III. KERANGKA PEMIKIRAN. (PDB) atau gross domestic product (GDP) yang merupakan pendapatan nasional.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "III. KERANGKA PEMIKIRAN. (PDB) atau gross domestic product (GDP) yang merupakan pendapatan nasional."

Transkripsi

1 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teori Produk Domestik Regional Bruto Variabel makroekonomi paling penting adalah produk domestik bruto (PDB) atau gross domestic product (GDP) yang merupakan pendapatan nasional. GDP mengukur output barang dan jasa total suatu negara dan pendapatan totalnya. Pendapatan daerah merupakan bagian dalam penghitungan pendapatan nasional, di mana pendapatan nasional merupakan total dari pendapatan daerah di seluruh Indonesia (Sukirno, 2000). Pendapatan daerah merupakan variabel penting untuk dianalisis dalam perencanaan suatu daerah. Dari sisi produksi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan total nilai produksi barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu wilayah pada jangka waktu tertentu. Produksi barang dan jasa tersebut dihasilkan oleh sektor-sektor produksi (Sukirno,2000). Berdasarkan pendekatan produksi, nilai PDRB dapat dinyatakan secara matematis sebagai berikut : Keterangan : n PDRB ( t) = Yi( t) i (1) Yi t = Nilai produksi (output) sektor-sektor perekonomian mulai dari sektor ke- i sampai sektor ke- n. = tahun pengamatan Output untuk barang dan jasa suatu perekonomian, PDRB-nya tergantung pada : jumlah input yang disebut faktor-faktor produksi, dan kemampuan untuk mengubah input menjadi output, sebagaimana ditunjukkan dalam fungsi produksi.

2 48 Teknologi produksi yang ada menentukan berapa banyak output diproduksi dari sejumlah modal dan tenaga kerja tertentu, secara matematis fungsi produksi adalah : Y i = F (K i, L i ) (2) Keterangan : Y i K i L i = Output /produksi sektor i = input produksi modal sektor i = input produksi tenaga kerja sektor i Fungsi produksi pada persamaan (2) mencerminkan teknologi yang digunakan untuk mengubah modal dan tenaga kerja menjadi output. Banyak fungsi produksi yang mempunyai perangkat yang disebut pengembalian skala konstan (return to scale), artinya jika seluruh input pruduksi kita tingkatkan dalam prosentase yang sama maka output akan meningkat sebesar prosentase kenaikan inputnya. Apabila kita ingin meningkatkan output sebesar 10 persen maka kita harus menambah 10 persen penggunaan modal dan tenaga kerja. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut. zy i = F (zk i, zl i ) (3) Dari sisi pengeluaran, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan jumlah pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap atau investasi, dan ekspor netto dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu. Adapun formula PDRB berdasarkan pengeluaran yang dikenal dengan permintaan agregat adalah (Richardson, 2001). Y (t) = C (t) + I (t) + G (t) + X (t) M (t) (4)

3 49 Keterangan : Y = pendapatan daerah (output) C = konsumsi masyarakat I = investasi G = pengeluaran pemerintah X = ekspor daerah M = impor daerah i dan t = masing-masing menunjukkan lokasi/daerah dan tahun. Persamaan-persamaan (1) sampai (3) merupakan basis teori yang digunakan dalam menyusun model yang mengintegrasikan sisi penawaran. Sedangkan persamaan (4) yang menggambarkan sisi permintaan hanya mampu disajikan prilaku investasi sektor Industri dan investasi swasta, sedangkan prilaku konsumsi, ekspor dan impor daerah tidak mampu disajikan pada studi ini. Persamaan (2) dapat dimodifikasi untuk mengestimasi pertumbuhan PDRB dengan memasukkan dua kelompok variabel, yaitu varibel yang menangkap perkembangan teknologi dan variabel yang menangkap perbedaan sumberdaya regional Fungsi Penawaran Agregat Kurva penawaran agregat merupakan hubungan antara tingkat harga umum (P) dan produksi total (Y). Dengan asumsi Keynes (tingkat upah tidak fleksibel) gambar 2 menunjukkan bahwa pada tingkat harga P 0 tingkat upah riil (W/P) 0 dan terdapat kesempatan kerja penuh di mana permintaan tenaga kerja(d L ) sama dengan penawaran tenaga kerja (S L ) sebesar L 0, dan pendapatan daerah sebesar Y 0. Apabila harga turun menjadi P 1 dan tingkat upah riil menjadi (W/P) 1

4 50 akan menyebabkan jumlah permintaan tenaga kerja lebih rendah dari penawaran tenaga kerja sehingga kesempatan kerja sebesar L 1, karena tingkat upah tetap maka total pendapatan sebesar Y 1. Titik-titik yang menghubungkan Yo dan Y1 akan membentuk kurva penawaran Agregat (AS). W P AS P 0 P 1 W/P Y (W/P) 1 (W/P) 0 Y 1 Y 0 L 1 L 0 D L Y=f(L) S L L Gambar 2. Kurva Penawaran Agregat

5 Investasi Investasi merupakan pengeluaran domestik yang dilakukan oleh sektor swasta untuk mendirikan bangunan-bangunan baru, mesin-mesin baru beserta perlengkapannya dan perubahan jumlah berbagai macam persediaan perusahaan. Secara singkat, investasi didefinisikan sebagai tambahan bersih terhadap stok kapital dalam kurun waktu tertentu. Investasi dapat dibedakan investasi tetap dan investasi persediaan (Sukirno, 2000). Kepustakaan ekonomi menyebutkan dua faktor yang paling menentukan invetasi swasta, yakni suku bunga dan pendapatan nasional. Dengan asumsi faktor lain konstan, maka hubungan antara permintaan investasi (I) dengan tingkat suku bunga (r) dinyatakan dalam bentuk fungsi sebagai berikut : I = f (r) ; ΔI/Δr < 0 (6) Apabila tingkat suku bunga (r) turun, maka permintaan investasi (I) meningkat, dan sebaliknya kalau tingkat bunga naik, maka permintaan investasi akan turun. Perubahan suku bunga dapat mempengaruhi stok modal karena hal ini akan mengubah proyeksi profitabilitas dari berbagai peluang investasi yang ada. Keynes menjelaskan pengaruh suku bunga terhadap investasi yang didasarkan pada tingkat hasil internal (internal return) disebut sebagai efisiensi marjinal modal = MEC atau marginal efficiency of capital (Dornbusch, 1992). Selain suku bunga, hal pokok yang mempengaruhi permintaan investasi adalah keyakinan akan adanya perubahan pendapatan nasional. Kenaikan pendapatan nasional akan memperbesar volume penjualan sehingga mendorong para produsen meningkatkan kapasitas produksinya. Faktor lain yang sering diidentifikasi berpengaruh terhadap investasi seperti tingkat pajak dan upah yang ikut menentukan biaya modal dan tenaga kerja (Dornbusch, 1992).

