ANALISIS PENGELOLAAN TANAMAN KEMIRI RAKYAT DI KECAMATAN TANAH PINEM KABUPATEN DAIRI PROPINSI SUMATERA UTARA TETTY PRYSKA HERAWATY SIHOMBING

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS PENGELOLAAN TANAMAN KEMIRI RAKYAT DI KECAMATAN TANAH PINEM KABUPATEN DAIRI PROPINSI SUMATERA UTARA TETTY PRYSKA HERAWATY SIHOMBING"

Transkripsi

1 ANALISIS PENGELOLAAN TANAMAN KEMIRI RAKYAT DI KECAMATAN TANAH PINEM KABUPATEN DAIRI PROPINSI SUMATERA UTARA TETTY PRYSKA HERAWATY SIHOMBING SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Pengelolaan Tanaman Kemiri Rakyat di Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi Propinsi Sumatera Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2011 Tetty Pryska Herawaty Sihombing NRP. E

3

4 ABSTRACT TETTY PRYSKA HERAWATY SIHOMBING. Analysis of Candlenut Tree Management in Tanah Pinem District, Dairi Regency, North Sumatera Province. Under Direction of HARDJANTO and NURHENI WIJAYANTO One orientation in the long-term development of forest by the Indonesian government is the resulted welfare and active role of the people in forest management by expanding the people s forest acreage. The type of plants selected for the community s forest that will be developed must be suited to the local environmental conditions in terms of technical, economic, ecological, social and cultural aspects so that economically the activities of community s forest can become the people s choice of productive and sustainable business activities. Candlenut is one of the trees growing in the community environment. Economically the plants are very beneficial as their income sources and ecologically can serve to improve the functions of environment. The objectives of this study were (1) to determine the influential factors in the management candlenut trees and (2) to examine the sustainability of the people s candlenut tree management for the ecological, economic and social aspects. The data was analyzed with a binary logistic regression and the sustainability analysis includes ecological, economic and social aspects. The factors that affect the candlenut management are age, land size, income, land origin, and land accessibility. The sustainability of candlenut management falls into the category of sustainable with some considerations based on Lembaga Ekolabel Indonesia standard because the community s management of candlenut has not indicated a continuous or sustainable management. Keywords: candlenut, community forest, management, sustainable

5

6 RINGKASAN TETTY PRYSKA HERAWATY SIHOMBING. Analisis Pengelolaan Tanaman Kemiri Rakyat di Kecamatan Tanah Pinem, Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh HARDJANTO dan NURHENI WIJAYANTO. Salah satu arah Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan tahun adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan peran aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan yang adil dan bertanggung jawab. Strategi yang dilakukan dengan meningkatkan luasan hutan rakyat yang mandiri dan mendukung fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Target luas hutan rakyat yang akan dibangun sampai tahun 2025 adalah 8 juta ha. Jenis-jenis tanaman yang dikembangkan dalam pembangunan hutan rakyat harus memperhatikan jenis tanaman yang sesuai dengan lingkungan setempat dengan tujuan agar lebih produktif dan lestari. Salah satu potensi tanaman hutan rakyat yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat adalah tanaman kemiri. Kemiri merupakan salah satu jenis tanaman hasil hutan bukan kayu yang memiliki banyak manfaat dari buah, kayu, kulit biji, ampas minyak kemiri dan pohon kemiri. Tanaman kemiri memiliki banyak keunggulan karena dapat menjadi sumber pendapatan bagi petani dan berperan dalam fungsi ekologis. Lokasi penelitian adalah Kecamatan Tanah Pinem yang terdapat di Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara. Tanaman kemiri rakyat yang ada di Kecamatan Tanah Pinem adalah tanaman yang sudah ada sejak dahulu yang tetap diusahakan sampai sekarang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan tanaman kemiri rakyat dan menganalisis keberlanjutan (sustainability) pengelolaan tanaman kemiri rakyat dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey dan metode evaluasi. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pengamatan lapang, diskusi, studi literatur dan pengumpulan data serta laporan dari instansi terkait. Analisis data untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan tanaman kemiri rakyat digunakan regressi logistik biner sedangkan penilaian untuk analisis keberlanjutan pengelolaan kemiri rakyat dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial menggunakan pendekatan dari Lembaga Ekolabel Indonesia. Tanaman kemiri rakyat yang ada di Kecamatan Tanah Pinem ditanam dengan pola monokultur (sejenis) dan agroforestry yaitu kombinasi antara kemiri dengan sirih, cokelat, kelapa, pinang, durian, cengkeh dan lain-lain. Keberadaan tanaman lain di antara tanaman kemiri berperan dalam menambah penghasilan petani. Penanaman kemiri sudah menggunakan jarak tanam dengan jarak tanam yang lebar dengan tujuan menghasilkan buah. Rata-rata luas tanaman kemiri rakyat adalah 2,67 ha. Umur rata-rata tanaman kemiri adalah 37,37 tahun. Kondisi umur tanaman beragam dan umumnya sudah memasuki umur tidak produktif (di atas 35 tahun), dimana 50,6% tanaman kemiri rakyat sudah melewati batas umur produktif yang menunjukkan bahwa proses regenerasi tanaman kemiri tidak berlangsung secara berkelanjutan.

7 Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan tanaman kemiri rakyat, diduga ada 17 variabel yang mempengaruhinya. Setelah dilakukan analisis regressi logistik biner, hanya 5 variabel yang signifikan menjelaskan alasan masyarakat memilih mengelola kemiri pada lahan miliknya, yaitu umur petani, luas lahan, pendapatan per bulan, asal usul tanah dan aksesibilitas ke ladang. Analisis keberlanjutan pengelolaan kemiri rakyat dilakukan dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Penilaian pengelolaan tanaman kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem menunjukkan pengelolaan yang berkelanjutan dengan catatan. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan kemiri rakyat yang ada belum menunjukkan pengelolaan yang menuju ke arah yang berkelanjutan. Untuk itu, dalam mencapai pengelolaan tanaman kemiri rakyat yang berkelanjutan, perlu dilakukan perbaikan pada setiap indikator yang bernilai cukup dan jelek melalui program dan kegiatan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan yang melibatkan instansi terkait. Kata kunci: kemiri, hutan rakyat, pengelolaan, berkelanjutan

8 5 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

9 ANALISIS PENGELOLAAN TANAMAN KEMIRI RAKYAT DI KECAMATAN TANAH PINEM KABUPATEN DAIRI PROPINSI SUMATERA UTARA TETTY PRYSKA HERAWATY SIHOMBING Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Muhammad Buce Saleh, MS xi

11 Judul Tesis : Analisis Pengelolaan Tanaman Kemiri Rakyat di Kecamatan Tanah Pinem, Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara Nama : Tetty Pryska Herawaty Sihombing NRP : E Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS Ketua Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS Anggota Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan Diketahui Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Tanggal Ujian: 22 September 2011 Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc. Agr Tanggal Lulus:

12 xiii PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berjudul Analisis Pengelolaan Tanaman Kemiri Rakyat di Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi Propinsi Sumatera Utara. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS. selaku pembimbing yang telah memberikan masukan dan arahan dalam penyusunan karya ilmiah ini. Juga kepada seluruh instansi dan pihak terkait di tingkat pusat (Kementerian Kehutanan dan Pusat Diklat Kehutanan), tingkat propinsi dan kabupaten atas bantuan fasilitas, data dan informasi yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian. Serta kepada semua masyarakat di Kecamatan Tanah Pinem yang telah memberikan bantuan kepada saya pada saat pengumpulan data di lapangan. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada ayah dan ibu serta semua keluarga atas bantuan, dukungan serta doanya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, September 2011 Tetty Pryska Herawaty Sihombing

13

14 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Huta Bangun, 27 Mei 1977 dari Bapak T. E Sihombing dan Ibu R. Silaban. Penulis merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD ST Yosef Sidikalang, Sekolah Menengah Pertama di SMP ST Paulus Sidikalang dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sidikalang Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara dan lulus tahun Penulis mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan dari Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada tahun Penulis bekerja sebagai fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) pada Balai Pengelolaan DAS Asahan Barumun di Propinsi Sumatera Utara sejak tahun Tahun 2009 penulis mendapat Beasiswa dari Kementrian Kehutanan melalui Pusat Diklat Kehutanan untuk melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

15 x DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL xii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xvi 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran TINJAUAN PUSTAKA Hutan Rakyat Pengelolaan Hutan Rakyat Aspek Sosial Aspek Ekonomi Aspek Ekologi Pengelolaan Hutan Lestari Tanaman Kemiri Beberapa Studi Terdahulu METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Metode Pengumpulan Data Penentuan Responden Metode Pengolahan dan Analisa Data Definisi Operasional KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN Keadaan Umum Wilayah Penelitian Letak Administrasi Letak Geografis Iklim Topografi Penduduk Penggunaan Lahan Karakteristik Responden Umur Responden Pendidikan Jumlah Anggota Keluarga Mata Pencaharian Responden

16 4.2.5 Status Kepemilikan Lahan dan Asal Usul Lahan Luas Kepemilikan Lahan HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Kemiri Rakyat di Kecamatan Tanah Pinem Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Mengelola Kemiri Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Kemiri Rakyat Aspek Ekologi Aspek Ekonomi Aspek Sosial Analisis keberlanjutan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xi

17 xii DAFTAR TABEL Halaman 1 Potensi dan luas hutan rakyat di Indonesia tahun Potensi luas hutan rakyat di Jawa-Madura Luas hutan rakyat di Propinsi Sumatera Utara Luas dan produksi kebun kemiri di Indonesia sejak tahun Luas, produksi dan jumlah petani kemiri di Indonesia tahun Luas, produksi dan jumlah petani kemiri tahun 2007 di Sumatera Utara 5 7 Sebaran kemiri rakyat di Kabupaten Dairi pada tahun Dimensi ekologi, produksi dan sosial dalam analisis kelestarian Kriteria dan indikator PHBML Kondisi topografi di Kecamatan Tanah Pinem Penggunaan lahan di Kecamatan Tanah Pinem tahun Sebaran umur responden Tingkat pendidikan responden Jumlah anggota keluarga responden Mata pencaharian responden Status kepemilikan lahan responden Asal usul lahan yang dimiliki oleh responden Status lahan yang digunakan oleh responden Luas kepemilikan lahan Pola tanaman kemiri rakyat Produksi tanaman kemiri rakyat tahun Intensitas kunjungan petani pada tanaman kemiri Hasil estimasi menggunakan regressi logistic Hasil penilaian aspek ekologi pada pengelolaan tanaman kemiri Prediksi tingkat bahaya erosi potensial di Kecamatan Tanah Pinem Produktivitas 4 jenis komoditi utama tahun 2005 sampai tahun Hasil penilaian aspek ekonomi pada pengelolaan tanaman kemiri Analisis kelayakan usaha tanaman kemiri untuk luas 1 ha Kodisi sebaran kesejahteraan penduduk di Desa Kutabuluh, Pamah

18 xiii dan Pasir Tengah tahun Hasil estimasi fungsi produksi tanaman kemiri Hasil penilaian aspek sosial pada pengelolaan tanaman kemiri Kondisi penduduk tidak bekerja tahun Kondisi penduduk yang datang dan yang pergi tahun Luas lahan kritis di Kecamatan Tanah Pinem Prioritas perbaikan dan kegiatan yang perlu dilakukan Rekomendasi program dan kegiatan untuk perbaikan pengelolaan tanaman kemiri rakyat dari aspek ekologi Rekomendasi program dan kegiatan untuk perbaikan pengelolaan tanaman kemiri rakyat dari aspek ekonomi Rekomendasi program dan kegiatan untuk perbaikan pengelolaan tanaman kemiri rakyat dari aspek sosial

19 xiv DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran Volume ekspor kemiri Indonesia tahun Pola tanaman kemiri rakyat Buah kemiri yang disimpan yang akan dijual pada saat dibutuhkan Kondisi jarak tanaman kemiri rakyat Kondisi umur tanaman kemiri rakyat Perbedaan antara buah yang jatuh alami dan buah yang jatuh karena penyakit gugur buah Pohon kemiri sedang berbunga dan berbuah Proses pengupasan kemiri Pengangkutan kulit kemiri yang dijual ke industri di Medan Tumbuhan bawah pada tegakan kemiri berperan dalam mencegah terjadinya erosi Luas dan produktivitas kemiri selama 10 tahun terakhir Tegakan pohon (kemiri) berperan menjamin ketersediaan air lokal Tajuk tanaman kemiri yang lebar berperan menutupi permukaan tanah Pemasaran buah kemiri kupas di pasar lokal Batas kepemilikan lahan dapat diketahui dari jenis tanaman pagar yang ada (seperti pinang) Fluktuasi harga kemiri di lokasi penelitian

20 xv

21 xvi DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Faktor-faktor yang dianggap berpengaruh terhadap pengelolaan kemiri rakyat dan penjelasan dari setiap variabel bebas Aspek analisis sustainability (keberlanjutan) pengelolaan kemiri Kriteria setiap indikator keberlanjutan Karakteristik responden petani kemiri Analisis pendapatan dari tanaman kemiri, persentase pendapatan dari kemiri terhadap pendapatan total petani dan pengeluaran per kapita per bulan Analisis kelayakan usaha tanaman kemiri pada lahan milik, pada lahan sewa dan pada lahan yang di beli Hasil pengolahan data dengan Logistic Regression Hasil pengolahan data untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi produksi kemiri dengan Regressi Linier Berganda

22 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan membagi hutan menjadi hutan negara dan hutan hak. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hutan hak selanjutnya dikenal dengan hutan rakyat yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah milik yang dibuktikan dengan alas titel atau sertifikat. Hutan rakyat sudah berkembang di lingkungan masyarakat sejak dahulu yang dilakukan atas inisiatif masyarakat di lahan-lahan milik. Hal ini dapat dilihat dari adanya hutan rakyat tradisional yang diusahakan secara swadaya berupa tanaman sejenis maupun pola tanaman campuran, yang dilatarbelakangi oleh asal mula sistem perladangan berpindah dan kemudian berkembang menjadi pertanian menetap. Pada saat pertanian menetap, masyarakat menanam tanaman pertanian karena memberi hasil jangka pendek dan menanam tanaman kayu-kayuan untuk hasil jangka menengah dan jangka panjang. Pemerintah sejak tahun 1960-an telah mengembangkan hutan rakyat sebagai kegiatan penghijauan untuk mengatasi lahan kritis pada lahan milik masyarakat (Awang et al. 2007). Kegiatan penghijauan adalah upaya memulihkan atau memperbaiki keadaan lahan kritis di luar kawasan hutan melalui kegiatan penanaman dan bangunan konservasi tanah agar dapat berfungsi sebagai media produksi dan sebagai media pengatur tata air yang baik serta upaya mempertahankan dan meningkatkan daya guna lahan sesuai dengan peruntukkannya. Kegiatan penghijauan yang dilaksanakan pemerintah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, penyediaan bahan baku industri dan peningkatan mutu lingkungan. Jenis tanaman yang ditanam adalah tanaman keras, MPTS (Multi Purpose Trees Species) dan buah-buahan (Kemenhut 2010). Keberadaan hutan rakyat di Indonesia sampai saat ini sudah cukup luas dan sudah memberikan hasil produksi kayu yang cukup besar. Luasan dan potensi hutan rakyat yang ada di Indonesia sampai tahun 2004 sudah mencapai ,6 ha dengan potensi kayu sebesar ,5 m 3 dan yang paling

23 2 luas adalah hutan rakyat yang dilakukan secara swadaya yang mencapai ,3 ha dengan potensi kayu sebesar ,1 m 3 (Tabel 1). Pemerintah telah melakukan penghijauan di luar kawasan hutan termasuk hutan rakyat seluas ha sejak tahun 2000 sampai tahun 2004 (Dephut 2006) dan pembuatan hutan rakyat seluas ha sejak tahun 2004 sampai 2008 (Dephut 2009). Tabel 1 Potensi dan luas hutan rakyat di Indonesia tahun 2004 No Jenis Sumber Dana Luas (ha) Perkiraan Potensi (m 3 ) 1 Hutan rakyat swadaya , ,1 2 Hutan rakyat subsidi , ,5 3 Hutan rakyat melalui KUHR , ,9 4 Hutan rakyat DAK DR , ,0 5 Hutan rakyat kegiatan GNRHL ,0 0,0 Jumlah , ,5 Sumber : Hindra (2006) Perkembangan hutan rakyat di Pulau Jawa setiap tahunnya cenderung meningkat. Walaupun ketersediaan lahan mulai menyempit akibat tekanan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi sehingga permintaan lahan untuk perumahan dan lahan pertanian juga semakin tinggi, tetapi kegiatan pengusahaan hutan rakyat masih tetap berkembang. Tabel 2 Potensi luas hutan rakyat di Jawa-Madura No Klasifikasi penutupan lahan Periode (ha) Periode (ha) Periode (ha) Perubahan (%) 1 Hutan lahan kering/primer*) , , ,19 136,34 2 Hutan tanaman*) , , ,12 22,86 3 Perkebunan , , ,79 91,03 4 Pertanian lahan kering*) , , ,82 11,67 5 Pertanian lahan kering , , ,74 62,68 campur semak 6 Semak belukar , , ,48 15,38 Total , , ,14 35,99 Keterangan : *) Klasifikasi lahan yang tergolong hutan rakyat Sumber : BPKH Wilayah XI Jawa Madura (2009) Potensi hutan rakyat untuk Pulau Jawa dan Madura menurut Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XI Jawa Madura tahun 2009 mencapai luas ,54 ha. Potensi ini diketahui melalui pendekatan GIS dimana klasifikasi penutupan lahan yang masuk kriteria hutan rakyat adalah hutan

24 3 lahan kering sekunder/primer, hutan tanaman dan pertanian lahan kering. Adapun luas masing-masing setiap kriteria dapat dilihat pada Tabel 2. Hutan rakyat di luar Pulau Jawa masih belum berkembang, sementara ketersediaan lahan cukup luas. Kegiatan hutan rakyat berlangsung secara tradisional dengan jenis tanaman yang ada merupakan tanaman-tanaman yang tumbuh secara alami di lahan-lahan milik rakyat yang dikombinasikan dengan tanaman lain seperti buah-buahan dan tanaman pertanian. Perkembangan hutan rakyat di Propinsi Sumatera Utara tidak secepat yang ada di Jawa. Ada yang dilakukan secara swadaya pada lahan milik, tanah marga dan pekarangan, kegiatan pemerintah dan kerjasama kemitraan. Luas hutan rakyat di Propinsi Sumatera Utara (Hindra 2006) dapat dilihat pada Tabel 3. Sedangkan luas hutan rakyat yang dikembangkan oleh pemerintah sejak tahun 2004 sampai tahun 2008 mencapai ha (Dephut 2009). Jenis tanaman pada lahan milik rakyat antara lain kopi, aren, pinang, kayu manis, kemiri, cengkeh, durian, mangga, kemenyan, pinus, suren, eukaliptus, pinus, jati putih dan karet. Tabel 3 Luas hutan rakyat di Propinsi Sumatera Utara No Jenis Sumber Dana Luas (ha) 1 Hutan rakyat swadaya ,10 2 Hutan rakyat subsidi 1.075,00 3 Hutan rakyat melalui KUHR 677,00 4 Hutan rakyat DAK DR 280,00 5 Hutan rakyat kegiatan GNRHL 8.480,00 Jumlah ,10 Sumber : Hindra (2006) Salah satu jenis tanaman hutan rakyat yang berkembang secara tradisional adalah kemiri. Tanaman kemiri merupakan tanaman yang memiliki prospek untuk dikembangkan dalam kegiatan hutan rakyat karena menghasilkan buah dan kayu sehingga memiliki nilai ekonomi tinggi. Buahnya bermanfaat sebagai penyedap makanan (bumbu masak), obat-obatan (pencahar, sariawan, disentri, bisul, merangsang pertumbuhan rambut, obat kulit, obat linu pada pinggang), minyak kemiri digunakan sebagai bahan cat, pernis, sabun, pelapis perahu, minyak lampu, industri batik, kosmetik (Paimin 1994; Sunanto 1994; Winarbowo dan Manoko 2006) dan melindungi kayu dari serangan rayap (Nakayama dan Obsbrink 2010). Kulit biji (cangkang) dapat dimanfaatkan untuk bahan baku obat nyamuk bakar

25 4 dan arang (Paimin 1994; Wibowo 2007). Ampas pengelolaan minyak dapat digunakan untuk pakan ternak dan pupuk tanaman karena mengandung unsur NPK yang cukup tinggi, sementara kayu kemiri berguna sebagai kayu bakar, bahan baku korek api, sumpit, perabot rumah tangga, papan pengepak, pulp, vinir/kayu lapis (Paimin 1994; Winarbowo dan Manoko 2006). Pohon kemiri juga bermanfaat sebagai tanaman rehabilitasi. Perum Perhutani di Jawa dan Nusa Tenggara Timur menggunakan kemiri sebagai tanaman untuk menghutankan kembali tanah kosong (Djajapertjunda 2003; Koji 2002) dan berfungsi sebagai tanaman konservasi tanah dan air terutama di Daerah Aliran Sungai (DAS) serta daerah bertopografi miring dan curam (Wibowo 2007). Tabel 4 Luas dan produksi kebun kemiri di Indonesia sejak tahun Tahun Luas (ha) Produksi (ton) Tahun Luas (ha) Produksi (ton) *) **) Keterangan : *) Angka sementara, **) angka estimasi Sumber : Deptan (2009) Luas dan produksi tanaman kemiri di Indonesia setiap tahunnya cenderung meningkat. Menurut Deptan (2009), tanaman kemiri yang tumbuh di Indonesia 100% adalah tanaman kemiri yang diusahakan oleh masyarakat dalam bentuk kebun penduduk (perkebunan rakyat). Potensi luas dan produksi tanaman kemiri yang ada di Indonesia sejak tahun 1984 sampai 2009 dapat dilihat pada Tabel 4. Perkembangan tanaman kemiri juga melibatkan sejumlah petani sebagai tenaga kerja yang yang melakukan pengelolaan. Jumlah petani yang terlibat dalam pengelolaan tanaman kemiri di Indonesia untuk tahun 2004 sampai 2009 dapat dilihat pada Tabel 5.

26 5 Tabel 5 Luas, produksi dan jumlah petani kemiri di Indonesia tahun Tahun Luas (ha) Produksi (ton) Rerata Produksi (kg/ha) Jumlah Petani (KK) *) **) Keterangan : *) Angka sementara, **) angka estimasi Sumber : Deptan (2009) Tanaman kemiri di Propinsi Sumatera Utara hampir tersebar di semua kabupaten, seperti terlihat pada Tabel 6. Deptan (2009) menyebutkan bahwa luas tanaman kemiri di Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2007 mencapai ha dengan produksi buah mencapai ton, yang melibatkan petani. Rerata produktivitas hasil kemiri rakyat adalah kg/ha dan rerata kepemilikan luas lahan kemiri sekitar 0,74 ha. Tabel 6 Luas, produksi dan jumlah petani kemiri tahun 2007 di Sumatera Utara No Kabupaten Luas Produksi Rerata Produksi Jumlah Petani (ha) (ton) (kg/ha) (KK) 1 Deli Serdang Langkat Simalungun Karo Dairi Tapanuli Utara Tapanuli Tengah Nias Nias Selatan Tapanuli Selatan Asahan Mandailing Natal Toba Samosir Humbang Hasundutan Pak-pak Barat Samosir Serdang Bedagai Jumlah Sumber : Deptan (2009) Salah satu kabupaten penghasil kemiri adalah Dairi. BPS (2009) menyebutkan bahwa luas tanaman kemiri pada tahun 2008 mencapai ha dengan produksi mencapai 8.273,6 ton. Tanaman kemiri hampir tumbuh di

27 6 beberapa kecamatan, paling banyak di Kecamatan Tanah Pinem dengan luas ha dan produksi buah sampai ton. Pada Tabel 7 dapat dilihat sebaran tanaman kemiri rakyat dan produksinya di Kabupaten Dairi pada tahun Rerata produksi hasil kemiri di Kabupaten Dairi adalah kg/ha dan jumlah petani yang mengelolanya mencapai KK. Tabel 7 Sebaran kemiri rakyat di Kabupaten Dairi pada tahun 2008 No Kecamatan Luas (ha) Produksi Buah (ton) 1 Sidikalang 9,50 11,70 2 Sitinjo Berampu Parbuluan 23,00 38,00 5 Sumbul ,20 6 Silahisabungan 25,50 39,50 7 Silima Pungga-pungga ,00 8 Lae Parira 39,00 64,80 9 Siempat Nempu 25,00 19,80 10 Siempat Nempu Hulu 82,00 147,60 11 Siempat Nempu Hilir 71,00 141,00 12 Tigalingga 138,00 260,00 13 Gunung Sitember 97,00 191,00 14 Pegagan Hilir 30,00 55,00 15 Tanah Pinem 3.846, ,00 Jumlah 4.463, ,60 Sumber : BPS Kabupaten Dairi (2009) Pengelolaan kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem sudah berlangsung sangat lama, turun temurun dan merupakan salah satu usaha yang dikembangkan menjadi mata pencaharian penduduk sebagai sumber penghasilan. Perkembangan pengelolaan tanaman kemiri sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal dalam pengambilan keputusan untuk mengelola atau tidak mengelola. Seorang petani kemiri akan menjual kemirinya dengan kondisi dikupas dan tidak dikupas. Kemiri yang dikupas dijual lebih mahal dari kemiri yang belum dikupas. Untuk kemiri yang tidak dikupas, biasanya dibeli oleh pihak lain untuk kemudian dikupas agar harga jualnya lebih tinggi dari harga belinya. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan tanaman kemiri di Kecamatan Tanah Pinem dapat membuka lapangan pekerjaan bagi pihak lain. Salah satu arah Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan tahun adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan peran aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan yang adil dan bertanggung jawab. Strategi yang ditempuh yaitu

28 7 meningkatkan luasan hutan rakyat yang mandiri dan mendukung fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Target luas hutan rakyat yang akan dibangun sampai tahun 2025 adalah 8 juta ha (Dephut 2006). Widiarti dan Mindawati (2007) menyebutkan bahwa pemilihan jenis pohon yang tepat dalam pengembangan hutan rakyat harus berorientasi pada kecukupan pangan keluarga, kelangsungan hasil dan kelestarian sumberdaya. Sehingga, pemilihan jenis tanaman untuk program pemerintah untuk kepentingan masyarakat pada suatu wilayah harus sesuai dengan kondisi lingkungan wilayah tersebut atau bersifat site spesifik dengan pertimbangan faktor teknis, ekonomis, ekologis dan sosial budaya, agar kegiatan hutan rakyat dapat menjadi pilihan usaha yang produktif dan lestari. Dari penjelasan ini, maka salah satu sasaran pengembangan kegiatan hutan rakyat sebaiknya adalah potensi-potensi tanaman yang sudah ada di daerah yang bisa menjadi pertimbangan untuk dikembangkan dalam meningkatkan pendapatan petani, pendapatan daerah dan mendukung dalam pengelolaan lahan yang sesuai dengan kondisi ekologi. Sehubungan dengan berbagai latar belakang kondisi perkembangan hutan rakyat yang ada dan dengan adanya rencana pemerintah mengembangkan hutan rakyat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka dilakukan suatu penelitian tentang pengelolaan tanaman kemiri rakyat yang sudah tumbuh dan berkembang di Kecamatan Tanah Pinem, Kabupaten Dairi. 1.2 Perumusan Masalah Pengelolaan tanaman kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem merupakan kegiatan yang sudah turun temurun dan sudah berlangsung sejak dahulu. Keberadaannya yang tetap bertahan sampai sekarang menunjukkan bahwa kemiri telah menjadi komoditi andalan masyarakat sebagai sumber penghasilan. Perkembangan pengelolaan tanaman kemiri rakyat sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal dari masyarakat, dimana faktor-faktor tersebut bersifat mendukung dan menghambat dalam perkembangan pengelolaannya. Davis et al. (2001), LEI (2001) dan Dephut et al. (1997) menyebutkan bahwa pelaksanaan suatu kegiatan pada suatu lahan harus memperhatikan aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Pengelolaan suatu kegiatan tidak akan berhasil jika

29 8 hanya didasarkan pada suatu sisi saja, tetapi harus menyeluruh (integratif) sehingga akan tercapai keberlanjutannya dalam pelaksanaan dan pengembangannya. Kajian tentang keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat yang ada di Kecamatan Tanah Pinem belum ada, sehingga belum diketahui bagaimana kondisi keberlanjutan pengelolaannya saat ini. Informasi-informasi mengenai kondisi sosial masyarakat, sistem produksi buah dan kayu, pemasaran, analisis finansial, tingkat kesejahteraan penduduk, penyerapan tenaga kerja, kondisi biofisik dan lain-lain diperlukan untuk mengetahui kondisi pengelolaan tanaman kemiri yang ada. Data-data ini diperlukan untuk mengetahui keberlanjutan (sustainability) pengelolaan tanaman kemiri rakyat. Analisis keberlanjutan pengelolaan kemiri rakyat ini akan menjadi masukan dalam upaya pengembangan kegiatan yang sama untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan melalui kegiatan hutan rakyat. Jika pengelolaannya dapat dilakukan secara berkelanjutan dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial, maka kegiatan ini dapat berperan dalam meningkatkan pendapatan petani, peningkatan kualitas lingkungan dan peningkatan pendapatan pemerintah daerah secara berkesinambungan. Adapun pertanyaan yang ingin dijawab dan dijadikan sebagai permasalahan dalam penelitian adalah 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengelolaan tanaman kemiri rakyat? 2. Bagaimana keberlanjutan (sustainability) pengelolaan tanaman kemiri rakyat yang ada sekarang? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini adalah 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan tanaman kemiri rakyat. 2. Menganalisis keberlanjutan (sustainability) pengelolaan tanaman kemiri rakyat dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial.

30 9 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian adalah memberikan masukan bagi pemerintah dalam mengembangkan potensi tanaman rakyat melalui kegiatan hutan rakyat dan sebagai bahan informasi dan referensi bagi pihak-pihak yang ingin mengembangkan usaha tanaman kemiri. 1.5 Kerangka Pemikiran Salah satu jenis tanaman yang ditanam pada hutan rakyat adalah kemiri. Pohon kemiri adalah salah satu tanaman yang memiliki prospek untuk dikembangkan karena bermanfaat dari segi ekologi, ekonomi dan sosial. Tanaman kemiri adalah tanaman yang tumbuh secara alami di alam tetapi dalam perkembangannya menjadi tanaman yang ditanam oleh masyarakat di lahan miliknya karena menghasilkan buah dan kayu. Salah satu daerah yang menghasilkan kemiri adalah Kecamatan Tanah Pinem. Pada tahun 2008, luas tanaman kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem mencapai ha dengan produksi ton (BPS 2009). Pengelolaan kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem sudah berlangsung sangat lama, turun temurun dan merupakan salah satu kegiatan yang bertahan menjadi mata pencaharian penduduk sebagai salah satu sumber penghasilan. Pengembangan pengelolaan tanaman kemiri rakyat sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal dari masyarakat, dimana faktor-faktor tersebut ada yang bersifat mendukung maupun menghambat dalam pengembangan pengelolaan kemiri rakyat yang ada. Sementara dalam perkembangan keberlanjutan pengelolaannya, terkait dengan aspek ekologi, ekonomi dan sosial (Davis et al. 2001; LEI 2001; Dephut et al. 1997) Penelitian ini hendak melakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan tanaman kemiri rakyat dan analisis keberlanjutannya dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Hasil yang diperoleh nantinya dapat menjadi masukan untuk dapat dikembangkan menjadi kegiatan hutan rakyat agar dapat meningkatkan pendapatan petani, peningkatan kualitas lingkungan dan peningkatan pendapatan pemerintah daerah secara berkesinambungan. Adapun kerangka pemikiran penelitian dapat digambarkan seperti pada Gambar 1.

31 10 Hutan Rakyat Hutan Rakyat di Prop. Sumut Hutan Rakyat di Kab. Dairi Pengelolaan tanaman kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem Identifikasi faktor-faktor internal Identifikasi faktor-faktor eksternal Analisis faktor-faktor pengelolaan kemiri rakyat Dapat menjadi alternatif pilihan pengembangan kegiatan RHL di luar kawasan hutan khususnya untuk hutan rakyat Tercapainya tujuan pengelolaan hutan rakyat yang dapat meningkatkan pendapatan petani, peningkatan kualitas lingkungan dan peningkatan pendapatan pemerintah daerah secara berkesinambungan Analisis keberlanjutan pengelolaan kemiri rakyat Aspek Sosial Aspek Ekonomi Aspek Ekologi Gambar 1 Kerangka pemikiran.

