DISSERTATION TE

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DISSERTATION TE"

Transkripsi

1 DISERTASI TE OPTIMISASI PENGATURAN KOMPENSASI DAYA REAKTIF PADA SISTEM TENAGA LISTRIK MENGGUNAKAN MULTI TIPE FACTS DEVICES BERBASIS IMPROVED GRAVITATIONAL SEARCH ALGORITHM PURWOHARJONO DOSEN PEMBIMBING Prof. Ir. Ontoseno Penangsang, M.Sc, Ph.D. Prof. Dr. Ir. Adi Soeprijanto, M.T. PROGRAM DOKTOR JURUSAN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2014

2 DISSERTATION TE OPTIMIZATION OF REACTIVE POWER COMPENSATION CONTROL ON ELECTRICAL POWER SYSTEM USING IMPROVED GRAVITATIONAL SEARCH ALGORITHM BASED MULTI TYPE FACTS DEVICE PURWOHARJONO PROMOTORS: Prof. Ir. Ontoseno Penangsang, M.Sc, Ph.D. Prof. Dr. Ir. Adi Soeprijanto, M.T. DOCTORAL PROGRAM DEPARTMENT OF ELECTRICAL ENGINEERING FACULTY OF INDUSTRIAL TECHNOLOGY INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2014

3

4 OPTIMISASI PENGATURAN KOMPENSASI DAYA REAKTIF PADA SISTEM TENAGA LISTRIK MENGGUNAKAN MULTI TIPE FACTS DEVICES BERBASIS IMPROVED GRAVITATIONAL SEARCH ALGORITHM Nama : Purwoharjono NRP : Pembimbing-1 : Prof. Ir. Ontoseno Penangsang, M.Sc., Ph.D. Pembimbing-2 : Prof. Dr. Ir. Adi Soeprijanto, M.T. ABSTRAK Semakin meningkatnya biaya yang diperlukan untuk membangun saluran transmisi, pusat pembangkit baru dan meningkatnya kebutuhan penggunaan barang-barang elektronika daya merupakan alasan penggunaan FACTS device. FACTS (Flexible AC Transmission System) device merupakan peralatan yang dapat digunakan untuk mengatur dan meningkatkan aliran daya serta kestabilan pada sistem tenaga listrik. Penggunaan FACTS device ini dapat digunakan secara luas pada sistem tenaga listrik, sehingga menjadi lebih fleksibel terhadap pembangkitan dan beban yang bervariasi. Penelitian ini mengembangkan metode berbasis kecerdasan buatan untuk mengatur kompensasi daya reaktif menggunakan multi tipe FACTS device. Metode yang diperbaiki dalam penelitian ini adalah metode GSA. Metode GSA merupakan metode metaheuristik baru yang terinspirasi oleh hukum Newton tentang gravitasi dan gerak massa. Perbaikan metode GSA ini menggunakan LDIW (Linear Decrasing Inertia Weight), FL (Fuzzy Logic) dan IT2FLS (Interval Type 2 Fuzzy Logic System). Perbaikan metode GSA ini dilakukan dengan cara menyesuaikan bobot inersia, yang dapat digunakan untuk mengatur kecepatan partikel pada metode GSA, sehingga dapat meningkatkan performansi metode GSA. Perbaikan metode GSA ini dinamakan Improved GSA (IGSA). Jenis FACTS device yang akan digunakan pada penelitian ini, meliputi: TCSC (Thyristor Controlled Series Capasitor), SVC (Static Var Compensator) dan TCPST (Thyristor Controlled Phase Shifting Transformer). Hasil dari IGSA ini disimulasikan pada multi tipe FACTS devices dan di bagi dalam 5 (lima) model simulasi, yaitu: 1). Simulasi aliran daya sebelum pemasangan FACTS device, 2). Simulasi aliran daya setelah pemasangan TCSC, 3). Simulasi aliran daya setelah pemasangan SVC, 4). Simulasi aliran daya setelah pemasangan TCPST dan 5). Simulasi aliran daya setelah pemasangan SVC- TCSC-TCPST. Simulasi dilanjutkan dengan melakukan uji kestabilan tegangan pada setiap bus yang meliputi uji kestabilan tegangan sebelum pemasangan FACTS device dan uji kestabilan tegangan setelah pemasangan FACTS device. Hasil akhir simulasi penelitian ini dapat bermanfaat untuk meminimalkan rugirugi daya pada saluran transmisi, memperbaiki deviasi tegangan dan meminimalkan investasi biaya FACTS device, serta bermanfaat untuk meningkatkan kestabilan tegangan pada sistem tenaga listrik. Kata kunci: FACTS device, SVC, TCSC, TCPST, GSA, IGSA. v

5 OPTIMIZATION OF REACTIVE POWER COMPENSATION CONTROL ON ELECTRICAL POWER SYSTEM USING IMPROVED GRAVITATIONAL SEARCH ALGORITHM BASED MULTI TYPE FACTS DEVICE Name : Purwoharjono NRP : Supervisor-1 : Prof. Ir. Ontoseno Penangsang, M.Sc., Ph.D. Supervisor -2 : Prof. Dr. Ir. Adi Soeprijanto, M.T. ABSTRACT One of the reasons to use FACTS device is the increasing costs required to build a transmission line, the new power plant and the growing need for the use of power electronics goods. FACTS device is an equipment used to regulate and improve power flow and stability in power system. FACTS device can be widely used in the electric power system so that it becomes more flexible on varying generation and load. This study developed a method of artificial intelligence to manage reactive power compensation using a multi type FACTS device. The method used in this study was the method of improved GSA. GSA method is a new metaheuristic method inspired by Newton's laws of gravity and mass motion. Improved GSA uses LDIW (Linear Decrasing Inertia Weight), FL (Fuzzy Logic) and IT2FLS (Interval Type 2 Fuzzy Logic System). This GSA that is improved is used to adjust inertia weight used to control the speed of the particles on the GSA and it is applied to postional change mutation of a new agent so as to improve the performance of the GSA method. This new GSA method is called Improved GSA (IGSA). Types of FACTS device used in this study were TCSC (Thyristor Controlled Series Capacitor), SVC (Static Var Compensator) and TCPST (Thyristor Controlled Phase Shifting Transformer). The results of the IGSA were simulated on multi-type FACTS devices and divided in 5 simulation model namely 1). Power flow simulation before installation of FACTS device, 2). Power flow simulation after installation of TCSC, 3). Power flow simulation after installation of SVC, 4). Power flow simulation after installation TCPST and 5). Power flow simulation after installation of the SVC-TCSC-TCPST. After the simulation of the results of this IGSA was performed, it was then proceeded with voltage stability test on each bus that includes voltage stability test before and after installation FACTS device. Final result of this research simulation can be useful to minimize power loss in the transmission line, repair the voltage deviation and minimize FACTS device cost investment as well as beneficial to improve the voltage stability of the power system. Keywords: FACTS device, SVC, TCSC, TCPST, GSA, IGSA. vii

6 KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta inayah-nya kepada penulis, sehingga penulisan disertasi ini telah diselesaikan. Penyusunan disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pascasarjana Teknik Elektro, Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Dalam penyelesaian disertasi ini penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya atas segala bimbingan, bantuan serta dukungannya kepada: 1. Bapak Prof. Ir. Ontoseno Penangsang, M.Sc., Ph.D., dan Bapak Prof. Dr. Ir. Adi Soeprijanto, M.T., selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan, motivasi, koreksi kepada penulis mulai dari penyusunan proposal sampai penyelesaian disertasi ini dan kemudahan yang diberikan dalam penggunaan faslitas laboratorium selama penulis menempuh pendidikan di program Pascasarjana ITS Surabaya. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Nadjamuddin Harun, M.S., Bapak Dr. I Made Yulistya Negara, S.T., M.Sc., dan Bapak Dr. Rony Seto Wibowo, S.T., M.T., selaku penguji yang telah banyak memberikan masukan yang membangun untuk kelengkapan isi disertasi ini. 3. Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas bantuan dana Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN). 4. Bapak Rektor Universitas Tanjungpura (UNTAN) Pontianak Kalimantan Barat yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan studi Program Doktor di Jurusan Teknik Elektro ITS Surabaya. 5. Bapak Prof. Dr. Ir. Adi Soeprijanto, M.T., selaku Direktur Pascasarjana ITS Surabaya. 6. Bapak Dr. Tri Arief Sardjono, S.T., M.T., selaku Ketua Jurusan Teknik Elektro ITS Surabaya. ix

7 7. Bapak Ir. Djoko Purwanto, M.Eng, Ph.D., selaku Ka Program Studi Pascasarjana ITS Surabaya. 8. Seluruh dosen dan staf di Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri ITS Surabaya yang telah memberikan bimbingan dan ilmunya kepada penulis. 9. Istri tercinta Nurhayati, S.T., M.T., ananda Sartika Ananta Hanun dan ananda Mutiara Faridah Aini yang senantiasa dengan penuh keikhlasan dan kesabaran memberikan doa restu, semangat dan dukungan selama penulis menempuh pendidikan di Program Pascasarjana ITS Surabaya. 10. Almarhum Ayahanda H. Muhammad Ngatijo dan Ibunda Hj. Sajiah Saripah, serta kedua adik saya Susi Dwi Hartati, S.P., dan Nengsi Triwidayati, Amd., Keb., yang senantiasa dengan penuh keikhlasan dan kesabaran memberikan doa restu, semangat dan dukungan selama penulis menempuh pendidikan di Program Pascasarjana ITS Surabaya. 11. Teman seperjuangan yang telah saling bekerjasama dalam menjalani suka dan duka, Indar Chaerah Gunadin, (UNHAS Makasar), Mardlijah (ITS Surabaya), Ni Ketut Aryani (ITS Surabaya), Irrine Budi Sulistiawati (UNN Malang), Ida Bagus Gede Manuaba (UDAYANA Bali), dan Muhammad Abdillah (ITS Surabaya). 12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang banyak memberikan dukungan selama penulisan disertasi ini. Dalam proses penulisan disertasi ini penulis telah berusaha maksimal untuk dapat menghasilkan karya tulis yang baik, namun penulis sangat menyadari bahwa disertasi ini masih banyak terdapat kekurangan. Penulis berharap semoga disertasi ini dapat berguna untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan bagi para pembaca. Surabaya, April 2014 Penulis x

8 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN DISERTASI... ii PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI... iii ABSTRAK... v ABSTRACT... vii KATA PENGANTAR... ix DAFTAR ISI... xi DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR TABEL... xxiii DAFTAR PUBLIKASI... xxix DAFTAR SINGKATAN... xxxi DAFTAR SIMBOL... xxxiii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian Batasan Penelitian Kontribusi Penelitian Sistematika Penulisan... 6 Bab II STUDI PUSTAKA DAN DASAR TEORI Representasi Sistem Tenaga Listrik Diagram Impedansi Sistem per-unit (pu) Klasifikasi Bus Pembentukan Matrik Admitansi Bus Pembentukan Persamaan Aliran Daya xi

9 2.7. Persamaan Aliran Daya Metode Newton Rapshon Algoritma dan Diagram Alir Penyelesaian Aliran Daya Metode Newton Raphson Kompensasi Daya Reaktif FACTS Device Gravitational Search Algorithm (GSA) Interval Type 2 Fuzzy Logic System (IT2FLS) Kestabilan Tegangan Pada Sistem Tenaga Listrik Bab III METODOLOGI PENELITIAN Studi Literatur Pengumpulan Jurnal Pengumpulan Proseding Pengumpulan Buku Teks Lokasi Penelitian dan Pengambilan Data Fungsi Objektif Kendala Operasional Metodologi yang diusulkan Simulasi FACTS Device Pengujian Model Sistem Bab IV SIMULASI DAN PEMBAHASAN Sistem Kelistrikan Jawa-Bali 500 KV Data Pembangkitan, Saluran dan Fungsi Biaya Hasil Simulasi Aliran Daya Sebelum Pemasangan FACTS Device Hasil Simulasi Aliran Daya Setelah Pemasangan FACTS Device Hasil Perbandingan Simulasi Aliran Daya Sebelum dan Setelah Pemasangan TCSC Hasil Perbandingan Simulasi Aliran Daya Sebelum dan Setelah Pemasangan SVC xii

10 4.7. Hasil Perbandingan Simulasi Aliran Daya Sebelum dan Setelah Pemasangan TCPST Hasil Perbandingan Simulasi Aliran Daya Sebelum dan Setelah Pemasangan SVC-TCSC-TCPST Analisa Hasil Simulasi menggunakan Statistik Bab V PENUTUP Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR PUBLIKASI DAFTAR RIWAYAT HIDUP xiii

11 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1. Generator Singkron... 9 Gambar 2.2.a. Saluran transmisi nominal- π Gambar 2.2.b. Saluran transmisi nominal-t Gambar 2.3.a. Representasi trafo dengan faktor transformasi yang berubah Gambar 2.3.b. Rangkaian ekivalen nominal- π Gambar 2.4. Diagram satu garis dari suatu sistem 2-bus Gambar 2.5. Diagram impedansi dari sistem 2-bus Gambar 2.6. Sistem 3-bus Gambar 2.7. Diagram alir untuk penyelesaian aliran daya dengan metode Newton-Raphson Gambar 2.8. Model SVC Gambar 2.9. Model TCSC hubungan reaktansi seri Gambar Diagram ekivalen TCPST Gambar Diagram phasor TCPST Gambar Model Injeksi TCPST Gambar Flowchart GSA Gambar Sistem logika fuzzy bertipe Gambar Operasi meet pada himpunan fuzzy bertipe 2 interval, (a) himpunan fuzzy A dan B, (b) A B Gambar Operasi join pada himpunan fuzzy bertipe 2 interval, (a) himpunan fuzzy A dan B, (b) A B Gambar Fungsi keanggotaan interval tipe 2, garis tebal adalah upper MF, sedangkan garis tipis adalah lower MF Gambar Operasi meet pada SLF bertipe2 interval menggunakan minimum dan produk untuk singleton bertipe Gambar Operasi meet pada SLF bertipe2 interval menggunakan minimum dan produk untuk nonsingleton bertipe xv

12 Gambar Operasi meet pada SLF bertipe2 interval menggunakan minimum dan produk untuk nonsingleton bertipe Gambar 3.1. Diagram alir kegiatan penelitian Gambar 3.2. Fungsi biaya FACTS devices: SVC, TCSC dan UPFC Gambar 3.3. Konfigurasi individu pada FACTS devices Gambar 3.4. Perhitungan seluruh populasi Gambar 3.5. Fungsi keangotaan input FL (Best Fitnes) Gambar 3.6. Fungsi keangotaan output FL (Inertia Weight) Gambar 3.7. Fungsi keangotaan input IT2FLS (Best Fitnes) Gambar 3.8. Fungsi keangotaan output IT2FLS (Inertia Weight) Gambar 3.9. Flowchart IGSA Gambar Flowchart kestabilan menggunakan modal anaysis Gambar 4.1. Single line diagram sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv Gambar 4.2. Profile tegangan sebelum pemasangan FACTS device Gambar 4.3. Perbandingan Rugi-rugi daya pada saluran transmisi sebelum pemasangan FACTS device Gambar 4.4. Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban sebelum pemasangan FACTS device Gambar 4.5. Karakteristik konvergensi setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA Gambar 4.6. Perbandingan profile tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA Gambar 4.7. Perbandingan rugi- rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA Gambar 4.8. Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA Gambar 4.9. Karakteristik konvergensi setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA Gambar Perbandingan profile tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA xvi

13 Gambar Perbandingan rugi- rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA Gambar Perbandingan profile tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA Gambar Perbandingan rugi- rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA Gambar Perbandingan profile tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA Gambar Perbandingan rugi- rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA.. 97 Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan SVC menggunakan GSA Gambar Perbandingan profile tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan SVC menggunakan GSA Gambar Perbandingan rugi- rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan SVC menggunakan GSA Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC menggunakan GSA Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA xvii

14 Gambar Perbandingan profile tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA Gambar Perbandingan rugi- rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA Gambar Perbandingan profile tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA Gambar Perbandingan rugi- rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA Gambar Perbandingan profile tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA Gambar Perbandingan rugi- rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA Gambar Perbandingan profile tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA Gambar Perbandingan rugi- rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA xviii

15 Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA Gambar Perbandingan profile tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA Gambar Perbandingan rugi- rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA Gambar Perbandingan profile tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA Gambar Perbandingan rugi- rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA Gambar Perbandingan profile tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA Gambar Perbandingan rugi- rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA Gambar Perbandingan profile tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA xix

16 Gambar Perbandingan rugi- rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA Gambar Perbandingan profile tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA Gambar Perbandingan rugi- rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA Gambar Perbandingan profile tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA Gambar Perbandingan rugi- rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA Gambar Perbandingan profile tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA Gambar Perbandingan rugi- rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA xx

17 Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA Gambar Perbandingan profile tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan TCSC Gambar Perbandingan total rugi-rugi daya aktif sebelum dan setelah pemasangan TCSC Gambar Perbandingan kestabilan tegangan pada setiap bus berdasarkan nilai eigenvalue sebelum dan setelah pemasangan TCSC Gambar Perbandingan kestabilan tegangan pada setiap bus berdasarkan nilai partisipasi faktor sebelum dan setelah pemasangan TCSC Gambar Perbandingan profile tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan SVC Gambar Perbandingan total rugi-rugi daya aktif sebelum dan setelah pemasangan SVC Gambar Perbandingan kestabilan tegangan pada setiap bus berdasarkan nilai eigenvalue sebelum dan setelah pemasangan SVC Gambar Perbandingan kestabilan tegangan pada setiap bus berdasarkan nilai partisipasi faktor sebelum dan setelah pemasangan SVC Gambar Perbandingan profile tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan TCPST Gambar Perbandingan total rugi-rugi daya aktif sebelum dan setelah pemasangan TCPST Gambar Perbandingan kestabilan tegangan pada setiap bus berdasarkan nilai eigenvalue sebelum dan setelah pemasangan TCPST Gambar Perbandingan kestabilan tegangan pada setiap bus berdasarkan nilai partisipasi faktor sebelum dan setelah pemasangan TCPST Gambar Perbandingan profile tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST Gambar Perbandingan total rugi-rugi daya aktif sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST xxi

18 Gambar Perbandingan kestabilan tegangan pada setiap bus berdasarkan nilai eigenvalue sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST Gambar Perbandingan kestabilan tegangan pada setiap bus berdasarkan nilai partisipasi faktor sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST xxii

19 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 3.1. Aturan bobot inersia menggunakan FL Tabel 3.2. Aturan bobot inersia menggunakan IT2FLS Tabel 4.1. Data beban dan pembangkitan pada sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 KV Tabel 4.2. Data saluran pada sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv Tabel 4.3. Nilai eigenvalue (λ) sebelum pemasangan FACTS device Tabel 4.4. Nilai partisipasi faktor masing-masing bus beban sebelum pemasangan FACTS device Tabel 4.5. Lokasi dan rating setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA Tabel 4.6. Fungsi objektif setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA Tabel 4.7. Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA Tabel 4.8. Nilai partisipasi faktor masing-masing bus beban setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA Tabel 4.9. Lokasi dan rating setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA Tabel Nilai partisipasi faktor masing-masing bus beban setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA Tabel Nilai partisipasi faktor masing-masing bus beban setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA xxiii

20 Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA Tabel Nilai partisipasi faktor masing-masing bus beban setelah Pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan SVC menggunakan GSA Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan SVC menggunakan GSA Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan SVC menggunakan GSA Tabel Nilai partisipasi faktor masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC menggunakan GSA Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA Tabel Nilai partisipasi faktor masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA Tabel Nilai partisipasi faktor masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA xxiv

21 Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA Tabel Nilai partisipasi faktor masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA Tabel Nilai partisipasi faktor masing-masing bus beban setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA. 129 Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA Tabel Nilai partisipasi faktor masing-masing bus beban setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA Tabel Nilai partisipasi faktor masing-masing bus beban setelah Pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan TCPST m enggunakan IT2FLS-GSA Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA xxv

22 Tabel Nilai partisipasi faktor masing-masing bus beban setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan TCSC-SVC-TCPST menggunakan GSA Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan TCSC-SVC-TCPST menggunakan GSA Tabel Nilai partisipasi faktor masing-masing bus beban setelah pemasangan TCSC-SVC-TCPST menggunakan GSA Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA Tabel Nilai partisipasi faktor masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA Tabel Nilai partisipasi faktor masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA xxvi

23 Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA Tabel Nilai partisipasi faktor masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA Tabel Perbandingan fungsi objektif setelah pemasangan TCSC Tabel Perbandingan fungsi objektif setelah pemasangan SVC Tabel Perbandingan fungsi objektif setelah pemasangan TCPST Tabel Perbandingan fungsi objektif setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST Tabel Analisa Statistik hasil simulasi fungsi fitnes xxvii

24 DAFTAR PUBLIKASI Jurnal Internasional 1. Purwoharjono, Muhammad Abdillah, Ontoseno Penangsang, Adi Soeprijanto, Voltage Profile and Loss Assessment of a Power System Using SVC Optimized Based on Improved Gravitational Search Algorithm, International Review of Electrical Engineering (IREE), V. 8 N. 1, February 2013, pp: , E-ISSN / ISSN , (Terindeks Scopus). 2. Purwoharjono, Muhammad Abdillah, Ontoseno Penangsang, Adi Soeprijanto, Optimal Placement of TCSC Using Linear Decreasing Inertia Weight Gravitational Search Algorithm, Journal of Theoretical and Applied Information Technology, Volume. 47. No.2, pp: , January 2013, E-ISSN / ISSN , (Terindeks Scopus). Jurnal Nasional Terakreditasi 1. Purwoharjono, Muhammad Abdillah, Ontoseno Penangsang, Adi Soeprijanto, Optimal Placement and Sizing of Thyristor-Controlled-Series-Capacitor using Gravitational Search Algorithm, Indonesian Journal of Electrical Engineering, TELKOMNIKA, Desember 2012, Vol. 10 No. 4, pp , ISSN , Published by Ahmad Dahlan University, Indonesia, (Akreditasi A dan Terindeks Scopus). Seminar Internasional 1. Purwoharjono, Muhammad Abdillah, Ontoseno Penangsang, Adi Soeprijanto, Voltage Control on 500kV Java-Bali Electrical Power System for Power Losses Minimization Using Gravitational Search Algorithm First International conference on informatics and computational intelligence, Proceedings in IEEE online digital library CSDL and I-Xplore, Desember 2011, Bandung, Indonesia. xxix

25 2. Purwoharjono, Muhammad Abdillah, Ontoseno Penangsang, Adi Soeprijanto,, Optimal Design of TCPST Using Gravitational Search Algorithm Second International conference on intelligence system and informatics (ISI 2012), Proceedings in IEEE online digital library CSDL and I-Xplore November 2012, Bandung, Indonesia. Penelitian 1. Purwoharjono, Optimisasi Penentuan Lokasi dan Kapasis FACTS Devices Pada Sistem Tenaga Listrik Menggunakan Improved Gravitational Search Algorithm, Penelitian Hibah Disertasi Doktor, Ketua, dibiayai Ditjen Dikti Kementerian dan Kebudayaan, melalui DIPA Universitas Tanjungpura : DIPA /2013, tanggal 1 Mei 2013, Sesuai dengan SPK Nomor 6247/UN22.13/LK/2013 tanggal 10 Mei xxx

26 DAFTAR SINGKATAN FACTS GSA IGSA FL IT2FLS TCSC SVC TCPST STATCOM UPFC TCPS SSSC IPFC AI NN ACO BC DE GA PSO HAS ED UMF LMF SLF MF FOU STL : Flexible AC Transmission System : Gravitational Search Algorithm : Improved Gravitational Search Algorithm : Fuzzy Logic : Interval Type 2 Fuzzy Logic System : Thyristor Controlled Series Capasitor : Static Var Compensator : Thyristor Controlled Phase Shifting Transformer : Static Compensator : Unified Power Flow Controller : Thyristor Controlled Phase Sheifter : Static Synchronous Series compensator : Interline Power Flow Controller : Artificial Intelligence : Neural Network : Ant Colony Optimization : Bee Colony : Differential Evolution : Genetic Algorithm : Particle Swarm Optimization : Harmony Search Algorithm : Economic Dispatch : Upper Membership Function : Lower Membership Function : System Logic Fuzzy : Membership Function : Footprint of uncertainty : Sistem Tenaga Listrik xxxi

27 DAFTAR SIMBOL I : Nilai satuan arus (p.u.) pu I I d P Q V : Arus yang mengalir pada sistem (A) : Arus dasar yang digunakan (A) : Daya aktif (MW) : Daya reaktif (MVar) : Besar Tegangan (Volt) δ : Sudut Phasa ( ) y p : Admitansi shunt total pada bus p. y p V p : Arus shunt yang mengalir dari bus p ke tanah. y pq : Admitansi saluran p ke q. y pq ' : Admitansi shunt saluran p q. V p ' pq y 2 Vk dan V m : Kontribusi arus pada bus p oleh arus shunt. : Tegangan pada bus k dan m X : Reaktansi pada saluran km θ : km Sudut antara Vk dan V m (V adalah phasor) Q : Injeksi daya reaktif pada SVC SVC B : Subceptansi SVC SVC X saluran rtcsc X s : Reaktansi saluran transmisi : Koefisien yang mewakili tingkat kompensasi TCSC : Reaktansi efektif dilihat dari sisi jaringan transformator seri X seri : Reaktansi pada transformator seri X paralel : Reaktansi pada transformator shunt γ : Sudut yang dapat diatur oleh TCPST xxxiii

28 P si Q si P sj Q sj : Injeksi daya aktif pada sisi kirim (MW) : Injeksi daya reaktif pada sisi kirim (MVar) : Injeksi daya aktif pada sisi terima (MW) : Injeksi daya reaktif pada sisi terima (MVar) x d i : Posisi pada agen ke-i dalam dimensi d. fit j (t) : Fitness pada agen ke-j pada waktu t. best () t : Fitness semua agen yang terbaik worst () t : Fitness semua agen yang terburuk G () t : Konstanta gravitasi G 0 : Nilai awal dari konstanta gravitasi yang dipilih secara acak α t T : Konstan : Jumlah iterasi : Jumlah iterasi total mg i (t) : Massa inersia dari agen i pada waktu t. fit i () t : Fitness pada agen i pada waktu t. (t) Mg i F d i () t : Massa gravitasi dari agen i pada waktu t. : Gaya total yang bekerja pada agen i rand : Nomor acak antara interval [0,1] j kbest R ij () t : Himpunan awal agen K dengan nilai fitness terbaik dan massa terbesar : Jarak Euclidian antara agen i dan j agen ε a d i v d i (t) (t) : Konstanta kecil : Percepatan dari agen i pada waktu t dalam dimensi ke d : Kecepatan dari agen i pada waktu t dalam dimensi ke d x d (t) : Posisi dari agen i dalam dimesnsi d i ω max : Nilai maksimum xxxiv

29 ω min k max k b R I l V i δ i Y ij ϕ ij L v : Nilai minimum : Iterasi maksimum : Iterasi : Jumlah saluran : Resistansi pada saluran l : Arus yang melalui saluran l : Besarnya tegangan pada simpul i : Sudut pada simpul i : Admitansi saluran : Sudut dari admitansi saluran : Tegangan deviasi dari masing-masing bus n V iref : Jumlah bus : Tegangan referensi pada bus i V i : Tegangan nyata pada bus i. c 2 P G α 0 : Fungsi biaya pembangkit : Output dari generator (MW) : Konstanta koefisien (US $/h) α : Konstanta koefisien (US $/MW h) 1 α : Konstanta koefisien (US $/MW 2 h) 2 C 1TCSC C 1SVC s : Fungsi biaya instalasi TCSC dalam US $ / kvar : Fungsi biaya instalasi SVC dalam US $ / kvar : Rentang operasi dari FACTS devices dalam MVar. C : Fungsi biaya instalasi TCPST dalam US $ / kvar TCPST d IC P max : Konstanta positif yang menyatakan biaya kapital : Biaya instalasi dari TCPST : Batas termal dari saluran transmisi di mana TCPST di instal. c 1 ( f ) : Total biaya investasi FACTS devices c Total : Fungsi biaya objektif keseluruhan nb : Jumlah bus xxxv

30 P G dan P D dan G ij dan Q G Q D B ij α, β dan η : Daya aktif dan daya reaktif dari generator : Daya aktif dan reaktif dari beban : Konduktansi bersama dan susceptansi antara bus i dan bus j : Koefisien fungsi objektif ΔLoss base : Total rugi-rugi daya aktif pada saluran transmisi V base : Total penyimpangan tegangan C : Investasi biaya maksimal max ξ, ζ dan v : Faktor pinalty f (x) J R Φ : Fungsi fitness : Matriks Jacobian Reduksi dari system : Matrik eigenvector kanan pada J R Γ : Matrik eigenvector kiri pada J R A λ i : Matrik diagonal eigenvalue pada J R : Eigenvalue ke i th n : Jumlah FACTS devices yang ditempatkan FACTS n : Jenis FACTS devices Type n : Lokasi yang memungkinkan untuk FACTS devices Location n : Jumlah individu dari populasi Ind xxxvi

31 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permintaan tenaga listrik yang terus meningkat dan penggunaan kebutuhan peralatan elektronika daya yang semakin cepat ini, menyebabkan kebutuhan daya aktif dan daya reaktif juga meningkat. Peningkatan kebutuhan daya reaktif pada saluran transmisi ini menyebabkan meningkatnya rugi-rugi daya pada saluran transmisi dan meningkatnya jatuh tegangan listrik, sehingga dibutuhkan suatu perangkat alat yang dapat mengontrol sekaligus mampu mengkompensasi rugirugi daya pada saluran transmisi tenaga listrik. Salah satu perangkat alat yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah FACTS (Flexible AC Transmission System) device. FACTS device dapat mengatur parameter dan variabel yang terdapat pada saluran transmisi, seperti: impedansi saluran, tegangan terminal, dan sudut tegangan dengan cara yang cepat dan efektif. FACTS device mempunyai kemampuan untuk menjadikan suatu sistem tenaga listrik dapat beroperasi dengan cara yang lebih fleksibel, aman dan ekonomis [1-3]. FACTS device ini pertama kali diperkenalkan oleh Hingorani pada tahun 1998, berbagai macam penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan penerapan FACTS device untuk daerah yang berbeda pada studi sistem tenaga termasuk aliran daya optimal, economic dispatch, stabilitas tegangan, stabilitas daya, keamanan daya sistem, dan kualitas daya [4-7]. Para ahli tersebut sudah melakukan penerapan berbagai jenis FACTS device, diantaranya adalah sebagai berikut: SVC (Static Var Compensator), TCSC (Thyristor Controlled Series Capasitor), TCPST (Thyristor Controlled Phase Shifting Transformer), STATCOM (Static Compensator), UPFC (Unified Power Flow Controller), TCPS (Thyristor Controlled Phase Sheifter), SSSC (Static Synchronous Series compensator) dan IPFC (Interline Power Flow Controller) Diantara beberapa jenis FACTS device tersebut, jenis FACTS device yang akan digunakan pada penelitian ini, meliputi: TCSC (Thyristor Controlled Series 1

32 2 Capasitor), SVC (Static Var Compensator) dan TCPST (Thyristor Controlled Phase Shifting Transformer) [8-12]. Metode yang digunakan oleh para ahli untuk menerapkan FACTS device tersebut, meliputi: metode konvensional, seperti: metode Newton Rapshon dan lain-lain dan metode berbasis Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Metode kecerdasan buatan yang paling populer digunakan dan telah banyak diterapkan oleh para ahli, meliputi: Neural Network (NN) [13], Ant Colony Optimization (ACO) [14], Bee Colony [15-17], Differential Evolution (DE) [18], Genetic Algorithm (GA) [19-27], Particle Swarm Optimization (PSO) [28-29] dan Harmony Search Algorithm (HAS) [30-31]. Metode Kecerdasan buatan yang digunakan pada penelitian ini adalah metode Gravitational Search Algorithm (GSA). Metode GSA pertama kali ini dikenalkan oleh Esmat Rashedi pada tahun 2009 [32]. Metode GSA ini merupakan metode metaheuristik yang terinspirasi oleh hukum Newton tentang gravitasi dan gerak massa. Metaheuristik adalah metode untuk mencari solusi yang memadukan interaksi antara prosedur pencarian lokal dan strategi yang lebih tinggi untuk menciptakan proses yang mampu keluar dari titik-titik lokal optima dan melakukan pencarian di ruang solusi untuk menemukan solusi global [33]. Beberapa penelitian yang telah dihasilkan oleh para ahli menggunakan metode GSA ini, diantaranya adalah penentuan lokasi dan rating optimal SVC [34], economic dispatch (ED) [35], problem optimasi daya reaktif dispatch [36], pengaturan tegangan pada sistem tenaga Jawa-Bali 500 kv [37] dan disain optimal TCPST [38], dan penentuan lokasi dan rating optimal TCSC [39]. Pada penelitian ini, peneliti lebih memfokuskan masalah penelitian pada penerapan FACTS device dengan menggunakan improved GSA. Improved GSA pada penelitian ini dilakukan dengan cara menggunakan LDIW (Linear Decrasing Inertia Weight), FL (Fuzzy Logic) dan IT2FLS (Interval Type 2 Fuzzy Logic System). LDIW ini digunakan untuk mengontrol kecepatan dalam mempengaruhi trade-off antara kemampuan eksplorasi global dan lokal selama proses pencarian serta merupakan parameter penurunan kecepatan untuk menghindari stagnasi partikel di lokal optimum. Bila nilai LDIW terlalu besar maka sistem akan selalu

33 3 mengeksplorasi area baru dan konsekuensinya kemampuan untuk mengeksplorasi nilai lokal semakin berkurang, sehingga gagal untuk menemukan solusi dan bila nilai inertia weight terlalu kecil maka bisa terjebak pada nilai lokal optimum [40]. Sedangkan pada FL dan IT2FLS ini dapat dilakukan dengan cara menyesuaikan bobot inersia, yang dapat digunakan untuk mengatur kecepatan partikel pada metode GSA sehingga dapat meningkatkan performansi metode GSA. IT2FLS memiliki kesamaan dengan FL (fuzzy logic) type 1 yaitu proses fuzzifier, rule base, inference engine, dan output processor. Output processor, meliputi tipe reducer dan defuzzifier menghasilkan suatu output FL type 1. Namun perbedaannya terletak dalam proses pencarian centroid, pada IT2FLS ini dilakukan dengan Upper Membership Function (UMF) dan Lower Membership Function (LMF). Metode pencarian fuzzy set dirumuskan oleh Karnik dan Mendel yang terkenal dengan Algoritma Karnik-Mendel. IT2FLS ini juga merupakan perbaikan dari metode FL type 1. Fungsi keanggotaan pada FL type 1 ini masih sangat sederhana, sehingga pada fungsi keanggotaan IT2FLS ini diperbaiki dengan memberi interval tertentu [41-50]. Improved metode GSA ini dinamakan improved GSA (IGSA). Setelah IGSA ini selesai disimulasikan, selanjutnya penelitian ini perlu dilakukan uji kestabilan tegangan pada setiap bus. Uji kestabilan tegangan pada setiap bus tersebut, meliputi: uji batas kestabilan tegangan pada setiap bus sebelum pemasangan FACTS device dan uji batas kestabilan tegangan pada setiap bus setelah pemasangan FACTS device. Uji batas kestabilan tegangan pada setiap bus ini menggunakan modal analysis pada aliran daya matrik Jacobian berdasarkan analisis nilai eigenvalue dan analisis nilai partisipasi faktor pada setiap bus beban [51-56]. Pada akhir penelitian ini IGSA dapat digunakan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan optimisasi lokasi dan rating dari multi tipe FACTS device pada sistem tenaga listrik dan dapat membantu para enginer dalam upaya meminimalkan rugi-rugi daya pada saluran transmisi, memperbaiki deviasi tegangan atau profil tegangan dan meminimalkan investasi biaya FACTS device serta meningkatkan kestabilan tegangan pada sistem tenaga listrik.

34 Perumusan Masalah Perumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana menerapkan GSA dan memperbaiki GSA yang dapat digunakan untuk menentukan lokasi dan rating optimal FACTS device dalam upaya meminimalkan rugi-rugi daya pada saluran transmisi, memperbaiki deviasi tegangan atau profil tegangan dan meminimalkan investasi biaya FACTS device serta meningkatkan kestabilan tegangan pada sistem tenaga listrik sebelum dan sesudah pemasangan FACTS device? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah menentukan penerapan GSA dan perbaikan GSA yang dapat digunakan untuk menentukan lokasi dan rating yang optimal FACTS device dalam upaya meminimalkan rugirugi daya pada saluran transmisi, memperbaiki deviasi tegangan atau profil tegangan dan meminimalkan investasi biaya FACTS device serta meningkatkan kestabilan tegangan pada sistem tenaga listrik sebelum dan sesudah pemasangan FACTS device. Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: mengembangkan dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penempatan lokasi dan rating multi tipe FACTS device pada sistem tenaga listrik, penerapan dan pengembangan GSA ini dapat meminimalkan rugi-rugi daya pada saluran transmisi tenaga listrik, memperbaiki deviasi tegangan atau memperbaiki profil tegangan pada sistem tenaga listrik, meminimalkan investasi biaya FACTS device, dan menentukan kestabilan tegangan pada sistem tenaga listrik sebelum dan sesudah pemasangan FACTS device Batasan Penelitian Batasan masalah dalam penelitian disertasi ini adalah sebagai berikut: jenis FACTS device yang digunakan adalah TCSC (Thyristor Controlled Series Capasitor), TCPST (Thyristor Controlled Phase Shifting Transformer) dan SVC (Static Var Compensator), implementasi dilakukan pada sistem tenaga listrik Jawa-Bali 500 kv, analisis aliran daya yang digunakan dalam penelitian ini

35 5 menggunakan metode Newton Raphson, metode GSA yang akan diperbaiki menggunakan LDIW (Linear Decrasing Inertia Weight), FL (Fuzzy Logic) dan IT2FLS (Interval Type 2 Fuzzy Logic System), penentuan kestabilan tegangan pada sistem tenaga listrik menggunakan modal analysis pada aliran daya matrik Jacobian berdasarkan analisis nilai eigenvalue dan analisis nilai partisipasi faktor pada setiap bus Konstribusi Penelitian Panjangnya saluran transmisi dan adanya reaktansi pada saluran transmisi merupakan salah satu penyebab terjadinya rugi-rugi daya pada saluran transmisi dan jatuh tegangan (voltage drop) listrik pada sistem tenaga listrik. Pada saat ini usaha yang dilakukan oleh PLN untuk memperbaiki rugi-rugi daya saluran transmisi dan jatuh tegangan listrik masih dilakukan secara konvensional, yaitu dengan cara menambahkan kompensasi VAR menggunakan kapasitor, reaktor shunt, pengaturan tap transformator dan pengaturan eksitasi pada generator. Model kompensasi VAR seperti ini memiliki beberapa kelemahan, diantaranya adalah kebutuhan daya reaktifnya yang cukup besar, keandalannya kurang baik dan rugi-rugi daya yang ditimbulkan cukup besar akibat dari letak saluran transmisi yang cukup jauh ini. Persoalan semakin tingginya rugi-rugi daya pada saluran transmisi dan jatuh tegangan listrik saat ini telah menjadi perhatian khusus, baik oleh pihak PLN sebagai penyedia energi listrik maupun masyarakat sebagai konsumen atau pemakai energi listrik yang merasakan dampaknya secara langsung. Masih banyaknya pengaduan masyarakat yang mempersoalkan tentang penurunan tegangan yang terjadi melebihi batas toleransi yang diijinkan sebesar ± 5% dari tegangan referensi, maka secara teknis akan mengakibatkan terganggunya kinerja peralatan listrik konsumen seperti berbagai jenis lampu listrik, alat-alat pemanas dan motor-motor listrik dan bahkan ada yang berdampak langsung terhadap kerusakan peralatan-peralatan listrik tersebut. Masyarakat yang mengalami kejadian seperti ini tentunya akan mengalami kerugian secara material.

36 6 Untuk mengatasi permasalahan tingginya rugi-rugi daya pada saluran transmisi dan jatuh tegangan pada sistem tenaga listrik tersebut dibutuhkan penanganan yang tepat dengan menggunakan metode berbasis Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Salah satu metode AI yang akan digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan Gravitational Search Algorithm (GSA). Metode GSA ini akan diterapkan dan dikembangkan menggunakan improved GSA (IGSA). Improved GSA ini dilakukan dengan cara menggunakan LDIW (Linear Decrasing Inertia Weight), FL (Fuzzy Logic) dan IT2FLS (Interval Type 2 Fuzzy Logic System). Pada akhir penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang baik untuk menentukan lokasi dan rating optimal pemasangan FACTS device yang dapat digunakan untuk mereduksi rugi-rugi daya pada saluran transmisi, memperbaiki deviasi tegangan atau memperbaiki profil tegangan pada sistem tenaga listrik dan meminimalkan investasi biaya FACTS device serta dapat digunakan untuk mengetahui batas kestabilan tegangan yang terjadi pada sistem tenaga listrik sebelum dan sesudah pemasangan FACTS device Sistematika Penulisan Bab 1 : Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, batasan penelitian, kontribusi penelitian dan sistematika peneulisan. Bab 2 : Studi pustakan dan dasar teori yang berisi tentang representasi sistem tenaga listrik, diagram impedansi, sistem per-unit, klasifikasi bus, pembentukan matrik admitansi bus, pembentukan persamaan aliran daya, persamaan aliran daya, metode Newton Rapshon, algoritma dan diagram alir penyelesaian aliran daya metode Newton Rapshon, kompensasi daya reaktif, FACTS device, Gravitational Search Algorithm (GSA), Interval Type 2 Fuzzy Logic System (IT2FLS) dan Kestabilan tegangan pada sistem tenaga listrik. Bab 3 : Metodologi penelitian yang berisi tentang studi literatur, pengumpulan jurnal, pengumpulan proseding, pengumpulan buku teks, lokasi

37 7 Bab 4 Bab 5 penelitian dan pengambilan data, fungsi objektif, kendala operasional, metodologi yang diusulkan, simulasi FACTS device dan pengujian model sistem. : Simulasi dan Pembahasan yang berisi tentang sistem kelistrikan Jawa- Bali 500 KV, data pembangkitan, saluran dan fungsi biaya, hasil simulasi aliran daya sebelum pemasangan FACTS device, hasil simulasi aliran daya setelah pemasangan FACTS device, hasil perbandingan simulasi aliran daya sebelum dan setelah pemasangan TCSC, hasil perbandingan simulasi aliran daya sebelum dan setelah pemasangan SVC, hasil perbandingan simulasi aliran daya sebelum dan setelah pemasangan TCPST, dan hasil perbandingan simulasi aliran daya sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST. : Penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran penelitian.

