Nurjannah, SKM Sub Direktorat AIDS&PMS Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Indonesia

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Nurjannah, SKM Sub Direktorat AIDS&PMS Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Indonesia"

Transkripsi

1

2 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA, INDONESIA, 2005 Ketua Pelaksana: Dr. Fonny J Silfanus, MSc Sub Direktorat AIDS&PMS Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Indonesia Peneliti Utama: Dr. Endang R. Sedyaningsih, Dr.PH Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Indonesia Pemantau Teknis: Prof. Dr. Sjaiful Fahmi Daili, SpKK (K) Departemen Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Peneliti: Dr. Atiek Sulistyarni Anartati, MPH&TM Dr. Flora Kioen Tanudyaya, MSc Dr. Kemmy Ampera Purnamawati Aang Sutrisna, MPH Siswadi Dr. Leny Senduk Hari Purnomo Vita Ayu Family Health International, Indonesia / Aksi Stop AIDS (ASA) Program Nurjannah, SKM Sub Direktorat AIDS&PMS Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Indonesia Drs. Eko Rahardjo Drs. Syahrial Harun Dr. Roselinda, MEpid Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Indonesia i

3 Tim Lokal!## $ %& # ' ( ) *# +,*!# *-% #! **%# *. # %. $#% '* /!# 0 / 60#!# 1 /# 7#2# $ ' *,0# (,# )!# +*#* %! 8 4 *%# # $* '8 (*%##. )* * # 12 # 3# 412 #3# * # # * # 5! # %# 3*1! * # # 8,! 1! 1 15! 14#+ 18,!1!.% 4 # 0.% *0 3*#8,!1! ii

4 8*# /1 5 # 5# # $ * ', 6 4 ( - ) # +5 %7#. -2- # ** $ # '**. # 5 #!. % /# 0# 2 $ -! ' %4 ( ) 5 +*,, 1, #1 ;; < 2#8 - $ '= # (*8 % )*,8## *.;4 */# 6 *3!* % # $ *-!01 ' *, # ( ),14# +! 6 *4! #1 # * # 12 # # 4## * ## * % 9 1# ## * # #1!!:,% 141! * # 12 *5% * # # 5# 4# 4112 *5% * 1##5#4# 1!!4 18.% 4 <0#! * # # # * #4! * 1##4! * #4! 1454# iii

5 -%1 # #5% 4 =1, $ 5 # ' 8 ( <# #6%! ) #%/, # +#0 *<# = # # * = #. 8 $<# 1 '#% ( # )* /## +.%= 6 * # ##0 #46 * * #! 0>? *: 0 8# $ ' /; ( % ) %# +& -# %#%# * $ '*,!! (*, # #46 * * #! 0 8# *# # * # ! 4! 1 #* #! ! * # #! * 1# 9 % #! 1 1!!.% :%14#! 3*#! * # *#@% %! * # 0# 4 %! 1!!# %# 4# 0,4 # 1!, 18, * # *#@% * # #% iv

6 * ## 7%3 /%!% * *# *- 1 # $ -% #% 0 ' - ( < ) =% +*/7-8 1 %#! %0! *! #8 $#A ' #/ (*##0 )*5, *,1 * % 6 % 1 = *# 6= $*. # '*#%#0 (.05! ) A # +7#2 % #.2 # %0 4 -! $!# '* 0! * # 12 3# 43# * # #4#! * #4#! 14#!4#.% 1!.% 4!0 # 31 < * # %0 10 1= * 5%0 * 0 145%0.% 0 v

7 vi

8 KATA PENGANTAR Dengan semakin meningkatnya prevalensi HIV/AIDS saat ini, diharapkan penanganan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) juga harus semakin ditingkatkan, karena Infeksi Menular Seksual merupakan salah satu Entry Point (Pintu Masuk) infeksi HIV. Sedangkan perhatian terhadap IMS pada saat ini seakan terabaikan, karena lebih tertuju kepada penanggulangan HIV, terbukti dengan kurangnya data - data yang berhubungan dengan IMS tersebut. Dari beberapa sumber data yang ada, disebutkan bahwa sifilis, ulcus molle ( Canchroid ) dan herpes genitalis meningkatkan resiko penularan HIV 2-9 kali. Sedangkan IMS tanpa gejala ulkus menyebabkan peningkatan risiko penularan HIV 3-5 kali. Sebaliknya HIV juga mempengaruhi progresifitas perjalanan penyakit IMS akibat penurunan daya tahan tubuh dan resistensi terhadap obat. Karena itu upaya yang komprehensif dalam penanggulangan HIV maupun IMS sangat diperlukan sehingga dapat memberikan dampak untuk menurunkan prevalensi kedua penyakit tersebut. Pada tahun 2003 Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan bekerjasama dengan Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan dan Program ASA-FHI melaksanakan Penelitian tentang Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi pada Wanita Penjaja Seks yang dilakukan di tujuh kota ( Jayapura, Bitung, Semarang, Banyuwangi, Medan, Palembang dan Tanjung Pinang ) dan pada tahun 2005 dilakukan penelitian yang kedua pada 10 ( sepuluh ) kota dengan penambahan di tiga kota dari penelitian pertama ( DKI Jakarta, Bandung, Surabaya ). vii

9 Hasil penelitian ini menggambarkan data prevalensi IMS yang dapat digabungkan dengan perbandingan hasil penelitian yang pertama dan sebagian data dasar surveilans generasi kedua yang dilanjutkan ditahun mendatang. Data ini juga bisa memberikan informasi mengenai beberapa hal yang perlu untuk makin menyempurnakan upaya pencegahan yang telah dilaksanakan di tiap kabupaten/ kota dari propinsi yang diteliti. Sepatutnyalah kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada segenap pihak baik perorangan maupun lembaga yang telah berperan serta dalam penelitian prevalensi infeksi saluran reproduksi di sepuluh kota tersebut. Semoga laporan hasil penelitian prevalensi infeksi saluran reproduksi yang kedua ini akan bermanfaat bagi pembaca dan dapat menjadi acuan dalam perencanaan penatalaksanaan IMS di Indonesia. Jakarta, Desember 2005 Direktur Jenderal PP & PL Dr. I Nyoman Kandun,MPH NIP: viii

10 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR vii DAFTAR ISI ix DAFTAR TABEL xi DAFTAR GAMBAR xiii RINGKASAN EKSEKUTIF xv I. PENDAHULUAN 1 II. TUJUAN 5 III. METODE 7 III.1. Rancangan penelitian dan populasi yandg diteliti 7 III.2. Strategi penghitunga dan pengambilan sampel 7 III.3. Waktu dan tempat 8 III.4. Tim pengumpul data 9 III.5. Alur proses pengambilan data 9 III.6. Diagnosis dan pengobatan 10 III.7. Pemeriksaan laboratorium 11 IV. HASIL 13 IV.1. Rekrutment 13 IV.2. Karakteristik populasi yang diteliti 14 IV.2.1 Umur 14 IV.2.2 Umur Pertama Kali Berhubungan Seks 15 IV.2.3 Tingkat Pendidikan 15 IV.2.4 Status pernikahan 16 IV.2.5 Alat Kontrasepsi 16 IV.2.6 Lama Bekerja sebagai WPS 17 IV.2.7 Provinsi Asal WPS 17 IV.2.8 Jumlah Pelanggan 18 ix

11 IV.3. Pemeriksaan fisik 21 IV.4. Prevalensi ISR 21 IV.5. IMS Tanpa Tanda 29 IV.6. Perilaku Berisiko 31 IV.6.1 Pemakaian kondom 31 IV.6.2 Perilaku Pecegahan yang keliru 32 IV.6.3 Perilaku Pengobatan IMS 34 IV.7. Cakupan Program 34 V. PERBANDINGAN HASIL SURVEI 2005 DENGAN SURVEI V.1 Karakteristik Populasi yang dituju 35 V.2 Prevalensi ISR 36 V.3 Faktor Resiko 37 VI DISKUSI 41 VII. KESIMPULAN DAN SARAN 53 VII.1. Kesimpulan 53 VII.2. Saran 53 Referensi 55 Lampiran 59 Lampiran 1 Distribusi Umur WPS 59 Lampiran 2 Distribusi Umur Pertama Kali Berhubungan Seks WPS 60 Lampiran 3 Tingkat Pendidikan WPS 61 Lampiran 4 Pasangan Tetap dan Status Pernikahan WPS 62 Lampiran 5 Pemakaian Alat Kontrasepsi oleh WPS 63 Lampiran 6 Lama Kerja WPS 64 Lampiran 7 Lama Kerja WPS di Lokasi Sekarang 65 Lampiran 8 Provinsi dan Kabupaten Tempat Asal WPS 66 Lampiran 9 Cakupan Program Penjangkauan dan Klinik IMS bagi WPS 67 Lampiran 10 Perbandingan Prevalensi ISR Pada Setiap Sub Populasi 69 Lampiran 11 Perbandingan Umur Hubungan Seks Pertama 70 Lampiran 12 Perbandingan Lama Kerja Sebagai WPS 71 x

12 DAFTAR TABEL Tabel 1. Prevalensi ISR Pada WPS, Indonesia, Tabel 2. Prevalensi Infeksi Gonore dan Klamidia pada WPS di Beberapa Lokasi di Indonesia, Tabel 3. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian, Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di 10 Kota*, Indonesia, Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Daftar Diagnosis dan Pengobatan yang Diterapkan pada Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di 10 Kota*, Indonesia, Pemeriksaan Laboratorium Yang Menjadi Dasar Pengukuran Prevalensi ISR pada Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di 10 Kota*, Indonesia, Realisasi Sampel, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, Provinsi Tempat Asal WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, Pelanggan Terbanyak WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota* di Indonesia, Hasil Pemeriksaan Fisik, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, Proporsi WPS yang Minum Antibiotik Dosis Tidak Tepat untuk Mencegah ISR, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, Proporsi WPS yang Cuci Vagina Sendiri untuk Mencegah ISR, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, xi