32 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat Hutan rakyat merupakan kegiatan yang sudah berlangsung sejak dahulu sampai sekarang khususnya di daerah pedesaan. Hutan rakyat memiliki ciri yang berbeda di setiap tempat, seperti jenis tanaman yang dipilih untuk ditanam, luas lahan, pola atau sistem penanaman, pola pengelolaan dan tujuan pelaksanaan. Awang et al. (2007) menyebutkan bahwa pola pemanfaatan dan interaksi masyarakat desa dengan hutan rakyat cukup beragam dan berbeda-beda satu dengan yang lain, tergantung kondisi kesuburan tanah, kultur masyarakat secara umum dan kebijakan lokal yang terkait dengan pembangunan hutan rakyat. Secara umum teridentifikasi bahwa hutan rakyat memegang peranan penting dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat desa. Proses pengelolaan lahan pertanian menjadi lahan yang lebih intensif berlangsung dari pengalaman petani. Menurut Awang et al. (2007), pada suatu hamparan lahan masyarakat Jawa, ditemukan adanya simbiosis antara tanaman pangan, tanaman pakan ternak dan tanaman pohon-pohonan. Ini merupakan hasil kebudayaan masyarakat yang mampu membentuk ekologi tersendiri. Tanaman keras yang ditanam hanya terfokus pada tanaman tertentu, yaitu pada pohonpohon yang sudah terdomestifikasi (sudah dibudidayakan oleh masyarakat). Pepohonan yang ditanam oleh masyarakat dalam lahan miliknya beraneka ragam. Hutan rakyat yang hasil utamanya kayu, seperti sengon (Paraserianthes falcataria), jati (Tectona grandis), akasia (Acacia sp.), mahoni (Swetenia mahagoni), surian/suren (Toona sureni) dan lain-lain. Hutan rakyat yang hasil utamanya getah, seperti kemenyan (Styrax benzoin) dan damar (Shorea javanica). Sementara yang hasil utamanya berupa buah, antara lain kemiri (Aleurites moluccana), durian (Durio zibethinus), tengkawang (Shorea spp.) dan kelapa (Cocos nucifera). Keberadaan pohon-pohon pada lahan pertanian masyarakat berperan (1) memelihara dan memperbaiki lingkungan fisik dalam rangka melestarikan tanaman pertanian dengan cara memperbaiki asupan nutrisi lahan dan energi, dan (2) melestarikan sumber-sumber ekonomi keluarga. Semua

33 12 pohon-pohon yang ditanam di lahan milik, memiliki fungsi ekonomi, lingkungan dan sosial budaya (Awang et al. 2007). Pola pengembangan hutan rakyat di Indonesia dibagi menjadi tiga (Supriadi 2004), yaitu (1) Pola swadaya yaitu hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri; (2) Pola subsidi yaitu hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya; dan (3) Pola kemitraan yaitu hutan rakyat dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta dengan insentif permodalan berupa kredit kepada rakyat dengan bunga ringan. Pola hutan rakyat yang akan diteliti adalah pola swadaya yaitu hutan rakyat yang dibangun di atas lahan milik dengan modal dan tenaga kerja sendiri. Jenis tanaman yang dikembangkan adalah jenis tanaman penghasil buah dan termasuk pada tumbuhan berguna yaitu kemiri. Deptan (2009), menyebutkan bahwa hampir 100% tanaman kemiri yang ada di Indonesia adalah tanaman yang dihasilkan oleh rakyat dalam kebun-kebun rakyat. Hutan rakyat yang dikembangkan secara swakelola masih memiliki banyak kendala dalam pengelolaannya. Hal ini dijelaskan oleh Awang et al. (2007) yang menyebutkan bahwa konsep pengelolaan hutan rakyat sangat sederhana yaitu hanya menanami tanah milik dengan tanaman berkayu dan membiarkannya tumbuh tanpa pengelolaan intensif. Dalam perkembangannya masyarakat mulai melakukan teknik-teknik budidaya, dengan menanam beragam jenis dan beragam lapisan tanaman (multi layer) serta cara pemanenan yang tidak merusak pohon. Namun, perkembangan ini tidak bersamaan dengan peningkatan kapasitas manajerial yang memadai yang berpengaruh terhadap proses pengaturan hasil yang hampir dapat dikatakan tidak ada karena keberadaan hutan rakyat di masyarakat selalu dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan mendadak.pemenuhan kebutuhan ini membuat petani hutan rakyat sebagai produsen (hasil hutan rakyat) selalu menjadi pihak lemah dalam posisi tawar-menawar harga produk. Beberapa karakteristik hutan rakyat ditinjau dari aspek manajemen hutan, yaitu: (1) Hutan rakyat berada di tanah milik dengan alasan tertentu, seperti lahan kurang subur, kondisi topografi yang sulit, tenaga kerja terbatas, kemudahan pemeliharaan dan faktor resiko kegagalan yang kecil; (2) Hutan rakyat tidak

34 13 mengelompok dan tersebar berdasarkan letak dan luas kepemilikan lahan, serta keragaman pola wanatani pada berbagai topografi lahan; (3) Pengelolaan hutan rakyat berbasis keluarga yaitu masing-masing keluarga melakukan pengembangan dan pengaturan secara terpisah; (4) Pemanenan hutan rakyat berdasarkan sistem tebang butuh, sehingga konsep kelestarian hasil belum berdasarkan kontinuitas hasil, yang dapat diperoleh dari perhitungan pemanenan yang sebanding dengan pertumbuhan (riap) tanaman; (5) Belum terbentuk organisasi yang profesional untuk melakukan pengelolaan hutan rakyat; (6) Belum ada perencanaan pengelolaan hutan rakyat, sehingga tidak ada petani hutan rakyat yang berani memberikan jaminan terhadap kontinuitas pasokan kayu bagi industri; dan (7) Mekanisme perdagangan kayu rakyat di luar kendali petani hutan rakyat sebagai produsen, sehingga keuntungan terbesar dari pengelolaan hutan tidak dirasakan oleh petani hutan rakyat. Awang et al. (2007) menyebutkan bahwa karakteristik hutan rakyat adalah bersifat individual, berbasis keluarga, organisasi petani komunal, tidak memiliki manajemen formal, tidak responsif, subsisten dan hanya sebagai tabungan bagi keluarga pemilik. Karakteristik seperti ini di dalam perkembangannya ke depan dinilai kurang memiliki daya saing tinggi, tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dengan pedagang dan industri dan tidak dapat menjamin adanya sinkronisasi konservasi dan kelestarian hutan. Pembangunan kehutanan saat ini semakin memperhatikan pembangunan hutan rakyat (Widiarti dan Mindawati 2007), karena selain sangat strategis dalam pemenuhan kebutuhan kayu dalam negeri, juga sangat menguntungkan ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi maupun sosial budaya. Jenis tanaman yang dikembangkan untuk program hutan rakyat adalah jenis penghasil kayu, jenis hasil hutan non kayu dan tumbuhan berguna. Pemilihan jenis tanaman untuk hutan rakyat sebaiknya dikembangkan jenis yang site spesifik dengan pertimbangan teknis, ekonomis, ekologis dan sosial/budaya dengan maksud agar usaha tani hutan rakyat menjadi pilihan usaha yang produktif dan lestari. Komposisi jenis pohon mutlak diperlukan sebagai (1) sumber pendapatan, (2) sumber energi, (3) sumber bahan baku industri, (4) sumber bahan organik, (5) upaya memperbaiki iklim mikro, ketersediaan air dan mengurangi erosi.

35 14 Kondisi hutan rakyat tidak berbeda dengan kondisi hutan yang terdiri atas berbagai jenis pepohonan sebagai tanaman utama, maka peranan hutan rakyat tidak banyak berbeda dalam hal (1) ekonomi karena hutan rakyat memproduksi kayu dan meningkatkan industri kecil sebagai upaya untuk meningkatkan peranan dan jaringan ekonomi rakyat, (2) sosial karena membuka kesempatan kerja, (3) ekologi karena berfungsi untuk mengatur tata air, mencegah bencana banjir, erosi dan memelihara kualitas lingkungan (penyerap CO 2 dan penghasil O 2 ), (4) estetika berupa keindahan alam dan (5) sumber ilmu pengetahuan. 2.2 Pengelolaan Hutan Rakyat Aspek Sosial Hutan rakyat pada umumnya dilakukan secara individu (perorangan) pada lahan miliknya sehingga cenderung menyebar berdasarkan letak, luas kepemilikan lahan dan keragaman pola usaha taninya. Pengembangan hutan rakyat melibatkan banyak pihak, selain petani sebagai pelaku utama juga didukung adanya kelembagaan yang berperan dalam pengembangannya. Beberapa lembaga yang berpengaruh dalam perkembangan hutan rakyat adalah kelompok tani, instansi pemerintah, lembaga-lembaga masyarakat dan lembaga perekonomian seperti bank, koperasi, pasar, industri, dll (Diniyati et al. 2008). Kelembagaan ini dapat berperan dalam pelaksanaan suatu kegiatan sehingga mampu mendorong masyarakat petani dalam melakukan kegiatan ke arah yang lebih baik dengan mendapatkan hasil yang lebih baik juga. Aspek kelembagaan dapat berupa lembaga pemerintah dan non pemerintah. Dari aspek kelembagaan dapat diketahui sejauhmana pembangunan pedesaan sudah berkembang. Menurut Mosher dalam Soekartawi (2002), ada tiga unsur yang dikategorikan sebagai aspek kelembagaan dalam struktur pedesaan, yaitu adanya pasar, adanya pelayan penyuluh dan adanya lembaga perkreditan. Pasar sebagai tempat jual beli barang dan jasa. Penyuluh berfungsi untuk pengembangan usaha rakyat dengan teknologi baru dan perkreditan berfungsi untuk meningkatkan kemampuan rakyat dalam mengadakan faktor produksi. Perkembangan hutan rakyat di setiap tempat dipengaruhi oleh kebiasaan budaya dan pengetahuan lokal. Suharjito (2000) menyebutkan keberadaan hutan

36 15 rakyat tidaklah semata-mata akibat interaksi alami antara komponen botani, mikroorganisme, mineral tanah, air, udara, melainkan adanya peran manusia dan kebudayaannya. Kreasi budaya yang dikembangkan dalam interaksinya dengan hutan ini berbeda-beda antara kelompok masyarakat. Hasil budaya ini terwujud dalam pola tanam yang bervariasi dari satu wilayah ke wilayah lainnya, dari suatu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lainnya. Hutan rakyat di luar Pulau Jawa berasal dari tanah persekutuan adat yang status haknya telah berubah bentuk menjadi lahan hak garapan, kemudian menjadi tanah dengan status hak milik adat dan selanjutnya diubah menjadi hak milik dengan sertifikat. Jika dalam hak ini ada hutan maka hutan tersebut menjadi hutan rakyat (Djajapertjunda 2003). Kepemilikan lahan (land tenure) merupakan hal yang paling penting dalam pelaksanaan hutan rakyat, karena kepemilikan lahan merupakan jaminan bagi petani untuk menentukan akses dan pengendalian atas tanah dan sumberdaya yang ada di atasnya. Aspek sosial yang dapat dilihat dari kegiatan hutan rakyat secara langsung adalah terbukanya lapangan pekerjaan (Djajapertjunda 2003). Hal ini dapat diketahui bahwa pada saat kegiatan hutan rakyat berkembang, maka industri pengelolaannya juga akan meningkat, dimana kegiatan ini membutuhkan tenaga kerja. Darusman dan Hardjanto (2006) menyebutkan bahwa hutan rakyat yang dikelola secara intensif maupun sambilan mampu menyerap tenaga kerja di desa. Pada beberapa propinsi, pengembangan budidaya kemiri di daerah pedesaan akan mendorong agribisnis dan agroindustri yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menciptakan lapangan kerja. Deptan (2006b) memperkirakan bahwa pengusahaan kemiri melibatkan sekitar KK dan mampu mendorong berkembangnya ekonomi wilayah Aspek Ekonomi Sumodiningrat (1999) menjelaskan bahwa perekonomian yang diselenggarakan oleh rakyat adalah usaha ekonomi yang menjadi sumber penghasilan keluarga atau orang per orang, yang dilakukan oleh rakyat yang secara swadaya mengelola sumber daya setempat dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya. Ekonomi rakyat bisa juga didefinisikan sebagai segala kegiatan dan upaya rakyat untuk memenuhi kebutuhan dasar

37 16 hidupnya (basic needs) yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. Jadi, perekonomian rakyat berarti perekonomian yang berakar pada potensi dan kekuatan masyarakat secara luas dalam menjalankan roda perekonomian mereka sendiri, sehingga ekonomi rakyat adalah ekonomi pribumi (people s economy is indigenous economy). Ekonomi rakyat biasanya berkembang relatif lambat sesuai dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan. Salah satu upaya untuk meningkatkan perekonomian rakyat adalah dengan pemberdayaan masyarakat melalui penguatan kelembagaan. Permasalahan dalam pengembangan hasil rakyat adalah kualitas produk yang masih rendah, lemahnya posisi tawar petani dalam perdagangan, informasi harga yang tidak ada, pengaruh harga pasar dan sarana aksesibilitas dalam pengangkutan yang terbatas sehingga yang berperan dalam pemasaran hasil hutan rakyat umumnya adalah tengkulak. Hutan rakyat dikembangkan petani apabila memberikan kenaikan pendapatan. Manfaat ekonomi akan sangat dirasakan oleh petani khususnya pada pola agroforestry karena pendapatan yang diperoleh dapat berkelanjutan dari hasil pertanian dan tanaman kayu-kayuan. Sedangkan pola monokultur hanya memberikan penghasilan jangka panjang dan memenuhi kebutuhan mendesak. Pada berbagai hasil penelitian di beberapa tempat di Pulau Jawa, hutan rakyat berperan dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dan perekonomian daerah (Hayono 1996; Romansyah 2007; Dirgantara 2008). Untuk struktur pendapatan petani, pendapatan dari hutan rakyat adalah pendapatan tambahan dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari total pendapatan petani (Hardjanto 2000; Darusman dan Hardjanto 2006). Hardjanto (2001) menyebutkan bahwa pendapatan hutan rakyat pada Sub DAS Cimanuk Hulu berbeda pada zona atas, tengah dan bawah yaitu 31,5%, 5,6% dan 10,2%. Pendapatan masyarakat dibagian atas lebih besar karena hutan rakyat di bagian atas merupakan kegiatan yang menjadi sumber penghasilan andalan bagi masyarakat dan intensitas pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat cukup tinggi, sedangkan pendapatan masyarakat pada bagian tengah dan bawah adalah rendah karena masyarakat kurang mengelola secara intensif, tingkat kesuburan lahan yang rendah dan masyarakat lebih mengharapkan sumber pendapatan dari sektor lain.

38 17 Untuk pendapatan dari berbagai jenis hasil hutan bukan kayu (HHBK), Wijayanto (2001) menyebutkan bahwa kontribusi pendapatan petani dari getah damar sebelum krisis ekonomi di Pesisir Krui adalah sebesar 51,37%, pada saat krisis ekonomi sebesar 65% dan setelah krisis ekonomi sebesar 47,37%. Nurrochmat (2001) menyebutkan bahwa pendapatan dari getah kemenyan memberikan kontribusi yang dominan yaitu lebih dari 50% terhadap pendapatan masyarakat, sedangkan menurut Sitompul (2011) sebesar 60,69%. Pendapatan yang cukup besar dari HHBK menunjukkan bahwa HHBK berperan besar menjadi sumber pendapatan andalan masyarakat karena pendapatan dari HHBK seperti getah damar dan getah kemenyan dapat diperoleh hampir setiap tahun, sedangkan pendapatan dari kayu hanya dapat diperoleh pada akhir masa daur tanam atau pada saat usia panen sudah tiba. Pemasaran merupakan aliran barang dari produsen ke konsumen. Aliran ini terjadi karena adanya peranan lembaga pemasaran. Peranan lembaga pemasaran sangat tergantung pada sistem pasar yang berlaku dan karakteristik aliran barang yang dipasarkan. Saluran pamasaran dapat berbentuk sederhana dan kompleks, tergantung dari jenis komoditi, lembaga pemasaran dan sistem pasar. Dalam sistem saluran pemasaran, ada produsen, pedagang pengumpul, pengecer, tengkulak, pedagang besar, eksportir dan konsumen. Semua yang terlibat memiliki peranan dan fungsi berbeda dicirikan oleh aktivitas yang dilakukan dan skala usaha (Soekartawi 2002). Untuk memasarkan hasil produk hutan rakyat, Hardjanto (2000, 2003) menyebutkan bahwa petani hutan rakyat memiliki posisi tawar yang lemah jika dibandingkan dengan para tengkulak, industri kecil dan industri besar. Jumlah petani hutan rakyat yang banyak, memiliki sumberdaya yang terbatas, tidak membentuk usaha bersama dan tidak menguasai pasar maka berdampak pada posisi tawar yang lebih rendah. Sementara itu, para tengkulak dan pihak industri bersifat lebih solid, memiliki perencanaan usaha yang lebih baik, menguasai informasi pasar sehingga memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Perbedaan posisi ini menyebabkan pendapatan petani hutan rakyat selalu lebih kecil dan pada gilirannya tidak dapat merangsang petani untuk mengembangkan usahanya.

39 18 Untuk mengetahui sejauh mana suatu usaha hutan rakyat dapat memberikan keuntungan maka dapat dilakukan analisis yang berbasis finansial. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar manfaat yang diperoleh, biaya yang dikeluarkan, berapa keuntungannya, kapan pengembalian investasi terjadi dan pada tingkat suku bunga berapa investasi itu memberikan manfaat. Kelayakan finansial meliputi struktur penerimaan, biaya dan pendapatan. Untuk menilai kelayakan finansial suatu kegiatan/proyek, ada tiga kriteria yang umum digunakan (Kadariah, Karlina dan Gray 1999; Nurmalina, Sarianti dan Karyadi 2010) yaitu net benefit cost ratio (Net B/C), net present value (NPV) dan internal rate of return (IRR), dengan kriteria suatu usaha tani dikatakan layak jika NPV > 0, BCR > 1 dan IRR > i. BCR diperoleh dengan cara membagi jumlah pendapatan dengan jumlah biaya dari suatu proyek, dengan kriteria kelayakan proyek bila BCR lebih besar dari satu. Dalam menghitung nilai sekarang digunakan faktor diskonto, sedangkan nilai absolut dari rasio pendapatan bervariasi tergantung dari suku bunga yang digunakan. Semakin tinggi suku bunga, maka nilai BCR mungkin akan lebih dari satu. NPV adalah nilai diskonto dari selisih manfaat dan biaya untuk setiap tahun atau aliran keluar masuknya uang yang juga berarti pendapatan bersih. Sedangkan IRR adalah suatu tingkat bunga (discounte rate) yang menunjukkan NPV sama dengan jumlah seluruh biaya investasi proyek. IRR bermanfaat untuk mengukur keuntungan proyek. Cara yang digunakan untuk menentukan tingkat suku bunga yang ideal adalah melakukan percobaan-percobaan dengan interpolasi diantara suku bunga yang lebih rendah (menghasilkan NPV positif) ataupun dengan tingkat suku bunga yang lebih tinggi (menghasilkan NPV negatif). IRR adalah suku bunga yang menyebabkan NPV adalah nol. Usaha dipandang baik dari sudut peminjaman modal bila IRR-nya paling tinggi dan diatas suku bunga yang berlaku Aspek Ekologi Penggunaan lahan pada permukaan tanah akan sangat berpengaruh pada kualitas lahan tersebut. Salah satu bentuk kegiatan hutan rakyat adalah model agroforestry. Mahendra (2009), pengaruh penerapan sistem agroforestry terhadap aspek ekologi adalah signifikan. Tanaman pohon-pohon akan memiliki peranan

40 19 terhadap peningkatan kesuburan tanah, mengurangi laju erosi karena serasah yang ada dipermukaan tanah, terciptanya iklim mikro, membaiknya karakteristik hidrologi, melimpahnya keragaman flora dan fauna tanah dan lain-lain. Secara umum disebutkan bahwa secara ekologi agroforestry terbukti dapat menjaga kelestarian lingkungan. Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XI Jawa Madura (2009) menyebutkan bahwa ada beberapa fakta tentang peran hutan rakyat terhadap lingkungan terutama dengan ketersediaan sumber air secara lokal. Beberapa fakta menunjukkan bahwa keberadaan hutan rakyat telah memunculkan sumber-sumber air yang menjadi sumber air bersih dan untuk keperluan irigasi, seperti di Dusun Pagersengon Wonogiri, Hutan Bambu di Malang Selatan, Dusun Kedungkeris dan Dusun Sendowo Kidul Gunung Kidul. Awang et al. (2007) menyebutkan bahwa umumnya masyarakat menanam jenis kayu-kayuan dan buah-buahan pada lahan kering pekarangan dan tegalan, dimana pengembangan lahan kering ini adalah lahan-lahan kurang produktif, kurang subur, dan umumnya kondisi kritis. Dengan hutan rakyat, kegiatan ini dapat memulihkan kesuburan tanah dan produktivitas lahan-lahan kritis dapat pulih sehingga dapat memberikan manfaat pada keseimbangan lingkungan. Haryadi (2006) menyebutkan bahwa hutan rakyat sangat berperan dalam pelestarian lingkungan. Pola hutan rakyat campuran memberikan banyak keuntungan seperti keanekaragaman hayati, habitat satwa liar, mempertahankan kesuburan tanah, menjaga stabilitas suhu tanah dan organisme yang terkandung didalamnya, mengurangi CO 2 dan pemanasan global dan penahan erosi. 2.3 Pengelolaan Hutan Lestari Untuk mengembangkan suatu usaha, maka keberlanjutan usaha merupakan hal utama yang harus diperhatikan sehingga dapat memberikan manfaat saat ini maupun untuk masa mendatang. Fauzi (2006) menyatakan bahwa konsep keberlanjutan merupakan konsep yang sederhana tetapi kompleks, sehingga konsep ini bersifat multi-dimensi dan multi-interpretasi. Dalam tulisannya, Fauzi menyatakan bahwa konsep keberlanjutan yang dipakai adalah konsep yang disepakati oleh Komisi Bruntland yang menyebutkan bahwa pembangunan

41 20 berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pembangunan berkelanjutan untuk sumberdaya alam yang terbarukan adalah apabila laju pemanenan harus sama dengan laju regenerasi (produksi lestari). Haris (2000) dalam Fauzi (2006) menyebutkan bahwa konsep keberlanjutan dapat dirinci dalam tiga aspek yaitu (1) keberlanjutan ekonomi yaitu pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri. (2) Keberlanjutan lingkungan yaitu sistem yang harus mampu memelihara sumberdaya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep lingkungan menyangkut keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara dan fungsi ekosistem, di dalamnya tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi. (3) Keberlanjutan sosial yaitu sistem yang mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender dan akuntabilitas politik. Davis et al. (2001) menyatakan, kelestarian secara umum terdiri dari elemen yang saling ketergantungan antara elemen ekologi, ekonomi dan sosial. Dalam konteks visi, kelestarian berarti memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Perspektif ekologi, ekonomi dan sosial dalam pengelolaan hutan meliputi prinsip dan indikator. Prinsip ekologi. Ekologi kehutanan menganalisis sumberdaya hutan dari sudut pandang konservasi keragaman hayati dan produktivitas ekologi. Hal-hal yang menjadi perhatian adalah pola dan proses gangguan alami dan bagaimana mengatasi gangguan tersebut dan dampaknya dan keragaman jenis sebagai panduan dalam pengelolaan. Prinsip ekonomi. Ekonomi kehutanan menganalisis sumberdaya hutan dari sudut pandang memaksimumkan manfaat hutan untuk manusia yang dapat dilihat dari sudut pandang mikro (perusahaan) dan makro (daerah dan nasional). Perspektif makro ekonomi menganalisis manfaat dari segi ekonomi dan fokus pada kesehatan ekonomi seperti tenaga kerja, pendapatan dan produk nasional

42 21 bruto. Mikro ekonomi menganalisis manfaat dari sudut pandang individu perusahaan dan fokus pada akumulasi kesejahteraan. Prinsip sosial. Prinsip ini menganalisis sumberdaya hutan dari sudut pandang kelestarian kesejahteraan manusia, komunitas dan masyarakat. Konsep dasarnya dalam prinsip ini adalah bahwa sumberdaya hutan harus memberikan manfaat langsung pada kesejahteraan manusia dan komunitas. Elemen-elemen dari manfaat sosial ini adalah distribusi manfaat hutan, kapasitas masyarakat untuk mengakomodasi perubahan, aksesibilitas sosial dan demokrasi partisipatif. Indikator yang banyak digunakan untuk mengukur kelestarian kondisi dan outcame hutan dalam rencana pengelolaan hutan adalah (1) pertumbuhan pohon; (2) hasil kayu; (3) daya dukung masyarakat; (4) komposisi hutan, struktur hutan dan proses yang terjadi dalam hutan; dan (5) habitat untuk spesies tertentu. Indikator 1 sampai 3 digunakan untuk mengukur kelestarian ekonomi dan sosial sedangkan indikator 4 dan 5 digunakan untuk membantu mengukur kelestarian ekologi. Adapun beberapa penilaian yang dilakukan untuk menganalisis kelestarian pengelolaan hutan menurut dimensi ekologi, ekonomi dan sosial berdasarkan Davis et al. (2001) dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Dimensi ekologi, produksi dan sosial dalam analisis kelestarian Dimensi Jenis data Penjelasn Ekologi 1. Adanya gangguan (kebakaran, hama penyakit, banjir, tanah longsor dll) Selang waktu terjadinya suatu gangguan, intensitas terjadinya gangguan, pola penyebaran 2. Pemilihan sistem silvikultur 3. Pemilihan rotasi (umur) dan distribusi kelas umur 4. Pemilihan pola spasial pemanenan Ekonomi Maksimasi manfaat bagi manusia dari sudut pandang 1. Mikroekonomi 2. Makro ekonomi Usaha individu, kesejahteraan Ukuran agregat ekonomi (tenaga kerja, income, GNP, dll) Sosial 1. Distribusi manfaat hutan Tingkat kemiskinan, pengangguran dan migrasi populasi 2. Kapasitas masyarakat untuk mengakomodasi perubahan Tingkat pendidikan, kohesif dan kepemimpinan masyarakat, jumlah dan tipe infrastruktur (jalan, sistem sekolah, dll) 3. Akseptabilitas sosial Keputusan pengelolaan hutan yang diambil harus diterima secara ekonomi, ekologi dan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat 4. Demokrasi partisipatif Keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan pengelolaan hutan (misalnya perlindungan, monitoring dan implementasi rencana) Sumber : Davis et al. (2001) Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) tahun 2001 sudah mengembangkan sistem dan standar sertifikasi untuk pengelolaan hutan baik hutan alam, hutan tanaman dan

43 22 pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (community based forest management) adalah hutan yang dikelola sebagai hutan rakyat (hutan milik) atau hutan adat. Standar untuk kegiatan pengelolaan ini disebut dengan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) yang diartikan sebagai segala bentuk pengelolaan hutan dan hasil hutan yang dilakukan oleh masyarakat dengan caracara tradisional baik dalam bentuk unit komunitas, unit usaha berbasis komunitas (koperasi dalam arti luas), maupun individual berskala kecil sampai sedang yang dilakukan secara lestari. Untuk mendapatkan sertifikat PHBML, maka ada prosedur yang harus dipenuhi yang dinilai sesuai dengan standar dan kriteria yang ditentukan yang mencakup pada aspek sosial, produksi dan ekologi yang berhubungan dengan kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dikembangkan. Standar kriteria dan indikator dalam dokumen PHBML masih dibatasi pada ukuran-ukuran kelestarian PHBM dengan produk utama kayu. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari dapat diwujudkan apabila dimensi hasil (outcame) dapat dicapai melalui strategi dan kegiatan manajemen yang tepat. Pada Tabel 9 dapat dilihat kriteria dan indikator PHBML.

44 23 Tabel 9 Kriteria dan Indikator PHBML No Prinsip Kriteria Indikator 1 Kelestarian fungsi produksi 1.Kelestarian sumberdaya 2 Kelestarian fungsi ekologi 3 Kelestarian fungsi sosial Sumber: LEI (2001) P.1.1. Lokasi HBM sesuai dengan peruntukan lahan P.1.2. Status dan batas lahan jelas P.1.3. Perubahan luas penutupan lahan P.1.4. Managemen pemeliharaan hutan P.1.5. Sistem silvikultur sesuai daya dukung hutan 2. Kelestarian hasil P.2.1. Penataan areal pengelolaan hutan P.2.2. Kepastian Adanya Potensi Produksi untuk Dipanen Lestari P.2.3. Pengaturan hasil P.2.4. Efisiensi pemanfaatan hutan P.2.5. Keabsyahan Sistem Lacak Balak dalam hutan P.2.6. Prasarana pengelolaan hutan P.2.7. Pengaturan manfaat hasil 3. Kelestarian usaha P.3.1. Kesehatan usaha P.3.2. Kemampuan akses pasar P.3.3. Sistem Informasi Managemen (SIM) P.3.4. Tersedia tenaga trampil P.3.5. Investasi dan reinvestasi untuk pengelolaan hutan P.3.6. Kontribusi terhadap peningkatan kondisi sosial dan ekonomi setempat kelestarian 1.Stabilitas ekosistem 2. Sintasan spesies langka/endemik/ dilindungi 1. Kejelasan sistem tenurial lahan dan hutan komunitas 2.Terjaminnya ketahanan dan pengembangan ekonomi komunitas 3.Terbangunnya pola hubungan sosial yang simetris dalam proses produksi 4. Keadilan manfaat menurut kepentingan komunitas E1.1 Tersedianya aturan kelola produksi yang meminimasi gangguan terhadap integritas lingkungan E1.2 Proporsi luas kawasan dilindungi yang tertata baik terhadap keseluruhan kawasan yang seharusnya dilindungi dan sudah ditata batas di lapangan E1.3 Dampak kegiatan kelola produksi terhadap stabilitas ekosistem (tanah, air, struktur dan komposisi hutan) dan intensitasnya terdokumentasi E1.4 Adanya rencana kelola lingkungan dan efektifitas kegiatannya E2.1 Tersedianya informasi mengenai spesies langka/endemik/dilindungi dan agihan habitatnya yang penting dalam kawasan E2.2 Adanya upaya minimasi dampak kelola produksi terhadap spesies langka/ endemik/dilindungi S1.1. Status lahan/areal tidak dalam proses konflik dengan warga anggota komunitasnya maupun pihak lain; S1.2. Kejelasan batas-batas areal dengan pihak lain; S1.3. Fungsi kawasan menurut kepentingan komunitas/publik secara jelas diakui sebagai kawasan hutan tetap; S1.4. Digunakannya tata cara atau mekanisme penyelesaian sengketa yang demokratis dan adil terhadap pertentangan klaim atas hutan yang sama; S1.5. Pelaku pengelolaan PHBM benar-benar warga komunitas, baik dijalankan sendiri atau bermitra. S2.1. Sumber-sumber ekonomi komunitas minimal tetap mampu mendukung kelangsungan hidup komunitas secara lintas generasi; S2.2. Penerapan teknik-teknik produksi minimal tetap mempertahankan tingkat penyerapan tenaga kerja yang ada, baik laki-laki maupun perempuan; S2.3. Kegiatan pengelolaan hutan maupun paska panen sejauh mungkin dikembangkan di dalam wilayah komunitas dan menggunakan tenaga kerja komunitas. S3.1. Pola hubungan sosial yang terbangun antara berbagai pihak dalam pengelolaan hutan merupakan hubungan sosial relatif sejajar. S3.2. Pembagian kewenangan jelas dan demokratis dalam organisasi penyelenggaraan PHBM S4.1. Ada kompensasi atas kerugian yang diderita komunitas secara keseluruhan akibat pengelolaan hutan oleh kelompok dan disepakati seluruh warga komunitas; S4.2. Seluruh warga komunitas dan publik terbuka untuk terlibat dalam penyelenggaraan PHBM S4.3. Ada mekanisme pertanggungjawaban publik dari kelompok pengelola terhadap komunitas dan/atau publik

45 Tanaman Kemiri Permenhut No. P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) menyebutkan bahwa kemiri termasuk pada kelompok minyak lemak, pati dan buah-buahan dengan produk minyak kemiri dan kelompok tumbuhan obat dengan produk ekstrak pepagan. Permenhut No. P.03/Menhut-V/2004 tentang pedoman pembuatan tanaman hutan rakyat Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan menyebutkan bahwa kemiri adalah tanaman MPTS yaitu jenis tanaman serba guna yang dapat diambil buah, bunga, kulit dan daunnya. Tanaman kemiri merupakan tanaman yang dapat memberikan manfaat sosial kepada masyarakat, manfaat ekonomi untuk meningkatkan devisa negara dan manfaat lingkungan untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Kemiri termasuk jenis tanaman untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, mencegah erosi, peningkatan kualitas lingkungan dan pengatur tata air. Pohon kemiri (Aleurites moluccana) merupakan family Euphorbiaceae dapat tumbuh pada ketinggian (bisa juga sampai 1200) m diatas permukaan laut. Tanaman kemiri tidak memerlukan persyaratan khusus karena kemiri dapat tumbuh pada lapangan yang berkonfigurasi datar sampai pada tempat-tempat bergelombang dan curam, pada tanah yang subur sampai kurang subur dan pada daerah yang beriklim kering sampai daerah beriklim basah (Djajapertjunda 2003; Sunanto 1994; Paimin 1994). Kemiri dapat tumbuh pada daerah dengan jumlah curah hujan mm/tahun dan suhu C (Deptan 2006a). Dalam Warta litbang Deptan tahun 2006 disebutkan bahwa tanaman kemiri dapat tumbuh pada suhu C, kelembaban udara rata-rata 75%, curah hujan mm/tahun dan dengan jumlah hari hujan antara hari. Manfaat tanaman kemiri sangat banyak. Menurut Sunanto (1994) manfaat tanaman kemiri adalah untuk bumbu masak, bahan baku industri, dan pohon kemiri digunakan untuk membuat perabot rumah tangga, kayu bakar, bahan baku korek api dan pembuatan bahan pulp (bahan pembuat kertas). Tanaman kemiri digunakan sebagai Hutan Tanaman Industri (HTI) di daerah Nusa Tenggara Barat, cocok untuk tanaman reboisasi, penghijauan dan tempat berlindung ternak pada areal penggembalaan.

