TRANSFORMASI NITROGEN DALAM TANAH TERGENANG : Aplikasi Jerami Padi dan Urea serta Hubungannya dengan Serapan Nitrogen dan Pertumbuhan Tanaman Padi

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TRANSFORMASI NITROGEN DALAM TANAH TERGENANG : Aplikasi Jerami Padi dan Urea serta Hubungannya dengan Serapan Nitrogen dan Pertumbuhan Tanaman Padi"

Transkripsi

1 TRANSFORMASI NITROGEN DALAM TANAH TERGENANG : Aplikasi Jerami Padi dan Urea serta Hubungannya dengan Serapan Nitrogen dan Pertumbuhan Tanaman Padi LILIK TRI INDRIYATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

2 TRANSFORMASI NITROGEN DALAM TANAH TERGENANG : Aplikasi Jerami Padi dan Urea serta Hubungannya dengan Serapan Nitrogen dan Pertumbuhan Tanaman Padi Abstrak Penggunaan bahan organik pada lahan-lahan sawah yang ditujukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap pupuk kimia merupakan usaha yang mengarah pada pertanian yang berkelanjutan dan perbaikan efisiensi pupuk oleh tanaman padi di lahan-lahan sawah. Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang lebih baik tentang transformasi N dalam tanah tergenang, terutama transformasi N secara biologi dari N- organik yang terkandung dalam bahan organik menjadi bentuk N tersedia bagi tanaman dan bentuk gas, yang tujuannya untuk: (1) meningkatkan efisiensi penggunaan N-tanah dan N-bahan organik oleh tanaman padi, (2) menentukan potensi denitrifikasi, dan (3) membantu penyeleksian praktek-praktek pengelolaan N menuju pertanian yang berkelanjutan. Percobaan dilakukan di laboratorium dan rumah kaca Departemen Tanah, Fakultas Pertanian, IPB. Percobaan inkubasi di laboratorium dilakukan untuk menentukan pelepasan dan ketersediaan N dalam tanah tergenang yang diberi jerami padi, kompos jerami padi 4 dan 8 bulan atau kombinasinya dengan urea, dan untuk mengetahui perubahan ph tanah tergenang selama masa inkubasi, serta menguji tingkat dekomposisi jerami padi terhadap ketersediaan N dalam tanah tergenang selama masa inkubasi 120 hari. Taraf N dari urea atau bahan organik yang diberikan ke dalam tanah adalah 92 kg ha -1 atau setara dengan 200 kg urea ha -1, 8,52 ton jerami padi ha -1, 6,39 ton kompos 4 bulan ha -1, 6,17 ton kompos 8 bulan ha -1. Untuk perlakuan kombinasi antara urea dan bahan organik masing-masing setara dengan setengah dari takaran perlakuan - tunggal. Pada minggu pertama dari penggenangan tanah, konsentrasi N-NO 3 pada semua tanah yang diberi perlakuan menurun secara tajam. Hal ini karena terjadi reduksi N-NO - 3 menjadi gas N 2 O dan N 2 pada awal penggenangan tanah akibat perubahan kondisi tanah dari aerob menjadi anaerob. Data ini konsisten dengan hasil fluks gas N 2 O yang berasal dari tanah yang diberi perlakuan. Setelah hari ke -7 dari masa inkubasi + konsentrasi N-NH 4 meningkat secara perlahan, dan sejak hari ke-21 dari masa + inkubasi, tanah yang diberi jerami padi memperlihatkan pelepasan N-NH 4 yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Dengan makin lamanya masa penggenangan tanah, bentuk N mineral yang dominan yang dilepaskan selama masa inkubasi adalah N-NH + 4, karena kondisi tanah yang anaerob menghalangi terjadinya proses nitrifikasi oleh bakteri aerob obligat. Kompos jerami padi 4 dan 8 bulan memperlihatkan laju pelepasan N-NH4 + yang lebih lambat dan ketersediaan N-NH4 + yang lebih rendah daripada jerami padi. Hasil percobaan pot di rumah kaca menunjukkan bahwa jerami padi yang diberikan ke dalam tanah tergenang memberikan pengaruh yang nyata lebih tinggi bila dibandingkan dengan kompos terhadap peningkatan bobot kering tanaman padi, jumlah anakan, serapan N dan efisiensi penggunaan N oleh tanaman padi, serta peningkatan aktivitas enzim nitrogenase. Kandungan N-NH + 4 tanah pada percobaan pot meningkat sampai 26 hari setelah tanam (HST), dan kemudian menurun secara tajam karena diserap oleh tanaman padi. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman padi yang paling aktif terjadi antara tahap pembentukan anakan dan awal pembentukan malai. Fluks gas N 2 O tertinggi terjadi pada awal penggenangan tanah, dan tanah yang diberi jerami padi memperlihatkan fluks gas N 2 O yang jauh lebih tinggi bila

3 dibandingkan dengan tanpa perlakuan. Hal ini berkaitan dengan perubahan kondisi tanah dari aerob menjadi anaerob, dan kandungan C-organik yang mudah didekomposisi dalam jerami padi lebih tinggi, dimana C-organik tersebut merupakan sumber energi bagi bakteri denitrifikasi. Emisi total gas N 2 O dari tanah tergenang yang diberi jerami padi lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini karena pemberian jerami padi ke dalam tanah tergenang meningkatkan kondisi tanah menjadi lebih reduktif, sehingga N lebih banyak hilang dalam bentuk gas N 2 daripada gas N 2 O, yang mengakibatkan terjadinya penurunan emisi gas N2O dari tanah yang diberi jerami. Tanpa memandang tingkat dekomposisi bahan organik yang diberikan ke dalam tanah, semakin lama tanah bersifat anaerob proses nitrifikasi menjadi terhambat sehingga ketersediaan nitrat membatasi terjadinya proses denitrifikasi. Secara umum pemberian bahan jerami padi atau komposnya ke dalam tanah tergenang meningkatkan aktivitas enzim nitrogenase. Tetapi pemberian jerami padi ke dalam tanah tergenang tampaknya memicu peningkatan aktivitas enzim nitrrogenase yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pemberian kompos. Peningkatan aktivitas penambatan N 2 ini secara tidak langsung meningkatkan sumbangan N dalam tanah yang penting sebagai sumber N bagi tanaman padi terutama pada stadia pengisian bulir. Hal ini terlihat dari serapan N oleh tanaman padi pada stadia pengisian bulir dimana sebagian besar N yang diserap adalah berasal dari N-tanah.

4 NITROGEN TRANSFORMATION IN FLOODED SOIL : Application of Rice Straw and Urea and Its Relation with Nitrogen Uptake and Rice Plant Growth Abstract The use of organic materials aimed at reducing the dependence on inputs such as chemical fertilizers can contribute to sustainability and improving the low N fertilizer efficiency of rice plants in paddy soils. Therefore, better understanding of N transformation in flooded soils, particularly the microbial transformation of N-organic amendments to plant-available N and gaseous N forms is needed: (1) for most efficient use of soil and organic materials N by rice plant, (2) for determining the potential of denitrification and (3) for aiding in the selection of N management practices for sustainable agriculture. The experiments were conducted in the laboratory and glasshouse of Soil Department, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University. An incubation experiment in laboratory was conducted to observe the release of N and its availability in flooded soil amended with rice straw, 4 month- and 8 month-compost of rice straw or their combination with urea; to study the change of soil ph during incubation period; to verify the effect of the chemical composition of rice straw or composts of rice straw on N availability in flooded soil during 120 days. Nitrogen from urea or organic materials was applied at the rate of 92 kg ha -1 or equivalent to 200 kg urea ha -1, 8.52 ton rice straw ha -1, 6.39 ton 4-month-compost of rice straw ha -1, and 6.17 ton 8-month-compost of rice straw ha -1. The first time of soil flooding, NO 3 - -N concentrations in all of the amended soils sharply decreased. It might be due to the reduction of NO3 - -N to N2O and N2 gas since the initial of incubation period as a consequence of the change of soil condition from aerobic to anaerobic condition. These data were consistent with the result of N 2 O emission derived from the amended soils. The concentration of NH 4 + -N was gradually increased after 7 days of incubation period. Since 21 days of incubation period, the rice straw amended soils showed the larger NH 4 + -N release than the other treatments. The longer soil flooded, the dominant form of mineral nitrogen that was released in soil during the incubation period was NH 4 + -N, because the anaerobic soil condition inhibited the nitrification process. The 4-monthand 8-month-compost of rice straw showed the slower N mineralization rate and the lower N availa bility than rice straw. The results of pot experiment in glasshouse revealed that the amende d rice straw flooded soil gave significantly higher effect on the increase of the dry matter weight of rice plants, the number of tillers, N uptake of rice, recovery N efficiency, and the increase of nitrogenase enzyme activity. Soil NH4 + -N in pot experiment increased until 26 DAT (days after transplanting), and then decreased sharply, because of rice N uptake. It showed that the very active growth of rice plants was occurred between the growth stage of active tillering and initial panicle initiation. The highest flux of N 2 O was observed at the first time of soil flooding of the organic material amended soils.. It might be due to the change of soil condition from aerobic to anaerobic condition, and the higher decomposable C contained in rice straw as energy source for denitrifyer. However, the total emission of N2O from flooded soil which was amended with rice straw was lower than the other treatments. It might be due to the addition of rice straw to flooded soils caused the soil condition was more reductive, so more N was lost as N 2 gas than N 2 O gas. Finally, the N 2 O gas emission from rice straw amended soil

5 decreased. Regardless the degree of decomposition of the organic materials added to soils, the longer anaerobic of soil nitrification process was inhibited, so that nitrate availability hampered denitrification process. Generally, the application of rice straw or rice straw composts to flooded soil increased the activity of nitrogenase enzyme. The application of rice straw, however, promoted the activity of nitrogenase enzyme higher than rice straw composts. The increase of this N 2 fixation promoted indirectly N contribution in soil which is important as N source for rice pla nts, especially at the growth stage of heading. It substantiated by the fact that N uptake at the growth stage of heading most ly derived from N-soil.

6 v PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul : TRANSFORMASI NITROGEN DALAM TANAH TERGENANG : Aplikasi Jerami Padi dan Urea serta Hubungannya dengan Serapan Nitrogen dan Pertumbuhan Tanaman Padi adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari peneliti lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2006 Lilik Tri Indriyati NRP /TNH

7 vi TRANSFORMASI NITROGEN DALAM TANAH TERGENANG : Aplikasi Jerami Padi dan Urea serta Hubungannya dengan Serapan Nitrogen dan Pertumbuhan Tanaman Padi LILIK TRI INDRIYATI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

8 vii Judul Disertasi : TRANSFORMASI NITROGEN DALAM TANAH TERGENANG : Aplikasi Jerami Padi dan Urea serta Hubungannya dengan Serapan Nitrogen dan Pertumbuhan Tanaman Padi Nama Mahasiswa : LILIK TRI INDRIYATI NIM : Program Studi : ILMU TANAH Disetujui Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. Ketua Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, MS Anggota Prof. Dr. Ir.,Sudarsono, MSc Anggota Prof. Dr. Ir. Rykson Situmorang, MS Dr. Ir. Widjang Herry Sisworo, APU Anggota Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Tanah, Dekan Sekolah Pascasarjana, Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc Tanggal Ujian : 25 Agustus 2005 Tanggal Lulus :

9 viii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lumajang, Jawa Timur pada tanggal 15 Maret Penulis adalah anak bungsu dari tiga bersaudara dari ayah Slamet dan ibu Satuyah. Penulis menempuh pendidikan dasar di SD Negeri Jagalan Tempeh dan lulus pada tahun Penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri Tempeh dan lulus pada tahun Tahun 1984 penulis lulus dari Sekolah Menengah Pembangunan Pertama (SMPP) Negeri Lumajang. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) dan setahun kemudian penulis menjadi mahasiswa Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian. Selanjutnya pada September 1992 penulis berangkat ke Jepang unt uk melanjutkan pendidikan program S2 di Tokyo University of Agriculture (Tokyo Nogyou Daigaku). Bulan Maret 1993 penulis resmi terdaftar sebagai mahasiswa program Master (S2) di Laboratorium Ilmu Tanah, Departemen Kimia Pertanian (Nougeikagaku) dengan beasiswa dari INPEX FOUNDATION dan penulis lulus pada bulan Maret tahun Pada Februari 2000 penulis resmi sebagai mahasiswa program doktor (S3) pada Program Studi Ilmu Tanah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 1992 penulis resmi diterima sebagai staf pengajar dan peneliti di Jurusan Tanah (sekarang Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan), Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor sampai sekarang.

10 ix PRAKATA Puji dan syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kepada Tuha n Yesus Kristus yang telah memberi kekuatan, rahmat dan kasihnya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran dalam perencanaan, pelaksanaan penelitian sampai penyelesaian penulisan disertasi ini dan sekaligus sebagai Ketua Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah dimana penulis bekerja, atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan program doktor. Penghargaan yang sama juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, MS., Prof. Dr. Ir. Rykson Situmorang, MS., Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc., dan Dr. Ir. Widjang Herry Sisworo, APU masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas saran yang telah diberikan dalam perencanaan, pelaksanaan penelitian, dan penulisan disertasi ini. Penghargaan dan ucapan terimakasih juga disampaikan kepada : 1. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan belajar, serta para staf pengajar yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan dan wawasan untuk lebih maju dan berkembang lebih jauh. 2. Direktur QUE Project beserta jajarannya atas segala fasilitas, bantuan dana dan dorongan semangat kepada penulis dalam melaksanakan dan menyelesaikan pendidikan S3 ini. 3. Dr. Ir. Sri Djuniwati sebagai penguji luar pada ujian tertutup 4. Dr. Ir. Basuki Sumawinata dan Dr. Ir. A. Karim Makarim, APU sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka doktor 5. Ibu Yosephine Prasetyo dan Ibu Yayu dari International Centre for Research in Agrofestry (ICRAF) atas bantuan dan perkenannya kepada penulis menggunakan alat Gas Chromatografi untuk analisis gas N 2 O, serta Lusi Hutabarat yang membantu penulis da lam menganalisis gas N 2 O. 6. Dr. Ir. Iswandi Anas, MSc yang telah mengijinkan penulis untuk bekerja dan menggunakan alat Gas Chromatografi (GC) di Laboratorium Biologi Tanah, Departemen Tanah, Fakultas Pertanian, IPB.

11 x 7. Ibu Elsye Sisworo yang telah membantu dalam analisis 15 N dan N-total tanaman padi serta bimbingannya dalam memahami penggunaan 15 N dalam penelitian. 8. Saudari Iim dan Pak Sukoyo atas bantuannya dalam pelaksanaan penelitian di Laboratorium, juga Pak Romli atas bantuannya selama penelitian di Rumah Kaca 9. Fitrasari (Mahasiswi S1) atas bantuan dan kerjasamanya dalam pelaksanaan penelitian di Rumah Kaca dan Laboratorium 10. Staf Pengajar di Laboratorium Bagian Kimia dan Kesuburan pada khususnya dan staf pengajar serta para pegawai di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan pada umumnya yang secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan semangat pada penulis untuk menyelesaikan pendidikan S Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana IPB dan teman-teman Family Altar (FA) terutama Ibu Tina Sitompul, Ibu Evi, Ibu Elly dan Bapak Daniel, serta temanteman lainnya atas kerjasama, persahabatan, dan dukungan doanya selama ini 12. Kedua orang tuaku, mertua, kakak-kakakku Wiwik Eko Widayati dan Tutik Dwi Handayani, mak nyik, keponakanku Yudi, Dita, Rangga, Yedi dan seluruh keluarga atas doa, bantuan dan dorongan semangatnya 13. Suamiku terkasih, Jefta Charles Welhelmus Ronabiha serta kedua anakku Matheos Bernhard Ronabiha dan Jeremia Bire Ronabiha atas limpahan kasih sayangnya, doa, kesabaran, pengorba nan dan dorongan semangat yang tulus 14. Semua pihak yang telah banyak membantu baik materi maupun dorongan semangat sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Penulis berharap disertasi ini bisa bermanfaat bagi pengembangan ilmu da n semua pihak yang menggunakannya. Bogor, Januari 2006 Lilik Tri Indriyati

12 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL.. DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR GAMBAR..... Halaman I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Hipotesis... 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Pengaruh Penggenangan Tanah terhadap Sifat-sifat Tanah Pengaruh Penggenangan terhadap Sifat Fisikokimia Tanah Pengaruh Penggenangan terhadap Sifat Biokimia Tanah Pengaruh Penggenangan terhadap Tanaman Padi Transformasi Nitrogen dalam Tanah Tergenang Pergerakan Nitrogen dalam Tanah Tergenang Mineralisasi dan Imobilisasi Nitrogen Nitrogen terlarut dan dapat dipertukarkan Penambatan (Fiksasi) N2 Secara Biologi Volatilisasi Amonia Nitrifikasi dan Denitrifikasi Kehilangan Nitrogen dari Tanaman Siklus Pertumbuhan Tanaman Padi Sawah Peranan dan Fungsi Nitrogen dalam Tanaman Padi III. BAHAN DAN METODE Tempat Penelitian Bahan Penelitian Pelaksanaan Penelitian Pembuatan Kompos dari Jerami Padi Percobaan Inkubasi Tanah-Bahan Organik di Laboratorium Percobaan Pot di Rumah Kaca Pengambilan Contoh Tanah dan Gas serta Analisis.. 33 xiv xv xvii Penetapan N-NH + 4 dan N-NO - 3 Tanah Penetapan Fluks Gas N 2 O Hasil Denitrifikasi Penetapan Aktivitas Enzim Nitrogenase (Fiksasi N 2 ) Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik. 36 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

13 xiii 4.1. Perubahan Sifat Kimia Jerami Padi Selama Pengomposan Percobaan di Laboratorium Nitrogen Tersedia Dalam Tanah Tergenang Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos atau Kombinasinya dengan Urea serta Faktor yang Mengendalikannya Nilai ph Tanah Tergenang Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos dan atau Urea Percobaan di Rumah Kaca Konsentrasi N-NH + 4 dapat dipertukarkan Dalam Tanah yang Ditanami Tanaman Padi Jumlah Anakan dan Bobot Kering Tanaman Padi Pelepasan N ke Dalam Tanah dan Serapan N Tanaman Fluks Gas N 2 O dari Tanah dalam Kondisi Tergenang Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos dan atau Urea Aktivitas Enzim Nitrogenase dalam Tanah Tergenang Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos dan atau Urea V. PEMBAHASAN UMUM Implikasi pada Pengelolaan Nitrogen dari Pupuk Mineral dan Jerami Padi VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran.. 76 VII. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

14 xiv DAFTAR TABEL Tabel Teks Halaman 1 Sifat Kimia Dystrudept Darmaga Perlakuan, Jumlah N dan Takaran Bahan Organik dan Urea yang Diberikan ke Dalam Tanah pada Kondisi Tergenang Sifat Kimia Jerami Padi dan Kompos Nilai ph Tanah Tergenang yang Diberi Jerami Padi, Kompos dan atau Urea Jumlah Anakan Tanaman Padi per Pot pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Total Serapan Nitrogen oleh Tanaman Padi dan Serapan N yang Berasal dari Pupuk (Jerami Padi, Kompos dan Urea), Tanah dan 15 N-ZA pada Stadia Pembentukan Anakan Total Serapan Nitrogen oleh Tanaman Padi dan Serapan N yang Berasal dari Pupuk (Jerami Padi, Kompos dan Urea), Tanah dan 15 N-ZA pada Stadia Awal P embentukan Malai Total Serapan Nitrogen oleh Tanaman Padi dan Serapan N yang Berasal dari Pupuk (Jerami Padi, Kompos dan Urea), Tanah dan 15 N-ZA pada Stadia Pengisian Bulir Padi Konsentrasi N-NH dan N-NO 3 (mg kg -1 ) Dalam Tana h Tergenang Pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Nilai Rata-rata Fluks Gas N 2 O dan Pendugaan Total Nitrogen yang Hilang Sebagai Gas N 2 O dari Tanah Tergenang Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos dan atau Urea Nilai Acetylene Reduction Assay (ARA) di Daerah Perakaran Tanaman Padi (nmol C 2 H 4 g -1 BK Akar jam -1 ) pada Tiga Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi... 68

15 xv Lampiran DAFTAR LAMPIRAN Teks Halaman 1 Cara Penghitungan Serapan 15 N, dan N dari Bahan Organik dan Urea Komposisi Kimia dari Sereal dan Jerami Padi ( tures.org) Sidik Ragam ph Tanah Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos, Urea dan Kombinasinya pada Inkubasi Tanah di Laboratorium Sidik Ragam Konsentrasi N-NH 4 + Tanah (mg kg -1 ) Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos, Urea dan Kombinasinya pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Sidik Ragam Jumlah Anakan per Pot Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos, Urea dan Kombinasinya pa da Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Sidik Ragam Bobot Kering Tanaman Padi (g per pot) Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos, Urea dan Kombinasinya pada Setiap Stadia Pertumbuha n Tanaman Padi Sidik Ragam Serapan 15 N (mg per pot) Tanaman Padi Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos, Urea dan Kombinasinya pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Sidik Ragam Serapan N yang Berasal dari Tanah (mg per pot) Pemberian Jerami Padi, Kompos, Urea dan Kombinasinya pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Sidik Ragam Serapan N yang Berasal dari Pupuk (mg per pot) Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos, Urea dan Kombinasinya pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Sidik Ragam Efisiensi Penggunaan N Pupuk (%) oleh Tanaman Padi Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos, Urea dan Kombinasinya pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Sidik Ragam Fluks Gas N 2 O (mg m -2 jam -1 ) Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos, Urea dan Kombinasinya Saat Inkubasi Bahan Organik pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Sidik Ragam Acetylene Reduction Assay (ARA) di Daerah Perakaran Tanaman Padi (nmol C 2 H 4 g -1 BK Akar jam -1 ) Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos, Urea dan Kombinasinya pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Jumlah Anakan Tanaman Padi per Pot pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Bobot Kering Tanaman Padi (g per pot) pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi.. 99

16 xvi 15 Nilai ph Tanah Dalam Kondisi Tergenang pada Inkubasi di Laboratorium Konsentrasi N-NH 4 + Tanah (mg kg -1 ) Dalam Kondisi Tergenang pada Inkubasi di Laboratorium Konsentrasi N-NO 3 - Tanah (mg kg -1 ) Dalam Kondisi Tergenang pada Inkubasi di Laboratorium Konsentrasi N-NH 4 + (mg kg -1 ) Dalam Tanah pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Konsentrasi N-NO 3 - (mg kg -1 ) Dalam Tanah pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Serapan Nitrogen Tanaman Padi pada Stadia Pembentukan Anakan Serapan Nitrogen Tanaman Padi pada Stadia Awal Pembentukan Mala i Serapan Nitrogen Tanaman Padi pada Stadia Pengisian Bulir Padi Serapan Nitrogen Tanaman Padi pada Saat Panen Konsentrasi 15 N dan Nitrogen Dalam Tanaman yang Diperoleh dari Jerami Padi, Kompos dan Urea serta yang Diperoleh dari Tanah pada Stadia Pembentukan Anakan Konsentrasi 15 N dan Nitrogen Dalam Tanaman yang Diperoleh dari Jerami Padi, Kompos dan Urea serta yang Diperoleh dari Tanah pada Stadia Awal Pembentukan Malai Konsentrasi 15 N dan Nitrogen Dalam Jerami yang Diperoleh dari Jerami Padi, Kompos dan Urea serta yang Diperoleh dari Tanah pada Stadia Pengisian Bulir Padi Konsentrasi 15 N dan Nitrogen Dalam Gabah yang Diperoleh dari Jerami Padi, Kompos dan Urea serta yang Diperoleh dari Tanah pada Stadia Pengisian Bulir Padi Konsentrasi 15 N dan Nitrogen Dalam Jerami yang Diperoleh dari Jerami Padi, Kompos dan Urea serta yang Diperoleh dari Tanah pada Saat Panen Konsentrasi 15 N dan Nitrogen Dalam Gabah yang Diperoleh dari Jerami Padi, Kompos dan Urea serta yang Diperoleh dari Tanah pada Saat Panen Hasil Analisis Gas N 2 O pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Nilai Acetylene Reduction Assay (ARA) di Daerah Perakaran Tanaman Padi (nmol g -1 BK akar jam -1 ) pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Gambar Pertumbuhan Tanaman Padi pada Stadia Pengisian Bulir 122

17 xvii Gambar DAFTAR GAMBAR Teks Halaman 1 Skema dari Lapisan Oksidasi Reduksi (Sumber: Mikkelsen, 1987) Skema Transformasi Nitrogen dalam Ekosistem Tanah Sawah Tergenang (Sumber: Mikkelsen, 1987) Model Pasangan Proses Nitrifikasi Denitrifikasi yang Menggambarkan Mekanisme Kedua Proses Tersebut dengan Penekanan Khusus pada Pembentukan N 2 O dan N 2 (Sumber: Russow et al., 2000) Siklus Pertumbuhan Varietas Tanaman Padi Berumur 120 Hari (Sumber: Yoshida, 1981) Skema Waktu Pembuatan Kompos 4 dan 8 bulan Skema Percobaan di Rumah Kaca Pengukuran Gas N2O dengan Alat Sungkup Konsentrasi N-NO 3 - Dalam Tanah Tergenang Akibat Pemberian (a) Jerami Padi dan Kompos; (b) Jerami Padi + Urea, dan Kompos + Urea Selama 120 Hari Penggenangan Tana h Konsentrasi N-NH 4 + Dalam Tanah Tergenang Akibat Pemberian (a) Jerami Padi dan Kompos; (b) Jerami Padi + Urea, dan Kompos + Urea Selama 120 Hari Penggenangan Tanah Nilai ph Tanah Tergenang yang Diberi Jerami Padi, Kompos dan atau Urea Konsentrasi N-NH 4 + Tanah pada Kondisi Tanah Tergenang pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Bobot Kering Tanaman dari Stadia Pembentukan Anakan sampai Stadia Pengisia n Bulir Hubungan Antara N yang Dilepaskan Dalam Tanah dan Serapan N Tanaman pada 75 HST (Stadia Pengisian Bulir) Hubungan Antara Serapan N Tanaman Padi dan Jumlah Anakan pada 75 HST (Stadia Pengisian Bulir) Hubungan Antara Serapan N Tanaman Padi dan Bobot Kering Tanaman Padi pada 75 HST (Stadia Pengisian Bulir) Hubungan Antara Serapan N dari Pupuk (Jerami Padi, Kompos dan atau Urea) dan Bobot Kering Tanaman pada 75 HST (Stadia Pengisian Bulir) Akumulasi N yang Diserap Dalam Jerami Padi pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi... 61

18 18 Fluks Gas N 2 O dalam Tanah Tergenang Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos dan atau Urea xviii

19 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman yang banyak mengonsumsi pupuk, terutama pupuk nitrogen (N) adalah tanaman padi sawah, yaitu sebanyak 72 % dan 13 % untuk palawija (Agency for Agricultural Research and Development, 1992). Hal ini terutama disebabkan oleh tersedianya varietas padi unggul yang sangat responsif terhadap N. Nitrogen merupakan input produksi yang sangat penting dan salah satu unsur hara yang memengaruhi pertumbuhan dan produksi padi. Tetapi menurut Kyuma (1983) konsentrasi N-total dalam sebagian besar tanah sawah di daerah tropika termasuk rendah, yaitu kurang dari 0,15%. Selanjutnya Kyuma menjelaskan bahwa kondisi ini mencerminkan rendahnya kandungan N dalam tanah yang dapat dimineralisasi. Tanaman padi dapat menggunakan N, baik yang berasal dari pupuk N mineral maupun dari bahan organik. Akan tetapi N dalam bahan organik harus dimineralisasi lebih dulu sebelum dapat dimanfaatkan oleh tanaman padi. Pada umumnya N dari pupuk mineral tidak dapat digunakan oleh tanaman padi secara efisien, karena pupuk N sangat mudah larut dan bersifat sangat mobil. Selain itu dalam kondisi sawah yang tergenang, N pupuk banyak yang hilang dalam bentuk gas (Buresh dan De Datta, 1991). Hal ini menyebabkan petani seringkali memberikan pupuk mineral dengan takaran secara berlebihan, agar bisa memperoleh hasil yang tinggi. Di beberapa lokasi di Indonesia, para petani memberikan pupuk melebihi takaran pupuk yang direkomendasikan. Pemberian pupuk mineral secara berlebihan dapat mengganggu keseimbangan hara dalam tanah, meningkatkan biaya produksi, dan mengakibatkan munculnya dampak negatif pada lingkungan. Kehilangan N dalam bentuk gas tersebut terjadi melalui proses denitrifikasi (gas N 2 O dan N 2 ) (Kakuda et al., 1999 dan Ostrom et al., 2000) maupun volatilisasi (gas NH3) (Mikkelsen et al., 1978), dua proses penting sebagai penyebab hilangnya N dari sistem tanah-tanaman. Tetapi sampai saat ini penyebab utama ketidakefisienan pupuk N dalam budidaya padi sawah diduga karena proses nitrifikasi denitrifikasi dalam lapisan aerob anaerob (Nugroho dan Kuwatsuka, 1990; Russow et al., 2000), yaitu hilang dari sistem rhizosfer

20 2 tanaman atau dari antar muka (interface) tanah air atau setelah adanya pengeringan dan pembasahan tanah secara bergantian. Menurut Yoshida dan Padre Jr (1975) dengan penggenangan secara terus-menerus selama masa pertumbuhan padi, N pupuk yang hilang dari sistem tanah-tanaman berkisar antara 28,4% dan 18,4% berturut-turut untuk perlakuan tanpa dan dengan jerami. Kehilangan N tanah karena siklus penggenangan dan pengeringan berkisar 15 20%, sementara N pupuk yang hilang dalam kondisi sawah adalah 44,2% dan 18,4% berturut-turut untuk perlakuan tanpa dan dengan jerami padi (Patrick dan Wyatt, 1964). Hilangnya N pupuk karena denitrifikasi selain merugikan petani secara ekonomi, gas N 2 O yang terbentuk dari proses ini merupakan gas rumah kaca yang 300 kali lebih radiatif daripada CO 2 dan memiliki masa hidup (lifetime) di atmosfer 150 tahun (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC, 1992). Denitrifikasi merupakan sumber utama dari NO x stratosfer, yang merupakan katalis alami utama dari proses yang menyebabkan terjadinya penipisan lapisan ozon stratosfer (IPCC, 1994). Dengan demikian usaha meningkatkan serapan N pupuk oleh tanaman dapat mencegah akumulasi N mineral dalam tanah sehingga diharapkan akan meningkatkan efisiensi penggunaan N pupuk. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan menyelaraskan pola penyediaan N dalam tanah dengan laju serapan N tanaman padi, sehingga akumulasi N mineral dalam tanah dapat dikurangi, sekaligus memperkecil peluang N hilang dari sistem tanahtanaman. Selama beberapa dekade yang lalu, peningkatan ketersediaan serta kemudahan mendapatkan pupuk mineral berakibat pada penurunan penggunaan pupuk organik, misalnya jerami padi. Akan tetapi karena akhir -akhir ini dunia dilanda krisis energi dan harga pupuk terus meningkat, maka pemanfaatan bahan organik atau sisa -sisa tanaman sebagai sumber unsur hara mulai dipertimbangkan kembali. Pengembalian sisa panen (jerami) dan penambahan kompos atau pupuk organik, selain untuk memperbaiki atau meningkatkan kandungan bahan organik tanah, diharapkan juga sebagai sumber hara N bagi tanaman padi. Nitrogen dalam bahan organik akan dilepas ke dalam tanah melalui proses pelapukan biologi yang disebut mineralisasi. Sebagian dari N dalam sisa panen akan dikonversikan menjadi jaringan tubuh dari jasad renik tanah yang dalam jangka panjang bisa

21 3 dimanfaatkan kembali oleh tanaman. Ada hubungan yang erat antara kesuburan tanah dengan kandungan bahan organik tanah, karena bahan organik memengaruhi sifat-sifat fisik dan kimia tanah. Selain itu, bahan organik merupakan sumber karbon (C) dan N serta energi yang diperlukan untuk pertumbuhan populasi dan aktivitas jasad renik tanah. Pembebasan N dari bahan organik bersifat lambat tersedia (slow release) sehingga akumulasi N mineral dalam tanah diharapkan akan berkurang dan selanjutnya dapat mengurangi hilangnya N dalam bentuk gas. Sumber utama bahan organik yang mudah diperoleh di laha n sawah adalah jerami padi. Namun sampai saat ini belum banyak petani yang memanfaatkan bahan tanaman sisa-sisa panen sebagai sumber bahan organik di lahan sawah. Bahan ini banyak dibuang dengan cara membakarnya. Pembakaran bagian tanaman sisa-sisa panen tidak hanya akan berakibat pada menurunnya kandungan bahan organik tanah, tetapi juga lenyapnya beberapa unsur hara seperti N dan S. Pembakaran jerami padi menyebabkan polusi udara dengan adanya emisi gas-gas seperti CO, NOx dan CO2 yang merugikan kesehatan manusia dan ekosistem. Pemberian bahan organik seperti jerami padi dalam bentuk kompos atau pupuk hijau ke dalam lahan sawah dianggap efektif untuk mempertahankan atau meningkatkan kesuburan tanah. Jerami padi dianggap sebagai sumber bahan organik yang sangat penting dan tepat karena ketersediaannya di lahan sawah dan kandungan haranya yang relatif lengkap untuk pertumbuhan tanaman padi (Ueno dan Yamamuro, 2001). Menurut Ponnamperuma (1984) jerami padi mengandung kira-kira 0,6% N, 0,1% P, 0,1% S, 1,5% K, 5% Si dan 40% C dan ketersediaan jerami padi di lahan sawah bervariasi antara 2-8 ton/ha per musim tergantung pada varietas dan pengelolaan yang dilakukan. Jerami padi juga secara tidak langsung mengandung sumber senyawa N-C yang menyediakan substrat untuk metabolisme jasad renik yaitu gula, pati (starch), selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin, lemak (fat), dan protein. Senyawa-senyawa ini terdiri dari 40% C dari bobot kering jerami (Ponnamperuma, 1984). Jerami padi merupakan sumber energi yang baik bagi jasad renik, karena itu pemberian jerami merangsang fiksasi N 2 oleh bakteri heterotrofik dan fototrofik dalam tanah-tanah tergenang (Matsuguchi, 1979; Ventura et al., 1986).

22 4 Untuk meningkatkan pemanfaatan N bahan organik oleh tanaman padi, maka perlu diprediksi jumlah N yang bisa disuplai oleh bahan organik dan yang tersedia bagi tanaman. Jumlah N yang tersedia bagi tanaman tergantung pada mineralisasinya menjadi amonium (N-NH + 4 ) dan nitrat (N-NO - 3 ) dalam tanah. Keberadaan kedua bentuk senyawa N ini di dalam tanah menjadi penentu ketersediaan unsur hara N untuk memenuhi kebutuhan tanaman sepanjang masa pertumbuhannya. Dinamika dekomposisi bahan organik selain dipengaruhi oleh praktek budidaya padi sawah (lama penggenangan, metode pemberian, dan aplikasi N mineral) dan sifat-sifat tanah, juga sangat dipengaruhi oleh komposisi kimia dari bahan organik (Becker et al., 1994). Komposisi kimia bahan organik sangat beragam tergantung pada jenis atau sumber bahan organik dan tingkat pelapukannya. Komposisi kimia bahan organik sangat memengaruhi transformasi N dalam tanah. Karena unsur hara N adalah penentu produktivitas tanaman, maka proses transformasi N dalam tanah perlu dipelajari antara lain : (1) untuk mengetahui faktor yang berpengaruh dan keter kaitannya dengan serapan N, pertumbuhan dan hasil tanaman padi; (2) untuk meningkatkan keefisienan penggunaan pupuk N oleh tanaman padi dengan memperbaiki keselarasan antara jumlah N tersedia dan serapan N tanaman padi; dan (3) untuk mengetahui pengaruh de komposisi bahan organik terhadap transformasi N dalam tanah sawah Tujuan Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk : 1. Menentukan sumbangan dari bahan organik (dengan tingkat dekomposisi yang berbeda) dan dari kombinasi pupuk urea dengan bahan organik dalam menyediakan kebutuhan N tanaman pada kondisi tanah tergenang 2. Menetapkan jumlah N yang hilang dalam bentuk gas N 2 O dari proses dekomposisi bahan organik (jerami padi dan kompos jerami) pada kondisi tanah tergenang. 3. Mempelajari pengaruh pemberian jerami padi, kompos dan campuran jerami dan urea, serta campuran kompos dan urea terhadap aktivitas penambatan N 2 oleh bakteri penambat N di daerah perakaran tanaman padi, pertumbuhan dan serapan N tanaman padi serta efisiensi penggunaan N.

