SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU"

Transkripsi

1 SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN KEMENTERIAN KESEHATAN 2011 i

2 Kata Pengantar Pandemi HIV merupakan masalah dan tantangan serius terhadap kesehatan masyarakat di dunia baik di negara-negara yang sudah maju maupun di negara-negara berkembang. Di Indonesia, sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi (dengan prevalens > 5%), yaitu pada pengguna napza suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria. Situasi demikian menunjukkan bahwa pada umumnya Indonesia berada pada tahap epidemi terkonsentrasi. Risiko penularan HIV tidak hanya terbatas pada sub-populasi yang berperilaku risiko tinggi, tetapi juga dapat menular pada pasangan atau istrinya, bahkan anaknya. Hasil estimasi tahun 2009 diperkirakan 5,1 8,1 juta orang paling berisiko tertular HIV di Indonesia di luar populasi umum Tanah Papua, sednagkan estimasi jumlah ODHA usia tahun berkisar antara ribu orang. Estimasi tersebut belum mencakup estimasi jumlah ODHA yang berusia di bawah 15 tahun dan 50 tahun keatas. Dengan makin meluasnya penyebaran HIV di Indonesia, maka upaya pencegahan semakin mengarah kepada perubahan perilaku, yaitu dengan merubah perilaku berisiko menjadi perilaku kurang berisiko. Oleh karena itu, informasi perubahan perilaku yang diperoleh dapat dijadikan dasar dalam perencanaan dan pemantauan keberhasilan program intervensi. Informasi tentang perubahan perilaku dari waktu ke waktu terutama pada kelompok berisiko tinggi dapat diperoleh melalui Survei Surveilans Perilaku. Kami berharap dengan adanya Buku Laporan Hasil Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2009 yang merupakan kerjasama antara Kementerian Kesehatan dan Badan Pusat Statistik (BPS) dapat membantu untuk menjawab permasalahan di atas. Kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak baik instansi, lembaga, maupun perorangan yang telah berperan serta dalam pelaksanaan sampai selesainya laporan STBP tahun Deputi Bidang Statistik Sosial Arizal Ahnaf

3 Kata Sambutan Epidemi suatu penyakit perlu dilakukan melalui pengamatan terus menerus yang dikenal sebagai surveilans epidemiologi. Surveilans epidemiologi merupakan kegiatan pengumpulan data yang bersifat sistematik, melakukan analisis dan interpretasi data yang berguna untuk perencanaan dan pelaksanaan program, serta penilaian program pengendalian penyakit terutama untuk mencegah penyebaran atau mengurangi dampak buruk yang dapat terjadi pada masyarakat. Pelaksanaan surveilans dalam program pengendalian HIV dan AIDS salah satunya dikenal dengan surveilans generasi kedua Surveilans generasi kedua dikembangkan sebagai respon terhadap semakin kompleksnya permasalahan terkait epidemi HIV. Kunci pelaksanaan surveilans generasi kedua, adalah mengintegrasikan semua kegiatan surveilans terkait HIV dan AIDS sehingga akan memberikan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap kecenderungan HIV dan AIDS serta meningkatkan efektifitas pengendalian HIV dan AIDS. Sistem surveilans HIV generasi kedua menekankan pentingnya penggunaan data perilaku untuk menjelaskan kecenderungan HIV dan AIDS pada populasi/sub-populasi, dan untuk perencanaan dan evaluasi program pencegahan HIV. Sistem ini cocok untuk Indonesia di mana angka HIV pada populasi umum masih relatif rendah, tetapi terkonsentrasi pada kelompok-kelompok risiko tinggi. Dengan data pada surveilans generasi kedua, kita mendapatkan gambaran yang lengkap tentang besaran masalah yang ada, faktor faktor penyebab, pengetahuan dan seberapa jauh respon yang telah ada dan diketahui oleh masyarakat. Untuk dapat memberikan gambaran epidemi yang terjadi pada Kelompok Populasi Paling Berisiko dalam terjadinya epidemi HIV di Indonesia, telah dilakukan Surveilans Terpadu Biologi dan Perilaku yang berkesinambungan. Kementerian Kesehatan merupakan instansi yang bertanggung jawab terhadap perencanaan dan pelaksanaan kegiatan Surveilans HIV dan AIDS telah beberapa kali melaksanakan surveilans perilaku, antara lain tahun 2002, 2004, 2006, 2007, dan Tahun 2009 Survei Terpadu Perilaku dan Perilaku (STBP) dilaksanakan di 9 Propinsi pada 9 Kabupaten/Kota yaitu Kota Palembang, Tangerang, Yogyakarta, Samarinda, Pontianak, Makasar, Bitung, Sorong, dan Mimika. Sasaran survey adalah Wanita Penjaja Seks (WPS) Langsung dan Tak langsung, Penasun, Waria, Lelaki Suka Seks Lelaki, Anak Buah Kapal (ABK), Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM), ojek/angkutan umum, buruh, dan remaja. Buku laporan hasil STBP 2009 selain memuat prevalensi, pengetahuan, ingkat perilaku berisiko, cakupan intervensi, juga perbandingan dengan hasil-hsil survey sebelumnya yang telah dilaksanakan. Kami menyampaikan penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu sejak perencanaan, pengumpulan dan analisis data hingga penulisan buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam meningkatkan keberhasilan program pengendalian HIV dan AIDS di Indonesia. Jakarta, Juni 2010 Direktur Jenderal PP & PL Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama, SpP(K) iii

4 Daftar Kontributor NO NAMA INSTANSI NO NAMA INSTANSI 1 Iwan M. Muljono Kemenkes Subdit AIDS & PMS 25 JB Priyono Badan Pusat Statistik 2 Dyah Erti Mustikawati Kemenkes Subdit AIDS & PMS 26 Ahmad Badan Pusat Statistik 3 Asik Surya Kemenkes Subdit AIDS & PMS 27 Bambang AC Badan Pusat Statistik 4 F. Jeanne Uktolseja Kemenkes Subdit AIDS & PMS 28 Budi Badan Pusat Statistik 5 Endang Budi Hastuti Kemenkes Subdit AIDS & PMS 29 Farid Badan Pusat Statistik 6 Naning Nugrahini Kemenkes Subdit AIDS & PMS 30 Gantjang Badan Pusat Statistik 7 Afriana Nurhalina Kemenkes Subdit AIDS & PMS 31 Dwi retno Badan Pusat Statistik 8 Wisnu Hariadi Kemenkes Subdit AIDS & PMS 32 Kadarmanto Badan Pusat Statistik 9 Ainor Rasyid Kemenkes Subdit AIDS & PMS 33 Meity tresnowaty Badan Pusat Statistik 10 Nurjannah Kemenkes Subdit AIDS & PMS 34 Mutiara Badan Pusat Statistik 11 Victoria Indrawati Kemenkes Subdit AIDS & PMS 35 Nurma Badan Pusat Statistik 12 Eli Winardi Kemenkes Subdit AIDS & PMS 36 Ida Badan Pusat Statistik 13 Eko Saputro Kemenkes Subdit AIDS & PMS 37 Yulianti Pradono Kemenkes Badan Litbangkes 14 Viny Sutriani Kemenkes Subdit AIDS & PMS 38 Dina Bisara Lolong Kemenkes Badan Litbangkes 15 Ari Wulan Sari Kemenkes Subdit AIDS & PMS 39 Eko Rahardjo Kemenkes Badan Litbangkes 16 Bangkit Purwandari Kemenkes Subdit AIDS & PMS 40 Lulu Kemenkes Badan Litbangkes 17 Rachma Febriana Kemenkes Subdit AIDS & PMS 41 Nurholis Madjid FHI 18 Rahmi Solehah Kemenkes Subdit AIDS & PMS 42 Nurhayati FHI 19 Dimas Budi Wicaksono Kemenkes Subdit AIDS & PMS 43 Rini Palupy FHI 20 Happy Harjo Badan Pusat Statistik 44 Atiek Anartati FHI 21 Togi Siahaan Badan Pusat Statistik 45 Ciptasari Prabawanti FHI 22 Wendy Hartanto Badan Pusat Statistik 46 Pandu Riono Konsultan 23 Hamonangan Ritonga Badan Pusat Statistik 47 M. Noor Farid Konsultan 24 Purwanto Badan Pusat Statistik 48 Aang Sutrisna Konsultan

5 1. Daftar Istilah ABK AIDS BPS BSS CRS HIV IBBS IMS ISR Kab KIE LJSS LSL LSM MARG MDGs MSM NAPZA ODHA PCR Penasun Pria Berisiko Prov PSU RDS Risti RPJMN RTI SD Seed SLTA SLTP SMA SMP Anak Buah Kapal Acquired Immuno-deficiency Syndromes Biro Pusat Statistik Behavioural Sentinel Surveillance Chain Referral Sampling Human Immuno-deficiency Virus Integrated Biological and Behavior Survey Infeksi menular secara seksual (lihat juga STI) Infeksi Saluran Reproduksi Kabupaten Komunikasi, Informasi dan Edukasi Layanan Jarum Suntik Steril Lelaki yang suka berhubungan seks dengan lelaki = gay Lembaga Swadaya Masyarakt Most at Risk Population Millenium Develepoment Goals Men who have sex with men Narkotika, psikotropika dan zat adiktif lain Orang dengan HIV/AIDS Polimerase Chain Recation Pengguna Narkotik Suntikan Kelompok pria yang memiliki risiko lebih tinggi untuk terinfeksi HIV seperti misalnya tukang ojek, supir angkutan umum kota, ABK, TKBM, buruh Provinsi primary sampling unit Respondent Driven Sampling Risiko tinggi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Ruproductive tract infection Sekolah Dasar Sekelompok kecil responden yang dipilih secara khusus dan dari mereka diharapkan dapat menjaring lebih banyak responden Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Sekolah Menengah Atas Sekolah Menengah Pertama v

6 Snowball SSP STBP STHP STI Tanah papua TKBM TV Waria WPS WPS L WPS TL Teknik pengambilan sampel jemput bola Surve Perilaku Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku Survielans Terpadu HIV dan Perilaku Sexually Transmitted Infection Daerah yang meliputi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tenaga Kerja Bongkar Muat Televisi Wanita-pria = lelaki yang berperilaku sebagai perempuan (Transgender) Wanita Penjaja Seks Wanita Penjaja Seks Langsung Wanita Penjaja Seks Tidak Langsung

7 Daftar Isi Kata Sambutan... iii Daftar Kontributor... iv 1. Daftar Istilah... v Daftar Isi... vii Daftar Tabel... ix Daftar Gambar... xi Ringkasan Eksekutif... xv II. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Metodologi Umum Wilayah Survei Ukuran Sampel Kerangka Sampel Pembentukan Kerangka Sampel Metode Sampling Kelompok Pengguna Napza Suntik (Penasun) dan LSL... 7 C. Cara Penyajian... 8 III. HASIL DAN PEMBAHASAN... 9 A. Pelaksanaan Survei Jumlah responden Wilayah pelaksanaan survei dibandingkan dengan survei sebelumnya B. Karakteristik Populasi Umur Responden Pendidikan Status Pernikahan Sumber Pendapatan Utama Status tinggal Umur Pertama Kali Berperilaku Risiko C. Tingkat Pengetahuan dan Persepsi Sumber Informasi Pengetahuan Cara Penularan dan Pencegahan HIV Pemahaman yang Keliru Persepsi Risiko D. Cakupan Program Pertemuan/Diskusi dan Materi KIE Frekuensi Diskusi dengan Petugas Lapangan vii

8 3. Frekuensi Menerima Kondom Frekuensi Kunjungan ke Klinik IMS Konseling dan Tes HIV Layanan Terkait dengan Pengurangan Dampak E. Perilaku Berrisiko Perilaku Membeli Seks Perilaku Menjual Seks Frekuensi Kontak Seks Komersial Perilaku Seks Berisiko Lainnya Perilaku Berrisiko Terkait dengan Penggunaan Napza Suntik F. Perilaku Pencegahan Abstinen dan Setia pada Pasangan Tetap Pemakaian Kondom pada Seks Komersial Pemakaian Kondom pada Seks Berisiko Lainnya Perilaku Pencegahan Penasun G. IMS dan HIV Prevalensi Gonore dan Infeksi Klamidia Prevalensi HIV dan Sifilis Tanda IMS dan Tindakan Pengobatan H. SSP Remaja Pemilihan sampel Karakteristik Responden Pengetahuan Tentang Penularan HIV Perilaku Seks dan Penggunaan Kondom Perilaku Menggunakan Napza Cakupan Program IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran V. DAFTAR PUSTAKA... 81

9 Daftar Tabel Tabel 1. Besarnya Responden WPS L dan WPS TL menurut Lokasi Survei dan Kelompok Sasaran... 4 Tabel 2. Besarnya Responden Pria Risti menurut Lokasi Survei dan Kelompok Sasaran... 4 Tabel 3. Besarnya Responden waria, LSL, Penasun, Remaja menurut Lokasi Survei dan Kelompok Sasaran... 5 Tabel 4. Perencanaan dan Realisasi Responden WPS L, WPS TL dan Pria Risti Pelaksanaan STBP Tabel 5. Perencanaan dan Realisasi Responden Waria, LSL dan Penasun Pelaksanaan STBP Tabel 6 Perencanaan dan Realisasi Responden Remaja Pelaksanaan STBP Tabel 7 Jenis Pelaksanaan Survei berdasarkan Jumlah Responden Tabel 8 Keterwakilan Kota dan Pelaksanan Survei Sebelumnya Tabel 9 Persentase Responden Menurut Sumber Informasi tentang HIV-AIDS Tabel 10. Perbandingan Persentase Responden Menurut Sumber Informasi melalui Media tentang HIV dan AIDS Tabel 11. Perbandingan Persentase Responden Menurut Sumber Informasi melalui petugas tentang HIV dan AIDS Tabel 12. Perbandingan Persentase Responden WPS L dan WPS TL menurut Pengetahuan Komprehensif berdasarkan Lima Pertanyaan Indicator MDGs Tabel 13 Perbandingan Persentase Responden Waria dan Pria Risti menurut Pengetahuan Komprehensif berdasarkan Lima Pertanyaan Indicator MDGs Tabel 14 Perbandingan Persentase Responden LSL dan Penasun Menurut Pengetahuan Komprehensif berdasarkan lima pertanyaan indicator MDGs Tabel 15. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Cara Penularan HIV Tabel 16. Perbandingan Persentase Responden WPS L dan WPS TL menurut Pengetahuan Cara Penularan HIV Tabel 17. Perbandingan Persentase Responden Waria dan LSL menurut Pengetahuan Cara Penularan HIV Tabel 18. Perbandingan Persentase Responden Menurut Pengetahuan Cara Penularan HIV. 25 Tabel 19. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Cara Pencegahan HIV Tabel 20. Perbandingan Persentase Responden WPS L dan WPS TL menurut Pengetahuan Cara Pencegahan HIV Tabel 21. Perbandingan Persentase Responden Waria dan LSL menurut Pengetahuan Cara Pencegahan HIV Tabel 22. Perbandingan Persentase Responden Pria Risti dan Penasun menurut Pengetahuan Cara Pencegahan HIV ix

10 Tabel 23. Perbandingan Persentase Responden Menurut Frekuensi Menerima Kondom Dalam 3 Bulan Terakhir Tabel 24. Persentase Penasun menurut Kota dan Tempat Layanan LJSS Seminggu Terakhir 39 Tabel 25. Persentase Responden menurut Jenis Penjaja Seks dalam Setahun Terakhir Tabel 26. Persentase Responden menurut Pelanggan dalam Setahun Terakhir Tabel 27 Perbandingan Persentase Responden Menurut Perilaku ABC Setahun Terakhir Tabel 28. Persentase Responden Menurut Tindakan Ketika Mengalami Gejala IMS Setahun Terakhir Tabel 29. Jumlah Responden Remaja Tabel 30. Persentase Responden Remaja Menurut Sumber Informasi HIV/AIDS Tabel 31. Persentase Responden Remaja Menurut Pengetahuan Cara Menghindari Penularan HIV Tabel 32. Persentase Responden Remaja Menurut Pengetahuan yang Salah Tentang Cara Penularan HIV Tabel 33. Persentase Responden Remaja Menurut Pengetahuan Cara Menghindari Penularan HIV tahun 2004, 2007, dan Tabel 34. Persentase Responden Remaja Menurut Pengetahuan yang Salah Tentang Cara Penularan HIV tahun 2004, 2007, dan Tabel 35. Persentase Responden Remaja Menurut Sikap Terhadap Teman yang Terinfeksi HIV tahun 2004, 2007, dan Tabel 36. Persentase Responden Menurut Perilaku Seks Tahun 2004, 2007 dan Tabel 37. Persentase Responden Remaja yang Pernah Menggunakan Napza Menurut Tingkat Sekolah Ketika Pertama Kali Menggunakan Napza Tabel 38. Program Pengendalian HIV di Sekolah Tabel 39. Hasil STBP pada WPS L menurut Lokasi... 1 Tabel 40. Hasil STBP pada WPS TL menurut Lokasi... 9 Tabel 41. Hasil STBP 2009 pada Pria Risti menurut Lokasi Survei Tabel 42. Hasil STBP 2009 pada Waria menurut Lokasi Survei Tabel 43. Hasil STBP 2009 pada LSL menurut Lokasi Survei Tabel 44. Hasil STBP 2009 pada Penasun menurut Lokasi Survei Tabel 45. Hasil STBP 2009 pada Remaja menurut Lokasi Survei dan Jenis Kelamin... 46

11 Daftar Gambar Gambar 1. Karakteristik menurut Umur Responden Gambar 2. Perbandingan Umur Responden dengan Survei Sebelumnya Gambar 3. Tingkat Pendidikan Gambar 4. Tingkat Pendidikan Dibandingkan dengan Survei Sebelumnya untuk WPS L Gambar 5. Tingkat Pendidikan Dibandingkan dengan Survei Sebelumnya untuk WPS TL Gambar 6. Persentase menurut Status Pernikahan Gambar 7. Persentase berdasar Sumber Pendapatan Utama Gambar 8. Persentase menurut Status Tinggal WPS L dan WPS TL Gambar 9. Persentase menurut Status Tinggal Pria Risti, Waria, LSL dan Penasun Gambar 10. Persentase menurut Umur Pertama Kali Berperilaku Berrisiko Gambar 11. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Komprehensif Gambar 12. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Komprehensif berdasarkan lima pertanyaan indicator MDGs Gambar 13. Persentase Responden Menurut Pemahaman yang Keliru Gambar 14. Perbandingan Persentase Responden menurut Pemahaman Cara Pencegahan dan Penularan HIV yang Keliru Gambar 15. Persentase Responden menurut Merasa Berisiko Tertular HIV Gambar 16. Perbandingan Persentase Responden Menurut yang Merasa Berisiko Tertular. 29 Gambar 17. Persentase responden menurut cakupan program tahun Gambar 18. Perbandingan Persentase Responden yang Pernah Menghadiri Pertemuan/Diskusi HIV dan AIDS Setahun Terakhir Gambar 19. Perbandingan Persentase Responden yang Pernah Menerima Barang Cetakan Setahun Terakhir Gambar 20. Persentase Responden Menurut Frekuensi Diskusi dengan Petugas Lapangan dalam 3 Bulan Terakhir Gambar 21. Perbandingan Persentase Responden yang Pernah Dijangkau Petugas Lapangan dalam 3 Bulan Terakhir Gambar 22. Persentase Responden Menurut Frekuensi Menerima Kondom Gratis dalam 3 Bulan Terakhir Gambar 23. Persentase Responden Menurut Frekuensi Kunjungan ke Klinik IMS dalam 3 Bulan Terakhir Gambar 24. Perbandingan Persentase Responden yang Pernah Diperiksa di Klinik IMS dalam 3 Bulan Terakhir Gambar 25. Persentase Responden yang Pernah Testing HIV dan Menerima Hasilnya Gambar 26. Perbandingan Persentase Responden yang Pernah Tes HIV Gambar 27. Perbandingan Persentase Responden yang Menerima Hasil Tes HIV xi

12 Gambar 28. Perbandingan Persentase Penasun yang Mendapatkan Jarum Steril Menurut Kota dan Sumber Jarum Steril dalam 1 minggu terakhir Gambar 29. Perbandingan Persentase Penasun yang Mendapatkan Jarum Steril Menurut Sumber Jarum Steril Gambar 30. Persentase Penasun yang Memanfaatkan Terapi Substitusi dan Detoksifikasi Setahun Terakhir Menurut Kota Gambar 31. Perbandingan Persentase Penasun yang Memanfaatkan Terapi Substitusi dan Detoksifikasi Gambar 32. Persentase Responden yang Pernah Membeli Seks dalam 1 Tahun Terakhir Gambar 33. Perbandingan Persentase Responden Menurut yang Pernah Membeli Seks dalam Setahun Terakhir Gambar 34. Persentase Responden yang Pernah Menjual Seks dalam 1 Tahun Terakhir Gambar 35. Rata-rata dan Median Jumlah Pelanggan dalam Seminggu (Penjaja Seks) dan Berapa Kali Beli Seks Setahun (Pelanggan dan Penasun) Gambar 36. Perbandingan Rata-rata Jumlah Pelanggan dalam Seminggu (Penjaja Seks) dan Berapa Kali Beli Seks dalam Setahun (Pria Risti dan Penasun) Gambar 37. Persentase Responden yang Pernah Berhubungan Seks dengan Pasangan Tidak Tetap dan Non Komersial Setahun terakhir Gambar 38. Perbandingan Persentase Responden yang Pernah Berhubungan Seks dengan Pasangan Tidak Tetap dan Non Komersial Setahun Terakhir Gambar 39. Persentase Responden yang Pernah Menggunakan Napza Suntik Gambar 40. Perbandingan Persentase Responden yang Pernah Menggunakan Napza Suntik Gambar 41. Persentase Penasun Menurut Perilaku Menyuntik Gambar 42. Rata-rata Frekuensi Menyuntik Penasun Gambar 43. Perbandingan Rata-rata Frekuensi Menyuntik Penasun Gambar 44. Persentase Responden yang Pernah Berbagi Jarum Gambar 45. Perbandingan Persentase Penasun yang Berbagi Jarum Gambar 46. Persentase Penasun menurut Frekuensi Berbagi Basah Narkoba Gambar 47. Persentase Penasun Membeli Napza secara Patungan Seminggu Terakhir Gambar 48. Persentase Responden yang Abstinen dan Setia dengan Pasangan Seks Tetapnya dalam Setahun Terakhir Gambar 49. Persentase Responden Berdasarkan Perilaku Menggunakan Kondom pada Seks Komersial Gambar 50. Perbandingan Persentase Responden Menurut Penggunaan Kondom pada Seks Komersial Terakhir Gambar 51. Perbandingan Persentase Responden yang Selalu Pakai Kondom pada Seks Komersial Seminggu Terakhir (Penjaja Seks) dan Setahun Terakhir (Pria Risti dan Penasun) Gambar 52. Persentase Responden Berdasarkan Perilaku Menggunakan Kondom pada Seks Berisiko Lainnya... 54