46 25 Permintaan buah kemiri akan semakin meningkat seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan meningkatnya permintaan bahan baku industri. Menurut Paimin (1994) peningkatan permintaan kemiri diperkirakan akan mencapai 10-20% setiap tahunnya. Peningkatan ini diharapkan dapat mendorong peningkatan ekonomi melalui perkembangan industri dan dapat meningkatkan lapangan kerja. Tanaman kemiri menyebar di beberapa daerah di Indonesia dengan sebaran terbanyak terdapat di Propinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Aceh dan Sumatera Utara (Koji 2002). Sunanto (1994) menyebutkan bahwa awalnya tanaman kemiri merupakan tanaman yang tumbuh secara alami, namun kemudian ditanam masyarakat di daerah-daerah yang penduduknya telah tinggal secara menetap karena buahnya dapat dimanfaatkan penduduk. Tanaman kemiri dapat menghasilkan buah 2-3 kali dalam setahun (musim berbuah setiap daerah berbeda-beda, tergantung pada iklim. Musim berbunga terjadi pada awal musim hujan dan buah terbentuk setelah 3-4 bulan atau pada akhir musim penghujan). Jumlah panen buah tergantung pada umur tanaman dan pertumbuhan pohon. Pohon kemiri yang tumbuh pada daerah subur, panen pertamanya dapat mencapai 10 kg biji kupasan/pohon. Pada umur 6 tahun menghasilkan 25 kg biji kupasan. Pada usia tahun produksinya akan stabil sekitar kg/pohon/tahun. Produksi pohon kemiri dewasa yang tumbuh dengan baik dapat mencapai 200 kg biji kupasan per pohon. Setelah berumur di atas 50 tahun produksinya mulai menurun. Produksi kemiri per hektar dapat mencapai 2 ton biji atau 0,5 ton biji kupasan (Deptan 2006a; Paimin 1994). Koji (2002) menyebutkan bahwa budidaya kemiri sangat mudah. Setelah menanam kemiri di kebun, petani hanya melakukan pembersihan gulma sekali setahun dan menunggu sampai waktu panen tiba. Secara konvensional, pohon kemiri ditanam dengan jarak yang cukup besar atau lebih, karena dapat memberikan kesempatan kepada petani untuk membudidayakan berbagai tanaman dalam ruang terbuka. Panen buah dapat dilakukan mulai tahun ketiga dan produksi buah biasanya mulai menurun pada usia 35 tahun ke atas. Kemiri adalah tanaman berguna yang penting di Indonesia karena telah tumbuh baik untuk tujuan subsisten dan komersial dan penting dalam

47 26 mempertahankan kehidupan masyarakat sehari-hari (Koji 2002). Peran tanaman kemiri dalam rehabilitasi hutan di Indonesia, dibagi menjadi dua periode yaitu Jaman Kolonial dan Jaman Orde Baru. Pada tahun 1920 dan 1930-an, di Sulawesi Selatan, Lembaga Kehutanan Belanda menganjurkan menanam kemiri untuk merehabilitasi lahan perladangan berpindah yang telah ditinggalkan. Pada rezim Orde Baru, untuk mengatasi masalah perambahan lahan, dilakukan kebijakan kegiatan pertanian yang diakui di dalam kawasan hutan jika dikombinasikan dengan tumbuhan berguna seperti kemiri. Kemiri dari Indonesia sudah pernah di ekspor dengan tujuan Amerika, Arab Saudi, Hongkong, Singapura dan Australia. Sementara kemiri dari Sumatera Utara telah diekspor ke Malaysia dan Singapura (Sunanto 1994). Namun, untuk volume ekspor kemiri ke luar negeri menunjukkan kondisi yang naik turun. Volume ekspor (Ton) Sumber : Deptan (2009) Tahun Gambar 2 Volume ekspor kemiri Indonesia tahun Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa ekspor kemiri cenderung tidak stabil sejak tahun 1975 sampai tahun Ekspor tertinggi dicapai tahun 1993 yaitu mencapai ton dan pada tahun 1996 sampai tahun 2003 dan tahun 2006 sampai 2007 tidak ada ekspor. Dari data statistik Deptan (2009) juga diperoleh data bahwa pada tahun 2004 dan 2005, Indonesia malah mengimpor kemiri sebanyak masing-masing 13 ton dan 15 ton.

48 Beberapa Studi Terdahulu Penelitian tentang kemiri sudah cukup berkembang. Adapun beberapa hasilhasil penelitian yang sudah dilakukan sehubungan dengan pengelolaan kemiri rakyat sebagai berikut: 1) Pada tahun 1999, Yusran melakukan penelitian tentang analisis model pengelolaan hutan kemiri rakyat di Kabupaten Maros, Propinsi Sulawesi Selatan. Hasilnya adalah (1) Keadaan sosial ekonomi masyarakat mendukung pengembangan hutan kemiri rakyat; (2) Potensi tanaman kemiri rakyat cukup tinggi tetapi umur tegakan tidak produktif sehingga tidak menjamin kelestarian hasil; (3) Kontribusi kemiri hanya 7,6% tetapi mempunyai nilai strategis dalam ekonomi petani; (4) Usaha kemiri rakyat secara finansial menguntungkan dan layak untuk dikembangkan; (5) Sistem pasar kemiri di Kabupaten Maros mendekati sistem pasar persaingan sempurna; dan (6) Sistem kelembagaan pengelolaan hutan kemiri rakyat lebih bersifat non formal dan lembaga formal yang ada belum berperan dalam pengembangan kemiri rakyat. 2) Pada tahun 2005, Yusran melakukan penelitian tentang analisis performansi dan pengembangan hutan kemiri rakyat di kawasan pegunungan Bulusaruang. Hasilnya adalah (1) Perbedaan status penggunaan lahan mempengaruhi performansi hutan kemiri rakyat; (2) Semakin kuat status lahan yang dikelola, semakin intensif pengelolaan, semakin besar nilai ekonominya dan terjamin kelestarian sistem kelembagaan lokal yang memiliki nilai-nilai sosial. Tetapi, cenderung semakin menurunkan nilai keanekaragaman jenis tanaman; (3) Penguatan status lahan penting dilakukan untuk menjamin kelestarian hutan kemiri yang mempertimbangkan aspek ekologi, nilai-nilai sosial dan ancaman fragmentasi lahan; dan (4) Ketidakpastian status pengusahaan hutan merupakan kelemahan yang menjadi sumber ancaman dalam pengelolaan hutan kemiri yang juga mempengaruhi kelestarian tanaman. 3) Wibowo (2007) melakukan penelitian tentang pengusahaan tanaman kemiri di Desa Kuala, Tanah Karo. Hasilnya adalah bahwa pengusahaan kemiri cukup memberikan kontribusi ekonomi bagi petani, pedagang pengumpul dan pengecer dan kegiatan penanaman kemiri menumbuhkan usaha jasa pengupasan kemiri. Usaha pengupasan kemiri dengan cara sederhana hanya

49 28 menghasilkan 48% kernel utuh dan sisanya adalah pecah. Hal ini mempengaruhi nilai jual kemiri di pasar. Pengusahaan kemiri belum dilaksanakan secara intensif dan masih bersifat usaha sampingan. 4) Darmawan dan Kurniadi (2007) melakukan penelitian tentang studi pengusahaan kemiri di Flores dan Lombok. Hasilnya adalah pengusahaan kemiri yang dilakukan masyarakat hanya terbatas pada pengusahaan kemiri isi (kemiri kupas/kernel). Pengusahaan kemiri mempunyai pengaruh secara ekonomi dan bagi kelestarian lingkungan karena pohon kemiri dapat ditanam pada tanah-tanah marjinal. Kegiatan usaha jual beli kemiri bersifat multiflier effect yang memberikan manfaat bagi para pelakunya.

50 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penyusunan proposal sampai penyelesaian pembuatan laporan akhir dilakukan dari bulan September 2010 sampai September Penelitian lapangan dilakukan bulan Maret sampai bulan Mei 2011 di Kecamatan Tanah Pinem, Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive yaitu penentuan lokasi secara sengaja dengan pertimbangan bahwa desa yang dipilih adalah desa yang memiliki tanaman kemiri yang paling luas, yaitu Desa Pasir Tengah, Desa Pamah dan Desa Kuta Buluh. 3.2 Metode Pengumpulan Data Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey dan metode evaluasi. Metode survey adalah penelitian yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara aktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun suatu daerah (Nazir 2005). Metode evaluasi digunakan untuk mengetahui kualitas hal-hal, program, dan sebagainya yang sudah terjadi, biasanya dengan membandingkan suatu standar (Irawan 2007). Metode survey difokuskan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan tanaman kemiri. Metode evaluasi difokuskan untuk menganalisis sejauh mana keberlanjutan (sustainability) pengelolaan tanaman kemiri rakyat yang sudah dilakukan sesuai dengan indikator LEI (2001), indikator pengelolaan hutan lestari menurut Davis et al. (2001) dan indikator pengelolaan yang keberlanjutan dalam melakukan suatu proyek menurut Dephut et al. (1997). Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui observasi secara langsung di lapangan dan melakukan wawancara terhadap responden melalui pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sebelumnya sehubungan dengan hal-hal yang hendak diketahui. Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara bertanya jawab, sambil bertatap muka antara si penanya (pewawancara)

51 30 dengan si penjawab (responden) dengan menggunakan alat panduan wawancara (Nazir 2005). Untuk data sekunder diperoleh dengan cara melakukan studi literatur dan studi data-data laporan hasil kegiatan pada instansi terkait. Data sekunder sifatnya sebagai data pendukung dan penunjang untuk melengkapi data primer. Data sekunder berasal dari hasil-hasil penelitian, stakeholder dan instansi terkait, seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, serta instansi-instansi pemerintahan lainnya. 3.3 Penentuan Responden Responden yang diwawancarai adalah petani yang memiliki lahan milik yang menanam kemiri dan yang tidak menanam kemiri. Petani yang tidak menanam kemiri bisa saja adalah petani yang pernah menanam kemiri tetapi dalam perkembangannya kemudian beralih ke tanaman lain ataupun petani yang tidak pernah menanam kemiri. Sedangkan petani yang menanam kemiri adalah petani yang memiliki tanaman kemiri pada lahan miliknya pada saat dilakukan penelitian. Jumlah responden yang diwawancarai ditentukan dengan rumus Slovin (Umar 2000) yaitu : dimana : n = N 1 + Ne 2 N : Populasi (petani menanam kemiri dan petani tidak menanam kemiri) n : Jumlah sampel (responden) e : Tingkat kesalahan yang masih ditolerir Jumlah populasi petani di ketiga desa yang dipilih adalah 1467 KK. Tingkat kesalahan yang masih ditolerir ditentukan 8,5%, maka jumlah sampel adalah 126 KK. Petani yang menanam kemiri dan petani yang tidak menanam kemiri diambil secara proporsional dari ketiga desa yang ditentukan. Sampel Desa Kuta Buluh adalah 58 responden, terdiri dari 29 petani kemiri dan 29 petani yang tidak menanam kemiri, Desa Pamah dan Pasir Tengah masing-masing 34 responden dengan rincian masing-masing 17 petani kemiri dan 17 petani yang tidak menanam kemiri.

52 31 Penelitian juga akan melakukan wawancara lebih mendalam dengan orangorang yang dianggap lebih mengetahui tentang pengelolaan tanaman kemiri rakyat yang sudah berlangsung sejak dahulu sampai sekarang, diantaranya tokoh masyarakat/raja adat, kepala desa dan pejabat dari instansi yang berkaitan, yang bisa disebut sebagai informan kunci. Informan kunci diketahui dengan cara snowball sampling atau pemilihan informan secara berantai. Untuk mengetahui sejauhmana perkembangan pengelolaan kemiri rakyat, dilakukan wawancara dengan instansi terkait seperti Dinas kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertanian (penyuluh), Kepala Desa dan pihak kecamatan. Informasi yang diperoleh, diharapkan akan melengkapi informasi-informasi yang diperoleh dari responden (petani kemiri dan petani non kemiri) dan hasil studi literatur dalam melakukan analisis pengelolaan tanaman kemiri rakyat. 3.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data Analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dan kualitatif dilakukan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan kemiri rakyat dan untuk mengetahui bagaimana kegiatan pengelolaan yang sudah dilakukan masyarakat sampai sekarang. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan kegiatan pengelolaan tanaman kemiri rakyat yang sudah ada, pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap tanaman kemiri, peran masyarakat dan lembaga-lembaga yang ada dalam pengembangannya, kegiatan pemanenan buah dan kayu, kegiatan pemasaran, teknik penanaman dan pemeliharaan yang dilakukan dan karakteristik petani responden secara umun. Untuk menjawab tujuan penelitian, metode analisis yang digunakan adalah a. Analisis regresi logistik biner. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat mengelola tanaman kemiri, maka dilakukan analisis limited devendent variable atau dikenal dengan analisis Regressi Logistik Bineri (Gujarati 2006). Model regressi logistik biner adalah suatu model yang mengukur seberapa besar peluang suatu kejadian satu dengan kejadian yang lainnya, dimana datanya mengikuti sebaran normal. Misalnya suatu kejadian dapat dikategorikan sukses dan tidak sukses (mengikuti

53 32 sebaran binomial), dengan model logit dapat dicari berapa besar peluang kejadian sukses dibandingkan dengan kejadian tidak sukses. Untuk penelitian ini akan dilakukan analisis regresi dimana variabel tak bebasnya bersifat dikotomi (dichotomous) yang mengambil nilai 1 dan 0 (Gujarati 2006), untuk mengetahui seberapa besar peluang masyarakat untuk mengelola tanaman kemiri dan seberapa peluang masyarakat untuk tidak mengelola tanaman kemiri. Pengertian pengelolaan kemiri dalam penelitian ini adalah masyarakat yang melakukan budidaya tanaman kemiri (mulai dari penanaman sampai pemasaran hasil) dari lahan milik maupun pada lahan yang disewa. Dua pilihan masyarakat merupakan kejadian biner (dummy variable) yang bernilai 1 dan 0, dimana nilai 1 untuk petani yang mengelola tanaman kemiri dan nilai 0 untuk petani yang tidak mengelola tanaman kemiri (pernah mengelola tetapi kemudian berhenti dan tidak mengelola lagi dan serta beralih menanam tanaman lain). Peluang masyarakat mengelola tanaman kemiri dinotasikan dengan Pi, maka peluang masyarakat tidak mengelola tanaman kemiri adalah 1-Pi karena total peluang semua kejadian adalah satu. Adapun bentuk persamaan model logistik yang digunakan adalah sebagai berikut: Ln Pi = + 1 X X X X X 5 i X i Pi Dimana: Pi = peluang petani mengelola tanaman kemiri α = intersep X 1, 2...i = variabel bebas i = koefesien regresi = error/galat Faktor-faktor yang dianggap berpengaruh terhadap keputusan pengelolaan kemiri dilihat dari aspek-aspek yang dianggap mempengaruhi petani untuk mengelolanya baik dari aspek ekonomi, sosial, budaya dan karakteristik dari petani yang dianggap sebagai variabel bebas dalam suatu model. Faktor-faktor

54 33 ini selanjutnya dijadikan sebagai faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi pengelolaan kemiri rakyat. Adapun faktor-faktor yang diduga mempengaruhi masyarakat mengelola kemiri adalah umur petani, lama tinggal di desa, luas lahan yang dikelola, pekerjaan sampingan, status kepemilikan lahan, jumlah anak sekolah, jumlah anggota keluarga produktif, jumlah tanggungan dalam keluarga, jumlah pendapatan per bulan, asal usul lahan, aksesibilitas menuju ladang, pekerjaan utama, pengalaman bertani, jarak dari rumah ke ladang, status lahan yang dipakai saat ini, tingkat pendidikan dan jumlah anak yang sekolah di luar daerah. Parameter yang diukur dan definisi operasional setiap faktor dapat dilihat pada Lampiran 1. b. Analisis keberlanjutan (sustainability) Analisis keberlanjutan (sustainability) pengelolaan tanaman kemiri rakyat dapat dianalisis dari aspek sosial, ekonomi/produksi dan ekologi/lingkungan yang dikembangkan menurut Davis et al. (2001), LEI (2001) dan Dephut et al. (1997). Davis et al. (2001) menyatakan bahwa kelestarian secara umum terdiri dari elemen yang saling tergantung antara elemen ekologi, ekonomi dan sosial, dimana kelestarian berarti memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. LEI (2001) menyebutkan bahwa pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat adalah hutan yang dikelola sebagai hutan rakyat (hutan milik) atau hutan adat. Untuk mengetahui kelestariannya, PHBML dinilai sesuai dengan kriteria dan indikator yang ditentukan, mencakup aspek sosial, produksi dan ekologi yang berhubungan dengan kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dikembangkan. Indikator dalam dokumen PHBML masih dibatasi pada ukuran kelestarian produk utama kayu. Untuk analisis keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat, akan memakai beberapa indikator yang ada dalam LEI dengan melakukan pemilihan indikator-indikator yang sesuai. Dephut et al. (1997) menyebutkan bahwa untuk mengetahui keberlanjutan suatu kegiatan (proyek), maka perlu dilakukan evaluasi agar dapat diketahui perkembangannya dengan model yang menyeluruh (integratif) dengan menggunakan indikator sosial, ekonomi dan lingkungan.

55 34 Untuk selanjutnya, analisis keberlanjutan (sustainability) pengelolaan tanaman kemiri rakyat yang ada di Kecamatan Tanah Pinem akan menggunakan pendekatan yang digunakan dalam Davis et al. (2001), LEI (2001) dan Dephut et al. (1997), karena ketiga pendekatan tersebut sama-sama menggunakan pendekatan aspek sosial, ekonomi/produksi dan ekologi/lingkungan. Kriteria dan indikator yang akan digunakan untuk melakukan penilaian, dibangun dan dimodifikasi dari Davis et al. (2001), LEI (2001) dan Dephut et al. (1997) sesuai keperluan analisis yang diperlukan untuk jenis hasil hutan bukan kayu. Dari hasil seleksi, diperoleh 28 kriteria dan indikator, masing-masing terdiri dari 10 kriteria dan indikator untuk aspek ekologi, 8 kriteria dan indikator untuk aspek ekonomi dan 10 kriteria dan indikator untuk aspek sosial. Adapun hal-hal yang akan dianalisis untuk mengetahui keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3. Untuk menilai keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat, maka digunakan pendekatan penilaian dari LEI. LEI (2001) menyebutkan, pencapaian kelestarian PHBM dinilai dengan indikator yang dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Sumber data dan analisis setiap inidkator dapat dilihat pada Lampiran 2. Setiap indikator diukur skala intensitasnya menjadi baik, cukup dan jelek. Seluruh indikator mempunyai bobot yang sama, maka nilai total penjumlahan dari seluruh indikator akan mencerminkan performance kelestarian praktek PHBM yang dinilai. Untuk melakukan penilaian terhadap setiap indikator, diperoleh dari hasil wawancara dengan petani (kemiri dan non kemiri), penyuluh, pedagang pengumpul (buah, kulit cangkang dan kayu), tokoh masyarakat, pihak kecamatan, kepala desa dan informan lainnya yang bisa menjadi sumber informasi yang diperlukan. Untuk beberapa indikator dan bagaimana keberlanjutan pengelolaan kemiri rakyat yang sudah ada diperoleh melalui Focus Group Disscussion (FGD) dengan tujuan agar diperoleh penjelasan yang lebih mendalam sehingga penilaian dari indikator-indikator yang diperoleh lebih jelas dan dapat memberikan gambaran yang sebenarnya. Setelah setiap indikator dinilai, maka keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat merupakan penjumlahan dari seluruh indikator. Jumlah indikator

56 35 yang digunakan dalam evaluasi pengelolaan tanaman kemiri rakyat dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial ini adalah berjumlah 28. Hasil analisis keberlanjutan pengelolaan kemiri rakyat yang dinilai akan memenuhi kriteria berikut: a. Pengelolaan kemiri rakyat dinyatakan berkelanjutan bila prakteknya memenuhi persyaratan minimum, yaitu: nilai B > 50% x n; nilai C > 25% x n; nilai J < 25% x n b. Pengelolaan kemiri rakyat dinyatakan berkelanjutan dengan catatan bila prakteknya memenuhi persyaratan minimum, yaitu: nilai B > 25% x n; nilai C > 50% x n; nilai J < 25% x n c. Pengelolaan kemiri rakyat dinyatakan tidak berkelanjutan bila prakteknya memenuhi persyaratan minimum, yaitu: nilai B < 25% x n; nilai C < 50% x n; nilai J > 50% x n Apabila hasil penilaian keberlanjutan telah diperoleh, hasil tersebut dijelaskan secara deskriptif yang didukung dengan data yang diperoleh dari hasil penelitian. Hasil analisis keberlanjutan yang diperoleh selanjutnya dijadikan bahan untuk menyusun rekomendasi program dan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan untuk menjadikan kegiatan tanaman kemiri rakyat tersebut menjadi berkelanjutan pada masa yang akan datang. 3.5 Definisi Operasional Adapun definisi dari beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah a. Keberlanjutan fungsi ekologi adalah terjaminnya keberlanjutan fungsi lahan sebagai penyangga kehidupan dan menjamin produktivitas lahan b. Keberlanjutan fungsi ekonomi adalah terjaminnya keberlanjutan pemanfaatan hasil hutan dan usahanya dapat memberikan keuntungan kepada pengelolannya sesuai dengan kemampuan daya dukung lahan c. Kelestarian fungsi sosial adalah terjaminnya keberlanjutan fungsi pengusahaan lahan bagi kehidupan masyarakat setempat yang tergantung pada lahan, baik langsung maupun tidak langsung secara lintas generasi.

57 36

58 37 4 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN 4.1 Keadaan Umum Wilayah Penelitian Letak Administrasi Kecamatan Tanah Pinem terletak di Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara dengan luas wilayah 439,40 Km 2. Ibu kota Kecamatan Tanah Pinem adalah Kuta Buluh, yang berjarak 55 km dari Sidikalang (ibukota Kabupaten Dairi) atau sekitar 141 km dari Medan (ibukota Propinsi Sumatera Utara), dengan batasbatas: Sebelah Utara dan Timur berbatasan dengan Kabupaten Karo, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Tiga Lingga, Kecamatan Gunung Sitember dan Kecamatan Siempat Nempu Hilir dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara dan Kabupaten Aceh Selatan (Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam) Letak Geografis Kecamatan Tanah Pinem terletak pada Lintang Utara dan Bujur Timur dan berada pada ketinggian 650 sampai dengan 950 meter di atas permukaan laut Iklim Iklim di Kecamatan Tanah Pinem adalah iklim hujan tropis yang dipengaruhi oleh angin musim. Kondisi iklim pada saat ini tidak menentu, adakalanya musim penghujan dan ada kalanya musim kemarau terus menerus dimana bisa sampai 3 bulan tidak turun hujan. Curah hujan tahun 2009 adalah mm yang berkisar antara 90 mm sampai 150 mm per bulan. Kondisi udara adalah sedang karena pada siang hari tidak terlalu panas dan pada malam hari tidak terlalu dingin dengan suhu udara berkisar antara 23 0 sampai 25 0 C Topografi Kecamatan Tanah Pinem terdapat pada lahan yang memiliki topografi yang bergelombang sampai terjal sehingga kurang cocok untuk usaha pertanian seperti sawah. Kondisi topografi Kecamatan Tanah Pinem dapat dilihat pada Tabel 10.

59 38 Tanaman yang cocok dikembangkan adalah jenis tanaman kayu-kayuan seperti kemiri, cokelat dan buah-buahan. Pemilihan jenis tanaman kayu-kayuan sangat sesuai dengan kondisi topografi lahan, karena hampir 90% lahannya masuk pada kategori curam dan terjal dengan kemiringan di atas 25%. Tanaman kayu-kayuan sangat sesuai ditanam dalam upaya konservasi tanah karena memiliki sistem perakaran yang kuat sehingga bermanfaat dalam melindungi tanah dari bahaya longsor. Tabel 10 Kondisi topografi di Kecamatan Tanah Pinem No Kondisi lahan Luas (ha) Persentase (%) 1 Datar ( ) 879 2,00 2 Berombak ( ) ,00 3 Bergelombang ( ) ,00 4 Curam ( ) ,00 5 Terjal (>40 0 ) ,00 Jumlah ,00 Sumber : BPS Kabupaten Dairi (2010) Penduduk Jumlah penduduk Kecamatan Tanah Pinem tahun 2010 adalah jiwa yang terdiri dari laki-laki jiwa dan perempuan jiwa dan jumlah rumah tangga sebanyak KK dengan kepadatan penduduk 45,53 jiwa per km². Semua penduduk tersebut adalah warga Negara Indonesia yang didominasi oleh suku Karo. Suku lainnya adalah Batak Toba, Melayu, Jawa, Pakpak, Simalungun, dan lain-lain Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di Kecamatan Tanah Pinem terdiri dari lahan sawah, hutan negara, perkebunan, kebun/tegal,ladang/huma dan lain-lain. Kawasan hutan mencapai luas ha (54,62%) sedangkan penggunaan lahan dalam bentuk tegal/kebun, ladang/huma dan perkebunan mencapai luas ha (39,34%). Lahan sawah hanya 0,1% dari total luas lahan yang ada. Hal ini disebabkan karena topografi lahan yang sebagian besar berada pada kategori bergunung sampai terjal dan dipengaruhi oleh keadaan sungai-sungai yang berada pada daerah yang dalam dan sempit sehingga sangat sulit untuk dijangkau dan

60 digunakan oleh masyarakat untuk pembukaan sawah. Adapun rincian penggunaan lahan di Kecamatan Tanah Pinem dapat dilihat pada Tabel Tabel 11 Penggunaan lahan di Kecamatan Tanah Pinem tahun 2008 No Penggunaan lahan Luas (ha) Persentase (%) 1 Sawah 45 0,10 2 Hutan negara ,62 3 Padang rumput/penggembalaan 743 1,69 4 Tegal/kebun ,06 5 Ladang/huma ,03 6 Perkebunan ,25 7 Kolam/empang 5 0,01 8 Ladang yang tidak sedang diusahakan 730 1,66 9 Lainnya ,57 Jumlah Sumber : BPS Kabupaten Dairi (2009) Sumber dari kecamatan tahun 2011 menyebutkan bahwa luas lahan tanaman pertanian di Kecamatan Tanah Pinem pada tahun 2010 adalah ha yang terdiri dari tanaman padi sawah, padi gogo, jagung, cabe dan tomat. Sementara tanaman lainnya adalah tanaman perkebunan seperti cokelat, kemiri, tembakau dan sawit dengan luas ha. Luas tanaman kemiri di Kecamatan Tanah Pinem pada tahun 2010 adalah ha. 4.2 Karakteristik Responden Umur Responden Rata-rata umur keseluruhan responden adalah 49,83 tahun dengan selang antara 20 sampai 80 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden tergolong dalam umur produktif (di atas 15 tahun) sehingga tenaga kerja yang tersedia di daerah penelitian masih potensial dan produktif untuk melakukan kegiatan pertanian dan kegiatan lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Petani kemiri yang berada di atas 50 tahun sebanyak 41 responden (65,08%) sedangkan petani non kemiri yang berada di atas 50 tahun sebanyak 20 responden (31,75%). Rata-rata umur responden petani kemiri lebih tinggi yaitu 52,90 tahun sedangkan rata-rata umur petani non kemiri adalah 46,75 tahun. Dari hasil ini dapat dilihat bahwa kecenderungan masyarakat yang menanam kemiri dan yang

61 40 mempertahankannya adalah petani yang sudah mulai memasuki usia lanjut yang mulai pasif dalam melakukan kegiatan pertanian yang rutin. Tabel 12 Sebaran umur responden No Kelompok umur Petani non kemiri Petani kemiri (tahun) Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) ,17 1 1, ,22 4 6, , , , , , , ke atas 3 4,76 6 9,52 Jumlah Rata-rata 46,75 tahun 52,90 tahun Rata-rata umur keseluruhan responden 49,83 tahun Pendidikan Tingkat pendidikan formal responden termasuk pada kategori rendah. Hampir sebagian besar responden (63,49%) hanya sampai pada tingkat SLTP. Terdapat sebanyak 45 responden (71,43%) petani kemiri berpendidikan di bawah SMA/SMU sedangakan petani non kemiri hanya sebanyak 35 responden (55,56%). Tingkat pendidikan akan mempengaruhi pola pikir, perilaku dan respon terhadap suatu informasi atau dalam mengambil keputusan untuk melakukan kegiatan pertanian yang akan diusahakannya. Tabel 13 Tingkat pendidikan responden No Pendidikan Petani non kemiri Petani kemiri Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) 1 Tidak 1 1,59 5 7,94 sekolah 2 SR/SD 17 26, ,68 3 SLTP 17 26, ,81 4 SMA/SMU 28 44, ,98 5 D1/D2/D ,59 Jumlah Jumlah Anggota Keluarga Rata-rata jumlah anggota keluarga responden secara keseluruhan adalah 3,94 jiwa, artinya bahwa jumlah anggota keluarga ini akan memberikan kontribusi dalam ketersediaan tenaga kerja dan akan mempengaruhi pemasukan

62 41 keluarga serta mempengaruhi besar kecilnya konsumsi keluarga. Pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki jumlah anggota keluarga di bawah 4 orang adalah 72 responden (57,14%), sedangkan responden yang memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari 4 orang sebanyak 54 responden (42,86%). Anggota keluarga merupakan sumber tenaga kerja utama dalam kegiatan pertanian yang sedang diusahakan oleh keluarga petani. Bila ketersediaan tenaga kerja tidak ada, masyarakat akan memanfaatkan tenaga kerja dari pihak keluarga terdekat, tetangga maupun tenaga kerja dari luar daerah. Tenaga kerja dari luar daerah baru dimanfaatkan bila ketersediaan tenaga kerja yang akan digunakan dalam jumlah besar dan keberadaan dalam lingkungan desa tidak cukup. Tabel 14 Jumlah anggota keluarga responden No Jumlah anggota Petani non kemiri Petani kemiri keluarga (jiwa) Jumlah Persentase Jumlah Persentase (%) (%) , , , , , , ke atas 2 3,17 1 1,59 Jumlah Rata-rata 4,03 jiwa 3,86 jiwa Rata-rata keseluruhan 3,94 jiwa Mata Pencaharian Responden Sebahagian besar mata pencaharian utama responden adalah bertani yaitu sebanyak 97 responden (76,98%). Bagi responden yang mempunyai pekerjaan utama bukan petani seperti PNS/Pensiunan PNS, buruh/tukang, berdagang dan perangkat desa, juga melakukan kegiatan usaha pertanian seperti menanam jagung, cokelat, kemiri, padi, kelapa dan lain-lain. Kegiatan pertanian dilakukan oleh anggota keluarga seperti istri/suami serta anak-anak dan atau responden tersebut pada saat waktu senggang atau di luar jam kerja dalam melakukan pekerjaan utamanya.

