit (ptgr) berumur Perm sampai Kapur dan batuan sedimen dari formasi Bintan yang terdiri atas TRbp dan TRbl berumur Trias. Pada grup ini terjadi proses peneplainisasi (perataan permukaan) yang cukup lanjut, sehingga memberikan bentukan yang relatif datar dan menempati sebagian besar wilayah Pulau Belitung. Relief bervariasi dari datar, berombak, bergelombang dan pada beberapa tempat dengan bukit-bukit kecil (hummocky). Grup Aneka Bentuk (X) berkaitan dengan penggunaan dan penutupan lahannya yaitu pemukiman, pertambangan dan penimbunan limbah. Daerah pertambangan umumnya menempati lokasi sepanjang sungai atau daerah cekungan terutama daerah endapan batuan granit.

64 Tanah Permukaan tanah Pulau Belitung bergelombang atau berbukit pada daerah pedalaman, sedangkan daerah yang lebih rendah di sekitar pantai mempunyai permukaan yang relatif datar. Sebagian jenis tanah adalah podsolik merah kuning dengan horizon penimbunan besi, Al-oksida dan bahan organik spodik. Pada lapisan atas terdapat horizon eluviasi (pencucian) yang berwarna pucat (albic). Pembagian fisiografi menjadi enam grup (Aluvial, Marin, Perbukitan, Pegunungan dan Plato, Dataran, serta grup Aneka Bentuk) diturunkan lagi menjadi 30 satuan lahan. Pada setiap satuan lahan umumnya ditemukan lebih dari satu satuan tanah pada tingkat Great Group menurut taksonomi tanah. Peta satuan lahan Kabupaten Belitung dapat dilihat pada lampiran Hidrologi Keadaan hidrologi suatu daerah khususnya pulau Belitung ditentukan oleh litologi, dengan perbedaan dalam hal komposisi dan ukuran besaran butir, porositas, tingkat pelapukan, serta kemiringan lereng yang berkaitan dengan tingkat kepekaan terhadap erosi. Keadaan hidrologi di daerah rendah dan pelembahan dicirikan oleh stagnasi air tanah yang telah berlagsung lama sehingga kondisi lapisan bawah didominasi oleh lapisan konkresi besi yang kedap air. Air hujan cenderung mengalir sebagai aliran permukaan (run off) dan menggerus permukaan (sheet erosion). Karena keadaan porositas yang tinggi, pola drainase bersifat dendritik tak terarah dan membentuk meander pada daerah yang mendekati hulu sungai. Di daerah endapan batuan granit banyak dijumpai kandungan bijih timah dan kaolin, sehingga di sekitar sungai-sungai banyak diusahakan pertambangan. Sebagai akibat kegiatan pertambangan, air menjadi keruh karena banyak partikel lumpur dan sungai menjadi dangkal dan banyak endapan. Hal ini memaksa masyarakat untuk mencari sumber air baru yang belum tercemar dalam memenuhi kebutuhan air bagi rumah tangga.

65 Iklim Kondisi iklim Kabupaten Belitung tergolong tropis basah dengan variasi curah hujan bulanan pada tahun 2011 antara 26,9 mm sampai 498,3 mm dengan jumlah hari hujan antara 7 hari sampai 27 hari setiap bulan. Rata-Rata curah hujan bulanan adalah 219,3 mm. Distribusi curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember dan terendah pada Agustus. Suhu udara bervariasi antara 21,4 o C sampai 32,9 o C. Data iklim yang mencakup suhu, curah hujan dan penyinaran matahari ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5. Fluktuasi iklim di Kabupaten Belitung tahun 2011 No Bulan Suhu Udara ( o C) Hujan Penyinaran Ratarata Curah Hujan Hari Matahari Maks. Min. (mm) Hujan (%) 1 Januari 30,8 22, , Februari 32,2 21,2 26,1 141, Maret 32, ,9 233, April 32 21,7 26,1 207, Mei 33,4 22,4 26,3 285, Juni 33, , Juli 32,8 21,6 26,3 92, Agustus 33, , September 34,9 21,4 27,4 26, Oktober 33,8 21,9 25,7 254, Nopember 33, , Desember 32 21, , Jumlah 394,8 257,1 314, Rata-rata 32,9 21,4 26,2 219,3 16,9 49,3 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung (2012)

66 Alokasi Penggunaan Lahan Penggunaan lahan (land use) di Kabupaten Belitung tahun 2009 terbagi atas: (1) permukiman (perkampungan atau perkotaan); (2) pertanian lahan kering; (3) pertanian lahan kering campuran; (4) pertambangan; (5) perkebunan; (5) hutan; (6) semak belukar; (7) tanah terbuka/kosong dan (7) hutan mangrove. Berdasarkan interpretasi peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Belitung tahun , alokasi pemanfaatan ruang paling luas digunakan untuk perkebunan (17,78%), perkebunan besar swasta (16,76%), Hutan lindung (15,95%) dan hutan produksi (15,08%) (Gambar 8). Luas (ha) Tubuh Air Pertanian Perkebunan Besar Swasta Perkebunan Pemukiman Kawasan Industri Kecil Kawasan Industri Besar Hutan Produksi Hutan Lindung Hutan Konservasi Central Bussiness Distric Areal Wisata Lingkungan Areal Wisata Areal Pertambangan Areal Penggunaan Lain Hutan Lindung Pantai Luas (Ha) Luas (ha) Gambar 8. Alokasi penggunaan lahan di Kabupaten Belitung.

67 Kependudukan dan Sosial Budaya Pada bagian kependudukan ini dikemukakan bahasan mengenai penduduk dan kepadatannya serta sosial budaya yang ada di Kabupaten Belitung. Dalam sub penduduk akan diuraikan jumlah sebaran penduduk per kecamatan dan di sub sosial budaya akan diuraikan mengenai kondisi sosial budaya penduduk di Kabupaten Belitung. Masing-masing karakter tersebut diuraikan secara tersendiri sebagai berikut Kependudukan Penduduk Kabupaten Belitung hasil registrasi tahun 2011 berjumlah jiwa, terjadi penambahan jiwa atau mengalami penambahan sebesar 4,3% dari tahun sebelumnya. Laju pertumbuhan penduduk di setiap kecamatan relatif tidak merata. Nilai tertinggi di Kecamatan Selat Nasik mencapai 6,41% dan terendah di Kecamatan Membalong sebesar 3,01% (Tabel 6). Pertumbuhan jumlah penduduk tahun ditunjukkan dengan angka negatif karena pada tahun 2010 ada koreksi jumlah penduduk oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung. Tabel 6. Perkembangan penduduk per kecamatan di Kabupaten Belitung tahun Kecamatan Jumlah Penduduk Pertumbuhan (%) Membalong ,87 5,38 Tanjungpandan ,67 3,01 Badau ,27 6,27 Sijuk ,35 6,5 Selat Nasik ,83 6,41 J u m l a h ,4 4,3 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung (2012) Kepadatan penduduk bervariasi antara satu kecamatan dengan kecamatan yang lain. Kecamatan Tanjungpandan memiliki kepadatan paling tinggi yaitu sebesar 246 jiwa/km 2 sedangkan Kecamatan Membalong memiliki nilai kepadatan

68 penduduk paling rendah yaitu 26 jiwa/km 2. Perbandingan banyaknya penduduk laki-laki dan perempuan, dapat dilihat melalui sex ratio. Pada tahun 2011 sex ratio penduduk adalah 106. Ini berarti bahwa terdapat 106 penduduk laki-laki untuk setiap 100 penduduk perempuan. Secara lengkap tingkat kepadatan penduduk dan sex ratio di Kabupaten Belitung pada akhir tahun 2011 ditampilkan pada Tabel 7. Tabel 7. Kepadatan penduduk dan sex ratio menurut kecamatan di Kabupaten Belitung tahun 2011 Luas Jumlah Penduduk Kepadatan Kecamatan Daerah Lakilaki puan Ratio Jumlah (jiwa/km 2 ) Perem- Sex Penduduk (km 2 ) Membalong 909, Tanjungpandan 378, Badau 458, Sijuk 413, Selat Nasik 133, J u m l a h 2.293, Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung (2012) Sosial Budaya Penduduk asli adalah etnis Melayu yang kemudian mengalami akulturasi dan asimilasi dengan berbagai etnis lainnya, yaitu etnis Melayu Riau, Padang, Palembang, Bugis, Cina, Jawa dan lainnya. Berdasarkan agama, Islam merupakan agama yang dominan dianut oleh penduduk yaitu sebesar 91,61%. Pemeluk agama lain adalah Budha sebanyak 6,37%, Protestan 1,02%, Katholik 0,55% dan Hindu 0,45%. Kebudayaan Melayu, Cina, agama Islam dan kepercayaan yang dibawa oleh etnis Cina telah banyak berpengaruh terhadap pola-pola kebudayaan dan pola relasi sosial masyarakat Kabupaten Belitung. Etnis Cina yang datang ke Pulau Belitung pada dasarnya memiliki asal usul yang sama dengan yang datang ke Pulau Bangka yaitu bekerja sebagai buruh tambang timah Perekonomian Daerah Kondisi perekonomian suatu daerah sangat ditentukan oleh besarnya sumbangan dari sektor-sektor ekonomi dalam memproduksi barang dan jasa.

69 52 Struktur ekonomi ini dapat dilihat dari distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku. Struktur perekonomian di Kabupaten Belitung didominasi oleh empat sektor utama yaitu sektor pertanian, industri pengolahan dan jasa-jasa serta perdagangan, hotel dan restoran. Keempat sektor ini memiliki share lebih dari 10% dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Sektor lain memiliki share yang kurang dari 10%. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, tidak terjadi perubahan struktur perekonomian yang signifikan di Kabupaten Belitung, namun PDRB mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu dari 1,753 trilyun pada tahun 2006 menjadi 2,904 trilyun rupiah pada tahun Distribusi PDRB Kabupaten Belitung menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Persentase distribusi PDRB Kabupaten Belitung atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun No Lapangan Usaha Tahun Pertanian 23,96 25,13 24,48 24,55 24,18 2 Pertambangan dan Penggalian 12,42 9,26 8,57 8,28 7,81 3 Industri Pengolahan 20,62 21,21 22,79 22,57 22,10 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 1,37 1,32 1,25 1,20 1,13 5 Bangunan 6,28 6,69 7,20 7,62 8,29 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 14,77 14,82 14,07 13,83 14,06 7 Pengangkutan dan Komunikasi 4,51 4,82 4,54 4,35 4,32 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 3,53 3,57 3,21 3,18 3,26 9 Jasa-Jasa 12,55 13,18 13,87 14,42 14,84 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung (2012) Sektor pertanian merupakan sektor yang memberikan kontribusi terbesar terhadap perekonomian Kabupaten Belitung. Sub sektor perikanan memberikan kontribusi terbesar terhadap sektor pertanian yang diikuti oleh sub sektor perkebunan. Sektor pertanian menyumbang 24,18 % dari total PDRB Kabupaten Belitung. Sektor industri pengolahan menjadi penyumbang kedua terbesar di

70 53 bawah sektor pertanian dengan nilai share 22,10%. Sektor ketiga dan keempat ditempati oleh sektor jasa-jasa dan sektor perdagangan,hotel dan restoran dengan nilai share PDRB masing-masing 14,84% dan 14,06%. Sementara sektor yang lain memberikan kontribusi yang relatif kecil dengan total share masing-masing di bawah 10%. 4.4 Potensi Pertanian di Kabupaten Belitung Kabupaten Belitung yang merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan kabupaten yang batasi oleh sebagian besar lautan atau kawasan pesisir. Meskipun demikian, kabupaten Belitung tetap menyimpan potensi pertanian yang besar khususnya di subsektor perkebunan. Usaha perkebunan banyak diminati dan diusahakan oleh masyarakat setempat. Disamping itu, sektor tanaman pangan juga mulai dikembangkan meski dengan skala yang masih relatif kecil guna meningkatkan ketahanan pangan di wilayah ini. Berikut akan dibahas mengenai komoditas pertanian utama, peranan subsektor perkebunan dan perkembangan perkebunan lada rakyat Komoditas Pertanian Utama Kabupaten Belitung merupakan kabupaten yang didominasi oleh lahan kering. Berbagai komoditas pertanian diusahakan di kabupaten ini meliputi tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. Tanaman perkebunan mendominasi dibandingkan dengan tanaman pangan dan hortikultura. Tanaman pangan telah dikembangkan di Kabupaten Belitung meskipun dengan skala yang tidak terlalu besar. Percetakan sawah dan ladang untuk penanaman padi mulai digalakkan untuk mengantisipasi tingkat kerawanan pangan mengingat Kabupaten Belitung adalah daerah kepulauan dimana pasokan bahan pangan dari luar sangat dipengaruhi oleh cuaca. Beberapa jenis tanaman pangan utama yang diusahakan antara lain padi sawah, padi ladang, jagung, ubi kayu, ketela rambat dan kacang tanah. Luas areal, produksi dan produktifitas beberapa komoditas tanaman pangan tersebut dapat dilihat pada Tabel 9.

71 54 Tabel 9. Luas panen, produksi dan produktifitas tanaman pangan Kabupaten Belitung tahun 2011 No Jenis Tanaman Luas Panen Produksi Produktivitas (ha) (ton) (ton/ha) 1. Padi Sawah ,29 3,10 2. Padi Ladang 13 24,92 1,92 3. Jagung ,60 4,71 4. Ubi Kayu Ketela Rambat ,24 6. Kacang Tanah 55 82,96 1,51 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung (2012) Tanaman perkebunan di Kabupaten Belitung didominasi oleh tanaman lada, kelapa sawit, karet dan kelapa. Lada merupakan salah satu komoditas unggulan yang dicanangkan oleh pemerintah daerah setempat. Sebagai tanaman yang sudah dianggap menjadi turun temurun oleh masyarakat Belitung, maka tanaman lada banyak digeluti masyarakat Belitung. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2011, luas areal tanam lada mencapai 7.423,74 ha, disusul oleh kelapa sawit, karet dan tanaman kelapa. Luas areal dan produksi masing-masing komoditas perkebunan di Kabupaten Belitung tertera pada Tabel 10. Tabel 10. Luas areal dan produksi tanaman perkebunan Kabupaten Belitung tahun 2011 No Jenis Tanaman Luas Areal (ha) Produksi TBM TM TR/TT Jumlah (ton) 1. Karet 2.150,22 308,9 49, ,52 457,01 2. Lada 2645,1 2882, , , ,88 3. Cengkeh - 1,3-1,3 1,5 4. Jambu Mete 4,7 4,71-9,41 0,94 5. Aren 229,08 107, ,18 82,99 6. Kelapa 482,8 638,3 663, ,18 662,15 7. Kelapa Sawit 2.909, , , Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung (2012)

72 55 Keterangan : TBM : Tanaman Belum Menghasilkan TM : Tanaman Menghasilkan TR/TT : Tanaman Rusak/ Tanaman Tua Berdasarkan Tabel 10, dapat diketahui bahwa lada merupakan komoditas perkebunan dengan luas areal tanam paling luas yaitu 7.423,74. Karet dengan luas areal 2.508,52 menempati urutan ketiga. Komoditas karet sudah mulai diminati dalam beberapa tahun terakhir mengingat pola budidaya yang relatif mudah dengan harga jual yang dinilai cukup ekonomis. Sementara untuk komoditas perkebunan lain seperti Aren, Jambu Mete dan Cengkeh dianggap kurang dominan dan hanya berada pada lokasi-lokasi tertentu dengan luasan areal tanam yang semakin berkurang. Dari beberapa komoditas perkebunan yang dikembangkan di Kabupaten Belitung, lada dan karet merupakan komoditas unggulan daerah. Berdasarkan Tabel 10, jumlah produksi lada pada tahun 2011 sekitar 5.765,88 ton dari 2882,94 ha tanaman menghasilkan atau produktifitasnya 2 ton/ha. Angka ini sudah cukup baik dimana 1 pohon lada dianggap menghasilkan 0,8-1 Kg lada kering. Namun dengan perawatan dan budidaya yang tepat, produktifitas lada bukan tidak mungkin naik ke angka yang lebih baik lagi Peranan Subsektor Perkebunan Berdasarkan data PDRB Kabupaten Belitung diketahui bahwa sektor pertanian menjadi penyumbang terbesar terhadap PDRB Kabupaten Belitung dengan nilai share sebesar 23,25%. Subsektor perikanan menjadi penyumbang terbesar di sektor pertanian, kemudian disusul subsektor perkebunan dan subsektor tanaman bahan makanan. Subsektor perikanan dalam periode memberikan share rata-rata sebesar 70,60%. Subsektor perkebunan pada periode memberikan share rata-rata 16,83%, sementara subsektor tanaman bahan makanan memberikan share rata-rata sebesar 7,86%. Dengan luasan lahan kering yang dominan dibandingkan lahan basah, maka subsektor perkebunan sangat berpotensi untuk terus dikembangkan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Belitung. Beberapa

73 56 keuntungan yang dirasakan masyarakat dalam membudidayakan tanaman perkebunan adalah modal awal hanya dikeluarkan pada awal penanaman yang selanjutnya tanaman akan bertahan selama beberapa tahun kedepan dengan hasil yang dapat dipetik selama beberapa tahun juga. Potensi sumberdaya alam, budaya turun temurun dalam mengusahakan perkebunan lada serta kemudahan dalam pemasaran lada ini, maka pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung berpotensi untuk direalisasikan disamping komoditas perkebunan ini sudah dikenal di pasar internasional dengan sebutan Muntok White Pepper Perkembangan Perkebunan Lada Tanaman lada di Kabupaten Belitung merupakan komoditas perkebunan yang sudah diusahakan secara turun temurun. Dalam perjalanannya, usaha perkebunan lada mengalami pasang surut yang terlihat dari luas areal tanam lada yang bervariasi dari tahun ke tahun. Fluktuasi luas areal tanam salah satunya dipengaruhi oleh harga lada di tingkat petani. Meskipun demikian, usaha perkebunan lada tetap eksis sampai saat ini, bahkan di beberapa tahun terakhir menunjukkan pola peningkatan usaha perkebunan ini sebagaimana tertera pada Tabel 11. Tabel.11. Luas areal perkebunan lada tiap kecamatan di Kabupaten Belitung tahun No Kecamatan Luas Areal (ha) Membalong 5400, , , ,00 2 Tanjungpandan 173,10 178,30 123,20 135,40 3 Sijuk 447,70 466,20 318,30 476,00 4 Badau 432,05 453,05 306,20 389,10 4 Selat Nasik 93,74 118,24 54,84 90,24 Jumlah 6547, , , ,74 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung (2012) Perubahan luas areal tanam lada di Kabupaten Belitung khususnya dan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung umumnya tidak terlepas dari pengaruh dan kondisi pasar internasional. Kondisi tanam dan panen lada yang berubah-ubah

74 57 juga mempengaruhi kondisi ekspor lada Indonesia di tingkat dunia. Berdasarkan data dari International Pepper Community (2012), diperoleh nilai ekspor lada dari beberapa negara produsen lada seperti Tabel 12. Tabel 12. Nilai ekspor lada dari beberapa negara produsen lada (dalam satuan ton) No Negara Tahun Produsen Brazil India Indonesia Malaysia Sri Lanka Vietnam China Thailand Madagaskar Lainnya Sumber : International Pepper Community (2012) Berdasarkan data diatas, dapat diketahui bahwa Indonesia merupakan negara eksportir lada terbesar kedua setelah Vietnam. Data tahun 2010 menunjukkan jumlah ekspor lada Indonesia mencapai ton, sementara Vietnam di tahun 2010 mampu mengekspor lada sebanyak ton. Dari angka tersebut, Indonesia berkontribusi sekitar 32% dari jumlah ekspor lada dunia yang mencapai ton (International Pepper Community,2012). Berdasarkan Tabel 12, nilai ekspor lada Indonesia meningkat dibandingkan tahun 2009, sementara luas areal perkebunan lada di Belitung menurun di tahun Hal ini terjadi karena di tahun 2010 sebagian masyarakat tertarik ke penambangan timah inkonvensional. Namun kondisi tersebut tidak mempengaruhi angka ekspor lada tahun 2010 karena tanaman produktif yang siap panen tetap dirawat dan dipelihara intensif sehingga angka produksi panenpun meningkat.

