PERENCANAAN LANSKAP EKOWISATA KARST DI LEMBAH MULO YOGYAKARTA FATHIIN MUHTADI PRIYATAMA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERENCANAAN LANSKAP EKOWISATA KARST DI LEMBAH MULO YOGYAKARTA FATHIIN MUHTADI PRIYATAMA"

Transkripsi

1 PERENCANAAN LANSKAP EKOWISATA KARST DI LEMBAH MULO YOGYAKARTA FATHIIN MUHTADI PRIYATAMA DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

2 Abstract Karst is a sensitive area and must be protected. Ecotourism is one of the effective way to protect and utilize the karst. The location of the research is at Mulo Valley Yogyakarta. The first methods of this research is identifying potential objects and attractions for ecotourism at Mulo Valley. Further analysis was conducted to determine the sensitivity of the karst area for the development of ecotourism. The results showed that Mulo Valley has fifteen tourist objects and attractions. The sensitivity status of the karst area is amounted to 6,8 acres (41,39%) are sensitive, 9.63 acres (58,61%) are quite sensitive, and 0 acres (0%) are less sensitive of 16,43 acres total area. The final result of this research is landscape plan. The application of the ecotourism concept aims to keep the sustainability of the karst. Keywords: karst, landscape planning, ecotourism

3 iii RINGKASAN FATHIIN MUHTADI PRIYATAMA. Perencanaan Lanskap Ekowisata Karst di Lembah Mulo Yogyakarta. Dibimbing oleh SITI NURISYAH. Studi ini bertujuan untuk membuat suatu perencanaan lanskap ekowisata di Lembah Mulo dengan mempertimbangkan kepekaan kawasan dan ketersediaan objek dan atraksi wisata. Studi ini diharapkan mampu membantu melestarikan kawasan karst kawasan dan melalui kegiatan wisata akan meningkatkan pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Studi ini dilaksanakan di Lembah Mulo yang termasuk dalam wilayah administrasi Desa Mulo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Yogyakarta. Metode yang digunakan adalah proses perencanaan lanskap yang dikemukakan oleh Gold (1980) dengan pendekatan kepekaan kawasan dan ketersediaan objek dan atraksi wisata pada tapak. Tahapan perencanaan ini mencakup kegiatan persiapan, pengumpulan data, analisis, sintesis, dan perencanaan lanskap dan penyususnan laporan. Konsep dasar perencanaan lanskap ekowisata karst di Lembah Mulo ini adalah menjadikan Lembah Mulo sebagai kawasan wisata yang tetap menjaga kelestarian lingkungan, partisipatif, dan edukatif. Perencanaan kawasan berbasis ekologi bertujuan agar tidak merusak karst disana. Pemberdayaan masyarakat sekitar dalam pengelolaan untuk meningkatkan kesejahateraan mereka. Unsur edukasi dimasukkan dalam pengembangan konsep agar wisatawan dapat memperoleh pemahaman tentang kawasan karst yang merupakan bentang alam yang penting dan perlu dilindungi dan dilestarikan. Perencanaan kawasan Lembah Mulo diharapkan mampu menjadi icon kepariwisataan di Kabupaten Gunungkidul. Secara umum perencanaan lanskap ekowisata karst di Lembah Mulo memiliki luas area sebesar 16,4 Ha yang terbagi atas empat ruang, yaitu ruang penerimaan (1,28 Ha), ruang pelayanan (2,78 Ha), ruang wisata (8,26 Ha), dan penyangga (4,08 Ha). Pengembangan jalur ekowisata yang akan direncanakan pada kawasan Lembah Mulo adalah dengan menghubungkan objek, atraksi

4 iv wisata, dan ruang-ruang yang terbentuk dan tersebar pada kawasan dengan mempertimbangkan kondisi eksisting dan tidak merusak dan mengurangi kualitas lingkungan sekitar. Terdapat tiga jalur sirkualsi yang akan dikembangkan pada tapak, antara lain jalur utama, jalur primer, dan jalur sekunder. Pengembangan rencana fasilitas berdasarkan pada kebutuhan setiap ruangnya tergantung aktivitas dan kondisi eksisting. Penggunaan material yang ramah lingkungan dan berasal dari daerah setempat (lokal) akan memberikan kesan alami dan sesuai dengan konsep ekowisata kawasan yang akan dikembangkan. Fasilitas yang akan dikembangkan tidak boleh mengganggu dan merusak kondisi eksisting karst yang ada. Daya dukung adalah kemampuan suatu kawasan dalam menampung aktivitas dan kegiatan yang ada diatasnya pada suatu batas tertentu dimana kawasan tersebut tidak akan mengalami kerusakan. Daya dukung dihitung untuk mengetahui kapasitas maksimal wisatawan yang dapat ditampung oleh kawasan. Kawasan karst yang sensitif dapat diantisipasi kerusakannya dengan mengetahui daya dukung kawasan tersebut. Daya dukung dihitung dengan cara membagi luas area dengan standar kebutuhan ruang per orang. Rencana lanskap ekowisata karst di Lembah Mulo Yogyakarta mempertimbangkan kepekaan kawasan dalam pengembangannya sehingga meminimalisir bencana dan kerusakan karst. Kawasan Lembah Mulo memiliki kepekaan yang tinggi sehingga terbatas dalam pemanfaatannya. Sebesar 6,8 hektar (41,39% dari total kawasan) merupakan area yang peka, 9,63 hektar (58,61% dari total kawasan) merupakan area yang cukup peka, dan 0 hektar merupakan area yang kurang peka. Terdapat tiga belas objek dan atraksi wisata yang tersebar di sekitar kawasan. Objek wisata tersebut, antara lain Lembah Mulo, luweng, Goa Mulo, Goa Ngingrong, dan Telaga Serpeng. Sementara atraksi wisata yang tersebar, antara lain reog dogdog, rasulan, campur sari, dan kesenian wayang kulit. Penerapan konsep ekowisata bertujuan untuk menjaga kelestarian karst yang di Lembah Mulo.

5 ii PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Pengaruh Konsep Lanskap Keraton Surakarta terhadap Lanskap Kota Surakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Februari 2013 Fathiin Muhtadi Priyatama A

6 v Hak Cipta milik Fathiin Muhtadi Priyatama dan IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan Fathiin Muhatdi Priyatama dan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin Fathiin Muhtadi Priyatama dan IPB.

7 vi PERENCANAAN LANSKAP EKOWISATA KARST DI LEMBAH MULO YOGYAKARTA Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor FATHIIN MUHTADI PRIYATAMA DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

8 vii LEMBAR PENGESAHAN Judul Usulan : Perencanaan Lanskap Ekowisata Karst di Lembah Mulo Yogyakarta Nama : Fathiin Muhtadi Priyatama NIM : A Menyetujui, Pembimbing Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA NIP Mengetahui, Ketua Departemen Arsitektur Lanskap Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA NIP Tanggal disetujui:

9 viii KATA PENGANTAR Puji dan sukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat, hidayah, dan nikmat kesehatan yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian Perencanaan Lanskap Kawasan Ekowisata Karst di Lembah Mulo Yogyakarta. Penelitian ini dibuat dalam memenuhi syarat untuk menghasilkan karya tulis ilmiah berupa skripsi dan merupakan tugas akhir untuk mendapatkan gelar sarjana. Penulis mendapatkan banyak bimbingan dan motivasi dalam menyelesaikan penelitian ini, baik dari Dr. Ir. Siti Nurisyah, MSLA selaku dosen pembimbing, keluarga, dan teman-teman. Sebagai ungkapan rasa sukur, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan pada penelitian ini. Oleh karena itu penulis dengan senang hati mengharapkan segala kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan penelitian ini. Semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, Februari 2013 Fathiin Muhtadi Priyatama

10 ix RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor tanggal 13 April 1990, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, putra dari Bapak Suparamana dan Ibu Titi Sawitri Ertifa. Pendidikan penulis diawali pada tahun 1994 sampai 1996 di Taman Kanak-kanak (TK) Kuncup Harapan Bogor. Penulis menjalani pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Bantarjati V Bogor pada tahun Pada tahun 2002 penulis melanjutkan sekolah di SMP Negeri 1 Bogor sampai tahun Pada tahun yang sama penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Bogor sampai tahun Penulis kemudian diterima di Departemen Arsitektur Lanksap Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Penulis aktif dalam kegiatan organisasi kampus. Beberapa diantaranya menjabat sebagai pengururs Divisi PSDM (Pengembangan Sumberdaya Manusia) Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (Himaskap) periode dan pada periode selanjutnya penulis dipercaya menjadi ketua umum. Penulis juga aktif dalam kegiatan seni dan pencinta alam internal departemen dan pernah menjadi asisten Mata Kuliah Analisis Tapak dan Perencanaan Lanskap pada tahun 2012.

11 x DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... viii DAFTAR ISI... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xiv BAB I PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 Manfaat... 3 Kerangka Pikir... 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 5 Karst... 5 Wisata... 7 Ekowisata Perencanaan Lanskap Daya Dukung Lanskap Ekowisata BAB III METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Tahapan Penelitian Metode Penelitian Persiapan Pengumpulan Data Analisis Sintesis Rencana Lanskap BAB IV KONDISI UMUM Letak Geografis Lembah Mulo, Desa Mulo, Provinsi DIY Tata Guna Lahan Keadaan Fisik Lembah Mulo Topografi dan Kemiringan Geologi dan Tanah... 36

12 xi Hidrologi Iklim Keanekaragaman Hayati Visual Kondisi Sosial Budaya Desa Mulo Kependudukan Desa Mulo BAB V DATA, ANALISIS, DAN SINTESIS Aksesibilitas Analisis Kepekaan Pada Kawasan Karst Lembah Mulo Analisis Keberadaan Objek Ekowisata Potensi Objek dan Atraksi Persebaran Sintesis Persepsi, Preferensi, dan Potensi Pengunjung Lembah Mulo Sintesis BAB VI PERENCANAAN LANSKAP Konsep Lanskap Ekowisata Ruang Sirkulasi Aktivitas dan Fasilitas Rencana Pengembangan Ruang Ekowisata Jalur Ekowisata Aktivitas Wisata, Fasilitas, dan Daya Dukung Rencana Lanskap Rencana Program dan Perjalanan Wisata BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 90

13 xii DAFTAR GAMBAR 1. Kerangka Pikir Penelitian Peta Lokasi Penelitian Tahapan Perencanaan Lanskap Ekowisata Karst Peta Pembagian Segmen Pada Kawasan Lembah Mulo Peta Orientasi Tapak Penelitian Peta Tata Guna Lahan Lembah Mulo Tata Guna Lahan Kawasan Lembah Mulo dan Sekitarnya Peta Topografi Lembah Mulo Peta Lereng Penampakan Tanah Pada Kawasan Lembah Mulo Peta Tanah Lembah Mulo Kali Ngingrong Peta Hidrologi Lembah Mulo Vegetasi dan Satwa di Kawasan Lembah Mulo Peta Keanekaragaman Hayati Lembah Mulo Kondisi Visual Kawasan Lembah Mulo Peta Visula Lembah Mulo Kondisi Jalan Menuju Tapak Aksesibilitas Menuju Tapak Skema Transportasi Menuju Tapak Alternatif 1 Akses Menuju Kawasan Lembah Mulo Alternatif 2 Akses Menuju Kawasan Lembah Mulo Alternatif 3 Akses Menuju Kawasan Lembah Mulo Peta Kepekaan Kawasan Peta Persebaran Objek dan Atraksi Wisata di Kawasan Lembah Mulo Peta Sintesis Kawasan Ekowisata Persentase Kelompok Umur Pengunjung Lembah Mulo Objek yang Menarik Pada Kawasan Lembah Mulo Bentuk Keterlibatan Masyarakat Sekitar dalam Kegiatan Wisata Rencana Blok... 66

14 xiii 31. Diagram Konsep Pembagian Ruang Diagram Konsep Sirkulasi Referensi Rencana Aktivitas dan Fasilitas Rencana Lanskap Perspektif Keseluruhan Kawasan Lembah Mulo Blow Up 1 Rencana Lanskap Potongan Blow Up Ilustrasi Menara Pandang Ilustrasi Caving di Goa Mulo Blow Up 2 Rencana Lanskap Potongan Blow Up Ilustrasi Gerbang Pintu Masuk Ilustrasi Visual Lembah Mulo dari Jalan Raya Blow Up 3 Rencana Lanskap Potongan Blow Up Ilustrasi pada Jalan Setapak Ilustrasi Area Pelayanan Blow Up 4 Rencana Lanskap Potongan Blow Up Ilustrasi Area Wisata Telaga Serpeng Ilustrasi Sekitar Telaga Serpeng Rencana Perjalanan Wisata... 86

15 xiv DAFTAR TABEL 1. Pola Sirkulasi yang Umum Digunakan Jenis, Bentuk, Sumber, dan Cara Pengambilan Data Klasifikasi Kepekaan Kawasan Karst Luas dan Persentase Segmen pada Lembah Mulo Kriteria Penilaian Objek dan Atraksi Ekowisata Tata Guna Lahan Desa Mulo Kondisi Iklim Gunungkidul ( ) Vegetasi pada Kawasan Lembah Mulo Satwa pada Kawasan Lembah Mulo Penduduk Desa Mulo Menurut Kelompok Umur Pendugaan Kepekaan Kawasan Karst Lembah Mulo Kawasan Lembah Mulo Hasil Analisis Potensi Objek Alami di Kawasan Lembah Mulo Potensi Atraksi Budaya di Kawasan Lembah Mulo Analisis Nilai Potensi Objek Ekowisata di Kawasan Lembah Mulo Bentuk Aktivitas Pada Objek dan Atraksi Wisata Kebutuhan Ruang dan Daya Dukung Rencana Program Wisata di Kawasan Lembah Mulo Rencana Perjalanan Wisata di Kawasan Lembah Mulo... 85

16 xv BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Objek dan daya tarik wisata yang berupa keindahan alam, flora, dan fauna yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumber daya dan modal yang besar bagi usaha pengembangan dan peningkatan kepariwisataan. Kepariwisataan mempunyai peranan yang penting untuk memperluas dan memeratakan kesempatan usaha dan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, dan memperbesar pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan serta kemakmuran rakyat. Kepariwisataan juga mempunyai peran dalam memupuk rasa cinta tanah air, memperkaya budaya nasional, memperkukuh jati diri bangsa, dan mempererat persahabatan antar bangsa (Setyanto 2006). Indonesia memiliki banyak tempat wisata alam yang sangat menarik untuk dikunjungi. Karakter lanskapnya beragam mulai dari pantai, dataran rendah, sampai pegunungan. Setiap tempat memiliki ciri dan karakternya masing-masing. Salah satu potensi lanskap yang kurang begitu diperhatikan adalah karst. Padahal karakter lanskap tersebut cukup banyak tersebar di wilayah Indonesia. Karst adalah sebuah bentukan di permukaan bumi yang pada umumnya dicirikan dengan adanya depresi tertutup, drainase permukaan, dan gua. Daerah ini dibentuk oleh pelarutan batuan kapur. Kawasan karst di Indonesia memiliki luas sekitar km 2 hektar dan tersebar hampir di seluruh Indonesia (Surono dkk. 1999). Wilayah karst biasanya berbukit-bukit dengan banyak gua. Bentang alam seperti ini dapat dijumpai, contohnya di sekitar Gombong Jawa Tengah dan Gunungkidul Yogyakarta. Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten ini terdiri dari 18 kecamatan. Pusat pemerintahannya berada di Kecamatan Wonosari. Sebagian besar wilayah ini berupa pegunungan dan perbukitan kapur. Kawasan karst memiliki karakteristik yang unik di permukaan atas dan bawahnya. Secara fisik kawasan ini memiliki nilai estetik yang khas. Banyak dijumpai sungai bawah tanah yang menjadi pemasok ketersediaan air tanah bagi kawasan yang berada diatasnya. Menurut Purnomo (2005), salah satu potensi yang ada di daerah karst adalah rupa bumi dengan topografi yang unik dan air bawah tanah yang merupakan salah satu unsur

17 2 sumber daya alam yang sangat penting keberadaannya untuk kehidupan makhuk hidup karena menunjang berbagai aktivitas kehidupan. Gunungkidul memiliki banyak tempat yang menarik berkaitan dengan rupa bumi setempat yang berbentuk karst. Lembah Mulo adalah salah satu wilayah di Desa Mulo Kecamatan Wonosari yang bentukan lanskapnya berupa cekungan karst. Lanskapnya berupa lembah yang tidak begitu luas. Terbentang sejauh kurang lebih 1 km. Dari ketinggian tertentu dapat dilihat kawasan sekitar dengan tebing-tebing curamnya dan vegetasi khas kawasan yang didominasi oleh pohon jati. Mulut gua tersebar di beberapa spot kawasan yang belum terjamah. Kawasan ini dengan jelas dapat terekspos dari pinggir jalan raya kabupaten. Namun, sepertinya belum ada pihak yang secara khusus memanfaatkan potensi yang berada di Lembah Mulo. Perlindungan kawasan karst dan gua-gua dibawahnya dalam UU No. 5 pasal 1 (13) tahun 1990 bahwa kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pada pasal 3 juga disebutkan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Perencanaan lanskap ekowisata karst di kawasan ini penting dilakukan untuk menata kawasan agar lebih fungsional, secara estetis indah, membentuk ikon wisata daerah, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Tujuan Tujuan dari perencanaan kawasan wisata karst ini adalah: a. mengidentifikasi dan menganalisis kawasan karst Lembah Mulo berdasarkan potensi dan kendala untuk pengembangan tapak sebagai kawasan ekowisata b. mengidentifikasi dan menganalisis ketersediaan objek dan atraksi ekowisata karst di Lembah Mulo c. merencanakan lanskap alami karst Lembah Mulo sebagai kawasan ekowisata.

18 3 Manfaat Penelitian perencanaan kawasan wisata karst ini dapat memberikan manfaat bagi mahasiswa, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat. Beberapa manfaat tersebut antara lain: a. Mahasiswa Mahasiswa dapat menganalisis dan mencoba membuat sebuah perencanaan kawasan wisata karst berbasis konservasi yang fungsional dan estetis dengan dasar ilmu yang telah didapat selama masa studi dalam usaha melestarikan lanskap karst Lembah Mulo, Yogyakarta. b. Masyarakat Masyarakat dapat mengetahui karakteristik dan potensi tapak dari keluaran penelitian ini sehingga dapat lebih arif dalam mengambil keputusan terkait penggunaan tapak dan meningkatkan kesejahteraan dari kegiatan wisata tersebut. c. Pemerintah daerah setempat Hasil penelitian dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam perencanaan tata ruang dan wilayah daerah setempat.

