Laporan Akhir Koordinasi Strategis Reformasi Regulasi Tahun 2012 Direktorat Analisa Peraturan Perundang - Undangan
|
|
- Yulia Budiono
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Laporan Akhir Koordinasi Strategis Reformasi Regulasi Tahun 2012 Direktorat Analisa Peraturan Perundang - Undangan
2 DAFTAR ISI DAFTAR ISI i-iii BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Tujuan... 3 I.3. Kegiatan & Sasaran... 3 I.4. Keluaran I.5. Metodologi I.6. Pelaksana Kegiatan I.7. Jadual Pelaksanaan... 4 I.8. Pembiayaan BAB II REFORMASI REGULASI II.1. Kondisi Umum... 6 II.2. Kerangka Pikir Reformasi Regulasi... 9 II.3. Kebijakan Reformasi Regulasi II.4. Prinsip-prinsip Reformasi Regulasi II.5. Tujuan dan Manfaat Reformasi Regulasi II.5.1. Tujuan II.5.2. Manfaat BAB III SIMPLIFIKASI REGULASI III.1. Pengertian MAPP III.2. Pelaksana MAPP III.3. Kriteria MAPP III.4. Tahapan dan Alur Operasionalisasi MAPP III.5. Pedoman Penggunaan MAPP III.5.1. Inventarisasi dan Klasifikasi Regulasi III.5.2. Identifikasi/Klasifikasi Permasalahan III.5.3. Analisis Individual III.5.4. Konsolidasi Analisis III.5.5. P e n y u s u n a n R encana Tindak BAB IV PEMBENTUKAN REGULASI YANG BERKUALITAS DENGAN MODEL ANALISA KERANGKA REGULASI (MAKARA) IV.1. Pembentukan Regulasi Laporan Akhir Koordinasi Strategis Reformasi Regulasi Tahun 2012 i
3 IV.2. Pengertian IV.3. Prinsip-prinsip MAKARA IV.4. Kriteria MAKARA IV.5. Mekanisme Pengusulan Kerangka Regulasi Dalam Dokumen Perencanaan (RKP/RKPD) IV.5.1. Pusat IV.5.2. Daerah IV.6. Kriteria MAKARA RKP/RKPD IV.6.1. Umum IV.6.2. Proses BAB V SOSIALISASI DAN FASILITASI REFORMASI REGULASI DI DAERAH 28 V.1. Permasalahan Umum Regulasi di Daerah V.2. Upaya yang telah dilakukan di Daerah V.3. Kendala dan Tantangan Penerapan Reformasi Regulasi di Daerah V.4. Pelaksanaan Sosialisasi Penerapan Reformasi Regulasi di Daerah V.4.1. Provinsi Sumatera Selatan V.4.2. Provinsi Kalimantan Selatan V.5. Pelaksanaan Fasilitasi Penerapan Reformasi Regulasi di Daerah V.5.1. Kabupaten Sampang V.5.2. Kota Makassar V.5.3. Kabupaten Jember V.5.4. Kota Kendari V.5.5. Kabupaten Tuban V.5.6. Kota Palu BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan VI.2. Rekomendasi DAFTAR LAMPIRAN SK Kegiatan Koordinasi Strategis Reformasi Regulasi Paparan Sosialisasi Direktur Analisa Peraturan Perundang-undangan, Bappenas Paparan Fasilitasi Direktur Analisa Peraturan Perundang- undangan, Bappenas Paparan Sosialisasi Kepala Biro Hukum Provinsi Sumatera Selatan Paparan Sosialisasi Kepala Biro Hukum Provinsi Kalimantan Selatan Paparan Sosialisasi Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Sumatera Selatan Paparan Sosialisasi Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Kalimantan Selatan Laporan Akhir Koordinasi Strategis Reformasi Regulasi Tahun 2012 ii
4 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pasal 1 ayat 3 Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi dari pernyataan sebagai Negara hukum adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas kenegaraan/pemerintahan harus berdasarkan hukum dan memberikan kepastian hukum. Penyelenggaraan tugas kenegaraan/pemerintahan berawal dari konsep para penyelenggara Negara dalam menentukan kebijakan pembangunan. Kebijakan yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan atau dengan bentuk lain di luar peraturan perundang-undangan. Kebijakan dalam hal ini pembentukan hukum oleh penyelenggara Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan perundangundangan agar mencapai tujuan dan cita-cita masyarakat. Kesesuaian antara kebijakan dengan peraturan perundang-undangan merupakan hal penting yang harus menjadi perhatian para penyelenggara Negara dalam mencapai tujuan dan cita-cita masyarakat, agar terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum dapat tercapai melalui peraturan perundang-undangan yang jelas, tegas, dan konsisten, yakni melalui tertib peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu upaya pemerintah melalui reformasi regulasi demi mewujudkan kepastian hukum merupakan suatu langkah yang terbaik guna mengatasi permasalahan terkait peraturan perundangundangan. Kondisi yang terjadi pada saat ini terdapat kecenderungan pembentukan peraturan perundang-undangan secara berlebihan tanpa melihat dan disesuaikan dengan arah prioritas pembangunan nasional. Hal ini mengakibatkan jumlah peraturan perundang-undangan tersebut menjadi semakin banyak (hyper regulations). Gejala hyper regulations ini masih ditambah dengan rendahnya kualitas sebagian besar peraturan perundang-undangan yang ditunjukkan antara lain melalui ketidaksesuaian antara pilihan jenis peraturan perundang-undangan dengan materi muatan yang diaturnya, tumpang tindih, inkonsisten, pertentangan dan multitafsir antar peraturan perundang-undangan baik yang sejenis maupun dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. 1
5 Untuk mendorong kinerja pembangunan yang lebih baik dibutuhkan langkah-langkah luar biasa (extra ordinary action) untuk mengatasi permasalahan yang terkait dengan belum terwujudnya kepastian hukum yang disebabkan oleh tiadanya tertib peraturan perundangundangan. Dalam rangka mewujudkan tertib peraturan perundang-undangan diperlukan reformasi regulasi yang didefinisikan sebagai suatu upaya dalam rangka meningkatkan kualitas dan efektivitas peraturan perundang-undangan agar terwujud tertib peraturan perundangundangan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan para pencari keadilan. Mengingat kompleksnya permasalahan peraturan perundang-undangan yang dihadapi, khususnya banyaknya peraturan perundang-undangan dimiliki (hyper regulations), maka dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut dilakukan upaya pengembangan tools yang diharapkan dapat membantu memetakan, mengkaji peraturan yang diindikasikan atau berpotensi menghambat laju dalam berbagai bidang pembangunan yaitu Model Analisa Peraturan Perundang-undangan (MAPP) dan tools untuk mengkaji draft rancangan peraturan perundang-undangan yang diusulkan dalam dokumen perencanaan (RKP dan RKPD) yaitu Model Analisa Kerangka Regulasi (MAKARA). Untuk memberikan pemahaman sekaligus memasyarakatkan mengenai pentingnya reformasi regulasi serta tools yang digunakan maka perlu dilakukan kegiatan koordinasi strategis reformasi regulasi berupa kegiatan sosialisasi dan fasilitasi penerapan reformasi regulasi di beberapa daerah. Melalui sosialisasi diharapkan upaya reformasi regulasi pada tingkat pusat maupun daerah dapat berjalan secara berkesinambungan dengan berpegang pada konsep sederhana, mudah digunakan dan akuntabel (simple, user friendly and accountable). Melalui sosialisasi maka analisa terhadap peraturan perundang-undangan yang diindikasikan/berpotensi bermasalah yang dilakukan diharapkan dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Dan secara umum hal tersebut dapat mewujudkan tertib regulasi, penyederhanaan regulasi, dan kepastian hukum yang merupakan tujuan dari reformasi regulasi. Sedangkan fasilitasi penerapan reformasi regulasi diperlukan sebagai tindak lanjut kegiatan sosialisasi reformasi regulasi yang telah dilaksanakan pada tahun 2011 yang lalu khususnya di Provinsi Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Melalui fasilitasi diharapkan beberapa pemerintah daerah akan dapat segera mengimplementasikan konsep reformasi regulasi sekaligus dapat segera memperbaiki kualitas regulasi yang dimiliki. Pada tahun 2012, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional telah melakukan kegiatan koordinasi strategis reformasi 2
