ANALISA DAN SIMULASI NUMERIK PROSES SAND CASTING DALAM PEMBUATAN HOUSE MOVING CONTACT RESISTOR BERBAHAN DASAR ALUMINIUM 6061

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISA DAN SIMULASI NUMERIK PROSES SAND CASTING DALAM PEMBUATAN HOUSE MOVING CONTACT RESISTOR BERBAHAN DASAR ALUMINIUM 6061"

Transkripsi

1 TUGAS AKHIR TL ANALISA DAN SIMULASI NUMERIK PROSES SAND CASTING DALAM PEMBUATAN HOUSE MOVING CONTACT RESISTOR BERBAHAN DASAR ALUMINIUM 6061 Rommel T NRP Dosen Pembimbing : Mas Irfan P. Hidayat, S.T., M.Sc., Ph.D. Dian Mughni Fellicia, S.T., M.Sc.. DEPARTEMEN TEKNIK MATERIAL FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2017 i

2 (Halaman ini sengaja dikosongkan) ii

3 FINAL PROJECT TL NUMERICAL ANALYSIS AND SIMULATION OF SAND CASTING PROCESS IN MAKING HOUSE MOVING CONTACT RESISTOR CONTACT BASED ON ALUMINIUM 6061 Rommel T NRP Advisor Lecturer : Mas Irfan P. Hidayat, S.T., M.Sc., Ph.D. Dian Mughni Fellicia, S.T., M.Sc. MATERIAL ENGINEERING DEPARTMENT FACULTY OF INDUSTRIAL TECHNOLOGY INSTITUTE TECHNOLOGY SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2017 iii

4 (Halaman ini sengaja dikosongkan) iv

5 1. Mas Irfan P. Hidaya! ST, M.Sc. Ph.D.

6 (halaman ini sengaja dikosongkan)

7 ANALISA DAN SIMULASI NUMERIK PROCESS SAND CASTING DALAM PEMBUATAN HOUSE MOVING CONTACT RESISTOR BERBAHAN DASAR ALUMINIUM 6061 Nama Mahasiswa : Rommel T NRP : Departemen : Teknik Material dan Metalurgi FTI- ITS Dosen Pembimbing : Mas Irfan P. Hidayat ST, M.Sc., Ph.D Dian Mughni Fellicia ST., M.Sc Abstrak Circuit Breaker memiliki salah satu komponen penting yaitu House Moving Contact Resistor. Namun, salah satu perusahaan listrik yang ada di Indonesia ingin mencoba untuk membuat material ini di Indonesia. Bahan baku coran yang digunakan adalah paduan alumunium Setelah melakukan pemodelan gating system menggunakan ANSYS berdasarkan metode elemen hingga maka diharapkan hasil pengecoran yang tidak memiliki cacat ataupun penyusutan. Paduan ini akan dileburkan pada temperatur 742 o C karena titik lebur dari paduan ini terletak pada temperatur 657 o C. Berdasarkan hasil dan analisa data dari penelitian didapatkan variasi ukuran runner dan bentuk riser berpengaruh terhadap perubahan temperatur. Material cor akan mengalami penurunan temperatur dari 1015 K menjadi 473 K dari detik awal pendinginan sampai detik ke 300. Tegangan termal maksimal terjadi pada variasi model 4 dengan nilai 4,41E+08 Pa. Tegangan termal sebanding dengan shrinkage. Nilai shrinkage dari model 1 sampai model 4 yaitu: 69647,199 mm 3, 70580,168 mm 3, 69626,509 mm 3, 70773,576 mm 3. Variasi sistem saluran model 3 merupakan variasi coran yang paling baik karena memiliki nilai shrinkage paling kecil dari keempat model variasi. Kata Kunci: Analisa Elemen Hingga, House Moving Contact Resistor, aluminium 6061, Shrinkage, Crack vii

8 (halaman ini sengaja dikosongkan) viii

9 NUMERICAL ANALYSIS AND SIMULATION OF SAND CASTING PROCESS IN MAKING HOUSE MOVING CONTACT RESISTOR BASED ON ALUMINIUM 6061 Student Name : Rommel T SRN : Major : Materials Engineering Department Advisor Lecturer : Mas Irfan P. Hidayat ST, M.Sc., Ph.D Dian Mughni Fellicia ST., M.Sc Abstract Circuit Breaker has one important component which is House Moving Contact Resistor. This Material is imported from Germany.. The raw material of casting used is allumunium alloy Modelling gating system using ANSYS based on finite element method, so it expect that the result of casting doesnt have crack or shrinkage. The alloy would be melted at temperatur 742 o C because the melting point at 657 o C. Based on result and data analyzed from the research, it is found that the gating system does not significantly affect the temperature change. Material of casting will decrease temperature from 1015 K to 473 K from the initial seconds of cooling down to 300 seconds. Thermal stress maximum occurs on 4 th model in amount of 4.41E+08. Thermal stress is proportional to shrinkage. Thermal stress is higher, same as the shrinkage. Value of shrinkage from 1 st model to 4 th model are: 69647,199 mm 3, 70580,168 mm 3, 69626,509 mm 3, 70773,576 mm 3. 3 rd model is the best gating system because this model has smallest shrinkage value of four variation model. Key Words: Analyse Finite Element, House Moving Contact Resistor, Alumunium 6061, Shrinkage, Porosity, Crack ix

10 (Halaman ini sengaja dikosongkan) x

11 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan YME karna anugerah-nya sehingga Tugas Akhir ini dapat diselesaikan. Tugas Akhir yang berjudul Analisa dan Simulasi Numerik Proses Sand Casting dalam Pembuatan House Moving Contact Resistor Berbahan Dasar Alumunium 6061 ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik dari Jurusan Teknik Material dan Metalurgi Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Penyusunan Tugas Akhir ini dapat terlaksana dengan baik berkat bantuan, bimbingan, dan saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Orangtua serta keluarga penulis yang selalu memberikan dukungan kepada penulis dengan doa, moral, tenaga, dan materi. 2. Bapak Mas Irfan P. Hidayat, S.T., M.Sc., Ph.D serta Ibu Dian Mughni Fellicia S.T., M.Sc. selaku dosen pembimbing serta Bapak Ibu dosen penguji yang selalu bersedia memberikan bimbingan dan pengarahan. 3. Bapak Wikan Jatimurti S.T., M.Sc selaku dosen wali saya selama menjadi mahasiswa Departemen Teknik Material yang selalu memberikan pengarahan. 4. Bapak Agung Purniawan, S.T., M.Eng. selaku Ketua Jurusan Teknik Material dan Metalurgi FTI-ITS. 5. Seluruh dosen Teknik Material dan Metalurgi FTI-ITS. 6. Seluruh karyawan Teknik Material dan Metalurgi FTI-ITS. 7. Tim Pemodelan Casting yang selalu saling mendukung hingga TA ini dapat selesai dengan baik. 8. Teman-teman PKKTM angkatan 2013 yang selalu memberikan dukungan sukacita dan doa. 9. Seluruh teman-teman Jurusan Teknik Material dan Metalurgi angkatan Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan Tugas Akhir ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis selalu mengharapkan adanya kritik serta saran yang membangun dari berbagai pihak untuk perbaikan di masa yang akan datang. xi

12 Surabaya, Juli 2016 Penulis xii

13 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i TITLE... iii LEMBAR PENGESAHAN... v ABSTRAK... vii ABSTRACT... ix KATA PENGANTAR... xi DAFTAR ISI... xiii DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR TABEL... xvii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumusan Permasalahan Batasan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Sebelumnya Aluminium Sifat-sifat Alumunium Pengecoran Perancangan Pola Cetakan Gating system Analisis Cacat Coran Metode Elemen Hingga, Transfer Panas dan Solidifikasi Proses Perpindahan Kalor Perpindahan Kalor secara Konveksi Tegangan Termal xiii

14 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Spesifikasi Material Material Al Material Cetakan Pasir Proses Penelitian BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Validasi Penelitian Analisa Termal Perbandingan Kurva Pendinginan Cetakan Perbandingan Kurva Perpindahan Panas Cetakan Distribusi Temperatur Gradien Tempeatur Analisa Struktural Tegangan Termal Shrinkage Perbandingan Massa Jenis di Dalam Coran pada Beberapa Waktu Kualitas Cetakan Analisa Kegagalan dari Berbagai Model Sistem Saluran.69 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA BIODATA PENULIS LAMPIRAN xiv

15 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Elemen dasar dari Gating System Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian Gambar 3.2 Diagram Alir Pemodelan Gambar 3.3 Geometri Material Coran Gambar 3.4 a. Meshing dari material coran Al 6061(b) Meshing dari material cetakan (c) Meshing gabungan antara cetakan dengan Al Gambar 3.5 Input Sifat-Sifat Material Gambar 4.1 Hasil simulasi tegangan termal (a) dan deformasi (b)coran pada detik Gambar 4.2 Kurva perbandingan perubahan temperatur proses pendinginan pada keempat model coran Gambar 4.3 Kurva perubahan temperatur pada proses perpindahan panas pada cetakan Gambar 4.4 Gambar distribusi temperatur proses solidifikasi 5 (a) detik (b) 900 detik (c) 1800 detik (d) 2700 detik Gambar 4.5 Gambar distribusi temperatur proses solidifikasi dengan variasi bentuk riser (a) 5 detik (b) 900 detik (c) 1800 detik (d) 2700 detik Gambar 4.6 Gambar distribusi temperatur proses solidifikasi dengan variasi ukuran runner (a) 5 detik (b) 900 detik (c) 1800 detik (d) 2700 detik Gambar 4.7 Gambar distribusi temperatur proses solidifikasi dengan variasi ukuran runner danbentuk riser (a) 5 detik (b) 900 detik (c) 1800 detik (d) 2700 detik Gambar 4.8 Distribusi temperatur perpindahan panas dari coran ke cetakan dengan variasi model 1 (a) 5 detik (b) 900 detik (c) 1800 detik (d) 2700 detik Gambar 4.9 Distribusi temperatur perpindahan panas dari coran ke cetakan dengan variasi model 2 (a) 5 detik (b) 900 detik (c) 1800 detik (d) 2700 detik Gambar 4.10 Distribusi temperatur perpindahan panas dari coran xv

16 ke cetakan dengan variasi model 3 pada bagian cetakan (a) 5 detik (b) 900 detik (c) 1800 detik (d) 2700 detik Gambar 4.11 Distribusi temperatur perpindahan panas dari coran ke cetakan dengan variasi model 4 pada bagian cetakan (a) 5 detik (b) 900 detik (c) 1800 detik (d) 2700 detik Gambar 4.12 Gradien temperatur pada model 1 pada detik ke (a) 60 dan detik ke (b) 5400; model 2 detik ke(c) 60 dan detik ke(d) 5400; model 3 detik ke(e) 60 dan detik ke(f) 5400; model 4 detik ke(g) 60 dan detik ke(h) Gambar 4.13 Kurva perbandingan nilai teganan termal pada keempat model Gambar 4.14 Distribusi tegangan termal pada pada (a) model 1, (b) model 2, (c) model 3, (d) model 4 pada detik ke Gambar 4.15 Deformasi yang terjadi pada daerah coran (a) model 1(b) model 2 (c) model 3 (d) model Gambar 4.16 Kurva Kenaikan Massa Jenis pada Coran xvi

17 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Koefisien pemuaian termal aluminium... 7 Tabel 2.2 Konduktivitas listrik aluminium... 7 Tabel 2.3 Sifat mekanik aluminium Tabel 2.4 Sifat-sifat fisik alumunium... 8 Tabel 2.5 Toleransi penyusutan logam menggunakan sand casting Tabel 3.1 Komposisi paduan Alumunium Tabel 3.2 Konduktifitas termal, kapasitas panas spesifik serta massa jenis paduan Al Tabel 3.3 Modulus elastisitas, poisson ratio (Comsol Material L Library) serta koefisien ekspansi termal paduan Al Tabel 3.4 Komposisi paduan pasir silika Tabel 3.5 Konduktifitas termal dan kapasitas panas spesifik serta massa jenis cetakan pasir...28 Tabel 3.6 Modulus elastisitas dan poisson ratio serta koefisien ekspansi termal cetakan pasir Tabel 3.7 Variasi desain gating system Tabel 4.1 Nilai tegangan termal maksimum pada benda cor...37 Tabel 4.2 Nilai shrinkage coran antara simulasi dengan eksperimen...37 Tabel 4.3 Pengaturan simulasi transien termal Tabel 4.4 Perbandingan temperatur proses pendinginan cor pada keempat model dalam beberapa detik Tabel 4.5 Perbandingan temperatur proses perpindahan panas pada dari coran ke cetakan pada keempat model dalam beberapa detik Tabel 4.6 Pengaturan simulasi transien struktural Tabel 4.7 Perbandingan tegangan termal pada keempat model selama proses pendinginan Tabel 4.8 Shrinkage maksimum yang terjadi selama proses pengecoran Tabel 4.9 Volume material coran pada berbagai waktu xvii

18 Tabel 4.10 Formula kualitas cetakan pengecoran...69 Tabel 4.11 Nilai kualitas cetakan pengecoran...70 Tabel 4.12 Perbandingan keseluruhan hasil coran dari berbagai model sistem salauran setelah 5400 detik...71 xviii

19 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Paduan alumunium memiliki sifat konduktivitas listrik dan sifat tahan korosi yang baik. Hal ini yang menyebabkan paduan alumunium khususnya paduan alumunium 6061 sering digunakan pada industri listrik, salah satunya pada komponen House Moving Contact (HCM) Resistor pada Miniatur Circuit Breaker (MCB). Proses pengecoran logam termasuk proses yang paling penting dalam industri logam. Untuk melakukan pengecoran logam memerlukan beberapa faktor seperti adanya aliran logam cair, terjadi perpindahan panas selama pembekuan dan pendinginan dari logam dalam cetakan, pengaruh material cetakan serta pembekuan logam dari kondisi cair. Pengecoran logam menggunakan dapur peleburan yang berfungsi untuk mencairkan logam. Proses pengecoran selain untuk mencairkan logam, dipakai juga untuk membentuk logam sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Proses pengecoran terhadap spesimen ini dilakukan dikarenakan adanya permintaan dari salah satu perusahan listrik yang ada di Indonesia. Selama ini pihak industri tersebut harus mengimpor spesimen ini dari Eropa yang membutuhkan waktu yang cukup lama dalam pemesanannya dan memerlukan biaya yang mahal serta komponen tersebut sering mengalami kerusakan. Hal ini mengakibatkan pihak perusahaan tersebut ingin melakukan pengecoran sendiri namun dikarenakan keterbatasan laboratorium di perusahaan sehingga pihak perusahaan melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi, dalam hal ini ITS, melalui Departermen Teknik Material. Oleh karena itu, dengan adanya masalah diatas mendasari dilakukannya penelitian ini. Selain melalui eksperimen, proses pengecoran tersebut juga dilakukan melalui simulasi numerical dengan menggunakan 1

20 2 Laporan Tugas Akhir ANSYS. Proses pengecoran seringkali menimbulkan crack dan shrinkage pada saat pembekuan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai analisa numerik pada gating system terhadap munculnya crack dan shrinkage. I.2 Rumusan Masalah Dibawah ini merupakan permasalahan yang dibahas pada penelitian tugas akhir ini : 1. Bagaimana pengaruh bentuk runner dan riser dalam gating system terhadap pembentukan shrinkage yang terjadi pada hasil simulasi pengecoran alumunium alloy 6061? 2. Bagaimana pengaruh bentuk runner dan riser dalam gating system terhadap pembentukan crack yang terjadi pada hasil simulasi pengecoran alumunium alloy 6061? I.3 Batasan Masalah Untuk mendapatkan hasil penelitian yang akurat serta tidak menyimpang maka diperlukan batasan masalah sebagai berikut : 1. Diasumsikan tidak ada inklusi benda asing di dalam rongga cetak. 2. Material cetakan serta material coran diasumsikan homogen. 3. Bagian dasar cetakan diasumsikan menyentuh tanah sehingga tidak terjadi konveksi. 4. Diasumsikan fenomena perpindahan panas hanya terjadi pada riser dan rongga cetak. I.4 Tujuan Penelitian Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini sebagai berikut : 1. Mengetahui pengaruh bentuk runner dan riser dalam gating system terhadap pembentukan shrinkage yang BAB I Pendahuluan

21 Laporan Tugas Akhir 3 terjadi pada hasil simulasi pengecoran alumunium alloy Mengetahui pengaruh bentuk runner dan riser dalam gating system terhadap pembentukan crack yang terjadi pada hasil simulasi pengecoran alumunium alloy I.5 Manfaat Berdasarkan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pembaca sebagai studi dan referensi dalam menentukan bentuk runner dan riser dalam pengecoran alumunium 6061 terhadapa proses pembentukan shrinkage dan crack diketahui pengaruh variasi gating system pada saat proses pengecoran dan juga hasil coran terhadap crack dan shrinkage sehingga mendapatkan hasil coran yang baik dan memajukan peneltian di bidang pengecoran di Departemen Teknik Material ITS. BAB I Pendahuluan

22 4 Laporan Tugas Akhir (Halaman ini sengaja dikosongkan) BAB I Pendahuluan

23 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Sebelumnya Simulasi numerik pada proses pengecoran merupakan penelitian yang begitu menarik untuk dipelajari secara mendalam untuk meningkatkan hasil coran yang baik. Berikut ini beberapa penelitian mengenai simulasi pengecoran alumunium: Pada tahun 2016, Sebastian Dezecot melakukan pemodelan dan karakterisai secara tiga dimensi (3D) untuk melihat kerusakan fatigue saat temperatur tinggi pada coran paduan alumunium. Material yang digunakan pada penelitian ini adalah paduan alumunium yang digunakan pada bagian permesinan karena paduan ini memiliki sifat mekanik yang baik dan juga tahan terhadap korosi pada temperatur tinggi. Penelitian ini menggunakan Avizo untuk pemodelannya. Penelitian ini menggambarkan mulai terjadinya kerusakan pada paduan alumunium selama pengamatan menggunakan X ray synchrotron tomography. Munculnya awalan retak sudah teridentifikasi selama pengujian Low Cycle Fatigue (LCF). Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat regangan plastis di daerah pori microshrinkage dengan bentuk yang kompleks dan adanya partikel keras seperti partikel Si yang mengalami kerusakan selama siklus mekanik yang pertama (Dezecot, 2016). Pada tahun 2013, Choudari melakukan simulasi mengenai distribusi temperatur pada pengecoran Alumunium menggunakan sand casting dengan validasi eksperimen. Peleburan alumunium hingga 973 K dengan waktu solidifikasi 60 menit. Distribusi temperatur yang diperoleh pada simulasi dan eksperimen memiliki kesamaan. Kesimpulan, proses solidifikasi yang terjadi dapat dilihat secara visual oleh ANSYS (Choudari,2013). Pada tahun 2011, Vanderesse melakukan simulasi mengenai keberbahayaan porositas pada paduan alumunium. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan software Avizo. Paduan yang digunakan adalah AlSi 9Cu 3(Fe). Penelitian ini juga melakukan pengujian fatigue. Pengujian tersebut dilakukan bergantung pada tidak 5

