TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebakaran Hutan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebakaran Hutan"

Transkripsi

1 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan didefinisikan sebagai proses reaksi cepat oksigen dan unsur unsur lainnya, dan ditandai dengan panas, cahaya serta biasanya menyala. Proses kebakarannya menyebar bebas dengan mengkonsumsi bahan bakar berupa vegetasi yang masih hidup maupun mati, serasah, humus, semak dan gulma (Brown dan Davis 1973). Penyebab utama kebakaran hutan yang disebutkan adalah konversi ke penggunaan lahan lain (terutama pertanian), hama dan penyakit, kebakaran, over eksploitasi hasil hutan (kayu industri, kayu bakar), praktek pemanenan yang buruk, penggembalaan berlebih, polusi udara dan badai (FAO 2001). Dalam dua puluh tahun terakhir, kebakaran telah menjadi salah satu ancaman terbesar bagi hutan hujan tropis terutama di Indonesia. Kebakaran merupakan hal yang sering terjadi di Pulau Kalimantan dan Sumatra, membakar areal dengan luas terbesar pada tahun 1986, 1991, 1994 dan Kondisi tersebut diperparah oleh fenomena El Nino tahun 1997/1998, kebakaran tak terkendali telah menghancurkan areal sangat luas dari hutan hujan dan semak belukar di Indonesia. Kerugian ekonomi dan kerusakan ekologis begitu luar biasa (IFFM/GTZ 1998 dalam Sunuprapto 2000). Hutan hujan Indonesia terbakar karena beberapa faktor yang saling berhubungan yang berkaitan dengan manusia dan alam. Kemungkinan terbakarnya suatu hutan bergantung pada tingkat bahaya dan resiko api. Bahaya api adalah ukuran tentang jumlah, jenis dan kekeringan bahan bakar potensial yang ada di hutan. Tingkat resiko api umumnya berhubungan dengan tindakan manusia, seperti melakukan pembakaran di dekat hutan saat bahaya kebakaran tinggi (Glover dan Jessup 2002). Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab utama deforestasi di berbagai negara. Banyak penelitian yang menelaah faktor faktor yang 9

2 berpengaruh dalam proses kebakaran hutan. Upaya pencegahan kebakaran hutan telah mulai menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG digunakan untuk menghasilkan model yang dapat menunjukkan zona kerawanan kebakaran hutan. Pencegahan kebakaran hutan merupakan langkah yang harus diambil guna mencegah kerusakan hutan lebih lanjut. Informasi mengenai daerah rawan kebakaran hutan menjadi sangat penting bagi pengelola hutan. Model spasial yang menunjukkan daerah dengan tingkat kerawanan akan kebakaran hutan yang berbeda dapat menjadi salah satu masukan bagi upaya pencegahan kebakaran hutan. B. Faktor faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan 1. Faktor aktivitas manusia Penyebab kebakaran hutan di Indonesia umumnya adalah manusia baik sengaja maupun karena unsur kelalaian, dimana kegiatan konversi menyumbang 34 %, peladang liar 25 %, pertanian 17 %, kecemburuan social 14 %, proyek transmigrasi 8 % dan hanya 1 % yang disebabkan oleh alam (Dephut, 2003). Boonyanuphap (2001) menyatakan bahwa pemukiman merupakan faktor aktivitas manusia yang paling signifikan menentukan resiko kebakaran hutan dan lahan selain jaringan jalan, jaringan sungai, dan penggunaan lahan. Faktor aktivitas manusia sekitar hutan berpengaruh nyata terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan korelasi positip, yaitu pengeluaran rumah tangga, dan kegiatan masyarakat di dalam kawasan hutan (Soewarso 2003). Meningkatnya akses manusia ke dalam kawasan hutan meningkatkan kemungkinan terjadinya pembalakan liar, pembukaan lahan dengan pembakaran. Kebakaran yang dilakukan oleh masyarakat dilatarbelakangi oleh faktor sosial ekonomi. Faktor ini sangat erat hubungannya dengan konsep 10

3 penggunaan lahan oleh masyarakat, dimana masyarakat yang luas lahannya kecil/tidak memiliki lahan akan berupaya membuka lahan baru atau ikut kerjasama dengan masyarakat pendatang dalam bentuk kelompok tani, yayasan, atau koperasi (Pratondo 2007). Beberapa aktivitas masyarakat tradisional seperti sistem budidaya padi sonor (dimana padi ditanam pada lahan lahan gambut yang sengaja dibakar pada musim kemarau), diduga menjadi sumber pemicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan (PFFSEA 2003). Demikian juga pembukaan lahan oleh petani hutan bertujuan untuk membuka ladang baru atau memperluas lahan miliknya yang penyiapan lahannya dilakukan dengan sistem tebas, tebang dan membakar. Semak merupakan area dengan kemungkinan aktivitas peladang berpindah. Pada umumnya mereka membuat sekat bakar, melakukan pembakaran balik, menjaga nyala api sampai padam. Hardjanto (1998) menyatakan bahwa pembakaran dilakukan oleh petani untuk menambah kesuburan dan biasanya satu keluarga hanya mampu membakar ladang seluas 1 ha. Pembukaan lahan juga dilakukan oleh perambah hutan, namun tujuannya adalah untuk mencari kayu. Perambahan hutan pada umumnya dilakukan di area milik perusahaan (Pratondo 2007). Kebakaran akan semakin luas dengan bertambahnya pendatang baru yang akan membuka ladang dengan pembakaran. Pratondo (2007) menyatakan bahwa masyarakat maupun pengembang berupaya mengkonversi hutan secara besar besaran. Di Kalimantan Barat menurut dia, penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah kegiatan pembukaan lahan secara besar besaran untuk kelapa sawit, dimana setelah IUPHHK memanen kayu komersial, maka selanjutnya terjadi perubahan status lahan dari hutan menjadi perkebunan sawit atau IUPHHK HT. Dalam penyiapan lahannya mereka menggunakan api untuk membersihkan bahan bakar yang terdapat di atas permukaan tanah. Berdasarkan studi Bappedalda Kaltim tahun 1998 menunjukkan bahwa sebesar 22 % kebakaran disebabkan 11

