Bab 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab 5 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 Bab 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau diarahkan pada penilaian terhadap: efektivitas perlindungan penyu hijau, kinerja pengelolaan penyu hijau dan kondisi populasi penyu hijau. 5.1 Efektivitas Perlindungan Penyu Hijau Di tingkat internasional penyu hijau dilindungi oleh berbagai negara karena status endangered species dan dikelompokkan dalam Appendix I CITES. Endangered species adalah status konservasi dalam IUCN Red Data Book dimana spesies yang dalam waktu dekat sangat beresiko mengalami kepunahan. Dalam CITES penyu hijau telah dikelompokkan dalam Appendix I bersama lebih dari 800 spesies yang dilarang diperdagangkan secara komersial. Jenis yang dimasukkan dalam Appendix I adalah jenis yang jumlahnya di alam sudah sangat sedikit dan dikhawatirkan akan punah. Di tingkat nasional penyu hijau telah dilindungi oleh pemerintah melalui penetapan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 bersama 236 jenis satwa dan 58 jenis tumbuhan lain. Setelah delapan tahun perlindungan penyu hijau, eksploitasi penyu di tingkat lokal tidak terkendali baik yang dilakukan oleh masyarakat lokal maupun pihak yang mendapat konsesi pemanenan telur penyu melalui Surat Keputusan Menteri, Surat Keputusan Bupati dan Peraturan Daerah. Eksploitasi penyu hijau di berbagai wilayah Indonesia mengindikasikan kegagalan kebijakan perlindungan penyu hijau. Penangkapan penyu dan pemanenan telur penyu merupakan permasalahan utama yang dihadapi pihak pengelola. (i) Pemanenan telur penyu Dari rekapitulasi data dapat dilaporkan bahwa pemanenan telur penyu terjadi di 24 UPT, yakni: BKSDA Sumbar; BKSDA Riau; BKSDA Sumsel; BKSDA Lampung; BKSDA Bengkulu; BKSDA Jabar I; BKSDA Jabar II; BKSDA Jateng; BKSDA DIY; BKSDA Jatim I; BKSDA Jatim II; BKSDA Bali; BKSDA NTB; BKSDA NTT I; BKSDA Kalbar; BKSDA Kaltim;

2 92 BKSDA Sulteng; BKSDA Ambon; BTN Siberut; BTN Bukit Barisan Selatan; BTN Ujung Kulon; BTN Karimunjawa; BTN Meru Betiri; BTN Teluk Cendrawasih. Pada Gambar 38 dapat diketahui lokasi UPT yang melaporkan ada pemanenan telur penyu di wilayah kerjanya. Gambar 38. Lokasi ke-24 UPT yang ada pemanenan telur penyu Di beberapa UPT terdapat lokasi peneluran penyu ada yang dikonsesikan oleh Pemerintah Daerah untuk dijadikan obyek pajak. Pada Tabel 14 dapat dilihat beberapa lokasi pemanenan telur penyu yang di konsesi oleh pihak lain. Tabel 14. Lokasi peneluran penyu yang dikonsesikan Pemerintah Daerah No. UPT LOKASI KONSESI 1. BKSDA NTB Lunyuk; Kawinda Toi; dan P. Medang 2. BKSDA Kaltim Kepulauan Derawan (P. Bilang-Bilang; P. Mataha; P. Balembangan; P. Sambit). 3. BKSDA Sumsel Desa Gersik, Kec. Selat Nasik, Kab. Belitung. 4. BKSDA Jabar I Desa Gunung Batu, Kec. Ciracap, Kab. Sukabumi 5. BKSDA Riau Pulau Tambelan, Kepulauan Riau. Legalitas yang mendasari penunjukan konsesi peneluran penyu adalah: 1) Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 750/Kpts-II/1999 mendasari eksploitasi telur di P. Tambelan, Kepulauan Riau; 2) Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi No. 2 tahun 2001 diperkuat Surat Keputusan Bupati No. 973/Kep171-BPKD/2001 mendasari eksploitasi telur penyu di Kabupaten Sukabumi;

3 93 3) Keputusan Bupati No. 36 tahun 2002 mendasari eksploitasi telur di Kabupaten Berau. Legalitas yang memberi ijin pemanenan telur penyu menyebabkan konflik kepentingan dengan Unit Pelaksana Teknis Ditjen PHKA. (ii) Penangkapan penyu Penangkapan penyu hijau dilaporkan oleh 27 UPT. Pada Gambar 39 dapat diketahui bahwa penangkapan penyu terjadi hampir merata di wilayah Indonesia. Dalam Tri Wibowo, E (1991), pengiriman penyu untuk memasok kebutuhan masyarakat P. Bali berasal dari 31 lokasi yang tersebar di seluruh Indonesia. Ada kemiripan antara peta penangkapan penyu dari data tahun 2005 (Gambar 39) dengan peta pengangkutan penyu dari 31 lokasi di Indonesia dari data tahun 1990 (Gambar 11). Selama 15 tahun pola penangkapan penyu di wilayah Indonesia tidak pernah berubah walaupun pada tahun 1999 telah ditetapkan perlindungan penyu hijau. Gambar 39. Lokasi ke-26 UPT yang ada penangkapan penyu Dengan adanya UU No. 5 tahun 1990 dan PP No. 8 tahun 1999 melengkapi kebijakan perlindungan spesies agar pemerintah melaksanakan konservasi spesies melalui kegiatan pengawetan dan pemanfaatan spesies.