13 Tabel 12. Tabel 13. Tabel 14. Proporsi WPS yang Mencari Pengobatan yang Benar Ketika Terkena IMS dalam 3 Bulan Terakhir, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, Perbandingan Prevalensi Gonore, Klamidia, dan Trikomoniasis antara Beberapa Metode Berbeda, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 7 Kota di Indonesia, Prevalensi 4 IMS Pada WPS di Beberapa Negara di Sekitar Indonesia, ,16,17,18,19,20 41 xii

14 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Distribusi Umur WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, Distribusi Umur Pertama Kali Berhubungan Seks, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, Tingkat Pendidikan WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, Median Jumlah Pelanggan Dalam Satu Minggu Terakhir, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, Korelasi Antara Umur dan Median Jumlah Pelanggan Dalam Seminggu Terakhir WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, Prevalensi Gonore, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, Prevalensi Infeksi Klamidia, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, Prevalensi Infeksi Ganda Gonore dan Klamidia, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 Prevalensi Trikomoniasis Vaginalis, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, Prevalensi Bakterial Vaginosis, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, Prevalensi Kandidiasis Vaginalis, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, xiii

15 Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14. Gambar 15. Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18. Gambar 19. Gambar 20. Gambar 21. Prevalensi Sifilis, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota* di Indonesia, Prevalensi Serologi Positif HSV tipe 2, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, Proporsi WPS yang Sedang Terinfeksi Satu atau Lebih IMS yang diteliti kecuali HSV, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, Proporsi Kasus IMS Tanpa Tanda Pada WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, Proporsi Kasus IMS Tanpa Gejala Pada WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, Konsistensi Menggunakan Kondom Selama Seminggu Terakhir Pada WPS Langsung, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota* di Indonesia, Konsistensi Menggunakan Kondom Selama Seminggu Terakhir Pada WPS Tidak Langsung, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota* di Indonesia, Perbandingan Distribusi Umur WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 7 Kota di Indonesia 2003 dan Perbandingan Prevalensi Berbagai ISR WPS di 7 Kota tahun 2003 dan Perbandingan Umur Pertama Kali Berhubungan Seks WPS di 7 Kota tahun 2003 dan Gambar 22. Perbandingan Lama Bekerja Sebagai WPS tahun 2003 dan xiv

16 RINGKASAN EKSEKUTIF Pendahuluan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) mempermudah penularan HIV sehingga prevalensi IMS dan ISR dapat menunjukkan risiko penyebaran HIV. Di Indonesia, epidemi HIV sudah terkonsentrasi dengan prevalensi HIV pada WPS (Wanita Penjaja Seks) di beberapa tempat >5%, bahkan 26,5% di Merauke (Papua). Di samping itu, prevalensi IMS juga dapat memberikan gambaran perluasan cakupan dan peningkatan kualitas program penanggulangan IMS dan HIV/AIDS. Oleh karena itu, data prevalensi IMS perlu diamati secara periodik melalui surveilans IMS. Data tersebut dapat menjadi informasi dalam merencanakan, melaksanakan, memonitor serta mengevaluasi program untuk meningkatkan mutu upaya penanggulangan IMS-HIV/AIDS. Penelitian Prevalensi ISR pada WPS tahun 2003 melaporkan di 7 kota yang diteliti terdapat 28% - 62% WPS lokalisasi, 30% - 60% WPS tempat hiburan, dan 47% - 81% WPS jalanan yang sedang terinfeksi satu atau lebih ISR yang diteliti. Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian di tahun 2003, dengan penambahan lokasi menjadi 10 kota/ kabupaten, yaitu di Medan, Tanjung Pinang, Palembang, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Surabaya, Banyuwangi, Manado, dan Jayapura. Tujuan Tujuan utama adalah untuk mengukur prevalensi infeksi gonore, klamidia, sifilis, herpes simpleks tipe 2, trikomoniasis vaginalis, bakterial vaginosis dan kandidiasis vaginal pada WPS di 10 kota/kabupaten di Indonesia. Penelitian ini juga mendeskripsikan karakteristik demografis dan perilaku berisiko tinggi WPS; membandingkan prevalensi ISR, beberapa karakteristik demografis dan perilaku risiko tinggi dengan hasil penelitian tahun 2003; serta mendeskripsikan cakupan program penanggulangan IMS dari sudut pandang WPS. xv

17 Metoda Penelitian ini mengukur prevalensi ISR secara cross-sectional. Populasi yang diteliti adalah WPS langsung dan tidak langsung berumur tahun, sedang tidak menstruasi dan tidak hamil. Jumlah yang diperlukan 237 per lokasi; dengan memperhitungkan ketidakhadiran maka diundang 333 WPS per lokasi. Penelitian dilaksanakan tanggal 18 Februari 15 Juli 2005 oleh tim inti yang bekerja sama dengan tim keliling dan tim lokal. Hasil Median umur WPS langsung berkisar antara tahun, WPS tidak langsung tahun. Median umur pertama kali berhubungan seks WPS langsung berkisar antara tahun, tidak langsung tahun. Lebih dari 50% WPS tidak langsung berpendidikan SD ke bawah, sedangkan WPS tidak langsung SD ke atas. Sekitar sepertiga dari WPS tidak memakai alat kontrasepsi apapun. Di antara yang memakai konstrasepsi, sebagian besar dengan metode hormonal. Median lama kerja WPS langsung 12 bulan, dan tidak langsung 15 bulan. Sekitar 60% WPS langsung dan 52% WPS tidak langsung baru bekerja di lokasi penelitian selama kurang dari setahun. Sebagian besar WPS berasal dari Jawa Barat (31%), Jawa Timur (25%) dan Jawa Tengah (16%). Kabupaten/kota tempat asal sebagian besar WPS adalah Indramayu 15%, Bandung 5%, Banyuwangi 5%, Semarang 4%, dan Medan 4%. Median jumlah pelanggan WPS dalam satu minggu terakhir berkisar antara 1-14 orang; 44% WPS menyatakan tidak mengetahui pekerjaan pelanggan terbanyak mereka. Pola latar belakang pelanggan terbanyak WPS di tiap kota/kabupaten berbeda-beda. Prevalensi gonore berkisar antara 8%-51%, secara keseluruhan pada WPS langsung 37% dan tidak langsung 16%. Prevalensi infeksi klamidia berkisar antara 33%-62%, secara keseluruhan pada WPS langsung 45% dan tidak langsung 42%. Prevalensi infeksi ganda gonore dan klamidia berkisar antara 5%-30%, secara keseluruhan pada WPS langsung 21% dan tidak langsung 10%. Prevalensi trikomoniasis vaginalis berkisar antara 3%- 33%, secara total pada WPS langsung maupun tidak langsung 15%. Prevalensi bakterial vaginosis berkisar antara 33%-84%, secara total pada WPS langsung 53% dan tidak langsung 56%. Prevalensi kandidiasis vaginalis berkisar antara 2%-27%, secara total pada WPS langsung 10% dan tidak langsung 9%. Prevalensi sifilis berkisar antara 1%- 41%, secara total pada WPS langsung maupun tidak langsung 6%. Prevalensi serologis positif (IgG) HSV tipe 2 berkisar antara 84%-98%, secara total pada WPS langsung 95% dan tidak langsung 93%. Ditemukan 26% kasus gonore, 28% kasus klamidia, 19% kasus trikomoniasis vaginalis, 99% kasus sifilis, dan 99,5% kasus HSV tidak menunjukkan tanda IMS pada pemeriksaan fisik. xvi

18 Seminggu terakhir, 11%-72% WPS selalu menggunakan kondom dengan pelanggannya, 5%-65% WPS sama sekali tidak pernah menggunakan kondom. Terdapat 27%-94% WPS yang minum antibitotik dengan dosis yang tidak tepat untuk mencegah IMS dan HIV, dan 72%-100% WPS yang melakukan cuci vagina. Dalam 3 bulan terakhir, ketika mengalami gejala IMS, 7%-57% WPS melakukan pengobatan yang benar (berobat ke dokter praktek, berobat ke klinik swasta, berobat ke puskesmas). Dalam satu tahun terakhir 64% WPS langsung, dan 51% tidak langsung pernah terpapar program penjangkauan komunikasi perubahan perilaku untuk pencegahan IMS-HIV. Hanya 53% WPS langsung dan 31% WPS tidak langsung pernah mengikuti skrining IMS dalam 3 bulan terakhir. Distribusi umur WPS, umur pertama kali berhubungan seks, median jumlah pelanggan seminggu terakhir, tidak berbeda dengan hasil survei Prevalensi hampir semua ISR tidak berbeda dengan hasil survei 2003, kecuali prevalensi bakterial vaginosis yang lebih tinggi. Kesimpulan Prevalensi IMS/ISR yang diteliti masih tinggi. Sebagian besar kasus tidak menunjukkan tanda dan gejala. Konsistensi pemakaian kondom masih rendah, bahkan perilaku sama sekali tidak menggunakan kondom masih tinggi. Proporsi perilaku pencegahan yang salah yaitu pemakaian antibiotik dan cuci vagina sangat tinggi. Begitu juga proporsi perilaku pencarian pengobatan IMS yang salah. Latar belakang pelanggan WPS dari berbagai kelompok dan bervariasi untuk tiap kota/kabupaten. Cakupan program penanggulangan IMS-HIV/AIDS masih terbatas. Saran Program penanggulangan IMS perlu diperkuat dengan strategi dan rencana program jangka panjang yang bersifat komprehensif, meliputi pencegahan primer, sekunder, penguatan komponen pendukung, surveilans prevalensi dan surveilans resistensi mikroba terhadap antibiotik, dengan pendekatan kesehatan masyarakat yang tepat bagi tiap kelompok. Program pencegahan primer IMS perlu diperkuat dan diperluas untuk meningkatkan cakupan (minimal 80%), termasuk kelompok laki-laki yang berpotensi xvii