4 oleh Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) sedangkan sebesar 41 % oleh Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK HT). 2. Faktor lingkungan biofisik (a). Karakteristik bahan bakar Karakteristik bahan bakar di hutan tropis bervariasi antara tempat dan waktu. Hutan gambut berkayu merupakan bahan bakar yang baik karena mengandung nilai kalor yang sangat tinggi atau kapasitas panas tinggi. Pembangunan HTI dengan spesies eksotis seperti Acacia mangium, Gmelina arborea atau Eucalyptus spp. bisa menyumbangkan tingkat resiko bahaya kebakaran, khususnya selama musim kering karena akan ada muatan bahan bakar yang tinggi di lantai hutan. Brown dan Davis, (1973) dan Chandler (1983) menyebutkan bahwa terdapat 3 tipe bahan bakar yaitu (1) bahan bakar bawah terdiri atas duff, akar, dan gambut; (2) bahan bakar permukaan terdiri atas serasah, ranting, kulit kayu dan cabang pohon yang semua belum terurai, termasuk juga rumput, tumbuhan bawah, anakan dan semai; (3) bahan bakar tajuk terdiri atas bahan bakar hidup ataupun yang sudah mati berada di atas dan menutupi kanopi menyebar dari tanah dengan tinggi 1,2 meter. Wright dan Bailey (1982) menyatakan bahwa jenis bahan bakar semak dan anakan, penutup tanah serta serasah merupakan bahan bakar halus yang sangat mudah menyala. Demikian juga cabang yang mati dan sisa tebangan adalah bahan bakar potensial dan mudah menyala sehingga dalam jumlah banyak dapat menyebabkan area kebakaran yang sangat luas. Makin kecil ukuran bahan bakar, maka proses transfer panas melalui radiasi, konveksi dan konduksi dari titik yang sedang terbakar ke bahan yang belum terbakar dapat berlangsung bersamaan sehingga suhu penyalaan cepat tercapai (Davis 1959). 12

5 Menurut Clar dan Chatten (1954) ada beberapa hal yang mempengaruhi kebakaran yaitu : 1. Ukuran bahan bakar, bahan bakar yang halus lebih cepat kering dan lebih mudah terbakar sedangkan bahan bakar kasar lebih sulit terbakar 2. Susunan bahan bakar, bahan bakar yang menyebar secara horizontal mempercepat meluasnya kebakaran 3. Volume bahan bakar, bahan bakar dalam jumlah besar akan memperbesar nyala api, temperatur tinggi dan sulit dipadamkan 4. Kerapatan bahan bakar, kayu akan terbakar dengan baik pada kerapatan tinggi dan pada bila kerapatan rendah; sedangkan rumput akan lebih mudah terbakar pada saat kerapatan rendah dan berhenti bila kerapatan tinggi 5. Kadar air bahan bakar, bahan bakar yang banyak mengandung air lebih sulit terbakar Kadar air bahan bakar sebagai kandungan air pada partikel bahan bakar (Chandler et al. 1983, dan Pyne et al. 1996) adalah faktor yang mempengaruhi perilaku kebakaran hutan dan lahan. Selain itu kandungan air yang tinggi dari bahan bakar, memerlukan panas yang tinggi sebelum bahan bakar dibakar api sehingga tingkat kebakaran dan daya nyala bahan bakar akan berkurang. Kadar air bahan bakar berubah seiring dengan perubahan kondisi cuaca, baik musiman maupun selama periode waktu yang lebih pendek. Kadar air gambut (peat moisture) ditentukan ketebalan gambut. Kadar air gambut jauh lebih besar dibandingkan dengan kadar air tanah mineral. Kadar air gambut yang belum mengalami perombakan berkisar antara 500 % 1000 %, sedangkan kadar air gambut yang telah mengalami perombakan berkisar 200 % 600 % (Boelter, 1996 diacu dalam 13