63 42 Tabel 15 Mata pencaharian responden No Mata Petani non kemiri Petani kemiri pencaharian Jumlah Persentase Jumlah Persentase (%) (%) 1 Petani 45 71, ,54 2 PNS/Pensiunan 12 19, ,11 3 Berdagang 3 4,76 3 4,76 4 Buruh, tukang ,59 5 Perangkat Desa 3 4, Jumlah Status Kepemilikan Lahan dan Asal Usul Lahan Kepemilikan lahan dari responden yang diwawancarai menunjukkan bahwa 96 responden (76,19%) belum memiliki sertifikat tanah sedangkan 30 responden (23,81%) sudah memiliki sertifikat tanah. Kepemilikan lahan responden berhubungan dengan asal usul lahan tersebut dimiliki, dimana 71 responden (56,35%) memiliki tanah yang berasal dari warisan orang tua, 41 responden (32,54%) memiliki tanah yang dibeli dari pihak lain atau anggota keluarga dan 14 responden (11,11%) memiliki tanah dari hasil garapan sendiri. Tabel 16 Status kepemilikan lahan responden No Status kepemilikan Petani non kemiri Petani kemiri lahan Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) 1 Belum bersertifikat 42 66, ,71 2 Sudah bersertifikat 21 33, ,29 Jumlah Tabel 17 Asal usul lahan yang dimiliki oleh responden No Asal usul tanah Petani non kemiri Petani kemiri Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) 1 Warisan 41 65, ,62 2 Beli 22 34, ,16 3 Garap sendiri ,22 Jumlah Tabel 18 Status lahan yang digunakan oleh responden No Status lahan Petani non kemiri Petani kemiri yang digunakan Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) 1 Lahan milik 58 92, ,41 2 Lahan sewa 5 7,94 1 1,59 Jumlah

64 43 Status lahan yang digunakan oleh responden saat dilakukan penelitian menunjukkan bahwa 120 responden (95,2%) menggunakan lahan miliknya sendiri dengan menanam jenis tanaman seperti tanaman jagung, cokelat, durian, cengkeh, kemiri, pinang, kelapa dan lain-lain. Penyewa lahan hanya 6 responden (4,76%), yang disewa dari kalangan keluarga sendiri maupun bukan keluarga. Penyewa lahan akan menanam tanaman pertanian pada lahan yang memang sebelumnya ditanami tanaman pertanian seperti jagung. Bagi penyewa lahan yang sudah ada tanaman keras seperti kemiri dan cokelat, masyarakat biasanya hanya sebatas mengambil buah dan merawat tanaman tersebut Luas Kepemilikan Lahan Rata-rata luas kepemilikan lahan untuk seluruh responden adalah 2,24 ha, artinya bahwa kepemilikan lahan masyarakat secara umum masih sangat luas. Jumlah responden yang memiliki luas lahan di atas 1 ha sebanyak 111 responden (88,10%). Dari data ini dapat dilihat bahwa rata-rata luas kepemilikan lahan di daerah penelitian masih lebih tinggi jika di bandingkan dengan rata-rata luas kepemilikan lahan di Pulau Jawa. Luas kepemilikan lahan akan berpengaruh pada besarnya pendapatan yang akan diterima oleh masyarakat yang dipengaruhi jenis usaha yang dikembangkan pada lahan tersebut. Tabel 19 Luas kepemilikan lahan No Luas lahan Petani non kemiri Petani kemiri (ha) Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) 1 < 1 ha 13 20,63 3 4, , , , , , , ke atas 7 11, ,10 Jumlah Rata-rata 1,54 ha 2,67 ha Rata-rata kepemilikan lahan keseluruhan 2,24 ha

65 44

66 45 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengelolaan Kemiri Rakyat di Kecamatan Tanah Pinem Kemiri merupakan tanaman yang tumbuh dan berkembang di Kecamatan Tanah Pinem sejak dahulu sampai sekarang. Keberadaan tanaman ini sudah berlangsung turun temurun. Tanaman kemiri berperan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjadi sumber penghasilan masyarakat. Berikut ini adalah gambaran mengenai keadaan tanaman kemiri rakyat yang yang ada di Kecamatan Tanah Pinem meliputi pola tanam, kondisi tanaman, teknik budidaya, pengelolaan hasil dan pemasarannya. Pola penanaman kemiri yang dimiliki oleh masyarakat adalah sejenis (monokultur) dan agroforestry yaitu campuran dengan tanaman lain seperti sirih, cokelat, kelapa, pinang, durian, cengkeh dan lain-lain (Tabel 20). Responden yang menanam kemiri saja sebanyak 35 responden (55,56%) sedangkan yang menanam dengan kombinasi tanaman lain sebanyak 28 responden (44,44%). Keberadaan tanaman lain di antara tanaman kemiri berperan dalam menambah penghasilan petani, seperti sirih yang tumbuh secara alami maupun ditanam, tidak perlu ada perawatan dan pemeliharaan khusus tetapi dapat menghasilkan sebanyak 4 kali dalam setahun. Pola pengelolaan kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem mirip dengan pola pengelolaan kemiri rakyat di Kabupaten Maros dengan pola monokultur dan agroforestry yaitu kombinasi antara kemiri dengan palawija, pisang dan coklat (Yusran 1999; Ichwandi 2001). Tabel 20 Pola tanaman kemiri rakyat No Pola tanaman Jumlah Responden Persentase 1 Kemiri 35 55,56 2 Kemiri + sirih 8 12,70 3 Kemiri + cokelat 4 6,35 4 Kemiri + cokelat + pinang + sirih + dll 16 25,40 Jumlah ,00 Pada Gambar 3 dapat dilihat pola tanaman kemiri rakyat yang ada di Kecamatan Tanah Pinem.

67 46 (a) monokultur Gambar 3 Pola tanaman kemiri rakyat. (b) agroforestry Rata-rata luas lahan yang ditanami tanaman kemiri cukup lebar yaitu 2,67 ha, yang paling kecil adalah 0,45 ha dan yang paling besar adalah 6 ha. Besar kecilnya luas lahan yang dimiliki oleh petani yang ditanami kemiri mempengaruhi jumlah pohon yang tumbuh dan besaran produksi yang diperoleh yang tergantung pada jarak tanam yang ada.

68 47 Tanaman kemiri yang dimiliki oleh masyarakat saat ini adalah tanaman yang diwariskan dari orang tua, ada juga yang ditanam sendiri dan ada yang dibeli dalam kondisi sudah ada tanaman kemirinya. Masyarakat yang menanam sendiri adalah masyarakat yang membuka lahan di dalam dan luar kawasan hutan. Pada saat awal penanaman, masyarakat mendapatkan bibit dari tanaman yang tumbuh secara alami di ladang dan hutan. Alasan masyarakat mempertahankan tanaman kemiri sampai saat ini, antara lain perawatan tidak susah atau tidak ada perawatan khusus, tidak perlu ada pemupukan, bisa mendatangkan hasil setiap hari, bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, cocok untuk lahan miring dan bersifat sebagai tabungan untuk masa depan. Gambar 4 Buah kemiri yang disimpan yang akan dijual pada saat dibutuhkan. Pada saat awal penanaman, masyarakat sebagian besar sudah menggunakan jarak tanam. Tetapi, kondisi tanaman yang ada saat ini umumnya sudah tidak memiliki jarak tanam yang teratur karena sebagian besar sudah ada yang tumbang dan ada juga yang dibiarkan tumbuh secara alami (permudaan alami). Jumlah responden yang memiliki jarak tanam teratur sebanyak 29 responden (46,03%) yaitu antara 5m x 5m sampai 10m x 12m, sedangkan 34 responden (53,97) menyebutkan bahwa jarak tanam yang ada di lahan miliknya tidak teratur lagi.

69 48 (a) jarak tanam teratur Gambar 5 Kondisi jarak tanaman kemiri rakyat. (b) jarak tanam tidak teratur Kondisi umur tanaman yang ada saat ini adalah beragam. Secara umum, tanaman-tanaman yang ada sudah memasuki umur tidak produktif. Umur rata-rata tanaman kemiri adalah 37,37 tahun. Tanaman yang paling muda berumur 13 tahun sedangkan tanaman paling tua berumur 80 tahun. Dari semua responden, hanya 5 responden (7,94%) yang pernah melakukan peremajaan. Alasan peremajaan dilakukan karena memiliki lahan pada lahan-lahan miring yang curam, pemeliharaannya tidak sulit dan merasakan bahwa kemiri masih mendatangkan hasil yang lumayan bagi hidupnya. (a) tanaman produktif Gambar 6 Kondisi tanaman kemiri rakyat. (b) tanaman tua (tidak produktif)

70 49 Paimin (1994); Koji (2002); Deptan (2006a) menyebutkan bahwa batas produksi kemiri sampai umur 35 tahun. Tanaman kemiri di atas umur 35 tahun tetap berproduksi, tetapi cenderung menurun sampai umur 50 tahun. Bila tanaman kemiri produktif sampai umur 35 tahun, maka terdapat 32 responden (50,79%) memiliki tanaman kemiri yang masih produktif dan 31 responden (49,21%) memiliki tanaman kemiri yang tidak produktif. Ichwandi (2001) menyebutkan bahwa kriteria kelas umur muda untuk kemiri adalah dibawah 10 tahun, produktif pada umur tahun dan umur tua di atas 35 tahun. Pada Tabel 21 dapat dilihat bahwa hampir 50,6% tanaman kemiri rakyat sudah melewati umur produktif, yang menunjukkan bahwa proses regenerasi kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem tidak berlangsung secara berkelanjutan (Yusran 1999). Walaupun tanaman kemiri sudah melewati umur produktif, tanaman kemiri akan tetap menghasilkan buah, tetapi hasilnya akan menurun seiring dengan pertambahan umur karena tanaman sudah lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit dan lebih mudah tumbang. Tabel 21 Produksi tanaman kemiri rakyat tahun 2010 No Umur (tahun) Luas (ha) Produksi (kg) Jumlah pohon (batang) Produksi per ha (kg/ha) Produksi per pohon (kg/pohon) ,92 5,45 2 > 35 84, ,75 4,66 Total 167, Rata-rata 583,33 5,08 Pada tabel di atas dapat dilihat produksi buah kemiri rakyat yang sudah dikupas pada tahun Jika dilihat dari luas tanaman, maka tanaman kemiri yang masuk kategori menghasilkan adalah 83 ha dengan rata-rata produksi biji kupasan 670,92 kg/ha, sedangkan 84,95 ha lainnya termasuk pada kategori tanaman tua menghasilkan dengan rata-rata produksi biji kupasan 497,75 kg/ha. Produksi buah per ha secara keseluruhan adalah rata-rata 583,33 kg/ha. PPL (2010) menyebutkan produktivitas tanaman kemiri di Kecamatan Tanah Pinem pada tahun 2010 adalah 520 kg/ha. Hasil ini lebih kecil dengan produksi kemiri di Indonesia tahun 2007 yaitu 797 kg/ha (Deptan 2009). Produksi kemiri yang dihasilkan di Kecamatan Tanah Pinem hampir sama dengan rata-rata produksi kemiri di Indonesia sekitar 0,5 ton/ha/tahun biji kupasan (Paimin 1994).

71 50 Produksi buah per pohon adalah berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi umur pohon dan kondisi kesehatan tanaman. Pada Tabel 21, produksi kemiri pada kategori umur menghasilkan (umur 5 sampai 35 tahun) adalah 5,45 kg biji kupasan/pohon sedangkan produksi kemiri pada kategori tanaman tua menghasilkan (di atas 35 tahun) menurun menjadi 4,66 kg biji kupasan/pohon. Rata-rata produksi buah kemiri untuk keseluruhan sampel adalah 5,08 kg biji kupasan/pohon. Produksi kemiri per pohon di atas masih sangat kecil jika dibandingkan dengan Dephut (2006a) dan Paimin (1994) yang menyebutkan produksi pohon kemiri pada saat panen pertamanya adalah 10 kg biji kupasan/pohon (umur 5 tahun), 25 kg biji kupasan (umur 6 sampai 10 tahun) dan akan menghasilkan produksi yang stabil berkisar 35 sampai 50 kg/pohon/tahun (umur 11 sampai 20 tahun). Perbedaan produktivitas kemiri ini sangat dipengaruhi oleh jumlah tanaman per satuan luas, kondisi kesehatan tanaman, kondisi tempat tumbuh dan intensitas pemeliharaan. Jumlah pohon pada suatu lahan dipengaruhi oleh jarak tanam yang ada. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pada saat awal penanaman terdapat jarak tanam seperti 8m x 8m, 8m x 10m dan lain-lain. Tetapi seiring berjalannya waktu, tanaman kemiri adalah tanaman yang mudah busuk sehingga dapat tumbang pada saat angin kencang maupun pada musim penghujan. Ada juga penambahan tanaman yang tumbuh secara alami yang dibiarkan berkembang menjadi tanaman besar. Akibatnya adalah jarak tanam menjadi tidak beraturan. Rata-rata jumlah pohon per ha untuk keseluruhan responden adalah 115 pohon. Rendahnya hasil produksi yang diperoleh petani berhubungan dengan tingkat intensitas kegiatan perawatan yang dilakukan terhadap tanaman dan adanya pengaruh penyakit yang selama ini sudah sering terjadi tetapi belum ditemukan cara mengatasinya yaitu terjadinya gugur buah pada saat buah sudah hampir mencapai kondisi panen. Buah yang gugur tidak bisa dipanen karena belum menghasilkan biji kupasan (kernel). Untuk kegiatan pemeliharaan tanaman, sebagian besar responden menyebutkan bahwa tidak ada kegiatan pemupukan yang dilakukan karena jika dipupuk, buah akan banyak dan pada saat buah mulai besar, cabang atau ranting pohon banyak yang patah sehingga menyebabkan kerugian bagi petani.

72 51 Buah yang jatuh karena penyakit gugur buah (belum matang dan tidak dapat dipanen) Buah matang yang jatuh secara alami Gambar 7 Perbedaan antara buah yang jatuh alami dan buah yang jatuh karena penyakit gugur buah. Jika dibandingkan dengan produksi kemiri dari tempat lain, maka produksi kemiri di beberapa tempat di Indonesia adalah berbeda-beda. Yusran (1999) menyebutkan bahwa produktivitas kemiri rakyat di Kabupaten Maros adalah 72,1 kg/ha. Darmawan dan Kurniadi (2007) menyebutkan bahwa produktivitas kemiri Propinsi Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Kabupaten Ngada (2001) berkisar 3,67 5 kg/pohon/tahun, di Kecamatan Soa dan Bajawa rata-rata 13,02 kg/pohon/tahun, di Kabupaten Ende rata-rata 7,25 kg/pohon/tahun dan di Kecamatan Ende Selatan dan Kecamatan Ndona rata-rata 15,09 kg/pohon/tahun. Wibowo (2007) menyebutkan produksi kemiri di Desa Kuala adalah 62,5 kg per pohon. Besar kecilnya produktivitas kemiri di berbagai tempat menunjukkan bahwa produksi kemiri berbeda-beda antara tempat yang satu dengan tempat yang lain, yang dapat disebabkan oleh faktor tempat tumbuh, umur tegakan, kondisi tanaman (sehat atau sakit) dan faktor lingkungan (perubahan musim). Umumnya masyarakat menyatakan bahwa menanam kemiri tidak sulit karena hanya melakukan penanaman, pembersihan tumbuhan bawah dan tinggal menunggu hasil, tidak perlu penggunaan pupuk dan dapat ditinggalkan dalam

73 52 waktu yang lama, yang berhubungan dengan intensitas masyarakat melakukan pemeliharaan terhadap tanaman kemiri. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan tanaman kemiri rakyat sangat sederhana dan tidak intensif (Koji 2002; Wibowo 2007; Awang et al. 2007). Dari keseluruhan responden, hanya 3 responden yang rutin pergi ke ladang, 21 responden hanya pergi pada saat-saat tertentu, 37 responden melakukan pemeliharaan kemiri pada saat panen dan 2 responden hampir tidak pernah melakukan pemeliharaan. Tabel 22 Intensitas kunjungan petani pada tanaman kemiri No Intensitas pemeliharaan Jumlah Persentase Responden 1 Rutin ke ladang 3 4,76 2 Jarang pergi (pada saat tertentu saja) 21 33,33 3 Pada saat panen 37 58,73 4 Tidak pernah melakukan pemeliharaan 2 3,17 Jumlah ,00 Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan oleh masyarakat pada tanaman kemiri adalah pembersihan tumbuhan bawah karena mengganggu pada saat dilakukan pengumpulan buah. Pembersihan tumbuhan bawah dilakukan dua kali setahun yaitu pada saat musim berbuah besar yang dilakukan dengan cara membabat ataupun dengan menggunakan round-up untuk mematikan tumbuhan bawah. Pembersihan tumbuhan bawah yang dilakukan dengan membabat akan membutuhkan waktu yang agak lama sedangkan bila menggunakan zat kimia, akan lebih cepat dan praktis. Tanaman kemiri pada dasarnya bisa berbuah sepanjang tahun, tetapi (Deptan 2006a) menyebutkan bahwa panen buah dapat dilakukan 2-3 kali setahun. Informasi dari masyarakat menyebutkan bahwa musim berbuah sekarang dengan musim berbuah dulu (tahun 1980-an) sudah jauh berbeda. Pada waktu dulu, masyarakat dapat memperoleh hasil sepanjang tahun, tetapi sekarang hampir tidak menentu. Deptan (2006a) menyebutkan untuk merangsang pembentukan bunga tanaman kemiri, maka dibutuhkan musim kemarau yang tegas, bila setelah penyerbukan hujan turun, maka bunga akan gugur dan persentase bunga menjadi buah akan semakin kecil. Perubahan musim berbuah dan besar kecilnya jumlah buah yang dihasilkan di lokasi penelitian, diduga

74 53 terjadi karena perubahan musim penghujan dan musim kering yang tidak menentu akhir-akhir ini. Hasil wawancara dengan masyarakat menyatakan bahwa musim berbuah paling besar terjadi 1 kali setahun dan ada juga yang menyebutkan 2 kali setahun. Perbedaannya hanya pada besaran produksi yang dihasilkan. Musim berbuah besar adalah musim berbuah paling banyak dibandingkan dengan musim berbuah lainnya sedangkan musim kedua adalah musim berbuah besar tetapi hasilnya tidak seperti pada musim berbuah besar yang pertama. Adapun kisaran bulan musim berbuah kemiri adalah antara bulan Mei sampai Juli dan bulan Nopember sampai Januari. Tetapi ada juga yang menyebutkan bulan lainnya selain bulan di atas. Hal ini terjadi karena memang tidak semua tanaman kemiri memiliki musim berbuah yang sama secara keseluruhan, ada yang berbuah di luar musim berbuah biasanya. (a) berbunga Gambar 8 Pohon kemiri sedang berbunga dan berbuah. (b) berbuah Pemanenan buah dilakukan dengan cara menunggu buah jatuh ke tanah. Tidak ada kegiatan pengambilan buah secara sengaja, karena hal ini berhubungan dengan tingkat kematangan buah yang akan diperoleh. Buah yang dipanen adalah buah yang sudah jatuh ke tanah, kemudian dikumpulkan, dikupas dari daging buah dan diangkut ke rumah. Pengangkutan kemiri sangat sulit dilakukan karena berat dan jarak tempuh dari ladang ke rumah. Masyarakat mengatakan bahwa jika membawa kemiri dengan cara menjujung di atas kepala seperti membawa batu. Sehingga, saat ini dilakukan dengan menggunakan sepeda motor yang disebut dengan sistem langsir. Pengangkutan bagi petani yang memiliki sepeda motor

75 54 tidak ada masalah, tetapi bagi petani yang tidak memiliki sepeda motor, hal ini menjadi biaya pengeluaran. Sebelum kemiri dikupas, dilakukan penjemuran selama 3-4 hari bila cuaca cerah atau 5-6 hari bila cuaca tidak cerah. Masyarakat umumnya menjual kemiri yang dimilikinya dengan mengupas terlebih dahulu (biji kupasan) karena berhubungan dengan harga jual yang lebih tinggi. Ada juga yang menjual kemiri tanpa dikupas dengan alasan memenuhi kebutuhan mendesak seperti membeli beras. Harga jual kemiri kupasan pada saat penelitian berkisar antara Rp sampai Rp per kg, sedangkan harga biji kemiri yang tidak dikupas adalah Rp6.000 sampai Rp8.000 per tumba (1 tumba=2 liter). (a) Kemiri di jemur (b) kemiri kering (c) Pengupasan kemiri Gambar 9 Proses pengupasan kemiri. (d) Kemiri setelah dikupas Untuk melakukan pemasaran hasil, masyarakat tidak mengalami kesulitan karena hampir di semua desa ada pembeli lokal (toke) dan ada juga pedagang pengumpul yang datang dari luar desa. Harga di pasar dengan harga di rumah

76 55 adalah sama. Karena itu, masyarakat tidak mengalami kesulitan dalam pemasaran dan tidak ada biaya yang keluar. Selain buah, kulit biji kemiri juga sudah laku dijual dengan harga Rp sampai Rp per karung (ukuran karung urea). Kulit biji kemiri mulai laku dijual sejak tahun 2009 yang digunakan untuk industri-industri yang menggunakan pengering (dryer) dalam bentuk tungku yang membutuhkan bahan baku kayu bakar. Sejak kesulitan dalam menemukan bahan bakar kayu, banyak industri-industri yang beralih menggunakan kulit kemiri karena bara api yang lebih tahan lama. (a) Kulit kemiri (cangkang) (b) Pengangkutan kulit kemiri Gambar 10 Pengangkutan kulit kemiri yang dijual ke industri di Medan. Setelah melakukan rangkaian pengumpulan data primer, data sekunder dan juga melakukan kunjungan lapangan, wawancara dan diskusi dengan masyarakat, tokoh masyarakat dan pihak terkait, adapun hasil penelitian yang diperoleh untuk menjawab tujuan penelitian dapat dilihat pada pembahasan berikutnya. 5.2 Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Mengelola Kemiri Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat mengelola tanaman kemiri, dilakukan analisis dengan model regressi logistik. Adapun variabel bebas yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk mengelola tanaman kemiri adalah umur petani

77 56 (tahun), lama tinggal di desa (tahun), luas lahan yang dikelola (ha), pekerjaan sampingan (ada atau tidak ada), status kepemilikan lahan (belum bersertifikat/sudah bersertifikat), jumlah anak sekolah (orang), jumlah anggota keluarga produktif (orang), jumlah tanggungan dalam keluarga (orang), jumlah pendapatan per bulan (Rp/bulan), asal usul tanah (beli/warisan/garap sendiri), kondisi jalan atau aksesibilitas ke ladang (mudah atau sulit), pekerjaan utama (petani/non petani), pengalaman bertani (tahun), jarak dari rumah ke ladang (meter), status lahan yang dipakai (sewa/milik), tingkat pendidikan sekolah (tidak sekolah, SD/SR, SLTP, SMU, Sarjana) dan jumlah anak yang sekolah di luar daerah (orang). Tabel 23 Hasil estimasi menggunakan regressi logistic Peubah B Sig Exp (B) Konstanta -7,815 0,015 0,000 Umur petani (X1) 0,087 0,027 * 1,091 Luas lahan (X3) 0,955 0,001 * 2,600 Pendapatan per bulan (X9(3)) -2,315 0,040 * 0,099 Asal usul tanah (X10(2)) 3,213 0,038 * 24,843 Aksesibilitas ke ladang (X11(1)) -1,411 0,054 ** 0,244 Keterangan : *= signifikan pada taraf nyata 5%, **=signifikan pada taraf nyata 10% Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani mengambil keputusan untuk mengelola tanaman kemiri dapat dilihat pada Tabel 23. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 17 faktor yang diduga mempengaruhi seorang untuk mengelola tanaman kemiri, hanya 4 faktor yang signifikan pada taraf nyata 5%, yaitu umur petani, luas lahan, pendapatan per bulan dan asal usul tanah serta 1 faktor yang signifikan pada taraf nyata 10%, yaitu aksesibilitas ke ladang. Adapun model regressi logistik yang diperoleh adalah Ln(p/1-p) =-7,815+ 0,087 umur petani + 0,955 luas lahan - 2,315 pendapatan per bulan + 3,213 asal usul tanah 1,411 aksesibilitas ke ladang Untuk menilai kelayakan model dalam memprediksi, digunakan uji Chi Square Hosmer dan Lemshow. Adapun hipotesis yang digunakan adalah

78 57 H 0 = Tidak ada perbedaan antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati H 1 = Ada perbedaan antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati Hasil pengujian yang diperoleh adalah nilai Chi Square sebesar 3,679 dan nilai Sig sebesar 0,885. Hal ini menunjukkan bahwa nilai Sig lebih besar dari α sebesar 0,1 sehingga kesimpulannya adalah menerima H 0, artinya tidak ada perbedaan antara klasifikasi yang diprediksi dengan klasifikasi yang diamati sehingga model regressi logistik bisa digunakan untuk analisis selanjutnya. Untuk melihat keakuratan model regressi logistik, dapat dilihat dari count-r 2, Nagelkerke-R 2 dan Cox & Snell R 2. Untuk mengetahui count-r 2 dapat dilihat pada clasification table (Bock 1:Metode = Enter), dimana banyaknya prediksi pengamatan yang benar sebanyak 101 dan jumlah pengamatan keseluruhan 126 sehingga count-r 2 = 101/126 = 0,802. Hal ini menunjukkan bahwa keakuratan model regressi logistik dapat dikatakan tinggi sebesar 80,2% dan model tersebut dapat digunakan untuk mengalokasikan responden yang mengelola dan yang tidak mengelola kemiri. Nilai berdasarkan Nagelkerke-R 2 mengindikasikan bahwa peluang mengelola kemiri dapat diterangkan oleh variabel umur, luas lahan, pendapatan per bulan, asal usul lahan dan aksesibilitas ke ladang sebesar 54.4% sedangkan menurut Cox & Snell-R 2 sebesar 40.8%. Berikut ini adalah analisis faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat mengelola kemiri, yaitu umur petani, luas lahan, pendapatan per bulan, asal usul tanah dan aksesibilitas ke ladang. a. Faktor umur petani Umur merupakan faktor yang mempengaruhi kekuatan fisik, cara berpikir dan bertindak seseorang. Seorang petani yang berumur muda akan mempunyai tubuh atau fisik yang kuat dan cenderung mudah menerima dan mempraktekkan teknik baru dalam bertani. Pada kondisi ini, seorang petani muda akan lebih memilih jenis tanaman yang cepat menghasilkan walaupun membutuhkan waktu dan tenaga yang besar untuk mengelolanya. Ichwandi (2001) menyebutkan bahwa usia produktif menunjukkan tersedianya sumber

79 58 tenaga kerja yang baik, karena umur produktif akan lebih mudah menerima perubahan, ide-ide dan inovasi. Sementara itu, seorang petani yang sudah berumur tua, mempunyai pengalaman lebih banyak, lebih matang, tetapi memiliki kekuatan fisik yang cenderung menurun dan lebih berani mempraktekkan teknik bertani yang lama yang sudah pernah dialami sebelumnya. Akibatnya, petani yang berumur tua cenderung menanam tanaman yang tidak memerlukan intensitas tinggi ke ladang tetapi tetap dapat memberikan hasil yang dapat diperoleh setiap saat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa umur petani mempunyai nilai koefisien positif dengan nilai odd ratio 1,091. Setiap penambahan 1 tahun umur responden, peluang seseorang untuk mengelola kemiri adalah 1,091 kalinya dibanding peluang seseorang tidak mengelola kemiri, ceteris paribus. Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa kelompok umur petani kemiri lebih banyak di atas 50 tahun yaitu 41 responden (65,08%) dibandingkan kelompok umur petani non kemiri yaitu 20 responden (31,75%). Hal ini menunjukkan bahwa petani yang menanam serta mempertahankan mengelola kemiri adalah yang sudah memasuki usia tua atau sudah mulai tidak produktif. Hardono dan Saliem (2006) dalam penelitiannya tentang peluang masyarakat melakukan diversifikasi usaha, menyebutkan bahwa semakin tua umur KK kecenderungan melakukan diversifikasi usaha semakin berkurang. Hal ini disebutnya wajar karena mengingat dalam melakukan diversifikasi usaha membutuhkan dukungan kondisi jasmani yang sehat, sehingga diversifikasi usaha pada rumah tangga yang KK-nya masih produktif cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga dengan KK yang sudah tidak produktif. Jika hal ini dihubungkan dengan peluang menanam dan mengelola kemiri, seseorang yang semakin tua umurnya maka kemampuan fisiknya akan berkurang (sudah mulai tidak produktif) akan lebih berpeluang menanam dan mengelola kemiri, karena tidak memerlukan waktu dan tenaga yang besar dalam pengelolaannya.