19 menjadi pelanggan WPS. Program pencegahan sekunder IMS berupa tatalaksana klinis IMS perlu diperkuat dan dipermudah aksesnya. Kombinasi PPT dan skrining, dalam kerangka program penanggulangan yang komprehensif, dapat menjadi pendekatan program bagi pekerja seks. Institusi penyedia layanan IMS perlu dilengkapi dnegan fasilitas laboratorium, sekurang-kurangnya laboratorium sederhana, untuk mendiagnosis IMS. Program penguatan komponen pendukung, terutama peningkatan kualitas layanan, ketersediaan obat IMS secara berkesinambungan, revisi pedoman nasional IMS perlu dilaksanakan untuk meningkatkan keberhasilan program pencegahan primer dan sekunder yang sudah ada. Pendidikan Kesehatan Reproduksi perlu diberikan sedini mungkin melalui berbagai cara dan sluran di sekolah maupun luar sekolah. Pengukuran prevalensi ISR perlu terus dilakukan secara periodik (surveilans) agar didapat data guna memonitor, mengevaluasi dan merencanakan upaya penanggulangan IMS-HIV/AIDS selanjutnya. xviii

20 I PENDAHULUAN Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) diketahui mempermudah penularan HIV 1. Selain itu, IMS juga merupakan petunjuk adanya perilaku seksual yang berisiko. Prevalensi IMS yang tinggi pada suatu populasi di suatu tempat merupakan pertanda awal akan risiko penyebaran HIV, walaupun prevalensi HIV masih rendah. Di Indonesia, epidemi HIV sudah bersifat terkonsentrasi, dengan prevalensi HIV pada WPS (Wanita Penjaja Seks) di beberapa tempat yang lebih dari 5%, bahkan mencapai 26,5% di Merauke (Papua). 2,3 Dengan prevalensi IMS pada WPS yang tinggi sebagaimana dilaporkan di beberapa tempat, dikhawatirkan penyebaran HIV di Indonesia akan makin meluas. Oleh karena itu, data prevalensi IMS perlu diamati secara periodik melalui surveilans IMS. Data tersebut dapat menjadi informasi dalam merencanakan, melaksanakan, memonitor serta mengevaluasi program untuk meningkatkan mutu upaya penanggulangan IMS- HIV/AIDS. Di samping menunjukkan risiko penyebaran HIV, prevalensi IMS dapat memvalidasi data perilaku penggunaan kondom yang didapat dari surveilans perilaku. Kurangnya perilaku penggunaan kondom akan tergambar dengan tetap tingginya prevalensi IMS. Di lain pihak, peningkatan penggunaan kondom akan lebih cepat tergambar melalui penurunan prevalensi IMS daripada penurunan prevalensi HIV. Penurunan prevalensi IMS juga dapat memberikan gambaran perluasan cakupan dan peningkatan kualitas program penanggulangan IMS dan HIV/AIDS. 4 Data dari surveilans IMS yang dianalisis secara terintegrasi dengan data dari surveilans perilaku dan HIV dalam sistem surveilans generasi kedua, sebagaimana direkomendasikan WHO pada tahun 2000, akan memberikan informasi yang lebih lengkap mengenai kecenderungan (trend) perilaku seksual, potensi penyebaran HIV, serta menjadi alat manajemen (perencanaan, pelaksanaan, monitor, evaluasi, memperbaiki perencanaan) program penanggulangan IMS/HIV/AIDS. 5 1

21 Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) pada WPS, yang diselenggarakan oleh Sub Direktorat AIDS & PMS, Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Indonesia bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dan Program ASA pada tahun 2003, melaporkan bahwa di 7 kota yang diteliti terdapat 28% - 62% WPS lokalisasi, 30% - 60% WPS tempat hiburan, dan 47% - 81% WPS jalanan yang sedang terinfeksi satu atau lebih ISR yang diteliti. 6 Prevalensi tiap jenis ISR pada WPS di 7 kota di Indonesia pada tahun 2003 dijelaskan pada tabel 1. Tabel 1. Prevalensi ISR Pada WPS, Indonesia, 2003! # $ % $% & ' ' %' Laporan-laporan lain dari beberapa lokasi di Indonesia antara tahun 1999 dan 2001 menunjukkan prevalensi gonore dan klamidia yang tinggi pula (tabel 2), dan prevalensi serologi sifilis positif pada WPS di beberapa lokasi di Indonesia antara tahun 1994 sampai 2004 dilaporkan berkisar antara 0 hingga 22,2%. 7,8,9,10,11,12 Angka-angka prevalensi yang dilaporkan dari pengamatan dan pengukuran yang masih bersifat sporadis tersebut di atas tergolong tinggi. i Koreksi laporan Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Pada Wanita Penjaja Seks di Bitung, Indonesia, 2003: Prevalensi Bakterial Vaginosis pada WPS Langsung 66% dan Tidak langsung 53% 2 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA, >INDONESIA, 2005

22 Tabel 2. Prevalensi Infeksi Gonore dan Klamidia pada WPS di Beberapa Lokasi ( di Indonesia, $ )* % )* %+,-))).. #+/ +#! + +! )).--1 Penelitian ini dilaksanakan di 10 kota/kabupaten di Indonesia, yaitu di Medan, Tanjung Pinang, Palembang, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Banyuwangi, Surabaya, Bitung, dan Jayapura. Di sepuluh kota/kabupaten tersebut, upaya penanggulangan HIV/AIDS mencakup surveilans oleh Departemen Kesehatan yang terdiri dari surveilans serologis HIV dan survei surveilans perilaku yang antara lain didukung oleh program ASA-FHI/USAID. Di tiga kota/kabupaten (Jakarta Barat, Bandung, Surabaya) penelitian ini merupakan penelitian yang pertama, sedangkan di tujuh kota/kabupaten yang lainnya merupakan penelitian yang kedua, ulangan dari penelitian yang dilaksanakan pada tahun Kedua penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk pengembangan sistem surveilans IMS, sebagai bagian dari surveilans generasi kedua dengan menggabungkan data dari surveilans perilaku dan HIV. Dalam jangka pendek, data prevalensi dari penelitian ini dapat digunakan untuk mengevaluasi program IMS sejak tahun 2003, advokasi, dan perencanaan program oleh Dinas Kesehatan, KPAD Provinsi, Dinas Kesehatan Kota / Kabupaten, LSM, serta program lembaga donor. 3

23 4 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA, >INDONESIA, 2005

24 II TUJUAN Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengukur prevalensi infeksi gonore, klamidia, sifilis, herpes simpleks tipe dua, trikomoniasis vaginalis, bakterial vaginosis, dan kandidiasis vaginal pada WPS di Medan, Tanjung Pinang, Palembang, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Banyuwangi, Surabaya, Bitung, Jayapura. Di samping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk: - Mendeskripsikan karakteristik demografis dan perilaku berisiko tinggi para WPS yang diteliti. - Membandingkan prevalensi ISR, beberapa karakteristik demografis dan perilaku risiko tinggi dengan hasil penelitian tahun Mendeskripsikan cakupan program penanggulangan IMS dari sudut pandang WPS. 5

25 6 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA, >INDONESIA, 2005

26 III METODE III.1 Rancangan Penelitian dan Populasi yang Diteliti Penelitian ini mengukur prevalensi ISR secara cross-sectional. Populasi yang diteliti adalah WPS berusia 15 hingga 50 tahun, sedang tidak menstruasi, dan tidak hamil. Para WPS tersebut termasuk: WPS langsung, yang secara langsung menjajakan seks baik di jalanan maupundi lokalisasi atau eks lokalisasi WPS tidak langsung, yang mempunyai pekerjaan utama lain tetapi juga secara tidak langsung menjajakan seks di tempat-tempat hiburan seperti pramupijat, pramuria bar / karaoke III.2 Strategi Penghitungan dan Pengambilan Sampel Perhitungan besar sampel pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan praduga proporsi dalam satu sampel. 1 Rata-rata proporsi praduga, yang dihitung dari rata-rata prevalensi beberapa ISR pada penelitian sebelumnya (Gonore 27,12%, infeksi Klamidiosis 24,71%, Trikomoniasis 9,50%, Sifilis 4,12%, Bakterial vaginosis 27,35%) adalah 19 %. 5 Penghitungan besar sampel dengan rumus ii dengan batas kepercayaan (CI) 95% dan penyimpangan terhadap nilai prevalensi sebenarnya 5%. Didapatkan besar sampel 237 per lokasi. n = Jumlah sampel Z = Nilai uji t statistik pada batas kepercayaan 95% atau setara dengan 1.96 P = Proporsi praduga ISR yang akan diteliti d = Perkiraan penyimpangan terhadap nilai prevalensi sebenarya (True Prevalence) yang besarnyadisesuaikan dengan prevalensi. Secara umum nilai D yang sering dianggap bermakna adalah 5%. 7

27 Untuk menjaga agar perkiraan penyimpangan tidak terlalu jauh dari 5% pada prevalensi ISR yang lebih tinggi dari proporsi praduga yang digunakan dan mempertimbangkan aspek pembiayaan maka jumlah sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini dinaikkan menjadi 250. Diperkirakan 25% dari WPS yang diundang tidak hadir atau ternyata tidak memenuhi kriteria, maka sekitar 333 WPS akan diundang untuk berpartisipasi. Rasio sampel WPS langsung dan tidak langsung ditetapkan secara proporsional sesuai dengan besarnya populasi. Pemetaan populasi yang akan diteliti dilakukan sebagai dasar penyusunan kerangka sampel. Berdasarkan proporsi besar populasi WPS langsung dan tidak langsung, ditetapkan jumlah masing-masing populasi yang akan diundang untuk berpartisipasi. Selanjutnya dilakukan proses pengambilan sampel dua tahap. Pada tahap pertama dilakukan pengambilan sampel kluster secara probability proportional to size (pps). Pada tahap kedua dilakukan pengambilan sampel WPS secara acak di dalam kluster terpilih. Kedua tahap tersebut dilakukan berdasarkan kerangka sampel dan proporsi besar populasi WPS langsung dan tidak langsung yang telah disusun dan ditetapkan sebelumnya. III.3 Waktu dan Tempat Waktu dan tempat pelaksanaan penelitian dirinci dalam tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di 10 Kota*, Indonesia, # /6! )647 & -/4 5 4/# # -#4-5# 1#4-#.#4-# LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA, >INDONESIA, 2005

