TINJAUAN YURIDIS KONFLIK INDONESIA MALAYSIA TENTANG KEPEMILIKAN HAK BERDAULAT ATAS BLOK AMBALAT DAN AMBALAT TIMUR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN YURIDIS KONFLIK INDONESIA MALAYSIA TENTANG KEPEMILIKAN HAK BERDAULAT ATAS BLOK AMBALAT DAN AMBALAT TIMUR"

Transkripsi

1 TINJAUAN YURIDIS KONFLIK INDONESIA MALAYSIA TENTANG KEPEMILIKAN HAK BERDAULAT ATAS BLOK AMBALAT DAN AMBALAT TIMUR Rosmi Hasibuan Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Abstract: Overlap claming oil reserve area on Ambalat (blok Ambalat) and East Ambalat of Sulawesi of shores between Indonesia and Malaysia have created huge tense relationship for both countries. Both of the countries respectively have sent navy and war vessels to the conflicting areas to defend the reserved oil. In accordance with article76 of the UNCLOS 1982, Ambalat and East Ambalat area belong to the Indonesia Continental shelf. On the other hand, Malaysia, based on its 1979 map and regard with The hague International Court of Justice 2002 verdict reveals the opportunity to own sovereign right over Ambalat and East Ambalat. Kata Kunci: Konflik, Indonesia, Malaysia, Blok Ambalat Setelah lepas Pulau Sipadan dan Ligitan dari wilayah Indonesia melalui keputusan Internasional Court of Justice (ICJ) 17 Desember 2002, kini muncul konflik baru antara Indonesia-Malaysia mengenai kepemilikan Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Blok Ambalat dan Ambalat Timur (untuk sebutan Indonesia) atau blok XYZ untuk sebutan Malaysia bukanlah pulau, tetapi daerah operasi minyak dan gas alam yang berada di kawasan perairan Laut Sulawesi, pada posisi 40 mil dari pulau Sebatik Indonesia atau 30 mil dari pulau Bunyu, 12 mil dari Karang Unarang dan 12 mil di selatan Pulau Sipadan-Ligitan Malaysia (Asnawi, 2005). Sebagai ilustrasi bahwa luasnya yang harus dikontrol dan diamankan di wilayah Perairan Ambalat km 2 dan wilayah Ambalat Timur luasnya 4.739,64 km 2 atau Laut Sulawesi yang luas secara keseluruhan yaitu kurang lebih km 2 (Rivai, 2005). Ketegangan hubungan Indonesia bermula dari pemberian izin konsesi eksplorasi sumber daya alam minyak oleh Malaysia melalui perusahaan minyak nasionalnya Petronas kepada perusahaan minyal Shell Belanda pada 16 Februari Pemberian izin konsesi ini menimbulkan kemarahan bagi Indonesia, karena sudah sejak lama Indonesia telah mengklaim tempat yang sama. Total izin bagi hasil (production sharing) yang pernah diberikan Indonesia kepada pihak asing, yaitu pada tahun 1967 Blok Penyu dikelola oleh perusahaan minyak Perancis, tahun 1970 lepas pantai North East Kalimantan dikelola oleh British Petroleum, tahun 1983 Blok Penyu dikelola Hudson Bunyu, tahun 1988 perusahaan migas Italy ENY mengikat kontrak penambangan minyak di Blok Ambalat dengan Indonesia dan berakhir tahun 2009, tahun 2000 perusahaan minyak Shell Belanda dijadikan patner Petronas perusahaan minyak nasional Malaysia untuk mengelola Blok Ambalat, Kemudian tahun 2004, Anacol, perusahaan minyak Amerika menandatangani kontrak dengan Indonesia untuk mengeksplorasi minyak di Blok Ambalat Timur (Republika, Maret 2005). Menurut kelaziman dalam hukum internasional, karena Malaysia tidak mengajukan protes terhadap kegiatan-kegiatan Indonesia dalam penambangan lepas pantai sejak tahun 1960-an hingga pasca Peta Malaysia 1979, itu berarti pengakuan Malaysia terhadap kepemilikan hak berdaulat Indonesia atas daerah cadangan minyak itu. Akhir tahun 2004 Indonesia menawarkan kontrak baru di Blok Ambalat, tetapi kontrak baru ini diprotes Malaysia. Malaysia memprotes setelah memenangkan kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan melalui keputusan ICJ 2002 dan memasukkan kedua pulau tersebut kedalam peta 1979 menjadi bagian wilayah Malaysia yang merupakan kesatuan dengan daratan wilayah Sabah. Oleh karena itu Ambalat dan Ambalat Timur yang letaknya 12 mil dari selatan Sipadan dan Ligitan menurut anggapan Malaysia adalah milik Malaysia. Berlanjut kemudian sebagaimana disebutkan di atas, Malaysia memberikan izin kepada perusahaan minyak Shell Belanda pada 15 Februari 2005, pemberian izin ini menimbulkan kemarahan besar Indonesia, karena daerah cadangan minyak itu terlebih dahulu telah diklaim oleh Indonesia. Klaim tumpang tindih ini menimbulkan ketegangan hubungan antara Indonesia-Malaysia, masing-masing unjuk kekuatan dengan mengirimkan armada tempur ke daerah konflik sebagai wujud untuk mempertahankan kepemilikan hak berdaulat atas Blok Ambalat dan Ambalat Timur. GARIS PANGKAL LAUT TERITORIAL MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT 1982 Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982) dibuat merupakan hasil kesepakatan negara-negara di bawah PBB yang ditandatangani 10 Desember 1982 di Motigo Buy Jamaica, dan mulai berlaku pada 16 November Indonesia 65

