BAB III TINJAUAN ATAS PERJANJIAN ANTARA INDONESIA DENGAN SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH KEDUA NEGARA DI SELAT SINGAPURA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III TINJAUAN ATAS PERJANJIAN ANTARA INDONESIA DENGAN SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH KEDUA NEGARA DI SELAT SINGAPURA"

Transkripsi

1 BAB III TINJAUAN ATAS PERJANJIAN ANTARA INDONESIA DENGAN SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH KEDUA NEGARA DI SELAT SINGAPURA E. Sejarah dan Perkembangan Penetapan Batas Wilayah Indonesia dengan Singapura Indonesia dan Singapura telah memiliki hubungan yang baik dalam ikatan sejarah yang panjang. Perbatasan wilayah antara Indonesia dengan Singapura adalah perbatasan laut, yaitu terletak di Selat Singapura. 1. Gambaran Umum Selat Singapura Selat Singapura merupakan salah satu selat tersibuk di kawasan Asia Tenggara dan bahkan di Asia Timur. Selat ini menjadi jalur laut internasional bagi kapalkapal dari arah Selat Malaka, yang menuju Cina atau wilayah-wilayah di Asia Tenggara lain seperti Vietnam, Thailand, Kamboja, Filipina, Brunei Darussalam dan wilayah lain di Asia Timur. Selat Singapura secara langsung juga membatasi wilayah Indonesia (Kepulauan Riau) dengan wilayah Singapura 64. Selat Singapura selain ramai dilayari, juga ramai dengan masalah. Terutama oleh masalah yang berkaitan dengan perbatasan. Hal ini dikarenakan wilayah Selat Singapura yang strategis untuk perdagangan. Sehingga negara-negara yang secara 64 Marinda Yustia Nurfani, Satu Selat Dua Negara: Mencegah Potensi Konflik Perbatasan RI- Singapura, diakses tanggal 20 April 2016.

2 langsung berbatasan di Selat Singapura pasti akan saling mempertahankan klaim atas wilayah laut di Selat Singapura. 2. Gambaran Umum Singapura Singapura adalah negara pulau kecil yang terletak di ujung selatan Semenanjung Melayu di Asia Tenggara. Negara ini terdiri atas pulau utama dan sejumlah pulaupulau kecil. Di selatan pulau utama Singapura adalah Selat Singapura, yang memisahkan Singapura dari Kepulauan Indonesia 65. Singapura terletak pada koordinat 1 18 lintang utara dan lintang selatan 66. Lokasinya yang terletak antara Laut China Selatan dan Samudera Hindia telah membuat Singapura menjadi tempat transit penting bagi Asia Tenggara serta pengiriman barang ke seluruh dunia. Sejarah Singapura bermula pada abad ke-14. Pada waktu itu, Singapura yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya dikenal dengan nama Temasek dan menjadi salah satu pelabuhan dan bandara yang ramai. Setelah Kerajaan Sriwijaya tidak lagi berkuasa, Temasek diperebutkan oleh Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Ayuthia (Siam). Namun serangan dari Kerajaan Siam berhasil dihalangi kubu pertahanan Temasek. Sejak saat itu nama Temasek berubah menjadi Singha Pura atau Bandar Singa 67. Adanya pembangunan Bandar Malaka pada awal abad ke 15 mengakibatkan Singapura tidak lagi menjadi pusat perdagangan karena kapal-kapal lebih memilih 65 Pete, Profil dan Sejarah Singapura, diakses tanggal 20 April Singapura, diakses tanggal 20 April Ibid.

3 berlabuh di Bandar Malaka. Singapura pun menjadi pulau yang sepi dan jarang didiami penduduk. Pada tahun 1819, Sir Stamford Raffles, seorang agen untuk sebuah perusahaan perdagangan Inggris, memimpin pembangunan pemerintahan Inggris di Singapura. Secara bertahap pos perdagangan kecil ini menjadi penting untuk Kerajaan Inggris 68. Pada tahun 1826, Singapura dipersatukan dengan Malaka dan Penang menjadi Permukiman Selat Malaka Inggris. Singapura menjadi koloni pada tahun 1867, dan Inggris mengembangkannya menjadi pusat komersial utama dan pangkalan angkatan laut yang kuat. Selama Perang Dunia II ( ), Singapura diduduki oleh Jepang. Setelah Perang Dunia II, Singapura diserahkan kembali kepada Inggris 69. Pada tahun 1959, Singapura diberi hak untuk memerintah sendiri, dan empat tahun kemudian Singapura memutuskan bergabung dengan Federasi Malaysia. Namun, pada tahun 1965 Singapura meninggalkan federasi tersebut dan lebih memilih berdiri sendiri karena timbulnya perbedaan antara suku Melayu yang mendominasi pemerintahan dengan mayoritas Cina Singapura. Sejak saat itu Singapura menjadi negara merdeka yang berdiri sendiri. Singapura berhasil membangun negaranya dengan pesat dan menjadi negara yang berjaya dari segi ekonomi. Singapura mempunyai hubungan dagang yang kuat, pelabuhan yang sibuk dan GDP per kapita yang setara dengan negaranegara di Eropa Barat. Singapura pada saat ini juga menjadi negara yang paling maju di kawasan Asia Tenggara. 68 Pete, loc.cit. 69 Ibid.

4 Walaupun tumbuh menjadi negara maju, Singapura memiliki kendala dengan luas wilayah daratannya. Luas wilayah daratannya pada waktu merdeka hanya 581,5 kilometer persegi. Hal ini tidak sejalan dengan jumlah penduduk yang terus bertambah setiap tahunnya sehingga meningkatkan permintaan lahan yang lebih luas lagi. Oleh karena itu, Singapura memutuskan untuk memperluas wilayah daratannya dengan jalan melakukan reklamasi pantai. Singapura melakukan reklamasi sejak tahun 1966 yang menyebabkan luas wilayah negara ini bertambah hingga mencapai 697,2 kilometer persegi dari luas wilayahnya pada 1960, yaitu 581,5 kilometer persegi. Perluasan wilayah ini akan digunakan untuk perumahan, rekreasi, kebutuhan infrastruktur, keperluan militer dan keperluan komersil. 3. Perkembangan Perbatasan Sejarah perbatasan laut Indonesia dengan Singapura dimulai pada awal abad ke XIX, seiring dengan datangnya bangsa Inggris tahun 1819 dibawah pimpinan Thomas Stamford Raffles pada saat itu Singapura masih bernama Temasek. Menyadari bahwa letak geografis Pulau Temasek dengan perairannya yang sangat strategis kemudian di wilayah tersebut dibangun pos dagang dan permukiman serta pangkalan laut kerajaan Inggris 70. Dengan hadirnya pelabuhan di Singapura merupakan ancaman bagi Batavia karena kapal kapal lebih memilih membongkar muatan di Singapura dan hal ini membuat Gubenur Batavia, Baron Van Der Capellen marah dan menganggap sebagai masalah besar yang menggangu 70 Maritimmagz.com, Sejarah Batas Maritime RI-Singapura, diakses tanggal 21 April 2016.

5 perdagangan dan ekonomi di Batavia sehingga meminta raja Belanda, Willem II untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan raja George di Inggris 71. F. Faktor-faktor Pendorong Penyelesaian Batas Wilayah Indonesia dengan Singapura Persoalan penetapan perbatasan negara sangat tinggi relevansi dan urgensinya terhadap upaya pemeliharaan integritas wilayah. Oleh karena itu, setiap wilayah perbatasan harus sebisa mungkin ditetapkan dan disepakati secara tertulis oleh kedua negara sehingga kedaulatan masing-masing pun terlindungi. Itu pula yang menjadi salah satu agenda utama Pemerintah Indonesia, yaitu untuk memperkokoh keutuhan NKRI melalui penetapan garis wilayah dengan negaranegara tetangga 72. Terdapat beberapa faktor yang mendorong pemerintah Indonesia untuk segera menyelesaikan batas wilayah maritimnya dengan Singapura 73. Pertama, pemerintah Indonesia mengkhawatirkan reklamasi pantai yang dilakukan oleh Singapura. Reklamasi pantai yang dilakukan Singapuratersebut telah berhasil memperluas wilayah daratannya. Indonesia mengkhawatirkan perluasan wilayah tersebut akan mengubah garis pantainya sehingga wilayah perairan Singapura bergeser ke arah selatan. Pergeseran wilayah perairan Singapura berarti juga akan mengakibatkan bergesernya batas maritim Indonesia dengan Singapura dan wilayah perairan Indonesia di kawasan ini akan berkurang. 71 Ibid. 72 Ibid. 73 Eka Christiningsih Tanlain, op.cit, hal

