BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan Berbicara di Depan Umum

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan Berbicara di Depan Umum"

Transkripsi

1 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan Berbicara di Depan Umum 1. Pengertian Kecemasan Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya anxiety berasal dari Bahasa Latin angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik. Menurut Freud (dalam Alwisol, 2005) mengatakan bahwa kecemasan adalah fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai. Kecemasan berfungsi sebagai mekanisme yang melindungi ego karena kecemasan memberi sinyal kepada kita bahwa ada bahaya dan kalau tidak dilakukan tindakan yang tepat maka bahaya itu akan meningkat sampai ego dikalahkan. Taylor (1995) mengatakan bahwa kecemasan ialah suatu pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dan ketidakmampuan menghadapi masalah atau adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menyenangkan ini umumnya menimbulkan gejala-gejala fisiologis (seperti gemetar, berkeringat, detak jantung meningkat, dan lainlain) dan gejala-gejala psikologis (seperti panik, tegang, bingung, tak dapat berkonsentrasi, dan sebagainya). Menurut Chaplin (2006) kecemasan adalah perasaan campuran berisikan ketakutan dan keprihatinan mengenai masa mendatang tanpa sebab khusus. Nevid, dkk. (2005) memberikan pengertian tentang kecemasan sebagai suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.

2 15 Atkinson (1996) mendefinisikan kecemasan sebagai emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan istilah kekawatiran yang kadang-kadang dialami dalam tingkat yang berbeda-beda. Sedangkan menurut Hurlock (1997) kecemasan adalah situasi efektif yang dirasa tidak menyenangkan yang diikuti oleh sensi fisik yang memperingatkan seseorang akan bahaya yang mengancam. Daradjat (2001) menjelaskan kecemasan sebagai manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Ada beberapa jenis rasa cemas, yaitu cemas akibat mengetahui ada bahaya yang mengancam dirinya, rasa cemas berupa penyakit yang dapat mempengaruhi keseluruhan diri pribadi. Selanjutnya, rasa cemas karena perasaan berdosa atau bersalah yang nantinya dapat menyertai gangguan jiwa. Sullivan (2006) mengatakan bahwa kecemasan adalah reaksi normal terhadap kebutuhan yang tak terpenuhi dan stres seperti penolakan (pertama dari orang tua dan kemudian dari diri sendiri dan kemudian dari orang lain). Kecemasan juga dapat dilihat sebagai suatu mekanisme perlindungan yang membuat seseorang tetap aman dari situasi yang diyakini mengancam. Jhonston (dalam Hawari, 2001) mengemukakan bahwa kecemasan merupakan reaksi terhadap adanya ancaman, hambatan terhadap keinginan pribadi, atau merupakan perasaan tertekan karena adanya rasa kekecewaan, rasa tidak puas, rasa tidak aman, atau sikap permusuhan dengan orang lain.

3 16 Lazarus (1976) menyatakan bahwa kecemasan mempunyai dua arti, yaitu: 1. Kecemasan sebagai respon, digambarkan sebagai suatu pengalaman yang dirasakan tidak menyenangkan serta dikuti dengan suasana gelisah, bingung, khawatir, dan takut. Bentuk kecemasan ini dibedakan ada dua, yaitu: a. State anxiety, merupakan gejala kecemasan yang sifatnya tidak menetap pada diri individu ketika dihadapkan pada situasi tertentu, gejala ini akan tampak selama situasi tersebut masih ada. b. Traith anxiety, kecemasan yang tidak tampak langsung dalam tingkah laku tetapi dapat dilihat frekuensi dan intensitas keadaan kecemasan individu sepanjang waktu, merupakan kecemasan yang sifatnya menetap pada diri individu dan timbul dari pengalaman yang tidak menyenangkan pada awal kehidupan. Kecemasan tersebut berhubungan dengan kepribadian individu yang merupakan disposisi pada individu untuk menjadi cemas. 2. Kecemasan sebagai intervening variable, dalam hal ini kecemasan lebih mempunyai arti sebagai motivating solution, artinya situasi kecemasan tersebut dapat mendorong individu agar dapat mengatasi masalah. Hudaniyah dan Dayakisna (2009) menyatakan bahwa pada umumnya kecemasan berwujud ketakutan kognitif, keterbangkitan syaraf fisiologis dan suatu pengalaman subjektif dari ketegangan atau kegugupan. Beberapa individu juga mengalami perasaan tidak nyaman dengan hadirnya orang lain, biasanya disertai dengan perasaan malu yang ditandai

4 17 dengan kekakuan, hambatan dan kecenderungan untuk menghindari interaksi sosial. Keadaan individu yang seperti ini dianggap mengalami kecemasan sosial. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah rasa takut atau khawatir pada situasi tertentu yang sangat mengancam yang dapat menyebabkan kegelisahan, ketakutan, kekhawatiran, ketidaktentuan, perasaan tertekan dan terancam dalam menghadapi kemungkinan yang akan terjadi pada masa yang akan datang. 2. Pengertian Kecemasan Berbicara di Depan Umum Kecemasan sering dialami oleh setiap orang. Ada banyak hal yang menyebabkan seseorang mengalami kecemasan, misalnya cemas saat memulai suatu hal yang baru karena takut jika melakukan kesalahan, cemas saat menjalani ujian karena takut gagal, cemas saat presentasi karena belum ada persiapan, cemas saat berbicara atau mengemukakan pendapat di depan umum karena takut dianggap tidak bermutu, dan masih banyak lagi. Salah satu bentuk kecemasan yang sering terjadi adalah kecemasan dalam hal komunikasi. Burgoon dan Ruffner (1978) mendefinisikan kecemasan dalam hal komunikasi sebagai suatu reaksi negatif dari individu berupa kecemasan yang dialami individu ketika berkomunikasi, baik berkomunikasi antar pribadi, komunikasi di depan kelas maupun komunikasi masa. Sejalan dengan itu, Beaty (2000) menyebutkan bahwa kecemasan berbicara di depan umum merupakan bentuk dari perasaan takut atau cemas secara nyata ketika berbicara di depan orang-orang sebagai hasil proses belajar sosial.

5 18 Perasaan cemas atau grogi saat mulai berbicara di depan umum adalah hal yang seringkali dialami oleh kebanyakan orang. Bahkan seseorang yang telah berpengalaman berbicara di depan umum pun tidak terlepas dari perasaaan ini. Perasaan cemas dapat muncul karena takut secara fisik terhadap pendengar, yaitu takut ditertawakan orang, takut bahwa dirinya akan menjadi tontonan orang, takut bahwa apa yang akan dikemukakan mungkin tidak pantas untuk dikemukakan, dan rasa takut bahwa mungkin dirinya akan membosankan. Selanjutnya individu tersebut akan menolak untuk bersosialisasi dengan orang lain. Menurut Santoso (1998) kecemasan berbicara di depan umum bersifat subjektif, biasanya ditandai dengan gejala fisik dan gejala psikologis. Termasuk dalam gejala fisik yaitu tangan berkeringat, jantung berdetak lebih cepat, dan kaki gemetaran. Kemudian, yang termasuk gejala psikologis adalah takut akan melakukan kesalahan, tingkah laku yang tidak tenang dan tidak dapat berkonsentrasi dengan baik. Penelitian Zimbardo pada Universitas Stanford di California, AS (Rakhmat, 2007) menyatakan kecemasan membuat individu merasa rendah diri, meremehkan diri sendiri, menganggap dirinya tidak menarik dan menganggap dirinya tidak menyenangkan untuk orang lain. Individu yang cenderung mengalami kecemasan ditandai dengan ketegangan otot dan adanya tingkat kewaspadaan yang sangat tinggi. Kecemasan berbicara di depan umum pada mulanya dikenal dengan istilah demam panggung yang difokuskan pada ketakutan untuk

6 19 berbicara di depan umum. Menurut McCroskey (dalam Devito, 1995) kecemasan berbicara yang disebut pula sebagai communication apprehension (CA) terbagi atas empat jenis yaitu CA as trait, CA in generalized context, CA with generalized people, dan CA as a state. Kecemasan berbicara di depan umum dalam hal ini termasuk dalam jenis CA in generalized context, dimana individu mengalami kecemasan berbicara saat berada pada satu situasi tertentu, tetapi tidak pada situasi lainnya. McCroskey menambahkan, beberapa individu mengalami kecemasan hanya pada kondisi tertentu, maksudnya ada tipe general dari kondisi komunikasi yang menimbulkan kecemasan, yaitu komunikator. Penekanannya adalah bahwa fenomena kecemasan berbicara pada kelas berpusat pada pembicara. Konteks yang paling banyak ditemui adalah berbicara di depan umum (public speaking), misalnya memberikan pidato, presentasi di depan kelas, pada saat pertemuan atau meeting. Individu akan mengalami kecemasan ketika mulai membayangkan sampai berlangsungnya pengalaman berbicara di depan kelas. Menurut Nevid (dalam Asrori, 2009) kecemasan adalah rasa khawatir bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Kecemasan sebenarnya juga dapat bermanfaat apabila dapat mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang lebih baik lagi sebagai wujud antisipasi dari kecemasannya. Namun jika kadarnya berlebihan, maka kecemasan dapat menjadi sesuatu hal yang tidak normal yang justru akan menimbulkan ketidaknyamanan, mengganggu fungsi kehidupan sehari-

7 20 hari, menimbulkan distress, atau membuat individu menghindari situasi sosial yang menimbulkan stress bagi individu tersebut (DSM IV, 2000). Hal ini sejalan dengan pendapat Burgoon dan Raffner (1978) yang menyatakan bahwa kecemasan merupakan sesuatu yang sehat apabila kecemasan itu dapat mendorong individu untuk menambah usahanya supaya dapat melakukan pekerjaan dengan lebih baik. Sebaliknya, kecemasan yang berlebihan dapat mengganggu individu karena dapat menghambatnya dalam menggunakan kemampuannya. Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan berbicara di depan umum adalah suatu keadaan tidak nyaman yang sifatnya tidak menetap pada diri individu, baik ketika membayangkan maupun pada saat berbicara di depan orang banyak. Kecemasan berbicara di depan umum sebaiknya diminimalisir agar individu dapat berbicara dengan efektif dan dapat menikmati kehidupannya dengan lebih baik serta dapat melakukan fungsi sosialnya dengan lebih baik pula. 3. Aspek-aspek Kecemasan Berbicara di Depan Umum Beberapa gejala yang di rasakan pada saat seseorang mengalami kecemasan antara lain detak jantung yang cepat, telapak tangan atau punggung berkeringat, nafas terengah-engah, mulut kering, sukar menelan, ketegangan otot (dada, tangan, leher, kaki), tangan atau kaki bergetar, suara bergetar atau parau, berbicara cepat dan tidak jelas, tidak sanggup mendengar atau konsentrasi, serta lupa atau ingatan menjadi berkurang.

