ANALISA DAN SIMULASI NUMERIKAL PROSES SAND CASTING DALAM PEMBUATAN FEMALE CONTACT RESISTOR BERBAHAN DASAR COPPER
|
|
- Yulia Susanto
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 TUGAS AKHIR TL ANALISA DAN SIMULASI NUMERIKAL PROSES SAND CASTING DALAM PEMBUATAN FEMALE CONTACT RESISTOR BERBAHAN DASAR COPPER Candra Simon Septyan NRP Dosen Pembimbing : Mas Irfan P. Hidayat, S.T., M.Sc., Ph.D Dian Mughni Fellicia, S.T., M.Sc. DEPARTEMEN TEKNIK MATERIAL DAN METALURGI Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2017
2
3 TUGAS AKHIR TL ANALISA DAN SIMULASI NUMERIKAL PROSES SAND CASTING DALAM PEMBUATAN FEMALE CONTACT RESISTOR BERBAHAN DASAR COPPER Candra Simon Septyan NRP Dosen Pembimbing : Mas Irfan P. Hidayat, S.T., M.Sc., Ph.D Dian Mughni Fellicia, S.T., M.Sc. DEPARTEMEN TEKNIK MATERIAL DAN METALURGI Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2017 i
4 (Halaman ini sengaja dikosongkan) ii
5 FINAL PROJECT - TL ANALYSIS AND NUMERICAL SIMULATION OF SAND CASTING PROCESS ON COPPER FEMALE CONTACT RESISTOR PRODUCTION Candra Simon Septyan NRP Advisor Lecturer: Mas Irfan P. Hidayat, S.T., M.Sc., Ph.D. Dian Mughni Fellicia, S.T., M.Sc. MATERIALS AND METALLURGICAL ENGINEERING DEPARTMENT Faculty of Industrial Technology Sepuluh Nopember Institute of Technology Surabaya 2017 iii
6 (Halaman ini sengaja dikosongkan) iv
7 v
8 (Halaman ini sengaja dikosongkan) vi
9 ANALISA DAN SIMULASI NUMERIKAL PROSES SAND CASTING DALAM PEMBUATAN FEMALE CONTACT RESISTOR BERBAHAN DASAR COPPER Nama Mahasiswa : Candra Simon Septyan NRP : Departemen : Teknik Material FTI-ITS Pembimbing : Mas Irfan P. Hidayat S.T., M. Sc., Ph.D. Dian Mughni Felicia S.T., M. Sc. Abstrak Female Contact Resistor (FCR) adalah salah satu komponen dari circuit breaker yang berfungsi sebagai penghambat/pembatas arus listrik dari suatu rangkaian listrik. FCR diproduksi dengan metode sand casting, namun banyak fenomena pada pengecoran yang tidak dapat dilihat pada eksperimennya secara langsung. Simulasi pengecoran menggunakan ANSYS Mechanical APDL dapat memperlihatkan fenomena yang terjadi dalam pengecoran FCR ini. Komponen FCR ini dibuat menggunakan material copper dan cetakannya menggunakan material pasir. Variasi pada penelitian ini adalah bentuk penampang dari runner dan riser, yaitu persegi dan lingkaran. Dari penelitian ini didapatkan hasil bentuk pada sistem saluran mempengaruhi hasil dari pengecoran. Tegangan termal yang dihasilkan pada sistem saluran dengan sprue dan riser berpenampang lingkaran sebesar 2,39E+07 Pa adalah yang terendah dan sistem saluran dengan sprue dan riser berpenampang persegi sebesar 4,71E+07 Pa adalah yang terbesar. Penyusutan yang terjadi pada sistem saluran dengan sprue dan riser berpenampang lingkaran sebesar 3164, mm 3 adalah yang terkecil dan sistem saluran dengan sprue dan riser berpenampang persegi sebesar 3167, mm 3 adalah yang terbesar. Hasil coran yang paling baik dimiliki oleh sistem saluran dengan sprue dan runner berpenampang lingkaran karena vii
10 memiliki tegangan termal dan penyusutan yang lebih kecil dibandingkan yang lainnya. Kata kunci: Analisa Elemen Hingga, Female Contact Resistor, Tembaga, Tegangan Termal, Shrinkage, Crack viii
11 NUMERICAL ANALYSIS AND SIMULATION OF SAND CASTING PROCESS IN MAKING FEMALE CONTACT RESISTOR MADE OF COPPER Name : Candra Simon Septyan NRP : Department : Teknik Material dan Metalurgi Advisor : Mas Irfan P.Hidayat, S.T., M.Sc., PhD. Dian Mughni Felicia S.T., M.Sc. Abstract Female Contact Resistor (FCR) is one of the components of circuit breaker that functioning as an electrical current barrier or limiting electrical current from an electric circuit. FCR is produced by sand casting method, but many foundry phenomena cannot be seen in the experiment directly. Casting simulation using ANSYS Mechanical APDL can show the phenomena that occurs in this experiment. FCR component is made using copper material and the mold is using sand material. The variations in this research are the cross section of runner and riser, that is square and circle. From this research, the results of this cross-sectional shape gating system affect the outcome of the casting. The thermal stress generated from gating system using circular cross-sectional shape is 2.39E+07 Pa and from gating system using a square crosssectional shape is 4.71E+07 Pa. Shrinkage that occurs from gating system using circular cross-sectional shape is mm 3 and from gating system using a square cross-sectional shape is mm 3. The best casting result is obtained using circular cross-sectional shape gating system because of the less thermal stress and shrinkage from the others. Keywords : Finite Element Analysis, Female Contact Resistor, Copper, Thermal Stress, Shrinkage, Crack ix
12 (Halaman Ini Sengaja Dikosongkan) x
13 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-nya sehingga penulis diberi kesempatan untuk dapat menyelesaikan Tugas Akhir. Tugas Akhir ditujukan untuk memenuhi mata kuliah wajib yang harus diambil oleh mahasiswa Departemen Teknik Material dan Metalurgi Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), penulis telah menyelesaikan yang berjudul Analisa dan Simulasi Numerikal Proses Sand Casting dalam Pembuatan Female Contact Resistor Berbahan Dasar Copper. Pada kesempatan ini penulis ingin berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan tugas akhir ini: 1. Keluarga yang selalu menyayangi dan memberikan dukungan selama ini. 2. Bapak Dr. Agung Purniawan, S.T, M.Eng., selaku Ketua. 3. Bapak Mas Irfan P. Hidayat, S.T., M.Sc., Ph.D. selaku dosen pembimbing tugas akhir yang telah memberikan bantuan dalam menyelesaikan tugas akhir. 4. Ibu Dian Mughni Fellicia, S.T., M.Sc. selaku co dosen pembimbing yang telah memberikan kesempatan untuk mendapatkan topik tugas akhir ini dan selaku dosen wali yang sangat membantu memotivasi dan memberi nasihat positif untuk menjalankan kuliah. 5. Seluruh dosen dan karyawan Departemen Teknik Material dan Metalurgi FTI-ITS. 6. Keluarga PKKTM 2013 yang selalu bersama-sama menjalani pahit manisnya kehidupan selama dan setelah berkuliah di ITS. 7. Keluarga MT 15 yang menjadi kebanggan dan teman seperjuangan di Departemen Teknik Material dan Metalurgi. 8. Tim casting simulation, Rommel Tinambunan dan Rinush Sinaga, Venceremos! xi
14 9. Dan seluruh pihak yang telah memberikan bantuan selama mengerjakan Tugas Akhir ini. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik yang membangun dari pembaca demi perbaikan dan kemajuan bersama. Penulis berharap laporan tugas akhir ini dapat bermanfaat dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya Surabaya, Juli 2017 Penulis, Candra Simon Septyan xii
15 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... v ABSTRAK... vii ABSTRACT... ix KATA PENGANTAR... xi DAFTAR ISI... xiii DAFTAR GAMBAR... xvii DAFTAR TABEL... xix BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Batasan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Sebelumnya Tembaga (Cu) Sistem Penamaan Tembaga dan Paduannya Pengecoran Gating System Samd Casting Shrinkage Metode Elemen Hingga Solidifikasi pada Proses Pengecoran Tegangan Termal Proses Perpindahan Panas Konveksi Konduksi Radiasi BAB III METODOLOGI PENELITIAN Diagram Alir Penelitian Spesifikasi Penilitian Material Tembaga xiii
16 3.2.2 Material Cetakan Pasir Proses Penelitian BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN Analisa Termal Distribusi Temperatur Perbandingan Kurva Pendinginan Coran Perbandingan Kurva Perubahan Temperatur Cetakan Perbandingan Gradien Temperatur Analisa Struktural Tegangan Termal Penyusutan (Shrinkage) Perbandingan Massa Jenis di Dalam Coran pada Beberapa Waktu Kualitas Coran Analisa Hasil dari Keempat Model Coran Validasi Penelitian BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA... xxi BIODATA PENULIS xxiii xiv
17 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Pattern pada proses pengecoran....5 Gambar 2.2 Simulasi menggunakan ANSYS Gambar 2.3 Elemen utama pada gating system Gambar 2.4 Kontraksi pada saat solidifikasi logam Gambar 2.5 Perpindahan panas konveksi Gambar 2.6 Perpindahan panas konduksi pada dinding Gambar 2.7 Perpindahan panas radiasi Gambar 3.1 Diagram alir penelitian Gambar 3.2 Diagram alir pemodelan Gambar 3.3 Geometri 2 dimensi female contact resistor Gambar 3.4 Meshing geometri female contact resistor Gambar 3.5 Input sifat-sifat material Gambar 4.1 Distribusi temperatur pada proses solidifikasi material coran menggunakan model 1 (satu) Gambar 4.2 Distribusi temperatur pada proses solidifikasi material coran menggunakan model 2 (dua) Gambar 4.3 Distribusi temperatur pada proses solidifikasi material coran menggunakan model 3 (tiga) Gambar 4.4 Distribusi temperatur pada proses solidifikasi material coran menggunakan model 4 (empat) Gambar 4.5 Distribusi temperatur pada proses heating material cetakan menggunakan model 1 (satu). 37 Gambar 4.6 Distribusi temperatur pada proses heating material cetakan menggunakan model 2 (dua).. 38 Gambar 4.7 Distribusi temperatur pada proses heating material cetakan menggunakan model 3 (tiga).. 39 Gambar 4.8 Distribusi temperatur pada proses heating material cetakan menggunakan model 4 (empat) xvii
18 Gambar 4.9 Kurva perbandingan perubahan temperatur proses pendinginan material coran Gambar 4.10 Kurva perbandingan perubahan temperatur material cetakan Gambar 4.11 Gradien temperatur pada model Gambar 4.12 Gradien temperatur pada model Gambar 4.13 Gradien temperatur pada model Gambar 4.14 Gradien temperatur pada model Gambar 4.15 Kurva perbandingan nilai tegangan termal Gambar 4.16 Tegangan termal pada detik ke Gambar 4.17 Deformasi yang terjadi saat detik ke Gambar 4.18 Kurva perubahan massa jenis pada material coran Gambar 4.19 Geometri spesimen uji tarik ASTM E Gambar 4.20 Benda coran hasil eksperimen Gambar 4.21 Benda coran hasil simulasi xviii
19 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Sifat-sifat material tembaga... 8 Tabel 2.2 Klasifikasi wought alloy... 8 Tabel 2.3 Toleransi penyusutan logam menggunakan sand casting Tabel 3.1 Modulus elastisitas, poisson ratio serta koefisien ekspansi termal tembaga Tabel 3.2 Konduktivitas termal, kapasitas panas spesifik dan massa jenis tembaga Tabel 3.3 Komposisi paduan pasir silika Tabel 3.4 Modulus elastisitas, poisson ratio serta koefisien ekspansi termal pasir silika Tabel 3.5 Konduktivitas termal, kapasitas panas spesifik dan massa jenis pasir silika Tabel 3.6 Desain gating system penelitian Tabel 3.7 Variabel penelitian Tabel 4.1 Pengaturan simulasi transien termal Tabel 4.2 Perbandingan temperatur proses pendinginan coran Tabel 4.3 Perbandingan perubahan temperatur cetakan Tabel 4.4 Pengaturan simulasi struktural Tabel 4.5 Nilai perbandingan tegangan termal Tabel 4.6 Nilai shrinkage pada akhir proses pengecoran Tabel 4.7 Volume benda coran pada berbagai waktu Tabel 4.8 Formula menghitung kualitas cetakan Tabel 4.9 Nilai kualitas cetakan pengecoran Tabel 4.10 Perbandingan hasil keseluruhan dari keempat model Tabel 4.11 Dimensi spesimen uji tarik ASTM E Tabel 4.12 Penyusutan yang terjadi pada eksperimen Tabel 4.13 Penyusutan yang terjadi pada simulasi Tabel 4.14 Perbandingan hasil eksperimen dan simulasi xix
20 (Halaman Ini Sengaja Dikosongkan) xx
21 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Tembaga merupakan logam yang memiliki warna kemerahan yang memiliki berat jenis 8,65 (lebih tinggi dari baja 7,8). Titik leburnya pada 1083 o C dan memiliki struktur kristal face centered cubic (FCC). Tembaga memiliki sifat penghantar listrik dan panas yang baik, keuletan yang tinggi serta memiliki ketahanan terhadap korosi yang sangat baik. (Avner, 1982) Sifat kelistrikan yang baik dari tembaga inilah yang membuat tembaga banyak digunakan sebagai alat kelistrikan, salah satunya adalah sebagai komponen female contact resistor (FCR) yang merupakan bagian dari ciruit breaker (CB) yang selalu ada pada setiap plant pembangkit listrik. Komponen CB ini dibutuhkan di semua pembangkit listrik namun, komponen ini hanya dapat diperoleh dari luar negeri yang harus melalui proses indent dengan harga yang sangat mahal. Permasalahan inilah yang mendasari penelitian ini yaitu untuk mencari cara memproduksi komponen FCR agar dapat di produksi di dalam negeri dengan biaya yang lebih murah dan mudah di dapat. Untuk mendapatkan produk yang sesuai dengan spesifikasi perusahaan, dilakukan proses pembuatan FCR dengan metode sand casting. Pengecoran (casting) adalah proses dimana logam cair mengalir ke dalam cetakan dengan cara gravitasi maupun diberi gaya lainnya, kemudian logam cair membeku sesuai dengan bentuk cetakan. Prinsip utama dari pengecoran adalah melebur logam lalu dituangkan ke dalam cetakan, dan biarkan hingga membeku. (Groover, 2010) Tujuan utama dari peleburan logam adalah untuk dapat melakukan kontrol terhadap komposisi logam yang akan dilebur sehingga dapat menghindari kerugian yang ditimbulkan akibat adanya elemen-elemen yang tidak diinginkan terdapat dalam logam yang dilebur tersebut. (Beeley, 2001) 1