23 Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah : 1. Sumbangan kompos terhadap konsentrasi N tanah (N -NH + 4 dan N-NO - 3 ) lebih tinggi daripada jerami. Pemberian urea, dan campuran antara urea dengan kompos atau jerami dapat meningkatkan ketersediaan N dalam tanah bagi pertumbuhan padi sawah. 2. Pemberian kompos terhadap pertumbuhan dan serapan N tanaman padi lebih baik dibandingkan dengan pemberian jerami. 3. Pemberian jerami padi ke dalam tanah pada kondisi tergenang mengurangi emisi gas N 2 O. 4. Pemberian jerami padi ke dalam tanah dalam kondisi tergenang dapat meningkatkan aktivitas enzim nitrogenase yang berperan dalam penambatan N 2 udara.

24 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengaruh Penggenangan Tanah terhadap Sifat-sifat Tanah Sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah tergenang sangat berbeda dengan sifat-sifat tanah lahan kering. Dalam tanah sawah, oksigen yang semakin berkurang, pembuatan teras, dan pembentukan gundukan/pematang akan mengubah sifat kimia tanahnya dan adanya genangan air di atas permukaan tanah dapat melindungi tanah dari sebagian kerusakan akibat proses -proses yang memengaruhi produktivitas jangka panjangnya, seperti erosi tanah Pengaruh Penggenangan terhadap Sifat Fisikokimia Tanah Dengan penggenangan, air memenuhi ruang pori tanah, dan udara dalam tanah dikeluarkan. Tiadanya oksigen dalam tanah maka organisme tanah akan menggunakan sumber penerima elektron lain dari komponen tanah lainnya sebagai pengganti oksigen, dan akibatnya tanah menjadi bersifat reduktif. Oksigen terlarut dalam air genangan yang berasal dari atmosfer atau dari aktivitas fotosintetik berbagai hidrofit, akan berdifusi ke lapisan tanah permukaan di bawah air genangan yang bersifat oksidatif. Walaupun lapisan yang lebih dalam dari tanah tergenang tetap tereduksi, lapisan teroksidasi tersebut sering berperan penting dalam transformasi kimia dan siklus hara yang terjadi dalam tanah tergenang. Pada lapisan tanah teroksidasi yang tipis tersebut, jasad renik melakukan proses biologi yang bersifat aerobik dan berbagai senyawa mineral berada dalam bentuk teroksidasi seperti SO 2-4, NO - 3, Fe 3+ dan Mn 4+, sedangkan pada zona anaerob yang lebih bawah didominasi oleh bentuk-bentuk tereduksi seperti senyawa fero (Fe 2+ ) dan mangano (Mn 2+ ), ammonia, dan sulfida (S 2- ) (Mohanty dan Dash, 1982). Karena adanya besi feri (Fe 3+ ) dalam lapisan teroksidasi, tanah sering berwarna coklat atau merah kecoklatan. Sebaliknya warna sedimen tereduksi yang didominasi oleh besi fero (Fe 2+ ) sering memberikan warna abu kebiruan sampai abu kehijauan karena adanya proses gleisasi. Sebelum perubahan ini terjadi, organisme telah mereduksi ion nitrat menjadi gas N 2 O dan N 2, dan mangani (Mn 4+ ) menjadi mangano (Mn 2+ ) (Greenland, 1997).

25 Pengaruh Penggenangan terhadap Sifat Biokimia Tanah Konsentrasi O 2 di bawah lapisan tanah teroksidasi yang tipis menurun tajam dan mendekati nol. Laju penipisan O 2 ini tergantung pada suhu, ketersediaan bahan organik untuk respirasi jasad renik, dan kadang-kadang pada kebutuhan O2 dari reduktan seperti besi fero (Gambrell dan Patric k, 1978). Pada kondisi tanpa O 2 jasad renik aerob mati atau menjadi tidak aktif dan jasad renik anaerob fakultatif atau anaerob obligat menjadi aktif dalam zona anaerob. Organisme-organisme ini menciptakan zona tereduksi dengan sistem potensial redoks campuran yang memengaruhi sifat kimia dan elektrokimia tanah (Mitsch dan Gosselink, 1993). Skema dari profil tanah tergenang ditunjukkan dalam Gambar 1. Akibat dari penggenangan, potensial redoks dari lapisan tanah yang tereduksi menurun tajam. Potensial redoks (Eh), suatu ukuran tekanan elektron (atau ketersediaan elektron) dalam larutan, sering digunakan untuk mengkuantifikasi derajat reduksi elektrokimia dari tanah-tanah tergenang. Oksidasi terjadi tidak hanya selama pengambilan oksigen tetapi juga bila ion hidrogen dilepaskan (misalnya : H 2 S S H + ) atau, yang lebih umum bila secara kimia memberikan elektron (misal: Fe 2+ Fe 3+ + e - ). Reduksi adalah proses yang berlawanan yaitu memberikan oksigen, menerima hidrogen (hidrogenasi), atau menerima elektron. Potensial redoks dapat diukur dalam tanah tergenang dan merupakan ukuran kuantitatif dari kecenderungan tanah untuk mengoksidasi atau mereduksi bahan atau komponen tanah (Faulkner dan Richardson, 1989). Tanah yang teraerasi dicirikan dengan potensial redoks +400 milivolt (mv) atau lebih besar. Bila proses reduksi cukup intens, tanah dapat mempunyai potensial redoks 300 mv. Tingkat oksidasi dan reduksi dari sistem redoks, seperti oksigen, nitrat, nitrit, mangan, besi, dan sulfur juga berbagai senyawa organik yang mudah terdekomposisi menentukan potensial redoks tanah (Qixiao dan Tianren, 1997). Dalam lapisan tanah tereduksi, untuk menggantikan oksigen yang diperlukan dalam metabolisme aerob, organisme anaerob menggunakan penerima elektron lain yang lebih lemah. Penerima elektron yang terkuat setelah O 2 adalah nitrat (NO - 3 ). Nitrat direduksi menjadi gas N 2 atau N 2 O pada potensial redoks

26 8 Kedalaman Tanah (cm) NH Permukaan air Permukaan tanah + NH 4 4 Nitrifikasi NH 4, NH 4 OH, NH 3 (aq) HNO 2 HNO 3 Lapisan Tanah Teroksidasi 5 pencucian 6 7 HNO 3 HNO 2 HNO N 2 O dan N 2 Denitrifikasi 8 gas volatil 9 Lapisan Tanah Tereduksi 10 Gambar 1. Skema dari Lapisan Oksidasi Reduksi (Sumber: Mikkelsen, 1987) +220 mv dan proses ini disebut denitrifikasi. Nitrat bersifat stabil hanya pada lapisan tanah bagian atas, yaitu di bawah genangan air dan tapak-tapak mikro yang bersifat aerob dalam lapisan anaerob seperti di sekitar perakaran tanaman padi. Daerah di sekitar perakaran padi, kira-kira tiga milimeter tebalnya, merupakan zona teroksidasi (Zhiyu et al., 1990). Kondisi teroksidasi ini terjadi karena adanya transpor oksigen melalui aerenchyma dari tanaman padi ke daerah dekat permukaan akar. Nitrat tersebut biasanya bergerak ke bawah ke dalam lapisan tereduksi melalui difusi dan aliran massa yang selanjutnya secara biologi didenitrifikasi menjadi N2 dan N2O (Mikkelsen et al., 1995). Apabila O2 dan NO 3 - habis terpakai, maka potensial redoks turun dan hidroksida Mn 4+ dan Fe 3+ akan direduks i masing-masing menjadi Mn 2+ pada +200 mvdan Fe 2+ pada +120 mv. Bentuk-bentuk tereduksi dari Fe dan Mn ini mempunyai kelarutan yang lebih besar daripada bentuk teroksidasinya. Akibatnya, ketersediaan Fe dan Mn meningkat di bawah kondisi tergenang. Bila suplai penerima elektron lebih kecil daripada laju suplai elektron maka kondisi reduksi yang lebih kuat akan terjadi dan potensial redoks turun menjadi sekitar 150 mv dan selanjutnya sulfat (SO 4 2- )

27 9 direduksi menjadi sulfida (S 2-2- ). Bila SO 4 habis maka jasad renik akan menggunakan energi yang tersimpan dalam senyawa organik dengan mereduksi H + dan H 2 dan bahan organik ddekomposisi secara anaerob menjadi CO 2, asamasam organik dan alkohol. Pada kondisi sangat tereduksi dekomposisi bahan organik menghasilkan CH4, biasanya pada nilai Eh di bawah 250 sampai 300 mv. Tanah cenderung mempertahankan nilai Eh pada selang tertentu sampai komponen tanah yang teroksidasi habis, misalnya tanah yang direduksi akan cenderung mempertahankan Eh pada sekitar +220 mv selama ada NO - 3. Bila NO - 3 habis, maka Eh turun dan selanjutnya terjadi reduksi penerima elektron yang lebih lemah daripada NO Dengan penggenangan terjadi akumulasi N-NH 4 dan hilangnya N-NO 3 yang sebelumnya sudah ada dalam tanah. Dalam tanah-tanah tergenang, amonia, amin, merkaptan dan sulfida dihasilkan dari dekomposisi protein. Mineralisasi N berkorelasi positif dengan persentase C- dan N-organik dalam tanah tetapi berkorelasi negatif dengan nisbah C/N (Mikkelsen, 1987), nisbah lignin/nitrogen (L/N) (Becker et al., 1994), dan nisbah tannin/nitrogen (T/N) (Clement et al., 1995). Salah satu akibat penting dari penurunan potensial redoks setelah penggenangan adalah perubahan ph (Qixiao dan Tianren, 1997). Reaksi tanah (ph) dari sebagian besar tanah-tanah setelah penggenangan cenderung mendekati netral. Dalam sebagian besar proses reduksi yang terjadi dalam tanah, seperti reduksi oksida-oksida besi, mangan dan sulfat, terjadi konsumsi proton. Tetapi asam-asam organik dan karbon dioksida (CO2) ya ng dihasilkan selama dekomposisi bahan organik dapat memberikan proton ke dalam tanah, yang menyebabkan penurunan ph. Oleh karena itu, arah dan besarnya perubahan ph tanah selama penggenangan ditentukan oleh jumlah relatif proton yang dikonsumsi dan dilepaskan. Dalam tanah sawah yang masam, pada awal dekomposisi bahan organik tanah, dengan reduksi oksida-oksida besi dan mangan, nilai ph meningkat tajam sebagai hasil dari konsumsi proton yang jauh lebih besar daripada pelepasan proton. Tetapi pada tahap dekomposisi bahan organik yang aktif, ph dapat menurun karena produksi proton yang cepat. Selanjutnya ph tanah meningkat secara perlahan dan sampai pada tingkat tertentu stabil (Qixiao

28 10 dan Tianren, 1997). Reaksi tanah (ph) tanah sawah alkalin dikendalikan oleh kesetimbangan kimia dari sistem CaCO 3 -CO 2 dalam tanah-tanah berkapur (Ponnamperuma, 1977; Qixiao dan Tianren, 1997), sistem Na 2 CO 3 -CO 2 untuk tanah sodik (Ponnamperuma, 1977). Biasanya nilai ph menurun karena adanya akumulasi CO2 selama penggenangan. Penurunan ph tanah-tanah alkalin dan peningkatan ph tanah-tanah masam tersebut menguntungkan pertumbuhan tanaman. Akibat penggenangan, kekuatan ion (ionic strength) dalam larutan tanah meningkat, kemudian menurun. Dalam tanah-tanah masam atau agak masam, reduksi feri dan mungkin mangani yang tidak larut menjadi bentuk yang lebih larut menyebabkan peningkatan kekuatan ion. Dalam tanah netral sampai alkalin, Ca 2+ dan Mg 2+ juga menyebabkan peningkatan kekuatan ion. Bahan organik meningkatkan kelarutan Fe, Ca dan Mg. Jika tanah yang awalnya banyak mengandung N-NO - 3, kekuatan ion dalam tanah dapat berkurang dengan - penggenangan karena hilangnya NO 3 akibat denitrifikasi (Mikkelsen, 1987). Proses reduksi tanah yang terjadi dalam tanah tergenang merupakan proses biokimia, dan jasad renik bertanggung jawab pada perubahan-perubahan (transformasi) yang terjadi di dalam tanah. Proses reduksi tidak terjadi pada tanah yang steril. Tanaman padi juga memengaruhi tingkat reduksi tanah karena adanya sekresi O 2 dari akar-akar tanaman padi Pengaruh Penggenangan terhadap Tanaman Padi Padi merupakan tanaman yang unik karena dapat bertahan hidup dan bereproduksi di bawah kondisi lahan kering, tergenang dan air dalam. Walaupun medium berair (aquatik) cocok untuk pertumbuhan dan hasil tanaman padi, tetapi pertumbuhan akar memerlukan suplai O 2 dan melepaskan CO 2 selama respirasi. Hal ini dapat dilakukan oleh tanaman padi karena adanya sistem saluran pembawa udara (aerenchyma ) yang mampu mengalirkan O2 dari daun ke korteks akar, sehingga akar-akar tanaman padi dapat mengaerasi tanah tanpa mengambil O 2 dari tanah.

29 Transformasi Nitrogen dalam Tanah Tergenang Nitrogen (N) merupakan unsur hara pembatas pertumbuhan tanaman dalam tanah-tanah tergenang, baik tanah-tanah tergenang tersebut merupakan lahan basah alami ataupun pada lahan basah pertanian seperti tanah sawah (Gambrell dan Patrick, 1978). Transformasi N dalam tanah tergenang melibatkan berbagai proses mikrobiologi, dan beberapa proses tersebut menyebabkan hara N menjadi kurang tersedia bagi tanaman. Ion ammonium merupakan bentuk utama dari N yang dimineralisasi dalam sebagian besar tanah tergenang. Gambar 2 menggambarkan interaksi kompleks yang ada dalam tanah-tanah tergenang yang menyebabkan unsur hara N hilang dari tanah. Kehilangan N dapat terjadi dalam lapisan tanah yang teroksidasi dan tereduksi, dari air genangan, terbawa oleh aliran permukaan, pencucian, serapan N oleh tanaman dan karena mekanisme lainnya. Nitrogen mengalami beberapa transformasi fisikokimia dan biologi dalam + tanah. Transformasi fisikokimia meliputi terperangkapnya (fiksasi) NH 4 dalam kisi-kisi minerali liat dan volatilisasi NH3. Transformasi N secara biologi meliputi mineralisasi-imobilisasi, fiksasi N 2 atmosfer secara biologi, nitrifikasidenitrifikasi, dan serapan tanaman. Sistem budidaya padi yang melibatkan penggenangan secara terus - menerus dan berkala memengaruhi perilaku N tanah dan N yang diberikan ke dalam tanah. Kondisi khusus yang terjadi di bawah lingkungan tanah tergenang mempercepat proses amonifikasi dan menekan nitrifikasi bila tidak ada O 2. Dengan penggenangan, N-NH4 + terakumulasi dalam tanah dan N -NO3 - hilang. Sumber-sumber pupuk N untuk tanaman padi dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sisa-sisa tanaman (pupuk organik) dan pupuk N mineral. Sebelum N yang terkandung dalam sisa-sisa tanaman menjadi tersedia bagi tanaman, sisa tanaman yang diberikan ke dalam tanah harus mengalami dekomposisi atau degradasi secara biologi lebih dulu. Urea mengalami hidrolisis + enzimatik dan diubah menjadi N -NH 4 (Kirk dan Olk, 2000): NH 2 CONH 2 + 3H 2 O 2NH HCO OH -

30 12 Kehilangan NH 3 lewat daun Air hujan Pupuk N [CO(NH 2 ) 2, (NH4) 2SO4] N 2 + O 2 atm NH 3 daun busuk alga bakteri - NO 3 aliran tanah oksida tif fungi keluar AIR Lapisan N 2 N-org NH 4 + TANAH Lapisan tanah reduktif residu tanam an NH4 + NO3 - N2 + N 2O Tapak bajak N 2 bakteri N-org Lapisan tanah teroksidasi Gambar 2. NH 4 + NO 3 - Fraksi Pencucian Skema Transformasi Nitrogen dalam Ekosistem Tanah Sawah Tergenang (Sumber: Mikkelsen, 1987) Pergerakan Nitrogen dalam Tanah Tergenang Pergerakan N dalam tanah berperan penting dalam menentukan bentuk kimia dan ketersediaannya bagi pertumbuhan tanaman. Menurut Mikkelsen (1987) dua proses penting yang terlibat dalam pergerakan atau pengangkutan N adalah (1) pergerakan bahan-bahan terlarut dalam larutan tanah karena aliran

31 13 massa, dan (2) difusi molekul atau ion karena adanya gradien konsentrasi. Prosesproses ini memengaruhi difusi molekul dari bahan terlarut, seperti NH + 4, NO - 2, NO - 3, urea dan gas-gas termasuk O 2, NH 3, N 2 dan N 2 O (Rolston et al., 1990). Dalam tanah-tanah tergenang, pergerakan N terlarut dari lapis an tanah tereduksi (anaerob) ke lapisan permukaan yang aerob terjadi terutama melalui difusi dan dipengaruhi oleh gradien konsentrasi, sumber N, dan konsentrasi dalam lapisan anaerob (Reddy dan Patrick, 1984). Difusi ammonium dapat menyebabkan terjadinya pergerakan ammonium terlarut dari tanah ke air genangan, bahkan bila bahan pupuk dimasukkan ke dalam tanah (deep-placed). Nitrat yang ada dalam air genangan, dalam lapisan aerob, atau yang ada di lapisan oksidatif di sekitar akar padi segera berdifusi ke dalam lapisan anaerob yang terletak di bawahnya. Nitrogen-nitrat yang berdifusi ke dalam lapisan anaerob tampaknya hilang melalui denitrifikasi; sedangkan N-NH + 4 yang berdifusi dari lapisan tanah aerob ke dalam air genangan rentan terhadap nitrifikasi dan volatilisasi ammonia (Savant dan De Datta, 1982). Pergerakan N-NH4 + dari tapak-tapak pertukaran ke dalam larutan dapat terjadi sebagai akibat dari adanya serapan tanaman, imobilisasi N yang membentuk jaringan tubuh jasad renik, nitrifikasi dan volatilisasi Mineralisasi dan Imobilisasi Nitrogen Ketersediaan N bagi tanaman sebagian besar dikendalikan oleh besarnya pengaruh dua proses di dalam tanah yang saling berlawanan, yaitu mineralisasi dan imobilisasi N. Mineralisasi N merupakan salah satu dari berbagai proses dalam siklus N di alam yang paling penting. Mineralisasi N adalah transformasi biologi dari N yang terikat secara organik menjadi N-mineral (N-NH + 4 dan N- NO - 3 ) selama proses dekomposisi (Gambrell dan Patrick, 1978), dan dimulai dengan aminisasi dan amonifikasi, berturut-turut adalah konversi mikrobiologi dari N-organik menjadi R-NH2 dan menjadi N-NH4 + (Mikkelsen et al., 1995), dan - selanjutnya menjadi N-NO 3 melalui proses nitrifikasi. Tahap aminisasi dan amonifikasi berlangsung dengan bantuan jasad renik heterotrof, sedangkan nitrifikasi terjadi karena peranan bakteri ototrof. Pada kondisi tergenang, mineralisasi berhenti pada pembentukan N-NH + 4 karena kondisi oksidatif yang diperlukan untuk nitrifikasi terhalang dengan adanya air yang tergenang.

32 14 Imobilisasi N merupakan proses kebalikan dari mineralisasi N, dan didefinisikan sebagai konversi N-mineral menjadi bentuk N-organik dalam jaringan tubuh jasad renik (Soil Science Society of America, 1987). Imobilisasi (sintesis) dan mineralisasi atau pelepasan N dari senyawa organik dalam tanah terjadi karena aktivitas jasad renik yang mengarah pada pertukaran secara terus -menerus antara bentuk-bentuk N-organik dan mineral (Mikkelsen, 1987). Mineralisasi dan imobilisasi merupakan proses yang berlawanan yang terjadi secara serentak dan terus-menerus dan sangat memengaruhi ketersediaan N bagi tanaman dan konversi N dalam tanah dalam bentuk organik atau terfiksasi. Konsentrasi N- NH + 4 dapat meningkat atau menurun tergantung pada dominasi relatif kedua proses tersebut. Proses amonifikasi, yang melibatkan hidrolisis enzimatik dan deaminasi N organik tanah menjadi ammonium, terjadi secara bersamaan dengan proses assimilatory dari imobilisasi N oleh mikrorganisme tanah. Pembebasan N -NH + 4 ke dalam tanah tergenang tergantung pada kebutuhan N populasi jasad renik tanah, nisbah C/N dari sisa-sisa tanaman yang terdekomposisi (Mikkelsen, 1987), komposisi kimia bahan organik dan beberapa faktor lingkungan. Komponen organik dalam sisa-sisa tanaman umumnya dibagi menjadi enam kategori, yaitu selulosa, hemiselulosa, lignin, fraksi larut air (meliputi gula sederhana, asam amino, dan asam-asam alifatik), komponen larut dalam eter dan alkohol, dan protein (Nagarajah, 1997). Lignin merupakan komponen organik dari sisa-sisa tanaman yang paling tahan terhadap pelapukan. Secara agronomi, N yang dimineralisasi sangat penting dan merupakan 50-80% dari N-total yang diasimilasi oleh tanaman padi (Mikkelsen et al, 1995). Untuk mencapai penggunaan N tanah yang efisien da lam bentuk N terfiksasi secara biologi, sisa-sisa tanaman, dan pupuk, maka perlu dipertimbangkan aspek laju-waktu proses mineralisasi relatif terhadap kebutuhan N tanaman padi. Dalam jangka pendek, suplai N untuk tanaman padi diatur oleh laju mineralisasi N-organik menjadi N-NH + 4. Senyawa N-organik, terutama protein dan turunannya mengalami pelapukan secara anaerob menghasilkan bentuk-bentuk yang lebih sederhana, seperti asam amino (Nagarajah, 1997). Nitrogen-asam amino lebih rentan terhadap mineralisasi daripada fraksi N tanah lainnya (Mikkelsen, 1987). Deaminasi senyawa N yang lebih sederhana

33 15 + menghasilkan pelepasan N-NH 4 yang merupakan bentuk akhir dari senyawa N dan bersifat stabil dalam lapisan tereduksi. Dalam tanah tergenang, laju mineralisasi N sisa-sisa tanaman yang diberikan ke dalam tanah ditentukan terutama oleh nisbah L/N-nya (Becker et al., 1994). Suplai N melalui mineralisasi bahan organik tanah telah diteliti oleh Stanford dan Smith (1972). Mereka melakukan percobaan di laboratorium untuk menentukan besarnya N yang dimineralisasi atau dilepaskan dari bahan organik tanah. Smith et al. (1977) juga telah melakukan percobaan di lapang dengan mengukur jumlah N mineral dalam pot-pot yang berisi tanah tanpa tanaman yang dibenamkan ke dalam tanah. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa potensi mineralisasi N tanah di lapang sesuai dengan hasil pengukuran dari percobaan laboratorium. Percobaan ini menunjukkan bahwa sebagian dari N dalam tanah berasal dari proses mineralisasi senyawa N yang mudah dimineralisasi, dan sisanya diasumsikan sebagai bentuk senyawa N yang tidak tersedia dan tetap berada dalam bahan organik tanah yang relatif stabil Nitrogen terlarut dan dapat dipertukarkan Nitrogen terlarut dan dapat dipertukarkan (N-tersedia) merupakan fraksi N yang sangat penting sebagai nutrisi tanaman. Sumber utama dari N-tersedia berasal dari pupuk dan N hasil mineralisasi. Nitrogen-NH + 4 yang dibebaskan selama pelapukan sisa-sisa tanaman, dengan cepat dijerap pada kompleks + pertukaran kation dan berada dalam keseimbangan dengan N-NH 4 dalam larutan tanah. Proporsi relatif dari kedua bentuk N tersebut sebagian besar diatur oleh kapasitas pertukaran kation (KTK) tanah (Mikkelsen, 1987; Ando et al., 1996) dan sifat dari kompleks pertukaran kation (Nagarajah, 1997). Beberapa dari N- NH4 + juga berada dalam bentuk tidak dapat dipertukarkan (terperangkap dalam kisi-kisi mineral liat). Proses ini terjadi dalam tanah yang banyak mengandung mineral liat 2:1 seperti vermikulit dan illit. + Setelah beberapa hari penggenangan, konsentrasi N-NH 4 dapat dipertukarkan dalam tanah dapat meningkat karena mineralisasi bahan organik tanah dan pelepasan N-NH + 4 yang terfiksasi dalam kisi mineral liat. Menurut Mikkelsen (1987) pemberian jerami padi akan menurunkan tingkat N tersedia karena imobilisasi, segera setelah diberikan ke dalam tanah. Tetapi setelah

34 16 periode waktu tertentu N yang terimobilisasi tersebut akan dilepaskan kembali melalui mineralisasi sehingga menjadi tersedia bagi tanaman padi Penambatan (Fiksas i) N 2 Secara Biologi Dalam sistem pertanian subsisten (di banyak bagian dari Asia tropis), usaha tani padi sawah telah dilakukan secara terus menerus selama berabad-abad tanpa pemberian pupuk N tanpa memperlihatkan penurunan konsentrasi N tanah yang nyata. Di antara proses-proses yang turut menyumbang suplai N di lahan sawah, penambatan N 2 secara biologi dianggap sebagai faktor penting dalam mempertahankan kesuburan N tanah. Data neraca N dari beberapa percobaan jangka panjang di lapang menunjukkan bahwa sumbangan penambatan N secara biologi ke dalam tanah selama musim pertanaman padi sawah berkisar dari 19 sampai 38 kg N ha -1 di Jepang, dan 30 sampai 52 kg N ha -1 di Philipina. Sumbangan N ini terutama berasal dari jasad renik asli (indigenous) yang bersifat asosiatif dan penambat N2 yang hidup bebas, yang meliputi bakteri heterotrof dan fototrof serta cyanobakteri (alga hijau-biru) yang ada dalam sistem tanahtanaman-air genangan lahan sawah (Kundu dan Ladha, 1995). Sumber unsur hara N terbesar adalah N 2 udara yang merupakan 80% dari atmosfer bumi. Akan tetapi sebagian besar organisme hanya dapat menggunakan N yang bersenyawa dengan atom-atom lainnya untuk membentuk suatu ion seperti + NH 4 atau NO - 3. Bentuk N sebagai N 2 tidak dapat digunakan secara langsung oleh sebagian besar tanaman karena adanya ikatan rangkap tiga yang membuatnya menjadi molekul yang bersifat inert (Deacon, 2003). Gas N 2 ini sangat stabil dan tersedia melimpah bagi organisme yang mampu memanfaatkannya. Penambatan atau fiksasi N 2 secara biologi dapat mengkonversikan gas N 2 menjadi N organik melalui aktivitas organisme tertentu, baik aerob maupun anaerob, yang memiliki enzim nitrogenase. Dengan demikian penambatan N 2 secara biologi menjadi sumber N utama bagi lahan sawah dalam system pertanian padi sawah yang bersifat tradisional dan subsisten. Nitrogenase merupakan enzim yang sangat sensitif terhadap O 2 (Bergesen, 1980). Ekosistem sawah sangat cocok untuk proses fiksasi N 2 karena tegangan O 2 dalam ekosistem sawah rendah. Fiksasi N 2 dapat terjadi dalam air genangan, lapisan tanah aerob, lapisan tanah anaerob, rhizosfer tanaman yang oksidatif, pada

35 17 permukaan daun dan batang tanaman (Reddy dan Graetz, 1988). Fiksasi N 2 pada kondisi sawah dapat dilakukan oleh bakteri non-simbiotik (alga hijau-biru), dan pada kondisi lahan kering dilakukan oleh bakteri simbiotik dari genus Rhizobium, atau oleh aktinomisetes. Roger dan Watanabe (1986) mengklasifikasikan organisme penambat N2 secara ekologi menjadi : (1) tiga kelompok jasad renik autotrof yang terdiri dari bakteri fotosintetik, alga hijau biru yang hidup bebas (non-simbiotik), dan Anabaena azollae sp. yang berasosiasi dengan tanaman paku air Azolla, dan (2) tiga kelompok jasad renik heterotrof yang terdiri dari bakteri penambat N 2 dalam tanah (aerob, anaerob fakultatif dan anaerob obligat) yang hidup bebas, bakteri penambat N 2 yang berasosiasi dengan akar-akar tanaman padi, dan organisme yang bersimbiose dengan legum (Rhizobium). Sampai saat ini hanya tanaman legum yang mampu menambat N 2 dan pupuk hijau Azolla yang digunakan sebagai sumber N bagi tanaman padi melalui penambatan N 2 secara biologi (Mikkelsen et al., 1995). Menurut Kundu dan Ladha (1995) tanah yang sangat reduktif (yang tercipta karena penggenangan secara terus -menerus selama masa pertumbuhan tanaman padi) dan pelumpuran yang intens memberikan pengaruh yang kurang baik bagi bakteri penambat N asli (indigenous) dalam tanah sawah. Oleh karena itu, sistem yang dapat mendorong atau meningkatkan penambatan N 2 akan sangat membantu mempertahankan kesuburan N pada tanah-tanah sawah (Ladha dan Kundu, 1997). Selain pemberian pupuk hijau dari tanaman yang mampu menambat N 2 seperti Sesbania dan Azolla, pemberian sisa tanaman dengan nisbah C/N yang besar (seperti halnya jerami padi) juga dapat meningkatkan penambatan N 2. Jerami padi merupakan sumber energi yang baik bagi bakteri heterotrof, dan pengembalian jerami padi ke dalam lahan sawah secara nyata dapat meningkatkan fiksasi N 2 oleh bakteri heterotrof maupun fototrof (Matsuguchi, 1979; Ventura et al., 1986; Adachi et al., 1997). Roger dan Ladha (1990) juga menyatakan bahwa pemberian jerami ke dalam tanah dapat memberikan N sebesar 2-4 kg N untuk setiap ton jerami. Hal ini menurut Ponnamperuma (1984) karena pemberian jerami padi dan N mineral meningkatkan populasi bakteri aerob penambat N 2. Selain itu Greenland (1997) menyatakan bahwa aktivitas bakteri penambat N 2 dan alga hijau-biru ditentukan oleh kondisi lingkungan tempat tumbuhnya. Aktivitas

36 18 mereka sebagian besar tergantung pada ketersediaan fosfor (P) dalam tanah sawah tetapi konsentrasi N yang tinggi dalam tanah sawah cenderung menghambat fiksasi N Volatilisasi Amonia Volatilisasi ammonia (NH 3 ) merupakan mekanisme kehilangan N yang penting dalam sistem pertanaman yang dipupuk. Menurut Mikkelsen (1987) faktor-faktor dominan yang memengaruhi volatilisasi NH3 adalah ph tanah dan pe (- log konsentrasi elektron), tekanan parsial CO 2 (pco 2 ) dan kimia karbonat, sifat pertukaran kation dan aktivitas jasad renik. Selain itu, kecepatan angin, konsentrasi NH 3 terlarut dan tekanan parsial NH 3 dalam air dan udara, suhu udara dan radiasi langsung juga memengaruhi volatilisasi NH 3. Menurut Zhenghu dan Honglang (2000) laju volatilisasi ammonia berkorelasi positif dengan ph tanah, kandungan CaCO 3, dan garam total, tetapi berorelasi negatif dengan kandungan bahan organik, KTK, dan kandungan liat. Dari ketiga faktor yang berkorelasi negatif, KTK merupakan faktor yang korelasinya sangat tinggi dengan volatilisasi ammonia, sedangkan faktor ph tanah merupakan faktor yang dominan di antara ketiga faktor yang berkorelasi positif. Menurut Zhenghu dan Honglang (2000) bahan organik berpengaruh secara tidak langsung pada penurunan volatilisasi ammonia melalui pengaruhnya terhadap penurunan ph tanah dan meningkatnya KTK tanah karena adanya pembentukan berbagai asam-asam organik dan humus selama proses dekomposisi bahan organik. Amonia yang dihasilkan dalam sistem karbonat aquatik melibatkan reaksi berikut (Mikkelsen et al., 1978): NH4 + + OH - NH HCO 3-2NH CO 3 2- (NH3)aq + H 2O (NH 3 ) aq + H 2 O + CO 2 2(NH 3 ) aq + H 2 O + CO 2 Volatilisasi ammonia terjadi bila ph air genangan meningkat di atas ph 7,5 (Greenland, 1997). Hilangnya gas CO 2 yang meningkat karena meningkatnya suhu air genangan pada siang hari dapat menyebabkan ph meningkat. Akan tetapi penyebab utama peningkatan ph dalam air genangan tanah sawah adalah pertumbuhan alga atau adanya proses biologi yang berlawanan yaitu fotosintesis dan respirasi (Greenland, 1997). Respirasi dan fotosintesis menyebabkan

37 19 perubahan tekanan parsial CO 2 dalam air genangan, dan sistem karbonat ini sangat menentukan ph air. Nilai ph air genangan ditentukan oleh konsentrasi CO 2 dalam air (Manahan, 1994). Sistem karbonat atau sistem CO 2 - HCO CO 3 2- dalam air digambarkan oleh reaksi berikut dan konstanta kesetimbangannya (Manahan, 1994): CO 2 + H 2 O HCO H + K 1 = 4,45 x 10-7 (pk 1 = 6,35) HCO 3 - CO H + K 2 = 4,69 x (pk 2 = 10,33) Dari persamaan di atas, bila fotosintesis aktif maka akan terjadi penurunan konsentrasi CO 2 dalam sistem dan hal ini menyebabkan persentase fraksi mol asam karbonat meningkat, akibatnya ph sistem meningkat. Tingkat perubahan ph yang disebabkan oleh jasad renik ditentukan oleh jumlah, jenis dan aktivitas organisme yang ada. Korelasi antara ph air dan sistem asam karbonat bersifat kompleks dan tidak dapat digambarkan secara lengkap tanpa mempertimbangkan sejumlah variabel. Dengan memperhatikan reaksi biokimia dari jasad renik aquatik, reaksi yang paling sederhana adalah : fotosintesis n CO 2 + n H 2 O (CH 2 O)n + n O 2 respirasi Setiap hari terjadi fluktuasi ph dalam air genangan dari 7,5 9,5 dan nilai ph maksimum terjadi kira-kira pada pukul dan menurun sepanjang sore hari. Pola perubahan ph ini sesuai dengan siklus fotosintesis dan respirasi dari jasad renik aquatik (Mikkelsen, 1987). Amonia dan bentuk ionnya (NH 4 + ) merupakan hasil dekomposisi bahan organik tanah dan sisa-sisa tanaman yang terjadi dalam perairan alami. Penggunaan pupuk N pada lahan sawah juga menyebabkan konsentrasi garam N- NH 4 + terlarut meningkat. Pupuk ammonium dalam air dapat berdisosiasi langsung, atau seperti urea terdekomposisi melalui hidrolisis katalitik menghasilkan ion-ion NH 4 +. Ion-ion NH 4 +, yang memiliki ikatan sangat lemah dengan molekul air, dominan dalam air dengan ph di atas 7,2. Dengan meningkatnya konsentrasi ion hidroksil (OH - ) dalam air, maka terjadi peningkatan perubahan ion NH 4 + menjadi NH 3 yang dapat menghilang dari air dalam bentuk gas (Mikkelsen et al., 1978). Ventura dan Yoshida (1977) mengukur volatilisasi

38 20 NH 3 dari sumber N yang berbeda pada tanah liat tergenang, dan menyatakan bahwa kehilangan NH 3 pada dasarnya terjadi selama sembilan hari pertama setelah pemberian pupuk N. Kehilangan tersebut kecil bila ph tanah di bawah 7,4. Percobaan lapang yang mereka lakukan menunjukkan bahwa kehilangan N setelah pemberian 100 kg N/ha dengan cara disebar adalah sebesar 3,8% untuk ammonium sulfat (ZA) dan 8,2% dengan pemberian urea. Menurut Vlek dan Stumpe (1978) volatilisasi NH 3 dari tanah yang dipupuk urea lebih besar daripada tanah yang dipupuk ammonium sulfat. Hal ini terjadi karena hidrolisis urea dalam tanah mendorong terciptanya lingkungan yang ideal untuk volatilisasi, yaitu alkalinitas dan ph yang tinggi. Volatilisasi ammonia berkurang 50% bila pupuk dimasukkan ke dalam tanah Nitrifikasi dan Denitrifikasi + - Oksidasi biologi dari N-NH 4 menjadi N-NO 3 (nitrifikasi) menghasilkan konversi atau perubahan kation NH4 + yang relatif tidak mobil menjadi bentuk anion (NO - 3 ) yang lebih mobil, yang pada gilirannya anion ini rentan terhadap denitrifikasi. Menurut Kakuda et al. (1999), denitrifikasi merupakan proses utama kehilangan N dalam tanah sawah. Tanah tergenang merupakan lingkungan yang ideal untuk denitrifikasi karena lingkungan tanah tergenang memiliki suatu lapisan permukaan teroksidasi yang tipis yang di bawahnya adalah lapisan tereduksi yang tebal. Lapisan tanah teroksidasi mendukung proses nitrifikasi dan lapisan tanah tereduksi merupakan lapisan tanah yang kekurangan oksigen dan menyediakan bahan organik yang mudah didekomposisi untuk mendukung proses reduksi bentuk-bentuk N teroksidasi (denitrifikasi). Adanya lapisan zona aerob dan anaerob dalam tanah tergenang, begitu juga dalam rhizosfer (karena adanya bagian tanaman padi yang mengangkut O2 ke rhizosfer), memudahkan terjadinya reaksi nitrifikasi-denitrifikasi. Sebagaimana diketahui bahwa akar-akar tanaman tersebar dalam tanah permukaan dan tanah di bawah perm ukaan (subsurface). Reaksi ini tampaknya terjadi secara serentak. Denitrifikasi dalam rhizosfer dipengaruhi oleh metabolisme tanaman dan lingkungan tanah (Kakuda et al., 1999). Hal ini didukung oleh adanya suplai C dari akar (Mahmood et al., 1997). Eksudat senyawa organik oleh akar-akar yang hidup merangsang respirasi bakteri (Klemedtsson et al., 1987). Denitrifikasi tergantung pada senyawa organik yang