24 6 Laporan Tugas Akhir berubahnya permukaan patahan akibat tekanan yang diberikan pada siklus fatigue. Pada tahun 2005, Vijayaram melakukan simulasi dari solidifikasi pada proses pengecoran. Pada penelitian menggunakan metode simulasi Boundary Element Method (BEM) untuk membantu dalam mengidentifikasi letak cacat dari bentuk geometri komponen (Vijayaram, 2005). Pada tahun 2016, Bahtiyar melakukan penelitian mengenai analisa perpindahan panas pada pengecoran Al-12%Si dengan menggunakan metode elemen hingga. Penelitian ini ingin membandingkan penggunaan pasir atau SS304 sebagai cetakan. Dari hasil yang diperoleh ternyata cetakan pasir lebih baik dibandingkan cetakan SS304 karena pada cetakan pasir tegangan termal lebih kecil sehingga shrinkage yang akan terjadi pada proses pengecoran akan semakin kecil (Bahtiyar, 2016). 2.2 Aluminium Proses Hall-Heroult masih digunakan untuk memproduksi aluminium sampai sekarang ini. Penggunaan aluminium sebagai logam setiap tahunnya adalah urutan yang kedua setelah besi dan baja, yang tertinggi di antara logam non ferro. Aluminium merupakan logam ringan yang mempunyai ketahanan korosi yang baik dan hantaran listrik yang baik dan sifat sifat yang baik lainnya sebagai sifat logam. Sebagai tambahan terhadap, kekuatan mekaniknya yang sangat meningkat dengan penambahan Cu, Mg, Si, Mn, Zn, Ni, dsb. Secara satu persatu atau bersamasama, memberikan juga sifat-sifat baik lainnya seperti ketahanan korosi, ketahanan aus, koefisien pemuaian rendah. Material ini dipergunakan di dalam bidang yang luas bukan saja untuk peralatan rumah tangga tapi juga dipakai untuk keperluan material pesawat terbang, mobil, kapal laut, konstruksi. Berikut ini merupakan beberapa sifat propertis dari alumunium menurut ASM BAB II Tinjauan Pustaka

25 Laporan Tugas Akhir 7 Handbook Volume 2 dapat dilihat dalam tabel 2.1, tabel 2.2 dan tabel 2.3 dibawah ini: Tabel 2.1 Koefisien pemuaian termal aluminium (ASM Handbook Volume 2, 1990) Rentang Temperatur, o C Koefisien Rata rata, µm/m.k -200 hingga hingga hingga hingga hingga hingga hingga hingga hingga Table 2.2 Konduktivitas listrik aluminium (ASM Handbook Volume 2, 1990) Konduktivitas Kemurnian Tahanan Elektrik, Elektrik, volumetric Aluminium, % nω.m %IACS hingga Tabel 2.3 Sifat mekanik aluminium (ASM Handbook Volume 2, Kemurnian, % Kekuatan Tarik Yield, ±0.2% 1990) Kekuatan Tarik Pemanjangan dalam 50 mm, % Mpa Ksi Mpa Ksi BAB II Tinjauan Pustaka

26 8 Laporan Tugas Akhir Sifat-Sifat Alumunium Aluminium adalah logam yang ringan dan cukup penting dalam kehidupan manusia. Aluminium merupakan unsur kimia golongan IIIA dalam sistim periodik unsur, dengan nomor atom 13 dan berat atom 26,98 gram per mol. Struktur kristal aluminium adalah struktur kristal FCC, sehingga aluminium tetap ulet meskipun pada temperatur yang sangat rendah. Keuletan yang tinggi dari aluminium menyebabkan logam tersebut mudah dibentuk atau mempunyai sifat mampu bentuk yang baik. Aluminium memiliki beberapa kekurangan yaitu kekuatan dan kekerasan yang rendah bila dibanding dengan logam lain seperti besi dan baja. Aluminium memiliki karakteristik sebagai logam ringan dengan densitas 2,7 g/cm3. Selain sifat-sifat tersebut aluminium mempunyai sifat-sifat yang sangat baik dan bila dipadu dengan logam lain bisa mendapatkan sifat-sifat yang tidak bisa ditemui pada logam lain. Adapun sifat-sifat dari aluminium antara lain : ringan, tahan korosi, penghantar panas dan listrik yang baik. Sifat tahan korosi pada aluminium diperoleh karena terbentuknya lapisan oksida aluminium pada permukan alumunium. Lapisan oksida ini melekat pada permukaan dengan kuat dan rapat serta sangat stabil (tidak bereaksi dengan lingkungannya) sehingga melindungi bagian yang lebih dalam. Adanya lapisan oksida ini disatu pihak menyebabkan tahan korosi tetapi di lain pihak menyebabkan aluminium menjadi sukar dilas dan disoldier (titik leburnya lebih dari 2000º C). Sifat mekanik dan fisik aluminium dapat dilihat pada tabel 2.4 berikut : Tabel 2.4 Sifat-sifat fisik alumunium (Setyaji, 2012) Sifat-sifat Kemurnian Alumunium (%) Massa Jenis (20 0 C) 2,6968 2,71 Titik Cair 660, BAB II Tinjauan Pustaka

27 Laporan Tugas Akhir 9 Kalor Jenis (cal/g. 0 C) ( ,2226 0,229 C) Tahanan Listrik (%) 64,94 59 Hantaran Listrik Koefisien Temperatur 0, ,0115 (/ 0 C) Koefisien Pemuaian ( ,86x10 C) -6 23,5x10-6 Salah satu cara terbaik untuk memperbaiki sifat alumunium adalah memadukan alumunium dengan unsur lain. Paduan adalah kombinasi dua atau lebih jenis logam, kombinasi ini dapat merupakan campuran dari dua struktur kristalin. Paduan dapat disebut juga sebagai larutan padat dalam logam. Larutan padat mudah terbentuk bila pelarut dan atom yang larut memiliki ukuran yang sama dan strukrur elektron yang serupa. Larutan dalam logam utama tersebut memiliki batas kelarutan maksimum. Paduan yang masih dalam batas kelarutan disebut dengan paduan logam fasa tunggal. Sedangkan paduan yang melebihi batas kelarutan disebut dengan fasa ganda. Peningkatan kekuatan dan kekerasan logam paduan disebabkan oleh adanya atom-atom yang larut yang menghambat pergerakan dislokasi dalam kristal sewaktu deformasi plastik. Secara garis besar paduan aluminium dibedakan menjadi dua jenis yaitu paduan aluminium tempa dan aluminium cor. Menurut Alumunium Association (AA) sistem di Amerika, penamaan paduan alumunium: 1. Paduan cor (casting alloys) digunakan sistem penamaan empat angka. Angka pertama menunjukkan kandungan utama paduannya. Dua angka selanjutnya menunjukkan penandaan dari paduannya. Angka terakhir yang di pisahkan dengan tanda desimal merupakan bentuk dari hasil pengecoran, misalnya casting (0) atau ingot (1,2). 2. Paduan tempa (wrought alloys) menggunakan sistem penamaan empat angka juga tetapi penamaannya berbeda dengan penamaan pada paduan jenis cor. Angka pertama menyatakan kelompok paduan atau kandungan elemen spesifik paduan, angka kedua BAB II Tinjauan Pustaka

28 10 Laporan Tugas Akhir menunjukkan perlakuan dari paduan asli atau batas kemurnian. Sedangkan dua angka terakhir menunjukkan paduan aluminium atau kemurnian aluminium. Dari dua kelompok paduan aluminium diatas dikelompokkan lagi menjadi dua kelompok, yaitu: tidak dapat diperlaku-panaskan dan dapat diperlaku-panaskan. Untuk paduan aluminium jenis cor yang dapat diperlaku-panaskan meliputi seri 2xx.x, 3xx.x, 7xx.x, dan 8xx.x, yang tidak dapat diperlakupanaskan meliputi seri 1xx.x, 4xx.x, dan 5xx.x. Sedang aluminium jenis tempa yang tidak dapat diperlaku-panaskan meliputi seri 1xxx, 3xxx, 4xxx, dan 5xxx, yang dapat diperlaku-panaskan adalah seri 2xxx, 6xxx, 7xxx, dan 8xxx. 2.3 Pengecoran Pengecoran logam adalah proses pembuatan benda dengan mencairkan logam dan menuangkan cairan logam tersebut ke dalam rongga cetakan. Proses ini dapat digunakan untuk membuat benda-benda dengan bentuk rumit. Benda berlubang yang sangat besar dan sangat sulit atau sangat mahal jika dibuat dengan metode lain, dapat diproduksi masal secara ekonomis menggunakan teknik pengecoran yang tepat. Pengecoran logam dapat dilakukan untuk bermacam-macam logam seperti, besi,baja paduan tembaga (perunggu, kuningan, perunggu alumunium dan lain sebagainya), paduan ringan (paduan alumunium, paduan magnesium, dan sebagainya), serta paduan lain, semisal paduan seng, monel (paduan nikel dengan sedikit tembaga), hasteloy (paduan yang mengandung molibdenum, krom, dan silikon), dan sebagainya. Untuk membuat coran harus melalui proses pembuatan model pencairan logam, penuangan cairan logam ke model, membongkar, membersihkan dan memeriksa coran. Pencairan logam dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara, misal dengan tanur induksi (tungku listrik di mana panas diterapkan dengan pemanasan induksi logam), tanur kupola (tanur pelebur dalam BAB II Tinjauan Pustaka

29 Laporan Tugas Akhir 11 pengecoran logam untuk melebur besi tuang kelabu), atau lainnya. Cetakan biasanya dibuat dengan memadatkan pasir yang diperoleh dari alam atau pasir buatan yang mengandung tanah lempung. Cetakan pasir mudah dibuat dan tidak mahal. Cetakan dapat juga terbuat dari logam, biasanya besi dan digunakan untuk mengecor logam-logam yang titik leburnya di bawah titik lebur besi. Pada pengecoran logam, dibutuhkan pola yang merupakan tiruan dari benda yang hendak dibuat dengan pengecoran. Pola dapat terbuat dari logam, kayu, stereofoam, lilin, dan sebagainya. Pola mempunyai ukuran sedikit lebih besar dari ukuran benda yang akan dibuat dengan maksud untuk mengantisipasi penyusutan selama pendinginan dan pengerjaan finishing setelah pengecoran. Selain itu, pada pola juga dibuat kemiringan pada sisinya supaya memudahkan pengangkatan pola dari pasir cetak. Cetakan adalah rongga atau ruang di dalam pasir cetak yang akan diisi dengan logam cair. Pembuatan cetakan dari pasir cetak dilakukan pada sebuah rangka cetak. Cetakan terdiri dari cope dan drag. Cope adalah cetakan yang terletak di atas, dan drag cetakan yang terletak di bawah. Hal yang perlu diperhatikan pada kup dan drag adalah penentuan permukaan pisah yang tepat. Rangka cetak yang dapat terbuat dari kayu ataupun logam adalah tempat untuk memadatkan pasir cetak yang sebelumnya telah diletakkan pola di dalamnya. Pada proses pengecoran dibutuhkan dua buah rangka cetak yaitu rangka cetak untuk cope dan rangka cetak untuk drag. Proses pembuatan cetakan dari pasir dengan tangan. (Susandri, 2015). Untuk mendapatkan hasil coran yang baik (mencegah masuknya kotoran ke dalam rongga cetakan) maka perlu diperhatikan mekanisme dan laju pembekuan logam dalam cetakan yang dipengaruhi oleh perencanaan riser, perencanaan sistem saluran dan fluiditas logam cair yang sesuai (Reinal, 1997). BAB II Tinjauan Pustaka

30 12 Laporan Tugas Akhir Perancangan Pola Cetakan adalah rongga atau ruangan yang akan dituangi logam cair untuk membuat coran. Cetakan dibuat menggunakan pola. Pola dapat dibuat dari kayu ataupun logam. Pola logam digunakan agar dapat menjaga ketelitian ukuran benda coran, terutama dalam masa produksi sehingga pola lebih awet dan produktivitas meningkat. Pola kayu lebih murah, cepat dibuatnya dan lebih mudah diolahnya. Oleh sebab itu pola kayu umumnya digunakan untuk cetakan pasir. Saat ini sering pola kayu diperkuat permukaannya dengan lapisan dempul agar lebih tahan aus dan lebih mudah dalam pembuatan cetakan. Perancangan pola dilakukan untuk mempermudah proses selanjutnya. Dalam merancang pola perlu memperhatikan aspek-aspek yang dapat mempengaruhi proses pengecoran dan kualitas hasil pengecoran. Aspek-aspek tersebut antara lain: a) Penambahan ukuran untuk mengatasi penyusutan padat saat logam mengalami pendinginan dan untuk proses pemesinan jika diperlukan. b) Memberi kemiringan pada sisi-sisi pola untuk mempermudah pengeluaran pola pada proses pembuatan cetakan. c) Menentukan bagian pisah (parting plane) untuk memudahkan pembuatan cetakan. d) Pemberian radius pada ujung-ujung pola yang sesuai untuk menghindari bentuk yang tajam dan memudahkan pembuatan cetakan (Arianto, 2010) Cetakan Cetakan merupakan alat yang digunakan sebagai tempat cairan logam yang akan dibentuk oleh model. Hal yang sangat penting dalam proses pengecoran adalah pembuatan cetakan sesuai dengan modelnya masing-masing. BAB II Tinjauan Pustaka

31 Laporan Tugas Akhir 13 Proses pembuatan cetakan dapat dilakukan dengan menggunakan tangan hingga mesin yang paling modern. Pembuatan cetakan dengan menggunakan tangan dilakukan apabila dalam jumlah produksi yang kecil sedangkan untuk cetakan modern digunakan untuk model yang rumit dan jumlah yang besar. Menurut Suhardi, jenis cetakan dibagi menjadi dua yaitu cetakan pasir dan cetakan logam (permanen). Proses pengecoran dengan cetakan pasir adalah proses pengecoran dengan bahan dasar pasir untuk membuat cetakan. Penggunaan pasir sebagai bahan dasar cetakan dikarenakan cetakan mampu menahan temperatur yang lebih tinggi dari temperatur logam yang dituangkan. Untuk mendapatkan permukaan coran yang halus digunakan pasir yang halus. Pasir harus ditambah dengan unsur pengikat khusus seperti air kaca, semen, resin-fenol, resinfuran atau minyak pengering. Pasir dengan kadar air rendah lebih baik untuk menghindari terjadinya oksidasi pada cairan paduan alumunium pada waktu penuangan. Pada cetakan logam, proses penuangan logam cair sama seperti pada cetakan pasir. Pada umunya logam cair dituangkan dengan penuh gaya berat walaupun kadang-kadang diperlukan tekanan pada logam cair selama atau setelah penuangan. Sebagai bahan cetakan terutama dipakai besi cor paduan. Cara ini dapat membuat coran yang memunyai ketelitian dan kwalitas yang tinggi. Akan tetapi biaya pembuatan cetakan adalah tinggi sehingga apabila umur cetakan itu dibuat panjang, baru produksi yang ekonomis mungkin dilaksanakan (Surdia, 1976). BAB II Tinjauan Pustaka

32 14 Laporan Tugas Akhir Gating system Dalam proses pengecoran, penggunaan gating system menjadi sangat penting untuk menghasilkan kualitas coran yang baik. Gating system yang didesain tidak baik akan menyebabkan cacat pada benda hasil coran. Komponen pada gating system terdiri dari pouring basin, sprue, sprue well, runner, dan ingate yang dapat dilihat pada gambar 2.1 dibawah ini : Gambar 2.1 Elemen dasar dari Gating System (Shanti, 2015) Berikut ini adalah penjelasan dari beberapa elemen dasar pada gating system : Pouring Basin : Awalan dari gating system yang berbentuk corong, yang berfungsi untuk mengalirkan logam cair dari ladle menuju ke sprue. Pouring basin harus dibuat sedikit dalam untuk mengurangi terjadinya penumpukan logam cair dan terbentuknya pusaran. Sprue : bagian yang menghubungkan pouring basin ke runner/ingate. Sprue memiliki 3 bentuk penampang yaitu: persegi, persegi panjang, dan BAB II Tinjauan Pustaka

33 Laporan Tugas Akhir 15 lingkaran. Sprue biasanya dibentuk meruncing ke bawah untuk menghindari aspirasi udara. Sprue Well : ini merupakan bagian dasar dari sprue tempat menampungnya logam cair yang akan diteruskan ke runner sehingga harus memiliki sudut yang tepat. Runner : bagian ini menghubungkan sprue dengan ingate. Bentuk penampang dari bagian ini adalah persegi panjang untuk mengurangi terjadinya aliran turbulen. Runner harus terpenuhi lebih dahulu oleh logam cair sebelum logam cair masuk menuju ingate. Ingate : bagian ini merupakan yang bagian yang menghubungkan runner menuju rongga cetakan. Pada umumnya penampang pada bagian ini berbentuk persegi, persegi panjang dan trapesium. Riser : bagian terakhir dari tuangan yang membeku dan mengarahkan system pembekuan. Bagian ini juga menyalurkan gas atau udara dari rongga cetakan sehingga cacat coran dapat terhindari. Riser juga memiliki fungsi memberitahu bahwa penuangan dan pemasukan logam cair sesuai yang dikehendaki. Untuk menghasilkan pengecoran yang baik dan sesuai dengan yang diinginkan maka perlu untuk merancang posisi gating system. Berikut merupakan 3 tipe posisi gating system berdasarkan letak ingates : 1. Top Gating System Gating sytem tipe ini mengalirkan logam cair langsung dari pouring basin menuju bagian atas rongga cetakan. Keuntungan dari gating jenis ini terjadinya pembekuan dari bawah ke atas. Namun, kerugian dari gating tipe BAB II Tinjauan Pustaka

34 16 Laporan Tugas Akhir ini adalah gerak jatuh bebas logam cair mengakibatkan erosi pada cetakan. Pengisian logam cair pada top gating lebih cepat bila dibandingkan dengan bottom dan parting line. 2. Bottom Gating System Untuk gating system tipe ini logam cair masuk dari bawah dan langsung menuju rongga cetakan. Gating tipe ini sangat cocok untuk benda cor berdimensi tinggi. Keuntungan dari gating tipe ini adalah meminimalisir terjadinya tumbukan pada saat logam cair masuk. Kekurangan dari gating ini adalah kecepatan pengisian logam cair akan terus berkurang seiring semakin penuhnya rongga coran. 3. Parting-line Gating System Untuk gating tipe ini posisi ingate berada di tengah. Gating jenis ini merupakan kombinasi antara top dan bottom gating system yang mana untuk mengurangi gerak jatuh bebas logam cair dan juga untuk meningkatkan kecepatan pengisian logam cair seperti yang terdapat pada bottom gating system. (Dolar, 2009) Analisis Cacat Coran Analisis cacat coran merupakan suatu metode untuk mencari jenis cacat yang terjadi pada benda. Tujuan dari analasis cacat coran ini yaitu untuk memberikan solusi dari permasalahan cacat pada benda coran. Adapun langkah-langkah pendekatan dapat dilakukan yaitu: 1. Identifikasi cacat dengan cara klasifikasi cacat mulai dari bentuk cacat, lokasi cacat, ukuran cacat, cara identifikasi cacat. Lakukan penyelidikan untuk fakta yang hilang. 2. Verifikasi cacat dengan pencocokan dengan literatur. 3. Penentuan proses perbaikan. BAB II Tinjauan Pustaka

35 Laporan Tugas Akhir Lakukan uji coba perbaikan. 5. Lakukan tindak lanjut. Dengan melakukan tahapan-tahapan berikut maka dapat dilakukan perbaikan dan masalah cacat coran dapat teratasi (Rachman, 2015). Salah satu jenis cacat pada coran adalah shrinkage. Untuk kebanyakan logam, perubahan dari fasa liquid ke solid menghasilkan penyusutan volume. Shrinkage yang terjadi pada proses solidifikasi disebabkan adanya perbedaan volumetrik antara fasa solid dan liquid. Oleh karena itu, harus mengetahui perbedaaan antara volume liquid dan solid yang menjadi komponen utama dalam pengecoran serta kontraksi yang terjadi setelah solidifikasi. Shrinkage yang terjadi pada coran memiliki toleransi yang berbeda-beda tergantung pada jenis material atau paduan yang digunakan. Berikut ini tabel 2.5 merupakan toleransi penyusutan beberpa jenis logam. Tabel 2.5 Toleransi penyusutan logam menggunakan sand casting (Kalpakjian, 2009) No. Logam Toleransi Penyusutan (%) 1. Besi tuang kelabu 0,83-1,3 2. Besi tuang putih 2,1 3. Besi tuang mampu tempa 0,78-1,0 4. Paduan Aluminium 1,3 5. Paduan Magnesium 1,3 6. Paduan Tembaga 1,3-1,6 2.4 Metode Elemen Hingga, Transfer Panas dan Solidifikasi Metode elemen hingga merupakan cara membagi suatu daerah atau luasan menjadi sebuah elemen. Elemen tersebut dihubungkan oleh nodes dan distribusi dari elemen tersebut dinamakan mesh. BAB II Tinjauan Pustaka

