2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Muson

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Muson"

Transkripsi

1 9 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Muson Muson atau disebut pula Monsun (Monsoon) atau jika berkaitan dengan fase basah (hujan) dan kering (kemarau) umumnya disebut pula sebagai musim dan untuk selanjutnya disebut sebagai Muson atau musim merupakan salah satu proses dinamika atmosfer yang telah lama dikenal dan merupakan faktor penting dari dinamika iklim pada daerah tropis dan sekitarnya di dunia (Ramage, 1971; Fein dan Stephens, 1987; Webster, 1987; Yang et al., 1992; Douglas et al., 1993; Hastenrath, 1994; McBride et al., 1995; Tomas dan Webster, 1997; Webster et al., 1998). Faktor penyebab utama dinamika Muson adalah pergerakan semu matahari ke arah utara-selatan sebesar 23.5, parameter Coriolis, topografi dan perbedaan paparan dan karakter antara daratan dan lautan di bumi dalam menerima bahang dari matahari. Pergerakan semu matahari mengakibatkan pada waktu-waktu tertentu terjadi perbedaan pemanasan antara Benua Asia di belahan bumi utara (BBU) dan Benua Australia di belahan bumi selatan (BBS) dan perbedaan karakter penerimaan bahang antara daratan dan lautan dalam menyimpan bahang pada belahan bumi yang sama. Perbedaan inilah yang menyebabkan parameter suhu udara merupakan faktor penting dalam menentukan proses dinamika muson. Parameter atmosfer lainnya yang terlibat meliputi tekanan udara, angin, kandungan uap air dan curah hujan. Pada bulan Juni matahari berada 23.5 di BBU, sehingga suhu udara di BBU lebih tinggi daripada di BBS. Suhu udara yang tinggi akan menyebabkan tekanan udara menjadi rendah begitu pula sebaliknya, sehingga tekanan udara di BBU lebih rendah daripada di BBS. Perbedaan tekanan udara ini akan menyebabkan massa udara akan bergerak sebagai angin dari tekanan tinggi ke tekanan rendah, sehingga pada bulan Juni angin secara umum akan bergerak dari BBS menuju BBU. Gerakan angin tidak secara tegas dari arah selatan ke utara bergerak tegak lurus terhadap ekuator, tetapi parameter Coriolis berperan dalam pembelokan gerakan angin di sekitar ekuatorial, sehingga angin akan bergerak dari tenggara ke arah barat laut di BBS dan ketika mencapai ekuator berbelok dari

2 10 barat daya ke arah timur laut di BBU. Kondisi ini akan terjadi sebaliknya pada bulan Desember dimana matahari berada 23.5 di BBS (Webster, 1987). Perbedaan paparan dan karakter penerimaan bahang dari matahari antara daratan dan lautan dalam skala regional maupun lokal juga berpengaruh pada perubahan arah pergerakan angin dari BBS ke utara. Daratan mempunyai karakter lebih cepat menerima bahang dari matahari dan lebih cepat pula melepaskan bahang, sedangkan lautan lebih lambat menerima bahang dan lebih lama menyimpan bahang. Perbedaan luasan paparan antara daratan dan lautan berperan dalam menentukan total bahang masing-masing dari daratan dan lautan. Kandungan bahang yang besar akan memiliki suhu yang tinggi dan tekanan udara yang rendah, begitu pula kondisi sebaliknya (Webster et al., 1998). Oleh karena itu, jika daratan memiliki bahang yang besar, sedangkan lautan memiliki bahang yang kecil maka arah pergerakan angin akan bergerak dari lautan menuju daratan. Gerakan angin ini pula dipengaruhi oleh parameter Coriolis dimana angin akan dibelokkan ke arah kiri di BBS dan ke arah kanan di BBU. Angin kering dari selatan akan mendorong udara basah dengan kandungan uap air yang tinggi lebih ke arah utara lagi sampai di lintang sedang, sehingga kandungan uap air di daerah ekuatorial, lintang rendah dan di BBS akan menjadi lebih kering. Konveksi angin di BBS karena adanya pertemuan angin menyebabkan tekanan udara di permukaan lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan atmosfer di atasnya akan membawa massa udara basah sampai pada ketinggian tertentu. Lambat laun udara basah tersebut kandungan uap airnya akan terus bertambah membentuk kumpulan awan dan akhirnya pada ketinggian tertentu akan mengalami proses kondensasi sehingga terjadi hujan (Chang, 2005). Faktor topografi daratan juga mempengaruhi pengangkatan massa udara. Profil topografi yang berbeda pada suatu dataran dengan dataran yang lainnya akan menentukan seberapa cepat pengangkatan massa udara dengan kandungan uap airnya sampai mengalami proses kondensasi pada ketinggian tertentu dan turun hujan. Tipe konveksi ini disebut pula sebagai hujan yang terjadi karena proses orografis. Analogi sebaliknya terjadi, baik pada bulan Desember maupun jika luas paparan lautan lebih besar daripada daratan di BBS dibandingkan dengan di BBU (Fein dan Stephens, 1987).

3 11 Muson umumnya memiliki siklus tahunan mengikuti siklus pergerakan semu matahari. Pola muson yang dapat diamati dari suhu udara, SPL, tekanan udara, outgoing longwave radiation (OLR) maupun curah hujan dipengaruhi oleh posisi lintang, paparan daratan dan lautan dan profil topografi. Variasi yang terjadi dari siklus muson seperti awal musim, panjang musim dan total curah hujan tahunan dipengaruhi oleh siklus dari fenomena lain seperti faktor lokal pada skala sinoptik dan diurnal (Yang dan Slingo, 2001; Kikuchi dan Wang, 2008; Mori et al., 2004; Sakurai et al., 2005), MISO/Monsoon Intraseasonal Oscillation dengan siklus harian (Waliser, 2006), MJO dengan siklus hari (Wang dan Xu, 1997; Lawrence dan Webster, 2002), DM dengan siklus antar tahunan (Kulkarni et al., 2007; Zhang dan Li, 2008; Ding et al., 2010; Zuluaga et al., 2010; Yang et al., 2010; Rao et al., 2010) dan ENSO dengan siklus antar tahunan (Kitoh et al., 1999; Susanto et al., 2001; Kawamura et al., 2003; Terray et al., 2004; Drumond dan Ambrizzi, 2006; Li et al., 2007; Bracco et al., 2007; Annamalai et al., 2007; Xie et al., 2009b; Yadav et al., 2009; Chang et al., 2009; Shaman dan Tziperman, 2010; Wu et al., 2010; Li et al., 2010; Qian et al., 2010; Yun et al., 2010; Yoon dan Yen, 2010; Kim et al., 2011). Siklus Muson regional sangat besar pula mempengaruhi kekuatan sirkulasi Hadley arah meridional, sehingga dinamika Muson berperan luas terhadap dinamika atmosfer dalam skala global (Webster, 2004). Dominan siklus tahunan Muson berada pada daerah tropis dan subtropis karena adanya pengaruh dari gerakan semu matahari, tetapi tidak semua di wilayah ini memiliki sifat Muson karena adanya perbedaan paparan daratan dan lautan. Ramage (1971), Webster (1987) dan Neelin (2007) telah mendefinisikan bahwa regim Muson adalah daerah yang terdapat perubahan dengan siklus tahunan dari parameter angin, kandungan uap air dan curah hujan. Chang (2005) membagi regim Muson menjadi delapan Muson regional meliputi South Asian Monsoon, East Asian Monsoon, Southeast Asia Monsoon, Western North Pacific Monsoon, Australian Monsoon, North American Monsoon, South American Monsoon dan West African Monsoon, sedangkan Saha (2010) membaginya dalam Muson regional yaitu South Asian Monsoon (Region I), East Asian Monsoon (Region II), Southeast Asia Monsoon (Region III), Australian Monsoon (Region

4 12 IV), African Monsoon (Region V), South American Monsoon (Region VI), Central American Monsoon (Region VII) dan North American Monsoon (Region VIII). Perbedaan wilayah Muson ini adalah pembagian menurut Chang (2005) terdapat daerah Western North Pacific Monsoon sedangkan menurut Saha (2010) daerah ini tidak didefinisikan sebagai wilayah Muson regional. Sebaliknya, Saha (2010) memiliki daerah Central American Monsoon, sementara itu menurut Chang (2005) wilayah ini tidak didefinisikan sebagai daerah Muson regional. Berdasarkan pendapat dari Chang (2005) maupun Saha (2010) yang terpenting adalah keduanya telah mendifinisikan bahwa wilayah Indonesia telah disebutkan masuk kedalam daerah Muson regional yaitu Southeast Asia Monsoon (Muson Asia Tenggara), sedangkan dari hasil penelitian sebelumnya sangat jarang wilayah Indonesia disebutkan dengan tegas sebagai salah satu bagian dari Muson regional. Wilayah Asia Tenggara mempunyai karakteristik yang unik, sangat berbeda dengan ciri wilayah Muson lainnya di dunia. Perbedaan tersebut meliputi pertama, berada tepat di ekuator sehingga sebagian wilayahnya berada di BBU dan sebagian lainnya berada di selatan, sehingga wilayah Asia Tenggara merupakan zona pembelokan arah angin tepat di ekuator akibat dari parameter Coriolis selama siklus tahunan Muson (Chang, 2005). Kedua, wilayah Asia Tenggara berada pada jalur pergerakan meridional Intertropical Convergence Zone (ITCZ) dan di sebelah timur Indonesia merupakan pertemuan antara ITCZ dengan South Pacific Convergence Zone (SPCZ) membuat wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya menjadi daerah konvergen aktif (Webster, 1987). Ketiga, wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya merupakan hasil dari resultan angin Muson dengan siklus tahunan dan Angin Pasat Tenggara dan Pasat Timur laut dari Samudera Pasifik yang berhembus sepanjang tahun (Fein dan Stephens, 1987). Keempat, pada lapisan atas atmosfer wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya merupakan zona konveksi dari simpul pertemuan antara sirkulasi Walker arah zonal dan sirkulasi Hadley arah meridional (Neelin, 2007). Kelima, menurut Chang (2005), wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya merupakan paparan benua meskipun tidak berbentuk daratan luas karena terdiri atas ribuan pulau yang dihubungkan oleh lautan dan selat serta pada sisi luarnya diapit oleh dua benua Asia-Australia dan dua Samudera Pasifik-Hindia mengakibatkan regim Muson di wilayah ini terjadi

5 13 interaksi antara darat, laut, udara dan samudera yang sangat kompleks, tidak teratur (random), ekstrim dan kadang kala bersifat chaos (kacau). Keenam, kontur topografi di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya memiliki kekhasan tersendiri yang akan mempengaruhi pola sirkulasi angin lokal dan regional yang berfungsi sebagai penghalang dengan tekanan gesekan angin (wind shear stress) besar yang berpotensi terjadinya penaikan massa udara, gangguan keseimbangan bahang di atmosfer dan menimbulkan hujan orografis di balik penghalangnya (Mori et al., 2004). Berdasarkan enam keunikan wilayah Asia Tenggara ini, sebagai responnya maka proses dinamika Muson memiliki sifat yang kompleks dan keunikan tersendiri dengan variabilitas laut-atmosfer yang tinggi. Variabilitas tinggi ini diiringi pula oleh proses interaksi antar berbagai fenomena, baik skala harian sampai dekadal maupun fenomena lokal sampai global. Fenomena laut-atmosfer yang paling berperan jika dikaitkan dengan keunikan wilayah perairan Asia Tenggara adalah DM dan ENSO. Interaksi antara Muson, DM dan ENSO sangat berperan dan berpengaruh sangat besar terhadap dinamika dan variabilitas kondisi laut-atmofer di wilayah Asia Tenggara dan Sekitarnya. Dinamika dan variabilitas dari hasil interaksi ini bahkan memiliki dampak yang sangat besar baik secara regional maupun global. 2.2 Indian Ocean Dipole Mode Fenomena DM pertama kali dikemukan secara bersamaan oleh Saji et al. (1999) dan Webster et al. (1999) adalah merupakan fenomena perpindahan kolam air hangat arah zonal di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia yang mirip dengan fenomena ENSO di Samudera Pasifik. Siklus yang dimiliki oleh DM hampir sama dengan siklus ENSO yaitu siklus antar tahunan sebesar 2-5 tahun (Saji et al., 1999). Fenomena ini ditemukan dari hasil analisis EOF dan analisis komposit di Samudera Hindia dengan menggunakan data SPL selama 40 tahun. Hasil dari analisis EOF didapat mode dominan pertama sebesar 30% dan kedua sebesar 12% dari total keragamannya. Mode kedua inilah oleh Saji et at. (1999) dinamakan kejadian Dipole Mode (Dipole Mode Event) karena pada Mode kedua dominan ini terdapat perbedaan secara spasial dimana SPL di sebelah barat ekuatorial

6 14 Samudera Hindia tinggi, sedangkan di perairan timur Samudera Hindia tepatnya di sebelah selatan perairan barat Sumatera ditemukan SPL yang rendah. Pola ini sesuai dengan pola angin yang bergerak dari arah tenggara menuju barat laut di perairan timur Samudera Hindia, kemudian ketika sampai di ekuator angin tersebut berbelok ke arah barat. Angin tersebut mendorong massa air hangat ke arah barat ekuatorial Samudera Hindia sampai ke perairan sebelah timur benua Afrika. Pada kondisi normal kolam air hangat ini berada di sebelah timur Samudera Hindia, akibat adanya anomali angin timur mendorong massa air hangat ini ke arah barat seiring dengan peningkatan zona konveksi dengan membawa uap air di atasnya yang berpotensi terjadinya hujan selama bergeraknya massa air hangat tersebut (Gambar 2). Gambar 2 Evolusi DM dari hasil analisis komposit SPL di Samudera Hindia (Saji et al., 1999). (a), (b), (c) dan (d) berturut-turut komposit SPL ( C) pada bulan Mei-Juni, Juli-Augustus, September-Oktober dan November-Desember. Pola spasial dari hasil analisis EOF dengan menggunakan data SPL sangat jelas berbeda di perairan barat dan timur ekuatorial Samudera Hindia, sehingga Saji et al. (1999) dengan mudah mendefinisikan sebuah indeks dari selisih anomali SPL di perairan barat Samudera Hindia (50 BT-70 BT, 10 LS-10 LU) dengan anomali SPL di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia (90 BT-

7 BT, 10 LS-ekuator). Indeks ini akan bernilai positif jika massa air hangat bergerak ke arah barat Samudera Hindia dan fase ini dinamakan fase positif dimana sedang berlangsung DM, sedangkan apabila indeks ini bernilai negatif jika massa air hangat terdorong ke arah tenggara Samudera Hindia dan fase ini dinamakan fase negatif DM. Indeks ini kemudian diberi nama Dipole Mode Index (DMI). Gambar 3 Pola perambatan anomali (a) SPL ( C) pada 5 LU-5 LS, (b) angin zonal (m/s) pada 5 LU-5 LS dan (c) TML (cm) pada 1 LU-1 LS dari bulan Januari 1997-Juli 1998 (Webster et al., 1999). Pada media publikasi yang sama, Webster et al. (1999) mengemukakan bahwa terjadi anomali pada dinamika laut di Samudera Hindia yang mirip dengan ENSO di Samudera Pasifik. Kesimpulan ini didapat dari hasil penelitian dengan menggunakan data SPL, tinggi muka laut (TML), curah hujan dan angin. Webster et al. (1999) memperlihatkan pergerakan rambatan SPL, TML dan angin zonal dari perairan timur Samudera Hindia sampai ke perairan barat Samudera Hindia (Gambar 3). Pola rambatan SPL ini terlihat dengan jelas selaras dengan angin zonal dan TML yang menunjukkan bahwa dinamika di Samudera Hindia ini merupakan suatu fenomena tersendiri yang berinteraksi antara laut dan atmosfer. Ketika massa air hangat ini mencapai perairan di sebelah barat Samudera Hindia, terlihat pola SPL, OLR, angin zonal dan TML yang sama seperti yang ditemukan oleh Saji et al. (1999) sehingga memperkuat bahwa dinamika ini merupakan suatu fenomena tersendiri yang mirip dengan ENSO di Samudera Pasifik (Gambar 4).