39 21 berasal dari akar bila suplai C dari tanah terbatas (Prade dan Trolldenier, 1990). Namun demikian, pertumbuhan tanaman padi juga berpengaruh terhadap kehilangan N melalui denitrifikasi, yaitu bahwa serapan N oleh tanaman dapat mengurangi jumlah N yang hilang melalui denitrifikasi. Ion nitrat (NO3 - ) merupakan ion bermuatan negatif sehingga tidak dapat dijerap oleh partikel tanah yang bermuatan negatif dan selanjutnya menjadi sangat mobil dalam larutan. Bila ion nitrat tidak segera diasimilasi oleh tanaman atau jasad renik (assimilatory nitrate reduction), atau hilang melalui pencucian, maka ion nitrat berpotensi mengalami dissimilatory nitrogenous oxide reduction, suatu istilah yang mengacu pada beberapa jalur mekanisme reduksi nitrat (Wiebe et al., 1981), yang paling umum adalah reduksi nitrat menjadi ammonia dan denitrifikasi. Jasad renik yang bertanggung jawab pada proses denitrifikasi dalam tanah adalah bakteri heterotrof. Jasad renik ini membutuhkan oksida-oksida N sebagai penerima elektron terakhir dan C-organik sebagai donor elektron, serta kondisi anaerob. Denitrifikasi adalah proses reduksi bentuk-bentuk N mineral teroksidasi menjadi gas nitrogen, terutama N 2O dan N2, yang dilakukan oleh jasad renik dalam kondisi anaerob, dimana nitrat (NO - 3 ) bertindak sebagai penerima - - elektron terakhir atau NO 3 direduksi. Proses ini menyebabkan N-NO 3 hilang karena dikonversi menjadi gas N 2 O dan N 2. Jalur pembentukan gas-gas tersebut digambarkan sebagai berikut (Firestone, 1982; Ostrom et al., 2000) : Denitrifikasi : NO 3 2 NO 2 2 NO N 2 O N 2 Nitrifikasi : O 2 2 NH4 + 2 NH2OH 2 (NOH) 2 NO 2 NO2 jalur 1 N 2 O jalur 2 NO 2 Nitrifikasi Denitrifikasi : O 2 2 NH NH 2 OH 2 (NOH) 2 NO 2 NO 2 N2O jalur 3

40 22 Sifat anaerob tanah tergenang menyebabkan ketidakstabilan NO - 3, NO 2, dan N 2 O yang berperan sebagai penerima elektron terakhir dalam respirasi anaerob berbagai jasad renik heterotrof. Hal ini menyebabkan hilangnya N dari ekosistem sawah dalam bentuk N 2 dan N 2 O. Di-nitrogen (N2) merupakan produk denitrifikasi yang paling akhir. Peningkatan konsentrasi N 2 O sebagai gas rumah kaca dalam atmosfer dapat menyebabkan terjadinya kerusakan lapisan ozon stratosfer sehingga berpengaruh terhadap perubahan iklim global (Intergovermental Panel on Climate Change/IPCC, 1994). Terdapat dua mekanisme pembentukan gas N 2 O selama - nitrifikasi, yaitu sebagai hasil reduksi NO 2 pada kondisi anaerob oleh bakteri + nitrifikasi tertentu dan hasil dari berbagai reaksi antara dalam oksidasi NH 4 (Ritchie dan Nicholas, 1972). Proses nitrifikasi dan denitrifikasi terjadi melalui suatu pool nitrat (Gambar 3), dimana nitrat yang terbentuk dalam zona aerob berdifusi ke zona anaerob dan direduksi menjadi N 2 O dan N 2. Hasil penelitian Russow et al. (2000) dengan menggunakan pelacak 15 N-NO3 - menunjukkan bahwa NO3 - merupakan pool utama pembentukan N 2 O pada kondisi jenuh air melalui proses denitrifikasi. Penelitian Russow et al. (1996) dengan metode aliran gas 15 N juga menunjukkan bahwa sekitar 60% dari nitrat tanah direduksi menjadi N 2. Sebaliknya nitrit berada dalam dua pool yang terpisah karena kecepatan transformasinya lebih tinggi daripada kecepatan difusinya (Russow et al., 2000). Kehilangan N dari pupuk N yang diberikan ke dalam tanah melalui denitrifikasi bervariasi dari 0 sampai 70% (Mikkelsen, 1987). Dengan demikian upaya mengendalikan kehilangan N karena denitrifikasi dapat memperbaiki efisiensi penggunaan pupuk N oleh tanaman padi sawah. Beberapa praktek pengelolaan tanah dan tanaman untuk mengendalikan kehilangan N karena denitrifikasi telah banyak dilakukan misalnya dengan penempatan pupuk N pada lapisan tanah tereduksi, penggunaan bahan penghambat (inhibitor) nitrifikasi dan urease.

41 23 Zona Aerob NO N 2 O N 2 atmosfer tanah Zona Anaerob BOT NH 4 + NH 4 + N 2 JALUR NITRIFIKASI N 2 O JALUR DENITRIFIKASI NO 2 - NO 2 - pool nitrit BOT = Bahan organik tanah NO 3 - pool nitrat Gambar 3. Model Pasangan Proses Nitrifikasi Denitrifikasi yang Menggambarkan Mekanisme Kedua Proses Tersebut dengan Penekanan Khusus pada Pembentukan N 2 O dan N 2 (Sumber : Russow et al., 2000) Kehilangan Nitrogen dari Tanaman Kehilangan N juga dapat terjadi melalui bagian atas tanaman setahun dan tahunan, termas uk tanaman padi. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa banyak N yang hilang dari permukaan daun berkaitan dengan penguapan air transpirasi (Stutte dan Weiland, 1978; Weiland dan Stutte, 1979; da Silva dan Stutte, 1981). da Silva dan Stutte (1981) menyata kan bahwa laju kehilangan N berkurang selama periode antara pembentukan anakan (tillering) dan 1-3 minggu setelah awal pembentukan malai (panicle initiation), selanjutnya meningkat sampai pada stadia pengisian bulir (heading ). Umumnya daun yang berkembang penuh (matured leaf) menunjukkan laju kehilangan N yang lebih tinggi daripada daun yang lebih tua. Namun konsentrasi N dalam larutan hara tidak memengaruhi laju kehilangan N per satuan luas daun dari daun yang berkembang penuh. Sebaliknya pada daun-daun yang lebih tua dari tanaman yang disuplai dengan takaran N tinggi (80 ppm), laju kehilangan N lebih tinggi daripada yang

42 24 ditumbuhkan pada medium dengan takaran N rendah (20 ppm). Glutamin sintetase dianggap sebagai jalur mekanisme utama dari asimilasi ammonia dan peningkatan penambatan kembali NH 3 yang dilepaskan selama fotorespirasi. Nitrogen yang dilepaskan melalui daun-daun tanaman selama fotorespirasi berupa NH3 dan amin. Dengan mengkuantifikasikan pengaruh fisiologi terhadap kehilangan N dapat membantu menentukan waktu aplikasi dan jumlah pupuk N yang diperlukan untuk produksi padi yang optimum Siklus Pertumbuhan Tanaman Padi Sawah Tanaman padi biasanya memerlukan waktu 3-6 bulan dari perkecambahan sampai stadia pematangan, tergantung pada varietas dan lingkungan dimana tanaman padi tersebut ditumbuhkan. Menurut Yoshida (1981) secara agronomi pertumbuhan tanaman padi dibagi menjadi tiga stadia, yaitu vegetatif, reproduktif dan proses pematangan (ripening ). Stadia vegetatif menunjuk pada suatu masa dari perkecambahan sampai inisiasi pembentukan malai (initiation of panicle primordial), yang sebagian besar dicirikan oleh pembentukan anakan (tiller formation ) (Mikkelsen et al., 1995); stadia reproduktif adalah suatu masa dari inisiasi pembentukan malai sampai pembungaan, pada stadia ini jumlah bakal bulir padi (spikelet) dan potensi ukurannya sebagian besar ditentukan oleh nutrisi tanaman dan faktor -faktor lingkungan (Mikkelsen et al., 1995); dan proses pematangan (ripening ) adalah dari pembungaan sampai matang (grain maturity) (Gambar 4). Persentase bulir yang matang dan ukuran bulir ditentukan selama stadia perkembangan ini. Varietas padi yang berumur 120 hari bila ditanam di lingkungan tropika, menghabiskan waktu 60 hari untuk masa vegetatif, 30 hari untuk masa reproduktif, dan 30 hari untuk masa pemasakan. Stadia vegetatif dicirikan dengan pembentukan anakan yang aktif, peningkatan tinggi tanaman secara perlahan, dan munculnya daun pada interval yang teratur. Semua hal tersebut berkaitan dengan peningkatan luas daun yang menerima cahaya. Stadia reproduktif dicirikan dengan pemanjangan tangkai (culm elongation), yang meningkatkan tinggi tanaman; penurunan jumlah anakan, munculnya daun bendera (daun terakhir), pembungaan, pembentukan bulir padi (booting), dan pengisian bulir padi.

43 25 Jumlah Pertumbuhan Anakan yang tidak Efektif Jumlah Anakan Tinggi Tanaman Jumlah malai ( panicle) Bobot bulir Hari setelah Perkecambahan Perkecambahan Tanam Pembentukan anakan Awal munculnya malai Pembentukan bulir padi (booting) Pengisian bulir padi (heading) Masak (panen) Vegetatif Reproduktif Proses pematangan Gambar 4. Siklus Pertumbuhan Varietas Tanaman Padi Berumur 120 Hari (Sumber: Yoshida, 1981) 2.5. Peranan dan Fungsi Nitrogen dalam Tanaman Padi Nitrogen merupakan komponen ya ng penting dari asam amino, asam nukleat, nukleotida, dan khlorofil. Nitrogen yang diserap oleh tanaman akan diasimilasi menjadi asam amino, yang berikutnya akan membentuk protein dan asam nukleat. Selain itu, N juga menjadi bagian integral dari khlorofil yang merupakan komponen utama tanaman yang menyerap cahaya yang dibutuhkan dalam proses fotosintesis. Struktur dasar dari khlorofil adalah cincin porfirin, yang terdiri dari empat cincin pyrole, masing-masing mengandung satu N dan empat atom C. Atom Mg diikat pada pusat cincin porfirin (Havlin et al., 1999).

44 26 Suplai N yang cukup berkaitan dengan aktivitas fotosintetik yang tinggi, pertumbuhan vegetatif yang pesat, dan warna hijau gelap. Kelebihan N berkaitan dengan unsur hara lainnya seperti P, K, dan S, dapat menunda kematangan tanaman. Suplai N memengaruhi penggunaan karbohidrat dalam tanaman. Bila suplai N rendah, maka karbohidrat akan dideposisikan dalam sel-sel vegetatif yang menyebabkan sel-sel vegetatif tersebut menjadi menebal. Tetapi bila karbohidrat yang dideposisikan dalam bagian vegetatif lebih sedikit, akan lebih banyak protoplasma yang terbentuk dan karena protoplasma ini sangat terhidrasi maka akan dihasilkan tanaman yang lebih sukulen. Bila suplai N cukup dan kondisi lingkungan sesuai untuk pertumbuhan, maka lebih banyak protein yang terbentuk (Havlin et al., 1999). Menurut Dobermann dan Fairhust (2000) diperlukan suplai N yang cukup selama masa pemasakan untuk menunda penuaan daun-daun, mempertahankan fotosintesis selama pengisian bulir, dan meningkatkan kandungan protein dalam gabah. - + Selanjutnya mereka menyatakan bahwa N -NO 3 dan N-NH 4 adalah sumber utama dari serapan N mineral. Lebih lanjut menurut mereka, sebagian besar N-NH4 + - yang diserap dikandung dalam senyawa organik dalam akar, sedangkan N-NO 3 bersifat lebih mobil dalam xylem dan juga disimpan dalam vakuola dari bagian tanaman yang berbeda. Untuk memenuhi fungsi esensial sebagai hara tanaman, N-NO - 3 harus direduksi menjadi ammonia melalui aksi reduktase nitrat dan nitrit. Nitrogen diperlukan sepanjang masa pertumbuhan, tetapi kebutuhan N yang terbesar adalah antara awal sampai pertengahan pembentukan anakan dan stadia pembentukan malai. Nitrogen berfungsi dalam mendorong pertumbuhan yang cepat (meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah anakan) dan meningkatkan ukuran daun, jumlah bulir per malai, persentase bulir yang berisi pada masingmasing malai, dan kandungan protein gabah. Dengan demikian N memengaruhi semua parameter yang berhubungan dengan hasil. Konsentrasi N daun sa ngat erat kaitannya dengan laju fotosintesis daun dan produksi biomassa tanaman. Nitrogen juga mendorong kebutuhan akan unsur hara makro lainnya seperti P dan K (Dobermann dan Fairhust, 2000).

45 27 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Bagian Kimia dan Kesuburan Tanah dan di Laboratorium Bagian Biologi serta rumah kaca Departemen Tanah, Fakultas Pertanian, IPB, dan di International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF), Bogor. Penelitian dimulai dengan pembuatan kompos sejak bulan Mei 2002 sampai Februari 2003, dan dilanjutkan dengan percobaan laboratorium dan rumah kaca sampai bulan September Bahan Penelitian Contoh tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan tanah Dystrudept dari lahan sawah di Darmaga, Bogor, yang diambil dari kedalaman 0 20 cm. Sifat Kimia Dystrudept Darmaga disajikan dalam Tabel 1. Dalam percobaan ini, tanah digunakan tanpa dikeringudarakan lebih dulu, dan dilakukan penyaringan tanah dengan lubang saringan 5mm. Penyaringan tanah dilakukan selain agar ukuran struktur tanah relatif seragam juga untuk menghilangkan sisasisa tanaman yang ada dalam tanah. Bahan organik yang digunakan adalah jerami padi yang diambil dari lahan sawah di daerah Darmaga dan kompos jerami padi (4 dan 8 bulan pengomposan). Karena kesulitan mendapatkan jerami padi dari varietas tanaman padi dan lahan sawah yang sama, maka bahan jerami padi dan kompos jerami 4 dan 8 bulan yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari lahan sawah yang berbeda. Pupuk mineral yang digunakan sebagai perlakuan adalah urea (46% N), sedangkan pupuk KCl dan SP-36 diberikan sebagai pupuk dasar, masing-masing dengan takaran yang setara dengan 100 kg ha -1. Benih padi yang digunakan dalam percobaan rumah kaca adalah IR-64. Sebelum diberikan ke dalam tanah, bobot kering dan konsentrasi N total dari contoh jerami padi dan kompos jerami padi dianalisis dan jumlah bobot segar dari jerami padi dan kompos jerami padi yang diberikan ke dalam tanah didasarkan pada hasil analisis tersebut.

46 28 Tabel 1. Sifat Kimia Dystrudept Darmaga Sifat Kimia Nilai Metode ph H2O (1:1) 5,79 ph KCl (1:1) 4,84 C-organik (%) 1,72 Walkley & Black N-total (%) 0,15 Kjeldahl P-Bray (ppm) 2,40 Bray I P-total (ppm) 18,40 HCl 25% Basa-basa dapat ditukar (cmol(+)/kg): Ca Mg K Na 9,12 0,50 0,59 0,80 N NH 4 OAc ph 7.0 KTK (cmol/kg) 24,09 N NH 4 OAc ph 7.0 KB (%) 54,00 Al dd (cmol/kg) td N KCl H dd (cmol/kg) 0,24 N KCl Unsur Mikro (ppm) : Fe Cu Zn Mn Tekstur : Pasir (%) Debu (%) Liat (%) tr = tidak terdeteksi 3.3. Pelaksanaan Penelitian 31,04 8,48 9,44 56,56 Lempung Berliat 20,79 36,82 42,39 0,05 N HCl Penelitian ini terdiri atas dua tahap percobaan yaitu percobaan laboratorium dengan percobaan inkubasi tanah-bahan organik tanpa tanaman padi dalam tanah tergenang dan percobaan di rumah kaca dengan tanaman padi. Sebelum dilakukan kedua percobaan di atas, dilakukan pembuatan kompos jerami padi selama 4 dan 8 bulan Pembuatan Kompos dari Jerami Padi Sebelum dikomposkan, jerami padi dipotong-potong dengan panjang 1 2 cm. Selanjutnya potongan jerami diletakkan dalam kotak yang terbuat dari bambu dengan ukuran 2m x 1m x 1m. Untuk menjaga kelembaban timbunan potongan jerami padi tersebut, ditambahkan air setiap hari dan untuk meningkatkan sirkulasi

47 29 udara dalam timbunan setiap hari dilakukan pembalikan sebanyak 2-3 kali. Pada saat proses pengomposan jerami sudah berlangsung 4 bulan, dilakukan penyiapan pengomposan jerami yang kedua dengan masa pengomposan 4 bulan, sehingga pada bulan ke-8 diperoleh kompos 8 bulan dan 4 bulan (Gambar 5). Pengomposan I (8 bulan) Pengomposan II (4 bulan) Awal Pengomposan Bulan ke -4 Bulan ke-8 Gambar 5. Skema Waktu Pembuatan Kompos 4 dan 8 bulan Sifat kimia dan komposisi jerami padi dan kompos jerami padi yang dianalisis adalah konsentrasi N-total, C-organik, nisbah C/N, P-total, dan K-total (Tabel 3). Penetapan N-total dan C-organik masing-masing dilakukan dengan metode Kjeldahl dan pengabuan kering pada suhu 700 o C selama 5 jam. Penetapan kandungan C-organik dari jerami dan kompos jerami dihitung berdasarkan kandungan bahan organik yang hilang selama proses pengabuan pada suhu 700 o C: % Bahan Organik = Bobot bahan pada 105 o C Bobot bahan pada 700 o C Bobot bahan pada 105 o C % C-organik = % Bahan organik 1, Percobaan Inkubasi Tanah-Bahan Organik di Laboratorium Telah diketahui bahwa tanah mengandung berbagai bentuk N-organik yang berbeda kerentanannya terhadap mineralisasi. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan tentang potensi mineralisasi N dari bahan organik yang diberikan ke dalam tanah untuk menyesuaikan takaran N yang akan diberikan ke dalam tanah sehingga sumber N dapat digunakan secara efisien. Demikian juga pemahaman tentang dekomposisi bahan organik yang diberikan ke dalam tanah juga sangat penting untuk menilai kandungan N tersedia dalam tanah. Takaran pupuk N, baik dalam bentuk pupuk maupun bahan organik, yang diberikan ke dalam tanah

48 30 umumnya tidak mempertimbangkan variabilitas pola mineralisasi N dari bahan tersebut yang diberikan ke dalam tanah. Takaran N pupuk yang diberikan ke dalam tanah adalah 46 mg N kg -1 atau setara dengan 200 kg urea ha -1. Jerami padi (46 mg N kg -1 atau setara dengan 42,6 g bobot kering oven 60 o C (BK) jerami per pot), kompos (46 mg N kg -1 atau masing-masing setara dengan 31,94 g BK kompos 4 bulan per pot dan 30,87 g BK kompos 8 bulan per pot), urea (46 mg N kg -1 ) atau campuran urea dengan jerami dan campuran urea dengan kompos (23 mg N kg mg N kg -1 ), masing-masing dicampur dengan tanah (setara dengan 500 gram bobot kering mutlak) secara merata. Tanah tanpa bahan organik digunakan sebagai kontrol (K o ). Campuran tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam wadah plastik berdiameter 14,5 cm dengan tinggi 16 cm, dan ditambahkan air destilata hingga ketebalan air genangan di atas permukaan tanah dipertahankan sekitar 1-2 cm. Wadah tersebut ditutup dengan sterofom yang telah diberi lubang dan diinkubasi pada suhu ruang selama 4 bulan. Percobaan ini dilakukan dalam tiga ulangan. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada awal inkubasi (pada hari setelah pencampuran bahan organik dan setelah pelumpuran tanah) dan pada 7, 14, 21, 47, 70, 96, dan 120 hari untuk penetapan N + mineral (N-NH 4 dan N-NO - 3 ) dan ph tanah (1:1). Penetapan waktu inkubasi di atas disesuaikan dengan masa pertumbuhan tanaman padi sesuai dengan percobaan yang dilakukan di rumah kaca. Nitrogen mineral diekstrak dari tanah lembab dengan 2 M KCl, dikocok selama 30 menit dan kemudian disaring dengan kertas saring. Selanjutnya konsentrasi N mineral dalam filtrat tersebut ditetapkan dan diukur dengan Flow Injection Analys is (FIA) Star Analyzer Percobaan Pot di Rumah Kaca Percobaan pot di rumah kaca menggunakan bahan tanah lembab-lapang tanpa pengeringan lebih dulu. Bahan tanah setara 10 kg Bobot Kering Mutlak (BKM) dicampur merata dengan bahan organik (jerami segar dan kompos 4 bulan, dan 8 bulan) sesuai dengan perlakuan pada Tabel 2. Campuran tanah-bahan organik tersebut dimasukkan ke dalam pot plastik, dilumpurkan dan ditambahkan air hingga ketebalan genangan air di atas permukaan tanah dipertahankan sekitar 2-3 cm, kemudian diinkubasi selama tiga minggu. Pupuk ammonium sulfat (ZA) bertanda 15 N (9,634% 15 N atom excess) sebanyak 0,5 mg per pot dan urea

49 31 diberikan dua kali pada pot dengan perlakuan urea, yaitu setengah dari takaran diberikan satu hari sebelum tanam bibit padi dengan cara dimasukkan ke dalam tanah, dan sisanya diberikan 49 hari setelah tanam dengan cara disebar. Pada hari ke-21 dari masa inkubasi bahan organik, ke dalam masing-masing pot ditanam dua bibit padi berumur 14 hari. Pupuk dasar diberikan pada saat tanam bibit padi (pindah tanam) ke dalam setiap pot setara dengan 100 kg SP -36 ha -1 dan 100 kg KCl ha -1. Tabel 2. Perlakuan, Jumlah N dan Takaran Bahan Organik dan Urea yang Diberikan ke Dalam Tanah pada Kondisi Tergenang. Perlakuan Jumlah N yang diberikan ke dalam tanah (kg N ha -1 ) Takaran Bahan Organik atau Urea (ton ha -1 )* Kontrol (K o ) 0 0 Jerami padi segar (J o ) 92 8,52 Kompos jerami padi 4 bulan (J 4 ) 92 6,39 Kompos jerami padi 8 bulan (J 8 ) 92 6,17 Urea (U) 92 0,2 Jerami padi segar + urea (J o U) ,26 + 0,1 Kompos jerami padi 4 bln + urea (J4U) ,20 + 0,1 Kompos jerami padi 8 bln + urea (J 8 U) ,09 + 0,1 * Bahan organik (jerami padi dan kompos) yang diberikan didasarkan pada bobot kering (BK) oven 60 o C Pada akhir percobaan, dilakukan penetapan bobot kering gabah dan jerami. Tanaman padi dipotong empat sentimeter di atas permukaan tanah, dicuci, dan dikeringkan pada suhu 60 o C selama 48 jam (sampai mencapai bobot kering yang tetap), kemudian ditimbang dan dihaluskan untuk penetapan konsentrasi N-total dan 15 N. Analisis nisbah isotopik dalam contoh tanaman padi ditetapkan dengan metode spektrometri emisi menggunakan 15 N analyzer JASCO-N151. Pelaksanaan dan pengambilan contoh tanah untuk analisis N mineral, gas N 2 O, bobot kering gabah dan jerami, total serapan N, serapan 15 N dalam gabah dan jerami secara umum disajikan pada Gambar 6. Isotop 15 N digunakan untuk membedakan serapan N yang berasal dari tanah, dan dari bahan organik dan atau urea yang diberikan ke dalam tanah. Selanjutnya konsentrasi N yang diserap dari pupuk (jerami, kompos, dan urea) dalam contoh gabah dan jerami digunakan

50 32-21 HST -14 HST -7 HST 0 HST 26 HST 49 HST 75 HST 99 HST Inkubasi Tanah dan Bahan Organik Saat Tanam Stadia Stadia Awal Stadia Panen Pembentukan Pembentukan Pengisian Bulir Anakan Malai Padi Penetapan Gas N 2 O Penetapan Konsentrasi N-NH 4 + dan N-NO 3 - dalam Tanah Penetapan Bobot Kering Tanaman dan Jumlah Anakan Penetapan Acetylene Reduction Activity (ARA) - Total Serapan N - Serapan 15 N Gambar 6. Skema Percobaan di Rumah Kaca

51 33 untuk menghitung efisiensi penggunaan N pupuk (N Recovery) oleh tanaman padi. Efisensi pemanfaatan N pupuk oleh tanaman dapat dihitung dengan menggunaka n metode pengenceran isotop difference method : Difference Method: 15 N oleh tanaman (isotope dilution method ) dan Serapan N perlakuan Serapan N kontrol Efisiensi N pupuk (%) = x 100 Jumlah N yang diberikan ke dalam tanah Isotope Dilution Method : % 15 N a.e. dalam tanaman % 15 N yang diperoleh dari pupuk = x 100 % 15 N a.e. dalam pupuk Contoh cara penghitungan serapan 15 N dan serapan N yang berasal dari N-tanah, N-bahan organik dan atau urea (N-pupuk) disajikan pada Lampiran Pengambilan Contoh Tanah dan Gas serta Analisis Pengambilan contoh tanah dari percobaan pot di rumah kaca dilakukan selama masa inkubasi bahan organik, dan pada setiap stadia pertumbuhan tanaman padi, yaitu saat tanam, 26 hari setelah tanam (HST) atau pada stadia pembentukan anakan, 49 HST (stadia awal pembentukan malai), 75 HST (stadia pengisian bulir padi), dan 99 HST (panen). Karena kegiatan pencampuran bahan organik ke dalam tanah memerlukan waktu, maka pengambilan contoh tanah dan gas pada awal inkubasi bahan organik dilakukan keesokan harinya (-20 HST) setelah dilakukan pemberian air dan pelumpuran tanah. Pengambilan contoh tanah untuk penetapan N mineral dan ph tanah dilakukan setelah tanaman padi diambil dari pot percobaan, dan air genangan dikeluarkan dari pot percobaan. Contoh tanah ini selanjutnya disimpan di kotak pendingin (freezer ) untuk analisis N mineral Penetapan N -NH 4 + dan N -NO 3 - Tanah Contoh tanah lembab sebanyak 10 g dari setiap pot juga diambil secara berkala dan diekstrak dengan 50 ml larutan 2 M KCl. Konsentrasi N-NH 4 + dan N- NO 3 - dalam tanah ditentukan dengan FIA Star Analyzer 5000.

52 Penetapan Fluks Gas N 2 O Hasil Denitrifikasi Pengukuran besarnya fluks gas N 2 O dari semua pot percobaan dilakukan dengan menggunakan suatu alat sungkup (chamber) yang terbuat dari flexiglass dengan ukuran 25 cm x 25 cm x 75 cm (Gambar 7), yang dilengkapi dengan termometer, kipas angin dan septum untuk pengambilan contoh pada bagian atas dari alat sungkup (Bronson dan Fillery, 1998). Fungsi kipas angin adalah untuk menghomogenkan sirkulasi udara dan meminimumkan peningkatan suhu udara dalam sungkup tersebut pada saat pengambilan contoh udara, sedangkan termometer digunakan untuk mengukur suhu udara dalam sungkup. Pada Termometer Kipas angin pot Gambar 7. Pengukuran Gas N 2 O dengan Alat Sungkup pengambilan contoh udara, kipas angin diaktifkan dan suhu udara dalam sungkup dicatat. Alat sungkup dimasukkan kira-kira 2-3 cm ke dalam tanah untuk mencegah kebocoran gas ke atmosfer dari sisi bawah alat sungkup. Segera setelah alat sungkup diletakkan pada pot, dilakukan pengambilan contoh ga s dari alat sungkup tersebut, dan ini merupakan contoh gas pada waktu nol (T 0). Pengambilan contoh udara untuk pengukuran gas N 2 O dilakukan pada setiap stadia pertumbuhan tanaman padi seperti dijelaskan di atas. Empat contoh

53 35 udara diambil dari setiap sungkup pada tiap satuan percobaan dengan memasukkan syringe ke dalam septum dengan selang waktu pengambilan contoh udara setiap 30 menit selama 1,5 jam (pada menit ke-0, 30, 60, dan 90). Agar udara dalam alat sungkup lebih homogen, maka setelah syringe dimasukkan ke dalam septum, alat penyedot (plunger) dari syringe ditarik dan ditekan beberapa kali (Murdiyarso, 1999). Sebanyak 30 ml contoh udara disedot ke dalam syringe, selanjutnya syringe dipindahkan ke dalam tabung vakum (venojet). Untuk menghindari kebocoran udara, bekas suntikan pada tutup tabung diberi lem silicon dan untuk mencegah peningkatan suhu dalam tabung contoh, semua tabung contoh disimpan dalam lemari di ruangan yang sejuk dengan pendingin ruangan. Konsentrasi gas N 2 O dari contoh gas diukur dengan gas khromatografi yang dilengkapi dengan electron capture detector (ECD). Fluks gas N 2 O dihitung dari persamaan: ϕ g = [(δc/ δt) x h u x M x 273,2 x (60/22,4)] mg.m -2 jam -1 (t u + 273,2) dimana, ϕg adalah laju emisi gas N2O (mg.m -2.jam -1 ), δc/δt adalah perubahan konsentrasi gas N 2 O dalam sungkup setelah t menit, h u adalah tinggi kolom udara dalam sungkup (volume/luas dasar alat sungkup), t u adalah rata-rata suhu udara dalam sungkup selama pengukuran ( o K), M adalah bobot molekul gas (N 2 O = 44,0128), volume 1 mol gas pada keadaan standar (0 o C dan 1 atm) = 22,4 liter, dan nilai 60 adalah jumlah menit per jam Penetapan Aktivitas Enzim Nitrogenase (Fiksasi N2) Banyak senyawa yang mengandung ikatan rangkap tiga yang da pat direduksi oleh enzim nitrogenase. Asetilen merupakan substrat ikatan rangkap tiga yang sangat berguna untuk mengukur aktivitas enzim nitrogenase dengan menghasilkan etilen (ikatan rangkap dua) sebagai hasil reduksinya (Dilworth, 1966 dalam Giller dan Wilson, 1991), dan gas etilen tersebut dapat segera diukur dengan gas chromatograph. N N + 8H + + 8e - 2NH 3 + H 2 HC CH + 2H + + 2e - H 2 C = CH 2 Asetilen etilen

54 36 Fiksasi N 2 oleh nitrogenase selalu menghasilkan pembentukan hidrogen, tetapi hal ini tidak terjadi selama reduksi asetilen menjadi etilen. Secara teori, karena untuk mereduksi 1 mol N 2 diperlukan 8 elektron, sedangkan reduksi 1 mol C 2 H 2 diperlukan 2 elektron, maka nisbah konversi untuk asetilen yang direduksi terhadap N2 yang difiksasi adalah 4 mol C2H2 yang direduksi : 1 mol N2 yang difiksasi (Giller dan Wilson, 1991). Aktivitas nitrogenase atau acetylene reduction activity (ARA) biasanya dinyatakan langsung sebagai µm C 2 H 4 yang dihasilkan per bobot kering tanaman per jam. Jumlah N2 yang difiksasi (karena reduksi asetilen selalu menghalangi reduksi N 2 oleh nitrogenase) dihitung dengan menggunakan nisbah konversi 4:1. Acetylene reduction activity (ARA) akar tanaman padi. Contoh tanaman diambil dari pot dengan cara dicabut dan gumpalan tanah yang menempel pada batang dan akar dibersihkan sehingga tersisa butiran tanah yang menempel pada akar tanaman padi. Batang tanaman padi dipotong sehingga tersisa 4 cm bagian atas tanaman yang terendam air, selanjutnya contoh tanah-akar tersebut dimasukkan ke dalam botol dengan penutup dari karet. Sebanyak 10% (volume) gas asetilen (C 2 H 2 ) dimasukkan ke dalam botol tersebut dengan cara diinjeksi dan diinkubasi pada suhu ruang di tempat gelap selama 20 jam. Gas etilen (C2H4) sebagai hasil reduksi gas asetilen oleh enzim nitrogenase dalam rhizosfer tanaman padi selama inkubasi diukur dengan gas chromatograph yang dilengkapi dengan Flame Ionization Detector (FID). Bobot kering akar dan bagian atas tanaman yang terendam (contoh tanaman yang digunakan dalam pengukuran ARA) ditetapkan Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik Data dianalisis dengan prosedur ANOVA untuk Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor, yaitu perlakuan bahan organik atau urea dan kombinasinya (Tabel 2). Masing-masing perlakuan diulang tiga kali sehingga terdapat 120 satuan percobaan ( 5 stadia pertumbuhan tanaman x 3 ulangan x 8 perlakuan bahan organik atau urea). Analisis varian (ANOVA) dilakukan pada semua peubah yang diukur pada setiap stadia pertumbuhan tanaman padi dengan menggunakan uji F. Untuk menguji perbedaan rata -rata pada setiap perlakuan digunakan Uji Tukey (Beda

55 37 Nyata Jujur, BNJ) dengan taraf nyata 5%. Karena koefisien keragaman dari data hasil pengukuran emisi gas etilen sangat tinggi maka digunakan transformasi logaritma (bilangan dasar 10, log 10 ) untuk menormalkan data emisi gas etilen pada penetapan ARA. Oleh karena itu, data hasil transformasi digunakan dalam analisis varian. Data rata-rata emisi gas etilen yang ditampilkan dalam bagian Hasil dan Pembahasan adalah data hasil transformasi. Model regresi linier sederhana disajikan untuk menunjukkan hubungan a ntara beberapa peubah.