36 18 Laporan Tugas Akhir Kemudian setelah area tersebut didiskretisasi langkah selanjutnya adalah menentukan persamaan untuk setiap elemen yang dibutuhkan. Misalnya sifat-sifat termal suatu material seperti konduktifitas termal yang mana persamaan dari elemen itu nantinya akan digabungkan untuk menentukan persamaan global untuk meshnya dimana menggambarkan perubahan dari seluruh bagian secara umum (Alawadhi, 2010). Di dalam pemodelan ini, digunakan persamaan konservasi panas untuk menyelesaikan permasalahan aliran panas di dalamnya. Seperti yang dilihat pada persamaan 2.1. (ρc p T) t +. (ρc p ut) =. (k T) dengan C p adalah specific heat, T adalah temperatur, k adalah konduktifitas termal dan ρ adalah massa jenis (Yang, 2014). Logam cair akan kehilangan panas ketika dituangkan ke dalam rongga cetak. Sedangkan cetakan akan mengalami pertambahan panas dikarenakan transfer panas dari logam cair tadi. Selama proses ini, transfer panas dari atas dan dinding ditampilkan pada persamaan 2.2. Q t = Q T.t 1 (2.1) (2.2) dimana Q t adalah jumlah kehilangan panas total dari atas dan dinding, Q T adalah laju transfer panas total baik dari konveksi dan radiasi dari atas dan konduksi yang melalui dinding. Sedangkan waktu yang diperlukan untuk transfer panas atau dengan kata lain waktu solidifikasi awal dilambangkan dengan t 1. Pada penggunaannya, transfer panas yang bekerja pada proses pengecoran adalah konveksi, konduksi dan radiasi sehingga laju transfer panas totalnya ditampilkan pada persamaan 2.3. Q T = Q T1. Q T2. Q T3 (2.3) BAB II Tinjauan Pustaka

37 Laporan Tugas Akhir 19 Dapat dilihat bahwa transfer panas secara konveksi, dan radiasi dari permukaan atas, konduksi yang melalui dinding, konveksi dan radiasi dari permukaan cetakan yang dipanaskan diwakilkan dengan Q T1. Q T2. Q T3. Untuk mencari QT1 yang merupakan laju transfer panas d\dengan konveksi dan radiasi dari bagian atas dapat digunakan persamaan 2.4. Q T1 = (h + h r) T. A T. (T - T ) (2.4) Sedangkan nilai dari T = 1 2 (T p + T m ). Koefisien transfer panas dilambangkan h dan hr. A T adalah luasan dari permukaan atas dari cetakan dan T adalah temperatur cetakan. Kemudian laju transfer panas dengan konduksi dituliskan pada persamaan 2.5. Q T2 = (T p T ) R t (2.5) Pada persamaan 2.26 ini, Tp dan T adalah temperatur dalam dan luar dari cetakan dan Rt adalah ketahanan termal dari dinding cetakan. Namun, sering kali Rt ini diabaikan dikarenakan Kemudian laju transfer panas konveksi dan radiasi untuk dinding cetakan luar yang dipanaskan menggunakan persamaan 2.6. Q T3 = (h + h r ) Ts. A. (T s T ) (2.6) Ts adalah temperatur permukaan cetakan, T adalah temperatur dari lingkungan sekitar cetakan. H dan hr adalah koefisien transfer panas. A adalah luasan dari permukaan cetakan yang dipanaskan terhadap lingkungan. Sehingga total dari laju panas sesuai persamaan 2.7 menjadi BAB II Tinjauan Pustaka

38 20 Laporan Tugas Akhir Q T = (h + h r) T. A T. (T - T ) + (T p T ) R t + (h + h r ) Ts. A. (T s T ) (2.7) Sebenarnya, Qt adalah proses hilangnya panas dari suatu logam yang biasanya dianggap sebagai panas sensible. Ditampilkan pada persamaan 2.8 dan 2.9. Q t = mc p T Q t = mc p (T p T m ) (2.8) (2.9) Dimana C p adalah specific heat dari logam, T p dan T m adalah temperatur saat penuangan serta temperatur lelehan, sedangkan m adalah massa logam yang dituangkan. Kemudian, persamaan 2.8 digabungkan dengan persamaan 2.9 sehingga menghasilkan persamaan 2.10 t 1 = mc p (T p T m ) (h + h r ) T. A T. (T T ) + (T p T ) R t + (h + h r ) T. A T. (T s T ) (2.10) Persamaan 2.10 merupakan persamaan untuk mencari solidifikasi selama penuangan. Kemudian, langkah selanjutnya adalah transfer panas pembentukan. Transformasi fasa akan terjadi ketika logam kehilangan panas sensible dan mencapai temperatur lelehnya. Pada dasarnya persamaannya sama dengan perpindahan panas saat logam dituangkan sehingga dapat dirumuskan seperti persamaan Q t = Q T.t 2 (2.11) BAB II Tinjauan Pustaka

39 Laporan Tugas Akhir 21 dimana Q t adalah jumlah kehilangan panas total dari atas dan dinding, Q T adalah laju transfer panas total baik dari konveksi dan radiasi dari atas dan konduksi yang melalui dinding. Sedangkan waktu yang diperlukan untuk transfer panas atau dengan kata lain waktu solidifikasi kedua dilambangkan dengan t 2. Sama seperti tadi, transfer panas yang bekerja pada proses pengecoran adalah konveksi, konduksi dan radiasi sehingga laju transfer panas totalnya diyampilkan pada persamaan Q T = Q T1. Q T2. Q T3 (2.12) Transfer panas secara konveksi, dan radiasi dari permukaan atas, konduksi yang melalui dinding, konveksi dan radiasi dari permukaan cetakan yang dipanaskan diwakilkan dengan Q T1. Q T2. Q T3. Pada tahap ini T diganti menjadi T m dikarenakan ini adalah temperatur saat koefisien transfer panas selama konduksi pada tahap kedua. Apabila digabungkan, maka didapat persamaan Q T = (h + h r) T. A T. (T m - T ) + (T m T ) R t + (h + h r ) Ts. A. (T s T ) (2.13) Di tahap ini, total dari heat loss ditampilkan pada persamaan Q t = mh f (2.14) Diketahui bahwa m adalah massa dari logam sedangkan Hf adalah panas pembentukannya. Ketika persamaan 2.13 dan 2.14 digabungkan akan menjadi persamaan 2.15 BAB II Tinjauan Pustaka

40 22 Laporan Tugas Akhir t 2 = mh f (h + h r ) Tm. A T. (T m T ) + (T m T ) R t + (h + h r ) Ts. A T. (T s T ) (2.15) Dimana t2 adalah waktu solidifikasi pada tahap kedua yaitu ketika logam berubah dari fasa liquid ke solid. Sehingga didapatkan waktu solidifikasi total yang ditampilkan pada persamaan t = t 1 + t 2 (2.16) 2.5. Proses Perpindahan Kalor Perpindahan kalor merupakan proses perpindahan energi dalam bentuk panas karena adanya perbedaan temperatur antara benda atau material. Perpindahan energi atau panas yang terjadi pada suatu material tentu memiliki kecepatan perpindahan energi yang lebih dikenal dengan laju perpindahan panas. Perpindahan kalor memiliki tiga bentuk mekanisme yaitu, konduksi, konveksi dan radiasi. Namun, dalam subbab ini hanya akan membahas mengenai mekanisme perpindahan kalor secara konveksi Perpindahan Kalor secara Konveksi Perpindahan panas secara konveksi merupakan jenis perpindahan panas yang disebabkan karena adanya aliran fluida dari daerah bertemperatur tinggi ke temperatur rendah. Contoh dari proses konveksi adalah pendinginan dari secangkir kopi. Aliran fluida pada konveksi dapat digerakkan secara bebas dan paksa. Oleh karena itu, konveksi diklasifikasikan menjadi dua berdasarkan cara menggerakkannya, yakni konveksi bebas (free convection) dan konveksi paksa (forced convection). Konveksi bebas merupakan perpindahan panas yang terjadi karena adanya perbedaan massa jenis yang dipengaruhi oleh perbedaan BAB II Tinjauan Pustaka

41 Laporan Tugas Akhir 23 temperatur. Sedangkan konveksi paksa merupakan jenis konveksi yang disebabkan karena dipengaruhi oleh gaya luar atau pemaksa seperti pompa air. Dibawah ini merupakan gambar 2.2 yang menunjukkan arah aliran panas pada proses konveksi. Gambar 2.2 Perpindahan panas konveksi (J.P. Holman, 1994) 2.6 Tegangan Termal Tegangan termal diperoleh dari hasil perubahan temperatur yang terjadi dalam suatu material pada selang waktu tertentu. Tegangan termal disebabkan oleh pendinginan cepat, karena temperatur di luar material lebih cepat mengalami perubahan daripada didalam material (Callister, 2009). BAB II Tinjauan Pustaka

42 24 Laporan Tugas Akhir (halaman ini sengaja dikosongkan) BAB II Tinjauan Pustaka

43 BAB III METODOLOGI 3.1 Metode Penelitian Mulai Sifat-sifat paduan AA 6061 dan Geometri HCMR Studi Proses Pengecoran Pemodelan dengan ANSYS Mechanical ADPL 17.0 Analisa shrinkage dan crack pada hasil coran Validasi Penelitian Tidak Ya Analisa Data 25 Selesai Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian

44 26 Laporan Tugas Akhir 3.2 Spesifikasi Material Material Al 6061 Paduan Al 6061 digunakan dalam penelitian ini sebagai material coran. Data-data diperoleh dari beberapa sumber yaitu American National Standards Institute. Sifat-sifat dan komposisi dari paduan Al 6061dijabarkan pada tabel 3.1, tabel 3.2 dan tabel 3.3 dibawah ini: Tabel 3.1 Komposisi paduan Alumunium 6061(Matweb.com) Unsur Persen (%) Si 0,4 0,8 Fe 0,7 Cu 0,15 0,4 Mn 0,15 Mg 0,8 1,2 Cr 0,04 0,35 Zn 0,35 V 0,25 Ti 0,1 Lainnya 0,15 Tabel 3.2 Konduktifitas termal, kapasitas panas spesifik serta massa jenis paduan Al 6061 (ASM, 2008) Kapasitas Konduktifitas Massa Temperatur Panas Termal Jenis (K) Spesifik (W/m.K) (Kg/m (J/g.K) ) ,8478 0, , ,1307 0, , ,7395 0, , ,7282 1, ,725 BAB III Metodologi

45 Laporan Tugas Akhir ,3967 1, , ,8456 1, , ,9743 1, , ,483 1, , ,8405 1, ,24 Tabel 3.3 Modulus elastisitas, poisson ratio (Comsol Material Library) serta koefisien ekspansi termal paduan Al 6061 (Comsol Material Library). Temperatur (K) Modulus Elastisitas (N/m2) Poisson Ratio CTE (1/K) 303 6,8799E+10 3,31E-01 2,24E ,6390E+10 3,32E-01 2,38E ,2695E+10 3,34E-01 2,56E ,7715E+10 3,40E-01 2,72E ,9578E+10 3,7E-01 2,87E ,5574E+10 3,94E-01 2,99E ,5574E+10 3,94E-01 2,99E ,5574E+10 3,94E-01 2,99E ,5574E+10 3,94E-01 2,99E Material Cetakan Pasir Berikut ini adalah komposisi unsur penyususn dan beberapa sifat mekanik dari material pasir silika seperti pada tabel 3.4, tabel 3.5, tabel 3.6 : Tabel 3.4 Komposisi paduan pasir silika (Idrisa, 2013) Komposisi Nilai (%) SiO2 87,91 Al2O3 4,0 Fe2O3 0,4 BAB III Metodologi

46 28 Laporan Tugas Akhir CaO 0,4 MgO 0,30 Na2O 0,19 K2O 0,25 TiO2 0,15 Mn2O3 0,02 LOI 5,15 Tabel 3.5 Konduktifitas termal dan kapasitas panas spesifik (Touloukian, 1970) serta massa jenis cetakan pasir (COMSOL Material Library) Temperatur (K) Konduktifitas Termal (W/m.K) Kapasitas Panas Spesifik (J/kg.K) Massa Jenis (Kg/m 3 ) 303 0, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Tabel 3.6 Modulus elastisitas dan poisson ratio (Comsol Materials Library) serta koefisien ekspansi termal cetakan pasir (Touloukian, 1970) Temperatur (K) Modulus Elastisitas (N/m2) Poisson Ratio CTE (1/K) 303 7,31E+10 0, , ,39E+10 0, BAB III Metodologi

47 Laporan Tugas Akhir ,51E+10 0, , ,61E+10 0, , ,70E+10 0, , ,76E+10 0, , ,82E+10 0, , ,86E+10 0, , ,89E+10 0, , Proses Penelitian Untuk membuat geometri pada penelitian ini menggunakan ANSYS Mechanical APDL 17.0 yang digunakan untuk menganalisa variasi ukuran runner dan bentuk riser pada proses pengecoran. Dalam penelitian ini menggunakan cetakan pasir silika. Pada penelitian kali ini terdapat perbedaan pada desain gating system yang kemudian dibedakan menjadi 4 model seperti pada tabel 3.7 dibawah ini. Tabel 3.7 Variasi desain gating system Cetakan Variabel Dimensi (m) Model 1 Runner Panjang 0,1524 Riser Diameter Model 2 Runner Panjang 0,1524 Riser Diameter Model 3 Runner Panjang 0,0762 Riser Diameter Model 4 Runner Panjang 0,0762 Riser Diameter BAB III Metodologi

48 30 Laporan Tugas Akhir Gambar 3.2 Diagram alir pemodelan BAB III Metodologi

49 Laporan Tugas Akhir 31 Geometri yang digunakan pada pemodelan kali ini dapat dilihat pada gambar 3.3 : a b Gambar 3.3 Geometri material coran (a) tampak atas (b) tampak samping Tipe elemen yang digunakan pada penelitian ini adalah SOLID278 (brick 8node 278) untuk analisa termal dikarenakan tipe elemen ini memiliki kapabilitas di dalam konduksi termal tiga dimensi. Elemen ini memiliki 8 nodal dengan 1 buah derajat kebebasan dan temperatur setiap nodal. Sedangkan untuk analisa struktural, digunakan BAB III Metodologi

50 32 Laporan Tugas Akhir elemen SOLID227 karena elemen ini dapat digunakan dalam analisa couple-field dari termal ke struktural. Couple-field digunakan untuk menganalisa 2 bidang analisa yaitu analisa termal dan struktural. Oleh karena itu, hasil analisa termal digunakan untuk melakukan analisa struktural Elemen ini memiliki 8 nodal dengan 7 derajat kebebasan. Geometri coran dan mold kemudian di meshing sesuai dengan tipe elemen dengan menggunakan mesh tool. Penelitian ini membutuhkan meshing yang sangat kecil untuk meningkatkan keakuratan. Hasil meshing geometri coran dan cetakan dapat dilihat pada gambar 3.4 dibawah ini: Gambar 3.4 (a) Meshing dari material coran Al 6061(b) Meshing dari material cetakan (c) Meshing gabungan antara cetakan dengan Al 6061 BAB III Metodologi

51 Laporan Tugas Akhir 33 Input dari sifat-sifat material dibagi dua yaitu untuk analisa termal serta struktural yang dapat dilihat pada gambar 3.5. Gambar 3.5 Input sifat-sifat material Setelah melakukan langkah-langkah tersebut, maka dimasukkan boundary condition pada pemodelan yang disesuaikan dengan kondisi asli jika dilakukan pengecoran secara eksperimen. Perpindahan panas yang terjadi pada proses pengecoran adalah konveksi, yang diletakkan pada bagian luar cetakan dimana akan berpengaruh kepada distribusi temperatur. Kemudian dianggap tidak ada inklusi benda asing di dalam rongga cetak, material cetakan serta material coran dianggap homogen, bagian dasar cetakan dianggap menyentuh tanah sehingga tidak terjadi konveksi BAB III Metodologi

52 34 Laporan Tugas Akhir serta pengamatan berfokus pada fenomena yang terjadi pada riser dan rongga cetak. Heat flux diaplikasikan di dalam geometri cetakan, konveksi diaplikasikan pada bagian luar cetakan serta temperatur awal diaplikasikan baik pada coran maupun cetakan. Selama proses pengecoran, akan terjadi perpindahan panas dari material coran ke dalam cetakan yang menyebabkan logam cair akan kehilangan panas ketika dituangkan ke dalam rongga cetak. Sedangkan cetakan akan mengalami pertambahan panas dikarenakan transfer panas dari logam cair tadi. Untuk validasi pada penelitian ini menggunakan data yang diperoleh dari peneliti yang sedang mengerjakan eksperimen dari proses simulasi pengecoran ini dimana data yang diperoleh akan dibandingkan untuk melihat efeknya terhadap terjadinya shrinkage ataupun crack. BAB III Metodologi

53 BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN Penelitian kali ini telah melakukan beberapa kali simulasi pengecoran house moving contact resistor dengan metode elemen hingga berbahan dasar alumunium seri Dalam pelaksanaannya pemodelan dilakukan dalam 2 tahap. Pemodelan pertama yaitu melakukan analisa transien temperatur yang bertujuan untuk melihat distribusi temperatur serta proses pendinginan pengecoran dari setiap model. Pemodelan tahap selanjutnya adalah untuk mengetahui tegangan termal serta shrinkage yang terdapat pada setiap model. 4.1 Validasi Penelitian Dalam proses simulasi pada penelitian ini dilakukan validasi dengan proses eksperimen. Proses validasi dilakukan agar penelitian yang dilakukan dengan metode simulasi dapat dibandingkan dengan penelitian yang menggunakan metode eksperimen. Untuk proses validasi ini menggunakan ukuran gating system yang sama sehingga proses simulasi dan eksperimen dapat dibandingkan. Berikut ini merupakan pola tegangan termal dan penyusutan yang terjadi selama proses simulasi dapat dilihat pada gambar 4.1 dibawah ini. 35

54 36 Laporan Tugas Akhir (a) (b) Gambar 4.1 Hasil simulasi tegangan termal (a) dan deformasi (b) coran pada detik 5400 BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

55 Laporan Tugas Akhir 37 Dibawah ini merupakan nilai tegangan termal pada beberapa waktu hingga pada waktu maksimum yang diperoleh dari hasil simulasi dengan ukuran geometri gating system yang sama pada proses eksperimen dapat dilihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Nilai tegangan termal maksimum pada benda cor Waktu Tegangan Termal 30 2,74E ,75E ,77E ,79E ,80E ,81E+08 Berdasarkan data pada tabel diatas, dapat dilihat bahwa tegangan termal pada proses simulasi mengalami peningkatan sesuai pertambahan waktu hingga diperoleh tegangan termal maksimum sebesar 2,81E+08. Kemudian dibawah ini merupakan perbandingan nilai penyusutan antara simulasi dan eksperimen dapat dilihat pada tabel 4.2 Tabel 4.2 Nilai shrinkage coran antara simulasi dengan eksperimen Pengujian Nilai Shrinkage (mm 3 ) Shrinkage % Simulasi 7006,1428 1,17 Eksperimen 11365,428 1,96 Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa nilai shrinkage pada proses simulasi lebih baik daripada nilai shrinkage yang terdapat pada proses eksperimen. Hal ini disebakan oleh kondisi ideal yang terjadi pada proses simulasi dan juga disebabkan faktor dari BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

