PERBURUAN RENTE DAN KORUPSI PADA SEKTOR PROPERTI DI KABUPATEN BOGOR : PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK ILHAM NURYANTO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERBURUAN RENTE DAN KORUPSI PADA SEKTOR PROPERTI DI KABUPATEN BOGOR : PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK ILHAM NURYANTO"

Transkripsi

1 PERBURUAN RENTE DAN KORUPSI PADA SEKTOR PROPERTI DI KABUPATEN BOGOR : PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK ILHAM NURYANTO DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

2

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perburuan Rente dan Korupsi pada Sektor Properti di Kabupaten Bogor: Perspektif Ekonomi Politik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016 Ilham Nuryanto NIM H

4 ABSTRAK ILHAM NURYANTO. Perburuan Rente dan Korupsi pada Sektor Properti di Kabupaten Bogor: Perspektif Ekonomi Politik). Dibimbing oleh DIDIN S. DAMANHURI. Properti merupakan salah satu sektor strategis yang mampu meningkatkan pembangunan ekonomi di suatu negara. Namun pada prosesnya, seringkali terdapat penyimpangan yang terjadi pada proses-proses sebelum maupun sesudah pembangunan properti dilakukan yang berakibat pada kerugian negara. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mekanisme perburuan rente, biaya-biaya transaksi dan korupsi, serta potensi pembangunan yang hilang pada pembebasan lahan maupun pembangunan properti di Kabupaten Bogor. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Metode analisis menggunakan analisis ekonomi politik, analisis biaya transaksi, analisis korupsi dan perburuan rente, dan analisis kebocoran (ICOR), lalu disajikan secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pengembang properti melakukan aktivitas perburuan rente dengan berkolusi dengan oknum pemerintah, calo, dan preman agar dimudahkan dalam proses perizinan penguasaan lahan. Akibat dari aktivitas perburuan rente yang dilakukan oleh pengembang maupun oknum pemerintah yang berujung korupsi menyebabkan munculnya kebocoran sebesar 449 miliar per tahun menyebabkan potensi tersebut hilang sebesar 13.13%. Kata kunci: Biaya Transaksi, Ekonomi Politik, Korupsi, Perburuan Rente, Properti ABSTRACT ILHAM NURYANTO. Rent-Seeking and Corruption Activity at Property Sectors in Kabupaten Bogor : Economic Politic Perspective. Supervised by DIDIN S. DAMANHURI Property is one of strategic sector which have the ability to increase economic development in a country. But in the process, irregularities often occur before or after the construction of the property which resulted in losses to the state. The purpose of this research is to analyse the mechanism of rent-seeking, corruption, transaction costs, and the development potential which lose either in the land acquisition or property development in Bogor Regency. This research used primary and secondary data. Analytical method using the analysis of political economy, transaction cost analysis, corruption and rent-seeking analysis, and ICOR analysis; then presented in descriptive qualitative. The result of this research shows that property developer did rent-seeking activities by colluding with the government, pander, and gangster to simplify the permission process of land acquisition. Besides, the rent-seeking activities done by developers or government which lead to corruption causing leakage for about 449 billion rupiah for a year and lost the potential for about 13.13%. Key words: Corruption, Political Economy, Property, Rent-Seeking, Transaction Cost

5 PERBURUAN RENTE DAN KORUPSI PADA SEKTOR PROPERTI DI KABUPATEN BOGOR : PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK ILHAM NURYANTO Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

6

7

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil di selesaikan. Pembangunan properti dipilih sebagai tema dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan September 2015 hingga Mei 2016 ini, dengan judul Aktivitas Perburuan Rente dan Korupsi pada Sektor Properti di Kabupaten Bogor : Perspektif Ekonomi Politik. Terima kasih penulis ucapkan kepada: 1. Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A. selaku pembimbing dan juga pendidik; 2. Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr dan Dr. Muhammad Findi A, M.E., selaku penguji serta pendidik 3. Kanit. Tipikor. Mabes POLRI, Litbang KPK, dan Badan Pemeriksa Keuangan yang telah menyempatkan waktu untuk melakukan wawancara mendalam; 4. Dr. Bambang Sukmananto, Dr. Kusdamayanti Duryat, dan Ir. Bintarto, M.M yang telah memberikan masukan dan referensi dalam penyusunan skripsi ini; 5. Dinas Tata Ruang Kabupaten Bogor, Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bogor, Badan Perizinan Terpadu dan Satu Atap Kabupaten Bogor, Badan Pusat Statistik, Mahkamah Agung, Indonesia Corruption Watch, Indonesia Property Watch, serta Developer Properti yang telah membantu selama pengumpulan data; 6. Orang Tua terkasih Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc dan Nura Diningsih, SE.,M.M. serta adik-adik Erika Asri Nuryanto.S.Kg dan Irsan Nuryanto atas segala doa dan kasih sayangnya; 7. Dosen dan Staff Departemen Ilmu Ekonomi, FEM IPB yang telah membantu selama perkuliahan; 8. Arinka Aninditya S.T serta ibundanya yang selalu memberikan motivasi, dorongan dan dukungan untuk menjadikan saya pribadi yang lebih baik; 9. Teman-teman sebimbingan, Muhammad Idham Maulana dan Faris Adi yang selalu memberi dukungan, masukan dan dorongan; 10. Sahabat sepermainan, Diky Bintang Prakoso, Hilman Hidayat, Fajar Cahya Nugraha, Dwi Widya Saputra, Muhammad Kipong, dan Fachrian Muhaimin yang selalu memotivasi serta memberi dorongan. 11. Teman-teman dari Dept. Ilmu Ekonomi, FEM IPB, tim Futsal FEM, Futsal IPB dan Futsal Garuda yang telah memberi dukungan selama penelitian; 12. Semua pihak yang telah membantu terselesainya penelitian ini. Penulis menyadari bahwa masih jauh dari kesempurnaan dalam tulisan ini. Maafkan apabila banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2016 Ilham Nuryanto

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL xi DAFTAR GAMBAR xi DAFTAR LAMPIRAN xii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Rumusan Masalah 5 Tujuan Penelitian 6 Manfaat Penelitian 7 Ruang Lingkup Penelitian 7 TINJAUAN PUSTAKA 7 Ekonomi Politik 7 Pengertian Korupsi 10 Pengertian Rent-Seeking 14 Teori Ekonomi Biaya Transaksi 17 Pengertian Sumberdaya Lahan 17 Peran Pemerintah dalam Penentuan Harga Lahan 18 Tata Ruang Wilayah 19 Penelitian Terdahulu 20 Kerangka Pemikiran 22 METODE PENELITIAN 23 Wilayah Penelitian 23 Jenis dan Sumber Data 23 Metode Analisis 24 GAMBARAN UMUM 27 Kondisi Properti di Indonesia 27 Kondisi Umum Kabupaten Bogor 29 Korupsi, Rent-Seeking, dan Penanganannya di Indonesia 31 HASIL DAN PEMBAHASAN 34 Mekanisme Rent-Seeking dalam Pembangunan Properti 34 Biaya Transaksi dalam Pembangunan Properti 38 Pembangunan Properti terhadap Tata Ruang Kabupaten Bogor 40 Dampak Pembangunan Properti terhadap Masyarakat Kabupaten Bogor 44 Pola-Pola Korupsi dalam Proses Pembangunan Properti 48

10 x Jenis Korupsi dalam Proses Pembangunan Properti 58 Sebab-Sebab terjadinya Korupsi pada Sektor Properti 66 Potensi Pembangunan yang Hilang Akibat Korupsi dan Rent-Seeking 69 Dalam Pembangunan Properti di Kabupaten Bogor SIMPULAN DAN SARAN 71 Simpulan 71 Saran 72 DAFTAR PUSTAKA 74 LAMPIRAN 77 RIWAYAT HIDUP 85

11 xi DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1 Jumlah Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bogor Ekonomi dan Politik dari Segi Metode dan Substansi 10 3 Profit Developer dari Penjualan Lahan 36 4 Profit Developer dalam Perumahan 37 5 Harga Pembebasan Lahan di Wilayah Bojong Gede 45 6 Kasus Pembebasan Lahan untuk Perumahan 45 7 Kerugian Masyarakat Gunung Sindur 46 8 Data Kemiskinan di Kabupaten Bogor Tahun Kawasan Hutan yang ditukar di Wilayah Jonggol KPH Bogor Deskripsi Kasus Korupsi pada Sektor Properti di Bogor Kebocoran Pembangunan di Kabupaten Bogor Potensi Pertumbuhan di Kabupaten Bogor DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1 Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dan Negara Lain tahun Jumlah Kasus Korupsi menurut ICW tahun Biaya-Biaya Monopoli 16 4 Kerangka Pemikiran 22 5 Peta Lokasi Kabupaten Bogor 30 6 Persentase Transaction Cost di Kabupaten Bogor 39 7 Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Bogor 40 8 Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Bogor 41 9 Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor

12 xii DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1 Nilai Investasi Real Estate 77 2 Transaction Cost dalam Pembebasan Lahan 77 3 Harga Pembebasan Lahan dan Penjualan Lahan di Kabupaten Bogor 78 4 Estimasi Perhitungan Keuntungan Perumahan 79 5 Daftar Pengembang 80 6 Hasil Perhitungan Rank Spearman 80 7 Daftar Informan 81 8 Langkah Perizinan Perumahan untuk Developer 82 9 Tata Cara Tukar Menukar Kawasan Hutan 83

13 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah korupsi dan perburuan rente adalah masalah klasik yang banyak dihadapi oleh Negara Sedang Berkembang (NSB), termasuk Indonesia. Pada hakekatnya, korupsi adalah benalu sosial yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Korupsi yang sebagian besar dipahami oleh anggota masyarakat dan aparat pemerintah dimaknai terbatas pada perbuatan yang merugikan negara. Kenyataannya makna korupsi jauh lebih luas apa yang mereka pahami. Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus secara harafiah bermakna perilaku berbohong, tidak jujur, bejat, tidak bermoral, dapat disuap, mencuri 1. Menurut kamus Umum Bahasa Indonesia, korupsi bermakna perbuatan busuk seperti penggelapan uang, dapat disuap. Sedangkan, pengertian rente ditransformasikan sebagai suatu sifat pelaku bisnis untuk memudahkan cara memperoleh keuntungan dengan menggunakan modal yang menjadi hak milik orang lain atau hak milik publik untuk keuntungannya sendiri (rent seeking behaviour) 2. Dari pengertian ini, rente diartikan lebih kritis dan menjadi negatif, artinya karena input atau modal yang dipakai bukan hak milik sendiri 3. Sementara itu, rente dalam arti yang netral atau positif adalah pendapatan yang diperoleh dari modal yang merupakan hak milik sendiri. Dengan demikian, lingkup korupsi maupun perburuan rente selain berbentuk perbuatan melawan hukum yang diancam dengan hukuman pidana, merupakan perilaku menyimpang dari nilainilai sosial yang dianggap wajar Sumber: International Corruption Watch, 2015, Corruption Perception Index 2014, [diakes tanggal 8 Oktober 2015] Gambar 1 Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dan Negara Lain di Dunia tahun Ulul A Korupsi: Menumbukan Spirit Anti Korupsi. Penerbit Jaringpena: Surabaya. Hal 1 2 Ibid. Hal Didik Rachbini, 2002, Ekonomi Politik: Paradigma dan Teori Pilihan Publik. : Jakarta: Ghalia Indonesia. Hal 118.

14 2 Indonesia selama ini dikenal sebagai salah satu negara dengan angka korupsi yang tinggi di dunia. Dari survei yang dilakukan oleh lembaga Transparency International diketahui pada tahun 2014, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia berada pada skor 3,4 4, dengan kata lain angka korupsi di negara ini masih meraja lela, karena para elite politik di negeri ini belum menunjukan kemauan politik dalam menjalankan kekuasaan negara secara bersih bebas dari unsur korupsi. IPK 3,4 menempatkan Indonesia pada tahun 2014 berada di posisi 107 dari 175 negara yang di survei 5. Rentang indeks antara 0 sampai dengan 10,0 dipersepsikan sangat korup dan 10 sangat bersih. Budaya korupsi sudah sedemikian rupa berakar jauh sebelum era Indonesia yang sekarang. Kedasyatan korupsi sudah terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru lebih dari 30 tahun. Dimulai dengan kasus korupsi skala mega yang dialami pertamina tahun 1975 dengan kerugian diperkirakan sekitar 12,5 miliar dolar AS tanpa ada tindakan hukum kepada pihak-pihak yang terlibat. Kemudian dengan mengalirnya dana hutang luar negeri rata-rata 5 miliar dolar AS pertahun, investasi langsung perusahaan asing, eksploitasi sumber daya alam (migas dan hutan) yang menjadi sumber dana domestik, maka pertumbuhan dan perkembangan jenis korupsi dari yang tradisional (upeti, sogok, perkoncoan, premanisme, nepotisme, dst) maupun bentuk baru (kolusi birkorkat-pengusaha, kolusi bankir pengusaha, mafia peradilan, penggelapan pajak, komersialisasi jabatan, kick-back dan mark-up proyek-proyek, rekayasa finansial, monopolioligopoli,dst) 6. Semua ini menjadikan potensi pertumbuhan ekonomi yang bisa mencapai 12 persen menjadi hanya 7 persen pertahun dan perkiraan kebocoran anggaran bisa mencapai 30 persen (perhitungan menggunakan ICOR) hingga lebih dari 50 persen (dengan analisa rasio input-output) 7. Pada tahun 1998, Indonesia melakukan reformasi. Upaya pemberantasan korupsi di masa reformasi ini dimulai momentum dengan adanya UU yang menjamin kebebasan pers dan kebebasan politik. Dalam pelembagaannya, dimulai dengan pembentukan Komisi Pemeriksaan Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) meskipun pada pemerintahan Megawati KPKPN ini dibubarkan dan dilanjutkan dengan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sangat diharapkan dapat berperan penting sebagai upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Pada masa reformasi, Indonesia menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal atau otonomi daerah, dengan adanya desentralisasi fiskal, maka ada sebagian dari APBN yang di transfer ke daerah. Desentralisasi atau otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak berlakunya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang diimplementasikan sejak Januari Perubahan paling penting adalah pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah menyangkut sektor pelayanan publik 8. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan pemerintah Kota/Kota meliputi: pekerjaan umum, kesehatan, 4 Trasparency International Indonesia, Ibid 6 Didin S. Damanhuri. Ekonomi Politk dan Pembangunan: Teori, Kritik, dan Solusi bagi Indonesia dan Negara Sedang Berkembang, Bogor: IPB Press, Hal Ibid. Hal Pasal 7 UU No. 22/1999

15 3 pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, koperasi dan tenaga kerja 9. Secara normatif, otonomi daerah merupakan sebuah alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan umum. Dari segi ekonomi, peran pemerintah daerah memang semakin besar dari berbagai sumber data diketahui bahwa beberapa daerah mampu meningkatkan pendapatan perkapita daerahnya lebih besar daripada pendapatan perkapita nasional. Namun, hal tersebut hanya sebatas data, pada kenyataannya rakyat daerah yang penuh sumber daya alam belum tentu sejahtera, seperti di daerah Papua, NTT, dan sebagainya Sumber: Indonesia Corruption Watch, 2015, 14 Lembaga Negara Paling Rawan Korupsi Tahun 2011, [diakes tanggal 8 Oktober 2015] Gambar 2 Jumlah Kasus Korupsi menurut ICW tahun 2011 Menurut data yang diperoleh dari ICW, pada tahun 2011 terdapat 14 lembaga yang terdeteksi paling rawan korupsinya yaitu seluruh lembaga dalam jajaran pemerintah daerah, seperti Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dengan jumlah 264 kasus korupsi dengan kerugian negara 2,494 triliun rupiah. Diikuti dengan lembaga Pemerintah Kota dengan jumlah 56 kasus dengan kerugian negara 960 miliar rupiah dan pemerintah provinsi dengan jumlah 23 kasus dengan kerugian negara 88 miliar rupiah (Gambar 2). Dari pemaparan diatas, sejak Orba hingga Reformasi, Indonesia menurut lembaga pemeringkat Internasional, baik di Asia maupun di Dunia sejak awal tahun 1990-an hingga sekarang selalu masuk kategori negara terkorup. Hal ini dibuktikan dengan IPK Indonesia hanya 3,4 dan menempatkan Indonesia berada di posisi 107 dari 175 negara yang di survey oleh Transparency International. Hal ini terjadi karena korupsi telah menjadi kebudayaan dan kebiasaan yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab terhadap bangsa dan negara. Belakangan ini, media massa memberitakan bahwa banyak kasus korupsi yang terjadi di daerah-daerah di Indonesia. Hal tersebut diperkuat oleh data yang 9 Pasal 11 ayat 2 UU No. 22/1999

16 4 diperoleh dari ICW bahwa jumlah kasus korupsi di Pemerintah Kabupaten adalah yang terbanyak dalam jajaran pemerintah daerah. Melihat ke sudut pandang yang lebih spesifik, kasus korupsi pada pemerintahan memang sering sekali terjadi terjadi. Seperti kasus korupsi yang baru-baru ini terjadi di Kabupaten Bogor pada sektor properti dan penguasaan lahan. Kabupaten Bogor termasuk wilayah yang tergolong kaya, memiliki ribuan industri berskala nasional dan properti-properti, berbagai tempat wisata, perumahan elit, berbagai mall besar dan hotel besar. Hal tersebut dapat dilihat dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bogor pada tahun 2015 sebesar Rp yang terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah. Tabel 1 Jumlah Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bogor 2015 Pendapatan Asli Daerah Nominal (Rp) Pajak Daerah Pajak Hotel Pajak Restoran Pajak Hiburan Pajak Reklame Pajak Penerangan Jalan Pajak Parkir Pajak Air Tanah Pajak Mineral bukan Logam Pajak Bumi dan Bangunan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Retribusi Daerah Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Lain-Lain Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bogor (2015) Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah yang berada dalam wilayah administratif Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Bogor yang berhimpit dengan wilayah Jakarta dan Kota besar seperti Kota Bogor dan Tangerang memberikan implikasi yang amat luas, diantaranya adalah percepatan pembangunan yang terjadi. Kawasan perbatasan antara Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Tangerang maupun Jakarta mengalami perkembangan yang sangat pesat, adanya prasarana jalan, seperti telah dibangunnya Bogor Outer Ring Road (BORR), Perbaikan jalan protokol yang menghubungkan Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Tangerang dan Jakarta menyebabkan akses antar wilayah tersebut menjadi semakin mudah. Jumlah penduduk di Kabupaten Bogor pada tahun 2014 mencapai 5.5 juta jiwa. Jumlah ini menempatkan Kabupaten Bogor menjadi kabupaten dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia diantara Kabupaten lain. Jumlah ini akan diprediksi akan terus mengalami peningkatan seiring dengan berkembangnya Kabupaten Bogor pada masa mendatang 10. Indikasi ini nampak dengan terjadinya perubahan peruntukan lahan dari lahan pertanian dan kehutanan berubah menjadi kawasan elit berupa pemukiman, hotel maupun mall, dan perubahan tersebut berjalan dengan sangat cepat. Seiring 10 RTRW Bogor dalam Marisan Analisis Inkonsistensi Tata Ruang Dilihat dari Aspek Fisik Wilayah: Kasus Kabupaten dan Kota Bogor. Tesis Program Pascasarjana Bogor: IPB. Hal 24