28 III.4 Tim Pengumpul Data Data dikumpulkan oleh tim inti yang bekerja sama dengan tim keliling dan tim lokal. Tim inti terdiri dari ketua pelaksana dan peneliti utama yang dibantu oleh 5 dari 8 peneliti penyerta yang berasal dari Ditjen PP&PL, Badan Litbangkes, dan Program ASA/FHI. Tim keliling terdiri dari staf Badan Litbangkes dan staf dari beberapa LSM yang selama ini bekerja sama dengan Program ASA/FHI di Semarang, dan Bitung. Tim lokal diatur oleh Provinsi masing-masing, yang di tiap kota/kabupaten biasanya terdiri dari staf Dinas Kesehatan dan Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi, staf Dinas Sosial dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi, staf Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, Puskesmas terkait/terdekat, wakil dari Persatuan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin yang ditunjuk oleh Dinas Kesehatan Kota, dan LSM setempat. Kualitas teknis proses pengambilan data dipantau oleh pemantau teknis dari Departemen Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. III.5 Alur Proses Pengambilan Data WPS yang datang memenuhi undangan untuk menjadi peserta penelitian diminta menukarkan undangan dengan kartu nomor identifikasi. Tujuan, prosedur penelitian serta keuntungan yang akan didapat dan kemungkinan efek samping dijelaskan. Setelah memperoleh penjelasan, apabila WPS tersebut bersedia ikut dalam penelitian, ia diminta memberikan pernyataan persetujuan (informed consent) secara lisan. Seorang saksi akan ikut menandatangani surat persetujuan tersebut. WPS tidak dimintai persetujuan secara tertulis dengan tanda tangan sebagai bagian dari upaya membuat penelitian ini anonymous serta untuk melindungi WPS dari risiko mendapatkan perlakuan diskriminatif maupun kekerasan lain yang tidak diinginkan dari pihak manapun. Pengambilan data dimulai dengan wawancara tentang karakteristik demografis dan perilaku seksual, dilanjutkan dengan pengambilan spesimen darah, pemeriksaan fisik, serta pengambilan spesimen endoservikal dan servikovaginal. Setelah pemeriksaan laboratorium sederhana dan serologis sifilis selesai, peserta dikonseling untuk perubahan perilaku, diberi terapi sesuai diagnosis, dan diberi kondom. Agar pengobatan dapat diberikan pada hari yang sama, diagnosis dibuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan 9

29 pemeriksaan laboratorium sederhana. Diagnosis servisitis dianggap mencakup gonore dan klamidia, serta pengobatan yang diberikan adalah pengobatan untuk kedua penyebab infeksi tersebut sekaligus (tabel 4). III.6 Diagnosis dan Pengobatan 3,44 Tabel 4. Daftar Diagnosis dan Pengobatan yang Diterapkan pada Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di 10 Kota*, Indonesia, ! # $ %%$& % && &! & $ $$ %%$ $%' $'# )%% +& '% 1 Surabaya, Bitung, Jayapura %(%&%'%& $ $ %%$'! #(% $%%,$!& %!$%( -%.! '!!/$# ' / $0'&! / '! $ $ %%$#' '120 ( '% ''&%& '&$ & *%%&'% ''&$%& *%%&'% ''&$%& 3-4 '&/!&$ & '',$!&5 676$%(/ +7&/ 5-4/ 5 )70,$%( &/& ''&''!+&8 (& &'$&/$' '%&' $%&/&$ & *Medan, Tanjung Pinang, Palembang, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Banyuwangi, 10 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA, >INDONESIA, 2005

30 III.7 Pemeriksaan Laboratorium Dasar diagnosis yang digunakan untuk pengukuran prevalensi tidak sama dengan dasar diagnosis untuk kepentingan pengobatan seperti tertera dalam tabel 1 di atas, kecuali untuk bakterial vaginosis, kandidiasis vaginalis, dan sifilis. Pemeriksaan Laboratorium yang menjadi dasar diagnosis untuk pengukuran prevalensi ISR tertera dalam tabel 5 di bawah. Tabel 5. Pemeriksaan Laboratorium Yang Menjadi Dasar Pengukuran Prevalensi ISR pada Penelitian Prevalensi ISR pada WPS di 10 Kota*, Indonesia, ( 9%% ; <!%%/+ /,$&#% : % <!' 1& )%% 0$$& =)$ *Medan, Tanjung Pinang, Palembang, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Banyuwangi, Surabaya, Bitung, Jayapura /,$&#% : 1&/-7%# : -'9/% >-, ; % ;(% $%% <!%%/+ <!' 1&$ <!%%/+ <!' 11

31 12 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA, >INDONESIA, 2005

32 IV HASIL IV.1 Rekrutmen Jumlah sampel di 10 kota seluruhnya 2500 orang, terdiri dari 1496 WPS langsung dan 1004 WPS tidak langsung (tabel 6). Jumlah sampel di tiap kota 250, namun komposisinya berbeda-beda tergantung proporsi masing-masing sub populasi di kota tersebut. Tidak ada sampel WPS langsung di Jakarta Barat, dan di Banyuwangi tidak ada sampel WPS tidak langsung Tabel 6. Realisasi Sampel Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 ( 2 ( 2 ( & #! # 13

33 IV.2 Karakteristik Populasi yang Diteliti IV.2.1. Umur Median umur WPS langsung berkisar antara 22 tahun (Bandung) dan 29 tahun (Jayapura), WPS tidak langsung antara 23 tahun (Tanjung Pinang) dan 30 tahun (Medan). Kemungkinan ada WPS yang berusia di bawah 15 tahun, maupun di atas 50 tahun, namun mereka tidak memenuhi kriteria untuk diikutsertakan dalam penelitian ini. Distribusi umur WPS langsung dan tidak langsung secara total dapat dilihat pada gambar 1, sedangkan rincian per kota dapat dilihat pada lampiran 1. Gambar 1. Distribusi Umur WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 Distribusi umur WPS penting untuk diperhatikan, karena makin muda umur seorang wanita, makin rawan tertular IMS-HIV. Secara umum distribusi umur antara WPS langsung dan tidak langsung pada semua kota tidak berbeda (lebih dari 50% berumur antara tahun). Di Medan dan Surabaya, proporsi kelompok umur WPS langsung dan tidak langsung yang relatif lebih tua masih tinggi (di atas 35 tahun). Di Bandung, proporsi WPS langsung yang berumur di bawah 20 tahun lebih tinggi dari 20%. 14 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA, >INDONESIA, 2005

34 IV.2.2 Umur Pertama Kali Berhubungan Seks Pada umumnya median umur pertama kali berhubungan seks WPS langsung 17 tahun, kecuali di Banyuwangi (15 tahun), Palembang dan Jayapura (16 tahun). Pada WPS tidak langsung, median umur pertama kali berhubungan seks juga 17 tahun, kecuali di Surabaya (19 tahun), Medan, Semarang, dan Jayapura (18 tahun). Proporsi WPS langsung yang pertama kali berhubungan seks pada umur di bawah 15 tahun dua kali lebih besar dari WPS tidak langsung (gambar 2). Di kota Banyuwangi, Jayapura, dan Palembang lebih dari 25% WPS langsung berhubungan seks pertama kali pada umur di bawah 15 tahun. Rincian distribusi umur pertama kali berhubungan seks WPS langsung dan tidak langsung dapat dilihat di lampiran 2. Gambar 2. Distribusi Umur Pertama Kali Berhubungan Seks, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 IV.2.3 Tingkat Pendidikan Secara keseluruhan, lebih dari 50% tingkat pendidikan WPS langsung rendah (SD dan tidak pernah sekolah gambar 3). Sedangkan WPS tidak langsung umumnya berpendidikan lebih tinggi. Rincian distribusi tingkat pendidikan WPS langsung dan tidak langsung pada tiap kota dapat dilihat pada lampiran 3. 15

35 Gambar 3. Tingkat Pendidikan WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 IV.2.4 Status Pernikahan Proporsi WPS yang mempunyai pasangan relatif tetap (pacar atau menikah) pada kedua kelompok cukup tinggi. Fakta ini penting mengingat penggunaan kondom pada pasangan tetap relatif sangat rendah sehingga berisiko untuk menularkan dan tertular IMS dan HIV. Proporsi WPS yang belum menikah cukup besar, berkisar antara 9% (WPS tidak langsung, Medan) dan 34% (WPS tidak langsung, Jayapura). Rincian proporsi pasangan tetap dan status pernikahan WPS di tiap kota dapat dilihat pada lampiran 4. IV.2.5 Alat Kontrasepsi Kurang lebih sepertiga dari WPS tidak memakai alat kontrasepsi apapun (lampiran 5). Di antara yang memakai kontrasepsi, sebagian besar dengan metode hormonal, terutama suntik (40%) dan pil (23%). Hampir tidak ada WPS yang memakai kondom atau spiral sebagai alat kontrasepsi. 16 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA, >INDONESIA, 2005