38 Halaman ini sengaja dikosongkan 8

39 BAB II STUDI PUSTAKA DAN DASAR TEORI 2.1. Representasi Sistem Tenaga Listrik [1-2] Sistem tenaga listrik merupakan kumpulan dari komponen-komponen listrik seperti: generator, transformator, saluran transmisi dan beban. Untuk dapat melakukan analisis persoalan-persoalan pada sistem tenaga listrik, maka perlu untuk mengetahui karakteristik dan diagram pengganti dari komponen itu. Hubungan antar komponen-komponen ini dalam sistem tenaga diperlihatkan dalam diagram satu garis. Komponen-komponen pada sistem tenaga listrik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Pembangkit Generator merupakan peralatan yang dapat membangkitkan energi listrik, karena generator dapat mengubah daya mekanik menjadi energi listrik dan menyalurkannya pada jaringan listrik melalui transformator. Generator yang digunakan dalam hal ini adalah generator sinkron. Generator sinkron dapat direpresentasikan oleh tegangan pembangkitan E yang terhubung seri dengan impedansi dapat dilihat pada Gambar 2.1. Z s dikenal sebagai impedasi sinkron dan Gambar 2.1. Generator Sinkron [1,2] 9

40 Saluran Transmisi Saluran transmisi terdiri-dari impedansi yang tidak dikelompokkan tetapi terdistribusi di seluruh panjangnya. Representasi saluran transmisi dikenal dua bentuk yaitu bentuk rangkaian nominal-π dan bentuk rangkaian nominal-t. Bentuk rangkaian nominal-π ini dapat dilihat pada Gambar 2.2.a. dan bentuk rangkaian nominal-t dapat dilihat pada Gambar 2.2.b Transformator Dalam sistem tenaga listrik pada umumnya transformator-transformator dilengkapi dengan alat pengubah perbandingan tegangan. Bila faktor transformasi dalam satuan dari transformator itu tidak sama dengan satu, maka impedansi transformator dalam satuan tidak sama dilihat dari kedua sisi. Untuk merepresentasikan suatu transformator dengan transformasi yang berubah, jadi per unit turn ratio tidak sama dengan satu, dapat direpresentasikan oleh impedansinya atau admitansinya, terhubung seri dengan auto-transformator ideal ini dapat dilihat pada Gambar 2.3.a. dan rangkaian ekivalen nominal-π dapat dilihat pada Gambar 2.3.b. Gambar 2.2.a. Saluran transmisi nominal- π [1,2] Gambar 2.2.b. Saluran transmisi nominal-t [1-2]

41 11 Dimana: A = y pq a 1 1 B = 1 a a C 1 = 1 a y pq y pq Beban Beban pada sistem tenaga listrik dapat dibagi 2 (dua), yaitu : beban statis dan beban dinamis. Beban statis dan beban dinamis biasanya direpresentasikan sebagai impedansi yang konstan Z atau sebagai daya konstan P dan Q. Representasi yang lain adalah dengan arus I yang konstan, tetapi dalam prakteknya tidak mudah untuk diperoleh. Representasi yang paling sederhana adalah dengan Z konstan. Gambar 2.3.a. Representasi trafo dengan faktor transformasi yang berubah [1-2] Gambar 2.3.b. Rangkaian ekivalen nominal- π [1-2]

42 Diagram Impedansi Dengan pengetahuan dari rangkaian-rangkaian ekivalen ini, maka diagram impedansi dari suatu sistem secara khusus dapat digambarkan dari diagram satu garis yang diberikan. Diagram impedansi dari suatu sistem ini dapat dilihat pada Gambar 2.4. Karena sistem 3-phasa seimbang selama operasi normal, maka representasi dalam satu phasa dibenarkan atau berlaku. Pada Gambar 2.5 ini tegangan E 1 dan E 2 dihubungkan dengan impedansi seri, untuk merepresentasikan dua generator pada bus A dan B. Impedansi shunt pada A dan B menunjukkan beban pada bus. Impedansi antara A dan B merupakan rerepresentasikan transformator pada bus A dan transformator pada bus B. Akhirnya impedansi nominal-π diantara C dan D memperlihatkan saluran transmisi antara bus A dan B. Gambar 2.4. Diagram satu garis dari suatu sistem 2-bus [1] Gambar 2.5. Diagram impedansi dari sistem 2-bus [1]

43 Sistem per-unit (pu) Untuk memudahkan perhitungan dan analisa dalam sistem tenaga listrik, biasanya digunakan nilai-nilai dalam per unit. Nilai-nilai yang dinyatakan dalam satuan ini adalah nilai-nilai yang ada pada sistem dibagi dengan nilai dasar. Nilai dasar ini dapat dipilih sebarang, sehingga bila arus dinyatakan dalam nilai satuan (p.u) maka: I I pu = per unit (p.u) (2.1) I d Dimana: I pu = Nilai satuan arus (p.u.) I = Arus yang mengalir pada sistem (A) I d = Arus dasar yang digunakan (A) Demikian juga tegangan, daya, dan impedansi dapat dinyatakan dalam nilai-nilai satuan : Tegangan Nilai dasar tegangan V d biasanya dipilih tegangan nominal dari salah satu komponen dalam sistem itu, sedangkan nilai dasar tegangan untuk bagian lain dari sistem diperoleh dengan mengalikan nilai dasar yang telah dipilih dengan faktor transformasi yang memisahkan komponen dimana tegangan dasar telah dipilih dengan komponen lain yang dicari tegangan dasarnya. V V pu = (pu) (2.2) V d Daya Kompleks Daya dasar S d dapat dipilih sebarang daya, dan daya dasar ini berlaku untuk seluruh sistem. S S pu = Ppu + jqpu = (pu) (2.3) S d

44 Arus I d S = V d d Arus dasar I d diperoleh dari daya dasar dan tegangan dasar, maka: = ( KVA) ( KVA) 3 KV L L = 3φ 1φ KV L N (Ampere) (2.4) Impedansi Z Z Z Z V KV KV d L L 3 L N d = = 10 = I d 3 I I d d d d d atau Z d KV = I L N d ( KVL N ) ( KVA) = KV KV φ ( KVL N ) ( MVA) 1 φ 2 L N L N = (Ohm) 2 ( KVL N ) ( MVA) 3φ (Ohm) (Ohm) 3 10 (Ohm) = (Ohm) (2.5) Karena pada umumnya daya dasar adalah daya 3-phasa, dan tegangan dasar adalah tegangan jala-jala, maka impedansi dasar dapat dinyatakan: Z d dan, ( KVL N ) ( MVA) = (Ohm) d 2 Z Z pu = (Ohm) (2.6) Z Bila ada perubahan daya dasar dan tegangan dasar, maka impedansi dalam pu yang baru dapat diperoleh sebagai berikut: ( KV ) 2 1 () 1 = ; Zpu MVA1 Z d = Z ( ) ( KV ) = ; Zpu MVA2 () 1 Z d = Z ( 2) MVA ( KV ) MVA ( KV ) 2 2 2

45 15 maka: Z 2 pu ( 2) pu( 1) 1 2 ( KV1 ) ( KV ) 2 MVA = Z (2.7) MVA Klasifikasi Bus Dalam suatu sistem tenaga masing-masing bus dihubungkan dengan 4 (empat) besaran yaitu: daya aktif, daya reaktif, besaran tegangan dan sudut phasa. Pada penyelesaian aliran daya, dua dari empat besaran itu telah dispesifikasikan dan dua besaran lainnya merupakan hasil perhitungan. Berdasarkan besaran-besarannya bus dikalsifikasikan dalam 3 (tiga) kategori, yaitu sebagai berikut: Bus Beban Pada bus ini komponen-komponen dari daya aktif ( P ) dan daya reaktif ( Q ) telah dispesifikasikan, sedangkan kedua besaran lainnya yaitu: besar tegangan V dan sudut phasa ( δ ) merupakan hasil akhir dari perhitungan Bus Generator atau Bus Kontrol Tegangan Pada bus ini besar tegangan V sesuai dengan V pembangkitan dan daya aktif P G bersesuaian dengan rating yang telah dispesifikasikan. Hal ini diperlukan untuk mendapatkan daya reaktif pembangkitan tegangan bus. Q G dan sudut phasa ( δ ) dari Slack, Swing atau Bus Referensi Pada slack bus komponen besaran tegangan dan sudut phasanya telah dispesifikasikan. Adapun fungsi dari slack bus adalah menyuplai kekurangan daya aktif dan daya reaktif termasuk rugi-rugi pada saluran transmisi, karena rugi-rugi ini baru dapat diketahui setelah akhir perhitungan. Sudut phasa dari tegangan pada slack bus biasanya diambil sebagai referensi.

46 Pembentukan Matrik Admitansi Bus Persamaan-persamaan aliran daya, dengan menggunakan formulasi admitansi simpul untuk sistem tiga bus ini dapat dilihat pada Gambar 2.6 merupakan pengembangan pertama dan kemudian digunakan untuk sistem n bus. Pada simpul 1 I + 1 = I11 + I12 I13 = V = V = V ( V 1 V 2 ) y 12 + ( V 1 V 3 ) 13 1 y 11 + y 1y11 + V1 y12 V2 y12 + V1 y13 V3 y13 ( y11 + y12 + y13 ) V2 y12 V y = V + (2.8) 1Y11 + V2Y12 V3Y13 Disini Y 11 merupakan admitansi sendiri pada bus 1 dan Y + Y Y 11 = y11 + y12 y13 = 12 y 12 = 13 y 13 Persamaan umum dari admitansi sendiri maupun bersama dapat dilihat pada persamaan (2.9) dan persamaan (2.10) di bawah ini: n Y PP = y pq q= 1 p q (2.9) Y pq = Y = y (2.10) qp pq Gambar 2.6. Sistem 3-bus [1]

47 17 Dengan cara yang sama persamaan-persamaan arus simpul untuk simpul-simpul yang lain dapat ditulis sebagai berikut: I = + (2.11) 2 V1Y 21 + V2Y22 V3Y23 I = + (2.12) 3 V1Y 31 + V2Y32 V3Y33 Persamaan (2.11) dan (2.12) dapat ditulis dalam bentuk matrik sebagai berikut: I I I Y = Y Y Y Y Y Y Y Y V V V atau persamaan (2.13) ini dapat disusun sebagai berikut: (2.13) 3 I p = YpqVq, p = 1,2,3 (2.14) q= 1 Dari persamaan (2.14) ini dapat dinyatakan persamaan arus simpul untuk sistem n bus, dimana masing-masing simpul terhubung satu sama lain. n I p = YpqVq, p = 1,2,3, K, n q= 1 (2.15) berikut: I1 Y I 2 Y.. =.... I n Yn Persamaan (2.15) dapat ditulis dalam bentuk matriks, yaitu sebagai Y Y Y n2 Atau dinyatakan: K K K K K K [ ] [ Y ][ V ] BUS BUS BUS Y1 n V1 Y 2n V Ynn Vn I = (2.16) 2.6. Pembentukan Persamaan Aliran Daya Dari persamaan (2.16) dapat dikembangkan menjadi persamaan (2.17) sebagai berikut:

48 18 I p = Y pp V p + n q= 1 q p Y pq V q (2.17) atau, V p I = Y p pp 1 Y n pp q= 1 q p Y pq V q (2.18) Sehingga: V * p I p = P p jq p (2.19) I p = Pp jq V * p p Dengan mensubtitusikan I p kedalam persamaan (2.19) maka dapat diperoleh persamaan aliran daya sebagai berikut: n 1 Pp jqp V = p Ypq Vq (2.20) * Y pp Vp q= 1 q p p = 1,2,3, K,n 2.7. Persamaan Aliran Daya [1-2] Persamaan Pembebanan Daya aktif dan daya reaktif pada salah satu bus p adalah sebagai berikut: P p jq p = V * p I p. (2.21) dan arus: I P jq p p p = (2.22) * Vp I p bertanda positif bila arus mengalir ke bus dan bertanda negatif bila arus mengalir dari bus. Bila elemen shunt tidak termasuk dalam matriks, maka arus total pada bus p adalah: I p Pp jq p = y p V p (2.23) * V p

49 19 Dimana: y p = admitansi shunt total pada bus p. y p. V p = arus shunt yang mengalir dari bus p ke tanah Persamaan Aliran Arus Setelah tegangan-tegangan diketahui, maka arus yang mengalir dari bus p ke bus q dapat diketahui yaitu sebagai berikut: ' y pq i pq = ( V p Vq ) y pq + V p (2.24) 2 Dimana: y pq = admitansi saluran p ke q. y pq = admitansi shunt saluran p q. V p y ' pq 2 = kontribusi arus pada bus p oleh arus shunt Persamaan Daya Daya kompleks yang mengalir dari bus p ke bus q: P pq jq pq = V * p i pq = S pq atau P pq jq pq = V * * y pq p (V p V q ) y pq + V p V p = S pq (2.25) 2 Sedangkan daya kompleks yang mengalir dari bus q ke bus p: P qp jq qp = V * * yqp q (V q V p ) y qp + V q V q = S qp (2.26) 2 Jumlah persamaan (2.25) dan (2.26) adalah rugi-rugi pada transmisi, yaitu seperti pada persamaan (2.27) berikut: S L pq = S pq + S qp (2.27) ' ' 2.8. Metode Newton Raphson [1-2] Aliran daya dapat diselesaikan dengan menggunakan bermacam-macam metode, diantaranya adalah metode Gauss Seidel, metode Newton Raphson,

50 20 metode Decouple, metode Fast Decouple dan lain-lain. Metode yang akan digunakan untuk melakukan proses perhitungan aliran daya dalam penelitian ini adalah menggunakan metode Newton Raphson. Metode Newton Raphson memiliki konvergensi kuadratik yang baik, perhitungan lebih cepat dan lebih sedikit menggunakan iterasi. Untuk sistem tenaga yang besar, penggunaan metode Newton-Raphson lebih praktis dan efisien, karena banyaknya iterasi yang diperlukan untuk memperoleh solusi tidak terikat pada ukuran sistem. Di dalam masalah aliran daya, daya aktif dan besar tegangan telah dispesifikasikan pada bus kontrol tegangan, maka persamaan aliran daya dapat dirumuskan ke dalam bentuk polar. Dengan menuliskan kembali persamaan arus yang mengalir pada bus p, yaitu : I p = n q= 1 Y pq V q (2.28) Dalam persamaan (2.28) di atas, q meliputi bus p. Dengan menyatakan persamaan (2.29) tersebut ke dalam bentuk polar, yaitu : I p n = Y q=1 pq V q ( δ ) θ + pq q Dengan memberikan daya kompleks pada bus p adalah : p p * p p (2.29) P jq = V I (2.30) Dengan mensubtitusikan persamaan (2.29) untuk nilai Ip ke dalam persamaan (2.30), di dapat daya kompleks pada bus p adalah : P jq p p = V p p n q=1 pq q ( θ δ ) δ Y V + pq q (2.31) Dan dengan memisahkan komponen riil dan imajinernya di dapat daya aktif dan reaktif pada bus p, yaitu : P p n = V q= 1 p V q Y pq cos ( θ δ + δ ) pq p q (2.32) Q p n = V q= 1 p V q Y pq sin ( θ δ + δ ) pq p q (2.33)

51 21 Persamaan (2.32) dan (2.33) dibuat persamaan nonlinear dengan mengunakan variable bebas, besar tegangan dalam per unit, dan sudut phasa dalam radian. Kita mempunyai dua persamaan untuk masing-masing bus beban, diberikan oleh persamaan (2.32) dan (2.33), dan satu persamaan untuk bus kontrol-tegangan diberikan oleh persamaan (2.33). Dengan memperluas persamaan (2.32) dan (2.33) dalam deret Taylor's dengan memberi tebakan awal dan mengabaikan semua orde yang lebih tinggi sehingga di dapat persamaan linear sebagai berikut : ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) Δ Δ Δ Δ = Δ Δ Δ Δ k n k k n k n k n k n k n k n n k k n k k n k n k n n k n k n n k k n k k k n k k n k V V V Q V Q Q Q V Q V Q Q Q V P V P P P V P V P P P Q Q P P M M L L M O M M O M L L L L M O M M O M L L M M δ δ δ δ δ δ δ δ δ δ (2.34) Dalam persamaan (2.34) di atas, bus 1 diasumsikan sebagai slack bus. Matriks Jacobian memberi hubungan yang linear antara selisih sudut phasa tegangan ( ) k δ p Δ dan selisih magnitude tegangan ( ) k V p Δ dengan selisih daya aktif ( ) k P p Δ dan reaktif ( ) k Q p Δ. Elemen-elemen matriks Jacobian merupakan turunan parsial dari persamaan (2.32) dan (2.33), yang diturunkan terhadap ( ) k δ p Δ dan ( ) k V p Δ. Dengan menyederhanakan persamaan (2.34) di atas menjadi : Δ Δ = Δ Δ V J J J J Q P δ (2.35) Untuk bus kontrol-tegangan, besar tegangan sudah diketahui. Oleh karena itu, jika m bus untuk bus kontrol-tegangan, maka memberikan m persamaan untuk Q dan V dan bersesuaian dengan jumlah kolom dari matriks Jacobian. Maka, ada (n 1) batasan daya aktif dan (n 1 m) batasan daya reaktif, dan orde matriks

52 22 Jacobian menjadi (2n 2 m) x (2n 2 m). J 1 memiliki orde (n 1) x (n 1), J 2 memiliki orde (n 1) x (n 1 m), J 3 memiliki orde (n 1 m) x (n 1), dan J 4 memiliki orde (n 1 m) x (n 1 m ). Dimana elemen-elemen matrik J 1, J 2, J 3, J 4 adalah sebagai berikut : Elemen-elemen diagonal dan off-diagonal untuk J 1 adalah : P p δ p = n q p V p V q Y pq sin ( θ δ + δ ) pq p q (2.36) P p δ q = - V p V q Y pq sin ( θ δ + δ ) q p pq p q (2.37) Elemen-elemen diagonal dan off-diagonal untuk J 2 adalah : P p V p = 2 V p Y pp cosθ pp + q p V q Y pq cos ( θ δ + δ ) pq p q (2.38) P p V q = V p V q Y pp cos ( θ δ + δ ) q p pq p q (2.39) Q δ p p = Elemen-elemen diagonal dan off-diagonal untuk J 3 adalah : q p V p V q Y pq cos ( θ δ + δ ) pq p q (2.40) Q δ p q = V p V q Y pq cos ( θ δ + δ ) q p pq p q (2.41) Elemen-elemen diagonal dan off-diagonal untuk J 4 adalah : Q p V p = 2 V p Y pp sinθ pp + q p V q Y pq sin ( θ δ + δ ) pq p q (2.42) Q p V q = V p V q Y pq sin ( θ δ + δ ) pq p q (2.43) Istilah P p ( k ) Δ dan Q p ( k ) Δ merupakan selisih antara daya aktif dan daya reaktif yang dijadwalkan dengan daya aktif dan daya reaktif hasil perhitungan,

53 23 sehingga diketahui selisih/sisa daya aktif dan daya reaktif, yang diberikan sebagai berikut : ( k ) sch ( k ) Δ P = P P (2.44) p p ( k ) sch ( k ) p p p Δ Q = Q Q (2.45) p Sehingga perkiraan tegangan yang baru untuk setiap bus adalah : δ ( k +1) ( k ) ( k ) p = δ p + Δδ p (2.46) V ( k +1) ( k ) ( ) p = V p + ΔV p (2.47) Kriteria konvergen yang digunakan pada metode ini adalah sebagai berikut : ( k ) ΔP ε (2.48) p ( k ) ΔQ ε (2.49) p Dimana : P p ( k ) Δ, Q p ( k ) Δ adalah nilai mutlak dari selisih antara daya aktif dan daya reaktif yang dijadwalkan dengan daya aktif dan daya reaktif hasil perhitungan. ε adalah indeks presisi yang digunakan Algoritma Dan Diagram Alir Penyelesaian Aliran Daya Dengan Metode Newton-Raphson Berikut ini merupakan algoritma dari pada metode Newton-Raphson untuk menyelesaikan permasalahan aliran daya : 1. Pembacaan data, yang terdiri dari data bus dan data saluran. 2. Pembentukan matrik admitansi bus dari data saluran. 3. Tentukan nomor bus p = 2, 3, n. 4. Menentukan tebakan awal untuk V = 1 dan δ = Menentukan tingkat iterasi k = Menentukan ketelitian ε. 7. Test status bus :

54 24 (k) a. Jika status bus adalah PV-Bus, maka hitung daya aktif perhitungan P p dan P (k) p dengan menggunakan persamaan 2.32 dan persamaan (k) b. Jika status bus adalah PQ-Bus, maka hitung daya aktif perhitungan P p (k) dan P p dengan menggunakan persamaan 2.32 dan persamaan 2.44, (k) (k) serta hitung daya reaktif perhitungan Q p dan Q p dengan menggunakan persamaan 2.33 dan persamaan Hitung elemen matrik Jacobian (J 1, J 2, J 3, J 4 ) dengan menggunakan persamaan 2.36 sampai dengan persamaan Selesaikan persamaan linier dari persamaan 2.35 untuk mendapat nilai-nilai δ dan V. 10. Hitung sudut phasa tegangan dan magnitude tegangan dengan menggunakan persamaan 2.46 dan persamaan (k) 11. Apakah P p dan Q (k) p sudah dihitung untuk semua bus, jika belum kembali ke no.3, jika sudah berlanjut ke no Hitung indeks ketelitian dengan menggunakan persamaan 2.48 dan persamaan 2.49, jika belum naikkan tingkat iterasi k = k + 1, jika sudah berlanjut ke no Hitung daya aktif dan reaktif pada Slack-Bus dengan menggunakan persamaan 2.32 dan persamaan 2.33, serta hitung aliran daya dan rugi-rugi saluran dengan menggunakan persamaan 2.24 sampai dengan persamaan Selesai.

55 25 Diagram alir untuk penyelesaian aliran daya dengan menggunakan metode Newton-Raphson ini dapat dilihat pada Gambar 2.7. Mulai Baca Data Bentuk Matrik Y BUS Mulai iterasi k = 0 dan set ε Hitung Daya Bus P p (k + 1), Q p (k + 1) PQ BUS? Ya Tidak Cek Q p min< Q p (k + 1) < Q p max Tidak Hitung Selisih P p (k + 1), Q p (k + 1) Ya Ya Cek Q p (k + 1) > Q p max Tidak Hitung Matrik Jacobian J 1, J 2, J 3, J 4 Selesaikan untuk koreksi tegangan dan hitung tegangan di bus baru V p (k + 1) = V p k + V p (k + 1) δp (k + 1) = δ p k + δ p (k + 1) Set Q p (k + 1) = Q p max V p = 1 dan δ p = 0 Set Q p (k + 1) = Q p min V p = 1 dan δ p = 0 Test untuk konvergen P p (k + 1) ε, Q p (k + 1) ε Tidak k = k + 1 Ya Hitung Aliran Daya slack bus, total generator total beban, rugi-rugi Tukar bus p = p + 1 Tidak k > maks iter Ya Stop Cetak hasil Selesai Gambar 2.7. Diagram alir untuk penyelesaian aliran daya menggunakan metode Newton-Raphson [1,2]

56 Kompensasi Daya Reaktif [3-7] Kompensasi daya reaktif ini bertujuan untuk mengatur atau mengontrol aliran daya dan meningkatkan keandalan operasi sistem tenaga listrik. Pengaturan daya reaktif ini berarti juga pengaturan tegangan dan harus memenuhi beberapa sasaran, antara lain: - Tegangan terminal peralatan dalam sistem berada pada batas toleransi. - Kestabilan sistem ditingkatkan untuk memaksimalkan penggunaan sistem kelistrikan distribusi. - Aliran daya reaktif diminimalkan sedemikian rupa untuk mengurangi rugi-rugi I 2 R dan I 2 X sampai minimum Level kontrol tegangan dilakukan dengan mengontrol aliran daya reaktif pada semua level dalam sistem. Unit pembangkit dilengkapi dengan alat kontrol tegangan dan kontrol AVR field excitation untuk menjaga level tegangan yang ditentukan pada terminal generator. Alat tambahan biasanya digunakan untuk mengendalikan tegangan pada suatu sistem kelistrikan. Peralatan yang digunakan untuk tujuan ini diklasifikasikan sebagai berikut: - Sumber daya reaktif, seperti kapasitor paralel, reaktor paralel, syncronous condenser. - Kompensator reaktansi kawat, seperti kapasitor seri. - Pengaturan trafo seperti perubahan tap trafo dan pendorong (booster). Pengaturan daya reaktif dan tegangan juga diperlukan untuk menghindari kerusakan peralatan yang terhubung pada saluran transmisi, disamping itu juga dapat digunakan untuk menjamin tegangan di sisi pelanggan berada pada batas toleransi yang ditentukan. Pengaturan daya reaktif dan tegangan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: - Kapasitor Kapasitor digunakan untuk memperbaiki drop tegangan secara lokal dilokasi tertentu. Pengoperasian kapasitor dilakukan oleh dispatcher.

57 27 - Reaktor shunt Reaktor induktif mempunyai sifat menyerap daya reaktif sesuai dengan kemampuannya, oleh karena itu reaktor dapat digunakan untuk pengaturan tegangan. - Pengaturan tap transformator Transformator daya umumnya dilengkapi dengan tap pada lilitannya untuk mengubah besarnya tegangan yang keluar dari trafo. Perubahan tegangan dilakukan dengan merubah posisi tap transformator. Namun tidak semua transformator dapat dirubah posisinya dalam keadaan berbeban. Transformator yang dioperasikan di gardu induk umumnya posisi tapnya dapat diubah dalam keadaan berbeban. Bahkan seringkali juga dilengkapi dengan tegangan otomatis, perlu ditentukan trafo mana yang mengindera tegangan yang keluar dari transformator untuk selanjutnya dipakai untuk memberi komando perubahan tap transformator dalam rangka menjaga agar tegangan yang keluar dari transformator mempunyai nilai yang konstan. Apabila ada dua atau lebih transformator beroperasi parallel pada masing-masing dilengkapi dengan pengatur tegangan otomatis, perlu ditentukan transformator mana yang akan memberi komando sedangkan yang lainnya sebagai pengikut. Hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya arus sirkulasi antar transformator yang berlebihan dan juga jangan sampai timbul situasi osilasi pengaturan tap antar transformator. Ada dua cara kerja tap changer yaitu dengan mengubah tap dalam keadaan trafo tanpa beban. Tap changer yang hanya bisa beroperasi untuk memindahkan tap transformator dalam keadaan transformator tidak berbeban, disebut off load tap changer dan hanya dapat dioperasikan manual. Cara yang kedua adalah dengan mengubah tap dalam keadaan trafo berbeban. Tap changer yang dapat beroperasi untuk memindahkan tap transformator, dalam keadaan transformator berbeban, disebut on load tap changer dan dapat dioperasikan secara manual atau otomatis.

58 28 - Pengaturan eksitasi pada generator Dengan pengaturan arus eksitasi, tegangan dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Untuk menaikkan tegangan, arus eksitasi dapat ditambah dan berlaku juga sebaliknya. Yang dimaksud dengan eksitasi atau biasa disebut sistem penguatan adalah suatu perangkat yang memberikan arus penguat kepada kumparan medan generator arus bolak-balik (alternating current) yang dijalankan dengan cara membangkitkan medan magnetnya dengan bantuan arus searah. - Pelepasan SUTT Pengaturan tegangan bersifat lokal, maka pengaturan tegangan dengan modus operasi sirkit tunggal pada sirkit ganda SUTT 150 kv dilakukan di lokasi yang tegangannya tinggi. Karena modus operasi ini dapat mengurangi keandalan sistem, maka pembukaan SUTT 150 kv dilakukan dengan perioritas terakhir dan penutupannya menjadi prioritas pertama FACTS Device [3-7] Flexible Alternating Current Transmission System (FACTS) device adalah peralatan saluran transmisi yang berbasis elektronika daya controller, sehingga memungkinkan untuk mengubah aliran daya dan tegangan secara dinamis. FACTS device pada awalnya pengembangannya masih berupa reaktor atau kapasitor dengan saklar mekanik. Pada umumnya, FACTS device dapat bekerja sebagai : 1. Kompensator paralel 2. Kompensator seri 3. Kompensator seri dan paralel. FACTS device dapat digunakan untuk beberapa aplikasi, seperti kompensasi daya reaktif, kontrol aliran daya, meningkatkan kapasitas saluran, peningkatan pengaturan tegangan (stabilitas steady-state) dan peningkatan stabilitas dinamis (oscillation dumping).

59 29 Dalam pemakaiannya, FACTS device mempunyai sejumlah kelebihan yaitu, dapat mengurangi resiko subrynchronous resonance, dan mengatur aliran daya dinamik. Dalam interkoneksi, transfer daya yang mengalir dan satu area ke area lain dipengaruhi oleh impedansi saluran transmisi. Dengan mengikuti teori ini, FACTS device mempunyai peran yang sama yang sangat berguna untuk mengoptimisasi aliran daya antar area dengan bermacam-macam beban dan konfigurasi jaringan. Sehingga dengan pemanfaatan peralatan ini sangat memungkinkan untuk melakukan pengaturan aliran daya untuk meminimalkan rugi-rugi dan menghilangkan kelebihan beban pada saluran transmisi tenaga listrik. Aliran daya P km melalui transmisi pada saluran transmisi antara bus k dan m dapat dinyatakan sebagai berikut: P Q V V θ k m km = sin km (2.50) X km km km ( V V V cosθ ) 1 = 2 k k m km (2.51) X Dimana : Vk dan V m = tegangan pada bus k dan m. X km = reaktansi pada saluran. θ km = sudut antara Vk dan V m (V adalah phasor) Beda Tegangan V k dan V m pada saluran transmisi dalam keadaan operasi normal sangat kecil, begitu pula halnya dengan θ km. Besar daya aktif tergantung dari θ km, dan daya reaktif Q km tergantung dari besar V k dan V m. Sedangkan perubahan reaktansi X km mempengaruhi keduanya Static VAR Compensator (SVC) [13,15,23-24,26,28,29,30,34] Perkembangan teknologi di bidang elektronika daya mendorong perkembangan sumber var static yang dapat dikontrol, yang dikenal dengan var generator. SVC dikembangkan akhir tahun enampuluhan untuk pengontrolan

60 30 tegangan secara cepat pada beban industri yang berubah-ubah. SVC digunakan untuk kontrol tegangan yang cepat pada saluran transmisi yang lemah dan sistem industri. SVC adalah salah satu jenis FACTS device yang terdiri dari komponen reaktor dan kapasitor sebagai sumber daya reaktif, yang dilengkapi dengan power elecronics sebagai komponen switching. SVC mempunyai fungsi utama untuk mengontrol stabilitas tegangan agar tetap konstan dengan mengatur aliran daya reaktif yang diinjeksikan atau diserap dari saluran. Pada saat tegangan sistem rendah (low voltage), SVC membangkitkan daya reaktif (SVC kapasitif) dengan menginjeksikan daya reaktif yang bersumber dari bank kapasitor. Pada saat tegangan sistem mengalami over voltage, SVC akan menyerap daya reaktif (SVC induktif). Pengaturan daya reaktif diperoleh dari pengaturan sudut penyalaan thyristor pada rangkaian inverter. Model SVC ini dapat dilihat pada Gambar 2.8. Total susceptansi pada SVC adalah: B = B α + B (2.52) eq Dimana : L ( ) C ( 2α ) 1 2α sin B L ( α ) = 1 ωl π π (2.53) B C = ω C (2.54) Injeksi daya reaktif pada SVC adalah: Q = V B SVC 2 k SVC (2.55) Gambar 2.8. Model SVC [15]

61 31 Keseimbangan daya reaktif pada bus k adalah: B svc BSVC B SVC (2.56) Kisaran ini biasanya mencakup nilai-nilai positif maupun negatif Thyristor Controlled Series Capasitor (TCSC) [13,15,20,23-25,28,30] TCSC merupakan suatu FACTS device seri pertama yang akan dikembangkan. Unit utama dari peralatan FACTS device ini adalah thyristor controlled reactor (TCR). TCR adalah sebuah static var controller yang menggunakan elektronika daya sehingga mampu melakukan kontrol secara cepat terhadap daya reaktif. Bagian utama TCR adalah sebuah induktor yang seri dengan saklar thyristor bipolar. Dengan mengatur sudut penyalaan dari thyristor akan diperoleh variasi reaktansi induktif yang menyebabkan pertukaran daya reaktif yang cepat antara TCR dan sistem. Untuk mengatasi sistem yang membutuhkan daya reaktif kapasitif, biasanya sebuah bank kapasitor dipasang paralel dengan TCR. Kompensasi reaktansi saluran transmisi dapat dilakukan dengan mengontrol reaktansi TCSC, sehingga daya yang mengalir melalui saluran transmisi dapat ditingkatkan. Metode kompensasi seri yang secara tradisional menggunakan switching capasitor atau switching mekanik cenderung lambat dan pengaturannya tidak halus. Kontrol dengan menggunakan thyristor memungkinkan pengaturan impedansi jaringan secara cepat, sesuai kebutuhan kompensasi yang diinginkan. TCSC dapat berfungsi sebagai kompensasi kapasitif atau induktif masingmasing dengan memodifikasi reaktansi saluran transmisi. Dalam simulasi ini, ekivalen X eq dari TCSC adalah merupakan fungsi sudut penyalaan thyristor saluran transmisi disesuaikan dengan TCSC. X eq ( α ) Dimana : ( α ) = B B L dan C 1 α + B L ( ) C B diberikan pada persamaan (2.53) dan persamaan (2.54). (2.57)

62 32 Pada Gambar 2.9 ini terlihat bahwa nilai maksimum dan minimum sudut penyalaan thyristor adalah 0 o dan 90 o. Batas kompensasi maksimum TCSC (X max ) ditentukan oleh sudut penyalaan α Lmax dan batas kompensasi minimum (X min ) ditentukan oleh sudut penyalaan α Cmin. Nilai tersebut merupakan rentang nilai yang menyatakan derajat kompensasi dari TCSC. Untuk mencegah kompensasi yang berlebihan, derajat kompensasi dari TCSC yang diijinkan adalah dalam rentang 20% induktif dan 70% kapasitif, sehingga berlaku: r TCSCmin = - 0,7 (2.58) r TCSCmax = 0,2 (2.59) Nilai pengenal TCSC adalah fungsi dari reaktansi saluran transmisi di mana TCSC berada : km = X saluran X TCSC, TCSC rtsc X saluran X + X = (2.60) Dimana: X saluran adalah reaktansi saluran transmisi dan rtcsc adalah koefisien yang mewakili tingkat kompensasi TCSC Thyristor Controlled Phase Shifting Transformer (TCPST) [8, 9, 24-25,38] TCPST menginjeksikan tegangan seri dengan jaringan transmisi melalui transformator seri. Daya aktif yang masuk pada injeksi seri diambil dari jaringan melalui transformator parallel. Daya reaktif dinjeksikan secara seri dengan jaringan oleh TCPST. Gambar 2.9. Model TCSC hubungan reaktansi seri [15]

63 33 Pada Gambar 2.10 ini menunjukkan diagram ekivalen dari device yang terhubung seri-paralel (series-shunt-connected device). Pada Gambar 2.10 ini, X s adalah reaktansi efektif dilihat dari sisi jaringan transformator seri. Untuk TCPST, X s 2 = X seri + n X parale dimana X seri adalah reaktansi pada transformator seri. X paralel adalah reaktansi pada transformator shunt dan n tergantung pada besar sudut penggeser fasenya. Besar Vs diatur oleh TCPST. jika r = V s Vi maka 0 < r < rmax. Sudut γ pada TCPST diatur ± π 2. φ φ Gambar Diagram ekivalen TCPST [8] Gambar Diagram phasor TCPST [8]

64 34 Pada Gambar 2.10 diagram rangkaian ekivalen TCPST dapat dimodelkan sebagai daya yang diinjeksikan pada bus i dan bus j. Konfigurasi umum dari pemodelan ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 2.12 ini adalah model yang digunakan pada penelitian ini, dimana perhitungan untuk Psi, Qsi, Psj, dan Qsj diberikan pada persamaan berikut ini : si = r bs Vi V j ij ( θ + γ) P sin (2.61) Q si 2 2 = r bs Vi r bs Vi V j cos ij ( θ + γ) ( θ + γ) ( θ + γ) (2.62) Psj = r bs Vi V j sin ij (2.63) Qsj = r bs Vi V j cos ij (2.64) Dimana : Vs r =, b V i s 1 = dan γ adalah sudut yang dapat diatur oleh TCPST X s Gravitational Search Algorithm (GSA) [32-36] GSA adalah algoritma optimasi metaheuristik baru yang termotivasi oleh hukum Newton tentang gravitasi dan gerak. GSA itu pertama kali diproduksi oleh Rashedi pada tahun Menurut algoritma ini, agen dianggap sebagai obyek dan kinerja yang diukur oleh massa. Setiap objek menarik objek lain dengan gaya gravitasi. Algoritma GSA dapat dijelaskan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Inisialisasi Bila diasumsikan bahwa ada sistem dengan N (dimensi ruang pencarian) massa, posisi massa ke-i dijelaskan sebagai berikut. Pada awalnya, posisi massa adalah tetap secara acak. P s i+ jq s i P s j+ jq s j Gambar Model Injeksi TCPST [8]

65 35 X i ( 1 d, K, K, ), i = 1,2, KN n = xi xi x i (2.65) Dimana: xi d = posisi pada agen ke-i dalam dimensi d. 2. Evaluasi Fitness pada Semua Agen Untuk semua agen, fitness terbaik dan terburuk dihitung pada setiap iterasi sebagai berikut. best( t) = min fit ( t) (2.66) j (1, KN ) j worst( t) = max fit ( t) (2.67) Dimana: j (1, KN ) j fit j (t) = fitness pada agen ke-j pada waktu t. best () t and () t (maksimum). worst = fitness semua agen yang terbaik (minimal) dan terburuk 3. Hitung konstanta gravitasi Konstanta gravitasi G ( t) pada waktu t dihitung sebagai berikut. t G( t) = G0 exp α (2.68) T Dimana: G 0 = nilai awal dari konstanta gravitasi yang dipilih secara acak, α = konstan, t = jumlah iterasi T = jumlah iterasi total. 4. Update beban enersia dan gravitasi Pada langkah ini, beban inersia dan gravitasi diperbarui sebagai berikut. fit i ( t) worst( t) mg i ( t) = (2.69) best( t) worst( t) Dimana:

66 36 fit i () t = fitness pada agen i pada waktu t. mg i ( t) Mg i ( t) = (2.70) N mg ( t) Dimana: j= 1 j Mg i (t) = massa dari agen i pada waktu t. 5. Hitung total Gaya ( ) Pada langkah ini, gaya total yang bekerja pada agen i F d () t sebagai berikut: d i d () t = rand F () t j kbestj i j ij i dihitung F (2.71) Dimana: rand j = nomor acak antara interval [0,1] kbest = himpunan awal agen K dengan nilai fitness terbaik dan massa terbesar. ( ) Gaya yang bekerja pada massa ke i ( M i ( t) ) dari massa ke j ( t) pada waktu t tertentu dijelaskan menurut teori gravitasi sebagai berikut : F d ij ( ( t) ( )) M i ( t) M j ( t) ( t) = G( t) x d x d t R ( t) + ε j i Dimana: ij ( ) R ij () t = jarak Euclidian antara agen i dan j agen X ( t), X ( t) ε = konstanta kecil. i j 2 M j (2.72) 6. Hitung Percepatan dan Kecepatan ( ) Pada langkah ini, percepatan ( t) ( ) a d i dan kecepatan v d i () t dari agen i pada waktu t dalam dimensi ke d dihitung melalui hukum gravitasi dan hukum gerak sebagai berikut. d d F i ( t) ai ( t) = (2.73) d Mg ( t) i

67 37 v d d ( t + 1) = rand vi ( t) ai ( t) (2.74) d i i + Dimana: rand i = nomor acak antara interval [0,1]. 7. Update Posisi Agen ( ( t +1) ) Pada langkah ini posisi berikutnya dari agen i dalam dimesnsi d x d i yang diperbarui sebagai berikut. d d d xi ( t + 1) = xi ( t) + vi ( t + 1) (2.75) Gambar Flowchart GSA [32,34-36]

68 38 8. Pengulangan Dalam langkah ini, langkah-langkah dari 2 sampai 7 yang diulang sampai iterasi mencapai kriteria. Pada akhir iterasi, algoritma mengembalikan nilai posisi dari agen terkait pada dimensi tertentu. Nilai ini adalah solusi global dari masalah optimasi juga. Pada Gambar 2.13 menggambarkan flowchart algoritma GSA Interval Type 2 Fuzzy Logic System (IT2FLS) [42-50] Basis pengetahuan dalam sistem logika fuzzy memiliki ketidakpastian, yang dikarenakan perbedaan pengertian dalam mengartikan kata-kata dalam kaidah fuzzy, perbedaan dalam menentukan himpunan konsekuen setiap kaidah, serta adanya bising yang menyisipi data. Sistem logika fuzzy bertipe 1, yang memiliki fungsi keanggotaan yang tegas, tidak mampu untuk mengatasi ketidakpastian ini. Sedangkan sistem logika fuzzy bertipe 2 yang memiliki fungsi keanggotaan interval yang lebih dikenal Interval type-2 fuzzy logic system (IT2FLS), memiliki kemampuan untuk mengatasi ketidakpastian ini. IT2FLS ini merupakan metode pengembangan dari fuzzy logic controller. IT2FLS sebagai error kompensator merupakan kontroller yang tersusun atas aturan-aturan kontroller yang ditentukan berdasarkan pengetahuan, pengamatan, dan pengenalan respon dari objek yang akan dikendalikan. Aturan-aturan kontroller yang dipakai dalam IT2FLS dinyatakan dalam variabel-variabel linguistik. Metode perancangan IT2FLS menggabungkan aspek pendefinisian himpunan fuzzy untuk memperoleh suatu kontroller yang dapat mempresentasikan cara kerja operator manusia. Dengan prosedur perancangan tertentu kedua aspek diterapkan pada masukan dan keluaran untuk memberi hasil perancangan yang berbentuk suatu algoritma aturan fuzzy. IT2FLS memiliki kesamaan dengan fuzzy logic tipe-1 yaitu proses fuzzifier, rule base, inference engine, dan output processor. Output processor, meliputi tipe reducer dan defuzzifier menghasilkan suatu output fuzzy set tipe-1 atau sebuah bilangan. Namun perbedaannya terletak dalam proses pencarian centroid pada interval type-2 fuzzy set dilakukan dengan Upper Membership

69 39 Function (UMF) dan Lower Membership Function (LMF). Secara umum sistem IT2FLS ini dapat dilihat pada Gambar Operasi Meet untuk Himpunan Interval Untuk operasi irisan pada logika fuzzy bertipe 2 disebut sebagai operasi meet. Misalkan v F F = 1 / v dan G = 1 / w adalah dua himpunan interval tipe 1 dengan domain v [ l, r ][ ( l, r ] [ 0,1] ) dan w [ l, r ][ ( l, r ] [ 0,1] ) f f f f w G g g g g, maka operasi meet antara F dan G adalah: Q = F G Q = 1 / q, dalam T-norm v Q minimum atau produk yang didefinisikan sebagai berikut: Q = F G = 1 / q (2.76) [ l r, l r ] g f f g g dimana q = v w. Operasi meet dari dua himpunan fuzzy tipe 2 interval, secara grafis dapat dilihat pada Gambar Gambar Sistem logika fuzzy bertipe 2 [45-50] 1.5 (a) 1 A B (b) A meet B Gambar Operasi meet pada himpunan fuzzy bertipe 2 interval, (a) himpunan fuzzy A dan B, (b) A B[45]

70 Operasi Join untuk Himpunan Interval Untuk operasi union pada logika fuzzy bertipe 2 disebut sebagai operasi join. Misalkan himpunan F dan G seperti yang telah didefinisikan pada bagian sebelumnya, maka operasi join antara F dan G adalah yang didefinisikan sebagai berikut: Q = F G = Q = F G Q = 1 / q, v Q 1 / q (2.77) [ l r, l r ] g f f g g dimana q = v w. Operasi join dua himpunan fuzzy bertipe 2 interval, secara grafis dapat dilihat pada Gambar Fungsi Keanggotaan Upper dan Lower Footprint of uncertainty (FOU) adalah daerah terbatas yang memuat ketidakpastian derajat keanggotaan primer dari fungsi keanggotaan tipe 2. Upper dan lower membership function adalah dua buah fungsi keanggotaan tipe 1 yang membatasi footprint of uncertainty fungsi keanggotaan interval tipe 2. Upper MF adalah himpunan bagian yang memiliki derajat keanggotaan tertinggi dalam FOU. Sedangkan lower MF adalah sebaliknya. Pada Gambar 2.15 adalah salah satu contoh bentuk MF himpunan fuzzy bertipe 2 interval (fungsi Gauss dengan pergeseran titik tengah), daerah arsiran adalah merupakan FOU. 1.5 (a) 1 A B (b) A join B Gambar Operasi join pada himpunan fuzzy bertipe 2 interval, (a) himpunan fuzzy A dan B, (b) A B[45]

71 41 Fungsi keanggotaan dalam Gambar 2.17 didefinisikan sebagai berikut: ( ) = l k l k k k l k m x x σ μ 2 1 exp, [ ] l k l k l k m m m 2 1, (2.78) dengan k =(1,,p) adalah jumlah antecedent, l=(1,,m) adalah jumlah kaidah (rule). Dengan mengambil: ( ) l k l k k k l k l k m x x m N σ σ exp ;, (2.79) maka fungsi keanggotaan upper didefinisikan sebagai berikut: ( ) ( ) ( ) > < = l k k k l k l k l k k l k l k k k l k l k k l k m x x m N k x m m x x m N x , ;, 1, ;, σ σ μ (2.80) Sedangkan fungsi keanggotaan lower didefinisikan sebagai berikut: ( ) ( ) ( ) + > + < = 2, ;, 2, ;, l k l k k k l k l k l k l k k k l k l k k l k m m x x m N m m x x m N x σ σ μ (2.81) Gambar Fungsi keanggotaan interval tipe2, garis tebal adalah upper MF, sedangkan garis tipis adalah lower MF [45]

72 Inferensi Sistem Logika Fuzzy Bertipe 2 Interval Pada system logika fuzzy, Ketika besaran masukan di fuzzifikasi menggunakan himpunan fuzzy bertipe 2 interval maka l interval bertipe 1 yakni F = [ f, f ] ', dimana : l f sup [ μ ( X 1) μ l ( X1) ] K [ μ ( X p ) μ l ( X p )]/ x Dan f l x X X1 X1 F k F k F l adalah himpunan = K (2.82) X 1 X p x X X1 X1 [ μ ( X1) μ l ( X1) ] K μ ( X p ) μ l ( X p ) F k [ ]/ x = sup K (2.83) X 1 X p Supremum diperoleh ketika setiap suku dalam kotak mencapai supremum, hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.18 sampai dengan Gambar F k Gambar Operasi meet pada SLF bertipe 2 interval menggunakan minimum dan produk untuk singleton bertipe 1 [45]. Gambar Operasi meet pada SLF bertipe 2 interval menggunakan minimum dan produk untuk nonsingleton bertipe 1[45].