56 38 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perubahan Sifat Kimia Jerami Padi Selama Pengomposan Sifat-sifat kimia dari jerami padi dan kompos yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Sifat Kimia Jerami Padi dan Kompos Sifat Kimia Jerami Padi (Jo) Kompos 4 bulan (J4) Kompos 8 bulan (J8) Total C-organik (%) 44,71 29,17 21,05 N-total (%) 1,08 1,44 1,49 C/N 41,4 20,26 14,13 P-total (%) 0,17 0,16 0,32 K-total (%) 2,7 3,15 4,46 Abu (%) 22,92 49,70 63,71 Tabel 3 menunjukkan bahwa kandungan C-organik menurun selama pengomposan jerami padi sebesar 35% - 53%. Sebaliknya konsentrasi N-total cenderung meningkat dengan lamanya waktu pengomposan jerami padi, tetapi bertambahnya waktu pengomposan setelah 4 bulan tidak memperlihatkan peningkatan konsentrasi N -total. Persentase C-organik yang ter tera dalam Tabel 3 didasarkan pada hilangnya bahan organik yang terkandung dalam jerami atau kompos yang terjadi selama proses pengabuan kering pada 700 o C. Penurunan kandungan C-organik ini mencerminkan adanya degradasi karbohidrat dalam jerami menjadi CO 2, yang mengakibatkan menyusutnya bobot kompos yang dihasilkan. Inoko et al. (1982) menggolongkan bahan organik didasarkan pada komponen organik yang dikandungnya, yaitu bahan berkayu (woody materials), bahan berselulosa (cellulosive materials), dan bahan bernitrogen (nitrogenous materials). Jerami padi termasuk bahan berselulosa yang kaya hemiselulosa dan selulosa (Tabel Lampiran 2), dan kandungan karbohidrat tersebut yang menyebabkan kandungan C-organik dalam jerami padi tinggi. Umumnya pengomposan baha n organik dapat dianggap sebagai pola perubahan komponen organik dari bahan organik. Meningkatnya konsentrasi N-total dalam kompos berkaitan dengan menurunnya bobot kompos yang diakibatkan oleh degradasi senyawa C-organik labil, seperti hemiselulosa dan se lulosa. Proses degradasi senyawa C-organik dalam jerami ini menyebabkan nisbah karbon terhadap

57 39 nitrogen (C/N) terus menurun sampai seluruh komponen yang mudah melapuk terdegradasi. Sampai saat ini nisbah C/N dianggap sebagai indeks tingkat kematangan kom pos atau tingkat humifikasi. Pengomposan jerami selama 4 bulan dan 8 bulan menurunkan nisbah C/N yang cukup besar, masing-masing sebesar 51% dan 66% dari nisbah C/N jerami segar. Selama pengomposan jerami terjadi degradasi komponen-komponen organik yang labil dan pembentukan senyawa baru yang relatif tahan terhadap pelapukan, yaitu humus. Tan (1996) menyatakan bahwa humus yang terbentuk melalui proses dekomposisi mempunyai nisbah C/N sekitar Rendahnya nisbah C/N kompos (J 4 dan J 8 ) menunjukkan adanya proses dekomposisi selama pengomposan jerami. Konsentrasi P-total dan K-total dalam kompos meningkat terus sampai 8 bulan pengomposan (Tabel 3). Konsentrasi K-total dalam J 8 meningkat cukup tajam (65,19%) bila dibandingkan dengan konsentrasi K-total dalam jerami segar (J o ), sedangkan pada pengomposan 4 bulan (J 4 ) konsentrasi K-total meningkat sebesar 16,67%. Konsentrasi P-total dalam J 8 juga meningkat sebesar 88,24%, jauh lebih besar bila dibandingkan dengan konsentrasi P -total dalam Jo. Demikian juga dengan konsentrasi abu yang meningkat dengan waktu pengomposan sampai 8 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa proses dekomposisi jerami padi masih terus berlangsung sampai 8 bulan waktu pengomposan. Kandungan abu mencerminkan kandungan mineral dalam bahan orga nik tersebut. Konsentrasi abu dari jerami padi relatif cukup tinggi (22,92%). Hal ini karena adanya sumbangan dari silika dalam jerami padi yang konsentrasinya relatif cukup tinggi (Tabel Lampiran 2). Hasil pengomposan jerami selama 4 bulan (J4) dan 8 bulan (J8) memperlihatkan peningkatan konsentrasi abu, yaitu masing-masing sebesar 54% dan 64% bila dibandingkan dengan jerami padi segar (J o ). Hal ini sesuai dengan pernyataan Ponnamperuma (1984) bahwa kandungan relatif unsur hara atau mineral akan meningkat dengan tingkat dekomposisi atau kematangan jerami. Peningkatan ini berkaitan dengan pengaruh pemekatan dalam kompos karena berkurangnya total bobot kompos akibat degradasi senyawa C yang labil, seperti selulosa dan hemiselulosa menjadi CO 2, selama proses pengomposan.

58 Percobaan di Laboratorium Nitrogen Tersedia Dalam Tanah Tergenang Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos atau Kombinasinya dengan Urea serta Faktor yang Mengendalikannya Pola pelepasan N-NO3 - dan N-NH4 + dalam tanah tergenang yang diberi jerami segar, kompos jerami, dan kombinasinya dengan urea diperlihatkan pada Gambar 8 dan (mg/kg - Konsentrasi N-NO3 tanah) Waktu Inkubasi (hari) (a) Kontrol (Ko) Jerami (Jo) Kompos 4 bln (J4) Kompos 8 bln (J8) (mg kg -1 - Konsentrasi N-NO3 tanah) Gambar 8. Kontrol (Ko) Jerami + Urea (JoU) Kompos 4 bln + urea (J4U) Kompos 8 bln + urea (J8U) Urea (U) Waktu Inkubasi (hari) (b) Konsentrasi N-NO3 - dalam Tanah Tergenang Akibat Pemberian (a) Jerami Padi dan Kompos; (b) Jerami Padi + Urea, dan Kompos + Urea Selama 120 Hari Penggenangan Tanah

59 41 Dari Gambar 8 diperlihatkan bahwa satu minggu setelah penggenangan tanah terjadi penurunan konsentrasi N-NO - 3 secara tajam pada semua perlakuan yang diberikan. Tetapi pada masa penggenangan berikutnya, terutama sejak hari - ke-47 dari penggenangan tanah, N-NO 3 tidak terdeteksi lagi. Penurunan tajam dari konsentrasi N-NO3 - pada hari ke-7 terjadi karena proses denitrifikasi setelah dilakukan penggenangan tanah. Dengan penggenangan dan pelumpuran tanah, konsentrasi O 2 dalam tanah menurun. Penurunan konsentrasi O 2 dalam tanah terjadi karena laju O 2 yang keluar dari tanah ke atmosfer dan yang dikonsumsi oleh bakteri aerob perombak bahan organik berlangsung lebih cepat daripada laju difusi oksigen atmosfer ke dalam tanah, sehingga tanah menjadi bersifat anaerob. - Pada kondisi demikian, N-NO 3 digunakan sebagai penerima elektron - menggantikan oksigen. Hal ini mendukung terjadinya reduksi N-NO 3 dalam tanah menjadi gas N 2 O dan kemudian menjadi gas N 2 (proses denitrifikasi). Hasil ini sesuai dengan hasil yang diperoleh pada percobaan di rumah kaca melalui pengukuran fluks gas N 2 O (Gambar 18). Proses denitrifikasi yang tinggi mulai berlangsung sejak awal pengge nangan tanah (hari ke -1), sehingga konsentrasi N- NO - 3 pada hari ke-7 menjadi sangat berkurang (Gambar 8). Proses hilangnya N- - NO 3 akibat pencucian dapat diabaikan karena percobaan dilakukan dengan - menggunakan pot. Penurunan konsentrasi N-NO 3 yang terbesar terjadi dalam tanah dengan pemberian jerami (J o ), diikuti oleh pemberian kompos 4 bulan (J 4 ), dan yang terendah terjadi pada pemberian kompos 8 bulan (J 8 ). Jerami padi merupakan sumber energi yang baik bagi jasad renik tanah, karena menurut Ponnamperuma (1984) jerami padi mengandung sumber senyawa N-C yang merupakan substrat untuk metabolisme jasad renik tanah. Karena itu pemberian jerami (J o ) meningkatkan aktivitas jasad renik tanah, termasuk jasad renik yang - melakukan denitrifikasi. Akibatnya reduksi N-NO 3 dalam tanah yang diberi jerami lebih besar dibandingkan dengan pemberian kompos (J4 dan J8). Karena - kandungan N-NO 3 dari jerami dan kompos jerami pada awal penggenangan banyak hilang karena denitrifikasi, maka ketersediaan N dalam tanah tergenang selanjutnya lebih ditentukan oleh tingkat dan laju pelepasan N dari jerami atau kompos itu sendiri.

60 42 - Pada awal inkubasi (hari ke-1), konsentrasi N-NO 3 pada semua pot dengan perlakuan pemberian jerami (J o ), kompos (J 4 dan J 8 ) dan campuran jerami atau kompos dengan urea (J o U, J 4 U, dan J 8 U) cukup tinggi (Gambar 8). - Tingginya konsentrasi N-NO 3 dalam tanah yang diberi jerami padi (J o ) pada hari ke-1 diduga karena terjadi pelepasan N-NO3 - yang terkandung dalam potonganpotongan bahan jerami yang diberikan ke dalam tanah. Nitrogen nitrat tersebut merupakan bentuk N yang tidak terikat secara struktural dalam jerami sehingga pada saat dilakukan analisis tanah dengan pengocokan, senyawa-senyawa tersebut larut dalam tanah dan terukur. Adanya kandungan N-NO - 3 dalam bahan tanaman segar diperlihatkan oleh hasil analisis kimia beberapa bahan tanaman yang dilakukan oleh Gunnarsson dan Marstorp (2002). + Gambar 9 memperlihatkan konsentrasi N-NH 4 dalam tanah tergenang yang diberi jerami, kompos atau kombinasinya dengan urea selama 120 hari penggenangan tanah. Dari gambar tersebut diperlihatkan bahwa selama 120 hari + penggenangan tanah, pelepasan N-NH 4 dari hampir perlakuan yang diberikan ke dalam tanah, kecuali Jo dan JoU, berjalan lambat dan dalam jumlah yang relatif + rendah. Konsentrasi N-NH 4 dalam tanah dengan perlakuan pemberian jerami (J o ) dan kombinasi jerami dan urea (J o U) mulai meningkat secara tajam sejak hari ke Dari Gambar 8 dan 9 ditunjukkan bahwa bentuk N-NH 4 merupakan bentuk N mineral yang dominan dalam tanah tergenang. Pada kondisi anaerob, proses mineralisasi N sangat tergantung pada aktivitas bakteri anaerob obligat dan fakultatif. Jasad renik tersebut menghasilkan jumlah energi yang jauh lebih rendah dalam metabolisme respirasinya dan kurang efisien dibandingkan dengan bakteri aerob (Ponnamperuma, 1972), sehingga bahan organik didekomposisi dengan laju yang lebih lambat dan mengarah pada pelepasan atau akumulasi N- + NH 4 (Yoshida dan Padre, 1975). Amonifikasi N -organik dapat terjadi dalam kondisi anaerob tetapi nitrifikasi dipengaruhi oleh ketersediaan O2 untuk mengubah N-NH + 4 menjadi N-NO - 3. Hal ini hanya terjadi pada kondisi aerob. Pada kondisi tergenang, sebagian besar N yang dimineralisasi dari bahan organik + tetap dalam bentuk N-NH 4 (Gambar 9). Perlakuan J 4 dan J 4 U serta J 8 dan J 8 U selama masa penggenangan tanah, memperlihatkan pola pelepasan N yang sama. Demikian juga dengan J o dan J o U.

61 43 Konsentrasi N-NH4+ dalam tanah (mg kg -1 tanah) Kontrol (Ko) Jerami (Jo) Kompos 4 bln (J4) Kompos 8 bln (J8) Waktu Inkubasi (hari) (a) Konsentrasi N-NH4+ dalam tanah (mg kg-1tanah) Kontrol (Ko) Jerami + Urea (JoU) Kompos 4 bln + urea (J4U) Kompos 8 bln + urea (J8U) Urea (U) Waktu Inkubasi (hari) (b) Gambar 9. Konsentrasi N-NH 4 + dalam Tanah Tergenang Akibat Pemberian (a) Jerami Padi dan Kompos; (b) Jerami Padi + Urea, dan Kompos + Urea Selama 120 Hari Penggenangan Tanah Tetapi umumnya konsentrasi N mineral (N-NO - 3 dan N-NH + 4 ) yang dilepaskan selama masa inkubasi pada perlakuan J o, J 4 dan J 8 masing-masing lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi N mineral (N-NO3 - dan N-NH4 + ) yang dilepaskan dalam perlakuan J o U, J 4 U dan J 8 U. Pada perlakuan J o U, J 4 U, dan J 8 U,

62 44 pemberian urea baru dilakukan pada hari ke-21 dengan takaran setara dengan 23 kg N ha -1. Setelah pemberian urea pada hari ke -21, perlakuan J o U memperlihatkan + laju pelepasan N -NH 4 yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya termasuk perlakuan U. Hal ini menunjukkan bahwa selain adanya sumbangan N- NH4 + dari hidrolisis urea dalam tanah, juga karena pemberian urea merangsang laju mineralisasi N dalam tanah pada perlakuan J o U, J 4 U, dan J 8 U. Pada perlakuan + J 8, pelepasan N-NH 4 cenderung menurun sampai masa penggenangan tanah + berakhir. Perlakuan J o dan J o U mulai memperlihatkan peningkatan jumlah N-NH 4 yang dilepaskan setelah hari ke-21. Akumulasi konsentrasi N-NH + 4 yang dilepaskan dalam tanah dengan perlakuan J o U lebih tinggi dibandingkan dengan J o dan mencapai maksimum pada hari ke -96 sebesar 33,11 mg N kg -1 (71,98% dari N yang diberikan) dan 42,29 mg N kg -1 (91,93 % dari N yang diberikan) masingmasing untuk J o dan J o U. Urea (U) yang diberikan dalam tanah pada hari ke -21 cepat terhidrolisis dan N yang dilepaskan mencapai maksimum pada hari ke-70. Dengan kata lain dalam 49 hari setelah urea diberikan ke dalam tanah, sebagian besar N dari urea (71,13% dari N yang diberikan) telah dilepaskan dalam tanah tergenang. Menurut Zhu, Liu dan Jiang (1984) pelepasan N dari bahan organik terutama tergantung pada nisbah C/N dan komposisi kimianya. Pelepasan N mineral (N-NO - 3 dan N-NH + 4 ) dalam tanah dengan perlakuan kompos (J 4 dan J 8 ) lebih kecil bila dibandingkan dengan jerami padi (J o ), walaupun nisbah C/N kompos jauh lebih kecil, yaitu 20,26 dan 14,13 masing-masing untuk J 4 dan J 8 dibandingkan dengan nisbah C/N jerami (41,4). Perbedaan pelepasan N dari jerami atau kompos ini disebabkan oleh perbedaan kandungan energi dalam kedua bahan tersebut (jerami dan kompos). Jasad renik memerlukan C untuk membe ntuk jaringan tubuhnya. Alexander (1977) menyatakan bahwa dekomposisi bahan organik yang diberikan ke dalam tanah selain tergantung pada kondisi fisik dan kimia lingkungan tanah sekitarnya juga pada komponen kimia dari bahan organik tersebut. Menurutnya komponen kimia dari bahan organik yang pertama didekomposisi adalah komponen bahan organik yang paling tidak tahan terhadap serangan jasad renik yaitu fraksi larut air seperti gula sederhana, asam amino, dan asam alifatik. Dari nilai nisbah C/N-nya, kompos 4 bulan (J 4 ; nisbah C/N =

63 45 20,26) dan kompos 8 bulan (J 8 ; nisbah C/N = 14,03) merupakan jerami padi yang telah terdekomposisi dan telah membentuk humus (nisbah C/N humus 8-15). Humus merupakan suatu polimer humik yang relatif tahan terhadap dekomposisi le bih lanjut, dan hal ini menyebabkan laju dekomposisi kompos jerami selama masa penggenangan 120 hari menjadi jauh lebih kecil dibandingkan dengan bahan yang relatif masih segar. Selain itu, humus yang dihasilkan selama proses pengomposan jerami mampu mengikat N secara kuat sehingga mengurangi laju pelepasan N dari kompos. Haynes (1986) dan Stevenson (1994) menyatakan bahwa selama proses pengomposan jerami, lignin yang terkandung dalam jerami terdegradasi menjadi polifenol yang selanjutnya berkombinasi dengan polifenol mikroba dan protein membentuk senyawa polimer humik yang relatif tahan terhadap dekomposisi lebih lanjut. Oleh karenanya, N yang dilepaskan selama proses dekomposisi menjadi lebih kecil. Hasil ini menunjukkan bahwa kompos merupakan sumber N yang kurang baik. Jerami segar merupakan bahan organik yang belum terdekomposisi dan merupakan sumber energi dan karbon (C) bagi jasad renik tanah. Nisbah C/N dari bahan organik sering dipakai sebagai penduga laju mineralisasi N yang baik, dan nisbah C/N harus kurang dari 20 sebelum mineralisasi N terjadi (Havlin et al., 1999). Tetapi walaupun nisbah C/N jerami lebih dari 20, dalam kondisi tanah tergenang jerami padi mampu melepaskan N- NH 4 + ke dalam tanah sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 9. Menurut Ponnamperuma (1977) hal ini terjadi karena adanya metabolisme jasad renik anaerob yang tidak efisien. Jasad renik memerlukan energi dan C untuk membentuk jaringan tubuhnya. Energi yang dihasilkan dari metabolisme respirasi secara anaerob jauh lebih kecil daripada metabolisme respirasi aerob (Meyer et al., 1960). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan jasad renik anaerob dalam merombak C-organik dalam bahan organik jauh lebih rendah daripada jasad renik aerob. Oleh karena itu, lebih banyak C-organik yang harus dioksidasi per satuan biomassa jasad renik yang dibentuk. Selama proses dekomposisi bahan organik + oleh jasad renik, dilepaskan N ke dalam tanah. Dan karena N-NH 4 yang dibutuhkan oleh jasad renik tanah anaerob untuk sintesis bahan selnya lebih sedikit dibandingkan dengan jasad renik aerob (Acharya, 1935), maka selama

64 46 proses dekomposisi bahan organik lebih banyak N yang dilepaskan dalam tanah pada kondisi tanah tergenang Nilai ph Tanah Tergenang Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos dan atau Urea Pada kondisi tergenang, laju suplai oksigen ke dalam tanah lebih kecil daripada laju konsumsinya oleh jasad renik (Qixiao dan Tianren, 1997) yang menyebabkan potensial redoks (Eh) tanah menjadi lebih rendah. Salah satu akibat dari menurunnya potensial redoks setelah penggenangan adalah perubahan ph. Dalam sebagian besar proses reduksi yang terjadi dalam tanah, seperti reduksi Fe, MnO 2 dan sulfat terjadi konsumsi proton (H + ) yang menyebabkan terjadinya kenaikan ph. Dari hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perla kuan pemberian bahan organik dan atau urea berpengaruh nyata pada perubahan nilai ph tanah pada 7, 14, 21, 47, 70, dan 120 hari penggenangan tanah dan tidak berpengaruh nyata pada 96 hari penggenangan tanah. Gambar 10 menunjukkan bahwa secara umum dengan adanya penggenangan tanah nilai ph tanah meningkat, dan ada kecenderungan nilai ph relatif lebih tinggi pada tanah yang diberi jerami segar, kompos dan atau urea. Pemberian bahan organik dan atau urea memperlihatkan pola perubahan ph tanah yang sama selama masa penggenangan tanah kecuali pada perlakuan J o dan J o U. Pada hari ke-7 sampai hari ke-47, perlakuan pemberian bahan organik dan atau urea, kecuali J o dan J o U, tidak berbeda nyata dengan kontrol (K o ). Dalam tanah sawah agak masam (ph tanah awal 5,79), pemberian bahan organik diduga dapat meningkatkan intensitas reduksi karena terjadi oksidasi bahan organik oleh jasad renik tanah, dan pembebasan elektron, sehingga potensial redoks (Eh) tanah turun. Bahan organik ini dapat dioksidasi bila tersedia penerima elektron, seperti O 2, NO 3 -, Mn 4+, Fe 3+, atau SO Dengan kata lain pemberian bahan organik dalam tanah tergenang menyebabkan terjadinya proses reduksi sejumlah komponen tanah untuk menggantikan peran O 2 sebagai penerima elektron.

65 47 ph Tanah Penggenangan Tanah (hari) Kontrol (Ko) Kompos 4 bln (J4) Jerami + Urea (JoU) Kompos 8 bln + urea (J8U) Jerami (Jo) Kompos 8 bln (J8) Kompos 4 bln + urea (J4U) Urea (U) Gambar 10. Nilai ph Tanah Tergenang yang Diberi Jerami Padi, Kompos dan atau Urea Beberapa reaksi reduksi besi yang dapat terjadi dalam tanah dapat digambarkan sebagai berikut: Fe 3+ Fe e -... (a) Fe(OH) 3 + 3H + + e - Fe H 2 O... (b) Fe(OH) 3 + H + + e - Fe(OH) 2 + H 2 O... (c) Reaksi (a) merupakan reaksi tanpa pembentukan hidroksida yang tidak larut. Ion Fe 3+ dominan berada dalam tanah dengan ph kurang dari 3, dan reaksi (a) terjadi pada ph yang cukup rendah untuk mencegah terjadinya pembentukan hidroksida yang tidak larut. Reaksi (c) hanya mungkin terjadi pada ph yang cukup tinggi (ph > 8). Oleh karena itu, reaksi reduksi besi yang terjadi dalam tanah percobaan adalah reaksi (b), yaitu reaksi reduksi yang melibatkan feri hidroksida. Nilai ph tanah yang digenangi meningkat sampai mendekati netral karena terjadi konsumsi ion H + ketika ion Fe 3+ dalam senyawa Fe(OH) 3 atau senyawa sejenisnya (FeOOH atau Fe 3 (OH) 8, magnetit terhidrasi) direduksi menjadi Fe 2+. Pada saat yang hampir bersamaan dengan proses reduksi Fe(OH) 3 terjadi reaksi asam-basa yang selanjutnya memengaruhi tingkat kemasaman tanah

66 48 yang digenangi, yaitu reaksi antara ion H + dan OH - yang berikatan dengan Fe 3+. Penurunan tingkat kemasaman atau peningkatan ph tanah ditentukan oleh intensitas konsumsi ion H + per satu mol elektron yang ditransfer dan hal ini terbesar terjadi pada reduksi Fe(OH) 3. Peningkatan ph dalam tanah masam sangat ditentukan oleh reduksi besi karena oksida-oksida dan hidroksida besi merupakan oksidan yang tersedia sangat banyak dalam tanah (Ponnamperuma, 1972). Proses reduksi besi dapat digambarkan melalui reaksi berikut : Fe(OH) 3 + 3H + + e - Fe H 2 O Pada reaksi di atas, jumlah ion H + dikonsumsi setara dengan jumlah Fe 2+ yang terbentuk. Ion H + yang dikonsumsi dalam reaksi di atas berasal dari hidrolisis Al 3+ dapat dipertukarkan atau dari hidrolisis CO 2 dalam tanah sebelum tanah digenangi: 3+ o Al(H 2 O) 6 Al(H 2 O) 3 (OH) 3 + 3H + CO2 + H2O HCO3 - + H + Pada hidrolisis Al, 2 mol Al 3+ digantikan oleh 3 mol Fe 2+ dapat ditukar, sedangkan pada hidrolisis CO2, Fe 2+ tetap berada dalam larutan tanah bersamasama dengan ion bikarbonat (HCO - 3 ). Hal inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan nilai ph pada tanah yang diberi bahan organik cenderung lebih tinggi dibandingkan tanah-tanah yang tidak diberi bahan organik. Selama masa penggenangan tanah, nilai ph tanah pada perlakuan J o dan J o U nyata lebih tinggi daripada perlakuan lainnya (Tabel 4). Hal ini terjadi karena jerami segar (J o ) mengandung lebih banyak senyawa karbon yang mudah didekomposisi daripada kompos. Senyawa karbon yang mudah dirombak merupakan sumber energi bagi bakteri pereduksi. Hal inilah yang menyebabkan laju reduksi besi pada tanah yang diberi jerami segar (J o ) lebih besar daripada kompos (J 4 dan J 8 ), sehingga secara tidak langsung juga berakibat pada kenaikan ph tanah. Sampai tujuh hari penggenangan, nilai ph tanah dari perlakuan Jo nyata lebih tinggi daripada J o U (Tabel 4) dan sampai 14 hari penggenangan tanah J o cenderung tetap lebih tinggi, walaupun tidak berbeda nyata dengan J o U. Pupuk

67 49 Tabel 4. Nilai ph Tanah Tergenang yang Diberi Jerami Padi, Kompos dan atau Urea Perlakuan Waktu Inkubasi Bahan Organik dan Urea (Hari ke -) Kontrol (K o ) 5,75 ac 5,79 a 5,87 a 6,05 a 5,93 a 6,40 6,06 a Jerami Padi (Jo) 6,27 b 6,50 b 6,41 b 6,47 b 6,55 b 6,52 6,57 b Kompos Jerami Padi 4 bulan(j 4 ) Kompos Jerami Padi 8 bulan (J 8 ) Jerami Padi dan Urea (J o U) Kompos Jerami 4 bulan dan Urea (J 4 U) Kompos Jerami 8 bulan dan Urea (J 8 U) 5,89 ac 5,90 a 5,98 a 6,07 a 6,16 c 6,43 6,37 ab 5,73 a 5,79 a 5,86 a 6,01 a 5,99 ac 6,47 6,21 ab 6 c 6,30 b 6,44 b 6,51 b 6,49 b 6,73 6,61 b 5,89 ac 5,93 a 6,02 a 6,05 a 6,13 c 6,50 6,36 ab 5,85 ac 5,86 a 5,97 a 6,01 a 6,07 ac 6,30 6,13 a Urea (U) 5,95 a 6,10 a 6,05 ac 6,47 6,17 ab BNJ 0,274 sn 0,221 sn 0,293 sn 0,167 sn 0,206 sn 4,8 tn 0,499 n Keterangan : sn = nyata pada taraf nyata 1% (Uji Tukey); n = nyata pada taraf nyata 5%; tn = tidak nyata Untuk masing-masing kolom, nilai rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5%

68 50 urea pada perlakuan J o U diberikan pada hari ke-21, dan sejak saat itu nilai ph tanah pada perlakuan J o U hampir sama dan cenderung sedikit lebih tinggi daripada perlakuan J o. Peningkatan nilai ph tanah pada perlakuan J o U dipengaruhi oleh pemberian urea, dimana dalam tanah tergenang urea terhidrolisis dan memberikan reaksi basa Percobaan di Rumah Kaca Konsentrasi N-NH 4 + dapat dipertukarkan Dalam Tanah yang Ditanami Tanaman Padi Gambar 11 menunjukkan perubahan konsentrasi N-NH 4 + dapat dipertukarkan dalam tanah pada kondisi tanah tergenang yang ditanami tanaman padi. Sejak tanam (0 HST) sampai stadia pembentukan anakan (26 HST), Konsentrasi N-NH 4 + tanah (mg kg - 1 ) Masa Pertumbuhan Tanaman Padi (HST) Kontrol (Ko) Jerami (Jo) Kompos 4 bln (J4) Kompos 8 bln (J8) Jerami + Urea (JoU) Kompos 4 bln + urea (J4U) Kompos 8 bln + urea (J8U) Urea (U) Gambar 11. Kosentrasi N-NH 4 + Tanah pada Kondisi Tanah Tergenang pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi + konsentrasi N-NH 4 dalam tanah yang diberi urea cenderung lebih tinggi daripada perlakuan lainnya. Konsentrasi N-NH4 + yang terendah dijumpai dalam tanah yang tidak diberi jerami segar, kompos, dan campuran jerami atau kompos dengan urea + (K o ). Secara umum, konsentrasi N-NH 4 dalam tanah menurun dengan masa pertumbuhan tanaman padi. Setelah stadia pembentukan anakan atau 26 hari setelah tanam (HST), konsentrasi N-NH + 4 menurun tajam pada semua perlakuan dan tetap rendah sampai saat panen bahkan setelah pemberian pupuk urea yang

69 51 kedua, yaitu 49 HST yang diberikan secara sebar pada pot dengan perlakuan urea (J o U, J 4 U, J 8 U, dan U). Keadaan ini diduga karena pada masa tersebut terjadi peningkatan aktivitas metabolik serapan hara N oleh tanaman dan peningkatan volatilisasi NH 3 karena urea diberikan secara sebar pada air genangan (Fillery dan Vlek, 1986). Selama awal tanam sampai 26 HST, konsentrasi N- NH + 4 dalam tanah yang diberi urea cenderung lebih tinggi bila dibandingkan + dengan perlakua n lainnya. Hal ini terjadi karena adanya sumbangan N-NH 4 dari hidrolisis urea dalam tanah, dan pada saat bersamaan tanaman padi belum banyak menyerap N -NH + 4 yang ada dalam tanah. Pemberian bahan organik dan atau urea berpengaruh nyata hanya pada 75 HST (stadia pengisian bulir), tetapi tidak berpengaruh nyata pada stadia + pertumbuhan lainnya (Tabel Lampiran 4). Pada saat 75 HST, konsentrasi N-NH 4 dalam tanah yang diberi perlakuan urea nyata lebih tinggi dibandingkan K o dan + J 8 tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Konsentrasi N-NH 4 yang tertinggi terjadi pada pot dengan perlakuan urea dan terendah terjadi pada pot dengan perlakuan J8. Rendahnya N -NH4 + pada pot dengan perlakuan J8 selain karena diambil oleh tanaman juga karena laju pembebasan N dari kompos 8 bulan (J 8 ) sangat lambat. Hal ini bisa dilihat pada data hasil percobaan inkubasi di laboratorium (Gambar 8 dan 9) yang menunjukkan pembebasan N dari kompos 8 bulan selalu rendah bahkan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kontrol (K o ). Konsentrasi N-NH + 4 dalam tanah meningkat setelah tanaman dipanen, pada 99 HST (Gambar 11), dan peningkatan terbesar terjadi pada perlakuan J 8 yaitu sebesar 3,74%. Hal ini merupakan suatu petunjuk bahwa (i) mineralisasi N- organik tanah terus berlangsung sampai saat panen (99 HST), dan (ii) mineralisasi N merupakan proses biologi yang penting sebagai penyedia kebutuhan N tanaman padi. Pada Gambar 11 konsentrasi N-NH4 + dalam tanah yang diberi bahan organik atau urea secara umum mengalami sedikit peningkatan dari saat tanam (0 HST) sampai 26 HST, kemudian menurun secara tajam pada 49 HST atau pada + stadia awal pembentukan malai. Penurunan yang tajam ini disebabkan N-NH 4 yang tersedia dalam tanah banyak diserap oleh tanaman padi. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahap pertumbuhan tanaman padi antara stadia

70 52 pembentukan anakan sampai awal pembentukan malai lebih aktif dibandingkan dengan stadia pertumbuhan lainnya. Kondisi ini juga didukung data efisiensi penggunaan N oleh tanaman padi dari bahan organik dan atau urea pada stadia pertumbuhan ini (Tabel 7) lebih tinggi bila dibandingkan dengan stadia pembentukan anakan dan stadia pengisian bulir padi (Tabel 6 dan 8) Jumlah Anakan dan Bobot Kering Tanaman Padi Dalam percobaan ini, beberapa sumber N nyata memengaruhi pembentukan anakan dan bobot kering tanaman padi pada stadia pengisian bulir padi atau 75 HST. Jumlah anakan per pot meningkat sejak 26 HST (stadia pembentukan anakan) dan mencapai maksimum pada 49 HST (stadia awal pembentukan malai). Selanjutnya jumlah anakan menurun pada hampir semua perlakuan pada 75 HST (stadia pengisian bulir), yaitu berkisar dari 5,1% (U) sampai 25,8% (J 8 ), kecuali pada perlakuan J o U dan J 8 U, jumlah anakan meningkat (Tabel 5). Penurunan jumlah anakan ini disebabkan oleh matinya beberapa anakan yang tidak produktif. Tabel 5. Jumlah Anakan Tanaman Padi per Pot pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Perlakuan Stadia Pembentukan Anakan (26 HST) Stadia Awal Pembentukan Malai (49 HST) Stadia Pengisian Bulir (75 HST) K o 7 22,7 20,7 ac J o 7, abc J 4 6, ,3 ac J ,3 c J o U 6,7 24,3 27,7 ab J 4 U 6,7 26,7 20,7 ac J 8 U 8,3 24,7 25 ab U 7, ,3 b BNJ 5,8 tn 14,6 tn 9,2 sn KK (%) 29,5 19,6 13,9 tn = tidak nyata; sn = sangat nyata (nyata pada taraf 1%) Untuk kolom tertentu, nilai rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Secara umum, jumlah anakan per pot pada perlakuan pemberian bahan organik baik secara tunggal maupun yang dikombinasikan dengan urea cenderung

71 53 lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (K o ), kecuali pada perlakuan J 8. Pada stadia pengisian bulir padi (75 HST) jumlah anakan per pot tertinggi diperoleh pada pot percobaan dengan perlakuan urea (U) yaitu sebesar 31,3 anakan per pot dan jumlah ini berbeda nyata dengan kontrol (20,7 anakan per pot). Jumlah anakan per pot untuk perlakuan kombinasi jerami segar atau kompos 8 bulan dan urea (J o U dan J 8 U) meningkat masing-masing sebesar 13,7% dan 1,3%. Namun untuk kombinasi kompos 4 bulan dengan urea (J 4 U) jumlah anakan per pot sedikit menurun yaitu sebesar 22%. Jumlah anakan pada J 8 U meningkat secara nyata dibandingkan dengan kompos 8 bulan (J 8 ). Hal ini tampaknya lebih disebabkan oleh pengaruh urea daripada bahan organik. Kondisi ini sejalan dengan peningkatan serapan N pada J 8 U yang nyata lebih tinggi daripada serapan N pada J 8 (Tabel 8). Menurut Forbes dan Watson (1992) bobot kering tanaman adalah bobot dari semua komponen kimia dalam tanaman seperti selulosa, gula, dan protein (semua yang merupakan hasil fotosintesis), serta mineral, tidak termasuk air. Gambar 12 memperlihatkan bobot kering tanaman padi dari 26 HST sampai 75 HST. Pemberian bahan organik dan atau urea hanya berpengaruh nyata terhadap bobot kering tanaman pada 75 HST (Tabel Lampiran 6), dimana peningkatan bobot kering tanaman maksimum terjadi pada stadia ini. Pemberian bahan organik dan atau urea nyata meningkatkan bobot kering tanaman padi dibandingkan dengan kontrol (K o ), kecuali perlakuan J 8 (38,49 g per pot). Tetapi pemberian kompos 8 bulan dengan urea (J 8 U) nyata meningkatkan bobot kering tanaman padi sebesar 57,86 g per pot atau 50,32% lebih tinggi dibandingkan dengan kompos 8 bulan tanpa urea (J 8 ). Demikian juga pada J 4 U, dimana pemberian urea cenderung meningkatkan bobot kering tanaman padi sebesar 5,73% dibandingkan dengan J 4. Bobot kering tanaman yang tertinggi (73,53 g per pot) dijumpai pada pot dengan perlakuan urea. Ini nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, kecuali pada perlakuan pemberian jerami padi (J o ) sebesar 63,78 g per pot tidak berbeda nyata. Dari hasil penelitian ini tampaknya pemberian jerami padi (J o ) dengan takaran N yang setara dengan pemberian N dalam bentuk urea dapat memberikan hasil bobot kering tanaman dan jumlah anakan yang sebanding dengan urea. Pemberian jerami segar

72 54 Bobot Kering Tanaman (g pot -1 ) Hari Setelah Tanam (HST) Kontrol (Ko) Kompos 4 bln (J4) Jerami + Urea (JoU) Kompos 8 bln + urea (J8U) Jerami (Jo) Kompos 8 bln (J8) Kompos 4 bln + urea (J4U) Urea (U) Gambar 12. Bobot Kering Tanaman dari Stadia Pembentukan Anakan Sampai Stadia Pengisian Bulir nyata meningkatkan bobot kering tanaman (63,78 g per pot) dibandingkan dengan pemberian kompos 8 bulan (38,49 g per pot) dan cenderung lebih tinggi daripada kompos 4 bulan (53,01 g per pot). Beberapa peneliti juga melaporkan hasil yang sama dari percobaannya di lapang, yaitu pemberian jerami segar ke dalam tanah sawah meningkatkan pertumbuhan tanaman dan hasil padi dibandingkan dengan pemberian kompos jerami (IRRI, 1976; Oh, 1979). Menurut Oh (1979), pengaruh jerami segar yang lebih tinggi daripada pengaruh kompos tersebut berasal dari hubungan antara pertumbuhan tanaman dan dekomposisi jerami segar. Lebih lanjut Oh (1979) mengatakan bahwa jerami padi yang diberikan ke dalam tanah menyediakan substrat yang cukup untuk meningkatkan populasi jasad renik tanah pada stadia awal pertumbuhan dan mengons ervasi hara tanah untuk digunakan oleh tanaman pada stadia pertumbuhan generatif dari tanaman padi Pelepasan N ke Dalam Tanah dan Serapan N Tanaman Pada stadia pembentukan anakan atau 26 HST, perlakuan pemberian bahan organik dan atau urea tidak berpengaruh nyata terhadap serapan N tanaman padi. Secara umum serapan N cenderung meningkat dengan pemberian bahan organik

73 55 dan atau urea dibandingkan tanpa bahan organik atau urea (K o ). Persentase N yang diserap dari bahan organik dan atau urea (efisie nsi N pupuk) yang tertinggi diperoleh pada perlakuan urea (U), diikuti oleh jerami segar (J o ) dan terendah diperoleh dari kompos 8 bulan (J 8 ). Pada stadia ini tanaman padi cenderung lebih banyak mengambil N dari tanah daripada N yang diserap dari pupuk, kecuali pada J o (Tabel 6). Hal ini karena sistem perakaran tanaman belum berkembang ekspansif dan karena pembebasan N, terutama N-NH 4 +, dari bahan organik dan atau urea berlangsung lambat sehingga tanah masih mampu menyediakan N yang dibutuhkan oleh tanama n padi. Keadaan ini menyebabkan efisiensi serapan N pupuk oleh tanaman relatif rendah. Tabel 6. Total Serapan Nitrogen oleh Tanaman Padi dan Serapan N yang Berasal dari Pupuk (Jerami Padi, Kompos dan Urea), Tanah, dan 15 N-ZA pada Stadia Pembentukan Anakan Perlakuan Serapan Nitrogen (mg N per pot) N-tanah a) 15 N b) N-pupuk c) Total Serapan N (mg/pot) Efisiensi N Pupuk (%) K o 52,75 7,28 60,03 J o 27,54 3,87 34,45 65,86 9,99 J 4 39,85 5,48 20,65 65,98 5,99 J8 29,51 4,09 8,11 41,66 2,35 J o U 32,17 4,56 26,94 63,67 7,81 J 4 U 40,58 5,56 16,85 62,99 4,88 J 8 U 51 6,99 28,56 86,54 8,28 U 41,31 5,60 28,43 75,35 12,36 BNJ 41,19 tn 5,67 tn 29,90 tn 65,74 tn 6,49 tn KK (%) 37,01 36,88 45,78 35,61 45,71 tn = tidak nyata a) N dalam tanaman yang berasal dari tanah b) N dalam tanaman yang berasal dari 15 N-ZA c) N dalam tanaman yang berasal dari jerami segar atau kompos atau campuran jerami segar atau kompos dengan urea Pada stadia awal pembentukan malai (49 HST), pemberian bahan organik dan atau urea berpengaruh sangat nyata pada serapan N. Total serapan N tertinggi dijumpai pada perlakuan dengan jerami segar (J o ) dan terendah pada perlakuan kompos 8 bulan (J 8 ). Tetapi persentase N yang diserap tanaman dari N yang diberikan ke dalam tanah, tertinggi terjadi pada pemberian urea, diikuti oleh pemberian jerami segar (J o ), masing-masing sebesar 71,05% dan 62,85%,

