KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA"

Transkripsi

1 KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA PETUNJUK PELAKSANAAN NOMOR 1 /JUKLAK/SESMEN/10/2015 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KEPUTUSAN DI KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan amanat Pasal 25 Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan Perundang-Undangan dan Keputusan di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, perlu ditetapkan Petunjuk Pelaksanaan tentang Pedoman Penyusunan Perundang-Undangan dan Keputusan di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); 2. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8); 3. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2015 tentang Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 112); 4. Peraturan

2 Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2015 tentang Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 113); 5. Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor PER. 005/M.PPN/10/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 3 Tahun 2014; 6. Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan Perundang-Undangan dan Keputusan di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; MEMUTUSKAN : Menetapkan : PETUNJUK PELAKSANAAN TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KEPUTUSAN DI KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL. PERTAMA : Menetapkan Petunjuk Pelaksanaan tentang Pedoman Penyusunan Perundang-Undangan dan Keputusan di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, sebagaimana tercantum dalam Lampiran Petunjuk Pelaksanaan ini yang merupakan satu kesatuan dan bagian tidak terpisahkan dalam Petunjuk Pelaksanaan ini. KEDUA:

3 - 3 - KEDUA : Petunjuk Pelaksanaan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Oktober 2015 SEKRETARIS KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ SEKRETARIS UTAMA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL, IMRON BULKIN

4 - 4 - LAMPIRAN PETUNJUK PELAKSANAAN NO. 1 /JUKLAK/SESMEN/10/2015 TANGGAL 22 OKTOBER 2015 PEDOMAN PENYUSUNAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KEPUTUSAN DI KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

5 - 5 - ANAK LAMPIRAN PETUNJUK PELAKSANAAN NO. 1 /JUKLAK/SESMEN/10/2015 TANGGAL 22 OKTOBER 2015 TEKNIK PENYUSUNAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KEPUTUSAN DI KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

6 -1- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Dalam rangka mewujudkan negara hukum tersebut diperlukan tatanan yang tertib antara lain di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, peraturan perundang-undangan dapat dibentuk untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan kewenangannya. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai salah satu unsur penyelenggara tugas pemerintahan, memiliki kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dalam bentuk Peraturan Menteri atau mengusulkan pembentukan peraturan perundangundangan pada level yang lebih tinggi. Untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik, diperlukan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas, tata cara penyiapan dan pembahasan, teknik penyusunan maupun penyebarluasannya. Berdasarkan hal tersebut, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional telah menetapkan Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan dan Keputusan di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam rangka memberikan pedoman yang lebih operasional terhadap penyusunan peraturan perundang-undangan dan keputusan di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan dalam rangka melaksanakan amanat ketentuan Pasal 25 Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan

7 -2- Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan dan Keputusan Di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, perlu ditetapkan Petunjuk Pelaksanaan tentang Pedoman Penyusunan Perundang-Undangan dan Keputusan di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang selanjutnya disebut Petunjuk Pelaksanaan. B. Tujuan Tujuan ditetapkannya Petunjuk Pelaksanaan adalah sebagai pedoman bagi : 1. Pejabat Eselon I dalam mengajukan Rancangan Undang- Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undangan, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden; 2. Unit Kerja Eselon I dan Unit Kerja Eselon II dalam proses pengusulan dan pembahasan Peraturan Menteri; 3. Unit Kerja Eselon I dan Unit Kerja Eselon II dalam proses penyusunan Keputusan Menteri, Keputusan Sekretaris Kementerian, Keputusan Deputi dan Keputusan Inspektur Utama. C. Ruang Lingkup Ruang Lingkup Petunjuk Pelaksanaan adalah : 1. tata cara pengusulan Rancangan Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undangan, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden; 2. tata cara perencanaan dan penyusunan Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; 3. tata cara penyusunan Keputusan Menteri, Keputusan Sekretaris Kementerian, Keputusan Deputi dan Keputusan Inspektur Utama; 4. teknik penyusunan Peraturan Menteri; 5. teknik penyusunan Keputusan Menteri, Keputusan Sekretaris Kementerian, Keputusan Deputi dan Keputusan Inspektur Utama. D. Dasar

8 -3- D. Dasar Hukum 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 2. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden; 3. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Kedudukan Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011; 4. Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundang- Undangan; 5. Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2007 tentang Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; 6. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; 7. Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor PER. 005/M.PPN/10/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 3 Tahun 2014; 8. Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. E. Definisi

9 -4- E. Definisi 1. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. 2. Keputusan adalah peraturan tertulis yang dibuat oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Sekretaris Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Deputi di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Inspektur Utama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang bersifat menetapkan, mengikat individu, dan pada umumnya berlaku untuk jangka waktu tertentu. 3. Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, selanjutnya disebut Peraturan Menteri, adalah peraturan tertulis yang ditetapkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. 4. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, selanjutnya disebut Menteri, adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional. 5. Sekretaris Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Sekretaris Utama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, selanjutnya disebut Sekretaris Kementerian, adalah unsur pembantu Menteri dalam penyelenggaraan dan pembinaan administrasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. BAB II

10 -5- BAB II TATA CARA PENGUSULAN DAN PENYUSUNAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG/PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH, RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN DAN RANCANGAN PERATURAN MENTERI A. Penyusunan Rancangan Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden. 1. Penyusunan Rancangan Undang Undang. a. Pejabat Eselon I mengajukan usul prakarsa penyusunan Rancangan Undang-Undang; b. usulan diajukan secara tertulis dalam bentuk Nota Dinas kepada Menteri, dengan tembusan kepada Sekretaris Kementerian dan Kepala Biro Hukum; c. usul prakarsa disertai dengan penjelasan yang paling kurang memuat : 1) latar belakang dan tujuan penyusunan; 2) sasaran yang ingin diwujudkan; 3) pokok-pokok pikiran; 4) lingkup atau obyek yang diatur; dan 5) jangkauan dan arah pengaturan. d. usul prakarsa penyusunan Rancangan Undang-Undang, wajib disertai dengan Naskah Akademik mengenai materi yang akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang; e. penyusunan Naskah Akademik dilakukan berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM dan pihak yang menjadi pemangku kepentingan dalam Rancangan Undang- Undang dimaksud. f. Naskah Akademik paling kurang memuat : 1) dasar filosofis; 2) dasar sosiologis; 3) dasar yuridis; 4) pokok dan lingkup materi yang akan diatur. g. setelah menerima tembusan usul prakarsa dari Eselon I dan disposisi Sekretaris Kementerian, Kepala Biro Hukum menyampaikan telaahan kepada Menteri melalui Sekretaris Kementerian. h. Kepala Biro Hukum dapat mengkoordinasikan pembahasan usul prakarsa dengan Pejabat Eselon I pemrakarsa dan/atau Unit Kerja lain yang terkait. i. berdasarkan

11 -6- i. berdasarkan hasil telaahan tersebut, Menteri memberikan persetujuan atau penolakan terhadap usul prakarsa penyusunan Rancangan Undang-Undang. j. Sekretaris Kementerian menyampaikan persetujuan atau penolakan secara tertulis kepada Pejabat Eselon I pemrakarsa, dengan tembusan kepada Kepala Biro Hukum. k. dalam hal Menteri memberikan persetujuan terhadap usul prakarsa, Sekretaris Kementerian melalui Kepala Biro Hukum menyiapkan konsep surat Menteri kepada Menteri Hukum dan HAM untuk dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional, yang selanjutnya disebut Prolegnas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. l. konsep surat kemudian disampaikan kepada Menteri untuk ditandatangani dan disampaikan kepada Menteri Hukum dan HAM. m. dalam hal usulan penyusunan Rancangan Undang-Undang masuk dalam Prolegnas, Pejabat Eselon I pemrakarsa bersama-sama dengan Kepala Biro Hukum memproses usul prakarsa sesuai dengan ketentuan yang berlaku. n. pembahasan Rancangan Undang-Undang dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan rancangan Peraturan Presiden. a. Pejabat Eselon I mengajukan usul prakarsa penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan rancangan Peraturan Presiden. b. usulan diajukan secara tertulis dalam bentuk Nota Dinas kepada Menteri, dengan tembusan kepada Sekretaris Kementerian dan Kepala Biro Hukum. c. usul prakarsa disertai dengan penjelasan yang paling kurang memuat : 1) latar belakang dan tujuan penyusunan; 2) pokok-pokok pikiran; dan 3) lingkup atau obyek yang diatur. d. setelah menerima tembusan usul prakarsa dari Eselon I dan disposisi Sekretaris Kementerian, Kepala Biro Hukum menyampaikan telaahan kepada Menteri melalui Sekretaris Kementerian. e. Kepala Biro Hukum dapat mengkoordinasikan pembahasan usul prakarsa dengan Pejabat Eselon I pemrakarsa dan/atau Unit Kerja lain yang terkait. f. berdasarkan

12 -7- f. berdasarkan hasil telaahan tersebut, Menteri memberikan persetujuan atau penolakan terhadap usul prakarsa penyusunan Rancangan Peraturan. g. Sekretaris Kementerian menyampaikan persetujuan atau penolakan Menteri secara tertulis kepada Pejabat Eselon I pemrakarsa, dengan tembusan kepada Kepala Biro Hukum. h. dalam hal Menteri memberikan persetujuan terhadap usul prakarsa Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden, Sekretaris Kementerian melalui Kepala Biro Hukum menyiapkan konsep surat Menteri kepada Menteri Hukum dan HAM untuk dimasukkan dalam program penyusunan tahunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. i. dalam hal usulan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden masuk dalam Program Penyusunan tahunan, Pejabat Eselon I pemrakarsa bersama-sama dengan Kepala Biro Hukum memproses usul prakarsa sesuai dengan ketentuan yang berlaku. j. dalam hal Menteri memberikan persetujuan terhadap usul prakarsa Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang, Sekretaris Kementerian melalui Kepala Biro Hukum menyiapkan konsep surat Menteri kepada Presiden untuk mengajukan pembahasan rancangan kepada DPR, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. k. pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan rancangan Peraturan Presiden dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. B. Penyusunan Rancangan Peraturan Menteri 1. Tahapan Penyusunan Peraturan Menteri terdiri atas: a. perencanaan; dan b. penyusunan. 2. Tahapan Perencanaan Penyusunan Peraturan Menteri, adalah sebagai berikut : a. Biro Hukum menyiapkan konsep Memorandum kepada Sekretaris Kementerian yang berisi permintaan penyampaian judul Rancangan Peraturan Menteri yang akan dibahas atau ditetapkan pada tahun berikutnya; b. Memorandum sebagaimana dimaksud pada huruf a, dibuat pada setiap awal Bulan November pada tahun berjalan; c. Sekretaris

13 -8- c. Sekretaris Kementerian menandatangani Memorandum sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan mengirimkannya kepada seluruh unit kerja melalui Biro Hukum; d. Unit kerja menyampaikan Nota Dinas jawaban yang berisi judul rancangan Peraturan Menteri yang akan ditetapkan atau dibahas pada tahun berikutnya kepada Sekretaris Kementerian dengan tembusan kepada Biro Hukum; e. Nota Dinas jawaban sebagaimana dimaksud pada huruf d, disampaikan paling lambat pertengahan Bulan November pada tahun berjalan; f. Biro Hukum membuat daftar inventarisasi yang berisi judul peraturan yang akan ditetapkan atau dibahas pada tahun berikutnya dan unit kerja pengusul peraturan; g. daftar inventarisasi sebagaimana dimaksud pada huruf f, digunakan sebagai dasar perencanaan penyusunan Peraturan Menteri pada tahun berikutnya yang selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri. 3. Tahapan penyusunan Peraturan Menteri, adalah sebagai berikut : a. Pejabat Eselon I menyampaikan Nota Dinas usulan Rancangan Peraturan Menteri kepada Menteri dengan tembusan kepada Sekretaris Kementerian dan Kepala Biro Hukum; b. Nota Dinas pengusulan, paling kurang memuat : 1) penjelasan mengenai dasar pertimbangan perlunya dibuat Peraturan Menteri; 2) dasar hukum atau landasan hukum yang mengamanatkan atau yang menguatkan perlunya dibuat peraturan Menteri;dan 3) pokok-pokok materi yang akan diatur. c. Nota Dinas pengusulan, dilampiri : 1) Rancangan Peraturan Menteri yang berisi pasal demi pasal; 2) soft copy dari Rancangan Peraturan Menteri tersebut; 3) persandingan Peraturan Menteri yang akan diubah dengan Rancangan Peraturan Menteri yang masih berlaku, dalam hal