6 52 Hasil studi Azis (1994) dalam Hidayattulah (2003) menyebutkan bahwa investasi pada dasarnya tergantung pada besar kecilnya pemilikan sumberdaya yang dapat dikelola dan faktor lainnya. Secara khusus, investasi sawasta sangat tergantung dari insentif yang diciptakan daerah misalnya penyederhanaan prosedur, izin investasi, keringanan pajak, dan tersedianya infrastruktur. Hidayattulah juga menyebutkan bahwa defisit fiskal yang semakin besar akan mempengaruhi ketersediaan kredit untuk sektor swasta sehingga menyebabkan investasi swasta berkurang Kinerja Fiskal Daerah Penerimaan Fiskal Daerah Sumber-sumber penerimaan fiskal daerah terdiri dari pendapatan asli daerah (PAD), dana bagi hasil pajak dan bukan pajak, transfer dari pemerintah pusat, dan penerimaan lain yang sah berdasarkan undang-undang. PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang berasal dari sumber-sumber daerah itu sendiri. Adapun yang termasuk dalam PAD adalah pajak-pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba dari badan usaha milik daerah, dan jenis pendapatan lainnya yang sah. Sedangkan transfer pusat berupa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan total bagi hasil (BPS, 2003 ; Citraumbara, 2004). Total penerimaan daerah ini menggambarkan ketersediaan fiskal daerah atau Fiscal Available, sedangkan kemampuan fiskal atau kapasitas fiskal (Fiscal Capacity) menggambarkan kemampuan keuangan daerah yang bersumber dari PAD dan total bagi hasil (TBHS).

7 53 Definisi pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogatif pemerintah, pungutan tersebut didasarkan pada undang-undang yang berlaku dan dapat dipaksakan kepada subyek pajak yang tidak ada balas jasa langsung yang dirasakan oleh penggunanya. Contohnya adalah pajak penghasilan, pajak yang diterima pemerintah ini kita tidak tahu apakah akan digunakan untuk membayar gaji pegawai, untuk membayar hutang, atau belanja rutin. Sedangkan Retribusi adalah pungutan pemerintah karena pembayar menerima jasa langsung dari pemerintah, misalnya retribusi parkir, jasa PLN, PAM, dsb (Mangkusubroto,1991). Secara teoritis, besaran pajak merupakan fungsi dari suatu perekonomian. Besaran pajak atau retribusi daerah dirumuskan sebagai. Keterangan : T = f (Y) ; ΔT/ΔY > 0 (7) T Y = pajak atau retribusi daerah = PDRB. Makin beragam aktivitas ekonomi suatu daerah makin banyak objek pajak dan retribusi yang bisa dipungut. Makin tinggi nilai suatu objek pajak makin besar jumlah pajak yang dapat dipungut. Jenis pajak daerah misalnya pajak hotel dan restauran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak listrik, dan lain-lain. Sedangkan retribusi misalnya retribusi pelayanan kesehatan, pengurusan akte, retribusi pasar, dan lain-lain. Jadi baik pajak maupun retribusi dan jenis penerimaan daerah lainnya berkaitan dengan tingkat perekonomian suatu daerah. Bahl (2000) di Cina dan Rao (2000) di India telah melakukan studi regresi linier hubungan antara penerimaan pemerintah daerah dengan pendapatan per

8 54 kapita dan jumlah penduduk yang menggunakan data cross-section menunjukkan hubungan yang signifikan. Selain pajak dan retribusi daerah, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB ) juga merupakan salah satu sumber penerimaan daerah yang penting. Nilai keduanya ditentukan pula oleh aktivitas perekonomian daerah. Pada prinsipnya, PBB dan BPHTB merupakan objek pajak yang terikat dengan lokasi (immobile tax bases) sehingga seharusnya diserahkan kepada pemerintah daerah (Gandhi, 1995). Pemungutan pajak tersebut dilakukan oleh pemerintah daerah selanjutnya dibagihasilkan dengan pemerintah pusat, bagian daerah penghasil ditentukan berdasarkan prosentase tertentu yang dikenal dengan Dana Bagi Hasil Pajak (BPH). Selain pajak, terdapat penerimaan daerah berupa Bagi Hasil Sumber Daya Alam (BHSDA). Besarnya penerimaan dari hasil sumber daya alam ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya alam yang dibagi hasilkan. Pemerintah pusat dapat mengatur sedemikian sehingga penggunaan hasil sumberdaya alam dapat secara merata melalui mekanisme transfer. Hasil penerimaan yang bersumber dari sumberdaya alam merupakan penerimaan pemerintah pusat dan dibagihasilkan dengan persentase (porsi) tertentu. Bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi, kabupaten, dan desa terdiri dari bantuan blok dan bantuan khusus. Bantuan blok, terdiri dari bantuan pengembangan Provinsi (Inpres Dati I), bantuan pengembangan Kabupaten (Inpres Dati II), bantuan pengembangan Desa (Inpres desa), Inpres Desa tertinggal (IDT). Bantuan khusus terdiri enam tipe, yaitu subsidi daerah otonom (SDO) untuk dana rutin, bantuan pengembangan jalan kota