17 5 dengan munculnya keinginan untuk mencari hunian di daerah pinggiran, hal ini juga didukung dengan mahalnya harga tanah di sekitar Kabupaten Bogor, yakni Jakarta, Tangerang, dan Kota Bogor, sehingga menjadi kecenderungan masyarakat mencari hunian di Kabupaten Bogor semakin kuat. Namun bagi pihak developer, pembangunan properti seharusnya adalah sebulah alat untuk mengatasi demand yang tinggi, nyatanya banyak pihak developer yang merupakan pengembang elite yang hanya membangun pusat properti demi kepuasan dan prestis saja 11. Hampir seluruh properti yang dikembangkan oleh kelompok elite pengembang merupakan sumber pendapatan berulang atau recurring income. Oleh karena itu, mudah dipahami apabila mereka memiliki kemampuan dan konstruksi finansial yang kuat dalam jangka panjang guna membiayai pembangunan properti yang padat modal. Keterbatasan luas lahan dan mahalnya harga tanah, mendorong investasi khususnya pada sektor properti dan industri berlomba-lomba menguasai lahan di Kabupaten Bogor. Nilai Komersial lahan yang terus naik mendorong pemilik modal melakukan penguasaan lahan. Investasi di sektor lahan dan pembangunan properti dipandang dapat menguntungkan karena dalam waktu yang relatif singkat bisa memberikan capital gain. Maka banyak spekulan memburu lahan-lahan yang berpotensi untuk dijadikan pusat bisnis. Maka tidak heran, belakangan ini tidak sedikit para pengusaha swasta yang memiliki hubungan khusus di pemerintahan yang pada tujuannya adalah untuk merpermudah segala sesuatu dalam melakukan penguasaan lahan dan pembangunan properti sebagai pusat bisnis para pengusaha tersebut. Intervensi swasta di pemerintahan dapat terjadi pada proses perencanaan, perizinan, pelaksanaan proyek, dan pengawasan proyek. Namun ironisnya, pengawasan terhadap tindak pidana korupsi dan perburuan rente masih minim dilakukan. Sehingga di indikasi banyaknya perilaku korupsi dan perburuan rente yang dilakukan oleh sejumlah pejabat di Kabupaten Bogor. Rumusan Masalah Sejak Otonomi daerah, semakin banyak kasus korupsi di berbagai daerah yang terungkap, salah satunya adalah kasus korupsi properti yang terjadi di Kabupaten Bogor. Korupsi di daerah yang diwarnai oleh korupsi dalam proses politik telah membelokan tujuan dari yang seharusnya. Praktek korupsi di pemerintahan daerah pada sektor properti terjadi di berbagai negara di dunia, sebagai contohnya adalah kasus korupsi properti yang terjadi di Spanyol 12. Kasus korupsi tersebut melibatkan perencana kota, pengacara, pengembang, mantan walikota, dan pejabat daerah. Mereka berkolaborasi melakukan tindakan merugikan negara dengan hasil kekayaan mencapai Rp 10,7 triliun. Praktek korupsi tersebut dapat terjadi pula di Indonesia. Untuk menangkap gambaran korupsi pada sektor properti di salah satu daerah di Indonesia, maka dilakukan penelitian kasus perburuan rente dan korupsi di Wilayah Provinsi Jawa Barat. Wilayah Jawa Barat terutama Kabupaten Bogor yang merupakan wilayah 11 Properti Kompas, Edisi 19 November Properti Kompas, Edisi 4 September 2015

18 6 penyangga ibu kota negara. Setelah lebih dari berjalannya otonomi daerah ternyata Bogor belum menunjukan prestasi yang menggembirakan. Diperkuat sejumlah data Indeks Integritas Pemerintah daerah yang menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni hanya 5,88 dari skala 10. Juga Indeks persepsi korupsi menurut Transparency International Indonesia hanya sebesar 4,6 dari skala 10. Permasalahan yang timbul pada pembangunan properti adalah adanya rent-seeking dan korupsi. Rent-seeking dan korupsi yang terjadi di berbagai lini birokrasi menyebabkan pembangunan properti menjadi inefisien dengan terjadinya high cost economy. Tingginya pembiayaan pembangunan properti adalah akibat dari tingginya biaya transaksi dengan birokrasi berbelit-belit yang ditetapkan oleh pejabat publik. Adanya rent-seeking dan korupsi pada pembangunan properti mengindikasikan bahwa pembangunan properti tidak lagi berorientasi pada kesejahteraan sosial masyarakat, akan tetapi keuntungan tersebut hanya dinikmati oleh para pemburu rente dan para elite politik. Berdasarkan pemaparan tersebut, penelitian ini akan melihat dan menganalisis aktifitas perburuan rente dan korupsi yang terjadi pada sektor properti di Kabupaen Bogor. Aktifitas perburuan rente tersebut dapat terjadi pada proses pelaksanaannya, seperti perencanaan, perizinan, pelaksanaan proyek dan pengawasan proyek. Kerentanan korupsi dalam proses perencanaan dapat dilihat melalui kepatuhan pemerintah dalam pelaksanaan tata ruang daerah. Kemudian akan dilihat besarnya kerugian yang dialami Pemerintah di Kabupaten Bogor akibat korupsi dan perburuan rente. Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana mekanisme aktifitas rent-seeking dan korupsi oleh pihak developer maupun pemerintah dalam penguasaan lahan dan pembangunan properti di Kabupaten Bogor? 2. Biaya transaksi apa saja yang terdapat pada proses pembangunan properti di Kabupaten Bogor? 3. Berapa potensi pembangunan yang hilang akibat korupsi dan rent-seeking dalam proses pembangunan properti di Kabupaten Bogor? 4. Bagaimana dampak pembebasan lahan dan pembangunan properti terhadap masyarakat dan tata ruang di Kabupaten Bogor? Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Mengkaji mekanisme rent-seeking serta pola korupsi di kawasan Kabupaten Bogor pada pembebasan lahan dan pembangunan properti. 2. Menggambarkan biaya-biaya transaksi yang terdapat pada proses pembangunan Properti di kawasan Kabupaten Bogor. 3. Menganalisis potensi pembangunan yang hilang akibat korupsi dan rentseeking dalam proses pembangunan properti di Kabupaten Bogor. 4. Menganalisis dampak pembangunan properti terhadap masyarakat dan tata ruang di Kabupaten Bogor.

19 7 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah dalam melakukan kebijakan, terutama pada sektor lahan dan properti serta pembangunan daerah di Kabupaten Bogor. 2. Memberikan gambaran dan informasi kepada masyarakat mengenai properti di kawasan Kabupaten Bogor. 3. Sebagai referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini berfokus pada munculnya biaya transaksi serta pola-pola rent-seeking dan korupsi yang terjadi pada pembangunan properti di Kabupaten Bogor. Pembangunan Properti yang dimaksut adalah penguasaan lahan oleh pihak developer, dan segala aktivitas yang termasuk ke dalam sebab munculnya aktifitas rent-seeking maupun korupsi di Kabupaten Bogor. TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini diuraikan berbagai pustaka yang menjadi dasar dalam penelitian. Tinjauan pustaka terdiri dari pembahasan teori-teori, penelitian terdahulu, dan kerangka pemikiran. Sementara itu teori-teori yang dibahas adalah teori mengenai ekonomi politik, korupsi, perburuan rente, teori ekonomi biaya transaksi, pola-pola penguasaan dan fungsi lahan, peran pemerintah dalam menentukan harga di Perkotaan, dan tata ruang wilayah. Penelitian terdahulu yang digunakan adalah penelitian tentang korupsi yang berkaitan dengan perilaku perburuan rente. Setelah mengkaji berbagai teori dan penelitian terdahulu maka disusunlah suatu kerangka pemikiran dari penelitian ini yang disajikan dalam bentuk bagan alur. Ekonomi Politik Sebuah negara dalam menetapkan suatu kebijakan ekonomi, tidak akan lepas dari kebijakan politik dari pemerintah negara tersebut, baik kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan luar negeri, maupun kebijakan pembangunan. Didin S. Damanhuri berpendapat bahwa Negara-Negara Sedang Berkembang (NSB) sering berorientasi pada peningkatan PDB saja, sehingga negara-negara tersebut berlomba-lomba dalam meningkatkan pertumbuhan PDB-nya. Sayangnya, pertumbuhan PDB yang tinggi tidak menjamin kesejahteraan sosial

20 8 masyarakat negara tersebut. Sementara tujuan dari ilmu ekonomi adalah pencapaian kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat 13. Damanhuri menambahkan bahwa: Persoalan kesejahteraan masyarakat menyangkut bagaimana peran negara dan pasar dalam kaitannya dengan persoalan kualitas dan pertumbuhan PDB yang dihasilkan mampu mengatasi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan di NSB. Hal itu berarti menyangkut ilmu ekonomi pembangunan. Sementara persoalan kualitas pertumbuhan yang diperankan negara dan pasar juga akan menyangkut dengan dimensi politik dan kekuasaan. Oleh karena itu, kita juga harus memahami hubungan timbal balik antara aspek, proses institusi politik dan kekuasaan dengan kegiatan serta output ekonomi (produksi, investasi, penciptaan harga, perdagangan, konsumsi, dan seterusnya) dengan kualitas pertumbuhan (dalam mengatasi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan). Yang terakhir ini berarti menyangkut ekonomi politik. 14 Pengertian Ekonomi Politik banyak diperbincangkan oleh para ahli ekonomi. Caporaso dan Levine berpendapat bahwa pada awalnya ilmu ekonomi politik berdiri dari konsep ilmu politik dan ilmu ekonomi. Meskipun secara konseptual terpisah, bukan berarti diantara keduanya tidak memiliki hubungan karena hubungan keduanya tersebut disebut ilmu ekonomi politik 15. Oleh karenanya sebelum membahas konsep ilmu ekonomi politik, perlu dibahas terlebih dahulu ilmu ekonomi dan ilmu politik. Konsep Ilmu Ekonomi yang pertama adalah ekonomi kalkulasi. Konsep ini menjelaskan tentang cara pemanfaatan sumberdaya yang ada untuk memenuhi kebutuhan yang ada, sehingga muncullah istilah inefisiensi dan pembatasan pilihan 16. Ciri khasnya adalah orientasinya yang statis dan sifatnya yang umum. Konsep inilah yang merupakan konsep ilmu ekonomi yang umum dipelajari. Konsep yang kedua adalah penyediaan kebutuhan. Konsep ini merupakan konsep yang lebih tua usianya dibandingkan konsep yang pertama. Penyediaan kebutuhan menjadi sorotan utama tanpa mempedulikan koefisienan, namun lebih mempedulikan keberlangsungan proses produksi 17. Yang terakhir adalah ekonomi sebagai perekonomian. Konsep ini memisahkan dua bagian ekonomi dari sebuah masyarakat, yaitu perekonomian dan bidang politik 18. Sedangkan konsep ilmu politik yang pertama adalah politik sebagai pemerintahan. Pemerintah dalam artian ini adalah mekanisme politik formal dari negara terkait, seperti semua institusi, perundang-undangan, kebijakan publik, serta pelaku utama dalam pemerintahan 19. Konsep kedua adalah politik sebagai publik. Melalui konsep ini, ekonomi dipandang urusan yang berkaitan dengan pribadi, sementara politik sebagai urusan yang berkaitan dengan publik. Sehingga tujuan dari politik adalah untuk menciptakan rasa kebersamaan dalam kehidupan 13 Didin S. Damanhuri, Ekonomi Politik dan Pembangunan, Teori, Kritik, dan Solusi bagi Indonesia dan Negara Sedang Berkembang, (Bogor, IPB Press, 2010). Hal 1 14 Ibid. Hal 2 15 J James A Caporaso dan David P Levine Teori-Teori Ekonomi Politik. Diterjemahkan oleh: Suraji. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar). Hal Ibid. Hal Ibid. Hal Ibid. Hal Ibid. Hal 4

21 9 antara satu orang dengan orang lainnya dan terpenuhinya kebutuhan sosial dan kehidupan 20. Konsep terakhir adalah politik sebagai alokasi nilai oleh pihak yang berwenang. Dalam hal ini, ekonomi dan politik sama-sama sebagai metode alokasi. Politik yang dimaksud disini adalah cara tertentu untuk penetapan kebijakan dalam memproduksi dan mendistribusikan sumber daya 21. Dengan demikian, konsep ilmu ekonomi politik mempelajari hubungan dari konsep ilmu ekonomi dan ilmu politik secara timbal balik. Dari ketiga konsep ilmu ekonomi, ekonomi sebagai perekonomian dinilai tepat untuk mendifinisikan hubungan antara ilmu ekonomi terhadap ilmu politik yang selanjutnya disebut ilmu ekonomi politik. Pada model kebijakan ekonomi menurut Pipitone, adanya dua perspektif yang digunakan dalam pengambilan keputusan, yaitu, pendekatan dengan basis maksimalisasi kesejahteraan konvensional, yaitu pemerintah diasumsikan memiliki sifat otonom dan eksogen terhadap sistem ekonomi 22. Oleh karenanya, kebijakan yang ditetapkan berorientasi kepada kepentingan publik. Pemerintah juga diasumsikan memiliki informasi yang sempurna dan hanya memiliki kepentingan publik (bukan kepentingan pribadi), sehingga ketika terjadi kegagalan pasar dan inefisiensi dalam pengalokasian sumberdaya, pemerintah bertanggung jawab dalam hal tersebut 23. Kedua, pendekatan ekonomi politik baru (new political economy) yaitu pendekatan yang berdasarkan pada asumsi ekonomi politik. Pendekatan ini memposisikan pemerintah (negara) tidak memiliki informasi yang sempurna, sehingga pemerintah memiliki potensi besar dalam mengalami kegagalan. Perilaku agen-agen pemerintah diasumsikan rasional serta berupaya dalam memaksimalkan keuntungan pribadi melalui lobi, kesejahteraan pemilih dan dukungan politik 24. Dalam ekonomi politik terdapat berbagai pendekatan yang digunakan sebagai landasan sebuah negara dalam membangun perekonomian negaranya, salah satunya adalah ilmu ekonomi politik neoklasik. Menurut Caporaso dan Levine, ilmu ekonomi neoklasik merupakan teori yang terkait dengan pertukaran sukarela dan alokasi sumberdaya secara efisien. Pendekatan ekonomi politik neoklasik memandang bahwa individu dapat dan harus membuat pilihan. Oleh karenanya, setiap orang akan berusaha untuk memenuhi kebutuhanya sesuai dengan tingkat kepuasan tertinggi karena adanya kelangkaan. Setiap individu diasumsikan rasional dalam membuat pilihan dan keputusan. Dalam tradisi neoklasik mengasumsikan bahwa semua orang akan selalu berusaha untuk mencapai level kepuasan yang terttinggi dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita, sehingga tingkat kebahagiaan yang tertinggi dapat dicapai sesuai dengan sumberdaya yang tersedia bagi kita 25. Selain itu, pasar diasumsikan memiliki informasi yang sempurna sehingga tidak dibutuhkan biaya untuk memperoleh informasi dan ketika terjadi kegagalan pasar, maka pemerintah 20 Ibid, Hal Ibid. Hal Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Kelembagaan. Paradigma, Teori dan Kebijakan (Jakarta: Penerbit Erlangga,2013) Hal Ibid. Hal Ibid. Hal Ibid. Hal 185

22 10 mulai menanganinya, dalam arti lain pendekatan neoklasik lebih menekankan ekonomi dan politik diperlukan ketika terjadi kegagalan pasar 26. Tabel 2 Ekonomi dan Politik dari Segi Metode dan Substansi Metode Ekonomi Politik Ekonomi 1. Teori ekonomi tradisional, perilaku maksimalisasi dalam kondisi pasar, teori harga, efisiensi alokasi 2. Penerapan metode ekonomi terhadap politik, pilihan publik Politik 3. Penerapan metode politik terhadap ekonomi, analisa distribusi kekuasaan dalam situasi pasar 4. Ilmu politik tradisional, analisis distribusi kekuasaan dalam bidang politik Sumber : Buku Teori-Teori Ekonomi Politik 27 Hubungan antara ekonomi dan politik yang dipahami secara substantif dan secara metodologis dipaparkan dalam Tabel 1. Kotak 1 adalah pertemuan antara pendekatan ekonomi neoklasik dengan fenomena ekonomi, yaitu yang memandang bahwa individu akan mengejar kepentingan pribadinya secara rasional di dalam situasi pasar yang sempurna maupun yang tidak sempurna dan melakukan penelitian terhadap pergerakan harga dan sejauh mana sumber daya alam dialokasi secara efisien 28. Kotak 2 adalah penerapan metode ekonomi terhadap tema-tema ilmu politik dalam teori pilihan publik dan teori permainan, yaitu ketika teori permainan diterapkan pada masalah politik atau pelaku politik dan analisis ekonomi terhadap institusi hukum dan institusi politik 29. Kotak 3 menjelaksan bahwa politik sering kali telah dicoba dihubungkan dengan metode analisis terhadap transfer dan distribusi kekuasaan atau dengan metode analisis terhadap upaya masyarakat untuk membangun dirinya sendiri 30. Kotak 4 adalah ilmu politik dalam artian tradisional, yaitu telaah terhadap pola-pola kekuasaan dan kewenangan dalam negara 31. Pengertian Korupsi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2014 menurut survei Transparansi International (TI) adalah 3,4 32. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di dunia, yang sejajar dengan negara-negara terbelakang 26 Ibid. Hal James A. Caporaso & David P. Teori-Teori Ekonomi Politik (Jakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2008). 28 Ibid. Hal Ibid. 30 Ibid. 31 Ibid. 32 Transparency International, 2015