14 -9- hal rancangan yang diajukan adalah rancangan Peraturan Menteri perubahan. d. Kepala Biro Hukum setelah menerima tembusan Nota Dinas usulan Rancangan Peraturan Menteri dan disposisi Sekretaris Kementerian, melakukan koordinasi dengan Pejabat Eselon I pengusul dan Unit Kerja lain yang terkait; e. pembahasan usulan Rancangan Peraturan Menteri meliputi pembahasan yang bersifat yuridis dan pembahasan yang bersifat substansi; f. pembahasan yang bersifat yuridis, ditekankan pada aspek harmonisasi Rancangan Peraturan Menteri dengan peraturan yang sederajat, peraturan yang lebih tinggi, dan aspek kesesuaian dengan teori hukum; g. pembahasan yang bersifat substansi, ditekankan pada aspek substansi yang menjadi muatan materi dari Peraturan Menteri; h. Eselon I pengusul dan/atau Biro Hukum wajib melaksanakan konsultasi publik dengan pemangku kepentingan yang diperkirakan akan terkena dampak dari Peraturan Menteri; i. Konsultasi Publik dilakukan oleh Biro Hukum bekerjasama dengan Unit Kerja Pemrakarsa rancangan Peraturan Menteri; j. Pelaksanaan Konsultasi Publik dilakukan dengan memertimbangkan ruang lingkup, sifat substansi peraturan perundang-undangan, batasan waktu, dan batasan biaya yang tersedia. k. Konsultasi Publik dapat dilakukan dengan beberapa metode: 1) sirkular, dengan cara mengirimkan dokumen rancangan peraturan perundang-undangan kepada unit kerja terkait untuk mendapatkan masukan tertulis; 2) Focuss Group Discussion, dengan cara mengundang sejumlah pemangku kepentingan kunci (key stakeholders) dan/atau pemangku dampak kunci (key affected person) dalam sebuah rapat terbatas dan fokus; 3) Seminar/

15 -10-3) Seminar/Workshop, dengan cara mengundang pemangku kepentingan (key stakeholders) dan/atau pemangku dampak (affected person) dalam sebuah forum yang luas. l. dalam hal pembahasan Peraturan Menteri telah selesai dilakukan, Kepala Biro Hukum menyampaikan Rancangan Akhir Peraturan Menteri kepada Menteri melalui Sekretaris Kementerian untuk ditetapkan. m. Rancangan Akhir Peraturan Menteri, dibubuhi paraf Sekretaris Kementerian di sebelah kanan nama jabatan Menteri dan dilampiri Rancangan Akhir Peraturan Menteri yang dibubuhi paraf Pejabat Eselon I Pemrakarsa dan paraf Kepala Biro Hukum di sebelah kiri nama jabatan Menteri. n. dalam hal Peraturan Menteri telah ditetapkan, Biro Hukum memberikan nomor pada Peraturan Menteri. o. Kepala Biro Hukum menyampaikan konsep surat permohonan Sekretaris Kementerian mengenai pengundangan Peraturan Menteri dalam Berita Negara Republik Indonesia kepada Kementerian Hukum dan HAM. p. surat permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf o, dilampiri dengan : 1) 3 (tiga) berkas naskah asli Peraturan Menteri yang telah ditandatangani dan diberikan nomor; dan 2) soft copy Peraturan Menteri yang telah ditandatangani dan diberikan nomor. q. Biro Hukum membuat salinan Peraturan Menteri yang telah diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia; r. Biro Hukum menyimpan asli Peraturan Menteri yang telah diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia; s. Biro Hukum menyebarluaskan salinan Peraturan Menteri, melalui kegiatan sosialisasi/diseminasi/media penggandaaan/teknologi informasi. BAB III

16 -11- BAB III PENYUSUNAN RANCANGAN KEPUTUSAN MENTERI DAN KEPUTUSAN SEKRETARIS KEMENTERIAN A. Keputusan Menteri PPN/Kepala Bappenas 1. Tahapan penyusunan Rancangan Keputusan Menteri: a. Tahap Pengusulan; dan b. Tahap Pembahasan. 2. Tahapan pengusulan Keputusan Menteri adalah sebagai berikut : a. Pejabat Eselon I atau Pejabat Eselon II menyiapkan Rancangan Keputusan Menteri sesuai dengan tugas dan fungsinya; b. Pejabat Eselon I atau Pejabat Eselon II mengusulkan Rancangan Keputusan Menteri melalui Memorandum kepada Sekretaris Kementerian, dengan tembusan Kepala Biro Hukum, dan Kepala Biro Perencanaan, Organisasi, dan Tata Laksana; c. Memorandum usulan Rancangan Keputusan Menteri disertai penjelasan mengenai : 1) dasar pertimbangan; 2) dasar hukum; dan 3) pokok-pokok materi yang akan ditetapkan. d. Memorandum usulan Rancangan Keputusan Menteri disertai dengan soft copy dari Rancangan Keputusan Menteri tersebut; e. Dalam hal Rancangan Keputusan Menteri merupakan perubahan atas Keputusan Menteri, maka Keputusan Menteri yang akan diubah wajib dilampirkan. 3. Tahapan pembahasan Keputusan Menteri, adalah sebagai berikut : a. Kepala Biro Hukum setelah menerima tembusan usulan Keputusan Menteri, dapat mengadakan koordinasi dengan Pejabat Eselon I atau Pejabat Eselon II pengusul dan/atau Kepala Biro Perencanaan, Organisasi, dan Tata Laksana dan/atau dengan Unit Kerja lain yang terkait. b. Apabila

17 -12- b. Apabila Rancangan Keputusan Menteri yang diusulkan mengakibatkan pembebanan keuangan negara, Kepala Biro Hukum meminta konfirmasi mengenai ketersediaan anggaran kepada Kepala Biro Perencanaan, Organisasi, dan Tata Laksana. c. Apabila pembahasan Rancangan Keputusan Menteri telah selesai dilakukan atau dalam hal Rancangan Keputusan Menteri tidak memerlukan pembahasan dengan unit kerja terkait, Biro Hukum menyempurnakan Rancangan Keputusan Menteri sesuai dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. d. Kepala Biro Hukum menyampaikan Rancangan Keputusan Menteri yang telah disempurnakan kepada Pejabat Eselon I pengusul untuk dilakukan koreksi akhir terhadap substansi dan keanggotaan Rancangan Keputusan Menteri. e. Setelah dilakukan koreksi terhadap Rancangan Keputusan Menteri, Pejabat Eselon I mengirimkan kembali Rancangan Keputusan Menteri kepada Biro Hukum melalui Pejabat Eselon II terkait. f. Biro Hukum menyampaikan memorandum permohonan paraf Rancangan Keputusan Menteri kepada Pejabat Eselon I di sebelah kanan nama jabatan Menteri melalui Pejabat Eselon II terkait. g. Rancangan Keputusan Menteri yang telah dibubuhi paraf dikembalikan kepada Biro Hukum dengan memorandum pengantar yang ditandatangani oleh Pejabat Eselon I atau Pejabat Eselon II terkait. h. Kepala Biro Hukum menyampaikan Rancangan Keputusan Menteri kepada Menteri melalui Sekretaris Kementerian untuk dapat ditetapkan. i. Rancangan Keputusan Menteri dibubuhi paraf Sekretaris Kementerian di sebelah kanan nama jabatan Menteri dan paraf

18 -13- paraf Kepala Biro Hukum di sebelah kiri nama jabatan Menteri. j. Rancangan Keputusan Menteri yang telah ditetapkan dan ditandatangani dikembalikan kepada Kepala Biro Hukum untuk diberi nomor dan dibuatkan salinannya. k. Biro Hukum menyimpan asli Keputusan Menteri dan menyampaikan salinannya kepada Unit Kerja pengusul dan Kepala Biro Perencanaan, Organisasi, dan Tata Laksana untuk disebarluaskan kepada Pejabat Eselon I atau Pejabat Eselon II dan unit/pejabat terkait. l. Biro Hukum dapat menyebarluaskan salinan Keputusan Menteri, melalui kegiatan sosialisasi/diseminasi/media penggandaaan/teknologi informasi. B. Keputusan Sekretaris Kementerian PPN/Sekretaris Utama Bappenas 1. Tahapan penyusulan Keputusan Sekretaris Kementerian terdiri atas : a. Tahap Pengusulan; dan b. Tahap Pembahasan. 2. Tahapan pengusulan Keputusan Sekretaris Kementerian adalah sebagai berikut : a. Pejabat Eselon II di bawah Sekretaris Kementerian menyiapkan Rancangan Keputusan Sekretaris Kementerian sesuai dengan tugas dan fungsi; b. Rancangan Keputusan Sekretaris Kementerian diusulkan melalui Nota Dinas kepada Sekretaris Kementerian, dengan tembusan kepada Kepala Biro Hukum, dan Kepala Biro Perencanaan, Organisasi, dan Tata Laksana; c. Nota Dinas usulan Rancangan Keputusan Sekretaris Kementerian disertai penjelasan mengenai : 1) dasar pertimbangan; 2) dasar hukum; dan 3) pokok-pokok materi yang diatur. d. Nota Dinas

19 -14- d. Nota Dinas usulan Rancangan Keputusan Sekretaris Kementerian disertai dengan soft copy dari Rancangan Keputusan Sekretaris Kementerian tersebut; e. Dalam hal Rancangan Keputusan Sekretaris Kementerian merupakan perubahan atas Keputusan Sekretaris Kementerian, maka Keputusan Sekretaris Kementerian yang akan diubah wajib dilampirkan. 3. Tahapan pembahasan Keputusan Sekretaris Kementerian, adalah sebagai berikut : a. Kepala Biro Hukum setelah menerima tembusan Nota Dinas pengusulan Keputusan Sekretaris Kementerian dapat mengadakan koordinasi dengan Pejabat Eselon II pengusul, Pejabat Eselon II terkait dan/atau Kepala Biro Perencanaan, Organisasi, dan Tata Laksana. b. Apabila Rancangan Keputusan Sekretaris Kementerian mengakibatkan pembebanan keuangan negara, Kepala Biro Hukum meminta konfirmasi kepada Kepala Biro Perencanaan, Organisasi, dan Tata Laksana. c. Apabila pembahasan Rancangan Keputusan Sekretaris Kementerian telah selesai dilakukan atau dalam hal Rancangan Keputusan Sekretaris Kementerian tidak memerlukan pembahasan dengan unit kerja terkait, Biro Hukum menyempurnakan Rancangan Keputusan Sekretaris Kementerian sesuai dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. d. Kepala Biro Hukum menyampaikan Rancangan Keputusan Sekretaris Kementerian yang telah disempurnakan kepada Pejabat Eselon II pengusul untuk dilakukan koreksi akhir terhadap substansi dan keanggotaan Rancangan Keputusan Kementerian. e. Setelah dilakukan koreksi terhadap Rancangan Keputusan Sekretaris Kementerian, Pejabat Eselon II mengirimkan kembali

20 -15- kembali Rancangan Keputusan Sekretaris Kementerian kepada Biro Hukum; f. Rancangan Keputusan Sekretaris Kementerian dibubuhi paraf Kepala Biro Hukum di sebelah kanan nama jabatan Sekretaris Kementerian. g. Biro Hukum mengusulkan Rancangan Keputusan Sekretaris Kementerian yang telah diparaf kepada Sekretaris Kementerian untuk ditetapkan. h. Rancangan Keputusan Sekretaris Kementerian yang telah ditetapkan dan ditandatangani dikembalikan kepada Kepala Biro Hukum untuk diberi nomor dan dibuatkan salinannya oleh Biro Hukum. i. Biro Hukum menyimpan asli Keputusan Sekretaris Kementerian dan menyampaikan salinannya kepada Kepala Biro Perencanaan, Organisasi, dan Tata Laksana untuk disebarluaskan kepada Pejabat Eselon I atau Pejabat Eselon II dan unit/pejabat terkait. j. Biro Hukum dapat menyebarluaskan salinan Keputusan Sekretaris Kementerian melalui kegiatan sosialisasi/diseminasi/media penggandaaan/teknologi informasi. C. Keputusan Deputi dan Keputusan Inspektur Utama 1. Tahapan penyusulan Keputusan Deputi dan Keputusan Inspektur Utama terdiri atas : a. tahap pengusulan; dan b. tahap pembahasan. 2. Tahapan pengusulan Keputusan Sekretaris Kementerian adalah sebagai berikut : a. Pejabat Eselon II di bawah Deputi atau Inspektur Utama menyiapkan Rancangan Keputusan Deputi dan/atau Rancangan Keputusan Inspektur Utama sesuai dengan tugas dan fungsi; b. Rancangan

21 -16- b. Rancangan Keputusan Deputi dan Rancangan Keputusan Inspektur Utama dikonsultasikan melalui Memorandum kepada Kepala Biro Hukum, dengan tembusan Kepala Biro Perencanaan, Organisasi, dan Tata Laksana; c. Memorandum disertai penjelasan mengenai : 1) dasar pertimbangan; 2) dasar hukum; dan 3) pokok-pokok materi yang diatur. d. Dalam hal Rancangan Keputusan Deputi dan Rancangan Keputusan Inspektur Utama merupakan perubahan atas Keputusan Deputi dan Keputusan Inspektur Utama, maka Keputusan Deputi dan Keputusan Inspektur Utama yang akan diubah wajib dilampirkan. 3. Tahapan pembahasan Keputusan Deputi dan Keputusan Inspektur Utama, adalah sebagai berikut : a. Kepala Biro Hukum setelah menerima Memorandum dapat mengadakan koordinasi dengan Pejabat Eselon II pengusul, Pejabat Eselon II terkait dan/atau Kepala Biro Perencanaan, Organisasi, dan Tata Laksana; b. Apabila Rancangan Keputusan Deputi dan Rancangan Keputusan Inspektur Utama mengakibatkan pembebanan keuangan negara, Kepala Biro Hukum meminta konfirmasi kepada Kepala Biro Perencanaan, Organisasi, dan Tata Laksana; c. Apabila pembahasan Keputusan Deputi dan Rancangan Keputusan Inspektur Utama telah selesai dilakukan atau dalam hal Keputusan Deputi dan Rancangan Keputusan Inspektur Utama tidak memerlukan pembahasan dengan unit kerja terkait, Biro Hukum menyempurnakan Keputusan Deputi dan Rancangan Keputusan Inspektur Utama sesuai dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan; d. Kepala