80 59 b. Faktor luas lahan Luas lahan yang dimiliki oleh seseorang akan mempengaruhi jenis usaha yang akan dilakukannya pada lahan tersebut. Semakin luas lahan yang dimiliki oleh seseorang, maka ada kemungkinan untuk menanam lebih dari satu jenis tanaman. Pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa responden petani kemiri memiliki luas lahan yang cukup besar. Terdapat 41 responden (65,01%) petani kemiri memiliki luas lahan di atas 2 ha, sedangkan 41 responden (65,01%) petani non kemiri memiliki luas lahan rata-rata di bawah 2 ha. Rata-rata luas kepemilikan lahan petani non kemiri adalah 1,54 ha, lebih kecil dibanding dengan rata-rata luas kepemilikan lahan petani kemiri yaitu 2,67 ha. Hasil ini menunjukkan bahwa pemilik lahan yang luas akan cenderung menanam jenis tanaman kemiri disamping jenis tanaman lain seperti pola agroforestry atau tanaman campuran. Alasan lain, mengapa pemilik lahan yang lebih luas menanam kemiri adalah karena sebagian besar responden yang diwawancarai adalah petani yang memiliki lahan pada daerah yang curam sampai terjal dengan tingkat kelerengan di atas 25 0, dimana lahan ini umumnya tidak cocok untuk ditanami tanaman pertanian. Dari hasil pengolahan data diperoleh bahwa luas lahan berpengaruh nyata terhadap pengambilan keputusan untuk mengelola kemiri dengan nilai koefisien positif dan dengan nilai odd ratio 2,600. Setiap peningkatan luas lahan 1 hektar, peluang seseorang untuk mengelola kemiri adalah 2,600 kalinya dibanding peluang seseorang tidak menanam kemiri, ceteris paribus. Sumaryanto (2006) dalam penelitiannya tentang faktor yang mempengaruhi keputusan melakukan diversifikasi, menyebutkan bahwa faktor luas lahan tidak berpengaruh nyata dalam menjelaskan diversifikasi usahatani, artinya rata-rata luas kepemilikan lahan tidak menjadi kendala dalam melakukan diversifikasi usahatani. Hasil ini berbeda dengan hasil analisis di atas yang menyebutkan bahwa luas lahan signifikan dalam menjelaskan peluang untuk mengelola kemiri, ini terjadi karena masyarakat yang menanam dan mengelola kemiri pada lahan miliknya adalah masyarakat yang memiliki lahan pada kondisi topografi yang curam dan terjal. Masyarakat mengatakan bahwa tidak memiliki pilihan lain selain menanam

81 60 kemiri karena hanya kemiri yang bisa ditanam dan dapat mendatangkan penghasilan bagi mereka. Apabila menanam tanaman pertanian, biaya usaha besar, bahaya erosi dan longsor serta resiko tanaman dimakan oleh hama (monyet dan babi hutan). Jika kondisi lapangan datar, ada kemungkinan masyarakat bisa beralih menanam tanaman lain yang dapat mendatangkan penghasilan besar. c. Faktor pendapatan per bulan Besar kecilnya pendapatan petani mempengaruhi keputusan apa yang akan dikerjakan dan jenis usaha yang akan dilakukannya pada sebidang lahan yang dimilikinya. Bila pendapatan petani cukup besar, kemungkinan petani tersebut akan memilih menanam tanaman yang mendatangkan hasil yang banyak walaupun dengan resiko harus mengeluarkan modal yang cukup besar. Andayani (2002) menyebutkan, pemilik lahan yang berlatar belakang sosial ekonominya cukup mampu akan memilih jenis usaha yang memiliki nilai komersial tinggi pada lahan miliknya dan pada pemilik lahan yang kurang mampu, pemilihan jenis terkendala oleh faktor ekonomi tersebut. Pada faktor ini, pendapatan petani per bulan dikategorikan menjadi 4 kelompok, yaitu: pendapatan rendah, pendapatan sedang, pendapatan tinggi dan pendapatan sangat tinggi. Pengelompokkan data dilakukan untuk memudahkan analisis data yang akan diolah. Bila angka pendapatan digunakan secara langsung, akan menimbulkan kesenjangan (gap) pada hasil yang diperoleh karena angka yang digunakan sangat besar. Dari hasil pengolahan data diperoleh, petani dengan pendapatan per bulan sangat tinggi berpengaruh nyata terhadap pengambilan keputusan untuk menanam kemiri dengan nilai odd ratio 0,099, tetapi memiliki nilai koefisien yang negatif. Peluang seseorang yang memiliki pendapatan sangat tinggi untuk mengelola kemiri adalah 0,099 kalinya dibanding dari seseorang yang pendapatannya rendah, atau peluang seseorang yang berpendapatan rendah untuk mengelola kemiri adalah 10,10 (1/0,099) kalinya dibanding dari seseorang yang berpendapatan sangat tinggi, ceteris paribus. Hasil akhir ini menunjukkan bahwa petani dengan penghasilan yang rendah akan cenderung lebih memilih menanam kemiri, ini terjadi karena berhubungan dengan

82 61 modal usaha yang tidak besar dalam mengelolanya, khususnya dalam kegiatan penanaman dan pemeliharannya. Hal ini didukung oleh Andayani (2002) yang menyebutkan bahwa pemilihan jenis usaha pada sebidang lahan akan terkendala oleh faktor ekonomi. Hardjanto (2003) menyebutkan bahwa pemilik kayu rakyat (yang mengusahakan hutan rakyat) umumnya adalah petani miskin dengan modal yang sangat terbatas, karena biaya pengelolaan kayu rakyat hampir tidak ada dan tenaga kerja yang digunakan untuk pemeliharaan kayu rakyat dapat dikerjakan oleh anggota keluarga. Suharjito (2002) menyebutkan salah satu alasan mengapa masyarakat memilih menanam jenis tertentu pada kebun talun adalah mudah memelihara. Hal ini merujuk pada orientasi hemat input produksi (tenaga kerja, pupuk dan obatobatan) dan pengelolaannya kurang intensif. Hasil dari analisis yang diperoleh berbeda dengan hasil penelitian Hardono dan Saliem (2006) dan penelitian Fatmawati (2011). Hardono dan Saliem (2006) dalam penelitiannya tentang diversifikasi pendapatan rumah tangga menyebutkan bahwa peluang diversifikasi usaha lebih tinggi pada rumah tangga yang sumber pendapatannya terbatas, akibatnya diversifikasi usaha menjadi suatu kebutuhan atau suatu strategi mempertahankan kesejahteraan (livelihood strategy) hidupnya. Fatmawati (2011) juga menyebutkan bahwa faktor pendapatan yang semakin tinggi akan memberi peluang yang lebih besar kepada masyarakat untuk memiliki (menanam) cendana. Hal ini disebabkan karena pendapatan dari cendana sangat besar dan berhubungan dengan biaya pemeliharaan yang intensif dan modal usaha untuk menanam cendana. Kedua hasil penelitian di atas berbeda dengan hasil yang diperoleh dari pengolahan data, karena peluang menanam kemiri lebih besar pada seseorang yang berpenghasilan lebih rendah. Seseorang yang berpenghasilan rendah akan berjuang mendapatkan penghasilan yang lebih besar dengan menanam tanaman yang lebih mudah dikelola, lebih cepat mendatangkan penghasilan dan tidak memerlukan modal yang tinggi. Tetapi, dalam hal ini masyarakat dengan penghasilan lebih rendah lebih memilih menanam kemiri karena petani berpenghasilan rendah sudah merasakan manfaat dari tanaman kemiri

83 62 sehingga cenderung lebih memilih untuk tetap mempertahankannya daripada mengganti tanaman lain yang belum tentu mendapatkan keuntungan yang besar dan lebih berpeluang untuk mencari penghasilan sampingan dari sumber lain karena tanaman kemiri tidak memerlukan pengelolaan yang intensif. Sehingga alasan mengapa masyarakat yang berpendapatan rendah menanam kemiri adalah karena biaya usaha yang tidak besar. d. Faktor asal usul tanah Ichwandi (2001) menyebutkan hak kepemilikan lahan di Kabupaten Maros diperoleh melalui jalur warisan, pembelian dan membuka lahan sendiri. Hal ini juga berlangsung di Kecamatan Tanah Pinem. Asal usul kepemilikan lahan biasanya berhubungan dengan jenis tanaman apa yang sebelumnya dikelola pada lahan tersebut. Seseorang yang membeli lahan, akan mengambil keputusan untuk tetap mempertahankan tanaman yang ada diatasnya atau mengganti dengan jenis tanaman baru. Bila warisan, maka biasanya akan mempertahankan jenis tanaman yang ada. Suharjito (2002) menyebutkan bahwa salah satu alasan masyarakat Desa Buniwangi- Sukabumi memilih jenis tanaman yang diusahakan pada kebun talun adalah warisan dari orang tua. Hal yang sama juga terjadi pada pewarisan repong damar di Pesisir Krui-Lampung (Wijayanto 2002). Sedangkan bila tanah tersebut berasal dari hasil garapan, apalagi lahan tersebut adalah kawasan hutan, maka jenis tanaman yang akan ditanam adalah jenis tanaman yang mendatangkan manfaat bagi petani yang bersangkutan dan jenis yang dipilih berdasarkan jenis tanaman yang ada disekitarnya. Jenis tanaman yang dipilih biasanya adalah jenis tanaman keras yang menghasilkan, memiliki daya tahan yang cukup tinggi, tidak dimakan hama seperti monyet ataupun babi hutan. Beberapa responden yang membuka hutan menyatakan bahwa mereka lebih memilih jenis tanaman kayu-kayuan karena bisa ditinggal dalam waktu lama. Hasil analisis menunjukkan bahwa asal usul lahan mempunyai nilai koefisien positif dengan nilai odd rasio 24,843. Peluang seseorang yang memiliki lahan hasil garapan sendiri dari lahan hutan untuk mengelola kemiri adalah 24,843 kalinya dari seseorang yang memiliki lahan dari hasil

84 63 membeli, ceteris paribus. Kecenderungan orang yang membuka hutan untuk digarap sendiri akan memilih menanam dan mengelola kemiri dibanding dengan orang yang membeli lahan ataupun yang memperolehnya dari warisan. Yusran (2005) menyebutkan bahwa status lahan kemiri yang dikelola masyarakat di Kawasan Pegunungan Bulusaruang terdiri dari tanah milik, tanah negara dan hutan negara, yang akan berpengaruh pada performansi hutan kemiri rakyat. Semakin kuat status lahan yang dikelola maka semakin intensif pengelolaannya dan menjamin kelestariannya. Sementara di Kecamatan Tanah Pinem, pengelolaan lahan kemiri belum secara intensif, khususnya pada lahan hutan karena berhubungan dengan status lahan yang berhubungan dengan tingkat resiko kerugian yang akan dihadapi bila sewaktu-waktu ada larangan memasuki kawasan hutan. e. Faktor aksesibilitas ke ladang Tingkat kesulitan ataupun kemudahan menjangkau suatu ladang, akan mempengaruhi jenis tanaman apa yang akan ditanam. Semakin dekat ladang dan semakin mudah menjangkaunya dengan sarana transportasi seperti sepeda motor, maka jenis tanaman yang akan ditanam adalah jenis tanaman yang cepat mendatangkan hasil, sedangkan semakin jauh ladangnya dan semakin sulit menjangkaunya dengan sarana transportasi maka akan lebih memilih menanam jenis tanaman tahunan. Keputusan menanam jenis tanaman pertanian atau tanaman tahunan sangat berhubungan dengan jarak tempuh dan tingkat kesulitan menjangkaunya. Hal ini berhubungan dengan intensitas seseorang pergi ke ladang dan tingkat kemudahan dalam pengangkutan sarana dan prasarana produksi serta hasil. Hasil analisis menunjukkan bahwa aksesibilitas ke ladang mempunyai nilai koefisien negatif dengan nilai odd ratio 0,244. Peluang seseorang untuk mengelola kemiri pada lahan yang memiliki aksesibilitas ke ladang lebih mudah adalah sebesar 0,244 kalinya dibanding dari seseorang yang memiliki aksesibilitas ke ladang sulit, atau peluang seseorang untuk mengelola kemiri pada lahan yang memiliki aksesibilitas ke ladang sulit adalah 4,09 (1/0,244) kali daripada yang memiliki aksesibilitas ke ladang mudah, ceteris paribus.

85 64 Dari kelima faktor yang signifikan mempengaruhi petani mengelola kemiri, faktor yang paling besar memberi pengaruh adalah asal usul tanah khususnya tanah yang berasal dari lahan garapan karena memiliki nilai koefisien yang besar (3,213) yang menyebabkan nilai odd ratio juga besar (24,843). Semua masyarakat yang memiliki lahan hasil garapan dari hutan memilih jenis kemiri sebagai tanaman yang ditanam karena dapat memberikan pendapatan bagi petani. Hiola (2011) menyebutkan bahwa status penguasaan lahan akan mempengaruhi masyarakat untuk menanam jenis tanaman tertentu pada lahan miliknya. Jenis kemiri merupakan jenis tanaman yang banyak ditanam masyarakat pada kawasan hutan (tanah negara) karena menanam kemiri pada tanah negara tidak menjadi ancaman bagi petani. Pemilihan jenis tanaman yang ditanam pada lahan milik akan dipengaruhi oleh adanya rasa aman untuk menanam dan mendapatkan hasil dari tanaman tersebut tanpa ada rasa takut atau ancaman jika sewaktu-waktu ada peraturan dari pemerintah yang berhubungan dengan status lahan yang belum jelas (khususnya pada kawasan hutan). Faktor yang berpengaruh kepada petani untuk mengelola kemiri pada urutan kedua adalah pendapatan petani perbulan khususnya petani yang memiliki pendapatan perbulan yang rendah (<1,5 juta per bulan). Hal ini terjadi karena petani dengan pendapatan yang rendah akan memiliki keterbatasan modal dalam mengembangkan usaha yang akan dilakukannya. Faktor ketiga yang berpengaruh adalah faktor aksesibilitas ke ladang yang sulit dijangkau, intensitas kunjungan dan ancaman bahaya serangan hama (monyet dan babi hutan) akan berkurang bila menanam jenis tanaman keras seperti jenis kayu-kayuan. Faktor keempat yang berpengaruh adalah luas kepemilikan lahan yang masih cukup lebar. Umumnya masyarakat yang mengelola kemiri adalah masyarakat yang memiliki lahan yang berada pada lahan-lahan miring dengan luas lahan yang cukup lebar. Pilihan menanam kemiri menjadi pilihan yang utama karena cocok ditanam pada lahan miring, hasilnya dapat dijual secara berkelanjutan dan menjadi sumber pendapatan bagi petani. Bila beralih menanam tanaman lain (pertanian), akan memerlukan biaya usaha yang besar dan adanya resiko yang terjadi seperti erosi dan tanah longsor.

86 65 Faktor yang mempengaruhi petani mengelola kemiri dengan nilai yang lebih kecil adalah faktor umur petani. Walaupun faktor umur petani memiliki nilai odd ratio yang kecil tetapi faktor ini menjadi alasan beberapa petani yang sudah mulai kurang produktif untuk memilih menanam serta mempertahankan tanaman kemiri pada lahan miliknya karena kekuatan petani dalam mengelola lahan sudah mulai berkurang sehingga pengelolaannyapun nantinya akan menjadi tidak intensif dan disisi lain ada jaminan pendapatan yang masih dapat diperoleh dari tanaman tersebut secara berkelanjutan. Faktor-faktor yang tidak berpengaruh dalam menjelaskan peluang masyarakat menanam kemiri adalah lama tinggal di desa, pekerjaan utama dan sampingan, status kepemilikan lahan, jumlah anak sekolah di desa dan di luar daerah, jumlah anggota keluarga produktif, jumlah tanggungan dalam keluarga, pengalaman bertani, jarak dari rumah ke ladang, status lahan yang dipakai dan tingkat pendidikan. Berikut ini adalah penjelasan mengapa faktor-faktor tersebut di atas tidak berpengaruh. a. Lama tinggal di desa Faktor lama tinggal di desa akan berpengaruh pada pengalaman seseorang dalam menganalisa berbagai jenis tanaman yang berkembang dalam lingkungan masyarakat sekitarnya. Pola perubahan penggunaan lahan dan besar kecilnya produktivitas yang diperoleh akan mempengaruhi seseorang untuk memilih menanam jenis tanaman tertentu. Pada masa kejayaan kemiri, kemiri merupakan sumber penghasilan utama masyarakat dan tanaman kemiri hampir ditanam semua masyarakat. Tetapi, pada saat hasil dan produksi menurun, maka ada keinginan beralih pada jenis tanaman lain yang bisa menjadi andalan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Peralihan ini terjadi karena berbagai alasan, salah satunya adalah pengalaman masyarakat lain disekitarnya yang sudah menanam cokelat dan jagung. Sekitar tahun 2005, masyarakat pelahan-lahan mulai menebang kemiri dan beralih menanam tanaman cokelat dan jagung. b. Pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan Faktor ini berhubungan dengan kesempatan melakukan kegiatan pada lahan miliknya. Seseorang yang memiliki pekerjaan utama bukan petani akan

87 66 berpeluang lebih besar menanam kemiri karena waktu yang dimilikinya akan lebih banyak dalam pekerjaan utamanya. Responden yang memiliki pekerjaan utama bukan petani, akan cenderung mempekerjaan orang lain untuk mengelola lahan miliknya. Sementara seseorang petani yang memiliki pekerjaan sampingan, kemungkinan memberi peluang menanam kemiri juga semakin besar, seperti pedagang, sopir dan buruh bangunan. Ternyata, hasil pengolahan data menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki pekerjaan utama sebagai petani dan ada atau tidaknya pekerjaan sampingan tidak berpengaruh nyata dalam menentukan keputusan untuk menanam kemiri. c. Status kepemilikan lahan Status lahan bersertifikat dan belum bersertifikat tidak berpengaruh dalam mendorong masyarakat untuk menanam kemiri. Hal ini menunjukkan bahwa kepemilikan sertifikat tidak akan mempengaruhi seseorang untuk menanam atau tidak menanam kemiri. Petani kemiri yang tidak memiliki sertifikat 85,71% dan petani non kemiri yang tidak bersertifikat 66,67%. Ini menunjukkan bahwa apapun status lahan, masyarakat bebas menentukan untuk menanam kemiri dan non kemiri. Faktor status lahan milik atau lahan sewa juga tidak berpengaruh dalam menjelaskan peluang menanam kemiri. Adanya masyarakat yang menyewakan lahan yang ditanami kemiri menunjukkan bahwa jenis tanaman apapun yang ada pada sebidang lahan tidak mempengaruhi seseorang untuk menyewa lahan sepanjang usaha tersebut memberikan pendapatan bagi penyewa. Masyarakat yang menyewa kemiri hanya bersifat memungut hasil, menjaga dan tidak untuk mengganti tanaman kemiri. Hal ini didukung dengan penelitian Sumaryanto (2006) bahwa sikap petani pemilik dan penyewa tidak berbeda dalam menentukan pola tanaman pada lahan miliknya. Hal ini menunjukkan bahwa faktor status kepemilikan lahan dan penguasaan lahan tidak mempengaruhi masyarakat untuk menanam kemiri. d. Jumlah anggota keluarga Hal ini berhubungan dengan jumlah anak sekolah, jumlah anggota keluarga produktif dan jumlah anak sekolah di luar daerah. Dalam melakukan usaha tani, idealnya semakin banyak anggota keluarga maka semakin banyak

88 67 tenaga kerja yang berperan dalam kegiatan usaha taninya. Ternyata pada hasil pengolahan data menunjukkan bahwa besar kecilnya jumlah anggota keluarga tidak berpengaruh dalam menentukan untuk menanam kemiri pada lahan milik masyarakat. Jumlah anggota keluarga yang besar belum tentu keseluruhannya berperan dalam melakukan kegiatan pertanian. Ini terjadi karena anggota keluarga terdiri dari anak-anak yang masih bersekolah, ada anggota keluarga yang bersekolah di luar daerah dan ada tanggungan yang sudah berusia lanjut (tidak produktif). Hal ini berbeda dengan Sumaryanto (2006) yang menyebutkan bahwa jumlah anggota keluarga akan berperan dalam melakukan diversifikasi usaha. Perbedaan ini bisa terjadi karena usaha tanaman pertanian memerlukan jumlah tenaga kerja yang lebih banyak karena pengelolaannya yang lebih intensif sedangkan dalam mengelola tanaman kemiri kurang intensif. e. Pengalaman bertani Pada hasil pengolahan data diketahui bahwa pengalaman bertani responden tidak berpengaruh dalam memilih untuk mengelola kemiri. Ichwandi (2001) menyebutkan bahwa pengalaman dalam usaha tani dapat menunjukkan tersedianya tenaga kerja yang telah mempunyai keterampilan awal yang cukup memadai. Hal ini bertolak belakang dengan hasil penelitian karena adanya berbagai latar belakang yang dialami oleh petani kemiri, seperti harga kemiri yang tidak mendukung, perolehan hasil yang semakin berkurang, masalah hama dan penyakit, pengangkutan yang sulit serta pengolahan hasil (pengupasan). Latar belakang inilah yang menjadi salah satu kendala dalam pengembangan tanaman kemiri pada lahan milik. Akibatnya, beberapa petani mulai melakukan konversi lahan menjadi lahan pertanian, baik pada lahan datar maupun pada lahan yang miring. f. Jarak dari rumah ke ladang Untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam pada lahan masyarakat, dipengaruhi oleh jarak dari rumah ke ladang. Jenis tanaman kayu-kayuan akan lebih cenderung ditanam masyarakat pada lahan miliknya yang jaraknya sangat jauh dari rumah karena berhubungan dengan intensitas kunjungan yang lebih sedikit dan dapat ditinggalkan dalam waktu yang lama.

89 68 Tetapi pada penelitian ini, faktor jarak dari rumah ke ladang tidak berpengaruh pada peluang untuk menanam kemiri. Penyebabnya adalah karena hampir sebagian besar lahan masyarakat berada pada kondisi topografi yang curam dan terjal dan berada disekitar lingkungan masyarakat. Tanaman kemiri yang ditanam pada lahan yang jauh adalah lahan-lahan hasil garapan yang merupakan lahan hutan yang jaraknya cukup jauh dari rumah masyarakat. Hasil berbeda dengan penelitian Fatmawati (2011) yang menyebutkan bahwa jarak akan mempengaruhi peluang masyarakat menanam cendana. Semakin dekat jarak dari rumah, peluang menanam cendana akan semakin besar, karena menanam cendana dekat rumah akan lebih aman dari pencurian, bahaya kebakaran, pengembalaan liar dan penebangan illegal. Untuk menanam jenis tanaman kayu komersil yang memiliki nilai jual tinggi memang lebih baik ditanam pada lahan yang dekat dengan rumah penduduk. g. Tingkat pendidikan sekolah Pendidikan akan mempengaruhi pengambilan keputusan petani. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak mempengaruhi masyarakat menanam kemiri. Hal ini didukung oleh Sumaryanto (2006) yang menyebutkan bahwa faktor pendidikan tidak mempengaruhi petani melakukan diversifikasi usaha. Hardjanto (2003) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan petani umumnya sangat terbatas (rendah), yang berdampak pada keterbatasan pengetahuan. Akibatnya untuk memulai suatu yang baru akan memakan waktu yang lama, seperti penggunaan teknologi pertanian. Silamon (2011) menyatakan bahwa tingkat pendidikan memiliki kecenderungan hubungan berbanding terbalik dengan keputusan mengusahakan hutan rakyat, dimana semakin tinggi pendidikan maka semakin kecil peluang untuk mengusahakan hutan rakyat atau petani dengan pendidikan yang semakin rendah akan semakin besar peluangnya untuk mengusahakan hutan rakyat. Pada akhirnya, faktor pendidikan yang rendah menyebabkan petani memilih menanam jenis tanaman yang tidak intensif karena dilatarbelakangi oleh pengetahuan yang terbatas.

90 69 Hasil analisis faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi masyarakat mengelola kemiri menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengembangkan kegiatan hutan rakyat dengan jenis tanaman kemiri yaitu pada lahan masyarakat yang diperoleh dari membuka hutan, pendapatan masyarakat khususnya pada masyarakat yang berpenghasilan rendah, lahan-lahan masyarakat yang sulit dijangkau, luas kepemilikan lahan khususnya pada masyarakat yang memiliki lahan yang berada pada lahan miring (curam dan terjal) dan kelompok masyarakat yang kurang produktif. 5.3 Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Kemiri Rakyat Untuk melakukan analisis keberlanjutan pengelolaan kemiri diketahui dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Aspek yang digunakan dalam analisis ini merupakan kombinasi yang sudah dimodifikasi sesuai kebutuhan analisis keberlanjutan pengelolaan untuk jenis tanaman hasil hutan bukan kayu berdasarkan pendekatan indikator LEI (2001), Davis et al. (2001) dan Dephut et al. (1997). Selanjutnya adalah hasil penilaian terhadap masing-masing indikator Aspek Ekologi Hasil penilaian setiap indikator dari aspek ekologi adalah yang bernilai Baik sebanyak 3 (30%); yang bernilai Cukup sebanyak 7 (70%); dan yang bernilai Jelek tidak ada. Adapun penjelasan setiap indikator adalah sebagai berikut: Tabel 24 Hasil penilaian aspek ekologi pada pengelolaan tanaman kemiri No Indikator Penilaian Keterangan 1 Erosi B 2 Produksi lahan C 3 Karakteristik air B 4 Kualitas air C 5 Cara mengambil manfaat B 6 Pengendalian hama dan penyakit C 7 Adanya gangguan (kebakaran, hama & penyakit, banjir, C tanah longsor, dll) 8 Struktur tegakan C 9 Penutupan lahan C 10 Konservasi tanah C Keterangan : B= Baik, C= Cukup

91 70 1 Erosi tanah Erosi adalah peristiwa terangkutnya partikel tanah oleh air ke tempat yang lebih rendah. Peristiwa erosi merupakan hal alami yang tidak dapat dihindarkan dan erosi alami tidak akan menimbulkan kerusakan. Erosi yang menimbulkan kerusakan adalah erosi yang mengangkut partikel tanah dalam jumlah yang sangat besar dan menyebabkan terkikisnya lapisan solum tanah, yang pada akhirnya menimbulkan lahan kritis. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya erosi adalah iklim (curah hujan), topografi, pola penggunaan lahan, jenis tanah dan kegiatan/aktivitas manusia. Hutan rakyat adalah salah satu pola yang dapat diadopsi untuk mengatasi erosi, seperti hutan rakyat pola agroforestry. Mahendra (2009) menyebutkan bahwa dengan sistem agroforestry memungkinkan terciptanya multi strata tajuk. Pohon yang dominan akan menempati tajuk paling atas dan tanaman pangan akan menempati strata paling bawah.akar pohon akan berfungsi sebagai spon pengikat air, dapat mengurangi laju infiltrasi dan tajuk dapat mengurangi kerusakan akibat air hujan. Penerapan sistem agroforestry akan meningkatkan konservasi tanah dan air suatu lahan. Haryadi (2006) menyebutkan, hutan rakyat pola campuran berperan dalam mencegah terjadinya erosi karena (1) kerapatan lapisan tajuk, (2) perakaran tanaman yang kuat dan (3) adanya kegiatan pengelolaan lahan. Peran hutan rakyat sengon dengan sistem agroforestry telah membuat masyarakat Desa Pecekelan sadar akan keberadaan hutan rakyat yang dapat memberikan keamanan lingkungan seperti dari aspek konservasi tanah, yaitu berkurangnya tanah longsor oleh run off (Rahayu dan Awang 2003). Tentu hal ini berkaitan dengan tingkat erosi yang dihasilkan hutan rakyat adalah kecil. Lapisan tanah yang ditumbuhi oleh tanaman keras akan berperan dalam mencegah terjadinya erosi. Suripin (2004) menyatakan hutan yang terpelihara dengan baik yang dikombinasikan dengan tanaman penutup tanah (rumput, perdu, semak dan belukar) merupakan pelindung tanah yang ideal dalam mencegah terjadinya erosi. Pengaruh vegetasi dalam memperkecil laju erosi adalah (1) vegetasi mampu menangkap (intersepsi) butir air hujan sehingga energi kinetiknya terserap oleh tanaman dan tidak menghantam langsung pada tanah; (2) tanaman penutup mengurangi energi aliran, meningkatkan kekasaran sehingga

92 71 mengurangi kecepatan aliran permukaan; (3) perakaran tanaman meningkatkan stabilitas tanah dengan meningkatkan kekuatan tanah, granularitas dan porositas; (4) aktivitas biologi yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman memberikan dampak positif pada porositas tanah; dan (5) tanaman mendorong transpirasi air sehingga lapisan tanah atas menjadi kering dan memadatkan lapisan bawahnya. Kecamatan Tanah Pinem adalah kecamatan yang berada di daerah yang cukup berbukit dengan kondisi topografi seperti pada Tabel 10, dengan curah hujan yang cukup tinggi serta kegiatan masyarakat yang umumnya bertani dengan pola penggunaan lahan seperti ladang/huma, kebun/tegalan dan perkebunan. Dengan kondisi di atas, maka segala bentuk aktifitas masyarakat dalam pengelolaan lahan akan berdampak terhadap terjadinya erosi. Dari hasil perhitungan prediksi erosi tanah di Kecamatan Tanah Pinem dengan menggunakan pendekatan dari Universal Soil Loss Equation (USLE) yaitu memprediksi laju erosi rata-rata lahan pada suatu kemiringan lahan dengan pola hujan tertentu untuk setiap jenis tanah dan penerapan pengelolaan lahan, diperoleh data seperti Tabel 25. Tingkat bahaya erosi pada lokasi penelitian berada pada kategori ringan sampai sedang. Hal ini dapat dipengaruhi dari keberadaan hutan yang ada di daerah bertopografi bergelombang sampai terjal, sehingga ada pelindung tanah yang bersifat mencegah terjadinya erosi tanah. Data ini menunjukkan bahwa kondisi lahan masih cukup baik. Tabel 25 Prediksi tingkat bahaya erosi potensial di Kecamatan Tanah Pinem No Tingkat bahaya erosi aktual (ton/ha/tahun) Luas (ha) Persentase (%) 1 Bahaya erosi I (< 15 ton/ha/tahun) ,65 22,87 2 Bahaya erosi II (16 60 ton/ha/tahun) ,46 72,97 3 Bahaya erosi III ( ton/ha/tahun) 57,38 0,13 4 Bahaya erosi IV ( ton/ha/tahun) Bahaya erosi V (>480 ton/ha/tahun) Tidak ada data 1.770,51 4,03 Jumlah , Sumber : BPKH Wilayah 1 Medan (2001) Keberadaan tanaman kemiri, pada lahan-lahan yang bertopografi bergelombang sampai terjal di Kecamatan Tanah Pinem akan berperan dalam menjaga tanah agar terhindar dari erosi dan tanah longsor. Pada lahan-lahan yang

93 72 ditanami tanaman kemiri, tampak bahwa lapisan permukaan tanah dalam kondisi ditumbuhi tumbuhan bawah yang berperan dalam mencegah terjadinya erosi. Pada lahan-lahan yang ditanami tanaman kemiri tidak ada dijumpai penipisan lapisan tanah karena tajuk yang lebat dan lebar serta tumbuhan bawah yang tumbuh rapat berperan melindungi tanah dari pengaruh tumbukan air hujan sehingga tidak menimbulkan erosi. Lain halnya pada lahan-lahan yang ditumbuhi oleh tanaman pertanian berdaur pendek seperti tanaman jagung, tampak adanya erosi alur yang membentuk parit-parit kecil tempat berlalunya air yang mengangkut partikel tanah. Hal ini terjadi karena tidak adanya perlindungan terhadap permukaan tanah pada saat hujan turun. Gambar 11 Tumbuhan bawah pada tegakan kemiri berperan dalam mencegah terjadinya erosi. 2 Produktivitas lahan Produktivitas lahan untuk jenis tanaman kemiri yang ada di Kecamatan Tanah Pinem selama 10 (sepuluh) tahun terakhir disajikan pada Gambar 12. Tampak pada gambar bahwa produktivitas kemiri naik turun seiring dengan naik turunnya luas tanaman kemiri. Produksi kemiri dipengaruhi oleh umur tanaman, yang rata-rata tanaman sudah termasuk pada kategori tidak produktif dan kondisi kesehatan tanaman.

94 Produksi (Ton) Luas (Ha) Sumber : Kecamatan Tanah Pinem ( ) Gambar 12 Luas dan produktivitas kemiri selama 10 tahun terakhir. Untuk perbandingan, pada Tabel 26 dapat dilihat produktivitas empat jenis komoditi utama di Kecamatan Tanah Pinem seperti jagung, padi ladang, cokelat dan kemiri sejak tahun 2005 sampai tahun Produktivitas untuk ke-4 komoditas setiap tahunnya adalah meningkat, walaupun pada tahun tertentu ada yang menurun. Informasi dari kecamatan, rata-rata produktivitas jagung masih sangat rendah yaitu berkisar 6-7 ton/ha. Bila dilakukan pengelolaan lahan yang intensif, maka dapat mencapai hasil yang cukup tinggi yaitu 8 10 ton/ha. Produktivitas kemiri masih cukup besar yaitu antara 0,50 sampai 0,77 ton/ha jika dibandingkan dengan produktivitas kemiri untuk tingkat Indonesia pada tahun 2007 adalah 0,797 ton/ha. Produktivitas tanaman kemiri dari sampel yang diambil rata-ratanya adalah 583,33 kg/ha/tahun, mendekati rata-rata produksi kemiri di Indonesia sebesar 0,5 ton/ha/tahun (Paimin 1994). Tabel 26 Produktivitas 4 jenis komoditi utama tahun 2005 sampai tahun 2009 No Tahun Produktivitas (ton/ha) Jagung Padi Ladang Cokelat Kemiri ,63 2,63 38,85 0, ,33 1,87 0,70 0, ,16 2,30 0,75 0, ,23 2,30 0,93 0, ,63 2,32 1,01 0,77 Sumber : Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka ( )

95 74 Salah satu alasan masyarakat memilih untuk menanam jenis tanaman tertentu pada lahannya adalah sesuai dengan kondisi tanahnya, yang mengarah pada produktivitas lahan dengan harapan hasilnya banyak (Suharjito 2002). Kondisi ini juga dialami oleh masyarakat pada lokasi penelitian, menanam kemiri merupakan tanaman yang menghasilkan bagi masyarakat (khususnya pemilik lahan pada lahan miring) dan produksinya masih ada walaupun produktivitas lahan cenderung menurun. 3 Karakteristik air Kondisi sungai-sungai di lokasi penelitian umumnya mengalir sepanjang tahun. Sungai-sungai di Kecamatan Tanah Pinem umumnya sulit dimanfaatkan oleh masyarakat karena keberadaannya yang berada pada daerah jurang yang dalam dan diantara bebatuan yang curam dan terjal. Untuk kehidupan sehari-hari, masyarakat memanfaatkan sungai-sungai yang mengalir di dekat perkampungan yang bersumber dari kawasan hutan. Mata-mata air mengalir dari bebatuan yang dibagian hulunya terdapat pepohonan, termasuk tanaman kemiri. Hal ini sesuai dengan BPKH (2009) yang menyebutkan bahwa dengan keberadaan hutan rakyat berperan dalam menjamin ketersediaan air lokal. Wijayanto (2002) juga menyebutkan bahwa ada keterpaduan repong damar dengan agro-ekosistem dalam sistem tata air yang akan menjamin ketersediaan air sepanjang tahun. Masyarakat Desa Pecekelan menyatakan bahwa hutan rakyat berperan dalam menjaga keberadaan mata air dan menjamin tidak pernah kering pada musim kemarau (Rahayu dan Awang 2003). Gambar 13 Tegakan pohon (kemiri) berperan menjamin ketersediaan air lokal.