4 94 (1) Pengawetan spesies Menurut UU No. 5 tahun 1990, bahwa: Pengawetan spesies dapat dilaksanakan di dalam dan di luar kawasan suaka alam (Pasal 13). Selanjutnya PP No. 7 th 1999 menjelaskan bahwa : Pengawetan spesies dilakukan melalui kegiatan pengelolaan di dalam dan di luar habitatnya (Pasal 8). Pengelolaan di dalam habitatnya meliputi kegiatan: identifikasi; inventarisasi; pemantauan; pembinaan habitat dan populasinya; penyelamatan jenis; pengkajian, penelitian dan pengembangan. Pengelolaan di dalam habitatnya meliputi kegiatan: pemeliharaan; pengembangbiakan; pengkajian, penelitian dan pengembangan; rehabilitasi spesies; penyelamatan spesies. Dari rekapitulasi data dapat diketahui bahwa sebagian besar (26 UPT) lingkup Ditjen PHKA tidak melaksanakan kegiatan pengawetan. Gambar 40. UPT yang melaksanakan kegiatan pengawetan (2) Pemanfaatan spesies Menurut UU No. 5 tahun 1990, Pemanfaatan spesies dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman spesies (pasal 28). Pemanfaatan spesies dilaksanakan dalam bentuk : pengkajian, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran (Pasal 36). Selanjutnya PP No. 8 tahun 1999 menjelaskan pemanfaatan meliputi kegiatan: pengkajian, penelitian dan pengembangan; penangkaran; perburuan; perdagangan; peragaan; pertukaran; dan pemeliharaan untuk kesenangan.

5 95 Pemanfaatan penyu hijau belum dilaksanakan oleh UPT lingkup Ditjen PHKA. Pengembangan atraksi wisata penyu di beberapa UPT merupakan pemanfaatan jasa lingkungan penyu. Obyek wisata penyu berada di UPT BKSDA NTB, BKSDA Kaltim dan BTN Karimunjawa. Obyek wisata penyu yang dikelola oleh LSM bekerjasama dengan masyarakat lokal berada di BKSDA DIY dan BTN Taka Bonerate, sedangkan yang dikelola oleh masyarakat lokal berada di BKSDA NTB, BKSDA Kaltim dan BTN Karimunjawa. 5.2 Kinerja Pengelolaan Penyu Hijau Sejak krisis ekonomi dan politik tahun 1997, terjadi penurunan secara drastis anggaran pemerintah pusat yang disediakan melalui APBN untuk konservasi (PHKA-Dephut, NRM/EPIQ, WWF-Wallacea, TNC, 2002). Pengalokasian dana pengelolaan penyu pada empat UPT, seperti: BTN Meru Betiri Rp ,- /tahun; BTN Ujung Kulon Rp ,-/tahun; BTN Alas Purwo Rp ,-/tahun dan BKSDA Jawa Timur II Rp ,-/tahun telah menimbulkan minimnya sarana prasarana dan rendahnya kemampuan sumberdaya manusia. Kelemahan manajerial memberi gambaran pengelolaan penyu hijau yang dilaksanakan pemerintah sebagai skema kelembagaan yang terpusat (centralizedinstitutional arrangement) memiliki kewenangan di seluruh Indonesia namun lemah di dalam penanganan ancaman eksploitasi dan penegakan hukum. Pengelolaan penyu hijau sebagai upaya konservasi spesies yang dilaksanakan di suatu UPT. Pelaksanaan pengelolaan penyu hijau ini tidak berdiri sendiri, tetapi dilaksanakan bersama dengan spesies lain (multi spesies) atau sebagai bagian dari pengelolaan kawasan (konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya). Untuk mendapat gambaran tentang kegiatan pengelolaan penyu hijau yang ada di 50 UPT diperlukan jawaban atas beberapa pertanyaan, seperti: Apakah input pengelolaan suatu UPT mempengaruhi pengelolaan penyu hijau?; Bagaimana karakteristik pengelolaan penyu hijau dan ancaman terhadap penyu hijau?; Bagaimana peta permasalahan dan kinerja pengelolaan penyu hijau?.

6 Pengaruh input pengelolaan UPT terhadap pengelolaan penyu hijau Setiap UPT merupakan suatu organisasi/ lembaga/ institusi yang mendapat alokasi dana dan memiliki sumberdaya manusia (SDM) dan beberapa input pengelolaan UPT yang lain diduga mempengaruhi pengelolaan penyu hijau, yakni: i) Tipe UPT Tipe UPT dapat memberi gambaran tentang sarana-prasarana yang dimiliki suatu UPT. Dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 6186/Kpts-II/2002 dan No. 6187/ Kpts-II/2002 menyebutkan bahwa UPT terdiri dari tiga tipe, yakni: UPT tipe A, UPT tipe B, dan UPT tipe C yang dibedakan oleh susunan organisasi. Gambar 41. Struktur organisasi UPT tipe A, B, C ii) Luas kawasan konservasi Setiap UPT memiliki kawasan konservasi yang berbeda-beda bentuknya, seperti: Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Buru, Taman Wisata Alam, Taman Nasional yang berisi potensi flora dan fauna serta ekosistem yang dikelola oleh suatu UPT. iii) Luas wilayah kerja Luas wilayah kerja yang dapat dijadikan ukuran beban dan tanggung jawab pengelola UPT. Untuk UPT BTN diukur dari kawasan konservasi ditambah dengan wilayah teritori, sedangkan UPT BKSDA memiliki ukuran sama dengan luas wilayah admistratif.