36 IV.2.6 Lama kerja sebagai WPS Masa kerja WPS langsung berkisar antara 1 hari dan 17 tahun (Banyuwangi, Jayapura) dan WPS tidak langsung antara 2 hari dan 24 tahun (Medan, Tanjung Pinang). Median lama kerja WPS langsung 12 bulan dan WPS tidak langsung 15 bulan. Secara rinci median lama kerja sebagai WPS berkisar antara 8 bulan (WPS langsung, Palembang) dan 24 bulan (WPS langsung Medan, Bitung, Jayapura; WPS tak langsung, Medan, Jakarta Barat, Semarang, Surabaya) (lampiran 6). Dalam penelitian ini dibedakan antara lama kerja sebagai WPS dan lama kerja sebagai WPS khusus di lokasi yang diteliti, karena dari penelitian terdahulu diketahui bahwa WPS sering berpindah-pindah lokasi kerja. Sekitar lebih dari setengah WPS yang diteliti baru bekerja di lokasi penelitian selama kurang dari setahun (WPS langsung 60%, tidak langsung 52%)(lampiran 7) IV. 2.7 Provinsi asal WPS Di Medan, Bandung, Semarang, Banyuwangi, Surabaya, dan Bitung sebagian besar WPS berasal dari Provinsi yang bersangkutan. Di Tanjung Pinang, Palembang dan Jakarta Barat, sebagian besar WPS berasal dari Jawa Barat, sedangkan di Jayapura sebagian besar WPS langsung berasal dari Jawa Timur dan WPS tidak langsung berasal dari Sulawesi Utara. Secara keseluruhan sebagian besar WPS di 10 kota berasal dari Jawa Barat (31%), Jawa Timur (25%), dan Jawa Tengah (16%) (tabel 7). Kabupaten / Kota yang merupakan tempat asal terbanyak meliputi Indramayu 15%, Bandung 5%, Banyuwangi 5%, Semarang 4%, dan Medan 4% (lampiran 8). Data penting dimanfaatkan untuk jejaring program antar provinsi. 17

37 Tabel 7. Provinsi Tempat Asal WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, ( 2 ( ?8)'?8)'?8)' &?8+?8)'?8+?8)'?8+?8)'?8+ /?8+?8+ / & & & #?8+?8+! #?8+?8)'?8)'?8+ /?8)?8)?8+?8)?8)' &84 9%%&%?8) 7$?8)?8+?8)'?8)'?8+?8)'?8)'?8+ 3,?8)?8)' &84 &8& &84?8)?8+?8)'?8)?8)'?8+?8)'?8)'?8+?8)?8)?8+?8)?8)' &84 9%%&%?8) &84?8+?8)?8)' IV Jumlah Pelanggan Median jumlah pelanggan WPS dalam satu minggu terakhir berkisar antara 1 (WPS tidak langsung, Jayapura) sampai 14 orang (WPS langsung, Bandung). Di Tanjung Pinang, Bandung, Semarang, Surabaya dan Jayapura, median lebih besar pada WPS langsung, sedangkan di Palembang kebalikannya. Di Medan dan Bitung, mediannya sama. Median jumlah pelanggan seminggu terakhir WPS langsung di Bandung, Surabaya, Jayapura 3-5 kali lebih besar dari median jumlah pelanggan WPS tidak langsung (gambar 4). Makin muda umur WPS, ternyata makin banyak jumlah pelanggannya (gambar 5) 18 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA, >INDONESIA, 2005

38 Gambar 4. Median Jumlah Pelanggan Dalam Satu Minggu Terakhir, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 Gambar 5. Korelasi Antara Umur dan Median Jumlah Pelanggan Dalam Seminggu Terakhir WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia,

39 Pelanggan terbanyak WPS di tiap kota terdiri dari laki-laki dengan berbagai macam latar belakang. Pola latar belakang pelanggan terbanyak di tiap kota berbeda-beda. Sebagian besar WPS (44%) tidak mengetahui pekerjaan pelanggannya. Di Jayapura, sebagian terbesar WPS langsung dan tidak langsung yang mengetahui latar belakang pelanggannya, menyatakan PNS (pegawai negeri sipil) adalah pelanggan terbanyak mereka. WPS langsung dan tidak langsung di Bitung, serta WPS langsung di Tanjung Pinang dan Surabaya menyatakan ABK (anak buah kapal) adalah pelanggan terseringnya; kemungkinan karena daerah tersebut dekat dengan pelabuhan. Orang asing merupakan pelanggan terbanyak yang dinyatakan oleh hampir semua WPS tidak langsung di Tanjungpinang (92%), dan Surabaya (18%). Di samping itu, di tiap kota selalu terdapat proporsi WPS yang cukup signifikan yang menyatakan pelanggan terbanyak mereka adalah karyawan swasta, pedagang, PNS, dan Polisi/TNI. Pelajar dan mahasiswa dinyatakan sebagai salah satu pelanggan terbanyak oleh WPS di beberapa kota, khususnya di Bandung mencapai 15% (tabel 8). Tabel 8. Pelanggan Terbanyak WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota* di Indonesia, ( 2 ( 188 7'' 7'' &,+1 2'' 2'' 188 # '' '' 7'' 188 7'' ! + +, '',+1,+1,+1,+1 # LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA, >INDONESIA, 2005

40 IV.3 Pemeriksaan Fisik Dalam pemeriksaan fisik semua WPS memiliki satu atau lebih tanda IMS. Sebagian besar tanda berupa cairan tidak jernih dari endoserviks dan atau dari vagina (tabel 9). Sedangkan tanda yang berupa ulkus dan vegetasi/tumbuhan, ditemukan pada beberapa WPS saja. Tabel 9. Hasil Pemeriksaan Fisik, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 % 0 9 *&9 ' & #! # * &9 ' Tanda fisik sifilis stadium 2, berupa kondiloma lata ditemukan pada seorang WPS di Surabaya, dan kelainan kulit pada telapak tangan dan telapak kaki pada seorang WPS lain di Banyuwangi. Di Surabaya juga ditemukan 1 kasus dengan tanda fisik berupa vesikel herpes kelamin. IV.4 Prevalensi ISR Prevalensi gonore secara umum berkisar antara 8% (WPS tidak langsung, Medan) dan 51% (WPS langsung, Palembang). Prevalensi gonore secara total pada WPS langsung di 10 kota 37%, dan pada WPS tak langsung 16%. Di semua kota, prevalensi gonore WPS langsung lebih tinggi daripada WPS tidak langsung (gambar 6). 21

41 Gambar 6. Prevalensi Gonore, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 Prevalensi infeksi klamidia secara umum berkisar antara 33% (WPS langsung, Jayapura) dan 62% (WPS langsung, Semarang). Prevalensi klamidia secara total pada WPS langsung di 10 kota 45%, dan pada WPS tak langsung 42%. Pada umumnya prevalensi klamidia pada WPS langsung tidak berbeda jauh dari prevalensinya pada WPS tidak langsung, kecuali di Medan, Semarang (lebih tinggi pada WPS langsung) dan Jayapura (lebih tinggi pada WPS tidak langsung) (gambar 7). Gambar 7. Prevalensi Infeksi Klamidia, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA, >INDONESIA, 2005

42 Prevalensi infeksi ganda gonore dan klamidia secara umum berkisar antara 5% (WPS tidak langsung, Medan) dan 30% (WPS langsung, Semarang). Prevalensi infeksi ganda gonore dan klamidia secara total pada WPS langsung di 10 kota 21%, dan pada WPS tak langsung 10%. Hampir di semua kota prevalensi pada WPS langsung lebih tinggi, kecuali di Bitung dan Jayapura prevalensi relatif sama (gambar 8). Gambar 8. Prevalensi Infeksi Ganda Gonore dan Klamidia, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 Prevalensi trikomoniasis vaginalis secara umum berkisar antara 3% (WPS tidak langsung, Semarang) dan 33% (WPS tidak langsung, Jayapura). Prevalensi trikomoniasis vaginalis secara total baik pada WPS langsung mapun tidak langsung di 10 kota adalah 15%. Dibandingkan dengan prevalensi pada WPS tidak langsung, prevalensi pada WPS langsung lebih tinggi di Medan, Palembang, Semarang, Surabaya; dan lebih rendah di Bandung, Jayapura, dan Tanjung Pinang (gambar 9). 23

43 Gambar 9. Prevalensi Trikomoniasis Vaginalis, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 Prevalensi bakterial vaginosis secara umum berkisar antara 33% (WPS langsung, Palembang) dan 84% (WPS langsung, Medan). Secara total, prevalensi bacterial vaginosis pada WPS langsung di 10 kota 53%, pada WPS tidak langsung 56%. Dibandingkan dengan prevalensi pada WPS tidak langsung, prevalensi pada WPS langsung lebih tinggi di Medan dan Bitung; dan lebih rendah di Semarang dan Jayapura. Di kota-kota lain, prevalensi relatif sama antara pada WPS langsung dan tidak langsung (gambar 10). 24 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA, >INDONESIA, 2005

44 Gambar 10. Prevalensi Bakterial Vaginosis, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 Prevalensi kandidiasis vaginalis secara umum berkisar antara 2% (WPS langsung, Semarang; WPS tidak langsung, Jakarta Barat) dan 27% (WPS langsung, Medan). Secara keseluruhan, prevalensi kandidiasis vaginalis pada WPS langsung di 10 kota 10%, dan pada WPS tidak langsung 9%. Dibandingkan dengan prevalensi pada WPS tidak langsung, prevalensi pada WPS langsung lebih tinggi di Palembang dan Bandung; dan lebih rendah di Jayapura. Di kotakota lain, prevalensi relatif sama antara pada WPS langsung dan tidak langsung (gambar 11). 25

45 Gambar 11. Prevalensi Kandidiasis Vaginalis, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 Prevalensi sifilis secara umum berkisar antara 1% (WPS tidak langsung, Semarang) dan 41% (WPS langsung, Medan). Secara keseluruhan prevalensi sifilis pada WPS langsung di 10 kota 11%, dan pada WPS tidak langsung 6%. Prevalensi sifilis di Medan dan Bandung secara keseluruhan di atas 10%. Dibandingkan dengan prevalensi pada WPS tidak langsung, prevalensi pada WPS langsung lebih tinggi di hampir semua kota kecuali Bandung (prevalensi relatif sama) (gambar 12). 26 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA, >INDONESIA, 2005