22 2 Depertemen Teknik Material dan Metalurgi FTI-ITS Dalam pelaksanaannya, pengecoran memiliki banyak keuntungan seperti dapat mencetak bentuk yang rumit, mencetak produk yang sangat besar dan juga dapat digunakan untuk berbagai macam logam sehingga sangat cocok untuk kebutuhan produksi secara massal. Namun pada pelaksanaanya terdapat beberapa kesulitan untuk mengontrol hasil pengecoran dimana sangat bergantung pada karakteristik lelehan logam yang sangat berhubungan dengan sifat-sifat termal serta struktur dari logam dan paduan yang digunakan. Dan juga banyak faktor lain seperti kelarutan gas, material dan bentuk dari cetakan (mold) itu sendiri dimana akan mempengaruhi distribusi temperatur proses selama proses pengecoran, munculnya tegangan termal, shrinkage, serta mempengaruhi proses solidifikasi hasil coran itu sendiri. Sehingga dalam kasus ini diperlukan penelitian agar hasil dari pengecoran tersebut sesuai dengan standar yang diinginkan baik dalam skala industri maupun skala yang lebih kecil lagi. Dalam perjalanannya, eksperimen pengecoran memakan waktu dan biaya dikarenakan banyaknya variabel yang berpengaruh pada hasil coran. Untuk meningkatkan efisiensi dan melihat semua proses pengecoran, peneliti menggunakan analisa numerik yaitu metode elemen hingga. Dengan analisa hasil dari proses pengecoran seperti shrinkage dan crack yang terjadi baik saat proses pengecoran maupun pasca pengecoran dapat diprediksi. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh variasi bentuk runner dan riser pada gating system terhadap tegangan termal yang terjadi pada proses pengecoran tembaga (Cu) 2. Bagaimana pengaruh variasi bentuk runner dan riser pada gating system terhadap shrinkage yang terjadi pada proses pengecoran tembaga (Cu) BAB I PENDAHULUAN
23 3 DepartemenTeknik Material dan Metalurgi FTI-ITS 3. Bagaimana pengaruh variasi bentuk runner dan riser pada gating system terhadap crack yang terjadi pada proses pengecoran tembaga (Cu) 1.3 Batasan Masalah Untuk mendapatkan hasil penelitian yang akurat serta tidak menyimpang maka diperlukan batasan masalah sebagai berikut: 1. Dianggap tidak ada pengotor di dalam rongga cetak. 2. Pengaruh cetakan diabaikan. 3. Cetakan dianggap menyentuh tanah sehingga tidak terjadi konveksi. 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan yang diharapkan dari penelitian adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis pengaruh variasi bentuk dari runner dan riser pada gating system terhadap shrinkage dan crack yang terjadi pada proses pengecoran tembaga (Cu). 2. Menganalisis pengaruh variasi bentuk dari runner dan riser pada gating system terhadap tegangan termal yang terjadi pada proses pengecoran tembaga (Cu). 3. Menganalisis pengaruh variasi bentuk dari runner dan riser pada gating system terhadap crack yang terjadi pada proses pengecoran tembaga (Cu). 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian yang dilakukan ini adalah dapat diprediksi hasil yang didapat saat melakukan pengecoran maupun hasil coran tembaga (Cu) sehingga bisa dijadikan referensi dalam melakukan eksperimen pengecoran yang nyata dan bisa dijadikan penelitian yang lebih lanjut, khususnya di Teknik Material dan Metalurgi FTI- ITS. BAB I PENDAHULUAN
24 4 Depertemen Teknik Material dan Metalurgi FTI-ITS (Halaman Ini Sengaja Dikosongkan) BAB I PENDAHULUAN
25 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Penelitian Sebelumnya Pada tahun 2016, Hardik Rathod meneliti tentang kemungkinan cacat coran porositas penyusutan pada proses sand casting dari paduan aluminium menggunakan eksperimen dan ANSYS. Pada eksperimennya, bentuk dari coran yang dibuat adalah bentuk Y seperti pada gambar 2.1. Gambar 2.1 Pattern pada proses pengecoran Pada pertemuan aliran coran simpang pada pattern, konsentrasi termalnya tinggi, sehingga pendinginannya lebih lambat dan memungkinkan terjadinya cacat penyusutan. Ukuran dan panjang area cacat tergantung dari ketebalan corannya. Disiapkan 9 (sembilan) bentuk pattern Y yang berbeda-beda ukuran pattern dan sudutnya. Logam dipanaskan hingga temperatur 750 o C dan dituang pada 3 (tiga) temperatur yang berbeda (700 o C, 725 o C dan 750 o C) Untuk memprediksi shrinkage yang terjadi pada proses sand casting logam aluminium ini digunakan ANSYS 15.0 dengan memasukkan data dari percobaan nyata yang dilakukan. Pada 5
26 6 gambar 2.2 adalah salah satu hasil simulasi pemodelan dari pattern yang digunakan. Gambar 2.2 Simulasi menggunakan ANSYS 15.0; steady state thermal solution (kiri) dan transient thermal solution (kanan) Hasil dari penelitian ini menunjukkan besar kemungkinan terjadinya shrinkage pada bagian pertemuan bentuk Y (Rathod, 2016). Pada tahun 2016, Muhammad Bahtiyar Firdaus melakukan penelitian tentang pengecoran menggunakan metode elemen hingga dengan ANSYS. Bahan coran yang digunakan adalah Al- 12%Si dengan bentuk coran piston motor. Pada penelitiannya, dibandingkan proses pengecoran sand casting dan pengecoran permanent mold. Pada penelitiannya, dilakukan perbandingan percobaan menggunakan cetakan penuh dan cetakan perpotongan simetri yang hasilnya tidak memiliki pengaruh signifikan sehingga dilakukan penelitian dengan cetakan perpotongan simetri. Dari hasil penelitiannya didapatkan besar tegangan termal dan shrinkage pada cetakan pasir lebih kecil dibandingkan dengan cetakan permanen (Bahtiyar, 2016). Pada tahun 2004, Soejono Tjitro melakukan penelitian tentang pengaruh penampang riser terhadap cacat produk cor aluminium menggunakan cetakan pasir. Dilakukan penelitian dengan menggunakan 2 riser dengan penampang yang berbeda. Dari hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa bentuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA
27 7 penampang riser mempunyai pengaruh signifikan dalam timbulnya cacat pada coran (Tjitro, 2004). Pada tahun 2004 juga Soejono Tjitro melakukan penelitian tentang pengaruh bentuk riser terhadap cacat shrinkage produk cor aluminium menggunakan cetakan pasir. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh nilai casting modulus terhadap cacat penyusutan. Dilakukan penelitian menggunakan riser dengan bentuk dan casting modulus yang berbeda dengan sistem saluran yang sama. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa casting modulus mempengaruhi terjadinya cacat penyusutan pada produk cor (Tjitro, 2004). Pada tahun 2013, C. M. Choudari melakukan simulasi dan dan eksperimen mengenai distribusi temperatur saat proses solidifikasi aluminium pada sand casting. Digunakan ANSYS dalam simulasi pengecorannya. Temperatur maksimum yang digunakan adalah 973K dengan waktu solidifikasi selama 1 jam 30 menit dengan minimum stepsize 3,6 detik. Bentuk dari coran adalah silinder. Untuk eksperimennya menggunakan thermocouple untuk mengukur temperatur dari material coran. Dari hasil penelitiannya disimpulkan bahwa distribusi temperatur baik dari hasil pemodelam maupun hasil eksperimen menunjukkan hasil yang sesuai (Choudari, 2013). II.2 Tembaga (Cu) Tembaga adalah logam transisi dengan berwarna kemerahan; penambahan zinc akan menjadikan warna kekuningan dan penambahan nikel akan menjadikan warna keperakan. Temperatur leleh dari tembaga adalah 1083 o C dengan densitas sekitar 8900kg.m -3, 3 (tiga) kali lebih berat dibandingkan aluminium. Konduktivitas panas dan listrik dari tembaga lebih rendah dibandingkan perak, tetapi lebih besar 1,5 kali dibandingkan aluminium. (Collini, 2012). Sifat-sifat dari tembaga dapat di lihat pada tabel 2.1. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
28 8 Tabel 2.1 Sifat-sifat material tembaga (Comsol Material Library) Sifat-sifat Tembaga Satuan Densitas 8920 kg/m 3 Modulus Young 130 GPa Yield Strength 33,3 MPa Ultimate Tensile Strength 210 MPa Melting Point 1083 o C Boiling Point 2562 o C Poisson s ratio 0,34 Koefisien Ekspansi Thermal 16,5x10-6 K -1 Konduktivitas Panas 400 W/mK Kekerasan Vickers 50 VHN II.2.1 Sistem Penamaan Tembaga dan Paduannya Sistem penamaan tembaga menurut Unified Numbering System (UNS), sebuah sistem penamaan paduan, dibuat dengan 5 digit angka yang diawalai dengan huruf C dengan range penamaan tembaga dimulai dari C hingga C79999 yang menunjukkan paduan tempa (wrought copper) dan C80000 hingga C99999 yang menunjukkan cast alloy. Kategori penamaan wrought copper ini dibagi menjadi beberapa kelompok seperti pada tabel 2.2. Tabel 2.2 Klasifikasi wrought alloy (ASM Metal Handbook vol.2, 1992) Wrought Alloys No.UNS Komposisi Coppers (a) C > 99% Cu C15815 High-copper alloys (b) C > 96% Cu C19900 Brasses C Cu-Zn Leaded brass C Cu-Zn-Pb C38500 Tin brasses C Cu-Zn-Sn- C48600 Phosphor bronzes C C52480 Pb Cu-Sn-P BAB II TINJAUAN PUSTAKA
29 9 Leaded phosphor bronzes C Cu-Sn-Pb- C54400 P Copper-phospphorus and coppersilver-phosphorus C Cu-P- Ag alloy (c) C55284 Aluminium bronzes C Cu-Al-Ni- C64210 Fe-Sn Silicon bronzes C Cu-Si-Sn C66100 Copper-zinc alloys C Cu-Zn- C69710 Mn-Fe-Sn- Al-Si-Cu Copper nickels C Cu-Ni-Fe C72950 Nickel silvers C Cu-Ni-Zn C79830 II.3 Pengecoran Pengecoran adalah proses manufaktur yang dimulai dengan pemanasan material hingga berubah fasa menjadi liquid kemudian dituangkan atau dipaksa masuk ke cetakan dan dibiarkan membeku sesuai dengan bentuk cetakan (Groover, 2010). II.3.1 Gating System Gating system memiliki peranan penting untuk mendapatkan kualitas coran yang baik. Gating system memiliki kegunaan sebagai jalur logam cair menuju rongga cetakan yang memastikan aliran logam cair laminer dan cetakan terisi penuh (Voghasia, 2009). BAB II TINJAUAN PUSTAKA
30 10 Elemen-elemen pada gating system ditunjukkan pada gambar 2.3 Gambar 2.3 Elemen utama pada gating system (Voghasia, 2009) Bagian-bagian utama gating system adalah sebagai berikut: Pouring basin adalah bukaan cetakan yang berbentuk corong dan diposisikan di atas cetakan. Tujuan utama dari pouring basin adalah untuk mengarahkan aliran logam cair dari ladle ke dalam sprue. Sprue adalah penghubung antara pouring basin dengan runner atau ingate. Biasanya dibuat meruncing ke bawah untuk mengurangi udara yang mungkin terperangkap. Sprue base terletak di dasar sprue yang berfungsi mengurangi turbulensi dari aliran logam cair sebelum menuju runner atau ingate Runner adalah jalur aliran logam cair sebelum memasuki ingate. Dalam pengecoran yang memiliki rongga besar, runner digunakan untuk mengurangi jarak tempuh logam cair untuk memasuki rongga cetakan. Biasanya terdapat runner extension pada ujung runner yang berguna sebagai perangkap logam cair yang masuk lebih dulu ke dalam gating system. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
31 11 Ingate adalah jalur masuk aliran logam cair menuju rongga cetakan utama. Riser mempunyai banyak fungsi, namun fungsi utamanya adalah untuk menyuplai logam cair yang diperlukan untuk meminimalisir terjadinya penyusutan yang terjadi saat pembekuan di dalam coran. Kebutuhan riser bergantung pada banyaknya logam yang akan dituang. Baja dan besi cor putih dan kebanyakan paduan nonferrous mempunyai range pendinginan yang panjang dan membutuhkan riser yang besar dan sistem yang rumit (American Foundrymen s Society, 1973). II.3.2 Sand Casting Sand casting adalah proses pengecoran menggunakan pasir untuk bahan cetakannya. Pasir digunakan karena harganya murah dan mudah di dapat. Untuk menggunakan cetakan pasir, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti sifat mampu bentuk dari pasir, distribusi butir pasir yang merata, permeabilitas pasir yang baik, tahan terhadap temperatur tinggi dan mampu dipakai berulang kali (Surdia, 2006). Pada dasarnya proses pengecoran dengan cetakan pasir meliputi pembuatan pola yang dimasukkan ke dalam pasir, pembuatan gating system, memindahkan pola dari cetakan pasir, menuang logam cair ke dalam cetakan, pembekuan di dalam cetakan, penghancuran cetakan pasir dan pemindahan hasil coran. II.4 Shrinkage Untuk kebanyakan logam, transformasi dari liquid ke solid diperoleh dari penyusutan volume. Di dalam paduan tembaga, shrinkage yang muncul selama proses solidifikasi memiliki rentang sekitar 4,9%. Kecenderungan untuk terbentuknya shrinkage berhubungan dengan fraksi volume liquid maupun solid pada akhir solidifikasi dan rentang temperatur solidifikasi dari paduan itu sendiri. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
32 12 Shrinkage muncul selama proses solidifikasi dikarenakan perbedaan volumetrik antara fasa solid dengan liquid. Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui terlebih dahulu perbedaan antara volume liquid dan solid yang menjadi komponen utama dalam pengecoran serta kontraksi yang terjadi setelah solidifikasi sebagai hasil dari kontraksi solid-state yang menjadi patokan utama dalam pembuatan desain serta pattern dalam cetakan. Gambar 2.4 Kontraksi pada saat solidifikasi logam (Campbell, 2003) Pada gambar 2.4, terdapat 3 kali kontraksi yang terjadi selama solidifikasi logam yaitu saat dalam fasa liquid, saat perubahan liquid menjadi solid dan saat dalam fasa solid. Kontraksi saat dalam fasa liquid tidak mempengaruhi hasil akhir benda cor tetapi, kontraksi pada saat solidifikasi dan saat fasa solid akan membuat shrinkage atau penyusutan terjadi pada benda coran. Kontraksi saat benda cor sudah dalam fasa solid juga dapat mengakibatkan crack pada benda coran. Shrinkage pada pengecoran sudah pasti terjadi, toleransi dari besarnya penyusutan yang terjadi dibutuhkan agar tidak terjadi kekosongan pada rongga cetak pada hasil coran. Tabel 2.3 menunjukkan toleransi penyusutan normal logam. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
33 13 Tabel 2.3 Toleransi penyusutan logam menggunakan sand casting (Kalpakjian, 2009) No. Logam Toleransi Penyusutan (%) 1. Besi tuang kelabu 0,83-1,3 2. Besi tuang putih 2,1 3. Besi tuang mampu tempa 0,78-1,0 4. Paduan aluminium 1,3 5. Paduan magnesium 1,3 6. Paduan tembaga 1,3-1,6 II.5 Metode Elemen Hingga Metode elemen hingga adalah teknik numerik untuk memecahkan masalah yang dijelaskan oleh persamaan differensial parsial. Bagian yang akan diteliti dibuat menjadi elemen hingga. Fungsi dari elemen hingga ditentukan sebagai nilai-nilai nodal dari bidang yang akan diteliti. Dua hal dari metode elemen hingga yang menjadikannya solusi untuk permasalahan numerik adalah: 1. Pendekatan dari bidang elemen hingga mempunyai ketelitian yang baik dengan bidang yang akan diteliti dan dengan menambahkan jumlah elemen akan meningkatkan tingkat ketelitian dari bidang yang diteliti. 2. Pendekatan dengan tingkat ketelitian yang baik ini membuat metode elemen hingga mampu untuk menyelesaikan banyak permasalahan dengan jumlah nodal yang tidak diketahui. Secara umum, cara kerja metode elemen hingga dalam menyelesaikan masalah elemen hingga adalah sebagai berikut: 1. Discretize the continuum. Langkah ini adalah membagi wilayah luasan menjadi elemen hingga. Mesh adalah distribusi dari elemen tersebut. 2. Memilih fungsi interpolasi. Fungsi interpolasi digunakan untuk menginterpolasi variabel dari elemen. 3. Menentukan sifat dari elemen yang diteliti. Persamaan matriks dari elemen hingga harus ditetapkan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA
34 14 berhubungan dengan nilai nodal dari fungsi yang tidak diketahui untuk parameter lainnya. 4. Membuat persamaan elemen. Semua persamaan elemen harus dikumpulkan untuk menemukan solusi sistem persamaan global dari permasalahan. Sebelum mendapat solusi, boundary condition harus dimasukkan. 5. Menyelesaikan sistem persamaan global. Hasil dari sistem persamaan global ini adalah nilai-nilai nodal elemen. 6. Menghitung hasil tambahan. Dalam beberapa kasus, parameter tambahan perlu dihitung. Seperti pada regangan tegangan mekanik yang bisa didapat setelah hasil perpindahan diperoleh setelah solusi dari sistem persamaan global (Nikishkov, 2004). II.6 Solidifikasi pada Proses Pengecoran Transfer panas yang bekerja pada proses pengecoran adalah konveksi, konduksi dan radiasi. Persamaan laju transfer panas dapat dilihat pada persamaan 2.1. Q T = Q T1. Q T2. Q T3...(2.1) Konveksi dan radiasi terjadi pada permukaan atas cetakan, transfer panas konduksi terjadi melalui dinding cetakan serta radiasi dari permukaan cetakan yang dipanaskan diwakilkan dengan Q T1. Q T2. Q T3. Untuk mencari Q T1, transfer panas konveksi dan radiasi dari bagian atas menggunakan persamaan 2.2. Q T1 = (h + h r ) T. A T. (T - T )...(2.2) Nilai dari T = 1 (T 2 p + T m ). h dan hr adalah koefisien transfer panas. A T adalah luasan dari permukaan atas dari cetakan dan T adalah temperatur cetakan. Laju transfer panas dengan konduksi ditunjukkan pada persamaan 2.3. Q T2 = (T p T )...(2.3) R t T p dan T adalah temperatur dalam dan luar cetakan dan R t adalah ketahanan termal dinding cetakan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
35 15 Laju transfer panas konveksi dan radiasi pada dinding cetakan luar ditunjukkan pada persamaan 2.4 Q T3 = (h + h r ) Ts. A. (T s T )...(2.4) T s adalah temperatur permukaan cetakan dan T adalah temperatur lingkungan di sekitar cetakan dengan h dan hr adalah koefisien dari transfer panas. Luasan dari permukaan cetakan yang dipanaskan terhadap lingkungan disimbolkan dengan A. Total laju transfer panas dari persamaan 2.1 menjadi Q T = (h + h r ) T. A T. (T - T ) + (T p T ) + (h + h R r ) Ts. A. (T s T )...(2.5) t Q T adalah proses hilangnya panas dari logam yang biasa disebut panas sensible yang dapat dilihat pada persamaan 2.6 dan 2.7. Q t = mc p T...(2.6) Q t = mc p (T p T m )...(2.7) C p adalah panas spesifik dari logam, T p adalah temperatur saat penuangan, T m adalah temparatur leleh dan m adalah massa logam yang dituang. Persamaan 2.6 digabungkan dengan persamaan 2.7 untuk menghasilkan persamaan 2.8. t 1 = mc p (T p T m ) (h+h r ) T.A T.(T T )+ (T p T ) + (h+h r ) Rt T.A T.(T s T )...(2.8) Persamaan 2.8 digunakan untuk mencari solidifikasi selama penuangan. Langkah selanjutnya adalah transfer panas solidifikasi. Transformasi fasa terjadi ketika logam kehilangan panas sensible dan mencapai temperatur lelehnya. Persamaannya sama seperti transfer panas pada saat logam dituang sehingga dapat dirumuskan seperti persamaan 2.9. Qt = Q T.t2...(2.9) Qt adalah jumlah total panas yang hilang dari atas dan dinding cetakan, Q T adalah transfer panas total baik dari konveksi dan radiasi dari atas dan konduksi melalui dinding cetakan dan t2 adalah waktu yang diperlukan untuk transfer panas terjadi (waktu solidifikasi kedua). BAB II TINJAUAN PUSTAKA
36 16 Menggunakan persamaan transfer panas seperti persamaan 2.1 tadi, kali ini T diganti menjadi Tm yaitu temperatur saat koefisien transfer panas selama konduksi pada tahap kedua, maka didapatkan persamaan QT = (h + hr)t. AT. (T m - T ) + (T m T ) + (h + h R r ) Ts. A. (T s T )...(2.10) t Total panas yang hilang pada tahap ini ditampilkan pada persamaan 2.11 Q t = mh f...(2.11) Dari persamaan 2.11, m adalah massa logam dan H f adalah panas pembentukan. Dengan menggabungkan persamaan 2.10 dan 2.11 didapatkan persamaan t 2 = (h+h r ) T m.a T.(T m T )+ (T m T )...(2.12) + (h+h r ) T Rt s.a T.(T s T ) Waktu solidifikasi tahap kedua (saat logam berubah fasa dari liquid ke solid) digambarkan dengan t 2. Didapatkan waktu solidifikasi total pada persamaan t = t 1 + t 2...(2.13) II.7 Tegangan Termal Tegangan termal adalah tegangan yang berada di suatu benda yang diakibatkan oleh perubahan temperatur. Tegangan termal dapat menyebabkan patahan serta deformasi pada suatu benda. Persamaan dari tegangan termal dapat dilihat pada persamaan σ = E α 1 (T o - T f ) = E α 1 T...(2.14) Tegangan dilambangkan dengan σ dengan T 0 dan T f adalah perubahan temperatur yang terjadi, E adalah modulus elastisitas benda dan α 1 adalah koefisien ekspansi termal benda (Callister, 2009). Pada saat material mengalami pertambahan temperatur, volume benda akan mengalami pertambahan yang diakibatkan dari kemampuan panas untuk menambahkan energi kinetik dari material. Pada material solid, molekulnya saling berdekatan satu sama lain yang membuat bentuk permanen dari material tersebut. Saat temperatur bertambah, molekul mengalami vibrasi pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA mh f
37 17 kecepatan yang tinggi dan saling mendorong satu sama lain. Hal ini mengakibatkan pertambahan jarak antar atom yang mengakibatkan material solid akan mengalami ekspansi dan membuat volumenya bertambah. Saat volume material bertambah, stress pada material akan bertambah juga. Thermal stress memiliki efek yang signifikan terhadap kekuatan material dan dapat menimbulkan deformasi hingga kegagalan (patah) (Comsol Material Muliphysics). II.8 Proses Perpindahan Panas Perpindahan panas adalah ilmu yang mempelajari perpindahan energi dalam bentuk panas yang diakibatkan perbedaan temperatur antar material. Dalam proses perpindahan panas tersebut, terdapat kecepatan perpindahan panas (laju perpindahan panas). Ada tiga mekanisme perpindahan panas yaitu konveksi, konduksi dan radiasi. II.8.1 Konveksi Perpindahan panas secara konveksi merupakan transfer panas yang ditimbulkan oleh aliran dari bagian panas ke bagian dingin. Menurut cara pergerakan alirannya, konveksi dibedakan menjadi konveksi bebas dan konveksi paksa. Konveksi bebas adalah perpindahan panas yang terjadi saat pergerakan fluida dikarenakan adanya perbedaan kerapatan karena perbedaan temperatur. Sementara konveksi paksa adalah perpindahan panas yang terjadi saat pergerakan fluida terjadi oleh BAB II TINJAUAN PUSTAKA
38 18 gaya dari luar, misalnya pompa yang menggerakan fluida sehingga fluida mengalir. Gambar 2.5 Perpindahan panas konveksi (J. P. Holman, 2009) Proses perpindahan panas pada gambar 2.5 adalah contoh proses perpindahan panas secara konveksi pada saluran yang tertutup. Laju perpindahannya dapat dihitung menggunakan persamaan q = ha(t w T )...(2.15) Pada persamaan 2.15, q adalah laju perpindahan panas dengan satuan (kj/s atau W), h adalah koefisien perpindahan panas konveksi (W/m 2. o C), A adalah luas bidang permukaan (ft 2 atau m 2 ), T w adalah temperatur dinding dan T ( o C atau K) adalah temperatur lingkungan ( o C atau K). Persamaan 2.15 adalah definisi tahanan panas terhadap konveksi. Koefisien perpindahan panas permukaan (h) bukanlah suatu sifat zat melainkan besarnya kecepatan perpindahan panas pada daerah permukaan tersebut. Tanda negatif dibuat untuk memenuhi hukum ke-2 termodinamika yaitu, perpindahan panas terjadi dari benda bertemperatur tinggi menuju benda bertemperatur lebih rendah. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
39 19 II.8.2 Konduksi Proses perpindahan panas dari suatu medium bertemperatur tinggi ke medium bertemperatur rendah yang bersinggungan secara langsung adalah definisi dari konduksi. Gambar 2.6 menggambarkan perpindahan panas secara konduksi. Gambar 2.6 Perpindahan panas konduksi pada dinding (J. P. Holman, 2009) Laju perpindahan panas konduksi ditunjukkan pada persamaan q k = -ka dt dx...(2.16) Laju perpindahan panas dilambangkan dengan q, konduktivitas termal dilambankan dengan k, A adalah luas penampang, dt adalah perbedaan temperatur dan dx adalah perbedaan jarak. dt/dx adalah gradien temperatur kearah perpindahan kalor. Persamaan 2.16 bila diterapkan pada dinding yang datar, jika diintegrasikan akan menghasilkan persamaan 2.17 q k = ka x (T 2-T 1 )...(2.17) Konduktivitas termal dianggap tetap, x adalah tebal dinding, T 1 dan T 2 adalah temperatur dinding. Jika konduktivitas berubah menurut hubungan linear dengan temperatur, seperti k=k 0 (1+βT), maka persamaan perpindahan panas menjadi persamaan q k = k₀a x [T 2-T 1 + β 2 (T 2 2 -T 12 )]...(2.18) BAB II TINJAUAN PUSTAKA
40 20 II.8.3 Radiasi Radiasi adalah perpindahan panas yang terjadi saat panas dari benda bertemperatur tinggi berpindah menuju benda bertemperatur rendah tanpa bersentuhan secara langsung. Gambar 2.7 Perpindahan panas radiasi (J. P. Holman, 2009) Energi radiasi dikeluarkan oleh benda dalam bentuk gelombang elektromagnetik menuju ruang antara. Bila energi ini bertemu suatu benda atau material, sebagian dari energi akan diserap, sebagian akan dipantulkan dan sebagian lagi akan diteruskan seperti gambar 2.7. Persamaan perpindahan panas secara radiasi ada pada persamaan Q pancaran =...(2.19) Dimana Q pancaran adalah laju perpindahan panas, adalah konstanta Boltzmann (5, W/m 2.K 4 ), A adalah luas permukaan benda dan T adalah suhu absolut benda (J.P Holman, 2009). BAB II TINJAUAN PUSTAKA
41 BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Diagram Alir Penelitian Berikut ini merupakan diagram alir yang digunakan dalam penelitian tugas akhir seperti pada gambar 3.1: Gambar 3.1 Diagram alir penelitian 21
42 22 III.2 Spesifikasi Penelitian III.2.1 Material Tembaga Tembaga digunakan penelitian ini sebagai material coran. Data-data material diperoleh dari Comsol Material Library. Sifatsifat dari tembaga dijabarkan pada tabel 3.1 dan tabel 3.2. Tabel 3.1 Modulus Elastisitas, Poisson Ratio serta Koefisien Ekspansi Termal Tembaga (Comsol Material Library) Temperatur Poisson (K) Ratio CTE (1/K) 303 0, ,68E , ,76E , ,84E , ,90E , ,94E , ,00E , ,10E , ,30E , ,14E , ,20E-05 Tabel 3.2 Konduktivitas Termal, Kapasitas Panas Spesifik dan Massa Jenis Tembaga (Comsol Material Library) Temperatur (K) Konduktifitas Termal (W/m.K) Kapasitas Panas Spesifik (J/kg.K) Massa Jenis (Kg/m3) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , BAB III METODOLOGI PENELITIAN
43 , , , , , , , , ,1613 Modulus elastisitas copper yang digunakan pada penelitian ini adalah sebesar 2,98E+10 N/m 2. III.2.2 Material Cetakan Pasir Material cetakan pasir yang digunakan pada penelitian ini adalah pasir silika. Komposisi dan sifat-sifat material ini didapatkan dari Comsol Material Library. Komposisi dan sifatsifat dari pasir silika dijabarkan pada tabel 3.3 hingga tabel 3.5. Tabel 3.3 Komposisi Paduan Pasir Silika (Idrisa, 2013) Komposisi Nilai (%) SiO₂ 87,91 Al₂O₃ 4,7 Fe₂O₃ 0,94 CaO 0,14 MgO 0,3 Na₂O 0,19 K₂O 0,25 TiO₂ 0,15 Mn₂O₃ 0,02 LoI 5,15 Tabel 3.4 Modulus Elastisitas, Poisson Ratio serta Koefisien Ekspansi Termal Pasir Silika (Comsol Material Library) Temperatur Modulus Elastisitas (K) (N/m2) Poisson Ratio CTE (1/K) 303 7,31E+10 0, , ,39E+10 0, , ,51E+10 0, , ,61E+10 0, , ,70E+10 0, , ,82E+10 0, , BAB III METODOLOGI PENELITIAN
44 ,89E+10 0, , ,92E+10 0, , ,94E+10 0, , ,94E+10 0, , Tabel 3.5 Konduktivitas Termal, Kapasitas Panas Spesifik dan Massa Jenis Pasir Silika (Comsol Material Library) Temperatur Konduktifitas Termal Kapasitas Panas Massa Jenis (K) (W/m.K) Spesifik (J/kg.K) (Kg/m3) 303 0, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , III.3 Proses Penelitian Pembuatan geometri pada penelitian ini menggunakan ANSYS Mechanical APDL 17.0 yang juga digunakan untuk menganalisa distribusi temperatur dan displacement pada proses pengecoran. Desain gating system pada penelitian ini dapat di lihat pada tabel 3.6. Pada penelitian ini, desain gating system dibedakan menjadi 4 (empat) model cetakan yang memiliki perbedaan di bagian runner dan riser yang dapat di lihat pada tabel 3.7. BAB III METODOLOGI PENELITIAN
45 Tabel 3.6 Desain gating system penelitian Komponen Spesifik Nilai Unit Volume ,74 mm³ Main Cavity Volume ,91 mm³ Volume ,61 mm³ Volume ,98 mm³ Top Area 208,52721 mm³ Sprue Bottom Area 118,8554 mm³ Length 83,12525 mm³ Pouring Basin Depth 40 mm³ Area 800 mm³ Sprue Basin Depth 43,60833 mm³ Area 594,2769 mm³ 25 Tabel 3.7 Variabel penelitian Cetakan Variabel Penampang Dimensi (mm) Runner Persegi sisi: 21,80 panjang: 63,5 Model 1 Ø bawah: Ø atas: panjang: Riser Lingkaran 46,73 70,36 104,84 Runner Persegi sisi: 21,80 panjang: 63,5 Model 2 sisi bawah : sisi atas: panjang: Riser Persegi 46,73 57,48 104,84 Runner Lingkaran Ø : 24,59 panjang: 63,5 Model 3 Ø bawah: Ø atas: panjang: Riser Lingkaran 46,73 70,36 104,84 Runner Lingkaran Ø : 24,59 panjang: 63,5 Model 4 sisi bawah : sisi atas: panjang: Riser Persegi 46,73 57,48 104,84 Dari keempat model penelitian ini akan disimulasikan secara termal dan struktural yang nantinya akan dianalisa untuk mengetahui penyusutan dan crack pada hasil coran. Tahap-tahap pada penelitian ini ditampilkan pada gambar 3.2. BAB III METODOLOGI PENELITIAN
46 26 Gambar 3.2 Diagram alir pemodelan Geometri dari female contact resistor yang dibuat pada penelitian ini ada pada gambar 3.3 dibawah ini. Gambar 3.3 Geometri 2 dimensi female contact resistor Untuk analisa termal, digunakan tipe elemen SOLID278 (brick 8node 278) yang memiliki kemampuan analisa konduksi termal tiga dimensi dan untuk analisa struktural digunakan tipe BAB III METODOLOGI PENELITIAN