74 56 keduanya tidak berbeda nyata (Tabel 7), tetapi nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Tingginya efisiensi N yang diserap dari urea terjadi karena urea cepat terhidrolisis dalam tanah sehingga lebih mudah tersedia bagi tanaman padi. Tabel 6 dan 7 memperlihatkan bahwa serapan N yang diperoleh dari bahan organik dan atau urea (N-pupuk) meningkat cukup besar dengan bertambahnya umur tanaman padi. Hal ini berkaitan dengan sistem peraka ran tanaman yang telah berkembang ekspansif dan bertambah lebat. Selain itu juga karena kebutuhan tanaman terhadap N juga semakin meningkat. Pada saat yang sama, ketersediaan N-NH 4 + yang dilepaskan dari bahan organik atau urea cukup besar untuk memenuhi kebutuhan N tanaman (Gambar 8). Tabel 7. Total Serapan Nitrogen oleh Tanaman Padi dan Serapan N yang Berasal dari Pupuk (Jerami Padi, Kompos Padi dan Urea), Tanah, dan 15 N-ZA pada Stadia Awal Pembentukan Malai Perlakuan Serapan Nitrogen (mg N per pot) N-tanah 15 N N-pupuk Total Serapan N (mg/pot) Efisiensi N Pupuk (%) K o 182,32 a 17,78 200,10 a J o 94,05 bc 9,12 216,83 a 319,55 b 62,85 ae J 4 95,76 bc 9,34 128,86 bc 236,69 ab 37,35 bc J 8 74,15 b 7,23 115,51 bc 196,87 a 33,48 bc J o U 103,77 bc 10,12 160,69 ac 274,57 ab 46,58 ce J4U 131,98 c 12,86 130,32 bc 275,17 ab 37,78 bc J 8 U 116,84 bc 11,4 122,02 bc 250,27 ab 35,35 bc U 123,93 cd 12,09 163,42 ac 299,43 ab 71,05 a BNJ 48,09 sn 5,01 tn 71,63 sn 106,57 sn 20,91 sn KK (%) 14,74 15,76 17,08 14,68 16,17 Untuk kolom tertentu, nilai rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% (uji Tukey); sn = sangat nyata (nyata pada taraf 1%); tn = tidak nyata Pada 75 HST atau pada stadia pengisian bulir padi, pemberian bahan organik dan atau urea berpengaruh nyata terhadap serapan N tanaman padi (Tabel Lampiran 7, 8, 9, dan 10). Hal ini konsisten dengan hasil sebelumnya. Pada stadia ini total serapan N tertinggi juga terjadi pada perlakuan pemberian urea (709,91 mg per pot atau 54,75% dari N yang diberikan ke dalam tanah), diikuti oleh jerami segar (J o ) (611,18 mg per pot atau 53,75% dari N yang diberikan ke dalam tanah). Total serapan N terendah terjadi pada perlakuan J 8

75 57 (352,17 mg pot -1 atau 20,65% dari N yang diberikan ke dalam tanah) (Tabel 8). Rendahnya serapan N pada perlakuan J 8 selama masa pertumbuhan tanaman padi sejalan dengan rendahnya pelepasan N oleh kompos 8 bulan (J 8 ), sebagaimana diperlihatkan oleh hasil percobaan inkubasi di laboratorium tanpa ditanami tanaman padi (Gambar 8). Total serapan N tanaman pada perlakuan urea dan J o tidak berbeda nyata tetapi keduanya nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan total serapan N pada perlakuan lainnya. Bila dibandingkan dengan stadia sebelumnya, yaitu stadia awal pembentukan malai (49 HST), persentase N yang diserap dari bahan organik dan atau urea pada stadia ini cenderung menurun, kecuali pada perlakuan J 4 U, dan J 8 U yang cenderung meningkat. Peningkatan efisiensi serapan N pada kedua perlakuan tersebut diduga karena pengaruh pemberian urea yang kedua, pada 49 HST. Pada stadia ini ketersediaan N dan suplai N bagi tanaman padi meningkat karena terjadi peningkatan N dalam tanah yang berasal dari urea. Secara umum, kompos 4 dan 8 bulan (J 4 dan J 8 ) menunjukkan laju mineralisasi N yang lebih rendah sehingga secara tidak langsung juga menyebabkan terjadinya serapan N oleh tanaman yang lebih rendah bila dibandingkan dengan pemberian jerami segar (J o ). Tabel 6, 7, dan 8 menunjukkan bahwa dengan semakin lama jerami padi dikomposkan (8 bulan), bila diberikan ke dalam tanah sawah akan memberikan efisiensi pemanfaatan N oleh tanaman yang semakin rendah. Tetapi pemberian urea bersama-sama dengan kompos akan meningkatkan efisiensi pemanfaatan N oleh tanaman padi. Total serapan N oleh tanaman terus meningkat sejak 26 HST sampai 75 HST, walaupun sejak 49 HST sampai panen konsentrasi N -NH + 4 dalam tanah tetap rendah (Gambar 11). Total nitrogen yang diserap tanaman sebagian besar, kira-kira 56,5% berasal dari tanah (Tabel 8). Watanabe dan Inubushi (1986) serta Witt et al. (2000) menyatakan bahwa setelah N dalam tanah dalam bentuk N-NH + 4 dari hasil mineralisasi N-organik tanah menjadi sangat berkurang karena diserap oleh tanaman, maka N dari biomassa jasad renik dapat menjadi sumber N yang penting bagi tanaman padi. Selanjutnya menurut Shibara dan Inubushi (1997) dan Shibara et al. (1998) tanaman padi dapat menyerap N yang dilepaskan dari biomassa jasad renik, di mana pemberian jerami padi ke dalam

76 58 Tabel 8. Total Serapan Nitrogen oleh Tanaman Padi dan Serapan N yang Berasal dari Pupuk (Jerami Padi, Kompos dan Urea), Tanah, dan 15 N-ZA pada Stadia Pengisian Bulir Padi Perlakuan Serapan Nitrogen (mg N per pot) Jerami Gabah 15 N N-tanah N-pupuk 15 N N-tanah N-pupuk Total Serapan Nitrogen (mg N / pot) Efisiensi N pupuk (%) Kontrol (K 0 ) 30,97 abd 207,39 af - 21,40 ac 148,80 ab - 408,56 a Jerami Padi (J o ) 25,45 abd 168,54 adg 150,81 a 21,42 ac 148,68 ab 96,43 a 611,18 bc 53,75 a Kompos Jerami 4 bulan (J 4 ) Kompos Jerami 8 bulan (J 8 ) Jerami Padi dan Urea (J o U) Kompos Jerami 4 bulan dan Urea (J 4 U) Kompos Jerami 8 bulan dan Urea (J 8 U) 20,12 b 133,99 bg 58,76 b 15,49 ac 109,18 ab 87,37 ab 424,92 ae 31,77 b 22,17 ab 147,90 bcdef 54,51 b 10,86 ab 76,24 b 40,48 bc 352,17 a 20,65 c 30,33 abd 200,68 ae 121,49 a 19,68 abd 139,34 ab 74,75 ac 586,28 c 42,66 bde 20,47 abd 135,96 bd 96,99 ab 29,57 abd 196,65 ac 118,76 ab 19,01 abc 131,38 ab 120,75 a 524,57 ce 47,34 aef 20,02 abc 139,47 ab 81,34 ac 585,80 c 43,50 de Urea (U) 34,09 cd 227,67 a 143,06 a 24,60 cd 171,27 a 108,88 a 709,91 b 54,77 af BNJ 11,63 sn 60,68 sn 60,20 sn 11,60 n 89,64 n 56,40 sn 103,06 sn 11,05 sn KK (%) 15,43 12,09 20,30 21,51 23,82 23,21 6,93 9,42 ** Untuk kolom tertentu, nilai rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada taraf nyata5% (Uji Tukey) sn = sangat nyata(nyata pada taraf nyata 1%)

77 59 tanah memberikan sumbangan yang lebih tinggi pada pembentukan C-biomassa dan N-biomassa daripada pemberian Sesbania rostrata, Eichornia crassipes, dan kotoran sapi (Howlader et al., 2002). Gambar 13 memperlihatkan hubungan yang erat antara N yang dilepaskan dan serapan N tanaman pada 75 HST (R 2 = 0,91). Sampai batas tertentu, serapan N tanaman makin meningkat dengan meningkatnya N yang dilepaskan ke dalam tanah. Hal ini secara tidak langsung juga meningkatkan Serapan N (g pot -1 ) y = x x R 2 = N yang Dilepaskan dalam Tanah (g pot -1 ) Gambar 13. Hubungan Antara N yang Dilepaskan Dalam Tanah dan Serapan N Tanaman pada 75 HST (Stadia Pengisian Bulir) jumlah anakan dan bobot kering tanaman padi (Gambar 14 dan 15). Gambar 14 dan 15 memperlihatkan hubungan yang erat antara serapan N tanaman dengan jumlah anakan per pot (r = 0,913) dan bobot kering tanaman padi (r = 0,966) pada 75 HST (stadia pengisian bulir padi). Gambar 16 juga menunjukkan hubungan yang erat antara N yang diserap dari pupuk dan bobot kering tanaman pada stadia pe ngisian bulir padi (r = 0,924). Gambar 17 memperlihatkan total akumulasi N dalam jerami segar meningkat cepat setelah stadia pembentukan anakan sampai stadia pengisian bulir dan kemudian menurun sampai saat panen. Menurut Guindo et al. (1994), status total akumulasi N tanaman padi setelah stadia pengisian bulir tergantung pada kemampuan tanaman padi menunda penuaan daun dan memperpanjang

78 60 Jumlah Anakan per pot y = x r = Serapan N Tanaman (mg pot -1 ) Gambar 14. Hubungan Antara Serapan N Tanaman Padi dan Jumlah Anakan pada 75 HST (Stadia Pengisian Bulir) 80-1 ) Bobot Kering Tanaman (g pot y = x r = Serapan N Tanaman (mg pot -1 ) Gambar 15. Hubungan Antara Serapan N Tanaman Padi dan Bobot Kering Tanaman Padi pada 75 HST (Stadia Pengisian Bulir)

79 61 Bobot Kering Tanaman (mg pot -1 ) y = x r = Serapan N pupuk (mg N pot -1 ) Gambar 16. Hubungan Antara Serapan N dari Pupuk (Jerami Padi, Kompos dan atau Urea) dan Bobot Kering Tanaman pada 75 HST (Stadia Pengisian Bulir) Total Akumulasi N dalam Jerami Padi (g po t-1 ) Hari Setelah Tanam Kontrol (Ko) Jerami (Jo) Kompos 4 bln (J4) Kompos 8 bln (J8) Jerami + Urea (JoU) Kompos 4 bln + urea (J4U) Kompos 8 bln + urea (J8U) Urea (U) Gambar 17. Akumulasi N yang Diserap Dalam Jerami Padi pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi fotosintesis. Tanaka (1976) menunjukkan bahwa fotosintesis yang aktif akan memacu serapan dan metabolisme N. Tanaman padi yang terhindar dari

80 62 naungan proses penuaan daunnya akan tertunda dan proses fotosintesis dipacu. Selain itu, Bashir et al. (1997) menyatakan bahwa menurunnya akumulasi N pada saat panen (masak) karena hilangnya N dari sistem tanah-tanaman dalam bentuk gas NH 3 sebagai akibat penuaan daun secara alami yang terjadi saat tanaman mendekati panen (masak). Lepasnya ammonia dari tanaman diduga berkaitan dengan tingginya konsentrasi NH 4 + dalam jaringan tanaman. Hal ini terjadi sebagai akibat asimilasi NH 4 + yang tidak efisien. Amonium (NH 4 + ) bersifat racun bagi jaringan tanaman dan tidak disimpan dalam bentuk ion NH 4 + oleh tanaman Fluks Gas N 2 O dari Tanah dalam Kondisi Tergenang Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos dan atau Urea Hasil pengamatan fluks gas N 2 O selama masa inkubasi bahan organik (jerami segar dan kompos) sampai stadia awal pembentukan malai (49 HST) pada percobaan pot di rumah kaca disajikan pada Gambar 18. Hasil sidik ragam menunjukkan bahw a pemberian jerami segar, kompos dan atau urea berpengaruh sangat nyata terhadap fluks gas N 2 O pada 20 HST atau satu hari setelah dilakukan pencampuran bahan organik dan setelah penggenangan tanah (Tabel Lampiran 11). Perlakuan yang dicobakan tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap fluks gas N2O pada -7 HST sampai stadia awal pembentukan malai (49 HST). Selama masa inkubasi bahan organik pada -21 HST sampai 0 HST (saat tanam), tanah dalam pot percobaan tidak ditanami padi. Tanaman padi umur 14 hari baru ditanam pada 0 HST. Gambar 18 menunjukkan adanya variasi fluks gas N 2 O dari tanah yang diberi perlakuan bahan organik dan atau urea. Pada -20 HST, fluks gas N 2 O yang tertinggi terjadi pada pot percobaan dengan perlakuan J o U yaitu sebesar 4,32 mg N-N 2 O m -2 jam -1. Data ini nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sementara itu, fluks gas N 2 O terendah terjadi pada pot percobaan tanpa pemberian bahan organik dan atau urea (K o ) yaitu sebesar 0,30 mg N-N 2 O m -2 jam -1, tetapi data ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan J o, J 4, J 8, J 4 U, dan J 8 U (Tabel 10). Selama masa inkubasi bahan organik (pada -21 HST sampai 0 HST), jumlah N dari bahan organik yang diberikan ke dalam tanah untuk perlakuan J o, J 4, dan J 8 sebesar 46 mg N kg -1, sedangkan pada perlakuan J o U, J 4 U, dan J 8 U sebesar 23 mg N kg -1. Pada 20 HST, perlakuan

81 63 Fluks Gas N2O (mg N-N2O m -2 jam - 1 ) Hari Setelah Tanam Kontrol (Ko) Jerami (Jo) Kompos 4 bln (J4) Kompos 8 bln (J8) Jerami + Urea (JoU) Kompos 4 bln + urea (J4U) Kompos 8 bln + urea (J8U) Urea (U) Gambar 18. Fluks Gas N 2 O dalam Tanah Tergenang Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos dan atau Urea JoU, J4U da n J8U memperlihatkan fluks gas N2O lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan J o, J 4, dan J 8, padahal jumlah N yang diberikan pada perlakuan J o U, J 4 U dan J 8 U setengah dari jumlah N yang diberikan pada perlakuan J o, J 4, dan J 8. Hal ini diduga karena pemberian jerami segar atau kompos dalam jumlah yang lebih besar (46 mg N kg -1 ) merangsang aktivitas jasad renik tanah. Pada waktu bersamaan, meningkatnya aktivitas jasad renik tanah juga meningkatkan konsumsi O 2 oleh jasad renik tanah sehingga menyebabkan kondisi tanah semakin anaerob dan mendorong hilangnya N dalam bentuk N 2 daripada N 2 O. Keadaan ini mengakibatkan penurunan fluks gas N 2 O pada pot dengan perlakuan J o, J 4, dan J 8. Sebagaimana dikemukakan oleh Azam et al. (2002) bahwa peningkatan aktivitas jasad renik tanah, termasuk di dalamnya bakteri denitrifikasi, secara tidak langsung menyebabkan kondisi semakin anaerob karena peningkatan kebutuhan O 2 untuk respirasi jasad renik tanah. Secara umum fluks gas N 2 O pada sebagian besar pot dengan perlakuan bahan organik pada awal inkubasi (-20 HST) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan fluks gas N 2 O pada minggu berikutnya. Hal ini terjadi karena penurunan fluks gas N 2 O yang berlangsung cepat selama satu minggu, terutama pada pot

82 64 percobaan dengan perlakuan jerami segar (J o ) dan campuran jerami segar atau kompos dengan urea (J o U, J 4 U dan J 8 U). Pada awal perubahan kondisi tanah dari keadaan aerob menjadi anaerob menyebabkan fluks gas N 2 O yang tinggi karena - terjadi proses reduksi N-NO 3 yang ada dalam tanah menjadi gas N 2 O. Azam et al. (2002) juga menyatakan bahwa tingginya fluks gas N2O terjadi selama beberapa jam pertama setelah penggenangan tanah, terutama pada tanah yang menerima bahan organik dibandingkan dengan tanah tanpa pemberian bahan organik (K o ). Meningkatnya kembali fluks gas N 2 O pada -14 HST diduga karena peningkatan suhu di rumah kaca sehingga menyebabkan meningkatnya penguapan air genangan dalam pot percobaan, sehingga ketebalan air genangan berkurang dalam pot percobaan. Keadaan ini menjadikan lapisan tanah yang bersifat aerob bertambah tebal, sehingga meningkatkan proses nitrifikasi yang menghasilkan N- NO - 3, yang selanjutnya berdifusi ke lapisan reduksi di bawahnya. Nitrat dalam lapisan reduksi selanjutnya terdenitrifikasi menghasilkan gas N 2 O (Thind dan Rowell, 2000). Selanjutnya Engler dan Patrick (1974) menyatakan bahwa dalam tanah-tanah tergenang yang digunakan untuk budidaya padi sawah, nitrifikasi hanya terjadi pada lapisan tipis tanah permukaan yang mengandung O 2 yang berasal dari air genangan. Oleh karena itu, kedalaman dan luas permukaan tanah yang aerob dapat memengaruhi laju nitrifikasi. Penurunan fluks gas N 2 O secara drastis pada 0 HST (saat tanam) sampai 49 HST (stadia awal pembentukan malai) terjadi karena kondisi tanah telah menjadi lebih reduktif dan konsentrasi nitrat dalam tanah telah menjadi sangat berkurang sejak 26 HST (stadia pembentukan anakan). Setelah 26 HST konsentrasi nitrat tidak terdeteksi (Tabel 9). Meningkatnya kondisi anaerob dalam tanah tersebut mengarah pada meningkatnya reduksi N 2 O menjadi N 2 yang akhirnya menurunkan fluks gas N2O. Menurut Smith dan Patrick (1983) fluks gas N 2 O hanya terjadi bila ada N-NO - 3 dan bila potensial redoks tetap di atas +200 mv. Fluks gas N 2 O cepat berkurang sampai sangat rendah bila potensial redoks berkurang di bawah +200 mv. Hal ini tidak berarti bahwa pada potensial redoks di bawah +200 mv tidak terjadi proses denitrifikasi, tetapi nitrogen lebih banyak hilang sebagai gas N 2 yang merupakan hasil akhir dari proses denitrifikasi.

83 65 Tabel 9. Konsentrasi N-NH 4 + dan N-NO 3 - (mg kg -1 ) Dalam Tanah Tergenang pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Perlakuan Stadia Pembentukan Anakan (26 HST) Stadia Awal Pembentukan Malai (49 HST) Stadia Pengisian Bulir (75 HST) N-NH 4 + N-NO 3 - N-NH 4 + N-NO 3 - N-NH 4 + N-NO 3 - K o 15,37 0,25 5,37 0 2,64 0 J o 28,82 0,21 8,56 0 4,51 0 J 4 27,11 0,23 7,81 0 3,13 0 J 8 26,42 0,09 6,65 0 1,10 0 J o U 29,63 0,07 7,04 0 5,91 0 J 4 U 30,91 0,03 5,60 0 3,17 0 J 8 U 31,25 0,02 6,78 0 3,20 0 U 34,30 0,06 6,16 0 6,37 0 Hasil dari percobaan ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan oleh Lettey et al. (1981) bahwa dissimilatory reduktase nitrat berkembang dengan cepat pada kondisi anaerob dan reduktase N 2 O berkembang hanya beberapa saat setelah awal kondisi anaerob. Nommik (1956) juga mengamati bahwa penurunan N 2 O dan peningkatan N 2 terjadi secara cepat dalam waktu singkat pada kondisi tanah yang lebih anaerob atau reduktif. Selanjutnya Rolston, Hoffman dan Toy (1978) juga menyatakan bahwa nisbah N 2 /N 2 O umumnya rendah pada awal proses denirifikasi dan kemudian menjadi lebih besar dengan berlanjutnya proses denitrifikasi tersebut. Mereka menyatakan bahwa fluks gas N 2 enam kali lebih besar daripada fluks gas N 2 O, dan dalam kasus-kasus tertentu dapat menjadi 20 kali lebih besar daripada fluks gas N 2 O yang dihasilkan pada kondisi sangat anaerob. Karena gas N2O merupakan hasil antara dari proses denitrifikasi, maka laju fluks N2O yang rendah tersebut tidak mencerminkan total kehilangan N akibat denitrifikasi. Sejak tanam bibit (0 HST) sampai pertumbuhan padi mencapai stadia awal pembentukan malai (49 HST), fluks gas N 2 O sangat rendah. Tanaman padi dapat menyalurkan O 2 dari udara ke akar-akarnya melalui aerenchym. Sebagian dari O 2 ini dilepaskan ke dalam tanah (Frenzel et al., 1992) dan dapat mendukung terjadinya proses nitrifikasi serta proses aerob lainnya di daerah perakaran (rhizosfer). Nitrat yang terbentuk sebagai hasil dari proses nitrifikasi segera direduksi bila berdifusi ke dalam tanah yang bersifat reduktif yang ada di sekitar perakaran padi. Namun adanya asimilasi N-NH + 4, yang merupakan substrat bagi

84 66 bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi, oleh tanaman padi menyebabkan ketersediaan N-NH + 4 dalam tanah menjadi berkurang sehingga tingkat nitrifikasi dalam lingkungan rhizosfer menjadi sangat berkurang (Tabel 9). Akibatnya fluks gas N 2 O atau denitrifikasi N juga menjadi sangat berkurang (Gambar 18). Menurut Kakuda et al. (2000) tanaman padi dapat menurunkan kehilangan N dari sistem tanah-tanaman. Penurunan denitrifikasi N tersebut disebabkan oleh adanya persaingan antara akar-akar tanaman dan bakteri denitrifikasi terhadap N tersedia. Fluks gas N 2 O selama masa inkubasi bahan organik pada awal penggenangan tanah sampai stadia awal pembentukan malai berkisar dari 4,32 mg N-N 2 O m -2 jam -1 sampai 0,03 mg N-N 2 O m -2 jam -1, dan fluks gas N 2 O pada tanah yang tidak diberi perlakuan (K o ) berkisar dari 0,30 mg N-N 2 O m -2 jam -1 sampai 0,06 mg N-N 2 O m -2 jam -1. Rata-rata fluks gas N 2 O dari pot percobaan yang diberi perlakuan berkisar dari 0,04 sampai 0,85 mg N-N 2 O m -2 jam -1, dan rata-rata fluks gas N 2 O yang tertinggi (Tabel 10) terjadi pada pot percobaan dengan perlakuan kombinasi jerami segar dan urea (J o U). Pemberian jerami segar dan urea meningkatkan fluks gas N2O sebesar 4,1 kali lebih besar daripada tanah yang tidak diberi bahan organik (jerami segar atau kompos) dan urea (K o ). Selain itu, fluks gas N 2 O pada perlakuan J o U nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Data pada Tabel 10 memperlihatkan nilai pendugaan total nitrogen yang hilang dari tanah tergenang sebagai gas N 2 O akibat pemberian jerami segar, kompos dan atau urea. Dalam percobaan ini pendugaan jumlah total nitrogen yang hilang dari tanah sebagai gas N2O dilakukan dengan menghitung luas kurva fluks gas N 2 O dengan waktu. Total emisi gas N 2 O yang tertinggi selama masa inkubasi bahan organik sampai stadia awal pembentukan malai, terjadi pada pot percobaan dengan perlakuan kombinasi jerami segar dengan urea (JoU) yaitu sebesar 0,54 g N -N2O m -2. Total emisi gas N 2 O terendah terjadi pada pot percobaan tanpa pemberian bahan organik maupun urea (K o ) yaitu sebesar 0,23 g N-N 2 O m -2. Karena pengambilan contoh gas dan pengukuran gas N 2 O pada pot percobaan dengan perlakuan urea dilakukan sebelum pemberian urea ke dalam tanah, maka tidak

85 67 Tabel 10. Nilai Rata-rata Fluks Gas N 2 O dan Pendugaan Total Nitrogen yang Hilang Sebagai Gas N 2 O dari Tanah Tergenang Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos dan atau Urea Perlakuan Jumlah N yang Diberikan Fluks Gas N 2 O pada Minggu 0 Rata-rata fluks gas N 2 O Total Emisi Gas N 2 O (kg N ha -1 ) (mg N-N 2 O m -2 jam -1 ) (g N -N 2 O m -2 ) K o 0 0,30 a 0,21 0,23 J o 92 1,55 a 0,32 0,24 J ,74 a 0,33 0,31 J ,59 a 0,31 0,32 J o U 92 4,32 b 0,85 0,54 J 4 U 92 1,83 a 0,40 0,30 J 8 U 92 1,73 a 0,42 0,32 U 92 0,04 * 0,05 * * Pengambilan contoh udara dan pengukuran gas N 2 O pada pot percobaan dengan perlakuan urea (U) dilakukan sebelum pemberian urea ke dalam tanah. relevan untuk menghitung dan membandingkan emisi gas dari nitrogen urea yang diberikan ke dalam tanah dengan perlakuan lainnya. Tingginya emisi gas N 2 O dari perlakuan J o U dibandingkan dengan perlakuan lainnya diduga karena adanya kandungan karbon sebagai C-organik dari jerami segar relatif cukup besar yaitu sebesar 19,05 g per pot atau 2-3 kali lebih besar dibandingkan dengan kompos (Tabel 3). Secara umum data pada Tabel 10 menunjukkan bahwa pemberian jerami segar, kompos, dan urea atau campuran jerami segar atau kompos dengan urea meningkatkan emisi gas N 2 O dalam tanah tergenang. Bahan organik yang diberikan ke dalam tanah meningkatkan suplai karbon ( C ) yang dapat dioksidasi dan meningkatkan aktivitas jasad renik tanah. Bahan organik merupakan sumber energi bagi bakteri denitrifikasi yang sebagian besar merupakan bakteri heterotrofik. Bahan organik juga dapat merangsang respirasi jasad renik tanah sehingga menurunkan ketersediaan O 2 dalam atmosfer tanah (Tiedje, 1988 dan Azam et al., 2002). Peningkatan aktivitas jasad renik karena pemberian bahan organik telah ditunjukkan penelitian sebelumnya oleh Aulakh et al. (2000) dan Aulakh dan Doran (2002) dimana produksi CO 2 dari tanah yang diberi pupuk kandang, jerami, atau pupuk hijau relatif lebih tinggi selama masa awal penggenangan tanah. Hal ini terjadi bersamaan dengan tingginya tingkat denitrifikasi dalam tanah. Rendahnya N yang hilang dalam bentuk gas N-N 2 O

86 68 (Tabel 11) menunjukkan bahwa penambahan bahan organik atau urea ke dalam tanah tergenang secara terus-menerus selama masa pertumbuhan tanaman padi bukan merupakan sumber pencemaran gas N 2 O yang membahayakan lingkungan Aktivitas Enzim Nitrogenase dalam Tanah Tergenang Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos dan atau Urea Aktivitas nitrogenase yang berperan dalam penambatan N 2 udara diukur dengan pendekatan metode reduksi asetilen (C 2 H 2 ) atau acetylene reduction activity (ARA). Menurut Wada et al. (1978) bahwa aktivitas enzim nitrogenase di daerah perakaran (rhizosfer) tanaman padi lebih tinggi daripada aktivitas enzim nitrogenase pada lapisan tanah permukaan atau dalam air genangan. Hal ini menekankan arti pentingnya penambatan N 2 di lingkungan perakaran tanaman padi. Berdasarkan hal tersebut maka pada percobaan ini, pengukuran aktivitas enzim nitrogenase atau ARA dilakukan di daerah perakaran tanaman padi. Pengukuran ARA di daerah perakaran tanaman padi dilakukan pada tiga stadia pertumbuhan, yaitu pada stadia pembentukan anakan atau 26 HST, awal pembentukan malai atau 49 HST, dan saat panen atau 99 HST. Karena koefisien keragaman hasil pengukuran ARA di daerah pe rakaran tanaman padi sangat tinggi, maka data ARA ditransformasi dengan log 10 agar sebaran data menjadi normal. Hasil transformasi data ARA disajikan dalam Tabel 11. Tabel 11. Nilai Acetylene Reduction Activity (ARA) di Daerah Perakaran Tanaman Padi (nmol C 2 H 4 g -1 BK akar jam -1 ) pada Tiga Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Perlakuan Stadia Pembentukan Anakan (26 HST) Stadia Awal Pembentukan Malai (49 HST) Panen (99 HST) K o 1,70 a 2,479 1,020 J o 1,991 ab 4,189 0,617 J4 2,176 b 3,702 0,829 J8 1,976 ab 3,838 0,997 J o U 2,071 b 4,014 1,121 J 4 U 2,104 b 3,592 1,022 J 8 U 2,060 b 3,873 1,203 U 1,956 ab 3,568 0,989 BNJ 0,37 n 2,27 tn 39,20 tn KK(%) 6,45 21,91 39,20

87 69 Tabel 11 memperlihatkan nilai ARA di daerah perakaran tanaman padi akibat pemberian jerami segar, kompos dan atau urea pada tiga stadia pertumbuhan tanaman padi. Perlakuan pemberian jerami segar, kompos dan atau urea berpengaruh sangat nyata pada nilai ARA di daerah perakaran tanaman padi pada stadia pembentukan anakan (26 HST), akan tetapi pada 49 HST dan 99 HST pemberian jerami segar, kompos, atau urea tidak berpengaruh nyata terhadap nilai ARA. Secara umum, aktivitas enzim nitrogenase meningkat dari 26 HST sampai 49 HST dan kemudian menurun cukup tajam pada saat panen (99 HST). Aktivitas enzim nitrogenase yang lebih tinggi pada 49 HST dibandingkan stadia pertumbuhan lainnya yang diamati diduga karena pada stadia pertumbuhan antara stadia pembentukan anakan (26 HST) sampai pembentukan malai, pertumbuhan tanaman padi sangat aktif menyerap N-NH + 4 dalam jumlah yang relatif lebih besar bila dibandingkan pada stadia pertumbuhan lainnya sehingga N tersedia bagi tanaman padi pada stadia pembentukan malai menjadi jauh berkurang (Tabel 9 dan Gambar 10). Menurunnya N-NH4 + dalam tanah terutama di daerah perakaran tanaman padi merangsang aktivitas enzim nitrogenase dari jasad renik penambat + N 2 yang ada di daerah perakaran. Pada saat awal pembentukan malai, N-NH 4 + tersedia dalam tanah semakin berkurang. Berkurangnya konsentrasi N-NH 4 tersedia dalam tanah dan adanya pertumbuhan tanaman yang aktif pada stadia awal pembentukan malai mendorong produksi eksudat akar dan metabolisme jasad renik penambat N di daerah perakaran tanaman padi. Selain itu, diduga karena adanya peningkatan suplai hasil-hasil fotosintesis (fotosintat) ke akar dan transpor N 2 udara ke akar-akar tanaman melalui aerenhyma pada semua perlakuan dengan bahan organik. Peningkatan aktivitas nitrogenase pada 49 HST tersebut mencerminkan peningkatan penambatan N udara oleh jasad renik penambat N yang hidup bebas di daerah perakaran tanaman padi. Nitrogen yang ditambat dari udara oleh jasad renik penambat N ini merupakan sumber N biomassa dalam tanah. Nitrogen biomassa ini dapat menjadi sumber N yang penting bagi tanaman + padi setelah kandungan N-NH 4 dari mineralisasi N-organik tanah sudah sangat terkuras. Tanaman padi dapat menyerap N yang dilepaskan dari biomassa jasad renik tanah selama masa pertumbuhannya. Hal ini sejalan dengan data pada

88 70 Tabel 9 yang menunjukkan serapan N oleh tanaman padi terutama banyak yang berasal dari tanah. Secara umum, pemberian jerami segar, kompos dan kombinasinya dengan urea meningkatkan aktivitas enzim nitrogenase sampai stadia awal pembentukan malai. Hal ini ditunjukkan dalam Tabel 11 dimana nilai ARA pada kontrol (Ko) relatif lebih kecil dibandingkan perlakuan lainnya. Hasil dari percobaan ini didukung oleh hasil percobaan di lapang yang dilakukan oleh Sisworo dan Rasjid (1988). Sedikitnya ketersediaan sumber karbon dan energi pada tanah tanpa pemberian bahan organik dan atau urea (K o ) tampaknya menjadi faktor pembatas bagi aktivitas penambatan N 2 oleh bakteri penambat N yang hidup bebas atau yang berasosiasi dengan akar tanaman padi seperti dikemukakan oleh Nugroho dan Kuwatsuka (1990). Energi untuk penambatan N 2 secara biologi berasal dari oksidasi sumber C-organik, seperti glukosa atau dari cahaya dalam hal bakteri diazothrop fotosintetik. Pengamatan pada 49 HST (Tabel 11) menunjukkan aktivitas enzim nitrogenase di daerah perakaran padi cenderung lebih tinggi pada tanah yang diberi jerami segar dibandingkan dengan yang diberi kompos (J4 dan J 8 ). Demikian pula terhadap tanah yang diberi jerami segar dan urea (J o U). Hal + ini diduga karena pada stadia pertumbuhan ini konsentrasi N-NH 4 telah sangat terkuras, dan tersedianya sumber energi (berupa jerami segar) bagi bakteri penambat N. Tersedianya sumber energi dari bahan jerami segar tersebut meningkatkan aktivitas dan merangsang respirasi jasad renik tanah, sehingga semakin mengurangi ketersediaan O 2 dalam tanah di sekitar perakaran. Hal ini meningkatkan aktivitas enzim nitrogenase karena enzim ini bersifat peka terhadap O 2 (Giller dan Wilson, 1991).