8 21 Nevid, dkk. (2005) mengklasifikasikan gejala-gejala kecemasan dalam tiga jenis gejala yaitu: a. Gejala fisik dari kecemasan yaitu pusing atau sakit kepala, kegelisahan, anggota tubuh bergetar, banyak berkeringat, sulit bernafas, jantung berdetak kencang, merasa lemas, panas dingin, mudah marah atau tersinggung, dan sakit perut. b. Gejala behavioral dari kecemasan yaitu berperilaku menghindar, terguncang, melekat dan dependen c. Gejala kognitif dari kecemasan yaitu khawatir tentang sesuatu, perasaan terganggu akan ketakutan terhadap sesuatu yang terjadi dimasa depan, keyakinan bahwa sesuatu yang menakutkan akan segera terjadi, ketakutan akan ketidakmampuan untuk mengatasi masalah, pikiran terasa bercampur aduk atau kebingungan, sulit berkonsentrasi. Sejalan dengan pendapat di atas, Rogers (2003) membagi reaksi kecemasan berbicara menjadi dua gejala umum, yaitu: a. Reaksi Fisiologis Reaksi fisiologis adalah reaksi tubuh terutama oleh organ-oran yang diatur oleh saraf simpatetis seperti jantung, pembuluh darah, kelenjar, pupil mata, sistem pencernaan, dan sistem pembuangan. Adanya kecemasan maka akan memicu satu atau lebih organ-organ dalam tubuh menjadi meningkat fungsinya. Hal ini dapat menimbulkan peningkatan jumlah asam lambung selama kecemasan, atau meningkatnya detak jantung dalam memompa darah sehingga jantung

9 22 berdebar-debar, keluar keringat yang berlebihan, gemetar, sering buang air, dan sirkulasi darah tidak teratur. Dalam kondisi cemas, sering individu mengalami rasa sakit yang berkaitan dengan organorgan tubuh yang meningkat fungsinya secara tidak wajar. Misalnya ujung jari terasa dingin, pencernaan tidak teratur, tidur tidak nyenyak, nafsu makan hilang, kepala pusing, nafas sesak, mual, dan sebagainya. b. Reaksi Psikologis Reaksi psikologis adalah reaksi kecemasan yang biasanya disertai oleh reaksi fisiologis. Reaksi psikologis dibedakan menjadi dua gejala yaitu gejala yang terkait dengan proses mental dan gejala emosional. Gejala yang terkait dengan proses mental misalnya mengulang-ulang kata, hilang ingatan, melupakan hal-hal yang penting, tidak dapat memusatkan perhatian, gerakan-gerakan yang tidak terarah atau tidak pasti, dan pikiran tersumbat. Sedangkan gejala emosional misalnya rasa takut, tegang, bingung, tidak menentu, terancam, rendah diri, rasa tidak percaya diri, rasa tidak berdaya, rasa kehilangan kendali, rasa malu, panik, dan khawatir. Kecemasan dapat timbul dari situasi apapun yang bersifat mengancam keberadaan individu. Situasi yang menekan dan menghambat yang terjadi berulang-ulang akan mengakibatkan reaksi yang mengecemaskan. Semiun (2006) menyebutkan ada empat aspek yang mempengaruhi kecemasan secara umum yaitu:

10 23 a. Aspek Suasana Hati Aspek-aspek suasana hati dalam gangguan kecemasan adalah kecemasan, tegang, depresi, mudah marah, panik dan kekhawatiran. Individu yang mengalami kecemasan, memiliki perasaan akan adanya hukuman atau bencana yang akan mengancam dari sumber tententu yang tidak diketahui. b. Aspek Kognitif Aspek-aspek kognitif dalam gangguan kecemasan menujukkan kekhawatiran dan keprihatianan mengenai bencana yang diantisipasi oleh individu. Misalnya seseorang individu yang takut berada ditengah khalayak ramai (agorapho), mereka akan menghabiskan banyak waktu untuk khawatir mengenai hal-hal yang tidak menyenangkan (mengerikan) yang mungkin terjadi dan kemudian dia merencanakan bagaimana dia harus menghindari hal-hal tersebut. c. Aspek Somatik Aspek-aspek somatik dari kecemasan dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama yaitu aspek langsung meliputi mulut kering, bernapas pendek, denyut nadi cepat, tekanan darah meningkat, kepala terasa berdenyut-denyut, dan otot terasa tegang. Kedua yaitu apabila kecemasan berkepanjangan. Hal tersebut mengakibatkan tekanan darah meningkat secara kronis, sakit kepala, dan gangguan usus (kesulitan dalam pencernaan, dan rasa nyeri pada perut).

11 24 d. Aspek Motor Orang-orang yang cemas sering merasa tidak tenang, gugup, kegiatan motorik menjadi tanpa arti dan tanpa tujuan. Hal ini dapat dilihat misalnya jari-jari kaki mengetuk-mengetuk, dan sangat kaget terhadap suara yang terjadi secara tiba-tiba. Aspek-aspek motor ini merupakan gambaran rancangan kognitif dan somatik yang tinggi pada individu dan merupakan usaha untuk melindungi diri dari apa saja yang dirasanya mengancam. Sejalan dengan hal tersebut, Atkinson (1996) menyatakan bahwa kecemasan dapat terjadi karena adanya beberapa aspek sebagai berikut: a. Threat (ancaman) Wujudnya berupa ancaman terhadap tubuh, jiwa dan psikisnya, (seperti kehilangan arti kemerdekaan dan kehidupan) maupun ancaman terhadap eksistensinya (seperti kehilangan hak). Jadi ancaman ini dapat disebabkan oleh sesuatu hal yang betul-betul berhubungan dengan realitas, atau yang tidak berhubungan dengan realitas. b. Conflict (pertentangan) Timbul karena adanya dua keinginan yang keadaannya saling bertolak belakang. Hampir setiap konflik melibatkan dua alternatif atau lebih yang masing-masing mempun yai sifat approach dan avoidance. c. Fear (ketakutan) Kecemasan sering kali muncul karena ketakutan akan sesuatu. Adanya ketakutan akan kegagalan tersebut dapat menimbulkan kecemasan misalnya ketika menghadapi ujian atau berbicara di depan kelas.

12 25 Burgoon dan Ruffner (1978) secara lebih spesifik menerangkan tentang aspek-aspek kecemasan dalam berkomunikasi sebagai berikut: a. Unwilingness atau tidak adanya minat untuk ikut berpartisipasi dalam komunikasi. Individu berusaha untuk menghindar berbicara di muka umum. b. Unrewarding yaitu tidak adanya penghargaan dalam berkomunikasi atau adanya peningkatan hukuman dalam komunikasi sebelumnya. Kecemasan berkomunikasi disebabkan oleh penolakan dari orang lain. c. Control yaitu kurangnya kontrol individu terhadap situasi dan lingkungan komunikasi (termasuk tempat dan peralatan) yang dapat menyebabkan kecemasan pada pembicara. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa komponen kecemasan berbicara di depan umum terdiri dari aspek unwilingness, unrewarding, dan control. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Berbicara di Depan Umum Menurut Adler dan Rodman (1991) terdapat dua hal yang dapat menyebabkan seseorang mengalami kecemasan pada saat berbicara di depan umum, yaitu: a. Pengalaman negatif di masa lalu, yaitu adanya suatu pengalaman yang tidak menyenangkan di masa yang lalu mengenai suatu peristiwa yang dapat terulang kembali di masa mendatang apabila individu tersebut menghadapi kejadian atau situasi yang sama dan juga tidak menyenangkan.

13 26 b. Pikiran yang tidak rasional. Pada saat terjadi kecemasan, bukanlah kejadiannya yang membuat individu cemas tetapi kepercayaan atau keyakinan tentang kejadian itulah yang menjadi penyebab kecemasan. Devito (1995) menyatakan bahwa kecemasan berbicara di depan umum dapat timbul karena individu membangun perasaan-perasaan negatif dan memperkirakan hasil-hasil yang negatif sebagai hasil keterlibatannya dalam interaksi komunikasi. Beberapa faktor yang dapat menimbulkan kecemasan atau hambatan pada individu untuk berbicara di depan umum antara lain: a. Kurangnya Keahlian dan Pengalaman Seseorang yang mempunyai sedikit pengalaman dan keterampilan atau sama sekalai tidak mempunyai pengalaman dan keterampilan dalam menghadapi situasi berbicara di depan umum, maka akan lebih besar kemungkinannya untuk mengalami kecemasan ketika dihadapkan pada situasi berbicara di depan umum daripada orang yang sudah berpengalaman dan mempunyai keterampilan yang berkaitan dengan berbicara di depan umum. b. Tingkat Evaluasi Apabila seseorang mengetahui atau menganggap bahwa dirinya akan dievaluasi ketika sedang berbicara di depan umum, maka akan semakin besar kecemasan yang terjadi.

14 27 c. Status Lebih Rendah Ketika seseorang merasa bahwa orang lain adalah komunikator yang lebih baik atau tahu lebih banyak daripada dirinya dalam hal berkomunikasi di depan umum, maka kecemasan yang muncul pada diri orang tersebut akan lebih besar. d. Tingkat Kemungkinan Menjadi Pusat Perhatian Semakin seseorang merasa dirinya sebagai pusat perhatian, maka akan semakin besar kemungkinan orang tersebut merasa cemas. Berbicara di depan umum jauh lebih mencemaskan daripada berbicara di dalam kelompok kecil. Ketika berbicara di depan umum, seseorang secara otomatis akan menjadi pusat perhatian. e. Tingkat Kemungkinan Terprediksi Situasi Semakin suatu situasi tidak dapat diprediksi, maka semakin besar kemungkinan munculnya kecemasan berbicara di depan umum. Terlebih apabila berada dalam situasi baru yang membingungkan dan tidak dapat diprediksi sebelumnya, maka akan semakin besar pula kemungkinan timbulnya kecemasan berbicara di depan umum. f. Tingkat Perbedaan Ketika seseorang merasa berbeda dengan pendengar atau komunikan, maka dapat menyebabkan orang tersebut merasa cemas. Semakin besar perbedaan yang dirasakan seseorang atau komunikator dengan para komunikan, maka akan semakin besar pula kemungkinan seseorang mengalami kecemasan.