7 97 iv) Jumlah nesting site penyu hijau di suatu UPT v) Panjang garis pantai nesting site penyu hijau di suatu UPT. Pengujian pengaruh input pengelolaan UPT terhadap pengelolaan penyu hijau digunakan Metode Categorical Regression (CATREG). Pada Lampiran 1 dapat dilihat pengujian hubungan antara variabel response (50 UPT) dengan sekelompok predictor (7 variabel dari input pengelolaan). Hasil pengujian dapat diketahui bahwa hubungan antara variabel response dengan sekelompok predictor dapat dijelaskan oleh model Regresi: Y = 0,48 X 1 + 0,425 X 2 0,304 X 3 0,253 X 4-0, 172 X 5 + 0,114 X 6 + 0,09 X 7 dimana : Y = UPT X 3 = Dana X 6 = Panjang Garis pantai X 1 = Tipe UPT X 4 = SDM X 7 = Jumlah Nesting site X 2 = Luas KK X 5 = Luas Wilayah kerja Koefisien determinasi: R 2 = 0, 521, berarti 52,1% perbedaan UPT (response) yang mampu dijelaskan oleh regresi, sisanya (47,9%) dipengaruhi oleh faktor yang tidak diketahui. Pengelolaan penyu hijau di 50 UPT tidak dipengaruhi oleh input pengelolaan suatu UPT. Jika akan meningkatkan kuantitas UPT yang mengelola penyu tidak dapat dilakukan dengan peningkatan input pengelolaan, seperti: Tipe UPT, Dana, Jumlah SDM, Luas Kawasan Konservasi, Luas Wilayah Kerja, Panjang Garis Pantai dan Jumlah Nesting Site Karakteristik pengelolaan dan ancaman terhadap penyu hijau Penentuan karakteristik pengelolaan dan ancaman terhadap penyu hijau menggunakan analisis Metode Hierarchical Clustering. Analisis cluster ini mengklasifikasikan data menjasi beberapa kelompok yang memiliki kesamaan (similarity/homogeneous). Analisis Hierarchical Clustering dapat diperiksa pada Lampiran 2. Dendrogram merupakan hasil pengelompokan UPT yang menunjukkan karakteristik pengelolaan (Gambar 42) dan karakteristik ancaman terhadap penyu hijau (Gambar 43).

8 98 Gambar 42. Karakteristik pengelolaan penyu hijau Dari Gambar 42 dapat diketahui bahwa karakteristik pengelolaan terdiri dari tiga cluster, dimana: Cluster 1 adalah 26 UPT dimana sebagian UPT memiliki nesting site penyu dan tidak mengelola penyu. Cluster 2 adalah 20 UPT dimana semua UPT memiliki nesting site penyu dan pengelolaannya berbasis pemerintah. Cluster 3 adalah 4 UPT dimana semua UPT memiliki nesting site penyu dan pengelolaannya berbasis masyarakat.

9 99 Gambar 43. Karakteristik ancaman pengelolaan penyu hijau Pada Gambar 43 dapat diketahui bahwa karakteristik ancaman terhadap penyu hijau ada tiga cluster, yakni: Cluster 1 adalah 24 UPT yang terdapat ancaman ringan dimana sebagian kecil UPT terdapat penangkapan induk, eksploitasi telur, perdagangan opsetan dan tidak ada konsumsi daging. Cluster 2 adalah 17 UPT yang terdapat ancaman sedang dimana sebagian besar UPT terdapat penangkapan induk, eksploitasi telur dan konsumsi daging dan tidak ada perdagangan opsetan.

10 100 Cluster 3 adalah sembilan UPT yang terdapat ancaman berat dimana semua UPT terdapat penangkapan induk, eksploitasi telur, konsumsi daging dan perdagangan opsetan. Ada dugaan pengelolaan penyu hijau berkaitan dengan P. Bali, dimana konsumsi daging penyu di P. Bali pernah menimbulkan protes internasional pada tahun 80-an. Karenanya peneliti melakukan pengukuran jarak antara ke-50 Tingkat Kedudukan (TK) UPT terhadap kota Denpasar. Hasil pengukuran dikelompokkan dalam tiga peringkat melalui prosedur recode pada software package SPSS version 13. Hasil pengelompokan dapat dilihat pada Gambar 44. Gambar 44. Pengelompokan UPT berdasarkan peringkat jarak dari Bali Memperbandingkan setiap UPT dalam mengelola penyu hijau Pengelolaan penyu hijau yang berada di 50 UPT lingkup Ditjen PHKA yang akan diperbandingkan satu sama lain dengan metode Multidimensional Scaling (MDS). Pada Lampiran 3 dapat diperiksa hasil analisis Multidimensional Scaling (MDS). Penggunaan dua jenis data, yakni: Matriks Distance tempat kedudukan UPT dan Matriks Dissimilarity UPT akan menghasilkan tampilan yang berbeda, antara lain: i) Pemetaan permasalahan pengelolaan penyu hijau Pemetaan permasalahan pengelolaan penyu hijau menggunakan data distance antar Tempat Kedudukan (TK) UPT. Hasil analisis Multidimensional Scaling dari matriks distance antar TK-UPT menghasilkan koordinat TK-UPT dalam 2 dimensi. Dari nilai Stress < 0,01 diketahui bahwa solusi 2 dimensi adalah terbaik karena penambahan Normalized Raw Stress terjadi pada iterasi/ dimensi 1 ke 2 sedangkan iterasi/ dimensi 2 ke 3 tidak ada lagi penambahan Normalized Raw Stress. Jika koordinat TK-UPT tersebut divisualisasikan