6 regulasi yaitu berupa sosialisasi dan fasilitasi. Kegiatan sosialisasi dilaksanakan di dua provinsi yaitu Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Kalimantan Selatan. Sedangkan kegiatan fasilitasi dalam rangka memberikan pendampingan penerapan konsep reformasi regulasi sekaligus sebagai tindak lanjut kegiatan sosialisasi tahun 2011, telah dilakukan di Kabupaten Jember, Kabupaten Sampang, Kabupaten Tuban, Kota Kendari, Kota Makassar dan Kota Palu. I.2. Tujuan Tujuan dari kegiatan ini adalah (1) memberikan pemahaman mengenai pentingnya tertib peraturan perundang-undangan; (2) memberikan pembelajaran mengenai konsep reformasi regulasi serta tools yang menyertainya; dan (3) memberikan pendampingan terhadap beberapa daerah dalam rangka penerapan konsep reformasi regulasi. I.3. Kegiatan dan Sasaran Koordinasi strategis reformasi regulasi diselenggarakan melalui kegiatan: (1) Sosialisasi konsep reformasi regulasi serta tools (MAPP dan MAKARA) yang digunakan dalam upaya mewujudkan tertib regulasi; dan (2) Fasilitasi penerapan konsep reformasi regulasi. Sasaran yang akan dicapai melalui kegiatan ini adalah (1) Terselenggaranya sosialisasi konsep reformasi regulasi serta tools (MAPP dan MAKARA) yang digunakan dalam upaya mewujudkan tertib regulasi; dan (2) Terselenggaranya fasilitasi penerapan konsep reformasi regulasi. I.4. Keluaran Keluaran yang dihasilkan dari kegiatan Koordinasi Strategis Reformasi Regulasi adalah dipahaminya konsep reformasi regulasi sekaligus tools yang menyertainya dan diimplemantasikannya konsep tersebut pada beberapa daerah. Semua informasi tersebut dikemas dalam bentuk laporan kegiatan yang mencakup 2 (dua) kegiatan utama yaitu (1) Sosialisasi konsep reformasi regulasi serta tools (MAPP dan MAKARA) yang digunakan dalam upaya mewujudkan tertib regulasi; dan (2) Fasilitasi penerapan konsep reformasi regulasi. I.5. Metodologi 3
7 Metodologi pelaksanaan kegiatan ini disesuaikan dengan dua sub-kegiatan yang ditetapkan, sebagai berikut: 1. Sosialisasi konsep reformasi regulasi serta tools yang digunakan dalam upaya mewujudkan tertib regulasi. Sosialisasi reformasi regulasi diawali dengan memberikan penjelasan mengenai kondisi regulasi Indonesia serta pentingnya tertib regulasi dan memberikan informasi manfaat bekerja berdasarkan regulasi yang tertib. Tahap berikutnya adalah memberikan penjelasan mengenai tata cara bagaimana reformasi regulasi diselenggarakan yaitu untuk future regulations melalui pengelolaan kerangka regulasi menggunakan tools Model Analisa Kerangka Regulasi (MAKARA) dan untuk existing regulations melalui simplifikasi regulasi menggunakan tools Model Analisa Peraturan Perundang-undangan (MAPP). 2. Fasilitasi penerapan konsep reformasi regulasi. Fasilitasi penerapan konsep reformasi regulasi akan difokuskan pada penerapan konsep simplifikasi regulasi. Daerah didampingi untuk memahami dan menerapkan konsep reformasi regulasi. Mengingat ruang lingkup regulasi daerah yang sangat banyak maka sebagai langkah awal daerah didorong untuk menginventarisir, mengidentifikasi, menganalisis dan menyusun rencana tindak terhadap peraturan perundang-undangan yang ada di daerah masing-masing. I.6. Pelaksana kegiatan Secara institusional, pelaksana utama kegiatan ini adalah Direktorat Analisa Peraturan Perundang-undangan, Bappenas. Pelaksana kegiatan terdiri dari Tim Pengarah, dan Tim Teknis. Tim pengarah diketuai oleh Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas. Wakil Ketua Tim Pengarah yang akan merangkap sebagai Penanggung Jawab adalah Deputi Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan Bappenas, dan beranggotakan Pejabat Eselon I pada Kementerian dan Lembaga terkait. Tim Teknis diketuai oleh Direktur Analisa Peraturan Perundang-undangan, Bappenas dibantu oleh seorang sekretaris dan beranggotakan pejabat eselon II dan staf yang mewakili kementerian/lembaga terkait sebanyak 8 orang. I.7. Jadual pelaksanaan Jadual pelaksanaan kegiatan adalah dari Januari 2012 Desember 2012 dan direncanakan berlangsung sebagaimana dimaksud pada tabel berikut. 4
8 JADUAL PELAKSANAAN KEGIATAN KOORDINASI STRATEGIS REFORMASI REGULASI TAHUN 2012 KEGIATAN JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGU SEP OKT NOV DEC Rapat Tim Koordinasi Strategis Koordinasi Pemantapan Konsep Reformasi Regulasi dan tools nya: Model Analisa Peraturan Perundangundangan (MAPP) dan Model Analisa Kerangka Regulasi (MAKARA) Konsinyiring Sosialisasi Konsep Reformasi Regulasi Fasilitasi penerapan konsep reformasi regulasi 1. Kab. Sampang, tgl Maret; 2. Kota Makassar, tgl Maret; 3. Kab. Jember, tgl Maret; 4. Kota Kendari, tgl. 2-4 Mei; 5. Kab. Tuban, tgl Mei; 6. Kota Palu, tgl 30 Mei-1 Juni. Penyusunan Laporan Pelaksanaan Kegiatan Juni 4-6 Juli I.8. Pembiayaan Biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan kegiatan ini adalah sebesar Rp ,- (Delapan ratus tiga puluh satu juta dua ratus tiga puluh dua ribu rupiah) dan dibebankan kepada DIPA Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tahun
9 BAB II REFORMASI REGULASI II.1 Kondisi Umum Gambaran umum mengenai keadaan perundang-undangan di Indonesia pada saat ini adalah mengkhawatirkan tetapi bukan tidak ada harapan. Keadaan tersebut antara lain tercermin dari banyaknya perselisihan baik yang bersifat institusional, individual maupun antar individu dan institusi. Situasi yang sama juga dapat terlihat dari banyaknya permohonan judicial review yang diajukan baik ke Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung. Di samping itu juga banyak keluhan yang diajukan berbagai kalangan termasuk kalangan pelaku ekonomi mengenai betapa sulitnya memahami regulasi yang ada. Regulasi pula yang dipandang sebagai salah satu kendala bagi masuknya investasi ke Indonesia. Paling tidak terdapat tiga alasan utama yang dapat menjelaskan gambaran tersebut. Ketiga alasan tersebut adalah: Pertama, rendahnya appresiasi terhadap regulasi, termasuk terhadap proses pembentukannya. Hal ini merupakan akibat dari kurangnya pemahaman mengenai hakekat regulasi, baik dari para pembentuk regulasi itu sendiri maupun dari masyarakat luas. Dalam kaitan ini, regulasi seringkali dipahami sebagai sesuatu yang lain dan seolah-olah tidak berkaitan dengan policy (kebijakan). Beberapa pejabat bahkan memandang regulasi sebagai sesuatu yang datang begitu saja dan tinggal mematuhi dan melaksanakannya. Mereka lupa bahwa substansi dari regulasi adalah suatu kebijakan yang sangat mungkin mereka buat sendiri. Kebijakan tersebut dikonversi menjadi regulasi, karena regulasi mempunyai kekuatan memaksa agar setiap orang mematuhinya. Regulasi juga dapat memberikan sanksi apabila terjadi pelanggaran terhadapnya. Kedua, kualitas regulasi. Sebagai akibat dari rendahnya pemahaman dan apresiasi terhadap regulasi, terutama dari para pihak yang bertanggungjawab terhadap perumusan kebijakan dan pembentukan regulasi, maka kualitas regulasi tidak lagi menjadi perhatian utama selama proses pembentukan regulasi. Secara umum, regulasi dikatakan tidak berkualitas adalah apabila di dalam regulasi terdapat permasalahan yang indikasinya adalah konflik atau tumpang tindih (baik antar pasal di dalam satu regulasi maupun dengan regulasi lain yang setingkat maupun yang lebih tinggi), inkonsisten, duplikasi, multi-tafsir, dan tidak operasional. Permasalahan tersebut berimplikasi pada operasionalisasi di lapangan sehingga mengakibatkan kinerja yang tidak optimal. 6
