TESIS HEGEMONI ORANG TUA DALAM PEMILIHAN JODOH BAGI PEREMPUAN WANGSA KESATRIA DI BANJAR TEGAL AGUNG, KECAMATAN DENPASAR BARAT, KOTA DENPASAR

Transkripsi

1 i TESIS HEGEMONI ORANG TUA DALAM PEMILIHAN JODOH BAGI PEREMPUAN WANGSA KESATRIA DI BANJAR TEGAL AGUNG, KECAMATAN DENPASAR BARAT, KOTA DENPASAR ANAK AGUNG AYU DWI YUNI PRITIARI NIM PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2012

2 ii TESIS HEGEMONI ORANG TUA DALAM PEMILIHAN JODOH BAGI PEREMPUAN WANGSA KESATRIA DI BANJAR TEGAL AGUNG, KECAMATAN DENPASAR BARAT, KOTA DENPASAR Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana ANAK AGUNG AYU DWI YUNI PRITIARI NIM PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2012

3 iii UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena berkat rahmat dan asung kerta waranugrahanya, maka tesis dengan judul Hegemoni Orang tua dalam Pemilihan Jodoh bagi Perempuan Wangsa Kesatria di Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar dapat diselesaikan sesuai dengan rencana. Terwujudnya tesis ini tidak terlepas dari peranan para pembimbing, para dosen dan kawan-kawan. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Prof. Dr. A.A.Bagus Wirawan, S.U., sebagai Pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis menyusun tesis ini serta selama mengikuti perkuliahan pada Program Magister Kajian Budaya. Terima kasih yang setulus-tulusnya juga penulis sampaikan kepada Dr. I Gusti Ketut Gede Arsana, M.Si., selaku Pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran kepada penulis hingga tesis ini dapat dirampungkan. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister (S2) di Universitas Udayana. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa pada Program Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana. Dekan Fakultas Sastra Universitas Udayana

4 iv Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S. serta para penguji tesis ini Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S., Prof. Dr. I Made Suastika, S.U., dan Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum. untuk memberikan masukan, saran, dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud dengan baik. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kelihan Dinas Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar, Kelihan Adat Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar, para perempuan yang mengalami hegemoni orang tua, dan keluarga yang bersangkutan yang dengan tulus melayani penulis dalam pemerolehan data di lapangan. Ucapan terima kasih setulustulusnya juga disampaikan kepada sahabat Margaretta Charolyna, S.E. yang telah memberikan bantuan pengetikan dalam penyelesaian tesis ini. Penulis sangat menyadari bahwa apa yang tersaji dalam tesis ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, sumbang saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan demi penyempurnaannya. Akhirnya penulis berharap semoga apa yang tersaji dalam tesis ini dapat memberikan manfaat bagi yang membutuhkannya. Denpasar, Penulis

5 v ABSTRAK Sejak dahulu masalah kasta atau wangsa merupakan permasalahan yang tak kunjung sirna pada beberapa kelompok masyarakat di Bali. Dalam hal pemilihan jodoh, pada zaman dahulu perempuan wangsa kesatria yang menikah dengan orang biasa ( sudra) dianggap sebagai sebuah pelanggaran adat. Pelanggaran ini menurut keyakinan masyarakat wangsa kesatria dapat diganjar dengan upacara yang disebut mapati wangi. Saat ini, upacara mapati wangi sudah jarang ditemukan, tetapi nyatanya praktik-praktik perjodohan yang mengatasnamakan unsur pepadan atau wangsa yang setara masih sering ditemukan. Praktik-praktik perjodohan tersebut dilakukan oleh orang tua terhadap anak perempuannya. Hal ini berakibat pada besarnya jumlah perempuan wangsa kesatria di Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar yang tidak menikah sampai pada usia di atas 35 tahun. Banjar Tegal Agung beranggotakan seratus enam puluh kepala keluarga. Dari jumlah kepala keluarga tersebut, sebagaimana yang termuat dalam daftar informan pada lampiran, terdapat sembilan perempuan lajang dengan usia rata-rata di atas 35 tahun. Berdasarkan hal di atas dilakukan penelitian yang mengungkap tiga permasalahan, yaitu bagaimana bentuk hegemoni orang tua dalam pemilihan jodoh bagi perempuan wangsa kesatria di Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar? Faktor-faktor apa yang menyebabkan hegemoni orang tua dalam pemilihan jodoh bagi perempuan wangsa kesatria di Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar?Apa dampak dan makna hegemoni orang tua dalam pemilihan jodoh bagi perempuan wangsa kesatria di Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar? Untuk mengungkap permasalahan di atas penelitian ini menggunakan metode kualitatif, sedangkan pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan studi dokumen. Informan ditetapkan secara purposif. Analisis data secara deskriptif-kualitatif dan interpretatif. Teori yang digunakan untuk mengkaji permasalahan tersebut adalah teori hegemoni, teori dekonstruksi, teori kekerasan simbolik, dan teori feminisme. Keempat teori ini digunakan secara eklektik. Hasil penelitian menunjukkan hegemoni orang tua dalam pemilihan jodoh perempuan wangsa kesatria berupa upaya yang ditempuh orang tua dalam melestarikan adat istiadat tradisional wangsa kesatria dan mempertahankan status melalui proses pemberian petuah dan mitos serta melakukan intervensi. Faktor pendorong hegemoni orang tua dalam pemilihan jodoh anak perempuannya adalah faktor ekonomi, status sosial, aturan adat, dan sempitnya wawasan. Dampak hegemoni orang tua dalam pemilihan jodoh perempuan wangsa kesatria berupa dampak ekonomi, kesehatan, sosial individu, adat dan agama, serta dampak psikologis. Makna yang diperoleh dalam hegemoni perempuan wangsa kesatria adalah mampu menjaga martabat atau status serta mempertahankan warisan. Kata kunci : hegemoni, orang tua, perempuan, wangsa kesatria