11 101 melalui prosedur 3D-plot pada software XLSTAT 2006 menghasilkan peta TK-UPT pada ruang euclidean yang menyerupai peta geometrik (Gambar 45). Gambar 45. Visualisasi koordinat TK-UPT dalam dua dimensi Untuk memperbandingkan setiap UPT maka koordinat TK-UPT (Gambar 45) dikombinasikan dengan karakteristik ancaman, karakteristik pengelolaan dan zona sehingga dihasilkan pemetaan pengelolaan penyu secara geometrik. 1. Jika koordinat TK-UPT dikombinasikan dengan karakteristik pengelolaan dan karakteristik ancaman. Gambar 46. Visualisasi koordinat TK-UPT yang dikombinasikan dengan preference karakteristik pengelolaan dan ancaman

12 102 Karakteristik ancaman dialokasikan pada sumbu z (vertikal) sebagai dimensi ke-3 dan Karakteristik pengelolaan menggunakan spektrum warna sebagai dimensi ke-4. Tabel 15. Hubungan antara karakteristik pengelolaan dan karakteristik ancaman Pengelolaan Pengelolaan Tidak ada berbasis berbasis pengelolaan Proporsi pemerintah masyarakat Ancaman ringan % Ancaman sedang % Ancaman berat % Proporsi 52% 40% 8% Dari Gambar 46 dan Tabel 15 dapat diketahui bahwa: Semakin berat ancaman terhadap populasi penyu, semakin banyak UPT yang tidak mengelola penyu. Peningkatan kuantitas UPT yang mengelola penyu hijau dapat menurunkan ancaman. 2. Jika koordinat TK-UPT dikombinasikan dengan zona dan karakteristik ancaman Gambar 47. Visualisasi koordinat TK-UPT yang dikombinasikan dengan preference zona dan karakteristik pengelolaan

13 103 Karakteristik pengelolaan dialokasikan pada sumbu z (vertikal) sebagai dimensi ke-3 dan zona menggunakan spektrum warna sebagai dimensi ke-4. Tabel 16. Hubungan antara zona dan karakteristik pengelolaan Tidak ada pengelolaan Pengelolaan berbasis pemerintah Pengelolaan berbasis masyarakat Proporsi Zona % Zona % Zona % Proporsi 52% 40% 8% Setelah mempelajari Gambar 47 dan Tabel 16 dapat dinyatakan bahwa semakin dekat jarak UPT dengan P. Bali semakin banyak UPT yang mengelola penyu hijau. Pengelolaan penyu hijau dipengaruhi protes internasional yang berkaitan dengan isu pembantaian penyu yang pernah dialamatkan ke masyarakat adat Bali tahun 80-an. ii) Penampilan lembaga UPT dalam mengelola penyu hijau Untuk penilaian kinerja UPT digunakan matriks Dissimilarity antar obyek berasal dari variabel-variabel input pengelolaan. Koordinat UPT yang ada pada ruang eucledian adalah penampilan (performance) lembaga UPT yang diwarnai oleh variabel Dana, SDM, Sarana-prasarana, Luas kawasan konservasi, Luas wilayah kerja, Tipe UPT, Jumlah nesting site dan Panjang garis pantai. Dari nilai stress 0,1 s/d 0,4 diketahui bahwa solusi 2 dimensi masih cukup baik walaupun solusi terbaiknya 3 dimensi. Penambahan Normalized Raw Stress terjadi pada iterasi/ dimensi 1 ke 2 dan iterasi/ dimensi 2 ke 3, sedangkan iterasi/ dimensi ke 3 ke atas tidak ada lagi penambahan Normalized Raw Stress. Jika koordinat UPT dalam 2 dimensi divisualisasikan melalui prosedur 3D-plot pada software package XLSTAT 2006 akan menghasilkan tampilan (performance) institusi ke 50 UPT pada ruang euclidean pada Gambar 48.

14 104 Gambar 48. Visualisasi koordinat lembaga UPT dalam 2 dimensi Jika koordinat lembaga UPT (Gambar 48) dikombinasikan dengan dua preference, yakni: Karakteristik pengelolaan dan karakteristik ancaman, maka akan diperoleh tampilan lembaga pengelolaan penyu hijau pada Gambar 49. Gambar 49. Visualisasi koordinat 4 dimensi dari lembaga UPT setelah dikombinasikan dengan karakteristik pengelolaan dan ancaman

15 105 Dengan mempelajari Gambar 49 dapat dilakukan penilaian kinerja UPT, sebagai berikut : Ideal point adalah asumsi posisi ideal suatu UPT yang didasarkan pada pertimbangan Karakteristik pengelolaan dan Karakteristik ancaman. UPT Taka Bonerate menempati posisi ideal dimana pengelolaan penyu dilaksanakan berbasis masyarakat dan ancaman terhadap penyu yang tergolong ringan. Posisi sebaliknya adalah: UPT BKSDA Jateng; BKSDA Jatim I; BKSDA Maluku dan BTN Siberut. Keempat UPT ini memerlukan perhatian khusus karena tidak ada pengelolaan penyu hijau walaupun terdapat ancaman yang berat. 5.3 Penilaian Kondisi Populasi Penyu Hijau Sebagai satwa migran, sebagian besar siklus hidup penyu hijau berada di laut lepas. Keberadaan penyu hijau mudah diamati di daerah peneluran dan perairan laut sekitarnya. Sebaran daerah peneluran penyu hijau mengindikasikan bahwa perairan laut Indonesia merupakan daerah pengembaraan dan jalur migrasi penting. Unit Pelaksana Teknis yang melaporkan memiliki daerah peneluran penyu hijau dapat dilihat pada Gambar 50. Gambar 50. Peta sebaran nesting site penyu hijau di Indonesia