47 27 elemen SOLID77 (tet 10node 277) yang memiliki kemampuan untuk analisa couple-field dari analisa termal ke analisa struktural. Setelah geometri selesai dibuat, dilakukan meshing pada cetakan dan benda coran menggunakan mesh tool. Meshing yang digunakan pada penelitian ini adalah 0,008 untuk benda cor dan 0,02 untuk cetakan pasir. Hasil meshing dari benda cor dan cetakan dapat dilihat pada gambar 3.4. Gambar 3.4 Meshing geometri female contact resistor Input material properties diberikan untuk melakukan analisa, baik itu termal maupun struktural seperti pada gambar 3.5. Gambar 3.5 Input sifat-sifat material BAB III METODOLOGI PENELITIAN
48 28 Setelah memasukan sifat-sifat material, diberikan boundary condition pada pemodelan agar lebih sesuai dengan kondisi asli saat melakukan pengecoran. Diberikan kondisi konveksi pada bagian luar cetakan karena akan berpengaruh terhadap distribusi temperatur. Kondisi heat flux diaplikasikan pada geometri cetakan dan temperatur awal pada cetakan dan coran juga diberikan. BAB III METODOLOGI PENELITIAN
49 BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN Simulasi dengan metode elemen hingga pada pengecoran copper dengan cetakan pasir telah dilakukan sebanyak 8 (delapan) kali dengan rincian 4 (empat) kali analisa transien termal dan 4 (empat) kali analisa couple-field. Analisa transien termal dilakukan untuk mengetahui distribusi temperatur dan pendinginan pada simulasi pengecoran dan analisa couple-field dilakukan untuk mengetahui tegangan termal dan penyusutan (shrinkage) pada hasil simulasi menggunakan hasil dari analisa termal. IV.1 Analisa Termal Pada analisa termal ini didapatkan beberapa hasil yaitu distribusi temperatur, kurva pendinginan dan gradien termal selama proses pengecoran terjadi. Beberapa sifat material yang diperlukan dalam analisa ini adalah konduktivitas termal, massa jenis dan kapasitas panas spesifik. Konduktivitas termal adalah kemampuan material menghantarkan panas, massa jenis adalah massa benda per volume dan kapasitas panas spesifik adalah jumlah energi yang dibutuhkan untuk menaikkan temperatur benda tersebut. Pengaturan simulasi transien termal pada penelitian ini bisa dilihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Pengaturan simulasi transien termal Total Waktu Simulasi Time Step 3500 detik 5 detik Waktu simulasi selama 3500 detik dikarenakan termperatur material saat detik tersebut sudah relatif sama, dan time step 5 detik digunakan untuk menentukan jumlah data yang diambil dalam setiap proses pengecoran. Cetakan pada penelitian ini menampilkan setengah cetakan yang simetri dengan cetakan 29
50 30 keseluruhan dan dianalisa fenomena yang terjadi selama proses pengecoran terjadi. Boundary condition yang digunakan adalah konveksi pada sisi depan, belakang, kiri, kanan dan atas cetakan. Pada bagian depan cetakan diberikan heat flux sebesar 0 dan pada bagian bawah cetakan diberikan temperatur sebesar 303K. Temperatur penuangan penelitian ini adalah 1631K dikarenakan Cu murni semua fasanya sudah berubah menjadi liquid pada temperatur 1356K. IV.1.1 Distribusi Temperatur Dalam proses pengecoran yang sebenarnya, cetakan atau mold akan menutupi seluruh logam cair yang dialirkan ke dalam cetakan, hal ini membuat sulit analisa fenomena yang terjadi di dalam cetakan. Oleh karena itu, cetakan yang digunakan pada percobaan ini adalah perpotongan simetri dari cetakan penuh, hal ini dilakukan agar dapat dilihat hasil simulasi yang akan dianalisa. Konveksi yang digunakan pada penelitian ini sebesar 11,45 W/m 2 K. Nilai ini didapat dari penelitian yang dilakukan oleh Pariona pada tahun 2005 yang bisa digunakan pada cetakan pasir. Distribusi temperatur pada proses solidifikasi material coran menggunakan cetakan model 1 (satu) dapat dilihat pada gambar 4.1. BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
51 31 Gambar 4.1 Distribusi temperatur pada proses solidifikasi material coran menggunakan model 1 (Satu) pada (a) 10 detik (b) 60 detik (c) 360 detik (d) 660 detik (e) 960 detik (f) 3500 detik Pembekuan material coran dimulai pada bagian yang paling banyak bersentuhan dengan cetakan, hal ini diakibatkan oleh panas pada material coran berpindah ke cetakan sehingga coran akan mendingin. Pada gambar 4.1 (a) dibuktikan material coran yang bersentuhan langsung dengan cetakan memiliki temperatur dibawah material coran yang tidak bersentuhan dengan cetakan dan mengalami pendinginan yang lebih cepat dibanding material coran yang tidak bersentuhan dengan cetakan. BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
52 32 Lalu di detik ke 60, gambar 4.1 (b), terlihat material coran semakin mendingin dikarenakan semakin banyak panas dari material coran yang berpindah ke cetakan. Gambar 4.1 (c), detik ke-360, material coran semakin dingin dan pada bagian pouring basin dan sprue mengalami pendinginan yang lebih cepat dibanding material coran pada bagian rongga utama. Pada saat detik ke-660, gambar 4.1 (d) temperatur pada material coran sudah merata dan perbedaan terdapat pada sisi atas riser yang temperaturnya berada di rentang 703K sampai 903K. Hal ini menandakan pembekuan terakhir terjadi pada riser. Pada gambar 4.1 (e), seluruh material coran memiliki temperatur yang merata, berada pada sekitar 503K hingga 703K ini menandakan pendinginan masih terus terjadi hingga detik ke-960. Saat sudah memasuki detik ke-3500, seluruh material coran sudah berada pada rentang temperatur 303K-503K, setelah melewati detik ini, material coran akan terus mengalami pendinginan hingga mencapai temperatur kamar (303K). Karena tidak ada konveksi di bagian bawah cetakan, perpindahan panas bergerak ke arah kiri, kanan dan atas. Gambar 4.2 merupakan gambar distribusi temperatur proses solidifikasi material coran menggunakan model 2 (dua). BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
53 33 Gambar 4.2 Distribusi temperatur pada proses solidifikasi material coran menggunakan model 2 (Dua) pada (a) 10 detik (b) 60 detik (c) 360 detik (d) 660 detik (e) 960 detik (f) 3500 detik Pada gambar 4.2 (a) pendinginan dari material coran terjadi mulai dari bagian yang banyak bersentuhan dengan cetakan, kemudian bergerak menuju bagian coran yang tidak bersentuhan dengan cetakan, gambar 4.2 (b). Saat memasuki detik ke-360, gambar 4.2 (c), coran pada bagian pouring basin dan sprue memiliki temperatur yang lebih rendah dibanding dengan material coran pada bagian lainnya. Pada detik ke-660, gambar 4.2 (d), hanya bagian riser yang memiliki temperatur yang berbeda, berada di temperatur 703K hingga 903K dan hinga detik ke-3500, gambar 4.2 (f), temperatur BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
54 34 pada seluruh material coran (kecuali riser) berada di rentang 303K hingga 503K. Distribusi temperatur proses solidifikasi material coran menggunakan model 3 (tiga) dapat dilihat pada gambar 4.3. Gambar 4.3 Distribusi temperatur pada proses solidifikasi material coran menggunakan model 3 (Tiga) pada (a) 10 detik (b) 60 detik (c) 360 detik (d) 660 detik (e) 960 detik (f) 3500 detik Pada gambar 4.3 (a), detik ke-10, pendinginan pada sprue dan sprue basin terjadi lebih cepat dibanding bagian coran lainnya BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
55 35 dikarenakan pada bagian tersebut lebih banyak bersentuhan dengan cetakan. Saat di detik ke-60, gambar 4.3 (b), pendinginan terus terjadi, pada sprue dan sprue basin rentang temperaturnya berada di 903K hingga 1103K dan pada bagian coran lainnya temperaturnya ada di rentang 1103K hingga 1303K. Pada gambar 4.3 (c), temperatur pada sebagian besar material coran berada pada rentang 703K hingga 903K, hanya pada bagian sprue dan pouring basin yang temperaturnya ada di rentang 503K hingga 703K. Gambar 4.3 (d) dan (e) menggambarkan temperatur material coran yang sudah merata dan pada gambar 4.3 (f), seluruh material coran memiliki temperatur sekitar 303K hingga 503K. BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
56 36 Gambar 4.4 Distribusi temperatur pada proses solidifikasi material coran menggunakan model 4 (Empat) pada (a) 10 detik (b) 60 detik (c) 360 detik (d) 660 detik (e) 960 detik (f) 3500 detik Gambar 4.4 menggambarkan distribusi temperatur proses solidifikasi material coran menggunakan model 4 (empat). Gambar 4.3 (a) adalah pendinginan saat berada di detik ke-10, pendinginan material coran terjadi lebih dahulu pada bagian yang bersentuhan dengan cetakan, yaitu pada sprue, sprue basin dan runner. Pada detik ke-60 hingga detik ke-360, gambar 4.4 (b) dan (c), pendinginan terus terjadi dengan merata pada seluruh material coran. Di detik ke-660, gambar 4.4 (d), perbedaan rentang temperatur hanya berada di bagian atas riser yang berada pada rentang 703K hingga 903K. Pada gambar 4.4 (e), seluruh material coran sudah berada pada rentang temperatur yang merata, yaitu 503K hingga 703K dan terus mendingin hingga pada detik ke-3500, gambar 4.4 (f) seluruh material coran ada di temperatur 303K hingga 503K. Distribusi temperatur tidak hanya terjadi di material coran, pada material coran terjadi pendinginan sementara pada material cetakan terjadi pemanasan yang diakibatkan oleh konduksi. Pada gambar 4.5 digambarkan distribusi temperatur proses pemanasan material cetakan menggunakan model 1 (satu). BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
57 37 Gambar 4.5 Distribusi temperatur pada proses heating material cetakan menggunakan model 1 (Satu) pada (a) 10 detik (b) 60 detik (c) 360 detik (d) 660 detik (e) 960 detik (f) 3500 detik Pada gambar 4.5 (a), temperatur di seluruh cetakan yang bersentuhan dengan material coran mengalami kenaikan, hal ini akibat konduksi panas dari material coran ke material cetakan. BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
58 38 Saat memasuki detik ke-10, gambar 4.5 (b), temperatur pada cetakan semakin mengalami pemanasan dan panas semakin terdistribusi ke seluruh arah coran, temperatur paling tinggi terdapat di daerah cetakan yang bersentuhan dengan riser, berkisar antara 1203K hingga 1631K. Distribusi panas pada cetakan terus terjadi, dapat dilihat pada gambar 4.5 (c), (d) dan (e) luasan area yang berwarna biru laut (0K hingga 303K) semakin kecil. Pada saat detik ke-3500, gambar 4.5 (f), seluruh daerah cetakan yang bersentuhan dengan material coran memiliki distribusi temperatur yang sama, sekitar 403K hingga 603K dengan luasan distribusi panas yang hampir memenuhi seluruh cetakan. Ini menandakan distribusi panas menyebar secara merata pada cetakan model 1 ini. BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
59 39 Gambar 4.6 Distribusi temperatur pada proses heating material cetakan menggunakan model 2 (Dua) pada (a) 10 detik (b) 60 detik (c) 360 detik (d) 660 detik (e) 960 detik (f) 3500 detik Gambar diatas (gambar 4.6) menggambarkan distribusi temperatur pada proses pemanasan material coran menggunakan model 2, pada saat detik ke-10, gambar 4.6 (a) terlihat pada daerah cetakan yang bersentuhan dengan material coran mengalami pemanasan dengan temperatur sekitar 803K hingga 1003K. Saat detik ke-60 hingga ke-960, gambar 4.6 (b-e), distribusi panas pada cetakan semakin meluas dan bergerak menuju seluruh arah cetakan. Di gambar 4.6 (f), pada detik ke-3500, seluruh material cetakan yang bersentuhan dengan material coran memiliki temperatur yang sama, sekitar 403K hingga 603K dan hampir seluruh mold memiliki temperatur sekitar 403K-603K. BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
60 40 Gambar 4.7 Distribusi temperatur pada proses heating material cetakan menggunakan model 3 (Tiga) pada (a) 10 detik (b) 60 detik (c) 360 detik (d) 660 detik (e) 960 detik (f) 3500 detik Distribusi temperatur pada proses pemanasan pada cetakan saat menggunakan model 3 (tiga) digambarkan pada gambar 4.7. Saat detik ke-10, gambar 4.7 (a), material cetakan yang bersentuhan dengan material coran mengalami pemanasan. Pada detik ke-60, gambar 4.7 (b), temperatur cetakan yang bersentuhan dengan material coran berada pada range temperatur 803K hingga 1003K. Detik ke-360, 660 dan 960 (gambar 4.7 (c, d dan e)) menggambarkan distribusi panas pada cetakan yang semakin meluas ke seluruh arah cetakan. Pada gambar 4.7 (f), temperatur di sekitar cetakan yang bersentuhan dengan material coran ada di sekitar 404K hingga BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
61 41 603K dengan distribusi panas yang hampir merata ke seluruh cetakan. Untuk distribusi temperatur pada pemanasan cetakan saat menggunakan model 4(empat) digambarkan pada gambar 4.8. Gambar 4.8 Distribusi temperatur pada proses heating material cetakan menggunakan model 4 (Empat) pada (a) 10 detik (b) 60 detik (c) 360 detik (d) 660 detik (e) 960 detik (f) 3500 detik BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
62 42 Gambar 4.8 (a) menggambarkan kondisi cetakan saat detik ke-10 setelah penuangan material coran. Temperatur di sekitar material coran mengalami kenaikan dan ada pada range 803K hingga 1003K. Saat detik ke-60, gambar 4.8 (b), temperatur material cetakan semakin naik ditandakan dari distribusi warna biru muda (303K-353K) yang semakin meluas. Pada detik ke-360, gambar 4.8 (c), material cetakan yang bersentuhan dengan coran memiliki temperatur sekitar 603K hingga 803K. Gambar 4.8 (d) dan (e), terlihat menurunnya temperatur dari material cetakan yang bersentuhan dengan coran, distribusi panas tetap mengalir ke bagian ujung cetakan. Di detik ke-3500, gambar 4.8 (f), seluruh material cetakan disekitar material coran memiliki temperatur yang seragam, sekitar 403K hingga 603K dan hampir seluruh cetakan yang berada di ujung cetakan memiliki temperatur sekitar 303K hingga 353K. IV.1.2 Perbandingan Kurva Pendinginan Coran Untuk mengetahui perbedaan laju pendinginan dari keempat model cetakan, dibuat kurva perbandingan yang diambil dari titik koordinat yang sama dari setiap model yang disimulasikan. Data yang didapat dari simulasi berbentuk angka yang kemudian dikonversikan menjadi grafik. Kurva pendinginan coran digambarkan pada gambar 4.9. Dapat dilihat pada kurva, seluruh material coran mengalami pendinginan temperatur seiring dengan bertambahnya waktu. Pendinginan terjadi akibat perpindahan panas dari material coran ke cetakan dan pendinginan akan terus terjadi hingga temperatur kamar (303K). Pendinginan pada model 1, 2, 3 dan 4 memiliki kecepatan pendinginan yang relatif sama, ditunjukkan dengan kurva BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
