: Kemungkinan Studi Agama Secara Filsafati

Transkripsi

1 Pokok Bahasan II : Kemungkinan Studi Agama Secara Filsafati A. Ultimasi Agama dan Filsafat: Upaya Mempertemukan Karakter-karakter yang Berbeda 1. Watak agama dan filsafat H.M.Rasjidi (1965: 3) mengemukakan bahwa terdapat dua hal ultimate dalam hidup manusia, dua hal yang harus ada bagi tegak kokohnya kemanusiaan dan bahkan dalam rangka ketinggian martabat manusia. Dua hal yang ultimate itu adalah filsafat dan agama. Filsafat dan agama, bagi manusia, adalah ibarat dua sisi mata uang yang berbeda namun merupakan kesatuan. Kenyataan adanya perbedaan antara filsafat dan agama, sementara keduanya merupakan hal ultimate yang sangat penting bagi hidup manusia, merupakan tema umum yang menjadi bahasan para pemikir agama. Para pemikir agama berupaya mencari titik singgung atau bahkan meinpertemukan keduanya. David Trueblood, misalnya, berpendapat, terdapat dua hal ultimate dalam kehidupan manusia yakni agama dan filsafat. Keduanya berbeda dalani cara kerja. Filsafat banyak berhubungan dengan pikiran yang tenang, sementara agama banyak berhubungan dengan hati. Filsafat menekankan pentingnya berfikir kritis, sementara agama menekankan loyalitas atau pengabdian. Filsafat selalu tenang dalam menerima kritik, sementara agama bersemangat mempertahankan prinsip. Filsafat menggehsahkan hidup pelakunya, sementara agama mendatangkan ketenangan hidup bagi pemeluknya (Rasjidi, 19I: 10). Agama dan filsafat berhubungan dengan persoalan keyakinan dan prinsip hidup. Seseorang beraktivitas berdasar keyakinan dan prinsip hidup agama dan filsafat, meskipun keduanya berhubungan dengan keyakinan dan prinsip hidup, instrumen dan cara kerja yang digunakan berbeda. Perbedaan cara itu pada tahap selanjutnya membawa konsekuensi pada perbedaan orientasi. Filsafat, dengan instrumen utama akal, berorientasi pada kebenaran yang rasional, dengan memberi peluang seluas-luasnya bagi sikap kritis dan kreatifitas akal. Agama, dengan instrumen utama Wahyu, berorientasi pada kebenaran yang cenderung dogmatis; sehingga seakan-akan tidak memberi tempat bagi intervensi akal. Tiap-tiap pengikut agama merasa bahwa ia harus mengabdikan din semaksimal mungkin kepada agama yang dipeluknya.