16 106 Dari hasil rekapitulasi data diketahui sebaran daerah peneluran (nesting site) penyu hijau terdapat 147 lokasi dengan panjang garis pantai sepanjang ,2 km. Jumlah nesting site tertinggi secara berurutan berada di Kepulauan Karimunjawa, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tenggara. Penilaian terhadap kondisi populasi penyu hijau dapat diidentifikasi dari trend dari jumlah penyu yang datang bertelur, jumlah telur yang dihasilkan dan prosentasi penetasan telur. Hasil analisis Time Series pada Lampiran 4 menggunakan data dari UPT BTN Meru Betiri; BKSDA Kaltim dan BTN Alas Purwo Balai Taman Nasional Meru Betiri (1) Penyu yang datang bertelur Hasil analisis Time Series dengan prosedur Seasonal Decomposition (software package SPSS) memberi gambaran tentang trend; rata-rata bergerak (moving average) dan variasi musiman dari jumlah penyu dan telur penyu. Selama 24 tahun penurunan penyu hijau di BTN Meru Betiri mengikuti persamaan regresi linear y = - 17,046 x + 746,32 yang diperkirakan ± 17 ekor/ tahun. Gambar 51. Kurva jumlah penyu di BTN Meru Betiri selama Rata-rata bergerak (Moving average) yang menggambarkan gerakan deret berkala secara rata-rata. Penghitungan rata-rata bergerak dengan mencari nilai rata-rata beberapa tahun secara berturut-turut sehingga diperoleh nilai rata-rata bergerak secara teratur.

17 107 Gambar 52. Rata-rata bergerak dari kurva jumlah penyu di BTN Meru Betiri Pada Gambar 53 diketahui bahwa jumlah penyu yang berfluktuasi secara teratur menunjukkan bahwa kedatangan penyu tertinggi pada bulan Januari, kemudian menurun dan terrendah pada bulan September. Variasi musiman dapat digunakan sebagai indikator pengamanan daerah pantai peneluran, dimana saat bulan Nopember s/d Maret pengamanan pantai ditingkatkan karena jumlah penyu yang datang tergolong tinggi. Gambar 53. Variasi musiman jumlah penyu yang mendarat di BTN Meru Betiri (2) Telur penyu yang ada di Pantai Sukamade Jumlah telur yang ditinggal induk di Pantai Sukamade BTN Meru Betiri mengalami penurunan. Dari Gambar 54 dapat diketahui bahwa penurunan telur penyu mengikuti trend persamaan regresi y = ,7 x yang diperkirakan ± 1336 butir/ tahun.

18 108 Gambar 54. Penurunan telur penyu yang ada di Pantai Sukamade BTN Meru Betiri selama tahun Telur penyu hijau yang ditinggal induk di pantai selanjutnya diamankan oleh pihak pengelola dengan dua jenis perlakuan yakni: menetaskan secara alami dan secara semi alami. Penetasan alami, pihak pengelola akan memberi pagar, menandai sarang dan membiarkan telur menetas. Pada penetasan semi alami dilakukan pemindahan telur ke lokasi penetasan, menandai timbunan pasir yang berisi telur dan membiarkan telur menetas secara alami. Pemilihan kedua perlakuan tersebut tergantung pada tingkat kerawanan telur dari pemangsaan predator dan pemanenan yang dilakukan masyarakat. Gambar 55. Kurva jumlah telur yang ada dan yang menetas di Pantai Sukamade BTN Meru Betiri selama tahun

19 109 Dari Gambar 55 dapat diketahui bahwa sebagian telur tidak menetas. Prosentase penetasan telur merupakan indikator dari keberhasilan perlakuan terhadap telur penyu baik secara alami maupun semi alami. Pada Gambar 56 diketahui terdapat gangguan penetasan telur pada kurun waktu antara tahun 1997 s/d Gambar 56. Kurva penetasan telur bulanan di BTN Meru Betiri Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur Analisis terhadap jumlah penyu dilakukan berdasarkan data yang berasal dari sumber yang berbeda, yakni : Data penyu tahun 1940-an dan tahun 1970-an dari Lindsay and Watson (1995), Data penyu tahun 1993 dari Tomascik et al (1997), dan Data penyu tahun dari WWF-Indonesia (Adnyana, 2005) Gambar 57. Penurunan jumlah penyu hijau di BKSDA Kaltim