9 55 dan Kabupaten, bantuan sekolah, dan bantuan kesehatan (BPS, 2003 ; Citraumbara, 2004). Sejak tahun 2001, formulasi bantuan pemerintah pusat diubah menjadi DAU dan DAK. DAU dinyatakan sebagai bantuan pemerintah pusat untuk mengatasi kesenjangan fiskal yang terjadi akibat perbedaan potensi daerah. DAU dapat digunakan untuk membiayai baik belanja rutin maupun belanja pembangunan. Jadi DAU berpengaruh pada total penerimaan keuangan daerah. Jumlah alokasi bantuan pemerintah baik dalam bentuk Inpres dan SDO maupun dalam formula baru DAU dan DAK berdasarkan pertimbangan tertentu. Shah (2000), merinci faktor-faktor yang menjadi pertimbangan pemerintah untuk mengalokasikan Inpres dan SDO yaitu jumlah penduduk, jumlah gaji pegawai negeri, kondisi prasarana, jumlah usia sekolah, kebutuhan obat-obatan, desa tertinggal dan penduduk miskin. Sedangkan bentuk bantuan dalam formula baru lebih tegas karena dinyatakan dalam undang-undang. Besaran DAU ini ditentukan oleh pemerintah pusat dengan pertimbangan kebutuhan fiskal daerah (fiscal need) dan kemampun fiskal daerah (fiscal capacity). Kebutuhan fiskal daerah dihitung berdasarkan indikator seperti indeks jumlah penduduk, luas daerah, indeks harga bangunan, dan indeks kemiskinan. Sedangkan kemampuan atau potensi fiskal daerah dihitung berdasarkan indeks industri, indeks sumberdaya alam, dan indeks sumberdaya manusia (SETNEG, 1999 ; BPS, 2003 ; Citraumbara, 2004). Secara empirik Hirawan (1993) menguji keterkaitan antara Inpres dengan variabel seperti jumlah penduduk, luas wilayah, PDRB per kapita, dan PAD per kapita. Dari variabel-variabel tersebut, jumlah penduduk memiliki pengaruh yang

10 nyata (signifikan). Sedangkan variabel PDRB per kapita dan PAD per kapita memiliki korelasi negatif tetapi keduanya tidak signifikan Pengeluaran Fiskal Daerah Pengeluaran fiskal daerah menggambarkan besarnya kebutuhan fiskal daerah (Fiscal need) untuk membiayai seluruh kebutuhan daerahnya baik kebutuhan rutin maupun pembangunan. Selisih antara kapasitas fiskal daerah (fiscal capacity) dan kebutuhan fiskal (fiscal need) menunjukkan besarnya kesenjangan fiskal daerah (Fiscal Gap), semakin besar nilai negatif dari kesenjangan fiskal menunjukkan kesenjangan fiskal daerah yang semakin senjang. Dalam teori ekonomi, pengeluaran pemerintah atau goverment expenditure (G) merupakan semua pembelian barang dan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Variabel G adalah variabel eksogen di mana besaran nilainya tergantung pada strategi yang dianut pemerintah daerah dalam menjalankan kebijakan fiskalnya. Jenis pengeluaran pemerintah terdiri dari pengeluaran rutin, pengeluaran pembanganan, dan tabungan pemerintah. Pengeluaran pemerintah rutin terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, dan subsidi yang semuanya berdampak langsung terhadap perekonomian. Peningkatan pengeluaran rutin akan meningkatkan pendapatan pegawai, selanjutnya berdampak pada permintaan agregat dan akhirnya meningkatkan output total secara nasional (Sukirno, 2000). Di sisi pengeluran daerah, struktur pengeluaran daerah dikelompokkan ke dalam pengeluaran untuk belanja rutin dan pengeluaran untuk belanja pembangunan. Belanja rutin merupakan pengeluaran untuk membiayai kegiatan pemerintah daerah yang bersifat administrasi dan pelayanan pemerintah umum.

11 57 Belanja pembangunan merupakan pengeluaran untuk membiayai kegiatan pembangunan. Besar dan kecilnya belanja rutin ataupun belanja pembangunan dalam periode tertentu tergantung banyak faktor, yang penting di antaranya adalah jumlah pajak yang akan diterima, tujuan-tujuan kegiatan ekonomi jangka pendek, dan pertimbangan politik dan keamanan (BPS, 2003 ; Citraumbara, 2004; Sukirno, 1994). Berbagai kajian merumuskan bahwa besarnya belanja rutin tergantung dari jumlah penduduk, total pengeluaran pemerintah, jumlah pendapatan. Sedangkan belanja pembangunan terutama tergantung pada jumlah penerimaan pemerintah (Azis, 1984 ; Hanani, 2000; Brodjonegoro, 2000). Hanani (2000) mengidentifikasi bahwa besaran belanja rutin pemerintah tergantung pada jumlah penduduk dan total pengeluaran pemerintah, dan belanja pembangunan yang dinyatakan sebagai sisa dari pengeluaran untuk belanja rutin termasuk untuk cicilan hutang pemerintah. Sedangkan Brodjonegoro (2000) menyatakan bahwa pengeluaran rutin dipengaruhi oleh produksi (PDRB) dan pengeluran rutin tahun sebelumnya, dan pengeluaran untuk pembangunan dinyatakan sebagai fungsi dari total penerimaan daerah Kinerja Perekonomian Daerah Para ahli perekonomian menyebutkan bahwa indikator prekonomian suatu daerah ditunjukkan oleh instrumen-instrumen pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja yang menggambarkan jumlah penggangguran (unemployment), tingkat harga (inflasi), dan pendapatan perkapita yang menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat.

12 Pertumbuhan Ekonomi Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi dari pada yang dicapai tahun sebelumnya. Tolok ukur keberhasilan ekonomi dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi, semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar daerah, dan antar sektor (Kuncoro,2004 dalam Adi, 2005). Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai peningkatan kemampuan dari suatu perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi lebih menunjuk pada perubahan yang bersifat kuantitatif dan biasanya diukur menggunakan data Produk Domestik Bruto (PDB) maupun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pertumbuhan ekonomi juga sering diartikan sebagai proses kenaikan output per kapita. Untuk mengetahui apakah suatu perekonomian mengalami pertumbuhan, perlulah ditentukan perubahan yang sebanarnya berlaku dalam kegiatan ekonomi dari tahun ke tahun. Oleh karena itu perlu dihitung pendapatan nasional menurut harga tetap/pendapatan nasional riil dengan cara mendeflasikan pendapatan nasional menurut harga berlaku, atau menilai kembali berdasarkan harga pada tahun dasar perbandingan (base year). Menggunakan indeks harga konsumen (IHKU), pendapatan nasional riil dapat ditentukan menggunakan formula : (Sukirno, 1985). PDRBt PDRBRt = *100 (8) IHKUt Keterangan : PDRBRt : pendapatan daerah riil pada tahun t PDRBt : pendapatan daerah menurut harga yang berlaku pada tahun t IHKUt : indeks harga konsumen pada tahun t sebagai tahun dasar.