46 Gambar 12. Prevalensi Sifilis, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota* di Indonesia, 2005 Prevalensi serologi positif (IgG) HSV tipe 2 secara umum sangat tinggi, berkisar antara 84% (WPS tidak langsung, Bandung) dan 98% (WPS langsung, Medan, Tanjung Pinang, Semarang). Secara keseluruhan prevalensi serologi positif HSV tipe 2 pada WPS langsung di 10 kota 95%, dan pada WPS tidak langsung 93%. Dibandingkan dengan prevalensi pada WPS tidak langsung, prevalensi pada WPS langsung lebih tinggi di Bandung, Bitung, dan Jayapura, di kota-kota lain prevalensi relatif sama. Dibandingkan dengan prevalensi di kota-kota lainnya, prevalensi di kota Bandung dan Surabaya relatif rendah (gambar 13). 27

47 Gambar 13. Prevalensi Serologi Positif HSV tipe 2, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 Proporsi WPS langsung yang sedang terinfeksi satu atau lebih IMS yang diteliti (tidak termasuk HSV) berkisar antara 50% (WPS tak langsung, Semarang) dan 85% (WPS langsung, Medan). Secara keseluruhan, 69% WPS langsung dan 57% WPS tidak langsung di 10 kota sedang terinfeksi satu atau lebih IMS. Hampir di semua kota proporsi WPS tidak langsung yang sedang terinfeksi lebih kecil dibandingkan WPS langsung, kecuali di Bitung dan Jayapura (gambar 14). 28 LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA, >INDONESIA, 2005

48 Gambar 14. Proporsi WPS yang Sedang Terinfeksi Satu atau Lebih IMS yang diteliti kecuali HSV, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 IV.5 IMS tanpa tanda dan tanpa gejala Sebanyak 26% kasus gonore, 28% kasus klamidia, 19% kasus trikomoniasis vaginalis, 99% kasus sifilis, dan 99.5% kasus HSV tidak mempunyai tanda IMS. Sedangkan kasus tidak bergejala (tidak ada keluhan) ditemukan pada 81% kasus gonore, 83% kasus klamidia, 71% kasus trikomoniasis vaginalis, 98.6% kasus sifilis, dan 98.6% kasus HSV. Rincian kasus tanpa tanda dan tanpa gejala dapat dilihat pada gambar 15 dan

49 Gambar 15. Proporsi Kasus IMS Tanpa Tanda Pada WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 N= 2500 Gambar 16. Proporsi Kasus IMS Tanpa Gejala Pada WPS, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota di Indonesia, 2005 N= LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI MEDAN, TANJUNG PINANG, PALEMBANG, JAKARTA BARAT, BANDUNG, SEMARANG, BANYUWANGI, SURABAYA, BITUNG, JAYAPURA, >INDONESIA, 2005

50 IV.6 Perilaku Berisiko IV.6.1 Pemakaian Kondom Penggunaan kondom yang konsisten (selalu menggunakan kondom dalam setiap hubungan seks) merupakan perilaku yang efektif untuk mencegah penularan IMS-HIV. WPS langsung yang selalu menggunakan kondom selama satu minggu terakhir berkisar antara 11% (WPS langsung, Surabaya) dan 72% (WPS tidak langsung, Medan), yang tidak pernah menggunakan kondom sama sekali, perilaku yang paling berisiko, antara 5% (WPS langsung, Bandung) dan 65% (WPS tidak langsung, Bitung) (gambar 17 dan 18). Dibandingkan dengan WPS yang tidak pernah/ tidak konsisten menggunakan kondom, WPS yang konsisten menggunakannya lebih sedikit yang sedang terinfeksi IMS (57% dibandingkan dengan 66% dan 67%). Gambar 17. Konsistensi Menggunakan Kondom Selama Seminggu Terakhir Pada WPS Langsung, Penelitian Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi Wanita Penjaja Seks di 10 Kota* di Indonesia, 2005 Tidak ada WPS Langsung di Jakarta Barat 31

LAPORAN HASIL PENELITIAN

LAPORAN HASIL PENELITIAN LAPORAN HASIL PENELITIAN K A BA TI DA PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI BITUNG, INDONESIA, 2005 H US LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL PENELITIAN

LAPORAN HASIL PENELITIAN LAPORAN HASIL PENELITIAN K A BA TI DA PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI PALEMBANG, SUMATERA SELATAN INDONESIA, 2005 H US LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI INFEKSI SALURAN

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL PENELITIAN

LAPORAN HASIL PENELITIAN LAPORAN HASIL PENELITIAN K A BA TI DA PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI JAYAPURA, PAPUA, INDONESIA, 2005 H US LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL PENELITIAN

LAPORAN HASIL PENELITIAN LAPORAN HASIL PENELITIAN K A BA TI DA PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI SEMARANG, JAWA TENGAH, INDONESIA, 2005 H US LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL PENELITIAN

LAPORAN HASIL PENELITIAN LAPORAN HASIL PENELITIAN K A BA TI DA PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI BANDUNG, JAWA BARAT, INDONESIA, 2005 H US LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL PENELITIAN

LAPORAN HASIL PENELITIAN LAPORAN HASIL PENELITIAN K A BA TI DA PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI MEDAN, SUMATERA UTARA, INDONESIA, 2005 H US LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL PENELITIAN

LAPORAN HASIL PENELITIAN LAPORAN HASIL PENELITIAN K A BA TI DA PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI SURABAYA, JAWA TIMUR, INDONESIA, 2005 H US LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI

Lebih terperinci

Drs. Eko Rahardjo Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Indonesia

Drs. Eko Rahardjo Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Indonesia PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI JAYAPURA, BANYUWANGI, SEMARANG, MEDAN, PALEMBANG, TANJUNG PINANG, DAN BITUNG, INDONESIA, 2003 Peneliti Utama: Dr. Saiful Jazan, MSc. Sub

Lebih terperinci

PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANJUNG PINANG, INDONESIA, 2003

PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANJUNG PINANG, INDONESIA, 2003 PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANJUNG PINANG, INDONESIA, 2003 Peneliti Utama: Dr. Saiful Jazan, MSc. Sub Direktorat AIDS & PMS Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL PENELITIAN

LAPORAN HASIL PENELITIAN LAPORAN HASIL PENELITIAN K A BA TI DA PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU INDONESIA, 2005 H US LAPORAN HASIL PENELITIAN PREVALENSI INFEKSI SALURAN

Lebih terperinci

PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI BITUNG, INDONESIA, 2003

PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI BITUNG, INDONESIA, 2003 PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI BITUNG, INDONESIA, 2003 Peneliti Utama: Dr. Saiful Jazan, MSc. Sub Direktorat AIDS & PMS Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular

Lebih terperinci

PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI SEMARANG, INDONESIA, 2003

PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI SEMARANG, INDONESIA, 2003 PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI SEMARANG, INDONESIA, 2003 Peneliti Utama: Dr. Saiful Jazan, MSc. Sub Direktorat AIDS & PMS Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya pencegahan IMS yang dilaksanakan

Lebih terperinci

PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI JAYAPURA, INDONESIA, 2003

PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI JAYAPURA, INDONESIA, 2003 PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI JAYAPURA, INDONESIA, 2003 Peneliti Utama: Dr. Saiful Jazan, MSc. Sub Direktorat AIDS & PMS Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular

Lebih terperinci

PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI PALEMBANG, INDONESIA, 2003

PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI PALEMBANG, INDONESIA, 2003 PREVALENSI INFEKSI SALURAN REPRODUKSI PADA WANITA PENJAJA SEKS DI PALEMBANG, INDONESIA, 2003 Peneliti Utama: Dr. Saiful Jazan, MSc. Sub Direktorat AIDS & PMS Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Veneral Disease ini adalah Sifilis, Gonore, Ulkus Mole, Limfogranuloma Venerum

BAB 1 PENDAHULUAN. Veneral Disease ini adalah Sifilis, Gonore, Ulkus Mole, Limfogranuloma Venerum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit kelamin sudah lama dikenal dan sering disebut sebagai Veneral Disease (VD) yang berasal dari kata Venus (dewi cinta) dan yang termasuk ke dalam Veneral Disease

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di negara berkembang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL) Departemen Kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi menular seksual (IMS) merupakan masalah kesehatan utama dan menjadi beban ekonomi bagi negara-negara berkembang. World Health Organization (WHO) memperkirakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. uterus. Pada organ reproduksi wanita, kelenjar serviks bertugas sebagai

BAB I PENDAHULUAN. uterus. Pada organ reproduksi wanita, kelenjar serviks bertugas sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Serviks merupakan bagian penghubung vagina uterus. Kelenjar serviks berfungsi sebagai pelindung terhadap masuknya organisme lain yang bersifat parasit pada saluran vagina

Lebih terperinci

Faktor-faktor resiko yang Mempengaruhi Penyakit Menular Seksual

Faktor-faktor resiko yang Mempengaruhi Penyakit Menular Seksual Faktor-faktor resiko yang Mempengaruhi Penyakit Menular Seksual a. Penyebab penyakit (agent) Penyakit menular seksual sangat bervariasi dapat berupa virus, parasit, bakteri, protozoa (Widyastuti, 2009).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggal dalam darah atau cairan tubuh, bisa merupakan virus, mikoplasma, bakteri,

BAB I PENDAHULUAN. tinggal dalam darah atau cairan tubuh, bisa merupakan virus, mikoplasma, bakteri, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan infeksi yang bisa didapat melalui kontak seksual. IMS adalah istilah umum dan organisme penyebabnya, yang tinggal dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini, dunia sedang mengalami perubahan pola penyakit yang dikenal sebagai transisi epidemiologi, yaitu perubahan pola penyakit dan penyebab kematian. Pada awalnya

Lebih terperinci

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan Sutjipto PKMK FK UGM Disampaikan pada Kursus Kebijakan HIV-AIDS 1 April 216 1 Landasan teori 2 1 EPIDEMIOLOGY (Definisi ) 1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu penyebab masalah kesehatan, sosial dan ekonomi di banyak negara serta merupakan salah satu pintu masuk HIV. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di negara berkembang.

