DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... PENGESAHAN PANITIA PENGUJI...

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... PENGESAHAN PANITIA PENGUJI..."

Transkripsi

1 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... PENGESAHAN PANITIA PENGUJI... SURAT PERNYATAAN KEASLIAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... ABSTRAK... ABSTRACT... i ii iii iv v vi x xiii xiv xv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Rumusan Masalah Ruang Lingkup Masalah Orisinalitas Penelitian Tujuan Penelitian... 7 a. Tujuan umum... 7 b. Tujuan khusus Manfaat Penelitian... 7 a. Manfaat teoritis... 7 b. Manfaat praktis Landasan Teoritis... 8 x

2 1.8 Metode Penelitian a. Jenis penelitian b. Jenis pendekatan c. Sifat penelitian d. Data dan sumber data e. Teknik pengumpulan data f. Teknik pengolahan dan analisis data BAB II GAMBARAN UMUM DESA PAKRAMAN KAYUBIHI 2.1 Letak Geografis Desa Pakraman Kayubihi Keadaan Penduduk Desa Pakraman Kayubihi Struktur Organisasi dan Pemerintahan Desa Pakraman Kayubihi BAB III LATAR BELAKANG TENTANG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI 3.1 Pengaturan Berburu Burung Secara Nasional Latar Belakang Tentang Larangan Berburu Burung di Desa Pakraman Kayubihi BAB IV PENEGAKAN LARANGAN BERBURU BURUNG DALAM AWIG-AWIG MAUPUN PERAREM DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI 4.1 Larangan Berburu Burung Dalam Awig-Awig Maupun Perarem di Desa Pakraman Kayubihi xi

3 4.2 Awig-Awig Desa Pakraman Kayubihi Sebagai Sosial Kontrol Masyarakat BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii

4 DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Orisinalitas Penelitian... 6 Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Tabel 2.2 Tingkat Pendidikan Tabel 3.1 Satwa Burung Yang Dilindungi xiii

5 ABSTRAK Maraknya aksi perburuan liar di Desa Pakraman Kayubihi menyebabkan masyarakat resah akan tidak seimbangnya ekosistem dan tidak terlaksananya konsep Tri Hita Karana. Maka dari itu masyarakat di Desa Pakraman Kayubihi membuat aturan mengenai larangan berburu burung di desa pakraman tersebut yang di muat dalam awig-awig. Hal ini dilakukan dalam upaya berperan serta untuk konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang dilandasi juga dengan konsep Tri Hita Karana. Permasalahan dalam skripsi ini adalah apa latar belakang dan bagaiamana pengaturan tentang larangan berburu burung dalam awig-awig maupun perarem di Desa Pakraman Kayubihi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang serta menganalisis awig-awig maupun perarem mengenai larangan berburu burung di Desa Pakraman Kayubihi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum empiris. Metode penelitian hukum empiris adalah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam arti nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan fakta (The Fact Approach). Pengaturan mengenai larangan berburu burung di Desa Pakraman Kayubihi di muat dalam awig-awig Desa Pakraman Kayubihi yang berbunyi Krama desa adat tur krama tios tan kadadosang maboros paksi ring wewidangan Desa Adat Kayubihi.Terjemahan bebasnya ke dalam Bahasa Indonesia berbunyi warga desa adat dan warga diluar desa adat di larang berburu burung di wilayah Desa Pakraman Kayubihi. Mengenai sanksi bagi yang melanggar ketentuan tersebut akan dijatuhkan denda yang merujuk dari perarem Desa Pakraman Kayubihi sebesar Rp. 1000,- dikalikan seluruh jumlah kepala keluarga (KK) yang ada di desa pakraman tersebut serta meminta maaf di hadapan seluruh warga Desa Pakraman Kayubihi pada saat paruman. Dengan adanya sosialisasi yang berkelanjutan maka awig-awig mengenai larangan berburu di Desa Pakraman Kayubihi efektif dalam menanggulangi maraknya aksi perburuan liar di desa pakraman tersebut dan menjadikan awig-awig Desa Pakraman Kayubihi sebagai alat kontrol sosial. Kata Kunci : Awig-awig, Sosial Kontrol, Larangan Berburu, Desa Pakraman. xiv

6 ABSTRACT The rampant poaching in Pakraman Kayubihi cause distress to the people would unbalance the ecosystem and not the implementation of the concept of Tri Hita Karana. therefore society in Pakraman Kayubihi make rules regarding the ban on bird hunting in Pakraman such that the fit in awig-awig. This is done in an effort to participate for the conservation of natural resources and ecosystems that are also based on the concept of Tri Hita Karana. The problem in this thesis is what and how your background setting of a ban on hunting of birds in awig-awig and perarem in Pakraman Kayubihi. This study was conducted to determine the background and analyzes awig-awig and perarem regarding a ban on hunting of birds in Pakraman Kayubihi. The method used is the method of empirical legal research. Empirical legal research method is a method of legal research function to see the law in the real sense and examine how the workings of law in society. The method used in this research is the method of approach to the facts (The Fact Approach). The regulation on the prohibition of hunting of birds in villages Kayubihi load in awig awig Pakraman Kayubihi which reads " Krama desa adat tur krama tios tan kadadosang maboros paksi ring wewidangan Desa Adat Kayubihi". Free translation into english reads "indigenous villagers and residents outside the village in expensive custom bird hunting in the area Pakraman Kayubihi." On penalties for violating these provisions will be imposed a fine of reference Rarem Pakraman Kayubihi Rp multiplied by the total number of households (families) in the Pakraman and apologized in front of all citizens Pakraman Kayubihi at paruman. With the introduction of the sustainable awig-awig ban on hunting in Pakraman Kayubihi effective in tackling the rampant poaching in Pakraman and makes awig awig Pakraman Kayubihi as a means of social control. Keywords : Awig awig, Control Social, Non-Hunting, Pakraman xv

7 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem. Sumber daya alam hayati yang meliputi flora dan fauna mempunyai manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup. Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras dan seimbang mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan memiliki kedudukan serta berperan penting bagi kehidupan manusia, sedangkan ekosistem itu adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi 1. Keseimbangan ekosistem, adalah suatu hal yang sangat sulit dihadapi seiring dengan kemajuan pola hidup masyarakat pada saat ini, punahnya satwasatwa liar yang dilindungi adalah suatu dampak dari tidak seimbangnya ekosistem yang dikarenakan oleh manusia itu sendiri. Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatanya dilakukan bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaanya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan untuk mengusahakan terwujudnya 1 Leden Marpaung, 1995, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan, dan Satwa, Erlangga, Jakarta, h. 3. 1

8 kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia karena hal tersebut merupakan tanggung jawab bersama. Pemerintah dalam hal melestarikan sumber daya alam hayati juga sudah berusaha mewujudkan daerah konservasi-konservasi, salah satunya adalah Taman Nasional Bali Barat yang bertujuan untuk melindungi satwa-satwa yang hampir punah contohnya jalak Bali yang sampai saat ini jumlahnya sudah sangat sedikit serta terus berkurang, dan salah satu penyebab utamanya adalah perburuan liar. Mudahnya untuk mendapatkan sarana dan prasarana adalah salah satu faktor penyebab masyarakat gemar melakukan aktivitas berburu untuk dimakan dagingya, rekreasi atau diperjual belikan. Senapan angin adalah satu sarana untuk berburu yang sangat mudah didapat, sehingga menembak burung atau aktivitas perburuan burung tidaklah sesuatu yang susah untuk dilakukan oleh masyarakat khususnya di Bali. Hal ini juga menjadi suatu hal yang tidak boleh dipandang sebelah mata, mengingat maraknya perburuan liar membuat ekosistem menjadi rusak seperti halnya yang terjadi di Desa Pakraman Kayubihi. Maraknya perburuan liar di Desa Pakraman Kayubihi membuat masyarakat di desa pakraman tersebut mulai resah akan tidak seimbangnya ekosistem dan tidak terlaksananya konsep Tri Hita Karana yang menyebabkan terganggunya keseimbangan kosmis. Hal ini menjadi perhatian yang serius oleh masyarakat di desa pakraman tersebut. Tentunya hal ini memerlukan sebuah tindakan serta aturan yang berfungsi sebagai alat pengatur masyarakat (social 2

9 control) demi menanggulangi maraknya perburuan liar di Desa Pakraman Kayubihi. Masyarakat adat di Bali mengenal adanya konsep keseimbangan yang disebut dengan Tri Hita Karana. Kesejahteraan umat manusia di dunia ini hanya akan dapat dicapai apabila terjadi keharmonisan hubungan antara unsur-unsur Tri Hita Karana tersebut, yaitu: a. Keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa; b. Keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam semesta; c. Keharmonisan hubungan antara manusia dengan sesamanya. 2 Dalam upaya berperan serta untuk konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang dilandasi juga dengan konsep Tri Hita Karana, Desa Pakraman Kayubihi menerapkan larangan berburu burung di wilayah desa pakraman tersebut. Lokasi yang biasanya di jadikan tempat berburu burung di Desa Pakraman Kayubihi dipasangi himbauan serta baliho dilarang berburu. Selain memasang baliho larangan berburu, beberapa prajuru banjar juga banyak mengingatkan kepada warga maupun pemburu. 3 Hal ini dimaksudkan agar satwa khususnya burung yang berada di wilayah Desa Pakraman Kayubihi dapat terjaga serta terlestarikan keberadaanya. Mengenai pengaturan tentang larangan berburu burung di Desa Pakraman Kayubihi sudah tertulis dalam bentuk awig-awig Desa Pakraman. Secara umum 2 Wayan Windia dan I Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali, h.45 3, 2015, Dusun di Kayubihi Terapkan Larangan Berburu, Denpost, URL : denpostnews. com /2015/10/19/dusun-di-kayubihi-terapkan-larangan-berburu/ diakses tanggal 20 maret

