BAGIAN I FENOMENOLOGI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAGIAN I FENOMENOLOGI"

Transkripsi

1 BAGIAN I FENOMENOLOGI 1.1. Pengantar Fenomenologi secara umum adalah studi tentang kenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang berarti penampilan atau yang tampak, memperlihatkan diri (phainein) dan logos (Yun) yang berarti: kata, ilmu, ucapan, rasio, pertimbangan. Arti luas fenomenologi adalah ilmu tentang fenomena-fenomena atau apa saja yang tampak. Arti sempit: ilmu tentang fenomena-fenomena yang menampakkan diri kepada kesadaran kita. Fenomenologi sebagai metode ilmu bermula sejak G.W.F Hegel mendeklarasikan karyanya The Phenomenology of Spirit, Sejak itu banyak 1 Hegel memakai istilah fenomenologi seperti yang diartikan oleh Lambert dan Kant. Ia memperluas cakrawala pengertian fenomenologi sebagai ilmu mengenai pengalaman akan kesadaran, yakni suatu pemaparan yang dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak (absolut). Menurut Hegel, fenomen tidak lain adalah penampakan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomen merupakan manifestasi 1

2 pemikir menaruh minat serius untuk mempelajari agama. Hanya saja metode studi terhadap agama terlampau metafisik, sehingga persoalan agama lantas menjadi objek kajian filsafat. Tidaklah mengherankan bahwa para pemikir yang merujuk studi agama pada karya Hegel itu lantas tergiring pada metode kerja yang a priori dan metafisik. Mereka mengolah konsepkonsep ketuhanan dan rumusan-rumusan ajaran agama dalam rangka menangkap hakikat agama. Sejak saat itu pula studi atas agama mendapat sambutan kritis, yang bernuansa mencibir dan merendahkan agama, dari kubu ilmu-ilmu positif (positivistik) yang memang sedang naik daun pada masa itu juga. Kaum positivistik, yang meyakini ilmunya adalah cermin dari realitas (mirror of nature) dan dapat diverifikasi kepastiannya, tanpa ragu menendang agama keluar dari arena yang ilmiah. Di hadapan kaum positivistik, agama adalah tanda kesia-siaan manusia (kemalasan manusia) dalam mengoptimalkan potensi berpikir kritisnya dalam menghadapi kenyataan hidup. Karl Marx, yang begitu alergi terhadap agama, memandang agama tidak lebih dari pada warisan budaya manusia yang belum kritis, khayalan dunia yang terasing dari dunianya, sublimasi dari keinginankonkret dan historis perkembangan pikiran manusia. Lih. Lorens Bagus, Diktat Fenomenologi Agama, hlm. 2. 2

3 keinginan manusia yang tak akan pernah terwujud dalam kenyataan. 2 Lantas, adakah pembelaan berarti terhadap agama setelah dikritik oleh para pemikir positivistik (ateistik)? Mungkinkah agama itu ilmiah (empirik)? Rupanya kritik kaum positivistik itu tidak berhasil mengakhiri (menyudahi) minat studi atas agama. Kritik atas agama dari kubu ilmuan positivistik itu diimbangi oleh studi agama di bidang ilmu-ilmu lain seperti antropologi, arkeologi, sosiologi, dan filologi. Ilmu-ilmu itu melakukan studi atas agama dengan cara meneliti kehidupan dan tradisi suku-suku primitif dan menemukan dasar-dasar ilmiah dari agama. Penelusuran atas fakta-fakta agama berupa praktik peribadatan, ritus, upacara-upacara yang konkret sehingga tidak semata-mata konseptual, apriori atau metafisik menjadikan agama sungguh realistis. Faktafakta agama itu sungguh real dan tidak sebatas ajaran konseptual. Ia adalah cermin pengalaman langsung orang-orang primitif akan yang Absolut. Dalam konteks kajian ini, fokus pencarian para ilmuan adalah asal-usul agama dengan mengartikan aktivitas keagamaan sebagai tindakan simbolis penuh arti. 3 Dan fenomena agama adalah fenomena sosio-kultural. 2 Bdk. A. Sudiarja, dalam buku Mariasusai Dhavamony, hlm Loc Cit. 3

4 Walaupun demikian, perkembangan ilmu antropologi belakangan ini menunjukkan gelagat baru bahwa para antropolog cenderung tidak lagi menggunakan metode-metode antropologis untuk menyelidiki masyarakat pra-tulis, tetapi menganalisis kehidupan masyarakat-masyarakat yang modern dan kompleks terutama berkaitan dengan simbolisme dalam agama dan mitos, serta mengembangkan metode baru yang tepat untuk studi agama dan mitos. 4 Dalam konteks perkembangan ilmu-ilmu lain yang mempelajari agama, fenomenologi agama selalu menempatkan diri sebagai mitra kerja ilmu-ilmu lain tanpa harus kehilangan identitas diri (menyamakan dirinya dengan yang lain). Artinya, meskipun fenomenologi agama menggunakan hasil-hasil ilmu lain untuk bahan risetnya, ia tidak seperti ilmu-ilmu lain yang masing-masing merasa memiliki wilayah kebenaran hakiki tersendiri di mana pihak lain harus tunduk dan mengakuinya. Fenomenologi agama mengajarkan mereka (ilmu-ilmu lain yang mempelajari agama) untuk mengekang diri dan saling menghormati batas-batas penelitian. 5 Pentingnya 4 Mariasusai Dhavamony, hlm Walaupun demikian, Fenomenologi Agama tetap membedakan diri dari disiplin-disiplin ilmu lain yang mempelajari agama. Ia 4

5 menghormati batas-batas yang dimaksud supaya apa yang menjadi ciri khas (aspek keunikan) dan tekanan masing-masing disiplin ilmu tidak menjadi sirna atau kabur. Maka, sejauh fenomenologi agama menggunakan hasil-hasil ilmu manusia lainnya seperti psikologi religius, sosiologi dan antropologi religius yang selalu berkembang sebagai bahan yang mendukung aktifitas studinya, ia adalah ilmu empiris. 6 Sebagai suatu mazhab dalam filsafat abad ke-20, fenomenologi pun berkembang pesat dan muncul dalam berbagai macam bentuknya, misalnya, fenomenologi transendental (E. Husserl), fenomenologi eksistensial (J.P. Sartre dan M. Merleau Ponty), fenomenologi hermeneutik (M. Heidegger dan P. Ricoeur). 7 Luasnya medan kajian dan beragamnya bentuk-bentuk fenomenologi sejatinya menjadi kekayaan dalam berfilsafat secara fenomenologis. Namun, dalam tulisan ini kami tidak hendak mengulas semua bentuk-bentuk itu secara komprehensif. bahkan berupaya mengajar mereka mengekang diri agar tidak angkuh satu terhadap yang lain. Artinya, masing-masing disiplin ilmu agama penting untuk tetap menjaga batas-batas penelitian supaya unsur hakiki yang menjadi identitas dirinya tidak menjadi kabur. Bdk. Fransiskus Borgias M, Dikta Kapita Selektat Fenomenologi Agama, hlm Ibid., hlm Fransiskus Borgias M, Diktat Kapita Selektat Fenomenologi Agama, hlm. 8. 5

6 Ulasan kami di sini lebih merupakan upaya membuat peta fenomenologi E. Husserl secara sederhana Sekilas Sejarah Fenomenologi Pengalaman akan yang Absolut, baik dalam masyarakat primitif maupun masyarakat modern, di hadapan fenomenologi dipandang sebagai data pengalaman yang menawarkan diri pada subjek di mana subjek dituntut untuk melepaskan diri dari asumsi-asumsi sementara berkaitan dengan data pengalaman tersebut. Sesuai dengan prinsip yang dicanangkan oleh Edmund Husserl sebagai tokoh besarnya, 8 fenomenologi haruslah kembali kepada data bukan pada pemikiran, yakni pada halnya sendiri (fenomen) yang harus menampakan dirinya. Husserl sepertinya berupaya memberi penjelasan kepada tradisi berpikir filosofis sebelumnya dan sekaligus memberi tanggapan atas kritik kubu positivistik 8 Dalam khazanah studi fenomenologi, Edmund Husserl seringkali dirujuk sebagai tokoh besarnya. Ia dipandang sebagai orang yang paling berjasa dalam mengembangkan fenomenologi. Walaupun demikian, istilah fenomenologi dalam pengertian filosofis digunakan pertama kali bukan oleh Husserl melainkan oleh Johann Heinrich Lambert (1764). Lambert memasukan ajaran mengenai gejala (fenomenologia) ke dalam masalah kebenaran (aletheologia). Maksudnya ialah, bahwa dalam masalah kebenaran menurut Lambert terdapat sebab-sebab subjektif dan objektif dari ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomena). Lih. Lorens Bagus, Op.Ci, hlm.1. 6

7 terhadap agama, bahwa pengetahuan hakiki adalah kehadiran data dalam kesadaran murni subjek, dan bukan konstruksi spekulatif daya pikiran dalam membangun konsep-konsep abstrak. Artinya, ia hendak menekankan pentingnya relasi-relasi eksistensial untuk menghadirkan eidos dalam kesadaran murni dan bukan dalam teori-teori. 9 Gagasan Husserl itu jelas merupakan paradigma baru dalam ilmu fenomenologi. Ia menebas tradisi fenomenologi yang sudah dirintis sejak Descartes hingga Hegel, di mana pengetahuan melulu dibangun secara spekulatif di dalam akal budi. Imannuel Kant, dalam suratnya kepada Johann Heinrich Lambert pada tahun 1770, bahkan menegaskan bahwa metafisika perlu didahului dan diperkenalkan oleh sebuah ilmu yang seutuhnya bersifat partikular. Dalam ilmu itu diharapkan agar ditemukan keabsahan dan batasbatas prinsip penginderaan E. Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisa deskriptif-introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung: religius, moral, estetis, konseptual, serta inderawi. Dalam konteks itu, perhatian fenomenolog hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang lebenswelt (dunia kehidupan). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris. Lih. Lorens Bagus, Ibid., hlm Dalam karyanya Prinsip-Prinsip pertama Metafisika (1786) Kant memakai istilah fenomenologi untuk menjelaskan kaitan antara 7

8 Dalam konteks fenomenologi Husserl, fakta-fakta dan fenomena-fenomena agama adalah objek kajian bagi kesadaran setelah keduanya membangun relasirelasi timbal balik (subjek mengarahkan diri pada objek dan sebaliknya juga). 11 Dalam relasi itu prinsip epoche tetap berlaku bahwa yang bertindak sebagai subjek tetap menyortir atau memilah-milah lapisan demi lapisan setiap unsur sementara yang tidak hakiki dari objek kesadaran agar hakikatnya (eidos) dapat ditangkap oleh kesadaran murni. Perspektif ini jelas memungkinkan kita berdialog dengan pengalaman dan kesadaran murni (pra-reflektif). Artinya, di sana tersedia ruang luas dimana kita tidak perlu terjebak dalam tuntutan kepada yang hakiki atau yang esensial semata. Dengan demikian, yang harus dilakukan para fenomenolog ketika mereka berhadapan dengan setiap fenomena (kenyataan yang tampak) adalah sebatas membuat deskripsi atas fenomena sebagaimana ia hadir dan dialami dalam kesadaran. konsep fisik gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dari representasi, yakni fenomen indera-indera lahiriah. Ibid., hlm Metode yang dikembangkan Husserl tampak menyajikan cara pandang dan kerangka berpikir (paradigma) refleksif-deskriptif secara timbal-balik (dialogal) dimana relasi-relasi antara subjekobjek, objek-objek, subjek-subjek dimungkinkan berlangsung setaraf. 8