20 110 Penurunan jumlah penyu hijau cukup tinggi di Balai KSDA Kalimantan Timur. Dari tahun 1940 hingga tahun 2003 terjadi penurunan hingga 191 ekor di Kepulauan Derawan. Namun jika hanya menganalisis data yang berasal dari WWF-Indonesia (Adnyana, 2005) diketahui bahwa penurunan populasi penyu hijau di Kepulauan Derawan diperkirakan ± 2 ekor per bulan. Gambar 58. Penurunan jumlah penyu hijau bulanan di BKSDA Kaltim Sebaran penyu hijau tidak merata di Kepulauan Derawan. Pada Gambar 59 dapat diketahui jumlah penyu tertinggi berada di P. Sangalaki. Gambar 59. Proporsi jumlah penyu yang mendarat di Kep. Derawan (Sumber : Hitipeuw-WWF Indonesia, 2001 dalam Adnyana, 2005)

21 Balai Taman Nasional Alas Purwo Data penyu yang ada di Balai Taman Nasional Alas Purwo tidak digunakan karena penyu hijau hanya menduduki proporsi 2%. Dari semua jenis penyu laut yang datang untuk bertelur di BTN Alas Purwo, sebagian besar adalah jenis penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea). Gambar 60. Diagram proporsi keempat spesies penyu laut di BTN Alas Purwo

Bab 3 METODOLOGI PENELITIAN

Bab 3 METODOLOGI PENELITIAN Bab 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Analisis kebijakan perlindungan penyu hijau dilakukan terhadap kegiatan konservasi spesies yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal PHKA Departemen

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Sebagian besar perairan laut Indonesia (> 51.000 km2) berada pada segitiga terumbu

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut ditemukan dalam jumlah besar. Daerah-daerah yang menjadi lokasi peneluran di Indonesia umumnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem

Lebih terperinci

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial) UU No 5 tahun 1990 (KSDAE) termasuk konsep revisi UU No 41 tahun 1999 (Kehutanan) UU 32 tahun 2009 (LH) UU 23 tahun 2014 (Otonomi Daerah) PP No 28 tahun 2011 (KSA KPA) PP No. 18 tahun 2016 (Perangkat Daerah)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi di dunia. Keanekaragaman hayati terbesar yang dimiliki Indonesia di antaranya adalah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk

Lebih terperinci

5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN

5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN 5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN Evaluasi efektivitas pengelolaan dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap 4 aspek dalam siklus pengelolaan yaitu: perencanaan, masukan, proses, dan keluaran. Setiap

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK)

WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) WORKSHOP (MOBILITAS PESERTA DIDIK) KONSEP 1 Masyarakat Anak Pendidikan Masyarakat Pendidikan Anak Pendekatan Sektor Multisektoral Multisektoral Peserta Didik Pendidikan Peserta Didik Sektoral Diagram Venn:

Lebih terperinci

UPT-BPSPL Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut DAN. UPT-BKKPN Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional

UPT-BPSPL Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut DAN. UPT-BKKPN Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional UNIT PELAKSANA TEKNIS DITJEN KP3K UPT-BPSPL Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut DAN UPT-BKKPN Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Sekretariat Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistemnya. Pasal 21 Ayat (2). Republik Indonesia. 1

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistemnya. Pasal 21 Ayat (2). Republik Indonesia. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia memiliki kekayaan laut yang sangat berlimpah. Banyak diantara keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Papua terdiri dari Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan luas total 42,22 juta ha merupakan provinsi terluas dengan jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayai dan Ekosistemnya;

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayai dan Ekosistemnya; KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Burung Walet (Collocalia spp) merupakan salah

Lebih terperinci

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1444, 2014 KEMENHUT. Satwa Liar. Luar Negeri. Pengembangbiakan. Peminjaman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA JUNCTO

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG PEMINJAMAN JENIS SATWA LIAR DILINDUNGI KE LUAR NEGERI UNTUK KEPENTINGAN PENGEMBANGBIAKAN (BREEDING LOAN) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar? Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? Ekologi Hidupan Liar http://staff.unila.ac.id/janter/ 1 2 Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar PENGERTIAN perlindungan populasi satwa untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam termasuk cagar alam dan suaka margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, dan taman

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Burung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Timur. Wilayah Kepulauan Derawan secara geografis terletak di 00 51`00-0l

BAB I PENDAHULUAN. Timur. Wilayah Kepulauan Derawan secara geografis terletak di 00 51`00-0l 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Derawan terletak di perairan Kabupaten Berau yang merupakan salah satu dari 13 kabupaten yang terdapat di Provinsi Kalimantan Timur. Wilayah Kepulauan Derawan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008

Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008 Analisis Hasil Ujian Nasional Madrasah Tsanawiyah Tahun 2008 Oleh : Asep Sjafrudin, M.Si 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Sebagai jenjang terakhir dalam program Wajib Belajar 9 Tahun Pendidikan Dasar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Page 1 of 9 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 7 TAHUN 1999 (7/1999) Tanggal : 27 Januari 1999 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI SULAWESI BARAT (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

Bab 6 ALTERNATIF PERLINDUNGAN PENYU HIJAU

Bab 6 ALTERNATIF PERLINDUNGAN PENYU HIJAU Bab 6 ALTERNATIF PERLINDUNGAN PENYU HIJAU Berdasarkan hasil analisis kebijakan perlindungan diketahui bahwa konservasi spesies yang mendasari pengelolaan penyu hijau tidak dilaksanakan secara konsisten.