10 yang dimaksud dengan awig-awig adalah patokan tingkah laku, baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan, berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat, dalam hubungan antara krama (anggota desa pakraman) dengan Tuhan, antara sesama krama, maupun antara krama dengan lingkunganya. 4 Apabila didalam pelaksanaanya ada yang melanggar ketentuan awig-awig tersebut maka Desa Pakraman Kayubihi akan menjatuhkan sanksi bagi pelanggar dan dikenai denda yang merujuk dari perarem Desa Pakraman Kayubihi. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan oleh peneliti, maka peneliti membuat skripsi yang berjudul Peranan Awig-Awig Sebagai Sosial Kontrol Masyarakat Terkait Larangan Berburu Burung di Desa Pakraman Kayubihi, Kec. Bangli, Kab. Bangli. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan urutan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apa latar belakang tentang larangan berburu burung oleh Desa Pakraman Kayubihi? 2. Bagaimana penegakan tentang larangan berburu burung dalam awig-awig maupun perarem di Desa Pakraman Kayubihi? 4 AA Gede Oka Parwata, 2010, Memahami Awig-awig Desa Pakraman dalam Wicara lan Pamidanda, Editor: I Ketut Sudantra dan AA Gede Oka Parwata, Udayana University Press, Denpasar, (selanjutnya disingkat AA Gede Oka Parwata I), h.54. 4

11 1.3 Ruang Lingkup Masalah Dalam penulisan skripsi ini peneliti akan membatasi ruang lingkup yang akan di bahas, maksud dan tujuan dari pembatasan ini adalah untuk memfokuskan pembahasan sehingga kesimpulan yang ditarik sesuai dengan permasalahan. Sebagaimana tertulis pada sub pokok permasalahan, permasalahan pertama meliputi apa latar belakang pengaturan tentang larangan berburu burung di Desa Pakraman Kayubihi. Adapun permasalahan kedua membahas tentang pengaturan larangan berburu dalam awig-awig maupun perarem di Desa Pakraman Kayubihi. Untuk melengkapi pembahasan, maka peneliti pun berinisiatif menguraikan tentang sanksi-sanksi adat yang akan di terapkan, pola pelaksanaannya, dan peranan masyarakat adat di Desa Pakraman Kayubihi, dalam mendukung adanya awig-awig mengenai larangan berburu di desa tersebut. Berdasarkan pembatasan ruang lingkup masalah yang telah diuraikan, maka permasalahan yang tengah dikaji menjadi tidak sulit untuk dianalisis. 1.4 Orisinalitas Penelitian Dengan ini peneliti menyatakan bahwa penulisan skripsi ini merupakan hasil buah karya asli dari peneliti, merupakan suatu buah pemikiran peneliti yang dikembangkan sendiri oleh peneliti. Sepanjang pengetahuan peneliti dan setelah melakukan pengecekan atau pemeriksaan (baik dalam ruangan gudang skripsi fakultas hukum universitas udayana dan di internet) tidak ditemukan adanya suatu karya ilmiah atau skripsi yang membahas permasalah yang sama dengan skripsi 5

12 penulis. Adapun karya ilmiah yang memiliki objek yang sejenis yang ditemui oleh peneliti yakni : Tabel 1.1. Orisinalitas Penelitian No Nama Judul Rumusan masalah 1 Inka Ayu Ariati Universitas Airlangga Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana terkait satwa lindung 1. Perbuatan-perbuatan apa yang merupakan kualifikasi tindak pidana terkait satwa yang dilindungi? 2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terkait satwa yang dilindungi? 2 Ricky Haryanto Nugroho Universitas Komputer Indonesia Penegakan Hukum atas perburuan liar jalak Bali di Taman Nasional Bali Barat ditinjau dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 Tentang Perburuan Satwa Buru 1. Bagaimana efektifitas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 Tentang Perburuan Satwa Buru dalam mencegah dan menanggulangi perburuan jalak Bali di TNBB? 2. Bagaimana peranan Hukum adat Masyarakat Bali dalam mencegah dan menanggulangi perburuan jalak Bali di TNBB? 6

13 1.5 Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum 1. Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa. 2. Melatih mahasiwa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis. 3. Mengetahui dan mendalami ilmu hukum yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas yang tengah berkembang di dalam kehidupan masyarakat. 4. Mengembangkan diri pribadi mahasiswa kedalam kehidupan masyarakat. 5. Memenuhi persyaratan sebagai sarjana hukum. b. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui latar belakang larangan berburu burung oleh Desa Pakraman Kayubihi. 2. Untuk mengetahui penegakan awig-awig maupun perarem mengenai larangan berburu burung di Desa Pakraman Kayubihi Kec. Bangli, Kab. Bangli. 1.6 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Menambah literatur dibidang perlindungan satwa yang dalam perkembangannya tidak hanya diatur oleh hukum dalam arti tertulis, melainkan hukum tidak tertulis juga mengakomodir persoalan tersebut. 7

14 b. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan penelitian dalam rangka meningkatkan kualitas pelestarian sumber daya alam dan ekosistemnya khusunya bagi pemerintah, serta memberikan pengetahuan bagi mahasiswa dan masyarakat mengenai aktivitas berburu dan pelestarian sumber daya alam dan ekosistemnya. 1.7 Landasan Teoritis Landasan teoritis yang nantinya digunakan dalam penelitian hukum merupakan sebuah pijakan dasar yang kuat dalam membedah permasalahanpermasalahan hukum terkait. 1. Teori Semi-Autonomous Social Field Teori ini diperkenalkan oleh Sally Falk Moore ini menjelaskan kapasitas kelompok-kelompok sosial (social field) dalam menciptakan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation) dengan disertai kekuatan-kekuatan pemaksa. Merupakan suatu fakta bahwa bidang yang kecil dan untuk sebagian otonom itu dapat menghasilkan aturan-aturan dan adatkebiasaan serta simbol-simbol yang berasal dari dalam, tapi di lain pihak bidang itu juga rentan terhadap aturan-aturan dan keputusan-keputusan dan kekuatan-kekuatan lain yang berasal dari dunia luar yang mengelilinginya. Bidang sosial yang semi-otonom ini memiliki kapasitas untuk membuat aturan-aturan, dan sarana untuk menyebabkan atau memaksa seseorang tunduk pada aturanya; tapi sekaligus juga berada dalam suatu kerangka acuan 8

15 sosial yang lebih luas yang dapat, dan memang kenyataanya mempengaruhi dan menguasainya, kadang-kadang karena dorongan dari dalam, kadangkadang atas kehendaknya sendiri. 5 Di dalam kehidupan masyarakat di Bali, istilah desa memiliki dualisme pengertian. Pengertian pertama merujuk kepada desa dinas, yaitu desa yang menyelenggarakan birokrasi dari pemerintahan. Desa dinas dalam konteks ini pada dasarnya dapat dikatakan perpanjangan tangan atau pengemban tugas dari negara untuk mengatur kehidupan masyarakat di pedesaan. Dalam hal ini desa dinas merupakan lembaga negara terbawah dibawahi oleh camat. Desa pakraman (desa adat) adalah suatu lembaga tradisonal. Sebagai suatu lembaga desa pakraman mempunyai dua arti diantaranya sebagai wadah dan sebagai pranata (institute dan institutions). Dalam hal ini pranata mengatur hubungan antara warga masyarakat disekitar kepentingankepentingan tertentu. Lembaga selalu dalam keadaan bergerak. Dengan demikian pengertian desa pakraman (desa adat) sebagai lembaga dan kesatuan sosial yang mencangkup dua hal yaitu desa adat sendiri sebagai wadah adat istiadat dan hukum adatnya sebagai isi dari wadah tersebut. 6 Desa pakraman sebagai sebuah kelompok yang semi otonom memiliki kewenangan untuk membuat aturanya sendiri. Aturan ini disesuaikan dengan adat dan kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakatnya. Segala sesuatu 5 Sally Falk Moore, 2001, Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial Semi-Otonom Sebagai Suatu Topik Studi Yang Tepat, Terjemahan Sulistyowati Irianto, dalam Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai, Editor : T.O. Ihromi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h A.A Gede Oka Parwata et. al., 2006, Pola Hubungan Antara Desa Dinas Dengan Desa Adat Dalam Penanganan Penduduk Pendatang Di Kecamatan Ubud-Kabupaten Gianyar, Laporan Penelitian, Kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Udayana Dengan Bappeda Kabupaten Gianyar, (selanjutnya disingkat AA Gede Oka Parwata II). h

16 yang berhubungan dengan kebutuhan desanya terutama dalam usaha untuk menegakkan adat, kewajiban warga desa terhadap wilayah pemukimannya, terhadap sesama warga desa dan terhadap agamanya serta larangan-larangan dan keharusan-keharusan yang harus dipatuhi oleh warga desa, semuanya itu ditentukan oleh warga desa itu sendiri dalam bentuk aturan-aturan yang tidak tertulis maupun tertulis dan dinamakan dresta, sima, awig-awig, lokacara, catur dresta dan sebagainya. 7 Istilah yang paling sering digunakan atau yang paling dikenal untuk menyebutkan aturan adat yang dimiliki oleh kelompokkelompok masyarakat adat di Bali ini adalah awig-awig. Awig-awig dibuat warga desa pakraman atau banjar adat, atas dasar musyawarah mufakat. 8 Berkaitan dengan konsep pluralisme/kemajemukan hukum dari Sally Falk Moore maka upaya desa pakraman dalam melestarikan satwa dan menjaga lingkunganya demi kesejahteraan kehidupan warganya merupakan wujud nyata dari semi-autonomous social field (bidang sosial semi otonom). Karakteristik lapangan sosial semi otonom adalah kemampuan untuk menciptakan aturan-aturan yang berlaku dalam lingkungannya sendiri, mendorong bahkan memaksa warganya agar mentaati aturan tersebut. 9 Meskipun masyarakat adat ini sudah memiliki awig-awig sebagai sarana untuk menuntun mereka mencapai keharmonisan, ternyata itu hanya berlaku dalam kelompoknya saja. Karena itu, ketika terjadi konflik antar warga ataupun bersinggungan dengan kelompok lain perlu adanya payung 7 I Wayan Surpha, 2004, Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, Pustaka Bali Post, Denpasar, h Wayan P Windia, 2004, Danda Pacamil: Catatan Populer Istilah Hukum Adat Bali, Upada Sastra, Denpasar, h Sally Falk Moore, op.cit, h