13 59 Pada studi ini Persamaan (8) digunakan tidak hanya untuk menghitung pendapatan daerah tetapi digunakan juga untuk variabel keuangan lainnya. Dengan penggunaan indikator PDB, PDRB dan pendapatan per kapita, dapat dikembangkan empat tipologi daerah untuk mengetahui pola dan struktur pertumbuhan ekonomi suatu daerah, yaitu: 1. Daerah cepat maju dan tumbuh adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata Kabupaten dan Kota. 2. Daerah maju dan tertekan adalah daerah yang memiliki tingkat pendapatan perkapita lebih tinggi, namun pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibanding rata-rata Kabupaten dan Kota. 3. Daerah berkembang cepat adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, namun tingkat pendapatan perkapitanya masih lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten dan kota. 4. Daerah relatif tertinggal adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan rata-rata pendapatan perkapita lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten dan kota. Lin and Liu (2000) dalam Adi (2005) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat terjadi melalui dua cara, yaitu: pertama dengan menaikkan investasi modal, dan kedua melakukan efisiensi terhadap sumber daya yang dimiliki. Paparan ini menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal mempunyai peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Beberapa alasan yang mendasari adalah sebagai berikut: (1) pemerintah daerah mempunyai kewenangan lebih besar berinvestasi dan membelanjakan lebih banyak untuk

14 60 berbagai sektor produktif; (2) pemerintah daerah mampu menyediakan barangbarang publik dan jasa yang dibutuhkan. Bagaimana pun pemerintah lokal tetap akan lebih sensitif terhadap kondisi ekonomi lokal. Pemberian kewenangan (otonomi) yang lebih besar, membuat pemda lebih leluasa melakukan alokasi yang efisien pada berbagai potensi lokal sesuai dengan kebutuhan publik (Lin and Liu 2000; Mardiasmo 2002; Wong 2004 dalam Adi, 2005). Hal ini pada gilirannya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan pendapatan per kapita; (3) Adanya pemberdayaan dan penciptaan ruang pada publik untuk berpartisipasi dalam pembangunan (Mardiasmo, 2002 dalam Adi, 2005). Bohte and Maier (2000), dalam Adi (2005) menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan lebih tinggi ternyata terjadi pada pemerintahan yang terdesentralisasi. Dengan menggunakan data lag 1 dan lag 2 (data sebelum), Lin and Liu (2000) membuktikan bahwa desentralisasi fiskal memberikan dampak yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Oases (1995) menemukan hal yang sama, desentralisasi fiskal mempunyai hubungan yang positif dan signifikan dengan pertumbuhan ekonomi per kapita. Data PDB atau PDRB digunakan oleh para ekonom untuk mengukur pertumbuhan ekonomi suatu negara atau daerah. Perbedaan pokok antara analisis pertumbuhan ekonomi nasional dan pertumbuhan ekonomi daerah adalah pada perpindahan faktor / factor movements (Ricardson, 2001). Untuk analisis nasional dapat diasumsikan perekonomian tertutup, namun asumsi ini tidak dapat diterapkan pada daerah karena kemungkinan masuk keluarnya tenaga kerja arus perpindahan modal dan tenaga kerja antar daerah sangat terbuka. Ini disebut analisis dinamika di mana kemungkinan terjadinya pertumbuhan ekonomi daerah

15 61 dapat lebih tinggi dari nasional, atau sebaliknya menyebabkan pertumbuhan ekonomi daerah jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi dapat dihitung berdasarkan nilai absolut ataupun nilai relatif dalam prosentase (Tambunan, 2001). Dalam bentuk prosentase dirumuskan sebagai berikut : Keterangan : PDRBt PDRBt-1 Δ PDRB t = *100% (9) PDRB t-1 PDRB t PDRB t = total output daerah pada tahun t = pertumbuhan ekonomi pada tahun t dalam nilai absolut t-1 = tahun sebelumnya Pertumbuhan Ekonomi yang tinggi dan prosesnya yang berkelanjutan merupakan kondisi utama bagi pembangunan ekonomi. Kebutuhan ekonomi yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk mengindikasikan penambahan pendapatan setiap tahunnya yang tercermin dari peningkatan output agregat atau barang dan jasa serta produk domestik regional bruto (PDRB) di daerah. Menurut Romer (1996) dalam jangka panjang, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh ketersediaan dan kualitas dari faktor-faktor produksi seperti sumber daya manusia, kapital, teknologi, bahan baku, enterpreneurship, dan energi. Sedangkan dalam jangka pendek, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal misalnya perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi kawasan atau dunia. Faktor internal terbagi dua yaitu faktor ekonomi dan non ekonomi, seperti kondisi politik, sosial, dan keamanan. Kondisi politik dan sosial yang tidak stabil merupakan faktor yang mempertinggi

16 62 country risk dan akan menyebabkan terhalangnya investasi. Investasi yang tidak tumbuh dalam suatu daerah menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah tidak meningkat, karena investasi merupakan sumber utama pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi dapat bersumber dari sisi Permintaan Agregat (AD) dan Panawaran Agregat (AS). Keseimbangan permintaan dan penawaran agregat merupakan keseimbangan ekonomi yang menghasilkan sejumlah output agregat dan tingkat harga tertentu yang selanjutnya akan merupakan pendapatan nasional atau pendapatan daerah (Mankiw, 2000) Penyerapan Tenaga Kerja Penyerapan tenaga kerja atau kesempatan kerja atau permintaan tenaga kerja diartikan sebagai banyaknya orang yang bekerja pada berbagai sektor perekonomian, seperti sektor pertanian, pertambangan, industri, kehutanan, jasa, dan sektor sektor lain. Permintaan tenaga kerja ini merupakan permintaan turunan (derived demand) yang berarti bahwa permintaan tenaga kerja oleh suatu perusahaan tergantung pada permintaan konsumen akan produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Peningkatan permintaan tenaga kerja tergantung pada penerimaan yang diperoleh perusahaan dari penjualan output yang dihasilkan oleh tenaga kerja tersebut (Bellante, 1990). Kurva tenaga kerja menunjukkan kecondongan garis yang menurun, ini dapat diartikan bahwa suatu perusahaan yang menghendaki keuntungan maksimal dapat memilih jumlah tenaga kerja yang optimal untuk digunakan. Jumlah optimal ini menjadikan nilai produk fisik marjinal tenaga kerja (MPL) sama dengan upah yang merupakan biaya marginal bagi satu unit tenaga kerja. Oleh karena itu

