PENDAHULUAN. dengan sikap kekerasan yang sering menyertai penerapan sanksi tersebut, asas kerukunan, keselarasan, dan kepatutan. 1
|
|
- Teguh Hartanto
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di desa adat yang terjadi konflik antara desa adat dengan warganya, ada kalanya desa adat menunjukkan sikap yang dapat dikatakan arogan dalam menjatuhkan sanksi kepada warganya. Arogansi ini antara lain ditunjukkan dengan sikap kekerasan yang sering menyertai penerapan sanksi tersebut, padahal sikap demikian bertentangan dengan pandangan hidup adat yang mengajarkan setiap persoalan diselesaikan dengan musyawarah berdasarkan asas kerukunan, keselarasan, dan kepatutan. 1 Dewasa ini, dalam beberapa kasus yang pernah terjadi, ada kalanya desa adat dalam menerapkan sanksi jauh menyimpang dari prinsip-prinsip adat yang dilandasi agama hindu, terutama dalam hal penerapan sanksi kasepekang, atau sanksi lain seperti pengenaan penanjung batu yang begitu berat, larangan mengubur di setra desa, perusakan sarana upakara ngaben, menutup jalan ke kuburan, merusak/membakar rumah, dan lain sebagainya, yang akhirnya menimbulkan persoalan/konflik baru yang sewaktu-waktu muncul lagi ke permukaan sehingga terjadilah konflik berkepanjangan atau timbul perpecahan/disintegrasi. 2 Krama desa dalam pergaulan hidup bermasyarakat berpedoman pada awig-awig yang dibuat dan disahkan oleh krama desa sendiri. Awig-awig ini mengatur keserasian, hubungan manusia dengan Sang Hyang Widhi Wasa, 1 Tjok Istri Putra Astiti, 2010, Desa Adat Menggugat Dan Digugat, Udayana University Press, Bali, h Ibid h
2 hubungan manusia dengan sesama krama desa, dan hubungan manusia dengan alam. Ketiga aspek ini dikenal dengan istilah Tri Hita Karana, yang meliputi aspek Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan, yang saling berkaitan, dan menjadi sumber kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat. Dalam penyelenggaraan pemerintahannya, desa pakraman dipimpin oleh prajuru desa. Struktur prajuru desa pada umumnya terdiri atas Bendesa selaku ketua, Penyarikan selaku sekretaris, Patengen selaku bendahara, dan Kasinoman selaku pembantu umum atau juru arah. Desa-desa tua di bali mempunyai struktur kepengurusan yang terdiri dari Jero Kubuyan, Jero Bahu, Jero Singgukan, dan beberapa personalia lainnya yang disesuaikan dengan jumlah krama desa. 3 Persoalan cara melaksanakan sanksi kasepekang ini sangat penting untuk diperhatikan, karena penyelewengan atau kesewenang-wenangan sering terjadi disektor ini. Ditambah lantas dengan kenyataan bahwa perangkat awig-awig yang tak dilengkapi aturan/awig-awig mengenai bagaimana cara melaksanakan ketentuan ini, maka bila dikehendaki oleh pemuka masyarakat, penyelewengan dengan mudah dapat dilakukan. Beberapa bentuk penyelewengan dalam hubungannya dengan sanksi adat kasepekang, misalnya sanksi ini disertai dengan sanksi lain, seperti: yang ngomong dengan yang kasepekang akan dikenai denda. Kalau begini adanya berarti sanksi ini sudah melenceng jauh. Bukan saja menghukum yang bersalah, tetapi juga mereka yang tak bersalah, terutama keluarganya, yang 3 I Nyoman Sirtha, 2008, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali, Udayana University Press, Bali, h. 4. 2
3 berada/bertempat tinggal di desa tersebut. Berarti pula sanksi ini seolah-olah memisahkan tali persaudaraan seseorang. 4 Kasepekang adalah salah satu sanksi adat di Bali. Sanksi serupa namanya kanoroyang. Kasepekang berarti diberhentikan sementara sebagai warga desa, sementara kanoroyang berarti diberhentikan tetap. Perlu dikemukakan bahwa dalam beberapa desa pakraman, ada pengertian yang sebaliknya. Kasepekang diartikan sebagai pemberhentian permanent atau tetap, sedangkan kanoroyang berarti diberhentikan sementara. Ada kemungkinan seseorang yang telah diberhentikan sementara (kasepekang) atau tetap (kanoroyang) sebagai warga desa, bermaksud kembali menjadi warga desa setempat. Biasanya mereka akan diterima kembali setelah memenuhi kewajiban membayar semacam ganti kerugian bagi yang sempat dikenakan sanksi adat kasepekang dan membayar uang pangkal bagi yang sempat dikenakan sanksi adat kanoroyang. Pembayaran inilah yang disebut penanjung batu. Jadi penanjung batu itu bukan sanksi adat. 5 Permasalahan tersebut di atas yang melatar belakangi untuk melakukan dalam bentuk skripsi yang berjudul PELAKSANAAN SANKSI ADAT KASEPEKANG (STUDI DI DESA PAKRAMAN ASAK, KARANGASEM). 4 Wayan Windia, 1995, Menjawab Masalah Hukum, Udayana University Press, Bali, h Wayan P Windia, 2014, Hukum Adat Bali Aneka Kasus Dan Penyelesaiannya, Udayana University Press, Bali, h
4 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah kewenangan prajuru desa dalam melaksanakan sanksi adat yang diberikan terhadap krama desa di Desa Pakraman Asak, Karangasem? 2. Apakah akibat hukum yang ditimbulkan apabila prajuru desa terbukti arogan atau sewenang-wenang dalam memberikan sanksi terhadap krama desa? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Mengingat luasnya masalah yang terkait dengan masalah kasepekang ini maka merupakan hal yang tidak mungkin untuk membahas semuanya dalam satu tulisan terlebih dalam suatu bentuk penulisan skripsi. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah agar materi atau isi urainnya tidak menyimpang dari pokok permasalahan sehingga pembahasannya dapat terarah dan tersusun secara sistematis. Dalam penulisan ini ruang lingkup permasalahannya hanya dibatasi mengenai. Pertimbangan Prajuru dalam Penerapan Sanksi Kasepekang di Desa Pakraman Asak, Karangasem. Ruang lingkup permasalahan ini pun dibahas dengan memperhatikan sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia. 1.4 Orisinalitas Penelitian 4