2 Rosmi Hasibuan: Tinjauan Yuridis Konflik Indonesia Malaysia mengikatkan diri pada KHL 1982 berdasarkan UU No.17 Tahun 1985, sedangkan Malaysia mengikatkan diri pada tahun Dalam KHL 1982 terdapat tiga cara penarikan garis pangkal laut teritorial atau garis dari mana laut teritorial mulai diukur, yaitu cara penarikan garis pangkal normal (normal base lines), cara penarikan garis pangkal lurus (straight base lines), dan cara penarikan garis pangkal kepulauan (archipelagic baselines). Suatu negara pantai biasanya dibenarkan sekaligus menggunakan garis pangkal biasa atau garis pangkal normal dan garis pangkal lurus apabila konfigurasi pantainya memungkinkan cara penarikan garis pangkal tersebut. Cara penarikan garis pangkal biasa (normal base lines) untuk mengukur laut teritorial adalah garis air rendah di sepanjang pantai suatu negara. Untuk pulau-pulau yang mempunyai karang di sekitarnya, maka garis pangkal untuk mengukur laut teritorial adalah garis air rendah pada sisi karang ke arah laut. Sedangkan penarikan garis pangkal lurus (straight base lines) adalah garis yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial dengan menghubungkan titik-titik yang tepat. Garis pangkal lurus digunakan di tempat-tempat di mana garis pantai menjorok jauh ke dalam atau jika terdapat sederetan pulau-pulau sepanjang pantai di dekatnya. Demikian juga elevasi surut (law tide elevation), yaitu wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah yang dikelilingi dan berada di permukaan laut pada waktu air surut dan berada di permukaan laut pada waktu air surut dan berada di permukaan laut pada waktu air pasang. Elevansi surut ini dapat dijadikan titik-titik pangkal yang menghubungkan garis pangkal laut teritorial apabila di atasnya dibangun mercusuar yang permanen atau instalasi yang sejenis. Penarikan garis pangkal lurus laut teritorial tidak boleh memotong laut teritorial, laut lepas, dan zona ekonomi eksklusif negara lain (pasal 7). Garis pangkal kepulauan (archipelagic baselines). Suatu negara kepulauan dapat menarik garis pangkal kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau dan karang terluar. Selain dari itu dapat juga menggunakan elevansi surut dengan membuat bangunan permanen di atasnya, seperti mercusuar atau instalasi yang sejenis sebagai titik pangkal kepulauan untuk menghubungkan garis pangkal kepulauan. Penarikan garis pangkal kepulauan tidak boleh dilakukan melebihi 100 mil laut atau 3% dari jumlah seluruh garis pangkal kepulauan dan hingga pada suatu kepanjangan maksimum 125 mil laut. Penarikan garis pangkal ini dicantumkan pada peta dengan skala yang memadai untuk mengetahui posisinya, dan sebagai gantinya dapat juga dibuat daftar titik koordinat geografis. Peta dan titik-titik koordinat geografis tersebut harus dideposit atau disimpan pada sekretariat PBB (pasal 47). GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA MENURUT UU NO. 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA Dengan diterimanya prinsip negara kepulauan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982), Indonesia telah mengimplementasikannya melalui UU No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Undang-undang ini juga sekaligus mencabut undang-undang yang lama tentang perairan Indonesia, yaitu UU No.4/Prp/1960. Menurut pasal 5 UU No. 6 Tahun 1996, garis pangkal kepulauan Indonesia adalah garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis rendah pulau-pulau dan karang terluar dari kepulauan Indonesia. Sejalan dengan pasal 47 KHL 1982, maka pada pasal 5 UU No. 6 Tahun 1996 tersebut elevansi surut dapat dijadikan sebagai titik pangkal yang menghubungkan garis pangkal kepulauan Indonesia apabila di atasnya dibangun mercusuar atau instalasi serupa yang permanen. Selanjutnya dalam pasal menyatakan garis pangkal kepulauan Indonesia tersebut dicantumkan dalam peta yang memadai untuk menegaskan posisinya atau dapat juga dibuat titik-titik koordinat geografis dan lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah yang dimaksudkan yaitu PP No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Peraturan Pemerintah ini memuat 183 titik pangkal kepulauan Indonesia termasuk titik pangkal Pulau Sipadan dan Ligitan. Pemerintah sekarang ini sedang merevisi PP No. 38 Tahun 2002 dengan beralihnya pulau Sipadan dan Ligitan menjadi milik Malaysia melalui keputusan International Court of Justice (ICJ) 17 Desember Untuk menggantikan titik-titik pangkal Sipadan dan Ligitan, yang menjadi pilihan sebagai penggantinya adalah Karang Unarang. Karang Unarang bukanlah pulau tetapi elevasi surut (low tide elevation) yang terletak pada posisi masih dalam batas kurang 12 mil laut Kalimantan Timur atau berada dalam 12 mil laut dari 47 KHL 1982 dan menurut pasal 5 UU No. 6 Tahun 1996, Indonesia masih berhak dalam jarak 100 mil. Karang Unarang juga terletak pada posisi 12 mil di luar batas maritim Malaysia dan 12 mil di selatan Pulau Sipadan, batas maritim klaim Malaysia ini tidak pernah dibicarakan dengan Indonesia (Havas, 2005). Sekarang ini telah dibangun mercusuar di atas Karang Unarang yang dijadikan sebagai acuan bagi penarikan garis batas maritim laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen. Dijadikannya Karang Unarang sebagai titik pangkal terluar Indonesia yang terletak 12 mil di luar klaim batas maritim Malaysia, maka Malaysia akan kehilangan langkah untuk mengklaim Blok Ambalat dan Ambalat Timur yang mencakup landas kontinen dan perairannya sejauh 200 mil laut dari perbatasan maritim (Asnawi, 2005). LANDAS KONTINEN (CONTINENTAL SHELF) Dalam hukum laut internasional yang dijadikan dasar hukum penambangan lepas pantai, yaitu Konvensi Hukum Laut 1958 hasil dari Konferensi Hukum Laut PBB I, dirumuskan dalam Konvensi IV tentang Landas Kontinen. Sedangkan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 hasil dari Konferensi Hukum Laut PBB III pengaturannya dirumuskan dalam BAB VI pasal 76 sampai dengan pasal 85. Pasal 1 Konvensi Hukum Laut 1958 (KHL 1958) tentang Landas 66