17 63 perusahaan akan menyesuaikan jumlah tenaga kerja yang digunakan dengan biaya (upah) tenaga kerja. Apabila upah meningkat, perusahaan akan mengurangi jumlah tenaga kerja (Branson, 1979). W UE S L W 1 W 0 A D L O PHK L 0 L 1 L 2 L Gambar 3. Hubungan Permintaan Tenaga Kerja dan Pengangguran pada Pasar Tenaga kerja Keterangan : D L = permintaan tenaga kerja (0 N1) S L = penawaran tenaga kerja / jumlah angkatan kerja (0 N2) N = jumlah tenaga kerja L 0 = permintaan tenaga kerja awal L 1 = permintaan tenaga kerja setelah upah naik L 2 = tenaga kerja yang tidak mendapat kesempatan kerja/ nganggur ( UE = S L D L ) L 0 -L 1 = jumlah PHK L 1 - L 2 = jumlah pengangguran W = upah riil tenaga kerja W 0 = upah awal = upah setelah naik W 1

18 64 Hubungan antara penyerapan tenaga kerja dan pengangguran dapat dijelaskan melalui keseimbangan pasar tenaga kerja pada Gambar 3. Kondisi keseimbangan pasar tenaga kerja terjadi pada tingkat upah W 0 dan jumlah tenaga kerja sebesar L 0 pada titik A. Kondisi keseimbangan akan bergeser bila terjadi pergeseran antara jumlah tenaga kerja yang diminta (D L ) dan jumlah yang ditawarkan (S L ) akibat berubahnya tingkat upah ataupun kebutuhan perusahaan Pendapatan per Kapita Produk Domestik Regioanl Bruto (PDRB) per kapita dapat digunakan sebagai proxy pendapatan per kapita yang mencerminkan tingkat kesejahteraan penduduk. PDRB per kapita dapat dirumuskan sebagai (Suparmoko, 1999) PDRBK = PDRB/POPP, Δ PDRBK / Δ POPP < 0 (10) Keterangan: PDRBK PDRB POPP = rata-rata pendapatan per kapita = total pendapatan daerah = jumlah penduduk Walaupun PDRB rata-rata merupakan alat ukur yang lebih baik tetapi belum mencerminkan kesejahteraan penduduk secara tepat karena PDRB rata-rata tidak mencerminkan kesejahteraan ekonomi yang sungguh-sungguh dirasakan masyarakat, bisa terjadi PDRBK tinggi tetapi ada sekelompok penduduk yang tidak menerima pendapatan itu. Oleh karena itu perlu juga diperhatikan distribusi pendapatan. Pada studi ini distribusi pendapatan dihitung dengan koefisien variasi dari PDRBK yaitu rasio antara standart deviasi dengan rata-rata PDRBK

19 65 Keterangan : CV = s/x (11) CV s X : koefisien variasi dari PDRBK : standar deviasi : rata-rata PDRBK Inflasi Inflasi merupakan masalah yang selalu dihadapi setiap perekonomian dan merupakan salah satu indikator yang umum digunakan untuk mengetahui keadaan perekonomian suatu negara atau daerah. Secara teoritis inflasi terjadi jika hargaharga produksi meningkat secara terus menerus akibat jumlah penawaran mata uang lebih tinggi dari jumlah barang yang diproduksi, atau penurunan mata uang yang terus menerus. Ukuran tingkat harga yang paling banyak digunakan adalah indeks harga konsumen (IHK) atau consumer price index (CPI), dimana IHK ini mengubah berbagai barang dan jasa menjadi sebuah indeks tunggal yang mengukur seluruh tingkat harga (Mankiw, 2000). P P t IHK = (12) dasar IHKt IHKt 1 π = *100% (13) IHK t 1 Keteragan : IHK = indeks harga konsumen P = harga tahun berjalan P dasar π = harga pada tahun dasar = tingkat inflasi t, t-1 = tahun yang sedang berjalan, dan tahun sebelumnya

20 Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Perekonomian Daerah Beberapa pustaka terdahulu menguraikan terdapat pengaruh yang signifikan antara kebijakan pemerintah terhadap kinerja perekonomian daerah. Campur tangan pemerintah pada umumnya dilakukan untuk mencapai sasaran secara nasional yaitu pertumbuhan ekonomi, tingkat penggangguran, inflasi, dan stabilitas. Secara umum, instrumen kebijakan pemerintah untuk mempengaruhi perekonomian daerah dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu instrumen moneter dan instrumen fiskal. Instrumen kebijakan moneter bekerja melalui pasar uang yang dikendalikan oleh bank sentral (Bank Indonesia) dengan penetapan tingkat suku bunga (SBI) dan pengendalian jumlah uang beredar. Perubahan pada pasar uang terjadi melalui mekanisme transmisi ke investasi yang selanjutnya akan mempengaruhi kinerja sektor riil. Sedangkan Instrumen kebijakan fiskal dapat dilakukan melalui belanja pemerintah (G) dan pajak (T). Kedua instrumen ini secara langsung akan berpengaruh pada sektor riil, yaitu penawaran agregat (AS). Sejalan dengan topik studi ini, maka yang dibahas lebih lanjut adalah campur tangan pemerintah melalui instrumen fiskal yaitu pengeluaran pemerintah (G) dan Pajak (T). Kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah (G) berpengaruh positif terhadap total produksi daerah dan permintaan agregat yang selanjutnya berpengaruh pada pendapatan nasional, sementara kebijakan peningkatan pajak (T) berpengaruh negatif terhadap investasi dan pendapatan nasional (Budiono, 1982).