6 Kedua, kegiatan penambangan pasir laut di Kepulauan Riau untuk diekspor ke Singapura telah mengakibatkan abrasi pantai yang mengancam hilangnya titiktitik pangkal Indonesia di wilayah ini. Penambangan pasir memang dianggap memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap Pendapatan Asli Daerah. Hampir 84% komoditi yang diekspor oleh Propinsi Riau adalah pasir laut. Kegiatan penambangan itu dilakukan secara besar-besaran sehingga hampir seluruh wilayah perairan di Propinsi Riau sudah dikapling-kapling oleh para pengusaha. Hingga Juni 2002 tercatat 67 perusahaan telah yang mengantongi izin melakukan eksploitasi pasir laut, dan 300 perusahaan lainnya sudah memiliki izin eksplorasi. Ketiga, adalah untuk menjaga keamanan wilayah teritorial Indonesia. Secara umum wilayah perbatasan laut atau perairan Indonesia dengan negara-negara lain sering sekali menghadapi ancaman teritorial oleh gerakan separatisme, penyelundupan, perompakan dan illegal fishing. Untuk menanggulangi ancaman tersebut, angkatan laut Indonesia mengadakan patroli pengamanan wilayah perairan Indonesia. Namun belum adanya batas maritim yang jelas antara Indonsia dan Singapura mengakibatkan angkatan laut kedua negara sering bentrok ketika melakukan patroli pengamanan di daerah perbatasan. Ini pun akhirnya menjadi salah satu faktor yang mendorong Pemerintah Indonesia untuk segera menyelesaikan penetapan perbatasan antara Indonesia dengan Singapura. Pemerintah Singapura pada awalnya selalu saja menghindar bila diajak berunding masalah penyelesaian batas maritim Indonesia-Singapura. Namun pada tahun 2003 pemerintah Singapura mulai menampakkan perubahan sikap dalam

7 menangani permasalahan batas maritim Indonesia-Singapura. Pergantian kepemimpinan di Singapura semakin membuka peluang diadakannya perundingan penyelesaian batas maritim tersebut. Melalui pembicaraan-pembicaraan bilateral kedua kepala negara, Singapura akhirnya menyepakati untuk segera melakukan perundingan guna menyelesaikan batas maritimnya. Persetujuan Singapura untuk melakukan perundingan penyelesaian batas maritim Indonesia-Singapura dilatarbelakangi kepentingan nasionalnya, yaitu membuka kembali impor pasir laut dari Indonesia 74. Pada tahun 2003 Indonesia mengeluarkan Kepmenperindag No. 117/MPP/Kep/2/2003 yang berisi Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Keputusan ini ditandatangani oleh Rini Suwandi sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Pelarangan tersebut berlaku sejak tanggal 18 Februari Sejak itu Indonesia menutup kegiatan ekspor pasir, terutama yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan reklamasi pantai Singapura. Indonesia merupakan pemasok utama kebutuhan pasir laut Singapura untuk proyek reklamasi pantainya. Pasir laut tersebut berasal dari Propinsi Riau dan Propinsi Bangka Belitung. Dengan adanya larangan tersebut tentu saja akan menggangu pelaksanaan proyek reklamasi pantai Singapura. Indonesia bersedia membuka kembali ekspor pasir lautnya ke Singapura bila perjanjian batas maritim kedua negara telah selesai disepakati 75. Hal ini tentu saja mampu memaksa 74 Ibid, hal Ibid. hal. 67

8 Singapura untuk secepatnya melaksanakan perundingan batas maritimkedua negara di Selat Singapura. G. Penentuan Batas Wilayah Indonesia dengan Singapura Berdasarkan UNCLOS 1982 Pemerintah Indonesia terus memperjuangkan agar konsep Wawasan Nusantara diakui dan diterima oleh semua negara di dunia melalui penetapan PBB. Dalam setiap Konferensi Hukum Laut yang diselenggarakan oleh PBB, Indonesia membentuk tim perunding yang berusaha memasukkan konsep Wawasan Nusantara dalam keputusan PBB. Dalam pembicaraan yang berlangsung, perdebatan dilontarkan menanggapi konsep itu, khususnya yang menyangkut masalah definisi kepulauan, hak negara tetangga, lalu lintas internasional dan penerbangan yang melewati perairan, dan hak warga Indonesia atas potensi dasar laut. Konferensi Hukum Laut 1982 mengakui status Indonesia sebagai negara nusantara atau kepulauan sehingga memberikan dasar hukum internasional yang kuat dalam upaya Indonesia menteritorialkan kesatuan dan persatuan nasional. Dalam penerapan prinsip-prinsip negara nusantara atau kepulauan dan laut wilayah atau laut teritorial selebar 12 mil di luar perairan nusantara telah membuat luas wilayah Indonesia menjadi sekitar 5 juta km persegi sejak tahun Selain itu dengan diterapkannya prinsip prinsip 200 mil ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif)

9 dan landas kontinen di luar perairan nusantara dan laut wilayah Indonesia telah menambah juga hak-hak berdaulatan Indonesia 76. Konvensi Hukum Laut 1982 juga menentukan bahwa untuk menetapkan lebar laut teritorial Negara-negara kepulauan dapat menarik garis lurus garis dasar kepulauan sampai 100 mil laut yang menghubungkan titik-titik paling luar dan batu-batu karang, selama ratio air dan daratan di dalam garis-garis tersebut tidak melebihi 9 berbanding 1, dengan ketentuan bahwa kawasan yang diperoleh tidak memotong negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif 77. Dalam ketentuan baru, Hukum Laut Internasional telah memberikan wewenang kepada Indonesia untuk menguasai kira-kira 8 juta km persegi dari kekayaan alam yang sebelumnya wilayah kedaulatan hanya sekitar 1,9 juta kilometer persegi. Kemudian bertambah menjadi lima juta km persegi dengan Deklarasi Djuanda. Kini dengan konvensi hukum laut ditambah dengan wilayah yurisdiksi ZEE dan Landas Kontinen maka artinya luas wilayah Indonesia menyerupai benua dengan sebagian besar wilayah tersebut adalah perairan atau maritim. Pada tanggal 16 November 1994 UNCLOS 1982 resmi mulai berlaku di sejumlah negara yang meratifikasinya yaitu 60 negara. Indonesia juga telah meratifikasinya konvensi tersebut pada tahun 1985 dengan Undang-Undang No. 17 Tahun Menurut UNCLOS 1982, terdapat delapan zona pengaturan yang berlaku di laut, yaitu perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE), landas kontinen, laut lepas dan kawasan dasar laut 76 Hasyim Djalal, Politik Luar Negeri Indonesia Dalam Dasawarsa 1990, Jakarta : CSIS, 1997, hal Chairul Anwar, op.cit, hal 22

10 internasional. Batas wilayah laut suatu negara pantai atau negara kepulauan meliputi batas laut teritorial, batas zona tambahan, batas perairan ZEE dan batas landas kontinen. Sebagai Negara-negara yang meratifikasi UNCLOS 1982, maka Indonesia dan Singapura harus tunduk pada konvensi tersebut dalam segala peraturan mengenai wilayah laut. Dalam kaitannya dengan perjanjian antarnegara yang berbatasan di wilayah laut, UNCLOS 1982 merujuk kepada tercapainya kesepakatan para pihak yang dibuat berdasarkan hukum internasional publik. Dengan demikian UNCLOS 1982 memberian keleluasaan kepada para pihak untuk menyepakati prinsipprinsip hukum yang dapat diterima bersama oleh negara-negara pihak sebagai dasar dalam penentuan perbatasan di laut 78. Suatu negara pantai, memiliki kedaulatan penuh atas wilayah laut pada zona perairan pedalaman atau perairan kepulauan dan laut teritorial. Hal ini diatur dalam UNCLOS 1982 pasal 2 yang menyatakan bahwa kedaulatan suatu negara pantai menyambung keluar dari wilayah daratan dan perairan pedalamananya atau perairan kepulauannya ke kawasan laut teritorial, ruang udara diatasnya serta dasar laut dan tanah dibawahnya. Penentuan lebar laut teritorial diatur dalam pasal 3 dimana suatu negara berhak menetapkan lebar laut teritorialnya sampai ke batas 12 mil laut dari garis pangkal pantainya 79. Menurut pasal 4, batas keluar dari zona 78 Rivai Sihaloho, op.cit, hal Chairul Anwar, op.cit, hal. 20.

11 ini ditentukan sebagai suatu garis dimana setiap titiknya berada pada jarak dari titik yang terdekat dari garis batas yang sama dengan lebar laut teritorial 80. Terdapat tiga macam garis pangkal yang dapat digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial, yaitu garis pangkal normal, garis pangkal lurus dan garis pangkal kepulauan. Garis pangkal normal, menurut pasal 5 UNCLOS 1982, adalah garis pangkal yang ditarik dari pantai pada waktu air laut surut dengan mengikuti lekukan pantai, sehingga arah garis pangkal normal sejajar dengan arah atau lekukan pantai 81. Untuk mengukur lebar laut teritorial, dari garis pangkal ditarik garis tegak lurus ke arah laut sesuai dengan lebar laut yang ditentukan masingmasing negara. Titik atau garis pada bagian luar tersebut merupakan garis atau batas luar laut teritorial. Garis pangkal lurus diatur dalam pasal 7 UNCLOS Garis pangkal lurus tersebut ditarik dengan cara menghubungkan titik-titik atau ujung-ujung terluar dari pantai pada waktu air laut surut. Penarikan garis pangkal lurus ini hanya dapat dilakukan pada pantai yang berliku-liku atau jika di depannya terdapat pulau, gugusan ataupun deretan pulau. Sedangkan garis pangkal kepulauan diatur dalam pasal 47 yang menyatakan bahwa negara-negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan sampai sejauh 100 mil laut yang menghubungkan titik-titik paling luar dari pulau paling luar dan batu-batu karang, selama ratio perbandingan air dan daratan tidak melebihi 9 berbanding 1, dan dengan ketentuan bahwa kawasan yang diperoleh tidak memotong negara lain dari laut 80 Ibid. 81 Poltak Partogi Nainggolan, dalam Rivai Sihaloho, op.cit. hal. 24.