56 38 Laporan Tugas Akhir propertis material coran yang berbeda antara proses simulasi dan proses eksperimen. 4.2 Analisa Termal Dalam analisa termal ini akan didapatkan distribusi temperatur, proses pendinginan pada coran, proses pemanasan pada cetakan pasir serta kurva pendinginan selama proses pengecoran berlangsung. Sifat-sifat material dibutuhkan dalam melakukan analisa termal. Sifat material yang mempengaruhi yaitu massa jenis, kapasitas panas dan konduktifitas termal. Massa jenis merupakan massa dibagi dengan volume. Kemudian kapasitas panas merupakan energi yang diperlukan untuk menaikkan panas suatu benda tiap satuan temperatur serta konduktifitas termal merupakan kemampuan suatu material untuk memindahkan energi per satuan panjang dan temperatur. Sehingga meningkatnya nilai konduktivitas menyebabkan perpindahan panas akan semakain cepat pada suatu material. Selain membutuhkan sifat material, simulasi penelitian ini juga memerlukan koefisien konveksi sebesar 11,45 W/m 2.K. dan temperatur cetakan pasir sebesar 303 K. Kemudian untuk memudahkan dalam melakukan analisa dan simulasi maka bentuk geometri dibuat menjadi setengah. Simulasi ini juga menggunakan total waktu sebesar 2700 detik dengan step 5 detik. Hal ini dilakukan karena proses pengecoran Alumunium 6061 ini termasuk pendinginan cepat dan setelah melakukan beberapa kali percobaan step 5 detik merupakan step yang paling baik untuk dapat melihat proses penurunan temperatur dan total simulasi proses pendinginan 2700 detik karena pada detik tersebut temperatur pada coran sudah mendekati temperatur atmosfer. BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

57 Temperatur( o K) Laporan Tugas Akhir 39 Dalam penelitian ini selain memiliki pembatas termal, diberikan juga parameter simulasi transien yang sama pada keempat kondisi seperti tabel 4.3 dibawah ini. Tabel 4.3 Pengaturan simulasi transien termal Total waktu simulasi 45 menit atau 2700 detik Time Step 5 detik Perbandingan Kurva Pendinginan Coran Pada gambar 4.2 dibawah ini menunjukkan kurva pendinginan coran dari keempat model. Setiap model ditentukan titik koordinat yang sama agar terlihat perbedaan perubahan temperatur selama proses pendinginan dari setiap model yang ada. Kurva Pendinginan Coran Waktu(Detik) Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Gambar 4.2 Kurva perbandingan perubahan temperatur proses pendinginan pada keempat model coran Berdasarkan data pada kurva diatas, terdapat empat grafik yang mana mewakili keempat model coran. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa coran mengalami penurunan temperatur sesuai dengan prinsip pendinginan. Penurunan temperatur ini terjadi BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

58 40 Laporan Tugas Akhir karena temperatur pada coran lebih tinggi dibandingkan dengan temperatur pada cetakan sehingga panas yang diterima oleh coran akan dialirkan menuju cetakan. Setiap model coran memiliki grafik pendinginannya masingmasing. Dari grafik dapat dilihat bahwa variasi model coran menentukan grafik pendinginan. Pada model 1 dan model 3 grafik pendinginan terlihat lebih rendah dikarenakan ukuran runner yang lebih panjang pada model 1 dan ukuran riser yang terlalu tinggi sehingga fluida coran membutuhkan waktu yang lebih lama menuju bagian inti coran yang menyebabkan temperatur inti coran lebih rendah dibandingkan dengan model 2 dan model 4. Untuk model 3 bentuk riser yang terlalu tinggi menyebabkan temperatur fluida pada inti coran lebih rendah dibandingkan dengan model 2 dan model 4. Pada model 2 dan model 4 grafik pendinginan memiliki nilai yang lebih tinggi. Hal ini terjadi karena pada model 2 ukuran riser tidak terlalu tinggi dan bentuknya yang mengikuti diameter benda coran sehingga tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk fluida coran menuju bagian inti coran. Untuk model 4 variasi yang terjadi adalah ukuran runner yang lebih pendek dan ukuran riser yang yang tidak terlalu tinggi dan memiliki diameter yang sama dengan benda coran sehingga fluida coran tidak membutuhkan waktu yang lama menuju bagian inti coran mengakibatkan temperatur coran masih berada pada temperatur yang lebih tinggi dibandingkan dengan temperatur coran pada model 1 dan model 3. Berikuti ini tabel 4.4 data perubahan temperatur pada gambar 4.2. BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

59 Laporan Tugas Akhir 41 Tabel 4.4 Perbandingan temperatur proses pendinginan cor pada keempat model dalam beberapa detik Waktu Desain Saluran (Detik) Model 1 ( o K) Model 2 ( o K) Model 3 ( o K) Model 4 ( o K) ,9 803,73 654,25 803, ,11 774,91 614,62 774, ,56 752,85 587,2 752, ,09 734,4 565,85 734, ,53 718,44 548,41 718, ,72 704,32 533,71 704, ,96 691,61 521,05 691, ,79 680,05 509,97 680, ,61 540, ,62 542, ,08 522,56 392,18 524, ,43 492,26 373,67 494, Perbandingan Kurva Perpindahan Panas pada Cetakan Dari gambar 4.3 dibawah ini dapat dilihat kurva pemanasan pada cetakan dengan variasi keempat model. Metode yang digunakan untuk menentukan titik koordinat pada model ini sama dengan menentukan kurva pendinginan yaitu dengan menentukan satu node pada bagian yang ingin dianalisa dalam hal ini adalah daerah cetakan. Kurva pemanasan cetakan dapat dilihat pada gambar 4.3 dibawah ini. BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

60 Temperatur(oK) 42 Laporan Tugas Akhir Kurva Perpindahan Panas pada Cetakan Waktu(Detik) Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Gambar 4.3 Kurva perubahan temperatur pada proses perpindahan panas pada cetakan dengan variasi keempat model coran Proses pemanasan cetakan terjadi ketika panas yang berada pada coran diserap oleh cetakan pasir kemudian coran akan mengalami penurunan temperatur dan cetakan mengalami kenaikan temperatur. Kemudian cetakan akan kembali mengalami penurunan temperatur pada saat temperatur cetakan dan coran memiliki nilai yang hampir sama sehingga cetakan tidak mampu untuk menerima panas lagi yang mengakibatkan temperatur cetakan akan mengalami penurunan temperatur karena mengalami kontak dengan udara luar. Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa cetakan model 2 dan model 4 memiliki nilai temperatur pemanasan yang lebih tinggi. Hal ini berkaitan dengan desain coran yang mempengaruhi bentuk cetakan. Pada model 2 dan model 4 coran memiliki kurva pendinginan yang lebih tinggi yang mana apabila nilai kurva pendinginan lebih tinggi maka fluida coran memiliki temperatur lebih panas sehingga jumlah energi panas yang ditransfer menuju BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

61 Laporan Tugas Akhir 43 cetakan lebih tinggi yang mengakibatkan cetakan memiliki temperatur yang lebih panas. Sebaliknya, model 1 dan model 3 memiliki temperatur fluida coran yang lebih rendah sehingga energi panas yang ditransfer menuju cetakan lebih kecil yang mengakibatkan pemanasan pada temperatur cetakan lebih rendah dibandigkan model 2 dan model 4. Dibawah ini merupakan tabel 4.5 data perubahan temperatur pada proses perpindahan panas dari coran ke cetakan. Tabel 4.5 Perbandingan temperatur proses perpindahan panas pada dari coran ke cetakan pada keempat model dalam beberapa detik Waktu Desain Saluran (Detik) Model 1 ( o K) Model 2 ( o K) Model 3 ( o K) Model 4 ( o K) ,81 377,29 496,3 374, ,14 444,05 532,92 440, ,18 486,73 538, ,84 513,76 534,18 510, ,2 531,06 527,27 528, ,42 542,17 519,39 540, ,4 549,18 511,35 547, ,53 553,39 503,52 552, ,44 509,05 406,39 513, ,86 496,23 394,93 500, ,12 473,35 376,37 478, Distribusi Temperatur Waktu yang diperlukan pada simulasi ini adalah 45 menit atau 2700 detik, kemudian dilakukan pengamatan distribusi temperatur seperti pada gambar 4.4 dibawah ini. BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

62 44 Laporan Tugas Akhir Gambar 4.4 Gambar distribusi temperatur proses solidifikasi tanpa variasi (a) 5 detik (b) 900 detik (c) 1800 detik (d) 2700 detik. Pada gambar diatas dapat dilihat distribusi temperatur saat proses pendinginan cor dengan ukuran awal posisi runner dan riser. Bagian coran yang paling banyak bersentuhan dengan cetakan merupakan bagian awal terjadinya pembekuan. Pembekuan yang terjadi pada model pertama ini ditinjau dari 4 selang waktu yaitu (a) detik ke 5 dapat dilihat bahwa sprue mengalami pembekuan terlebih dahulu dikarenakan bentuk geometri yang sangat kecil menyebabkan panas akan diterima oleh pasir. Kemudian pembekuan selanjutnya terjadi di pouring basin karena mengalami kontak langsung dengan udara luar. Setelah itu, pembekuan berlanjut pada bagian runner dan sampai pada benda cor. Untuk benda cor proses pembekuan dimulai dari bagian bawah coran karena bagian tersebut yang pertama kali terisi dengan fluida coran. Lalu, berlanjut menuju bagian inti coran dan sampai pada bagian atas coran yang merupakan riser dari coran BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

63 Laporan Tugas Akhir 45 tersebut. Pembekuan terakhir pada riser merupakan hal yang baik karena akan mencegah cacat pengecoran seperti shrinkage. Selanjutnya (b) detik ke 900 gambar 4.1 sprue dan pouring basin sudah mendekati temperatur K. Namun, runner dan coran masih berada pada temperatur K. Pada (c) detik ke 1800 gambar 4.1 coran dan setengah bagian runner masih berada pada temperatur K. Dan pada (d) detik 5400 gambar 4.5 kondisi coran sudah hampir mendekati temperatur kamar hanya pada bagian riser masih berada pada temperatur 473K. Gambar 4.5 Gambar distribusi temperatur proses solidifikasi dengan variasi bentuk riser (a) 5 detik (b) 900 detik (c) 1800 detik (d) 2700 detik. Pada model yang ke dua ini, distribusi temperatur dapat dilihat pada gambar 4.5 dalam 4 selang waktu. Pada (a) detik ke 5 dapat dilihat bagian inti coran masih berada pada rentang temperatur dimana bagian tersebut masih belum mengalami proses pendinginan yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan tinggi riser yang tidak terlalu tinggi sehingga riser tidak langusng mengalami kontak dengan udara luar. Apabila BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

64 46 Laporan Tugas Akhir dibandingkan dengan sprue sudah mengalami pendinginan yang cukup cepat yang mana sudah berada pada temperatur Sedangkan pouring basin berada pada temperatur Pada (b) detik ke 900 bagian coran sudah mengalami proses pendinginan yaitu pada temperatur 673K. Sedangkan pada bagian pouring basin,sprue dan runner pada temperatur K. Untuk (c) detik ke 1800 pouring basin dan hampir sepenuhnya bagian sprue sudah berada pada temperatur 373K. Bagian coran dan runner berada pada temperaur K. Hal ini tidak jauh berbeda pada (d) detik ke 2700 yang mana coran masih berada pada temperatur K namun sudah hampir sepenuhnya berada pada 473K. Gambar 4.6 Gambar distribusi temperatur proses solidifikasi dengan variasi posisi runner (a) 5 detik (b) 900 detik (c) 1800 detik (d) 2700 detik BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

65 Laporan Tugas Akhir 47 Pada model yang ketiga ini dapat dilihat pada gambar 4.6 diatas, (a) 5 detik sprue kembali mengalami pendinginan lebih awal yaitu temperatur K yang mana saat yang sama coran berada pada temperatur K. Sedangkan pouring basin masih berada pada temperatur K. Namun, pada (b) 900 detik pouring basin telah mencapai temperatur 373K dan coran serta semua bagian gating system kecuali pouring basin berada pada temperatur K. Dalam (c) detik ke 1800 bagian pouring basin dan sprue sudah berada pada temperatur 373K. Namun, runner dan coran masih tetap berada pada rentan 473K. Untuk (d) detik ke 2700 bagian riser memiliki temperatur tertinggi sekitar 473K sedangkan untuk bagian gating system sudah mendekati temperatur kamar. Gambar 4.7 Gambar distribusi temperatur proses solidifikasi dengan variasi posisi runner dan ukuran riser (a) 5 detik (b) 900 detik (c) 1800 detik (d) 2700 detik BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

66 48 Laporan Tugas Akhir Pada gambar 4.7 merupakan distribusi temperatur proses solidifikasi dengan variasi model keempat. Dapat dillihat pada (a) detik ke-5 coran masih memiliki temperatur yang sangat tinggi sebesar K. Hal seperti ini dapat juga dilihat pada model yang kedua. Ini disebebabkan karena variasi dari riser yang memiliki ukuran yang tidak terlalu tinggi dan pada model keempat ini digunakan variasi posisi runner dan ukuran riser yang menyebabkan fluida coran lebih cepat berada pada bagian inti coran. Dalam (b) detik ke 900 bagian coran sudah mengalami proses pendinginan dan berada pada temperatur K serta gating system berada pada temperatur K. Pada (c) detik ke 1800 coran dan gating system masih berada pada temperatur K. Untuk (d) detik ke 2700 hanya pouring basin yang sudah mencapai temperatur 373K sedangkan untuk sprue,runner dan coran masih berada pada temperatur K. Model keempat ini mengalami pendinginan yang lebih lama dibandingkan dengan model lain karena variasi posisi runner dan ukuran riser. Pada gambar 4.8 dibawah ini merupakan distribusi temperatur proses perpindahan temperatur pada cetakan dengan variasi model pertama yang berada pada bagian cetakan. Dari gambar 4.5 (a) detik ke 5 dapat kita lihat bahwa fluida coran mengalir begitu cepat sehingga bagian inti coran mengalami pemanasan yang cukup tinggi. Pada (b) detik ke 900 pemanasan mulai menyebar secara merata menuju bagian cetakan yang lainnya. Kemudian pada (c) detik 1800 dan (d) detik ke 2700 pemanasan masih terus berlanjut hingga menuju runner dan sprue bagian bawah. BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

67 Laporan Tugas Akhir 49 Gambar 4.8 Distribusi temperatur perpindahan panas dari coran ke cetakan dengan variasi model 1 (a) 5 detik (b) 900 detik (c) 1800 detik (d) 2700 detik Berikutnya pada gambar 4.9 terjadi distribusi temperatur proses pemanasan dengan variasi model 2 pada bagian cetakan. Dari gambar 4.6 diketahui bahwa pada (a) detik ke 5 pemanasan sangat jelas terlihat pada bagian inti coran dan juga riser sedangkan pada bagian pouring basin, sprue sudah terlebih dahulu mengalami pendinginan. Pada (b) detik ke 900 pemanasan terus berlanjut pada bagian coran yang kemudian panas terus merambat menuju gating system. Dan untuk (c) detik ke 1800 serta (d) detik ke 2700 terjadi kondisi cetakan pada bagian coran masih berada pada temperatur yang cukup panas namun untuk (c) detik ke 1800 daerah pouring basin dan sprue menunjukkan penurunan temperatur. BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

68 50 Laporan Tugas Akhir Gambar 4.9 Distribusi temperatur perpindahan panas dari coran ke cetakan dengan variasi model 2 (a) 5 detik (b) 900 detik (c) 1800 detik (d) 2700 detik Pada gambar 4.10 dibawah ini terjadi distribusi temperatur proses pemanasan dengan variasi model 3 pada bagian cetakan. Fenomena pemanasan yang terjadi pada bagian cetakan ini sedikit berbeda dibandingkan dengan variasi model lainnya. Bagian cetakan yang mengalami pemanasan awal yang begitu cepat yaitu daerah riser (a) detik ke 5. Kemudian untuk (b) detik ke 900 pemanasan berlanjut pada daerah coran dan runner sama seperti yang terjadi pada (c) detik ke 1800 namun pada detik ini daerah cetakan disekitar coran mengalami kenaikan temperatur dibandingkan detik ke 900. Untuk (d) detik ke 2700 seluruh bagian coran dan gating system mengalami pemanasan yang maksimum. Dan panas akan terus merambat menuju bagian luar cetakan. BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

69 Laporan Tugas Akhir 51 Gambar 4.10 Distribusi temperatur perpindahan panas dari coran ke cetakan dengan variasi model 3 pada bagian cetakan (a) 5 detik (b) 900 detik (c) 1800 detik (d) 2700 detik Pada gambar 4.11 ini juga menunjukkan distribusi temperatur proses pemanasan pada bagian cetakan dengan variasi model 4. Dalam (a) detik ke 5 dapat dilihat bahwa daerah bagian tengah coran memiliki temperatur pemanasan tertinggi. Kemudian (b) detik ke 900 (c) 1800 dan (d) 2700 memiliki fenomena pemanasan yang sama yang mana pemanasan tertinggi terjadi pada daerah coran dan runner. Perbedaan dari ketiga selang waktu ini hanya terletak pada bagian pemanasan di daerah luar pinggiran coran. Detik ke 900 daerah sekitar coran belum mengalami pemanasan yang cukup maksimum. Pada detik ke 1800 dan 2700 pemanasan di daerah sekitar coran baru mencapai kondisi yang maksimum. BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

70 52 Laporan Tugas Akhir Gambar 4.11 Distribusi temperatur perpindahan panas dari coran ke cetakan dengan variasi model 4 pada bagian cetakan (a) 5 detik (b) 900 detik (c) 1800 detik (d) 2700 detik Proses perpindahan temperatur pada dari coran menuju cetakan merupakan proses konveksi. Proses konveksi dipengaruhi oleh koefisien konveksi, luas permukaan dan juga perbedaan temperatur. Perpindahan panas secara konveksi merupakan jenis perpindahan panas yang disebabkan karena adanya aliran fluida dari daerah bertemperatur tinggi ke temperatur rendah. Aliran fluida pada konveksi dapat digerakkan secara bebas dan paksa. Pada proses pengecoran, aliran konveksi yang terjadi adalah aliran konveksi secara bebas karena terdapat perbedaan massa jenis yang dipengaruhi oleh perbedaan temperatur. Pada proses pengecoran terdapat distribusi dari temperatur tinggi menuju temperatur rendah yaitu pada proses perpindahan temperatur dari coran menuju cetakan. Perbedaan temperatur yang tinggi antara coran dan cetakan menyebabkan proses konveksi berlangsung cukup cepat. Perpindahan temperatur dari coran menuju cetakan memiliki batas BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

71 Laporan Tugas Akhir 53 maksimum yaitu pada saat temperatur cetakan memiliki temperatur yang lebih tinggi dibandingkan temperatur coran. Kondisi seperti ini mengakibatkan proses konveksi terjadi dari cetakan menuju coran Gradien Temperatur Perubahan temperatur dalam rentang waktu tertentu yang terjadi pada suatu sistem disebut gradien temperatur. Gradien temperatur yang terjadi pada simulasi ini menggambarkan arah terjadinya pendigingan pada coran. Berikut ini gambar 4.12 merupakan gradien temperatur dari seluruh model saat detik 60 dan Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa gradien temperatur dari seluruh variasi model memiliki tren arah yang sama menuju ke atas ke bagian material coran. BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