21 67 Apabila terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah (G) atau terjadi ekspansi fiskal melalui instrumen G, maka akan berdampak positif terhadap perekonomian melalui sisi Permintaan Agregat (AD) maupun sisi Produksi atau Penawaran Agregat (AS). Diasumsikan bahwa peningkatan G digunakan untuk membiayai program sektoral maka akan meningkatkan produksi sektoral dan secara total akan meningkatkan produksi (output =Y) total atau PDRBS (Gambar 4). Keseimbangan awal terjadi pada kondisi : Y 0, r 0, P 0, W 0, dan L 0. Diasumsikan terjadi peningkatan G untuk program Pertanian dan Infrastruktur, maka produksi akan meningkat dari Y 0 ke Y 1 yang menyebabkan pergeseran kurva AS 0 ke AS 1 yang menyebabkan harga turun dari P 0 ke P 1. Turunnya harga menyebabkan permintaan barang meningkat sehingga AD bergeser dari AD 0 ke AD 1 dan berdampak pada naiknya harga sampai menuju keseimbangan P*. Pada pasar barang, meningkatnya AD menggeser kurva IS dari IS 0 ke IS 1 yang menyebabkan naiknya suku bunga dari r 0 ke r 1. Peningkatan suku bunga menyebabkan investasi turun sehingga Y turun dari Y 1 ke Y* (Crowding out effect). Pada pasar tenaga kerja, meningkatnya Y akan menambah jumlah tenaga kerja dari L 0 ke L 1. Jadi dampak peningkatan G terhadap perekonomian meningkatkan Y total (PDRBS), Pertumbuhan Ekonomi yang berdampak juga pada peningkatan PDRB per kapita, meningkatkan kesempatan kerja atau mengurangi jumlah penggangguran, sehingga keseimbangan akhir pada kondisi : Y*, r*, P*, W*, dan L*

22 68 r LM r 1 r 0 IS1 IS0 Y P Y 0 AD 1 Y* AS 0 AD 0 AS 1 P 0 = P* P 1 Y 0 Y* Y Y1 Y 1 Y 0 Y 0 0 L W L 0 L 1 S L W 1 W 0 DL 1 DL 0 L L 0 L* Gambar 4. Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Perekonomian

23 69 Keterangan : r Y P W L : tingkat suku bunga : produksi atau output = PDRBS : tingkat harga : harga tenaga kerja atau upah tenaga kerja : jumlah tenaga kerja 3.5. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian daerah secara ringkas dapat dijelaskan dalam Gambar 5 yang menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memberikan kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dana perimbangan maupun memobilisasi potensi sumberdaya dan mengatur pembangunan ekonomi daerahnya. Dalam hal pengaturan perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah, pemerintah daerah leluasa menentukan komposisi besaran dana bagi hasil dan transfer sehingga mempengaruhi besarnya DAU. Dalam hal kewenangan memobilisasi sumberdaya akan berpengaruh pada besarnya penerimaan PAD, di samping itu pemerintah daerah juga leluasa dalam menentukan komposisi pengeluaran rutin dan pembangunan berdasarkan prioritas pembangunan. Di sisi pengeluaran, besarnya penerimaan daerah (PAD dan DAU) akan mempengaruhi besarnya belanja pemerintah daerah, baik yang dialokasikan kepada pembiayaan rutin maupun pembangunan yang nantinya akan mempengaruhi kinerja perekonomian daerah yang merupakan gabungan dari kinerja sektoral. Dengan demikian alokasi anggaran sektoral akan mempengaruhi PDRB sektoral dan penyerapan tenaga kerja.

24 70 Kebijakan Desentralisasi Fiskal Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Kewenangan memobilisasi sumberdaya dan mengatur pembangunan ekonomi daerah Keleluasaan Mengalokasikan Dana Perubahan komposisi & Besaran Bagi Hasil + Transfer (DAU,DAK) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Prioritas Pembangunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten (APBD) Belanja /Pengeluaran Pemerintah: : 1. Pengeluaran Rutin 2. Pengeluaran Pembangunan Kinerja Perekonomian Daerah PDRB Sektor Pertanian PDRB Sektor Industri PDRB Sektor Pertambangan PDRB Sektor Pariwisata PDRB Sektor Jasa Investasi Tingkat Kesempatan Kerja Pendapatan Disposibel PDRB per Kapita Pertumbuhan Ekonomi Distribusi Pendapatan Gambar 5. Kerangka Konseptual Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Kabupaten dan Kota di Provinsi Bengkulu

25 71 Perubahan kebijakan fiskal yang lebih desentralistik diharapkan memberikan pengaruh positif terhadap perekonomian daerah. Pada sektor pertanian, kebijakan dan arah pembangunan sektor pertanian lebih banyak ditentukan oleh daerah sehingga menimbulkan peluang pengembangan komoditas sesuai dengan potensi dan daya saing wilayah yang akhirnya mampu meningkatkan pendapatan petani dan pengentasan kemiskinan (Gany, 2000). Richardson (2001) menyebutkan bahwa dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian dapat dikaji sebagaimana dampak kebijakan fiskal terhadap perekonomian nasional, yaitu dari sisi permintaan dan penawaran. Pada sisi penawaran atau sisi produksi, desentralisasi fiskal diasumsikan akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui dua cara yaitu : (1) meningkatkan investasi modal di level daerah yang akan meningkatkan stok modal sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, dan (2) peningkatan efisiensi alokasi sumberdaya. Dengan demikian pemerintah daerah dapat meningkatkan total output melalui alokasi sumberdaya lebih banyak atau merealokasi sumberdaya dari sektor (area) yang produktivitasnya rendah ke sektor (area) yang produktivitasnya tinggi (Lin and Liu, 2000). Pengaruh besaran dana yang dikelola dan keleluasaan tersebut merupakan faktor dari derajat desentralisasi fiskal suatu daerah. Makin tinggi penerimaan fiskal yang bebas pengalokasiannya makin tinggi derajat desentralisasi fiskal yang dimiliki daerah yang diharapkan makin optimal pengalokasiannya. Demikian pula makin tinggi penerimaan fiskal diharapkan makin tepat pilihan infrastruktur sehingga makin tinggi insentif investasi yang diciptakan. Namun demikian, keleluasaan dari sisi penerimaan terutama upaya peningkatan pajak dan retribusi justru bisa berpengaruh negatif terhadap investasi (Vaillancourt, 2000).

26 72 Aspek desentralisasi fiskal yang lainnya adalah aspek pemerataan pendapatan antar daerah. Sejalan dengan pengaruh fiskal terhadap efisiensi yang positif tehadap laju pertumbuhan ekonomi, bahwa adanya ketidakseimbangan kapasitas fiskal antar daerah akan berimplikasi terhadap pemerataan pendapatan per kapita antar daerah pula. Perlu dicatat, bahwa alasan pemerataan merupakan salah satu faktor pendorong desentralisasi fiskal. Adanya perbedaan antar daerah mengenai potensi sumberdaya alam dan potensi penerimaan pajak yang dibagihasilkan serta perbedaan potensi pendapatan asli daerah justru mendorong kesenjangan antar daerah dengan adanya perubahan-perubahan dalam struktur bagi hasil dan keleluasaan memobilisasi sumberdaya lokal (Bird, 2000).