75 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Sentra Perkebunan Lada Dalam pembangunan suatu wilayah dibutuhkan pemahaman karakteristik dan kemampuan dari wilayah yang akan dikembangkan. Hal ini dibutuhkan khususnya dalam memberikan masukan terkait penyusunan perencanaan suatu wilayah. Perencanaan yang baik akan memberikan kontribusi yang baik pula dalam aplikasi pembangunan di suatu wilayah. Untuk itu dibutuhkan penggalian informasi mengenai keunggulan suatu wilayah dari sisi keunggulan komparatif suatu wilayah. Optimalisasi keunggulan komparatif suatu wilayah dipadukan dengan kemampuan lokal yang khas dibandingkan dengan wilayah lain, akan lebih mempertajam keunggulan kompetitif dalam bersaing dengan wilayah lainnya. Salah satu karakteristik wilayah yang penting diketahui adalah pemusatan suatu aktivitas tertentu di wilayah tersebut dengan membandingkannya pada cakupan wilayah agregat yang lebih luas (Rustiadi et al. 2011). Teknik yang biasa digunakan adalah analisis Location Quotient (LQ). Salah satu manfaat dari analisis ini adalah mengetahui keunggulan komparatif wilayah. Analisis ini merupakan perbandingan relatif antara kemampuan yang sama pada cakupan wilayah yang lebih luas (Rustiadi et al. 2011) Dalam penelitian arahan dan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung, analisis LQ digunakan untuk mengetahui lokasi (kecamatan) di Kabupaten Belitung yang memiliki keunggulan komparatif dalam usaha perkebunan lada. Beberapa data yang bisa dijadikan input analisis LQ adalah data tenaga kerja, produksi, produktifitas maupun luas areal tanam suatu komoditas tertentu (Rustiadi et al. 2011). Analisis LQ yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan input data berupa luas areal perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Dalam penelitian ini, dikaji nilai LQ beberapa titik tahun yaitu nilai LQ tahun 2008, 2009, 2010 dan Analisis LQ yang mengkaji kondisi beberapa tahun ini didasari keinginan untuk melihat konsistensi nilai LQ suatu komoditas tertentu di suatu wilayah. Berhubung dalam penelitian ini berfokus pada

76 60 pengembangan perkebunan lada, maka hasil analisis LQ diarahkan untuk melihat wilayah yang memiliki keunggulan komparatif dalam usaha perkebunan lada. Adapun wilayah yang dianggap memiliki keunggulan komparatif adalah wilayah dengan nilai LQ lebih dari 1 (LQ>1). Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai LQ komoditas lada tahun 2008 di tiap-tiap kecamatan menunjukkan hasil yang berbeda-beda antara 0,40 sampai 1,28. Jika difokuskan untuk melihat nilai LQ dari komoditas lada, maka nilai LQ yang memberikan nilai hasil yang lebih dari 1 (satu) hanya di kecamatan Membalong. Sementara di 4 (empat) kecamatan lainnya menunjukkan nilai kurang dari 1 (<1). Dengan demikian, kondisi pada tahun 2008, kecamatan Membalong memiliki keunggulan komparatif dalam perkebunan lada dibandingkan dengan kecamatan lainnya di Kabupaten Belitung. Nilai analisis LQ perkebunan lada tertera pada Tabel 13. Tabel 13. Nilai analisis LQ perkebunan lada tahun No Kecamatan Nilai analisis LQ Membalong 1,28 1,32 1,49 1,62 2 Tanjungpandan 0,41 0,34 0,23 0,21 3 Sijuk 0,47 0,45 0,31 0,41 4 Badau 0,61 0,61 0,38 0,45 5 Selat Nasik 0,40 0,43 0,16 0,23 Nilai LQ komoditas lada tahun 2009 menunjukkan bahwa wilayah pengembangan lada yang memberikan nilai di atas 1 hanya ada di kecamatan Membalong (Tabel 13). Di beberapa kecamatan lainnya, nilai LQ dari perkebunan lada masih berada di bawah 1 (LQ<1). Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 2009, kecamatan Membalong memiliki keunggulan komparatif yang lebih baik dari beberapa kecamatan lain di Kabupaten Belitung dalam usaha perkebunan lada. Nilai analisis LQ tahun 2010 menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan data tahun sebelumnya bahwa kecamatan Membalong memiliki nilai LQ > 1 dalam arti kecamatan ini memiliki keunggulan komparatif wilayah dalam usaha

77 61 perkebunan lada dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Nilai LQ tahun 2010 di kecamatan Membalong lebih tinggi jika dibandingkan nilai LQ tahun 2008 dan Hal ini menunjukkan adanya peningkatan dari sisi keunggulan komparatif wilayah terhadap komoditas lada di kecamatan Membalong. Hasil analisis LQ tahun 2011 berdasarkan Tabel 13, semakin menguatkan analisis LQ dari data-data tahun sebelumnya. Analisis LQ menggunakan data tahun 2011 ini menunjukkan bahwa kecamatan Membalong masih menjadi kecamatan yang memiliki keunggulan komparatif wilayah yang baik dengan nilai LQ > 1. Dibandingkan kecamatan-kecamatan lain di Kabupaten Belitung, maka kecamatan Membalong memiliki keunggulan komparatif di atas kecamatan lainnya yang ada di Kabupaten Belitung. Untuk memperjelas perbandingan nilai analisis LQ komoditas perkebunan lada tiap-tiap kecamatan di Kabupaten Belitung dapat lihat pada Gambar 9. Pada Gambar 9 terlihat bahwa kecamatan Membalong memiliki nilai LQ >1 dari tahun Selat Nasik Badau Sijuk Tanjungpandan 0,23 0,16 0,43 0,40 0,45 0,38 0,61 0,61 0,41 0,31 0,45 0,47 0,21 0,23 0,34 0, Membalong 1,62 1,49 1,32 1,28 0,00 1,00 2,00 Gambar 9. Nilai analisis LQ perkebunan lada tiap kecamatan di Kabupaten Belitung tahun

78 62 Berdasarkan data keadaan umum wilayah, kecamatan Membalong merupakan kecamatan yang konsisten dalam hal penanaman lada. Masyarakat/ petani dengan kultur atau budaya tani yang masih kental di kecamatan paling selatan di Kabupaten Belitung ini senantiasa mengusahakan perkebunan lada. Dari tahun ke tahun terjadi peningkatan usaha perkebunan lada di kecamatan ini. Dukungan sumberdaya alam dan keuletan sumberdaya manusia dipadukan dengan budaya tani yang masih kental menjadikan wilayah ini memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan kecamatan lain di Kabupaten Belitung. Nilai analisis LQ ini merupakan nilai perbadingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada wilayah yang lebih luas (Rustiadi et al. 2011). Dengan demikian, maka nilai LQ dari beberapa kecamatan yang di bawah 1 bukan berarti wilayah tersebut memiliki luas areal dan produksi lada yang rendah, mengingat hampir di setiap kecamatan mempunyai peran yang besar dalam mendukung angka produksi lada Kabupaten Belitung. Hal ini juga berlaku bagi nilai LQ komoditas lain yang mampu mencapai angka jauh di atas nilai LQ lada, belum tentu memiliki jumlah luas areal dan produksi yang tinggi. Karena nilai analisis LQ adalah nilai perbandingan relatif suatu komoditas tertentu di suaatu wilayah tertentu dengan perbandingan total komoditas di suatu wilayah tertentu terhadap wilayah agregat yang lebih luas. Analisis Location Quotient (LQ) seperti pembahasan sebelumnya hanya mampu menggambarkan sisi keunggulan komparatif suatu wilayah terhadap aktivitas ekonomi tertentu. Dari analisis LQ yang dilakukan, maka perlu dikuatkan dengan Shift Share Analysis untuk mengetahui keunggulan dari sisi kompetitifnya. Menurut Rustiadi et al. (2011), Shift Share Analysis (SSA) merupakan teknik analisis yang digunakan untuk melihat tingkat keunggulan kompetitif (competitiveness) suatu wilayah dalam wilayah agregat yang lebih luas, berdasarkan kinerja sektor lokal (local sector) di wilayah tersebut. Analisis shift-share juga dapat digunakan untuk mengetahui potensi pertumbuhan produksi sektoral dari suatu kawasan atau wilayah. Tabel 14 menyajikan nilai Shift Share Analysis komoditas perkebunan lada dari tiap-tiap kecamatan di Kabupaten Belitung. Data yang digunakan adalah data statistik pertanian dari dua titik tahun yaitu tahun 2008 dan Pengambilan titik tahun

79 pada dasarnya tidak ada patokan waktu yang baku. Tetapi umumnya rentang waktu yang diasumsikan dapat menunjukkan pola pergeseran yang stabil berkisar antara 3, 5 atau 10 tahun atau tergantung data yang tersedia (Rustiadi et al. 2011). Tabel 14. Nilai Shift Share Analysis komoditas perkebunan lada di Kabupaten Belitung No Kecamatan Share Proportional Shift Differential Shift 1 Membalong 0,29-0,16 0,04 2 Tanjungpandan 0,29-0,16-0,36 3 Sijuk 0,29-0,16-0,07 4 Badau 0,29-0,16-0,23 5 Selat Nasik 0,29-0,16-0,17 63 Berdasarkan Tabel 14 diketahui bahwa total nilai share dari analisis shiftshare komoditas lada menunjukkan nilai yang positif di semua kecamatan. Artinya secara umum terjadi peningkatan pertumbuhan total perkebunan di Kabupaten Belitung antara tahun 2008 dan tahun Nilai proportional shift yang ditampilkan pada Tabel 14 menunjukkan angka negatif (-0,16). Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya penurunan aktivitas usaha perkebunan lada dalam lingkup Kabupaten Belitung atau peningkatan usaha perkebunan lada di lingkup kabupaten tidak sebanding dengan peningkatan luas total perkebunan di Kabupaten Belitung. Dalam analisis ini terlihat bahwa pada dasarnya terjadi peningkatan luas areal perkebunan lada di Kabupaten Belitung jika dibandingkan antara tahun 2008 dan tahun Namun peningkatan luas perkebunan lada di tahun 2011 belum akan berpengaruh besar pada peningkatan angka ekspor tahun 2010 maupun 2011 karena lada baru berproduksi optimal di tahun ketiga setelah tanam. Berdasarkan Tabel 14, juga dapat diketahui nilai differential shift dari masing-masing kecamatan. Dari Tabel 14 terlihat bahwa kecamatan Membalong memiliki nilai differential shift yang positif (0,04). Hal ini menunjukkan bahwa perkebunan lada di kecamatan Membalong masih memiliki potensi yang bisa dikembangkan, terlepas dari kontribusi yang disumbangkan oleh faktor-faktor eksternal (komponen share dan komponen proportional shift).

80 64 Untuk mengkaji dan membandingkan lebih dalam kaitan nilai differential shift komoditas lada di kecamatan Membalong yang bernilai positif dengan kondisi komoditas lainnya, berikut ditampilkan nilai differential shift beberapa komoditas perkebunan lain di Kecamatan Membalong. Tabel 15. Nilai Shift Share Analysis komoditas perkebunan di kecamatan Membalong No Komoditas Komponen Komponen Komponen Share Proportional Shift Differential Shift 1 Karet 0,29 1,16-0,52 2 Lada 0,29-0,16 0,04 3 Cengkeh 0,29-0,48 1,56 4 Kopi 0, Jambu Mete 0,29-0,17 0,12 6 Aren 0,29-0,29-0,00 7 Kelapa 0,29-0,34-0,66 8 Kelapa Sawit 0,29 0,30-0,14 Berdasarkan Tabel 15 dapat diketahui bahwa lada, cengkeh dan jambu mete memiliki nilai differential shift yang positif. Namun mengingat differential shift adalah nilai perbandingan relatif, maka perlu dilihat juga luasan dan kontribusi masing-masing komoditas perkebunan tersebut. Berdasarkan data statistik diketahui bahwa cengkeh dan jambu mete memiliki luasan yang relatif kecil dan belum banyak diusahakan penduduk. Untuk komoditas lada, disamping memiliki luas yang relatif besar, namun juga memiliki nilai differential shift yang positif sehingga pertumbuhan masih bisa terjadi. Berdasarkan nilai analisis Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA) dapat diketahui bahwa sentra perkebunan lada di Kabupaten Belitung berada di kecamatan Membalong. Kecamatan ini memiliki keunggulan komparatif dengan nilai analisis LQ >1. Kecamatan Membalong yang terletak di Selatan Kabupaten Belitung ini memang menjadi kecamatan yang diarahkan oleh Pemerintah Daerah untuk pengembangan sektor pertanian dan perkebunan. Kultur budaya dan kualitas sumberdaya dipadukan dengan potensi sumberdaya alam menjadi kekuatan dan keunggulan komparatif bagi pengembangan perkebunan lada di masa yang akan datang.

81 Dalam upaya meningkatkan keunggulan kompetitif komoditas lada yang berdasarkan analisis shift share bernilai positif (0,04), maka perlu dirumuskan strategi dan formulasi yang tepat sehingga perkebunan lada di kecamatan Membalong khususnya dan di Kabupaten Belitung umumnya mampu bersaing dengan produsen dari daerah lainnya. Penguatan kelembagaan, manajemen usaha perkebunan, penguatan pasar, peningkatan kualitas dan pemanfaatan teknologi merupakan bagian kecil dari strategi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif wilayah sehingga siap bersaing dengan kompetitor dalam memproduksi produk yang sama. 5.2 Analisis dan Pemetaan Wilayah Yang Berpotensi Untuk Pengembangan Perkebunan Lada Analisis dan pemetaan wilayah yang berpotensi untuk pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung menjadi bagian penting dalam penelitian ini. Inventarisasi wilayah yang berpotensi untuk pengembangan lada bertujuan agar lahan atau wilayah yang berpotensi bisa dimanfaatkan optimal dan diarahkan untuk pengembangan perkebunan lada tersebut. Konversi lahan yang potensial untuk perkebunan menjadi kawasan pemukiman, industri dan penambangan inkonvensional tentu akan mengurangi cadangan wilayah pengembangan tanaman lada di masa yang akan datang. Hal ini tentu akan merugikan masyarakat dan daerah Belitung sendiri mengingat keberadaan lada sangat berperan dalam mendukung perekonomian masyarakat yang bergerak di sub sektor perkebunan. Analisis dan pemetaan wilayah yang berpotensi untuk pengembangan perkebunan lada dilakukan menggunakan metode Sistem Informasi Geografis dengan memadukan berbagai peta tematik seperti peta kesesuaian lahan aktual, peta penggunaan lahan (land use) eksisting, peta perkebunan besar swasta (sawit), peta kawasan hutan, dan peta kawasan penambangan timah. Peta kesesuaian lahan aktual dalam penelitian ini diperoleh dengan menganalisis peta satual lahan (land unit) Kabupaten Belitung yang dipadukan dengan persyaratan penggunaan/ karateristik lahan untuk tanaman lada yang dikeluarkan oleh Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) Kementerian Pertanian. Analisis kesesuaian lahan secara spasial merupakan hal utama dalam memetakan wilayah yang berpotensi bagi pengembangan perkebunan lada di 65