2 2. Pendekatan filsafat atas agama: sinergi menuju kebenaran Perbedaan pendapat dalam filsafat adalah suatu yang wajar. Filsof yang berhadapan dengan paham lain akan bersikap lunak dan terbuka atas kritik, bahkan sangat mungkin pendiriannya akan ditinggalkan jika pendiriannya pendapatnya salah. Sikap tersebut sangat sulit, bahkan boleh dibilang tidak mungkin dijumpai pada seorang penganut agama. Seorang penganut agama akan mempertahankan pendiriannyal keyakinannya matia-matian dan kritik, karena dia sudah mengikatkan din dengan keyakinannya itu. Mungkinkah mempergunakan cara rasional untuk mernaharni agarna? Pertanyaan itu didasarkan pada adanya kenyataan sebagai berikut. Pertarna, semangat filsafat adalah bebas bertanya, rnencunigai sernua autonitas, menyelidiki semua penerimaan yang tidak kritis dan pernikiran; meskipun akhirnya filsafat akan sampai kepada pengakuan jujur bahwa akal semata-mata tidak sanggup mencapai kebenaran hakiki kedua, inti agama adalah iman, iman lebih dan hanya sekedar perasaan dan rasionalitas, iman juga berisi semacam makrifat (penglihatan langsung terhadap Tuhan). Iman berorientasi pada pengabdian. Upaya memahami dasar agama secara rasional meskinya diberi peluang dalam setiap agama. Iman tidak boleh semata-mata karena ikut-ikutan atau semata-mata dogmatis, iman hams didasarkan pada pengetahuan atau pemahaman tentang yang diimani. Akal adalah unsur penting dalam agama. Prinsip-prinsip pokok agama nerlukan dasar-dasar rasional bagi pemahamannya. Penyelidikan atau pemahaman terhadap agama bukan berarti menenima kelebihan filsafat atas agama; filsafat tidak boleh rneletakkan agama sebagaimana obyek-obyek filsafat Filsafat harus mengakui kedudukan sentral agama. Karena agama bukan soal sebagian-sebagian; bukan akal semata,; bukan akal semata, bukan tindakan semata, agama adalah kemanusiaan yang utuh (Iqbal, 1951: 2). Ajaran agarna tidak boleh diterima begitu saja. Pengalaman agama pada dasamya suatu keadaan perasaan dengan sudut pandang kognitif, yang isinya tidak dapat disampaikan kepada manusia lain, kecuali dalam bentuk norma. Jaminan bagi kebenaran ajaran agama sangat diperlukan, untuk itu dibutuhkan pengujian. Iqbal berpendapat, terhadap ajaran agama dapat diajukan dua macam pengujian untuk membuktikan kebenarannya. Pertama, penguj ian intelektual, yakni pemahaman kritis tanpa praduga terhadap ajaran-

3 ajaran agama. Kedua, pengujian pragmatis, yakni dengan melihat akibat-akibat dan ajaran agama dalam kehidupan nyata (Iqbal, 1951: 27). 3. Nisbah ilmu filsafat-agama Ilmu, filsafat, dan agama merupakan tiga jalan yang biasa ditempuh oleh manusia dalam rangka mencari kebenaran. Masing-masing mempunyai karakter yang membedakan satu dengan yang lainnya. Ilmu dan filsafat keduanya bersumber dan akal manusia, sedang agama bersumber dan Wahyu. lirnu dan filsafat dimulai dan kesangsian dan keingintahuan, sementara agama dimulai dan iman. Kebenaran yang dapat dijangkau ilmu dan filsafat bersifat relatif, sementara agama menawarkan kebenaran yang absolut (Anshani, 1991: 174). Ilmu berusaha menjawab keingintahuan manusia tentang kenyataan. Ilmu adalah pemahaman manusia tentang kenyataan sejauh dapat dijangkau akal dibantu penginderaan, yang disusun secana sistematis, kebenarannya diuji secara empiris-eicsperimental. Kebenaran ilmu adalah kebenaran positif, dalam arti berlalcu sampai dengan saat ini. Filsafat selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan kntis tentang kenyataan. Filsafat merupakan upaya manusia, dengan akalbudinva. untuk memahami segala yang ada secana radikal, komprehensif, dan integral. Kebenaran filsafat bersifat spekulatif. Filsafat menyediakan paradigma bagi ilmu dan selalu menyodorkan kemungkinan-kemungkinan baru untuk memahami kenyataan, sementara ilmu berusaha memastikan kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan filsafat. Ilmu dan filsafat, meskipun begitu, belum mampu menjawab segala pensoalan yang dipertanyakan manusia. Ilmu dan filsafat, yang menekankan pentingnya empiri dan rasio dalam mencari hakikat kenyataan, tidak mampu rnnemukan hakikat kenyataan tertinggi yang lebih bersifat spiritual dan suprarasional. Jasa ilmu dan filsafat, dengan teori-teorinya, adalah mempererat hubungan manusia dengan Tuhan melalui pengenalan tindaktanduk Tuhan di alam semesta (lqbal, 1951: 91). Agama merupakan suatu sistem credo (tata keimanan) tentang adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia. Agama, dalam perkembangan selanjutnya, telah merambah berbagai aspek kehidupan manusia. Agama bukan lagi semata-mata sistem keimanan, tetapi agama telah menjadi sistem kehidupan. agama tidak lagi single face (berwajah tunggal), agama menjadi mempunyai multi face (banyak wajah). Perkembangan yang semacam itu