73 Reduksi Tipe dan Defuzzifikasi Setelah proses fuzzifikasi, inferensi fuzzy, reduksi tipe dan defuzzifikasi, maka keluaran dari SLF bertipe 2 adalah besaran nyata. Ada beberapa cara reduksi tipe, diantaranya adalah centroid, height dan center of set. Secara umum keluaran dari SLF bertipe 2 interval adalah Y Wl Zl K (2.84) W ( Z,, Z, W, K, W ) pusat l l= 1 1 M 1 M = K K K 1/ Z M W W M 1 1 M Setiap Z l ( l 1, K, M ) M l= 1 = adalah himpunan tipe 1 interval, yang memiliki c dan lebar (spread) ( 0) 1 interval yang memiliki pusat l hl l s l s l. Setiap l l W juga merupakan himpunan tipe h dan lebar (spread) Δ ( Δ 0) l l, dengan anggapan Δ sehingga w 0 untuk l = 1, K, M. demikian juga Y adalah himpunan l tipe 1 interval, sehingga yang dihitung adalah titik paling kiri ( y ki ) dan paling kanan ( y ka ). Nilai y l memiliki ketergantungan terhadap nilai cl sl dan salah satu titik batas dari W, sedangkan nilai ( ) c + s dan salah satu titik batas dari i W i. y ka tergantung pada nilai l l in1 x1 1 l f 0.8 min min x2 in2 f l in1 x prod f l prod f x2 in2 l Gambar Operasi meet pada SLF bertipe 2 interval menggunakan minimum dan produk untuk nonsingleton bertipe 2 [45].

74 44 Persamaan berikut adalah persamaan yang digunakan selama iterasi dalam menghitung nilai ( y ki ) dan ( ka ) S ( W W ) M l= 1 y. Wl Zl,K l= 1 M M (2.85) W 1, Dengan wl [ hl Δl hl + Δl ] [ c s c s ] z + l, dan hl Δl untuk l = 1, K, M sedangkan l l l, l l. S memiliki nilai maksimum pada y ka y ka, pertama kita memakai z l cl + sl = untuk ( l 1, K,M ). Untuk menghitung = dengan tanpa menghilangkan asas umum, z l dianggap telah tersusun dari nilai terkecil hingga terbesar. yaitu z z K z 1 2 M. Langkah selanjutnya adalah:, 1. Menghitung S S( h K, ) w = untuk l = 1, K, M. l h l 2. Mencari ( 1 k M 1) = 1, h M menggunakan Persamaan (2.84), dengan, k demikian sehingga z k S zk+ 1.,, 3. Menghitung S S( h Δ, h Δ, h + Δ, K h + Δ ) = 1 1, k k k+ 1 k+ 1, K menggunakan M M Persamaan (2.84), dengan w = Δl untuk l k dan wl = h l + Δl untuk l h l l k. 4. Memeriksa apakah selanjutnya ke langkah 5; 5. Mengganti nilai, S dengan Nilai minimum S ( w,, ) l l l,,, S = S, jika ya maka iterasi berhenti; jika tidak,,, S, selanjutnya ke langkah 2. K 1 w yaitu M y ki, dapat dihitung menggunakan prosedur yang sama seperti prosedur di atas. Hanya ada dua perubahan yaitu menggunakan z = c s untuk ( l = 1, K,M ). Kemudian pada langkah 3, untuk,, menghitung S S( h + Δ, h + Δ, h Δ, K h Δ ) = 1 1, k k k+ 1 k+ 1, K menggunakan wl = h l + Δl untuk l k dan wl = h l Δl untuk l k + 1. Prosedur ini dapat digunakan untuk semua pereduksi : M M

75 45 1. Reduksi Tipe Centroid (centroid type reduction) Yang dihitung dalam pereduksi ini adalah hasil join dari antecedent kaidah-kaidah yang aktif. Dengan menggunakan prosedur di atas, maka M adalah banyaknya pembagian (diskritisasi) semesta pembicaraan Y sehingga ( y,, ym ), cl yi Y 1 K = ; s l = 0. y ) l = ( L R )/ 2 dan = ( R L )/ 2 h + Y c ( x) i i M i= 1 = 1/ θ M Δ. i= 1 l y θ i i i i i μ memiliki domain [ L, ] ( B i i R i, sehingga K (2.86) θ1 N θ 2. Reduksi Tipe Ketinggian (height type reduction) Y h ( x) Reduksi ketinggian dihitung melalui: M l= 1 = 1/ θ M l= 1 l y θ l l K (2.87) θ1 M θ l y adalah titik dalam semesta pembicaran Y yang memiliki nilai derajat keanggotaan paling tinggi dalam kaidah ke-l. Untuk menggunakan prosedur reduksi di atas, maka l l c l = y, l = 0 = ( L R )/ 2 dan = ( R L )/ 2 h + l l Δ. l l s. ~( y l ) l μ memiliki domain [ L, ] B l R l, sehingga 3. Reduksi Tipe Pusat himpunan (center of sets type reduction) Untuk pereduksi jenis ini, yang pertama dilakukan adalah mencari nilai centroid ( C l ) dari himpunan interval konsekuen setiap kaidah yang aktif. c c c c Domain dari C l adalah [ L, R ], sehingga c = ( L + R ) / 2, l l l l c c s = ( R L ) / 2 sedangkan domain derajat keanggotaan konsekuennya adalah [ L l, R l ], sehingga h l = ( Ll + Rl )/ 2 dan l = ( Rl Ll )/ 2 l Δ. Nilai tegas yang diperoleh dari ketiga jenis pereduksi adalah y ki + y y = ka (2.88) 2 l l l

76 Kestabilan Tegangan pada Sistem Tenaga Listrik [51-56] Kestabilan tegangan pada sistem tenaga listrik menggunakan modal analysis. Modal analysis ini pertama kali diperkenalkan oleh Morrison dan Kundur yang telah menemukan teknik untuk melakukan uji kestabilan tegangan pada setiap bus dengan mengunakan reduksi matrik jacobian. Dasar metode modal analysis ini adalah dengan menghitung nilai eigenvalue dari masing-masing bus dan nilai eigenvector dari matriks Jacobian Reduksi sistem. Eigenvalue merupakan representasi dari perubahan daya reaktif terhadap perubahan tegangan. Modal analysis didasarkan pada matriks Jacobian Reduksi yang diperoleh dari studi aliran daya menggunakan metode Newton Raphson. Persamaan aliran daya menggunakan metode Newton Raphson sebagai berikut: ΔP J = ΔQ J J J Δθ ΔV (2.89) Dengan asumsi bahwa ΔP = 0 pada persamaan 2.89, diperoleh : P = 0 = J Δθ + J Δ atau ΔV Δθ = J J ΔV (2.90) dan Q = J 21Δθ + J ΔV (2.91) Δ 22 Substitusi persamaan (2.90) dan (2.91) diperoleh: Δ Q = J V (2.92) Dimana : R Δ J R = 1 [ J J J ] J12 J R adalah matriks Jacobian Reduksi dari system. Persamaan (2.92), dapat ditulis menjadi : 1 ΔV = J R ΔQ (2.93)

77 47 Matriks J R mewakili hubungan linierisasi antara penambahan terhadap perubahan tegangan ( Δ V ) dan perubahan injeksi daya reaktif ( Q) Δ pada suatu bus. Tegangan pada sistem tenaga listrik dipengaruhi oleh variasi dari daya nyata dan reaktif. Menghilangkan daya nyata (ΔP = 0) dan sudut dari sistem persamaan (2.93), memungkinkan kita untuk fokus pada studi tentang kebutuhan daya reaktif dan masalah supply dari sistem serta meminimalkan komputasi dengan mengurangi dimensi dari matriks Jacobian J. Karakteristik stabilitas tegangan dapat dianalisis dari nilai eigenvalue dan eigenvector dari matriks Jacobian reduksi J R. Nilai eigen dari matriks digunakan untuk melakukan analisis kestabilan tegangan. Disisi lain vektor eigen digunakan untuk menyediakan informasi mekanisme kehilangan stabilitas tegangan. Hasil analisis Eigenvalue J R sebagai berikut: J = ΦΓ (2.94) R Dimana : Φ merupakan matrik eigenvector kanan pada Γ merupakan matrik eigenvector kiri pada J R J R A merupakan matrik diagonal eigenvalue pada J R Persamaan (2.94) dapat dinyatakan : 1 1 J R = Φ A Γ (2.95) Dimana: ΦΓ 1 ΔV = Φ A = Ι Persamaan (2.93) dan (2.95) di substitusikan, diperoleh: 1 ΓΔQ J R atau Φi Γi ΔV = λ i i ΔQ (2.96) Dimana λ i merupakan eigenvalue ke i th, Φi merupakan kolom eigenvector kanan ke i th dan Γ i merupakan baris eigenvector kiri dari matriks J R. Setiap

78 48 eigenvalue λ i dan kolom eigenvector kanan Φ i dan baris eigenvector kiri Γ i merupakan mode ith pada sistem. Variasi daya reaktif dapat didefenisikan: Δ Q = Φ (2.97) K i Dimana: i K i merupakan faktor skala menjadi vektor yang di normalisasi oleh Persamaan (2.97) ini dapat dinyatakan: Δ Qi. 2 2 K i Φ ji = 1 (2.98) j Dengan ΔV = 1 λ Φ ji elemen j th pada i ΔQ Φ i. Dimana ketentuan eigenvalue, dinyatakan sebagai berikut: (2.99) Jika λ = 0, tegangan sistem akan collapse karena perubahan daya reaktif i akan menyebabkan perubahan tegangan menjadi tak berhingga Jika λ > 0, tegangan sistem dalam keadaan stabil. i Jika λ < 0, tegangan sistem dalam keadaan tidak stabil. i Stabilitas sistem yang didasarkan pada kestabilan bus beban dapat diidentifikasi dari keadaan masing-masing bus berdasarkan eigenvalue masingmasing bus beban. Jika semua nilai eigen value bernilai positif ( λ > 0), maka sistem dikatakan stabil, sedangkan sistem dikatakan tidak stabil jika terdapat nilai eigenvalue bernilai negative ( λ < 0). Pki Adapun nilai faktor partisipasinya ditentukan dengan persamaan berikut : = ξ η (2.100) ki ik Berdasarkan sensitivitas V-Q pada bus k dinyatakan dalam persamaan : V Q k k ξkiη = λ i i ik (2.101) Dari persamaan tersebut didapatkan P ki menentukan kontribusi dari λi terhadap sensitivitas V-Q pada bus k. Nilai partisipasi bus menentukan daerah yang diwakili oleh setiap mode. Jumlah dari semua nilai partisipasi untuk setiap

79 49 mode besarnya sama dengan satu karena eigenvector kanan dan eigenvector kirinya telah dinormalisasi. Ukuran dari matriks partisipasi bus dalam mode yang diberikan mengindikasikan keefektifan dari iterasi yang dilakukan pada bus dalam menstabilkan mode. Secara umum terdapat 2 macam tipe mode, tipe yang pertama yang pada beberapa bus memiliki faktor partisipasi bus yang besar dan faktor partisipasi bus yang lainnya mendekati nol, hal tersebut mengindikasikan bahwa cakupan area mode tidak terlalu besar. Tipe yang kedua yang pada mayoritas bus memiliki faktor partisipasi yang kecil namun dengan nilai faktor partisipasi yang hampir sama besarnya, sedangkan nilai partisipasi bus yang lainnya mendekati nol. Hal ini mengindikasikan bahwa cakupan area mode yang luas. Cakupan area mode yang tidak terlalu besar atau disebut area lokal terjadi jika sebuah bus terhubung dengan jaringan sistem yang kuat melalui sebuah saluran transmisi yang panjang. Sedangkan untuk cakupan area yang luas terjadi jika sebuah daerah sistem yang dibebani sangat besar dan kekurangan suplai daya reaktif pada daerah sistem tersebut.

80 Halaman ini sengaja dikosongkan 50

81 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi adalah suatu cara yang tersusun secara teratur dan terstruktur dalam melakukan penelitian. Metodologi dimulai dari penentuan tujuan, perumusan masalah, tinjauan pustaka, kemudian pengumpulan data, dan analisis data. Mulai Pengumpulan data: Diagram satu garis STL, data pembangkit, data saluran dan lain-lain Pengolahan dan analisis data Model optimasi multi FACTS device Simulasi hasil model Keluaran: Lokasi dan rating yang optimal, rugirugi daya, deviasi tegangan minimum, investasi biaya FACTS device dan kestabilan tegangan Selesai Gambar 3.1. Diagram alir penelitian. 51

82 52 Langkah-langkah kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut: 3.1. Studi Literatur Studi literatur dilakukan untuk menunjang pengetahuan dan penguasaan materi dan metode yang digunakan dalam penelitian ini. Studi literatur ini meliputi jurnal ilmiah, pengumpulan proseding, pengumpulan buku teks dan pengumpulan artikel dari internet yang berhubungan dengan FACTS device, kompensasi daya reaktif, TCSC, TCPST, SVC, GSA, LDIW, FL, IT2FLS dan kestabilan tegangan Pengumpulan Jurnal Jurnal merupakan paper-paper yang diterbitkan oleh suatu badan atau lembaga tertentu secara rutin dalam jangka waktu tertentu. Paper-paper yang digunakan dalam penyelesaian penelitian ini adalah berhubungan dengan FACTS device, kompensasi daya reaktif, TCSC, TCPST, SVC, GSA, LDIW, FL, IT2FLS dan kestabilan tegangan Pengumpulan Proseding Proseding adalah paper-paper yang telah dipresentasikan dalam suatu konferensi atau seminar baik nasional maupun internasional kemudian dipublikasikan dalam bentuk majalah atau buku. Paper yang digunakan dalam penyelesaian penelitian ini adalah yang berhubungan dengan FACTS device, kompensasi daya reaktif, TCSC, TCPST, SVC, GSA, LDIW, FL, IT2FLS dan kestabilan tegangan Pengumpulan buku Teks Buku teks yang digunakan adalah yang terkait dengan aliran daya (load flow), FACTS device, kompensasi daya reaktif, TCSC, TCPST, SVC, GSA, LDIW, FL, IT2FLS dan kestabilan tegangan.

83 Lokasi Penelitian dan Pengambilan Data Lokasi penelitian dan pengambilan data dilakukan pada sistem tenaga listrik Jawa-Bali 500 kv yang berasal dari PT PLN (PERSERO) P3B Jawa-Bali. Data-data yang akan digunakan, meliputi: diagram satu garis, data pembangkit, data saluran, dan lain-lain Fungsi Objektif Fungsi multi objektif yang dipertimbangkan dalam menentukan lokasi dan kapasitas dari multi tipe FACTS device ini adalah untuk mereduksi rugi-rugi daya aktif pada saluran transmisi, memperbaiki tegangan deviasi atau profil tegangan pada setiap bus dan meminimumkan investasi biaya instalasi seperti dijelaskan di bawah ini sebagai berikut: oleh: Mereduksi Rugi-rugi Daya Aktif Total rugi-rugi daya aktif pada saluran transmisi tenaga listrik diberikan P loss = = b l= 1 R l I 2 l b b 2 2 [ Vi + V j VV i j cos ( δi δ j )] l= 1 j= 1, i j 2 Y cosϕ Dimana: b adalah jumlah saluran R adalah resistansi pada saluran l I l adalah arus yang melalui saluran l V i adalah besarnya tegangan pada simpul i δ i adalah sudut pada simpul i Y ij dan adalah admitansi saluran ϕ ij adalah sudut dari admitansi saluran ij ij (3.1)

84 54 Memperbaiki Deviasi Tegangan Perbaikan indeks tegangan pada sistem tenaga listrik didefinisikan sebagai deviasi besaran tegangan dari masing-masing bus dalam pu yang didefinisikan sebagai: = 1 i iref 2 b V iref Vi L v = (3.2) V Dimana: n adalah jumlah bus V iref adalah tegangan referensi pada bus i V i adalah tegangan nyata pada bus i. Meminimumkan Biaya Investasi Biaya investasi yang dibutuhkan untuk pemasangan instalasi FACTS device ini adalah biaya investasi FACTS device. Fungsi Biaya FACTS Device Berdasarkan database Siemens AG, fungsi biaya untuk SVC dan TCSC adalah sebagai berikut: Untuk TCSC: 2 3 ( s ) C1 TCSC = s 10 (3.3) Untuk SVC: 2 3 ( s ) C1 SVC = s 10 (3.4) Dimana: C 1TCSC dan C 1SVC dalam US$/MVAR s adalah rating operasi dari FACTS device. Untuk TCPST: Fungsi biaya dari TCPST dapat dinyatakan sebagai berikut: C TCPST = d Pmax + IC (3.5) Dimana: d adalah konstanta positif yang menyatakan biaya kapital

85 55 IC adalah biaya instalasi dari TCPST P max adalah batas termal dari saluran transmisi di mana TCPST di instal. Pada paper [11] dinyatakan bahwa nilai d = 100 US$/MVA dan IC = 26, US$/MVA. Fungsi biaya untuk SVC, TCSC dan UPFC ditunjukkan pada Gambar Fungsi biaya investasi FACTS device ini dapat dinyatakan sebagai berikut: ( f ) c ( ) Min. c = c + 2 Total 1 P G ( f, g) 0 s. t. E = (3.6) ( f ) < b1 B2( g) 2 B 1, < b Dimana: c Total : Fungsi biaya objektif keseluruhan yang meliputi biaya investasi c 2. FACTS device rata-rata c 1 ( f ) dan biaya investasi pembangkit ( ) P G ( f g) E, : Persamaan aliran daya secara konvensional. B 1 ( f ): Ketidaksamaan batasan untuk FACTS device. B 2 ( g) : Ketidaksamaan batasan untuk aliran daya konvensional. f, PG adalah vektor-vektor yang mewakili variabel dari FACTS device dan output daya aktif dari generator. g mewakili keadaan operasi dari daya sistem. Gambar Fungsi biaya FACTS device: SVC, TCSC dan UPFC [24,25].

86 56 Biaya pembangkitan untuk setiap unit adalah US$/Jam dan untuk biaya investasi FACTS device adalah US$. Keduan biaya tersebut diatas harus dalam US$/Jam. Secara normal, FACTS device akan beroperasi selama beberapa tahun. Namun, hanya sebagian dari masa kerja normalnya digunakan untuk mengatur aliran daya. Pada penelitian ini biaya investasi FACTS device akan di evaluasi setiap 5 tahun. Oleh karena itu nilai rata-rata biaya investasi dapat dihitung menggunakan persamaan berikut: ( f ) c c 1( f ) = ( US$ / jam) (3.7) Dimana: c 1 ( f ) adalah total biaya investasi FACTS device. Sebagaimana disebutkan di atas, parameter sistem tenaga dapat diubah menggunakan FACTS device. Parameter yang berbeda mendapatkan hasil yang berbeda pada fungsi objektif. Variasi lokasi dan jenis FACTS device juga berpengaruh pada fungsi objektif. Oleh karena itu, dengan menggunakan metode optimasi konvensional tidak mudah untuk menemukan lokasi optimal FACTS device, jenis dan tingkat nilainya secara simultan Kendala Operasional [3,23,29,30,36,47-52] Karena tujuan penerapan multi tipe FACTS device ini adalah untuk mengontrol variabel-variabel sistem seperti saluran aliran daya aktif dan reaktif dan tegangan bus, maka kendala-kendala berikut ini dipertimbangkan. Persamaan Keseimbangan Aliran Daya Keseimbangan dari daya aktif dan reaktif harus terpenuhi di setiap node. Keseimbangan daya pada setiap bus dapat dirumuskan sebagai: P Q Gi Gi P Di Q Di n Gij cosθ ij Vi V j = 0, i = 1,2, Knb j 1 Bij sin = + θ ij n Gij sinθ ij Vi V j = 0, i = 1,2, Knb j 1 Bij cos = + θ ij (3.8) (3.9)

87 57 Dimana: nb = jumlah bus P G dan Q G = daya aktif dan daya reaktif dari generator P D dan Q D = daya aktif dan reaktif dari beban G ij dan B ij = konduktansi bersama dan susceptansi antara bus i dan bus j Batas Aliran Daya Daya semu yang di kirim melalui cabang l tidak boleh melebihi nilai batas S l max, yang merupakan batas termal dari saluran atau transformator dalam kondisi operasi steady state: Si S i max (3.10) Batas Tegangan Bus Untuk beberapa alasan seperti stabilitas dan kualitas daya, tegangan bus harus dipertahankan sekitar nilai nominal dan itu diberikan oleh: V i min V V (3.11) i nom i max Dalam prakteknya, penyimpangan dapat diterima mencapai hingga 10% dari nilai nominal. Fungsi objektif untuk menyelesaikan masalah penempatan peralatan FACTS yang optimal dihitung dengan menggunakan persamaan (3.1) sampai dengan persamaan (3.8). Masalah kendala tertentu tidak secara eksplisit mengandung variabel dan pengaruh dari kendala harus disertakan dalam nilai fungsi fitness. Kendala diperiksa secara terpisah dan pelanggaran ditangani dengan menggunakan pendekatan fungsi penalti. Dikarenakan FACTS device mempunyai tiga tujuan yang berbeda fungsi matematikanya. Keseluruhan fungsi fitness dianggap bahwa setiap fungsi tujuan dinormalkan dengan cara perbandingan dengan sistem tanpa FACTS device. Fungsi fitness diberikan oleh:

88 58 Ploss Lv C f ( x) = α + β + η ΔLoss ΔV C base base T max (3.12) Dimana P loss, L v dan C T adalah total rugi-rugi daya aktif, indeks penyimpangan tegangan dan total biaya secara keseluruhan, masing-masing α, β dan η adalah koefisien yang sesuai dengan fungsi objektif yang sesuai, faktor biaya, ΔLoss base adalah total rugi-rugi daya aktif pada saluran transmisi, Vbase adalah total penyimpangan tegangan dan C max adalah investasi biaya maksimum. Dengan mempertimbangkan FACTS device bahwa biaya fungsi objektif kurang begitu penting dibandingkan dengan reduksi rugi-rugi daya aktif dan perbaikan profil tegangan, koefisien yang sesuai untuk tujuan masing-masing didefinisikan sebagai α = 40%, β = 40% dan η = 20%. Kestabilan Tegangan berdasarkan Eigenvalue Batas stabilitas steady state merupakan batas pada titik operasi steady state dimana sistem tetap stabil bila terjadi gangguan kecil. Stabilitas dengan gangguan kecil atau stabilitas dinamik dapat dianalisis melalui nilai eigen value dari masing-masing bus dan nilai eigen vektor dari matriks Jacobian Reduksi sistem. Analisis yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan dari hasil matriks Jacobian Reduksi yang diperoleh dari studi aliran daya menggunakan metode Newton Raphson. Kestabilan Tegangan berdasarkan Partisipasi Faktor Nilai Partisipasi Faktor ini dapat digunakan untuk menentukan bus yang terlemah dan terkuat terhadap kestabilan tegangan berdasarkan nilai eigenvalue dari tiap bus beban. Faktor bus partisipasi menentukan area yang tercakup berdasarkan setiap mode. Jumlah dari semua faktor bus partisipasi harus sama dengan satu, karena nilai eigenvector kiri dan eigenvector kanan yang telah dinormalisasi.

89 Metodelogi yang diusulkan Metode yang digunakan untuk mengatur kompensasi daya rekatif menggunakan multi FACTS device adalah menggunakan Improved Gravitation Search Algorithm (IGSA). IGSA ini menggunakan Interval Type 2 Fuzzy Logic System (IT2FLS). IGSA ini dapat mencari beberapa kemungkinan solusi secara bersamaan dan IGSA ini juga tidak memerlukan pengetahuan sebelumnya atau sifat khusus dari fungsi tujuan. Selain itu, IGSA ini diharapkan mampu menghasilkan solusi yang terbaik untuk mencari solusi optimal dalam masalah yang kompleks. Dimulainya IGSA ini dengan generasi secara random dari populasi awal dan kemudian diseleksi serta mutasi untuk mendapatkan populasi yang terbaik ditemukan. A. Pengkodean Tujuan pengkodean ini adalah untuk menemukan lokasi yang optimal pada FACTS device dalam batasan persamaan dan pertidaksamaan. Oleh karena itu, konfigurasi dari FACTS device dikodekan oleh 3 parameter, yaitu : lokasi, jenis dan nilai (rf). Setiap individu diwakili oleh jumlah n FACTS pada string, di mana n FACTS adalah nomor peralatan device yang perlu dianalisis dalam sistem tenaga, seperti yang ditunjukkan pada Gambar Gambar Konfigurasi individu pada FACTS device

90 60 Nilai pertama dari string masing-masing sesuai dengan informasi lokasi. Nilai tersebut adalan nomor saluran transmisi lokasi FACTS device berada. Setiap string memiliki nilai lokasi yang berbeda. Dengan kata lain, harus dipastikan bahwa pada satu saluran transmisi hanya ada satu FACTS device. Nilai kedua merupakan jenis FACTS device. Nilai yang dinyatakan pada FACTS device adalah nilai 1 untuk TCSC, nilai 2 untuk SVC, nilai 3 untuk TCPST dan nilai 0 untuk kondisi yang tidak ada peralatan FACTS. Secara khusus, jika tidak ada FACTS device yang diperlukan pada saluran transmisi, nilai 0 akan bekerja. Nilai akhir rf menyatakan nilai pengenal dari setiap FACTS device. Nilai ini bervariasi antara -1 dan +1. Nilai real dari setiap FACTS device ini kemudian dikonversikan menurut jenis FACTS device yang berbeda sesuai dengan kriteria berikut ini. TCSC TCSC memiliki range antara -0,7 X Line dan 0,2 X Line, dimana X saluran adalah reaktansi saluran transmisi di mana TCSC terpasang. Oleh karena itu rf diubah ke dalam derajat kompensasi real rtcsc menggunakan persamaan berikut: rt csc = rf 0,45 0,25 (3.13) TCPST Range kerja TCPST adalah antara - 5 dan 5. Kemudian rf diubah ke dalam shift phase real rtcpst menggunakan persamaan berikut: ( derajat) rtcpst = rf 5 (3.14) SVC Range kerja SVC adalah antara -200 MVar dan 200 MVar. Kemudian rf dikonversi ke dalam nilai kompensasi riil menggunakan: ( MVar) rsvc = rf 200 (3.15)

91 61 B. Populasi awal Populasi awal yang dihasilkan dari parameter berikut: n FACTS : Jumlah FACTS device yang ditempatkan. n Type : Jenis FACTS device. n Location : Lokasi yang memungkinkan untuk FACTS device. n Ind : Jumlah individu dari populasi. Pertama, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3.3, dibuat sekelompok n FACTS string yang dihasilkan. Untuk setiap string, nilai pertama adalah dipilih secara acak yang terpilih dari lokasi yang memungkinkan n lokasi. Nilai kedua, yang merupakan jenis FACTS device, diperoleh dengan mengambil angka secara acak diantara peralatan yang telah dipilih. Secara khusus, setelah optimasi, jika tidak ada FACTS device yang diperlukan untuk saluran transmisi ini, nilai kedua akan ditetapkan nol. Nilai ketiga dari setiap string, yang berisi nilai dari peralatan FACTS, dipilih secara acak antara -1 dan +1. Untuk mendapatkan seluruh populasi awal, operasi di atas diulang sebanyak n Ind kali. Perhitungan dari seluruh populasi ini dapat dilihat pada Gambar 3.4. Gambar 3.4. Perhitungan seluruh populasi.

92 62 C. Perhitungan Fitness Setelah pengkodean, fungsi objektif akan dievaluasi untuk masing-masing individu pada populasi. Fitness adalah perhitungan kualitas yang digunakan untuk membandingkan solusi yang berbeda. Untuk semua agen, fitness terbaik dan terburuk dihitung pada setiap iterasi. Dalam penelitian ini fungsi fitness adalah meminimumkan rugi-rugi daya aktif pada saluran transmisi menggunakan persamaan (3.1), meminimumkan deviasi tegangan menggunakan persamaan (3.2) dan meminimumkan biaya investasi instalasi keseluruhan menggunakan persamaan (3.7). Rugi-rugi daya aktif pada saluran transmisi, deviasi tegangan dan biaya investasi minimum dipilih sebagai fitness terbaik menggunakan persamaan (2.65) dan Rugi-rugi daya aktif, deviasi tegangan dan biaya investasi minimum dipilih sebagai fitness terburuk menggunakan persamaan (2.66). D. Perhitungan Konstata Grafitasi Melakukan update konstanta grafitasi (G) sesuai dengan populasi fitness agen yang terbaik (minimal) dan terburuk (maksimum) menggunakan persamaan (2.67). E. Perhitungan Massa Inersia Menghitung nilai massa inersia (M) untuk setiap agen menggunakan persamaan (2.68) dan persamaan (2.69). F. Perhitungan Percepatan Selanjutnya menghitung nilai percepatan (a) menggunakan persamaan (2.72). G. Penalaan Model Simulasi : - Penalaan Linear Decreasing Inertia Weight (LDIW) LDIW ini digunakan untuk mengontrol kecepatan dan menjaga keseimbangan dalam mempengaruhi trade-off antara kemampuan eksplorasi

93 63 global dan lokal selama proses pencarian serta merupakan parameter penurunan kecepatan untuk menghindari stagnasi partikel di lokal optimum. Bila nilai LDIW terlalu besar maka sistem akan selalu mengeksplorasi area baru dan konsekuensinya kemampuan untuk mengeksplorasi nilai lokal semakin berkurang sehingga gagal untuk menemukan solusi dan bila nilai inertia weight terlalu kecil maka bisa terjebak dilokal optimum. Persamaan LDIW: w k ( w w ) max max min w k = (3.16) kmax Dimana: w max = nilai maximal w min = nilai minimal k max = maximal iterasi. k = iterasi Pada penelitian ini nilai LDIW yang digunakan dimulai dengan nilai yang besar yaitu 1.02 untuk mengeksplor nilai global kemudian secara dinamis menurun sampai kenilai LDIW minimum yaitu 0.2 untuk mengeksplor nilai lokal selama proses optimasi berlangsung. - Penalaal Fuzzy Logic (FL) Pada penelitian ini, Fuzzy (FL) diaplikasikan untuk menala nilai bobot inersia ω () t yang digunakan untuk mengatur kecepatan pada GSA agar lebih optimal sehingga dapat meningkatkan performansi GSA. Nilai best fitness (BF) dari GSA digunakan sebagai variabel input dari FL dan bobot inersia adalah variable output dari FL. Pengambilan nilai best fitness (BF) dari GSA sebagai variabel input dari FL adalah karena nilai BF ditentukan untuk menentukan kandidat terbaik solusi dari performansi algoritma. Fungsi keanggotaan pada best fitness (BF) dan fungsi keanggotaan pada bobot inersia menggunakan FL ini dapat dilihat pada Gambar 3.5 dan Gambar 3.6.

94 64 Pada penelitian ini menggunakan fungsi keanggotaan segitiga, fungsi keanggotaan segitiga ini mudah untuk merancang dan mengimplementasikannya dan juga hasilnya tidak begitu berbeda dibandingkan dengan sigmoid. Nilai input dan nilai output dari FL ini adalah menggunakan PS (positif kecil), PM (positif medium), PB (positif besar) dan PR (positif sangat besar). Aturan dari FL ini menggunakan aturan tipe Mamdani. Fungsi Keanggotaan Input FL (Best Fitness) 1 PS PM PB PR 0.8 Degree of membership Best Fitness (BF) Gambar 3.5. Fungsi keanggotaan input FL (Best Fitness) Fungsi Keanggotaan Output FL (Inertia Weight) 1 PS PM PB PR 0.8 Degree of membership Inertia Weigth (w) Gambar 3.6. Fungsi keanggotaan output FL (Inertia Weight)

95 65 Sebagai contoh, Jika (BF adalah PS) maka (w adalah PR). aturan FL ini digunakan untuk menala bobot inersia ini dapat dilihat pada Tabe 3.1. Tabel 3.1. Aturan bobot inersia menggunakan FL BF PS PM PB PR w PR PB PM PS - Penalaan Interval Tipe 2 Fuzzy Logic System (IT2FLS) Pada penelitian ini, IT2FLS diaplikasikan untuk menala nilai bobot inersia ω () t yang digunakan untuk mengatur kecepatan pada GSA agar lebih optimal sehingga dapat meningkatkan performansi GSA. Nilai best fitness (BF) dari GSA digunakan sebagai variabel input dari IT2FLS dan bobot inersia adalah variable output dari IT2FLS. Pengambilan nilai best fitness (BF) dari GSA sebagai variabel input dari IT2FLS adalah karena nilai BF ditentukan untuk menentukan kandidat terbaik solusi dari performansi algoritma. Fungsi keanggotaan pada best fitness (BF) dan fungsi keanggotaan pada bobot inersia menggunakan IT2FLS ini dapat dilihat pada Gambar 3.7 dan Gambar PS PM PB PR Fungsi Keanggotaan Input IT2FLS (Best Fitness) Gambar 3.7. Fungsi keanggotaan input IT2FLS (Best Fitness)

96 66 Pada penelitian ini menggunakan fungsi keanggotaan segitiga, fungsi keanggotaan segitiga ini mudah untuk merancang dan mengimplementasikan nya dan juga hasilnya tidak begitu berbeda dibandingkan dengan sigmoid. Nilai input dan nilai output dari FL ini adalah menggunakan PS (positif kecil), PM (positif medium), PB (positif besar) dan PR (positif sangat besar). Aturan dari FL ini menggunakan aturan tipe Mamdani. Sebagai contoh, Jika (BF adalah PS) maka (w adalah PR). aturan IT2FLS ini digunakan untuk menala bobot inersia ini dapat dilihat pada Tabe 3.2. Tabel 3.2. Aturan bobot inersia menggunakan IT2FLS BF PS PM PB PR w PR PB PM PS H. Perhitungan Kecepatan Melakukan update kecepatan (v) menggunakan persamaan: v ( t + ) = ω() t v () t a () t 1 (3.17) i i + i 1 PS PM PB PR Fungsi Keanggotaan Output IT2FLS (Inertia Weight) Gambar 3.8. Fungsi keanggotaan output IT2FLS (Inertia Weight)

97 67 I. Perhitungan Mutasi Posisi Agen Melakukan mutasi posisi agen (x) menggunakan persamaan: n ( t + 1) = x ( t) + v ( t + 1) ' xi i i (3.18) J. Perhitungan Biaya Investasi Setelah proses kriteria berakhir, maka perhitungan biaya investasi instalasi secara keseluruhan dilakukan menggunakan persamaan (3.3) sampai dengan persamaan (3.7). Perhitungan biaya investasi ini dibutuhkan untuk melihat berapa biaya investasi yang dibutuhkan dalam instalasi FACTS device. K. Pengulangan Mengulangi langkah selanjutnya mulai dari langkah C sampai langkah I dan berhenti sampai jumlah maksimum dari iterasi sudah terpenuhi.

98 68 Pada Gambar 3.9 ini menggambarkan flowchart algoritma IGSA, yaitu: Gambar 3.9. Flowchart IGSA [32, 34-41]

99 69 Kemudian setelah itu dilakukan uji kestabilan tegangan pada setiap bus menggunakan modal analysis berdasarkan analisis nilai eigenvalue dan nilai partisipasi faktor. Pada Gambar 3.10 ini menggambarkan flowchart kestabilan tegangan menggunakan modal analysis Simulasi FACTS Device Model simulasi yang akan dilakukan pada penelitian ini menggunakan FACTS device dan di bagi dalam 5 (lima) model simulasi, yaitu: 1. Simulasi aliran daya sebelum pemasangan FACTS device 2. Simulasi aliran daya setelah pemasangan TCSC 3. Simulasi aliran daya setelah pemasangan SVC 4. Simulasi aliran daya setelah pemasangan TCPST 5. Simulasi aliran daya setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST Gambar Flowchart kestabilan menggunakan modal anaysis

100 Pengujian Model Sistem Dalam rangka untuk memverifikasi efektivitas IGSA ini, maka diperlukan pengujian sistem menggunakan sistem pembangkit tenaga listrik Jawa-Bali 500 kv.