13 Gambar 53. Perbandingan Persentase Responden yang Pakai Kondom pada Hubungan Seks Terakhir dengan Pasangan Tidak Tetap dan Tidak Membayar/dibayar Gambar 54. Perbandingan Persentase Responden yang Selalu Pakai Kondom pada Hubungan Seks dengan Pasangan Tidak Tetap dan Tidak Membayar/dibayar Setahun Terakhir Gambar 55. Persentase Penasun Menurut Perilaku Pencegahan Penularan HIV dalam Seminggu Terakhir (Selalu pakai kondom sebulan terakhir) Gambar 56. Kecenderungan Persentase Penasun yang Berperilaku Aman dari Penularan HIV Gambar 57. Persentase Responden Menurut Gonore dan Infeksi Klamidia Gambar 58. Persentase Gonore dan Infeksi Klamidia STBP 2009 pada WPS Langsung Gambar 59. Persentase Gonore dan Infeksi Klamidia STBP 2009 pada WPS Tidak Langsung Gambar 60. Persentase Gonore dan Infeksi Klamidia STBP 2009 pada Waria Gambar 61. Persentase Gonore dan Infeksi Klamidia STBP 2009 pada Pria Risti Gambar 62. Persentase Gonore dan Infeksi Klamidia STBP 2009 pada LSL Gambar 63. Perbandingan Prevalensi Infeksi Gonore, Infeksi Klamidia dan Sifilis pada WPS Langsung Gambar 64. Perbandingan Prevalensi Gonore pada WPS Langsung menurut kota Gambar 65. Perbandingan Prevalensi Klamidia pada WPS Langsung menurut kota Gambar 66. Kecendrungan Prevalensi Gonore pada WPS Tak Langsung menurut kota Gambar 67. Kecendrungan Prevalensi Klamidia pada WPS Tak Langsung menurut kota Gambar 68. Persentase Menurut Prevalensi HIV dan Sifilis Gambar 69. Persentase HIV dan Sifilis STBP 2009 pada WPS Langsung Gambar 70. Persentase HIV dan Sifilis STBP 2009 pada WPS Tak Langsung Gambar 71. Persentase HIV dan Sifilis STBP 2009 pada Waria Gambar 72. Persentase HIV dan Sifilis STBP 2009 pada Pria Risti Gambar 73. Persentase HIV dan Sifilis STBP 2009 pada LSL Gambar 74. Persentase HIV dan Sifilis STBP 2009 pada Penasun Gambar 75. Perbandingan Prevalensi Sifilis pada WPS Langsung menurut kota Gambar 76. Kecendrungan Prevalensi Sifilis pada WPS Tak Langsung menurut kota Gambar 77. Persentase Responden Remaja Menurut Sikap Terhadap Teman yang Terinfeksi HIV Gambar 78. Persentase Responden Remaja Menurut Pengetahuan Komprehensif tentang HIV Gambar 79. Persentase Responden Remaja Menurut Perilaku Seks Gambar 80. Persentase Responden yang Pernah Berhubungan Seks Menurut Penggunaan Kondom pada Hubungan Seks Terakhir Gambar 81. Persentase Responden Remaja Menurut yang Pernah Menggunakan NAPZA xiii

14 Gambar 82. Persentase Responden Remaja Menurut yang Pernah Menerima Program Pengendalian HIV di Sekolah Tahun 2004, 2007,

15 Ringkasan Eksekutif Untuk mengetahui pola epidemi dan faktor faktor utama terkait penularan HIV, sejak tahun 1998 mulai dilaksanakan sero surveilans dan tahun 1996 mulai dilaksanakan surveilans perilaku. Pelaksanaan surveilans HIV generasi kedua di Indonesia, pada tahun 2006 dilaksanakan Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku (STHP) pada masyarakat umum di Papua dan Papua Barat, tahun 2007 STBP pada populasi berperilaku risiko tinggi di 19 Kabupaten/Kota dan SSP pada remaja di Jakarta dan Surabaya. Populasi sasaran STBP 2009 adalah populasi pria dan wanita yang berisiko tinggi terjangkit HIV. Kelompok pria yang berisiko tinggi terjangkit HIV pada umumnya adalah pelanggan penjaja seks (supir truk, tukang ojek/supir angkutan umum/supir taksi, anak buah kapal(abk)), sedangkan kelompok wanita adalah mereka yang bekerja sebagai penjaja seks. Di samping kelompok sasaran tersebut, dalam STBP 2009 akan dicakup pula kelompok lainnya yaitu pengguna napza suntik (Penasun), waria, lelaki seks lelaki (gay) dan murid sekolah (remaja). Kabupaten/kota yang terpilih pada STBP 2009 ini adalah Kota Palembang, Tangerang, Kota Yogyakarta, Samarinda, Kota Pontianak, Kota Makassar, Kota Bitung, Kota Sorong dan Kota Timika. Kabupaten/kota ini merupakan kota pengulangan dari survei sebelumnya dan perluasan area survei. Karakteristik responden yang terlibat dalam survei ini adalah median umur 28 tahun (WPS L), 27 tahun (WPS TL), 33 tahun (Pria), 27 tahun(waria), 24 tahun (LSL) dan 25 tahun(penasun). Pada kelompok pria, penasun, LSL dan waria mempunyai median umur lebih muda dibandingkan survei sebelumnya. Pada kelompok WPS L, didapatkan mayoritas berpendidikan SD, berbeda dengan kelompok WPS TL mempunyai pendidikan mayoritas adalah SMP dan SMA. Pada kelompok pria yang disurvei, mayoritas pendidikannya adalah SMA. Status perkawinan pada kelompok waria dan LSL, mayoritas tidak pernah menikah. Pada kelompok LSL, 10% di antaranya masih berstatus menikah. Pada kelompok WPS L dan WPS TL, 19% dan 29% di antaranya masih berstatus menikah. Pada pria risti, mayoritas menyatakan masih dalam status pernikahan. Pada kelompok Penasun, 71% diantaranya menyatakan belum pernah menikah. Kebanyakan umur pertama kali melakukan hubungan seks secara komersial pada umur lebih dari 15 tahun, pada kelompok WPS TL terbanyak pada kelompok tahun. Kebanyakan pria risti mulai membeli seks sejak umur tahun. Mayoritas umur seks pertama kali di bawah umur 19 tahun pada kelompok waria dan LSL. Didapatkan usia pertama kali menyuntik narkotika dimulai dari umur kurang dari 15 tahun pada kelompok penasun. Berdasarkan lima pertanyaan pengetahuan komprehensif sesuai indikator MDGs, pada kelompok WPS Langsung (79 persen), WPS tidak langsung (77 persen), LSL (80 persen), dan Penasun (84 persen). Pria Risti merupakan yang paling sedikit pernah tes HIV (9%). WPS Langsung merupakan kelompok yang paling banyak pernah tes HIV (54%), namun hanya 37% yang menerima hasilnya. LJSS dimanfaatkan terutama di Makassar (41%) dan paling sedikit dimanfaatkan oleh penasun di Pontianak (1%). Berbagai upaya untuk mengurangi risiko tertular dan menularkan HIV pernah dilakukan oleh sebagian besar Penasun seperti Menyuntik sendiri saat terakhir sebesar 26 persen. Tidak berbagi basah 40 persen, Selalu pakai kondom pada pasangan tetap 13 dan pemakaian kondom pada pasangan berisiko lainnya 19 persen. Tingkat pemakaian kondom pada seks komersial terakhir sudah cukup tinggi pada semua kelompok berisiko yang disurvei, dimana persentase tertinggi dilaporkan oleh WPS Langsung (67 persen) diikuti WPS Tidak Langsung (62%) dan yang terendah adalah kelompok penasun (29 persen). xv

16 Secara umum tingkat pengetahuan yang benar tentang cara menghindari penularan HIV pada responden remaja sudah cukup tinggi. Pengetahuan cara menghindari HIV yang tertinggi adalah tidak menggunakan jarum dan alat suntik secara bersamaan. Prevalensi Gonore dan atau infeksi Klamidia tertinggi dari kelompok berisiko yang disurvei ada pada WPS Langsung (56 persen), diikuti oleh WPS Tak Langsung (47 persen), Waria (46 persen), LSL (27 persen) dan Pria Risti (4 persen). Prevalensi HIV tertinggi hasil STBP 2009 ada pada populasi Penasun (27 persen) diikuti oleh Waria (9 persen), WPS Langsung (8 persen), LSL (7 persen), WPS Tak Langsung (3 persen) dan yang terendah adalah Pria Risti (0,8 persen). Sementara itu prevalensi Sifilis tertinggi ada pada Waria (12 persen), diikuti oleh LSL (8 persen), WPS Langsung (7 persen), Pria Risti (4 persen), WPS Tak Langsung (3 persen), dan yang terendah Penasun hanya 0,9 persen. Dengan situasi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya maka disarankan pelaksanaan STBP yang berkesinambungan sehingga dapat dilihat perbandingan tren perilaku dan biologis pada wilayah yang sama dan populasi yang sama serta dengan metode sampling yang sama. Perlu peningkatan pengetahuan kepada seluruh kelompok masyarakat berrisiko maupun populasi umum tentang pencegahan dan penularan HIV/AIDS dan IMS baik melalui media TV, radio dan lainnya ataupun pendidikan formal. Program pencegahan penularan IMS dan HIV yang terbukti dapat menghasilkan perubahan perilaku masih perlu diperkuat dan diperluas untuk meningkatkan cakupan pada populasi paling berisiko tertular/menularkan HIV. Peningkatan program penggunaan kondom seratus persen pada semua populasi yang dilakukan dengan metode yang komprehensif, integratif dan kreatif. Prevalensi IMS yang masih tinggi perlu dilakukan intervensi program yang lebih progressif terhadap seluruh populasi. Peran pendidikan dan promosi HIV baik perilaku seksual dan perilaku penggunaan napza terhadap remaja masih perlu ditingkatkan.

17 II. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seperti diketahui meskipun angka prevalensi HIV pada kelompok populasi umum di Indonesia pada umumnya < 1% kecuali di Papua dan Papua Barat prevalensi 2,4% di tahun 2006, namun pada beberapa kelompok populasi berisiko tinggi telah menunjukkan peningkatan yang signifikan sejak tahun 1990-an, terbesar pada kelompok Pengguna Napza Suntik (Penasun), WPS, dan Waria. Adanya interaksi ganda antara infeksi HIV pada kelompok Penasun dan kelompok populasi kunci lainnya, banyak memberikan kontribusi terhadap terjadinya peningkatan epidemi ganda di Indonesia pada most-at-risk-groups (MARG) khususnya antara Penasun dan industri seks komersial yang meluas. Hasil STBP tahun 2007 menunjukkan sebesar 30% Penasun pernah membeli seks dalam 1 bulan terakhir dan 3% Penasun pernah menjual seks. Walaupun persentase Penasun yang menjual seks masih rendah tetapi hal ini penting untuk diwaspadai mengingat prevalensi HIV pada Penasun yang tinggi berdasarkan STBP 2007 sebesar 52,4%. Epidemi di Papua dan Papua Barat berbeda dengan wilayah lain di Indonesia, dimana relatif tidak ada Penasun di kedua provinsi tersebut. Di Papua dan Papua Barat penularan utama adalah melalui hubungan seksual pada kelompok heteroseksual. Kebiasaan minum alkohol diduga juga menjadi salah satu faktor yang berkontribusi utama dalam penularan melalui seksual. Hal ini yang menyebabkan perbedaan pola penularan di Papua dan Papua Barat. Data data yang ada menunjukkan bahwa telah terjadi penularan pada kelompok populasi umum di beberapa wilayah di Papua dan Papua Barat. Untuk mengetahui pola epidemi dan faktor faktor utama terkait penularan HIV, sejak tahun 1998 mulai dilaksanakan sero surveilans dan tahun 1996 mulai dilaksanakan surveilans perilaku. Pelaksanaan surveilans HIV generasi kedua di Indonesia, pada tahun 2006 dilaksanakan Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku (STHP) pada masyarakat umum di Papua dan Papua Barat, tahun 2007 STBP pada populasi berperilaku risiko tinggi di 19 Kabupaten/Kota dan SSP pada remaja di Jakarta dan Surabaya. Dengan data STBP tersebut kita mendapatkan gambaran yang lengkap tentang besaran masalah yang ada, faktor faktor penyebab, pengetahuan dan seberapa jauh respon yang telah ada dan diketahui oleh masyarakat. Keberhasilan upaya pencegahan infeksi Human Immuno-deficiency Virus (HIV) bergantung pada perubahan perilaku berisiko, dari risiko tinggi ke risiko yang lebih rendah. Perubahan ini antara lain mencakup peningkatan penggunaan kondom dan pengurangan jumlah pasangan seksual di antara mereka yang aktif secara seksual, penurunan pemakaian bersama/bergantian alat/jarum suntik pada kelompok pemakai narkotika psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza Suntik), dan penundaan hubungan seksual pertama kali pada kalangan remaja. Oleh karena itu untuk dapat memberikan gambaran epidemi yang terjadi pada Kelompok Populasi Paling Berisiko dalam terjadinya epidemi HIV di Indonesia, maka perlu dilakukan Surveilans Terpadu Biologi dan Perilaku yang berkesinambungan. Dengan semakin meluasnya penyebaran HIV di banyak negara, termasuk di Indonesia, upaya pencegahan semakin mengarah pada upaya perubahan perilaku. Oleh karena itu diperlukan informasi tentang perubahan perilaku yang dapat dijadikan dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan keberhasilan program intervensi. 1

18 Kelompok Populasi Paling Berisiko yang akan dicakup dalam STBP ini adalah Wanita Penjaja Seks Langsung (WPS L), Wanita Penjaja Seks Tidak Langsung(WPS TL), Pria Berisiko (tukang ojek, supir angkutan umum kota, ABK, TKBM, buruh) (Pria), Penasun, Waria, Lelaki Seks Lelaki(LSL). Sedangkan kelompok remaja dilakukan survei untuk mendapatkan informasi pengetahuan dan sikap mereka tentang pencegahan HIV/AIDS. Pelaksanaan survei ini melibatkan Biro Pusat Statistik(BPS) sebagai pelaksana survei perilaku. Kementerian Kesehatan(kemenkes), dinas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota bertanggung jawab dalam kegiatan survei biologis. B. Metodologi 1. Umum Pada tahun 2009 ini dilakukan penelitian terhadap populasi berrisiko seperti pada tahun 2007 kecuali PNS. Populasi sasaran STBP 2009 adalah populasi pria dan wanita yang berisiko tinggi terjangkit HIV. Kelompok tersebut memungkinkan mempunyai konstribusi lebih besar terhadap penyebaran HIV dibanding kelompok masyarakat lainnya. Kelompok pria yang berisiko tinggi terjangkit HIV pada umumnya adalah pria pelanggan penjaja seks (mereka yang bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain karena bidang pekerjaan, yaitu supir truk, tukang ojek/supir angkutan umum/supir taksi, anak buah kapal(abk)), sedangkan kelompok wanita adalah mereka yang bekerja sebagai penjaja seks. Untuk pria berrisiko, disesuaikan dengan kelompok yang kemungkinan visible di kab/kota lokasi survei terpilih. Di samping kelompok sasaran tersebut, dalam STBP 2009 akan dicakup pula kelompok lainnya yaitu pengguna napza suntik (Penasun), waria, lelaki seks lelaki (gay) dan murid sekolah (remaja). Sebagaimana pada tahun 2007, pelaksanaan survei perilaku (SSP) juga akan disertai dengan pengambilan spesimen biologis responden. Secara garis besar, kegiatan SSP tahun 2009 dibedakan menjadi 3, yaitu: 1) Hanya wawancara perilaku: Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2) Wawancara dilanjutkan dengan pengambilan darah melalui vena atau perifer: Survei Terpadu HIV dan Perilaku (STHP), dan 3) Wawancara dilanjutkan dengan pengambilan darah melalui vena atau perifer serta pemeriksaan urine dan atau apusan vagina atau anus: Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP). Berdasarkan kontribusinya terhadap epidemi HIV, populasi sasaran STBP 2009 tersebut dikelompokkan menjadi: a) WPS L adalah wanita yang beroperasi secara terbuka sebagai penjaja seks komersial. b) WPS TL adalah wanita yang beroperasi secara terselubung sebagai penjaja seks komersial, yang biasanya bekerja pada bidang-bidang pekerjaan tertentu. c) Sopir truk adalah mereka yang bekerja sebagai supir truk antar kota. d) Tukang ojek/supir angkutan umum/supir taksi (Ojek/Supir) adalah mereka yang bekerja sebagai tukang ojek atau supir pada angkutan umur maupun supir taksi. e) ABK adalah mereka yang bekerja sebagai anak buah kapal barang atau muatan. f) Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) adalah mereka yang bekerja sebagai pekerja bongkar muat barang di pelabuhan laut. g) Buruh di Kalimantan Timur adalah mereka yang bekerja pada perusahaan yang menjadi jangkauan program Global Fund Round 4 (pertambangan, kehutanan, industri). Sedangkan

19 buruh di Tangerang adalah buruh yang bekerja di perusahaan industri yang tidak tinggal bersama keluarganya/pasangan seksnya. h) Remaja merupakan murid kelas III SLTA di Kota Tangerang, Kota Yogyakarta, Kota Pontianak dan Kota Samarinda. 2. Wilayah Survei Responden akan diambil dari kelompok-kelompok sasaran yang tinggal dan bekerja di kota terpilih. Kota dengan individu-individu berjumlah besar dipilih untuk memberikan gambaran nasional tentang distribusi perilaku berisiko di seluruh kepulauan Indonesia, yang menyebar lebih dari km dari timur ke barat. Wilayah survei yang dicakup dalam STBP 2009 yang dirinci menurut jenis informasi dan kelompok sasaran disajikan dalam Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel Ukuran Sampel Ukuran sampel dalam setiap kelompok sasaran dirancang untuk menggambarkan ciri-ciri perilaku setiap kelompok sasaran dan diharapkan dapat mengukur perubahan perilaku pada survei berikutnya. Pada kelompok berisiko tinggi, besarnya sampel yang memadai untuk interpretasi perubahan adalah sebesar 400 responden. Apabila sampel sebesar 400 responden tidak memungkinkan, maka sampel sebesar responden masih dapat memadai dari sisi kecukupan sampel. Dalam pelaksanaan STBP 2009, besarnya sampel (responden) di setiap kelompok sasaran populasi berisiko HIV dan wilayah survei dapat dilihat dalam Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3. 3

20 Tabel 1. Besarnya Responden WPS L dan WPS TL menurut Lokasi Survei dan Kelompok Sasaran Provinsi Kabupaten/ Kota Kelompok Sasaran WPS L WPS TL Sumatera Selatan Kota Palembang 250/B 200/B Banten Tangerang & Sekitarnya 250/B 200/B Di Yogyakarta Kota Yogyakarta 250/B 200/B Kalimantan Timur Samarinda & Sekitarnya 250/B 200/B Kalimantan Barat Kota Pontianak & Sekitarnya 250/B 200/B Sulawesi Selatan Kota Makassar 250/B 200/B Sulawesi Utara Kota Bitung & Sekitarnya 250/B 200/B Irian Jaya Barat Kota Sorong 250/B 200/B Papua Kota Timika 250/B 200/B Perilaku * S: Survei Surveilans Perilaku H: Survei Terpadu HIV dan Perilaku B: Survei Terpadu Biologis dan Tabel 2 Besarnya Responden Pria Risti menurut Lokasi Survei dan Kelompok Sasaran Provinsi Kabupaten/ Kota Sopir Truk Kelompok Sasaran Pria Risti Buruh TKBM ABK Ojek/ Supir Sumatera Selatan Kota Palembang 200/S 200/S Banten Tangerang & Sekitarnya 200/S 200/S Di Yogyakarta Kota Yogyakarta 400/S Kalimantan Timur Samarinda & Sekitarnya 400/H Kalimantan Barat Kota Pontianak & Sekitarnya 200/B 200/B Sulawesi Selatan Sulawesi Utara Kota Makassar Kota Bitung & Sekitarnya 200/H 200/B Irian Jaya Barat Kota Sorong 200/S 200/S Papua Kota Timika 200/B * S: Survei Surveilans Perilaku H: Survei Terpadu HIV dan Perilaku B: Survei Terpadu Biologis dan Perilaku

21 Tabel 3 Besarnya Responden waria, LSL, Penasun, Remaja menurut Lokasi Survei dan Kelompok Sasaran Provinsi Kabupaten/Kota Kelompok Sasaran Waria LSL Penasun Remaja Sumatera Selatan Kota Palembang 200/B Banten Tangerang 200/ B 200/H 1.000/S DI Yogyakarta Kota Yogyakarta 200/ B 200/H 1.000/S Kalimantan Timur Kota Samarinda 200/B 1.000/S Kalimantan Barat Kota Pontianak & Sekitarnya 200/B 200/H 1.000/S Sulawesi Selatan Kota Makassar 200/B 200/ B 200/H 1.000/S Sulawesi Utara Irian Jaya Barat Papua Kota Bitung Kota Sorong Kota Timika * S: Survei Surveilans Perilaku H: Survei Terpadu HIV dan Perilaku B: Survei Terpadu Biologis dan Perilaku 4. Kerangka Sampel Dalam STBP 2009, sebelum penarikan sampel dilakukan, populasi yang akan di survei harus diketahui terlebih dahulu. Populasi merupakan agregat individu yang diteliti dan dapat dibentuk sebagai kerangka sampel untuk menentukan kelompok sasaran survei. Kelompok sasaran STBP seperti yang dijelaskan di atas pada umumnya merupakan kelompok populasi yang tidak mudah dijangkau. Kesulitan menjangkau kelompok populasi antara lain disebabkan oleh aspek aksesibilitas dan mobilitas kelompok tersebut. Kesulitan aksesibilitas umumnya terjadi pada kelompok populasi tertentu, sehingga tidak semua orang dapat dengan mudah menjangkau populasi tersebut apalagi dalam kaitannya dengan kegiatan survei. Tingginya tingkat mobilitas, yaitu perpindahan kelompok sasaran dari satu tempat ke tempat lain, menyebabkan tidak mudahnya untuk menemukan atau menetapkan populasi kelompok sasaran. Kerangka sampel yang akan digunakan untuk pemilihan primary sampling unit (PSU) dalam STBP 2009 dibedakan menurut kelompok sasaran seperti berikut: a. Kerangka Sampel WPS L Kerangka sampel untuk WPS L adalah daftar lokasi WPS L yang dilengkapi dengan banyaknya populasi dalam setiap lokasi, diperoleh dari hasil inventarisasi dan penelusuran lapangan yang merupakan kegiatan pendaftaran (listing). Listing ini digunakan untuk membuat daftar rumah bordil dan jalanan di mana WPS bertransaksi dan mencatat jumlah WPS yang bekerja pada masing-masing lokasi tersebut yang akan menghasilkan kerangka penarikan sampel WPS L, yaitu berupa daftar nama dan alamat jalanan lokasi tempat mereka mangkal, rumah bordil, hotel, atau panti pijat. 5