10 Ketiga, kuantitas regulasi. Kuantitas regulasi yang proporsional merupakan hal penting di dalam suatu sistem regulasi nasional yang utuh, efektif dan efisien.yang dimaksud dengan proporsional adalah sesuai dengan kebutuhan, atau dengan kata lain, regulasi yang dibutuhkan tidak boleh terlalu banyak dan juga tidak boleh kurang. Regulasi yang terlalu banyak, apalagi dengan kualitas yang buruk, hanya mengakibatkan kebingungan bagi semua pihak, baik pelaksananya, penegak hukumnya maupun pihak yang diatur. Regulasi yang berlebihan juga berkaitan erat dengan inefisiensi anggaran karena pada dasarnya operasionalisasi regulasi memerlukan anggaran. Regulasi yang kurang mengakibatkan terjadinya kekosongan hukum. Dalam hal demikian maka masyarakat, termasuk para birokrat serta pelaku ekonomi kehilangan panduan perilaku. Sementara warga masyarakat berperilaku terlalu bebas dan serba boleh kecuali yang secara jelas dilarang, para birokrat yang kekurangan dasar hukum untuk bertindak mengandalkan kebijakan karena memang harus bertindak, sehingga yang terjadi adalah ketidakpastian hukum, dan ini adalah awal dari terjadinya kekacauan sosial. Kesimpulan penting yang dapat ditarik dari penjelasan tersebut di atas adalah apresiasi terhadap regulasi, kualitas yang rendah, serta kuantitas regulasi yang tidak terkelola dengan baik, merupakan kata kunci bagi tertib penyelenggaraan Negara dan dinamika sosial yang tertib. Ketiga hal tersebut di atas juga merupakan alasan mendasar perlunya diselenggarakan reformasi regulasi untuk mewujudkan sistem regulasi yang berkualitas, sederhana dan tertib. Sistem regulasi dengan kuantitas yang tidak terkendali dan kualitas yang buruk disamping mengakibatkan rendahnya tingkat kepatuhan juga membawa konsekuensi sosial ekonomi yang relatif tinggi. Adapun konsekuensi-konsekuensi tersebut di antaranya adalah sebagai berikut: a. Kinerja penyelenggaraan negara kurang optimal Regulasi merupakan faktor determinan terhadap baik buruknya kinerja penyelenggaraan negara. Sistem regulasi yang baik merupakan modal awal bagi terwujudnya kinerja penyelenggaraan negara, sebaliknya sistem regulasi yang buruk juga menjadi sebab rendahnya kinerja penyelenggaraan negara. Ini sesuai dengan pendapat bahwa negara gagal adalah negara yang tidak mampu mengelola sistem regulasinya dengan baik. Apresiasi yang rendah terhadap regulasi, termasuk terhadap proses pembentukannya, adalah penyebab utama buruknya kinerja penyelenggaraan Negara dan pembangunan. Apresiasi yang rendah terhadap regulasi terjadi sejak awal pembentukannya, maka hasil yang diperoleh adalah regulasi yang tidak berkualitas. Oleh karena regulasi adalah dasar dari setiap 7
11 tindakan, terutama dalam penyelenggaraan negara, maka kualitas regulasi yang tidak berkualitas, apalagi dengan kuantitas yang tidak proporsional, berpengaruh besar terhadap kinerja penyelenggaraan negara. Regulasi yang demikian menimbulkan ketidakpastian dan menjadi beban bagi birokrat yang berkewajiban mengimplementasikan atau mengoperasionalkannya. Dalam menghadapi regulasi yang konflik, seorang birokrat hanya dapat mematuhi salah satu diantaranya, dan pada saat yang sama ia tidak mematuhi atau melanggar regulasi yang lain. Dalam hal regulasi yang dihadapi tidak jelas, maka birokrat harus mengintepretasikan sendiri agar dapat mematuhi atau mengimplementasikannya. Akan tetapi sangat mungkin pihak lain, termasuk penegak hukum mengintepretasikannya secara berbeda dan menempatkannya pada posisi yang salah dan ia harus memikul resiko tersebut. Kualitas regulasi yang buruk dan kuantitas regulasi yang tidak proporsional hanya mengakibatkan ketidakpastian. Bagi para birokrat, keadaan tersebut mengakibatkan ketidakpastian tindakan, dan dampaknya adalah menurunnya kinerja dalam penyelenggaraan negara. b. Rasa aman dalam bekerja Disamping menurunnya kinerja dalam penyelenggaraan negara, kualitas regulasi yang buruk dan kuantitas regulasi yang tidak proporsional, meningkatkan risiko serta mengganggu atau mengurangi rasa aman bagi setiap birokrat dalam melakukan tindakan apapun dalam rangka penyelenggaraan negara. Dalam sistem regulasi yang diwarnai konflik, inkonsisten dan multitafsir, mematuhi regulasi regulasi yang satu dapat berarti melanggar regulasi yang lain. Semakin banyak regulasi bermasalah yang dihadapi berarti semakin banyak kemungkinan kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan dan semakin tinggi risiko yang dihadapi. Meningkatnya risiko seperti ini tidak memberikan rasa aman dalam bekerja. c. Masyarakat membayar lebih dari pada yang seharusnya Dalam berbagai bidang, regulasi menjadi dasar hukum dari berbagai jenis pungutan resmi yang dilakukan oleh pemerintah/pemerintah daerah. Namun demikian, banyak dari regulasi terkait pungutan tersebut yang secara sosiologis tidak lagi memiliki landasan kuat atau sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi, akan tetapi masih efektif dan belum dicabut sehingga masyarakat membayar pungutan secara berlebihan tanpa ada manfaat yang dapat diambil. Regulasi yang demikian hanya memberikan beban yang berlebihan kepada masyarakat. d. Inefisiensi anggaran: biaya investasi, implementasi dan penegakan hukum 8
12 Kuantitas regulasi regulasi yang berlebihan merupakan beban bagi APBN/APBD, baik pada saat pembentukannya maupun pada saat implementasi maupun penegakannya. Inefisiensi terjadi ketika regulasi yang dioperasionalkan ternyata tidak memberi manfaat bagi masyarakat luas karena alasan tertentu, misalnya bertentangan dengan regulasi regulasi yang lebih tinggi, duplikasi, atau tidak operasional. e. Menurunnya minat investasi, terutama Foreign Direct Investment (FDI) Kuantitas regulasi yang terlalu banyak dan kualitas regulasi yang kurang baik mengakibatkan tiadanya kepastian hukum. Bagi investor, tiadanya kepastian hukum merupakan hambatan besar karena investor tidak memperoleh jaminan atas investasi yang dilakukannya. Akibatnya investor lebih menahan diri untuk melakukan investasi atau mengalihkan investasinya di negara lain yang lebih mampu memberikan kepastian hukum dan jaminan atas investasinya. f. Hilangnya kesempatan dan lapangan kerja Investasi pada dasarnya adalah penggerak aktivitas perekonomian. Oleh karena itu, menurunnya minat investasi berdampak besar terhadap berbagai sektor lain, yang salah satunya adalah sektor ketenagakerjaan. Dengan demikian, ketidakpastian hukum sebagai akibat dari buruknya kualitas regulasi berdampak langsung terhadap berbagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat II.2 Kerangka Pikir Reformasi Regulasi Sistem Regulasi yang berkualitas memudahkan setiap orang untuk memahami, mematuhi dan melaksanakannya. Sistem Regulasi yang berkualitas paling tidak ditandai dengan 2 (dua) ciri utama, yaitu sederhana dan tertib. Kedua ciri tersebut merupakan determinan pengukur bagi derajat kepatuhan (compliance rate) masyarakat terhadap sebuah sistem regulasi. Sistem Regulasi yang sederhana adalah sistem regulasi yang terdiri dari seperangkat regulasi dalam jumlah yang proporsional. Dari perspektif kuantitas, regulasi yang proporsional diartikan sebagai jumlah regulasi yang tidak terlalu sedikit, tetapi juga tidak terlalu banyak. Di dalam praktek penyelenggaraan negara, regulasi yang terlalu sedikit maupun regulasi yang terlalu banyak (over regulation) menimbulkan akibat yang sama, yaitu ketidakpastian. Dalam hal demikian, maka penyelenggaraan negara hanya bertumpu kepada diskresi. Apabila penggunaan diskresi di dalam penyelenggaraan negara tersebut berlebihan, maka dapat dikatakan bahwa sistem regulasi tersebut telah tidak berfungsi. 9