101 BAB IV SIMULASI DAN PEMBAHASAN 4.1. Sistem Kelistrikan Jawa-Bali 500 kv Sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv dapat dilihat pada single line diagram seperti pada Gambar 4.1. Gambar 4.1. Single line diagram sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv 71

102 72 Sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv ini, dilakukan dengan menggunakan data-data yang diperoleh dari PT PLN (Persero) Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban (P3B) Jawa-Bali. Sistem kelistrikan Jawa-Bali terinterkoneksi melalui saluran transmisi 500 kv, yang terdiri-dari 25 bus dan 30 saluran, serta 8 pembangkit. Pembangkit-pembangkit yang terpasang antara lain pembangkit Suralaya, pembangkit Muaratawar, pembangkit Cirata, pembangkit Saguling, pembangkit Tanjung Jati, pembangkit Gresik, pembangkit Paiton dan pembangkit Grati. Diantara 8 pembangkit tersebut, pembangkit Cirata dan pembangkit Saguling merupakan pembangkit tenaga air, sedangkan pembangkit yang lainnya merupakan pembangkit tenaga uap Data Pembangkitan, Saluran dan Fungsi Biaya Data pembangkitan dan beban yang digunakan pada penelitian ini adalah pada saat beban puncak siang hari dengan jumlah beban total terpasang adalah MW dan MVAR dan pembangkitan sebesar ,611 MW dan 6.244,647 MVAR. Data beban dan pembangkitan sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv ini dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Data beban dan pembangkitan pada sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv No Jenis Pembangkitan Pembebanan Nama Bus Bus Bus P (MW) Q (MVAR) P (MW) Q (MVAR) 1 Suralaya Swing 3211,6 1074, Cilegon Beban Kembangan Beban Gandul Beban Cibinong Beban Cawang Beban Bekasi Beban Muaratawar Generator Cibatu Beban Cirata Generator Saguling Generator 698, Bandung Selatan Beban Mandiracan Beban

103 73 Tabel 4.1. Lanjutan No Jenis Pembangkitan Pembebanan Nama Bus Bus Bus P (MW) Q (MVAR) P (MW) Q (MVAR) 14 Ungaran Beban Tanjung Jati Generator 1321, Surabaya Barat Beban Gresik Generator , Depok Beban Tasikmalaya Beban Pedan Beban Kediri Beban Paiton Generator , Grati Generator 398, Balaraja Beban Ngimbang Beban Data saluran pada sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv ini dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Data saluran pada sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv No. Saluran R (p.u.) X (p.u.) ½ B (p.u.) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

104 74 Tabel 4.2. Lanjutan No. Saluran R (p.u.) X (p.u.) ½ B (p.u.) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Penyelesaian analisis aliran daya ini dilakukakan menggunakan metode Newton Rapson didasarkan pada: 1. Base tegangan = 500 kv 2. Base MVA = 1000 MVA 3. Akurasi = 0, Akselerasi = 1,1 5. Maksimum iterasi = 50 Selanjutnya, bus-bus yang ada diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Swing Bus : Suralaya 2. Bus Generator : Muaratawar, Cirata, Saguling, Paiton, Tanjung Jati, dan Gresik. 3. Bus Beban : Cilegon, Kembangan, Gandul, Cibinong, Cawang, Bekasi, Cibatu, Bandung Selatan, Maduracan, Ungaran, Pedan, Kediri, Surabaya Barat, dan Grati. Dari data Tabel 4.1 dan Tabel 4.2 ini dilakukan studi aliran daya untuk membandingkan antara sistem yang tidak diinjeksi daya reaktif dengan sistem sistem yang diinjeksikan daya reaktif berupa FACTS device yang lokasi dan rating optimalnya ditentukan dengan menggunakan GSA dan IGSA. Untuk menentukan lokasi dan rating optimal FACTS device ini, maka simulasi dilakukan dengan menggunakan 3 (tiga) jenis FACTS device dan di bagi dalam 5 (lima) simulasi, yaitu :

105 75 1. Simulasi aliran daya sebelum pemasangan FACTS device 2. Simulasi aliran daya setelah pemasangan TCSC 3. Simulasi aliran daya setelah pemasangan SVC 4. Simulasi aliran daya setelah pemasangan TCPST 5. Simulasi aliran daya setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST 4.3. Hasil Simulasi Aliran Daya Sebelum Pemasangan FACTS Device Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus sebelum pemasangan FACTS device menggunakan metode Newton Raphson ini dapat dilihat pada lampiran-1. Profil tegangan pada masing-masing bus sebelum pemasangan FACTS device ini dapat dilihat pada Gambar 4.2. Pada Gambar 4.2 ini menunjukkan bahwa nilai tegangan pada sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv berada dalam rentang 0,874 pu sampai 1,020 pu. Tegangan tertinggi terjadi pada bus 1 (Suralaya) dan tegangan yang paling rendah pada bus 20 (Pedan). Dari Gambar 4.2 ini juga menunjukkan bahwa terdapat 7 bus yang mempunyai tegangan diluar batas toleransi ± 5% atau sebesar (0,95 ± 1,05 pu) dari tegangan referensi, yaitu bus 12 (Bandung Selatan) = 0,948 pu, bus 13 (Mandiracan) = 0,911 pu, bus 14 (Ungaran) = 0,907 pu, bus 19 (Tasikmalaya) = 0,875 pu, bus 20 (Pedan) = 0,874 pu, bus 21 (Kediri) = 0,902 pu dan bus 25 (Ngimbang) = 0,946 pu. 1,05 Tegangan bus (pu) 1 0,95 0,9 0,85 0, Penomoran bus Gambar 4.2. Profil tegangan pada masing-masing bus sebelum pemasangan FACTS device

106 76 Hasil simulasi rugi-rugi aliran daya pada masing-masing saluran sebelum pemasangan FACTS device menggunakan metode Newton Raphson ini dapat dilihat pada Lampiran-2. Rugi-rugi aliran daya pada masing-masing saluran sebelum pemasangan FACTS device ini dapat dilihat pada Gambar 4.3. Pada gambar 4.3 ini menunjukan bahwa total rugi-rugi daya aktif yang terjadi pada saluran transmisi Jawa-Bali 500 kv sebesar 297,607 MW dan rugirugi daya reaktif sebesar 2926,825 MVAR dengan pasokan daya dari pembangkit daya aktif sebesar 10658,607 MW dan pembangkit daya reaktif sebesar 7338,924 MVAR. Rugi-rugi daya aktif terbesar terjadi pada saluran sebesar 60,593 MW dan terkecil terjadi pada saluran 3-4 sebesar 0,069 MW. Sedangkan rugi-rugi daya reaktif terbesar terjadi pada saluran sebesar 561,663 MVAR dan terkecil terjadi pada saluran 3-4 sebesar 0,775 MVAR. Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai eigenvalue sebelum pemasangan FACTS device ini dapat dilihat pada Tabel Rugi rugi daya aktif (MW) dan daya reaktif (MVAR) Nomor saluran Rugi-rugi daya aktif Rugi-rugi daya reaktif Gambar 4.3. Perbandingan rugi-rugi daya pada saluran transmisi sebelum pemasangan FACTS device

107 77 Tabel 4.3. Nilai eigenvalue (λ) sebelum pemasangan FACTS device Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Eigenvalue 1 2 Cilegon 434, Kembangan 221, Gandul 150, Cibinong 120, Cawang 118, Bekasi 77, Cibatu 72, Bandung Selatan 61, Mandiracan 59, Ungaran 41, Surabaya Barat 5, Depok 24, Tasikmalaya 20, Pedan 9, Kediri 16, Balaraja 12, Ngimbang 13,79 Pada Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa keseluruhan bus beban memiliki nilai eigenvalue positif (λ>0) yang berarti semua bus beban memiliki tegangan sistem yang stabil. Nilai eigenvalue (λ) yang terbesar terjadi pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 434,65 dan nilai eigenvalue (λ) yang terkecil terjadi pada bus beban 16 (Surabaya Barat) sebesar 5,11. Pada bus beban 16 (Surabaya barat) inilah yang berpeluang mengalami ketidakstabilan tegangan. Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai partisipasi faktor sebelum pemasangan FACTS device ini dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4. Nilai Partisipasi Faktor masing-masing Bus Beban sebelum pemasangan FACTS device Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor 1 2 Cilegon 0, Kembangan 0, Gandul 0, Cibinong 0, Cawang 0, Bekasi 0,00637

108 78 Tabel 4.4. Lanjutan Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor 7 9 Cibatu 0, Bandung Selatan 0, Mandiracan 0, Ungaran 0, Surabaya Barat 0, Depok 0, Tasikmalaya 0, Pedan 0, Kediri 0, Balaraja 0, Ngimbang 0,01186 Hasil nilai partisipasi faktor pada masing-masing bus beban sebelum pemasangan FACTS device ini dapat dilihat pada Gambar 4.4. Pada Gambar 4.4 ini menunjukan bahwa sebelum pemasangan FACTS device ini, bus beban yang menyumbang ketidakstabilan tegangan adalah mode 13 pada bus beban 19, mode 14 pada bus beban 20 dan mode 15 pada bus beban 21. Bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terbesar adalah mode 13 pada bus beban 19 (Tasikmalaya) sebesar 0,41333 dan bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terkecil adalah mode 1 pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 0, Participation Factors for Minimum Eigenvalue Nb Participation Factor Bus nb. Gambar 4.4. Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban sebelum pemasangan FACTS device

109 Hasil Simulasi Aliran Daya Setelah Pemasangan FACTS Device Hasil Simulasi Aliran Daya Setelah Pemasangan TCSC Hasil simulasi aliran daya setelah pemasangan TCSC ini menggunakan beberapa metode, yaitu : 1. Simulasi setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA Hasil kurva konvergensi setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Gambar 4.5. Pada Gambar 4.5 ini menunjukan bahwa karakteristik konvergensi setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA ini konvergen pada fungsi fitnes sebesar 0,3888 dan menghasilkan nilai rugi daya aktif pada saluran transmisi sebesar 288,59 MW serta rugi daya reaktif sebesar 2444,869 MVAR. Hasil simulasi lokasi dan rating setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5. Lokasi dan rating setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA Lokasi Bus Dari Ke Rating (pu) Depok 19. Tasikmalaya -0, Cibatu 10. Cirata 0, Ungaran 15. Tanjung Jati -0, Cilegon 5. Cibinong -0, Mandiracan 14. Ungaran -0, Convergence of GSA Graphic Fitness Function Iteration Gambar 4.5. Karakteristik konvergensi setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA

110 80 Pada Tabel 4.5 ini menunjukan bahwa kompensasi sistem setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA ini efektif untuk meningkatkan tegangan bus pada sistem. TCSC digunakan untuk mengurangi pembebanan pada saluran transmisi dengan mengalihkan aliran daya tersebut pada arah tertentu. Pada Tabel 4.5 ini menunjukan bahwa daya yang mengalir pada saluran 18-19, 9-10, 14-15, 2-5, dan ini menjadi lebih besar. Pada Tabel 4.5 ini menunjukan bahwa lokasi dan rating setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA pada saluran transmisi tenaga listrik Jawa-Bali 500 KV terbesar terjadi pada saluran 9-10 sebesar 0,00189 pu dan rating terkecil terjadi pada saluran sebesar -0,08600 pu. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA ini dapat dilihat pada lampiran 3. Perbandingan profil tegangan pada masing-masing bus sebelum dan setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Gambar 4.6. Dari Gambar 4.6 ini juga menunjukkan bahwa profil tegangan pada setiap bus setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA ini berada di dalam batas toleransi ± 5% dari tegangan referensi atau dapat dikatakan bahwa tegangan pada sistem Jawa-Bali menjadi lebih baik setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA ini. Tegangan tertinggi terjadi pada bus 1 (Suralaya), yaitu 1,020 pu dan tegangan yang paling rendah terdapat pada bus 18 (Depok) sebesar 0,954 pu. 1,05 Tegangan bus (pu) 1 0,95 0,9 0,85 0, Penomoran bus Tegangan bus sebelum TCSC Tegangan bus setelah TCSC menggunakan GSA Gambar 4.6. Perbandingan Profil tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA

111 81 Hasil simulasi rugi-rugi daya pada masing-masing saluran setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA ini dapat dilihat pada lampiran 4. Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Gambar 4.7. Pada Gambar 4.7 ini menunjukkan bahwa hasil simulasi aliran daya setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA mampu mereduksi rugi-rugi daya aktif sebesar 9,015 MW. Rugi daya aktif setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA terbesar terjadi pada saluran sebesar 50,197 MW dan rugi daya aktif terkecil terjadi pada saluran 3-4 sebesar 0,007 MW. Hasil simulasi rugi-rugi daya aktif, tegangan deviasi dan fungsi biaya investasi setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Tabel 4.6. Tabel.4.6. Fungsi objektif setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA No Fungsi Objektif TCSC Nilai 1. Fungsi Fitnes 0, Rugi-rugi daya aktif (MW) 288, Tegangan deviasi (pu) 0, Investasi Biaya TCSC dalam 5 th (US $/jam) 17,57 70 Rugi rugi daya aktif (MW) saluran Rugi rugi daya aktif sebelum TCSC Rugi rugi daya aktif setelah TCSC menggunakan GSA Gambar 4.7. Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA

112 82 Pada Tabel 4.6 ini dapat dilihat bahwa fungsi fitnes ini diperoleh dengan menetapkan bobot 40% dari rugi-rugi daya aktif dibandingkan dengan rugi-rugi daya aktif dasar sebesar 297,607 MW, bobot 40% dari deviasi tegangan di bandingkan dengan total penyimpangan tegangan sebesar 1 pu, dan bobot 20% dari biaya keseluruhan TCSC menggunakan GSA di bandingkan dengan investasi biaya maksimum TCSC menggunakan GSA. Perhitungan fungsi fitnes ini diperoleh menggunakan persamaan Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Tabel 4.7. Tabel 4.7. Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Eigenvalue 1 2 Cilegon 436, Kembangan 220, Gandul 151, Cibinong 119, Cawang 118, Bekasi 79, Cibatu 69, Bandung Selatan 61, Mandiracan 59, Ungaran 47, Surabaya Barat 6, Depok 10, Tasikmalaya 26, Pedan 22, Kediri 14, Balaraja 17, Ngimbang 17,24 Pada Tabel 4.7 dapat dilihat bahwa keseluruhan bus beban memiliki nilai eigenvalue positif (λ>0) yang berarti semua bus beban memiliki tegangan sistem yang stabil. Nilai eigenvalue (λ) yang terbesar terjadi pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 436,02 dan nilai eigenvalue (λ) yang terkecil terjadi pada bus beban 16 (Surabaya Barat) sebesar 6,55. Pada bus beban 16 (Surabaya barat) inilah yang berpeluang mengalami ketidakstabilan tegangan.

113 83 Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai partisipasi faktor setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Tabel 4.8. Tabel 4.8. Nilai Partisipasi Faktor masing-masing Bus Beban setelah pemasangan TCSC menggunkaan GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor 1 2 Cilegon 0, Kembangan 0, Gandul 0, Cibinong 0, Cawang 0, Bekasi 0, Cibatu 0, Bandung Selatan 0, Mandiracan 0, Ungaran 0, Surabaya Barat 0, Depok 0, Tasikmalaya 0, Pedan 0, Kediri 0, Balaraja 0, Ngimbang 0,00917 Hasil partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Gambar Participation Factors for Minimum Eigenvalue Nb Participation Factor Bus nb. Gambar 4.8. Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan TCSC mengunakan GSA

114 84 Pada Gambar 4.8 ini menunjukan bahwa setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA ini terjadi beberapa bus beban yang menyumbang ketidakstabilan tegangan adalah mode 13 pada bus beban 19, mode 14 pada bus beban 20 dan mode 15 pada bus beban 21. Hal ini dikarenakan luas area mode 13, mode 14 dan mode 15 ini terhubung dengan saluran transmisi yang panjang pada bus beban sekitar 280 km dan sekitar 305 km. Bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terbesar adalah mode 14 pada bus beban 20 (Pedan) sebesar 0, dan bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terkecil adalah mode 7 pada bus beban 9 (Cibatu) sebesar 0, Simulasi setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA Hasil kurva konvergensi setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW- GSA ini dapat dilihat pada Gambar 4.9. Pada Gambar 4.9 menunjukan bahwa karakteristik konvergensi setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA ini konvergen pada fungsi fitnes sebesar 0,387 dan menghasilkan nilai rugi daya aktif pada saluran transmisi sebesar 287,397 MW serta rugi daya reaktif sebesar 2350,763 MVAR. Hasil simulasi lokasi dan rating setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA ini dapat dilihat pada lampiran 8. Hasil simulasi lokasi dan rating setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Tabel 4.9. Convergence of GSA Graphic Fitness Function Iteration Gambar 4.9. Karakteristik konvergensi setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA

115 85 Tabel 4.9. Lokasi dan rating setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA Nomor Bus Saluran Dari Ke Rating (pu) Depok 19. Tasikmalaya -0, Kediri 22. Paiton -0, Cawang 7. Bekasi 0, Cilegon 5. Cibinong -0, Ungaran 16. Surabaya Barat -0,05950 Pada Tabel 4.9 ini menunjukan bahwa kompensasi sistem setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA ini efektif untuk meningkatkan tegangan bus pada sistem. TCSC digunakan untuk mengurangi pembebanan pada saluran transmisi dengan mengalihkan aliran daya tersebut pada arah tertentu. Pada Tabel 4.9 ini menunjukan bahwa daya yang mengalir pada saluran 18-19, 21-22, 6-7, 2-5 dan ini menjadi lebih besar. Pada Tabel 4.9 ini menunjukan bahwa lokasi dan rating setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA pada saluran transmisi tenaga listrik Jawa-Bali 500 KV terbesar terjadi pada saluran 6-7 sebesar 0,00139 dan rating terkecil terjadi pada saluran sebesar -0, Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada lampiran-5. Perbandingan profil tegangan pada masing-masing bus sebelum dan setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Tegangan bus (pu) 1,05 1 0,95 0,9 0,85 0, Penomoran bus Tegangan bus sebelum TCSC Tegangan bus setelah TCSC menggunakan LDIW GSA Gambar Perbandingan profil tegangan sebelum dan setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA

116 86 Dari Gambar 4.10 ini juga menunjukkan bahwa profil tegangan setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA ini berada di dalam batas toleransi ± 5% dari tegangan referensi atau dapat dikatakan bahwa tegangan pada sistem Jawa-Bali menjadi lebih baik setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW- GSA. Tegangan tertinggi terjadi pada bus 1 (Suralaya), yaitu 1,020 pu dan tegangan yang paling rendah terdapat pada bus 12 (Bandung Selatan) sebesar 0,952 pu. Hasil simulasi rugi-rugi daya pada masing-masing saluran setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA ini dapat dilihat pada lampiran 6. Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.11 ini menunjukkan bahwa hasil simulasi aliran daya setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA mampu mereduksi rugirugi daya aktif sebesar 10,21 MW. Rugi daya aktif setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA terbesar terjadi pada saluran sebesar 46,212 MW dan rugi daya aktif terkecil terjadi pada saluran 3-4 sebesar 0,069 MW Rugi rugi daya aktif (MW) Saluran Rugi rugi daya aktif sebelum TCSC Rugi rugi daya aktif setelah TCSC menggunakan LDIW GSA Gambar Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA

117 87 Hasil simulasi rugi-rugi daya aktif, tegangan deviasi dan fungsi biaya investasi setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA No Fungsi Objektif TCSC Nilai 1. Fungsi Fitnes 0, Rugi-rugi daya aktif (MW) 287, Tegangan deviasi (pu) 0, Investasi Biaya TCSC dalam 5 th (US $/jam) 17,58 Pada Tabel 4.10 ini dapat dilihat bahwa fungsi fitnes ini diperoleh dengan menetapkan bobot 40% dari rugi-rugi daya aktif dibandingkan dengan rugi-rugi daya aktif dasar sebesar 297,607 MW, bobot 40% dari deviasi tegangan di bandingkan dengan total penyimpangan tegangan sebesar 1 pu, dan bobot 20% dari biaya keseluruhan TCSC menggunakan LDIW-GSA di bandingkan dengan investasi biaya maksimum TCSC menggunakan LDIW-GSA. Perhitungan fungsi fitnes ini diperoleh menggunakan persamaan Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW- GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Eigenvalue 1 2 Cilegon 441, Kembangan 225, Gandul 156, Cibinong 123, Cawang 114, Bekasi 81, Cibatu 72, Bandung Selatan 61, Mandiracan 60, Ungaran 44, Surabaya Barat 7, Depok 29, Tasikmalaya 11, Pedan 23, Kediri 15,46

118 88 Tabel Lanjutan Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Eigenvalue Balaraja 17, Ngimbang 19,17 Pada Tabel 4.11 dapat dilihat bahwa keseluruhan bus beban memiliki nilai eigenvalue positif (λ>0) yang berarti semua bus beban memiliki tegangan sistem yang stabil. Nilai eigenvalue (λ) yang terbesar terjadi pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 441,18 dan nilai eigenvalue (λ) yang terkecil terjadi pada bus beban 16 (Surabaya Barat) sebesar 7,42. Pada bus beban 16 (Surabaya barat) inilah yang berpeluang mengalami ketidakstabilan tegangan. Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai partisipasi faktor setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Nilai Partisipasi Faktor masing-masing Bus Beban Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor 1 2 Cilegon 0, Kembangan 0, Gandul 0, Cibinong 0, Cawang 0, Bekasi 0, Cibatu 0, Bandung Selatan 0, Mandiracan 0, Ungaran 0, Surabaya Barat 0, Depok 0, Tasikmalaya 0, Pedan 0, Kediri 0, Balaraja 0, Ngimbang 0, Hasil partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Gambar 4.12.

119 89 Pada Gambar 4.12 ini menunjukan bahwa setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA ini terjadi beberapa bus beban yang menyumbang ketidakstabilan tegangan adalah mode 13 pada bus beban 19 dan mode 14 pada bus beban 20. Hal ini dikarenakan luas area mode 13 dan mode 14 ini terhubung dengan saluran transmisi yang panjang pada bus beban sekitar 280 km dan sekitar 305 km. Bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terbesar adalah mode 14 pada bus beban 19 (Tasikmalaya) sebesar 0, dan bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terkecil adalah mode 7 pada bus beban 9 (Cibatu) sebesar 0, Dari hasil ini terlihat bahwa terjadi perbaikan nilai kestabilan tegangan sebesar 0, Participation Factors for Minimum Eigenvalue Nb Participation Factor Bus nb. Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA Convergence of GSA Graphic Fitness Function Iteration Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA

120 90 3. Simulasi setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA Hasil kurva konvergensi setelah pemasangan TCSC menggunakan FL- GSA ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.13 menunjukan bahwa karakteristik konvergensi setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA ini konvergen pada fungsi fitnes sebesar 0,386 dan menghasilkan nilai rugi daya aktif pada saluran transmisi sebesar 286,277 MW serta rugi daya reaktif sebesar 2168,566 MVAR. Hasil simulasi lokasi dan rating setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA Nomor Bus Saluran Dari Ke Rating (pu) 5 4. Gandul 18. Depok 0, Mandiracan 14. Ungaran -0, Kediri 22. Paiton -0, Tasikmaya 20. Pedan 0, Cibining 8. Muaratawar 0,00848 Pada Tabel 4.13 ini menunjukan bahwa kompensasi sistem setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA ini efektif untuk meningkatkan tegangan bus pada sistem. TCSC digunakan untuk mengurangi pembebanan pada saluran transmisi dengan mengalihkan aliran daya tersebut pada arah tertentu. Pada Tabel 4.13 ini menunjukan bahwa daya yang mengalir pada saluran 4-18, 13-14, 21-22, dan 5-8 ini menjadi lebih besar. Pada Tabel 4.13 ini menunjukan bahwa lokasi dan rating setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA pada saluran transmisi tenaga listrik Jawa-Bali 500 KV terbesar terjadi pada saluran 5-8 sebesar 0,00848 pu dan rating terkecil terjadi pada saluran sebesar -0,07706 pu. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada lampiran 7. Perbandingan profil tegangan pada masing-masing bus sebelum dan setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada Gambar 4.14.

121 91 Pada Gambar 4.14 ini juga menunjukkan bahwa profil tegangan setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA ini berada di dalam batas toleransi ± 5% dari tegangan referensi atau dapat dikatakan bahwa tegangan pada sistem Jawa-Bali menjadi lebih baik setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA atau dapat dikatakan bahwa tegangan pada sistem Jawa-Bali menjadi lebih baik. Tegangan tertinggi terjadi pada bus 1 (Suralaya), yaitu 1,020 pu dan tegangan yang paling rendah terdapat pada bus 25 (Ngimbang) sebesar 0,954 pu. Hasil simulasi rugi-rugi daya pada masing-masing saluran setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA ini di perlihatkan seperti pada lampiran 8. Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.15 ini menunjukkan bahwa hasil simulasi aliran daya setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA mampu mereduksi rugi-rugi daya aktif sebesar 11,33 MW. Rugi daya aktif setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA terbesar terjadi pada saluran sebesar 70,956 MW dan rugi daya aktif terkecil terjadi pada saluran 3-4 sebesar 0,069 MW. 1,05 Tegangan bus (pu) 1 0,95 0,9 0,85 0, Penomoran Bus Tegangan bus sebelum TCSC Tegangan bus setelah TCSC menggunakan FUZZY GSA Gambar Perbandingan profil tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA

122 92 Hasil simulasi rugi-rugi daya aktif, tegangan deviasi dan fungsi biaya investasi setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA No Fungsi Objektif TCSC Nilai 1. Fungsi Fitnes 0, Rugi-rugi daya aktif (MW) 286, Tegangan deviasi (pu) 0, Investasi Biaya TCSC dalam 5 th (US $/jam) 17,56 Pada Tabel 4.14 ini dapat dilihat bahwa fungsi fitnes ini diperoleh dengan menetapkan bobot 40% dari rugi-rugi daya aktif dibandingkan dengan rugi-rugi daya aktif dasar sebesar 297,607 MW, bobot 40% dari deviasi tegangan di bandingkan dengan total penyimpangan tegangan sebesar 1 pu, dan bobot 20% dari biaya keseluruhan TCSC menggunakan FL-GSA di bandingkan dengan investasi biaya maksimum TCSC menggunakan FL-GSA. Perhitungan fungsi fitnes ini diperoleh menggunakan persamaan Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan TCSC menggunakan FL- GSA ini dapat dilihat pada Tabel Rugi rugi daya aktif (MW) Saluran Rugi rugi daya aktif sebelum TCSC Rugi rugi daya aktif setelah TCSC menggunakan FUZZY GSA Gambar Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA

123 93 Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Eigenvalue 1 2 Cilegon 409, Kembangan 216, Gandul 150, Cibinong 120, Cawang 118, Bekasi 75, Cibatu 72, Bandung Selatan 65, Mandiracan 59, Ungaran 52, Surabaya Barat 31, Depok 5, Tasikmalaya 10, Pedan 13, Kediri 17, Balaraja 20, Ngimbang 19,97 Pada Tabel 4.15 dapat dilihat bahwa keseluruhan bus beban memiliki nilai eigenvalue positif (λ>0) yang berarti semua bus beban memiliki tegangan sistem yang stabil. Nilai eigenvalue (λ) yang terbesar terjadi pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 409,60 dan nilai eigenvalue (λ) yang terkecil terjadi pada bus beban 18 (Depok) sebesar 5,91. Pada bus beban 18 (Depok) inilah yang berpeluang mengalami ketidakstabilan tegangan. Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai partisipasi faktor setelah pemasangan TCSC menggunakan FL- GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Nilai Partisipasi Faktor masing-masing Bus Beban setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor 1 2 Cilegon 0, Kembangan 0, Gandul 0, Cibinong 0, Cawang 0, Bekasi 0, Cibatu 0,000007

124 94 Tabel Lanjutan Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor 8 12 Bandung Selatan 0, Mandiracan 0, Ungaran 0, Surabaya Barat 0, Depok 0, Tasikmalaya 0, Pedan 0, Kediri 0, Balaraja 0, Ngimbang 0, Hasil partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.16 ini menunjukan bahwa setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA ini terjadi beberapa bus beban yang menyumbang ketidakstabilan tegangan adalah mode 13 pada bus beban 19 dan mode 14 pada bus beban 20. Hal ini dikarenakan luas area mode 13 dan mode 14 ini terhubung dengan saluran transmisi yang panjang pada bus beban sekitar 280 km dan sekitar 305 km. Bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terbesar adalah mode 14 pada bus beban 19 (Tasikmalaya) sebesar 0, dan bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terkecil adalah mode 7 pada bus beban 9 (Cibatu) sebesar 0, Dari hasil ini terlihat bahwa terjadi perbaikan nilai kestabilan tegangan sebesar 0, Participation Factors for Minimum Eigenvalue Nb ParticipationFactor Bus nb. Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan TCSC menggunakan FL-GSA

125 95 4. Simulasi setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA Hasil kurva konvergensi setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.17 menunjukan bahwa karakteristik konvergensi setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA ini konvergen pada fungsi fitnes sebesar 0,383 dan menghasilkan nilai rugi daya aktif pada saluran transmisi sebesar 284,233 MW serta rugi daya reaktif sebesar 2105,761 MVAR. Hasil simulasi lokasi dan rating setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Hasil simulasi lokasi dan rating setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA Nomor Bus Saluran Dari Ke Rating (pu) Surabaya Barat 23. Grati -0, Tasikmalaya 20. Pedan -0, Cibinong 7. Bekasi 0, Mandiracan 14. Ungaran -0, Kediri 22. Paiton -0, Convergence of GSA Graphic Fitness Function Iteration Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA

126 96 Pada Tabel 4.17 ini menunjukan bahwa kompensasi sistem setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA ini efektif untuk meningkatkan tegangan bus pada sistem. TCSC digunakan untuk mengurangi pembebanan pada saluran transmisi dengan mengalihkan aliran daya tersebut pada arah tertentu. Pada Tabel 4.17 ini menunjukan bahwa daya yang mengalir pada saluran 16-23, 19-20, 5-7, dan ini menjadi lebih besar. Pada Tabel 4.17 ini menunjukan bahwa lokasi dan rating setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA pada saluran transmisi tenaga listrik Jawa-Bali 500 KV terbesar terjadi pada saluran 5-7 sebesar 0,00509 pu dan rating terkecil terjadi pada saluran sebesar -0,07319 pu. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada lampiran 9. Perbandingan profil tegangan pada masing-masing bus sebelum dan setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Dari Gambar 4.18 ini juga menunjukkan bahwa profil tegangan setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA ini berada di dalam batas toleransi ± 5% dari tegangan referensi atau dapat dikatakan bahwa tegangan pada sistem Jawa-Bali menjadi lebih baik setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA. Tegangan tertinggi terjadi pada bus 1 (Suralaya), yaitu 1,020 pu dan tegangan yang paling rendah terdapat pada bus 7 (Bekasi) sebesar 0,950 pu. 1,05 Tegangan bus (pu) 1 0,95 0,9 0,85 0, Penomoran bus Tegangan bus sebelum TCSC Tegangan bus setelah TCSC menggunakan IT2FLS GSA Gambar Perbandingan profil tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA

127 97 Hasil simulasi rugi-rugi daya pada masing-masing saluran setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada lampiran 10. Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.19 ini menunjukkan bahwa hasil simulasi aliran daya setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA mampu mereduksi rugirugi daya aktif sebesar 13,373 MW. Rugi daya aktif setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA terbesar terjadi pada saluran sebesar 63,352 MW dan rugi daya aktif terkecil terjadi pada saluran 3-4 sebesar 0,07 MW. Hasil simulasi rugi-rugi daya aktif, tegangan deviasi dan fungsi biaya investasi setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA No Fungsi Objektif TCSC Nilai 1. Fungsi Fitnes 0, Rugi-rugi daya aktif (MW) 284, Tegangan deviasi (pu) 0, Investasi Biaya TCSC dalam 5 th (US $/jam) 17,57 70 Rugi rugi daya aktif (MW) Saluran Rugi rugi daya aktif sebelum TCSC Rugi rugi daya aktif setelah TCSC menggunakan IT2FLS GSA Gambar Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA

128 98 Pada Tabel 4.18 ini dapat dilihat bahwa fungsi fitnes ini diperoleh dengan menetapkan bobot 40% dari rugi-rugi daya aktif dibandingkan dengan rugi-rugi daya aktif dasar sebesar 297,607 MW, bobot 40% dari deviasi tegangan di bandingkan dengan total penyimpangan tegangan sebesar 1 pu, dan bobot 20% dari biaya keseluruhan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA di bandingkan dengan investasi biaya maksimum TCSC menggunakan IT2FLS-GSA. Perhitungan fungsi fitnes ini diperoleh menggunakan persamaan Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada pada Tabel Pada Tabel 4.19 dapat dilihat bahwa keseluruhan bus beban memiliki nilai eigenvalue positif (λ>0) yang berarti semua bus beban memiliki tegangan sistem yang stabil. Nilai eigenvalue (λ) yang terbesar terjadi pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 432,91 dan nilai eigenvalue (λ) yang terkecil terjadi pada bus beban 18 (Depok) sebesar 6,13. Pada bus beban 18 (Depok) inilah yang berpeluang mengalami ketidakstabilan tegangan. Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Eigenvalue 1 2 Cilegon 432, Kembangan 218, Gandul 150, Cibinong 120, Cawang 118, Bekasi 76, Cibatu 71, Bandung Selatan 64, Mandiracan 59, Ungaran 51, Surabaya Barat 33, Depok 6, Tasikmalaya 10, Pedan 13, Kediri 21, Balaraja 19, Ngimbang 18,37

129 99 Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai partisipasi faktor setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Nilai Partisipasi Faktor masing-masing Bus Beban setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor 1 2 Cilegon 0, Kembangan 0, Gandul 0, Cibinong 0, Cawang 0, Bekasi 0, Cibatu 0, Bandung Selatan 0, Mandiracan 0, Ungaran 0, Surabaya Barat 0, Depok 0, Tasikmalaya 0, Pedan 0, Kediri 0, Balaraja 0, Ngimbang 0, Hasil partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Participation Factors for Minimum Eigenvalue Nb Participation Factor Bus nb. Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA

130 100 Pada Gambar 4.20 ini menunjukan bahwa setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA ini terjadi beberapa bus beban yang menyumbang ketidakstabilan tegangan adalah mode 13 pada bus beban 19 dan mode 14 pada bus beban 20. Hal ini dikarenakan luas area mode 13 dan mode 14 ini terhubung dengan saluran transmisi yang panjang pada bus beban sekitar 280 km dan sekitar 305 km. Bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terbesar adalah mode 14 pada bus beban 19 (Tasikmalaya) sebesar 0, dan bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terkecil adalah mode 7 pada bus beban 9 (Cibatu) sebesar 0, Hasil Simulasi Aliran Daya Setelah Pemasangan SVC Menggunakan GSA Hasil simulasi aliran daya setelah pemasangan SVC menggunakan GSA ini menggunakan beberapa metode, yaitu: 1. Simulasi setelah pemasangan SVC menggunakan GSA Hasil kurva konvergensi setelah pemasangan SVC menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Gambar Convergence of GSA Graphic Fitness Function Iteration Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan SVC menggunakan GSA

131 101 Pada Gambar 4.21 menunjukan bahwa karakteristik konvergensi setelah pemasangan SVC menggunakan GSA ini konvergen pada fungsi fitnes sebesar 0,386 dan menghasilkan nilai rugi daya aktif pada saluran transmisi sebesar 287,194 MW serta rugi daya reaktif sebesar 2816,653 MVAR. Hasil simulasi lokasi dan rating setelah pemasangan SVC menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan SVC menggunakan GSA Nomor Bus Saluran Dari Ke Rating (Mvar) Muaratawar 9. Cibatu 114, Ungaran 16. Surabaya Barat 165, Bandung Selatan 13. Mandiracan 125, Tasikmalaya 20. Pedan 159, Balaraja 4. Gandul 124,5494 Pada Tabel 4.21 ini menunjukan bahwa kompensasi sistem setelah pemasangan SVC menggunakan GSA ini efektif untuk meningkatkan tegangan bus pada sistem. SVC digunakan untuk mengurangi pembebanan pada saluran transmisi dengan mengalihkan aliran daya tersebut pada arah tertentu. Pada Tabel 4.21 ini menunjukan bahwa daya yang mengalir pada saluran 8-9, 14-16, 12-13, dan 24-4 ini menjadi lebih besar. Pada Tabel 4.21 ini menunjukan bahwa lokasi dan rating setelah pemasangan SVC menggunakan GSA pada saluran transmisi tenaga listrik Jawa-Bali 500 KV terbesar terjadi pada saluran sebesar 165,3405 MVAR dan rating terkecil terjadi pada saluran sebesar -125,248 MVAR. Tegangan bus (pu) 1,05 1 0,95 0,9 0,85 0, Penomoran bus Tegangan bus sebelum SVC Tegangan bus setelah SVC menggunakan GSA Gambar Perbandingan profil tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan SVC menggunakan GSA

132 102 Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus setelah pemasangan SVC menggunakan GSA ini di perlihatkan seperti pada lampiran-11. Perbandingan profil tegangan pada masing-masing bus sebelum dan setelah pemasangan SVC menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Gambar Dari Gambar 4.22 ini juga menunjukkan bahwa profil tegangan setelah pemasangan SVC menggunakan GSA ini berada di dalam batas toleransi ± 5% dari tegangan referensi atau dapat dikatakan bahwa tegangan pada sistem Jawa- Bali menjadi lebih baik setelah pemasangan SVC menggunakan GSA. Tegangan tertinggi terjadi pada bus 1 (Suralaya), yaitu 1,020 pu dan tegangan yang paling rendah terdapat pada bus 7 (Bekasi) sebesar 0,959 pu. Hasil simulasi rugi-rugi daya pada masing-masing saluran setelah pemasangan SVC menggunakan GSA ini dapat dilihat pada lampiran 12. Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan SVC menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.23 ini menunjukkan bahwa hasil simulasi aliran daya setelah pemasangan SVC menggunakan GSA mampu mereduksi rugi-rugi daya aktif sebesar 10,413 MW. Rugi daya aktif setelah pemasangan SVC menggunakan GSA terbesar terjadi pada saluran sebesar 58,405 MW dan rugi daya aktif terkecil terjadi pada saluran 3-4 sebesar 0,069 MW. 70 Rugi rugi daya aktif (MW) Saluran Rugi rugi daya aktif sebelum SVC Rugi rugi daya aktif setelah SVC menggunakan GSA Gambar Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan SVC menggunakan GSA

133 103 Hasil simulasi rugi-rugi daya aktif, tegangan deviasi dan fungsi biaya investasi setelah pemasangan SVC menggunakan GSA ini dapat di lihat pada Tabel Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan SVC menggunakan GSA No Fungsi Objektif SVC Nilai 1. Fungsi Fitnes 0, Rugi-rugi daya aktif (MW) 287, Tegangan deviasi (pu) 0, Investasi Biaya SVC dalam 5 th (US $/jam) 12,15 Pada Tabel 4.22 ini dapat dilihat bahwa fungsi fitnes ini diperoleh dengan menetapkan bobot 40% dari rugi-rugi daya aktif dibandingkan dengan rugi-rugi daya aktif dasar sebesar 297,607 MW, bobot 40% dari deviasi tegangan di bandingkan dengan total penyimpangan tegangan sebesar 1 pu, dan bobot 20% dari biaya keseluruhan SVC menggunakan GSA di bandingkan dengan investasi biaya maksimum SVC menggunakan GSA. Perhitungan fungsi fitnes ini diperoleh menggunakan persamaan Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan SVC menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan SVC menggunakan GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Eigenvalue 1 2 Cilegon 436, Kembangan 221, Gandul 150, Cibinong 120, Cawang 118, Bekasi 77, Cibatu 72, Bandung Selatan 61, Mandiracan 60, Ungaran 41, Surabaya Barat 5, Depok 24, Tasikmalaya 20, Pedan 9, Kediri 16,92

134 104 Tabel Lanjutan Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Eigenvalue Balaraja 13, Ngimbang 13,93 Pada Tabel 4.23 dapat dilihat bahwa keseluruhan bus beban memiliki nilai eigenvalue positif (λ>0) yang berarti semua bus beban memiliki tegangan sistem yang stabil. Nilai eigenvalue (λ) yang terbesar terjadi pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 436,33 dan nilai eigenvalue (λ) yang terkecil terjadi pada bus beban 16 (Surabaya Barat) sebesar 5,29. Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai partisipasi faktor setelah pemasangan SVC menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Nilai Partisipasi Faktor masing-masing Bus Beban setelah pemasangan SVC menggunakan GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor 1 2 Cilegon 0, Kembangan 0, Gandul 0, Cibinong 0, Cawang 0, Bekasi 0, Cibatu 0, Bandung Selatan 0, Mandiracan 0, Ungaran 0, Surabaya Barat 0, Depok 0, Tasikmalaya 0, Pedan 0, Kediri 0, Balaraja 0, Ngimbang 0, Hasil partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.24 ini menunjukan bahwa setelah pemasangan SVC menggunakan GSA ini terjadi beberapa bus beban yang menyumbang

135 105 ketidakstabilan tegangan adalah mode 13 pada bus beban 19, mode 14 pada bus beban 20 dan mode 15 pada bus beban 21. Hal ini dikarenakan luas area mode 13, mode 14 dan mode 15 ini terhubung dengan saluran transmisi yang panjang pada bus beban sekitar 280 km dan sekitar 305 km. Bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terbesar adalah mode 14 pada bus beban 19 (Tasikmalaya) sebesar 0, dan bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terkecil adalah mode 1 pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 0, Dari hasil ini terlihat bahwa terjadi perbaikan nilai kestabilan tegangan sebesar 0, Simulasi setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA Hasil kurva konvergensi setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW- GSA ini dapat dilihat pada Gambar Participation Factors for Minimum Eigenvalue Nb ParticipationFactor Bus nb. Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC menggunakan GSA Convergence of GSA Graphic Fitness Function Iteration Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA

136 106 Pada Gambar 4.25 menunjukan bahwa karakteristik konvergensi setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA ini konvergen pada fungsi fitnes sebesar 0,386 dan menghasilkan nilai rugi daya aktif pada saluran transmisi sebesar 286,072 MW serta rugi daya reaktif sebesar 2803,929 MVAR. Hasil simulasi lokasi dan rating setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan SVC menggunakanldiw-gsa Nomor Bus Saluran Dari Ke Rating (Mvar) Tasikmalaya 20. Pedan 178, Ungaran 16. Surabaya Barat 136, Ungaran 15. Tanjung Jati 172, Cibinong 11. Saguling 10, Cilegon 5. Cibinong -139,1 Pada Tabel 4.25 ini menunjukan bahwa kompensasi sistem setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA ini efektif untuk meningkatkan tegangan bus pada sistem. SVC digunakan untuk mengurangi pembebanan pada saluran transmisi dengan mengalihkan aliran daya tersebut pada arah tertentu. Pada Tabel 4.25 ini menunjukan bahwa daya yang mengalir pada saluran 19-20, 14-16, 14-15, 5-11 dan 2-5 ini menjadi lebih besar. Pada Tabel 4.25 ini juga menunjukan bahwa lokasi dan rating setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA pada saluran transmisi tenaga listrik Jawa-Bali 500 KV terbesar terjadi pada saluran sebesar 178,2225 MVAR dan rating terkecil terjadi pada saluran 2-5 sebesar -139,1 MVAR. Tegangan bus (pu) 1,05 1 0,95 0,9 0,85 0, Penomoran bus Tegangan bus sebelum SVC Tegangan bus setelah SVC menggunakan LDIW GSA Gambar Perbandingan profil tegangan pada setiap bus setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA dan sebelum pemasangan SVC

137 107 Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada lampiran-13. Perbandingan profil tegangan pada masing-masing bus sebelum dan setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Dari Gambar 4.26 ini juga menunjukkan bahwa profil tegangan setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA ini berada di dalam batas toleransi ± 5% dari tegangan referensi atau dapat dikatakan bahwa tegangan pada sistem Jawa-Bali menjadi lebih baik setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW- GSA. Tegangan tertinggi terjadi pada bus 1 (Suralaya), yaitu 1,020 pu dan tegangan yang paling rendah terdapat pada bus 7 (Bekasi) dan bus 25 (Ngimbang) sebesar 0,951 pu. Hasil simulasi rugi-rugi daya pada masing-masing saluran setelah pemasangan SVC menggunakan GSA ini dapat di lihat pada lampiran 14. Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Rugi rugi daya aktif (MW) Saluran Rugi rugi daya aktif sebelum SVC Rugi rugi daya aktif setelah SVC menggunakan LDIW GSA Gambar Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA

138 108 Pada Gambar 4.27 ini menunjukkan bahwa hasil simulasi aliran daya setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA mampu mereduksi rugirugi daya aktif sebesar 11,535 MW. Rugi daya aktif setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA terbesar terjadi pada saluran sebesar 57,937 MW dan rugi daya aktif terkecil terjadi pada saluran 3-4 sebesar 0,07 MW. Hasil simulasi rugi-rugi daya aktif, tegangan deviasi dan fungsi biaya investasi setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA No Fungsi Objektif SVC Nilai 1. Fungsi Fitnes 0, Rugi-rugi daya aktif (MW) 286, Tegangan deviasi (pu) 0, Investasi Biaya SVC dalam 5 th (US $/jam) 12,73 Pada Tabel 4.26 ini dapat dilihat bahwa fungsi fitnes ini diperoleh dengan menetapkan bobot 40% dari rugi-rugi daya aktif dibandingkan dengan rugi-rugi daya aktif dasar sebesar 297,607 MW, bobot 40% dari deviasi tegangan di bandingkan dengan total penyimpangan tegangan sebesar 1 pu, dan bobot 20% dari biaya keseluruhan SVC menggunakan LDIW-GSA di bandingkan dengan investasi biaya maksimum SVC menggunakan LDIW-GSA. Perhitungan fungsi fitnes ini diperoleh menggunakan persamaan Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW- GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Eigenvalue 1 2 Cilegon 433, Kembangan 220, Gandul 150, Cibinong 119, Cawang 118, Bekasi 77, Cibatu 71,73

139 109 Tabel Lanjutan Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Eigenvalue 8 12 Bandung Selatan 60, Mandiracan 59, Ungaran 42, Surabaya Barat 5, Depok 24, Tasikmalaya 20, Pedan 9, Kediri 16, Balaraja 13, Ngimbang 13,93 Pada Tabel 4.27 dapat dilihat bahwa keseluruhan bus beban memiliki nilai eigenvalue positif (λ>0) yang berarti semua bus beban memiliki tegangan sistem yang stabil. Nilai eigenvalue (λ) yang terbesar terjadi pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 433,15 dan nilai eigenvalue (λ) yang terkecil terjadi pada bus beban 16 (Surabaya Barat) sebesar 5,31. Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai partisipasi faktor setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Nilai Partisipasi Faktor masing-masing Bus Beban setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor 1 2 Cilegon 0, Kembangan 0, Gandul 0, Cibinong 0, Cawang 0, Bekasi 0, Cibatu 0, Bandung Selatan 0, Mandiracan 0, Ungaran 0, Surabaya Barat 0, Depok 0, Tasikmalaya 0, Pedan 0,261161

140 110 Tabel Lanjutan Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor Kediri 0, Balaraja 0, Ngimbang 0, Hasil partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.28 ini menunjukan bahwa setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA ini terjadi beberapa bus beban yang menyumbang ketidakstabilan tegangan adalah mode 13 pada bus beban 19, mode 14 pada bus beban 20 dan mode 15 pada bus beban 21. Hal ini dikarenakan luas area mode 13, mode 14 dan mode 15 ini terhubung dengan saluran transmisi yang panjang pada bus beban sekitar 280 km dan sekitar 305 km. Bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terbesar adalah mode 14 pada bus beban 19 (Tasikmalaya) sebesar 0, dan bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terkecil adalah mode 1 pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 0, Dari hasil ini terlihat bahwa terjadi perbaikan nilai kestabilan tegangan sebesar 0, Participation Factors for Minimum Eigenvalue Nb Participation Factor Bus nb. Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA

141 Simulasi setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA Hasil kurva konvergensi setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.29 menunjukan bahwa karakteristik konvergensi setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA ini konvergen pada fungsi fitnes sebesar 0,383 dan menghasilkan nilai rugi daya aktif pada saluran transmisi sebesar 284,751 MW serta rugi daya reaktif sebesar 2790,448 MVAR. Hasil simulasi lokasi dan rating setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA Nomor Bus Saluran Dari Ke Rating (Mvar) Mandiracan 14. Ungaran 116, Pedan 21. Kediri 193, Cibinong 11. Saguling 192, Ungaran 16. Surabaya Barat -66, Ungaran 20. Pedan 116, Convergence of GSA Graphic Fitness Function Iteration Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA

142 112 Pada Tabel 4.29 ini menunjukan bahwa kompensasi sistem setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA ini efektif untuk meningkatkan tegangan bus pada sistem. SVC digunakan untuk mengurangi pembebanan pada saluran transmisi dengan mengalihkan aliran daya tersebut pada arah tertentu. Pada Tabel 4.29 ini menunjukan bahwa daya yang mengalir pada saluran 13-14, 20-21, 5-11, dan ini menjadi lebih besar. Pada Tabel 4.29 ini juga menunjukan bahwa lokasi dan rating setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA pada saluran transmisi tenaga listrik Jawa-Bali 500 KV terbesar terjadi pada saluran sebesar 193,8623 MVAR dan rating terkecil terjadi pada saluran sebesar -66,5326 MVAR. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada lampiran 15. Perbandingan profil tegangan pada masing-masing bus sebelum dan setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Dari Gambar 4.30 ini juga menunjukkan bahwa profil tegangan setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA ini berada di dalam batas toleransi ± 5% dari tegangan referensi atau dapat dikatakan bahwa tegangan pada sistem Jawa-Bali menjadi lebih baik setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA. Tegangan tertinggi terjadi pada bus 1 (Suralaya), yaitu 1,020 pu dan tegangan yang paling rendah terdapat pada bus 12 (Bandung Selatan) sebesar 0,951 pu. 1,05 Tegangan bus (pu) 1 0,95 0,9 0,85 0, Penomoran bus Tegangan bus sebelum SVC Tegangan bus setelah SVC menggunakan FUZZY GSA Gambar Perbandingan profil tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA

143 113 Hasil simulasi rugi-rugi daya pada masing-masing saluran setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA ini di perlihatkan seperti pada lampiran 16. Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.31 ini menunjukkan bahwa hasil simulasi aliran daya setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA mampu mereduksi rugi-rugi daya aktif sebesar 12,856 MW. Rugi daya aktif setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA terbesar terjadi pada saluran sebesar 58,729 MW dan rugi daya aktif terkecil terjadi pada saluran 3-4 sebesar 0,069 MW. Hasil simulasi rugi-rugi daya aktif, tegangan deviasi dan fungsi biaya investasi setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA No Fungsi Objektif SVC Nilai 1. Fungsi Fitnes 0, Rugi-rugi daya aktif (MW) 284, Tegangan deviasi (pu) 0, Investasi Biaya SVC dalam 5 th (US $/jam) 11,42 70 Rugi rugi daya aktif (MW) Saluran Rugi rugi daya aktif sebelum SVC Rugi rugi daya aktif setelah SVC menggunakan FUZZY GSA Gambar Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA

144 114 Pada Tabel 4.30 ini dapat dilihat bahwa fungsi fitnes ini diperoleh dengan menetapkan bobot 40% dari rugi-rugi daya aktif dibandingkan dengan rugi-rugi daya aktif dasar sebesar 297,607 MW, bobot 40% dari deviasi tegangan di bandingkan dengan total penyimpangan tegangan sebesar 1 pu, dan bobot 20% dari biaya keseluruhan SVC menggunakan FL-GSA di bandingkan dengan investasi biaya maksimum SVC menggunakan FL-GSA. Perhitungan fungsi fitnes ini diperoleh menggunakan persamaan Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Eigenvalue 1 2 Cilegon 436, Kembangan 222, Gandul 150, Cibinong 120, Cawang 118, Bekasi 77, Cibatu 72, Bandung Selatan 61, Mandiracan 60, Ungaran 42, Surabaya Barat 5, Depok 24, Tasikmalaya Pedan Kediri Balaraja Ngimbang Pada Tabel 4.31 dapat dilihat bahwa keseluruhan bus beban memiliki nilai eigenvalue positif (λ>0) yang berarti semua bus beban memiliki tegangan sistem yang stabil. Nilai eigenvalue (λ) yang terbesar terjadi pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 436,41 dan nilai eigenvalue (λ) yang terkecil terjadi pada bus beban 16 (Surabaya Barat) sebesar 5,26.