4 adalah wajar, sebab meskipun tidak dapat menjawab persoalan-persoalan teknis, agama meyediakan jawaban terhadap berbagai soal asasi yang dipertanyakan filsafat namun sarna sekali tidak terjawab oleh ilmu. Agama juga sering dipertentangkan dengan ilmu dan filsafat, padahal mestinya tidak demikian; ketiganya saling mengisi dalam rangka mencapai kebenaran. Tingkat obyektivitas pengetahuan dan pengalaman agama sebenarnya mempunyai kemungkinan dan berada pada posisi yang sama dengan obyektifitas pengetahuan ilmiah dan filsafat yang menekankan rasionalitas. Sementara orang menuduh agama tidak memberikan pengetahuan yang kebenarannya meyakinkan. Ilmu, sebenarnya juga mempunyai watak seperti itu. Harun Nasution (1973: 9) menunjukkan relatifitas ilmu yang -katanya - sangat menjunjung tinggi obyektifitas. Terdapat dua teori tentang hakikat pengetahuan, Teori dan faham realisme dan idealisme, juga terdapat dua teori tentang cara pengetatiuan diperoleh, yakni teori dan faham empirisme dan rasionalisme. Deretasi keempat teori di atas membentuk empat teori tentang pengetahuan. Pertama, teori realisme-empirik yang berpendapat, pengetahuan adalah gambaran sebenamya dan kenyataan yang diperoleh melalui indera. Kelemahan teori adalah, kenyataan bahwa indera mempunyai kemampuan terbatas, sehingga tidak selamanya memberi gambaran yang tepat tentang kenyataan. Kedua, teori idealisme-empirik yang berpendapat, pengetahuan diperoleh melalui indera dan hanya memberikan kesan subyektif, tidak memberikan gambaran yang sebenarnya tentang kenyataan. Ketiga, teori idealisme-rasional yang berpendapat, pengetahuan diperoleh melalui akal, bersifat subyektif, dan bukan merupakan gambaran yang sesungguhnya tentang kenyataan. Keempat, teori realismerasional yang berpendapat, pengetahuan diperoleh melalui indera dan akal. Data yang diberikan indera diolah oleh akal berdasar prinsip-prinsip universal, dan hasil pemikiran itu merupakan gambaran yang benar tentang kenyataan. Kebenaran yang dimaksud adalab bukan kebenaran mutlak, tetapi kebenaran tentang kenyataan sejauh kesanggupan maksimal dan akal. Teori realismerasional mempunyai akurasi yang representatif untuk memperoleh pengetahuan yang benar dibanding teori yang lain. Teori inilah yang dipakai dalam bidang ilmu.