8 16 Gambar 4 Pola sebaran horizontal (a) anomali SPL ( C), (b) anomali OLR (W m -2 ), (c) anomali angin zonal (m/s) dan (d) anomali TML (cm) pada bulan November 1997 (Webster et al., 1999). Proses dinamika interaksi laut-atmosfer di Samudera Hindia dari fenomena ini menurut Webster et al. (1999) dimulai dengan adanya anomali angin di atas perairan sebelah tenggara Samudera Hindia yang mendorong massa air hangat ke perairan sebelah barat Samudera Hindia sehingga mengakibatkan terjadi anomali upwelling di perairan barat Sumatera dan downwelling di perairan timur Afrika. Sirkulasi Walker terjadi anomali dimana pada lapisan bawah angin bergerak ke arah barat dan pada lapisan atas atmosfer angin bergerak ke arah timur. Proses ini diikuti pula dengan meningkatkan zona konveksi yang memicu terjadinya penguapan dari massa air hangat yang dapat meningkatkan curah hujan di perairan sebelah barat Samudera Hindia. Sementara itu di perairan pantai barat Sumatera, terjadi zona divergen dengan udara kering di atasnya akibat dari bergeraknya massa air hangat ke arah barat Samudera Hindia. Webster et al. (1999) menyampaikan bahwa anomali angin timur ini terus mendorong massa air hangat sehingga kedalaman lapisan termoklin mendalam di perairan sebelah barat Samudera Hindia dan mendangkal di pantai barat Sumatera. Pola angin ini mengakibatkan terjadinya formasi Ekman di tengah Samudera Hindia yang bergerak menuju ekuator diikuti dengan terjadinya downwelling Gelombang Rossby. Seiring dengan aktifitas Muson panas, massa air hangat ini kembali ke arah timur ekuatorial Samudera Hindia oleh dorongan transpor Ekman yang dibangkitkan oleh angin di sepanjang pesisir timur benua Afrika. Ketika

9 17 massa air hangat ini sampai di perairan sebelah timur Samudera Hindia, terjadi downwelling Gelombang Kelvin dan diikuti dengan perubahan sirkulasi Walker, peningkatan SPL dan kedalaman lapisan termoklin, downwelling di sepanjang pantai barat Sumatera dan peningkatan zona konveksi, penguapan dan curah hujan. Secara skematis proses dinamika laut-atmosfer di Samudera Hindia ini dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 Proses dinamika laut-atmosfer di Samudera Hindia pada tahun 1997, diadaptasi dari Webster et al. (1999). (a) sampai (d) berturutturut adalah peralihan antar musim. Keterangan secara rinci terdapat di dalam tulisan. Fenomena di Samudera Hindia yang dikemukan secara bersamaan oleh Saji et al. (1999) dan Webster et al. (1999) oleh peneliti lain selanjutnya disebut Dipole Mode (DM), sesuai dengan penamaan yang diberikan oleh Saji et al. (1999). Fenomena ini kemudian mulai dikaji lebih lanjut oleh peneliti lainnya berkaitan dengan mekanisme proses dinamika DM, dampak DM terhadap cuaca dan iklim, pemicu terjadinya DM, variabilitas siklus DM, peranan Tropical

10 18 Biennial Oscillation (TBO) terhadap DM dan interaksinya dengan Muson dan ENSO. Sampai dengan saat ini, pemicu terjadinya DM masih menjadi perdebatan diantara para peneliti. Pemicu dan mekanisme kerja proses dinamika DM belum seutuhnya terungkap dengan jelas dan dapat diterima oleh para peneliti. Fischer et al. (2005) mengemukakan bahwa pada musim semi terdapat dua pemicu DM yang berbeda. Pertama adalah anomali sirkulasi Hadley di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan di atas perairan Asia Tenggara dimana Angin Pasat Tenggara masuk dari BBS sebelum waktunya. Kondisi ini mengakibatkan penurunan SPL dengan cepat di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia dan menyebabkan keterlambatan datangnya angin musim panas Australia. Pemicu kedua adalah pergeseran zona konveksi arah zonal dari sirkulasi Walker pada saat terjadi El Nino. Pemicu pertama terjadi pada fase positif DM tahun 1994, dimana tidak terjadi El Nino di Samudera Pasifik. Pemicu pertama terjadi tanpa melibatkan ENSO dan pemicu kedua merupakan fase DM yang berinteraksi dengan ENSO di Samudera Hindia. Hasil penelitian ini diperoleh dari analisis luaran model gabungan iklim yang dijalankan untuk mensimulasikan kondisi Samudera Hindia dan Pasifik selama 200 tahun untuk mengetahui interelasi antara DM dan ENSO. Sedikit berbeda dengan Fischer et al. (2005), Francis et al. (2007) menemukan bahwa pemicu terjadinya DM karena adanya siklon kecil di Teluk Bengal antara bulan April-Mei. Semua fase positif DM selama periode , minimal terdapat satu siklon kecil di Teluk Bengal. Siklon ini akan memperkuat gradien tekanan meridional di sebelah timur Samudera Hindia, sehingga angin dari tenggara Samudera Hindia berhembus ke arah Teluk Bengal seiring dengan peningkatan upwelling di sepanjang pesisir barat Sumatera. Angin di Teluk Bengal kemudian naik ke lapisan atas dan bergerak kembali menuju pantai barat Sumatera dan turun menekan zona konveksi dan uap air menjadi daerah divergen di atas permukaan laut. Francis et al. (2007) berpendapat bahwa kondisi ini mengakibatkan suhu udara dan SPL di pesisir barat Sumatera menjadi turun dengan cepat dan semakin turun akibat dari hembusan angin dingin dari tenggara Samudera Hindia, sehingga daerah ini memiliki tekanan udara tinggi. Tekanan udara tinggi ini mengakibatkan angin berhembus ke arah barat di

11 19 sepanjang ekuator Samudera Hindia dan mengakibatkan angin baratan dari Afrika melemah. Kekuatan angin timur semakin meningkat dan mendorong massa air hangat di sepanjang ekuator bergerak ke arah barat. Massa air hangat ini kemudian menumpuk di sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia dan membentuk daerah convergen kuat dan memicu terjadinya zona konveksi yang meningkatkan kandungan uap air di atasnya, sehingga anomali curah hujan terjadi di sepanjang pantai timur Afrika. Penelitian mengenai pemicu terjadinya DM, sampai dengan saat ini masih terus dilakukan. Masih terdapat perdebatan mengenai teori pemicu DM dan proses dinamika interaksi laut-atmosfer yang menyertainya. Jika dikelompokan, teori pemicu DM yang berkembang dibagi menjadi dua yaitu pertama, DM dipicu dari anomali yang berada di Samudera Hindia dan yang kedua, pemicunya berasal dari sistem di luar Samudera Hindia seperti ENSO, MJO dan TBO. Wilayah Asia Tenggara memiliki keunikan tersendiri (Webster, 1987; Fein dan Stephens, 1987; Mori et al., 2004; Chang, 2005; Neelin, 2007), dimana interaksi yang terjadi tidak hanya laut-atmosfer saja, tapi perlu mempertimbangkan interaksi antara darat, laut dan atmosfer. Karakter daratan yang lebih mudah menyerap bahang dan melepas bahang berinteraksi dengan karakter lautan yang lambat menyerap bahang dan lama menyimpan bahang, memiliki dinamika tersendiri jika berinteraksi dengan atmosfer di atasnya (Chang, 2005). Variabilitas keseimbangan bahang antara darat-laut-atmosfer yang besar akan berakibat pola sirkulasi udara horizontal maupun vertikal pada arah zonal maupun meridional di atas perairan Asia Tenggara menjadi lebih kompleks. Daerah konvergen dan divergen maupun konveksi di perairan Asia Tenggara selalu berubah setiap saat akibat dari perbedaan pemanasan di lautan yang dikelilingi oleh pulau-pulau maupun perbedaan pemanasan antara lautan dan daratan dengan pola topografi yang beragam (Mori et al., 2004). Seperti halnya Muson di wilayah Asia Tenggara yang berada di ekuator dimana Indonesia menjadi zona transisi pembelokan arah angin dan pemicu DM yang dimulai dengan adanya anomali angin timur di perairan sebelah selatan pantai barat Sumatera (Webster et al., 1999), maka sangat memungkinkan sekali pemicu awal terjadinya DM bersumber dari perairan Indonesia yang memiliki dinamika darat-laut-atmosfer yang besar dan kuat

12 20 (Chang, 2005). Begitu pula ENSO, dimana diketahui sebelumnya bahwa terdapat anomali angin baratan di atas perairan sebelah timur perairan Indonesia sebelum terjadinya ENSO (Philander, 1990) membuka kemungkinan bahwa pemicu ENSO juga bersumber dari dinamika darat-laut-atmosfer di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya. 2.3 El Nino Southern Oscillation Penelitian mengenai ENSO telah lama dilakukan dan meningkat dengan pesat seiring dengan berkembangnya teknologi observasi laut-atmosfer. Sarana pengamatan laut-atmosfer di Samudera Pasifik melalui kerjasama internasional semakin bertambah dengan banyaknya hasil penelitian mengenai ENSO dan dinamikanya. Proses mekanisme kerjanya sudah mulai teridentifikasi secara mendetail seiring dengan berkembangnya teknologi pemodelan. Pada saat ini, fenomena ENSO tidak saja hanya dikenal sebagai salah satu fenomena di Samudera Pasifik dimana kolam air hangat yang biasanya berada di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik, karena Angin Pasat Tenggara dan Timur Laut mengalami anomali kemudian bergerak ke arah timur di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik dan menimbulkan dampak iklim yang luas (McPhaden et al., 1998; Neelin et al., 1998; Wallace et al., 1998). Penelitian untuk memprediksi ENSO sampai saat ini masih terus dilakukan, tetapi misteri penyebab terjadinya El Nino masih belum seutuhnya terungkap. Pengamatan melalui observasi laut-atmosfer dengan menggunakan buoy TOGA/TAO (Tropical Ocean-Global Atmopheric/Tropical Atmosphere-Ocean) dari Pacific Marine Environmental Laboratory (PMEL) NOAA dan buoy TRITON (Triangle Trans-Ocean Buoy Network) dari Japan Marine and Earth Science Tecnology Center (JAMSTEC) di sepanjang equatorial Samudera Pasifik masih berjalan secara intensif, bahkan pemasangan buoy TRITON di sebelah barat Samudera Pasifik telah mencapai perairan utara Papua Barat. Tujuan pemasangan tersebut adalah memperluas sarana observasi laut-atmosfer untuk mengkaji lebih mendalam pemicu terjadinya El Nino (Kuroda, 2001). Hasil dari beberapa penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa ada keterkaitan antara terjadinya gangguan angin baratan (westerly wind bursts) di

13 21 perairan barat dan tengah ekuatorial sebelah Samudera Pasifik sebelum datangnya El Nino (Latif et al., 1988; Perigaud dan Cassou, 2000; Lengaigne et al., 2004). Kecepatan angin tersebut melebihi 7 m/s dengan durasi antara 5-20 hari (Harison dan Vecchi, 1997) dan terjadi rata-rata sekitar 3 kali pada tahun-tahun terjadinya El Nino (Verbickas, 1998). Gangguan angin baratan ini juga berkaitan dengan fenomena atmosfer termasuk terjadinya siklon tropis dan siklon tropis kembar (Keen, 1982). Gangguan angin baratan ini telah diamati dengan menggunakan data observasi selama 50 tahun dan hasilnya secara signifikan berasosiasi dengan awal kedatangan El Nino (McPhaden, 2004). Sampai dengan tahap penelitian ini, pemicu terjadinya El Nino masih diyakini berasal dari faktor luar yaitu adanya gangguan angin baratan yang memperkuat dan menekan (downwelling) rambatan Gelombang Kelvin ke arah timur di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik dimana angin baratan ini merupakan hasil dari interaksi laut-atmosfer yang secara detail belum diketahui penyebab kemunculannya. Eisenman et al. (2005) merubah paradigma sebelumnya teori mengenai pemicu terjadinya El Nino dengan mengemukakan bahwa gangguan angin baratan ini bukan sebagai pemicu terjadinya El Nino, tetapi merupakan hasil interaksi laut-atmosfer yang dimodulasi dari proses dinamika El Nino itu sendiri. Faktor eksternal adanya gangguan angin baratan bukan dari proses laut-atmosfer lainnya tetapi merupakan bagian dari proses dinamika El Nino itu sendiri yang memperkuat proses awal El Nino sampai dengan terjadi El Nino kuat. Kesimpulan ini didapat dari penelitiannya menggunakan data observasi, citra satelit dan model gabungan (coupled model) laut-atmosfer Cane-Zebiak dengan menerapkan skenario model dengan dan tanpa adanya gangguan angin baratan. Sampai dengan akhir 2010, teori mengenai pemicu datangnya El Nino masih bertahan pada kedua teori tersebut yaitu adanya gangguan angin baratan dan hasil proses internal dari dinamika El Nino itu sendiri berupa modulasi kolam air hangat yang mempengaruhi proses dinamika laut-atmosfer. Proses dinamika ENSO itu sendiri yang berkembang pada saat ini adalah beberapa teori yaitu ENSO Oscillator dimulai oleh Bjerknes (1969) dengan hipotesa adanya interaksi laut-atmosfer berupa positive feedback yang mengakibatkan terjadinya anomali

14 22 SPL di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik pada saat terjadi El Nino. Anomali SPL ini mengharuskan kembali ke kondisi normal oleh adanya negative feedback dengan beberapa teori yaitu pertama, delayed oscillator (Suarez dan Schopf, 1988) berupa terbentuknya Gelombang Rossby dari pemantulan Gelombang Kelvin di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik. Kedua, recharge oscillator (Jin, 1997) dengan adanya penambahan transpor Sverdrup pada fase negative feedback. Ketiga, western Pacific oscillator (Weisberg dan Wang, 1997) berupa proses interaksi laut-atmosfer dengan terbentuknya siklon di utara dan selatan ekuator sebelah barat Samudera Pasifik bersamaan dengan terbentuknya angin baratan di tengah Samudera Pasifik pada fase positive feedback dan terbentuknya anti siklon memicu terjadinya angin timuran yang melemahkan energi Gelombang Kelvin ke arah timur pada fase negative feedback. Keempat, advective-reflective oscillator (Picaut et al., 1997) yaitu terdapat zona konvergen arus ke arah timur (barat) di tepian sebelah timur (barat) dari kolom air hangat pada fase positive (negative) feedback yang berasosiasi dengan Southern Oscillation Index (SOI). Teori terakhir dari ENSO oscillator adalah unified oscillator (Picaut et al., 2002) merupakan gabungan mekanisme dari keempat teori tersebut di atas. Wang dan Picaut (2004) kemudian mengklasifikasikan hasil penelti lain mengenai teori dinamika ENSO kedalam beberapa kelompok yaitu pertama, Slow (Sea Surface Temperature/STT) Mode dimana dari hasil interaksi laut-atmosfer terjadi ketidakstabilan yang mengakibatkan gerakan perlahan massa air hangat ke arah timur (barat) pada saat terjadi El Nino (La Nina) tanpa melibatkan dinamika gelombang Samudera. Kedua, a stable mode triggered by stochastic forcing yaitu massa air hangat di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik berada dalam kondisi stabil kemudian muncul gangguan dari luar sistem yang memicu terjadinya El Nino pada fase positive feedback. Fase negative feedback dibutuhkan untuk mengembalikan posisi kolam air hangat ke tempat semula sampai mencapai kondisi stabil dengan menyertakan kemungkinan salah satu atau beberapa proses dari teori delayed oscillator, recharge oscillator, western Pacific oscillator dan advective-reflective oscillator. Teori ini berperan dalam menjawab ketidakteraturan siklus ENSO yang bervariasi dengan periode antara 4-7 tahun.

15 23 Penelitian terakhir telah teridentifikasi terdapat dua tipe yang berbeda dari variabilitas antar tahunan SPL di ekuatorial Samudera Pasifik yang berkaitan dengan fenomena ENSO (Larkin dan Harrison, 2005a; Yu dan Kao, 2007; Ashok et al., 2007; Kao dan Yu, 2009; Kug et al., 2009). Salah satu diantaranya adalah anomali kolam air hangat yang terpusat di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifk dimana tipe ini adalah tipe El Nino tradisional/konvensional atau sering pula disebut Canonical El Nino (Rasmusson dan Carpenter, 1982; Philander, 1990; Wallace et al., 1998; Sarachik dan Cane, 2010). Tipe yang kedua adalah anomali kolam air hangat yang terpusat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik sedikit ke barat kurang lebih pada 180 BT atau 180 BB. Pemberian nama untuk tipe El Nino kedua berbeda-beda karena secara terminologi belum terdapat kesepakatan pemberian istilah untuk El Nino Tipe-2, tetapi secara definitif memiliki arti yang sama yaitu anomali kolam air hangat yang berada di tengah ekuatorial Samudera Pasifik. Larkin dan Harrison (2005a) memberi nama tipe EL Nino kedua ini dengan sebutan Dateline El Nino karena anomali maksimum SPL berada di dekat International Dateline (180 BT atau 180 BB). Diberikan nama baru karena tipe El Nino ini berbeda dengan El Nino konvensional dimana dampak yang dirasakan di Amerika (Larkin dan Harrison, 2005a) dan di dunia berbeda (Larkin dan Harrison, 2005b). Ketika kolam air hangat berada di sekitar internasional dateline, terjadi dampak yang berbeda antara El Nino konvensional dengan El Nino Dateline dimana pada bulan September-Oktober-November (SON) umumnya terjadi peningkatan suhu diatas normal di BBU, sedangkan pada bulan Desember sampai Februari (DJF) umumnya terjadi peningkatan suhu di sebelah utara Benua Amerika dan penurunan suhu di sebelah utara Benua Asia dan Eropa dibandingkan dengan El Nino konvensional (Gambar 6). Pendefinisian El Nino dan La Nina (NOAA, 2003) oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dengan menggunakan indeks Nino3.4 (anomali SPL pada petak 170 BB-120 BB, 5 LS-5 LU) yang telah diadopsi oleh World Meteorological Organization wilayah IV (WMO region IV) dimana jika nilai anomali positif (negatif) SPL pada Nino3.4 sebesar 0.5 C selama 3 bulan berturut-turut disebut sebagai El Nino (La Nina), akan menjadi tidak efektif

16 24 dengan adanya El Nino Dateline. Oleh karena itu, Larkin dan Harrison (2005a) agar dilakukan pendefinisian baru mengenai El Nino dan La Nina dengan memperbaharui indeks-indeks El Nino di Samudera Pasifik untuk mendeteksi fase El Nino Dateline. Gambar 6 Komposit anomali suhu udara permukaan ( C), diadaptasi dari Larkin dan Harrison (2005b). Kolom kiri adalah El Nino konvensional dan kolom kanan adalah El Nino Dateline. Baris atas pada bulan September-Oktober-November dan baris bawah pada bulan Desember-Januari-Februari.Kotak-kotak memperlihatkan rata-rata suhu udara grid dengan 80% diatas selang kepercayaan dan garis diagonal dibawahnya. Jumlah data dibawah empat dibiarkan kosong. Ashok et al. (2007) menemukan pola spasial anomali SPL dengan siklus antar tahunan melalui analisis EOF pada Mode kedua EOF dengan keragaman sebesar 12% (Gambar 7b). Anomali positif SPL ditemukan terpusat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik dimana kolam air hangat berada. Tipe kedua El Nino ini diberi nama El Nino Modoki atau disebut pula Pseudo El Nino yang artinya El Nino semu. Setelah ditemukan tipe El Nino ini, Ashok et al. (2007) membangun sebuah indeks baru untuk mendeteksi kedatangan tipe El Nino Modoki dan diberi nama El Nino Modoki Index (EMI). Indeks ini dibangun dari rata-rata anomali SPL di tengah ekuatorial Samudera Pasifik (165 BT-140 BB, 10 LS-10 LU) dikurangi setengah dari anomali SPL di sebelah barat (125 BT- 145 BT, 10 LS-20 LU) dan di sebelah timur (110 BB-70 BB, 15 LS-5 LU)

17 25 ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 7b) dengan menggunakan data Hadley Centre Global Sea Ice and Sea Surface Temperature (HadISST) antara tahun hasil reanalisis dari Rayner et al. (2003). Gambar 7 Pola spasial EOF dari empat mode terbesar SPL dengan menggunakan data dari tahun , diadaptasi dari Ashok et al. (2007). (a) sampai (d) berturut-turut adalah Mode kesatu sampai Mode keempat EOF. (b) adalah tipe dua El Nino dimana kolam air hangat terpusat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik dan diberi nama El Nino Modoki atau Pseudo El Nino. Hasil dari perhitungan EMI didapati tujuh puncak EMI positif pada musim panas di BBU antara bulan Juni sampai September (JJAS) yaitu tahun 1986, 1990, 1991, 1992, 1994, 2002 dan 2004, sedangkan pada musim dingin di BBU antara bulan Desember sampai Januari (DJF) terdapat 8 puncak EMI positif yaitu pada tahun , , , , , , dan Analisis komposit anomali SPL (Gambar 8) pada periode tersebut memperlihatkan kesesuaian dengan pola spasial SPL pada Mode kedua EOF (Gambar 7b). Proses dinamika terjadinya El Nino Modoki melibatkan interaksi antara laut-atmosfer (Ashok et al., 2007) yaitu terbentuknya anomali angin baratan di sebelah barat dan anomali angin timuran di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik yang diikuti dengan anomali positif kedalaman lapisan termoklin di tengah ekuatorial Samudera Pasifik. Penyebab anomali positif

18 26 kedalaman lapisan termoklin adalah downwelling gelombang ekuator Kelvin di sebelah barat dan upwelling gelombang ekuator Rossby di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik. Salah satu periode waktu dari fase El Nino Modoki dengan puncak positif EMI terjadi pada musim panas di BBU (JJAS) tahun 2004 (Gambar 9). Gambar 8 Komposit anomali SPL ( C) pada musim panas (a) dan musim dingin (b) di BBU yang memperlihatkan kesesuaian dengan pola spasial EOF Mode kedua, diadaptasi dari Ashok et al. (2007). Gambar 9 Komposit anomali SPL ( C) pada musim panas (JJAS) tahun 2004, di BBU yang memperlihatkan puncak fase El Nino Modoki pada tahun 2004, diadaptasi dari Ashok et al. (2007).

19 27 Gambar 10 Pola spasial EOF dari data asli anomali SPL. (a) adalah Mode pertama terbesar dengan keragaman sebesar 55.7% dan (b) adalah Mode kedua terbesar dengan keragaman sebesar 11.1%, diadaptasi dari Kao dan Yu (2009). Kao dan Yu (2009) dengan menggunakan basis data SPL yang sama dengan Ashok et al. (2007) yaitu HadISST antara tahun , melakukan analisis EOF dengan sebelumnya mengurangkan anomali SPL dari data yang digunakan dengan indeks Nino1+2 (90 BB-80 BB, 10 LS-0 ) dan Nino4 (160 BT-150 BB, 5 LS-5 LU). Hal ini dilakukan karena dengan menggunakan analisis EOF dari data anomali SPL aslinya, hasil EOF pada Mode kesatu dan kedua terbesar tidak ditemukan pola spasial anomali SPL yang memperlihatkan tipe pertama El Nino (El Nino konvensional) maupun tipe kedua El Nino dimana anomali positif SPL terbesar terpusat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 10). Setelah melakukan pengurangan data anomali SPL dengan indeks Nino1+2 dan Nino4 pada masing-masing Mode kesatu hasil analisis EOF ditemukan pola spasial anomali positif SPL terpusat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 11b) untuk pengurangan dengan indeks Nino1+2 (tipe kedua El Nino) dan anomali SPL terpusat di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 11a) untuk pengurangan dengan indeks Nino4 (tipe pertama El Nino/El Nino konvensional). Kao dan Yu (2009) memberi nama tipe pertama El Nino dengan sebutan EP- ENSO (Eastern-Pasific ENSO) dan tipe kedua El Nino dengan sebutan CP-ENSO (Central-Pasific ENSO). Mekanisme proses evolusi dari EP-ENSO berkaitan erat

20 28 dengan proses delayed oscillator (Suarez dan Schopf, 1988), sedangkan CP- ENSO diduga berkaitan dengan proses lokal interaksi laut-atmosfer karena tidak melibatkan pergerakan lapisan termoklin. Gambar 11 Pola spasial EOF dari data anomali SPL yang telah dikurangkan dengan (a) indeks Nino4 untuk tipe El Nino EP-ENSO hasil EOF Mode pertama terbesar dengan keragaman 36% dan (b) indeks Nino1+2 untuk tipe El Nino CP-ENSO hasil EOF Mode pertama terbesar dengan keragaman 38%, diadaptasi dari Kao dan Yu (2009). Kug et al. (2009) dengan menggunakan data SPL Extended Reconstructed Sea Surface Temperature versi 2 (ERSST V2) hasil reanalisis dari Smith dan Reynolds (2004), telah mengidentifikasikan terdapat dua tipe El Nino dari tiga tipe El Nino yang ditemukannya antara tahun Analisis yang digunakan adalah dengan melakukan komposit pada bulan September sampai Februari tahun berikutnya dari data SPL dimana indeks Nino3 memiliki nilai diatas simpangan baku dan hal yang sama dilakukan untuk komposit dengan indeks Nino4 dan Nino3.4. Hasil analisis tersebut didapatkan 12 periode terjadinya El Nino dan dikelompokan menjadi tiga kelompok yaitu anomali SPL yang terpusat di tengah Nino3, Nino4 dan Nino3.4. Kelompok pertama terjadi anomali positif SPL yang kuat di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik yaitu pada tahun , , dan (Gambar 12 kolom tengah) dan tipe El Nino ini diberi nama

21 29 oleh Kug et al. (2009) yaitu tipe El Nino Cold Tongue El Nino (CT El Nino). Tipe CT El Nino ini cenderung sama dengan pola anomali SPL dari El Nino konvensional yang telah diteliti sebelumnya (McPhaden et al., 1998; Neelin et al., 1998; Wallace et al., 1998). Kelompok kedua terjadi anomali positif SPL yang terpusat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik dimana anomali SPL di sebelah timur tetap memiliki anomali positif SPL dengan nilai yang tidak terlalu besar. Tahun kejadiannya adalah , , , dan , kemudian tipe El Nino ini diberi nama Warm Pool El Nino (WP El Nino). Kelompok ketiga terjadi pada tahun , dan dan Kug et al. (2009) menyebutnya sebagai tipe El Nino campuran, sehingga tipe El Nino ini tidak dikelompokan dan tidak termasuk dalam dua kelompok dari tipe CT El Nino maupun WP El Nino. Hasil penelitian yang dilakukan menyebutkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pola sebaran anomali SPL antar tahunan di tengah ekuatorial Samudera Pasifik dari pola El Nino konvensional (WP El Nino), tipe WP El Nino pada pada beberapa dekade terakhir lebih sering terjadi dengan variabilitas yang besar dan dampak yang ditimbulkan oleh WP El Nino baik secara global maupun regional sangat berbeda dengan El Nino konvensional. Kug et al. (2009) dengan menggunakan data reanalisis curah hujan, tekanan udara, angin dan tinggi muka laut menelaah lebih jauh lagi perbedaan proses dinamika interaksi laut-atmosfer antara WP El Nino dengan CT El Nino. Hasilnya didapati bahwa terdapat perbedaan yang besar peranan angin zonal terhadap anomali SPL dari proses terbentuknya CT El Nino dan WP El Nino. Anomali angin timuran di sebelah timur dan angin baratan di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik berperan besar dalam pembentukan WP El Nino, sedangkan anomali angin baratan sangat berperan dalam pembentukan CT El Nino. Respon atmosfer di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik pada WP El Nino lebih besar berpengaruh dalam menurunkan SPL melalui proses evaporasi, sedangkan pada CT El Nino proses adveksi vertikal lebih berperan dalam perubahan SPL. Oleh karena itu, dampak dari WP El Nino akan dirasakan secara global karena melibatkan proses interaksi laut-atmosfer yang besar. Pengaruh perubahan tinggi muka laut lebih berperan pada CT El Nino dibandingkan dengan WP El Nino, sehingga mekanisme transpor bahang di lautan lebih dominan dipengaruhi oleh

22 30 CT El Nino dan dapat memicu terjadinya La Nina. Adveksi zonal SPL pada WP El Nino yang diperankan oleh arus menjadi sangat penting pada saat WP El Nino mulai melemah, selain respon atmosfer terhadap penurunan SPL melalui proses evaporasi. Gambar 12 Komposit anomali SPL (garis kontur putih) antara bulan September sampai Februari tahun berikutnya selama tahun dengan interval 0.3 K. Biru sampai merah menunjukkan anomali SPL yang telah dinormalkan. Kolom kiri memperlihatkan pola spasial tipe WP El Nino, tengah tipe CT El Nino dan kanan tipe El Nino campuran. Kotak hijau menunjukkan Nino4 (kiri), Nino3 (tengah) dan Nino3.4 (kanan). Gambar diadaptasi dari Kug et al. (2009). Kug et al. (2010) melanjutkan penelitiannya mengenai proses dinamika CT El Nino dan WP El Nino dengan menggunakan luaran model GFDL CM2.1 (Delworth et al., 2006; Wittenberg et al., 2006) selama 500 tahun simulasi dan mendefinisikan periode El Nino jika nilai dari indeks Nino3 dan Nino4 lebih besar dari 0.5 C selama bulan November sampai Januari (NDJ). Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh 205 kejadian El Nino dan dipilah kembali untuk tipe WP El Nino dengan syarat jika nilai indeks Nino4 lebih besar dari indeks Nino3 dan sebaliknya jika nilai dari Nino3 lebih besar dari Nino4 didefinisikan sebagai tipe CT El Nino. Hasil pengelompokan tersebut diperoleh 121 kejadian WP El Nino

23 31 dan 84 kejadian CT El Nino. Komposit dari kedua tipe El Nino tersebut sangat berbeda baik dari posisi maupun besarnya anomali positif SPL (Gambar 13). Pada CT El Nino anomali positif SPL terpusat di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik sebesar 2.5 K, sedangkan pada WP El Nino cenderung terpusat di internasional date line (160 BT) sebesar 1.0 K dan menyebar sampai ke sebelah timur dengan nilai yang lebih kecil. Gambar 13 Komposit anomali SPL ( C) periode CT El Nino (a) dan WP El Nino (b) pada bulan NDJ selama periode 500 tahun, diadaptasi dari Kug et al. (2010). Pada penelitiannya Kug et al. (2010) memperoleh kesimpulan yang sama mengenai keberadaan dan besarnya nilai anomali SPL dari dua tipe CT El Nino dan WP El Nino dengan menggunakan data luaran model GFDL CM2.1 dengan penelitian sebelumnya yang dilakukannya (Kug et al., 2009). Selain itu dengan memperhitungkan perbandingan antara adveksi SPL zonal dan adveksi SPL vertikal, diperoleh kesimpulan bahwa CT El Nino memiliki proses discharge yang kuat sehingga secara dinamis ketika periode CT El Nino mulai melemah dapat mengontrol mekanisme umpan balik dari fase panas ke fase dingin untuk terbentuknya kejadian La Nina. Sementara itu, WP El Nino memiliki proses discharge yang lemah karena pola distribusi anomali SPL yang menyebar merata dengan nilai anomali positif yang kecil sehingga tidak memungkinkan untuk terjadinya periode La Nina setelah selesainya periode WP El Nino. Kondisi ini

24 32 diperkuat dengan hasil dari perhitungan adveksi SPL zonal dari WP El Nino yang cenderung terjadi secara perlahan karena adanya thermal damping process (terhambatnya transpor bahang melalui mekanisme adveksi di lautan). Kug et al. (2010) menyampaikan bahwa WP El Nino berperan besar dalam menentukan perubahan kondisi normal SPL di Samudera Pasifik secara klimatologi karena pada beberapa dekade terakhir WP El Nino sering terjadi sehingga akan meningkatkan SPL dalam siklus jangka panjang. Korelasi antara indeks Nino4 dengan anomali SPL pada tipe WP El Nino selama 500 tahun cukup kuat sebesar 0.7 dimana telah diketahui sebelumnya bahwa indeks Nino4 memiliki kecenderungan peningkatan suhu dari kondisi normalnya pada siklus dekadal dan antar dekadal. Kug et al. (2010) menyampaikan bahwa terdapat dua kemungkinan yang terjadi dengan eratnya interelasi antara Nino4 dan tipe WP El Nino yaitu pertama, WP El Nino mempengaruhi variabilitas siklus dekadal di tropikal Samudera Pasifik melalui mekanisme efek penyesuaian ketidak-teraturan (Nonlinier rectification effect) yang sebelumnya telah diteliti keberadaan pola dekadal ENSO di Samudera Pasifik (Timmermann, 2003; Rodgers et al., 2004; An et al., 2005; An, 2009). Kemungkinan kedua adalah peningkatan suhu di Samudera Pasifik dalam jangka panjang menyebabkan tipe WP El Nino lebih sering terjadi pada beberapa dekade terakhir karena peranan adveksi SPL zonal sangat besar dalam proses pembentukan WP El Nino. Harrison dan Chiodi (2009) dengan menggunakan data Optimum Interpolation Sea Surface Temperature NOAA (OISST-NOAA) telah mengidentifikasikan terdapat tiga tipe pola sebaran anomali SPL jika dikaitkan dengan kejadian angin baratan (Westerly Wind Event/WWE) yang berasosiasi dengan EL Nino pada lokasi yang berbeda di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik. Lokasi kejadian WWE tersebut terdapat pada tiga petak yaitu petak pertama pada 130 BT-155 BT, kedua pada 155 BT-180 BT dan ketiga pada 180 BT-150 BB dan masing-masing petak berada pada 5 LS-5 LU. Kriteria komposit yang digunakan adalah selisih dari anomali SPL hari ke 60 dan ke 20 dimana pada tahun yang bersangkutan nilai indeks Nino3 mendekati normal (Nino C) dan terdapat kejadian WWE di masing-masing petak. Periode

25 33 data yang digunakan dikelompokan menjadi dua yaitu pada periode dan (Gambar 14). Gambar 14 Komposit selisih anomali SPL ( C) antara hari ke 60 dengan hari ke 20 pada saat kejadian angin baratan (Westerly Wind Event/WWE) dimana nilai indeks Nino3 mendekati normal (Nino C) pada tiap petak (kotak hitam) (a) tipe W (barat/western) pada 130 BT-155 BT, (c) tipe C (tengah/central) pada 155 BT- 180 BT dan (e) tipe E (timur/eastern) pada 180 BT-150 BB, masing-masing pada 5 LS-5 LU periode tahun (b), (d) dan (f) sama seperti (a), (c) dan (e) pada periode tahun , diadaptasi dari Harrison dan Chiodi (2009). Harrison dan Chiodi (2009) dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan pola sebaran anomali SPL saat terjadi El Nino pada beberapa dekade terakhir dan terdapat tiga tipe anomali SPL yang berasosiasi dengan El Nino yaitu tipe W, C dan E dimana angin baratan terjadi di sebelah barat, tengah dan timur ekuatorial Samudera Pasifik. Pada tipe W, C dan E antara periode tahun , anomali positif SPL dominan terpusat di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik, sedangkan antara periode cenderung berada di tengah ekuatorial Samudera Pasifik. Pola anomali SPL yang terjadi sangat berbeda, sedangkan keberadaan WWE sebagai gaya yang menyebabkan perpindahan kolam air hangat tetap ada meskipun Harrison dan Chiodi (2009) tidak mengelompokan WWE berdasarkan kekuatan anginnya, hanya keberadaan kejadian WWE terhadap arah angin dari barat ke timur di sepanjang ekuatorial

26 34 Samudera Pasifik. Harrison dan Chiodi (2009) menduga penyebab terjadinya pola anomali SPL antara periode adalah menguatnya angin timuran di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik pada beberapa dekade terakhir. Pada tipe W, C maupun E, baik sebelum tahun 1998 maupun sesudah tahun 1999, periode El Nino yang terjadi tidak berkaitan erat dengan aktifitas MJO yang memperkuat terjadinya WWE karena pada beberapa periode El Nino terdapat fase MJO aktif dan beberapa periode lainnya juga ditemukan fase MJO yang tidak aktif. Pada periode sebelum tahun 1998, WWE tipe W, C atau E memiliki kecenderungan terjadinya tipe El Nino konvensional, sedangkan setelah tahun 1999 terjadi perubahan karakteristik El Nino antara tipe W, C dan E meskipun anomali positif ketiga tipe tersebut berada di tengah ekuatorial Samudera Pasifik. Tipe W memiliki anomali positif SPL berada di sebelah barat, tipe C menyebar dari tengah sampai timur dan tipe E terpusat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik. Weng et al. (2009) dengan menggunakan data HadISST (Rayner et al., 2003), National Centre for Environmental Prediction/National Center for Atmospheric Research (NCEP/NCAR) (Kalnay et al., 1996) dan Global Precipitation Climatology Project (GPCP) versi 2 (Adler et al., 2003) memperlihatkan terjadinya perbedaan anomali iklim secara global antara El Nino konvensional dan El Nino Modoki (Ashok et al., 2007) dengan adanya pola sebaran anomali positif dan negatif SPL yang berbentuk bumerang melintang dari lintang sedang di BBU sampai BBS (Gambar 15d), sedangkan pada El Nino konvensional hanya terjadi pola bumerang pada anomali negatif SPL saja (Gambar 15a). Pola spasial anomali SPL yang berbeda akan mengakibatkan zona konveksi pada saat terjadi El Nino dan El Nino Modoki akan berbeda pula. Pergeseran ITCZ dan SPCZ pada saat El Nino Modoki berperan penting dalam menentukan zona konveksi yang mengakibatkan terjadinya anomali curah hujan (Gambar 15e), sedangkan ITCZ hanya berperan pada saat terjadi El Nino konvensional (Gambar 15b). Anomali kelembaban spesifik, kecepatan potensial dan pola sirkulasi Walker pada lapisan troposfer memperlihatkan perbedaan yang besar antara El Nino konvensional (Gambar 15c) dengan dua kutub (dipole) dan El Nino Modoki dengan tiga kutub (tripole) pada parameter kelembaban spesifik

27 35 (Gambar 15f). Zona konveksi pada El Nino konvensional berada di sebelah timur, sedangkan pada El Nino Modoki terdapat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik (180 BT). Pola iklim yang berbeda antara El Nino konvensional dan El Nino Modoki akan memberikan pengaruh yang besar terhadap dampak yang ditimbulkannya secara regional maupun global. Gambar 15 Korelasi parsial antara Nino3 (baris atas) dan EMI (baris bawah) dengan SPL ( C) (kolom kiri), curah hujan (mm/hari) (kolom tengah) dan profil melintang ketinggian dan membujur dari kelembaban spesifik (g/kg) pada 10 LS-10 LU (kolom kanan). (b) dan (e) tumpang-tindih dengan vektor angin (streamline) dan (c) dan (f) tumpang-tindih dengan kecepatan potensial dikalikan dengan -50 untuk mempermudah analisis (kontur dengan interval 4 x 10 5 m 2 s -1 ) dan vektor angin (streamline), diadaptasi dari Weng et al. (2009). Yu et al. (2010) mendefinisikan variabilitas SPL yang berada di sebelah timur adalah variabilitas SPL Tipe-1 dan di tengah ekuatorial Samudera Pasifik adalah variabilitas SPL Tipe-2. Variabilitas SPL Tipe-1 berkaitan dengan komponen variabilitas antar tahunan SPL yang erat kaitannya dengan El Nino konvensional dan variabilitas SPL Tipe-2 berkaitan dengan komponen diluar variabilitas SPL Tipe-1. Data yang digunakan oleh Yu et al. (2010) adalah data asimilasi dari German Estimating the Circulation and Climate of the Ocean project (GECCO) (Kohl et al., 2006) dengan mendefinisikan dua buah petak yang mewakili varibilitas SPL di sebelah timur dan di tengah ekuatorial Samudera Pasifik. Petak pertama berada di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik (5 LS-5 LU, 120 BB-80 BB) yang mewakili variabilitas SPL berkaitan dengan variabilitas antar tahunan El Nino konvensional disebut Tipe-1 dan petak kedua

28 36 berada di tengah ekuatorial Samudera Pasifik (5 LS-5 LU, 180 BT-140 BB) yang mewakili variabilitas SPL diluar Tipe-1 dan disebut Tipe-2 (Gambar 16). Hasil korelasi linier sederhana dengan menggunakan beda waktu antara 12 bulan sebelumnya sampai 12 bulan sesudahnya dengan interval 6 bulan antara anomali SPL di Samudera Pasifik dengan petak pertama dan kedua memperlihatkan pola evolusi anomali SPL untuk Tipe-1 (Gambar 16a-e) dan Tipe-2 (Gambar 16f-j). Variabilitas Tipe-1 memiliki anomali positif SPL yang menyebar dari tengah sampai timur ekuatorial Samudera Pasifik yang berasosiasi dengan Osilasi Selatan (Southern Oscillation) dan memiliki siklus utama antar tahunan antara 4-5 tahun dan siklus lainnya biennial (dua tahunan) antara tahunan dengan mekanisme proses fisis yang bekerja dominan dipengaruhi variabilitas suhu pada kolom laut di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik. Berbeda halnya dengan Tipe-1, pada Tipe-2 dominan memiliki siklus dua tahunan yang berasosiasi dengan interaksi lokal laut-atmosfer sehingga menghasilkan pola anomali positif SPL yang terpusat di tengah dan menyebar melalui mekanisme adveksi SPL zonal ke arah barat dan timur ekuatorial Samudera Pasifik. Pada variabilitas SPL Tipe-2 ini memiliki keterkaitan yang erat dengan anomali SPL di daerah subtropis di BBU dan BBS, terutama pada BBU dimana anomali SPL yang terbentuk di perairan sebelah timur laut dan dari arah tenggara Samudera Pasifik di BBS menyebar ke arah tengah ekuatorial Samudera Pasifik sehingga menimbulkan anomali surface heat flux forcing (pembangkit fluks bahang permukaan) dan berasosiasi dengan anomali angin permukaan laut (Gambar 16f-j). Yu et al. (2010) berpendapat bahwa pembentukan variabilitas SPL Tipe-2 berkaitan erat dengan gaya pembangkit tekanan tinggi di subtropis dimana hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa variabilitas antar tahunan di ekuatorial Pasifik berkaitan erat dengan variabilitas SPL yang berada di daerah subtropis (Vimont et al., 2003; Anderson, 2003; Chang et al., 2007). Variabilitas SPL Tipe- 2 yang disampaikan oleh Yu et al. (2010) pada prinsipnya adalah merupakan fenomena yang sama dimana terjadi anomali positif SPL di tengah ekuatorial Samudera Pasifik dengan penamaan yang berbeda-beda karena belum ada kesepakatan terminologi yang sama. Larkin dan Harrizon (2005a) menyebut Tipe- 2 ini dengan sebutan El Nino Dateline, Ashok et al. (2007) memberi nama El

29 37 Nino Modoki, Kao dan Yu (2009), Yeh et al. (2009), Yu dan Kim (2010), Lee dan McPhaden (2010) dan Newman et al. (2011) menamakan CP-ENSO (Central Pacific-ENSO), Kug et al. (2009) mendefinisikannya dengan nama WP El Nino (Warm Pool El Nino), Harrison dan Chiodi (2009) dan Takahashi et al. (2011) memberi nama Tipe C (Central) dan Kim et al. (2011) menamakan dengan CPW (Central Pacific Warming). Gambar 16 Korelasi linier sederhana dengan beda waktu (a)-(e) dan (f)-(j) dari -12 bulan sampai 12 bulan dengan interval 6 bulan antara anomali SPL ( C bulan -1 C -1 ) dengan rata-rata anomali SPL pada petak sebelah timur (5 LS-5 LU, 120 BB-80 BB) untuk variabilitas SPL Tipe-1 (kolom kiri) dan pada petak di tengah ekuatorial Samudera Pasifik (5 LS-5 LU, 180 BT-140 BB) untuk variabilitas SPL Tipe-2 (kolom kanan). Garis hitam pada (h) menunjukkan nilai variabilitas lokal SPL maksimun pada 12 LS dan 18 LU, diadaptasi dari Yu et al. (2010). Yu dan Kim (2010) dari hasil penelitian berikutnya menyampaikan bahwa terdapat tiga grup pola evolusi dari CP El Nino yaitu grup-1 yang disebut prolonged-decaying pattern (pola CP El Nino yang berlangsung lama), grup-2 yang disebut abrupt-decaying pattern (Pola CP El Nino yang berlangsung cepat) dan terakhir grup-3 yang disebut symmetric-decaying pattern (pola CP El Nino yang simetris). Data SPL yang digunakan untuk membagi kedalam tiga grup pola

30 38 evolusi CP El Nino berasal dari ERSST V3 dan HadISST antara tahun Pada periode data tersebut diperoleh 12 fase CP El Nino (Gambar 17), kecuali pada periode 1979/80, 1992/93 dan 1993/94 (Gambar 17d, 17h dan 17i) karena pola sebaran anomali SPL CP El Nino yang terjadi cenderung menyebar ke arah subtropis yang dikenal dengan sebut pola horseshoe-like (Kao dan Yu, 2009) dan tidak diikutsertakan pada analisis komposit. Gambar 17 Rata-rata anomali SPL pada bulan SONDJF (September sampai Februari tahun berikutnya) pada tahun-tahun terjadinya fase CP El Nino. (d), (h) dan (i) tidak diikutsertakan kedalam tiga grup yang dikelompokan karena pola SPL yang terjadi cenderung menyebar ke arah subtropis, diadaptasi dari Yu dan Kim (2010). Grup-1 dari CP El Nino terjadi pada tahun 1968/69, 1990/91 dan 1991/92 (Gambar 18a-c) dan hasil komposit anomali SPL dengan menggunakan data ERSST V3 (Gambar 18j) dan HadISST (Gambar 18m) memperlihatkan pola evolusi CP El Nino yang sama. Pada grup ini, anomali SPL di tengah ekuatorial Samudera Pasifik berlangsung lama dan setelah mencapai puncaknya akan diikuti dengan fase El Nino konvensional dimana massa air hangat berkumpul di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik. Perubahan dari fase CP El Nino ke El Nino

31 39 konvensional mengikuti mekanisme proses recharge-discharge oscillator (Jin, 1997) dimana kedalaman lapisan termoklin berperan besar dalam proses thermocline feedback sampai berkumpulnya massa air hangat di perairan timur ekuatorial Samudera Pasifik (Yu dan Kim, 2010). Berbeda halnya dengan grup-1 CP El Nino, pada grup-2 setelah fase puncak CP El Nino terjadi, massa air hangat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik dengan cepat mengalami penurunan SPL sampai mencapai anomali negatif SPL di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik yang terjadi pada tahun 1963/64, 1977/78 dan 1987/88 (Gambar 18d-f). Hasil komposit anomali SPL pada periode tahun-tahun CP El Nino grup-2 menunjukkan pola evolusi yang sama baik dengan menggunakan data SPL dari ERSST V3 (Gambar 18k) maupun data SPL dari HadISST (Gambar 18n). Setelah fase puncak CP El Nino grup-2 ini akan diikuti oleh fase La Nina atau fase netral/normal. Yu dan Kim (2010) berpendapat bahwa mekanisme proses perubahan dari fase puncak CP El Nino pada grup-2 ini ke fase La Nina atau netral sama halnya dengan CP El Nino pada grup-1. Gambar 18 Pola evolusi anomali SPL dari grafik melintang terhadap waktu di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik antara 5 LS-5 LU pada tahun-tahun terjadinya CP El Nino dari grup-1 (a-c), grup-2 (d-f) dan grup-3 (g-i) dari bulan Juli sampai Juni tahun berikutnya. (J), (k) dan (l) hasil komposit anomali SPL pada masing-masing grup- 1, grup-2 dan grup-3 dengan menggunakan data SPL dari ERSST V3 dan (m), (n) dan (o) dengan menggunakan data dari HadISST, diadaptasi dari Yu dan Kim (2010).

32 40 Grup-3 CP El Nino yaitu pada tahun 1994/95, 2002/03 dan 2004/05 (Gambar 18g-i) dimulai dari kondisi normal SPL di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik kemudian massa air mulai menghangat di tengah dan diikuti dengan menurunnya SPL di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Ketika mencapai puncaknya, CP El Nino grup-3 ini memiliki anomali positif SPL dari tengah ekuatorial sampai ke perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik. Setelah mencapai puncaknya massa air hangat ini akan kembali ke posisi normalnya dimana massa air hangat berada di perairan timur ekuatorial Samudera Pasifik. Sejak CP El Nino grup-3 mulai terbentuk sampai kembali ke kondisi normalnya, pola evolusi anomali SPL di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik terjadi secara simetris. Hasil komposit anomali SPL dengan menggunakan data SPL dari ERSST V3 (Gambar 18l) dan HadISST (Gambar 18o) juga memperlihatkan pola evolusi yang sama. Yu dan Kim (2010) berpendapat bahwa dinamika proses fisis yang berkerja selama proses terjadinya CP El Nino grup-3 ini melibatkan umpan balik dari interaksi laut-atmosfer yang besar. Lee dan McPhaden (2010) memperkuat pendapat tentang keberadaan tipe El Nino dengan anomali positif SPL yang berada di tengah ekuatorial Samudera Pasifik dan meningkatnya intensitas kejadian CP El Nino pada kurun waktu 3 dekade terakhir. Terjadinya CP El Nino bukan disebabkan oleh berubahnya kondisi normal SPL (background SPL) di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik, tetapi CP El Nino terjadi secara alamiah dan cenderung perubahannya karena adanya variabilitas alamiah peralihan dari siklus dekadal ke siklus multi dekadal (McPhaden dan Zhang, 2002; Lee dan McPhaden, 2008) atau perubahan yang terjadi karena faktor antropogenik dari peningkatan gas-gas rumah kaca selaras dengan periode pemanasan global (Yeh et al., 2009). Kesimpulan tersebut diambil oleh Lee dan McPhaden (2010) setelah melakukan analisis dengan menggunakan data observasi in-situ dan satelit SPL dari Reynolds s Group for High Resolution SST (GHRSST) Level 4 AVHRR Optimal Interpolation (OI) yang telah diasimilasi antara tahun 1982 sampai Februari 2010 (Reynolds et al., 2007). Pola CP El Nino yang terakhir diamati pada tahun 2009/10 dari data citra satelit AVHRR hasil komposit pada bulan Desember sampai Januari (DJF) dengan jelas memperlihatkan pola CP El nino dengan anomali positif SPL yang

33 41 terpusat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik dan berada pada area di Nino4 (Gambar 19a). Lee dan McPhaden (2010) dengan menggunakan data GHRSST Level 4 telah menghitung anomali SPL dari data rata-rata harian antara tahun kemudian dihaluskan dengan rata-rata bergerak tiga bulanan dan dirata-ratakan pada bulan DJF pada tahun-tahun terjadinya El Nino dan La Nina pada tiap petak di Nino4 dan Nino3. Gambar 19 Anomali SPL (DJF) tahun 2009/10 pada saat terjadi CP El Nino dari data citra satelit AVHRR (a). Garis pada petak menunjukkan area Nino4 dan garis pada petak putus-putus menunjukkan area Nino3 (a). Anomali SST pada Nino4 (b) dan Nino3 (c) pada saat terjadi EP El Nino (merah), CP El Nino (merah jambu) dan La Nina (biru) dari data GHRSST Level 4 OI. Garis putus-putus merah dan biru menandakan trend perubahan anomali SPL pada saat El Nino dan La Nina ((b) dan (c)), diadaptasi dari Lee dan McPhaden (2010). Hasil analisisnya memperlihatkan bahwa terdapat peningkatan trend anomali SPL pada Nino4 (Gambar 19b) dan terjadi penurunan trend anomali SPL pada Nino3 (Gambar 19c) yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan intensitas anomali SPL di tengah ekuatorial Samudera Pasifik, sedangkan di

34 42 sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik terjadi penurunan intensitas anomali SPL. Oleh karena itu, Lee dan McPhaden (2010) berpendapat bahwa CP El Nino terjadi bukan karena adanya perubahan pola normal SPL di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik, tetapi kerena seringnya terjadi anomali positif SPL yang terpusat di Nino4 dengan nilai anomali positif SPL yang semakin bertambah besar. Pendapat senada diutarakan oleh Newman et al. (2011) bahwa CP El Nino dan EP El Nino adalah merupakan fenomena dari variabilitas alamiah (natural) yang terjadi secara acak (random) selaras dengan meningkatnya siklus multi dekadal variabilitas SPL. Pendapat tersebut disimpulkan setelah melakukan analisis kedalaman lapisan termoklin dan tekanan angin zonal dengan menggunakan data SPL HadISST selama 42 tahun dengan metode Patterns- Based Multivariate Red Noise melalui pendekatan Linear Inverse Modeling (LIM). Newman et al. (2011) berhasil memilahkan antara CP El Nino dan EP El Nino baik secara spasial maupun temporal dengan mempertimbangkan panjang data yang digunakan dengan bias/gangguan (noise) yang mungkin dihasilkan dari panjangnya data deret waktu yang digunakan. Gangguan tersebut meliputi white noise yang sebenarnya merupakan bagian dari suatu fenomena didalam data deret waktu dan red noise yang memang merupakan gangguan dari data deret waktu dan bukan merupakan bagian dari suatu fenomena ekstrim di dalam data deret waktu, tetapi karena kualitas data yang berkaitan dengan proses akuisisi data, presisi data maupun dalam proses pengolahan data seperti reanalisis maupun asimilasi data. Setelah membuang red noise dari data yang digunakan, Newman et al. (2011) menyimpulkan bahwa CP El Nino dan EP El Nino baik secara spasial maupun temporal merupakan proses dinamika yang alamiah. Oleh karena itu, sering terjadinya CP El Nino pada beberapa dekade terakhir bukan disebabkan oleh pola normal anomali SPL (background SST) di Samudera Pasifik yang telah berubah tetapi CP EL Nino merupakan bagian dari variabilitas alamiah di Samudera Pasifik yang kemungkinan terjadi karena pengaruh faktor antropogenik maupun pergeseran siklus dekadal menuju siklus multi dekadal seiring dengan terjadinya pemanasan global.

35 43 Kesimpulan dari Newman et al. (2011) memperkuat pendapat dari Yeh et al. (2011) yang menyatakan bahwa tidak dapat diabaikan kemungkinan semakin seringnya terjadi CP El Nino disebabkan oleh proses variabilitas di Samudera Pasifik yang terjadi secara alamiah dengan bergesernya siklus dekadal menjadi siklus multi dekadal. Pendapat ini disimpulkan setelah Yeh et al. (2011) melakukan penelitian CP El Nino dan EP El Nino dengan menggunakan Kiel Climate Model (KCM) yang merupakan model gabungan atmosfer-samudera-lautes (Park et al., 2010) selama 4200 tahun data luaran model. Model ini meliputi model ECHAM5 AGCM (Roeckner et al., 2003) dan model NEMO samuderalaut-es GCM (Madec, 2008) dan penggabungan kedua model tersebut dengan OASIS3 (Valcke, 2003). Gambar 20 Hasil luaran model baroklinik kering setelah hari ke-30 untuk mengetahui pola pemanasan/pendinginan atmosfer secara adiabatik (K/hari). (c) dan (d) pola sebaran pemanasan atmosfer pada ketinggian 500 mb pada saat terjadi El Nino konvensional dan El Nino Modoki setelah hari ke 30 (K/hari). (a) dan (b) pembangkit pemanasan/pendinginan atmosfer secara adiabatik OLR (W/m 2 ) pada saat terjadi El Nino konvensional dan El Nino Modoki. (e) dan (f) sumber pendinginan atmosfer secara adiabatik pada saat terjadi El Nino konvensional dan El Nino Modoki (K/hari). Tanda panah memperlihatkan pola sirkulasi angin pada ketinggian 500 mbar, diadaptasi dari Feng et al. (2010). Feng et al. (2010) memperlihatkan perbedaan dampak yang disebabkan oleh El Nino konvensional dan El Nino Modoki dengan menggunakan model baroklinik kering dari core dynamic model GFDL Atmospheric Global Climate Model (AGCM) (Held dan Suarez, 1994) untuk mengkaji sumber pemanasan/pendinginan atmosfer secara adiabatik. Gaya pembangkit pemanasan

36 44 yang digunakan berasal dari hasil seleksi data dari regresi parsial antara anomali OLR dengan indeks Nino3 untuk El Nino konvensional (Gambar 20a) dan dengan EMI untuk El Nino Modoki (Gambar 20b). Luaran dari model memperlihatkan dengan jelas terdapat peningkatan suhu udara di atas perairan timur ekuatorial Samudera Pasifik dan penurunan suhu udara yang terpusat di atas perairan Asia Tenggara dan sekitarnya pada model El Nino konvensional (Gambar 20c), sedangkan pada model El Nino Modoki, terdapat penurunan suhu udara di atas perairan Filipina dan Laut Cina Selatan di bagian barat Samudera Pasifik dan di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik dan di tengah ekuatorial Samudera Pasifik terdapat peningkatan suhu udara (Gambar 20d). Kondisi ini akan mempengaruhi perubahan pola iklim baik secara regional maupun global antara periode El Nino konvensional maupun El Nino Modoki, karena berikaitan dengan perubahan sirkulasi atmosfer yang mengiringi keduanya. Feng et al. (2010) dengan menggunakan skenario model kedua menguji kemungkinan sumber pendinginan atmosfer secara adiabatik dengan menggunakan pembangkit pendinginan di atas perairan Asia Tenggara (Gambar 20e) seperti pada waktu awal hasil pemodelan pada El Nino konvensional (Gambar 20c) dan pada El Nino Modoki dengan pembangkit awal pada Gambar 20f seperti pada Gambar 20d. Hasil luaran model tersebut memperlihatkan pola pemanasan/pendinginan atmosfer secara adiabatik hampir sama dengan luaran pada Gambar 20c untuk El Nino konvensional dan (Gambar 20d) untuk El Nino Modoki setalah hari ke 30. Feng et al. (2010) menduga bahwa terjadinya El Nino konvensional dan El Nino Modoki berkaitan erat dengan proses interaksi antara laut-atmosfer di atas perairan Asia Tenggara dan mempengaruhi pola sirkulasi atmosfer secara regional maupun global. Penelitian mengenai ENSO dan keterkaitannya dengan variabilitas dari hasil interaksi laut-atmosfer di Samudera Pasifik masih terus dilakukan karena besarnya variabilitas itu sendiri dan banyaknya proses dinamika yang terlibat dalam skala tahunan sampai multi dekadal. Pemicu utama terjadinya ENSO masih menjadi bahan perdebatan diantara para peneliti sampai dengan saat ini. Berbagai hipotesa pemicu terjadinya ENSO dengan argumen yang berbeda-beda, selain menambah pengetahuan mengenai prilaku ENSO itu sendiri dan responnya terhadap laut-

37 45 atmosfer, juga mengakibatkan semakin sulit ditemukannya keterkaitan dan proses dinamika pemicu ENSO karena masing-masing peneliti dalam mengkaji ENSO tergantung cara pandang dan latar belakang pengetahuan dari masing-masing peneliti itu sendiri. Dinamika ENSO melibatkan variabiltias laut-atmosfer di Samudera Pasifik dan di sebelah barat melibatkan interaksi dengan daratan dengan keberadaan ribuan pulau di wilayah Asia Tenggara dan juga berasosiasi dengan MJO (Pohl dan Matthews, 2007; Tang dan Yu, 2008; Roundy et al., 2010), TBO (Wu dan Kirtman, 2004; Li et al., 2006; Meehl dan Arblaster, 2011), Muson (Bracco et al., 2007; Li et al., 2007; Annamalai et al., 2007; Park et al., 2010; Qian et al., 2010) dan DM (Ashok et al., 2004; Shinoda et al., 2004; Hong et al., 2008; Luo et al., 2010; izumo et al., 2010). Dinamika ENSO memiliki kemungkinan untuk berinteraksi dengan dinamika PDO (Roy et al., 2003; Yoon dan Yeh, 2010) di perairan subtropis di sebelah utara dan dinamika SPCZ (Singh et al., 2011) di sebelah selatan Samudera Pasifik. Pemicu terjadinya ENSO yang masih diyakini sampai dengan saat ini adalah gangguan angin baratan di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik yang terjadi pada fase awal terbentuknya El Nino (Keen, 1982; Latif et al., 1988; Harison dan Vecchi, 1997; Verbickas, 1998; Perigaud dan Cassou, 2000; Lengaigne et al., 2004; McPhaden, 2004). Penyebab kemunculan gangguan angin baratan sebelum terjadinya El Nino masih belum diketahui (McPhaden, 2004). Eisenman et al. (2005) membantah bahwa gangguan angin baratan bukan sebagai pemicu awal terjadinya El Nino, tetapi merupakan hasil interaksi laut-atmosfer yang dimodulasi dari proses dinamika El Nino itu sendiri dan memperkuat proses awal El Nino sampai dengan terjadi El Nino kuat. Penelitian mengenai pemicu El Nino selanjutnya mulai melihat ketidakseimbangan/asimetris (asymmetric) dari pola spasial (Chen et al., 2008; Cai et al., 2010; Wu et al., 2010), lamanya (Okumura dan Deser, 2010; Okumura et al., 2011) dan besarnya (An dan Jin, 2004; Su et al., 2010) anomali laut-atmosfer antara fase El Nino dan La Nina. Ketidakseimbangan antara fase El Nino dan La Nina baik pola spasial, lamanya dan kekuatannya diharapkan dapat menelusuri sumber dari pemicu terjadinya ENSO. Chen et al. (2008) berpendapat bahwa terjadinya asimetris ENSO berkaitan erat dengan perbedaan anomali SPL di sebelah timur Samudera Hindia dan di

38 46 sebelah barat Samudera Pasifik yang berdampak pada sirkulasi atmosfer global dengan memperlihatkan pola spasial korelasi positif (El Nino) dan negatif (La Nina). Cai et al. (2010) dengan menggunakan data curah hujan berpendapat bahwa peningkatan curah hujan di Benua Australia berkaitan erat dengan fase La Nina, sedangkan fase El Nino tidak berpengaruh besar terhadap penurunan curah hujan. Setelah tahun 1980, fase La Nina tidak secara signifikan mempengaruhi peningkatan curah hujan tetapi peningkatan curah hujan terjadi pada saat fase El Nino Modoki dengan pola spasial yang sama sebelum tahun Wu et al. (2010) berpendapat bahwa fluks bahang melalui evaporasi (latent heat) permukaan berperan besar terhadap asimetris ENSO baik secara spasial maupun temporal, sedangkan anomali curah hujan dan angin permukaan cenderung simetris. Oleh karena itu, kemungkinan besar pemicu awal terjadinya EL Nino berkaitan dengan keseimbangan bahang di laut dan atmosfer. Okumura dan Deser (2010) menyimpulkan bahwa terjadinya asimetris ENSO berkaitan dengan daerah konveksi atmosfer yang kuat (atmospheric deep convection) antara Samudera Pasifik dan Hindia. Daerah konveksi atmosfer yang terjadi di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia berperan dalam menentukan lamanya fase El Nino. Okumura et al. (2011) melanjutkan penelitiannya dan mengusulkan mekanisme lamanya fase El Nino dan La Nina berkaitan dengan kekuatan anomali angin di atas perairan sebelah barat Samudera Pasifik dan di sebelah timur Samudera Hindia yang dipicu oleh pemanasan (pendinginan) lapisan troposfer di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia pada saat terjadi El Nino (La Nina) akibat dari anomali daerah konveksi atmosfer. An dan Jin (2004) menyimpulkan bahwa asimetris ENSO erat kaitannya dengan ketidakteraturan dinamika pemanasan (nonlinier dynamic heating) pada lapisan kedalaman tercampur antara fase El Nino dan La Nina sehingga mempengaruhi pergerakan massa air ke arah timur (barat) pada saat terjadi El Nino (La Nina). Ketidakteraturan ini terjadi pula pada arus yang mempengaruhi dinamika adveksi anomali SPL pada permukaan dan kolom atas perairan. Beda fase yang sangat bervariasi pada setiap periode El Nino dan La Nina dari hasil korelasi antara anomali SPL dan arus memperkuat adanya ketidakteraturan dinamika pemanasan di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik.

39 47 Su et al. (2010) memperkuat pendapat An dan Jin (2004) bahwa ketidakteraturan kandungan bahang pada kedalaman lapisan tercampur mengakibatkan terjadinya asimetris antara fase El Nino dan La Nina. Adveksi suhu zonal dan meridional sangat berperan dalam ketidakteraturan dari mulai sebelah barat sampai jauh ke arah sebelah timur perairan ekuatorial Samudera Pasifik, sedangkan adveksi vertikal berperan sebaliknya untuk menyetabilkan kandungan bahang di lapisan tercampur. Anomali arus zonal dominan terbentuk dari arus geostrofik, sedangkan arus meridional terutama terbentuk dari arus Ekman yang dibangkitkan oleh tekanan angin permukaan laut. Ketidakteraturan adveksi zonal dan meridional suhu kolom laut berperan dalam memperkuat (memperlemah) fase El Nino (La Nina). Hasil dari beberapa penelitian terakhir mengenai pola spasial, lamanya dan besarnya kondisi asimetris antara El Nino dan La Nina mulai melihat pentingnya peranan dinamika anomali kandungan bahang di laut dan atmosfer yang mengarah kepada pemicu terjadinya ENSO. Beberapa peneliti sebelumnya mengkaitkan keseimbangan bahang di laut dan atmosfer pada saat fase transisi yang tertunda dari El Nino ke normal (delayed negative feedback) antara ENSO dengan DM (Annamalai et al., 2005; Kug dan Kang, 2006; Ohba dan Ueda, 2007; Yoo et al., 2010). Kemungkinan keterkaitan PDO dengan ENSO dari dinamika bahang lautatmosfer baik dengan menggunakan data observasi (Chang et al., 2007) maupun dengan menggunakan model gabungan laut-atmosfer (Alexander et al., 2010) menjadi penting untuk dipertimbangkan. 2.4 Keseimbangan Bahang Keseimbangan bahang di laut merupakan penjumlahan dari bahang yang masuk ke laut dan bahang yang dilepaskan dari laut (Q T ). Oleh karena itu, untuk mendapatkan keseimbangan bahang di laut nilai dari Q T harus memiliki nilai nol, karena jika tidak laut akan terus meningkat menjadi lebih panas atau terus menurun menjadi lebih dingin. Persamaan keseimbangan bahang di laut (Stewart, 2008) adalah Q T = Q SW + Q LW + Q S + Q L + Q V, dimana Q SW adalah fluks bahang dari matahari yang masuk ke laut dalam bentuk radiasi gelombang pendek, Q LW adalah fluks bahang dari laut ke atmosfer dalam bentuk radiasi gelombang

40 48 panjang, Q S adalah flusks bahang dari laut ke atmosfer yang dipindahkan melalui proses konduksi, Q L adalah fluks bahang dari laut ke atmosfer yang dipindahkan bersamaan dengan proses evaporasi dalam bentuk bahang tersembunyi dan Q V adalah bahang di laut yang dipindahkan dari suatu perairan ke perairan lain melalui proses adveksi horizontal. Komponen Q S dan Q L adalah komponen bahang dari laut yang berperan penting dalam proses interaksi laut-atmosfer dan memperngaruhi pola sirkulasi atmosfer (Stewart, 2008). Oleh karena itu, variabilitas dari Q S +Q L sangat sensitif terhadap perubahan dinamika interaksi laut-atmosfer terutama dalam kaitannya dengan Muson, DM dan ENSO. Komponen Q SW cenderung konstan karena perairan Asia Tenggara berada tepat di ekuatorial, komponen Q LW cenderung konstan karena di laut perairan Asia Tenggara tidak mengalami fase es seperti halnya di lintang tinggi dan komponen Q V meskipun cukup penting tetapi tidak berperan dalam interaksi laut-atmsofer. Nilai anomali Q S +Q L positif menunjukkan bahwa bahang dari komponen Q S dan Q L masih tersimpan di laut, sedangkan negatif berarti telah dilepaskan ke atmosfer (Stewart, 2008). Penelitian-penelitian sebelumnya telah banyak memfokuskan untuk melihat keterkaitan kandungan bahang di laut dan atmosfer di perairan Asia Tenggara dan sekitarnya dengan ENSO dan dinamika laut-atmosfer di antara Samudera Pasifik dan Hindia. Gordon dan Susanto (2001) menyampaikan bahwa Laut Banda berperan sebagai zona divergen di lapisan permukaan laut melalui mekanisme Ekman pumping yang mempengaruhi variabilitas lapisan termoklin. Zona ini memiliki peranan dalam dinamika kandungan bahang pada lapisan permukaan sehingga Laut Banda disebut sebagai kapasitor bahang yang mengontrol transpor massa air ke Samudera Hindia. Vranes et al. (2002) mengatakan bahwa di perairan Indonesia merupakan pusat dari kandungan bahang antara Samudera Pasifik dan Hindia melalui jalur Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) yang berperan dalam mengontrol transpor bahang di laut antara Samudera Pasifik dan Hindia. Pada fase El Nino transpor bahang ke Samudera Hindia dibawah normal, sedangkan pada saat La Nina diatas normal. Transpor bahang dari perairan Indonesia dapat mencapai perairan di barat daya Samudera Hindia yang terbawa melalui Arus Ekuatorial Selatan dan berasosiasi dengan Arus Agulhas.

41 49 Neale dan Slingo (2003) dengan menggunakan model iklim HadAM3 (Pope et al., 2000) mendapatkan kesimpulan bahwa kandungan bahang di perairan Indonesia berperan besar dalam mengatur keseimbangan bahang di laut dan atmosfer dan menentukan dinamika sirkulasi atmosfer dalam skala global di Samudera Pasifik dan Hindia. Neale dan Slingo (2003) menyatakan bahwa dinamika iklim global sangat ditentukan oleh dinamika iklim skala sinoptik seperti dinamika angin darat dan laut, dinamika hirologi dan sirkulasi laut dalam skala lokal dan regional di perairan Indonesia dan sekitarnya karena wilayah ini terdiri atas daratan dan lautan yang sangat kompleks. Pemanfaatan model lautatmosfer diperlukan ketelitian dan ketepatan yang berkaitan dengan reparameterisasi model dan resolusi model di wilayah ini. McBride et al. (2003) telah mengkaji hubungan antara sumber kandungan bahang di Asia Tenggara dan sekitarnya dengan El Nino dengan menggunakan data OLR untuk menentukan zona konveksi yang berkaitan dengan curah hujan dan data SPL yang berasal dari Global Sea Ice and Sea Surface Temperature (GISST) dari Met. Office Inggris (Parker et al., 1995). Hasilnya adalah terdapat keterkaitan yang erat antara OLR dengan El Nino dari hasil analisis EOF OLR dengan pola spasial korelasi antara SOI dengan SPL. Sumber bahang yang diterima atau dilepaskan di Asia Tenggara dan sekitarnya bukan berasal dari siklus tahunan dari aktifitas Muson dari BBU maupun BBS, tetapi berasal dari perairan Asia Tenggara yang terbawa bersama dengan dinamika atmofer melalui Sirkulasi Walker. Qu et al. (2005) memperlihatkan bahwa terdapat transpor dari fluks bahang di laut selain melalui jalur Arlindo dari Samudera Pasifik melalui Selat Luzon, Laut Cina Selatan, Selat Karimata dan Laut Jawa sampai bertemu dengan jalur Arlindo di Selat Makassar. Transpor bahang melalui jalur ini akan menentukan dinamika Arlindo dalam memberikan masukan bahang dari Samudera Pasifik ke Hindia dan kemungkinan memiliki keterkaitan dengan dinamika DM dengan ditemukannya sinyal siklus antar tahunan selain ENSO dari Samudera Pasifik. Kuat lemahnya Arlindo dalam mengatur sumber bahang di laut antara Samudera Pasifik dan Hindia akan terpengaruh dengan adanya jalur baru dari transpor bahang yang berasal dari Samudera Pasifik melalui Selat Luzon dan Laut Cina Selatan. Gordon et al. (2003) sebelumnya telah menyampaikan bahwa

42 50 mendinginnya massa air permukaan di Selat Makassar akibat masuknya massa air dengan salinitas rendah yang berasal dari Laut Jawa sehingga menghambat masuknya massa air hangat dari ekuatorial Samudera Pasifik ke Hindia melalui Arlindo akan mengakibatkan kandungan bahang di Samudera Hindia akan menurun. Gordon et al. (2003) menyebut masuknya massa air dengan salinitas rendah dari Laut Jawa ke Selat Makassar dengan istilah freshwater plug. Qu et al. (2008) melanjutkan penelitiannya mengenai kandungan bahang di Perairan Indonesia dengan menemukan indikasi terdapatnya rambatan Gelombang Kelvin yang berasal dari ekuatorial Samudera Hindia melalui Selat Ombai dan Lombok sampai ke perairan dalam Indonesia. Sinyal tersebut diketahui dari fase gerakan massa air ke atas dan gerakan energi massa air ke bawah hasil dari konvergensi geostrofik melalui mekanisme divergen Ekman yang dibangkitkan oleh angin. Masuknya Gelombang Kelvin dari ekuatorial Samudera Hindia sampai ke perairan dalam Indonesia pada lapisan permukaan oleh Qu et al. (2008) disebut efek buffering yang mengakibatkan terjadinya variabilitas dan dinamika kandungan bahang di lapisan permukaan. Efek buffering ini terjadi dominan pada siklus semi tahunan dan berperan besar pada fluks bahang ke atmosfer dan cenderung tidak mempengaruhi perubahan kandungan bahang di perairan dalam Indonesia. Fluks bahang yang masuk pada lapisan permukaan sampai dengan kedalaman 200 m akan dilepaskan pada musim berikutnya seiring dengan gerakan naik-turun dari efek buffering Gelombang Kelvin sehingga SPL pada periode ini akan menurun dan mempengaruhi iklim regional dan dinamika iklim di sebelah tenggara Samudera Hindia. Qu et al. (2006) memperdalam hasil penelitian sebelumnya mengenai adanya transpor bahang dari Samudera Pasifik melalui Laut Cina Selatan (Qu et al., 2005) atau disebut pula South China Sea Throughflow (SCSTF) dengan menggunakan pemodelan dengan resolusi tinggi dari Ocean General Circulation Model (OGCM) for the Earth Simulator (OFES) dari Sasaki et al. (2006) dengan program inti yang berasal dari Modular Ocean Model V3 (MOM3). Hasil dari penelitiannya menyimpulkan bahwa Laut Cina Selatan berperan sebagai pembawa bahang dan massa air tawar di lautan (heat and freshwater conveyor) dari Samudera Pasifik dengan suhu rendah ketika memasuki Selat Luzon pada