145 115 Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai partisipasi faktor setelah pemasangan SVC menggunakan FL- GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Nilai Partisipasi Faktor masing-masing Bus Beban setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor 1 2 Cilegon 0, Kembangan 0, Gandul 0, Cibinong 0, Cawang 0, Bekasi 0, Cibatu 0, Bandung Selatan 0, Mandiracan 0, Ungaran 0, Surabaya Barat 0, Depok 0, Tasikmalaya 0, Pedan 0, Kediri 0, Balaraja 0, Ngimbang 0, Hasil partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Participation Factors for Minimum Eigenvalue Nb Participation Factor Bus nb. Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA

146 116 Pada Gambar 4.32 ini menunjukan bahwa setelah pemasangan SVC menggunakan FL-GSA ini terjadi beberapa bus beban yang menyumbang ketidakstabilan tegangan adalah mode 13 pada bus beban 19, mode 14 pada bus beban 20 dan mode 15 pada bus beban 21. Hal ini dikarenakan luas area mode 13, mode 14 dan mode 15 ini terhubung dengan saluran transmisi yang panjang pada bus beban sekitar 280 km dan sekitar 305 km. Bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terbesar adalah mode 14 pada bus beban 19 (Tasikmalaya) sebesar 0, dan bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terkecil adalah mode 1 pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 0, Simulasi setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA Hasil kurva konvergensi setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS- GSA ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.33 menunjukan bahwa karakteristik konvergensi setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA ini konvergen pada fungsi fitnes sebesar 0,381 dan menghasilkan nilai rugi daya aktif pada saluran transmisi sebesar 283,579 MW serta rugi daya reaktif sebesar 2778,301 MVAR. Hasil simulasi lokasi dan rating setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Convergence of GSA Graphic Fitness Function Iteration Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA

147 117 Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA Nomor Bus Saluran Dari Ke Rating (Mvar) Tasikmalaya 20. Pedan 186, Depok 5. Cibinong 153, Ungaran 16. Surabaya Barat 188, Balaraja 4. Gandul 15, Cibinong 8. Muaratawar 79,1538 Pada Tabel 4.33 ini menunjukan bahwa kompensasi sistem setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA ini efektif untuk meningkatkan tegangan bus pada sistem. SVC digunakan untuk mengurangi pembebanan pada saluran transmisi dengan mengalihkan aliran daya tersebut pada arah tertentu. Pada Tabel 4.33 ini menunjukan bahwa daya yang mengalir pada saluran 19-20, 18-5, 14-16, 24-4 dan 5-8 ini menjadi lebih besar. Pada Tabel 4.33 ini juga menunjukan bahwa lokasi dan rating setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA pada saluran transmisi tenaga listrik Jawa-Bali 500 KV terbesar terjadi pada saluran sebesar 188,9795 MVAR dan rating terkecil terjadi pada saluran 24-4 sebesar 15,4509 MVAR. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada lampiran-17. Perbandingan profil tegangan pada masing-masing bus sebelum dan setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Gambar ,05 Tegangan bus (pu) 1 0,95 0,9 0,85 0, Penomoran bus Tegangan bus sebelum SVC Tegangan bus setelah SVC menggunakan IT2FLS GSA Gambar Perbandingan profil tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA

148 118 Dari Gambar 4.34 ini juga menunjukkan bahwa profil tegangan setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA ini berada di dalam batas toleransi ± 5% dari tegangan referensi atau dapat dikatakan bahwa tegangan pada sistem Jawa-Bali menjadi lebih baik setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA. Tegangan tertinggi terjadi pada bus 1 (Suralaya), yaitu 1,020 pu dan tegangan yang paling rendah terdapat pada bus 7 (Bekasi) sebesar 0,961 pu. Hasil simulasi rugi-rugi daya pada masing-masing saluran setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada lampiran 18. Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.35 ini menunjukkan bahwa hasil simulasi aliran daya setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA mampu mereduksi rugirugi daya aktif sebesar 14,028 MW. Rugi daya aktif setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA terbesar terjadi pada saluran sebesar 57,908 MW dan rugi daya aktif terkecil terjadi pada saluran 3-4 sebesar 0,068 MW Rugi rugi daya aktif (MW) Saluran Rugi rugi daya aktif sebelum SVC Rugi rugi daya aktif setelah SVC menggunakan IT2FLS GSA Gambar Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA

149 119 Hasil simulasi rugi-rugi daya aktif, tegangan deviasi dan fungsi biaya investasi setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA No Fungsi Objektif SVC Nilai 1. Fungsi Fitnes 0, Rugi-rugi daya aktif (MW) 283, Tegangan deviasi (pu) 0, Investasi Biaya SVC dalam 5 th (US $/jam) 10,88 Pada Tabel 4.34 ini dapat dilihat bahwa fungsi fitnes ini diperoleh dengan menetapkan bobot 40% dari rugi-rugi daya aktif dibandingkan dengan rugi-rugi daya aktif dasar sebesar 297,607 MW, bobot 40% dari deviasi tegangan di bandingkan dengan total penyimpangan tegangan sebesar 1 pu, dan bobot 20% dari biaya keseluruhan SVC menggunakan IT2FLS-GSA di bandingkan dengan investasi biaya maksimum SVC menggunakan IT2FLS-GSA. Perhitungan fungsi fitnes ini diperoleh menggunakan persamaan Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS- GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Eigenvalue 1 2 Cilegon 437, Kembangan 222, Gandul 150, Cibinong 120, Cawang 118, Bekasi 78, Cibatu 72, Bandung Selatan 61, Mandiracan 60, Ungaran 42, Surabaya Barat 5, Depok 24, Tasikmalaya 20, Pedan 9, Kediri 16,95

150 120 Tabel Lanjutan Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Eigenvalue Balaraja 13, Ngimbang 13,98 Pada Tabel 4.35 dapat dilihat bahwa keseluruhan bus beban memiliki nilai eigenvalue positif (λ>0) yang berarti semua bus beban memiliki tegangan sistem yang stabil. Nilai eigenvalue (λ) yang terbesar terjadi pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 437,88 dan nilai eigenvalue (λ) yang terkecil terjadi pada bus beban 16 (Surabaya Barat) sebesar 5,33. Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai partisipasi faktor setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Nilai Partisipasi Faktor masing-masing Bus Beban setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor 1 2 Cilegon 0, Kembangan 0, Gandul 0, Cibinong 0, Cawang 0, Bekasi 0, Cibatu 0, Bandung Selatan 0, Mandiracan 0, Ungaran 0, Surabaya Barat 0, Depok 0, Tasikmalaya 0, Pedan 0, Kediri 0, Balaraja 0, Ngimbang 0, Hasil partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Gambar 4.36.

151 121 Pada Gambar 4.36 ini menunjukan bahwa setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA ini terjadi beberapa bus beban yang menyumbang ketidakstabilan tegangan adalah mode 13 pada bus beban 19, mode 14 pada bus beban 20 dan mode 15 pada bus beban 21. Hal ini dikarenakan luas area mode 13, mode 14 dan mode 15 ini terhubung dengan saluran transmisi yang panjang pada bus beban sekitar 280 km dan sekitar 305 km. Bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terbesar adalah mode 14 pada bus beban 19 (Tasikmalaya) sebesar 0, dan bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terkecil adalah mode 1 pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 0, Dari hasil ini terlihat bahwa terjadi perbaikan nilai kestabilan tegangan sebesar 0, Participation Factors for Minimum Eigenvalue Nb Participation Factor Bus nb. Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA 0.34 Convergence of GSA Graphic Fitness Function Iteration Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA

152 Hasil Simulasi Aliran Daya Setelah Pemasangan TCPST Hasil simulasi aliran daya setelah pemasangan TCPST ini menggunakan beberapa metode, yaitu : 1. Simulasi setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA Hasil kurva konvergensi setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.37 menunjukan bahwa karakteristik konvergensi setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA ini konvergen pada fungsi fitnes sebesar 0,318 dan menghasilkan nilai rugi daya aktif pada saluran transmisi sebesar 236,664 MW serta rugi daya reaktif sebesar 2268,164 MVAR. Hasil simulasi lokasi dan rating setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA Nomor Bus Saluran Dari Ke Rating ( ) Tasikmalaya 20. Pedan 2, Bandung Selatan 13. Mandiracan 4, Pedan 21. Kediri -3, Depok 5. Cibinong 4, Depok 19. Tasikmalaya 3,346 Pada Tabel 4.37 ini menunjukan bahwa kompensasi sistem setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA ini efektif untuk meningkatkan tegangan bus pada sistem. TCPST digunakan untuk mengurangi pembebanan pada saluran transmisi dengan mengalihkan aliran daya tersebut pada arah tertentu. Pada Tabel 4.37 ini menunjukan bahwa daya yang mengalir pada saluran 19-20, 12-13, 20-21, 18-5 dan ini menjadi lebih besar. Pada Tabel 4.37 ini juga menunjukan bahwa lokasi dan rating setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA pada saluran transmisi tenaga listrik Jawa-Bali 500 KV terbesar terjadi pada saluran sebesar 4,2267⁰ dan rating terkecil terjadi pada saluran sebesar -3,1977⁰.

153 123 Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA ini dapat dilihat pada lampiran-19. Perbandingan profil tegangan pada masing-masing bus sebelum dan setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Gambar Dari Gambar 4.38 ini juga menunjukkan bahwa profil tegangan setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA ini berada di dalam batas toleransi ± 5% dari tegangan referensi atau dapat dikatakan bahwa tegangan pada sistem Jawa- Bali menjadi lebih baik setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA. Tegangan tertinggi terjadi pada bus 1 (Suralaya), yaitu 1,020 pu dan tegangan yang paling rendah terdapat pada bus 14 (Ungaran) sebesar 0,976 pu. Hasil simulasi rugi-rugi daya pada masing-masing saluran setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA ini dapat dilihat pada lampiran 20. Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.39 ini menunjukkan bahwa hasil simulasi aliran daya setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA mampu mereduksi rugi-rugi daya aktif sebesar 60,943 MW. Rugi daya aktif setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA terbesar terjadi pada saluran sebesar 50,489 MW dan rugi daya aktif terkecil terjadi pada saluran 24-4 sebesar 0,018 MW. 1,05 Tegangan bus (pu) 1 0,95 0,9 0,85 0, Penomoran bus Tegangan bus sebelum TCPST Tegangan bus setelah TCPST menggunakan GSA Gambar Perbandingan profil tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA

154 124 Hasil simulasi rugi-rugi daya aktif, tegangan deviasi dan fungsi biaya investasi setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA No Fungsi Objektif TCPST Nilai 1. Fungsi Fitnes 0, Rugi-rugi daya aktif (MW) 236, Tegangan deviasi (pu) 0, Investasi Biaya TCPST dalam 5 th (US $/jam) ,07 Pada Tabel 4.38 ini dapat dilihat bahwa fungsi fitnes ini diperoleh dengan menetapkan bobot 40% dari rugi-rugi daya aktif dibandingkan dengan rugi-rugi daya aktif dasar sebesar 297,607 MW, bobot 40% dari deviasi tegangan di bandingkan dengan total penyimpangan tegangan sebesar 1 pu, dan bobot 20% dari biaya keseluruhan TCPST menggunakan GSA di bandingkan dengan investasi biaya maksimum TCPST menggunakan GSA. Perhitungan fungsi fitnes ini diperoleh menggunakan persamaan Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Tabel Rugi rugi daya aktif (MW) Saluran Rugi rugi daya aktif sebelum TCPST Rugi rugi daya aktif setelah TCPST menggunakan GSA Gambar Perbandingan rugi-rugi daya pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA

155 125 Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Eigenvalue 1 2 Cilegon 453, Kembangan 249, Gandul 150, Cibinong 122, Cawang 120, Bekasi 94, Cibatu 72, Bandung Selatan 63, Mandiracan 63, Ungaran 61, Surabaya Barat 36, Depok 6, Tasikmalaya 21, Pedan 11, Kediri 14, Balaraja 16, Ngimbang 17,42 Pada Tabel 4.39 dapat dilihat bahwa keseluruhan bus beban memiliki nilai eigenvalue positif (λ>0) yang berarti semua bus beban memiliki tegangan sistem yang stabil. Nilai eigenvalue (λ) yang terbesar terjadi pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 453,08 dan nilai eigenvalue (λ) yang terkecil terjadi pada bus beban 18 (Depok) sebesar 6,14. Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai partisipasi faktor setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Nilai Partisipasi Faktor masing-masing Bus Beban Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor 1 2 Cilegon 0, Kembangan 0, Gandul 0, Cibinong 0, Cawang 0, Bekasi 0, Cibatu 0, Bandung Selatan 0,002229

156 126 Tabel Lanjutan Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor 9 13 Mandiracan 0, Ungaran 0, Surabaya Barat 0, Depok 0, Tasikmalaya 0, Pedan 0, Kediri 0, Balaraja 0, Ngimbang 0, Hasil nilai dari partisipasi faktor pada masing-masing bus beban ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.40 ini menunjukan bahwa setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA ini terjadi beberapa bus beban yang menyumbang ketidakstabilan tegangan adalah mode 13 pada bus beban 19, mode 14 pada bus beban 20 dan mode 15 pada bus beban 21. Hal ini dikarenakan luas area mode 13, mode 14 dan mode 15 ini terhubung dengan saluran transmisi yang panjang pada bus beban sekitar 280 km dan sekitar 305 km. Bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terbesar adalah mode 14 pada bus beban 19 (Tasikmalaya) sebesar 0, dan bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terkecil adalah mode 1 pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 0, Dari hasil ini terlihat bahwa terjadi perbaikan nilai kestabilan tegangan sebesar 0, Participation Factors for Minimum Eigenvalue Nb ParticipationFactor Bus nb. Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA

157 Simulasi pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA Hasil kurva konvergensi setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.41 menunjukan bahwa karakteristik konvergensi setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA ini konvergen pada fungsi fitnes sebesar 0,318 dan menghasilkan nilai rugi daya aktif pada saluran transmisi sebesar 236,41 MW serta rugi daya reaktif sebesar 2271,748 MVAR. Hasil simulasi lokasi dan rating setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA Nomor Bus Saluran Dari Ke Rating ( ) Mandiracan 14. Ungaran -3, Ngimbang 14. Ungaran -1, Ungaran 20. Pedan 3, Depok 19. Tasikmalaya -3, Depok 5. Cibinong 0,4136 Pada Tabel 4.41 ini menunjukan bahwa kompensasi sistem setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA ini efektif untuk meningkatkan tegangan bus pada sistem. TCPST digunakan untuk mengurangi pembebanan pada saluran transmisi dengan mengalihkan aliran daya tersebut pada arah tertentu. Pada Tabel 4.41 ini menunjukan bahwa daya yang mengalir pada saluran 13-14, 25-14, 14-20, dan 18-5 ini menjadi lebih besar Convergence of GSA Graphic Fitness Function Iteration Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA

158 128 Pada Tabel 4.41 ini juga menunjukan bahwa lokasi dan rating setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA pada saluran transmisi tenaga listrik Jawa-Bali 500 kv terbesar terjadi pada saluran sebesar 3,5571⁰ dan rating terkecil terjadi pada saluran sebesar -3,8458⁰. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada lampiran 21. Perbandingan profil tegangan pada masing-masing bus sebelum dan setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Dari Gambar 4.42 ini juga menunjukkan bahwa profil tegangan setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA ini berada di dalam batas toleransi ± 5% dari tegangan referensi atau dapat dikatakan bahwa tegangan pada sistem Jawa-Bali menjadi lebih baik setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA. Tegangan tertinggi terjadi pada bus 1 (Suralaya), yaitu 1,020 pu dan tegangan yang paling rendah terdapat pada bus 13 (Mandiracan) sebesar 0,959 pu. Hasil simulasi rugi-rugi daya pada masing-masing saluran setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA ini dapat dilihat pada lampiran 22. Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Gambar ,05 Tegangan bus (pu) 1 0,95 0,9 0,85 0, Penomoran bus Tegangan bus sebelum TCPST Tegangan bus setelah TCPST menggunakan LDIW GSA Gambar Perbandingan profil tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA

159 129 Pada Gambar 4.43 ini menunjukkan bahwa hasil simulasi aliran daya setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA mampu mereduksi rugirugi daya aktif sebesar 10,21 MW. Rugi daya aktif setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA terbesar terjadi pada saluran sebesar 45,564 MW dan rugi daya aktif terkecil terjadi pada saluran 3-4 sebesar 0,066 MW. Hasil simulasi rugi-rugi daya aktif, tegangan deviasi dan fungsi biaya investasi setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA No Fungsi Objektif TCPST Nilai 1. Fungsi Fitnes 0, Rugi-rugi daya aktif (MW) 236, Tegangan deviasi (pu) 0, Investasi Biaya TCPST dalam 5 th (US $/jam) ,26 Pada Tabel 4.42 ini dapat dilihat bahwa fungsi fitnes ini diperoleh dengan menetapkan bobot 40% dari rugi-rugi daya aktif dibandingkan dengan rugi-rugi daya aktif dasar sebesar 297,607 MW, bobot 40% dari deviasi tegangan di bandingkan dengan total penyimpangan tegangan sebesar 1 pu, dan bobot 20% dari biaya keseluruhan TCPST menggunakan LDIW-GSA di bandingkan dengan investasi biaya maksimum TCPST menggunakan LDIW-GSA. Perhitungan fungsi fitnes ini diperoleh menggunakan persamaan Rugi rugi daya aktif (MW) Saluran Rugi rugi daya aktif sebelum TCPST Rugi rugi daya aktif setelah TCPST menggunakan LDIW GSA Gambar Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA

160 130 Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Eigenvalue 1 2 Cilegon 447, Kembangan 226, Gandul 150, Cibinong 122, Cawang 122, Bekasi 79, Cibatu 72, Bandung Selatan 62, Mandiracan 61, Ungaran 46, Surabaya Barat 26, Depok 6, Tasikmalaya 21, Pedan 10, Kediri 17, Balaraja 13, Ngimbang 14,96 Pada Tabel 4.43 dapat dilihat bahwa keseluruhan bus beban memiliki nilai eigenvalue positif (λ>0) yang berarti semua bus beban memiliki tegangan sistem yang stabil. Nilai eigenvalue (λ) yang terbesar terjadi pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 447,74 dan nilai eigenvalue (λ) yang terkecil terjadi pada bus beban 18 (Depok) sebesar 6,20. Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai partisipasi faktor setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Nilai Partisipasi Faktor masing-masing Bus Beban setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor 1 2 Cilegon 0, Kembangan 0, Gandul 0,022026

161 131 Tabel Lanjutan Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor 4 5 Cibinong 0, Cawang 0, Bekasi 0, Cibatu 0, Bandung Selatan 0, Mandiracan 0, Ungaran 0, Surabaya Barat 0, Depok 0, Tasikmalaya 0, Pedan 0, Kediri 0, Balaraja 0, Ngimbang 0, Hasil nilai partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Participation Factors for Minimum Eigenvalue Nb Participation Factor Bus nb. Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA

162 132 Pada Gambar 4.44 ini menunjukan bahwa setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA ini terjadi beberapa bus beban yang menyumbang ketidakstabilan tegangan adalah mode 13 pada bus beban 19, mode 14 pada bus beban 20 dan mode 15 pada bus beban 21. Hal ini dikarenakan luas area mode 13, mode 14 dan mode 15 ini terhubung dengan saluran transmisi yang panjang pada bus beban sekitar 280 km dan sekitar 305 km. Bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terbesar adalah mode 14 pada bus beban 19 (Tasikmalaya) sebesar 0, dan bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terkecil adalah mode 1 pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 0, Dari hasil ini terlihat bahwa terjadi perbaikan nilai kestabilan tegangan sebesar 0, Simulasi setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA Hasil kurva konvergensi setelah pemasangan TCPST menggunakan FL- GSA ini diperlihatkan pada Gambar Pada Gambar 4.45 menunjukan bahwa karakteristik konvergensi setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA ini konvergen pada fungsi fitnes sebesar 0,316 dan menghasilkan nilai rugi daya aktif pada saluran transmisi sebesar 234,777 MW serta rugi daya reaktif sebesar 2249,612 MVAR Convergence of GSA Graphic Fitness Function Iteration Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA

163 133 Hasil simulasi lokasi dan rating setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA Nomor Bus Saluran Dari Ke Rating ( ) Ngimbang 14. Ungaran -1, Mandiracan 14. Ungaran -4, Tasikmalaya 20. Pedan -4, Ungaran 20. Pedan -1, Depok 19. Tasikmalaya 2,9605 Pada Tabel 4.45 ini menunjukan bahwa kompensasi sistem setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA ini efektif untuk meningkatkan tegangan bus pada sistem. TCPST digunakan untuk mengurangi pembebanan pada saluran transmisi dengan mengalihkan aliran daya tersebut pada arah tertentu. Pada Tabel 4.45 ini menunjukan bahwa daya yang mengalir pada saluran 25-14, 13-14, 19-20, dan ini menjadi lebih besar. Pada Tabel 4.45 ini juga menunjukan bahwa lokasi dan rating setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA pada saluran transmisi tenaga listrik Jawa-Bali 500 KV terbesar terjadi pada saluran sebesar 2,9605⁰ dan rating terkecil terjadi pada saluran sebesar -4,9013⁰. 1,05 1 Tegangan bus (pu) 0,95 0,9 0,85 0,8 0, Penomoran bus Tegangan bus sebelum TCPST Tegangan bus setelah TCPST menggunakan FUZZY GSA Gambar Perbandingan profil tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA

164 134 Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada lampiran 23. Perbandingan profil tegangan pada masing-masing bus sebelum dan setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Dari Gambar 4.46 ini juga menunjukkan bahwa profil tegangan setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA ini berada di dalam batas toleransi ± 5% dari tegangan referensi atau dapat dikatakan bahwa tegangan pada sistem Jawa-Bali menjadi lebih baik setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA. Tegangan tertinggi terjadi pada bus 1 (Suralaya), yaitu 1,020 pu dan tegangan yang paling rendah terdapat pada bus 7 (Bekasi) sebesar 0,966 pu. Hasil simulasi rugi-rugi daya pada masing-masing saluran setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada lampiran 24. Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Rugi rugi daya aktif (MW) Saluran Rugi rugi daya aktif sebelum TCPST Rugi rugi daya aktif setelah TCPST menggunakan FUZZY GSA Gambar Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA

165 135 Pada Gambar 4.47 ini menunjukkan bahwa hasil simulasi aliran daya setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA mampu mereduksi rugi-rugi daya aktif sebesar 62,83 MW. Rugi daya aktif setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA terbesar terjadi pada saluran sebesar 43,761 MW dan rugi daya aktif terkecil terjadi pada saluran 18-5 sebesar 0,062 MW. Hasil simulasi rugi-rugi daya aktif, tegangan deviasi dan fungsi biaya investasi setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA No Fungsi Objektif TCPST Nilai 1. Fungsi Fitnes 0, Rugi-rugi daya aktif (MW) 234, Tegangan deviasi (pu) 0, Investasi Biaya TCPST dalam 5 th (US $/jam) ,30 Pada Tabel 4.46 ini dapat dilihat bahwa fungsi fitnes ini diperoleh dengan menetapkan bobot 40% dari rugi-rugi daya aktif dibandingkan dengan rugi-rugi daya aktif dasar sebesar 297,607 MW, bobot 40% dari deviasi tegangan di bandingkan dengan total penyimpangan tegangan sebesar 1 pu, dan bobot 20% dari biaya keseluruhan TCPST menggunakan FL-GSA di bandingkan dengan investasi biaya maksimum TCPST menggunakan FL-GSA. Perhitungan fungsi fitnes ini diperoleh menggunakan persamaan Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan TCPST menggunakan FL- GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Eigenvalue 1 2 Cilegon 442, Kembangan 224, Gandul 150, Cibinong 121, Cawang 122, Bekasi 78, Cibatu 72,48

166 136 Tabel Lanjutan Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Eigenvalue 8 12 Bandung Selatan 63, Mandiracan 60, Ungaran 47, Surabaya Barat 27, Depok 6, Tasikmalaya 21, Pedan 10, Kediri 17, Balaraja 13, Ngimbang 15,05 Pada Tabel 4.47 dapat dilihat bahwa keseluruhan bus beban memiliki nilai eigenvalue positif (λ>0) yang berarti semua bus beban memiliki tegangan sistem yang stabil. Nilai eigenvalue (λ) yang terbesar terjadi pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 442,15 dan nilai eigenvalue (λ) yang terkecil terjadi pada bus beban 18 (Depok) sebesar 6,32. Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai partisipasi faktor setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Nilai Partisipasi Faktor masing-masing Bus Beban setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor 1 2 Cilegon 0, Kembangan 0, Gandul 0, Cibinong 0, Cawang 0, Bekasi 0, Cibatu 0, Bandung Selatan 0, Mandiracan 0, Ungaran 0, Surabaya Barat 0, Depok 0, Tasikmalaya 0, Pedan 0, Kediri 0, Balaraja 0,011709

167 137 Tabel Lanjutan Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor Ngimbang 0, Hasil partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.48 ini menunjukan bahwa setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA ini terjadi beberapa bus beban yang menyumbang ketidakstabilan tegangan adalah mode 13 pada bus beban 19, mode 14 pada bus beban 20 dan mode 15 pada bus beban 21. Hal ini dikarenakan luas area mode 13, mode 14 dan mode 15 ini terhubung dengan saluran transmisi yang panjang pada bus beban sekitar 280 km dan sekitar 305 km. Bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terbesar adalah mode 14 pada bus beban 19 (Tasikmalaya) sebesar 0, dan bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terkecil adalah mode 7 pada bus beban 9 (Cibatu) sebesar 0, Dari hasil ini terlihat bahwa terjadi perbaikan nilai kestabilan tegangan sebesar 0, Simulasi pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA Hasil kurva konvergensi setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Participation Factors for Minimum Eigenvalue Nb Participation Factor Bus nb. Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan TCPST menggunakan FL-GSA

168 138 Pada Gambar 4.49 menunjukan bahwa karakteristik konvergensi setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini konvergen pada fungsi fitnes sebesar 0,310 dan menghasilkan nilai rugi daya aktif pada saluran transmisi sebesar 230,666 MW serta rugi daya reaktif sebesar 2209,852 MVAR. Hasil simulasi lokasi dan rating setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA Nomor Bus Saluran Dari Ke Rating ( ) Mandiracan 14. Ungaran -4, Ngimbang 14. Ungaran -1, Ungaran 20. Pedan 4, Depok 19. Tasikmalaya -4, Depok 5. Cibinong 0,653 Pada Tabel 4.49 ini menunjukan bahwa kompensasi sistem setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini efektif untuk meningkatkan tegangan bus pada sistem. TCPST digunakan untuk mengurangi pembebanan pada saluran transmisi dengan mengalihkan aliran daya tersebut pada arah tertentu. Pada Tabel 4.49 ini menunjukan bahwa daya yang mengalir pada saluran 13-14, 25-14, 14-20, dan 18-5 ini menjadi lebih besar Convergence of GSA Graphic 0.32 Fitness Function Iteration Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini

169 139 Pada Tabel 4.49 ini juga menunjukan bahwa lokasi dan rating setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini pada saluran transmisi tenaga listrik Jawa-Bali 500 KV terbesar terjadi pada saluran sebesar 4,2494⁰ dan rating terkecil terjadi pada saluran sebesar -4,2961⁰. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada lampiran 25. Perbandingan profil tegangan pada masing-masing bus sebelum dan setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Dari Gambar 4.50 ini juga menunjukkan bahwa profil tegangan setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini berada di dalam batas toleransi ± 5% dari tegangan referensi atau dapat dikatakan bahwa tegangan pada sistem Jawa-Bali menjadi lebih baik setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA. Tegangan tertinggi terjadi pada bus 19 (Tasikmalaya), yaitu 1,027 pu dan tegangan yang paling rendah terdapat pada bus 13 (Mandiracan) dan bus 21 (Kediri) sebesar 0,971 pu. Hasil simulasi rugi-rugi daya pada masing-masing saluran setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada lampiran 26. Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Tegangan bus (pu) 1,05 1 0,95 0,9 0,85 0,8 0, Penomoran bus Tegangan bus sebelum TCPST Tegangan bus setelah TCPST menggunakan IT2FLS GSA Gambar Perbandingan profil tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA

170 140 Pada Gambar 4.51 ini menunjukkan bahwa hasil simulasi aliran daya setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA mampu mereduksi rugirugi daya aktif sebesar 66,941 MW. Rugi daya aktif setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA terbesar terjadi pada saluran sebesar 43,593 MW dan rugi daya aktif terkecil terjadi pada saluran 3-4 sebesar 0,065 MW. Hasil simulasi rugi-rugi daya aktif, tegangan deviasi dan fungsi biaya investasi setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA No Fungsi Objektif TCPST Nilai 1. Fungsi Fitnes 0, Rugi-rugi daya aktif (MW) 230, Tegangan deviasi (pu) 0, Investasi Biaya TCPST dalam 5 th (US $/jam) ,76 Pada Tabel 4.50 ini dapat dilihat bahwa fungsi fitnes ini diperoleh dengan menetapkan bobot 40% dari rugi-rugi daya aktif dibandingkan dengan rugi-rugi daya aktif dasar sebesar 297,607 MW, bobot 40% dari deviasi tegangan di bandingkan dengan total penyimpangan tegangan sebesar 1 pu, dan bobot 20% dari biaya keseluruhan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA di bandingkan dengan investasi biaya maksimum TCPST menggunakan IT2FLS-GSA. Perhitungan fungsi fitnes ini diperoleh menggunakan persamaan Rugi rugi daya aktif (MW) Saluran Rugi rugi daya aktif sebelum TCPST Rugi rugi daya aktif setelah TCPST menggunakan IT2FLS GSA Gambar Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA

171 141 Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Eigenvalue 1 2 Cilegon 450, Kembangan 228, Gandul 150, Cibinong 122, Cawang 122, Bekasi 80, Cibatu 72, Bandung Selatan 63, Mandiracan 61, Ungaran 46, Surabaya Barat 27, Depok 6, Tasikmalaya 21, Pedan 10, Kediri 17, Balaraja 14, Ngimbang 15,15 Pada Tabel 4.51 dapat dilihat bahwa keseluruhan bus beban memiliki nilai eigenvalue positif (λ>0) yang berarti semua bus beban memiliki tegangan sistem yang stabil. Nilai eigenvalue (λ) yang terbesar terjadi pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 450,59 dan nilai eigenvalue (λ) yang terkecil terjadi pada bus beban 18 (Depok) sebesar 6,35. Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai partisipasi faktor setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Nilai Partisipasi Faktor masing-masing Bus Beban setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor 1 2 Cilegon 0, Kembangan 0, Gandul 0,022727

172 142 Tabel Lanjutan Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor 4 5 Cibinong 0, Cawang 0, Bekasi 0, Cibatu 0, Bandung Selatan 0, Mandiracan 0, Ungaran 0, Surabaya Barat 0, Depok 0, Tasikmalaya 0, Pedan 0, Kediri 0, Balaraja 0, Ngimbang 0, Hasil partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Participation Factors for Minimum Eigenvalue Nb Participation Factor Bus nb. Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA

173 143 Pada Gambar 4.52 ini menunjukan bahwa setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini terjadi beberapa bus beban yang menyumbang ketidakstabilan tegangan adalah mode 13 pada bus beban 19, mode 14 pada bus beban 20 dan mode 15 pada bus beban 21. Hal ini dikarenakan luas area mode 13, mode 14 dan mode 15 ini terhubung dengan saluran transmisi yang panjang pada bus beban sekitar 280 km dan sekitar 305 km. Bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terbesar adalah mode 14 pada bus beban 19 (Tasikmalaya) sebesar 0, dan bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terkecil adalah mode 7 pada bus beban 9 (Cibatu) sebesar 0, Dari hasil ini terlihat bahwa terjadi perbaikan nilai kestabilan tegangan sebesar 0, Hasil Simulasi Aliran Daya Setelah Pemasangan SVC-TCSC-TCPST Hasil simulasi aliran daya setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST ini menggunakan beberapa metode, yaitu : 1. Simulasi pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA Hasil kurva konvergensi setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Gambar Convergence of GSA Graphic Fitness Function Iteration Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA

174 144 Pada Gambar 4.53 menunjukan bahwa karakteristik konvergensi setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA ini konvergen pada fungsi fitnes sebesar 0,354 dan menghasilkan nilai rugi daya aktif pada saluran transmisi sebesar 262,946 MW serta rugi daya reaktif sebesar 2383,447 MVAR. Hasil simulasi lokasi dan rating setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA Nomor Bus Jenis Rating Saluran Dari Ke FACTS Ungaran 20. Pedan -2, Depok 19. Tasikmalaya 3, Cibinong 8. Muaratawar -0,0399 pu Pedan 21. Kediri -0,0782 pu Kembangan 4. Gandul -0,0033 pu 1 Pada Tabel 4.53 ini menunjukan bahwa kompensasi sistem setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA ini efektif untuk meningkatkan tegangan bus pada sistem. SVC-TCSC-TCPST digunakan untuk mengurangi pembebanan pada saluran transmisi dengan mengalihkan aliran daya tersebut pada arah tertentu. Pada Tabel 4.53 ini menunjukan bahwa daya yang mengalir pada saluran 14-20, 18-19, 5-8, dan 3-4 ini menjadi lebih besar. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA ini dapat dilihat pada lampiran 27. Perbandingan profil tegangan pada masing-masing bus sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Gambar Dari Gambar 4.54 ini juga menunjukkan bahwa profil tegangan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA ini berada di dalam batas toleransi ± 5% dari tegangan referensi atau dapat dikatakan bahwa tegangan pada sistem Jawa-Bali menjadi lebih baik setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA. Tegangan tertinggi terjadi pada bus 1 (Suralaya), yaitu 1,020 pu dan tegangan yang paling rendah terdapat pada bus 12 (Bandung Selatan) sebesar 0,962 pu.

175 145 Hasil simulasi rugi-rugi daya pada masing-masing saluran setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA ini dapat dilihat pada lampiran 28. Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Gambar ,05 Tegangan bus (pu) 1 0,95 0,9 0,85 0, Penomoran bus Tegangan bus sebelum SVC TCSC TCPST Tegangan bus setelah SVC TCSC TCPST menggunakan GSA Gambar Perbandingan profil tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA Rugi rugi daya aktif (MW) Saluran Rugi rugi daya aktif sebelum SVC TCSC TCST Rugi rugi daya aktif setelah SVC TCSC TCPST menggunakan GSA Gambar Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA

176 146 Pada Gambar 4.55 ini menunjukkan bahwa hasil simulasi aliran daya setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA mampu mereduksi rugi-rugi daya aktif sebesar 34,661 MW. Rugi daya aktif setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA terbesar terjadi pada saluran sebesar 52,158 MW dan rugi daya aktif terkecil terjadi pada saluran 3-4 sebesar 0,067 MW. Hasil simulasi rugi-rugi daya aktif, tegangan deviasi dan fungsi biaya investasi setelah pemasangan TCSC-SVC-TCPST menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA No Fungsi Objektif SVC-TCSC-TCPST Nilai 1. Fungsi Fitnes 0, Rugi-rugi daya aktif (MW) 262, Tegangan deviasi (pu) 0, Investasi Biaya TCSC-SVC-TCPST dalam 5 th (US $/jam) 15,16 Pada Tabel 4.54 ini dapat dilihat bahwa fungsi fitnes ini diperoleh dengan menetapkan bobot 40% dari rugi-rugi daya aktif dibandingkan dengan rugi-rugi daya aktif dasar sebesar 297,607 MW, bobot 40% dari deviasi tegangan di bandingkan dengan total penyimpangan tegangan sebesar 1 pu, dan bobot 20% dari biaya keseluruhan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA di bandingkan dengan investasi biaya maksimum SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA. Perhitungan fungsi fitnes ini diperoleh menggunakan persamaan Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Eigenvalue 1 2 Cilegon 453, Kembangan 249, Gandul 150, Cibinong 122, Cawang 120, Bekasi 94,22

177 147 Tabel Lanjutan Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Eigenvalue 7 9 Cibatu 72, Bandung Selatan 63, Mandiracan 63, Ungaran 61, Surabaya Barat 36, Depok 6, Tasikmalaya 21, Pedan 11, Kediri 14, Balaraja 16, Ngimbang 17,42 Pada Tabel 4.55 dapat dilihat bahwa keseluruhan bus beban memiliki nilai eigenvalue positif (λ>0) yang berarti semua bus beban memiliki tegangan sistem yang stabil. Nilai eigenvalue (λ) yang terbesar terjadi pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 453,08 dan nilai eigenvalue (λ) yang terkecil terjadi pada bus beban 18 (Depok) sebesar 6,14. Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai partisipasi faktor setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Nilai Partisipasi Faktor masing-masing Bus Beban setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor 1 2 Cilegon 0, Kembangan 0, Gandul 0, Cibinong 0, Cawang 0, Bekasi 0, Cibatu 0, Bandung Selatan 0, Mandiracan 0, Ungaran 0, Surabaya Barat 0, Depok 0, Tasikmalaya 0,326990

178 148 Tabel Lanjutan Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor Pedan 0, Kediri 0, Balaraja 0, Ngimbang 0, Hasil partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA seperti pada Gambar Pada Gambar 4.56 ini menunjukan bahwa setelah pemasangan SVC- TCSC-TCPST menggunakan GSA ini terjadi beberapa bus beban yang menyumbang ketidakstabilan tegangan adalah mode 13 pada bus beban 19, mode 14 pada bus beban 20 dan mode 15 pada bus beban 21. Hal ini dikarenakan luas area mode 13, mode 14 dan mode 15 ini terhubung dengan saluran transmisi yang panjang pada bus beban sekitar 280 km dan sekitar 305 km. Bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terbesar adalah mode 14 pada bus beban 19 (Tasikmalaya) sebesar 0, dan bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terkecil adalah mode 1 pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 0, Dari hasil ini terlihat bahwa terjadi perbaikan nilai kestabilan tegangan sebesar 0, Participation Factors for Minimum Eigenvalue Nb Participation Factor Bus nb. Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA

179 Simulasi setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW- GSA Hasil kurva konvergensi setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.57 menunjukan bahwa karakteristik konvergensi setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA ini konvergen pada fungsi fitnes sebesar 0,350 dan menghasilkan nilai rugi daya aktif pada saluran transmisi sebesar 260,605 MW serta rugi daya reaktif sebesar 2319,213 MVAR. Hasil simulasi lokasi dan rating setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA Nomor Bus Jenis Rating Saluran Dari Ke FACTS Balaraja 4. Gandul 3, Ungaran 20. Pedan 3, Ungaran 16. Surabaya Barat -0,0304 pu Kediri 22. Paiton -0,0601 pu Saguling 12. Bandung Selatan 152,0853 MVar Convergence of GSA Graphic Fitness Function) Iteration Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA

180 150 Pada Tabel 4.57 ini menunjukan bahwa kompensasi sistem setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA ini efektif untuk meningkatkan tegangan bus pada sistem. SVC-TCSC-TCPST digunakan untuk mengurangi pembebanan pada saluran transmisi dengan mengalihkan aliran daya tersebut pada arah tertentu. Pada Tabel 4.57 ini menunjukan bahwa daya yang mengalir pada saluran 24-4, 14-20, 14-16, dan ini menjadi lebih besar. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada lampiran-29. Perbandingan profil tegangan pada masing-masing bus sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Dari Gambar 4.58 ini juga menunjukkan bahwa profil tegangan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA ini berada di dalam batas toleransi ± 5% dari tegangan referensi atau dapat dikatakan bahwa tegangan pada sistem Jawa-Bali menjadi lebih baik setelah pemasangan SVC-TCSC- TCPST menggunakan LDIW-GSA. Tegangan tertinggi terjadi pada bus 1 (Suralaya), yaitu 1,020 pu dan tegangan yang paling rendah terdapat pada bus 21 (Kediri) sebesar 0,957 pu. 1,05 Tegangan bus (pu) 1 0,95 0,9 0,85 0, Penomoran bus Tegangan bus sebelum SVC TCSC TCPST Tegangan bus setelah SVC TCSC TCPST menggunakan LDIW GSA Gambar Perbandingan profil tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA

181 151 Hasil simulasi rugi-rugi daya pada masing-masing saluran setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada lampiran 30. Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.59 ini menunjukkan bahwa hasil simulasi aliran daya setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA mampu mereduksi rugi-rugi daya aktif sebesar 37,002 MW. Rugi daya aktif setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA terbesar terjadi pada saluran sebesar 52,512 MW dan rugi daya aktif terkecil terjadi pada saluran 18-5 sebesar 0,065 MW. Hasil simulasi rugi-rugi daya aktif, tegangan deviasi dan fungsi biaya investasi setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Rugi rugi daya aktif (MW) Saluran Rugi rugi daya aktif sebelum SVC TCSC TCPST Rugi rugi daya aktif setelah SVC TCSC TCPST menggunakan LDIW GSA Gambar Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA

182 152 Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan TCSC-SVC-TCPST menggunakan LDIW-GSA No Fungsi Objektif TCSC-SVC-TCPST Nilai 1. Fungsi Fitnes 0, Rugi-rugi daya aktif (MW) 260, Tegangan deviasi (pu) 0, Investasi Biaya SVC-TCSC-TCPST dalam 5 th (US $/jam) ,39 Pada Tabel 4.58 ini dapat dilihat bahwa fungsi fitnes ini diperoleh dengan menetapkan bobot 40% dari rugi-rugi daya aktif dibandingkan dengan rugi-rugi daya aktif dasar sebesar 297,607 MW, bobot 40% dari deviasi tegangan di bandingkan dengan total penyimpangan tegangan sebesar 1 pu, dan bobot 20% dari biaya keseluruhan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA di bandingkan dengan investasi biaya maksimum SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA. Perhitungan fungsi fitnes ini diperoleh menggunakan persamaan Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Eigenvalue 1 2 Cilegon 443, Kembangan 225, Gandul 150, Cibinong 121, Cawang 122, Bekasi 78, Cibatu 72, Bandung Selatan 62, Mandiracan 60, Ungaran 44, Surabaya Barat 6, Depok 29, Tasikmalaya 11, Pedan 13, Kediri 21, Balaraja 17, Ngimbang 18,18

183 153 Pada Tabel 4.59 dapat dilihat bahwa keseluruhan bus beban memiliki nilai eigenvalue positif (λ>0) yang berarti semua bus beban memiliki tegangan sistem yang stabil. Nilai eigenvalue (λ) yang terbesar terjadi pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 443,54 dan nilai eigenvalue (λ) yang terkecil terjadi pada bus beban 16 (Surabaya Barat) sebesar 6,28. Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai partisipasi faktor setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Nilai Partisipasi Faktor masing-masing Bus Beban setelah pemasangan SVC-TCSC- TCPST menggunakan LDIW-GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor 1 2 Cilegon 0, Kembangan 0, Gandul 0, Cibinong 0, Cawang 0, Bekasi 0, Cibatu 0, Bandung Selatan 0, Mandiracan 0, Ungaran 0, Surabaya Barat 0, Depok 0, Tasikmalaya 0, Pedan 0, Kediri 0, Balaraja 0, Ngimbang 0, Hasil partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA ini dapat dilihat pada Gambar 4.60 Pada Gambar 4.60 ini menunjukan bahwa setelah pemasangan SVC- TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA ini terjadi beberapa bus beban yang menyumbang ketidakstabilan tegangan adalah mode 13 pada bus beban 19 dan

184 154 mode 14 pada bus beban 20. Hal ini dikarenakan luas area mode 13 dan mode 14 ini terhubung dengan saluran transmisi yang panjang pada bus beban sekitar 280 km dan sekitar 305 km. Bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terbesar adalah mode 14 pada bus beban 19 (Tasikmalaya) sebesar 0, dan bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terkecil adalah mode 1 pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 0, Participation Factors for Minimum Eigenvalue Nb Participation Factor Bus nb. Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA Convergence of GSA Graphic Fitness Function Iteration Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA

185 Simulasi setelah pemasangan TCSC-SVC-TCPST menggunakan FL-GSA Hasil kurva konvergensi setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.61 menunjukan bahwa karakteristik konvergensi setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA ini konvergen pada fungsi fitnes sebesar 0,350 dan menghasilkan nilai rugi daya aktif pada saluran transmisi sebesar 260,150 MW serta rugi daya reaktif sebesar 2497,341 MVAR. Hasil simulasi lokasi dan rating setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA Nomor Bus Jenis Rating Saluran Dari Ke FACTS Ungaran 20. Pedan 3, Cawang 7. Bekasi -0,0008 pu Ungaran 15. Tanjung Jati -1, Bdg Selatan 13. Mandiracan -0,0076 pu Cawang 8. Muaratawar -62,2324 MVAR 2 Pada Tabel 4.61 ini menunjukan bahwa kompensasi sistem setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA ini efektif untuk meningkatkan tegangan bus pada sistem. SVC-TCSC-TCPST digunakan untuk mengurangi pembebanan pada saluran transmisi dengan mengalihkan aliran daya tersebut pada arah tertentu. Pada Tabel 4.61 ini menunjukan bahwa daya yang mengalir pada saluran 14-20, 6-7, 14-15, dan 6-8 ini menjadi lebih besar. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada lampiran-31. Perbandingan profil tegangan pada masing-masing bus sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Dari Gambar 4.62 ini juga menunjukkan bahwa profil tegangan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA ini berada di dalam batas toleransi ± 5% dari tegangan referensi atau dapat dikatakan bahwa tegangan

186 156 pada sistem Jawa-Bali menjadi lebih baik setelah pemasangan SVC-TCSC- TCPST menggunakan FL-GSA. Tegangan tertinggi terjadi pada bus 1 (Suralaya), yaitu 1,020 pu dan tegangan yang paling rendah terdapat pada bus 12 (Bandung Selatan) sebesar 0,955 pu. 1,05 Tegangan bus (pu) 1 0,95 0,9 0,85 0, Penomoran bus Tegangan bus sebelum SVC TCSC TCPST Tegangan bus setelah SVC TCSC TCPST menggunakan FUZZY GSA Gambar Perbandingan profil tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA Rugi rugi daya aktif (MW) Saluran Rugi rugi daya aktif sebelum SVC TCSC TCPST Rugi rugi daya aktif setelah SVC TCSC TCPST menggunakan FUZZY GSA Gambar Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA

187 157 Pada Gambar 4.63 ini menunjukkan bahwa hasil simulasi aliran daya setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA mampu mereduksi rugi-rugi daya aktif sebesar 37,457 MW. Rugi daya aktif setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA terbesar terjadi pada saluran sebesar 53,836 MW dan rugi daya aktif terkecil terjadi pada saluran 3-4 sebesar 0,069 MW. Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA No Fungsi Objektif TCSC-SVC-TCPST Nilai 1. Fungsi Fitnes 0, Rugi-rugi daya aktif (MW) 260, Tegangan deviasi (pu) 0, Investasi Biaya SVC-TCSC-TCPST dalam 5 th (US $/jam) 16,94 Pada Tabel 4.62 ini dapat dilihat bahwa fungsi fitnes ini diperoleh dengan menetapkan bobot 40% dari rugi-rugi daya aktif dibandingkan dengan rugi-rugi daya aktif dasar sebesar 297,607 MW, bobot 40% dari deviasi tegangan di bandingkan dengan total penyimpangan tegangan sebesar 1 pu, dan bobot 20% dari biaya keseluruhan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA di bandingkan dengan investasi biaya maksimum SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA. Perhitungan fungsi fitnes ini diperoleh menggunakan persamaan Hasil simulasi kestabilan tegangan setelah pemasangan SVC-TCSC- TCPST menggunakan FL-GSA ini diperoleh dari matriks Jacobian Reduksi untuk mendapatkan nilai-nilai eigenvalue, seperti ditunjukan seperti pada Tabel Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Eigenvalue 1 2 Cilegon 436, Kembangan 222, Gandul 150, Cibinong 121, Cawang 124,11

188 158 Tabel Lanjutan Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Eigenvalue 6 7 Bekasi 77, Cibatu 72, Bandung Selatan 64, Mandiracan 60, Ungaran 44, Surabaya Barat 5, Depok 26, Tasikmalaya 10, Pedan 20, Kediri 17, Balaraja 13, Ngimbang 14,64 Pada Tabel 4.63 dapat dilihat bahwa keseluruhan bus beban memiliki nilai eigenvalue positif (λ>0) yang berarti semua bus beban memiliki tegangan sistem yang stabil. Nilai eigenvalue (λ) yang terbesar terjadi pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 436,71 dan nilai eigenvalue (λ) yang terkecil terjadi pada bus beban 16 (Surabaya Barat) sebesar 5,63. Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai partisipasi faktor setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Nilai Partisipasi Faktor masing-masing Bus Beban setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor 1 2 Cilegon 0, Kembangan 0, Gandul 0, Cibinong 0, Cawang 0, Bekasi 0, Cibatu 0, Bandung Selatan 0, Mandiracan 0, Ungaran 0, Surabaya Barat 0,000773

189 159 Tabel Lanjutan Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor Depok 0, Tasikmalaya 0, Pedan 0, Kediri 0, Balaraja 0, Ngimbang 0, Hasil partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.64 ini menunjukan bahwa setelah pemasangan SVC- TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA ini terjadi beberapa bus beban yang menyumbang ketidakstabilan tegangan adalah mode 13 pada bus beban 19, mode 14 pada bus beban 20 dan mode 15 pada bus beban 21. Hal ini dikarenakan luas area mode 13, mode 14 dan mode 15 ini terhubung dengan saluran transmisi yang panjang pada bus beban sekitar 280 km dan sekitar 305 km. Bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terbesar adalah mode 14 pada bus beban 19 (Tasikmalaya) sebesar 0, dan bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terkecil adalah mode 7 pada bus beban 9 (Cibatu) sebesar 0, Dari hasil ini terlihat bahwa terjadi perbaikan nilai kestabilan tegangan sebesar 0, Participation Factors for Minimum Eigenvalue Nb ParticipationFactor Bus nb. Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FL-GSA

190 Simulasi setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS- GSA Hasil kurva konvergensi setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.65 menunjukan bahwa karakteristik konvergensi setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini konvergen pada fungsi fitnes sebesar 0,339 dan menghasilkan nilai rugi daya aktif pada saluran transmisi sebesar 252,424 MW serta rugi daya reaktif sebesar 2396,73 MVAR. Hasil simulasi lokasi dan rating setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Lokasi dan rating setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA Nomor Bus Jenis Rating Saluran Dari Ke FACTS Bandung Selatan 13. Mandiracan 3, Tasikmalaya 20. Pedan -4, Muaratawar 9. Cibatu -0,0139 pu Balaraja 4. Gandul -0,0154 pu Ungaran 20. Pedan -0,0478 pu Convergence of GSA Graphic 0.36 Fitness Function Iteration Gambar Karakteristik konvergensi setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA

191 161 Pada Tabel 4.65 ini menunjukan bahwa kompensasi sistem setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini efektif untuk meningkatkan tegangan bus pada sistem. SVC-TCSC-TCPST digunakan untuk mengurangi pembebanan pada saluran transmisi dengan mengalihkan aliran daya tersebut pada arah tertentu. Pada Tabel 4.65 ini menunjukan bahwa daya yang mengalir pada saluran 12-13, 19-20, 8-9, 24-4 dan ini menjadi lebih besar. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada lampiran-33. Perbandingan profil tegangan pada masing-masing bus sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Dari Gambar 4.66 ini juga menunjukkan bahwa profil tegangan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini berada di dalam batas toleransi ± 5% dari tegangan referensi atau dapat dikatakan bahwa tegangan pada sistem Jawa-Bali menjadi lebih baik setelah pemasangan SVC-TCSC- TCPST menggunakan IT2FLS-GSA. Tegangan tertinggi terjadi pada bus 1 (Suralaya), yaitu 1,02 pu dan tegangan yang paling rendah terdapat pada bus 20 (Pedan) sebesar 0,96 pu. 1,05 Tegangan bus (pu) 1 0,95 0,9 0,85 0, Penomoran bus Tegangan bus sebelum SVC TCSC TCPST Tegangan bus setelah SVC TCSC TCPST menggunakan IT2FLS GSA Gambar Perbandingan profil tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA

192 162 Hasil simulasi rugi-rugi daya pada masing-masing saluran setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada lampiran 34. Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.67 ini menunjukkan bahwa hasil simulasi aliran daya setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA mampu mereduksi rugi-rugi daya aktif sebesar 45,183 MW. Rugi daya aktif setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA terbesar terjadi pada saluran sebesar 50,008 MW dan rugi daya aktif terkecil terjadi pada saluran 3-4 sebesar 0,067 MW. Hasil simulasi rugi-rugi daya aktif, tegangan deviasi dan fungsi biaya investasi setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Fungsi objektif setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA No Fungsi Objektif SVC-TCSC-TCPST Nilai 1. Fungsi Fitnes 0, Rugi-rugi daya aktif (MW) 252, Tegangan deviasi (pu) 0, Investasi Biaya SVC-TCSC-TCPST dalam 5 th (US $/jam) ,64 Rugi rugi daya aktif (MW) Saluran Rugi rugi daya aktif sebelum SVC TCSC TCPST Rugi rugi daya aktif setelah SVC TCSC TCPST menggunakan IT2FLS GSA Gambar Perbandingan rugi-rugi daya aktif pada masing-masing saluran sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA

193 163 Pada Tabel 4.66 ini dapat dilihat bahwa fungsi fitnes ini diperoleh dengan menetapkan bobot 40% dari rugi-rugi daya aktif dibandingkan dengan rugi-rugi daya aktif dasar sebesar 297,607 MW, bobot 40% dari deviasi tegangan di bandingkan dengan total penyimpangan tegangan sebesar 1 pu, dan bobot 20% dari biaya keseluruhan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS di bandingkan dengan investasi biaya maksimum SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS. Perhitungan fungsi fitnes ini diperoleh menggunakan persamaan Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Tabel 4.67 Tabel Nilai eigenvalue (λ) setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Eigenvalue (λ) 1 2 Cilegon 467, Kembangan 265, Gandul 150, Cibinong 114, Cawang 114, Bekasi 122, Cibatu 119, Bandung Selatan 82, Mandiracan 69, Ungaran 63, Surabaya Barat 6, Depok 26, Tasikmalaya 10, Pedan 20, Kediri 13, Balaraja 17, Ngimbang 16,24 Pada Tabel 4.67 dapat dilihat bahwa keseluruhan bus beban memiliki nilai eigenvalue positif (λ>0) yang berarti semua bus beban memiliki tegangan sistem yang stabil. Nilai eigenvalue (λ) yang terbesar terjadi pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 467,66 dan nilai eigenvalue (λ) yang terkecil terjadi pada bus beban 16 (Surabaya Barat) sebesar 6,23. Hasil simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban

194 164 berdasarkan nilai partisipasi faktor setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini, seperti ditunjukan seperti pada Tabel Tabel Nilai Partisipasi Faktor masing-masing Bus Beban setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA Mode-i No Bus Nama Bus Nilai Partisipasi Faktor 1 2 Cilegon 0, Kembangan 0, Gandul 0, Cibinong 0, Cawang 0, Bekasi 0, Cibatu 0, Bandung Selatan 0, Mandiracan 0, Ungaran 0, Surabaya Barat 0, Depok 0, Tasikmalaya 0, Pedan 0, Kediri 0, Balaraja 0, Ngimbang 0, Hasil partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.68 ini menunjukan bahwa setelah pemasangan SVC- TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA ini terjadi beberapa bus beban yang menyumbang ketidakstabilan tegangan adalah mode 13 pada bus beban 19, mode 14 pada bus beban 20 dan mode 15 pada bus beban 21. Hal ini dikarenakan luas area mode 13, mode 14 dan mode 15 ini terhubung dengan saluran transmisi yang panjang pada bus beban sekitar 280 km dan sekitar 305 km. Bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terbesar adalah mode 14 pada bus beban 19 (Tasikmalaya) sebesar 0, dan bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terkecil adalah mode 1 pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 0,

195 Hasil Perbandingan Simulasi Aliran Daya Sebelum dan Setelah Pemasangan TCSC Perbandingan Profil Tegangan Sebelum dan Setelah Pemasangan TCSC Hasil perbandingan simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan TCSC ini dapat dilihat pada Gambar Participation Factors for Minimum Eigenvalue Nb Participation Factor Bus nb. Gambar Partisipasi faktor pada masing-masing bus beban setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA 1,050 Tegangan Bus (pu) 1,000 0,950 0,900 0,850 0, Penomoran Bus Sebelum TCSC GSA LDIW-GSA Fuzzy-GSA IT2FLS Gambar Perbandingan Profil tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan TCSC

196 166 Pada Gambar 4.69 ini menunjukkan bahwa nilai tegangan pada sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv sebelum pemasangan TCSC dapat diperbaiki setelah pemasangan TCSC. Tegangan paling tinggi sebelum pemasangan TCSC terjadi pada bus 1 (Suralaya) sebesar 1,02 pu dan tegangan yang paling rendah pada bus 20 (Pedan) sebesar 0,874 pu, sedangkan tegangan paling tinggi setelah pemasangan TCSC terjadi pada bus 1 (Suralaya) sebesar 1,02 pu dan tegangan yang paling rendah pada bus 7(Bekasi) sebesar 0,950 pu Perbandingan Rugi-rugi Daya Aktif Sebelum dan Setelah Pemasangan TCSC Hasil perbandingan simulasi rugi-rugi aliran daya aktif sebelum dan sesudah pemasangan TCSC ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.70 ini menunjukkan bahwa nilai rugi-rugi daya aktif saluran transmisi pada sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv sebelum pemasangan TCSC dapat diminimumkan setelah pemasangan TCSC. Nilai rugi-rugi daya aktif saluran transmisi sebelum pemasangan TCSC sebesar 297,607 MW, sedangkan nilai paling minimum rugi-rugi daya aktif saluran transmisi setelah pemasangan TCSC sebesar 284,234 MW menggunakan IT2FLS-GSA. 300,000 Rugi-rugi daya aktif (MW) 295, , , , , , , , , ,000 Simulasi Sebelum TCSC GSA LDIW-GSA Fuzzy-GSA IT2FLS-GSA Gambar Perbandingan total rugi-rugi daya aktif sebelum dan setelah pemasangan TCSC

197 Perbandingan Fungsi Objektif Setelah Pemasangan TCSC Hasil simulasi fungsi Objektif setelah pemasangan TCSC ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Perbandingan fungsi objektif setelah pemasangan TCSC No Fungsi Objektif TCSC GSA LDIW FL IT2FLS 1. Fungsi Fitnes 0, ,387 0,386 0, Rugi-rugi daya aktif (MW) 288, , , , Tegangan deviasi (pu) 0, , , , Investasi Biaya dalam 5 th (US $/jam) 17,57 17,58 17,56 17,57 Pada Tabel 4.69 ini menunjukkan bahwa hasil simulasi fungsi Objektif setelah pemasangan TCSC dapat memperbaiki rugi-rugi daya aktif saluran transmisi, tegagangan deviasi, fungsi fitnes dan Investasi biaya dalam 5 tahun. Fungsi Objektif terkecil di peroleh setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA Perbandingan Nilai Eigen Sebelum dan Setelah Pemasangan TCSC Hasil perbandingan simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai eigenvalue (λ) sebelum dan setelah TCSC ini dapat dilihat pada Gambar Nilai Eigen Nomor Bus Sebelum TCSC GSA LDIW-GSA Fuzzy-GSA IT2FLS-GSA Gambar Perbandingan kestabilan tegangan pada setiap bus berdasarkan nilai eigenvalue sebelum dan setelah pemasangan TCSC

198 168 Pada Gambar 4.71 ini menunjukkan bahwa kestabilan tegangan pada setiap bus berdasarkan nilai eigen pada sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv sebelum dan setelah pemasangan TCSC bernilai positif (λ>0) yang berarti bahwa semua bus beban pada sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv memiliki tegangan pada setiap bus yang stabil. Kestabilan tegangan pada setiap bus berdasarkan nilai eigenvalue (λ) yang terbesar terjadi pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 441,18 mengunakan LDIW-GSA dan nilai eigenvalue (λ) yang terkecil terjadi pada bus beban 16 (Surabaya Barat) sebesar 5,11 sebelum pemasangan TCSC Perbandingan Nilai Partisipasi Faktor Sebelum dan Setelah Pemasangan TCSC Hasil perbandingan simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai partisipasi faktor sebelum dan setelah pemasangan TCSC ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.72 ini menunjukan bahwa setelah pemasangan TCSC ini terjadi beberapa bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terbesar adalah mode 14 pada bus beban 19 (Tasikmalaya) sebesar 0,523 menggunakan FL-GSA dan bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terkecil adalah mode 7 pada bus beban 9 (Cibatu) sebesar 0, menggunakan IT2FLS-GSA. Partisipasi Faktor 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0, Nomor Bus Sebelum TCSC GSA LDIW-GSA Fuzzy-GSA IT2FLS-GSA Gambar Perbandingan kestabilan tegangan pada setiap bus berdasarkan nilai partisipasi faktor sebelum dan setelah pemasangan TCSC

199 Hasil Perbandingan Simulasi Aliran Daya Sebelum dan Setelah Pemasangan SVC Perbandingan Profil Tegangan Sebelum dan Setelah Pemasangan SVC Hasil perbandingan simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan SVC ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.73 ini menunjukkan bahwa nilai tegangan pada sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv sebelum pemasangan SVC dapat diperbaiki setelah pemasangan SVC. Tegangan paling tinggi sebelum pemasangan SVC terjadi pada bus 1 (Suralaya) sebesar 1,02 pu dan tegangan yang paling rendah pada bus 20 (Pedan) sebesar 0,874 pu, sedangkan tegangan paling tinggi setelah pemasangan SVC terjadi pada bus 1 (Suralaya) sebesar 1,02 pu dan tegangan yang paling rendah pada bus 7 (Bekasi) dan bus 25 (Ngimbang) sebesar 0,951 pu Perbandingan Rugi-rugi Daya Aktif Sebelum dan Setelah Pemasangan SVC Hasil perbandingan simulasi rugi-rugi aliran daya aktif sebelum dan sesudah pemasangan SVC ini dapat dilihat pada Gambar ,050 Tegangan Bus (pu) 1,000 0,950 0,900 0,850 0, Penomoran Bus Sebelum SVC GSA LDIW-GSA Fuzzy-GSA IT2FLS Gambar Perbandingan Profil tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan SVC

200 170 Pada Gambar 4.74 ini menunjukkan bahwa nilai rugi-rugi daya aktif saluran transmisi pada sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv sebelum pemasangan SVC dapat diminimumkan setelah pemasangan SVC. Nilai rugi-rugi daya aktif saluran transmisi sebelum pemasangan SVC sebesar 297,607 MW, sedangkan nilai paling minimum rugi-rugi daya aktif saluran transmisi setelah pemasangan SVC sebesar 283,579 MW menggunakan IT2FLS-GSA Perbandingan Fungsi Objektif Setelah Pemasangan SVC Hasil simulasi fungsi Objektif setelah pemasangan SVC ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Perbandingan fungsi objektif setelah pemasangan SVC No Fungsi Objektif SVC GSA LDIW FL IT2FLS 1. Fungsi Fitnes 0,386 0,386 0,383 0, Rugi-rugi daya aktif (MW) 287, , , , Tegangan deviasi (pu) 0, , , , Investasi Biaya dalam 5 th (US $/jam) 12,15 12,73 11,42 10,88 Pada Tabel 4.70 ini menunjukkan bahwa hasil simulasi fungsi Objektif setelah pemasangan SVC dapat memperbaiki rugi-rugi daya aktif saluran transmisi, tegagangan deviasi, fungsi fitnes dan Investasi biaya dalam 5 tahun. Fungsi Objektif terkecil di peroleh setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA. 300,000 Rugi-rugi daya aktif (MW) 295, , , , , , , , , ,000 Simulasi Sebelum SVC GSA LDIW-GSA Fuzzy-GSA IT2FLS-GSA Gambar Perbandingan total rugi-rugi daya aktif sebelum dan setelah pemasangan SVC

201 Perbandingan Nilai Eigen Sebelum dan Setelah Pemasangan SVC Hasil perbandingan simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai eigenvalue (λ) sebelum dan setelah SVC ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.75 ini menunjukkan bahwa kestabilan tegangan pada setiap bus berdasarkan nilai eigen pada sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv sebelum dan setelah pemasangan SVC bernilai positif (λ>0) yang berarti bahwa semua bus beban pada sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv memiliki tegangan pada setiap bus yang stabil. Kestabilan tegangan pada setiap bus berdasarkan nilai eigenvalue (λ) yang terbesar terjadi pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 437,88 mengunakan IT2FLS-GSA dan nilai eigenvalue (λ) yang terkecil terjadi pada bus beban 16 (Surabaya Barat) sebesar 5,11 sebelum pemasangan SVC Perbandingan Nilai Partisipasi Faktor Sebelum dan Setelah Pemasangan SVC Hasil perbandingan simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai partisipasi faktor sebelum dan setelah pemasangan SVC ini dapat dilihat pada Gambar Nilai Eigen Nomor Bus Sebelum SVC GSA LDIW-GSA Fuzzy-GSA IT2FLS-GSA Gambar Perbandingan kestabilan tegangan pada setiap bus berdasarkan nilai eigen sebelum dan setelah pemasangan SVC

202 172 Pada Gambar 4.76 ini menunjukan bahwa setelah pemasangan SVC ini terjadi beberapa bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terbesar adalah mode 14 pada bus beban 19 (Tasikmalaya) sebesar 0,420 menggunakan FL-GSA dan bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terkecil adalah mode 1 pada bus beban 2 (Ciligon) sebesar 0,00001 sebelum pemasangan SVC Hasil Perbandingan Hasil Simulasi Aliran Daya Sebelum dan Setelah Pemasangan TCPST Perbandingan Profil Tegangan Sebelum dan Setelah Pemasangan TCPST Hasil perbandingan simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan TCPST ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.77 ini menunjukkan bahwa nilai tegangan pada sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv sebelum pemasangan TCPST dapat diperbaiki setelah pemasangan TCPST. Tegangan paling tinggi sebelum pemasangan TCPST terjadi pada bus 1 (Suralaya) sebesar 1,02 pu dan tegangan yang paling rendah pada bus 20 (Pedan) sebesar 0,874 pu, sedangkan tegangan paling tinggi setelah pemasangan TCPST terjadi pada bus 1 (Suralaya) sebesar 1,02 pu dan tegangan yang paling rendah pada bus 13 (Mandiracan) sebesar 0,959 pu. 0,5 Partisipasi Faktor 0,4 0,3 0,2 0, Nomor Bus Sebelum SVC GSA LDIW-GSA Fuzzy-GSA IT2FLS-GSA Gambar Perbandingan kestabilan tegangan pada setiap bus berdasarkan nilai partisipasi faktor sebelum dan setelah pemasangan SVC

203 Perbandingan Rugi-rugi Daya Aktif Sebelum dan Setelah Pemasangan TCPST Hasil perbandingan simulasi rugi-rugi aliran daya aktif sebelum dan sesudah pemasangan TCPST ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.78 ini menunjukkan bahwa nilai rugi-rugi daya aktif saluran transmisi pada sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv sebelum pemasangan TCPST dapat diminimumkan setelah pemasangan TCPST. Nilai rugi-rugi daya aktif saluran transmisi sebelum pemasangan TCPST sebesar 297,607 MW, sedangkan nilai paling minimum rugi-rugi daya aktif saluran transmisi setelah pemasangan TCPST sebesar 230,666 MW menggunakan IT2FLS-GSA. 1,050 Tegangan Bus (pu) 1,000 0,950 0,900 0,850 0,800 0, Penomoran Bus Sebelum TCPST GSA LDIW-GSA Fuzzy-GSA IT2FLS Gambar Perbandingan Profil tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan TCPST 350,000 Rugi-rugi daya aktif (MW) 300, , , , ,000 50, , , , , ,666 Simulasi Sebelum TCPST GSA LDIW-GSA Fuzzy-GSA IT2FLS-GSA Gambar Perbandingan total rugi-rugi daya aktif sebelum dan sesudah pemasangan TCPST

204 Perbandingan Fungsi Objektif Setelah Pemasangan TCPST Hasil simulasi fungsi Objektif setelah pemasangan TCPST ini dapat dilihat pada Tabel Tabel Perbandingan fungsi objektif setelah pemasangan TCPST No Fungsi Objektif GSA LDIW FL IT2FLS TCPST 1. Fungsi Fitnes 0,318 0,318 0,316 0, Rugi-rugi daya aktif 236, , , ,666 (MW) 3. Tegangan deviasi (pu) 0, , , , Investasi Biaya dalam 5 th (US $/jam) , , , ,76 Pada Tabel 4.71 ini menunjukkan bahwa hasil simulasi fungsi Objektif setelah pemasangan TCPST dapat memperbaiki rugi-rugi daya aktif saluran transmisi, tegagangan deviasi, fungsi fitnes dan Investasi biaya dalam 5 tahun. Fungsi Objektif terkecil di peroleh setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA Perbandingan Nilai Eigen Sebelum dan Setelah Pemasangan TCPST Hasil perbandingan simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai eigenvalue (λ) sebelum dan setelah TCPST ini dapat dilihat pada Gambar Nilai Eigen Nomor Bus Sebelum TCPST GSA LDIW-GSA Fuzzy-GSA IT2FLS-GSA Gambar Perbandingan kestabilan tegangan pada setiap bus berdasarkan nilai eigenvalue sebelum dan setelah pemasangan TCPST

205 175 Pada Gambar 4.79 ini menunjukkan bahwa kestabilan tegangan pada setiap bus berdasarkan nilai eigen pada sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv sebelum dan setelah pemasangan TCPST bernilai positif (λ>0) yang berarti bahwa semua bus beban pada sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv memiliki tegangan pada setiap bus yang stabil. Kestabilan tegangan pada setiap bus berdasarkan nilai eigenvalue (λ) yang terbesar terjadi pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 453,08 mengunakan GSA dan nilai eigenvalue (λ) yang terkecil terjadi pada bus beban 16 (Surabaya Barat) sebesar 5,11 sebelum pemasangan TCPST Perbandingan Nilai Partisipasi Faktor Sebelum dan Setelah Pemasangan TCPST Hasil perbandingan simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai partisipasi faktor sebelum dan setelah pemasangan TCPST ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.80 ini menunjukan bahwa setelah pemasangan TCPST ini terjadi beberapa bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terbesar adalah mode 14 pada bus beban 19 (Tasikmalaya) sebesar 0,413 sebelum pemasangan FACTS device dan bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terkecil adalah mode 1 pada bus beban 2 (Ciligon) sebesar 0, menggunakan GSA. Partisipasi Faktor 0,45 0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0, Nomor Bus Sebelum TCPST GSA LDIW-GSA Fuzzy-GSA IT2FLS-GSA Gambar Perbandingan kestabilan tegangan pada setiap bus berdasarkan nilai partisipasi faktor sebelum dan setelah pemasangan TCPST

206 Hasil Perbandingan Simulasi Aliran Daya Sebelum dan Setelah Pemasangan SVC-TCSC-TCPST Perbandingan Profil Tegangan Sebelum dan Setelah Pemasangan SVC-TCSC-TCPST Hasil perbandingan simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.81 ini menunjukkan bahwa nilai tegangan pada sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv sebelum pemasangan SVC-TCSC-TCPST dapat diperbaiki setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST. Tegangan paling tinggi sebelum pemasangan SVC-TCSC-TCPST terjadi pada bus 1 (Suralaya) sebesar 1,02 pu dan tegangan yang paling rendah pada bus 20 (Pedan) sebesar 0,874 pu, sedangkan tegangan paling tinggi setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST terjadi pada bus 1 (Suralaya) sebesar 1,02 pu dan tegangan yang paling rendah pada bus 12 (Bandung Selatan) sebesar 0,955 pu. 1,050 1,000 Tegangan Bus (pu) 0,950 0,900 0,850 0, Penomoran Bus Sebelum SVC-TCSC-TCPST GSA LDIW-GSA Fuzzy-GSA IT2FLS Gambar Perbandingan Profil tegangan pada setiap bus sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST

207 Perbandingan Rugi-rugi Daya Aktif Sebelum dan Setelah Pemasangan SVC-TCSC-TCPST Hasil perbandingan simulasi rugi-rugi aliran daya aktif sebelum dan sesudah pemasangan SVC-TCSC-TCPST ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.82 ini menunjukkan bahwa nilai rugi-rugi daya aktif saluran transmisi pada sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv sebelum pemasangan SVC dapat diminimumkan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST. Nilai rugirugi daya aktif saluran transmisi sebelum pemasangan SVC-TCSC-TCPST sebesar 297,607 MW, sedangkan nilai paling minimum rugi-rugi daya aktif saluran transmisi setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST sebesar 252,424 MW menggunakan IT2FLS-GSA Perbandingan Fungsi Objektif Setelah Pemasangan SVC-TCSC- TCPST Hasil simulasi fungsi Objektif setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST ini dapat dilihat pada Tabel , ,000 Rugi-rugi daya aktif (MW) 290, , , , , , , , , , , , ,000 Simulasi Sebelum SVC-TCSC-TCPST GSA LDIW-GSA Fuzzy-GSA IT2FLS-GSA Gambar Perbandingan total rugi-rugi daya aktif sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST

208 178 Tabel Perbandingan fungsi objektif setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST No Fungsi Objektif SVC-TCSC-TCPST GSA LDIW FL IT2FLS 1. Fungsi Fitnes 0,354 0,350 0,350 0, Rugi-rugi daya aktif 262, , , ,424 (MW) 3. Tegangan deviasi (pu) 0, , , , Investasi Biaya dalam 5 th (US $/jam) 15, ,39 16, ,64 Pada Tabel 4.72 ini menunjukkan bahwa hasil simulasi fungsi Objektif setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST dapat memperbaiki rugi-rugi daya aktif saluran transmisi, tegangan deviasi, fungsi fitnes dan Investasi biaya dalam 5 tahun. Fungsi Objektif terkecil di peroleh setelah pemasangan SVC-TCSC- TCPST menggunakan FL-GSA Perbandingan Nilai Eigen Sebelum dan Setelah Pemasangan SVC- TCSC-TCPST Hasil perbandingan simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai eigenvalue (λ) sebelum dan setelah SVC-TCSC-TCPST ini dapat dilihat pada Gambar Nilai Eigen Nomor Bus Sebelum SVC-TCSC-TCPST GSA LDIW-GSA Fuzzy-GSA IT2FLS-GSA Gambar Perbandingan kestabilan tegangan berdasarkan nilai eigen sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST

209 179 Pada Gambar 4.83 ini menunjukkan bahwa kestabilan tegangan pada setiap bus berdasarkan nilai eigen pada sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv sebelum dan setelah pemasangan SVC bernilai positif (λ>0) yang berarti bahwa semua bus beban pada sistem kelistrikan Jawa-Bali 500 kv memiliki tegangan pada setiap bus yang stabil. Kestabilan tegangan pada setiap bus berdasarkan nilai eigenvalue (λ) yang terbesar terjadi pada bus beban 2 (Cilegon) sebesar 453,08 mengunakan GSA dan nilai eigenvalue (λ) yang terkecil terjadi pada bus beban 16 (Surabaya Barat) sebesar 5,11 sebelum pemasangan SVC-TCSC-TCPST Perbandingan Nilai Partisipasi Faktor Sebelum dan Setelah Pemasangan SVC-TCSC-TCPST Hasil perbandingan simulasi kestabilan tegangan pada masing-masing bus beban berdasarkan nilai partisipasi faktor sebelum dan setelah pemasangan SVC- TCSC-TCPST ini dapat dilihat pada Gambar Pada Gambar 4.84 ini menunjukan bahwa setelah pemasangan SVC- TCSC-TCPST ini terjadi beberapa bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terbesar adalah mode 14 pada bus beban 19 (Tasikmalaya) sebesar 00,543 menggunakan LDIW-GSA dan bus beban yang memiliki nilai partisipasi faktor terkecil adalah mode 1 pada bus beban 2 (Ciligon) sebesar 0, menggunakan GSA. Partisipasi Faktor 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0, Nomor Bus Sebelum SVC-TCSC-TCPST GSA LDIW-GSA Fuzzy-GSA IT2FLS-GSA Gambar Perbandingan kestabilan tegangan berdasarkan nilai partisipasi faktor sebelum dan setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST

210 Analisa Hasil Simulasi menggunakan Statistik Hasil simulasi menggunakan Gravitational Search Algorithm (GSA) dan improve GSA ini perlu di kaji secara statistik untuk menentukan interprestasi suatu hasil simulasi aliran daya setelah pemasangan SVC, TCSC, TCPST dan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA dan improve GSA itu baik dan mudah di pahami. Hasil data statistik pada penelitian ini diperoleh seperti pada Tabel Tabel Analisa Staitistik hasil simulasi fungsi fitnes Fungsi Fitnes No Simulasi Ratarata Deviasi Standar Min Maks 1. TCSC menggunakan GSA 0,3889 0,0035 0,3850 0, TCSC menggunakan LDIW-GSA 0,3870 0,0033 0,3820 0, TCSC menggunakan FL-GSA 0,3860 0,0028 0,3810 0, TCSC menggunakan IT2FLS-GSA 0,3830 0,0021 0,3790 0, SVC menggunakan GSA 0,3860 0,0027 0,3790 0, SVC menggunakan LDIW-GSA 0,3860 0,0024 0,3800 0, SVC menggunakan FL-GSA 0,3830 0,0023 0,3790 0, SVC menggunakan IT2FLS-GSA 0,3810 0,0019 0,3770 0, TCPST menggunakan GSA 0,3180 0,0026 0,3150 0, TCPST menggunakan LDIW-GSA 0,3180 0,0025 0,3135 0, TCPST menggunakan FL-GSA 0,3160 0,0023 0,3130 0, TCPST menggunakan IT2FLS-GSA 0,3100 0,0018 0,3090 0, SVC-TCSC-TCPST menggunakan 0,3540 0,0025 0,3510 0,3590 GSA 14. SVC-TCSC-TCPST menggunakan 0,3500 0,0022 0,3450 0,3530 LDIW-GSA 15. SVC-TCSC-TCPST menggunakan 0,3500 0,0021 0,3440 0,3510 FL-GSA 16. SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA 0,3390 0,0018 0,3360 0,3430 Pada Tabel 4.73 ini menunjukan bahwa fungsi Objektif dan standar deviasi terkecil diperoleh setelah pemasangan TCSC, SVC, TCPST dan SVC- TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA dan fungsi Objektif dan standar deviasi terbesar diperoleh setelah pemasangan TCSC, SVC, TCPST dan SVC- TCSC-TCPST menggunakan GSA.

211 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Dari hasil simulasi berbagai jenis FACTS device menggunakan perbaikan GSA atau IGSA ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Penentuan lokasi dan rating yang tepat pada pemasangan SVC, TCSC, TCPST dan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA dan IGSA dapat digunakan untuk meminimalkan rugi-rugi daya aktif, memperbaiki deviasi tegangan atau profil tegangan, meminimalkan biaya investasi pemasangan SVC, TCSC, TCPST dan SVC-TCSC-TCPST serta meningkatkan kestabilan tegangan pada sistem tenaga listrik. 2. Tegangan bus sebelum pemasangan FACTS device yang berada diluar toleransi ± 5% sebanyak 7 bus beban dan dapat diperbaiki semua tegangan bus beban nya menjadi didalam toleransi ± 5% setelah pemasangan SVC, TCSC, TCPST dan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA dan IGSA, sehingga dapat dikatakan bahwa tegangan bus beban pada sistem Jawa-Bali menjadi lebih baik. 3. Rugi-rugi daya aktif saluran transmisi sebelum pemasangan FACTS device dapat direduksi setelah pemasangan SVC, TCSC, TCPST dan SVC-TCSC- TCPST menggunakan GSA dan IT2FLS. Reduksi rugi-rugi daya aktif terbesar terjadi setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA sebesar 14,028 MW atau 4,71%, dan setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA sebesar 13,373 MW atau 4,94% dan setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA sebesar 66,941 MW atau 22,49% 4. Kestabilan tegangan pada setiap bus berdasarkan nilai eigenvalue setelah pemasangan SVC, TCSC, TCPST dan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA dan IGSA bernilai positif (λ>0) yang berarti semua bus beban memiliki tegangan sistem yang stabil. 181

212 Kestabilan tegangan pada tiap bus berdasarkan nilai partisipasi faktor terbesar setelah pemasangan SVC, TCSC, TCPST dan SVC-TCSC-TCPST terjadi pada bus beban 19 (Tasikmalaya). Dengan demikian bus beban yang berpeluang besar untuk mengalami penurunan tegangan dalam hal ini menjadi tidak stabil adalah bus beban 19 (Tasikmalaya). Hal ini dikarenakan luas area yang terhubung dengan saluran transmisi yang jaraknya lebih panjang dibandingkan dengan saluran transmisi pada bus beban yang lain. Jarak saluran transmisi pada bus beban sekitar 280 km dan bus beban sekitar 305 km Saran 1. Penerapan FACTS device juga dapat dilakukan dengan menggunakan perbaikan dari metode kecerdasan buatan lain untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dalam menentukan lokasi dan rating yang optimal, sehingga pengiriman daya menjadi lebih optimal. Penentuan lokasi dan rating yang tepat tepat juga dapat meminimalkan rugi-rugi daya pada saluran transmisi, meminimalkan deviasi tegangan sehingga profil tegangan menjadi lebih baik serta meningkatkan kestabilan tegangan pada sistem tenaga listrik. 2. Pada penelitian ini jenis FACTS device yang digunakan hanya meliputi: SVC, TCSC dan TCPST. Oleh karena itu untuk penelitian yang akan datang dapat dilakukan menggunakan jenis FACTS device yang lain, seperti: UPFC (Unified Power Flow Controller), TCPS (Thyristor Controlled Phase Sheifter), SSSC (Static Synchronous Series compensator), dan IPFC (Interline Power Flow Controller), STATCOM (Static Compensator) dan lain-lain.