5 Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian, hingga saat ini belum ada hasil penelitian dalam bentuk skripsi maupun penelitian yang berkaitan dengan PELAKSANAAN SANKSI ADAT KASEPEKANG. Adapun dari penelusuran kepustakaan yang cukup dekat dengan topic penelitian ini yaitu: No Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah 1 Kedudukan Prajuru Kadek Sri Bagaimana kedudukan Adat Dalam Erawati, Fakultas Prajuru Adat dalam hal Pelanggaran Hukum Hukum terjadinya pelanggaran Adat Perkawinan Di Universitas khususnya tentang Desa Adat Tenganan Udayana Bukit hukum adat perkawinan Pagringsingan. Jimbaran di Desa Tenganan Pegringsingan? 2 Peranan Awig-Awig I Dewa Nyoman Bagaimana konsepsi Desa Adat Dalam Toya Suyasa, lingkungan hidup dalam Pelestarian Lingkungan Fakultas Hukum masyarakat Tenganan Hidup Di Desa Tenganan Pagringsingan. Universitas Udayana Denpasar 1994 Pagringsingan? Seberapa jauh awigawig mampu menopang pelestarian lingkungan hidup di Desa 5
6 Tengannan Pagringsingan? 3 Penerapan Sanksi Adat Di Bali Dan A.A Istri A. Prigiwati, Bagaimanakah penerapan sanksi adat Prospeknya Dalam Fakultas Hukum saat ini baik oleh Rancangan KUHP Universitas pengadilan maupun oleh Nasional Udayana masyarakat hukum Denpasar 2001 adat? Bagaimanakah kebijakan perumusan pembebanan sanksi adat dalam rancangan KUHP nasional? Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa Orisinalitas penelitian ini murni, belum dikerjakan oleh peneliti lain sehingga saya dapat melanjutkan 6
7 usulan proposal penelitian dengan judul PELAKSANAAN SANKSI ADAT KASEPEKANG (STUDI DI DESA PAKRAMAN ASAK, KARANGASEM). 1.5 Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: Tujuan Umum Dalam skripsi ini yang menjadi tujuan umum sebagai berikut: Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran dalam suatu karya ilmiah secara tertulis, menambahkan perkembangan ilmu pengetahuan hukum mengenai Pertimbangan Prajuru dalam penerapan Sanksi Kasepekang dan untuk memenuhi persyaratan SKS dari jumlah beban studi untuk memperoleh gelar sarjana hukum Tujuan Khusus Dalam skripsi ini yang menjadi tujuan khusus sebagai berikut: a. Untuk mengetahui pertimbangan Prajuru dalam penerapan Sanksi Kasepekang di Desa Asak, Karangasem. b. Untuk memberikan upaya yang dapat dilakukan oleh krama desa terhadap prajuru yang terbukti arogan atau sewenang-wenang dalam memberikan sanksi kepada krama desa. 1.6 Manfaat Penulisan 7
8 Adapun manfaat yang di dapat dalam penelitian skripsi ini, antara lain: manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis. adalah sebagai berikut: Manfaat Teoritis Untuk memberikan gambaran dasar mengenai pertimbangan prajuru dalam penerapan Sanksi Kasepekang, untuk menambah literature bagi mahasiswa pada umumnya dan penulis pada khususnya dalam hal pengetahuan hukum yang terkait dengan Upaya Prajuru Dalam Penerapan Sanksi Kasepekang Manfaat Praktis a. Bagi mahasiswa penelitian ini berguna untuk dijadikan pedoman dalam pembuatan karya tulis dan penelitian-penelitian hukum lainnya b. Serta bagi masyarakat pada umumnya penelitian ini berguna dalam menambah wawasan masyarakat kedepannya tentang Upaya Prajuru Dalam Penerapan Sanksi Kasepekang. 1.7 Landasan Teoritis Untuk membahas rumusan masalah di atas maka akan dikemukakan landasan teoritis yang terkait dengan topik permasalahan yang diangkat. Untuk mengetahui dan menemukan jawaban topik di atas, maka itu ada 8
9 beberapa teori, asas, konsep dan peraturan perundang-undangan yang akan digunakan untuk membahas permasalahan yaitu : Teori-teori Hukum adat Dari teorinya Sally Falk Moore yaitu Teori Semi autonomous Social Field, I Ketut Sudantra dan A.A Gede Oka Parwata menyatakan bahwa desa pakraman sesungguhnya hanyalah kelompok sosial yang semi-otonom (semi autonomous social fields) karena dalam pelaksanaan otonominya itu desa pakraman tetap harus tunduk dengan kekuasaan negara. Penegasan ini penting agar tidak menimbulkan salah pengertian dan menganggap desa pakraman sebagai republik kecil yang dapat berbuat apa saja tanpa peduli kepada keberadaan kekuasaan negara, sebab bagaimanapun juga tidaklah boleh ada negara dalam negara. 6 Dari teori Beslissingenleer berdasarkan Pandangan Ter Haar pada orasi ilmiah tahun 1937 memberi pngertian bahwa hukum adat itu dengan mengabaikan bagiannya yang tertulis yang terdiri dari peraturan-peraturan desa, surat-surat perintah raja adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para Fungsionaris Hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa (macht, authority) serta pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya 6 AA Gede Oka Parwata, 2010, Memahami Awig-Awig Desa Pakraman, dalam Wicara Lan Pamidanda : Pemberdayaan Desa Pakraman dalam Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan, I Ketut Sudantra dan AA Gede Oka Parwata (ed): Udayana University Press, Denpasar, h.34. 9
10 berlaku serta merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati. (Fungsionaris Hukum meliputi tiga kekuasaan: Executif, Legislatif, Yudikatif) dengan demikian hukum adat yang berlaku itu hanya dapat diketahui dan diperoleh dalam bentuk keputusan-keputusan para Fungsionaris Hukum; bukan saja hakim tetapi juga kepala adat, rapat desa, wali tanah petugas-petugas di lapangan keagamaan, petugas-petugas desa lainnya. Keputusan itu tidak saja keputusan mengenai suatu sengketa resmi, tetapi juga diluar itu berdasarkan kerukunan/musyawarah atau consensus, musyawarah mufakat atau rapat desa. Keputusankeputusan itu diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam kerohanian dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan itu. Dalam terminologi hukum adat di atas tersimpul sebuah ajaran atau doktrin yaitu Beslissingenleer atau ajaran tentang keputusan Asas-asas Hukum Adat Berlakunya suatu peraturan hukum adat, tampak dalam penetapan (putusan-putusan) petugas hukum, misalnya Putusan 7 Dominikus Rato, 2009, Pengantar Hukum Adat, LaksBang PresSindo, Yogyakarta, h