3 Kontinen, yang dimaksud dengan landas kontinen pada pokoknya mencakup dasar laut dan tanah di bawah permukaan laut yang berdekatan dengan pantai yang merupakan bagian terluar dari laut teritorial sampai kedalaman 200 meter atau di luar batas kedalam 200 meter, untuk tujuan eksploitasi sumber kekayaan alam dasar laut dan tanah di bawahnya, seperti minyak dan gas bumi. Dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982), landas kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga tepian kontinen minimal jarak 200 mil laut dari garis pangkal laut teritorial atau tidak boleh melebihi 100 mil laut dari kedalaman (isobath) 2500 meter. Di landas kontinen, negara pantai mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam mineral seperti minyak, gas bumi, dan kekayaan alam lainnya (pasal 76 dan 77). Berdasarkan ketentuan tersebut di atas landas kontinen menurut KHL 1958 menggunakan ukuran kedalaman laut, yaitu kedalaman 200 meter dan ukuran kemampuan teknologi untuk mengambil kekayaan alamnya (technical exploitability), sedangkan menurut KHL 1982 menggunakan ukuran jarak (horizontal). Bertitik tolak pada dua hukum laut intenasional tersebut penentuan batas landas kontinen Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka dan Selat Singapura lebih tepat menggunakan KHL 1958, karena kedalaman perairan di Selat Malaka, Selat Singapura dan Laut Cina Selatan kurang dari 200 meter yang didasarkan pada penarikan garis tengah (median lines). Kecuali di Laut Sulawesi yang kedalaman lautnya hingga lebih 6000 meter, maka penentuan batas landas kontinennya lebih cocok menggunakan KHL Sebagaimana dijelaskan pada awal penulisan, bahwa sejak tahun 1967 Indonesia telah memberikan izin konsesi eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi dan gas alam pada pihak asing di laut Sulawesi kawasan Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Meskipun Indonesia pada waktu itu tidak terikat pada KHL 1958 tentang Landas Kontinen, pemberian izin konsesi didasar pada Hukum Kebiasaan Internasional. Menyusul kemudian Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah tahun 1969 tentang Landas Kontinen Indonesia. Peraturan Pemerintah tahun 1969 ini dipandang perlu untuk ditingkatkan menjadi undang-undang, yaitu UU No.1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. Undang-undang ini selain merupakan dasar hukum hak berdaulat Indonesia untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alam yang terkandung di landas kontinennya, juga merupakan jaminan hukum pihak asing yang mengadakan kerjasama dengan Indonesia dalam kegiatan penambangan lepas pantai di landas kontinen Indonesia. Meskipun Indonesia sudah meratifikasi KHL 1982, tetapi sampai sekarang masih menggunakan UU No.1 Tahun 1973 yang berpedoman pada KHL PETA MALAYSIA TAHUN 1979 Pada bulan Agustus 1969 Malaysia mengundangkan Essensial Powers Ordonance. Melalui undang-undang ini Pemerintah Malaysia mengumumkan lebar laut teritorialnya menganut 12 mil laut yang diukur dari garis dasar dengan menarik garis pangkal lurus menurut ketentuan Konvensi Hukum Laut 1958 mengenai Laut Teritorial dan Contiguous Zone. Yang terjadi kemudian pada 21 Desember 1979 Pemerintah Malaysia melakukan tindakan sepihak (unilateral act) dengan mendeklarasikan Peta Malaysia Peta ini memuat kejanggalan yang merugikan negara-negara lain disekitarnya. Garis pangkal dan titik pangkal untuk menentukan batas wilayahnya hanya diketahui oleh Malaysia sendiri. Dalam pergaulan internasional suatu negara harus memberitahukan titik-titik pangkal dan garis pangkal laut teritorialnya agar negara lain dapat mengetahuinya. Tahun 1980 Indonesia memprotes peta Malaysia 1979 itu, demikian juga negra-negara lain seperti Singapura, Filipina, Brunei Darussalam mewakili Inggris dan negara lainnya melakukan protes yang sama atas peta tersebut, tetapi protes ini tidak dihiraukan Malaysia dan tidak pernah dirundingkan. (Havas, 2005). Dalam peta 1979 Malaysia menarik garis batas wilayah dari deretan pantai Sabah dengan menarik garis pengkal lurus ke Pulau Sipadan dan Ligitan. Meskipun jauh sebelum keputusan ICJ 2002, Malaysia telah memasukkan pulau Sipadan dan Ligitan sebagai wilayah kedaulatan Malaysia dan menjadi kesatuan dengan wilayah daratan Sabah. Pulau Sipadan terletak sekitar 15 mil laut dari pantai daratan Sabah di Malaysia Timur dan 40 mil laut dari pulau Sebatik sedangkan pulau Ligitan berjarak 21 mil laut dari pantai daratan Sabah dan 57,6 mil laut dari Pulau Sebatik. Luas Pulau Sipadan kurang lebih 10,4 ha, sedangkan Pulau Ligitan luasnya sekitar 7,9 ha (Proses Litigasi, 2002). Ditinjau dari hukum laut internasional, Malaysia bukanlah negara Kepulauan oleh karena itu tidak dibenarkan menarik garis pangkal demikian sebagai penentuan batas laut wilayah dan landas kontinennya. Malaysia hanyalah negara pantai biasa yang hanya dibenarkan menarik garis pangkal normal (biasa) dan garis pangkal lurus apabila memenuhi persyaratan-persyaratan, yaitu terdapat deretan pulau atau karang di hadapan daratan pantainya dan harus mempunyai ikatan kedekatan dengan wilayah daratan Sabah untuk tunduk pada rezim hukum perairan pedalaman sesuai dengan pasal 5 KHL 1958 tentang Laut Teritorial dan Contiguous Zone dan sesuai dengan pasal 7 KHL Pendapat Arif Havasoegroseno, direktur perjanjian politik, keamanan, dan kewilayahan Indonesia mengatakan, dalam hukum kebiasaan Internasional jika klaim suatu negara merupakan tindakan sepihak dari negara tersebut (unilateral action) tidak mendapat protes dari negara-negara terutama negara tetangganya, maka setelah 2 (dua) tahun klaim tersebut dinyatakan sah. Sehubungan dengan Peta Malaysia 1979 yang mendapat banyak protes dari negara-negara tetangga dan negara lainnya sesungguhnya peta tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. 67