15 28 g. Sukses dan Gagal Sebelumnya Sukses yang dirasakan seseorang sebelumnya pada saat berbicara di depan umum dapat menurunkan tingkat kecemasan ketika ia berbicara di depan umum pada kesempatan berikutnya. Demikian pula sebaliknya, kagagalan berbicara di depan umum sebelumnya dapat dianggap sebagai peringatan bahwa kemungkinan akan mengalami kegagalan dalam situasi selanjutnya. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, praktikan memilih untuk menggunakan komponen kecemasan yang dikemukakan oleh Rogers (2003) sebagai karena cakupan gejala atau indikasi kecemasan yang ditunjukkan lebih luas. Sementara itu salah satu variabel yang akan digunakan praktikan untuk mengurangi atau mereduksi kecemasan berbicara di depan umum adalah kecerdasan emosi. Goleman (2009) menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan, kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi, dan keterampilan sosial akan membantu seseorang dalam mengatasi kecemasan saat berbicara di depan umum. Hal tersebut diperkuat oleh Sundari (2005) yang berpendapat bahwa kecerdasan emosi memiliki komponen yang sangat kompleks dan terkait dengan kemampuan seseorang dalam menggunakan kemampuan dan potensi emosinya dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam hal ini adalah kemampuan dan potensi berbicara di depan umum.

16 29 Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ada berbagai macam teknik untuk mengatasi seseorang yang mengalami kecemasan berbicara di depan umum. Utami (1999) menyatakan bahwa untuk mengatasi kecemasan berbicara di depan umum dapat dilakukan dengan mengubah pola pikir, meningkatkan kecerdasan emosi, dan meningkatkan efikasi diri. Sementara itu Agustina, dkk. (2015) menggunakan teknik pelatihan relaksasi untuk mengatasi kecemasan berbicara di depan umum. B. Pelatihan Kecerdasan Emosi 1. Pengertian Pelatihan Kecerdasan Emosi Pelatihan atau training merupakan pengalaman belajar yang dirancang secara sistematik untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, sikap, maupun perilaku yang menghasikan perubahan atau kinerja secara permanen. Pelatihan juga merupakan proses perubahan pengetahuan, sikap, ataupun perilaku guna mencapai tujuan organisasi (individu) untuk menumbuhkembangkan pengetahuan, sikap mental, dan keterampilan, atau perilaku tertentu (Widyana, 2011). Ancok (2007) menyatakan bahwa ada beberapa tahapan yang harus dilalui agar dalam suatu pelatihan terjadi proses pembelajaran yang efektif, antara lain: a. Pembentukan Pengalaman (experience) Pada tahapan ini peserta dilibatkan dalam suatu kegiatan atau permainan bersama orang lain. Kegiatan atau permainan ini adalah salah satu bentuk pemberian pengalaman secara langsung kepada

17 30 peserta. Hal tersebut yang akan menjadi wahana untuk menimbulkan pengalaman kognitif, afektif, dan konatif. Melalui pengalaman tersebut setiap peserta siap untuk memasuki tahapan kegiatan berikutnya yaitu tahapan pencarian makna (debriefing) melalui kegiatan perenungan. b. Perenungan Pengalaman (reflect) Tahap ini bertujuan untuk memproses pengalaman yang telah diperoleh peserta dari kegiatan yang telah dilakukan. Pada tahap ini setiap peserta melakukan refleksi tentang pengalaman pribadi yang dirasakan saat kegiatan berlangsung, baik yang dilakukan secara intelektual, emosional, maupun fisikal. c. Pembentukan Konsep (form concept) Tahap ini bertujuan untuk mencari makna dari pengalaman kognitif, afektif, dan konatif yang diperoleh melalui keterlibatannya dalam kegiatan yang dilakukan sebelumnya. Tahapan ini merupakan kelanjutan tahapan refleksi dengan menanyakan kepada peserta tentang hubungan antara kegiatan yag dilakukan dan perilaku yang sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari. d. Pengujian Konsep (test concept) Tahap terakhir ini bertujuan untuk merenungkan dan mendiskusikan sejauhmana konsep yang telah terbentuk di tahap ketiga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam kehidupan bersama keluarga, teman, maupun masyarakat (transfer of learning). Peserta melihat relevansi pengalaman yang telah dialami, kemudian direfleksikan, dan dikonsepkan sesuai dengan kehidupan sehari-hari.

18 31 Ada beragam model-model pelatihan kecerdasan emosi yang disampaikan oleh para tokoh. Gotman (2003) dalam bukunya tentang Kiat- Kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional menyatakan ada lima langkah yang dapat digunakan untuk melatih emosi pada anak antara lain menyadari emosi anak, mengenali emosi sebagai peluang untuk menjadi akrab dan mengajar, mendengarkan dengan penuh empati dan menegaskan perasaan-perasaan anak, menolong anak untuk memberi label emosi-emosi dengan kata-kata, dan menentukan batas-batas sambil menolong si anak memecahkan masalahnya. Sejalan dengan hal tersebut Wipperman (2000) menuliskan ide mengenai cara merangsang kecerdasan emosional dengan sebutan Kurikulum Sepuluh Langkah Untuk Kebijaksanaan Emosional. Langkahlangkah tersebut antara lain memprioritaskan kesehatan tubuh, menelusuri perasaan dalam tubuh bukan di otak, membangun otot emosional setiap hari dengan mengambil waktu untuk fokus pada pengalaman emosional, menerima semua yang dirasakan, membuka hati bagi orang lain, mengambil tindakan dengan melakukan berbagai hal yang membuat diri merasa berguna, mendengarkan dengan empati, menceritakan bagaimana perasaan kita, menggunakan perubahan sebagai suatu kesempatan untuk tumbuh dewasa, dan membawa humor kemanapun pergi. Burke (2004) menyatakan bahwa orang tua dapat membentuk anak yang bertanggung jawab dengan memanfaatkan kecerdasan emosinya. Metode yang digunakan dalam pelatihan ini adalah metode preventif dan

19 32 korektif dalam mengajarkan keterampilan sosial. Anak diajarkan bagaimana menerima kritik, berbeda pendapat dengan orang lain, meminta bantuan, meminta ijin, meminta maaf, bergaul dengan orang lain, memberi dan menerima pujian, serta berbagai keterampilan sosial yang lain. Metode ini selanjutnya disingkat dengan metode SODAS (Situation, Option, Disadvantages, Advantages, and Solution). Dengan metode tersebut diharapkan dapat membantu seseorang untuk berpikir lebih jelas dan membuat keputusan berdasarkan pada alasan yang kuat. Goleman (1995), dalam bukunya yang berjudul Kecerdasan Emosional menerangkan berbagai cara untuk melatih kecerdasan emosi anak di sekolah dan keluarga. Cara yang ditempuh antara lain dengan menumbuhkan kesadaran diri, pengambilan keputusan pribadi, mengelola perasaan, menangani stress, empati, komunikasi, membuka diri, pemahaman, menerima diri sendiri, tanggung jawab pribadi, ketegasan, dinamika kelompok, dan menyelesaikan konflik. Goleman (2009) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain dalam hubungannya dengan orang lain. Pengertian lain disampaikan oleh Gottman (2003) yang menyatakan bahwa kecerdasan emosi mencakup kemampuan untuk mengendalikan dorongan hati, menunda pemuasan, memberi motivasi diri mereka sendiri, membaca isyarat sosial orang lain, dan menangani naik turunnya kehidupan. Sejalan dengan pengertian di atas, Segal (1997) menyatakan bahwa wilayah kecerdasan emosi adalah

20 33 hubungan pribadi dan antarpribadi serta bertanggung jawab atas harga diri, kesadaran diri, kepekaan sosial dan kemampuan adaptasi sosial. Sementara itu menurut Coopeer dan Sawaf (dalam Agustian, 2001) menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya serta kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, serta pengaruh yang manusiawi. Berdasarkan berbagai teori di atas maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan kecerdasan emosi adalah proses perubahan pengetahuan, sikap, ataupun perilaku untuk menumbuhkembangkan pengetahuan, sikap mental, dan keterampilan, atau perilaku yang penuh kesadaran. Melalui pelatihan kecerdasan emosi akan membentuk pikiran yang terdidik dan teratur serta terbiasa berpedoman dalam nilai-nilai positif atau nilai kebaikan. Emosi cerdas yang terkelola dalam nilai-nilai positif selalu produktif dan terkendali untuk menghasilkan kinerja dan prestasi terbaik. Dengan demikian emosi yang cerdas menjadikan seseorang dalam hal ini khususnya pelajar dapat lebih produktif dan berkualitas sehingga mendorong perilaku menjadi lebih tenang dalam energi positif. Kondisi ini akan mendorong seseorang untuk berani menjawab berbagai tantangan yang dihadirkan oleh kompleksitas kehidupan dan mengembangkan kemampuan diri untuk menghadapi berbagai peristiwa dan realitas dengan tindakan yang optimis dan produktif.

21 34 Melalui pelatihan kecerdasan emosi individu akan mampu untuk merespon hidupnya dengan optimis, memahami dan menghormati diri sendiri dan orang lain dengan lebih baik, serta mampu meningkatkan kualitas diri. Dengan demikian seseorang diharapkan mampu memiliki dan menerapkan keterampilan personal dan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari dengan lebih baik. 2. Manfaat Pelatihan Kecerdasan Emosi Menurut Djajendra (2015) pelatihan kecerdasan emosi mampu membantu individu untuk mempelajari bagaimana kompetensi kecerdasan emosional mampu meningkatkan kualitas hidup dan membantu meraih prestasi. Dalam hal ini individu belajar cara menganalisa perilaku diri sendiri, mengatur reaksi dari orang lain, dan menciptakan perilaku yang seimbang dalam menjalani peran kehidupan. Melalui pelatihan kecerdasan emosi, individu akan belajar cara mengadopsi strategi untuk mencegah masuknya emosi negatif ke dalam diri dan cara mengganti pikiran yang merusak dengan pikiran yang kuat. Imadayani (2009) menyatakan bahwa pelatihan kecerdasan emosi dapat meningkatkan kepercayaan diri pada remaja. Melalui pelatihan tersebut peserta akan belajar tentang hal-hal yang diperlukan untuk bisa percaya pada diri sendiri dan cara untuk mendapatkan motivasi. Mereka akan dilatih untuk menangani perasaan takut, perasaan marah, dan cara untuk meningkatkan harga diri. Sejalan dengan hal tersebut Saptoto (2010) menyatakan bahwa pelatihan kecerdasan emosi dapat meningkatkan