17 hukum yang disepakati bersama, sebagai masyarakat Negara Kesatuan Republik Indonesia tentunya mereka wajib tunduk dengan hukum yang lebih besar yang berada di atasnya yakni hukum positif Indonesia. Kewenangan desa pakraman ini memiliki persyaratan seperti yang diatur dalam Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Dengan meminjam istilah yang digunakan oleh Sally Falk Moore, desa pakraman sesungguhnya hanyalah kelompok sosial yang semi-otonom (semiautonomous social fields) karena dalam pelaksanaan otonominya itu desa pakraman tetap harus tunduk kepada kekuasaan negara. Pengakuan bersyarat terhadap desa pakaman sekaligus mempunyai makna bahwa otonomi desa pakraman bukanlah otonomi mutlak tanpa batas. Melalui konstitusi, Negara telah memberikan syarat-syarat bagi otonomi desa pakraman. Otonomi desa pakraman diakui oleh Negara apabila di dalam kenyataan kekuasaankekuasaan yang menjadi isi dari otonomi desa pakraman tersebut memang benar-benar masih hidup. Pelaksanaannya pun tidak boleh sembarangan, melainkan harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan prinsipprinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, kekuasaan-kekuasaan yang menjadi isi otonomi desa pakraman tersebut pengaturannya dilakukan dalam undang-undang. Penegasan ini penting agar tidak menimbulkan salah 11

18 pengertian dan menganggap desa pakraman sebagai republik kecil yang dapat berbuat apa saja tanpa perduli kepada keberadaan kekuasaan negara, sebab bagaimanapun juga tidaklah boleh ada negara dalam negara Teori Beslissingenleer (teori keputusan) Ter Haar membuat dua perumusan, yang menunjukan perubahan pendapatnya tentang apa yang dinamakan hukum adat itu, ialah : a. dalam pidato dies tahun 1930, dengan judul : Peradilan Landraad berdasarkan hukum tak tertulis. b. dalam orasinya tahun 1937, yang berobyek : Hukum Adat Hindia- Belanda di dalam ilmu, praktek dan pengajaran. a. Hukum Adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan; keputusan warga masyarakat hukum, terutama keputusan berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatanperbuatan hukum; atau dalam hal pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan itu karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas seirama dengan kesadaran tersebut, diterima/diakui atau setidak-tidaknya di toleransikan olehnya. b. Hukum Adat itu dengan mengabaikan bagian-bagian nya yang tertulis yang terdiri dari peraturan-peraturan desa, surat-surat 10 I Ketut Sudantra, 2010, Peranan Desa Pakraman dalam Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan dalam Wicara lan Pamidanda, Editor: I Ketut Sudantra dan AA Gede Oka Parwata, Udayana University Press, Denpasar, h

19 perintah Raja adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungisionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa (Macht, Authority) serta pengaruh dan yang dalam pelaksanaanya berlaku serta-merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati. (Fungisionaris di sini terbatas pada dua kekuasaan yaitu: Eksekutif dan Yudikatif). Dengan demikian hukum adat yang berlaku itu hanya dapat diketahui dan diperoleh dalam bentuk keputusan-keputusan para fungisionaris hukum itu; bukan saja hakim tetapi juga kepala adat, rapat desa, wali tanah, petugas-petugas di lapangan agama, petugas-petugas desa lainya. Keputusan itu tidak saja mengenai suatu sengketa resmi, tetapi juga diluar itu berdasarkan kerukunan (musyawarah). Keputusankeputusan itu diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rokhani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan itu. 11 Dari keterangan dia atas terlihat bahwa pandangan Ter Haar yang mendalam yang penuh perhatian dan pengertian, terbukti dari kata-katanya bahwa setiap hakim wajib mengambil keputusan menurut hukum adat, wajib menyadari tentang sistim/stelsel hukum adat, kenyataan sosial serta tuntutan keadilan dan kemanusiaan untuk dapat melakukan tugasnya dengan baik dan benar. Jadi, Ter Haar tidak melupakan hukum yang hidup dalam kenyataan hidup sehari-hari dari masyarakat hukum adat Indonesia. Suatu kenyataan h Iman Sudiyat, 1985, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta. 13

20 hidup yang dilandasi oleh alam fikiran yang khas, yaitu pandangan hidup atau pandangan dunia manusia Indonesia tentang diri dan lingkunganya. 12 Seperti yang dikatakan oleh Ter Haar, Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam putusan-putusan para pejabat hukum, yang mempunyai wibawa dan pengaruh, serta dalam pelaksanaanya berlaku serta merta dan dipatuhi sepenuh hati oleh masyarakatnya. Pendapat Ter Haar ini dikenal dengan teori keputusan (teori Beslissingenleer) artinya bahwa untuk melihat suatu adat-istiadat sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat sikap penguasa masyarakat terhadap si pelanggaran adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan hukum terhadap si pelanggar maka adat istiadat itu sudah merupakan hukum adat Teori Hukum Sebagai Sosial Kontrol Masyarakat Setiap masyarakat, selama hidupnya pasti pernah mengalami perubahan-perubahan. Ada perubahan-perubahan yang tidak menarik perhatian orang, ada yang pengaruhnya luas, ada yang terjadi dengan lambat,ada yang berjalan dengan sangat cepat, ada pula yang direncanakan, dan seterusnya. Bagi seseorang yang sempat melakukan penelitian terhadap susunan dan kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu dan membandingkanya dengan susunan serta kehidupan masyarakat tersebut pada waktu yang lampau, akan tampak perubahan perubahan yang terjadi di dalamnya. Orang sering mengatakan, bahwa kehidupan di pedesaan Indonesia 12 Dominikus Rato, 2009, Pengantar Hukum Adat, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, h Soerjono Soekanto, 1978, Pokok-pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), h

21 adalah statis, tidak maju, dan juga tidak mengalami perubahan-perubahan. Pernyataan demikian itu biasanya didasarkan atas pandangan sepintas lalu tidak diteliti, oleh karena tidak ada suatu masyarakat yang berhenti sama skali dalam perkembangan serta kehidupanya sepanjang masa. Di dalam proses perubahan tersebut, biasanya ada suatu kekuatan yang menjadi pelopor perubahan atau agent of change. Kita mengenal beberapa kelompok sosial sebagai agent of change, misalnya pemerintah, sekolah-sekolah, organisasiorganisasi politik, para cendekiawan, petani dan sebagainya. 14 Agent of change atau pelopor perubahan adalah seseorang atau kelompok orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor perubahan memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial dan di dalam melaksanakan hal itu langsung tersangkut dalam tekanan-tekanan untuk mengadakan perubahan, bahkan mungkin menyebabkan perubahanperubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainya. Suatu perubahan sosial yang dikehendaki atau direncanakan, selalu berada di bawah pengendalian serta pengawasan pelopor perubahan tersebut. Cara- cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu, dinamakan social enggineering atau social planning. 15 Untuk terciptanya kehidupan masyarakat yang tertib, maka perlu adanya pengenalan nilai-nilai serta norma sosial agar anggota masyarakat dapat mengenal dan memahami tatanan nilai serta norma sosial tersebut. 14 Soerjono Soekanto, 2006, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, RajaGrafindo, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II), h Ibid, h

22 Proses pengenalan tatanan nilai-nilai serta norma sosial berlangsung selama masyarakat masih ada, hal ini disebabkan oleh keinginan masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapatbertahan, sebab tanpa ketertiban sosial maka kehidupan sosial tidak akan bertahan lama. Tertib sosial tidak terwujud dengan sendirinya, akan tetapi tertib sosial selalu diusahakan melalui : 1. Melakukan transfer nilai-nilai dan norma sosial melalui proses sosialisasi kepada masing-masing individu warga masyarakat, sebab melalui proses sosialisasi ini nilai-nilai dan norma sosial dapat ditanamkan ke dalam keyakinan tiap-tiap individu warga masyarakat; 2. Melakukan kontrol sosial, yaitu sarana-sarana pemaksa (sanksi) yang dilaksanakan dengan menggunakan kekuatan fisik atau psikis jika proses sosialisasi yang dilaksanakan tidak menghasilkan dampak ketertiban sebagaimana yang diharapkan dalam kehidupan masyarakat. 16 Pengendalian sosial terutama bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Atau, suatu sistem pengendalian sosial bertujuan untuk mencapai keadaan damai melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan/kesebandingan. 17 Kehidupan masyarakat adat khususnya di Bali dipengaruhi oleh budaya yang sangat berkaitan erat dengan nilai-nilai yang bersifat religius. Hukum adat yang hidup dan diakui dalam kenyataan masyarakat banyak berbaur dengan nilainilai keagamaan. Hukum adat Bali yang dilandasi oleh ajaran agama Hindu, 16 Elly M. Setiadi & Usman Kolip, 2011, Sosiologi : Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial (Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h Soerjono Soekanto, 2010, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto III), h