23 11 seperti Ethiopia, Uganda, dan lain-lain. Penilaian TI International tidak salah, karena perilaku korupsi telah merebak di segala segi kehidupan masyarakat Indonesia dan dilakukan oleh seluruh unsur masyarakat (tidak terbatas pejabat publik). Sementara ini, sebagaian besar anggota masyarakat dan aparat pemerintah (termasuk para penegak hukum) memahami makna korupsi terbatas pada perbuatan yang merugikan negara. Kenyataannya makna dan magnitudo korupsi jauh lebih luas dari apa yang mereka pahami. Korupsi berasal dari kata corruptio atau corruptus, secara harafiah bermakna perilaku berbohong, tidak jujur, tidak bermoral, dapat disuap, mencuri dan lain sebagainya 33. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, korupsi bermakna perbuatan busuk seperti penggelapan uang, dapat disuap 34. Dengan demikian lingkup korupsi selain berbentuk perbuatan melawan hukum yang diancam dengan hukuman pidana, dari sudut sosiologi, merupakan perilaku yang menyimpang dari nilai-nilai sosial yang dianggap wajar 35. Misalnya, memberikan imbalan atas jasa pelayanan yang sudah menjadi tugas pekerjaan aparatm menerima komisi atas kegiatan pengadaan barang atau jasa yang sebelumnya telah di mark up, memproyekkan kegiatan rutin dan sebagainya. Demikian meluasnya perilaku korupsi yang berdampak terjadinya perubahan (erosi) nilai-nilai sosial dalam masyarakat, sehingga korupsi dinaggap menjadi suatu kebudayaan 36. Korupsi telah menjadi kepedulian internasional; korupsi diistilahkan transnational crimes, disebut juga extraordinary crimes karena keterkaitannya satu perbuatan pidana dengan lainnya, yang merugikan masyarakat. Memang dalam kenyataannya korupsi tidak saja dilakukan oleh pejabat publik terkait dengan potensi merugikan keuangan negara, tetapi meliputi semua perbuatan oleh anggota masyarakat yang melanggar hak-hak asasi manusia. Dampak korupsi itu sendiri dapat terlihat, antara lain: tingginya angka kemiskinan, menurunnya kualitas sumberdaya manusia, kemerosotan moral, rendahnya daya saing produk indonesia, rendahnya kualitas pelayanan publik, terjadinya berbagai kerusakan lingkungan, dan hilangnya sanksi sosial oleh masyarakat 37. Korupsi tidak disebabkan oleh sebab tunggal, seperti gaji kecil atau kemelaratan, akan tetap oleh berbagai sebab, yaitu jeleknya berbagai sistem yang dilaksanakan di Indonesia, seperti: Sistem hukum, pembangunan hukum sangat sektoral yang justru memberikan peluang praktek mafia peradilan. 2. Sistem politik, lebih menonjolkan politik praktis yang lebih mengutamakan upaya memperoleh kekuasaan. 3. Sistem administrasi kepegawaian, yang masih bernuansa kolusi dan nepotisme dan rekruitmen dan penempatan pegawai. 4. Sistem sosial, yang tidak dapat membedakan hak milik pribadi dan publik sehingga menjadi banyak aset publik digunakan untuk 33 Ulul Albab Korupsi: Menumbukan Spirit Anti Korupsi. Penerbit Jaringpena: Surabaya. Hal 1 34 Ibid. 35 Ibid. Hal 2 36 Ibid. Hal 6 37 Ibid. Hal Pramono U. Tanthowi Membasmi Kanker Korupsi. Penerbit PSAP: Jakarta. Hal 14

24 12 kepentingan pribadi, termasuk tidak dikenalnya konsep benturan kepentingan (conflict of interest) sehingga terjadi di berbagai rangkap jabatan di sektor publik. 5. Sistem pengawasan, tiadanya sistem pengawasan yang memadai dan hampir tiada sanksi terhadap para pelanggar (apalagi jika pelanggarnya merupakan kerabat atau kenal dengan dengan penguasa). Berbagai kondisi tersebut diperparah oleh berkembangnya budaya feodalisme terutama di lingkungan birokrasi, seperti munculnya berbagai acara seremonial yang pada hakikatnya pemborosan dana publik dan mengurangi efisiensi kerja. Bowles (1999) mengintrodusir berbagai definisi tentang korupsi yang beraneka ragam menjadi ke dalam dua kelompok, yaitu definisi yang sempit dan definisi yang luas 39. Definisi secara sempit dikemumakan oleh Shleifer dan Vishny (1993) yang mendefiniskan 40 Government corruption as the sale by government officials of government property for personal gain Sedangkan korupsi secara luas dikemumakan oleh para penulis teori-teori politik klasik seperti Plati dan Aristotoles, sebagaimana diuraikan oleh Bouckaert (1996) yang mendefinisikan korupsi sebagai perilaku yang merugikan negara, baik dilakukan secara ilegal maupun legal 41. Bagi para penulis teori-teori politik klasik serta para penulis yang lebih kemudian yang dipengaruhi oleh pandangan Plato dan Aristoteles seperti Andreski (1978), korupsi tidak selalu dapat diamati dengan sebagai tindakan ilegal seperti mencuri atau menggelapkan uang negara. Terkadang korupsi terjadi dan dilakukan dengan kesadaran penuh dan dilegalkan oleh negara. Dari kedua perspektif tersebut, Bowles merumuskan definisi dari jalan tengah yang tidak seluas dengan definisi Plato dan Aristoteles tetapi tidak sesempit definisi yang dikemukakan oleh Shleifer dan Vishy. Bowles memandang korupsi merupakan praktik penyelewengan yang merugikan negara yang bisa melibatkan birokrat dan kalangan di luar dunia birokrasi, yaitu dunia swasta 42. Menurut Didin S. Damanhuri, korupsi dalam garis besar terdapat berbagai macam jenisnya, baik yang jenis korupsi tradisional maupun jenis korupsi bentuk baru. Jenis korupsi tradisional antara lain adalah nepotisme, upeti, sogok, premanisme, dan sebagainya. Jenis korupsi bentuk baru antara lain yaitu kolusi birokrat-pengusaha, kolusi bankir-pengusaha, penggelapan anggaran, penyalahgunaan jabatan/wewenang, penggelembungan dana (mark up), penyempitan dana (mark down), kick-back, mafia peradilan, monopoli-oligopoli, dan monopsoni-oligopsoni komoditas strategis dan sebagainya 43. Sedangkan Lopa membagi korupsi menjadi dua bentuk, yaitu material/economic corruption dan political corruption 44. Bentuk pertama adalah yang lebih banyak menyangkut penyelewengan di bidang materi dengan 39 Ibid. Hal 6 40 Ibid. Hal 7 41 Ibid. 42 Ibid. Hal 9 43 Didin S. Damanhuri, Ekonomi Politik dan Pembangunan, Teori, Kritik, dan Solusi bagi Indonesia dan Negara sedang Berkembang. (Bogor: IPB Press, 2010). Hal Lopa B, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta: Kompas Hal 67-71

25 13 manipulasi di bidang ekonomi yang merugikan perekonomian negara, dan yang kedua berupa perbuatan manipulasi dengan cara penyuapan, intimidasi, paksaan, dan campur tangan yang dapat mempengaruhi pemerintahan. Hubungan pola korupsi dalam hierarki ada dua macam 45, yaitu hubungan pola dari bawah ke atas (bottom-up) dan hubungan pola dari atas ke bawah (topdown). Pola yang pertama dilakukan dengan cara para pegawai tingkat rendah mengumpulkan suap dan membaginya dengan atasan mereka, secara langsung atau tidak langsung. Pola yang kedua beroperasi dimana pegawai tinggi/pimpinan menutup mulut para bawahannya dengan membagikan keuntungannya yang di dapat dengan korupsi, melalui gaji yang tinggi dan fasilitas untuk bawahan atau keuntungan dibawah meja. Korupsi dilihat dari aspek karakteristiknya merupakan tindak pidana yang bersifat sistematis yang dapat menimbulkan penderitaan bagi masyarakat, dapat merusak nilai-nilai bangsa dan dapat menghambat pembangunan 46. Luo (2005) menyatakan bahwa : 47 orang yang sedang disuap tentu harus bertindak sebagai agen bagi individu lain atau organisasi karena tujuan suap adalah untuk mendorong dia untuk menempatkan sendiri kepentingan tujuan organisasi dimana dia bekerja Secara teori, korupsi dapat dirumuskan sebagai berikut 48 : C= M + D A Keterangan: C : Corruption (Korupsi) M : Monopoly Power (Kekuasaan Monopoli) D : Discrection by officials (Wewenang Pejabat) A : Accountability (Akuntabilitas) Dari rumus tersebut dapat dijelaskan bahwa korupsi disebabkan oleh beberapa hal, yaitu wewenang jabatan, kekuasaan monopoli dan akuntabilitas. Hal tersebut dilakukan karena adanya oknum yang menggunakan wewenang seorang jabatan. Menurut perspektif hukum, definisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam tigapuluh bentuk / jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi. Ketigapuluh bentuk /jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokan sebagai berikut: 1. Kerugian Keuangan Negara 2. Suap menyuap 3. Penggelapan dalam jabatan 4. Pemerasan 45 Ackerman SR, Korupsi dan Pemerintahan: Sebab, akibat dan reformasi, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, Hal Muhammad Yusuf. Miskinkan Koruptor. (Jakarta: Pustaka Juanda Tigalima). Hal Soma P. Ren, An Institutional Theory Perspective on Corruption: The Case of a Developing Democrac, Journal Financial Accountability & Management, Robbert Klitgaard, Ronald Maclean-Abaroa dan H. Lindsey Parris. Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia). Hal Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi, Jakarta:KPK, Hal 15-17

26 14 5. Perbuatan Curang 6. Benturan Kepentingan dalam Pengadaan 7. Gratifikasi Pengertian Rent-Seeking Rent-seeking theory, menurut Aidt (2003), ada tiga kondisi dibawah ini yang mendorong terjadinya korupsi 50 : 1. Kekuasaan atau otoritas yang diskretif. Artinya, pejabat publik memiliki wewenang, baik legal maupun tidak untuk menentukan bagaimana sebuah keputusan atau kebijakan dijalankan. 2. Potensi bagi terciptanya rente ekonomi. 3. Institusi yang lemah. Tanpa adanya sanksi, pengawasan dan penegakan aturan yang ketat dan konsisten, maka rente ekonomi bukan hanya sekedar potensi, tapi akan terealisasi. Istilah rente dalam ekonomi politik yang digunakan pada penelitian ini bermakna negatif, walaupun sesungguhnya kata rente atau sewa dapat dimaknai secara netral. Menurut Adam Smith, sewa adalah salah satu balas jasa faktor produksi. Upah adalah balas jasa untuk tenagakerja, keuntungan bagi pengusaha, sementara rente adalah balas jasa bagi aset, seperti bunga pinjaman, sewa tanah atau bangunan. Oleh karena itu, konsep rent seeking dalam ekonomi klasik tidak dimaknai secara negatif sebagai kegiatan ekonomi yang menimbulkan kerugian, bahkan bisa berarti positif karena dapat mendorong kegiatan ekonomi secara simultan, seperti seseorang yang ingin mendapatkan keuntungan. Tetapi pemburu rente dalam kajian ekonomi politik adalah perburuan pendapatan dengan cara monopoli, lisensi, dan penggunaan modal kekuasaan dalam bisnis. Pengusaha memperoleh keuntungan dengan cara bukan persaingan yang sehat dalam pasar. Kekuasaan dipakai untuk memengaruhi pasar sehingga mengalami distorsi untuk kepentingannya. Maka rent seeking tidaklah dimaknai secara netral, tapi dilihat melalui kacamata yang negatif. Asumsi awalnya adalah setiap kelompok kepentingan (self interest) berupaya mendapatkan keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya dengan upaya (effort) yang sekecil-kecilnya. Persoalannya adalah, jika produk dari lobi tersebut berupa kebijakan, maka implikasi yang muncul bisa sangat besar. Seperti yang diungkap oleh Olson (1982) proses lobi dapat berdampak kolosal karena melibatkan proses pengambilan keputusan (decision making) berjalan sangat lambat dan ekonomi akhirnya tidak bisa merespon secara cepat terhadap perubahan-perubahan dan teknologi baru 51. Kelompok kepentingan ini memanfaatkan pemerintah untuk mencari rente (rent seeking) melalui proses politik dengan memengaruhi kebijakan. Dengan adanya praktek perburuan rente yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, kebijakan yang dibuat pemerintah hanya menghasilkan inefisiensi. Hal tersebut mencerminkan tidak bertemunya kepentingan para pelaku, yaitu masyarakat dan pemerintah (politisi dan birokrat). 50 Aidt, Economics Analysis of Corruption: The Economic Journal, Vol 113 No 491, November Hal 2 51 Yustika A.E, Ekonomi Kelembagaan : Definisi, Teori, dan Strategi, Jatim: Bayumedia Publishing, Hal 140

27 15 Teori ekonomi perburuan rente (rent seeking economic theory) menjelaskan hubungan pengusaha dengan pemerintah. Pengusaha selalu mencari preferensi atau keistimewaan dari pemerintah dalam bentuk lisensi, kemudahan, proteksi, dan sebagainya untuk kepentingannya 52. Mallarangeng (2002) memaparkan bahwa pada pemerintahan Orde Baru, kegiatan rent seeking dapat ditelusuri dari persekutuan bisnis besar (yang menikmati fasilitas monopoli maupun lisensi impor) dengan birokrasi pemerintah. Perusahaan-perusahaan swasta itu sebagian besar dikuasai oleh mereka yang mempunyai hubungan pribadi dengan khusus dengan elite pemerintah, dan dalam banyak kasus dengan Soeharto. Dengan fasilitas tersebut mereka sekaligus memperoleh dua keuntungan: mendapatkan laba yang berlebih (supernormal profit) dan mencegah pesaing masuk pasar 53. Dengan lisensi khusus tersebut, maka dengan mudah pelaku yang lain tidak bisa masuk pasar. Karena itu, perilaku perburu rente ekonomi biasanya merupakan perilaku antipersaingan atau menghindari persaingan. Menurut Yustika (2008) perburuan rente (rent seeking) dapat didefinisikan sebagai upaya individual atau kelompok untuk meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan regulasi pemerintah untuk menghambat penawaran atau peningkatan permintaan sumberdaya yang dimiliki 54. Krueger (1974) mengidentifikasikan bahwa prilaku pencarian rente (rent seeking behavior) merupakan usaha-usaha yang dilakukan pemerintah dalam melakukan berbagai hambatan (retriksi) melalui regulasi sehingga orang per orang harus bersaing untuk mendapatkan rente tersebut. Kadang-kadang bentuk persaingan untuk mendapatkan rente tersebut sangat legal, tetapi juga dapat dalam bentuk-bentuk lain, seperti penyuapan, korupsi, penyeludupan dan pasar gelap 55. Sedangkan Steven (1993) mendefinisikan pencarian rente sebagai usaha dengan menggunakan proses politik (political process) sedemikian sehingga mengizinkan perusahaan atau kelompok perusahaan untuk memperoleh keuntungan ekonomi yang melebihi biaya imbangan (opportunity cost)-nya 56. Dari berbagai pemaparan dan definisi di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa perburuan rente (rent seeking) adalah usaha individu/kelompok kepentingan memengaruhi proses politik (political process) untuk memperole rente ekonomi/keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya (laba berlebih/supernormal profit) dengan upaya (effort) yang sekecil-kecilnya. Dimana sumber rente adalah kekuatan monopoli/wewenang yang diperoleh dari pemerintah. Penyebab terjadinya rent-seeking merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Perburuan rente dapat muncul ketika terdapat pengalokasian sumberdaya yagn ada di masyarakat untuk memperoleh hak milik yang ditawarkan oleh pemerintah. Pertahanan posisi atau jabatan seorang individu atau kelompok untuk memperoleh keuntungan dapat juga menimbulkan kegiatan rent-seeking. Selain itu, peluang besar munculnya kegiatan rent-seeking adalah adanya halangan 52 Ibid. Hal Ibid. Hal Ibid, Hal Riyanto, Korupsi Dalam Pembangunan Ekonomo Wilyah: Suatu Kajuan Ekonomi Politik dan Budaya, Disertasi, Pascasarjana IPB, Hal Ibid.

28 16 masuk (barrier to entry). Adanya halangan masuk ini menyebabkan pelaku ekonomi berupaya meningkatkan persaingannya untuk memperoleh bantuan dari pemerintah atau pihak lain yang dapat membantu untuk memasuki pasar. Sehingga perlu adanya kebijakan yang dapat menciptakan berjalannya pasar yang sempurna tanpa ada hambatan masuk. Gambar 3 Biaya-biaya monopoli 57 Tullock menggambarkan konsep rent-seeking terkait biaya-biaya monopoli serta menggunakan komoditi gandum sebagai contoh. Sumbu horizontal menunjukan jumlah komoditas gandum yang bisa diproduksi pada harga CC. Garis DD menunjukan permintaan gandum dan beragam kesuburan lahan. Unit Q menunjukan pasar kompetitif karena kurva permintaan, DD, menyentuh garis biaya (pada situasi ini diasumsikan adanya informasi yang sempurna dan tanpa adanya biaya transaksi). Titik keseimbangan ditunjukan oleh harga P dan lahan dengan kualitas rendah (di sisi sebelah kanan Q, tidak ditanami). Pada titik tersebut, area di atas CC dan di bawah P disebut sewa lahan Ricardian, dan pemilik lahan gandum akan berproduksi untuk mengumpulkan gandum kembali, sehingga produsen dapat berinvestasi dengan biaya yang lebih murah. Dapat dimungkinkan juga mereka melakukan pengorganisasian kartel atau monopoli agar dapat mengendalikan harga melalui pembatasan produksi. Aktivitas yang kedua ini yang disebut rent-seeking. Hasil rent-seeking ditunjukan oleh produksi yang berada di antara Q1 dan P1. Konsekuensinya adalah keuntungan area persegi panjang yang dibentuk oleh P,P1, dan Q1 ditransfer dari konsumen ke pemilik monopoli dan kerugian masyarakat ditunjukan oleh gambar segitiga yang dibentuk oleh P, Q1, Q, dan DD. Area segitiga tersebut merupakan keuntungan yang diperoleh konsumen melalui pembelian antara unit!q dan Q apabila tidak ada kenaikan harga Ibid. Hal James A, Caporaso dan David P.Levine. Op.cit. Hal

29 17 Rent-seeking erat kaitannya dengan biaya transaksi. Pada pembangunan properti, misalnya, pemburu rente menginginkan adanya pembangunan properti yang akan dibangunnya di hutan atau daerah resapan yang seharusnya tidak diperbolehkan untuk didirikan bangunan, Agar proyek itu terlaksana dan seolaholah hal tersebut murni kebijakan pemerintah, pemburu rente tersebut bisa saja meminta pemerintah untuk membuat kebijakan tersebut. Sebagai pelicin, maka pemburu rente akan mengeluarkan sekian dana untuk melobi hingga kebijakan tersebut terlaksana, yaitu lahan bebas diperuntukan untuk didirikan bangunan properti. Dana melobi dalam pembebasan lahan tersebut dimasukan kedalam biaya transaksi perusahaan pemburu rente. Teori Ekonomi Biaya Transaksi (Transaction Cost) Biaya transaksi merupakan ongkos untuk menspesifikasi dan memaksakan (enforcing) kontrak yang mendasari pertukaran, sehingga dengan sendirinya mencakup semua biaya organisasi politik dan ekonomi yang memungkinkan kegiatan ekonomi mengutip laba dari perdagangan 59. Biaya transaksi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : biaya transaksi sebelum kontrak (ex-ante) dan setelah konktrak (ex-post). Biaya transaksi sebelum kontrak terjadi jika salah satu pihak transaksi memiliki informasi yang terbatas tentang pembelian atau penjualan. Tetapi kerugianna dapat dihilangkan setelah transaksi itu lengkap. Sedangkan biaya transaksi setelah konktrak terjadi saat salah satu pihak transaksi memiliki informasi yang terbatas dibandingkan pihak lain bahkan setelah transaksi tersebut terjadi 60. Biaya transaksi terjadi karena adanya rasionalitas terbatas (bounded rationality) dan perilaku oportunis yang bertujuan untuk menghindari kerugian, penyimpangan moral, penipuan, dan bentuk perlaku strategis lainnya. Biaya transaksi resmi dalam perhitungan pajak adalah biaya-biaya yang dikeluarkan developer dalam rangka melakukan prosedur perizinan yang ditunjang oleh tanda terima pembayaran resmi, seperti biaya kepengurusan perizinan, biaya formulir perizinanm biaya notaris, biaya konsultan, dan lain lain. Sedangkan biaya ilegal yang harus mereka keluarkan meliputi biaya informasi dari oknum pemerintah, biaya preman pembebasan lahan dan biaya bonus untuk para aparat pemerintah. Biasanya biaya ilegal ini nilainya jauh lebih besar dibandingkan biaya resminya. Pengertian Sumberdaya Lahan Lahan merupakan sumberdaya alam yang memiliki fungsi sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia. Seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan dan pertumbuhan penduduk, kebutuhan terhadap lahan semakin meningkat seperti untuk pemukiman, industri, serta sarana dan prasarana. Di sisi lain ketersediaan lahan relatif tetap sehingga 59 Ahmad Erani Yustika.2006.Ekonomi Kelembagaan : Definisi, Teori, dan Strategi. Bayumedia Publishing, Jakarta. Hal Ibid. Hal 112