22 35 kemampuan coping adaptif pada pelajar SMU. Melalui pelatihan kecerdasan emosi mereka belajar untuk dapat membantu orang lain dengan meminimalkan konflik emosional dan mengelola hubungan. Peserta belajar cara mengendalikan pengaruh orang lain dan mengelola emosi pelarian atau emosi liar, serta memandu interaksi dan komunikasi untuk saling menghormati dan tidak saling menyakitkan. Peserta belajar cara memonitor hubungan dirinya dengan orang lain dan menyadari konsekuensinya. Nurdin (2009) menyatakan bahwa pelatihan kecerdasan emosi dapat meningkatkan kemampuan penyesuaian sosial siswa. Melalui pelatihan kecerdasan emosi siswa belajar untuk memahami pentingnya interaksi dan komunikasi positif dengan orang lain dan apa yang diperlukan untuk menjalin hubungan positif yang penuh empati. Siswa belajar cara berkomunikasi dengan kekuatan empati dan memperkuat hubungan melalui tata krama yang etis dengan orang lain. Siswa juga belajar cara mengakui orang lain dan meningkatkan kontribusi dalam setiap hubungan. Menurut Salovey (dalam Goleman, 2009), ada beberapa aspek yang berperan penting dalam pelatihan kecerdasan emosi antara lain: a. Mengenali Emosi Diri atau Kesadaran Diri Mengenali emosi diri atau kesadaran diri yaitu mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi atau dengan kata lain berarti waspada terhadap suasana hati maupun pikiran kita tentang suasana hati untuk selanjutnya dapat mengupayakan sikap atau tindakan yang

23 36 tepat. Goleman (2009) menyatakan bahwa dalam kondisi terbaik, pengamatan diri memungkinkan adanya semacam kesadaran yang mantap terhadap perasaan penuh nafsu atau gejolak. Pada titik terendah, kesadaran diri memastikan dirinya semata-mata sebagai sedikit langkah mundur dari pengalaman. Waspada terhadap apa yang terjadi bukannya tenggelam dan hanyut di dalamnya. Keadaan sadar diri berarti bersikap peduli, peka akan reaksi pribadi, dan tidak berlebihan dalam menanggapi sesuatu yang terjadi. Sedangkan tidak sadar diri merupakan kebalikan dari sikap peduli dengan lingkungan, acuh, tanpa perasaan, dan memperkecil pengalaman kesadaran emosional. Setiap orang memiliki pengalaman kesadaran emosional yang berbeda. Bagi sebagian orang, kesadaran emosi merupakan keadaan yang mendesak, sementara bagi yang lain hampir tidak terasa. Menurut Mayer (dalam Goleman, 2009), gaya-gaya yang khas dalam menangani emosi seseorang, adalah sebagai berikut: 1) Sadar diri, adalah peka akan suasana hati ketika mengalami suatu peristiwa, berpendapat positif tentang kehidupan serta tidak larut dalam kesedihan. Ketajaman pola pikir yang menjadi penyeimbang untuk mengatur emosi diri. Maka, apabila suasana hati sedang dalam keadaan tidak baik, diri menanggapinya dengan biasa, tidak risau, tidak larut ke dalamnya, serta mampu membawa diri agar merasa lebih nyaman.

24 37 2) Tenggelam dalam permasalahan, adalah merasa dikuasai oleh emosi, tidak peka akan perasaan sehingga larut dalam perasaan serta tidak mempunyai kendali atas emosi diri. Seseorang menjadi mudah marah, larut dengan keadaan yang dialami, tidak peka akan perasaan diri sehingga tidak mencari perspektif baru, dan terkesan kurang berupaya melepaskan diri dari suasana hati yang tidak baik. 3) Pasrah, adalah peka terhadap suasana hati dan menerimanya begitu saja serta tidak berusaha mengubahnya. b. Mengelola Emosi Mengelola emosi merupakan kemampuan menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat. Apabila emosi tidak dikelola dengan tepat atau tidak dikendalikan dengan baik sehingga menjadi terlalu ekstrim dan terus menerus maka dapat menyebabkan depresi, cemas yang berlebihan, amarah yang meluap-luap, serta gangguan emosional yang berlebihan. Normalnya individu harus memiliki emosi yang wajar, yakni keadaan yang mampu menyeimbangan antara perasaan dan lingkungan. Jika emosi tidak dikendalikan maka emosi akan menimbulkan depresi, cemas berlebihan, dan amarah. Pemicu hal-hal tersebut umumnya adalah perasaan terancam bahaya. Ancaman tersebut bukan hanya dipicu secara fisik langsung, melainkan juga secara simbolik, diperlakukan tidak adil, dicaci-maki atau diremehkan. Hal-hal tersebut bagi individu merupakan pilihan, apakah tetap berada pada gelombang emosi, mengupayakan meredam diri atau menjauhkan diri dari serangan kekhawatiran dan kecemasan.

25 38 c. Memotivasi Diri Sendiri Memotivasi diri sendiri merupakan kemampuan individu dalam mengarahkan dan mendorong segala daya upaya dirinya bagi pencapaian tujuan yang diharapkan. Orang yang mampu memotivasi diri untuk menata emosi dengan baik cenderung lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan. Menurut Fred (2006), motivasi diri adalah tetap pada tujuan yang diinginkan, mengatasi impuls emosi negatif, dan menunda kesenangan sesaat untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Tujuan yang ditetapkan seseorang yang mampu memotivasi diri akan dicapai dengan penuh optimis, karena pribadi yang memiliki motivasi berarti mengandaikan tujuan sebagai jalan yang wajib dilalui dalam berkendara. Memotivasi diri diwujudkan dalam sikap antusias, penuh gairah, optimis dan yakin akan diri sendiri, bersosialisasi dengan mantap, tidak mudah gelisah dan takut, simpatik dan hangat dalam berhubungan serta nyaman dengan diri sendiri dan orang lain. Peran individu dalam memotivasi diri dalam kehidupan terlihat ketika seseorang menghadapi suatu problem yang membuat dia berada dalam posisi memilih. Individu bermotivasi tinggi akan tetap tekun dan gigih dalam menghadapi tantangan. Daya dorongan hati yang tidak sejalan dengan harapan akan diperkecil kemunculannya. Sebaliknya jika seseorang tidak memiliki motivasi akan mengikuti pola arus yang telah ada, kurang berkosentrasi, dan mudah menyerah.

26 39 d. Mengenali Emosi Orang Lain atau Empati Mengenali emosi orang lain adalah kemampuan menangkap tanda sosial sehingga mengetahui apa yang dilakukan, dibutuhkan/dikehendaki orang lain. Kemampuan ini dapat disebut juga sebagai kemampuan berempati yaitu kemampuan untuk memahami perasaan orang lain. Kunci untuk memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan non verbal dari lawan bicara. Misalnya nada bicara, gerak-gerik, ekspresi wajah, posisi tubuh, dan lain-lain. e. Membina Hubungan dengan Orang Lain Membina hubungan dengan orang lain yaitu kemampuan untuk menangani emosi dengan baik ketika berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain secara cermat serta mampu membaca situasi dan jaringan sosial yang ada di sekitarnya. Menurut Goleman (2009) suatu tata krama menimbulkan norma, salah satunya adalah meminimalkan tampilan emosi di hadapan orang lain, tidak cemberut dan mengerutkan dahi. Karena tampilan emosi memiliki konsekuensi langsung atas pengaruh yang ditimbulkannya pada orang lain. Aturan bagaimana menyembunyikan emosi, menggantinya dengan perasaan bohong yang tidak menyakitkan adalah lebih dari tata karma sosial. Mengikuti aturan dengan baik berarti mengoptimalkan pengaruhnya, melaksanakannya dengan buruk berarti menimbulkan kekacauan emosi. Keterampilan kita dalam mengirimkan isyarat-isyarat emosional dalam berhubungan dengan orang lain mempengaruhi

27 40 kualitas hubungan tersebut. Semakin terampil seseorang secara sosial maka semakin baik dalam mengendalikan sinyal yang dikirim dalam bahasa verbal maupun non verbal. Kadar hubungan emosi dapat dirasakan dalam suatu percakapan, rapi dalam koordinasi gerakan fisik saat berbicara. Keterampilan antarpribadi yang baik dapat menjalin hubungan sosial menjadi lancar, cakap memantau ungkapan emosi diri maupun orang lain, selalu berupaya menyetarakan diri terhadap bagaimana orang lain bereaksi, serta memiliki kepekaan akan perasaan dan kebutuhan diri. 3. Tahapan dan Prosedur Pelatihan Kecerdasan Emosi Pelatihan kecerdasan emosi yang dilakukan dengan pendekatan kelompok ini akan menggunakan konsep experiental learning. Dalam hal ini menurut Johnson & Johnson (2001) perilaku manusia terbentuk berdasarkan hasil pengalaman yang terlebih dahulu dimodifikasi untuk menambah efektivitas. Semakin lama perilaku menjadi suatu kebiasaan dan berjalan otomatis, maka individu semakin berusaha memodifikasi perilaku yang sesuai dengan situasi. Materi pelatihan kecerdasan emosi yang akan dilaksanakan dalam penelitian ini disusun oleh peneliti dengan mengacu pada indikator kecerdasan emosi yang dikembangkan oleh Goleman (2009), antara lain: 1. Kesadaran diri, tujuannya agar peserta mampu memahami arti dan makna kesadaran diri sehingga dapat mengenali perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu terjadi.

28 41 2. Pengaturan diri, tujuannya agar peserta mampu memahami arti dan makna pengaturan diri sehingga dapat mengenali perasaan yang sedang terjadi untuk selanjutnya dapat mengekspresikannya dengan baik. 3. Memotivasi diri, tujuannya agar peserta mampu untuk memotivasi atau memberikan semangat untuk dirinya sendiri di setiap situasi dalam kehidupannya. 4. Empati, tujuannya agar peserta mampu untuk mengenali emosi orang lain sehingga dapat merasakan perasaan yang sedang dialami oleh orang lain. 5. Keterampilan sosial, tujuannya agar peserta memiliki keterampilan sosial sehingga dapat mengatur suasana hati dan dapat menjalin hubungan baik dengan orang lain. Pelatihan kecerdasan emosi yang akan dilaksanakan terdiri atas lima sesi dengan durasi waktu selama enam setengah jam. a. Sesi pertama diawali dengan perkenalan dan ice breaker (menyanyi bersama). Ice breaker dimaksudkan untuk menghilangkan kebekuan diantara peserta dalam suatu pelatihan. Dengan demikian diharapkan mereka akan dapat saling mengenal, mengerti, dan dapat saling berinteraksi dengan baik satu sama lain. Tujuan dilaksanakannya ice breaker adalah 1) agar tercipta kondisi-kondisi yang equal (setara) antara sesama peserta dalam forum pelatihan; 2) menghilangkan sekatsekat pembatas diantara peserta sehingga tidak ada lagi anggapan bahwa ada yang merasa lebih pintar, ada yang merasa bodoh, ada