BAB II KAJIAN PUSTAKA. materi tersebut disampaikan secara berurutan, sebagai berikut.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. materi tersebut disampaikan secara berurutan, sebagai berikut. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Dalam bab landasan teori ini di bahas tentang teori Produk Domestik Regional Bruto, PDRB per kapita, pengeluaran pemerintah dan inflasi. Penyajian materi tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

III. KERANGKA TEORITIS

III. KERANGKA TEORITIS III. KERANGKA TEORITIS 3.1. Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter Kebijakan fiskal mempengaruhi perekonomian (pendapatan dan suku bunga) melalui permintaan agregat pada pasar barang, sedangkan kebijakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah dan APBD Menurut Mamesah (1995), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Ekonomi, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum. Kemudian, akan menjabarkan penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Pengertian Pendapatan Asli Daerah Menurut Darise ( 2007 : 43 ), Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) adalah pendapatan yang diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi berkelanjutan. Seluruh negara

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 75 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD, dan lain-lain

Lebih terperinci

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini. Hal yang dibahas pada bab ini adalah: (1) keterkaitan penerimaan daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

V. PEMBAHASAN. perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk V. PEMBAHASAN 5.1. Kinerja Ekonomi Daerah Kota Magelang Adanya penerapan desentralisasi fiskal diharapkan dapat mendorong perekonomian daerah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Guna menunjukkan alokasi sumber daya manusia, material, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Guna menunjukkan alokasi sumber daya manusia, material, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna menunjukkan alokasi sumber daya manusia, material, dan sumber daya lainnya secara sistematis dan akuntabel diperlukan suatu rencana keuangan yang andal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Di dalam pembangunan ekonomi terutama pembangunan di daerah, peranan yang sangat penting dari keuangan daerah adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LANDASAN TEORITIS 2.1.1 Alokasi Anggaran Belanja Modal Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap berwujud yang memberi manfaaat lebih dari satu tahun

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Definisi Pendapatan Pendapatan merupakan jumlah dari seluruh uang yang diterima seorang atau rumah tangga selama jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (revisi dari UU no

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yag pesat merupakan feneomena penting yang

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yag pesat merupakan feneomena penting yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yag pesat merupakan feneomena penting yang dialami dunia hanya semenjak dua abad

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Teori yang dibahas dalam bab ini terdiri dari pengertian pembangunan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah berlaku di Indonesia berdasarkan UU 22/1999 (direvisi Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas antara fungsi

Lebih terperinci

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN 5.1. Hasil Estimasi Model Ekonometrika Setelah dilakukan respesifikasi-respesifikasi terhadap model desentralisasi fiskal Provinsi Riau, diperoleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber pendapatan daerah. DAU dialokasikan berdasarkan presentase tertentu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber pendapatan daerah. DAU dialokasikan berdasarkan presentase tertentu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Umum Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan, DAU adalah salah satu dana perimbangan yang menjadi bagian dari sumber pendapatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tujuan negara adalah pemerataan pembangunan ekonomi. Dalam mencapai tujuannya, pemerintah negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Keuangan Daerah dan APBD Menurut Mamesah (1995 : 16), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kemandirian Keuangan Daerah 2.1.1.1 Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 bahwa kemandirian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah pasal 1 angka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Faktor keuangan merupakan faktor yang paling dominan dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Keadaan keuangan daerah yang menentukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan teori 2.1.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1.1 Pengertian APBD Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya peningkatan kapasitas pemerintahan daerah agar tercipta suatu

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 9902008.3373 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KOTA SALATIGA TAHUN 2011 KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas terbitnya publikasi Produk Domestik Regional Bruto Kota Salatiga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pokok penelitian. Teori yang dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pokok penelitian. Teori yang dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan, BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar pokok penelitian. Teori yang dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, inflasi, pengangguran,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan

I. PENDAHULUAN. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan melakukan perubahan kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang telah merasakan dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah menyebabkan pemerintah daerah

Lebih terperinci

VII. SIMPULAN DAN SARAN

VII. SIMPULAN DAN SARAN VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum dalam perekonomian Indonesia terdapat ketidakseimbangan internal berupa gap yang negatif (defisit) di sektor swasta dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Sjafrizal (2008) menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

Pengantar Makro Ekonomi. Pengantar Ilmu Ekonomi

Pengantar Makro Ekonomi. Pengantar Ilmu Ekonomi Pengantar Makro Ekonomi Pengantar Ilmu Ekonomi Makroekonomi Mengkhususkan mempelajari mekanisme bekerjanya perekonomian secara keseluruhan Bertujuan memahami peristiwa ekonomi dan memperbaiki kebijakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keuangan lembaga publik, diantaranya : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keuangan lembaga publik, diantaranya : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian pernah dilakukan untuk menganalisis pengaruh keuangan lembaga publik, diantaranya : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No Judul Peneliti

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan untuk negara yang sedang berkembang digunakan istilah pembangunan

II. TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan untuk negara yang sedang berkembang digunakan istilah pembangunan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Ekonomi Menurut beberapa pakar ekonomi pembangunan, pertumbuhan ekonomi merupakan istilah bagi negara yang telah maju untuk menyebut keberhasilannya, sedangkan untuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 10 BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Otonomi Daerah Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia tumbuh semakin pesat seiring dengan adanya otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERADAAN TRADEOFF INFLASI DAN PENGANGGURAN (KURVA PHILLIPS) DI INDONESIA

ANALISIS KEBERADAAN TRADEOFF INFLASI DAN PENGANGGURAN (KURVA PHILLIPS) DI INDONESIA ANALISIS KEBERADAAN TRADEOFF INFLASI DAN PENGANGGURAN (KURVA PHILLIPS) DI INDONESIA Abstract Inflasi dan pengangguran adalah masalah pelik yang selalu dihadapi oleh Negara Indonesia terkait belum berkualitasnya

Lebih terperinci

INDIKATOR MAKROEKONOMI KABUPATEN PAKPAK BHARAT

INDIKATOR MAKROEKONOMI KABUPATEN PAKPAK BHARAT L A P O R A N K A J I A N INDIKATOR MAKROEKONOMI KABUPATEN PAKPAK BHARAT K E R J A S A M A P R O D I P E R E N C A N A A N W I L A Y A H S E K O L A H P A S C A S A R A J A N A U N I V E R S I T A S S

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak sekedar memenuhi kebutuhan hayati saja, namun juga menyangkut kebutuhan lainnya seperti

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. karena sebagian orang tua lebih memilih untuk mempekerjakan anaknya dari pada

BAB 1 PENDAHULUAN. karena sebagian orang tua lebih memilih untuk mempekerjakan anaknya dari pada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang yang masih memiliki masalah pengangguran dan kemiskinan. Telah banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah indeks pencapaian kemampuan dasar pembangunan manusia yang dibangun melalui pendekatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2. untuk mencapai tingkat kestabilan harga secara mantap. 3. untuk mengatasi masalah pengangguran.