9 Deskripsi yang dimaksudkan itu dibuat berdasarkan ketulusan dan kesadaran subjek. Maka deskripsi itu sejatinya mencerminkan sisi eksistensial fenomena secara utuh dan unik. Kondisi ini menunjukkan kesetaraan antara fenomena dengan subjek yang menganalisis dan mendeskripsikannya. Dalam relasi yang dialogal itu tidak lagi aspek yang hakiki yang hendak diburu, ditangkap dan ditunjukan subjek dalam dan melalui kesadarannya, melainkan kehadiran masing-masing pihak (subjek dan fenomena) sebagai subjek bebas. Oleh karena itu, fenomenologi Husserl akhirnya tidak lagi berkutat pada perkara mencari yang esensial, tapi justru mendeklarasikan fenomena secara deskriptif dan apa adanya. Ia bertindak sebagai metode studi dan sekaligus disiplin ilmu yang ilmiah karena mendeskripsikan fenomena-fenomena yang menyergap kesadaran subjek. Dalam konteks studi agama, fenomenologi merupakan metode studi yang paling berpengaruh karena berupaya mendeskripsikan fenomena agama sebagaimana fenomena tersebut dialami dalam kesadaran eksistensial. Jadi, fenomena merupakan data pengalaman yang dianalisis dan dideskripsi. Dalam perspektif itu, Husserl akhirnya menyadari bahwa ternyata tidaklah mungkin untuk menangkap 9

10 apa yang hakiki dari fenomena. Sebab apa yang disebut hakikat fenomena (yang esensial itu) sebetulnya selalu merupakan ia yang hadir dalam dirinya sendiri (thing in its self) secara utuh dan unik. 12 Kesadaran itu kelak menggiring Husserl menjadi anti-esensialisme (anti eidos). Husserl kemudian berpendirian teguh bahwa yang dapat dilakukan para fenomenolog ketika berhadapan dengan fenomena adalah memberikan deskripsi yang perlu mengenai apa yang ada sebagaimana dialami dalam kesadaran. Dalam tekanan yang terakhir ini fenomenologi Husserl lebih tepat disebut fenomenologi transendental. 13 Berangkat dari uraian di muka, terobosan baru fenomenologi dalam seni berpikir deskriptifintrospektif, sejak Edmund Husserl, sebetulnya lebih tepat dipandang sebagai ungkapan protes yang nyata terhadap metode-metode filsafat barat yang 12 Immanuel Kant membedakan antara fenomena dan noumena (benda dalam dirinya sendiri yang terlepas dari aktifitas kognitif pikiran). 13 Disebut fenomenologi transendental karena bidang telahaannya adalah kesadaran transendental, yakni kesadaran akan makna yang menjadi esensi benda. Kesadaran demikian jelas melampaui kategori kognitif, konsep terdalam dan dasariah matematika dan logika, serta kegiatan psikis real. Kesadaran transendental berangkat dari keterarahan (intensionalitas) pada obyek tertentu demi menguak makna universal yang menjadi esensinya. 10

11 tradisional sejak J.H. Lambert dan Immanuel Kant yang memuncak pada Hegel di satu sisi karena terlampau abstrak, konseptual dan metafisik. Sementara pada sisi lain, fenomenologi Husserl juga dapat dipandang sebagai ungkapan pembelaan terhadap agama dari serangan kaum positivistik yang memandang agama sebagai wilayah yang nonilmiah. 14 Munculnya bentuk-bentuk baru studi agama secara fenomenologis dapat dipahami sebagai berkembangnya minat ke arah studi agama secara empiris Metode epoche Edmund Husserl Epoche adalah metode yang dicanangkan oleh Husserl ketika subjek berhadapan dengan fenomena agar subjek mampu melepaskan diri dari asumsiasumsi yang non-ilmiah terhadap fenomena. Tujuannya adalah agar subjek menghadapi fenomena dengan kesadaran murni. Bagi Husserl, ketika subjek berhadapan dengan fenomena maka ia sebetulnya bergumul dengan pengalaman akan yang lain (sebagai objek kesadarannya). Pergumulan itu pada awalnya dipahami atau dikira bersifat subjek-obyek (subjek mencari tahu esensi objek). Tetapi kemudian Husserl 14 Harold H Titus, dkk., Living Issues in Philosophy, 7 th Edition, 11

12 menegaskan bahwa sesungguhnya yang terjadi dalam pergumulan antara subjek dan fenomena adalah relasi subyek-subyek (intersubyektif). Artinya, pergumulan pengalaman tentang yang lain yang tertangkap oleh kesadaran subjek. Dalam pusaran pergumulan dengan fenomena, subjek belumlah sampai menangkap hakikat fenomena (belum memberi kepastian pengetahuan akan fenomena). Untuk mencapai kepastian, kita perlu mencarinya dalam pengalaman yang sadar, yakni bermula dari aku murni yang mengatasi semua pengalaman, dan bukan aku empiris. 15 Bagaimana caranya supaya aku bisa mencapai aku murni? Proses pencapaian aku murni itu ditempuh dengan metode epoche. Proses pencarian hakekat fenomena melalui metode epoche terjadi ketika subjek dengan sadar mau memasukan ke dalam tanda kurung (epoche) segala asumsinya terhadap fenomena ( akuempirisnya ) sehingga tinggallah subjek sebagai aku murni. Proses demikian oleh Husserl disebut metode epoche. Setelah proses epoche (pemurnian diri) ini 15 Aku empiris artinya aku yang tidak murni karena masih dipengaruhi oleh pengalaman pergaulan dengan dunia benda. Kondisi ini perlu dimurnikan dengan cara memasukan seluruh pengalamanku itu ke dalam tanda kurung (epoche) sehingga kini tinggallah aku murni. 12

13 ditempuh, kini pergaulan subjek dengan fenomena sungguh-sungguh mandiri dalam artian tidak lagi diintervensi oleh pengertian, pemahaman dan praduga-praduga tertentu. Pandangan Husserl dengan epoche membuatnya sebidang dengan metode keragu-raguan (cogito ergo sum) Descartes. Dalam hal ini, Husserl melihat bahwa dalam ukuran tertentu, fislafat yang dibangun Descartes sudah mengantisipasi fenomenologi. Ia menekankan pula bahwa eksistensi dari diri dalam pengertian sebagai substansi rohani/spiritual, atau seperti dikatakan Descartes res cogitans mesti dikurung supaya mencapai kepastian, yakni eksistensi diri murni. Perbedaan Husserl dari Descartes terletak pada pemahaman mengenai kesadaran. Bidang kesadaran transendental (kesadaran akan makna, yang menjadi esensi benda), bukan dalam cogito (abstrak) seperti yang ditemukan dalam filsafat Descartes Tiga Macam Reduksi Berkaitan dengan metode epoche di atas, dalam rangka menemukan hakikat fenomena, Husserl membedakan tiga macam reduksi, yakni: reduksi fenomenologis, reduksi eidetik dan reduksi transendental. Itulah sebabnya fenomenologi yang 13

14 dikembangkan Husserl kemudian lebih dikenal dengan fenomenologi transendental karena memuncak pada kesadaran murni, yakni kesadaran akan makna yang menjadi esensi fenomena. Ketiga jenis reduksi ini perlu dilakukan ketika berhadapan dengan fenomena agar kita dapat menangkap esensinya (hakekatnya) dengan intuisi. a. Reduksi fenomenologis: ketika berhadapan dengan fenomena kita perlu menyingkirkan semua yang bersifat subyektif. Kita harus terbuka terhadap fenomena (reflektif). b. Reduksi eidetis: ketika berhadapan dengan fenomena, kita perlu menyingkirkan semua pengetahuan dan pengertian sebelumnya mengenai fenomena (melalui metode epoche), supaya kita sampai pada hakekat fenomena (eidos). c. Reduksi transendental. Ketika berhadapan dengan fenomena kita harus berdiri sebagai subjek yang memiliki kesadaran murni akan fenomena. Kita sampai pada kesadaran murni tentang fenomena ketika kita tidak lagi dipengaruhi oleh pengetahuan lain tentang fenomena. Dalam konteks itu, kita mampu mengintuisi makna esensial fenomena. 14

15 1.5. Fenomen Fenomenologi seperti diuraikan di muka merupakan ilmu yang mempelajari fenomen. Fenomen ialah apa yang tampak. Dari pengertian ini terdapat implikasi rangkap tiga. Pertama, mesti ada sesuatu. Kedua, sesuatu itu menampak, mencuat keluar. Ketiga, justru karena sesuatu menampak maka menjadi fenomen. Fenomen sendiri mempunyai dua segi: segi obyektif dan segi subyektif. Segi obyektif dimaksudkan, pefenomenan sesuatu mengacu pada sesuatu yang tampak. Segi subyektif, proses pefenomen itu ada karena sesuatu mesti menampak pada seorang pribadi. Jadi, fenomen itu tidak murni obyektif yang menyangkut realitas aktual, juga tidak murni subyektif, sebagai gejala psikologis sematamata. Fenomen perlu dilihat sebagai hubungan antara subyek dan obyek. Dalam fenomen mesti dipahami obyek yang dihubungkan dengan subyek dan subyek dihubungkan dengan obyek. Fenomen bukanlah produk dari subyek. Hakekat dari fenomen justru terdapat dalam penampilan, pencuatan itu sendiri. Pencuatan itu tertuju pada seseorang dan kalau seseorang mulai mendiskusikannya, muncullah fenomenologi. 15

16 Berkaitan dengan seseorang, yang kepadanya fenomen menampak, terdapat tiga aras (inti) fenomenalitas. 16 Pertama, ada yang rahasia, tersembunyi. Kerahasiaan dari sesuatu itu merupakan sesuatu yang relatif saja. Sesuatu menjadi rahasia karena belum mencuat keluar dan belum menampakkan diri dan belum ditangkap oleh subyek. Kedua, pelan-pelan membuka atau mewahyukan diri. Ketiga, adanya kebeningan (transparansi). Dalam aras yang ketiga kita menembus ke inti. Tiga aras ini dapat dikaitkan, walaupun tidak sama dengan aras kehidupan: pengalaman, pemahaman dan kesaksian. Pengalaman bukanlah realitas hidup dalam arti murni. Pengalaman dikonstruksi secara obyektif oleh kondisi dan rangkaian peristiwa tertentu yang belum tentu melewati proses negosiasi secara sadar. Ada 16 Terkait dengan tiga aras fenomen ini, kita bisa mengilustrasikannya dengan buah durian. Ia mengeluarkan aroma yang harum seakan-akan menyampaikan pesan kepada kita bahwa ada sesuatu yang lezat di balik kulitnya yang tampak berbahaya itu (aspek rahasia, tersembunyi). Aroma yang harum itu secara pelan tapi pasti membuka rahasia tentang durian (menyatakan diri durian). Dari aroma yang harum itu ada kejelasan bahwa durian itu pasti enak kalau disantap (bagi orang tertentu lho). Tetapi, kita tidak pernah mengetahui secara pasti bagaimana enaknya rasa durian kalau kita tidak pernah berani membauinya, membukanya untuk kemudian menyantapnya. Bila kita melakukan itu, maka kita memiliki pengalaman tentang durian, memahami durian, dan memberi kesaksian bahwa durian itu enak. 16