82 66 Kabupaten Belitung. Analisis lahan yang sesuai secara spasial dimaksudkan untuk mengetahui letak atau posisi lahan secara geografis yang memenuhi persyaratan untuk perkebunan lada. Analisis kesesuaian lahan secara spasial dilakukan dengan memadukan peta satuan lahan (land unit) dan persyaratan penggunaan/ karakteristik lahan yang hasilnya berupa peta kesesuaian lahan aktual untuk tanaman lada. Menurut Sitorus (2004), analisis kesesuaian lahan pada hakekatnya merupakan proses untuk menduga potensi sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaannya. Adapun kerangka dasar dari analisis kesesuaian lahan adalah membandingkan persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan sifat sumberdaya yang ada pada lahan tersebut. Dasar pemikiran utama dalam prosedur evaluasi atau analisis kesesuaian lahan adalah kenyataan bahwa berbagai penggunaan lahan membutuhkan persyaratan yang berbeda-beda. Hasil evaluasi atau analisis kesesuaian lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tata guna lahan yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007) Analisis kesesuaian lahan untuk tanaman lada di Kabupaten Belitung dilakukan dengan mencocokkan kualitas lahan yang tertera pada peta satuan lahan Kabupaten Belitung dengan persyaratan penggunaan lahan untuk tanaman lada (land requirements) yang dikeluarkan oleh Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Kriteria kesesuaian persyaratan lahan tanaman lada yang digunakan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1. Dalam melakukan analisis kesesuaian lahan secara spasial ini harus didukung dengan berbagai kelengkapan data sekunder yang berupa peta tematik. Beberapa jenis peta tematik yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peta satuan lahan yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun 1990 dengan skala 1: Peta satuan lahan ini memberikan beberapa informasi terkait beberapa karakteristik fisik dan kimia dari tiap satuan lahan di Kabupaten Belitung meliputi kondisi lereng, bahaya erosi, drainase, tekstur, kedalaman tanah, KTK liat, kejenuhan basa, ph H 2 O, C-Organik, dan Salinitas. Data lain yang harus disiapkan juga adalah tabulasi data persyaratan kesesuaian

83 lahan untuk tanaman lada yang dikeluarkan oleh Balai Besar Sumberdaya lahan Pertanian (BBSDLP) Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Klasifikasi jenis tanah pada peta satuan lahan Kabupaten Belitung masih dalam satuan asosiasi (Widagdo et al. 1990). Dalam penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman lada yang dilakukan, karakteristik lahan dari masing-masing satuan lahan diwakilkan dari jenis tanah yang memiliki luasan terbesar dari asosiasi tanah tersebut. Dengan demikian kesesuaian lahan yang dihasilkan merupakan gambaran secara umum karena ada kemungkinan pada lahan yang dipetakan sesuai terdapat lahan-lahan yang sebenarnya tidak sesuai. Hal lain yang menjadi kelemahan dalam penentuan kesesuaian lahan ini adalah keterbatasan data sehingga tidak semua persyaratan kesesuaian tersedia pada kriteria tiap satuan lahan. Penilaian kesesuaian lahan tanaman lada dilakukan dengan mencocokan (matching) persyaratan kesesuaian lahan yang dikeluarkan BBSDLP dengan kriteria dari tiap-tiap satuan lahan. Di Kabupaten Belitung terdapat 30 satuan lahan, namun dari 30 tersebut hanya 28 yang dianalisis karena 2 satuan lahan yang lain tidak tersedia datanya. Hasil pencocokan (matching) peta satuan lahan (land unit) dengan karakteristik lahan untuk tanaman lada dapat dilihat pada Lampiran 2. Kelas kesesuaian lahan aktual tanaman lada pada setiap satuan lahan tertera pada Tabel 16. Tabel 16. Kelas kesesuaian lahan aktual tanaman lada pada setiap satuan lahan No. Sat. Lahan Nama Sat. Lahan Kelas Sub Kelas/Pembatas Jumlah Luas (ha) (%) 1 Au S3 S3f ,24 2 Au S3 S3f ,05 3 Au.1.3 S3 S3f ,44 4 Bq.1.1 S3 S3f ,99 5 Bf.4.2 S3 S3f ,19 6 Bf.4.3. S3 S3f ,84 7 Bf.4.4 S3 S3f ,12 8 Pq.1.1 S3 S3f ,85 67

84 68 Tabel 16. (lanjutan) No. Sat. Lahan Nama Sat. Lahan Kelas Sub Kelas/Pembatas Jumlah Luas (ha) (%) 9 Pfq.2.1 S2 S2wfr ,06 10 Pg.2.1 S2 S2wfr ,94 11 Pq.2.1 S2 S2wfr ,61 12 Pfq.2.2 S2 S2wfr 781 0,35 13 Pg.2.2 S2 S2wfr ,27 14 pfq.3.1 S3 S3f ,75 15 Pg.3.1 S2 S2wfr ,76 16 Pq.3.1 S3 S3f ,48 17 Pfq.3.2 S2 S2wfr ,39 18 Pg.3.2 S2 S2wfr ,81 19 Pq.3.2 S3 S3f 937 0,42 20 Pg.4.2 S3 S3r ,54 21 Pg.7.2 S3 S3r 664 0,30 22 Pq.7.2 S3 S3fr ,70 23 Hg S3 S3ef ,79 24 Hq S3 S3ef 570 0,25 25 Hg S3 S3ef ,18 26 Hq S3 S3efr ,71 27 Mg N N ,74 28 Mq N N ,38 29 X2 Td Td ,78 30 X5 Td Td ,06 Jumlah Keterangan : S2 S3 N Td : Cukup sesuai : Sesuai Marginal : Tidak Sesuai : Tidak ada data Faktor Pembatas : e : bahaya erosi w : ketersediaan air f: retensi hara r : media perakaran Berdasarkan Tabel 16, dapat diketahui bahwa terdapat 30 satuan lahan di Kabupaten Belitung, dimana 2 diantaranya tidak tersedia datanya. Dari ke 28 satuan lahan yang tersedia datanya, terdapat beberapa kelas kesesuaian lada yaitu kelas S2 (cukup sesuai) dan kelas S3 (sesuai marginal) serta N (tidak sesuai). Beberapa faktor pembatas yang menjadi penghambat dalam tiap kelas pada satuan lahan di atas meliputi bahaya erosi, ketersediaan air, retensi hara dan media perakaran.

85 Kelas S1 tidak ditemukan dari hasil pengolahan data persyaratan kesesuaian lada dengan kriteria masing-masing satuan lahan. Hal ini karena dibatasi oleh faktor ketersediaan air (w) dimana curah hujan yang dipersyaratkan tidak dapat dipenuhi oleh curah hujan Kabupaten Belitung yang berada pada kisaran (S2). Faktor ketersediaan air (curah hujan) ini agak sulit diubah, atau kalaupun bisa tentu menggunakan biaya yang besar. Kelas S2 mengisi sebagian besar area di Kabupaten Belitung. Sementara kelas S3 dan N mengisi luasan pada urutan ke 2 dan ke 3 dengan pertimbangan satuan lahan 29 dan 30 tidak tersedia datanya sehingga diabaikan. Sebaran kelas kesesuaian lahan aktual di masing-masing kecamatan tertera seperti Tabel 17. Tabel. 17 Sebaran kelas kesesuaian lahan aktual di tiap kecamatan No Kec Luas Kesesuaian Lahan Aktual (ha) S1 S2 S3 N Td (ha) Jumlah (ha) 1 Membalong Tanjungpandan Sijuk Badau Selat Nasik Jumlah Berdasarkan Tabel 17 sebaran kelas kesesuaian lahan aktual, diketahui bahwa lahan dengan kelas S2 paling dominan diantara kelas yang lain (S3 dan N). Lahan dengan kelas S2 memiliki luas ha atau sekitar 52,18%, yang tersebar di semua kecamatan. Kecamatan Membalong memiliki lahan dengan kelas S2 terluas yang mencapai ha. Lahan dengan kelas S2 juga banyak ditemukan di kecamatan Badau dengan luas ha. Urutan selanjutnya adalah Kecamatan Sijuk, Tanjungpandan dan Selat Nasik. (Gambar 10). Berbagai analisis spasial dalam penelitian ini menggunakan luas Kabupaten Belitung yaitu ha, atau lebih kecil dari luas Kabupaten Belitung menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung yaitu ha. Hal ini karena terkait skala peta (shape file) yang digunakan pada penelitian ini, sehingga beberapa pulau kecil tidak terdeteksi pada peta.

86 70 SELAT GASPAR KABUPATEN BELITUNG TIMUR Gambar 10. Peta kelas kesesuaian lahan aktual tanaman lada Luas lahan S3 aktual di Kabupaten Belitung mencapai ha atau 37,85%. Lahan kelas S3 ini juga tersebar atau menempati masing-masing kecamatan yang ada di Kabupaten Belitung. Lokasi terluas dari lahan kelas S3 juga berada di kecamatan Membalong. Lahan dengan kelas N (tidak sesuai) di Kabupaten Belitung mencapai ha atau sekitar 3,12%. Satuan lahan yang tidak diketahui (Td) seluas ha atau sekitar 6,85% yang masing-masing tersebar di kecamatan Membalong, Tanjungpandan, Sijuk dan Badau. Masing-masing kelas kesesuaian lahan aktual di Kabupaten Belitung untuk tanaman lada menempati kelas S2, S3 dan N. Masing-masing kelas tersebut dibatasi oleh faktor pembatas yang berbeda-beda. Beberapa faktor pembatas pada kelas S2 meliputi ketersediaan air (w), retensi hara (f) dan media perakaran (r). Ketersediaan air (w) dalam persyaratan lahan ini mengacu pada data curah hujan aktual dengan persyaratan kesesuaian lahan tanaman lada. Faktor pembatas retensi hara (f) meliputi KTK liat, kejenuhan basa dan ph. Faktor pembatas media perakaran (r) meliputi drainase dan kedalaman tanah.

87 71 Satuan lahan kelas S3 dibatasi oleh faktor-faktor yang hampir sama dengan faktor pembatas pada kelas S2. Faktor pembatas tambahan selain faktor pembatas yang ada di kelas S2 yaitu faktor erosi (e) yang sulit dilakukan perbaikan. Faktor erosi dapat dilakukan perbaikan dengan biaya yang relatif besar, sehingga kurang ekonomis. Kelas N dibatasi oleh faktor pembatasnya berupa lereng dan tentu terkait dengan bahaya erosi yang terlalu berat dan membahayakan. Penentuan wilayah yang berpotensi untuk perkebunan lada dilakukan dengan memadukan peta kesesuaian lahan aktual dengan peta penggunaan lahan eksisting. Peta penggunaan lahan eksisting dalam penelitian ini menggunakan peta penggunaan lahan eksisting tahun Kedua peta tematik tersebut dipadukan dengan menggunakan metode Sistem Informasi Geografis dalam hal ini menggunakan teknik overlay. Hasil akhir pemetaan wilayah yang berpotensi harus memperhatikan atau berada di luar dari peta perkebunan besar swasta, peta kawasan penambangan timah dan peta kawasan hutan. Kesesuaian lahan aktual untuk tanaman lada di Kabupaten Belitung yang dapat dimanfaatkan untuk perkebunan lada dalam penelitian ini adalah kelas lahan aktual S2 dan kelas lahan aktual S3. Hal ini didasari dengan persyaratan penggunaan/karakteristik lahan untuk tanaman lada. Kelas lahan N tidak menjadi rekomendasi mengingat karakteristik lahan yang tidak sesuai dengan persyaratan penggunaan lahan untuk tanaman lada. Penggunaan lahan eksisting Kabupaten Belitung yang dapat dimanfaatkan untuk perkebunan lada dalam penelitian ini adalah semak belukar, tanah terbuka, pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campuran. Hal ini didasari oleh kondisi dan informasi serta kebiasaan masyarakat/ petani di Kabupaten Belitung dalam membudidayakan lada. Penggunaan lahan di luar kawasan penggunaan tersebut tidak menjadi rekomendasi bagi pengembangan perkebunan lada. Luas wilayah yang berpotensi untuk tanaman lada berdasarkan perpaduan dari peta kesesuaian lahan aktual dan peta penggunaan lahan eksisting tahun 2009 dengan metode Sistem Informasi Geografis seperti tertera pada Tabel 18.

88 72 Tabel 18. Luas wilayah yang berpotensi untuk perkebunan lada No Kecamatan Luas wilayah potensi (ha) 1 Membalong Tanjungpandan Sijuk Badau Selat Nasik Jumlah Berdasarkan Tabel 18, Kabupaten Belitung memiliki luas wilayah yang berpotensi untuk perkebunan lada seluas ha. Kecamatan Membalong memiliki wilayah potensi terluas untuk tanaman lada dengan luas ha. Kecamatan Sijuk dan Badau berada diurutan kedua dan ketiga untuk kecamatan yang memiliki luas wilayah potensi tanaman lada dengan luas masing-masing ha dan ha. Kecamatan Tanjungpandan dan Sijuk memiliki luas wilayah potensi untuk tanaman lada dengan luas masing-masing ha dan ha. Wilayah yang berpotensi untuk tanaman lada dijabarkan secara spasial seperti Gambar 11. SELAT GASPAR Legenda Gambar 11. Peta wilayah yang berpotensi untuk perkebunan lada

89 73 Berdasarkan Gambar 11, wilayah yang berpotensi untuk perkebunan lada meliputi wilayah dengan kelas aktual S2 dan berada di pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campuran, semak belukar dan tanah terbuka. Wilayah lain yang juga berpotensi untuk tanaman lada adalah wilayah dengan kelas aktual S3 dan berada di pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campuran, semak belukar dan tanah terbuka. Sebaran wilayah potensi untuk tanaman lada tersebar di 5 (lima) kecamatan dengan kecamatan Membalong menjadi kecamatan yang memiliki wilayah potensi terluas untuk tanaman lada. 5.3 Analisis Margin Pemasaran Lada di Kabupaten Belitung Kabupaten Belitung merupakan salah satu sentra perkebunan lada di provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Luas areal perkebunan lada di Kabupaten Belitung akhir tahun 2011 mencapai 7.423,74 ha, dimana luas areal tanaman menghasilkan seluas 2.882,94 ha dengan jumlah produksi 5.765,88 Kg. Dengan jumlah produksi yang besar ini, maka rantai pemasaran memegang peranan penting dan berpengaruh pada pendapatan yang akan diterima petani. Berdasarkan data penelitian dan pengamatan lapang terhadap margin pemasaran yang dilakukan pada bulan Juli sampai Agustus di Kabupaten Belitung diketahui rantai pemasaran lada yang terjadi secara umum di kabupaten ini. Rantai pemasaran lada melibatkan beberapa tingkatan pemasaran dari petani sampai ke tingkat eksportir. Umumnya rantai pemasaran yang berlaku adalah petani, pedagang pengumpul I (atau biasa disebut pedagang kecamatan), pedagang pengumpul II (pedagang kabupaten) dan terakhir eksportir yang berlokasi di ibu kota provinsi. Mengingat Kabupaten Belitung hanya terdiri dari 5 (lima) kecamatan, maka pedagang pengumpul juga tidak terlalu banyak. Bahkan beberapa pedagang pengumpul di kecamatan Tanjungpandan melayani pembelian lada dari petani yang berdomisili di wilayah kecamatan yang bertetangga langsung dengan kecamatan Tanjungpandan yaitu kecamatan Membalong dan Badau. Jarak tempuh yang relatif tidak terlalu jauh dan sarana jalan yang baik, mendorong petani di wilayah kecamatan lain untuk langsung menjual ladanya di pedagang pengumpul yang ada di kecamatan Tanjungpandan.

90 74 Secara umum jalur pemasaran lada tidak terlalu panjang. Umumnya petani langsung menjual ke pedagang pengumpul 1 yang berada di kecamatan, dan dari pedagang pengumpul 1 dijual ke pedagang pengumpul 2 yang terletak di ibu kota kabupaten. Namun ada juga petani yang langsung menjual hasil panennya ke pedagang pengumpul II (di ibu kota kabupaten). Umumnya petani yang menjual langsung ke pedagang pengumpul II adalah petani yang memiliki lahan yang luas dan hasil panen yang lumayan besar. Secara umum jalur pemasaran lada di Kabupaten Belitung disajikan seperti Gambar 12. Rantai pemasaran 1 Rantai pemasaran 2 Gambar 12. Rantai pemasaran lada Berdasarkan Gambar 12 dapat diketahui bahwa secara umum jalur pemasaran lada di Kabupaten Belitung ada 2 (dua) rantai pemasaran. Rantai pemasaran 1 dengan rantai pemasaran yang dimulai dari petani yang menjual ke pedagang pengumpul I, kemudian pedagang pengumpul I menjual ke pedagang pengumpul II untuk selanjutnya menjual ke eksportir. Rantai pemasaran 2 pada dasarnya lebih pendek dari rantai pemasaran 1, karena pada rantai pemasaran 2 ini petani langsung menjual ke pedagang pengumpul II dan pedagang pengumpul II menjual ke eksportir. Dengan adanya 2 (dua) rantai pemasaran seperti Gambar 12, maka margin pemasaran yang terjadi juga berbeda. Margin pemasaran pada rantai pemasaran 2

91 75 relatif lebih rendah dari rantai pemasaran 1. Secara lebih rinci margin pemasaran dan akumulasi biaya di tiap tingkatan pemasaran diuraikan pada Tabel 19. Tabel 19. Margin pemasaran dan akumulasi biaya di tiap tingkatan pemasaran Rantai Rantai No Pelaku Pasar Pemasaran 1 Pemasaran 2 Persentase Persentase Nilai (Rp) Nilai (Rp) (%) (%) 1 Petani a. Biaya-biaya 800 0,94 b. Harga Jual , ,35 2 Pedagang Pengumpul I a. Harga Beli , b. Biaya-biaya ,76 (transport, upah buruh, susut) c. Keuntungan , d. Harga Jual ,53 3 Pedagang Pengumpul II a. Harga Beli , ,35 b. Biaya-biaya , ,53 (transport, upah buruh, sortasi,susut) c. Keuntungan , ,88 d. Harga Jual , ,76 4 Eksportir a. Harga Beli , ,76 b. Biaya-biaya , ,94 Transportasi, upah buru, susut, sortasi dan lain-lain c. Keuntungan , ,29 d. Harga Jual , ,00 Berdasarkan Tabel 19, dapat diketahui bahwa pada rantai pemasaran 1, harga jual yang diterima petani adalah Rp ,- atau sekitar 78,82% dari harga jual yang berlaku di tingkat eksportir. Pada rantai pemasaran 1, harga jual yang diterima petani sebesar Rp atau sekitar 82,35%. Nilai harga jual yang diterima petani pada rantai pemasaran 2 lebih besar mengingat rantai pemasaran 2

92 76 juga memiliki alur pemasaran yang lebih efisien tanpa harus melalui pedagang pengumpul I. Dari segi biaya, pada rantai pemasaran 1 akumulasi biaya yang terjadi sebesar Rp.7.000,- atau 8,23%, sedangkan pada rantai pemasaran 2 total biaya yang dibutuhkan adalah Rp.6.300,- atau sekitar 7,41%. Jumlah keuntungan pada rantai pemasaran 1 Rp ,- sementara pada rantai pemasaran 2 akumulasi keuntungan seluruh pedagang yang terlibat hanya Rp.9.500,-. Berdasarkan Tabel 19 juga terlihat bahwa pada rantai pemasaran 1, biaya yang paling besar dikeluarkan oleh pedagang pengumpul II. Hal ini karena pada pedagang pengumpul II banyak biaya yang harus dikeluarkan seperti biaya karung, pengeringan, sortasi dan angkut serta biaya susut. Hal ini karena kualitas lada yang dibeli dari petani masih ada yang belum memenuhi persyaratan, disamping karena terjadinya perbedaan waktu antara pembelian dan penjualan. Tabel 20 menyajikan harga yang diterima petani dan margin pemasaran terhadap harga jual eksportir yang terjadi dari masing-masing rantai pemasaran lada di Kabupaten Belitung. Tabel 20. Harga yang diterima petani dan margin pemasaran terhadap harga jual eksportir No Jenis Analisis Jalur Pemasaran Harga lada/kg (Rp) 1 Bagian harga yang Rantai pemasaran diterima petani (Petani - PP I - PP II - Eksportir) (78,82 %) terhadap harga jual eksportir Rantai pemasaran (Petani - PPII - Eksportir) (82,35%) 2 Margin pemasaran Rantai pemasaran antara harga yang (Petani - PP I - PP II - Eksportir) (21,18%) diterima petani terhadap harga jual Rantai pemasaran eksportir (Petani - PPII - Eksportir) (17,65%) 3 Harga Jual Eksportir Berdasarkan Tabel 20 dapat diketahui bahwa pada rantai pemasaran 2, bagian yang diterima petani lebih besar yaitu Rp ,- dibandingkan dengan bagian yang diterima petani pada rantai pemasaran 1 sejumlah Rp ,-.