96 75 4 Kualitas air Air merupakan sumberdaya alam yang diperlukan oleh semua mahluk hidup. Salah satu hal yang menjadi perhatian utama dalam penggunaan air adalah kualitas air. Kualitas air adalah istilah yang menggambarkan kesesuaian atau kecocokan air untuk penggunaan tertentu, misalnya untuk air minum, perikanan, pengairan/irigasi, industri dan sebagainya. Mengetahui kualitas air berarti mengetahui kondisi air untuk menjamin keamanan dan kelestarian dalam penggunaannya. Kualitas air dapat dilihat dari parameter kemasaman (ph) air, Biological Oxygen demand (BOD), Chemichal Oxygen Demand (COD), residu terlarut dan temperatur air. Kecamatan Tanah Pinem secara keseluruhan berada di daerah DAS Singkil. Berdasarkan data dari BPDAS Wampu Sei Ular (2009), ph air berkisar antara nilai 6 sampai di bawah 7,5, BOD berkisar kurang dari 0,7 mg/l, COD berkisar pada nilai 3,19 sampai 22,31 mg/l dan residu terlarut (sedimen) bernilai antara 20,75 sampai 444,5 mg/l. Dari hasil tersebut di atas dinyatakan bahwa sungaisungai yang termasuk dalam DAS Singkil secara keseluruhan masih dalam kondisi yang baik sesuai kriteria PP No.82 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Syarat kelas mutu air menurut PP No.82 tahun 2001 adalah ph berkisar 6-9, BOD berkisar 2-12 mg/l, COD berkisar mg/l dan residu terlarut berkisar mg/l. Bila dilihat dari tingkat kejernihan air, maka air yang mengalir pada sungaisungai pada musim kemarau umumnya bersih dan keruh pada musim penghujan. Untuk kehidupan sehari-hari, masyarakat menggunakan sumber mata air dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 5 Cara-cara mengambil manfaat (kayu dan buah) Manfaat yang diambil masyarakat dari tanaman kemiri secara umum adalah buahnya. Cara-cara mengambil manfaat buah yang dilakukan oleh masyarakat masih sederhana, tidak merusak dan ramah lingkungan. Buah yang diambil adalah buah yang jatuh secara alami yang ada di bawah tegakan tanaman kemiri. Pada saat pengambilan manfaat dilakukan pembabatan tanaman bawah untuk pembersihan lahan. Pembabatan dilakukan sebanyak dua kali setahun yaitu sebanyak musim berbuah banyak. Selain dilakukan pembabatan, juga dilakukan

97 76 dengan cara kimia seperti penggunaan round-up. Bahan kimia ini merupakan sejenis racun tanaman yang dapat mematikan tanaman bawah seperti rumput dan alang-alang. Penggunaan round-up sudah sangat banyak digunakan oleh masyarakat karena lebih mudah, praktis dan tidak memerlukan biaya yang besar. Pengambilan manfaat kayu belum banyak dilakukan masyarakat. Pada umumnya masyarakat belum memikirkan untuk menjual kayu kemiri yang sudah tidak produktif. Dari 63 responden petani kemiri yang di wawancarai, hanya 7 responden (11,11%) yang pernah menjual kayu kemiri yang dimilikinya. Tidak semua responden dapat menjual kayu kemiri yang dimilikinya karena tidak mengetahui informasi tentang penjualan kayu kemiri, kondisi tanaman kemiri yang tidak bagus (percabangannya banyak), jumlah kayu yang berdiameter besar dan bulat sangat jarang dan pengaruh jarak lokasi tanaman kemiri dari jalan angkutan. Semakin jauh jarak dari jalan, harga kayu kemiri akan sangat murah dan bahkan tidak laku. Responden yang menjual kayu menyebutkan bahwa kayunya laku dijual karena dekat dengan jalan, sudah berdiameter besar dan kondisi batang lurus dan bulat cukup banyak. Penentuan harga kayu kemiri yang dimiliki oleh masyarakat adalah dengan sistem taksir. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah pohon yang dapat diangkut sesuai kriteria yang diperlukan pembeli, jarak lokasi ke jalan dan semua biaya tebang sampai angkut ditanggung oleh pembeli, sehingga posisi tawar pemilik kayu adalah lemah. Umumnya masyarakat menerima setiap harga yang ditentukan dengan alasan daripada tidak laku. Dalam hal pemasaran kayu kemiri, posisi tawar masyarakat sangat lemah dalam penentuan harga (Sumodiningrat 1999; Hardjanto 2000; Awang et al 2007). Hardjanto (2000) menyebutkan bahwa petani hutan rakyat memiliki posisi tawar yang lebih rendah dibanding tengkulak, industri kecil dan industri besar. Hal ini terjadi karena tengkulak, industri kecil dan besar sudah memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Untuk kegiatan penebangan, penyaradan dan pengangkutan kayu dari lahan masyarakat dilakukan oleh pembeli kayu, akibatnya berdampak pada kekuatan pembeli untuk menentukan harga. Hal ini berdampak pada pendapatan petani yang kecil dan tidak dapat merangsang petani untuk mengembangkan usaha yang sama.

98 77 Masyarakat yang memiliki pohon kemiri yang tidak laku dijual, akan menebangnya dan hanya membiarkan kayunya begitu saja sampai membusuk dan menjadi pupuk bagi tanaman lain yang ditanaminya. Masyarakat kurang tertarik menggunakan kayu kemiri menjadi kayu bakar, karena kurang bagus dalam proses pembakaran, terutama kalau kayunya pernah basah. 6 Pengendalian hama dan penyakit Permasalahan yang dihadapi masyarakat pada umumnya adalah adanya hama dan penyakit. Hama yang pernah terjadi adalah serangan ulat yang memakan daun sehingga meninggalkan kayu kemiri dengan kondisi tidak berdaun (hanya meninggalkan kayu dan ranting). Hal ini terjadi sekitar tahun 1987 sampai tahun 1990-an. Hama ulat ini menyerang semua tanaman kemiri masyarakat hampir di semua desa yang ada di Kecamatan Tanah Pinem. Semua responden yang diwawancarai menyebutkan bahwa mereka tidak dapat melakukan upaya pencegahan, mengingat ulat yang ada sangat banyak dan cukup sulit untuk mengatasinya. Sementara untuk jenis penyakit yang dihadapi oleh masyarakat secara umum adalah gugur buah. Hampir semua responden menyatakan menghadapi permasalahan gugur buah. Buah kemiri akan gugur ketika buah hampir mencapai kondisi setengah tua (hampir masak pohon). Buah yang gugur ini tidak bisa dipanen karena belum membentuk buah kemiri yang bagus (belum menjadi kernel). Permasalahan ini belum bisa diatasi oleh masyarakat dan beberapa hasil penelitian belum mampu menjelaskan penyebab terjadinya gugur buah ini. Permasalahan lain yang dihadapi adalah adanya benalu yang tumbuh pada pohon kemiri yang lama kelamaan makin banyak yang akhirnya mengganggu pertumbuhan tanaman kemiri. Berbagai hama dan penyakit di atas adalah masalah-masalah yang umumnya banyak ditemui pada tanaman kemiri (Sunanto 1994, Paimin 1994 dan Deptan 2006a). Untuk upaya pencegahan dan pengobatan, akan menemui kesulitan karena ukuran tanaman yang tinggi dan membutuhkan biaya untuk membeli obat-obatan. Informasi yang diperoleh dari masyarakat dan penyuluh menyebutkan bahwa beberapa upaya pencegahan terhadap hama dan penyakit yang umum terjadi pada tanaman kemiri adalah dengan melakukan pengasapan

99 78 dari bawah tegakan dengan membakar kayu ataupun belerang dan menebas batang bagian bawah pohon tetapi tidak sampai merusak kayu (hanya sebatas kulit luar saja). Sementara itu, ada juga masyarakat yang mengambil keputusan membiarkan saja atau menebang tanamannya dan beralih ke tanaman lain. 7 Adanya gangguan (kebakaran, hama dan penyakit, banjir, tanah longsor, dan lain-lain) Gangguan terhadap tanaman kemiri dan dampaknya bagi lingkungan sekitar pernah terjadi tetapi tidak sampai menimbulkan kerusakan dan korban jiwa dan korban materi. Gangguan seperti kebakaran hutan dan lahan tidak pernah terjadi. Tetapi gangguan hama dan penyakit pernah terjadi seperti pada poin 6 di atas. Gangguan seperti banjir bandang pernah terjadi di Pamah sekitar tahun Banjir bandang terjadi di daerah alur perlaluan air yang diangkut dari daerah yang tinggi (dataran tinggi) yang melewati Pamah (daerah yang ada di dataran rendah). Sementara tanah longsor terjadi pada lahan-lahan yang bertopografi curam, khususnya di daerah pinggir jalan, pinggir sungai dan pinggir lahan-lahan terjal yang sudah gundul. Tanah longsor yang terjadi masih cukup ringan dan tidak menimbulkan bahaya. Tetapi, menurut pengamatan di lapangan, dengan kondisi topografi yang bergelombang, curah hujan yang tinggi, pola peralihan penggunaan lahan dari tanaman keras menjadi tanaman semusim, bila tidak diantisipasi dengan baik, bisa menimbulkan banjir bandang dan tanah longsor yang lebih besar di tahun-tahun yang akan datang. Deptan (2006b) menyebutkan bahwa pengembangan kemiri dapat memperbaiki kondisi hidro-orologis setempat seperti mengurangi erosi dan banjir, kebakaran, ketersediaan oksigen dan penyerapan CO 2. Gangguan banjir bandang yang terjadi di Pamah dan longsor di beberapa tempat dapat disebabkan karena struktur tegakan kemiri yang sudah mulai rusak oleh peralihatan dari tanaman kemiri menjadi tanaman berumur pendek pada lahan-lahan yang bertopografi curam dan terjal. 8 Struktur tegakan hutan Struktur tegakan kemiri pada lokasi tanaman kemiri yang diamati menunjukkan kondisi yang sangat rapat, masih baik dan utuh serta bermanfaat dalam melindungi lapisan tanah dari erosi dan tanah longsor. Tetapi, dari

100 79 pengamatan dan pemantauan di lapangan secara keseluruhan dapat dilihat bahwa struktur tegakan hutan umumnya sudah mulai terganggu dengan adanya peralihan lahan-lahan yang ditanami tanaman keras menjadi tanaman semusim, baik di lahan datar maupun lahan miring yang menyebabkan keterbukaan sebagian permukaan lahan. Tetapi, beberapa kawasan hutan keberadaannya tetap terjaga. Seperti di daerah Pasir Tengah, ada kawasan hutan yang tidak boleh diganggu (tidak boleh dirusak dan ditebang) karena dipercayai sebagai kawasan hutan keramat. Kawasan ini dikeramatkan karena masyarakat percaya ada roh-roh yang menjaga hutan tersebut, jika ada yang merusak hutan maka akan diganggu oleh roh penjaga. Kawasan hutan yang dikeramatkan akan berperan dalam menjaga kawasan hutan sehingga tidak ada kegiatan perusakan oleh masyarakat. Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat Kasepuhan di Banten. Suharjito dan Saputro (2008) menyebutkan bahwa Leuweung titipan pada lingkungan masyarakat Kasepuhan adalah hutan yang tidak boleh dipungut hasilnya atau kawasannya tidak dapat dimanfaatkan karena dianggap keramat. Leuweung titipan bagi warga Kasepuhan merupakan titipan dari Karuhun yang harus dijaga kelestarian dan keasliannya. 9 Jaminan penutupan lahan Penanaman tanaman kemiri yang dilakukan oleh masyarakat secara umum menjamin penutupan lahan. Penutupan lahan ini terlihat dari besarnya tajuk tanaman kemiri yang menutupi lahan sehingga berperan dalam melindungi permukaan tanah. Penanaman kemiri dengan jarak tanam tertentu akan menjamin luas lahan yang akan ditutupi oleh tajuk pohon. Penanaman yang dilakukan oleh masyarakat bertujuan untuk mendapatkan buah, maka jarak tanam kemiri yang digunakan masyarakat adalah berkisar antara 8m x 8m, 8m x 10m, 10m x 10m, 10m x 12m. Tetapi ada juga beberapa penduduk yang menanam dengan jarak tanaman yang lebih sempit yaitu dengan jarak tanam 5m x 5m sampai 6m x 6m. Tujuan penanaman dengan jarak tanaman yang lebar adalah agar tajuk tanaman kemiri lebar dan besar sehingga buah yang akan dihasilkan lebih banyak. Penanaman kemiri untuk tujuan menghasilkan buah dapat menjamin penutupan lahan sehingga berperan menjaga tanah tidak rusak, menjaga kesuburan tanah dan mencegah erosi. Berapapun jarak tanam yang dibuat, secara umum struktur

101 80 tegakan kemiri pada suatu bentang lahan akan menjamin penutupan lahan, yang kemudian akan berperan dalam mencegah terjadinya erosi dan tanah longsor (Haryadi 2006; Mahendra 2009). Gambar 14 Tajuk tanaman kemiri yang lebar berperan menutupi permukaan tanah 10 Adanya upaya konservasi tanah Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa di beberapa lokasi yang diamati, tidak ada upaya konservasi tanah yang sengaja dilakukan. Tetapi, untuk beberapa tempat, seperti daerah terjal, pinggir-pinggir sungai, lembah curam dan alur-alur sungai, masyarakat masih mempertahankan keberadaan tanaman kemiri. Apalagi untuk beberapa responden menyebutkan bahwa mereka masih mau menanami tanaman kemiri pada lahan milik mereka khususnya pada lahan miring karena tidak bisa dikelola menjadi tanaman pertanian. Jika masyarakat beralih menanam tanaman lain pada lahan miliknya yang miring, maka akan membutuhkan biaya yang besar. Suripin (2004) menyebutkan untuk kondisi lapangan yang curam dan terjal dan untuk menjamin produktivitas lahan sebaiknya menerapkan kaidah konservasi tanah dengan cara pengolahan tanah menurut kontur, guludan, teras dan lain-lain sesuai dengan kondisi lapangan. Dengan menerapkan kaidah konservasi pada lahan miring, maka masyarakat dapat memperoleh penghasilan dan bermanfaat bagi lingkungan. Hasil penilaian keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem dari aspek ekologi masuk pada kategori berkelanjutan dengan catatan yaitu harus ada pembenahan dan perbaikan dalam pengelolaan agar pengelolaannya sampai pada tahap berkelanjutan. Hal ini dapat dilihat dari

102 81 hal-hal yang berhubungan dengan pengelolaan yang belum sepenuhnya dilakukan kearah pengelolaan yang keberlajutan seperti belum adanya upaya penanganan hama dan penyakit yang berdampak pada menurunnya produktivitas, luas tanaman kemiri yang terus menurun yang berdampak pada jaminan penutupan lahan khususnya pada lahan miring, belum adanya kegiatan yang aktif dalam konservasi tanah seperti penanaman pada lahan miring dan lain-lain. Adanya gangguan hama dan penyakit menunjukkan bahwa pengelolaan tanaman kemiri belum intensif dan adanya bencana banjir bandang akibat dari perubahan penggunaan lahan pada lahan miring menunjukkan terjadinya pola penggunaan lahan yang tidak tepat pada lahan-lahan miring. Jika pengelolaan tanaman kemiri rakyat berkelanjutan, maka peran tanaman kemiri dari aspek ekologi (lingkungan) akan tercapai seperti menyimpan keanekaragaman hayati, habitat satwa, mempertahankan kesuburan tanah, menjaga kestabilan suhu tanah dan organisme penghuninya, mengurangi karbon dioksida, mengurangi pemanasan global dan penahan erosi (Haryadi 2006) Aspek Ekonomi Hasil penilaian setiap indikator yang diperoleh dari aspek ekonomi adalah yang bernilai Baik sebanyak 3 (37,5%); yang bernilai Cukup sebanyak 3 (37,5%); dan yang bernilai Jelek sebanyak 2 (25%). Penjelasan setiap indikator adalah sebagai berikut: Tabel 27 Hasil penilaian aspek ekonomi pada pengelolaan tanaman kemiri No Indikator Penilaian Keterangan 1 Sumber modal J 2 Peningkatan pendapatan C 3 Kelayakan usaha B 4 Penyerapan tenaga kerja B 5 Kesejahteraan penduduk J 6 Kepastian potensi produksi di panen (buah) C 7 Keuntungan usaha C 8 Akses pasar B Keterangan : B= Baik, C= Cukup, J= Jelek 1 Sumber modal Sumber modal untuk berbudidaya tanaman kemiri berasal dari pemilik lahan. Sumber modal dalam tanaman keras belum dapat diajukan ke bank dalam

103 82 bentuk kredit karena tingkat pengembalian modal yang cukup lama. Bank hanya mengeluarkan dana pinjaman seperti untuk kegiatan usaha pertanian dan peternakan. Diniyati et al. (2008) menyebutkan bahwa bank dan koperasi dapat berpengaruh dalam perkembangan hutan rakyat. Sementara Mosher dalam Soekartawi (2002) menyebutkan bahwa salah satu unsur kelembagaan yang dapat digunakan untuk mengetahui sejauhmana pembangunan pedesaan sudah berkembang adalah adanya perkreditan yang berfungsi untuk meningkatkan kemampuan rakyat dalam mengadakan faktor produksi. Jika hal di atas dihubungkan dengan pinjaman yang mudah pada jenis usaha pertanian, tentu mendukung kegiatan pengembangan usaha tanaman pertanian, tetapi tidak untuk tanaman keras (kayu-kayuan) yang menghasilkan agak lambat. Nugroho (2010) lembaga keuangan seperti bank masih enggan untuk mendanai pengusahaan hutan rakyat berdasarkan sifat manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan yang dapat dihasilkan dari pengusahaan hutan rakyat. Tidak adanya akses untuk mendapatkan kredit dari bank dalam pengusahaan kemiri, menyebabkan penanaman kemiri hanya dilakukan berdasarkan pengalaman dengan modal lahan yang tersedia, tenaga kerja dari keluarga dan pengadaan bibit diperoleh dari bibit tanaman kemiri yang tumbuh di lahan-lahan sekitar, sehingga usaha pengembangan tanaman kemiri sebagai tanaman yang dapat bermanfaat dari aspek ekologi dan ekonomi kurang berkembang. 2 Peningkatan pendapatan Untuk mendapatkan peningkatan pendapatan, maka suatu jenis kegiatan haruslah mendatangkan keuntungan bagi pemiliknya. Tanaman kemiri merupakan salah satu sumber pendapatan keluarga bagi pemiliknya. Petani kemiri tidak hanya menanam kemiri saja, tetapi juga menanam tanaman lain seperti jagung dan cokelat. Sumber penghasilan masyarakat selain dari tanaman pertanian adalah dari gaji, berdagang, supir, tukang dan lain-lain. Jika pendapatan dari kemiri dibandingkan dengan pendapatan total per tahun, maka pendapatan yang diperoleh petani dari tanaman kemiri adalah sekitar 35,79% terhadap pendapatan total (Lampiran 5). Sementara penelitian lainnya menyebutkan bahwa kontribusi pendapatan petani dari kemiri terhadap pendapatan total per bulan di Kecamatan

104 83 Kuta Buluh, Tiga Binanga, Lau Balang dan Mardinding (Kabupaten Karo) adalah antara 10,34% sampai 39,43% (Hutasoit 2008). Jika hasil pendapatan dari HHBK kemiri di atas dibandingkan dengan hasil pendapatan dari kayu hutan rakyat, maka pendapatan ini masih lebih besar dari hasil kayu karena kontribusi hasil hutan rakyat kayu masih lebih kecil dari HHBK seperti getah damar dan kemenyan (Hardjanto 2000; Hardjanto 2001; Wijayanto 2001; Nurrochmat 2001; Darusman dan Hardjanto 2006; Sitompul 2011). Hal ini terjadi karena pendapatan dari HHBK dapat diperoleh petani hampir sepanjang tahun pada saat usia tanaman masih produktif sedangkan dari hasil dari kayu hanya dapat dirasakan pada saat masa penjarang ataupun pada masa panen akhir. Pendapatan dari HHBK akan berfluktuasi sepanjang tahun tergantung dari besar kecilnya produksi HHBK yang diperoleh sedangkan pendapatan dari hasil kayu yang sangat besar akan diperoleh pada saat akhir panen. Data di atas menunjukkan bahwa tanaman kemiri berperan sebagai sumber penghasilan petani dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti kebutuhan primer dan sekunder (Sumodiningrat 1999). Peran pendapatan dari tanaman kemiri terhadap petani yang cukup besar disebabkan karena responden yang diwawancarai umumnya adalah responden yang memang menggantungkan hidupnya dari hasil tanaman kemiri. Hal ini juga dipengaruhi karena kondisi harga kemiri yang meningkat secara tajam. Menurut informasi, harga kemiri tahun berkisar antara Rp6.000-Rp7.000/kg, pada tahun 2009 sampai awal 2010 berkisar antara Rp8.000-Rp9.000/kg, pada tahun 2010 berkisar Rp /kg. Pada saat penelitian dilakukan, harga kemiri antara Rp /kg. Tentu peningkatan harga kemiri ini akan mempengaruhi peningkatan pendapatan masyarakat secara umum. 3 Kelayakan usaha Analisis finansial dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha tanaman kemiri. Analisis dilakukan dengan menggunakan aliran biaya dan pendapatan yang terdiskonto (discounted cash flow analysis). Jangka waktu analisis dimulai sejak tahuk pertama sampai tahun ke-50 dengan asumsi bahwa produksi buah masih dapat diperoleh sampai umur 50 tahun. Asumsi lain yang digunakan adalah bahwa kondis lahan adalah subur, jarak tanam 8m x 8m dengan perkiraan

105 84 produksi buah pertahun berdasarkan Deptan (2006a) dan Paimin (1994). Tingkat suku bunga yang digunakan adalah 24% yaitu besaran kisaran tingkat suku bunga yang berlaku di lokasi penelitian. Tabel 28 Analisis kelayakan usaha tanaman kemiri untuk luas 1 ha No Kondisi Kriteria investasi Kriteria layak Hasil perhitungan 1 Lahan milik NPV (Rp) NPV> IRR (%) IRR>DR 79,66 BCR BCR>1 7,61 2 Lahan sewa NPV (Rp) IRR (%) BCR 3 Lahan dibeli NPV (Rp) IRR (%) BCR NPV>0 IRR>DR BCR>1 NPV>0 IRR>DR BCR> ,99 6, ,75 1,10 Kesimpulan Layak Layak Layak Perhitungan biaya, pendapatan, NPV, BCR dan IRR dapat dilihat pada Lampiran 6. Analisis NPV, BCR dan IRR dilakukan pada tiga kondisi yaitu lahan milik, lahan sewa dan lahan yang dibeli. Suatu kegiatan atau usaha disebut layak jika jumlah seluruh manfaat yang diterimanya melebihi biaya yang dikeluarkan, yang disebut dengan manfaat bersih. Suatu kegiatan dinyatakan layak bila NPV lebih besar dari 0 (NPV>0) yang artinya usaha menguntungkan atau memberikan manfaat. Pada Tabel 28 dapat dilihat bahwa hasil perhitungan NPV pada lahan milik, lahan sewa dan lahan dibeli adalah lebih besar dari 0, sehingga usaha kemiri dapat memberikan keuntungan kepada yang mengusahakannya. Nilai BCR digunakan untuk mengetahui pengaruh adanya tambahan biaya terhadap tambahan manfaat yang diterima. Suatu kegiatan dinyatakan layak bila BCR lebih besar dari 1 (BCR>1) yang artinya bahwa usaha layak untuk dijalankan. Nilai BCR pada lahan milik adalah 7,61, artinya bahwa investasi satu rupiah akan memberikan tambahan pendapatan sebesar 7,61 rupiah, demikian halnya pada lahan sewa dan lahan yang dibeli. Dari hasil nilai BCR di atas, dapat diketahui bahwa usaha menanam kemiri layak dilakukan. Nilai IRR digunakan untuk mengetahui tingkat pengembalian usaha terhadap investasi yang ditanamkan. IRR adalah tingkat discount rate (DR) yang menghasilkan NPV sama dengan 0. Suatu usaha disebut layak apabila IRR-nya

106 85 lebih besar dari opportunity cost of capital-nya (DR). Pada Tabel 28 dapat dilihat bahwa nilai IRR pada lahan milik, lahan sewa dan lahan yang dibeli, masingmasing berada di atas tingkat suku bunga awal perhitungan (DR) sebesar 24%. Hasil analisis kelayakan usaha tanaman kemiri dari nilai NPV, BCR dan IRR menunjukkan bahwa kegiatan penanaman kemiri layak untuk dikembangkan, baik pada lahan milik, lahan sewa maupun lahan yang dibeli. Tetapi untuk lahan yang dibeli, tingkat keuntungan yang akan diperoleh hanya sedikit. Hal ini dilatarbelakangi oleh harga tanah yang sangat tinggi yaitu sekitar /ha. Untuk investasi kemiri sebaiknya dilakukan pada lahan sewa dan lahan milik. Hasil penelitian tanaman kemiri yang ada di Kabupaten Maros oleh Yusran (1999) menunjukkan bahwa nilai NPV sebesar Rp , BCR > 3,59 dan IRR sebesar 53,51% pada tingkat suku bunga 19%, dan disebutkan bahwa pengusahaan tanaman kemiri juga layak untuk diusahakan. Untuk kegiatan tanaman rakyat lain yang tergolong HHBK juga menunjukkan layak untuk dikembangkan seperti kemenyan karena nilai NPV sebesar Rp , BCR sebesar 2,37 dan IRR sebesar 22,6% pada lahan sewa dan nilai NPV sebesar Rp , BCR > 2,85 dan IRR sebesar 28,8% pada lahan yang tidak disewa pada tingkat suku bunga 13% (Sitompul 2011). 4 Penyerapan tenaga kerja Aktivitas pengelolaan kemiri cukup menyerap tenaga kerja baik dari lingkungan keluarga petani dan dari luar anggota keluarga petani. Terdapat 33 responden (52,38%) yang menyebutkan bahwa aktivitas pengelolaan kemiri menyerap tenaga kerja dari lingkungan keluarga petani itu sendiri sedangkan 30 responden (47,62%) menyebutkan selain menyerap tenaga kerja dari lingkungan keluarga petani juga menyerap tenaga kerja dari luar anggota keluarga. Aktivitas penanaman kemiri sangat menyerap tenaga kerja bagi anggota keluarga pemilik lahan seperti pembersihan tumbuhan bawah, pengumpulan buah dan pengupasan. Tentu hal ini tidak jadi masalah bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga usia produktif. Lain halnya dengan petani yang sudah kurang produktif. Jumlah responden yang memiliki tanaman kemiri yang sudah berumur di atas usia produktif (di atas 60 tahun) sebanyak 15 orang (23,81%). Responden ini tidak dapat melakukan kegiatan pertanian yang aktif karena berhubungan

107 86 dengan kekuatan fisik. Sehingga pengelolaan lahan yang dimilikinya akan diserahkan kepada keluarga atau disewakan. Sementara itu, tanaman kemiri juga dimiliki oleh masyarakat yang melakukan pekerjaan lain seperti berdagang, tukang dan PNS, dimana mereka ini tidak akan memiliki waktu yang cukup untuk mengelolanya. Bagi keluarga pemilik lahan yang memiliki pekerjaan pokok di luar bertani, maka untuk kegiatan tertentu seperti mengumpulkan buah dan membabat atau membersihkan tumbuhan bawah akan mempekerjakan orang lain baik dari anggota keluarga terdekat, tetangga maupun penduduk sekampung. Hal ini menunjukkan bahwa penanaman kemiri menyerap tenaga kerja dari lingkungan anggota keluarga dan di luar anggota keluarga. Untuk mempekerjakan orang lain, tidak dilakukan dengan sistem gajian tetapi dibayar dengan cara sistem dibelahkan. Seseorang yang memiliki tanaman kemiri, tetapi tidak punya waktu untuk mengumpulkan kemirinya, maka dia akan mempekerjakan orang lain dan orang tersebut akan dibayar dengan menyerahkan setengah hasil kemiri yang dikumpulkannya. Sedangkan kegiatan membabat atau mematikan tanaman bawah dengan round-up dilakukan dengan pembayaran upah kerja per hari. Darusman dan Hardjanto (2006) menyebutkan bahwa hutan rakyat yang dikelola secara intensif maupun sambilan mampu menyerap tenaga kerja di desa. Hal ini juga berlaku untuk kegiatan hutan rakyat pada jenis HHBK. Kegiatan lain yang menyerap tenaga kerja dalam usaha tanaman kemiri selain dalam hal pengelolaan adalah kegiatan pengupasan kemiri yang dilakukan oleh masyarakat baik yang memiliki tanaman kemiri maupun yang tidak memiliki tanaman kemiri. Beberapa masyarakat menjual kemiri dengan kulitnya langsung. Tetapi ada juga yang lebih dahulu mengupasnya. Kemiri yang dijual dengan dikupas akan lebih mahal. Untuk masyarakat yang tidak memiliki lahan dan tidak memiliki pekerjaan, akan mencari nafkah dengan cara membeli kemiri berkulit lalu mengupasnya. Wibowo (2007) menyebutkan bahwa kegiatan penanaman kemiri mampu menumbuhkan usaha jasa pengusapan kemiri. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan penanaman kemiri bersifat sebagai efek pengganda (multiflier

108 87 effect) dimana mampu meningkatkan pendapatan bagi petaninya, meningkatkan lapangan kerja dan bermanfaat dalam menjaga lingkungan. 5 Kesejahteraan penduduk Kesejahteraan dalam lingkup masyarakat sangat tergantung pada tingkat kesejahteraan keluarga-keluarga yang ada pada suatu tempat. Tingkat kesejahteraan menurut BKKBN tahun 1999 adalah suatu tingkatan yang menyatakan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antara keluarga, masyarakat dan lingkungan. Pengukuran kesejahteraan keluarga dibagi menjadi 5 kelompok seperti pada kriteria BPS sedangkan analisis kesejahteraan penduduk dalam penelitian ini, dikelompokkan menjadi 3 bagian seperti pada Tabel 29. Pada tabel dapat dilihat bahwa sebagian besar penduduk di lokasi penelitian pada tahun 2008 dan 2009 berada pada kriteria pra sejahtera sampai sejahtera II. Pada tahun 2009, terjadi peningkatan jumlah penduduk tidak sejahtera dan terjadi penurunan jumlah penduduk pada kriteria cukup sejahtera jika dibandingkan dengan tahun Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan tingkat kesejahteraan penduduk walaupun sangat kecil. Peran tanaman kemiri dalam meningkatkan kesejahteraan petani adalah melalui pendapatan yang diperoleh dari hasil kemiri yang berperan dalam memenuhi kebutuhan hidup petani terutama kebutuhan sehari-hari. Apabila pendapatan tersebut dapat memenuhi kebutuhan lain selain kebutuhan sehari-hari, maka kesejahteraan hidup petani akan lebih baik. Tabel 29 Kodisi sebaran kesejahteraan penduduk di Desa Kutabuluh, Pamah dan Pasir Tengah tahun Tahun 2008 Tahun 2009 Kriteria Jumlah Kriteria untuk Kriteria untuk Jumlah Kriteria Jumlah analisis analisis Jumlah Pra sejahtera 663 Tidak sejahtera 663 Pra sejahtera 692 Tidak sejahtera 692 Sejahtera I 415 Sejahtera I 408 Cukup Cukup sejahtera 722 Sejahtera II 307 Sejahtera II 304 sejahtera 712 Sejahtera III 47 Sejahtera III 48 Sejahtera III Plus 13 Sejahtera 60 Sejahtera III Plus 13 Sejahtera 61 Sumber : Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka ( )

109 88 6 Potensi produksi Dalam suatu perusahaan, faktor-faktor produksi sangat menentukan besar kecilnya produksi yang akan diperoleh. Untuk mengetahui potensi produksi tanaman kemiri, maka ada 4 faktor yang dianggap paling berperan dalam menentukan besar kecilnya hasil yang diperoleh setiap periode waktu, yaitu luas lahan, umur tanaman, jumlah tanaman yang menghasilkan serta tenaga kerja. Faktor lain yang umumnya paling berperan adalah pupuk, tetapi petani tidak melakukan pemupukan karena dengan pemupukan bisa menyebabkan kerugian sebab banyak ranting yang patah pada saat buah sudah besar. Tenaga kerja pada kegiatan usaha kemiri umumnya berasal dari kalangan keluarga sendiri. Tetapi bagi petani yang sudah memasuki usia tidak produktif dan bagi keluarga yang memiliki mata pencaharian yang lainnya, seperti PNS, tukang, supir, dagang, dan lain-lain, cenderung mempekerjakan tenaga kerja dari anggota keluarga terdekat atau masyarakat sekitarnya (Yusran 1999, 2005; Simatupang 2001; Sihotang 2007). Pekerjaan yang dilakukan antara lain membersihkan tumbuhan bawah, pengumpulan buah dan pengolahan hasil. Ketersediaan lahan merupakan hal penting dalam melakukan usaha tanaman kemiri. Keberadaan lahan tanaman kemiri yang ada di lokasi penelitian cukup luas yaitu rata-rata 2,67 ha, luas paling kecil 0,45 ha dan luas paling besar 6 ha. Luas kepemilikan lahan ini berbeda dengan rata-rata luas kepemilikan lahan yang ada di Jawa yang hanya berkisar 0,25 ha (Hardjanto 2003). Tanaman kemiri rakyat yang ada saat ini banyak terdapat pada lahan yang bertopografi curam sampai terjal dengan kemiringan 25 0 ke atas, pada tepi sungai, jurang dan lembah. Umur tanaman akan mempengaruhi besar kecilnya produksi per pohon. Umur tanaman kemiri akan berproduksi pada tahun ke-5 sampai tahun ke-35. Umur tanaman bisa lebih dari 50 tahun, tetapi tidak akan sampai di atas 100 tahun, hal ini terkait dengan kekuatan batang tanaman yang rendah. Tanaman kemiri dikenal sebagai tanaman yang mudah busuk, mudah roboh dan mudah terserang hama dan penyakit. Walaupun tanaman kemiri sudah melewati umur 35 tahun, kemiri akan tetap menghasilkan, tetapi hasilnya akan terus menurun seiring dengan pertambahan umurnya (Paimin 1994, Deptan 2006a).