17 kalanya peristiwa yang kemudian menjadi pengalaman terjadi di luar harapan kita dan berlangsung begitu cepat tanpa permisi kepada kesadaran dan akal sehat kita. Itulah sebabnya kita mesti mengajukan sikap atas pengalaman kita berupa interpretasi kritis atasnya sebagai pengalaman. Kehidupan itu sendiri adalah rangkaian peristiwa yang membentuk pengalaman, tetapi ia tidak dapat dipahami seluruhnya. Apa yang dibuka, bukanlah kehidupan tetapi bentuk-bentuk tertentu kehidupan. Artinya, ada sisi-sisi tertentu kehidupan yang membangun keutuhan kehidupan. Sisi-sisi kehidupan itu sejauh bisa kita interpretasi (dan pahami secara sadar maknanya), itulah pengalaman. Artinya, yang disebut pengalaman itu selalu menuntut interpretasi, pemahaman dan kemudian memberikan makna (esensi) bagi kita. Itulah sebabnya pengalaman disebut sebagai guru yang baik. Pengalaman pertama yang sebenarnya tidak dapat disebut pengalaman, 17 merupakan dasar dari pengalaman-pengalaman lain. Pengalaman pertama selalu berlalu begitu saja. Misalnya, pengalaman saya menulis dalam buku harian dua menit yang lalu, 17 Apakah ada yang disebut pengalaman pertama dalam arti yang sesungguhnya? Rasanya sulit bagi kita untuk mengingat dan menyebutkan apa dan bagaimana pengalaman pertama kita. 17

18 dimensi keberlaluannya sama dengan tulisan saya setahun yang lalu. Mengapa? Karena pengalamanpengalaman tersebut tidak dapat saya ulangi. Semuanya sudah berlalu. Pengalaman hanya sekali terjadi dan sudah selesai. Ia selau terkait dengan kondisi tertentu dalam rentang peristiwa, ruang, waktu dan nuansa emosi tertentu. Pengalaman menulis yang baru kubuat tidaklah lebih dekat padaku daripada naskah tulisan peninggalan orang-orang terdahulu, misalnya, tulisan orang Mesir empatribu tahun yang lalu. Seorang Mesir dan saya merupakan yang lain untuk sebuah tulisan yang sudah dibuat. Artinya, antara tulisan dan penulisnya sudah berjarak. Kehidupan itu menembus batas, selalu terlepas, sulit dikurung. 18 Kehidupan adalah sesuatu yang berlangsung (berproses) tidak pernah muncul begitu saja. Yang berlangsung itu selalu direkonstruksi (dimaknai) dan bagi kita sendiri, kita tidak dapat menemukan jalan masuk untuk bagian yang paling 18 Meskipun kehidupan itu terbatas oleh kenyataan fisik, tetapi ia sesungguhnya menembus batas, sulit digenggam dan dikurung. Namun, kita mesti menjalani kehidupan yang menembus batas itu dalam batas-batas tertentu dalam konteks sosial (secara normatif) sehingga ekspresi kehidupan itu memberi makna bagi diri kita dan orang lain. Dalam konteks itu, kehidupan yang menembus batas itu mesti dijalani secara tahu batas dalam pengertian melakukan perubahan sehingga kehidupan menjadi unik dalam batasan tertentu. 18

19 sublim. Kehidupan bukanlah ruang hampa atau tertutup di mana kita tinggal bebas tanpa batas atau aman tanpa gangguan. Kehidupan bukanlah sebatas tubuh, yang dengan segala pesona kelebihan potensinya memungkinkan kita menaklukan dunia. Namun, tubuh kita pada kenyataannya tidak pernah mampu menggenggam kehidupan menjadi milik kita selamanya. Sebaliknya, di hadapan kehidupan, keutuhan diri kita seolah-olah hadir sendiri berhadapan dengan sesuatu yang lain tanpa bantuan. Kita rupanya selalu terlambat untuk memahami esensi kehidupan. Ringkasnya, kita itu rapuh, fana, terbatas oleh ruang dan waktu. Namun, seluruh kenyataan ini sebetulnya merupakan hal yang biasa. Di antara yang aku dan yang bukan aku, orang atau benda, dan seterusnya, yang nampaknya memuat perbedaan mendasar sesungguhnya adalah hal biasa. Eksistensi segala sesuatu adalah perkara biasa. Jadi, perbedaan yang tampak ada di antara saya dan yang lain, jarak dekat dan jarak jauh, kemarin dan beribu-ribu tahun lampau. Semuanya itu adalah hal biasa. Mengapa? Karena eksistensi masing-masing sesuatu itu memuat dimensi biasa pada dirinya sendiri, yang sesungguhnya menjangkau kita pun mengalami 19

20 dilema: antara segala yang ada itu berbeda atau sama-sama biasa pada dirinya sendiri. Kita menemukan diri kita sendiri kalau kita mau mendekati kehidupan itu. Tetapi apa yang nampaknya terdapat perbedaan yang besar antara saya dan yang lain, sesama, baik yang dekat maupun yang jauh, kemarin atau beribu-ribu tahun yang lalu, semuanya merupakan hal yang sama-sama biasa. Seluruh yang sama-sama biasa yang kita kira berbeda-beda itu dipertemukan dan hadir secara serentak dalam diri kita sendiri. Kita rupanya sibuk bergulat dengan diri kita untuk meyakinkan diri kita bahwa ada perbedaan di antara segala yang ada. Padahal, segala yang ada itu sama-sama biasa, yakni sama-sama diadakan: adanya segala yang ada karena ada yang mengadakannya, sementara yang mengadakan segala yang ada itu adanya tidak diadakan, adanya adalah adanya. Interpretasi kita tentang perbedaan segala yang ada bermuara pada pergulatan diri kita sendiri. Kita bisa belajar dari pengalaman seorang sejarahwan. Ia dapat memulai penelitiannya tentang sesuatu atau seseorang dari mana saja dan terkait dengan apa dan siapa saja. Akan tetapi, sehebat apa pun penelitiannya itu, tidak bisa luput dari kenyataan bahwa sang sejarawan itu pada akhirnya berjumpa dengan dirinya sendiri. Dirinya adalah titik simpul pertemuan segala 20

21 peristiwa yang direkamnya. Ia sesungguhnya mengadakan rekonstruksi peristiwa yang sudah berlalu dan tidak mungkin dipanggil kembali Tahap-Tahap Pemilahan Fenomena Fenomenologi merupakan metode diskusi yang sistematis dan ilmiah mengenai fenomena untuk menyingkapkan esensinya. Selaras dengan itu, fenomenologi menelaah fenomena dalam beberapa tahap seperti dirunut di bawah ini: a. Memberi nama Sesuatu yang menampakkan diri pertama-tama harus menerima nama. Semua tuturan pertama-tama terdiri dari memberi nama: penggunaan nama penting karena ia menjadi dasar untuk membangun suatu bentuk berpikir yang bersifat antara memahami dan membayangkan. Dengan memberi nama, kita memisahkan fenomen-fenomen dan sekaligus memilahnya. Dengan kata lain, kita mengadakan klasifikasi. Kita menggabungkan fenomena-fenomena atau menyeleksi dan menyortirnya. Upaya demikian lebih tepat dinamakan sebagai pemurnian (purifikasi). Sejak manusia memberi nama, sesungguhnya kita menunjukkan diri kita dalam bahaya. Kita menjadi limbung atau puas dengan nama. Untuk itu, kita atasi 21

22 bahaya ini dengan tahap berikut, yakni menyisipkan fenomena dalam hidup kita. b. Fenomen masuk ke dalam hidupku Kita menyisipkan fenomen dalam hidup kita. Penyisipan ini bukan tindakan main-main. Realitas adalah realitasku, sejarah adalah sejarahku. Kita mesti sadar bahwa apa yang sedang kita buat bila kita mulai mengatakan apa yang nampak kepada kita dan yang kita namakan. Lebih lanjut perlu diingat bahwa apa yang nampak pada kita, tidak tunduk pada kita secara langsung, tuntas, tetapi hanya sebagai simbol suatu makna untuk kita interpretasikan (pahami), sebagai sesuatu yang menyerahkan diri kepada kita untuk diinterpretasikan. Interpretasi ini menjadi mustahil manakala kita tidak mengalami penampakan, dan interpretasi ini dilakukan bukan dengan paksaan dan setengah sadar, tetapi secara intensional (keterarahan yang sadar) dan metodis. d. Tidak Tuntas Ketika fenomen masuk kedalam hidupku, pada saat yang sama juga kesadaranku tak sampai pada eksistensinya. Untuk itu, fenomenologi perlu memperhatikan metode pengurungan (epoche) dan pemahamannya mengenai peristiwa-peristiwa 22

23 tergantung pada pengurungan-pengurungan. Dalam konteks itu, fenomenologi berkutat hanya dengan fenomen, yang menampakkan dirinya. Ia menggumuli seluruh fenomen apa adanya, tidak semata-mata yang ada di belakang fenomen. Metode pengurungan ini bukan semata-mata alat untuk bersikap terhadap realitas, tapi merupakan sebuah ciri khas sikap seluruh manusia pada realitas. Tujuannya adalah untuk mendapatkan essenstia fenomen (yang hakiki dari fenomen). Dalam hal ini, seseorang menjadi pasti hanya dengan memberi bentuk dan makna pada benda-benda yang menampakan diri pada kesadarannya. Maka fenomenologi sebenarnya berdiri di samping dan memahami apa yang nampak dalam pandangan, meski pemahamannya tidak tuntas. d. Klarifikasi Memperhatikan apa yang nampak berarti membuat klarifikasi mengenai apa yang diperhatikan. Semua yang ada dalam satu tatanan mesti disatukan, tetapi yang berbeda dalam tipe mesti dipisahkan. Pembedaan ini, seharusnya tidak diputuskan dengan mengacu pada hubungan kausal (A muncul dari B sementara C mempunyai asalnya yang menyatukannya dengan D), tetapi semata-mata dengan memanfaatkan hubungan struktural, bagaikan 23

24 pelukis yang melukiskan pemandangan dengan menyatukan obyek-obyek kedalam kelompok atau memisahkan mereka satu dengan yang lain. Ini berarti kita mencari interrelasi tipikal ideal, dan berusaha mengatur ini dengan keseluruhan yang lebih besar makna dan sebagainya. e. Pemahaman Lebih Murni Semua aktivitas yang dialami bersama dan serentak, menghasilkan suatu pemahaman sejati. Realitas yang bersifat kaotik dan kasar menjadi sebuah manifestasi, sebuah revalasi (penyingkapan). Fakta empiris, metafisik menjadi sebuah data, obyek, tuturan hidup, rigiditas, ekspresi. Ilmu-ilmu didasarkan pada hubungan antara pengalaman, ekspresi dan pemahaman. Dalam konteks itu, tampaknya pengalaman yang tak dapat diraba dalam dirinya sendiri, tak dapat ditangkap atau dikuasai, tetapi ia menampilkan sesuatu kepada kita, pencuatan: mengatakan sesuatu, perkataan/tuturan. Tujuan dari ilmu tidak lain adalah memahami logos, secara hakiki ilmu pengetahuan merupakan hermeneutik (penafsiran atas realitas). f. Koreksi terus menerus 24

25 Kalau fenomenologi harus menyempurnakan tugasnya, secara imperatif fenomenologi menuntut suatu koreksi terus-menerus oleh penyelidikan filologis (ilmu tentang manuskrip atau naskah kuno) dan arkeologis secara sadar. Fenomenologi harus selalu siap dikonfrontasikan dengan fakta-fakta material, dan ini berlangsung dalam interpretasi; berkutat dengan teks dan kemudian dengan fakta yang secara konkret termuat di dalamnya: sesuatu yang diterjemahkan dengan kata-kata lain. g. Obyektivitas Murni Prosedur yang seluruhnya dan kelihatannya rumit, pada akhirnya mempunyai tujuan ke obyektivitas murni. Fenomenologi berusaha untuk mencapai jalan masuk pada fakta-fakta; untuk ini fenomenologi membutuhkan makna, karena ia tidak dapat mengalami fakta sesuai dengan kesenangannya. Makna ini, murni obyektif. Artinya, semua reduksi, baik empiris, logis maupun metafisik tidak dapat dimasukkan. Fenomenologi memperlakukan semua peristiwa dengan cara yang sama dalam hubungan langsung dan serentak dengan Allah sehingga hasilnya tidak tergantung pada hasil darinya, tetapi pada eksistensinya sedemikian, pada dirinya sendiri. Dalam konteks ini, hanya satu keinginan 25