93 77 Kondisi ini juga terkait dengan perbedaan margin pemasaran dari kedua rantai pemasaran tersebut. Margin pemasaran pada rantai pemasaran 1 sejumlah Rp ,- atau sekitar 21,18 % sementara pada rantai pemasaran 2 margin pemasaran hanya Rp atau 17,65 %. Dengan menganalisis kedua rantai pemasaran seperti Tabel 19, maka efisiensi rantai pemasaran akan terkait langsung dengan bagian harga yang diterima petani, walaupun secara umum bagian yang diterima petani sudah cukup baik. Beberapa hal yang harus diperhatikan terkait analisis pemasaran lada di Kabupaten Belitung adalah posisi tawar petani, dimana selama ini petani hanya sebagai penerima harga. Hal yang dapat dilakukan dengan memperkuat kelembagaan tani khususnya kelompok tani lada. Hal lain yang sangat penting adalah informasi pasar yang cepat diterima oleh petani, karena harga lada yang cukup fluktuatif sehingga petani senantiasa mendapat info harga terbaru dan dapat membaca kecenderungan harga yang akan terjadi. 5.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan Lada Perencanaan pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung harus memperhatikan berbagai hal yang terkait dan berpengaruh dengan perkebunan lada tersebut. Pengenalan dan analisis terkait hal-hal atau faktor yang dianggap mempengaruhi pengembangan perkebunan lada harus diketahui. Hal ini penting ketika dihadapkan pada keterbatasan waktu dan biaya dalam prioritas kegiatan dan kebijakan terkait pengembangan wilayah. Penelitian ini ingin mengetahui faktor-faktor apa yang dianggap mempengaruhi pengembangan perkebunan lada. Untuk mencapai hal tersebut, maka dilakukan penggalian persepsi terhadap stakeholders yang terkait dengan upaya pengembangan perkebunan lada. Dalam penelitian ini ditentukan 10 orang responden yang expert atau dianggap menguasai hal-hal yang terkait dengan pengembangan lada. Responden tersebut mewakili berbagai instansi atau lembaga meliputi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda Kab. Belitung), Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Penanaman Modal, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Badan Pengelolaan, Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L), Perwakilan Akademisi, DPRD Kab. Belitung, Perwakilan Penyuluh

94 78 Pertanian, Perwakilan Tokoh Masyarakat, Badan Penyuluhan Pertanian, dan Petani lada. Berbagai faktor faktor yang akan ditanggapi oleh para expert dalam kuesioner Analytical Hierarchy Process merupakan hasil penelitian pendahuluan yang merangkum berbagai referensi dan penjaringan berbagai persepsi stakeholders yang terlibat dengan budidaya lada dan pembuat kebijakan pembangunan wilayah. Kemudian faktor-faktor tersebut dilakukan penilaian dalam bentuk perbandingan berpasangan (pairwise comparison). Berikut ini diulas persepsi dari masing-masing responden dan persepsi keseluruhan responden terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung Persepsi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Berdasarkan persepsi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Belitung, faktor yang paling berpengaruh dalam pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung dengan nilai Consistency Ratio (CR) 0,08 secara berurutan adalah teknologi (0,467), sumberdaya manusia (SDM) (0,278), lahan (0,129), modal (0,084) dan pasar (0,042). Pembobotan yang berada di atas rata-rata (0,2) adalah teknologi dan sumberdaya manusia (SDM). Artinya berdasarkan persepsi anggota DPRD Kabupaten Belitung, teknologi dan SDM merupakan faktor dominan yang sangat penting pengaruhnya dalam upaya pengembangan perkebunan lada. Sumberdaya manusia berpengaruh dalam pengembangan perkebunan lada. Sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas mampu menerapkan pola budidaya lada yang lebih intensif dengan penerapan teknologi budidaya yang baik. Kemajuan SDM juga akan berpengaruh pada pola pikir untuk maju dan terus berkembang serta memahami akan pentingnya kelestarian lingkungan dalam usaha budidaya lada tersebut. Disamping itu, sinkronisasi teknologi dan SDM memiliki peran penting dalam pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung.

95 79 0,129 0,278 0,084 0,042 0,467 Teknologi Modal Pasar SDM Lahan Gambar 13. Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dari berbagai faktor-faktor utama yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada, maka selanjutnya dicari urutan kriteria prioritas dari masingmasing faktor utama tersebut. Berikut ini diuraikan urutan prioritas dari masingmasing kriteria dari setiap faktor seperti pada Gambar 14. Konversi Lahan Harga Lahan Kesesuaian Lahan 0,069 0,25 0,681 Modal Pribadi Pinjaman Dana Pemerintah Sistem Ijon 0,063 0,265 0,672 Kelayakan dan Kestabilan harga Penyerapan Produk Efisiensi Rantai Pemasaran Keterampilan Teknis Budidaya Etos Kerja Ketersediaan Tenaga Kerja 0,167 0,094 0,091 0,151 0,74 0,758 Teknologi Budidaya Teknologi Pasca Panen Teknologi Pengolahan 0,072 0,279 0, ,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 Gambar 14. Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

96 80 Berdasarkan Gambar 14 dapat diketahui bahwa masing-masing faktor utama yang berpengaruh pada pengembangan perkebunan lada memiliki berbagai kriteria yang terkait dengan faktor tersebut. Kriteria dari faktor lahan yang utama untuk diperhatikan adalah konversi lahan. Kriteria dari faktor modal yang paling penting adalah pinjaman dana pemerintah. Kriteria dari pasar menurut anggota DPRD yang paling penting adalah kelayakan dan kestabilan harga. Sementara etos kerja dan teknologi pengolahan adalah kriteria yang paling penting untuk diperhatikan dari faktor sumberdaya manusia (SDM) dan teknologi Persepsi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) memiliki persepsi bahwa faktor yang paling berpengaruh dalam pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung dengan nilai Consistency Ratio (CR) 0,08 secara berurutan adalah sumberdaya manusia (SDM) (0,549), lahan (0,26), modal (0,078), teknologi (0,076) dan pasar (0,037) (Gambar 15). Pembobotan yang berada di atas rata-rata (0,2) adalah sumberdaya manusia (SDM) dan lahan. Artinya persepsi dari Bappeda Kabupaten Belitung menganggap sumberdaya manusia (SDM) harus menjadi perhatian dan penting dalam upaya pengembangan perkebunan lada. Disamping itu, lahan harus menjadi fokus perhatian juga terkait dengan maraknya konversi lahan perkebunan menjadi lahan penambangan. 0,076 0,078 0,26 0,037 Teknologi Modal Pasar SDM 0,549 Lahan Gambar 15. Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

97 81 Dari berbagai faktor-faktor utama yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada, maka selanjutnya dicari urutan kriteria prioritas dari masingmasing faktor utama tersebut. Berikut ini diuraikan urutan prioritas dari masingmasing kriteria dari setiap faktor seperti pada Gambar 16. Konversi Lahan Harga Lahan Kesesuaian Lahan 0,088 0,243 0,669 Modal Pribadi Pinjaman Dana Pemerintah Sistem Ijon 0,063 0,265 0,672 Kelayakan dan Kestabilan harga Penyerapan Produk Efisiensi Rantai Pemasaran 0,063 0,265 0,672 Keterampilan Teknis Budidaya Etos Kerja Ketersediaan Tenaga Kerja 0,103 0,216 0,682 Teknologi Budidaya Teknologi Pasca Panen Teknologi Pengolahan 0,079 0,263 0, ,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 Gambar 16. Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Berdasarkan Gambar 16 dapat diketahui bahwa masing-masing faktor utama yang berpengaruh pada pengembangan perkebunan lada memiliki masingmasing kriteria yang terkait dengan faktor tersebut. Menurut Bappeda Kabupaten Belitung, kriteria dari faktor lahan yang utama untuk diperhatikan adalah konversi lahan. Kriteria dari faktor modal yang paling penting adalah modal pribadi. Kriteria dari pasar menurut Bappeda yang paling penting adalah efisiensi rantai pemasaran. Sementara etos kerja dan teknologi pengolahan adalah kriteria yang paling penting untuk diperhatikan dari faktor SDM dan teknologi.

98 Persepsi Dinas Pertanian dan Kehutanan Dinas pertanian dan kehutanan Kabupaten Belitung memiliki persepsi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan lada di masa mendatang. Menurut Dinas Pertanian dan Kehutanan bahwa faktor yang paling berpengaruh dalam pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung dengan nilai Consistency Ratio (CR) 0,09 secara berurutan adalah lahan (0,563), sumberdaya manusia (SDM) (0,266), modal (0,081), teknologi (0,054) dan pasar (0,037) (Gambar 17). Pembobotan yang berada di atas rata-rata (0,2) adalah lahan dan sumberdaya manusia (SDM). Artinya Dinas Pertanian dan Kehutanan menganggap ketersediaan lahan atau kelangkaan lahan akan berpengaruh pada upaya pengembangan perkebunan lada kedepan. Namun pengembangan lada ini juga harus didukung dengan kualitas sumberdaya manusia baik di kalangan petani maupun stakeholders lainnya. 0,054 0,563 0,081 0,037 0,266 Teknologi Modal Pasar SDM Lahan Gambar 17. Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi Dinas Pertanian dan Kehutanan Dari berbagai faktor-faktor utama yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada, maka selanjutnya dicari urutan kriteria prioritas dari masingmasing faktor utama tersebut. Kriteria prioritas dari tiap-tiap faktor menunjukkan kriteria yang paling berpengaruh dari masing-masing faktor tersebut. Berikut ini diuraikan urutan prioritas dari masing-masing kriteria dari setiap faktor seperti pada Gambar 18.

99 83 Konversi Lahan Harga Lahan Kesesuaian Lahan 0,072 0,279 0,649 Modal Pribadi Pinjaman Dana Pemerintah Sistem Ijon 0,072 0,279 0,649 Kelayakan dan Kestabilan harga Penyerapan Produk Efisiensi Rantai Pemasaran 0,188 0,081 0,731 Keterampilan Teknis Budidaya Etos Kerja Ketersediaan Tenaga Kerja 0,07 0,178 0,751 Teknologi Budidaya Teknologi Pasca Panen Teknologi Pengolahan 0,075 0,333 0, ,2 0,4 0,6 0,8 Gambar 18. Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi Dinas Pertanian dan Kehutanan Berdasarkan Gambar 18 dapat diketahui bahwa dinas pertanian dan kehutanan memandang konversi lahan menjadi kriteria yang penting diperhatikan terkait faktor lahan. Kriteria dari faktor modal yang paling penting adalah ketersediaan modal pribadi. Kriteria dari pasar yang paling penting adalah kelayakan dan kestabilan harga. Sementara etos kerja dan teknologi pasca panen adalah kriteria yang paling penting untuk diperhatikan dari faktor SDM dan teknologi Persepsi Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Penanaman Modal Berdasarkan data olahan hasil kuesioner AHP, diketahui persepsi dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Penanaman Modal Kabupaten Belitung memandang faktor yang paling berpengaruh dalam pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung dengan nilai Consistency Ratio (CR) 0,08 secara

100 84 berurutan adalah pasar (0,519), lahan (0,257), teknologi (0,143), sumberdaya manusia (SDM) (0,048) dan modal (0,034) (Gambar 19). Pembobotan yang berada di atas rata-rata (0,2) adalah pasar dan lahan. Artinya persepsi Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Penanaman Modal Kabupaten Belitung menganggap pasar merupakan faktor yang paling penting untuk memacu minat petani dalam pengembangan perkebunan lada, namun tidak melupakan arti penting lahan sebagai syarat utama perluasan areal perkebunan lada. 0,048 0,143 0,034 0,257 Teknologi Modal Pasar SDM Lahan 0,519 Gambar 19. Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Penanaman Modal Dari berbagai faktor-faktor utama yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada, maka selanjutnya dicari urutan kriteria prioritas dari masingmasing faktor utama tersebut. Kriteria prioritas dari tiap-tiap faktor menunjukkan kriteria yang paling berpengaruh dari masing-masing faktor tersebut. Bobot dari masing-masing kriteria ditentukan dengan perbandingan berpasangan (pairwise comparison). Berikut ini diuraikan urutan prioritas dari masing-masing kriteria dari setiap faktor seperti pada Gambar 20.

101 85 Konversi Lahan Harga Lahan Kesesuaian Lahan Modal Pribadi Pinjaman Dana Pemerintah Sistem Ijon 0,075 0,183 0,199 0,068 0,742 0,733 Kelayakan dan Kestabilan harga Penyerapan Produk Efisiensi Rantai Pemasaran 0,057 0,346 0,597 Keterampilan Teknis Budidaya Etos Kerja Ketersediaan Tenaga Kerja 0,062 0,285 0,653 Teknologi Budidaya Teknologi Pasca Panen Teknologi Pengolahan 0,186 0,127 0, ,2 0,4 0,6 0,8 Gambar 20. Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Penanaman Modal Berdasarkan Gambar 20, Dinas Perindagkop dan Penanaman Modal berpendapat bahwa kesesuaian lahan menjadi kriteria penting dari faktor lahan. Kriteria dari faktor modal yang paling penting adalah ketersediaan modal pribadi. Kriteria dari pasar yang paling penting adalah kelayakan dan kestabilan harga. Sementara ketersediaan tenaga kerja dan teknologi budidaya adalah kriteria yang paling penting untuk diperhatikan dari faktor sumberdaya manusia dan teknologi Persepsi Badan Pengelolaan, Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) Berdasarkan persepsi Badan Pengelolaan, Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, faktor yang paling berpengaruh dalam pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung secara berurutan adalah sumberdaya manusia (SDM) (0,563), lahan (0,225), modal (0,11), pasar (0,054) dan teknologi (0,047) (Gambar 21). Pembobotan yang berada di atas rata-rata (0,2) adalah sumberdaya manusia (SDM) dan lahan. Artinya Badan Pengelolaan, Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) menganggap SDM dan lahan merupakan faktor dominan yang sangat penting dalam upaya pengembangan perkebunan lada.

102 86 0,047 0,11 0,225 Teknologi 0,054 Modal Pasar SDM Lahan 0,563 Gambar 21. Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi BP3L Dari berbagai faktor-faktor utama yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada, maka selanjutnya dicari urutan kriteria prioritas dari masingmasing faktor utama tersebut. Berikut ini diuraikan urutan prioritas dari masingmasing kriteria dari setiap faktor seperti pada Gambar 22. Konversi Lahan Harga Lahan Kesesuaian Lahan 0,167 0,094 0,74 Modal Pribadi Pinjaman Dana Pemerintah Sistem Ijon 0,055 0,29 0,655 Kelayakan dan Kestabilan harga Penyerapan Produk Efisiensi Rantai Pemasaran 0,063 0,265 0,672 Keterampilan Teknis Budidaya Etos Kerja Ketersediaan Tenaga Kerja 0,188 0,081 0,731 Teknologi Budidaya Teknologi Pasca Panen Teknologi Pengolahan 0,21 0,24 0,55 0 0,2 0,4 0,6 0,8 Gambar 22. Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi BP3L

103 87 Berdasarkan Gambar 22 dapat diketahui bahwa Badan Pengelolaan, Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) memandang kriteria dari faktor lahan yang utama untuk diperhatikan adalah konversi lahan. Kriteria dari faktor modal yang paling penting adalah ketersediaan modal pribadi. Kriteria dari pasar menurut BP3L yang paling penting adalah kelayakan dan kestabilan harga. Sementara keterampilan teknis budidaya dan teknologi pasca panen adalah kriteria yang paling penting untuk diperhatikan dari faktor SDM dan teknologi Persepsi Balai Penyuluhan Pertanian Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kabupaten Belitung, memiliki persepsi terkait faktor-faktor utama dalam pengembangan perkebunan lada. Berdasarkan data olahan hasil kuesioner, BPP berpendapat faktor yang paling berpengaruh dalam pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung dengan nilai Consistency Ratio (CR) 0,07 secara berurutan adalah lahan (0,57), pasar (0,184), teknologi (0,144), sumberdaya manusia (SDM) (0,056) dan modal (0,045) (Gambar 23). Pembobotan yang berada di atas rata-rata (0,2) adalah faktor lahan. Artinya BPP memandang keberadaan lahan sangat penting dan besar pengaruhnya dalam perencanaan pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. 0,57 0,144 0,184 0,045 Teknologi Modal Pasar SDM Lahan 0,056 Gambar 23. Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi Balai Penyuluhan Pertanian

104 88 Dari berbagai faktor-faktor utama yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada, maka selanjutnya dicari urutan kriteria prioritas dari masingmasing faktor utama tersebut. Berikut ini diuraikan urutan prioritas dari masingmasing kriteria dari setiap faktor seperti pada Gambar 24. Konversi Lahan Harga Lahan Kesesuaian Lahan 0,072 0,279 0,649 Modal Pribadi Pinjaman Dana Pemerintah Sistem Ijon 0,063 0,265 0,672 Kelayakan dan Kestabilan harga Penyerapan Produk Efisiensi Rantai Pemasaran Keterampilan Teknis Budidaya Etos Kerja Ketersediaan Tenaga Kerja 0,088 0,195 0,094 0,167 0,717 0,74 Teknologi Budidaya Teknologi Pasca Panen Teknologi Pengolahan 0,109 0,309 0, ,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 Gambar 24. Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi Balai Penyuluhan Pertanian Berdasarkan Gambar 24 dapat diketahui bahwa masing-masing faktor utama yang berpengaruh pada pengembangan perkebunan lada memiliki masingmasing kriteria yang terkait dengan faktor tersebut. Kriteria dari faktor lahan yang utama untuk diperhatikan adalah konversi lahan. Kriteria dari faktor modal yang paling penting adalah ketersediaan modal pribadi. Kriteria dari pasar menurut BPP yang paling penting adalah kelayakan dan kestabilan harga. Sementara keterampilan teknis budidaya dan teknologi pasca panen adalah kriteria yang paling penting untuk diperhatikan dari faktor SDM dan teknologi.