22 -17- d. Kepala Biro Hukum menyampaikan koreksi Keputusan Deputi dan Rancangan Keputusan Inspektur Utama yang telah disempurnakan kepada Pejabat Eselon II pengusul untuk ditetapkan oleh Deputi atau Inspektur Utama. e. Keputusan Deputi dan Keputusan Inspektur Utama yang telah ditetapkan dan ditandatangani diberi nomor oleh Sekretariat Deputi dan Sekretariat Inspektorat Utama. f. copy/salinan Keputusan Deputi dan Keputusan Inspektur Utama disampaikan kepada Biro Hukum, Biro Perencanaan, Organisasi, dan Tata Laksana, dan unit kerja terkait. g. Biro Hukum dapat menyebarluaskan copy/salinan Keputusan Deputi dan Keputusan Inspektur Utama melalui kegiatan sosialisasi/diseminasi/media penggandaaan/teknologi informasi. D. Keputusan Lainnya 1. Kuasa Pengguna Anggaran dapat menetapkan Keputusan mengenai pembentukan pelaksana kegiatan dan anggaran. 2. Tahapan pengusulan Kuasa Pengguna Anggaran berlaku mutatis mutandis dengan ketentuan untuk penyusunan Keputusan Deputi dan Keputusan Inspektur Utama. BAB IV

23 -18- BAB IV PENUTUP Pedoman ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Dengan ditetapkannya pedoman ini, diharapkan proses penyusunan peraturan perundang-undangan dan keputusan di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dapat dilaksanakan dengan tertib sesuai dengan prinsip penyusunan peraturan perundang-undangan. SEKRETARIS KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ SEKRETARIS UTAMA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL, IMRON BULKIN

24 -1- BAB I TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN MENTERI I. KERANGKA PERATURAN MENTERI 1. Kerangka Peraturan Menteri terdiri atas : A. Judul; B. Pembukaan; C. Batang tubuh; D. Penutup; E. Lampiran (jika diperlukan). A. JUDUL 1. Judul Peraturan Menteri memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Menteri. 2. Nama Peraturan Menteri dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi Peraturan Menteri. 3. Judul Peraturan Menteri ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca. Contoh : PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PELAPORAN GRATIFIKASI PEGAWAI KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL 4. Judul Peraturan Menteri tidak boleh ditambah dengan singkatan atau akronim. Contoh yang tidak tepat dengan menambah singkatan: PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PELAPORAN GRATIFIKASI PEGAWAI KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL 5. Pada

25 -2-5. Pada nama Peraturan Menteri perubahan ditambahkan frasa perubahan atas di depan judul Peraturan Menteri yang diubah. Contoh : PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PELIMPAHAN URUSAN PEMERINTAHAN KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL KEPADA GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN DEKONSENTRASI TAHUN ANGGARAN Jika Peraturan Menteri telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, di antara kata PERUBAHAN dan kata ATAS disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa merinci perubahan sebelumnya. Contoh : PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 004/M.PPN/09/2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN BELANJA KEGIATAN DI KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL 7. Jika Peraturan Menteri yang diubah mempunyai nama singkat, Peraturan Menteri perubahan dapat menggunakan nama singkat Peraturan Menteri yang diubah. 8. Pada nama Peraturan Menteri pencabutan ditambahkan kata PENCABUTAN di depan nama Peraturan Menteri yang dicabut. Contoh : PERATURAN

26 -3- PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2012 TENTANG PENCABUTAN PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 004/M.PPN/09/2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN BELANJA KEGIATAN DI KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL B. PEMBUKAAN 9. Pembukaan Peraturan Menteri terdiri atas : a. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa; b. Jabatan Pembentuk Peraturan Menteri; c. Konsiderans; d. Dasar Hukum; e. Diktum. B.1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa 10. Pada pembukaan Peraturan Menteri sebelum nama jabatan pembentuk Peraturan Menteri dicantumkan frasa DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin. B.2. Jabatan Pembentuk Peraturan Menteri 11. Jabatan pembentuk Peraturan Menteri ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca koma. Contoh : MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL, B.3. Konsiderans 12. Konsiderans diawali dengan kata Menimbang. 13. Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembentukan Peraturan Menteri. 14. Pokok-pokok pikiran pada konsiderans Peraturan Menteri memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis. a. Unsur

27 -4- a. Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun b. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. c. Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. 15. Pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa Peraturan Menteri dianggap perlu untuk dibentuk adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan pertimbangan dan alasan dibentuknya Peraturan Menteri tersebut. 16. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, tiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian. 17. Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik koma (;). Contoh : Menimbang : a. bahwa.; b. bahwa.; c. bahwa.; 18. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi sebagai berikut: Contoh : Menimbang : a. bahwa.; b. bahwa.; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 19. Peraturan

28 Peraturan Menteri yang melaksanakan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, konsideransnya cukup memuat satu pokok pikiran yang isinya menunjuk pasal Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatannya. Contoh : Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16, Pasal 55 dan Pasal 77 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2001 Tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tentang Tata Cara Perencanaan, Pengajuan Usulan, Penilaian, Pemantauan, dan Evaluasi Kegiatan yang Dibiayai dari Pinjaman Luar Negeri dan Hibah; B.4. Dasar Hukum 20. Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat. 21. Dasar hukum memuat : a. Dasar kewenangan pembuatan Peraturan Menteri; dan b. Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan Peraturan Menteri tersebut. 22. Peraturan Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. 23. Peraturan Menteri yang akan dicabut dengan Peraturan Menteri yang akan dibentuk atau Peraturan Menteri yang sudah diundangkan tetapi belum resmi berlaku, tidak dicantumkan sebagai dasar hukum. 24. Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memerhatikan tata urutan Peraturan Perundang-undangan dan jika tingkatannya sama disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya. 25. Dasar hukum yang diambil dari pasal atau beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan menyebutkan pasal atau beberapa pasal. Frasa Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis sesudah penyebutan pasal terakhir dan kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital. Contoh : Mengingat :

29 -6- Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 26. Dasar hukum yang bukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup mencantumkan nama judul Peraturan Perundang-undangan tanpa mencantumkan frasa Republik Indonesia. 27. Penulisan jenis Peraturan Perundang-undangan dan rancangan Peraturan Perundang-undangan, diawali dengan huruf kapital. Contoh : Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden. 28. Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden. 29. Penulisan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah dalam dasar hukum dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung. Mengingat : 1....; 2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); 30. Jika dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan Perundangundangan, tiap dasar hukum diawali dengan angka Arab 1,2,3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma. Contoh : Mengingat : ; ; B.5. Diktum 31. Diktum terdiri atas: a. kata Memutuskan; b. kata Menetapkan; dan c. Nama Peraturan Menteri. 32. Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi di antara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakkan di tengah marjin. Contoh : MEMUTUSKAN :

30 -7- MEMUTUSKAN : 33. Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan yang disejajarkan ke bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua (:). 34. Nama yang tercantum dalam judul Peraturan Menteri dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik. MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL TENTANG TATA CARA PERENCANAAN, PENGAJUAN USULAN, PENILAIAN, PEMANTAUAN, DAN EVALUASI KEGIATAN YANG DIBIAYAI DARI PINJAMAN LUAR NEGERI DAN HIBAH. C. BATANG TUBUH 35. Batang tubuh Peraturan Menteri memuat semua materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dirumuskan dalam pasal atau beberapa pasal. 36. Pada umumnya materi muatan dalam Batang Tubuh dikelompokkan ke dalam : a. ketentuan umum; b. materi pokok yang diatur; c. ketentuan sanksi administratif (jika diperlukan); d. ketentuan peralihan (jika diperlukan); e. ketentuan penutup. 37. Pengelompokan materi muatan dirumuskan secara lengkap sesuai dengan kesamaan materi yang bersangkutan dan jika terdapat materi muatan yang diperlukan tetapi tidak dapat dikelompokkan dalam ruang lingkup pengaturan yang sudah ada, materi tersebut dimuat dalam bab ketentuan lain-lain. 38. Substansi yang berupa sanksi administratif pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif. 39. Jika norma yang memberikan sanksi administratif terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) tersebut. 40. Sanksi

31 Sanksi administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif, atau daya paksa polisional. 41. Pengelompokan materi Peraturan Menteri dapat disusun secara sistematis dalam bab, bagian, dan paragraf. 42. Pengelompokan materi dalam bab, bagian, dan paragraf dilakukan atas dasar kesamaan materi. 43. Urutan pengelompokan adalah sebagai berikut: a. bab dengan pasal atau beberapa pasal tanpa bagian dan paragraf; b. bab dengan bagian dan pasal atau beberapa pasal tanpa paragraf; atau c. bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal atau beberapa pasal. 44. Bab diberi nomor urut dengan angka Romawi dan judul bab yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital. BAB I KEKTENTUAN UMUM 45. Bagian diberi nomor urut dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan huruf dan diberi judul. 46. Huruf awal kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata pada judul bagian ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frasa. Bagian Kedua Pengajuan Usulan Pinjaman Proyek dan Hibah 47. Paragraf diberi nomor urut dengan angka Arab dan diberi judul. 48. Huruf awal dari kata paragraf dan setiap kata pada judul paragraf ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frasa. Paragraf 1 Kriteria Umum Usulan Kegiatan Pinjaman Proyek dan Hibah 49. Pasal merupakan satuan aturan dalam Peraturan Menteri yang memuat satu norma, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas, dan lugas. 50. Materi Peraturan Menteri lebih baik dirumuskan dalam banyak pasal yang singkat dan jelas daripada ke dalam beberapa pasal yang masing-masing pasal memuat banyak ayat, kecuali jika materi yang menjadi

32 -9- menjadi isi pasal itu merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. 51. Pasal diberi nomor urut dengan angka Arab dan huruf awal kata pasal ditulis dengan huruf kapital. Pasal 16 BUMN dapat mengusulkan kegiatan yang direncanakan sebagai penerusan pinjaman, yang dibiayai dari Pinjaman Luar Negeri. 52. Pasal dapat dirinci ke dalam beberapa ayat. 53. Ayat diberi nomor urut dengan angka Arab di antara tanda baca kurung tanpa diakhiri tanda baca titik. 54. Satu ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam satu kalimat utuh. 55. Huruf awal kalimat kata ayat yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kecil. Pasal 12 (1) Menteri menyampaikan rencana penyusunan DRPHLN JM kepada Menteri pada Kementerian Negara/Pimpinan Lembaga/Pemerintah Daerah/Direksi BUMN. (2) Berdasarkan rencana penyusunan DRPHLN JM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri pada Kementerian Negara/Pimpinan Lembaga/Pemerintah Daerah/Direksi BUMN mengajukan usulan kegiatan untuk dibiayai dari pinjaman dan/atau hibah luar negeri. 56. Jika satu pasal atau ayat memuat rincian unsur, maka di samping dirumuskan dalam bentuk kalimat dengan rincian, dapat pula dipertimbangkan penggunaan rumusan dalam bentuk tabulasi. Pasal 28 Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri. Isi pasal tersebut dapat lebih mudah dipahami jika dirumuskan sebagai berikut: Contoh rumusan tabulasi: Pasal 17 Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi: a. Presiden; b. Wakil

33 -10- b. Wakil Presiden; dan c. Pejabat negara yang lain, yang disampaikan di dalam atau diluar negeri. 57. Jika merumuskan pasal atau ayat dalam bentuk tabulasi, memperhatikan ketentuan sebagai berikut: a. setiap rincian harus dapat dibaca sebagai satu rangkaian kesatuan dengan frasa pembuka; b. setiap rincian diawali dengan huruf abjad kecil dan diberi tanda baca titik; c. setiap frasa dalam rincian awal dengan huruf kecil; d. setiap rincian diakhiri dengan tanda baca titik koma; e. jika suatu rangkaian dibagi lagi ke dalam unsur yang lebih kecil, maka unsur tersebut dituliskan masuk ke dalam; f. di belakang rincian yang masih mempunyai rincian lebih lanjut diberi tanda baca titik dua; g. pembagian rincian (dengan urutan makin kecil) ditulis dengan abjad kecil, yang diikuti dengan tanda baca kurung tutup; angka Arab dengan tanda baca kurung tutup; h. pembagian rincian (dengan urutan makin kecil) ditulis dengan huruf abjad kecil yang diikuti dengan tanda baca titik; angka Arab diikuti dengan tanda baca titik; abjad kecil dengan tanda baca kurung tutup; angka Arab dengan tanda baca kurung tutup; dan i. pembagian rincian hendaknya tidak melebihi 4 (empat) tingkat. Jika rincian melebihi empat tingkat, perlu dipertimbangkan pemecahan pasal yang bersangkutan ke dalam pasal atau ayat lain. 58. Jika unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif, ditambahkan kata dan yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir. 59. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian alternatif, ditambahkan kata atau yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir. 60. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif dan alternatif, ditambahkan kata dan/atau yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir. 61. Kata dan, atau, dan/atau tidak perlu diulangi pada akhir setiap unsur atau rincian. 62. Tiap-tiap rincian ditandai dengan huruf a, huruf b, dan seterusnya. Pasal 9 (1)... (2)... : a....;