26 fenomenologi: memberi kesaksian pada apa yang telah ditunjukkan padanya. Hal ini dapat dilaksanakan dengan metode: Tidak langsung Pengalaman kedua mengenai peristiwa Rekonstruksi yang cermat Dalam konteks itu, fenomenologi dapat mengeluarkan semua kalangan demi mencapai keinginannya, yakni: memberi kesaksian. Melihat dari wajah ke wajah ditolak. Tetapi melihat dalam cermin dan sesuatu yang mungkin untuk berbicara mengenai benda yang dilihat. 26

27 BAGIAN II AGAMA DAN FENOMENOLOGI AGAMA 2.1. Pengantar Usia agama itu setua umur umat manusia. Dapat dipastikan bahwa tidak ada komunitas manusia yang hidup tanpa agama atau suatu kepercayaan tertentu kepada adanya Yang Mahatinggi, yang oleh agama monoteis disebut Allah atau Tuhan itu. Telah banyak definisi yang diberikan kepada agama. Ia dinalar baik dari segi etimologis, maupun dari segi esensi. Penalaran atas agama dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yakni vertikal dan horizontal. Semua definisi dan pendekatan dilihat dalam konteks fenomenologis. Maka definisi atas agama dapat beraneka ragam. Keanekaragaman definisi atas agama menunjukkan bahwa agama memang multi faset, sehingga cukup sulit dikemas dalam sebuah definisi yang baku dan seragam. Maka, apa pun definisi yang diberikan kepadanya, sebetulnya bermaksud untuk melukiskan secara lain tentang esensi yang sama dari agama-agama. 27

28 2.2. Definisi Agama Sebagai hal yang multi faset, agama (religio) cukup sulit dikemas dalam sebuah definisi tunggal. Setiap definisi atasnya menyajikan sebuah pemahaman tertentu saja tentang esensi yang sama. Dalam bahasa Latin, religio berarti perasaaan, yang tersatukan dengan rasa takut dan ragu dalam menjalankan kewajiban yang berhubungan dengan dewa-dewi. Supaya kita terbantu dalam memahami definisi agama, berikut akan diuraikan secara esensial dan etimologis. Secara esensial agama pada umumnya dipahami sebagai kumpulan keyakinan atau tindakan penyembahan yang menunjukkan hubungan dengan yang kudus dan hubungan dengan keilahian. Secara etimologis, definisi atas agama menjadi bahan diskusi. Terkait dengan etimologi agama terdapat dua kelompok yang berbeda pendapat mengenai akar kata agama yang dalam bahasa Latin disebut religio. Agustinus, Lattansius dan Servius mengatakan bahwa kata religio berasal dari kata RELIGARE (mengikat) dan reeligere, yang berarti memilih lagi. 19 Di sini agama dilihat sebagai suatu hubungan dengan 19 Heuken, A., ENSIKLOPEDI GEREJA, IA-G, hlm

29 kewajiban menjalankan praktik-praktik tertentu. Cicero berpendapat bahwa agama berasal dari kata dalam bahasa Latin relegere, (membaca kembali). Di sini agama memberi peluang kepada umatnya untuk melihat dengan penuh perhatian medan kehidupan (dievaluasi) dalam kaitannya dengan yang ilahi. Berdasarkan penelusuran secara etimologis di atas kita dapat menalar makna agama dalam tiga perspektif, yakni: mengikat, memilih dan membaca kembali. Pertama, religi merupakan cara (jalan yang selalu terbuka) untuk manusia mengikat lagi relasi yang sempat terputus dengan Allah karena keegoisan manusia. Manusia yang pernah melepaskan diri dari Allah diberi kesempatan untuk senantiasa kembali kepada-nya melalui religi. Kedua, agama bisa juga dimaknai sebagai wahana untuk manusia menentukan pilihan hidup secara tepat dan benar dalam konteks horizontal dalam rangka penghayatan relasi vertikal (dengan yang ilahi). Ketiga, agama juga diyakini sebagai institusi yang selalu memberikan ruang evaluasi untuk mengkritisi kembali lembaranlembaran pengalaman hidup dan berdasarkan itu pula dimungkinkan adanya rekonsiliasi untuk segala kekeliruan (dosa). Berdasarkan itu pula, agama bagaikan energi yang membebaskan manusia dari belenggu akibat tiranik tuntutan diri yang egois, 29

30 pongah, dan serakah. Manusia yang menyesali dosadosanya dan bertobat mendapat pengampunan Allah. Walaupun agama merupakan suatu institusi, tetapi ia perlu dibedakan dari institusi sosial yang lain. Pembedaan ini didasarkan pada ciri-ciri khusus yang ada pada agama. Ciri-ciri agama dapat dikenali melalui tiga hal, yakni: Pertama, pengikutnya menjalankan secara teratur ritus-ritus tertentu dan mengucapkan rumus-rumus tertentu untuk mengekspresikan keyakinan atas agama atau ajarannya. Kedua, iman (ungkapan iman) pada suatu nilai absolut (mutlak). Iman ini merupakan obyek yang dipertahankan oleh komunitas beragama. Ketiga, adanya kemungkinan (peluang) untuk individu (umat beriman) untuk menjalin relasi dengan satu kekuatan spiritual (ilahi, rohani) yang mengatasi manusia. Kekuatan spiritual itu diterima sebagai sesuatu yang memancar dan menyinari segala sudut semesta yang pada akhirnya memuncak dan bersatu dengan Allah Dua Pendekatan Untuk Memahami Agama Sebagai hal yang multi faset, agama perlu dipahami melalui dua pendekatan, yakni pendekatan horisontal (berlangsung mendatar dalam ranah 30

31 kehidupan) dan pendekatan vertikal (berlangsung dari atas ke bawah atau sebaliknya). Kita bisa mencoba memahami agama dari suatu bidang horisontal, yakni dari diri kita sendiri sebagai pusat (pengalaman manusia sebagai pribadi: sebab pengalaman agama tidak terlepas dengan pengalaman masing-masing pribadi). Kendati demikian, kita juga bisa memahami esensi agama sebagai anugerah pengertian yang hanya datang dari atas. Artinya berangkat dari inisiatif Allah kepada manusia. Dengan kata lain, kita bisa mengerti agama sebagai pengalaman yang bisa masuk akal karena anugerah dari Allah. Berbeda dari hal ini, kita juga dapat memandang agama dari perspektif wahyu sebagai hal yang tidak bisa dipahami secara tuntas. Secara relasi vertikal, pengalaman beragama sebetulnya bisa dipahami bahwa wahyu turun kepada manusia atas inisiatif Allah sendiri. Tetapi refleksi atas pengalaman tersebut sebagai sebuah tannggapan iman mentransformasikannya menjadi sebuah fenomen, meskipun wahyu pada dirinya sendiri bukanlah sebuah fenomen. Jawaban manusia kepada wahyu (pernyataan imannya) merupakan suatu fenomen. Dari fenomen ini secara tidak manusia langsung lantas menarik kesimpulan-kesimpulan atas wahyu. 31

32 a. Pendekatan Horizontal Telaah atas agama berdasarkan pendekatan horisontal dan vertikal menunjukkan bahwa agama secara implisit hendak menggarisbawahi kecenderungan manusia, yakni: manusia tidak begitu saja menerima hidup yang diberikan kepadanya. Seluas rentang hidup manusia ditandai oleh niat serius untuk mencari sang Kuasa. Manusia telah selalu berusaha menarik Sang Ilahi kepada hidupnya sendiri. Ia berusaha mengangkat hidup, meningkatkan nilainya, memberinya suatu makna lebih dalam dan lebih luas dalam kerangka keyakinannya akan yang Ilahi. Inilah yang disebut garis horisontal agama. Dengan cara ini insan beragama mengalami agama sebagai perluasan hidup kepada batasnya yang paling jauh. Agama rupanya memotivasi manusia untuk menggapai hidup yang lebih kaya, lebih dalam serta lebih luas. Dalam konteks itu, agama menjadi semacam instrumen suci untuk memenuhi hasrat abadi manusia, yakni memiliki keutuhan diri dengan Sang Daya (power) Ilahi yang kekal. Lantas, manusia yang tidak begitu saja menerima hidupnya apa adanya selalu berusaha mendekatkan dirinya pada Sang Kuasa agar ia menemukan suatu makna terdalam dari hidupnya. Dalam rangka itu, 32

33 manusia pun menata hidup ke dalam suatu keseluruhan yang bermakna. Proses demikian berlangsung secara evolutif hingga bermuara pada kebudayaan. Sebetulnya, upaya manusia yang abadi adalah mengejar makna hidup. Dalam rangka itu pula, manusia menebarkan gagasan dan kreasi yang dirajutnya secara sistematis agar dapat merengkuh hidup yang bermakna. Kreasi-kreasi manusia pun tampil dalam pelbagai variasi desain: karya seni baik yang bercorak religius dan non-religius, adat, ekonomi, pertanian (patung dari batu batu dan kayu, seperangkat perintah dan aturan sebagai rujukan hidup bersama, tanah garapan dari hutan belantara). Semuanya itu terjadi dalam rangka manusia mengembangkan daya, yang kian lama kian dalam dan luas. Maka agama menyiratkan kodrat manusia sebagai makhluk yang tak pernah puas. Seluruh rentang hidupnya diwarnai dengan pencarian akan makna hidup yang sejati. Manusia selalu menanyakan, mencari, dan berusaha menyimpulkan makna teraklhir yang merupakan dasar yang paling dalam Misalnya, meskipun manusia mengetahui bahwa sekuntum bunga indah dan menghasilkan buah, ia selalu terdorong untuk mencari dan menanyakan makna bunga yang lebih dalam dari bunga tersebut, makna yang terakhir. Bila ia tahu bahwa istrinya cantik; terampil bekerja dan dapat melahirkan keturunan atau bila ia memahami bahwa ia harus menghargai istri orang lain, 33

34 Oleh karena itu, makna religius dari segala sesuatu di muka bumi inj merupakan makna terakhir. Artinya, tidak ada lagi makna apa pun yang lebih dalam setelah makna religius sebab makna religius adalah makna dari suatu keseluruhan; makna terakhir. Sayangnya, makna religius ini tak pernah dimengerti secara tuntas. Ia merupakan suatu rahasia yang tak henti-hentinya menyingkapkan dirinya, namun terusmenerus lolos dari tangkapan inderawi manusia secara tuntas. Makna religius menyiratkan adanya suatu gerak maju ke arah batas terakhir, suatu batas di mana seluruh pengertian manusia dilampaui sehingga ia dengan sendirinya merupakan batas makna. Meskipun demikian, manusia beragama selalu berupaya menempuh jalan menuju suatu yang mahakuasa, yang kepadanya ia yakinkan dirinya untuk memperoleh suatu pengertian yang penuh akan makna terakhir. Manusia pun dengan senang hati mencoba menangkap hidup, untuk menguasainya. Oleh karena itu, manusia tak henti-hentinya mencari sebagaimana ia menginginkan orang lain menghargai istrinya, ia lalu terus mencari dan menanyakan makna terakhir istrinya. Dengan begitu ia menemukan rahasia bunga dan rahasia istri (wanita). Dan dengan begitu pula ia menemukan makna religius. Makna itu berangkat dari makna yang ada, makna yang paling mendasar. 34