105 Persepsi Akademisi Persepsi akademisi dalam penelitian ini diwakili oleh dosen Universitas Bangka Belitung (UBB). Berdasarkan hasil pengolahan data kuesioner, akademisi berpandangan bahwa faktor yang paling berpengaruh dalam pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung dengan nilai Consistency Ratio (CR) 0,09 secara berurutan adalah lahan (0,495), teknologi (0,3), sumberdaya manusia (SDM) (0,112), pasar (0,058) dan modal (0,035) (Gambar 25). Pembobotan yang berada di atas rata-rata (0,2) adalah lahan dan teknologi. Artinya persepsi akademisi menganggap posisi lahan baik ketersediaan atau kelangkaan akan mempengaruhi upaya pengembangan perkebunan lada. Selain lahan, faktor penting lainnya adalah kualitas SDM yang sangat dibutuhkan dalam pengelolaan dan pengembangan lada di masa yang akan datang. 0,495 0,3 0,035 Teknologi Modal Pasar SDM Lahan 0,112 0,058 Gambar 25. Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi akademisi Dari berbagai faktor-faktor utama yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada, maka selanjutnya dicari urutan kriteria prioritas dari masingmasing faktor utama tersebut. Berikut ini diuraikan urutan prioritas dari masingmasing kriteria dari setiap faktor seperti pada Gambar 26.

106 90 Konversi Lahan Harga Lahan Kesesuaian Lahan 0,063 0,265 0,672 Modal Pribadi Pinjaman Dana Pemerintah Sistem Ijon 0,057 0,346 0,597 Kelayakan dan Kestabilan harga Penyerapan Produk Efisiensi Rantai Pemasaran 0,078 0,287 0,635 Keterampilan Teknis Budidaya Etos Kerja Ketersediaan Tenaga Kerja 0,072 0,279 0,649 Teknologi Budidaya Teknologi Pasca Panen Teknologi Pengolahan 0,075 0,333 0, ,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 Gambar 26. Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi akademisi Berdasarkan Gambar 26 dapat diketahui akademisi berpendapat bahwa masing-masing faktor utama yang berpengaruh pada pengembangan perkebunan lada memiliki kriteria masing-masing yang terkait dengan faktor tersebut. Kriteria dari faktor lahan yang utama untuk diperhatikan adalah konversi lahan. Kriteria dari faktor modal yang paling penting adalah ketersediaan modal pribadi. Kriteria dari pasar menurut akademisi yang paling penting adalah kelayakan dan kestabilan harga. Sementara keterampilan teknis budidaya dan teknologi pengolahan adalah kriteria yang paling penting untuk diperhatikan dari faktor SDM dan teknologi.

107 Persepsi Tokoh Masyarakat Tokoh masyarakat yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah tokoh masyarakat yang memahami kondisi pertanian lada di Belitung. Berdasarkan persepsi tokoh masyarakat, diketahui bahwa faktor yang paling berpengaruh dalam pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung dengan nilai Consistency Ratio (CR) 0,04 secara berurutan adalah sumberdaya manusia (SDM) (0,462), lahan (0,325), pasar (0,113), modal (0,054) dan teknologi (0,047) (Gambar 27). Pembobotan yang berada di atas rata-rata (0,2) adalah SDM dan lahan. Artinya persepsi tokoh masyarakat menganggap SDM dan lahan merupakan faktor dominan yang sangat penting dalam upaya pengembangan perkebunan lada. 0,047 0,054 0,325 0,462 0,113 Teknologi Modal Pasar SDM Lahan Gambar 27. Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi tokoh masyarakat Dari berbagai faktor-faktor utama yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada, maka selanjutnya dicari urutan kriteria prioritas dari masingmasing faktor utama tersebut. Kriteria prioritas dari tiap-tiap faktor menunjukkan kriteria yang paling berpengaruh dari masing-masing faktor tersebut Berikut ini diuraikan urutan prioritas dari masing-masing kriteria dari setiap faktor seperti pada Gambar 28.

108 92 Konversi Lahan Harga Lahan Kesesuaian Lahan 0,063 0,265 0,672 Modal Pribadi Pinjaman Dana Pemerintah Sistem Ijon 0,055 0,29 0,655 Kelayakan dan Kestabilan harga Penyerapan Produk Efisiensi Rantai Pemasaran 0,121 0,115 0,764 Keterampilan Teknis Budidaya Etos Kerja Ketersediaan Tenaga Kerja Teknologi Budidaya Teknologi Pasca Panen Teknologi Pengolahan 0,149 0,066 0,081 0,188 0,785 0, ,2 0,4 0,6 0,8 1 Gambar 28. Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi tokoh masyarakat Tokoh masyarakat memiliki persepsi bahwa kriteria dari faktor lahan yang utama untuk diperhatikan adalah konversi lahan. Kriteria dari faktor modal paling penting adalah pinjaman dana pemerintah. Kriteria dari pasar yang paling penting adalah kelayakan dan kestabilan harga. Sementara keterampilan teknis budidaya dan teknologi pasca panen adalah kriteria yang paling penting untuk diperhatikan dari faktor SDM dan teknologi Persepsi Penyuluh Pertanian Berdasarkan hasil pengolahan data kuesioner terhadap persepsi penyuluh pertanian, diketahui faktor yang paling berpengaruh dalam pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung menurut penyuluh pertanian secara berurutan adalah lahan (0,483), teknologi (0,325), sumberdaya manusia (SDM) (0,114), modal (0,041) dan pasar (0,037) (Gambar 29). Pembobotan yang berada di atas rata-rata (0,2) adalah lahan dan teknologi. Artinya penyuluh pertanian menganggap lahan dan teknologi merupakan faktor dominan yang sangat penting dan berpengaruh dalam upaya pengembangan perkebunan lada.

109 93 0,483 0,325 Teknologi Modal Pasar SDM 0,114 0,041 0,037 Lahan Gambar 29. Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi penyuluh pertanian Dari berbagai faktor-faktor utama yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada, maka selanjutnya dicari urutan kriteria prioritas dari masingmasing faktor utama tersebut. Berikut ini diuraikan urutan prioritas dari masingmasing kriteria dari setiap faktor seperti pada Gambar 30. Konversi Lahan Harga Lahan Kesesuaian Lahan 0,058 0,278 0,663 Modal Pribadi Pinjaman Dana Pemerintah Sistem Ijon 0,063 0,265 0,672 Kelayakan dan Kestabilan harga Penyerapan Produk Efisiensi Rantai Pemasaran 0,063 0,265 0,672 Keterampilan Teknis Budidaya Etos Kerja Ketersediaan Tenaga Kerja Teknologi Budidaya Teknologi Pasca Panen Teknologi Pengolahan 0,194 0,063 0,2 0,117 0,743 0, ,2 0,4 0,6 0,8 Gambar 30. Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi penyuluh pertanian

110 94 Berdasarkan Gambar 30 dapat diketahui bahwa masing-masing faktor utama yang berpengaruh pada pengembangan perkebunan lada memiliki masingmasing kriteria yang terkait dengan faktor tersebut. Menurut pandangan penyuluh pertanian, kriteria dari faktor lahan yang utama untuk diperhatikan adalah konversi lahan. Kriteria dari faktor modal yang paling penting adalah ketersediaan modal pribadi. Kriteria dari pasar menurut penyuluh pertanian yang paling penting adalah kelayakan dan kestabilan harga. Sementara keterampilan teknis budidaya dan teknologi budidaya adalah kriteria yang paling penting untuk diperhatikan dari faktor SDM dan teknologi Persepsi Petani Petani yang menjadi responden dalam analisis AHP ini adalah petani lada yang sekaligus merupakan ketua kelompok tani. Berdasarkan hasil pengolahan data kuesioner yang diberikan, faktor yang paling berpengaruh dalam pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung menurut petani dengan nilai Consistency Ratio (CR) 0,07 secara berurutan adalah lahan (0,507), pasar (0,302), sumberdaya manusia (SDM) (0,103), modal (0,052) dan teknologi (0,036) (Gambar 31). Pembobotan yang berada di atas rata-rata (0,2) adalah lahan dan pasar. Artinya petani merasakan semakin pentingnya keberadaan lahan untuk perkebunan lada. Disamping itu, petani menginginkan adanya jaminan pasar agar produk yang dihasilkan dapat terserap pasar dengan harga yang menguntungkan. 0,036 0,052 0,507 0,103 0,302 Teknologi Modal Pasar SDM Lahan Gambar 31. Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi petani

111 95 Dari berbagai faktor-faktor utama yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada, maka selanjutnya dicari urutan kriteria prioritas dari masingmasing faktor utama tersebut. Berikut ini diuraikan urutan prioritas dari masingmasing kriteria dari setiap faktor seperti pada Gambar 32. Konversi Lahan Harga Lahan Kesesuaian Lahan 0,162 0,068 0,77 Modal Pribadi Pinjaman Dana Pemerintah Sistem Ijon 0,085 0,271 0,644 Kelayakan dan Kestabilan harga Penyerapan Produk Efisiensi Rantai Pemasaran 0,088 0,243 0,669 Keterampilan Teknis Budidaya Etos Kerja Ketersediaan Tenaga Kerja 0,193 0,106 0,701 Teknologi Budidaya Teknologi Pasca Panen Teknologi Pengolahan 0,094 0,28 0, ,2 0,4 0,6 0,8 1 Gambar 32. Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi petani Berdasarkan Gambar 32 dapat diketahui bahwa masing-masing faktor utama yang berpengaruh pada pengembangan perkebunan lada memiliki masingmasing kriteria yang terkait dengan faktor tersebut. Menurut petani, kriteria dari faktor lahan yang utama untuk diperhatikan adalah kesesuaian lahan. Kriteria dari faktor modal yang paling penting adalah pinjaman dana pemerintah. Kriteria dari pasar menurut petani yang paling penting adalah kelayakan dan kestabilan harga. Sementara keterampilan teknis budidaya dan teknologi pasca panen adalah kriteria yang paling penting untuk diperhatikan dari faktor SDM dan teknologi.

112 Persepsi Seluruh Stakeholders Persepsi seluruh stakeholders merupakan persepsi dari berbagai pendapat responden yang diolah dengan mencari nilai rata-rata geometrik sehingga menjadi persepsi bersama dengan bobot nilai yang baru untuk setiap faktor. Berdasarkan persepsi seluruh stakeholders, faktor yang paling berpengaruh dalam pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung dengan nilai Consistency Ratio (CR) 0,0065 secara berurutan adalah lahan (0,4391), sumberdaya manusia (SDM) (0,2297), teknologi (0,1453), pasar (0,1107) dan modal (0,0751) (Gambar 33). Lahan menjadi faktor yang paling mempengaruhi pengembangan perkebunan lada. Faktor lain yang berpengaruh secara berurutan berdasarkan tingkat pengaruhnya adalah sumberdaya manusia (SDM), teknologi, pasar dan modal.. 0,4391 0,1453 0,0751 0,1107 0,2297 Teknologi Modal Pasar SDM Lahan Gambar 33. Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi seluruh stakeholders Keberadaan dan kondisi lahan mempunyai dampak besar dalam pengembangan perkebunan lada. Luasan lahan yang semakin berkurang dengan terjadinya konversi lahan akan menjadi ancaman bagi eksistensinya perkebunan lada di Belitung. Faktor kedua yang juga berpengaruh besar adalah sumberdaya manusia (SDM). Kualitas SDM yang baik sangat dibutuhkan dalam mengantisipasi dan mencarikan solusi di tengah makin terbatasnya lahan. Perkebunan lada yang bersifat intensif dalam lahan yang terbatas, diharapkan mampu meningkatkan produksi lada. Faktor ketiga yang menjadi prioritas adalah teknologi. Keberadaan teknologi baik sisi budidaya, pasca panen maupun

113 97 pengolahan akan berperan penting dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas lada yang diproduksi. Pasar menjadi faktor selanjutnya yang penting dalam upaya pengembangan perkebunan lada. Jaminan pasar sangat dibutuhkan untuk meyakinkan petani agar tertarik mengusahakan perkebunan lada. Stabilitas dan kelayakan harga serta daya serap pasar harus diperhatikan agar petani yang mengusahakan lada dapat memperoleh keuntungan yang layak. Faktor terakhir yang juga tidak boleh diabaikan yaitu modal. Ketersediaan modal pribadi dari petani lada akan mengurangi ketergantungan pada pinjaman dana pemerintah. Namun keberadaan pinjaman dana pemerintah juga tetap dibutuhkan dengan didukung pengelolaan yang baik sehingga pinjaman dana tersebut dapat bergulir dari satu petani ke petani lainnya yang membutuhkan. Dari berbagai faktor-faktor utama yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada, maka selanjutnya dicari urutan kriteria prioritas dari masing-masing faktor utama tersebut. Berikut ini diuraikan urutan prioritas dari masing-masing kriteria dari setiap faktor seperti pada Gambar 34. Konversi Lahan Harga Lahan Kesesuaian Lahan 0,0977 0,3482 0,5541 Modal Pribadi Pinjaman Dana Pemerintah Sistem Ijon Kelayakan dan Kestabilan harga Penyerapan Produk Efisiensi Rantai Pemasaran 0,069 0,1116 0,2049 0,5503 0,3807 0,6836 Keterampilan Teknis Budidaya Etos Kerja Ketersediaan Tenaga Kerja 0,3178 0,1509 0,5313 Teknologi Budidaya Teknologi Pasca Panen Teknologi Pengolahan 0,1861 0,48 0, ,2 0,4 0,6 0,8 Gambar 34. Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi seluruh stakeholders

114 98 Berdasarkan Gambar 34 dapat diketahui bahwa masing-masing faktor utama yang berpengaruh pada pengembangan perkebunan lada memiliki masingmasing kriteria yang terkait dengan faktor tersebut. Menurut persepsi semua stakeholders, kriteria dari faktor lahan yang utama untuk diperhatikan adalah konversi lahan. Konversi lahan dianggap penting karena akan menyebabkan semakin berkurangnya lahan yang dapat dimanfaatkan untuk perkebunan lada. Kriteria dari faktor modal yang paling penting adalah ketersediaan modal pribadi. Artinya stakeholders berharap agar petani mampu mengurangi ketergantungan dengan pemerintah dan bisa berusaha tani secara mandiri. Kriteria dari pasar menurut pandangan stakeholders yang paling penting adalah kelayakan dan kestabilan harga. Harga jual lada yang fluktuatif sering membuat petani kurang yakin untuk mengusahakan perkebunan lada. Dari sisi SDM, kriteria keterampilan teknis budidaya menjadi kriteria utama. Hal ini karena keterampilan teknis budidaya dianggap mampu mengelola perkebunan lada secara intensif guna meningkatkan produksi ditengah kondisi lahan yang semakin terbatas. Teknologi pasca panen dianggap oleh stakeholders menjadi kriteria terpenting dari faktor teknologi. Hal ini karena pasca panen dianggap penting dalam upaya menjaga dan meningkatkan kualitas lada yang dihasilkan disamping berupaya mengurangi kehilangan hasil panen (looses). 5.5 Arahan dan Strategi Pengembangan Perkebunan Lada di Kabupaten Belitung Arahan Pengembangan Perkebunan Lada di Kabupaten Belitung Arahan pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung bertujuan untuk mengetahui daerah atau wilayah yang sesuai untuk budidaya lada baik secara spasial maupun biofisik. Kedua aspek tersebut penting diperhatikan dalam pengembangan areal perkebunan lada. Aspek spasial bermakna bahwa lahan yang akan diarahkan bagi pengembangan perkebunan lada sesuai dengan penggunaan lahan dan tidak bertentangan dengan arahan pola ruang atau tata guna lahan yang tertuang dalam RTRW yang telah ditetapkan. Aspek biofisik yang dimaksudkan adalah lahan yang diarahkan merupakan lahan yang sesuai dengan persyaratan kesesuaian lahan tanaman lada setelah dilakukan evaluasi kesesuaian lahan.