12 lepas atau ZEE 82. Menurut pasal 48, garis pangkal tersebut dapat digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen suatu negara kepulauan. Konvensi Hukum laut Internasional 1982 juga mengatur penempatan suatu garis pangkal dalam menghadapi keadaan geografi yang khusus. Menurut pasal 9, sungai-sungai yang langsung mengalir ke laut garis pangkalnya ialah garis lurus memotong muara sungai di antara titik-titik air terendah pada sisi-sisi sungai. Pasal 10 mengatur penarikan garis pangkal yang memotong teluk pada pantai yang dimiliki Negara yang sama 83. Dalam penetapan batas laut teritorial, pasal 11 menyatakan bahwa instalasi pelabuhan permanen yang terluar, yang merupakan bagian integral dari sistem pelabuhan, harus dianggap sebagai bagian dari pantai sehingga dapat digunakan sebagai titik pangkal. Instalasi-instalasi lepas pantai dan pulau-pulau buatan tidak dianggap sebagai instalasi pelabuhan permanen 84. Dalam pasal 12 menentukan bahwa tempat-tempat berlabuh di tengah laut, yang biasanya dipakai untuk memuat, membongkar dan menambat kapal, termasuk dalam laut teritorial 85. Sedangkan pasal 13 mengatur tentang elevasi surut yang didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah yang dikelilingi dan berada di atas permukaan laut pada waktu air surut tetapi berada di bawah permukaan laut pada waktu air pasang. Suatu elevasi surut yang berada seluruhnya atau 82 Chairul Anwar, op.cit, hal Ibid, hal Ibid, hal Ibid.

13 sebagian pada jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari daratan utama atau suatu pulau, garis air surutnya dapat digunakan sebagai garis pangkal untuk maksud pengukuran lebar laut teritorial. Namun suatu elevesi surut yang berada seluruhnya pada jarak yang melebihi laut teritorial dari daratan utama atau suatu pulau tidak mempunyai laut teritorial sendiri 86. Pasal 15 UNCLOS 1982 mengatur penetapan garis batas laut teritorial antara negaranegara yang pantainya berhadapan atau berdampingan. Tidak satupun dari kedua negara tersebut berhak untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis pangkal dari tempat lebar laut teritorial masing-masing negara diukur, kecuali ada persetujuan sebaliknya di antara mereka. Ketentuan ini tunduk pada kekecualian dari hak-hak historis atau keadaan khusus lainnya yang cara pembatasannya berbeda 87. Selain berdasarkan UNCLOS 1982, analisis mengenai delimitasi wilayah maritim Indonesia dan Singapura juga akan didasarkan pada perjanjian-perjanjian bilateral maupun multilateral yang berlaku bagi Indonesia dan Singapura. Penetapan batas maritim harus dilakukan dengan cara damai, yaitu melalui perundingan. Apabila penetapan batas maritim negara-negara melalui perundingan tersebut tidak dapat mencapai kesepakatan, negara-negara tersebut dapat memilih cara penyelesaian melalui 88 : 86 J.G. Starke, op.cit, hal Ibid. 88 Ibid, hal. 123.

14 a. Mahkamah Internasional Hukum laut yang dibentuk berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982, b. Mahkamah Internasional, c. Arbitrase atau Prosedur Arbitrase Khusus yang diatur di dalam Annex VII dan Annex VIII UNCLOS 1982, d. Konsiliasi yang diatur dalam Annex V. H. Upaya Pemerintah dalam Penanganan Wilayah Perbatasan Indonesia dengan Singapura Salah satu cara untuk menetapkan garis batas wilayah maritim suatu negara adalah dengan melakukan perjanjian perbatasan dengan negara lain. Indonesia dan Singapura telah melakukan beberapa kali pertemuan utuk membicarakan penyelesaian batas maritim kedua negara di Selat Singapura. Kondisi kawasan perbatasan antar negara di wilayah darat dan laut di Indonesia masih jauh lebih buruk dibanding dengan kawasan perbatasan negara tetangga. Namun demikian, perlu diakui bahwa Pemerintah Indonesia selama ini bukan tidak berbuat apa-apa dalam pembangunan kawasan perbatasan. 89 Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam rangka pembangunan kawasan perbatasan Indonesia dengan negara lain, secara khusus dengan Singapura. Mulai dari perundingan-perundingan bilateral, sampai kepada penyusunan berbagai peraturan perundangan yang berhubungan dengan perbatasan. 89 Rivai Sihaloho, op.cit, hal. 95.

15 Berikut ini akan dibahas upaya-upaya yang telah dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia sejak beberapa tahun yang lalu, yaitu dalam penanganan wilayah perbatasan Indonesia dengan Singapura. 1. Perjanjian Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bagian Tengah Selat Singapura Tahun 1973 Indonesia memulai perundingan mengenai perbatasan laut teritorial dengan Singapura pada tahun Urgensi dari diselenggarakannya perjanjian ini adalah karena Selat Singapura merupakan kelanjutan dari Selat Malaka yang memiliki tingkat pelayaran internasional yang tinggi 90. Namun pada saat itu Singapura tidak mau berunding dengan berbagai alasan. Akhirnya, dengan memanfaatkan pertemuan bilateral antar sesama negara ASEAN, perundingan dengan Singapura pun dimulai 91. Perundingan ini berakhir di tahun 1973 dan dituangkan dalam Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Selat Singapura. Perjanjian tersebut memiliki nama resmi Treaty between the Republic of Indonesia and the Republic of Singapore Relating to the Delimitating of the Territorial seas of the Two Countries in the Strait of Singapore. 90 Adiwerti Sarahayu Lestari, op.cit, hal Ibid.

16 Gambar di bawah ini merupakan hasil kesepakatan batas maritim Indonesia- Singapura bagian tengah. Gambar 1: (Sumber:regional.coremap.or.id/i/eng/bukurinci_kepri.jpg) Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa perundingan Indonesia dan Singapura yang diadakan pada tahun 1973 tersebut telah berhasil menentukan batas maritim bagian tengah yang berupa garis lurus yang ditarik dari 6 (enam) titik yang titik koordinatnya telah disepakatai kedua negara. Perundingan bilateral tahun 1973 tersebut juga menetapkan Pulau Nipa sebagai median line Indonesia-Singapura. Dari gambar tersebut juga dapat diketahui bahwa kedua negara masih menyisakan dua bagian yang belum ditentukan batasnya. Daerah yang belum ditetapkan tersebut adalah daerah dari titik dasar pertama ke arah barat sepanjang 18 km dan dari titik dasar keenam ke timur sepanjang 26,8 km. Indonesia dan Singapura sepakat untuk mengadakan perundingan lanjutan untuk menyelesaikan batas kedua negara pada kedua bagain tersebut.

17 Perundingan batas maritim Indonesia-Singapura di Selat Singapura ditandatangani oleh kedua negara pada tanggal 25 Mei Dalam penandatanganan perjanjian tersebut, pemerintah Indonesia diwakili oleh Adam Malik dan pemerintah Singapura diwakili oleh S. Rajaratnam. Pemerintah Indonesia lalu meratifikasi kesepakatan ini pada 3 Desember 1973 sedangkan Singapura baru meratifikasinya pada 29 Agustus Namun, Perjanjian 1973 belum mengakomodasi secara keseluruhan mengenai garis-garis batas laut teritorial antara Indonesia dan Singapura di Selat Singapura. Untuk mengakomodasi hal tersebut, diperlukan suatu perundingan lebih lanjut antara kedua negara. 2. Perjanjian Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bagian Barat Selat Singapura Tahun 2009 Kebijakan Singapura dalam proyek reklamasi telah menimbulkan kekhawatiran dari aspek kedaulatan Indonesia. Bukan hanya berpengaruh terhadap posisi dan pengukuran garis batas kedua Negara, namun juga konsekuensi hilangnya lebih banyak lagi potensi Indonesia sebagai kawasan persinggahan, jalur pelayaran, dan perdagangan internasional yang sangat strategis. Selain itu juga dikhawatirkan semakin banyaknya wilayah Indonesia yang hilang akibat pulau-pulau terluar mengalami abrasi karena kenaikan permukaan air laut dan eksploitasi pasir untuk ekspor ke Singapura. Proyek reklamasi menimbulkan reaksi dari pemerintah 92 Eka Christiningsih Tanlain, loc.cit.