6 Noor, 2001). Kemampuan gambut yang terbakar dalam memegang air turun sekitar 50 % (Rieley et al dalam Noor 2001). (b). Tipe tanah Kejadian kebakaran hutan dan lahan di wilayah Kalimantan Tengah lebih banyak terjadi pada tipe tanah gambut (peat soil). Hutan gambut yang tumbuh di atas tanah tipe gambut adalah tipe hutan rawa gambut (peat swamp forest). Kejadian kebakaran hutan dan lahan di daerah bergambut pada umumnya dipengaruhi oleh kandungan air gambut, jumlahnya sesuai dengan curah hujan dikurangi dengan evapotranspirasi (Rahayu B. 1998), dan dipengaruhi oleh kondisi drainase (Kusmana et al. 2008). Selanjutnya Kusmana et al juga menyatakan bahwa tanah gambut yang sudah terbuka dan dimanfaatkan cenderung padat, menjadi lebih kering sehingga mudah terbakar. Kebakaran di lahan gambut merupakan jenis kebakaran yang paling berbahaya bila dibandingkan dengan tipe kebakaran hutan yang lainnya yang sulit dideteksi dan dikendalikan. Kebakaran di tanah gambut menembus ke bawah lapisan tanah dan membentuk lubang corong, kemudian api menyebar di bawah permukaan secara horizontal (Syaufina 2002). Lebih lanjut Syaufina (2002) menjelaskan bahwa variasi iklim berperan penting dalam mempengaruhi kebakaran rawan gambut. Secara statistik, musim mempengaruhi kandungan air, bulk density, potassium, magnesium, sodium dan tinggi muka air. Kecenderungan peningkatan ditemui pada bulk density dan kandungan magnesium terjadi pada musim kemarau, di samping terjadi kecenderungan penurunan kadar air, potassium, sodium dan tinggi muka air. Menurut Harahap dan Hutagalung (1998), tanah gambut di Indonesia pada umumnya merupakan gambut kayuan dimana pembentukannya berasal dari pohon dan semak belukar yang tertimbun di daerah yang umumnya tergenang air. Lebih lanjut dijelaskan bahwa 14

7 berdasarkan kedalamannya gambut digolongkan ke dalam 3 kriteria yaitu gambut dangkal (0.6 1 m), gambut sedang (1 2 m) dan gambut dalam (> 2 m). Sebagai contoh daerah Palangkaraya umumnya bergambut tipis (shallow peat) dengan lapisan pasir kwarsa di bawahnya (van Veen 1998). Tanah gambut memiliki daya penahan air yang sangat besar, dan akan menyusut serta menurun permukaannya bergantung pada sistem drainase. Gambut yang mengkerut tidak akan kembali lagi (irreversible drying) yang sangat mudah terbakar dan tererosi baik oleh air maupun angin. Susutnya air dalam gambut memunculkan sebagian besar sisa batang dan tunggul pohon, yang akan mudah terbakar. Kebakaran merambat sangat cepat dan sulit dideteksi karena merambat di bawah permukaan tanah (Syaufina 2004). Api pada kebakaran gambut tidak bergerak cepat tetapi dapat berlangsung berminggu minggu sampai sebulan atau lebih lama (de Bano et al. 1998). C. Kejadian Kebakaran Hutan dan Lahan 1. Hotspot Kejadian kebakaran hutan dan lahan dapat diamati dengan menggunakan teknik penginderaan jauh. Sensor yang paling luas dan banyak digunakan untuk mendeteksi kebakaran hutan dan lahan dalam jangka panjang dan dalam area yang luas adalah Advance Very High Resolution (AVHRR) yang terpasang pada satelit orbit polar NOAA AVHRR. Sensor AVHRR melakukan perekaman setiap hari pada resolusi sedang (1 km). Kisaran spektral yang dimiliki oleh NOAA AVHRR sangat luas yaitu dari visible (ch um), near infra red mempunyai dua manfaat dalam monitoring kebakaran hutan dan lahan. Di Indonesia terdapat tiga sumber penyedia data hot spot yaitu JICA (Japan International Cooperation Agency), LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) dan ASMC (ASEAN Specialized Meteorology Center). 15

8 Perbedaan antara ketiga sumber tersebut terletak pada ambang batas (threshold) suhu terendah sehingga suatu hasil perekaman dapat dinyatakan sebagai sebuah hot spot (fire exist) Hidayat et al. (2003) menyebutkan bahwa LAPAN menggunakan threshold (suhu minimum) sebesar 322 o K. Sedangkan JICA menurut FFMP2 2004, memakai ambang batas suhu 315 o K pada siang hari dan 310 o K pada malam hari lebih rendah dibandingkan dengan ASMC yang memakai threshold sebesar 320 o K pada siang hari dan 314 o K pada malam hari. 2. Kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan Dampak dari kejadian kebakaran hutan dan lahan adalah rusaknya vegetasi yang tumbuh di area yang terbakar. Jaya dan Husaeni (1998) melakukan studi dampak kebakaran terhadap kerusakan tegakan di area HTI PT ITCI Kalimantan Timur, menemukan bahwa sebagian besar tegakan yang dikategorikan ke dalam kerusakan berat berada pada area bekas tebangan setelah 5 tahun. Kerusakan berat juga terjadi di area bekas tebangan tahun yang lalu. Selanjutnya Jaya dan Husaeni (1998) mengkategorikan tingkat kerusakan tegakan bekas terbakar ke dalam 4 kelas yaitu : a. Kelas hutan terbakar ringan, yaitu area bekas kebakaran hutan dengan persentase pohon hidup yang sehat lebih besar dari 75 % b. Kelas hutan terbakar sedang, yaitu area bekas kebakaran hutan dengan persentase pohon hidup yang sehat berkisar 50 % 75 % c. Kelas hutan terbakar berat, yaitu area bekas kebakaran hutan dengan persentase pohon hidup yang sehat berkisar 25 % 50 % d. Kelas hutan terbakar sangat berat yaitu area bekas kebakaran hutan dengan persentase pohon hidup yang sehat kurang dari 75 % 16