35 keunggulan-keunggulan baru sebagai bukti bahwa ia mampu menguasai hidup ini. Upaya demikian berlangsung terus sampai pada akhirnya manusia berdiri pada batas terakhir dan ia memahami bahwa keunggulan terakhir tidak akan pernah ia gapai, tetapi keungulan terakhir itu menjamahnya secara misterius dan tak bisa dimengerti. Tuhan adalah keunggulan final hidup manusia. Agama memberi peluang lebar bagi manusia untuk terserap oleh keunggulan terakhir itu. b. Pendekatan Vertikal Bila pendekatan horisontal memahami agama bertolak dari pengalaman beragama manusia dalam bidang datar, pendekatan vertikal berusaha memahami agama dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah. Meski demikin, pendekatan ini tidak seperti pendekatan horisontal yang bertolak dari suatu pengalaman yang melintas di depan suatu batas. Pendekatan vertikal merupakan suatu wahyu, yang datang dari seberang batas itu. Pendekatan horisontal merupakan pengalaman yang tentunya merupakan suatu persiapan atau pratanda wahyu, tetapi tidak pernah sampai pada wahyu. Di lain pihak, pendekatan vertikal berangkat dari suatu wahyu, yang tidak 35

36 pernah dimengerti sepenuhnya kendati ia mengambil bagian dalam pengalaman. Pendekatan horisontal memang bukan suatu fenomen yang dapat di raba, tetapi lebih merupakan suatu fenomen yang dalam batas tertentu dapat dimengerti. Sementara pendekatan kedua (vertikal), sama sekali bukanlah fenomen dan tidak pernah bisa dicapai dan dimengerti. Maka, apa yang bisa kita peroleh dari pendekatan kedua secara fenomenologis hanyalah cerminannya dalam pengalaman. Tuhan tidak pernah bisa pahami dengan kemampuan intelektual belaka. Apa yang bisa kita pahami tentangnya hanyalah sebatas jawaban yang kita konsepsikan sendiri.pengertian kita tentang Tuhan hanyalah sebatas dunia yang kita alami saja. Maka upaya manusia dalam mencari yang ilahi, yang Kuasa dalam hidup tidak pernah mencapai batas. Dalam rentang pencariannya, ia sebatas menyadari bahwa dirinya bergerak menuju suatu wilayah yang sama sekali berbeda, sama sekali asing. Dalam pengertian ini, manusia yang sedang dalam perjalanan pencarian akan sang Kuasa itu memang berada dalam wilayah yang menawarkan suatu prospek tersingkapnya jarak tak terbatas itu kepadanya, tetapi ia juga serentak tahu bahwa perjalannanya itu dikitari oleh hal-hal yang sangat 36

37 mengagumkan dan jauh sekali. Ia menyadari kehadirsan sang Kuasa dan digenggam olehnya. Meskipun manusia sadar bahwa ia menuju wilayah yang menakutkan karena merupakan rumah Tuhan dan gerbang Surga, tetapi ia sungguh tahu pasti bahwa sesuatu menemuinya di jalan itu. Mungkin malaikat yang berjalan di depannya dan membimbingnya dengan aman: mungkin malaikat dengan pedang menyala yang melarangnya melewati jalan itu. Akan tetapi, yang pasti ialah bahwa sesuatu yang asing telah melintasi jalan itu dengan segala Kuasanya sendiri. Yang asing ini tidak mungkin di beri nama sebab tidak dijumpai di sepanjang jalan manusia sendiri. Rudolf Otto telah mengusulkan Yang Numinous, mungkin sekali karena ungkapan ini tidak mengatakan apa apa. Lagi-lagi unsur yang asing ini hanya bisa didekati lewat jalan negatif (per viam negationis: jauh lebih mudah untuk mengatakan Alah itu bukan ini-itu ketimbang berusaha membahasakannya bahwa ia adalah...). Lantas Rudolf Otto kembali mengajukan istilah yang tampaknya begitu netral, yakni: the wholly Other (Yang Lain Sama Sekali). Namun demikian, untuk yang asing ini agama-agama sendiri telah menciptakan istilah holy (kudus). Istilah Jermannya diambil dari Heil, penuh Kuasa ; bahasa 37

38 Latin, sanctus, dan ungkapan kuno, tabu punya arti dasariah terpisah, menyendiri. Semua istilah tadi adalah upaya untuk melukiskan pengalaman beragama sebagai: suatu Yang Lain Sama Sekali, asing, Sang Daya yang merasuki kehidupan. Sikap manusia terhadapnya pertama-tama adalah kagum dan bermuara pada pengakuan, penerimaan secara tulus dan ikhlas, yakni: iman Perpaduan Dua Pendekatan Kesimpulannya, batas keberdayaan manusia serta mulainya yang ilahi bersama-sama merupakan tujuan yang telah dicari dan ditemukan dalam agama segala zaman: keselamatan. Keselamatan ini mungkin saja peningkatan hidup, kemajuan, pengindahan, pendalaman, serta perluasan hidup. Tetapi dengan istilah keselamatan bisa juga dimaksudkan suatu hidup baru sepenuhnya, suatu penciptaan kehidupan baru yang telah diterima dari tempat lain. Akan tetapi, bagaimanapun juga, agama selalu diarahkan kepada keselamatan, tidak pernah kepada kehidupan sendiri sebagaimana sudah diberikan. Dan, dalam hal ini, semua agama tanpa kecuali merupakan agama keselamatan (pembebasan) Makna Konotatif Agama 38

39 Dilihat dari aspek substantifnya, agama memiliki makna konotatif, yakni: berisi seperangkat nilai dan norma, perintah dan larangan, nasihat dan anjuran, serta perumpamaan-perumpamaan didaktis. Semuanya itu dicakupkan sebagai suatu ajaran suci yang mampu mempertemukan manusia beriman dengan Tuhan yang diimaninya. Seperangkat ajaran suci itu membuka hati manusia beriman untuk mampu melihat tanda-tanda zaman dengan mata imannya secara teliti. Ia juga merupakan wadah dan sarana untuk meningkatkan rasa persatuan; solidaritas antar-ciptaan yang berskala sosio-kosmik, yakni kesadaran manusia bahwa segala sesuatu berakar di dalam dan dinaungi oleh satu Realitas absolut dan Agung, yang oleh manusia beriman disebut Allah. Religi juga menggugah kesadaran manusia akan panggilan hakikinya sebagai manusia, yakni menjadi sosok manusia yang humanum, meminjam istilah Hans Küng, yakni manusia yang merasa bahwa sesamanya adalah tanggungjawabnya juga. Manusia yang bersatu secara utuh dan penuh dengan Allah dan sesamanya dalam suasana penghayatan iman, pengharapan, dan kasih Küng, Hans, 1986, Christianity and the World Religions: Paths of Dialogue with Islam, Hinduism and Buddhism. Trans. Peter Heinegg. New York: Doubleday, hlm. xvi. 39

40 Dilihat dari aspek konotatifnya, istilah agama atau religi memuat penalaran secara dualistik terhadap realitas: ada tempat sakral dan ada tempat profan, ada roh baik dan roh jahat, halal dan haram, ada dunia nyata dan dunia gaib, ada surga dan ada neraka, ada Tuhan sebagai penguasa Surga dan ada setan sebagai penguasa neraka. Konotasi lainnya adalah pemikiran tentang yang suci, mistis, ilahi, tabu, pantang, puasa, berkat, dan rahmat, dll. Pemahaman religi atau agama seperti itu erat kaitannya dengan penghayatan iman seseorang berdasarkan ajaran-ajaran agamanya. Singkatnya, istilah religi atau agama tertuju pada sikap percaya dan pasrah kepada realitas transenden yang diyakini bisa hadir secara imanen dalam dan melalui aktifitas-aktifitas spiritual. Adanya Wujud Tertinggi dan kelompok manusia yang percaya kepada-nya sebagai penyangga kehidupan semua makhluk di alam semesta ini. Namun secara konotatif pula, istilah religi menyiratkan adanya sosok pribadi yang figuratif untuk diteladani karena taat dan saleh dalam mentaati ajaran agama, yang disebut sebagai manusia religius. Jadi, secara konotatif agama atau religi menghantar seseorang ke arah to be religious. Tolok ukurnya adalah mencintai Allah di atas segala-galanya 40

41 dan mencintai sesama manusia melalui perbuatan nyata: amal, bersedekah, pengampunan dan penerimaan dalam persaudaraan, (toleran dan solider), serta berkomitmen etis, aktif dan proaktif dalam memelihara lingkungan alam dalam praksis kehidupan Makna Kualitatif Agama Sebagai sistem kepercayaan, agama memiliki beberapa makna bagi kehidupan para penganutnya, yakni mengarahkan manusia pada kondisi hidup sanitas (kesehatan jiwa), integritas (keutuhan psikologis), unitas (keutuhan diri secara lahir dan batin, jasmani dan rohani), sosialitas (kebersamaan secara bertanggungjawab), dan eskatologis (keselamatan pada akhir jaman, akhirat). Berikut ini adalah deskripsi singkat atas makna-makna di atas. Pertama, Sanitas, dalam artian bahwa manusia mengalami kesehatan jiwa tatkala ia menghayati religinya. Jadi, bukan sebaliknya seperti yang ditegaskan oleh Sigmund Freud bahwa religi itu menyeret manusia ke arah sakit jiwa dan mental kekanak-kanakan. Kedua, Integritas, memuat makna bahwa berkat penghayatan di dalam nilai dan norma religi, manusia beriman dapat mengalami keutuhan psikis, tidak 41

42 dirobek-robek oleh konflik psikis dan sosial. Manusia: individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok sanggup hidup berdampingan secara damai, saling menghargai dan mengasihi sehingga terciptalah persatuan dan solidaritas atas dasar kesadaran kesamaan hak, martabat, dan derajat antar manusia. Ketiga, Unitas, memuat makna bahwa religi adalah sumber kekuatan yang menyatukan. Manusia bisa hidup dalam suasana penuh persatuan dan kedamaian dalam penghayatan religi yang benar atas dasar kesadaran bahwa poros dan sentral setiap religi adalah satu, yakni Allah. Di sini perbedaan pemahaman dan ajaran tentang Allah dipahami tidak sebagai sumber pertentangan dan masalah, melainkan sebagai kekayaan khazanah iman atau cakrawala iman dan pemahaman akan Allah sebagai sosok yang misterium. Aspek unitas ini merupakan peluang bagi penghargaan terhadap hak, harkat, dan martabat manusia secara sama. Pemahaman dalam kadar seperti itu membuka peluang lebar bagi suasana hidup yang diliputi oleh keadilan, kedamaian, dan kerukunan. Keempat, Sosialitas, artinya setiap manusia yang menghayati religi atau agamanya dengan benar akan memiliki kesadaran tinggi tentang keberadaan 42

MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL

MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL Oleh : Dr. Sri Trisnaningsih, SE, M.Si (Kaprogdi Akuntansi - FE) Pendahuluan Ilmu pengetahuan merupakan karya budi yang logis serta imajinatif,

Lebih terperinci

FILSAFAT SEJARAH BENEDETTO CROCE ( )

FILSAFAT SEJARAH BENEDETTO CROCE ( ) FILSAFAT SEJARAH BENEDETTO CROCE (1866-1952) Filsafat Sejarah Croce (1) Benedetto Croce (1866-1952), merupakan pemikir terkemuka dalam mazhab idealisme historis. Syafii Maarif mengidentifikasi empat doktrin

Lebih terperinci

EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme:

EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme: EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme: Filsafat eksistensialisme merupakan pemberontakan terhadap beberapa sifat dari filsafat tradisional dan masyarakat modern. Eksistensialisme suatu protes terhadap

Lebih terperinci

BAB IV. PENUTUP. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI,

BAB IV. PENUTUP. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI, BAB IV. PENUTUP 4. 1. Kesimpulan Pada bab-bab terdahulu, kita ketahui bahwa dalam konteks pencerahan, di dalamnya berbicara tentang estetika dan logika, merupakan sesuatu yang saling berhubungan, estetika