23 selalu mengusahakan keseimbangan hidup antara Tuhan, manusia serta alam yang dikonsepsikan dalam ajaran agama hindu yang di kenal dengan ajaran Tri Hita Karana. Oleh karena itu, setiap perbuatan yang dianggap mengganggu keseimbangan tersebut adalah merupakan pelanggaran hukum adat dan prajuru desa adat wajib mengambil tindakan-tindakan untuk memulihkan keseimbangan tersebut melalui penerapan hukum adat. Dengan adanya norma-norma tersebut, di dalam setiap masyarakat diselenggarakan pengendalian sosial atau social control. Apabila perilaku masyarakat diatur oleh hukum tertulis atau perundang-undangan (yakni keputusan-keputusan penguasa yang bersifat resmi dan tertulis, serta mengikat umum), maka diselenggarakan pengendalian sosial formal (formal social control). Artinya, norma-norma hukum tertulis tersebut berasal dari pihak-pihak yang mempunyai kekuasaan dan wewenang formal. Akan tetapi, tidak jarang pengendalian sosial diselenggarakan dengan norma-norma lain (yang bukan hukum tertulis) atau upaya-upaya lain seperti, pendidikan, agama, desas-desus, dan seterusnya. Di dalam hal ini ada pengendalian sosial informal (informal social control) Konsep Budaya Hukum Selanjutnya kultur hukum merupakan yaitu opini-opini, kepercayaankepercayaan (keyakinan-keyakinan), kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir, dan 18 Ibid, h

24 cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum. 19 Teori Lawrence M Friedman yang ketiga yakni budaya hukum menganggap bahwa sikap manusia terhadap hukum lahir melaui sistem kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya yang berkembang menjadi satu didalamnya. Kultur hukum menjadi suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. 20 Kebiasaan hukum menjadi hal yang prioritas dalam masyarakat. sebab kebiasaan-kebiasaan yang hidup di masyarakat pada akhirnya membentuk sebuah norma yang membatasi suatu kelompok masyarakat tentang boleh tidaknya dilakukan sebuah perbuatan tersebut. Pada akhirnya hukum juga harus dimaknai sebagai norma yang hidup di masyarakat dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat itu sendiri. Budaya Hukum dari Lawrence M Friedman yaitu: 21 a. Budaya hukum itu mengacu pada bagian-bagian kebudayaan secara umum (kebiasaan pendapat, bertindak dan berpikir) yang dalam cara tertentu dapat menggerakkan kekuataan sosial mendekat atau menjauh dari hukum. b. Budaya hukum adalah sikap-sikap, nilai-nilai dan pendapat masyarakat dalam berurusan dengan hukum dan sistem hukum, budaya hukum adalah sumber hukumnya. 19 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h Lawrance M friedman, 2009, Sistem Hukum, terjemahan M. Khosim, Nusa Media, Ujungberung, Bandung, h Derita Prapti Rahayu, 2014, Budaya Hukum Pancasila, Thafamedia, Yogyakarta, h

25 c. Budaya adalah jejaring nilai-nilai dan sikap yang berkaitan dengan hukum, yang menentukan kapan mengapa dan bagaimana masyarakat mematuhi atau menolak hukum menentukan struktur hukum apa yang digunakan dan apa alasannya dan peraturan hukum apa yang dipilih untuk diterapkan dan dikesampingkan serta apa alasannya. Budaya hukum dalam pembahasan bagian ini digunakan untuk menunjukkan tradisi hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan suatu masyarakat hukum. Dalam masyarakat hukum yang sederhana, kehidupan masyarakat terikat ketat oleh solidaritas mekanis, persamaan kepentingan dan kesadaran, sehingga masyarakat lebih meyerupai suatu keluarga besar, maka hukum cenderung berbentuk tidak tertulis. 22 Menurut Soekanto, budaya hukum merupakan budaya nonmaterial atau spiritual. Adapun inti budaya hukum sebagai budaya nonmaterial atau spiritual adalah nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang baik (sehingga harus dianut) dan apa yang buruk (sehingga harus dihindari). Nilai-nilai tersebut merupakan dasar dari etika (mengenai apa yang baik dan buruk), norma atau kaidah (yang berisikan suruhan, larangan atau kebolehan) dan pola prilaku manusia. 23 Menurut Darmodiharjo dan Shidarta, Budaya hukum sebenarnya identik dengan pengertian kesadaran hukum, Penilaian masyarakat yang timbul secara spontan merupakan perasaan hukum, 22 Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung, h M. Syamsudin, 2012, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Jakarta, h

26 sedangkan kesadaran hukum adalah abstraksi mengenai perasaan hukum dari suatu objek hukum. 24 Menurut Salman Soemodiningrat bahwa Suatu aturan hukum hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. 25 Walaupun hukum yang dibuat itu memenuhi persyaratan yang ditentukan secara filosofis dan yuridis, tetapi kalau kesadaran hukum masyarakat tidak mempunyai respon yang baik untuk mentaati dan mematuhi peraturan hukum tidak ada, maka peraturan hukum yang dibuat itu tidak akan efektif berlakunya. 26 Efektivitas suatu aturan hukum, selain berisikan norma-norma yang hidup dalam masyarakat juga mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kesadaran hukum masyarakat. Tujuan dari hukum adalah tercapainya keadilan, ketertiban dan kepastian. selain kepastian hukum juga diharapkan suatu kesadaran hukum, karena kesadaran hukum terkait dengan ketaatan terhadap hukum. 27 Derajat tinggi rendahnya kepatuhan hukum terhadap hukum positif tertulis ditentukan oleh tingkat kesadaran hukum yang didasarkan pada faktorfaktor sebagai berikut : a. Pengetahuan tentang peraturan, b. Pemahaman hukum, c. Sikap hukum, dan 24 Ibid, h H. R. Otje Salman Soemodiningrat dan Anthon F. Susanto, 2008, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), PT. Refika Aditama, Bandung, h Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, h H. R. Otje Salman Soemodiningrat dan Anthon F. Susanto, op.cit, h

27 d. Pola perilaku hukum. 28 Sikap hukum adalah suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati. Sedangkan pola perilaku hukum merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum, karena disini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat. 29 Setelah peraturan adat disahkan dalam hal ini adalah penetapan Awigawig, maka masyarakat dianggap mengetahui isi dari norma yang ada dalam Awig-awig tersebut, baik perilaku yang dilarang maupun perilaku yang diperbolehkan dalam bidang parahyangan, pawongan dan palemahan, sehingga pengetahuan terhadap norma yang diatur dalam Awig-awig merupakan unsur penting dalam awal proses kesadaran hukum itu sendiri. Pemahaman hukum berkaitan dengan pengertian dari adanya norma dalam Awig-awig tersebut, baik dari segi tujuan yang ingin dicapai maupun manfaatnya bagi yang diaturnya. 5. Konsep Tri Hita Karana Masyarakat Bali mengenal adanya konsep Tri Hita Karana yang menjadi pedoman hidup, Tri Hita Karana berasal dari kata Tri yang berarti tiga, Hita yang berarti kebahagiaan dan Karana yang berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana berarti tiga penyebab terciptanya 28 Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Pres, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto IV), h Muslan Abdurrahman, 2009, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, UMM Press, Malang, h

28 kebahagiaan. 30 Dalam konsep ini, sesuai hakekatnya ajaran Tri Hita Karana bertujuan untuk menciptakan suatu keharmonisan di dalam kehidupan memiliki tiga unsur sebagai berikut : a. Hubungan harmonis manusia dengan tuhan yang dalam hal ini diartikan dengan istilah Parahyangan yang wujud nyatanya dapat diperlihatkan dengan istilah bhakti. b. Hubungan harmonis manusia dengan sesama manusia yang dalam hal ini di artikan dengan istilah Pawongan yang wujud nyatanya dapat diperlihatkan dengan asah, asih, dan asuh menyama braya. c. Hubungan harmonis manusia dengan lingkungan yang dalam hal ini diartikan dengan Palemahan yang wujud nyatanya dapat diperlihatkan dengan istilah rungu. 31 Setiap hubungan memiliki pedoman hidup menghargai sesama aspek di sekelilingnya. Prinsip pelaksanaanya harus seimbang, selaras antara satu dengan yang lainya. Apabila keseimbangan tercapai, manusia akan hidup menghindari segala tindakan buruk. Hidupnya akan tertib, aman dan damai (trepti, sukerta, sekala niskala). Konsep Tri Hita Karana apabila dikaitkan dengan desa pakraman perwujudanya akan dapat dilihat dari unsur-unsur pembentuk desa pakraman tersebut yang terdiri dari : 30 Wikipedia,2016, Tri Hita Karana,URL: diakses tanggal 26 Maret. 31 I Made Suasthawa Dharmayudha dan I Wayan Koti Cantika, 1991, Filsafat Hukum Adat Bali, Upada Sastra, Denpasar, h

29 a. Parahyangan yaitu adanya Kahyangan desa (Kahyangan Tiga yang terdiri dari: Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem dan Bale Agung) sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. b. Pawongan yaitu warga (penduduk) desa pakraman yang disebut krama desa sebagai suatu kesatuan hidup masyarakat desa pakraman. c. Palemahan yaitu sebagai wilayah tempat tinggal dan tempat mencari penghidupan sebagai suatu proyeksi dari adanya bhuana yang tunduk dibawah kekuasaan hukum teritorial Bale Agung. 6. Sifat dan Asas Hukum Adat F.D. Holleman di dalam pidato inagurasinya (pidato dalam pelantikan/pengukuhan menjadi guru besar) yang berjudul : De Commune Trek in het Indonesische Rechtsleven ( Corak kegotong-royongan di dalam kehidupan hukum Indonesia ), menyimpulkan adanya/4 sifat umum Hukum Adat Indonesia, yakni : 1. Sifat religio-magis (magisch-religieus); 2. Sifat komun (commuun); 3. Sifat kontant (tunai); 4. Sifat konkrit (visual). 32 Hukum adat memiliki sifat religio-magis, artinya hukum adat selalu berkaitan dengan persoalan magis dan spiritualisme yaitu kepercayaan terhadap hal-hal gaib, kepercayaan terhadap roh-roh halus dan roh-roh nenek moyang, seperti halnya di Bali. Adat Bali sangat berkaitan dengan 32 Iman Sudiyat, op.cit, h