9 D. Pemodelan Spasial 1. Sistem Informasi Geografis Sejarah penggunaan komputer untuk pemetaan dan analisis spasial menunjukkan adanya perkembangan bersifat paralel dalam pengambilan data secara otomatis, analisis data dan presentasi pada berbagai bidang terkait, seperti pemetaan kadastral dan topografi, kartografi tematik, teknik sipil, geografi, studi matematika dari variasi spasial, ilmu tanah, survei dan fotogrametri, perencanaan pedesaan dan perkotaan, utility networks, dan penginderaan jauh serta analisis citra (Burrough 1986). Burrough 1986 mengatakan bahwa SIG mempunyai tiga komponen penting, yaitu perangkat keras komputer, sekumpulan modul aplikasi perangkat lunak, dan konteks organisasi yang baik. Ketiganya harus dalam keseimbangan agar sistem berjalan memuaskan. Geographical Information System (GIS) disarankan sebagai alat yang cocok untuk memetakan distribusi data spasial dari bahaya kebakaran hutan. GIS dapat juga memadukan secara spasial beberapa peubah bahaya, seperti vegetasi, topografi dan sejarah kebakaran (Chuvieco and Salas 1993 dalam Sunuprapto 2000). Informasi spasial merupakan input mendasar untuk lingkungan model dalam ruang tertentu. GIS berkenaan dengan data spasial dan dapat digunakan dengan sejumlah aturan untuk memodelkan proses spasial. Beberapa model bahaya kebakaran hutan telah dikembangkan dengan memadukan peubah geografis resiko kebakaran kedalamnya. Chuevieco et al dalam Sunuprapto 2000 menyebutkan beberapa peubah spasial yang telah luas digunakan untuk membangun kerawanan kebakaran hutan, peubah tersebut adalah: 1. Topografi (elevasi, slope, aspek dan iluminasi) 2. Vegetasi (tipe bahan bakar, kadar kelembaban) 17

10 3. Pola cuaca (suhu, kelembaban relatif, angin dan presipitasi) 4. Aksesibilitas terhadap jalan dan infrastruktur lain 5. Tipe kepemilikan lahan atau tipe penggunaan lahan 6. Jarak dari kota atau pemukiman 7. Tanah dan bahan bawah tanah 8. Sejarah kebakaran atau catatan kebakaran dan 9. Ketersediaan air Sistem informasi geografis (SIG) telah menjadi solusi bagi pengguna yang menginginkan kemudahan memasukkan data dan informasi keruangan, memadukan beberapa informasi menjadi keluaran informasi yang terpadu. Data dan informasi saat ini telah memungkinkan penyimpanan secara digital. 2. Pemodelan spasial Pemodelan spasial adalah proses manipulasi dan analisis data spasial atau geografis untuk membangkitkan informasi yang lebih berguna bagi pemecahan permasalahan yang komplek. Model spasial dapat digunakan untuk memprediksi berbagai fenomena alam karena beberapa alasan diantaranya : - penemuan hubungan antar bentang alam geografis untuk pemahaman, dan mengkaitkan permasalahan utama - pendefinisian masalah jelas dan logis - penyediaan kerangka pemahaman proses di dunia nyata - simulasi untuk mengekstrak informasi yang tidak mungkin dan terlalu mahal untuk diukur Pemodelan (modelling) juga menjadi salah satu alternatif aplikasi bagi pengelolaan sumberdaya alam. Pemodelan memungkinkan seseorang untuk melakukan prediksi terhadap suatu fenomena yang menjadi perhatiannya, contohnya model yang memberi informasi mengenai tingkat kerawanan kawasan terhadap bencana alam. 18

11 Geographical Information System (GIS) disarankan sebagai alat yang cocok untuk memetakan distribusi data spasial dari bahaya kebakaran hutan. GIS dapat juga memadukan secara spasial beberapa peubah bahaya, seperti vegetasi, topografi dan sejarah kebakaran (Chuvieco and Salas 1993 dalam Sunuprapto 2000). Informasi spasial merupakan input mendasar untuk lingkungan model dalam ruang tertentu. GIS berkenaan dengan data spasial dan dapat digunakan dengan sejumlah aturan untuk memodelkan proses spasial. Beberapa model bahaya kebakaran hutan telah dikembangkan dengan memadukan peubah geografis resiko kebakaran kedalamnya. Pemodelan digunakan dalam beberapa cara dan beberapa arti. Sebagai representasi beberapa bagian dari kondisi nyata di permukaan bumi dapat dipertimbangkan menggunakan sebuah model bagi bagian bumi tersebut. Keterwakilan tersebut akan memiliki karakteristik yang umum dengan kondisi nyata bumi (de By 2001). Sebuah model merupakan penyederhanaan fenomena fenomena yang terjadi di bumi. Sebuah model yang baik harus memiliki kemampuan untuk memprediksi keluaran dari sebuah input. Model model adalah penyederhanaan bagi realita yang merepresentasikan atau menggambarkan bagian terpenting elemen elemen dan interaksinya. Proses pemodelan bertujuan pada peningkatan pemahaman dan perkiraan pengaruh proses proses alam dan sosial ekonomi dan interaksinya. Model mendiskripsikan perilkau sebuah fenomena yang direpresentasikan oleh lapangan, jejaring dan agen individu dengan berbagai tipe interaksi spasial pada tingkat lokal, regional dan global. Beberapa penelitian tentang tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan telah dilakukan di Sumatera dan Kalimantan. Di Sumatera Selatan, Sunuprapto (2000) telah memformulasikan model regresi linear ganda berbasis keruangan yang menyatakan hubungan antara intensitas kebakaran hutan dan lahan dengan peubah peubah penduganya yaitu : Intensitas kerusakan kebakaran = 0, ,206 (penutupan lahan) + 0,02531 (penggunaan lahan) + 0,160 (tipe tanah) + 0, (jarak dari rel) 0, (jarak dari 19