13 Dari perspektif kualitas, regulasi yang sederhana adalah regulasi yang perumusannya dilakukan dengan bahasa yang mudah dipahami dan tidak membuka kemungkinan terjadinya penafsiran yang berbeda. Perumusan regulasi tersebut juga harus konsisten, bahkan antara regulasi yang satu dengan regulasi yang lain, sehingga tidak memungkinkan terjadinya konflik antar regulasi. Dari perspektif legalitas, sistem regulasi yang tertib adalah sistem regulasi yang mampu menjaga tata urutan (hirarki) regulasi sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundangundangan. Sistem regulasi yang tertib juga tercermin dari dipatuhinya asas-asas pembentukan regulasi yang berlaku secara internasional. II.3 Kebijakan Reformasi Regulasi Untuk meningkatkan kualitas sistem regulasi nasional, pilihan kebijakan yang secara umum dilakukan oleh kebanyakan negara maju, yaitu Reformasi Regulasi atau yang di lingkungan international dikenal sebagai Regulatory Reform. Salah satu lembaga internasional yang memberi perhatian besar terhadap regulasi, Organization of Economic Cooperation and Development (OECD), mendefinisikan Regulatory Reform sebagai perubahan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas regulasi. Reform dalam hal ini dapat berarti memperbaiki regulasi, mencabut regulasi, dan membangun kembali sistem regulasi dan kelembagaan yang berkaitan dengan kewenangan pembentukan regulasi, atau pengembangan proses pembentukan regulasi, serta pengelolaan reformasi regulasi. Untuk mewujudkan sistem regulasi yang berkualitas, penyelenggaraan reformasi regulasi dilakukan melalui 2 (dua) kebijakan, yaitu: (1) Simplifikasi Regulasi, dan (2) Pembentukan Regulasi yang Berkualitas. Simplifikasi regulasi merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas sistem regulasi dengan cara melihat atau meneliti kembali regulasi yang ada dan masih berlaku, dan kemudian menyederhanakannya dengan cara mencabut regulasi yang tidak diperlukan, merevisi dan memperbaiki regulasi yang diperlukan tetapi bermasalah, dan mempertahankan regulasi yang berkualitas baik dan diperlukan. Dengan kata lain, simplifikasi Regulasi merupakan REFORMASI REGULASI EXISTING REGULATION SIMPLIFIKASI REGULASI FUTURE REGULATION PEMBENTUKAN REGULASI YANG BERKUALITAS upaya untuk mewujudkan sistem regulasi yang lebih sederhana baik secara kuantitas maupun 10
14 kualitas. Dari perspektif kuantitas, sistem regulasi yang sederhana meliputi serangkaian regulasi dalam jumlah yang proporsional, dalam arti tidak terlalu sedikit tetapi juga tidak terlalu banyak. Sistem regulasi yang dioperasionalkan seharusnya hanya meliputi serangkaian regulasi yang dibutuhkan. Dari perspektif kualitas sistem regulasi yang sederhana bermaterikan regulasi yang tidak mengandung norma yang berpotensi konflik dengan norma lain dalam satu regulasi ataupun norma dalam regulasi yang lain. Regulasi tersebut juga harus dirumuskan dengan cara yang tidak rumit sehingga tidak membuka peluang terjadinya multi-tafsir dan meudahkan setiap orang untuk memahami dan mematuhinya. Pembentukan Regulasi yang Berkualitas merupakan kebijakan peningkatan kualitas regulasi dengan fokus pada upaya pembenahan kelembagaan yang berkaitan dengan kewenangan pembentukan regulasi, atau pengembangan proses pembentukan regulasi, serta pengelolaan reformasi regulasi. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah dengan melakukan analisis terhadap kerangka regulasi yang diusulkan di dalam proses perencanaan pembangunan. II.4 Prinsip-prinsip Reformasi Regulasi Penyelenggaraan Reformasi Regulasi mengadopsi prinsip-prinsip sederhana (simple), mudah diaplikasikan (user friendly), dan akuntabel (accountable). 1. Sederhana (simple), artinya mudah dipahami dan dioperasionalkan, tidak hanya oleh K/L/Pemda. Sebagai suatu instrument simplifikasi regulasi, MAPP juga dapat dioperasionalkan oleh para pemangku kepentingan (pengusaha, organisasi dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat), maupun masyarakat umum walaupun keputusan akhir tetap berada di tangan pejabat publik. 2. Mudah diaplikasikan (User friendly), artinya mudah diaplikasikan khususnya oleh aparatur pemerintah baik dipusat maupun di daerah yang akan terlibat dalam analisis/review regulasi. Ciri mudah diaplikasikan juga terlihat dari kriteria yang tidak terlalu banyak dan lebih mudah dipahami 3. Akuntabel (accountable), artinya meskipun model ini memiliki ciri sederhana dan mudah diaplikasikan, namun hal itu bukan berarti tidak dapat dipertanggungjawabkan. Model Analisa Peraturan Perundang-undangan yang dibangun tetap dapat dipertanggung-jawabkan, baik dalam hal manfaat dan efektivitasnya, maupun proses dan prosedur (tata caranya). Model ini juga dibangun dengan landasan akademik maupun praktis yang dapat dipertanggung-jawabkan. 11
15 II.5 Tujuan dan Manfaat Reformasi Regulasi II.5.1 Tujuan Tujuan reformasi regulasi adalah mewujudkan regulasi yang berkualitas, sederhana dan tertib. Upaya itu dilakukan melalui pembenahan regulasi yang sudah ada dan pembentukan regulasi yang berkualitas sesuai dengan asas-asas pembentukan regulasi yang patut, keberadaannya memang benar-benar dibutuhkan, dan implementasinya dapat mendorong tercapainya tujuan pembangunan nasional. II.5.2 Manfaat Manfaat yang diharapkan dengan diterapkannya reformasi regulasi antara lain adalah terwujudnya Sistem Regulasi Nasional yang tertib dan lebih mampu menghadirkan kepastian hukum. Manfaat lain yang bersifat tidak langsung, antara lain adalah: a. Terwujudnya iklim kerja yang lebih baik bagi penyelenggara negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya; b. Tercapainya kinerja penyelenggaraan dan pembangunan negara yang didukung oleh regulasi yang lebih tertib dan sederhana; c. Efisiensi anggaran negara; d. Meningkatnya investasi; e. Meningkatnya lapangan kerja; dan f. Meningkatnya tingkat kesejahteraan. 12
16 BAB III SIMPLIFIKASI REGULASI Simplifikasi regulasi merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas sistem regulasi dengan cara melihat atau meneliti kembali regulasi yang ada dan masih berlaku, dan kemudian menyederhanakannya dengan cara mencabut regulasi yang tidak diperlukan, merevisi dan memperbaiki regulasi yang diperlukan tetapi bermasalah, dan mempertahankan regulasi yang berkualitas baik dan diperlukan. Untuk melakukan simplifikasi regulasi, instrumen yang digunakan adalah Model Analisa Peraturan Perundang-undangan (MAPP), suatu model yang dikembangkan dan dirancang dengan menggunakan kriteria tertentu untuk menetapkan apakah suatu regulasi harus dipertahankan, direvisi atau dicabut. III.1 Pengertian MAPP MAPP adalah suatu instrumen yang dibuat untuk melakukan evaluasi terhadap regulasi yang berlaku atau sedang menjadi hukum positif. Model ini dikembangkan dari teori keberlakuan peraturan perundang-undangan yang mendasarkan pada aspek filosofis, aspek yuridis dan aspek sosiologis. Agar lebih operasional, ketiga aspek tersebut kemudian dirumuskan kembali ke dalam bentuk kriteria MAPP, yaitu legalitas, kebutuhan dan keramahan. Tujuan utama dari dikembangkannya MAPP adalah untuk melakukan simplifikasi regulasi sehingga regulasi yang ada menjadi lebih proporsional dan dengan kualitas yang lebih baik. Untuk itu, rekomendasi dari MAPP meliputi 3 (tiga) pilihan tindakan, yaitu: (1) regulasi dipertahankan; (2) regulasi direvisi; dan (3) regulasi dicabut. III.2 Pelaksana MAPP Pada dasarnya pelaksana utama kegiatan reviu/evaluasi regulasi adalah institusi pembentuk regulasi itu sendiri. Namun demikian karena besarnya potensi lintas sektor atau lintas institusi pada regulasi, maka operasionalisasi MAPP memerlukan keterlibatan institusi lain yang teridentifikasi sebagai pemangku kepentingan. Secara umum, MAPP dioperasionalkan oleh 2 (dua) kelompok kerja, yaitu, Kelompok Kerja Sekretariat Kegiatan (KKSK) dan Kelompok Kerja Analis (KKA). KKSK terdiri dari staf pada biro/bagian hukum pada kementerian/lembaga/pemerintah daerah dan dipimpin oleh Kepala Biro/Bagian Hukum. KKSK mempunyai fungsi dan tugas sebagai berikut: (1) menyelenggarakan administrasi umum kegiatan, dan (2) menyelenggarakan administrasi substansi regulasi yang antara lain meliputi: a. Menginventarisasi regulasi; b. Mengklasifikasi regulasi; c. Mengidentifikasi masalah dan potensi masalah, serta institusi yang terkait dengan 13