213 DAFTAR PUSTAKA [1]. John J. Gainger and William D Stevenson Jx, (1994), Power System Analysis, McGraw-Hill Series in Electrical Engineering and Computer Engineering, International Editor, Princeton Road, SC1, Higstown, New York, [2]. Hadi Saadat, (2004), Power System Analysis, Mc.Graw Hill Companies, Singapore. [3]. Imam Robandi, (2006), Desain Sistem Tenaga Modern, Andi, Yogyakarta. [4]. Narain G. Hingorani, Laszlo Gyugyi, Mohamed E. El-Hawary, (2000), Understanding FACTS Concepts and Technology of Flexible AC Transmission Systems, John Wiley & Sons, Inc., New York. [5]. Xiao-Ping Zhang, Christian Rehtanz, Bikash Pal, (2005), Flexible AC Transmission Systems: Modelling and Control, Springer, Germany. [6]. K.R. Padiyar, (2007), FACTS Controllers in Power Transmission and Distribution, New Age International Publishers, India. [7]. Enrique Acha, Claudio R. Fuerte-Esquivel, Hugo Ambriz-Pe rez, Ce sar Angeles-Camacho, (2004), FACTS Modelling and Simulation in Power Networks, John Wiley & Sons Ltd, The Atrium, Southern Gate, Chichester,West Sussex PO19 8SQ, England, ISBN [8]. M. Noroozian, L. Angquist, M. Ghandhari and G. Anderson, (1997), Improving Power System Dynamics by Sereis-Connected FACTS Devices, IEEE Transactions on Power Delivery, Vol. 12, No. 4, October 1997 [9]. M. Joorabian, M. Saniei, H. Sepahvand, (2011), Optimal Locating and Sizing of TCPST for Congestion Management in Deregulated Electricity Markets, UPEC th International Universities' Power Engineering Conference 5-8th September 2011 Soest Germany [10]. M. A. Abido, (2009), Power System Stability Enhancement Using FACTS Cotrollers: a Review, The Arabian Journal for Science and Engineering, Volume 34. [11]. E. J. de Oliveira, J. W. Mnrangon Lima, and K. C. de Almeida, (2000), Allocation of FACTS Devices in Hydrothermal Systems, IEEE Transactions on Power Systems, Vol. 18, No. I, February 2000, [12]. Ch. Rambabu, Y.P. Cbulesu, Ch. Saibabu, (2011), Improvement of Voltage Profile and Reduce Power System Losses by using Multi Type FACTS Devices, International Journal of Computer Application ( ), Vol. 13 No.2. [13]. S.K. Tsoa, J. Liangb, X.X. Zhoub,(1999), Coordination of TCSC and SVC for improvement of power system performance with NN-based parameter adaptation, Electrical Power and Energy Systems , Elsevier. [14]. S. Jaganathan, S. Palaniswami, G. Maharaja vignesh, R. Mithunraj, (2011), Applications of amulti Objective Optimization to Reactive power Planning Problem Using Ant Colony Algorithm, European Journal of Scientific Research, ISSN x, vol. 51 No.2, pp

214 184 [15]. R. Mohamad Idris, A. Khairuddin, M.W. Mustafa, (2009), Optimal Allocation of FACTS Devices for ATC Enhancement Using Bees Algorithm, World Academy of Science, Engineering and Technology 54. [16]. R. Mohamad Idris, A. Khairuddin, M.W. Mustafa, (2009), The Placement of FACTS Devices in Modern Electrical Network Using Bees Algorithm,, Proceedings of the 9 th WSRAS International Conference on Applications of Electrical Engineering, ISSN: , ISBN: [17]. R. Mohamad Idris, A. Khairuddin, M.W. Mustafa, (2010), Optimal Allocation of FACTS Devices in Deregulated Electricity Market Using Bees algorithm, WSEAS Transactions on Power Systems, ISSN: , Issue 2, Volume 5. [18]. M.M. Farsangi, H. Nezamabadi-pour, (2009), Differential Evolutionary Algorithm For Allocation of SVC in a Power System, International Journal technical and Physical Problems of Enineering (IJIPE), ISSN [19]. H.O. Bansal, H.P. Agrawal, S. Tiwana, A.R. Singal, L. Shrivastava, (2010), Optimal Location of FACTS Devices to Control Reactive Power, International Journal of Engineering Science and Technology, Vol.2(6), [20]. G. I. Rashed1, H. I. Shaheen, S. J. Cheng, (2007), Optimal Location and Parameter Settings of Multiple TCSCs for Increasing Power System Loadability Based on GA and PSO Techniques, IEEE, Third International Conference on Natural Computation (ICNC 2007) /07. [21]. M. Gitizadeh, M. Kalantar, (2008), Genetic Algorithm Based Fuzzy Multi- Objective Approach to FACTS Devices Allocation in Fars Regional Electric Network, Scientia Iranica, Vol. 15, No. 6, pp [22]. Prakash, G. Burade, J.B. Helonde, (2010), By Using Genetic Algorithm Method For Optimal Location of FACTS Devices In The Deregulated Power System, Journal of Theoretical and Applied Information Technology. [23]. Umar, Adi Soeprijanto, Mauridhi Hery Purnomo, (2008), Optimasi Penempatan Multi FACTS Devices Pada Sistem Kelistrikan Sulawesi Selatan Menggunakan Algoritma Genetika, Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi (SNATI), Yogyakarta, ISSN: [24]. L.J. Cai, I. Erlich, (2003), Optimal Choice and Allocation of FACTS devices using Genetic Algorithms, Proc. on Twelfth Intelligent Systems Application to Power Systems Conference, pp. 1-6, [25]. L.J. Cai, I. Erlich and G.Stamtsis, (2003), Optimal Choice and Allocation of FACTS Devices in Deregulated Electricity Market using Genetic Algorithms, Proc. IEEE. [26]. I. Pisica, C. Bulac, L. Toma, M. Eremia, 2009, Optimal SVC Placement in Electric Power Systems Using a Genetic Algorithms Based Method, Paper accepted for presentation at 2009 IEEE Bucharest Power Tech Conference, June 28th - July 2nd, Bucharest, Romania. [27]. A. B. Bhattacharyya, B.S.K. Goswami, (2011), Optimal Placement of FACTS Devices Genetic Algorithm for the Increased Load ability of a Power System, Warld Academy of Science, Engineering and Technology.

215 185 [28]. Rony Seto Wibowo, Naoto Yorino, Mehdi Eghbal, Yosshifumi Zoka, Yutaka Sasaki, (2011), FACTS Devices allocation With Control Coordination Considering Congestion Relief and Voltage Stability, IEEE Transactions on power systems. [29]. Siti Amely Jumaat, Ismail Musirin, Muhammad Mutadha Othman,dan Hazlie Mokhlis, (2011), Optimal Location and Sizing of SVC Using Particle Swarm Optimization Technique, First International Conference on Informatics and Computational Intelligence (ICI), Universitas Parahyangan, Bandung. [30]. Reza Sirjani dan Azah Mohamed, (2011), Improved Harmony Search Algorithm for Optimal Placement and Sizing of Static Var Compensators in Power Systems, First International Conference on Informatics and Computational Intelligence (ICI), Universitas Parahyangan, Bandung. [31]. A. Kazemi, A. Parizad, H.R. Baghaee, 2009, On the Use of Harmony Search Algorithm in Optimal Placement of FACTS Devices to Improve Power System Security, /09/$ , IEEE. [32]. E. Rashedi, H. Nezamabadi-pour, S. Saryazdi, (2009), GSA: A gravitational search algorithm, Information Sciences, vol. 179, pp [33]. Budi Santosa dan Paul Willy, (2011), Metoda Metaheuristik Konsep dan Implementasi, Penerbit Guna Widya, ISBN: [34]. Esmat Rashedi, Hossien Nezamabadi-pour, Saeid Saryazdi, Malihe M. Farsangi, (2007), Allocation of Static Var Compensator Usin Gravitational Search Algorithm, First Joint Congress on Fuzzy and Intelligent Systems Ferdowsi University of Mashhad, Iran [35]. S S. Duman, U. Güvenç, N. Yörükeren, (2010), Gravitational Search Algorithm for Economic Dispatch with Valve-point Effects, International Review of Electrical Engineering, vol. 5, no. 6, pp [36]. Serhat Duman, Yusuf Sonmez, Ugur Guvenc, dan Nuran Yorukeren, (2011), Application of Gravitational Search Algorithm for Optimal Reactive Power Dispatch Problem, IEEE. [37]. Purwoharjono, Muhammad Abdillah, Ontoseno Penangsang, Adi Soeprijanto, Voltage Control on 500kV Java-Bali Electrical Power System for Power Losses Minimization Using Gravitational Search Algorithm First International conference on informatics and computational intelligence, Proceedings in IEEE online digital library CSDL and I-Xplore, Desember 2011, Bandung, Indonesia. [38]. Purwoharjono, Muhammad Abdillah, Ontoseno Penangsang, Adi Soeprijanto,, Optimal Design of TCPST Using Gravitational Search Algorithm Second International conference on intelligence system and informatics (ISI 2012), Proceedings in IEEE online digital library CSDL and I-Xplore November 2012, Bandung, Indonesia.

216 186 [39]. Purwoharjono, Muhammad Abdillah, Ontoseno Penangsang, Adi Soeprijanto, Optimal Placement and Sizing of Thyristor-Controlled-Series- Capacitor using Gravitational Search Algorithm, Indonesian Journal of Electrical Engineering, TELKOMNIKA, Desember 2012, Vol. 10 No. 4, pp , ISSN , Published by Ahmad Dahlan University, Indonesia. [40]. Purwoharjono, Muhammad Abdillah, Ontoseno Penangsang, Adi Soeprijanto, Optimal Placement of TCSC Using Linear Decreasing Inertia Weight Gravitational Search Algorithm, Journal of Theoretical and Applied Information Technology, Volume. 47. No.2, pp: , January 2013, E-ISSN / ISSN , [41]. Purwoharjono, Muhammad Abdillah, Ontoseno Penangsang, Adi Soeprijanto, Voltage Profile and Loss Assessment of a Power System Using SVC Optimized Based on Improved Gravitational Search Algorithm, International Review of Electrical Engineering (IREE), V. 8 N. 1, February 2013, pp: ,E-ISSN / ISSN , [42]. Nilesh. N. Karnik, J. M. Mendel and Q. Liang, (1999), Type-2 fuzzy logic systems, IEEE Trans on Fuzzy Systems, vol. 7, pp [43]. Q. Liang and J. M. Mendel, (2000), Interval type-2 fuzzy logic systems: theory and design. IEEE Trans. on Fuzzy Systems, Vol. 8, pp [44]. Hongwei Wu and Jerry M. Mendel, (2002), Uncertainty bounds and their use in the design of interval type-2 fuzzy logic systems, IEEE Trans. on Fuzzy Systems, vol. 10, pp [45]. Bambang Riyanto, Wakhyu Dwiono, (2006), Sistem Kendali Fuzzy Bertipe-2 Interval dengan Struktur Adaptif Beracuan Model, Proceding, ITB Sains & Tek. Vol. 38 A, No. 2, [46]. Oscar Castillo and Patricia Melin, (2008), Type-2 Fuzzy Logic: Theory and Applications, Springer-Verlag Berlin Heidelberg, ISBN [47]. Jerry M. Mendel, 2009, Type-2 Fuzzy Sets and Systems: How to Learn About Them, IEEE SMC enewsletter, Issue # 27. [48]. Adi Soeprijanto and Muhammad Abdillah, (2011), Type 2 Fuzzy Adaptive Binary Particle Swarm Optimization for Optimal Placement and Sizing of Distributed Generation, International Conference on Instrumentation, Communication, Information Technology and Biomedical Engineering, 8-9 November 2011, Bandung, Indonesia [49]. Taher Niknam, 2010, A new fuzzy adaptive hybrid particle swarm optimization algorithm for non-linear, non-smooth and non-convex economic dispatch problem, Elsevier, Applied Energy 87 (2010) [50]. Taher Niknam, Bahman Bahmani Firouzi, Amir Ostadi, 2010, A new fuzzy adaptive particle swarm optimization for daily Volt/Var control in distribution networks considering distributed generators, Applied Energy 87 (2010) [51]. K. Ellithy, A. Gastli, S. Al-Alawi, A. Al-Hinai, and Z. Al-Abri, 2000, Voltage Stability Analysis of Muscat Power System During Summer Weather Conditions, Science and Technology, 5 (2000)

217 187 [52]. T.M. Al-Khusaibi, K. A. Ellithy and M.R. Irving, 2000, State-of-the-Art Methods for Electric Power Systems Voltage Stability Analysis, Science and Technology, Special Review (2000) [53]. Prabha Kundur, (1994), Power System Stability and Control, Mc.Graw Hill, New York. [54]. B.Gao, G.K.Morison and P. Kundur, (1992), Voltage Stability Evaluation Using Modal Analysis, IEEE Transactions on power Systems, Vol. 7, No. 4, [55]. G.K. Morison, B.Gao, and P. Kundur, (1993), Voltage Stability Analysis Using Static and Dynamic Approaches, IEEE Transactions on Power Systems, Vol. 8, No. 3, [56]. Chandrabhan Sharma, and Marcus G. Ganness, (2007), Determination of Power System Voltage Stability Using Modal Analysis, POWERENG 2007, Setubal, Portugal, 1-7.

218 Halaman ini sengaja dikosongkan 188

219 Lampiran 1. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus No Bus sebelum pemasangan FACTS Device Tegangan Beban Pembangkitan Injeksi p.u Derajat MW MVAR MW MVAR MVAR Total

220 Lampiran 2. Hasil simulasi rugi-rugi aliran daya sebelum pemasangan FACTS device Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

221 Lampiran 2. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

222 Lampiran 2. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR Total Rugi-rugi

223 Lampiran 3. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus No Bus setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA Tegangan Beban Pembangkitan Injeksi p.u Derajat MW MVAR MW MVAR MVAR Total

224 Lampiran 4. Hasil simulasi rugi-rugi aliran daya setelah pemasangan TCSC menggunakan GSA Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

225 Lampiran 4. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

226 Lampiran 4. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR Total Rugi-rugi

227 Lampiran 5. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus No Bus setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA Tegangan Beban Pembangkitan Injeksi p.u Derajat MW MVAR MW MVAR MVAR Total

228 Lampiran 6. Hasil simulasi rugi-rugi aliran daya setelah pemasangan TCSC menggunakan LDIW-GSA Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

229 Lampiran 6. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

230 Lampiran 6. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR Total Rugi-rugi

231 Lampiran 7. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus No Bus setelah pemasangan TCSC menggunakan FUZZY-GSA Tegangan Beban Pembangkitan Injeksi p.u Derajat MW MVAR MW MVAR MVAR Total

232 Lampiran 8. Hasil simulasi rugi-rugi aliran daya setelah pemasangan TCSC menggunakan FUZZY-GSA Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

233 Lampiran 8. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

234 Lampiran 8. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR Total Rugi-rugi

235 Lampiran 9. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus No Bus setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA Tegangan Beban Pembangkitan Injeksi p.u Derajat MW MVAR MW MVAR MVAR 1 1, ,438,634 1,689, , , , , , ,972 1, , ,760,000 1,601, , , , , , , , , , , , ,000 31, ,321, , , , , , , , , , , , , ,000 32, ,180,000 1,061, , , , , , , Total 10,361 3,565 10,645,234 6,517, ,1

236 Lampiran 10. Hasil simulasi rugi-rugi aliran daya setelah pemasangan TCSC menggunakan IT2FLS-GSA Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR 1,219,634 1,622,960 2,030, , , , , ,525 1,060,733 1,320,521 6,164 59, , , , , , , , , , ,728 1,998 15, ,000 39, , ,000 39, , , , , ,070 39, , , ,469 1,085, , , , ,811 1,589 15, , , , , , ,270 1,998 15, , , ,841 2,884 31, , , ,486 2,839 27, ,311 1,231,439 6,781 67, , , , , , , , , , , , ,437 1,179,801 8,571 82,345 1,126, ,000 1,173, ,173 91, ,669 2,884 31, , , , ,014 1,760,000 1,601,519 2,379, , , ,331 2,839 27, ,094, ,782 1,221,980 8,571 82, , , ,906 1,106 10,631

237 Lampiran 10. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR 1,152, ,000 1,202, , , ,438 1,106 10, , , ,308 2,865 27, , , , , , ,952 2,865 27, , , ,476 1,488 14, , , , ,231,725 58,587 1,233,118 6,781 67, , , ,430 1,488 14, ,543 1,489,754 4,715 52, , , , ,158, ,798 1,460,692 4,715 52, ,798 1,754,639 24, , ,000 65, , ,659, ,938 1,710,343 24, , ,938 1,983,501 63, , , , , ,016, ,456 2,018,802 63, , ,557 1,307,054 26, , ,754 90, ,099 10,914 98, , , , , ,601 50, ,183 3,552 16,181 1,321, ,048 1,402, ,321, ,048 1,402,367 26, , , , , , , ,277 10,914 98, , , , , ,540 1,219,173 6,347 65, , , ,638 2,681 25,754

238 Lampiran 10. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR 773, , , , , , , , , , , ,938 1,082, , , , , , , ,830 1,048,420 17, , , , , , , ,291 17, , ,116 1,071,969 21, , , , , , , , , ,086,412 25,872 1,086,720 21, , ,098 1,242,962 19, , , , , ,257, ,872 1,293,806 19, , ,002 1,860,983 39, ,526 2,732, ,943 2,878, ,794, ,528 1,953,627 39, , , , ,763 3,982 35, , , , ,151, ,517 1,249,165 6,347 65, ,191 99, ,461 3,982 35, , , , ,269,641 6,164 59, , , ,147 1,589 15, ,000 58, , ,153 67, ,292 3,552 16, , , ,500 2,681 25,754 Total Rugi-rugi 284,234 2,105,761

239 Lampiran 11. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus No Bus setelah pemasangan SVC menggunakan GSA Tegangan Beban Pembangkitan Injeksi p.u Derajat MW MVAR MW MVAR MVAR Total

240 Lampiran 12. Hasil simulasi rugi-rugi aliran daya setelah pemasangan SVC menggunakan GSA Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

241 Lampiran 12. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

242 Lampiran 12. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR Total Rugi-rugi

243 Lampiran 13. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus No Bus setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA Tegangan Beban Pembangkitan Injeksi p.u Derajat MW MVAR MW MVAR MVAR 1 1, ,440,592 1,828, , , , , , , ,861 1, ,760,000 1,596, , , , , , , , , , , , ,000 40, ,321, , , , , , , , , , , , , ,000 44, ,180,000 1,056, , , , , , , Total 10,361 3,565 10,647,192 6,864, ,877

244 Lampiran 14. Hasil simulasi rugi-rugi aliran daya setelah pemasangan SVC menggunakan LDIW-GSA Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR 1,221,592 1,761,375 2,143, , , , , ,345 1,064,678 1,322,398 6,182 59, , , , , , , , , , ,013 1,954 14, ,000 39, , ,000 39, , , , , ,070 39, , , ,086 1,089, , , , ,277 1,605 15, , , , , , ,063 1,954 14, , , ,910 3,152 30, , , ,987 2,836 27, ,890 1,169,929 6,123 60, , , , , , , , , , , , ,442 1,147,491 8,103 77,851 1,126, ,000 1,173, ,743 90, ,823 3,152 30, , , , ,507 1,760,000 1,596,495 2,376, , , ,926 2,836 27, ,058, ,293 1,188,165 8,103 77, , , ,762 1,138 10,937

245 Lampiran 14. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR 1,152, ,000 1,202, , , ,152 1,138 10, , , ,873 2,643 25, , , , , , ,638 2,643 25, , , ,177 1,403 13, , , , ,170,495 53,532 1,171,719 6,123 60, , , ,423 1,403 13, ,471 1,422,320 4,298 48, , , , ,056, ,393 1,393,701 4,298 48, ,393 1,667,739 22, , ,000 65, , ,556, ,749 1,620,831 22, , ,749 1,889,446 57, , ,000 93, , ,906, ,251 1,912,660 57, , ,605 1,313,377 27, , ,154 91, ,694 15, , , , ,546 4,300 41, ,471 52, ,563 5,403 34,188 1,321, ,373 1,421, ,321, ,373 1,421,459 27, , , , , , , ,548 15, , , , ,673 1,027 9, ,280 1,435,888 8,832 98, , , ,155 3,465 33,291

246 Lampiran 14. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR 773, , , , , ,234 1,027 9, , , , , ,494 1,085, , , , , , ,099 1,146,923 20, , ,000 44, , ,032, ,561 1,086,213 20, , ,105 1,201,796 27, , , , , , , ,373 4,300 41, ,193,337 9,845 1,193,377 27, , ,925 1,008,801 13, , , , , ,022, ,226 1,030,818 13, , ,356 1,584,504 31, ,990 2,732, ,827 2,876, ,551, ,346 1,734,151 31, , ,180, ,482 1,187,481 6,260 60, , , , ,393, ,084 1,473,571 8,832 98, ,890 1,176,364 6,260 60, , , , ,271,277 6,182 59, , , ,770 1,605 15, ,000 58, , ,874 86, ,182 5,403 34, , , ,427 3,465 33,291 Total Rugi-rugi 286,192 2,805,223

247 Lampiran 15. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus No Bus setelah pemasangan SVC menggunakan FUZZY-GSA Tegangan Beban Pembangkitan Injeksi p.u Derajat MW MVAR MW MVAR MVAR Total

248 Lampiran 16. Hasil simulasi rugi-rugi aliran daya setelah pemasangan SVC menggunakan FUZZY-GSA Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

249 Lampiran 16. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

250 Lampiran 16. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR Total Rugi-rugi

251 Lampiran 17. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus No Bus setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA Tegangan Beban Pembangkitan Injeksi p.u Derajat MW MVAR MW MVAR MVAR Total

252 Lampiran 18. Hasil simulasi rugi-rugi aliran daya setelah pemasangan SVC menggunakan IT2FLS-GSA Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

253 Lampiran 18. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

254 Lampiran 18. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR Total Rugi-rugi

255 No Bus Lampiran 19. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA Tegangan Beban Pembangkitan Injeksi Injeksi-1 Injeksi-1 Injeksi-2 Injeksi-2 MW MVAR p.u Derajat MW MVAR MVAR MVAR MVAR MW MVAR Total

256 Lampiran 20. Hasil simulasi rugi-rugi aliran daya setelah pemasangan TCPST menggunakan GSA Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

257 Lampiran 20. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

258 Lampiran 20. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR Total Rugi-rugi

259 No Bus Lampiran 21. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA Tegangan Beban Pembangkitan Injeksi Injeksi-1 Injeksi-1 Injeksi-2 Injeksi-2 MW MVAR p.u Derajat MW MVAR MVAR MVAR MVAR MW MVAR Total

260 Lampiran 22. Hasil simulasi rugi-rugi aliran daya setelah pemasangan TCPST menggunakan LDIW-GSA Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

261 Lampiran 22. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

262 Lampiran 22. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR Total Rugi-rugi

263 No Bus Lampiran 23. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus setelah pemasangan TCPST menggunakan FUZZY-GSA Tegangan Beban Pembangkitan Injeksi Injeksi-1 Injeksi-1 Injeksi-2 Injeksi-2 MW MVAR p.u Derajat MW MVAR MVAR MVAR MVAR MW MVAR Total

264 Lampiran 24. Hasil simulasi rugi-rugi aliran daya dengan pemasangan TCPST menggunakan FUZZY-GSA Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

265 Lampiran 24. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

266 Lampiran 24. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR Total Rugi-rugi

267 No Bus Lampiran 25. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA Tegangan Beban Pembangkitan Injeksi Injeksi-1 Injeksi-1 Injeksi-2 Injeksi-2 MW MVAR p.u Derajat MW MVAR MVAR MVAR MVAR MW MVAR Total

268 Lampiran 26. Hasil simulasi rugi-rugi aliran daya setelah pemasangan TCPST menggunakan IT2FLS-GSA Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

269 Lampiran 26. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

270 Lampiran 26. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR Total Rugi-rugi

271 No Bus Lampiran 27. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan GSA Tegangan Beban Pembangkitan Injeksi Injeksi-1 Injeksi-1 Injeksi-2 Injeksi-2 MW MVAR p.u Derajat MW MVAR MVAR MVAR MVAR MW MVAR Total

272 Lampiran 28. Hasil simulasi rugi-rugi aliran daya setelah pemasangan SVC- TCSC-TCPST menggunakan GSA Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

273 Lampiran 28. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

274 Lampiran 28. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR Total Rugi-rugi

275 No Bus Lampiran 29. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA Tegangan Beban Pembangkitan Injeksi Injeksi-1 Injeksi-1 Injeksi-2 Injeksi-2 MW MVAR p.u Derajat MW MVAR MVAR MVAR MVAR MW MVAR Total

276 Lampiran 30. Hasil simulasi rugi-rugi aliran daya setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan LDIW-GSA Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

277 Lampiran 30. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

278 Lampiran 30. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR Total Rugi-rugi

279 No Bus Lampiran 31. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FUZZY-GSA Tegangan Beban Pembangkitan Injeksi Injeksi-1 Injeksi-1 Injeksi-2 Injeksi-2 MW MVAR p.u Derajat MW MVAR MVAR MVAR MVAR MW MVAR Total

280 Lampiran 32. Hasil simulasi rugi-rugi aliran daya setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan FUZZY-GSA Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

281 Lampiran 32. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

282 Lampiran 32. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR Total Rugi-rugi

283 No Bus Lampiran 33. Hasil simulasi tegangan, beban dan pembangkitan pada setiap bus setelah pemasangan SVC-TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS- GSA Tegangan Beban Pembangkitan Injeksi Injeksi-1 Injeksi-1 Injeksi-2 Injeksi-2 MW MVAR p.u Derajat MW MVAR MVAR MVAR MVAR MW MVAR Total

284 Lampiran 34. Hasil simulasi rugi-rugi aliran daya setelah pemasangan SVC- TCSC-TCPST menggunakan IT2FLS-GSA Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

285 Lampiran 34. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR

286 Lampiran 34. Lanjutan Bus Daya pada Bus dan Aliran Daya Rugi-rugi Saluran Dari Ke MW MVAR MVA MW MVAR Total Rugi-rugi

287 Riwayat Kepangkatan / Golongan 1998 : Calon Pegawai Negeri Sipil / III-a 2001 : Penata Muda Tingkat 1 / III-a 2003 : Penata Muda / III-b 2005 : Penata / III-c 2007 : Penata Tingkat 1 / III-d 2012 : Pembina / IV-a Riwayat Jabatan Fungsional 1998 : Asisten Ahli Madya 1999 : Asisten Ahli 2005 : Lektor 2012 : Lektor Kepala Jurnal Internasional 1. Purwoharjono, Muhammad Abdillah, Ontoseno Penangsang, Adi Soeprijanto, 2013, Voltage Profile and Loss Assessment of a Power System Using SVC Optimized Based on Improved Gravitational Search Algorithm, International Review of Electrical Engineering (IREE), V. 8 N. 1, February 2013, pp: , E-ISSN / ISSN , (Terindeks Scopus). 2. Purwoharjono, Muhammad Abdillah, Ontoseno Penangsang, Adi Soeprijanto, 2013, Optimal Placement of TCSC Using Linear Decreasing Inertia Weight Gravitational Search Algorithm, Journal of Theoretical and Applied Information Technology, Volume. 47. No.2, pp: , January 2013, E-ISSN / ISSN , (Terindeks Scopus). Jurnal Nasional 1. Purwoharjono, Muhammad Abdillah, Ontoseno Penangsang, Adi Soeprijanto, 2012, Optimal Placement and Sizing of Thyristor-Controlled-Series-Capacitor using Gravitational Search Algorithm, Indonesian Journal of Electrical Engineering, TELKOMNIKA, Desember 2012, Vol. 10 No. 4, pp , ISSN , Published by Ahmad Dahlan University, Indonesia, (Akriditasi A dan Terindeks Scopus). 2. Purwoharjono, Nurhayati, Seno D. Panjaitan, 2009, Teknologi Sistem Peringatan Dini Berbasis Programmable Logic Controller Dalam Upaya Mengantisipasi Bencana Banjir Di Kecamatan Mempawah Hilir Kabupaten Pontianak, ELKHA ISSN Volume 1 Nomor 5 November Purwoharjono, 2009, Potensi Sumber Energi Air Untuk Pembangkit Tenaga Listrik Di Wilayah Kalimantan Barat, ELKHA ISSN Volume 1 Nomor 4 Juli Purwoharjono, 2009, Penerapan Metode Loss Of Energy Expectation (LOEE) Untuk Menentukan Keandalan Sistem Pembangkit Listrik Di Industri, VOKASI ISSN Volume 6 Nomor 1 Juli 2009.

288 5. Purwoharjono, 2009, Penerapan Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) Untuk Penentuan Prioritas Sumber Energi Alternatif Baru, ELKHA ISSN Volume 1 Nomor 3 Maret Purwoharjono, 2008, Operasi Ekonomis Mesin Pembangkit Tenaga Listrik Dengan Menggunakan Metode Equal Incremental Cost, ELKHA ISSN Volume 1 Nomor 2 November Purwoharjono, 2008, Peramalan Kebutuhan Energi Listrik Secara Sektoral Dengan Menggunakan Pendekatan Statistik, ELKHA ISSN Volume 1 Nomor 1 Juli Seminar Internasional 1. Purwoharjono, Muhammad Abdillah, Ontoseno Penangsang, Adi Soeprijanto, 2011, Voltage Control on 500kV Java-Bali Electrical Power System for Power Losses Minimization Using Gravitational Search Algorithm, First International conference on informatics and computational intelligence, proceedings in IEEE online digital library CSDL and I-Xplore. 2. Purwoharjono, Muhammad Abdillah, Ontoseno Penangsang, Adi Soeprijanto, 2012, Optimal Design of TCPST Using Gravitational Search Algorithm, Second International conference on intelligence system and informatics proceedings in IEEE online digital library CSDL and I-Xplore. Seminar Nasional 1. Purwoharjono, Herry Wuryanto, Junaidi, 2007, Penataan Lampu Penerangan Jalan Umum di Kota Pontianak Dalam Upaya Efisiensi Biaya Energi Listrik, National Seminar on Research and Studies VIII Research Grant, Natour Garuda Hotel-Yogyakarta, Pemakalah, Tanggal Maret Herry Wuryanto, Purwoharjono, Junaidi, 2007, Diagnosis untuk Minimalisasi Kerugian pada Sistem Distribusi Tenaga Listrik PT. PLN (Persero) Cabang Singkawang, National Seminar on Research and Studies VIII Research Grant, Natour Garuda Hotel-Yogyakarta, Anggota Pemakalah, Tanggal Maret Purwoharjono, Junaidi, M. Iqbal Arsyad, 2007, Kajian Penjadwalan Operasi Ekonomis Mesin Pembangkit Tenaga Listrik Di PT. PLN (Persero) Wilayah Kalimantan Barat (Studi Kasus Pembangkit Sungai Raya - Siantan), National Seminar on Research and Studies X Research Grant, Goodway Hotel-Batam, Pemakalah, Tanggal November Junaidi, Purwoharjono, M. Iqbal Arsyad, 2007, Analisis Penentuan Prioritas Sumber Energi alternative Baru Untuk Pembangkit Listrik PLN Wilayah Kalimantan Barat Menggunakan Metoda Analytic Hierarchy Process (AHP), National Seminar on Research and Studies X Research Grant, Goodway Hotel- Batam, Anggota Pemakalah, Tanggal November 2007.

289 Pengalaman Riset 1. Purwoharjono, 2013, Optimisasi Penentuan Lokasi dan Kapasitas FACTS Devices Pada Sistem Tenaga Listrik Menggunakan Improved Gravitational Search Algorithm, Penelitian Disentralisasi Hibah Doktor 2013, Ketua, DIKTI. 2. Nurhayati, Purwoharjono, Seno D. Panjaitan, 2009, Penerapan Teknologi Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) Berbasis Programmable Logic Controller (PLC) Dalam Upaya Mengantisipasi Bencana Banjir Di Kecamatan Mempawah Hilir Kabupaten Pontianak, Anggota, DIKTI. 3. Purwoharjono, Herry Wuryanto, Junaidi, 2009, Studi Intensitas Penerangan Dengan Menggunakan Metode Lumen Pada Ruang Kelas Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura, Ketua, DIPA. 4. Purwoharjono, Hardiansyah, Junaidi, 2008, Penghematan Energi Listrik Pada Fakultas Teknik Untan Dengan Menggunakan Demand Side Management (DSM), Ketua, DIPA. 5. Purwoharjono, Junaidi, M. Iqbal Arsyad, 2007, Kajian Penjadwalan Operasi Ekonomis Mesin Pembangkit Tenaga Listrik Di PT. PLN (Persero) Wilayah Kalimantan Barat (Studi Kasus Interkoneksi Mesin Pembangkit Sungai Raya Siantan), Ketua, Technological and Professional Skills Development Sector Project (TPSDP). 6. Junaidi, Purwoharjono, M. Iqbal Arsyad, 2007, Analisis Penentuan Prioritas Sumber Energi alternative Baru Untuk Pembangkit Listrik PLN Wilayah Kalimantan Barat Menggunakan Metoda Analytic Hierarchy Process (AHP), Anggota, Technological and Professional Skills Development Sector Project (TPSDP). 7. Usman A. Gani, Purwoharjono, Managam Rajagukguk, 2007, Aplikasi Metode Quantum Learning Dalam Mempercepat Pemahaman Mahasiswa Pada Matakuliah Medan Elektromagnetik II, Anggota, Technological and Professional Skills Development Sector Project (TPSDP). 8. Purwoharjono, Herry Wuryanto, Junaidi, 2006, Penataan Lampu Penerangan Jalan Umum di Kota Pontianak Dalam Upaya Efisiensi Biaya Energi Listrik, Ketua, Technological and Professional Skills Development Sector Project (TPSDP). 9. Herry Wuryanto, Purwoharjono, Junaidi, 2006, Diagnosis untuk Minimalisasi Kerugian pada Sistem Distribusi Tenaga Listrik PT. PLN (Persero) Cabang Singkawang, Anggota, Technological and Professional Skills Development Sector Project (TPSDP). 10. Junaidi, Purwoharjono, Herry Wuryanto, 2006, Pemanfaatan Internet Sebagai Media Pembelajaran Matakuliah Pembumian Sistem Tenaga Program Studi Teknik Elektro, Anggota, Technological and Professional Skills Development Sector Project (TPSDP). Usman A. Gani, Purwoharjono, 2006, Penjadwalan Operasi Ekonomis Pada Pembangkit Tenaga Listrik di PT. PLN (Persero) Wilayah V Cabang Singkawang, Anggota, Penelitian Dosen Muda, DIKTI. 11. Herry Haryono, Purwoharjono, Syaifurrahman, 2005, Pemanfaatan Teknologi Informasi Secara Online Sebagai Sumber Pembelajaran Pendidikan Teknologi : Matakuliah Pengukuran Besaran Listrik dan Non Besaran Listrik Program Studi

290 Teknik Elektro Universitas Tanjungpura, Anggota, Technological and Professional Skills Development Sector Project (TPSDP). 12. Purwoharjono, 2005, Algoritma Pengembangan Metode Aliran Daya Newton Raphson Menggunakan Formulasi Injeksi Arus, Ketua, Penelitian SDPF (Self Development Project Funding). 13. Purwoharjono, Bonar Sirait, Herry Wuryanto, 2004, Aplikasi e-learning Berbasis Kompetensi Dalam Pendidikan Teknolologi : Matakuliah Sistem Distribusi Program Studi Teknik Elektro, Ketua, Technological and Professional Skills Development Sector Project (TPSDP).

291 DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS 1. Nama : Purwoharjono, S.T., M.T. 2. Tempat/tanggal lahir : Anjungan Melancar / 02 Januari Kelamin : Laki-laki 4. Alamat rumah Telpon HP : : : Jalan Putri Candramidi Gang. Prajaya Kec. Pontianak Kota 78116, Pontianak, Kalimantan Barat purwoharjono@gmail.com purwoharjono10@mhs.ee.its.ac.id 5. Pekerjaan : Dosen pada Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura 6. Alamat kantor : Jalan Jenderal Ahmad Yani, Pontianak Telp kantor : Keluarga : Istri : Nurhayati, S.T., M.T. Anak pertama : Sartika Ananta Hanun Anak kedua : Mutiara Faridah Aini Riwayat Pendidikan 1974 : SD Negeri 1 Anjungan 1987 SMP Negeri 1 Anjungan 1980 SMA Santun Untan 1997 : Program Sarjana, Universitas Tanjungpura 2001 : Program Master Pascasarjana Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Kursus / Training 2010 : Pelatihan ETAP (Electrical Transient Analysis Program)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini kebutuhan energi listrik meningkat dengan cepat, akan tetapi perkembangan pembangkit dan saluran transmisi dibatasi ketersediaan sumber daya dan masalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan industrialisasi dan pemukiman penduduk mengakibatkan

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan industrialisasi dan pemukiman penduduk mengakibatkan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan industrialisasi dan pemukiman penduduk mengakibatkan peningkatan akan kebutuhan energi listrik. Hal ini menyebabkan cepatnya pertumbuhan sistem tenaga listrik.

Lebih terperinci

OPTIMASI PENEMPATAN DAN KAPASITAS SVC DENGAN METODE ARTIFICIAL BEE COLONY ALGORITHM

OPTIMASI PENEMPATAN DAN KAPASITAS SVC DENGAN METODE ARTIFICIAL BEE COLONY ALGORITHM OPTIMASI PENEMPATAN DAN KAPASITAS SVC DENGAN METODE ARTIFICIAL BEE COLONY ALGORITHM Khairina Noor.A. 1, Hadi Suyono, ST., MT., Ph.D. 2, Dr. Rini Nur Hasanah, ST., M.Sc. 3 1 Mahasiswa Teknik Elektro, 2,3

Lebih terperinci

STUDI KESTABILAN SISTEM BERDASARKAN PREDIKSI VOLTAGE COLLAPSE PADA SISTEM STANDAR IEEE 14 BUS MENGGUNAKAN MODAL ANALYSIS

STUDI KESTABILAN SISTEM BERDASARKAN PREDIKSI VOLTAGE COLLAPSE PADA SISTEM STANDAR IEEE 14 BUS MENGGUNAKAN MODAL ANALYSIS STUDI KESTABILAN SISTEM BERDASARKAN PREDIKSI VOLTAGE COLLAPSE PADA SISTEM STANDAR IEEE 14 BUS MENGGUNAKAN MODAL ANALYSIS OLEH : PANCAR FRANSCO 2207100019 Dosen Pembimbing I Prof.Dr. Ir. Adi Soeprijanto,

Lebih terperinci

SIMULASI OPTIMASI PENEMPATAN KAPASITOR MENGGUNAKAN LOGIKA FUZZY DAN ALGORITMA GENETIKA PADA SISTEM TEGANGAN MENENGAH REGION JAWA BARAT

SIMULASI OPTIMASI PENEMPATAN KAPASITOR MENGGUNAKAN LOGIKA FUZZY DAN ALGORITMA GENETIKA PADA SISTEM TEGANGAN MENENGAH REGION JAWA BARAT SIMULASI OPTIMASI PENEMPATAN KAPASITOR MENGGUNAKAN LOGIKA FUZZY DAN ALGORITMA GENETIKA PADA SISTEM TEGANGAN MENENGAH REGION JAWA BARAT Gahara Nur Eka Putra NRP : 1022045 E-mail : bb.201smg@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

ANALISIS PERBAIKAN PROFIL TEGANGAN MENGGUNAKAN STATIC VAR COMPENSATOR (SVC) PADA SISTEM INTERKONEKSI AREA MALANG SKRIPSI

ANALISIS PERBAIKAN PROFIL TEGANGAN MENGGUNAKAN STATIC VAR COMPENSATOR (SVC) PADA SISTEM INTERKONEKSI AREA MALANG SKRIPSI ANALISIS PERBAIKAN PROFIL TEGANGAN MENGGUNAKAN STATIC VAR COMPENSATOR (SVC) PADA SISTEM INTERKONEKSI AREA MALANG SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Meraih Gelar Sarjana Strata I Teknik Elektro

Lebih terperinci

SIMULASI OPTIMASI PENEMPATAN KAPASITOR MENGGUNAKAN METODA ALGORITMA KUANTUM PADA SISTEM TEGANGAN MENENGAH REGION JAWA BARAT

SIMULASI OPTIMASI PENEMPATAN KAPASITOR MENGGUNAKAN METODA ALGORITMA KUANTUM PADA SISTEM TEGANGAN MENENGAH REGION JAWA BARAT SIMULASI OPTIMASI PENEMPATAN KAPASITOR MENGGUNAKAN METODA ALGORITMA KUANTUM PADA SISTEM TEGANGAN MENENGAH REGION JAWA BARAT Mart Christo Belfry NRP : 1022040 E-mail : martchristogultom@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

Optimisasi Injeksi Daya Aktif dan Reaktif Dalam Penempatan Distributed Generator (DG) Menggunakan Fuzzy - Particle Swarm Optimization (FPSO)

Optimisasi Injeksi Daya Aktif dan Reaktif Dalam Penempatan Distributed Generator (DG) Menggunakan Fuzzy - Particle Swarm Optimization (FPSO) TESIS Optimisasi Injeksi Daya Aktif dan Reaktif Dalam Penempatan Distributed Generator (DG) Menggunakan Fuzzy - Particle Swarm Optimization (FPSO) Dosen Pembimbing : Prof. Ir. Mochamad Ashari, M.Eng. Ph.D

Lebih terperinci

Penentuan MVar Optimal SVC pada Sistem Transmisi Jawa Bali 500 kv Menggunakan Artificial Bee Colony Algorithm

Penentuan MVar Optimal SVC pada Sistem Transmisi Jawa Bali 500 kv Menggunakan Artificial Bee Colony Algorithm Penentuan MVar Optimal SVC pada Sistem Transmisi Jawa Bali 500 kv Menggunakan Artificial Bee Colony Algorithm Oleh : Fajar Galih Indarko NRP : 2207 100 521 Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Imam Robandi, MT Abstrak

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (216) ISSN: 2337-3539 (231-9271 Print) B27 Optimasi Aliran Daya Satu Phasa Pada Sistem Distribusi Radial 33 Bus IEEE dan Sistem Kelistrikan PT. Semen Indonesia Aceh Untuk

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 1, No. 1, (Sept. 2012) ISSN: B-32

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 1, No. 1, (Sept. 2012) ISSN: B-32 JURNAL TEKNIK ITS Vol. 1 No. 1 (Sept. 2012) ISSN: 2301-9271 B-32 Optimisasi Interline Power Flow Controller (IPFC) menggunakan Imperialist Competitive Algorithm (ICA) Muhammad Siddiq B. Sidaryanto Imam

Lebih terperinci

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Terpadu Jurusan Teknik Elektro, Universitas Lampung dimulai pada bulan Januari 2015 sampai dengan bulan

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Terpadu Jurusan Teknik Elektro, Universitas Lampung dimulai pada bulan Januari 2015 sampai dengan bulan III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Terpadu Jurusan Teknik Elektro, Universitas Lampung dimulai pada bulan Januari 2015 sampai dengan bulan

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk menunjang pertumbuhan tersebut memerlukan energi listrik.

1 BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk menunjang pertumbuhan tersebut memerlukan energi listrik. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi, teknologi, dan industri mengakibatkan peningkatan kebutuhan energi listrik, karena di masa ini hampir semua alat bantu pekerjaan manusia untuk

Lebih terperinci

OPTIMASI RATING SVC DAN TCSC UNTUK MENGURANGI RUGI-RUGI DAYA PADA SISTEM 500 kv JAMALI MENGGUNAKAN METODE PARTICLE SWARM OPTIMIZATION (PSO)

OPTIMASI RATING SVC DAN TCSC UNTUK MENGURANGI RUGI-RUGI DAYA PADA SISTEM 500 kv JAMALI MENGGUNAKAN METODE PARTICLE SWARM OPTIMIZATION (PSO) OPTIMASI RATING SVC DAN TCSC UNTUK MENGURANGI RUGI-RUGI DAYA PADA SISTEM 500 kv JAMALI MENGGUNAKAN METODE PARTICLE SWARM OPTIMIZATION (PSO) Fitria Prasetiawati *), Yuningtyastuti, and Susatyo Handoko Jurusan

Lebih terperinci

Optimasi Kendali Distribusi Tegangan pada Sistem Tenaga Listrik dengan Pembangkit Tersebar

Optimasi Kendali Distribusi Tegangan pada Sistem Tenaga Listrik dengan Pembangkit Tersebar Optimasi Kendali Distribusi Tegangan pada Sistem Tenaga Listrik dengan Pembangkit Tersebar Soni Irawan Jatmika 2210 105 052 Pembimbing : 1. Prof. Dr. Ir. Adi Soeprijanto, MT. 2. Heri Suryoatmojo, ST. MT.