4 Rosmi Hasibuan: Tinjauan Yuridis Konflik Indonesia Malaysia KONSEP KEWILAYAHAN PERAIRAN NEGARA NUSANTARA INDONESIA Indonesia pernah juga melakukan tindakan sepihak (unilateral act) tentang konsep kewilayahan negara nusantara (negara kepulauan) yang dicetuskan melalui Peraturan Pemerintah tanggal 13 Desember Peraturan Pemerintah ini kemudian ditingkatkan menjadi undang-undang, yaitu UU No.4/Prp./1960. Undang-undang ini menyatakan, jalur laut wlayah (laut teritorial) Indonesia selebar 12 mil diukur terhitung dari garis pangkal lurus, yaitu garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar. Negara berdaulat atas segala perairan yang terletak dalam garis pangkal lurus ini dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Tindakan sepihak Indonesia ini tidak pernah diprotes oleh negara-negara tetangganya, bahkan Indonesia membuat perjanjian batas wilayah dengan Malaysia di Selat Malaka pada 1970 dan dengan Singapura di Selat Singapura pada Kemudian Indonesia mengadakan perjanjian batas dasar laut dengan Australia pada 1971 dan 1973, perjanjian batas wilayah laut dengan Papua Nugini, selatan Irian Jaya 1973 serta perjanjian landas kontinen dengan India 1974 (Mochtar, 1986). Perjanjian batas wilayah perairan ini dibuat dengan titik-titik pangkal yang menghubungkan garis pangkal lurus berdasarkan UU No.4/Prp./1960. Dibuatnya perjanjian batas wilayah perairan tersebut merupakan wujud pengakuan negara-negara tetangga terhadap konsep wilayah perairan Negara Kepulauan Indonesia. Dengan diterimanya prinsip Negara Kepulauan dalam Konvensi Hukum Laut 1982, maka konsep Negara Kepulauan Indonesia mendapat pengakuan secara Internasional. Peluang Untuk Memiliki Hak Berdaulat Atas Blok Ambalat dan Ambalat Timur (East Ambalat) Secara fakta geografis blok Ambalat dan Ambalat Timur merupakan kelanjutan alamiah dari Kalimantan Timur (Indonesia). Jarak Kalimantan Timur ke blok Ambalat dan Ambalat Timur sekitar 30 dan 40 mil laut. Dengan tunduk pada rezim hukum landas kontinen pasal 76 KHL 76 KHL 1982 kedua blok tersebut berada dalam 200 mil laut, oleh karena itu Indonesia mempunyai hak berdaulat atas blok Ambalat dan Ambalat Timur, oleh karena itu segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan kewenangan dan yurisdiksi Indonesia. Sementara itu, Sabah, Malaysia mengklaim blok Ambalat dan Ambalat Timur merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan Sabah, oleh karena itu mempunyai kewenangan dan yurisdiksi atas kekayaan yang terkandung di dalamnya. Menurut pakar hukum laut internasional Hasjim Djalal dalam catatan hukum laut internasional antara Sabah dan kedua blok tersebut, yaitu Ambalat dan Ambalat Timur dipisahkan oleh laut dalam sampai kedalaman 6000 meter, oleh karena itu tidak mungkin bisa dikatakan bahwa Blok Ambalat dan Ambalat Timur merupakan kelanjutan alamiah wilayah daratan Sabah. Dengan alasan ini Malaysia tidak mempunyai kewenangan dan yurisdiksi atas kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Untuk membenarkan pendirian Indonesia bahwa kelanjutan alamiah Kalimantan Timur sampai ke Blok Ambalat dan Ambalat Timur perlu dibuktikan secara alamiah yang dilakukan oleh orang-orang ahli bidang hidro-oceanografi dan geodesic. Demikian juga dengan Sabah perlu dibuktikan bahwa kelanjutan alamiah daratan Sabah tidak sampai ke blok Ambalat dan Ambalat Timur. Sejak tahun 1967 hingga pasca Peta Malaysia 1979 Indonesia terus melakukan izin konsesi eksplorasi kepada pihak asing dan selama itu juga tidak pernah mendapat protes dari Malaysia. Keadaan berubah setelah keputusan ICJ 17 Desember 2002 dengan memenangkan pulau Sipadan dan Ligitan menjadi milik Malaysia. Dalam peta 1979 Pulau Sipadan dan Ligitan dijadikan menjadi satu kesatuan dengan wilayah daratan Sabah untuk menentukan garis batas laut teritorial, ZEE dan landas kontinen untuk dapat mengklaim Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Malaysia bukanlah negara kepulauan yang dapat melakukan cara demikian. Menurut pasal 121 KHL 1982 pulau-pulau kecil di tengah laut hanya mempunyai laut teritorial, ZEE dan landas kontinen, tetapi tidak bisa dijadikan penetapan batas landas kontinen. Penetapan batas landas kontinen dua negara tidak bisa dimulai dari pulau-pulau kecil, tetapi harus dimulai dari garis pangkal dengan menggunakan normal base lines atau straght base lines. Oleh karena itu pulau Sipadan dan Ligitan tidak bisa dipakai sebagai penetapan garis batas landas kontinen, tetapi harus dimulai dari garis pangkal laut teritorial dihadapan daratan Sabah dan pulau Sebatik Malaysia. Dengan berpatokan pada pasal 47 KHL 1982 Indonesia membangun mercusuar di atas Karang Unarang untuk dijadikan sebagai titik pangkal kepulauan Indonesia menggantikan Pulau Sipadan dan Ligitan. Indonesia sebagai negara kepulauan berhak menentukan titik-titik pangkal kepulauannya untuk menghubungkan garis pangkal kepulauan sesuai dengan pasal 47 KHL Karang Unarang yang terletak 12 mil di luar batas klaim maritim Malaysia dijadikan sebagai titik pangkal menghubungkan garis pangkal kepulauan Indonesia untuk menentukan lebar laut teritorial 12 mil laut dan landas kontinen 200 mil laut. Ditentukannya Karang Unarang sebagai titik pangkal kepulauan Indonesia akan menghambat klaim Malaysia atas Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Berdasarkan fakta-fakta yuridis tersebut di atas Indonesia berpeluang lebih besar untuk memiliki hak berdaulat atas daerah cadangan minyak Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Namun dalam menyikapi konflik mengenai Ambalat dan Ambalat Timur ini, sebaiknya kedua negara bisa menahan diri agar dapat menyelesaikan kasus ini dengan baik. Indonesia dan Malaysia merupakan negara sahabat dan sesama anggota ASEAN keduanya harus bijaksana menyelesaikan kasus ini, selain menggunakan pertimbangan hukum juga perlu menggunakan prinsip equity yang berkeadilan. Letak pulau, luas pulau dibandingkan dengan luas daratannya, panjang garis pantai, jumlah penduduk dan sebagainya merupakan salah satu kaedah yang umum dalam perundingan berkenaan dengan penyelesaian kasus Ambalat dan Ambalat Timur. 68