30 18 menyebabkan kelangkaan lahan atau kelebihan permintaan terhadap lahan itu sendiri. Adanya kelebihan permintaan terhadap persediaan lahan, menimbulkan terjadinya persaingan penggunaan lahan yang akan menyebabkan terjadinya konversi lahan. Menurut Hartwick dan Olewiler (1986) pengertian sumberdaya lahan ialah menyangkut seluruh permukaan, termasuk segala syang terkandung dalam lahan itu yang berguna bagi budidaya atau produksi pertanian, selain itu juga menyangkut juga bahan-bahan organik dan air yang terkandung 61. Sumberdaya lahan merupakan sumberdaya yang penting untuk menopang segala aktivitas manusia, baik sebagai sumberdaya yang dapat diolah maupun sebagai tempat tinggal atau rekreasi, jalan-jalan (transportasi) dan sebagainya serta menunjukan bagaimana memanfaatkan sumberdaya lahan secara optimal untuk kemakmuran masyarakat. Menurut Barlowe (1986) dikatakan bahwa pengertian atau konsep tentang lahan dapat dibagi menjadi beberapa konsep, yaitu 62 : 1. Lahan sebagai suatu ruang yaitu bahwa lahan merupakan suatu ruang yang terdapat kehidupan di dalam dan di permukaannya. Dalam hal ini sumberdaya lahan adalah tetap dalam kuantitasnya dan tidak dapat ditingkatkan. 2. Lahan sebagai alam, yaitu bahwa lahan merupakan sumberdaya alam yang dapat diodifikasi sebagai sumberdaya. 3. Lahan sebagai faktor produksi, yaitu lahan bersama-sama dengan faktor produksi lainnya seperti tenaga kerja, kapital, dan manajemen sebagai suatu kesatuan faktor produksi dalam perekonomian. 4. Lahan sebagai barang konsumsi, yaitu lahan yang tidak hanya dimiliki sebagai kebanggaan karena tidak hanya dapat menambah produksi tetapi juga memiliki nilai sebagai barang konsumsi di dalam hak miliknya. 5. Lahan sebagai situasi, yaitu mempunyai peran dalam pasar, karena nilai dan penggunaan lahan ditentukan oleh kepentingan dalam perekonomian modern dan dunia politik. 6. Lahan sebagai suatu milik, yaitu diperhatikan sebagai suatu areal yang dimiliki oleh individu maupun kelompok. 7. Lahan sebagai kapital dalam perekonomian. Peran Pemerintah dalam Penentuan Harga Lahan di Perkotaan Kepemilikan lahan merupakan salah satu bentuk yang sering menimbulkan masalah. Di salah satu pihak, banyak yang memiliki lahan yang luas untuk pemukiman tetapi di pihak lain ada kelompok masyarakat yang menjadikan lahan tersebut sebagai alat spekulasi. Lahan merupakan salah satu alternatif bentuk kekayaan yang memberkikan kepuasan maksimal bagi pihak tertentu. Jika informasi sempurna maka setiap orang akan mencapai kepuasan maksimal dalam kepemilikan lahan. 61 John M. Hartwick dan Nancy D. Olewiler The Economics of Natural Resources Use. Harper & Row, New York. Hal Florin Hasannah Faktor Faktor yang Mempengaruhi Harga Lahan Pemukiman di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor [Skripsi]. Faperta IPB

31 19 Namun pada kenyataannnya, terdapat berbagai masalah dalam hal penguasaan dan pemilikan lahan karena informasi yang tidak sempurna. Masyarakat sering tidak mengetahui tata guna lahan dan harga lahan yang berubah sehingga fenomena ini sering dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mengambil alih lahan yntuk mencari keuntungan. Badan Pertahanan Nasional (BPN) diberikan kewenangan dalam penentuan besarnya nilai lahan. Dalam hal ini, dibentuk sebuah Panitia Pengadaan Tanah (PPT) yang terdiri dari sembilan orang. Tugasnya adalah menentukan besarnya nilai tanah, khususnya ketika pelaksanaan ganti rugi 63. Ditinjau dari aspek perpajakan, harga lahan yang tinggi akan sangat menguntungkan pemerintah karena dapat menignatkan pajak. Agar tidak ada pihak yang dirugikan maka ada suatu cara pragmatis untuk menentukan harga dasar lahan, yaitu berlandaskan pada prinsip self assessment of property value. Dalam sistem ini, pemilik lahan bersetifikat diharuskan mengisi pernyataan mengenai nilai lahan mereka. Penentuan nilai lahan harus tidak boleh lebih rendah dari NJOP. Kesulitan yang akan timbul dalam pelaksanaannya adalah penilaian mengenai NJOP. NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. NJOP meliputi nilai jual permukaan bumi beserta kekayaan alam yang berada di atas maupun dibawahnya dan bangunan yang melekat diatasnya. Dampak positif yang ditimbulkan dalam self assessment of property value ini akan dirasakan oleh banyak pihak 64. Tata Ruang Wilayah Tata ruang wilayah kota mencerminkan pengembangan sektoral dan pemanfaatan tata kota yang optimal dan diimplementasikan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). RTRW Kota berisi: 65 a. Pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya b. Pengelolaan kawasan pedesaan, perkotaan dan kawasan tertentu c. Sistem kegiatan pembangunan dan sistem pemukiman pedesaan dan perkotaan d. Sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengariran, dan prasarana pengelolaan lingkungan e. Penatagunaan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan RTRW Kota Menjadi Pedoman untuk 66 : a. Perumusan kebijakan pokok pemanfaatan ruang di wilayah kota b. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antar wilayah kota serta keserasian antar sektor 63 Maria S.W. Sumardjono Kebijakan Pertanahan : Antara Regulasi dan Implementasi. Kompas, Jakarta. Hal Guritmo Mangkoesoebroto Kebijakan Ekonomi Publik di Indonesia : Substansi dan Urgensi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal RTRW Bogor dalam Marisan Analisis Inkonsistensi Tata Ruang Dilihat dari Aspek Fisik Wilayah: Kasus Kabupaten dan Kota Bogor. Tesis Program Pascasarjana Bogor: IPB. Hal Ibid.

32 20 c. Penerapan lokasi investasi, yang dilaksanakan pemerintah dan atau masyarakat di Kota d. Penyusunan rencana rinci tata ruang di kota e. Pelaksanaan pembangunan dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan pembangunan Pengembangan ruang suatu kota dipengaruhi oleh RTRW regional, yaitu RTRW Provinsi Jawa Barat. Pada RTRW Provinsi Jawa Barat terdapat kebijakan yang terkait dengan Kota Bogor, yaitu 67 : 1. Bogor diarahkan sebagai Hierarki IIA dengan kegiatan utamanya adalah pemukiman dan perdagangan reguonal yang merupakan pusat pelayanan bagi wilayah sekitarnya. 2. Bogor termasuk wilayah yang dilalui oleh pengembangan tol Bogor- Sukabumi-Padalarang 3. Pengaktifan kembali jalur kereta api Bandung-Sukabumi-Bogor-Jakarta Kondisi lingkungan kawasan Provinsi Jawa Brat dan DKI Jakarta dipengaruhi oleh kawasan yang berada diatasnya, yakni Kota dan Kota Bogor itu sendiri, Puncak, dan Cianjur. Adanya keterkaitan antar wilayah menjadikan pemerintah menyusun suatu peraturan mengenai pengembangan wilayah Bogor secara khusus, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 menyatakan bahwa Bogor merupakan salah satu yang termasuk dalam kawasan bopuncur, dengan pemanfaatan ruang terbatas, sesuai fungsinya yaitu sebagai kawasan konservasi air dan tanah serta memiliki nilai stratergis sebagai kawasan yang dapat memberikan perlindungan terhadap kawasan Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta 69. Penelitian Terdahulu Andromeda pada tahun 2008 melakukan penelitian yang berjudul Dampak Penguasaan Lahan dan Pembangunan Properti terhadap Masalah Sosial Ekonomi Masyarakat di Kawasan Segitiga Emas Jakarta. Penelitian ini menunjukan bahwa konglomerat sebagai pengembang properti, melakukan aktivitas perburuan rente dengan berkolusi dengan oknum pemerintah, calo, dan preman agar dimudahkan dalam proses perizinan penguasaan lahan. Untuk itu para pengembang akan mengeluarkan biaya transaksi diluar biaya modal pembangunan proyek, baik biaya legal maupun biaya ilegal yang besarnya antara nol persen hingga 14 persen. Akibat adanya perburuan rente, rakyat pemilik lahan akan dirugikan karena pengembang membebaskan lahannya dengan harga yang rendahm sebaliknya harga jual properti di Kawasan ini sangat mahal sehingga konglomerat akan mendapatkan supernormal profit pada proyek tersebut. Penelitian Airin Nuraini pada tahun 2013 yang berjudul Dampak Korupsi terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia (Studi Kasus : Mekanisme 67 Chaerawati Analisis Permintaan Angkutan Umum di Kabupaten Bogor dan Pengaruhnya terhadap Tata Ruang. Skripsi Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Bogor : IPB Hal Ibid,. Hal Radmawati Evaluasi Ruang Terbuka Hijau Kota Depok sebagai Kawasan Konservasi Air Menggunakan Data Satelit Multi Temporal. Tesis Program Pascasarjana. Bogor : IPB. Hal 3

33 dugaan Korupsi APBD di Pemerintahan Provinsi Banten Tahun 2011). Hasil dari penelitian tersebut bahwa didapat terjadi korupsi APBD dalam aktivitas pencairan rente oleh oknum eksekutif dan legislatif bergandengan tangan dengan pihak ketiga dalam pengelolaan APBD. Ada dua korupsi APBD dalam mekanisme korupsi APBD pos Belanja (Bantuan Sosial) Bansos dalam bentuk APBD yang dapat digunakan sebagai dana taktis pembiayaan kampanye, yang dimulai dari perencanaan anggaran, meluas ketahap pelaksanaan, dan pertanggung jawaban. Mekanisme kedua yaitu, mekanisme perolehan rente dari proyek-proyek APBD. Penelitian Nindya Rasmi pada tahun 2009 yang berjudul Dampak Pembangunan Properti terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Kota Bogor menunjukan bahwa dalam pembangunan properti mewah, terjadi mekanisme perburuan rente. Sebelum melakukan pembangunan properti, terdapat tahapan yang panjang sehingga membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit sehingga developer memerlukan pihak ketiga dan mengeluarkan biaya transaksi. Umumnya, developer akan mengeluarkan biaya transaksi sebesar 5 persen - 10 persen dari total nilai proyeknya. Developer akan memanfaatkan izin yang diberikan oleh pemerintah untuk menekan masyarakat mengenai harga jual-beli lahan pada saat pembebasan lahan. Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh developer akan menambah biaya investasi sehingga akan meningkatkan harga penjualan lahan atau property yang dilakukan oleh developer. Akhirnya, developer akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar (supernormal profit) namun masyarakat mendapatkan kerugian. Masyarakat akan kehilangan lahan, ganti rugi yang tidak sesuai (di bawah NJOP), dan dapat menurunkan kesejahteraan. Dibandingkan dengan penelitian-penelitian terdahulu, dalam penelitian ini pembahasan aktifitas perburuan rente dan korupsi difokuskan pada korupsi di daerah yang terjadi di salah satu daerah di Indonesia pada sektor properti yaitu di Kabupaten Bogor, yang diduga penyebabnya adalah faktor dalam proses politik di daerah dari maraknya rent-seeking behavior oknum pelaku ekonomi dan pemegang kekuasaan, dan juga melihat perkiraan kebocoran yang disebabkan karena adanya rent-seeking dan korupsi pada sektor properti di Kabupaten Bogor dengan menggunakan 21

34 22 Gambar 4 Kerangka Pemikiran

35 23 METODE PENELITIAN Metode penelitian merupakan bagian yang penting dalam sebuah penelitian. Dalam metode penelitian terdapat uraian terkait tahapan penelitian maupun rancangan penelitian untuk menjawab permasalahan yang dibahas dalam sebuah penelitian 70. Jenis dan sumber data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data hasil dari wawancara mendalam (indepth interview) sedangkan data sekunder akan diperoleh melalui instansiinstansi yang berkaitan baik dengan mencari melalui internet maupun langsung mendatangi kantor instansi-instansi terkait. Apabila data terkumpul, maka akan dilakukan proses pengolahan dan analisis data melalui analisis deskriptif dengan menggunakan grafik maupun tabel. Berikut ini merupakan uraian secara detail mengenai rancangan penelitian yang akan penulis gunakan untuk menjawab permasalahan yang ada. Wilayah Penelitian Penelitian ini mengambil kasus pada wilayah di Kabupaten Bogor. Waktu penelitian dilakukan pada Oktober 2015 hingga Maret Penentuan wilayah ditentukan berdasarkan hal berikut : a. Sektor Bangunan dan Real Estate merupakan salah satu penyumbang terbesar terhadap PDRB Kabupaten Bogor. b. Pembangunan properti di Kabupaten Bogor mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sehingga diperlukan penelitian untuk melihat apakah adanya aktifitas perburuan rente maupun korupsi yang terjadi pada proses pembangunan properti di Kabupaten Bogor. c. Aspek finansial berupa biaya untuk pencarian data dan pengolahannya yang relatif tidak mahal. Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan pada penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui metode wawancara mendalam dengan para informan developer dan masyarakat yang mengetahui masalah penguasaan lahan dan pembangunan properti di Kota Bogor. Penguasaan lahan yang dianalisis adalah seberapa kuat pihak developer dalam menguasai properti di kawasan tersebut, serta mengetahui mekanisme pembebasan lahan skala besar besar untuk membangun properti tersebut. Sedangkan data sekunder diperoleh dari internet, buku-buku, karya tulis ilmian, Badan Pusat Statistik, Dinas Tata Ruang Kota Bogor dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Bogor 70 Bambang Juanda, Metodologi Penelitian Ekonomi & Bisnis, (Bogor: IPB Press, 2009). Hal 197

36 24 Metode Analisis Analisis yang digunakan merupakan analisis deskriptif dan kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan menyajikan data-data lahan dan properti serta berbagai kasus korupsi yang berada di Kabupaten Bogor. Metode ini digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian dengan menyajikan data-data mengenai adanya korupsi dan aktivitas perburuan rente yang telah terjadi di Kabupaten Bogor. Data yang disajikan berupa kata-kata dan tabel, dimana data tersebut tidak didapat dari hasil pengolahan, melainkan didapat dari beberapa dokumen-dokumen dari instansi terkait dan hasil wawancara dengan informan yang terkait baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kasus korupsi dan perburuan rente di Kabupaten Bogor. Dan juga didapat dari media massa baik secara online maupun media cetak yang sumbernya telah terjamin ke-valid-an datanya. Mekanisme Korupsi dan Rent Seeking Economic Activity Aktivitas ekonomi pemberuan rente ini biasanya selalu melibatkan pihak pemerintah yang mempunyai wewenang dalam membuat suatu kebijakan. Pihak swasta memanfaatkan informasi yang ridak sempurna dari masyarakat untuk mendapatkan keuntungan diatas normal dengan memberikan uang pelicin kepada oknum pejabat yang terkait. Aktivitas ekonomi pemburuan rente ini mengindikasikan adanya suatu biaya (transaction cost) yang harus dikeluarkan oleh developer. Dalam perspektif ekonomi politik, aktivitas pemburuan rente dianggap sebagai kegiatan yang merugikan banyak orang. Hubungan Biaya Transaksi Terhadap Keberadaan Rent-Seeking dan Korupsi dalam Pembangunan Properti Sebuah Perusahaan dalam mengikuti proyek pemerintah, khususnya pembangunan properti, perlu mengeluarkan biaya transaksi akibat informasi yang tidak sempurna. Sebagai contoh, dalam kasus pembangunan properti adalah Tata Ruang itu sendiri, pada prosesnya pemerintah tidak serta merta akan membocorkan kepada publik mengenai pengembangan atau pelebaran properti, dalam kasus ini adalah perumahan dikabupaten Bogor. Untuk itu pihak swasta, perlu mengeluarkan biaya transaksi untuk mengetahui informasi secara update dari pemerintah agar pada tujuannya adalah high profit. Biaya transaksi tersebut dimasukan pada biaya proyek yang hampir serupa dengan biaya produksi, sehingga proyek pembangunan properti tersebut berbiaya tinggi dan inefisiesn. Biaya transaksi tersebut dapat berupa biaya pengadaan dokumen, biaya pembebasan lahan, lobi dan sebagainya. Jika biaya tersebut dimaksudkan untuk menguntungkan pribadi perusahaan tersebut dengan pemanfaatan kebijakan pemerintah, maka hal tersebut mengindikasikan adanya fenomena rent-seeking. Kemudian, keterkaitan biaya tersebut terhadap indikasi korupsi dapat dianalisis melalui Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun Data biaya transaksi merupakan jenis data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait. Meskipun biaya tersebut tidak tersurat, namun dapat dianalisis secara tersirat jika dikaitkan dengan biaya normal. Jika biaya tersebut melambung dari biaya normal, maka diindikasikan terdapat tambahan biaya yang dimasukan