72 54 Laporan Tugas Akhir BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

73 Laporan Tugas Akhir 55 BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

74 56 Laporan Tugas Akhir BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

75 Laporan Tugas Akhir 57 Gambar 4.12 Gradien temperatur pada model 1 pada detik ke (a) 60 dan detik ke (b) 5400; model 2 detik ke(c) 60 dan detik ke(d) 5400; model 3 detik ke(e) 60 dan detik ke(f) 5400; model 4 detik ke(g) 60 dan detik ke(h) Analisis Struktural Pada bagian ini akan membahas mengenai analisis struktural yang merupakan lanjutan dari subbab sebelumnya. Tujuan melakukan analisis struktural adalah untuk melakukan analisa tegangan termal yang kemudian akan dilihat bagaimana hubungannya terhadap shrinkage yang terjadi selama proses pengecoran. Tegangan termal pada coran dapat terjadi disebabkan terjadinya perubahan temperatur yang tidak merata. Tegangan termal juga mempertimbangkan hasil analisa perpindahan panas seperti distribusi temperatur nodal, perubahan sifat material yang disebabkan oleh jangka waktu dan temperatur, penuaian dan penyusutan, kekakuan suatu benda, dan sebagainya. Hal yang BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

76 58 Laporan Tugas Akhir disebutkan diatas dapat menyebabkan terjadinya deformasi pada coran. Analisis struktural juga membutuhkan sifat material sama halnya dengan analisis termal namun dalam analisa ini hanya menambahkan beberapa sifat material seperti poisson ratio, modulus elastisitas, dan koefisien ekpansi termal. Poisson ratio adalah perbandingan dari perubahan arah aksial dengan perubahan arah transversal. Poisson ratio merupakan konstanta elastisitas yang dimiliki oleh setiap material. Sebuah material yang diberikan gaya satu arah, ditarik maupun ditekan, akan mengalami perubahan bentuk. Modulus elastisitas adalah sebuah ukuran yang digunakan untuk merepresentasikan kekakuan suatu bahan. Semakin besar nilai modulus elastisitas, maka semakin kecil regangan elastisitas yang dapat dihasilkan dari pemberian tegangan. Dan koefisien ekspansi termal adalah perubahan panjang maupun volume dari suatu material pada satu unit temperatur. Simulasi ini dilakukan dengan bentuk geometri yang dibuat setengah dari bentuk aslinya yang bertujuan untuk mempermudah simulasi dari proses pengecoran. Dalam analisa struktural ini digunakan metode couple-field. Metode ini digunakan karena analisa struktural merupakan penggabungan antara dua bidang yang berbeda yaitu termal dan struktural. Kemudian dikarenakan pada bagian bawah cetakan menyentuh tanah, nilai displacement diberikan 0 karena dianggap tidak terjadi displacement. Setelah itu, diberikan symetri boundary condition pada bagian depan cetakan. Lalu, memasukkan hasil analisa termal kedalam analisa struktural. Simulasi ini juga menggunakan total waktu sebesar 5400 dengan step 90 detik. Hal ini dilakukan untuk dapat melihat tegangan termal maksimum yang terjadi pada coran. Dan juga pada detik 5400 merupakan waktu dimana coran mengalami pendinginan BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

77 Laporan Tugas Akhir 59 maksimum sedangkan step 90 detik untuk mempermudah dalam proses pengambilan data. Pada tahap akhir diberikan parameter simulasi transien dengan nilai yang sama pada keempat kondisi seperti pada tabel 4.6 dibawah ini Tabel 4.6 Pengaturan simulasi transien struktural Total waktu simulasi 1.5 jam atau 5400 detik Number od sub-step Tegangan Termal Setelah dilakukan penentuan titik koordinat pada salah satu bagian coran maka dilakukan analisa dengan menggunakan analisa tegangan Von Mises. Berikut ini merupakan nilai tegangan termal dari keempat model coran yang dapat dilihat pada gambar 4.13 dan tabel 4.7 untuk melihat nilai tegangan termal dalam beberapa selang waktu. Tegangan Termal (Pa) 4,50E+08 4,00E+08 3,50E+08 3,00E+08 2,50E+08 2,00E+08 1,50E+08 Kurva Tegangan Termal Waktu (Detik) Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Gambar 4.13 Kurva perbandingan nilai tegangan termal pada keempat model BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

78 60 Laporan Tugas Akhir Tabel 4.7 Perbandingan tegangan termal pada keempat model selama proses pendinginan Waktu Desain Saluran (Detik) Model 1 (Pa) Model 2 (Pa) Model 3 (Pa) Model 4 (Pa) 60 2,88E+08 4,14E+08 1,82E+08 4,30E ,91E+08 4,17E+08 1,84E+08 4,35E ,93E+08 4,19E+08 1,85E+08 4,36E ,93E+08 4,20E+08 1,86E+08 4,37E ,94E+08 4,22E+08 1,86E+08 4,39E ,95E+08 4,22E+08 1,87E+08 4,40E ,95E+08 4,23E+08 1,87E+08 4,40E ,95E+08 4,23E+08 1,87E+08 4,41E ,95E+08 4,24E+08 1,87E+08 4,41E+08 Dari gambar 4.12 dan tabel 4.7 diatas dapat dilihat bahwa nilai tegangan termal sebanding dengan berjalannya waktu. Hal ini dapat terjadi karena selama proses solidifikasi tegangan yang berada pada coran tidak mampu untuk keluar dari coran karena energi panas yang dibutuhkan untuk melepaskan tegangan tersebut akan menurun yang disebabkan terjadinya distribusi temperatur dari coran menuju cetakan. Dari keempat model coran, pada detik 5400 model keempat memiliki tegangan termal terbesar dengan nilai 4,41E+08 Pa. Hal ini disebabkan bentuk geometri coran yang menyebabkan begitu banyaknya tegangan termal yang terperangkap pada beberapa bagian coran. Tegangan termal terbesar selanjutnya dimiliki oleh model 2. Sama seperti pada model 4,ini disebabkan oleh bentuk sistem saluran dari coran tersebut. Model 2 dan 4 memiliki diameter riser yang cukup besar namun ketinggian dari riser tersebut terlalu rendah. Hal ini lah yang menyebabkan kedua model ini memiliki tegangan termal yang cukup tinggi. Kemudian model BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

79 Laporan Tugas Akhir 61 1 dan 3 masing-masing memiliki nilai tegangan termal sebesar 2,95E+08 dan 1,87E+08. Pada model 1 dan 3 terdapat riser yang cukup tinggi namun tidak memiliki diameter yang cukup besar. Hal ini lah yang menyebabkan terdapat tegangan termal pada kedua model ini. Berikut ini gambar 4.14 merupakan distribusi tegangan termal yang terdapat pada keempat model. BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

80 62 Laporan Tugas Akhir Gambar 4.14 Distribusi tegangan termal pada (a) model 1, (b) model 2, (c) model 3, (d) model 4 pada detik ke BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

81 Laporan Tugas Akhir Shrinkage Shrinkage merupakan penyusutan pada daerah tertentu yang dapat menimbulkan cacat coran berupa rongga-rongga atau retak. Penyusutan dimulai pada saat coran mulai mengalami proses pendinginan yang mengakibatkan volume akhir coran menjadi berkurang. Selain coran, cetakan pun mengalami penyusutan selama proses pendinginan tersebut. Proses simulasi dilakukan bertujuan untuk mengetahui terjadinya proses penyusutan pada coran. Penyusutan atau shrinkage terjadi karena terdapat kontraksi saat solidifikasi dan saat fasa solid. Bagian coran yang mengalami kontraksi paling akhir yang akan membentuk rongga dikarenakan sudah kehabisan logam cair. Dibawah ini merupakan gambar 4.15 menunjukkan deformasi yang terjadi pada coran. BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

82 64 Laporan Tugas Akhir BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

83 Laporan Tugas Akhir 65 Gambar 4.15 Deformasi yang terjadi pada daerah coran (a) model 1 (b) model 2 (c) model 3 (d) model 4 Berdasarkan gambar 4.15 diatas dapat diketahui bahwa pada model 4 terjadi deformasi terbesar. Hal ini sebanding dengan nilai tegangan termal yang juga memiliki nilai yang paling besar dari semua model. Dan model 3 merupakan model yang mengalami deformasi paling kecil. Hal ini juga sebanding dengan nilai tegangan termal model tersebut yang juga memiliki nilai paling kecil dari semua model. Hal ini disebabkan oleh riser yang dimiliki model ini cukup tinggi sehingga ketika terjadi proses pendinginan atau proses solidifikasi masih banyak terdapat logam cair yang mampu untuk mengisi bagian coran yang paling akhir membeku. Karena volume riser yang dimiliki oleh model 1 dan 3 lebih besar dibandingkan dengan volume riser yang dimiliki oleh model 2 dan 4. Oleh karena itu, model 3 merupakan model yang penyusutannya paling kecil. BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

84 66 Laporan Tugas Akhir Setelah diperoleh nilai deformasi dari setiap titik koordinat, maka dilakukan penghitungan volume akhir. Kemudian untuk memperoleh nilai shrinkage, volume awal coran dikurangi dengan volume akhir coran yang telah dihitung tadi. Pada tabel 4.8 dibawah ini merupakan nilai shrinkage dari setiap model coran yang telah dihitung. Tabel 4.8 Shrinkage maksimum yang terjadi selama proses pengecoran Desain Sistem Saluran Shrinkage yang terjadi (mm 3 ) Model ,146 Model ,074 Model ,976 Model , Perbandingan Massa Jenis di Dalam Coran pada Beberapa Waktu Pada subbab ini akan membahas pengaruh penyusutan terhadap nilai massa jenis. Pada prinsipnya, massa jenis merupakan jumlah massa dibagi per satuan volume. Jadi nilai massa jenis akan berubah jika dipengaruhi oleh massa dan volume. Massa jenis dan volume memliki perbandingan terbalik sehingga ketika volume semakin kecil maka nilai massa jenis suatu spesimen akan bertambah besar dan begitu pula sebaliknya dengan kondisi massa yang tetap. Dalam proses simulasi pengecoran ini massa dari material dianggap tetap yang berubah adalah volume dari coran. Volume coran berubah karena terjadi proses pendinginan yang menyebabkan volume coran mengalami penyusutan. Di bawah ini merupakan tabel 4.9 yang berisi beberapa data dari volume coran dalam beberapa rentang waktu. BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

85 Laporan Tugas Akhir 67 Waktu (detik) Tabel 4.9 Volume Material Coran pada Berbagai Waktu Volume Akhir Cor (m 3 ) Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 0 0, , , , , , , , , , , , , , , Setelah memperoleh volume coran dalam beberapa rentang waktu maka diperoleh nilai massa jenis dari tiap model cora seperti yang dapat dilihat pada gambar 4.16 dibawah ini. Gambar 4.16 Kurva Kenaikan Massa Jenis pada Coran Berdasarkan tabel 4.9 dan gambar 4.16, dapat diketahui bahwa semakin lama waktu pendinginan maka penyusutan akan semakin besar. Dan ketika volume mengalami penyusutan akan diikuti dengan kenaikan massa jenis. Dari keempat model tersebut, model ketiga memiliki nilai volume akhir terbesar. Hal ini BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

86 68 Laporan Tugas Akhir menyebabkan model ini memiliki nilai shrinkage terkecil dan begitu pula sebaliknya. Model keempat memiliki nilai volume akhir terkecil sehingga model ini merupakan model dengan penyusutan terbesar. 4.4 Kualitas Cetakan Kualitas coran dipengaruhi oleh desain dari gating system. Untuk melihat efisiensi serta kualitas dari suatu cetakan dapat menggunakan yield. Yield merupakan persentase dari massa atau volume coran yang baik dari keseleruhan logam yang dilebur. Nilai yield berpengaruh terhadap biaya yang diperlukan untuk melakukan proses pengecoran. Nilai yield yang tinggi berdampak pada biaya yang dibutuhkan untuk proses pengecoran lebih sedikit karena logam yang harus dilebur kembali menjadi lebih sedikit. Dibawah ini tabel 4.10 merupakan formula untuk mencari nilai dari kualitas cetakan. Tabel 4.10 Formula Kualitas Cetakan Pengecoran Jenis Formula Quality Feeding Efficiency volume coran yang bebas dari shrinkage volume cetakan volume shrinkage volume riser Setelah mencari nilai kualitas coran dan feeding efficiency dengan formula pada tabel 4.10 maka diperoleh nilai seperti pada tabel BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

87 Laporan Tugas Akhir 69 Tabel 4.11 Nilai Kualitas Cetakan Pengecoran Desain Saluran Variabel Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Quality 98,89% 98,72% 98,90% 98,68% Feeding Efficiency 0,32% 0,73% 0,317% 0,76% Dari tabel 4.11 dapat dilihat kualitas hasil coran dari keempat model secara berurutan sebesar 98,89%; 98,72%; 98,9%; 98,68%. Berdasarkan hasil tersebut, bahwa coran memiliki kualitas yang bagus, namun bukan berarti efisiensi yang dimiliki oleh cetakan memiliki nilai yang tinggi Kemudian untuk nilai feeding efisiensi dari keempat model secara berurutan sebesar 0,32%; 0,73%; 0,317%; 0,76%. Hal ini berarti riser yang dimiliki masing-masing model hanya dapat mengisi sebesar 0,32%; 0,73%; 0,317%; 0,76% kekosongan yang disebabkan oleh shrinkage pada cetakan pasir. Kondisi dapat terjadi karena riser yang dimiliki oleh masing-masing model tidak memiliki volume yang cukup besar sehingga riser tidak mampu untuk mengisi kekosongan yang disebabkan shrinkage. 4.5 Analisa Kegagalan dari Berbagai Model Sistem Saluran Dalam subbab ini akan membahas beberapa data yang diperoleh setelah melakukan analisa untuk memilih sistem saluran yang terbaik ketika melakukan proses pengecoran. Data yang diperoleh dapat dilihat pada tabel BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

88 70 Laporan Tugas Akhir Tabel 4.12 Perbandingan Keseluruhan Hasil Coran dari Berbagai Model Sistem Salauran setelah 5400 detik Jenis Sistem Saluran Shrinkage (mm 3 ) Tegangan Termal (Pa) Model ,146 2,95E+08 Model ,074 4,24E+07 Model ,976 1,87E+07 Model ,691 4,41E+07 Berdasarkan data dari tabel 4.12 tersebut, bahwa model 3 memiliki nilai shrinkage terkecil sebesar 6540,976 mm 3 dan hal ini sebanding dengan nilai tegangan termal yang terendan yang dimilikinya sebesar 1,87E+07 Pa. Sedangkan untuk nilai shrinkage terbesar dimiliki oleh model 4 sebesar 7825,691mm 3 dengan nilai tegangan termal tertinggi sebesar 4,41E+08 Pa. Berdasarkan nilai tegangan termal yang diperoleh, dapat diketahui cacat patahan yang terjadi selama proses pendinginan. Menurut kriteria Von Mises, patahan dapat terjadi jika nilai tegangan lebih besar dibandingkan dengan nilai ultimate strength material tersebut. Pada simulasi proses pengecoran ini, Alumunium 6061 memiliki yield strength sebesar 4, Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan nilai tegangan termal material coran pada simulasi ini sehingga coran tidak akan mengalami patahan selama proses pendinginan. BAB IV Analisa Data dan Pembahasan

89 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan analisa data dari penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan : 1. Tegangan termal maksimum terdapat pada model 4 dengan nilai 4.41E+08 Pa. Dan nilai tegangan termal minimum terdapat pada model 3 dengan nilai 1.87E+08. Benda cor memiliki nilai tegangan termal yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai ultimate strength dari material sehingga tidak terjadi crack pada keempat model gating system. 2. Tegangan termal sangat berpengaruh terhadapa shrinkage. Jika nilai tegangan termal tinggi maka nilai shrinkage juga akan tinggi. Nilai shrinkage dari model 1 sampai model 4 berurutan yaitu : 6564,146 mm 3 ; 7609,074 mm 3 ; 6540,976 mm 3 ; 7825,691 mm 3. Model 3 merupakan sistem saluran yang paling baik karena memiliki nilai shrinkage yang paling kecil dibandingkan model lainnya sebesar 6540,976 mm 3. Seluruh model gating system memiliki nilai shrinkage dibawah toleransi kecuali model keempat yang memiliki nilai shrinkage diatas toleransi penyusutan. 5.2 Saran Berikut ini merupakan saran dari penulis mengenai penelitian ini: 1. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut seperti analisa fluida mengenai simulasi pengecoran. Sehingga bisa melihat bentuk aliran cor masuk ke dalam cetakan dan mengetahui cacat cor seperti porositas. 2. Perlu dilakukan pembuatan desain baru yang lebih efisien agar hasil coran mendekati 100%. 71

90 72 Laporan Tugas Akhir 3. Perlu dilakukan simulasi dengan menggunakan cetakan die casting untuk membandingkan dengan sand casting. 4. Perlu dilakukan simulasi elektrik agar diperoleh nilai konduktifitas listrik dari coran. BAB V Kesimpulan dan Saran

91 Daftar Pustaka Alawadhi, E. (2010). Finite Element Simulations Using ANSYS. New York: CRC Press. Bahtiyar. (2016). Analisa Proses Perpindahan Panas pada Pengecoran Paduan Al-12%si dengan Metode Elemen Hingga. Digilib ITS, Callister, W. (2009). Materials Science and Engineering an Introduction Eight Edition. US: John Wiley & Sons, Inc. Campbell, J. (2003). The New Metallurgy of Cast Metals Castings Second Edition. UK: University of Birmingham. Choudari. (2013). Methoding and Simulation of LM 6 Sand Casting for Defect Minimization with its Experimental Validation. Procedia Engineering, 3-8. Comsol Materials Library Dezecot. (2016). 3D characterization and modeling of low cycle fatigue damage mechanisms at high temperature in a cast aluminum alloy. Acta Materialia, 1-4. Holman, J. (2009). Heat Transfer Tenth Edition. New York: McGraw-Hill Education. Matweb. (2017, June 24). Diambil kembali dari Matweb.com: Saito. (2005). Pengetahuan Bahan Teknik. Jakarta: Pradnya Paramita. Septian, R. (2011). Gating System Design Optimization for Sand Casting. Journal UI. 73

92 74 Laporan Tugas Akhir Setyaji. (2012). Pengaruh Temperatur Tuang Stir Casting terhadap Densitas, Porositas, Konduktivitas Termal dan StrukturMikro pada Komposit Alumunium yang Diperkuat Serbuk Besi. Ejournal.Undip. Surdia. (2000). Teknik Pengecoran Logam. Jakarta: Pradnya Paramita. Taufik, R. (2013). Thermal Expansion Model for Cast Aluminium Silicon Carbide. Elsevier. Touloukian, Y. (1970). Thermophysical Properties of Matter Volume 2 : Thermal Conductivity Non Metallic Solid. New York: Plenum Publishing Corporation. Touloukian, Y. (1970). Thermophysical Properties of Matter Volume 5 : Spesific Heat Non Metallic Solid. New Yorik: Plenum Publishing Corporation. Valencia. (2008). ASM Handbook. Concurrent Technologies Corporation: ASM International. Vijayaram. (2005). Computer Simulation Of Solidification Of Casting Processed in Metallurgical Engineering Foundrie. Indian Foundry, vol 51. Voghasia, D. (2009). Gating System Design Optimization for Sand Casting. M. Tech. Yang, G. (2014). Simulation of temperature and stress in 6061 aluminum alloy during online quenching process. Science Direct, 2-4.