12 sungai) + 0, (jarak dari pemukiman). Selain itu dia juga berhasil menyusun model penduga area terbakar dengan menggunakan persamaan regresi logistik (logistics regression) yaitu : log (ODDS) area terbakar = 18,03 + 1,6848 (penutupan lahan) + 0,9784 (penggunaan lahan) + 2,3129 (tipe tanah) + 0,0003 (jarak dari rel) 0,0002 (jarak dari kanal) + 0,0003 (jarak dari pemukiman). Faktor lingkungan fisik dan aktivitas manusia merupakan dua kelompok utama faktor resiko kebakaran hutan dan lahan. Pusat perkampungan, jaringan jalan, jaringan sungai, tipe vegetasi dan penutupan lahan merupakan faktor manusia yang mempengaruhi tingkat resiko kebakaran hutan dan lahan (Boonyanuphap 2001). Lapan (2004) berhasil memetakan kelas kebakaran hutan dari yang sulit terbakar sehingga sangat mudah terbakar yaitu kelas kerawanan kebakaran sangat rendah, rendah, sedang, agak tinggi, tinggi dan sangat tinggi berdasarkan kriteria dan bobot tertentu terhadap faktor faktor penyebabnya. Faktor aktivitas masyarakat sekitar hutan yang berpengaruh nyata terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan korelasi positip adalah kegiatan masyarakat di dalam kawasan hutan (Soewarso 2003). Purnama dan Jaya (2007) dalam penelitiannya di propinsi Riau menyatakan bahwa peubah aktivitas manusia berupa penggunaan lahan memiliki bobot lebih tinggi (53,8 %) dibandingkan dengan bobot jarak dari pusat penduduk (5,4 %), jarak terhadap jaringan jalan (16,1 %), dan jarak terhadap jaringan sungai (24,7 %). Model kerawanan kebakaran hutan dan lahan yang disusun adalah skor kerawanan kebakaran = (0,514 (0,054 JPP+0,161 JJL+0,247 JSN + 0,538 PGL))+(0,486(0,476 CH + 0,202 NDVI + 0,322 NDWI)). Berdasarkan hasil kajiannya di Riau, Hadi 2006 menyatakan bahwa dalam penentuan kelas kerawasan kebakaran di lahan gambut Riau faktor infrastruktur lebih besar peranannya dibandingkan dengan faktor lingkungan. Persamaan model penduga tingkat kerawanan kebakaran hutan dengan metode regresi linear di Bengkalis yang diajukan oleh Hadi 2006 adalah V = {0,345 [(0,25 x1) + (0,25*x2) + (0,25*x3)] + 0,658*(0,25y1) dimana x1: skor sub faktor sub faktor 20

13 ketebalan gambut, x2: skor sub faktor sub faktor tipe tutupan lahan dan vegetasi, x3: skor sub faktor sub faktor tingkat kehijauan dan y1: skor sub faktor sub faktor jarak jalan ; dengan validasi 85 %. Disamping model di atas, peluang kebakaran hutan dan lahan daerah kabupaten Bengkalis juga dimodelkan oleh Thoha (2006) dengan metode regresi logistik menghasilkan formula log(odds) peluang kebakaran hutan = 0, , (curah hujan) 0, (ketebalan gambut) 3, (NDVI) 0, (jarak dari sungai) 0, (jarak dari HPH/HTI) 0, (jarak dari perkebunan) + 0, (jarak dari lahan pertanian) dengan nilai akurasi 69,5 %. Arianti (2006) menyatakan bahwa dalam kejadian kebakaran hutan dan lahan faktor manusia lebih dominan dibandingkan dengan faktor biofisik. Lebih lanjut dia menyatakan bahwa di sub das Kapuas Propinsi Kalimantan Barat model terbaik untuk menentukan tingkat kerawanan dan lahan menggunakan metode CMA yaitu TKB (tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan) = [(a(0,54 (NDVI) + 0,40 * (NDVI wetness index) + 0,06 (curah hujan)) + (b(0,22*(jarak sungai) + 0,24*(jarak jalan) + 0,27 (jarak pemukiman) tutupan lahan))]; dimana a adalah bobot makro faktor biofisik, dan b adalah bobot makro aktivias manusia. Mutaqin 2008 berhasil menyusun model peluang kebakaran gambut dan kebakaran non gambut gambut di Propinsi Kalimantan Tengah menggunakan metode regresi linear untuk memetakan daerah kerawanan kebakaran. Model skor peluang kebakaran hutan dan lahan di daerah gambut diformulakan dengan: (skor penutupan lahan x ( 2,947)) + (skor buffer jalan x 0,713)) dengan koefisien determinasi 56 % dan (skor penutupan lahan x 0,013) + (skor buffer jalan x 10,850) dengan koefisien determinasi 72 %. 3. Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan merupakan suatu terminologi yang berhubungan dengan adanya peluang terjadinya kebakaran 21