18 Indonesia dengan mulai gencar melakukan upaya diplomasi agar permasalahan ini dapat cepat diselesaikan 93. Sehingga, sebagai bentuk diplomasi yang dilakukan pemerintah, pada 26 September 2001 Presiden Megawati bersama dengan Menko Polkam, Menko Perekonomian, Menko Kesra dan Meneg BUMN melakukan kunjungan ke Singapura. Dalam pertemuan bilateral tersebut, delegasi Indonesia bertemu dengan delegasi Singapura yang terdiri dari PM Goh Chok Tong, Menteri Senior Lee Kuan Yew, Wakil PM/Menhan Dr. Tony Tan, Menlu Jayakumar serta Menteri Pendidikan dan Menteri Pertahanan ke-2 Teo Chee Hean. Pertemuan bilateral tersebut membicarakan upaya-upaya peningkatan dan kerjasama bilateral dan regional di bidang politik, ekonomi dan sosial serta menyepakati untuk berupaya menyelesaiakan masalah-masalah pending diantara kedua negara yang selama ini dianggap sebagai isu-isu sensitif melalui cara-cara perundingan yang sifatnya quiet diplomacy. Pihak Indonesia mendesak pemerintah Singapura untuk mengadakan pertemuan pejabat tinggi setingkat SOM diantara kedua negara untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut Pada Februari 2002, pemerintah Indonesia melalui KBRI Singapura secara resmi menyampaikan keinginannya untuk segera memulai perundingan penetapan batas maritim yang belum terselesaikan 95. Hal ini dilator belakangi kekhawatiran Indonesia akan kegiatan reklamasi pantai yang dilakukan Singapura. Namun I Made Andi Arsana, Batas Maritime Antar Negara, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2007, hal Laporan Tahunan KBRI Singapura Tahun 2001 : Buku I, hal. 19 dalam Eka Christiningsih Tanlain., op.cit, hal Ibid.

19 pemerintah Singapura tidak memberikan tanggapan terhadap permintaan Indonesia tersebut. Pada 4 Agustus 2003, Presiden Indonesia dan PM Singapura menyepakati penyelesaian batas maritim kedua negara melaui perundingan delimitasi. Namun pada informal exchange 2003, pemerintah Singapura meminta keluangan dalam melakukan perundingan batas maritim Indonesia-Singapura karena negosiatornya sedang melakukan perundingan masalah Pedra Branca. Pada 10 September 2003 dalam kunjungan kerja Menlu Indonesia, Menlu Singapura menyampaikan kesediaannya untuk menugaskan pejabat tingkat teknis untuk melakukan perundingan batas maritim dengan Indonesia 96. Setelah pergantian kepemimpinan, baik di Indonesia maupun di Singapura, membuka peluang penyelesaian isu-isu sensitif yang selama ini mengganjal kedua negara, salah satunya mengenai penyelesaian batas maritim kedua negara di Selat Singapura. Proses perundingan penetapan batas laut teritorial di bagian barat Selat Singapura antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura mulai dilaksanakan pada tanggal 28 Februari 2005 dan berakhir tanggal 10 Maret 2009, ketika Menteri Luar Negeri kedua negara menandatangani Perjanjian 2009 di Jakarta 97. Dalam proses perundingan, Singapura mengajukan beberapa proposal mengenai dasar delimitasi wilayah laut teritorial yang akan dirundingkan. Proposal-proposal tersebut meletakkan titik pangkal (basepoint) di wilayah pantai hasil reklamasi 96 Ibid. 97 Penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bagian Barat Selat Singapura, 2009.

20 yang telah mereka lakukan. Reklamasi tersebut mengakibatkan garis pantai Singapura menjadi lebih maju dari sebelumnya. 98 Namun, Indonesia selalu mendasarkan posisinya pada Pasal 15 UNCLOS 1982 dan menolak menggunakan hasil reklamasi sebagai dasar pengukuran, serta menggunakan referensi peta asli tahun 1973 dan titik dasar Indonesia di Pulau Nipa dan garis pangkal kepulauan Indonesia yang ditarik dari Pulau Nipa ke Pulau Karimun Kecil 99. Perjanjian yang berhasil dirumuskan pada tahun 2009 tersebut menyepakati jarak antara garis pangkal kepulauan Indonesia dengan garis batas kesepakatan yakni sepanjang 3950 m dan jarak antara hasil reklamasi (Singapura) dengan batas kesepakatan sepanjang 1900 m. Terdapat 4 (empat) titik yang disepakati dalam perjanjian ini dan titik-titk tersebut menambah panjang perbatasan laut territorial Indonesia dengan Singapura di bagian barat Selat Singapura. Berikut adalah gambar hasil kesepakatan batas maritim Indonesia dengan Singapura. 98 Adiwerti Sarahayu Lestari, op.cit, hal Penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bagian Barat Selat Singapura, 2009.

21 Gambar 2: (Sumber: 4HjkkCPatv0/VA1j9VGYSUI/AAAAAAAAclM/X9289ETigF4/a1600/apindonb order.gif) 3. Perjanjian Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bagian Timur Selat Singapura Tahun 2014 Sebagai kelanjutan dari perundingan di tahun 1973 dan tahun 2009, pemerintah Indonesia kemudian mengadakan perundingan kembali dengan pemerintah Singapura. Indonesia dan Singapura telah menyepakati garis batas laut yang berada di sebelah timur Selat Singapura. Penandatangan ini terjadi di tengah-tengah kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa ke Singapura, 2-4 September Penandatangan kesepakatan ini dilakukan oleh Marty dan Menteri Luar Negeri Singapura K. Shanmugam. Batas Laut Wilayah di Bagian Timur Selat Singapura mencakup area perairan antara Batam (Indonesia) dan Changi (Singapura). Penetapan garis batas Laut Wilayah dilakukan dengan mengacu pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut Tahun 1982 dan dirundingkan sesuai kepentingan nasional kedua negara 100. Batas laut wilayah antara Indonesia dan Singapura di bagian timur Selat Singapura merupakan garis yang membentang sepanjang 5,1 mil laut (9,5 kilometer) yang merupakan kelanjutan dari garis batas laut wilayah di bagian tengah Selat Singapura. Hal itu sesuai Perjanjian Penetapan Garis Batas Laut Wilayah di Selat Singapura yang 100 RI-Singapura Sepakati Garis Batas Laut dalam diakses tanggal 10 April 2016

22 ditandatangani di Jakarta pada 25 Mei 1973 dan Perjanjian Penetapan Garis Batas Laut Wilayah di Bagian Barat Selat Singapura yang ditandatangani di Jakarta pada 10 Maret Batas laut wilayah tersebut dituangkan dalam Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bagian Timur Selat Singapura (Treaty between the Republic of Indonesia and the Republic of Singapore relating to the Delimitation of the Teritorial Seas of the Two Countries in the Eastern Part of the Strait of Singapore) 102. Dalam penetapan garis batas laut ini terdiri dari tim teknis Penetapan Batas Maritim RI (selanjutnya disebutkan Tim Teknis). Tim Teknis terdiri dari perwakilan para pejabat, personil dan pakar beberapa kementerian/lembaga, seperti Kementrian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Informasi Geospasial, dan Markas Besar TNI serta Dinas Hidro-Oseanografi TNI AL. Selain itu, Tim Teknis juga dilengkapi dengan Dewan Penasihat Tim Teknis yang terdiri dari pakar seperti Dr. N. Hasan Wirajuda, Prof. Hajim Djalal, Prof. Hikmahanto Juwana, dll. Anggota Tim Teknis dari Badan Informasi Geospasial terdiri dari Dr. Asep Karsidi (sebagai mantan Kepala BIG), Prof. Dr. Sobar Sutisna, Dr. Ing Khadif, Sora 101 Kerja Sama Bilateral Presiden SBY Terima Penghargaan Tertinggi untuk Pemimpin Negara RI dan Singapura Setujui Batas Laut dalam ri%20dan%20singapura%20setujui%20batas%20laut-1 diakses pada tanggal 18 April Ibid

23 Lokita, Eko Artanto, dan Astrit Rimayanti. Plt. Kepala BIG, Ibu Titiek Suparwati 103. Kesepakatan batas teritorial laut memiliki arti penting secara geoekonomi dan geopolitik. Secara geoekonomi batas baru tersebut akan menguatkan sejumlah kerja sama ekonomi dan upaya pengembangan kawasan. Presiden menyebutnya kerja sama segitiga pertumbuhan Sijori (Singapura, Johor, Riau) dan kawasan perdagangan bebas di Batam, Bintan dan Karimun. Secara geopolitik aspek keamanan menjadi lebih jelas, sehingga kerjasama yang akan dilakukan menjadi lebih baik 104. Dibawah ini merupakan gambar hasil kesepakatan batas maritim Indonesia dengan Singapura di Selat Singapura. Gambar 3: (Sumber:m.baranews.co/web/read/20580/perjanjian.batas.laut.singapura.bisa.jadi. rujukan.penyelesaian.sengketa.perbatasan#.v-3bwt-kdah) 103 BIG I Bersama Menata Indonesia Lebih Baik dalam diakses pada tanggal 21 Mei Sekretariat Negara Republik Indonesia, Hasil Perundingan Penetapan Batas Laut Teritorial RI dan Singapura, diakses pada tanggal 12 Mei 2016