89 71 V. PEMBAHASAN UMUM Pengelolaan suplai N bagi tanaman padi dalam tanah tergenang merupakan suatu kondisi awal yang penting untuk memperbaiki efisiensi penggunaan N, mengurangi kehilangan N, dan akhirnya untuk mendapatkan hasil padi yang tinggi. Berbeda dengan pupuk mineral, residu tanaman atau bahan organik yang diberikan ke dalam tanah harus mengalami mineralisasi lebih dulu sebelum N yang terkandung di dalamnya menjadi tersedia bagi tanaman padi. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi transformasi bahan organik yang diberikan ke dalam tanah dalam usaha mengelola suplai N bagi tanaman padi dan memperbaiki efisiensi penggunaan N dalam tanah tergenang. Ketersediaan N bagi tanaman dikendalikan oleh dua proses yang saling berlawanan, yaitu mineralisasi dan imobilisasi. Jumlah dan laju imobilisasi dan mineralisasi N dipengaruhi oleh : (1) kondisi lingkungan seperti suhu, reaksi tanah, kelembaban dan aerasi tanah; (2) kerentanan bahan organik terhadap dekomposisi oleh jasad renik; dan (3) sifat mikroflora dan mikrofauna yang ada dalam tanah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jerami padi memberikan pengaruh yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kompos jerami 4 dan 8 bulan dalam hal : (1) penyediaan N dalam tanah, (2) peningkatan aktivitas enzim nitrogenase dalam menambat N 2, (3) peningkatan serapan N dan efisiensi penggunaan N oleh tanaman, (4) peningkatan bobot kering tanaman dan jumlah anakan, dan (5) penurunan emisi gas N 2 O. Serapan N tanaman padi terutama dipengaruhi oleh ketersediaan N mineral dalam tanah sebagaimana yang ditunjukkan oleh dinamika N-NH + 4 dalam tanah. Hal ini ditunjukkan oleh percobaan rumah kaca yang memperlihatkan hubungan + yang erat antara N-NH 4 yang dilepaskan ke dalam tanah dan serapan N tanaman padi (Gambar 12). Selanjutnya serapan N oleh tanaman tersebut berpengaruh pada peningkatan jumlah anakan dan bobot kering tanaman, seperti ditunjukkan pada Gambar 14 dan 15. Serapan N yang lebih tinggi pada perlakuan pemberian jerami dibandingkan dengan pemberian kompos jerami 4 dan 8 bulan karena :

90 72 + (1) ketersediaan N-NH 4 dalam tanah yang diberi jerami padi lebih tinggi dibandingkan dengan kompos (Gambar 9), terutama pada stadia pertumbuhan antara stadia pembentukan anakan sampai awal pembentukan malai. Nitrogen yang diserap oleh tanaman pada saat stadia pembentukan malai lebih banyak berasal dari N yang dilepaskan dari bahan organik (jerami atau kompos) atau urea (Tabel 7). Tingginya serapan N pada perlakuan pemberian jerami (J o ) dibandingkan dengan kompos jerami (J 4 dan J 8 ) karena pada stadia pertumbuhan antara stadia pembentuka n anakan sampai awal pembentukan malai merupakan stadia pertumbuhan tanaman padi yang paling aktif (Gambar 11), dan pada saat yang sama penyediaan N-NH + 4 dalam tanah yang diberi jerami juga meningkat dalam tanah (Gambar 9). Hal ini menjelaskan bahwa pelepasan N atau mineralisasi N dari potongan-potongan jerami terjadi sejak awal dekomposisinya di bawah kondisi tergenang, dan tanaman padi mulai mengambil N hasil mineralisasi tersebut pada tahap awal pertumbuhan tanaman padi atau stadia pertumbuhan vegetatif (stadia pembentukan anak sampai awal pembentukan malai). (2) adanya sumbangan N dari biomassa jasad renik tanah, khususnya bakteri penambat N 2 dalam tanah. Hal ini ditunjukkan oleh aktivitas enzim nitrogenase dalam menambat N 2, terutama pada stadia pengisian bulir yang lebih tinggi dalam tanah yang diberi jerami padi (Tabel 11). Pada stadia pengisian bulir, N yang diserap oleh tanaman lebih banyak berasal dari N- tanah. Sumbangan N dari biomassa jasad renik tanah juga ditunjukkan oleh Gambar 11 dimana terjadi peningkatan mineralisasi N-tanah pada saat panen. Nitrogen-tanah ini merupakan N yang berasal dari biomassa jasad renik tanah, termasuk di dalamnya adalah jasad renik penambat N 2, yang menurut Witt et al. (2000) dapat menjadi sumber N yang penting bagi tanaman padi. Howlader et al. (2002) menunjukkan bahwa pemberian jerami padi ke dalam tanah memberikan sumbangan yang lebih tinggi pada pembentukan C- biomassa dan N-biomassa daripada pemberian Sesbania rostrata, Eichornia crassipes, dan kotor an sapi. Hasil percobaan ini yang menunjukkan bahwa pengaruh pemberian jerami padi lebih baik dibandingkan dengan kompos jerami dalam meningkatkan serapan N

91 73 dan pertumbuhan tanaman padi didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Oh (1979). Menurut Oh (1979) hal ini terjadi karena jerami padi mengandung substrat dalam jumlah yang cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan populasi jasad renik selama stadia vegetatif dari pertumbuhan tanaman padi. Lebih lanjut Oh menyatakan bahwa jerami segar mampu menyimpan (mengonservasi) unsur -unsur hara, terutama N, dalam tanah untuk digunakan oleh tanaman padi pada stadia pertumbuhan generatif (the later stages of growth ). Pemberian jerami padi juga dapat memperbaiki sifat-sifat tanah lainnya, selain ketersediaan N dalam tanah. Pemberian jerami dapat meningkatkan ketersediaan unsur -unsur lain seperti K dan P (Beaton et al, 1992; Dei, 1975), dan unsur-unsur mikro (Prasad dan Sinha, 1995), sedangkan pupuk hijau sangat memengaruhi ketersediaan N (Hegde, 1996). Pemberian jerami padi cenderung menurunkan emisi gas N 2 O karena pemberian jerami mendorong kondisi tanah menjadi lebih reduktif sehingga N lebih banyak hilang dalam bentuk N2 daripada N2O. Tetapi kehilangan N dalam bentuk gas N 2 ini diharapkan akan be rkurang dengan meningkatnya tingkat penambatan N 2 oleh bakteri penambat N 2 dalam tanah tergenang, khususnya dengan pemberian jerami padi. Bertitik tolak dari hasil penelitian ini dan mengingat harga pupuk N semakin mahal karena peningkatan tajam harga sumber energi minyak bumi, maka pengembalian jerami padi ke lahan sawah dapat dipertimbangkan sebagai salah satu cara pengelolaan suplai N secara terpadu dalam budidaya padi sawah. Penelitian seperti ini harus dilanjutkan dan diperluas dengan tujuan untuk memanfaatkan berbagai potensi sumber N dalam meningkatkan suatu teknologi intensifikasi budidaya padi sawah dengan biaya yang murah dan berwawasan lingkungan Implikasi pada Pengelolaan Nitrogen dari Pupuk Mineral dan Jerami Padi Pada kondisi tergenang, komposisi kimia dari jerami atau kompos tampaknya memengaruhi pelepasan N dari bahan organik tersebut. Oleh karena itu, dalam pengelolaan N dari bahan organik yang diberikan ke dalam tanah

92 74 seharusnya diarahkan pada pemilihan jenis dan tingkat dekomposisi bahan organik (dikomposkan atau tidak dikomposkan) serta cara dan waktu pemberian bahan organik ke dalam tanah. Pemberian jerami padi menghasilkan imobilisasi N yang mengarah pada kekurangan N pada stadia awal pertumbuhan tanaman padi jika jerami padi diberikan segera sebelum penanaman bibit padi. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa pemberian jerami padi dalam bentuk potongan-potongan jerami ke dalam tanah tergenang tiga minggu sebelum tanam, dapat mengurangi potensi imobilisasi N. Selain itu juga dapat mengurangi akumulasi N-NH + 4 dalam tanah pada saat tanam dimana sistem akar tanaman belum mampu mengambil N dari tanah. Tetapi konsentrasi N-NH + 4 dalam tanah akibat pemberian jerami tersebut meningkat pada stadia pertumbuhan berikutnya (antara stadia pembentukan anakan dan awal pembentukan malai) ketika kebutuhan N tanaman padi tinggi. Untuk mengurangi emisi gas N 2 O, jerami padi sebaiknya diberikan ke dalam tanah sesaat sebelum tanah digenangi. Dengan cara tersebut diharapkan N- NO3 - dalam tanah akan diimobilisasi oleh jasad renik dan selanjutnya dilepaskan kembali ke dalam tanah pada saat tanah digenangi atau disawahkan sehingga tersedia bagi tanaman padi. Pemberian kompos jerami padi secara tunggal dapat menyebabkan tanaman mengalami kekurangan N karena pelepasan N-NH + 4 dari kompos relatif rendah selama pertumbuhan tanaman padi (Gambar 9a). Tanaka (1978) menyatakan bahwa pemberian kompos jerami merupakan metode yang terbaik untuk daur ulang K dan Si, tetapi bukan untuk N. Untuk jangka panjang diharapkan kompos jerami mampu meningkatkan kesuburan tanah melalui peningkatan kandungan humusnya dalam tanah bila diberikan secara teratur ke dalam tanah. Penambahan urea secara terpisah dalam dua kali pemberian dan pemberian kombinasi kompos dengan urea dapat meningkatkan ketersediaan N dalam tanah pada stadia awal pertumbuhan tanaman serta membantu menyelaraskan suplai N dengan kebutuhan N tanaman sehingga dapat memperbaiki pertumbuhan serta produksi tanaman padi.

93 75 Pemberian jerami padi yang dikombinasikan de ngan urea ke dalam tanah merupakan suatu pilihan bila dikaitkan dengan kekhawatiran akan meningkatnya pelepasan gas CH 4 atau akumulasi senyawa-senyawa organik dalam tanah sawah jika hanya diberi jerami padi. Untuk mengendalikan pelepasan gas CH 4, maka urea dapat diganti dengan ZA (amonium sulfat). Sulfat dari ZA tersebut akan mempertahankan kondisi redoks tanah relatif lebih tinggi sehingga menghalangi reduksi CO 2 menjadi CH 4. Selain itu, praktek ini dilakukan untuk mempertahankan suplai hara N yang seimbang, baik yang berasal dari hidrolisis urea maupun dari mineralisasi N dalam jerami padi. Kandungan bahan organik tanah selain bergantung pada jumlah bahan organik yang diberikan ke dalam tanah, juga bergantung pada laju dekomposisi bahan organik dalam tanah. Karena laju dekomposisi bahan organik dalam tanah tergenang lebih lambat daripada di dalam tanah aerob, maka pengembalian residu tanaman atau bahan organik ke dalam tanah sawah akan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan kandungan N tanah. Oleh karena itu, secara umum praktek ini akan memberikan dampak positif untuk jangka panjang terhadap kesuburan tanah dan produktivitas tanaman.

94 76 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Hasil percobaan di laboratorium menunjukkan bahwa pola dan laju pelepasan atau mineralisasi N dalam tanah tergenang sangat tergantung pada tingkat dekomposisi bahan organik (jerami segar atau kompos). Selama masa inkubasi tanah-bahan organik, nitrogen yang dilepaskan dalam tanah tergenang yang diberi potongan-potongan jerami segar jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberi kompos jerami. Pemberian urea yang dikombinasikan dengan kompos mampu meningkatkan ketersediaan N dalam tanah serta mengurangi potensi imobilisasi N dalam tanah. Dengan kata lain, untuk jangka pendek jerami segar merupakan sumber N tanaman yang lebih baik dibandingkan dengan kompos. Selanjutnya pemberian potongan-potongan jerami segar (N ~ 0,9%) dengan takaran yang setara dengan 92 kg N ha -1 atau setara dengan 8,5 ton BK jerami per hektar merupakan sumber N yang baik bagi tanaman padi dan memberikan pengaruh yang sama baiknya dengan urea (dengan takaran N yang sama) terhadap serapan N, jumlah anakan, dan bobot kering tanaman padi. Selain itu, pemberian potongan-potongan jerami padi ke dalam tanah dengan kondisi tergenang dapat meningkatkan aktivitas enzim nitrogenase dari bakteri penambat N 2, yang selanjutnya menjadi sumber N yang dapat digunakan oleh tanaman padi pada stadia pertumbuhan generatif (the later stages of growth ). Dengan demikian, pemberian jerami padi ke dalam tanah sawah dapat menjadi salah satu cara pengelolaan suplai N dalam budidaya padi sawah. Pemberian jerami juga dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan N pupuk oleh tanaman padi dan menurunkan emisi gas N 2 O Saran Potongan-potongan jerami padi sebaiknya diberikan tanpa dikomposkan lebih dulu dan diberikan ke dalam tanah satu hari sebelum tanah digenangi. Selanjutnya jerami padi tersebut diinkubasi selama tiga minggu dalam kondisi - tergenang sebelum penanaman bibit padi. Dengan cara ini diharapkan N-NO 3 akan diimobilisasi oleh jasad renik tanah, dan selanjutnya dilepaskan kembali ke dalam tanah saat lahan disawahkan sehingga tersedia bagi tanaman padi.

95 77 DAFTAR PUSTAKA Acharya, C.N Studies on the decomposition of plant materials. II. Comparison of the course of decomposition of rice straw under anaerobic, aerobic, and partially aerobic conditions. Biochem. J. 29: Adachi, K., W. Chaitep, and T. Senboku Promotive and inhibitory effects of rice straw and cellulose application on rice plant growth in pot and field experiments. Soil Sci. Plant Nutr., 43: Agency for Agricultural Research and Development Five years of agricultural research and development in Indonesia , the accomplishment and the contributions. Ministry of Agriculture, Republic of Indonesia. Alexander, M Introduction to Soil Microbiology. John Willey & Sons, New York, 467 p. Ando, H., C. Mihara, K. Kakuda, G. Wada The fate of ammonium applied to flooded rice as affected by zeolite addition. Soil Sci. Plant Nutr., 42 (3): Aulakh, M.S. and J.W. Doran Impact of integrated management of crop residue, green manure, and fertilizer N on productivity, C sequestration. Denitrification and N 2 O emissions in rice-wheat system. World Congress of Soil Science : Confronting New Realities in the 21 st century, August 2002, Bangkok, Thailand. Aulakh, M.S., T.S. Khera, and J.W. Doran Mineralization and denitrification in upland, nearly saturated and flooded subtropical soil : II. Effect of organic manures varying in N content and C:N ratio. Biol. Fertil. Soils, 31: Azam, F., C. Miller, A. Weiske, and G. Benckiser Nitrification and denitrification as sources of atmospheric nitrous oxide role of oxidizable carbon and applied nitrogen. Biol. Fertil. Soils, 35: Bashir, R., R. J. Norman, R. K. Bacon, and B. R. Wells Accumulation and redistribution of fertilizer nitrogen-15 in soft red winter wheat. Soil Sci. Soc. Am. J., 61: Beaton, J.D., H. Hasegawa, J.C. Xie, J.C.W. Keng, and E.H. Halstead Influence of intensive longterm fertilization on properties of paddy soils and sustainable yields. Proceedings, International Symposium on Paddy Soils, Nanjing, China, September p Becker, M., J.K. Ladha, I.C. Simpson, and J.C.G. Ottow Parameters affecting the nitrogen mineralization of plant residues in flooded soils. Soil Sci. Soc. Am. J., 58: Bergesen. F. J Methods for Evaluating Biological Nitrogen Fixation. John Wiley and Sons. New York. Toronto.

96 78 Bronson, K.F. and I.R.P. Fillery Fate of 15 N labeled urea applied to wheat on a waterlogged texture-contrast soil. Nutr. Cycl. Agroeco., 51: Buresh, R.J. and S.K. De Datta Nitrogen dynamics and management in rice-legume cropping systems. Adv. Agron. 45: 1-59 (N.C. Brady ed.). Academic Press, San Diego, CA. Clement, A.J.K. Ladha, and F.P. Chalifour Crop residue effects on nitrogen mineralization microbial biomass and rice yield in submerged soils. Soil Sci. Soc. Am. J., 59: da Silva, P.R.F. and C.A. Stutte Nitrogen loss in conjuction with transpiration from rice leaves as influenced by growth stage, leaf position, and N supply. Agron. J., 73 : Deacon, J Role of N in the biosphere: the N cycle and N fixation. htm. Dei, Y The effects of cereal crop residues on paddy soils. ASPAC Extension Bulletin No. 49. Dobermann, A. and T. Fairhust Nutrient deficiencies and toxicities in lowland rice soils. IRRI, Potash and Phosphate Institute (PPI). Engler, R.M. and W.H. Patrick Jr Nitrate removal from flooded water overlying flooded soils and sediments. J. Environ. Qual., 3: Faulkner, S.P. and C.J. Richardson Physical and chemical characteristics of freshwater wetland soils. In D.A. Hammer (ed), Constructed Wetlands for Wastewater Treatment, p Lewis Publishers, Chelsea, Michigan. Fillery, I.R.P. and P.L.G. Vlek Reappraisal of the significance of ammonia volatilization as an N loss mechanism in flooded rice fields. Fertil Res., 9: Firestone, M.K Biological denitrification. In Stevenson F.J. (ed), Nitrogen in Agricultural Soils, p American Society of Agronomy, Madison, Wisconsin. Forbes, J.C. and R.D. Watson Plants in Agricultur e. Cambridge University Press. Frenzel, P., F. Rothfuss, R. Conrad Oxygen profiles and methane turnover in a flooded rice microcosm. Biol. Fertil. Soils, 14: Gambrell, R.P. and W.H. Patrick, Jr Chemical and microbiological properties of anaerobic soils and sediments, In D.D. Hook and R.M.M. Crawford (eds), Plant Life in Anaerobic Environments, p Ann Arbor Sci. Pub. Inc., Ann Arbor, Mich. Giller, K.E. and K.J. Wilson Nitrogen Fixation Tropical Cropping Systems. CAB International. Greenland, D. J The Sutainability of Rice Farming. CAB International in association with IRRI.

97 79 Guindo, D., R.J. Norman, and B.R. Wells Acumulation of fertilizer nitrogen-15 by rice at different stages of development. Soil Sci. Soc. Am. J., 58: Gunnarson, S. and H. Marstorp Carbohydrate composition of plant materials determines N mineralization. Nutr. Cycling in Agroecosystems, 62: Havlin, J.L., J.D. Beaton, S.L. Tisdale, and W.L. Nelson Soil Fertility and Fertilizers, 6 th ed. Prentice Hall, New Jersey. 501p. Haynes, R.J The decomposition process: Mineralization, immobilization, humus formation and degradation. In R.J. Haynes (ed.), Mineral Nitrogen in the Plant-Soil System. p Academic Press,Oralando, FL. Hegde, D.M Intergrated nutrient supply on crop productivity and soil fertility in rice (Oryza sativa )-rice system. Indian J. Agron. 41: 1-8. Howlader Md., A.R., Solaiman, A.R.M., Sirajul, K.A. J.M., and Azmal, A.K.M Microbial biomass dynamics and N availability in organic matter amended lowland paddy soil of Bangladesh. World Congress of Soil Science : Confronting New Realities in the 21 st century, August 2002, Bangkok, Thailand. Inoko, A., Y. Harada, and K. Sugihara Agricultural use of municipal refuse compost with special reference to the degree of maturity (In Japanese, English summary). Bull. Natl. Inst. Agric. Sci., Jpn. Ser. B., 33: Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) Climate Change, the IPCC Scientific Assesment. J.T. Houghton, G. J. Jenkins, and J.J. Ephraums (eds). Cambrige University Press, UK. IPCC Climate Change: The Scientific Assesment, OECD, Paris. International Rice Research Institute (IRRI) Annual report for Los Banos, Philippines. 479p. Kakuda, K., H. Ando, and M. Harayama Effect of rice plant growth on denitrification in rhizosphere soil. Soil Sci. Plant Nutr., 45(3): Kakuda, K., H. Ando, and T. Konno Contribution of nitrogen absorption by rice plants and nitrogen immobilization enhanced by plant growth to the reduction of nitrogen loss through denitrification in rhizospere soil. Soil Sci. Plant Nutr., 46(3): Kirk, G.J.D. and D.C. Olk Carbon and Nitrogen Dynamics in Flooded Soils. International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines. Klemedtsson, L., B.H. Svensson, and T. Rosswall Dinitrogen and nitrous oxide production by denitrification and nitrification processes in soil with and without roots. Plant Soil, 99: Kundu, D.K. and J.K. Ladha Efficient management of soil and biologically fixed N 2 in intensively cultivated rice fields. Soil Biol. Biochem., 27:

98 80 Kyuma, K Productivity of lowland soils, p In IRRI, Symposium on potential productivity of field crops under different environments, Los Banos, Philippine. Ladha, J.K. and D.K. Kundu Towards sustaining the nitrogen fertility of lowland rice soils : issues and options. In Rupela O. P. (Ed). Managing Legumes Nitrogen Fixation in Cropping Systems of Asia. International Crops Research Institute for the Semi-arid Tropics, Hyderabad. Lettey, J., N. Valoras, D.D. Focht and J.C. Ryden Nitrous oxide production and reduction during denitrification as affected by redox potential. Soil Sci. Soc. Amer. J., 45: Mahmood, T., R. Ali, K.A. Malik, and S.R.A. Shamsi Denitrification with and without maize plants (Zea mays L.) under irrigated field conditions. Biol. Fertil. Soils, 24: Manahan, S.E Environmental Chemistry. 6 th London. 811p. ed. Lewis Publishers. Matsuguchi, T Factors affecting heterotrophic nitrogen fixation in submerged rice soils. In International Rice Research Institute, Nitrogen and Rice. p Los Banos, Philippines. Meyer, B.S., D.B. Anderson, and R.H. Bohning Introduction to Plant Physiology. D. Van Nostrand Company, Inc. 541p. Mikkelsen, D.S Nitrogen budgets in flooded soils used for rice production. Plant and Soil, 100: Mikkelsen, D.S., S.K. De Datta, and W.N. Obcemea Ammonia volatilization losses from flooded rice soils. Soil Sci. Soc. Am. J., 42: Mikkelsen, D.S., G.R. Jayaweera, D.E. Rolston Nitrogen fertilization practices of lowland rice culture, p In Peter E. Bacon (ed), Nitrogen Fertilization in the Environment, Marcel Dekker, Inc., New York. Mitsch, W.J. and J.G. Gosselink Wetlands. Van Nostrand Reinhold, New York. Mohanty, S.K. and R.N. Dash The chemistry of waterlogged soils. In B. Gopal, R.E. Turner, R.G. Wetzel, and D.F. Whigham (eds), Wetlands Ecology and Management, p Natural Institute of Ecology and International Scientific Publications, Jaipur, India. Murdiyarso, D Measuring impact of land-use change on the soil, p In D. Murdiyarso, M. van Noordwijk, D.A. Suyamto (eds), Modelling Global Change Impacts on the Soil Environment, Biotrop-GCTE/Impacts Centre for Southeast Asia (IC -SEA), Bogor, Indonesia. Nagarajah, S Transformation of green manure nitrogen in lowland rice soils, p In IRRI, Sustainable Agriculture: Green manure in rice farming. p Los Banos, Philippines.

99 81 Nommik, H Investigations on denitrification in soil. Acta Agriculturae Scandinavica, 6: Nugroho, S.G. and S. Kuwatsuka Concurrent observation of several processes of N metabolism in soil amended with organic matter : I. Effect of different organic matter on ammonification, nitrification, denitrification, and N 2 fixation under aerobic and anaerobic conditions. Soil Sci. Plant Nutr., 36(2): Oh, W.K Effect of incorporation of organic materials on paddy soils. In IRRI, Nitrogen and Rice. p International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines. Ostrom, N.E., M.E. Russ, B. Popp, T.M. Rust, and D.M. Karl Mechanisms of N 2 O production in subtropical North Pacific based on determinations of the isotopic abundances of N 2 O and di-oxygen. Chemosphere-Global Change Science, 2 : Patrick Jr, W.H. and R. Wyatt Soil nitrogen loss as a result of alternate submergence and drying. Soil Sci. Soc. Amer. Proc., 28: Ponnamperuma, F.N The chemistry of submerged soils. Adv. Agron., 24: Ponnamperuma, F.N Physiological properties of submerged soils in relation to fertility. Int. Rice Res. Inst. Paper Seri 5, Ponnamperuma, F.N Straw as a source of nutrient for wetland rice. In Organic Matter and Rice, p International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines. Prade, K. and G. Trolldenier Denitrification in the rhizosphere of plants with inherently different aerenchyma formation: Wheat (Triticum aestivum) and rice (Oryza sativa). Biol. Fertil. Soils, 9: Prasad, B. and S.K. Sinha Nutrient recycling through crop residues management for sustainable rice and wheat production in calcareous soil. Fert. News 40 (11): Qixiao, W. and Y. Tianren Effect of green manure on physicochemical properties of irrigated rice soils. In IRRI (ed), Sustainable Agriculture : Green manure in rice farming. p Int. Rice Res. Inst., Manila. Reddy, K.R. and D.A. Graetz Carbon and nitrogen dynamics in wetland soils. In D.D. Hook et al. (eds), The Ecology and Management of Wetlands, vol. I, p Timber Press, Portland, Ore. Reddy, K.R. and W.H. Patrick Nitrogen transformation and los s inflooded soils and sediments. Crit. Rev. Environ. Control 13 : Ritchie, G.A.F. and D.J.D. Nicholas Identification of the sources of nitrous oxide produced by oxidative and reductive processes in Nitrosomonas europaea. Biochem J. 126: Rolston, D.E., D.L. Hoffman, and D.W. Toy Field measurement of denitrification: I. Flux of N 2 and N 2 O. Soil Sci. Soc. Am. J., 42:

100 82 Rolston, D.E., S. Amali, G.R. Jayaweera, P.S.C. Rao, R.E. Jessup, D.S. Mikkelsen, and K.R. Redd y Simulation of nitrogen transport processes in flooded rice soils. Proc. 14 th Int. Cong. Of Soil Scientist, Kyoto, Japan, vol. 4, Roger, P.A. and I. Watanabe Technologies for using biological nitrogen fixation in wetland rice: potentials, current use, and limiting factors. Fert. Res., 9: Roger, P.A. dan J.K. Ladha Estimation of biological N fixation and its estimation in wetland rice fields. Transactions 14 th international Congress Soil Science 3: Russow, R., I. Sich, and H.U. Neue The formation of trace gases NO and N 2 O in soils by the coupled processes of nitrification and denitrification : results of kinetic 15 N tracer investigations. Chemosphere-Global Change Science, 2 : Russow, R., R.J. Stevens, R. Laughlin Accuracy and precisionfor measurements of the mass ratio 30/28 in dinitrogen from air samples and its application to the investigation pf N losses from soil by denitrification. Isotopes Environ. Health Stud. 32: Savant, N.K. and S.K. De Datta Nitrogen transformations in wetland rice soils. Adv. Agron. 35: Shibara, F. and K. Inubushi Effects of organic matter application on microbial biomass and available nutrients in various types of paddy soils. Soil Sci. Plant Nutr., 43: Shibara, F., S. Yamamuro, and K. Inubushi Dynamics of microbial biomass nitrogen as influenced by organic matter application in paddy fields: I. Fate of fertilizer and soil organic N determined by 15 N tracer technique. Soil Sci. Plant Nutr., 44: Sisworo, W.H. dan H. Rasjid Pemanfaatan sisa panen dalam pola tanam padi padi kedelei. Risalah Simposium III. Jakarta Desember Aplikasi Isotop dan Radiasi, hal Smith, C.J. and M.H. Patrick Jr Nitrous oxide emission as affected by alternate anaerobic and aerobic conditions from soil suspensions enriched with ammonium sulfate. Soil Biol. Biochem., 15(6): Smith, S.J., L.B. Young, and G.E. Miller Evaluation of soil nitrogen mineralization potentials under modified field conditions. Soil Sci. Soc. Amer. J., 41: Soil Science Society of America Glossary of soil science terms. SSSA, Madison, WI. Stanford, G. and S.J. Smith Nitrogen mineralization potentials of soils. Soc. Amer. Proc., 36: Stevenson, F. J Humus Chemistry : Genesis, Composition, Reactions. 2 nd ed. John Wiley & Sons, New York. 496 p.

101 83 Stutte, C.A., R.T. Weiland Gaseous nitrogen loss and transpiration of several crop and weed species. Crop Sci., 18: Tan, K.H Soil Sampling, Preparation and Soil Analysis, p Marcel Dekker, Inc., New York. 408 p. Tanaka, A Climatic influence on photosynthesis and respiration in rice, p In Climate and Rice. IRRI, Los Banos, Philippines. Thind, H.S. and D.L. Rowell Transformation of 15 N-labeled urea in a flooded soil as affected by floodwater algae and green manure in a growth chamber. Bio l Fertil Soils, 31: Tiedje, J.M Ecology of denitrification and dissimilatory nitrate reduction to ammonium. In Zenhnder A.J.B. (ed), Biology of Anaerob Microorganisms. p Wiley, New York. Ueno, H. and S. Yamamuro Fate of nitrogen derived from 15 N-labeled plant residues and composts in rice-planted paddy soil. Soil Sci. Plant Nutr., 47(4): Ventura, T.S., M. Bravo, C. Daez, V. Ventura, I. Watanabe, and A.A. App Effects of N-fertilizers, straw, and dry fallow on the nitrogen balance of a flooded soil planted with rice. Plant and Soil, 93: Ventura, W.B. and T. Yoshida Ammonia volatilization from a flooded tropical soil. Plant Soil, 46: Wada, H., S. Panichsakpatana, M. Kimura, and Y. Takai Nitrogen fixation in paddy soils. Part I. Controlling factors affecting N 2 fixation. Soil Sci. Plant Nutr., 24: Watanabe, I.and K. Inubushi Dynamics of available nitrogen in paddy soils : I. Changes in available N during rice cultivation and origin of N. Soil Sci. Plant Nutr., 32(1): Weiland, R.T. and C.A. Stutte Pyro-chemiluminescent differentiation of oxidized and reduced N forms evolved from plant foliage. Crop Sci., 19: Wiebe, W.J., R.R. Christian, J.A. Hansen, G. King, B. Sherr, and G. Skyring Anaerobic respiration and fermentation. In L.R. Pomeroy and R.G. Wiegert (eds). p Springer-Verlag, New York. Witt, C., U. Biker, C.C. Galicia, J.C.G. Ottow Dynamic s of soil microbial biomass and N availability in a flooded rice soil amended with different C and N sources. Biol Fertil Soils, 30: Yoshida, S Fundamentals of Rice Crop Science, International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines, p Yoshida, S. and B.C. Padre Jr Effect of organic matter application and water regimes on the transformation of fertilizer nitrogen in a Philippine soil. Soil Sci Plant Nutr., 21:

102 84 Zhenghu, D. and X. Honglang Effects of soil properties on ammonia volatilizaion. Soil Sci. Plant Nutr., 46(4): Zhiyu, L. Shi Weiming, and Fan Xiaohui The rhizosfere effect of phosphorus and iron in soils. Transactions 14 th International Congress Soil Science, 2: Zhu, Z., C. Liu, and B. Jiang Mineralization of organic nitrogen, phosphorus, and sulfur in some paddy soils of China. In IRRI, Organic Matter and Rice, p Los Banos, Philippines.

103 LAMPIRAN xii

104 85 Lampiran 1. Cara Penghitungan Serapan 15 N dan N dari Bahan Organik dan Urea Perlakuan : A. Kontrol, 0 N (tanpa bahan organik dan urea) 50 mg 15 N-ZA B. Bahan organik tidak bertanda (J o, J 4, atau J 8 ) 50 mg 15 N-ZA C. Urea tidak bertanda (U) 50 mg 15 N-ZA D. Bahan Organik dan Urea tidak bertanda (J o U, J 4 U, atau J 8 U) 50 mg 15 N-ZA Perlakuan % 15 N a.e. * % 15 N tnm yang berasal dari ZA ** Kontrol 1,094 (1,094/9,633) x 100% = 11,357 Bahan Organik 0,614 (0,614/9,633) x 100% = 6,374 Urea 0,862 (0,862/9,633) x 100% = 8,948 Bahan Organik + Urea 0,679 (0,679/9,633) x 100% = 7,049 * Hasil analisis contoh tanaman dari percobaan pot % 15 N a.e. dalam pupuk ZA yang diberikan ke dalam tanah = (10-0,367)% = 9,633% ** % 15 N dalam tanaman yang berasal dari pupuk ZA = (% 15 N a.e. dalam contoh tanaman / % 15 N a.e. dalam pupuk ZA) x 100%

105 86 Nitrogen Tersedia (A-value) Berdasarkan Me tode Pengenceran Isotop 15 N oleh Tanaman : A. Kontrol (tanpa Bahan Organik dan Urea) : %N yang berasal dari pupuk ZA %N yang berasal dari tanah = Takaran N dari pupuk ZA yang diberikan (Sumber N hanya berasal dari pupuk ZA dan tanah) A tanah 11, ,357 = A tanah = 390,257 mg N setara 50 A tanah dengan pupuk ZA B. Bahan Organik: C. Urea: 6, ,374 A tanah+bhn organik = 734,44 = Abhn organik = 734,44 390, A tanah+bhn organik = 344,18 mg N setara dengan pupuk ZA 8, ,945 A tanah+urea = 508,78 = A urea = 508,78 390, A tanah+urea = 118,53 mg N setara dengan pupuk ZA D. Bahan Organik dan Urea: 7, ,049 A tanah+bo+urea = 659,32 = A bo+urea = 659,32 390, A tanah+bo+urea = 269,06 mg N setara dengan pupuk ZA Persentase N dalam tanaman yang berasal dari: 1. N-tanah : %N tanah % 15 N %N tanah = (11,357 / 50) x 390,257 = = 88,643% A tanah N-bahan organik: %N bahan organik % 15 N %N bahan organik = (6,374 / 50) x 344,18 = = 43,88% A bahan organik 50

106 87 Tabel Lampiran 2. Komposisi Kimia dari Sereal dan Jerami Padi ( ) Sifat Kimia Sereal Jerami Padi Kayu Keras (Hardwood ) Selulosa (%) Hemiselulosa (%) Lignin (%) Abu (%) Silika (%) ,5 Tabel Lampiran 3. Sidik Ragam ph Tanah Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos, Urea dan Kombinasinya pada Inkubasi Tanah di Laboratorium Sumber Keragaman Derajat Bebas (Db) Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F-hitung P Hari ke- 1 Perlakuan 6 0, , ,53 0 ** Galat 14 0, ,00935 Total 20 0,72126 Hari ke-7 Perlakuan 6 0, , ,53 0 ** Galat 14 0, ,00935 Total 20 0,72126 Hari ke-14 Perlakuan 6 1, , ,04 0 ** Galat 14 0, ,00611 Total 20 1,48098 Hari ke-21 Perlakuan 7 1,1387 0, ,25 0 ** Galat 16 0,1707 0,0107 Total 23 1,3094 Hari ke-47 Perlakuan 7 0, , ,26 0 ** Galat 16 0, ,00347 Total 23 0,96206

107 88 Lanjutan Tabel Lampiran 3 Sumber Keragaman Derajat Bebas (Db) Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F-hitung P Hari ke-70 Perlakuan 7 1, , ,92 0 ** Galat 16 0, ,00513 Total 23 1,19326 Hari ke-96 Perlakuan 7 0,5101 0,0729 0,75 0,636 Galat 16 1,5581 0,0974 Total 23 2,0682 Hari ke-120 Perlakuan 7 0,8774 0,1253 4,03 0,01 * Galat 16 0,4979 0,0311 Total 23 1,3753

108 89 Tabel Lampiran 4. Sidik Ragam Konsentrasi N-NH 4 + Tanah (mg kg -1 ) Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos, Urea dan Kombinasinya pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Sumber Keragaman Derajat Bebas (Db) Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F-hitung P Pindah Tanam Perlakuan 7 409,1 58,4 1,44 0,256 Galat ,3 40,5 Total ,4 Pembentukan Anakan Perlakuan 7 674,8 96,4 1,27 0,326 Galat ,4 76,1 Total ,2 Awal Pembentukan Malai Perlakuan 7 24,27 3,47 1,1 0,406 Galat 16 50,20 3,14 Total 23 74,47 Pengisian Bulir Padi Perlakuan 7 64,17 9,17 6,04 0,001 ** Galat 16 24,29 1,52 Total 23 88,46 Panen Perlakuan 7 8,35 1,19 0,67 0,691 Galat 16 28,31 1,77 Total 23 36,66

109 90 Tabel Lampiran 5. Sidik Ragam Jumlah Anakan per Pot Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos, Urea dan Kombinasinya pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Sumber Keragaman Derajat Bebas (Db) Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F-hitung P Pembentukan Anakan Perlakuan ,43 0,34 0,926 Galat ,25 Total Awal Pembentukan Malai Perlakuan 7 294,7 42,1 1,66 0,191 Galat ,7 25,4 Total ,4 Pengisian Bulir Padi Perlakuan 7 459,6 65,7 6,25 0,001 ** Galat ,5 Total ,6

110 91 Tabel Lampiran 6. Sidik Ragam Bobot Kering Tanaman Padi (g per pot) Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos, Urea dan Kombinasinya pa da Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Sumber Keragaman Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Derajat Bebas (Db) Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Pembentukan Anakan F-hitung 7 3,234 0,462 0,77 0, ,595 0, ,829 Awal Pembentukan Malai 7 49,46 7,07 1,07 0, ,04 6, ,5 Pengisian Bulir Padi Perlakuan ,9 368,6 17,69 0 ** Galat ,3 20,8 Total ,2 Saat Panen Perlakuan 7 163,2 23,3 0,76 0,626 Galat ,5 30,6 Total ,7 P

111 92 Tabel Lampiran 7. Sidik Ragam Serapan 15 N (mg per pot) Tanaman Padi Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos, Urea dan Kombinasinya pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Sumber Keragaman Derajat Bebas (Db) Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F-hitung P Pembentukan Anakan Perlakuan 7 32,63 4,66 1,16 0,377 Galat 16 64,23 4,01 Total 23 96,86 Awal Pembentukan Malai Perlakuan 7 214,9 30,7 9,78 0 ** Galat 16 50,2 3,14 Total ,1 Pengisian Bulir Padi Perlakuan ,8 0 ** Galat Total Panen Perlakuan ,78 0 ** Galat Total

112 93 Tabel Lampiran 8. Sidik Ragam Serapan N yang Berasal dari Tanah (mg per pot) Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos, Urea dan Kombinasinya pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Sumber Keragaman Derajat Bebas (Db) Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F-hitung P Pembentukan Anakan Perlakuan ,23 0,342 Galat Total Awal Pembentukan Malai Perlakuan ,14 0 ** Galat Total Pengisian Bulir Padi Perlakuan ,04 0,001 ** Galat Total Panen Perlakuan ,46 0 ** Galat Total

113 94 Tabel Lampiran 9. Sidik Ragam Serapan N yang Berasal dari Pupuk (mg per pot) Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos, Urea dan Kombi-nasinya pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi * Sumber Keragaman Derajat Bebas (Db) Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F-hitung P Pembentukan Anakan Perlakuan ,05 0,125 Galat Total Awal Pembentukan Malai Perlakuan ,89 0,003 ** Galat Total Pengisian Bulir Padi Perlakuan ,001 ** Galat Total Panen Perlakuan ,65 0,207 Galat Total * Pupuk adalah Jerami Padi, Kompos Jerami Padi dan Urea