29 42 yang merasa kaya, dan lain sebagainya, yang ada hanyalah kesamaan kesempatan untuk maju; 3) terciptanya kondisi yang dinamis di antara peserta; 4) menimbulkan kegairahan atau motivasi antara sesama peserta untuk melakukan aktivitas bersama selama pelatihan berlangsung (Sunarno, 2005). b. Sesi kedua diisi dengan orientasi. Sesi orientasi yang dimaksud adalah suatu proses pemberian pemahaman kepada peserta tentang segala sesuatu yang bekaitan dengan pelatihan yang sedang dilaksanakan. Tujuan dari sesi orientasi adalah 1) menghilangkan kebingungan peserta tentang apa yang sebenarnya sedang mereka ikuti; 2) meluruskan motivasi awal peserta untuk mengikuti pelatihan; 3) memberikan pemahaman tentang hal-hal apa saja yang seharusnya peserta lakukan selama mengikuti pelatihan; 4) memberikan gambaran ringkas tentang hal-hal yang akan peserta temui selama mengikuti pelatihan (dengan tidak memberitahu hal-hal yang sangat rahasia/esensial); 5) memunculkan komitmen dan kesediaan peserta untuk mengikuti acara pelathan dari awal sampai akhir denagn penuh perhatian dan kesadaran diri (Sunarno, 2005). Tahap selanjutnya diisi dengan permainan yang berhubungan dengan indikator kecerdasan emosi. c. Sesi ketiga diisi dengan ceramah tentang tujuan, dan manfaat pelatihan, serta penjelasan tentang metode dan teknik pelaksanaan pelatihan. Hal ini bertujuan agar peserta memahami tujuan dan manfaat pelatihan serta dapat mengikuti setiap sesi pelatihan sesuai

30 43 dengan prosedur yang telah ditentukan. Selain itu, melalui metode ceramah dapat menambah pengetahuan dan wawasan kepada peserta sehingga dapat mengubah struktur kognitif peserta. Setelah ceramah dilanjutkan diskusi tentang pentingnya kecerdasan emosi. Peserta dikondisikan untuk saling menasihati sesama responden terdekat secara bergantian. Sebelum sesi ketiga usai, acara diisi dengan penayangan video motivasi terkait materi kecerdasan emosi. Pemilihan metode ceramah dalam penelitian ini didasarkan pada pendapat Simamora (2006) yang menyatakan bahwa metode ceramah adalah penyajian informasi secara lisan dan merupakan bentuk pelatihan yang paling umum. Metode ceramah memungkinkan untuk menyajikan cakupan dan materi yang luas dalam jangka waktu terbatas. Teknik ceramah dianggap paling tepat dilakukan untuk memberikan informasi yang sangat banyak kepada sejumlah orang dengan efisien. Dalam metode ceramah dapat pula disertakan media lain seperti notebook, hand out, infocus, dan alat peraga. Kelebihan metode ceramah antara lain: 1) dapat mengkomunikasikan minat intrinsik dan antusiasme terhadap materi bahasan yang dapat meningkatkan minat partisipan dalam proses pelatihan; 2) dapat mencakup materi selain yang sudah ada sebelumnya; 3) dapat menjangkau lebih banyak pendengar sekaligus; 4) pelatih dapat bertindak sebagai model yang efektif bagi peserta; 5) mudah mengendalikan materi yang disampaikan. Dalam kesehariannya proses belajar mengajar yang dilakukan pada sekolah yang akan diteliti menggunakan metode ceramah. Dengan demikian

31 44 perlakuan dengan pelatihan kecerdasan emosi pada kelompok intervensi dilakukan dengan bentuk ceramah serta dilanjutkan dengan diskusi sensitivitas (sensitivity training). Menurut Simamora (2006), diskusi sensitivitas adalah metode untuk meningkatkan sensitivitas antar pribadi melalui diskusi yang terbuka dan jujur tentang perasaan, sikap, dan perilaku peserta pelatihan. Dalam sesi ini para peserta pelatihan didorong untuk memberitahu peserta lain (pasangannya) secara terbuka tentang bagaimana sikap dan perilakunya. Selanjutnya pasangan memberikan penilaian serta masukan terhadap sikap dan perilaku tersebut. Tujuan dari metode diskusi sensitivitas ini adalah agar peserta pelatihan mampu mengubah perasaan, sikap, kebiasaan, dan perilaku ke arah yang lebih baik. d. Sesi keempat diisi dengan penyampaian kesimpulan akan pentingnya kecerdasan emosi dalam kehidupan sehari-hari. Tahap selanjutnya diisi dengan penyampaian pesan dan kesan responden terhadap pelatihan. Peneliti juga meminta responden untuk memberikan masukan terkait jalannya pelatihan untuk peningkatan kualitas pelaksanaan pelatihan berikutnya. e. Sesi kelima diisi dengan muhasabah yaitu pemutaran video motivasi terkait materi kecerdasan emosi. Pemilihan metode muhasabah dalam akhir sesi pelatihan bertujuan untuk mengistirahatkan pikiran, hati, dan fisik, agar memperoleh stamina, energi, gelora, harapan, dan motivasi baru. Sehingga diharapkan setelah mengikuti pelatihan, peserta dapat lebih memperbaiki diri dan tidak mengulangi kesalahan pada masa

32 45 yang akan datang (Bachrun, 2011). Sementara itu, pemilihan metode video didasarkan pada banyaknya manfaat yang akan didapat dari penggunaan media film atau video jika diterapkan dalam pelatihan maupun saat proses pembelajaran. Menurut Arsyad (2013) ada tujuh keuntungan menggunakan media film dan video, yaitu: 1) Melengkapi pengalaman-pengalaman dasar dari peserta ketika mereka membaca, berdiskusi, berpraktik, dan lain-lain. Film merupakan pengganti alam sekitar dan bahkan dapat menunjukkan objek yang secara normal tidak dapat dilihat, 2) Menggambarkan suatu proses secara tepat yang dapat disaksikan secara berulang-ulang jika dipandang perlu, 3) Selain mendorong dan meningkatkan motivasi, film dan video menanamkan sikap dan segi-segi afektif lainnya, 4) Mengandung nilai-nilai positif yang dapat mengundang pemikiran dan pembahasan dalam kelompok, 5) Dapat menyajikan peristiwa yang berbahaya bila dilihat secara langsung, 6) Dapat ditunjukkan kepada kelompok besar atau kelompok kecil, kelompok heterogen, maupun perorangan, serta 7) Melalui penayangan gambar frame demi frame, film yang dalam kecepatan normal memakan satu minggu dapat ditampilkan secara singkat dalam beberapa menit saja. Setelah semua sesi selesai, peneliti mengakhiri sesi kelima dengan ucapan terima kasih sekaligus menutup proses pelatihan. Pelaksanaan sesi-sesi dalam pelatihan dijelaskan dalam Tabel 1:

33 46 Tabel 1 Tabel Pelaksanaan Pelatihan Sesi Pelatihan Waktu Metode Pelatihan Pembukaan Sesi: Kesadaran dan Pengaturan Diri 60 menit 90 menit a. Perkenalan b. Ice Breaker: Brain Gym c. Penjelasan kegiatan d. Kontrak & peraturan pelatihan a. Ceramah, simulasi, diskusi b. Permainan Kayu Jatuh c. Sesi Hening d. Lembar kerja subjek Istirahat 1 15 menit - Sesi: Memotivasi Diri 60 menit a. Video Jangan Menyerah b. Ceramah, diskusi c. Video Every One is Number 1 d. Lembar kerja subjek Istirahat 2 30 menit - Sesi: Empati dan Keterampilan Sosial Penutupan Total 60 menit 75 menit 390 menit a. Senam Chicken Dance b. Video Penyandang DMD Berprestasi c. Ceramah, diskusi d. Lembar kerja subjek a. Muhasabah: instrumentalia Bismillah b. Video narasi The Eagle c. Sesi Cooling Down (Release) d. Evaluasi pelatihan e. Ucapan terima kasih

34 47 C. Pelatihan Kecerdasan Emosi untuk Menurunkan Kecemasan Berbicara di Depan Umum pada Siswa Pelajar sebagai generasi penerus bangsa akan sangat diharapkan ide dan gagasannya dalam mengisi pembangunan. Untuk mengungkapkan ide dan gagasan tersebut diantaranya dibutuhkan kemampuan berbicara di depan umum. Namun kenyataannya berbeda, banyak pelajar yang masih takut berbicara di depan umum. Kecemasan berbicara di depan umum sangatlah umum terjadi baik di kalangan siswa, mahasiswa, dan masyarakat umum. Jika hal ini terjadi pada pelajar atau siswa, maka dapat mengakibatkan siswa cenderung menghindari mata pelajaran tertentu atau bahkan jurusan tertentu yang memerlukan presentasi lisan. Dampaknya ke depan dapat pula mengakibatkan mereka memutus terhadap suatu jurusan atau karir tertentu yang memerlukan kemampuan untuk berbicara di depan umum serta dapat pula mengakibatkan mereka menghindari kontak atau kegiatan sosial di masyarakat. Menurut Osborne (2004) perasaan cemas ini muncul karena takut secara fisik terhadap pendengar, yaitu takut ditertawakan orang, takut bahwa dirinya akan menjadi tontonan orang, takut bahwa apa yang akan dikemukakan mungkin tidak pantas untuk dikemukakan, dan rasa takut bahwa mungkin dirinya akan membosankan. Menurut Santoso (1998) kecemasan berbicara di depan umum bersifat subjektif, biasanya ditandai dengan gejala fisik dan gejala psikologis. Termasuk dalam gejala fisik yaitu tangan berkeringat, jantung berdetak lebih cepat, dan kaki gemetaran. Kemudian,

35 48 yang termasuk gejala psikologis adalah takut akan melakukan kesalahan, tingkah laku yang tidak tenang dan tidak dapat berkonsentrasi dengan baik. Penelitian Zimbardo pada Universitas Stanford di California, AS menyatakan kecemasan membuat individu merasa rendah diri, meremehkan diri sendiri, menganggap dirinya tidak menarik dan menganggap dirinya tidak menyenangkan untuk orang lain. Individu yang cenderung mengalami kecemasan ditandai dengan ketegangan otot dan adanya tingkat kewaspadaan yang sangat tinggi. Kemudian, individu tersebut akan menolak untuk bersosialisasi dengan orang lain, keadaan individu akan membaik ketika ketegangannya berkurang (Rakhmat, 2007). Individu yang pemalu dan cemas secara sosial cenderung untuk menarik diri dan tidak efektif dalam interaksi sosial, ini dimungkinkan karena individu tersebut mempersepsi akan adanya reaksi negatif. Kecemasan merupakan suatu kekurangan dalam hubungan sosial, karena individu yang gugup (nervous) dan terhambat mungkin menjadi kurang efektif secara sosial, misalnya ketika individu mengalami nervous, individu tersebut mungkin menunjukkan indikasi-indikasi seperti gemetar, gelisah, menghindari orang lain, tidak lancar berbicara dan kesulitan konsentrasi (Dayakisna & Hudaniyah, 2009). Sundari (2005) menyatakan bahwa kecemasan timbul karena manifestasi perpaduan bermacam-macam emosi. Oleh karena itu upaya penanggulangannya juga melibatkan faktor emosi. Penelitian lainnya dilakukan oleh Spielberger, Liebert, dan Morris (dalam Elliot, 1999) dalam suatu percobaan konseptual menunjukkan bahwa kecemasan yang dialami