93 LAMPIRAN 1. Perhitungan Desain Sistem Saluran Model 1 Element Satuan Cast Height (m) 0,10135 Diameter (in) (m) 0,1478 Diameter (out) (m) 0,162 Sprue Bottom Area (m2) 7,54296E-05 Top Area (m2) 0, Length (m) 0,12 Pouring Basin Depth (m) 0,04 Area (m2) 0, Sprue Basin/well Depth (m) 0,0392 Area (m2) 0, Runner/gate (round) Length (m) 0,1524 Area (m2) 0, Riser (round) diameter (m) 0, Volume(m3) 0,

94 Model 2 Element Satuan Cast Height (m) 0,10135 Diameter (in) (m) 0,1478 Diameter (out) (m) 0,162 Sprue Bottom Area (m2) 0, Top Area (m2) 0, Length (m) 0,12 Pouring Basin Depth (m) 0,04 Area (m2) 0, Sprue Basin/well Depth (m) 0,0392 Area (m2) 0, Runner/gate (square) Length (m) 0,1524 Area (m2) 0, Riser (square) Dimaeter (m) 0,0739 Volume (m3) 0, Perhitungan Shrinkage dan Volume Akhir Cor setelah Simulasi V. awal = V diameter besar V diameter kecil V diameter total = π x r 2 x t V awal=(3.14*0.081^2*0.0259)+(3.14*0.014^2* ) shrinkage = V.awal V. akhir Model 1 r1= (-8.10E E-02)/2= E-02 t1=( -1.24E E-02)/2=-1.24E-02 r2=( -1.40E E-02)/2= t2=( E E-01)/2= r3= t3=

95 Vakhir=(3.14* ^2* )+(3.14* ^2* )+(3.14* ^2* ) = mm 3 Shrinkage = mm mm 3 = mm 3 Model 2 r1= t1=-1.24e-02 r2= t2= r3= t3= Vakhir=(3.14* ^2* )+(3.14* ^2* )+(3.14* ^2* ) = mm 3 Shrinkage = mm mm 3 = mm 3 Model 3 r1= t1= r2= t2=

96 r3= t3= Vakhir=(3.14* ^2* )+(3.14* ^2* )+(3.14* ^2* ) = m 3 Shrinkage = m m 3 = m 3 Model 4 r1= E-02 t1= r2= t2= r3= t3= Vakhir=(3.14* ^2* )+(3.14* ^2* )+(3.14* ^2* ) = m 3 Shrinkage = m m 3 = m 3 3. Kualitas Cetakan Model 1 Feeding yield : m3 x100% = % m3 Quality : m m3 x100% = % Model 2

97 Feeding yield : Quality : m3 x100% = 0,73 % m m m3 x100% = 98,72 % Model 3 Feeding yield : m3 x100% = 0,31 % m3 Quality : m3 x100% = 98,9% m3 Model 4 Feeding yield : m3 x100% = 0,759 % m3 Quality : m3 x100% = 98.68% m3 4. Data Penelitian 1. Volume Akhir coran Waktu (detik) Volume Akhir Cor (m 3 ) Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 0 0, , , , , , , , , , , , , , , Kenaikan Massa Jenis pada Coran

98 Massa Jenis Time Model 1 Model 2 Model 3 Model E E Shrinkage spesimen uji tarik VOLUME VOLUME AKHIR Part Part Formula Volume Total Unit Density Formula Volume Total Unit Density P*L*T mm³ P*L*T mm³ Balok Pinggir Balok Pinggir g/mm³ mm³ mm³ Limas Terpancung (((S1+S2)*t)/2)*T Limas Terpancung (((S1+S2)*t)/2)*T mm³ mm³ Balok Tengah P*L*T Balok Tengah P*L*T Weight Limas Terpancung (((S1+S2)*t)/2)*T Total Volum mm³ gr mm³ Balok Pinggir P*L*T mm³ Weight Total Volume mm³ Titik X Y Z Balok Pinggir 1 A1=node(0,0.011,0) A Panjang Lebar Tebal Masukkan ke samping kiri E E Shrinkage q A1x A A2=node(-0.011,-0.011,0) Prisma 1 Masukkan ke samping kiri 3.77E E E-04 Sisi 1 Sisi 2 Tinggi Tebal A2x B1=node(0,0.011,0.052) B Eksperimen Masukkan ke samping kiri Balok Tengah E E B1x Panjang Lebar Tebal B2=node(-0.011,-0.011,0.052) B E E E E-05 Masukkan ke samping kiri B2x Prisma 2 C1=node(0,0.011,0.0725) C Sisi 1 Sisi 2 Tinggi Tebal Masukkan ke samping kiri E E C1x C C2=node(-0.075,-0.011,0.0725) Balok Pinggir 1 Masukkan ke samping kiri 4.73E E E-05 Panjang Lebar Tebal C2x D D1=node(0,0.011,0.1325) Masukkan ke samping kiri E E-05 D1x D D2=node( ,-0.011,0.1325) 4.72E E E-05 Masukkan ke samping kiri D2x E E1=node(0,0.011,0.153) Masukkan ke samping kiri E E-05 E1x E E2=node(-0.011,-0.011,0.153) 5.35E E E-05 Masukkan ke samping kiri E2x F F1=node(0,0.011,0.205) Masukkan ke samping kiri E E-04 F1x F F2=node(-0.011,-0.011,0.205) 3.76E E E-04 Masukkan ke samping kiri F2x

99 4. Tegangan Termal Keempat Model TIME Thermal Stress 1 TIME Thermal Stress 2 TIME Thermal Stress 3 TIME Thermal Stres E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E E+08

100 (halaman ini sengaja dikosongkan)

101 Penulis yang bernama lengkap Rommel T dilahirkan di Perawang pada 06 Februari Penulis telah menempuh pendidikan formal yaitu TK YPPI Perawang, SMP YPPI Perawang dan SMA St.Thomas 1 Medan, penulis melanjuti studinya melalui jalur SNMPTN dan menjadi mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember 2013 pada Jurusan Teknik Material dan Metalurgi FTI ITS dengan nomor registrasi pokok Semasa kuliah, penulis terdaftar sebagai anggota aktif di Departemen Keilmiahan HMMT FTI-ITS pada periode , dan di Laboratorium Pemodelan Material dan Komputasi. Selesainya tugas akhir ini mengantarkan penulis memperoleh gelar Sarjana Teknik (ST) pada Jurusan Teknik Material dan Metalurgi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. rommeltinambunan017@gmail.com No.Hp :

ANALISA DAN SIMULASI NUMERIKAL PROSES SAND CASTING DALAM PEMBUATAN FEMALE CONTACT RESISTOR BERBAHAN DASAR COPPER

ANALISA DAN SIMULASI NUMERIKAL PROSES SAND CASTING DALAM PEMBUATAN FEMALE CONTACT RESISTOR BERBAHAN DASAR COPPER TUGAS AKHIR TL 141584 ANALISA DAN SIMULASI NUMERIKAL PROSES SAND CASTING DALAM PEMBUATAN FEMALE CONTACT RESISTOR BERBAHAN DASAR COPPER Candra Simon Septyan NRP 2713 100 080 Dosen Pembimbing : Mas Irfan

Lebih terperinci

Analisa Proses Perpindahan Panas pada Pengecoran Paduan Al-12%Si dengan Metode Elemen Hingga

Analisa Proses Perpindahan Panas pada Pengecoran Paduan Al-12%Si dengan Metode Elemen Hingga A492 Analisa Proses Perpindahan Panas pada Pengecoran Paduan Al-12%Si dengan Metode Elemen Hingga Muhammad Bahtiyar Firdaus, Mas Irfan P. Hidayat, Dian Mughni Fellicia Teknik Material dan Metalurgi, Fakultas

Lebih terperinci

PERANCANGAN PENGECORAN KONSTRUKSI CORAN DAN PERANCANGAN POLA

PERANCANGAN PENGECORAN KONSTRUKSI CORAN DAN PERANCANGAN POLA KONSTRUKSI CORAN DAN PERANCANGAN POLA Arianto Leman S., MT Disampaikan dalam : PELATIHAN PENGEMBANGAN RINTISAN PENGECORAN SKALA MINI BAGI GURU-GURU SMK DI YOGYAKARTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI

Lebih terperinci

STUDI EKSPERIMEN PENGARUH VARIASI DIMENSI CIL DALAM (INTERNAL CHILL) TERHADAP CACAT PENYUSUTAN (SHRINKAGE) PADA PENGECORAN ALUMINIUM 6061

STUDI EKSPERIMEN PENGARUH VARIASI DIMENSI CIL DALAM (INTERNAL CHILL) TERHADAP CACAT PENYUSUTAN (SHRINKAGE) PADA PENGECORAN ALUMINIUM 6061 STUDI EKSPERIMEN PENGARUH VARIASI DIMENSI CIL DALAM (INTERNAL CHILL) TERHADAP CACAT PENYUSUTAN (SHRINKAGE) PADA PENGECORAN ALUMINIUM 6061 Oleh: NURHADI GINANJAR KUSUMA NRP. 2111106036 Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

BAB 3. PENGECORAN LOGAM

BAB 3. PENGECORAN LOGAM BAB 3. PENGECORAN LOGAM Kompetensi Sub Kompetensi : Menguasai ketrampilan pembentukan material melalui proses pengecoran : Menguasai pembentukan komponen dari aluminiun melalui pengecoran langsung DASAR

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN TEMBAGA (Cu) TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO PADA PADUAN ALUMINIUM-SILIKON (Al-Si) MELALUI PROSES PENGECORAN

PENGARUH PENAMBAHAN TEMBAGA (Cu) TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO PADA PADUAN ALUMINIUM-SILIKON (Al-Si) MELALUI PROSES PENGECORAN Laporan Tugas Akhir PENGARUH PENAMBAHAN TEMBAGA (Cu) TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO PADA PADUAN ALUMINIUM-SILIKON (Al-Si) MELALUI PROSES PENGECORAN Nama Mahasiswa : I Made Pasek Kimiartha NRP

Lebih terperinci

Jurnal Flywheel, Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN :

Jurnal Flywheel, Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN : PENGARUH TEMPERATUR PENUANGAN PADUAN AL-SI (SERI 4032) TERHADAP HASIL PENGECORAN Ir. Drs Budiyanto Dosen Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Nasional Malang ABSTRAK Proses produksi

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: ( Print) F-266

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: ( Print) F-266 JURNAL TEKNIK POMITS Vol., No., (4) ISSN: 7-59 (-97 Print) F-66 Pengaruh Variasi Komposisi Serbuk Kayu dengan Pengikat Semen pada Pasir Cetak terhadap Cacat Porositas dan Kekasaran Permukaan Hasil Pengecoran

Lebih terperinci

STUDI EKSPERIMEN PENGARUH VARIASI DIMENSI CIL DALAM (INTERNAL CHILL) TERHADAP CACAT PENYUSUTAN (SHRINKAGE) PADA PENGECORAN ALUMINIUM 6061

STUDI EKSPERIMEN PENGARUH VARIASI DIMENSI CIL DALAM (INTERNAL CHILL) TERHADAP CACAT PENYUSUTAN (SHRINKAGE) PADA PENGECORAN ALUMINIUM 6061 JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2012) ISSN: 2301-9271 1 STUDI EKSPERIMEN PENGARUH VARIASI DIMENSI CIL DALAM (INTERNAL CHILL) TERHADAP CACAT PENYUSUTAN (SHRINKAGE) PADA PENGECORAN ALUMINIUM 6061 Nurhadi

Lebih terperinci

PEMBUATAN POLA dan CETAKAN HOLDER MESIN UJI IMPAK CHARPY TYPE Hung Ta 8041A MENGGUNAKAN METODE SAND CASTING

PEMBUATAN POLA dan CETAKAN HOLDER MESIN UJI IMPAK CHARPY TYPE Hung Ta 8041A MENGGUNAKAN METODE SAND CASTING PEMBUATAN POLA dan CETAKAN HOLDER MESIN UJI IMPAK CHARPY TYPE Hung Ta 8041A MENGGUNAKAN METODE SAND CASTING URZA RAHMANDA, EDDY WIDYONO Jurusan D3 Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri, ITS Surabaya

Lebih terperinci

ANALISA PENGARUH AGING 400 ºC PADA ALUMINIUM PADUAN DENGAN WAKTU TAHAN 30 DAN 90 MENIT TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS

ANALISA PENGARUH AGING 400 ºC PADA ALUMINIUM PADUAN DENGAN WAKTU TAHAN 30 DAN 90 MENIT TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS TUGAS AKHIR ANALISA PENGARUH AGING 400 ºC PADA ALUMINIUM PADUAN DENGAN WAKTU TAHAN 30 DAN 90 MENIT TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS Disusun : SUDARMAN NIM : D.200.02.0196 JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS

Lebih terperinci

Metal Casting Processes. Teknik Pembentukan Material

Metal Casting Processes. Teknik Pembentukan Material Metal Casting Processes Teknik Pembentukan Material Pengecoran (Casting) adalah suatu proses penuangan materi cair seperti logam atau plastik yang dimasukkan ke dalam cetakan, kemudian dibiarkan membeku

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR MIKRO CORAN PENGENCANG MEMBRAN PADA ALAT MUSIK DRUM PADUAN ALUMINIUM DENGAN CETAKAN LOGAM

ANALISIS STRUKTUR MIKRO CORAN PENGENCANG MEMBRAN PADA ALAT MUSIK DRUM PADUAN ALUMINIUM DENGAN CETAKAN LOGAM ANALISIS STRUKTUR MIKRO CORAN PENGENCANG MEMBRAN PADA ALAT MUSIK DRUM PADUAN ALUMINIUM DENGAN CETAKAN LOGAM Indreswari Suroso 1) 1) Program Studi Aeronautika, Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan, Yogyakarta

Lebih terperinci

ANALISA DAN SIMULASI NUMERIK PROSES SAND CASTING DALAM PEMBUATAN KONTAK SISI BAWAH RESISTOR BERBAHAN DASAR ALUMINIUM 2024

ANALISA DAN SIMULASI NUMERIK PROSES SAND CASTING DALAM PEMBUATAN KONTAK SISI BAWAH RESISTOR BERBAHAN DASAR ALUMINIUM 2024 TUGAS AKHIR TL091584 ANALISA DAN SIMULASI NUMERIK PROSES SAND CASTING DALAM PEMBUATAN KONTAK SISI BAWAH RESISTOR BERBAHAN DASAR ALUMINIUM 2024 Rinush Fedrikdo Paltgor NRP 2713 100 082 Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

Gambar 1 Sistem Saluran

Gambar 1 Sistem Saluran BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Sebutkan dan jelaskan komponen-komponen gating system! Sistem saluran (gating system) didefinisikan sebagai jalan masuk atau saluran bagi logam cair yang dituangkan dari ladel

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan bahan dasar velg racing sepeda motor bekas kemudian velg tersebut diremelting dan diberikan penambahan Si sebesar 2%,4%,6%, dan 8%. Pengujian yang

Lebih terperinci

STUDI SIMULASI DAN EKSPERIMEN PENGARUH KETEBALAN DINDING EXOTHERMIC RISER TERHADAP CACAT SHRINKAGE PADA PENGECORAN ALUMINIUM 6061 METODE SAND CASTING

STUDI SIMULASI DAN EKSPERIMEN PENGARUH KETEBALAN DINDING EXOTHERMIC RISER TERHADAP CACAT SHRINKAGE PADA PENGECORAN ALUMINIUM 6061 METODE SAND CASTING Sidang Tugas Akhir (TM 091486) STUDI SIMULASI DAN EKSPERIMEN PENGARUH KETEBALAN DINDING EXOTHERMIC RISER TERHADAP CACAT SHRINKAGE PADA PENGECORAN ALUMINIUM 6061 METODE SAND CASTING oleh : Rachmadi Norcahyo

Lebih terperinci

VARIASI PENAMBAHAN FLUK UNTUK MENGURANGI CACAT LUBANG JARUM DAN PENINGKATAN KEKUATAN MEKANIK

VARIASI PENAMBAHAN FLUK UNTUK MENGURANGI CACAT LUBANG JARUM DAN PENINGKATAN KEKUATAN MEKANIK VARIASI PENAMBAHAN FLUK UNTUK MENGURANGI CACAT LUBANG JARUM DAN PENINGKATAN KEKUATAN MEKANIK Bambang Suharnadi Program Diploma Teknik Mesin Sekolah Vokasi UGM suharnadi@ugm.ac.id Nugroho Santoso Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aluminium (Al) adalah salah satu logam non ferro yang memiliki. ketahanan terhadap korosi, dan mampu bentuk yang baik.

BAB I PENDAHULUAN. Aluminium (Al) adalah salah satu logam non ferro yang memiliki. ketahanan terhadap korosi, dan mampu bentuk yang baik. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aluminium (Al) adalah salah satu logam non ferro yang memiliki beberapa keunggulan, diantaranya adalah memiliki berat jenis yang ringan, ketahanan terhadap korosi,

Lebih terperinci

PENGARUH VOLUME EXOTHERMIC RISER TERHADAP CACAT SHRINKAGE PADA PENGECORAN ALUMINIUM 6061 DENGAN METODE SAND CASTING

PENGARUH VOLUME EXOTHERMIC RISER TERHADAP CACAT SHRINKAGE PADA PENGECORAN ALUMINIUM 6061 DENGAN METODE SAND CASTING TUGAS AKHIR Surabaya, 15 Juli 2014 PENGARUH VOLUME EXOTHERMIC RISER TERHADAP CACAT SHRINKAGE PADA PENGECORAN ALUMINIUM 6061 DENGAN METODE SAND CASTING Oleh : Muhammad MisbahulMunir NRP. 2112 105 026 Dosen

Lebih terperinci

Studi Eksperimen Pengaruh Variasi Dimensi Cil dalam (Internal Chill) terhadap Cacat Penyusutan (Shrinkage) pada Pengecoran Aluminium 6061

Studi Eksperimen Pengaruh Variasi Dimensi Cil dalam (Internal Chill) terhadap Cacat Penyusutan (Shrinkage) pada Pengecoran Aluminium 6061 JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) F-271 Studi Eksperimen Pengaruh Variasi Dimensi Cil dalam ( Chill) terhadap Cacat Penyusutan (Shrinkage) pada Pengecoran Aluminium

Lebih terperinci

11 BAB II LANDASAN TEORI

11 BAB II LANDASAN TEORI 11 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Velg Sepeda Motor [9] Velg atau rim adalah lingkaran luar logam yang sudah di desain dengan bentuk sesuai standar (ISO 5751 dan ISO DIS 4249-3), dan sebagai tempat terpasangnya

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH SALURAN MASUK TERHADAP CACAT CORAN PADA PEMBUATAN POROS ENGKOL (CRANKSHAFT) FCD 600 MENGGUNAKAN PENGECORAN PASIR

PENGARUH JUMLAH SALURAN MASUK TERHADAP CACAT CORAN PADA PEMBUATAN POROS ENGKOL (CRANKSHAFT) FCD 600 MENGGUNAKAN PENGECORAN PASIR PENGARUH JUMLAH SALURAN MASUK TERHADAP CACAT CORAN PADA PEMBUATAN POROS ENGKOL (CRANKSHAFT) FCD 600 MENGGUNAKAN PENGECORAN PASIR Oleh: Muhamad Nur Harfianto 2111 105 025 Dosen Pembimbing: Dr. Ir. Soeharto,

Lebih terperinci

Jurnal Flywheel, Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN :

Jurnal Flywheel, Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN : ANALISIS SIMULASI PENGARUH SUDUT CETAKAN TERHADAP GAYA DAN TEGANGAN PADA PROSES PENARIKAN KAWAT TEMBAGA MENGGUNAKAN PROGRAM ANSYS 8.0 I Komang Astana Widi Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri,

Lebih terperinci

ANALISA PERBANDINGAN PEMAKAIAN RISER RING DAN CROWN PADA PENGECORAN VELG TIPE MS 366 DENGAN UJI SIMULASI MENGGUNAKAN CAE ADSTEFAN

ANALISA PERBANDINGAN PEMAKAIAN RISER RING DAN CROWN PADA PENGECORAN VELG TIPE MS 366 DENGAN UJI SIMULASI MENGGUNAKAN CAE ADSTEFAN ANALISA PERBANDINGAN PEMAKAIAN RISER RING DAN CROWN PADA PENGECORAN VELG TIPE MS 366 DENGAN UJI SIMULASI MENGGUNAKAN CAE ADSTEFAN Oleh: M.Nawarul Fuad Shibu lijack LATAR BELAKANG Fungsi velg sebagai roda

Lebih terperinci

STUDI EKSPERIMEN PENGARUH WAKTU PENIUPAN PADA METODA DEGASSING JENIS LANCE PIPE, DAN POROUS PLUG TERHADAP KUALITAS CORAN PADUAN ALUMINIUM A356.

STUDI EKSPERIMEN PENGARUH WAKTU PENIUPAN PADA METODA DEGASSING JENIS LANCE PIPE, DAN POROUS PLUG TERHADAP KUALITAS CORAN PADUAN ALUMINIUM A356. STUDI EKSPERIMEN PENGARUH WAKTU PENIUPAN PADA METODA DEGASSING JENIS LANCE PIPE, DAN POROUS PLUG TERHADAP KUALITAS CORAN PADUAN ALUMINIUM A356.0 Hari Subiyanto 1), Subowo 2), Gathot D.W 3), Syamsul Hadi

Lebih terperinci

MODUL PDTM PENGECORAN LOGAM

MODUL PDTM PENGECORAN LOGAM MODUL PDTM PENGECORAN LOGAM OLEH: TIM PEMESINAN SMK PGRI 1 NGAWI CONTACT PERSON: HOIRI EFENDI, S.Pd. 085736430673 TIM PDTM SMK PGRI 1 NGAWI 1 PENDAHULUAN A. DESKRIPSI Judul modul ini adalah Modul Pengecoran.

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2012) ISSN:

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 2, (2012) ISSN: JURNAL TEKNIK POMITS Vol., No., () ISSN: -97 Pengaruh Variasi Komposisi Serbuk Kayu Dengan Pengikat Semen Pada Pasir Cetak Terhadap Cacat Porositas Dan Kekasaran Permukaan Hasil Pengecoran Aluminium Alloy

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimana logam dicairkan dalam tungku peleburan kemudian. dituangkan kedalam rongga cetakan yang serupa dengan bentuk asli

BAB I PENDAHULUAN. dimana logam dicairkan dalam tungku peleburan kemudian. dituangkan kedalam rongga cetakan yang serupa dengan bentuk asli BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Pengecoran casting adalah salah satu teknik pembuatan produk dimana logam dicairkan dalam tungku peleburan kemudian dituangkan kedalam rongga cetakan yang

Lebih terperinci

PROSES MANUFACTURING

PROSES MANUFACTURING PROSES MANUFACTURING Proses Pengerjaan Logam mengalami deformasi plastik dan perubahan bentuk pengerjaan panas, gaya deformasi yang diperlukan adalah lebih rendah dan perubahan sifat mekanik tidak seberapa.

Lebih terperinci

MATERIAL TEKNIK LOGAM

MATERIAL TEKNIK LOGAM MATERIAL TEKNIK LOGAM LOGAM Logam adalah Jenis material teknik yang dipakai secara luas,dan menjadi teknologi modern yaitu material logam yang dapat dipakai secara fleksibel dan mempunyai beberapa karakteristik.

Lebih terperinci

BAB V PROSES PENGECORAN BAB V PROSES PENGECORAN

BAB V PROSES PENGECORAN BAB V PROSES PENGECORAN BAB V PROSES PENGECORAN Bertitik tolak pada cara kerja proses ini, maka proses pembuatan jenis ini dapat dibagi menjadi 2, yaitu: 1. Proses penuangan. 2. Proses pencetakan. Proses penuangan adalah proses

Lebih terperinci

TUGAS PENGETAHUAN BAHAN TEKNIK II CETAKAN PERMANEN

TUGAS PENGETAHUAN BAHAN TEKNIK II CETAKAN PERMANEN TUGAS PENGETAHUAN BAHAN TEKNIK II CETAKAN PERMANEN Disusun Oleh Nama Anggota : Rahmad Trio Rifaldo (061530202139) Tris Pankini (061530200826) M Fikri Pangidoan Harahap (061530200820) Kelas : 3ME Dosen

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL PENGECORAN ALUMINIUM DENGAN VARIASI MEDIA PENDINGINAN

ANALISIS HASIL PENGECORAN ALUMINIUM DENGAN VARIASI MEDIA PENDINGINAN ANALISIS HASIL PENGECORAN ALUMINIUM DENGAN VARIASI MEDIA PENDINGINAN Dosen Jurusan Teknik Mesin Universitas Janabadra Yogyakarta INTISARI Setiap logam akan mengalami perubahan fasa selama proses pengecoran,

Lebih terperinci

PENGUJIAN KEKUATAN TARIK PRODUK COR PROPELER ALUMUNIUM. Hera Setiawan 1* Gondangmanis, PO Box 53, Bae, Kudus 59352

PENGUJIAN KEKUATAN TARIK PRODUK COR PROPELER ALUMUNIUM. Hera Setiawan 1* Gondangmanis, PO Box 53, Bae, Kudus 59352 PENGUJIAN KEKUATAN TARIK PRODUK COR PROPELER ALUMUNIUM Hera Setiawan 1* 1 Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Muria Kudus Gondangmanis, PO Box 53, Bae, Kudus 59352 * Email: herasetiawan6969@yahoo.com

Lebih terperinci

PENGARUH UKURAN NECK RISER TERHADAP CACAT PENYUSUTAN DAN CACAT POROSITAS PADA PROSES PENGECORAN ALUMINIUM MENGGUNAKAN CETAKAN PASIR SKRIPSI

PENGARUH UKURAN NECK RISER TERHADAP CACAT PENYUSUTAN DAN CACAT POROSITAS PADA PROSES PENGECORAN ALUMINIUM MENGGUNAKAN CETAKAN PASIR SKRIPSI PENGARUH UKURAN NECK RISER TERHADAP CACAT PENYUSUTAN DAN CACAT POROSITAS PADA PROSES PENGECORAN ALUMINIUM MENGGUNAKAN CETAKAN PASIR SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. industri terus berkembang dan di era modernisasi yang terjadi saat. ini, menuntut manusia untuk melaksanakan rekayasa guna

BAB I PENDAHULUAN. industri terus berkembang dan di era modernisasi yang terjadi saat. ini, menuntut manusia untuk melaksanakan rekayasa guna BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan Aluminium dan Logam paduan Aluminium didunia industri terus berkembang dan di era modernisasi yang terjadi saat ini, menuntut manusia untuk melaksanakan

Lebih terperinci

ANALISIS SIFAT FISIS DAN MEKANIS ALUMUNIUM PADUAN Al, Si, Cu DENGAN CETAKAN PASIR

ANALISIS SIFAT FISIS DAN MEKANIS ALUMUNIUM PADUAN Al, Si, Cu DENGAN CETAKAN PASIR TUGAS AKHIR ANALISIS SIFAT FISIS DAN MEKANIS ALUMUNIUM PADUAN Al, Si, Cu DENGAN CETAKAN PASIR Disusun : Arief Wahyu Budiono D 200 030 163 JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

Pengaruh kadar air pasir cetak terhadap kualitas coran paduan Aluminium

Pengaruh kadar air pasir cetak terhadap kualitas coran paduan Aluminium Jurnal Kompetensi Teknik Vol. 6, No.1, November 2014 1 Pengaruh kadar air pasir cetak terhadap kualitas coran paduan Aluminium Widi Widayat 1, Aris Budiyono 2 1,2. Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH TEMPERATUR PENUANGAN DAN TEMPERATUR CETAKAN TERHADAP SIFAT MEKANIS BAHAN PADUAN Al-Zn

ANALISIS PENGARUH TEMPERATUR PENUANGAN DAN TEMPERATUR CETAKAN TERHADAP SIFAT MEKANIS BAHAN PADUAN Al-Zn ANALISIS PENGARUH TEMPERATUR PENUANGAN DAN TEMPERATUR CETAKAN TERHADAP SIFAT MEKANIS BAHAN PADUAN Al-Zn Teguh Raharjo, Wayan Sujana Jutusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi dustri Institut Teknologi Nasional

Lebih terperinci

MODUL 7 PROSES PENGECORAN LOGAM

MODUL 7 PROSES PENGECORAN LOGAM MODUL 7 PROSES PENGECORAN LOGAM Materi ini membahas tentang pembuatan besi tuang dan besi tempa. Tujuan instruksional khusus yang ingin dicapai adalah (1) Menjelaskan peranan teknik pengecoran dalam perkembangan

Lebih terperinci

Pengaruh Modulus Cor Riser Terhadap Cacat Penyusutan Pada Produk Paduan Al-Si

Pengaruh Modulus Cor Riser Terhadap Cacat Penyusutan Pada Produk Paduan Al-Si Pengaruh Modulus Cor Riser Terhadap Cacat Penyusutan Pada Produk Paduan Al-Si (Soejono Tjitro, et al.) Pengaruh Modulus Cor Riser Terhadap Cacat Penyusutan Pada Produk Paduan Al-Si Soejono Tjitro Dosen

Lebih terperinci

ANALISIS PEMBUATAN HANDLE REM SEPEDA MOTOR DARI BAHAN PISTON BEKAS. Abstrak

ANALISIS PEMBUATAN HANDLE REM SEPEDA MOTOR DARI BAHAN PISTON BEKAS. Abstrak ANALISIS PEMBUATAN HANDLE REM SEPEDA MOTOR DARI BAHAN PISTON BEKAS Boedijanto, Eko Sulaksono Abstrak Bahan baku handle rem sepeda motor dari limbah piston dengan komposisi Al: 87.260, Cr: 0.017, Cu: 1.460,

Lebih terperinci

TUGAS SARJANA. ANALISA PENGARUH BAHAN CETAKAN PADA PENGECORAN PADUAN Al- Cu TERHADAP WAKTU PENDINGINAN DAN SIFAT MEKANIS CORAN

TUGAS SARJANA. ANALISA PENGARUH BAHAN CETAKAN PADA PENGECORAN PADUAN Al- Cu TERHADAP WAKTU PENDINGINAN DAN SIFAT MEKANIS CORAN TUGAS SARJANA ANALISA PENGARUH BAHAN CETAKAN PADA PENGECORAN PADUAN Al- Cu TERHADAP WAKTU PENDINGINAN DAN SIFAT MEKANIS CORAN Diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan tingkat

Lebih terperinci

BAB III PROSES PENGECORAN LOGAM

BAB III PROSES PENGECORAN LOGAM BAB III PROSES PENGECORAN LOGAM 3.1.Peralatan dan Perlengkapan dalam Pengecoran Tahap yang paling utama dalam pengecoran logam kita harus mengetahui dan memahami peralatan dan perlengkapannya. Dalam Sand

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengecoran Logam Pengecoran logam adalah proses pembuatan benda dengan mencairkan logam dan menuangkan cairan logam tersebut ke dalam rongga cetakan. Proses ini dapat digunakan

Lebih terperinci

ANALISA PENGARUH PENAMBAHAN ABU SERBUK KAYU TERHADAP KARAKTERISTIK PASIR CETAK DAN CACAT POROSITAS HASIL PENGECORAN ALUMINIUM 6061 SIDANG TUGAS AKHIR

ANALISA PENGARUH PENAMBAHAN ABU SERBUK KAYU TERHADAP KARAKTERISTIK PASIR CETAK DAN CACAT POROSITAS HASIL PENGECORAN ALUMINIUM 6061 SIDANG TUGAS AKHIR ANALISA PENGARUH PENAMBAHAN ABU SERBUK KAYU TERHADAP KARAKTERISTIK PASIR CETAK DAN CACAT POROSITAS HASIL PENGECORAN ALUMINIUM 6061 SIDANG TUGAS AKHIR Latar belakang Pengecoran logam Hasil pengecoran aluminium

Lebih terperinci

Pengaruh Bentuk Riser Terhadap Cacat Penyusutan Produk Cor Aluminium Cetakan Pasir

Pengaruh Bentuk Riser Terhadap Cacat Penyusutan Produk Cor Aluminium Cetakan Pasir Pengaruh Bentuk Riser Terhadap Cacat Penyusutan Produk Cor Aluminium Cetakan Pasir (Soejono Tjitro) Pengaruh Bentuk Riser Terhadap Cacat Penyusutan Produk Cor Aluminium Cetakan Pasir Soejono Tjitro Dosen

Lebih terperinci

PENGARUH PUTARAN TERHADAP LAJU KEAUSAN Al-Si ALLOY MENGGUNAKAN METODE PIN ON DISK TEST

PENGARUH PUTARAN TERHADAP LAJU KEAUSAN Al-Si ALLOY MENGGUNAKAN METODE PIN ON DISK TEST PENGARUH PUTARAN TERHADAP LAJU KEAUSAN Al-Si ALLOY MENGGUNAKAN METODE PIN ON DISK TEST Ikwansyah Isranuri (1),Jamil (2),Suprianto (3) (1),(2),(3) Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik USU Jl. Almamater,

Lebih terperinci

ANALISIS SIFAT FISIS DAN MEKANIS ALUMINIUM (Al) PADUAN DAUR ULANG DENGAN MENGGUNAKAN CETAKAN LOGAM DAN CETAKAN PASIR

ANALISIS SIFAT FISIS DAN MEKANIS ALUMINIUM (Al) PADUAN DAUR ULANG DENGAN MENGGUNAKAN CETAKAN LOGAM DAN CETAKAN PASIR ANALISIS SIFAT FISIS DAN MEKANIS ALUMINIUM (Al) PADUAN DAUR ULANG DENGAN MENGGUNAKAN CETAKAN LOGAM DAN CETAKAN PASIR Masyrukan Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Surakarta JL. A.Yani Tromol Pos I Pabelan

Lebih terperinci

XI. KEGIATAN BELAJAR 11 CACAT CORAN DAN PENCEGAHANNYA. Cacat coran dan pencegahannya dapat dijelaskan dengan benar

XI. KEGIATAN BELAJAR 11 CACAT CORAN DAN PENCEGAHANNYA. Cacat coran dan pencegahannya dapat dijelaskan dengan benar XI. KEGIATAN BELAJAR 11 CACAT CORAN DAN PENCEGAHANNYA A. Sub Kompetensi Cacat coran dan pencegahannya dapat dijelaskan dengan benar B. Tujuan Kegiatan Pembelajaran Setelah pembelajaran ini mahasiswa mampu

Lebih terperinci

Merencanakan Pembuatan Pola

Merencanakan Pembuatan Pola SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN TEKNIK PENGECORAN LOGAM Merencanakan Pembuatan Pola Arianto Leman Soemowidagdo KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL PENGECORAN SENTRIFUGAL DENGAN MENGGUNAKAN MATERIAL ALUMINIUM

ANALISIS HASIL PENGECORAN SENTRIFUGAL DENGAN MENGGUNAKAN MATERIAL ALUMINIUM ANALISIS HASIL PENGECORAN SENTRIFUGAL DENGAN MENGGUNAKAN MATERIAL ALUMINIUM SUHADA AMIR MUKMININ 123030037 Pembimbing : IR. BUKTI TARIGAN.MT IR. ENDANG ACHDI.MT Latar Belakang CACAT CACAT PENGECORAN Mempelajari

Lebih terperinci

BAB IV SIMULASI DAN ANALISIS CETAKAN RING, CONE DAN BLADE

BAB IV SIMULASI DAN ANALISIS CETAKAN RING, CONE DAN BLADE BAB IV SIMULASI DAN ANALISIS CETAKAN RING, CONE DAN BLADE Hasil perancangan cetakan sistem penambah dan sistem saluran pada bab III yang menghasilkan model cetakan dalam proses pengecoran belum dapat dipastikan

Lebih terperinci

ANALISIS PERBANDINGAN MODEL CACAT CORAN PADA BAHAN BESI COR DAN ALUMINIUM DENGAN VARIASI TEMPERATUR TUANG SISTEM CETAKAN PASIR

ANALISIS PERBANDINGAN MODEL CACAT CORAN PADA BAHAN BESI COR DAN ALUMINIUM DENGAN VARIASI TEMPERATUR TUANG SISTEM CETAKAN PASIR INDUSTRI INOVATIF Vol. 6, No., Maret 06: 38-44 ANALISIS PERBANDINGAN MODEL CACAT CORAN PADA BAHAN BESI COR DAN ALUMINIUM DENGAN VARIASI TEMPERATUR TUANG SISTEM CETAKAN PASIR ) Aladin Eko Purkuncoro, )

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam membuat suatu produk, bahan teknik merupakan komponen. yang penting disamping komponen lainnya. Para perancang, para

BAB I PENDAHULUAN. Dalam membuat suatu produk, bahan teknik merupakan komponen. yang penting disamping komponen lainnya. Para perancang, para 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam membuat suatu produk, bahan teknik merupakan komponen yang penting disamping komponen lainnya. Para perancang, para pengambil keputusan dan para ahli produksi

Lebih terperinci

14. Magnesium dan Paduannya (Mg and its alloys)

14. Magnesium dan Paduannya (Mg and its alloys) 14. Magnesium dan Paduannya (Mg and its alloys) Magnesium adalah logam ringan dan banyak digunakan untuk aplikasi yang membutuhkan massa jenis yang ringan. Karakteristik : - Memiliki struktur HCP (Hexagonal

Lebih terperinci

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA PENELITIAN

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA PENELITIAN BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA PENELITIAN 3.1 Diagram Alir Penelitian Pada penelitian ini langkah-langkah pengujian ditunjukkan pada Gambar 3.1: Mulai Mempersiapkan Alat Dan Bahan Proses Pengecoran

Lebih terperinci

PEMBUATAN BRACKET PADA DUDUKAN CALIPER. NAMA : BUDI RIYONO NPM : KELAS : 4ic03

PEMBUATAN BRACKET PADA DUDUKAN CALIPER. NAMA : BUDI RIYONO NPM : KELAS : 4ic03 PEMBUATAN BRACKET PADA DUDUKAN CALIPER NAMA : BUDI RIYONO NPM : 21410473 KELAS : 4ic03 LATAR BELAKANG MASALAH Dewasa ini perkembangan dunia otomotif sangat berkembang dengan pesat, begitu juga halnya dengan

Lebih terperinci

Studi Eksperimen Pengaruh Jenis Saluran pada Aluminium Sand Casting terhadap Porositas Produk Toroidal Piston

Studi Eksperimen Pengaruh Jenis Saluran pada Aluminium Sand Casting terhadap Porositas Produk Toroidal Piston JURNAL TEKNIK ITS Vol. 1, No. 1 (Sept. 2012) ISSN: 2301-9271 F-126 Studi Eksperimen Pengaruh pada Aluminium Sand Casting terhadap Porositas Produk Toroidal Piston Rizal Mahendra Pratama dan Soeharto Jurusan

Lebih terperinci

BESI COR. 4.1 Struktur besi cor

BESI COR. 4.1 Struktur besi cor BESI COR Pendahuluan Besi cor adalah bahan yang sangat penting dan dipergunakan sebagai bahan coran lebih dari 80%. Besi cor merupakan paduan besi dan karbon dengan kadar 2 %s/d 4,1% dan sejumlah kecil

Lebih terperinci

Pengaruh Variasi Komposisi Kimia dan Kecepatan Kemiringan Cetakan Tilt Casting Terhadap Kerentanan Hot Tearing Paduan Al-Si-Cu

Pengaruh Variasi Komposisi Kimia dan Kecepatan Kemiringan Cetakan Tilt Casting Terhadap Kerentanan Hot Tearing Paduan Al-Si-Cu Pengaruh Variasi Komposisi Kimia dan Kecepatan Kemiringan Cetakan Tilt Casting Terhadap Kerentanan Hot Tearing Paduan Cu Bambang Tjiroso 1, Agus Dwi Iskandar 2 Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik

Lebih terperinci

ANALISA PENGARUH PENGECORAN ULANG TERHADAP SIFAT MEKANIK PADUAN ALUMUNIUM ADC 12

ANALISA PENGARUH PENGECORAN ULANG TERHADAP SIFAT MEKANIK PADUAN ALUMUNIUM ADC 12 D.20. Analisa Pengaruh Pengecoran Ulang terhadap Sifat Mekanik... (Samsudi Raharjo) ANALISA PENGARUH PENGECORAN ULANG TERHADAP SIFAT MEKANIK PADUAN ALUMUNIUM ADC 12 Samsudi Raharjo, Fuad Abdillah dan Yugohindra

Lebih terperinci

Multiple Channel Fluidity Test Castings Pengujian ini digunakan untuk mengetahui fluiditas aliran logam cair saat

Multiple Channel Fluidity Test Castings Pengujian ini digunakan untuk mengetahui fluiditas aliran logam cair saat Multiple Channel Fluidity Test Castings Pengujian ini digunakan untuk mengetahui fluiditas aliran logam cair saat melalui saluran lebih dari satu dan dengan penampang sempit, yang mana banyak terdapat

Lebih terperinci

PENGARUH MEDIA PENDINGIN TERHADAP BEBAN IMPAK MATERIAL ALUMINIUM CORAN

PENGARUH MEDIA PENDINGIN TERHADAP BEBAN IMPAK MATERIAL ALUMINIUM CORAN PENGARUH MEDIA PENDINGIN TERHADAP BEBAN IMPAK MATERIAL ALUMINIUM CORAN Mukhtar Ali 1*, Nurdin 2, Mohd. Arskadius Abdullah 3, dan Indra Mawardi 4 1,2,3,4 Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Lhokseumawe

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penemuan logam memberikan manfaat yang sangat besar bagi. kehidupan manusia. Dengan ditemukannya logam, manusia dapat

BAB I PENDAHULUAN. Penemuan logam memberikan manfaat yang sangat besar bagi. kehidupan manusia. Dengan ditemukannya logam, manusia dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penemuan logam memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Dengan ditemukannya logam, manusia dapat membuat serta menciptakan alat-alat yang dapat

Lebih terperinci

TIN107 - Material Teknik #10 - Metal Alloys (2) METAL ALLOYS (2) TIN107 Material Teknik

TIN107 - Material Teknik #10 - Metal Alloys (2) METAL ALLOYS (2) TIN107 Material Teknik 1 METAL ALLOYS (2) TIN107 Material Teknik Tool Steel (Baja Perkakas) 2 W Pengerasan dengan air (Water hardening) Pengerjaan Dingin (Cold Work) O Pengerasan dengan oli (Oil hardening) A Pengerasan dengan

Lebih terperinci

K. Roziqin H. Purwanto I. Syafa at. Kata kunci: Pengecoran Cetakan Pasir, Aluminium Daur Ulang, Struktur Mikro, Kekerasan.