11 Kepala Adat, Putusan Hakim Perdamaian Desa, dan sebagainya sesuai dengan lapangan kopetensinya masing-masing. Didalam pengambilan keputusan, para pemberi keputusan berpedoman pada nilai-nilai universal yang dipakai oleh para tetua adat, yaitu: a. Asas gotong royong, b. Fungsi sosial manusia dan milik dalam masyarakat, c. Asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum (musyawarah), d. Asas perwakilan dan permusyawaratan Konsep Hukum Adat Hukum adat Bali adalah komplek norma-norma, baik dalam wujud yang tertulis maupun tidak tertulis, berisi perintah, kebolehan dan larangan, yang mengatur kehidupan masyarakat Bali yang menyangkut hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan alamnya, dan hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Tujuan hukum adalah tujuan hidup itu sendiri yaitu terciptanya kesejahteraan umat manusia yang diterjemahkan sebagai kehidupan sukerta sekala niskala. Dalam konsep orang Bali, untuk mencapai tujuan hidup tersebut, maka harus senantiasa dijaga dan diusahakan adanya keseimbangan atau keharmonisan hubungan antara sesama 8 Yulies Tiena Masriani, 2004, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h
12 manusia, hubugan antara manusia dengan alam, dan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Apabila keharmonisan hubungan ini terganggu maka haruslah ada upaya-upaya atau tindakan-tindakan hukum untuk mengembalikan keseimbangan tersebut, berupa reaksi adat atau sanksi adat. 9 Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Ditinjau dari latar belakang sejarah, masyarakat hukum adat di Kepulauan Indonesia mempunyai latar belakang sejarah serta kebudayaan yang sudah sangat tua dan jauh lebih tua dari terbentuknya kerajaan ataupun negara. Secara historis, warga masyarakat hukum adat di Indonesia serta etnik yang melingkupinya, sesungguhnya merupakan migran dari kawasan lainnya di Asia Tenggara. Secara kultural mereka termasuk dalam kawasan budaya Austronesia, yaitu budaya petani sawah, dengan tatanan masyarakat serta hak kepemilikan yang ditata secara kolektif, khususnya hak kepemilikan atas tanah ulayat. Dalam kehidupan politik, beberapa etnik berhasil mendominasi etnik lain beserta wilayahnya, dan membentuk kerajaan-kerajaan tradisional, baik yang berukuran lokal maupun yang berukuran regional Wayan P Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h.6. (Selanjutnya III). 10 Saafroedin Bahar, 2005, Seri Hak Masyarakat Hukum adat : Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, h
13 Menurut Moh. Koesnoe empat fungsi yang berkaitan dengan hak-hak tradisional dalam persekutuan masyarakat pedesaan berkenaan dengan menjaga tata harmoni antara masyarakat dengan tata semesta meliputi : Fungsi pemerintahan, Fungsi pemeliharan roh, Fungsi pemeliharaan agama, Fungsi pembinaan hukum adat. 11 Suatu kesatuan masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan secara de facto masih hidup (actualexistence) baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur : a. Adanya masyarakat yang masyarakatnya memiliki perasaan kelompok (in group feeling) b. Adanya pranata pemerintahan adat c. Adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat d. Adanya perangkat norma hukum adat. Khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial. Perlindungan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat untuk mempertahankan hak konstitusionalnya apabila terdapat undang-undang yang merugikan hak konstitusionalnya termaksud dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo. UU No. 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No. 24 Tahun Moh Koesnoe, 1979, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University Press, Surabaya, h
14 Namun ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi agar kesatuan masyarakat hukum adat memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Definisi Kasepekang Kasepekang artinya tidak diajak ngomong. Kasepekang banjar artinya tidak diajak ngomong oleh seluruh anggota banjar. Kasepekang nyama, berarti tidak diajak ngomong oleh seluruh keluarga. Kalau ada orang kasepekang, pastilah ada sebab dan musababnya. Biasanya melanggar kesepakatan bersama, melanggar kesepakatan keluarga, atau melanggar kesepakatan banjar. Atau melanggar awig-awig banjar. Kasepekang merupakan salah satu sanksi adat. Bentuk sanksi yang lainnya dapat berupa dedosan (denda), kerampas/kerampang, keblagbag (pasung), minta maaf atau mengaksama. 12 Adapun pendapat lainnya yaitu dijatuhkannya sanksi terhadap diri seseorang/keluarga/kelompok tertentu, itu berarti orang yang bersangkutan tidak diajak bertegur sapa atau berkomunikasi, tidak mendapatkan pelayanan secara adat (misalnya arah-arah dan 12 Wayan Windia I, Op Cit, h
15 segala informasi lainnya), bahkan ada yang berimbas pada tindakan tidak mendapat pelayanan kedinasan Dasar Hukum dan Peraturan Perundang-undangan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman sebagai mana diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 (selanjutnya hanya disebut Paeraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001) dengan jelas menyebut bahwa desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dari pengertian inilah kemudian dipahami bahwa desa pakraman mempunyai sifat otonom, yang oleh Koho (Gorda,1999) diartikan sebagai hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Memang, kata otonomi sendiri merupakan istilah pinjaman dari bahasa latin, yakni autos (=sendiri) dan nomos (=aturan), sehingga secara etimologis berarti mengatur sendiri. Dalam kenyataan, desa pakraman di Bali merupakan suatu kesatuan masyarakat sosial religius yang bersifat otonom, berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Hak ini oleh Pasal 18B ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 disebut sebagai hakhak tradisional masyarakat hukum adat yang diakui dan dihormati oleh negara, pengakuan dan penghormatan negara terhadap otonomi desa pakraman tersebut selanjutnya diatur dengan undang-undang yang dibuat oleh negara. itulah sebabnya, I Ketut Sudantra menyebut 13 Tjok Istri Putra Astiti, Op cit, h