14 dan kondisi bahan bakar. Dalam kaitannya dengan bahan bakar, fire hazard digunakan untuk menyatakan keadaan kompleks bahan bakar yang ditentukan oleh volume, tipe, kondisi, keteraturan, dan lokasi yang menentukan derajat kemudahan pembakaran dan ketahanan terhadap pengendalian (Hardy 2005). Fire hazard (bahaya kebakaran) merupakan perilaku potensi kebakaran berdasarkan tipe bahan bakar, tidak berhubungan dengan tipe cuaca bahan bakar pengaruh kelembaban bahan bakar yang penilaiannya didasarkan pada ciri fisik bahan bakar. Sementara itu, NFDRS dalam Hardy 2005 menyatakan bahwa fire risk (kerawanan kebakaran) adalah suatu kesempatan kebakaran dapat terjadi sebagai akibat pengaruh dari faktor alamiah dan agen penyebab kejadian (incident of causative agent). The Fire Danger Rating System (Deeming et al, 1972 dalam Hardy 2005) menyatakan bahwa kejadian kebakaran hutan dan penjalaran kebakaran hutan dapat dikategorikan ke dalam fire risk. Sumbersumber fire risk dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok yaitu lighting risk (LR) dan man cause risk (MCR). LR ditentukan oleh kejadian kebakaran pada saat ini dan kejadian harapan yang akan datang, yang dinyatakan dalam peluang kebakaran, sedangkan MCR diturunkan dari tingkat relatif aktivitas manusia, manusia sebagai aktor utama dalam kebakaran. Kedua nilai tersebut di atas dapat dinyatakan dalam skala 1 100, dan jika keduanya dijumlahkan maka maksimal nilainya juga

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasi yang masih hidup maupun mati, serasah, humus, semak dan gulma

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasi yang masih hidup maupun mati, serasah, humus, semak dan gulma II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan didefinisikan sebagai proses reaksi cepat oksigen dan unsur-unsur lainnya, dan ditandai dengan panas, cahaya serta biasanya menyala.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008). 3 TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran hutan didefenisikan sebagai suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi didalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Kebakaran hutan secara umum didefinisikan sebagai kejadian alam yang bermula dari proses reaksi secara cepat

Lebih terperinci

MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI

MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5. Sebaran Hotspot Tahunan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran hutan dan Lahan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan oleh Brown dan Davis (1973) dalam Syaufina (2008) didefinisikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan

TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan Kebakaran hutan menurut JICA (2000), didefinisikan sebagai suatu keadaan hutan yang dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan hasil hutan serta menimbulkan

Lebih terperinci

MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI

MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah) SAMSURI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 46 HASIL DAN PEMBAHASAN A Verifikasi Data Hotspot Verifikasi data hotspot dilakukan terhadap data hotspot Bulan Januari sampai Bulan Mei 2005 yang bersumber dari stasiun pengamat kebakaran JICA (Japan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada daerah kajian Provinsi Kalimantan Barat. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan Sistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebakaran Hutan 1. Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi yang terjadi di kawasan hutan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

BAB VII KEBAKARAN HUTAN

BAB VII KEBAKARAN HUTAN BAB VII KEBAKARAN HUTAN Api merupakan faktor ekologi potensial yang mempengaruhi hampir seluruh ekosistem daratan, walau hanya terjadi pada frekuensi yang sangat jarang. Pengaruh api terhadap ekosistem

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan dan lahan pada periode 5 tahun

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global.

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global. Hal itu terjadi karena dampak dari kebakaran hutan tersebut bukan hanya dirasakan ole11 Indonesia saja

Lebih terperinci

ABSTRACT. Alamat Korespondensi : Telp , PENDAHULUAN

ABSTRACT. Alamat Korespondensi : Telp ,   PENDAHULUAN KAJIAN FAKTOR PENYEBAB DAN UPAYA PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN GAMBUT OLEH MASYARAKAT DI DESA SALAT MAKMUR KALIMANTAN SELATAN Oleh/By FONNY RIANAWATI Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Perilaku Kebakaran Perilaku kebakaran dapat didefenisikan sebagai cara dimana api di alam berkembang, bagaimana bahan bakar terbakar, perkembangan nyala api dan penyebaran api dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebakaran Hutan dan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebakaran Hutan dan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebakaran Hutan dan Lahan 1. Definisi kebakaran hutan dan lahan Menurut Brown dan Davis (1973), kebakaran hutan adalah pembakaran yang tidak terkendali dan terjadi dengan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan (wildfire/forest fire) merupakan kondisi dimana keadaan api menjadi tidak terkontrol dalam vegetasi yang mudah terbakar di daerah pedesaan atau daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