36 49 oleh individu terdiri atas dua dimensi utama yaitu kekhawatiran dan emosionalitas. Kecemasan berbicara di depan umum bukan hanya disebabkan oleh ketidakmampuan individu dalam berkomunikasi. Namun sering disebabkan juga oleh pikiran negatif dan irasional (Rahayu, dkk. 2004), kestabilan emosi (MacIntyre & Thiviegre, dalam Roach, 1999), keyakinan atau kepercayaan diri (Matindas dalam Astrid, 2003), perbedaaan jenis kelamin ((Elliot & Chong dalam Astrid, 2003), pengalaman yang tidak menyenangkan serta kurangnya pengalaman (Burgoon & Ruffner dalam Dewi & Andrianto, 2003). Oleh karena itu untuk mengatasi seseorang yang mengalami kecemasan berbicara di depan umum dapat dilakukan dengan mengubah pola pikir, meningkatkan kecerdasan emosi, dan meningkatkan efikasi diri (Utami, 1999). Penelitian yang dilakukan oleh Goleman (2009) menyatakan bahwa faktor kecerdasan emosi berpengaruh pada tingkat kecemasan berbicara di depan umum. Menurutnya kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan, kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi, dan keterampilan sosial, akan membantu seseorang dalam mengatasi kecemasan saat berbicara di depan umum. Pendapat tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Agustina (2015) yang menyatakan bahwa teknik relaksasi merupakan salah satu upaya untuk dapat mengurangi kecemasan berbicara di depan umum. Selama relaksasi subjek akan dikondisikan untuk mengenali dan mengelola emosi mereka agar dapat mengurangi ketegangan. Proses mengenali dan mengelola emosi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Indonesia baik yang masih berstatus sebagai pelajar, mahasiswa, ataupun yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Indonesia baik yang masih berstatus sebagai pelajar, mahasiswa, ataupun yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Masa depan bangsa sangatlah ditentukan oleh para generasi muda bangsa ini. Generasi muda adalah harapan bangsa. Oleh karena itu setiap pemuda Indonesia

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIK. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis. a. Pengertian Kemampuan Pemecahan Masalah

BAB II KAJIAN TEORETIK. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis. a. Pengertian Kemampuan Pemecahan Masalah BAB II 6 KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis a. Pengertian Kemampuan Pemecahan Masalah Menurut Gibson (1996) Kemampuan (ability) adalah kapasitas individu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpengalaman berbicara di depan umum pun tidak terlepas dari perasaaan ini.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpengalaman berbicara di depan umum pun tidak terlepas dari perasaaan ini. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perasaan cemas atau grogi saat mulai berbicara di depan umum adalah hal yang seringkali dialami oleh kebanyakan orang. Bahkan seseorang yang telah berpengalaman

Lebih terperinci

Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya anxiety berasal dari Bahasa Latin. angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik.

Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya anxiety berasal dari Bahasa Latin. angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik. Pengertian Kecemasan Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya anxiety berasal dari Bahasa Latin angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik. Menurut Freud (dalam Alwisol, 2005:28) mengatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mana anggapan salah mengenai khalayak menjadi hantu yang menakutkan

BAB I PENDAHULUAN. yang mana anggapan salah mengenai khalayak menjadi hantu yang menakutkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Sejak manusia dilahirkan, manusia membutuhkan pergaulan dengan manusia lainnya. Hal ini berarti bahwa manusia tidak

Lebih terperinci

commit to user 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Kepercayaan Diri a. Pengertian Kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang

commit to user 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Kepercayaan Diri a. Pengertian Kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Kepercayaan Diri a. Pengertian Kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang paling penting pada seseorang. Kepercayaan diri merupakan atribut yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. atau ancaman atau fenomena yang sangat tidak menyenangkan serta ada

BAB II TINJAUAN TEORITIS. atau ancaman atau fenomena yang sangat tidak menyenangkan serta ada BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Kecemasan 1. Defenisi Kecemasan adalah keadaan yang menggambarkan suatu pengalaman subyektif mengenai ketegangan mental kesukaran dan tekanan yang menyertai suatu konflik atau

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KECENDERUNGAN EKSTROVERT DENGAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM PADA MAHASISWA FKIP PBSID UMS SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA KECENDERUNGAN EKSTROVERT DENGAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM PADA MAHASISWA FKIP PBSID UMS SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KECENDERUNGAN EKSTROVERT DENGAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM PADA MAHASISWA FKIP PBSID UMS SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S-1 Psikologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI BAB II TINJAUAN TEORI A. Teori 1. Kecemasan Situasi yang mengancam atau yang dapat menimbulkan stres dapat menimbulkan kecemasan pada diri individu. Atkinson, dkk (1999, p.212) menjelaskan kecemasan merupakan

Lebih terperinci

LAMPIRAN A. Data Try Out A-1DATA TRY OUT KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN KELAS A-2DATA TRY OUT BERPIKIR POSITIF

LAMPIRAN A. Data Try Out A-1DATA TRY OUT KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN KELAS A-2DATA TRY OUT BERPIKIR POSITIF 52 LAMPIRAN A Data Try Out A-1DATA TRY OUT KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN KELAS A-2DATA TRY OUT BERPIKIR POSITIF 53 LAMPIRAN A-1 Data Try Out KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN KELAS 54 55 LAMPIRAN A-2 Data Try

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Kecemasan Komunikasi Interpersonal. individu maupun kelompok. (Diah, 2010).

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Kecemasan Komunikasi Interpersonal. individu maupun kelompok. (Diah, 2010). BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Kecemasan Komunikasi Interpersonal 2.1.1. Pengertian Kecemasan Komunikasi Interpersonal Burgoon dan Ruffner (1978) kecemasan komunikasi interpersonal adalah kondisi ketika individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang cenderung pernah merasakan kecemasan pada saat-saat

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang cenderung pernah merasakan kecemasan pada saat-saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang cenderung pernah merasakan kecemasan pada saat-saat tertentu, dan dengan tingkat yang berbeda-beda. Kecemasan merupakan salah satu bentuk emosi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diperhatikan, seperti waktu latihan, waktu makan, dan waktu istirahat pun diatur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diperhatikan, seperti waktu latihan, waktu makan, dan waktu istirahat pun diatur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menjadi seorang atlet diperlukan kerja keras dari awal sampai akhir, seperti persiapan saat latihan yang keras, mempersiapkan kondisi fisik dan tubuh mereka,

Lebih terperinci

Lampiran 1 Hasil uji reliabilitas variabel kemandirian emosi, kemandirian perilaku, kemandirian nilai, kemandirian total, penyesuaian diri, dan

Lampiran 1 Hasil uji reliabilitas variabel kemandirian emosi, kemandirian perilaku, kemandirian nilai, kemandirian total, penyesuaian diri, dan LAMPIRAN 61 Lampiran 1 Hasil uji reliabilitas variabel kemandirian emosi, kemandirian perilaku, kemandirian nilai, kemandirian total, penyesuaian diri, dan gejala stres No. Variabel Cronbach s Alpha N

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Self Efficacy 2.1.1 Pengertian Self Efficacy Self efficacy berasal dari teori Bandura (1997) yaitu teori kognisi belajar sosial. Teori kognisi belajar sosial mengacu pada kemampuan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIK

BAB II LANDASAN TEORITIK BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1. Prestasi Belajar Prestasi belajar merupakan gabungan dari prestasi belajar dan pengetahuan teknologi informasi dan komunikasi. Prestasi dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Stres pada Wanita Karir (Guru) yang dialami individu atau organisme agar dapat beradaptasi atau menyesuaikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Stres pada Wanita Karir (Guru) yang dialami individu atau organisme agar dapat beradaptasi atau menyesuaikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stres pada Wanita Karir (Guru) 1. Pengertian Istilah stres dalam psikologi menunjukkan suatu tekanan atau tuntutan yang dialami individu atau organisme agar dapat beradaptasi

Lebih terperinci

1. Bab II Landasan Teori

1. Bab II Landasan Teori 1. Bab II Landasan Teori 1.1. Teori Terkait 1.1.1. Definisi kecemasan Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya anxiety berasal dari Bahasa Latin angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik.

Lebih terperinci

bagaimana seseorang melihat atau memahami dirinya (sense of self) serta

bagaimana seseorang melihat atau memahami dirinya (sense of self) serta 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di universitas, institut atau akademi. Mereka yang terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia hidup selalu dipenuhi oleh kebutuhan dan keinginan. Seringkali kebutuhan dan keinginan tersebut tidak dapat terpenuhi dengan segera. Selain itu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Wanita

BAB II LANDASAN TEORI. A. Wanita 8 BAB II LANDASAN TEORI A. Wanita 1. Defenisi Wanita Murad (dalam Purwoastuti dan Walyani, 2005) mengatakan bahwa wanita adalah seorang manusia yang memiliki dorongan keibuan yang merupakan dorongan instinktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa awal adalah masa dimana seseorang memperoleh pasangan hidup, terutama bagi seorang perempuan. Hal ini sesuai dengan teori Hurlock (2002) bahwa tugas masa

Lebih terperinci

ITEM KECEMASAN WANITA MENGHADAPI MENOPAUSE

ITEM KECEMASAN WANITA MENGHADAPI MENOPAUSE ITEM KECEMASAN WANITA MENGHADAPI MENOPAUSE 1. Psikologis, ditunjukkan dengan adanya gejala: gelisah atau resah, was-was atau berpikiran negatif, khawatir atau takut, merasa akan tertimpa bahaya atau terancam,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kecemasan dapat dialami oleh para siswa, terutama jika dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kecemasan dapat dialami oleh para siswa, terutama jika dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kecemasan dapat dialami oleh para siswa, terutama jika dalam suatu sekolah terjadi proses belajar mengajar yang kurang menyenangkan. Salah satu bentuk kecemasan

Lebih terperinci

#### SELAMAT MENGERJAKAN ####

#### SELAMAT MENGERJAKAN #### Apakah Anda mahasiswa Fakultas Ekonomi Unika? Apakah Anda berstatus sebagai mahasiswa aktif? Semester berapakah Anda saat ini? Dengan Hormat, (Ya/ Bukan) (Ya/ Tidak) (Empat/ Enam) Disela-sela kesibukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan data numerikal (angka) yang diolah dengan metode statistika. Pada