34 -11- a....; b....; (dan, atau, dan/atau) c Jika suatu rincian memerlukan lebih lanjut, rincian itu ditandai dengan angka Arab 1, 2, dan seterusnya. (1)... (2)... : a....; b....; (dan, atau, dan/atau) c ; 2....; (dan, atau dan/atau) Pasal Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu ditandai dengan huruf a), b), dan seterusnya. Pasal 20 (1)... (2)... (3)...: a....; b....; (dan, atau, dan/atau) c....: 1....; 2....; (dan, atau, dan/atau) 3....: a)...; b)...; (dan, atau, dan/atau) c)...: 65. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian mendetail, rincian itu ditandai dengan angka 1), 2), dan seterusnya. Pasal 22 (1)... (2)... a....; b....; (dan, atau, dan/atau) c....: (dan, atau, dan/atau) 3....: a)...;

35 -12- C.1. Ketentuan Umum a)...; b)...; (dan, atau, dan/atau) c)...: 1....; 2....; (dan, atau dan/atau) Ketentuan Umum diletakkan dalam bab kesatu. Jika dalam Peraturan Menteri tidak dilakukan pengelompokan bab, Ketentuan Umum diletakkan dalam pasal atau beberapa pasal awal. 67. Ketentuan Umum dapat memuat lebih dari satu pasal. 68. Ketentuan Umum berisi: a. batasan pengertian atau definisi; b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab. Contoh batasan pengertian: 1. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan; 2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Daerah Istimewa Jakarta. Contoh definisi: 1. Spasial adalah aspek keruangan suatu objek atau kejadian yang mencakup lokasi, letak dan posisinya. 2. Pajak Daerah yang selanjtunya disebut pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besaranya kemakmuran rakyat. Contoh singkatan: 1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, yang selanjutnya disingkat RPJMN, adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 5 (lima) tahun; 2. Daftar Rencana Kegiatan Hibah, yang selanjutnya disingkat DRKH, adalah daftar rencana kegiatan tahunan yang layak dibiayai dengan hibah dan telah mendapatkan indikasi pendanaan dari calon Pemberi Hibah. Contoh

36 -13- Contoh akronim 1. Asuransi Kesehatan yang selanjutnya disebut ASKES adalah Orang dengan HIV/AIDS yang selanjutnya disebut ODHA adalah orang yang sudah terinfeksi HIV Frasa pembuka dalam Ketentuan Umum Peraturan Menteri berbunyi: Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 70. Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi singkatan atau akronim lebih dari satu, maka masing-masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik. 71. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal atau beberapa pasal selanjutnya. 72. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau paragraf tertentu, kata atau istilah itu diberi definisi. 73. Jika suatu batasan pengertian atau definisi dikutip kembali dari ketentuan umum suatu Peraturan Perundang-undangan uang lebih tinggi atau sederajat, maka rumusan batasan pengertian atau definisi di dalam Peraturan Menteri harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat di dalam Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi atau sederajat yang dilaksanakan tersebut. 74. Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim berfungsi, untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda. 75. Penulisan huruf awal tiap kata atau istilah yang sudah didefinisikan atau diberi batasan pengertian dalam ketentuan umum ditulis dengan huruf kapital baik digunakan dalam norma yang diatur maupun dalam lampiran. 76. Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus; b. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan berdekatan secara berurutan. C.2. Materi

37 -14- C.2. Materi Pokok yang Diatur 77. Materi Pokok yang Diatur ditempatkan langsung setelah bab ketentuan umum, dan jika tidak ada pengelompokan bab, Materi Pokok yang Diatur diletakkan setelah pasal atau beberapa pasal ketentuan umum. 78. Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian. a. Pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi, seperti pembagian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: 1. Kejahatan terhadap keamanan negara; 2. Kejahatan terhadap martabat Presiden; 3. Kejahatan terhadap negara sahabat dan wakilnya; 4. Kejahatan terhadap kewajiban dan hak kenegaraan; 5. Kejahatan terhadap ketertiban umum. b. Pembagian berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian dalam proses pengelolaan kegiatan yang dibiayai dari Pinjaman Luar Negeri dan Hibah dimulai dari perencanaan, pengajuan usulan,penilaian, pemantauan, dan evaluasi. c. Pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Menteri, Sekretaris Kementerian, dan Kepala Biro. C.3. Ketentuan Sanksi Administratif (Jika diperlukan) 79. Peraturan Menteri hanya dapat memuat Sanksi Administratif. 80. Ketentuan Sanksi Administratif memuat ancaman atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah. 81. Ketentuan Sanksi Administratif ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu bab Ketentuan Sanksi Administratif yang diletakkan sesudah bab mengenai Materi Pokok yang Diatur atau sebelum bab Ketentuan Peralihan (jika ada), dan diletakkan sebelum bab Ketentuan Penutup jika tidak ada bab Ketentuan Peralihan. 82. Ketentuan Sanksi Administratif tidak dapat diberlakukan surut. 83. Ketentuan Sanksi Administratif antara lain berupa pencabutan izin, pemberhentian sementara, denda, pengawasan dan lain-lain. C.4. Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan) 84. Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap peraturan perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk: a. menghindari terjadinya kekosongan hukum; b. menjamin kepastian hukum; c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan d. mengatur

38 -15- d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara. Contoh : Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 4 Tahun 2011 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengajuan Usulan, Penilaian, Pemantauan, dan Evaluasi Kegiatan Yang Dibiayai Dari Pinajaman Luar Negeri dan Hibah. Pasal 64 (1) Pada saat berlakunya Peraturan Menteri ini daftar rencana pinjaman yang tercantum di dalam DRPHLN-JM tahun tetap berlaku sampai dengan ditetapkannya DRPLN-JM 85. Ketentuan Peralihan dimuat dalam Bab Ketentuan dan ditempatkan diantara Bab Ketentuan Pidana dan Bab Ketentuan Penutup. Jika dalam Peraturan perundang-undangan tidak diadakan pengelompokkan bab, pasal atau beberapa pasal yang memuat Ketentuan Peralihan ditempatkan sebelum pasal yang memuat ketentuan penutup. 86. Di dalam Peraturan Menteri yang baru, dapat dimuat ketentuan mengenai penyimpangan sementara atau penundaan sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu. 87. Di dalam Peraturan Menteri yang baru, dapat dimuat pengaturan yang memuat penyimpangan sementara atau penundaan sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu. 88. Penyimpangan sementara itu berlaku juga bagi ketentuan yang diberlakusurutkan. 89. Jika suatu Peraturan Menteri diberlakukan surut, Peraturan Menteri tersebut hendaknya memuat ketentuan mengenai status dari tindakan hukum yang terjadi, atau hubungan hukum yang ada di dalam tenggang waktu antara tanggal mulai berlaku surut dan tanggal mulai berlaku pengundangannya. Contoh : Selisih tunjangan perbaikan yang timbul akibat Peraturan ini dibayarkan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak saat tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini. 90. Penentuan daya laku surut tidak dimuat dalam Peraturan Menteri yang memberi beban konkret kepada masyarakat, misalnya penarikan pajak atau retribusi. 91. Jika penerapan suatu ketentuan Peraturan Menteri dinyatakan ditunda sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu, ketentuan Peraturan Menteri tersebut harus memuat secara tegas dan rinci tindakan hukum atau hubungan hukum yang dimaksud, serta jangka waktu atau persyaratan berakhirnya penundaan sementara tersebut. 92. Rumusan

39 Rumusan dalam Ketentuan Peralihan tidak memuat perubahan terselubung atas ketentuan Peraturan Perundang-udangan lain. Perubahan ini hendaknya dilakukan dengan memuat batasan pengertian baru di dalam Ketentuan Umum Peraturan Menteri atau membuat Peraturan Menteri Perubahan. (1) DRPHLN-JM atau yang disebut nama lainnya yang setingkat dengan dokumen yang sudah ada saat mulai berlakunya Peraturan Menteri ini dinyatakan sebagai DRPLN-JM menurut Pasal 1 huruf a. C.5. Ketentuan Penutup 93. Ketentuan Penutup ditempatkan dalam bab terakhir. Jika tidak diadakan pengelompokan bab, Ketentuan Penutup ditempatkan dalam pasal atau beberapa pasal terakhir. 94. Pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai: a. penunjukan organ atau alat perlengkapan yang melaksanakan Peraturan Menteri; b. nama singkat Peraturan Menteri; c. status Peraturan Menteri yang sudah ada; dan d. saat mulai berlaku Peraturan Menteri. 95. Penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Menteri bersifat menjalankan, misalnya penunjukkan pejabat tertentu yang diberi kewenangan untuk memberikan izin,dan mengangkat pegawai. 96. Bagi nama Peraturan Menteri yang panjang, dapat dimuat Ketentuan mengenai nama singkat dengan ketentuan sebagai berikut: a. nomor dan tahun pengeluaran peraturan yang bersangkutan tidak dicantumkan; b. nama singkat bukan berupa singkatan atau akronim, kecuali jika singkatan atau akronim itu sudah sangat dikenal dan tidak menimbulkan salah pengertian. 97. Nama singkat tidak memuat pengertian yang menyimpang dari isi dan nama peraturan. Contoh nama singkat yang kurang tepat : (Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Tentang Tata Cara Perencanaan, Pengajuan Usulan, Penilaian, Pemantauan, Dan Evaluasi Kegiatan Yang Dibiayai Dari Pinjaman Luar Negeri Dan Hibah) Peraturan Menteri ini dapat disebut Peraturan Menteri tentang PHLN. 98. Nama Peraturan Menteri yang sudah singkat tidak perlu diberikan nama singkat. Contoh :

40 -17- Contoh : nama singkat yang kurang tepat: (Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tentang Tata Cara Penyusunan Inisiatif Baru) Peraturan Menteri ini dapat disebut Peraturan Menteri tentang New Initiatives. 99. Sinonim tidak dapat digunakan sebagai nama singkat. Contoh nama singkat yang kurang tepat: (Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah Di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) Peraturan Menteri ini dapat disebut Peraturan Menteri tentang Sistem Audit Jika materi dalam Peraturan Menteri baru menyebabkan perlunya penggantian seluruh atau sebagian materi dalam Peraturan Menteri lama, di dalam Peraturan Menteri baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan seluruh atau sebagian Peraturan Menteri lama Rumusan pencabutan diawali dengan frasa pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, kecuali untuk pencabutan yang dilakukan dengan Peraturan Menteri pencabutan tersendiri Demi kepastian hukum, pencabutan Peraturan Menteri hendaknya tidak dirumuskan secara umum tetapi menyebutkan dengan tegas Peraturan Menteri mana yang dicabut Untuk mencabut Peraturan Menteri yang telah ditetapkan dan telah mulai berlaku, gunakan frasa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor: KEP.013/M.PPN/02/2003 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Fungsional Penjenjangan Perencanaan sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor: PER. 006/M.PPN/09/2006 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku Jika jumlah Peraturan Menteri yang dicabut lebih dari 1 (satu) dapat dipertimbangkan cara penulisannya dengan rincian dalam bentuk Tabulasi. Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: (1) Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor

41 -18- Nomor PER.004/M.PPN/09/2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencanan Anggaran dan Biaya (RAB) Kegiatan di Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 2 Tahun 2011; (2) Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Kegiatan dan Anggaran di Kementerian Perencanaan pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku Pencabutan Peraturan Menteri harus disertai dengan keterangan mengenai, status hukum dari peraturan pelaksanaan, atau keputusan yang telah dikeluarkan berdasarkan Peraturan Menteri yang dicabut Untuk mencabut Peraturan Menteri yang telah ditetapkan tetapi belum mulai berlaku, gunakan frasa ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku. Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Nomor... Tahun... tentang... ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku Pada dasarnya Peraturan Menteri mulai berlaku pada saat Peraturan Menteri tersebut ditetapkan. Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan Jika ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya Peraturan Menteri yang bersangkutan saat diundangkan, hal ini hendaknya dinyatakan secara tegas di dalam Peraturan Menteri yang bersangkutan dengan menentukan tanggal tertentu saat peraturan akan berlaku. Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 April Tidak menggunakan frasa... mulai berlaku efektif pada tanggal... atau sejenisnya, karena frasa ini menimbulkan ketidakpastian mengenai saat berlakunya suatu Peraturan Menteri saat diundangkan atau saat berlaku efektif Pada dasarnya saat mulai berlaku Peraturan Menteri adalah sama bagi seluruh bagian Peraturan Menteri dan seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Contoh