63 43 seluruhnya yang saling berimpitan. Hal ini menunjukkan bahwa pendinginan di ketiga model ini tidak memberikan perbedaan signifikan pada fenomena pendinginan material coran. Gambar 4.9 Kurva perbandingan perubahan temperatur proses pendinginan material coran Penurunan temperatur pada semua model terlihat memiliki kecepatan pendinginan yang sama, hal ini ditunjukkan dengan kurva termperaturnya yang saling berimpitan. Pada rentang waktu 0 detik hingga detik ke-200, pendinginan terjadi sangat cepat bila dibandingkan waktu berikutnya. Ini diakibatkan perbedaan temperatur yang sangat besar antara material coran dan material cetakan. Konduksi yang terjadi menyebabkan panas pada material coran berpindah dengan cepat ke material cetakan. Kurva pada saat detik ke-200 hingga detik ke-3500 terlihat landai, hal ini menandakan pendinginan terus terjadi akibat masih adanya perbedaan temperatur antara material BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
64 44 coran dan cetakan. Nilai dari kurva perbandingan perubahan temperatur proses pendinginan material coran dapat dilihat pada tabel 4.2. Tabel 4.2 Perbandingan temperatur proses pendinginan coran Temperatur (K) Waktu (s) Model 1 Model 2 Model 3 Model , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,3163 IV.1.3 Perbandingan Kurva Perubahan Temperatur Cetakan Untuk mengetahui perubahan temperatur cetakan dari keempat model cetakan, dibuat kurva perbandingan yang diambil dari titik koordinat yang sama dari setiap model yang disimulasikan. Data yang didapat dari simulasi berbentuk angka yang kemudian dikonversikan menjadi grafik. Kurva perubahan temperatur cetakan digambarkan pada gambar Pada kurva dapat dilihat perubahan temperatur pada material cetakan awalnya adalah kenaikan temperatur akibat perambatan panas dari material coran. Konduksi yang terjadi membuat panas pada material coran berpindah ke material cetakan dan membuat cetakan menjadi lebih panas. Pada seluruh model, BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
65 45 pemanasan terjadi mulai dari detik pertama hingga detik ke-120 dan kemudian hingga detik ke-3500 temperatur material cetakan terus menurun. Gambar 4.10 Kurva perbandingan perubahan temperatur material cetakan Nilai dari kurva perbandingan temperatur material cetakan dapat dilihat pada tabel 4.3 dibawah ini. Tabel 4.3 Perbandingan perubahan temperatur cetakan Waktu (s) Temperatur (K) Model 1 Model 2 Model 3 Model , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,39 671, , , , , ,6559 BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
66 , , , , , , , , , , , , , , , ,2771 Pada tabel 4.3, temperatur tertinggi pada seluruh model material cetakan terjadi pada saat detik ke-120. IV.1.4 Perbandingan Gradien Temperatur Gradien temperatur dibuat untuk menggambarkan perubahan temperatur pada suatu sistem. Pada simulasi ini, gradien temperatur akan menggambarkan arah pendinginan material. Pendinginan pada coran dimulai dari bagian yang paling banyak terkena dinding cetakan kemudian menuju ke bagian tengah cetakan. Perpindahan panas terjadi dari coran menuju ke cetakan lalu pada saat temperatur coran lebih rendah dari temperatur cetakan, perpindahan panas akan terjadi dari cetakan menuju ke coran Diambil gradien temperatur dari setiap model pada detik ke- 10 dan detik ke-3500 yang ditampilkan pada gambar-gambar di bawah ini. BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
67 47 Gambar 4.11 Gradien temperatur pada Model 1(satu) (a) detik ke-10 (b) detik ke-3500 Pada gambar 4.11 (a) panah arah perpindahan panas mengarah dari coran menuju cetakan, hal ini terjadi akibat temperatur pada cetakan jauh lebih tinggi dibandingkan temperatur pada cetakan sehingga perpindahan panas terjadi dari coran menuju ke cetakan. Pada gambar 4.11 (b) panah-panah berbalik dari cetakan menuju ke coran, hal ini diakibatkan temperatur pada coran yang lebih rendah dibandingkan temperatur cetakan sehingga perpindahan panas bergerak dari cetakan menuju material coran. Gambar 4.12 menggambarkan gradien temperatur pada Model 2 detik ke-10 dan detik ke Dari gambar 4.12 (a), panah perpindahan temperatur mengarah dari coran menuju cetakan, temperatur coran sangat berbeda jauh dengan material cetakan sehingga perpindahan panas terjadi dari material coran ke material cetakan. BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
68 48 Gambar 4.12 Gradien temperatur pada Model 2(dua) (a) detik ke-10 (b) detik ke-3500 Pada gambar 4.12 (b) arah perpindahan panas mengarah dari cetakan menuju ke coran, hal ini terjadi akibat temperatur pada cetakan yang lebih tinggi dibandingkan temperatur pada coran sehingga perpindahan panas terjadi dari coran menuju ke cetakan. BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
69 49 Gambar 4.13 Gradien temperatur pada Model 3(tiga) (a) detik ke-10 (b) detik ke-3500 Pada gambar 4.13 (a), perpindahan panas terjadi dari coran menuju ke cetakan dikarenakan temperatur dari coran lebih tinggi dibandingkan dengan temperatur cetakan. Lalu pada gambar 4.13 (b) panah perpindahan panas mengarah dari cetakan menuju coran dikarenakan temperatur coran yang lebih rendah dibandingkan cetakan. BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
70 50 Gambar 4.13 Gradien temperatur pada Model 4(empat) (a) detik ke-10 (b) detik ke-3500 Gambar 4.14 (a) menggambarkan perpindahan panas dari Model 3 pada detik ke-10. Panah perpindahan temperatur mengarah dari coran menuju cetakan, hal ini disebabkan temperatur dari coran yang lebih tinggi dibandingkan dengan temperatur dari cetakan, kemudian pada gambar 4.14 (b) panah perpindahan temperatur mengarah dari cetakan menuju coran BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
71 51 dikarenakan temperatur dari cetakan yang lebih tinggi dibandingkan temperatur coran. IV.2 Analisa Struktural Dilakukan analisa struktural setelah analisa termal untuk mengetahui tegangan termal pada material coran dan penyusutan (shrinkage) yang terjadi pada produk coran. Pada proses pengecoran, perubagan temperatur yang terjadi dapat menghasilkan tegangan termal pada material coran. Tegangan termal dapat menghasilkan crack ataupun deformasi. Pada analisa struktural, sifat-sifat yang berpengaruh adalah modulus elastisitas, koefisien termal ekspansi, poisson ratio dan sifat-sifat yang digunakan pada analisa termal sebelumnya. Modulus elastisitas material menandakan sifat deformasi suatu material, semakin tinggi modulus elastisitas material, semakin sulit material terdeformasi. Koefisien termal ekspansi berpengaruh pada perubahan volume material pada satu unit temperatur. Poisson ratio merupakan konstanta elastisitas suatu material. Pengaturan analisa struktural pada penelitian ini bisa dilihat pada tabel 4.4. Tabel 4.4 Pengaturan simulasi struktural Total Waktu Simulasi Jumlah Substep(s) 3500 detik 700 substeps Metode yang digunakan adalah couple-field dengan menggunakan hasil dari analisa termal untuk menganalisa struktural. Boundary condition yang di gunakan pada analisa ini adalah displacement sebesar 0 pada permukaan cetakan bagian bawah karena cetakan dianggap menyentuh tanah sehingga tidak terjadi displacement. Digunakan juga symmetry boundary condition pada bagian depan cetakan. BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
72 52 IV.2.1 Tegangan Termal Tegangan termal suatu material dipengaruhi oleh modulus elastisitas, koefisien ekspansi termal dan perbedaan temperatur dari materialnya. Tegangan termal yang terjadi dianalisa dengan tegangan Von Mises. Hasil analisa dari tegangan termal pada keempat model dapat dilihat pada kurva dan tabel perbandingan tegangan termal pada tabel 4.5 dan gambar Tabel 4.5 Nilai perbandingan tegangan termal Waktu (s) Tegangan Termal (Pa) Model 1 Model 2 Model 3 Model ,64E+07 4,69E+07 2,38E+07 3,67E ,64E+07 4,69E+07 2,38E+07 3,67E ,64E+07 4,69E+07 2,38E+07 3,67E ,64E+07 4,69E+07 2,38E+07 3,67E ,64E+07 4,69E+07 2,38E+07 3,67E ,64E+07 4,69E+07 2,38E+07 3,67E ,64E+07 4,70E+07 2,38E+07 3,67E ,64E+07 4,70E+07 2,38E+07 3,67E ,65E+07 4,70E+07 2,38E+07 3,67E ,65E+07 4,70E+07 2,38E+07 3,67E ,65E+07 4,70E+07 2,39E+07 3,67E ,65E+07 4,71E+07 2,39E+07 3,67E+07 Dari tabel 4.5 dan gambar 4.15, dapat terlihat nilai tegangan termal dari keempat model penelitian. Nilai tegangan termal yang dimiliki oleh benda coran dengan model 1 sebesar 4,65E+07 Pa, model 2 sebesar 4,71E+07 Pa, model 3 sebesar 2,39E+07 Pa dan model 4 sebesar 3,67E+07 Pa. Tegangan termal terbesar dialami oleh benda coran dengan model 2 dan tegangan termal terkecil dialami oleh benda coran dengan model 3. BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
73 53 Gambar 4.15 Kurva perbandingan nilai tegangan termal Gambar distribusi tegangan termal pada detik ke-3500 dari keempat model coran dapat dilihat pada gambar 4.16 Gambar 4.16 Tegangan termal pada detik ke-3500 (a) Model 1 (satu), (b) Model 2 (dua), (c) Model 3 (tiga), (d) Model 4 BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
74 54 IV.2.2 Penyusutan (Shrinkage) Penyusutan pada proses pengecoran adalah hal yang biasa terjadi, volume benda coran akan menyusut dari volume awal benda coran saat proses pendinginan selesai terjadi. Setelah simulasi struktural dilakukan, didapatkan deformasi baik pada material cetakan maupun material coran yang disebut dengan penyusutan (shrinkage). Untuk mendapatkan nilai shrinkage yang terjadi selama simulasi harus menghitung nilai deformasi setiap titik lebih dahulu. Deformasi dari setiap titik ini yang nantinya akan dihitung untuk mendapatkan nilai geometri baru pada material. Nilai geometri baru ini kemudian digunakan untuk menghitung nilai volume akhir dari benda cor. Nilai shrinkage didapat dengan mengurangi nilai volume awal benda dengan nilai volume akhir benda cor. Gambar deformasi dan nilai shrinkage yang dihasilkan dari proses simulasi ini dapat dilihat pada gambar 4.17 dan tabel 4.6. Gambar 4.17 Deformasi yang terjadi saat detik ke-3500 pada (a) Model 1 (satu), (b) Model 2 (dua), (c) Model 3 (tiga), (d) Model 4 BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
75 55 Tabel 4.6 Nilai shrinkage pada akhir proses pengecoran Model Cetakan Shrinkage yang terjadi (mm 3 ) Model ,29778 Model , Model , Model , Dari gambar dan tabel, dapat dilihat shrinkage yang terjadi pada keempat jenis model cetakan hampir sama, nilai rata-rata dari shrinkage yang dihasilkan adalah sebesar 3165, mm³. Nilai shrinkage ini bila dijadikan persen ialah sebesar 1,27% dan masih sesuai dengan toleransi penyusutan dari material coran yang berada pada range 1,3-1,6%. IV.2.3 Perbandingan Massa Jenis di Dalam Coran pada Beberapa Waktu Selain dengan menghitung deformasi pada hasil coran, shrinkage juga dapat dibuktikan dengan membandingkan massa jenis material dengan volumenya. Massa jenis adalah perbandingan massa per volume. Dengan menganggap massa material coran tetap selama proses pengecoran terjadi, penyusutan dapat diketahui. Volume dari material coran akan menyusut seiring dengan pendinginan yang terjadi. Oleh karena itu, massa jenis akan bertambah seiring dengan volume yang mengecil dan massa yang tetap. Massa coran yang digunakan pada penelitian ini adalah sebesar 1996, gram. Tabel 4.7 menunjukkan volume benda coran pada waktu yang berbeda. BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
76 56 Tabel 4.7 Volume benda coran pada berbagai waktu Waktu Volume (mm³) (s) Model 1 Model 2 Model 3 Model , , , , , , , , , , , , , , , ,414 Dari tabel 4.7 dapat dihasilkan kurva perubahan massa jenis pada waktu yang berbeda yang ditampilkan pada gambar Gambar 4.18 Kurva perubahan massa jenis pada material coran Dari kurva diatas didapatkan bahwa volume material mengalami penyusutan seiring dengan bertambahnya waktu. Nilai penyusutan seluruh model cetakan hampir sama persis dilihat dari garisnya yang saling berimpitan. IV.3 Kualitas Coran Kualitas dari coran dapat dinilai dari volume benda coran akhir dibagi dengan volume cetakan awal. Efisiensi cetakan juga BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
77 57 dijadikan salah satu penilaian kualitas coran karena dengan efisiensi cetakan yang tinggi, biaya pengecoran dapat dikurangi. Formula untuk menilai kualitas cetakan dapat dilihat pada tabel 4.8 Tabel 4.8 Formula menghitung kualitas cetakan Jenis Formula Quality Feeding Efficiency volume akhir coran x 100% volume cetakan volume penyusutan x 100% volume riser Dari formula diatas, hasil yang didapat dari keempat model cetakan pada penelitian ini ditampilkan pada tabel 4.9 Tabel 4.9 Nilai kualitas cetakan pengecoran Variabel Cetakan Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Quality 98,72783% 98,72745% 98,72873% 98,72802% Feeding Efficiency 1,10624% 1,10657% 1,10545% 1,10607% Dari tabel 4.9 didapatkan nilai kuliatas pengecoran dari keempat model yang digunakan dalam penelitian adalah sebesar 98,7%. Kualitas dari keempat model cetakan ini sangat bagus, namun dari nilai feeding efficiency yang didapat, nilai feeding efficiency keempat model ini hanya sebesar 1,1%. Feeding efficiency ini adalah kemampuan riser untuk mengisi kekosongan pada rongga cetak utama yang disebabkan oleh penyusutan (shrinkage). Nilai feeding efficiency sebesar 1,1% sangatlah rendah dan akan membuat biaya pengecoran lebih banyak. IV.4 Analisa Hasil dari Keempat Model Coran Dari seluruh analisa yang dilakukan, dibuat tabel perbandingan data yang didapat dalam penelitian ini untuk membandingkan hasil dari keempat model yang ada pada tabel 4.10 dibawah ini. BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