37 25 kedalam proyek tersebut. Tambahan biaya tersebut dapat berupa biaya transaksi yang wajar atau dapat saja termasuk biaya transaksi yang jumlahnya besar. Jika biaya transaksi yang jumlahnya besar, maka dapat diindikasikan bahwa pada proyek tersebut dimungkinkan terdapat fenomena rent-seeking maupun korupsi. Konsep biaya transaksi sangat kompleks, sehingga perlu disederhanakan melalui variabel-variabel agar mudah perhitungannya. Collins dan Fabozzi dalam Yustika membuat formulasi yang menjelaskan biaya transaksi menggunakan variabel-variabel yang mudah diukur. Berikut Formulasinya: 71 Biaya Transaksi = Biaya Tetap + Biaya Variabel Biaya Tetap = komisi + transfer fee + pajak Biaya Variabel = biaya eksekusi + biaya oportunitas Biaya Eksekusi = price impact + market timing cost Biaya Oportinitas = hasil yang diinginkan pendapatan aktual biaya eksekusi biaya tetap Wang dalam Yustika menjelaskan variabel-variabel yang dimaksud. Biaya oportinitas yang dimaksud merupakan perbedaan antara kinerja investasi aktual dengan kinerja investasi yang diinginkan, lalu disesuaikan dengan biaya tetap dan biaya eksekusi. Sementara biaya eksekusi sendiri merupakan ongkos yang muncul akibat adanya permintaan eksekusi cepat, yang mencerminkan kebutuhan adanya likuiditas dan pegiatan perdagangan. Selanjutnya, dampak harga (price impact) yaitu biaya untuk menangkap pergerakan harga aset (perdagangan ditambah selisih harga pasar). Biaya waktu pasar (market timing cost) adalah pergerakan harga aset pada saat dilakukan transaksi yang kemudian dapat dihubungkan dengan perilaku pasar lainnya 72. Informasi terkait biaya transaksi tersebut juga dapat diperoleh melalui wawancara mendalam dengan informan yang kompeten didalamnya. Informan informasi dari informan tersebut akan disesuaikan dengan data sekunder yang telah diolah, sehingga akan diperoleh informasi yang akurat. Keberadaan Aktor yang Melakukan Rent-Seeking dan Korupsi dalam Pembangunan Properti Keberadaan dari pelaku rent-seeking dan korupsi merupakan kunci utama dalam pengungkapan fenomena rent-seeking dan korupsi dalam pembangunan properti. Pihak yang memanfaatkan kebijakan pemerintah untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu adalah mereka yang melakukan rent-seeking dan mereka menyalahgunakan wewenang adalah mereka yang melakukan korupsi. Aktor rent-seeking ditelusuri melalui wawancara mendalam untuk membuktikan ada atau tidaknya fenoma rent-seeking. Sedangkan koruptor diperoleh melalui informasi yang ada di KPK, kepolisian, dan putusan Mahkamah Agung. Informasi korupsi yang dilakukan koruptor tersebut sudah ada keputusan tentang perkaranya. Agar diperoleh informasi lebih luas terkait perilaku korupsinya, maka dilakukan wawancara mendalam kepada informan yang akurat. 71 Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Kelembagaan, Paradigma, Teori dan Kebijakan (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2013). Hal Ibid. Hal 74

38 26 Jenis-Jenis Rent-Seeking dan Korupsi dalam Pembangunan Properti Jenis Rent-Seeking dalam pembangunan properti diperoleh dari analisis literatur yang diperoleh dari instansi terkait, seperti hasil pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Lalu ditambahkan wawancara mendalam untuk memperkuat data yang diperoleh. Jenis korupsi yang terjadi dalam pembangunan properti dianalisis melalui perspektif hukum, yaitu analisis menggunakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun Data yang digunakan adalah data korupsi yang diperoleh dari KPK, Kepolisian, Mahkamah Agung, BPK, serta surat kabar. Penyebab Munculnya Rent-Seeking dan Korupsi dalam Pembangunan Properti Tidak hanya dilihat dari aktor-aktor yang melakukan rent-seeking dan korupsi, namun hal penting lainnya untuk menelusuri fenomena tersebut adalah penyebab-penyebab terjadinya. Faktor-faktor penyebab terjadinya rent-seeking dan korupsi bermacam-macam, maka diperlukan informasi yang luas melalui buku, surat kabar, internet, tesis, serta wawancara mendalam kepada sejumlah informan yang kompeten. Perkiraan Kebocoran Akibat Adanya Rent-Seeking dan Korupsi Di Kabupaten Bogor Rent-Seeking dan korupsi menyebabkan pembangunan properti menjadi inefisien. Inefisiensi terjadi karena adanya kebocoran dana yang dikeluarkan oleh pihak swasta untuk pembangunan properti yang dilakukan pihak swasta dalam pembangunan properti. Dampak yang terjadi pada kebocoran dana yang dikelaurkan oleh pihak swasta adalah seperti harga jual yang diberikan kepada konsumen tinggi untuk me mark-up karena adanya biaya transaksi yang tinggi. Sehingga pembangunan properti yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat menjadi teralihkan untuk kepentingan individu maupun kelompok tertentu. Kebocoran tersebut dapat dianalisis melalui hasil audit BPK dan data-data besaran korupsi yang ada di KPK, kepolisian, maupun putusan Mahkamah Agung. Pendekatan lain yang digunakan untuk mengidentifikasi kebocoran adalah teori ICOR (Harrod-Domar) yang dirumuskan sebagai berikut 73 : ICOR = I / ΔY Dimana, I= ΔK = Perubahan Kapital ΔY = Perubahan Output Investasi (I) disini adalah penanaman modal oleh pemerintah maupun swasta. Besarnya investasi fisik yang telah dikerjakan pada tahun tertentu dapat ditunjukan oleh besar Pembentukan Modal Domestik Bruto (PMTB), sehingga rumus selanjutnya adalah 74 : ICOR = PMTB t PMTBt-1 / PDRBt PDRB t-1 73 Airin Nuraini, Dampak Korupsi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia : Studi Kasus: Mekanisme Dugaan Korupsi APBD di Pemerintah Provinsi Banten Tahun 2011, Tesis, Pascasarjana IPB, Hal Ibid.

39 27 Pihak yang Diuntungkan dengan Adanya Pembangunan Properti Setiap pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk kesejahteraan sosial. Akan tetapi kesejahteraan sosial tidak akan tertutupi jika dalam proses pembangunan tersebut terjadi rent-seeking dan korupsi. Oleh karena itu, perlu ditelurusuri pihak-pihak mana yang diuntungkan dengan adanya pembangunan properti. Informasi tersebut diperoleh melalui wawancara mendalam yang melibatkan informan dari berbagai kalangan, sehingga diperoleh informasi yang menyeluruh dan akurat. GAMBARAN UMUM Kondisi Properti di Indonesia Pada tahun 2012 dan pertengahan pertama tahun 2013 sektor properti Indonesia bertumbuh cepat, maka pertumbuhan keuntungan para developer properti Indonesia melonjak tajam (dari 45 perusahaan properti yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2012, 26 perusahaan mencatat pertumbuhan laba bersih lebih dari 50%) dan harga properti di Indonesia meningkat sejalan dengan hal tersebut. Menurut Indonesia Investments, pertumbuhan yang kuat ini terjadi, pertama karena ekspansi perekonomian di Indonesia yang subur. Kedua, komposisi demografi di Indonesia mendukung pertumbuhan ekonomi, termasuk sektor properti. Ketiga, pasar properti naik tajam karena rendahnya tingkat suku bunga bank sentral antara tahun 2012 hingga Di pertengahan kedua tahun 2013, Bank Indonesia semakin khawatir mengenai berkembangnya gelembung properti karena perekonomian umum sedang melambat namun sektor properti naik sangat tinggi di pertengahan pertama tahun Bank Indonesia mengatakan bahwa pihak BI sudah mendeteksi pembelian spekulatif dan karenanya mengimplementasikan kebijakan pengetaan moneter. Meskipun kecil kemungkinan gelembung tersebut akan meletus (karena permintaan domestik untuk properti tetap besar dan kebanyakan pembelian dilakukan oleh pengguna akhir, sementara harga properti meskipun telah meningkat cepat, masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara lain di Asia) pembelian spekulatif memang bertumbuh. Biasanya pengembang properti di Indonesia menjual kebanyakan unit dari sebuah proyek baru (contohnya sebuah bangunan apartemen) sebelum konstruksi dimulai. Menjadi semakin umum bahwa para investor Indonesia membeli beberapa unit dan menjualnya (dengan keuntungan yang tinggi) sebelum proses konstruksi bangunan mulai. Kadang-kadang sebuah unit berpindah kepemilikan beberapa kali sebelum proses konstruksi selesai, dalam setiap kali pembelian harga menjadi semakin mahal. Di pertengahan kedua tahun 2013, Bank Indonesia mengetatkan kebijakannya. BI menaikkan persyaratan uang muka minimum dan memotong pinjaman hipotek untuk kepemilikan rumah kedua (untuk mencegah peningkatan 75 Indonesia Investments Analisis Pasar Properti Indonesia, yang termuat dalam

40 28 berlebihan dari pinjaman untuk hunian). Bank-bank juga dilarang memberikan pinjaman untuk properti-properti yang masih dalam proses pembangunan (untuk para pembeli hunian kedua atau lebih). Persyaratan uang muka yang lebih tinggi (atau rasio loan-to-value yang lebih rendah) diaplikasikan untuk properti-properti berukuran lebih dari 70 meter persegi, dan karenanya secara spesifik ditujukan untuk pasar menengah ke atas. Perubahan penting lainnya termasuk tingkat suku bunga Indonesia. Setelah sentuh titik rendah dalam sejarah pada 5,75% dari Februari 2012, Bank Indonesia secara bertahap, namun agresif, menaikkan BI rate antara Juni 2013 sampai November 2013 menjadi 7,50%. Rejim yang lebih ketat ini diimplementasikan dalam rangka melawan inflasi tinggi (yang terjadi setelah Pemerintah Indonesia menaikkan harga bahan bakar bersubsidi), untuk melawan defisit transaksi berjalan yang lebar, dan mengatasi ketidakjelasan iklim internasional (karena pengetatan kebijakan moneter Amerika Serikat, terjadi capital outflows besarbesaran dari Indonesia dan menyebabkan pelemahan tajam nilai tukar rupiah sejak pertengahan 2013). Ketiga, tahun politik Indonesia (Indonesia mengadakan pemilihan legislatif dan presiden pada tengah 2014) menyebabkan ketidakjelasan politik serta ketidakjelasan perekonomian yang cukup besar. Menjelang pemilihanpemilihan ini, para pengembang Indonesia cenderung menunda proyek-proyek baru (penundaan proyek-proyek properti juga merupakan dampak dari menurunnya pencairan pinjaman hipotek dan BI rate yang lebih tinggi). Bersama-sama, faktor-faktor ini menyebabkan penurunan pasar properti Indonesia. Contohnya, Indeks Harga Properti Hunian dari Bank Indonesia menurun 6,3% di 2014, turun dari tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 11,5% pada setahun sebelumnya (terlebih lagi inflasi Indonesia naik 8,4% di 2014, karenanya melebihi kecepatan pertumbuhan indeks harga propperti). Penurunan terbesar untuk pertumbuhan properti dirasakan di wilayah Jakarta Bogor Depok Tangerang & Bekasi (Jabodetabek). Ini juga merupakan akibat dari pasar properti Jakarta (dan juga pasar-pasar lainnya di kota-kota besar di Jawa seperti Surabaya dan Bandung) telah menjadi agak jenuh karena pembangunan properti besarbesaran di tahun-tahun sebelumnya. Pulau-pulau lain, seperti Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan, kini dipandang sebagai pasar berpotensi besar untuk pembangunan properti (perkotaan) karena saat ini masih belum banyak dikembangkan. Sebuah survei dari Bank Indonesia 76 menunjukkan bahwa penjualan properti hunian di kuartal 1 tahun 2015 mengalami penurunan signifikan dalam perbandingan quarter-to-quarter (q/q). Hasil dari penjualan di kuartal pertama tahun 2015 mencatat pertumbuhan 26,6% dibandingkan dengan 40,1% di kuartal ke-4 tahun Sementara itu, tingkat pencairan pijaman hipotek di bank-bank untuk rumah dan apartemen di kuartal 1 tahun 2015 naik hanya 0,12% (q/q) dibandingkan kuartal sebelumnya. Pertumbuhan perekonomian Indonesia melambat sampai level terendah selama enam tahun terakhir di kuartal 1 tahun 2015 dan karenanya pihak-pihak berwenang bertekad untuk mengimplementasikan tindakan-tindakan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Karena bank sentral tidak punya ruang 76 Ibid.

41 29 untuk memotong BI rate (karena inflasi tinggi, defisit transaksi berjalan yang lebar dan tekanan-tekanan eksternal yang berat), BI memutuskan untuk menaikkan rasio LTV untuk pinjaman hipotek rumah mulai dari Juni 2015, karenanya mengurangi kewajiban uang muka minimum untuk para pembeli rumah pertama. Rasio LTV maksimum untuk pembelian rumah pertama dinaikkan menjadi 80% (dari sebelumnya 70%), sementara untuk pembelian rumah kedua rasio LTV dinaikkan menjadi 70% ( dari sebelumnya 60%). Terakhir, untuk rumah ketiga rasio barunya adalah 60% (dari sebelumnya 50%). Ini berlaku untuk properti-properti yang luasnya di atas 70 meter persegi yang dibeli menggunakan pembiayaan konvensional. Para pemain properti Indonesia sangat menyambut baik rasio LTV yang baru karena ini mungkin akan membangkitkan sektor properti Indonesia. Meskipun begitu, akan dibutuhkan lebih banyak waktu untuk merasakan dampak dari persyaratan uang muka yang lebih rendah. Terlebih lagi, karena berlanjutnya perlambatan pertumbuhan ekonomi para konsumen Indonesia menjadi lebih berhati-hati dalam membiayai pengeluaran. Kedua, Pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa orang-orang asing akan diizinkan untuk memiliki apartemen-apartemen mewah dengan nilai minimum Rp 5 miliar, yang berarti Pemerintah perlu merevisi Peraturan Pemerintah No. 41/1996 tentang Perumahan untuk Warganegara Asing yang Tinggal di Indonesia yang sekarang masih melarang warganegara asing memiliki properti jenis apapun di Indonesia. Pada saat ini, orang-orang asing hanya bisa menggunakan properti melalui pemakaian hak guna (bukan hak milik ) untuk periode maksimum 25 tahun (namun dapat diperbaharui untuk tambahan waktu 20 tahun). Diprediksi bahwa orang-orang asing akan tetap hanya memiliki hak guna setelah revisi ini namun dengan durasi tak dibatasi dan juga hak untuk dapat mewariskannya pada para pewaris dari warganegara asing tersebut. Walaupun pada saat ini relatif sedikit pengembang yang berfokus pada pembangunan apartemen-apartemen mewah, beberapa analis mengklaim bahwa tindakan ini dapat mendongkrak sektor properti domestik sebanyak 20%. Apabila ini terjadi, maka ini juga akan mengimplikasikan efek multiplier untuk perekonomian karena industri-industri lain yang berhubungan erat dengan properti - seperti semen, keramik dan juga tenaga kerja konstruksi - akan bertumbuh sejalan dengan itu. Kondisi Umum Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang terbentuk akibat adanya pemekaran wilayah dan otonomi daerah. Kabupaten Bogor merupakan penyangga jakarta, karena letaknya yang dekat dengan Jakarta sebagai ibukota Negara, membuat masyarakat ikut mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan masyarakat di Jakarta. Kabupaten Bogor adalah sebuah kabupaten di provinsi Jawa Barat, Indonesia dengan ibukotanya adalah Cibinong. Kabupaten Bogor berbatasan dengan Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan, Kota Depok, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sukabumi serta Kabupaten Lebak.

42 30 Gambar 5 Peta Lokasi Kabupaten Bogor Secara geografis, Kabupaten Bogor terletak di antara 6,19 o 6,47 o LS dan 106 o o 103 BT. Kabupaten Bogor berada diketinggian mdpl dengan lahan berbukit dan diapit oleh Gunung Endah Salak (Gn. Bunder), Gunung Gede Pangrango, dan Gunung Salak. Suhu udara berkisar antara 21 o C dan 30,4 o C dengan suhu rata-rata bulanan 26 o C. Curah hujan pun tergolong tinggi, mencapai mm/tahun dengan kelembaban udara 70%. Secara geografis berbatasan dengan : 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan (Banten), Kabupaten dan Kota Bekasi serta Kota Depok 2. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak (Banten) 3. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta 4. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi 5. Bagian tengah berbatasan dengan Kota Bogor Luas wilayah Kabupaten Bogor ,304 ha dan secara administratif terbagi kedalam 40 kecamatan, 413 desa, dan 17 kelurahan. Terdapat dua desa hasil pemekaran tahun 2010, yaitu Desa Gunung Mulya hasil pemekaran dari Desa Gunung Malang Kecamatan Tenjolaya dan Desa Batu Tulis hasil pemekaran dari Desa Parakan Muncang Kecamatan Nanggung. Luas Wilayah Kabupaten Bogor berdasarkan pola penggunaan tanah tahun 2010, dikelompokan menjadi kawasan non terbangun, kawasan terbangun, dan penggunaan lahan lain-lain. Kawasan non terbangun mencakup 88,03% dari total luas wilayah, terdiri dari hutan (14,32%), sawah (11,74%), kebun campuran

43 31 (21,35%), ladang/tegalan/perkebunan/padang rumput/ilalang (23,25%) dan semak belukar (17,37%). Kawasan terbangun tercakup 11,08% dari total luas wilayah dan terdiri dari pemukiman, kawasan pertambangan, dan zona industri. Penggunaan lahan lain-lain mencakup 0,89% dari total luas wilayah dan terdiri dari sungai/badan air/danau/waduk/situ (0,85%), rawa dan tambang empang (0,04%). Jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2011 berdasarkan estimasi data Badan Pusat Statistik (BPS) berjumlah jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki jiwa dan penduduk perempuan jiwa. Jumlah penduduk tersebut telah mengalami kenaikan bilamana dibandingkan dengan penduduk pada tahun 2010 yang berjumlah jiwa atau meningkat sebanyak orang. Kondisi ini menyebabkan tingginya laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor sebesar 3,15 % pada tahun Laju pertumbuhanpenduduk terbesar terdapat di kecamatan Gunung Putri, Bojonggede, Cilengsi, dan Kecamatan Cibinong. Pertembahan penduduk di keempat kecamatan tersebut sangat dipengaruhi oleh pola, pertumbuhan wilayah kecamatan yang bersangkutan sebagai pusat perkembangan industri dan pemukiman, sehingga cukup berkembang beragam jenis usaha industri besar maupun sedang, yang menyebabkan tingginya migrasi masuk penduduk dari luar kecamatan sebagai tenaga kerja yang bermukim dikecamatan setempat. Dengan luas wilayah Kabupaten Bogor sebesar ,304 Ha dan jumlah penduduk jiwa, maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk adalah sebanyak orang/km 2. Kepadatan penduduk terbesar terdapat di Kecamatan Bojonggede yaitu hingga mencapai orang/km 2. Sementara kepadatan penduduk terendah berada di Kecamatan Tanjungsari. Berdasarkan Sex Ratio penduduk Kabupaten Bogor adalah sebesar 104, artinya setiap 100 orang perempuan terdapat 104 orang laki-laki. Korupsi, Rent-Seeking, dan Penanganannya di Indonesia Sejarah korupsi maupun rent-seeking di Indonesia sangatlah panjang. Sejarah ini dibagi menjadi dalam dua era, yaitu Prakemerdekaan dan Pascakemerdekaan. Pada era prakemerdekaan, terdapat masa Kerajaan dan masa Penjajahan. Pemerintahan yang berjalan pada masa Kerajaan memberikan peluang yang sangat besar untuk meraup keuntungan pribadi maupun kelompok kepentingan, seperti pemberian berupa upeti 77. Meskipun para penjajah menduduki Nusantara hingga masa Kerajaan runtuh, budaya memperkaya diri sendiri maupun kelompok tertentu masih tumbuh subur. Bahkan sistem pemerintahan pun mendukung keadaan tersebut. Misalnyaketika masa kolonial Belanda, upeti masih dilakukan dengan tujuan memperkaya diri, terdapat penumpukan harga, serta pemeliharaan sanak (abdi dalem), sementara rakyat miskin mudah untuk dihasut dan diadu domba. Selain itu, Belanda mengangkat beberapa rakyat untuk dijadikan pejabat yang tidak lain hanya untuk menjadi boneka suruhan kolonial Belanda. Beberapa tugasnya seperti 77 Sejarah Pemberantasan Korupsi pada Masa Pemerintahan Kerajaan (Prakemerdekaan) yang termuat dalam kpk.go.id