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

1. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang 1. BAB I PENDAHULUAN Dalam perkembangan era modern, listrik menjadi salah satu kebutuhan primer untuk menunjang berbagai kebutuhan dan aktivitas masyarakat. Seiring dengan peningkatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Tinjauan Pustaka Semakin pesatnya pertumbuhan suatu wilayah menuntut adanya jaminan ketersediaannya energi listrik serta perbaikan kualitas dari energi listrik, menuntut para

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. serta dalam pengembangan berbagai sektor ekonomi. Dalam kenyataan ekonomi

BAB 1 PENDAHULUAN. serta dalam pengembangan berbagai sektor ekonomi. Dalam kenyataan ekonomi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Daya listrik memberikan peran sangat penting dalam kehidupan masyarakat serta dalam pengembangan berbagai sektor ekonomi. Dalam kenyataan ekonomi modren sangat tergantung

Lebih terperinci

PENEMPATAN LOKASI OPTIMAL STATIC VAR COMPENSATOR (SVC) DENGAN ALGORITMA ARTIFICIAL BEE COLONY

PENEMPATAN LOKASI OPTIMAL STATIC VAR COMPENSATOR (SVC) DENGAN ALGORITMA ARTIFICIAL BEE COLONY PENEMPATAN LOKASI OPTIMAL STATIC VAR COMPENSATOR (SVC) DENGAN ALGORITMA ARTIFICIAL BEE COLONY Hadi Suyono 1, RiniNurHasanah 2, Khairina Noor. A. 3 Jurusan Teknik Elektro, UniversitasBrawijaya Jalan MT.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Static VAR Compensator Static VAR Compensator (SVC) pertama kali dipasang pada tahun 1978 di Gardu Induk Shannon, Minnesota Power and Light system dengan rating 40 MVAR. Sejak

Lebih terperinci

Optimisasi Operasi Sistem Tenaga Listrik dengan Konstrain Kapabilitas Operasi Generator dan Kestabilan Steady State Global

Optimisasi Operasi Sistem Tenaga Listrik dengan Konstrain Kapabilitas Operasi Generator dan Kestabilan Steady State Global Optimisasi Operasi Sistem Tenaga Listrik dengan Konstrain Kapabilitas Operasi Generator dan Kestabilan Steady State Global Johny Custer (2209201007) Dosen Pembimbing : Prof. Ir. Ontoseno Penangsang, M.

Lebih terperinci

Penempatan Dan Penentuan Kapasitas Optimal Distributed Generator (DG) Menggunakan Artificial Bee Colony (ABC)

Penempatan Dan Penentuan Kapasitas Optimal Distributed Generator (DG) Menggunakan Artificial Bee Colony (ABC) Penempatan Dan Penentuan Kapasitas Optimal Distributed Generator (DG) Menggunakan Artificial Bee Colony (ABC) Oleh : Ahmad Zakaria H. 2207100177 Dosen Pembimbing : Prof. Dr.Ir. Imam Robandi, MT. Ir. Sjamsjul

Lebih terperinci

Dynamic Optimal Power Flow dengan kurva biaya pembangkitan tidak mulus menggunakan Particle Swarm Optimization

Dynamic Optimal Power Flow dengan kurva biaya pembangkitan tidak mulus menggunakan Particle Swarm Optimization JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 1, (2014) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) B-24 Dynamic Optimal Power Flow dengan kurva biaya pembangkitan tidak mulus menggunakan Particle Swarm Optimization Afif Nur

Lebih terperinci

PENEMPATAN SVC (STATIC VAR COMPENSATOR) PADA JARINGAN DISTRIBUSI BANGKINANG UNTUK MENGURANGI RUGI-RUGI DAYA MENGGUNAKAN SOFTWARE ETAP 7.5.

PENEMPATAN SVC (STATIC VAR COMPENSATOR) PADA JARINGAN DISTRIBUSI BANGKINANG UNTUK MENGURANGI RUGI-RUGI DAYA MENGGUNAKAN SOFTWARE ETAP 7.5. PENEMPATAN SVC (STATIC VAR COMPENSATOR) PADA JARINGAN DISTRIBUSI BANGKINANG UNTUK MENGURANGI RUGI-RUGI DAYA MENGGUNAKAN SOFTWARE ETAP 7.5.0 TUGAS AKHIR Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

Lebih terperinci

PENENTUAN SLACK BUS PADA JARINGAN TENAGA LISTRIK SUMBAGUT 150 KV MENGGUNAKAN METODE ARTIFICIAL BEE COLONY

PENENTUAN SLACK BUS PADA JARINGAN TENAGA LISTRIK SUMBAGUT 150 KV MENGGUNAKAN METODE ARTIFICIAL BEE COLONY PENENTUAN SLACK BUS PADA JARINGAN TENAGA LISTRIK SUMBAGUT 150 KV MENGGUNAKAN METODE ARTIFICIAL BEE COLONY Tommy Oys Damanik, Yulianta Siregar Konsentrasi Teknik Energi Listrik, Departemen Teknik Elektro

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya aktivitas operasional produksi di suatu industri eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi menyebabkan peningkatan kebutuhan daya listrik

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR. Oleh ARIF KUSUMA MANURUNG NIM : DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

TUGAS AKHIR. Oleh ARIF KUSUMA MANURUNG NIM : DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016 TUGAS AKHIR PENEMPATAN OPTIMAL KAPASITOR BANK PADA SISTEM DISTRIBUSI RADIAL 20 kv MENGGUNAKAN METODE ARTIFICIAL BEE COLONY (ABC) ALGORITHM (STUDI KASUS : JARINGAN DISTRIBUSI PM1 PEMATANGSIANTAR) Diajukan

Lebih terperinci

STUDI PENGARUH PEMASANGAN STATIC VAR COMPENSATOR TERHADAP PROFIL TEGANGAN PADA PENYULANG NEUHEN

STUDI PENGARUH PEMASANGAN STATIC VAR COMPENSATOR TERHADAP PROFIL TEGANGAN PADA PENYULANG NEUHEN : 43-49 STUDI PENGARUH PEMASANGAN STATIC VAR COMPENSATOR TERHADAP PROFIL TEGANGAN PADA PENYULANG NEUHEN Alkindi #1, Mahdi Syukri #2, Syahrizal #3 # Jurusan Teknik Elektro dan Komputer, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

Analisis Dan Pemodalan Static Var Compensator (SVC) Untuk Menaikan Profil Tegangan Pada Outgoing Gardu Induk Probolinggo

Analisis Dan Pemodalan Static Var Compensator (SVC) Untuk Menaikan Profil Tegangan Pada Outgoing Gardu Induk Probolinggo Analisis Dan Pemodalan Static Var Compensator (SVC) Untuk Menaikan Profil Tegangan Pada Outgoing Gardu Induk Probolinggo Taufik Hidayat 1,*, Lauhil Mahfudz Hayusman 1 1 Program Studi Teknik Listrik D-III,

Lebih terperinci

OPTIMASI PENEMPATAN KAPASITOR PADA SALURAN DISTRIBUSI 20 kv DENGAN MENGGUNAKAN METODE KOMBINASI FUZZY DAN ALGORITMA GENETIKA

OPTIMASI PENEMPATAN KAPASITOR PADA SALURAN DISTRIBUSI 20 kv DENGAN MENGGUNAKAN METODE KOMBINASI FUZZY DAN ALGORITMA GENETIKA OPTIMASI PENEMPATAN KAPASITOR PADA SALURAN DISTRIBUSI 20 kv DENGAN MENGGUNAKAN METODE KOMBINASI FUZZY DAN ALGORITMA GENETIKA I Made Wartana, Mimien Mustikawati Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Teknologi

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi, teknologi, dan industri pada zaman modern ini mengakibatkan peningkatan kebutuhan energi listrik. Hampir seluruh peralatan penunjang industri

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum sistem tenaga listrik terdiri dari pusat pembangkit, saluran transmisi dan pusat beban. Perkembangan beban sistem saat ini sudah tidak sesuai dengan

Lebih terperinci

Penempatan Dan Penentuan Kapasitas Optimal Distributed Generator (DG) Menggunakan Artificial Bee Colony (ABC)

Penempatan Dan Penentuan Kapasitas Optimal Distributed Generator (DG) Menggunakan Artificial Bee Colony (ABC) JURNAL TEKNIK ITS Vol. 1, No. 1, (Sept. 2012) ISSN: 2301-9271 B-16 Penempatan Dan Penentuan Kapasitas Optimal Distributed Generator (DG) Menggunakan Artificial Bee Colony (ABC) Ahmad Zakaria H, Sjamsjul

Lebih terperinci

Pengaruh Penempatan Unified Power Flow Controller Terhadap Kestabilan Tegangan Sistem Tenaga Listrik

Pengaruh Penempatan Unified Power Flow Controller Terhadap Kestabilan Tegangan Sistem Tenaga Listrik Pengaruh Penempatan Unified Power Flow Controller Terhadap Kestabilan Tegangan Sistem Tenaga Listrik Lesnanto Multa Putranto Jurusan Teknik Elektro dan Teknologi Informasi, FT UGM Yogyakarta, Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Listrik dewasa ini menjadi salah satu kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Teknologi dan ilmu pengetahuan yang tidak pernah henti perkembangannya mendorong

Lebih terperinci

Perancangan Filter Harmonisa Pasif untuk Sistem Distribusi Radial Tidak Seimbang

Perancangan Filter Harmonisa Pasif untuk Sistem Distribusi Radial Tidak Seimbang JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2,. 2, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) B-228 Perancangan Filter Harmonisa Pasif untuk Sistem Distribusi Radial Tidak Seimbang Erlan Fajar Prihatama, Ontoseno Penangsang,

Lebih terperinci

PENEMPATAN SVC (STATIC VAR COMPENSATOR ) PADA JARINGAN DISTRIBUSI DENGAN ETAP 7.5.0

PENEMPATAN SVC (STATIC VAR COMPENSATOR ) PADA JARINGAN DISTRIBUSI DENGAN ETAP 7.5.0 Jurnal Sains, Teknologi dan Industri, Vol. 12, No. 1, Desember 2014, pp. 1-8 ISSN 1693-2390 print/issn 2407-0939 online PENEMPATAN SVC (STATIC VAR COMPENSATOR ) PADA JARINGAN DISTRIBUSI DENGAN ETAP 7.5.0

Lebih terperinci

ALOKASI PEMBEBANAN UNIT PEMBANGKIT TERMAL DENGAN MEMPERHITUNGKAN RUGI-RUGI SALURAN TRANSMISI DENGAN ALGORITMA GENETIKA PADA SISTEM KELISTRIKAN BALI

ALOKASI PEMBEBANAN UNIT PEMBANGKIT TERMAL DENGAN MEMPERHITUNGKAN RUGI-RUGI SALURAN TRANSMISI DENGAN ALGORITMA GENETIKA PADA SISTEM KELISTRIKAN BALI ALOKASI PEMBEBANAN UNIT PEMBANGKIT TERMAL DENGAN MEMPERHITUNGKAN RUGI-RUGI SALURAN TRANSMISI DENGAN ALGORITMA GENETIKA PADA SISTEM KELISTRIKAN BALI TUGAS AKHIR Diajukan guna memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISA. IEEE 30 bus yang telah dimodifikasi. Sistem IEEE 30 bus ini terdiri 30 bus,

BAB IV HASIL DAN ANALISA. IEEE 30 bus yang telah dimodifikasi. Sistem IEEE 30 bus ini terdiri 30 bus, BAB IV HASIL DAN ANALISA Pada penelitian ini metode RCF ( Reactive Contribution Factor ) dan LSF ( Loss Sensitivity Factor ) akan diujikan pada sebuah test sistem IEEE 30 yang telah dimodifikasi. Sistem

Lebih terperinci

Tabarok et al., Optimasi Penempatan Distributed Generation (DG) dan Kapasitor... 35

Tabarok et al., Optimasi Penempatan Distributed Generation (DG) dan Kapasitor... 35 Tabarok et al., Optimasi Penempatan Distributed Generation (DG) dan Kapasitor... 35 Optimasi Penempatan Distributed Generation (DG) dan Kapasitor pada Sistem Distribusi Radial Menggunakan Metode Genetic

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah ketersediaan yang semakin menipis dan semakin mahal, membuat biaya

BAB I PENDAHULUAN. jumlah ketersediaan yang semakin menipis dan semakin mahal, membuat biaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangkit Listrik di Indonesia pada umumnya merupakan pembangkit listrik thermal. Kebutuhan pembangkit thermal terhadap bahan bakar fosil dengan jumlah ketersediaan

Lebih terperinci

OPTIMASI PENEMPATAN SVC DAN TCSC UNTUK PERBAIKAN PROFIL TEGANGAN DAN MENGURANGI RUGI TRANSMISI MENGGUNAKAN METODE REAL-CODED GENETIC ALGORITHM

OPTIMASI PENEMPATAN SVC DAN TCSC UNTUK PERBAIKAN PROFIL TEGANGAN DAN MENGURANGI RUGI TRANSMISI MENGGUNAKAN METODE REAL-CODED GENETIC ALGORITHM 1 OPTIMASI PENEMPATAN SVC DAN TCSC UNTUK PERBAIKAN PROFIL TEGANGAN DAN MENGURANGI RUGI TRANSMISI MENGGUNAKAN METODE REAL-CODED GENETIC ALGORITHM Imam Suwandi¹, Hadi Suyono, S.T., M.T., Ph.D.², Ir. Unggul

Lebih terperinci

Studi Pengaruh Penggunaan TCSC dan SVC terhadap Biaya Operasi Tahunan di Sistem Jawa Bali 500 kv

Studi Pengaruh Penggunaan TCSC dan SVC terhadap Biaya Operasi Tahunan di Sistem Jawa Bali 500 kv JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (13) 1-7 1 Studi Pengaruh Penggunaan TCSC dan SVC terhadap Biaya Operasi Tahunan di Sistem Jawa Bali kv Aji Akbar Firdaus, Rony Seto Wibowo, Heri Suryoatmojo Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan teknologi saat ini mengakibatkan hampir setiap alat bantu pekerjaan manusia membutuhkan energi listrik. Kebutuhan energi listrik terus meningkat

Lebih terperinci

PENEMPATAN FACTS DEVICE UNTUK MENINGKATKAN KESTABILAN TEGANGAN DAN MENURUNKAN LOSESS JARINGAN DENGAN LINE INDICATOR

PENEMPATAN FACTS DEVICE UNTUK MENINGKATKAN KESTABILAN TEGANGAN DAN MENURUNKAN LOSESS JARINGAN DENGAN LINE INDICATOR PENEMPATAN FACTS DEVICE UNTUK MENINGKATKAN KESTABILAN TEGANGAN DAN MENURUNKAN LOSESS JARINGAN DENGAN LINE INDICATOR Chico Hermanu B A 1, Sasongko Pramono Hadi 2, Sarjiya 3 1 Mahasiswa Pascasarjana, Jurusan

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 1, No. 1 (Sept. 2012) ISSN: B-91

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 1, No. 1 (Sept. 2012) ISSN: B-91 JURNAL TEKNIK ITS Vol. 1, No. 1 (Sept. 2012) ISSN: 2301-9271 B-91 Desain dan Simulasi Switched Filter Compensation Berbasis Tri Loop Error Driven Weighted Modified Pid Controller untuk Peningkatan Kualitas

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) B283 Dynamic Economic Dispatch dengan Mempertimbangkan Kerugian Transmisi Menggunakan Metode Sequential Quadratic Programming Dika Lazuardi Akbar, Ontoseno Penangsang, Ni Ketut Aryani. Jurusan Teknik Elektro,

Lebih terperinci

Optimisasi Kontroler PID dan Dual Input Power System Stabilizer (DIPSS) pada Single Machine Infinite Bus (SMIB) menggunakan Firefly Algorithm (FA)

Optimisasi Kontroler PID dan Dual Input Power System Stabilizer (DIPSS) pada Single Machine Infinite Bus (SMIB) menggunakan Firefly Algorithm (FA) Optimisasi Kontroler PID dan Dual Input Power System Stabilizer (DIPSS) pada Single Machine Infinite Bus (SMIB) menggunakan Firefly Algorithm (FA) TEKNIK SISTEM TENAGA PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS

Lebih terperinci

1.2 Tujuan Memberikan solusi dalam optimalisasi penempatan dan rating SVC untuk memperbaiki profil tegangan pada Sistem Tenaga Listrik 500 kv Jamali.

1.2 Tujuan Memberikan solusi dalam optimalisasi penempatan dan rating SVC untuk memperbaiki profil tegangan pada Sistem Tenaga Listrik 500 kv Jamali. OPTIMASI PENEMPATAN SVC UNTUK MEMPERBAIKI PROFIL TEGANGAN PADA SISTEM 500 kv JAMALI MENGGUNAKAN METODE PARTICLE SWARM OPTIMIZATION (PSO) Ari Hastanto 1, Ir. Yuningtyastuti, MT 2, Susatyo Handoko, ST.,

Lebih terperinci

APLIKASI SVC (STATIC VAR COMPENSATOR) DALAM PERBAIKAN JATUH TEGANGAN PADA SISTEM KELISTRIKAN KOTA PALU

APLIKASI SVC (STATIC VAR COMPENSATOR) DALAM PERBAIKAN JATUH TEGANGAN PADA SISTEM KELISTRIKAN KOTA PALU APLIKASI SVC (STATIC VAR COMPENSATOR) DALAM PERBAIKAN JATUH TEGANGAN PADA SISTEM KELISTRIKAN KOTA PALU Maryantho Masarrang 1) 1,) Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Elektro, Universitas Tadulako Email: antho.masarrang@gmail.com

Lebih terperinci

SIMULASI DAN ANALISIS ALIRAN DAYA PADA SISTEM TENAGA LISTRIK MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK ELECTRICAL TRANSIENT ANALYSER PROGRAM (ETAP) VERSI 4.

SIMULASI DAN ANALISIS ALIRAN DAYA PADA SISTEM TENAGA LISTRIK MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK ELECTRICAL TRANSIENT ANALYSER PROGRAM (ETAP) VERSI 4. SIMULASI DAN ANALISIS ALIRAN DAYA PADA SISTEM TENAGA LISTRIK MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK ELECTRICAL TRANSIENT ANALYSER PROGRAM (ETAP) VERSI 4.0 Rudi Salman 1) Mustamam 2) Arwadi Sinuraya 3) Abstrak Penelitian

Lebih terperinci

PERBAIKAN REGULASI TEGANGAN

PERBAIKAN REGULASI TEGANGAN JURUSAN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER PERBAIKAN REGULASI TEGANGAN Distribusi Tenaga Listrik Ahmad Afif Fahmi 2209 100 130 2011 REGULASI TEGANGAN Dalam Penyediaan

Lebih terperinci

SIMULASI DAN ANALISIS ALIRAN DAYA SISTEM TENAGA. LISTRIK 20 kv REGION CILACAP MENGGUNAKAN METODE NEWTHON RAPSHON

SIMULASI DAN ANALISIS ALIRAN DAYA SISTEM TENAGA. LISTRIK 20 kv REGION CILACAP MENGGUNAKAN METODE NEWTHON RAPSHON SIMULASI DAN ANALISIS ALIRAN DAYA SISTEM TENAGA LISTRIK 20 kv REGION CILACAP MENGGUNAKAN METODE NEWTHON RAPSHON SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Pendidikan Strata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dibangkitkan oleh pembangkit harus dinaikkan dengan trafo step up. Hal ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dibangkitkan oleh pembangkit harus dinaikkan dengan trafo step up. Hal ini 2.1 Sistem Transmisi Tenaga Listrik BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sistem transmisi adalah sistem yang menghubungkan antara sistem pembangkitan dengan sistem distribusi untuk menyalurkan tenaga listrik yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kualitas Daya Listrik Peningkatan terhadap kebutuhan dan konsumsi energi listrik yang baik dari segi kualitas dan kuantitas menjadi salah satu alasan mengapa perusahaan utilitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Stabilitas Sistem Tenaga Kestabilan sistem tenaga listrik didefinisikan sebagai kemampuan dari sistem untuk menjaga kondisi operasi yang seimbang dan kemampuan sistem tersebut

Lebih terperinci

STUDI SIMULASI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA ARUS LAUT MENGGUNAKAN HORIZONTAL AXIS TURBIN DENGAN METODE CFD

STUDI SIMULASI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA ARUS LAUT MENGGUNAKAN HORIZONTAL AXIS TURBIN DENGAN METODE CFD EKO RENDI SETIAWAN NRP 4205 100 060 STUDI SIMULASI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA ARUS LAUT MENGGUNAKAN HORIZONTAL AXIS TURBIN DENGAN METODE CFD TUGAS AKHIR LS 1336 STUDI SIMULASI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2014ISSN: X Yogyakarta,15 November 2014

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Sains & Teknologi (SNAST) 2014ISSN: X Yogyakarta,15 November 2014 ANALISIS PERBAIKAN TEGANGAN PADA SUBSISTEM DENGAN PEMASANGAN KAPASITOR BANK DENGAN ETAP VERSI 7.0 Wiwik Handajadi 1 1 Electrical Engineering Dept. of Institute of Sains & Technology AKPRIND Yogyakarta

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR. Disusun untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Syarat-syarat untuk. Mencapai Gelar Sarjana Teknik Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik

TUGAS AKHIR. Disusun untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Syarat-syarat untuk. Mencapai Gelar Sarjana Teknik Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik SIMULASI ALIRAN DAYA PEMASANGAN DISTRIBUTED GENERATION PADA SISTEM DISTRIBUSI 12,5 kv STANDAR IEEE 18 BUS DENGAN MENGGUNAKAN SOFTWARE ETAP POWER STATION 4.0.0 TUGAS AKHIR Disusun untuk Melengkapi Tugas

Lebih terperinci

SIMULASI TEGANGAN DIP PADA SISTEM DISTRIBUSI TEGANGAN MENENGAH 20 KV PT. PLN (Persero) APJ SURABAYA UTARA MENGGUNAKAN ATP-EMTP

SIMULASI TEGANGAN DIP PADA SISTEM DISTRIBUSI TEGANGAN MENENGAH 20 KV PT. PLN (Persero) APJ SURABAYA UTARA MENGGUNAKAN ATP-EMTP TUGAS AKHIR RE1599 SIMULASI TEGANGAN DIP PADA SISTEM DISTRIBUSI TEGANGAN MENENGAH 20 KV PT. PLN (Persero) APJ SURABAYA UTARA MENGGUNAKAN ATP-EMTP Ahmad Dayan NRP 2206100506 Dosen Pembimbing Prof. Ir. Ontoseno

Lebih terperinci

Desain Sistem Kontrol Functional Electrical Stimulation menggunakan Fuzzy orde 2

Desain Sistem Kontrol Functional Electrical Stimulation menggunakan Fuzzy orde 2 Desain Sistem Kontrol Functional Electrical Stimulation menggunakan Fuzzy orde 2 Hendi Wicaksono Agung D 1,3, Achmad Arifin, Ph.D 2. (1) Program Pasca Sarjana Jurusan Teknik Elektro Bidang Studi Elektronika

Lebih terperinci

ANALISIS PENGGUNAAN POWER SYSTEM STABILIZER (PSS) DALAM PERBAIKAN STABILITAS TRANSIEN GENERATOR SINKRON

ANALISIS PENGGUNAAN POWER SYSTEM STABILIZER (PSS) DALAM PERBAIKAN STABILITAS TRANSIEN GENERATOR SINKRON ANALISIS PENGGUNAAN POWER SYSTEM STABILIZER (PSS) DALAM PERBAIKAN STABILITAS TRANSIEN GENERATOR SINKRON Indra Adi Permana 1, I Nengah Suweden 2, Wayan Arta Wijaya 3 1,2,3 Jurusan Teknik Elektro, Fakultas

Lebih terperinci

ANALISA ALIRAN DAYA OPTIMAL PADA SISTEM KELISTRIKAN BALI

ANALISA ALIRAN DAYA OPTIMAL PADA SISTEM KELISTRIKAN BALI ANALISA ALIRAN DAYA OPTIMAL PADA SISTEM KELISTRIKAN BALI E D Meilandari 1, R S Hartati 2, I W Sukerayasa 2 1 Alumni Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Udayana 2 Staff Pengajar Teknik Elektro,

Lebih terperinci

SIMULASI OPTIMASI DAYA REAKTIF DAN TEGANGAN PADA SISTEM JAMALI 500 kv MENGGUNAKAN METODE PARTICLE SWARM OPTIMIZATION

SIMULASI OPTIMASI DAYA REAKTIF DAN TEGANGAN PADA SISTEM JAMALI 500 kv MENGGUNAKAN METODE PARTICLE SWARM OPTIMIZATION SIMULASI OPTIMASI DA REAKTIF DAN TEGANGAN PADA SISTEM JAMALI 500 kv MENGGUNAKAN METODE PARTICLE SWARM OPTIMIZATION Gunara Fery Fahnani *), Yuningtyastuti, and Susatyo Handoko, Jurusan Teknik Elektro, Fakultas

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI METODA TAGUCHI UNTUK ECONOMIC DISPATCH PADA SISTEM IEEE 26 BUS

IMPLEMENTASI METODA TAGUCHI UNTUK ECONOMIC DISPATCH PADA SISTEM IEEE 26 BUS IMPLEMETASI METODA TAGUCHI UTUK ECOOMIC DISPATCH PADA SISTEM IEEE 26 BUS Rusilawati,2, Ontoseno Penangsang 2 dan Adi Soeprijanto 2 Teknik elektro, Akademi Teknik Pembangunan asional, Banjarbaru, Indonesia

Lebih terperinci

PENEMPATAN DG PADA JARINGAN SISTEM DISTRIBUSI UNTUK MENINGKATKAN STABILITAS TEGANGAN

PENEMPATAN DG PADA JARINGAN SISTEM DISTRIBUSI UNTUK MENINGKATKAN STABILITAS TEGANGAN PENEMPATAN DG PADA JARINGAN SISTEM DISTRIBUSI UNTUK MENINGKATKAN STABILITAS TEGANGAN ABSTRACT Efrita Arfah Z Email:. efrita.zuliari@gmail.com The stability of the voltage on the distribution system is

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Universitas Sumatera Utara

BAB II DASAR TEORI. Universitas Sumatera Utara BAB II DASAR TEORI 2.1.Studi Aliran Daya Studi aliran daya di dalam sistem tenaga listrik merupakan studi yang penting.studi aliran daya merupakan studi yang mengungkapkan kinerja dan aliran daya (nyata

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Gardu Induk, Jaringan Distribusi, dan Beban seperti yang ditunjukkan Gambar 2.1

BAB II DASAR TEORI. Gardu Induk, Jaringan Distribusi, dan Beban seperti yang ditunjukkan Gambar 2.1 BAB II DASAR TEORI 2.1 UMUM Sistem Tenaga Listrik terdiri dari Pusat Pembangkit, Jaringan Transmisi, Gardu Induk, Jaringan Distribusi, dan Beban seperti yang ditunjukkan Gambar 2.1 di bawah ini. Gambar

Lebih terperinci

PENEMPATAN SVC (STATIC VAR COMPENSATOR) UNTUK MEMPERBAIKI PROFIL TEGANGAN PADA JARINGAN TRANSMISI PT. PLN LAMPUNG

PENEMPATAN SVC (STATIC VAR COMPENSATOR) UNTUK MEMPERBAIKI PROFIL TEGANGAN PADA JARINGAN TRANSMISI PT. PLN LAMPUNG PENEMPATAN SVC (STATIC VAR COMPENSATOR) UNTUK MEMPERBAIKI PROFIL TEGANGAN PADA JARINGAN TRANSMISI PT. PLN LAMPUNG Arya Wiguna B 1, Dikpride Despa 2, Herri Gusmedi 3, Abdul Haris 4 1,2,3,4 Jurusan Teknik

Lebih terperinci

PENENTUAN TITIK INTERKONEKSI DISTRIBUTED GENERATION

PENENTUAN TITIK INTERKONEKSI DISTRIBUTED GENERATION PENENTUAN TITIK INTERKONEKSI DISTRIBUTED GENERATION (DG) PADA JARINGAN 20 KV DENGAN BANTUAN METODE ARTIFICIAL BEE COLONY STUDI KASUS : PLTMH AEK SILAU 2 Syilvester Sitorus Pane, Zulkarnaen Pane Konsentrasi

Lebih terperinci

ANALISIS PEHITUNGAN RUGI-RUGI DAYA PADA GARDU INDUK PLTU 2 SUMUT PANGKALAN SUSU DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM SIMULASI ELECTRICAL TRANSIENT ANALYZER

ANALISIS PEHITUNGAN RUGI-RUGI DAYA PADA GARDU INDUK PLTU 2 SUMUT PANGKALAN SUSU DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM SIMULASI ELECTRICAL TRANSIENT ANALYZER ANALISIS PEHITUNGAN RUGI-RUGI DAYA PADA GARDU INDUK PLTU SUMUT PANGKALAN SUSU DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM SIMULASI ELECTRICAL TRANSIENT ANALYZER Asri Akbar, Surya Tarmizi Kasim Konsentrasi Teknik Energi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Alur Penelitian Menentukan lokasi dan kapasitas optimal SVC pada sistem transmisi 150 kv subsistem Bandung Selatan dan New Ujungberung menggunakan algoritma genetika membutuhkan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN PERNYATAAN...

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN PERNYATAAN... DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN PERNYATAAN... i ABSTRAK... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... ix BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan permasalahan kualitas daya. Komponen power

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan permasalahan kualitas daya. Komponen power BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Meningkatnya penggunaan power electronic pada sitem tenaga listrik telah menimbulkan permasalahan kualitas daya. Komponen power electronic tersebut seperti dioda, thyristor,

Lebih terperinci

PENEMPATAN KAPASITOR DAN OPTIMASI KAPASITASNYA MENGGUNAKAN ARTIFICIAL BEE COLONY (ABC) PADA SALURAN DISTRIBUSI PRIMER

PENEMPATAN KAPASITOR DAN OPTIMASI KAPASITASNYA MENGGUNAKAN ARTIFICIAL BEE COLONY (ABC) PADA SALURAN DISTRIBUSI PRIMER 146 Dielektrika ISSN 2086-9487 Vol. 1, No. 2 : 146 153 Agustus 2014 PENEMPATAN KAPASITOR DAN OPTIMASI KAPASITASNYA MENGGUNAKAN ARTIFICIAL BEE COLONY (ABC) PADA SALURAN DISTRIBUSI PRIMER Wildan Faisal Harharah1

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 34 BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi tegangan tiap bus, perubahan rugi-rugi daya pada masing-masing saluran dan indeks kestabilan tegangan yang terjadi dari suatu

Lebih terperinci

Studi Perbaikan Stabilitas Tegangan Sistem Jawa-Madura- Bali (Jamali) dengan Pemasangan SVC Setelah Masuknya Pembangkit 1000 MW Paiton

Studi Perbaikan Stabilitas Tegangan Sistem Jawa-Madura- Bali (Jamali) dengan Pemasangan SVC Setelah Masuknya Pembangkit 1000 MW Paiton B244 Studi Perbaikan Stabilitas Tegangan Sistem Jawa-Madura- Bali (Jamali) dengan Pemasangan SVC Setelah Masuknya Pembangkit 1000 MW Paiton Heru Pujo Prayitno, Ontoseno Penangsang, Ni Ketut Aryani Jurusan

Lebih terperinci

ANALISIS ALIRAN BEBAN SISTEM DISTRIBUSI MENGGUNAKAN ETAP POWER STATION TUGAS AKHIR. Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik

ANALISIS ALIRAN BEBAN SISTEM DISTRIBUSI MENGGUNAKAN ETAP POWER STATION TUGAS AKHIR. Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik ANALISIS ALIRAN BEBAN SISTEM DISTRIBUSI MENGGUNAKAN ETAP POWER STATION 4. 0. 0 TUGAS AKHIR Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Program Studi Strata 1 Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik

Lebih terperinci

Studi Perbaikan Stabilitas Tegangan Kurva P-V pada Sistem Jawa-Bali 500kV dengan Pemasangan Kapasitor Bank Menggunakan Teori Sensitivitas

Studi Perbaikan Stabilitas Tegangan Kurva P-V pada Sistem Jawa-Bali 500kV dengan Pemasangan Kapasitor Bank Menggunakan Teori Sensitivitas Studi Perbaikan Stabilitas Tegangan Kurva P-V pada Sistem Jawa-Bali 500kV dengan Pemasangan Kapasitor Bank Menggunakan Teori Sensitivitas Tutuk Agung Sembogo Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknologi Industri,

Lebih terperinci

Penempatan Dan Penentuan Kapasitas Optimal Distributed Generator (DG) Menggunakan Artificial Bee Colony (ABC)

Penempatan Dan Penentuan Kapasitas Optimal Distributed Generator (DG) Menggunakan Artificial Bee Colony (ABC) Penempatan Dan Penentuan Kapasitas Optimal Distributed Generator (DG) Menggunakan Artificial Bee Colony (ABC) Ahmad Zakaria H, Sjamsjul Anam, dan Imam Robandi Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: kualitas daya, kapasitor bank, ETAP 1. Pendahuluan. 2. Kualitas Daya Listrik

Abstrak. Kata kunci: kualitas daya, kapasitor bank, ETAP 1. Pendahuluan. 2. Kualitas Daya Listrik OPTIMALISASI PENGGUNAAN KAPASITOR BANK PADA JARINGAN 20 KV DENGAN SIMULASI ETAP (Studi Kasus Pada Feeder Srikandi di PLN Rayon Pangkalan Balai, Wilayah Sumatera Selatan) David Tampubolon, Masykur Sjani

Lebih terperinci

STUDI ALIRAN DAYA PADA SISTEM KELISTRIKAN SUMATERA BAGIAN UTARA (SUMBAGUT) 150 kv DENGAN MENGGUNAKAN SOFTWARE POWERWORLD VERSI 17

STUDI ALIRAN DAYA PADA SISTEM KELISTRIKAN SUMATERA BAGIAN UTARA (SUMBAGUT) 150 kv DENGAN MENGGUNAKAN SOFTWARE POWERWORLD VERSI 17 STUDI ALIRAN DAYA PADA SISTEM KELISTRIKAN SUMATERA BAGIAN UTARA (SUMBAGUT) 50 kv DENGAN MENGGUNAKAN SOFTWARE POWERWORLD VERSI 7 Adly Lidya, Yulianta Siregar Konsentrasi Teknik Energi Listrik, Departemen

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Listrik pada abad ini sudah merupakan kebutuhan primer yang tidak bisa tergantikan. Karena pentingnya listrik ini, sistem yang menyuplai dan mengalirkan listrik ini

Lebih terperinci

Penentuan Kapasitas dan Lokasi Optimal Penempatan Kapasitor Bank Pada Penyulang Rijali Ambon Menggunakan Sistem Fuzzy

Penentuan Kapasitas dan Lokasi Optimal Penempatan Kapasitor Bank Pada Penyulang Rijali Ambon Menggunakan Sistem Fuzzy 119 Penentuan Kapasitas dan Lokasi Optimal Penempatan Kapasitor Bank Pada Penyulang Rijali Ambon Menggunakan Sistem Fuzzy Hamles Leonardo Latupeirissa, Agus Naba dan Erni Yudaningtyas Abstrak Penelitian

Lebih terperinci

Simulasi dan Analisis Fenomena Resonansi Akibat Harmonisa Orde Genap dengan Menggunakan Software ETAP

Simulasi dan Analisis Fenomena Resonansi Akibat Harmonisa Orde Genap dengan Menggunakan Software ETAP Simulasi dan Analisis Fenomena Resonansi Akibat Harmonisa Orde Genap dengan Menggunakan Software ETAP Nanang Joko Aris Wibowo 2206 100 006 Bidang Studi Teknik Sistem Tenaga Jurusan Teknik Elektro, ITS,

Lebih terperinci

SIMULASI OPTIMASI DAYA REAKTIF DAN TEGANGAN PADA SISTEM JAMALI 500 kv MENGGUNAKAN METODE PARTICLE SWARM OPTIMIZATION

SIMULASI OPTIMASI DAYA REAKTIF DAN TEGANGAN PADA SISTEM JAMALI 500 kv MENGGUNAKAN METODE PARTICLE SWARM OPTIMIZATION SIMULASI OPTIMASI DAYA REAKTIF DAN TEGANGAN PADA SISTEM JAMALI 500 kv MENGGUNAKAN METODE PARTICLE SWARM OPTIMIZATION Gunara Fery Fahnani 1, Ir. Yuningtyastuti, MT 2, Susatyo Handoko, ST., MT. 2 Jurusan

Lebih terperinci

Rekonfigurasi jaring distribusi untuk meningkatkan indeks keandalan dengan mengurangi rugi daya nyata pada sistem distribusi Surabaya.

Rekonfigurasi jaring distribusi untuk meningkatkan indeks keandalan dengan mengurangi rugi daya nyata pada sistem distribusi Surabaya. 1 Rekonfigurasi jaring distribusi untuk meningkatkan indeks keandalan dengan mengurangi rugi daya nyata pada sistem distribusi Surabaya. M Fachri, Sjamsjul Anam Jurusan Teknik Elektro-FTI, Institut Teknologi

Lebih terperinci

Prosiding SENTIA 2016 Politeknik Negeri Malang Volume 8 ISSN:

Prosiding SENTIA 2016 Politeknik Negeri Malang Volume 8 ISSN: ANALISIS PENGARUH PENGOPERASIAN PLTA WLINGI TERHADAP PROFIL TEGANGAN PADA BUS WLINGI JARINGAN 150 KV DENGAN METODE FAST VOLTAGESTABILITY INDEX ( ) SUB SISTEM GRATI PAITON REGION 4 Ajeng Bening Kusumaningtyas,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 34 BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi tegangan tiap bus, perubahan rugi-rugi daya pada masing-masing saluran dan indeks kestabilan tegangan yang terjadi dari suatu

Lebih terperinci

ANALISIS KOORDINASI ISOLASI SALURAN UDARA TEGANGAN TINGGI 150 KV TERHADAP SAMBARAN PETIR DI GIS TANDES MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK EMTP RV

ANALISIS KOORDINASI ISOLASI SALURAN UDARA TEGANGAN TINGGI 150 KV TERHADAP SAMBARAN PETIR DI GIS TANDES MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK EMTP RV TUGAS AKHIR RE 1599 ANALISIS KOORDINASI ISOLASI SALURAN UDARA TEGANGAN TINGGI 150 KV TERHADAP SAMBARAN PETIR DI GIS TANDES MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK EMTP RV IKA PRAMITA OCTAVIANI NRP 2204 100 028 Dosen

Lebih terperinci

ALGORITMA ALIRAN DAYA UNTUK SISTEM DISTRIBUSI RADIAL DENGAN BEBAN SENSITIF TEGANGAN

ALGORITMA ALIRAN DAYA UNTUK SISTEM DISTRIBUSI RADIAL DENGAN BEBAN SENSITIF TEGANGAN ALGORITMA ALIRAN DAYA UNTUK SISTEM DISTRII RADIAL DENGAN BEBAN SENSITIF Rizka Winda Novialifiah, Adi Soeprijanto, Rony Seto Wibowo Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi

Lebih terperinci

PENGATURAN DAYA AKTIF PADA UNIFIED POWER FLOW CONTROLLER (UPFC) BERBASIS DUA KONVERTER SHUNT DAN SEBUAH KAPASITOR SERI

PENGATURAN DAYA AKTIF PADA UNIFIED POWER FLOW CONTROLLER (UPFC) BERBASIS DUA KONVERTER SHUNT DAN SEBUAH KAPASITOR SERI PENGATURAN DAYA AKTIF PADA UNIFIED POWER FLOW CONTROLLER (UPFC) BERBASIS DUA KONVERTER SHUNT DAN SEBUAH KAPASITOR SERI Mochamad Ashari 1) Heri Suryoatmojo 2) Adi Kurniawan 3) 1) Jurusan Teknik Elektro

Lebih terperinci

Koordinasi Kontroler PID dan Thyristor Controlled Phase Shifter (TCPS) pada Load Frequency Control (LFC) Menggunakan Differential Evolution (DE)

Koordinasi Kontroler PID dan Thyristor Controlled Phase Shifter (TCPS) pada Load Frequency Control (LFC) Menggunakan Differential Evolution (DE) Koordinasi Kontroler PID dan Thyristor Controlled Phase Shifter (TCPS) pada Load Frequency Control (LFC) Menggunakan Differential Evolution (DE) Wendy Kurniawan Kautsar (0700086) Dosen Pembimbing Prof.Dr.

Lebih terperinci

Algoritma Aliran Daya untuk Sistem Distribusi Radial dengan Beban Sensitif Tegangan

Algoritma Aliran Daya untuk Sistem Distribusi Radial dengan Beban Sensitif Tegangan JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 1, (2014) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) B-7 Algoritma Aliran Daya untuk Sistem Distribusi Radial dengan Beban Sensitif Tegangan Rizka Winda Novialifiah, Adi Soeprijanto,

Lebih terperinci

OLEH : BAKTI MULYOSO Tugas Akhir ini Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh. Gelar Sarjana Teknik

OLEH : BAKTI MULYOSO Tugas Akhir ini Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh. Gelar Sarjana Teknik OPTIMALISASI DAYA REAKTIF UNTUK MEMPERBAIKI TEGANGAN PADA SISTEM TENAGA LISTRIK DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM PSSE VERSI 31.0.0 (Aplikasi PT PLN (Persero) UPB Sumbagut) OLEH : BAKTI MULYOSO 060422013 Tugas

Lebih terperinci

DASAR TEORI. Kata kunci: Kabel Single core, Kabel Three core, Rugi Daya, Transmisi. I. PENDAHULUAN

DASAR TEORI. Kata kunci: Kabel Single core, Kabel Three core, Rugi Daya, Transmisi. I. PENDAHULUAN ANALISIS PERBANDINGAN UNJUK KERJA KABEL TANAH SINGLE CORE DENGAN KABEL LAUT THREE CORE 150 KV JAWA MADURA Nurlita Chandra Mukti 1, Mahfudz Shidiq, Ir., MT. 2, Soemarwanto, Ir., MT. 3 ¹Mahasiswa Teknik

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI METODE CHAOTIC ANT SWARM OPTIMIZATION (CASO) UNTUK ECONOMIC DISPATCH PADA SISTEM PEMBANGKIT 500kV JAWA - BALI SKRIPSI

IMPLEMENTASI METODE CHAOTIC ANT SWARM OPTIMIZATION (CASO) UNTUK ECONOMIC DISPATCH PADA SISTEM PEMBANGKIT 500kV JAWA - BALI SKRIPSI IMPLEMENTASI METODE CHAOTIC ANT SWARM OPTIMIZATION (CASO) UNTUK ECONOMIC DISPATCH PADA SISTEM PEMBANGKIT 500kV JAWA - BALI SKRIPSI Oleh : HENY TRI CAHYANINGSIH NIM : 081910201045 JURUSAN TEKNIK ELEKTRO

Lebih terperinci

STUDI PENGATURAN TEGANGAN PADA JARINGAN DISTRIBUSI 20 KV YANG TERHUBUNG DENGAN DISTRIBUTED GENERATION (STUDI KASUS: PENYULANG TR 5 GI TARUTUNG)

STUDI PENGATURAN TEGANGAN PADA JARINGAN DISTRIBUSI 20 KV YANG TERHUBUNG DENGAN DISTRIBUTED GENERATION (STUDI KASUS: PENYULANG TR 5 GI TARUTUNG) STUDI PENGATURAN TEGANGAN PADA JARINGAN DISTRIBUSI 20 KV YANG TERHUBUNG DENGAN DISTRIBUTED GENERATION (STUDI KASUS: PENYULANG TR 5 GI TARUTUNG) Andika Handy (1), Zulkarnaen Pane (2) Konsentrasi Teknik

Lebih terperinci

ANALISIS HUBUNG SINGKAT 3 FASA PADA SISTEM DISTRIBUSI STANDAR IEEE 18 BUS DENGAN ADANYA PEMASANGAN DISTRIBUTED GENERATION (DG)

ANALISIS HUBUNG SINGKAT 3 FASA PADA SISTEM DISTRIBUSI STANDAR IEEE 18 BUS DENGAN ADANYA PEMASANGAN DISTRIBUTED GENERATION (DG) ANALISIS HUBUNG SINGKAT 3 FASA PADA SISTEM DISTRIBUSI STANDAR IEEE 18 BUS DENGAN ADANYA PEMASANGAN DISTRIBUTED GENERATION (DG) Agus Supardi 1, Tulus Wahyu Wibowo 2, Supriyadi 3 1,2,3 Jurusan Teknik Elektro,

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 1, (2016) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 1, (2016) ISSN: ( Print) Penentuan Lokasi DG dan Kapasitor Bank dengan Rekonfigurasi Jaringan untuk Memperoleh Rugi Daya Minimal pada Sistem Distribusi Radial Menggunakan Algoritma Genetika Ridho Fuaddi, Ontoseno Penangsang, Dedet

Lebih terperinci