115 Peta RTRW yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta RTRW Kabupaten Belitung tahun RTRW Kabupaten Belitung tahun masih dalam tahap proses penyempurnaan saat penelitian ini berlangsung. Analisis lokasi arahan pengembangan perkebunan lada kedepan dapat disempurnakan dengan metode yang sama seperti pada penelitian ini, hanya untuk arahannya menggunakan peta RTRW Kabupaten Belitung tahun Penentuan lokasi arahan pengembangan perkebunan lada dilakukan dengan menggunakan metode Sistem Infomasi Geografis (SIG). Beberapa data sekunder yang dibutuhkan dalam analisis ini meliputi berbagai peta tematik. Petapeta tematik yang dibutuhkan meliputi peta kelas kesesuaian lahan aktual, peta RTRW, peta penggunaan lahan eksisting dan peta administrasi. Peta tematik tersebut diolah atau dianalisis dengan metode SIG sehingga diperoleh lokasilokasi yang menjadi arahan prioritas pengembangan lada. Kriteria penentuan arahan lokasi pengembangan perkebunan lada pada penelitian ini mempertimbangkan hasil analisis sentra perkebunan lada berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah, peta arahan penggunaan lahan/ Rencana Tata Ruang Wilayah, peta penggunaan lahan eksisting dan analisis kesesuaian lahan aktual untuk tanaman lada. Kriteria penentuan arahan lokasi pengembangan perkebunan lada tertera pada Tabel 21. Tabel 21. Kriteria penentuan arahan pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung No Analisis sentra perkebunan lada 1 Membalong Tanah terbuka/kosong, semak/belukar, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campuran 2 Non Membalong Tanah terbuka/kosong, semak/belukar, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campuran Penggunaan lahan RTRW Kelas Kesesuaian Lahan Kategori 99 KL S2, S3 Bukan Arahan KB Non KP S2, S3 Bukan Arahan KP S2, S3 Arahan KP N Bukan Arahan KL S2, S3 Bukan Arahan KB Non KP S2, S3 Bukan Arahan KP S2, S3 Arahan KP N Bukan Arahan Ket : KL = Kawasan lindung KP = Kawasan perkebunan KB Non KP = Kawasan budidaya selain kawasan perkebunan

116 100 Berdasarkan analisis sentra perkebunan lada (keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah) diketahui bahwa kecamatan Membalong merupakan wilayah sentra perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Kecamatan Membalong masih menyimpan potensi lokal untuk pengembangan perkebunan lada, sehingga kecamatan Membalong lebih diprioritaskan untuk arahan pengembangan perkebunan lada. Empat kecamatan lain di luar kecamatan Membalong (non Membalong) seperti Tanjungpandan, Sijuk, Badau dan Selat Nasik berdasarkan analisis hasil penelitian ini bukan menjadi prioritas utama untuk pengembangan lada. Kecamatan Membalong juga ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Belitung sebagai kawasan pertanian sehingga sesuai dengan hasil penelitian ini. Ditinjau dari penggunaan lahan, ada 4 (empat) jenis penggunaan lahan yang dapat direkomendasikan untuk arahan pengembangan perkebunan lada. Keempat jenis penggunaan lahan tersebut antara lain tanah terbuka/kosong, semak/belukar, pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campuran. Urutan prioritas penggunaan lahan untuk arahan pengembangan perkebunan lada didasari oleh nilai ekonomi usaha pengelolaan jenis penggunaan lahan tersebut dan kebiasaan masyarakat/petani di Belitung berdasarkan hasil wawancara. Penggunaan lahan eksisting dalam penelitian ini mengacu pada peta penggunaan lahan eksisting tahun Pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campuran direkomendasikan berdasarkan kesesuaian lahan dan syarat tumbuh tanaman lada. Rekomendasi terkait penggunaan lahan pada pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campuran dalam penelitian ini bersifat alternatif atau pilihan bagi petani, bukan berarti harus mengganti tanaman pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campuran menjadi tanaman lada. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemanfaatan penggunaan lahan tanah terbuka/kosong dan semak/belukar menjadi prioritas utama karena memiliki biaya yang lebih baik, karena disamping memanfaatkan lahan-lahan tidur, resiko biaya maupun modal yang dikeluarkan petani juga menjadi lebih kecil. Pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campuran tidak menjadi prioritas utama dalam penilaian ini karena pertanian lahan kering diasumsikan sudah ditanami dengan komoditas lada ataupun komoditas perkebunan lainnya. Namun bukan berarti pertanian lahan kering dan lahan kering campuran tidak bisa dimanfaatkan, tetapi lahan tersebut bisa saja dimanfaatkan ketika tanaman yang ditanam di lokasi tersebut sudah tidak produktif dan ingin digantikan dengan

117 101 tanaman lada. Kondisi ini bisa dilakukan, namun akan menyerap biaya untuk pemulihan kesuburan lahan dan unsur hara yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan pertimbangan Rencana Tata Ruang Wilayah, kawasan yang menjadi arahan untuk pengembangan perkebunan lada adalah kawasan perkebunan. Kawasan lindung dan kawasan budidaya yang tidak termasuk kawasan perkebunan tidak direkomendasikan untuk arahan pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Dengan demikian, lokasi arahan pengembangan perkebunan lada akan sejalan dengan arahan tata guna lahan yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Belitung. Kriteria kesesuaian lahan aktual harus dipertimbangkan dalam menentukan arahan pengembangan perkebunan lada. Kesesuaian lahan untuk penanaman lada akan mempengaruhi pertumbuhan, produksi dan produktifitas tanaman lada tersebut. Lahan yang direkomendasikan untuk arahan pengembangan lada adalah lahan yang memiliki kelas kesesuaian lahan aktual S2 dan S3. Kelas S2 dan S3 dalam penelitian ini tidak dibedakan atau berada pada prioritas yang sama mengingat faktor pembatas S3 bukan merupakan faktor pembatas yang berat sehingga kalau diberi perlakuan tanpa biaya yang besar akan mampu menjadi kelas S2. Berdasarkan analisis keempat parameter penentu lokasi arahan pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung, maka disusun empat prioritas lokasi arahan pengembangan perkebunan lada seperti tertera pada Tabel 22. Tabel 22. Pembagian prioritas arahan pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung No Priorotas Kecamatan Penggunaan Lahan RTRW Kelas Lahan 1 I Membalong Tanah Terbuka/ Semak Belukar Perkebunan S2/S3 2 II Membalong Pertanian Lahan Kering/Campuran Perkebunan S2/S3 3 III Non Membalong Tanah Terbuka/ Semak Belukar Perkebunan S2/S3 4 IV Non Membalong Pertanian Lahan Kering/Campuran Perkebunan S2/S3 Berdasarkan Tabel 22 diketahui bahwa lokasi arahan prioritas I merupakan lahan di kecamatan Membalong dengan penggunaan lahan berupa tanah terbuka

118 102 dan semak belukar, kelas lahan aktual S2/S3 serta berada di kawasan perkebunan menurut peta RTRW. Lokasi arahan prioritas II merupakan lahan di kecamatan Membalong dengan penggunaan lahan berupa pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campuran, kelas lahan aktual S2/S3 serta berada di kawasan perkebunan menurut peta RTRW. Lokasi arahan prioritas III merupakan lahan di kecamatan non Membalong dengan penggunaan lahan berupa tanah terbuka dan semak belukar, kelas lahan aktual S2/S3 serta berada di kawasan perkebunan menurut peta RTRW. Lokasi arahan prioritas IV merupakan lahan di kecamatan non Membalong dengan penggunaan lahan berupa pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campuran, kelas lahan aktual S2/S3 serta berada di kawasan perkebunan menurut peta RTRW. Pembuatan peta lokasi arahan pengembangan perkebunan lada diawali dengan menyiapkan peta kesesuaian lahan aktual untuk tanaman lada. Selanjutnya peta tersebut dioverlay dengan Peta RTRW, peta penggunaan lahan dan peta administrasi sehingga diperoleh peta arahan sementara pengembangan perkebunan lada. Hasil overlay keempat peta tematik tersebut dinamakan peta arahan sementara karena hasil peta tersebut belum final karena masih harus di erase atau dikeluarkan wilayah-wilayah yang merupakan kawasan perkebunan besar, kawasan penambangan timah dan kawasan hutan. Hasil akhir dari olahan berbagai peta tematik ini kemudian dianalisis untuk memperoleh lokasi atau wilayah yang akan menjadi arahan pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Lokasi arahan pengembangan perkebunan lada yang dihasilkan dalam analisis ini akan disajikan dalam luasan untuk tiap kecamatan. Tabel 23 menyajikan lokasi arahan pengembangan lada yang terbagi dalam empat prioritas. Tabel 23. Arahan pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung No Kecamatan Luas Lahan Arahan (ha) Jumlah I II III IV (ha) % Luas 1 Membalong ,19 2 Tanjungpandan ,18 3 Sijuk ,69 4 Badau ,86 5 Selat Nasik ,08 Jumlah ,00

119 103 Berdasarkan Tabel 23 diketahui bahwa jumlah luas arahan pengembangan lada di Kabupaten Belitung berdasarkan hasil analisis dan pengolahan peta tematik seluas ha atau sekitar 10,99% dari luas Kabupaten Belitung. Dari luasan tersebut, kecamatan Membalong memiliki lokasi pengembangan perkebunan lada terluas dengan luasan mencapai ha atau 57,19 % dari jumlah luas areal yang menjadi arahan pengembangan perkebunan lada. Wilayah ke 2 yang menjadi lokasi arahan adalah kecamatan Badau dengan luasan mencapai ha atau sekitar 25,85%. Secara spasial arahan lokasi pengembangan tanaman lada di Kabupaten Belitung disajikan seperti Gambar 35. SELAT GASPAR KABUPATEN BELITUNG TIMUR Gambar 35. Peta arahan pengembangan lada Arahan lokasi terluas pengembangan perkebunan lada berada pada prioritas II dengan luas ha, diikuti oleh prioritas III dengan luas ha. Prioritas IV dan I menempati urutan ke 3 dan ke 4 dengan luas masing-masing ha dan ha. Secara spasial arahan pengembangan perkebunan lada tersebar di lima kecamatan di Kabupaten Belitung. Membalong menjadi kecamatan prioritas untuk arahan pengembangan perkebunan lada dengan luas ha.

120 Strategi Pengembangan Perkebunan Lada di Kabupaten Belitung Strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung merupakan langkah penting dalam pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Menurut Rangkuti (2009), proses perumusan strategi dapat dilakukan melalui 3 (tiga) tahap analisis yaitu tahap pengumpulan data, tahap analisis dan tahap pengambilan keputusan. Strategi yang akan diterapkan pada pengembangan perkebunan lada dalam penelitian ini mengacu pada 3 (tiga) tahapan tersebut dengan mempertimbangkan dan mengkombinasikan hasil analisis beberapa tahapan penelitian yang dilakukan seperti analisis LQ dan SSA, analisis kesesuaian lahan dan lokasi arahan pengembangan, margin pemasaran, analisis persepsi stakeholders terhadap faktor faktor yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada dan analisis A WOT yang akan dibahas dalam sub bab ini. Tahap pertama dalam proses perumusan strategi adalah tahap pengumpulan data (Rangkuti, 2009). Tahap pengumpulan data dilakukan dengan mengevaluasi faktor internal dan faktor eksternal. Untuk melakukan identifikasi dan tahap pengumpulan data ini digunakan metode A WOT. Menurut Leskinen et al. (2006), A WOT merupakan metode yang menunjukkan bagaimana analisis AHP dan SWOT dapat digunakan dalam proses penentuan suatu strategi. Metode A WOT yang diterapkan dalam penelitian tersebut untuk menentukan pembobotan dalam analisis SWOT. Tujuannya adalah untuk mengurangi subyektifitas penilaian terhadap faktor-faktor internal dan eksternal, baik menyangkut kekuatan, kelemahan, peluang maupun ancaman. Metode A WOT yang diaplikasikan dalam penelitian ini menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) dalam menentukan pembobotan pada saat analisis SWOT. Tujuan penggunaan Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah mengurangi subjektifitas dalam pembobotan masing-masing faktor dari kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Bobot dari masing-masing faktor internal dan eksternal tersebut juga diperoleh dengan pengolahan data yang didukung oleh program Expert Choice 11 dan Microsoft Excell. Dalam penelitian ini berbagai faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman diperoleh dari penggalian persepsi dan wawancara dari berbagai stakeholders pada saat penelitian pendahuluan yang kemudian dikombinasikan

121 105 dengan berbagai referensi yang terkait. Beberapa faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman No Faktor Internal No Faktor Eksternal 1 Kekuatan 3. Peluang - Budaya turun temurun - Permintaan lada di pasar dunia cenderung naik - Memiliki SIG - Harga lada cenderung membaik - Dikenal di pasar internasional - Alternatif penggunaan junjungan hidup - Pemasaran mudah - Diversifikasi produk - Potensi SDA - Paket teknologi pasca panen 2 Kelemahan 4. Ancaman - Fluktuasi harga - Hama dan penyakit tanaman lada - Harga saprodi yang relatif mahal - Status lahan pertanian ada yang tidak jelas - Kelembagaan tani belum optimal - Konversi lahan - Keterbatasan modal - Persaingan dengan produsen negara lain - Kondisi SDM - Pencurian lada di perendaman Dari berbagai faktor kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities) dan ancaman (threats), akan dinilai tingkat atau bobot kepentingannya dengan menggunakan teknik Analytical Hierarchy Process berdasarkan jawaban responden terhadap kuesioner yang diberikan. Inilah titik tekan metode A WOT dalam penelitian ini, dimana pembobotan terhadap berbagai faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman tidak ditentukan oleh peneliti, melainkan didasari pada jawaban responden yang expert dibidangnya untuk mengurangi unsur subyektifitas dalam penelitian ini. Kuesioner A WOT dapat dilihat pada Lampiran 16. Salah satu faktor kekuatan adalah memiliki SIG. SIG adalah Sertifikasi Indikasi Geografis yang dikeluarkan Dirjen Hak Kekayaan Intelektual atas karakteristik khas dan kualitas lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dan salah satu kelemahan yang terangkum dalam matriks tersebut adalah harga saprodi yang relatif mahal. Saprodi yang dimaksud adalah sarana produksi pertanian yang meliputi pupuk, pestisida, maupun material lain yang dibutuhkan dalam usaha perkebunan lada. Bobot yang diperoleh dari AHP masing-masing faktor internal dan eksternal tersebut akan digunakan dalam analisis faktor internal atau Internal

122 106 Strategic Factors Analysis Summary (IFAS) dan analisis faktor eksternal atau External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS). Hal ini dilakukan sebagai langkah dasar dalam tahapan analisis perumusan strategi yang akan diterapkan. Analisis Faktor Strategi Internal Analisis faktor strategi internal atau Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS) ini dilakukan dengan menyusun matriks IFAS. Penyusunan matriks ini bertujuan untuk mengetahui tingkatan kepentingan dan pengaruhnya dalam penentuan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Tingkat kepentingan masing-masing faktor diketahui berdasarkan hasil pengolahan data kuesioner menggunakan program Expert Choice 11 dan Microsoft Excell Untuk tingkat pengaruh dari masing-masing faktor diketahui dengan memberikan nilai rating 1 sampai dengan 4 dimana nilai rating 4 menunjukkan pengaruh sangat kuat, nilai 3 menunjukkan pengaruh agak kuat, nilai 2 pengaruhnya agak lemah dan nilai 1 pengaruhnya sangat lemah. Berikut ini merupakan Tabel Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS) yang mengkaji bobot kepentingan dari tiap faktor kekuatan dan kelemahan beserta nilai rating yang menunjukkan tingkat pengaruhnya. Hasil perkalian bobot dan rating dari masing-masing faktor akan menjadi skor akumulasi dari faktor internal yang akan digunakan pada analisis matrik internal eksternal. Tabel 25. Hasil analisis matriks Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS) Faktor-Faktor Strategi Internal Bobot Rating Skor Kekuatan 1. Budaya turun-temurun 2. Memiliki SIG 3. Dikenal di pasar internasional 4. Pemasaran mudah 5. Potensi SDA 0,1122 0,0727 0,0750 0,0553 0, ,3365 0,2182 0,2251 0,1658 0,7391 Kelemahan 1. Fluktuasi harga 2. Harga saprodi yang relatif mahal 3. Peran kelembagaan tani belum optimal 4. Keterbatasan modal 5. Kondisi SDM 0,1932 0,1160 0,0356 0,0894 0, ,5797 0,3481 0,0712 0,2682 0,1971 Jumlah 1,000 3,1491

123 107 Dari Tabel 25 matriks IFAS dapat diketahui bahwa skor total perkalian bobot dan rating dari semua faktor kekuatan dan kelemahan bernilai 3,1491. Nilai ini berasal dari skor faktor kekuatan yaitu 1,6847 dan skor faktor kelemahan dengan nilai 1,4644. Dalam kolom bobot diketahui bobot masing-masing faktor yang merupakan hasil pengolahan data kuesioner dengan metode AHP. Bobot yang diperoleh masing-masing faktor dikalikan 0,5 agar bobot total faktor kekuatan dan kelemahan bernilai 1,000 (Rangkuti, 2009). Pada kolom rating terlihat bahwa sebagian besar faktor kekuatan memiliki rating 3 (agak kuat), kecuali potensi sumberdaya alam (SDA) dengan rating 4 (sangat kuat). Sedangkan pada faktor kelemahan hampir semuanya mendapat rating 3 (agak kuat) kecuali peran kelembagaan tani yang mendapat rating agak lemah (2). Analisis Faktor Stratagi Eksternal Analisis faktor strategi eksternal atau External Strategic Factors Analysis Summary (IFAS) ini dilakukan dengan menyusun matriks EFAS. Penyusunan matriks EFAS bertujuan untuk mengetahui tingkatan kepentingan dan pengaruh faktor eksternal berupa peluang dan ancaman dalam penentuan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Tingkat kepentingan masing-masing faktor diketahui berdasarkan hasil pengolahan data kuesioner menggunakan program Expert Choice 11 dan Microsoft Excell Untuk tingkat pengaruh dari masing-masing faktor diketahui dengan memberikan nilai rating 1 sampai dengan 4 dimana nilai rating 4 menunjukkan pengaruh sangat kuat, nilai 3 menunjukkan pengaruh agak kuat, nilai 2 pengaruhnya agak lemah dan nilai 1 pengaruhnya sangat lemah. Tabel 26 merupakan Tabel External Strategic Factors Analysis Summary (IFAS) yang mengkaji bobot kepentingan dari tiap faktor peluang dan ancaman beserta nilai rating yang menunjukkan tingkat pengaruhnya. Hasil perkalian bobot dan rating dari masing-masing faktor akan menjadi skor akumulasi dari faktor eksternal yang akan digunakan pada analisis matrik internal eksternal.