19 4 Kerangka Pikir Berikut adalah kerangka pikir dalam melakukan perencanaan ekowisata karst di Lembah Mulo. Untuk mengembangkan area ini sebagai kawasan wisata dibutuhkan data dan analisis mengenai ketersediaan objek dan atraksi wisata, kepekaan kawasan, dan persepsi masyarakat sekitar. Selanjutnya disusun rencana ruang, aktivitas, dan fasilitas wisata untuk menghasilkan rencana lanskap. Lembah Mulo di Provinsi D. I. Yogyakarta Pengembangan kawasan sebagai area wisata yang belum optimal Kondisi eksisting Lembah Mulo Potensi objek dan atraksi wisata di kawasan Lembah Mulo Akses menuju tapak yang mudah dijangkau Bentang lanskap yang khas, unik, dan menarik Analisis ketersediaan objek dan atraksi wisata Zonasi objek dan atraksi ekowisata Potensi dikembangkan menjadi kawasan wisata Analisis kepekaan tapak berbasis lingkungan Zonasi kesesuaian tapak untuk ekowisata Rencana ruang Rencana aktivitas Persepsi dan preferensi masyarakat sekitar Daya dukung tapak Rencana fasilitas Rencana program dan perjalanan wisata Lanskap kawasan ekowisata Lembah Mulo di Provinsi Yogyakarta Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

20 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Karst Secara terminologi, karst adalah bentang alam batuan gamping yang dibentuk oleh kegiatan pelarutan air. Proses itu akan berjalan baik selama batuan yang tersedia masih memiliki bagian yang bersifat mudah larut serta masih tersedia cukup air yang berfungsi sebagai pelarut. Proses pelarutan biasa disebut karstifikasi. Pembentukan bentang alam karst memerlukan waktu jutaan tahun. Bentang alam ini selain dapat mengandung berbagai jenis mineral berharga (diantaranya adalah emas, perak, tembaga, timbal, dan seng), sering juga memiliki keindahan yang luar biasa sehingga dapat membuat suatu daerah karst menarik dan mendapat perhatian berbagai golongan masyarakat (Maryanto 2006). Secara umum para ahli menyebutkan bahwa kawasan karst mencakup luasan lebih dari 10% dari seluruh permukaan bumi (Jennings 1985). Laporan yang dibuat Hikespi (Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia) menyebutkan bahwa kawasan karst ditemukan hampir di seluruh pulau besar di Indonesia yang meliputi Sumatera, Jawa, Kaliamantan, Sulawesi, dan Papua. Bappenas (2003) menyebutkan bahwa ada sekitar 15,4 juta hektar kawasan batuan gamping yang tersebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia. Namun hanya sebagian saja yang berkembang menjadi kawasan karst. Kawasan ini merupakan kawasan yang mempunyai nilai yang sangat tinggi baik dari segi ilmiah, ekosistem, budaya, sosial, ekonomi, dan tempat untuk pendidikan. Lanskap Karst Pegunungan Sewu Batu gamping neogen tersingkap luas di tengah Jawa bagian selatan. Tersebar dari mulai Parangtritis-Yogakarta hingga Teluk Pacitan-Jawa Timur, melalui Gunungkidul dan Wonogiri membentuk bentangan morfologi spesifik dinamakan karst. Kawasan ini dikenal dengan nama karst Gunung Sewu. Bentangan ini dicirikan adanya sekitar bukit karst berbentuk kerucut (conical hills) (Uhlig 1980). Kawasan Gunung Sewu merupakan bagian pegunungan di bagian selatan Pulau Jawa. Wilayahnya dari barat ke timur mencakup Kabupaten Gunungkidul, Wonogiri, dan Pacitan. Secara geografis, kawasan ini membentang dari

21 6 Parangtritis hingga Teluk Pacitan sepanjang lebih dari 100 km, dengan batas selatan Samudera Hindia. Di sepanjang garis selatan ini, bentukan tebing terjal (cliff) merupakan kenampakan paling dominan, yang di beberapa bagian terputus oleh ujung-ujung lembah kering dan teluk, yang masing-masing diapit oleh lereng-lereng terjal dari perbukitan kerucut di kanan-kirinya. Ke arah utara, topografi kawasan Gunung Sewu dicirikan oleh sebaran bukit kerucut yang saling terpisahkan oleh depresi-depresi poligonal (cockpit) atau pun jaringan lembah kering menyerupai labirin. Beberapa dolin dan uvala yang berkembang di bagian inti (cockpit), kebanyakan berubah menjadi telaga pada musim hujan. Di bagian tengah, tubuh perbukitan karst Gunung Sewu menjorok ke utara sejauh kurang lebih 30 km sampai menjangkau wilayah Kecamatan Ponjong dan Eromoko yang diapit oleh dua depresi, yaitu Depresi Wonosari di sisi barat dan Depresi Baturetno di sisi timur (Samodra 2001). Ciri dominan bentang alam karst Gunung Sewu, khususnya yang berkaitan dengan fenomena permukaan (eksokarst), berupa bukit-bukit kerucut berpuncak membulat (sinusoida) atau lancip (connica). Selain bangun residual tersebut, yang terjadi akibat adanya batuan yang lebih resisten terhadap proses pelarutan oleh air hujan (Ludman dan Coch 1982), kondisi eksokarst juga dicirikan oleh jaringan lembah kering antar perbukitan, baik yang terbuka maupun tertutup, depresidepresi tertutup (doline dan uvala) yang seringkali menjadi telaga, mulut-mulut goa dan ponor (swallet), bentukan-bentukan/morfologi mikro (karren), serta ceruk-ceruk (rockshelters) pada lereng-lereng bukit dan lembah. Beberapa bangun karst permukaan tersebut telah mampu menyediakan sumberdaya lahan yang memiliki keterkaitan erat dengan eksistensi kehidupan manusianya, sejak zaman prasejarah hingga sekarang (Ludman & Coch 1982).

22 7 Wisata Pengertian Wisata Wisata merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dengan pergerakan manusia yang melakukan perjalanan dan persinggahan sementara dari tempat tinggalnya ke satu atau beberapa tempat tujuan diluar dari lingkungan tempat tinggalnya, yang didorong oleh berbagai keperluan dan tanpa bermaksud untuk mencari nafkah tetap (Nurisjah, 2008). Yoeti (1997) menjelaskan bahwa atraksi wisata dibedakan dengan ogjek wisata, karena dapat dilihat atau disaksikan melalui suatu pertunjukan yang khusus diselenggarakan untuk para wisatawan. Selain itu, dalam atraksi wisata untuk menyaksikannya harus dipersiapkan terlebih dahulu, sedangkan objek wisata dapat dilihat tanpa dipersiapkan terlebih dahulu. Objek dan Atraksi Wisata Objek wisata adalah sesuatu yang menjadi pusat daya tarik wisatawan dan dapat memberikan kepuasan kepada wisatawan. Objek wisata juga dapat berupa kegiatan, misalnya kegiatan masarakat keseharian, tarian, karnaval, dan lain-lain. Objek wisata bersifat statis, yakni penjualannya di tempat, tidak bisa dibawa pergi. Oleh karena itu, supaya orang dapat menikmatinya, seseorang perlu aktif mendekati. Seringkali wisatawan harus melakukan perjalanan dari tempat tinggalnya menuju ke lokasi objek wisata untuk dapat menikmatina (Wardiyanta 2006). Menurut Damanik (2006) atraksi dapat diartikan sebagai objek wisata (baik yang bersifat tangible maupun intangible) yang memberikan kenikmatan kepada wisatawan. Potensi Wisata Menurut Damanik (2006) potensi wisata adalah semua objek (alam, budaya, dan buatan) yang memerlukan banyak penanganan agar dapat memberikan nilai daya tarik bagi wisatawan karena memiliki peluang untuk dijadikan sebagai daya tarik wisata. Semua potensi wisata masih tergolong embrio objek dan daya tarik wisata. Setelah unsur-unsur aksesibilitas, amenitas, dan hospitality menyatu dengan potensi objek tersebut maka ia merupakan produk wisata yang siap dikonsumsi oleh wisatawan.

23 8 Menurut Raharjana (2009) ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan berkenaan dengan daya tarik dari suatu objek wisata. Aspek-aspek ini merupakan sisi objek yang dapat dikatakan menarik. Beberapa diantaranya adalah: a) Keunikan Suatu objek wisata biasanya menjadi menarik antara lain karena keunikannya, kekhasannya, dan keanehannya. Artinya objek ini sulit didapatkan kesamaannya atau tidak ada dalam objek-objek lain. Aspek keunikan ini seringkali terkait dengan sejarah dari objek itu sendiri, baik itu sejarah dalam arti yang sebenarnya maupun sejarah dalam arti yang lebih mitologis. Oleh karena itu dalam mengidentifikasi objek-objek wisata, aspek keunikan ini perlu diperhatikan karena ini dapat menjadi daya tarik yang kuat bagi wisatawan. b) Estetika Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah aspek keindahan dan ini merupakan unsur yang paling penting dari suatu objek wisata untuk dapat menarik wisatawan. Aspek keindahan ini sangat perlu diperhatikan dalam proses pengembangan suatu objek wisata. Suatu objek yang tidak unik dapat saja menarik bagi wisatawan karena keindahan yang dimilikinya. Bilamana keindahan ini menjadi menonjol, maka keindahan tersebut kemudian menyatu dengan keunikan dan membuat objek tersebut semakin menarik. c) Keagamaan Suatu objek wisata bisa saja tidak unik, tidak menarik, namun mempunyai nilai keagamaan yang tinggi. Artinya objek tersebut dipercaya sebagai objek yang bersifat suci, wingit, atau mempunyai kekuatan supernatural tertentu yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Aspek keagamaan ini perlu diperhatikan ketika identifikasi dan promosi dilakukan karena wisatawan tertentu seringkali tertarik oleh hal-hal semacam ini. d) Ilmiah Suatu objek wisata juga dapat menarik banyak wisatawan karena nilai ilmiah atau nilai pengetahuan yang tinggi yang dimilikinya, walaupun unsur unik, estetis, dan keagamaannya kurang. Namun, nilai ilmiah yang tinggi dari suatu objek wisata pada dasarnya merupakan bagian dari keunikannya. Aspek ilmiah ini perlu diperhatikan dalam proses identifikasi, pengembangan, dan promosi objek

24 9 wisata tersebut karena ini merupakan salah satu potensi yang dapat dimanfaatkan untuk menarik lebih banyak wisatawan. Masih menurut Raharjana, daya tarik sebuah objek wisata akan semakin kuat jika berbagai elemen penarik tersebut hadir bersama-sama. Jika tidak, maka dalam proses pengembangan dan promosi elemen-elemen yang masih kurang menonjol hendaknya diperkuat lagi agar objek tersebut mampu menarik wisatawan lebih banyak lagi. Selanjutnya dalam mengidentifikasi suatu objek perlu memperhatikan tiga hal, yaitu: kriteria atau patokan yang digunakan dalam identifikasi, metode identifikasi, dan dokumentasi hasil identifikasi. Kriteria identifikasi objek didasarkan pada sifat objek yang diidentifikasi. Berdasarkan sifatnya objek dibagi menjadi dua, yaitu: objek material (benda) dan objek non material (aktivitas). Sebagai contoh, objek budaya material adalah objek-objek yang mencakup hasil perilaku manusia, seperti rumah, barang kerajinan, ataupun objek alam yang direkayasa manusia. Objek non material sifatnya lebih mengarah pada aktivitas manusia, baik itu aktivitas yang rutin, ataupun yang jarang dilakukan dan berlangsung karena ada sesuatu atau waktu-waktu yang khusus. Metode identifikasi objek wisata yang dilakukan seperti halnya ketika melakukan penelitian, diantaranya pengamatan dan survei lapangan, observasi, dan wawancara mendalam. Aksesibilitas Inskeep (1994) dalam Damanik (2006) menjelaskan bahwa aksesibilitas mencakup keseluruhan infrastruktur transportasi yang menghubungkan wisatawan dari, ke,dan selama di daerah tujuan wisata, baik dari darat, laut,maupun udara. Akses ini tidak hanya menyangkut aspek kuantitas tetapi juga inklusif mutu, ketepatan waktu, kenyamanan, dan keselamatan. Sirkulasi menghubungkan ruang satu dengan ruang lainnya. Selain itu sirkulasi pun dapat menghubungkan ruang yang sudah ada atau memiliki sirkulasi sendiri. Terdapat pola sirkulasi yang umum digunakan, antara lain linier, radial, spiral, grid, dan jaringan (Tabel 1).

25 10 Tabel 1. Pola Sirkulasi yang Umum Digunakan No. Nama Keterangan Gambar 1. Linier Jalan yang lurus dapat menjadi unsur pengorganisir utama deretan ruang. Jalan dapat berbentuk lengkung atau berbelok arah, memotong jalan lain, bercabang-cabang, atau membentuk putaran (loop) 2. Radial Pola radial memiliki jalan-jalan lurus yang berkembang dari sebuah pusat bersama 3. Spiral Suatu jalan tunggal menerus yang berasal dari titik pusat, mengelilingi pusatnya dengan jarak yang berubah 4. Grid Pola grid terdiri atas dua pasang jalan sejajar yang saling berpotongan pada jarak yang sama dan menciptakan bujur sangkar atau kawasan ruang segi empat 5. Jaringan Pola yang terdiri dari jalan-jalan yang menghubungkan titik-titik tertentu dalam ruang Sumber: Darma (1998) Jalur interpretasi adalah rute yang dirancang guna objek interpretasi dijelaskan dengan bantuan pemandu, tanda-tanda, pemflet atau peralatan elektronik. Hal ini dimaksudkan agar pengunjung mendapatkan pengetahuan tentang faktor-faktor lingkungan tersebut dengan pengalaman secara langsung di lapangan. Salah satu yang harus dipersiapkan dalam sebuah interpretasi adalah lintasan jalur. Trails adalah lintasan jalan setapak untuk pejalan kaki yang biasa

26 11 digunakan pada wisata alam atau wisata perjalanan menuju objek tujuan tertentu (Sam 1992). Menurut Douglas (1982) bentuk trails dapat berupa lintasan dalam tapak (interior trails), di luar tapak (exterior trails) atau lintasan alami (natural trails). Interior trails adalah lintasan jalan setapak pada area rekreasi buatan intensif yang bersifat komersial. Exterior trails adalah lintasan jalan setapak untuk menunjang aktifitas rekreasi intensif (lintas alam, mendaki, atau berkuda), sedangkan natural trails adalah rute interpretasi alam untuk menuntun pengunjung menuju lokasi objek tertentu seperti onjek geologi, biologi, sejarah, atau budaya yang dilengkapi dengan fasilitas pemandu wisata, papan petunjuk, pamflet, brosur, dan lain-lain. Lintasan dilengkapi oleh papan petunjuk tentang flora dan fauna di sepanjang lintasan. Menurut Departemen Kehutanan (1986) rute lintasan dapat melalui kawasan hutan (forest trails) untuk menyaksikan, menikmati, mempelajari, atau mengkaji keindahan flora dan fauna serta fenomena alam dikiri-kanan lintasan. Jalan setapak di pedesaan (pedestrian trails) atau kawasan hutan (forest trails) juga tergolong sebagai natural trails. Lintasan selain berfungsi sebagai akses penghubung juga memberikan keindahan pandangan. Keindahan diperoleh dari kualitas alami dan kesederhanaan. Desain untuk perjalanan perlahan dengan mengutamanakan elemen lokal sehingga pengembangannya lebih ditujukan pada kepentingan konservasi. Pengunjung berjalan lalu berhenti sejenak untuk piknik atau istirahat serta interpretasi keindahan alam. Pada area konservasi lintasan disesuaikan dengan bentuk lahan guna meminimalisir pengaruh negatifnya. Lintasan harus aman, menghindari daerah berbahaya, memiliki keindahan pandangan dan objek yang khas, nyaman, tidak terlalu jauh dan licin, mudah dilalui, dilengkapi papan petunjuk, dan tidak mengganggu kehidupan alami (Berkmuller 1981). Fasilitas ditepi jalan dapat berupa shelter atau gazebo. Jarak lintasan jauh atau dekat tergantung bentuk tapaknya. Menurut Departemen Kehutanan (1988) pola alur lintasan tunggal melingkar dengan awal dan akhir disatu titik adalah bentuk ideal untuk lintasan alami.

27 12 Ekowisata Pengertian Ekowisata Menurut Lascurain (1996) ekowisata adalah perjalanan ke tempat-tempat alami yang relatif masih belum terganggu atau terkontaminasi (tercemari) dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan, tumbuhtumbuhan dan satwa liar, serta bentuk-bentuk manifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari masa lampau maupun masa kini. Rumusan di atas hanyalah penggambaran tentang kegiatan wisata alam biasa. Rumusan ini kemudian disempurnakan oleh The International Ecotourism Society (TIES) pada awal tahun 1990 bahwa ekowisata adalah perjalanan yang bertanggung jawab ketempat-tempat yang alami dengan menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Definisi ini sebenarnya hampir sama dengan yang diberikan oleh Lascurain yaitu sama-sama menggambarkan kegiatan wisata di alam terbuka, hanya saja menurut TIES dalam kegiatan ekowisata terkandung unsur-unsur kepedulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap kelestarian lingkungan dan kesejahteraan penduduk setempat. Ekowisata merupakan upaya untuk memaksimalkan dan sekaligus melestarikan pontensi sumber-sumber alam dan budaya untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan yang berkesinambungan. Dengan kata lain ekowisata adalah kegiatan wisata alam plus plus. Definisi di atas telah telah diterima luas oleh para pelaku ekowisata. Pengembangan Ekowisata Ekowisata merupakan suatu konsep pariwisata yang mencerminkan wawasan lingkungan dan mengikuti kaidah-kaidah keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Secara umum pengembangan ekowisata harus dapat meningkatkan kualitas hubungan antar manusia, meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat dan menjaga kualitas lingkungan. Dalam naskah yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (2001), pengembangan ekowisata sangat dipengaruhi oleh keberadaan unsur-unsur yang harus ada dalam pengembangan itu sendiri, yaitu:

28 13 a. Sumber daya alam, peninggalan sejarah dan budaya Kekayaan keanekaragaman hayati merupakan daya tarik utama bagi pangsa pasar ekowisata sehingga kualitas, keberlanjutan dan pelestarian sumber daya alam, peninggalan sejarah dan budaya menjadi sangat penting untuk pengembangan ekowisata. Ekowisata juga memberikan peluang yang sangat besar untuk mempromosikan pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia di tingkat internasional, nasional maupun lokal. b. Masyarakat Pada dasarnya pengetahuan tentang alam dan budaya serta daya tarik wisata kawasan dimiliki oleh masyarakat setempat. Oleh karena itu pelibatan masyarakat menjadi mutlak, mulai dari tingkat perencanaan hingga pada tingkat pengelolaan. c. Pendidikan Ekowisata meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. Ekowisata memberikan nilai tambah kepada pengunjung dan masyarakat dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman. Nilai tambah ini mempengaruhi perubahan perilaku dari pengunjung, masyarakat dan pengembang pariwisata agar sadar dan lebih menghargai alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. d. Pasar Kenyataan memperlihatkan kecenderungan meningkatnya permintaan terhadap produk ekowisata baik di tingkat internasional dan nasional. Hal ini disebabkan meningkatnya promosi yang mendorong orang untuk berperilaku positif terhadap alam dan berkeinginan untuk mengunjungi kawasan-kawasan yang masih alami agar dapat meningkatkan kesadaran, penghargaan dan kepeduliannya terhadap alam, nilai-nilai sejarah dan budaya setempat. e. Ekonomi Ekowisata memberikan peluang untuk mendapatkan keuntungan bagi penyelenggara, pemerintah dan masyarakat setempat, melalui kegiatan-kegiatan yang non ekstraktif, sehingga meningkatkan perekonomian daerah setempat. Penyelenggaraan yang memperhatikan kaidah-kaidah ekowisata mewujudkan ekonomi berkelanjutan.