42 -19- Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan Penyimpangan terhadap saat mulai berlaku Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan hendaknya dinyatakan secara tegas dengan: a. menetapkan bagian-bagian mana dalam Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan itu yang berbeda saat mulai berlakunya; Pasal 45 (1) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mulai berlaku pada tanggal... b. menetapkan saat mulai berlakunya yang berbeda bagi wilayah negara tertentu. Pasal 40 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) mulai berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura pada tanggal Pada dasarnya saat mulai berlakunya Peraturan Menteri tidak dapat ditentukan lebih awal dari pada saat pengundangannya Saat mulai berlaku Peraturan Menteri, pelaksanaannya tidak boleh ditetapkan lebih awal daripada saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan yang mendasarinya Peraturan Menteri hanya dapat dicabut dengan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi Pencabutan Peraturan Perundang-udangan yang tingkatannya lebih tinggi itu dilakukan, jika Peraturan perundang-udangan yang lebih tinggi itu dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian materi muatan Peraturan Menteri yang dicabut. D. PENUTUP 116. Penutup merupakan bagian akhir Peraturan Menteri dan memuat: a. rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Menteri dalam Berita Negara Republik Indonesia; b. penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Menteri; c. pengundangan atau Penetapan Peraturan Menteri; d. akhir bagian penutup Rumusan

43 Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Menteri dalam Berita Negara Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut: Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia Penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Menteri memuat: a. tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan; b. nama jabatan; c. tanda tangan pejabat; dan d. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar, pangkat, golongan, dan nomor induk pegawai Rumusan tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan diletakkan disebelah kanan Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma. Contoh untuk penetapan: Ditetapkan di Jakarta pada tanggal... MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL, SOFYAN A. DJALIL 121. Penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Menteri memuat: a. tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan; b. nama jabatan; c. tanda tangan pejabat; dan d. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar, pangkat, golongan, dan nomor induk pegawai Tempat tanggal pengundangan Peraturan Menteri diletakkan di sebelah kiri (di bawah penandatanganan pengesahan atau penetapan) Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma. Contoh :

44 -21- Contoh : Diundangkan di Jakarta pada tanggal DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, (Nama Dirjen PP Kementerian Hukum dan HAM) 124. Penulisan frasa Berita Negara Republik Indonesia ditulis seluruhnya dengan huruf kapital. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 304 E. LAMPIRAN (Jika Diperlukan) 125. Dalam hal Peraturan Menteri memerlukan lampiran, hal tersebut harus dinyatakan dalam batang tubuh dan pernyataan bahwa lampiran dimaksud merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Lampiran dapat memuat antara lain uraian, daftar, tabel, gambar, peta, dan sketsa Dalam hal Peraturan Menteri memerlukan lebih dari satu lampiran, tiap lampiran harus diberi nomor urut dengan menggunakan angka romawi. LAMPIRAN I LAMPIRAN II 128. Judul lampiran ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di sudut kanan atas tanpa diakhiri tanda baca dengan rata kiri. LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PPN/ KEPALA BAPPENAS NOMOR 1 TAHUN Nama lampiran ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah tanpa diakhiri tanda baca. TATA CARA PENGUSULAN KEGIATAN DAN ANGGARAN 130. Pada halaman akhir tiap lampiran harus dicantumkan nama dan tanda tangan pejabat yang mengesahkan atau menetapkan Peraturan Menteri ditulis dengan huruf kapital yang diletakkan di sudut kanan bawah dan diakhiri dengan tanda baca koma setelah nama

45 -22- nama pejabat yang mengesahkan atau menetapkan Peraturan Menteri. MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, II. SOFYAN A DJALIL HAL-HAL KHUSUS A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN 131. Peraturan Menteri dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Petunjuk Pelaksanaan Pendelegasian kewenangan mengatur harus menyebut dengan tegas: a. ruang lingkup materi muatan yang diatur; dan b. jenis Peraturan Perundang-undangan Jika pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan dimuat pada ayat terakhir pada pasal yang bersangkutan. Pasal 18 (1) Pencairan anggaran dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kegiatan dan pencairan anggaran diatur dalam Petunjuk Pelaksanaan yang ditetapkan oleh Sekretaris Kementerian PPN/Sestama Bappenas Jika pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan kewenangan dapat dipertimbangkan untuk dimuat dalam pasal tersendiri, karena materi pendelegasian ini pada dasarnya berbeda dengan apa yang diatur dalam rangkaian ayat-ayat sebelumnya. Pasal 7 Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan KAK/TOR dan RAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) diatur dalam Petunjuk Pelaksanaan yang ditetapkan oleh Sekretaris Kementerian PPN/Sestama Bappenas Dalam pendelegasian kewenangan mengatur tidak boleh adanya delegasi blanko. Pasal

46 -23- Pasal... Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Menteri ini, diatur lebih lanjut dengan Petunjuk Pelaksanaan Petunjuk Pelaksanaan hendaknya tidak mengulangi ketentuan norma yang telah diatur di dalam Peraturan Menteri yang menedelegasikan, kecuali jika hal tersebut memang tidak dapat dihindari Di dalam Petunjuk Pelaksanaan tidak mengutip kembali rumusan norma atau ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Menteri yang mendelegasikan. Pengutipan kembali dapat dilakukan sepanjang rumusan norma atau ketentuan tersebut diperlukan sebagai pengantar (aanloop) untuk merumuskan norma atau ketentuan lebih lanjut di dalam pasal atau beberapa pasal atau ayat atau beberapa ayat selanjutnya. B. PENCABUTAN 138. Jika ada Peraturan Menteri lama yang tidak diperlukan lagi dan diganti dengan Peraturan Menteri baru, Peraturan Menteri yang baru harus secara tegas mencabut Peraturan Menteri yang tidak diperlukan itu Jika materi dalam Peraturan Menteri yang baru menyebabkan perlu penggantian sebagian atau seluruh materi dalam Peraturan Menteri yang lama, di dalam Peraturan Menteri yang baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan sebagian atau seluruh Peraturan Menteri yang lama Peraturan Menteri hanya dapat dicabut melalui Peraturan Perundang-undangan yang setingkat atau lebih tinggi Jika Peraturan Menteri baru mengatur kembali suatu materi yang sudah diatur dan sudah diberlakukan, pencabutan Peraturan Menteri itu dinyatakan dalam salah satu pasal dalam ketentuan penutup dari Peraturan Menteri yang baru, dengan menggunakan rumusan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku Pencabutan Peraturan Menteri yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku, dapat dilakukan dengan peraturan tersendiri dengan menggunakan rumusan ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku Jika pencabutan Peraturan Menteri dilakukan dengan peraturan pencabutan tersendiri, peraturan pencabutan tersebut pada dasarnya memuat 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut: a. Pasal 1 memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya Peraturan Menteri yang sudah diundangkan. b. Pasal 2 memuat ketentuan tentang saat mulai berlakunya Peraturan Menteri pencabutan yang bersangkutan. Contoh :

47 -24- Contoh : Pasal 1 Peraturan Menteri Nomor... Tahun... tentang... (Berita Negara Republik Indonesia Nomor... Tahun...) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 2 Peraturan Menteri ini berlaku pada tanggal diundangkan Pencabutan Peraturan menteri yang menimbulkan perubahan dalam Peraturan Menteri lain yang terkait, tidak mengubah Peraturan Menteri lain yang terkait tersebut, kecuali ditentukan lain secara tegas Peraturan Menteri atau ketentuan yang telah dicabut, tetap tidak berlaku, meskipun Peraturan Menteri yang mencabut dikemudian hari dicabut pula. C. PERUBAHAN PERATURAN MENTERI 146. Perubahan Peraturan Menteri dilakukan dengan: a. menyisipkan atau menambah materi ke dalam Peraturan Menteri; atau b. menghapus atau mengganti sebagian materi Peraturan Menteri Perubahan Peraturan Menteri dapat dilakukan terhadap: a. seluruh atau sebagian bab, bagian, paragraf, pasal, dan/atau ayat; atau b. kata, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda baca Jika Peraturan Menteri yang diubah mempunyai nama singkat, Peraturan Menteri perubahan dapat menggunakan nama singkat Peraturan Menteri yang diubah Batang tubuh Peraturan Menteri perubahan terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Romawi yaitu sebagai berikut: a. Pasal I memuat judul Peraturan Menteri yang diubah. Jika materi perubahan lebih dari satu, setiap materi perubahan dirinci dengan menggunakan angka Arab (1, 2, 3, dan seterusnya). Contoh : Pasal I Beberapa ketentuan dalam Lampiran Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor PER.004/M.PPN/09/2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Anggaran dan Biaya (RAB) Kegiatan di Kementerian PPN/Bappenas, diubah sebagai berikut: b. Jika

48 -25- b. Jika Peraturan Menteri telah diubah lebih dari satu kali, Pasal I memuat tahun dan nomor dari Peraturan Menteri perubahan yang ada dan dirinci dengan huruf (abjad) kecil (a, b, c, dan seterusnya). Contoh : Pasal II Beberapa ketentuan dalam Lampiran Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor PER.004/M.PPN/09/2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Anggaran dan Biaya (RAB) Kegiatan di Kementerian PPN/Bappenas, yang telah beberapa kali diubah dengan Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional: a. Nomor 2 Tahun 2010; b. Nomor 2 Tahun 2011; diubah sebagai berikut: c. Pasal II memuat saat mulai berlakunya Peraturan Menteri. Dalam hal tertentu, Pasal II juga dapat memuat ketentuan peralihan dari Peraturan Menteri perubahan, yang maksudnya berbeda dengan ketentuan peralihan dari Peraturan Menteri yang diubah Jika dalam Peraturan Menteri ditambahkan atau disisipkan bab, bagian, paragraf atau pasal baru, maka bab, bagian, paragraf, atau pasal baru tersebut dicantumkan pada tempat yang sesuai dengan materi yang bersangkutan. a. penyisipan bab: Di antara BAB III dan BAB IV disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB III A sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB III A ACUAN BIAYA PERSONIL KAJIAN, KAJIAN PRAKARSA STRATEGIS DAN EVALUASI b. Penyisipan pasal Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 18 disisipkan 2 (2) ayat, yakni ayat (1a) dan ayat (1b) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1)... (1a)... (1b)... (2) Jika

49 Jika dalam Peraturan Menteri dilakukan penghapusan atas suatu bab, bagian, paragraf, pasal atau ayat, maka urutan bab, bagian, paragraf, pasal atau ayat tersebut tetap dicantumkan dengan diberi keterangan dihapus. Contoh 1. Pasal 6 dihapus 2. Pasal 18 ayat (2) dihapus sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1)... (2) Dihapus (3) Jika suatu Perubahan Peraturan Menteri mengakibatkan: a. sistematika Peraturan Menteri berubah; b. materi Peraturan berubah lebih dari 50% persen (lima puluh persen) atau; c. esensinya berubah; Peraturan Menteri yang diubah tersebut lebih baik dicabut dan disusun kembali dalam Peraturan Menteri yang baru mengenai masalah tersebut Jika suatu Peraturan Menteri telah sering mengalami perubahan sehingga menyulitkan pengguna Peraturan Menteri, sebaiknya Peraturan Menteri tersebut disusun kembali dalam naskah sesuai dengan perubahan yang telah dilakukan, dengan mengadakan penyesuaian pada: III. a. Urutan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, angka, atau butir; b. Penyebutan-penyebutan; dan c. Ejaan, jika Peraturan Menteri yang diubah masih tertulis dalam ejaan lama. RAGAM BAHASA PERATURAN MENTERI 154. Bahasa Peraturan Menteri pada dasarnya tunduk pada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun bahasa Peraturan Menteri mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara penulisan Ciri-ciri bahasa Peraturan Menteri antara lain: a. lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau kerancuan; b. bercorak hemat hanya kata yang diperlukan yang dipakai; c. objektif dan menekan rasa subjektif (tidak emosi dalam mengungkapkan tujuan atau maksud); d. membakukan

50 -27- d. membakukan makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan secara konsisten; e. memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat; f. penulisan kata yang bermakna tunggal atau jamak selalu dirumuskan dalam bentuk tunggal; dan Buku-buku ditulis buku Murid-murid ditulis murid g. penulisan huruf awal dari kata, frasa atau istilah yang sudah didefinisikan atau diberikan batasan pengertian, nama jabatan, nama profesi, nama institusi/lembaga pemerintah/ketatanegaraan, dan jenis Peraturan Perundangundangan dan rancangan Peraturan Perundang-undangan dalam rumusan norma ditulis dengan huruf kapital Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Menteri digunakan kalimat yang tegas, jelas, singkat, dan mudah dimengerti Tidak menggunaan kata atau frasa yang artinya tidak menentu atau konteksnya dalam kalimat tidak jelas. Istilah minuman keras miliki makna yang kurang jelas dibandingkan dengan istilah minuman beralkohol Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Menteri, gunakan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku Untuk memberikan perluasan pengertian kata atau istilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata meliputi Untuk mempersempit pengertian kata atau istilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata tidak meliputi Tidak memberikan arti kepada kata atau frasa yang maknanya terlalu menyimpang dari makna yang biasa digunakan dalam penggunaan bahasa sehari-hari Di dalam Peraturan Menteri yang sama, tidak menggunakan: a. beberapa istilah yang berbeda untuk menyatakan satu pengertian yang sama. b. satu istilah untuk beberapa pengertian yang berbeda Jika membuat pengacuan ke pasal atau ayat lain, tidak boleh menggunakan frasa tanpa mengurangi, dengan tidak mengurangi, atau tanpa menyimpang dari makna yang biasa digunakan dalam penggunaan bahasa sehari-hari Untuk