16 desa pakraman sebagai masyarakat yang semi otonom (semiautonomous sosial fields) karena otonomi desa pakraman bukanlah otonomi penuh yang melainkan tetap harus tunduk kepada kekuasaan dari luar desa pakraman, yaitu negara. 14 Jauh sebelum masuknya kaum penjajah ke indonesia, hukum adat telah berlaku bagi orang indonesia asli (Bumiputra/Pribumi). Pada jaman pemerintah Kolonial Belanda, berlakunya hukum adat bagi orang Bumiputra ini, tetap dipertahankkan. Dasar hukum berlakunya hukum adat itu, diatur dalam Pasal 11 Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB) termuat dalam Staatblad tahun 1847 nomor 23 yaitu peraturan tentang Peraturan Umum Mengenai Perundang-undangan Untuk Indonesia dan Pasal 75 ayat 3 dan ayat 4 Regering Reglement (RR), serta Pasal 131 Indische Staatregeling (IS). 15 Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Menimbang: a. Bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketakwaan dan penuh tanggung jawab 14 Tjok Istri Putra Astiti, Op cit, h Muhammad Bakri, 2011, Pengantar Hukum Indonesia (Sistem Hukum Indonesia Pada Era Reformasi), Universitas Brawijaya Press, Malang, h
17 untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-nya dianugrahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya. b. Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia. Bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapa pun: c. Bahwa selain hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. d. Bahwa bangsa indonesia sebagai anggota perserikatan bangsabangsa pengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan deklarasi universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh perserikatan bangsa-bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia; e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d dalam rangka melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor 17
18 XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, perlu membentuk Undang undang tentang Hak Asasi Manusia. Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Terkait dengan ancaman rasa takut, ada rumusan HAM yang menyebutkan : setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. dalam Kitab Suci Atharwa Weda XIX:15 juga ditegaskan bahwa manusia berhak bebas dari ketakutan. Demikian ditegaskan: hendaknya tidak takut kepada teman dan lawan, tidak takut kepada yang dikenal dan tidak dikenal, di malam hari bahkan sepanjang hari pun tidak boleh takut. Itu artinya bahwa setiap orang berhak atas rasa aman. 16 Dasar Hukum Dalam Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali. Dalam Keputusan Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali, Diselenggarakan 15 Oktober 2010, 16 Tjok Istri Putra Astiti, Op cit, h
19 Bertempat di Gedung Wiswasabha, Kantor Gubernur Provinsi Bali. Yaitu: Pengenaan Sanksi Adat Kasepekang dan kanorayang Kenyataan menunjukkan bahwa setiap kali sanksi adat kasepekang dijatuhkan selalu saja menuai kontroversi berkepanjangan. Penerapan sanksi tersebut terbukti tidak menyelesaikan masalah, sebaliknya justru menimbulkan masalah baru, terutama dalam hubungan dengan penguburan jenazah dan atau penggunaan setra. Atas dasar kenyataan tersebut maka berdasarkan Hasil Pasamuhan Agung II MDP Bali tahun 2007, yang dituangkan dalam Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali Nomor: 01/Kep/Psm-2/MDP Bali/X/2007, Jumat 12 Oktober 2007, sepanjang mengenai sanksi adat kasepekang dan kanorayang, ditentukan bahwa Penjatuhan sanksi adat kasepekang dan kanorayang dilarang sementara, sampai adanya rumusan yang memadai mengenai pengertian dan tata cara menjatuhkan sanksi adat tersebut, yang berlaku bagi semua desa pakraman di Bali. Menindaklanjuti Keputusan MUDP (2007) di atas, maka perlu ditegaskan pengertian sanksi adat kasepekang dan sanksi adat kanorayang. Yang dimaksud dengan kasepekang (atau istilah lain) dalam hal ini adalah pemberhentian sementara sebagai anggota banjar dan desa pakraman, sehingga yang terkena sanksi kasepekang 19
20 tidak berhak mendapatkan panyanggran (pelayanan/bantuan) banjar dan desa pakraman yang ditandai dengan tidak mendapatkan araharahan (suaran kulkul). Adapun yang dimaksud dengan kanorayang (atau istilah lain) adalah diberhentikan permanen sebagai krama banjar dan desa pakraman, sehingga segala hak yang sebelumnya didapatkan dari banjar dan desa pakraman menjadi gugur. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali memutuskan hal-hal sebagai berkut: 1. Sanksi kasepekang atau istilah lain yang mengandung arti dan makna sama dengan pemberhentian sementara sebagai krama desa, dapat dikenakan berdasarkan paruman (rapat) banjar atau desa pakraman kepada krama desa yang terbukti secara meyakinkan membangkang (ngatuwel) terhadap awig-awig, pararem, dan kesepakatan banjar atau desa pakraman, setelah usaha penyelesaian melalui prajuru (kertha desa) yang dilakukan dianggap gagal, dan setelah beberapa sanksi lain yang juga dikenakan berdasarkan paruman tidak membuahkan hasil. Sanksi lain yang dimaksud, seperti: (a) peringatan lisan dan tertulis oleh prajuru (pimpinan) banjar atau desa pakraman; (b) arta danda (denda materi) berdasarkan awig-awig yang berlaku. 2. Selama dalam masa kasepekang, yang besangkutan tidak berhak mendapatkan panyanggran (pelayanan/bantuan) seluruh anggota banjar dan desa pakraman yang ditandai dengan tidak 20