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Debus, berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, merupakan suatu bentuk seni dan budaya yang menampilkan peragaan kekebalan tubuh seseorang terhadap api dan segala bentuk

Lebih terperinci

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL Oleh : Erna Karim DEFINISI AGAMA MENGUNDANG PERDEBATAN POLEMIK (Ilmu Filsafat Agama, Teologi, Sosiologi, Antropologi, dan Ilmu Perbandingan Agama) TIDAK ADA DEFINISI AGAMA YANG

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Filsafat Perennial menurut Smith mengandung kajian yang bersifat, pertama, metafisika yang mengupas tentang wujud (Being/On) yang

BAB V PENUTUP. 1. Filsafat Perennial menurut Smith mengandung kajian yang bersifat, pertama, metafisika yang mengupas tentang wujud (Being/On) yang 220 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dari bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa krisis spiritual manusia modern dalam perspektif filsafat Perennial Huston Smith dapat dilihat dalam tiga

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. esensialisme, pusat perhatiannya adalah situasi manusia. 1. Beberapa ciri dalam eksistensialisme, diantaranya: 2

BAB II KAJIAN TEORI. esensialisme, pusat perhatiannya adalah situasi manusia. 1. Beberapa ciri dalam eksistensialisme, diantaranya: 2 BAB II KAJIAN TEORI A. Teori Eksistensi Soren Kierkegaard Eksistensialisme secara etimologi yakni berasal dari kata eksistensi, dari bahasa latin existere yang berarti muncul, ada, timbul, memilih keberadaan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

BAB V PENUTUP. A. Simpulan BAB V PENUTUP A. Simpulan Dari keseluruhan kajian mengenai pemikiran Kiai Ṣāliḥ tentang etika belajar pada bab-bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan penting, terutama mengenai konstruksi pemikiran

Lebih terperinci

Modul ke: Materi Penutup. Fakultas PSIKOLOGI. Cathrin, M.Phil. Program Studi Psikologi

Modul ke: Materi Penutup. Fakultas PSIKOLOGI. Cathrin, M.Phil. Program Studi Psikologi Modul ke: 12 Shely Fakultas PSIKOLOGI Materi Penutup Cathrin, M.Phil Program Studi Psikologi Pokok Bahasan Abstract Rangkuman Perkuliahan Filsafat Manusia Kompetensi Mahasiswa dapat memahami mengenai manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial yang berlaku dan berlangsung

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan Kamus Besar

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan Kamus Besar BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah unsur penelitian yang amat mendasar dan menentukan arah pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan

Lebih terperinci

Sebuah sarana atau definisi tentang alam semesta yang diterjemahkan ke dalam Bahasa yang bisa dimengerti manusia sebagai usaha untuk mengetahui dan

Sebuah sarana atau definisi tentang alam semesta yang diterjemahkan ke dalam Bahasa yang bisa dimengerti manusia sebagai usaha untuk mengetahui dan Subjudul Sebuah sarana atau definisi tentang alam semesta yang diterjemahkan ke dalam Bahasa yang bisa dimengerti manusia sebagai usaha untuk mengetahui dan mengingat tentang sesuatu. Sesuatu yang didapat

Lebih terperinci

FILSAFAT MANUSIA LANDASAN KOMUNIKASI MANUSIA & BAHASA. Ahmad Sabir, M. Phil. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi PSIKOLOGI

FILSAFAT MANUSIA LANDASAN KOMUNIKASI MANUSIA & BAHASA. Ahmad Sabir, M. Phil. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi PSIKOLOGI Modul ke: FILSAFAT MANUSIA LANDASAN KOMUNIKASI MANUSIA & BAHASA Fakultas PSIKOLOGI Ahmad Sabir, M. Phil. Program Studi PSIKOLOGI www.mercubuana.ac.id Defenisi Eksistensialisme Secara etimologis eksistensialisme

Lebih terperinci

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah BAB I Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah satunya karena Indonesia berdasar pada Pancasila, dan butir sila pertamanya adalah Ketuhanan

Lebih terperinci

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN Pada umumnya manusia dilahirkan seorang diri. Namun demikian, mengapa manusia harus hidup bermasyarakat. Manusia tanpa manusia lainnya pasti akan mati. Bayi misalnya,

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan 533 BAB VI KESIMPULAN A. Kesimpulan Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan sebagai landasan relasi manusia-tuhan-alam semesta.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

EPISTEMOLOGI MODERN DALAM TRADISI BARAT DAN TIMUR

EPISTEMOLOGI MODERN DALAM TRADISI BARAT DAN TIMUR EPISTEMOLOGI MODERN DALAM TRADISI BARAT DAN TIMUR Dr. Sri Trisnaningsih, SE, M.Si Ketua Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi UPN Veteran Jawa Timur Pengantar Epistemologi merupakan ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

BAB II AGAMA DALAM PRESPEKTIF FILOSOFIS

BAB II AGAMA DALAM PRESPEKTIF FILOSOFIS 21 BAB II AGAMA DALAM PRESPEKTIF FILOSOFIS A. Profan dan Sakral 1. Pengertian Profan dan Sakral Profan adalah sesuatu yang biasa, yang bersifat umum dan dianggap tidak penting. Sedangakan sakral adalah

Lebih terperinci

ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI

ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI Modul ke: Pokok Bahasan : PENGANTAR BIDANG FILSAFAT Fakultas Fakultas Ilmu Komunikasi Yogi Prima Muda, S.Pd, M.Ikom Program Studi (Marcomm) www.mercubuana.ac.id MENGAPA HARUS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Amin Abdullah, studi mengenai agama-agama ini bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Amin Abdullah, studi mengenai agama-agama ini bertujuan untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang Permasalahan Pada akhir abad 19, mulai berkembang sebuah disiplin ilmu baru yang terpisah dari disiplin ilmu lainnya. Pada awal perkembangannya ilmu

Lebih terperinci

25. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DAN BUDI PEKERTI SD

25. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DAN BUDI PEKERTI SD 25. KOMPETENSI INTI DAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DAN BUDI PEKERTI SD KELAS: I 1. menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya 1.1 menerima dan mensyukuri dirinya sebagai ciptaan 1.2 menerima dan

Lebih terperinci

KE ARAH PEMIKIRAN FILSAFAT

KE ARAH PEMIKIRAN FILSAFAT KE ARAH PEMIKIRAN FILSAFAT Prof. Dr. Almasdi Syahza,, SE., MP Peneliti Senior Universitas Riau Email : asyahza@yahoo.co.id syahza.almasdi@gmail.com Website : http://almasdi.staff.unri.ac.id Pengertian

Lebih terperinci

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan 5.1. Kesimpulan B A B V P E N U T U P Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan umum bahwa integrasi sosial dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan konstruksi makna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Pengertian Filsafat dan Filsafat Ketuhanan

BAB I PENDAHULUAN A. Pengertian Filsafat dan Filsafat Ketuhanan BAB I PENDAHULUAN A. Pengertian Filsafat dan Filsafat Ketuhanan Filsafat merupakan disiplin ilmu yang terkait dengan masalah kebijaksanaan. Hal yang ideal bagi hidup manusia adalah ketika manusia berpikir

Lebih terperinci

Filsafat Ilmu dalam Perspektif Studi Islam Oleh: Maman Suratman

Filsafat Ilmu dalam Perspektif Studi Islam Oleh: Maman Suratman Filsafat Ilmu dalam Perspektif Studi Islam Oleh: Maman Suratman Berbicara mengenai filsafat, yang perlu diketahui terlebih dahulu bahwa filsafat adalah induk dari segala disiplin ilmu pengetahuan yang

Lebih terperinci

ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK: FILSAFAT, TEORI DAN METODOLOGI

ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK: FILSAFAT, TEORI DAN METODOLOGI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK: FILSAFAT, TEORI DAN METODOLOGI Oleh NIM : Boni Andika : 10/296364/SP/23830 Tulisan ini berbentuk critical review dari Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Filsafat, Teori dan Metodologi

Lebih terperinci

PARADIGMA POSITIVISTIK DALAM PENELITIAN SOSIAL

PARADIGMA POSITIVISTIK DALAM PENELITIAN SOSIAL PARADIGMA POSITIVISTIK DALAM PENELITIAN SOSIAL Memahami Paradigma positivistik (fakta sosial) menganggap realitas itu sebagai sesuatu yang empiris atau benar-benar nyata dan dapat diobservasi. Dalam meneliti,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI,2009

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI,2009 BAB I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar belakang Berangkat dari sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa Estetika sebagai logika, mengantarkan saya untuk mencoba mendalami dan menelusuri tentang keduanya, serta

Lebih terperinci

A. Dari segi metodologi:

A. Dari segi metodologi: Lampiran 1 UNSUR-UNSUR PEMBEDA ANTARA DENGAN SEBAGAI BAGIAN DARI RUMPUN ILMU HUMANIORA UNSUR Cakupan Ilmu dan Kurikulum Rumpun Ilmu Agama merupakan rumpun Ilmu Pengetahuan yang mengkaji keyakinan tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Permasalahan. I.1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Permasalahan. I.1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Permasalahan I.1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia memiliki pengalaman dalam kehidupannya yang dihasilkan melalui perjumpaan dengan berbagai peristiwa. Perjumpaan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN A. Objek Bahasan 1. Objek materi Filsafat Indonesia ialah kebudayaan bangsa. Menurut penjelasan UUD 1945 pasal 32, kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang

Lebih terperinci

BAB IV PANDANGAN WARGA JEMAAT GBI BANDUNGAN TERHADAP PSK BANDUNGAN. A. Pandangan Warga Jemaat GBI Bandungan Terhadap PSK Bandungan

BAB IV PANDANGAN WARGA JEMAAT GBI BANDUNGAN TERHADAP PSK BANDUNGAN. A. Pandangan Warga Jemaat GBI Bandungan Terhadap PSK Bandungan BAB IV PANDANGAN WARGA JEMAAT GBI BANDUNGAN TERHADAP PSK BANDUNGAN A. Pandangan Warga Jemaat GBI Bandungan Terhadap PSK Bandungan Pada Bab II telah dijelaskan bahwa cara pandang Jemaat Gereja terhadap

Lebih terperinci

FILSAFAT UNTUK PSIKOLOGI

FILSAFAT UNTUK PSIKOLOGI Nama Mata Kuliah Modul ke: FILSAFAT UNTUK PSIKOLOGI Fakultas Fakultas Psikologi Masyhar, MA Program Studi Program Studi www.mercubuana.ac.id Posisi Filsafat dalam ilmu-ilmu 1) Filsafat dapat menyumbang

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut terdapat dalam poin-poin berikut:

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut terdapat dalam poin-poin berikut: BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Uraian akhir dari analisa atas pemikiran Frithjof Schuon tentang makna agama dalam perspektif Filsafat Agama adalah bagian kesimpulan, yang merupakan rangkuman jawaban atas

Lebih terperinci

KAJIAN ILMIAH TERHADAP PANCASILA

KAJIAN ILMIAH TERHADAP PANCASILA KAJIAN ILMIAH TERHADAP PANCASILA Pertemuan ke 4 suranto@uny.ac.id 1 Pengetahuan, Ilmu Empiris, dan Filsafat Manusia adalah makhluk berpikir (animal rationale). Dengan kemampuan pikirnya, manusia memiliki

Lebih terperinci

Estetika Desain. Oleh: Wisnu Adisukma. Seni ternyata tidak selalu identik dengan keindahan. Argumen

Estetika Desain. Oleh: Wisnu Adisukma. Seni ternyata tidak selalu identik dengan keindahan. Argumen Estetika Desain Oleh: Wisnu Adisukma Seni ternyata tidak selalu identik dengan keindahan. Argumen inilah yang seringkali muncul ketika seseorang melihat sebuah karya seni. Mungkin karena tidak memahami