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ikan) yang cukup tinggi, namun jika dibandingkan dengan wilayah

BAB I PENDAHULUAN. ikan) yang cukup tinggi, namun jika dibandingkan dengan wilayah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai salah satu Kabupaten yang paling banyak memproduksi Ikan, komoditi perikanan di Kabupaten Kupang merupakan salah satu pendukung laju perekonomian masyarakat,

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TENGAH (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan menurut fungsi pokoknya dibagi menjadi tiga yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi (Dephut, 2009). Hutan konservasi sendiri didefinisikan kawasan

Lebih terperinci

PEMETAAN KAWASAN HABITAT PENYU DI KABUPATEN BINTAN

PEMETAAN KAWASAN HABITAT PENYU DI KABUPATEN BINTAN PEMETAAN KAWASAN HABITAT PENYU DI KABUPATEN BINTAN Oleh : Dony Apdillah, Soeharmoko, dan Arief Pratomo ABSTRAK Tujuan penelitian ini memetakan kawasan habitat penyu meliputi ; lokasi tempat bertelur dan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.63/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA MEMPEROLEH SPESIMEN TUMBUHAN DAN SATWA LIAR UNTUK LEMBAGA KONSERVASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1 KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1 Sudi Mardianto, Ketut Kariyasa, dan Mohamad Maulana Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JOMBANG, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki 40 spesies primata dari 195 spesies jumlah primata yang ada di dunia. Owa Jawa merupakan salah satu dari 21 jenis primata endemik yang dimiliki

Lebih terperinci

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Pencapaian tujuan kelestarian jenis elang Jawa, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya sangat ditentukan oleh adanya peraturan perundangan

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

Eksekutif DATA STRATEGIS KEHUTANAN

Eksekutif DATA STRATEGIS KEHUTANAN Eksekutif DATA STRATEGIS KEHUTANAN DEPARTEMEN KEHUTANAN Ministry of Forestry 2008 KATA PENGANTAR Penyusunan Buku Eksekutif Data Strategis Kehutanan Tahun 2008 ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan data

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAUT

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAUT PENGEMBANGAN KONSERVASI LAUT (Mewujudkan Kawasan Suaka Perikanan Nasional Perairan Laut Sawu dan Sekitarnya) Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau

Lebih terperinci

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN,

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 02/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Keputusan Menteri Kehutanan

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1.

Lebih terperinci

Mengembalikan Teluk Penyu sebagai Icon Wisata Cilacap

Mengembalikan Teluk Penyu sebagai Icon Wisata Cilacap Mengembalikan Teluk Penyu sebagai Icon Wisata Cilacap Tri Nurani Mahasiswa S1 Program Studi Biologi Universitas Jenderal Soedirman e-mail: tri3nurani@gmail.com Abstrak Indonesia merupakan negara yang mempunyai

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KEHUTANAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KEHUTANAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KEHUTANAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN C. BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Inventarisasi Hutan Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam wilayah daerah.

Lebih terperinci

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN C. BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Inventarisasi Hutan Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam wilayah daerah.

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TAMAN BURU DAN PERBURUAN. Oleh: Bambang Dahono Adji Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Jakarta, 18 September 2014

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TAMAN BURU DAN PERBURUAN. Oleh: Bambang Dahono Adji Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Jakarta, 18 September 2014 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TAMAN BURU DAN PERBURUAN Oleh: Bambang Dahono Adji Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Jakarta, 18 September 2014 BERBURU (PP. 13/1994 tentang Perburuan Satwa Buru) menangkap

Lebih terperinci

2 c. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 461/Kpts-II/1999 telah ditetapkan Penetapan Musim Berburu di Taman Buru dan Areal Buru; b. ba

2 c. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 461/Kpts-II/1999 telah ditetapkan Penetapan Musim Berburu di Taman Buru dan Areal Buru; b. ba BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1347, 2014 KEMENHUT. Satwa Buru. Musim Berburu. Penetapan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/Menhut-II/2014 TENTANG PENETAPAN MUSIM

Lebih terperinci

PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL LAUT DAN REKLAMASI TELUK BENOA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL LAUT DAN REKLAMASI TELUK BENOA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL LAUT DAN REKLAMASI TELUK BENOA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN Taman Nasional Laut Dasar pengelolaan : UU NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada

Lebih terperinci

Lampiran 1. Daftar taman nasional yang memiliki perencanaan zonasi

Lampiran 1. Daftar taman nasional yang memiliki perencanaan zonasi LAMPIRAN 168 Lampiran 1. Daftar taman nasional yang memiliki perencanaan zonasi No Nama dan SK Kawasan 1 Bukit Barisan Selatan SK Mentan No. 736/Mentan/X/ 1982, 14 Oktober 1982 2 Bali Barat* SK Menhut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin PENDAHULUAN Latar Belakang Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin telah turut menyumbang pada perdagangan ilegal satwa liar dengan tanpa sadar turut membeli barang-barang

Lebih terperinci

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG PELESTARIAN SATWA BURUNG DAN IKAN

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG PELESTARIAN SATWA BURUNG DAN IKAN SALINAN BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG PELESTARIAN SATWA BURUNG DAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

STATISTIK KEHUTANAN TAHUN 2005

STATISTIK KEHUTANAN TAHUN 2005 PEMERINTAH PROPINSI JAWA BARAT DINAS KEHUTANAN Jalan Soekarno-Hatta No. 751 Km. 11,2 Bandung Telp./Fax. (022) 7304031 STATISTIK KEHUTANAN TAHUN 2005 Bandung, Nopember 2006 KATA PENGANTAR Puji syukur kami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun

Lebih terperinci

4. KARAKTERISTIK KAWASAN KONSERVASI

4. KARAKTERISTIK KAWASAN KONSERVASI 4. KARAKTERISTIK KAWASAN KONSERVASI Kawasan konservasi yang memiliki lahan basah pesisir yang dalam tulisan ini disingkat menjadi kawasan konservasi bisa ditemui di hampir setiap wilayah Indonesia. Taman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional (TN) Gunung Merapi ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI Oleh Pengampu : Ja Posman Napitu : Prof. Dr.Djoko Marsono,M.Sc Program Studi : Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,

Lebih terperinci

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN

VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN 185 VIII. PROSPEK PERMINTAAN PRODUK IKAN Ketersediaan produk perikanan secara berkelanjutan sangat diperlukan dalam usaha mendukung ketahanan pangan. Ketersediaan yang dimaksud adalah kondisi tersedianya

Lebih terperinci

DATA INSPEKTORAT JENDERAL

DATA INSPEKTORAT JENDERAL DATA INSPEKTORAT JENDERAL 1. REALISASI AUDIT BERDASARKAN PKPT TAHUN 2003-2008 No. Tahun Target Realisasi % 1 2 3 4 5 1 2003 174 123 70,69 2 2004 174 137 78,74 3 2005 187 175 93,58 4 2006 215 285 132,55

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Balai Konservasi Sumber Daya Alam sering di singkat dengan Balai KSDA atau BKSDA merupakan unit pelaksanaan teknis di bawah Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan

Lebih terperinci

CATATAN ATAS RUU KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (VERSI DPR)

CATATAN ATAS RUU KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (VERSI DPR) CATATAN ATAS RUU KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (VERSI DPR) PENGANTAR Saat ini terdapat 2 (dua) versi RUU Perubahan UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU

Lebih terperinci

SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH

SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH - 140 - AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN 1. Inventarisasi Hutan 1. Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala DAS dalam daerah. 2. Penunjukan Kawasan Hutan,

Lebih terperinci

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro)

POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro) POTRET PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR (Indikator Makro) Pusat Data dan Statistik Pendidikan - Kebudayaan Setjen, Kemendikbud Jakarta, 2015 DAFTAR ISI A. Dua Konsep Pembahasan B. Potret IPM 2013 1. Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu dari 3 negara yang mempunyai tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Fauna merupakan bagian dari keanekaragaman hayati di Indonesia,

Lebih terperinci

SMP NEGERI 3 MENGGALA

SMP NEGERI 3 MENGGALA SMP NEGERI 3 MENGGALA KOMPETENSI DASAR Setelah mengikuti pembelajaran, siswa diharapkan dapat mengidentifikasi pentingnya keanekaragaman makhluk hidup dalam pelestarian ekosistem. Untuk Kalangan Sendiri

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR U M U M Bangsa Indonesia dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

STIKOM SURABAYA BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi semakin pesat,

STIKOM SURABAYA BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi semakin pesat, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi semakin pesat, perkembangan tersebut tengah berdampak pada segala aspek kehidupan manusia salah satunya

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya,

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya, BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara dengan keanekaragaman hayati yang beragam. Wilayahnya yang berada di khatuistiwa membuat Indonesia memiliki iklim tropis, sehingga

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah suatu istilah pembahasan yang mencakup semua bentuk kehidupan, yang secara ilmiah dapat dikelompokkan

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.349, 2013 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Pelimpahan Kewenangan. Sebagian. Pengguna Anggaran/Barang. Provinsi. Kepala UPT. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan SUB BIDANG

AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan SUB BIDANG - 563 - AA. PEMBAGIAN URUSAN AN KEHUTANAN PROVINSI 1. Inventarisasi Hutan prosedur, dan kriteria inventarisasi hutan, dan inventarisasi hutan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan

Lebih terperinci

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, tekanan terhadap sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap berbagai tipe habitat. Berdasarkan aspek lokasi, macan tutul mampu hidup

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tahun 2010 telah dicanangkan oleh PBB sebagai Tahun Internasional Biodiversity (keanekaragaman hayati) dengan tema Biodirvesity is life, Biodirvesity is Our

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Potensi sumber daya alam hutan serta perairannya berupa flora, fauna dan ekosistem termasuk di dalamnya gejala alam dengan keindahan alam yang dimiliki oleh bangsa

Lebih terperinci

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013

STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013 STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 1 I. Aspek Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2009 2013 Komoditas

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SATWA DAN TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) DI PENANGKARAN PENYU PANTAI TONGACI DAN UPT PENANGKARAN PENYU GUNTUNG

PERBANDINGAN KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) DI PENANGKARAN PENYU PANTAI TONGACI DAN UPT PENANGKARAN PENYU GUNTUNG 77 PERBANDINGAN KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) DI PENANGKARAN PENYU PANTAI TONGACI DAN UPT PENANGKARAN PENYU GUNTUNG Comparison of Eggs Hatching Success Eretmochelys

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara kepulauan, Indonesia menyimpan kekayaan alam tropis yang tak ternilai harganya dan dipandang di dunia internasional. Tidak sedikit dari wilayahnya ditetapkan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Kawasan Ekosistem Leuser beserta sumber daya alam

Lebih terperinci

Gambaran Pembentukan Wilayah KPH

Gambaran Pembentukan Wilayah KPH SEKILAS TENTANG KPH DAN PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN KPH. 1. Dasar Hukum Pembangunan KPH, antara lain - UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya - UU 41 tahun 1999 tentang

Lebih terperinci