24 BAB IV EKSISTENSI BATAS WILAYAH INDONESIA-SINGAPURA PASCA PENANDATANGANAN PERJANJIAN PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH DI BAGIAN TIMUR SELAT SINGAPURA A. Potensi Konflik Indonesia dan Singapura Masalah perbatasan merupakan masalah yang sangat sensitif. Konflik-konflik internasional paling serius dalam sejarah umat manusia seringkali berpangkal dari klaim wilayah yang tumpang tindih di sepanjang garis perbatasan. Penelitian empiris di kemudian hari bahkan menunjukkan bahwa dibandingkan isu lainnya, masalah perbatasan berpotensi dua kali lipat lebih besar untuk menjadi konflik bersenjata. Berikut ini akan dibahas mengenai beberapa potensi konflik diantara Indonesia dengan Singapura. 1. Potensi Konflik Akibat Perbedaan Pemahaman UNCLOS 1982 Kasus reklamasi Singapura tidak dapat dipisahkan dari ketentuan-ketentuan dalam UNCLOS Hal ini dikarenakan UNCLOS sebagai satu-satunya rujukan bagi negara negara yang memiliki masalah dengan wilayah laut. Walaupun sebenarnya UNCLOS 1982 tidak mengatur secara spesifik mengenai masalah reklamasi, tetapi interpretasi dalam pasal-pasal UNCLOS tetap digunakan sebagai rujukan. Berdasarkan interpretasi terhadap ketentuan-ketentuan UNCLOS mengenai reklamasi tersebut, maka ada celah-celah dari masing-masing negara, baik Indonesia maupun Singapura, untuk mengajukan argumen masing-masing terkait permasalahan reklamasi Singapura dan dampak delimitasi batas wilayah.

25 Permasalahan reklamasi Singapura menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam kaitannya dengan ketetuan UNCLOS Penyebabnya, belum ada aturan atau pasal yang spesifik dari UNCLOS yang mengatur mengenai reklamasi. Meskipun begitu, ada beberapa pasal dalam UNCLOS 1982 yang dapat diinterpretasikan dalam proses reklamasi, yaitu: a. Pasal 60 ayat 8 dalam UNCLOS 1982 Pasal ini menyebutkan antara lain bahwa pulau buatan, instalasi, dan bangunan tidak mempunyai status pulau, sehingga tidak memiliki laut teritorialnya sendiri. Kehadirannya juga tidak mempengaruhi penetapan batas laut teritorial, zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen. (UNCLOS 1982, pasal 60 ayat 8). Itu berarti batas wilayah dua negara ditentukan dengan batas-batas alamiah. Artinya, penambahan wilayah darat melalui proyek reklamasi darat tidak mengubah batas wilayah kedua negara. Pasal tersebut juga menyebut mengenai struktur, reklamasi, ataupun pulau buatan tak akan mengubah delimitasi (garis batas) laut teritorial, landas kontinen, dan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Sehingga, dapat diinterpretasikan bahwa base point hanya bisa diukur dari pulau terluar yang alamiah, bukan dari daratan hasil reklamasi. Dengan kata lain, meski daratan Singapura bertambah, wilayah perairannya tidak serta merta ikut maju dan berpengaruh pada kedaulatan wilayah perairan Indonesia (Juwana, 2007). Pihak pemerintah Indonesia dapat menggunakan argumen penafsiran pasal ini, sehingga kedaulatan wilayah Indonesia tidak akan terganggu, meski Singapura melakukan proyek perluasan wilayah melalui reklamasi, sepanjang tidak

26 melanggar garis perbatasan yang telah disepakati kedua belah pihak melalui perjanjian perbatasan wilayah. b. Pasal 11 dalam UNCLOS 1982 Pasal itu antara lain menyebutkan bahwa: "Untuk maksud penetapan batas laut teritorial, instalasi pelabuhan permanen yang terluar yang merupakan bagian integral dari sistem pelabuhan dianggap sebagai bagian dari pantai. Instalasi lepas pantai dan pulau buatan tidak akan dianggap sebagai instalasi pelabuhan yang permanen. Pasal ini juga menjelaskan jauh secara teknis dalam Petunjuk Aspek Teknis UNCLOS (TALOS) yang menyatakan instalasi pelabuhan tersebut meliputi struktur permanen buatan manusia di sepanjang pantai dan merupakan bagian integral dari sistem pelabuhan seperti pelindung pantai, dermaga, fasilitas pelabuhan lain, terminal pantai, dinding laut. Instalasi pelabuhan semacam itu bisa digunakan sebagai bagian dari garis pangkal untuk delimitasi laut teritorial dan yurisdiksi maritim lainnya. Seandainya reklamasi pantai yang dilakukan Singapura bertujuan untuk membangun struktur seperti yang dimaksud oleh pasal tersebut, maka jelas instalasi semacam itu bisa digunakan sebagai garis pangkal. Akibatnya, garis pangkal yang berubah berpotensi mengubah klaim maritim Singapura menjadi lebih ke selatan mendekati Indonesia (Warsana, 2007). Berdasarkan interpretasi terhadap pasal ini, maka reklamasi yang dilakukan Singapura untuk keperluan fasilitas-fasilitas pelabuhan akan dapat diukur sebagai

27 titik pangkal penarikan garis perbatasan. Indonesia harus mewaspadai terhadap klaim interpretasi dari pasal ini. c. Pasal 15 dalam UNCLOS Pasal 15 antara lain menyebutkan mengenai penetapan garis batas taut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan. Bahwa untuk dapat menetapkan batas laut teritorialnya, maka tidak satupun diantaranya berhak, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya diantara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi batas tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal darimana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur. Tetapi, ketentuan tersebut tidak berlaku jika terdapat hak historis atau keadaan khusus lainnya. Hal ini berarti wilayah perairan Indonesia-Singapura haruslah diselesaikan dengan perundingan di antara kedua belah pihak, dimana negara tidak berhak untuk melebihi batas tengah perairan. Dalam proses perundingan tersebut, masing-masing negara akan menggunakan berbagai argumen dan pasal pasal yang tertera dalam UNCLOS Berdasarkan interpretasi terhadap ketentuan-ketentuan UNCLOS 1982 mengenai reklamasi tersebut, maka ada celah-celah dari masing-masing negara, baik Indonesia maupun Singapura, untuk mengajukan argumen masing-inasing terkait permasalahan reklamasi Singapura dan dampak delimitasi batas wilayah. 2. Potensi Konflik Akibat Perluasan Wilayah Singapura Pasca Reklamasi

28 Reklamasi yang dilakukan oleh Singapura memberikan dampak yang sangat besar terhadap perluasan wilayah dari Singapura. Reklamasi besar-besaran yang dilakukan oleh Pemerintah Singapura telah merubah bentuk garis pantai dari Singapura dan merubah jarak titik-titik batas laut ke daratan Singapura. Luas daratan Singapura pun bertambah setelah reklamasi ini. Perluasan wilayah yang dilakukan oleh Singapura bermula dari tahun 1960 karena keterbatasan wilayah yang dimilikinya dengan jumlah penduduk yang terus meningkat. Dengan luas wilayahnya yang hanya sekitar 581,5 kilometer persegi sementara kebutuhan akan infrastrukur, perumahan, industri dan rekreasi terus meningkat. Untuk mengatasi masalah ini kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Singapura adalah dengan mereklamasi daerah pantai dan menjadikannya daratan. Luas Sinagpura yang awalnya hanya 581,5 kilometer persegi bertambah luas menjadi 697,2 kilometer persegi. Dengan adanya reklamasi pantai yang dilakukan Singapura ini maka secara langsung dapat berdampak pada batas negara antar Indonesia dan Singapura. Akibat dari reklamasi yang dilakukan dengan cara mengimpor pasir laut dari Indonesia ini telah menimbulkan banyak kerugian, bukan saja dari aspek teritorial namun juga dari aspek ekonomi perdagangan dan juga lingkungan hidup. Kebijakan reklamasi yang dilakukan pemerintah Singapura ini membuat pemerintah Indonesia khawatir, karena dengan melakukan reklamasi daratan Singapura akan bertambah yang mana akan menyebabkan pergeseran garis batas antar kedua negara dan jelas akan mengganggu kedaulatan teritorial Indonesia.