Topik C3 Kebakaran hutan dan lahan gambut

Topik C3 Kebakaran hutan dan lahan gambut Topik C3 Kebakaran hutan dan lahan gambut 1 Ruang lingkup dari materi Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut meliputi: 1. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia 2. Karakteristik kebakaran hutan dan lahan gambut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN)

IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) IDENTIFIKASI AREAL BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA, KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN) Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan kebakaran permukaan dimana api membakar bahan bakar yang ada di atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan

BAB I PENDAHULUAN. Maret hingga Agustus. Kondisi ini didukung oleh suhu rata-rata 21 0 C 36 0 C dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 Kabupaten/Kota di Provinsi Riau. Kota Dumai sangat dipengaruhi oleh iklim laut. Musim hujan jatuh pada bulan September hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. panas serta biasanya menghabiskan bahan bakar hutan seperti serasah, tumbuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA. panas serta biasanya menghabiskan bahan bakar hutan seperti serasah, tumbuhan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan secara umum merupakan kejadian alam dari proses reaksi secara cepat dari oksigen dengan karbohidrat (bahan bakar hutan) ditandai dengan panas serta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kebakaran hutan dibedakan pengertiannya dengan kebakaran lahan,

TINJAUAN PUSTAKA. Kebakaran hutan dibedakan pengertiannya dengan kebakaran lahan, TINJAUAN PUSTAKA Definisi Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan dibedakan pengertiannya dengan kebakaran lahan, dimana perbedaannya terletak pada lokasi kejadiannya. Kebakaran hutan yaitu kebakaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 2.1 Pengertian Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sebagian besar orang menyatakan bahwa kebakaran hutan yang terjadi pada sekarang ini adalah kebakaran kawasan hutan yang terjadi di hutan (baik

Lebih terperinci

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik Latar Belakang: Penghutan kembali atau reboisasi telah banyak dilakukan oleh multipihak untuk menyukseskan

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 1980-an para peneliti meteorologi meyakini bahwa akan terjadi beberapa penyimpangan iklim global, baik secara spasial maupun temporal. Kenaikan temperatur

Lebih terperinci

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon 1 Presentasi ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, memberikan pengantar tentang besarnya karbon yang tersimpan di lahan gambut. Bagian kedua membahas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian, kehutanan, perikanan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu dari tipe ekosistem yang ada di dunia dan dicirikan melalui suatu liputan hutan yang cenderung selalu hijau disepanjang musim.

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 22 BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Luas dan Lokasi Wilayah Merang Peat Dome Forest (MPDF) memiliki luas sekitar 150.000 ha yang terletak dalam kawasan Hutan Produksi (HP) Lalan di Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin

I. PENDAHULUAN. Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Intervensi manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang makin lama semakin meningkat telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan

Lebih terperinci

: Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam. : Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. : Balai Pemantapan Kawasan Hutan

: Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam. : Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. : Balai Pemantapan Kawasan Hutan BBKSDA BMKG BPKH Elevasi Evapotranspirasi : Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam : Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika : Balai Pemantapan Kawasan Hutan : Ketinggian Tempat : Air dalam tanah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

(PERSYARATAN LINGKUNGAN TUMBUH) IKLIM IKLIM TANAH

(PERSYARATAN LINGKUNGAN TUMBUH) IKLIM IKLIM TANAH AGRO EKOLOGI (PERSYARATAN LINGKUNGAN TUMBUH) TANAMAN KELAPA IKLIM IKLIM TANAH AGRO EKOLOGI TANAMAN KELAPA Suhu rata rata tahunan adalah 27 C dengan fluktuasi 6 7 C Suhu yang tinggi dapat mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan curah hujan yang tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal tidak berhutan.

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Penutupan Lahan Penutupan lahan yang terdapat di Kalimantan Tengah terdiri atas 18 jenis penutupan lahan. Tabel 1 menyajikan penutupan lahan di Kalimantan Tengah.

Lebih terperinci

AKURASI INDIKATOR KEJADIAN KEBAKARAN DAN IDENTIFIKASI LATAR BELAKANG PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN DI KABUPATEN TEBO PROVINSI JAMBI VEZA AZTERIA P

AKURASI INDIKATOR KEJADIAN KEBAKARAN DAN IDENTIFIKASI LATAR BELAKANG PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN DI KABUPATEN TEBO PROVINSI JAMBI VEZA AZTERIA P AKURASI INDIKATOR KEJADIAN KEBAKARAN DAN IDENTIFIKASI LATAR BELAKANG PENYEBAB KEBAKARAN HUTAN DI KABUPATEN TEBO PROVINSI JAMBI Oleh: VEZA AZTERIA P052100231 PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN ROKAN HILIR Muhammad Ikhwan Staf Pengajar Fakultas Kehutanan, Univeristas Lancang Kuning, Pekanbaru Jln. Yos Sudarso Km.8 Rumbai, Pekanbaru,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Lahan Sitorus (1985) menjelaskan ada empat kelompok kualitas lahan utama : (a) Kualitas lahan ekologis yang berhubungan dengan kebutuhan tumbuhan seperti ketersediaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum dan Distribusi Titik Panas (hotspot)provinsi Jambi Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0 o 45-2 o 45 LS dan 101 o 104 o 55 BT, terletak di tengah Pulau Sumatera