110 89 Produksi kemiri per satuan luas sangat berpengaruh pada jumlah pohon yang menghasilkan dimana hal ini terkait dengan jarak tanamnya. Untuk tujuan menghasilkan buah, jarak tanaman yang paling baik adalah jarak tanam yang lebar seperti 8m x 8m (Paimin 1994) sampai 10m x 10m (Sunanto 1994; Deptan 2006a), dengan tujuan agar kemiri yang tumbuh menghasilkan tajuk yang lebar sehingga menghasilkan buah yang banyak. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kemiri yang akan diperoleh petani dipengaruhi oleh faktor jumlah tenaga kerja, luas lahan, umur tanaman, dan jumlah pohon menghasilkan. Hasil pengolahan data dengan menggunakan fungsi produksi cobb-douglas (Soekartawi 2002) adalah seperti pada Tabel 30. Tabel 30 Hasil estimasi fungsi produksi tanaman kemiri Predictor Coef P Konstanta 1,252 0,000 Tenaga Kerja (X1) 0,791 0,000* Luas lahan (X2) 0,078 0,423 Umur tanaman (X3) -0,126 0,160 Jumlah pohon (X4) 0,150 0,057** Keterangan : * Signifikan pada taraf nyata 5%, ** Signifikan pada taraf nyata 10% Untuk analisis data yang menggunakan model regressi linier berganda, maka ada empat asumsi yang harus terpenuhi, yaitu asumsi multikolinearitas, heterokedastisitas, autokorelasi dan komponen sisaan menyebar normal (normalitas). Uji multikolinearitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah sesama variabel bebas (independen) saling berhubungan atau berkorelasi. Jika model regressi baik, maka tidak terjadi korelasi di antara variabel bebasnya. Ada atau tidaknya multikolinearitas dapat diketahui dari nilai Variance Inflation Factor (VIF). Jika nilai VIF tidak melebihi 10 dan nilai Tolerance tidak kurang dari 0,1 (nilai tolerance diperoleh dari 1/VIF atau 1/10), maka dapat dikatakan bahwa data terbebas dari multikolinearitas. Pada Lampiran 8 dapat dilihat bahwa tidak ada variabel yang memiliki nilai VIF yang melebihi 10 dan nilai tolerance (1/VIF) masih di atas 0,1, sehingga dapat dikatakan bahwa model regresssi linier berganda yang dihasilkan tidak ada multikolinearitas.

111 90 Asumsi heterokedastisitas adalah asumsi dimana varians dari residual tidak sama untuk satu pengamatan ke pengamatan yang lain atau hasil pengamatan tidak memiliki pola tertentu. Pola yang tidak sama ini ditunjukkan dengan nilai yang tidak sama antar satu varians dari residual atau disebut dengan gejala heterokedastisitas, sedangkan gejala varians dari residual yang sama dari satu pengamatan dengan pengamaan lainnya disebut dengan homokedastisitas. Untuk mengetahui ada tidaknya gejala heterokedastisitas dapat dilihat dari gambar residual versus fitted value. Pada gambar grafik di Lampiran 8 terlihat bahwa residual versus fitted value memiliki sebaran data cenderung acak dan tidak membentuk pola tertentu sehingga dapat dikatakan bahwa asumsi heterokedastisitas telah dipenuhi. Uji autokorelasi digunakan untuk pengujian asumsi dimana variabel dependen (Y) tidak berkorelasi dengan dirinya sendiri, artinya bahwa nilai dari variabel dependen tidak berhubungan dengan nilai variabel itu sendiri, baik nilai periode sebelumnya atau nilai periode sesudahnya. Untuk mengetahui gejala autokorelasi diketahui dari gambar observation order dengan residual, dimana hasilnya akan menunjukkan acak tidak beraturan. Pada gambar di Lampiran 8 dapat dilihat bahwa hasil pengamatan adalah acak tidak beraturan sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada gejala autokorelasi. Asumsi normalitas dapat diketahui melalui plot Normal Probability Plot. Apabila setiap pencaran data residual berada di sekitar garis lurus melintang, maka dikatakan bahwa residual mengikuti fungsi distribusi normal. Pada gambar di Lampiran 8 dapat dilihat bahwa sebaran residual berada dalam garis lurus melintang dan sebaran residual cenderung membentuk garis lurus. Hasil ini menunjukkan bahwa asumsi komponen sisaan menyebar normal atau mengikuti distribusi normal. Untuk melihat pengaruh variabel yang dianggap mempengaruhi produksi secara bersamaan, maka dilakukan uji F. Hasil uji F pada model adalah F = 99,48 > F (4,57,0,1) = 3,649 dan nilai α = 0,10 > P = 0,000, maka model yang diperoleh dapat secara bersama digunakan untuk menerangkan produksi kemiri atau faktor luas lahan, tenaga kerja, umur tanaman dan jumlah pohon menghasilkan berpengaruh secara signifikan terhadap produksi kemiri. Hasil analisis regresi

112 91 memperlihatkan nilai R-Sg (adj) 86,6%, artinya bahwa 86,6% produksi kemiri dapat dijelaskan oleh faktor luas lahan, faktor tenaga kerja, faktor umur tanaman dan faktor jumlah pohon menghasilkan, sedangkan sisanya sebesar 13,4% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dimasukkan dalam model. Adapun persamaan regressi yang dihasilkan adalah sebagai berikut: Log Y = log 1,252 + log 0,791 X 1 + log 0,078 X 2 log 0,126 X 3 + log 0,150 X 4 Persamaan di atas perlu dikembalikan kepersamaan semula dengan cara meng-anti-log-kan persamaan yang sudah diperoleh, dan hasilnya adalah Y = 0,097 X 0,791 1 X 0,078 2 X -0,126 0,150 3 X 4 Pada persamaan dapat dilihat bahwa koefisien b 1, b 2 dan b 4 adalah positif, maka peningkatkan tenaga kerja, luas lahan dan jumlah pohon menghasilkan cenderung meningkatkan produksi kemiri. Sedangkan nilai koefisien b 3 adalah negatif, maka peningkatkan umur tanaman akan mengurangi produksi kemiri. Bila ditinjau dari nilai P, maka tenaga kerja dan jumlah pohon signifikan pada taraf nyata 10%, sedangkan luas lahan dan umur tanaman masing-masing tidak signifikan. Pada faktor tenaga kerja, nilai koefisien pada persamaan yang dihasilkan bernilai positif, artinya jika terjadi penambahan jumlah tenaga kerja akan diikuti peningkatan produksi kemiri. Jika dilihat dari uji statistik secara parsial diperoleh bahwa faktor tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi kemiri dengan nilai koefisien 0,791. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri cukup respon terhadap penggunaan tenaga kerja, apabila dilakukan penambahan tenaga kerja sebanyak 10% akan diikuti dengan kenaikan produksi kemiri sebesar 7,91%, ceteris paribus. Untuk pengelolaan kemiri, tenaga kerja diperlukan dalam kegiatan pembersihan lahan, pengumpulan buah, penjemuran dan pengupasan kemiri. Sehingga tenaga kerja sangat berperan dalam menghasilkan dan meningkatkan produksi kemiri masyarakat. Pada faktor luas lahan, nilai koefisien pada persamaan yang dihasilkan bernilai positif, artinya jika terjadi penambahan luas lahan akan diikuti peningkatan produksi kemiri. Jika dilihat dari uji statistik secara parsial diperoleh bahwa faktor luas lahan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi kemiri dengan

113 92 nilai koefisien 0,078. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri tidak respon terhadap luas lahan atau tidak signifikan dalam mempengaruhi produksi kemiri. Besar kecilnya luas lahan, pada dasarnya akan memberikan pengaruh pada produksi kemiri yang akan diperoleh. Tetapi pada hasil analisis ini, luas lahan tidak berpengaruh dalam meningkatkan produksi kemiri. Hal ini dapat dihubungkan dengan jumlah tanaman pada suatu lahan. Jarak tanam kemiri rakyat adalah berbeda-beda, maka jumlah tanaman pada setiap lahan yang dimiliki oleh petani juga berbeda-beda. Pada pemilik tertentu, mungkin lahan yang dimilikinya luas dan jumlah tanamannya sangat banyak, tetapi pada pemilik lahan lainnya, lahannya mungkin luas tetapi jumlah tanamannya sangat sedikit. Sehingga, faktor luas lahan kurang berpengaruh dalam meningkatkan produksi kemiri, tetapi luas lahan mungkin akan berpengaruh jika setiap contoh yang diperoleh menggunakan pola jarak tanam yang sama sehingga pada luasan yang sama jumlah tanaman yang ada juga sama. Pada faktor umur tanaman, nilai koefisien pada persamaan yang dihasilkan bernilai negatif, artinya jika terjadi penambahan umur tanaman maka akan diikuti dengan penurunan produksi kemiri. Jika dilihat dari uji statistik secara parsial diperoleh bahwa faktor umur tanaman tidak berpengaruh nyata terhadap produksi kemiri dengan nilai koefisien 0,126. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri tidak respon terhadap umur tanaman atau tidak signifikan dalam mempengaruhi produksi kemiri. Walaupun umur tanaman tidak signifikan dalam mempengaruhi produksi kemiri, tetapi nilai keofisien yang negatif menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan produksi kemiri seiring dengan penambahan umur tanaman. Penurunan produksi kemiri pada model sangat dipengaruhi oleh pertambahan umur tanaman, semakin tinggi umur tanaman apalagi jika sudah melewati umur produktif, maka hasil yang diperoleh juga akan menurun. Umur rata-rata tanaman kemiri pada sampel adalah 37,37 tahun. Paimin (1994) menyebutkan bahwa produksi tanaman kemiri akan meningkat dari tahun ke-6 sampai umur 35 tahun. Sementara jika umur tanaman lewat 35 tahun, maka produksi kemiri pelahanlahan akan menurun dan pada saat tertentu akhirnya tidak produktif lagi. Jika mengikuti kondisi di atas, luas lahan yang produktif adalah 83 ha dengan produksi rata-rata 670,92 kg/ha. Sedangkan luas lahan di atas 35 tahun

114 93 adalah 84,95 ha dengan rata-rata produksi sudah dalam kondisi menurun yaitu 497,75 kg/ha. Perbedaan produksi rata-rata pada usia di bawah 35 tahun dengan rata-rata produksi di atas 35 tahun adalah 173,16 kg/ha. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri yang dihasilkan akan menurun karena dipengaruhi oleh umur tanaman yang sudah melewati batas produktif. Faktor lain yang mempengaruhi adalah kondisi kesehatan tanaman, kondisi kesuburan lahan dan tingkat keintensifan dalam mengelola lahan dan memelihara tanaman. Untuk meningkatkan produksi kemiri, maka sebaiknya dilakukan peremajaan tanaman pada tanaman yang sudah berumur tua khususnya tanaman yang sudah melewati umur produktif di atas 35 tahun. Pada faktor jumlah pohon, nilai koefisien pada persamaan yang dihasilkan bernilai positif, artinya jika terjadi penambahan jumlah pohon, maka akan diikuti peningkatan produksi kemiri. Jika dilihat dari uji statistik secara parsial diperoleh bahwa faktor jumlah pohon berpengaruh nyata terhadap produksi kemiri dengan nilai koefisien 0,15. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri cukup respon terhadap jumlah pohon. Apabila terjadi penambahan pohon sebanyak 10%, akan diikuti dengan kenaikan produksi kemiri sebesar 1,5%, ceteris paribus. Sebenarnya, kondisi ini bisa diterima atau bisa juga tidak, karena produksi kemiri akan dipengaruhi oleh jarak tanam. Jika tujuan penanaman kemiri adalah untuk menghasilkan buah maka jarak tanam sebaiknya 10m x 10m (Deptan 2006a; Sunanto 1994), 8m x 8m atau 8m x 10m (Paimin 1994). Sedangkan bila tujuan penanaman adalah untuk menghasilkan kayu maka jarak tanamnya adalah 4m x 4m (Paimin 1994; Sunanto 1994). Jumlah pohon yang ada pada satuan luas lahan sangat tergantung pada jarak tanam yang digunakan oleh petani. Rata-rata jumlah pohon per satuan luas pada lokasi penelitian adalah 115 pohon/ha. Jika luas lahan 1 ha, maka jarak tanam yang mendekati jumlah pohon di atas adalah 8m x 10m atau 10m x 10m. Jika kondisi di lapangan dibandingkan dengan jarak tanam yang dianjurkan untuk tujuan menghasilkan buah (Paimin 1994; Sunanto 1994; Deptan 2006a), maka kondisi jumlah pohon kemiri di lapangan sudah sesuai dengan tujuan untuk menghasilkan buah yaitu sekitar 100 pohon/ha untuk jarak tanam 10m x 10m dan 125 pohon untuk jarak tanam 8m x 10m. Sementara itu, rata-rata jumlah pohon

115 94 menghasilkan sampai umur 35 tahun adalah 123 pohon/ha dan rata-rata jumlah pohon menghasilkan pada usia di atas 35 tahun (produksi mulai menurun) adalah 107 pohon/ha. Penurunan ini terjadi karena banyak pohon yang mati. Tabel 30 menunjukkan bahwa jumlah koefisien regressi fungsi produksi tanaman kemiri sebesar 0,893. Hal ini menunjukkan bahwa produksi kemiri berlangsung pada tahapan decreasing retun to scale, yaitu penambahan jumlah seluruh faktor produksi secara bersamaan akan memberikan penambahan proporsi hasil produksi yang lebih kecil. Artinya, bahwa setiap penambahan faktor produksi secara bersamaan sebanyak 100% maka akan terjadi penambahan hasil atau produksi kemiri sebesar 89,3%. Simatupang (2001) pernah melakukan penelitian tentang faktor yang mempengaruhi produksi kemiri pada tahun 2000 dengan sampel yang berbeda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa faktor luas lahan dan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi kemiri sedangkan faktor umur tanaman dan jumlah pohon tidak berpengaruh nyata. Sementara penjumlahan koefisien regressi yang di peroleh berada pada tahap increasing retun to scale sebesar 1,002, maka penambahan jumlah seluruh faktor produksi secara bersamaan akan memberikan penambahan proporsi hasil produksi yang lebih besar. Artinya, bahwa setiap penambahan faktor produksi secara bersama-sama 100% (variabel luas lahan, umur tanaman, tenaga kerja dan jumlah tanaman) akan meningkatkan produksi sebesar 100,2%. Sihotang (2007) juga pernah melakukan penelitian tentang faktor yang mempengaruhi produksi getah kemenyan. Hasilnya menunjukkan bahwa faktor umur tanaman, jumlah pohon dan tenaga kerja signifikan dalam mempengaruhi produksi getah kemenyan sedangkan faktor luas lahan tidak signifikan. Dari hasil ketiga penelitian ini menunjukkan bahwa setiap faktor memberikan nilai dan pengaruh yang berbeda-beda. Faktor tenaga kerja adalah faktor yang memberikan pengaruh signifikan dalam meningkatkan produksi kemiri dan kemenyan, hal ini terkait dengan proses pengelolaan lahan dan proses lanjutan sampai hasil dapat dijual. Sementara faktor umur tanaman menghasilkan koefisien regressi yang bernilai negatif, hal ini menunjukkan bahwa umur tanaman yang diteliti sudah memasuki umur tidak produktif sehingga

116 95 penambahan umur tanaman akan cenderung memberikan hasil yang makin sedikit. 7 Keuntungan usaha Untuk mengembangkan suatu kegiatan budidaya tanaman keras, maka perlu diketahui tingkat keuntungan yang diperoleh per periode waktu tertentu untuk satuan luas tertentu. Setelah melakukan perhitungan maka diketahui bahwa ratarata pendapatan yang diperoleh petani dari tanaman kemiri adalah Rp /ha/tahun. Sementara rata-rata pengeluarannya per tahun sekitar Rp /ha/tahun. Adapun keuntungan yang diperoleh adalah Rp /ha/tahun. Biaya yang kecil disebabkan karena tidak ada petani yang melakukan pemupukan terhadap tanaman kemiri. Biaya yang keluar hanya untuk membeli racun rumput (round-up), biaya membabat, biaya sewa, biaya tenaga kerja panen, menjemur dan mengupas kemiri. Hasil wawancara dengan masyarakat menyatakan, bahwa sebenarnya menanam kemiri tidak selalu untung. Hasil perhitungan pada Lampiran 5 menunjukkan keuntungan yang cukup besar karena posisi harga jual yang cukup tinggi. Sedangkan kalau harga sangat kecil yaitu sekitar Rp8.000 sampai Rp9.000, maka tingkat keuntungan yang diperoleh pasti lebih kecil dan bahkan mungkin akan menyebabkan kerugian bagi petani bila kegiatan pengusahaan yang dilakukan petani termasuk ongkos biaya pengeluaran dengan harga 1 HOK adalah Rp50.000,- Kenaikan harga jual kemiri yang terjadi dua tahun terakhir telah menumbuhkan kembali niat petani untuk mengusahakan kemiri miliknya yang sudah lama ditinggalkan. Ada beberapa petani yang memiliki niatnya untuk menjual kemiri tetapi pada akhirnya mengurungkan niatnya karena harga yang tinggi dan luas lahan kemiri miliknya sangat luas. 8 Akses pasar Salah satu syarat yang diperlukan agar suatu produk yang dihasilkan disebut berhasil apabila didukung oleh pemasarannya. Petani kemiri di Kecamatan Tanah Pinem tidak ada menemui kesulitan dalam pemasaran kemiri, karena selain masyarakat dapat menjual kemiri di pasar lokal, mereka juga dapat menjual kemiri di rumah. Harga di rumah dengan harga di pasar adalah sama. Karena tidak perlu mengeluarkan biaya dalam menjual kemiri, maka masyarakat

117 96 umumnya menunggu pembeli datang ke rumah-rumah. Rata-rata setiap desa ada pengumpul sehingga dalam hal pemasaran buah kemiri tidak ada masalah. Kemiri dijual dalam bentuk berkulit dan sudah dikupas. Kemiri berkulit dijual oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup mendesak seperti beras. Kemiri berkulit dibeli masyarakat yang usahanya adalah mengupas kemiri. Penjualan dalam bentuk kemiri kupas lebih banyak dilakukan masyarakat karena lebih tinggi harga jualnya. Pendapatan masyarakat selain dari biji kupas (kernel) juga dari kulit cangkang. Saluran pemasaran kemiri masyarakat adalah produsen, pedagang pengumpul desa/kecamatan, pedagang pengumpul besar (propinsi), pedagang antar pulau dan konsumen. Sampai tahun 2005, kemiri rakyat dari Kecamatan Tanah Pinem dapat memasuki pasar ekspor tetapi setelah tahun 2005 tidak ada lagi ekspor. Kemiri rakyat yang ada saat ini adalah untuk memenuhi kebutuhan lokal dan daerah. Gambar 15 Pemasaran buah kemiri kupas di pasar lokal. Hasil penilaian keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem dari aspek ekonomi masuk pada kategori berkelanjutan dengan catatan. Pada dasarnya penanaman kemiri pada lahan milik masyarakat dapat memberikan keuntungan pada petani, khususnya petani pemilik lahan pada lahan-lahan miring. Tanaman kemiri juga bisa berperan menjadi sumber pendapatan petani karena dapat memberikan tambahan pendapatan yang berperan dalam memenuhi kebutuhan sandang dan pangan masyarakat. Untuk investasi kemiri, hasil penilaian NPV, BCR dan IRR pada lahan milik dan lahan sewa menunjukkan bahwa usaha tanaman kemiri layak dilakukan. Aspek pemasaran

118 97 hasil bukanlah masalah untuk mengelola kemiri karena pemasaran hasil sangat mudah dan menguntungkan bagi petani. Agar tanaman kemiri memberikan keuntungan yang berkelanjutan kepada masyarakat, maka produksi yang diperoleh harus terjamin dan disertai dengan harga yang lebih baik. Produksi buah umumnya sudah menurun karena umur tanaman kemiri sudah memasuki kategori tidak produktif dan kondisi kesehatan tanaman sehingga keterjaminan hasil tidak menentu. Pengaruh harga saat penelitian telah mendorong masyarakat kembali melirik untuk mengelola lahan kemiri yang masih dimilikinya. Tetapi usaha ini terhambat oleh faktor modal yang sulit diperoleh dari lembaga keuangan. Sementara masyarakat umumnya hanya memiliki modal yang terbatas sehingga dalam pengelolaannyapun tidak memperhatikan teknik silvikultur yang baik yang berdampak pada produktivitas hasil yang sedikit Aspek Sosial Hasil penilaian setiap indikator yang diperoleh dari aspek sosial adalah yang bernilai Baik sebanyak 4 (40%); yang bernilai Cukup sebanyak 5 (50%); dan yang bernilai Jelek sebanyak 1 (10%). Adapun penjelasan setiap indikator adalah sebagai berikut: Tabel 31 Hasil penilaian aspek sosial pada pengelolaan tanaman kemiri No Indikator Penilaian Keterangan 1 Partisipasi masyarakat C 2 Peraturan pemanfaatan sumberdaya alam C 3 Akses terhadap pelayanan pendukung C 4 Pengangguran B 5 Kemiskinan B 6 Migrasi J 7 Akomodasi perubahan C 8 Status lahan B 9 Kejelasan batas lahan B 10 Hubungan sosial C Keterangan : B= Baik, C= Cukup, J= Jelek 1 Partisipasi masyarakat Partisipasi masyarakat yang dimaksud di sini adalah kemauan masyarakat menanam kemiri pada lahan miliknya dan masih mempertahankannya sampai saat ini, serta ada peran aktif masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaannya.

119 98 Ichwandi (2001) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan kehutanan adalah partisipasi atau keikutsertaan masyarakat. Dari hasil survei diketahui bahwa partisipasi masyarakat untuk menanam kemiri sudah menurun, hal ini ditunjukkan dengan keberadaan luas tanaman kemiri setiap tahunnya cenderung menurun (Gambar 3). Penyebabnya adalah masyarakat lebih tertarik menanam tanaman berumur pendek karena dapat memberikan penghasilan yang lebih besar dan lebih cepat, adanya perubahan musim berbuah (tidak sepanjang tahun lagi), adanya penyakit gugur buah, hawar daun dan serangan ulat, produksi buah yang cenderung menurun dan harga kemiri yang murah. Wibowo (2007) juga menyampaikan hal yang sama bahwa penurunan luas tanaman kemiri yang ada di Kecamatan Tiga Binanga disebabkan karena petani kemiri tidak merasakan keuntungan dari usaha kemiri sehingga mengkonversinya menjadi usaha pertanian lain yang lebih menguntungkan. Tanaman kemiri yang masih ada, tumbuh dan berkembang saat ini adalah tanaman kemiri yang ada pada lahan-lahan miring, pinggir-pinggir sungai dan lembah-lembah yang cukup sulit untuk dikelola bila diganti menjadi tanaman lainnya. Masyarakat yang masih mau menanam kemiri adalah masyarakat yang memiliki lahan yang sulit dikelola pada lahan curam dan terjal, karena lebih sesuai ditanam pada kondisi lapangan tersebut dan telah menjadi sumber penghasilan selama bertahun-tahun. Wawancara dengan masyarakat dan penyuluh menyebutkan bahwa petani masih mau menanam kemiri karena merasakan bahwa tanaman kemiri masih memberikan hasil yang lumayan, dapat menjadi tabungan masa depan dan karena hanya kemiri yang sesuai tumbuh pada lahannya. Kemauan menanam dan mempertahankan tanaman kemiri untuk beberapa masyarakat juga dilatarbelakangi oleh faktor harga yang membaik. 2 Peraturan masyarakat Peraturan masyarakat adalah peraturan-peraturan yang ada dalam lingkungan masyarakat (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang mengatur pemanfaatan atau pengelolaan sumberdaya alam, dimana peraturan ini juga berlaku dalam kelompok masyarakat untuk pengelolaan tanaman kemiri. Peraturan-peraturan dalam pengelolaan sumberdaya alam dalam lingkungan masyarakat adalah dalam hal pelarangan penebangan pohon di kawasan sumber

120 99 mata air dan larangan penebangan pohon pada kawasan hutan yang dikeramatkan. Hal ini tentu berperan dalam menjaga keberadaan hutan agar tidak dirusak. Peraturan larangan yang sama juga terdapat pada masyarakat Kasepuhan di Banten (Suharjito dan Saputro 2008). Peraturan lainnya adalah adanya sanksi yang dikenakan kepada seseorang jika terbukti bersalah dengan melakukan kesalahan seperti mencuri hasil-hasil pertanian. Jika terbukti melakukan pencurian hasil-hasil pertanian (termasuk kemiri), maka akan dikenakan sanksi tegas sesuai dengan kesepakatan yang sudah disepakati sebelumnya. Seperti di Pamah, dikenakan sanksi membayar denda seharga 1 mayam emas. Hal ini juga berlaku di Desa Pasir Tengah, tetapi sudah mulai lemah, karena bila ada terjadi pencurian, sanksi yang diterima sudah berubah dan biasanya sudah ada komunikasi dalam menuju perdamaian. Pada perkembangan saat ini, bila ada permasalahan dalam lingkungan masyarakat, maka akan dibawa dalam lembaga adat dan lembaga desa untuk mencari solusi yang terbaik dalam mengatasinya. Rahayu dan Awang (2003) menyebutkan bahwa keuntungan finansial yang masyarakat Desa Pecekelan rasakan dari hutan rakyat telah mendorong terbentuknya suatu peraturan desa yang mengatur tentang pencurian kayu dan pakan ternak atau hasil lainnya dari hutan rakyat. Sanksi yang diberikan biasanya berupa denda yang besarnya diatur berdasarkan keputusan bersama antara yang punya hutan dengan pencuri dan perangkat desa yang berwenang. Keberadaan suatu sumber daya alam yang memberikan manfaat kepada masyarakat akan mendorong timbulnya peraturan-peraturan yang akan menjaga hak-hak dari masyarakat dari suatu tindakan-tindakan yang merugikan pemilik sumber daya seperti hasil tanaman kemiri di Desa Pasir Tengah dan Desa Pamah dan hasil hutan rakyat di Desa Pecekelan. 3 Akses terhadap pelayanan pendukung Pengelolaan kemiri masyarakat akan berkembang bila didukung oleh akses yang mendukung seperti penyuluhan, kredit dan teknologi. Untuk bidang penyuluhan cukup berkembang karena adanya penyuluhan bidang pertanian dan berjalan secara rutin tetapi untuk bidang tanaman kehutanan tidak ada. Akses pada bidang kredit juga berkembang tetapi lebih cenderung untuk tanaman

121 100 pertanian dan peternakan (Mosher dalam Soekartawi 2002). Sementara akses tekhnologi juga cenderung untuk bidang pertanian. Akses yang mendukung pengembangan penanaman tanaman kemiri hampir tidak ada karena kemiri belum menjadi tanaman yang diinginkan saat ini oleh beberapa masyarakat, bukan merupakan jenis tanaman yang dapat mengembalikan modal dalam waktu singkat dan teknologi pemanfaatan hasil yang belum ada, seperti pengupasan kemiri masih dilakukan manual. 4 Pengangguran Purnomo (2006) menyebutkan bahwa bidang kehutanan dapat menciptakan lapangan kerja melalui aktivitas pembalakan di hutan, industri, pengolahan kayu, program reforestasi hutan, hutan kemasyarakatan dan lain-lain. Pengelolaan hutan skala kecil mampu menyerap tenaga kerja dan dengan nilai tambah yang lebih besar dari pengusahaan jenis tanaman lain di sela-sela jenis tanaman utamanya. Lapangan kerja yang banyak terserap dan uang hasil usaha yang beredar akan menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi berbasis masyarakat. Nugroho (2010) menyebutkan pengelolaan hutan rakyat dilakukan oleh tenaga kerja rumah tangga yang berperan sebagai buruh dan sekaligus manajer. Skala usaha hutan rakyat umumnya kecil dan bersifar padat karya (labour intensive) sehingga mampu menyerap tenaga kerja pedesaan dalam jumlah besar. Pencipataan lapangan kerja bidang hutan rakyat terjadi, seperti kegiatan penebangan, pengangkutan dan industri-industri kayu rakyat. Hal ini juga terjadi pada pengusahaan kemiri yang dilakukan di Kecamatan Tanah Pinem, yaitu dengan munculnya usaha-usaha pengupasan kemiri di rumah-rumah penduduk dan bagi keluarga yang tidak memiliki lahan. Padat karya terjadi pada petani dengan pola tanaman yang beraneka ragam seperti agroforestry. Anggota keluarga yang diwawancarai yang berada pada usia produktif secara umum sudah bekerja dengan ikut melakukan kegiatan usaha tani yang dilakukan oleh keluarganya ataupun yang ikut upahan dengan petani lainnya. Pekerjaan lain yang dilakukan adalah dengan bekerja melakukan pengupasan kemiri dan mengikat sirih. Walaupun secara jelas banyak orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap, tetapi masyarakat secara umum sudah bisa mencari sumber penghasilan bagi dirinya sendiri dan anggota keluarga dengan ikut

122 101 bekerja diladangnya sendiri, bekerja di ladang orang lain dan melakukan pekerjaan lain seperti mengikat sirih, panjat sirih, panen coklat, membabat, dan lain-lain. Kondisi jumlah penduduk yang tidak bekerja di lokasi penelitian selama 5 tahun ( ) dapat dilihat pada Tabel 32. Jumlah penduduk yang tidak bekerja setiap tahunnya cenderung menurun. Djajapertjunda (2003) menyebutkan bahwa hutan rakyat secara langsung akan berdampak pada terbukanya lapangan pekerjaan. Lapangan pekerjaan ini bisa dalam anggota keluarga petani dan bisa dari luar anggota keluarga petani. Darusman dan Hardjanto (2006) juga menyebutkan bahwa hutan rakyat mampu menyerap tenaga kerja di desa. Penyerapan tenaga kerja dalam bidang usaha kemiri adalah pembabatan tumbuhan bawah, pengumpulan dan pengangkutan buah serta pengolahan hasil. Tabel 32 Kondisi penduduk tidak bekerja tahun No Tahun Desa Total Kutabuluh Pamah Pasir Tengah Sumber : Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka ( ) 5 Kemiskinan BPS (2008) menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) dalam mengetahui tingkat kemiskinan penduduk. Pendekatan ini dipandang dari ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan untuk Propinsi Sumatera Utara menurut BPS (2008) di tingkat desa tahun 2007 adalah Rp dan tahun 2008 adalah Rp dalam Rp/Kapita/bulan. Dari hasil pengolahan data, besaran pengeluaran responden per bulan dibagi dengan jumlah anggota keluarga menunjukkan bahwa pengeluaran per kapita per bulan terendah adalah Rp Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada responden yang berada dalam kategori keluarga miskin karena rata-rata

123 102 pengeluarannya perbulan masih di atas garis kemiskinan yang sudah ditetapkan propinsi yaitu Rp ,- Sedangkan jika keseluruhan pengeluaran responden dibagi dengan jumlah keseluruhan anggota keluarga, maka diperoleh rata-rata tingkat pengeluaran per kapita semua responden adalah Rp artinya bahwa keseluruhan reponden bukan termasuk keluarga miskin karena pengeluaran per kapitanya masih di atas standar BPS pada tahun Migrasi penduduk Perkembangan dan kemajuan suatu tempat dapat dilihat dari jumlah penduduk yang datang dan yang pergi. Hal ini menunjukkan bahwa suatu tempat mempengaruhi orang untuk datang dan pergi bila di tempat tersebut ada suatu kegiatan yang membuat orang untuk datang. Hal ini bisa terjadi karena pada suatu tempat ada perusahaan baru, lokasi tujuan wisata, kawasan industri, pertanian modern, kawasan pendidikan dan lain-lain. Misalnya pada suatu kawasan industri, jumlah penduduk disekitarnya akan cenderung berkembang karena masyarakat yang datang bekerja, penjual makanan, usaha penginapan, membuka toko, usaha transportasi dan lain-lain. Perkembangan suatu tanamanpun akan mempengaruhi orang untuk datang dan pergi, hal ini berhubungan dengan proses produksi dan pemasaran. Kondisi perubahan penduduk di lokasi penelitian sejak tahun 2005 sampai tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 33. Pada tabel dapat dilihat bahwa grafik perubahan jumlah penduduk yang datang dan yang pergi cenderung meningkat. Tetapi, dari informasi yang diperoleh, hal ini terjadi bukan karena pengaruh dari tanaman kemiri, tetapi karena mobilitas penduduk yang pindah, menikah ataupun keluarga yang datang ataupun pergi karena alasan lain. Adanya migrasi penduduk yang cukup besar sehubungan dengan perkembangan hutan rakyat sebagai dampak dari penyerapan tenaga kerja dari bidang perkembangan usaha hutan rakyat tidak dapat ditunjukkan secara signifikan. Dari 63 responden yang diwawancarai, hanya 1 responden sebagai pendatang untuk mengelola tanaman kemiri keluarga.