114 95 Tabel Lampiran 10. Sidik Ragam Efisiensi Penggunaan N Pupuk (%) oleh Tanaman Padi Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos, Urea dan Kombinasinya pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Sumber Keragaman Derajat Bebas (Db) Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F-hitung P Pembentukan Anakan Perlakuan 6 66,74 11,12 2,05 0,126 Galat 14 75,88 5,42 Total ,62 Awal Pembentukan Malai Perlakuan ,7 178,3 5,89 0,003 ** Galat ,8 30,3 Total ,5 Pengisian Bulir Padi Perlakuan ,97 0,477 Galat Total Panen Perlakuan 6 752,3 125,4 1,78 0,175 Galat ,4 Total ,3

115 96 Tabel Lampiran 11. Sidik Ragam Fluks Gas N 2 O (mg m -2 jam -1 ) Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos, Urea dan Kombinasinya Saat Inkubasi Bahan Organik pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Sumber Keragaman Derajat Bebas (Db) Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F-hitung P 0 HST Perlakuan 6 32,871 5,479 10,84 0 ** Galat 14 7,075 0,505 Total 20 39,946-7 HST Perlakuan 6 0,156 0,028 1,01 0,456 Galat 14 0,382 0,027 Total 20 0, HST Perlakuan 6 1,536 0,256 0,85 0,553 Galat 14 4,214 0,301 Total 20 5,75 Pindah Tanam (-21 HST) Perlakuan 6 0,0031 0,0004 0,84 0,569 Galat 14 0,0083 0,0005 Total 20 0,0114 Pembentukan Anakan Perlakuan 7 0,0027 0,0004 0,65 0,706 Galat 16 0,0093 0,0006 Total 23 0,0119 Awal Pembentukan Malai Perlakuan 7 0,0052 0,0007 2,44 0,066 Galat 16 0,0049 0,0003 Total 23 0,01

116 97 Tabel Lampiran 12. Sidik Ragam Acetylene Reduction Assay (ARA) di Daerah Perakaran Tanaman Padi (nmol C 2 H 4 g -1 BK Akar jam -1 ) Akibat Pemberian Jerami Padi, Kompos, Urea dan Kombinasinya pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Sumber Keragaman Derajat Bebas (Db) Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F-hitung P Pembentukan Anakan Perlakuan 7 0,4291 0,0613 3,68 0,015 * Galat 16 0,2665 0,0167 Total 23 0,6956 Awal Pembentukan Malai Perlakuan 7 5,674 0,811 1,26 0,328 Galat 16 10,277 0,642 Total 23 15,950 Panen Perlakuan 7 0,682 0,097 0,67 0,697 Galat 16 2,340 0,146 Total 23 3,022 * nyata pada taraf 5%

117 98 Tabel Lampiran 13. Jumlah Anakan Tanaman Padi per Pot pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Perlakuan Stadia Pembentukan Anakan Stadia Awal Pembentukan Malai Stadia Pengisian Bulir Padi K 0 (1) (2) (3) Rata-rata 7 22,7 20,7 J o (1) (2) (3) Rata-rata 7, J 4 (1) (2) (3) Rata-rata 6, ,3 J8 (1) (2) (3) Rata-rata ,3 J o U (1) (2) (3) Rata-rata 6,7 24,3 27,7 J 4 U (1) (2) (3) Rata-rata 6,7 26,7 20,7 J 8 U (1) (2) (3) Rata-rata 8,3 24,7 25 U (1) (2) (3) Rata-rata 7, ,3 KK (%) 29,45 19,64 13,86

118 99 Tabel Lampiran 14. Bobot Kering Tanaman Padi (g per pot) pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Perlakuan Stadia Pembentukan Anakan Stadia Awal Stadia Pengisian Bulir Padi Panen * Pembentukan Malai Gabah Jerami Gabah Jerami K 0 (1) 1,07 10,53 12,27 27,70 13,81 22,86 (2) 1,86 8,67 18,91 24,34 15,23 23,25 (3) 3,39 13,82 16,05 31,74 14,50 28,46 Rata -rata 2,11 11, ad 19,69 J o (1) 1,62 17,38 26,59 37,60 15,31 32,98 (2) 3,01 18,24 21,02 45,81 5,74 30,29 (3) 1,87 10,22 23,63 36,70 6,39 23,49 Rata -rata 2,17 15,28 63,78 bc 19,03 J 4 (1) 2,13 12,70 23,07 31,26 12,79 25,43 (2) 2,34 14,68 22,69 33,13 6,42 23,96 (3) 2,30 16,85 18,64 30,25 5,47 24,75 Rata -rata 2,2 6 14, cd 16,47 24,71 J 8 (1) 1,14 12,82 11,38 25,14 9,18 25,58 (2) 1,76 12,99 16,27 28,15 13,43 23,58 (3) 1,49 10,31 10,21 24,31 8,16 24,20 Rata -rata 1,46 12,04 38,49 a 17,36 24,45 J o U (1) 0,67 13,01 24,04 39,92 6,15 25,83 (2) 3,13 10,07 24,94 36,45 13,13 26,70 (3) 2,49 12,02 13,97 42,49 13,17 28,44 Rata -rata 2,10 11,70 60,60 bc 18,90 J 4 U (1) 1,95 16,38 27,78 32,29 8,92 28,84 (2) 2,10 10,96 19,37 28,42 4,81 23,25 (3) 2,51 15,00 27,85 32,43 9,06 26,11 Rata -rata 2,19 14,11 56,05 dc 16,83 26,07 J 8 U (1) 2,82 8,99 24,06 35,05 8,67 29,41 (2) 2,60 14,63 24,47 33,11 11,65 28,39 (3) 3,15 13,90 18,38 38,52 6,14 20,77 Rata -rata 2,86 12,51 57,86 c 17,51 26,19 U (1) 3,57 13,51 33,54 42,91 8,35 28,59 (2) 1,67 14,38 17,27 49,65 12,52 32,74 (3) 2,21 12,72 32,27 44,94 10,36 28,89 Rata -rata 2,48 13,54 73,53 b 10,41 30,07 KK (%) 35,18 19,63 8,16 15,15 * Butir gabah banyak yang hilang dimakan burung

119 100 Tabel Lampiran 15. Perlakuan Nilai ph Tanah dalam Kondisi Tergenang pada Inkubasi di Laboratorium Inkubasi Hari ke K 0 (1) 5,68 5,73 5,75 6,09 5,89 6,85 6,16 (2) 5,72 5,73 5,82 6,06 5,93 6,10 5,82 (3) 5,85 5,90 6,03 5,99 5,96 6,24 6,20 Rata -rata 5,75 5,79 5,87 6,05 5,93 6,40 6,06 J o (1) 6,16 6,52 6,40 6,46 6,61 6,59 6,71 (2) 6,42 6,51 6,43 6,51 6,53 6,73 6,35 (3) 6,22 6,48 6,41 6,44 6,52 6,90 6,66 Rata -rata 6,27 6,50 6,41 6,47 6,55 6,52 6,57 J4 (1) 6,01 5,99 6,04 6,20 6,23 6,39 6,46 (2) 5,85 5,92 5,98 6,06 6,12 6,64 6,32 (3) 5,81 5,78 5,91 5,96 6,12 6,25 6,32 Rata -rata 5,89 5,90 5,98 6,07 6,16 6,43 6,37 J 8 (1) 5,75 5,84 5,97 6,05 6,07 6,27 6,26 (2) 5,67 5,66 5,67 5,94 5,83 6,06 6,01 (3) 5,78 5,88 5,93 6,04 6,06 7,08 6,36 Rata -rata 5,73 5,79 5,86 6,01 5,99 6,47 6,21 J o U (1) 6,07 6,25 6,48 6,51 6,52 6,95 6,64 (2) 5,87 6,32 6,34 6,50 6,41 6,72 6,60 (3) 6,06 6,32 6,51 6,53 6,55 6,53 6,60 Rata -rata 6,00 6,30 6,44 6,51 6,49 6,73 6,61 J 4 U (1) 5,92 5,90 6,03 6,01 6,17 6,36 6,50 (2) 5,81 5,89 5,91 6,06 6,08 6,84 6,23 (3) 5,95 6,00 6,13 6,07 6,15 6,29 6,34 Rata -rata 5,89 5,93 6,02 6,05 6,13 6,50 6,36 J 8 U (1) 5,77 5,84 5,85 5,98 5,99 6,39 5,79 (2) 5,93 5,82 5,99 6,02 6,07 6,28 6,29 (3) 5,84 5,91 6,06 6,04 6,16 6,23 6,30 Rata -rata 5,85 5,86 5,97 6,01 6,07 6,30 6,13 U (1) 5,94 6,03 6,.05 6,20 6,26 (2) 5,92 6,14 6,04 6,87 5,99 (3) 5,99 6,12 6,05 6,33 6,26 Rata -rata 5,95 6,10 6,05 6,47 6,17 KK (%) 1,71 0,96 1,16 4,8 2,79

120 107 Tabel Lampiran 22. Serapan Nitrogen Tanaman Padi pada Stadia Pengisian Bulir Padi Serapan Nitrogen (mg N per pot) Perlakuan Jerami Gabah 15 N N-tanah N-pupuk 15 N N-tanah N-pupuk Total Serapan N (mg/pot) Efisiensi N Pupuk (%) K 0 (1) 30,51 208,82-20,66 126,70-386,69 - (2) 28,7 175,99-25,49 179,49-409,68 - (3) 33,71 237,35-18,04 140,22-429,31 - J o (1) 26,58 181,95 134,76 21,03 163,47 94,16 621,95 49,77 (2) 29,37 180,06 165,3 18,77 132,62 83,61 609,31 54,11 (3) 20,39 143,6 152,36 24,45 149,94 111,53 602,28 57,37 J 4 (1) 20,94 143,32 61,12 16,10 125,13 80,94 447,55 30,88 (2) 20,85 127,85 63,66 17,74 124,92 95,36 450,38 34,57 (3) 18,58 130,81 51,48 12,64 77,49 85,83 376,82 29,85 J 8 (1) 22,35 153,01 50,14 9,88 76,82 31,99 344,20 17,85 (2) 22,13 135,7 55,83 14,07 99,08 47,27 374,08 22,41 (3) 22, ,58 8,62 52,83 42,19 338,22 21,69 JoU (1) 26,78 183,32 91,7 21,91 170,36 73,60 567,68 35,93 (2) 36,75 225,31 123,59 22,04 155,21 88,85 651,75 46,18 (3) 27,47 193,42 149,2 15,08 92,45 61,78 539,40 45,86 J 4 U (1) 22,64 154,98 84,25 18,47 143,62 143,21 567,17 49,45 (2) 21,99 134,8 94,17 15,46 108,90 105,56 480,87 43,42 (3) 16,77 118,1 112,57 23,10 141,63 113,49 525,66 49,14 J 8 U (1) 32,49 222,37 128,24 17,48 135,92 92,49 628,99 47,99 (2) 31,21 191,34 97,63 23,64 166,48 70,48 580,78 36,55 (3) 25,03 176,24 130,39 18,92 116,01 81,04 547,62 45,96 U (1) 29,44 208,58 143,71 28,48 221,42 108,31 740,96 54,74 (2) 42,12 258,25 182,73 15,98 112,54 66,11 677,73 54,09 (3) 30,7 216,19 102,74 29,34 179,87 152,22 711,06 55,43

121 108 Tabel Lampiran 23. Serapan Nitrogen Tanaman Padi pada Saat Panen Perlakuan Serapan Nitrogen (mg N per pot) Jerami Gabah* 15 N N-tanah N-pupuk 15 N N-tanah N-pupuk Efisiensi N Pupuk (%) K 0 (1) 40,93 140,12-40,98 83, (2) 44,73 124,53-53,56 117, (3) 58,43 165,55-51,6 101, J o (1) 27,4 93,8 155,5 37,57 76,55 45,27 43,,65 (2) 27,35 76,14 132,17 8,95 19,57 17,58 32,56 (3) 17,26 48,91 127,63 11,91 23, ,45 J 4 (1) 19,83 67,87 118,8 10,44 21,26 91,51 45,72 (2) 26,6 74,33 125,39 4,27 9,34 44,11 36,85 (3) 19,25 54,56 134,83 3,77 7,38 32,4 36,35 J 8 (1) 23,71 81,17 136,6 10,01 20,4 64,54 43,73 (2) 22,29 62,06 114,67 14,11 30,84 96,73 45,96 (3) 21,89 62,02 144,79 7,59 14,86 57,82 44,04 JoU (1) 22,37 78,27 114,81 2,79 5,68 30,53 31,6 (2) 25,15 70,02 112,29 17,23 37,67 103,51 46,91 (3) 32,57 92,28 184,58 12,85 25,16 126,41 67,61 J 4 U (1) 25,36 86,8 147,98 9,07 18,48 70,96 47,59 (2) 21,34 59,4 129,44 2,38 5,2 22,67 33,07 (3) 22,19 62,89 148,09 8,92 17,47 74,97 48,49 J 8 U (1) 31,52 107,91 182,61 7,12 14,5 62,09 53,2 (2) 26,34 73,34 159,80 7,22 15,79 82,1 52,59 (3) 16,32 46,25 126,43 5,61 10,99 40,08 36,2 U (1) 21,24 72,71 148,49 2,5 14,37 69,69 47,43 (2) 28,79 80,16 172,94 14,21 31, ,64 (3) 19,2 54,39 165,34 10,75 21,05 79,23 53,17 * Data bobot kering gabah banyak berkurang karena banyak gabah dimakan burung

122 109 Tabel Lampiran 24. Konsentrasi 15 N dan Nitrogen Dalam Tanaman yang Diperoleh dari Jerami Padi, Kompos dan Urea serta yang Diperoleh dari Tanah pada Stadia Pembentukan Anakan Perlakuan N-total (%) 15 N a. e. a) (%) 15 N (%) N-tanah (%) A-tanah b) (mg N) N-pupuk (%) A-pupuk c) (mg N) K 0 (1) 2,836 1,094 11,356 88, , (2) 2,844 1,271 13,193 86, , (3) 2,857 1,136 11,792 88, , J o (1) 3,137 0,614 6,373 49, ,96 43, ,64 (2) 3,167 0,596 6,186 40, ,89 53, ,89 (3) 2,751 0,464 4,816 36, ,16 59, ,9 J 4 (1) 2,846 0,758 7,868 61, ,96 30, ,9 (2) 2,828 0,79 8,20 53, ,89 37, ,67 (3) 3,093 0,844 8,761 65, ,16 25, ,95 J 8 (1) 2,776 0,920 9,55 75, ,96 15, ,64 (2) 2,878 0,973 10,1 66, ,89 23, ,61 (3) 2,864 0,834 9,695 72, ,16 17, ,14 J o U (1) 3,149 0,709 7,359 57, ,96 35, ,44 (2) 3,098 0,698 7,245 47, ,89 45, ,42 (3) 2,93 0,674 6,996 52, ,16 40, ,78 J 4 U (1) 2,909 0,852 8,844 69, ,96 22, ,59 (2) 2,959 0,799 8,294 54, ,89 37, ,56 (3) 2,793 0,990 9,28 69, ,16 21, ,77 J 8 U (1) 2,981 0,747 7,754 60, ,96 31, ,32 (2) 3,193 0,758 7,868 51, ,89 40, ,97 (3) 2,938 0,823 8,543 63, ,16 27, ,58 U (1) 3,018 0,656 6,809 53, ,96 40, ,26 (2) 3,143 0,862 8,947 58, ,89 32, ,58 (3) 2,978 0,7 7,266 54, ,16 38, ,21 a) Nilai 15 N a.e. diperoleh dari pengukuran; b) N-tersedia ( available, A) bagi tanaman yang berasal dari tanah; c) N-tersedia bagi tanaman yang berasal dari pupuk (jerami padi atau kompos atau urea)

123 110 Tabel Lampiran 25. Konsentrasi 15 N dan Nitrogen Dalam Tanaman yang Diperoleh dari Jerami Padi, Kompos dan Urea serta yang Diperoleh dari Tanah pada Stadia Awal Pembentukan Malai Perlakuan N-total (%) 15 N a. e. (%) 15 N (%) N-tanah (%) A-tanah (mg N) N-pupuk (%) A-pupuk (mg N) K 0 (1) 1,201 1,351 14,023 85, , (2) 1,084 1,198 12,435 87, , (3) ,098 11,397 88, , J o (1) 1,048 0,727 7,546 58, ,12 33, ,91 (2) 1,116 0,771 8,003 56, ,91 35, ,75 (3) 1,21 0,824 8,553 52, ,57 39, ,33 J 4 (1) 0,963 0,698 7,245 56, ,12 36, ,19 (2) 1,049 0,718 7,453 52, ,91 40, ,8 (3) 0,944 0,692 7,183 44, ,57 48, ,31 J 8 (1) 1,043 0,802 8,325 64, ,12 26, ,89 (2) 0,986 0,845 8,771 61, ,91 29, ,69 (3) 1,015 0,801 8,314 50, ,57 40, ,38 J o U (1) 1,106 0,794 8,242 64, ,12 27, ,37 (2) 1,067 0,798 8,283 58, ,91 33, ,55 (3) 1,212 0,858 8,906 54, ,57 36, ,62 J 4 U (1) 1,099 0,583 6,051 47, ,12 46, ,98 (2) 1,187 0,648 6,726 47, ,91 45, ,93 (3) 0,999 0,8 8,303 50, ,57 40, ,35 J 8 U (1) 1,022 0,685 7,11 55, ,12 37, ,23 (2) 1,065 0,874 9,072 63, ,91 27, ,55 (3) 1,175 0,844 8,761 53, ,57 37, ,54 U (1) 1,068 0,766 7,951 61, ,12 30, ,4 (2) 1,127 0,791 8,211 57, ,91 33, ,48 (3) 1,12 0,782 8,117 49, ,57 42, ,34

124 111 Tabel Lampiran 26. Konsentrasi 15 N dan Nitrogen Dalam Jerami yang Diperoleh dari Jerami Padi, Kompos dan Urea serta yang Diperoleh dari Tanah pada Stadia Pengisian Bulir Padi Perlakuan N-total (%) 15 N a. e. (%) 15 N (%) N-tanah (%) A-tanah (mg N) N-pupuk (%) A-pupuk (%) K 0 (1) 1,747 0,838 8,698 91, , (2) 2,258 0,852 8,844 91, , (3) 1,596 0, , ,4 - - J o (1) 2,17 0,298 3,093 32, ,45 64, ,09 (2) 1,952 0,249 2,584 26, ,55 70, ,3 (3) 2,206 0,277 2,875 28, ,4 68, ,9 J 4 (1) 1,565 0,419 4,349 45, , ,45 (2) 1,627 0,357 3,706 38, ,55 58, ,09 (3) 1,617 0,372 3,861 38, ,4 54, ,61 J 8 (1) 1,519 0,321 3,331 34, ,45 61, ,06 (2) 1,653 0,349 3,623 37, ,55 59, ,17 (3) 1,757 0,394 4,09 40, ,4 54, ,54 J o U (1) 2,079 0,372 3,861 40, ,45 55, ,56 (2) 2,486 0,31 3,218 33, ,55 63, ,05 (3) 2,52 0,377 3,913 39, ,4 56, ,52 J 4 U (1) 1,638 0,452 4,692 49, ,45 46, ,19 (2) 2,296 0,468 4,858 50, ,55 45, ,75 (3) 2,037 0,434 4,505 45, ,4 50, ,38 J 8 U (1) 2,531 0,398 4,131 43, ,45 52, ,16 (2) 1,705 0,449 4,661 48, ,55 47, ,76 (3) 1,97 0,464 4,816 48, ,4 46, ,66 U (1) 2,009 0,344 3,571 37, ,45 58, ,23 (2) 2,156 0,432 4,484 46, ,55 49, ,21 (3) 2,491 0,385 3,996 40, ,4 56, ,11

125 112 Tabel Lampiran 27. Konsentrasi 15 N dan Nitrogen Dalam Gabah yang Diperoleh dari Jerami Padi, Kompos dan Urea serta yang Diperoleh dari Tanah pada Stadia Pengisian Bulir Padi Perlakuan N-total (%) 15 N a. e. (%) 15 N (%) N-tanah (%) A-tanah (mg N) N-pupuk (%) A-pupuk (mg N) K 0 (1) 0,864 1,228 12,747 97, , (2) 0,841 1,351 14,023 95, , (3) 0,854 1,198 12,435 97, , J o (1) 0,913 0,746 7,743 53, ,49 39, ,96 (2) 0,818 0,755 7,837 48, ,57 44, ,42 (3) 0,862 0,621 6,446 45, ,91 48, ,84 J4 (1) 0,721 0,895 9,29 63, ,49 27, ,64 (2) 0,641 0,946 9,819 60, ,57 29, ,6 (3) 0,664 0,891 9,248 65, ,91 25, ,66 J 8 (1) 0,897 0,955 9,913 67, ,49 22, ,39 (2) 0,759 0,998 10,369 63, ,57 26, ,15 (3) 0,965 0,904 9,383 66, ,91 24, ,88 J o U (1) 0,756 0,855 8,874 60, ,49 30, ,95 (2) 1,058 0,918 9,529 58, ,57 32, ,57 (3) 0,871 0,715 7,422 52, ,91 40, ,82 J 4 U (1) 0,811 0,833 8,646 59, ,49 32, ,53 (2) 0,883 0,844 8,761 53, ,57 37, ,54 (3) 0,763 0,653 6,778 47, ,91 45, ,9 J 8 U (1) 1,095 0,833 8,48 58, ,49 33, ,74 (2) 0,967 0,844 9,747 59, ,57 30, ,21 (3) 0,861 0,653 7,546 53, ,91 39, ,12 U (1) 0,892 0,767 7,691 54, ,49 37, ,13 (2) ,84 8,719 53, ,57 37, ,03 (3) 0,778 0,846 8,781 61, ,91 29, ,2

126 113 Tabel Lampiran 28. Konsentrasi 15 N dan Nitrogen Dalam Jerami yang Diperoleh dari Jerami Padi, Kompos dan Urea serta yang Diperoleh dari Tanah pada Saat Panen Perlakuan N-total (%) 15 N a. e. (%) 15 N (%) N-tanah (%) A-tanah (mg N) N-pupuk (%) A-pupuk (mg N) K 0 (1) 0,792 2,178 22,607 77, ,7 - - (2) 0,728 2,546 26,427 73, (3) 0,787 2,513 26,085 73, , J o (1) 0,839 0,954 9,902 33, ,7 56, ,7 (2) 0,778 1,066 11,605 32, , (3) 0,825 0,858 8,906 25, ,81 65, ,81 J4 (1) 0,812 0,925 9,601 32, ,7 57, ,09 (2) 0,945 1,136 11,792 32, , ,16 (3) 0,843 0,889 9,228 26, ,81 64, ,48 J 8 (1) 0,944 0,946 9,819 33, ,7 56, ,47 (2) 0,844 1,079 11,2 31, , ,29 (3) 0,945 0,922 9,57 27, ,81 63, ,85 J o U (1) 0,836 1,02 10,357 36, ,7 53, ,07 (2) 0,777 1,168 12,123 33, , ,39 (3) 1,088 1,014 10,525 29, ,81 59, ,78 J 4 U (1) 0,902 0,939 9,747 33, ,7 56, ,08 (2) 0,904 0,978 10,152 28, , ,14 (3) 0,893 0,917 9,518 26, ,81 63, ,39 J 8 U (1) 1,095 0,943 9,788 33, ,7 56, ,6 (2) 0,914 0,978 10,152 28, , ,14 (3) 0,91 0,832 8,636 24, ,81 66, ,91 U (1) 0,848 0,844 8,761 29, ,7 61, ,41 (2) 0,861 0,984 10,214 28, , ,24 (3) 0,827 0,774 8,034 22, ,81 69, ,74

127 114 Tabel Lampiran 29. Konsentrasi 15 N dan Nitrogen Dalam Gabah yang Diperoleh dari Jerami Padi, Kompos dan Urea serta yang Diperoleh dari Tanah pada Saat Panen Perlakuan N-total (%) 15 N a. e. (%) 15 N (%) N-tanah (%) A-tanah (mg N) N-pupuk (%) A-pupuk (mg N) K 0 (1) 1,145 3,172 32,925 67, ,6 - - (2) 1,251 3,024 31,389 68, , (3) 1,2 3,257 33,807 66, , J o (1) 1,163 2,267 23,531 47, ,6 28, ,26 (2) 1,147 1,871 19,421 42, ,91 38, ,62 (3) 1,201 2,407 24,984 48, ,98 26, ,3 J4 (1) 1,11 0,816 8,47 17, ,6 74, ,59 (2) 1,11 0,713 7,401 16, ,91 76, ,93 (3) 1,149 0,834 8,657 16,95 978,98 74, ,69 J 8 (1) 1,219 1,016 10,546 21, ,6 67, ,53 (2) 1,128 0,924 9,959 21, ,91 68, ,67 (3) 1,198 0,911 9,456 18, ,98 72, ,67 J o U (1) 1,413 0,689 7,152 14, ,6 78, ,45 (2) 1,392 1,048 10,878 23, ,91 65, ,52 (3) 1,415 0,753 7,816 15, ,98 76, ,15 J 4 U (1) 1,271 0,887 9,207 18, ,6 72, ,05 (2) 1,498 0,758 7,868 17, ,91 74, ,95 (3) 1,288 0,848 8,802 17, ,98 73, ,55 J 8 U (1) 1,24 0,819 8,501 17, ,6 74, ,06 (2) 1,193 0,663 6,871 15, ,91 78, ,05 (3) 1,309 0,954 9,902 19, ,98 70, ,5 U (1) 1,336 0,746 2,743 15, ,6 76, ,85 (2) 1,203 1,046 10,857 23, ,91 63, ,41 (3) 1,249 0,933 9,684 18, ,98 71, ,18

128 115 Tabel Lampiran 30. Hasil Analisis Gas N 2 O pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Perlakuan Konsentrasi N 2 O (ppm) pada menit ke dc/dt Rataan Suhu ( o C) Inkubasi Bahan Organik Minggu ke-0 Tinggi dalam sungkup (m) Fluks N 2 O (mg m -2 jam -1 ) Rataan Fluks N 2 O (mg m -2 jam -1 ) Ko (1) 0,7025 0,5806 1,4758 0,7615 0, ,71 0,2232 (2) 2,5203 0,7813 0,7471 0,8824 0, ,8 0,74 0,3493 (3) 0,5047 0,771 0,6711 0,9313 0, ,5 0,71 0,3354 0,3026 J o (1) 0,7408 0,9368 1,1692 1,7279 0, ,8 0,71 0,7919 (2) 0,6856 1,2683 2,0093 2,5747 0, ,8 0,70 1,5711 (3) 0,6639 2,0775 2,1534 3,6219 0, ,73 2,2798 1,5476 J 4 (1) 0,631 1,3177 0,821 1,3168 0,007 35,3 0,71 0,5187 (2) 1,2836 1,5823 2,0244 2,0595 0, ,8 0,71 0,6807 (3) 0,7479 1,3466 1,5858 2,0509 0, ,8 0,70 1,0066 0,7353 J 8 (1) 0,5441 1,1295 1,727 2,2586 0, ,8 0,72 1,433 (2) 0,6784 0,9248 0,9887 1,041 0, ,3 0,71 0,2816 (3) 0,6021 1,928 1,3934 2,2146 0, ,3 0,72 0,0451 0,5866 J o U (1) 0,8126 2,5424 4,2489 5,9835 0, ,71 4,2571 (2) 1,4518 2,4959 3,508 5,3375 0, ,3 0,70 3,0832 (3) 2,2175 3,5152 6,3107 8,7727 0, ,4 0,72 5,6263 4,3222 J 4U (1) 0,9677 1,7758 2,6819 3,5418 0, ,3 0,71 2,1273 (2) 1,2158 2,2745 2,5158 3,139 0, ,71 1,4785 (3) 2,6261 2,2591 3,0745 3,8752 0, ,9 0,71 1,9894 1,8651 J 8 U (1) 1,9891 2,3764 3,12 3,3418 0, ,6 0,72 2,5778 (2) 3,8858 4,8095 5,1963 5,092 0, ,6 0,71 1,0048 (3) 2,4228 3,4834 4,3055 4,2675 0, ,3 0,72 1,6141 1,7322 U (1) * td td td td td (2) * td td td td td (3) * td td td td td KK (%) 44,87 * td = tidak dilakukan pengambilan contoh gas/pengukuran karena urea baru diberikan pada minggu ke-3

129 116 Lanjutan Tabel Lampiran 30 Perlakuan Konsentrasi N 2 O (ppm) pada menit ke dc/dt Rataan Suhu ( o C) Inkubasi Bahan Organik Minggu ke-1 Tinggi dalam sungkup (m) Fluks N 2 O (mg m -2 jam -1 ) Rataan Fluks N 2 O (mg m -2 jam -1 ) Ko (1) 0,4053 0,3996 0,4368 0,464 0, ,715 0,0806 (2) 0,3992 0,4636 0,4446 0,4662 0, ,1 0,71 0,0509 (3) 0,4332 0,4222 0,4674 0,4141 0, ,8 0,71 0,0435 0,0583 J o (1) 0,4439 0,4132 0,4644 0,4931 0, ,72 0,0956 (2) 0,3862 0,4099 0,4589 0,5018 0, ,6 0,73 0,1123 (3) 0,4279 0,391 0,4699 0,4831 0, ,6 0,70 0,0431 0,0837 J 4 (1) 0,4216 0,4529 0,5178 0,4857 0, ,8 0,71 0,0801 (2) 0,4431 0,4655 0,4487 0,516 0, ,71 0,058 (3) 0,4323 0,4558 0,487 0,5138 0, ,9 0,70 0,0646 0,0676 J 8 (1) 0,4898 0,9873 1,2654 1,4947 0,011 33,4 0,71 0,8201 (2) 0,4583 0,469 0,5245 0,5545 0, ,4 0,70 0,0809 (3) 0,4117 0,4229 0,4664 0,4771 0, ,3 0,71 0,0597 0,3202 J o U (1) 0,3839 0,4048 0,4609 0,4696 0, ,71 0,0727 (2) 0,3922 0,4563 0,4526 0,4774 0,001 40,8 0,72 0,0738 (3) 0,4264 0,4187 0,4428 0,4684 0, ,71 0,029 0,0585 J 4U (1) 0,4414 0,4403 0,4591 0,4714 0, ,5 0,72 0,023 (2) 0,402 0,4896 0,4537 0,5058 0, ,3 0,72 0,0843 (3) 0,6932 0,76 0,7214 0,7691 0, ,1 0,715 0,0609 0,0561 J 8 U (1) 0,4263 0,4755 0,5309 0,5359 0, ,1 0,705 0,096 (2) 0,4255 0,4815 0,5071 0,541 0, ,70 0,0883 (3) 0,4045 0,4385 0,4904 0,4999 0, ,3 0,71 0,0818 0,0887 U (1) * Td td td td td (2) * Td td td td td (3) * Td td td td td KK (%) 157,92

130 117 Lanjutan Tabel Lampiran 30 Perlakuan Konsentrasi N 2 O (ppm) pada menit ke dc/dt Rataan Suhu ( o C) Inkubasi Bahan Organik Minggu ke-2 Tinggi dalam sungkup (m) Fluks N 2 O (mg m -2 jam -1 ) Rataan Fluks N 2 O (mg m -2 jam -1 ) Ko (1) 1,8841 0,8646 1,5912 0,6806 0,024 41,8 0,71 1,7418 (2) 3,6128 0,8106 0,8671 0,7471 0, ,8 0,71 0,1383 (3) 0,8352 0,891 0,7577 0,5972 0, ,4 0,70 0,1361 0,6721 J o (1) 0,4937 0,5702 0,879 0,6122 0, ,4 0,74 0,0912 (2) 0,5609 0,6357 0,4953 0,5808 0, ,8 0,71 0,182 (3) 0,5032 0,6099 0,609 0,6691 0, ,9 0,71 0,0662 0,1131 J 4 (1) 0,5625 0,6868 0,6698 0,5986 0, ,6 0,71 0,102 (2) 0,6985 0,6552 1,4132 2,787 0, ,6 0,71 1,5683 (3) 0,9864 0,5014 0,5492 1,5662 0, ,5 0,725 1,317 0,9957 J 8 (1) 0,6321 0,6169 1,9125 0,7324 0, ,8 0,70 1,5289 (2) 0,5235 0,7632 1,0358 0,5803 0, ,6 0,725 0,4016 (3) 0,7807 0,5544 0,5491 0,8632 0, ,8 0,72 0,3765 0,7690 J o U (1) 0,5722 0,5091 0,6443 0,8534 0, ,1 0,71 0,4226 (2) 0,3977 1,1182 0,8283 1,3113 0, ,9 0,71 0,7197 (3) 0,8494 0,5964 2,5237 0,8483 0, ,4 0,70 0,3067 0,4830 J 4U (1) 0,6132 0,5232 0,6124 0,5648 0, ,72 0,2256 (2) 0,7422 0,557 0,6112 0,5614 0, ,4 0,70 0,1315 (3) 1,0782 0,5319 0,7724 0,69 0,008 36,5 0,705 0,5863 0,3145 J 8 U (1) 0,8997 0,4876 0,5942 0,7071 0, ,4 0,70 0,2738 (2) 0,7429 0,9396 0,5667 0,6542 0, ,3 0,70 0,4869 (3) 0,5352 0,5231 0,5824 1,2224 0, ,5 0,71 0,8777 0,5461 U (1) * td td td td td (2) * td td td td td (3) * Td td td td td KK (%) 98,81

131 118 Lanjutan Tabel Lampiran 30 Perlakuan Konsentrasi N 2 O (ppm) pada menit ke dc/dt Pindah Tanam (Minggu ke-3) Rataan Suhu ( o C) Tinggi dalam sungkup (m) Fluks N 2 O (mg m -2 jam -1 ) Rataan Fluks N 2 O (mg m -2 jam -1 ) Ko (1) 0,4387 0,4704 0,4912 0,5439 0, ,72 0,0819 (2) 0,3896 0,5066 0,4937 0,506 0, ,9 0,72 0,104 (3) 0,457 0,4851 0,5088 0,5226 0, ,6 0,72 0,052 0,0793 J o (1) 0,4408 0,4926 0,4975 0,5136 0, ,71 0,0513 (2) 0,485 0,4946 0,4922 0,5201 0, ,5 0,71 0,0293 (3) 0,4388 0,4692 0,49 0,5325 0, ,1 0,71 0,0663 0,0490 J 4 (1) 0,4618 0,4689 0,4458 0,4879 0, ,3 0,71 0,0220 (2) 0,4268 0,432 0,4692 0,5186 0, ,69 0,0714 (3) 0,4555 0,4602 0,4597 0,5241 0, ,715 0,059 0,0508 J 8 (1) 0,4606 0,4937 0,5058 0,5242 0, ,3 0,70 0,0505 (2) 0,4396 0,4591 0,4522 0,4923 0, ,725 0,0449 (3) 0,398 0,501 0,4982 0,5388 0, ,5 0,70 0,1009 0,0654 J o U (1) 0,4807 0,4823 0,5104 0,5352 0, ,5 0,69 0,0428 (2) 0,4542 0,493 0,4951 0,5132 0, ,4 0,68 0,042 (3) 0,4337 0,4644 0,4831 0,5088 0, ,3 0,69 0,0569 0,0472 J4U (1) 0,4341 0,4793 0,4882 0,5069 0, ,5 0,69 0,0568 (2) 0,4357 0,4745 0,4972 0,5022 0, ,9 0,71 0,0511 (3) 0,4059 0,4793 0,4871 0,5432 0, ,6 0,70 0,1009 0,0696 J 8 U (1) 0,4788 0,4856 0,5048 0,5118 0, ,6 0,69 0,0287 (2) 0,4664 0,4707 0,5371 0,5344 0, ,8 0,715 0,0668 (3) 0,4667 0,4996 0,5209 0,5212 0, ,1 0,705 0,0439 0,0465 U (1) 0,4716 0,4819 0,512 0,4862 0, ,71 0,0514 (2) 0,4369 0,4889 0,4682 0,5426 0, ,695 0,0796 (3) 0,4354 0,474 0,4814 0,495 0, ,4 0,705 0,0441 0,0584 KK (%) 39,17