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. manusia dan media. Baudrillard banyak mengkaji tentang fenomena media,

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. manusia dan media. Baudrillard banyak mengkaji tentang fenomena media, 1 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Pemikiran Baudrillard mendasarkan diri pada beberapa asumsi hubungan manusia dan media. Baudrillard banyak mengkaji tentang fenomena media, terutama peran media elektronik

Lebih terperinci

STRUKTUR KURIKULUM 2013 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA DAN SMK/MAK

STRUKTUR KURIKULUM 2013 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA DAN SMK/MAK A. SD/MI KELAS: I STRUKTUR KURIKULUM 2013 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA DAN SMK/MAK Kompetensi Dasar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 1. Menerima

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke-

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada abad pencerahan (Aufklarung) telah membawa sikap kritis atas metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke- 19) di Jerman,

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia tak dapat dilepaskan dari spiritualitas. Spiritualitas melekat dalam diri setiap manusia dan merupakan ekspresi iman kepada Sang Ilahi. Sisi spiritualitas

Lebih terperinci

MENYANGKAL TUHAN KARENA KEJAHATAN DAN PENDERITAAN? Ikhtiar-Filsafati Menjawab Masalah Teodise M. Subhi-Ibrahim

MENYANGKAL TUHAN KARENA KEJAHATAN DAN PENDERITAAN? Ikhtiar-Filsafati Menjawab Masalah Teodise M. Subhi-Ibrahim MENYANGKAL TUHAN KARENA KEJAHATAN DAN PENDERITAAN? Ikhtiar-Filsafati Menjawab Masalah Teodise M. Subhi-Ibrahim Jika Tuhan itu ada, Mahabaik, dan Mahakuasa, maka mengapa membiarkan datangnya kejahatan?

Lebih terperinci

Filsafat Islam قولية كونية. Wahyu. Para Rasul. Alam. Akal Manusia. Problem Filsafat Islam tentang tuhan: Bentuk Aktifitas Manusia. Aktivitas Kehidupan

Filsafat Islam قولية كونية. Wahyu. Para Rasul. Alam. Akal Manusia. Problem Filsafat Islam tentang tuhan: Bentuk Aktifitas Manusia. Aktivitas Kehidupan Problem Filsafat Islam tentang tuhan: Bentuk Aktifitas Manusia هللا Wahyu كونية قولية Para Rasul Alam Akal Manusia Aktivitas Kehidupan 1 pg. Filsafat Islam Problem Tuhan berpisah dengan alam Tuhan bersatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ritual merupakan suatu proses pelaksanaan tradisi. Meskipun sudah ada ritual tanpa mitos-mitos dalam beberapa periode jaman kuno. Dalam tingkah laku manusia,

Lebih terperinci

Filsafat Manusia. Sosialitas Manusia. Cathrin, M.Phil. Modul ke: 03Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

Filsafat Manusia. Sosialitas Manusia. Cathrin, M.Phil. Modul ke: 03Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi Modul ke: 03Fakultas Shely PSIKOLOGI Filsafat Manusia Sosialitas Manusia Cathrin, M.Phil Program Studi Psikologi Pokok Bahasan Abstract Membahas mengenai sosialitas manusia menurut pemikiran filsuf mengenai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai apakah makna

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai apakah makna BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai apakah makna TJQ gaya-chen bagi seorang master TJQ dan bagaimana pemaknaan TJQ tersebut berimplikasi dalam

Lebih terperinci

Diterjemahkan oleh K.J. Veeger, (Jakarta: Gramedia, 1998), hlm Zainal, Abidin, Filsafat Manusia, (Jakarta: Rosda Karya, 2003), hlm.

Diterjemahkan oleh K.J. Veeger, (Jakarta: Gramedia, 1998), hlm Zainal, Abidin, Filsafat Manusia, (Jakarta: Rosda Karya, 2003), hlm. Filsafat Antropologi 1 Filsafat antropologi merupakan salah satu cabang dari filsafat teoritika. Selain itu filsafat antropologi juga dapat disebut sebagai ilmu. Palmquis memahami bahwa filsafat mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Melihat dan mengalami fenomena kehidupan konkrit manusia di jaman

BAB I PENDAHULUAN. Melihat dan mengalami fenomena kehidupan konkrit manusia di jaman BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Melihat dan mengalami fenomena kehidupan konkrit manusia di jaman modern sangat sulit untuk menemukan sebuah kehadiran dan relasi yang bermakna. Karena, perjumpaan

Lebih terperinci

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU RESENSI BUKU JUDUL BUKU : Cultural Studies; Teori dan Praktik PENULIS : Chris Barker PENERBIT : Kreasi Wacana, Yogyakarta CETAKAN : Ke-IV, Mei 2008 TEBAL BUKU : xxvi + 470 halaman PENINJAU : Petrus B J

Lebih terperinci

Sek Se i k las tentang te filsafat Hendri Koeswara

Sek Se i k las tentang te filsafat Hendri Koeswara Sekilas tentang filsafat Hendri Koeswara Pengertian ilmu filsafat 1. Etimologi Falsafah (arab),philosophy (inggris), berasal dari bahasa yunani philo-sophia, philein:cinta(love) dan sophia: kebijaksanaan(wisdom)

Lebih terperinci

Rahasia Alkitab. "Dapatkah engkau menemukan Allah"

Rahasia Alkitab. Dapatkah engkau menemukan Allah Rahasia Alkitab "Dapatkah engkau menemukan Allah" Pengetahuan Tentang ALLAH adalah Rahasia Tidak ada pikiran fana yang dapat memahami sepenuhnya akan tabiat atau hasil karya Yang Maha Kekal. Dengan mencari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni yang merekam kembali alam kehidupan, akan tetapi yang memperbincangkan kembali lewat suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. teks yang isinya berbagai jenis, baik berupa ide, gagasan, pemikiran suatu tokoh

BAB I PENDAHULUAN. teks yang isinya berbagai jenis, baik berupa ide, gagasan, pemikiran suatu tokoh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Novel merupakan salah satu jenis media dimana penyampaianya berupa teks yang isinya berbagai jenis, baik berupa ide, gagasan, pemikiran suatu tokoh tertentu ataupun

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia selalu diperhadapkan dengan berbagai keragaman, baik itu agama, sosial, ekonomi dan budaya. Jika diruntut maka banyak sekali keragaman yang

Lebih terperinci

Filsafat Manusia. Manusia Sebagai Persona. Cathrin, M.Phil. Modul ke: 05Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

Filsafat Manusia. Manusia Sebagai Persona. Cathrin, M.Phil. Modul ke: 05Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi Modul ke: 05Fakultas Shely PSIKOLOGI Filsafat Manusia Manusia Sebagai Persona Cathrin, M.Phil Program Studi Psikologi Pokok Bahasan Abstract Membahas mengenai manusia sebagai persona Kompetensi Mahasiswa

Lebih terperinci

Tinjauan Ilmu Penyuluhan dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Tinjauan Ilmu Penyuluhan dalam Perspektif Filsafat Ilmu Tinjauan Ilmu Penyuluhan dalam Perspektif Filsafat Ilmu Oleh : Agustina Abdullah *) Arti dan Pentingnya Filsafat Ilmu Manusia mempunyai seperangkat pengetahuan yang bisa membedakan antara benar dan salah,

Lebih terperinci

FILSAFAT PENGANTAR TERMINOLOGI

FILSAFAT PENGANTAR TERMINOLOGI FILSAFAT PENGANTAR Kata-kata filsafat, filosofi, filosofis, filsuf, falsafi bertebaran di sekeliling kita. Apakah pemakaiannya dalam kalimat-kalimat sudah tepat atau sesuai dengan arti yang dimilikinya,

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari.

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari. 1 Bab I Pendahuluan Latar Belakang Masalah Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari. Dorongan beragama merupakan dorongan psikis yang merupakan landasan ilmiah dalam

Lebih terperinci

Kesalahan Umum Penulisan Disertasi. (Sebuah Pengalaman Empirik)

Kesalahan Umum Penulisan Disertasi. (Sebuah Pengalaman Empirik) Kesalahan Umum Penulisan Disertasi (Sebuah Pengalaman Empirik) Setelah membimbing dan menguji disertasi di sejumlah perguruan tinggi selama ini, saya memperoleh kesan dan pengalaman menarik berupa kesalahan-kesalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bentuk realita dari hasil imajinasi dan pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana ekspresi pengarang saja,

Lebih terperinci

MATERI 6 BENTUK DAN FUNGSI LEMBAGA SOSIAL

MATERI 6 BENTUK DAN FUNGSI LEMBAGA SOSIAL MATERI 6 BENTUK DAN FUNGSI LEMBAGA SOSIAL 1. Bentuk dan Fungsi Lembaga Sosial Pada dasarnya, fungsi lembaga sosial dalam masyarakat beraneka macam berdasarkan jenis-jenis lembaganya. Oleh karena itu, kita

Lebih terperinci

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN Imam Gunawan PERENIALISME Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad 20. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman senantiasa memberikan perubahan yang cukup besar pada diri manusia. Perubahan yang cukup signifikan pada diri manusia adalah gaya hidup (lifestyle).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengarang ingin menyampaikan nilai-nilai hidup kepada pembaca, karena pada

BAB I PENDAHULUAN. pengarang ingin menyampaikan nilai-nilai hidup kepada pembaca, karena pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Nurgiyantoro (2012:70) dalam penciptaan sebuah karya sastra, pengarang ingin menyampaikan nilai-nilai hidup kepada pembaca, karena pada hakekatnya pengarang

Lebih terperinci

Pertemuan 1 NISBAH (RELASI DAN RELEVANSI) ANTARA ILMU FILSAFAT DAN AGAMA

Pertemuan 1 NISBAH (RELASI DAN RELEVANSI) ANTARA ILMU FILSAFAT DAN AGAMA 1 Pertemuan 1 NISBAH (RELASI DAN RELEVANSI) ANTARA ILMU FILSAFAT DAN AGAMA A. Institusi Kebenaran Manusia merupakan makhluk yang senantiasa menunjukkan eksistensinyan dengan terus berupaya mencari kebenaran.

Lebih terperinci

otaknya pasti berbeda bila dibandingkan dengan otak orang dewasa. Tetapi esensi otak manusia tetap ada pada otak bayi itu, sehingga tidak pernah ada

otaknya pasti berbeda bila dibandingkan dengan otak orang dewasa. Tetapi esensi otak manusia tetap ada pada otak bayi itu, sehingga tidak pernah ada KESIMPULAN UMUM 303 Setelah pembahasan dengan menggunakan metode tiga telaah, deskriptif-konseptual-normatif, pada bagian akhir ini, akan disampaikan kesimpulan akhir. Tujuannya adalah untuk menyajikan

Lebih terperinci

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah Tinjauan Buku STUDYING CHRISTIAN SPIRITUALITY Jusuf Nikolas Anamofa janamofa@yahoo.com Judul Buku : Studying Christian Spirituality Penulis : David B. Perrin Tahun Terbit : 2007 Penerbit : Routledge -

Lebih terperinci

RESPONS - DESEMBER 2009

RESPONS - DESEMBER 2009 Judul : Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme Penulis : Kasdin Sihotang Penerbit : Kanisius, Yogyakarta, 2009 Tebal : 166 halaman Harga : Rp 35.000 Tiada makhluk yang lebih paradoksal selain

Lebih terperinci

BAB IV IMPLEMENTASI KONSEP MANUSIA MENURUT PANDANGAN PLATO DENGAN AJARAN ISLAM

BAB IV IMPLEMENTASI KONSEP MANUSIA MENURUT PANDANGAN PLATO DENGAN AJARAN ISLAM BAB IV IMPLEMENTASI KONSEP MANUSIA MENURUT PANDANGAN PLATO DENGAN AJARAN ISLAM Landasan berfikir, zaman, dan tempat yang berbeda secara tidak langsung akan menimbulkan perbedaan, walaupun dalam pembahasan

Lebih terperinci

DUA MACAM PANDANGAN KEINDAHAN DALAM KARYA SENI

DUA MACAM PANDANGAN KEINDAHAN DALAM KARYA SENI DUA MACAM PANDANGAN KEINDAHAN DALAM KARYA SENI Keindahan dalam karya seni merupakan suatu keharusan. Dengan kata lain keindahan melekat dan berpadu, atau bersifat inherent dalam karya seni. Dalam upaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Clarry Sadadalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Clarry Sadadalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nilai-Nilai Kemanusiaan Menurut Clarry Sadadalam http://jhv.sagepub.com&http://www.globalresearch. ca/index.php?contex =view Article)nilai adalah ide atau gagasan, konsep seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi dilengkapi dengan perangkat lain yang menunjang segala kehidupan makhluk- Nya di muka bumi.