51 Untuk menghindari perubahan nama kementerian, penyebutan menteri sebaiknya menggunakan penyebutan yang didasarkan pada urusan pemerintahan yang dimaksud. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional Penyerapan kata, frasa, atau istilah bahasa asing yang banyak dipakai dan telah disesuaikan ejaan dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat digunakan jika: a. mempunyai konotasi yang cocok; b. lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam Bahasa Indonesia; c. mempunyai corak internasional; d. lebih mempermudah tercapainya kesepakatan; atau e. lebih mudah dipahami daripada terjemahannya dalam Bahasa Indonesia Penggunaan kata, frasa, atau istilah bahasa asing didahului padanannya dalam Bahasa Indonesia, ditulis miring, dan diletakkan diantara tanda baca kurung (.) IV. PILIHAN KATA ATAU ISTILAH 167. Gunakan kata paling, untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum dalam menentukan batasan waktu dan ancaman sanksi Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan: a. waktu, gunakan frasa paling singkat atau paling lama untuk menyatakan jangka waktu; contoh : Peraturan pelaksanaan Peraturan Menteri ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak Pereturan Menteri ini diundangkan. b. waktu, gunakan frasa paling lambat atau paling cepat untuk menyatakan batas waktu. c. jumlah uang, gunakan frasa paling rendah atau paling tinggi. d. jumlah non uang, gunakan frasa paling rendah dan paling tinggi Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali Kata kecuali ditempatkan langsung di belakang suatu kata, jika yang akan dibatasi hanya kata yang bersangkutan. Penumpang adalah setiap orang yang berada di atas alat angkut, kecuali awak alat angkut Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata selain Untuk

52 Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, digunakan kata jika, apabila, atau frasa dalam hal. a. Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal (pola karena-maka); b. Kata apabila digunakan untuk menyatakan hubungan kausal yang mengandung waktu. c. Frasa dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu kemungkinan, keadaan atau ondisi yang mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi (pola kemungkinan-maka) Frasa pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti akan terjadi di masa depan Untuk menyatakan sifat kumulatif, gunakan kata dan Untuk menyatakan sifat alternatif, gunakan kata atau Untuk menyatakan sifat kumulatif sekaligus alternatif, gunakan frasa dan/atau Untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata berhak Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga gunakan kata berwenang Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, gunakan kata wajib Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu, gunakan kata harus. Jika keharusan tersebut tidak dapat dipenuhi, yang bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat seandainya ia memenuhi kondisi atau persyaratan tersebut Untuk menyatakan adanya adanya larangan, gunakan kata dilarang. V. TEKNIK PENGACUAN 183. Pada dasarnya setiap pasal merupakan suatu kebulatan pengertian tanpa mengacu ke pasal atau ayat lain. Namun, untuk menghindari pengulangan rumusan digunakan teknik pengacuan Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk pasal atau ayat dari Peraturan Menteri yang bersangkutan atau Peraturan Perundang undangan yang lain dengan menggunakan frasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal... atau sebagaimana dimaksud pada ayat Pengacuan lebih dari dua terhadap pasal, ayat, atau huruf yang berurutan tidak perlu menyebutkan pasal demi pasal, ayat demi ayat, atau huruf demi huruf yang diacu tetapi cukup dengan menggunakan frasa sampai dengan Pengacuan

53 Pengacuan lebih dari dua terhadap pasal atau ayat yang berurutan, tetapi ada ayat dalam salah satu pasal yang dikecualikan, pasal atau ayat yang tidak ikut diacu dinyatakan dengan kata kecuali Jika ada dua atau lebih pengacuan, urutan dari pengacuan dimulai dari ayat dalam pasal yang bersangkutan (jika ada), kemudian diikuti dengan pasal atau ayat yang angkanya lebih kecil Kata Pasal ini tidak perlu digunakan jika ayat yang diacu merupakan salah satu ayat dalam pasal yang bersangkutan Jika ada dua atau lebih pengacuan, urutan pengacuan dimulai dari ayat dalam pasal yang bersangkutan (jika ada), kemudian diikuti dengan pasal atau ayat yang angkanya lebih kecil Pengacuan dilakukan dengan mencantumkan secara singkat materi pokok yang diacu Pengacuan hanya dapat dilakukan ke Peraturan Perundang undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi Hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah pasal atau ayat bersangkutan. Pasal 15 Pemeriksaan Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dilakukan melalui tahap survey pendahuluan Pengacuan dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor dari pasal atau ayat yang diacu dan tidak menggunakan frasa pasal yang terdahulu atau pasal tersebut di atas Untuk menyatakan peraturan lain dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri, gunakan frasa dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini Jika Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan masih berlaku hanya sebagian dari ketentuan Peraturan Menteri tersebut, gunakan frasa dinyatakan tetap berlaku, kecuali Naskah Peraturan Menteri diketik dengan jenis huruf Bookman Old Style, dengan huruf 12, di atas kertas F4. BAB II

54 -31- BAB II BENTUK RANCANGAN PERATURAN MENTERI A. Kerangka Peraturan Menteri PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG (Nama Peraturan Menteri) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa...; b. bahwa...; c. dan seterusnya ; Mengingat : 1....; 2....; 3. dan seterusnya...; MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL TENTANG... (Nama Peraturan Menteri). BAB I... Pasal 1 BAB II Pasal... BAB... (dan seterusnya)

55 -32- Pasal... Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Peraturan Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal... MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) SOFYAN A DJALIL Diundangkan di Jakarta pada tanggal... DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) NAMA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN... NOMOR... B. Kerangka

56 -33- B. Kerangka Peraturan Menteri Perubahan PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG... (untuk perubahan pertama) atau PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG... (untuk perubahan KEDUA, dan seterusnya) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa...; b. bahwa...; c. dan seterusnya ; Mengingat : 1....; 2....; 3. dan seterusnya...; MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BADAN PERENCANAAN

57 -34- PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL TENTANG PERUBAHAN... (Nama Peraturan Menteri). Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Nomor... Tahun... tentang... diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal... (bunyi rumusan tergantung keperluan), dan seterusnya. Pasal II Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal... MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) SOFYAN A DJALIL Diundangkan di Jakarta pada tanggal... DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) NAMA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN... NOMOR... C. Kerangka

58 -35- C. Kerangka Peraturan Menteri Pencabutan PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCABUTAN ATAS PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG... (untuk perubahan pertama) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa...; b. bahwa...; c. dan seterusnya ; Mengingat : 1....; 2....; 3. dan seterusnya...; MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL TENTANG PENCABUTAN... (Nama Peraturan Menteri). Pasal 1 Peraturan Menteri Nomor... Tahun... tentang... dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (bagi peraturan Menteri yang sudah berlaku) atau ditarik kembali (bagi Peraturan Menteri yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku). Pasal 2

59 -36- Pasal 2 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal... MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) SOFYAN A DJALIL Diundangkan di Jakarta pada tanggal... DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, (tanda tangan) NAMA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN... NOMOR... BAB III

60 -37- BAB III KERANGKA DAN STANDAR PENGETIKAN KEPUTUSAN MENTERI I. KERANGKA KEPUTUSAN MENTERI 1. Kerangka Peraturan Menteri terdiri atas : a. Judul; b. Pembukaan; c. Batang tubuh; d. Penutup; A. Judul 2. Judul Keputusan Menteri memuat keterangan mengenai nomor, tahun, dan nama Peraturan Menteri. 3. Nama Keputusan Menteri dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi Keputusan Menteri. 4. Judul Keputusan Menteri ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca. Contoh : KEPUTUSAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL NOMOR KEP. /M.PPN/HK/(bulan)/(tahun) TENTANG (Nama Keputusan Menteri) 5. Pada nama Keputusan Menteri perubahan ditambahkan frasa perubahan atas di depan judul Peraturan Menteri yang diubah. Contoh : KEPUTUSAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL NOMOR KEP. /M.PPN/HK/(bulan)/(tahun) TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL NOMOR KEP.../M.PPN/HK/(bulan)/(tahun) TENTANG (Nama Keputusan Menteri) 6. Jika Keputusan Menteri telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, di antara kata PERUBAHAN dan kata ATAS disisipkan keterangan yang menunjukkan

61 -38- menunjukkan berapa kali perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa merinci perubahan sebelumnya. Contoh : KEPUTUSAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL NOMOR KEP. /M.PPN/HK/(bulan)/(tahun) TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL NOMOR KEP.../M.PPN/HK/(bulan)/(tahun) TENTANG (Nama Keputusan Menteri) B. Pembukaan 7. Pembukaan Keputusan Menteri terdiri atas : B.1. a. Jabatan Pembentuk Keputusan Menteri; b. Konsiderans; c. Dasar Hukum; d. Diktum. Jabatan Pembentuk Peraturan Menteri 8. Jabatan pembentuk Keputusan Menteri ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca koma. Contoh : MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL, B.2. Konsiderans 9. Konsiderans diawali dengan kata Menimbang. 10. Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembentukan Keputusan Menteri. 11. Pokok-pokok pikiran pada konsiderans Keputusan Menteri sebaiknya memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis. a. Unsur filosofis menggambarkan bahwa keputusan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan

62 -39- Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun b. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa keputusan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan dalam berbagai aspek. c. Unsur yuridis menggambarkan bahwa keputusan yang dibentuk memiliki dasar hukum atau landasan hukum yang sesuai. 12. Pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa Keputusan Menteri dianggap perlu untuk dibentuk adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan pertimbangan dan alasan dibentuknya tersebut. 13. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, tiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian. 14. Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik koma (;). Contoh : Menimbang : a. bahwa.; b. bahwa.; c. bahwa.; 15. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi sebagai berikut: B.3. Contoh : Menimbang : a. bahwa.; b. bahwa.; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tentang... (nama Keputusan Menteri); Dasar Hukum 16. Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat. 17. Dasar hukum memuat : a. Dasar kewenangan pembuatan Keputusan Menteri; dan b. Peraturan Perundang-undangan dan/atau Keputusan yang memerintahkan pembuatan Keputusan Menteri. 18. Peraturan Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya Peraturan Perundang-undangan dan/atau Keputusan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. 19. Keputusan

63 Keputusan Menteri yang akan dicabut dengan Keputusan Menteri yang akan dibentuk atau Peraturan Menteri yang sudah diundangkan tetapi belum resmi berlaku, tidak dicantumkan sebagai dasar hukum. 20. Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan dan/atau Keputusan yang dijadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memerhatikan tata urutan Peraturan Perundang-undangan dan jika tingkatannya sama disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya. 21. Dasar hukum yang bukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup mencantumkan nama judul Peraturan Perundang-undangan tanpa mencantumkan frasa Republik Indonesia. 22. Penulisan jenis Peraturan Perundang-undangan dan rancangan Peraturan Perundang-undangan, diawali dengan huruf kapital. Contoh : Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden. 23. Penulisan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah dalam dasar hukum dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung. Mengingat : 1....; 2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); 24. Jika dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan Perundangundangan, tiap dasar hukum diawali dengan angka Arab 1,2,3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma. B.4. Contoh : Mengingat : ; ; ; Diktum 25. Diktum terdiri atas: a. kata Memutuskan; b. kata Menetapkan; dan c. Nama Keputusan Menteri. 26. Kata

64 Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi di antara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakkan di tengah marjin. Contoh : MEMUTUSKAN : 27. Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan yang disejajarkan ke bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua (:). 28. Nama yang tercantum dalam judul Keputusan Menteri dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik. MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL TENTANG PEMBENTUKAN TIM KOORDINASI KERJASAMA PEMERINTAH DAN SWASTA (KPS) KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DAN BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL. C. Batang Tubuh 29. Batang tubuh Keputusan Menteri memuat semua materi muatan Keputusan Menteri yang dirumuskan dalam beberapa Diktum. 30. Batang tubuh Keputusan Menteri memuat materi yang dikelompokkan dalam kata : a. PERTAMA, KEDUA dan seterusnya sebagai pengganti pasal; b. ditempatkan sejajar di bawah kata Menetapkan ; c. ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua. 31. Diktum dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas, dan lugas. 32. Materi atau isi pengelompokan PERTAMA, KEDUA dan seterusnya pada umumnya berisikan, antara lain uraian tentang pembentukan tim/panitia kegiatan tertentu, susunan keanggotaan tim/panitia, tugas, tanggung jawab dan kewenangan tim/panitia, dan pembiayaan tim/panitia. 33. Diktum diberi keterangan urutan kalimat yang ditulis seluruhnya ditulis dengan huruf kapital. Contoh