132 119 Lanjutan Tabel Lampiran 30 Perlakuan Konsentrasi N 2 O (ppm) pada menit ke dc/dt Stadia Pembentukan Anakan Rataan Suhu ( o C) Tinggi dalam sungkup (m) Fluks N 2 O (mg m -2 jam -1 ) Rataan Fluks N 2 O (mg m -2 jam -1 ) Ko (1) 0,4099 0,4269 0,465 0,4926 0,001 43,1 0,705 0,0718 (2) 0,4192 0,4416 0,4574 0,4704 0, ,695 0,0422 (3) 0,4108 0,4427 0,4657 0,4811 0, ,5 0,71 0,0577 0,0572 J o (1) 0,4282 0,4426 0,4272 0,4785 0, ,71 0,043 (2) 0,4019 0,3985 0,491 0,494 0, ,8 0,695 0,0777 (3) 0,4146 0,418 0,4548 0,5044 0,001 42,9 0,705 0,0718 0,0641 J 4 (1) 0,4341 0,435 0,4517 0,4673 0, ,71 0,0296 (2) 0,4046 0,41 0,4685 0,5069 0, ,3 0,70 0,0877 (3) 0,4031 0,436 0,455 0,4912 0, ,68 0,0637 0,0603 J 8 (1) 0,3796 0,3866 0,4643 0,4537 0, ,4 0,71 0,1017 (2) 0,4011 0,435 0,4549 0,4852 0, ,4 0,71 0,0654 (3) 0,4201 0,4488 0,4723 0,4771 0, ,5 0,70 0,0428 0,07 J o U (1) 0,4106 0,4177 0,476 0,4995 0, ,5 0,70 0,0785 (2) 0,402 0,4424 0,4917 0,4734 0, ,5 0,70 0,1074 (3) 0,4207 0,4445 0,4561 0,5011 0, ,71 0,0578 0,0813 J 4U (1) 0,3478 0,3922 0,4057 0,4398 0,001 40,1 0,69 0,0709 (2) 0,369 0,4487 0,4443 0,4572 0,001 41,8 0,70 0,0716 (3) 0,393 0,4242 0,4311 0,4495 0, ,70 0,0430 0,0618 J 8 U (1) 0,3883 0,4329 0,4643 0,5016 0, ,8 0,71 0,0888 (2) 0,4134 0,4606 0,4323 0,4455 0, ,5 0,71 0,0295 (3) 0,3897 0,4237 0,4425 0,4719 0, ,69 0,0644 0,0609 U (1) 0,4317 0,4472 0,4304 0,4543 0, ,70 0,0143 (2) 0,438 0,4071 0,4579 0,5149 0, ,9 0,715 0,059 (3) 0,4124 0,4221 0,4565 0,4456 0, ,6 0,71 0,0511 0,0415 KK (%) 38,76

133 120 Lanjutan Tabel Lampiran 30 Perlakuan Konsentrasi N 2 O (ppm) pada menit ke dc/dt Stadia Awal Pembentukan Malai Rataan Suhu ( o C) Tinggi dalam sungkup (m) Fluks N 2 O (mg m -2 jam -1 ) Rataan Fluks N 2 O (mg m -2 jam -1 ) Ko (1) 0,3637 0,3638 0,3723 0,4361 0, ,5 0,71 0,0577 (2) 0,4003 0,4276 0,4211 0,4778 0, ,70 0,0568 (3) 0,3505 0,4029 0,418 0,4602 0, ,3 0,71 0,0792 0,0646 J o (1) 0,368 0,4231 0,4046 0,4535 0, ,8 0,72 0,0589 (2) 0,3423 0,4074 0,4238 0,419 0, ,5 0,71 0,0585 (3) 0,3381 0,3964 0,3954 0,416 0, ,9 0,71 0,0586 0,0587 J 4 (1) 0,3654 0,3787 0,4027 0,4001 0, ,3 0,745 0,0304 (2) 0,3331 0,3786 0,3484 0,397 0, ,4 0,74 0,0527 (3) 0,3393 0,3516 0,3175 0,3717 0, ,3 0,75 0,0306 0,0379 J 8 (1) 0,3245 0,345 0,3966 0,3987 0, ,1 0,74 0,0678 (2) 0,3282 0,3909 0,39 0,3423 0,001 44,5 0,725 0,0735 (3) 0,3247 0,3612 0,3879 0,4009 0, ,9 0,75 0,069 0,0701 J o U (1) 0,3225 0,3749 0,3743 0,4255 0,001 43,5 0,75 0,0762 (2) 0,3624 0,4 0,441 0,4034 0, ,9 0,75 0,0993 (3) 0,3543 0,3794 0,4126 0,4188 0, ,1 0,755 0,0613 0,0789 J 4U (1) 0,4057 0,3875 0,426 0,4054 0, ,75 0,0229 (2) 0,3419 0,4024 0,413 0,443 0,001 42,6 0,755 0,077 (3) 0,3334 0,3609 0,3764 0,4297 0, ,76 0,0776 0,0592 J 8 U (1) 0,3742 0,3823 0,3947 0,4097 0, ,6 0,715 0,0294 (2) 0,3432 0,3688 0,3899 0,4376 0,001 38,4 0,72 0,0744 (3) 0,3574 0,3866 0,4225 0,4152 0, ,3 0,72 0,0521 0,0520 U (1) 0,4064 0,4023 0,3999 0,4265 0, ,4 0,72 0,0149 (2) 0,3685 0,4116 0,4187 0,4281 0, ,4 0,715 0,0443 (3) 0,3622 0,4103 0,38 0,4101 0, ,715 0,0371 0,0321 KK (%) 30,76

134 121 Tabel Lampiran 31. Nilai Acetylene Reduction Activity (ARA) pada Daerah Perakaran Tanaman Padi (nmol C 2 H 4 g -1 BK akar jam -1 ) pada Setiap Stadia Pertumbuhan Tanaman Padi Perlakuan Stadia Pembentukan Anakan Stadia Awal Pembentukan Malai Panen Stadia Pembentukan Anakan * Stadia Awal Pembentukan Malai * Panen * K 0 (1) 48,08 338,03 4,45 1,682 2,529 0,649 (2) 50,77 45,06 9,29 1,706 1,654 0,968 (3) 51, ,94 27,76 1,712 3,254 1,443 Jo (1) 71, ,72 5,43 1,857 6,307 0,735 (2) 151, ,57 5,72 2,182 3,296 0,757 (3) 86,92 918,34 2,29 1,935 2,963 0,359 J 4 (1) 186, ,76 22,58 2,272 3,288 1,354 (2) 165, ,66 1,15 2,220 3,710 0,063 (3) 108, ,12 11,75 2,037 4,107 1,070 J 8 (1) 118, ,24 4,98 2,075 3,976 0,697 (2) 108, ,04 10,74 2,035 3,905 1,031 (3) 65, ,44 18,30 1,818 3,633 1,263 J o U (1) 110,00 28,469,47 24,48 2,041 4,454 1,389 (2) 108, ,75 13,05 2,034 3,809 1,116 (3) 137, ,17 7,20 2,138 3,778 0,857 J 4 U (1) 105, ,91 5,36 2,021 4,032 0,729 (2) 86,54 908,12 16,78 1,937 2,958 1,225 (3) 226, ,74 12,95 2,355 3,786 1,112 J8U (1) 156, ,56 34,17 2,196 4,226 1,534 (2) 95, ,14 15,00 1,978 3,415 1,176 (3) 101, ,18 7,90 2,005 3,979 0,898 U (1) 97, ,73 5,82 1,988 3,795 0,765 (2) 98, ,22 5,31 1,992 3,933 0,725 (3) 77,31 945,66 29,99 1,888 2,976 1,477 KK (%) 34,95 455,87 79,66 6,45 21,91 39,20 *Data hasil transformasi log 10

135 122 K o J o J 4 J 8 U K o U J o U J 4 U J 8 U Lampiran 32. Gambar Pertumbuhan Tanaman Padi pada Stadia Pengisian Bulir.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman yang banyak mengonsumsi pupuk, terutama pupuk nitrogen (N) adalah tanaman padi sawah, yaitu sebanyak 72 % dan 13 % untuk palawija (Agency for Agricultural Research

Lebih terperinci

ABSTRAK PENDAHULUAN ABSTRACT L.T. INDRIYATI 1, S. SABIHAM 2, L.K. DARUSMAN 3, R. SITUMORANG 2, SUDARSONO 2, DAN W.H. SISWORO 4 ISSN

ABSTRAK PENDAHULUAN ABSTRACT L.T. INDRIYATI 1, S. SABIHAM 2, L.K. DARUSMAN 3, R. SITUMORANG 2, SUDARSONO 2, DAN W.H. SISWORO 4 ISSN Transformasi Nitrogen dalam Tanah Tergenang : Aplikasi Jerami Padi dan Kompos Jerami Padi serta Pengaruhnya Terhadap Serapan Nitrogen dan Aktivitas Penambatan N2 di Daerah Perakaran Tanaman Padi Nitrogen

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengaruh Penggenangan Tanah terhadap Sifat-sifat Tanah Pengaruh Penggenangan terhadap Sifat Fisikokimia Tanah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengaruh Penggenangan Tanah terhadap Sifat-sifat Tanah Pengaruh Penggenangan terhadap Sifat Fisikokimia Tanah 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengaruh Penggenangan Tanah terhadap Sifatsifat Tanah Sifatsifat fisik, kimia, dan biologi tanah tergenang sangat berbeda dengan sifatsifat tanah lahan kering. Dalam tanah sawah,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Lahan Sawah. reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Lahan Sawah. reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Sawah Perubahan kimia tanah sawah berkaitan erat dengan proses oksidasi reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat ketersediaan hara dan

Lebih terperinci

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh TINJAUAN PUSTAKA Penggenangan Tanah Penggenangan lahan kering dalam rangka pengembangan tanah sawah akan menyebabkan serangkaian perubahan kimia dan elektrokimia yang mempengaruhi kapasitas tanah dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan Bahan organik adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem kompleks dan dinamis, yang bersumber dari bahan-bahan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus dan Neraca Nitrogen (N) Menurut Hanafiah (2005 :275) menjelaskan bahwa siklus N dimulai dari fiksasi N 2 -atmosfir secara fisik/kimiawi yang meyuplai tanah bersama

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan 4 TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan unsur-unsur esensial bagi pertumbuhan tanaman (Hadisuwito, 2008). Tindakan mempertahankan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sulfat masam merupakan salah satu jenis lahan yang terdapat di kawasan lingkungan rawa dan tergolong ke dalam lahan bermasalah karena tanahnya memiliki sifat dakhil

Lebih terperinci

1. Terlibat langsung dalam fungsi metabolisme tanaman (involved in plant metabolic functions).

1. Terlibat langsung dalam fungsi metabolisme tanaman (involved in plant metabolic functions). Hara esensial : 1. Terlibat langsung dalam fungsi metabolisme tanaman (involved in plant metabolic functions). 2. Tanaman tidak akan sempurna siklus hidupnya tanpa adanya unsur tersebut (plant can not

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (CH 2 O)n + n O 2 n CO 2 + n H 2 O + e - (1) mikrob (CH 2 O)n + nh 2 O nco 2 + 4n e - + 4n H + (2)

HASIL DAN PEMBAHASAN. (CH 2 O)n + n O 2 n CO 2 + n H 2 O + e - (1) mikrob (CH 2 O)n + nh 2 O nco 2 + 4n e - + 4n H + (2) HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Eh dan ph Ketika tanah digenangi, air akan menggantikan udara dalam pori tanah. Pada kondisi seperti ini, mikrob aerob tanah menggunakan semua oksigen yang tersisa dalam tanah.

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH

PENGARUH PEMBERIAN KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH PENGARUH PEMBERIAN KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH (Arachis hypogaea, L) PADA LATOSOL DARI GUNUNG SINDUR Oleh Elvina Frida Merdiani A24103079

Lebih terperinci

Beberapa Sifat Kimia Tanah antara lain :

Beberapa Sifat Kimia Tanah antara lain : SIFAT KIMIA TANAH Beberapa Sifat Kimia Tanah antara lain : 1. Derajat Kemasaman Tanah (ph) Reaksi tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai ph. Nilai ph menunjukkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat

I. PENDAHULUAN. pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita akibat peningkatan

Lebih terperinci

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN Tanah sulfat masam merupakan tanah dengan kemasaman yang tinggi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN. Salah satu pupuk organik yang dapat digunakan oleh petani

1.PENDAHULUAN. Salah satu pupuk organik yang dapat digunakan oleh petani 1.PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Salah satu dari program intensifikasi pertanian adalah pemupukan. Pupuk yang banyak digunakan oleh petani adalah pupuk kimia. Dalam memproduksi pupuk kimia dibutuhkan

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN FOSFAT ALAM DAN PUPUK N TERHADAP KELARUTAN P, CIRI KIMIA TANAH DAN RESPONS TANAMAN PADA TYPIC DYSTRUDEPTS DARMAGA

PENGARUH PEMBERIAN FOSFAT ALAM DAN PUPUK N TERHADAP KELARUTAN P, CIRI KIMIA TANAH DAN RESPONS TANAMAN PADA TYPIC DYSTRUDEPTS DARMAGA PENGARUH PEMBERIAN FOSFAT ALAM DAN PUPUK N TERHADAP KELARUTAN P, CIRI KIMIA TANAH DAN RESPONS TANAMAN PADA TYPIC DYSTRUDEPTS DARMAGA RAFLI IRLAND KAWULUSAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Sifat Kimia Tanah Data sekunder hasil analisis kimia tanah yang diamati yaitu ph tanah, C-Org, N Total, P Bray, kation basa (Ca, Mg, K, Na), kapasitas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanian dan Pemanasan Global Pemanasan global yang kini terjadi adalah akibat dari makin meningkatnya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, baik secara alami maupun secara buatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian pembuatan pupuk organik cair ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. rupa untuk budidaya tanaman padi sawah, baik secara terus-menerus sepanjang

TINJAUAN PUSTAKA. rupa untuk budidaya tanaman padi sawah, baik secara terus-menerus sepanjang TINJAUAN PUSTAKA Tanah Sawah Tanah sawah (Paddy soils) merupakan tanah yang dikelola sedemikian rupa untuk budidaya tanaman padi sawah, baik secara terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 )

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 ) PEMBAHASAN UMUM Dari kajian pengaruh pupuk N terhadap fluks CO 2 hasil respirasi bahan gambut menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut. Penambahan dosis urea

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan tingkat tinggi merupakan organisme autotrof dapat mensintesa komponen molekular organik yang dibutuhkannya, selain juga membutuhkan hara dalam bentuk anorganik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija.

TINJAUAN PUSTAKA. baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. TINJAUAN PUSTAKA Sifat dan Ciri Tanah Sawah Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Istilah tanah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai ekonomis, serta harus terus dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton

Lebih terperinci

Fluks Metana dan Karakteristik Tanah pada Budidaya Lima Macam Tanaman

Fluks Metana dan Karakteristik Tanah pada Budidaya Lima Macam Tanaman IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Sistematika hasil dan pembahasan disajikan dalam beberapa sub bagian yaitu Fluks metana dan karakteristik tanah pada budidaya lima macam tanaman; Pengaruh pengelolaan air terhadap

Lebih terperinci

PENGARUH PUPUK SLOW RELEASE UREA- ZEOLIT- ASAM HUMAT (UZA) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN PADI VAR. CIHERANG

PENGARUH PUPUK SLOW RELEASE UREA- ZEOLIT- ASAM HUMAT (UZA) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN PADI VAR. CIHERANG PENGARUH PUPUK SLOW RELEASE UREA- ZEOLIT- ASAM HUMAT (UZA) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN PADI VAR. CIHERANG KURNIAWAN RIAU PRATOMO A14053169 MAYOR MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

PENGARUH KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI

PENGARUH KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI PENGARUH KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. merill) PADA GRUMUSOL DARI CIHEA Oleh Siti Pratiwi Hasanah A24103066 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 12. Dinamika unsur N pada berbagai sistem pengelolaan padi sawah tanah Inseptisol, Jakenan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 12. Dinamika unsur N pada berbagai sistem pengelolaan padi sawah tanah Inseptisol, Jakenan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Dinamika Unsur Hara pada Berbagai Sistem Pengelolaan Padi Sawah 4.1.1. Dinamika unsur N Gambar 12 menunjukkan dinamika unsur nitrogen di dalam tanah pada berbagai sistem pengelolaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Klasifikasi Bakteri Metanotrof Metanotrof sebagai Bakteri Pengoksidasi Metan

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Klasifikasi Bakteri Metanotrof Metanotrof sebagai Bakteri Pengoksidasi Metan TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Klasifikasi Bakteri Metanotrof Bakteri metanotrof adalah bakteri Gram negatif, bersifat aerob dan menggunakan metan sebagai sumber karbon dan energi (Auman 2001). Karakteristik

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Organik Tanah Bahan organik tanah merupakan bagian dari fraksi organik yang telah mengalami degradasi dan dekomposisi, baik sebagian atau keseluruhan menjadi satu dengan

Lebih terperinci

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG Mamihery Ravoniarijaona SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 APLIKASI ASAM OKSALAT

Lebih terperinci

LAJU MINERALISASI N-NH 4 + DAN N-NO 3 - TANAH ANDISOL PADA PERTANIAN ORGANIK DAN KONVENSIONAL YANG DITANAMI KENTANG HARRY NOVIARDI

LAJU MINERALISASI N-NH 4 + DAN N-NO 3 - TANAH ANDISOL PADA PERTANIAN ORGANIK DAN KONVENSIONAL YANG DITANAMI KENTANG HARRY NOVIARDI 1 LAJU MINERALISASI NNH 4 + DAN NNO 3 TANAH ANDISOL PADA PERTANIAN ORGANIK DAN KONVENSIONAL YANG DITANAMI KENTANG HARRY NOVIARDI DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

Lestari Alamku, Produktif Lahanku

Lestari Alamku, Produktif Lahanku KOMPOS ORGANIK GRANULAR NITROGEN Reaksi nitrogen sebagai pupuk mengalami reaksirekasi sama seperti nitrogen yang dibebaskan oleh proses biokimia dari sisa tanaman. Bentuk pupuk nitrogen akan dijumpai dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Analisis Contoh Tanah Hasil analisa sudah diketahui pada Tabel 4.1 dapat dikatakan bahwa tanah sawah yang digunakan untuk penelitian ini memiliki tingkat kesuburan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pemanasan global adalah kejadian terperangkapnya radiasi gelombang panjang matahari (inframerah atau gelombang panas) yang dipancarkan oleh bumi sehingga tidak dapat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanah Sawah. tanaman padi sawah, dimana padanya dilakukan penggenangan selama atau

TINJAUAN PUSTAKA. Tanah Sawah. tanaman padi sawah, dimana padanya dilakukan penggenangan selama atau TINJAUAN PUSTAKA Tanah Sawah Lahan sawah adalah lahan yang dikelola sedemikian rupa untuk budidaya tanaman padi sawah, dimana padanya dilakukan penggenangan selama atau sebagian dari masa pertumbuhan padi.

Lebih terperinci

Pembentukan Bintil Akar Tanaman Kedelai (Glycine max (L) Merrill) dengan Perlakuan Jerami pada Masa Inkubasi yang Berbeda

Pembentukan Bintil Akar Tanaman Kedelai (Glycine max (L) Merrill) dengan Perlakuan Jerami pada Masa Inkubasi yang Berbeda Pembentukan Bintil Akar Tanaman Kedelai (Glycine max (L) Merrill) dengan Perlakuan Jerami pada Masa Inkubasi yang Berbeda Ika Dyah Kumalasari, Endah Dwi Astuti, Erma Prihastanti Laboratorium Biologi Struktur

Lebih terperinci

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Siklus Biogeokimia 33 BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Kompetensi Dasar: Menjelaskan siklus karbon, nitrogen, oksigen, belerang dan fosfor A. Definisi Siklus Biogeokimia Siklus biogeokimia atau yang biasa disebut

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Pelepasan Nitrogen dari Pupuk UZA dan Pupuk Urea Pril Ditinjau dari Laju Konsentrasi Amonium dan Nitrat yang Terbentuk Perbandingan laju pelepasan nitrogen dari pupuk

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Tinggi tanaman padi akibat penambahan jenis dan dosis amelioran.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Tinggi tanaman padi akibat penambahan jenis dan dosis amelioran. 28 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengamatan 4.1.1 Tinggi Tanaman Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis dan dosis amelioran tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman padi ciherang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Padi Varietas Way Apoburu Pupuk dan Pemupukan

TINJAUAN PUSTAKA Padi Varietas Way Apoburu Pupuk dan Pemupukan 4 TINJAUAN PUSTAKA Padi Varietas Way Apoburu Padi sawah dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu : padi sawah (lahan yang cukup memperoleh air, digenangi waktu-waktu tertentu terutama musim tanam sampai

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

KESELARASAN PENYEDIAAN NITROGEN DARI PUPUK HIJAU DAN UREA DENGAN PERTUMBUHAN JAGUNG PADA INCEPTISOL DARMAGA W A W A N

KESELARASAN PENYEDIAAN NITROGEN DARI PUPUK HIJAU DAN UREA DENGAN PERTUMBUHAN JAGUNG PADA INCEPTISOL DARMAGA W A W A N KESELARASAN PENYEDIAAN NITROGEN DARI PUPUK HIJAU DAN UREA DENGAN PERTUMBUHAN JAGUNG PADA INCEPTISOL DARMAGA W A W A N SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perubahan dramatis paradigma pemanfaatan sumberdaya alam yang terjadi

I. PENDAHULUAN. Perubahan dramatis paradigma pemanfaatan sumberdaya alam yang terjadi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan dramatis paradigma pemanfaatan sumberdaya alam yang terjadi sejak tahun 80-an telah memperkenalkan konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep ini berdampak kepada

Lebih terperinci

Kata kunci: jerami padi, kotoran ayam, pengomposan, kualitas kompos.

Kata kunci: jerami padi, kotoran ayam, pengomposan, kualitas kompos. I Ketut Merta Atmaja. 1211305001. 2017. Pengaruh Perbandingan Komposisi Jerami dan Kotoran Ayam terhadap Kualitas Pupuk Kompos. Dibawah bimbingan Ir. I Wayan Tika, MP sebagai Pembimbing I dan Prof. Ir.

Lebih terperinci

BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN

BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN 8.1. Fotosintesis Fotosintesis atau fotosintesa merupakan proses pembuatan makanan yang terjadi pada tumbuhan hijau dengan bantuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sifat dan Ciri Tanah Sawah. cukup baik di daerah datar maupun perbukitan yang diteraskan. Umumnya tanah

TINJAUAN PUSTAKA. Sifat dan Ciri Tanah Sawah. cukup baik di daerah datar maupun perbukitan yang diteraskan. Umumnya tanah TINJAUAN PUSTAKA Sifat dan Ciri Tanah Sawah Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk menanam padi sawah, baik secara terus menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija.tanah sawah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 19 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada umumnya tanah-tanah mineral di daerah tropika basah kekurangan unsur hara, seperti nitrogen dan fosfor, dan mengandung bahan organik tanah rendah. Nitrogen adalah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 33 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Pertumbuhan tanaman buncis Setelah dilakukan penyiraman dengan volume penyiraman 121 ml (setengah kapasitas lapang), 242 ml (satu kapasitas lapang), dan 363 ml

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah yang di analisis adalah tekstur tanah, bulk density, porositas, air tersedia, serta permeabilitas. Berikut adalah nilai masing-masing

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penggunaan varietas unggul baru padi ditentukan oleh potensi hasil,

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penggunaan varietas unggul baru padi ditentukan oleh potensi hasil, PENDAHULUAN Latar Belakang Penggunaan varietas unggul baru padi ditentukan oleh potensi hasil, umur masak, ketahanan terhadap hama dan penyakit, serta rasa nasi. Umumnya konsumen beras di Indonesia menyukai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Unsur Hara Makro pada Serasah Daun Bambu. Unsur Hara Makro C N-total P 2 O 5 K 2 O Organik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Unsur Hara Makro pada Serasah Daun Bambu. Unsur Hara Makro C N-total P 2 O 5 K 2 O Organik digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Unsur Hara Makro Serasah Daun Bambu Analisis unsur hara makro pada kedua sampel menunjukkan bahwa rasio C/N pada serasah daun bambu cukup tinggi yaitu mencapai

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Pembukaan tanah sulfat masam untuk persawahan umumnya dilengkapi

PEMBAHASAN UMUM. Pembukaan tanah sulfat masam untuk persawahan umumnya dilengkapi 102 PEMBAHASAN UMUM Pembukaan tanah sulfat masam untuk persawahan umumnya dilengkapi dengan pembuatan saluran irigasi dan drainase agar air dapat diatur. Bila lahan tersebut dimanfaatkan untuk bertanam

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Sifat Kimia Tanah Variabel kimia tanah yang diamati adalah ph, C-organik, N Total, P Bray, Kalium, Kalsium, Magnesium, dan KTK. Hasil analisis sifat kimia

Lebih terperinci

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG Mamihery Ravoniarijaona SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 APLIKASI ASAM OKSALAT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. akibat reduksi besi-feri (Fe-III) menjadi besi-fero (Fe-II). Akan tetapi pada tanah

TINJAUAN PUSTAKA. akibat reduksi besi-feri (Fe-III) menjadi besi-fero (Fe-II). Akan tetapi pada tanah TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Sawah Tanah adalah suatu benda alami yang terdapat di permukaan kulit buni, yang tersusun dari bahan-bahan mineral sebagai hasil pelapukan batuan dan bahan organuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kopi Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi merupakan tanaman dengan perakaran tunggang yang mulai berproduksi sekitar berumur 2 tahun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu PENDAHULUAN Latar Belakang Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar 288 0 K (15 0 C ), suhu tersebut dapat dipertahankan karena keberadaan sejumlah gas yang berkonsentrasi di atmosfer bumi. Sejumlah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nitrogen dalam Tanah II. TINJAUAN PUSTAKA Nitrogen merupakan unsur yang banyak mendapat perhatian dan masih terus diteliti, karena merupakan unsur hara penentu utama produksi, dibutuhkan tanaman dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Tanaman Klasifikasi tanaman padi adalah sebagai berikut: Divisi Sub divisi Kelas Keluarga Genus Spesies : Spermatophyta : Angiospermae : Monotyledonae : Gramineae (Poaceae)

Lebih terperinci

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN FUNGSI AIR Penyusun tubuh tanaman (70%-90%) Pelarut dan medium reaksi biokimia Medium transpor senyawa Memberikan turgor bagi sel (penting untuk pembelahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Pertumbuhan Tanaman 4. 1. 1. Tinggi Tanaman Pengaruh tiap perlakuan terhadap tinggi tanaman menghasilkan perbedaan yang nyata sejak 2 MST. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Bedding kuda didapat dan dibawa langsung dari peternakan kuda Nusantara Polo Club Cibinong lalu dilakukan pembuatan kompos di Labolatorium Pengelolaan Limbah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PUPUK PELENGKAP CAIR DHARMAVIT TERHADAP PERTUMBUHAN, PRODUKSI, SERTA SERAPAN HARA N, P, K TANAMAN PADI SAWAH

EFEKTIVITAS PUPUK PELENGKAP CAIR DHARMAVIT TERHADAP PERTUMBUHAN, PRODUKSI, SERTA SERAPAN HARA N, P, K TANAMAN PADI SAWAH EFEKTIVITAS PUPUK PELENGKAP CAIR DHARMAVIT TERHADAP PERTUMBUHAN, PRODUKSI, SERTA SERAPAN HARA N, P, K TANAMAN PADI SAWAH (Oryza sativa L.) VARIETAS IR 64 PADA LATOSOL DARMAGA Oleh RAHMAYANI A24101094 PROGRAM

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Emisi Metan dari Lahan Sawah

II. TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Emisi Metan dari Lahan Sawah 54 II. TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Emisi Metan dari Lahan Sawah Sumber utama emisi gas metan berasal dari aktivitas manusia (sumber antropogenik). Hampir 70% total emisi metan berasal dari sumber antropogenik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan menjadi salah satu faktor penentu dalam usaha peternakan, baik terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan tercapai bila mendapat

Lebih terperinci

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN FUNGSI AIR Penyusun tubuh tanaman (70%-90%) Pelarut dan medium reaksi biokimia Medium transpor senyawa Memberikan turgor bagi sel (penting untuk pembelahan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KOMPOS DARI BAHAN TANAMAN KALIANDRA, JERAMI PADI DAN SAMPAH SAYURAN. Oleh ADE MULYADI A

KARAKTERISTIK KOMPOS DARI BAHAN TANAMAN KALIANDRA, JERAMI PADI DAN SAMPAH SAYURAN. Oleh ADE MULYADI A KARAKTERISTIK KOMPOS DARI BAHAN TANAMAN KALIANDRA, JERAMI PADI DAN SAMPAH SAYURAN Oleh ADE MULYADI A24101051 PROGRAM STUDI ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 1 KARAKTERISTIK KOMPOS

Lebih terperinci

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A34104064 PROGRAM STUDI AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi penelitian terlihat beragam, berikut diuraikan sifat kimia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubikayu merupakan salah satu tanaman penting di Indonesia. Ubikayu

I. PENDAHULUAN. Ubikayu merupakan salah satu tanaman penting di Indonesia. Ubikayu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubikayu merupakan salah satu tanaman penting di Indonesia. Ubikayu merupakan bahan pangan pokok ketiga setelah beras dan jagung. Daunnya dapat digunakan sebagai

Lebih terperinci

SIMULASI LAJU EMISI METAN PADA LAHAN PADI SAWAH DENGAN MODEL DENITRIFIKASI-DEKOMPOSISI (DNDC) (STUDI KASUS DI KABUPATEN TASIKMALAYA)

SIMULASI LAJU EMISI METAN PADA LAHAN PADI SAWAH DENGAN MODEL DENITRIFIKASI-DEKOMPOSISI (DNDC) (STUDI KASUS DI KABUPATEN TASIKMALAYA) SIMULASI LAJU EMISI METAN PADA LAHAN PADI SAWAH DENGAN MODEL DENITRIFIKASI-DEKOMPOSISI (DNDC) (STUDI KASUS DI KABUPATEN TASIKMALAYA) MARIA JOSEFINE TJATURETNA BUDIASTUTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanah Sawah. tergenang lainnya adalah adanya lapisan oksidasi di bawah permukaan air akibat

TINJAUAN PUSTAKA. Tanah Sawah. tergenang lainnya adalah adanya lapisan oksidasi di bawah permukaan air akibat TINJAUAN PUSTAKA Tanah Sawah Tanah sawah merupakan tanah yang dikelola sedemikian rupa untuk budidaya tanaman padi sawah, dimana padanya dilakukan penggenangan selama atau sebagian dari massa pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al., 1996 dalam Iriany et al., 2007).

I. PENDAHULUAN. sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al., 1996 dalam Iriany et al., 2007). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jagung merupakan tanaman serealia yang paling produktif di dunia, cocok ditanam di wilayah bersuhu tinggi. Penyebaran tanaman jagung sangat luas karena mampu beradaptasi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Populasi Bakteri Penambat N 2 Populasi Azotobacter pada perakaran tebu transgenik IPB 1 menunjukkan jumlah populasi tertinggi pada perakaran IPB1-51 sebesar 87,8 x 10 4 CFU/gram

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kalium dari kerak bumi diperkirakan lebih dari 3,11% K 2 O, sedangkan air laut

TINJAUAN PUSTAKA. kalium dari kerak bumi diperkirakan lebih dari 3,11% K 2 O, sedangkan air laut 29 TINJAUAN PUSTAKA Sumber-Sumber K Tanah Sumber hara kalium di dalam tanah adalah berasal dari kerak bumi. Kadar kalium dari kerak bumi diperkirakan lebih dari 3,11% K 2 O, sedangkan air laut mengandung

Lebih terperinci

PEMUPUKAN PADI. Pemupukan padi adalah kegiatan penambahan nutrisi tanaman sesuai kebutuhan dan target hasil yang realistis.

PEMUPUKAN PADI. Pemupukan padi adalah kegiatan penambahan nutrisi tanaman sesuai kebutuhan dan target hasil yang realistis. PEMUPUKAN PADI A.DEFINISI Pemupukan padi adalah kegiatan penambahan nutrisi tanaman sesuai kebutuhan dan target hasil yang realistis. B. TUJUAN Setelah berlatih peserta dapat: 1. Menentukan dosis pemupukan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa media tanam yang digunakan berpengaruh terhadap berat spesifik daun (Lampiran 2) dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Gambut berperanan penting dalam biosfer karena gambut terlibat dalam siklus biogeokimia, merupakan habitat tanaman dan hewan, sebagai lingkungan hasil dari evolusi, dan referen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pengolahan tanah merupakan suatu tahapan penting dalam budidaya tanaman

I. PENDAHULUAN. Pengolahan tanah merupakan suatu tahapan penting dalam budidaya tanaman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pengolahan tanah merupakan suatu tahapan penting dalam budidaya tanaman pangan. Pengolahan tanah adalah tindakan mekanis untuk menciptakan lingkungan yang baik

Lebih terperinci

TRANSFORMASI BESI DAN MANGAN

TRANSFORMASI BESI DAN MANGAN TRANSFORMASI BESI DAN MANGAN Besi dan mangan merupakan unsur mikro esensial untuk tumbuhan tetapi toksik pada konsentrasi tinggi. Besi dan mangan merupakan logam-logam transisi pertama dan ketiga terbanyak

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh MOCHAMAD IQBAL WALUYO H

SKRIPSI. Oleh MOCHAMAD IQBAL WALUYO H SKRIPSI PEMUPUKAN, KETERSEDIAAN DAN SERAPAN K OLEH PADI SAWAH DI GRUMUSOL untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Oleh

Lebih terperinci

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN

rv. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 rv. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Tinggi Tanaman (cm) Hasil sidik ragam parameter tinggi tanaman (Lampiran 6 ) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kascing dengan berbagai sumber berbeda nyata terhadap tinggi

Lebih terperinci

THE INFLUENCE OF N, P, K FERTILIZER, AZOLLA (Azolla pinnata) AND PISTIA (Pistia stratiotes) ON THE GROWTH AND YIELD OF RICE (Oryza sativa)

THE INFLUENCE OF N, P, K FERTILIZER, AZOLLA (Azolla pinnata) AND PISTIA (Pistia stratiotes) ON THE GROWTH AND YIELD OF RICE (Oryza sativa) JURNAL PRODUKSI TANAMAN Vol. 1 No. 3 JULI-2013 ISSN : 2338-3976 PENGARUH PUPUK N, P, K, AZOLLA (Azolla pinnata) DAN KAYU APU (Pistia stratiotes) PADA PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI SAWAH (Oryza sativa) THE

Lebih terperinci

PEMBERIAN KAPUR CaCO 3 DAN PUPUK KCl DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN SERTA SERAPAN K DAN Ca TANAMAN KEDELAI SKRIPSI OLEH:

PEMBERIAN KAPUR CaCO 3 DAN PUPUK KCl DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN SERTA SERAPAN K DAN Ca TANAMAN KEDELAI SKRIPSI OLEH: 1 PEMBERIAN KAPUR CaCO 3 DAN PUPUK KCl DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN SERTA SERAPAN K DAN Ca TANAMAN KEDELAI DI TANAH ULTISOL SKRIPSI OLEH: RANGGA RIZKI S 100301002 AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian pengaruh nisbah C/N campuran feses sapi perah dan jerami

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian pengaruh nisbah C/N campuran feses sapi perah dan jerami 34 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kandungan N-NH 4 Hasil penelitian pengaruh nisbah C/N campuran feses sapi perah dan jerami padi terhadap kandungan N vermicompost dapat dilihat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 25 meter diatas permukaan

BAHAN DAN METODE. Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 25 meter diatas permukaan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 25 meter diatas permukaan laut. Penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sifat dan Ciri Tanah Ultisol Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak dikeluarkannya kebijakan revolusi agraria berupa bimbingan massal (bimas) dan intensifikasi massal (inmas) dari tahun 1960 -an hingga 1990-an, penggunaan input yang

Lebih terperinci

PENGARUH BAHAN ORGANIK TERHADAP SIFAT BIOLOGI TANAH. Oleh: Arif Nugroho ( )

PENGARUH BAHAN ORGANIK TERHADAP SIFAT BIOLOGI TANAH. Oleh: Arif Nugroho ( ) PENGARUH BAHAN ORGANIK TERHADAP SIFAT BIOLOGI TANAH Oleh: Arif Nugroho (10712004) PROGRAM STUDI HORTIKULTURA JURUSAN BUDIDAYA TANAMAN PANGAN POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2012 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

4. Jenis pupuk. Out line. 1. Definisi pupuk 2. Nutrien pada tanaman dan implikasinya 3. Proses penyerapan unsur hara pada tanaman

4. Jenis pupuk. Out line. 1. Definisi pupuk 2. Nutrien pada tanaman dan implikasinya 3. Proses penyerapan unsur hara pada tanaman PUPUK Out line 1. Definisi pupuk 2. Nutrien pada tanaman dan implikasinya 3. Proses penyerapan unsur hara pada tanaman 4. Jenis pupuk 5. Proses pembuatan pupuk 6. Efek penggunaan pupuk dan lingkungan Definisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jagung merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan di dunia. Hal itu dikarenakan jagung memiliki nilai gizi yang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jagung merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan di dunia. Hal itu dikarenakan jagung memiliki nilai gizi yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jagung merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan di dunia. Hal itu dikarenakan jagung memiliki nilai gizi yang baik serta kegunaan yang cukup beragam. Nilai gizi jagung

Lebih terperinci