30 spiritualisme yang mengusahakan keseimbangan-keseimbangan kehidupan baik jasmani maupun rohani. Menurut kepercayaan tradisionil Indonesia, tiaptiap masyarakat diliputi oleh kekuatan gaib, yang harus di pelihara agar supaya masyarakat itu tetap bahagia. 33 Sifat komunal bisa dilihat dari pola masyarakat yang lebih mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri, kebiasaan masyarakat dalam hal gotong-royong serta tolong-menolong. Hakhak subyektif atau perorangan atas harta benda adalah berfungsi sosial, yakni dengan tidak menggunakan kehendaknya sendiri, melainkan harus memikirkan kepentingan antar sesama golongan yang bersangkutan dan berkepentingan. Sifat yang ketiga adalah sifat kontan atau tunai yang terdapat pada hukum adat pada umumnya. Sifat tunai itu mengandung pengertian bahwa dengan suatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga, dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat atau mengucapkan yang diharuskan oleh adat. 34 Yang dapat diartikan juga dengan prestasi dan kontra prestasi dilakukan bersamaan pada saat itu juga. Hukum adat juga mengandung sifat konkrit atau visual, kalau mengadakan perbuatan hukum itu selalu konkrit atau nyata. Sebagai contoh dalam perjanjian jual beli, si pembeli menyerahkan uang atau uang panjer, tentunya senantiasa dicoba dan diusahakan supaya hal-hal yang dimaksudkan, 33 R Soepomo,1977, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, h Iman Sudiyat, op.cit, h

31 diinginkan, dikehendaki, atau akan dikerjakan ditransformasikan atau diberi wujud suatu benda yang kelihatan, baik langsung maupun hanya menyerupai objek yang dikehendaki (simbol, benda yang magis). Berlakunya suatu peraturan hukum adat, tampak dalam penetapan (putusan-putusan) petugas hukum, misalnya putusan kepala adat, putusan hakim perdamaian desa, dan sebagainya sesuai dengan lapangan kopetensinya masing-masing. Didalam pengambilan keputusan, para pemberi keputusan berpedoman pada nilai-nilai universal yang dipakai oleh para tetua adat, yaitu: a. Asas gotong royong, b. Fungsi sosial manusia dan milik dalam masyarakat, c. Asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum (musyawarah), d. Asas perwakilan dan permusyawaratan. 35 Pencerminan daripada asas-asas itulah yang memberikan corak-corak khas dalam kehidupan tradisional di desa-desa dan lain-lain masyarakat kesatuan hukum. Pencerminan dimaksud dalam kehidupan sehari-hari nampak sebagai berikut : a. Asas gotong-royong jelas nampak dengan adanya kebiasaan untuk kerja gugur gunung (bersama-sama) dalam membangun dan memelihara, misalnya : saluran-saluran air guna mengairi sawah-sawahnya, mesjid desa, tanggul yang melindungi desa dari bahaya banjir, jalan-jalan desa, dan lain sebagainya. h Yulies Tiena Masriani, 2004, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 25

32 b. Asas fungsi sosial manusia dan milik dalam masyarakat dicerminkan juga dalam kebiasaan gugur gunung dimaksud di atas (fungsi sosial manusia), sedangkan fungsi sosial milik nampak juga dalam kebiasaan si pemilik mengizinkan warga-warga sedesanya pasa waktu dan keadaan tertentu menggunakan pula miliknya. c. Asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum nampak dalam pelaksanaan pamong desa, di mana sudah menjadi kebiasaan bahwa kepala desa dalam mengambil keputusan yang penting yang menyangkut kepentingan kehidupan desanya, selalu lebih dahulu membicarakan masalahnya dalam balai desa untuk mendapatkan permufakatan. d. Asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan penuangannya dalam kehidupan sehari-hari di desa berwujud dalam lembaga Balai Desa dimaksud di atas. 7. Asas Rukun, Patut, dan Laras Dalam pelaksanaanya, tidak dapat dipungkiri bahwa awig-awig desa pakraman itu dilanggar oleh warga desa pakraman itu sendiri. Oleh karena itu pelanggaran awig-awig tersebut akan dikenai sanksi yang dikenal dengan istilah pamidanda sesuai dengan adat istiadat desa pakraman. Bentuk pamidanda ini bervariasi, mulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Secara garis besar bentuk pamidanda tersebut ada tiga golongan, yang lazim disebut tri danda, yaitu artha danda, jiwa danda, dan sangaskara danda. Bentuk bentuk sanksi adat yang termasuk dalam tri danda tersebut adalah sebagai berikut. 26

33 a. Yang termasuk artha danda diantaranya berupa dedosan, denda materi serta kelipatan-kelipatanya (panikel), penggantian materi terhadap kewajiban-kewajiban, sampai karampag, yaitu penyitaan harta seseorang untuk memenuhi kewajiban adatnya. b. Yang meliputi jiwa danda diantaranya ngaksama (minta maaf), kasepekang/kepuikin (dikucilkan,tidak diladeni dalam suka duka), kanorayang (diberhentikan/dipecat), hingga katundung (diusir); c. Yang termasuk sangaskara danda diantaranya mengadakan prayascita (penyucian), pecaruan, dan sejenisnya. 36 Upaya menyelesaikan sengketa adat adalah dengan pendekatan melalui asas-asas dalam hukum adat seperti yang dikutip oleh I Nyoman Sirtha yaitu sebagai berikut : a. Asas rukun Asas kerukunan merupakan suatu asas yang berhubungan erat dengan pandangan hidup dan sikap seseorang dalam menghadapi hidup bersama di dalam suatu lingkungan dengan sesamanya untuk mencapai masyarakat yang aman, tenteram, dan sejahtera. Penerapan asas rukun dalam penyelesaian pelanggaran adat dimaksudkan untuk mengembalikan keadaan kehidupan seperti keadaan semula, status dan kehormatannya, serta terwujudnya hubungan yang harmonis sesama krama desa; 36 I Wayan Koti Cantika, 2010, Tatacara Penerapan Pamidanda dalam Wicara lan Pamidanda, Editor: I Ketut Sudantra dan AA Gede Oka Parwata, Udayana University Press, Denpasar, h

34 b. Asas patut Patut adalah pengertian yang menunjuk kepada alam kesusilaan dan akal sehat, yang ditujukan kepada penilaian atas suatu kejadian sebagai perbuatan manusia maupun keadaan. Ajaran kepatutan menekankan perhatian pada penemuan kualitas dan status para pihak, agar dapat diselamatkan nama baiknya setelah terjadinya pelanggaran adat. Pendekatan asas patut dimaksudkan agar penyelesaian konflik adat dapat menjaga nama baik pihak masing-masing; c. Asas laras Asas laras dalam hukum adat digunakan dalam menyelesaikan sengketa adat yang konkret dengan bijaksana, sehingga para pihak yang bersangkutan dan masyarakat adat merasa puas. Ajaran keselarasan mengandung anjuran untuk memperhatikan kenyataan dan perasaan yang hidup dalam masyarakat, yang telah tertanam menjadi tradisi secara turun temurun. 37 Adapun mengenai kelembagaan dalam penyelesaian perkara adat (kasus adat murni), telah diatur mengenai pihak-pihak yang berkompeten atas kejadian perkara guna menanganinya. Acara ini ada yang sifatnya langsung ditangani oleh prajuru selaku Kertha Desa dan ada juga berdasarkan laporanlaporan dari para pihak yang merasa dirugikan. Dalam penanganan oleh prajuru ini, si prajuru selaku kertha desa mestinya mengadakan sidang tertutup dengan memanggil pihak-pihak untuk diminta alat-alat buktinya 37 I Nyoman Sirtha, 2008, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali, Udayana University Press, Denpasar, h

35 (lekita, saksi, bukti) kemudian dipertimbangkan dengan asas rukun (ruang musuhin), laras (dicari benar salahnya) dan patut ( sampai memperoleh kepatutan yang disebut pematut). Andaikan upaya ini telah ditempuh namun belum juga disepakati oleh pihak-pihak, utamanya yang melanggar maka ditingkatkan kepada sidang yang terbuka melalui sangkepan/paruman dengan harapan menelorkan pemuput dalam bentuk pararem. Setelah melalui persidangan terhadap wicara sebagaimana tersebut di atas, maka dijatuhkanlah pamidanda yang bentuknya disesuaikan dengan perkaranya, pakah berupa artha danda, jiwa danda, ataukah sangaskara danda Metode Penelitian Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interrelasi yang sistematis. 39 a. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum empiris. Penelitian hukum sosologis/empiris menurut Soerjono Soekanto meliputi penelitian terhadap identifikasi hukum (hukum tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektivitas hukum. 40 Metode penelitian hukum empiris adalah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk 38 I Wayan Koti Cantika, 2010, op.cit, h Bambang Sunggono, 2007, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta, h Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto V), h