29 14 f. Kelembagaan Pengembangan ekowisata pada mulanya lebih banyak dimotori oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, pengabdi masyarakat dan lingkungan. Hal ini lebih banyak didasarkan pada komitmen terhadap upaya pelestarian lingkungan, pengembangan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan. Namun kadangkala komitmen tersebut tidak disertai dengan pengelolaan yang baik dan profesional, sehingga tidak sedikit kawasan ekowisata yang hanya bertahan sesaat. Sementara pengusaha swasta belum banyak yang tertarik menggarap bidang ini, karena usaha seperti ini dapat dikatakan masih relatif baru dan kurang diminati karena harus memperhitungkan social cost dan ecological cost dalam pengembangannya. Dalam naskah yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (2001), pengembangan ekowisata perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut: a. Konservasi b. Pendidikan c. Ekonomi d. Peran aktif masyarakat e. Wisata Perencanaan Lanskap Pengertian Perencanaan Pengertian perencanaan mempunyai beberapa definisi yang berbeda satu dengan lainnya. Cuningham menyatakan bahwa perencanaa adalah menyeleksi dan menghubungkan pengetahuna, fakta, imajinasi, dan asumsi untuk masa yang akan datang dengan tujuan memvisualisasi dan memformulasi hasil yang diinginkan, urutan kegiatan yang diperlukan, dan perilaku dalam batas-batas yang dapat diterima dan digunakan dalam penyelesaian.

30 15 Lanskap Menurut Simonds (2006) lanskap merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia, dengan karakter lanskap tersebut. Dalam hal ini indera manusia memegang peranan penting merasakan suatu lanskap. Setiap tempat memiliki bentukan dan karakter lanskap yang berbeda baik terbentuk secara alami ataupun buatan. Karakter lanskap alami terdiri atas banyak tipe, antara lain gunung, bukit, lembah, hutan, padang rumput, aliran air, rawa, laut, danau, dan padang pasir. Karakter ini terbentuk oleh adanya kesan harmoni kesatuan antara elemen-elemen lanskap yang ada di alam seperti suatu bentukan lahan, formasi batuan, vegetasi, dan fauna. Derajat dari harmoni atau kesatuan dari berbagai elemen lanskap tidak hanya diukur dari kesan menyenangkan yang akan ditimbulkan, tetapi juga dari ukuran kualitas yang disebut dengan keindahan. Keindahan dapat diartikan sebagai hubungan harmoni nyata dari keseluruhan komponen perasaan. Perencanaan Lanskap Perencanaan lanskap adalah salah satu bentuk produk dalam kegiatan arsitektur lanskap. Perencanaan lanskap ini merupakan suatu bentuk kegiatan penataan ang berbasis lahan (land bassed planning) melalui kegiatan pemecahan masalah yang dijumpai dan merupakan proses untuk pengambilan keputusan berjangka panjang guna mendapatkan suatu model lanskap atau bentang alam yang fungsional, estetik, dan lestari yang mendukung berbagai kebutuhan daqn keinginan manusia dalam upaya meningkatkan kenyamanan dan kesejahteraan, termasuk kesehatannya (Nurisjah 2008). Daya Dukung Lanskap Wisata Alam Pengertian Daya Dukung Dalam merencanakan suatu kawasan wisata alam perlu dipertimbangkan kenyamanan dan kepuasan pengunjung atas sumberdaya wisata yang ditawarkan dan pada saat bersamaan juga harus dilakukan perlindungan terhadap sumberdaya alam ini. Upaya utama yang dilakukan untuk mewujudkan tujuan ini adalah

31 16 dengan merencanakan suatu bentuk pengelolaan kawasan wisata berdasarkan pendekatan daya dukung sumberdaya alam dan lingkungannya (Nurisjah 2003). Wagar (1978) menyatakan bahwa daya dukung suatu kawasan alam adalah tingkat penggunaan sumberdaya alam, terutama dalam kegiatan rekreasi alam pada suatu area dimana dalam melakukan kegiatan ini tetap dapat mempertahankan kualitas sumberdaya alam yang digunakan. Dinyatakan selanjutnya bahwa daya dukung ini merupakan suatu konsep ukuran yang dinamis yang dapat dimanipulasi dengan pengelolaan melalui bantuan pengaturan, pembiayaan, dan pembatasan penggunaan suberdaya alamnya. Masih menurut Nurisjah (2003), pengelolaan suatu kawasan wisata alam yang berdasarkan nilai daya dukung umumnya tidak bersifat absolut, tetapi bersifat probabilistic. Hal ini disebabkan karena banyaknya faktor yang mempengaruhinya, tidak hanya terhadap kelestarian yang dapat diberikan oleh sumberdaya alam dan lingkungan untuk wisata ini, tetapi juga terhadap kepuasan dan kenyamanan serta keamanan pengunjung kawasan. Karena itu maka bentuk dan intensitas serta model pengelolaan yang direncanakan akan sangat penting artinya guna penentuan besaran daya dukung ini. Faktor yang Mempengaruhi Daya Dukung Guna menduga nilai daya dukung suatu kawasan wisata alam, maka harus terlebih dahulu diketahui berbagai parameter yang mempengaruhi penilaian itu. Secara umum dapat dinyatakan bahwa daya dukung kawasan wisata alam ini dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: a. faktor wisatawan b. faktor biofisik lingkungan kawasan Karena umumnya penyebaran pengunjung dalam ruang dan waktu tidak merata maka daya dukung lingkungan suatu kawasan wisata sulit dan tidak dapat dihitung berdasarkan rata-rata ruang dan waktu penggunaan, tetapi harus juga memperhatikan setiap lokasi yang dikunjungi dan pada waktu-waktu tertentu. Dalam kaitannya dengan pengunjung, berdasarkan penelitian Hendee, et al. (1978), diketahui bahwa hal-hal yang dapat mempengaruhi daya dukung kawasan wisata alam ini umumnya adalah tingkat atau intensitas penggunaan, tipe

32 17 kelompok pengunjung, dan perilaku pengunjung. Menurut Gold (1980) daya dukung terbagi menjadi 2 aspek, yaitu: a. daya dukung fisik, yaitu kemampuan suatu area rekreasi untuk mendukung atau menampung penggunaan aktivitas rekreasi yang diinginkan b. daya dukung sosial, yaitu kemampuan suatu area rekreasi untuk memberikan kualitas pengalaman rekreasi yang diinginkan. Analisis daya dukung fisik dan sosial menggunakan standar-standar yang berlaku dan kebutuhannya disesuaikan dengan tujuan perencanaan lanskap.

33 BAB III METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai lanskap kawasan ekowisata karst ini dilakukan di Lembah Mulo, Desa Mulo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kawasan tersebut berada di pinggir jalan arteri kabupaten dan dapat ditempuh selama 1,5 jam dari pusat kota Yogyakarta dengan jarak tempuh sekitar 60 km dan 7 km dari Kecamatan Wonosari (Gambar 2). Pengambilan data penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai Maret 2012 dan dilanjutkan dengan kegiatan penyusunan laporan (Tabel 2). Provinsi D. I. Yogyakarta Desa Mulo Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta)

34 19 Tahapan Penelitian Tahapan penelitian terdiri dari lima tahap mengacu pada tahapan yang dikemukakan oleh Gold (1980), yaitu persiapan, pengumpulan data, analisis, sintesis, dan perencanaan (Gambar 3). Persiapan Perumusan masalah, penetapan tujuan, pengumpulan informasi terkait permasalahan, dan perizinan dinas terkait Pengumpulan data 1. Umum Luas tapak, batas administrasi, dan tata guna lahan 2. Tapak Topografi, tanah dan geologi, hidrologi, iklim, dan hayati 3. Aspek ekowisata Ketersediaan objek dan atraksi wisata, nilai visual tapak, ketergantungan masyarakat pada tapak, dan potensi pengunjung Analisis Analisis kesesuaian kawasan karst utk pengembangan ekowisata Analisis ketersediaan objek dan atraksi wisata Sintesis Zonasi ekowisata tapak Jalur ekowisata Perencanaan lanskap Rencana lanskap Gambar 3. Tahapan Perencanaan Lanskap Ekowisata Karst

35 20 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah perencanaan kawasan ekowisata berbasis kualitas dan kepekaan lingkungan. Pengolahan data didahului dengan menganalisis kesesuaian kawasan karst untuk ekowisata. Selanjutnya dilakukan analisis keberadaan objek dan atraksi wisata pada tapak Lembah Mulo. Tahap pertama dilakukan analisis kesesuaian kawasan karst untuk ekowisata pada tapak. Kriteria dibuat untuk menilai sensitifitas kawasan karst. Area sensitif dimanfaatkan untuk kepentingan konservasi dan area yang kurang sensitif dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ekowisata. Tahap selanjutnya adalah melakukan identifikasi ketersediaan objek dan atraksi wisata pada tapak. Aspek yang dipertimbangkan dalam penilaian adalah keunikan, kelangkaan, keindahan, seasonality, sensitifitas, aksesibilitas, dan fungsi sosial (Avenzora 2007). Persiapan Tahap ini merupakan tahapan awal yang dilakukan dengan usulan penelitian, perumusan masalah, penetapan tujuan penelitian, pengumpulan informasi yang terkait dengan permasalahan yang akan diteliti, dan perizinan penelitian pada dinas terkait. Kemudian dilanjutkan dengan perumusan konsep awal dari kegiatan perencanaan yang dilakukan sebelum diadakan turun lapang, yang bertujuan untuk memudahkan dalam pengambilan data yang dibutuhkan sesuai konsep dan tujuan yang telah dikembangkan. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Maret 2012 selama kurang lebih dua minggu dan feel of the land pada tapak. Data yang diambil adalah data aspek bio-fisik, sosial, dan budaya serta potensi wisata keadaan awal tapak. Data terdiri atas data primer dan data sekunder yang diperoleh dari survey lapang, studi pustaka, dan wawancara. Data yang diambil terdapat pada Tabel 3. Bentuk data pada tahapan ini adalah berupa data tabular, peta kondisi tapak, dan foto untuk merekam visual tapak.

36 21 Data primer didapatkan dengan cara melakukan survey lapang dan pengamatan langsung keadaan lokasi penelitian untuk memperoleh potensi, hambatan, dan peluang pengembangan lanskap kawasan ekowisata karst. Sementara data sekunder berasal dari studi pustaka yang dilakukan untuk memperoleh data fasilitas standar yang digunakan, peraturan dan kebijakan yang mengikat dan membatasi pengembangan tapak, dan data keadaan fisik dan biofisik serta sosial ekonomi (Tabel 2). Data persepsi masyarakat sekitar diambil dengan melakukan wawancara kepada 40 responden yang tersebar secara acak disekitar kawasan Lembah Mulo berdasarkan pertanyaan yang telah disusun. Wawancara juga dilakukan terhadap instansi terkait untuk mendapatkan data dan informasi lebih dalam mengenai tapak. Tabel 2. Jenis, Bentuk, Sumber, dan Cara Pengambilan Data Aspek No Jenis Data Bentuk Data Sumber Data Cara Pengambilan Fisik 1 Letak, luas, batas Primer, Sekunder Bakosurtanal Survey, Studi pustaka 2 Tanah dan geologi Primer, Sekunder Bappeda Survey, Studi pustaka 3 Topografi Sekunder Bakosurtanal Studi pustaka 4 Hidrologi Primer, Sekunder Bakosurtanal Survey, Studi pustaka 5 Tata guna lahan Sekunder Bappeda Studi pustaka 6 Vegetasi dan satwa Primer, Sekunder Tapak Survey, Studi pustaka 7 Iklim Sekunder BMG Studi pustaka 8 View Primer Tapak Survey Sosial 1 Karakter, persepsi, Primer Tapak Survey Budaya dan preferensi masyarakat 2 Aktivitas dan Primer, Tapak Survey Potensi Wisata Keterangan: perilaku Sekunder 1 Atraksi/objek Primer, Tapak Survey wisata Sekunder 2 Aksesibilitas Primer Tapak Survey 3 Potensi tapak Primer Tapak Survey 4 Potensi pengunjung Primer, Tapak Survey Sekunder Bakosurtanal : Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional Bappeda BMG : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah : Badan Meteorologi dan Geofisika

37 22 Analisis Analisis dilakukan untuk menilai keberadaan suatu objek dan atraksi serta kesesuaiannya apabila dikembangkan sebagai kawasan ekowisata pada tapak. Selanjutnya data identifikasi didapatkan dengan survey lapang dan wawancara. Analisis sumberdaya wisata dilakukan dengan mendata potensi sumberdaya yang dapat dikembangkan sebagai atraksi. Dalam menganalisis dan identifikasi keberadaan atraksi atau objek wisata dinilai berdasarkan peluang kegiatan wisata yang dapat dilakukan pada objek wisata. Tahap pertama dilakukan analisis kepekaan kawasan karst pada tapak. Kriteria dibuat dengan mengkombinasikan aspek fisik, yaitu geologi, tanah, dan topografi pada tapak seperti yang tersaji pada Gambar 4, Tabel 3, dan Tabel 4. Untuk pengamatan penelitian, Lembah Mulo dibagi menjadi segmen berdasarkan penutupan lahan. Penutupan lahan dipilih menjadi unit analisis karena merupakan penampakan nyata lahan yang ada saat ini dan memiliki atribut seperti kemiringan, jenis tanah, geologi, vegetasi, dan visual yang dapat dianalisis. Gambar 4. Peta Pembagian Segmen pada Kawasan lembah Mulo

38 23 Tabel 3. Klasifikasi Kepekaan Kawasan Karst Kelas Kesesuaian No. Aspek Kurang peka (3) Cukup peka (2) Peka (1) 1. Geologi Bentukan alam karst masih terlihat (sedikit) meskipun sabagian hilang atau rusak Bentukan alam karst tidak terlalu terlihat dan ketebalan batu gamping tipis Terdapat bentukan alam karst yang unik, spesifik, dan langka: conical hill, dolina, uvala, polce, sinkhole, atau goa 2. Tanah Aluvial, planosol, hidromorf kelabu, Brown forest soil, mediteran Regosol, litosol, organosol, rendzina latosol 3. Topografi 0-15% 15-25% >25% Sumber: Hidayat (2002), SK Menteri Pertanian No. 837/K pts/um/11/1980, dan modifikasi Jumlah nilai = peka: 3-4 cukup peka: 5-7 kurang peka: 8-9 Tabel 4. Luas dan Persentase Segmen pada Lembah Mulo Segmen Luas (Ha) (%) Tutupan Lahan Dominan 1 1,70 10,35 Tegalan 2 0,17 1,04 Tegalan 3 5,10 31,04 Tegalan 4 4,93 30,00 Perkebunan 5 0,41 2,49 Perkebunan 6 0,32 1,95 Perkebunan 7 1,30 7,91 Telaga 8 0,62 3,77 Pemukiman 9 0,73 4,44 Tegalan 10 1,15 7,01 Tegalan Total 16, Masing-masing aspek yang dinilai kemudian di-overlay sehingga menghasilkan kategori kurang peka, cukup peka, dan peka. Zona peka memiliki skor 8-9, cukup peka 5-7, dan kurang peka 3-4. Dalam perencanaan kawasan daerah peka merupakan area yang harus dikonservasi, daerah cukup peka merupakan area yang pemanfaatannya terbatas, dan daerah yang kurang peka merupakan area yang dapat dikembangkan menjadi kawasan untuk aktivitas ekowisata. Analisis selanjutnya adalah penilaian terhadap keberadaan objek dan atraksi wisata pada tapak. Menurut Avenzora (2005), dalam penilaian objek wisata setidaknya perlu untuk menilai tujuh aspek nilai yang terkait dan berasosiasi dalam potensi suatu objek wisata, yaitu keunikan, kelangkaan, keindahan, seasonalitas, aksesibilitas, sensitifitas, dan fungsi sosial (Tabel 5).

39 24 Lima aspek pertama merupakan aspek-aspek penting dalam ranah kepariwisataan, sedangkan dua aspek yang terakhir adalah aspek penting dalam ranah sustainable development. Objek yang potensial dinilai dengan menggunakan kriteria dan indikator yang telah ditetapkan. Setiap potensi objek dan atraksi yang terdapat dalam tapak dinilai berdasarkan kriteria yang telah dibuat (Tabel 5). Objek mendapatkan skor 1 pada tiap poin yang tertera pada aspek yang dinilai. Tiap objek dinilai berdasarkan 7 aspek pada kriteria yang telah dibuat. Selanjutnya skor tiap objek diakumulasi sehingga menghasilkan skor total. Objek bernilai rendah apabila memiliki skor 7-18, sedang 19-30, dan tinggi Hasil dari analisis ini berupa data tabular dan spasial. Tabel 5. Kriteria Penilaian Objek dan Atraksi Ekowisata No Aspek Indikator Skor 1 Keunikan Bentuk gejala alam tersebut sangat berbeda dengan gejala alam sejenis pada umumnya Warna-warna gejala alam tersebut sangat berbeda dengan gejala alam sejenis pada umumnya Manfaat dan fungsi gejala alam tersebut sangat berbeda dengan gejala alam sejenis pada umumnya Tempat dan ruang gejala alam tersebut sangat berbeda dengan gejala alam sejenis pada umumnya Waktu gejala alam tersebut sangat berbeda dengan gejala alam sejenis pada umumnya Ukuran dimensi gejala alam tersebut sangat berbeda dengan gejala alam sejenis pada umumnya 2 Kelangkaan Gejala alam tersebut telah masuk dalam daftar kelangkaan internasional Gejala alam masuk dalam daftar kelangkaan nasional Gejala alam tersebut tidak ada di provinsi lain Gejala alam tersebut tidak ada di kabupaten lain 1 Gejala alam tersebut tidak ada di kecamatan lain 1 Pengulangan proses kejadian gejala alam tersebut sangat 1 langka dalam kurun waktu tertentu 3 Keindahan Keindahan komposisi dan nuansa bentuk dari gejala alam tersebut Keindahan komposisi dan nuansa warna dari gejala alam tersebut Keindahan komposisi dan nuansa dimensi ukuran dari gejala alam tersebut Keindahan komposisi dan nuansa gejala alam dari gejala alam tersebut Keindahan komposisi dan nuansa visual secara totalitas dari gejala alam tersebut Kepuasan psikologi pengunjung dari komposisi dan nuansa yang dihasilkan gejala alam tersebut

40 25 4 Seasonality Gejala alam tersebut hanya muncul dan bisa dinikmati pengunjung beberapa saat saja pada hari tertentu Gejala alam tersebut hanya muncul dan bisa dinikmati pengunjung pada hari tertentu dalam periode minggu tertentu Gejala alam tersebut hanya muncul dan bisa dinikmati pengunjung pada minggu tertentu dalam periode bulan tertentu Gejala alam tersebut hanya muncul dan bisa dinikmati pengunjung pada bulan tertentu dalam periode tahun tertentu Gejala alam tersebut hanya muncul dan bisa dinikmati pengunjung pada bulan tertentu dalam periode kondisi tahun tertentu Gejala alam tersebut hanya muncul dan bisa dinikmati pengunjung pada kelompok umur, fisik, dan status sosial tertentu. 5 Sensitifitas Peristiwa kejadian alam tersebut tidak terpengaruh oleh kehadiran sedikit/banyak pengunjung Kualitas kejadian alam tersebut tidak terpengaruh oleh kehadiran sedikit/banyak pengunjung Kuantitas kejadian alam tersebut tidak terpengaruh oleh kehadiran sedikit/banyak pengunjung Kehadiran pengunjung untuk menikmati gejala alam tersebut tidak mempengaruhi terjadinya kejadian fenomena alam lain disekitarnya Dalam bentuk kontak fisik tidak akan menyebabkan berubahnya secara permanen kualitas dan kuantitas gejala alam tersebut dan gejala alam lainnya. Daya dukung fisik, ekologis, dan psikologis tidak terganggu 6 Aksesibilitas Lokasi gejala alam tersebut dapat dijangkau dengan kendaraan umum dalam waktu maksimal dua jam dari ibukota kabupaten Lokasi gejala alam tersebut dapat dijangkau dengan kendaraan umum dalam waktu maksimal satu jam dari ibukota kecamatan Lokasi gejala alam tersebut dapat dijangkau oleh semua jenis kendaraan roda empat Pengunjung dapat menjangkau lokasi gejala alam tersebut tanpa harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki melebihi 2 km Untuk mencapai lokasi tersebut tersedia kendaraan umum yang beroperasi setidaknya 16 jam per hari Lokasi tersebut dapat dicapai dalam segala kondisi cuaca 7 Fungsi Sosial Gejala alam tersebut diyakini masyarakat sekitar mempunyai sejarah yang sangat kuat dengan cikal bakal komunitas yang tinggal di kawasan tersebut Gejala alam tersebut hingga saat ini masih digunakan sebagai salah satu sumber elemen kehidupan sosial/budaya keseharian masyarakat sekitar Gejala alam tersebut hingga saat ini masih digunakan sebagai salah satu sumber elemen budaya pada berbagai upacara budaya dalam dinamika budaya masyarakat setempat Gejala alam tersebut hingga saat ini hanya digunakan sebagai salah satu sumber elemen budaya pada upacara