22 b. Kerangka Sampel WPS TL Kerangka sampel untuk WPS TL adalah daftar lokasi WPS TL yang dilengkapi dengan banyaknya populasi dalam setiap lokasi. Data populasi diperoleh dari hasil inventarisasi dan penelusuran lapangan pada saat kegiatan pendaftaran (listing). Kegiatan ini dimaksudkan untuk membuat daftar panti pijat, bar karaoke, bar, restoran dan hotel dimana para pekerja wanita menyediakan pelayanan seks sebagai bagian dari pekerjaan mereka yang selanjutnya akan menghasilkan kerangka penarikan sampel WPS TL, yaitu berupa daftar nama dan alamat panti pijat, bar-karaoke, bar, restoran dan hotel. c. Kerangka Sampel Sopir Truk Kerangka sampel untuk sopir truk adalah daftar lokasi para sopir truk antar kota yang mangkal dan dilengkapi dengan rentang waktu para sopir tersebut biasaya mangkal dalam setiap lokasi. Data tersebut diperoleh dari hasil inventarisasi dan penelusuran lapangan pada saat pendaftaran (listing). d. Kerangka Sampel ABK Kerangka sampel untuk ABK adalah daftar lokasi para ABK di pelabuhan laut yang dilengkapi dengan banyaknya populasi ABK dalam setiap lokasi. Data ABK diperoleh dari hasil inventarisasi dan penelusuran lapangan pada saat pendaftaran (listing). e. Kerangka Sampel TKBM Kerangka sampel untuk TKBM adalah daftar lokasi para tenaga kerja bongkar muat di pelabuhan laut (di tempat pendaratan perahu/kapal) yang dilengkapi dengan banyaknya populasi TKBM dalam setiap lokasi. Data TKBM diperoleh dari hasil inventarisasi dan penelusuran lapangan pada saat pendaftaran (listing). f. Kerangka Sampel Tukang Ojek/Sopir Angkutan Umum Kerangka sampel untuk tukang ojek/sopir angkutan umum /sopir taksi adalah daftar lokasi para tukang ojek dan sopir angkutan umum mangkal, menunggu penumpang, yang dilengkapi dengan banyaknya populasinya dalam setiap lokasi. Data jumlah tukang ojek /sopir angkutan umum diperoleh dari hasil inventarisasi dan penelusuran lapangan pada saat pendaftaran (listing). g. Kerangka Sampel Waria Kerangka sampel untuk waria adalah daftar lokasi waria yang menjadi penjaja seks yang dilengkapi dengan perkiraan banyaknya populasi waria dalam setiap lokasi. Data tersebut diperoleh dari hasil inventarisasi dan penelusuran lapangan pada saat pendaftaran (listing). h. Kerangka Sampel Remaja Kerangka sampel adalah daftar nama SLTA beserta alamatnya yang berada di kota terpilih. Dalam daftar SLTA ini, setiap sekolah dirinci menurut banyaknya murid di setiap kelas 3 yang dibedakan menurut jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Daftar sekolah ini diperoleh dari Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi di setiap kota terpilih. Agar sampel menyebar keseluruh wilayah, maka dalam kerangka sampel, SLTA disusun menurut urutan kode letak geografis wilayah administrasi dalam kota terpilih.

23 Untuk kelompok LSL dan Penasun dijelaskan dalam bagian tersendiri karena menggunakan metode sampling RDS. 5. Pembentukan Kerangka Sampel Dari hasil SSP/STBP sebelumnya telah diperoleh informasi lokasi dan populasi untuk setiap kelompok sasaran di setiap kabupaten/kota lokasi STBP 2009 yang pernah dilakukan kegiatan SSP/STBP sebelumnya. Informasi ini dapat digunakan sebagai informasi awal dan perlu diperbaharui dengan informasi dari Kantor Dinas terkait di setiap Kabupaten/Kota terpilih. Data yang dibutuhkan antara lain: - Data lokalisasi, bordil atau data lain yang berkaitan dengan wanita penjaja seks dari Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, ataupun LSM setempat. Selain itu bisa juga digunakan informasi RTI (Reproductive Track Infection) studi yang dilaksanakan pada tahun 2007 di 7 kota. - Data panti pijat, bar, karaoke, hotel, losmen, wisma dan sejenisnya dari Dinas Pariwisata setempat dan sumber non-formal. Selain itu bisa juga digunakan informasi RTI (Reproductive Track Infection) studi yang dilaksanakan pada tahun 2007 di 7 kota. - Data ABK yang didapat dari Administrator Pelabuhan atau LSM pendamping. - Data tempat pangkalan truk dari berbagai sumber non-formal atau LSM pendamping. - Data tempat mangkal tukang ojek dan sopir angkutan umum dari berbagai sumber baik formal mupun non-formal atau LSM pendamping. - Data TKBM dari sumber formal dan informal atau LSM pendamping. - Data-data atau informasi lain baik dari sumber formal maupun non formal yang dapat digunakan dalam pembentukan kerangka sampel, seperti dari media elektronik dan media cetak, serta dari kelompok masyarakat pemerhati masalah HIV/AIDS seperti Lembaga Swadaya Masyarakat atau yayasan yang berkecimpung dalam intervensi masalah HIV/AIDS 6. Metode Sampling Kelompok Pengguna Napza Suntik (Penasun) dan LSL a. Umum Kelompok pengguna napza suntik (Penasun) atau injecting drugs user (idu) adalah sebuah populasi yang tersembunyi yang sangat sulit dijangkau, berkenaan dengan kriminalisasi dari perilaku yang mencirikan kelompok ini. Dengan kata lain, kelompok yang sangat sulit dijangkau karena sifatnya yang tersembunyi. Metode sampling yang sering digunakan seperti cluster sampling tidak dapat digunakan pada pemilihan sampel kelompok Penasun karena tidak tersedia kerangka sampel bagi kelompok tersebut. Ciri yang hampir sama dengan Penasun adalah juga diperlihatkan pada kelompok LSL, sehingga untuk kelompok ini juga agak sulit untuk menerapkan metode cluster sampling. Douglas D. Heckathorn, Ph.D, Profesor Sosiologi dari Cornell University, pada tahun 1997 telah mengembangkan suatu metode untuk memilih sampel kelompok yang sulit dijangkau yaitu Respondent Driven Sampling (RDS). Metode RDS ini merupakan bagian dari Chain Referral Sampling (CRS) seperti halnya Snowball Sampling dan Network Sampling. Keunggulan dari metode RDS adalah sampel yang didapat merupakan sampel yang berpeluang (probability sample) sehingga dapat dilakukan analisis secara statistik termasuk penghitungan standard error. 7

24 Metode RDS ini digunakan untuk menangkap informasi dari kelompok yang sulit dijangkau atau populasi tersembunyi karena perilakunya yang berisiko (sehingga mereka menyembunyikan diri atau mengkamuflase diri seperti populasi umum). Yang dimaksud perilaku berisiko adalah perilaku yang tidak umum dilakukan dan mengandung risiko, antara lain LSL atau penasun. b. Metode RDS Respondent driven sampling (RDS) adalah sebuah teknik sampling secara jemput bola (snowball) berdasarkan pada kuota perekrutan (yang menghindari perekrutan keseluruhan sampel dari sejumlah individu yang terbatas) dan insentif rangkap untuk memotivasi perekrut dan yang direkrut. Seed yang mendasari gelombang nol akan merekrut mereka yang membentuk gelombang perekrutan pertama (dan seterusnya). Dalam teori, kehomogenan sampel bisa dicapai sesudah paling tidak 3 gelombang perekrutan. RDS berawal dari sejumlah kecil peserta yang dipilih secara purposif yang biasanya disebut seed, yang seharusnya dipilih seheterogen mungkin untuk memastikan bahwa sembarang anggota kelompok kemungkinan besar untuk direkrut. Untuk memberikan akses kepada seluruh peserta, penting untuk dipastikan bahwa klinik akan tetap buka pada akhir pekan. Jam buka adalah dari jam 12 siang sampai dengan jam 9 malam bagi LSL untuk menjamin akses kepada LSL yang bekerja. c. Pemilihan SEED Target Penasun dan LSL yang diberikan kupon pertama kali (selanjutnya disebut seed) adalah sekitar 8 orang. Seed yang direkrut adalah orang yang dapat memotivasi orang lain untuk ikut dalam program dan mereka harus mendukung tujuan dari program ini. Di samping itu seed ini diusahakan berasal dari orang dengan karakteristik yang beragam, karakteristik tersebut misalnya umur, jenis kelamin, wilayah tempat tinggal, status sosial dan ekonomi, dan sebagainya. Pada awalnya dipilih sebanyak 8 seed namun bila dalam tenggat waktu survei sampel size belum terpenuhi bisa ditambahkan beberapa seed lagi. Seed akan dipilih oleh staf LSM yang menyediakan pelayanan kepada kelompok sasaran. Seed tersebut seharusnya dikenal baik dan diterima luas oleh kalangan mereka. Selain itu juga diharapkan bahwa yang dipilih adalah orang yang dapat memotivasi orang lain untuk ikut dalam program dan mereka harus mendukung tujuan dari program ini. Umumnya diusulkan kepada para anggota pekerja dari target populasi untuk bertindak sebagai seed. Dalam survei ini, 8 seed yang akan diberi kupon pertama kali akan dipilih di masing-masing lokasi. Setiap seed akan diminta untuk merekrut 3 Penasun dan LSL, sehingga para seed ini akan diberikan 3 kupon untuk diberikan kepada teman-teman sekomunitasnya sesama Penasun dan LSL yang berkenan untuk direkrut. C. Cara Penyajian Laporan ini dibuat berdasarkan petunjuk pelaksanaan survei tahun 2009, hasil survei perilaku dan hasil biologis. Pembahasan dibagi berdasarkan karakteristik, pengetahuan, perilaku risiko, perilaku pencegahan, cakupan layanan, hasil remaja dan hasil biologisnya. Kemudian pada setiap pembahasan dibuat juga perbandingan dengan hasil survei sebelumnya yaitu BSS 2002, BSS 2004, IBBS 2007 serta hasil RTI 2003, RTI 2005 dan RTI Pada lampiran disampaikan pula indikator-indikator yang penting per populasi dan per wilayah. Beberapa indikator telah dibahas di dalam pembahasan.

25 III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Survei 1. Jumlah responden Pelaksanaan survei 2009 dilakukan pada bulan Desember 2009 sampai dengan Januari Sesuai dengan perencanaan kegiatan ini melibatkan 9 provins dan 9 kabupaten/kota dan melibatkan responden. Tabel 4 Perencanaan dan Realisasi Responden WPS L, WPS TL dan Pria Risti Pelaksanaan STBP 2009 Kabupaten/Kota WPS L WPS TL Pria Risti Rencana Real Rencana Real Rencana Real Kota Palembang Tangerang & Sekitarnya Kota Yogyakarta Samarinda & Sekitarnya Kota Pontianak & Sekitarnya Kota Makassar Kota Bitung & Sekitarnya Kota Sorong Kota Timika Total Implementasi pelaksanaan survey pada kelompok WPS L dan Pria Risti dapat berjalan sesuai dengan perencanaan. Pada kelompok WPS TL mengalami hambatan pada Kota Palembang dan Kota Tangerang, dikarenakan keterbatasan dalam jumlah sampel yang ada pada saat pelaksanaan seperti terlihat pada Tabel 4. 9

26 Tabel 5. Perencanaan dan Realisasi Responden Waria, LSL dan Penasun Pelaksanaan STBP 2009 Kabupaten/Kota Waria LSL Penasun Rencana Real Rencana Real Rencana Real Kota Palembang Tangerang & Sekitarnya Kota Yogyakarta Samarinda & Sekitarnya Kota Pontianak & Sekitarnya Kota Makassar Total Pada Tabel 5, kelompok waria terjadi pembatalan pelaksanaan di Kota Samarinda dikarenakan keterbatasan waktu dan kesalahan teknis. Waria di Kota Palembang mengalami kekurangan sampel terjadi karena permasalahan teknis di lapangan. Untuk Penasun di Kota Tangerang, mengalami hambatan dengan jumlah penasun walaupun menggunakan metode RDS dalam pengambilan sampelnya. Tabel 6. Perencanaan dan Realisasi Responden Remaja Pelaksanaan STBP 2009 Remaja Kabupaten/Kota Rencana Real Tangerang & Sekitarnya Kota Yogyakarta Samarinda & Sekitarnya Kota Pontianak & Sekitarnya Kota Makassar Total Pelaksanaan survei pada kelompok remaja terjadi pembatalan di Kota Kota Makassar dikarenakan keterbatasan waktu dan kesalahan teknis. Pelaksanaan survei pada remaja hanya pada 4 kota yaitu Kota Tangerang, Kota Yogyakarta, Kota Samarinda dan Kota Pontianak. Lihat pada Tabel 6. Pada metode dijelaskan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan ini terdapat 3 jenis survei yaitu Survei Surveilans Perilaku, Survei Terpadu HIV dan Perilaku dan Survei Terpadu Biologis dan Perilaku. Pada pelaksanaannya dihasilkan responden pada setiap jenis survei seperti pada Tabel 7 berikut.

27 Tabel 7 Jenis Pelaksanaan Survei berdasarkan Jumlah Responden WPS L WPS TL Pria Risti Waria LSL Penasun Remaja Total SSP 1,608 3,998 5,606 STHP ,481 STBP 2,193 1, ,300 Kelompok WPS L, WPS TL, waria serta LSL dilakukan STBP yaitu melakukan survey perilaku diikuti dengan pengambilan darah serta pengambilan specimen melalui vagina untuk WPS, anal dan uretral pada Waria dan LSL. Pada Pelanggan pengambilan biologis lengkap hanya dilakukan di kota Pontianak. 2. Wilayah pelaksanaan survei dibandingkan dengan survei sebelumnya Pelaksanaan survey sebelumnya, WPS L dan WPS TL serta Pria dilakukan adalah Kota Sorong, di mana mendapatkan survey sejak tahun 2002, 2004 dan Kota Makassar, Kota Bitung dan Kota Palembang dilakukan survey pada tahun 2002 dan Tabel 8 Keterwakilan Kota dan Pelaksanan Survei Sebelumnya Kota/Kabupaten WPS L WPS TL Pria Risti Kota Palembang Waria LSL Penasun Remaja Kota Tangerang Kota Yogyakarta Samarinda Kota Pontianak Kota Makassar Kota Bitung Kota Sorong Kota Timika Pada Waria, hanya kota Makassar yang telah dilakukan survey sebelumnya pada tahun 2002 dan Pada table di atas, angka 1 artinya adalah Kota yang mendapatkan survei pertama kali. Artinya, LSL, Penasun dan remaja seluruh area adalah area pertama kali diimplementasikan survei ini. Ini penting diperhatikan karena pada saat melihat kecendrungan dari tahun ke tahun. 11

28 B. Karakteristik Populasi Pada karakteristik populasi di sini adalah karakteristik kelompok berrisiko, sedangkan remaja dimuat dalam bagian tersendiri. Karakteristik yang akan dibahas dalam bagian ini adalah umur responden, umur pertama kali berperilaku risiko, tingkat pendidikan, status perkawinan, status pekerjaan dan status tinggal. 1. Umur Responden Pada Gambar 1. Karakteristik menurut Umur Responden, didapatkan bahwa karakteristik umur responden pada WPS L, WPS TL, Pria dan waria paling banyak terdistribusi pada kelompok lebih dari 30 tahun. Ini perlu dipertimbangkan karena risiko prevalensi HIV tergantung dengan umur. Median umur pada masing-masing kelompok adalah 28 tahun (WPS L), 27 tahun (WPS TL), 33 tahun (Pria), 27 tahun(waria), 24 tahun (LSL) dan 25 tahun(penasun). Gambar 1. Karakteristik menurut Umur Responden Apabila dilihat survei sebelumnya, pada kelompok WPS L terdapat persamaan dengan survei tahun WPS TL lebih tua pada tahun 2009 dibanding tahun sebelumnya. Pada kelompok pria, penasun, LSL dan waria mempunyai median umur lebih muda dibandingkan survei sebelumnya. Lihat gambar di bawah ini.

29 Gambar 2. Perbandingan Umur Responden dengan Survei Sebelumnya 2. Pendidikan Tingkat pendidikan ini perlu diperhatikan terutama dalam hal melakukan pendekatan untuk menyampaikan informasi maupun bentuk medianya. Pada kelompok WPS L, didapatkan mayoritas berpendidikan SD, berbeda dengan kelompok WPS TL mempunyai pendidikan mayoritas adalah SMP dan SMA. Pada kelompok pria yang disurvei, mayoritas pendidikannya adalah SMA. Ini terjadi juga pada kelompok waria, LSL dan penasun. Pendidikan tertinggi berupa Akademi/PT tertinggi adalah pada kelompok LSL dan Penasun. Gambar 3. Tingkat Pendidikan Perbandingan pendidikan dari tahun ke tahun pada kelompok WPS L tidak terdapat perbedaan yang mencolok, tetapi terdapat peningkatan tingkat pendidikan pada kelompok SMP dan SMA. 13

30 Gambar 4. Tingkat Pendidikan Dibandingkan dengan Survei Sebelumnya untuk WPS L Pendidikan pada WPS TL juga mengalami penurunan pada kelompok SD dan mengalami peningkatan pada kelompok SMA. Gambar 5. Tingkat Pendidikan Dibandingkan dengan Survei Sebelumnya untuk WPS TL 3. Status Pernikahan Status perkawinan perlu dipertimbangkan terkait dengan interaksi ganda antara kelompok berrisiko dengan populasi umum. Lihat pada Gambar 6..

31 Gambar 6. Persentase menurut Status Pernikahan Status perkawinan pada kelompok waria dan LSL, mayoritas tidak pernah menikah. Menikah di sini adalah pernikahan dengan lawan jenis. Pada kelompok LSL, 10% di antaranya masih berstatus menikah. Pada kelompok WPS L dan WPS TL, 19% dan 29% di antaranya masih berstatus menikah, walaupun mayoritas menyatakan pernah menikah. Pada pria risti, mayoritas menyatakan masih dalam status pernikahan. Pada kelompok Penasun, 71% diantaranya menyatakan belum pernah menikah. Pada tahun 2007, WPS L yang menikah adalah 10%, WPS TL 22%, Waria 7%, Pria 68%, LSL 15% dan penasun 27%. Artinya pada tahun 2009, kelompok WPS L, WPS TL dan Pria yang menikah persentasenya lebih banyak, sedangkan kelompok berrisiko lainnya lebih rendah. 4. Sumber Pendapatan Utama Pada kelompok waria, LSL dan penasun perlu dipertanyakan tentang pekerjaan mereka. Pada survei terdahulu didapatkan bahwa orang yang bekerja mempunyai posisi tawar yang lebih baik pada saat negosiasi penggunaan kondom maupun dalam rangka ketersediaan jarum suntik steril. Pada kelompok LSL, pekerjaan terbanyak adalah karyawan (43%) diikuti dengan pekerjaan bebas(17%). Pada kelompok Waria, pekerjaan terbanyak adalah salon (64%). Pada kelompok penasun, 57% di antaranya adalah pekerja bebas. Pada ketiga kelompok ternyata terdapat kelompok yang mendapatkan penghasilan sebagai uang saku sebagai pelajar terutama pada kelompok Penasun. Lihat pada Gambar 7. 15

32 Gambar 7. Persentase berdasar Sumber Pendapatan Utama 5. Status tinggal Status tinggal pada kelompok WPS L terbanyak berada di lokalisasi(58%), sedangkan pada kelompok WPS TL lebih banyak(25%) tinggal bersama teman mereka. Untuk itu, perlu pendekatan terhadap tempat tinggal mereka untuk mencakup seluruh populasi WPS L maupun WPS TL. Pada kelompok WPS L dan WPS TL terdapat 11% dan 15% masih tinggal bersama suami mereka. Gambar 8. Persentase menurut Status Tinggal WPS L dan WPS TL Pada Gambar 9., kelompok Pria, mayoritas (67%) tinggal bersama istri mereka. Waria juga banyak yang tinggal bersama keluarga mereka (44%). Pada LSL, banyak yang tinggal bersama keluarga mereka tetapi banyak (25%) juga tinggal bersama dengan istri mereka. Waria dan LSL

33 yang tinggal bersama pasangan lelaki mereka hanya sebesar 3%. Kelompok penasun, masih banyak(67%) yang tinggal bersama keluarga mereka, karena dari mayoritas menyatakan belum pernah menikah. Gambar 9. Persentase menurut Status Tinggal Pria Risti, Waria, LSL dan Penasun 6. Umur Pertama Kali Berperilaku Risiko Umur pertama kali berperilaku risiko menjadi salah satu risiko terjadinya HIV. Perilaku berrisiko untuk WPSL dan WPSTL adalah umur pertama kali melakukan hubungan seks secara komersial. Pada Gambar 10., didapatkan bahwa kebanyakan umur pertama kali melakukan hubungan seks secara komersial pada umur lebih dari 15 tahun, pada kelompok WPS TL terbanyak pada kelompok tahun di mana merupakan usia pendidikan untuk SLTA. Pria risti, juga dikatakan berisiko bila mempunyai hubungan seks dengan penjaja seks. Kebanyakan mereka mulai membeli seks sejak umur tahun. Untuk kelompok Waria dan LSL, dikatakan umur berrisiko apabila mereka melakukan hubungan seks pertama kali, karena hubungan seks pada waria dan LSL merupakan kegiatan seksual berisiko sehingga pertama kali hubungan ses merupakan umur berisiko. Mayoritas umur seks pertama kali di bawah umur 19 tahun. Pada kelompok penasun di 4 kota tersebut. Didapatkan usia pertama kali menyuntik narkotika dimulai dari umur kurang dari 15 tahun. Untuk itu, perlu kegiatan yang kondusif dilakukan pada kelompok SD maupun SMP tentang penggunaan narkoba. 17

34 Gambar 10. Persentase menurut Umur Pertama Kali Berperilaku Berrisiko Bila dibandingkan dengan hasil STBP 2007, pada penasun mayoritas memulai perilaku berrisiko mayoritas pada kelompok umur tahun, sedangkan pada STBP ini, mayoritas adalah umur kurang dari 15 tahun. Pada kelompok Waria pada tahun 2007, banyak dimulai pada umur pertama kali melakukan kegiatan berrisiko pada umur lebih dari 15 tahun, sedangkan STBP 2009 banyak di bawah umur 15 tahun. C. Tingkat Pengetahuan dan Persepsi Pada bagian ini membahas tingkat pengetahuan dan persepsi masing-masing kelompok berrisiko meliputi sumber informasi, pengetahuan penularan dan cara pencegahan, pemahaman yang kelru dan persepsi berrisiko. Pada bagian sumber infomasi dibahas dari mana sumber informasi untuk mengetahui HIV dan cara pencegahannya. Penularan dan cara pencegahan akan membahas mengenai pengetahuan tentang HIV berdasarkan indikator MDG. Untuk pemahaman yang keliru dilihat kesalahpahaman kelompok risti terhadap pengetahuan yang mereka punya. Pada bagian terakhir dibahas mengenai persepsi mereka tentang risiko mereka terkait dengan perilaku yang mereka kerjakan. 1. Sumber Informasi Sebagian besar responden sudah pernah mendapatkan informasi tentang HIV dan AIDS. Sumber informasi yang ditanyakan adalah radio, TV, koran, poster, petugas kesehatan, petugas lapangan (PL), teman sebaya dan konselor. Sumber informasi yang paling banyak disebutkan oleh semua kelompok adalah dari TV yaitu WPS Langsung (71 persen), WPS Tidak Langsung (79 persen), LSL (83 persen), Waria (78 persen), Pria Risti (93 persen), dan Penasun (88 persen). Konselor adalah salah satu sumber informasi yang paling sedikit disebutkan oleh WPS Langsung (27 persen), WPS Tidak Langsung (12 persen), LSL (25 persen), Waria (27 persen), Pria Risti (6 persen), dan Penasun (35 persen). Seperti terlihat pada

35 Tabel 9. 19

36 Tabel 9 Persentase Responden Menurut Sumber Informasi tentang HIV- AIDS Kelompok Radio TV Koran Poster Petugas Kesehatan PL Teman Sebaya WPS L WPS TL LSL Waria Pria Risti Penasun Konselor Ada beberapa yang pertanyaan yang selalu ditanyakan dalam survey tahun 2007 yaitu sumber informasi tentang HIV dan AIDS. Dari tahun ke tahun sumber informasi yang paling banyak disebutkan WPS Langsung berubah, pada tahun 2007 disebutkan Petugas Kesehatan (81 persen dan pada tahun 2009 menjadi TV (71 persen), tetapi WPS Tidak Langsung selalu mendapatkan informasi paling banyak dari TV. Secara umum persentase sumber informasi dari segala media menurun dari tahun ke tahun. Tabel 10. Perbandingan Persentase Responden Menurut Sumber Informasi melalui Media tentang HIV dan AIDS Kelompok Radio TV Koran Poster WPS L WPS TL LSL Waria Pria Risti Penasun

37 P ers en Tabel 11. Perbandingan Persentase Responden Menurut Sumber Informasi melalui petugas tentang HIV dan AIDS Kelompok Petugas Kesehatan Petugas Lapangan Teman Sebaya Konselor WPS L WPS TL LSL Waria Pria Risti Penasun Pengetahuan Cara Penularan dan Pencegahan HIV Berdasarkan indikator MDGs, pengetahuan komprehensif didasarkan atas 5 pertanyaan, yaitu: (tahu bahwa (1) saling setia dan (2) menggunakan kondom dapat mencegah penularan HIV, tahu bahwa (3) gigitan nyamuk dan (4) menggunakan alat makan bersama tidak menularkan HIV, serta tahu (5) orang yang terlihat sehat bisa saja sudah terinfeksi HIV). Semua pertanyaan tersebut harus dijawab dengan benar oleh responden sehingga responden dikategorikan cukup memahami cara penularan dan pencegahan HIV. Gambar 11. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Komprehensif WP S L WP S T L Waria P ria R is ti L S L P enas un Hasil STBP 2009 menunjukkan kelompok LSL memiliki pengetahuan komprehensif yang paling tinggi (77 persen) dan yang paling rendah adalah kelompok WPS TL (11 persen). 21

38 Gambar 12. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Komprehensif berdasarkan lima pertanyaan indicator MDGs S etia WP S L WP S T L Waria P Menggunakan ria L S K L ondom P enas un G igitan Nyamuk Menggunakan Alat Makan/Minum T ahu ODHA dengan Melihat Berdasarkan lima pertanyaan pengetahuan komprehensif sesuai indikator MDGs, didapat hasil bahwa pada kelompok WPS Langsung (79 persen), WPS tidak langsung (77 persen), LSL (80 persen), dan Penasun (84 persen), pengetahuan tentang HIV dapat dicegah dengan menggunakan kondom adalah yang paling tinggi. Sedangkan pada kelompok Waria (86 persen) dan Pelanggan (88 persen), pengetahuan tentang mendeteksi ODHA tidak hanya dengan melihatnya saja adalah yang paling tinggi. Selain itu pada kelompok penasun (84 persen), pengetahuan tentang HIV dapat dicegah dengan saling setia pada satu pasangan juga paling tinggi. Ada lima pertanyaan yang selalu ditanyakan dalam survey tahun 2002, 2004, 2007, dan 2009 untuk menggambarkan perbandingan persentase responden menurut pengetahuan komprehensif berdasarkan lima pertanyaan indicator MDGs.

39 Tabel 12. Perbandingan Persentase Responden WPS L dan WPS TL menurut Pengetahuan Komprehensif berdasarkan Lima Pertanyaan Indicator MDGs Pengetahuan Persentase responden yang mengetahui HIV dapat dicegah dengan saling setia dengan 1 pasangan Persentase responden yang mengetahui HIV dapat dicegah dengan memakai kondom Persentase responden yang mengetahui HIV tidak dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk/serangga Persentase responden yang mengetahui HIV tidak ditularkan dengan cara menggunakan alat makan/minum secara bersama dengan ODHA Persentase responden yang mengetahui ODHA tidak bisa dideteksi hanya dengan melihat saja WPS L WPS TL Persentase WPS Langsung, WPS tidak langsung, Waria, dan Pria Risti yang mengetahui HIV dapat dicegah dengan saling setia dengan 1 pasangan terus meningkat dalam kurun waktu dan menurun pada tahun Sedangkan persentase pada LSL terus menurun dari waktu ke waktu. Kemudian, persentase WPS Langsung dan Pria Risti yang mengetahui HIV dapat dicegah dengan memakai kondom terus meningkat dalam kurun waktu dan menurun di tahun Sedangkan persentase Waria, LSL, dan Penasun terus menurun. Akan tetapi, persentase pada WPS TL relative sama dengan hasil survey sebelumnya. 23

40 Tabel 13 Perbandingan Persentase Responden Waria dan Pria Risti menurut Pengetahuan Komprehensif berdasarkan Lima Pertanyaan Indicator MDGs Pengetahuan Persentase responden yang mengetahui HIV dapat dicegah dengan saling setia dengan 1 pasangan Persentase responden yang mengetahui HIV dapat dicegah dengan memakai kondom Persentase responden yang mengetahui HIV tidak dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk/serangga Persentase responden yang mengetahui HIV tidak ditularkan dengan cara menggunakan alat makan/minum secara bersama dengan ODHA Persentase responden yang mengetahui ODHA tidak bisa dideteksi hanya dengan melihat saja Waria Pria Risti Persentase WPS L, WPS TL, Waria, dan LSL yang mengetahui HIV tidak dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk atau serangga terus menurun dari waktu ke waktu. Sedangkan persentase pada Pria Risti terus meningkat. Serta persentase pada Penasun naik dari tahun 2004 ke 2007 dan menurun pada tahun Persentase WPS L, WPS TL, Waria, dan LSL yang mengetahui HIV tidak ditularkan dengan cara menggunakan alat makan/minum secara bersama dengan ODHA terus menurun dari waktu ke waktu. Akan tetapi, persentase pada Pria Risti terus meningkat. Sedangkan persentase pada penasun naik dari tahun 2004 ke 2007 dan menurun pada tahun 2009.

41 Tabel 14 Perbandingan Persentase Responden LSL dan Penasun Menurut Pengetahuan Komprehensif berdasarkan lima pertanyaan indicator MDGs Pengetahuan Persentase responden yang mengetahui HIV dapat dicegah dengan saling setia dengan 1 pasangan Persentase responden yang mengetahui HIV dapat dicegah dengan memakai kondom Persentase responden yang mengetahui HIV tidak dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk/serangga Persentase responden yang mengetahui HIV tidak ditularkan dengan cara menggunakan alat makan/minum secara bersama dengan ODHA Persentase responden yang mengetahui ODHA tidak bisa dideteksi hanya dengan melihat saja LSL Penasun TT TT Persentase responden yang mengetahui ODHA tidak bisa dideteksi hanya dengan melihat saja terus menurut kecuali pada kelompok Pria Risti terus meningkat. Pada Tabel 15, dapat dilihat pengetahuan responden menurut pengetahuan cara penularan HIV yaitu melalui jarum suntik dan penularan dari ibu ke anak. Pada tahun 2009, pertanyaan tentang penularan ibu ke anak pada kelompok waria dihilangkan, walaupun bila dilihat hampir 5% Waria menyatakan menikah atau pernah menikah. Pengetahuan mengenai cara penularan HIV yang benar sangat penting untuk kelompok berisiko dan merupakan langkah awal agar mereka mau mengurangi perilaku berisiko ataupun menggunakan berbagai alat pencegahan seperti alat suntik steril. Sebagian besar responden sudah mengetahui cara penularan HIV melalui jarum suntik dan dari ibu ke anaknya selama masa kehamilan. Tabel 15. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Cara Penularan HIV Pengetahuan WPS L WPS TL Waria Pria Risti LSL Penasun Persentase responden yang mengetahui cara penularan HIV melalui jarum suntik Persentase responden yang mengetahui HIV dapat ditularkan dari ibu ke anaknya selama masa kehamilan TT

42 Presentase responden menurut pengetahuan cara penularan HIV pada kelompok WPS Tidak Langsung cenderung meningkat. Sedangkan pada kelompok WPS Langsung, Waria, Pria Risti, dan LSL cenderung meningkat dalam kurun waktu dan menurun tipis pada tahun Akan tetapi pada kelompok penasun angka tersebut turun pada tahun 2007 dan meningkat kembali pada tahun Seperti terlihat pada Tabel 16, Tabel 17 dan Tabel 18. Tabel 16. Perbandingan Persentase Responden WPS L dan WPS TL menurut Pengetahuan Cara Penularan HIV Pengetahuan Persentase responden yang mengetahui cara penularan HIV melalui jarum suntik Persentase responden yang mengetahui HIV dapat ditularkan dari ibu ke anaknya selama masa kehamilan WPS L WPS TL TT TT TT TT * TT=Tidak Tersedia Tabel 17. Perbandingan Persentase Responden Waria dan LSL menurut Pengetahuan Cara Penularan HIV Pengetahuan Persentase responden yang mengetahui cara penularan HIV melalui jarum suntik Persentase responden yang mengetahui HIV dapat ditularkan dari ibu ke anaknya selama masa kehamilan * TT=Tidak Tersedia Waria LSL TT 82 TT TT Tabel 18. Perbandingan Persentase Responden Menurut Pengetahuan Cara Penularan HIV Pengetahuan Persentase responden yang mengetahui cara penularan HIV melalui jarum suntik Persentase responden yang mengetahui HIV dapat ditularkan dari ibu ke anaknya selama masa kehamilan Pria Risti Penasun TT TT TT * TT=Tidak Tersedia Pada tabel berikut ini lebih dari setengah WPS L, pria, dan LSL sudah mengetahui HIV tidak dapat dicegah dengan antibiotik dan makan-makanan yang bergizi. Sedangkan pada kelompok WPS TL

43 dan Waria masih sebagian kecil yang mengetahui cara pencegahan HIV. Walaupun bila dilihat persentasenya, tingkat pengetahuan masih jauh dari harapan, di mana seharusnya hampir 80% kelompok berrisiko mempunyai pengetahuan tentang cara pencegahan HIV. Tabel 19. Persentase Responden Menurut Pengetahuan Cara Pencegahan HIV Pengetahuan Persentase responden yang mengetahui bahwa antibiotik tidak dapat dipergunakan untuk mencegah penularan HIV Persentase responden yang mengetahui makan makanan yang bergizi tidak dapat mencegah penularan HIV WPS L WPS TL Waria Pria Risti LSL Penasun Apabila dibandingkan dengan pengetahuan responden pada survei sebelumnya didapatkan perbedaan yang tidak terlalu besar. Untuk itu, peningkatan pengetahuan cara pencegahan HIV masih perlu ditingkatkan melalui beberapa intervensi perilaku. Tabel 20. Perbandingan Persentase Responden WPS L dan WPS TL menurut Pengetahuan Cara Pencegahan HIV Pengetahuan Persentase responden yang mengetahui bahwa antibiotik tidak dapat dipergunakan untuk mencegah penularan HIV Persentase responden yang mengetahui makan makanan yang bergizi tidak dapat mencegah penularan HIV WPS L WPS TL Presentase responden menurut pengetahuan cara pencegahan HIV pada WPS Tidak Langsung dan LSL cenderung menurun setiap tahunnya. Sedangkan pada kelompok WPS Langsung dan Pria Risti cenderung menurun dalam kurun waktu cenderung menurun, tetapi pada tahun 2009 cenderung meningkat. 27

44 Tabel 21. Perbandingan Persentase Responden Waria dan LSL menurut Pengetahuan Cara Pencegahan HIV Pengetahuan Persentase responden yang mengetahui bahwa antibiotik tidak dapat dipergunakan untuk mencegah penularan HIV Persentase responden yang mengetahui makan makanan yang bergizi tidak dapat mencegah penularan HIV Waria LSL Tabel 22. Perbandingan Persentase Responden Pria Risti dan Penasun menurut Pengetahuan Cara Pencegahan HIV Pengetahuan Persentase responden yang mengetahui bahwa antibiotik tidak dapat dipergunakan untuk mencegah penularan HIV Persentase responden yang mengetahui makan makanan yang bergizi tidak dapat mencegah penularan HIV Pria Risti Penasun TT TT TT TT TT TT 43 * TT=Tidak Tersedia 3. Pemahaman yang Keliru Pemahaman yang keliru tentang cara penularan dan pencegahan HIV pada kelompok berisiko akan sangat mempengaruhi berbagai upaya promosi pencegahan pada kelompok tersebut dan dapat meningkatkan stigma serta diskriminasi terhadap mereka yang sudah terinfeksi HIV. Gambar 13. Persentase Responden Menurut Pemahaman yang Keliru WPS L WPS TL Waria Pria Risti LSL Penasun

45 Sebagian besar WPS Tidak Langsung (88 persen), WPS Langsung (87 persen), Penasun (67 persen), dan Pria Risti (62 persen) masih memiliki pemahaman yang keliru mengenai cara penularan dan pencegahan HIV, seperti beranggapan bahwa HIV dapat ditularkan melalui nyamuk/serangga atau HIV dapat menular melalui alat makan/minum yang digunakan bersama dengan ODHA. Sedangkan pada kelompok Waria (39 persen) dan LSL (2 persen) memiliki pemahaman keliru yang lebih kecil. Gambar 14. Perbandingan Persentase Responden menurut Pemahaman Cara Pencegahan dan Penularan HIV yang Keliru Perbandingan persentase permahaman cara pencegahan dan penularan HIV yang keliru pada kelompok WPS Langsung, WPS Tidak Langsung, dan Pria Risti cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sedangkan pada kelompok Waria cenderung menurun dari tahun ke tahun. Akan tetapi pada kelompok LSL yang pada tahun sebelumnya cenderung meningkat, di tahun 2009 menurun tajam. Lain lagi pada kelompok Penasun yang tahun sebelumnya cenderung menurun, di tahun 2009 ini kembali meningkat. Meningkatnya permahaman yang keliru mengenai cara pencegahan dan penularan HIV dapat menyebabkan salahnya promosi cara pencegahan dan penularan HIV. Selain itu, hal tersebut juga menyebabkan diskriminasi dan stigmatisasi terhadap orang yang telah tertular HIV sebelumnya. 4. Persepsi Risiko Merasa berisiko tertular HIV adalah salah satu indikasi bahwa seseorang sadar bahwa perilakunya bias menyebabkan dirinya tertular HIV. Persepsi tersebut biasanya timbul dari pengetahuan tentang cara penularan dan pencegahan HIV dan kemudian dihubungkan dengan pengalaman pribadi responden yang pernah melakukan perilaku berisiko tertular HIV. 29

46 Gambar 15. Persentase Responden menurut Merasa Berisiko Tertular HIV Hasil STBP 2009 menunjukan sebagian besar responden merasa berisiko tertular HIV, yaitu Penasun (72 persen), WPS Langsung (67 persen), WPS Tidak Langsung (64 persen), LSL (61 persen), dan Waria (60 persen). Hanya sebagian kecil dari Pria Risti (31 persen) yang merasa berisiko tertular HIV. Gambar 16. Perbandingan Persentase Responden Menurut yang Merasa Berisiko Tertular Perbandingan persentase responden menurut yang merasa berisiko tertular HIV pada kelompok WPS L, WPS TL, Waria, Pria Risti, dan LSL cenderung meningkat dalam kurun waktu dan menurun pada tahun Sedangkan pada Penasun cenderung dari tahun ke tahun. Peningkatan persentase persepsi berisiko merupakan langkah awal dari pencegahan dan penularan HIV. Apabila persentase persepsi terus meningkat diharapkan pencegahan dan penularan HIV dapat terus ditingkatkan pula. D. Cakupan Program Program pengendalian HIV dan AIDS di Indonesia dilakukan melalui berbagai upaya dan pendekatan. Termasuk dalam cakupan program yang dinilai dalam STBP adalah upaya dalam hal peningkatan pengetahuan dan perubahan perilaku, upaya pencegahan melalui penggunaan kondom, konseling dan tes HIV, maupun layanan khusus penasun yaitu layanan jarum suntik steril serta terapi substitusi dan detoksifikasi.

47 Sebagaimana telah dijelaskan pada pendahuluan, bahwa terjadi perbedaan lokasi antara STBP tahun 2007 dan STBP Lokasi yang dipilih pada tahun 2009 mayoritas merupakan lokasi baru, sehingga peningkatan dan penurunan yang terjadi bukan berarti disebabkan oleh menurunnya cakupan program dalam menjangkau kelompok berisiko. Hasil ini justru dapat diartikan bahwa masih ada perbedaan upaya antar lokasi di Indonesia. 1. Pertemuan/Diskusi dan Materi KIE Salah satu upaya program dalam pengendalian HIV AIDS adalah upaya peningkatan pengetahuan dan perubahan perilaku. Termasuk dalan upaya ini adalah distribusi media cetak maupun melakukan pertemuan dan diskusi dengan petugas lapangan yang umumnya dilaksanakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kelompok Penasun merupakan kelompok yang paling sering menghadiri pertemuan/diskusi dengan petugas (66%) disusul oleh kelompok WPS Langsung (62%). Pria Risti merupakan kelompok yang paling jarang dijangkau, hanya 16% responden mengaku pernah menghadiri pertemuan dan atau melakukan diskusi dengan petugas. Meskipun demikian kelompok Pria Risti termasuk kelompok yang sering menerima barang cetakan dibandingkan kelompok lain. Gambar 17. Persentase responden menurut cakupan program tahun 2009 Bila dibandingkan dengan hasil STBP pada tahun-tahun sebelumnya, terjadi perbedaan persentase responden dalan menghadiri pertemuan/diskusi HIV selama setahun terakhir. Sebagian besar mengalami penurunan, kecuali waria yang relatif stabil dan Pria Risti yang mengalami peningkatan sebanyak 2%. Pertemuan atau diskusi mengenai HIV diselenggarakan oleh banyak pihak seperti petugas kesehatan, LSM, Dinas Sosial, Dinas Pariwisata, perusahaan dan pihak lainnya. 31

48 Gambar 18. Perbandingan Persentase Responden yang Pernah Menghadiri Pertemuan/Diskusi HIV dan AIDS Setahun Terakhir Serupa dengan persentase responden yang menghadiri pertemua/diskusi, persentase responden yang menerima KIE juga mengalami penurunan sebagaimana ditunjukan pada Gambar 18.. Penurunan terjadi di semua kelompok dan penurunan paling signifikan terjadi pada kelompok penasun. Gambar 19. Perbandingan Persentase Responden yang Pernah Menerima Barang Cetakan Setahun Terakhir 2. Frekuensi Diskusi dengan Petugas Lapangan Upaya peningkatan pengetahuan dan perubahan perilaku juga dilakukan melalui upaya penjangkauan, yang biasanya dilakukan oleh LSM. Petugas lapangan biasanya mendampingi secara intensif kelompok berisiko untuk memberikan pengetahuan tentang cara penularan dan pencegahan HIV serta mau dan mampu dan berperilaku aman terhadap penularan HIV.

49 Selain memberikan materi KIE, melakukan diskusi, petugas lapangan juga memberikan bahanbahan pencegahan seperti kodom, alat suntik steril serta mempromosikan layanan-layanan kesehatan terkait dengan IMS, HIV dan AIDS. Gambar 20. Persentase Responden Menurut Frekuensi Diskusi dengan Petugas Lapangan dalam 3 Bulan Terakhir Gambar 20. di atas menunjukan bahwa kelompok berisiko yang paling sering melakukan diskusi dengan petugas lapangan adalah penasun (66%) dan disusul oleh WPS Langsung (56%). Sekalipun mayoritas WPS Langsung menyatakan pernah dijangkau, hanya 6% yang dijangkau lebih dari 3 kali dalam 3 bulan terakhir. Berbeda dengan WPS Langsung yang sebagian besar pernah dijangkau, 66% responden WPS tidak langsung mengaku tidak pernah dijangkau. Serupa dengan WPS tidal langsung, mayoritas responden waria dan LSL juga mengaku tidak pernah dijangkau. Pria Risti merupakan kelompok yang paling banyak mengaku tidak pernah melakukan diskusi dengan petugas lapangan dalam 3 bulan terakhir. Hanya sekitar 8% yang pernah melakukan diskusi dengan petugas lapangan. Apabila dibandingkan dengan hasil tahun 2007, maka cakupan kegiatan penjangkauan tahun 2009 mengalami penurunan dengan penurunan yang paling signifikan adalah waria. Namun demikian, mengingat bahwa lokasi survei tahun 2009 tidak sama dengan tahun 2007, grafik ini bisa diartikan bahwa upaya penjangkauan pada lokasi survei tahun 2009 belum sebaik upaya pada lokasi survei tahun

50 Gambar 21. Perbandingan Persentase Responden yang Pernah Dijangkau Petugas Lapangan dalam 3 Bulan Terakhir 3. Frekuensi Menerima Kondom Salah satu upaya pencegahan HIV dan AIDS adalah dengan mempromosikan penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko. Contoh kegiatan yang dilakukan adalah dengan membagikan kondom gratis kepada kelompok berisiko. Biasanya kegiatan pembagian kondom gratis dilaksanaan bersamaan dengan upaya penjangkauan sehingga frekuensi nya pun terkait erat dengan frekuensi penjangkauan. Gambar 22. menunjukan bahwa mayoritas WPS Langsung menyatakan pernah menerima kondom gratis dalam 3 bulan terakhir, sementara mayoritas responden pada kelompok waria, WPS tidak langsung, LSL dan Pria Risti menyatakan tidak permah menerima kondom gratis dalam 3 bulan terakhir. Adapun pada kelompok penasun, pertanyaan ini tidak diajukan. Gambar 22. Persentase Responden Menurut Frekuensi Menerima Kondom Gratis dalam 3 Bulan Terakhir Tabel 23 di bawah ini menunjukan perbadingan persentase responden yang menerima kondom gratis dalam 3 bulan terakhir. Dari table ini dapat dilihat bahwa responden yang menerima kondom gratis mengalami pernurunan untuk semua kelompok yang disurvei.

51 Tabel 23. Perbandingan Persentase Responden Menurut Frekuensi Menerima Kondom Dalam 3 Bulan Terakhir Kelompok Tahun Survei Frekuensi Menerima Kondom Gratis dalam 3 Bulan Terakhir 0 kali 1 kali 2-3 kali >3 kali WPS TL WPS L Pria Risti Waria LSL Frekuensi Kunjungan ke Klinik IMS Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan faktor penting dalam penularan HIV. Keberadaan IMS dapat meningkatkan kemungkinan penularan menjadi 2 hingga 8 kali lebih tinggi. Karena merupakan factor yang penting, maka frekuensi kunjungan ke klinik IMS perlu ditanyakan. 35

52 Gambar 23. Persentase Responden Menurut Frekuensi Kunjungan ke Klinik IMS dalam 3 Bulan Terakhir Dari grafik di atas bisa diketahui bahwa WPS Langsung merupakan kelompok yang paling sering mengunjungi klinik IMS dalam 3 bulan terakhir (51%). Tiga kelompok lainnya (waria, WPS tidak langsung dan LSL) mayoritas responden menyatakan tidak pernah mengunjungi klinik IMS. Kelompok LSL adalah yang paling sedikit mengunjungi klinik IMS, hanya 15% yang pernah mengunjungi klinik IMS. Gambar 24. di bawah menunjukan perbandingan persentase responden yang pernah diperiksa di klinik IMS. Dibandingkan dengan tahun 2007, pada tahun 2009 ada lebih sedikit responden yang pernah diperiksa di klinik IMS. Hal ini menunjukan masih perlunya upaya untuk meningkatkan kesadaran para kelompok berisiko mengenai IMS, kaitan IMS dengan HIV dan perlunya memeriksakan IMS di klinik IMS. Gambar 24. Perbandingan Persentase Responden yang Pernah Diperiksa di Klinik IMS dalam 3 Bulan Terakhir 5. Konseling dan Tes HIV Program konseling dan tes HIV bertujuan agar populasi berisiko tinggi mengetahui status HIVnya sehingga dapat mengakses layanan lanjutan bila kemidian hasilnya positif. Konseling dan tes HIV juga penting untuk pencegahan penularan HIV dengan mendorong orang yang sudah terinfeksi untuk merubah perilaku berisikonya agar tidak menularkan ke orang lain. Pria Risti merupakan yang paling sedikit pernah tes HIV (9%). WPS Langsung merupakan kelompok yang paling banyak pernah tes HIV (54%), namun hanya 37% yang menerima hasilnya,

53 atau dengan kata lain ada sebanyak 17% responden yang melakukan tes namun tidak mendapatkan hasilnya. Perbedaan ini merupakan yang paling besar diantara kelompok berisiko. Alasan melakukan tes HIV yang paling banyak adalah karena merasa berisiko, yaitu 57% pada WPS Langsung, 53% pada WPS tidak langsung, 37% pada Pria Risti, 73% pada waria, 74% pada LSL, dan 64% pada penasun. Gambar 25. Persentase Responden yang Pernah Testing HIV dan Menerima Hasilnya Apabila dibandingkan dengan survei sebelumnya, terdapat variasi responden yang pernah melakukan tes HIV. WPS Langsung yang melakukan tes HIV pada survey tahun 2009 lebih banyak dari tahun Namun untuk kelompok lain, responden yang melakukan tes pada survey tahun 2009 lebih sedikit dari tahun Gambar 26. Perbandingan Persentase Responden yang Pernah Tes HIV Serupa dengan persentase yang pernah melakukan tes HIV, kelompok WPS Langsung pada survey tahun 2009 adalah yang paming banyak menerima hasil tes (37%) dibandingkan dengan tahun 2007, sementara pada kelompok lain secara umum, jumlah yang menerima hasil tes HIV lebih sedikit dibandingkan dengan tahun

54 Gambar 27. Perbandingan Persentase Responden yang Menerima Hasil Tes HIV 6. Layanan Terkait dengan Pengurangan Dampak a. Layanan Jarum Suntik Steril Salah satu cara penularan AIDS yang penting adalah melalui penggunaan jarum suntik bersama yang umumnya dilakukan oleh penasun. Oleh karena itu, program pengendalian HIV dan AIDS melakukan intervensi di kalangan penasun melalui peningkatan pengetahuan mengenai pentingnya penggunaan jarum suntik steril dan tidak menggunakannya secara bersama. Intervensi lain adalah dengan mengadakan layanan jarum suntik steril dimana para penasun bisa mendapatkan jarum suntik steril sehingga tidak perlu menggunakan jarum suntik bersama. Gambar 28. menunjukan bahwa LJSS dimanfaatkan terutama di Makassar (41%) dan paling sedikit dimanfaatkan oleh penasun di Pontianak (1%). Untuk semua lokasi, akses jarum suntik steril terutama melalui apotik/toko, kecuali Yogyakarta dimana mayoritas responden (51%) mengakses jarum suntik steril dari teman.

55 Gambar 28. Perbandingan Persentase Penasun yang Mendapatkan Jarum Steril Menurut Kota dan Sumber Jarum Steril dalam 1 minggu terakhir Secara umum, semua penasun memiliki akses terhadap jarum suntik steril, dan hal ini merupakan peningkatan dari survei sebelumnya sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 28.. Namun demikian, dapat dilihat perbedaan dalam sumber jarum steril. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa ada perbedaan lokasi survei, Gambar 29. menunjukan bahwa LJSS di lokasi survei tahun 2009 belum banyak dimanfaatkan, baik karena tempat layanan yang masih terbatas atau belum banyak diketahui oleh para penasun sehingga hanya sedikit yang mengakses jarum suntik steril di LJSS (16%). Pada lokasi survei tahun 2009, mayoritas penasun mengakses jarum suntik steril di apotik atau toko (44%) dan sebagian besar lainnya mengakses dari teman (33%). Gambar 29. Perbandingan Persentase Penasun yang Mendapatkan Jarum Steril Menurut Sumber Jarum Steril Layanan Jarum Suntik Steril di Indonesia dilaksanakan di Puskesmas, Drop in Centre, Petugas LSM, maupun satelit. Tabel 24 menunjukkan persentase penasun menurut kota dan tempat layanan LJSS seminggu terakhir. Di Yogyakarta, hanya 1% yang mengakses dari Puskesmas. Sementara itu, penasun di Tangerang adalah yang paling banyak mengakses dari satelit (13%). Makassar merupakan kota yang paling banyak mengakses jarum suntik steril melalui LJSS. Mayoritas penasun di Makassar mengakses LJSS di LSM (20%), dan di Puskesmas 39

56 (10%). Pada table terlihat bahwa Pontianak memliki angka 0% pada semua lokasi LJSS. Hal ini bukan disebabkan karena tidak ada yang mengakses LJSS, namun karena masalah di lapangan saat wawancara berlangsung, sehingga pertanyaan mengenai hal ini terlewatkan. Tabel 24. Persentase Penasun menurut Kota dan Tempat Layanan LJSS Seminggu Terakhir Kota Puskesmas Drop in Centre Petugas LSM Satelit Yogyakarta Tangerang Pontianak Makassar b. Terapi Substitusi dan Detoksifikasi Terapi substitusi dan detoksifikasi bertujuan untuk mengurangi risiko penularan HIV pada Penasun akibat saling tukar menukar jarum suntik. Terapi substitusi dilakukan dengan cara memberikan Napza yang tidak disuntikan dengan mengganti penggunaan Napza yang disuntikan. Sedangkan detoksifikasi adalah proses menghilangkan racun (zat narkotika atau adiktif lain) dari tubuh dengan cara menghentikan total pemakaian semua zat adiktif yang dipakai atau dengan penurunan dosis obat pengganti. Detoksifikasi bisa dilakukan dengan berobat jalan atau dirawat di rumah sakit. Biasanya proses detoksifikasi dilakukan terus menerus selama satu sampai tiga minggu. Gambar 30. menunjukan persentase penasun yang memanfaatkan layanan terapi substitusi secara umum lebih banyak daripada terapi detoksifikasi, kecuali Yogyakarta yang angka pemanfataan terapi substitusi sama dengan terapi detoksifikasi. Pontianak adalah kota yang pemanfaatan terapi substitusinya paling tinggi (58%). Gambar 30. Persentase Penasun yang Memanfaatkan Terapi Substitusi dan Detoksifikasi Setahun Terakhir Menurut Kota Apabila dibandingkan dengan tahun 2007, pemanfaatan terapi subtitusi di lokasi survei tahun 2009 tidak sebanyak pemanfaatan di tahun Sedangkan pemanfaatan detoksifikasi di lokasi survei tahun 2009 hampir sama dengan di lokasi survey tahun 2007.

57 Gambar 31. Perbandingan Persentase Penasun yang Memanfaatkan Terapi Substitusi dan Detoksifikasi E. Perilaku Berrisiko 1. Perilaku Membeli Seks Perilaku membeli seks dalam setahun terakhir merupakan perilaku membeli seks responden dari semua jenis penjaja seks. Sebanyak 59 persen Pria Risti mengaku membeli seks dalam setahun terakhir dan merupakan kelompok dengan persentase tertinggi diikuti dengan Penasun, Waria dan LSL. Perilaku membeli seks dalam setahun terakhir termasuk tinggi pada Waria (39 persen) yang selama ini dikenal sebagai kelompok penjaja seks. Gambar 32. Persentase Responden yang Pernah Membeli Seks dalam 1 Tahun Terakhir Tabel berikut ini menggambarkan perilaku membeli seks responden dalam satu tahun terakhir menurut jenis penjaja seksnya. Persentase LSL yang mengaku membeli seks dalam setahun terakhir dari laki-laki dan perempuan hampir sama besarnya, yakni 18 persen dari laki-laki dan 12 persen dari perempuan. Sebagian besar Penasun (34 persen) mengaku membeli seks dari perempuan. 41

58 Tabel 25. Persentase Responden menurut Jenis Penjaja Seks dalam Setahun Terakhir LSL Waria Pria Risti Penasun Pernah Membeli Seks dari Laki-laki ,3 Pernah Membeli Seks dari Perempuan Pernah Membeli Seks dari Waria ,2 Persentase kelompok responden laki-laki untuk membeli seks dalam setahun terakhir menunjukkan hasil yang beragam. Pada kelompok Waria, Pria Risti, dan Penasun terlihat bahwa persentase pria yang membeli seks pada STBP 2009 lebih tinggi dibandingkan hasil Hanya pada kelompok LSL yang menunjukkan hasil STBP menurun bila dibandingkan pada tahun 2004, 2007 dan Gambar 33. Perbandingan Persentase Responden Menurut yang Pernah Membeli Seks dalam Setahun Terakhir 2. Perilaku Menjual Seks Perilaku menjual seks dalam setahun terakhir paling tinggi pada kelompok Waria (63 persen) dan diikuti oleh LSL (51 persen). Sedangkan pada Penasun, persentase yang menjual seks dalam setahun terakhir masih cukup rendah yaitu 8 persen. Untuk kelompok WPS Langsung dan Tak Langsung, menjual seks merupakan syarat untuk ikut serta dalam STBP 2009 sehingga 100 persen WPS Langsung dan Tak Langsung Menjual Seks dalam setahun terakhir.

59 Gambar 34. Persentase Responden yang Pernah Menjual Seks dalam 1 Tahun Terakhir Sebagian besar LSL menjual seks kepada pelanggan laki-laki (51 persen) dan sebagian kecil (12 persen) mengaku menjual seks kepada pelanggan perempuan dalam setahun terakhir. Sedangkan pada kelompok Waria dan Penasun jumlah pelanggan perempuan yang dilayani tidak ditanyakan. Penasun yang sebagian besar laki-laki, juga ada yang menjual seks (berhubungan seks dengan mendapatkan imbalan uang atau Napza). Meskipun persentase pada kelompok ini masih rendah tetapi penting untuk diwaspadai mengingat tingginya prevalensi HIV pada Penasun. Tabel 26. Persentase Responden menurut Pelanggan dalam Setahun Terakhir Pernah Menjual Seks LSL Waria WPS L WPS TL Penasun Laki-laki Perempuan 12 TT TT TT 8 3. Frekuensi Kontak Seks Komersial Salah satu hal yang dapat mempercepat penularan HIV adalah banyaknya kontak seks komersial yang terjadi. Jumlah kontak seks komersial dapat diindikasikan dari jumlah pelanggan yang membeli jasa seks dari penjaja seks dan frekuensi Pelanggan dalam membeli seks. Penjaja seks yang mempunyai rata-rata pelanggan terbanyak dalam seminggu adalah WPS Langsung sebanyak 8 orang, sedangkan Waria dan WPS Tidak Langsung sekitar 4 orang perminggu. Sementara rata-rata pelanggan LSL yang menjajakan seks dalam satu bulan terakhir adalah 3 orang. Rata-rata frekuensi membeli seks pada Pelanggan Penjaja Seks dan Penasun dalam satu tahun terakhir adalah 5 orang. 43

60 Gambar 35. Rata-rata dan Median Jumlah Pelanggan dalam Seminggu (Penjaja Seks) dan Berapa Kali Beli Seks Setahun (Pelanggan dan Penasun) Rata-rata Jumlah pelanggan dalam seminggu mununjukkan hasil yang beragam. Pada kelompok WPS Langsung dan LSL hasil STBP 2009 lebih rendah dari STBP Sedangkan pada kelompok Waria yang hasil STBP 2009 lebih tinggi dari pada STBP Hasil pada kelompok WPS Tak Langsung menunjukan hasil yang stabil selama beberapa tahun terakhir. Sementara rata-rata frekuensi membeli seks, baik pada pelanggan seks dan penasun cenderung meningkat setiap tahun. Gambar 36. Perbandingan Rata-rata Jumlah Pelanggan dalam Seminggu (Penjaja Seks) dan Berapa Kali Beli Seks dalam Setahun (Pria Risti dan Penasun) 4. Perilaku Seks Berisiko Lainnya Selain seks komersial (hubungan seks dengan membayar atau menerima bayaran), banyak juga responden yang berhubungan seks dengan bukan pasangan tetapnya tanpa membayar atau dibayar. LSL adalah kelompok dengan persentase tertinggi yang pernah berhubungan seks dengan pasangan tidak tetap dan non komersial yaitu 86 persen, diikuti oleh Waria (72 persen) dan WPS L

61 (66 persen). Sedangkan kelompok Penasun dan WPS Tak Langsung memiliki persentase yang lebih redah, yakni 44 persen pada Penasun dan 39.5 persen pada WPS Tak Langsung. Gambar 37. Persentase Responden yang Pernah Berhubungan Seks dengan Pasangan Tidak Tetap dan Non Komersial Setahun terakhir Hasil STBP menunjukkan hasil yang beragam dalam persentase hubungan seks dengan pasangan tidak tetap dan bukan komersial. Pada kelompok WPS TL, hasil survei menunjukkan persentase hubungan seks dengan pasangan tidak tetap dan bukan komersil menurun bila dibandingkan pada tahun 2002, 2004, 2007 dan Pada kelompok LSL dan Waria, hasil STBP 2007 lebih tinggi daripada SSP Sedangkan hasil STBP 2009 menunjukkan persentase hubungan seks dengan pasangan tidak tetap dan bukan komerisal lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hasil pada kelompok WPS Langsung persentase hubungan seks dengan pasangan yang tidak tetap menunjukkan hasil yang lebih tinggi pada STBP tahun Pada tahun-tahun sebelumnya persentase tersebut menurun bila dibandingkan pada tahun 2002, 2004, dan Persentase hubungan seks dengan pasangan tidak tetap dan bukan komersial pada Penasun cenderung stabil, berkisar anatara persen pada tahun 2004, 2007 dan

62 Gambar 38. Perbandingan Persentase Responden yang Pernah Berhubungan Seks dengan Pasangan Tidak Tetap dan Non Komersial Setahun Terakhir 5. Perilaku Berisiko Terkait dengan Penggunaan Napza Suntik a. Menggunakan Napza Suntik Kecuali pada populasi Penasun, penggunaan Napza suntik dalam satu tahun terakhir pada populasi berisiko lainnya masih cukup rendah. Pada kelompok WPS Langsung, WPS Tak Langsung, Waria dan Pria Risti, persentase yang pernah menggunakan Napza Suntik seatahun terakhir masih dibawah 2 persen. Pada LSL persentase yang menggunakan Napza Suntik mencapai hingga 2.7 persen. Sehubungan dengan hal tersebut, penulisan hasil STBP yag terkait dengan perilaku berisiko penggunaan Napza suntik di laporan ini hanya akan berfokus pada populasi Penasun. Gambar 39. Persentase Responden yang Pernah Menggunakan Napza Suntik Perilaku penggunaan Napza Suntik pada kelompok WPS Langsung, WPS Tak Langsung, Pria Risti dan Waria kurang dari 2%. Meskipun begitu bila dibandingkan dari tahun ke tahun perbedaan hasil survei bisa mencapai dua kali lipat.

63 Perbandingan yang mencolok dapat dilihat pada kelompok LSL. Hasil survei menunjukkan penambahan persentase LSL yang pernah menggunakan Napza Suntik mulai dari 1,1% pada SSP 2004 dan 5,18% pada STBP Gambar 40. Perbandingan Persentase Responden yang Pernah Menggunakan Napza Suntik b. Perilaku Menyuntik Penasun Hasil STBP 2009 menunjukkan bahwa persentase perilaku menyuntik berisiko yang beragam di keempat kota tersebut. Di kota DI Yogyakarta, 80 persen penasun mengaku pernah berbagi Napza dengan setting basah, diikuti dengan Kota Tangerang dengan persentase 78 persen dan lebih dari setengah Penasun di Kota Pontianak. Dilihat secara umum, perilaku di kota Tangerang memperlihatkan persentase perilaku berisiko yang cukup tinggi, baik untuk perilaku menggunakan jarum umum, meminjam dan meminjamkan jarum suntik, serta berbagi Napza dengan setting basah. Sedangkan persentase berisiko yang relatif rendah diantara keempat kota tersebut. Gambar 41. Persentase Penasun Menurut Perilaku Menyuntik 47

64 c. Frekuensi Menyuntik Rata-rata menyuntik dalam seminggu terakhir Penasun di 4 kota yang disurvei adalah 5.1 kali, dimana Penasun di Makassar memiliki rata-rata menyuntik paling tinggi yaitu 8 kali, diikuti dengan Tangerang (6 kali), Pontianak (4 kali), dan DI Yogyakarta (3 kali). Sedangkan rata-rata menyuntik pada hari terakhir menyuntik dari semua kota yang disurvei adalah 1.04 kali. Gambar 42. Rata-rata Frekuensi Menyuntik Penasun Penyajian hasil tentang perilaku menyuntik dan kecenderungannya dalam bagian ini difokuskan pada Penasun. Seperti yang sudah dijabarkan diawal, perbandingan pada Penasun pada STBP 2009 merupakan hasil dari surveilans yang dilaksanakan pada tahun dan kota yang berbeda. Rata-rata frekuensi menyuntik pada Penasun pada hari terakhir cenderung turun. Sedangkan untuk rata-rata frekuensi menyuntik seminggu terakhir pada Penasun terlihat meningkat pada STBP tahun 2007 dan menurun pada STBP tahun Gambar 43. Perbandingan Rata-rata Frekuensi Menyuntik Penasun Hari T erakhir Menyuntik S eminggu T erakhir

65 d. Berbagi Jarum Secara umum, 18.3 persen Penasun mengaku menggunakan jarum secara bersama-sama dalam 1 minggu terakhir dan 35 persen persen pada hari terakhir menyuntik. Distribusi persentase Penasun yang berbagi jarum cukup bervariasi dari 4 kota yang disurvei. Lebih dari setengah Penasun di Tangerang (60 persen) mengaku menggunakan jarum secara bersamasama saat menyuntik pada hari terakhir, diiku sedangkan di DI Yogyakarta sebanyak 44 persen dan di Pontianak sebanyak 34 persen. Penasun di kota Makassar memiliki persentase yang paling kecil, hanya 17 persen yang berbagi jarum pada hari terakhir. Persentase penasun yang berbagi jarum seminggu terakhir yang tertinggi ditemukan pada kepada Kota Tangerang (45 persen), sedangkan persentase yang terendah pada kota DI Yogyakarta. Gambar 44. Persentase Responden yang Pernah Berbagi Jarum Program Layanan Jarum Suntilk Steril telah dilakukan sejak Tahun Persentase Penasun yang berbagi jarum seminggu turun memperlihatkan adanya penurunan. Perbedaan persentase Penasun yang berbagi jarum selama seminggu terakhir terlihat hingga setengahnya, yaitu 40 persen pada tahun 2007 dan 18 persen pada tahun Sedangkan persentase Penasun yang berbagi jarum pada hari terakhir pada STBP Tahun 2009 memperlihatkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil STBP Tahun Hal ini menunjukan adanya kenaikan persentase setelah tahun sebelumnya terlihat persentase tahun 2007 lebih rendah daripada hasil STBP Gambar 45. Perbandingan Persentase Penasun yang Berbagi Jarum 49

66 e. Frekuensi Berbagi Basah Perilaku berbagi basah terlihat paling tinggi di DI Yogyakarta (44 persen) dan diikuti oleh Tangerang (36 persen). Fenomena sebaliknya terlihat di kalangan penasun Makassar dan Pontianak, yaitu persentase penasun yang tidak pernah berbagi basah adalah yang terbesar, yaitu sebesar 62 persen dan 42 persen. Pada kedua kota tersebut persentasi yang tidak pernah berbagi basah juga kecil, yakni 8 persen di Makassar dan 7 persen di Pontianak. Gambar 46. Persentase Penasun menurut Frekuensi Berbagi Basah Narkoba Kecenderungan Penasun untuk berbagi Napza yang sudah dicairkan dalam alat suntik yang sama (berbagi basah) memiliki bahaya yang hampir sama dalam penularan HIV bila dibandingkan dengan berbagi jarum diantara Penasun. Persentase Penasun yang tidak pernah berbagi basah memperlihatkan angka relatif stabil, yakni berkisar antara 19 hingga 21 persen pada tahun 2004, 2007 dan Persentase penasun yang selalu berbagi basah pada STBP Tahun 2004 sebanyak 44 persen, kemudian memperlihatkan persentase yang lebih kecil pada STBP 2007 (33 persen), namun kemudian naik pada STBP Tahun 2009 yaitu sebesar 40 persen. f. Perilaku Beli Patungan Hasil STBP pada kelompok Penasun ternyata juga menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara perilaku patungan dengan berbagi basah. Hal ini dapat terlihat dari semakin sering penasun membeli narkoba secara patungan, maka semakin besar pula persentase yang berbagi basah. Hal ini menyiratkan bahwa ada kemungkinan perilaku berbagi basah disebabkan oleh perilaku membeli narkoba secara patungan. Atau sebaliknya, berbagi basah tidak akan membangun kebersamaan bila pembelian narkoba hanya ditanggung sendiri oleh orang tertentu. Patungan dalam membeli narkoba akan sangat menguntungkan bagi kelompok, termasuk dalam membangun kebersamaan di antara penasun. Kebersamaan sebagai teman senasib dibangun dengan upaya-upaya seperti itu, yang pada gilirannya dapat menyebabkan semua anggota tertular penyakit-penyakit berbahaya. Fenomena ini terlihat jelas pada kalangan penasun di keempat kota pelaksanaan STBP Tahun 2009 yang bila dilihat secara umum sebagian besar Penasunnya membeli secara patungan

67 seminggu terakhir. Pada DI Yogyakarta dan Tangerang yang persentase selalu berbagi basah tinggi, memiliki persentase penasun yang selalu membeli patungan yang tinggi pula. Sedangkan di kota Pontianak dan Makassar yang persentase penasun selalu berbagi basahnya rendah, memilik persentase selalu membeli Napza secara patungan yang rendah. Gambar 47. Persentase Penasun Membeli Napza secara Patungan Seminggu Terakhir F. Perilaku Pencegahan 1. Abstinen dan Setia pada Pasangan Tetap Abstinen (tidak berhubungan seks) dan saling setia dengan satu pasangan seks tetap adalah upaya pencegahan terbaik dari tertular HIV melalui hubungan seks. Dari beberapa kelompok pria yang disurvei, seluruh responden pernah melakukan seks dalam satu tahun terakhir kecuali kelompok Penasun dengan persentase perilaku abstinen tertinggi yaitu 14 persen. Hampir setengah dari responden Penasun memiliki perilaku setia dengan pasangan seks tetap dalam satu tahun. Sedangkan pada kelompok pria seperti ABK, TKBM, Ojek, Supir Truk dan Supir Angkot tertinggi 8 persen yang berperilaku setia. Artinya sebagian besar dari kelompok pria yang disurvei berperilaku seks berisiko untuk tertular dan menularkan HIV. Kelompok WPS dan Waria tidak dimasukan dalam bagian ini karena mereka adalah kelompok yang mewakili Penjaja seks. 51

68 Gambar 48. Persentase Responden yang Abstinen dan Setia dengan Pasangan Seks Tetapnya dalam Setahun Terakhir Perbandingan perilaku seks yang aman dari tertular dan menularkan HIV pada kelompok responden pria tergambar pada Tabel 27. Pada STBP 2009 tidak semua wilayah merupakan wilayah survei sebelumnya namun ada beberapa wilayah yang merupakan wilayah baru. Selain Abstinen dan Setia, perilaku Pakai Kondom adalah untuk mewakili kelompok responden yang pernah berhubungan seks dengan bukan pasangan seks tetap dan selalu pakai kondom; sedangkan Seks Berisiko adalah responden yang pernah berhubungan seks dengan bukan pasangan seks tetap dalam setahun terakhir dan tidak selalu pakai kondom. Secara umun persentase semua kelompok responden laki-laki yang berperilaku Abstinen menurun dari survei tahun sebelumnya. Juga demikian dengan perilaku Setia yang mengalami penurunan dari tahun sebelumnya kecuali kelompok penasun yang naik dari 21 persen pada survei tahun 2007 menjadi 44 persen pada survei Untuk perilaku pakai kondom bervariasi, pada kelompok Penasusn dan Pelaut mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya sedangkan pada kelompok TKBM dan Sopir Truk/Kernet mengalami penurunan. Secara umum persentase semua kelompok responden laki-laki yang melakukan seks berisiko memiliki angka lebih tinggi dari hasil survei sebelumnya.

69 Tabel 27 Perbandingan Persentase Responden Menurut Perilaku ABC Setahun Terakhir Kelompok Penasun TKBM Sopir Truk ABK Tahun Survei Perilaku ABC Abstinen Setia Pakai Kondom Seks Berisiko Pemakaian Kondom pada Seks Komersial Tingkat pemakaian kondom pada seks komersial terakhir sudah cukup tinggi pada semua kelompok berisiko yang disurvei, dimana persentase tertinggi dilaporkan oleh WPS Langsung (67 persen) diikuti WPS Tidak Langsung (62%) dan yang terendah adalah kelompok penasun (29 persen). Konsistensi pemakaian kondom dalam hubungan seks komersial menggunakan rentang waktu yang berbeda berdasarkan frekuensi seks komersial dari masing-masing kelompok. Kelompok WPS, Waria dan LSL menggunakan konsistensi pemakaian kondom dalam seminggu terakhir, sedangkan untuk Pria Risti dan Penasun dalam setahun terakhir. Secara umum persentase konsistensi pemakaian kondom dalam hubungan seks komersial baru sekitar setengah dari pemakaian kondom pada seks komersial terakhirnya kecuali pada kelompok penasun yang memiliki persentase 9 persen dalam konsistensi pemakaian kondom pada seks komersial. 53

70 Gambar 49. Persentase Responden Berdasarkan Perilaku Menggunakan Kondom pada Seks Komersial Tingkat pemakaian kondom pada seks komersial terakhir cenderung mengalami penurunan pada semua kelompok kecuali pada WPS langsung dan Pria Risti. Pada kelompok Waria pada STBP % menjadi 58% pada STBP Pada kelompok Penasun terjadi penurunan yang signifikan yaitu dari 54% pada STBP 2007 menjadi 29% pada STBP Persentase kelompok Waria di tahun persen dan 58 persen pada tahun Hal ini dapat dikarenakan wilayah pada STBP 2009 berbeda dengan wilayah survei sebelumnya. Gambar 50. Perbandingan Persentase Responden Menurut Penggunaan Kondom pada Seks Komersial Terakhir Secara umum persentase responden yang selalu memakai kondom pada hubungan seks komersial menurun dari pemakaian kondom pada hubungan seks komersial terakhirnya. Terutama Konsistensi pemakaian kondom pada hubungan seks komersial kelompok Pria Risti dan Penasun. Dari 29 persen pada STBP 2007 menjadi 16 persen pada kelompok Pria Risti. Sedangkan pada kelompok Penasun pada STBP persen menjadi 9 persen pada STBP 2009.

71 Gambar 51. Perbandingan Persentase Responden yang Selalu Pakai Kondom pada Seks Komersial Seminggu Terakhir (Penjaja Seks) dan Setahun Terakhir (Pria Risti dan Penasun) 3. Pemakaian Kondom pada Seks Berisiko Lainnya Perilaku seks berisiko lainnya adalah hubungan seks dengan pasangan seks tidak tetap dan tanpa membayar/dibayar (bukan hubungan seks komersial). Persentase kelompok berisiko yang melakukan perilaku tersebut cukup tinggi yaitu berkisar antara 32 persen (Penasun) dan 86 persen (LSL), untuk kelompok waria sebesar 72%. LSL merupakan kelompok dengan persentase tertinggi pada penggunaan kondom pada hubungan seks dengan pasangan tidak tetap dan tanpa membayar/dibayar yaitu 56 persen pada saat terakhir dan 28 persen yang selalu menggunakan kondom dalam sebulan terakhir. Pelanggan Penjaja Seks adalah kelompok dengan persentase terendah pada penggunaan kondom di hubungan seks terakhir dengan pasangan tidak tetap dan tanpa membayar/dibayar yaitu hanya 20 persen, sedangkan WPS Tidak Langsung adalah kelompok terendah dalam konsistensi pemakaian kondom dalam hubungan seks tersebut selama sebulan terakhir yaitu 3 persen. Gambar 52. Persentase Responden Berdasarkan Perilaku Menggunakan Kondom pada Seks Berisiko Lainnya 55

72 Persentase perilaku menggunakan kondom pada hubungan seks terakhir dengan pasangan seks tidak tetap dan tanpa membayar/dibayar menurun secara signifikan. Pada WPS Langsung dan Tak Langsung penurunannya bahkan hingga setengahnya, dari 68 persen (WPS Langsung) dan 63 persen (WPS Tak Langsung) tahun 2007 menjadi 31 persen pada kelompok WPS Langsung dan WPS Tak Langsung pada tahun Begitu halnya dengan kelompok Waria dan Penasun dari 72 persen dan 51 persen pada tahun 2007, turun menjadi 50 persen dan 39 persen pada tahun Gambar 53. Perbandingan Persentase Responden yang Pakai Kondom pada Hubungan Seks Terakhir dengan Pasangan Tidak Tetap dan Tidak Membayar/dibayar Persentase responden yang selalu pakai kondom pada hubungan seks berisiko lainnya ini secara umum mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, kecuali pada kelompok WPS Langsung yang mengalami peningkatan dari 14 persen pada tahun 2007 menjadi 16 persen pada tahun Penurunan secara signifikan terjadi pada kelompok WPS TL dan Pria Risti. Yaitu 15 persen (WPS TL) dan 34 persen (Waria) pada tahun 2007 menjadi 3 persen dan 23 persen Pemakaian kondom pada hubungan seks dengan pasangan tidak tetap dan non-komersial sama pentingnya dengan pemakaian kondom pada hubungan seks komersial karena seringkali pasangan seks non-komersial juga kelompok berisiko tertular/menularkan HIV dan mempunyai pasangan seks lain.

73 Gambar 54. Perbandingan Persentase Responden yang Selalu Pakai Kondom pada Hubungan Seks dengan Pasangan Tidak Tetap dan Tidak Membayar/dibayar Setahun Terakhir 4. Perilaku Pencegahan Penasun Berbagai upaya untuk mengurangi risiko tertular dan menularkan HIV pernah dilakukan oleh sebagian besar Penasun seperti Menyuntik sendiri saat terakhir sebesar 26 persen.tidak berbagi basah 40 persen, Selalu pakai kondom pada pasangan tetap 13 dan pemakaian kondom pada pasangan berisiko lainnya 19 persen. Pencegahan Penularan HIV pada kelompok penasun bervariasi diantara wilayah. Terlihat bahwa perilaku tidak berbagi basah tertinggi ada di kota Makasar dengan persentase 62 persen. Diikuti kota Pontianak 42 persen dan kota Yogyakarta dana Tangerang berkisar di angka 20 persen. Tingkat pemakaian kondom pada penasun di semua wilayah tergolong rendah berkisar antara 8 hingga 18 persen saja. Sedangkan untuk menggunakan kondom pada seks berisiko lainnya persentase tertinggi sebesar 30 persen (kota Yogyakarta) dan terendah 10 persen di kota Tangerang. 57

74 Gambar 55. Persentase Penasun Menurut Perilaku Pencegahan Penularan HIV dalam Seminggu Terakhir (Selalu pakai kondom sebulan terakhir) Pada STBP 2009, dilakukan survei pada tempat yang sebelumnya belum pernah dilakukan survei. Namun bila dibandingkan dengan survei sebelumnya terlihat bahwa perilaku pencegahan seperti menyuntik sendiri pada saat terakhir nyuntik memiliki persentase lebih tinggi (26 persen) dibandingkan survei sebelumnya (12 persen) yang sebenarnya tergolong angka yang masih kecil. Bila dibandingkan STBP 2009 dengan survei sebelumnya pada perilaku tidak berbagi basah di STBP 2009 lebih tinggi tinggi dibanding STBP SSP 2004 dengan persentase 26 persen pada STBP 2009 dan 19 persen pada SSP Namun bila dibandingkan dengan survei 2007, survei di tahun 2009 memiliki angka yang lebih rendah yakni 33 persen pada STBP Begitu pula halnya dengan perilaku pemakaian kondom pada hubungan seks dengan pasangan berisiko lainnya, survei pada tahun 2009 memiliki angka 2 persen lebih rendah dibanding dengan survei pada tahun Sedangkan pada penggunaan kondom pada pasangan seks tetap persentase di survei 2009 lebih tinggi (13 persen) dan pada survei 2007 (10 persen). Gambar 56. Kecenderungan Persentase Penasun yang Berperilaku Aman dari Penularan HIV

75 G. IMS dan HIV 1. Prevalensi Gonore dan Infeksi Klamidia Infeksi Menular Seksual adalah penyebab tertinggi angka kesakitan dan kematian kesehatan reproduksi pada negera berkembang dan tingginya prevalensi IMS dapat mempermudah penularan HIV. Infeksi Gonore dan Klamidia pada wanita lebih tidak terlihat (asimptomatik) berbeda dengan pria. Resiko penularan IMS makin meningkat pada hubungan seksual beresiko. Infeksi menular seksual yang dapat meningkatkan resiko penularan HIV karena CD4 akan berkumpul didaerah terinfeksi untuk melawan infeksi, dimana CD4 adalah sasaran utama HIV dan ini menyebabkan orang yang menderita infeksi gonore dan klamidia akan lebih mudah tetular HIV. Prevalensi Gonore dan atau infeksi Klamidia tertinggi dari kelompok berisiko yang disurvei ada pada WPS Langsung (56 persen), diikuti oleh WPS Tak Langsung (47 persen), Waria (46 persen), LSL (27 persen) dan Pria Risti (4 persen). Gambar 57. Persentase Responden Menurut Gonore dan Infeksi Klamidia Prevalensi infeksi gonore pada WPS langsung tertinggi di Palembang (51 persen), Tangerang (50 persen), Samarinda (44 persen), Makassar (41 persen), Sorong (35 persen), Yogyakarta (33 persen), Timika (22 persen), Pontianak (20 persen) dan Bitung (19 persen). Prevalensi infeksi Klamidia pada WPS langsung tertinggi di Palembang (61 persen), Tangerang (55 persen), Makassar (51 persen), Samarinda (50 persen), Yogyakarta (47 persen), Sorong (41 persen), Pontianak (27 persen), Bitung (26 persen) dan Timika (23 persen). Prevalensi infeksi Gonore dan atau Klamidia pada WPS langsung tertinggi di Prevalensi infeksi gonore pada WPS langsung tertinggi di Palembang (76 persen), Tangerang (71 persen), Samarinda (67 persen), Makassar (64 persen), Yogyakarta (60 persen), Sorong (58 persen), Timika (38 persen), Pontianak (36 persen) dan Bitung (35 persen). 59

76 Gambar 58. Persentase Gonore dan Infeksi Klamidia STBP 2009 pada WPS Langsung Prevalensi infeksi gonore pada WPS Tak langsung tertinggi di Yogyakarta (29 persen), Samarinda (27 persen), Palembang (26 persen), Tangerang (25 persen), Makassar (25 persen), Sorong (23 persen), Timika (18 persen), Bitung (14 persen) dan Pontianak (10 persen). Prevalensi infeksi Klamidia pada WPS Tak langsung tertinggi di Yogyakarta (48 persen), Samarinda (47 persen), Palembang (47 persen), Sorong (46 persen), Tangerang (41 persen), Makassar (36 persen), Bitung (32 persen), Pontianak (29 persen), dan Timika (28 persen). Prevalensi infeksi Gonore dan atau Klamidia pada WPS Tak langsung tertinggi di Yogyakarta dan Tangerang (59 persen), Palembang (57 persen), Samarinda dan Sorong (55 persen), Makassar (46 persen), Bitung (38 persen), Timika (35 persen) dan Pontianak (31 persen). Gambar 59. Persentase Gonore dan Infeksi Klamidia STBP 2009 pada WPS Tidak Langsung Survei pada Waria pada STBP 2009 dilakukan di 4 wilayah yaitu Palembang, Samarinda, Pontianak dan Makassar namun di Samarinda tidak terealisasi. Prevalensi infeksi gonore pada Waria tertinggi di Makassar (38 persen), Pontianak (24 persen) dan Palembang (23 persen). Prevalensi infeksi Klamidia tertinggi di Makassar (38 persen), Pontianak (33 persen) dan Palembang (29 persen).

77 Prevalensi infeksi Gonore dan atau Klamidia tertinggi di Makassar (56 persen), Pontianak (46 persen) dan Palembang (40 persen). Gambar 60. Persentase Gonore dan Infeksi Klamidia STBP 2009 pada Waria Survei pada Pria Risti pada STBP 2009 dilakukan di 8 wilayah, namun pemeriksaan biologis Gonore dan Klamidia hanya dilakukan di Pontianak, dimana infeksi gonore (1 persen), Klamidia (3 persen0 dan Gonore dan atau Klamidia (4 persen). Gambar 61. Persentase Gonore dan Infeksi Klamidia STBP 2009 pada Pria Risti Survei pada LSL pada STBP 2009 dilakukan di 3 wilayah yaitu Yogyakarta, Tangerang dan Makassar. Prevalensi infeksi gonore pada LSL tertinggi di Tangerang (25 persen), Yogyakarta (15 persen) dan Makassar (13 persen). Prevalensi infeksi Klamidia tertinggi di Tangerang (28 persen), Yogyakarta (17 persen) dan Makassar (7 persen). Prevalensi infeksi Gonore dan atau Klamidia tertinggi di Tangerang (39 persen), Yogyakarta (28 persen) dan Makassar (15 persen). 61

78 Gambar 62. Persentase Gonore dan Infeksi Klamidia STBP 2009 pada LSL Hasil STBP 2009 yang dapat dibandingkan adalah hasil pemeriksaan IMS dan HIV pada kelompok WPS, hasil dibandingkan dengan Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi tahun 2003, 2005, 2007 dan STBP Sedangkan untuk target group lainnya hanya tersedia data STBP tahun 2007 namun ada keterbatasan dengan berbedanya kota yang dilakukan survei tahun 2007 dan tahun Pada WPS, apabila dibandingkan dengan hasil survei sebelumnya Penelitian ISR tahun 2003 dan 2005, 2007 dan STBP tahun 2007, terlihat adanya peningkatan prevalensi infeksi gonore dan klamidia. Interpretasi perlu dilakukan dengan hati hati karena adanya perbedaan wilayah dan metoda pemeriksaan dengan yang digunakan pada penelitian ISR tahun 2003 dan 2005, sedangkan metoda pemeriksaan dan cara pengambilan sampel STBP tahun 2009 sama dengan tahun 2007 menggunakan pengambilan swab yang dilakukan sendiri dan pemeriksaan dilakukan dengan metoda PCR automatis, kualitas hasil pemeriksaan pada STBP 2009 ditingkatkan dengan penggunaan barcode dan automatisasi sehingga semua pencatatan dilakukan secara komputerisasi langsung oleh alat PCR. Hasil perbandingan prevalensi infeksi gonore, klamidia dan sifilis pada WPS terlihat adanya peningkatan prevalensi Gonore dari 29 persen pada tahun 2007 menjadi 35 persen tahun 2009, dan prevalensi Klamidia meningkat dari 35 persen pada tahun 2007 menjadi 42 persen pada tahun Sedangkan prevalensi Sifilis menurun 2 persen dari tahun Gambar 63. Perbandingan Prevalensi Infeksi Gonore, Infeksi Klamidia dan Sifilis pada WPS Langsung Catatan: Data hasil pemeriksaan sifilis Makassar dikeluarkan karena outlier

79 Perbandingan prevalensi Gonore pada WPS Langsung berdasarkan data Penelitian ISR WPS pada tahun 2003, 2005 dan Angka prevalensi gonore tertinggi di Palembang (51 persen), hampir disemua kota terjadi peningkatan prevalensi namun hanay di Timika terjadi penurunan prevalensi gonore sampai dengan 5 persen. Gambar 64. Perbandingan Prevalensi Gonore pada WPS Langsung menurut kota Terjadi kecendrungan peningkatan prevalensi infeksi klamidia pada hampir semua daerah yang disurvei pada tahun 2009, peningkatan tertinggi di Palembang sebanyak 2,3 kali lebih tinggi (61 persen) dari hasil survei sebelumnya pada tahun Gambar 65. Perbandingan Prevalensi Klamidia pada WPS Langsung menurut kota Perbandingan prevalensi Gonore pada WPS Tak Langsung berdasarkan data Penelitian ISR WPS pada tahun 2003, 2005 dan Terjadi peningkatan angka yang signifikan di Yogyakarta dari 3 persen menjadi 29 persen, beberapa daerah menunjukkan peningkatan seperti di Samarinda, Makassar dan Timika sedangkan di Palembang dan Pontianak menunjukkan penurunan prevalensi hampir 50 persen sedangkan di Bitung angka prevalensinya relatif stabil. 63

80 Gambar 66. Kecendrungan Prevalensi Gonore pada WPS Tak Langsung menurut kota Perbandingan prevalensi Klamidia pada WPS Tak Langsung berdasarkan data Penelitian ISR WPS pada tahun 2003, 2005 dan Hampir semua daerah menunjuukkan peningkatan prevalensi terutama di yogjakarta terjadi peningkatan hampir 4 kali lipat dari sebelumnya 14 persen menjadi 48 persen di tahun 2009, peningkatan juga terjadi di Palembang, Samarinda, Makassar, Bitung dan Timika sedangkan penurunan prevalensi ditemukan di Pontinak dari 37 persen pada tahun 2007 menjadi 29 persen tahun Gambar 67. Kecendrungan Prevalensi Klamidia pada WPS Tak Langsung menurut kota 2. Prevalensi HIV dan Sifilis Meskipun Infeksi Menular Seksual telah menyebabkan angka kematian dan kesakitan yang tinggi selama bertahun tahun, namun karena adanya HIV menyebabkan penanganan IMS mendapatkan prioritas yang tinggi baik di negara maju maupun negara berkembang. Ini disebabkan karena IMS mempermudah penularan HIV serta IMS dan HIV memiliki faktor resiko perilaku yang hampir serupa. IMS yang ulseratif maupun yang non ulseratif lebih rentan untuk terjadinya infeksi HIV. Penyebaran IMS termasuk HIV dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor yaitu : 1) Rata rata paparan orang rentan

81 dengan orang terinfeksi. 2) Rata rata kemungkinan orang rentan yang terpajan akan terinfeksi (rata rata efisiensi transmisi). 3) Rata rata waktu orang yang baru terinfeksi dan tetap infeksius serta dapat terus menularkan infeksi. Modelling efek dinamis dari pencegahan IMS atau pengobatan dapat menurunkan angka IMS dan HIV dan menggambarkan efek yang dramatis. Dengan mengobati dan mencegah kasus sifilis diantara populasi berisiko terkena IMS dapat menurunkan resiko penularan HIV. Prevalensi HIV tertinggi hasil STBP 2009 ada pada populasi Penasun (27 persen) diikuti oleh Waria (9 persen), WPS Langsung (8 persen), LSL (7 persen), WPS Tak Langsung (3 persen) dan yang terendah adalah Pria Risti (0,8 persen). Sementara itu prevalensi Sifilis tertinggi ada pada Waria (12 persen), diikuti oleh LSL (8 persen), WPS Langsung (7 persen), Pria Risti (4 persen), WPS Tak Langsung (3 persen), dan yang terendah Penasun hanya 0,9 persen. Prevalensi HIV dan Sifilis pada populasi berisiko yang dilihat secara bersamaan juga dapat menggambarkan model penularan HIV, dimana hanya pada populasi Penasun prevalensi HIV dan Sifilisnya berbeda cukup jauh. Hal ini menggambarkan bahwa pada Penasun penularan HIV tidak melalui hubungan seks berisiko tetapi melalui pertukaran jarum suntik. Gambar 68. Persentase Menurut Prevalensi HIV dan Sifilis Prevalensi HIV pada WPS Langsung tertinggi di Sorong (21 persen), diikuti oleh Timika (14 persen), Makassar (9 persen), Tangerang (9 persen), Yogyakarta (5 persen), Samarinda (5 persen), Palembang (4 persen), Pontianak (4 persen) dan Bitung ( 3 persen). Sedangkan prevalensi sifilis pada WPS Langsung tertinggi di Sorong (15 persen), diikuti oleh Palembang (11 persen), Timika (8 persen), Makassar (8 persen), Tangerang (6 persen), Pontianak (6 persen), Tangerang (6 persen), Bitung (6 persen), Yogyakarta (5 persen), dan yang terendah Samarinda (1 persen). 65

82 Gambar 69. Persentase HIV dan Sifilis STBP 2009 pada WPS Langsung Prevalensi HIV pada WPS Tak Langsung tertinggi di Tangerang (7 persen), Makassar (5 persen), Yogyakarta (4 persen), Bitung (4 persen), Timika (4 persen), Sorong ( 3 persen), Pontianak (2 persen), Samarinda (2 persen) dan yang terendah Palembang (1 persen). Sedangkan prevalensi sifilis pada WPS Langsung tertinggi Tangerang (11 persen), Pontianak (4 persen), Timika (4 persen), Bitung (3 persen), Sorong (3 persen), Samarinda (2 persen), Palembang (1 persen), Yogyakarta (1 persen) dan Makassar (1 persen). Gambar 70. Persentase HIV dan Sifilis STBP 2009 pada WPS Tak Langsung Prevalensi HIV pada Waria dari 3 wilayah survei tertinggi di Makassar (13 persen) dan terendah di Palembang (7 persen). Sedangkan prevalensi Sifilis tertinggi di Makassar (16 persen) dan terendah di Pontianak (8 persen).