6 vi ABSTRACT Since a long time ago issues about caste or dynasty is an issue that will not disappear in a few communities in Bali. In dating, the ancient kesatria dynasty woman who is married to an ordinary person (sudra) is considered as a breach of custom. According to Kesatria dynasty s people it should be rewarded with a ceremony called mapati wangi. Currently, the mapati wangi ceremony is rarely found, but in reality matchmaking practices in the name of the element "pepadan" or equivalent dynasty is often found. These practices done by parents to their daughters. As a result is the facts that the writer s observation about the large number of kesatria dynasty women in Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar who did not marry until above 35 years of age. Banjar Tegal Agung consists of one hundred and sixty families. From those number of families, as contained in the list of informants in the appendix, there are nine single women with an average age of 35 years. Based on the above research, it revealed three issues that parents hegemony. The first one is how is the shape of parents hegemony in terms of kesatria dynasty women s dating in Banjar Tegal Court Denpasar? The second one is what factors that led to the hegemony of parents in terms of kesatria dynasty women s dating in Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar? The last one is what is the impact and meaning of parents hegemony in terms of kesatria dynasty women s dating in Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar? To uncover the problems, the study is using the method of data collection through observation, interviews and document study. Informants were set purposively. Analysis of the data were done descriptive-qualitatively and interpretatively. While the theories which are used to study the problems are the theory of hegemony, deconstruction theory, the theory of symbolic violence and feminist theory. All four are used in eclectic way. Results showed that parents hegemony in kesatria dynasty women s dating i actions taken by parents to preserve traditional customs dynasty kesatria and maintain status through the provision of advice and myths as well as intervention. The driving factor in the choice of mate hegemony parents daughters are economic factors, social status, customs regulations, and lack of insight. The impact of parental hegemony in female mate selection dynasty kesatria form the economic, health, social individuals, peoples and religions, as well as the psychological impact. Meaning obtained in female hegemony kesatria dynasty was able to preserve the dignity or status and maintain the legacy. Keywords: hegemony, parents, women, kesatria dynasty

7 vii RINGKASAN Sejak dahulu masalah kasta atau wangsa merupakan permasalahan yang tak kunjung sirna pada beberapa kelompok masyarakat di Bali, khususnya di Denpasar. Kota Denpasar yang merupakan ibu Kota Provinsi Bali merupakan Kota pusat perkembangan sarana dan prasarana fisik (jalan raya, gedung perkantoran, gedung sekolah, dsb.) juga merupakan pusat perkembangan segi kehidupan sosial masyarakat. Pengaruh era globalisasi pun amat terasa di Kota ini. Pengaruh globalisasi yang berupa derasnya arus informasi yang diterima oleh generasi muda tidak juga dapat memberikan solusi bagi permasalahanpermasalahan yang terkait dengan kasta. Salah satu permasalahan yang terkait dengan kasta tersebut adalah dalam hal pemilihan jodoh. Perempuan wangsa kesatria memiliki keterbatasan dalam pemilihan jodoh, yaitu tidak diperkenankan untuk memilih jodoh di kalangan wangsa sudra atau jaba. Pada masyarakat Bali berlaku budaya patriarkat yang menempatkan lakilaki pada kedudukan dan peran yang lebih tinggi. Setelah menikah perempuan Bali akan meninggalkan keluarganya dan menjadi bagian dari keluarga besar pihak suami. Termasuk dalam hal kasta juga akan mengikuti kasta sang suami. Perempuan wangsa kesatria yang menikah dengan laki-laki sudra atau jaba disebut turun kasta atau nyerod. Di sisi lain laki-laki wangsa kesatria yang menikah dengan perempuan sudra tetap memiliki gelar wangsa kesatria karena tetap menjadi bagian dari keluarga besarnya sendiri. Keadaan ini sangat menarik untuk dikaji dalam sebuah penelitian agar diperoleh suatu gambaran yang jelas tentang Hegemoni Orang Tua dalam

8 viii Pemilihan Jodoh bagi Perempuan Wangsa Kesatria. Dari latar belakang tersebut ada beberapa masalah yang dikaji, yaitu bagaimana bentuk hegemoni orang tua dalam pemilihan jodoh bagi perempuan wangsa kesatria di Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar, faktor-faktor apa yang mendorong hegemoni orang tua dalam pemilihan jodoh bagi perempuan wangsa kesatria di Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar, dan apa dampak dan makna hegemoni orang tua dalam pemilihan jodoh bagi perempuan wangsa kesatria di Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar. Permasalahan tersebut tertuang ke dalam konsep bahwa hegemoni orang tua dalam pemilihan jodoh wangsa kesatria di Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar adalah semacam ideologi yang dianut dalam kehidupan sistem kekerabatan (keluarga) yang menentukan preferensi dalam pemilihan jodoh bagi kalangan (gadis) secara endogami kla n ( pepadan). Adapun teori yang digunakan untuk mengkaji permasalahannya adalah teori hegemoni, teori dekonstruksi, teori kekerasan simbolik, dan teori feminisme. Keempat teori ini digunakan secara eklektik. Untuk mengungkap permasalahan di atas penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Untuk mengumpulkan data yang relevan dengan permasalahan yang dibahas digunakan teknik wawancara, observasi, dan teknik dokumentasi. Dalam menganalisis data digunakan analisis deskriptif kualitatif dan interpretatif melalui tiga tahap, yaitu reduksi data, penyajian data, dan menarik simpulan. Hegemoni orang tua dalam pemilihan jodoh wangsa kesatria di Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar dilakukan dalam bentuk

9 ix petuah, mitos-mitos, hingga intervensi. Semenjak seorang perempuan beranjak dewasa orang tua dari wangsa kesatria akan memberikan petuah-petuah untuk mencari jodoh di kalangan wangsa yang setara, yaitu wangsa kesatria. Petuah yang pertama adalah bahwa perempuan yang sudah nyerod tidak mendapatkan sebutan gungbyang. Kedua, orang tua menjadikan dirinya sebagai contoh bagi anaknya. Orang tua yang menikah antarsesama wangsa yang setara mewajibkan anak untuk mengimitasi dirinya. Ketiga, orang tua menolak untuk menggendong cucunya karena apabila anak perempuannya nyerod, maka otomatis cucunya merupakan bagian dari keluarga wangsa sudra. Keempat, perempuan yang nyerod tidak dipekenankan untuk melaksanakan upacara mapadik atau meminang. Selain petuah, mitos-mitos pun sering dijadikan dasar oleh orang tua dalam menghegemoni anak perempuannya. Mitos tersebut adalah bahwa seorang anak yang dilahirkan dari pasangan suami istri yang sama-sama berasal dari wangsa kesatria akan memiliki klius agung atau aura kewibawaan sebagaimana layaknya raja-raja di Bali pada zaman dahulu. Tindakan intervensi pun dilakukan juga apabila si anak perempuan telah telanjur menjalin kasih dengan laki-laki dari wangsa sudra dengan cara meminta si anak untuk memutuskan hubungan dengan kekasihnya. Faktor yang mendorong hegemoni orang tua dalam pemilihan jodoh perempuan wangsa kesatria sangat berkaitan dengan mekanisme lokal dalam menghindari terjadinya eksogami wangsa dalam perkawinan, maka salah satu cara yang dapat dikembangkan adalah melalui praktik-praktik pengekangan yang secara konseptual dapat disebut sebagai hegemoni. Hegemoni tersebut berasal dari