41 26 budaya tertentu saja dalam dinamika sosial budaya masyarakat setempat Gejala alam tersebut hingga saat ini digunakan sebagai salah satu sumber elemen ekonomi utama bagi kehidupan sosial ekonomi keseharian masyarakat setempat Gejala alam tersebut hingga saat ini hanya digunakan sebagai salah satu identitas regional bagi masyarakat setempat Sumber: Avenzora 2008 rendah: 7-18 sedang: tinggi: Sintesis Sintesis merupakan tahap pemecahan masalah dan pemanfaatan potensi dari suatu tapak yang disesuaikan dengan tujuan perencanaan. Setelah dilakukan pemecahan masalah dan pemanfaatan potensi akan diperoleh alternatif-alternatif perencanaan yang selanjutnya ditentukan alternatif terpilih yang merupakan satu alternatif atau modifikasi dan kombinasi dari beberapa alternatif perencanaan. Pada tahap ini ditentukan objek dan atraksi yang potensial untuk dikembangkan dalam kegiatan ekowisata yang akan direncanakan. Sensitifitas area yang telah diketahui membantu dalam menentukan area yang harus dikonservasi, dimanfaatkan terbatas, dan area utama untuk kegiatan ekowisata. Pada tahap ini juga ditentukan konsep pengembangan tapak yang mengacu pada fungsi dan tujuan yang telah ditetapkan dan perhitungan daya dukungnya. Daya dukung lahan dihitung untuk mengetahui kapasitas tampung dan aktivitas pada area wisata maupun konservasi di Lembah Mulo agar dalam pengembangan wisata tidak merusak dan tetap menjaga kelestarian tapak. Pendugaan nilai daya dukung wisata berdasarkan pada standar rata-rata individu dalam m2/orang (Boulon dalam WTO dan UNEP, 1992 dalam Siti Nurisjah et. al., 2003): DD = A/S DD = Daya dukung tapak A = Area yang digunakan untuk wisata T = DD x K S = Standar rata-rata individu T = Total hari kunjungan K = N/R K = Koefisien rotasi N R = Jam kunjungan per-hari = Rata-rata waktu kunjungan

42 27 Rencana Lanskap. Pada proses ini konsep tersebut dikembangkan lebih lanjut dalam bentuk rencana tata ruang, tata letak aktifitas dan fasilitas rekreasi. Hasil dari tahap ini berupa rencana tapak (site plan) yang menggambarkan aktifitas dan fasilitas yang dapat dikembangkan, jalur sirkulasi yang direncanakan, tata letak elemen lanskap dan fasilitas yang pendukung.

43 28 BAB IV KONDISI UMUM Letak Geografis Lembah Mulo, Desa Mulo, Provinsi DIY Penelitian ini dilakukan di kawasan Lembah Mulo, Desa Mulo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Mulo terletak pada posisi geografis LS LS dan BT BT. Lokasi kawasan penelitian berjarak 60 km dari ibukota Yogyakarta dan terletak pada ketinggian meter di atas permukaan laut. Secara administratif Desa Mulo berbatasan dengan Desa Duwet di sebelah utara, Desa Kemiri (Kecamatan Tepus) di sebelah selatan, Desa Serpeng (Kecamatan Semanu) di sebelah Timur, dan Desa Wunung di sebelah Barat. Lembah Mulo secara administrasi terletak di Desa Mulo, Kecamatan Wonosari seperti yang tersaji pada Gambar 5. Desa Mulo memiliki luas 120,7 Ha sementara luas Lembah Mulo sendiri adalah 17 Ha. Kawasan tersebut belum dikembangkan secara optimal dan berpotensi sebagai objek wisata andalan desa sekaligus kabupaten dengan menerapkan konsep ekowisata. Lembah Mulo berbatasan dengan tegalan di sebelah utara, perkebunan milik warga di sebelah selatan, pemukiman di sebelah barat, dan perkebunan milik Departemen Kehutanan di sebelah timur. Gambar 5. Peta Orientasi Tapak Penelitian (Sumber: Google Map diakses pada 17 Desember 2012)

44 29 Tata Guna Lahan Desa Mulo memiliki luas total kawasan sebesar 162,30 Ha. Kawasan tersebut terdiri atas lahan terbangun (31,29 Ha) dan lahan terbuka (131,01 Ha). Lahan terbangun terdiri dari pemukiman warga, tempat ibadah (masjid, mushola, dan gereja), fasilitas publik (sekolah, kantor pemerinahan dan administrasi), dan fasilitas umum lainnya. Sedangkan lahan terbuka terdiri atas tegalan, perkebunan rakyat, pemakaman, dan sawah tadah hujan (Tabel 6). Tabel 6. Tata Guna Lahan Desa Mulo No. Tata Guna Lahan Luas (Ha) % 1 Lahan terbangun 31,29 19,28 2 Sawah tadah hujan 55,41 34,14 3 Tegalan 72,71 44,80 4 Perkebunan 2,89 1,78 Jumlah 162, Kawasan Lembah Mulo sendiri memiliki luas 16,4 Ha dan secara administrasi masuk ke wilayah Desa Mulo dan sebagian kecil lainnya masuk wilayah Kecamatan Semanu seperti tersaji pada Gambar 6 dan Gambar 7. Kondisi saat ini didominasi oleh ruang terbuka. Lahan terbangun berupa pemukiman warga tersebar di beberapa dusun pada kawasan ini. Terdapat dua telaga yang terletak tidak jauh dari lembah. Gambar 6. Peta Tata Guna Lahan Lembah Mulo

45 30 (a) (b) (c) (d) Gambar 7. Tata Guna Lahan Kawasan Lembah Mulo dan Sekitarnya (a) tegalan, (b) perkebunan, (c) permukiman, (d) telaga Keadaan Fisik Lembah Mulo Topografi dan Kemiringan Kawasan karst di Kabupaten Gunungkidul terletak pada zona Pegunungan Seribu di bagian selatan kabupaten yang dikenal dengan Pegunungan Sewu. Zona ini mempunyai topografi yang khas sebagai bentukan ekosistem karst. Morfologi yang terbentuk akibat proses karst ini, antara lain kerucut karst, telaga karst, shink hole, goa, sungai bawah tanah, dan tebing terjal. Kecamatan Wonosari dan sekitarnya memiliki ketinggian meter di atas permukaan laut, dengan kemiringan lereng rata-rata Luas keseluruhan Pegunungan Sewu adalah ,20 Ha. Secara geomorfologi daerah karst Pegunungan Sewu Kabupaten Gunungkidul dapat digolongkan ke dalam karst transisi, dimana tipe ini merupakan kawasan yang memiliki karakteristik antara tipe holokarst dan mezokarst. Ciri dari tipe ini adalah adanya bentukan-bentukan eksokarst dan endokarst seperti kubah karst, doline, ulava, dan sedikit landcover. Kawasan ini berdrainase permukaan yang sedikit dan mempunyai banyak lembah-lembah kering. Kawasan karst Pegunungan Sewu mempunyai lapisan yang semakin

46 31 menipis dari arah selatan ke utara dengan cliff pada pantai serta beberapa teluk yang datar. Menurut terjadinya, karst Pegunungan Sewu termasuk karst tropik dengan ciri pelarut batuan yang tinggi, kapasitas menyalurkan air yang tinggi, ketinggian di atas permukaan laut yang bervariasi, intensitas hujan yang tinggi, tektonisasi, cone karst, doline karst, tower karst, dan collapse sinkhole. Karst di Pegunungan Sewu juga dapat digolongkan ke dalam fluviokarst karena beberapa tempat tertutup vegetasi dan dipengaruhi aliran sungai. Berdasarkan Kajian Pengelolaan dan Pengembangan Ekosistem Kawasan Karst di Kabupaten Gunungkidul yang dilakukan oleh Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada pada tahun 1998, Kawasan Pegunungan Sewu dibagi menjadi dua satuan medan: a. Dataran aluvial dan lembah karst. Satuan medan ini secara umum merupakan dataran dengan proses solusi yang intensif yang membentuk bentukan-bentukan negatif, seperti lembah karst, doline, dan uvala. Topografi medan adalah datar bergelombang, lereng berbentuk U, dan lapisan tanahnya dalam karena proses deposisi. b. Perbukitan karst, komplek doline dan kubah karst. Satuan medan ini merupakan bagan terbesar pada kawasan karst Gunungkidul. Perbukitan karst tropika basah. Bentuk bukit membulat dan berlereng curam ini mempunyai lapisan tanah yang tipis. Permukaannya berlapis dan diperkirakan terbentuk di bawah kondisi penutup hutan. Bersadasrkan ketebalan dan kenampakan kawasan karst Kabupaten Gunungkidul dibagi kedalam: a. Zona Inti Karst Merupakan daerah inti karst dimana terjadi proses kartisifikasi yang sesungguhnya dengan cepat. Bentuk eksokarst dan endokarst dominan dijumpai pada kawasan ini. Ketebalan batu gamping mencapai 800 meter. Kawasan ini meliputi bagian selatan kawasan karst Pegunungan Sewu yang secara administratif meliputi Kecamatan Purwosari, Panggang, Saptosari, Tepus, Tanjungsari, Girisubo. Rongkop, sebagian Semanu, sebagian Playen, dan sebagian Ponjong.

47 32 b. Zona Sub-Inti Karst Merupakan daerah dengan ketebalan batuan gamping yang mulai menipis. Kawasan ini telah banyak dimanfaatkan secara intensif guna keperluan manusia terutama pertambangan. Secara administratif meliputi Kecamatan Playen, Paliyan, dan sebagian besar Semanu serta Ponjong. c. Daerah Karst Pantai Merupakan daerah karst yang berada di bagian paling selatan dari Pegunugan Sewu dengan kenampakan cliff, mushroom rock, pantai, teluk, dan sempadan pantai. Daerah pantai karst ini memanjang dari ujung barat sampai ujung timur Pegunungan Sewu meliputi Kecamatan Purwosari, Saptosari, Tanjungsari, Tepus, dan Girisubo. Kondisi topografi pada kawasan Lembah Mulo berbukit-bukit dengan focal point berupa lembah karst dengan kemiringan yang curam dan lebih dari 60% seperti terlihat pada Gambar 8. Lembah karst tersebut dikelilingi oleh tapak yang berbukit-bukit dengan kemiringan bervariasi seperti terlihat pada Gambar 9. Tapak dengan kondisi datar dapat ditemui pada kawasan Desa Mulo dan Desa Serpeng yang didominasi oleh pemukiman warga. Titik tertinggi kawasan berada pada 152 meter di atas permukaan laut sedangkan titik terendah kawasan berada pada ketinggian 47 meter di atas permukaan laut. Klasifikasi kemiringan dibedakan menjadi datar, landai dan miring. Angka tertingi diberikan kepada kemiringan 0-15% (datar) karena tapak ini sangat mendukung untuk kegiatan ekowisata. Nilai terendah diberikan untuk kemiringan >25 % karena pada tapak ini kurang mendukung untuk dibangun suatu bentuk fisik bangunan dan juga rawan terjadi erosi, sehingga pembangunan fisik sangat dibatasi. Daerah dengan kemiringan datar tersebar pada area pemukiman warga, sekitar jalan raya dan pada beberapa tempat di dasar lembah. Tapak yang datar dapat dimanfaatkan sebagai kawasan yang dapat digunakan sebagai area terbangun. Peletakan bangunan seperti shelter, gardu pandang, dan perkemahan dapat dikembangkan pada area ini. Dasar lembah yang relatif datar juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan tracking susur lembah pada waktu-waktu tertentu.

48 33 Area dengan kemiringan sedang tersebar pada kawasan perkebunan, tegalan, dan sekitar tebing lembah. Area dengan kemiringan ini merupakan tempat mengalirnya air menuju area yang lebih rendah pada kawasan. Pemanfaatan area ini sebatas jalur ekowisata, perkemahan pada spot-spot tertentu, dan selebihnya dibiarkan sebagai kawasan hijau. Sementara area dengan kemiringan curam merupakan daerah dengan pemanfaatan minimum berhubung dengan sensitifitas area ini yang tinggi. Area ini hanya dimanfaatkan sebagai objek view dan sisanya dibiarkan tetap alami. Pada beberapa spot lereng yang sangat curam dapat dilakukan pengembangan berupa area panjat tebing.

49 34 Gambar 8. Peta Topografi

50 35 Gambar 9. Peta Lereng

51 36 Geologi dan Tanah Menurut Suyoto (1994) berdasarkan susunan stratigafinya formasi batuan yang ada di Pegunungan Sewu Gunungkidul memiliki urutan-urutan dari tua ke muda, yaitu sebagai berikut: a. Formasi Wungkal-Gamping Merupakan formasi yang berada paling bawah dan paling tua dalam zona Pegunungan Sewu, yang terdiri dari batu pasir, kuarsa, napal pasiran, batu lempung, dan lensa batu gamping dengan umur Eosen atas. b. Formasi Kebo-Butak Formasi ini diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Wungkal- Gamping dengan ketebalan 650 meter. Kelompok batuan yang menyusun formasi ini ada dua, yaitu: bagian bawah terdiri dari batu pasir, lanau, lempung, serpih, tulf, dan aglomerat; dan bagian atas yang terdiri atas batu pasir dan batu lempung dengan sisipan tipis tuf asam. Umur dari formasi ini adalah Oligosen hingga Miosen bawah. c. Formasi Semilir Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Kebo-Butak dengan material penyusun berupa breksi batuan apung, batu pasir, dan serpih. Umur formasi ini Miosen awal bagian tengah sampai tengah bagian bawah. d. Formasi Nglanggran Formasi ini menjari dengan Formasi Semilir dengan material penyusun berupa breksi gunung api, batu pasir vulkanik, lava andesit basalt, breksi autoklastik, serta mempunyai umur Miosen awal bagian tengah sampai tengah bagian bawah. e. Formasi Sambipitu Formasi ini mempunyai posisi menjari tehadap Formasi Nglanggran yang tersusun oleh perselingan batu pasir dan serpih. Umur formasi ini adalah Miosen tengah bagian bawah.

52 37 f. Formasi Oyo Formasi ini diendapkan secara tidak selaras dengan Formasi Nglanggran dan membagi dengan Formasi Sambipitu. Penyusun formasi ini terdiri atas batu gamping, napal, dan tuf andesit. Umur formasi ini adalah Miosen awal bagian atas sampai tengah bagian bawah. g. Formasi Wonosari Posisi formasi ini menjari terhadap Formasi Sambipitu dan Formasi Oyo. Batuan penyusun formasi ini adalah batu gamping berlapis, reef limestone, batu gamping napalan, dan batu lamau. h. Formasi Kepek Formasi ini menjari tehadap Formasi Wonosari dengan penyusunan utama batuannya adalah perselingan batu gamping dengan napal. Formasi ini mempunyai umur Miosen atas. i. Endapan kuarter terrarosa dijumpai di daerah karst Pegunungan Sewu. Endapan ini adalah campuran tanah pelapukan gamping, sisa-sisa sedimen yang tidak mampu terangkut oleh air dan tanah lempung berwarna merah. Terrarosa tersebar dan mengisi bagian dasar cekungan dan bagian dasar dolina-dolina. j. Endapan Aluvial Endapan ini berasal dari deposisi sungai dan tersusun oleh lempung berwarna hitam, lanau, pasir, kerakal, berangkal, dan sisa-sisa tanaman. Kawasan Lembah Mulo didominasi oleh batuan kapur yang tersebar pada penjuru kawasan. Berdasarkan data pada peta tanah yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Gunungkidul tahun 2010, kawasan Lembah Mulo memiliki jenis tanah mediteran merah dan rendzina. Jenis tanah ini memiliki hubungan dengan iklim laut tengah (mediterania) yang dicirikan dengan musim dingin banyak hujan dan musim panas kering. Tanah ini pertama kali ditemukan dan diselidiki sekitar laut tengah disepanjang pantai Eropa, sepanjang pantai asia barat yang mengitari laut tengah.