17 regulasi yang dianalisis; d. Menyusun resume putusan analis; e. Menyusun rancangan penetapan putusan akhir hasil analisis; dan f. Menyusun rencana tindak. Selanjutnya, KKA yang bermaterikan para analis, yaitu pejabat yang berwenang untuk mengambil putusan dan mewakili kementerian yang terkait dengan regulasi yang dianalisis. Hirarki pejabat yang menjadi analis disesuaikan dengan jenis regulasi yang dianalisis. Semakin tinggi regulasi yang dianalisis, semakin tinggi jabatan pejabat yang duduk sebagai analis. Keanggotaan analis harus berjumlah ganjil untuk memudahkan pengambilan putusan akhir. Dalam hal jumlah analist yang teridentifikasi berjumlah genap, maka jumlah analis harus ditambah satu orang yang mempunyai posisi netral. Para analis dapat melakukan analisis dan membuat keputusan secara individual dan tidak perlu duduk bersama dengan para analis lainnya untuk membuat keputusan apakah sebuah regulasi dipertahankan, direvisi atau dicabut. Dengan demikian, analisis dan keputusan dapat dibuat dengan cara yang cepat dan efisien. Dalam melakukan pekerjaannya, setiap analis menerima bahan dari sekretariat kegiatan. Bahan yang disampaikan tersebut berupa suatu regulasi dan informasi mengenai permasalahan regulasi yang telah teridentifikasi, kaitannya dengan regulasi lain yang ditemukan, dan analisis awal yang telah dibuat oleh KKSK. Para analis tinggal membaca dan membuat keputusan apakah regulasi yang bermasalah tersebut dipertahankan, direvisi atau dicabut. Masing-2 analis kemudian menuliskan keputusan yang dibuatnya dan menandatanganinya di dalam satu format yang telah disediakan. Keputusan individual ini kemudian dikembalikan kepada KKSK untuk digabung dengan keputusan analis lainnya dan dibuatkan keputusan akhir melalui mekanisme voting. Ini adalah alasan kenapa jumlah analis harus senantiasa ganjil. III.3 Kriteria MAPP Untuk menilai kualitas regulasi, MAPP menggunakan 3 (tiga) kriteria utama yang dikembangkan dari teori keberlakuan hukum, yaitu philosophis, yuridis dan sosiologis. Kriteria tersebut adalah Legalitas (legal basis), Kebutuhan (needs) danramah (friendly). 1 Legalitas(legal basis) artinya Regulasi tersebut yang dalam pengaturannya tidak ditemui adanya potensi permasalahan dalam perumusan norma (misalnya multi-tafsir) maupun dalam kaitannya dengan regulasi lain (misalnya konflik, inkonsisten, duplikasi atau tidak operasional karena belum ada peraturan pelaksanaannya). 2 Kebutuhan (needs) artinya regulasi tersebut mempunyai tujuan yang jelas dan dibutuhkan/diperlukan oleh masyarakat dan penyelenggara negara dalam aktifitas sehari-hari. 3 Ramah (friendly) artinya regulasi tersebut mudah dipahami dan dipatuhi serta tidak memberikan beban yang berlebihan (berupa biaya, waktu dan proses) kepada pihak- 14
18 pihak yang terkena dampak langsung regulasi atau dengan kata lain tujuan regulasi dapat dicapai tanpa memberikan beban yang tidak perlu bagi kelompok yang terkena dampak pengaturan oleh regulasi. Misalnya: regulasi mengatur secara proporsional mengenai biaya, waktu dan proses bagi pihak-pihak yang akan mengajukan suatu izin tertentu. III.4 Tahapan dan Alur Operasionalisasi MAPP STAKEHOLDER ALUR KEGIATAN MAPP KELOMPOK KERJA SEKRETARIAT KEGIATAN (KKSK) Biro/Bagian Hukum Pada Kementerian/ Lembaga/Pemerintah Daerah INVENTARISASI/ KLASIFIKASI REGULASI IDENTIFIKASI/KLASIFIKASI Identifikasi Masalah Klasifikasi Masalah Identifikasi Stakeholder KONSOLIDASI HASIL ANALISIS (KOLEGIAL) Kompilasi Keputusan Individual Penyusunan Keputusan Kolegial RENCANA TINDAK KELOMPOK KERJA ANALISIS (KKA) Analis (Pejabat yang mewakili Kementerian/ Lembaga/Pemerintah Daerah) Bahan Analisis ANALISIS REGULASI (INDIVIDUAL) Rekomendasi Individual Dipertahankan Direvisi Dicabut Gambar 3. Alur Operasionalisasi MAPP III.5 Pedoman Penggunaan MAPP III.5.1 Inventarisasi dan Klasifikasi Regulasi Kegiatan yang dilakukan adalah pengumpulan regulasi yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi/kewenangan satu institusi tertentu atau regulasi-regulasi yang berkaitan dengan sektor tertentu. Kegiatan ini dilakukan oleh Kelompok Kerja Sekretariat Kegiatan (KKSK) yang melekat pada Biro/Bagian Hukum pada K/L/Pemerintah Daerah. Regulasi yang ditemukan kemudian diklasifikasi sebagaimana tata urutan regulasi yang berlaku. (Lihat Form 2.1). Hasil inventarisasi berupa kumpulan regulasi yang berada pada kendali satu institusi tertentu atau sektor tertentu yang kemudian disusun atau diklasifikasi berdasarkan hirarki peraturan perundang-undangan. III.5.2 Identifikasi/Klasifikasi Permasalahan Sebagaimana kegiatan inventarisasi regulasi, kegiatan identifikasi/klasifikasi regulasi juga dilakukan oleh Kelompok Kerja Sekretariat Kegiatan (KKSK).Kegiatan yang dilakukan adalah menemukenali potensi masalah dan Stakeholders yang berkaitan dengan permasalahan 15
19 dalam regulasi tersebut (Lihat Form 2.2). Potensi masalah yang ditemukenali, selanjutnya diklasifikasikan menjadi: Konflik. Regulasi dikatakan sebagai konfli apabila terdapat ketentuan atau norma yang nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan atau norma lain baik pada regulasi yang sama maupun regulasi lainnya. o Contoh 1: Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Regulasi Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang mengatur bahwa HGU dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 60 tahun, dengan Pasal 22 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang mengatur bahwa HGU dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 95 tahun, dan Pasal 35 ayat (1) dan (2) UUPA yang mengatur bahwa HGB dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 50 tahun, dengan Pasal 22 ayat (1) huruf b Undang Undang Penanaman Modal yang mengatur bahwa HGB dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 80 tahun; o Contoh 2: Undang-undang nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 19 ayat (3) UU Nomor 25 Tahun 2004: RPJM Daerah ditetapkan dengan Regulasi Kepala Daerah paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Kepala Daerah dilantik. Sedangkan Pasal 150 ayat (3e) UU Nomor 32 Tahun 2004 RPJP daerah dan RJMD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan b ditetapkan dengan Perda berpedoman pada Regulasi Pemerintah. Inkonsisten. Regulasi dinyatakan inkonsisten apabila terdapat pengaturan yang berbeda, antara regulasi yang satu dengan yang lain terhadap satu hal yang sama walaupun tidak saling bertentangan. Kualitas regulasi yang buruk juga dapat tercermin dari adanya inkonsistensi dalam perumusan pasal-pasalnya. o Contoh: Perumusan definisi penanaman modal pada Pasal 1 angka 1 UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal ternyata berbeda dengan Pasal 1 angka 1 PP 16