10 x orang tua kepada anaknya khususnya anak perempuannya. Dalam melakukan upaya hegemoni, orang tua akan memberikan petuah yang menyangkut perkawinan. Pertama, secara ekonomi, orang tua mempercayai bahwa apabila anak perempuannya menikah dengan laki-laki dari wangsa sudra, maka ia akan kekurangan secara ekonomi. Hal ini terjadi karena pada masa kerajaan jaman dahulu kalangan wangsa kesatria memiliki jumlah lahan yang besar dan ini pun berlaku hingga sekarang. Kedua, secara status sosial, orang tua mempercayai bahwa apabila anak perempuannya nyerod, maka ia tidak berhak untuk tidur di balai gedong karena balai gedong merupakan bangunan kamar yang memiliki makna simbolis sebagai kamar suci. Ketiga, secara aturan adat masyarakat Hindu di Bali mempercayai bahwa perempuan yang sudah nyerod tidak diperkenankan untuk menaikkan banten atau sesajen di atas pelinggih yang terdapat di pemerajan wangsa kesatria. Hal ini disebabkan oleh kalangan wangsa kesatria sajalah yang diperkenankan untuk melakukannya. Aturan adat juga dipercaya membatasi penyerahan tipat bantal dari pengantin laki-laki dari wangsa yang lebih rendah. Terjadi suatu kasus, yaitu tipat bantal tidak diterima oleh keluarga pengantin perempuan karena alasan perbedaan wangsa. Keempat, dari segi sempitnya wawasan masyarakat itu sendiri, yaitu kurangnya pengetahuan tentang adanya peraturan yang menghapus larangan perkawinan antarkasta yang tertuang dalam keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali nomor 11 tahun Adapun faktor pendorong hegemoni orang tua dalam pemilihan jodoh bagi perempuan wangsa kesatria di Banjar Tegal Agung, Kecamatan Denpasar Barat,

11 xi Denpasar meliputi faktor ekonomi, faktor status sosial, faktor aturan adat, dan faktor sempitnya wawasan. Hegemoni orang tua dalam pemilihan jodoh perempuan wangsa kesatria di Banjar Tegal Agung ternyata memberikan perubahan pada kehidupan keluarga. Dalam masyarakat patrilineal seperti di Bali, laki-laki memiliki tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Secara ekonomi, dengan tetap melajangnya seorang perempuan, maka saudara laki-lakilah yang memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhannya sehari-harinya. Khususnya apabila orang tua mereka telah meninggal dunia. Hal ini otomatis akan menambah pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh kepala keluarga. Risiko genetik dari perkawinan sedarah memberikan alasan biologis yang bagus mengapa perkawinan tersebut merupakan hal yang tabu dilakukan di sebagian besar masyarakat. Terdapat suatu kasus di Banjar Tegal Agung, yaitu perkawinan terjadi antarsaudara sepupu. Kelainan genetik terlihat pada anak-anak hasil perkawinan tersebut yang memiliki ciri-ciri fisik yang terlihat seperti anak yang kurang cerdas, seperti kurang tanggap bila orang lain bertanya, kurang senang bergaul atau minder serta pemalu. Perempuan wangsa kesatria yang sudah nyerod memiliki konsekuensi yang cukup berat pula apabila terjadi suatu perceraian dalam rumah tangganya. Perempuan yang sudah nyerod tidak mungkin kembali ke jeroan atau kediaman wangsa kesatria karena telah dianggap létéh (kotor). Secara adat dan agama, perempuan nyerod yang mengalami perceraian apabila meninggal dunia, maka atma (roh)nya tidak diperbolehkan untuk di-linggih-kan atau ditempatkan di pemerajan atau tempat suci wangsa kesatria. Secara psikologis perempuan lajang

12 xii pasti akan mengalami kesepian karena tidak memiliki, baik suami maupun anak dan mereka cenderung mengalami diskriminasi di rumah. Hal ini terjadi karena pada umumnya perempuan lajang di Bali tinggal bersama dengan saudara lakilakinya. Inilah yang menyebabkan seringnya terjadi konflik antara perempuan lajang dengan istri dari saudara laki-lakinya atau saudara iparnya. Selain dampakdampak yang dikemukakan sebelumnya, hegemoni orang tua dalam pemilihan jodoh perempuan wangsa kesatria juga memiliki makna menjaga martabat atau status serta makna mempertahankan warisan. Makna menjaga martabat atau status dapat dilihat dari apabila laki-laki wangsa kesatria menikah dengan perempuan wangsa sudra maka ia akan tetap dapat mempertahankan gelar kewangsaanya. Di pihak lain perempuan wangsa kesatria yang menikah dengan laki-laki sudra akan disebut nyerod. Makna mempertahankan warisan dapat dilihat dari harta gunakaya atau harta hasil karya orang tua sebagian dapat diberikan kepada anak perempuan dengan syarat anak perempuan tersebut menikah dengan laki-laki dari wangsa yang setara.

13 xiii DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i PRASYARAT GELAR... ii LEMBARAN PERSETUJUAN... iii LEMBARAN PENGUJI... iv UCAPAN TERIMA KASIH... v ABSTRAK... vii ABSTRACT... viii RINGKASAN... ix DAFTAR ISI... xv DAFTAR TABEL... xix DAFTAR GAMBAR... xx GLOSARIUM... xxi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan Khusus Manfaat Penelitian Manfaat Teoretis Manfaat Praktis... 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Konsep Hegemoni Orang Tua Pemilihan Jodoh Perempuan Wangsa Kesatria... 15

14 xiv Hegemoni Orang Tua dalam Pemilihan Jodoh bagi Perempuan Wangsa Kesatria Banjar Tegal Agung Landasan Teori Teori Hegemoni Teori Dekonstruksi Teori Kekerasan Simbolik Teori Feminisme Model Penelitian BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Lokasi Penelitian Jenis dan Sumber Data Penentuan Informan Instrumen Penelitian Teknik Pengumpulan Data Wawancara Observasi Studi Dokumen Teknik Analisis Data Teknik Penyajian Hasil Penelitian BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kota Denpasar Geografi Demografi Perekonomian Sistem Sosial Budaya Banjar Tegal Agung Perkembangan Banjar Tegal Agung... 44

15 xv Lokasi Aktivitas di Banjar Tegal Agung Kasta di Bali Sumber Naskah Suci Hindu Implementasi Kasta di Bali Perkawinan Antar Kasta BAB V BENTUK HEGEMONI ORANG TUA DALAM PEMILIHAN JODOH BAGI PEREMPUAN WANGSA KESATRIA 5.1 Petuah Mitos Intervensi BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB HEGEMONI ORANG TUA DALAM PEMILIHAN JODOH BAGI PEREMPUAN WANGSA KESATRIA 6.1 Faktor Ekonomi Faktor Status Sosial Faktor Aturan Adat Faktor Sempitnya Wawasan BAB VII DAMPAK DAN MAKNA HEGEMONI ORANG TUA DALAM PEMILIHAN JODOH BAGI PEREMPUAN WANGSA KESATRIA 7. 1 Dampak Dampak Ekonomi Dampak Kesahatan Dampak Sosial Individu Dampak Adat dan Agama Dampak Psikologis Makna Makna Menjaga Martabat atau Status

16 xvi Makna Mempertahankan Warisan BAB VIII PENUTUP 8.1 Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

17 xvii DAFTAR TABEL Halaman Tabel 4.1 Penduduk Kota Denpasar Diperinci Kecamatan dan Jenis Kelamin Tabel 4.2 Perkembangan Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Denpasar Tahun Tabel 4.3 Jumlah Desa Dinas dan Adat serta Banjar Dinas dan Adat Kota Denpasar Tabel 4.4 Ikhtisar Golongan Ketiga Kasta (Triwangsa) dan Titelnya... 56

18 xviii DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Gambar 4.1 Gambar Peta Kota Denpasar Gambar 4.2 Tampak Depan Banjar Tegal Agung Gambar 4.4 Aktivitas Warga Banjar dalam Pembuatan Ogoh-Ogoh Gambar 4.5 Perkawinan Adat Wangsa Kesatria Gambar 5.1 Upacara Mapadik Gambar 6.1 Tampak depan Balai Gedong Gambar 6.2 Pemangku yang Menaikkan Banten di Pelinggih... 97

19 xix GLOSARIUM anglangkahi karang hulu : larangan bagi laki-laki wesya dan sudra mengawini wanita kesatria asu pundung : larangan bagi laki-laki kasta kesatria, wesya, sudra mengawini wanita dari kasta brahmana balai gedong : salah satu bangunan pada rumah tradisional Bali yakni berupa bangunan dengan delapan pilar (saka) yang sering digunakan untuk menyimpan bendabenda pusaka, seperti keris, tombak, serta barang berharga lainnya serta untuk menerima tamu yang kedudukan atau status sosialnya lebih tinggi, misalnya Cokorda (Raja) serta kerabat-kerabatnya atau kerabat wangsa kesatria yang dianggap terpandang balai kulkul banjar : suatu bangunan tempat kentongan (kulkul) : salah satu jenis organisasi sosial yang ada pada masyarakat Bali. banten : sesajen yang dihaturkan umat Hindu kepada Yang Maha Pencipta. cokorda gunakaya : sebutan untuk raja di Denpasar : harta benda yang merupakan hasil karya orang tua dan bukan merupakan warisan turun-temurun.

20 xx gung aji : sebutan bagi laki-laki wangsa kesatria yang sudah menikah. gung byang : sebutan bagi perempuan dari wangsa kesatria yang bersuamikan laki-laki dari wangsa kesatria. jaba kelian adat : sebutan lain dari sudra : ketua Banjar yang mengurusi masalah-masalah anggota Banjar yang menyangkut adat istiadat. kelian banjar : sebutan bagi ketua banjar kelian dinas : ketua banjar yang mengurusi masalah-masalah kedinasan, serupa dengan ketua RT di daerah luar Bali. klius krama banjar létéh linggih : aura kewibawaan : anggota banjar : bersifat kotor atau mengotori secara niskala. : tempat yang menurut agama Hindu difungsikan sebagai kedudukan roh-roh para leluhur yang disejajarkan dengan Ida Sang Hyang Widhi. majelis kerta : dapat disebut juga Raad van Kertha merupakan majelis yang melakukan proses pengadilan pada zaman kerajaan yang dilakukan di puri (istana). mapadik/ngidih : perkawinan yang dilakukan dengan meminang seorang gadis.

21 xxi mapati wangi : upacara yang secara simbolis berarti menghilangkan keharuman nama perempuan wangsa kesatria sebagai konsekuensi karena menikah dengan laki-laki dari wangsa sudra. merajan gede : dapat juga disebut pemerajan gede, yaitu tempat suci di kediaman wangsa kesatria yang lebih besar daripada pemerajan. merangkat/ngerorod : perkawinan yang dilakukan dengan melarikan seorang gadis. masakapan maselong nyerod : sebutan bagi upacara perkawinan adat Bali. : hukuman buang : sebutan untuk perempuan wangsa kesatria yang menikah dengan laki-laki dari wangsa sudra. padmi : dapat disebut juga dengan prami, yaitu status yang diberikan kepada perempuan triwangsa yang menikah dengan laki-laki triwangsa pula. panjak : merupakan hubungan patron dan klien, yaitu kalangan wangsa kesatrya sebagai patron dan patron tersebut memiliki klien yaitu panjak tersebut. pacingkreman : sejumlah uang yang dibayarkan anggota Banjar untuk kepentingan administrasi Banjar.

22 xxii pedanda : gelar bagi seorang pemuka upacara agama dari kasta brahmana. palinggih : tempat yang menurut agama Hindu difungsikan sebagai kedudukan roh-roh para leluhur. pemangku : pemimpin upacara yang tingkatannya lebih rendah daripada Pedanda. pemerajan : sebutan untuk tempat suci yang berada di kediaman wangsa kesatria. penawing : status yang diberikan kepada perempuan sudra yang menikah dengan laki-laki triwangsa. penglingsir pitara sanggah kemulan : sebutan bagi para tetua adat : roh leluhur : salah satu pelinggih pada tempat suci yang berada pada rumah wangsa sudra. tipat bantal : seserahan yang dibawa oleh pihak keluarga pengantin laki-laki ke kediaman keluarga pengantin perempuan setelah upacara perkawinan berlangsung. triwangsa : sebutan bagi wangsa-wangsa selain wangsa sudra, yaitu wangsa brahmana, kesatria dan wesya. warna : berasal dari bahasa Sanskerta varnas yang artinya profesi atau bidang kerja yang dilaksanakan seseorang menurut bakat dan keahliannya.