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa Apakah mulsa itu? Mulsa adalah sisa tanaman, lembaran plastik, atau susunan batu yang disebar di permukaan tanah. Mulsa berguna untuk melindungi permukaan tanah dari terpaan hujan, erosi, dan menjaga kelembaban,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Titik Panas

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Titik Panas 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Titik Panas Titik panas (hotspot) adalah indikator kebakaran hutan yang mengindikasikan suatu lokasi yang memiliki suhu relatif tinggi dibandingkan suhu disekitarnya. Definisi

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 Any Zubaidah 1, Suwarsono 1, dan Rina Purwaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Vegetasi Hutan Hutan merupakan ekosistem alamiah yang sangat kompleks mengandung berbagai spesies tumbuhan yang tumbuh rapat mulai dari jenis tumbuhan yang kecil hingga berukuran

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Iklim merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan di bumi. Dimana Iklim secara langsung dapat mempengaruhi mahluk hidup baik manusia, tumbuhan dan hewan di dalamnya

Lebih terperinci

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? * Parwati Sofan, Nur Febrianti, M. Rokhis Khomarudin Kejadian kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah pada pertengahan bulan September

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Letak dan Ciri-ciri Lintasan Sepeda Gunung Letak lintasan sepeda gunung di HPGW disajikan dalam Gambar 5. Ciricirinya disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Keadaan plot penelitian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Nino telah melanda sebagian belahan bumi, termasuk diantaranya Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA. Nino telah melanda sebagian belahan bumi, termasuk diantaranya Indonesia. TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan Musim kemarau dan kekeringan yang panjang sebagai akibat dari badai El Nino telah melanda sebagian belahan bumi, termasuk diantaranya Indonesia. Badai El Nino yang kering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

Latar Belakang. Gambar 1. Lahan gambut yang terbakar. pada lanskap lahan gambut. Di lahan gambut, ini berarti bahwa semua drainase

Latar Belakang. Gambar 1. Lahan gambut yang terbakar. pada lanskap lahan gambut. Di lahan gambut, ini berarti bahwa semua drainase 1 2 Latar Belakang Gambar 1. Lahan gambut yang terbakar. Banyak lahan gambut di Sumatra dan Kalimantan telah terbakar dalam beberapa tahun terakhir ini. Kebakaran gambut sangat mudah menyebar di areaarea

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya migrasi penduduk di suatu daerah, maka akan semakin banyak jumlah lahan yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan semakin banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia seiring dengan perkembangan zaman. Pemanfaatan hutan biasanya sangat bervariasi, mulai dari

Lebih terperinci

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN Rommy Andhika Laksono Iklim merupakan komponen ekosistem dan faktor produksi yang sangat dinamis dan sulit dikendalikan. iklim dan cuaca sangat sulit dimodifikasi atau dikendalikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ancaman perubahan iklim sangat menjadi perhatian masyarakat dibelahan dunia manapun. Ancaman dan isu-isu yang terkait mengenai perubahan iklim terimplikasi dalam Protokol

Lebih terperinci

FORESTA Indonesian Journal of Forestry I (1) 2012: ISSN: Samsuri a*, I Nengah Surati Jaya b, Lailan Syaufina b

FORESTA Indonesian Journal of Forestry I (1) 2012: ISSN: Samsuri a*, I Nengah Surati Jaya b, Lailan Syaufina b FORESTA Indonesian Journal of Forestry I (1) 2012: 12-18 ISSN: 2089-9890 Model Spasial Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan (Studi Kasus Propinsi Kalimantan Tengah) (Spatial Model of Land and Forest

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang terpenting di negara kita, karena sebagian besar warga Indonesia bermatapencaharian sebagai petani, namun juga sebagian besar warga miskin

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti secara geografis terletak pada koordinat antara sekitar 0 42'30" - 1 28'0" LU dan 102 12'0" - 103 10'0" BT, dan terletak

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Wilayah Pengembangan Tegallega pada Tahun V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penghitungan Aspek Kependudukan Kependudukan merupakan salah satu bagian dari aspek sosial pada Wilayah Pengembangan Tegallega. Permasalahan yang dapat mewakili kondisi kependudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terletak pada wilayah ekuatorial, dan memiliki gugus-gugus kepulauan yang dikelilingi oleh perairan yang hangat. Letak lintang Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989). BAB II METODE KAJIAN 2.1. Pengertian Rekonstruksi, dari kata re : kembali, dan konstruksi : susunan, model, atau tata letak suatu bangunan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989), dalam hal ini rekonstruksi

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai 17.508 pulau. Indonesia terbentang antara 6 o LU - 11 o LS, dan 97 o BT - 141 o BT. Secara geografis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan kota

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan kota BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penggunaan lahan berhubungan erat dengan dengan aktivitas manusia dan sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan kota dipengaruhi oleh adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang utama memegang posisi penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju erosi dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumberdaya alam tambang di kawasan hutan telah lama dilakukan dan kegiatan pertambangan dan energi merupakan sektor pembangunan penting bagi Indonesia.

Lebih terperinci