Lebih terperinci

dan kesejahteraan keluarga; d. kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; e.

dan kesejahteraan keluarga; d. kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; e. Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan akan seks merupakan kebutuhan yang dimiliki oleh setiap individu yang telah mencapai kematangan fisik dan psikis baik pada wanita maupun laki-laki terutama

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pencegahan IMS yang dilaksanakan di banyak negara, nampaknya belum

BAB 1 PENDAHULUAN. pencegahan IMS yang dilaksanakan di banyak negara, nampaknya belum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Insiden maupun prevalensi yang

Lebih terperinci

SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU

SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU 1 Tujuan Menentukan kecenderungan prevalensi HIV, Sifilis, Gonore, dan Klamidia di antara Populasi Paling Berisiko di beberapa kota di Indonesia. Menentukan kecenderungan

Lebih terperinci

1. Pendahuluan FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN GONORE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IBRAHIM ADJIE KOTA BANDUNG

1. Pendahuluan FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN GONORE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IBRAHIM ADJIE KOTA BANDUNG Prosiding SNaPP2015 Kesehatan pissn 2477-2364 eissn 2477-2356 FAKT-FAKT YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN GONE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IBRAHIM ADJIE KOTA BANDUNG 1 Budiman, 2 Ruhyandi, 3 Anissa Pratiwi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui hubungan seksual. PMS diantaranya Gonorrhea, Syphilis, Kondiloma

BAB I PENDAHULUAN. melalui hubungan seksual. PMS diantaranya Gonorrhea, Syphilis, Kondiloma BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit menular seksual (PMS) adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. PMS diantaranya Gonorrhea, Syphilis, Kondiloma Akuminata, HIV/ Acquired Immuno

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan modal awal seseorang untuk dapat beraktifitas dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan modal awal seseorang untuk dapat beraktifitas dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan modal awal seseorang untuk dapat beraktifitas dan mengaktualisasikan dirinya. Kesehatan juga berarti keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epidemi HIV/AIDS di Indonesia Epidemi HIV di Indonesia telah berlangsung selama 25 tahun dan sejak tahun 2000 sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi

Lebih terperinci

Pokok Bahasan Latar Belakang Tujuan Peta Distribusi WPS dan Lokasi SCP Metodologi Temuan: Simpulan Rekomendasi

Pokok Bahasan Latar Belakang Tujuan Peta Distribusi WPS dan Lokasi SCP Metodologi Temuan: Simpulan Rekomendasi SCP WPS 2010 1 Pokok Bahasan Latar Belakang Tujuan Peta Distribusi WPS dan Lokasi SCP Metodologi Temuan: 1. Karakteristik responden 2. Akses ke program 3. Perilaku penggunaan kondom Simpulan Rekomendasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah internasional dalam bidang kesehatan adalah upaya menghadapi masalah Infeksi Menular Seksual (IMS) yang tertuang pada target keenam Millennium Development

Lebih terperinci

Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI. Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan

Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI. Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan PENDAHULUAN Secara umum Indonesia adalah negara dengan epidemi rendah, tetapi terkonsentrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena hubungan seksual (Manuaba,2010 : 553). Infeksi menular

BAB I PENDAHULUAN. karena hubungan seksual (Manuaba,2010 : 553). Infeksi menular BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Servisitis merupakan infeksi pada serviks uteri sering terjadi karena luka kecil bekas persalinan yang tidak dirawat atau infeksi karena hubungan seksual (Manuaba,2010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan mempunyai hampir tiga kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS

BAB I PENDAHULUAN. akan mempunyai hampir tiga kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah HIV dan AIDS merupakan masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari jumlah kasus AIDS yang dilaporkan setiap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. resiko penularan HIV melalui hubungan seksual (The United Nations High

BAB 1 PENDAHULUAN. resiko penularan HIV melalui hubungan seksual (The United Nations High BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar di dunia termasuk di Indonesia. Kebutuhan akan adanya program penanggulangan IMS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama infeksi berlangsung,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lagi dan diubah menjadi PMS (penyakit menular seksual) karena seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. lagi dan diubah menjadi PMS (penyakit menular seksual) karena seiring dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kelamin (veneral diseases) merupakan suatu fenomena yang telah lama kita kenal seperti sifilis, gonore, ulkus mole, limfogranuloma venerum dan granuloma inguinal.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia, tidak dapat diperkirakan secara tepat. Di beberapa negara disebutkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya jumlah kasus infeksi HIV khususnya pada kelompok Wanita Penjaja Seks (WPS) di Indonesia pada saat ini, akan menyebabkan tingginya risiko penyebaran infeksi

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2003 Jayapura (Papua) iii. iii

Laporan Hasil SSP 2003 Jayapura (Papua) iii. iii iii iii Daftar Isi Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Gambar Tabel Indikator Kunci i iii v vii 1. Pendahuluan 1 Latar Belakang 1 Survei Surveilans Perilaku 1 Sasaran Survei 2 Metode Survei 2 Sketsa Lokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan reproduksi pada wanita akan berpengaruh pada fungsi reproduksinya dalam memperoleh keturunan dimasa yang akan datang. Masalah yang timbul akibat kurangnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat 16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Human Immuno-deficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang menyerang system kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonorrhea,

BAB 1 PENDAHULUAN. seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonorrhea, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi menular seksual (IMS) adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. Menurut WHO (2009), terdapat lebih kurang dari 30 jenis mikroba (bakteri, virus,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat umum dan penting, sedangkan infeksi bakteri lebih sering

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat umum dan penting, sedangkan infeksi bakteri lebih sering BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Infeksi menular seksual merupakan infeksi yang rute transmisinya terutama adalah melalui hubungan seksual. Infeksi menular seksual dapat disebabkan oleh bakteri,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tersebut tidak sesuai lagi dan diubah menjadi sexual transmitted disease. (STD) atau penyakit menular seksual (Fahmi dkk, 2014).

BAB 1 PENDAHULUAN. tersebut tidak sesuai lagi dan diubah menjadi sexual transmitted disease. (STD) atau penyakit menular seksual (Fahmi dkk, 2014). BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kelamin ( veneral disease) sudah lama dikenal dan beberapa diantaranya sangat popular di Indonesia yaitu sifilis dan gonorhea. Semakin majunya ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu masalah kesehatan global yang jumlah penderitanya meningkat setiap

Lebih terperinci

KOMISI PENANGGULANGAN AIDS

KOMISI PENANGGULANGAN AIDS B A K T I S H U A D A KOMISI PENANGGULANGAN AIDS L A P O R A N N A S I O N A L B A K T I S H U A D A KOMISI PENANGGULANGAN AIDS L A P O R A N N A S I O N A L KEGIATAN ESTIMASI POPULASI DEWASA RAWAN TERINFEKSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seksual disebut infeksi menular seksual (IMS). Menurut World Health Organitation

BAB I PENDAHULUAN. seksual disebut infeksi menular seksual (IMS). Menurut World Health Organitation BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi yang menyerang manusia melalui transmisi hubungan seksual disebut infeksi menular seksual (IMS). Menurut World Health Organitation (WHO) (2015) diperkirakan

Lebih terperinci

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR,

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR, WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR, Menimbang: a. b. c. bahwa dalam upaya untuk memantau penularan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang setinggitingginya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan melalui hubungan kelamin. Dahulu kelompok penyakit ini dikenal

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan melalui hubungan kelamin. Dahulu kelompok penyakit ini dikenal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di negara berkembang.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MIMIKA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Jl. KARTINI TIMIKA, PAPUA TELP. (0901) ,

PEMERINTAH KABUPATEN MIMIKA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Jl. KARTINI TIMIKA, PAPUA TELP. (0901) , PEMERINTAH KABUPATEN MIMIKA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Jl. KARTINI TIMIKA, PAPUA TELP. (0901) 322460, Email : kpakabmimika@.yahoo.co.id LAPORAN PELAKSANAAN PROGRAM HIV/AIDS DAN IMS PERIODE JULI S/D SEPTEMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengungkapkan banyak hal tentang sisi gelap kehidupan manusia, tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. mengungkapkan banyak hal tentang sisi gelap kehidupan manusia, tidak hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelacuran merupakan fenomena sosial yang senantiasa hadir dan berkembang di setiap putaran roda zaman dan keadaan. Keberadaan pelacuran tidak pernah selesai dikupas,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom. penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom. penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013). BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Human Immunodeficiensy Vyrus (HIV) yaitu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom (AIDS) adalah sindrom kekebalan

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2002 Jawa Timur. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2002 Jawa Timur. iii. iii iii iii Kata Pengantar Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) Departemen Kesehatan dan Proyek Aksi Stop

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Pada Januari hingga September 2011 terdapat penambahan kasus sebanyak

BAB I PENDAHULUAN Pada Januari hingga September 2011 terdapat penambahan kasus sebanyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia kejadian HIV dan AIDS pertama kali dilaporkan pada tahun 1987. Pada Januari hingga September 2011 terdapat penambahan kasus sebanyak 15.589 kasus untuk

Lebih terperinci

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN PENGARUH STIGMA DAN DISKRIMINASI ODHA TERHADAP PEMANFAATAN VCT DI DISTRIK SORONG TIMUR KOTA SORONG Sariana Pangaribuan (STIKes Papua, Sorong) E-mail: sarianapangaribuan@yahoo.co.id ABSTRAK Voluntary Counselling

Lebih terperinci

Situasi HIV & AIDS di Indonesia

Situasi HIV & AIDS di Indonesia Situasi HIV & AIDS di Indonesia 2.1. Perkembangan Kasus AIDS Tahun 2000-2009 Masalah HIV dan AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari apabila

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2003 Maluku. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2003 Maluku. iii. iii Laporan Hasil SSP 2003 Maluku iii iii Kata Pengantar Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) Departemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik

BAB I PENDAHULUAN. Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dua dasa warsa lebih sudah, sejak dilaporkannya kasus AIDS yang pertama di Indonesia tahun 1987 di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar Bali, respon reaktif

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1987). Penyakit Menular Seksual (PMS) dewasa ini kasuanya semakin banyak

BAB 1 PENDAHULUAN. 1987). Penyakit Menular Seksual (PMS) dewasa ini kasuanya semakin banyak BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular seksual (PMS) adalah infeksi yang dapat menular dari satu orang ke orang lain melalui kontak seperti genitor genital, oro genita lmaupun anogenital

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Sydrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemi.