44 32 mengambil upeti dan pemungutan pajak lalu diserahkan untuk kepentingan pribadi kolonial 78. Budaya tersebut menjamur kepada tokoh-tokoh lokal hingga mengakar kedalam sistem sosisal-politik pada masa itu. Penyelewengan Sistem Tanam Paksa merupakan contoh dari penindasan kaum pribumi yang dilakukan oleh bangsanya sendiri. Penduduk dipaksa untuk menanam 1/5 lahannya dengan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah Belanda.Tanam Paksa ini dalam aturannya tidak dipungut pajak, tetapi pejabat-pejabat pribumi justru melakukan penyelewengan dengan memungut pajak demi kepentingan pribadi. Selain itu, bagi penduduk yang tidak memiliki lahan, mereka diwajibkan untuk bekerja secara paksa selama umur padi atau sekitar 3,5 bulan. Akan tetapi, pelaksanannya justru melebihi itu, yaitu bisa sampai satu tahun hingga seumur hidup. Jika terjadi gagal panen akibat bencana alam, seharusnya pemerintah yang menanggung kerugian, tetapi kenyataannya adalah kerugian tersebut ditanggung oleh sendiri oleh pemilik lahan. Sebaliknya, jika terjadi over product dan melebihi kuota, justru dinikmati oleh orang-orang pribumi yang menjadi suruhan Belanda (Belanda Item), padahal dalam aturannya, kelebihan itu dikembalikan kepada penduduk. Sistem Tanam Paksa yang seharusnya diawasi langsung oleh Belanda justru diambil alih oleh Belanda Item yang pelaksanaannya dapat lebih keji dari Belanda itu sendiri 79. Praktik memperkaya diri atau kelompok tertentu yang semakin menyebar khususnya di kalangan pribumi menyebabkan adanya pembentukan peraturan untuk memberantasnya. Sejarah mencatat bahwa pemberantasan tidak pidana korupsi dalam hukum positif di Indonesia sudah tertuang dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana 1 Januari Namum upaya pemberantasan korupsi tidak berhenti disitu. Pada awal era Pascakemerdekaanm yaitu Order Lama yang dipimpin oleh Soekarno, dibentuklah Badan Pemberantasan Korupsi yang diberi nama Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) berdasarkan Undang-Undang Keadaan Bahaya. Tugas PARAN adalah melakukan transparansi pejabat pada masa itu dengan mengisi formulir Daftar Kekayaan Pejabat Negara (DKPN). Pembentukan berbagai peraturan terkait korupsi pun digalakkan untuk mendukung kinerja PARAN atau denegan sebutan lain yaitu Operasi Budhi. Prestasi PARAN yaitu dengan menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp. 11 miliar dan hal tersebut merupakan jumlah yang cukup signifikan pada kala itu. Karena PARAN ini dianggap mulai mengganggu prestise presiden, maka PARAN dihentikan serta dibubarkan dan diganti namanya menjadi KOTRAR (Komando Tertinggi Retooling Aparatur Negara) dengan Presiden Soekarno sebagai ketuanya. Tetapi setelah itu terjadi stagnasi pada pemberantasan korupsi hingga masa Orde Lama habis 81. Orde lama ditumbangkan oleh Soeharto dan lahirlah Orde Baru. Orde Baru merupakan masa pemerintahan yang dikenal oleh pesatnya pembangunan. Di sisi lain, masa pemerintahan dibawah presiden Soeharto ini tidak hanya memiliki citra pemerintahan yang diktator, namun juga terdapat kasus-kasus KKN yang dilakukan oleh pemerintah itu sendiri. Pada masa pemerintahan yang masih 78 Ibid. 79 Ibid. 80 Ibid. 81 Ibid.

45 33 sentralistik ini banyak kasus KKN yang tidak diungkap ke publik. Lembaga yang menangani kasus korupsi sendiri dibentuk secara berulang, seperti pada tahun 1967m Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dengan didukung beberapa peraturan. Selain itu juga dibentuk Komisi Empat, hingga Opbtib, ternyata tidak pidana korupsi masih saja menjamur dikalangan elit politik. Tidak pidana korupsi pada masa Orde Baru memang tidak banyak yang terangkat ke permukaan karena tingginya kontrol pemerintah dalam menutup transparansi negara. Bahkan keluarga Presiden Soeharto sendiri ikut menikmati hasil dari korupsi. Kegeraman penduduk Indonesia terhadap pemerintahan Indonesia yang tidak bersih dan tidak transparan menyebabkan pemerintah Orde Baru ini runtuh dan digantikan oleh Orde Reformasi. Pada tahun 1999 dalam pengawali pemberantasan korupsi Orde Reformasi, pemerintah mengeluarkan Undang- Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelanggaraan Negara Bersih dan Bebas dari KKN serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, lahir Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun Tidak lama kemudian, Mahkamah Agung melalui judicial review-nya memutuskan untuk membubarkan TGPTPK. Selanjutnya pada tahun 2001, lahir Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai ganti dan pelengkap Undang-Undang Tahun 1999 dan dari Undang- Undang inilah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lahir. Lalu pada tahun 2002 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak pidana Korupsi. Semenjak adanya KPK inilah korupsikorupsi yang mengakar di pemerintahan Indonesia mulai terkuak ke permukaan, transparansi kinerja pemerintah meningkat dan hukuman bagi koruptor-koruptor semakin berat 82. Kasus-kasus korupsi tersebut beragam dan menggerogoti kekayaan negara di berbagai daerah, dari Aceh hingga Papua. Kasus-kasus tersebut juga ditemukan diberbagai instansi pemerintah, baik eksekutif, legislatif, hingga yudikatif serta BUMN. Namun pemberantasan tidak pidana korupsi tidak hanya dibebankan pada KPK saja, sehingga aparat negara seperti BPK, Kepolisian dan Kejaksaan Agung ikut andil dalam upaya pemberantasan korupsi ini. Selain itu, masyarkaat juga diharapkan untuk turut serta dalam pengawasan dan pemberantasan korupsi dengan cara melaporkannya ke KPK. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada instansi yang berperan dalam pemberantasan rent-seeking, baik KPK, Kepolisian, BPK, maupun instansi lainnya. Hal ini disebabkan tidak semua perilaku rent-seeking merupakan perilaku yang melanggar hukum. Namun ketika perilaku rent-seeking termasuk dalam pelanggaran hukum, maka hal tersebut dapat ditindak oleh instansi terkait. 82 Sejarah Pemberantasan Korupsi pada Orde Reformasi (Pascakemerdekaan) yang termuat dalam acch.kpk.go.id/jejak-pemberantasan-korupsi

46 34 HASIL DAN PEMBAHASAN Mekanisme Rent Seeking pada Pembangunan Properti Dalam upaya pembangunan daerah, pemerintah daerah harus melakukan pembangunan dan perkembangan wilayah. Upaya pemerintah dalam melakukan pembangunan dan perkembangan wilayah tersebut berkaitan dengan pemanfaatan lahan. Konsekuensi logis dari pembangunan dan perkembanga wilayah adalah adanya penggunaaan lahan, seperti lahan pertanian atau kehutanan dikonversi menjadi pembangunan properti. Pertambahan penduduk dan dengan tujuan untuk memfasilitasi masyarakat mempengaruhi keputusan pemerintah daerah bersama dengan pihak swasta untuk membangun properti di Kabupaten Bogor. Penguasaan lahan yang dilakukan oleh para pengembang tergantung dari Rencana Tata Ruang Wilayah. Untuk dapat menguasai lahan di Kabupaten Bogor, para pengembang harus mengikuti prosedur-prosedur perizinan yang dikeluarkan Pemerintah kabupaten Bogor. Sebelum para pengembang dapat membebaskan dan menguasai lahan, mereka harus mengajukan izin prinsip. Izin prinsip merupakan prosedur perizinan yang pertama kali diajukan para pengempang kepada pemerintah. Jika penguasaan lahan dan konsep properti sesuai dengan rencana tata ruang yang ada, maka perizinan akan mudah diberikan. Pada kenyataannya, pembangunan properti sering menyimpang dari tata ruang yang ada. Hal ini terjadi karena para pengembang melihat kondisi faktual perekonomian dan potensi pasar yang berkembang saat ini. Seperti yang sedang terjadi saat ini. Konversi lahan untuk pusat bisnis dan komersial yang dilakukan di wilayah Puncak, Kabupaten Bogor. Sebagian besar bangunan yang terletak di wilayah Puncak Bogor telah menyalahi masterplan yang terlah ada, karena seharusnya pembangunan komersil tidak boleh dilakukan dalam kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH), sedangkan fungsi utama kawasan puncak adalah sebagai Daerah Resapan Air. Namun, pemerintah tidak menindak tegas pelanggaran yang terjadi karena melihat keadaan aktual kawasan tersebut. Fenomena yang terjadi pada proses penguasaan lahan adalah terdapatnya para pemburu rente (rent seekers) yang dilakukan oleh para pengembang. Dalam kasus penelitian ini, rent seekers mencari kesempatan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya melalui pemanfaatan regulasi pemerintah untuk menghambat atau peningkatan permintaan sumberdaya yang dimiliki 83. Proses rent seeking ini diawali dengan pencarian informasi mengenai kawasan yang akan dibangun dan sesuai dengan rencana pembangunan pemerintah. Kegiatan mencari rente dapat didefinisikan sebagai upaya individual atau kelompok untuk meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan regulasi pemerintah. Para pengusaha mencari rente ekonomi ketika menggunakan kekuasaan pemerintah untuk menghambat penawaran atau peningkatan permintaan sumber daya yang dimiliki. Perilaku mencari rente dianggap sebagai pengeluaran sumber daya untuk mengubah kebijakan ekonomi, agar dapat menguntungkan bagi para pencari rente. 83 Ahmad Erani Yustika. Op.cit. Hal 147

47 35 Setelah perizinan prinsip dan lokasi, para pengembang harus memiliki surat izin penggunaan lahan. Tujuannya agar mengetahui penggunaan lahan dengan jelas dan mengindari praktik spekulasi lahan. Lahan yang telah dikuasai skala besar tidak boleh dibiarkan kosong, tetapi harus dimanfaatkan sesuai dengan izin yang diperoleh. Pemerintah menetapkan sanksi kepada para pengembang yang menyahgunakan izin penggunaan lahan. Hal ini terjadi pada tahun 1997 saat terjadinya krisis ekonomi, para konglomerat yang tadinya menguasai lahan skala besar tiba-tiba saja collapse sehingga lahan-lahan tersebut diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Agar kejadian itu tidak terulang kembali, maka pemerintah mengantisipasi dengan memberikan perizinan hukum yang tegas. Setelah memperoleh surat keputusan izin lokasi dan Pemerintah Daerah sesuai dengan peruntukannya, maka dimulailah proses panjang pembebasan lahan. Proses ini dimulai dari meneliti kavling-kavling dilapangan, kelengkapan administrasi sebagai bukti hak atas tanah, meneliti pemilik lahan dan ahli waris, negosiasi harga, pengukuran, pematokan dan transaksi. Semua tahap tersebut, selain memakan biaya, juga membutuhkan tenaga dan waktu yang tidak singkat. Ir. Nugroho Suksmanto, mantan direktur sebuah perusahaan properti terkenal mengatakan bahwa selama mekanisme pasar berjalan semestinya dan tidak ada intervensi dari pihak luar, maka konflik itu tidak akan terjadi. Pendekatan yang baik antara pihak pengembang dengan pemilik lahan tidak akan terjadi konflik karena para pengembang juga memberikan biaya ganti rugi yang layak kepada pemilik lahan. Selain masalah aktivitas pemburuan rente harga lahan dapat melambung sangat tinggi jika dalam proses pembebasan lahan terdapat calo. Mantan Wakil Bupati Kabupaten Bogor, Karyawan Faturahman pernah mengatakan bahwa banyak makelar tanah yang beroperasi di Kawasan Kabupaten Bogor. Salah satu contohnya di Kawasan Puncak Bogor. Kasus semacam ini pernah terjadi di Puncak Bogor. Sejak pembangunan jalur puncak II di wacanakan pada tahun 2009, calo tanah gencar untuk menguasai lahan yang akan menjadi objek pembangunan tersebut. Camat Sukamakmur, Zaenal Ashari mengungkapkan bahwa Pada tahun 2008, harga tanah sekitar Rp per meter, kini harganya meroket hingga Rp per meter. Padahal pada tahun 2008 harga Rp per meter saja tak ada yang mau membeli. Para calo ingin mendapatkan keuntungan yang besar dengan pembebasan lahan skala besar di Kabupaten Bogor. Akar permasalahan terjadi jika status kepemilikan lahan tidak jelas dan berupa Letter C 84 maupun girik 85. Para pemburu rente akan mencari peluang untuk mendapatkan keuntungan yang besar dengan berkolusi bersama oknum 84 Letter C merupakan surat tanah yang dianggap sebagian orang menjadi bukti hak atas tanah. Biasanya berupa catatan tertulis di kantor kelurahan yang dianggap sebagai bukti penguasaan tanah. Tetapi surat ini belum menunjukan bukti kepemilikan lahan secara sah karena tidak adanya sertifikat atas tanah. 85 Girik merupakan lahan bekas hak milik adat yang belum di daftarkan pada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Girik seringkali salah diatirkan sebagai bukti kepemilikan tanah, tetapi hanya merupakan bukti penguasaan atas tanah dan pembayaran pajak atas tanah tersebut.

48 36 pemerintah. Kasus seperti ini pernah terjadi di wilayah Cikodom, Kabupaten Bogor. Kasus tersebut bermula saat warga mendapati tanah miliknya secara tibatiba diklaim milik PT RU dari Grup Sentul City. Secara tiba-tiba, tanah tersebut memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT RU, sementara warga Cikodom mengaku memiliki Letter C dan girik. Kepemilikan lahan secara hukum yang sah dapat mengurangi praktik rent seeking. Lahan yang bermasalah biasanya membutuhkan biaya transaksi yang lebih banyak dibandingkan dengan lahan dengan status hukum yang jelas. Pemilik lahan yang memiliki status kepemilikan lahan secara sah dalam hukum biasanya dapat bernegosiasi kepada para developer mengenai harga yang layak mereka dapatkan sehingga mekanisme transaksi ganti-rugi sesuai dengan musyawarah mufakat. Pada praktiknya masih saja terdapat rent seekers yang mengambil keuntungan walaupun status lahan dari pemiliknya telah jelas, yakni berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) yang langsung dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sebagian besar developer tidak ingin berurusan dengan lahan yang masih dalam status sengketa karena prosedurnya semakin berbelit-belit dan pastinya para calo semakin merajalela. Untuk memperkuat hasil penelitian, maka dilakukan uji korelasi RankSpearman. Hasil korelasi RankSpearman menunjukan adanya hubungan antara harga pembebasan lahan dengan harga penjualan lahan dengan nilai estimasi sebesar 0,612 pada α = 0,01. Nilai ini menunjukan bahwa adanya hubungan yang cukup kuat antara harga beli pada saat pembebasan lahan dengan harga jual. Developer akan menawarkan harga yang lebih tinggi pada lahan dan propertinya apabila biaya yang dikeluarkan lebih besar. Dengan adanya selisih antara harga pembebasan lahan dan harga penjualan lahan, maka selisih tersebut menjadi keuntungan bagi developer. Tabel 3 Profit Developer dari Penjualan Lahan Harga Pembebasan Lahan (Rp/m 2 ) Profit (Rp/m 2 ) Jumlah Developer Presentase (%) Profit < > > < > <33 Sumber: data primer (hasil olahan) Keterangan: asumsi harga jual rata-rata adalah Rp /m 2 Tabel 3. menunjukan keuntungan yang diterima oleh developer ketika menjual lahan kembali yang sudah dibebaskan. Pada tabel tersebut terlihat bahwa 17 developer mendapatkan keuntungan lebih dari Rp /m 2 atau lebih dari 66,67% dari harga jual. Dengan keuntungan yang berkisar dari 30 sampai 66 persen, maka developer mendapatkan keuntungan diatas normal. Hal ini berbeda dengan keuntungan yang diperoleh developer ketika membangun properti, seperti perumahan.

49 37 Jenis Perumahan Tabel 4 Profit Developer dalam Perumahan Penerimaan Pengeluaran Keuntungan Total Total Presentase Keuntungan RSH Rp 8,25 M Rp 7,96 M Rp 290 juta 3,5 % Menengah Rp 270 M Rp 211,6 M Rp 58,4 M 21,63 % Mewah Rp 2 T Rp 1,345 T Rp 651,750 M 32,58 % Sumber : data primer (hasil olahan) Tabel 4 menunjukan hasil perhitungan keuntungan yang didapat oleh developer. Dari tabel diatas terlihat bahwa developer perumahan menengah dan Rumah Sederhana Sehat (RSH) menerima keuntungan dibawah 30 persen, dengan nilai masing-masing keuntungan adalah 19,69 persen dan 3,5 persen. Berbeda dengan kelas RSH dan menengah, perumahan mewah menghasilkan keuntungan sebesar 32,58 persen. Nilai keuntungan ini lebih besar daripada 30 persen sehingga terbukti bahwa dalam pembangunan perumahan mewah terjadi supernormal profit. Adanya supernormal profit merupakan akibat adanya perburuan rente. Perburuan rente merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh pencari rente untuk mendapatkan atau meningkatkan pendapatan dengan memanfaatkan regulasi pemerintah. Praktik perburuan rente ini dapat meningkatkan harga jual lahan karena dalam perburuan rente membutukan biaya transaksi yang tidak sedikit. Para pengembang besar, selaku rent seeker, ingin mendapatkan lahan yang besar dengan mudah menggunakan berbagai cara sehingga memerlukan banyak informasi, negosiasi, dan kerjasama dengan pemerintah. Izin yang diberikan pemerinah daerah berupa izin lokasi dan penggunaan lahan dimanfaatkan oleh developer untuk menekan harga tawar menawar lahan masyarakat. Selain itu, penekanan berupa ancaman juga dilakukan developer melalui preman. Hal ini akan menyebabkan developer mengeluarkan biaya tambahan untuk mempercepat kepengurusan perizinan dan proyeknya sehingga menambah biaya investasi yang dikeluarkan developer. Keuntungan di atas normal developer di dapat dari selisih harga pada pembebasan lahan dengan lahan maupun properti yang akan dijual dengan harga yang jauh lebih tinggi. Aktivitas perburuan rente menjadi salah satu penyebab tingginya harga jual lahan maupun properti oleh para pengembang akibat adanya biaya transaksi yang besar. Para pengembang, selaku rent seekers, ingin menguasai lahan skala besar dengan berbagai cara agar diudahkan dalam proses penguasaan lahan sehingga dibutuhkan informasi yang sempurna, negosiasi, dan kerjasama dengan pemerintah. Untuk itu para pengembang membutuhkan biaya tambahan untuk mempercepat proyeknya yang menyebabkan biaya investasi proyek semakin bertambah. Hal ini terjadi karena biaya tambahan yang harus dikeluarkan selama proses perizinan hingga pelaksanaan proyek semakin besar. Para pengembang yang menginginkan keuntungan diatas normal akan berkolusi dengan oknum pemerintah agar dimudahkan dalam pembabasan lahan. Jika hal ini terjadi maka pengembang akan memperoleh keuntungan diatas normal yang besar karena pada saat penjualan properti nantinya akan dikenakan harga yang sangat mahal.