29 Kekhawatiran Indonesia terhadap Singapura yang melakukan reklamasi pantai yang mengarah ke wilayah daratan Indonesia adalah hal yang wajar mengingat adanya potensi pengklaiman wilayah oleh negara tetangga terhadap wilayah Indonesia, seperti yang terjadi dengan Pulau Sipadan dan Ligitan. Permasalahan mudahnya pengklaiman wilayah yang dilakukan oleh negara-negara tetangga terhadap wilayah Indonesia adalah karena belum adanya kesepakatan titik batas antara negara yang berbatasan. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan segera menyelesakan persoalan delimitasi perbatasan dengan negara tetangga. B. Batas Wilayah Indonesia dengan Singapura Pasca Penandatangan Perjanjian Garis Batas Laut Wilayah di Bagian Timur Selat Singapura Wilayah bagi suatu negara sangatlah penting selain sebagai salah satu unsur negara, wilayah juga merupakan identitas dari suatu negara, yang menunjukkan dimana negara itu berada untuk meletakkan kedaulatan pemerintahannya. Selain itu wilayah negara juga merupakan suatu aset bagi negara yang memberikan segala potensi dan sumber daya alam yang dapat mendukung terselenggaranya pemerintahan dan aktivitas rakyat untuk mencukupi segala kebutuhan. Eksistensi suatu wilayah negara memang patut untuk dipertahankan dan tidak boleh dipandang sebelah mata, baik itu di darat, laut maupun udara. Keadaan wilayah Indonesia yang berbentuk kepulauan membuat Indonesia banyak berbatasan laut dengan negara tetangga. Pentingnya penetapan perbatasan Indonesia secara khusus di laut adalah supaya ada kejelasan serta kepastian

30 hukum terhadap batas wilayah negara demi eksistensi kedaulatan negara Republik Indonesia. Beberapa bagian wilayah laut khusunya Laut Teritorial merupakan bagian wilayah yang memerlukan pengaturan khusus baik dalam hal yurisdiksi, pengelolaan, eksplorasi dan eksploitasi terhadap kekayaan yang terkandung di dalamnya. Laut teritorial merupakan wilayah perbatasan yang langsung berhubungan dengan pulau-pulau terluar negara Indonesia. Apabila wilayah ini tidak diatur dalam peraturan yang tegas, maka dikhawatirkan akan terjadi pengklaiman wilayah oleh negara tetangga dan juga hal ini akan membuat negara lain dengan leluasa memasuki wilayah negara Indonesia, sehingga dapat mengancam kedaulatan negara Indonesia. Laut Teritorial merupakan bagian wilayah yang berada di luar garis pangkal pulau terluar sejauh 12 mil. Untuk mengukur lebar laut teritorial terdapat beberapa garis pangkal yang meliputi: 1. Garis Pangkal Biasa (Normal Base Lines) Dalam keadaan biasa garis pangkal dipergunakan sebagai titik mula pengukuran bagian laut, dimana garis pangkal normal (Normal Base Lines) merupakan garis air rendah sepanjang pantai seperti yang ditandai dalam peta skala besar yang diakui secara resmi oleh negara pantai (Pasal 5 UNCLOS 1982). Jadi titik pangkal diukur berdasar keadaan yang sebenarnya dari pantai, pada waktu air surut, sehingga dari titik tersebut mulai ditarik garis hingga 12 mil untuk menetukan lebar laut teritorial.

31 Gambar 4 Garis Pangkal Biasa Garis Pangkal Biasa... Garis atau Batas Luar (outer limit). (Sumber:sangkoeno.com) 2. Garis Pangkal Lurus (Stright Base Line) Dalam keadaan khusus jika wilayah pada garis pantainya bervariasi dan terputusputus atau ada suatu rumbai pulau-pulau sepanjang pantai yang dalam hubungannya sangat berdekatan sehingga digunakan cara atau metode garis pangkal lurus (Stright Base Line), yang menghubungkan titik-titik yang bertepatan sebagai pangkal mula pengukuran bagian laut (Pasal 7 UNCLOS 1982). Dari garis yang menghubungkan titik-titik tersebut menjadi titik pangkal untuk menentukan lebar laut teritorial dapat ditarik garis hingga 12 mil. Cara penarikan garis pangkal

32 ini diakui dalam Keputusan Mahkamah Internasional pada tahun 1951 dalam Anglo-Norwegian Fisheries Case 105. Gambar 5 Garis Pangkal Lurus dari Ujung ke Ujung Garis AB,CD,EF,GH dan IJ adalah garis pangkal lurus dari ujung ke ujung Garis OA,BC,DE,FG,HI dan JK adalah garis pangkal normal Garis Batas Luar (outer limit) (Sumber:sangkoeno.com) 3. Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Base Lines) Pada suatu negara yang memiliki keadaan sangat khusus yakni hingga memenuhi syarat disebut sebagai negara kepulauan, sehingga dipergunakan metode pengukuran dengan menentukan garis pangkal kepulauan (Archipelagic Base Lines), yaitu garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulaupulau terluar dan karang-karang kering dari kepulauan, asalkan dalam garis semacam itu termasuk didalamnya pulau-pulau induk dari suatu wilayah, 105 Prof. Dikdik Mohamad Sodik, SH., MH., Ph.D., Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia, hal Bandung : Refika Aditama

33 yang ratio dari wilayah perairan dan daratan, termasuk atol adalah satu banding satu dan sembilan banding satu (Pasal 47 UNCLOS 1982). Gambar 6: Garis Pangkal Kepulauan (archipelagic base lines) Garis AB,CD,EF,GH adalah garis pangkal kepulauan Garis Batas Luar (outer limit) (Sumber:sangkoeno.com) Baik wilayah perairan pedalaman dan laut teritorial adalah bagian laut wilayah yang merupakan kedaulatan penuh suatu negara, dalam ketentuan Pasal 2 UNCLOS 1982: bahwa kedaulatan negara pantai meliputi laut teritorialnya, termasuk ruang udara di atasnya dan dasar laut serta tanah dibawahnya. Dalam rumusan Pasal 48 UNCLOS 1982 untuk menentukan lebar laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen harus diukur dari

34 garis pangkal kepulauan yang ditarik sesuai dengan ketentuan Pasal 47 UNCLOS Perjanjian yang diadakan oleh suatu negara sebagai subyek hukum internasional, bertujuan untuk menggariskan hak dan kewajiban yang ditimbulkan serta akibat yang berpengaruh bagi para pihak pembuat perjanjian baik yang bersifat Bilateral maupun Multilateral 106. Dalam upaya memperjelas eksistensi batas wilayah Indonesia dengan Singapura maka suatu perjanjian atau perundingan bilateral dapat dilakukan. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab sebelumnya tentang perbatasan wilayah Indonesia dengan Singapura, kedua negara telah menetapkan batas-batas laut teritorial di bagian Timur 1 (Batam-Singapura) Selat Singapura. Sehingga batas wilayah antara Indonesia dengan Singapura hanya menyisakan satu bagian lagi, yaitu bagian Timur 2 (South Ledge - Middle Rock - Pedra Branca) yang penanganannya harus ditangguhkan karena melibatkan Malaysia yang juga memiliki kepentingan di bagian tersebut. Perjanjian Internasional berdasarkan praktik beberapa Negara dibedakan atas dua golongan. Pada satu pihak perjanjian internasional diadakan dengan tiga tahap pembentukan, yaitu perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi. Dan pada pihak lain perjanjian internasional hanya melewati dua tahap, yakni perundingan dan penandatanganan. Biasanya golongan perjanjian pertama diadakan untuk hal yang dianggap penting sehingga memerlukan persetujuan dari badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian (treaty making power), sedangkan 106 Joko Subagyo,Hukum Laut Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, 1993, hal. 18

35 untuk golongan kedua yang lebih sederhana sifatnya diadakan untuk perjanjian yang tidak begitu penting, misalnya perjanjian perdaganagn yang berjangka pendek. 107 Jadi, pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah ke dalam produk hukum nasional dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara dengan subjek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional wajib dilakukan Pengesahan Perjanjian Internasional dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan DPR. Pengesahan dengan keputusan presiden hanya perlu pemberitahuan ke DPR. 109 Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggungjawaban atau keterangan pemerintah mengenai perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasioal pasal 18 huruf (h) Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, op.cit, hal Tri Yani Santika Harahap, Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerjasama Antara Republik Indonesia dan Singapura di Bidang Pertahanan dan Keamanan, Skripsi S1 Hukum Internasional Fakultas Hukum, USU, 2009, hal Ibid, hal. 44.