Lebih terperinci

HIV/AIDS. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH

HIV/AIDS. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH HIV/AIDS Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH 1 Pokok Bahasan Definisi HIV/AIDS Tanda dan gejala HIV/AIDS Kasus HIV/AIDS di Indonesia Cara penularan HIV/AIDS Program penanggulangan HIV/AIDS Cara menghindari

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2003 Sulawesi Selatan. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2003 Sulawesi Selatan. iii. iii iii iii Kata Pengantar Bersamaan dengan pelaksanaan Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2002 di 10 Propinsi, kerjasama Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Program Aksi Stop AIDS dari Family Health International

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2002 Merauke (Papua)

Laporan Hasil SSP 2002 Merauke (Papua) Laporan Hasil SSP 2002 Merauke (Papua) i i Kata Pengantar Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) Departemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gangguan pada saluran reproduksi (Romauli&Vindari, 2012). Beberapa masalah

BAB I PENDAHULUAN. gangguan pada saluran reproduksi (Romauli&Vindari, 2012). Beberapa masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan alat-alat reproduksi berperan penting dalam menunjang terlaksananya fungsi reproduksi yang optimal pada wanita. Dengan alat reproduksi yang sehat, wanita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah sekelompok penyakit yang penularannya terutama pada waktu mengadakan hubungan seksual. Dahulu, kelompok penyakit ini dikenal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan masalah besar dalam kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat individu rentan terhadap

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

KERANGKA ACUAN KEGIATAN KERANGKA ACUAN KEGIATAN PRGRAM HIV AIDS DAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL I. PENDAHULUAN Dalam rangka mengamankan jalannya pembangunan nasional, demi terciptanya kwalitas manusia yang diharapkan, perlu peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. macam pekerjaan rumah tangga. Sedangkan HIV (Human Immuno Virus)

BAB I PENDAHULUAN. macam pekerjaan rumah tangga. Sedangkan HIV (Human Immuno Virus) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu rumah tangga menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai seorang wanita yang mengatur penyelenggaraan berbagai macam pekerjaan rumah tangga. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bisa sembuh, menimbulkan kecacatan dan juga bisa mengakibatkan kematian.

BAB 1 PENDAHULUAN. bisa sembuh, menimbulkan kecacatan dan juga bisa mengakibatkan kematian. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) sudah diketahui sejak dari zaman dahulu kala dan tetap ada sampai zaman sekarang. Penyakit infeksi menular seksual ini penyebarannya

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2003 Sumatera Selatan. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2003 Sumatera Selatan. iii. iii iii iii Kata Pengantar Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) Departemen Kesehatan dan Proyek Aksi Stop

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG Menimbang: a. bahwa HIV merupakan virus perusak sistem kekebalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Servisitis adalah sindrom peradangan serviks dan merupakan manifestasi umum dari Infeksi Menular Seksual (IMS) seperti Neisseria gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis

Lebih terperinci

TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 48 TAHUN 2004 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS

Lebih terperinci

Pokok Bahasan Latar Belakang Tujuan Peta Distribusi Penasun dan Lokasi SCP Metodologi Temuan: Kesimpulan Rekomendasi Lampiran

Pokok Bahasan Latar Belakang Tujuan Peta Distribusi Penasun dan Lokasi SCP Metodologi Temuan: Kesimpulan Rekomendasi Lampiran SCP Penasun 2010 1 Pokok Bahasan Latar Belakang Tujuan Peta Distribusi Penasun dan Lokasi SCP Metodologi Temuan: 1. Karakteristik Responden 2. Perilaku Akses ASS dan Perilaku Menyuntik 3. Perilaku Seksual

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Badan kesehatan dunia World Health Organizationmemperkirakan bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. Badan kesehatan dunia World Health Organizationmemperkirakan bahwa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Badan kesehatan dunia World Health Organizationmemperkirakan bahwa setiap tahun terdapat kurang lebih 350 juta penderita baru Penyakit Menular Seksual di negara berkembang

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Virus ini menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh human immunodeficiency virus (HIV) dan ditandai dengan imunosupresi berat yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Menular Seksual (PMS) disebut juga veneral (dari kata venus yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Menular Seksual (PMS) disebut juga veneral (dari kata venus yang BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penyakit Menular Seksual (PMS) disebut juga veneral (dari kata venus yang berarti Dewi cinta dari Romawi kuno) yang didefinisikan sebagai salah satu akibat yang ditimbulkan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN TENTANG HIV-AIDS DAN VOLUNTARY COUNSELLING AND TESTING (VCT) SERTA KESIAPAN MENTAL MITRA PENGGUNA NARKOBA SUNTIK DENGAN PERILAKU PEMERIKSAAN KE KLINIK VCT DI SURAKARTA

Lebih terperinci

ABSTRAK HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU KELOMPOK RISIKO TINGGI TENTANG HIV-AIDS DI KOTA BANDUNG PERIODE TAHUN 2014

ABSTRAK HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU KELOMPOK RISIKO TINGGI TENTANG HIV-AIDS DI KOTA BANDUNG PERIODE TAHUN 2014 ABSTRAK HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU KELOMPOK RISIKO TINGGI TENTANG HIV-AIDS DI KOTA BANDUNG PERIODE TAHUN 2014 Mia Maya Ulpha, 2014. Pembimbing I : Penny S. Martioso, dr., SpPK, M.Kes Pembimbing

Lebih terperinci

TRI BUANA TUNGGA DEWI /IKM

TRI BUANA TUNGGA DEWI /IKM HUBUNGAN PERILAKU PEKERJA SEKS KOMERSIAL DENGAN KEJADIAN PENYAKIT SIFILIS DAN HIV DI LOKALISASI PERBATASAN KECAMATAN BAGAN SINEMBAH KABUPATEN ROKAN HILIR TAHUN 2008 TESIS Oleh TRI BUANA TUNGGA DEWI 067010021/IKM

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2003 Nusa Tenggara Timur. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2003 Nusa Tenggara Timur. iii. iii iii iii Kata Pengantar Bersamaan dengan pelaksanaan Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2002 di 10 Propinsi, kerjasama Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Program Aksi Stop AIDS dari Family Health International

Lebih terperinci

Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA Disampaikan pada Lecture Series Pusat Penelitian HIV/AIDS UNIKA ATMAJAYA: Peranan Bidan dalam Mendukung

Lebih terperinci

Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP), 2009

Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP), 2009 BADAN PUSAT STATISTIK Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP), 2009 ABSTRAKSI Untuk dapat memberikan gambaran epidemi yang terjadi pada kelompok populasi paling berisiko dalam terjadinya epidemi

Lebih terperinci

Laporan Survei Surveilans Perilaku Berisiko Tertular HIV di Nanggroe Aceh Darussalam 2008

Laporan Survei Surveilans Perilaku Berisiko Tertular HIV di Nanggroe Aceh Darussalam 2008 Laporan Survei Surveilans Perilaku Berisiko Tertular HIV di Nanggroe Aceh Darussalam 2008 ISBN: 978-979-19889-0-2 Ukuran Buku: 21 cm x 28 cm Jumlah Halaman: 70 halaman Tim Penyusun: Dr. Pandu Riono, MPH,

Lebih terperinci

Laporan Hasil SSP 2002 Sumatera Utara. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2002 Sumatera Utara. iii. iii iii iii Kata Pengantar Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) Departemen Kesehatan dan Proyek Aksi Stop

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya seperti sifilis, gonore, dan herpes. Ilmu pengetahuan yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya seperti sifilis, gonore, dan herpes. Ilmu pengetahuan yang semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kelamin merupakan fenomena penyakit yang telah lama kita kenal diantaranya seperti sifilis, gonore, dan herpes. Ilmu pengetahuan yang semakin berkembang, menemukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan pada peningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health. diperkirakan sebanyak 1.6 juta orang diseluruh dunia.

BAB I PENDAHULUAN. pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health. diperkirakan sebanyak 1.6 juta orang diseluruh dunia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV/AIDS sebagai salah satu epidemik yang paling menghancurkan pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health Organization (WHO) 2012 menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pasangan yang sudah tertular, maupun mereka yang sering berganti-ganti

I. PENDAHULUAN. pasangan yang sudah tertular, maupun mereka yang sering berganti-ganti 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi menular seksual (IMS) yang disebut juga penyakit menular seksual (PMS) adalah infeksi yang menular lewat hubungan seksual baik dengan pasangan yang sudah tertular,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jalur transmisi

BAB I PENDAHULUAN. yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jalur transmisi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) merupakan penyakit yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jalur transmisi HIV adalah melalui kontak seksual;

Lebih terperinci

2015 GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA SISWI KELAS XI TENTANG PENYAKIT MENULAR SEKSUAL DI SMA NEGERI 24 BANDUNG

2015 GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA SISWI KELAS XI TENTANG PENYAKIT MENULAR SEKSUAL DI SMA NEGERI 24 BANDUNG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit menular seksual (PMS) adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit atau jamur, yang penularannya terutama melalui hubungan seksual dari seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bakterial vaginosis (BV) adalah sindrom klinik akibat pergantian laktobasillus Spp penghasil H 2 O 2 (Hidrogen Peroksida) yang merupakan flora normal vagina dengan bakteri

Lebih terperinci