78 58 Tabel 4.10 Perbandingan hasil keseluruhan dari keempat model Cetakan Shrinkage (mm 3 ) Thermal Stress (Pa) Model , Model , Model , Model , Model ketiga memiliki nilai shrinkage yang paling kecil, sebesar 3164, mm 3 juga memliliki tegangan termal paling kecil yaitu sebesar Pa. Model kedua memiliki shrinkage paling besar, sebesar 3167, mm 3 dan memiliki tegangan termal terbesar yaitu sebesar ,8 Pa. Nilai shrinkage pada penelitian ini berada di bawah batas nilai toleransi penyusutan dari material copper. Cacat crack pada coran dapat diketahui dengan melihat nilai tegangan termal yang terjadi pada hasil akhir benda cor. Menggunakan kriteria kegagalan von Mises, material dikatakan failure apabila melewati ultimate strength dari material tersebut. Dari hasil penelitian ini, hasil coran meggunakan keempat model cetakan memiliki tegangan termal yang tembaga yang memiliki nilai kekuatan ultimate sebesar Pa, oleh karena itu seluruh hasil coran ini tidak mengalami crack. IV.5 Validasi Penelitian Dilakukan validasi penelitian dengan mensimulasikan pengecoran menggunakan ANSYS dengan eksperimen yang telah dilakukan. Geometri dari material coran adalah spesimen uji tarik ASTM E8 dengan spesifikasi pada gambar 4.19 dan tabel BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
79 59 Gambar 4.19 Geometri spesimen uji tarik ASTM E8 Tabel 4.11 Dimensi spesimen uji tarik ASTM E8 Keterangan Ukuran (mm) W Width 15 T Thickness 22 L Overall length 205 A Length of reduced section 60 B- Length of grip section 52 C Width of grip section 22 Hasil dari benda cor dari eksperimen dapat dilihat pada gambar Gambar 4.20 Benda coran hasil eksperimen Dari hasil eksperimen ini didapatkan data berat teoritis material adalah sebesar 719 gram dan berat hasil coran adalah sebesar 693 gram, dengan massa jenis sebesar 8,02 g/cm 3, didapatkan data penyusutan yang ditunjukkan pada tabel 4.12 berikut. Tabel 4.12 Penyusutan yang terjadi pada eksperimen Volume Awal (mm 3 ) Volume Akhir (mm 3 ) Shrinkage (mm 3 ) , , BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
80 60 Hasil yang di dapat dari simulasi pengecoran menggunakan ANSYS dapat dilihat pada gambar Gambar 4.21 Benda coran hasil simulasi Dari hasil simulasi didapatkan hasil penyusutan dari material coran yang ditunjukkan pada tabel Tabel 4.13 Penyusutan yang terjadi pada simulasi Volume Awal (mm 3 ) Volume Akhir (mm 3 ) Shrinkage (mm 3 ) , , Dari hasil eksperimen dan hasil simulasi dilakukan perbandingan yang ditunjukkan pada tabel Tabel 4.14 Perbandingan hasil eksperimen dan simulasi Metode Shrinkage(mm 3 ) Shrinkage (%) Kualitas Coran Eksperimen 3139, ,7518% 96,3839% Simulasi 943, ,0986% 98,9134% Hasil yang didapatkan menunjukkan kualitas coran menggunakan simulasi lebih baik dibanding dengan eksperimen dengan nilai 98,9134% berbanding 96,3839%. Nilai dari hasil simulasi lebih baik dari hasil eksperimen dikarenakan kondisi pada simulasi adalah kondisi ideal. BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
81 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Kesimpulan Berdasarkan percobaan dan analisa yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan mengenai analisa dan simulasi numerikal proses sand casting dalam pembuatan female contact resistor berbahan dasar copper yaitu 1. Tegangan termal pada hasil cetakan model 1 sebesar 4,65E+07 Pa, model 2 sebesar 4,71E+07 Pa, model 3 sebesar 2,39E+07 Pa dan model 4 sebesar 3,67E+07 Pa. Keseluruh hasil coran memiliki tegangan termal yang lebih kecil dari ultimate strength dari copper, sehingga tidak ada cacat crack yang terjadi pada hasil coran. 2. Nilai tegangan termal mempengaruhi besarnya shrinkage yang terjadi pada benda coran, hasil coran model 1 mengalami shrinkage sebesar 3166,29778 mm 3, model 2 sebesar 3167, mm 3, model 3 sebesar 3164, mm 3, model sebesar 3165, mm Dari keempat model yang digunakan, tidak ada nilai tegangan termal yang melebihi UTS dari copper, sehingga tidak ada crack yang terjadi pada hasil coran. 4. Model 3 adalah cetakan yang paling baik dibandingkan model lainnya karena memiliki nilai tegangan termal dan shrinkage yang terkecil. V.2 Saran Beberapa saran yang diajukan penulis untuk perbaikan pada penelitian selanjutnya karena terdapat kekurangan dalam tugas akhir ini yaitu 1. Melakukan analisa fluida pada simulasi pengecoran berikutnya agar dapat menganalisa fenomena lainnya yang terjadi pada saat pengecoran 61
82 62 2. Melakukan analisa sifat elektriknya pada simulasi pengecoran berikutnya agar dapat mengetahui sifat-sifat elektrik seperti yang sesuai dengan benda aslinya. 3. Melakukan simulasi pemodelan dengan menggunakan metode dye casting untuk membandingkan bahan cetakan yang lebih baik dalam membuat komponen FCR. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
83 DAFTAR PUSTAKA Alawadhi, Esam M Finite Element Simulations Using ANSYS. New York : CRC Press. Avner, Sidney H Introduction to Physical Metallurgy. New York: McGraw-Hill International Book Company. Beeley, Peeter Foundry Technology Second Edition. Oxford: Butterworth-Heinemann Callister, William D Material Science and Engineering An Introduction: Eighth Edition. USA: John Wiley and Sons Campbell, John The New Metallurgy of Cast Metals Castings Second Edition. UK : University of Birmingham. Campbell, John; Harding, Richard The Fluidity of Molten Metal. TALAT Lecture European Aluminium Association. C. M. Choudhari, K. J. Padalkar, K. K. Dhumal, B. E. Narkhede, S. K. Mahajan Modeling and Simulation with Experimental Validation of Temperature Distribution during Solidification Process in Sand Casting. India: Veermata Jijabai Technological Institute. Comsol Materials Library Davis, J.R., Understanding the Basic Alloying. ASM International.United States of America. , Idrisa Wazamtu Extraction and Quantification of Silicon from Silica Sand Obtained from Zauma River, Zamfara State, Nigeria. European Scientific Journal 9 : Firdaus, Muhammad Bahtiyar Analisa Proses Perpindahan Panas pada Pengecoran Paduan Al-12%Si dengan Metode Elemen Hingga. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember Flemings, Merton C Solidification Processing. USA: McGraw-HilI, Inc. Groover, M Fundamental of Modern Manufacture 4th edition. USA: John Wiley & Sons, Inc xxi
84 Holman, J. P Heat Transfer: Tenth Edition. New York: McGraw-Hill Education Kalpakjian, Serope dan Schmid, Steven R Manufacturing Engineering and Technology Sixth Edition in SI Units. Singapura: Pearson Nikishkov, G. P Introduction to The Finite Element Method. Japan: University of Aizu. Sudjana, Hadi Teknik pengecoran untuk SMK. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Tjitro, Soejono Pengaruh Bentuk Riser Terhadap Cacat Penyusutan Produk Cor Aluminium Cetakan Pasir. Surabaya : Universitas Kristen Petra Tjitro, Soejono et al Analisa Pengaruh Bentuk Penampang Riser Terhadap Cacat Porositas. Surabaya : Universitas Kristen Petra Voghasia, Dolar Gating System Design Optimization for Sand Casting. India: Department of Mechanical Engineering Indian Institute of Technology Bombay ASM Handbook Volume 2: Properties and Selection: Nonferrous Alloys and Special-Purpose Materials. USA: ASM International Handbook Committee Copper-Base Alloys Foundry Practice. Des Plaines:.American Foundrymen s Society xxii
85 LAMPIRAN 1. Perhitungan Shrinkage dan Volume Akhir Cor Setelah Simulasi V awal = V cone1 + V cone2 + V silinder1 + V silinder2 V cone1 = ⅓ x π x t (R² + Rr + r²) = ⅓ x 3,14 x 0,018 (0,029² + 0,029 x 0,033+ 0,033²) = 5,89 x 10-5 m 3 = 58918,74 mm 3 V cone2 = ⅓ x π x t (R² + Rr + r²) = ⅓ x 3,14 x 0,028 (0,033² + 0,033 x 0,029+ 0,029²) = 8,71 x 10-5 m 3 = 87155,91 mm 3 V silinder1 = π x R² x t = 3,14 x 0,029² x 0,014 = 3,85 x 10-5 m 3 = 38493,60637 mm 3 V silinder2 = π x R² x t = 3,14 x 0,041² x 0,012 = 6,43 x 10-5 m 3 = 64320,98107 mm 3 V awal = 58918, , , ,98107 = ,23 mm 3 Shrinkage = V awal V akhir Model 1 o Cone 1 R = 0, , = 0, m r = 0, , = 0, m t = 0,0188 0, = 0, m V cone1 = ⅓ x 3,14 x 0,018 (0,029² + 0,029 x 0,033+ 0,033²) = 5,81 x 10-5 m 3 = 58105,59753 mm 3 o Cone 2 R = 0, , = 0, m r = 0, , = 0, m t = 0,0279 0, = 0, m V cone2 = ⅓ x 3,14 x 0,0277 (0,0337² + 0,0337 x 0,029+ 0,029²) = 8,61 x 10-5 m 3 = 86076,92271 mm 3 o Silinder 1 R = 0, , = 0, m t = 0,0144 0, = 0, m
86 V silinder1 = 3,14 x 0,029 2 x 0,014 = 3,8 x 10-5 m 3 = 38015,15004 mm 3 o Silinder 2 R = 0, , = 0, m t = 0,0122 0, = 0, m V silinder2 = 3,14 x 0,041 2 x 0,012 = 6,35 x 10-5 m 3 = 63525,26127 mm 3 V akhir = 58105, , , ,26127 = ,9315 mm 3 Shrinkage = , ,9315 = 3166,29778 mm 3 Model 2 o Cone 1 R = 0, ,000112= 0, m r = 0, ,000133= 0, m t = 0, , = 0,018751m V cone1 = ⅓ x 3,14 x 0,018 (0,029² + 0,029 x 0,033+ 0,033²) = 5,81 x 10-5 m 3 = 58110,5535 mm 3 o Cone 2 R = 0, , = 0, m r = 0, , = 0, m t = 0,0279 0, = 0, m V cone2 = ⅓ x 3,14 x 0,0277 (0,0337² + 0,0337 x 0,029+ 0,029²) = 8,61 x 10-5 m 3 = 86032,24071 mm 3 o Silinder 1 R = 0, , = 0, m t = 0,0144 0, = 0, m V silinder1 = 3,14 x 0,029 2 x 0,014 = 3,8 x 10-5 m 3 = 38003,51157 mm 3 o Silinder 2 R = 0, , = 0, m t = 0,0122 0, = 0, m V silinder2 = 3,14 x 0,041 2 x 0,012 = 6,35 x 10-5 m 3 = 63525,67411 mm 3 V akhir = 58110, , , ,67411 = ,9801 mm 3 Shrinkage = , ,9801 = 3167, mm 3
87 Model 3 o Cone 1 R = 0, , = 0, m r = 0, , = 0, m t = 0, , = 0,018752m V cone1 = ⅓ x 3,14 x 0,018 (0,029² + 0,029 x 0,033+ 0,033²) = 5,81 x 10-5 m 3 = 58109,85493 mm 3 o Cone 2 R = 0, , = 0, m r = 0, , = 0, m t = 0,0279 0, = 0, m V cone2 = ⅓ x 3,14 x 0,0277 (0,0337² + 0,0337 x 0,029+ 0,029²) = 8,61 x 10-5 m 3 = 86075,4644 mm 3 o Silinder 1 R = 0, , = 0, m t = 0,0144 0, = 0, m V silinder1 = 3,14 x 0,029 2 x 0,014 = 3,8 x 10-5 m 3 = 38011,64133 mm 3 o Silinder 2 R = 0, ,000150= 0, m t = 0,0122 0, = 0, m V silinder2 = 3,14 x 0,041 2 x 0,012 = 6,35 x 10-5 m 3 = 63528,22537 mm 3 V akhir = 58109, , , ,22537 = ,1865 mm 3 Shrinkage = , ,1865 = 3164,04284 mm 3 Model 4 o Cone 1 R = 0, , = 0, m r = 0, , = 0, m t = 0, , = 0,018752m V cone1 = ⅓ x 3,14 x 0,018 (0,029² + 0,029 x 0,033+ 0,033²) = 5,81 x 10-5 m 3 = 58112,12848 mm 3 o Cone 2 R = 0, , = 0, m r = 0, , = 0, m t = 0,0279 0, = 0, m
88 V cone2 = ⅓ x 3,14 x 0,0277 (0,0337² + 0,0337 x 0,029+ 0,029²) = 8,61 x 10-5 m 3 = 86082,05492 mm 3 o Silinder 1 R = 0, , = 0, m t = 0,0144 0, = 0, m V silinder1 = 3,14 x 0,029 2 x 0,014 = 3,8 x 10-5 m 3 = 38006,18106 mm 3 o Silinder 2 R = 0, , = 0, m t = 0,0122 0, = 0, m V silinder2 = 3,14 x 0,041 2 x 0,012 = 6,35 x 10-5 m 3 = 63523,05022 mm 3 V akhir = 58112, , , ,05022 = ,4147 mm 3 Shrinkage = , ,4147 = 3165,14649 mm 3 2. Perhitungan Kualitas Coran dan Feeding Efficiency Kualitas Coran = volume akhir coran volume cetakan x 100% Feeding Efficiency = volume penyusutan volume riser x 100% Volume cetakan = ,2293 mm 3 Volume riser cone = ,7891 mm 3 Volume riser limas terpancung = ,6902 mm 3 Model 1 Model 2
89 Model 3 Model 4
90
91 BIODATA PENULIS Penulis bernama lengkap Candra Simon Septyan dilahirkan di Jakarta, 16 September 1995 merupakan anak kedua dari 3 bersaudara. Penulis telah menempuh pendidikan formal di TK Santo Bellarminus, SD Santo Bellarminus, SMP Negeri 80 Jakarta dan SMA Negeri 103 Jakarta. Setelah lulus dari SMA penulis melanjutkan studinya melalui jalur SBMPTN di Jurusan Teknik Material dan Metalurgi Institut Teknologi Sepuluh Nopember pada tahun 2013 terdaftar dengan NRP Di Teknik Material dan Metalurgi penulis memilih bidang pemodelan. Penulis sejak kuliah aktif mengikuti organisasi di Badan Semi Otonom Minat dan Bakat HMMT FTI-ITS, dan Perhimpunan Mahasiswa Metalurgi dan Material se-indonesia. Selesainya tugas akhir ini mengantarkan penulis memperoleh gelar Sarjana Teknik (ST) dari Jurusan Teknik Material dan Metalurgi Institut Teknologi sepuluh Nopember Surabaya. candrasimonseptyan@gmail.com No.Hp: xxiii
Analisa Proses Perpindahan Panas pada Pengecoran Paduan Al-12%Si dengan Metode Elemen Hingga
A492 Analisa Proses Perpindahan Panas pada Pengecoran Paduan Al-12%Si dengan Metode Elemen Hingga Muhammad Bahtiyar Firdaus, Mas Irfan P. Hidayat, Dian Mughni Fellicia Teknik Material dan Metalurgi, Fakultas
Lebih terperinciANALISA DAN SIMULASI NUMERIK PROSES SAND CASTING DALAM PEMBUATAN HOUSE MOVING CONTACT RESISTOR BERBAHAN DASAR ALUMINIUM 6061
TUGAS AKHIR TL091584 ANALISA DAN SIMULASI NUMERIK PROSES SAND CASTING DALAM PEMBUATAN HOUSE MOVING CONTACT RESISTOR BERBAHAN DASAR ALUMINIUM 6061 Rommel T NRP 2713 100 017 Dosen Pembimbing : Mas Irfan
Lebih terperinciGambar 1 Sistem Saluran
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Sebutkan dan jelaskan komponen-komponen gating system! Sistem saluran (gating system) didefinisikan sebagai jalan masuk atau saluran bagi logam cair yang dituangkan dari ladel
Lebih terperinciSTUDI EKSPERIMEN PENGARUH VARIASI DIMENSI CIL DALAM (INTERNAL CHILL) TERHADAP CACAT PENYUSUTAN (SHRINKAGE) PADA PENGECORAN ALUMINIUM 6061
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2012) ISSN: 2301-9271 1 STUDI EKSPERIMEN PENGARUH VARIASI DIMENSI CIL DALAM (INTERNAL CHILL) TERHADAP CACAT PENYUSUTAN (SHRINKAGE) PADA PENGECORAN ALUMINIUM 6061 Nurhadi
Lebih terperinciSTUDI EKSPERIMEN PENGARUH VARIASI DIMENSI CIL DALAM (INTERNAL CHILL) TERHADAP CACAT PENYUSUTAN (SHRINKAGE) PADA PENGECORAN ALUMINIUM 6061