36 melihat hukum dalam arti nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat. b. Jenis Pendekatan Didalam penelitian ini menggunakan pendekatan pendekatan fakta (The Fact Approach), yaitu pendekatan masalah yang disasarkan pada faktafakta yang terjadi dilapangan yang ada kaitanya dengan permasalahan yang di bahas. Adapun fakta yang ditemukan adalah larangan berburu burung di Desa Pakraman Kayubihi yang dituangkan dalam awig-awig Desa Pakraman Kayubihi. Mengingat banyaknya kasus perburuan liar yang menyebabkan tidak seimbangnya ekosistem, maka perlu disadari bahwa peran-peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam upaya perlestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. c. Sifat Penelitian Penelitian Hukum empiris menurut sifatnya dibedakan menjadi penelitian eksploratif, deskriptif, eksplanatoris, dan verifikatif. Penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan gejala dengan gejala lain dalam suatu masyarakat yang dalam penelitian ini sungguh erat kaitanya dengan keberadaan Hukum Adat yang hidup dan berkembang di lingkungan Masyarakat. 30

PENEGAKAN AWIG-AWIG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI, KECAMATAN BANGLI, KABUPATEN BANGLI

PENEGAKAN AWIG-AWIG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI, KECAMATAN BANGLI, KABUPATEN BANGLI PENEGAKAN AWIG-AWIG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI, KECAMATAN BANGLI, KABUPATEN BANGLI Oleh : Pande Putu Indra Wirajaya I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari I Gusti Ngurah Dharma Laksana

Lebih terperinci

KOORDINASI ANTARA DESA DINAS DAN DESA PAKRAMAN DALAM DINAMIKA PENANGANAN TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI BALI

KOORDINASI ANTARA DESA DINAS DAN DESA PAKRAMAN DALAM DINAMIKA PENANGANAN TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI BALI KOORDINASI ANTARA DESA DINAS DAN DESA PAKRAMAN DALAM DINAMIKA PENANGANAN TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI BALI Oleh: A.A Gede Raka Putra Adnyana I Nyoman Bagiastra Bagian Hukum Dan Masyarakat ABSTRACT The

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA DI LUAR PENGADILAN DI DALAM KONDISI DUALISME PEMERINTAHAN DESA Oleh : Luh Putu Yandi Utami. Wayan P. Windia Ketut Sudantra

PENYELESAIAN PERKARA DI LUAR PENGADILAN DI DALAM KONDISI DUALISME PEMERINTAHAN DESA Oleh : Luh Putu Yandi Utami. Wayan P. Windia Ketut Sudantra PENYELESAIAN PERKARA DI LUAR PENGADILAN DI DALAM KONDISI DUALISME PEMERINTAHAN DESA Oleh : Luh Putu Yandi Utami Wayan P. Windia Ketut Sudantra Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERKARA OLEH LEMBAGA ADAT MENGENAI PERKELAHIAN ANTAR SESAMA KRAMA DESA YANG TERJADI DI DESA PAKRAMAN SARASEDA

PENYELESAIAN PERKARA OLEH LEMBAGA ADAT MENGENAI PERKELAHIAN ANTAR SESAMA KRAMA DESA YANG TERJADI DI DESA PAKRAMAN SARASEDA PENYELESAIAN PERKARA OLEH LEMBAGA ADAT MENGENAI PERKELAHIAN ANTAR SESAMA KRAMA DESA YANG TERJADI DI DESA PAKRAMAN SARASEDA oleh : Ida Bagus Miswadanta Pradaksa Sagung Putri M.E Purwani Bagian Hukum dan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kualitatif penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:

BAB V PENUTUP. kualitatif penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 82 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan dan dipadukan dengan data yang diperoleh dari kepustakaan, kemudian dianalisis dengan cara kualitatif penulis dapat mengambil

Lebih terperinci

KUMPULAN SOAL-SOAL UTS HUKUM ADAT

KUMPULAN SOAL-SOAL UTS HUKUM ADAT KUMPULAN SOAL-SOAL UTS HUKUM ADAT 1. Menurut pendapat anda, apa yang dimaksud dengan : a. Adat : aturan, norma dan hukum, kebiasaan yang lazim dalam kehidupan suatu masyarakat. Adat ini dijadikan acuan

Lebih terperinci

Oleh: I Nyoman Adi Susila I Ketut Wirta Griadhi A.A. Gde Oka Parwata. Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Udayana

Oleh: I Nyoman Adi Susila I Ketut Wirta Griadhi A.A. Gde Oka Parwata. Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Udayana PENYELESAIAN SENGKETA ADAT DI BALI (STUDI KASUS SENGKETA TANAH SETRA ANTARA DESA PAKRAMAN CEKIK DENGAN DESA PAKRAMAN GABLOGAN, KECAMATAN SELEMADEG, KABUPATEN TABANAN) Oleh: I Nyoman Adi Susila I Ketut

Lebih terperinci

OLEH Dr. NI NYOMAN SUKERTI, SH.,MH. BAGIAN HUKUM & MASYARAKAT FAKULTAS HUKUM

OLEH Dr. NI NYOMAN SUKERTI, SH.,MH. BAGIAN HUKUM & MASYARAKAT FAKULTAS HUKUM OM SWASTI ASTU OLEH Dr. NI NYOMAN SUKERTI, SH.,MH. BAGIAN HUKUM & MASYARAKAT FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA BH Primer 1. Norma atau kaedah dasar yakni Pembukaan UUD 1945. 2. Peraturan dasar (BT UUD

Lebih terperinci

EKSISTENSI OTONOMI DESA PAKRAMAN PADA MASYARAKAT ADAT DI BALI

EKSISTENSI OTONOMI DESA PAKRAMAN PADA MASYARAKAT ADAT DI BALI EKSISTENSI OTONOMI DESA PAKRAMAN PADA MASYARAKAT ADAT DI BALI Kadek Yudhi Pramana A.A Gede Oka Parwata A.A Istri Ari Atu Dewi Hukun dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstrak Desa Pakraman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka kehidupan masyarakat tidak lepas dari aturan hukum. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

Lebih terperinci

SISTEM HUKUM ADAT SISTEM HUKUM? (Apakah Sistem Hukum Itu?) 2

SISTEM HUKUM ADAT SISTEM HUKUM? (Apakah Sistem Hukum Itu?) 2 CORAK & SISTEM HUKUM ADAT OLEH: 1 SISTEM HUKUM ADAT SISTEM HUKUM? (Apakah Sistem Hukum Itu?) 2 Soepomo (1996): Sistem hukum adalah kebulatan aturan-aturan yang berdasarkan suatu kesatuan alam pikiran.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harus terjadi perselisihan atau sengketa dalam proses pembagian harta warisan

BAB I PENDAHULUAN. harus terjadi perselisihan atau sengketa dalam proses pembagian harta warisan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembagian harta warisan secara adil sesuai aturan hukum yang berlaku merupakan hal utama dalam proses pewarisan. Keselarasan, kerukunan, dan kedamaian merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman akan tradisi dan budayanya. Budaya memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan manusia, di mana

Lebih terperinci

JAMINAN TANAH WARIS DI LUAR DESA TENGANAN PEGRINGSINGAN

JAMINAN TANAH WARIS DI LUAR DESA TENGANAN PEGRINGSINGAN JAMINAN TANAH WARIS DI LUAR DESA TENGANAN PEGRINGSINGAN Oleh Ni Putu Ayu Yulistyadewi Desak Putu Dewi Kasih I Gst Ayu Putri Kartika Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Traditional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan paling sempurna. Dalam suatu kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif maupun yang sudah modern

Lebih terperinci

KEDUDUKAN DAN TUGAS KEPALA DESA SEBAGAI HAKIM PERDAMAIAN DESA DI DESA PAKRAMAN TAMAN-TANDA KECAMATAN BATURITI KABUPATEN TABANAN

KEDUDUKAN DAN TUGAS KEPALA DESA SEBAGAI HAKIM PERDAMAIAN DESA DI DESA PAKRAMAN TAMAN-TANDA KECAMATAN BATURITI KABUPATEN TABANAN KEDUDUKAN DAN TUGAS KEPALA DESA SEBAGAI HAKIM PERDAMAIAN DESA DI DESA PAKRAMAN TAMAN-TANDA KECAMATAN BATURITI KABUPATEN TABANAN Dewa Nyoman Anom Rai Putra I Nyoman Wita Hukum Dan Masyarakat, Fakultas Hukum

Lebih terperinci

A. Efektivitas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi. Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Juncto Peraturan

A. Efektivitas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi. Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Juncto Peraturan BAB IV PENEGAKAN HUKUM ATAS PERBURUAN LIAR JALAK BALI DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA JUNCTO PERATURAN

Lebih terperinci

KONSEP TRI HITA KARANA DALAM SUBAK

KONSEP TRI HITA KARANA DALAM SUBAK 1 KONSEP TRI HITA KARANA DALAM SUBAK oleh Ni Putu Ika Nopitasari Suatra Putrawan Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Tri Hita Karana is a basic concept that have been

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa penting, yaitu lahir, menikah dan meninggal dunia yang kemudian akan menimbulkan akibat hukum tertentu.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 8 TAHUN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 8 TAHUN PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG LARANGAN BERBURU DALAM RANGKA PERLINDUNGAN SATWA LIAR DI KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SATWA DAN TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. "Adat" berasal dari bahasa Arab,عادات bentuk jamak dari عاد ة (adah), yang

BAB II KAJIAN TEORI. Adat berasal dari bahasa Arab,عادات bentuk jamak dari عاد ة (adah), yang 1 BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Adat "Adat" berasal dari bahasa Arab,عادات bentuk jamak dari عاد ة (adah), yang berarti "cara", "kebiasaan" dengan makna berulang kali. Merupakan nama kepada pengulangan perbuatan

Lebih terperinci

SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER

SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER Oleh : Drs. I Ketut Rindawan, SH.,MH. ketut.rindawan@gmail.com Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Dwijendra Abstrak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan-keterampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi,

I. PENDAHULUAN. mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan-keterampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kompetensi adalah kemampuan untuk melaksanakan satu tugas, peran atau tugas, kemampuan mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan-keterampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai

Lebih terperinci

Abstract. Balinese society are bound by two village system, they are village

Abstract. Balinese society are bound by two village system, they are village MENINGKATNYA INTENSITAS KONFLIK DESA PAKRAMAN DI BALI Anak Agung Istri Ngurah Dyah Prami Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana 1021005005 E-mail: dyahprami@yahoo.co.id

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Lembaga Subak sebagai bagian dari budaya Bali merupakan organisasi

Lebih terperinci

EKSISTENSI LEMBAGA PERKREDITAN DESA SETELAH DIKELUARKANNYA UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO

EKSISTENSI LEMBAGA PERKREDITAN DESA SETELAH DIKELUARKANNYA UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO EKSISTENSI LEMBAGA PERKREDITAN DESA SETELAH DIKELUARKANNYA UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO Oleh I Gede Made Gandhi Dwinata I Made Sarjana Ni Putu Purwanti Hukum Bisnis Fakultas

Lebih terperinci

JAMINAN KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN GADAI TANAH MENURUT HUKUM ADAT ( ESTI NINGRUM, SH, MHum) Dosen FH Unwiku PWT A.