5 Teori-teori di atas tidak membawa kepada pengetahuan yang benar, dalarn arti memberi keyakinan bahwa apa yang diketahui sungguh-sungguh sesuai dengan fakta. Pengetahuan ilrniah sekalipun belum tentu memberikan pengetahuan yang benar. Alam begitu kompleks dan dinamis. Sampel data yang diolah dalam proses ilmiah tidak selalu memadai. Kebenaran ilmu adalah sejauh hipotesis didukung oleh data yang berhasil diperoleh dan dianalisis, begitu data- barn diperoleh ada kemungkinan hipotesis itu tidak terbukti (Nasution, 1973: 10). B. Metode kerja dalam studi agama (berbagai model kajian dan konsekuensi) 1. Kajian yang tendensius dan dampak yang segera dirasakan Terdapat, paling tidak, dua model kajian atas agama yang sama-sama kurang memadai dalam kriteria filsafat. Pcrtama, kajian agama yang dilakukan olen para penganut agama yang terlibat dengan suatu ajaran agama tertentu. Posisi subjeic adalah sebagai partisipan agama tertentu. Kelebihan model kajian seperti subyek adalah eksplorasi atas materi kajian sangat detail, tetapi yang disayangkan terjadinya bias-apologis. Subjek peneliti akan terjebak pada sikap mengunggulkan ajaran agama yang dianutnya. Objektivitas dan netralitas kajian yang bernuansa. Inilah model kajian yang bernuansa teologis. Kedua, kajian atas agama yang dilakukan oleh para pemikir yang memposisikan dirinya di luar agarna (out-sider). Objektivitas dan netralitas kajian, dalam model kedua ini, dapat dipertanggungjawabkan; tetapi eksplorasi materi kajian tidak dapat detail, sehingga kajian menjadi kering makna. Hal ini terjadi karena agama sebagai substansi kajian sangat berbeda dengan objek kajian ilmu yang lainnya. Agama bukan hanya persoalan fakta lahiriah, lebih dan itu agama merupakan kondisi ruhaniah yang hanya mampu difahami oleh para penghayatnya. 2. Upaya kajian yang representatif: Kritik yang simpatik Bentuk kajian atas agama yang diharapkan adalah kajian yang detail, penuh makna, tanpa terjebak pada bias-apologis. Kajian semacam itu hanya rnungkin dilakukan oleh para penghayat agama yang mampu dan mau berfilsafat. H.M. Rasyidi (1965: 4-9) rnenyebutkan beberapa point penting dalam studi agama. Pertama, dalam membicarakan soal-soal pertentangan jangan serta-merta menolak hal-hal yang kelihatannya tidak disetujui dan menerima

6 hal-hal yang kelihatannya disetujui. Kebenaran tenletak dalam sifat hati-hati diantara kedua sikap tersebut, dengan tanpa menutup diri dan kemungkinan adanya bukti-bukti u pendapat-pendapat baru. Kedua, dibutuhkan sikap netral dalam mempelajari agama secara filsafati, ah sesungguhnya kesulitan utarna ketika orang akan mempelajari agarna. Seorang filsuf selalu ingin mencari kelernahan dalam tiap-tiap pendirian dan argument; bahkan pendirian. dan argumennya sendiri. Dia tidak akan lekas mencela dan mengabaikan pendapat dan pendinian yang berbeda dan bahkan yang salah, akan tetapi dia akan selalu membanding-bandingkan segala argumen dan pendirian. Sikap semacam ini penting dalam studi agama. Mendasarkan pendirian hanya kepada ahli filsafat yang mengagung-agungkan agamanya adalah kurang benar, pendirian sernacam itu akan menjauhkannya dari pandangan lain yang mungkin ada baiknya bila dia mengetahui atau menjauhkan dan pandangan yang memiliki argumen lebih memadai. Ketiga, adalah kesulitan tersendiri untuk memenuhi dua tuntutan tersebut di atas. Seseorang selalu terlibat dengan situasi yang dia sendiri ingin menyelidikinya. Sangat sulit bagi seorang penganut agama untuk tidak terlibatb dengan keyakinan keagamaannya. Netralitas dalam penyelidikan agama, bagi seorang penganut agama, adalah pengingkaran terhadap ultimasi agama. Maka, prinsip yang penting dalarn penyelidikan agama adalah pemahaman bahwa seseorang tidak dapat dipaksa untuk menganut suatu agama; kenyataan bahwa di dunia ada banyak agama; yang lebih penting lagi adalah kemauan dan kemampuan melakukan kritik simpatik terhadap agama, yakni selalu bertanya dan memikirkan keyakinan yang telah diterirna, bahkan oleh dirinya sendiri, untuk mengetahui konsistensinya dan menemukan kemungkinan adanya self/fcontradiction.