36 Pengesahan perjanjian internasional menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan dengan: a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c. kedaulatan atau hak berdaulat negara; d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e. pembentukan kaidah hukum baru; f. pinjaman dan / atau hibah luar negeri. Perjanjian bilateral antara Indonesia dengan Singapura ini menyangkut masalah perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia dan juga menyangkut masalah kedaulatan atau hak berdaulat negara, maka sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, Perjanjian Penetapan Garis Batas Laut Wilayah di Bagian Timur Selat Singapura ini harus disahkan melalui undang-undang. Hal ini berarti bahwa pemberlakuan Perjanjian Internasional ke dalam hukum nasional Indonesia tidaklah serta-merta. Dari prinsip hukum perjanjian internasional tersebut bisa dilihat bahwa penandatanganan Perjanjian Penetapan Garis Batas Laut Wilayah di Bagian Timur Selat Singapura tersebut tidaklah langsung memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi negara Indonesia. Perjanjian tersebut harus terlebih dahulu dituangkan ke dalam hukum nasional Indonesia melalui proses ratifikasi agar memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Hal ini juga disebutkan dalam isi

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan kepentingannya asal saja kegiatan tersebut

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH KEDUA NEGARA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.10, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA AGREEMENT. Pengesahan. RI - Republik Singapura. Timur Selat Singapura. Wilayah. Laut. Garis Batas. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH KEDUA NEGARA DI BAGIAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH KEDUA NEGARA DI BAGIAN BARAT

Lebih terperinci

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia* PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Oleh : Ida Kurnia* Abstrak KHL 1982 tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu : 1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)

Lebih terperinci

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.177, 2008 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH 2.1 Dasar Hukum Penetapan Batas Laut Daerah Agar pelaksanaan penetapan batas laut berhasil dilakukan dengan baik, maka kegiatan tersebut harus mengacu kepada peraturan

Lebih terperinci

KONFLIK & MANAJEMEN KONFLIK DI ASIA TENGGARA PASKA PERANG DINGIN DALAM PERSPEKTIF KEAMANAN TRADISIONAL DEWI TRIWAHYUNI

KONFLIK & MANAJEMEN KONFLIK DI ASIA TENGGARA PASKA PERANG DINGIN DALAM PERSPEKTIF KEAMANAN TRADISIONAL DEWI TRIWAHYUNI KONFLIK & MANAJEMEN KONFLIK DI ASIA TENGGARA PASKA PERANG DINGIN DALAM PERSPEKTIF KEAMANAN TRADISIONAL DEWI TRIWAHYUNI Introduksi Perbedaan Latar belakang sejarah, status ekonomi, kepentingan nasional,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta. Analisis Undang-undang Kelautan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 147 ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta Teknik Geodesi dan Geomatika,

Lebih terperinci

TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN

TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Disusun oleh: Adrianus Terry Febriken 11010111140685 Styo Kurniadi 11010111150006 Riyanto 11010111150007 Wahyu Ardiansyah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Wilayah atau teritori adalah salah satu manifestasi paling utama dari kedaulatan suatu negara.oleh karena itu dalam lingkungan wilayahnya tersebut suatu negara

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Sejarah Perundingan Batas Maritim Indonesia Singapura

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Sejarah Perundingan Batas Maritim Indonesia Singapura BAB II DASAR TEORI 2.1 Sejarah Perundingan Batas Maritim Indonesia Singapura Seperti yang telah kita ketahui, permasalahan batas maritim untuk Indonesia dengan Singapura sudah pernah disinggung dan disepakati

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si khodijah5778@gmail.com www. Khodijahismail.com POKOK BAHASAN Kontrak Perkuliahan dan RPKPS (Ch 01) Terminologi Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si ZONASI LAUT TERITORIAL Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas. Untuk landas kontinen negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat

Lebih terperinci

Sayidiman Suryohadiprojo. Jakarta, 24 Juni 2009

Sayidiman Suryohadiprojo. Jakarta, 24 Juni 2009 Sayidiman Suryohadiprojo Jakarta, 24 Juni 2009 Pada tanggal 23 Juni 2009 di Markas Besar Legiun Veteran RI diselenggarakan ceramah tentang masalah Ambalat. Yang bertindak sebagai pembicara adalah Laksma

Lebih terperinci

Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2

Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2 Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2 Di awal tahun 2005, bangsa ini gempar oleh satu kata Ambalat. Media massa memberitakan kekisruhan yang terjadi di Laut Sulawesi perihal sengketa

Lebih terperinci

Hukum Laut Indonesia

Hukum Laut Indonesia Hukum Laut Indonesia Pengertian Hukum Laut Hukum Laut berdasarkan pendapat ahli ahli : Hukum laut menurut dr. Wirjono Prodjodikoro SH adalah meliputi segala peraturan hukum yang ada hubungan dengan laut.

Lebih terperinci

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, 1982 c.bahwa...

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, 1982 c.bahwa... UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2OL7 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA DAN REPUBLIK SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH KEDUA NEGARA DI BAGIAN TIMUR SELAT SINGAPURA, 2014 (TREATY BETWEEN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terbentang memanjang dari Sabang hingga Merauke dan dari Pulau Miangas di ujung Sulawesi Utara sampai ke Pulau Dana di selatan

Lebih terperinci

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional Wilayah Negara Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 menyatakan bahwa: The state as a person of international law should possess the following qualifications: (a) a

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN MEMORANDUM OF UNDERSTANDING ON THE ASEAN POWER GRID (MEMORANDUM SALING PENGERTIAN MENGENAI JARINGAN TRANSMISI TENAGA LISTRIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2002 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2002 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2002 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Undang-undang

Lebih terperinci

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia Abdul Muthalib Tahar dan Widya Krulinasari Dosen Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penetapan batas wilayah teritorial laut telah menjadi permasalahan antar negaranegara bertetangga sejak dulu. Kesepakatan mengenai batas teritorial adalah hal penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Asia Tenggara merupakan suatu kawasan di Asia yang memiliki sekitar

BAB I PENDAHULUAN. Asia Tenggara merupakan suatu kawasan di Asia yang memiliki sekitar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Asia Tenggara merupakan suatu kawasan di Asia yang memiliki sekitar 80% merupakan wilayah lautan. Hal ini menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai jalur alur

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI KEMENTERIAN PERTAHANAN, KEMENTERIAN LUAR NEGERI, KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, TENTARA NASIONAL INDONESIA, BADAN INTELIJEN NEGARA, DEWAN KETAHANAN NASIONAL, LEMBAGA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 61-1998 diubah: PP 37-2008 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 72, 2002 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

MUHAMMAD NAFIS PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM

MUHAMMAD NAFIS PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM MUHAMMAD NAFIS 140462201067 PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM Translated by Muhammad Nafis Task 8 Part 2 Satu hal yang menarik dari program politik luar negeri Jokowi adalah pemasukan Samudera Hindia sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.4925 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177 ) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. samudera Hindia dan samudera Pasifik dan terletak di antara dua benua yaitu

PENDAHULUAN. samudera Hindia dan samudera Pasifik dan terletak di antara dua benua yaitu PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), merupakan negara kepulauan yang terbesar di dunia. Secara geografis berada pada batas dua samudera, yaitu samudera Hindia dan samudera

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Konsep Negara kepulauan Evolusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ambalat adalah blok laut seluas Km2 yang terletak di laut

BAB I PENDAHULUAN. Ambalat adalah blok laut seluas Km2 yang terletak di laut 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ambalat adalah blok laut seluas 15.235 Km2 yang terletak di laut Sulawesi atau Selat Makassar milik negara Indonesia sebagai negara kepulauan. Hal ini dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Setelah Mahkamah Hukum Internasional menjatuhkan putusan kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia pada tanggal 17 Desember 2002, Indonesia memasuki suatu

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu :

BAB II DASAR TEORI. Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu : BAB II DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu : 1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat internasional, pasti tidak lepas dari masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum internasional yang sering muncul

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang.

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang. BAB V KESIMPULAN Asia Tenggara merupakan kawasan yang memiliki potensi konflik di masa kini maupun akan datang. Konflik perbatasan seringkali mewarnai dinamika hubungan antarnegara di kawasan ini. Konflik

Lebih terperinci

2 dunia. Kerjasama yang terjalin diantara negara-negara menjadikan status antar negara adalah partner bukan musuh sehingga keinginan untuk saling bers

2 dunia. Kerjasama yang terjalin diantara negara-negara menjadikan status antar negara adalah partner bukan musuh sehingga keinginan untuk saling bers BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi telah menjadi fenomena yang terjadi secara global yang cukup mempengaruhi tatanan dunia hubungan internasional dewasa ini. Globalisasi merupakan proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Situasi politik keamanan di Laut Cina Selatan dalam beberapa tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Situasi politik keamanan di Laut Cina Selatan dalam beberapa tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Situasi politik keamanan di Laut Cina Selatan dalam beberapa tahun terakhir menjadi semakin buruk. Penyebabnya adalah pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) yang semakin

Lebih terperinci

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2006) 1

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2006) 1 ABSTRAK KAJIAN KERJASAMA ANTARA PEMERINTAH INDONESIA, MALAYSIA DAN SINGAPURA DALAM MENANGANI MASALAH KEAMANAN DI SELAT MALAKA Selat Malaka merupakan jalur pelayaran yang masuk dalam wilayah teritorial

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 47 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA DAN AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON THE FRAMEWORK FOR

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS KONFLIK INDONESIA MALAYSIA TENTANG KEPEMILIKAN HAK BERDAULAT ATAS BLOK AMBALAT DAN AMBALAT TIMUR