5 KESIMPULAN Terjadinya ketegangan hubungan antara Indonesia-Malaysia disebabkan masing-masing negara mengklaim sebagai yang memiliki hak berdaulat atas daerah cadangan minyak Blok Ambalat dan Ambalat Timur. Jika dalam perhitungan terjadi tumpang tindih landas kontinen antara Indonesia-Malaysia tersebut, maka sesuai dengan pasal 83 KHL 1982 harus dilakukan persetujuan atas dasar hukum internasional untuk mencapai penyelesaian yang adil. Apabila dalam waktu yang pantas tidak tercapai persetujuan yang dimaksud, maka pihak-pihak yang bersangkutan menggunakan prosedur bab XV, yaitu kewajiban untuk menyelesaikan sengketa dengan cara damai sesuai dengan Pasal 83 KHL Sambil menunggu persetujuan bisa dilakukan joint development atau pengembangan bersama, dalam dunia pertambangan hal seperti ini biasa dilakukan. Indonesia juga pernah melakukan joint development dengan Australia dalam sengketa Celah Timor yang ditandatangani tahun DAFTAR PUSTAKA Agoes, R. Etty Praktek Negara-negara Atas Konsepsi Negara Kepulauan. Jurnal Hukum Internasional. Vol.1, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional.Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Asnawi, Sofyan. Rabu 16 Maret Sipadan Ligitan Permainan Domino Malaysia. Sinar Harapan.co.id Boer, Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Eradinamika Global, Alumni, Bandung Deplu, 2002, Proses Ligitasi Masalah Pulau Sipadan dan Ligitan Pada Mahkamah Internasional (ICJ), di Den Haag. Deplu Proses Ligitasi Masalah Pulau Sipadan dan Ligitan pada Mahkamah Iternasional (ICJ). Dan Haag, Guratman. Selasa 15 Maret Wawancara dengan Lektor Kepala pada Fakultas Hukum Universitas Malang. www. Surya.co.id Havas Oegrosewu, Arif. Sabtu 12 Maret Wawancara dengan Direktur Perjanjian Politik, Keamanan dan kewilayahan Deplu. Havas Oegrosewu, Arif. Selasa 8 Maret Sorotan bersama Direktur Perjanjian Politik, Keamanan dan kewilayahan Deplu. Batas Laut Indonesia Malaysia Pasca Sipadan-Ligitan. Sorotan. Havas Oegrosewu, Arif Delimitasi Batas Maritim dalam Kebijakan Border Diplomacy Indonesia, Lokakarya Hukum Laut Internasional, Yogyakarta Desember Rivai Ras, Abdul. Senin 7 Maret Gelar Kekuatan Laut Ambalat, Analisis Dirjend Strategi Pertahanan DEPHAN. Indonesia. co.id. Peraturan: Konvensi Hukum Laut (KHL) Tahun Konvensi Hukum Laut (KHL) Tahun Republik Indonesia. Undang-Undang No.6 Tahun tentang Perairan Indonesia. Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah No.38 Tahun tentang Daftar Koordinat Geografis Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Harian Kompas, 8 Maret Harian Republika 15 Maret

Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2

Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2 Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2 Di awal tahun 2005, bangsa ini gempar oleh satu kata Ambalat. Media massa memberitakan kekisruhan yang terjadi di Laut Sulawesi perihal sengketa

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si khodijah5778@gmail.com www. Khodijahismail.com POKOK BAHASAN Kontrak Perkuliahan dan RPKPS (Ch 01) Terminologi Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

KONFLIK PERBATASAN INDONESIA DAN MALAYSIA (Studi Kasus: Sengketa Blok Ambalat) Moch Taufik

KONFLIK PERBATASAN INDONESIA DAN MALAYSIA (Studi Kasus: Sengketa Blok Ambalat) Moch Taufik KONFLIK PERBATASAN INDONESIA DAN MALAYSIA (Studi Kasus: Sengketa Blok Ambalat) Moch Taufik Departemen Pendidikan Geografi, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu : 1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)

Lebih terperinci

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional Wilayah Negara Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 menyatakan bahwa: The state as a person of international law should possess the following qualifications: (a) a

Lebih terperinci

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH 2.1 Dasar Hukum Penetapan Batas Laut Daerah Agar pelaksanaan penetapan batas laut berhasil dilakukan dengan baik, maka kegiatan tersebut harus mengacu kepada peraturan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia* PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Oleh : Ida Kurnia* Abstrak KHL 1982 tentang Hukum Laut yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta. Analisis Undang-undang Kelautan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 147 ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF Ardigautama Agusta Teknik Geodesi dan Geomatika,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu :

BAB II DASAR TEORI. Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu : BAB II DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu : 1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.177, 2008 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ambalat adalah blok laut seluas Km2 yang terletak di laut

BAB I PENDAHULUAN. Ambalat adalah blok laut seluas Km2 yang terletak di laut 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ambalat adalah blok laut seluas 15.235 Km2 yang terletak di laut Sulawesi atau Selat Makassar milik negara Indonesia sebagai negara kepulauan. Hal ini dapat

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1996 WILAYAH. KEPULAUAN. PERAIRAN. Wawasan Nusantara (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terbentang memanjang dari Sabang hingga Merauke dan dari Pulau Miangas di ujung Sulawesi Utara sampai ke Pulau Dana di selatan

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. tahun 2006 tentang tim nasional pembakuan rupa bumi. Saat ini ada

BAB III PENUTUP. tahun 2006 tentang tim nasional pembakuan rupa bumi. Saat ini ada 45 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Sejauh ini upaya hukum yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam menangani pulau pulau terluar di Indonesia adalah sejak tahun 2005 pemerintah telah melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan kepentingannya asal saja kegiatan tersebut

Lebih terperinci

Gambar 2. Zona Batas Maritim [AUSLIG, 2004]

Gambar 2. Zona Batas Maritim [AUSLIG, 2004] ASPEK GEODETIK DALAM HUKUM LAUT (Studi Kasus : Batas Maritim Indonesia dengan Negara Tetangga) Oleh : Ratih Destarina I. PENDAHULUAN Indonesia adalah negara kepulauan yang berbatasan dengan sepuluh Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perbatasan darat dengan tiga negara tetangga, yaitu Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Sementara perbatasan laut dengan sepuluh negara tetangga,

Lebih terperinci

Ketika Capres bicara Kedaulatan, Batas Maritim dan Laut China Selatan. I Made Andi Arsana, Ph.D.