21 mendapatkan suaran kulkul, dalam segala aktivitas yang dilakukan di desa pakraman setempat, baik dalam suasana suka (syukuran), kasucian (upacara agama), kalayusekaran (kematian), maupun kapancabayan (tertimpa musibah). 3. Sanksi adat kasepekang berlaku untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) paruman banjar atau paruman desa pakraman yang mengagendakan pembahasan perihal pengenaan sanksi kasepekang tersebut. 4. Apabila dalam masa 3 (tiga) paruman tersebut pihak yang dikenakan sanksi kasepekang tidak memenuhi segala kewajiban yang dibebankan, maka yang bersangkutan dapat diberhentikan (kanorayang) sebagai krama desa, dan tidak berhak menggunakan segala fasilitas milik desa pakraman, kecuali yang bersangkutan kembali menjadi krama desa, setelah memenuhi segala persyaratan sesuai dengan awig-awig yang berlaku. 5. Melarang pengenaan atau penjatuhan sanksi adat kanorayang atau istilah lain yang memiliki arti dan makna yang sama dengan pemberhentian penuh sebagai krama desa (warga desa), secara langsung sebelum tahapan-tahapan sanksi lain yang bersifat pembinaan diterapkan. 6. Desa pakraman yang melaksanakan sanksi adat kanorayang secara langsung, dianggap sebagai desa pakraman bermasalah. Kewajiban Krama Desa yang Kasepekang 21
22 Selama dalam masa kasepekang, pihak yang dikenakan sanksi adat kasepekang berkewajiban mengadakan pendekatan kepada krama banjar dan krama desa yang lainnya melalui prajuru banjar dan atau prajuru desa pakraman secara terus menerus guna mengupayakan penyelesaian permasalahan yang dihadapi. Kewajiban Prajuru Desa Pakraman terkait Sanksi Kasepekang Prajuru banjar dan atau prajuru desa pakraman wajib membina krama desa yang kasepekang agar bisa kembali melaksanakan swadharma sebagai krama desa dan selanjutnya prajuru banjar dan atau prajuru desa pakraman tidak berhak merekomendasikan kepada penyelenggara pemerintahan untuk mengurangi hak-hak administratif krama desa yang kasepekang sebagai warga negara. Hak Krama Desa yang Kasepekang Selama dalam masa kasepekang, pihak yang dikenakan sanksi kasepekang masih berhak untuk hal-hal sebagai berikut. 1. Memanfaatkan setra (kuburan) banjar atau desa pakraman untuk melaksanakan upacara penguburan/pembakaran jenazah atau pitra yadnya tanpa panyanggaran banjar dan atau desa pakraman. 2. Memanfaatkan tempat suci dan fasilitas lain milik banjar atau desa pakraman, seperti halnya krama desa lainnya, dengan sepengetahuan prajuru banjar dan atau desa pakraman. 22
23 3. Memanfaatkan tempat suci untuk tujuan khusus, dilakukan atas seizin prajuru banjar dan atau prajuru desa pakraman dan dituntun oleh pamangku di tempat suci bersangkutan. Sanksi Kasepekang Berakhir Masa kasepekang dianggap selesai sesudah pihak yang dikenakan sanksi memenuhi segala kewajiban yang dibebankan kepadanya dan ngaksamaang raga (meminta maaf) kepada krama banjar dan atau krama desa pakraman melalui prajuru banjar atau prajuru desa pakraman. Krama Desa yang Kanorayang Krama desa kanorayang statusnya sama dengan warga yang bukan krama desa, sehingga tidak berhak menggunakan segala fasilitas banjar dan atau desa pakraman tanpa seizin prajuru banjar dan atau prajuru desa pakraman. Krama desa yang kanorayang dapat kembali menjadi krama desa setelah mengikuti persyaratan untuk menjadi krama desa baru (mawali tedun makrama) sesuai dengan awig-awig desa pakraman bersangkutan. 1.8 Metode Penelitian Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat 23
24 metode ilmiah. Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interrelasi yang sistematis. 17 Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jelas menganalisanya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan. 18 Dalam penulisan skripsi ini metode yang digunakan sebagai berikut: Jenis Penelitian Penelitian hukum ini adalah penelitian yuridis empiris. Yang di maksud dengan penelitian lapangan yang berorientasi pada pengumpulan data empiris di lapangan. Berdasarkan data empiris inilah peneliti melalukan analisis secara mendalam sesuai dengan teori yang relevan dan melakukan simpulan. 19 Jadi peneliti memilih metode penelitian yuridis empiris dikarenakan dalam menyelesaikan penelitian diatas perlu adanya suatu penelitian ke lapangan agar data yang didapatkan lebih akurat dan berdasarkan kenyataan yang hidup di tengah-tengah masyarakat Jenis Pendekatan h Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 18 Ibid, h Masnur Muslich Maryaeni, 2013, Bagaimana Menulis Skripsi, Bumi Aksara, jakarta, h.9. 24
25 Dalam penelitian empiris ada beberapa jenis pendekatan yang dapat dipergunakan, namun dalam penelitian ini jenis pendekatan yang digunakan adalah jenis Pendekatan Kasus (The Case Approach). Pendekatan Kasus (The Case Approach) merupakan jenis pendekatan yang ditujukan langsung pada kasus yang terjadi di lapangan yaitu Upaya Prajuru dalam Penerapan Sanksi Kasepekang di Desa Asak, Karangasem dan juga menggunakan jenis Pendekatan Fakta (The Fact Approach) yaitu dilakukan dengan melihat langsung fakta-fakta yang terjadi di lapangan dalam Upaya Prajuru dalam Penerapan Sanksi Kasepekang di Desa Asak, Karangasem Sifat Penelitian Dalam penulisan ini peneliti menggunakan penelitian Deskriptif, bertujuan menggambarkan, secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Dalam penelitian ini teori-teori, ketentuan peraturan, norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat baik dalam literatur maupun jurnal, doktrin, serta laporan penelitian terdahulu sudah mulai ada dan 25