50 38 Praktik pemburuan rente ini sebenarnya dapat diantisipasi oleh pemerintah dengan menghilangkan hambatan informasi dengan cara : 1. Adanya good governance untuk menghilangkan hambatan informasi agar tercipta transparansi informasi. Misalnya dapat dilakukan dengan membuat suatu website pelayanan pertanahan dan informasi mengenai harga lahan 2. Keterbukanya birokrasi untuk mengurangi prosedur. Biaya Transaksi (Transaction Cost) pada Pembebasan Lahan dan Pembangunan Properti Mekanisme penguasaan lahan untuk pembangunan properti harus melalui berbagai prosedur. Pengembang harus mengetahui perencanaan wilayah suatu kawasan. Untuk mendapatkannya dibutuhkan informasi yang akurat mengenai karakteristik lokasi dan keadaan lahan. Oleh karena itu, para pengembang harus mengeluarkan berbagai macam biaya selama proses pencarian informasi berlangsung. Pengembang mencari informasi untuk mengetahui wilayah yang akan dikembangkan. Informasi tersebut tentunya didapat dari banyak pihak. Sesuai dengan tinjauan pustaka pada bab II, maka developer akan mengeluarkan transaction cost. Biaya transaksi awalnya dikenal dalam teori ekonomi sebagai biaya exchange untuk barang dan jasa antara produsen dan konsumen. Biaya ini timbul akibat asymetric information sehingga muncul pihak ketiga sebagai middleman yang nantinya menyebabkan ekonomi biaya tinggi 86. Transaction cost ini dapat timbul karena adanya praktik perburuan rente yang dilakukan para pengembang. Biaya informasi didapat dari oknum-oknum pemerintah daerah. Pelaku rent-seeking akan berkolusi dengan oknum tersebut agar diberikan informasi yang akurat mengenai suatu kawasan. Untuk mendapatkan itu tidaklah murah karena dibutuhkan biaya tambahan. Biaya selama proses negosiasi ini tergolong biaya transaksi ex-ante. Biaya ex-ante yang dikeluarkan pihak pengembang bisa berupa biaya resmi (legal) maupun tidak resmi (illegal), tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak. Menurut informan yang diwawancara, biaya negosiasi dapat lebih tinggi dari biaya resminya jika terjadi penyimpangan. Setelah informasi didapatkan, maka developer mulai mengajukan proposal kepada BPN agar diberikan izin, selanjutnya terjadilah proses panjang pengurusan izin yang juga membutuhkan biaya ekstra yang tidak sedikit. Biaya ini meliputi biaya-biaya resmi yang dikeluarkan pihak pemerintah ataupun biaya tidak resmi untuk meloloskan perizinan dari para pengembang. Biaya ini termasuk biaya ketika transaksi menyimpang dari prosedur. Jika semua proses perizinan telah selesai dilakukan maka dimulailah kegiatan pembebasan lahan. Setiap perizinan memerlukan biaya. Di setiap wilayah besarnya biaya berbeda-beda. Sebenarnya pemerintah telah memberikan aturan biaya pengurusan izin secara resmi. Namun, pada praktiknya, jika mengikuti proses perizinan secara resmi dibutuhkan waktu yang lama. Para pengembang biasanya ingin 86 William M. Evan Organization Theory : Research and Design. New York : Macmillan Publishing Company. Hal 12

51 39 mendapatkan izin secara mudah dan singkat. Untuk itu diperlukan biaya tambahan sebagai jalan mempercepat proses birokrasi tersebut. Biaya ini sering disebut biaya sogokan. Biaya sogokan ini merupakan salah satu transaction cost secara ilegal yang dikeluarkan oleh pengembang. Besarnya biaya ini tergantung dari oknum aparat yang menangani masalah perizinan dan tingkat kebutuhan akan penggunaan lahan oleh para pengembang. Menurut 30 developer yang diwawancarai dan pernah membaskan lahan di Kabupaten Bogor, mereka harus mengeluarkan transaction cost dalam mengerjakan proyek pembangunan properti. 7% 29% 64% 1%-5% 6%-10% 10%-15% Sumber: Data Primer (diolah) Gambar 6 Persentase Transaction Cost di Kabupaten Bogor Berdasarkan Gambar 6 transaction cost yang dikeluarkan oleh setiap developer bervariasi nilainya. Menurut beberapa informan, besarnya biaya transaksi yang dikeluarkan developer tergantung dari lokasinya, semakin dekat dengan pusat kota atau tidak memiliki lahan kosong, maka biaya transaksi tersebut akan semakin besar. Gambar 6 Menunjukan total biaya transaksi yang dikeluarkan oleh developer bervariasi. Sebanyak 64% atau sebanyak 18 developer dari 30 developer mengeluarkan biaya transaksi sebesar 1-5 persen dari total nilai proyeknya. Transaction Cost ini harus dikeluarkan pengembang ketika mereka memulai mencari lokasi yang berpeluang untuk dikembangkan dan berprospek cerah. Menurut pengakuan pengembang, biaya transaksi resmi dalam penghitungan pajak adalah biaya-biaya yang dikeluarkan developer dalam rangka melakukan prosedur perizinan, biaya formulir perizinan, biaya notaris, biaya konsultan, dll. Sedangkan biaya illegal yang harus mereka keluarkan meliputi biaya informasi dari oknum pemerintah, biaya preman pembebasan lahan, dan biaya ucapan terima kasih untuk para aparat pemerintah. Biasanya biaya illegal ini nilainya jauh lebih besar dibandingkan biaya resminya jika pada proses perizinan terjadi hal-hal yang menyimpang dari aturan yang berlaku, misalnya jika para developer ingin mempercepat proses perizinannya. Untuk kasus itu dibutuhkan biaya illegal yang lebih besar. Berdasarkan informasi yang didapat dari beberapa informan, besarnya nilai transaction cost yang dikeluarkan oleh para developer ini terjadi karena melihat prospek di suatu kawasan yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan

52 40 banyaknya developer yang berminat untuk menguasai lahan dan membangun properti dikawasan tersebut. Terkadang beberapa developer mengeluarkan biaya transaksi ketika mereka ingin membangun properti yang menyimpang dari tata ruang yang ada. Misalnya jika menurut rencana tata ruang suatu kawasan tersebut merupakan Daerah Resapan Air atau Daerah Hijau, tetapi pengembang ingin membangun suatu commercial area karena melihat prospek komersil yang lebih baik. Maka tentu saja menyalahi aturan RTRW. Oleh karena itu, para developer tersebut biasanya menyogok oknum pemerintah untuk melakukan konsolidasi dengan para pengembang. Pembangunan Properti terhadap Tata Ruang Kota Kabupaten Bogor Pembangunan properti merupakan aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan juga Ruang Terbuka Hijau (RTH). Developer yang ingin membangun properti harus mengetahui isi RTRW agar wilayah yang dikembangkan sesuai dengan rencana pembangunan yang diinginkan pemerintah. Kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal, tempat rekreasi, olahraga, maupun tempat belanja mempengaruhi keputusan developer maupun pemerintah daerah untuk membangun suatu kawasan. Penyediaan fasilitas kota seperti perumahan, pusat belanja, rekreasi dan fasilitas lainnya yang bertambah banyak akan mengorbankan lahan, khususnya adalah lahan pertanian dan kehutanan Luas (Ha) Hutan Kebun Lahan Terbangun Sawah Tegalan Tubuh Air Lain-lain Penggunaan Lahan Sumber : Dinas Tata Ruang Kabupaten Bogor (diolah) Gambar 7 Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Bogor Tahun

53 41 Gambar 7 menunjukan bahwa Kabupaten Bogor dari tahun mengalami perubahan lahan yang sangat dinamis. Penggunaan lahan yang paling besar perubahannya adalah lahan terbangun yang merupakan hasil konversi lahan sawah, kebun dan hutan dimana sawah mengalami penurunan sebesar 24,180 Ha, kebun mengalami penurunan sebesar 22,081 Ha, dan hutan mengalami penurunan sebesar Ha. Sumber : [RTRW] Dinas Tata Ruang Kabupaten Bogor Gambar 8 Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Bogor Perubahan pembangunan lahan yang muncul, pola perubahan yang terlihat signifikan selalu di rentang waktu di setiap penggunaan lahannya. Hal ini diduga berkaitan dengan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada rentang waktu tersebut. Krisis moneter tersebut menyebabkan fenomena penjualan aset properti baik berupa lahan terbangun maupun lahan dengan harga murah, disisi lain kelompok kecil pemilik modal membeli properti sebanyak-banyaknya. Oleh sebab itu pada rentang tahun terjadi konversi penggunaan lahan sawah, kebun dan lahan terbangun. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ilham (2005) yang menyatakan bahwa tekanan ekonomi saat krisis ekonomi menyebabkan banyak petani yang menjual sawah untuk kebutuhan hidupnya. Dampaknya secara umum meningkatkan konversi lahan sawah dan memusatnya penguasaan lahan pada pihak-pihak tertentu. Konversi lahan sawah dan tegalan menjadi lahan terbangun merupakan yang terbesar diantara jenis perubahan penggunaan lahan (pada periode ) di Kabupaten Bogor. Hal ini dikarenakan kebanyakan sawah dan tegalan berada pada lokasi dengan lereng yang landai serta berada dekat dengan pemukiman dan pusat fasilitas, mudah dijangkau sehingga lebih disukai sebagai lokasi pengembangan aktifitas. Konversi kedua penggunaan lahan ini perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah, baik pusat maupun daerah terkait dengan isu ketahanan pangan. Salah satu bentuk perlindungan pemerintah terhadap lahan pertanian adalah lahirnya Undang-Undang No. 41 Tahun 2009

54 42 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) menjelaskan bahwa lahan sawah dilindungi peruntukannya, sehingga keberadaannya tidak boleh diganggu gugat sejak ditetapkan menjadi lahan pertanian dan Rencana Tata Ruang Wilayah hingga 20 tahun kedepan (Jangka waktu RTRW). Sumber : [RTRW] Dinas Tata Ruang Kota Kabupaten Bogor Gambar 9 Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor Gambar 9 Dapat dilihat bahwa lahan yang paling banyak berubah adalah tegalan dan sawah menjadi penggunaan lahan lain khususnya lahan terbangun (properti). Kabupaten Bogor dari tahun 1989 hingga 2013 mengalami perubahan penggunaan lahan yang dinamik. Lahan yang paling banyak berubah adalah lahan pertanian (sawah, kebun, tegalan) dengan total berubah menjadi lahan terbangun sebesar 47,953 Ha atau 16,04% dari luas total Kabupaten Bogor. Faktor-faktor yang meningkatkan penggunaan lahan pertanian menjadi non pertanian adalah izin lokasi tahun 2005, penetapan kawasan industri dalam RTRW, semakin dekat ke/dari pusat aktivitas ekonomi. Ketentuan dari Departemen Pekerjaan Umum menerangkan bahwa porsi tersedianya lahan untuk RTH adalah 15m 2 /penduduk atau minimal 10 persen dari luas areal kota dalam berbagai bentuk. Secara umum, dari 100 persen pembangunan, terdapat 60 persen dari total area pembangunan yang digunakan untuk kavling efektif dan 40 persen dari areal pembangunan yang terdiri dari 20 persen untuk jalan/infrastruktur, 10 persen untuk taman/tempat terbuka, dan 10 persen untuk fasilitas sosial maupun fasilitas umum Dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 23 November 2015 terhadap Deri S, Staf Pentusunan Bangunan dan Lingkungan Dinas Tata Ruang Kabupaten Bogor, sebagai narasumber

DAMPAK PENGUASAAN LAHAN DAN PEMBANGUNAN PROPERTI TERHADAP MASALAH SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KAWASAN SEGITIGA EMAS JAKARTA

DAMPAK PENGUASAAN LAHAN DAN PEMBANGUNAN PROPERTI TERHADAP MASALAH SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KAWASAN SEGITIGA EMAS JAKARTA DAMPAK PENGUASAAN LAHAN DAN PEMBANGUNAN PROPERTI TERHADAP MASALAH SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KAWASAN SEGITIGA EMAS JAKARTA OLEH ANDROMEDA ARISTI RACHMI H14104074 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

DR. Ulul Albab, MS. Rektor Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) Surabaya

DR. Ulul Albab, MS. Rektor Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) Surabaya DR. Ulul Albab, MS. Rektor Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) Surabaya www.unitomo.ac.id Negara & Korupsi Government corruption as the sale by government officials of government property for personal gain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Praktek rent seeking (mencari rente) merupakan tindakan setiap kelompok

BAB I PENDAHULUAN. Praktek rent seeking (mencari rente) merupakan tindakan setiap kelompok BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Praktek rent seeking (mencari rente) merupakan tindakan setiap kelompok kepentingan yang berupaya mendapatkan keuntungan ekonomi yang sebesarbesarnya dengan upaya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga sudah diakui pula sebagai masalah internasional. Tindak pidana korupsi telah

BAB I PENDAHULUAN. juga sudah diakui pula sebagai masalah internasional. Tindak pidana korupsi telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi disamping sudah diakui sebagai masalah nasional juga sudah diakui pula sebagai masalah internasional. Tindak pidana korupsi telah terjadi

Lebih terperinci

ETIK UMB PENGERTIAN KORUPSI PRINSIP ANTI-KORUPSI. Norita ST., MT. Modul ke: Fakultas Teknik. Program Studi Teknik Industri

ETIK UMB PENGERTIAN KORUPSI PRINSIP ANTI-KORUPSI. Norita ST., MT. Modul ke: Fakultas Teknik. Program Studi Teknik Industri Modul ke: 10 Defi Fakultas Teknik ETIK UMB PENGERTIAN KORUPSI PRINSIP ANTI-KORUPSI Norita ST., MT Program Studi Teknik Industri Korupsi secara Etimologi Istilah korupsi berasal dari bahasa latin corrumpere,

Lebih terperinci

TEORI EKONOMI POLITIK (2)

TEORI EKONOMI POLITIK (2) Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. teguhfp.wordpress.com TEORI EKONOMI POLITIK (2) TEORI PILIHAN PUBLIK: Mengkaji tindakan rasional dari aktor-aktor politik (SEBAGAI PUSAT KAJIAN) di parlemen, lembaga

Lebih terperinci

BAB 11 TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA

BAB 11 TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA BAB 11 TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA Modul ke: 11 Mengapa dipelajari? Agar kita tidak ikut melakukan korupsi yang saat ini sudah menyebar ke segala lapisan masyarakat Fakultas Program Studi Rina Kurniawati,

Lebih terperinci

Modul ke: ETIK UMB. Mengenali Tindakan Korupsi. Fakultas Ilmu Komputer. Yani Pratomo, S.S, M.Si. Program Studi. Sistem Informasi.

Modul ke: ETIK UMB. Mengenali Tindakan Korupsi. Fakultas Ilmu Komputer. Yani Pratomo, S.S, M.Si. Program Studi. Sistem Informasi. Modul ke: ETIK UMB Mengenali Tindakan Korupsi Fakultas Ilmu Komputer Yani Pratomo, S.S, M.Si. Program Studi Sistem Informasi www.mercubuana.ac.id Mengenal Tindakan Korupsi Masyarakat sepakat bahwa Korupsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

ANALISIS PERBANDINGAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH BOJONEGORO DAN JOMBANG TAHUN

ANALISIS PERBANDINGAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH BOJONEGORO DAN JOMBANG TAHUN ANALISIS PERBANDINGAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH BOJONEGORO DAN JOMBANG TAHUN 2010-2014 JAENURI PT. Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tuban Email: Jaenuriumm12@gmail.com Abstract The research is aimed to find

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dunia. Berdasarkan survei oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010,

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dunia. Berdasarkan survei oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010, 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Saat ini Indonesia termasuk negara dengan populasi penduduk terbesar di dunia. Berdasarkan survei oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010, Indonesia memiliki

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperlukan demi menyelamatkan kelangsungan hidup bangsa dan negara kesatuan

BAB 1 PENDAHULUAN. diperlukan demi menyelamatkan kelangsungan hidup bangsa dan negara kesatuan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak awal 1990- an telah berkembang berbagai macam wacana tentang desentralisasi pemerintah di Indonesia. Dari berbagai wacana, pemerintah Habibie kemudian sampai pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikuatkan dan diatur oleh perundang-undangan yang berlaku. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. dikuatkan dan diatur oleh perundang-undangan yang berlaku. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia, keberadaan dan peran auditor yang sangat strategis dikuatkan dan diatur oleh perundang-undangan yang berlaku. Dengan meningkatkan kompetisi dan

Lebih terperinci

STUDI KASUS KORUPSI DI INDONESIA

STUDI KASUS KORUPSI DI INDONESIA Modul ke: STUDI KASUS KORUPSI DI INDONESIA Disampaikan pada perkuliahan ETIK UMB kelas PKK Fakultas TEKNIK MUHAMMAD ALVI FIRDAUSI, S.Si, MA Program Studi TEKNIK INDUSTRI www.mercubuana.ac.id PENGERTIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang saat ini dalam masa pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dalam perkembangannya senantiasa memberikan dampak baik positif

Lebih terperinci

POTENSI KORUPSI DANA DESA DAN SANKSI HUKUMNYA pada

POTENSI KORUPSI DANA DESA DAN SANKSI HUKUMNYA pada POTENSI KORUPSI DANA DESA DAN SANKSI HUKUMNYA pada PELATIHAN APARATUR PEMERINTAH DESA DALAM BIDANG MANAJEMEN PEMERINTAHAN DESA BAGI APARATUR PEMERINTAH DESA Oleh : IPTU I GEDE MURDANA, S.H. (KANIT TIPIDKOR

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Belanja Daerah Seluruh pendapatan daerah yang diperoleh baik dari daerahnya sendiri maupun bantuan dari pemerintah pusat akan digunakan untuk membiayai seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan negara dari sektor migas lainnya merosot di pasar internasional

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan negara dari sektor migas lainnya merosot di pasar internasional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pajak merupakan salah satu pemasukan negara yang terbesar, hal ini dapat dilihat dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) bahwa penerimaan negara dari sektor pajak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyokong penyelenggaraan pembangunan suatu bangsa. Dalam Anggaran