Ketika Capres bicara Kedaulatan, Batas Maritim dan Laut China Selatan. I Made Andi Arsana, Ph.D. Ketika Capres bicara Kedaulatan, Batas Maritim dan Laut China Selatan I Made Andi Arsana, Ph.D. Jutaan orang menyaksikan debat capres ketiga tanggal 22 Juni lalu. Temanya, setidaknya menurut saya, sangat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penetapan batas wilayah teritorial laut telah menjadi permasalahan antar negaranegara bertetangga sejak dulu. Kesepakatan mengenai batas teritorial adalah hal penting

Lebih terperinci

Hukum Laut Indonesia

Hukum Laut Indonesia Hukum Laut Indonesia Pengertian Hukum Laut Hukum Laut berdasarkan pendapat ahli ahli : Hukum laut menurut dr. Wirjono Prodjodikoro SH adalah meliputi segala peraturan hukum yang ada hubungan dengan laut.

Lebih terperinci

Perkembangan Hukum Laut Internasional

Perkembangan Hukum Laut Internasional Perkembangan Hukum Laut Internasional Hukum laut internasional adalah seperangkat norma hukum yang mengatur hubungan hukum antara negara pantai atau yang berhubungan dengan pantai, yang terkurung oleh

Lebih terperinci

PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA. Oleh : Ida Kurnia * Abstrak

PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA. Oleh : Ida Kurnia * Abstrak PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA Oleh : Ida Kurnia * Abstrak Sebelum Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982, Indonesia telah mempunyai

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5 A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia B.POKOK BAHASAN/SUB POKOK BAHASAN: Konsep Negara kepulauan Evolusi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

Masalah Penetapan Batas Landas Kontinen dan Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Oleh : Danar Widiyanta 1

Masalah Penetapan Batas Landas Kontinen dan Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Oleh : Danar Widiyanta 1 32 Masalah Penetapan Batas Landas Kontinen dan Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia Oleh : Danar Widiyanta 1 Abstrak Zone Ekonomi Eksklusif merupakan hal yang penting bagi Indonesia sebagai Negara Kepulauan

Lebih terperinci

Sayidiman Suryohadiprojo. Jakarta, 24 Juni 2009

Sayidiman Suryohadiprojo. Jakarta, 24 Juni 2009 Sayidiman Suryohadiprojo Jakarta, 24 Juni 2009 Pada tanggal 23 Juni 2009 di Markas Besar Legiun Veteran RI diselenggarakan ceramah tentang masalah Ambalat. Yang bertindak sebagai pembicara adalah Laksma

Lebih terperinci

Hukum Internasional Kl Kelautan. Riza Rahman Hakim, S.Pi

Hukum Internasional Kl Kelautan. Riza Rahman Hakim, S.Pi Hukum Internasional Kl Kelautan Riza Rahman Hakim, S.Pi Hukum laut mulai dikenal semenjak laut dimanfaatkan untuk kepentingan pelayaran, perdagangan, dan sebagai sumber kehidupan seperti penangkapan ikan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1982 TENTANG MENGESAHKAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH PAPUA NUGINI TENTANG BATAS-BATAS MARITIM ANTARA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 10

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 10 I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 10 A.TUJUAN AJAR Dapat menjelaskan Sengketa Batas Maritim dan penyelesaiannya B. POKOK BAHASAN: Penyebab sengketa batas maritim Penyelesaian sengketa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belakangan ini isu-isu kewilayahan Indonesia kembali mencuat di berbagai media massa. Mulai dari masalah penjualan pulau, pengelolaan pulau oleh asing, sampai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: 1. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA MENGENAI PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF,

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Sejarah Perundingan Batas Maritim Indonesia Singapura

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Sejarah Perundingan Batas Maritim Indonesia Singapura BAB II DASAR TEORI 2.1 Sejarah Perundingan Batas Maritim Indonesia Singapura Seperti yang telah kita ketahui, permasalahan batas maritim untuk Indonesia dengan Singapura sudah pernah disinggung dan disepakati

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. hingga 11 15' LS, dan dari 94 45' BT hingga ' BT terletak di posisi

2. TINJAUAN PUSTAKA. hingga 11 15' LS, dan dari 94 45' BT hingga ' BT terletak di posisi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landas Kontinen bagi Negara Kepulauan Wilayah kedaulatan dan yuridiksi Indonesia terbentang dari 6 08' LU hingga 11 15' LS, dan dari 94 45' BT hingga 141 05' BT terletak di posisi

Lebih terperinci

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III Gambar Batas-batas ALKI Lahirnya Konvensi ke-3 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai hukum laut (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS),

Lebih terperinci

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.4925 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177 ) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: PP 61-1998 diubah: PP 37-2008 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 72, 2002 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

MENEGOSIASIKAN BATAS WILAYAH MARITIM INDONESIA DALAM BINGKAI NEGARA KEPULAUAN

MENEGOSIASIKAN BATAS WILAYAH MARITIM INDONESIA DALAM BINGKAI NEGARA KEPULAUAN TINJAUAN BUKU MENEGOSIASIKAN BATAS WILAYAH MARITIM INDONESIA DALAM BINGKAI NEGARA KEPULAUAN Vivian Louis Forbes. 2014. Indonesia s Delimited Maritime Boundaries. Heidelberg: Springer. xvii + 266 hlm. Sandy

Lebih terperinci

KONSEP NEGARA KEPULAUAN MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL (UNCLOS 1982) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA NIGER GESONG ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA

KONSEP NEGARA KEPULAUAN MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL (UNCLOS 1982) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA NIGER GESONG ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA KONSEP NEGARA KEPULAUAN MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL (UNCLOS 1982) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA NIGER GESONG ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA Immanuel Yulian Yoga Pratama Ilmu Hukum, Universitas Atma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut adalah kumpulan air asin dan menyatu dengan samudera. Dari waktu ke waktu, terjadi perkembangan yang signifikan terhadap fungsi atau peranan laut. Adapun fungsi

Lebih terperinci

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si ZONASI LAUT TERITORIAL Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas. Untuk landas kontinen negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BATAS WILAYAH SUATU NEGARA. A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BATAS WILAYAH SUATU NEGARA. A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BATAS WILAYAH SUATU NEGARA A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional Pada abad ke-19, batas 3 mil memperoleh pengakuan dari para ahli hukum, juga oleh

Lebih terperinci

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia Sejarah Peraturan Perikanan Indonesia Peranan Hukum Laut dalam Kedaulatan RI Laut Indonesia pada awalnya diatur berdasarkan Ordonansi 1939 tentang Wilayah Laut dan Lingkungan Maritim yg menetapkan laut