65 -42- PERTAMA KEDUA dst... : Membentuk Tim Koordinasi Kerjasama Pemerintah Dan Swasta (KPS) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Badan Koordinasi Penanaman Modal, untuk selanjutnya disebut Tim Koordinasi KPS, dengan susunan keanggotaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini. : Tim Koordinasi KPS terdiri atas Tim Pengarah, Tim Teknis/Tim Pelaksana dan Tenaga Pendukung. 34. Jika satu Diktum memuat rincian unsur dapat dipertimbangkan penggunaan rumusan dalam bentuk tabulasi. KETIGA : Tim Pengarah bertugas: a. menyusun dan menetapkan kebijakan koordinasi KPS antara Kementerian PPN/Bappenas dengan BKPM; b. melakukan pertemuan berkala untuk memberikan pengarahan kepada Tim Pelaksana/Tim Teknis; c. melaporkan hasil kegiatan kepada Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas. 35. Perubahan Peraturan Menteri dilakukan dengan menghapus atau mengganti sebagian materi Keputusan Menteri. 36. Perubahan Keputusan Menteri dapat dilakukan terhadap: a. seluruh atau sebagian Diktum; atau b. kata, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda baca. 37. Jika suatu Perubahan Peraturan Menteri mengakibatkan: a. materi Peraturan berubah lebih dari 50% persen (lima puluh persen) atau; b. esensinya berubah; Keputusan Menteri yang diubah tersebut lebih baik dicabut dan disusun kembali dalam Keputusan Menteri yang baru mengenai masalah tersebut. 38. Apabila Keputusan Menteri akan mencabut Keputusan lain, maka harus dituliskan secara jelas pada salah satu Diktum. 39. Keputusan Menteri hanya dapat dicabut dengan Keputusan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. 40. Untuk mencabut Keputusan Menteri yang telah ditetapkan, gunakan frasa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Contoh

66 -43- Contoh : KEENAM : Dengan ditetapkannya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor : KEP.44/M.PPN/06/2010, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 41. Pada Diktum terakhir dicantumkan ketentuan mengenai berlakunya Keputusan Menteri tersebut. 42. Pada dasarnya Peraturan Menteri mulai berlaku pada saat Peraturan Menteri tersebut ditetapkan. KETUJUH : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. 43. Jika ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya Keputusan Menteri, hal ini hendaknya dinyatakan secara tegas di dalam Keputusan Menteri yang bersangkutan dengan menentukan tanggal tertentu saat peraturan akan berlaku. KETUJUH : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan berlaku surut sejak 5 Januari D. PENUTUP 44. Penutup merupakan bagian akhir Keputusan Menteri dan memuat: a. tempat dan tanggal penetapan; b. nama jabatan; c. tanda tangan pejabat; dan d. nama pejabat yang menandatangani, tanpa gelar, pangkat, golongan, dan nomor induk pegawai; e. tembusan (apabila diperlukan). 45. Rumusan tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan diletakkan disebelah kanan. 46. Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal April 2012 MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL, SOFYAN A DJALIL 47. Apabila

67 Apabila diperlukan dalam Keputusan Menteri dapat dicantumkan tembusan kepada pihak-pihak yang terkait dengan Keputusan Menteri tersebut. Contoh : Tembusan Keputusan ini disampaikan kepada Yth. 1. Sekretaris Kementerian PPN/Sestama Bappenas; 2. Direktur Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan; 3. Direktur Jenderal Perbendaharaan, Kementerian Keuangan; 4. Inspektur Utama, Bappenas; 5. Kepala Biro Perencanaan, Organisasi, dan Tata Laksana, Kementerian PPN/Bappenas; 6. Kepala Biro Hukum, Kementerian PPN/Bappenas; 7. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Deputi Bidang Sarana dan Prasarana; 8. Yang bersangkutan. E. LAMPIRAN (Jika Diperlukan) 48. Dalam hal Keputusan Menteri memerlukan lampiran, hal tersebut harus dinyatakan dalam batang tubuh dan pernyataan bahwa lampiran dimaksud merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri. 49. Lampiran dapat memuat antara lain uraian, daftar, tabel, dan gambar. 50. Dalam hal Peraturan Menteri memerlukan lebih dari satu lampiran, tiap lampiran harus diberi nomor urut dengan menggunakan angka romawi. LAMPIRAN I LAMPIRAN II 51. Judul lampiran ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di sudut kanan atas tanpa diakhiri tanda baca dengan rata kiri. LAMPIRAN I KEPUTUSAN MENTERI PPN/ KEPALA BAPPENAS NOMOR KEP. /M.PPN/HK/01/2012 TANGGAL JANUARI Nama lampiran ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah tanpa diakhiri tanda baca. Contoh :

68 -45- SUSUNAN KEANGGOTAAN TIM ANALISA KEBIJAKAN DI KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL 53. Pada halaman akhir tiap lampiran harus dicantumkan nama dan tanda tangan Menteri yang ditulis dengan huruf kapital, dan diakhiri dengan tanda baca koma. II. MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL, STANDAR PENGETIKAN SOFYAN A DJALIL 54. Jenis huruf yang digunakan untuk penulisan Keputusan Menteri adalah Footlight MT Light, dengan ukuran huruf Jarak antar paragraf adalah antara 6 sampai dengan 8 pt. 56. Jarak antar baris adalah antara 15.5 pt sampai dengan 17 pt. 57. Naskah Keputusan Menteri diberi nomor halaman pada setiap lembar halaman dengan menggunakan angka Arab. Halaman pertama tanpa nomor dan halaman berikutnya diletakkan pada tengah atas. 58. Setiap lampiran Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, dan Keputusan Sekretaris Kementerian diberi nomor halaman baru dengan angka arab. III. SALINAN KEPUTUSAN MENTERI 59. Salinan Keputusan Menteri yang telah ditandatangani oleh Menteri ditandatangani oleh Kepala Biro Hukum. 60. Penulisan huruf awal dari kata Salinan dimulai dengan huruf kapital dan diletakkan dibawah nama Jabatan Menteri PPN/Kepala Bappenas. Contoh : MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL, ttd SOFYAN A DJALIL Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum BAB (Nama Kepala Biro Hukum, tanpa gelar) BAB IV

69 -46- BAB IV KERANGKA DAN STANDAR PENGETIKAN KEPUTUSAN SEKRETARIS KEMENTERIAN/DEPUTI/INSPEKTUR UTAMA A. KERANGKA KEPUTUSAN SEKRETARIS KEMENTERIAN/DEPUTI/ INSPEKTUR UTAMA 1. Kerangka Keputusan Menteri berlaku mutatis mutandis dengan ketentuan untuk Kerangka Keputusan Sekretaris Kementerian/Deputi/Inspektur Utama, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Nama jabatan pembentuk Keputusan Sekretaris Kementerian yang dituliskan pada judul, pembukaan, batang tubuh, dan penutup Keputusan adalah Sekretaris Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Sekretaris Utama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. b. Nama jabatan pembentuk Keputusan Deputi yang dituliskan pada judul, pembukaan, batang tubuh, dan penutup Keputusan adalah Deputi Bidang sesuai dengan nama jabatan pembentuknya. c. Nama jabatan pembentuk Keputusan Inspektur Utama yang dituliskan pada judul, pembukaan, batang tubuh, dan penutup Keputusan adalah Inspektur Utama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. B. STANDAR PENGETIKAN KEPUTUSAN SEKRETARIS/DEPUTI/ INSPEKTUR UTAMA 2. Standar Pengetikan Keputusan Menteri berlaku mutatis mutandis dengan ketentuan untuk Kerangka Keputusan Sekretaris Kementerian/Deputi/Inspektur Utama. BAB V

70 -47- BAB V BENTUK RANCANGAN KEPUTUSAN MENTERI DAN KEPUTUSAN SEKRETARIS KEMENTERIAN/DEPUTI/ INSPEKTUR UTAMA A. Rancangan Keputusan Menteri (Kop Menteri) KEPUTUSAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL NOMOR KEP. /M.PPN/HK/(bulan)/(tahun) TENTANG (Nama Keputusan Menteri) MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL, Menimbang : a. bahwa...; b. bahwa...; c. dan seterusnya...; Mengingat : ; 2....; 3. dan seterusnya...; MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL TENTANG (Nama Keputusan Menteri). PERTAMA :... KEDUA :... KETIGA : dan seterusnya... KETIGABELAS : Keputusan ini berlaku mulai tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal (bulan) (tahun) MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL, SOFYAN A DJALIL Tembusan Keputusan ini disampaikan kepada Yth. 1. Sekretaris Kementerian PPN/Sestama Bappenas; 2. dan seterusnya. LAMPIRAN I

71 -48- LAMPIRAN I KEPUTUSAN MENTERI PPN/ KEPALA BAPPENAS NOMOR KEP. /M.PPN/HK/(bulan)/(tahun) TANGGAL (Bulan) (Tahun) SUSUNAN KEANGGOTAAN TIM ANALISA KEBIJAKAN DI KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL A. Pengarah :... dan seterusnya... MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL, SOFYAN A DJALIL B. Rancangan

72 -49- B. Rancangan Perubahan Keputusan Menteri (Kop Menteri) KEPUTUSAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL NOMOR KEP. /M.PPN/HK/01/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL NOMOR KEP.(Nomor Keputusan yang diubah)/m.ppn/hk/(nomor)/(tahun) TENTANG (Nama Keputusan Menteri) MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL, Menimbang : a. bahwa...; b. bahwa...; c. dan seterusnya...; Mengingat : ; 2....; 3. dan seterusnya...; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL NOMOR KEP. (Nomor Keputusan yang diubah)/m.ppn/hk/(bulan)/(tahun) (Nama Keputusan Menteri). PERTAMA :... KEDUA :... KETIGA : dan seterusnya... KEEMPAT :

73 -50- KEEMPAT : Keputusan ini berlaku mulai tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal (bulan) (tahun) MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL, SOFYAN A DJALIL Tembusan Keputusan ini disampaikan kepada Yth. 1. Para Pejabat Eselon I dan Pejabat Eselon II, Kementerian PPN/Bappenas; 2. dan seterusnya. LAMPIRAN

74 -51- LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI PPN/ KEPALA BAPPENAS NOMOR KEP. /M.PPN/HK/(bulan)/(tahun) TANGGAL (bulan) (tahun) SUSUNAN KEANGGOTAAN TIM ANALISA KEBIJAKAN DI KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL A. Pengarah :... dan seterusnya... MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL, SOFYAN A DJALIL C. Rancangan

75 -52- C. Rancangan Keputusan Sekretaris Kementerian REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL KEPUTUSAN SEKRETARIS KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ SEKRETARIS UTAMA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL NOMOR KEP. /SES/HK/(bulan)/(tahun) TENTANG (Nama Keputusan Sekretaris Kementerian) SEKRETARIS KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ SEKRETARIS UTAMA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL, Menimbang : a. bahwa...; d. bahwa...; e. dan seterusnya...; Mengingat : ; 2....; 3. dan seterusnya...; MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN SEKRETARIS KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/SEKRETARIS UTAMA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL TENTANG (Nama Keputusan Menteri). PERTAMA :... KEDUA :... KETIGA : dan seterusnya... KETIGABELAS : Keputusan ini berlaku mulai tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal (bulan) (tahun) SEKRETARIS KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ SEKRETARIS UTAMA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL, (Nama Sekretaris Kementerian) Tembusan Keputusan ini disampaikan kepada Yth. 1. Sekretaris Kementerian PPN/Sestama Bappenas; 2. dan seterusnya. LAMPIRAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1011,2014 BAPPENAS. Peraturan Perundang-undangan. Keputusan. Penyusunan. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, - 1 - PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49/PERMEN-KP/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.25/MEN/2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN

Lebih terperinci

2016, No Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2015 tentang Keikutsertaan Perancang Peraturan Perundangundangan dalam Pembentukan Peraturan P

2016, No Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2015 tentang Keikutsertaan Perancang Peraturan Perundangundangan dalam Pembentukan Peraturan P No.1788, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BSN. Peraturan Perundang-Undangan. Pembentukan. Tata Cara. PERATURAN KEPALA BADAN STANDARDISASI NASIONAL NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN

Lebih terperinci

BADAN STANDARDISASI NASIONAL

BADAN STANDARDISASI NASIONAL Salinan BADAN STANDARDISASI NASIONAL PERATURAN KEPALA BAD AN STANDARDISASI NASIONAL NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI LINGKUNGAN BADAN STANDARDISASI NASIONAL

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH SISTEMATIKA TEKNIK PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DAN KERANGKA

Lebih terperinci

TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN,

TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN, 13 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 123/PMK.01/2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN, KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN, PERATURAN PIMPINAN UNIT ORGANISASI ESELON

Lebih terperinci

TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN UU NO. 10 TAHUN Oleh : Tim Pusat Kajian Hukum Dan Kemitraan Daerah Fakultas Hukum Unsoed

TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN UU NO. 10 TAHUN Oleh : Tim Pusat Kajian Hukum Dan Kemitraan Daerah Fakultas Hukum Unsoed TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN UU NO. 10 TAHUN 2004 Oleh : Tim Pusat Kajian Hukum Dan Kemitraan Daerah Fakultas Hukum Unsoed Kerangka Peraturan Perundang-undangan terdiri dari : A. Judul;

Lebih terperinci

LD NO.2 LAMPIRAN V PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH

LD NO.2 LAMPIRAN V PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH LAMPIRAN V PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH SISTEMATIKA BAB I KERANGKA PERATURAN DAERAH A. JUDUL B. PEMBUKAAN