53 38 Selain itu tanah inipun terdapat di Amerika Selatan dan Asia Tenggara (Indonesia, Laos, Filipina). Jenis tanah ini terutama yang merah juga terkenal dengan nama Terra Rossa. Dibandingkan dengan batu kapur sebagai bahan induk tanah Mediteran Merah Kuning memperlihatkan akumulasi sesquioksida dan silika, sedangkan jika dibandingkan dengan jenis-jenis tanah dari daerah humid seperti latosol, jenis tanah ini mempunyai lebih kadar alkali dan alkali tanah. Tingginya kadar Fe dan rendahnya kadar bahan organik menyebabkan tanah Mediteran Merah Kuning berwarna merah mengkilat, bertekstur geluh dan mengandung konkresi Ca dan Fe. Di Indonesia tanah jenis ini lanjut mengalami pembentukan tanah dengan cara lixiviasi dan kalsifikasi lemah, tekstur berat, konsistensi lekat, kadar bahan organik rendah, reaksi alkalis, derajad kejenuhan bsa tinggi, horison B tekstur berwarna kuning merah, mengandung konkresikonkresi kapur dan besi, horison eluvial umumnya tererosi, dengan topografi berbukit sampai pegunungan. Area tapak didominasi oleh tanah jenis mediteran merah dan rendzina seperti tersaji pada Gambar 10 dan Gambar 11. Tanah mediteran merupakan jenis tanah yang tergolong kurang peka (SK. Menteri Pertanian 24 November 1980 dalam Penuntun Analisis Tapak). Tanah jenis ini dalam bentuk fisik merupakan pelapukan dari batuan kapur sehingga kadar hara pada tanah ini rendah. Kedalaman top soilnya tidak terlalu dalam. Area sensitif tanah jenis ini pada tapak terletak pada daerah yang dekat dengan pinggiran lembah karena rawan erosi. Tanah disekitar kali memiliki kandungan hara yang lebih baik dari tanah disekitarnya karena area tersebut dialiri air dan lumpur yang kaya akan bahan organik. Gambar 10. Penampakan Tanah Pada Kawasan Lembah Mulo

54 39 Gambar 11. Peta Tanah

55 40 Hidrologi Kawasan Lembah Mulo merupakan daerah yang kering dan kesulitan air. Pada dasar lembah terdapat bekas aliran Kali Ngingrong yang kondisi kualitas dan kuantitas airnya seperti yang tersaji pada Gambar 12. Kali Ngingrong akan terisi air ketika musim hujan dan akan surut ketika musim kemarau tiba. Kali Ngingrong berujung pada dua buah mulut goa yang berbeda, yaitu Goa Ngingrong dan Goa Mulo. Kali tersebut selanjutnya masuk ke dalam gua dan pada dasar gua terdapat telaga dan sungai bawah tanah (pada Goa Ngingong). Sungai dan telaga bawah tanah tersebut kabarnya merupakan sumber air masyarakat sekitar pada zaman dulu. Pada tempat lain di Desa Serpeng terdapat dua telaga karst, yaitu Telaga Serpeng I dan Telaga Serpeng II. Telaga Serpeng II dari segi ukuran dan kuantitas air lebih luas daripada Telaga Serpeng I. Kedua telaga tersebut merupakan daerah tangkapan air kawasan sekitar khususnya Desa Serpeng seperti tersaji pada Gambar 13. Hidrologi pada kawasan ini dibedakan berdasarkan keberadaan dan tingkat kebersihannya. Nilai tertinggi diberikan pada badan air yang berada di endokarst karena keberadaannya sangat langka dan sensitif. Sedangkan nilai paling rendah diberikan pada badan air yang berada di eksokarst, kotor, dan keruh. Gambar 12. Kali Ngingrong

56 41 Gambar 13. Peta Hidrologi

57 42 Iklim Gunungkidul secara umum memiliki iklim tropis kering. Berdasarkan data yang diperoleh dari Triple A Atlas Gunungkidul tahun 2005, curah hujan pertahunnya hanya 1906 mm per tahun. Suhu rata-ratanya sebesar 26 C dan kelembapan rata-ratanya 81% (Tabel 7). Kawasan lembah Mulo memiliki keunikan tersendiri. Jika musim kemarau (April-September) tiba maka lembah akan terlihat gersang tanpa ada vegetasi berupa perdu pun ditambah pohon-pohon jati yang meranggas. Namun, bila musim hujan (Oktober-Maret) maka Lembah Mulo akan terlihat hijau dan ditumbuhi oleh tanaman liar serta pohon jati yang mendominasi kawasan. Tabel 7. Kondisi Iklim Gunungkidul ( ) No. Bulan Curah Hujan Suhu Kelembapan (mm) ( C) (%) 1 Januari , Februari , Maret , April , Mei , Juni 67 25, Juli 28 25, Agustus 23 25, September 33 26, Oktober 96 26, November , Desember ,0 85 Jumlah 1906 Rata-rata 158, Sumber: Tripel A Atlas Gunungkidul 2005

58 43 Keanekaragaman Hayati Ekosistem karst menyebabkan daerah tersebut miskin unsur hara dan kekurangan air. Tidak semua tumbuhan mampu berkembang dengan baik pada kondisi lingkungan karst. Banyak warga sekitar membudidayakan tanaman yang adaptif dan kuat terhadap kekeringan dan kurang unsur hara dalam tanah, seperti jati, kayu putih, dan akasia (Tabel 8). Peranan vegetasi di kawasan karst selain untuk budidaya yang dapat menghasilkan nilai ekonomi juga sangat penting untuk menekan terjadinya erosi. Tabel 8. Vegetasi pada Kawasan Lembah Mulo No. Nama Latin Nama Lokal Famili 1 Acacia auriculiformis Akor Fabaceae 2 Acacia leochophloea Pilang Fabaceae 3 Acacia tomentosa Klampis Fabaceae 4 Acacia villosa Akvil Fabaceae 5 Alstonia scholaris Pulai Apocynaceae 6 Antidesma bunius Wuni Phyllanthaceae 7 Butea monosprema Ploso Fabaceae 8 Caesalpinia sappan Secang Fabaceae 9 Cassia fistula Trengguli Fabaceae 10 Cassia siamea Johar Fabaceae 11 Dalbergia latifolia Sonokeling Fabaceae 12 Eucalyptus alba Kayu putih Myrtaceae 13 Euginia cuminl Duwet 14 Glirisedia spp. Gamal 15 Lagestroemia spp. Bungur Lythraceae 16 Leucaena glauca Kemlanding Fabaceae 17 Paraserianthes falcatania Sengon Fabaceae 18 Pinus merkusii Pinus Pinaceae 19 Swietenia mahogani Mahoni Meliaceae 20 Tectona grandis Jati Lamiaceae Sumber: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Daerah Kabupaten Gunungkidul

59 44 Kawasan Lembah Mulo juga terdapat satwa-satwa yang khas dan merupakan endemik ekosistem karst. Beberapa diantaranya adalah burung walet, ular king kobra, kelelawar, trenggiling, landak, dan lain-lain (Tabel 9). Burung walet merupakan satwa endemik kawasan karst yang menjadikan goa sebagai sarangnya seperti tersaji pada Gambar 14 dan Gambar 15. Satwa ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan dapat dimanfaatkan oleh penduduk sekitar kawasan. Pada beberapa spot kawasan juga kadang kala ditemui ular king kobra yang sangat berbisa. Tabel 9. Satwa pada Kawasan Lembah Mulo No. Nama Latin Nama Lokal Famili 1 Aerodramus fluaphagus Burung walet Apodidae 2 Bronchocela jubata Bunglon Agamidae 3 Gekko gecko Tokek Gekkonidae 4 Hemiscorpius lepturus Kalajengking Dromopoda 5 Hystrix javanica Landak Erethizontidae 6 Manis javanica Trenggiling Manidae 7 Naja sputatrix Kobra Elapidae 8 Ophiophagus hannah King cobra Elapidae 9 Pteropus brunneus Kalong Pteropodidae 10 Pteropus hypomelanus Codot Pteropodidae 11 Python reticulatus Sanca kembang Pythonidae 12 Rattus argentiventer Tikus sawah Muridae 13 Viverricula indica Musang Viverridae Sumber: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Daerah Kabupaten Gunungkidul (a) (b) Gambar 14. Vegetasi dan Satwa di Kawasan Lembah Mulo (a) pohon jati, (b) kelelawar

60 45 Gambar 15. Peta Keanekaragaman Hayati

61 46 Visual Lembah Mulo memiliki beragam objek karst yang masih alami. Kawasan ini memiliki goa, sungai bawah tanah, lembah karst, telaga karst, sinkhole, dan bukit karst. Pandangan ke arah Lembah Mulo merupakan good view dengan pemandangan lembah yang indah dan bukit-bukit yang berjejer ke arah pantai selatan. Titik tertinggi kawasan berada pada bukit tepat disamping lembah yang dapat menjangkau pemandangan kawasan lembah dengan leluasa. Titik terendah pada kawasan terdapat pada sinkhole karst yang untuk mencapai tempat tersebut memerlukan keahlian khusus dalam hal memanjat dinding. Good view lain pada kawasan adalah dua telaga yang terletak dekat dengan pemukiman warga. Dominasi pohon jati yang masif menciptakan kesan tersendiri pada kawasan. Kawasan lembah akan tampak hijau ketika musim hujan tiba dan tampak kering dan tandus saat musim kemarau seperti yang tersaji pada Gambar 16 dan Gambar 17. Bad view ditemui pada beberapa kios yang tersebar di kawasan Lembah Mulo yang belum tersusun dengan baik. Tegalan warga yang dibiarkan tidak terawat pun menjadi bad view pada kawasan Lembah Mulo. Beberapa pemandangan yang tidak baik pada tapak bisa direduksi dengan penataan kembali kios-kios yang belum tersusun dengan rapi tersebut dan menata tegalan warga menjadi lebih rapi dalam pola penanamannya. (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 16. Kondisi Visual Lembah Mulo (a) Lembah Mulo, (b) perkebunan jati, (c) luweng (sinkhole), (d) Goa Ngingrong, (e) bukit karst, (f) tegalan

62 47 Gambar 17. Peta Visual

63 48 Kondisi Sosial Budaya Desa Mulo Lembah Mulo terletak di Desa Mulo Kecamatan Wonosari. Kondisi alamnya yang susah dan tandus membuat banyak masyarakatnya bermigrasi ke kota. Sebagian besar masyarakatnya memiliki mata pencaharian sebagai petani, baik petani sawah tadah hujan maupun petani ladang. Curah hujan yang rendah membuat petani mengalihkan pola pertaniannya ke ladang ketika musim kemarau tiba. Pada kawasan dengan kemiringan yang curam penduduk setempat memanfaatkan area tersebut dengan menanaminya dengan tanaman jati, akasia, kayu putih, dan lain-lain. Penduduk setempat sepertinya sudah mampu memahami tentang konservasi area yang memiliki kemiringan yang curam dengan ditanami tanaman kayu tahunan. Budaya Jawa masih terasa kental dipegang teguh oleh masyarakat setempat. Pada waktu tertentu diadakan berbagai kegiatan yang masih memiliki rasa budaya yang kuat. Pascapanen masyarakat melaksanakan rasulan, yaitu rangkaian acara sebagai ungkapan rasa sukur kepada Tuhan atas hasil panen yang telah mereka terima. Rangkaian acara rasulan biasanya diiringi dengan tarian daerah reog dogdog dan wayang kulit. Masyarakat setempat juga rutin mengadakan bersih-bersih desa dan kerja bakti. Kependudukan Desa Mulo Berdasarkan Wonosari Dalam Angka Tahun 2008, Desa Mulo terdiri atas tiga dusun, yaitu Karang Asem, Mulo, dan Kepil dengan 11 RW dan 34 RT. Jumlah penduduk Desa Mulo sebanyak 4368 orang yang terdiri atas 2095 laki-laki dan 2273 perempuan dengan kepadatan penduduk 629 orang/km 2. Islam merupakan agama yang dianut sebagian besar masyarakat dengan persentase mencapai 99%. Umur tahun merupakan kelompok yang paling banyak terdapat di Desa Mulo dengan 440 orang seperti yang terlihat pada Tabel 10. Berdasarkan data juga terlihat bahwa tidak ada penduduk yang bermigrasi menuju Desa Mulo. Hal tersebut mungkin diakibatkan oleh keadaan Desa Mulo yang tidak begitu bagus untuk memperbaiki taraf kehidupan calon penduduk yang akan bermigrasi kesana.

64 49 Tabel 10. Penduduk Desa Mulo Menurut Kelompok Umur Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah Jumlah Sumber: Wonosari Dalam Angka Tahun 2008 Data kependudukan dapat menunjukkan kira-kira berapa banyak tenaga kerja yang dapat terserap untuk mengelola kegiatan ekowisata di kawasan Lembah Mulo. Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 Bab I pasal 1 dan 2 disebutkan bahwa usia angkatan kerja adalah rentang usia antara tahun. Masyarakat yang memiliki umur antara tahun (usian angkatan kerja) yang berjumlah 2971 orang di kawasan Lembah Mulo berpotensi sebagai tenaga kerja. Masyarakat dapat melakukan kegiatan wisata seperti dengan membentuk Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata), menjual beragam kuliner khas daerah, menjual cinderamatan, dan lain-lain.

65 50 BAB V DATA, ANALISIS, DAN SINTESIS Aksesibilitas Akses menuju kawasan Lembah Mulo dapat dicapai dengan berbagai macam alat transportasi darat, yaitu motor, mobil, bus kecil, dan bus besar dengan kondisi jalan beraspal (hotmix) yang baik dengan lebar 6 meter. Dari jalan utama kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki dengan kondisi jalan tanah yang agak berbatu dengan lebar 1-3 meter untuk mengeksplorasi kawasan secara menyeluruh. Kasawan ini dapat dengan mudah diakses dari jalan utama yang menghubungkan Provinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah bagian selatan. Jalur ini biasa digunakan dan dilewati oleh masyarakat yang bepergian lintas provinsi. Jalur ini juga merupakan jalur utama menuju objek wisata pantai selatan Yogyakarta (Pantai Baron, Kukup, Krakal, dll) yang lebih dulu terkenal dan menjadi primadona bagi masyarakat Yogyakarta (Gambar 18 dan Gambar 19). Tapak dapat dicapai melalui dua jalan utama, yaitu Jalan Baron dan Jalan Wonosari-Girisubo. Jalan Baron biasa diakses oleh masyarakat yang datang dari arah utara kawasan (Yogyakarta dan Wonosari) sedangkan Jalan Wonosari- Girisubo biasa diakses oleh masyarakat yang berdomisili di selatan kawasan, yaitu Kecamatan Tepus dan sekitarnya. Untuk mencapai kawasan melalui jalan utama (Jalan Baron) dapat menggunakan transportasi umum berupa bis dari Yogyakarta jurusan Wonosari selama kurang lebih satu setengah jam. Waktu tempuh sekitar satu jam untuk mencapai Terminal Wonosari. Selanjutnya disambung dengan bis kecil jurusan Tepus atau Baron dengan waktu tempuh menuju kawasan sekitar 15 menit. Jalan Baron merupakan jalan menuju tapak yang potensial dapat diakses dengan mudah oleh calon wisatawan. Gambar 18. Kondisi Jalan Menuju Tapak

66 51 (a) Gambar 19. Aksesibilitas Menuju Tapak (a) akses antar provinsi menuju tapak, (b) (b) akses dalam kota menuju tapak

67 52 Wisatawan dapat mengakses lokasi dengan berbagai macam moda kendaraan. Bagi pengendara kendaraan pribadi dari pusat Kota Yogyakarta dapat langsung mengakses Jalan Ringroad Selatan kemudian berbelok ke arah Wonosari langsung menuju tapak. Bagi wisatawan yang menggunakan kendaraan umum, Terminal Giwangan merupakan tempat transit utama di pusat kota sebelum melanjutkan perjalanan ke lokasi. Wisatawan yang berasal dari luar kota dapat mencapai Terminal Giwangan dengan berbagai trayek bis, beberapa diantaranya Semarang-Yogyakarta, Purworejo-Yogyakarta, Solo-Yogyakarta, dan lain-lain. Selanjutnya perjalanan dilanjutkan dengan bis trayek Yogyakarta-Wonosari menuju Terminal Wonosari. Setelah sampai di Terminal Wonosari, perjalanan kembali dilanjutkan dengan menggunakan bis kecil trayek Wonosari-Tepus. Sementara untuk wisatawan yang berasal dari Wonogiri, lokasi dapat dicapai dengan bis trayek Wonogiri-Wonosari (Gambar 20). Kondisi jalan baik dengan aspal yang halus dengan waktu tempuh menuju tapak sekitar 2 jam. Jarang ditemui titik kemacetan sepanjang perjalanan. Kemacetan terjadi hanya apabila kondisi jalan cukup padat saat waktu-waktu tertentu dan persimpangan lampu lalu lintas. dari Purworejo dari Semarang dari Surakarta dari Wonogiri Bus umum trayek Purworejo- Yogyakarta Bus umum trayek Semarang- Yogyakarta Bus umum trayek Surakarta- Yogyakarta Bus umum trayek Wongiri- Wonosari TERMINAL GIWANGAN YOGYAKARTA Bus umum trayek Yogyakarta-Wonosari TERMINAL WONOSARI Bus kecil trayek Wonosari-Tepus LEMBAH MULO, DESA MULO, YOGYAKARTA Gambar 20. Skema Transportasi Umum Menuju Tapak

68 53 Kemudahan aksesibilitas dan sirkulasi akan mempermudah calon wisatawan untuk menjangkau tapak yang akan direncanakan. Kegiatan ekowisata pada tapak akan berjalan dengan baik apabila banyak wisatawan yang berkunjung. Semakin baik kondisi akses dan sirkulasi menuju tapak, maka potensi pengunjung akan semakin besar. Terdapat tiga alternatif akses menuju kawasan Lembah Mulo, antara lain: a. Alternatif pertama akses menuju kawasan melalui Jalan Baron yang merupakan jalan utama menuju Lembah Mulo (Gambar 21). Gambar 21. Alternatif 1 Akses Menuju Kawasan Lembah Mulo b. Alternatif kedua kawasan Lembah Mulo dapat dicapai dengan dua akses. Selain melalui Jalan Baron, Lembah Mulo juga dapat dicapai melalui arah Tepus, yaitu Jalan Wonosari-Girisubo (Gambar 22). Gambar 22. Alternatif 2 Akses Menuju Kawasan Lembah Mulo

69 54 a. Alternatif ketiga yaitu mencapai kawasan yaitu melalui desa dan jalanjalan sekunder yang berada di sekeliling Lembah Mulo (Gambar 23). Gambar 23. Alternatif 3 Akses Menuju Kawasan Lembah Mulo Alternatif pertama aksesibilitas menuju kawasan Lembah Mulo merupakan alternatif yang paling baik. Jalan Baron merupakan jalan utama yang menghubungkan kawasan Lembah Mulo dengan pusat kota, yaitu Yogyakarta dan kota-kota lain di Jawa Tengah. Kondisi jalan yang baik diharapkan mampu menarik banyak calon wisatawan yang akan berkunjung. Alternatif kedua yaitu akses kawasan melalui Jalan Wonosari-Girisubo. Kondisi jalan cukup baik dan lebar namun akses melalui jalan ini kurang berpotensi menarik calon wisatawan. Sedangkan alternatif ketiga yaitu melalui Desa Serpeng. Kondisi jalan kurang begitu baik dan sempit karena merupakan jalan desa serta kurang berpotensi menarik calon wisatawan. Pintu masuk sebaiknya hanya satu, yaitu area setelah persimpangan Jalan Baron untuk memudahkan pengelolaan kawasan. Area setelah akses tersebut direncanakan menjadi welcome area yang akan diberi fasilitas gerbang utama, loket tiket, kantor pengelola, dan pusat informasi kawasan. Analisis Kepekaan Pada Kawasan Karst Lembah Mulo Kepekaan karst Lembah Mulo didekati dengan cara menganalisis kawasan dari aspek geologi, tanah, dan topografi. Penutupan lahan dipilih menjadi unit analisis karena tiap jenis penutupan memiliki karakter dan kapasitas lahan yang berbeda. Dalam pengembangan ekowisata perlu diketahui potensi dan kendala

70 55 pada tapak, sehingga secara umum penutupan lahan dibagi menjadi area terbuka dan area terbangun. Kedua area tersebut secara ekologi memiliki sifat dan keanekaragaman hayati yang berbeda. Objek alam secara umum tersebar pada area terbuka, sedangkan atraksi budaya tersebar pada area terbangun. Kepekaan kawasan akan mempengaruhi pengembangan yang akan dilakukan pada tapak. Kawasan yang peka tidak boleh dilakukan pembangunan diatasnya untuk melindungi dan melestarikan bentuk serta fungsi karst yang ada disana. Sementara kawasan yang cukup dan kurang peka dapat dikembangkan untuk kegiatan ekowisata. Hasil analisis pada Tabel 11 menunjukkan bahwa kawasan karst Lembah Mulo memiliki kepekaan yang peka dan cukup peka. Tidak ditemukan segmen atau area yang kurang peka karena kondisi tanah kawasan berjenis rendzina dan bersifat peka sehingga menjadi faktor pembatas. Tabel 11. Pendugaan Kepekaan Kawasan Karst Lembah Mulo Segmen Geologi Tanah Kemiringan Jumlah Lahan Nilai Skor Kepekaan 1 Memiliki bentukan Rendzina >25% 3 1 Peka karst yang kompleks 2 Memiliki bentukan Rendzina >25% 3 1 Peka karst yang kompleks 3 Tidak memiliki bentukan karst Rendzina 0-15% 7 2 Cukup peka 4 Cukup memiliki Rendzina >25% 4 1 Peka bentukan karst 5 Cukup memiliki bentukan karst Rendzina 15-25% 5 2 Cukup peka 6 Cukup memiliki Rendzina >25% 4 1 Peka bentukan karst 7 Cukup memiliki bentukan karst Rendzina 15-25% 5 2 Cukup peka 8 Tidak memiliki bentukan karst Rendzina 0-15% 7 2 Cukup peka 9 Cukup memiliki bentukan karst Rendzina 0-15% 7 2 Cukup peka 10 Cukup memiliki bentukan karst Rendzina 15-25% 5 2 Cukup peka Keterangan: peka: 3-4 cukup peka: 5-7 kurang peka: 8-9

71 56 Dari Tabel 12 dan Gambar 24 dapat diketahui bahwa area yang peka adalah segmen 1, 2, dan 4. Sedangkan area yang cukup peka adalah segmen 3, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10. Area kurang peka tidak ditemukan dalam kawasan. Luas area yang peka dan cukup peka dalam kawasan memiliki persentase yang hampir seimbang. Area peka memiliki luas 6,8 Ha atau 41,39% dari luas kawasan sementara area cukup peka memiliki luas 9,63 Ha atau 58,61% dari luas kawasan. Area peka merupakan area yang tidak boleh dibangun dan dijadikan kawasan konservasi untuk melindungi dan melestarikan karst diatasnya. Sedangkan area yang cukup peka boleh dilakukan pembangunan diatasnya namun dengan syaratsyarat tertentu. Tabel 12. Status Kawasan Lembah Mulo Hasil Analisis Status Kawasan Segmen Luas (Ha) (%) Peka 1, 2, 4 6,8 41,39 Cukup peka 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10 9,63 58,61 Kurang peka Jumlah 16, Gambar 24. Peta Kepekaan Kawasan

72 57 Analisis Keberadaan Objek Ekowisata pada Tapak Potensi Objek dan Atraksi Lembah Mulo merupakan kawasan karst Pegunungan Sewu Gunungkidul yang memiliki bentukan alam yang khas. Kawasan ini memiliki beberapa potensi keindahan alam yang indah. Namun, potensi tersebut belum bisa dikembangkan dengan baik. Untuk mengembangkan Lembah Mulo menjadi sebuah kawasan ekowisata, terlebih dahulu dilakukan analisis untuk menentukan dan mengetahui keberadaan objek-objek yang berada pada tapak yang potensial dikembangkan menjadi daya tarik wisata kawasan. Tabel 13 dan Tabel 14 menjelaskan beberapa potensi objek yang terdapat di kawasan Lembah Mulo. Tabel 13. Potensi Objek Alami di Kawasan Lembah Mulo No. Objek Daya Tarik 1 Lembah Mulo Depresi karst berupa cerukan yang cukup dalam dan meluas Terlihat batuan kapur khas kawasan yang masif Topografi yang unik dengan lereng tebing yang curam Pandangan yang luas sejauh mata memandang 2 Luweng Landform yang unik Kelerengan yang curam Terdapat stalagtit dan stalagmit pada dasar luweng Vegetasi endemik khas mulut gua 3 Goa Mulo Mulut goa yang menarik dan dapat terlihat dari atas bukit Ekosistem goa yang masih alami karena sebelumnya belum dimanfaatkan Goa merupakan lorong bawah tanah menuju ke lembah seberang Pada musim penghujan jalur goa digenangi air Merupakan goa horizontal Keindahan stalaktit dan stalagmit dalam goa 4 Goa Ngingrong Mulut goa yang menarik dan dapat terlihat dari atas bukit Ekosistem goa yang masih alami karena sebelumnya belum dimanfaatkan Merupakan goa vertikal Keindahan stalaktit dan stalagmit dalam goa Terdapat telaga kecil dan sungai bawah tanah pada dasar goa 5 Perbukitan karst Keunikan topografi Vegetasi dominan tanaman tahunan seperti jati, akasia, dan kayu putih Pandangan yang luas sejauh mata memandang 6 Telaga Serpeng I Telaga dengan ukuran yang tidak begitu besar Kuantitas air menyesuaikan dengan musim, saat kemarau sering mengering dan merupakan tampungan dari air hujan 7 Telaga Serpeng II Telaga yang ukurannya lebih besar dari Telaga Serpeng I Memiliki kuantitas dan kualitas air yang lebih baik daripada Telaga Serpeng I Saat musim kemarau telaga tidak kering

73 58 8 Perkebunan jati Terletak di sebelah timur dan mengelilingi kawasan Lembah Mulo Pohon jati yang ditanam sudah cukup berumur, ditanam masif, dan berpola Tabel 14. Potensi Atraksi Budaya di Kawasan Lembah Mulo No Atraksi Daya Tarik 1 Reog Dodog Biasanya diadakan setiap masa Rasulan Kesenian daerah dengan tari-tarian dan baju adat 2 Rasulan Diadakan untuk memperingati rasa syukur atas keberhasilan panen. Biasanya saat musim panen kedua 3 Campursari Merupakan jenis musik akulturasi antara dangdut dengan Bahasa Jawa Biasanya diadakan pada setiap acara seperti pernikahan, tujuhbelasagustusan, dll 4 Wayang kulit Biasanya diadakan oleh perangkat desa setempat untuk memperingati sesuatu Kegiatan skala menengah yang melibatkan banyak orang (kelurahan) 5 Kuliner (belalang goreng, bakmi, tiwul, dll) Terdapat berbagai macam kuliner unik disekitar kawasan Lembah Mulo Belalang banyak dijual di pinggir jalan sekitar kawasan untuk dikonsumsi. Merupakan makanan yang tidak biasa Persebaran Persebaran objek dan atraksi wisata di kawasan Lembah Mulo dapat dilihat pada Gambar 25. Terlihat bahwa Jalan Raya Wonosari-Girisubo secara langsung memisahkan objek yang berupa alam dan atraksi wisata yang berbau budaya. Pada selatan jalan terbentang lembah yang memiliki objek menarik, seperti Goa Mulo, Goa Ngingrong, dan luweng. Sedangkan pada kawasan utara jalan terdapat Desa Serpeng dan dua telaga karstnya. Desa Serpeng juga memiliki banyak kegiatan dan atraksi budaya, seperti rasulan, pagelaran wayang kulit, dan reog dogdog yang biasa digelar pada momen-momen tertentu.

74 59 Gambar 25. Peta Persebaran Objek dan Atraksi

75 60 Penilaian terhadap keberadaan objek dan atraksi wisata pada kawasan Lembah Mulo dilaksanakan dengan pengamatan pada tapak. Objek yang memiliki nilai tinggi berpotensi untuk dikembangkan menjadi daya tarik wisata utama, namun harus dengan pertimbangan dalam pengembangannya yang berhubungan dengan tingkat kepekaan tapak seperti yang tersaji pada Tabel 15. Tabel 15. Analisis Nilai Potensi Objek Ekowisata di Kawasan Lembah Mulo No. Nama Objek/Atraksi Aspek I II III IV V VI VII Skor Ket. Pemanfaatan Kawasan Objek 1 Lembah Mulo Tinggi Objek utama 2 Luweng Sedang Objek utama 3 Goa Mulo Sedang Objek utama 4 Goa Ngingrong Sedang Objek utama 5 Perbukitan karst Rendah Objek pendukung 6 Telaga Serpeng I Sedang Objek utama 7 Telaga Serpeng II Sedang Objek utama 8 Perkebunan jati Rendah Objek pendukung Atraksi 9 Reog Dhodhog Sedang Objek utama 10 Rasulan Sedang Objek utama 11 Campur sari Rendah Objek pendukung 12 Wayang kulit Sedang Objek utama 13 Kuliner Rendah Objek pendukung I: keunikan II: kelangkaan III:keindahan IV: seasonality V: sensitifitas VI: aksesibilitas VII: fungsi sosial Rendah: 7-18 Sedang: Tinggi: Sintesis Peta kepekaan selanjutnya dioverlay dengan peta persebaran objek dan atraksi wisata di kawasan Lembah Mulo untuk mengetahui persebaran objek dan atraksi pada kawasan peka atau cukup peka. Terlihat pada Gambar 26 bahwa ada tujuh objek wisata yang berada di kawasan karst yang peka dan delapan objek dan atraksi wisata yang berada di zona cukup peka. Zona peka merupakan kawasan yang tidak boleh dilakukan aktivitas wisata diatasnya karena dapat mengganggu bentuk dan fungsi karst yang berada disana. Namun apabila pada zona peka terdapat objek wisata yang memiliki nilai tinggi sebagai daya tarik wisata, maka pemanfaatan zona tersebut harus dibatasi misalnya berupa aktivitas pasif

76 61 mengamati pemandangan atau sekedar lintas alam maupun susur goa. Kegiatan wisata yang memberikan beban berat pada zona peka tidak boleh dilaksanakan. Zona cukup peka merupakan kawasan yang dapat dikembangkan menjadi area wisata namun dalam pengembangannya dibutuhkan syarat-syarat tertentu dalam hal pembangunan dan teknik rekayasa lanskap guna meningkatkan daya dukung kawasan. Kegiatan wisata pada zona ini dapat lebih leluasa. Gambar 26. Peta Sintesis Kawasan Ekowisata Persepsi, Preferensi, dan Potensi Pengunjung Lembah Mulo Persepsi, preferensi, dan potensi pengunjung Lembah Mulo diperoleh dengan cara melakukan pengisian kuisioner kepada masyarakat yang berkunjung ke Lembah Mulo dan sekitarnya. Kuisioner disebar kepada 40 responden. Pengambilan data persepsi, preferensi, dan potensi pengunjung Lembah Mulo digunakan untuk mengetahui arah pengembangan ekowisata agar sesuai dan tidak berbenturan dengan kepentingan masyarakat. Berdasarkan hasil kuisioner dari 40 responden yang merupakan masyarakat yang datang ke Lembah Mulo (wisatawan) diketahui bahwa calon pengunjung Lembah Mulo dilihat dari komposisi jenis kelamin berjumlah 20

77 62 orang laki-laki dan 20 orang perempuan. Pengunjung Lembah Mulo tidak condong ke satu gender saja (laki-laki). Sementara dari kelompok umur yang paling sering berkunjung ke Lembah Mulo berasal dari kelompok tahun atau kelompok umur dewasa (Gambar 27). 38% 5% 7% 35% 15% tahun tahun tahun tahun 0% tahun > 60 tahun Gambar 27. Persentase Kelompok Umur Pengunjung Lembah Mulo Waktu kunjungan terjadi pada hari-hari biasa (weekday) dan jam kunjungan paling banyak terjadi pada sore hari. Biasanya mereka hanya sekedar lewat atau duduk-duduk di bibir lembah sambil menikmati panorama alam sekitar sambil melepas penat. Pengunjung sebagian besar merupakan masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kawasan Lembah Mulo. Sebanyak 39 responden atau 99% setuju jika Lembah Mulo dijadikan kawasan ekowisata. Menurut responden terdapat beberapa objek yang menarik di kawasan Lembah Mulo. Lembah Mulo itu sendiri merupakan daya tarik utama bagi pengunjung disamping objek lain seperti luweng, goa, dan telaga. Berikut adalah beberapa objek yang menarik menurut responden (Gambar 28).

78 63 33% 30% 5% 2% 30% Lembah Luweng Goa Telaga Lainnya Gambar 28. Objek yang Menarik Pada Kawasan Lembah Mulo Menurut Responden Fasilitas pada kawasan Lembah Mulo banyak yang harus ditambahkan untuk mendukung kegiatan wisata disana, seperti pagar pengaman, tempat duduk, shelter, menara pandang, dan lain-lain. Sementara kegiatan wisata yang cocok dikembangkan anatara lain menikmati pemandangan, susur goa, dan lintas alam. Pemerintah setempat dan masyarakat sekitar merupakan pihak yang harus bertanggungjawab apabila ingin melakukan pengembanag Lembah Mulo sebagai kawasan wisata. Responden juga berpendapat mengenai keterlibatan masyarakat sekitar dalam pengelolaan kawasan wisata tersebut (Gambar 29). 43% 8% 10% 15% 25% Terlibat aktif dalam pengelolaan Menjadi objek wisata Penyedia jasa wisata Menjual barang/jasa yang khas Lainnya Gambar 29. Bentuk Keterlibatan Masyarakat Sekitar dalam Kegiatan Wisata

79 64 Menurut Birowo Adhie (mantan Kepala Bidang Pengembangan Produk Wisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Gunungkidul), Lembah Mulo memang potensial dikembangkan menjadi suatu kawasan wisata. Sebelumnya juga sudah pernah ada kajian pengembangan kawasan tersebut menjadi area wisata namun terkendala realisasinya. Ekowisata merupakan konsep yang tepat diterapkan karena melibatkan masyarakat sekitar dan turut meningkatkan kesejahteraannya. Masyarakat sekitar merupakan elemen yang penting dalam pengembangan kawasan Lembah Mulo menjadi area ekowisata. Berdasarkan hasil kuisioner, masyarakat menginginkan suatu keterlibatan aktif dalam mengelola kawasan Lembah Mulo. Masyarakat yang sebagian besar memiliki mata pencaharian sebagai petani dapat mengambil manfaat dari keberadaan Lembah Mulo. Beberapa alternatif kegiatan untuk mengakomodasi masyarakat sekitar dalam pengelolaan dan pengembangan kawasan yaitu kegiatan menjual makanan khas daerah setempat (kuliner), menjadi pemandu wisata, menjual pernak pernik dan cinderamata, dan pengelolaan kawasan secara terkordinasi seperti membentuk Pokdarwis (kelompok sadar wisata). Rencana kegiatan tersebut perlu ditunjang dengan fasilitas yang baik pada kawasan. Beberapa fasilitas yang dibutuhkan antara lain kantor pengelola, kantin, dan kios. Pembangunan fasilitas tersebut harus berada pada kawasan yg memiliki tingkat kepekaan yang rendah agar tidak mengganggu dan merusak karst kawasan Lembah Mulo. Sintesis Zona peka merupakan kawasan yang tidak boleh menerima beban berat dari aktivitas manusia yang dilakukan diatasnya. Terdapat beberapa objek wisata alam di zona peka pada kawasan Lembah Mulo sehingga pemanfaatan kawasan zona peka tersebut harus seminimal mungkin. Zona peka Lembah Mulo menjadi area wisata utama karena sebagian besar objek yang berada disana memiliki nilai tinggi, namun dengan kegiatan yang pasif dan tidak mengganggu bentuk dan fungsi karst diatasnya.

80 65 Zona cukup peka pada kawasan tersebut merupakan area wisata pendukung kawasan Lembah Mulo karena objek dan atraksinya bernilai sedang sampai rendah. Zona ini juga potensial dikembangkan untuk kegiatan wisata aktif karena memiliki kemampuan yang lebih besar dalam menerima aktivitas diatasnya. Area penerimaan dan pelayanan dapat dikembangkan pada zona ini dengan beberapa syarat pembangunan dan rekayasa tapak bila ditemui kondisi lereng yang sedikit curam (Tabel 16). Aksesibilitas menuju tapak yang biasa ditempuh oleh wisatawan melalui Jalan Baron berpotensi menjadi area penerimaan utama menuju kawasan karst Lembah Mulo. Objek dan atraksi wisata tersebar pada bagian utara dan selatan jalan utama sehingga sirkulasi radial memungkinkan dikembangkan pada tapak dengan satu titik utama. Area disekitar Lembah Mulo yang berupa perbukitan karst dan perkebunan serta tegalan milik masyarakat tetap dibiarkan apa adanya sebagai area penyangga kawasan. Hal ini dilakukan selain karena status tapak yang bersifat peka, juga untuk melindungi bentuk dan fungsi karst diatasnya (Gambar 30). Tabel 16. Bentuk Aktivitas Pada Objek dan Atraksi Wisata Objek Zona Peka Zona Cukup Peka Aktivitas Tracking Interpretasi Viewing Istirahat Makan Belanja MCK Ibadah Lintas alam Keterangan: 1: Lembah Mulo, 2: Goa Mulo, 3: Goa Ngingrong, 4: luweng, 5: perbukitan karst, 6: perkebunan jati, 7: Telaga Serpeng I, 8: Telaga Serpeng II, 9: reog dhogdog, 10: rasulan, 11: campur sari, 12: wayang kulit, 13: kuliner.

81 66 Gambar 30. Rencana Blok

82 67 BAB VI PERENCANAAN LANSKAP Konsep Lanskap Ekowisata Konsep dasar perencanaan lanskap ekowisata karst di Lembah Mulo ini adalah menjadikan Lembah Mulo sebagai kawasan wisata yang tetap menjaga kelestarian lingkungan, partisipatif, dan edukatif. Perencanaan kawasan berbasis ekologi bertujuan agar tidak merusak karst disana. Pemberdayaan masyarakat sekitar dalam pengelolaan untuk meningkatkan kesejahateraan mereka. Unsur edukasi dimasukkan dalam pengembangan konsep agar wisatawan dapat memperoleh pemahaman tentang kawasan karst yang merupakan bentang alam yang penting dan perlu dilindungi dan dilestarikan. Perencanaan kawasan Lembah Mulo diharapkan mampu menjadi icon kepariwisataan di Kabupaten Gunungkidul. Ruang Konsep ruang dibuat dengan mempertimbangkan kepekaan kawasan Lembah Mulo. Secara umum pembagian ruang dibagi menjadi ruang konservasi dan ruang pemanfaatan untuk wisata. Ruang pemanfaatan untuk wisata terdiri atas beberapa ruang, antara lain ruang penerimaan, ruang pelayanan, ruang wisata, dan ruang penyangga (Gambar 31). a. Ruang Penerimaan Ruang penerimaan adalah pintu masuk utama kawasan Lembah Mulo. Area ini harus dapat dengan mudah diakses dan berpotensi mendatangkan calon wisatawan. b. Ruang Pelayanan Ruang pelayanan adalah area dimana wisatawan mendapatkan segala informasi mengenai kawasan Lembah Mulo dan fasilitas pendukung wisata. Area ini juga berfungsi sebagai transisi dari ruang penerimaan menuju ruang wisata. c. Ruang Wisata Ruang wisata adalah area utama pada kawasan Lembah Mulo dimana wisatawan dapat melakukan kegiatan wisata maupun interpretasi kawasan. Objek dan atraksi wisata tersebar pada area ini. Ruang wisata

83 68 sekaligus juga area konservasi yang memiliki kepekaan dan sensitivitas yang tinggi. Area ini tidak boleh dimanfaatkan secara berlebihan untuk kegiatan wisata untuk menjaga kualitas karst diatasnya. Secara umum area wisata di kawasan Lembah Mulo terbagi menjadi dua, antara lain: Area Wisata Darat Area wisata darat merupakan area dimana objek dan atraksi tersebar di daratan. Pada area ini wisatawan dapat mencapai objek dan atraksi berupa bentang alam dan atraksi budaya yang dihubungkan melalui jalur interpretasi. Area Wisata Air Area wisata air adalah area dimana wisatawan dapat menikmati unsur air pada kawasan Lembah Mulo, yaitu berupa telaga karst. Pada area ini wisatawan dapat menikmati bentang alam telaga karst dan menikmati kuliner khas daerah. d. Ruang Penyangga Ruang penyangga adalah ruang yang terdapat di sekeliling dan tersebar pada kawasan yang berfungsi untuk melindungi dan menjaga kelestarian kawasan karst agar tetap terjaga kualitasnya. Ruang penyangga berupa vegetasi yang resisten terhadap kondisi kawasan yang miskin air dan hara, seperti jati, akasia, dan kayu putih. Gambar 31. Diagram Konsep Pembagian Ruang

84 69 Sirkulasi Konsep sirkulasi dikembangkan untuk mempermudah wisatawan dalam mengakses objek dan atraksi wisata pada kawasan yang tersebar (Gambar 32). Sirkulasi yang dibuat harus mempertimbangkan keamanan dan kenyamanan wisatawan. Secara umum, konsep sirkulasi pada kawasan Lembah Mulo dibagi menjadi tiga, yaitu: a. Sirkulasi Utama Sirkulasi utama adalah jalur yang menghubungkan jalan raya utama menuju kawasan Lembah Mulo. Jalan utama membelah ruang wisata di kawasan Lembah Mulo menjadi dua bagian. b. Sirkulasi Primer Sirkulasi primer adalah jalur yang menghubungkan ruang satu dengan ruang lainnya. Jalur ini merupakan jalur interpretasi untuk kegiatan wisata. c. Sirkulasi Sekunder Sirkulasi sekunder adalah jalur yang menghubungkan objek dan atraksi wisata yang satu dengan yang lain dalam satu ruang wisata. Gambar 32. Diagram Konsep Sirkulasi

85 70 Aktivitas dan Fasilitas Konsep aktivitas yang akan dikembangkan pada kawasan Lembah Mulo adalah pengembangan aktivitas wisata yang memberdayakan masyarakat sekitar dalam kegiatan dan pengelolaan kawasan wisata Lembah Mulo. Pengembangan ini diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Segala aktivitas yang akan dilaksanakan di kawasan Lembah Mulo tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan merusak kondisi karst diatasnya. Kegiatan wisata di kawasan Lembah Mulo dibedakan menjadi wisata darat dan wisata air. Wisata darat terdiri atas kegiatan lintas alam, susur goa, camping, interpretasi alam, wisata belanja, dan wisata kuliner. Sementara wisata air terdiri atas kegiatan menikmati pemandangan dan interpretasi alam seperti yang terlihat pada Gambar 33. Konsep fasilitas yang akan dikembangkan adalah fasilitas yang dibangun tidak mengganggu dan merusak keberadaan karst disana. Penggunaan elemen lokal dan alami akan menambah kesan menyatu dengan alam sesuai dengan konsep ekowisata. Fasilitas yang dikembangkan pun harus memenuhi standar dan kemanan dan memberikan kenyamanan bagi wisatawan ketika melakukan kegiatan wisata di kawasan Lembah Mulo. (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 33. Referensi Rencana Aktivitas dan Fasilitas (a) viewing, (b) caving, (c) camping, (d) pagar pembatas, (e) jalan setapak, (f) lintas alam (Sumber:

86 71 Rencana Pengembangan Ruang Ekowisata Secara umum perencanaan lanskap ekowisata karst di Lembah Mulo memiliki luas area sebesar 16,4 Ha yang terbagi atas empat ruang, yaitu ruang penerimaan, ruang pelayanan, ruang wisata, dan penyangga. a. Ruang penerimaan memiliki luas sebesar 1,28 Ha (7.8% dari luas total keseluruhan). Ruang penerimaan merupakan pintu masuk utama untuk memasuki kawasan ekowisata Lembah Mulo secara khusus dan lanskap karst Gunungkidul secara umum. Ruang penerimaan juga memudahkan pengelolan dalam mengatur keluar masuknya wisatawan yang berkunjung ke kawasan Lembah Mulo. b. Ruang pelayanan memiliki luas sebesar 2,78 Ha (16,95 % dari luas total keseluruhan). Ruang pelayanan secara tidak langsung juga merupakan ruang transisi yang memisahkan antara ruang penerimaan dengan ruang wisata (inti). Ruang pelayanan memiliki fungsi yaitu sebagai pusat informasi bagi wisatawan sebelum menikmati objek wisata di Lembah Mulo. Selain itu pada ruang pelayanan juga terdapat fasilitas-fasilitas penunjang wisata, seperti pusat jajanan dan kuliner, pusat penjualan cinderamata khas daerah, kamar kecil, dan area parkir. c. Ruang wisata memiliki luas sebesar 8,26 Ha (50,37% dari luas total keseluruhan). Ruang wisata terdiri atas ruang wisata darat dan ruang wisata air. Ruang wisata darat adalah wisata utama yang terletak di daratan. Ruang ini memiliki luas sebesar 6,37 Ha (38,84% dari luas total keseluruhan). Ruang wisata darat dikembangkan berdasarkan persebaran objek dan atraksi wisata yang berada di darat. Beberapa objek wisata yang akan dilalui dan dapat dinikmati oleh wisatawan pada ruang wisata darat antara lain lembah, goa, luweng, dan desa budaya. Ruang wisata air adalah wisata utama yang terletak di air. Ruang ini memiliki luas sebesar 1,89 Ha (11,52% dari luas total keseluruhan). Ruang wisata air dikembangkan pada Telaga

87 72 Serpeng sebagai salah satu objek wisata utama pada kawasan Lembah Mulo. d. Penyangga memiliki luas sebesar 4,08 Ha (24,88% dari luas total keseluruhan). Penyangga adalah ruang yang melindungi ruang-ruang yang ada di kawasan pengembangan Lembah Mulo. Ruang penyangga akan dikembangkan sebagai area hijau berupa penanaman tanaman tahunan yang tahan terhadap kondisi miskin hara dan air, seperti jati, akasia, dan kayu putih. Jalur Ekowisata Pengembangan jalur ekowisata yang akan direncanakan pada kawasan Lembah Mulo adalah dengan menghubungkan objek, atraksi wisata, dan ruangruang yang terbentuk dan tersebar pada kawasan dengan mempertimbangkan kondisi eksisting dan tidak merusak dan mengurangi kualitas lingkungan sekitar. Terdapat tiga jalur sirkulasi yang akan dikembangkan pada tapak, antara lain: a. Jalur utama. Jalur utama adalah jalur yang menghubungkan kawasan Lembah Mulo dengan jalan utama provinsi. Jalur utama ini dikembangkan untuk mempermudah wisatawan dari luar untuk masuk ke dalam kawasan Lembah Mulo dengan lebar jalan 6 meter. Jalur utama ini dapat diakses oleh kendaraan roda utama (satu lajur), kendaraan roda dua, dan pejalan kaki. Pemakaian aspal hotmix akan lebih memberikan kemudahan bagi wisatawan untuk mengakses kawasan Lembah Mulo. b. Jalur primer. Jalur primer adalah jalur yang menghubungkan antara ruang satu dengan ruang yang lain dalam satu kawasan ekowisata karst Lembah Mulo. Jalur primer hanya dapat diakses oleh pejalan kaki mengingat kondisi eksisting yang memiliki sensitifitas yang tinggi dan kelerengan yang cukup curam dengan lebar 4 meter. Material yang digunakan pada jalur primer ini adalah paving block. c. Jalur sekunder. Jalur sekunder adalah jalur yang menghubungkan objek dan atraksi wisata yang satu dengan yang lain dalam satu ruang wisata. Jalur sekunder terdiri atas dua jalur, yaitu jalur darat dan jalur air. Jalur

88 73 sekunder darat menghubungkan objek dan atraksi wisata yang ada di darat, sedangkan jalur sekunder air adalah jalur untuk mengakses Telaga Serpeng pada ruang wisata air. Material yang digunakan pada jalur sekunder ini adalah pecahan batu kapur. Aktivitas Wisata, Fasilitas, dan Daya Dukung Pengembangan aktivitas wisata pada kawasan Lembah Mulo berdasarkan pada ruang-ruang yang telah terbagi di dalamnya. Aktivitas pada tiap ruang akan berbeda tergantung fungsi dan dari ruang tersebut. Ruang penerimaan merupakan area penyambutan wisatawan. Ruang penerimaan pada kawasan ini juga sebagai ruang transisi. Aktivitas yang bisa dilakukan pada ruang ini, antara lain membeli tiket, mencari informasi mengenai Lembah Mulo, dan istirahat. Pengembangan pada ruang pelayanan bertujuan untuk menunjang kegiatan wisatawan diluar kegiatan wisata yang akan dilakukan. Aktivitas yang dapat dilakukan pada ruang pelayanan, antara lain memarkir kendaraan, istirahat, makan, dan buang air. Aktivitas pada ruang pelayanan merupakan aktivitas yang dilakukan sebelum dan sesudah wisatawan menikmati ruang wisata utama pada kawasan Lembah Mulo. Ruang wisata direncanakan menjadi dua jenis wisata, yaitu wisata darat dan wisata air. Aktivitas yang dapat dilakukan pada wisata darat, antara lain susur goa, susur luweng, menikmati pemandangan Lembah Mulo, interpretasi dan litas alam, menikmati budaya khas daerah, dan berfoto. Sementara aktivitas yang dapat dilakukan pada wisata air, antara lain berfoto, menikmati telaga, dan bersampan. Pengembangan rencana fasilitas berdasarkan pada kebutuhan setiap ruangnya tergantung aktivitas dan kondisi eksisting. Penggunaan material yang ramah lingkungan dan berasal dari daerah setempat (lokal) akan memberikan kesan alami dan sesuai dengan konsep ekowisata kawasan yang akan dikembangkan. Fasilitas yang akan dikembangkan tidak boleh mengganggu dan merusak kondisi eksisting karst yang ada. Daya dukung adalah kemampuan suatu kawasan dalam menampung aktivitas dan kegiatan yang ada diatasnya pada suatu batas tertentu dimana kawasan tersebut tidak akan mengalami kerusakan. Daya dukung dihitung untuk

89 74 mengetahui kapasitas maksimal wisatawan yang dapat ditampung oleh kawasan. Kawasan karst yang sensitif dapat diantisipasi kerusakannya dengan mengetahui daya dukung kawasan tersebut. Daya dukung dihitung dengan cara membagi luas area dengan standar kebutuhan ruang per orang dan dapat terlihat seperti pada Tabel 17. Tabel 17. Kebutuhan Ruang dan Daya Dukung Aktivitas Ruang penerimaan: Keluar masuk Membeli tiket Keamanan Ruang pelayanan: Parkir Mencari informasi Istirahat Makan Belanja Ibadah Mandi cuci kakus Persiapan wisata Ruang wisata: Wisata darat - Lintas alam - Susur goa - Viewing - Interpretasi - Duduk (istirahat) Wisata air - Bermain rakit - Viewing - Duduk (istirahat) Fasilitas Gerbang utama Loket Pos jaga Area parkir Pusat informasi Shelter Kantin Kios Mushola Toilet Kantor pengelola Jalan setapak Shelter Menara pandang Papan interpretasi Shelter Dek Shelter Shelter Standar Kebutuhan Ruang (m 2 /orang) m Satuan Luas Σ (m 2 ) Total Luas (m 2 ) m Daya Dukung (orang) mobil Penyangga Keamanan Pos jaga Total 494 Sumber: Chiara dan Koppelman dalam Darmawan (2006) Rencana Lanskap Rencana lanskap kawasan disajikan pada Gambar disertai dengan blow up beberapa spot, gambar potongan, dan beberapa ilustrasi aktivitas dan fasilitas ekowisata di Lembah Mulo. Rencana lanskap merupakan pengembangan dari rencana blok yang telah dihasilkan sebelumnya.

90 75 Gambar 34. Rencana Lanskap

91 Gambar 35. Perspektif Keseluruhan Kawasan Lembah Mulo 76

92 77 Gambar 36. Blow Up 1 Rencana Lanskap

93 78 Gambar 37. Potongan Blow Up 1 Gambar 38. Ilustrasi Menara Pandang Gambar 39. Ilustrasi Caving di Goa Mulo

94 79 Gambar 40. Blow Up 2 Rencana Lanskap

95 80 Gambar 41. Potongan Blow Up 2 Gambar 42. Ilustrasi Gerbang Pintu Masuk Gambar 43. Ilustrasi Visual Lembah Mulo dari Jalan Raya

96 81 Gambar 44. Blow Up 3 Rencana Lanskap

97 82 Gambar 45. Potongan Blow Up 3 Gambar 46. Ilustrasi pada Jalan Setapak Gambar 47. Ilustrasi Area Pelayanan

98 83 Gambar 48. Blow Up 4 Rencana Lanskap

99 84 Gambar 49. Potongan Blow Up 4 Gambar 50. Ilustrasi Area Wisata Telaga Serpeng Gambar 51. Ilustrasi Sekitar Telaga Serpeng

100 85 Rencana Program dan Perjalanan Wisata Program wisata direncanakan di kawasan Lembah Mulo agar wisatawan dapat menikmati objek dan atraksi wisata dengan aman dan nyaman. Sedangkan perjalanan wisata direncanakan agar wisatawan dapat dengan mudah menikmati dan mengakses semua atau beberapa objek dan atraksi wisata pada tapak. Rencana rogram dan perjalanan wisata juga dibuat dengan tetap mempertimbangkan daya dukung dan kelestarian karst. Rencana program wisata terdiri atas program rutin dan musiman. Rencana perjalanan wisata terdiri atas paket wisata setengah hari dan satu hari seperti yang terlihat pada Tabel 18, Tabel 19, dan Gambar 52. Tabel 18. Rencana Program Wisata di Kawasan Lembah Mulo Program Objek dan Atraksi Waktu Pelaksanaan Rutin (harian) Lembah Mulo Telaga Serpeng Goa Mulo Goa Ngingrong Pusat oleh-oleh Pusat kuliner setiap waktu setiap waktu Musiman Campur sari Reog dhogdhog Rasulan Wayang kulit Sabtu dan Minggu Pascapanen September April Pascapanen September April Sabtu dan Minggu Tabel 19. Rencana Perjalanan Wisata di Kawasan Lembah Mulo Paket Wisata Rute Objek Aktivitas 3 Jam Area pelayanan Lembah Mulo Luweng Goa Mulo Pusat kuliner Kios oleh-oleh Area penerimaan Area pelayanan Lembah Mulo 6 Jam Area pelayanan Lembah Mulo Luweng Goa Ngingrong Goa Mulo Telaga Serpeng Pusat kuliner Kios oleh-oleh Goa Mulo Pusat oleh-oleh Pusat kuliner Area penerimaan Area pelayanan Lembah Mulo Goa Mulo Goa Ngingrong Telaga Serpeng Pusat oleh-oleh Pusat kuliner Memarkir kendaraan Mencari informasi Istirahat dan persiapan Menikmati pemandangan Fotografi Susur goa dan interpretasi Belanja Makan Memarkir kendaraan Mencari informasi Istirahat dan persiapan Menikmati pemandangan Fotografi Susur goa dan interpretasi Susur goa dan interpretasi Istirahat Menikmati pemandangan Belanja Makan

101 86 Gambar 52. Rencana Perjalanan Wisata

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Karst Secara terminologi, karst adalah bentang alam batuan gamping yang dibentuk oleh kegiatan pelarutan air. Proses itu akan berjalan baik selama batuan yang tersedia masih memiliki

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta)

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Mulo, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta (Sumber: Triple A: Special Province of Yogyakarta) BAB III METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai lanskap kawasan ekowisata karst ini dilakukan di Lembah Mulo, Desa Mulo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

Gambar 18. Kondisi Jalan Menuju Tapak

Gambar 18. Kondisi Jalan Menuju Tapak 50 BAB V DATA, ANALISIS, DAN SINTESIS Aksesibilitas Akses menuju kawasan Lembah Mulo dapat dicapai dengan berbagai macam alat transportasi darat, yaitu motor, mobil, bus kecil, dan bus besar dengan kondisi

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian.

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian. III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea Bogor, Propinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian terlihat pada Gambar 2. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi BAB III METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Kegiatan studi dilakukan di Dukuh Karangkulon yang terletak di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap 2.2 Wisata Terpadu

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap 2.2 Wisata Terpadu II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Menurut Simond (1983) lanskap merupakan suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia, dengan karakter lanskap tersebut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati. Negara ini dikenal sebagai negara megabiodiversitas

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK Oleh : Dina Dwi Wahyuni A 34201030 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE 33 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Studi ini dilakukan di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. Secara administrasi pemerintahan Kota Padang Panjang terletak di Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

METODOLOGI. Tabel 1. Jenis, Sumber, dan Kegunaan data No Jenis Data Sumber Data Kegunaan

METODOLOGI. Tabel 1. Jenis, Sumber, dan Kegunaan data No Jenis Data Sumber Data Kegunaan METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Pantai Kelapa Rapat (Klara) Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, dengan luas area ± 5.6 Ha (Gambar 2). Penelitian ini dilaksanakan selama 4

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 14 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODOLOGI Kegiatan penelitian ini dilakukan di Pusat Kota Banda Aceh yang berada di Kecamatan Baiturrahman, tepatnya mencakup tiga kampung, yaitu Kampung Baru,

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi studi

Gambar 2 Peta lokasi studi 15 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Studi Studi dilakukan di Kebun Anggrek yang terletak dalam areal Taman Kyai Langgeng (TKL) di Jalan Cempaka No 6, Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah,

Lebih terperinci

Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian 19 METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di sepanjang sempadan Sungai Ciliwung, Kota Bogor (Gambar 7). Panjang Sungai Ciliwung yang melewati Kota Bogor sekitar 14,5 km dengan garis

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 2. Peta orientasi lokasi penelitian (Sumber: diolah dari google)

METODOLOGI. Gambar 2. Peta orientasi lokasi penelitian (Sumber: diolah dari google) METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai perencanaan lanskap agrowisata berkelanjutan ini dilakukan di Desa Sukaharja dan Desa Tajurhalang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Propinsi

Lebih terperinci

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT SALINAN Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : Mengingat : a. bahwa kawasan kars yang merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Yogyakarta yang memiliki luasan 1.485,36 kilometer persegi. Sekitar 46,63 %

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Yogyakarta yang memiliki luasan 1.485,36 kilometer persegi. Sekitar 46,63 % I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Gunungkidul merupakan wilayah dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki luasan 1.485,36 kilometer persegi. Sekitar 46,63 % dari luas wilayah Provinsi

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PASAR TERAPUNG SUNGAI BARITO KOTA BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PASAR TERAPUNG SUNGAI BARITO KOTA BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN PASAR TERAPUNG SUNGAI BARITO KOTA BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA OLEH: MOCH SAEPULLOH A44052066 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN

PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN Oleh : Mutiara Ayuputri A34201043 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK. Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A

PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK. Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A PERANCANGAN LANSKAP KAWASAN REKREASI SITU RAWA BESAR, DEPOK Oleh : YULIANANTO SUPRIYADI A34201023 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN YULIANANTO

Lebih terperinci

Gambar 3.1 : Peta Pulau Nusa Penida Sumber :

Gambar 3.1 : Peta Pulau Nusa Penida Sumber : BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penulis mengambil lokasi penelitian di Desa Sakti Pulau Nusa Penida Provinsi Bali. Untuk lebih jelas peneliti mencantumkan denah yang bisa peneliti dapatkan

Lebih terperinci

LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS. Oleh : Pengendali EkosistemHutan

LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS. Oleh : Pengendali EkosistemHutan LAPORAN IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI OBYEK WISATA ALAM DI KARANGTEKOK BLOK JEDING ATAS Oleh : Pengendali EkosistemHutan TAMAN NASIONAL BALURAN 2004 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Taman Nasional Baluran

Lebih terperinci

V. KONSEP Konsep Dasar Perencanaan Tapak

V. KONSEP Konsep Dasar Perencanaan Tapak V. KONSEP 5.1. Konsep Dasar Perencanaan Tapak Konsep perencanaan pada tapak merupakan Konsep Wisata Sejarah Perkampungan Portugis di Kampung Tugu. Konsep ini dimaksudkan untuk membantu aktivitas interpretasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan basah merupakan sumber daya alam hayati penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Salah satu tipe lahan basah adalah lahan gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 33 METODOLOGI Lokasi Penelitian Penelitian mengenai Rencana Penataan Lanskap Kompleks Candi Muara Takus sebagai Kawasan Wisata Sejarah dilakukan di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar,

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. B. Metode Penelitian dan Analisis Data. kuisioner, pengambilan gambar dan pengumpulan data sekunder. Menurut

TATA CARA PENELITIAN. B. Metode Penelitian dan Analisis Data. kuisioner, pengambilan gambar dan pengumpulan data sekunder. Menurut IV. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kawasan ekowisata hutan lindung mangrove dan penangkaran buaya di Desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan di daerah tropis dengan luas laut dua pertiga dari luas negara secara keseluruhan. Keberadaan Indonesia di antara dua benua dan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

Gambar 2. Lokasi Studi

Gambar 2. Lokasi Studi 17 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi Studi Studi ini berlokasi di Kawasan Sungai Kelayan di Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan. Sungai Kelayan terletak di Kecamatan Banjarmasin Selatan (Gambar 2).

Lebih terperinci

Gambar 1 Lokasi penelitian.

Gambar 1 Lokasi penelitian. 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Perencanaan tapak ini dilaksanakan di KHDTK Cikampek, Kabupaten Karawang, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Juli 2012. Gambar

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk fenomena pelarutan batuan lain, seperti gypsum dan batu garam. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk fenomena pelarutan batuan lain, seperti gypsum dan batu garam. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karst berasal dari bahasa daerah Yugoslavia yang merupakan nama suatu kawasan diperbatasan Italia Utara dan Yugoslavia sekitar kota Trieste. Istilah Karst ini

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN GERABAH DI DESA BANYUMULEK, KECAMATAN KEDIRI, LOMBOK BARAT

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN GERABAH DI DESA BANYUMULEK, KECAMATAN KEDIRI, LOMBOK BARAT PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN GERABAH DI DESA BANYUMULEK, KECAMATAN KEDIRI, LOMBOK BARAT Oleh : RINRIN KODARIYAH A 34201017 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS

Lebih terperinci

BAGIAN PENDAHULUAN Latar Belakang Persoalan Perancangan

BAGIAN PENDAHULUAN Latar Belakang Persoalan Perancangan Latar Belakang Persoalan Perancangan Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang membentang dari Sabang hingga Merauke yang memiliki berbagai keanekaragaman di dalamnya, mulai dari suku, budaya, bahasa,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

KAJIAN LANSKAP PERTIGAAN JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR INDAH CAHYA IRIANTI

KAJIAN LANSKAP PERTIGAAN JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR INDAH CAHYA IRIANTI KAJIAN LANSKAP PERTIGAAN JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR INDAH CAHYA IRIANTI DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 RINGKASAN INDAH CAHYA IRIANTI. A44050251.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. METODE PENELITIAN Metode Survey Deskriptif Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey deskriptif. Metode survey deskriptif merupakan metode untuk

Lebih terperinci

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6.1 Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Manapeu Tanahdaru Wilayah karst dapat menyediakan air sepanjang tahun. Hal ini disebabkan daerah karst memiliki

Lebih terperinci

KAJIAN PENCAHAYAAN LANSKAP JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR ARSYAD KHRISNA

KAJIAN PENCAHAYAAN LANSKAP JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR ARSYAD KHRISNA KAJIAN PENCAHAYAAN LANSKAP JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR ARSYAD KHRISNA DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 RINGKASAN ARSYAD KHRISNA A44052252. Kajian Pencahayaan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sektor pariwisata merupakan salah satu sumber penghasil devisa potensial selain sektor migas. Indonesia sebagai suatu negara kepulauan memiliki potensi alam dan budaya

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata 6 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata Pariwisata merupakan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata Pariwisata merupakan semua gejala-gejala yang ditimbulkan dari adanya aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh seseorang dari tempat tinggalnya dalam waktu sementara,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di kawasan Kampung Setu Babakan-Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa-Kotamadya Jakarta Selatan (Gambar 6), dengan luas kawasan ± 165 ha, meliputi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki banyak potensi objek wisata yang tersebar di seluruh pulau yang ada. Salah satu objek wisata yang berpotensi dikembangkan adalah kawasan konservasi hutan

Lebih terperinci

PENGARUH REKLAME TERHADAP KUALITAS ESTETIK LANSKAP JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR RAKHMAT AFANDI

PENGARUH REKLAME TERHADAP KUALITAS ESTETIK LANSKAP JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR RAKHMAT AFANDI PENGARUH REKLAME TERHADAP KUALITAS ESTETIK LANSKAP JALAN LINGKAR KEBUN RAYA BOGOR RAKHMAT AFANDI DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 Judul Nama NRP : Pengaruh

Lebih terperinci

KONDISI UMUM Batas Geografis dan Administratif Situs Candi Muara Takus

KONDISI UMUM Batas Geografis dan Administratif Situs Candi Muara Takus 30 KONDISI UMUM Batas Geografis dan Administratif Wilayah perencanaan situs Candi Muara Takus terletak di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Jarak kompleks candi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu aset penting bagi negara, yang juga merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Hutan sebagai sumberdaya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Desa Guci Kecamatan Bumijawa Kabupaten

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Desa Guci Kecamatan Bumijawa Kabupaten BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Desa Guci Kecamatan Bumijawa Kabupaten Tegal, yaitu Objek Wisata Alam Pemandian Air Panas. Penelitian ini akan dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Negara Indonesia merupakan Negara yang memiliki banyak ragam pariwisata dan budaya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Mulai dari tempat wisata dan objek wisata

Lebih terperinci

TAHAPAN KEGIATAN ARL PERSIAPAN PENGUMPULAN DATA & INFORMASI ANALISIS TAPAK/LANSKAP SINTESIS PERENCANAAN TAPAK/LANSKAP

TAHAPAN KEGIATAN ARL PERSIAPAN PENGUMPULAN DATA & INFORMASI ANALISIS TAPAK/LANSKAP SINTESIS PERENCANAAN TAPAK/LANSKAP TAHAPAN KEGIATAN ARL ARL 200 Departemen Arsitektur Lanskap PERSIAPAN PENGUMPULAN DATA & INFORMASI /LANSKAP SINTESIS PERENCANAAN TAPAK/LANSKAP PERANCANGAN/DESAIN TAPAK/LANSKAP Proses memahami kualitas &

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pariwisata, seperti melaksanakan pembinaan kepariwisataan dalam bentuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. pariwisata, seperti melaksanakan pembinaan kepariwisataan dalam bentuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengelolaan Pariwisata Pengelolaan merupakan suatu proses yang membantu merumuskan kebijakankebijakan dan pencapaian tujuan. Peran pemerintah dalam pengelolaan pariwisata, seperti

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

KONSEP STREET FURNITURE KAMPUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR DRAMAGA INDRA SAPUTRA A

KONSEP STREET FURNITURE KAMPUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR DRAMAGA INDRA SAPUTRA A KONSEP STREET FURNITURE KAMPUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR DRAMAGA INDRA SAPUTRA A34203039 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 RINGKASAN INDRA SAPUTRA. A34203039.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional Undang-undang No. 5 Tahun 1990 menyatakan bahwa taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang

Lebih terperinci

ARSITEKTUR LANSKAP ANALISIS TAPAK TAHAPAN KEGIATAN ARL 9/7/2014 ARL 200. Departemen Arsitektur Lanskap CONTOH ANALISIS TAPAK

ARSITEKTUR LANSKAP ANALISIS TAPAK TAHAPAN KEGIATAN ARL 9/7/2014 ARL 200. Departemen Arsitektur Lanskap CONTOH ANALISIS TAPAK TAHAPAN KEGIATAN ARL ARSITEKTUR LANSKAP ARL 200 PERSIAPAN PENGUMPULAN DATA & INFORMASI ANALISIS TAPAK/LANSKAP SINTESIS PERENCANAAN TAPAK/LANSKAP Departemen Arsitektur Lanskap PERANCANGAN/DESAIN TAPAK/LANSKAP

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Studi

BAB III METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Studi 10 BAB III METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Studi Penelitian mengenai perencanaan lanskap ini dilakukan di kawasan bersejarah Komplek Candi Gedong Songo,, Kecamatan Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah. Peta,

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS BERDASARKAN PENDEKATAN DAYA DUKUNG EKOLOGI MUHAMMAD ICHWAN A

PERENCANAAN LANSKAP BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS BERDASARKAN PENDEKATAN DAYA DUKUNG EKOLOGI MUHAMMAD ICHWAN A PERENCANAAN LANSKAP BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS BERDASARKAN PENDEKATAN DAYA DUKUNG EKOLOGI MUHAMMAD ICHWAN A34204040 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR Oleh : TEMMY FATIMASARI L2D 306 024 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentanglahan (landscape ecosystem), yang selanjutnya dipakai sebagai dasar bagi

BAB I PENDAHULUAN. bentanglahan (landscape ecosystem), yang selanjutnya dipakai sebagai dasar bagi BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kab. Gunungkidul terdiri atas 3 (tiga) satuan fisiografis atau ekosistem bentanglahan (landscape ecosystem), yang selanjutnya dipakai sebagai dasar bagi pembagian satuan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Pengembangan Potensi Kawasan Pariwisata. berkesinambungan untuk melakukan matching dan adjustment yang terus menerus

BAB II LANDASAN TEORI. A. Pengembangan Potensi Kawasan Pariwisata. berkesinambungan untuk melakukan matching dan adjustment yang terus menerus 5 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengembangan Potensi Kawasan Pariwisata Pada dasarnya pengembangan pariwisata adalah suatu proses yang berkesinambungan untuk melakukan matching dan adjustment yang terus menerus

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG BARAT

BUPATI BANDUNG BARAT 1 BUPATI BANDUNG BARAT PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN SITUS GUA PAWON DAN LINGKUNGANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

PERANCANGAN ULANG JALUR HIJAU JALAN BARAT-TIMUR KOTA BARU BANDAR KEMAYORAN. Oleh: Syahroji A

PERANCANGAN ULANG JALUR HIJAU JALAN BARAT-TIMUR KOTA BARU BANDAR KEMAYORAN. Oleh: Syahroji A PERANCANGAN ULANG JALUR HIJAU JALAN BARAT-TIMUR KOTA BARU BANDAR KEMAYORAN Oleh: Syahroji A34204015 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN SYAHROJI. Perancangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang

BAB I PENDAHULUAN. Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang memanfaatkan potensi sumber daya alam dan lingkungan. Kegiatan wisata alam itu sendiri dapat

Lebih terperinci

PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN

PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN PERENCANAAN KAMPUNG BERBASIS LINGKUNGAN (ECOVILLAGE) DI KAWASAN PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON BANTEN (Kasus Kampung Cimenteng, Desa Taman Jaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten)

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP PEMUKIMAN TRADISIONAL SEGENTER, PULAU LOMBOK, SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA. Oleh MUHAMMAD IMAM SULISTIANTO A

PERENCANAAN LANSKAP PEMUKIMAN TRADISIONAL SEGENTER, PULAU LOMBOK, SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA. Oleh MUHAMMAD IMAM SULISTIANTO A PERENCANAAN LANSKAP PEMUKIMAN TRADISIONAL SEGENTER, PULAU LOMBOK, SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA Oleh MUHAMMAD IMAM SULISTIANTO A34201037 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

METODOLOGI. Peta Jawa Barat. Peta Purwakarta Peta Grama Tirta Jatiluhur. Gambar 2. Peta lokasi penelitian, Kawasan Wisata Grama Tirta Jatiluhur

METODOLOGI. Peta Jawa Barat. Peta Purwakarta Peta Grama Tirta Jatiluhur. Gambar 2. Peta lokasi penelitian, Kawasan Wisata Grama Tirta Jatiluhur 16 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kawasan Grama Tirta Jatiluhur, Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Propinsi Jawa Barat (Gambar 2 dan 3). Penelitian berlangsung

Lebih terperinci

STUDI DAYA DUKUNG BIOFISIK KAWASAN REKREASI KEBUN RAYA BOGOR

STUDI DAYA DUKUNG BIOFISIK KAWASAN REKREASI KEBUN RAYA BOGOR STUDI DAYA DUKUNG BIOFISIK KAWASAN REKREASI KEBUN RAYA BOGOR Oleh : YAYAT RUHIYAT A34201018 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN YAYAT RUHIYAT. Studi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 31 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Bio-Fisik Kawasan Karst Citatah Kawasan Karst Citatah masuk dalam wilayah Kecamatan Cipatat. Secara geografis, Kecamatan Cipatat merupakan pintu gerbang Kabupaten

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekowisata 2.1.1 Pengertian Ekowisata Ekowisata didefinisikan oleh organisasi The Ecotourism Society (1990) dalam Fennel (1999) sebagai suatu bentuk perjalanan wisata ke area

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN WILAYAH BAB III TINJAUAN WILAYAH 3.1. TINJAUAN UMUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Pembagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara administratif yaitu sebagai berikut. a. Kota Yogyakarta b. Kabupaten Sleman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP WISATA SEJARAH DAN BUDAYA KOMPLEKS CANDI GEDONG SONGO, KABUPATEN SEMARANG MUTIARA SANI A

PERENCANAAN LANSKAP WISATA SEJARAH DAN BUDAYA KOMPLEKS CANDI GEDONG SONGO, KABUPATEN SEMARANG MUTIARA SANI A PERENCANAAN LANSKAP WISATA SEJARAH DAN BUDAYA KOMPLEKS CANDI GEDONG SONGO, KABUPATEN SEMARANG MUTIARA SANI A34203015 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan ekosistemnya. Potensi sumber daya alam tersebut semestinya dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Danau. merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan air tawar, dan

TINJAUAN PUSTAKA. Danau. merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan air tawar, dan 5 TINJAUAN PUSTAKA Danau Danau merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan air tawar, dan berfungsi sebagai penampung dan menyimpan air yang berasal dari air sungai, mata air maupun air hujan. Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wonogiri, sebuah Kabupaten yang dikenal dengan sebutan kota. GAPLEK dan merupakan salah satu Kabupaten di Indonesia yang

BAB I PENDAHULUAN. Wonogiri, sebuah Kabupaten yang dikenal dengan sebutan kota. GAPLEK dan merupakan salah satu Kabupaten di Indonesia yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wonogiri, sebuah Kabupaten yang dikenal dengan sebutan kota GAPLEK dan merupakan salah satu Kabupaten di Indonesia yang mempunyai keindahan alam yang pantas untuk diperhitungkan.

Lebih terperinci

alami maupun buatan. Perancangan wisata alam memerlukan ketelitian dalam memilih objek wisata yang akan dikembangkan.

alami maupun buatan. Perancangan wisata alam memerlukan ketelitian dalam memilih objek wisata yang akan dikembangkan. 23 1. Potensi Wisata Gunung Sulah Potensi wisata merupakan segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata baik alami maupun buatan. Perancangan wisata alam memerlukan ketelitian dalam memilih objek wisata

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Estetika

TINJAUAN PUSTAKA Estetika 4 TINJAUAN PUSTAKA Estetika Istilah estetika dikemukakan pertama kali oleh Alexander Blaumgarten pada tahun 1750 untuk menunjukkan studi tentang taste dalam bidang seni rupa. Ilmu estetika berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia, JABODETABEK adalah wilayah dengan kepadatan penduduk yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia, JABODETABEK adalah wilayah dengan kepadatan penduduk yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia, JABODETABEK adalah wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi dibandingkan beberapa wilayah lainnya di Pulau Jawa. Tingkat kehidupan Jakarta dan sekitarnya

Lebih terperinci

VI. KONSEP 6.1. Konsep Dasar 6.2. Konsep Pengembangan Fungsi Pendidikan

VI. KONSEP 6.1. Konsep Dasar 6.2. Konsep Pengembangan Fungsi Pendidikan 116 VI. KONSEP 6.1. Konsep Dasar Konsep dasar perencanaan adalah mengembangkan laboratorium lapang PPDF sebagai tempat praktikum santri sesuai dengan mata pelajaran yang diberikan dan juga dikembangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata selama ini terbukti menghasilkan berbagai keuntungan secara ekonomi. Namun bentuk pariwisata yang menghasilkan wisatawan massal telah menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMB) merupakan salah satu dari taman nasional baru di Indonesia, dengan dasar penunjukkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 135/MENHUT-II/2004

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 9 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Taman Wisata Alam Rimbo Panti Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus

Lebih terperinci

PERENCANAAN EKOWISATA DI ZONA PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (TNUK), BANTEN (Kasus Desa Taman Jaya, Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang)

PERENCANAAN EKOWISATA DI ZONA PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (TNUK), BANTEN (Kasus Desa Taman Jaya, Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang) PERENCANAAN EKOWISATA DI ZONA PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON (TNUK), BANTEN (Kasus Desa Taman Jaya, Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang) AINI HARTANTI A34204035 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak potensi wisata yang unik, beragam dan tersebar di berbagai daerah. Potensi wisata tersebut banyak yang belum dimanfaatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang didominasi oleh mass

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan selama 5 bulan, dimulai bulan Februari 2011 hingga bulan Juni 2011 di Sentra Produksi Rambutan Gedongjetis, Tulung, Klaten (Gambar

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. untuk memotivasi berkembangnya pembangunan daerah. Pemerintah daerah harus berupaya

I. PENDAHULUAN. untuk memotivasi berkembangnya pembangunan daerah. Pemerintah daerah harus berupaya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pariwisata merupakan bentuk industri pariwisata yang belakangan ini menjadi tujuan dari sebagian kecil masyarakat. Pengembangan industri pariwisata mempunyai peranan penting

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu. Keterangan Jl. KH. Rd. Abdullah Bin Nuh. Jl. H. Soleh Iskandar

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu. Keterangan Jl. KH. Rd. Abdullah Bin Nuh. Jl. H. Soleh Iskandar 20 METODOLOGI dan Waktu Studi dilakukan di kawasan Jalan Lingkar Luar Kota Bogor, Jawa Barat dengan mengambil tapak di kawasan lanskap Jalan KH. Rd. Abdullah bin Nuh dan Jalan H. Soleh Iskandar. Kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pergeseran konsep kepariwisataan dunia kepada pariwisata minat khusus atau yang salah satunya dikenal dengan bila diterapkan di alam, merupakan sebuah peluang besar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas lebih 17.000 pulau dan memiliki panjang garis pantai 81.000 km yang merupakan terpanjang kedua di dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan kekayaan alam. Era globalisasi ini ada dua hal yang dianggap signifikan

BAB I PENDAHULUAN. dan Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan kekayaan alam. Era globalisasi ini ada dua hal yang dianggap signifikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pariwisata prospek yang cerah di negara negara sedang berkembang 1 dan Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan kekayaan alam dan keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB V PENDEKATAN & KONSEP. Pendekatan konsep didasarkan kepada karakteristik baik gua maupun kondisi lingkungan kawasan karst.

BAB V PENDEKATAN & KONSEP. Pendekatan konsep didasarkan kepada karakteristik baik gua maupun kondisi lingkungan kawasan karst. BAB V PENDEKATAN & KONSEP 5.1 Pendekatan Konsep Pendekatan konsep didasarkan kepada karakteristik baik gua maupun kondisi lingkungan kawasan karst. 5.1.1 Pendekatan Karakteristik Tapak Karakteristik kawasan

Lebih terperinci