I. PENDAHULUAN. menyokong penyelenggaraan pembangunan suatu bangsa. Dalam Anggaran I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang cukup berpotensi untuk menyokong penyelenggaraan pembangunan suatu bangsa. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja

Lebih terperinci

ETIK UMB TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA

ETIK UMB TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA Modul ke: ETIK UMB TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA Fakultas Desain dan Seni Kreatif Program Studi Desain Produk www.mercubuana.ac.id Rizky Dwi Pradana, SHI., M.Si A. Pengertian Korupsi Berdasarkan hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengelola anggaran, bahkan legislatif dan yudikatif yang memiliki peran

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengelola anggaran, bahkan legislatif dan yudikatif yang memiliki peran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Korupsi merupakan musuh bersama setiap negara, karena hal ini sudah menjadi fenomena mendunia yang berdampak pada seluruh sektor. Tidak hanya lembaga eksekutif tersandung

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Pergantian Pemerintahan dari Orde Baru ke orde Reformasi menuntut pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. birokrasi pemerintah (Yogi dan M. Ikhsan, 2006). Jika kualitas pelayanan publik

BAB 1 PENDAHULUAN. birokrasi pemerintah (Yogi dan M. Ikhsan, 2006). Jika kualitas pelayanan publik BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah berkewajiban untuk memberikan layanan publik yang memuaskan bagi setiap warga negara.kualitas pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah sangat menentukan

Lebih terperinci

PENGERTIAN KORUPSI. Bab. To end corruption is my dream; togetherness in fighting it makes the dream come true. PENDIDIKAN ANTI-KORUPSI

PENGERTIAN KORUPSI. Bab. To end corruption is my dream; togetherness in fighting it makes the dream come true. PENDIDIKAN ANTI-KORUPSI Bab 01 PENGERTIAN To end corruption is my dream; togetherness in fighting it makes the dream come true. KORUPSI 2 Kompetensi Dasar 1. Mahasiswa mampu menjelaskan arti kata dan definisi korupsi secara tepat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. halnya dengan kejahatan yang terjadi di bidang ekonomi salah satunya adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. halnya dengan kejahatan yang terjadi di bidang ekonomi salah satunya adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Saat ini perkembangan sektor publik sudah semakin kompleks, demikian halnya dengan kejahatan yang terjadi di bidang ekonomi salah satunya adalah kecurangan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan teori 2.1.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1.1 Pengertian APBD Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Alam, 2010), untuk penyelenggaraan pemilukada setidaknya menelan biaya

I. PENDAHULUAN. Alam, 2010), untuk penyelenggaraan pemilukada setidaknya menelan biaya 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilukada belum pernah dievaluasi secara serius baik pemerintah pusat maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Beberapa kalangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ekonomi, pemerintah merupakan agen, dimana peran pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ekonomi, pemerintah merupakan agen, dimana peran pemerintah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam ekonomi, pemerintah merupakan agen, dimana peran pemerintah adalah menghasilkan barang publik. Barang publik harus dihasilkan pemerintah, terutama karena tidak

Lebih terperinci

PPK UU

PPK UU KORUPSI 2013 REGULASI UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Inpres Nomor 1 tahun 2013 tentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Teori Keagenan Teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori

Lebih terperinci

Modul ke: ETIK UMB. AFIYATI SSi., MT. Fakultas FAKULTAS ILMU KOMPUTER. Program Studi TEKNIK INFORMATIKA

Modul ke: ETIK UMB. AFIYATI SSi., MT. Fakultas FAKULTAS ILMU KOMPUTER. Program Studi TEKNIK INFORMATIKA Modul ke: 12 ETIK UMB Fakultas FAKULTAS ILMU KOMPUTER AFIYATI SSi., MT. Program Studi TEKNIK INFORMATIKA MATERI 12 TINDAKAN KORUPSI DAN PENYEBABNYA Korupsi secara Etimologi Istilah korupsi berasal dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada era otonomi sekarang ini terjadi pergeseran wewenang dan tanggung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada era otonomi sekarang ini terjadi pergeseran wewenang dan tanggung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada era otonomi sekarang ini terjadi pergeseran wewenang dan tanggung jawab dalam pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

ETIK UMB. Tindakan Korupsi dan Penyebabnya. Pendahuluan. Modul ke: Daftar Pustaka. 12Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

ETIK UMB. Tindakan Korupsi dan Penyebabnya. Pendahuluan. Modul ke: Daftar Pustaka. 12Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Modul ke: 12Fakultas ISLAHULBEN, Ekonomi dan Bisnis Program Studi Manajemen ETIK UMB Tindakan Korupsi dan Penyebabnya SE., MM Pendahuluan Bentuk Korupsi Akhiri Presentasi Gratifikasi Daftar Pustaka Pendidikan

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Akuntansi Pemerintahan Saat ini terdapat perhatian yang lebih besar terhadap praktik akuntansi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam kondisi perekonomian yang sedang menurun dan kurang optimalnya dampak dari peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintahan Indonesia saat ini, menjadikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengauditan disebut dengan fraud akhir akhir ini menjadi berita utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. pengauditan disebut dengan fraud akhir akhir ini menjadi berita utama dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kecenderungan Kecurangan Akuntansi atau yang dalam bahasa pengauditan disebut dengan fraud akhir akhir ini menjadi berita utama dalam pemberitaan media yang

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE 8 OLEH : TRIYONO, SS. MM. STTNAS YOGYAKARTA

PERTEMUAN KE 8 OLEH : TRIYONO, SS. MM. STTNAS YOGYAKARTA PERTEMUAN KE 8 OLEH : TRIYONO, SS. MM. STTNAS YOGYAKARTA DEFINISI KORUPSI 4 DEFINISI KORUPSI KORUPSI dari bahasa Latin corruptio atau corruptus corruptio dari kata corrumpere, corruption, corrupt (Inggris),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh globalisasi memicu para pelaku bisnis dan ekonomi untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh globalisasi memicu para pelaku bisnis dan ekonomi untuk melakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pengaruh globalisasi memicu para pelaku bisnis dan ekonomi untuk melakukan berbagai tindakan agar kegiatan bisnisnya tetap bertahan. Mereka diharuskan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena entitas ini bekerja berdasarkan sebuah anggaran dan realisasi anggaran

BAB I PENDAHULUAN. karena entitas ini bekerja berdasarkan sebuah anggaran dan realisasi anggaran BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laporan keuangan akan menjadi salah satu bahan penilaian yang penting, karena entitas ini bekerja berdasarkan sebuah anggaran dan realisasi anggaran tersebut tercantum

Lebih terperinci

JERAT BUDAYA KORUPSI MASYARAKAT DI INDONESIA

JERAT BUDAYA KORUPSI MASYARAKAT DI INDONESIA JERAT BUDAYA KORUPSI MASYARAKAT DI INDONESIA Kata korupsi mungkin sudah sering terdengar oleh Anda sekalian sebagai mahasiswa dan warga negara Indonesia. Pers dan media sosial hampir setiap hari menuliskan

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN

3. KERANGKA PEMIKIRAN 3. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran Penelitian Pemerintah pusat memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri dalam wadah negara kesatuan Republik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pupuk bersubsidi merupakan suatu bantuan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk para petani guna untuk meningkatkan mutu dari hasil pertanian atau perkebunan di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produk tembakau yang utama diperdagangkan adalah daun tembakau dan

BAB I PENDAHULUAN. Produk tembakau yang utama diperdagangkan adalah daun tembakau dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Produk tembakau yang utama diperdagangkan adalah daun tembakau dan rokok. Tembakau dan rokok merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi (Katz, dalam Moeljarto 1995). Pembangunan nasional merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi (Katz, dalam Moeljarto 1995). Pembangunan nasional merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan dirumuskan sebagai proses perubahan yang terencana dari suatu situasi nasional yang satu ke situasi nasional yang lain yang dinilai lebih tinggi (Katz, dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tersebut dibutuhkan sumber-sumber keuangan yang besar. Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang

I. PENDAHULUAN. tersebut dibutuhkan sumber-sumber keuangan yang besar. Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan Daerah didasarkan asas otonomi daerah dengan mengacu pada kondisi dan situasi satuan wilayah yang bersangkutan.dengan daerah tidak saja mengurus rumah tangganya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi yang diikuti dengan Tindak pidana pencucian uang

BAB I PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi yang diikuti dengan Tindak pidana pencucian uang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi yang diikuti dengan Tindak pidana pencucian uang yang terjadi dewasa ini telah terjadi secara meluas di segala segi kehidupan birokrasi negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan, dan golongan tertentu saja. Yaitu kepentingan politik kekuasaan, bukan kepada publik.

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan, dan golongan tertentu saja. Yaitu kepentingan politik kekuasaan, bukan kepada publik. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Memasuki era reformasi, ternyata penerapan model birokrat pemburu rente justru semakin mengganas dan meluas. Artinya perilaku tersebut tidak hanya dipraktekkan di tingkat

Lebih terperinci

ETIK UMB. Pengembangan Wawasan (Mengenali Tindakan Korupsi) Modul ke: 09Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen

ETIK UMB. Pengembangan Wawasan (Mengenali Tindakan Korupsi) Modul ke: 09Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen Modul ke: 09Fakultas Gunawan EKONOMI ETIK UMB Pengembangan Wawasan (Mengenali Tindakan Korupsi) Wibisono SH MSi Program Studi Manajemen Mengenali Tindakan Korupsi Kompetensi Dasar 1. Mahasiswa mampu menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Governance disini diartikan sebagai mekanisme, praktik, dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan masalahmasalah publik. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkait kasus-kasus korupsi yang dilakukan pejabat dan wakil rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. terkait kasus-kasus korupsi yang dilakukan pejabat dan wakil rakyat. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan hal yang tidak asing lagi terdengar di telinga rakyat Indonesia. Sepuluh tahun belakangan ini korupsi menjadi isu yang selalu panas dan tidak

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Di dalam pembangunan ekonomi terutama pembangunan di daerah, peranan yang sangat penting dari keuangan daerah adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah,

Lebih terperinci

INDEKS PERSEPSI KORUPSI INDONESIA 2017Survei Di Antara Pelaku Usaha. Survei di antara Pelaku Usaha 12 Kota di Indonesia

INDEKS PERSEPSI KORUPSI INDONESIA 2017Survei Di Antara Pelaku Usaha. Survei di antara Pelaku Usaha 12 Kota di Indonesia INDEKS PERSEPSI KORUPSI INDONESIA 2017Survei Di Antara Pelaku Usaha Survei di antara Pelaku Usaha 12 Kota di Indonesia 2012 2013 2014 2015 2016 SKOR 32 PERINGKAT 118 SKOR 32 PERINGKAT 114 SKOR 34 PERINGKAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh negara, telah terjadi pula perkembangan penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Kabupaten Bandung Potensi Daya Tarik Wisata Kabupaten Bandung

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Kabupaten Bandung Potensi Daya Tarik Wisata Kabupaten Bandung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Kabupaten Bandung 1.1.1 Potensi Daya Tarik Wisata Kabupaten Bandung Sebagai daerah yang tengah mengembangkan pariwisatanya, Kabupaten Bandung dapat diklasifikasikan

Lebih terperinci

Executive Summary. PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik

Executive Summary. PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik Executive Summary P emberantasan korupsi di Indonesia pada dasarnya sudah dilakukan sejak empat dekade silam. Sejumlah perangkat hukum sebagai instrumen legal yang menjadi dasar proses pemberantasan korupsi

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 75 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD, dan lain-lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001, maka setiap daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam

BAB I PENDAHULUAN. 2001, maka setiap daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pada konteks ekonomi makro, tolak ukur keberhasilan perekonomian suatu daerah antara lain adalah Pendapatan daerah, tingkat kesempatan kerja dan tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang Pemerintahan yakni perubahan struktur pemerintahan, dari sentralisasi menuju desentralisasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan didirikannya negara adalah untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, meningkatkan harkat dan martabat rakyat untuk menjadi manusia seutuhnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. reformasi berjalan lebih dari satu dasawarsa cita- cita pemberantasan

BAB I PENDAHULUAN. reformasi berjalan lebih dari satu dasawarsa cita- cita pemberantasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu alasan mendasar terjadinya reformasi tahun 1998 karena pemerintahan waktu itu yaitu pada masa orde baru telah terjadi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kecurangan pada pemerintahan, baik pusat dan daerah sudah kerap kali

BAB I PENDAHULUAN. Kecurangan pada pemerintahan, baik pusat dan daerah sudah kerap kali BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Kecurangan pada pemerintahan, baik pusat dan daerah sudah kerap kali ditemukan. Hal ini ditandai dengan maraknya kasus-kasus korupsi pejabat pemerintahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan akuntansi sektor publik, khususnya di Indonesia semakin pesat dengan adanya era reformasi dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional, Indonesia menganut pada asas desentralisasi dengan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah dalam

Lebih terperinci

Menyinari Sudut Kelam Tata Pemerintahan yang Lemah dan Korupsi Oleh Christine Lagarde

Menyinari Sudut Kelam Tata Pemerintahan yang Lemah dan Korupsi Oleh Christine Lagarde Menyinari Sudut Kelam Tata Pemerintahan yang Lemah dan Korupsi Oleh Christine Lagarde 22 April 2018 Strategi antikorupsi membutuhkan reformasi regulasi dan kelembagaan yang lebih luas (Kritchanut/iStock).

Lebih terperinci

PERAN SERTA MASYARAKAT

PERAN SERTA MASYARAKAT PERAN SE R MASYARA TA KAT KORUPSI TERJADI DI BANYAK SEKTOR. SETIDAKNYA ADA 11 SEKTOR YANG POTENSIAL RAWAN KORUPSI: PENDIDIKAN ANGGARAN DANA BANTUAN SOSIAL PENYALAHGUNAAN APBD MAFIA HUKUM DAN PERADILAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 1. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (sehingga dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat

Lebih terperinci

DAMPAK PEMBANGUNAN PROPERTI TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI KOTA BOGOR OLEH NINDYA RASMI M H

DAMPAK PEMBANGUNAN PROPERTI TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI KOTA BOGOR OLEH NINDYA RASMI M H DAMPAK PEMBANGUNAN PROPERTI TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI KOTA BOGOR OLEH NINDYA RASMI M H14104113 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan Teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan daerah adalah komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan dan melancarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

Satu Dasawarsa Pemberantasan Korupsi Pendidikan, Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch Jakarta, 29 Agustus 2013

Satu Dasawarsa Pemberantasan Korupsi Pendidikan, Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch Jakarta, 29 Agustus 2013 Satu Dasawarsa Pemberantasan Korupsi Pendidikan, 2003-2013 Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch Jakarta, 29 Agustus 2013 Latar Belakang Tujuan Pendidikan Pemenuhan hak warga negara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Landasan Teori 1. Akuntansi Pemerintahan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Landasan Teori 1. Akuntansi Pemerintahan TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Akuntansi Pemerintahan Bastian (2001:6) mengemukakan bahwa akuntansi pemerintahan adalah mekanisme teknik dan analisis akuntansi yang diterapkan pada pengelolaan dana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak, serta memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah, hal ini membuat Indonesia pantas disebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistim pemerintahan daerah hampir di seluruh wilayah Republik Indonesia di dalam pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang berlaku di berbagai negara. Hampir semua negara di dunia mengenakan pajak kepada warganya, kecuali beberapa negara

Lebih terperinci

1. Pendahuluan Negara merupakan satu-satunya subyek hukum yang mempunyai hak untuk menjatuhkan sanksi pidana (jus puniendi) 1 terhadap pelanggar hukum. Lembaga peradilan merupakan representasi dari negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diamati dan dikaji. Otonomi acap kali menjadi bahan perbincangan baik di

BAB I PENDAHULUAN. diamati dan dikaji. Otonomi acap kali menjadi bahan perbincangan baik di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perjalanan otonomi daerah di Indonesia merupakan isu menarik untuk diamati dan dikaji. Otonomi acap kali menjadi bahan perbincangan baik di kalangan birokrat, politisi,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2, 2009 Ekonomi. Lembaga. Pembiayaan. Ekspor. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4957) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengembangan Wilayah Pada dasarnya pengembangan adalah proses dimana individu, kelompok, organisasi, institusi dan masyarakat meningkatkan kemampuannya

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. maka penulis dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut: dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pun sejajar dan bersifat

BAB III PENUTUP. maka penulis dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut: dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pun sejajar dan bersifat 93 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut: 1. Hubungan antara Pemerintah Daerah dan Dewan

Lebih terperinci

TREN PENANGANAN KASUS KORUPSI SEMESTER I 2017

TREN PENANGANAN KASUS KORUPSI SEMESTER I 2017 TREN PENANGANAN KASUS KORUPSI SEMESTER I 217 LATAR BELAKANG 1. Informasi penanganan kasus korupsi yang ditangani oleh aparat penegak hukum tidak dipublikasi secara transparan, khususnya Kepolisian dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi bangsa ini. Tuntutan demokratisasi yang diinginkan oleh bangsa ini yaitu

BAB I PENDAHULUAN. bagi bangsa ini. Tuntutan demokratisasi yang diinginkan oleh bangsa ini yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Reformasi yang terjadi pada sektor publik di Indonesia juga diikuti dengan adanya tuntutan demokratisasi, tentunya dapat menjadi suatu fenomena global bagi bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Dalam konteks tata pemerintahan, procurement dilakukan oleh

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Dalam konteks tata pemerintahan, procurement dilakukan oleh BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Dalam konteks tata pemerintahan, procurement dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhannya dalam menjalankan rencana program kerja yang sudah ditetapkan seperti

Lebih terperinci

Hukum Progresif Untuk Pemberantasan Korupsi

Hukum Progresif Untuk Pemberantasan Korupsi 1 Hukum Progresif Untuk Pemberantasan Korupsi Oleh: Husni Mubarak* I Pendahuluan Korupsi di Indonesia telah menjadi penyakit utama yang hinggap di dalam tubuh bangsa ini. Sebagian birokrat di pemerintahan,

Lebih terperinci

Outlook Dana Desa 2018 Potensi Penyalahgunaan Anggaran Desa di Tahun Politik

Outlook Dana Desa 2018 Potensi Penyalahgunaan Anggaran Desa di Tahun Politik Outlook Dana Desa 2018 Potensi Penyalahgunaan Anggaran Desa di Tahun Politik Pengantar Sejak 2015, pemerintah melalui amanat UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa mengalokasikan anggaran nasional untuk desa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat dan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang merata baik materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan sistem pemerintahan dari yang semula terpusat menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan sistem pemerintahan dari yang semula terpusat menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan semangat otonomi daerah dan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tahun

Lebih terperinci

Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi

Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi Prototipe Media Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi Prakata SALAM SEHAT TANPA KORUPSI, Korupsi merupakan perbuatan mengambil sesuatu yang sebenarnya bukan haknya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi yang bergulir di Indonesia telah membawa dampak perubahan yang besar di segala bidang kehidupan bangsa ini. Dampak perubahan yang paling terasa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam setiap aktivitas pemerintahan daerah, bahkan rancangan pembangunan disetiap daerah

Lebih terperinci