K. Roziqin H. Purwanto I. Syafa at. Kata kunci: Pengecoran Cetakan Pasir, Aluminium Daur Ulang, Struktur Mikro, Kekerasan. K. Roziqin H. Purwanto I. Syafa at Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim Semarang Jl Menoreh Tengah X/22 Semarang e-mail: roziqinuwh@gmail.com helmy_uwh@yahoo.co.id i.syafaat@gmail.com

Lebih terperinci

Pembahasan Materi #11

Pembahasan Materi #11 1 TIN107 Material Teknik Pembahasan 2 Tool Steel Sidat dan Jenis Stainless Steel Cast Iron Jenis, Sifat, dan Keterbatasan Non-Ferrous Alloys Logam Tahan Panas 1 Tool Steel (Baja Perkakas) 3 W Pengerasan

Lebih terperinci

PERANCANGAN POROS DIGESTER UNTUK PABRIK KELAPA SAWIT DENGAN KAPASITAS OLAH 12 TON TBS/JAM DENGAN PROSES PENGECORAN LOGAM

PERANCANGAN POROS DIGESTER UNTUK PABRIK KELAPA SAWIT DENGAN KAPASITAS OLAH 12 TON TBS/JAM DENGAN PROSES PENGECORAN LOGAM 1 PERANCANGAN POROS DIGESTER UNTUK PABRIK KELAPA SAWIT DENGAN KAPASITAS OLAH 12 TON TBS/JAM DENGAN PROSES PENGECORAN LOGAM SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

Pengaruh Temperatur Bahan Terhadap Struktur Mikro

Pengaruh Temperatur Bahan Terhadap Struktur Mikro PENGARUH TEMPERATUR BAHAN TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN KEKERASAN PADA PROSES SEMI SOLID CASTING PADUAN ALUMINIUM DAUR ULANG M. Chambali, H. Purwanto, S. M. B. Respati Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISA. Gajah Mada, penulis mendapatkan hasil-hasil terukur dan terbaca dari penelitian

BAB IV HASIL DAN ANALISA. Gajah Mada, penulis mendapatkan hasil-hasil terukur dan terbaca dari penelitian BAB IV HASIL DAN ANALISA 4.1 Hasil Pengujian Spesimen Dalam melakukan penelitian uji dilaboratorium bahan teknik Universitas Gajah Mada, penulis mendapatkan hasil-hasil terukur dan terbaca dari penelitian

Lebih terperinci

PENGGUNAAN 15% LUMPUR PORONG, SIDOARJO SEBAGAI PENGIKAT PASIR CETAK TERHADAP CACAT COR FLUIDITAS DAN KEKERASAN COR

PENGGUNAAN 15% LUMPUR PORONG, SIDOARJO SEBAGAI PENGIKAT PASIR CETAK TERHADAP CACAT COR FLUIDITAS DAN KEKERASAN COR JURNAL TEKNIK MESIN, TAHUN 23, NO. 2, OKTOBER 2015 1 PENGARUH MODEL SISTEM SALURAN PADA PROSES PENGECORAN LOGAM Al-Si DENGAN PENGGUNAAN 15% LUMPUR PORONG, SIDOARJO SEBAGAI PENGIKAT PASIR CETAK TERHADAP

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. waktu pada bulan September 2015 hingga bulan November Adapun material yang digunakan pada penelitian ini adalah:

III. METODE PENELITIAN. waktu pada bulan September 2015 hingga bulan November Adapun material yang digunakan pada penelitian ini adalah: III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Produksi Teknik Mesin Universitas Lampung. Sedangkan waktu penelitian akan dilaksanakan pada rentang waktu pada bulan September

Lebih terperinci

PENGARUH JARAK DARI TEPI CETAKAN TERHADAP KEKUATAN TARIK DAN KEKERASAN PADA CORAN ALUMINIUM

PENGARUH JARAK DARI TEPI CETAKAN TERHADAP KEKUATAN TARIK DAN KEKERASAN PADA CORAN ALUMINIUM Pengaruh Jarak Dari Tepi Cetakan Terhadap Kekuatan Tarik Dan Kekerasan Pada Coran Aluminium PENGARUH JARAK DARI TEPI CETAKAN TERHADAP KEKUATAN TARIK DAN KEKERASAN PADA CORAN ALUMINIUM H. Purwanto e-mail

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang selalu. sehingga tercipta alat-alat canggih dan efisien sebagai alat bantu dalam

BAB I PENDAHULUAN. berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang selalu. sehingga tercipta alat-alat canggih dan efisien sebagai alat bantu dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semakin tinggi kebutuhan dan tuntutan hidup manusia, membuat manusia berpikir dengan akal dan budinya seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN DAN ANALISA SISTEM SALURAN TERHADAP CACAT PENGECORAN PADA BLOK SILINDER (CYLINDER BLOCK) FCD 450 DENGAN MENGGUNAKAN PASIR CETAK KERING

RANCANG BANGUN DAN ANALISA SISTEM SALURAN TERHADAP CACAT PENGECORAN PADA BLOK SILINDER (CYLINDER BLOCK) FCD 450 DENGAN MENGGUNAKAN PASIR CETAK KERING RANCANG BANGUN DAN ANALISA SISTEM SALURAN TERHADAP CACAT PENGECORAN PADA BLOK SILINDER (CYLINDER BLOCK) FCD 450 DENGAN MENGGUNAKAN PASIR CETAK KERING Oleh: Agung Tri Hatmoko 2111 105 017 Dosen Pembimbing:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu material yang sangat penting bagi kebutuhan manusia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu material yang sangat penting bagi kebutuhan manusia adalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu material yang sangat penting bagi kebutuhan manusia adalah logam. Seiring dengan jaman yang semakin maju, kebutuhan akan logam menjadi semakin tinggi.

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR. Tugas Akhir ini Disusun Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta

TUGAS AKHIR. Tugas Akhir ini Disusun Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta TUGAS AKHIR ANALISA PENGARUH ANNEALING 290 C PADA PELAT ALUMINUM PADUAN (Al-Fe) DENGAN VARIASI HOLDING TIME 30 MENIT DAN 50 MENIT TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS Tugas Akhir ini Disusun Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan rekayasa guna memenuhi kebutuhan yang semakin kompleks, tak terkecuali dalam hal teknologi yang berperan penting akan

BAB I PENDAHULUAN. melakukan rekayasa guna memenuhi kebutuhan yang semakin kompleks, tak terkecuali dalam hal teknologi yang berperan penting akan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era modernisasi yang terjadi saat ini menuntut manusia untuk melakukan rekayasa guna memenuhi kebutuhan yang semakin kompleks, tak terkecuali dalam hal teknologi yang

Lebih terperinci

Pengaruh Kuat Medan Magnet Terhadap Shrinkage dalam Pengecoran Besi Cor Kelabu (Gray Cast Iron)

Pengaruh Kuat Medan Magnet Terhadap Shrinkage dalam Pengecoran Besi Cor Kelabu (Gray Cast Iron) Available online at Website http://ejournal.undip.ac.id/index.php/rotasi Pengaruh Kuat Medan Magnet Terhadap Shrinkage dalam Pengecoran Besi Cor Kelabu (Gray Cast Iron) *Yusuf Umardani a, Yurianto a, Rezka

Lebih terperinci

PENGARUH TEMPERATUR TUANG DAN KANDUNGAN SILICON TERHADAP NILAI KEKERASAN PADUAN Al-Si

PENGARUH TEMPERATUR TUANG DAN KANDUNGAN SILICON TERHADAP NILAI KEKERASAN PADUAN Al-Si Pengaruh Temperatur Tuang dan Kandungan Silicon Terhadap Nilai Kekerasan Paduan Al-Si (Bahtiar & Leo Soemardji) PENGARUH TEMPERATUR TUANG DAN KANDUNGAN SILICON TERHADAP NILAI KEKERASAN PADUAN Al-Si Bahtiar

Lebih terperinci

II. KEGIATAN BELAJAR 2 DASAR DASAR PENGECORAN LOGAM. Dasar-dasar pengecoran logam dapat dijelaskan dengan benar

II. KEGIATAN BELAJAR 2 DASAR DASAR PENGECORAN LOGAM. Dasar-dasar pengecoran logam dapat dijelaskan dengan benar II. KEGIATAN BELAJAR 2 DASAR DASAR PENGECORAN LOGAM A. Sub Kompetensi Dasar-dasar pengecoran logam dapat dijelaskan dengan benar B. Tujuan Kegiatan Pembelajaran Setelah pembelajaran ini mahasiswa mampu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI 2.1. Tinjauan Pustaka Penelitian terhadap las gesek telah banyak dilakukan. Beberapa penelitian tentang parameter kekuatan tarik, kekerasan permukaan dan struktur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 26, Unsur ini mempunyai isotop alam: Al-27. Sebuah isomer dari Al-26

I. PENDAHULUAN. 26, Unsur ini mempunyai isotop alam: Al-27. Sebuah isomer dari Al-26 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aluminium (Al) adalah unsur kimia dengan nomor atom 13 dan massa atom 26, 9815. Unsur ini mempunyai isotop alam: Al-27. Sebuah isomer dari Al-26 dapat meluruhkan sinar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan semakin banyaknya permintaan aluminium dikalangan konsumen.

I. PENDAHULUAN. dengan semakin banyaknya permintaan aluminium dikalangan konsumen. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aluminium merupakan logam yang lunak dengan tampilan yang menarik, ringan, tahan korosi, mempunyai daya hantar panas dan daya hantar listrik yang relatif tinggi, dan

Lebih terperinci

02 03 : CACAT KRISTAL LOGAM

02 03 : CACAT KRISTAL LOGAM 02 03 : CACAT KRISTAL LOGAM 2.1. Cacat Kristal Diperlukan berjuta-juta atom untuk membentuk satu kristal. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila terdapat cacat atau ketidakteraturan dalam tubuh kristal.

Lebih terperinci

SATUAN ACARA PERKULIAHAN MATA KULIAH TEKNIK PENGECORAN KODE / SKS : KK / 2 SKS. Sub Pokok Bahasan dan Sasaran Belajar

SATUAN ACARA PERKULIAHAN MATA KULIAH TEKNIK PENGECORAN KODE / SKS : KK / 2 SKS. Sub Pokok Bahasan dan Sasaran Belajar Minggu Pokok Bahasan 1 I. Pendahuluan sejarah dari teknologi pengecoran, teknik pembuatan coran, bahanbahan yang biasa digunakan untuk produk coran di tiap industri, serta mengetahui pentingnya teknologi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. menunjukan bahwa material rockwool yang berbahan dasar batuan vulkanik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. menunjukan bahwa material rockwool yang berbahan dasar batuan vulkanik BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengujian Material Rockwool. Dalam studi kali ini, material rockwool sebelum digunakan sebagai bahan isolasi termal dalam tungku peleburan logam ialah dengan cara membakar

Lebih terperinci

TUGAS SARJANA KARAKTERISASI SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO PRODUK CORAN PADUAN ALUMINIUM DENGAN VARIASI KOMPOSISI TEMBAGA

TUGAS SARJANA KARAKTERISASI SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO PRODUK CORAN PADUAN ALUMINIUM DENGAN VARIASI KOMPOSISI TEMBAGA TUGAS SARJANA KARAKTERISASI SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO PRODUK CORAN PADUAN ALUMINIUM DENGAN VARIASI KOMPOSISI TEMBAGA Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan Strata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kelompok Boron dalam unsur kimia (Al-13) dengan massa jenis 2,7 gr.cm-

BAB I PENDAHULUAN. dalam kelompok Boron dalam unsur kimia (Al-13) dengan massa jenis 2,7 gr.cm- BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alumunium adalah salah satu logam berwarna putih perak yang termasuk dalam kelompok Boron dalam unsur kimia (Al-13) dengan massa jenis 2,7 gr.cm- 3. Jari-jari atomnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (C), serta unsur-unsur lain, seperti : Mn, Si, Ni, Cr, V dan lain sebagainya yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (C), serta unsur-unsur lain, seperti : Mn, Si, Ni, Cr, V dan lain sebagainya yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Baja Baja merupakan paduan yang terdiri dari unsur utama besi (Fe) dan karbon (C), serta unsur-unsur lain, seperti : Mn, Si, Ni, Cr, V dan lain sebagainya yang tersusun dalam

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN Mg TERHADAP SIFAT KEKERASAN DAN KEKUATAN IMPAK SERTA STRUKTUR MIKRO PADA PADUAN Al-Si BERBASIS MATERIAL PISTON BEKAS

PENGARUH PENAMBAHAN Mg TERHADAP SIFAT KEKERASAN DAN KEKUATAN IMPAK SERTA STRUKTUR MIKRO PADA PADUAN Al-Si BERBASIS MATERIAL PISTON BEKAS Pengaruh Penambahan Mg Terhadap Sifat Kekerasan dan... ( Mugiono) PENGARUH PENAMBAHAN Mg TERHADAP SIFAT KEKERASAN DAN KEKUATAN IMPAK SERTA STRUKTUR MIKRO PADA PADUAN Al-Si BERBASIS MATERIAL PISTON BEKAS

Lebih terperinci

PENGARUH UKURAN PASIR TERHADAP POROSITAS DAN DENSITAS PADA PENGECORAN ALUMINIUM SILIKON (95% Al- 5% Si) DENGAN METODE PENGECORAN EVAPORATIF

PENGARUH UKURAN PASIR TERHADAP POROSITAS DAN DENSITAS PADA PENGECORAN ALUMINIUM SILIKON (95% Al- 5% Si) DENGAN METODE PENGECORAN EVAPORATIF PENGARUH UKURAN PASIR TERHADAP POROSITAS DAN DENSITAS PADA PENGECORAN ALUMINIUM SILIKON (95% Al- 5% Si) DENGAN METODE PENGECORAN EVAPORATIF Oleh Dosen Pembimbing : Arip Sanjaya : Dr.Ir. I Ketut Gede Sugita,

Lebih terperinci

TI-2121: Proses Manufaktur

TI-2121: Proses Manufaktur TI-11: Proses Manufaktur Dasar-dasar Pengecoran Logam Laboratorium Sistem Produksi www.lspitb.org 003 1. Hasil Pembelajaran Umum: Memberikan mahasiswa pengetahuan yang komprehensif tentang dasar-dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aluminium merupakan logam ringan yang mempunyai sifat ketahanan

BAB I PENDAHULUAN. Aluminium merupakan logam ringan yang mempunyai sifat ketahanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aluminium merupakan logam ringan yang mempunyai sifat ketahanan korosi dan mempunyai alir yang baik sehingga banyak digunakan dalam aplikasi alat-alat rumah tangga,

Lebih terperinci

PEMILIHAN BAHAN BAKAR DALAM PEMBUATAN DAPUR CRUCIBLE UNTUK PELEBURAN ALUMINIUM BERKAPASITAS 50KG MENGGUNAKAN BAHAN BAKAR BATU BARA

PEMILIHAN BAHAN BAKAR DALAM PEMBUATAN DAPUR CRUCIBLE UNTUK PELEBURAN ALUMINIUM BERKAPASITAS 50KG MENGGUNAKAN BAHAN BAKAR BATU BARA PEMILIHAN BAHAN BAKAR DALAM PEMBUATAN DAPUR CRUCIBLE UNTUK PELEBURAN ALUMINIUM BERKAPASITAS 50KG MENGGUNAKAN BAHAN BAKAR BATU BARA SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

Seminar Nasional IENACO ISSN: DESAIN KUALITAS PERANCANGAN PRODUK LIMBAH PLAT ALUMUNIUM MENGGUNAKAN METODE EKSPERIMENT

Seminar Nasional IENACO ISSN: DESAIN KUALITAS PERANCANGAN PRODUK LIMBAH PLAT ALUMUNIUM MENGGUNAKAN METODE EKSPERIMENT DESAIN KUALITAS PERANCANGAN PRODUK LIMBAH PLAT ALUMUNIUM MENGGUNAKAN METODE EKSPERIMENT Saufik Luthfianto 1, Zulfah 2, M. Fajar Nurwildani 3 1,2,3 Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik. Oleh : JOKO SUPRIYANTO NIM. I

SKRIPSI. Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik. Oleh : JOKO SUPRIYANTO NIM. I SIMULASI NUMERIK PERPINDAHAN PANAS 2 DIMENSI PADA PROSES PENDINGINAN TEMBAGA MURNI DENGAN VARIASI CETAKAN PASIR DAN MULLITE MENGGUNAKAN PENDEKATAN BEDA HINGGA SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat

Lebih terperinci

L.H. Ashar, H. Purwanto, S.M.B. Respati. produk puli pada pengecoran evoporatif (lost foam casting) dengan berbagai sistem saluran.

L.H. Ashar, H. Purwanto, S.M.B. Respati. produk puli pada pengecoran evoporatif (lost foam casting) dengan berbagai sistem saluran. L.H. Ashar, H. Purwanto, S.M.B. Respati ANALISIS PENGARUH MODEL SISTEM SALURAN DENGAN POLA STYROFOAM TERHADAP SIFAT FISIS DAN KEKERASAN PRODUK PULI PADA PROSES PENGECORAN ALUMINIUM DAUR ULANG Jurusan Teknik

Lebih terperinci