26 jumlahnya cukup memadai, sehingga dalam penelitian ini hipotesis boleh ada atau boleh juga tidak. 20 Jadi sifat penelitian yang peneliti gunakan adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gejala di lapangan dengan menggunakan teori-teori, ketentuan peraturan, norma-norma hukum, literatur, maupun jurnal Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Bahan data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan baik dari responden maupun informan. Data Sekunder bersumber dari penelitian kepustakaan. 21 Jadi untuk memperkuat sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, pada data primer peneliti melakukan pendekatan masalah terhadap responden maupun informan berdasarkan permasalahan yang terjadi di lapangan. Di samping itu juga pada data sekunder digunakan penelitian kepustakaan. 20 Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h Ibid. 26
27 1.8.5 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah Teknik Wawancara (Interview). Teknik Wawancara (Interview) merupakan salah satu teknik yang paling sering dan yang paling lazim digunakan dalam penelitian hukum empiris. Dalam kegiatan ilmiah, wawancara dilakukan bukan sekedar bertanya kepada seseorang, melainkan dilakukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada responden maupun informan. Agar hasil wawancara nantinya memiliki nilai validitas dan reabilitas, dalam berwawancara peneliti menggunakan alat berupa pedoman wawancara atau Interview Guide. 22 Dalam teknik pengumpulan data, pengambilan data primer yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti (atau petugaspetugasnya) dari sumber pertamanya. Disamping data primer terdapat data sekunder yang seringkali diperlukan oleh peneliti. Data sekunder itu biasanya telah tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen, misalnya data mengenai keadaan demografis suatu daerah, data mengenai produktivitas suatu perguruan tinggi, data mengenai persediaan pangan di suatu daerah, dan sebagainya Ibid h Sumadi Suryabrata, 2004, Metodologi Penelitian, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h
28 Dalam teknik pengumpulan data ini peneliti menggunakan teknik wawancara yang diberikan kepada responden maupun informan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan guna mengetahui permasalahan-permasalahan yang terjadi di lapangan secara jelas Pengolahan dan Analisis Data Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif. Analisis kualitatif diterapkan dalam suatu penelitian yang sifatnya eksploratif dan deskriptif. Dalam hal ini, data yang dikumpulkan adalah data naturalistik yang terdiri atas kata-kata (narasi), data sukar diukur dengan angka, bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus sehingga tidak dapat disusun ke dalam struktur klarifikasi, hubungan antar variabel tidak jelas, sampel bersifat non probabilitas, dan pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan observasi. 24 Data lunak atau data kualitatif adalah data yang dituangkan dengan kata-kata yang biasanya dibuat dalam bentuk catatan lapangan (field notes) yang diperoleh dari study dokumen, wawancara mendalam atau observasi partisipatoris. Data seperti ini diperoleh melalui riset yang menggunakan pendekatan kualitatif Op Cit, h Mohammad Ali dan Muhammad Asrosi, 2014, Metodologi Dan Aplikasi Riset Pendidikan, PT Bumi Aksara, Jakarta, h
29 Wawancara atau interview adalah suatu bentuk komunikasi verbal jadi semacam percakapan yang bertujuan memperoleh informasi. 26 Jadi pada proses analisis ini menggunakan analisis kualitatif yaitu menggumpulkan data naturalistik dengan melakukan wawancara di lapangan. 26 S. Nasution, 2014, Metode Research (Penelitian Ilmiah), Bumi Aksara, Jakarta, h
PENYELESAIAN PERKARA OLEH LEMBAGA ADAT MENGENAI PERKELAHIAN ANTAR SESAMA KRAMA DESA YANG TERJADI DI DESA PAKRAMAN SARASEDA
PENYELESAIAN PERKARA OLEH LEMBAGA ADAT MENGENAI PERKELAHIAN ANTAR SESAMA KRAMA DESA YANG TERJADI DI DESA PAKRAMAN SARASEDA oleh : Ida Bagus Miswadanta Pradaksa Sagung Putri M.E Purwani Bagian Hukum dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia di dunia ini, termasuk di Indonesia. Sejak dilahirkan di dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan
Lebih terperinciKOORDINASI ANTARA DESA DINAS DAN DESA PAKRAMAN DALAM DINAMIKA PENANGANAN TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI BALI
KOORDINASI ANTARA DESA DINAS DAN DESA PAKRAMAN DALAM DINAMIKA PENANGANAN TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI BALI Oleh: A.A Gede Raka Putra Adnyana I Nyoman Bagiastra Bagian Hukum Dan Masyarakat ABSTRACT The
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman akan tradisi dan budayanya. Budaya memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan manusia, di mana
Lebih terperinciPENEGAKAN AWIG-AWIG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI, KECAMATAN BANGLI, KABUPATEN BANGLI
PENEGAKAN AWIG-AWIG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI, KECAMATAN BANGLI, KABUPATEN BANGLI Oleh : Pande Putu Indra Wirajaya I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari I Gusti Ngurah Dharma Laksana
Lebih terperinciRANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,
RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Lembaga Subak sebagai bagian dari budaya Bali merupakan organisasi
Lebih terperinciPENYELESAIAN PERKARA DI LUAR PENGADILAN DI DALAM KONDISI DUALISME PEMERINTAHAN DESA Oleh : Luh Putu Yandi Utami. Wayan P. Windia Ketut Sudantra
PENYELESAIAN PERKARA DI LUAR PENGADILAN DI DALAM KONDISI DUALISME PEMERINTAHAN DESA Oleh : Luh Putu Yandi Utami Wayan P. Windia Ketut Sudantra Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Udayana
Lebih terperinciOLEH Dr. NI NYOMAN SUKERTI, SH.,MH. BAGIAN HUKUM & MASYARAKAT FAKULTAS HUKUM
OM SWASTI ASTU OLEH Dr. NI NYOMAN SUKERTI, SH.,MH. BAGIAN HUKUM & MASYARAKAT FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA BH Primer 1. Norma atau kaedah dasar yakni Pembukaan UUD 1945. 2. Peraturan dasar (BT UUD
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG
PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR
Lebih terperinciKONSEP TRI HITA KARANA DALAM SUBAK
1 KONSEP TRI HITA KARANA DALAM SUBAK oleh Ni Putu Ika Nopitasari Suatra Putrawan Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Tri Hita Karana is a basic concept that have been
Lebih terperinciEKSISTENSI OTONOMI DESA PAKRAMAN PADA MASYARAKAT ADAT DI BALI
EKSISTENSI OTONOMI DESA PAKRAMAN PADA MASYARAKAT ADAT DI BALI Kadek Yudhi Pramana A.A Gede Oka Parwata A.A Istri Ari Atu Dewi Hukun dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstrak Desa Pakraman
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seseorang dilahirkan, maka ia dalam hidupnya akan mengemban hak dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia yang merdeka di dalam wadah Negara Republik Indonesia sudah berumur lebih dari setengah abad, tetapi setua umur tersebut hukum nasional yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk Allah S.W.T yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain, namun manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN,PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN,PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPEMERINTAH PROVINSI PAPUA
PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PAPUA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG PERADILAN ADAT DI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI PAPUA, Menimbang : a. bahwa pemberian Otonomi
Lebih terperinciRINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 122/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 122/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan I. PEMOHON 1. M. Nur bin (Alm) Abdul Razak; 2. AJ. Dahlan; 3. Theresia Yes Kuasa Hukum
Lebih terperinciPUTUSAN Nomor 88/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
PUTUSAN Nomor 88/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. harus terjadi perselisihan atau sengketa dalam proses pembagian harta warisan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembagian harta warisan secara adil sesuai aturan hukum yang berlaku merupakan hal utama dalam proses pewarisan. Keselarasan, kerukunan, dan kedamaian merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
Lebih terperinciOleh: I Nyoman Adi Susila I Ketut Wirta Griadhi A.A. Gde Oka Parwata. Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Udayana
PENYELESAIAN SENGKETA ADAT DI BALI (STUDI KASUS SENGKETA TANAH SETRA ANTARA DESA PAKRAMAN CEKIK DENGAN DESA PAKRAMAN GABLOGAN, KECAMATAN SELEMADEG, KABUPATEN TABANAN) Oleh: I Nyoman Adi Susila I Ketut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap makhluk hidup memerlukan interaksi dan komunikasi satu sama lain, khususnya bagi umat manusia. Interaksi dan komunikasi ini sangat diperlukan karena manusia ditakdirkan
Lebih terperinciPUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA. : Habiburokhman S.H., M.H.
SALINAN PUTUSAN Nomor 19/PUU-XV/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hak Menguasai Dari Negara Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berdasarkan hukum dan demokrasi sehingga
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan hukum dalam mendukung jalannya roda pembangunan maupun dunia usaha memang sangat penting. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya jaminan kepastian hukum.
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. seimbang. Dengan di undangakannya Undang-Undang No. 3 tahun Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari generasi muda yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dilaksanakan sebanyak empat tahapan dalam kurun waktu empat tahun (1999, 2000, 2001, dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa merupakan anugrahnya yang wajib
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yaitu saat di lahirkan dan meninggal dunia, dimana peristiwa tersebut akan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam perjalanan hidupnya mengalami beberapa peristiwa yaitu saat di lahirkan dan meninggal dunia, dimana peristiwa tersebut akan mempunyai akibat hukum.
Lebih terperinciBUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH
BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TIMUR, Menimbang Mengingat : a. bahwa
Lebih terperinci- 1 - MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
- 1 - SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2018 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN LEMBAGA ADAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia setiap hari selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Karena setiap manusia pasti selalu berkeinginan untuk dapat hidup layak dan berkecukupan.
Lebih terperinciPENGARUH UNDANG-UNDANG NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA TERHADAP OTONOMI DESA ADAT DI BALI
PENGARUH UNDANG-UNDANG NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA TERHADAP OTONOMI DESA ADAT DI BALI Oleh : Drs. I Ketut Rindawan, SH., MH ketut.rindawan@gmail.com Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tangganya sendiri. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan bukan Negara Serikat maupun Negara Federal. Suatu bentuk Negara berdaulat yang diselenggarakan sebagai satu kesatuan tunggal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu-membantu untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia mempunyai sifat, watak dan kehendak sendiri-sendiri. Namun di dalam masyarakat manusia mengadakan hubungan satu sama lain, mengadakan kerjasama, tolong
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG
PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk membentuk suatu keluarga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa penting, yaitu lahir, menikah dan meninggal dunia yang kemudian akan menimbulkan akibat hukum tertentu.