STUDI EKSPERIMEN PENGARUH VARIASI DIMENSI CIL DALAM (INTERNAL CHILL) TERHADAP CACAT PENYUSUTAN (SHRINKAGE) PADA PENGECORAN ALUMINIUM 6061 Oleh: NURHADI GINANJAR KUSUMA NRP. 2111106036 Dosen Pembimbing
Lebih terperinciANALISA DAN SIMULASI NUMERIK PROSES SAND CASTING DALAM PEMBUATAN KONTAK SISI BAWAH RESISTOR BERBAHAN DASAR ALUMINIUM 2024
TUGAS AKHIR TL091584 ANALISA DAN SIMULASI NUMERIK PROSES SAND CASTING DALAM PEMBUATAN KONTAK SISI BAWAH RESISTOR BERBAHAN DASAR ALUMINIUM 2024 Rinush Fedrikdo Paltgor NRP 2713 100 082 Dosen Pembimbing
Lebih terperinciSTUDI SIMULASI DAN EKSPERIMEN PENGARUH KETEBALAN DINDING EXOTHERMIC RISER TERHADAP CACAT SHRINKAGE PADA PENGECORAN ALUMINIUM 6061 METODE SAND CASTING
Sidang Tugas Akhir (TM 091486) STUDI SIMULASI DAN EKSPERIMEN PENGARUH KETEBALAN DINDING EXOTHERMIC RISER TERHADAP CACAT SHRINKAGE PADA PENGECORAN ALUMINIUM 6061 METODE SAND CASTING oleh : Rachmadi Norcahyo
Lebih terperinciStudi Eksperimen Pengaruh Variasi Dimensi Cil dalam (Internal Chill) terhadap Cacat Penyusutan (Shrinkage) pada Pengecoran Aluminium 6061
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) F-271 Studi Eksperimen Pengaruh Variasi Dimensi Cil dalam ( Chill) terhadap Cacat Penyusutan (Shrinkage) pada Pengecoran Aluminium
Lebih terperinciJURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: ( Print) F-266
JURNAL TEKNIK POMITS Vol., No., (4) ISSN: 7-59 (-97 Print) F-66 Pengaruh Variasi Komposisi Serbuk Kayu dengan Pengikat Semen pada Pasir Cetak terhadap Cacat Porositas dan Kekasaran Permukaan Hasil Pengecoran
Lebih terperinciTUGAS PENGETAHUAN BAHAN TEKNIK II CETAKAN PERMANEN
TUGAS PENGETAHUAN BAHAN TEKNIK II CETAKAN PERMANEN Disusun Oleh Nama Anggota : Rahmad Trio Rifaldo (061530202139) Tris Pankini (061530200826) M Fikri Pangidoan Harahap (061530200820) Kelas : 3ME Dosen
Lebih terperinciANALISA PERBANDINGAN PEMAKAIAN RISER RING DAN CROWN PADA PENGECORAN VELG TIPE MS 366 DENGAN UJI SIMULASI MENGGUNAKAN CAE ADSTEFAN
ANALISA PERBANDINGAN PEMAKAIAN RISER RING DAN CROWN PADA PENGECORAN VELG TIPE MS 366 DENGAN UJI SIMULASI MENGGUNAKAN CAE ADSTEFAN Oleh: M.Nawarul Fuad Shibu lijack LATAR BELAKANG Fungsi velg sebagai roda
Lebih terperinciPENGARUH VOLUME EXOTHERMIC RISER TERHADAP CACAT SHRINKAGE PADA PENGECORAN ALUMINIUM 6061 DENGAN METODE SAND CASTING
TUGAS AKHIR Surabaya, 15 Juli 2014 PENGARUH VOLUME EXOTHERMIC RISER TERHADAP CACAT SHRINKAGE PADA PENGECORAN ALUMINIUM 6061 DENGAN METODE SAND CASTING Oleh : Muhammad MisbahulMunir NRP. 2112 105 026 Dosen
Lebih terperinciTUGAS SARJANA. ANALISA PENGARUH BAHAN CETAKAN PADA PENGECORAN PADUAN Al- Cu TERHADAP WAKTU PENDINGINAN DAN SIFAT MEKANIS CORAN
TUGAS SARJANA ANALISA PENGARUH BAHAN CETAKAN PADA PENGECORAN PADUAN Al- Cu TERHADAP WAKTU PENDINGINAN DAN SIFAT MEKANIS CORAN Diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan tingkat
Lebih terperinciPENGARUH PENAMBAHAN TEMBAGA (Cu) TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO PADA PADUAN ALUMINIUM-SILIKON (Al-Si) MELALUI PROSES PENGECORAN
Laporan Tugas Akhir PENGARUH PENAMBAHAN TEMBAGA (Cu) TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO PADA PADUAN ALUMINIUM-SILIKON (Al-Si) MELALUI PROSES PENGECORAN Nama Mahasiswa : I Made Pasek Kimiartha NRP
Lebih terperinciPENGARUH JUMLAH SALURAN MASUK TERHADAP CACAT CORAN PADA PEMBUATAN POROS ENGKOL (CRANKSHAFT) FCD 600 MENGGUNAKAN PENGECORAN PASIR
PENGARUH JUMLAH SALURAN MASUK TERHADAP CACAT CORAN PADA PEMBUATAN POROS ENGKOL (CRANKSHAFT) FCD 600 MENGGUNAKAN PENGECORAN PASIR Oleh: Muhamad Nur Harfianto 2111 105 025 Dosen Pembimbing: Dr. Ir. Soeharto,
Lebih terperinciMetal Casting Processes. Teknik Pembentukan Material
Metal Casting Processes Teknik Pembentukan Material Pengecoran (Casting) adalah suatu proses penuangan materi cair seperti logam atau plastik yang dimasukkan ke dalam cetakan, kemudian dibiarkan membeku
Lebih terperinciPENGARUH UKURAN RISER TERHADAP CACAT PENYUSUTAN DAN CACAT POROSITAS PRODUK COR ALUMINIUM CETAKAN PASIR
125 PENGARUH UKURAN RISER TERHADAP CACAT PENYUSUTAN DAN CACAT POROSITAS PRODUK COR ALUMINIUM CETAKAN PASIR I Harmonic Krisnawan 1, Bambang Kusharjanta 2, Wahyu Purwo Raharjo 2 1 Mahasiswa Program Sarjana
Lebih terperinciPEMBUATAN POLA dan CETAKAN HOLDER MESIN UJI IMPAK CHARPY TYPE Hung Ta 8041A MENGGUNAKAN METODE SAND CASTING
PEMBUATAN POLA dan CETAKAN HOLDER MESIN UJI IMPAK CHARPY TYPE Hung Ta 8041A MENGGUNAKAN METODE SAND CASTING URZA RAHMANDA, EDDY WIDYONO Jurusan D3 Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri, ITS Surabaya
Lebih terperinciSKRIPSI. Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik. Oleh : JOKO SUPRIYANTO NIM. I
SIMULASI NUMERIK PERPINDAHAN PANAS 2 DIMENSI PADA PROSES PENDINGINAN TEMBAGA MURNI DENGAN VARIASI CETAKAN PASIR DAN MULLITE MENGGUNAKAN PENDEKATAN BEDA HINGGA SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat
Lebih terperinciJURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2012) ISSN:
JURNAL TEKNIK POMITS Vol., No., () ISSN: -97 Pengaruh Variasi Komposisi Serbuk Kayu Dengan Pengikat Semen Pada Pasir Cetak Terhadap Cacat Porositas Dan Kekasaran Permukaan Hasil Pengecoran Aluminium Alloy
Lebih terperinciBAB IV SIMULASI DAN ANALISIS CETAKAN RING, CONE DAN BLADE
BAB IV SIMULASI DAN ANALISIS CETAKAN RING, CONE DAN BLADE Hasil perancangan cetakan sistem penambah dan sistem saluran pada bab III yang menghasilkan model cetakan dalam proses pengecoran belum dapat dipastikan
Lebih terperinciPENGECORAN SUDU TURBIN AIR AKSIAL KAPASITAS DAYA 102 kw DENGAN BAHAN PADUAN TEMBAGA ALLOY 8A
PENGECORAN SUDU TURBIN AIR AKSIAL KAPASITAS DAYA 102 kw DENGAN BAHAN PADUAN TEMBAGA ALLOY 8A Agus Salim Peneliti pada Bidang Peralatan Transportasi Puslit Telimek LIPI ABSTRAK Telah dilakukan pengecoran
Lebih terperinciANALISIS STRUKTUR MIKRO CORAN PENGENCANG MEMBRAN PADA ALAT MUSIK DRUM PADUAN ALUMINIUM DENGAN CETAKAN LOGAM
ANALISIS STRUKTUR MIKRO CORAN PENGENCANG MEMBRAN PADA ALAT MUSIK DRUM PADUAN ALUMINIUM DENGAN CETAKAN LOGAM Indreswari Suroso 1) 1) Program Studi Aeronautika, Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan, Yogyakarta
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. industri terus berkembang dan di era modernisasi yang terjadi saat. ini, menuntut manusia untuk melaksanakan rekayasa guna
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan Aluminium dan Logam paduan Aluminium didunia industri terus berkembang dan di era modernisasi yang terjadi saat ini, menuntut manusia untuk melaksanakan
Lebih terperinciVARIASI PENAMBAHAN FLUK UNTUK MENGURANGI CACAT LUBANG JARUM DAN PENINGKATAN KEKUATAN MEKANIK
VARIASI PENAMBAHAN FLUK UNTUK MENGURANGI CACAT LUBANG JARUM DAN PENINGKATAN KEKUATAN MEKANIK Bambang Suharnadi Program Diploma Teknik Mesin Sekolah Vokasi UGM suharnadi@ugm.ac.id Nugroho Santoso Program
Lebih terperinciTI-2121: Proses Manufaktur
TI-11: Proses Manufaktur Dasar-dasar Pengecoran Logam Laboratorium Sistem Produksi www.lspitb.org 003 1. Hasil Pembelajaran Umum: Memberikan mahasiswa pengetahuan yang komprehensif tentang dasar-dasar
Lebih terperinciPERPINDAHAN PANAS DAN MASSA
DIKTAT KULIAH PERPINDAHAN PANAS DAN MASSA JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DARMA PERSADA 009 DIKTAT KULIAH PERPINDAHAN PANAS DAN MASSA Disusun : ASYARI DARAMI YUNUS Jurusan Teknik Mesin,
Lebih terperinciPENGARUH TEKANAN INJEKSI PADA PENGECORAN CETAK TEKANAN TINGGI TERHADAP KEKERASAN MATERIAL ADC 12
C.10. Pengaruh tekanan injeksi pada pengecoran cetak tekanan tinggi (Sri Harmanto) PENGARUH TEKANAN INJEKSI PADA PENGECORAN CETAK TEKANAN TINGGI TERHADAP KEKERASAN MATERIAL ADC 12 Sri Harmanto Jurusan
Lebih terperinciPengaruh Bentuk Riser Terhadap Cacat Penyusutan Produk Cor Aluminium Cetakan Pasir
Pengaruh Bentuk Riser Terhadap Cacat Penyusutan Produk Cor Aluminium Cetakan Pasir (Soejono Tjitro) Pengaruh Bentuk Riser Terhadap Cacat Penyusutan Produk Cor Aluminium Cetakan Pasir Soejono Tjitro Dosen
Lebih terperinciPENGARUH UKURAN NECK RISER TERHADAP CACAT PENYUSUTAN DAN CACAT POROSITAS PADA PROSES PENGECORAN ALUMINIUM MENGGUNAKAN CETAKAN PASIR SKRIPSI
PENGARUH UKURAN NECK RISER TERHADAP CACAT PENYUSUTAN DAN CACAT POROSITAS PADA PROSES PENGECORAN ALUMINIUM MENGGUNAKAN CETAKAN PASIR SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Lebih terperinciPERANCANGAN PENGECORAN KONSTRUKSI CORAN DAN PERANCANGAN POLA
KONSTRUKSI CORAN DAN PERANCANGAN POLA Arianto Leman S., MT Disampaikan dalam : PELATIHAN PENGEMBANGAN RINTISAN PENGECORAN SKALA MINI BAGI GURU-GURU SMK DI YOGYAKARTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI
Lebih terperinciJurusan Teknik Perkapalan Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
TUGAS AKHIR MN 091382 ANALISA PENGARUH VARIASI TANGGEM PADA PENGELASAN PIPA CARBON STEEL DENGAN METODE PENGELASAN SMAW DAN FCAW TERHADAP DEFORMASI DAN TEGANGAN SISA MENGGUNAKAN ANALISA PEMODELAN ANSYS
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan bahan dasar velg racing sepeda motor bekas kemudian velg tersebut diremelting dan diberikan penambahan Si sebesar 2%,4%,6%, dan 8%. Pengujian yang
Lebih terperinciSTUDI EKSPERIMEN PENGARUH WAKTU PENIUPAN PADA METODA DEGASSING JENIS LANCE PIPE, DAN POROUS PLUG TERHADAP KUALITAS CORAN PADUAN ALUMINIUM A356.
STUDI EKSPERIMEN PENGARUH WAKTU PENIUPAN PADA METODA DEGASSING JENIS LANCE PIPE, DAN POROUS PLUG TERHADAP KUALITAS CORAN PADUAN ALUMINIUM A356.0 Hari Subiyanto 1), Subowo 2), Gathot D.W 3), Syamsul Hadi
Lebih terperinciTUGAS SARJANA KARAKTERISASI SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO PRODUK CORAN PADUAN ALUMINIUM DENGAN VARIASI KOMPOSISI TEMBAGA
TUGAS SARJANA KARAKTERISASI SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO PRODUK CORAN PADUAN ALUMINIUM DENGAN VARIASI KOMPOSISI TEMBAGA Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan Strata
Lebih terperinciPENENTUAN WELDING SEQUENCE TERBAIK PADA PENGELASAN SAMBUNGAN-T PADA SISTEM PERPIPAAN KAPAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE ELEMEN HINGGA
Tugas Akhir PENENTUAN WELDING SEQUENCE TERBAIK PADA PENGELASAN SAMBUNGAN-T PADA SISTEM PERPIPAAN KAPAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE ELEMEN HINGGA Disusun oleh : Awang Dwi Andika 4105 100 036 Dosen Pembimbing
Lebih terperinciPengaruh Variasi Komposisi Kimia dan Kecepatan Kemiringan Cetakan Tilt Casting Terhadap Kerentanan Hot Tearing Paduan Al-Si-Cu
Pengaruh Variasi Komposisi Kimia dan Kecepatan Kemiringan Cetakan Tilt Casting Terhadap Kerentanan Hot Tearing Paduan Cu Bambang Tjiroso 1, Agus Dwi Iskandar 2 Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik
Lebih terperinciJurnal Flywheel, Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN :
ANALISIS SIMULASI PENGARUH SUDUT CETAKAN TERHADAP GAYA DAN TEGANGAN PADA PROSES PENARIKAN KAWAT TEMBAGA MENGGUNAKAN PROGRAM ANSYS 8.0 I Komang Astana Widi Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri,
Lebih terperinciPENGARUH UKURAN PASIR TERHADAP POROSITAS DAN DENSITAS PADA PENGECORAN ALUMINIUM SILIKON (95% Al- 5% Si) DENGAN METODE PENGECORAN EVAPORATIF
PENGARUH UKURAN PASIR TERHADAP POROSITAS DAN DENSITAS PADA PENGECORAN ALUMINIUM SILIKON (95% Al- 5% Si) DENGAN METODE PENGECORAN EVAPORATIF Oleh Dosen Pembimbing : Arip Sanjaya : Dr.Ir. I Ketut Gede Sugita,
Lebih terperinciANALISA PENGARUH PENAMBAHAN ABU SERBUK KAYU TERHADAP KARAKTERISTIK PASIR CETAK DAN CACAT POROSITAS HASIL PENGECORAN ALUMINIUM 6061 SIDANG TUGAS AKHIR
ANALISA PENGARUH PENAMBAHAN ABU SERBUK KAYU TERHADAP KARAKTERISTIK PASIR CETAK DAN CACAT POROSITAS HASIL PENGECORAN ALUMINIUM 6061 SIDANG TUGAS AKHIR Latar belakang Pengecoran logam Hasil pengecoran aluminium
Lebih terperinciPENGEMBANGAN MEKANISME DAN KUALITAS PRODUKSI SEPATU KAMPAS REM BERBAHAN ALUMUNIUM DAUR ULANG DENGAN METODE PENGECORAN SQUEEZE
PENGEMBANGAN MEKANISME DAN KUALITAS PRODUKSI SEPATU KAMPAS REM BERBAHAN ALUMUNIUM DAUR ULANG DENGAN METODE PENGECORAN SQUEEZE Darmanto *, Sri Mulyo Bondan Respati, Helmy Purwanto Program Studi Teknik Mesin
Lebih terperinciK. Roziqin H. Purwanto I. Syafa at. Kata kunci: Pengecoran Cetakan Pasir, Aluminium Daur Ulang, Struktur Mikro, Kekerasan.
K. Roziqin H. Purwanto I. Syafa at Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang Jl Menoreh Tengah X/22 Semarang e-mail: roziqinuwh@gmail.com helmy_uwh@yahoo.co.id i.syafaat@gmail.com
Lebih terperinci11 BAB II LANDASAN TEORI
11 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Velg Sepeda Motor [9] Velg atau rim adalah lingkaran luar logam yang sudah di desain dengan bentuk sesuai standar (ISO 5751 dan ISO DIS 4249-3), dan sebagai tempat terpasangnya
Lebih terperinciMultiple Channel Fluidity Test Castings Pengujian ini digunakan untuk mengetahui fluiditas aliran logam cair saat
Multiple Channel Fluidity Test Castings Pengujian ini digunakan untuk mengetahui fluiditas aliran logam cair saat melalui saluran lebih dari satu dan dengan penampang sempit, yang mana banyak terdapat
Lebih terperinciPENGUJIAN KEKUATAN TARIK PRODUK COR PROPELER ALUMUNIUM. Hera Setiawan 1* Gondangmanis, PO Box 53, Bae, Kudus 59352
PENGUJIAN KEKUATAN TARIK PRODUK COR PROPELER ALUMUNIUM Hera Setiawan 1* 1 Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Muria Kudus Gondangmanis, PO Box 53, Bae, Kudus 59352 * Email: herasetiawan6969@yahoo.com
Lebih terperinciPengaruh Modulus Cor Riser Terhadap Cacat Penyusutan Pada Produk Paduan Al-Si
Pengaruh Modulus Cor Riser Terhadap Cacat Penyusutan Pada Produk Paduan Al-Si (Soejono Tjitro, et al.) Pengaruh Modulus Cor Riser Terhadap Cacat Penyusutan Pada Produk Paduan Al-Si Soejono Tjitro Dosen
Lebih terperinciCacat shrinkage. 1 1,0964 % Bentuk : merupakan HASIL DAN ANALISA DATA. 5.1 Hasil Percobaan
5.1 Hasil Percobaan TUGAS AKHIR METALURGI BAB 5 HASIL DAN ANALISA DATA Hasil percobaan yang telah dilakukan di dapatkan cacat shrinkage yang cukup besar pada bagian pertemuan bagian silinder dan balok.