Lebih terperinci

BAB SYARAT TERBENTUKNYA NEGARA

BAB SYARAT TERBENTUKNYA NEGARA BAB SYARAT TERBENTUKNYA NEGARA Menurut Konvensi Montevideo tahun 1933, yang merupakan Konvensi Hukum Internasional, Negara harus mempunyai empat unsur konsititutif, yaitu : a. Harus ada penghuni (rakyat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Wilayah atau teritori adalah salah satu manifestasi paling utama dari kedaulatan suatu negara.oleh karena itu dalam lingkungan wilayahnya tersebut suatu negara

Lebih terperinci

POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II

POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II K-13 Geografi K e l a s XI POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami batas wilayah. 2. Memahami laut dangkal,

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM LAUT TERHADAP WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

TINJAUAN HUKUM LAUT TERHADAP WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA 355 TINJAUAN HUKUM LAUT TERHADAP WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA Tommy Hendra Purwaka * Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta Jalan Jenderal

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembangunan nasional

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DAN PENGENDALIAN RUANG KAWASAN PERBATASAN LAUT

PEMANFAATAN DAN PENGENDALIAN RUANG KAWASAN PERBATASAN LAUT PEMANFAATAN DAN PENGENDALIAN RUANG KAWASAN PERBATASAN LAUT Suparman A. Diraputra,, SH., LL.M. Fakultas Hukum. Universitas Padjadjaran Bandung 1 PERMASALAHAN Sebagai Negara Kepulauan, Indonesia mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara pantai yang secara hukum internasional diakui sebagai negara kepulauan yang 80% wilayahnya adalah wilayah lautan (Patmasari dkk, 2008). Hal

Lebih terperinci

BAB II. Gambaran Umum Indonesia Sebagai Negara Maritim dan Masalah. Pencurian Ikan

BAB II. Gambaran Umum Indonesia Sebagai Negara Maritim dan Masalah. Pencurian Ikan BAB II Gambaran Umum Indonesia Sebagai Negara Maritim dan Masalah Pencurian Ikan Dalam bab ini penulis akan memaparkan posisi strategis Indonesia, batas-batas perairan teritorial negara-negara yang mempunyai

Lebih terperinci

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan Wilayah perbatasan: a. Internal waters/perairan pedalaman.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1991 TENTANG PENGESAHAN "TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OFINDONESIA AND AUSTRALIA ON THE ZONE OF COOPERATION IN AN AREA BETWEEN THE INDONESIAN PROVINCE OF EAST

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2002 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2002 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2002 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk individu, negara juga memiliki kepentingan-kepentingan yang harus

BAB I PENDAHULUAN. makhluk individu, negara juga memiliki kepentingan-kepentingan yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara-negara dalam melakukan hubungan-hubungan yang sesuai kaidah hukum internasional tidak terlepas dari sengketa. Seperti halnya manusia sebagai makhluk individu,

Lebih terperinci

TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN

TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN Disusun oleh: Adrianus Terry Febriken 11010111140685 Styo Kurniadi 11010111150006 Riyanto 11010111150007 Wahyu Ardiansyah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dengan berlakunya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982 yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 maka salah satu prioritas utama bagi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 18 menetapkan bahwa wilayah daerah provinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh

Lebih terperinci

HUKUM LAUT. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi.

HUKUM LAUT. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi. HUKUM LAUT I. Pengertian Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi. Laut secara hukum adalah keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh permukaan bumi.

Lebih terperinci

MASALAH PERBATASAN NKRI

MASALAH PERBATASAN NKRI MASALAH PERBATASAN NKRI Disusun oleh: Nama : Muhammad Hasbi NIM : 11.02.7997 Kelompok Jurusan Dosen : A : D3 MI : Kalis Purwanto STMIK AMIKOM YOGYAKARTA Jl. Ring Road Utara, Condong Catur Yogyakarta ABSTRAK

Lebih terperinci

Key words: Determination of Indonesian archipelagic baselines

Key words: Determination of Indonesian archipelagic baselines 1 PENGARUH KEPUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM SENGKETA PULAU SIPADAN DAN LIGITAN TERHADAP PENETAPAN GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA Oleh : Popi Tuhulele ABSTRACT International Court of Justice Decision

Lebih terperinci

LAMPIRAN II RENCANA KERJA PENATAAN RUANG UNTUK PEMANTAPAN KEAMANAN NASIONAL (PENANGANAN KAWASAN PERBATASAN)

LAMPIRAN II RENCANA KERJA PENATAAN RUANG UNTUK PEMANTAPAN KEAMANAN NASIONAL (PENANGANAN KAWASAN PERBATASAN) LAMPIRAN II RENCANA KERJA PENATAAN RUANG UNTUK PEMANTAPAN KEAMANAN NASIONAL (PENANGANAN KAWASAN PERBATASAN) 1 2 3 4 5 1. INDONESIA MALAYSIA. Garis batas laut dan 1. Departemen Pertahanan (Action - Anggaran

Lebih terperinci

xvii MARITIM-YL DAFTAR ISI

xvii MARITIM-YL DAFTAR ISI xvii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... vii SAMBUTAN... x UCAPAN TERIMA KASIH... xiii DAFTAR ISI... xvii DAFTAR GAMBAR... xxii BAB 1 DELIMITASI BATAS MARITIM: SEBUAH PENGANTAR... 1 BAB 2 MENGENAL DELIMITASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkelahi di laut dan saling bakar kapal-kapal penangkap ikannya. 1

BAB I PENDAHULUAN. berkelahi di laut dan saling bakar kapal-kapal penangkap ikannya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Laut sepanjang sejarah merupakan salah satu akses perdagangan dunia dimana lalu lintas kapal dari berbagai Negara. Sejak Zaman kerajaan Kerajaan Jawa hingga

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 1998 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 1998 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA DI LAUT NATUNA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

Perkembangan Hukum Laut dan Wilayah Perairan Indonesia

Perkembangan Hukum Laut dan Wilayah Perairan Indonesia Modul 1 Perkembangan Hukum Laut dan Wilayah Perairan Indonesia Dr. Budi Sulistiyo M PENDAHULUAN odul 1 ini berisi penjelasan tentang perkembangan hukum laut dan wilayah perairan Indonesia, wilayah laut