124 Tabel 33 Kondisi penduduk yang datang dan yang pergi tahun No Tahun Kutabuluh Pamah Pasir Tengah Datang Pergi Datang Pergi Datang Pergi Tidak ada data Sama dengan tahun Sumber : Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka ( ) 7 Kapasitas mengakomodasi perubahan 103 Kapasitas mengakomodasi perubahan dapat dilihat dari tingkat pendidikan masyarakat, pembangunan infrastruktur dan fasilitas-fasilitas lainnya yang mendukung perkembangan masyarakat.untuk tingkat pendidikan, dapat diketahui dari minat masyarakat yang menyekolahkan anaknya di sekolah lokal (SD, SMP, SMA) maupun di luar daerah (untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi seperti SMA atau universitas). Untuk infrastruktur juga mengalami perkembangan seperti bangunan sekolah, jalan, layanan kesehatan, layanan pertanian dan lainlain. Masyarakat secara umum sudah sangat mengakomodasi perubahan yang diterima dari dunia luar (luar desa) dari media lain seperti televisi, radio, internet, hp dan lain-lain. Perubahan yang diterima oleh masyarakat adalah perubahan yang membawa masyarakat ke dalam kehidupan yang lebih baik dan lebih mudah. Misalnya penggunaan obat-obatan dalam mengatasi penyakit tanaman, penggunaan zat-zat kimia yang bermanfaat dalam meningkatkan produktivitas lahan, sarana pengelolaan lahan dengan traktor, sarana teknologi hasil pertanian seperti pemipil jagung, dll. Sementara untuk kehidupan sehari-hari, juga sudah menggunakan teknologi dalam bentuk sarana dan prasarana kebutuhan keluarga. 8 Status lahan Status lahan yang dimiliki dan dikelola oleh masyarakat petani kemiri adalah lahan yang diperoleh dengan proses membeli, diwariskan orang tua (Suharjito 2002) maupun yang digarap sendiri atau dibuka sendiri (Yusran 1999; 2005). Gambaran asal usul kepemilikan lahan responden yang menanam kemiri adalah 30 responden (47,62%) memiliki tanah yang berasal dari warisan orang tua, 19 responden (30,16%) memiliki tanah yang dibeli dan 14 responden (22,22%) memiliki tanah dari hasil garapan sendiri.

125 104 Status kepemilikan lahan dapat diketahui dari surat-surat kepemilikan lahan. Pada Tabel 16 dapat dilihat status surat-surat kepemilikan lahan yang dimiliki oleh responden. Jumlah petani kemiri yang memiliki surat sertifikat lahan hanya 9 responden (14,29%) sedangkan yang belum memiliki surat sertifikat tanah sebanyak 54 responden (85,71%). Tanaman kemiri rakyat yang ada pada lahan-lahan milik masyarakat, jika dilihat menurut kriteria hutan hak (UU No. 41 tahun 1999), hanya 14,29% yang memenuhi kriteria tersebut. Tetapi, tidak serta merta 85,71% lainnya tidak dapat disebut hutan rakyat. Keterangan yang diperoleh dari responden adalah bahwa semua lahan yang ada pada masyarakat adalah lahan yang sudah menjadi milik masyarakat itu sendiri yang diperoleh melalui jalur warisan, dibeli dan dibuka sendiri. Lahan-lahan yang sudah diwariskan dari orang tua kepada anak-anaknya, tidak akan diganggu gugat oleh siapapun karena sudah ada jelas pemiliknya. Pembuktian kepemilikan lahan bagi masyarakat yang tidak memiliki sertifikat dapat dibuktikan dengan kepemilikan fisik tanaman di lahan-lahan miliknya yang sudah diakui dan diterima oleh masyarakat secara sosial dan tidak ada klaim dari pihak lain. Status lahan sudah dimiliki oleh responden dan sudah dikelola dalam waktu yang lama dan ada yang diperoleh dari orang tua, maka tanaman kemiri rakyat dapat disebut hutan rakyat. Djajapertjunda (2003) menyebutkan bahwa hutan rakyat di luar Pulau Jawa berasal dari tanah persekutuan adat yang status haknya telah berubah bentuk menjadi lahan hak garapan, kemudian menjadi tanah dengan status hak milik adat dan selanjutnya diubah menjadi hak milik dengan sertifikat. Jika dalam hak ini ada hutan maka hutan tersebut menjadi hutan rakyat. Proses pembuatan surat sertifikatlah yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat agar kepemilikan lahan menjadi terjamin sehingga masyarakat bebas untuk menentukan akses dan pengendalian atas tanah dan sumberdaya yang ada di atasnya. Adapun permasalahan konflik kepemilikan lahan terjadi apabila ada lahan yang dulu diberikan seseorang kepada orang lain, kemudian ada keluarga (keturunan pemilik lahan) meng-klaim kembali kepemilikan lahan yang sudah

126 105 diberikan tersebut. Permasalahan seperti ini sangat jarang terjadi dan umumnya dapat diselesaikan dengan baik. 9 Kejelasan batas lahan Kejelasan status lahan yang dimiliki oleh masyarakat akan disertai dengan kejelasan batas lahan. Lahan milik masyarakat umumnya sudah memiliki batasbatas lahan yang sudah diakui oleh masyarakat, dimana hal ini dapat mencegah terjadinya konflik dalam penggunaan lahan. Batas lahan-lahan yang dimiliki oleh seseorang dengan batas lahan yang dimiliki oleh orang lain secara jelas dapat dilihat dilapangan. Batas-batas lahan milik dapat dilihat dengan adanya pembatas yaitu jalan, sungai, tanaman pinang, tanaman kapuk, tanaman kemiri, jenis tanaman yang berbeda dan lain-lain. Hasil wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat menyatakan bahwa tidak ada permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat mengenai batas kepemilikan lahan. Konflik mengenai batas lahan pernah terjadi, tetapi hal ini terjadi pada ahli waris yang tidak mengetahui batas awal lahan yang diwariskan oleh orang tua atau tanah warisan yang sudah ditinggalkan lama oleh ahli warisnya yang kemudian beralih ke pihak lain dan lama kelamaan menjadi permasalahan khususnya pada pemilik lahan disekitarnya. Penyelesaian konflik batas lahan dapat diatasi dengan jalur pertemuan dengan pihak-pihak yang bertikai. Gambar 16 Batas kepermilikan lahan dapat diketahui dari jenis tanaman pagar yang ada (seperti pinang).

127 Terbangunnya hubungan sosial antara masyarakat Hubungan sosial masyarakat terbangun dengan adanya kebutuhan bersama dalam lingkungan masyarakat yang memiliki adat istiadat dan latar belakang yang sama. Hubungan sosial terbentuk dalam lingkungan komunitas yang sama, sehingga dalam berbagai kondisi, peranan sosial masyarakat sangat berperan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya seperti dalam acara adat kematian dan adat pernikahan. Hubungan sosial yang terbentuk untuk pengelolaan sumberdaya alam adalah dalam hal tolong menolong pada saat panen, penanaman dan penggunaan sarana produksi atau alat-alat pertanian. Hubungan sosial yang sama juga tercipta pada masyarakat di Desa Buniwangi-Sukabumi (Suharjito 2002). Mehendra (2009) menyebutkan bahwa salah satu pengaruh hutan rakyat dari aspek sosial dapat dilihat dari hubungan sosial yang terjalin dan budaya bercocok tanam menjadi budaya semua orang dalam domain semua kelas umur. Hasil penilaian keberlanjutan pengelolaan tanaman kemiri rakyat di Kecamatan Tanah Pinem dari aspek sosial masuk pada kategori berkelanjutan dengan catatan. Hal ini dapat dilihat bahwa partisipasi masyarakat menanam kemiri sudah mulai menurun karena dampak dari berbagai permasalahan yang muncul seperti produksi yang menurun, kondisi kesehatan tanaman dan lain-lain. Sementara dari aspek kepemilikan lahan, batas lahan, peraturan dalam lingkungan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam, hubungan sosial, akses terhadap pelayanan pendukung dapat membantu dalam mencapai pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan, tetapi perlu pembenahan-pembenahan yang lebih baik dari instansi terkait untuk mendorong minat masyarakat kembali menanam kemiri pada lahan-lahan miring. Kelestarian pengelolaan suatu sumberdaya alam yang tumbuh dalam lingkup lokal masyarakat dapat dilihat dari sudut sejauhmana sumberdaya tersebut memberikan manfaat pada kesejahteraan masyarakat, distribusi manfaat sumberdaya alam bagi masyarakat, kapasitas masyarakat untuk mengakomodasi perubahan dan akseptabilitas sosial atau pengelolaan sumberdaya alam diterima secara ekologi, ekonomi dan nilai sosial yang berlaku dalam lingkungan masyarakat (Davis et al. 2001).

128 Analisis keberlanjutan Secara keseluruhan hasil penilaian terhadap indikator dari semua aspek yang diperoleh sebagai berikut: 1. Indikator yang bernilai Baik sebanyak 10 (35,71%) atau masih di bawah 50% dari keseluruhan indikator yang dinilai, tetapi berada di atas 25% dari keseluruhan indikator yang dinilai. 2. Indikator yang bernilai Cukup sebanyak 15 (53,57%) atau berada diatas 50% dari keseluruhan indikator yang dinilai. 3. Indikator yang bernilai Jelek sebanyak 3 (10,72%) atau berada dibawah 25% dari keseluruhan indikator yang dinilai. Dari hasil penilaian ini, maka keberlanjutan pengelolaan kemiri rakyat dari aspek ekologi, aspek ekonomi dan aspek sosial adalah berkelanjutan dengan catatan karena hanya memenuhi persyaratan: Baik > 25% x n; Cukup > 50% x n; Jelek < 25% x n. Tanaman kemiri adalah salah satu tanaman hasil hutan bukan kayu penghasil buah. Tanaman ini memiliki banyak manfaat, buahnya untuk bahan baku industri dan penyedap makanan, kulit buah yang keras sebagai bahan baku obat nyamuk bakar dan saat ini dijadikan sebagai bahan bakar industri yang menggunakan pengering (dryer), kayunya sebagai bahan baku kayu lapis dan tanamannya sendiri sebagai tanaman yang cocok untuk merehabilitasi lahan-lahan kritis. Jika dilihat, maka sebenarnya tanaman kemiri memiliki multi manfaat baik pada aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Tetapi, manfaat ini belum sepenuhnya dilirik dan dijadikan pemerintah sebagai program dalam mengatasi luas lahan kritis yang meningkat dan sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat. Tanaman kemiri hampir tumbuh dan berkembang di semua tempat di Indonesia. Keberadaan tanaman kemiri pada suatu tempat sangat berlatar belakang dengan sejarah keberadaannya pada tempat tersebut. Tanaman kemiri rakyat yang ada di Kecamatan Tanah Pinem sudah ada sejak dahulu. Tanaman kemiri adalah tanaman yang tumbuh secara alami di lahan-lahan milik dan kawasan hutan. Kepemilikan lahan tanaman kemiri adalah berasal dari tanah adat yang kemudian diwariskan kepada keturunannya. Terdapat 30 responden (47,62%) yang memiliki tanaman kemiri dari warisan, hal ini

129 108 menunjukkan bahwa tanaman kemiri telah menjadi tanaman yang berlangsung secara turun temurun yang berlanjut sampai sekarang. Kemudian, untuk beberapa pihak terjadi transaksi jual beli baik pada penduduk asli maupun pada penduduk pendatang. Kepemilikan lahan tanaman kemiri tidak hanya dari warisan atau dibeli, tetapi ada juga yang membuka hutan dan menjadikannya sebagai milik. Pada saat kemiri belum laku diperjualbelikan, buahnya hanya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti bumbu dapur, obat sakit perut, obat bisul dan bahan bakar untuk lampu penerang. Kemudian pelahan-lahan kemiri dibawa ke pasar dan mulai laku dan diperjualbelikan. Sekitar tahun 1955 disebutkan bahwa kemiri sudah laku diperdagangkan. Sejak itu, kemiri menjadi tanaman yang menghasilkan bagi masyarakat dan umumnya tanaman kemiri pada periode tersebut menghasilkan buah hampir sepanjang tahun. Pada tahun 1980-an disebutkan bahwa setiap minggunya ada sekitar 100 ton buah kemiri kupas yang siap angkut keluar dari Kecamatan Tanah Pinem. Bahkan karena banyaknya, kadang-kadang tidak dapat diangkut karena keterbatasan sarana pengangkutan. Kondisi ini berbeda dengan kondisi yang ada sekarang. Dari hasil pengolahan data yang diperoleh, produksi kemiri kupas yang dihasilkan pada tahun 2010 hanya 583,33 kg/ha. Berarti ada penyimpangan yang sangat jauh antara produksi tahun 1980-an dengan tahun Hal ini dapat dijelaskan oleh penurunan luas tanaman kemiri, kondisi kesehatan tanaman dan umur tanaman yang memasuki kategori tidak produktif cukup banyak. Pada saat tanaman kemiri masih berperan dalam kehidupan masyarakat, masyarakat sangat menggantungkan kehidupannya dari kemiri. Masyarakat dari usia muda sampai tua mendapatkan uang dari kemiri. Banyak anak-anak yang sudah kenal uang dan bisa mencarinya dengan bekerja sebagai upahan baik untuk mengumpulkan kemiri di ladang maupun mengupasnya. Keadaan ini mulai berubah dengan adanya serangan hama dan penyakit, seperti ulat pemakan daun, penggerak batang dan gugur buah. Perubahan musim penghujan dan musim kemarau yang tidak jelas, mempengaruhi musim berbunga dari tanaman kemiri yang berdampak pada musim berbuah. Pada akhir-akhir ini,

130 109 masyarakat menyebutkan bahwa musim berbuah sudah berubah dan buah tidak lagi dapat diperoleh sepanjang tahun. Perubahan dan permasalahan yang terjadi, telah mempengaruhi masyarakat beralih untuk menanam tanaman lain. Pada daerah yang lebih landai, masyarakat mulai beralih menanam tanaman seperti jagung, cokelat, pisang, pepaya dan sawit. Selain karena perubahan produksi yang menurun, salah satu faktor yang juga kurang mendukung adalah fluktuasi harga. Fluktuasi harga kemiri antara tahun 1997 sampai awal tahun 2011 adalah seperti Gambar 17. Sumber : Kecamatan Tanah Pinem ( ) dan hasil wawancara untuk data tahun Gambar 17 Fluktuasi harga kemiri di lokasi penelitian. Pola perubahan penggunaan lahan yang mulai beralih ke tanaman muda disebabkan karena pengaruh harga pasar yang lebih besar dan stabil, pendapatan yang diperoleh lebih besar dan cepat (jagung bisa panen 2 kali setahun dan cokelat bisa memberikan penghasilan bulanan). Peralihan ini juga dipengaruhi oleh umur tanaman kemiri yang sudah melewati umur produktif. Masyarakat yang melakukan replanting pada tanaman kemirinya adalah masyarakat yang memiliki lahan pada lahan-lahan miring yang tidak bisa ditanami dengan tanaman pertanian seperti padi dan jagung. Tanaman kemiri rakyat yang masih utuh keberadaannya adalah lahan-lahan milik yang ada pada daerah lahan miring, pinggir sungai, lembah/jurang dan daerah terjal dan juga pada lahan masyarakat yang masih merasakan manfaat dari

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan membagi hutan menjadi hutan negara dan hutan hak. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat Hutan rakyat merupakan kegiatan yang sudah berlangsung sejak dahulu sampai sekarang khususnya di daerah pedesaan. Hutan rakyat memiliki ciri yang berbeda di setiap tempat,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) TINJAUAN PUSTAKA Definisi Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undang- Undang tersebut, hutan adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) TINJAUAN PUSTAKA Definisi Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undangundang tersebut, hutan adalah suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 18 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan sebagai modal pembanguan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara agraris, artinya sektor pertanian dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara agraris, artinya sektor pertanian dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, artinya sektor pertanian dalam tatanan pembangunan nasional memegang peranan penting, karena selain bertujuan menyediakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Rakyat Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik (Departeman Kehutanan dan Perkebunan, 1999).

Lebih terperinci

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT 6.1 Kelembagaan Pengurusan Hutan Rakyat Usaha kayu rakyat tidak menjadi mata pencaharian utama karena berbagai alasan antara lain usia panen yang lama, tidak dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. kenyataan yang terjadi yakni

BAB I PENDAHULUAN. penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. kenyataan yang terjadi yakni BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan demikian, sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan adalah suatu lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara. keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan adalah suatu lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara. keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Hutan adalah suatu lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya, dan ditetapkan oleh pemerintah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanaman dagang yang sangat menguntungkan, dengan masukan (input) yang

I. PENDAHULUAN. tanaman dagang yang sangat menguntungkan, dengan masukan (input) yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kacang tanah merupakan tanaman palawija yang secara ekonomis berperan penting bagi kehidupan manusia. Selain itu, juga dapat dijadikan bahan baku industri. Sebagai sumber

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Marga dan Hutan Rakyat 1. Hutan Marga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan rakyat memiliki peran yang penting sebagai penyedia kayu. Peran hutan rakyat saat ini semakin besar dengan berkurangnya sumber kayu dari hutan negara. Kebutuhan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

TINJAUAN PUSTAKA. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan TINJAUAN PUSTAKA Hutan Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Hutan merupakan sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya berusaha di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang besar, diharapkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk menopang perekonomian nasional. Pembangunan pertanian yang baik untuk Negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

TINJAUAN PUSTAKA. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan TINJAUAN PUSTAKA Hutan Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Hutan merupakan sumber

Lebih terperinci

KUALA, TIGA BINANGA, TANAH KARO

KUALA, TIGA BINANGA, TANAH KARO PENGUSAHAAN KEMIRI ( Aleurites mollucana wild) DI DESA KUALA, TIGA BINANGA, TANAH KARO Oleh : Santiyo Wibowo ABSTRAK Kemiri ( Aleurites mollucana Wild) merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu dan tanaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah wilayah dengan topogafi yang dibatasi oleh punggung-punggung bukit tempat tangkapan air hujan yang akan dialirkan melalui anak-anak sungai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia karena merupakan tumpuan hidup sebagian besar penduduk Indonesia. Lebih dari setengah angkatan kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia. Hal ini BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan penting dalam meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia. Hal ini dikarenakan sektor pertanian

Lebih terperinci

POTENSI DAN KELEMBAGAAN HUTAN RAKYAT Oleh: Billy Hindra 1)

POTENSI DAN KELEMBAGAAN HUTAN RAKYAT Oleh: Billy Hindra 1) POTENSI DAN KELEMBAGAAN HUTAN RAKYAT Oleh: Billy Hindra 1) I. PENDAHULUAN Sumberdaya hutan di Indonesia seluas 120 juta hektar mempunyai keanekaragaman hayati yang sangat tinggi sehingga hutan kita tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan di Indonesia mempunyai peranan baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya, maupun secara ekologis. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melumpuhkan hampir semua sendi-sendi perekonomian dan bisnis Indonesia. Tidak

BAB I PENDAHULUAN. melumpuhkan hampir semua sendi-sendi perekonomian dan bisnis Indonesia. Tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Badai krisis ekonomi yang mulai menerpa Indonesia pada medio 1997 telah melumpuhkan hampir semua sendi-sendi perekonomian dan bisnis Indonesia. Tidak terkecuali bisnis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan rakyat telah menjadi bagian yang sangat penting dalam perkembangan dunia kehutanan dewasa ini. Di Pulau Jawa khususnya, perkembangan hutan rakyat dirasakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Dairi terletak di sebelah barat laut Provinsi Sumatera Utara.

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Dairi terletak di sebelah barat laut Provinsi Sumatera Utara. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kabupaten Dairi berada di Dataran Tinggi Bukit Barisan dengan ketinggian sekitar 400-1.700 meter diatas permukaan laut, Luas wilayah Kabupaten Dairi 192.780

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Rakyat 1. Pengertian Hutan Rakyat Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat bermanfaat bagi manusia. Hutan merupakan ekosistem yang menjadi penyangga kehidupan manusia yang harus dilindungi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan pada masa lalu banyak menimbulkan kerugian baik secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Laju angka kerusakan hutan tropis Indonesia pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam menyumbangkan pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di Indonesia tergolong besar. Saat ini berdasarkan survey terakhir, jumlah penduduk Indonesia adalah 230 juta lebih. Laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dengan yang lainnya tidak terpisahkan (Awang, 2002). kehutanan Indonesia adalah membagi lahan hutan kedalam pengelolaan yang

PENDAHULUAN. dengan yang lainnya tidak terpisahkan (Awang, 2002). kehutanan Indonesia adalah membagi lahan hutan kedalam pengelolaan yang PENDAHULUAN Hutan Menurut Undang-Undang Kehutanan No. 41/1999 hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1 Definisi hutan rakyat Definisi Hutan rakyat dapat berbeda-beda tergantung batasan yang diberikan. Hutan rakyat menurut Undang-undang No. 41 tahun 1999

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan budi

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan budi TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Hutan rakyat adalah hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat, maupun

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 45 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengelolaan Kemiri Rakyat di Kecamatan Tanah Pinem Kemiri merupakan tanaman yang tumbuh dan berkembang di Kecamatan Tanah Pinem sejak dahulu sampai sekarang. Keberadaan tanaman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1. Pengertian Hutan Rakyat Hutan secara singkat dan sederhana didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang didominasi oleh pohon (Suharjito, 2000). Menurut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Agroforestry dalam Bahasa Indonesia, dikenal dengan istilah wanatani atau

I. PENDAHULUAN. Agroforestry dalam Bahasa Indonesia, dikenal dengan istilah wanatani atau I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agroforestry dalam Bahasa Indonesia, dikenal dengan istilah wanatani atau agroforestri, arti sederhananya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Sistem ini telah

Lebih terperinci

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN Noviana Khususiyah, Subekti Rahayu, dan S. Suyanto World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan aset nasional, bahkan aset dunia yang harus dipertahankan keberadaannya secara optimal. Menurut Undang-Undang No.41 Tahun

Lebih terperinci

Menengok kesuksesan Rehabilitasi Hutan di Hutan Organik Megamendung Bogor Melalui Pola Agroforestry

Menengok kesuksesan Rehabilitasi Hutan di Hutan Organik Megamendung Bogor Melalui Pola Agroforestry Menengok kesuksesan Rehabilitasi Hutan di Hutan Organik Megamendung Bogor Melalui Pola Agroforestry Oleh : Binti Masruroh Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan hutan terutama pemanenan kayu sebagai bahan baku industri mengakibatkan perlunya pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang lestari. Kurangnya pasokan bahan baku

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di Indonesia sejak tahun 2001 berdasarkan UU RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang selanjutnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 15 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karet merupakan komoditas perkebunan yang sangat penting peranannya di Indonesia. Selain sebagai sumber lapangan kerja, komoditas ini juga memberikan kontribusi yang

Lebih terperinci

BUKU RENCANA MANAJEMEN PLAN SUB DAS GOPGOPAN

BUKU RENCANA MANAJEMEN PLAN SUB DAS GOPGOPAN i ii Kata Pengantar Penyusunan rencana pengelolaan ( Manajemen Plan) Sub DAS Gogopan merupakan bahagian dari kegiatan yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan di wilayah DAS Asahan Barumun melalui program

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan perekonomian nasional dan menjadi sektor andalan serta mesin penggerak pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli BAB V Pembangunan di Kabupaten Bangli Oleh: Dinas Pertanian, Perkebunan dan Perhutanan Kabupaten Bangli. Dewasa ini, permintaan kayu semakin meningkat, sementara kemampuan produksi kayu dari kawasan hutan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Andayani W Optimalisasi pemanfaatan lahan usahatani pola agroforestry. Tinjauan Teoritis. Jurnal Hutan Rakyat Vol IV No.

DAFTAR PUSTAKA. Andayani W Optimalisasi pemanfaatan lahan usahatani pola agroforestry. Tinjauan Teoritis. Jurnal Hutan Rakyat Vol IV No. 123 DAFTAR PUSTAKA Andayani W. 2002. Optimalisasi pemanfaatan lahan usahatani pola agroforestry. Tinjauan Teoritis. Jurnal Hutan Rakyat Vol IV No.1:55-68 Awang SA, Wiyono EB, Sadiyo S. 2007. Unit Manajemen

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry TINJAUAN PUSTAKA Pengertian hutan kemasyarakatan Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry memiliki beberapa pengertian, yaitu : 1. Hutan kemasyarakatan menurut keputusan menteri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan menjadi suatu sistem yang menguntungkan adalah sistem agroforestri.

I. PENDAHULUAN. dan menjadi suatu sistem yang menguntungkan adalah sistem agroforestri. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sistem pemanfaatan lahan yang optimal dalam menghasilkan produk dan menjadi suatu sistem yang menguntungkan adalah sistem agroforestri. Agroforestri menurut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di beberapa daerah di Indonesia telah memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditempuh dari setiap daerah maka akan cepat mengalami perkembangan,

BAB I PENDAHULUAN. ditempuh dari setiap daerah maka akan cepat mengalami perkembangan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai Negara berkembang terus mengalami perubahanperubahan yang menuju pada perkembangan baik fisik maupun sosialnya. Aspek fisik seperti letak yang

Lebih terperinci

Oleh : Sri Wilarso Budi R

Oleh : Sri Wilarso Budi R Annex 2. The Training Modules 1 MODULE PELATIHAN RESTORASI, AGROFORESTRY DAN REHABILITASI HUTAN Oleh : Sri Wilarso Budi R ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak terhingga nilainya bagi seluruh umat manusia. Sebagai anugerah, hutan mempunyai nilai filosofi yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis merupakan sektor yang paling penting di hampir semua negara berkembang. Sektor pertanian ternyata dapat

Lebih terperinci

PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI

PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI Oleh: Aladin Nasution*) - Abstrak Pada dasarnya pembangunan pertanian di daerah transmigrasi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Agroforestri di Lokasi Penelitian Lahan agroforestri di Desa Bangunjaya pada umumnya didominasi dengan jenis tanaman buah, yaitu: Durian (Durio zibethinus),

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. hutan memiliki 3 fungsi utama yang saling terkait satu sama lain, yakni fungsi

TINJAUAN PUSTAKA. hutan memiliki 3 fungsi utama yang saling terkait satu sama lain, yakni fungsi TINJAUAN PUSTAKA Hutan Secara normatif, tujuan utama pengelolaan hutan sebenarnya adalah memanfaatkan seoptimal mungkin fungsi hutan. Secara konseptual sumber daya hutan memiliki 3 fungsi utama yang saling

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan salah satu sektor penunjang perekonomian di Provinsi Jawa Timur. Hal ini terlihat dengan nilai ekspor produk kayu dan barang dari

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung INDRA GUMAY

Lebih terperinci

Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan. Sektor pertanian di lndonesia dalam masa krisis ekonomi tumbuh positif,

Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan. Sektor pertanian di lndonesia dalam masa krisis ekonomi tumbuh positif, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan Juli 1997 mempunyai dampak yang besar terhadap perekonomian negara. Sektor pertanian di lndonesia dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bagi Indonesia, jagung merupakan tanaman pangan kedua setelah padi. Bahkan di

BAB I PENDAHULUAN. Bagi Indonesia, jagung merupakan tanaman pangan kedua setelah padi. Bahkan di BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Bagi Indonesia, jagung merupakan tanaman pangan kedua setelah padi. Bahkan di beberapa tempat, jagung merupakan bahan pokok makanan utama pengganti beras atau sebagai

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah PENDAHULUAN Latar Belakang Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan

Lebih terperinci

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri AGROFORESTRI Ellyn K. Damayanti, Ph.D.Agr. M.K. Ekoteknologi Konservasi Tumbuhan Bogor, 19 Maret 2013 PENDAHULUAN Apa itu Agroforestri? Agro/agriculture; forestry Nama bagi sistem-sistem dan teknologi

Lebih terperinci

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK Hutan rakyat sudah lama ada dan terus berkembang di masyarakat. Manfaat yang diperoleh dari hutan rakyat sangat dirasakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. usaha pertanian (0,74 juta rumah tangga) di Sumatera Utara.

BAB I PENDAHULUAN. usaha pertanian (0,74 juta rumah tangga) di Sumatera Utara. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian merupakan basis utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggantungkan hidupnya pada

Lebih terperinci

LRC. Oleh : Herman Rakha / Peneliti LRC

LRC. Oleh : Herman Rakha / Peneliti LRC Oleh : Herman Rakha / Peneliti Hutan merupakan salah satu aset yang perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya. Seperti telah kita ketahui bersama, bahwa hutan merupakan paru-paru bumi, satwa hidup, pohon-pohon,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Hutan memiliki

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 47 / KPTS-II / 1998 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 47 / KPTS-II / 1998 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 47 / KPTS-II / 1998 TENTANG PENUNJUKAN KAWASAN HUTAN LINDUNG DAN HUTAN PRODUKSI TERBATAS SELUAS ± 29.000 (DUA PULUH SEMBILAN RIBU) HEKTAR DI KELOMPOK HUTAN PESISIR, DI

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan rencana Pembangunan Jangka Menengah sampai tahun 2009 sebesar

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan rencana Pembangunan Jangka Menengah sampai tahun 2009 sebesar I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Upaya Pemerintah menurunkan jumlah pengangguran dan kemiskinan sesuai dengan rencana Pembangunan Jangka Menengah sampai tahun 2009 sebesar 5,1% dan 8,2% dan penurunan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 41 tahun 1999). Menurut Indriyanto (2006), hutan merupakan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. 41 tahun 1999). Menurut Indriyanto (2006), hutan merupakan masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu proses peningkatan kualitas

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu proses peningkatan kualitas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu proses peningkatan kualitas kehidupan masyarakat sehingga dinilai lebih baik dari sebelumnya. Sedangkan pembangunan wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan milik masyarakat berangsur-angsur menjadi pemukiman, industri atau usaha kebun berorientasi komersil. Karena nilai ekonomi lahan yang semakin meningkat maka opportunity

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional.

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan regional memiliki peran utama dalam menangani secara langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. Peranan perencanaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan merupakan bagian penting dari negara Indonesia. Menurut angka

I. PENDAHULUAN. Hutan merupakan bagian penting dari negara Indonesia. Menurut angka 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan bagian penting dari negara Indonesia. Menurut angka resmi Kementerian Kehutanan Republik Indonesia pada tahun 2012 luas kawasan hutan di Indonesia sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor perkebunan merupakan sektor yang berperan sebagai penghasil devisa

BAB I PENDAHULUAN. Sektor perkebunan merupakan sektor yang berperan sebagai penghasil devisa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perkebunan merupakan sektor yang berperan sebagai penghasil devisa negara, salah satu komoditas perkebunan penghasil devisa adalah komoditas kopi. Kopi merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hasil Hutan Non Kayu Hasil hutan dibagi menjadi dua bagian yaitu hasil hutan kayu dan hasil

TINJAUAN PUSTAKA. Hasil Hutan Non Kayu Hasil hutan dibagi menjadi dua bagian yaitu hasil hutan kayu dan hasil 15 TINJAUAN PUSTAKA Hasil Hutan Non Kayu Hasil hutan dibagi menjadi dua bagian yaitu hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu. Menurut Supriadi (2003) hutan tidak hanya menghasilkan kayu, tetapi hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produksi pangan di negara-negara sedang berkembang meningkat. Sekalipun

BAB I PENDAHULUAN. Produksi pangan di negara-negara sedang berkembang meningkat. Sekalipun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produksi pangan di negara-negara sedang berkembang meningkat. Sekalipun demikian, tiap tahun penduduk yang tidak cukup makan makin banyak jumlahnya. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya, isi kebun di Indonesia adalah berupa tanaman buah-buahan,

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya, isi kebun di Indonesia adalah berupa tanaman buah-buahan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya, isi kebun di Indonesia adalah berupa tanaman buah-buahan, tanaman sayuran, tanaman hias dan wangi-wangian, tanaman bumbu masak, tanaman obat-obatan, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. opportunity cost. Perbedaan opportunity cost suatu produk antara suatu negara

BAB I PENDAHULUAN. opportunity cost. Perbedaan opportunity cost suatu produk antara suatu negara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu kegiatan yang berperan penting dalam perekonomian suatu negara adalah kegiatan perdagangan internasional. Sehingga perdagangan internasional harus

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan tradisional yang mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Peran tersebut antara lain adalah sebagai sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan karena sektor pertanian mampu memberikan pemasukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan karena sektor pertanian mampu memberikan pemasukan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian adalah salah satu sektor yang selama ini masih diandalkan karena sektor pertanian mampu memberikan pemasukan dalam mengatasi krisis yang sedang terjadi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuhtumbuhan memanjat dengan bunga yang beraneka warna yang berperan sangat penting bagi kehidupan di

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi

PENDAHULUAN. Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sumberdaya alam mempunyai manfaat yang penting bagi kehidupan manusia baik secara ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan

Lebih terperinci

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk ALFARED FERNANDO SIAHAAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL (Kasus di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) HENDRO ASMORO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Agroforestri Sistem agroforestri memiliki karakter yang berbeda dan unik dibandingkan sistem pertanian monokultur. Adanya beberapa komponen berbeda yang saling berinteraksi dalam

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena pupuk kimia lebih mudah diperoleh dan aplikasinya bagi tanaman

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena pupuk kimia lebih mudah diperoleh dan aplikasinya bagi tanaman BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penggunaan pupuk pada tanah pertanian terutama pupuk kandang telah di mulai berabad abad yang silam sesuai dengan sejarah pertanian. Penggunaan senyawa kimia sebagai pupuk

Lebih terperinci