43 51 kedalaman di bawah 1500 m dengan mekanisme gradien tekanan yang membangkitkan arus dan setelah melewati Selat Luzon massa air dengan suhu rendah dan salinitas tinggi ini karena adanya kesetimbangan massa mengharuskan massa air ini naik ke lapisan permukaan laut. Proses naiknya massa air ini melalui mekanisme percampuran massa air yang diakibatkan oleh pasang surut (tidal mixing) sehingga mengakibatkan suhu menjadi meningkat dengan salinitas rendah karena adanya presipitasi dan masukan air tawar dari daratan. Hasil luaran model memperlihatkan bahwa Laut Cina Selatan juga berfungsi sebagai kapasitor bahang (heat capacitor), sehingga Laut Cina Selatan sebagai heat and freshwater conveyor dan heat capacitor akan memodulasi dinamika laut-atmosfer di perairan Indonesia. Peningkatan tidal mixing akan mengakibatkan terjadinya penurunan suhu pada lapisan permukaan telah diuji dengan menggunakan pemodelan di perairan Laut Cina Selatan, Laut Jawa sampai Laut Banda dan memicu terjadinya DM dan El Nino (Jochum dan Potemra, 2008; Koch et al., 2010; Brierley dan Fedorov, 2011). Pendapat yang sama disampaikan oleh Qinyan et al. (2011) tetapi dengan mekanisme proses penurunan suhu yang berbeda dimana dari hasil penelitiannya dengan menggunakan data SODA memperlihatkan keterkaitan yang erat antara anomali kandungan bahang di Laut Cina Selatan pada lapisan permukaan dengan ENSO dan selaras dengan anomali tinggi muka laut. Anomali suhu pada lapisan permukaan terjadi penurunan pada saat fase puncak El Nino bersamaan dengan penurunan tinggi muka laut. Penurunan suhu ini terjadi akibat dari adveksi suhu secara horizontal seiring dengan melemahnya SCSTF bukan karena proses dari tidal mixing. Proses pemanasan di laut dan atmosfer berperan penting dalam keseimbangan bahang dan sirkulasi di laut dan atmosfer. Dayem et al. (2007) dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa pemanasan atmosfer yang berasal dari bahang di perairan Asia Tenggara dan sekitarnya melalui proses evaporasi dan presipitasi akan menguatkan Sirkulasi Walker, sedangkan pemanasan di kolam air hangat di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik akan memperkuat sirkulasi zonal permukaan laut di sebelah timur Sirkulasi Walker dan memperkuat upwelling di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik. Meskipun kolam

44 52 air hangat yang berada di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik merupakan hasil dari akumulasi yang terbentuk dari Sirkulasi Walker, tetapi kolam air hangat ini bukan sebagai penentu kuat lemahnya Sirkulasi Walker akan tetapi pemanasan/pendinginan dari fluks bahang melalui evaporasi yang berasal dari perairan Asia Tenggara dan sekitarnya yang berperan dalam mengontrol kuat lemahnya Sirkulasi Walker di Samudera Pasifik dan Hindia. Oleh karena itu, semakin besar presipitasi di atas perairan Asia Tenggara akan menguatkan angin timuran dan memperkuat zona konvergen dengan kandungan uap air yang tinggi seiring dengan naiknya massa udara dengan fluks bahang melalui evaporasi yang besar meningkatkan suhu udara di atmosfer dan pada lapisan atas troposfer udara kering akan dibawa oleh angin baratan ke arah timur Samudera Pasifik bersamaan dengan menguatnya Sirkulasi Walker. Dayem et al. (2007) mempunyai hipotesa bahwa penyebab pemanasan/pendingin di atmosfer di atas perairan Asia Tenggara dan sekitarnya sebagai regulator kuat/lemahnya Sirkulasi Walker dibandingkan dengan peranan kolam air hangat di perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik adalah distribusi daratan dan lautan yang sangat beragam di perairan Asia Tenggara dan sekitarnya. Kontribusi angin laut dan angin darat pada skala lokal dan regional di perairan dalam Indonesia berkaitan dengan siklus hidrologi di atmosfer sangat besar dalam mengatur keseimbangan bahang di atmosfer dan laut di perairan dalam Indonesia. Keseimbangan bahang di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan kaitannya dengan dinamika bahang di Teluk Bengal juga memiliki peranan penting. Montegut et al. (2007) dengan menggunakan Ocean Parallelise (OPA) Model (Madec et al., 1999) yang dibangun oleh Laboratoire d Oceanographie et du Climat, Experimentation et Approches Numeriques (LOCEAN) telah memodelkan dinamika bahang di laut dan atmosfer di perairan Teluk Bengal. Siklus dominan bahang di laut dan atmosfer yang diperoleh adalah dua tahunan semu (quasi biennial) dan antar tahunan, sedangkan siklus tahunan sedikit berperan dalam variabilitas laut-atmosfer di Teluk Bengal. Mekanisme proses siklus dua tahunan semu bahang di atmosfer dominan dipengaruhi oleh angin, tutupan awan dan curah hujan, sedangkan di lautan diperankan oleh percampuran vertikal dari lapisan kolom laut yang telah menerima bahang dari

45 53 matahari yang naik ke kolom permukaan di atasnya. Sementara itu, siklus antar tahunan bahang di atmosfer dominan dipengaruhi oleh angin yang mengatur variabilitas fluks bahang melalui evaporasi di atas perairan Teluk Bengal, sedangkan percampuran vertikal berfungsi sebaliknya (negative feedback) dengan bahang di atmosfer. Jika fluks bahang melalui evaporasi di atmosfer tinggi maka kandungan bahang di lapisan permukaan akan rendah dan sebaliknya. Oleh karena itu, perairan Teluk Bengal memiliki peranan penting dalam mengatur keseimbangan bahang di laut dan atmosfer di perairan sebelah timur Samudera Hindia yang didominasi oleh siklus dua tahunan semu. Xie et al. (2009a) menguatkan pendapat dari Montegut et al. (2007) dengan menggunakan data SPL dari HadISST (Rayner et al., 2006) dan data curah hujan dari Center for Climate Prediction (CPC) Merged Analysis of Precipitation (CMAP) NCEP/NCAR (Xie dan Arkin, 1996) yang menyatakan bahwa perairan sebelah timur Samudera Hindia berfungsi sebagai efek kapasitor (capacitor effect) bahang di lautan setelah melakukan analisis dengan menggunakan korelasi spasial dan EOF antara perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik dengan perairan sebelah timur laut Samudera Hindia. Peranan efek kapasitor ini terlihat dari pola presipitasi dan kecenderungan angin yang menentukan kandungan bahang melalui evaporasi di atmosfer antara perairan sebelah timur laut Samudera Hindia dan sebelah barat laut Pasifik memiliki siklus dua tahunan hasil dari respon ENSO sebelum dan sesudah fase El Nino dan La Nina. Korelasi antara koefisien ekspansi SPL Mode kedua EOF dan presipitasi Mode pertama pada bulan Juni sampai Agustus (JJA) dengan indeks ENSO Nino3.4 pada bulan Desember sampai Februari (DJF) memiliki koefisien korelasi yang besar memperkuat peranan Samudera Hindia sebagai kapasitor bahang dengan bahang di laut yang akan dilepas ke atmosfer 6 bulan sebelum puncak El Nino/La Nina. Pemodelan dengan model gabungan yaitu model atmosfer dari GFDL CM2.1 (Delworth et al., 2006; Wittenberg et al., 2006) dan model lautan dari Regional Ocean Modeling System (ROMS) oleh Shchepetkin dan McWilliams (2005), PacInd (Antonov et al., 2006; Locarnini et al., 2006) dan IndArc (Kida dan Richards, 2009) dengan pembanding data observasi SPL dari OISST (Smith dan Reynolds, 1994), HadISST (Rayner et al., 2003), presipitasi dari CMAP (Xie

46 54 dan Arkin, 1996), angin dari NCEP/NCAR dan kedalaman lapisan termoklin dari Simple Ocean Data Assimilation (SODA) oleh Carton et al. (2000), telah mendemontrasikan hasil pemodelan dinamika bahang di laut dan atmosfer antara perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia, perairan Indonesia dan perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik (Annamalai et al., 2010). Kesimpulan yang didapat bahwa SPL dalam skala regional dan anomali pemanasan di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia dan di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik adalah bukan faktor utama penyebab terjadinya El Nino kuat yang terjadi bersamaan dengan fase positif DM, tetapi penyebab utamanya adalah anomali SPL (pendinginan) di perairan dalam Indonesia. Gelombang Samudera yang dibangkitkan oleh angin di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik yang masuk ke perairan dalam Indonesia adalah bukan penyebab utama terjadinya anomali SPL di perairan dalam Indonesia, tetapi penyebab utamanya adalah anomali angin pada skala lokal. Hasil dari luaran model dan data observasi memiliki kecenderungan yang sama. Kesimpulan lain yang dihasilkan oleh Annamalai et al. (2010) adalah tidak semua fase DM atau DM kuat akan diikuti dengan fase El Nino kuat maupun meningkatnya kedalaman lapisan termoklin di daerah sekitar dateline akan selalu diikuti dengan fase El Nino kuat. Kesimpulan dari Annamalai et al. (2010) diperkuat dengan pendapat dari Wittenberg et al. (2006) yang sebelumnya menyatakan untuk mensimulasikan secara realistik anomali angin baratan yang berasosiasi dengan ENSO diperlukan ketepatan SPL regional terutama di perairan Indonesia dan mempertimbangkan siklus dalam musiman (intraseasonal) didalamnya. 2.5 Interaksi Muson, Dipole Mode dan ENSO Keunikan wilayah Asia Tenggara berakibat variabilitas dan proses dinamika laut-atmosfer menjadi sangat kompleks. Proses interaksi yang paling dominan di wilayah ini adalah interaksi antara Muson, DM dan ENSO. Interaksi antara Muson dengan DM masih sedikit dipelajari oleh kalangan peneliti, meskipun demikian terdapat beberapa hasil penelitian yang mengkaji interaksi antara DM dengan South Asian Monsoon (SAM). Pada sebelah timur regim SAM mencakup wilayah Indonesia barat, sehingga hasil kajian tersebut dapat dimanfaatkan pada

47 55 penelitian ini. Kulkarni et al. (2007) menemukan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara aktifitas SAM dengan DM dimana saat fase Muson panas yang sangat kuat di bulan Juni-Agustus-September (JAS) akan membantu proses pembentukan fase negatif DM dan pada fase sebaliknya akan membantu proses terbentuknya fase positif DM. Hasil korelasi dengan menggunakan data dari antara curah hujan di regim SAM dengan anomali SPL dan pola sirkulasi Samudera Hindia, memperlihatkan bahwa pengaruh SAM terhadap DM semakin melemah setelah tahun Fischer et al. (2005) dengan menggunakan model gabungan laut-atmosfer berhasil menjelaskan bahwa proses dinamika datangnya DM dan ENSO tidak selalu bersamaan. DM dan ENSO merupakan fenomena yang berdiri sendiri dimana proses interaksinya terdapat di pertemuan antara sirkulasi Hadley dan Walker. Terjadinya DM tanpa ENSO ternyata dipicu oleh adanya perubahan aktifitas Muson di sebelah barat Sumatera dimana anomali angin tenggara dengan kuat berhembus dari pantai utara Australia yang datang sebelum waktunya pada saat mulai memasuki musim panas di BBU. Anamoli angin ini mengakibatkan terjadinya upwelling dan pelemahan Gelombang Kelvin yang menyebabkan naiknya lapisan termoklin, penurunan SPL dan menurunnya aktifitas konveksi di sebelah barat Sumatera. Anomali angin ini terus menguat ke arah barat di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia. Perubahan pola Muson ini mengakibatkan terjadinya anomali sirkulasi Hadley yang mulai bergeser ke arah utara dengan cepat. Pada saat DM dan ENSO terjadi bersamaan, DM terjadi karena adanya pergeseran sel sirkulasi Walker ketika ENSO mulai terbentuk yang mengakibatkan DM terpicu untuk mulai aktif. Kondisi ini disebut fase terkunci (phase locking) dari DM. Ashok et al. (2004) sebelumnya telah mengkaji variabilitas curah hujan di wilayah SAM dengan membandingkan antara kejadian DM dan ENSO yang terjadi bersamaan maupun secara individual. Ketika DM dan ENSO terjadi bersamaan akan mereduksi efek kekeringan dari ENSO yang terjadi di tengah dan sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia. Pada saat ENSO terbentuk, sirkulasi Walker termodulasi yang mengakibatkan terjadinya daerah divergen di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan munculnya anomali daerah konvergen di

48 56 ekuatorial Samudera Pasifik. Perairan Myanmar dan Cina selatan juga terpicu terbentuknya anomali daerah konvergen. Daerah konvergen ini menyebabkan terjadinya anomali zona subsidence dan penurunan curah hujan yang menimbulkan daerah divergen di sebelah timur Samudera Hindia. Daerah divergen ini kemudian bergerak ke arah barat di sepanjang ekuatorial Samudera Hindia. Ketika ENSO mulai melemah, terjadi daerah divergen di tengah Samudera Pasifik kemudian memicu munculnya daerah konvergen di daerah SAM Samudera Hindia. Pengaruh ENSO terhadap zona subsidence dan menurunnya curah hujan mulai berkurang. Seiring dengan bergeraknya daerah konvergen dari tengah ekuatorial Samudera Hindia ke arah barat, kemudian bergerak menuju utara ketika sampai di sebelah barat Samudera Hindia, daerah konvergen ini menyebabkan peningkatan curah hujan di sebelah barat India dan Pakistan. Peningkatan curah hujan ini meredam dampak kekeringan yang ditimbulkan oleh ENSO di wilayah ini. Zhang dan Li (2008) melalui analisis komposit dari angin, SPL dan curah hujan antara fase ENSO dan non-enso di Samudera Hindia memperlihatkan secara jelas perubahan proses dinamika pergerakan ketiga parameter tersebut terhadap aktifitas South Asian Summer Monsoon dan North Australian Summer Monsoon serta kaitannya dengan sirkulasi Hadley. Pada fase ENSO mengakibatkan penurunan SPL di sebelah timur Samudera Hindia dan menyebar merata sampai di tengah ekuatorial Samudera Hindia. Pada fase non-enso terjadi peningkatan SPL di sebelah barat dan penurunan SPL di sebelah tenggara ekuatorial Samudera Hindia pada musim panas di BBU. Kolam air hangat mulai bergerak kembali ke arah timur melalui perairan sebelah utara Samudera Hindia dan sampai pada perairan barat Sumatera di sekitar perairan utara Australia pada musim dingin di BBU. Peningkatan SPL di sebelah utara perairan Australia pada musim panas Australia (austral summer) dan perairan Filipina meningkatkan aktifitas sirkulasi Hadley regional. Interaksi antara kembalinya fase positif ke negatif DM memicu aktifitas gerakan arah meridional sirkulasi Hadley dan berpengaruh terhadap kondisi normal Muson di wilayah BMI. Berbeda dengan proses yang disampaikan oleh Zhang dan Li (2008), Terray et al. (2007) dengan menggunakan model gabungan laut-atmosfer melakukan

49 57 analisis sensitifitas untuk menguji respon Samudera Hindia dengan meningkatkan dan menurunkan SPL di perairan sebelah tenggara Samudera Hindia tanpa melibatkan fase ENSO. Perairan ini penting karena dari hasil penelitian sebelumnya terdapat anomali SPL dari hasil interaksi antara Muson, DM dan ENSO. Pada saat gangguan SPL di perairan ini ditingkatkan di akhir musim dingin di BBU, hasil model memperlihatkan terjadi perambatan ke arah utara selama musim ini yang meningkatkan curah hujan pada musim panas di India (Indian Summer Monsoon/ISM) dan akhirnya memicu pola SPL seperti pada fase negatif DM pada musim gugur di BBU. Model ini sesuai dengan hasil observasi dari penelitian sebelumnya. Ketika SPL di perairan tenggara Samudera Hindia diturunkan kondisi sebaliknya terjadi dimana terjadi peningkatan kecepatan angin ke arah utara mendorong massa air hangat di sebelah barat Sumatera diikuti dengan terjadinya upwelling, menaiknya lapisan termoklin dan meningkatnya proses penguapan sepanjang pergerakan massa air hangat di ekuatorial sampai di perairan sebelah barat Samudera Hindia sehingga terbentuk pola DM positif. Komponen ENSO kemudian dimasukan kedalam model untuk menguji pengaruh ENSO positif dan negatif. Proses interaksi antara Samudera Pasifik dan Hindia melalui mekanisme jembatan atmosfer (Atmospheric Bridge) di atas wilayah Indonesia (Alexander et al., 2002). Hasilnya memperlihatkan bias model yang cukup besar dimana terjadi anomali SPL yang sangat tinggi di sebelah tenggara Samudera Hindia sehingga mengakibatkan tingginya variabilitas pola SPL pada fase positif maupun negatif DM. Kesimpulan terpenting yang dapat diambil adalah bahwa fase negatif maupun positif DM dapat terjadi tanpa adanya ENSO. Terray et al. (2007) menduga anomali SPL di perairan sebelah tenggara dipicu oleh pengaruh Pulse of Mascarene High (getaran tinggi Mascarene). Getaran tinggi Mascarene adalah daerah tekanan udara tinggi yang berada di sekitar pulau di tengah lautan luas atau samudera (Goddard dan Graham, 1999; Feng et al., 2003). Getaran tinggi Mascarene menjadi parameter penting untuk memprediksi ISM dan DM beberapa bulan sebelumnya. Hong et al. (2008) memperkuat pendapat bahwa antara DM dan ENSO merupakan dua fenomena dengan mekanisme proses yang berbeda satu dengan lainnya. Analisis komposit dari data SPL, angin dan kandungan bahang laut pada

50 58 saat fase positif dan negatif DM dibandingkan dengan aktif tidaknya El Nino memperlihatkan perbedaan yang besar baik secara spasial maupun temporal. Perbedaan ini membuktikan bahwa antara DM dan ENSO memiliki mekanisme proses pemicu yang juga berbeda antara satu dengan yang lainnya. Pada saat fase positif maupun negatif DM tanpa adanya El Nino, anomali angin ke arah barat di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia berperan besar dalam anomali pembentukan pola SPL yang bergerak dari arah timur menuju barat ekuatorial Samudera Hindia, sedangkan proses kembalinya kolam air hangat dari perairan sebelah barat menuju timur mengikuti mekanisme dinamika lautan sampai dalam keadaan yang stabil. Pada beberapa dekade terakhir, SPL di daerah tropis Samudera Hindia dan Pasifik mengalami peningkatan suhu dari kondisi normalnya. Peningkatan suhu ini akibat dari pemanasan global. Ding et al. (2010) telah melakukan analisis interaksi antara East Asian Summer Monsoon (EASM) dengan DM dan ENSO dengan menggunakan dua periode data SPL yang berbeda yaitu tahun dan tahun Hasilnya menunjukkan bahwa dengan menggunakan data tahun korelasi antara indeks EASM dengan SPL di Samudera Hindia dan Pasifik semakin menguat dibandingkan dengan data tahun Peningkatan nilai korelasi ini menunjukkan bahwa proses DM dan ENSO semakin aktif dan interaksi keduanya dengan aktifitas Muson semakin kuat. Rao et al. (2010) memperkuat pendapat Ding et al. (2010) dengan menemukan peningkatan liniear SPL di sebelah selatan ekuatorial Samudera Hindia pada tahun Mekanisme yang bekerja dari peningkatan SPL ini akibat dari pemanasan global disebabkan oleh downwelling Gelombang Rossby dan adveksi bahang antara laut-atmosfer. Peningkatan SPL di sebelah selatan ekuatorial Samudera Hindia akan menyebabkan terjadinya zona konveksi dan terbentuknya anomali sirkulasi antisiklon di Teluk Bengal dan di tengah Samudera Hindia. Rao et al. (2010) kemudian menguji mekanisme ini dengan melakukan uji sensitifitas melalui model gabungan laut-atmosfer dengan meningkatkan SPL dalam kaitannya dengan pemanasan global di sebelah selatan ekuatorial Samudera Hindia. Hasilnya bahwa peningkatan SPL di sebelah selatan ekuatorial Samudera Hindia akan bergeser ke tengah Samudera Hindia sampai di

51 59 ekuator, kemudian bergerak ke perairan sebelah timur Samudera Hindia dan menuju Teluk Bengal. Teluk Bengal dan perairan di selatan pantai barat Sumatera memiliki anomali tersendiri berkaitan dengan interaksi antara Muson, DM dan ENSO. Yang et al. (2010) telah menemukan interaksi antara Muson dan DM dengan menghilangkan sinyal pengaruh dari ENSO. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode EOF. Setelah sinyal ENSO dari data SPL dihilangkan didapat mode dominan pertama adalah Indian Ocean Basin Mode (IOBM) yang berinteraksi kuat dengan Muson musim panas di BBU dan mode dominan kedua sama seperti halnya dengan pola pada fase positif DM dimana perairan selatan pantai barat Sumatera memiliki variabilitas SPL besar yang berinteraksi kuat dengan Muson musim dingin di BBU. IOBM ini berkaitan erat dengan proses delayed relay sinyal ENSO dari Samudera Pasifik. Ketika sinyal IOBM dihilangkan dari data SPL dan sinyal ENSO diikutsertakan, mode dominan pertama sama seperti halnya dengan fase positif DM dan ditambah adanya anomali di Teluk Bengal. Mode ini memperlihatkan keterlibatan ENSO di Samudera Hindia dimana anomalinya terdapat di Teluk Bengal dan di selatan perairan barat Sumatera. Zuluaga et al. (2010) memperkuat pendapat Yang et al. (2010) bahwa Teluk Bengal memiliki anomali yang berbeda dibandingkan dengan Samudera Hindia umumnya. Zuluaga et al. (2010) menggunakan data Convective and Stratiform Heating (CSH) level 3 dari satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) untuk mengkaji variabilitas dalam musiman sampai antar tahun bahang laten di Samudera Hindia dan kaitannya dengan Muson Asia. SPL yang tinggi, perbedaan paparan antara daratan dan lautan yang besar dan variasi topografi yang besar akan menghasilkan pemanasan di atmosfer yang besar dan meningkatkan bahang latennya. Variabilitas bahang laten yang besar dari siklus dalam musiman sampai antar tahunan terjadi di atas Teluk Bengal, perairan Barat Sumatera dan perairan di ekuatorial Samudera Hindia. Interaksi antara Muson, DM dan ENSO sangat kuat di daerah ini. Interaksi Muson dan ENSO berperan pula dalam dinamika laut-atmosfer di perairan timur BMI. Kitoh et al. (1999) telah melakukan pemodelan gabungan

52 60 laut-atmosfer dengan menggunakan model Coupled General Circulation Model (CGCM) untuk mengkaji interaksi antara Muson dan ENSO. Muson didefinisikan dengan perubahan arah angin yang berlawanan. Model ini tidak berhasil mensimulasikan dengan baik kondisi angin di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan variasi sinyal Muson tidak terlihat dengan baik dibandingkan dengan hasil pengamatan data in-situ. Model ini baik untuk mensimulasikan ENSO dan kaitannya dengan variabilitas antar tahunan. Model ini berhasil mensimulasi interaksi antara Muson dan La Nina pada semua musim, tetapi kurang baik untuk mensimulasikan kondisi angin pada saat El Nino. Pada penelitian lainnya, berpendapat bahwa ketika ENSO mulai terbentuk, sistem sirkulasi Walker di Samudera Hindia dan Pasifik mengalami anomali dari satu regim sel di musim panas (Juni-Agustus) menjadi dua regim sel di musim dingin (Desember-Januari). Kedua sel tersebut membentuk posisi simetris di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik dan Hindia dan pada saat transisi membentuk posisi asimetris. Kondisi simetris dan asimetris ini disebabkan oleh TBO dengan siklus dua tahunan. Muson panas (Desember-Januari) berperan pada saat mulai terjadi ENSO dan membantu terbentuknya posisi asimetris (Kawamura et al., 2003). Anomali angin timur dan gangguan sistem Muson di wilayah Indonesia juga ditemukan oleh Susanto et al. (2001) dimana di perairan selatan Jawa dan perairan barat Sumatera pada Muson tenggara angin berhembus dari tenggara ke arah barat laut (Juni-Oktober). Kondisi ini mengakibatkan transpor massa air menjauhi pantai karena adanya parameter Coriolis dan menimbulkan upwelling di sepanjang pantai selatan Jawa dan barat Sumatera. Proses upweling ini akan terhenti ketika arah angin berbalik pada Muson barat daya (November-Desember) diiringi dengan menguatnya Gelombang Kelvin ekuatorial Samudera Hindia. Pada saat El Nino, anomali angin timur terjadi pada musim ini diikuti dengan proses upwelling yang lebih kuat di sepanjang pantai selatan Jawa dan pantai barat Sumatera. Anomali angin timur ini kemungkinan berkaitan dengan dugaan Terray et al. (2007) yang menyatakan bahwa fase positif DM dapat terjadi tanpa harus bersamaan dengan El Nino dimana anomali angin timur ini dipicu oleh adanya pengaruh getaran tinggi Mascarene. Penguatan Gelombang Kelvin di sepanjang

53 61 ekuatorial Samudera Pasifik yang disebutkan oleh Susanto et al. (2001) diduga pada periode tersebut terjadi fase negatif DM. Pola topografi ternyata sangat berperan dalam sirkulasi atmosfer, laut bahkan samudera. Kitoh (2007) melakukan penelitian menggunakan uji sensitifitas dengan model gabungan laut-atmosfer untuk mengetahui seberapa besar pengaruh topografi terhadap dinamika ENSO di Samudera Pasifik. Ketika ketinggian topografi daratan diturunkan lebih rendah dari keadaan sebenarnya akan mengakibatkan melembahnya Angin Pasat Tenggara dan Timur Laut di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik. Pergerakan Kolam air hangat dari tengah Samudera Pasifik ke arah barat menuju perairan timur Indonesia melemah. Kondisi El Nino menjadi lebih kuat, terjadi lebih lama dan siklus terjadinya lebih cepat. Kondisi sebaliknya terjadi, apabila ketinggian topogarfi dinaikan maka kembalinya massa air hangat ke perairan sebelah barat Samudera Pasifik ke kondisi normal menjadi lebih cepat. Siklus El Nino menjadi jarang, terjadi lebih cepat dan kekuatan dari El Nino melemah akibat menguatnya Angin Pasat Tenggara dan Timur Laut. Pantulan Gelombang Rossby menjadi melemah sehingga siklus El Nino jarang terjadi. Pola perubahan variabilitas SPL arah meridional di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik menjadi lebih besar dan lebar sehingga memungkinkan teori recharge oscillator (Jin, 1997) berfungsi baik pada saat El Nino maupun kembalinya kolam air hangat ke sebelah timur perairan BMI. Interaksi darat-laut-atmosfer berkaitan erat dengan mekanisme proses terjadinya DM dan ENSO yang memicu pergeseran fase TBO dari satu tahunan atau lebih (Webster et al., 1999; Ashok et al., 2001; Guan dan Yamagata, 2003; Yuan et al. 2008), selain itu Loschnigg et al. (2003) dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa interaksi DM dan Muson merupakan bagian yang penting dari proses dinamika TBO dengan kecenderungan memiliki siklus dua tahunan yang berperan penting dalam mengatur pergerakan meridional transpor bahang di sebelah timur Samudera Hindia dan berasosiasi dengan Monsun dan respon lautan untuk bergerak ke arah barat ekuatorial Samudera Hindia. Berbeda halnya dengan pendapat dari Tamura et al. (2011), dimana hasil penelitiannya dengan menggunakan analisis korelasi sederhana dan analisis komposit antara Muson

54 62 musim panas Asia, DM dan ENSO memperlihatkan kondisi sebaliknya bahwa Muson memberikan sinyal yang kuat dengan siklus dua tahunan dan diduga adalah siklus dari TBO. Selain itu, DM memberikan kontribusi kepada TBO dengan memicu pergeseran fase dari ENSO pada musim dingin. Munculnya DM bersamaan dengan ENSO akan memicu terjadinya ENSO pada satu tahun berikutnya dengan pola TBO dari hasil pergeseran Muson menjadi siklus dua tahunan. Kondisi sebaliknya terjadi, jika terjadi ENSO tanpa diiringi dengan DM tidak mengakibatkan pergeseran siklus Muson menjadi dua tahunan dan tidak ditemukan pola TBO pada 2 tahun berikutnya. Peneliti sebelumnya mendefinisikan TBO adalah suatu fenomena dari hasil interaksi antara laut dan atmosfer dalam skala luas dimana terdapat fase tinggi SPL pada suatu musim yang mengakibatkan terjadinya konveksi yang besar diiringi dengan angin kuat yang mengakibatkan terjadi proses penguapan yang besar dan pada 2 tahun berikutnya terjadi fase dingin dari SPL pada musim yang sama (Meehl, 1993; Goswami, 1995). Penelitian berikutnya menyimpulkan bahwa TBO merupakan hasil interaksi antara darat-laut-atmosfer yang berinteraksi dengan sistem Muson dan berperan dalam pergeseran fase variabilitas SPL di ekuatorial Samudera Pasifik (Meehl, 1997; Ogasawara et al., 1999). Namun tidak demikian menurut pendapat dari Tamura et al. (2011) yang menyatakan bahwa TBO merupakan hasil pergeseran fase Muson dari tahunan menjadi dua tahunan. Karakteristik darat-laut-atmosfer-samudera wilayah perairan Asia Tenggara dan sekitarnya dengan enam keunikannya memberikan konstribusi yang besar terhadap fenomena Muson, DM dan ENSO. Interaksi antara ketiga fenomena tersebut dengan melihat keunikan wilayah perairan Asia Tenggara mengakibatkan proses dinamika yang terjadi sangat rumit dan kompleks. Terlepas dari tingkat variabilitas darat-laut-atmosfer yang besar di wilayah BMI, memberikan kemungkinan yang besar bahwa pemicu DM dan ENSO serta interaksinya dengan Muson berada di wilayah BMI. Penelitian-penelitian yang sebelumnya dilakukan hanya terfokus untuk mengkaji secara terpisah dari masing-masing fenomena. Kajian yang mendalam mengenai interaksi diantara ketiganya sangat diperlukan untuk mengungkap bagaimana dinamika proses yang berkerja dan indikator apa

55 63 saja yang dapat mengidentifikasikan kapan DM dan ENSO terjadi serta bagaimana interaksinya dengan Muson. 2.6 Indikator Laut-Atmosfer Beragam variabilitas iklim hasil interaksi antara laut dan atmosfer di Samudera Hindia, Samudera Pasifik dan perairan Asia Tenggara yang memberikan dampak regional maupun global harus dapat diidentifikasikan kedatangannya dengan segera, sehingga dapat dipersiapkan penanganan dampak negatif yang ditimbulkannya. Fenomena DM di Samudera Hindia, ENSO di Samudera Pasifik dan Muson di perairan Asia Tenggara dan sekitarnya yang memiliki dampak lokal, regional maupun global harus dapat diketahui indikasi awal kedatangannya dengan mudah, cepat dan tepat. Semakin mudah proses perhitugan untuk mengetahui awal kedatangannya maka akan semakin cepat teridentifikasi kedatangnya. Semakin cepat diketahui awal kedatangnnya maka akan semakin banyak waktu yang tersedia untuk mengantisipasi dampak positif dan negatif yang ditimbulkannya. Proses perhitungan indikasi dan kecepatan dalam menyimpulkan kedatangan fenomena tersebut harus pula didukung dengan ketepatan bahwa memang benar fenomena tersebut akan datang. Meskipun biasanya memberikan hasil yang lebih tepat, pemanfaatan teknologi pemodelan biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama dalam mengeluarkan hasil yang diharapkan tergantung dari kemampuan teknologi komputasi yang ada. Selain itu, teknologi pemodelan sangat ditentukan oleh berbagai faktor antara lain solusi numerik yang digunakan, parameterisasi, diskretisasi, resolusi grid dan syarat batas yang tepat. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil yang mudah, cepat dan tepat maka dikembangkan perhitungan sederhana dengan parameter yang mudah diamati sebagai prediktor dari indikator awal kedatangan fenomena yang bersangkutan, sehingga variabilitas terjadi dapat segera terdeteksi. Pada saat ini terdapat berbagai indikator untuk mendeteksi kedatangan fenomena yang berada di Samudera Hindia, Asia Tenggara dan Samudera Pasifik. Indikator-indikator ini disebut sebagai indeks yang dapat dengan mudah dan cepat untuk mengetahui adanya anomali laut-atmosfer sebagai

56 64 indikasi awal kedatangan berbagai fenomena yang berada di Samudera Hindia, Asia Tenggara dan Samudera Pasifik. Gambar 21 Indeks laut-atmosfer yang berada di BMI, Samudera Hindia dan Pasifik sebagai indikator awal kedatangan berbagai fenomena laut dan atmosfer diadaptasi dari berbagai sumber (Webster dan Yang, 1992; Wang dan Fan, 1999; Kajikawa et al., 2010; Saji et al., 1999; Philander, 1990; Trenberth dan Stepaniak, 2001; Meinen dan McPhaden, 2001; Ashok et al., 2007). Petak warna hijau (A-F) menunjukkan rata-rata anomali kecepatan angin zonal pada tekanan atmosfer 850 dbar (U850) dan 200 dbar (U200) sebagai indikator Muson, petak warna biru (G-I) menunjukkan indikator rata-rata anomali SPL (ASPL) pada petak di Samudera Hindia dengan fenomena dominan DM dan petak warna merah dan ungu (J-P) menunjukkan rata-rata anomali SPL dan (Q) rata-rata kedalaman pada suhu 20 C pada petak di Samudera Pasifik dengan fenomena dominan ENSO. Bulatan titik merah adalah anomali tekanan udara permukaan yang telah di standarisasikan di Tahiti (p(tht)) dan Darwin (p(drw)). Keterangan secara rinci dari masing-masing indeks terdapat di dalam tulisan Indikator Muson dan Variabilitas di BMI Webster dan Yang (1992) pertama kali merintis untuk membangun indeks Muson karena berbagai model atmosfer untuk mensimulasikasi ENSO mengalami gangguan ketepatan dibandingkan dengan data hasil observasi. Gangguan tersebut terjadi karena anomali Angin Pasat yang berasosiasi dengan zona regim Muson di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik meliputi wilayah selatan Asia yang berinteraksi dengan kekuatan Sirkulasi Walker. Oleh karena itu model atmosfer

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Asia Tenggara dan sekitarnya memiliki variabilitas laut-atmosfer yang besar akibat dari fluktuasi parameter oseanografi yang berasal dari perairan Samudera Pasifik

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 99 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Validasi Data Asimilasi GFDL 4.1.1 TRITON Stasiun pengamatan data TRITON yang digunakan untuk melakukan validasi data asimilasi GFDL sebanyak 13 stasiun dengan 12 TRITON berada

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama bahang dalam air laut adalah matahari. Daerah yang

Lebih terperinci

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar BAB II Tinjauan Pustaka II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar Matsumoto dan Yamagata (1996) dalam penelitiannya berdasarkan Ocean Circulation General Model (OGCM) menunjukkan adanya variabilitas

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009).

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan merupakan salah satu sumber ketersedian air untuk kehidupan di permukaan Bumi (Shoji dan Kitaura, 2006) dan dapat dijadikan sebagai dasar dalam penilaian, perencanaan

Lebih terperinci

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina ENSO (EL-NINO SOUTERN OSCILLATION) ENSO (El Nino Southern Oscillation) ENSO adalah peristiwa naiknya suhu di Samudra Pasifik yang menyebabkan perubahan pola angin dan curah hujan serta mempengaruhi perubahan

Lebih terperinci

MEKANISME INTERAKSI MONSUN ASIA DAN ENSO

MEKANISME INTERAKSI MONSUN ASIA DAN ENSO MEKANISME INTERAKSI MONSUN ASIA DAN ENSO Erma Yulihastin Peneliti Sains Atmosfer, LAPAN e-mail: erma@bdg.lapan.go.id; erma.yulihastin@gmail.com RINGKASAN Pada makalah ini diulas mengenai mekanisme hubungan

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP PROPINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat Nya kami dapat menyusun laporan dan laporan Prakiraan Musim Kemarau 2016 di wilayah Propinsi Banten

Lebih terperinci

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA OLEH : ANDRIE WIJAYA, A.Md FENOMENA GLOBAL 1. ENSO (El Nino Southern Oscillation) Secara Ilmiah ENSO atau El Nino dapat di jelaskan

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA I. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 d) phase spectrum, dengan persamaan matematis: e) coherency, dengan persamaan matematis: f) gain spektrum, dengan persamaan matematis: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Geografis dan Cuaca Kototabang

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP 1 KATA PENGANTAR Publikasi Prakiraan Awal Musim Hujan 2015/2016 di Propinsi Bali merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Klimatologi Negara Bali. Prakiraan Awal

Lebih terperinci

Musim Hujan. Musim Kemarau

Musim Hujan. Musim Kemarau mm IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Analisis Data Curah hujan Data curah hujan yang digunakan pada penelitian ini adalah wilayah Lampung, Pontianak, Banjarbaru dan Indramayu. Selanjutnya pada masing-masing wilayah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Semarang setiap tahun menerbitkan buku Prakiraan Musim Hujan dan Prakiraan Musim Kemarau daerah Propinsi Jawa Tengah. Buku Prakiraan Musim Hujan diterbitkan setiap bulan

Lebih terperinci

Variasi Iklim Musiman dan Non Musiman di Indonesia *)

Variasi Iklim Musiman dan Non Musiman di Indonesia *) Musiman dan Non Musiman di Indonesia *) oleh : Bayong Tjasyono HK. Kelompok Keahlian Sains Atmosfer Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung Abstrak Beda pemanasan musiman antara

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur http://lasiana.ntt.bmkg.go.id/publikasi/prakiraanmusim-ntt/ Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN : PRISMA FISIKA, Vol. II, No. (24), Hal. - 5 ISSN : 2337-824 Kajian Elevasi Muka Air Laut Di Selat Karimata Pada Tahun Kejadian El Nino Dan Dipole Mode Positif Pracellya Antomy ), Muh. Ishak Jumarang ),

Lebih terperinci

POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS

POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS Martono Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPANInstitusi Penulis Email: mar_lapan@yahoo.com Abstract Indian

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012 KATA PENGANTAR i Analisis Hujan Bulan Agustus 2012, Prakiraan Hujan Bulan November, Desember 2012, dan Januari 2013 Kalimantan Timur disusun berdasarkan hasil pantauan kondisi fisis atmosfer dan data yang

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP Buletin Prakiraan Musim Kemarau 2016 i KATA PENGANTAR Penyajian prakiraan musim kemarau 2016 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diterbitkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat disamping publikasi

Lebih terperinci

Anomali Curah Hujan 2010 di Benua Maritim Indonesia Berdasarkan Satelit TRMM Terkait ITCZ

Anomali Curah Hujan 2010 di Benua Maritim Indonesia Berdasarkan Satelit TRMM Terkait ITCZ Anomali Curah Hujan 2010 di Benua Maritim Indonesia Berdasarkan Satelit TRMM Terkait ITCZ Erma Yulihastin* dan Ibnu Fathrio Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis terjadinya anomali curah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Siantan Pontianak pada tahun 2016 menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau dan Prakiraan Musim Hujan. Pada buku Prakiraan Musim Kemarau 2016

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terletak pada wilayah ekuatorial, dan memiliki gugus-gugus kepulauan yang dikelilingi oleh perairan yang hangat. Letak lintang Indonesia

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ). KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA Pengaruh Dipole Mode Terhadap Curah Hujan di Indonesia (Mulyana) 39 PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA Erwin Mulyana 1 Intisari Hubungan antara anomali suhu permukaan laut di Samudra

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira

Lebih terperinci

Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten

Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten Ankiq Taofiqurohman S Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Bandung 40600 ABSTRACT A research on climate variation

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musim Hujan dan Monsun

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musim Hujan dan Monsun 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Musim Hujan dan Monsun Di tinjau dari aspek geografis, Indonesia diapit oleh dua benua dan dua samudera sehingga memungkinkan adanya tiga sirkulasi atmosfer yang aktif sepanjang

Lebih terperinci

sebesar 2.7 bulan dari puncak Dipole Mode Index (DMI) dan terbentuknya periode El Nino/La Nina konvensional dengan beda fase 2.7 bulan dari puncak

sebesar 2.7 bulan dari puncak Dipole Mode Index (DMI) dan terbentuknya periode El Nino/La Nina konvensional dengan beda fase 2.7 bulan dari puncak v ABSTRACT ANDRI PURWANDANI. Variability of Sea Surface Temperature and its Interelationships with The Monsoon, Dipole Mode (DM) and El Nino Southern Oscillation (ENSO) in the Southeast Asia and its Surrounding

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. interaksi proses-proses fisik dan kimia yang terjadi di udara (atmosfer) dengan permukaan

I. PENDAHULUAN. interaksi proses-proses fisik dan kimia yang terjadi di udara (atmosfer) dengan permukaan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Studi tentang iklim mencakup kajian tentang fenomena fisik atmosfer sebagai hasil interaksi proses-proses fisik dan kimia yang terjadi di udara (atmosfer) dengan permukaan

Lebih terperinci

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

Propinsi Banten dan DKI Jakarta BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara dengan populasi ke-empat terbesar dan penghasil beras ke-tiga terbesar di dunia (World Bank, 2000). Indonesia memproduksi sekitar 31 juta ton

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp. (021) 7353018, Fax: (021) 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara yang terletak diantara Samudra Pasifik-Hindia dan Benua Asia-Australia, serta termasuk wilayah tropis yang dilewati oleh garis khatulistiwa, menyebabkan

Lebih terperinci

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES Abstrak Kondisi fisiografis wilayah Indonesia dan sekitarnya, seperti posisi lintang, ketinggian, pola angin (angin pasat dan monsun),

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Daerah Kajian Daerah yang akan dikaji dalam penelitian adalah perairan Jawa bagian selatan yang ditetapkan berada di antara 6,5º 12º LS dan 102º 114,5º BT, seperti dapat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Umum Perairan Selatan Jawa Perairan Selatan Jawa merupakan perairan Indonesia yang terletak di selatan Pulau Jawa yang berhubungan secara langsung dengan Samudera Hindia.

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016 B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Tangerang Selatan Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2016

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2016 KATA PENGANTAR Publikasi Prakiraan Musim Kemarau 2016 Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Geofisika Kelas 1 Yogyakarta / Pos Klimatologi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S.

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S. i REDAKSI KATA PENGANTAR Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si Penanggung Jawab : Subandriyo, SP Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S. Kom Editor : Idrus, SE Staf Redaksi : 1. Fanni Aditya, S. Si 2. M.

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

DEPRESI DAN SIKLON PENGARUHI CUACA INDONESIA

DEPRESI DAN SIKLON PENGARUHI CUACA INDONESIA AKTUALITA DEPRESI DAN SIKLON INDERAJA TROPIS PENGARUHI CUACA INDONESIA DEPRESI DAN SIKLON TROPIS PENGARUHI CUACA INDONESIA Davit Putra, M.Rokhis Khomarudin (Pusbangja ) Cuaca di Indonesia dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil dan Verifikasi Hasil simulasi model meliputi sirkulasi arus permukaan rata-rata bulanan dengan periode waktu dari tahun 1996, 1997, dan 1998. Sebelum dianalisis lebih

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Data Siklon Tropis Data kejadian siklon tropis pada penelitian ini termasuk depresi tropis, badai tropis dan siklon tropis. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM 2017/2018

PRAKIRAAN MUSIM 2017/2018 1 Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas perkenannya, kami dapat menyelesaikan Buku Prakiraan Musim Hujan Tahun Provinsi Kalimantan Barat. Buku ini berisi kondisi dinamika atmosfer

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DAN VARIABILITAS BULANAN ANGIN PERMUKAAN DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA

KARAKTERISTIK DAN VARIABILITAS BULANAN ANGIN PERMUKAAN DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MAKARA, SAINS, VOL. 13, NO. 2, NOVEMBER 2009: 157-162 KARAKTERISTIK DAN VARIABILITAS BULANAN ANGIN PERMUKAAN DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA Martono Bidang Pemodelan Iklim, Lembaga Penerbangan dan Antariksa

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2018

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2018 KATA PENGANTAR Prakiraan Musim Kemarau 2018 Publikasi Prakiraan Musim Kemarau 2018 Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Klimatologi

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas perkenannya, kami dapat menyelesaikan Buku Prakiraan Musim Kemarau Tahun 2017 Provinsi Kalimantan Barat. Buku ini berisi kondisi dinamika atmosfer

Lebih terperinci

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Oleh : Martono, Halimurrahman, Rudy Komarudin, Syarief, Slamet Priyanto dan Dita Nugraha Interaksi laut-atmosfer mempunyai peranan

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI ANGIN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Parameter Curah Hujan model REMO Data curah hujan dalam keluaran model REMO terdiri dari 2 jenis, yaitu curah hujan stratiform dengan kode C42 dan curah hujan konvektif dengan

Lebih terperinci

ANALISIS ANGIN ZONAL DI INDONESIA SELAMA PERIODE ENSO

ANALISIS ANGIN ZONAL DI INDONESIA SELAMA PERIODE ENSO Analisis Angin Zonal di Indonesia selama Periode ENSO (E. Mulyana) 115 ANALISIS ANGIN ZONAL DI INDONESIA SELAMA PERIODE ENSO Erwin Mulyana 1 Intisari Telah dianalisis angin zonal di Indonesia selama periode

Lebih terperinci

PENGARUH FENOMENA GLOBAL DIPOLE MODE POSITIF DAN EL NINO TERHADAP KEKERINGAN DI PROVINSI BALI

PENGARUH FENOMENA GLOBAL DIPOLE MODE POSITIF DAN EL NINO TERHADAP KEKERINGAN DI PROVINSI BALI PENGARUH FENOMENA GLOBAL DIPOLE MODE POSITIF DAN EL NINO TERHADAP KEKERINGAN DI PROVINSI BALI Maulani Septiadi 1, Munawar Ali 2 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG), Tangerang Selatan

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejadian bencana dunia meningkat dan 76% adalah bencana hidrometeorologi (banjir, longsor, siklon tropis, kekeringan). Sebagian besar terjadi di negara-negara miskin

Lebih terperinci

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT & PROSPEK CUACA WILAYAH NUSA TENGGARA TIMUR DESEMBER 2016 JANUARI 2017 FORECASTER BMKG EL TARI KUPANG

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT & PROSPEK CUACA WILAYAH NUSA TENGGARA TIMUR DESEMBER 2016 JANUARI 2017 FORECASTER BMKG EL TARI KUPANG ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT & PROSPEK CUACA WILAYAH NUSA TENGGARA TIMUR DESEMBER 2016 JANUARI 2017 FORECASTER BMKG EL TARI KUPANG KUPANG, 12 JANUARI 2017 OUTLINE ANALISIS DINAMIKA SKALA GLOBAL Gerak

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 IDENTIFIKASI CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap awal Maret dan Prakiraan Musim Hujan setiap awal

Lebih terperinci

El-NINO DAN PENGARUHNYA TERHADAP CURAH HUJAN DI MANADO SULAWESI UTARA EL-NINO AND ITS EFFECT ON RAINFALL IN MANADO NORTH SULAWESI

El-NINO DAN PENGARUHNYA TERHADAP CURAH HUJAN DI MANADO SULAWESI UTARA EL-NINO AND ITS EFFECT ON RAINFALL IN MANADO NORTH SULAWESI El-NINO DAN PENGARUHNYA TERHADAP CURAH HUJAN DI MANADO SULAWESI UTARA Seni Herlina J. Tongkukut 1) 1) Program Studi Fisika FMIPA Universitas Sam Ratulangi, Manado 95115 ABSTRAK Telah dilakukan analisis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI iii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Variabilitas Suhu Permukaan Laut dan Interelasinya dengan Muson, Dipole Mode (DM) dan El Nino Southern Oscillation

Lebih terperinci

DAMPAK DIPOLE MODE TERHADAP ANGIN ZONAL

DAMPAK DIPOLE MODE TERHADAP ANGIN ZONAL DAMPAK DIPOLE MODE TERHADAP ANGIN ZONAL Eva Gusmira, S.Si., M.Si Abstrak Dalam jurnal ini telah dilakukan analisis terhadap angin zonal di Sumatera Barat yang diakibatkan oleh fenomena Dipole Mode (DM)

Lebih terperinci

Oleh Tim Agroklimatologi PPKS

Oleh Tim Agroklimatologi PPKS Kondisi Indian Oscillation Dipole (IOD), El Nino Southern Oscillation (ENSO), Curah Hujan di Indonesia, dan Pendugaan Kondisi Iklim 2016 (Update Desember 2015) Oleh Tim Agroklimatologi PPKS Disarikan dari

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISIS STASIUN CUACA METEOROLOGI TERKAIT HUJAN

Lebih terperinci

ANALISIS RAGAM OSILASI CURAH HUJAN DI PROBOLINGGO DAN MALANG

ANALISIS RAGAM OSILASI CURAH HUJAN DI PROBOLINGGO DAN MALANG ANALISIS RAGAM OSILASI CURAH HUJAN DI PROBOLINGGO DAN MALANG Juniarti Visa Bidang Pemodelan Iklim, Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim-LAPAN Bandung Jl. DR. Junjunan 133, Telp:022-6037445 Fax:022-6037443,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Sumatera Utara adalah salah satu provinsi yang berada di Pulau Sumatera dengan posisi 1-4 Lintang Utara dan 98-100 Bujur Timur. Letak geografis Sumatera Utara

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI HUJAN

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI BMKG Alamat : Bandar Udara Mali Kalabahi Alor (85819) Telp. Fax. : (0386) 2222820 : (0386) 2222820 Email : stamet.mali@gmail.com

Lebih terperinci

Laporan Perjalanan Dinas Chief BRKP-DKP Bagus Hendrajana, Chief FIO Mr Jianjun Liu

Laporan Perjalanan Dinas Chief BRKP-DKP Bagus Hendrajana, Chief FIO Mr Jianjun Liu Laporan Perjalanan Dinas Chief BRKP-DKP Bagus Hendrajana, Chief FIO Mr Jianjun Liu I. PENDAHULUAN Hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh berbagai fenomena iklim yang berkaitan dengan daerah tropis.

Lebih terperinci

Buletin Informasi Cuaca Iklim dan Gempabumi Edisi Juni 2017

Buletin Informasi Cuaca Iklim dan Gempabumi Edisi Juni 2017 I. EVALUASI KONDISI CUACA BULAN MEI 2017 A. Monitoring Dinamika Atmosfer Mei 2017 Kondisi cuaca di Indonesia termasuk Banyuwangi dikendalikan / dipengaruhi oleh fenomena-fenomena dinamika atmosfer berskala

Lebih terperinci

ANALISIS CUACA PADA SAAT PELAKSANAAN TMC PENANGGULANGAN BANJIR JAKARTA JANUARI FEBRUARI Abstract

ANALISIS CUACA PADA SAAT PELAKSANAAN TMC PENANGGULANGAN BANJIR JAKARTA JANUARI FEBRUARI Abstract ANALISIS CUACA PADA SAAT PELAKSANAAN TMC PENANGGULANGAN BANJIR JAKARTA JANUARI FEBRUARI 2014 Erwin Mulyana 1 erwin6715@yahoo.com Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Abstract Application of weather

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

ILMU & TEKNOLOGI KELAUTAN (ITK 502)

ILMU & TEKNOLOGI KELAUTAN (ITK 502) ILMU & TEKNOLOGI KELAUTAN (ITK 502) Kuliah-7 Fenomena Di Laut & Perannya Dalam Kehidupan 11/9/09 J. I. Pariwono 1 Dinamika Laut Dalam 1. Dinamika di lautan disebabkan oleh banyak gaya yang bekerja di dalamnya

Lebih terperinci

Adaptasi Perikanan Tangkap terhadap Perubahan dan Variabilitas Iklim di Wilayah Pesisir Selatan Pulau Jawa Berbasis Kajian Resiko MODUL TRAINING

Adaptasi Perikanan Tangkap terhadap Perubahan dan Variabilitas Iklim di Wilayah Pesisir Selatan Pulau Jawa Berbasis Kajian Resiko MODUL TRAINING Adaptasi Perikanan Tangkap terhadap Perubahan dan Variabilitas Iklim di Wilayah Pesisir Selatan Pulau Jawa Berbasis Kajian Resiko MODUL TRAINING Pusat Perubahan Iklim ITB Pengertian Iklim dan Perubahan

Lebih terperinci

Pelatihan-osn.com C. Siklus Wilson D. Palung samudera C. Campuran B. Salinitas air laut C. Rendah C. Menerima banyak cahaya matahari A.

Pelatihan-osn.com C. Siklus Wilson D. Palung samudera C. Campuran B. Salinitas air laut C. Rendah C. Menerima banyak cahaya matahari A. Bidang Studi Kode Berkas : GEOGRAFI : GEO-L01 (solusi) 1. B. Terjadinya efek Ekman menyebabkan massa air umumnya bergerak menjauhi daratan ke arah barat sehingga menyebabkan terjadinya upwelling di Cape

Lebih terperinci

Buletin Informasi Cuaca Iklim dan Gempabumi Edisi Juli 2017

Buletin Informasi Cuaca Iklim dan Gempabumi Edisi Juli 2017 I. EVALUASI KONDISI CUACA BULAN JUNI 2017 A. Monitoring Dinamika Atmosfer Juni 2017 Kondisi cuaca di Indonesia termasuk Banyuwangi dikendalikan/dipengaruhi oleh fenomena-fenomena dinamika atmosfer berskala

Lebih terperinci

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan

Lebih terperinci

Geografi. Kelas X ATMOSFER IV KTSP & K-13. I. Angin 1. Proses Terjadinya Angin

Geografi. Kelas X ATMOSFER IV KTSP & K-13. I. Angin 1. Proses Terjadinya Angin KTSP & K-13 Kelas X Geografi ATMOSFER IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami proses terjadinya angin dan memahami jenis-jenis angin tetap

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA DINAMIKA STASIUN ATMOSFER METEOROLOGI

Lebih terperinci

Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Penelitian Terdahulu

Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Penelitian Terdahulu Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Penelitian Terdahulu Penelitian berjudul Pemodelan dan Peramalan Angka Curah Hujan Bulanan Menggunakan Analisis Runtun Waktu (Kasus Pada Daerah Sekitar Bandara Ngurah Rai), menjelaskan

Lebih terperinci

Buletin Informasi Cuaca Iklim dan Gempabumi Edisi April 2017

Buletin Informasi Cuaca Iklim dan Gempabumi Edisi April 2017 I. EVALUASI KONDISI CUACA BULAN MARET 2017 A. Monitoring Dinamika Atmosfer Maret 2017 Kondisi cuaca di Indonesia termasuk Banyuwangi dikendalikan / dipengaruhi oleh fenomena-fenomena dinamika atmosfer

Lebih terperinci

Isu Kiamat 2012 : Adakah Siklus Lima Belas Tahunan Akan Berperan Aktif Kembali Disana?

Isu Kiamat 2012 : Adakah Siklus Lima Belas Tahunan Akan Berperan Aktif Kembali Disana? Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, Semarang 10 April 2010 1 hal. 1-12 Isu Kiamat 2012 : Adakah Siklus Lima Belas Tahunan Akan Berperan Aktif Kembali Eddy Hermawan Pusat Pemanfaatan Sains

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE ANALISIS KEJADIAN CUACA EKSTRIM HUJAN LEBAT DAN ANGIN KENCANG DI SERUI TANGGAL 10 JANUARI 2017 OLEH : EUSEBIO ANDRONIKOS SAMPE, S.Tr NABIRE 2017 ANALISIS KEJADIAN CUACA

Lebih terperinci

EKSPLANASI ILMIAH DAMPAK EL NINO LA. Rosmiati STKIP Bima

EKSPLANASI ILMIAH DAMPAK EL NINO LA. Rosmiati STKIP Bima ABSTRAK EKSPLANASI ILMIAH DAMPAK EL NINO LA Rosmiati STKIP Bima Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki pulau pulau besar dan kecil berada di daerah tropis, menerima radiasi matahari paling banyak

Lebih terperinci