TINJAUAN YURIDIS KONFLIK INDONESIA MALAYSIA TENTANG KEPEMILIKAN HAK BERDAULAT ATAS BLOK AMBALAT DAN AMBALAT TIMUR TINJAUAN YURIDIS KONFLIK INDONESIA MALAYSIA TENTANG KEPEMILIKAN HAK BERDAULAT ATAS BLOK AMBALAT DAN AMBALAT TIMUR Rosmi Hasibuan Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Abstract: Overlap claming

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara

Lebih terperinci

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III Gambar Batas-batas ALKI Lahirnya Konvensi ke-3 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai hukum laut (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS),

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan Indonesia terkait dengan prinsip Wawasan Nusantara telah membuahkan hasil dengan diakuinya konsep negara kepulauan atau archipelagic state secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 18 menetapkan bahwa wilayah daerah provinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban yang dilakukan di laut baik itu oleh

BAB V KESIMPULAN. wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban yang dilakukan di laut baik itu oleh BAB V KESIMPULAN Laut memiliki peranan penting baik itu dari sudut pandang politik, keamanan maupun ekonomi bagi setiap negara. Segala ketentuan mengenai batas wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal... DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR GRAFIK... iii DAFTAR SINGKATAN... iii ABSTRAK... iii ABSTRACT... iv BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Rumusan

Lebih terperinci

SISTEMATIKA PEMAPARAN

SISTEMATIKA PEMAPARAN PENYELESAIAN BATAS MARITIM DENGAN NEGARA-NEGARA TETANGGA SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MEMINIMALISIR KEGIATAN IUU FISHING I Surabaya 22 September 2014 Seminar Hukum Laut Nasional 2014 Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6181 PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 12) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN LAPORAN PENELITIAN KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN Oleh: Drs. Simela Victor Muhamad, MSi.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia, Negara Republik

Lebih terperinci

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) Copyright 2002 BPHN UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) *9571 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN (The Protection and the Conservation of Fishery Resources in the Economic Exclusive Zone Among the Asean States)

Lebih terperinci

maka dunia internasional berhak untuk memakai kembali wilayah laut Indonesia dengan bebas seperti sebelumnya 298.

maka dunia internasional berhak untuk memakai kembali wilayah laut Indonesia dengan bebas seperti sebelumnya 298. 115 maka dunia internasional berhak untuk memakai kembali wilayah laut Indonesia dengan bebas seperti sebelumnya 298. Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 tidak hanya memberi keuntungan-keuntungan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah suatu negara yang kita kenal seperti udara dan darat juga lautan. Namun masalah kelautan atau wilayah laut tidak dimiliki oleh setiap negara, hanya negara-negara

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. tahun 2006 tentang tim nasional pembakuan rupa bumi. Saat ini ada

BAB III PENUTUP. tahun 2006 tentang tim nasional pembakuan rupa bumi. Saat ini ada 45 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Sejauh ini upaya hukum yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam menangani pulau pulau terluar di Indonesia adalah sejak tahun 2005 pemerintah telah melakukan

Lebih terperinci

PRINSIP EQUITABLE DALAM PENETAPAN MARITIME BOUNDARY DELIMITATION ANTARA INDONESIA DENGAN SINGAPURA PASCA PENGESAHAN PERJANJIAN PERBATASAN TAHUN 2016

PRINSIP EQUITABLE DALAM PENETAPAN MARITIME BOUNDARY DELIMITATION ANTARA INDONESIA DENGAN SINGAPURA PASCA PENGESAHAN PERJANJIAN PERBATASAN TAHUN 2016 PRINSIP EQUITABLE DALAM PENETAPAN MARITIME BOUNDARY DELIMITATION ANTARA INDONESIA DENGAN SINGAPURA PASCA PENGESAHAN PERJANJIAN PERBATASAN TAHUN 2016 Chomariyah Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN CHARTER OF THE ASSOCIATION OF SOUTHEAST ASIAN NATIONS (PIAGAM PERHIMPUNAN BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

MASALAH PERBATASAN NKRI

MASALAH PERBATASAN NKRI MASALAH PERBATASAN NKRI Disusun oleh: Nama : Muhammad Hasbi NIM : 11.02.7997 Kelompok Jurusan Dosen : A : D3 MI : Kalis Purwanto STMIK AMIKOM YOGYAKARTA Jl. Ring Road Utara, Condong Catur Yogyakarta ABSTRAK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

Kompleksitas Sengketa Celah Timor

Kompleksitas Sengketa Celah Timor Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Gd. Nusantara I Lt. 2 Jl. Jend. Gatot Subroto Jakarta Pusat - 10270 c 5715409 d 5715245 m infosingkat@gmail.com BIDANG HUBUNGAN INTERNASIONAL KAJIAN SINGKAT TERHADAP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah merupakan salah satu dari tiga unsur mutlak yang harus dimiliki oleh suatu negara. Malcolm N.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah merupakan salah satu dari tiga unsur mutlak yang harus dimiliki oleh suatu negara. Malcolm N. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah merupakan salah satu dari tiga unsur mutlak yang harus dimiliki oleh suatu negara. Malcolm N. Shaw dalam bukunya menyatakan sebuah badan hukum tanpa

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan

BAB V PENUTUP. Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan BAB V PENUTUP 4.1. Kesimpulan Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan masyarakat di Asia Tenggara meluas mencangkup persolan-persoalan yang tidak terbatas pada

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

Ketika Capres bicara Kedaulatan, Batas Maritim dan Laut China Selatan. I Made Andi Arsana, Ph.D.

Ketika Capres bicara Kedaulatan, Batas Maritim dan Laut China Selatan. I Made Andi Arsana, Ph.D. Ketika Capres bicara Kedaulatan, Batas Maritim dan Laut China Selatan I Made Andi Arsana, Ph.D. Jutaan orang menyaksikan debat capres ketiga tanggal 22 Juni lalu. Temanya, setidaknya menurut saya, sangat

Lebih terperinci

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH Disampaikan pada Diskusi Publik Analisis dan Evaluasi Hukum Dalam Rangka Penguatan Sistem Pertahanan Negara Medan, 12 Mei 2016 PASAL 1 BUTIR 2 UU NO 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara.

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara. 243 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara. Untuk itu setiap negara mempunyai kewenangan menentukan batas wilayah

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1982 TENTANG MENGESAHKAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH PAPUA NUGINI TENTANG BATAS-BATAS MARITIM ANTARA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek BAB V KESIMPULAN Illegal Fishing merupakan kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan yang tidak bertanggung jawab dan bertentangan oleh kode etik penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk

Lebih terperinci

NAVIGASI. Pengertian Lintas (Art. Art. 18 LOSC) SELAT SELAT REZIM HAK LINTAS. Dalam arti geografis: Dalam arti yuridis: lain.

NAVIGASI. Pengertian Lintas (Art. Art. 18 LOSC) SELAT SELAT REZIM HAK LINTAS. Dalam arti geografis: Dalam arti yuridis: lain. SELAT NAVIGASI Iman Prihandono, SH., MH., LL.M Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Airlangga E-Mail: iprihandono@unair.ac.id Blog: imanprihandono.wordpress.com Dalam arti geografis:

Lebih terperinci

PENGATURAN HUKUM HAK LINTAS DAMAI MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT 1982 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA 1 Oleh: Monica Carolina Ingke Tampi 2

PENGATURAN HUKUM HAK LINTAS DAMAI MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT 1982 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA 1 Oleh: Monica Carolina Ingke Tampi 2 PENGATURAN HUKUM HAK LINTAS DAMAI MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT 1982 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA 1 Oleh: Monica Carolina Ingke Tampi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian yaitu untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan

Lebih terperinci

Indonesia Malaysia Singapura Vietnam Filipina. Thailand Brunei Darussalam Kamboja Laos Myanmar

Indonesia Malaysia Singapura Vietnam Filipina. Thailand Brunei Darussalam Kamboja Laos Myanmar Indonesia Malaysia Singapura Vietnam Filipina Ibukota Bentuk Pemerintahan Mata uang Bahasa resmi Lagu kebangsaan Agama Thailand Brunei Darussalam Kamboja Laos Myanmar Ibukota Bentuk Pemerintahan Mata uang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA TENTANG KEGIATAN KERJASAMA DI BIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun No.573, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ATR/BPN. Pertanahan. Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penataan. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK

Lebih terperinci

2017, No Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tamb

2017, No Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tamb No.580, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMHAN. Pengamanan Perbatasan. Pengerahan Tentara Nasional Indonesia. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGERAHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perbatasan darat dengan tiga negara tetangga, yaitu Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Sementara perbatasan laut dengan sepuluh negara tetangga,

Lebih terperinci

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia Sejarah Peraturan Perikanan Indonesia Peranan Hukum Laut dalam Kedaulatan RI Laut Indonesia pada awalnya diatur berdasarkan Ordonansi 1939 tentang Wilayah Laut dan Lingkungan Maritim yg menetapkan laut

Lebih terperinci