124 108 Tabel 26. Hasil analisis matriks External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS) Faktor-Faktor Strategi Eksternal Bobot Rating Skor Peluang 1. Permintaan lada di pasar dunia cenderung naik 2. Harga lada cenderung membaik 3. Alternatif penggunaan junjungan hidup 4. Diversifikasi produk 5. Paket teknologi pasca panen 0,0526 0,0671 0,1382 0,1280 0, ,1579 0,2013 0,5527 0,3841 0,3422 Ancaman 1. Hama dan penyakit tanaman lada 2. Status lahan pertanian ada yang tidak jelas 3. Konversi lahan 4. Pesaingan dengan produsen negara lain 5. Pencurian lada di perendaman 0,1171 0,1070 0,2097 0,0353 0, ,3512 0,2139 0,6291 0,1058 0,0620 Jumlah 1,000 3,0002 Dari Tabel 26 matriks EFAS diketahui bahwa skor total perkalian bobot dan rating dari semua faktor kekuatan dan kelemahan bernilai 3,002. Nilai ini berasal dari skor faktor peluang yaitu 1,6382 dan skor faktor ancaman dengan nilai 1,3620. Dalam kolom bobot diketahui bobot masing-masing faktor yang merupakan hasil pengolahan data kuesioner dengan metode AHP. Bobot yang diperoleh masing-masing faktor dikalikan 0,5 agar bobot total faktor peluang dan ancaman bernilai 1,000 (Rangkuti, 2009). Pada kolom rating terlihat bahwa sebagian besar faktor peluang memiliki rating 3 (agak kuat), kecuali alternatif penggunaan junjungan hidup dengan rating 4 (sangat kuat). Tahap kedua dalam proses perumusan strategi adalah tahap analisis (Rangkuti, 2009). Pada penelitian ini, tahap analisis akan dilakukan dengan menggunakan 2 (dua) analisis martiks yaitu analisis matriks Internal Eksternal (IE) dan analisis matriks Space. Analisis kedua matriks yang akan dilakukan ini menggunakan data matriks IFAS dan EFAS yang sudah dikumpulkan dalam tahap pertama atau tahap pengumpulan data. Analisis Matriks Internal Eksternal Analisis matriks internal eksternal dilakukan untuk memperoleh strategi yang lebih detail berdasarkan pada data matriks IFAS dan EFAS. Tahap

125 109 pengumpulan data yang dilakukan sebelumnya telah membentuk matriks IFAS dan EFAS dengan nilai atau skor yang sudah terkuantifikasi. Nilai-nilai skor tersebut akan digunakan untuk mengetahui posisi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung pada sel-sel matriks Internal Eksternal. Berdasarkan hasil pengumpulan data dengan matriks IFAS dan EFAS, diketahui bahwa total skor faktor internal sebesar 3,1491 dan total skor faktor eksternal sebesar 3,0002. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung memiliki skor faktor internal dan eksternal yang tergolong kuat (tinggi). Apabila skor faktor internal dan eksternal ini dipetakan pada matriks Internal Eksternal, maka pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung menempati sel 1 (satu) seperti Gambar 36. Nilai total skor faktor strategi Internal 3,1491 Nilai Total Skor Faktor Strategi Eksternal Tinggi Rata- Rata Lemah 3 3, Tinggi 3 Rata-Rata 2 Lemah GROWTH GROWTH RETRENCHMENT 2 1 Konsentrasi melalui integrasi vertikal 4 STABILITY Hati-Hati 7 GROWTH Diversifikasi Konsentrik Konsentrasi melalui integrasi horizontal 5 GROWTH Konsentrasi melalui integrasi horizontal STABILITY Tidak ada perubahan profit strategi 8 GROWTH Diversifikasi Konglomerat Turn around 6 RETRENCHMENT Captive Company atau Divestmen 9 RETRENCHMENT Bangkrut atau likuidasi Gambar 36. Hasil analisis matriks internal eksternal

126 110 Berdasarkan Gambar 36 matriks Internal Eksternal dapat diketahui bahwa pengembangan perkebunan lada berada pada sel 1. Artinya dibutuhkan strategi pertumbuhan (growth). Menurut Rangkuti (2009), strategi pertumbuhan (growth strategy) didesain untuk mencapai pertumbuhan baik dalam produksi, asset, maupun tingkat keuntungan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kualitas dan kuantitas dan meningkatkan akses ke pasar yang lebih luas. Berdasarkan growth strategy, maka strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung pada dasarnya masih memungkinkan diterapkan dengan strategi pertumbuhan (growth strategy). Peningkatan produksi lada yang diikuti dengan peningkatan kualitas produk menjadi syarat yang harus dipenuhi untuk menjaga kepercayaan konsumen (buyers). Disamping itu, diversifikasi produk hasil panen menjadi berbagai produk olahan lada didukung teknologi pengolahan juga menjadi alternatif dalam meningkatkan nilai jual lada ke depan. Analisis Matriks Space Analisis matriks space digunakan dalam penelitian ini sebagai upaya untuk mempertajam strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Dengan menganalisis matriks space, maka dapat diketahui perpaduan faktor internal dan eksternal yang berada pada kuadran dari matriks space yang dibuat. Menurut Rangkuti (2009), matriks space digunakan untuk mempertajam posisi dan arah pengembangan dari analisis matriks internal dan eksternal. Marimin (2008) menyatakan bahwa hasil analisis matriks IFAS dan EFAS dapat digunakan untuk mengetahui posisi suatu usaha dalam matriks space. Selisih skor kekuatan dan kelemahan pada matriks IFAS dan selisih skor peluang dan ancaman pada matriks EFAS akan mengisi posisi nilai x dan y dari kuadran di matriks spacenya. Dengan demikian, dapat diketahui posisi kuadran usaha pengembangan perkebunan lada dengan berbagai faktor internal dan eksternal yang sudah dianalisis sebelumnya. Berdasarkan analisis IFAS dan EFAS, maka diperoleh selisih skor kekuatan dan kelemahan pada matriks IFAS yaitu 0,2204 dan selisih skor peluang dan ancaman pada matriks EFAS 0,2762. Kombinasi nilai ini akan menghasilkan posisi dikuadran I seperti pada Gambar 37.

127 111 Berbagai Peluang Kekuatan Eksternal Kuadran III Strategi Turn-Around Kuadran IV Strategi Defensif Kuadran I Strategi Agresif (3,1419; (0,2204; 3,002) 0,2762) Kuadran II Strategi Diversifikasi Kekuatan Internal Berbagai Ancaman Gambar 37. Hasil analisis matriks space Berdasarkan Gambar 37, maka diketahui posisi usaha perkebunan lada berada pada kuadran I. Menurut Marimin (2008), posisi usaha dapat dikelompokkan dalam 4 kuadran yaitu Kuadran I, II, III, dan IV. Pada kuadran I, strategi yang tepat adalah strategi agresif, kuadran II strategi diversifikasi, kuadran III strategi turn around dan kuadran IV menggunakan strategi defensif. Kuadran I, menandakan posisi sangat menguntungkan, dimana perusahaan memiliki kekuatan dan peluang sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada dengan menerapkan strategi pertumbuhan yang agresif. Kuadran II, menunjukkan perusahaan menghadapi berbagai ancaman, namun masih mempunyai kekuatan sehingga strategi yang diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan menerapkan strategi diversifikasi. Kuadran III, pada kuadran ini perusahaan mempunyai peluang yang sangat besar namun disisi lain memiliki kelemahan internal. Menghadapi situasi ini perusahaan harus berusaha meminimalkan masalah-masalah internal untuk merebut peluang pasar. Kuadran IV, menunjukkan perusahaan berada pada posisi yang tidak menguntungkan karena disamping menghadapi ancaman juga menghadapi kelemahan internal.

128 112 Dengan demikian, hasil analisis matriks space sama atau menguatkan hasil analisis matriks internal eksternal dimana strategi pertumbuhan dapat digunakan untuk pengembangan lada. Berbagai kekuatan dan peluang yang dimiliki dapat dimanfaatkan untuk mendukung strategi pertumbuhannya. Tahap ketiga atau terakhir dari perumusan strategi (Rangkuti, 2009) adalah tahap pengambilan keputusan. Tahap ini dapat dilakukan dengan menggunakan matriks analisis SWOT. Berbagai hasil analisis tahap pertama dan kedua akan menjadi pertimbangan dan masukan dalam merumuskan analisis SWOT pada tahap pengambilan keputusan ini. Tahap Pengambilan Keputusan Dengan Analisis SWOT Menurut Marimin (2008), dalam tahap pengambilan keputusan, matriks SWOT perlu merujuk kembali pada matriks IFAS dan matriks EFAS yang sudah dihasilkan. Dengan demikian dapat diketahui posisi suatu usaha berada pada sel mana dari matriks Internal Eksternal dan berada pada kuadran mana dari matriks space. Khusus pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung jika merujuk hasil analisis matriks Internal Eksternal maka berada pada sel 1, dan berdasarkan analisis matriks space maka berada pada kuadran I. Dengan demikian, strategi yang akan digunakan dalam matriks SWOT menggunakan strategi SO (Strengths-Opportunities) sebagai strategi utama yaitu strategi yang dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut peluang sebesarbesarnya bagi pengembangan usaha perkebunan lada di Kabupaten Belitung (Gambar 38). Berbagai faktor kekuatan dan peluang dikaji dan dianalisis sehingga dapat dirumuskan menjadi strategi dalam pengembangan perkebunan lada. Potensi sumberdaya alam Kabupaten Belitung dan budaya turun temurun dalam usaha perkebunan lada menjadi kekuatan dan modal dalam merumuskan strategi pertumbuhan (growth strategy). Dari sisi peluang, permintaan lada di pasar dunia yang cenderung meningkat akhir-akhir ini menjadi faktor pendorong meningkatknya harga lada sehingga peluang ini harus dijadikan dasar dalam strategi peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran lada.

129 113 EKSTERNAL INTERNAL KEKUATAN 1. Budaya turun temurun 2. Memiliki SIG 3. Dikenal di pasar internasional 4. Pemasaran mudah 5. Potensi SDA KELEMAHAN 1. Fluktuasi harga 2. Harga saprodi yang relatif mahal 3. Peran kelembagaan tani belum optimal 4. Keterbatasan modal 5. Kondisi SDM PELUANG 1. Permintaan lada di pasar dunia cenderung naik 2. Harga lada cenderung membaik 3. Alternatif penggunaan junjungan hidup 4. Diversifikasi produk 5. Paket teknologi pasca panen SO WO ANCAMAN 1. Hama dan penyakit tanaman lada 2. Status lahan pertanian ada yang tidak jelas 3. Konversi lahan 4. Persaingan dengan produsen negara lain 5. Pencurian lada di perendaman ST WT Gambar 38. Hasil analisis matriks SWOT Berdasarkan matriks SWOT, terdapat empat kuadran strategi yang dapat diterapkan dengan mengkolaborasikan berbagai faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dengan faktor eksternal (peluang dan ancaman). Beberapa strategi yang dapat dirumuskan sebagai berikut : Strategi SO (Kuadran I) 1. Mengoptimalkan dan menjaga potensi SDA dan budaya untuk pengembangan areal perkebunan lada dengan melihat potensi biofisik dan spasial serta keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah. 2. Peningkatan kualitas dan kuantitas produk dengan penerapan teknologi budidaya, pasca panen dan pengolahan.

130 Diversifikasi produk olahan lada. 4. Meningkatkan posisi tawar petani dan peluang pasar dalam siklus pemasaran lada dengan penguatan kelembagaan tani Strategi ST (Kuadran II) 1. Peningkatan kualitas dan kuantitas lada agar mampu bersaing dengan produsen negara lain 2. Memprioritaskan pengembangan lada dengan teknis budidaya anjuran untuk menekan hama dan penyakit 3. Rumusan kebijakan pemanfaatan arahan penggunaan lahan yang mendukung perkebunan rakyat khususnya lada Strategi WO (Kuadran III) 1. Mengoptimalkan peran kelembagaan tani dan paket teknologi untuk memperkuat posisi tawar petani dalam pemasaran lada 2. Peningkatan SDM untuk menghasilkan produk yang berkualitas 3. Peran dan pendampingan pemerintah dalam mendukung modal petani dengan regulasi dan manajemen yang baik Strategi WT (Kuadran IV) 1. Koordinasi antar instansi terkait agar lahan produktif (sesuai) untuk perkebunan lada dipertahankan untuk perkebunan lada 2. Koordinasi antar instansi terkait dalam peningkatan kualitas dan kuantitas produk agar siap bersaing 3. Koordinasi antar instansi terkait dalam pengawasan harga dan pendistribusian saprodi baik di pasaran atau yang subsidi Berbagai rumusan strategi tersebut mengacu pada hasil analisis matriks IFAS, matriks EFAS, matriks internal eksternal dan matriks space. Khusus untuk pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung, prioritas strategi yang akan diterapkan adalah strategi SO (kuadran I). Rumusan strategi pada kuadran I juga memperhatikan hasil analisis sentra perkebunan lada dengan metode Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA) dari penelitian ini.

131 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan penelitian arahan dan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung dapat ditarik lima kesimpulan sebagai berikut: 1. Sentra perkebunan lada di Kabupaten Belitung berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif adalah kecamatan Membalong. 2. Wilayah yang berpotensi untuk pengembangan areal perkebunan lada di Kabupaten Belitung berdasarkan kesesuaian lahannya ada seluas ha, utamanya di kecamatan Membalong. 3. Ada 2 (dua) rantai pemasaran lada di Kabupaten Belitung yaitu rantai pemasaran 1. : petani - pengumpul I - pengumpul II - eksportir dan rantai pemasaran 2. : petani - pengumpul II eksportir dengan masing-masing persentase harga jual yang diterima petani berturut-turut sebesar 78,82 % untuk rantai pemasaran 1 dan sebesar 82,35% untuk rantai pemasaran Faktor yang paling mempengaruhi pengembangan perkebunan lada adalah lahan. Faktor-faktor lain yang berpengaruh secara berurutan berdasarkan tingkat pengaruhnya adalah sumberdaya manusia (SDM), teknologi, pasar dan modal. 5. Arahan pengembangan perkebunan lada adalah kecamatan Membalong seluas ha dan berikutnya kecamatan Badau seluas ha dengan strategi sebagai berikut: a) Mengoptimalkan dan menjaga potensi sumberdaya alam (SDA) untuk pengembangan perkebunan lada. b) Peningkatan kualitas dan kuantitas produk dengan penerapan teknologi budidaya, pasca panen dan pengolahan. c) Diversifikasi produk olahan lada. d) Meningkatkan posisi tawar petani dan peluang pasar dalam siklus pemasaran lada dengan penguatan kelembagaan tani

132 Saran Beberapa saran terkait penelitian arahan dan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung sebagai berikut : 1. Arahan pewilayahan komoditas perkebunan lada dan pengembangan areal perkebunan lada di Kabupaten Belitung disarankan agar diprioritaskan di kecamatan Membalong. 2. Pemasaran lada disarankan melalui rantai pemasaran 2 agar harga yang diterima petani lebih tinggi melalui penguatan kelembagaan petani. 3. Penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Belitung kedepan, disarankan lebih memperhatikan keberadaan lahan yang potensial untuk tanaman lada agar pemanfaatannya diprioritaskan bagi pengembangan areal perkebunan lada di Kabupaten Belitung.

133 DAFTAR PUSTAKA [Badan Litbang Pertanian] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Agribisnis Tanaman Lada. Bogor : Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat [BBSDLP] Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian Kriteria Kesesuaian Lahan Lada. Bogor : Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung Kabupaten Belitung Dalam Angka Tanjungpandan : Badan Pusat Statistik [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung Kabupaten Belitung Dalam Angka Tanjungpandan : Badan Pusat Statistik [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung Kabupaten Belitung Dalam Angka Tanjungpandan : Badan Pusat Statistik [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung Kabupaten Belitung Dalam Angka Tanjungpandan : Badan Pusat Statistik Direktorat Jenderal Penataan Ruang Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta: Direktorat Jenderal Penataan Ruang Direktorat Jenderal Perkebunan Statistik Perkebunan Indonesia: Lada. Jakarta : Direktorat Jenderal Perkebunan [FAO] Food and Agriculture Organization A Framework for Land Evaluation. Soil Bull. No.32. Rome : FAO George. CK., Abdullah, A and Chapman, K Pepper (Piper nigrum L.) Production Guide for Asia and Pacific. Jakarta : International Pepper Community Hardjowigeno, S dan Widiatmaka Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Lahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Hendayana, R Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) dalam Penentuan Komoditas Unggulan Nasional. Bogor : Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian International Pepper Community Statistical Year Book Jakarta : International Pepper Community Kemala, S Strategi Pengembangan Sistem Agribisnis Lada untuk Meningkatkan Pendapatan Petani. Bogor : Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 4(2) : Laksamanahardja, M.P Teknik Pengolahan Lada Putih Dengan Alat Pengupas Kulit Buah Lada. Bogor : Prosiding Simposium Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Hal :

134 118 Leskinen, A.L., Leskinen, P., Kurtila, M., Kangas, J and Kajanus, M Adapting Modern Strategic Decision Support Tools in The Participatory Strategic Process-A Case Study of A Forest Research Station. Journal of Forest Policy and Economics 8: Mahmud, Z., Kemala, S., Damanik, S dan Ferry, Y Profil Komoditas Lada. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Marimin Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Muslim, C dan Nurasa, T Analisis Marjin Pemasaran Lada Putih Dalam Mendukung Daya Saing Produk Agroindustri Lada Indonesia. Bogor : Pusat Analisis Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Jurnal Sosio Ekonomika 13 (1) : Osuna, E and Aranda, A Combinating SWOT and AHP Techniques For Strategic Planning. Vina del Mar, Chile : ISAHP. pp : 2-6 Panuju, D.R dan Rustiadi E Teknik Analisis Perencanaan Pengembangan Wilayah. Bogor : Bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah IPB Pranoto,YS Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Keuntungan dan Daya Saing Lada Putih (Muntok White Pepper) Di Provinsi Bangka Belitung. [Tesis] Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Pribadi, D.O., Panuju D.R., Rustiadi, E dan Pravitasari, E.A Permodelan Perencanaan Pembangunan Wilayah. Bogor : Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB. Rahim, A dan Hastuti, D.R.W Ekonomika Pertanian :pengantar,teori dan kasus. Jakarta : Penebar Swadaya. Rangkuti, F Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Rismunandar Lada Budidaya dan Tata Niaganya. Jakarta : Penebar Swadaya. Rustiadi, E., Saefulhakim, S dan Panudju, D.R Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia Saaty,T.L The Analytical Hierarchy Process. USA: McGraw-Hill,Inc Saefulhakim, S Pengembangan Agropolitan Memacu Pembangunan Ekonomi Regional Melalui Keterkaitan Desa-Kota. Makalah pada Diskusi. Workshop dan Seminar Nasional Pengembangan Agropolitan Sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Wilayah Secara Berimbang. Bogor 3 Agustus Bogor : Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah IPB Sitorus, S.R.P Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung : Tarsito Bandung Spices Board India Indian Spices, A Catalogue. Conchin: Spices Board India

135 119 Syam, A Analisis Efisiensi Produksi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Produksi Lada di Bangka Belitung. Jurnal Socio Economic of Agriculture and Agribusiness, 3 (11) : Tarigan, R Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: PT. Bumi Aksara Timmer, C.P The Corn Economy of Indonesia. Ithaca and London : Cornel University Press Tukiyat Pengantar Pengembangan Ekonomi Wilayah. Jakarta: Pusat Pengkajian Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT Widagdo, M.S., Dedin, K., Suratman, A.S., Hapid, H., Burman, P dan Balsem, T Buku Keterangan Peta Satuan Lahan dan Tanah Pulau Belitung (Sebagian dari Lembar 1212,1213,1312,1313) Sumatera. Proyek Perencanaan dan Evaluasi Sumber Daya Lahan Pengelolaan Data Base Tanah. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

136 LAMPIRAN

137 121 Lampiran 1. Kriteria kesesuaian lahan tanaman lada (Piper nigrum L) Persyaratan penggunaan/ karakteristik lahan Temperatur (tc) Temperatur rerata ( C) harian Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm) Kelas kesesuaian lahan S1 S2 S3 N > < < > Kelembaban udara (%) < 50,> 100 Lama masa kering (bulan) < 2 < > 5 Ketersediaan oksigen (oa) Drainase baik, sedang agak terhambat Media perakaran (rc) Tekstur agak kasar, sedang, agak halus, halus terhambat, agak cepat sangat terhambat, cepat - kasar, sangat halus kasar Bahan kasar (%) < > 55 Kedalaman tanah (cm) > < 30 Gambut: Ketebalan (cm) < > 200 Ketebalan (cm), jika ada sisipan bahan mineral/ pengkayaan Kematangan saprik+ saprik, hemik+ Retensi hara (nr) KTK liat (cmol) > < > 400 hemik, fibrik+ Kejenuhan basa (%) > < 35 ph H2O 5,0-7,0 4,0-5,0 < 4,0 C-organik (%) > 0,4 0,4 Toksisitas (xc) 7,0-8,0 > 8,0 fibrik

138 122 Lampiran 1. Lanjutan (lanjutan) Salinitas (ds/m) < > 10 Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) < > 20 Bahaya sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) > < 40 Bahaya erosi (eh) Lereng (%) < > 30 Bahaya erosi sangat rendah rendah - sedang Bahaya banjir (fh) berat sangat berat Genangan F0 - F1 > F1 Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) < > 40 Singkapan batuan (%) < > 25 Sumber : Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (2011)

139 123 KABUPATEN BELITUNG TIMUR Legenda Lampiran 2. Peta penggunaan lahan Kabupaten Belitung tahun 2009 SELAT GASPAR

140 124 KABUPATEN BELITUNG TIMUR Legenda Lampiran 3. Peta RTRW Kabupaten Belitung tahun SELAT GASPAR

141 125 KABUPATEN BELITUNG TIMUR Lampiran 4. Peta satuan lahan Kabupaten Belitung Legenda SELAT GASPAR

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu dapur atau juga diolah

BAB I PENDAHULUAN. jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu dapur atau juga diolah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Lada atau pepper (Piper nigrum L) disebut juga dengan merica, merupakan jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu dapur atau juga diolah menjadi

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah petani di Indonesia menurut data BPS mencapai 45% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 42,47 juta jiwa. Sebagai negara dengan sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian sangat berpengaruh bagi perkembangan

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian dari waktu ke waktu semakin meningkat. Lada merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup

Lebih terperinci

KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES

KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjadi pemasok hasil pertanian yang beranekaragam yaitu rempah-rempah

I. PENDAHULUAN. menjadi pemasok hasil pertanian yang beranekaragam yaitu rempah-rempah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang cukup besar di dunia. Pada masa zaman pemerintahan Hindia-Belanda, Indonesia merupakan negara terkenal yang menjadi pemasok hasil

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Pengembangan Wilayah Wilayah (region) adalah unit geografis dimana komponen-komponennya memiliki keterkaitan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Pengembangan Wilayah Wilayah (region) adalah unit geografis dimana komponen-komponennya memiliki keterkaitan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Pengembangan Wilayah Wilayah (region) adalah unit geografis dimana komponen-komponennya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional berupa perencanaan dan pengelolaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang. melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris, sehingga pertanian

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang. melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris, sehingga pertanian 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris, sehingga pertanian merupakan sektor yang penting dalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda 16 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era otonomi daerah, pembangunan ekonomi menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam daerah maupun faktor eksternal, seperti masalah kesenjangan dan isu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, menganut sistem perekonomian terbuka, di mana lalu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris mempunyai peluang yang cukup besar dalam

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris mempunyai peluang yang cukup besar dalam I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Indonesia sebagai negara agraris mempunyai peluang yang cukup besar dalam mengembangkan ekspor produk pertanian, khususnya komoditas dari subsektor perkebunan. Besarnya

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS Studi Kasus Kawasan Kedungsapur di Provinsi Jawa Tengah DYAH KUSUMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERIKANAN DAN PENENTUAN KOMODITAS UNGGULAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT

PERANAN SEKTOR PERIKANAN DAN PENENTUAN KOMODITAS UNGGULAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT PERANAN SEKTOR PERIKANAN DAN PENENTUAN KOMODITAS UNGGULAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT SKRIPSI ARIZAL LUTFIEN PRASSLINA PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan yang memegang peranan penting dalam perdagangan dan perekonomian negara. Kopi berkontribusi cukup

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai Ekspor Sepuluh Komoditas Rempah Unggulan Indonesia

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai Ekspor Sepuluh Komoditas Rempah Unggulan Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara penghasil rempah utama di dunia. Rempah yang dihasilkan di Indonesia diantaranya adalah lada, pala, kayu manis, vanili, dan cengkeh. Rempah-rempah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bergulirnya wacana otonomi daerah di Indonesia berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi stimulan berbagai daerah untuk mengembangkan daerah

Lebih terperinci

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus tantangan baru yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian di masa depan. Globalisasi dan liberalisasi

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah 8 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah merupakan tindakan yang dilakukan pemerintah untuk mencapai suatu tujuan yang menguntungkan wilayah tersebut dengan meningkatkan pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional.

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan regional memiliki peran utama dalam menangani secara langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. Peranan perencanaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Provinsi Lampung memiliki kegiatan pembangunan yang berorientasikan pada potensi sumberdaya alam

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Provinsi Lampung memiliki kegiatan pembangunan yang berorientasikan pada potensi sumberdaya alam 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Provinsi Lampung memiliki kegiatan pembangunan yang berorientasikan pada potensi sumberdaya alam pada sektor pertanian terutama subsektor tanaman pangan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat di segala

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat di segala I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat di segala bidang, yaitu bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan agama serta pertahanan dan keamanan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian dan sektor basis baik tingkat Provinsi Sulawsi Selatan maupun Kabupaten Bulukumba. Kontribusi sektor

Lebih terperinci

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK ANISAH, Analisis Prospek Pengembangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, yang memiliki warna sentral karena berperan dalam meletakkan dasar yang kokoh bagi

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING Oleh: BEDY SUDJARMOKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK BEDY SUDJARMOKO. Analisis Efisiensi

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI, 2005. Strategi Pengembangan Agribisnis dalam Pembangunan Daerah Kota Bogor. Di bawah bimbingan SETIADI DJOHAR dan IDQAN FAHMI. Sektor pertanian bukan merupakan sektor

Lebih terperinci

2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis.. 28

2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis.. 28 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN PRAKATA DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN.. ix INTISARI... x ABSTRACK... xi I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di Indonesia sejak tahun 2001 berdasarkan UU RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di era otonomi daerah menghadapi berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di era otonomi daerah menghadapi berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di era otonomi daerah menghadapi berbagai tantangan, baik dari faktor internal ataupun eksternal (Anonim, 2006a). Terkait dengan beragamnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perdagangan antar negara akan menciptakan pasar yang lebih kompetitif dan mendorong pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi. Kondisi sumber daya alam Indonesia

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN INDUSTRI BERBASIS KOMODITAS UNGGULAN SUBSEKTOR PERKEBUNAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH DI PROVINSI ACEH

PENGEMBANGAN INDUSTRI BERBASIS KOMODITAS UNGGULAN SUBSEKTOR PERKEBUNAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH DI PROVINSI ACEH PENGEMBANGAN INDUSTRI BERBASIS KOMODITAS UNGGULAN SUBSEKTOR PERKEBUNAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH DI PROVINSI ACEH ADINDA PUTRI SIAGIAN / NRP. 3609100701 Dosen Pembimbing Dr. Ir. Eko Budi Santoso, Lic.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan pertanian dewasa ini telah berorientasi bisnis (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut usahatani (on-farm agribusiness)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan merupakan proses perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kearah yang lebih baik dan lebih merata serta dalam jangka panjang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS Perencanaan pembangunan antara lain dimaksudkan agar Pemerintah Daerah senantiasa mampu menyelaraskan diri dengan lingkungan. Oleh karena itu, perhatian kepada mandat

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA

SEKOLAH PASCASARJANA ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH TERHADAP LINGKUNGAN DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: Sri Martini PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 ANALISIS DAMPAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam pembangunan perekonomian nasional. Peranannya sebagai menyumbang pembentukan PDB penyediaan sumber devisa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Wilayah

TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Wilayah TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah (regional development) merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah dan menjaga kelestarian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan perekonomian nasional dan menjadi sektor andalan serta mesin penggerak pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian. Indonesia memiliki beragam jenis tanah yang mampu. menyuburkan tanaman, sinar matahari yang konsisten sepanjang tahun,

I. PENDAHULUAN. pertanian. Indonesia memiliki beragam jenis tanah yang mampu. menyuburkan tanaman, sinar matahari yang konsisten sepanjang tahun, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris didukung oleh sumber daya alamnya yang melimpah memiliki kemampuan untuk mengembangkan sektor pertanian. Indonesia memiliki

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA METRO LAMPUNG BERBASIS EVALUASI KEMAMPUAN DAN KESESUAIAN LAHAN ROBBY KURNIAWAN SAPUTRA

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA METRO LAMPUNG BERBASIS EVALUASI KEMAMPUAN DAN KESESUAIAN LAHAN ROBBY KURNIAWAN SAPUTRA STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA METRO LAMPUNG BERBASIS EVALUASI KEMAMPUAN DAN KESESUAIAN LAHAN ROBBY KURNIAWAN SAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KAYU MANIS MENJADI KAKAO DI KECAMATAN GUNUNG RAYA KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KAYU MANIS MENJADI KAKAO DI KECAMATAN GUNUNG RAYA KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KAYU MANIS MENJADI KAKAO DI KECAMATAN GUNUNG RAYA KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI OLEH SUCI NOLA ASHARI A14302009 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

PERENCANAAN PEMANFAATAN LAHAN UNTUK BEBERAPA KOMODITAS PERKEBUNAN RAKYAT DI KABUPATEN PIDIE JAYA ZULFIKAR

PERENCANAAN PEMANFAATAN LAHAN UNTUK BEBERAPA KOMODITAS PERKEBUNAN RAKYAT DI KABUPATEN PIDIE JAYA ZULFIKAR PERENCANAAN PEMANFAATAN LAHAN UNTUK BEBERAPA KOMODITAS PERKEBUNAN RAKYAT DI KABUPATEN PIDIE JAYA ZULFIKAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUTE PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan merupakan salah satu subsektor strategis yang secara ekonomis, ekologis dan sosial budaya memainkan peranan penting dalam pembangunan nasional. Sesuai Undang-Undang

Lebih terperinci

KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT

KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT I. Perumusan Masalah Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang optimal membutuhkan sebuah pemahaman yang luas dimana pengelolaan SDA harus memperhatikan aspek

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN (Studi Kasus di Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau) RAHMAT PARULIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting diantara rempah-rempah lainnya; sehingga seringkali disebut sebagai

BAB I PENDAHULUAN. penting diantara rempah-rempah lainnya; sehingga seringkali disebut sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris mempunyai peluang yang cukup besar dalam mengembangkan ekspor produk pertanian, khususnya komoditas dari subsektor perkebunan. Besarnya

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia karena merupakan tumpuan hidup sebagian besar penduduk Indonesia. Lebih dari setengah angkatan kerja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas. Komoditas yang ditanami diantaranya kelapa sawit, karet, kopi, teh, kakao, dan komoditas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi secara langsung dalam pemasaran barang dan jasa, baik di pasar domestik

I. PENDAHULUAN. tinggi secara langsung dalam pemasaran barang dan jasa, baik di pasar domestik I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan daerah dalam era globalisasi saat ini memiliki konsekuensi seluruh daerah di wilayah nasional menghadapi tingkat persaingan yang semakin tinggi secara langsung

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengembangan Wilayah penghematan ongkos produksi dan distribusi yang disebabkan oleh kegiatankegiatan produksi yang dilakukan di satu tempat atau terkonsentrasi di suatu lokasi (Sitorus 2012), didekati dengan menganalisis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan 1.1. Latar Belakang Permasalahan BAB 1 PENDAHULUAN Indonesia mempunyai keunggulan komparatif (comparative advantage) sebagai negara agraris dan maritim. Keunggulan tersebut merupakan fundamental perekonomian

Lebih terperinci

Teknologi Pertanian Sehat Kunci Sukses Revitalisasi Lada di Bangka Belitung

Teknologi Pertanian Sehat Kunci Sukses Revitalisasi Lada di Bangka Belitung Teknologi Pertanian Sehat Kunci Sukses Revitalisasi Lada di Bangka Belitung Oleh: Agus Wahyudi (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (Sumber : SINAR TANI Edisi 17 23 November 2010)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang digilib.uns.ac.id 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana mata pencaharian mayoritas penduduknya dengan bercocok tanam. Secara geografis Indonesia yang juga merupakan

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Globalisasi ekonomi telah menambahkan banyak tantangan baru bagi agribisnis di seluruh dunia. Agribisnis tidak hanya bersaing di pasar domestik, tetapi juga untuk bersaing

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam menyumbangkan pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan pola konsumsi makanan pada masyarakat memberikan dampak positif bagi upaya penganekaragaman pangan. Perkembangan makanan olahan yang berbasis tepung semakin

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Kajian Kajian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, dengan batasan waktu data dari tahun 2000 sampai dengan 2009. Pertimbangan pemilihan lokasi kajian antar

Lebih terperinci

SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN PENOPANG PEREKONOMIAN BANGKA BELITUNG

SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN PENOPANG PEREKONOMIAN BANGKA BELITUNG Suplemen 4. Sektor-Sektor Unggulan Penopang Perekonomian Bangka Belitung Suplemen 4 SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN PENOPANG PEREKONOMIAN BANGKA BELITUNG Salah satu metode dalam mengetahui sektor ekonomi unggulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Pembangunan Ekonomi Daerah Pembangunan ekonomi daerah merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek termasuk di dalamnya struktur sosial, sikap masyarakat, serta institusi nasional dan mengutamakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu hal yang cukup penting dalam mewujudkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu hal yang cukup penting dalam mewujudkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu hal yang cukup penting dalam mewujudkan keadilan dan kemakmuran masyarakat serta pencapaian taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih baik.

Lebih terperinci

SUMIRIN TEGUH HARYONO

SUMIRIN TEGUH HARYONO EVALUASI DAMPAK PROGRAM PENGEMBANGAN AGROPOLITAN TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT (STUDI KASUS DI KAWASAN AGROPOLITAN WALIKSARIMADU KABUPATEN PEMALANG) SUMIRIN TEGUH HARYONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. maupun sebagai sumber mata pencaharian sementara penduduk Indonesia.

I. PENDAHULUAN. maupun sebagai sumber mata pencaharian sementara penduduk Indonesia. 17 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan sebagai salah satu subsektor pertanian, mempunyai peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional. Baik sebagai sumber penghasil devisa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Berbagai studi menunjukkan bahwa sub-sektor perkebunan memang memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. Metode Pengumpulan Data

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian. Metode Pengumpulan Data METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Juni hingga September 2011.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan tradisional yang mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Peran tersebut antara lain adalah sebagai sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Isu strategis yang kini sedang dihadapi dunia adalah perubahan iklim global, krisis pangan dan energi dunia, harga pangan dan energi meningkat, sehingga negara-negara

Lebih terperinci

ANALISIS USAHA TANI LADA DAN ARAHAN PENGEMBANGANNYA DI KABUPATEN BANGKA TENGAH

ANALISIS USAHA TANI LADA DAN ARAHAN PENGEMBANGANNYA DI KABUPATEN BANGKA TENGAH ANALISIS USAHA TANI LADA DAN ARAHAN PENGEMBANGANNYA DI KABUPATEN BANGKA TENGAH Maryadi 1, Atang Sutandi 2, Ivanovich Agusta 3 1 Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, Institut Pertanian Bogor 2 Departemen

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN PROVINSI GORONTALO : IDENTIFIKASI SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN DWI MUSLIANTI H

PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN PROVINSI GORONTALO : IDENTIFIKASI SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN DWI MUSLIANTI H PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN PROVINSI GORONTALO 2001-2008: IDENTIFIKASI SEKTOR-SEKTOR UNGGULAN DWI MUSLIANTI H 14094014 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci