HUBUNGAN ANTARA MEMAAFKAN DENGAN KEMATANGAN DIRI PADA REMAJA AKHIR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HUBUNGAN ANTARA MEMAAFKAN DENGAN KEMATANGAN DIRI PADA REMAJA AKHIR"

Transkripsi

1 HUBUNGAN ANTARA MEMAAFKAN DENGAN KEMATANGAN DIRI PADA REMAJA AKHIR Ilsan Sumiati 1 Stefanus Soejanto Sandjaja Fakultas Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana Abstract. This study aimed to determine the relationship between self-maturity and forgiveness in the late adolescence. The hypothesis of this study was there is a positive correlation between self-maturity and forgiveness in the late adolescence. The population in this study were university students at UKRIDA. The research sample was taken by purposive sampling (N=108 subjects). This study used quantitative approach. The data were collected using a scale. The instruments that used in this study were forgiveness scale TRIM-18 (Transgression Related Interpersonal Motivation) and Self-Maturity scale. The data were analyzed by Pearson s Product Moment correlation analysis. The result showed, that there is a positive relationship between self-maturity and forgiveness in late adolescence (r = 0.491; p < 0,01). Keywords: forgiveness, late adolescence, self-maturity Pendahuluan Manusia dikenal sebagai mahluk sosial, di mana dalam proses perkembangannya manusia tidak dapat dilepaskan dari interaksi sosial. Sebuah hubungan yang melibatkan individu lain dalam berinteraksi secara sosial tentu tidak selalu berjalan dengan lancar, bahkan di dalam suatu relasi yang memiliki keterikatan psikologis yang erat, seperti persahabatan sekalipun, konflik tampaknya tidak dapat dihindarkan (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Konflik yang dihadapi secara umum dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti adanya perasaan direndahkan, dihina, tidak dihargai, pelecehan dan sebagainya (dalam Hadriami, 2008). Pada dasarnya konflik yang terjadi seringkali menimbulkan goresan luka batin dalam diri individu yang tersakiti. Oleh karena itu, individu yang tidak mampu menyelesaikan masalah yang tengah dihadapinya, akan memunculkan berbagai emosi 1 Korespondensi artikel ini dapat menghubungi: ilsan.sumiati@yahoo.com 144

2 negatif yang tidak menyenangkan dalam dirinya (dalam Puspasari, Rostiana, & Nisfiannoor, 2005). Bertrand (dalam Latipun, 2010) menuturkan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian konflik telah lama terjadi dalam masyarakat Indonesia. Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Ariyanto (dalam Latipun, 2010) konflik tidak hanya terjadi pada masyarakat awam, kalangan pelajar yang terdiri dari para remaja juga seringkali berkonflik bahkan disertai dengan tindakan agresif. Papalia, Olds, dan Feldman (dalam Budiono, 2005) berpendapat bahwa pada rentang usia tahun, individu banyak berinteraksi dengan individu lain, sehingga terdapat kemungkinan yang lebih besar bagi remaja akhir untuk mengalami konflik. Utami (2009) menyatakan bahwa mahasiswa di Indonesia berada pada tahap perkembangan remaja akhir, yakni masa di mana individu telah mengalami proses penyempurnaan pertumbuhan fisik dan perkembangan aspek-aspek psikis yang mengarah pada kesempurnaan kematangan (dalam Puspasari, Rostiana & Nisfiannor, 2005). Mahasiswa dikenal sebagai kaum akademisi yang menduduki strata pendidikan paling tinggi dalam dunia pendidikan, memiliki kematangan kognitif dan kematangan psikologis yang memungkinkan untuk berpikir logis dan realistis, melihat hubungan sebab-akibat, dan mengatasi permasalahan dengan mencari pemecahan masalah yang baik ketika mengalami konflik untuk kemudian melangkah pada tahap selanjutnya, yaitu memikirkan masa depan (dalam Puspasari, Rostiana & Nisfiannor, 2005). Namun pada kenyataanya, mahasiswa tidak jarang menunjukkan perilaku yang tidak sejalan dengan nilai intelektual sebagai masyarakat intelektual. Hal ini terlihat pada beberapa konflik yang sering kali melibatkan mahasiswa, seperti pada kasus yang terjadi beberapa waktu lalu di Jakarta, yaitu aksi demonstrasi yang berakhir dengan anarkis dengan pihak keamanan (Kompas, 2012). Melihat pada fakta di lapangan tindakan demonstrasi yang berakhir anarkis ini jauh dari nilai intelektual, di mana seharusnya mahasiswa dapat mengupayakan proses mediasi berupa komunikasi terbuka dengan wakil rakyat. Allport dalam teorinya berpendapat bahwa masalah kenakalan, kejahatan, dan pemberontakan yang terjadi pada anak remaja disebabkan kurangnya tujuan-tujuan 145

3 yang berarti dan konstruktif bagi remaja untuk mengalihkan atau menghabiskan energi mereka. (dalam Schultz, 1991). Keterlibatan pelajar dan mahasiswa yang merupakan para remaja dalam berbagai fenomena aksi kekerasan dewasa ini merupakan suatu bentuk agresi (dalam Widodo, 2007). Synder dan Lopez (dalam Prasetyo & Oriza, 2009) menyatakan bahwa pemaafan mampu mematahkan siklus kekerasan. Oleh karenanya, Sarwono (dalam Prasetyo & Oriza, 2009) berpendapat penanaman perilaku memaafkan ini penting dilakukan pada masa remaja, karena pada masa ini terjadi masa transisi. Widodo (2007) menambahkan bahwa perilaku seperti melukai, menyakiti, dan merugikan orang lain seringkali terjadi pada masa remaja. Sebagai upaya untuk menghilangkan perilaku kekerasan dan mengurangi emosiemosi negatif yang muncul akibat adanya perilaku menyinggung yang merusak suatu relasi, individu harus memiliki kerelaan dan kesediaan untuk memaafkan serta menerima kesalahan yang dilakukan oleh pihak yang bersalah. McCullough (dalam Synder & Lopez, 2007) memberikan pernyataan bahwa memaafkan dapat membebaskan individu (korban) dari respon negatif atas perilaku tidak menyenangkan yang dilakukan oleh pelaku terhadapnya. Mendukung pendapat McCullough, Tsang (dalam Anizza, 2008) melalui penelitiannya menyatakan bahwa dalam sebuah hubungan interpersonal, konflik tidak dapat dihindari dan untuk itu memaafkan (forgiveness) adalah sebuah cara yang dapat membantu memperbaiki kedekatan dalam hubungan setelah adanya konflik atau perilaku yang salah. Beberapa tokoh mengemukakan manfaat dari pemaafan, antara lain Luskin (dalam Setyawan, 2007), ia memaparkan praktek memaafkan telah terbukti dapat mengurangi kemarahan, depresi, dan stress serta mengarahkan perasaan pada harapan, perdamaian, kasih sayang, dan kepercayaan diri. Sehingga dapat diraih hubungan yang sehat sama baiknya dengan kesehatan fisik. Pemaafan juga memengaruhi sikap individu sehingga terbuka hatinya pada kebaikan, keindahan, dan cinta. Synder dan Lopez (dalam Prasetyo & Oriza, 2009) menambahkan bahwa pemaafan (forgiveness) mampu memelihara ketentraman dalam masyarakat atau lingkungan sekitar. 146

4 Dalam proses memaafkan diperlukan tindak lanjut sesuai dengan tujuan ke depan, membuang semua keinginan melakukan pembalasan dan sakit hati yang bersifat pribadi dan berlanjut dengan adanya upaya memperbaiki hubungan yang telah rusak. Soesilo (2006) memberikan pendapat bahwa meski konteks memaafkan dinilai penting namun tidak dengan rekonsiliasi. Melepaskan pemaafan dapat dilakukan oleh korban meski tidak melibatkan pelaku dalam prosesnya (permintaan maaf dari pelaku), akan tetapi tidak dengan rekonsiliasi, yang dalam prosesnya memerlukan respon dan kerja sama antar kedua belah pihak yang terkait. Rekonsiliasi tidak dapat dilakukan untuk semua keadaan, di mana mungkin terdapat pelanggaran batas berupa kekerasan dan penganiayaan yang berkepanjangan. Ketidaksepakatan juga terlihat pada sebagian peneliti yang mengatakan bahwa pemaafan tidak membutuhkan rekonsiliasi dengan pihak yang bersalah, sementara pihak lain menekankan aspek rekonsiliasi dalam pemaafan (Hargave & Sells dalam Hadriami, 2009). Perlu untuk diketahui bahwa upaya memaafkan memiliki tujuan yang akan membantu individu mengatasi rasa bersalah dalam diri dan memutuskan untuk tidak memberikan hukuman, sehingga individu akan melepaskan beban amarah dan kebencian terhadap pelaku dan memeroleh kelegaan emosional (dalam Affinito, 1999). Membangun pemaafan menurut Ausberger (dalam Agustinus, 2012) merupakan salah satu tindakan yang paling sulit untuk dilakukan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Baumeister (dalam Setyawan, 2007) di Universitas Florida pada tahun 2002, menunjukkan terdapat beberapa hambatan besar bagi terbentuknya proses pemaafan. Salah satu hambatan memaafkan adalah karena adanya ketidakmampuan individu melihat potensi yang ada dalam dirinya untuk melakukan sesuatu yang tidak seharusnya terhadap individu lain. Baumeister (dalam Setyawan, 2007) lebih lanjut menjelaskan bahwa ketidakmampuan memahami bahwa individu mungkin saja melakukan kesalahan yang dilakukan oleh individu lain berkaitan dengan penilaian yang lebih kasar (tidak matang) dan kesiapan yang rendah untuk memaafkan. Smedes (dalam Wardhati & Faturochman, 2006) juga menekankan diperlukan pemaafan secara dewasa, yang tidak saja menghapus seluruh perasaan negatif tetapi menjadi sebuah keseimbangan perasaan. 147

5 Kematangan diri didefinisikan oleh Allport sebagai pribadi yang sehat. Allport menerangkan individu yang sehat adalah individu yang matang, bekerja secara rasional dalam kontrol kesadaran (menyadari apa yang mereka kerjakan dan alasan mengerjakannya) dan terbebas dengan konflik di masa lalu. Ia memiliki hubungan yang hangat dengan dirinya maupun dengan orang lain serta mampu memperlakukan orang lain dengan penuh penghargaan, turut menyadari bahwa kebutuhan, hasrat, dan harapan orang lain tidaklah berbeda dari yang mereka miliki. Kematangan diri memampukan individu mengetahui keterbatasan yang dimiliki dan menerimanya, ia juga merasa aman dengan diri sendiri dan dalam hubungan dengan dunia sekitarnya (dalam Feist & Feist, 2008). Berdasarkan definisi yang dijelaskan oleh Allport, ditemukan hubungan yang terkait dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Baumeister (dalam Setyawan, 2007) sebelumnya. Dalam berhubungan dengan individu lain, setiap individu pasti pernah melakukan kesalahan dalam sikap atau perilaku yang dilakukan. Oleh karenanya, Baumeister berpendapat individu yang tidak dapat memahami bahwa dirinya juga mungkin dapat melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh individuindividu lainnya, secara tidak langsung menunjukkan rendahnya kematangan diri dan rendahnya kesiapan untuk memaafkan dalam diri individu tersebut. Sementara individu yang memiliki kematangan diri akan mampu untuk dapat menghargai dan menyadari bahwa individu lain memiliki kebutuhan dan keterbatasan yang sama dengan dirinya (dalam Feist & Feist, 2008). Sehingga dapat disimpulkan bahwa di dalam memaafkan dibutuhkan kematangan diri dari individu. Ketidakmatangan diri menjadi hambatan dalam proses memaafkan, hal ini dikarenakan di dalam proses memaafkan dibutuhkan kesadaran dari pihak korban untuk menyadari bahwa pelaku memiliki derajat kemanusiaan yang sama dengan dirinya (dalam Hadriami, 2006). Derajat kemanusiaan yang dimaksudkan di sini adalah tingkatan, martabat, dan kedudukan pelaku sebagai individu yang juga memiliki kodrat, hak, dan kewajiban, yang dalam hal ini dapat berupa menerima pemaafan dari korban (dalam Satria, 2011). Hal ini dikarenakan saat korban telah memiliki kematangan diri, di mana korban mampu menyadari bahwa pelaku juga memiliki derajat kemanusiaan yang 148

6 sama dengan dirinya, korban akan lebih mampu untuk memberikan pemaafan bagi pelaku yang telah melakukan kesalahan terhadap dirinya. Oleh karena itu, hal ini juga turut menunjukkan bahwa individu yang telah memiliki kematangan diri tersebut tidak akan lagi berfokus pada hal-hal yang hanya mengarah pada dirinya sendiri, namun juga turut memiliki kepedulian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan individu lain di luar dirinya. Kepedulian ini secara nyata dapat digambarkan dalam sikap memaafkan yang dilakukan korban, yang mengarah pada adanya keinginan korban untuk menciptakan sebuah hubungan yang harmonis dengan individu lain (McCullough dalam Hadriami, 2006). Dengan demikian, masalah yang ingin dilihat dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara memaafkan dengan kematangan diri pada remaja akhir? Definisi Memaafkan Perilaku memaafkan menurut McCullough, Worthington dan Rachal (1997) ditandai dengan adanya perubahan motivasi untuk menghilangkan motivasi atau dorongan negatif seperti dendam, dan penghindaran yang muncul setelah adanya perselisihan, kemudian individu tersebut akan menumbuhkan motivasi yang positif dan mengarah kepada perbaikan hubungan. Enright (dalam Brown, 2003) menerangkan memaafkan adalah sebuah tindakan yang dipilih secara bebas oleh seorang korban di mana di dalamnya terdapat pengurangan rasa tidak suka dan memunculkan rasa iba, rasa kasihan, dan kasih sayang kepada orang yang bertindak menyinggung. Definisi yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Kurzynski (1998) yang menyatakan bahwa pemaafan yang tulus hanya terjadi bila kemarahan teratasi berdasarkan pertimbangan moral. Hadriami (2006) berpendapat, dalam pengertian memaafkan yang sebenarnya terdapat proses di mana akhirnya korban menyadari bahwa pencidera memiliki derajat kemanusiaan yang sama dengan dirinya, dan pantas untuk dihargai. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemaafan Baumeister (dalam Setyawan, 2007) menyebutkan terdapat dua hambatan besar bagi pembentukan proses memaafkan: 149

7 a. Pemaafan lebih sulit dilakukan pada individu dengan kecenderungan narsisitik, yang merasa bahwa mereka pantas mendapatkan banyak hal. Mereka melihat memaafkan sebagai sesuatu yang penuh resiko dan tidak adil, khususnya bila mereka tidak menerima ganti rugi atau permintaan maaf apapun dari pelaku. Bentuk lain dari kecenderungan ini adalah ketidakmampuan individu untuk melihat potensinya sendiri untuk melakukan sesuatu yang tidak semestinya pada orang lain. Ketidakmampuan merefleksikan bahwa dirinya bisa saja melakukan kesalahan yang dilakukan orang lain berkaitan dengan penilaian yang lebih kasar (tidak matang) dan kesiapan yang rendah untuk memaafkan. b. Adanya keyakinan dari korban bahwa memaafkan membuka kesempatan untuk disakiti kembali. Dimensi Pemaafan Dimensi yang ada pada TRIM 18 menjelaskan lebih jauh definisi pemaafan menurut McCullough, yaitu proses perubahan tiga dorongan dalam diri individu terhadap pelaku. Tiga dorongan tersebut yaitu motivasi membalas dendam (revenge motivation), motivasi menghindar (avoidance), dan motivasi mendekat (benevolence) (dalam McCullough, Root & Cohen, 2006). Definisi Kematangan Diri Allport (dalam Feist & Feist, 2008) menyatakan individu yang matang adalah individu dengan pribadi yang sehat, bekerja secara rasional dalam kontrol kesadaran, menyadari sepenuhnya dorongan-dorongan yang memotivasi mereka dan mampu mengontrol dorongan-dorongan itu pula. Individu yang matang tidak dikontrol oleh trauma-trauma dan konflik-konflik masa kanak-kanak. Pandangan individu yang sehat dan matang adalah ke depan, kepada peristiwa-peristiwa yang akan datang dan hidup di masa depan dan tidak mundur kembali. Segi pandangan ini memberi lebih banyak kebebasan dalam memilih dan bertindak. Erickson (dalam Widjaja & Wulan, 1998) mengatakan individu dewasa yang matang adalah individu yang memetik hasil dari semua konfrontasi dengan krisis-krisis yang 150

8 dihadapi. Sementara kematangan menurut Piaget (dalam Widjaja & Wulan, 1998) adalah suatu kondisi fisik yang dimiliki oleh individu untuk menunjukkan suatu kesiapan bertindak atau bersifat biologis, kemasakan fisik ini pada dasarnya muncul secara alami atau merupakan bawaan. Definisi lain dikemukakan oleh Hurlock (dalam Widjaja & Wulan, 1998), ia menyamakan antara dewasa dan matang dalam artian psikologis, yang berarti mereka sudah mampu mengendalikan emosi, bertanggung jawab baik terhadap keluarga maupun terhadap dirinya sendiri. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapat Mahasiswa Mengenai Arti Kematangan Diri Faktor-faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap kematangan diri yang diartikan oleh mahasiswa, yaitu jenis kelamin, usia, suku bangsa, urutan kelahiran, pekerjaan dan penghasilan orang tua turut mempengaruhi pendapat mahasiswa mengenai konsep kematangan diri. Dimensi Kematangan Diri Allport (dalam Feist & Feist, 2008) mengidentifikasikan kematangan diri ke dalam enam bagian, yaitu adanya perluasan perasaan diri, hubungan hangat dirinya dengan orang lain, rasa aman emosional atau penerimaan diri, persepsi yang realistis, objektifikasi diri, dan filsafat hidup yang menyatukan. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode korelasional. Karakteristik dari subjek penelitian ini adalah: a) Mahasiswa/i aktif UKRIDA; b) Memiliki batasan usia antara tahun; dan c) Berjenis kelamin perempuan atau laki-laki. Penelitian ini dilakukan di Universitas Kristen Krida Wacana. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 28 Mei 2012 hingga 31 Mei Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, dengan jumlah subjek sebanyak 108 orang, yang terdiri dari 45 subjek laki-laki dan 63 subjek perempuan. 151

9 Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen skala. Pada skala pemaafan digunakan TRIM-18 (Transgression Related Interpersonal Motivation) yang dikembangkan oleh McCullough. Skala ini terdiri dari 18 item yang dibangun berdasarkan tiga dimensi, yaitu revenge motivation, avoidance motivation, dan benevolence motivation. Pada hasil uji validitas dan reliabilitas, diperoleh nilai koefisien validitas antara 0,438 sampai 0,746 dan nilai reliabilitas sebesar 0,916. Sementara pada Skala Kematangan Diri terdiri dari 42 item yang dibuat berdasarkan enam kriteria kematangan diri yang diterangkan oleh Allport. Keenam dimensi tersebut adalah perluasan perasaan diri, hubungan hangat dirinya dengan orang lain, rasa aman emosional atau penerimaan diri, persepsi yang realistis, objektifikasi diri, dan filsafat hidup yang menyatukan. Pada hasil uji validitas dan reliabilitas diperoleh 16 item yang dinyatakan valid dengan nilai koefisien validitas 0,305 sampai 0,486 dan nilai reliabilitas sebesar 0,772. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis korelasi Pearson Product Moment. Hasil Penelitian Hasil dari analisis data diperoleh nilai Pearson s Product Moment Correlation sebesar (r) = 0,491 dengan nilai signifikansi sebesar (p) < 0,01. Berdasarkan analisis tersebut, maka hipotesis dalam penelitian ini diterima, yaitu terdapat hubungan positif yang signifikan antara kematangan diri dan memaafkan. Nilai r positif menunjukkan arah hubungan kedua variabel positif, yaitu semakin tinggi kematangan diri maka akan semakin tinggi pemaafan, sebaliknya semakin rendah kematangan diri maka akan semakin rendah pula pemaafan. Besarnya nilai koefisen korelasi (r) = 0,491 menyatakan bahwa hubungan kedua variabel memiliki nilai korelasi yang terkategori cukup kuat (dalam Sarwono dan Suhayati, 2010). Hubungan antar kedua variabel yang ada dalam penelitian ini, juga diperkuat dengan hasil skor total antara memaafkan dan kematangan diri remaja akhir di UKRIDA, yaitu pemaafan pada remaja akhir di UKRIDA termasuk kategori cukup dan kematangan diri pada remaja akhir di UKRIDA terkategori tinggi. 152

10 Pembahasan Besarnya hubungan kematangan diri terhadap pemaafan, dilakukan perhitungan: (0,491)² = 24,01%. Hasil sebesar 24,01% menunjukkan nilai kontribusi terhadap pemaafan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kematangan diri hanya merupakan salah satu faktor yang turut berkontribusi terhadap pemaafan, sementara masih terdapat 75,99% faktor-faktor lain yang turut berkontribusi terhadap pemaafan yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Worthington (dalam Parmawati, 2008) menyatakan terdapat empat faktor yang turut memengaruhi pemaafan, yaitu kepribadian, karakteristik hubungan sebelum tindakan menyakiti, kejadian yang berlangsung selama dan sesudah episode menyakitkan, dan proses-proses psikologis yang berasosiasi dengan perkembangan sense of emphaty. Dalam intervensi yang mempromosikan pemaafan, empati merupakan elemen penting, karena melalui empati individu mampu memaafkan dan mampu menumbuhkan perasaan positif pada pelaku (dalam Wade & Worthington, 2005). Empati merupakan salah satu aspek dari kecerdasan emosi yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi, baik diri sendiri ataupun individu lain, memilah-milah semuanya serta menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri (dalam Bilgis, 2007). Tanpa kemampuan ini individu dapat menjadi terasing, salah menafsirkan perasaan sehingga mengalami penumpulan perasaan akibat rusaknya hubungan. McCullough (dalam Anizza, 2008) memastikan bahwa empati merupakan akar dari perilaku memaafkan. Hal ini disebabkan dalam upaya membangun pemaafan yang sesungguhnya, individu diharapkan mampu menggantikan motivasi dan perasaan negatif dengan sikap dan perasaan positif. Oleh karenanya, Smedes (dalam Wardhati & Faturochman, 2006) menuturkan bahwa pemaafan yang sesungguhnya dapat dicapai apabila individu mampu menghapus seluruh perasaan negatif menjadi sebuah keseimbangan perasaan. Berdasarkan pada teori yang telah dipaparkan ini, empati dinilai turut memegang peranan penting dalam perilaku memaafkan pada remaja akhir, namun di dalam 153

11 penelitian ini peneliti tidak melibatkan empati sebagai variabel yang harus diteliti lebih lanjut. Selanjutnya, pada penelitian ini peneliti juga melakukan analisa tambahan dengan menyertakan beberapa faktor-faktor, seperti faktor agama, jenis kelamin, usia, suku bangsa, dan urutan kelahiran. Analisa ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat faktor lain yang turut berhubungan dengan pemaafan dan kematangan diri. Faktor-faktor ini dianalisa menggunakan teknik perhitungan Chi-Square, untuk mengamati ada tidaknya hubungan antara faktor yang satu dengan faktor yang lain. Pengambilan keputusan didasarkan pada probabilitas (signifikansi) 0,05. Apabila nilai p > 0,05 maka tidak terdapat hubungan, sementara jika nilai p < 0,05 menunjukkan adanya hubungan antar variabel. Hasil analisa tambahan akan peneliti uraikan secara singkat Memaafkan dan kematangan diri ditinjau berdasarkan agama. Berdasarkan hasil perhitungan pada data pemaafan diperoleh nilai Chi-Square = 5,060 dan signifikansi (p) = 0,281 > 0,05. Pada data kematangan diri diperoleh nilai Chi-Square = 1,154 dan signifikansi (p) = 0,562 > 0,05. Melihat pada nilai signifikansi (p) pemaafan dan kematangan diri ditinjau berdasarkan agama adalah lebih besar dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara agama, baik agama Kristen maupun agama Buddha dengan pemaafan dan kematangan diri. Pada umumnya setiap agama selalu mendasarkan ajarannya pada aspek untuk saling mengasihi, memaafkan dan menghormati. Permasalahannya terletak pada komitmen beragama dan bagaimana pengalaman individu atas pengampunan Tuhan dalam hidupnya. Pengalaman dan komitmen beragama yang benar akan memberikan sumbangsih positif pada individu, yang kemudian akan membawa individu pada kesalehan pribadi dan kesalehan sosial (dalam Asudarmanto, 2012). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keagamaan yang dimiliki seseorang tidak sepenuhnya menjadikan individu memiliki komitmen beragama dan pemahaman yang baik apabila keagamaan yang mereka miliki hanya merupakan sebuah simbolitas semata. Perlu untuk diketahui bahwa komitmen dan pengalaman religiusitas seseorang yang lebih berperan pada perilaku individu. Oleh karenanya, peneliti merasa perlu untuk dilakukan penelitian lanjutan yang mengkaji lebih dalam mengenai kematangan agama seseorang, dilihat dari 154

12 pengalaman spiritualitas yang dimiliki, terhadap pemaafan dan kematangan diri untuk penelitian mendatang. Memaafkan dan kematangan diri ditinjau berdasarkan jenis kelamin. Hasil perhitungan pada data pemaafan diperoleh nilai Chi-Square = 4,533 dan signifikansi (p) = 0,339 > 0,05. Pada data kematangan diri diperoleh nilai Chi-Square = 2,817 dan signifikansi (p) = 0,245 > 0,05. Melihat pada nilai signifikansi (p) pemaafan dan kematangan diri ditinjau berdasarkan jenis kelamin adalah lebih besar dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan dengan pemaafan dan kematangan diri. Hasil penelitian ini searah dengan penelitian yang sebelumnya pernah dilakukan oleh McCullough, Sandage, Brown, Rachal, Worthingthon, Hight (1998) di mana diperoleh hasil yang serupa, yaitu tidak ditemukannya perbedaan antara jenis kelamin, baik pada laki-laki maupun pada peremuan dalam hasil skor TRIM penelitiannya. Namun, pada beberapa penelitian lain ditemukan adanya hasil penelitian yang bertentangan dengan hasil penelitian ini dan hasil penelitian yang dilakukan oleh McCullough et al. Sebuah penelitian dilakukan oleh Departemen Psikologi Univercity of Alberta di Kanada (dalam Nurchayani, 2011) menyatakan bahwa subjek berjenis kelamin perempuan memiliki kematangan diri yang tinggi dan cepat dibandingkan dengan subjek berjenis kelamin laki-laki, hal ini dikarenakan perempuan lebih mudah mengatur kesejahteraan psikologis mereka. Sementara, sebuah studi terbaru yang dilakukan di University of the Basque Country, menemukan bahwa perempuan dinyatakan lebih mudah memaafkan bila dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini disebabkan faktor yang paling menentukan dalam kapasitas memaafkan adalah empati, dan perempuan dinilai memiliki kapasitas empati yang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan laki-laki (dalam Nurchayani, 2011). Berdasarkan pada uraian di atas, ditemukan adanya perbedaan antara hasil penelitian yang satu dengan hasil penelitian lain yang terkait dengan pemaafan dan kematangan diri ditinjau berdasarkan jenis kelamin. Oleh karenanya peneliti menilai perlu untuk dilakukannya penelitian lanjutan untuk melihat lebih jelas peran jenis kelamin terhadap pemaafan dan kematangan diri seseorang. 155

13 Memaafkan dan kematangan diri ditinjau berdasarkan usia. Hasil perhitungan pada data pemaafan diperoleh nilai Chi-Square = 10,401 dan signifikansi (p) = 0,238 > 0,05. Pada data kematangan diri diperoleh nilai Chi-Square = 6,765 dan signifikansi (p) = 0,149 > 0,05. Melihat pada nilai signifikansi (p) pemaafan dan kematangan diri ditinjau berdasarkan usia adalah lebih besar dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara usia dengan pemaafan dan kematangan diri. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Allport (dalam Feist & Feist, 2008) yang mengemukakan bahwa kematangan diri tidak dapat diukur berdasarkan pada usia seseorang. Allport mendefinisikannya sebagai suatu pandangan hidup yang tumbuh dalam pengalaman, karena kematangan diri terletak pada perilaku dan tanggung jawab individu dengan lingkungan sekitar. Sementara untuk penelitian mengenai memaafkan dan usia, peneliti tidak dapat menemukan penelitian yang membahas mengenai hal ini sebelumnya. Memaafkan dan kematangan diri ditinjau berdasarkan suku bangsa. Hasil perhitungan pada data pemaafan diperoleh nilai Chi-Square = 14,646 dan signifikansi (p) = 0,996 > 0,05. Pada data kematangan diri diperoleh nilai Chi-Square = 12,514 dan signifikansi (p) = 0,708 > 0,05. Melihat pada nilai signifikansi (p) pemaafan dan kematangan diri ditinjau berdasarkan suku bangsa adalah lebih besar dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara suku bangsa dengan pemaafan dan kematangan diri. Pada penelitian ini tidak dilakukan kontrol yang kuat pada suku bangsa subjek penelitian, di mana subjek dalam penelitian ini lebih dominan bersuku bangsa Tionghoa. Budaya menurut Goode (dalam Nailiu, 1997) turut mempengaruhi pemahaman dan pola pikir individu. Bentuk keluarga yang terdapat di Indonesia menekankan kemandirian pada anak sebab anak dinilai harus memiliki bekal untuk mengurus diri sendiri kelak. Takaku (dalam Hadriami, 2008) dalam penelitiannya pada orang Jepang dan Amerika menemukan bahwa motivasi untuk memaafkan bagi budaya orang individualistik (Amerika) berbeda dengan budaya kolektivistik (Jepang). Menurut Takaku, orang Amerika memberikan pemaafan karena terdapat motivasi untuk menjaga integritas dirinya dan bagaimana memelihara keadilan, sedangkan orang Jepang memaafkan 156

14 karena berusaha memelihara hubungan baik dengan individu lain dan menjaga norma sosial. McCullough (dalam Hadriami, 2008) menyatakan penelitian mengenai pemaafan masih kurang melibatkan adanya pengaruh agama, budaya, dan situasi kehidupan terhadap pengertian dan pengalaman individu mengenai pemaafan. Berdasarkan pada uraian tersebut, perlu untuk dilakukannya penelitian mendalam untuk penelitian berikutnya, yang mengkaji mengenai kebudayaan yang dimiliki seseorang dengan pemaafan dan kematangan diri. Terutama pada masyarakat Indonesia yang masih memegang teguh adat istiadat budaya timur, di mana individu masih harus memperhatikan aturan dan nilai budaya di dalam bersikap dan berperilaku. Memaafkan dan kematangan diri ditinjau berdasarkan pada urutan kelahiran. Hasil perhitungan pada data pemaafan diperoleh nilai Chi-Square = 21,211 dan signifikansi (p) = 0,385 > 0,05. Pada data kematangan diri diperoleh nilai Chi-Square = 10,130 dan signifikansi (p) = 0,429 > 0,05. Melihat pada nilai signifikansi (p) pemaafan dan kematangan diri ditinjau berdasarkan urutan kelahiran adalah lebih besar dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara urutan kelahiran dengan pemaafan dan kematangan diri. Hurlock (dalam Nailiu, 1997) menyebutkan bahwa anak dengan urutan kelahiran pertama cenderung menjadi korban dari tuntutan dan harapan keluarga secara berlebihan, sehingga diharapkan untuk dapat mandiri dan bertanggung jawab serta dapat menjadi panutan bagi adik-adiknya. Sebaliknya, anak dalam urutan kelahiran terakhir atau anak bungsu cenderung bertumbuh dalam atmosfir yang lebih rileks dan permisif. Pada penelitian ini, peneliti kurang memberikan kontrol yang lebih jelas terhadap urutan kelahiran dari subjek penelitian. Peneliti tidak menyediakan pilihan, seperti pilihan anak tunggal, anak sulung, anak tengah (dari berapa bersaudara), dan pilihan anak bungsu pada data demografis subjek penelitian. Oleh karenanya diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk dapat memperhatikan faktor ini sebagai bahan penelitian lanjutan di kemudian hari. Berdasarkan pada hasil perhitungan analisa tambahan yang disertakan dalam penelitian ini, faktor agama, jenis kelamin, suku bangsa, dan urutan kelahiran dinyatakan 157

15 tidak memiliki hubungan dengan pemaafan dan kematangan diri pada individu. Sementara pada beberapa penelitian yang dilakukan di negara lain, faktor agama, jenis kelamin dan suku bangsa memiliki hubungan terhadap pemaafan dan kematangan diri. Hasil yang bertentangan ini dapat dikarenakan adanya keterlambatan proses kematangan pada remaja akhir di Indonesia. Mahasiswa di Indonesia umumnya berada dalam tahap perkembangan remaja akhir, yang menurut Piaget (dalam Santrock, 2008) telah berada dalam tahap perkembangan kognitif operasional formal, di mana individu sudah dapat berpikir secara abstrak. Pernyataan senada juga dikemukakan oleh Hurlock (dalam Fazrul, 2010), menurutnya remaja akhir telah mencapai kematangan pada organ tubuh termasuk fungsi reproduksi serta munculnya kematangan untuk berpikir abstrak, di mana individu memiliki kemampuan dalam memecahkan berbagai masalah yang kompleks, termasuk upaya pengembangan suatu alternatif dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Pada kenyataan yang terjadi di negara-negara berkembang, seperti di Indonesia, masih terdapat remaja-remaja atau bahkan individu dewasa yang belum mampu sepenuhnya mencapai tahap kemampuan berpikir pada tingkat operasional formal. Sebagian dari mereka masih berada pada tahap perkembangan kognitif sebelumnya, yaitu tahap operasional konkrit, di mana pola pikir yang digunakan dalam tahapan ini dinilai masih sangat sederhana dan belum mampu untuk melihat masalah dari berbagai macam sudut pandang atau dimensi (dalam Hidayat, 2011). Oleh karena itu, tidak jarang mahasiswa di Indonesia seringkali terlibat dengan aksi kekerasan, kejahatan, dan pemberontakan, seperti aksi demonstrasi yang berujung pada tindakan anarkis mahasiswa dengan pihak keamanan. Mereka seolah bertindak menyuarakan hati rakyat, namun tidak mengetahui dasar dari nilai dan tujuan yang memotivasi atau mendorong mereka untuk melakukan aksi demonstrasi tersebut. Kurangnya tujuan dan visi ke depan dalam bertindak inilah yang menurut Allport (dalam Schultz, 1991) menyebabkan remaja seringkali terlibat dengan aksi kenakalan, kejahatan, dan pemberontakan. Melalui kurangnya tujuan serta adanya keterlibatan kekerasan pada mahasiswa Indonesia dalam menyelesaikan suatu permasalahan, 158

16 secara tidak langsung menandakan bahwa remaja akhir di Indonesia belum mencapai tahap kematangan atau mengalami keterlambatan dalam proses menuju kematangan. Ketidakmampuan mereka untuk menyelesaikan dan menilai berbagai persoalan atau masalah yang dihadapi secara lebih kritis ini juga memperlihatkan kurangnya kemampuan individu untuk mengatasi konflik yang terjadi. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan pula bahwa individu akan memiliki kesiapan yang rendah untuk melepaskan pemaafan, karena individu dinilai tidak mampu menghilangkan atau menggantikan emosi negatif (marah, dendam, penghindaran, dan sakit hati) dengan motivasi positif (mengarah pada perbaikan hubungan). Sehingga individu dinilai tidak dapat mencintai dan memperluas dirinya ke dalam hubungan yang penuh perhatian dengan individu-individu lain, karena bagi individu yang matang, pertumbuhan dan pemenuhan individu lain akan menjadi sama pentingnya dengan pertumbuhan dan perkembangan dirinya sendiri (Allport, dalam Schultz, 1991). Permasalahan ini dapat saja dilatarbelakangi oleh pola asuh yang diberikan oleh orangtua kepada remaja, di mana para remaja masih diperlakukan sebagai anak-anak, sehingga tidak jarang menyebabkan remaja tidak cukup berhasil mencapai tugas perkembangan yang harus mereka lalui. Penyebab lainnya dapat pula disebabkan sistem pendidikan yang terdapat di Indonesia yang masih menggunakan sistem mengajar secara satu arah, yang dilakukan tanpa melibatkan interaksi yang komunikatif antara pengajar dengan peserta didik, serta kurangnya perhatian dan penyesuaian para pengajar terhadap proses pengembangan kognitif anak (dalam Hidayat, 2011). Dengan demikian, hal-hal yang telah diuraikan ini, dapat dinilai menjadi penyebab dari timbulnya perbedaan hasil penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini dengan hasil penelitian yang peneliti temukan di negara lain. Adapun beberapa hal yang menjadi keterbatasan dalam penelitian ini meliputi: a) Peneliti tidak mengetahui berapa lama korban mengalami atau merasakan tindakan tidak menyenangkan yang telah dilakukan pelaku. Pengalaman ini akan mempengaruhi perbedaan tingkat pemaafan yang diberikan korban; b) Tidak adanya penggalian lebih jelas mengenai seberapa besar kedalaman luka dan persepsi korban mengenai luka yang dialami korban akibat tindakan pelaku; c) Penelitian ini tidak menyertakan gambaran 159

17 jelas mengenai objek yang dibayangkan subjek penelitian ketika diminta untuk mengisi skala. Sementara kedekatan hubungan yang dimiliki subjek dengan pelaku turut mempengaruhi tingkat pemaafan yang akan diberikan oleh subjek; d) Pada penelitian ini tidak ada penggalian respon pelanggar, apakah objek yang dibayangkan oleh subjek sebagai pelaku pernah mengucapkan permintaan maaf atas perbuatannya terhadap subjek; dan e) Peneliti tidak memberikan data kontrol yang jelas pada faktor-faktor yang mempengaruhi pemaafan dan kematangan diri. Beberapa hal yang dapat dijadikan saran berdasarkan hasil penelitian ini yaitu bagi orang tua agar dapat membantu para remaja untuk terus mempertahankan bahkan mengembangkan kematangan diri. Para orang tua dapat menjadi teladan bagi remaja dan menyediakan waktu untuk mendampingi mereka, sehingga orangtua dapat mendisiplinkan para remaja secara konsisten dengan mengaitkan tingkah lakunya dengan konsekuensi-konsekuensi logis atau ilmiah. Orangtua tidak hanya sebagai sumber pengaruh besar, melainkan turut berperan sebagai sumber pengaruh yang paling lama meresap dalam kepribadian anak. Sementara itu bagi peneliti selanjutnya apabila ingin melakukan penelitian lanjutan disarankan beberapa hal berikut: a) menambahkan item-item tambahan pada skala kematangan diri, hal ini dimaksudkan agar jumlah item proposional untuk mewakili setiap dimensi yang ada; b) menyertakan variabel lain, seperti kematangan beragama dan empati pada subjek, guna melihat lebih jelas hubungan antara pengalaman spiritualitas dan peran empati terhadap pemaafan dan kematangan diri; c) memperhatikan faktorfaktor lain yang turut berpengaruh kuat dalam penelitian, seperti faktor jenis kelamin, suku bangsa yang tentu akan berpengaruh pada pola pikir, kebiasaan, dan sikap dalam berperilaku; faktor kematangan (intelektual, sosial, moral, dan emosi); dan kondisi keluarga (urutan kelahiran atau pola asuh), sehingga dapat memperkaya hasil penelitian; dan d) menggunakan subjek dari tahap perkembangan yang berbeda, yaitu peneliti selanjutnya dapat memilih subjek yang tengah duduk di bangku sekolah, subjek yang tidak bersekolah, dan subjek yang berada dalam tahap perkembangan lain. 160

18 Daftar Pustaka Agustinus, S. (2012). Pengaruh inner healing terhadap forgiveness pada mahasiswa ukrida beretnis batak. (Skripsi tidak dipublikasikan). Jakarta: Universitas Kristen Krida Wacana. Anizza, N. (2008). Hubungan perilaku memaafkan (forgiveness) dan kepuasan pernikahan pada pasangan bekerja. Jurnal Inquiry, 1(1), Asudarmanto. (2012). Esai: menebar cinta dan pemaafan dalam kesamaan di atas keberbedaan. Diunduh dari: Azwar, S. (2009). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bilgis, Y. I. (2007). Perbedaan tingkat empati pada remaja akhir ditinjau dari keaktifan menjalankan ibadah puasa ramadhan. (Skripsi tidak dipublikasikan). Malang: Universitas Islam Negeri. Budiono, J. A. (2005). Hubungan preferensi kepribadian dan tempramen dengan kesediaan untuk memaafkan. (Skripsi tidak dipublikasi). Depok: Universitas Indonesia. Brown, R. P. (2003). Measuring individual differences in the tendency to forgive: construct validity and links with depression. Personality and Social Psychology, 29, Fazrul, H. (2010). Salah kaprah tentang konsep remaja. Kompasiana. Diunduh dari: Feist, J., & Feist, G. J. (2008). Theories of personality (6 th ed). Yogyakarta: Pustaka Belajar. Hadriami, E. (2006). Pemaafan dalam konseling. Jurnal Psikodimensia, 5(1), Hadriami, E. (2008). Permaafan dalam kaidah kerukunan hidup orang jawa. Jurnal Psikodimensia, 7(1), Hadriami, E. (2009). Deskripsi sifat-sifat permaafan. Jurnal psikodimensia, 8(1), Hidayat, D. R. (2011). Permasalahan mahasiswa. Diunduh dari: Hurlock, E. B. (1990). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga. Kurzynski, M. J. (1998). The virtue of forgiveness as a human resource management strategy. Journal of Business Ethnics, 17, Latipun (2010). Pengembangan model konseling berfokus konflik resolusi antar teman sebaya di kalangan remaja. Waskita Mandiri Bimbingan Konseling. Diunduh dari: McCullough, M. E., Root, L. M., & Cohen, A. D. (2006). Writing about the benefits of an interpersonal transgression facilitates forgiveness. Journal of Counseling and Clinical Psychology. 74(5), McCullough, M. E., Sandage, S. J., Brown, S. W., Rachal, K. C., Worthington, E. L., & High, T. L. (1998). Interpersonal forgiving in close relationships: II. Theoritical elaboration and measurement. Journal of Personality and Social Psychology. 75(6), McCullough, M. E, Wortington, E. L, & Rachal, K. C. (1997). Interpersonal forgiving in close relationships. Journal of Personality and Social Psychology. 73(2), Nailiu, C. (1997). Arti kedewasaan dan aspek-aspeknya. (Skripsi tidak dipublikasikan). Depok: Universitas Indonesia. 161

19 Nurcahyani, D. I. (2011). Ternyata, wanita lebih pemaaf ketimbang pria. Diunduh dari: Parmawati, S. B. (2008). Pemaafan terhadap pacar yang berselingkuh (studi pada remaja akhir). (Skripsi tidak dipublikasikan). Depok: Universitas Indonesia. Prasetyo, D. B., & Oriza, I. D. (2009). Perbedaaan forgiveness pada mahasiswa yang mengikuti bela diri aikido dengan mahasiswa yang tidak mengikuti bela diri aikido. Jurnal Psibernetika, 2(2), Puspasari, T., Rostiana, D, N., & Nisfiannor, M. (2005). Hubungan antara komitmen beragama dan subjective well being pada remaja akhir. Jurnal Phronesis, 7(1), Santrock, J. W. (2008). Psikologi pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Satria, Y. (2011). Persamaan hak dan persamaan derajat di Indonesia. Wordpress. Diunduh dari: Schultz, D. (1991). Psikologi pertumbuhan: model-model kepribadian sehat. Yogyakarta: Kanisius. Setyawan, I. (2007). Membangun pemaafan pada anak korban perceraian. Diunduh dari: Soesilo, V. A. (2006). Mencoba mengerti kesulitan untuk mengampuni: perjalanan menuju penyembuhan luka batin yang sangat dalam. VERITAS, 7(1), Synder, C. R., & Lopez, S. J. (2007). Positive psychology: the scientific and practical explorations of human strengths. United States of America: Sage Publications, Inc. Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2009). Psikologi Sosial (12 th ed). Jakarta: Prenada Media Group. Utami, M. S. (2009). Keterlibatan dalam kegiatan dan kesejahteraan subjektif mahasiswa. Jurnal Psikologi, 36(2), Wade, N. G,. & Worthington, E. L. (2005). In search of common core: a content analysis of interventions to promote forgiveness. Psychotherapy Journal, 42, Wardhati, L. T., & Faturochman. (2006). Psikologi pemaafan. Buletin Psikologi UGM, 14(1). Widjaja, P. D., & Wulan, R. (1998). Hubungan antara asertivitas dan kematangan diri dengan kecenderungan neurotik pada remaja. Jurnal Psikologi, 2, Widodo, P. B. (2007). Perilaku agresi remaja ditinjau dari konsep diri dan pengelolaan diri. Jurnal Psycho Idea, 5(1),

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah dengan memaafkan. Memaafkan adalah salah satu cara untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah dengan memaafkan. Memaafkan adalah salah satu cara untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagian besar dari individu pernah terluka dan memerlukan cara untuk mengatasi luka tersebut. Cara untuk mengatasi luka salah satunya adalah dengan memaafkan.

Lebih terperinci

Ummu Rifa atin Mahmudah_ Jurusan Psikologi-Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Ummu Rifa atin Mahmudah_ Jurusan Psikologi-Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang PERBEDAAN TINGKAT MEMAAFKAN (FORGIVENESS) ANTARA SANTRI YANG HAFAL AL-QUR AN DENGAN SANTRI YANG TIDAK HAFAL AL-QUR AN DI MA HAD SUNAN AMPEL AL- ALY MALANG Ummu Rifa atin Mahmudah_11410009 Jurusan Psikologi-Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan korelasional. Penelitian korelasional yakni suatu jenis penelitian yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pemaafan 1. Pengertian Pemaafan Pemaafan sebagai kesediaan seseorang untuk meninggalkan kemarahan, penilaian negatif, dan perilaku acuh tidak acuh terhadap orang lain yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. luar keluarga seperti teman-teman atau sahabat. Santrock (2007) yang tinggi atas perbuatan yang mereka lakukan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. luar keluarga seperti teman-teman atau sahabat. Santrock (2007) yang tinggi atas perbuatan yang mereka lakukan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa pencarian identitas diri, sehingga hubungan yang dijalin tidak lagi hanya dengan orangtua, tapi sudah merambah ke hubungan luar keluarga seperti

Lebih terperinci

: Rifdaturahmi NPM : Pembimbing : Dr. Muhammad Fakhrurrozi, Psikolog

: Rifdaturahmi NPM : Pembimbing : Dr. Muhammad Fakhrurrozi, Psikolog Nama : Rifdaturahmi NPM : 16512334 Jurusan : Psikologi Pembimbing : Dr. Muhammad Fakhrurrozi, Psikolog Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, remaja akan selalu mengadakan kontak denganorang lain.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, remaja akan selalu mengadakan kontak denganorang lain. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, remaja akan selalu mengadakan kontak denganorang lain. Penyesuaian pribadi dan sosial remaja ditekankan dalam lingkup teman sebaya. Sullivan

Lebih terperinci

HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN

HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN Disusun Oleh Nama : Pandu Perdana NPM : 15512631 Kelas : 4PA05 Keluarga Perceraian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. menekankan pada analisis data-data numerikal (angka) yang diolah dengan

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. menekankan pada analisis data-data numerikal (angka) yang diolah dengan BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif yang menekankan pada analisis data-data numerikal (angka) yang diolah dengan metoda statistika.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. dalam prosesnya menekankan pada analisis data-data numerikal (angka) yang

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. dalam prosesnya menekankan pada analisis data-data numerikal (angka) yang BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif yang dalam prosesnya menekankan pada analisis data-data numerikal (angka) yang diolah dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sebenarnya ada dibalik semua itu, yang jelas hal hal seperti itu. remaja yang sedang berkembang.

BAB 1 PENDAHULUAN. sebenarnya ada dibalik semua itu, yang jelas hal hal seperti itu. remaja yang sedang berkembang. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Belakangan ini marak terjadi kasus perkelahian antar siswa sekolah yang beredar di media sosial. Permasalahannya pun beragam, mulai dari permasalahan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Memaafkan. adalah kata yang berasal dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-qur an

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Memaafkan. adalah kata yang berasal dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-qur an BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Memaafkan 1. Defenisi Memaafkan Secara terminologis, kata dasar memaafkan adalah maaf dan kata maaf adalah kata yang berasal dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-qur an

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. tidaknya sebaran skor variable serta linier atau tidaknya hubungan. antara variabel bebas dengan variabel tergantungnya.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. tidaknya sebaran skor variable serta linier atau tidaknya hubungan. antara variabel bebas dengan variabel tergantungnya. BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Uji Asumsi Uji asumsi dilaksanakan terlebih dahulu sebelum melakukan uji hipotesis. Uji asumsi ini menyangkut normalitas dan linieritas yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun perempuan (Knoers dkk, 2001: 261). Begitu pula dalam hubungan interaksi

BAB I PENDAHULUAN. maupun perempuan (Knoers dkk, 2001: 261). Begitu pula dalam hubungan interaksi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa dimana setiap anak ingin untuk mempunyai banyak teman dan relasi dalam hidupnya. Salah satu tugas perkembangan remaja adalah mencapai hubungan

Lebih terperinci

Perbedaan Forgiveness pada Lansia yang Tinggal di Panti Wredha dan di Rumah

Perbedaan Forgiveness pada Lansia yang Tinggal di Panti Wredha dan di Rumah Perbedaan Forgiveness pada Lansia yang Tinggal di Panti Wredha dan di Rumah Davin Aristyo Rahadiyan Lumadyo 1 Stefanus Soejanto Sandjaja Fakultas Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta Abstract.

Lebih terperinci

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH BAB I LATAR BELAKANG MASALAH 1.1 Latar Belakang Masalah Pada dasarnya setiap manusia memiliki tugas perkembangannya masing-masing sesuai dengan tahap perkembangannya. Mahasiswa memiliki berbagai tugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tugas perkembangan pada remaja salah satunya adalah mencapai kematangan hubungan sosial dengan teman sebaya baik pria, wanita, orang tua atau masyarakat. Dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan suami, ibu dan ayah, anak perempuan dan anak laki-laki, saudara perempuan

BAB I PENDAHULUAN. dan suami, ibu dan ayah, anak perempuan dan anak laki-laki, saudara perempuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Keluarga ialah sekelompok orang yang terhubungkan oleh ikatan pernikahan, darah atau adopsi; membentuk suatu rumah tangga tunggal; saling berinteraksi dan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN MEMAAFKAN (FORGIVENESS) PADA PASANGAN YANG MELAKUKAN PERSELINGKUHAN. (Studi pada Suatu Hubungan Pacaran) SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN MEMAAFKAN (FORGIVENESS) PADA PASANGAN YANG MELAKUKAN PERSELINGKUHAN. (Studi pada Suatu Hubungan Pacaran) SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN MEMAAFKAN (FORGIVENESS) PADA PASANGAN YANG MELAKUKAN PERSELINGKUHAN (Studi pada Suatu Hubungan Pacaran) SKRIPSI Oleh : Galuh Sekar Sari (06810105) FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis terhadap data pada Bab sebelumnya, disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara mahasiswa yang

Lebih terperinci

GAMBARAN FORGIVENESS PADA REMAJA YANG TINGGAL DI PANTI ASUHAN

GAMBARAN FORGIVENESS PADA REMAJA YANG TINGGAL DI PANTI ASUHAN GAMBARAN FORGIVENESS PADA REMAJA YANG TINGGAL DI PANTI ASUHAN Ria Damayanti Stefanus Soejanto Sandjaja Fakultas Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta rianel88@yahoo.com; sandjaja@ukrida.ac.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. remaja (Hurlock, 2003). Di dalam masa remaja juga terdapat tahapan perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. remaja (Hurlock, 2003). Di dalam masa remaja juga terdapat tahapan perkembangan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja identik dengan masa pubertas, di masa ini terjadi perubahan fisik di semua bagian tubuh baik ekternal maupun internal yang juga mempengaruhi psikologis remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Cinta dan seksual merupakan salah satu permasalahan yang terpenting yang dialami oleh remaja saat ini. Perasaan bersalah, depresi, marah pada gadis yang mengalami

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan. maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan. maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al- 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pemaafan 1. Definisi Pemaafan Secara terminologis, kata dasar pemaafan adalah maaf dan kata maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al- Qur an terulang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan suatu proses penyatuan dua individu yang memiliki komitmen berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

Lebih terperinci

KECERDASAN SPIRITUAL DAN KECENDERUNGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA SISWA SMK. Nur Indah Rachmawati, Anggun Resdasari Prasetyo. Abstrak.

KECERDASAN SPIRITUAL DAN KECENDERUNGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA SISWA SMK. Nur Indah Rachmawati, Anggun Resdasari Prasetyo. Abstrak. KECERDASAN SPIRITUAL DAN KECENDERUNGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA SISWA SMK Nur Indah Rachmawati, Anggun Resdasari Prasetyo Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soedarto SH Tembalang

Lebih terperinci

PERBEDAAN PEMAAFAN DITINJAU DARI JENIS KELAMIN SKRIPSI

PERBEDAAN PEMAAFAN DITINJAU DARI JENIS KELAMIN SKRIPSI PERBEDAAN PEMAAFAN DITINJAU DARI JENIS KELAMIN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang Oleh : Hestiyani Agustina 03810034

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak 7 TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Berdasarkan Undang-undang nomor 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat

Lebih terperinci

KEMANDIRIAN DITINJAU DARI URUTAN KELAHIRAN DAN JENIS KELAMIN

KEMANDIRIAN DITINJAU DARI URUTAN KELAHIRAN DAN JENIS KELAMIN KEMANDIRIAN DITINJAU DARI URUTAN KELAHIRAN DAN JENIS KELAMIN NASKAH PUBLIKASI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. fisik, tetapi juga perubahan emosional, baik remaja laki-laki maupun perempuan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. fisik, tetapi juga perubahan emosional, baik remaja laki-laki maupun perempuan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan hormon pada fase remaja tidak saja menyebabkan perubahan fisik, tetapi juga perubahan emosional, baik remaja laki-laki maupun perempuan. Perubahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bullying 1. Definisi Bullying Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang lebih kuat terhadap individu atau kelompok yang lebih lemah, yang

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN Pada Bab ini, akan dibahas mengenai hipotesis penelitian, variabel penelitian, responden penelitian, alat ukur penelitian, prosedur pilot study dan penelitian, serta metode analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mercu Buana, Universitas memberikan banyak wadah kegiatan untuk melengkapi

BAB I PENDAHULUAN. Mercu Buana, Universitas memberikan banyak wadah kegiatan untuk melengkapi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mahasiswa adalah agen perubahan yang akan memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Sebagai kaum intelektual, mahasiswa ditantang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Keberadaan orang lain dibutuhkan manusia untuk melakukan suatu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan 6 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pernikahan 2.1.1. Pengertian Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan adalah nikah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa adalah golongan intelektual yang sedang menjalani pendidikan di perguruan tinggi dan diharapkan nantinya mampu bertindak sebagai pemimpin yang terampil,

Lebih terperinci

HUBUNGAN INTERAKSI TEMAN SEBAYA DAN MOTIVASI BELAJAR DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMP

HUBUNGAN INTERAKSI TEMAN SEBAYA DAN MOTIVASI BELAJAR DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMP HUBUNGAN INTERAKSI TEMAN SEBAYA DAN MOTIVASI BELAJAR DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMP Jumiyanti (jumiyanti963@gmail.com) 1 Yusmansyah 2 Ratna Widiastuti 3 ABSTRACT The objective of this research was to

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu BAB II LANDASAN TEORI A. Sibling Rivalry 1. Pengertian Sibling Rivalry Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu keluarga yang sama, teristimewa untuk memperoleh afeksi atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengalaman Memaafkan. kebanyakan berfokus pada memaafkan sebagai proses dengan individu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengalaman Memaafkan. kebanyakan berfokus pada memaafkan sebagai proses dengan individu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengalaman Memaafkan 1. Definisi Pengalaman Memaafkan Memaafkan merupakan sebuah konsep dimana terdapat pelaku dan korban yang berada dalam sebuah konflik dan sedang berusaha

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PENGASUHAN ORANG TUA DENGAN KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL PADA SISWA SMA

HUBUNGAN ANTARA PENGASUHAN ORANG TUA DENGAN KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL PADA SISWA SMA HUBUNGAN ANTARA PENGASUHAN ORANG TUA DENGAN KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL PADA SISWA SMA Lita Afrisia (Litalee22@gmail.com) 1 Yusmansyah 2 Ratna Widiastuti 3 ABSTRACT The research objective was to determine

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN KENAKALAN REMAJA. NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN KENAKALAN REMAJA. NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN KENAKALAN REMAJA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Derajat Sarjana S-1 Psikologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan dan keinginan, misalnya dalam bersosialisasi dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah bersatunya dua orang manusia yang bersama-sama sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat keterikatan secara

Lebih terperinci

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN KOMPETENSI INTERPERSONAL PADA REMAJA PANTI ASUHAN SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi Diajukan oleh:

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran angka tersebut, serta penampilan

BAB III METODE PENELITIAN. angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran angka tersebut, serta penampilan BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dalam usaha menguji hipotesis yang telah disusun. Penelitian kuantitatif banyak dituntut menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sudut pandang saja. Sehingga istilah pacaran seolah-olah menjadi sebuah

BAB I PENDAHULUAN. sudut pandang saja. Sehingga istilah pacaran seolah-olah menjadi sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Membahas mengenai pacaran dalam era globalisasi ini sudah tidak asing lagi. Pacaran sekarang bahkan seolah olah sudah merupakan aktifitas remaja dalam kehidupan sehari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perih, mengiris dan melukai hati disebut unforgiveness. Seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. perih, mengiris dan melukai hati disebut unforgiveness. Seseorang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Membuat perubahan hidup positif adalah sebuah proses multi tahapan yang dapat menjadi kompleks dan menantang. Pengalaman emosi marah, benci, dan kesedihan yang terjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PERILAKU MEMAAFKAN. semakin menurun motivasi untuk membalas dendam terhadap pelaku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PERILAKU MEMAAFKAN. semakin menurun motivasi untuk membalas dendam terhadap pelaku BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Perilaku Memaafkan A. PERILAKU MEMAAFKAN Menurut McCollough, Worthington dan Rachal (1997:321) perilaku memaafkan merupakan suatu perubahan motivasi dimana individu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Metode Penelitian. korelasional. Penelitian ini dirancang untuk menentukan tingkat hubungan variabel-variabel yang

BAB III METODE PENELITIAN. A. Metode Penelitian. korelasional. Penelitian ini dirancang untuk menentukan tingkat hubungan variabel-variabel yang BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif korelasional. Penelitian ini dirancang untuk menentukan tingkat hubungan variabel-variabel

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN SOSIAL KELOMPOK KELAS DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA SISWA KELAS I SLTP XXX JAKARTA

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN SOSIAL KELOMPOK KELAS DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA SISWA KELAS I SLTP XXX JAKARTA HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN SOSIAL KELOMPOK KELAS DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA SISWA KELAS I SLTP XXX JAKARTA Rita Sinthia Dosen Prodi Bimbingan Konseling FKIP Universitas Bengkulu Abstract:This study was

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kuantitatif korelasional. Carmies dan Zeller (dalam Sangadji dan Sopiah, 2010, h.26) mengemukakan metode kuantitatif

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Uji Asumsi 1. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui sebaran data normal atau tidak. Alat yang digunakan adalah One Sample Kolmogorov- Smirnov

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekerasan dalam pacaran bukan hal yang baru lagi, sudah banyak penelitian yang mencoba memahami fenomena ini (Milletich et. al, 2010; O Keefe, 2005; Capaldi et. al,

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Idealnya, di dalam sebuah keluarga yang lengkap haruslah ada ayah, ibu dan juga anak. Namun, pada kenyataannya, saat ini banyak sekali orang tua yang menjadi orangtua

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini dilaksanakan untuk melihat gambaran dinamika fase forgiveness yang dilalui oleh remaja yang masih memiliki ibu di Panti Asuhan X Bandung. Teknik sampling dalam penelitian ini menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 menjelaskan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 menjelaskan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan bagi manusia merupakan sesuatu yang penting, karena melalui sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara biologis, psikologis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. SMK Wira Maritim Surabaya adalah sekolah swasta di Surabaya

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. SMK Wira Maritim Surabaya adalah sekolah swasta di Surabaya BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Deskripsi Subjek SMK Wira Maritim Surabaya adalah sekolah swasta di Surabaya barat, tepatnya di Jalan Manukan Wasono. SMK ini berjumlah dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang menginginkan kesejahteraan didalam hidupnya, bahkan Aristoteles (dalam Ningsih, 2013) menyebutkan bahwa kesejahteraan merupakan tujuan utama dari eksistensi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif 1. Dalam penelitian ini, peneliti

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif 1. Dalam penelitian ini, peneliti BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian dapat dikalsifikasikan dari berbagai cara dan sudut pandang. Dilihat dari pendekatan analisisnya, penelitian dibagi atas dua macam, yaitu penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Perkawinan 1. Pengertian Kualitas Perkawinan Menurut Gullota (Aqmalia, 2009) kepuasan pernikahan merupakan perasaan pasangan terhadap pasangannya mengenai hubungan pernikahannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi dalam bidang teknologi, informasi dan juga ledakan populasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari

BAB I PENDAHULUAN. adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekerasan yang terjadi saat ini sangat memprihatinkan, salah satunya adalah kekerasan yang terjadi pada anak. Menurut data yang di dapat dari Komnas Perlindungan anak,

Lebih terperinci

PROSES DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU MEMAAFKAN PADA REMAJA BROKEN HOME

PROSES DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU MEMAAFKAN PADA REMAJA BROKEN HOME 1 PROSES DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU MEMAAFKAN PADA REMAJA BROKEN HOME Aswina Mayang Safitri Intisari Perceraian adalah cerai hidup atau perpisahan hidup antara pasangan suami istri sebagai akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Manusia mengalami berbagai proses perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa kanak-kanak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI Gambaran Forgiveness Pada Orang Bercerai Di Kecamantan Kunir Kabupaten Lumajang

NASKAH PUBLIKASI Gambaran Forgiveness Pada Orang Bercerai Di Kecamantan Kunir Kabupaten Lumajang NASKAH PUBLIKASI Gambaran Forgiveness Pada Orang Bercerai Di Kecamantan Kunir Kabupaten Lumajang SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Strata 1 (S-1) Sarjana Psikologi

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN SOSIAL KELOMPOK KELAS DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA SISWA KELAS I SLTP XXX JAKARTA OLEH: RITA SINTHIA ABSTRACT

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN SOSIAL KELOMPOK KELAS DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA SISWA KELAS I SLTP XXX JAKARTA OLEH: RITA SINTHIA ABSTRACT HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN SOSIAL KELOMPOK KELAS DENGAN KEPERCAYAAN DIRI PADA SISWA KELAS I SLTP XXX JAKARTA OLEH: RITA SINTHIA ABSTRACT This study was aimed to investigate the relationship between social

Lebih terperinci

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Desain penelitian dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan kuantitatif, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Forgiveness 2.1.1. Definisi Forgiveness McCullough (2000) bahwa forgiveness didefinisikan sebagai satu set perubahan-perubahan motivasi di mana suatu organisme menjadi semakin

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal HARGA DIRI PADA WANITA DEWASA AWAL MENIKAH YANG BERSELINGKUH KARTIKA SARI Program Sarjana, Universitas Gunadarma Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran harga diri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya, mengenal lingkungannya, dan mengenal masyarakat di sekitarnya. Remaja mulai memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan tempat individu berada. Remaja menurut Monks (2002) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan tempat individu berada. Remaja menurut Monks (2002) merupakan digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja ditandai dengan pertumbuhan fisik, pengembangan kepribadian, pencapaian kedewasaan, kemandirian, dan adaptasi peran dan fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, belum ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (www.wikipedia.com).

Lebih terperinci

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Masalah Pada tahun 1980-an di Amerika setidaknya 50 persen individu yang lahir menghabiskan sebagian masa remajanya pada keluarga dengan orangtua tunggal dengan pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dimana pada masa itu remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sedang mencari jati diri, emosi labil serta butuh pengarahan,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian dapat ditarik

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian dapat ditarik BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. S dan I telah melewati beberapa unit dalam fase forgiveness.

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN EMOSI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA PERANTAU NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN EMOSI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA PERANTAU NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA KEMATANGAN EMOSI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA PERANTAU NASKAH PUBLIKASI Disusun Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S-1 Psikologi Diajukan Oleh :

Lebih terperinci

HUBUNGAN ASPIRASI MELANJUTKAN KE PERGURUAN TINGGI DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS XII

HUBUNGAN ASPIRASI MELANJUTKAN KE PERGURUAN TINGGI DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS XII 1 HUBUNGAN ASPIRASI MELANJUTKAN KE PERGURUAN TINGGI DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS XII Ari Widayat (ariwidayat.716@gmail.com) 1 Giyono 2 Rani Rahmayanthi 3 ABSTRACT The purpose of this study was to

Lebih terperinci

PENGANTAR. kebiasaan, visi hidup, maupun strata pendidikan. Perbedaan dan keunikan masingmasing

PENGANTAR. kebiasaan, visi hidup, maupun strata pendidikan. Perbedaan dan keunikan masingmasing PENGANTAR Konflik dalam Pernikahan Pernikahan melibatkan dua individu yang berbeda dan unik, baik dari kebiasaan, visi hidup, maupun strata pendidikan. Perbedaan dan keunikan masingmasing pasangan menuntut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Sejarah Singkat MA Muhammadiyah 2 Kedungkandang Malang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Sejarah Singkat MA Muhammadiyah 2 Kedungkandang Malang BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Sejarah Singkat MA Muhammadiyah 2 Kedungkandang Malang Sejarah keberadaan MA Muhammadiyah 2 Kedungkandang Malang, bermula dari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan teknik korelasional. Penelitian dengan teknik koresional merupakan penelitian yang dimaksudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka waktunya berbeda bagi setiap orang, tergantung faktor sosial dan budaya. Dengan terbentuknya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Asuh Orangtua Pola asuh orangtua merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing,

Lebih terperinci

ABSTRACT HUBUNGAN PERSEPSI MAHASISWA TENTANG NILAI ANAK PROGRAM KELUARGA BERENCANA DENGAN JUMLAH ANAK

ABSTRACT HUBUNGAN PERSEPSI MAHASISWA TENTANG NILAI ANAK PROGRAM KELUARGA BERENCANA DENGAN JUMLAH ANAK ABSTRACT HUBUNGAN PERSEPSI MAHASISWA TENTANG NILAI ANAK PROGRAM KELUARGA BERENCANA DENGAN JUMLAH ANAK Nurlaili 1) Trisnaningsih 2) Edy Haryono 3) This research aimed to find out correlation between university

Lebih terperinci

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah tahap yang penting bagi hampir semua orang yang memasuki masa dewasa awal. Individu yang memasuki masa dewasa awal memfokuskan relasi interpersonal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berada direntang usia tahun (Monks, dkk, 2002). Menurut Haditono (dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berada direntang usia tahun (Monks, dkk, 2002). Menurut Haditono (dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja akhir merupakan masa yang telah mengalami penyempurnaan kematangan secara fisik, psikis dan sosial. Masa remaja akhir berada direntang usia 18-21

Lebih terperinci

HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN KONTROL DIRI PADA ANGGOTA INTELKAM POLRES CILACAP. Oleh : Fajar Kurniawan*) Retno Dwiyanti**) ABSTRAK

HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN KONTROL DIRI PADA ANGGOTA INTELKAM POLRES CILACAP. Oleh : Fajar Kurniawan*) Retno Dwiyanti**) ABSTRAK HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN KONTROL DIRI PADA ANGGOTA INTELKAM POLRES CILACAP Oleh : Fajar Kurniawan*) Retno Dwiyanti**) ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara religiusitas dengan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN KONSELING KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN KONSEP DIRI PADA SISWA KELAS XI SMK

PENGGUNAAN KONSELING KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN KONSEP DIRI PADA SISWA KELAS XI SMK PENGGUNAAN KONSELING KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN KONSEP DIRI PADA SISWA KELAS XI SMK Emilia Roza (Eroza82@yahoo.com) 1 Muswardi Rosra 2 Ranni Rahmayanthi Z 3 ABSTRACT The objective of this research was

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA

HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA HUBUNGAN ANTARA KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU AGRESIF PADA REMAJA Skripsi Untuk memenuhi persyaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Psikologi Disusun oleh : NITALIA CIPUK SULISTIARI F 100 040

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA QUALITY OF SCHOOL LIFE DENGAN EMOTIONAL WELL BEING PADA SISWA MADRASAH SEMARANG

HUBUNGAN ANTARA QUALITY OF SCHOOL LIFE DENGAN EMOTIONAL WELL BEING PADA SISWA MADRASAH SEMARANG HUBUNGAN ANTARA QUALITY OF SCHOOL LIFE DENGAN EMOTIONAL WELL BEING PADA SISWA MADRASAH SEMARANG Soraya Prabanjana Damayanti, Dinie Ratri Desiningrum* Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Sorayadamayanti88@gmail.com

Lebih terperinci

INTUISI Jurnal Ilmiah Psikologi

INTUISI Jurnal Ilmiah Psikologi INTUISI 7 (1) (2015) INTUISI Jurnal Ilmiah Psikologi http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/intuisi HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI SISWA TERHADAP METODE MENGAJAR GURU MATEMATIKA DENGAN MINAT BELAJAR MATEMATIKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sosial anak telah dimulai sejak bayi, kemudian pada masa kanak-kanak dan selanjutnya pada masa remaja. Hubungan sosial anak pertamatama masih sangat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. kuantitatif korelasional adalah suatu penelitian untuk mengetahui hubungan dan

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. kuantitatif korelasional adalah suatu penelitian untuk mengetahui hubungan dan BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan bentuk penelitian kuantitatif korelasional yang melihat hubungan antara variabel bebas terhadap variabel terikat, penelitian kuantitatif

Lebih terperinci