Lebih terperinci

Bentuk dasar pengetahuan ada dua: 1. Bentuk pengetahuan mengetahui demi mengetahui saja, dan untuk menikmati pengetahuan itu demi memuaskan hati

Bentuk dasar pengetahuan ada dua: 1. Bentuk pengetahuan mengetahui demi mengetahui saja, dan untuk menikmati pengetahuan itu demi memuaskan hati Bentuk Dasar Pengetahuan Bentuk dasar pengetahuan ada dua: 1. Bentuk pengetahuan mengetahui demi mengetahui saja, dan untuk menikmati pengetahuan itu demi memuaskan hati manusia 2. Bentuk pengetahuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan jabaran dari kehidupan yang terjadi di muka bumi ini. Sastra merupakan salah satu seni yang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi

BAB V KESIMPULAN. serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi 128 BAB V KESIMPULAN Seksualitas merupakan bagian penting yang diperlukan dalam pemenuhan kebutuhan biologis seorang napi. Berada dalam situasi dan kondisi penjara yang serba terbatas, dengan konsep pemisahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah menciptakan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki kesempurnaan lebih dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dalam al-quran, Allah berfirman:

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. mempunyai objek kajian sebagaimana dijelaskan Wolff dibagi menjadi 3

BAB VI PENUTUP. mempunyai objek kajian sebagaimana dijelaskan Wolff dibagi menjadi 3 342 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan bab demi bab di atas, maka dapat penulis simpulkan: 1. Metafisika merupakan proto philosophy atau filsafat utama yang membahas segala sesuatu yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Melalui perjalanan panjang sejarah, seni sebagai bidang khusus dalam pemahamannya telah mengalami banyak perubahan.

BAB I PENDAHULUAN. Melalui perjalanan panjang sejarah, seni sebagai bidang khusus dalam pemahamannya telah mengalami banyak perubahan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Memahami Seni Melalui perjalanan panjang sejarah, seni sebagai bidang khusus dalam pemahamannya telah mengalami banyak perubahan. Pada awalnya seni dipandang

Lebih terperinci

FILSAFAT????? Irnin Agustina D.A, M.Pd

FILSAFAT????? Irnin Agustina D.A, M.Pd FILSAFAT????? am_nien@yahoo.co.id PENGERTIAN FILSAFAT SECARA ETIMOLOGI Istilah filsafat yang merupakan terjemahan dari philolophy (bahasa Inggris) berasal dari bahasa Yunani philo (love of ) dan sophia

Lebih terperinci

Mata Kuliah Persepsi Bentuk

Mata Kuliah Persepsi Bentuk Modul ke: Mata Kuliah Persepsi Bentuk Pertemuan 11 Fakultas FDSK Nina Maftukha, S.Pd., M.Sn Program Studi Desain Produk www.mercubuana.ac.id IDE Dalam dunia seni rupa umumnya dikenal ada dua struktur,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Manusia terlahir dibumi telah memiliki penyesuaian terhadap lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Manusia terlahir dibumi telah memiliki penyesuaian terhadap lingkungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Manusia terlahir dibumi telah memiliki penyesuaian terhadap lingkungan baik secara jasmani maupun rohani dimana kita lahir secara turun-temurun, membawa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dikenal sebagai seorang raja Kediri yang hebat, tetapi juga dikenal dengan

BAB II KAJIAN TEORI. dikenal sebagai seorang raja Kediri yang hebat, tetapi juga dikenal dengan 28 BAB II KAJIAN TEORI A. Petilasan Sri Aji Jayabaya Petilasan Jayabaya merupakan warisan zaman dahulu yang selalu didatangi oleh banyak orang, terlebih dari berbagai daerah di Indonesia. Jayabaya tidak

Lebih terperinci

TEORISASI DAN STRATEGI PENDIDIKAN ISLAM Oleh : Fahrudin

TEORISASI DAN STRATEGI PENDIDIKAN ISLAM Oleh : Fahrudin A. Pendahuluan TEORISASI DAN STRATEGI PENDIDIKAN ISLAM --------------------------------------------------------------------- Oleh : Fahrudin Tujuan agama Islam diturunkan Allah kepada manusia melalui utusan-nya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia tidak cukup dengan tumbuh dan berkembang akan tetapi. dilakukan dengan proses pendidikan. Manusia sebagai makhluk sosial

BAB I PENDAHULUAN. manusia tidak cukup dengan tumbuh dan berkembang akan tetapi. dilakukan dengan proses pendidikan. Manusia sebagai makhluk sosial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan masalah yang sangat penting bagi manusia, karena pendidikan akan menentukan kelangsungan hidup manusia. Seorang manusia tidak cukup dengan tumbuh

Lebih terperinci

SEMIOTIKA ISLAM Oleh Nurcholish Madjid

SEMIOTIKA ISLAM Oleh Nurcholish Madjid c Demokrasi Lewat Bacaan d SEMIOTIKA ISLAM Oleh Nurcholish Madjid Karen Armstrong, dalam bukunya yang sangat terkenal, A History of God (1993), mengungkapkan sebuah kenyataan bahwa dari antara banyak agama,

Lebih terperinci

FILSAFAT ILMU DAN METODE FILSAFAT. H. SyahrialSyarbaini, MA. Modul ke: 04Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

FILSAFAT ILMU DAN METODE FILSAFAT. H. SyahrialSyarbaini, MA. Modul ke: 04Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi FILSAFAT ILMU DAN LOGIKA Modul ke: 04Fakultas Dr. PSIKOLOGI METODE FILSAFAT H. SyahrialSyarbaini, MA. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Metode Filsafat Metode Zeno: reduction ad absurdum Metode

Lebih terperinci

PENDEKATAN ILMIAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MADRASAH IBTIDAIYAH (Studi Analisis Desain Strategi Pendidikan Agama Islam)

PENDEKATAN ILMIAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MADRASAH IBTIDAIYAH (Studi Analisis Desain Strategi Pendidikan Agama Islam) PENDEKATAN ILMIAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MADRASAH IBTIDAIYAH (Studi Analisis Desain Strategi Pendidikan Agama Islam) Oleh: Muhamad Fatih Rusydi Syadzili I Pendidikan esensinya bukan sebagai sarana transfer

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun nilai- nilai ajaran

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAB Latar Belakang

PENDAHULUAN BAB Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Penyelidikan filsafat selama ini adalah penyelidikan mengenai kegundahan manusia terhadap keberadaan dirinya secara internal dengan dunia eksternal di luar dirinya.

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS TENTANG KEPARIWISATAAN KEBUDAYAAN

BAB II URAIAN TEORITIS TENTANG KEPARIWISATAAN KEBUDAYAAN BAB II URAIAN TEORITIS TENTANG KEPARIWISATAAN KEBUDAYAAN 2.1 Uraina Tentang Seni Kata seni berasal dari kata "SANI" yang kurang lebih artinya "Jiwa Yang Luhur/ Ketulusan jiwa". Menurut kajian ilmu di eropa

Lebih terperinci

The Elements of Philosophy of Science and Its Christian Response (Realism-Anti-Realism Debate) Rudi Zalukhu, M.Th

The Elements of Philosophy of Science and Its Christian Response (Realism-Anti-Realism Debate) Rudi Zalukhu, M.Th The Elements of Philosophy of Science and Its Christian Response (Realism-Anti-Realism Debate) Rudi Zalukhu, M.Th BGA : Kel. 14:15-31 Ke: 1 2 3 APA YANG KUBACA? (Observasi: Tokoh, Peristiwa) APA YANG KUDAPAT?

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. masyarakat itu sendiri. Akan tetapi, masyarakat itu sangatlah kompleks. Untuk menjadikan

BAB II LANDASAN TEORI. masyarakat itu sendiri. Akan tetapi, masyarakat itu sangatlah kompleks. Untuk menjadikan BAB II LANDASAN TEORI Eksistensi dari karya sastra di tengah masyarakat tidak lepas dari pengakuan masyarakat itu sendiri. Akan tetapi, masyarakat itu sangatlah kompleks. Untuk menjadikan karya sastra

Lebih terperinci

إحياء العربية : السنة الثالثة العدد 1 يناير -

إحياء العربية : السنة الثالثة العدد 1 يناير - HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU JIWA AGAMA Apriliana Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Hikmah Medan Abstrak Penelitian hubungan tasauf dengan ilmu jiwa agama merupakan penelitian yang bertujuan untuk:

Lebih terperinci

CONTOH BAHAN AJAR. A. TOPIK : PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP SOSIOLOGI AGAMA

CONTOH BAHAN AJAR. A. TOPIK : PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP SOSIOLOGI AGAMA CONTOH BAHAN AJAR A. TOPIK : PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP SOSIOLOGI AGAMA 1. Pengantar Pemahaman Sosiologi tentang masyarakat bagaimanapun juga dalamnya dan detailnya tidak akan lengkat tanpa mengikut

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologis psikologi berasal dari bahasa Yunani Psyche dan logos.

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologis psikologi berasal dari bahasa Yunani Psyche dan logos. 7 BAB II LANDASAN TEORI E. Pengertian Psikologi Secara etimologis psikologi berasal dari bahasa Yunani Psyche dan logos. Psyche artinya jiwa dan logos berarti ilmu. Dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang bermartabat. Sebagai makhluk yang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang bermartabat. Sebagai makhluk yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang bermartabat. Sebagai makhluk yang bermartabat, manusia memiliki di dalam dirinya akal budi, rasa, hati dan kehendak. Manusia

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan BAB V PENUTUP Manusia dalam kehidupannya adalah manusia yang hidup dalam sebuah institusi. Institusi yang merupakan wujud implementasi kehidupan sosial manusia. Di mana pun keberadaannya manusia tidak

Lebih terperinci

: Kemungkinan Studi Agama Secara Filsafati

: Kemungkinan Studi Agama Secara Filsafati Pokok Bahasan II : Kemungkinan Studi Agama Secara Filsafati A. Ultimasi Agama dan Filsafat: Upaya Mempertemukan Karakter-karakter yang Berbeda 1. Watak agama dan filsafat H.M.Rasjidi (1965: 3) mengemukakan

Lebih terperinci

KELAHIRAN SOSIOLOGI Pertemuan 2

KELAHIRAN SOSIOLOGI Pertemuan 2 KELAHIRAN SOSIOLOGI Pertemuan 2 SOSIOLOGI??? APA MANFAAT LETAK LAHIRNYA SOSIOLOGI Sosiologi lahir manakala muncul perhatian terhadap masyarakat karena perubahan yang terjadi Terdapat peristiwa besar di

Lebih terperinci