Lebih terperinciJurnal Flywheel, Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN :
PENGARUH TEMPERATUR PENUANGAN PADUAN AL-SI (SERI 4032) TERHADAP HASIL PENGECORAN Ir. Drs Budiyanto Dosen Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Nasional Malang ABSTRAK Proses produksi
Lebih terperinciTIN107 - Material Teknik #10 - Metal Alloys (2) METAL ALLOYS (2) TIN107 Material Teknik
1 METAL ALLOYS (2) TIN107 Material Teknik Tool Steel (Baja Perkakas) 2 W Pengerasan dengan air (Water hardening) Pengerjaan Dingin (Cold Work) O Pengerasan dengan oli (Oil hardening) A Pengerasan dengan
Lebih terperinciStudi Pengaruh Temperatur Tuang Terhadap Sifat Mekanis Pada Pengecoran Paduan Al-4,3%Zn Alloy
Studi Pengaruh Temperatur Tuang Terhadap Sifat Mekanis Pada Pengecoran Paduan -4,3% loy Tugiman 1,Suprianto 2,Khairul S. Sihombing 3 1,2 Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara
Lebih terperinciANALISA PENGARUH AGING 400 ºC PADA ALUMINIUM PADUAN DENGAN WAKTU TAHAN 30 DAN 90 MENIT TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS
TUGAS AKHIR ANALISA PENGARUH AGING 400 ºC PADA ALUMINIUM PADUAN DENGAN WAKTU TAHAN 30 DAN 90 MENIT TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS Disusun : SUDARMAN NIM : D.200.02.0196 JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS
Lebih terperinciPemodelan Distribusi Suhu pada Tanur Carbolite STF 15/180/301 dengan Metode Elemen Hingga
Pemodelan Distribusi Suhu pada Tanur Carbolite STF 15/180/301 dengan Metode Elemen Hingga Wafha Fardiah 1), Joko Sampurno 1), Irfana Diah Faryuni 1), Apriansyah 1) 1) Program Studi Fisika Fakultas Matematika
Lebih terperinciPembahasan Materi #11
1 TIN107 Material Teknik Pembahasan 2 Tool Steel Sidat dan Jenis Stainless Steel Cast Iron Jenis, Sifat, dan Keterbatasan Non-Ferrous Alloys Logam Tahan Panas 1 Tool Steel (Baja Perkakas) 3 W Pengerasan
Lebih terperinciANALISIS HASIL PENGECORAN ALUMINIUM DENGAN VARIASI MEDIA PENDINGINAN
ANALISIS HASIL PENGECORAN ALUMINIUM DENGAN VARIASI MEDIA PENDINGINAN Dosen Jurusan Teknik Mesin Universitas Janabadra Yogyakarta INTISARI Setiap logam akan mengalami perubahan fasa selama proses pengecoran,
Lebih terperinciBESI COR. 4.1 Struktur besi cor
BESI COR Pendahuluan Besi cor adalah bahan yang sangat penting dan dipergunakan sebagai bahan coran lebih dari 80%. Besi cor merupakan paduan besi dan karbon dengan kadar 2 %s/d 4,1% dan sejumlah kecil
Lebih terperinciPENGARUH VOLUME EXOTHERMIC RISER TERHADAP CACAT SHRINKAGE PADA PENGECORAN ALUMINIUM 6061 DENGAN METODE SAND CASTING
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) 1-8 1 PENGARUH VOLUME EXOTHERMIC RISER TERHADAP CACAT SHRINKAGE PADA PENGECORAN ALUMINIUM 6061 DENGAN METODE SAND CASTING Muhammad M Munir, Indra Sidharta, Soeharto
Lebih terperinci14. Magnesium dan Paduannya (Mg and its alloys)
14. Magnesium dan Paduannya (Mg and its alloys) Magnesium adalah logam ringan dan banyak digunakan untuk aplikasi yang membutuhkan massa jenis yang ringan. Karakteristik : - Memiliki struktur HCP (Hexagonal
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Silinder liner adalah komponen mesin yang dipasang pada blok silinder yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Silinder liner adalah komponen mesin yang dipasang pada blok silinder yang berfungsi sebagai tempat piston dan ruang bakar pada mesin otomotif. Pada saat langkah kompresi
Lebih terperinciSKRIPSI PENGARUH TEMPERATUR PENUANGAN PADA PROSES EVAPORATIVE CASTING TERHADAP KEKUATAN TARIK DAN STRUKTUR MIKRO ALUMUNIUM SILIKON (AL-7%SI) Oleh :
SKRIPSI PENGARUH TEMPERATUR PENUANGAN PADA PROSES EVAPORATIVE CASTING TERHADAP KEKUATAN TARIK DAN STRUKTUR MIKRO ALUMUNIUM SILIKON (AL-7%SI) Oleh : KADEK AGENG NALIKA ADNYANA NIM : 1104305052 JURUSAN TEKNIK
Lebih terperinciPengaruh Variasi Arus terhadap Struktur Mikro, Kekerasan dan Kekuatan Sambungan pada Proses Pengelasan Alumunium dengan Metode MIG
NASKAH PUBLIKASI TUGAS AKHIR Pengaruh Variasi Arus terhadap Struktur Mikro, Kekerasan dan Kekuatan Sambungan pada Proses Pengelasan Alumunium dengan Metode MIG Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat
Lebih terperinciBAB II TEORI ALIRAN PANAS 7 BAB II TEORI ALIRAN PANAS. benda. Panas akan mengalir dari benda yang bertemperatur tinggi ke benda yang
BAB II TEORI ALIRAN PANAS 7 BAB II TEORI ALIRAN PANAS 2.1 Konsep Dasar Perpindahan Panas Perpindahan panas dapat terjadi karena adanya beda temperatur antara dua bagian benda. Panas akan mengalir dari
Lebih terperinciANALISIS PEMBUATAN HANDLE REM SEPEDA MOTOR DARI BAHAN PISTON BEKAS. Abstrak
ANALISIS PEMBUATAN HANDLE REM SEPEDA MOTOR DARI BAHAN PISTON BEKAS Boedijanto, Eko Sulaksono Abstrak Bahan baku handle rem sepeda motor dari limbah piston dengan komposisi Al: 87.260, Cr: 0.017, Cu: 1.460,
Lebih terperinciBAB V PROSES PENGECORAN BAB V PROSES PENGECORAN
BAB V PROSES PENGECORAN Bertitik tolak pada cara kerja proses ini, maka proses pembuatan jenis ini dapat dibagi menjadi 2, yaitu: 1. Proses penuangan. 2. Proses pencetakan. Proses penuangan adalah proses
Lebih terperinciISSN hal
Vokasi Volume IX, Nomor 2, Juli 2013 ISSN 193 9085 hal 134-140 PENGARUH KECEPATAN PUTAR DAN PENAMBAHAN INOKULAN AL-TiB PADA CENTRIFUGAL CASTING TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS PADUAN ALUMINIUM COR A35
Lebih terperinciANALISIS HASIL PENGECORAN SENTRIFUGAL DENGAN MENGGUNAKAN MATERIAL ALUMINIUM
ANALISIS HASIL PENGECORAN SENTRIFUGAL DENGAN MENGGUNAKAN MATERIAL ALUMINIUM SUHADA AMIR MUKMININ 123030037 Pembimbing : IR. BUKTI TARIGAN.MT IR. ENDANG ACHDI.MT Latar Belakang CACAT CACAT PENGECORAN Mempelajari
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Model tabung gas LPG dibuat berdasarkan tabung gas LPG yang digunakan oleh
III. METODE PENELITIAN Model tabung gas LPG dibuat berdasarkan tabung gas LPG yang digunakan oleh rumah tangga yaitu tabung gas 3 kg, dengan data: Tabung 3 kg 1. Temperature -40 sd 60 o C 2. Volume 7.3
Lebih terperinciGambar 2.1.(a) Geometri elektroda commit to Gambar user 2.1.(b) Model Elemen Hingga ( Sumber : Yeung dan Thornton, 1999 )
digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Resistance Spot Welding (RSW) atau Las Titik Tahanan Listrik adalah suatu cara pengelasan dimana permukaan plat yang disambung ditekankan satu
Lebih terperinciIII. METODELOGI. satunya adalah menggunakan metode elemen hingga (Finite Elemen Methods,
III. METODELOGI Terdapat banyak metode untuk melakukan analisis tegangan yang terjadi, salah satunya adalah menggunakan metode elemen hingga (Finite Elemen Methods, FEM). Metode elemen hingga adalah prosedur
Lebih terperinciJURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN:
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: 2301-9271 1 Studi Simulasi Dan Eksperimen Pengaruh Ketebalan Dinding Exothermic Riser Terhadap Cacat Shrinkage Pada Pengecoran Aluminium 6061 Metode Sand
Lebih terperinciPENGARUH PERBEDAAN LAJU WAKTU PROSES PEMBEKUAN HASIL COR ALUMINIUM 319 DENGAN CETAKAN LOGAM TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIS
PENGARUH PERBEDAAN LAJU WAKTU PROSES PEMBEKUAN HASIL COR ALUMINIUM 319 DENGAN CETAKAN LOGAM TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIS Errens Lowther 1), Sofyan Djamil 1) dan Eddy S. Siradj 2) 1) Program
Lebih terperinciBAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. 3.2 Tahapan Analisis Persamaan Differensial untuk Transfer Energi
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Studi Pendahuluan Langkah awal dalam penelitian ini adalah mencari dan mengumpulkan sumbersumber seperti: buku, jurnal atau penelitian sebelumnya yang mendukung penelitian.
Lebih terperinciMETODOLOGI PENELITIAN
III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian serta di dalam rumah tanaman yang berada di laboratorium Lapangan Leuwikopo,
Lebih terperinciPENGARUH JARAK DARI TEPI CETAKAN TERHADAP KEKUATAN TARIK DAN KEKERASAN PADA CORAN ALUMINIUM
Pengaruh Jarak Dari Tepi Cetakan Terhadap Kekuatan Tarik Dan Kekerasan Pada Coran Aluminium PENGARUH JARAK DARI TEPI CETAKAN TERHADAP KEKUATAN TARIK DAN KEKERASAN PADA CORAN ALUMINIUM H. Purwanto e-mail
Lebih terperinci7. Pertumbuhan Kristal (Growth of Crystal)
7. Pertumbuhan Kristal (Growth of Crystal) Proses pertumbuhan kristal yang mana didahului nukleasi (pengintian) menentukan struktur akhir dari solid. Mode pertumbuhan baik untuk butiran individual maupun
Lebih terperinciANALISIS HASIL PENGECORAN MATERIAL KUNINGAN
ANALISIS HASIL PENGECORAN SENTRIFUGAL DENGAN MENGGUNAKAN MATERIAL KUNINGAN Bravian Alifin Rezanto 123030041 Pembimbing : IR. BUKTI TARIGAN, MT IR. ENDANG ACHDI, MT Latar Belakang Tujuan 1. Untuk mempelajari
Lebih terperinciPENGARUH PENAMBAHAN Mg TERHADAP SIFAT KEKERASAN DAN KEKUATAN IMPAK SERTA STRUKTUR MIKRO PADA PADUAN Al-Si BERBASIS MATERIAL PISTON BEKAS
Pengaruh Penambahan Mg Terhadap Sifat Kekerasan dan... ( Mugiono) PENGARUH PENAMBAHAN Mg TERHADAP SIFAT KEKERASAN DAN KEKUATAN IMPAK SERTA STRUKTUR MIKRO PADA PADUAN Al-Si BERBASIS MATERIAL PISTON BEKAS
Lebih terperinciBAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA PENELITIAN
BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA PENELITIAN 3.1 Diagram Alir Penelitian Pada penelitian ini langkah-langkah pengujian ditunjukkan pada Gambar 3.1: Mulai Mempersiapkan Alat Dan Bahan Proses Pengecoran
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
33 III. METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan dalam penelitian, sehingga pelaksanaan dan hasil penelitian bisa untuk dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penelitian ini menggunakan
Lebih terperinci2. Logam Cair & Saluran dalam Pengecoran
2. Logam Cair & Saluran dalam Pengecoran Penuangan logam cair ke dalam cetakan adalah satu dari langkah- langkah kritis dalam pengecoran karena perilaku cairan dan pembekuannya serta pendinginan menentukan
Lebih terperinciSimulasi Perpindahan Panas pada Lapisan Tengah Pelat Menggunakan Metode Elemen Hingga
JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 4, No.2, (2015) 2337-3520 (2301-928X Print) A-13 Simulasi Perpindahan Panas pada Lapisan Tengah Pelat Menggunakan Metode Elemen Hingga Vimala Rachmawati dan Kamiran Jurusan
Lebih terperinciBAB III OPTIMASI KETEBALAN TABUNG COPV
BAB III OPTIMASI KETEBALAN TABUNG COPV 3.1 Metodologi Optimasi Desain Tabung COPV Pada tahap proses mengoptimasi desain tabung COPV kita perlu mengidentifikasi masalah terlebih dahulu, setelah itu melakukan
Lebih terperinciJURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
SIMULASI PENGARUH DESAIN GEOMETRI COUPLE MODULE THERMOELECTRIC GENERATOR TERHADAP DAYA KELUARAN DAN TEGANGAN LISTRIK YANG DIHASILKAN DENGAN MENGGUNAKAN SOFTWARE ANSYS APDL SKRIPSI Diajukan sebagai salah
Lebih terperinciPENDINGIN TERMOELEKTRIK
BAB II DASAR TEORI 2.1 PENDINGIN TERMOELEKTRIK Dua logam yang berbeda disambungkan dan kedua ujung logam tersebut dijaga pada temperatur yang berbeda, maka akan ada lima fenomena yang terjadi, yaitu fenomena
Lebih terperinciKAJIAN JUMLAH SALURAN MASUK (INGATE) TERHADAP KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO HASIL PENGECORAN Al-11Si DENGAN CETAKAN PASIR
KAJIAN JUMLAH SALURAN MASUK (INGATE) TERHADAP KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO HASIL PENGECORAN Al-11Si DENGAN CETAKAN PASIR Singgih Tanoyo 1*, Bayu Priyowasito 2, Wijoyo 3* 1,2,3 Program Studi Teknik Mesin,
Lebih terperinciDESAIN LOGO CETAKAN POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA UNTUK SOUVENIR (BIAYA PRODUKSI)
DESAIN LOGO CETAKAN POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA UNTUK SOUVENIR (BIAYA PRODUKSI) LAPORAN AKHIR Diajukan untuk Memenuhi Syarat Menyelesaikan Pendidikan Diploma III Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri
Lebih terperinciBab III Metode Penelitian
Bab III Metode Penelitian III.1 Flowchart Penelitian Tahap-tahap dalam penelitian ini dijelaskan pada flowchart Gambar III.1. Hasil Uji Struktur Mikro dan Uji Keras Hasil Uji Struktur Mikro dan Uji Keras
Lebih terperinciTermodinamika. Energi dan Hukum 1 Termodinamika
Termodinamika Energi dan Hukum 1 Termodinamika Energi Energi dapat disimpan dalam sistem dengan berbagai macam bentuk. Energi dapat dikonversikan dari satu bentuk ke bentuk yang lain, contoh thermal, mekanik,
Lebih terperinciPENGARUH TEMPERATUR TUANG DAN KANDUNGAN SILICON TERHADAP NILAI KEKERASAN PADUAN Al-Si
Pengaruh Temperatur Tuang dan Kandungan Silicon Terhadap Nilai Kekerasan Paduan Al-Si (Bahtiar & Leo Soemardji) PENGARUH TEMPERATUR TUANG DAN KANDUNGAN SILICON TERHADAP NILAI KEKERASAN PADUAN Al-Si Bahtiar
Lebih terperinciTUGAS PENYAMBUNGAN MATERIAL 5 RACHYANDI NURCAHYADI ( )
1. Jelaskan tahapan kerja dari las titik (spot welding). Serta jelaskan mengapa pelelehan terjadi pada bagian tengah kedua pelat yang disambung Tahapan kerja dari las titik (spot welding) ialah : Dua lembaran
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dasar Dasar Perpindahan Kalor Perpindahan kalor terjadi karena adanya perbedaan suhu, kalor akan mengalir dari tempat yang suhunya tinggi ke tempat suhu rendah. Perpindahan
Lebih terperinciANALISA PENGARUH PENGECORAN ULANG TERHADAP SIFAT MEKANIK PADUAN ALUMUNIUM ADC 12
D.20. Analisa Pengaruh Pengecoran Ulang terhadap Sifat Mekanik... (Samsudi Raharjo) ANALISA PENGARUH PENGECORAN ULANG TERHADAP SIFAT MEKANIK PADUAN ALUMUNIUM ADC 12 Samsudi Raharjo, Fuad Abdillah dan Yugohindra
Lebih terperinciPERANCANGAN POROS DIGESTER UNTUK PABRIK KELAPA SAWIT DENGAN KAPASITAS OLAH 12 TON TBS/JAM DENGAN PROSES PENGECORAN LOGAM
1 PERANCANGAN POROS DIGESTER UNTUK PABRIK KELAPA SAWIT DENGAN KAPASITAS OLAH 12 TON TBS/JAM DENGAN PROSES PENGECORAN LOGAM SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Lebih terperinciV. KEGIATAN BELAJAR 5 STANDARISASI BAHAN TEKNIK LOGAM. Standarisasi untuk bahan teknik dapat dijelaskan dengan benar
V. KEGIATAN BELAJAR 5 STANDARISASI BAHAN TEKNIK LOGAM A. Sub Kompetensi Standarisasi untuk bahan teknik dapat dijelaskan dengan benar B. Tujuan Kegiatan Pembelajaran Setelah pembelajaran ini mahasiswa
Lebih terperinciKARAKTERISTIK ALIRAN PANAS DALAM LOGAM PENGHANTAR LISTRIK THE CHARACTERISTICS OF HEAT FLOW IN AN ELECTRICAL METAL CONDUCTOR
UJIAN TUGAS AKHIR KARAKTERISTIK ALIRAN PANAS DALAM LOGAM PENGHANTAR LISTRIK THE CHARACTERISTICS OF HEAT FLOW IN AN ELECTRICAL METAL CONDUCTOR Diusulkan oleh : Mudmainnah Farah Dita NRP. 1209 100 008 Dosen
Lebih terperinciMomentum, Vol. 9, No. 1, April 2013, Hal ISSN ANALISA KONDUKTIVITAS TERMAL BAJA ST-37 DAN KUNINGAN
Momentum, Vol. 9, No. 1, April 213, Hal. 13-17 ISSN 216-7395 ANALISA KONDUKTIVITAS TERMAL BAJA ST-37 DAN KUNINGAN Sucipto, Tabah Priangkoso *, Darmanto Jurusan Teknik Mesin Fakultas TeknikUniversitas Wahid
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. waktu pada bulan September 2015 hingga bulan November Adapun material yang digunakan pada penelitian ini adalah:
III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Produksi Teknik Mesin Universitas Lampung. Sedangkan waktu penelitian akan dilaksanakan pada rentang waktu pada bulan September
Lebih terperinciRANCANG BANGUN DESAIN DAN PEMBUATAN CETAKAN PLAKAT AMPERA UNTUK SOUVENIR ( PENGUJIAN CETAKAN ) LAPORAN AKHIR
RANCANG BANGUN DESAIN DAN PEMBUATAN CETAKAN PLAKAT AMPERA UNTUK SOUVENIR ( PENGUJIAN CETAKAN ) LAPORAN AKHIR Dibuat Untuk Memenuhi Syarat Menyelesaikan Pendidikan Diploma III Jurusan Teknik Mesin Oleh
Lebih terperinciJURNAL TEKNIK ITS Vol. 1, No. 1(Sept. 2012) ISSN: G-340
JURNAL TEKNIK ITS Vol. 1, No. 1(Sept. 2012) ISSN: 2301-9271 G-340 Analisa Pengaruh Variasi Tanggem Pada Pengelasan Pipa Carbon Steel Dengan Metode Pengelasan SMAW dan FCAW Terhadap Deformasi dan Tegangan
Lebih terperinciMODUL 7 PROSES PENGECORAN LOGAM
MODUL 7 PROSES PENGECORAN LOGAM Materi ini membahas tentang pembuatan besi tuang dan besi tempa. Tujuan instruksional khusus yang ingin dicapai adalah (1) Menjelaskan peranan teknik pengecoran dalam perkembangan
Lebih terperinci85%Cu-15%Zn % Cu - 30% Zn % Cu - 40% Zn
16 BAB II DASAR TEORI 2.1 Kuningan Kuningan adalah logam yang merupakan campuran dari tembaga (Cu) dan seng (Zn). Tembaga merupakan komponen utama dari kuningan, dan kuningan biasanya diklasifikasikan
Lebih terperinci