20 No. 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu. Pasal 1 angka 1 UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, menyatakan: Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Sedangkan Pasal 1 angka 1 PP No. 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu, menyatakan: Penanaman modal adalah investasi berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan utama usaha, baik untuk penanaman modal baru maupun perluasan dari usaha yang telah ada. Definisi Penanaman Modal pada kedua regulasi tersebut di atas tidak hanya menunjukkan adanya inkonsistensi dalam perumusan kebijakan mengenai penanaman modal, tetapi juga mengisyaratkan adanya masalah dalam hal kualitas regulasi yang ada. Duplikasi. Duplikasi regulasi adalah pengulangan suatu pernyataan satu pasal pada regulasi tertentu pada satu atau lebih regulasi yang lain. Beberapa duplikasi pengaturan tetap diperlukan misalnya ketentuan mengenai aturan peralihan tetapi ada duplikasi pengaturan yang tidak diperlukan.duplikasi pengaturan yang tidak diperlukan hanya berakibat inefisiensi regulasi. Multitafsir. Multi-tafsir adalah permusan norma yang tidak jelas di dalam suatu regulasi, baik berupa ketidakjelasan obyek maupun subyek yang diatur sehingga berpotensi mengakibatkan kesalahan pemahaman. Rumusan norma yang tidak jelas tersebut menimbulkan ketidakpastian baik bagi pihak pelaksana maupun pihak yang terkena aturan tersebut. o Contoh 1: Pasal 54 UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, sebagai berikut: Kegiatan penyelenggaraan Informasi Geospasial oleh Instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat dilaksanakan oleh setiap orang. Perumusan pasal 54 UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial tersebut sesungguhnya hanya mengatur subyek yang boleh bertindak sebagai penyelenggara 17
21 kegiatan, akan tetapi perumusan di dalam pasal dilakukan dengan cara yang membingungkan sehingga tidak mudah untuk memahami dan menemukan siapa atau institusi apa yang sesungguhnya berwenang melakukan kegiatan tersebut. o Contoh 2: Pasal 14 UU 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, yang menyatakan : Setiap penanam modal berhak mendapat: a. kepastian hak, hukum, dan perlindungan; b. dst.... Penjelasan psl.14 huruf (a) menyatakan bahwa Yang dimaksud dengan kepastian hak adalah jaminan Pemerintah bagi penanam modal untuk memperoleh hak sepanjang penanam modal telah melaksanakan kewajiban yangditentukan.perumusan pasal dan penjelasannya tidak menjawab hak apa saja sehingga potensi terjadinya multi tafsir sangat besar Tidak Operasional. Sebuah regulasi dikatakan sebagai tidak operasional apabila regulasi tersebut tidak dapat diimplementasikan ke dalam situasi konkrit, sehingga regulasi tersebut hanya menjadi aturan kosong. Regulasi yang dianggap sebagai tidak operasional antara lain disebabkan oleh (1) tidak dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan walaupun Undang-undangnya memerintahkannya; dan (2) tidak ada institusi pelaksananya. Langkah selanjutnya adalah identifikasi pemangku kepentingan yang berkaitan dengan regulasi yang teridentifikasi bermasalah. Identifikasi pemangku kepentingan dimaksudkan untuk memastikan institusi apa saja yang harus dilibatkan di dalam melakukan analisis regulasi. Pejabat dari institusi yang teridentifikasi akan menjadi anggota KKA dan pada saatnya harus mengambil keputusan apakah suatu regulasi harus dipertahankan, direvisi atau dicabut. Hasil kegiatan identifikasi/klasifikasi permasalahan regulasi merupakan suatu analisis awal yang paling tidak memberikan informasi mengenai suatu regulasi tertentu, permasalahan yang teridentifikasi dan pemangku kepentingan atas permasalahan yang teridentifikasi. III.5.3 Analisis Individual Tidak sebagaimana tahap 1 dan tahap 2, pada tahap ini kegiatan analisis regulasi dilakukan oleh Kelompok Kerja Analis (KKA). Kelompok ini menindaklanjuti hasil analisis awal yang telah dibuat oleh KKSK dalam format 2.3. Hal terpenting di dalam tahapan ini adalah bahwa masing-masing anggota KKA harus membuat keputusan individual mengenai permasalahan yang teridentifikasi beserta hasil analisis awal yang dilakukan oleh KKSK.Keputusan tersebut adalah apakah regulasi tersebut dipertahankan, direvisi atau 18
22 dicabut.inilah alasannya mengapa anggota KKA harus seorang pejabat yang mempunyai kapasitas untuk mengambil keputusan. III.5.4 Konsolidasi Analisis Hasil analisis individual tersebut, selanjutnya oleh KKSK dikumpulkan dalam suatu format konsolidasi analisis (Lihat Form 2.4). Format Konsolidasi Analisis ini berisikan hasil keputusan akhir dari masing-masing analis serta informasi yang menjadi pertimbangannya.format ini merupakan mekanisme voting untuk menentukan keputusan akhir, dan melalui Form 2.4 inilah KKA memutuskan secara kolektif mengenai tindakan terhadap regulasi tersebut apakah dipertahankan, direvisi, atau dicabut. III.5.5. Penyusunan Rencana Tindak Rencana tindak merupakan tindaklanjut dari keputusan kolektif yang telah dibuat. Rencana tindak berisi langkah-langkah konkrit yang akan dilakukan, kecuali dalam hal konsolidasi analisis memutuskan regulasi dipertahankan (Lihat Form 2.5): a. Apabila keputusan yang diambil adalah regulasi dipertahankan, maka tidak diperlukan rencana tindak; b. Apabila keputusan yang diambil adalah regulasi direvisi, maka rencana tindaknya adalah perubahan regulasi melalui proses sebagaimana pembentukan regulasi baru oleh K/L/SKPD dengan melibatkan Biro/Bagian Hukum, mulai dari penelitian, naskah akademik, naskah rancangan regulasi, pencantuman rancangan regulasi dalam prolegnas/prolegda, pengusulan kerangka regulasi dalam dokumen perencanaan dengan menggunakan alat analisis Model Analisa Kerangka Regulasi (MAKARA), pembahasan rancangan regulasi di Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPR/DPRD) hingga pengundangan; c. Apabila keputusan yang diambil adalah regulasi dicabut, maka rencana tindaknya adalah pencabutan regulasi dengan penyusunan rencana regulasi pencabutan tanpa didahului dengan penyusunan naskah akademik (Pasal 43 Ayat (4) dan (5) UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 19
23 BAB IV PEMBENTUKAN REGULASI YANG BERKUALITAS DENGAN MODEL ANALISA KERANGKA REGULASI (MAKARA) IV.1. Pembentukan Regulasi Tidak seperti reviu/evaluasi regulasi yang mempunyai fokus kepada peraturan perundang-undangan yang pada saat ini ada dan berlaku (hukum positif), pada arah pembenahan regulasi ini peningkatan kualitas regulasi difokuskan kepada rencana pembentukan peraturan perundang-undangan (future regulation). Peningkatan kualitas regulasi dapat dilakukan dengan berbagai tindakan, 2 (dua) diantaranya adalah (i) melakukan analisis terhadap rancangan peraturan perundang-undangan dengan menggunakan pendekatan perencanaan (baca: pengelolaan kerangka regulasi dalam dokumen perencanaan), yakni setiap Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diusulkan masuk dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) (dimintakan alokasi pendanaannya) atau Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang diusulkan masuk dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) harus dianalisis terlebih dahulu dengan MAKARA agar sesuai dengan prioritas pembangunan dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap pembangunan; (ii) melakukan analisis terhadap usulan pembentukan UU yang diusulkan oleh K/L untuk masuk dalam Progam Legislasi Nasional (Prolegnas) Pemerintah atau usulan pembentukan Perda yang diusulkan oleh SKPD untuk masuk dalam Progam Legislasi Daerah (Prolegda) Pemerintah Daerah dengan menggunakan MAKARA Prolegnas/Prolegda agar suatu usulan pembentukan UU/Perda benar-benar dibutuhkan untuk mendukung pencapaian prioritas pembangunan nasional/daerah dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap pembangunan karenanya layak masuk Prolegnas/Prolegda. Untuk dapat lebih memahami alur Perencanaan dan Penganggaran Pembentukan Regulasi, kita dapat melihat pada gambar berikut: 20