BAB I PENDAHULUAN. 2. untuk mencapai tingkat kestabilan harga secara mantap. 3. untuk mengatasi masalah pengangguran. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan jangka panjang yang dilaksanakan di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan mengacu pada Trilogi Pembangunan (Rochmat Soemitro,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kependudukan dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kependudukan dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kependudukan dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang sangat erat, jumlah penduduk menentukan efisiensi perekonomian dan kualitas dari tenaga kerja itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program pencapaian pembangunan. Dalam skala internasional dikenal tujuan pembangunan milenium (Millenium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang relatif baru bagi perekonomian Indonesia. perekonomian suatu Negara. Pertumbuhan ekonomi juga diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia dewasa ini ditandai dengan semakin terintegrasinya perekonomian antar negara. Indonesia mengikuti perkembangan tersebut melalui serangkaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 4.1. Pendapatan Daerah 4.1.1. Pendapatan Asli Daerah Sejak tahun 2011 terdapat beberapa anggaran yang masuk dalam komponen Pendapatan Asli Daerah yaitu Dana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah dibutuhkannya investasi. Investasi merupakan salah satu pendorong untuk mendapatkan pendapatan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara, terutama untuk negara-negara yang sedang berkembang. Peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 1. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (sehingga dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur masuk dan keluarnya perusahaan dari sebuah indutri, standar mutu

BAB I PENDAHULUAN. mengatur masuk dan keluarnya perusahaan dari sebuah indutri, standar mutu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu Negara, pemerintah mempunyai berbagai kekuasaan untuk mengatur masuk dan keluarnya perusahaan dari sebuah indutri, standar mutu produk, menetapkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1, tenaga kerja adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1, tenaga kerja adalah 7 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Pengertian Tenaga Kerja Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1, tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan baik di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih

BAB I PENDAHULUAN. lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dimensi masalah ketenagakerjaan bukan hanya sekedar keterbatasan lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih serius dengan penyebab

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Ketenagakerjaan Penduduk suatu negara dapat dibagi menjadi dua yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Tenaga kerja adalah penduduk yang berusia kerja

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan daerah adalah komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan dan melancarkan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Gambaran pengelolaan keuangan daerah mencakup gambaran kinerja dan pengelolaan keuangan daerah tahuntahun sebelumnya (20102015), serta kerangka pendanaan. Gambaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Cita-cita mulia tersebut dapat diwujudkan melalui pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengertian PAD dan penjabaran elemen-elemen yang terdapat dalam PAD.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengertian PAD dan penjabaran elemen-elemen yang terdapat dalam PAD. 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dijelaskan teori-teori yang berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), variabel-variabel yang diteliti serta penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Arsyad (1999) dalam Setiyawati (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Arsyad (1999) dalam Setiyawati (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi Secara umum pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi uang, dimana daya beli yang ada dalam uang dengan berjalannya waktu

TINJAUAN PUSTAKA. ekonomi uang, dimana daya beli yang ada dalam uang dengan berjalannya waktu 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Inflasi Inflasi merupakan salah satu resiko yang pasti dihadapi oleh manusia yang hidup dalam ekonomi uang, dimana daya beli yang ada dalam uang dengan berjalannya waktu mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi Indonesia sangat tergantung pada pembangunan ekonomi daerah. Pembangunan daerah dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan sesuai prioritas dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi melalui produktivitas yang tinggi, dan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu negara diukur dari perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai suatu negara/daerah ini terkandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Problema kemiskinan terus menjadi masalah besar sepanjang sejarah sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Problema kemiskinan terus menjadi masalah besar sepanjang sejarah sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Problema kemiskinan terus menjadi masalah besar sepanjang sejarah sebuah negara. Dalam sebuah Negara, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah BADAN PUSAT STATISTIK Kabupaten Bandung Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Soreang, 1 Oktober 2015 Ir. R. Basworo Wahyu Utomo Kepala BPS Kabupaten Bandung Data adalah informasi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. ekonomi sendiri berasal dari kata Yunani οἶκος (oikos) yang berarti keluarga,

BAB II LANDASAN TEORI. ekonomi sendiri berasal dari kata Yunani οἶκος (oikos) yang berarti keluarga, 6 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Ekonomi dan Pertumnbuhan Ekonomi Sebuah Ekonomi adalah sistem aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi barang dan jasa. Kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdapat juga transfer, seperti tunjangan sosial yang merupakan bantuan

BAB I PENDAHULUAN. terdapat juga transfer, seperti tunjangan sosial yang merupakan bantuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dilakukan pemerintah berkaitan dengan penerimaan (pendapatan) dan pengeluaran (belanja) uang oleh pemerintah yang dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Moneter Kebijakan moneter merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Sentral dari suatu Negara. Pada dasarnya kebijakan ini bertujuan untuk mengendalikan perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebuah negara tidak akan pernah bisa lepas dari berbagai permasalahan yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang memiliki

Lebih terperinci

Pengantar Ekonomi Makro. Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM

Pengantar Ekonomi Makro. Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM Pengantar Ekonomi Makro Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM Pengertian Ilmu Ekonomi Adalah studi mengenai cara-cara yang ditempuh oleh masyarakat untuk menggunakan sumber daya yang langka guna memproduksi komoditas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

Pengantar Ekonomi Makro. Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM

Pengantar Ekonomi Makro. Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM Pengantar Ekonomi Makro Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM Materi Perkuliahan: 1. Ruang Lingkup Analisis Makroekonomi (Konsep dasar ekonomi makro) 2. Aliran kegiatan perekonomian (aliran sirkular atau circular

Lebih terperinci