JAMINAN KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN GADAI TANAH MENURUT HUKUM ADAT ( ESTI NINGRUM, SH, MHum) Dosen FH Unwiku PWT A. JAMINAN KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN GADAI TANAH MENURUT HUKUM ADAT ( ESTI NINGRUM, SH, MHum) Dosen FH Unwiku PWT A. Latar Belakang Sifat pluralisme atau adanya keanekaragaman corak

Lebih terperinci

UPAYA PEMERINTAH MELESTARIKAN KEBERADAAN SATWA LANGKA YANG DILINDUNGI DARI KEPUNAHAN DI INDONESIA

UPAYA PEMERINTAH MELESTARIKAN KEBERADAAN SATWA LANGKA YANG DILINDUNGI DARI KEPUNAHAN DI INDONESIA UPAYA PEMERINTAH MELESTARIKAN KEBERADAAN SATWA LANGKA YANG DILINDUNGI DARI KEPUNAHAN DI INDONESIA Oleh A.A. Istri Agung Kemala Dewi Made Gde Subha Karma Resen Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB IV PENERAPAN HAK-HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA. Undang-Undang Dasar 1945 mengakui keberadaan Masyarakat Hukum

BAB IV PENERAPAN HAK-HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA. Undang-Undang Dasar 1945 mengakui keberadaan Masyarakat Hukum BAB IV PENERAPAN HAK-HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Penerapan Hak Masyarakat Hukum Adat Undang-Undang Dasar 1945 mengakui keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan menjamin

Lebih terperinci

EKSISTENSI AWIG-AWIG TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI DESA PAKRAMAN TEGALLALANG. Oleh :

EKSISTENSI AWIG-AWIG TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI DESA PAKRAMAN TEGALLALANG. Oleh : 257 EKSISTENSI AWIG-AWIG TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI DESA PAKRAMAN TEGALLALANG Oleh : I Wayan Eka Artajaya, S.H., M.Hum. Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract Pakraman Tegallalang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisnis dan perpindahan lokasi kerja dari satu tempat ke tempat lain (Sears dalam

BAB I PENDAHULUAN. bisnis dan perpindahan lokasi kerja dari satu tempat ke tempat lain (Sears dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu pekerjaan dengan tingkat tekanan yang tinggi adalah auditor internal. Pekerjaan ini memiliki beban kerja yang berat, batas waktu pekerjaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia di dunia ini, termasuk di Indonesia. Sejak dilahirkan di dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan

Lebih terperinci

PERANAN DESA PAKRAMAN DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI PEMERINTAHAN DESA

PERANAN DESA PAKRAMAN DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI PEMERINTAHAN DESA ABSTRACT PERANAN DESA PAKRAMAN DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI PEMERINTAHAN DESA Oleh Ni Putu Puja Sukmiwati I Ketut Sudiarta Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana Pakraman village

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan manusia tidak terlepas dengan hukum yang mengaturnya, karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya sebuah hukum. Manusia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dengan sikap kekerasan yang sering menyertai penerapan sanksi tersebut, asas kerukunan, keselarasan, dan kepatutan. 1

PENDAHULUAN. dengan sikap kekerasan yang sering menyertai penerapan sanksi tersebut, asas kerukunan, keselarasan, dan kepatutan. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di desa adat yang terjadi konflik antara desa adat dengan warganya, ada kalanya desa adat menunjukkan sikap yang dapat dikatakan arogan dalam menjatuhkan sanksi kepada warganya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH I Made Sugiarta Nugraha I Wayan Parsa I Ketut Suardita Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. Bahwa sebagai bagian dari bangsa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 24 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT DALAM WILAYAH

Lebih terperinci

MATERI KULIAH PENGANTAR ILMU HUKUM MATCH DAY 25 ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU KENYATAAN (BAGIAN 1)

MATERI KULIAH PENGANTAR ILMU HUKUM MATCH DAY 25 ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU KENYATAAN (BAGIAN 1) MATERI KULIAH PENGANTAR ILMU HUKUM MATCH DAY 25 ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU KENYATAAN (BAGIAN 1) A. SOSIOLOGI HUKUM 1. Pemahaman Dasar Sosiologi Hukum Sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang

Lebih terperinci

CATUR PURUSA ARTHA SEBAGAI DASAR KEGIATAN USAHA LEMBAGA PERKREDITAN DESA (LPD) DI DESA PAKRAMAN KIKIAN

CATUR PURUSA ARTHA SEBAGAI DASAR KEGIATAN USAHA LEMBAGA PERKREDITAN DESA (LPD) DI DESA PAKRAMAN KIKIAN CATUR PURUSA ARTHA SEBAGAI DASAR KEGIATAN USAHA LEMBAGA PERKREDITAN DESA (LPD) DI DESA PAKRAMAN KIKIAN Abstract Oleh Dewa Made Pancadana A.A. Gede Oka Parwata Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN,PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN,PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN,PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan hukum dalam mendukung jalannya roda pembangunan maupun dunia usaha memang sangat penting. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya jaminan kepastian hukum.

Lebih terperinci

Oleh : Made Surya Diatmika I Nyoman Suyatna Kadek Sarna Program Kekhususan Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Oleh : Made Surya Diatmika I Nyoman Suyatna Kadek Sarna Program Kekhususan Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana EFEKTIFITAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA DI KABUPATEN TABANAN Oleh : Made Surya Diatmika I Nyoman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luas yang terdiri dari beribu-ribu pulau yang besar dan pulau yang kecil. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. luas yang terdiri dari beribu-ribu pulau yang besar dan pulau yang kecil. Sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai wilayah yang terbentang luas yang terdiri dari beribu-ribu pulau yang besar dan pulau yang kecil. Sebagai Negara yang

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 7 TAHUN 2006 TENTANG KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 7 TAHUN 2006 TENTANG KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Hsl Rpt (12) Tgl 19-05-06 PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 7 TAHUN 2006 TENTANG KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan masyarakat diatur berdasarkan nilai-nilai dan serta norma sosial

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan masyarakat diatur berdasarkan nilai-nilai dan serta norma sosial 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan masyarakat diatur berdasarkan nilai-nilai dan serta norma sosial sebagai pedoman perilaku anggota masyarakat agar kehidupan sosial menjadi tertib. Walaupun

Lebih terperinci

TINJAUAN MENGENAI ASPEK HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Jepara)

TINJAUAN MENGENAI ASPEK HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Jepara) 0 TINJAUAN MENGENAI ASPEK HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Jepara) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG

DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah ini dengan sendirinya menimbulkan pergesekan- pergesekan. kepentingan yang dapat menimbulkan permasalahan tanah.

BAB I PENDAHULUAN. tanah ini dengan sendirinya menimbulkan pergesekan- pergesekan. kepentingan yang dapat menimbulkan permasalahan tanah. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia, oleh karenanya manusia tidak bisa terlepas dari tanah. Tanah sangat dibutuhkan oleh setiap

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KABUPATEN BADUNG

EFEKTIVITAS PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KABUPATEN BADUNG EFEKTIVITAS PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DI KABUPATEN BADUNG Oleh : Kadek Devi Ayu Anggari Pembimbing : I Wayan Parsa Nengah Suharta Program Kekhususan Hukum Pemerintahan, Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati yang sangat indah dan beragam, yang terlihat pada setiap penjuru pulau di Indonesia banyak

Lebih terperinci

JURNAL. Diajukan Oleh : Yohanes Ivan NPM : Program Studi : Ilmu Hukum Program Kekhususan : Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Hukum (PK2)

JURNAL. Diajukan Oleh : Yohanes Ivan NPM : Program Studi : Ilmu Hukum Program Kekhususan : Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Hukum (PK2) JURNAL EKSISTENSI HUKUM PIDANA ADAT DALAM MENANGANI DELIK ADAT PADA MASYARAKAT HUKUM ADAT DAYAK PANGKODAN DI DESA LAPE KECAMATAN SANGGAU KAPUAS KABUPATEN SANGGAU PROVINSI KALIMANTAN BARAT Diajukan Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki kelebihan dana dengan pihak-pihak yang kekurangan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki kelebihan dana dengan pihak-pihak yang kekurangan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bank Pembangunan Daerah dengan fungsinya meningkatkan pertumbuhan perekonomian dan pembangunan daerah, sebagai perantara pihakpihak yang memiliki kelebihan

Lebih terperinci

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum

Lebih terperinci

LEMBAGA NEGARA BERDASARKAN FILOSOFI NEGARA HUKUM PANCASILA. Oleh :

LEMBAGA NEGARA BERDASARKAN FILOSOFI NEGARA HUKUM PANCASILA. Oleh : 209 LEMBAGA NEGARA BERDASARKAN FILOSOFI NEGARA HUKUM PANCASILA Oleh : I Wayan Wahyu Wira Udytama, S.H.,M.H. Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar Abstract Indonesia is a unitary state based

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dilahirkan sebagai makhluk yang bersifat individual dan juga bersifat sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing yang tentu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan keberadaan anak sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa.