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA NOMOR 42 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN KEPALA LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA NOMOR 42 TAHUN 2014 TENTANG LEMBAGA ADMINISTRSI NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA NOMOR 42 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERATURAN, KEPUTUSAN, DAN INSTRUKSI DI LINGKUNGAN LEMBAGA ADMINISTRASI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2018 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN, INSTRUKSI, SURAT EDARAN, KEPUTUSAN, DAN PENGUMUMAN PADA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

NASKAH PERENCANAAN PENYUSUNAN PERATURAN KEPALA BPKP TENTANG (judul rancangan peraturan kepala)

NASKAH PERENCANAAN PENYUSUNAN PERATURAN KEPALA BPKP TENTANG (judul rancangan peraturan kepala) 9 LAMPIRAN I RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI LINGKUNGAN BADAN PENGAWASAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG KELUARGA MAHASISWA FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS ANDALAS NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG KELUARGA MAHASISWA FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS ANDALAS NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG KELUARGA MAHASISWA FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS ANDALAS NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA GUBERNUR KELUARGA MAHASISWA,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 7 2006 SERI E R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN MENGHARAP BERKAT DAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHU

Lebih terperinci

LAMPIRAN I PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR : 05 TAHUN 2015 TANGGAL : 07 SEPTEMBER 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

LAMPIRAN I PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR : 05 TAHUN 2015 TANGGAL : 07 SEPTEMBER 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH LAMPIRAN I PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR : 05 TAHUN 2015 TANGGAL : 07 SEPTEMBER 2015 PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SISTEMATIKA TEKNIK PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH BAB I BAB II KERANGKA

Lebih terperinci

TATA NASKAH DAN TEKNIK PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH

TATA NASKAH DAN TEKNIK PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH LAMPIRAN II PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH TATA NASKAH DAN TEKNIK PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH SISTEMATIKA BAB I KERANGKA PERATURAN

Lebih terperinci

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PERATURAN WALIKOTA DAN KEPUTUSAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN DAN KEPUTUSAN DI BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL

TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN DAN KEPUTUSAN DI BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL 2012, No.953 6 LAMPIRAN PERATURAN KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL NOMOR 183/KA/IX/2012 PEMBENTUKAN PERATURAN DAN KEPUTUSAN DI BADAN NUKLIR NASIONAL TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN DAN KEPUTUSAN DI BADAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

WALIKOTA CIREBON, LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON

WALIKOTA CIREBON, LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON 2 NOMOR 6 TAHUN 2000 SERIE D PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA MEMBUAT PERATURAN DAERAH DAN PENERBITAN LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON DENGAN

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KEPALA KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN AGAMA PROVINSI JAWA BARAT TENTANG... (Nama Keputusan) KESATU :... KEDUA :...

MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KEPALA KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN AGAMA PROVINSI JAWA BARAT TENTANG... (Nama Keputusan) KESATU :... KEDUA :... Contoh : Bentuk Diktum KEPUTUSAN KEPALA KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN AGAMA PROVINSI JAWA BARAT NOMOR...TAHUN... TENTANG...... DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KANTOR WILAYAH KEMENTERIAN AGAMA PROVINSI

Lebih terperinci

KETENTUAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)

KETENTUAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) KETENTUAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) NURYANTI WIDYASTUTI Direktur Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah dan Pembinaan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN SUMEDANG 2008

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2010 NOMOR 16

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2010 NOMOR 16 LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2010 NOMOR 16 PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

LAMPIRAN I PERATURAN FAKULTAS NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG TATA PEMBENTUKAN PERATURAN FAKULTAS FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

LAMPIRAN I PERATURAN FAKULTAS NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG TATA PEMBENTUKAN PERATURAN FAKULTAS FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG LAMPIRAN I PERATURAN FAKULTAS NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG TATA PEMBENTUKAN PERATURAN FAKULTAS FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN FAKULTAS SISTEMATIKA BAB I KERANGKA

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG, Menimbang : a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL NOMOR : 183/KA/IX/2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAN KEPUTUSAN DI BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL

PERATURAN KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL NOMOR : 183/KA/IX/2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAN KEPUTUSAN DI BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL PERATURAN KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL NOMOR : 183/KA/IX/2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAN KEPUTUSAN DI BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR

Lebih terperinci

Dengan Rahmat Allah Swt Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Semarang

Dengan Rahmat Allah Swt Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Semarang PERATURAN FAKULTAS NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS TATA PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG TATA PEMBENTUKAN PERATURAN FAKULTAS FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI

Lebih terperinci

MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA SALINAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 13 TAHUN 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA DAN TEKNIK PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA SALINAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PERWAKILAN MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PERWAKILAN MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS INDONESIA, UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN IKATAN KELUARGA MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

sswisjr cara pembentukan peraturan Daerah berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 4 Tahun 2010 sudah tidak sesuai lagi dengan tata

sswisjr cara pembentukan peraturan Daerah berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 4 Tahun 2010 sudah tidak sesuai lagi dengan tata LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON J,, V- m\^ sswisjr NOMOR 10 TAHUN 2016 SERI E. 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

2017, No Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 N

2017, No Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 N No.696, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERPUSNAS. Penyusunan PUU dan Keputusan. Pedoman. PERATURAN KEPALA PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN

Lebih terperinci

2014, No BAB I UMUM.

2014, No BAB I UMUM. 2014, No.249 4 LAMPIRAN PERATURAN KEPALA BADAN PUSAT STATISTIK REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN/KEPUTUSAN DI LINGKUNGAN BADAN PUSAT STATISTIK BAB I UMUM A. Latar

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL, NOMOR : 004/KA/I/2006 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PERATURAN/KEPUTUSAN

PERATURAN KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL, NOMOR : 004/KA/I/2006 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PERATURAN/KEPUTUSAN PERATURAN KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR NOMOR : 004/KA/I/2006 PEDOMAN PEMBENTUKAN PERATURAN/KEPUTUSAN KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR, Menimbang : a. bahwa dengan Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 20152015 TENTANG TATA NASKAH DINAS DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang a. bahwa Peraturan

Lebih terperinci

BUPATI PESISIR SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR 15 TAHUN 2011

BUPATI PESISIR SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR 15 TAHUN 2011 BUPATI PESISIR SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESISIR SELATAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PRODUK HUKUM NAGARI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG, LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH

TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat

Lebih terperinci

PERATURAN NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENCARIAN DAN PERTOLONGAN,

PERATURAN NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENCARIAN DAN PERTOLONGAN, KEPALA BADAN NASIONAL PENCARIAN DAN PERTOLONGAN PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENCARIAN DAN PERTOLONGAN NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENCARIAN DAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BIDANG KESEHATAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 55 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,

Lebih terperinci

2013, No.1

2013, No.1 33 2013, No.1 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.25/MEN/2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.880, 2017 BADAN NASIONAL PENCARIAN DAN PERTOLONGAN. Pembentukan Peraturan Kepala. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENCARIAN DAN PERTOLONGAN NOMOR 9 TAHUN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1210, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Penyusunan. Produk Hukum. Tata Cara. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, PERATURAN BUPATI PANDEGLANG NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, Menimbang Mengingat : : a. bahwa untuk memberikan arah

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON

LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON LEMBARAN DAERAH KOTA CIREBON 2 NOMOR 5 TAHUN 2007 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CIREBON,

Lebih terperinci

PEDOMAN TATA NASKAH DINAS DI LINGKUNGAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PEDOMAN TATA NASKAH DINAS DI LINGKUNGAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR PEDOMAN TATA NASKAH DINAS DI LINGKUNGAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2016 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i PERATURAN REKTOR INSTITUT PERTANIAN BOGOR NOMOR.../IT3/TU/2016 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 20 Tahun : 2010 Seri : E PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 31 TAHUN 2010 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN TAHUN 2009 NOMOR 9

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN TAHUN 2009 NOMOR 9 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN TAHUN 2009 NOMOR 9 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 11 Tahun 2006 Serie : E Nomor : 7 PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 11 Tahun 2006 Serie : E Nomor : 7 PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 11 Tahun 2006 Serie : E Nomor : 7 PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN TEHNIK PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN TEHNIK PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN TEHNIK PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH Menimbang : bahwa dengan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SELUMA

PEMERINTAH KABUPATEN SELUMA PEMERINTAH KABUPATEN SELUMA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SELUMA NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SELUMA, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2008 NOMOR : 05 PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 05 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2008 NOMOR : 05 PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 05 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2008 NOMOR : 05 PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 05 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANDUNG,

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA

MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR 58 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN TATA NASKAH DINAS DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA TASIKMALAYA

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR 58 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN TATA NASKAH DINAS DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA TASIKMALAYA jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR 58 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN TATA NASKAH DINAS DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG, Menimbang : a. bahwa pembentukan peraturan daerah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOYOLALI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOYOLALI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOYOLALI, Menimbang Mengingat : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 55 ayat

Lebih terperinci

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA REPUBLIK INDONESIA, - 1 - SALINAN PERATURAN KEPALA LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI LINGKUNGAN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia No.999, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMTAN. Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25/PERMENTAN/OT.010/7/2017 TENTANG

Lebih terperinci

2017, No tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 199); 3. Keputusan Presiden

2017, No tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 199); 3. Keputusan Presiden BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.656, 2017 LIPI. Pembentukan Peraturan Perundangundangan. PERATURAN KEPALA LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PEMBENTUKAN

Lebih terperinci

BUPATI TOLITOLI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TOLITOLI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 BUPATI TOLITOLI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TOLITOLI, Menimbang : a. bahwa untuk keseragaman

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 14 TAHUN 2016

BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 SALINAN BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERATURAN DI DESA, KEPUTUSAN KEPALA DESA DAN KEPUTUSAN BADAN PERMUSYAWARATAN

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN KEPOLISIAN

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN KEPOLISIAN HSL BLN JULI 2010 PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN KEPOLISIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 88 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN

Lebih terperinci

BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN

BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN SALINAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI LINGKUNGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, DRAFT 9 APRIL 2015 PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DI LINGKUNGAN ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN

Lebih terperinci

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan (Lembaran Negara

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan (Lembaran Negara BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1429, 2017 LAPAN. PEMBENTUKAN PERKA LAPAN. Pencabutan. PERATURAN KEPALA LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG TATA

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 728 TAHUN : 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN BUPATI TAPIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN TAPIN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

2 Perumahan Rakyat tentang Pembentukan Dan Evaluasi Produk Hukum Di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomo

2 Perumahan Rakyat tentang Pembentukan Dan Evaluasi Produk Hukum Di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomo BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1421, 2015 KEMEN-PUPR. Produk Hukum. Evaluasi. Pembentukan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PRT/M/2015

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH Bagian Hukum Setda Kabupaten Bandung Tahun 2016 2 BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA LEMBAGA SANDI NEGARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI LEMBAGA SANDI NEGARA

PERATURAN KEPALA LEMBAGA SANDI NEGARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI LEMBAGA SANDI NEGARA PERATURAN KEPALA LEMBAGA SANDI NEGARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI LEMBAGA SANDI NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA LEMBAGA SANDI NEGARA, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1946, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMSANEG. Penyusun. PUU. PERATURAN KEPALA LEMBAGA SANDI NEGARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI LEMBAGA SANDI NEGARA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA - 1 - SALINAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL, DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa pembentukan produk hukum daerah yang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PRESIDEN NOMOR 68 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA MEMPERSIAPKAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH, DAN RANCANGAN PERATURAN

Lebih terperinci

MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG PEDOMAN TATA NASKAH DINAS KEMENTERIAN

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI AGAMA TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN MENTERI PADA KEMENTERIAN AGAMA.

MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI AGAMA TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN MENTERI PADA KEMENTERIAN AGAMA. - 2 - Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 3. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Lebih terperinci

NO SERI E. PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 4 TAHUN 2006 TANGGAL 24 Maret 2006 TENTANG TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH

NO SERI E. PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 4 TAHUN 2006 TANGGAL 24 Maret 2006 TENTANG TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 4 TAHUN 2006 TANGGAL 24 Maret 2006 TENTANG TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH I. KERANGKA PERATURAN DAERAH Kerangka Peraturan Daerah terdiri atas : A. Judul;

Lebih terperinci

Yth.: 1. Pimpinan Tinggi Madya; dan 2. Pimpinan Tinggi Pratama.

Yth.: 1. Pimpinan Tinggi Madya; dan 2. Pimpinan Tinggi Pratama. Yth.: 1. Pimpinan Tinggi Madya; dan 2. Pimpinan Tinggi Pratama. SURAT EDARAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR 02 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98/Permentan/OT.140/7/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98/Permentan/OT.140/7/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98/Permentan/OT.140/7/2014 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN LINGKUP KEMENTERIAN PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

2016, No Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga P

2016, No Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga P No. 253, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA ANRI. Produk Hukum. Pembentukan. Pencabutan. PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DI LINGKUNGAN

Lebih terperinci

MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA

MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK NOMOR 29 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN TATA NASKAH DINAS KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN (Berita Resmi Kabupaten Sleman) Nomor: 2 Tahun 2010 Seri: D PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DESA DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIDOARJO, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci