Laporan Hasil SSP 2002 Jawa Timur. iii. iii

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Laporan Hasil SSP 2002 Jawa Timur. iii. iii"

Transkripsi

1 iii iii

2

3 Kata Pengantar Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) Departemen Kesehatan dan Proyek Aksi Stop AIDS (ASA) yang didukung oleh Family Health International dan the United State AID (FHI & USAID) untuk melaksanakan Behavioral Surveilans Survey (BSS) di Indonesia. BSS yang selanjutnya di Indonesiakan dengan nama Survei Surveilans Perilaku (SSP) dilaksanakan di 12 lokasi terpilih dan terletak di 10 propinsi yang menjadi target wilayah kerja ASA/FHI. SSP merupakan suatu kegiatan baru bagi BPS, untuk itu pelaksanaannya dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama yang merupakan tahap pengembangan dan sekaligus pembelajaran dilaksanakan antara bulan Juni-Agustus 2002, mencakup 3 lokasi di 3 propinsi, yaitu Kota Medan/Kabupaten Deli Serdang (Sumatera Utara), Kabupaten Kepulauan Riau (Riau), dan Jakarta Utara/Jakarta Pusat (DKI Jakarta). Tahap kedua yang merupakan tahap implementasi mencakup 9 lokasi (di 7 propinsi), dilaksanakan dalam 2 periode pelaksanaan, yaitu pada bulan Oktober 2002 di Kabupaten Karawang/Kabupaten Bekasi/Kota Bekasi (Jawa Barat), Kota Surabaya (Jawa Timur), Kota Manado/Kota Bitung (Sulawesi Utara), Kabupaten Merauke (Papua), dan pada bulan Februari-April 2003 di Kota Palembang (Sumatera Selatan), Kota Semarang (Jawa Tengah), Kota Jayapura (Papua), Kota Sorong (Papua), dan Kota Ambon (Maluku). Secara teknis penyelenggaraan SSP dibantu oleh ASA/FHI, Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Lingkungan (Dit. P2ML) Ditjen PPM & PL, Departemen Kesehatan, dan Population Council. Tim teknis dari ASA/FHI, Dit. P2ML, dan BPS secara bersama-sama menyusun metodologi, manual, dan kuesioner, termasuk menjadi tim instruktur dan supervisi, sedangkan Population Council membantu antara lain dalam penyiapan materi/manual pelatihan untuk instruktur, memberikan pelatihan instruktur, dan sebagai narasumber ahli mulai dari penyusunan instrumen sampai dengan pelaksanaan lapangan SSP tahap pertama. Pelaksanaan SSP juga dibantu oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di tingkat pusat, dan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, serta dari Dinas terkait di daerah, khususnya Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Sosial, Dinas Pariwisata, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di tingkat kabupaten/kota. Pimpinan BPS menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada pimpinan ASA/FHI dan USAID Jakarta, pimpinan Ditjen PPM & PL, dan pimpinan Population Council yang telah mendukung terselenggaranya survei ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada tim teknis SSP, khususnya Elizabeth Pisani dan Pandu Riono dari ASA/FHI, Saiful Jazan, Naning Nugrahini, dan Indrawati dari Dit. P2ML, serta seluruh anggota tim teknis dari BPS. Semoga buku ini memberi kontribusi yang berarti bagi upaya penanggulangan penyebaran HIV/AIDS, khususnya di Indonesia. Jakarta, Juni 2003 Kepala Badan Pusat Statistik Dr. Soedarti Surbakti i i

4 Kata Pengantar Pada saat ini, Indonesia tengah menghadapi berbagai masalah kesehatan masyarakat yang sangat memprihatinkan. Salah satu diantaranya adalah memburuknya situasi epidemik HIV/AIDS dimana Indonesia sudah digolongkan sebagai Negara dengan concentrated level epidemic. Artinya prevalensi HIV/AIDS sudah mencapai 5 % atau lebih pada tempat-tempat dan kelompok sub populasi tertentu. Banyak upaya-upaya yang telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia namun upaya-upaya tersebut tampaknya kurang memadai dan menjangkau sasaran. Menyadari hal tersebut Departemen Kesehatan menyambut dengan gembira hasil Keputusan Lokakarya Surveilans Nasional HIV di Jakarta pada bulan April 2001, yang antara lain merekomendasikan perlunya pengembangan Survei Surveilans Perilaku pada kelompok-kelompok tertentu untuk keperluan perencanaan, deteksi dini dan untuk mendapatkan informasi untuk melaksanakan kegiatan upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Pada tahap uji coba pengembangan alat untuk melakukan Survei Surveilans Perilaku ini, Departemen Kesehatan mengucapkan terima kasih atas dukungan teknis dari ASA/FHI Indonesia, IHPCP (AusAID), Prof. Budi Utomo dari Population Council dan Badan Pusat Statistik sebagai pelaksana survei. Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak baik secara perorangan maupun secara kelembagaan, yang telah berpartisipasi pada pelaksanaan Survei Surveilans Perilaku ini. Pada akhirnya saya berharap semoga laporan hasil Pelaksanaan Survei Surveilans Perilaku ini dapat bermanfaat dan ditindak lanjuti dengan Upaya Penanggulangan HIV/AIDS yang lebih nyata baik oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat. Jakarta, Mei 2003 Direktur Jenderal PPM & PL, Depkes RI Dr. Umar Fahmi Achmadi ii ii

5 Daftar Isi Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Gambar Tabel Indikator Kunci i iii v vii 1. Pendahuluan 1 Latar Belakang 1 Survei Surveilans Perilaku 1 Sasaran Survei 2 Metode Survei 3 Sketsa Lokasi 5 2. Karakteristik Sosial dan Demografi 7 Struktur Umur 7 Status Perkawinan 7 Tingkat Pendidikan 8 Daerah Asal 9 Mobilitas 9 Umur Pertama Kali Berhubungan Seks 10 Lama Bekerja 10 Tarif 11 Rata-rata Pendapatan Pengetahuan tentang HIV/AIDS 13 Pernah Mendengar HIV/AIDS 13 Pengetahuan mengenai HIV/AIDS 13 Cara tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS 14 Pemahaman tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS 14 Miskonsepsi tentang Cara Pencegahan IMS atau HIV/AIDS 17 iii iii

6 4. Persepsi Berisiko 19 Merasa Berisiko 19 Persepsi Tidak Berisiko di antara Kelompok Berisiko 19 Hubungan antara Merasa Berisiko dengan Tingkat Pendidikan Pola Perilaku Berisiko 21 Penggunaan Kondom 21 Antara Pengetahuan dan Perilaku 22 Seks Anal dan Narkoba IMS dan Perilaku Pencarian Pengobatan 25 Infeksi Menular Seksual (IMS) 25 Jenis Keluhan IMS 26 Tempat Berobat Kesimpulan dan Saran 29 Pengetahuan dan Persepsi Berisiko 29 Perilaku Berisiko dan Kondom 30 Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan 30 Usulan Tindakan 31 iv iv

7 Daftar Gambar Gambar Judul Gambar 2.1 Struktur Umur Responden 2.2 Tingkat Pendidikan Responden 2.3 Propinsi Asal Responden 2.4 Pasangan Seks Pertama Kali pada Responden Pria 2.5 Rata-rata Uang Jasa Seks Komersial pada Hubungan Seks yang Terakhir 3.1 Responden yang Pernah Mendengar HIV/AIDS 3.2 Tingkat Pengetahuan tentang HIV/AIDS 3.3 Tingkat Pengetahuan tentang Cara yang Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS 3.4 Cara yang Diketahui agar Tidak Tertular HIV/AIDS 3.5 Tingkat Pengetahuan Responden Pria tentang Penggunaan Kondom Dapat Mencegah Tertular HIV/AIDS 3.6 Pengetahuan yang Salah tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS 4.1 Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS 4.2 Responden yang Tidak Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Alasannya 4.3 Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Tingkat Pendidikan 5.1 Tingkat Penggunaan Kondom pada Seks Komersial 5.2 Tahu bahwa Kondom dapat Mencegah Penularan HIV/AIDS tetapi Tidak Menawarkan dan Tidak Memakainya dalam Hubungan Seks Komersial Terakhir 5.3 Responden Pria yang Tahu Pencegahan HIV/AIDS tetapi Tidak Menerapkannya dalam Hubungan Seksual 5.4 Alasan Tidak Menggunakan Kondom pada Seks Komersial Terakhir 5.5 Responden dan Masing-masing Pasangan Seksnya yang Pernah Menggunakan Narkoba Suntik 6.1 Pemakaian Kondom pada Responden yang Mengalami Gejala IMS 6.2 Jenis Keluhan IMS 6.3 Responden yang Pernah Mengalami Gejala IMS menurut Cara yang Dilakukan saat Mengalami Gejala IMS tersebut 6.4 Responden yang Mengalami Gejala IMS menurut Tempat Berobat/Fasilitas Kesehatan v v

8 vi vi

9 Tabel Indikator Kunci Indikator WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria 1. Persentase yang pernah mendengar HIV/AIDS 71,5 89,8 94,0 2. Persentase yang mengetahui cara pencegahan dengan menggunakan kondom saat berhubungan seks 3. Persentase yang pernah berhubungan seks dengan WPS dalam setahun terakhir 4. Persentase yang mempunyai lebih dari satu pasangan seks dalam setahun terakhir 5. Rata-rata jumlah tamu/pelanggan yang dilayani dalam seminggu terakhir 6. Persentase yang menggunakan kondom pada seks komersial terakhir 7. Persentase yang selalu menggunakan kondom pada seks komersial dalam setahun terakhir untuk responden pria dan seminggu terakhir untuk WPS 53,7 74,4 78, , ,3 10,5 4,6-43,7 39,6 32,2 14,8 11,9 16,7 8. Persentase yang pernah menggunakan narkoba suntik 0,4 1,2 0,5 9. Persentase yang mengalami gejala infeksi menular seksual (IMS) dalam setahun terakhir 10. Persentase yang berobat ke petugas kesehatan bagi yang mengalami gejala PMS dalam setahun terakhir 18,7 10,6 13,1 43,5 59,3 30,3 vii vii

10 viii vii

11 1 Pendahuluan Latar Belakang Epidemi HIV/AIDS telah melanda dunia, tidak terkecuali Indonesia. Penyakit ini menyebar dengan cepat tanpa mengenal batas negara dan pada semua lapisan penduduk. Badan Dunia (PBB) menyatakan bahwa pada tahun 1999 AIDS telah merupakan penyebab kematian nomor 4 di dunia setelah penyakit jantung, hipertensi/stroke, dan infeksi pernapasan. Melihat kecenderungannya, maka bukan tidak mungkin penyakit ini akan menjadi pembunuh nomor 1 di dunia. Secara nasional prevalensi HIV/AIDS di Indonesia mungkin masih tergolong rendah dibandingkan dengan banyak negara lainnya. Namun demikian, perkembangan kasus yang muncul dalam beberapa tahun terakhir sangat mengkhawatirkan, khususnya yang ditemukan pada penduduk berisiko tinggi seperti penjaja seks dan pelanggannya, pria yang berhubungan dengan pria, dan pengguna narkoba suntik. Kecepatan penyebaran virus HIV terutama dipengaruhi oleh perilaku berisiko tinggi, dan upaya pencegahannya terutama juga diarahkan pada perubahan perilaku, antara lain mencakup peningkatan penggunaan kondom dan pengurangan jumlah pasangan seksual, serta penurunan pemakaian bersama atau bergantian alat/jarum suntik pada pemakai narkoba. Di Propinsi Jawa Timur, jumlah orang yang hidup dengan HIV/AIDS memperlihatkan kecenderungan selalu meningkat, penyebaran telah menembus kehidupan seluruh segmen masyarakat tanpa memandang batas geografis, demografis, sosial dan ekonomi. Dalam kaitannya dengan penduduk berisiko tinggi, kelompok pekerja yang jenis pekerjaannya menuntut adanya mobilitas yang sangat tinggi, seperti pekerja pria di bidang transportasi, migran, para pilot dan crew pesawat terbang merupakan kelompok yang memiliki risiko tinggi. Survei Surveilans Perilaku Survei Surveilans Perilaku (SP) adalah suatu proses sistimatik dan kontinyu dalam pengumpulan, analisis, interpretasi, dan diseminasi informasi untuk memantau perilaku responden dalam masalah kesehatan, dalam hal ini perilaku berisiko terhadap tertularnya oleh HIV/AIDS. SSP merupakan bagian dari survei generasi kedua. Surveilans HIV generasi kedua adalah surveilans yang memadukan surveilans perilaku ke dalam surveilans serologik HIV. Dalam hal ini, surveilans perilaku memperkuat surveilans serologik. Informasi hasil surveilans serologik akan semakin bermanfaat dengan adanya surveilans perilaku. Manfaat tersebut antara lain, dalam menumbuhkan perhatian, minat dan tindakan masyarakat terhadap pencegahan epidemi Meskipun prevalensi HIV/AIDS di Indonesia masih tergolong rendah, namun perkembangannya sudah mengkhawatirkan Surveilans generasi kedua yang memadukan surveilans perilaku ke dalam surveilans serologik akan memberikan informasi yang lebih komprehensif sebagai dasar bagi pengembangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS 1 1

12 HIV, menentukan kelompok populasi sasaran, menentukan cara pencegahan, merencanakan upaya penanggulangan, dan memantau keberhasilan program. Sampai saat ini, kegiatan surveilans HIV dibatasi hanya untuk mengetahui keberadaan virus HIV dalam sampel darah responden, yang biasa disebut surveilans serologik. Namun, bila sistem surveilans HIV hanya mencatat peningkatan prevalensi HIV, maka peluang pencegahan yang efektif telah hilang. Menerapkan surveilans perilaku di Indonesia merupakan upaya yang sangat bermanfaat untuk pencegahan epidemi HIV, karena epidemi HIV di Indonesia relatif masih belum berkembang. Prevalensi HIV masih rendah di banyak tempat, dan peluang untuk berkembangnya epidemi HIV masih dapat dicegah. Agar pencegahan lebih efektif maka sumber daya seyogianya dikonsentrasikan pada penanggulangan perilaku penduduk berisiko. Performans surveilans perilaku sebagai sistem peringatan dini dapat memberikan informasi tentang tingkah laku penduduk yang bagaimana yang dapat dikategorikan berisiko, dan penduduk mana yang berperilaku berisiko. Surveilans generasi kedua juga menekankan pada pemanfaatan hasil surveilans untuk menunjang upaya penanggulangan HIV/AIDS. Informasi SSP dapat membantu mengidentifikasi masyarakat yang mempunyai risiko terinfeksi HIV. Pemahaman ini diharapkan dapat membantu perencanaan intervensi penanggulangan, baik berupa upaya pencegahan, pengobatan maupun dukungan. Dalam perspektif yang lebih luas, surveilans HIV generasi kedua diharapkan menyediakan informasi yang dibutuhkan sebagai dasar pengembangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS lebih efektif. Sasaran Survei Sasaran survei adalah masyarakat yang diduga berperilaku berisiko tinggi terhadap penularan HIV/AIDS Untuk wanita, kelompok berperilaku berisiko tinggi adalah wanita yang paling sering berganti pasangan seks, seperti penjaja seks komersial yang melakukan transaksi secara terbuka di tempat lokalisasi/rumah bordil atau di jalanan (wanita penjaja seks langsung) dan wanita yang melayani seks pelanggannya untuk memperoleh tambahan pendapatan di tempat ia bekerja, seperti wanita yang bekerja di panti pijat/salon/spa, bar/karaoke/ diskotek/café/restoran, dan hotel/motel/cottage (wanita penjaja seks tidak langsung). Pengalaman dari negara lain menunjukkan bahwa laki-laki yang bekerja dan harus meninggalkan rumah atau keluarga dalam jangka waktu cukup lama adalah laki-laki yang cenderung membeli jasa seks dan mempunyai pasangan seks lain selain isteri/pasangan tetapnya. Untuk kasus Jawa Timur tipe laki-laki yang bekerja dengan waktu yang cukup lama tidak berada di rumah adalah sopir truk, kernet, pelaut (ABK), dan nelayan. Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2002 di Indonesia termasuk di Surabaya sebagai wakil Jawa Timur yang dilaksanakan bulan Oktober 2002 difokuskan pada pengukuran perilaku penduduk dengan risiko tinggi, yaitu wanita penjaja seks (dibedakan antara penjaja seks langsung dan tidak langsung), dan lelaki yang bekerja sebagai pelaut/nelayan. Definisi (batasan) mengenai penduduk dengan perilaku berisiko tinggi yang dicakup dalam SSP 2002 adalah sebagai berikut: 2 2

13 Wanita Penjaja Seks (WPS) Langsung, adalah wanita yang beroperasi secara terbuka sebagai penjaja seks komersial. WPS Tidak Langsung, adalah wanita yang beroperasi secara terselubung sebagai penjaja seks komersial, yang biasanya bekerja pada bidang-bidang pekerjaan tertentu. Pelaut dan nelayan, adalah laki-laki yang bekerja sebagai pelaut (ABK) dan nelayan. Dalam laporan ini pelaut dan nelayan selanjutnya disebut responden pria. Metode Survei Besar sampel dirancang untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik penduduk yang berperilaku dengan risiko tinggi, dan diharapkan dapat mengukur perubahan perilaku tersebut pada survei berikutnya. Penghitungan dengan menggunakan metode cluster survey menunjukkan bahwa besarnya sampel sekitar responden pada setiap sasaran masyarakat berperilaku berisiko tinggi sudah cukup untuk mewakili populasi (representative), termasuk untuk mengukur perubahan perilaku. Alokasi target dan realisasi sampel lokasi dan responden untuk setiap sasaran survei Kota Surabaya dicantumkan dalam tabel berikut ini. Tabel Realisasi Sampel Survei Surveilans Perilaku 2002 di Kota Surabaya Kota WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Lokasi Responden Lokasi Responden Lokasi Responden Kota Surabaya Cakupan wilayah SSP di Propinsi Jawa Timur adalah Kota Surabaya, dengan sasaran survei adalah WPS langsung, WPS tidak langsung, dan responden pria. Lokasi tersebut ditentukan setelah mendapatkan masukan dari Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Propinsi Jawa Timur, dan Dinas Kesehatan setempat, dengan pertimbangan bahwa Surabaya merupakan daerah konsentrasi kegiatan jasa pelayanan seks di kawasan Jawa Timur, sekaligus merupakan daerah sasaran dari Survei Serologi HIV yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan. Dengan dipilihnya Kota Surabaya, maka di daerah tersebut diharapkan dapat dikembangkan Surveilans Generasi Kedua. Perkiraan populasi WPS langsung, WPS tidak langsung, dan responden pria diperoleh dari listing secara independen ke setiap lokasi dengan menggunakan data dasar yang diperoleh dari lembaga pemerintah daerah 3 3

14 Metode acak dilakukan pada pemilihan sampel setempat. Identifikasi lokasi baru beserta populasinya dilakukan dengan cara sistim putaran bola salju (snowballing system). Dalam proses listing dari suatu lokasi ke lokasi lain di lapangan, peta wilayah administratif digunakan untuk operasional lapangan dan dalam peta tersebut digambar letak setiap lokasi secara geografis. Hasil listing ini merupakan kerangka sampel untuk pemilihan lokasi dan penentuan target sampel dalam setiap lokasi. Pemilihan sampel secara acak (random sampling) digunakan baik untuk pemilihan sampel. Pemilihan lokasi dilakukan secara sistematik sampling dengan menggunakan peluang jumlah populasi dalam lokasi. Pemilihan responden dilakukan secara acak. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara tatap muka antara petugas SSP dengan responden. Bias terhadap hasil SSP telah diupayakan seminimal mungkin. 4 4

15 5 5

16 6 6

17 2 Karakteristik Sosial dan Demografi Struktur Umur Struktur umur WPS untuk Kota Surabaya menunjukkan bahwa rata-rata umur WPS langsung sedikit lebih tua dibanding WPS tidak langsung meskipun perbedaannya relatif kecil. WPS langsung mempunyai rata-rata usia 29,6 tahun sedangkan WPS tidak langsung adalah 27,6 tahun atau di antara mereka terdapat perbedaan rata-rata umur sebesar 2 tahun. Umur WPS langsung relatif lebih tua dibanding WPS tidak langsung Gambar 2.1. Struktur Umur Responden Responden Pria WPS Tidak Langsung WPS Langsung Persen Kurang dari 20 th tahun tahun tahun 35 th atau lebih Lebih dari separuh WPS dan responden pria mengelompok pada usia 30 tahun ke bawah, yaitu WPS langsung (50,8 persen), WPS tidak langsung (68,9 persen), dan responden pria (60,8 persen). Struktur umur responden pria juga relatif tidak berbeda dengan WPS langsung dan WPS tidak langsung yaitu berada pada usia produktif dengan rata-rata umur 29,8 tahun. Status Perkawinan Sebagian besar responden pria (61,8 persen) berstatus belum kawin dan sekitar sepertiga (37,5 persen) berstatus kawin, sementara yang berstatus cerai hanya sedikit sekali (0,8 persen). Sebanyak 26,0 persen responden pria yang berstatus kawin pernah membeli seks atau sebagai pelanggan seks dalam setahun terakhir. Sebanyak 26 persen responden pria yang beristeri menjadi pelanggan WPS 7 7

18 Sementara itu, di antara responden pria yang belum kawin sekitar 33,7 persen membeli seks dalam setahun terakhir. Besarnya persentase pelanggan seks yang berstatus kawin menunjukkan potensial penyebaran penyakit kelamin dan HIV dalam lingkungan keluarga. Sebagian besar WPS, baik WPS langsung maupun WPS tidak langsung berstatus cerai, yaitu masing-masing 86,6 persen pada WPS langsung dan 58,3 persen untuk WPS tidak langsung. Di antara WPS tidak langsung terdapat hampir 24,4 persen yang menyatakan belum kawin, sementara sekitar 8,1 persen WPS langsung juga menyatakan berstatus belum kawin. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan WPS langsung lebih rendah dari WPS tidak langsung Sebagian besar WPS berpendidikan rendah (tamat SLTP atau kurang). WPS yang berpendidikan rendah sangat dominan pada kelompok WPS langsung, yaitu sekitar 75 persen hanya tamat SD ke bawah, sementara yang berpendidikan SLTP hanya sekitar 19 persen. WPS tidak langsung lebih banyak yang berpendidikan lebih tinggi dibanding dengan WPS langsung. WPS langsung yang berpendidikan SLTA ke atas sekitar 6 persen, sementara WPS tidak langsung yang berpendidikan setara sekitar 38 persen. Sebagian besar responden pria mempunyai pendidikan cukup tinggi, yaitu sekitar 71 persen berpendidikan SLTA ke atas. Responden pria yang tidak tamat SD hanya sebagian kecil, yaitu 3,5 persen. Gambar 2.2. Tingkat Pendidikan Responden Responden Pria WPS Tidak Langsung WPS Langsung Persen Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA atau lebih tinggi 8 8

19 Daerah Asal Sekitar 93 persen WPS, baik WPS langsung maupun WPS tidak langsung, berasal dari propinsi Jawa Timur. WPS langsung yang bukan berasal berasal dari Propinsi Jawa Timur kebanyakan berasal dari Jawa Tengah (2,8 persen) dan Jawa Barat (1,2 persen). WPS tidak langsung yang bukan penduduk setempat berasal dari Jawa Tengah (3,5 persen) dan Jawa Barat (1,6 persen). Kelompok responden pria sekitar 28 persen yang berasal dari propinsi Jawa Timur, sisanya berasal dari beberapa propinsi lain. Sekitar 93 persen WPS berasal dari Propinsi Jawa Timur, sedangkan mayoritas responden pria adalah pendatang Gambar 2.3. Propinsi Asal Responden Responden Pria WPS Tidak Langsung WPS Langsung Persen Jaw a Timur Jaw a Tengah Jaw a Barat Lainnya Mobilitas Mobilitas penjaja seks dan responden pria cukup tinggi, yaitu berpindahpindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain, bahkan dari satu kota ke kota lain. WPS langsung dan WPS tidak langsung menyatakan pernah bekerja sebagai WPS di kota/daerah lain masing-masing sekitar 16 persen. Ini menunjukkan bahwa mobilitas WPS di Jawa Timur cukup tinggi. Hasil SSP 2002 menunjukkan bahwa seluruh (100 persen) responden pria yang pernah berhubungan seks komersial selama setahun terakhir, pernah melakukannya di luar Kota Surabaya. Sekitar 16 persen WPS pernah kerja di kota/daerah lain 9 9

20 Umur Pertama Kali Berhubungan Seks Usia responden pria ketika pertama kali berhubungan seks, masih relatif muda Rata-rata usia responden pria saat pertama kali berhubungan seks ternyata masih relatif muda yaitu 21,5 tahun. Bila dikaitkan dengan rata-rata usia mereka sekarang yaitu 29,8 tahun, maka dapat dikatakan bahwa responden pria telah melakukan hubungan seks selama lebih dari 8 tahun. Jika dilihat dengan siapa mereka pertama kali berhubungan seks, ternyata 18,3 persen dari mereka berhubungan seks pertama kali dengan WPS, meskipun persentase responden pria yang berhubungan seks pertama kali dengan pacar/kekasih merupakan yang tertinggi (35,9 persen). Gambar 2.4. Pasangan Seks Pertama pada Responden Pria Persen Istri 1 Pasangan tetap Pacar/ kekasih Kenalan/ teman WPS 4 Lainnya Lama Bekerja Masa kerja WPS langsung relatif sama dengan WPS tidak langsung Untuk penjaja seks, lama masa kerja sebagai penjaja seks penting diketahui. Semakin lama bekerja sebagai penjaja seks semakin besar kemungkinan untuk melayani pelanggan yang telah terinfeksi HIV. Relatif tidak terdapat perbedaan lamanya menjalani profesi antara WPS langsung dan WPS tidak langsung. Secara rata-rata WPS langsung sudah menjalani pekerjaannya selama 39 bulan atau 3 tahun dan 3 bulan, WPS tidak langsung menjalaninya selama 36 bulan atau 3 tahun. Faktor lain yang mempengaruhi risiko penularan HIV pada WPS adalah jumlah pelanggan. Rata-rata jumlah pelanggan yang dilayani dalam seminggu oleh WPS langsung adalah antara 10 hingga 11 orang dan WPS tidak langsung adalah 4 hingga 5 orang. Ini berarti pelanggan WPS langsung 2 kali lebih banyak dibanding WPS tidak langsung. Sementara itu, dari responden pria yang pernah berhubungan seks dengan WPS, ratarata frekuensi berhubungan seks dengan WPS dalam setahun terakhir, adalah sebanyak 2 hingga 3 kali

21 Tarif Hasil SSP di Kota Surabaya ternyata menunjukkan bahwa rata-rata uang yang diterima oleh WPS tidak langsung jauh lebih tinggi dibandingkan yang diterima WPS langsung. Hal ini tercermin dari rata-rata besarnya uang yang diterima pada hubungan seks yang terakhir, yaitu sebesar Rp 55,2 ribu oleh WPS langsung dan Rp 328,8 ribu oleh WPS tidak langsung. Pelanggan WPS tidak langsung pada umumnya adalah mereka yang mempunyai cukup uang, diduga bahwa rata-rata berpendidikan relatif tinggi dan mempunyai pengetahuan serta kesadaran untuk membeli seks dengan cara yang sehat. Namun kenyataannya di Surabaya tidak demikian, proporsi WPS tidak langsung yang menggunakan kondom selama seminggu terakhir masih lebih kecil daripada WPS langsung, lihat Bab 5. Tarif WPS tidak langsung enam kali lebih mahal dibandingkan tarif WPS langsung Gambar 2.5. Rata-rata Uang Jasa Seks Komersial pada Hubungan Seks yang Terakhir Responden Pria 67 WPS Tidak Langsung 329 WPS Langsung 55 Dari sisi pelanggan, berdasarkan data lapangan, terlihat bahwa rata-rata uang yang dibayarkan oleh responden pria adalah cukup rendah, sekitar Rp 66,8 ribu. Dari angka ini dapat disimpulkan bahwa responden pria umumnya adalah pelanggan dari WPS langsung. Rata-rata Pendapatan Ribuan Rp Sebagian besar responden pria adalah pelanggan WPS Langsung Dengan menghubungkan rata-rata banyaknya pelanggan dan besarnya uang yang diterima, maka dapat diperkirakan besarnya pendapatan ratarata WPS langsung dan WPS tidak langsung. Rata-rata pendapatan WPS langsung dalam seminggu adalah sekitar Rp 580 ribu seminggu atau Rp 1,7 juta sebulan, sedangkan rata-rata pendapatan WPS tidak langsung adalah sekitar Rp 1,5 juta seminggu atau Rp 4,5 juta sebulan. Besarnya pendapatan ini jauh lebih tinggi dari rata-rata upah minimum yang diterima buruh/karyawan yang bekerja di Jawa Timur, yaitu sebesar Rp 245 ribu sebulan (BPS, Indikator Tingkat Hidup Pekerja ). Apabila dibandingkan dengan rata-rata pendapatan (upah) buruh/ karyawan di Kota Surabaya, yaitu sebesar Rp. 650 ribu sebulan (BPS, diolah dari Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2002), maka rata-rata penghasilan kotor seorang WPS terutama WPS tidak langsung memang jauh lebih besar. Pendapatan WPS tidak langsung hampir 3 kali lebih banyak dibandingkan WPS langsung 11 11

22 12 12

23 3 Pengetahuan tentang HIV/AIDS Pernah Mendengar HIV/AIDS Tingkat pengetahuan tidak selalu berkorelasi dengan perilaku sehat, namun demikian mengetahui cara penularan HIV dan cara menghindarinya merupakan langkah pertama yang perlu diketahui setiap orang terutama orang-orang dengan perilaku berisiko tinggi. Pengetahuan merupakan salah satu faktor kuat yang menentukan perilaku seseorang, termasuk perilaku dalam melindungi diri sendiri dari ancaman HIV/AIDS. Hasil SSP di Kota Surabaya menunjukkan bahwa lebih dari tujuh puluh persen dari setiap kelompok berisiko baik WPS langsung, WPS tidak langsung, dan responden pria pernah mendengar tentang HIV/AIDS. Di antara ketiga kelompok sasaran ini, yang paling tinggi persentasenya adalah responden pria (94,0 persen). Sebagian besar responden pernah mendengar tentang HIV/AIDS Gambar 3.1. Responden yang Pernah Mendengar HIV/AIDS Responden Pria 94 WPS Tidak Langsung 90 WPS Langsung Persen Pengetahuan mengenai HIV/AIDS Meskipun persentase yang menyatakan pernah mendengar tentang HIV/AIDS besar, namun sebagian tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang penyakit tersebut. Pengetahuan paling rendah terdapat pada kelompok WPS langsung, yaitu sekitar 33 persen yang dapat secara cermat memberikan informasi lebih detil tentang penyakit HIV/AIDS yaitu penyakit kelamin (penyakit menular seksual), dan sekitar 26 persen menyatakan HIV/AIDS adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Di kalangan WPS tidak langsung ada sekitar setengahnya (50 persen) yang menyatakan mengetahui bahwa AIDS tidak bisa disembuhkan. Di antara ketiga kelompok berisiko, yang tingkat pengetahuannya paling tinggi tentang HIV/AIDS adalah WPS langsung. Pernah mendengar tidak berarti mengetahui apa itu HIV/AIDS 13 13

24 Gambar 3.2. Tingkat Pengetahuan tentang HIV/AIDS Mengatakan AIDS adalah penyakit kelamin Persen Mengatakan AIDS penyakit yg tidak bisa disembuhkan Pernah mendengar tapi tdk mengetahui apa itu HIV/AIDS WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Cara Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS Sebagian besar responden tidak tahu cara tepat untuk mengetahui seseorang telah tertular HIV/AIDS Tes darah adalah cara yang paling tepat untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak. Dari penelusuran lebih jauh tentang pengetahuan kelompok sasaran, ternyata tidak sampai 50 persen responden yang mengetahui cara yang tepat untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak. Bahkan di antara WPS langsung hanya sekitar 32,6 persen yang menjawab dengan benar ketika ditanyakan hal tersebut. Sebagian kelompok sasaran menyatakan tidak tahu, sementara yang lainnya memberi jawaban yang salah (lihat Gambar 3.3). Pemahaman Tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS Pemahaman tentang cara menghindari tertular HIV/AIDS masih terbatas Pengetahuan yang benar tentang HIV/AIDS dapat menjadi tuntunan untuk melakukan tindak pencegahan yang benar agar ia tidak tertular virus mematikan tersebut. Namun dalam kenyataannya, perilaku seseorang tidak selalu sesuai dengan tingkat pengetahuannya. Untuk mengetahui perbedaan antara pengetahuan teoritis dan pengetahuan yang dicerminkan dalam perilaku, maka dalam SSP dilakukan dua tahap pertanyaan, yaitu i) meminta responden untuk menjawab secara spontan cara melindungi diri dari HIV dan ii) menelusurinya lebih jauh melalui probing (dengan menyebutkan jenisjenis cara pencegahan HIV). Paling tidak ada empat cara untuk menghindar dari terjangkit HIV yaitu tidak melakukan hubungan seks sama sekali, menggunakan kondom saat berhubungan seks, menghindari penggunaan jarum suntik bersama, dan hanya berhubungan seks dengan satu pasangan yang belum terinfeksi HIV 14 14

25 atau tidak punya pasangan lain. Keempat caa tersebut ditanyakan dalam dua tahapan seperti sistem bertanya di atas. Dari keempat cara yang benar tersebut yang paling banyak diungkapkan secara spontan oleh kalangan WPS dan responden pria adalah menggunakan kondom ketika berhubungan seks. Jawaban ini terutama diungkapkan oleh WPS tidak langsung (61,0 persen). Sementara itu, jawaban spontan yang paling banyak disampaikan oleh kalangan responden pria adalah pakai kondom, meski proporsinya juga tidak banyak (41,3 persen), (lihat Gambar 3.4). Perilaku seseorang tidak selalu sejalan dengan tingkat pengetahuannya. Misalnya ketika ditanyakan tentang cara mencegah tertular HIV, secara umum seseorang akan cenderung mengatakan cara melindungi yang paling relevan dengan kebiasaannya. Ini bukan berarti bahwa ia tidak mengerti cara atau metoda lain, tetapi mungkin tidak mempertimbangkan bahwa metoda lain tersebut cocok untuk dirinya. Penelusuran ini telah menjadikan persentase yang menjawab benar meningkat secara berarti. Peningkatan persentase terutama terjadi untuk kategori jawaban berhubungan seks hanya dengan satu pasangan, yang naik dari 13,8 persen dari jawaban spontan menjadi 75,5 persen ketika dilakukan probing pada responden pria. Ini merupakan hal yang menarik, karena angka tersebut menunjukkan bahwa meskipun responden pria tersebut secara teoritis mempunyai pengetahuan, namun kenyataannya sebagian di antara mereka tidak mempertimbangkannya sebagai cara perlindungan yang menarik bagi mereka. Pengetahuan tersebut menjadi tidak relevan bagi penjaja seks. Gambar 3.3. Tingkat Pengetahuan Tentang Cara yang Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS Responden Pria 50 5 WPS Tidak Langsung WPS Langsung Persen Tes darah Tidak tahu 15 15

26 Gambar 3.4. Cara yang Diketahui agar Tidak Tertular HIV/AIDS Tidak melakukan hubungan seks Menggunakan kondom saat berhubungan seks Menghindari penggunaan jarum suntik bersama Berhubungan seks hanya dengan satu pasangan Persen WPS-L WPS-TL Responden Pria WPS-L WPS-TL Responden Pria WPS-L WPS-TL Responden Pria WPS-L WPS-TL 14 Responden Pria Setelah diprobing Jaw aban Spontan Dari ketiga kategori kelompok berisiko terlihat bahwa secara umum pengetahuan responden pria lebih baik dari WPS. Menarik untuk dicatat bahwa lebih sedikit responden pria dibandingkan dengan WPS yang secara spontan menyatakan bahwa menggunakan kondom saat berhubungan seks merupakan salah satu cara mencegah tertular HIV. Di antara WPS, WPS langsung yang menjadi penjaja seks, persentase yang menyebutkan secara spontan bahwa penggunaan kondom dapat mencegah tertular HIV lebih rendah dibandingkan dengan WPS tidak langsung. Gambar 3.4, memperlihatkan bahwa responden pria di Surabaya (Jawa Timur) jauh lebih tinggi pengetahuannya tentang penggunaan kondom sebagai salah satu cara mencegah tertular HIV dibandingkan responden pria di daerah lain, yaitu para responden pria yang menjadi responden SSP di Karawang (Jawa Barat) dan Bitung (Sulawesi Utara)

27 Gambar 3.5. Tingkat Pengetahuan tentang Penggunaan Kondom Dapat Mencegah Tertular HIV/AIDS 100 Persen Surabaya Karawang Bitung dan Manado Setelah probing Jawaban spontan Meski cukup banyak kelompok berisiko yang tahu tentang HIV/AIDS, namun ternyata pemahaman responden tentang penyakit ini masih rendah. Ini terlihat dari masih adanya kelompok sasaran yang menganggap seorang yang tertular HIV bisa diketahui dengan melihat saja. Pemahaman yang salah ini terungkap dari jawaban WPS langsung (12,9 persen), WPS tidak langsung (14,9 persen), dan responden pria (10,9 persen). Pemahaman yang rendah juga tercermin dari banyaknya responden yang memberi jawaban tidak tahu, yaitu mencapai 42,1 persen pada WPS langsung dan masing-masing 33,3 persen dan 29,0 persen untuk WPS tidak langsung dan responden pria. Pemahaman salah atau miskonsepsi ini juga terlihat dari besarnya proporsi jawaban kelompok berisiko terhadap cara pencegahan yang salah seperti minum obat sebelum berhubungan seks, menghindari gigitan nyamuk atau serangga lain, tidak menggunakan secara bersama alat makan, dan makan makanan yang bergizi. Miskonsepsi ini terutama terlihat pada kalangan WPS, meski juga tidak sedikit proporsi responden pria yang mempunyai pemahaman salah. Miskonsepsi tentang Cara Pencegahan IMS atau HIV/AIDS Minum obat sebelum berhubungan seks merupakan cara yang diyakini dapat mencegah infeksi menular seksual (IMS) oleh sebagian WPS, baik WPS langsung (32,1 persen), maupun WPS tidak langsung (33,1 persen). Sekitar 30,0 persen responden pria juga berfikir bahwa minum obat dapat melindungi mereka dari kemungkinan tertular IMS atau HIV/AIDS. Keyakinan ini merupakan sesuatu yang sangat berbahaya. Antibiotik dan obat-obatan lainnya TIDAK dapat melindungi diri kita dari HIV. Meminum obat secara rutin dapat dengan mudah membuat obat tersebut Masih ada yang menganggap seorang yang tertular HIV bisa diketahui dengan melihat saja Miskonsepsi terhadap beberapa cara pencegahan IMS atau HIV/AIDS sangatlah berbahaya 17 17

28 menjadi kurang efektif ketika dibutuhkan, misalnya, untuk menyembuhkan infeksi penyakit menular seksual seperti gonorrhea (GO). Lebih berbahaya lagi, jika orang berfikir bahwa mereka sudah terlindungi dari HIV atau IMS karena sudah minum antibiotik, diinjeksi, minum jamu, atau menggunakan preparat lainnya, karena mungkin kurang suka menggunakan kondom. Padahal, kondomlah satu satunya alat perlindungan yang paling ampuh bagi orang-orang yang berhubungan seks dengan orang lain selain pasangan kawinnya. Angka-angka persentase pada Gambar 3.6 mencerminkan apa-apa yang dipercaya orang tentang cara pencegahan HIV. Gambar 3.6. Pengetahuan yang Salah tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS Makan makanan yang bergizi Tidak menggunakan secara bersama alat makan Responden Pria WPS Tidak Langsung WPS Langsung Menghindari gigitan nyamuk atau serangga lain Minum obat sebelum berhubungan seks Persen Meskipun program penyuntikan massal sudah dihentikan oleh Departemen Kesehatan, namun WPS yang memperoleh suntikan pencegahan IMS dan HIV masih banyak Dari SSP juga diperoleh informasi mengenai apa yang dilakukan oleh kelompok berisiko untuk menghindari terjangkitnya IMS atau HIV. Salah satu temuan yang mencengangkan adalah cukup tingginya proporsi penjaja seks di Kota Surabaya yang secara reguler memperoleh suntikan untuk pencegahan IMS dan HIV (66,3 persen WPS langsung dan 28,0 persen WPS tidak langsung). Departemen Kesehatan sudah lama tidak melaksanakan program penyuntikan secara massal. Bila petugas kesehatan masih memberikan suntikan, itu adalah di luar program Departemen Kesehatan. Bila penyuntikan-penyuntikan tersebut dilaksanakan di luar kontrol tenaga kesehatan maka bahaya lain dapat muncul, yaitu apabila satu jarum suntik digunakan tidak hanya untuk satu orang (satu kali) tetapi untuk banyak orang atau berkali-kali tanpa proses pembersihan yang benar. Ini adalah media yang efektif untuk penyebaran penyakit lainnya seperti Hepatitis

29 4 Persepsi Berisiko Merasa Berisiko Informasi mengenai sejauh mana kelompok sasaran merasa berisiko terhadap IMS atau HIV/AIDS merupakan informasi yang penting untuk keperluan perencanaan program intervensi. Meskipun berada dalam lingkungan berisiko tinggi ternyata tidak semua kelompok sasaran merasa bahwa dirinya berisiko. Bahkan di antara responden pria hanya sekitar 32,7 persen yang merasa berisiko. Pemahaman tentang risiko lebih dominan pada kelompok WPS, terutama WPS langsung di mana sebanyak 44,9 persen merasa berisiko tertular HIV/AIDS, sedangkan di antara WPS tidak langsung hanya sekitar 36 persen yang merasa berisiko. Sekitar 45 persen WPS langsung merasa berisiko, sementara hanya sekitar 33 persen responden pria yang merasa berisiko Gambar 4.1. Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS Responden Pria Merasa Berisiko WPS Tidak Langsung Tidak Merasa Tidak Tahu WPS Langsung Persen Persepsi Berisiko di antara Kelompok Berisiko Mereka yang merasa tidak berisiko tertular memiliki beberapa alasan yang bervariasi antar kelompok sasaran. Lebih dari setengah dari WPS tidak langsung (53,9 persen) yang merasa tidak berisiko memberikan alasan bahwa mereka selalu menggunakan kondom (pemahaman yang benar), sementara WPS langsung dan responden pria yang berkeyakinan bahwa mereka selalu memakai kondom masing-masing adalah 34,0 persen dan 15,0 persen. Menariknya persentase jawaban terhadap pemakaian yang benar lebih besar dibanding jawaban pemahaman yang salah. Ini baik bagi program intervensi yang akan dilakukan. Kelompok yang merasa tidak berisiko sangat penting untuk diperhatikan dalam program intervensi, khususnya di kelompok WPS langsung dan responden pria. WPS tidak langsung umumnya lebih memahami risiko dan cara menghindarinya 19 19

30 Gambar 4.2. Responden yang Tidak Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Alasannya Persen Karena selalu menggunakan kondom Karena yakin pasangannya bersih 9 2 Karena berobat terlebih dahulu 2 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Terdapat kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan semakin merasa berisiko Hubungan antara Merasa Berisiko dengan Tingkat Pendidikan Kesadaran berisiko tertular IMS termasuk HIV/AIDS diduga berkorelasi dengan tingkat pendidikan. Asumsinya adalah semakin tinggi pendidikan, semakin mengerti seseorang bahwa ia melakukan pekerjaan yang berisiko. Hasil SSP di Kota Surabaya sedikit banyak menggambarkan dugaan tersebut, khususnya pada kalangan WPS. Di antara WPS langsung yang tidak tamat SD sekitar 19 persen yang menyatakan berisiko tertular HIV. Sebaliknya di antara yang berpendidikan tamat SLTP, sekitar 57 persen merasa berisiko. Hal ini terjadi juga pada mereka yang pernah melakukan hubungan seks secara komersial tanpa kondom dan merasa dirinya berisiko tertular HIV/AIDS. Dengan asumsi bahwa mereka yang tidak tamat SD sebagian juga buta huruf, maka perlu dicari metode intervensi yang lebih tepat bagi mereka. Namun demikian, pendidikan pada responden pria tidak serta merta berkorelasi dengan kesadaran berisiko tertular IMS, karena semakin tinggi pendidikan tidak membuat mereka semakin mengerti bahwa mereka melakukan pekerjaan berisiko. Gambar 4.3. Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Pendidikan Tertinggi Persen WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA atau lebih tinggi 20 20

31 5 Pola Perilaku Berisiko Penggunaan Kondom Responden yang selalu menggunakan kondom dalam seks komersial selama setahun terakhir (untuk responden pria) atau selama seminggu terakhir (untuk WPS) masih rendah, terutama di kalangan WPS tidak langsung yaitu sekitar 12 persen. Fenomena lain yang tercermin dalam pola penggunaan kondom adalah bahwa hanya sebagian saja kelompok berisiko yang secara konsisten (selalu) menggunakan kondom setiap kali berhubungan seks. Pada WPS langsung misalnya, tingkat penggunaan kondomnya sudah tinggi, lebih dari 40 persen menyatakan menggunakan kondom pada seks komersial terakhir, tetapi di antara mereka sekitar 15 persen yang selalu menggunakannya selama seminggu terakhir. Perbandingan antara yang menggunakan kondom pada seks komersial terakhir dengan yang selalu menggunakannya dalam seminggu terakhir, antara WPS tidak langsung tidak jauh berbeda dengan WPS langsung dan responden pria. Ini menunjukkan pola penggunaan kondom mereka secara umum sama. WPS langsung lebih banyak pakai kondom pada seks komersial Gambar 5.1. Tingkat Penggunaan Kondom pada Seks Komersial Persen WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Pakai kondom dalam seks komersial terakhir Selalu pakai kondom dalam seks komersial selama setahun terakhir (responden pria) atau seminggu terakhir (WPS) 21 21

32 Tidak digunakannya kondom tampaknya bukan karena ketidaktersediaan kondom di lokasi karena dari hasil pengamatan petugas SSP diketahui bahwa kondom tersedia atau mudah diperoleh hampir di seluruh lokasi terjadinya transaksi seks, yaitu di 95,9 persen lokasi WPS langsung dan 66,9 persen lokasi WPS tidak langsung. Antara Pengetahuan dan Perilaku Sebagian besar pelanggan tidak sesuai perilakunya dengan pengetahuannya Data pada Bab 2 menunjukkan bahwa secara umum WPS tidak langsung, yang lebih berpendidikan lebih memahami manfaat kondom untuk mencegah HIV/AIDS. Namun demikian, baik WPS maupun pelanggan memiliki pola yang hampir sama dalam penggunaan kondom. Dari WPS langsung yang tahu pakai kondom dapat mencegah tertular HIV sekitar 48 persen ternyata tidak menggunakan kondom pada hubungan seks komersial terakhir, sedangkan dari kelompok WPS tidak langsung sekitar 56 persen yang tidak menggunakannya. Gambar 5.2. Tahu bahwa Kondom dapat Mencegah Penularan HIV/AIDS tetapi Tidak Menawarkan dan Tidak Memakainya dalam Hubungan Seks Komersial Terakhir Persen Tahu pencegahan HIV pakai kondom tetapi tidak menaw arkan kepada pelanggan pada seks komersial terakhir Tahu pencegahan HIV pakai kondom tetapi tidak memakainya pada hubungan seks komersial terakhir WPS Langsung WPS Tidak Langsung Di kalangan pelanggan, mereka yang tahu tentang pencegahan terhadap risiko tertular HIV/AIDS sebagian besar ternyata tidak menerapkan pengetahuannya dalam hubungan seks. Di antara responden pria yang tahu pencegahan tertular dengan memakai kondom, sekitar 61 persen tidak menggunakannya dalam hubungan seks komersial terakhir

33 Gambar 5.3. Responden Pria yang Tahu Pencegahan HIV/AIDS tetapi Tidak Menerapkannya dalam Hubungan Seksual Tahu pencegahan pakai kondom tetapi tidak pakai kondom dalam seks komersial terakhir 61 Tahu pencegahan hanya hub seks dg satu pasangan setia tetapi mempunyai lebih dari satu pasangan seks 35 Tahu pencegahan hanya hub seks dg satu pasangan setia tetapi pernah berhub seks dg WPS setahun terakhir Tahu pencegahan tidak melakukan hub seks tetapi melakukan hub seks dg WPS selama setahun terakhir Persen Perbedaan antara pengetahuan dan perilaku (praktek) yang dapat dikaji adalah penggunaan kondom. Orang-orang yang tidak menggunakan kondom dalam seks komersial terakhir ditanyakan apa alasannya, dan baik responden wanita (WPS) maupun responden pria menunjukkan jawaban yang konsisten, yaitu sebagian besar (sekitar 61 persen) karena pelanggannya tidak menghendaki pakai kondom karena merasa kurang enak. Tingginya persentase hubungan seks komersial tanpa kondom karena keengganan kaum laki-laki untuk menggunakannya memberikan indikasi bahwa penyuluhan (promosi) penggunaan kondom tidak cukup hanya berfokus pada WPS. Penyuluhan pada WPS memang telah meningkatkan pengetahuannya mengenai bahaya HIV, dan mungkin telah meningkatkan kesadarannya untuk berperilaku seks sehat, tetapi pada akhirnya keputusan untuk menggunakan kondom atau tidak pada umumnya ada pada pelanggan. Gambar 5.4. Alasan Tidak Menggunakan Kondom pada Seks Komersial Terakhir Pelanggan 50 WPS Persen Tidak ada/ tdk tersedia Pelanggan tdk mau/terasa kurang enak 7 8 Pasangan bersih 2 2 Tanpa alasan Lainnya 23 23

34 Seks Anal dan Narkoba Seks komersial antara WPS dan pelanggan pria tentunya bukan satusatunya perilaku yang berisiko terhadap penularan HIV. Seks anal mempunyai risiko tinggi untuk tertular HIV, termasuk penularan melalui penggunaan bersama jarum suntik pada pecandu narkoba. Meskipun relatif kecil, ada juga di kalangan responden pria yang pernah berhubungan seks dengan waria, yaitu sekitar 1,5 persen. Data mengenai prevalensi HIV di kalangan waria di Kota Surabaya tidak tersedia, tetapi hasil studi terakhir di Jakarta menunjukkan bahwa sekitar 1 di antara 5 waria terinfeksi HIV. Hal ini memberi indikasi pentingnya penyuluhan penggunaan kondom dalam berhubungan seks dengan segala jenis kategori responden, termasuk waria (SSP Waria 2002). Penggunaan narkoba suntik (injecting drug users/idu) merupakan orangorang yang paling rentan terinfeksi HIV. Hasil studi terakhir di Jakarta menunjukkan bahwa sekitar setengah dari pengguna narkoba suntik telah terinfeksi virus penyebab AIDS (KPAN Jakarta, 2002) *). Hasil SSP untuk Kota Surabaya menunjukkan bahwa sekitar 1 persen mengatakan pernah menggunakan narkoba suntik, seperti ditunjukkan pada Gambar 5.5. Sebagian responden dari setiap kelompok sasaran juga mengatakan bahwa pasangan seks mereka pernah menggunakan narkoba. Interaksi dari penggunaan narkoba suntik dan seks komersial merupakan cara penularan utama HIV di Indonesia. Gambar 5.5. Responden dan masing-masing pasangan seksnya yang Pernah Menggunakan Narkoba Suntik Responden Pria 0,3 0,7 WPS Tidak Langsung 1,2 3,0 WPS Langsung 0,4 1, Persen Pernah menggunakan narkoba suntik Pasangan seks pernah memakai narkoba suntik *) Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2002, Ancaman HIV/AIDS di Indonesia Semakin Nyata, Perlu Penanggulangan Lebih Nyata (halaman 7) 24 24

35 6 IMS dan Perilaku Pencarian Pengobatan Infeksi Menular Seksual (IMS) Dari ketiga kelompok berisiko, cukup banyak dari kalangan WPS langsung (18,7 persen) yang pernah mengalami gejala infeksi menular seksual (IMS) dalam setahun terakhir, sedangkan dari kalangan WPS tidak langsung dan responden pria masing-masing sebanyak 10,6 persen dan 13,1 persen yang terkena infeksi tersebut. Data ini adalah dari apa yang dilaporkan oleh responden. Realitanya barangkali jauh lebih besar, karena pada responden terinfeksi IMS bisa saja tidak menunjukkan simptom atau gejala tertentu, sehingga responden tidak menyadarinya, sementara sebagian lainnya mungkin tidak melaporkannya karena berbagai alasan. Penyakit tersebut mereka terima terutama sebagai akibat perilaku yang tidak sehat (tidak menggunakan kondom) dalam melakukan hubungan seks. Ini terbukti dari besarnya proporsi responden yang terkena IMS karena tidak menggunakan kondom ketika berhubungan seks komersial. Di kalangan WPS langsung yang terkena gejala IMS, sekitar 60,9 persen tidak menggunakan kondom, sementara 42,3 persen dari WPS tidak langsung tidak memakai kondom dalam seks komersial terakhir, dan pada kelompok responden pria rasionya lebih tinggi lagi yaitu 82,1 persen. Proporsi WPS tidak langsung yang terkena IMS adalah yang terendah. Hal ini barangkali merupakan refleksi dari perilaku seks sebagian dari WPS tidak langsung yang selalu menggunakan kondom ketika berhubungan seks dengan pelanggannya. Perilaku seks yang tidak sehat harus dibayar mahal dengan menderita infeksi menular seksual (IMS) Gambar 6.1. Pemakaian Kondom Pada Responden yang Mengalami Gejala IMS 100,00 82 Persen 80,00 60,00 40,00 20, Dari yang mengalami gejala IMS, persentase yang tidak pakai kondom dalam seks komersial terakhir Dari yang mengalami gejala IMS, persentase yang selalu palai kondom dalam seks seminggu terakhir (WPS) atau setahun terakhir (responden pria) 0,00 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria 25 25

36 Jenis Keluhan IMS Luka/koreng di daerah alat kelamin merupakan jenis IMS yang paling banyak diderita kalangan WPS di Kota Surabaya Keluhan IMS pada perempuan dan lelaki tidak selalu sama. Ada keluhan tertentu yang dialami perempuan tetapi tidak dialami lelaki, demikian juga sebaliknya. Misalnya, penyakit kencing nanah hanya diderita lelaki, sebaliknya penyakit keputihan hanya diderita perempuan. Secara umum, luka/koreng di daerah alat kelamin merupakan jenis IMS yang banyak diderita oleh kalangan WPS, terutama WPS tidak langsung. Di kalangan WPS langsung, selain luka/koreng di daerah alat kelamin, banyak juga di antara mereka yang menderita keputihan (39,1 persen). Ini perlu mendapat perhatian yang serius, mengingat luka pada alat kelamin baik bagi perempuan maupun lelaki, akan membuka pintu bagi masuknya virus HIV dari seseorang ke pasangan seksnya. Sementara itu, keluhan berupa luka/koreng dan benjolan di sekitar alat kelamin, serta kencing nanah merupakan keluhan IMS yang kerap dirasa responden pria. Sekitar 40 sampai 50 persen dari kalangan responden pria ini pernah menderita ketiga jenis IMS tersebut. Gambar 6.2. Jenis Keluhan IMS Luka/koreng di daerah alat kelamin Persen Benjolan di sekitar alat kelamin Keputihan disertai dengan bau tak sedap Kencing nanah 0 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria 26 26

Laporan Hasil SSP 2003 Sumatera Selatan. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2003 Sumatera Selatan. iii. iii iii iii Kata Pengantar Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) Departemen Kesehatan dan Proyek Aksi Stop

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2002 Jawa Barat. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2002 Jawa Barat. iii. iii iii iii Kata Pengantar Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) Departemen Kesehatan dan Proyek Aksi Stop

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2003 Maluku. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2003 Maluku. iii. iii Laporan Hasil SSP 2003 Maluku iii iii Kata Pengantar Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) Departemen

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2003 Jayapura (Papua) iii. iii

Laporan Hasil SSP 2003 Jayapura (Papua) iii. iii iii iii Daftar Isi Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Gambar Tabel Indikator Kunci i iii v vii 1. Pendahuluan 1 Latar Belakang 1 Survei Surveilans Perilaku 1 Sasaran Survei 2 Metode Survei 2 Sketsa Lokasi

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2002 Sumatera Utara. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2002 Sumatera Utara. iii. iii iii iii Kata Pengantar Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) Departemen Kesehatan dan Proyek Aksi Stop

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2003 B a l i. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2003 B a l i. iii. iii Laporan Hasil SSP 2003 B a l i iii iii Kata Pengantar Bersamaan dengan pelaksanaan Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2002 di 10 Propinsi, kerjasama Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Program Aksi Stop

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2002 Merauke (Papua)

Laporan Hasil SSP 2002 Merauke (Papua) Laporan Hasil SSP 2002 Merauke (Papua) i i Kata Pengantar Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) Departemen

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2002 DKI Jakarta. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2002 DKI Jakarta. iii. iii iii iii Kata Pengantar Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) Departemen Kesehatan dan Proyek Aksi Stop

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2003 Sulawesi Selatan. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2003 Sulawesi Selatan. iii. iii iii iii Kata Pengantar Bersamaan dengan pelaksanaan Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2002 di 10 Propinsi, kerjasama Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Program Aksi Stop AIDS dari Family Health International

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2002 Riau. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2002 Riau. iii. iii iii iii Kata Pengantar Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) Departemen Kesehatan dan Proyek Aksi Stop

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2003 Nusa Tenggara Timur. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2003 Nusa Tenggara Timur. iii. iii iii iii Kata Pengantar Bersamaan dengan pelaksanaan Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2002 di 10 Propinsi, kerjasama Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Program Aksi Stop AIDS dari Family Health International

Lebih terperinci

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2004/2005

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2004/2005 VSP04-PEGAWAI SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2004/2005 Kerjasama: Badan Pusat Statistik, Departemen Kesehatan, dan KPAD Propinsi Papua dengan dukungan Program ASA/FHI USAID RAHASIA Badan Pusat Statistik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama infeksi berlangsung,

Lebih terperinci

SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU

SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU 1 Tujuan Menentukan kecenderungan prevalensi HIV, Sifilis, Gonore, dan Klamidia di antara Populasi Paling Berisiko di beberapa kota di Indonesia. Menentukan kecenderungan

Lebih terperinci

Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI. Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan

Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI. Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan PENDAHULUAN Secara umum Indonesia adalah negara dengan epidemi rendah, tetapi terkonsentrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik

BAB I PENDAHULUAN. Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dua dasa warsa lebih sudah, sejak dilaporkannya kasus AIDS yang pertama di Indonesia tahun 1987 di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar Bali, respon reaktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan mempunyai hampir tiga kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS

BAB I PENDAHULUAN. akan mempunyai hampir tiga kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah HIV dan AIDS merupakan masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari jumlah kasus AIDS yang dilaporkan setiap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemik.

Lebih terperinci

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN PENGARUH STIGMA DAN DISKRIMINASI ODHA TERHADAP PEMANFAATAN VCT DI DISTRIK SORONG TIMUR KOTA SORONG Sariana Pangaribuan (STIKes Papua, Sorong) E-mail: sarianapangaribuan@yahoo.co.id ABSTRAK Voluntary Counselling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL) Departemen Kesehatan

Lebih terperinci

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2004/2005

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2004/2005 VSP04-PRIA RAHASIA SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2004/2005 Kerjasama: Badan Pusat Statistik dan Departemen Kesehatan dengan dukungan Program ASA/FHI - USAID BLOK I. PENGENALAN TEMPAT 1 Propinsi 2 Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya jumlah kasus infeksi HIV khususnya pada kelompok Wanita Penjaja Seks (WPS) di Indonesia pada saat ini, akan menyebabkan tingginya risiko penyebaran infeksi

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Virus ini menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh

Lebih terperinci

ESTIMASI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI BALI TAHUN 2007

ESTIMASI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI BALI TAHUN 2007 ESTIMASI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI BALI TAHUN 2007 1800000 1600000 Proyeksi Kasus HIV/AIDS di Indonesia 1400000 1200000 Jumlah Infeksi 1000000 800000 600000 400000 200000

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Sydrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah internasional dalam bidang kesehatan adalah upaya menghadapi masalah Infeksi Menular Seksual (IMS) yang tertuang pada target keenam Millennium Development

Lebih terperinci

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN TENTANG HIV-AIDS DAN VOLUNTARY COUNSELLING AND TESTING (VCT) SERTA KESIAPAN MENTAL MITRA PENGGUNA NARKOBA SUNTIK DENGAN PERILAKU PEMERIKSAAN KE KLINIK VCT DI SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya pencegahan IMS yang dilaksanakan

Lebih terperinci

Situasi Perilaku Berisiko dan Prevalensi HIV di Tanah Papua 2006

Situasi Perilaku Berisiko dan Prevalensi HIV di Tanah Papua 2006 Situasi Perilaku Berisiko dan Prevalensi HIV di Tanah Papua 2006 Hasil STHP Tahun 2006 di Tanah Papua Kerjasama Badan Pusat Statistik dan Departemen Kesehatan Situasi Perilaku Berisiko dan Prevalensi HIV

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu masalah kesehatan global yang jumlah penderitanya meningkat setiap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit menular yang belum dapat diselesaikan dan termasuk iceberg phenomenon atau fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan diduga akan berkepanjangan karena masih terdapat faktor-faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. dan diduga akan berkepanjangan karena masih terdapat faktor-faktor yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epidemi HIV&AIDS di Indonesia sudah berlangsung selama 15 tahun dan diduga akan berkepanjangan karena masih terdapat faktor-faktor yang memudahkan penularan virus penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan penyakit menular akibat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan tubuh serta

Lebih terperinci

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2004/2005

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2004/2005 RAHASIA VSP04-WPS SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2004/2005 Kerjasama: Badan Pusat Statistik dan Departemen Kesehatan dengan dukungan Program ASA/FHI - USAID BLOK I. PENGENALAN TEMPAT 1 Propinsi 2 Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan AIDS adalah suatu penyakit yang fatal. Penyakit ini disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus atau

Lebih terperinci

Laporan Survei Surveilans Perilaku Berisiko Tertular HIV di Nanggroe Aceh Darussalam 2008

Laporan Survei Surveilans Perilaku Berisiko Tertular HIV di Nanggroe Aceh Darussalam 2008 Laporan Survei Surveilans Perilaku Berisiko Tertular HIV di Nanggroe Aceh Darussalam 2008 ISBN: 978-979-19889-0-2 Ukuran Buku: 21 cm x 28 cm Jumlah Halaman: 70 halaman Tim Penyusun: Dr. Pandu Riono, MPH,

Lebih terperinci

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan Sutjipto PKMK FK UGM Disampaikan pada Kursus Kebijakan HIV-AIDS 1 April 216 1 Landasan teori 2 1 EPIDEMIOLOGY (Definisi ) 1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia, tidak dapat diperkirakan secara tepat. Di beberapa negara disebutkan bahwa

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome atau yang kita kenal dengan HIV/AIDS saat ini merupakan global health issue. HIV/AIDS telah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan pandemi terhebat dalam kurun waktu dua dekade terakhir. AIDS adalah kumpulan gejala penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat 16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Human Immuno-deficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang menyerang system kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan pada peningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan

Lebih terperinci

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2 Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 201 Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2 1 Puskesmas Bulupoddo, 2 Dinas Kesehatan Kabupaten Sinjai, Sulawesi

Lebih terperinci

SURVEI SUVEILANS PERILAKU (SSP) 2007

SURVEI SUVEILANS PERILAKU (SSP) 2007 VSP07-PRIA SURVEI SUVEILANS PERILAKU (SSP) 2007 Kerjasama: Badan Pusat Statistik dan Departemen Kesehatan RAHASIA BLOK I. PENGENALAN TEMPAT 1 Provinsi 2 Kabupaten/Kota *) 3 Kecamatan 4 Desa/Kelurahan *)

Lebih terperinci

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2004/2005

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2004/2005 VSP04-REMA JA SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2004/2005 Kerjasama: Badan Pusat Statistik dan Departemen Kesehatan dengan dukungan Program ASA/FHI USAID RAHASIA Badan Pusat Statistik (BPS) bekerjasama

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah keseluruhan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau orang

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah keseluruhan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau orang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah keseluruhan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau orang yang terjangkit HIV di dunia sampai akhir tahun 2010 diperkirakan 34 juta orang. Dua pertiganya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health. diperkirakan sebanyak 1.6 juta orang diseluruh dunia.

BAB I PENDAHULUAN. pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health. diperkirakan sebanyak 1.6 juta orang diseluruh dunia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV/AIDS sebagai salah satu epidemik yang paling menghancurkan pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health Organization (WHO) 2012 menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

Situasi HIV & AIDS di Indonesia

Situasi HIV & AIDS di Indonesia Situasi HIV & AIDS di Indonesia 2.1. Perkembangan Kasus AIDS Tahun 2000-2009 Masalah HIV dan AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari apabila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Pada Januari hingga September 2011 terdapat penambahan kasus sebanyak

BAB I PENDAHULUAN Pada Januari hingga September 2011 terdapat penambahan kasus sebanyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia kejadian HIV dan AIDS pertama kali dilaporkan pada tahun 1987. Pada Januari hingga September 2011 terdapat penambahan kasus sebanyak 15.589 kasus untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini masih terdapat banyak penyakit di dunia yang belum dapat diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan kesehatan yang sebelumnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pencegahan IMS yang dilaksanakan di banyak negara, nampaknya belum

BAB 1 PENDAHULUAN. pencegahan IMS yang dilaksanakan di banyak negara, nampaknya belum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Insiden maupun prevalensi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodefficiency Virus (HIV) merupakan virus penyebab

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodefficiency Virus (HIV) merupakan virus penyebab 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) merupakan virus penyebab Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) yang dapat menyerang siapa saja tanpa memandang jenis kelamin,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom. penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom. penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013). BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Human Immunodeficiensy Vyrus (HIV) yaitu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom (AIDS) adalah sindrom kekebalan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kekebalan tubuh yang terjadi karena seseorang terinfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kekebalan tubuh yang terjadi karena seseorang terinfeksi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah HIV merupakan famili retrovirus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia terutama limfosit (sel darah putih) dan penyakit AIDS adalah penyakit yang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Insidensi infeksi HIV-AIDS secara global cenderung semakin meningkat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia pelaku transeksual atau disebut waria (Wanita-Pria) belum

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia pelaku transeksual atau disebut waria (Wanita-Pria) belum 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di Indonesia pelaku transeksual atau disebut waria (Wanita-Pria) belum mendapat pengakuan dari masyarakat. Karena dalam hukum negara Indonesia hanya mengakui

Lebih terperinci

SURVEILANS TERPADU HIV-PERILAKU 2006

SURVEILANS TERPADU HIV-PERILAKU 2006 STHP06-PRIA RAHASIA SURVEILANS TERPADU HIV-PERILAKU 2006 Badan Pusat Statistik bekerjasama dengan Departemen Kesehatan dengan dukungan ASA-FHI dan Bank Dunia PENDATAAN UNTUK PRIA BLOK I. KETERANGAN TEMPAT

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di negara berkembang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dahulu kala lebih menitik beratkan kepada upaya kuratif, sekarang sudah

BAB I PENDAHULUAN. yang dahulu kala lebih menitik beratkan kepada upaya kuratif, sekarang sudah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konsep dan strategi pembangunan kesehatan telah mengalami pergeseran, yang dahulu kala lebih menitik beratkan kepada upaya kuratif, sekarang sudah berorientasi kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV/AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian sangat serius. Hal ini karena jumlah kasus AIDS yang dilaporkan setiap tahunnya

Lebih terperinci

KOMISI PENANGGULANGAN AIDS

KOMISI PENANGGULANGAN AIDS B A K T I S H U A D A KOMISI PENANGGULANGAN AIDS L A P O R A N N A S I O N A L B A K T I S H U A D A KOMISI PENANGGULANGAN AIDS L A P O R A N N A S I O N A L KEGIATAN ESTIMASI POPULASI DEWASA RAWAN TERINFEKSI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit menular masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian penderitanya. Departemen

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA BAB II 2.1. HIV/AIDS Pengertian HIV/AIDS. Menurut Departemen Kesehatan (2014), HIV atau

TINJAUAN PUSTAKA BAB II 2.1. HIV/AIDS Pengertian HIV/AIDS. Menurut Departemen Kesehatan (2014), HIV atau BAB II 2.1. HIV/AIDS TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1. Pengertian HIV/AIDS Menurut Departemen Kesehatan (2014), HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebaliknya dengan yang negatif remaja dengan mudah terbawa ke hal yang

BAB I PENDAHULUAN. Sebaliknya dengan yang negatif remaja dengan mudah terbawa ke hal yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa dimana seorang anak mengalami pubertas dan mulai mencari jati diri mereka ingin menempuh jalan sendiri dan diperlakukan secara khusus. Disinilah

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 52 BAB 5 HASIL PENELITIAN Hasil penelitian ini menguraikan satu persatu hasil uji statistik seluruh variabel secara berurutan. Dimulai dari analisis univariat, meliputi distribusi frekuensi seluruh faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN HIV (Human Immunodeficiency Virus) virus ini adalah virus yang diketahui sebagai penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). HIV merusak sistem ketahanan tubuh,

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dengan menyerang sel darah putih CD4 yang berada pada permukaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pesan yang akan disampaikan (Azrul & Azwar, 1983). Sedangkan Glanz, dkk.,

BAB 1 PENDAHULUAN. pesan yang akan disampaikan (Azrul & Azwar, 1983). Sedangkan Glanz, dkk., BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan kesehatan, yang dilakukan dengan menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu

Lebih terperinci

SURVEILANS TERPADU HIV-PERILAKU 2006

SURVEILANS TERPADU HIV-PERILAKU 2006 STHP06-WANITA RAHASIA SURVEILANS TERPADU HIV-PERILAKU 2006 Badan Pusat Statistik bekerjasama dengan Departemen Kesehatan dengan dukungan ASA-FHI dan Bank Dunia PENDATAAN UNTUK WANITA BLOK I. KETERANGAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penduduk Indonesia tahun , BPS, BAPPENAS, UNFPA, 2005).

BAB 1 PENDAHULUAN. Penduduk Indonesia tahun , BPS, BAPPENAS, UNFPA, 2005). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Remaja merupakan populasi terbesar di Indonesia, berdasarkan data sensus penduduk jumlah remaja 10-24 tahun mencapai 64 juta pada tahun 2010 atau 28,64% dari total

Lebih terperinci

Ancaman HIV/AIDS di Indonesia Semakin Nyata, Perlu Penanggulangan Lebih Nyata

Ancaman HIV/AIDS di Indonesia Semakin Nyata, Perlu Penanggulangan Lebih Nyata SIDANG KABINET SESI KHUSUS HIV/AIDS Ancaman HIV/AIDS di Indonesia Semakin Nyata, Perlu Penanggulangan Lebih Nyata BAK T I H USADA Komisi Penanggulangan AIDS Nasional 2002 SIDANG KABINET SESI KHUSUS HIV/AIDS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit yang datang.

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) pada tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan IMS seperti perubahan demografi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam pekerjaan rumah tangga. Sedangkan HIV (Human Immuno Virus)

BAB I PENDAHULUAN. macam pekerjaan rumah tangga. Sedangkan HIV (Human Immuno Virus) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu rumah tangga menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai seorang wanita yang mengatur penyelenggaraan berbagai macam pekerjaan rumah tangga. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan masalah besar dalam kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat individu rentan terhadap

Lebih terperinci

OLEH A A ISTRI YULAN PERMATASARI ( ) KADEK ENA SSPS ( ) WAYLON EDGAR LOPEZ ( )

OLEH A A ISTRI YULAN PERMATASARI ( ) KADEK ENA SSPS ( ) WAYLON EDGAR LOPEZ ( ) PROPOSAL PENYULUHAN KESEHATAN MASYARAKAT (PKM) TENTANG PENINGKATAN PENGETAHUAN MASYARAKAT DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENULARAN HIV/AIDS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TABANAN II TAHUN 2012 OLEH A A ISTRI YULAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit HIV/ AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acguired Immun Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit HIV/ AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acguired Immun Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu penyakit yang menjadi masalah di dunia adalah penyebaran penyakit HIV/ AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acguired Immun Deficiency Syndrome). Perkembangan

Lebih terperinci

Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Penduduk Usia Muda. Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional

Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Penduduk Usia Muda. Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Penduduk Usia Muda Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional 1 Outline Paparan Bagaimana Transmisi HIV Terjadi Situasi HIV

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Epidemi human immunodeficiency virus/acquired immune deficiency

BAB I PENDAHULUAN. Epidemi human immunodeficiency virus/acquired immune deficiency BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epidemi human immunodeficiency virus/acquired immune deficiency syindrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat utama di dunia. Di tingkat global,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. STUDI ini secara garis besar memotret implementasi program LSM H2O (Human

BAB I PENDAHULUAN. STUDI ini secara garis besar memotret implementasi program LSM H2O (Human BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH STUDI ini secara garis besar memotret implementasi program LSM H2O (Human Health Organization) dalam penanggulangan HIV/AIDS di Kota Medan. Dengan mengambil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. HIV/AIDS menjadi epidemik yang mengkhawatirkan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. HIV/AIDS menjadi epidemik yang mengkhawatirkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah HIV/AIDS menjadi epidemik yang mengkhawatirkan masyarakat dunia. Jumlah kasus HIV/AIDS dari tahun ke tahun di seluruh bagian dunia terus meningkat meskipun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial yang utuh bukan hanya bebas penyakit atau kelemahan dalam segala aspek

BAB 1 PENDAHULUAN. sosial yang utuh bukan hanya bebas penyakit atau kelemahan dalam segala aspek BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan reproduksi menurut International Cooperation Populatiom and Development (ICPD) 1994 adalah suatu keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh bukan

Lebih terperinci

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2009 pada Kelompok Remaja

SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2009 pada Kelompok Remaja VSP09-REMAJA [di Dalam Sekolah] SURVEI SURVEILANS PERILAKU (SSP) 2009 pada Kelompok Remaja Kerjasama: Badan Pusat Statistik dan Departemen Kesehatan RAHASIA BLOK I. KETERANGAN RINGKAS Badan Pusat Statistik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu penyebab masalah kesehatan, sosial dan ekonomi di banyak negara serta merupakan salah satu pintu masuk HIV. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia termasuk negara dengan jumlah penduduk yang besar. Penduduk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia termasuk negara dengan jumlah penduduk yang besar. Penduduk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia termasuk negara dengan jumlah penduduk yang besar. Penduduk yang besar, sehat dan produktif merupakan potensi dan kekuatan efektif bangsa. Begitu pula sebaliknya

Lebih terperinci

Pokok Bahasan Latar Belakang Tujuan Peta Distribusi WPS dan Lokasi SCP Metodologi Temuan: Simpulan Rekomendasi

Pokok Bahasan Latar Belakang Tujuan Peta Distribusi WPS dan Lokasi SCP Metodologi Temuan: Simpulan Rekomendasi SCP WPS 2010 1 Pokok Bahasan Latar Belakang Tujuan Peta Distribusi WPS dan Lokasi SCP Metodologi Temuan: 1. Karakteristik responden 2. Akses ke program 3. Perilaku penggunaan kondom Simpulan Rekomendasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human. Immunodeficiency Virus) (WHO, 2007) yang ditemukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human. Immunodeficiency Virus) (WHO, 2007) yang ditemukan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AIDS. tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV (Kemenkes RI, 2014).

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AIDS. tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV (Kemenkes RI, 2014). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah sejenis virus yang menyerang/menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh manusia. Acquired

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Acquired immune deficiency syndrome (AIDS), merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan karena menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh human immunodeficiency

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus tersebut merusak sistem

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Januari 2005 Deputi Bidang Statiatik Sosial. Dr. Rusman Heriawan

KATA PENGANTAR. Jakarta, Januari 2005 Deputi Bidang Statiatik Sosial. Dr. Rusman Heriawan KATA PENGANTAR Pada tahun 2004/2005 Family Heatlh International (FHI) melalui program Aksi Stop AIDS (ASA) yang didanai oleh USAID, Indonesia HIV/AIDS Prevention and Care Project (IHPCP) yang didanai oleh

Lebih terperinci

PERAN CERAMAH TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG AIDS PADA SISWA KELAS XI SMK NEGERI 4 SURAKARTA SKRIPSI

PERAN CERAMAH TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG AIDS PADA SISWA KELAS XI SMK NEGERI 4 SURAKARTA SKRIPSI PERAN CERAMAH TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG AIDS PADA SISWA KELAS XI SMK NEGERI 4 SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S1 Diajukan Oleh : SLAMET WIDODO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dampaknya terus berkembang (The Henry J. Kaiser Family Foundation, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. dampaknya terus berkembang (The Henry J. Kaiser Family Foundation, 2010). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perempuan telah terpengaruh oleh HIV sejak awal epidemi terjadi dan dampaknya terus berkembang (The Henry J. Kaiser Family Foundation, 2010). Secara global HIV dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sistem imun dan menghancurkannya (Kurniawati, 2007). Acquired

BAB I PENDAHULUAN. sistem imun dan menghancurkannya (Kurniawati, 2007). Acquired BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang termasuk dalam famili lentivirus. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya (Kurniawati,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mengakomodasi kesehatan seksual, setiap negara diharuskan untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang mengakomodasi kesehatan seksual, setiap negara diharuskan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Kesehatan yang ditetapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN sebanyak 1,1 juta orang (WHO, 2015). menurut golongan umur terbanyak adalah umur tahun dengan

BAB I PENDAHULUAN sebanyak 1,1 juta orang (WHO, 2015). menurut golongan umur terbanyak adalah umur tahun dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV/AIDS telah menjadi penyakit yang menakutkan bagi masyarakat dunia tidak terkecuali masyarakat Indonesia karena penderita HIV/AIDS di dunia setiap tahunnya mengalami

Lebih terperinci

Ancaman HIV/AIDS di Indonesia Semakin Nyata, Perlu Penanggulangan Lebih Nyata. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional

Ancaman HIV/AIDS di Indonesia Semakin Nyata, Perlu Penanggulangan Lebih Nyata. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Ancaman HIV/AIDS di Indonesia Semakin Nyata, Perlu Penanggulangan Lebih Nyata Komisi Penanggulangan AIDS Nasional 2002 Prakata Pada Sidang Kabinet sesi khusus HIV/AIDS yang lalu telah dilaporkan tentang

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) semakin meningkat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan masyarakat secara global. Pada tahun 2015, diperkirakan terdapat 36.700.000 orang hidup dengan HIV termasuk sebanyak 2,25 juta anak

Lebih terperinci