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan keberadaan anak sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Membangun rumah tangga adalah hakikat suci yang ingin dicapai oleh setiap pasangan. Kebahagiaan dalam rumah tangga merupakan impian yang selalu berusaha diwujudkan.

Lebih terperinci

Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang 2010

Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang 2010 IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1960 TENTANG PERJANJIAN BAGI HASIL DI KABUPATEN KAMPAR PROPINSI RIAU TESIS Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derajat Sarjana S2 Program Studi Magister

Lebih terperinci

SENGKETA TANAH SETRA DAN PENYELESAIANNYA (STUDI KASUS SENGKETA BANJAR ADAT AMBENGAN DENGAN BANJAR ADAT SEMANA UBUD KABUPATEN GIANYAR)

SENGKETA TANAH SETRA DAN PENYELESAIANNYA (STUDI KASUS SENGKETA BANJAR ADAT AMBENGAN DENGAN BANJAR ADAT SEMANA UBUD KABUPATEN GIANYAR) SENGKETA TANAH SETRA DAN PENYELESAIANNYA (STUDI KASUS SENGKETA BANJAR ADAT AMBENGAN DENGAN BANJAR ADAT SEMANA UBUD KABUPATEN GIANYAR) oleh I Gusti Ayu Sri Haryanti Dewi Witari I Ketut Wirta Griadhi A.A

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia. Kepolisian adalah hak-ihwal berkaitan dengan fungsi

I. PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia. Kepolisian adalah hak-ihwal berkaitan dengan fungsi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu lembaga penegak hukum yang ada di Indonesia yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kepolisian adalah hak-ihwal berkaitan dengan fungsi dan lembaga

Lebih terperinci

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan keanekaragaman budaya, hal ini dikarenakan Indonesia terdiri dari berbagai suku dan adat budaya. Setiap suku

Lebih terperinci

KODE ETIK TENAGA KEPENDIDIKAN STIKOM DINAMIKA BANGSA

KODE ETIK TENAGA KEPENDIDIKAN STIKOM DINAMIKA BANGSA KODE ETIK TENAGA KEPENDIDIKAN STIKOM DINAMIKA BANGSA STIKOM DINAMIKA BANGSA MUKADIMAH Sekolah Tinggi Ilmu Komputer (STIKOM) Dinamika Bangsa didirikan untuk ikut berperan aktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. material. Fungsinya menyelesaikan masalah yang memenuhi norma-norma larangan

BAB I PENDAHULUAN. material. Fungsinya menyelesaikan masalah yang memenuhi norma-norma larangan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hukum Acara atau Hukum Formal adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hukum material. Fungsinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara hukum (rechtsstaat)

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara hukum (rechtsstaat) BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana tertuang di dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara hukum (rechtsstaat)

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP LAMPIRAN 392 LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP 393 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERDAYAAN PELESTARIAN, PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN KEDAMANGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERDAYAAN PELESTARIAN, PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN KEDAMANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERDAYAAN PELESTARIAN, PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN KEDAMANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I BALI, Menimbang : a. bahwa kepariwisataan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PAPUA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG PERADILAN ADAT DI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI PAPUA, Menimbang : a. bahwa pemberian Otonomi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PENEGAKKAN HUKUM DAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR

BAB II TINJAUAN UMUM PENEGAKKAN HUKUM DAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR BAB II TINJAUAN UMUM PENEGAKKAN HUKUM DAN PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR 2.1 Pengertian penegakan hukum. Mengenai pengertian dari penegakan hukum menunjuk pada batasan pengertian dari para sarjana. Identifikasi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENGUSAHAAN SARANG BURUNG WALET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENGUSAHAAN SARANG BURUNG WALET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENGUSAHAAN SARANG BURUNG WALET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR, Menimbang : a. bahwa keberadaan sarang burung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan merupakan cara terbaik dalam menegakan keadilan. Kejahatan yang menimbulkan penderitaan terhadap korban, yang berakibat

Lebih terperinci

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) merumuskan bahwa, Negara Indonesia adalah negara hukum. Negara

Lebih terperinci

KODE ETIK DAN DISIPLIN UNIVERSITAS MUHAMADIYAH

KODE ETIK DAN DISIPLIN UNIVERSITAS MUHAMADIYAH KODE ETIK DAN DISIPLIN UNIVERSITAS MUHAMADIYAH RIAU UNIVERSITAS MUHAMMADIYAHH RIAU 2011 VISI Menjadikan Universitas Muhammadiyah Riau sebagai lembaga pendidikan tinggi yang bermarwah dan bermartabat dalam

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG KECAMATAN DUKUN DESA KENINGAR Alamat : Keningar, Dukun, Magelang Kode Pos 56482

PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG KECAMATAN DUKUN DESA KENINGAR Alamat : Keningar, Dukun, Magelang Kode Pos 56482 PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG KECAMATAN DUKUN DESA KENINGAR Alamat : Keningar, Dukun, Magelang Kode Pos 56482 DRAF PERATURAN DESA KENINGAR NOMOR TAHUN 2017 TENTANG LARANGAN PERBURUAN TERHADAP SATWA LIAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan hukum yang diterapkan di Indonesia saat ini kurang memperhatikan kepentingan korban yang sangat membutuhkan perlindungan hukum. Bisa dilihat dari banyaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Subak merupakan lembaga irigasi dan pertanian yang bercorak sosioreligius terutama bergerak dalam pengolahan air untuk produksi tanaman setahun khususnya padi berdasarkan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.257, 2014 PERTAHANAN. Hukum. Disiplin. Militer. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5591) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk sosial, oleh karenanya manusia itu cenderung untuk hidup bermasyarakat. Dalam hidup bermasyarakat ini

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata 23 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan undang-undang yang berlaku. Meskipun menganut sistem hukum positif,

I. PENDAHULUAN. dan undang-undang yang berlaku. Meskipun menganut sistem hukum positif, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada hukum positif, artinya hukumhukum yang berlaku di Indonesia didasarkan pada aturan pancasila, konstitusi, dan undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan pasal..., Ita Zaleha Saptaria, FH UI, ), hlm. 13.

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan pasal..., Ita Zaleha Saptaria, FH UI, ), hlm. 13. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada alam demokratis seperti sekarang ini, manusia semakin erat dan semakin membutuhkan jasa hukum antara lain jasa hukum yang dilakukan oleh notaris. Dalam

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA BERDASARKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 01 TAHUN 2008 (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Boyolali) SKRIPSI

EFEKTIFITAS MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA BERDASARKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 01 TAHUN 2008 (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Boyolali) SKRIPSI EFEKTIFITAS MEDIASI DALAM PERKARA PERDATA BERDASARKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 01 TAHUN 2008 (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Boyolali) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang khas dengan pluralitas agama dan budaya. Pluralitas sendiri dapat diterjemahkan sebagai kemajemukan yang lebih mengacu pada jumlah

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini penggunaan komputer sudah memasuki hampir semua. bidang kehidupan, baik di kalangan perguruan tinggi, perkantoran,

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini penggunaan komputer sudah memasuki hampir semua. bidang kehidupan, baik di kalangan perguruan tinggi, perkantoran, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada saat ini penggunaan komputer sudah memasuki hampir semua bidang kehidupan, baik di kalangan perguruan tinggi, perkantoran, sampai ke rumah tangga. Sekarang

Lebih terperinci

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila; Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Hukum alam telah menentukan bahwa keadaan tanah yang statis menjadi tempat tumpuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar hukum dan untuk mewujudkan kehidupan tata negara yang adil bagi

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. dalam penulisan skripsi ini, mencoba mengambil beberapa kesimpulan yakni :

BAB III PENUTUP. dalam penulisan skripsi ini, mencoba mengambil beberapa kesimpulan yakni : BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dalam penjelasan yang tertuang dalam bab-bab terdahulu permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini, mencoba mengambil beberapa kesimpulan yakni : Berdasarkan uraian

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN ALOR TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR,

LEMBARAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN ALOR TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, LEMBARAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN ALOR No. : 7, 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 7 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, Menimbang :

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.116, 2013 HAK ASASI MANUSIA. Organisasi Kemasyarakatan. Pendirian-Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5430)

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PASAL 6 UU NO. 30 TAHUN 1999 DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TANAH WARISAN ADAT

IMPLEMENTASI PASAL 6 UU NO. 30 TAHUN 1999 DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TANAH WARISAN ADAT IMPLEMENTASI PASAL 6 UU NO. 30 TAHUN 1999 DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TANAH WARISAN ADAT (Studi di Desa Batuan, kecamatan Sukawati, kabupaten Gianyar, Bali) ARTIKEL ILMIAH Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 06 TAHUN 2004

PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 06 TAHUN 2004 SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 06 TAHUN 2004 TENTANG PERLINDUNGAN, PENGENDALIAN SERTA PEMANFAATAN TUMBUHAN DAN SATWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 20 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN DAN RETRIBUSI OBYEK WISATA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 20 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN DAN RETRIBUSI OBYEK WISATA PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 20 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN DAN RETRIBUSI OBYEK WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPALA DAERAH TINGKAT II BADUNG Menimbang

Lebih terperinci