83 Gambar 71. Persentase HIV dan Sifilis STBP 2009 pada Waria Prevalensi HIV pada Pria Risti di Pontianak ( 0,8 persen), Bitung (0,5 persen), Samarinda (0,3 Persen) dan Timika (0.3 persen). Sedangkan prevalensi Sifilis tertinggi di Pontianak (6,1 persen), Timika (5 persen), Samarinda ( 3,8 persen) dan terendah di Bitung (1,8 persen). Gambar 72. Persentase HIV dan Sifilis STBP 2009 pada Pria Risti Prevalensi HIV pada LSL di tertinggi di Tangerang (10 persen) dan terendah di Makassar (3 persen). Sedangkan prevalensi Sifilis tertinggi di Yogyakarta (13 persen) dan terendah di Makassar (1 persen). Gambar 73. Persentase HIV dan Sifilis STBP 2009 pada LSL 67

84 Prevalensi HIV pada Penasun tertinggi di Tangerang ( 40 persen) dan terendah di Yogyakarta (7 persen), hal ini perlu dicermati kemungkinan adanya bias saat pengumpulan sampel RDS di Yogyakarta. Sedangkan prevalensi sifilis di 4 (empat) wilayah survei rata rata 1 persen. Gambar 74. Persentase HIV dan Sifilis STBP 2009 pada Penasun Perbandingan prevalensi Sifilis pada WPS Langsung berdasarkan data Penelitian ISR WPS pada tahun 2003, 2005 dan Terjadi penurunan angka prevalensi di Tangerang dari 10 persen di tahun 2007 menjadi 6 persen di tahun Penurunan angka prevalensi ditemukan juga di Bitung sedangkan kenaikan prevalensi ditemukan juga di Palembang, Yogyakarta, Pontinak, Sorong, dan di Timika ditemukan kenaikan 4 kali lipat dari tahun sebelumnya sedangkan di Samarinda menunjukkan hasil yang relatif stabil. Gambar 75. Perbandingan Prevalensi Sifilis pada WPS Langsung menurut kota Perbandingan prevalensi Sifilis pada WPS Tak Langsung berdasarkan data Penelitian ISR WPS pada tahun 2003, 2005 dan Terjadi kenaikan angka prevalensi sifilis di Pontianak dari 0,9 persen pada tahun 2007 menjadi 4 persen di tahun 2009, samarinda menjadi 2 persen, Timika menjadi 4 persen. Dan terjadi penurunan angka di Palembang, Yogyakarta menjadi 1 persen, sedangkan di Bitung dan Sorong tetap stabil diangka 3 persen.

85 Gambar 76. Kecendrungan Prevalensi Sifilis pada WPS Tak Langsung menurut kota 3. Tanda IMS dan Tindakan Pengobatan Beberapa IMS seringkali tanpa menimbulkan gejala yang dapat dirasakan, sehingga penderita tetap merasa sehat walaupun sudah terinfeksi IMS dan tetap melakukan perilaku berisiko. Selain itu, adanya diskriminasi dan rasa malu juga menyebabkan gejala IMS tidak diobati dengan benar. Hal tersebut membuat pengendalian IMS menjadi semakin sulit. Kelompok berisiko yang pernah merasakan gejala IMS (Nyeri ketika buang air kecil, benjolan disekitar kelamin, keluar cairan yang tidak normal dari alat kelamin dan gejala IMS lainnya) paling banyak dalam setahun terakhir adalah LSL (40 persen), WPS Langsung (33 persen), diikuti oleh Penasun (32 persen), Waria (31 persen), WPS Tak Langsung (21 persen) dan yang terendah adalah Pria Risti (8 persen). Persentase yang pernah mengalami gejala IMS setahun terakhir dari sebagian besar kelompok berisiko jauh dibawah persentase yang sedang terinfeksi salah satu IMS yang disurvei. Kelompok berisiko dengan persentase tertinggi dalam mengambil tindakan yang benar ketika mengalami gejala IMS adalah Waria (43 persen), diikuti oleh Pria Risti (41 persen), LSL (37 persen), WPS Tak Langsung (31 persen) dan yang terendah WPS Langsung (30 persen). Tabel 28. Persentase Responden Menurut Tindakan Ketika Mengalami Gejala IMS Setahun Terakhir Tindakan WPS L WPS TL Waria Pria Risti LSL Penasun Tidak diobati Diobati Sendiri Diobati ke Puskesmas/ RS Diobati ke dokter Pengobatan Tradisional

86 H. SSP Remaja Kelompok remaja pada surveilans tahun 2009 diwakili oleh murid kelas 3 SLTA di 4 kota/kabupaten, yaitu (1) Kota Tangerang, (2) Kota Yogyakarta, (3) Kota Pontianak dan sekitarnya, dan (4) Kota Samarinda. Surveilans pada kelompok remaja bertujuan untuk mendapatkan cakupuan program, menentukan tingkat pengetahuan dan persepsi tentang penularan dan pencegahan HIV, serta perilaku berisiko pada populasi rawan (remaja). Pemilihan murid kelas 3 SLTA untuk mewakili remaja sebagai sasaran surveilans perilaku tahun 2009 dilakukan karena pertimbangan praktis, baik dari segi metodologi survei maupun dari sisi kebutuhan tenaga dan biaya. Pendekatan melalui anak sekolah mungkin kurang mewakili remaja secara keseluruhan, untuk itu hasil SSP dari kalangan remaja ini secara umum hanya merupakan representasi dari remaja yang masih/sedang bersekolah di SLTA 1. Pemilihan sampel Pemilihan dilakukan dua tahap, yaitu (i) pemilihan sekolah, dan (ii) pemilihan kelas. Pemilihan sekolah dilakukan secara sistematik dengan probability proportional to size (pps) sampling, dengan ukuran banyaknya murid laki-laki dan perempuan di setiap sekolah, sedangkan pemilihan kelas dari setiap sekolah terpilih dilakukan secara acak dari jumlah kelas 3 yang ada di sekolah terpilih. Dalam rangka pemilihan sekolah dibentuk kerangka sampel, yaitu daftar seluruh SLTA di wilayah survei, lengkap dengan jumlah kelas dan jumlah murid laki-laki dan murid perempuan di setiap sekolah. Daftar sekolah tersebut disusun/diurutkan menurut jenis sekolah (umum dan kejuruan). Dengan perhitungan target sampel minimal sebanyak 1000 murid dan mempertimbangkan proporsi murid laki-laki dan perempuan mendekati sama, maka jumlah SLTA terpilih ditentukan sebanyak 35 sekolah di masing-masing kota (dengan perkiraan rata-rata murid per kelas sebanyak 30 orang), kemudian dari setiap sekolah terpilih dipilih satu kelas 3 secara acak. Seluruh murid kelas 3 dari kelas terpilih merupakan sampel SSP remaja. 2. Karakteristik Responden Jumlah murid sekolah yang menjadi responden survei di 4 wilayah survei sebanyak orang, dengan rincian sebagai berikut.

87 Tabel 29. Jumlah Responden Remaja No Provinsi Kota Jumlah responden Perempuan Laki-laki Total 1 Banten Kota Tangerang DI Yogyakarta Kota Yogyakarta Kalimantan Barat Kota Pontianak dan sekitarnya Kalimantan Timur Kota Samarinda Total Dari responden remaja terdapat 82 persen murid perempuan dan 83 persen murid laki-laki tinggal bersama dengan orang tua kandung. a. Kota Tangerang Jumlah murid yang menjadi responden survei adalah orang, bila dilihat menurut jenis kelamin siswa jumlah responden perempuan sebesar 489 (49 persen) dan jumlah responden laki-laki sebesar 511 (51 persen). Dari jumlah responden yang ada, sekitar 93 persen murid perempuan dan 95 persen murid laki-laki tinggal bersama dengan orang tua kandung. b. Kota Yogyakarta Jumlah responden sebanyak 993 orang terdiri dari 495 (50 persen) responden perempuan dan 498 (50 persen) responden laki-laki. Dari jumlah responden yang ada, sekitar 71 persen murid perempuan dan 78 persen murid laki-laki tinggal bersama dengan orang tua kandung. c. Kota Pontianak dan sekitarnya Jumlah responden sebanyak orang terdiri dari 521 (52 persen) responden perempuan dan 485 (48 persen) responden laki-laki. Dari jumlah responden yang ada, sekitar 77 persen murid perempuan dan 75 persen murid laki-laki tinggal bersama dengan orang tua kandung. d. Kota Samarinda Jumlah responden sebanyak 999 orang terdiri dari 537 (54 persen) responden perempuan dan 462 (46 persen) responden laki-laki. Dari jumlah responden yang ada, sekitar 85 persen murid perempuan dan 86 persen murid laki-laki tinggal bersama dengan orang tua kandung. 3. Pengetahuan Tentang Penularan HIV Hampir semua responden (99.9 persen) menyatakan pernah mendengar tentang HIV/AIDS. Media yang paling luas jangkauannya dalam memberikan informasi adalah televisi. Tabel 30. Persentase Responden Remaja Menurut Sumber Informasi HIV/AIDS 71

88 Sumber Informasi HIV/AIDS Tangerang Yogyakarta Pontianak dsk Samarinda P L T P L T P L T P L T Radio Televisi Surat Kabar/Majalah Tabloid Selebaran/poster Petugas kesehatan Guru Teman Keluarga Baliho/bilboard Petugas LSM Keterangan: P= Perempuan L=Laki-laki T=Total Secara umum tingkat pengetahuan yang benar tentang cara menghindari penularan HIV pada responden remaja sudah cukup tinggi. Pengetahuan cara menghindari HIV yang tertinggi adalah tidak menggunakan jarum dan alat suntik secara bersamaan. Tabel 31. Persentase Responden Remaja Menurut Pengetahuan Cara Menghindari Penularan HIV Pengetahuan cara menghindari penularan HIV Tidak melakukan hubungan seks Hanya melakukan seks dengan satu pasangan yang setia Menggunakan kondom saat melakukan seks Menghindari penggunaan jarum suntik secara bersamaan Tangerang Yogyakarta Pontianak dsk Samarinda P L T P L T P L T P L T Keterangan: P= Perempuan L=Laki-laki T=Total Sementara beberapa persepsi yang salah tentang cara penularan HIV pada responden remaja masih cukup tinggi. Pengetahuan yang salah tentang cara menghindari penularan HIV yang tertinggi adalah dengan makan makanan bergizi dapat menghindari dari penularan HIV. Responden remaja yang menganggap dapat mengetahui seseorang telah terinfeksi HIV dengan cara melihatnya terlihat cukup rendah (5 persen), namun masih ada 32 persen remaja yang menjawab tidak tahu.

89 Tabel 32. Persentase Responden Remaja Menurut Pengetahuan yang Salah Tentang Cara Penularan HIV Pengetahuan yang salah tentang cara menghindari penularan HIV Minum obat/ramuan tradisional sebelum melakukan hubungan seks Menghindari gigitan nyamuk atau serangga lainnya Tidak menggunakan secara bersama-sama pakaian dan alat makan Tangerang Yogyakarta Pontianak dsk Samarinda P L T P L T P L T P L T Makan makanan bergizi Dapat mengetahui seseorang telah terinfeksi HIV dengan cara melihatnya Keterangan: P= Perempuan L=Laki-laki T=Total Responden ditanyakan mengenai sikap mereka apabila ada seseorang yang mereka ketahui mengidap HIV. Kurang dari separuhnya akan berteman seperti biasa kecuali di Kota Yogyakarta. Gambar 77. Persentase Responden Remaja Menurut Sikap Terhadap Teman yang Terinfeksi HIV Salah satu indikator dalam Millenium Develepoment Goals (MDGs) dan dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) adalah pengetahuan komprehensif tentang HIV pada usia tahun. Indikator tersebut diukur dengan menggunakan 5 pertanyaan, yaitu: 73

90 1. Bisakah seseorang mengurangi risiko tertular HIV dengan cara menggunakan kondom dengan benar setiap kali melakukan seks? 2. Apakah dengan saling setia pada pasangan dapat mengurangi risiko tertular HIV? 3. Bisakah seseorang tertular HIV dengan cara menggunakan alat makan atau minum secara bersama dg seseorang yg sudah terinfeksi HIV? 4. Bisakah seseorang tertular virus HIV melalui gigitan nyamuk/serangga? 5. Dapatkah Anda mengetahui seseorang sudah terinfeksi HIV hanya dgn melihatnya? Pada SSP ini, terdapat 27 persen responden remaja mempunyai pengetahuan HIV yang komprehensif, dengan presentase tertinggi berada di kota Yogyakarta (32 persen). Gambar 78. Persentase Responden Remaja Menurut Pengetahuan Komprehensif tentang HIV Survei Surveilans Perilaku (SSP) remaja pernah dilakukan di kota Jakarta dan Kota Surabaya pada tahun 2004 dan tahun , namun hasil SSP remaja 2009 tidak bisa dibandingkan dengan tahun 2004 dan Pada penjelasan berikut ini akan menekankan kepada gambaran situasi yang terjadi pada hasil SSP tahun 2004, 2007 dan Pengetahun remaja tentag cara menghindari penularan HIV pada tahun 2004, 2007 dan 2009, paling tinggi adalah menghindari penggunaan jarum suntik secara bersamaan. Tabel 33. Persentase Responden Remaja Menurut Pengetahuan Cara Menghindari Penularan HIV tahun 2004, 2007, dan 2009 Pengetahuan cara menghindari penularan HIV 2004 (n=2.160) 2007 (n=2.160) 2009 (n=3.998) Tidak melakukan hubungan seks Hanya melakukan seks dengan satu pasangan yang setia Menggunakan kondom saat melakukan seks Menghindari penggunaan jarum suntik secara bersamaan SSP Remaja 2004 dilakukan di Kota Jakarta Pusat dan Kota Surabaya sedangkan SSP Remaja 2007 dilakukan di lima kota di DKI Jakarta dan Kota Surabaya. Metodologi pengambilan sampel pada SSP 2004, 2007, dan 2009 adalah sama.

91 Pada hasil SSP 2004, 2007 dan 2009, lebih dari 99 persen responden remaja mengaku pernah mendengar tentang HIV dan AIDS. Media yang paling luas jangkauannya dalam memberikan informasi adalah televisi (lebih dari 90 persen). Tabel 34. Persentase Responden Remaja Menurut Pengetahuan yang Salah Tentang Cara Penularan HIV tahun 2004, 2007, dan 2009 Pengetahuan yang salah tentang cara menghindari penularan HIV 2004 (n=2.160) 2007 (n=2.160) 2009 (n=3.998) Minum obat/ramuan tradisional sebelum melakukan hubungan seks Menghindari gigitan nyamuk atau serangga lainnya Tidak menggunakan secara bersama-sama pakaian dan alat makan Makan makanan bergizi Dapat mengetahui seseorang telah terinfeksi HIV dengan cara melihatnya 4* 42 5* * tidak termasuk responden yang menjawab tidak tahu Pengetahuan remaja tentang sikap terhadap teman yang terinfeksi HIV pada SSP tahun 2004, 2007 dan 2009, lebih dari 43 persen mengaku untuk tetap berteman seperti biasa. Tabel 35. Persentase Responden Remaja Menurut Sikap Terhadap Teman yang Terinfeksi HIV tahun 2004, 2007, dan 2009 Sikap remaja terhadap teman yang terinfeksi HIV 2004 (n=2.160) 2007 (n=2.160) 2009 (n=3.998) Mengucilkan Menjaga jarak Tetap berteman seperti biasa Perilaku Seks dan Penggunaan Kondom Norma yang berlaku secara umum pada masyarakat Indonesia bahwa hubungan seks hanya dibenarkan pada pasangan yang sudah menikah. Hubungan seks diluar ikatan pernikahan masih dianggap tabu serta merupakan pelanggaran norma sosial dan hukum agama. Sebanyak 10 persen responden mengaku pernah berhubungan seksual dan 65 persen responden mengaku mempunyai teman yang berhubungan seks. Hasil SSP pada remaja juga menunjukan bahwa persentase remaja yang pernah melakukan hubungan seks lebih tinggi pada remaja laki-laki dari perempuan. Hal tersebut juga termasuk responden laki-laki yang pernah berhubungan seks dengan WPS. 75

92 Gambar 79. Persentase Responden Remaja Menurut Perilaku Seks Dari responden remaja yang mengaku pernah berhubungan seks, sebanyak 52 persen mengaku menggunakan kondom ketika berhubungan seksual yang terakhir kali. Konsistensi penggunaan kondom pada hubungan seks setahun terakhir pada responden remaja jauh lebih rendah dari penggunaan kondom pada hubungan seks terakhir. Sebanyak 11 persen remaja mengaku selalu menggunakan kondom pada hubungan seks setahun terakhir. Gambar 80. Persentase Responden yang Pernah Berhubungan Seks Menurut Penggunaan Kondom pada Hubungan Seks Terakhir Pada SSP 2004, 2007 dan 2009 situasi perilaku seks relatif hampir sama. Responden remaja yang pernah berhubungan seks, lebih dari 40 persen mengaku menggunakan kondom pada hubungan seks terakhir.

93 Tabel 36. Persentase Responden Menurut Perilaku Seks Tahun 2004, 2007 dan 2009 Perilaku seks 2004 (n=2.160) 2007 (n=2.160) 2009 (n=3.998) Pernah berhubungan seks Pernah berhubungan seks anal Berhubungan seks komersial (1 tahun terakhir) Penggunaan kondom pada hubungan seks terakhir (% dari yang pernah berhubunngan seks) 54 (n=169) 44 (n=206) 52 (n= 392) 5. Perilaku Menggunakan Napza Secara umum, responden remaja yang pernah merokok adalah 46 persen (perempuan 22 persen, laki-laki 70 persen). Responden remaja yang mengaku pernah mengkosumsi minuman beralkohol sebanyak 40 persen, dan 43 persen diantaranya mengaku pernah mabuk. Merokok dan minum minuman berakohol biasanya dilakukan remaja karena ingin mencoba dan atau ingin menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Hal ini tidak berbeda dengan penggunaan Napza yang juga seringkali diawali dengan merokok dan minum minuman beralkohol. Dari hasil SSP Remaja ini diketahui 6 persen remaja mengaku pernah menggunakan Napza (perempuan 2 persen, laki-laki 11 persen). Gambar 81. Persentase Responden Remaja Menurut yang Pernah Menggunakan NAPZA Napza yang paling sering disebutkan oleh responden yang pernah menggunakan Napza adalah Ganja (79 persen), diikuti oleh Pil Koplo (33 persen), Shabu-shabu (29 persen), Ektasi (23 persen), Putaw (7 persen) dan Kokain (5 persen). Responden remaja yang pernah menggunakan Napza Suntik masih cukup sedikit yaitu hanya 0.4 persen (0.1 persen perempuan dan 0.7 persen laki-laki). Dari responden remaja yang mengaku pernah menggunakan napza di empat kota SSP 2009, 77

94 sebagian kecil (kurang dari 12 persen) menggunakan napza pertama kali ketika duduk di bangku sekolah dasar. Tabel 37. Persentase Responden Remaja yang Pernah Menggunakan Napza Menurut Tingkat Sekolah Ketika Pertama Kali Menggunakan Napza Tingkat sekolah ketika pertama kali menggunakan Napza Tangerang (n= 62) Yogyakarta (n=51) Pontianak dsk (n=64) Samarinda (n=35) P L T P L T P L T P L T Sekolah Dasar (SD) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertema (SLTP) Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) Keterangan: P= Perempuan L=Laki-laki T=Total Situasi berdasarkan hasil SSP 2004, 2005 dan 2007, persentase responden remaja yang mengaku pernah menggunakan Napza bervariasi (2004 = 17 persen, 2007 = 12 persen dan 2009 = 6 persen). Dari responden yang pernah menggunakan napza, hasil SSP di tiga waktu tersebut memperlihatkan sebagian besar responden remaja menggunakan napza pertamakali ketika duduk di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). 6. Cakupan Program Salah satu upaya pengurangan perilaku berisiko pada kelompok remaja adalah dengan melakukan kegiatan pendidikan atau pemberian informasi terkait HIV dan narkoba. Sebagian besar responden remaja mengaku pernah menerima penyuluhan tentang bahaya Napza dan HIV/AIDS di sekolahnya. Tetapi program lainnya seperti keterampilan bernegosiasi untuk menolak seks dan Napza, penyuluhan kesehatan reproduksi dan IMS serta kegiatan peer educarion di sekolah masih harus ditingkatkan.

95 Tabel 38. Program Pengendalian HIV di Sekolah Intervensi di Sekolah Penyuluhan kesehatan reproduksi Tangerang Yogyakarta Pontianak dsk Samarinda P L T P L T P L T P L T Penyuluhan IMS Penyuluhan HIV/AIDS Penyuluhan narkoba/napza Ketrampilan bernegosiasi untuk menolak seks dan Napza Ada kegiatan Peer education di sekolah Keterangan: P= Perempuan L=Laki-laki T=Total SSP remaja pada tahun 2004, 2005 dan 2006 menunjukkan situasi yang relatif sama. Peringkat pertama kegiatan terkait HIV dan narkoba yang ada disekolah responden adalah kegiatan penyuluhan narkoba/napza dan penyuluhan HIV/AIDS. Gambar 82. Persentase Responden Remaja Menurut yang Pernah Menerima Program Pengendalian HIV di Sekolah Tahun 2004, 2007,

Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI. Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan

Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI. Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan PENDAHULUAN Secara umum Indonesia adalah negara dengan epidemi rendah, tetapi terkonsentrasi

Lebih terperinci

SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU

SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU 1 Tujuan Menentukan kecenderungan prevalensi HIV, Sifilis, Gonore, dan Klamidia di antara Populasi Paling Berisiko di beberapa kota di Indonesia. Menentukan kecenderungan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama infeksi berlangsung,

Lebih terperinci

Daftar Isi Buku 1 - Pedoman Koordinator Lapangan dan Pengawas

Daftar Isi Buku 1 - Pedoman Koordinator Lapangan dan Pengawas Daftar Isi Buku 1 - Pedoman Koordinator Lapangan dan Pengawas DAFTAR ISI 1 BAB 1 PENDAHULUAN 2 1.1 Latar Belakang 2 1.2 Tujuan 3 1.3 Ruang Lingkup 4 BAB 2 METODOLOGI UMUM 5 2.1 Umum 5 2.2 Lokasi Studi

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu masalah kesehatan global yang jumlah penderitanya meningkat setiap

Lebih terperinci

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN PENGARUH STIGMA DAN DISKRIMINASI ODHA TERHADAP PEMANFAATAN VCT DI DISTRIK SORONG TIMUR KOTA SORONG Sariana Pangaribuan (STIKes Papua, Sorong) E-mail: sarianapangaribuan@yahoo.co.id ABSTRAK Voluntary Counselling

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat 16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Human Immuno-deficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang menyerang system kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit yang

Lebih terperinci

Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP), 2009

Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP), 2009 BADAN PUSAT STATISTIK Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP), 2009 ABSTRAKSI Untuk dapat memberikan gambaran epidemi yang terjadi pada kelompok populasi paling berisiko dalam terjadinya epidemi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Semoga hasil STBP 2011 ini bermanfaat dalam peningkatan upaya pengendalian HIV-AIDS dan IMS di Indonesia. Jakarta, Desember 2011

KATA PENGANTAR. Semoga hasil STBP 2011 ini bermanfaat dalam peningkatan upaya pengendalian HIV-AIDS dan IMS di Indonesia. Jakarta, Desember 2011 i iii iv KATA PENGANTAR Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) ini merupakan bagian dari kegiatan surveilans HIV-AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS) yang telah dilaksanakan sejak tahun 1996,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik

BAB I PENDAHULUAN. Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dua dasa warsa lebih sudah, sejak dilaporkannya kasus AIDS yang pertama di Indonesia tahun 1987 di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar Bali, respon reaktif

Lebih terperinci

Laporan Survei Surveilans Perilaku Berisiko Tertular HIV di Nanggroe Aceh Darussalam 2008

Laporan Survei Surveilans Perilaku Berisiko Tertular HIV di Nanggroe Aceh Darussalam 2008 Laporan Survei Surveilans Perilaku Berisiko Tertular HIV di Nanggroe Aceh Darussalam 2008 ISBN: 978-979-19889-0-2 Ukuran Buku: 21 cm x 28 cm Jumlah Halaman: 70 halaman Tim Penyusun: Dr. Pandu Riono, MPH,

Lebih terperinci

Pelibatan Komunitas GWL dalam Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HIV bagi GWL

Pelibatan Komunitas GWL dalam Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HIV bagi GWL Pelibatan Komunitas GWL dalam Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HIV bagi GWL Oleh GWL-INA FORUM NASIONAL IV JARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN Kupang, 6 September 2013 Apa itu GWL dan GWL-INA GWL adalah gay,

Lebih terperinci

STBP. Survei Terpadu Biologis dan Perilaku STBP 2013

STBP. Survei Terpadu Biologis dan Perilaku STBP 2013 STBP 2013 Survei Terpadu Biologis dan Perilaku STBP 2013 ii Kata Pengantar Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) merupakan bagian dari kegiatan surveilans HIV- AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS)

Lebih terperinci

Situasi HIV & AIDS di Indonesia

Situasi HIV & AIDS di Indonesia Situasi HIV & AIDS di Indonesia 2.1. Perkembangan Kasus AIDS Tahun 2000-2009 Masalah HIV dan AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari apabila

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epidemi HIV/AIDS di Indonesia Epidemi HIV di Indonesia telah berlangsung selama 25 tahun dan sejak tahun 2000 sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu penyebab masalah kesehatan, sosial dan ekonomi di banyak negara serta merupakan salah satu pintu masuk HIV. Keberadaan

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2003 B a l i. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2003 B a l i. iii. iii Laporan Hasil SSP 2003 B a l i iii iii Kata Pengantar Bersamaan dengan pelaksanaan Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2002 di 10 Propinsi, kerjasama Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Program Aksi Stop

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL) Departemen Kesehatan

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2003 Sumatera Selatan. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2003 Sumatera Selatan. iii. iii iii iii Kata Pengantar Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) Departemen Kesehatan dan Proyek Aksi Stop

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan AIDS adalah suatu penyakit yang fatal. Penyakit ini disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan penyakit menular akibat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan tubuh serta

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2003 Jayapura (Papua) iii. iii

Laporan Hasil SSP 2003 Jayapura (Papua) iii. iii iii iii Daftar Isi Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Gambar Tabel Indikator Kunci i iii v vii 1. Pendahuluan 1 Latar Belakang 1 Survei Surveilans Perilaku 1 Sasaran Survei 2 Metode Survei 2 Sketsa Lokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan diduga akan berkepanjangan karena masih terdapat faktor-faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. dan diduga akan berkepanjangan karena masih terdapat faktor-faktor yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epidemi HIV&AIDS di Indonesia sudah berlangsung selama 15 tahun dan diduga akan berkepanjangan karena masih terdapat faktor-faktor yang memudahkan penularan virus penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan mempunyai hampir tiga kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS

BAB I PENDAHULUAN. akan mempunyai hampir tiga kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah HIV dan AIDS merupakan masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari jumlah kasus AIDS yang dilaporkan setiap

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2003 Maluku. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2003 Maluku. iii. iii Laporan Hasil SSP 2003 Maluku iii iii Kata Pengantar Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) Departemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah internasional dalam bidang kesehatan adalah upaya menghadapi masalah Infeksi Menular Seksual (IMS) yang tertuang pada target keenam Millennium Development

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Virus ini menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh

Lebih terperinci

ESTIMASI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI BALI TAHUN 2007

ESTIMASI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI BALI TAHUN 2007 ESTIMASI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI BALI TAHUN 2007 1800000 1600000 Proyeksi Kasus HIV/AIDS di Indonesia 1400000 1200000 Jumlah Infeksi 1000000 800000 600000 400000 200000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya jumlah kasus infeksi HIV khususnya pada kelompok Wanita Penjaja Seks (WPS) di Indonesia pada saat ini, akan menyebabkan tingginya risiko penyebaran infeksi

Lebih terperinci

KOMISI PENANGGULANGAN AIDS

KOMISI PENANGGULANGAN AIDS B A K T I S H U A D A KOMISI PENANGGULANGAN AIDS L A P O R A N N A S I O N A L B A K T I S H U A D A KOMISI PENANGGULANGAN AIDS L A P O R A N N A S I O N A L KEGIATAN ESTIMASI POPULASI DEWASA RAWAN TERINFEKSI

Lebih terperinci

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan Sutjipto PKMK FK UGM Disampaikan pada Kursus Kebijakan HIV-AIDS 1 April 216 1 Landasan teori 2 1 EPIDEMIOLOGY (Definisi ) 1.

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2002 Jawa Timur. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2002 Jawa Timur. iii. iii iii iii Kata Pengantar Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) Departemen Kesehatan dan Proyek Aksi Stop

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah keseluruhan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau orang

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah keseluruhan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau orang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah keseluruhan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau orang yang terjangkit HIV di dunia sampai akhir tahun 2010 diperkirakan 34 juta orang. Dua pertiganya

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2003 Sulawesi Selatan. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2003 Sulawesi Selatan. iii. iii iii iii Kata Pengantar Bersamaan dengan pelaksanaan Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2002 di 10 Propinsi, kerjasama Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Program Aksi Stop AIDS dari Family Health International

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2002 Riau. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2002 Riau. iii. iii iii iii Kata Pengantar Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) Departemen Kesehatan dan Proyek Aksi Stop

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit yang datang.

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2002 DKI Jakarta. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2002 DKI Jakarta. iii. iii iii iii Kata Pengantar Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) Departemen Kesehatan dan Proyek Aksi Stop

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2002 Jawa Barat. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2002 Jawa Barat. iii. iii iii iii Kata Pengantar Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) Departemen Kesehatan dan Proyek Aksi Stop

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom. penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom. penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013). BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Human Immunodeficiensy Vyrus (HIV) yaitu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom (AIDS) adalah sindrom kekebalan

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2003 Nusa Tenggara Timur. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2003 Nusa Tenggara Timur. iii. iii iii iii Kata Pengantar Bersamaan dengan pelaksanaan Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2002 di 10 Propinsi, kerjasama Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Program Aksi Stop AIDS dari Family Health International

Lebih terperinci

Satiti Retno Pudjiati. Departemen Dermatologi dan Venereologi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Satiti Retno Pudjiati. Departemen Dermatologi dan Venereologi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Satiti Retno Pudjiati Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Layanan HIV PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN

Lebih terperinci

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2 Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 201 Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2 1 Puskesmas Bulupoddo, 2 Dinas Kesehatan Kabupaten Sinjai, Sulawesi

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2002 Sumatera Utara. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2002 Sumatera Utara. iii. iii iii iii Kata Pengantar Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) Departemen Kesehatan dan Proyek Aksi Stop

Lebih terperinci

ESTIMASI POPULASI DEWASA RAWAN TERINFEKSI HIV 2009

ESTIMASI POPULASI DEWASA RAWAN TERINFEKSI HIV 2009 ESTIMASI POPULASI DEWASA RAWAN TERINFEKSI HIV 2009 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2009 Kata Pengantar Epidemi HIV di Indonesia dalam 5 tahun terakhir telah terjadi perubahan dari Low Level Epidemic

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2002 Merauke (Papua)

Laporan Hasil SSP 2002 Merauke (Papua) Laporan Hasil SSP 2002 Merauke (Papua) i i Kata Pengantar Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) Departemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV/AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian sangat serius. Hal ini karena jumlah kasus AIDS yang dilaporkan setiap tahunnya

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) pada tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan IMS seperti perubahan demografi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya pencegahan IMS yang dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dahulu kala lebih menitik beratkan kepada upaya kuratif, sekarang sudah

BAB I PENDAHULUAN. yang dahulu kala lebih menitik beratkan kepada upaya kuratif, sekarang sudah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konsep dan strategi pembangunan kesehatan telah mengalami pergeseran, yang dahulu kala lebih menitik beratkan kepada upaya kuratif, sekarang sudah berorientasi kepada

Lebih terperinci

Sugiarto Program Studi Kesehatan Masyarakat, STIKES Harapan Ibu Jambi

Sugiarto Program Studi Kesehatan Masyarakat, STIKES Harapan Ibu Jambi JURNAL KESEHATAN TERPADU 1(2) : 44 48 ISSN : 2549-8479 HUBUNGAN STATUS PERNIKAHAN DAN KEPEMILIKAN KONDOM DENGAN PENGGUNAAN KONDOM SAAT MELAKUKAN HUBUNGAN SEKSUAL PADA PASANGAN TIDAK TETAP PENGGUNA NAPZA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini masih terdapat banyak penyakit di dunia yang belum dapat diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan kesehatan yang sebelumnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan pada peningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit menular yang belum dapat diselesaikan dan termasuk iceberg phenomenon atau fenomena

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik I

2 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik I BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1238, 2015 KEMENKES. Pengguna Napza Suntik. Dampak. Pengurangan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2015 TENTANG PENGURANGAN DAMPAK

Lebih terperinci

Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Penduduk Usia Muda. Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional

Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Penduduk Usia Muda. Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Penduduk Usia Muda Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional 1 Outline Paparan Bagaimana Transmisi HIV Terjadi Situasi HIV

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) semakin lama semakin mengkhawatirkan, baik dari sisi kuantitatif maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Acquired immune deficiency syndrome (AIDS), merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan karena menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh human immunodeficiency

Lebih terperinci

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN TENTANG HIV-AIDS DAN VOLUNTARY COUNSELLING AND TESTING (VCT) SERTA KESIAPAN MENTAL MITRA PENGGUNA NARKOBA SUNTIK DENGAN PERILAKU PEMERIKSAAN KE KLINIK VCT DI SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Sydrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemi.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan pandemi terhebat dalam kurun waktu dua dekade terakhir. AIDS adalah kumpulan gejala penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan permasalahan penyakit menular seksual termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan kualitatif. HIV merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dengan menyerang sel darah putih CD4 yang berada pada permukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan akan peningkatan pelayanan kesehatan dan sosial bagi remaja semakin menjadi perhatian di seluruh dunia sejalan dengan rekomendasi International Conference

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia, tidak dapat diperkirakan secara tepat. Di beberapa negara disebutkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh human immunodeficiency virus (HIV) dan ditandai dengan imunosupresi berat yang

Lebih terperinci

Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP), 2007

Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP), 2007 BADAN PUSAT STATISTIK Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP), 2007 ABSTRAKSI SurveiLans Perilaku dilaksanakan sejak 96 utk mengetahui pola epidemi & faktor2 utama terkait penularan HIV. Dgn STHP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN HIV (Human Immunodeficiency Virus) virus ini adalah virus yang diketahui sebagai penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). HIV merusak sistem ketahanan tubuh,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit HIV/AIDS merupakan suatu penyakit yang terus berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit HIV/AIDS merupakan suatu penyakit yang terus berkembang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit HIV/AIDS merupakan suatu penyakit yang terus berkembang dan menjadi masalah global yang melanda dunia. Menurut data WHO (World Health Organization) tahun 2012,

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

KERANGKA ACUAN KEGIATAN KERANGKA ACUAN KEGIATAN PRGRAM HIV AIDS DAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL I. PENDAHULUAN Dalam rangka mengamankan jalannya pembangunan nasional, demi terciptanya kwalitas manusia yang diharapkan, perlu peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat umum dan penting, sedangkan infeksi bakteri lebih sering

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat umum dan penting, sedangkan infeksi bakteri lebih sering BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Infeksi menular seksual merupakan infeksi yang rute transmisinya terutama adalah melalui hubungan seksual. Infeksi menular seksual dapat disebabkan oleh bakteri,

Lebih terperinci

SURVEI SUVEILANS PERILAKU (SSP) 2007

SURVEI SUVEILANS PERILAKU (SSP) 2007 VSP07-PRIA SURVEI SUVEILANS PERILAKU (SSP) 2007 Kerjasama: Badan Pusat Statistik dan Departemen Kesehatan RAHASIA BLOK I. PENGENALAN TEMPAT 1 Provinsi 2 Kabupaten/Kota *) 3 Kecamatan 4 Desa/Kelurahan *)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonorrhea,

BAB 1 PENDAHULUAN. seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonorrhea, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi menular seksual (IMS) adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. Menurut WHO (2009), terdapat lebih kurang dari 30 jenis mikroba (bakteri, virus,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada pembinaan kesehatan (Shaping the health of the nation), yaitu upaya kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. pada pembinaan kesehatan (Shaping the health of the nation), yaitu upaya kesehatan 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 pasal 46 dan 47 menyatakan bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan

Lebih terperinci

Penjangkauan dalam penggulangan AIDS di kelompok Penasun

Penjangkauan dalam penggulangan AIDS di kelompok Penasun Catatan Kebijakan # 3 Penjangkauan dalam penggulangan AIDS di kelompok Penasun Stigma terhadap penggunaan narkoba di masyarakat selama ini telah membatasi para pengguna narkoba untuk memanfaatkan layananlayanan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di negara berkembang.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pencegahan IMS yang dilaksanakan di banyak negara, nampaknya belum

BAB 1 PENDAHULUAN. pencegahan IMS yang dilaksanakan di banyak negara, nampaknya belum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Insiden maupun prevalensi yang

Lebih terperinci

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR,

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR, WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR, Menimbang: a. b. c. bahwa dalam upaya untuk memantau penularan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MIMIKA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Jl. KARTINI TIMIKA, PAPUA TELP. (0901) ,

PEMERINTAH KABUPATEN MIMIKA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Jl. KARTINI TIMIKA, PAPUA TELP. (0901) , PEMERINTAH KABUPATEN MIMIKA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Jl. KARTINI TIMIKA, PAPUA TELP. (0901) 322460, Email : kpakabmimika@.yahoo.co.id LAPORAN PELAKSANAAN PROGRAM HIV/AIDS DAN IMS PERIODE JULI S/D SEPTEMBER

Lebih terperinci

Situasi Perilaku Berisiko dan Prevalensi HIV di Tanah Papua 2006

Situasi Perilaku Berisiko dan Prevalensi HIV di Tanah Papua 2006 Situasi Perilaku Berisiko dan Prevalensi HIV di Tanah Papua 2006 Hasil STHP Tahun 2006 di Tanah Papua Kerjasama Badan Pusat Statistik dan Departemen Kesehatan Situasi Perilaku Berisiko dan Prevalensi HIV

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) di Indonesia terhitung mulai tanggal 1 Januari 2013 sampai dengan 30 Desember

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Pada Januari hingga September 2011 terdapat penambahan kasus sebanyak

BAB I PENDAHULUAN Pada Januari hingga September 2011 terdapat penambahan kasus sebanyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia kejadian HIV dan AIDS pertama kali dilaporkan pada tahun 1987. Pada Januari hingga September 2011 terdapat penambahan kasus sebanyak 15.589 kasus untuk

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome atau yang kita kenal dengan HIV/AIDS saat ini merupakan global health issue. HIV/AIDS telah

Lebih terperinci

Nurjannah, SKM Sub Direktorat AIDS&PMS Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Indonesia

Nurjannah, SKM Sub Direktorat AIDS&PMS Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Indonesia LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA, INDONESIA,

Lebih terperinci

Tantangan Intervensi Perubahan Perilaku dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia

Tantangan Intervensi Perubahan Perilaku dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia Tantangan Intervensi Perubahan Perilaku dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia Oleh : Agus Aribowo i HIV/AIDS dan Respon Upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dalam kurun waktu 15 tahun terakhir

Lebih terperinci

2015 GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA SISWI KELAS XI TENTANG PENYAKIT MENULAR SEKSUAL DI SMA NEGERI 24 BANDUNG

2015 GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA SISWI KELAS XI TENTANG PENYAKIT MENULAR SEKSUAL DI SMA NEGERI 24 BANDUNG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit menular seksual (PMS) adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit atau jamur, yang penularannya terutama melalui hubungan seksual dari seseorang

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. adalah penggunaan kondom pada hubungan seks risiko tinggi dan penggunaan

BAB 1 : PENDAHULUAN. adalah penggunaan kondom pada hubungan seks risiko tinggi dan penggunaan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah penyakit HIV/AIDS di ibaratkan seperti fenomena gunung es, dimana yang tampak hanyalah puncaknya saja. Sama halnya dengan penyakit HIV/AIDS yang tampak hanyalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AIDS. tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV (Kemenkes RI, 2014).

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AIDS. tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV (Kemenkes RI, 2014). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah sejenis virus yang menyerang/menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh manusia. Acquired

Lebih terperinci

Ancaman HIV/AIDS di Indonesia Semakin Nyata, Perlu Penanggulangan Lebih Nyata

Ancaman HIV/AIDS di Indonesia Semakin Nyata, Perlu Penanggulangan Lebih Nyata SIDANG KABINET SESI KHUSUS HIV/AIDS Ancaman HIV/AIDS di Indonesia Semakin Nyata, Perlu Penanggulangan Lebih Nyata BAK T I H USADA Komisi Penanggulangan AIDS Nasional 2002 SIDANG KABINET SESI KHUSUS HIV/AIDS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan modal awal seseorang untuk dapat beraktifitas dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan modal awal seseorang untuk dapat beraktifitas dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan modal awal seseorang untuk dapat beraktifitas dan mengaktualisasikan dirinya. Kesehatan juga berarti keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV/AIDS, mempromosikan perubahan perilaku

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Veneral Disease ini adalah Sifilis, Gonore, Ulkus Mole, Limfogranuloma Venerum

BAB 1 PENDAHULUAN. Veneral Disease ini adalah Sifilis, Gonore, Ulkus Mole, Limfogranuloma Venerum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit kelamin sudah lama dikenal dan sering disebut sebagai Veneral Disease (VD) yang berasal dari kata Venus (dewi cinta) dan yang termasuk ke dalam Veneral Disease

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health

BAB I PENDAHULUAN. (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) menyatakan

Lebih terperinci

TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 48 TAHUN 2004 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health. diperkirakan sebanyak 1.6 juta orang diseluruh dunia.

BAB I PENDAHULUAN. pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health. diperkirakan sebanyak 1.6 juta orang diseluruh dunia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV/AIDS sebagai salah satu epidemik yang paling menghancurkan pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health Organization (WHO) 2012 menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di negara berkembang.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV / AIDS DAN IMS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV / AIDS DAN IMS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV / AIDS DAN IMS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPULAUAN RIAU,

Lebih terperinci