Lebih terperinciBUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016
P BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KABUPATEN ENREKANG DENGAN
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciMAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR XVII /MPR/1998
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA -------------- KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR XVII /MPR/1998 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinci*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar hukum dan untuk mewujudkan kehidupan tata negara yang adil bagi
Lebih terperinciJAMINAN TANAH WARIS DI LUAR DESA TENGANAN PEGRINGSINGAN
JAMINAN TANAH WARIS DI LUAR DESA TENGANAN PEGRINGSINGAN Oleh Ni Putu Ayu Yulistyadewi Desak Putu Dewi Kasih I Gst Ayu Putri Kartika Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Traditional
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. luasnya pergaulan internasional atau antar negara adalah adanya praktek
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu dampak akan pesatnya teknologi yang berakibat pada luasnya pergaulan internasional atau antar negara adalah adanya praktek perkawian campuran. Di Indonesia
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL
www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
Lebih terperinciGUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 47 TAHUN 2017 TENTANG
GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 47 TAHUN 2017 TENTANG KODE ETIK APARATUR SIPIL NEGARA DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelanggaran hak asasi manusia
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelanggaran hak asasi
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT
PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 24 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT DALAM WILAYAH
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Agraria berasal dari bahasa latin ager yang berarti tanah dan agrarius
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembukaan Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 alenia IV dijelaskan tujuan negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 24/PUU-XII/2014 Pengumuman Hasil Penghitungan Cepat
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 24/PUU-XII/2014 Pengumuman Hasil Penghitungan Cepat I. PEMOHON 1. PT. Indikator Politik Indonesia, diwakili oleh Burhanuddin, selaku Direktur Utama, sebagai Pemohon I;
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam terdiri dari puncak-puncak kebudayaan daerah dan setiap kebudayaan daerah mempunyai ciri-ciri khas masing-masing. Walaupun
Lebih terperinciGUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,
GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Lembaga Perkreditan Desa diperlukan
Lebih terperinciRingkasan Putusan.
Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 tanggal 25 Maret 2010 atas Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, dengan hormat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara hukum (rechtsstaat)
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana tertuang di dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara hukum (rechtsstaat)
Lebih terperinciGUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
1 GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN, Menimbang : a.
Lebih terperinciBUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA
BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Meninbang : a. bahwa Negara mengakui
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang
Lebih terperinci2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P
No.29, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Lebih terperincib. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum sebagaimana termuat dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD RI 1945).
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, yang merata,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kerangka Teoritis 2.1.1 Pemerintahan Daerah Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa, Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diusahakan atau digunakan untuk pemenuhan kebutuhan yang nyata. perlindungan hukum bagi rakyat banyak.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia, merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa sepanjang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan dapat merubah status kehidupan manusia dari belum dewasa menjadi dewasa atau anak muda
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 116/PUU-XIII/2015 Jangka Waktu Pengajuan Gugatan Atas Pemutusan Hubungan Kerja
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 116/PUU-XIII/2015 Jangka Waktu Pengajuan Gugatan Atas Pemutusan Hubungan Kerja I. PEMOHON - Edwin Hartana Hutabarat ---------------------------- selanjutnya disebut Pemohon.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup terpisah dari kelompok manusia lainnya. Dalam menjalankan kehidupannya setiap manusia membutuhkan
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat
BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat Penyebutan masyarakat dapat ditemukan dalam berbagai peraturan. Masyarakat yang dimaksud tersebut bukan berarti menunjuk pada kerumunan
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciDEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN DELI SERDANG
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN DELI SERDANG Jl. Negara Medan-L.Pakam No.3 Telp. 7951704 Lubuk Pakam-20514 PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN DELI SERDANG NOMOR : TAHUN 2010 TENTANG
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. umum. Diantaranya pembangunan Kantor Pemerintah, jalan umum, tempat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan Negara Republik Indonesia adalah untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Lebih terperinciKekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana
1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian
Lebih terperinciTitle? Author Riendra Primadina. Details [emo:10] apa ya yang di maksud dengan nilai instrumental? [emo:4] Modified Tue, 09 Nov :10:06 GMT
Title? Author Riendra Primadina Details [emo:10] apa ya yang di maksud dengan nilai instrumental? [emo:4] Modified Tue, 09 Nov 2010 14:10:06 GMT Author Comment Hafizhan Lutfan Ali Comments Jawaban nya...
Lebih terperinciPERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
BAB 9 KESIMPULAN Dari apa yang telah diuraikan dan dibahas pada bab-bab sebelumnya, tergambarkan bahwa perdesaan di Tabola pada khususnya dan di Bali pada umumnya, adalah perdesaan yang berkembang dinamis.
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 111 CONCERNING DISCRIMINATION IN RESPECT OF EMPLOYMENT AND OCCUPATION (KONVENSI ILO MENGENAI DISKRIMINASI DALAM
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. oleh hukum adatnya masing-masing. Negara telah mengakui hak-hak adat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki masyarakat majemuk. Kemajemukan masyarakat di negara Indonesia terdiri dari berbagai etnis, suku, adat dan budaya.
Lebih terperinciSENGKETA TANAH SETRA DAN PENYELESAIANNYA (STUDI KASUS SENGKETA BANJAR ADAT AMBENGAN DENGAN BANJAR ADAT SEMANA UBUD KABUPATEN GIANYAR)
SENGKETA TANAH SETRA DAN PENYELESAIANNYA (STUDI KASUS SENGKETA BANJAR ADAT AMBENGAN DENGAN BANJAR ADAT SEMANA UBUD KABUPATEN GIANYAR) oleh I Gusti Ayu Sri Haryanti Dewi Witari I Ketut Wirta Griadhi A.A
Lebih terperinciNOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang secara tegas dinyatakan pada Pasal
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum yang secara tegas dinyatakan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi Negara Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berbagai usaha yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia guna meningkatkan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia ialah negara yang saat ini memiliki perkembangan perekonomian yang pesat, hampir setiap bidang kehidupan di Indonesia selalu mengalami perkembangan,
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN MELAKUKAN KEGIATAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BAGI PERGURUAN TINGGI ASING, LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. kualitatif penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
82 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan dan dipadukan dengan data yang diperoleh dari kepustakaan, kemudian dianalisis dengan cara kualitatif penulis dapat mengambil
Lebih terperinciRINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali I. PEMOHON Abd. Rahman C. DG Tompo Kuasa Hukum DR. Saharuddin Daming. SH.MH., berdasarkan surat kuasa khusus
Lebih terperinci