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN (The Protection and the Conservation of Fishery Resources in the Economic Exclusive Zone Among the Asean States)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan Indonesia terkait dengan prinsip Wawasan Nusantara telah membuahkan hasil dengan diakuinya konsep negara kepulauan atau archipelagic state secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan masyarakat internasional, pasti tidak lepas dari masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum internasional yang sering muncul

Lebih terperinci

SISTEMATIKA PEMAPARAN

SISTEMATIKA PEMAPARAN PENYELESAIAN BATAS MARITIM DENGAN NEGARA-NEGARA TETANGGA SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MEMINIMALISIR KEGIATAN IUU FISHING I Surabaya 22 September 2014 Seminar Hukum Laut Nasional 2014 Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

xii hlm / 14 x 21 cm

xii hlm / 14 x 21 cm ka JUDUL BUKU HUKUM KEWILAYAHAN INDONESIA (Dasar Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dan Konsep Pengelolaan Pulau-pulau Terluar NKRI) PENULIS Mahendra Putra Kurnia, SH.MH PENERBIT Bayumedia Publishing Malang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA Kementerian Kelautan dan Perikanan 2017 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara Kepulauan terbesar di dunia yang didominasi oleh dua per tiga wilayah perairan laut dari keseluruhan wilayah. Sebagai Negara Kepulauan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Persengketaan muncul akibat penerapan prinsip yang berbeda terhadap penetapan

BAB I PENDAHULUAN. Persengketaan muncul akibat penerapan prinsip yang berbeda terhadap penetapan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Ketidakjelasan batas-batas negara dan status wilayah sering menjadi sumber persengketaan di antara negara-negara yang berbatasan atau berdekatan. Persengketaan

Lebih terperinci

STUDI PENENTUAN BATAS MARITIM INDONESIA-MALAYSIA BERDASARKAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA

STUDI PENENTUAN BATAS MARITIM INDONESIA-MALAYSIA BERDASARKAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA STUDI PENENTUAN BATAS MARITIM INDONESIA-MALAYSIA BERDASARKAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (UNCLOS 1982) (Studi Kasus : Ambalat di Laut Sulawesi) Florence Elfriede S. Silalahi, Ir. Yuwono,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah panjang untuk mendapatkan status sebagai negara kepulauan. Dimulai dengan perjuangan Indonesia

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM LAUT INTERNASIONAL TERKAIT DENGAN REKLAMASI. Retno Windari Poerwito

ASPEK HUKUM LAUT INTERNASIONAL TERKAIT DENGAN REKLAMASI. Retno Windari Poerwito ASPEK HUKUM LAUT INTERNASIONAL TERKAIT DENGAN REKLAMASI Retno Windari Poerwito FOKUS MATERI Apakah hukum internasional mengatur kegiatan reklamasi? Hukum internasional yang mengatur tentang kewenangan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1991 TENTANG PENGESAHAN "TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON THE ZONE OF COOPERATION IN AN AREA BETWEEN THE INDONESIAN PROVINCE OF EAST

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. diatur oleh hukum internasional yakni okupasi terhadap suatu wilayah harus

BAB V PENUTUP. diatur oleh hukum internasional yakni okupasi terhadap suatu wilayah harus BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Bedasarkan pembahasan dari bab-bab sebelumnya, maka penulis mencoba menarik kesimpulan, yaitu: Pertama, telah terjadinya pelanggaran klaim kedaulatan wilayah yang dilakukan

Lebih terperinci

SENGKETA ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DI KAWASAN AMBALAT Oleh : Ida Kurnia* Abstrak

SENGKETA ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DI KAWASAN AMBALAT Oleh : Ida Kurnia* Abstrak SENGKETA ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA DI KAWASAN AMBALAT Oleh : Ida Kurnia* Abstrak Penetapan batas maritim suatu negara pantai dengan negara yang berhadapan maupun negara yang berdampingan tentunya perlu

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 38 TAHUN 2002 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang memiliki struktur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang memiliki struktur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang memiliki struktur pulau-pulau yang tersebar luas dalam jumlah lebih dari 13.000 pulau besar dan pulau kecil, dengan garis pantai

Lebih terperinci

Pendekatan Aspek Hukum, Geomorfologi, dan Teknik Dalam Penentuan Batas Wilayah Laut Daerah

Pendekatan Aspek Hukum, Geomorfologi, dan Teknik Dalam Penentuan Batas Wilayah Laut Daerah Pendekatan Aspek Hukum, Geomorfologi, dan Teknik Dalam Penentuan Batas Wilayah Laut Daerah Heryoso Setiyono, Ibnu Pratikto, Hariyadi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDIP Semarang Abstrak UU No 32

Lebih terperinci

(archipelagic state) dan sekaligus negara pantai yang memiliki banyak pulau

(archipelagic state) dan sekaligus negara pantai yang memiliki banyak pulau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara kepulauan (archipelagic state) dan sekaligus negara pantai yang memiliki banyak pulau pulau terluar yang berbatasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Berdasarkan kondisi geografisnya, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan dua pertiga wilayahnya yang berupa perairan. Kondisi geografis tersebut

Lebih terperinci

I. BAB I PENDAHULUAN

I. BAB I PENDAHULUAN I. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.506 pulau dengan dua pertiga diantaranya merupakan wilayah lautan. Berdasarkan UNCLOS (United

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH KEDUA NEGARA

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI

LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI LAPORAN SINGKAT KOMISI I DPR RI KEMENTERIAN PERTAHANAN, KEMENTERIAN LUAR NEGERI, KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA, TENTARA NASIONAL INDONESIA, BADAN INTELIJEN NEGARA, DEWAN KETAHANAN NASIONAL, LEMBAGA

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal... DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR GRAFIK... iii DAFTAR SINGKATAN... iii ABSTRAK... iii ABSTRACT... iv BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Rumusan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia, Negara Republik

Lebih terperinci

Upaya Penanganan Permasalahan Perbatasan Maritim Republik Indonesia. (Solving Problems of Indonesian Maritime Border)

Upaya Penanganan Permasalahan Perbatasan Maritim Republik Indonesia. (Solving Problems of Indonesian Maritime Border) Risalah HUKUM Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Juni 2006, Hal. 49-57 Vol. 2, No. 1 ISSN 021-969X Upaya Penanganan Permasalahan Perbatasan Maritim Republik Indonesia (Solving Problems of Indonesian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara

Lebih terperinci