BAB III METODE PENELITIAN. dengan data numerikal (angka) yang diolah dengan metode statistika. Pada BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini termasuk jenis penelitian kuantitatif yang analisisnya dengan data numerikal (angka) yang diolah dengan metode statistika. Pada dasarnya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Setiap orang cenderung pernah merasakan kecemasan pada saat-saat tertentu

I. PENDAHULUAN. Setiap orang cenderung pernah merasakan kecemasan pada saat-saat tertentu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Setiap orang cenderung pernah merasakan kecemasan pada saat-saat tertentu dengan tingkat yang berbeda - beda. Kecemasan merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kampus UIN Maulana Malik Ibrahim (MMI) Malang sebagai kampus. berbasis Islam menerapkan beberapa kebijakan yang ditujukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Kampus UIN Maulana Malik Ibrahim (MMI) Malang sebagai kampus. berbasis Islam menerapkan beberapa kebijakan yang ditujukan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kampus UIN Maulana Malik Ibrahim (MMI) Malang sebagai kampus berbasis Islam menerapkan beberapa kebijakan yang ditujukan untuk mencetak lulusan yang tidak saja

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan 1. Definisi Kecemasan Kecemasan atau anxietas adalah status perasaan tidak menyenangkan yang terdiri atas respon-respon patofisiologis terhadap antisipasi bahaya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. (Stanley Hall dalam Panuju, 2005). Stres yang dialami remaja berkaitan dengan proses perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapi nanti (Rini, 2008). Masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapi nanti (Rini, 2008). Masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pensiun seringkali dianggap sebagai kenyataan yang tidak menyenangkan sehingga menjelang masanya tiba sebagian orang sudah merasa cemas karena tidak tahu kehidupan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Penyesuaian Sosial 2.1.1. Pengertian Penyesuaian Sosial Schneider (1964) mengemukakan tentang penyesuaian sosial bahwa, Sosial adjustment signifies the capacity to react affectively

Lebih terperinci

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR Laelasari 1 1. Dosen FKIP Unswagati Cirebon Abstrak Pendidikan merupakan kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 KUESIONER KEMANDIRIAN

LAMPIRAN 1 KUESIONER KEMANDIRIAN LAMPIRAN KUESIONER KEMANDIRIAN Di bawah ini terdapat beberapa pernyataan dengan berbagai kemungkinan jawaban. Saudara diminta untuk memilih salah satu dari pilihan jawaban yang tersedia sesuai dengan keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adaperilaku pendidikan yang tidak dilahirkan oleh proses komunikasi, baik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adaperilaku pendidikan yang tidak dilahirkan oleh proses komunikasi, baik 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia pendidikan sangat erat kaitannya dengan komunikasi. Tidak adaperilaku pendidikan yang tidak dilahirkan oleh proses komunikasi, baik komunikasi verbal,

Lebih terperinci

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB 2 Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Kecemasan 2.1.1. Definisi Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (Fausiah&Widury, 2007), kecemasan adalah respons terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang

Lebih terperinci

LEMBAR PENJELASAN KEPADA RESPONDEN

LEMBAR PENJELASAN KEPADA RESPONDEN Lampiran 1 LEMBAR PENJELASAN KEPADA RESPONDEN Saya yang benama Eva Sartika Simbolon sedang menjalani Program Pendidikan D-IV Bidan Pendidik di Fakultas Keperawatan. Untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR 6 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Belajar Belajar merupakan suatu proses aktif dalam memperoleh pengalaman atau pengetahuan baru sehingga menyebabkan perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan proses belajar mengajar, diantaranya siswa, tujuan, dan. antara siswa dan guru dalam rangka mencapai tujuannya.

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan proses belajar mengajar, diantaranya siswa, tujuan, dan. antara siswa dan guru dalam rangka mencapai tujuannya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. 2.1 Kecemasan Menghadapi Ujian Nasional Pengertian Kecemasan Menghadapi Ujian

BAB II LANDASAN TEORI. 2.1 Kecemasan Menghadapi Ujian Nasional Pengertian Kecemasan Menghadapi Ujian BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kecemasan Menghadapi Ujian Nasional 2.1.1 Pengertian Kecemasan Menghadapi Ujian Kecemasan adalah perasaan campuran berisikan ketakutan dan keprihatinan mengenai masa-masa mendatang

Lebih terperinci

KETERAMPILAN KONSELING : KLARIFIKASI, MEMBUKA DIRI, MEMBERIKAN DORONGAN, MEMBERIKAN DUKUNGAN, PEMECAHAN MASALAH DAN MENUTUP PERCAKAPAN

KETERAMPILAN KONSELING : KLARIFIKASI, MEMBUKA DIRI, MEMBERIKAN DORONGAN, MEMBERIKAN DUKUNGAN, PEMECAHAN MASALAH DAN MENUTUP PERCAKAPAN KETERAMPILAN KONSELING : KLARIFIKASI, MEMBUKA DIRI, MEMBERIKAN DORONGAN, MEMBERIKAN DUKUNGAN, PEMECAHAN MASALAH DAN MENUTUP PERCAKAPAN oleh Rosita E.K., M.Si Konsep dasar dari konseling adalah mengerti

Lebih terperinci

PENGARUH BIMBINGAN BELAJAR TERHADAP KECEMASAN SISWA DALAM MENGHADAPI UJIAN NASIONAL. Skripsi

PENGARUH BIMBINGAN BELAJAR TERHADAP KECEMASAN SISWA DALAM MENGHADAPI UJIAN NASIONAL. Skripsi PENGARUH BIMBINGAN BELAJAR TERHADAP KECEMASAN SISWA DALAM MENGHADAPI UJIAN NASIONAL Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S-1 Psikologi Diajukan oleh : Amila Millatina

Lebih terperinci

Hamilton Rating Scale For Anxiety (HARS) HAMILTON RATING SCALE FOR ANXIETY (HARS)

Hamilton Rating Scale For Anxiety (HARS) HAMILTON RATING SCALE FOR ANXIETY (HARS) 61 Lampiran 1. Hamilton Rating Scale For Anxiety (HARS) HAMILTON RATING SCALE FOR ANXIETY (HARS) Nomor Responden : Nama Responden : Tanggal Pemeriksaan : Skor : 0 = tidak ada 1 = ringan 2 = sedang 3 =

Lebih terperinci

SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derajat Sarjana S1 Psikologi

SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derajat Sarjana S1 Psikologi HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI SISWA TERHADAP PEMBERIAN PUNISHMENT OLEH GURU DENGAN KECEMASAN DI DALAM KELAS PADA SISWA KELAS VII SEKOLAH LANJUTAN TINGKAT PERTAMA (SLTPN) 1 DAWE KUDUS SKRIPSI Diajukan Kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami perubahan-perubahan di berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi,

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN ANSIETAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN ANSIETAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN ANSIETAS I. PENGKAJIAN PASIEN ANSIETAS 1. DEFINISI Ansietas adalah suatu perasaan tidak santai yang samar-samar karena ketidaknyamanan atau rasa takut yang disertai suatu

Lebih terperinci

LAMPIRAN A. Cara Pengukuran Kecemasan

LAMPIRAN A. Cara Pengukuran Kecemasan LAMPIRAN A. Cara Pengukuran Kecemasan a. HARS Kecemasan dapat diukur dengan pengukuran tingkat kecemasan menurut alat ukur kecemasan yang disebut HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale). Skala HARS merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Saat ini pendidikan adalah penting bagi semua orang baik bagi

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Saat ini pendidikan adalah penting bagi semua orang baik bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia pada dasarnya merupakan makhluk hidup yang harus terus berjuang agar dapat mempertahankan hidupnya. Manusia dituntut untuk dapat mengembangkan dirinya

Lebih terperinci

DASAR PRESENTASI. Kunci presentasi yang sukses adalah persiapan yang baik.

DASAR PRESENTASI. Kunci presentasi yang sukses adalah persiapan yang baik. DASAR PRESENTASI PERSIAPAN Kunci presentasi yang sukses adalah persiapan yang baik. Persiapan Dasar Persiapan yang baik bisa dimulai dengan menganalisis tiga faktor di bawah ini: - pada acara apa kita

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sebagai kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain dalam

BAB II LANDASAN TEORI. sebagai kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain dalam 14 BAB II LANDASAN TEORI A. Pelatihan Kecerdasan Emosi 1. Definisi Kecerdasan Emosi Secara singkat Daniel Goleman mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. malu, benci, dan ketakberdayaan pada realitas hidup. Stres bisa menyerang siapa

BAB I PENDAHULUAN. malu, benci, dan ketakberdayaan pada realitas hidup. Stres bisa menyerang siapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hidup di hari-hari ini semakin rentan dengan stres, mahasiswa sudah masuk dalam tahap persaingan yang sangat ketat, hanya yang siap mampu menjawab kemajuan teknologi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Latin, yaitu stringere, yang memiliki arti keluar dari kesukaan (draw tight).

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Latin, yaitu stringere, yang memiliki arti keluar dari kesukaan (draw tight). BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Stres Gibson menyatakan bahwa Stres adalah kata yang berasal dari Bahasa Latin, yaitu stringere, yang memiliki arti keluar dari kesukaan (draw tight). Definisi ini menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan rakyatnya rendah dan tidak berkualitas. Sebaliknya, suatu negara dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan rakyatnya rendah dan tidak berkualitas. Sebaliknya, suatu negara dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan mempunyai peran yang penting bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia. Suatu bangsa akan tertinggal dari bangsa lain apabila pendidikan rakyatnya

Lebih terperinci

Disusun Oleh : SARI INDAH ASTUTI F

Disusun Oleh : SARI INDAH ASTUTI F HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KESTABILAN EMOSI PADA PENDERITA PASCA STROKE DI RSUD UNDATA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk individual dan makhluk sosial. Sejak manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk individual dan makhluk sosial. Sejak manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk individual dan makhluk sosial. Sejak manusia dilahirkan, manusia membutuhkan pergaulan dengan manusia lainnya (Gerungan, 2004). Hal ini berarti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa dewasa yang meliputi berbagai macam perubahan yaitu perubahan biologis, kognitif, sosial dan emosional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam zaman pembangunan di Indonesia dan globalisasi dunia yang menuntut kinerja yang tinggi dan persaingan semakin ketat, semakin dibutuhkan sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk hidup senantiasa barada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan berakhir ketika individu memasuki masa dewasa awal, tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi merupakan salah satu jenjang yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi merupakan salah satu jenjang yang penting dalam BAB I PENDAHULUAN 1. 1. LATAR BELAKANG MASALAH Perguruan Tinggi merupakan salah satu jenjang yang penting dalam pendidikan. Perguruan Tinggi diadakan dengan tujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peneliti menganggap bahwa penelitian tentang kecerdasan emosional pada mahasiswa yang bekerja sangat penting, karena siapa pun dapat mengalami emosi, tak terkecuali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya perkembangan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan yang terjadi tersebut menuntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kecemasan merupakan suatu keadaan tegang dimana kita termotivasi untuk melakukan sesuatu dan memperingatkan individu bahwa adanya ancaman yang membahayakan individu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditandai efek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmaniah seseorang yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditandai efek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmaniah seseorang yang 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan 1. Pengertian Kecemasan Menurut Durand & Barlow (2006), kecemasan adalah keadaan suasana hati yang ditandai efek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmaniah seseorang

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Kuesioner Penelitian KUESIONER. 1. Jenis Kelamin : 2. Usia : Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A)

LAMPIRAN. Lampiran 1. Kuesioner Penelitian KUESIONER. 1. Jenis Kelamin : 2. Usia : Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A) LAMPIRAN Lampiran 1. Kuesioner Penelitian KUESIONER DATA UMUM RESPONDEN NOMOR PIN: 1. Jenis Kelamin : 2. Usia : Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A) Silakan anda memberi tanda di kolom isi sesuai

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Kecerdasan Emosional 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosional Secara umum kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan memahami secara lebih efektif terhadap daya kepekaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. emosi negatif. Pentingya individu mengelola emosi dalam kehidupan karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. emosi negatif. Pentingya individu mengelola emosi dalam kehidupan karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Emosi sangat mendukung dalam kehidupan, apakah itu emosi positif atau emosi negatif. Pentingya individu mengelola emosi dalam kehidupan karena seseorang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress (santrock, 2007 : 200). Masa remaja adalah masa pergolakan yang dipenuhi oleh konflik dan

Lebih terperinci

kelas, yang bukan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan akan tetapi

kelas, yang bukan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan akan tetapi BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kecemasan Berbicara 1. Pengertian Kecemasan Berbicara Kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan kekhawatiran yang mengeluh bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Hakikat manusia adalah sebagai makhluk sosial, oleh karena itu setiap manusia tidak lepas dari kontak sosialnya dengan masyarakat, dalam pergaulannya

Lebih terperinci

Pedologi. Gangguan Kecemasan (Anxiety Disorder) Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

Pedologi. Gangguan Kecemasan (Anxiety Disorder) Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI Pedologi Gangguan Kecemasan (Anxiety Disorder) Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Pengertian Kecemasan : Kecemasan (anxiety) dapat diartikan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Anastasi, A. dan Urbina, S Tes Psikologi. Edisi Bahasa Indonesia. Jilid 1. Alih Bahasa : Imam, R.H. Jakarta : Prenhallindo.

DAFTAR PUSTAKA. Anastasi, A. dan Urbina, S Tes Psikologi. Edisi Bahasa Indonesia. Jilid 1. Alih Bahasa : Imam, R.H. Jakarta : Prenhallindo. DAFTAR PUSTAKA Anastasi, A. dan Urbina, S. 1997. Tes Psikologi. Edisi Bahasa Indonesia. Jilid 1. Alih Bahasa : Imam, R.H. Jakarta : Prenhallindo. Apollo. 2007. Hubungan antara Konsep Diri dengan Kecemasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kecemasan pada Mahasiswa Tingkat Pertama. Bahasa Latin angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kecemasan pada Mahasiswa Tingkat Pertama. Bahasa Latin angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecemasan pada Mahasiswa Tingkat Pertama 2.1.1 Pengertian Kecemasan atau dalam Bahasa Inggris adalah anxiety berasal dari Bahasa Latin angustus yang berarti kaku, dan ango,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. hakikatnya pengalaman emosional akan selalu mengalir dan berkelanjutan dalam

BAB II KAJIAN TEORI. hakikatnya pengalaman emosional akan selalu mengalir dan berkelanjutan dalam BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian Kecerdasan Emosional 2.1.1 Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional sangat penting dalam kehidupan karena pada hakikatnya pengalaman emosional akan selalu mengalir dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. upaya-upaya dalam rangka mendapatkan kebebasan itu. (Abdullah, 2007

BAB I PENDAHULUAN. upaya-upaya dalam rangka mendapatkan kebebasan itu. (Abdullah, 2007 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada setiap fase kehidupan manusia pasti mengalami stres pada tiap fase menurut perkembangannya. Stres yang terjadi pada mahasiswa/i masuk dalam kategori stres

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Stres Kerja 2.1.1. Pengertian Stres Menurut Vaughan dan Hogh (2002) stres adalah suatu kondisi psikologis yang terjadi ketika suatu stimulus diterima sebagai suatu hambatan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dewasa ini, olahraga merupakan hal sangat penting bagi kesehatan tubuh.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dewasa ini, olahraga merupakan hal sangat penting bagi kesehatan tubuh. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, olahraga merupakan hal sangat penting bagi kesehatan tubuh. Dengan berolahraga badan akan terasa segar dan sehat. Banyak macam olah raga yang dapat dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahwa manusia itu pada hakikatnya zoo politicon yang berarti manusia adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahwa manusia itu pada hakikatnya zoo politicon yang berarti manusia adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hampir semua orang memahami bahwa keberadaan dan perkembangan manusia sejak lahir hingga tua membutuhkan komunikasi. Aristoteles menyatakan bahwa manusia itu pada hakikatnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Proses belajar mengajar merupakan aktivitas yang paling penting dalam

I. PENDAHULUAN. Proses belajar mengajar merupakan aktivitas yang paling penting dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Proses belajar mengajar merupakan aktivitas yang paling penting dalam keseluruhan upaya pendidikan. Siswa dengan segala karakteristiknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muda, yaitu suatu masa dengan rentang usia dari 18 sampai kira-kira umur 25

BAB I PENDAHULUAN. muda, yaitu suatu masa dengan rentang usia dari 18 sampai kira-kira umur 25 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa adalah salah satu individu yang telah memasuki masa dewasa muda, yaitu suatu masa dengan rentang usia dari 18 sampai kira-kira umur 25 tahun (Hurlock

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. Adapun variabel-variabel dalam penelitian ini adalah:

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. Adapun variabel-variabel dalam penelitian ini adalah: BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian Adapun variabel-variabel dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel tergantung (dependent) : Kecemasan ibu hamil hipertensi 2. Variabel bebas

Lebih terperinci

BAB V HUBUNGAN MOTIVASI BERKOMUNIKASI DENGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI ANTAR ETNIS

BAB V HUBUNGAN MOTIVASI BERKOMUNIKASI DENGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI ANTAR ETNIS BAB V HUBUNGAN MOTIVASI BERKOMUNIKASI DENGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI ANTAR ETNIS Kim dan Gudykunts (1997) menyatakan bahwa komunikasi yang efektif adalah bentuk komunikasi yang dapat mengurangi rasa cemas

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN KECEMASAN SEBELUM MENGHADAPI PERTANDINGAN PADA ATLET FUTSAL NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN KECEMASAN SEBELUM MENGHADAPI PERTANDINGAN PADA ATLET FUTSAL NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN KECEMASAN SEBELUM MENGHADAPI PERTANDINGAN PADA ATLET FUTSAL NASKAH PUBLIKASI Diajukan oleh : Rachmad Darmawan F100090178 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupan, seseorang tidak pernah lepas dari kehidupan emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang dikatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam kehidupannya selalu mengadakan aktivitas-aktivitas, salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam kehidupannya selalu mengadakan aktivitas-aktivitas, salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam kehidupannya selalu mengadakan aktivitas-aktivitas, salah satu diantaranya diwujudkan dalam aktifitas kerja, oleh karena itu manusia akan selalu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian Penelitian dilaksanakan pada tanggal 20 Februari 2017 hingga 5 Maret 2017 di Panti Wreda Pengayoman Semarang. Adapun rincian pelaksanaan

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 03 MK61112 Aulia Kirana,

Lebih terperinci

Bayu Prakoso F

Bayu Prakoso F HUBUNGAN ANTARA BERPIKIR POSITIF DENGAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM Naskah Publikasi Untuk memenuhi sebagian persayaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan Oleh: Bayu Prakoso F. 100 100

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan dalam penelitian ini. Adapun desain yang dilakukan adalah

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan dalam penelitian ini. Adapun desain yang dilakukan adalah BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptive dengan pendekatan kuantitatif karena dari beberapa metode penelitian yang ada, peneliti merasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menerus merupakan aspek yang harus dibina dalam olahraga. sampai sasaran perilaku. McClelland dan Burnham (2001), motivasi

BAB I PENDAHULUAN. menerus merupakan aspek yang harus dibina dalam olahraga. sampai sasaran perilaku. McClelland dan Burnham (2001), motivasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam dunia olahraga, motivasi berprestasi, lebih populer dengan istilah competitiveness merupakan modal utama dalam mencapai keberhasilan penampilan. Tidak mengherankan

Lebih terperinci

PERMOHONAN MENJADI PARTISIPAN. Dengan hormat, saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Yantri Nim :

PERMOHONAN MENJADI PARTISIPAN. Dengan hormat, saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Yantri Nim : Lampiran I PERMOHONAN MENJADI PARTISIPAN Dengan hormat, saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Yantri Nim : 462010066 Saya adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun teori-teori yang dijelaskan adalah teori mengenai

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun teori-teori yang dijelaskan adalah teori mengenai 13 II. TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini, peneliti akan menjelaskan teori yang digunakan dalam penelitian. Adapun teori-teori yang dijelaskan adalah teori mengenai kecemasan yang meliputi: kecemasan tes,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Kecemasan a. Pengertian Kecemasan Kecemasan sangat berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS 12 BAB II LANDASAN TEORITIS A. Kecemasan 1. Pengertian Kecemasan Suatu keadaan yang mengancam keberadaan kehidupan seseorang, akan menimbulkan suatu perasaan yang tidak menyenangkan pada diri orang tersebut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan yang lainnya pasti membutuhkan kerjasama. Ketergantungan manusia satu dengan yang lain merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai 1 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Karyawan PT. INALUM 1. Pengertian Karyawan Karyawan adalah sumber daya yang sangat penting dan sangat menentukan suksesnya perusahaan. Karyawan juga selalu disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia akan mengalami perkembangan sepanjang hidupnya, mulai dari masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal, dewasa menengah,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar pelitian. Berikut adalah beberapa teori yang terkait sesuai dengan penelitian ini. 2.1 Anxiety (Kecemasan)

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kecerdasan Emosional 1. Pengertian Kecerdasan dan Emosi Berdasarkan pengertian tradisional, kecerdasan meliputi: kemampuan membaca, menulis, dan berhitung yang merupakan keterampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelegensi atau akademiknya saja, tapi juga ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya.

Lebih terperinci