24 Penelitian Naskah Akademik Naskah RUU/ Naskah RAPERDA Makara RUU dalam RKP/ RAPERDA dalam RKPD PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PEMBENTUKAN REGULASI Perencanaan, Penyusunan Pembahasan, Pengesahan, Pengundangan Pencantuman RUU dalam Prolegn as RAPERD A dalam Prolegd Gambar 4. Perencanaan dan Penganggaran Pembentukkan Regulasi 21
25 IV.2. Pengertian MAKARA RKP/RKPD adalah alat untuk melakukan analisis terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) yang telah memiliki Naskah Akademik dan Naskah Rancangan Undang-undang untuk diusulkan masuk ke dalam RKP atau terhadap usulan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang telah memiliki penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik dan Naskah Rancangan Peraturan Daerah ke dalam RKPD untuk mendapatkan alokasi pendanaan. MAKARA Prolegnas/Prolegda adalah alat untuk melakukan analisis terhadap usulan pembentukan UU yang diusulkan oleh K/L untuk masuk dalam Prolegnas Pemerintah atau usulan pembentukan Perda yang diusulkan oleh SKPD untuk masuk dalam Prolegda Pemerintah Daerah. IV.3. Prinsip-Prinsip MAKARA MAKARA mengadopsi prinsip-prinsip Sederhana (Simple), Mudah diaplikasikan (User Friendly), dan Akuntabel (Accountable). 1. Sederhana, artinya mudah dipahami dan dioperasionalkan, tidak hanya oleh K/L/Pemda, tetapi juga bagi para pemangku kepentingan (pengusaha, organisasi dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat), maupun masyarakat umum yang terkena dampak peraturan perundang-undangan. 2. User friendly, artinya mudah diaplikasikan khususnya oleh aparatur pemerintah baik dipusat maupun di daerah yang akan terlibat dalam analisis/review regulasi. Ciri mudah diaplikasikan juga terlihat dari kriteria yang lebih mudah dipahami. 3. Akuntabel artinya meskipun model ini memiliki ciri sederhana dan mudah diaplikasikan, namun hal itu bukan berarti tidak dapat dipertanggung-jawabkan. ModelAnalisa Kerangka Regulasi yang dibangun tetap dapat dipertanggungjawabkan, baik dalam hal manfaat dan efektivitasnya, maupun proses dan prosedur (tata caranya). Model ini juga dibangun dengan landasan akademik maupun praktis yang dapat dipertanggungjawabkan. IV.4. Kriteria MAKARA MAKARA RKP/RKPD secara garis besar berisi kriteria-kriteria sebagai berikut: 1. Landasan Hukum (Legal Basis): yaitu apakah rancanganperaturan perundangundangan (RUU maupun Raperda) yang diajukan memiliki landasan hukum kuat yang berkaitan dengan substansiatau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk peraturanperundang-undangan yang baru. 22
26 2. Kebutuhan (Needs): yaitu apakah peraturan perundang-undangan yang diajukan (RUU maupun Raperda) sesuai dengan dokumen perencanaan pembangunan (RPJMN untuk RUU, dan RPJMD untuk Raperda) dan sesuai dengan prioritas pembangunan. Selain itu apakah rancangan peraturan perundang-undangan dibentuk dengan argumentasi/tujuan pembentukan yang jelas. Aspek ini juga melihat kesesuaian rancangan peraturan perundang-undangan dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan. 3. Potensi Beban Keuangan Negara dan Manfaat bagi Masyarakat artinya apakah rancangan peraturan perundang-undangan tersebut membebani keuangan negara akibat dari pembentukan kelembagaan baru, penyediaan sarana prasarana baru, pembentukan peraturan pelaksanaan baru, penambahan beban bagi pengeluaran rutin Pemerintah. Dan potensi RUU tersebut untuk memberikan manfaat ekonomi maupun sosial terhadap masyarakat. MAKARA Prolegnas/Prolegda secara garis besar berisi kriteria-kriteria sebagai berikut: 1. Landasan Hukum (Legal Basis): yaitu apakah RUU/Raperda yang diusulkan memiliki landasan hukum kuat yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk. 2. Kebutuhan (Needs): yaitu apakah usulan RUU/Raperda telah didasarkan pada perencanaan pembangunan (RPJMN/RPJMD dan RKP/RKPD), selain itu apakah Raperda dibentuk dalam rangka mengatasi suatu permasalahan dan pembentukan Raperda merupakan alternatif terakhir untuk mengatasi permasalahan tersebut. 3. Potensi Beban dan Manfaat: yaitu apakah RUU/Raperda yang diusulkan berpotensi memberikan manfaat bagi penyelenggaraan negara/pemerintahan (pemerintah/ pemerintah daerah dan masyarakat) serta tidak memberikan beban/dampak negatif terhadap penyelenggaraan negara/pemerintahan (pemerintah/pemerintah daerah dan masyarakat). 23
27 B A P P E N A S IV.5. Mekanisme Pengusulan Kerangka Regulasi Dalam Dokumen Perencanaan (RKP/RKPD) IV.5.1. Pusat STAKEHOLDERS JANUARI APRIL KEMENTERIAN/LEMBAGA PENGUSUL KERANGKA REGULASI NASKAH AKADEMIK & RUU DIREKTORAT SEKTOR NASKAH AKADEMIK & RUU PENCANTUMAN RUU KEDALAM RKP TRILATERAL DIREKTORAT ANALISA PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN ANALISIS AWAL RPJMN MEETING BERITA ACARA TRILATERAL MEETING DIREKTORAT ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN PENGALOKASIAN ANGGARAN RUU KEDALAM RKP Gambar 5. Diagram Proses Analisa Kerangka Regulasi Pusat Mekanisme proses pengusulan kerangka regulasi pusat, adalah sebagai berikut: a. Kementerian PPN/Bappenas menyampaikan Permintaan Naskah Akademik dan Naskah RUU terhadap RUU yang terdapat dalam daftar Prolegnas Jangka Menengah (lima tahunan) dilampiri Form 3.1 kepada K/L mitra kerja; b. K/L mitra kerja menyampaikan Naskah Akademik dan Naskah RUU kepada Kementerian PPN/Bappenas dengan tembusan Direktorat Analisa Peraturan Perundangundangan, Kementerian PPN/Bappenas; c. Kementerian PPN/Bappenas mereviu dan menganalisis awal Naskah RUU tersebut menggunakan Form 3.1 Model Analisa Kerangka Regulasi (MAKARA) RKP; d. Kementerian PPN/Bappenas (c.q. DAPP, Direktorat sektor terkait) bersama-sama dengan K/L membahas analisis awal dalam forum trilateral meeting dan membuat kesepakatan mengenai kerangka regulasi yang direkomendasikan untuk masuk dalam RKP (bilateral meeting kerangka regulasi). Kerangka regulasi yang telah disepakati ditetapkan dalam Form 3.2 Berita Acara Kerangka Regulasi RKP, yang ditandatangani oleh Kementerian PPN/Bappenas (DAPP, Direktorat Sektor) dan K/L; 24
Reformasi Regulasi Dalam Rangka Mendukung Upaya Pencapaian Prioritas Pembangunan Nasional dan Daerah
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Reformasi Regulasi Dalam Rangka Mendukung Upaya Pencapaian Prioritas Pembangunan Nasional dan Daerah Ditjen Peraturan
Lebih terperinciMENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH
SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM
Lebih terperinciKERANGKA REGULASI RKP 2017
KERANGKA REGULASI RKP 2017 Peraturan Menteri/Keputusan Menteri/Instruksi Menteri Tahun 2000-2015 No. Kementerian Total Permen Kepmen Instruksi Total Sumber 1 Kemenko Perekonomian 115 341 0 456 https://ekon.go.id/
Lebih terperinciMENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH
SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM
Lebih terperinciBAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM
BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis merupakan upaya yang terus-menerus dilakukan, sampai seluruh bangsa Indonesia benar-benar merasakan keadilan dan
Lebih terperinciBUPATI KEPULAUAN SELAYAR
BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang a. bahwa Peraturan
Lebih terperinci2017, No tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 199); 3. Keputusan Presiden
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.656, 2017 LIPI. Pembentukan Peraturan Perundangundangan. PERATURAN KEPALA LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PEMBENTUKAN
Lebih terperinciGUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
1 GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN, Menimbang : a.
Lebih terperinciMENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH
SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM
Lebih terperinciPUSANEV_BPHN KEBIJAKAN ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM
KEBIJAKAN ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DISKUSI PUBLIK MEMBANGUN SISTEM HUKUM PIDANA (ANAK) Denpasar Bali, 10 Agustus 2016 Pocut Eliza, S.Sos.,S.H., M.H. Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional
Lebih terperinciMENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH
SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, MENTERI
Lebih terperinciWALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH
WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG, Menimbang : a. bahwa pembentukan
Lebih terperinciPERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,
PERATURAN BUPATI PANDEGLANG NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, Menimbang Mengingat : : a. bahwa untuk memberikan arah
Lebih terperinciperaturan (norma) dan kondisi pelaksanaannya, termasuk peraturan pelaksanaan dan limitasi pembentukannya. 2. Peninjauan, yaitu kegiatan pemeriksaan
LAPORAN KUNJUNGAN KERJA BADAN LEGISLASI DPR RI DALAM RANGKA PEMANTAUAN DAN PENINJAUAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KE PROVINSI ACEH, PROVINSI
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR, Menimbang : a. bahwa Peraturan Daerah merupakan
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung Tahun 2016 2 BUPATI
Lebih terperinciBUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG
SALINAN BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2013 TENTANG
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BIDANG KESEHATAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciBUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH
BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TASIKMALAYA,
Lebih terperinci- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA REPUBLIK INDONESIA,
- 1 - SALINAN PERATURAN KEPALA LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI LINGKUNGAN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH
PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TULUNGAGUNG, Menimbang : bahwa
Lebih terperinci- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR
- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,
Lebih terperinciBADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT,
Lebih terperinciBERITA DAERAH KOTA BEKASI
BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 12 2015 SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 12 TAHUN 2015 2015 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BEKASI DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciBUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG
SALINAN BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN TAPIN DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciBUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa Peraturan
Lebih terperinciBUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR
BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 55 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan
Lebih terperinciGUBERNUR KALIMANTAN BARAT
GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT NOMOR 47 TAHUN 2011 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat GUBERNUR KALIMANTAN
Lebih terperinci- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah
Lebih terperinciRANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2016 TENTANG KERJA SAMA DAN INOVASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN 2016 TENTANG KERJA SAMA DAN INOVASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa untuk
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR, Menimbang : a. bahwa Peraturan Daerah merupakan
Lebih terperinciPUSANEV_BPHN KEBIJAKAN ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PENGUATAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA
KEBIJAKAN ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PENGUATAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA DISKUSI PUBLIK PENGUATAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA MEDAN, 12 MEI 2016 Pocut Eliza, S.Sos.,S.H.,M.H. Kepala Pusat Analisis
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN,
PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 025 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Menimbang: Mengingat: a. bahwa
Lebih terperinciKETENTUAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)
KETENTUAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) NURYANTI WIDYASTUTI Direktur Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah dan Pembinaan
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU
PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI INDRAMAYU, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinci- 1 - PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
SALINAN - 1 - PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH,
Lebih terperinciYth.: 1. Pimpinan Tinggi Madya; dan 2. Pimpinan Tinggi Pratama.
Yth.: 1. Pimpinan Tinggi Madya; dan 2. Pimpinan Tinggi Pratama. SURAT EDARAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR 02 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Lebih terperinciWALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 65 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH
WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 65 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA, Menimbang
Lebih terperinciBUPATI BANTAENG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTAENG NOMOR 8 TAHUN 2012 T E N T A N G PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN BANTAENG
BUPATI BANTAENG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTAENG NOMOR 8 TAHUN 2012 T E N T A N G PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN BANTAENG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTAENG Menimbang : a.
Lebih terperinciKEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA PETUNJUK PELAKSANAAN NOMOR 1 /JUKLAK/SESMEN/10/2015 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERUNDANG-UNDANGAN
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinci- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa untuk
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa Peraturan Daerah merupakan peraturan
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan
Lebih terperinciMATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 1. Menimbang: Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan perundang undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH
PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang
Lebih terperinciDAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Formatted: Left: 3,25 cm, Top: 1,59 cm, Bottom: 1,43 cm, Width: 35,56 cm, Height:
Lebih terperinciGUBERNUR JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,
GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON UTARA NOMOR 7 TAHUN 2015 TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BUTON UTARA TAHUN 2015 NOMOR 7 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON UTARA NOMOR 7 TAHUN 2015 TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH BAGIAN HUKUM DAN ORGANISASI SEKRETARIAT DAERAH
Lebih terperinciPENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEBIDANAN
Bahan Rapat Tgl 23 Oktober 2017 PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEBIDANAN I. Pendahuluan Pimpinan Komisi IX DPR RI melalui Surat Nomor: LG/17843/DPR
Lebih terperinciRANCANGAN BUPATI BANTUL PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR TAHUN 2014 TENTANG
RANCANGAN BUPATI BANTUL PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH, RANCANGAN PERATURAN BUPATI, RANCANGAN PERATURAN
Lebih terperinciBUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH
BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIDOARJO, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka untuk
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN, DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciPENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan Pertemuan 7 dan 14 ANDY KURNIAWAN, SAP, MPA Staff Pengajar pada Jurusan Administrasi Publik Fakultasi Ilmu Administrai Universitas
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka tertib
Lebih terperinciBUPATI SAMBAS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH
BUPATI SAMBAS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, Menimbang : a. bahwa pembangunan
Lebih terperinciPROVINSI KALIMANTAN BARAT
PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, Menimbang : Mengingat : a. bahwa pembangunan
Lebih terperinci- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR
- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.32, 2014 KEMENDAGRI. Produk Hukum. Daerah. Pembentukan. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN
Lebih terperinciTata Tertib DPR Bagian Kesatu Umum Pasal 99 Pasal 100 Pasal 101 Pasal 102
Tata Tertib DPR Bagian Kesatu Umum Pasal 99 1. Rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD. 2. Rancangan undang-undang dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL. No.04,2015 Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Bantul. Pedoman, pembentukan, produk hukum, daerah
1 2015 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL No.04,2015 Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Bantul. Pedoman, pembentukan, produk hukum, daerah BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH
Lebih terperinciPERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,
PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa pembentukan produk hukum daerah yang
Lebih terperinci2016, No Nomor 826, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (
No.879, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BKN. RIA. Penggunaan.Metode. PERATURAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENGGUNAAN METODE REGULATORY IMPACT ASSESSMENT (RIA) DALAM
Lebih terperinciWALIKOTA AMBON PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 15 TAHUN 2015 TENTANG PROSEDUR PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH
WALIKOTA AMBON PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH KOTA AMBON NOMOR - 15 TAHUN 2015 TENTANG PROSEDUR PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA AMBON, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG
PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DAN PRODUK HUKUM DEWAN PERWAKILAN
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dengan terbitnya Undang-Undang
Lebih terperinciBUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : bahwa
Lebih terperinciWALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH
WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO
PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 01 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,
Lebih terperinciLD NO.2 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH I. UMUM Pembentukan Peraturan Daerah merupakan pelaksanaan dari amanat Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang
Lebih terperinci2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1361, 2016 DPR. Prolegnas. Penyusunan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,
1 PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,
DRAFT 9 APRIL 2015 PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DI LINGKUNGAN ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinci8. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan;
PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa peraturan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN,
PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciPROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE
PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERAUKE NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MERAUKE, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2010 NOMOR 16
LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2010 NOMOR 16 PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.737, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Pengawasan. Pelaksanaan. Tata Cara Tetap. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 91 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA TETAP
Lebih terperinciBUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR
BUPATI LUMAJANG PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KAB LUMAJANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUMAJANG, Menimbang : a. bahwa produk
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO
PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI SITUBONDO Menimbang
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciTarif atas jenis PNBP ditetapkan dengan memperhatikan :
CATATAN ATAS PENGELOLAAN PNBP BERDASARKAN TEMUAN BPK PADA LKPP 2010 PENDAHULUAN PNBP adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan Tarif atas Jenis PNBP ditetapkan
Lebih terperinciMENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-01.PP.05.01 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN FASILITASI PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM
Lebih terperinciPROVINSI RIAU BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG
PROVINSI RIAU BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO
SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUKOMUKO NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN MUKOMUKO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUKOMUKO,
Lebih terperinciPUSANEV_BPHN KEBIJAKAN ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM
KEBIJAKAN ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DISKUSI PUBLIK PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK PANGKAL PINANG, 28 JULI 2016 Min Usihen, S.H., M.H. Kepala Pusat Perencanaan Pembangunan
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG
1 2016 No.07,2016 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Bantul. PEMERINTAH DAERAH.HUKUM.Pedoman.Pembentukan. Produk Hukum Daerah. BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN
BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciPROVINSI RIAU BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 06 TAHUN 2014 TENTANG
PROVINSI RIAU BUPATI KEPULAUAN MERANTI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI NOMOR 06 TAHUN 2014 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinci