BAB II TINJAUAN PUSTAKA
|
|
- Glenna Sumadi
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Hidrologi Data hidrologi dianalisis untuk membuat keputusan dan menarik kesimpulan mengenai fenomena hidrologi berdasarkan sebagian data yang dikumpulkan. Untuk perencanaan hidrolis bangunan utama bendung, analisis hidrologi yaitu untuk menentukan debit banjir rencana. Ada tiga macam cara yang umum dipakai dalam menghitung hujan ratarata kawasan: rata-rata aljabar, poligon Thiessen, dan isohyet. Dalam hal ini cara yang digunakan adalah Metode Poligon Thiessen, dengan mempertimbangkan tiga factor berikut (Suripin, 2004): a) Jaring-jaring pos penakar hujan dalam DAS. b) Luas DAS. c) Topografi DAS a) Jaring-jaring pos penakar hujan 2.1 Penggunaan metode berdasarkan jaring-jaring pos penakar hujan Jumlah pos penakar hujan cukup Metode isohyet, Thiessen atau ratarata aljabar dapat dipakai Jumlah pos penakar hujan terbatas Metode rata-rata aljabar atau Thiessen Pos penakar hujan tunggal Metode hujan titik II-1
2 b) Luas DAS 2.2 Penggunaan metode berdasarkan luas DAS DAS besar (> 5000 km2) DAS sedang (500 s/d 5000 km2) DAS kecil (< 500 km2) Metode isohyet Metode Thiessen Metode rata-rata aljabar c) Topografi DAS 2.3 Penggunaan metode berdasarkan topografi DAS Pegunungan Dataran Berbukit dan tidak beraturan Metode rata-rata aljabar Metode Thiessen Metode isohyet Hujan Rata-Rata Sesuatu Daerah Sebelum menuju ke pembahasan tentang hidrograf terlebih dahulu kita harus memahami tentang hujan rata-rata sesuatu daerah. Kalau dalam suatu daerah ada satu tempat, dimana diketahui besarnya curah hujan (karena di tempat ini ditempatkan takaran hujan titik 0), berlakulah tinggi air hujan ini dibuat titik 0 atau dengan kata lain apakah untuk daerh itu tinggi hujannya sama? Jawabannya ialah: tidak dan ini telah dibuktikan oleh penyelidikan Melchior. Andaikata 0 adalah pusatnya hujan, maka tinggi air hujannya makin menjauh dari titik 0 makin berkurang dan titik-titik dengan tinggi air hujan sama merupakan lingkaran dengan titik pusatnya 0 sebagai pusat lingkaran. II-2
3 Gambar 2.1 Gambar Punggung Kontur = batas daerah pematusan Dengan memakai sumbu Y dan X melalui titik 0 dalarn satu bidang lengkung pengaruh dirumuskan : Y = ,35 X 2 (2.11) hingga; kalau ada titik X, dari pusat 0, maka : a. tinggi hujan pada jarak X I adalah : Y 1 = ,35 X 2 1 (Sumber: Diktat Hidrologi-6) b. harga ini merupakan lingkaran dengan jari X 2, dan pusatnya titik 0. Kalau ada dua titik 0 dan M, maka garis baginya merupakan garis batas II-3
4 pengaruh dari titik 0 dan M. Gambar 2.2 Garis Bagi Pengaruh Titik Jika dititik M hujannya lebih tinggi dari titik 0 apakah garis sama pengaruh ini akan bergeser ke arah 0? Pertanyaan kedua adalah, apakah tempat tempat takaran selalu tempat pusat hujan? Karena uraian diatas masih kurangnya pengetahuan dalam bentuk pengaruh pusat hujan, maka untuk menghitung hujan rata-rata ditempuh jalan lain Cara Perhitungan Dengan Memakai Rata-Rata Hujan Dengan tinggi hujan, h 1, h 2, h 3 dan banyaknya station n, maka : h rata- rata = h h h n (2.12) II-4
5 Gambar 2.3 Contoh Titik Stasiun Hujan dengan ketentuan tinggi hujan di : A = 4 mm/etmal F = 4 mm/ etm. B = 8 mm/etmal G = 3 mm' etm. C = 10 mm/etmal H = 14 mm/ etm. D = 4 mm/etmal I = 8 mm/ etm. E = 5 mm/etmal M = 7 mm/ etm. Terdapat harga rata-rata = H = 6,3 mm/24 jam (Sumber: Diktat Hdrologi-6) II-5
6 Cara Segitiga Stasiun-stasiun hujan dihubungkan hingga terbentuk jaringan segitiga, hujan rata-rata untuk tiap segitiga sama dengan dikalikan sepertiga jumlah tinggi hujan yang merupakan titik sudut segitiga atau secara umum : q e ha hb hc FABC x (2.13) 3 h rata F ABC ha hb x 3 F h C (2.14) h rata 1 F 3 F ABC h A h B h C (2.15) Gambar 2.4 Cara Segitiga II-6
7 Tabel 2.4 Contoh Perhitungan Cara Segitiga BAB II Tinjauan Pustaka Q MFG MGB MBC MCH MHI MIE MFF FGH BCH HID AFE AGB CHD DHE = = = = = = = = = = = = = = ,12 1,26 1,50 2,17 2,61 2,00 1,76 1,89 1,24 1,60 2,17 0,75 0,56 0, Cara Thiesen 100% 20,42 (Sumber: Diktat Hidrologi-6) Sebagai dasar Thiesen mengambil garis bagi antara dua stasiun hujan dan dalam daerah yang dibatasi oleh garis bagi ini berlaku besarnya hujan dari stasiun di dalamnya. II-7
8 Gambar 2.5 Contoh Cara Thiesen Tabel 2.5 Contoh Cara Thiesen Cara Isohyet (Sumber: Diktat Hidrologi-6) Dengan adanya pengukuran berbagai stasiun, maka diusahakan menarik garis sama tinggi hujan dan seterusnya harga rata tinggi hujan ditentukan. II-8
9 Gambar 2.6 Contoh cara Isohyet Tabel 2.6 Contoh Cara Isohyet Luas km 2 Isotach Tinggi hujan Luas relatif % rata-rata mm , , , ,5 1, ,5 0, ,5 0, , % 6,99 Cara memakai koefisien h rata rata (2.16) h maksimum , (Sumber: Diktat Hidrologi-6) II-9
10 2.1.3 Analisa Frekuensi Hujan rencana adalah hujan harian maksimum yang akan digunakan untuk menghitung intensitas hujan. Untuk mendapatkan curah hujan rancangan (Rt) dilakukan melalui analisa frekuensi antara lain: Metode Distribusi Normal keterangan: XT = besarnya curah hujan yang terjadi dengan kala ulang T tahun (2.17) X = rata-rata hitung variat Sx = standard deviasi k = faktor frekuensi (nilai variabel reduksi Gauss) Metode Distribusi Log Normal (2.18) keterangan: X Slog X n = nilai variat pengamatan = standart deviasi dari logaritma = jumlah data II-10
11 log X k = logaritma rata-rata = faktor frekuensi Metode Distribusi Frekuensi Gumbel (2.19) keterangan: XT X k = besarnya curah hujan yang terjadi dengan kala ulang T tahun = rata-rata x maksimum dari seri data Xi = faktor frekuensi Yn, Sn Yt n = besaran yang mempunyai fungsi dari jumlah pengamatan = reduksi sebagai fungsi dari probabilitas = jumlah data Metode Distribusi Frekuensi Log Person Type III Metode yang dianjurkan dalam pemakaian distribusi Log Pearson Type III adalah dengan mengkorvesikan rangkaian datanya menjadi bentuk logaritmis. II-11
12 Nilai X bagi setiap probabilitas dihitung dari persamaan: keterangan: log X Slog X = logaritma rata-rata = standart deviasi dari logaritma Cs = koefisien kemencengan k n = faktor frekuensi = jumlah dataketerangan: XT = besarnya curah hujan yang terjadi dengan kala ulang T tahun X = rata-rata hitung variat Sx = standard deviasi k = faktor frekuensi (nilai variabel reduksi Gauss) Penentuan Debit Banjir Rencana dengan Metode Unit Hydrrograph Metode hidrograf satuan sintetis adalah metode yang populer digunakan dan memainkan peranan penting dalam banyak perencanaan di bidang sumber daya air khususnya dalam analisis debit banjir DAS yang tidak terukur. Metode ini sederhana, karena hanya membutuhkan data-data karakteristik DAS seperti luas DAS dan panjang sungai dan dalam beberapa kasus dapat juga mencakup II-12
13 karakteristik lahan digunakan. Oleh karena itu, metode ini merupakan alat berguna untuk mensimulasikan aliran dari DAS tidak terukur dan daerah aliran sungai mengalami perubahan penggunaan lahan. Menurut definisi hidrograf satuan sintetis adalah hidrograf limpasan langsung (tanpa aliran dasar) yang tercatat di ujung hilir DAS yang ditimbulkan oleh hujan efektif sebesar satuan (1 mm, 1 cm, 1 inchi) yang terjadi secara merata di seluruh DAS dengan intensitas tetap dalam suatu satuan waktu (misal 1 jam) tertentu. Beberapa asumsi dalam penggunaan hidrograf satuan adalah sebagai berikut: 1. Hujan efektif mempunyai intensitas konstan selama durasi hujan efektif. Untuk memenuhi anggapan ini maka hujan deras untuk analisis adalah hujan dengan durasi singkat. 2. Hujan efektif terdistribusi secara merata pada seluruh DAS. Dengan anggapan ini maka hidrograf satuan tidak berlaku untuk DAS yang sangat luas, karena sulit untuk mendapatkan hujan merata di seluruh DAS. Karakteristik bentuk hidrograf yang merupakan dasar dari konsep hidrograf satuan. II-13
14 Gambar 2.7 Prinsip Hidrograf Satuan Prinsip penting dalam penggunaan hidrograf satuan dapat sebagai berikut: 1. Lumped response: hidrograf menggambarkan semua kombinasi dari karakteristik fisik DAS yang meliputi (bentuk, ukuran, kemiringan, sifat tanah) dan karakteristik hujan. 2. Time invariant: hidrograf yang dihasilkan oleh hujan dengan durasi dan pola yang serupa memberikan bentuk dan waktu dasar yang serupa pula. II-14
15 3. Linear response: respons limpasan langsung dipermukaan (direct run off) terhadap hujan effektif bersifat linear, sehingga dapat dilakukan superposisi hidrograf. Dan untuk mengembangkan hidrograf satuan sintetis, beberapa metoda telah tersedia. Beberapa metoda hidrograf satuan sintetis seperti cara nakayasu, snyder-alexeyev sangat populer dan umum digunakan di Indonesia untuk menghitung debit puncak dan bentuk hidrograf banjir Metode Nakayasu Dalam kaitannya dengan studi tentang sumber daya air, hidrologi mempunyai peranan yang sangat penting. Salah satu faktor yang berperan adalah data hidrologi, kita dapat mengetahui besarnya debit rencana sebagai dasar perencanaan bangunan air. Adapun aspek hidrologi yang perlu dikaji pertama-tama adalah curah hujan daerah rata-rata harian maksimum. Untuk mendapatkan gambaran mengenai distribusi curah hujan di seluruh daerah aliran sungai, maka di berbagai tempat pada suatu daerah aliran sungai tersebut dipasang alat pengukur curah hujan. Untuk menghitung besarnya curah hujan daerah dalam penulisan ini dilakukan dengan metode rerata aritmatik. Rumus perhitungan curah hujan rata-rata adalah: Rn = (p1 + p pn)/n (2.21) Dimana p1, p2, p3, hingga pn adalah stasiun yang dilengkapi alat pengukur curah hujan. Contoh stasiun hujan terlihat pada gambar 2.2. II-15
16 Gambar 2.8 Contoh Stasiun Hujan Curah hujan rancangan adalah hujan terbesar tahunan dengan suatu kemungkinan tertentu atau hujan dengan suatu kemungkinan periode ulang tertentu. Dalam analisis curah hujan rancangan dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti Normal, Log Normal, Pearson, Log Pearson tipe III, dan gumbel. Tabel 2.7 Persyaratan Parameter Statistik Suatu Distribusi. (Sumber: Hadidhy, 2010) Uji distribusi probabilitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah persamaan distribusi probabilitas yang dipilih dapat mewakili distribusi statistik sampel data II-16
17 analisis. Pengujian distribusi probabilitas dapat dilakukan dengan metode Chikuadrat(X2). Untuk memperoleh angka-angka kemungkinan besaran debit banjir pada banjir yang diakibatkan oleh luapan sungai, analisis dilakukan dengan menggunakan data banjir terbesar tahunan atau curah hujan terbesar tahunan yang sudah terjadi. HSS merupakan metode yang tepat untuk menghitung debit banjir karena dari perhitungan HSS akan menghasilkan nilai debit tiap jam dan pada saat hujan mulai turun, waktu puncak banjir hingga akhir banjir, dibanding dengan metode empiris. Dalam hal ini penulis menggunakan metode HSS Nakayasu. Dengan rumusan sebagai berikut: Tl = 0,21 L 0,7 dengan L < 15 km (2.22) Tl = 0, ,058 L dengan L > 15 km (2.23) Tp = Tl + 0,5 Tr (2.24) Dimana: Tl = Time lag (jam) L = panjang sungai (km) Tp = waktu puncak (jam) Qp = C A R/3,6 (0,3 Tp + 0,3) Tg = 0,21 L 0,7 dengan L < 15 km Tg = 0,4 + 0,058 L dengan L > 15 km Tr = 0,75 Tg T0,8 = 0,8 Tr Tp = Tg + 0,8 Tr Tb = (Sumber: Dantje K. Natakusumah Vol. 18-No. 3). II-17
18 2.1.6 Metode Snyder Untuk mendapatkan suatu hidrograf satuan seperti diuraikan dengan prosedur tertentu perlu tersedia data yang baik, yaitu data AWLR, data pengukuran debit, data hujan harian, dan data hujan jam-jaman. Yang menjadi masalah adalah bahwa karena berbagai sebab data ini sangat sulit diperoleh atau tidak tersedia. Untuk mengatasi hal ini maka dikembangkan suatu cara untuk mendapat hidrograf satuan tanpa mempergunakan data tersebut. Salah satu cara tersebut dikembangkan oleh F.F. Snyder dari Amerika serikat pada tahun 1983 yang memanfaatkan parameter DAS yang diteliti oleh Snyder berada di dataran tinggi. Snyder mengembangkan model dengan koefisien-koefisien empirik yang menghubungkan unsur-unsur hidrograf satuan dengan karakteristik DAS. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa pengalihragaman hujan menjadi aliran baik pengaruh translasi maupun tampungannya dapat dijelaskan dipengaruhi oleh sistem DAS-nya. Hidrograf satuan tersebut ditentukan dengan unsur yang antara lain Qp (m 3 /detik), Tb (jam), dan tp (jam) dan tr (jam). Unsur-unsur hidrograf tersebut dihubungkan dengan: A = luas DAS (km 2 ) L = panjang aliran sungai utama (km) Lc = panjang sungai utama diukur dari tempat pengukuran (pelepasan) sampai titik di sungai utama yang terdekat dengan titik berat DAS (km) Dengan unsur-unsur tersebut di atas snyder membuat model hidrograf satuan sintetis sebagai berikut: Tp = 0,75 Ct (L.Lc) 0,3 (2.25) II-18
19 Tr = tp/5,5 (2.26) Qp = 2,75 Cp.A/tp (2.27) Tb = tp atau (2.28) Tb = 5,56/qpr (2.29) Dimana Tp = waktu kelambatan (time lag) (jam) Qp = debit puncak (m 3 /detik) Tb = waktu dasar (jam) Qpr = debit per satuan luas (m 3 /detik/km 2 ) (Sumber: Dantje K. Natakusumah Vol. 18-No. 3) Ct dan Cp adalah koefisien-koefisien yang bergantung pada satuan dan ciri DAS, koefisien-koefisien Ct dan Cp harus ditentukan secara empirik, karena besarnya berubah-ubah antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Dalam sistem empirik besarnya Ct antara 0,75 sampai 3 sedangkan Cp antara 0,9 sampai 1,4. Besaran nilai Ct dan Cp tersebut diperoleh Snyder untuk sejumlah DAS di dataran tinggi, dimana bila nilai Cp mendekati nilai terbesaar maka nilai Ct akan mendekati nilai terkecil, demikian pula sebaliknya. Menurut hasil penelitian Hoffmeister dan Weisman pada tahun 1977, bahwa pemakaian parameter Lc oleh Snyder disebabkan karena bagian hulu suatu DAS dianggap tidak terpengaruh terhadap debit puncak suatu hidrograf. Mengenai unsur debit puncak, penelitian yang telah dilakukan morgan dan johnson pada tahun 1962 dan Sri Harto menyatakan bahwa persamaan Snyder memberikan debit puncak paling kecil dibandingkan dengan cara-cara lainnya. II-19
20 Pemakaian cara Snyder ini dibatasi hanya untuk dataran tinggi sedangkan untuk daerah lain dengan cara tersebut diperlukan ralat dan penyesuaian. Snyder hanya membuat model untuk menghitung debit puncak dan waktu yang diperlukan untuk mencapai puncak dari suatu hidrograf saja, sehingga untuk mendapatkan lengkung hidrografnya memerlukan waktu untuk menghitung parameter-parameternya. Ada sebuah pembaharuan pernah dilakukan Amerika serikat juga, yaitu dalam penggunaan metode Snyder dengan parameter hidrograf satuan pada suatu daerah. Espey, Altman, dan Graves pada tahun 1977 mengembangkan satu set persamaan umum untuk menyusun hidrograf satuan dengan meneliti beberapa DAS yang mana menghasilkan persamaan: Tp = 3,1 L 0,23 S -0,25 I -0,18 O 1,57 (2.30) Qp = 31, A 0,96 T -1,07 (2.31) Tb = 125, A Qp -0,95 (2.32) W50 = 16, A 0,93 Qp -0,92 (2.33) W75 = 3, A 0,79 I -0,18 Qp -0,78 (2.34) Dimana: L = panjang total sungai utama (feet) S = kemiringan sungai utama didefinisikan sebagai H/0,8L, dimana H adalah perbedaan elevasi A dan B. A adalah titik pada dasar sungai di bagian hulu yang berjarak 0,2L dari ujung sungai. B adalah titik pada dasar sungai di bagian hilir di tempat pengukuran (feet per foot) I = prosentase daerah kedap air di dalam suatu DAS (%), diasumsi sama dengan 5% dari luasan DAS yang belum dikembanagkan. II-20
21 O = dimensi faktor pengangkutan, dimana merupakan fungsi dari prosentase daerah kedap air dan kekasaran. (tanpa satuan) Tp = waktu naik yang diukur dari permulaan limpasan sampai puncak hidrograf satuan (menit) Qp = debit puncak hidrograf satuan (cfs/menit) Tb = waktu dasar hidrograf satuan (menit) W50 = lebar hidrograf pada saat 50% tercapainya debit puncak (menit) W75 = lebar hidrograf pada saat 75% tercapainya debit puncak (menit) (Sumber: Hari Siswoyo, pengembangan model hidrograf) Belakangan ini banyak juga digunakan model HSS Snyder yang telah diubah, dan telah banyak digunakan di Indonesia. Perubahan tersebut terletak pada: 1. Pangkat 0,3 pada rumus (l) diganti dengan n, sehingga menjadi tp = Ct. (L. Lc) n 2. Tr pada rumus (2) diganti dengan te yang merupakan durasi curah hujan efektif, sedangkan tr = 1 jam Te = tp/5,5 3. Hubungan te, tp, tr, dan Tp adalah sebagai berikut: Bila te > tr maka tp = tp + 0,25(tr-te), sehingga Tp = tp + 0,5 Bila te < tr maka Tp = tp + 0,5 4. Qp = 0,278. Cp/Tp (2.35) Dan Qp = qp. A untuk hujan 1 mm/jam Dimana: qp = puncak hidrograf satuan (m 3 /det/mm/km 2 ) Qp = debit puncak (m 3 /detik/mm) II-21
22 Tp = waktu antara titik berat curah hujan hingga puncak hidrograf (jam) Tp = waktu yang diperlukan antara permulaan hujan hingga mencapai puncak hidrograf (jam) (Sumber: Dantje K. Natakusumah Vol. 18-No. 3) Dari tinjauan pustaka terhadap teori-teori yang ada, maka model HSS Snyder perlu dikembangkan untuk mempermudah pemakaiannya. Penentuan nilai Ct dan Cp dalam bentuk pendekatan persamaan dengan menggunakan model regrasi dianggap penting. Hal ini mengingat nilai-nilai tersebut akan berbeda antara DAS yang satu dengan yang lain, sehingga dalam setiap penggunaan model ini selalu dilakukan kalibrasi untuk tiap daerah yang berbeda Metode Rasional Metode ini dapat menggambarkan hubungan antara debit limpasan dengan besar curah hujan statis. Dua komponen utama yang digunakan yaitu waktu konsentrasi (tc) dan intensitas curah hujan (I) Rumus : Q = 0,287 x C x I x A (2.36) Dimana : Q = Debit masimum (m 3 /dt) A = Luas DAS (Km 2 ) C = Koefisien Limpasan I = Intensitas curah hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam). II-22
23 2.2 Bendung Tipe-tipe Bendung Bangunan bendung merupakan bangunan yang dipakai untuk mengatur elevasi air di sungai atau dengan memperlebar pengambilan di dasar sungai. Ada dua tipe bendung yang digunakan untuk mengatur elavasi air sungai, yaitu: 2. Bendung tetap 3. Bendung gerak Sementara bendung pengambilan air dasar sungai disebut juga bendung saringan bawah atau bendung Tyroller. 1. Bendung tetap Bendung tetap dibuat melintang searah dengan sungai untuk menghasilkan elevasi air minimum agar air tersebut bisa dielakkan. Adapun penggunaan dari bendung tetap adalah sebagai berikut: 1. Dari data sungai, bendung tetap mempunyai lebar sungai <50 m. 2. Tidak ada aliran permukaan selama banjir 3. Dapat menghasilkan kerikil sampai ukuran 64 mm 4. Mempunyai debit saluran <10 m 3 /dt. II-23
24 Gambar 2.9 Lay Out Bendung Tetap 2. Bendung Gerak Bendung gerak merupakan bangunan air berpintu yang dibuka selama aliran besar. Bendung gerak dapat mengatur muka air di depan pengambilan air yang masuk tetap sesuai dengan kebutuhan. Kesulitan pada bendung gerak adalah pintu harus tetap dijaga dan dioperasikan dengan baik dalam keadaan apapun. Adapun penggunaan dari bendung gerak adalah sebagai berikut: 1. Kemiringan dasar sungai kecil/relatif kecil. 2. Peninggian dasar sungai akibat konstruksi bendung tetap dapat diterima karena ini akan mempersulit pembuangan air atau membahayakan pekerjaan sungai yang telah ada akibat meningginya muka air. 3. Debit tidak dapat dilawatkan dengan aman dengan bendung tetap. 4. Dapat mengangkut pasir dan kerikil ukuran 64 mm. II-24
25 Berdasarkan dari penggunaan masing-masing nedung di atas, maka untuk tugas akhir ini menggunakan bendung tetap. 2.3 Hidrolik Bangunan Bendung Tetap Bentang Bendung Yaitu jarak antar pangkal pangkalnya (abutment) harus sama dengan atau tidak lebih dari 1,2 kali lebar rata rata sungai pada bagian yang stabil. Adapun persamaannya sebagai berikut: Be = B - 2 (n. Kp + Ka) H 1 (2.1) Dimana : n = Jumlah pilar Kp = Koefisien konstraksi pilar Ka = koefisien konstraksi pangkal bendung H 1 = Tinggi energi (m) B = Lebar bendung Be = Lebar bendung efektif II-25
26 Panjang mercu bruto = B Gambar 2.10 Lebar Mercu Tabel 2.8 Harga harga Koefisien Konstruksi URAIAN Kp Untuk pilar berujung segi empat dengan sudut-sudut yang dibulatkan pada jari-jari yang hampir sama dengan 0,1 0,02 dari tebak pilar Untuk pilar berujung bulat 0,01 Untuk pilar berujung runcing 0 URAIAN Untuk pangkal tembok segi empat dengan tembok hulu pada 90 0 ke arah aliran Ka 0,02 Untuk pangkal tembok bulat dengan tembok hulu pada 0, ke arah aliran dengan 0,5 H i >r>0,15 H i Untuk pangkal tembok bulat dimana r>0,5 H1 dan tembok hulu tidak lebih dari 45 0 ke arah aliran (Sumber : Kp-02 Standar Perencanaan Irigasi) 0 II-26
27 2.3.2 Perencanaan Mercu Gambar 2.11 Mercu Pada bendung Di Indonesia biasanya menggunakan mercu tipe Ogee dan tipe bulat. 1. Mercu Bulat Bendung dengan mercu bulat memiliki harga koefisien debit yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan koefisien bendung ambang lebar. Bendung akan memberikan banyak keuntungan bagi sungai, karena bangunan air ini akan mengurangi tinggi muka air hulu selama banjir. Harga koefisien debit menjadi lebih tinggi, karena lengkung streamling dan tekanan negatif pada mercu. Tekanan pada mercu adalah fungsi perbandingan antara H 1 dan r (H 1 /r). Untuk bendung dengan jari-jari (R 2 ), jari-jari hilir akan dipergunakan untuk menemukan harga koefisien debit. Untuk menghindari bahaya kavitasi lokal, tekanan minimum pada mercu bendung harus dibatasi sampai -4 m tekanan air, jika bangunan tersebut dari beton, untuk konstruksi pasangan batu, tekanan sub atmosfer sabaiknya dibatasi sampai dengan -1 m tekanan air. Persamaan energi debit untuk bendung ambang pendek dengan pengontrol segi empat adalah sebagai berikut: II-27
28 Gambar 2.12 Bendung Dengan Mercu Bulat Dari Gambar 4.4 tampak bahwa jari-jari mercu bendung pasangan batu akan berkisar antara 0,3 sampai 0,7 kali H1maks dan untuk mercu bendung beton dari 0,1 sampai 0,7 kali H.1maks Persamaan tinggi energi-debit untuk bendung ambang pendek dengan pengontrol segi empat adalah: Q = C d. 2/3 2/3.g.b.H 1 1,5 Dimana : Q = Debit (m 3 /dt) Cd = Koefisien debit (Cd = Co C 1 C 2 ) g = Percepatan gravitasi (9,8 m/dt 2 ) b = Bentang efektif bendung (m) H 1 = Tinggi air di atas ambang Co = Fungsi H 1 /r II-28
29 C 1 = Fungsi p/h 1 C 2 = Fungsi p/h 1 dan kemiringan muka hulu bendung A. Dua R B. Satu R Gambar 2.13 Tipe Mercu Bulat C0 mempunyai harga maksimum 1,49 jika H1/r lebih dari 5,0 seperti diperlihatkan pada Gambar 4.5. Gambar 2.14 Tekanan Pada Mercu Bendung Bulat Sebagai Fungsi Perbandingan H 1 /r Harga-harga C0 pada Gambar 4.5 sahih (valid) apabila mercu bendung cukup tinggi di atas rata-rata alur pengarah (p/h1 sekitar 1,5). Dalam tahap perencanaan p dapat diambil setengah jarak dari mercu II-29
30 sampai dasar rata-rata sungai sebelum bendung tersebut dibuat. Untuk harga-harga p/h1 yang kurang dari 1,5, maka Gambar 4.6 dapat dipakai BAB II Tinjauan Pustaka untuk menemukan faktor pengurangan C1. Gambar 2.15 Harga Harga koefisieb C 0 Untuk Bendung Ambang Bulat Sebagai Fungsi Perbandingan H 1 /r Gambar 2.16 Koefisien C 1 Sebagai Fungsi Perbandingan H 1 /r Harga-harga koefisien koreksi untuk pengaruh kemiringan muka bendung bagian hulu terhadap debit diberikan pada Gambar 4.7. Harga koefisien koreksi, C2, diandaikan kurang lebih sama dengan harga faktor II-30
31 koreksi untuk bentuk-bentuk mercu tipe Ogee. Gambar 2.17 Harga Harga koefisieb C 2 Untuk Bendung Mercu Tipe Ogee Dengan Muka Hulu Melengkung (menurut USBR, 1960) Gambar 2.18 Faktor Pengurangan Aliran Tenggelam Sebagai Fungsi H 2 /H 1 2. Mercu Ogee Mercu Ogee berbentuk tirai luapan bawah dari bendung ambang tajam (aerasi). Oleh karena itu, mercu tidak akan memberikan tekanan sub atmosfer pada permukaan mercu sewaktu bendung mengalirkan air pada debit rencana. Untuk debit yang lebih rendah, air akan memberikan tekanan ke bawah mercu. II-31
32 Untuk merencanakan mercu Ogee bagian hilir, US Army Corps of Engineers mengembangkan persamaan berikut: (2.3) Dimana : X dan Y = Koordinat permukaan hilir hd = Tinggi rencana atas mercu k dan n = parameter Tabel 2.9 Harga harga k dan n Kemiringan permukaan hilir k n Vertikal 2,000 1,850 3 : 1 1,936 1,836 3 : 2 1,939 1,810 3 : 1 1,873 1,776 (Sumber : Kp-02 Standar Perencanaan Irigasi) II-32
33 Bentuk bentuk mercu dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 2.19 Tipe Mercu Ogee Bangunan hulu mercu bervariasi disesuaikan dengan kemiringan permukaan hilir. Persamaan antara tinggi mercu dan debit untuk bendung Ogee adalah: Q C d 2/3 2/3.g.b.H 1 1,5 C d. 2/3.b.H 2/3.g H (2.4) Q = Debit (m 3 /dt) Cd = Koefisien debit (Cd = Co C 1 C 2 ) g = Percepatan gravitasi (9,8 m/dt 2 ) b = Bentang efektif bendung (m) H 1 = Tinggi energi di atas ambang Co = Konstanta (=1,30) C 1 = Fungsi H 1 /h d ) C 2 = Faktor koreksi untuk permukaan hulu II-33
34 2.3.3 Pangkal Bendung Menghubungkan bendung dengan tanggul-tanggul dan tanggul-tanggul banjir, pangkal bendung harus mengalirkan air dengan tanah dan tidak menimbulkan turbulensi. Elevasi pangkal bendung di sisi hulu sebenarnya lebih tinggi dari elevasi air yang bergantung pada debit banjir rencana. Tinggi jagaan yang diberikan adalah 0.75 m sampai dengan 1,5 m. Gambar pangkal bendung dapat dilihat sebagai berikut: Gambar 2.20 Pangkal Bendung Peredam Energi Aliran di atas mercu bendung dapat menunjukkan berbagi perilaku di sebelah hilir bendung akibat kedalaman air yang ada. Adapun kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dari pola aliran di atas bendung akan ditunjukkan oleh Gambar 2.6 yang terdiri dari Gambar 2.6A menunjukkan aliran tenggelam yang menmbulkan gangguan di permukaan berupa timbulnya gelombang. Gambar 2.6B menunjukkan loncatan tenggelam diakibatkan oleh kedalaman air di hilir besar. Gambar 2.6C keadaan loncat air, dimana kedalaman air di hilir sama dengan II-34
35 kedalaman konjungsi loncat air. Gambar 2.6D terjadi apabila kedalaman air di hilir kurang dari kedalaman konjungsi, sehingga loncatan akan bergerak ke hilir. Semua tahap ini bisa terjadi di hilir bendung yang dibangun di sungai. Kasus D keadaan yang tidak boleh terjadi, karena loncatan air akan menghempas bagian sungai yang tidak terlindungi dan menyebabkan penggerusan yang luas. ar 2.21 Kondisi Aliran di Atas Mercu Bendung Gamb Cara menemukan debit untuk peredaman energi, semua debit dicek dengan muka air di hilir. Apabila terjadi degradasi dibuat perhitungan dengan muka air hilir terendah yang mungkin terjadi degradasai. Hal-hal yang harus diperiksa bila terjadi degradasi: 1. Bendung dibangun pada sudetan 2. Sungai alluvial dan bahan tanah yang dilalui rawan terhadap erosi 3. Terdapat waduk di hulu bangunan II-35
36 2.3.5 Kolam Olak Tipe kolam olak yang akan direncanakan di sebelah hilir bangunan tergantung pada energi yang masuk, yang dinyatakan dengan bilangan Froude dan bahan konstruksi kolom olak. Rumus : Gambar 2.22 Hubungan Kedalaman Air Hulu dan Hilir (2.5) (2.6) Dimana : Dimana : y 2 = kedalaman air di atas embang ujung (m) y u = kedalaman air di awal loncat air (m) Fr = bilangan Froude II-36
37 V 1 = kecepatan awal loncatan (m/dt) g = percepatan gravitasi (9,8 m/dt 2 ) Berdasarkan bilangan Froude, dapat dibuat pengelompokan-pengelompokan dalam perencanaan kolam olak sebagai berikut: 1. Untuk Fr < 1,7 tidak diperlukan kolam olak pada saluran tanah, bagian hilir harus dilindungi dari bahaya erosi dan saluran pasangan batu atau beton tidak memerlukan perlindungan khusus. 2. Jika 2,5 < Fr u < 4,5 maka akan timbul situasi paling sulit dalam memilih kolam olak yang tepat. 3. Jika 2,5 < Fr u < 4,5 maka akan timbul situasi yang paling sulit dalam memilih kolam olak yang tepat. Loncatan air tidak terbentuk dengan baik dan menimbulkan gelombang sampai jarak yang jauh di saluran. Cara mengatasinya adalah mengusahakan agar kolam olak dengan bilangan Froude ini mampu menimbulkan olakan (turbulensi) yang tinggi dengan blok halangnya atau menambah intensitas pusaran dengan pemasangan blok depan kolam. 4. Jika Fr > 4,5 merupakan kolam yang paling ekonomis karena kolam ini pendek. Dengan loncatan yang air sama, tangga di bagian ujungnya akan jauh lebih panjang dan mungkin harus digunakan dengan pasangan batu. Terlepas dari kondisi hidrolis, bilangan Froude dan kedalaman hilir, berdasarkan kondisi dasar sungai dan tipe sedimen, maka kolam olak bisa ditentukan sebagai berikut: II-37
38 Bendung di sungai yang mengangkut bongkah atau batu-batu besar dengan dasar yang relatif tahan gerusan, biasanya cocok dengan kolam olak dengan tipe bak tenggelam (sub merged bucket). Bendung di sungai yang mengangkut batu-batu besar, tetapi sungai itu mengandung bahan alluvial, dengan dasar daya tahan gerusan, akan menggunakan kolam loncat air tanpa blok-blok halang atau tipe bak tenggelam. Bendung di sungai yang hanya menyangkut bahan-bahan sedimen halus dapat direncanakan dengan kolam loncat air yang diperpendek dengan menggunakan blok-blok halang Kolam Olak Tipe USBR Beberapa kolam olak tipe ini telah dikembangkan oleh USBR. Pinggir dari tipe ini adalah vertikal dan pada umumnya mempunyai lantai yang panjang, blokblok dan diambang hilir biasa maupun ambang hilir bergigi. Ruang olak dengan blok-blok dan ambang hilir tidak baik untuk sungai yang mengankut batu. Macam-macam kolak olak tipe USBR adalah sebagi berikut: 1. Kolam olak USBR I, kolam yang terbentuk oleh loncatan hidraulik yang terjadi pada lantai dasar. Tipe ini biasanya tidak praktis karena terlalu panjang dan dipakai untuk bilangan Froude 1 (Fr = 2,5 4,5). II-38
39 Gambar 2.23 Kolam Olak Tipe USBR I 2. Kolam olak USBR II, dikembangkan untuk kolam olak yang banyak digunakan pada bendungan tinggi, bendungan urug tanah dan strukturstruktur saluran besar. Kolam olak dilengkapi dengan blok-blok di ujung hulu dan ambang bergigi di ujung hilir. Panjang kolam olak dapat diperoleh dari kurva yang dibuat oleh biro tersebut. Kolam olak USBR II dapat dipakai pada bilangan Froude lebih besar atau sama dengan 4,5 (Fr > 4,5) namun dengan catatan percepatan Vi 16 m/dt untuk menghindari kavitasi. Gambar 2.24 Kolam Olak Tipe USBR II II-39
40 3. Kolam olak USBR III digunakan pada bangunan drainase kecil dengan panjang ruang olak: Tetapi mempuyai faktor keamanan yang lebih tinggi. Kolam olak USBR III dapat dipakai untuk bilangan Froude lebih besar atau sama dengan 4,5 (Fr > 4,5), tetapi untuk kecapatan v 1 > 16 m/dt. Gambar 2.25 Kolam Olak Tipe USBR III 4. Kolam olak USBR IV dirancang untuk mengatasi persoalan pada loncatan hidrolis yang berisolasi. Kolam ini hanya dapat digunakan untuk penampang persegi panjang. Kolam olak USBR IV dipakai untuk bilangan Froude 2,5 sampai 4,5. II-40
41 Gambar 2.26 Kolam Olak Tipe USBR IV Kolam Olak Tipe Vlugter Kolam olak ini bisa digunakan pada tinggi air hilir di atas dan di bawah tinggi muka air yang telah diuji di laboratorium. Penyelidikan ini menunjukkan bahwa tipe bak tenggelam yang perencanaannya hampir sama dengan kolam Vlugter lebih baik. Karena kolam Vlugter tidak bisa digunakan pada bendung yang debitnya selalu mengalami fluktuasi. Kolam olak untuk bangunan terjun di saluran irigasi mempunyai batas-batas yang diberikan, untuk z/h c 0,5 ; 2,0 dan 1,5 dihubungkan dengan bilangan Froude yaitu 1,0 ; 2,8 ; dan 12,8. Bilangan-bilangan diambil dari kedalaman z di bawah tinggi energi hulu, bukan pada lantai kolam olak loncat air. Rumus : (2.7) Jika 0,5 < z/h c < 2,0 maka t = 2,4 h c + 0,4 Z II-41
42 Jika 2,0 < z/h c < 15,0 maka t = 3,0 h c + 0,1 Z (2.8) D = R = L (ukuran meter) Gambar 2.27 Kolam Olak Tipe Vlugter Kolam Olak Bak Tenggelam Kolam olak tipe bak tenggelam telah digunakan pada bendung-bendung rendah dan untuk bilangan-bilangan Froude rendah. Kriteria yang digunakan untuk perencanaan diambil dari bahan-bahan oleh Peterka dan hasil-hasil penyelidikan dengan model. Bahan ini diolah oleh Institut Teknik Hidrolika di Bandung untuk menghasilkan serangkaian perencanaan untuk kolam dengan tinggi energi rendah ini. Rumus : (2.10) II-42
43 Dimana : h c = kedalaman air kritis (m) q = debit perlebar satuan (m 3 /dt) g = percepatan gratvitasi (9,8 m/dt 2 ) Gambar 2.28 Kolam Olak Tipe Bak Tenggelam II-43
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Hujan Rata-Rata Sesuatu Daerah Sebelum menuju ke pembahasan tentang hidrograf terlebih dahulu kita harus memahami tentang hujan rata-rata sesuatu daerah. Kalau dalam suatu daerah
Lebih terperinciEVALUASI PERHITUNGAN DEBIT BANJIR RENCANA DENGAN HIDROGRAF METODE ITB, NAKAYASU, SNYDER PADA SUB CATCHEMENT SUNGAI CIUJUNG SERANG
EVALUASI PERHITUNGAN DEBIT BANJIR RENCANA DENGAN HIDROGRAF METODE ITB, NAKAYASU, SNYDER PADA SUB CATCHEMENT SUNGAI CIUJUNG SERANG Muhammad Reza Aditya Ready Fakultas Teknik, Universitas Mercu Buana Jl.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Hidrologi Hidrologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sistem kejadian air di atas pada permukaan dan di dalam tanah. Definisi tersebut terbatas pada hidrologi
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS DAN HASIL. Sungai
BAB IV ANALISIS DAN HASIL 4.1.Analisis Hidrograf 4.1.1. Daerah Tangkapan dan Panjang Sungai Berdasarkan keadaan kontur pada peta topografi maka dibentuk daerah tangkapan seperti berikut, beserta panjang
Lebih terperinciBAB II STUDI PUSTAKA
5 BAB II STUDI PUSTAKA 2.1 Microsoft Excel dan Bendung Microsoft Excel atau Microsoft Office Excel adalah sebuah program aplikasi lembar kerja spreadsheet yang dibuat dan didistribusikan oleh Microsoft
Lebih terperinciPERTEMUAN KE-4 SEBRIAN MIRDEKLIS BESELLY PUTRA HIDROLIKA TERAPAN. Teknik Pengairan Universitas Brawijaya
PERTEMUAN KE-4 SEBRIAN MIRDEKLIS BESELLY PUTRA HIDROLIKA TERAPAN Teknik Pengairan Universitas Brawijaya Bangunan Pengatur Overflow Weir Side Weir PERENCANAAN HIDROLIS OVERFLOW WEIR Bangunan dapat digolongkan
Lebih terperinciBAB II BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB II BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Dalam suatu penelitian dibutuhkan pustaka yang dijadikan sebagai dasar agar terwujud spesifikasi yang menjadi acuan dalam proses penelitian. Pada bab ini
Lebih terperinciPerencanaan Bangunan Air. 1. Umum
. Umum Pada saat memilih suatu bangunan air, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, baik dari segi kriteria tujuan, tinjauan hidraulika, adanya sedimentasi, ketersediaan material pembuatnya, maupun
Lebih terperinciPERENCANAAN BENDUNG. Perhitungan selengkapnya, disajikan dalam lampiran. Gambar 2.1 Sketsa Lebar Mercu Bendung PLTM
PERENCANAAN BENDUNG. Perencanaan Hidrolis Bendung. Lebar dan Tinggi Bendung Lebar bendung adalah jarak antara kedua pangkal bendung (Abutment). Lebar bendung sebaiknya diambil sama dengan lebar rata-rata
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hujan Rata-Rata Suatu Daerah Sebelum menuju ke pembahasan tentang hidrograf terlebih dahulu kita harus memahami tentang hujan rata-rata suatu daerah. Analisis data hujan untuk
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bendung adalah bangunan melintang sungai yang berfungsi untuk
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bendung 2.1.1 Tipe - tipe Bendung Bendung adalah bangunan melintang sungai yang berfungsi untuk meninggikan muka air sungai agar bisa disadap. Bendung merupakan salah satu bagian
Lebih terperinciABSTRAK. Kata kunci : Tukad Unda, Hidrgraf Satuan Sintetik (HSS), HSS Nakayasu, HSS Snyder
ABSTRAK Tukad Unda adalah adalah sungai yang daerah aliran sungainya mencakup wilayah Kabupaten Karangasem di bagian hulunya, Kabupaten Klungkung di bagian hilirnya. Pada Tukad Unda terjadi banjir yang
Lebih terperinciTUGAS AKHIR PERENCANAAN DIMENSI HIDROLIS BANGUNAN AIR BENDUNG PADA SUNGAI MANAU JAMBI
TUGAS AKHIR PERENCANAAN DIMENSI HIDROLIS BANGUNAN AIR BENDUNG PADA SUNGAI MANAU JAMBI Diajukan sebagai syarat untuk meraih gelar Sarjana Teknik Strata 1 (S-1) Disusun Oleh : Ayomi Hadi Kharisma 41112010073
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. sungai atau dengan memperlebar pengambilan di dasar sungai.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bendung 2.1.1 Tipe - tipe Bendung Bangunan bendung merupakan bangunan yang dipakai untuk mengatur elevasi air di sungai atau dengan memperlebar pengambilan di dasar sungai.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. terhadap beberapa bagian sungai. Ketika sungai melimpah, air menyebar pada
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Umum Banjir adalah aliran air yang relatif tinggi, dimana air tersebut melimpah terhadap beberapa bagian sungai. Ketika sungai melimpah, air menyebar pada dataran banjir
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Uraian Umum Sesuai dengan program pengembangan sumber daya air di Sulawesi Utara khususnya di Gorontalo, sebuah fasilitas listrik akan dikembangkan di daerah ini. Daerah
Lebih terperinciBAB V ANALISA DATA. Analisa Data
BAB V ANALISA DATA 5.1 UMUM Analisa data terhadap perencanaan jaringan drainase sub sistem terdiri dari beberapa tahapan untuk mencapai suatu hasil yang optimal. Sebelum tahapan analisa dilakukan, terlebih
Lebih terperinciANALISIS DEBIT BANJIR RANCANGAN BANGUNAN PENAMPUNG AIR KAYANGAN UNTUK SUPLESI KEBUTUHAN AIR BANDARA KULON PROGO DIY
ANALISIS DEBIT BANJIR RANCANGAN BANGUNAN PENAMPUNG AIR KAYANGAN UNTUK SUPLESI KEBUTUHAN AIR BANDARA KULON PROGO DIY Edy Sriyono Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Janabadra Jalan Tentara
Lebih terperinciBAB IV ANALISA HIDROLOGI. dalam perancangan bangunan-bangunan pengairan. Untuk maksud tersebut
BAB IV ANALISA HIDROLOGI 4.1 Uraian Umum Secara umum analisis hidrologi merupakan satu bagian analisis awal dalam perancangan bangunan-bangunan pengairan. Untuk maksud tersebut akan diperlukan pengumpulan
Lebih terperinciKAJIAN HIDROLIK PADA BENDUNG SUMUR WATU, DAERAH IRIGASI SUMUR WATU INDRAMAYU
KAJIAN HIDROLIK PADA BENDUNG SUMUR WATU, DAERAH IRIGASI SUMUR WATU INDRAMAYU Sih Andayani 1, Arif Andri Prasetyo 2, Dwi Yunita 3, Soekrasno 4 1 Dosen Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS HIDROLOGI
BAB IV ANALISIS HIDROLOGI 4.1 Tinjauan Umum Dalam menganalisistinggi muka air sungai, sebagai langkah awal dilakukan pengumpulan data-data. Data tersebut digunakan sebagai dasar perhitungan stabilitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) (catchment, basin, watershed) merupakan daerah dimana seluruh airnya mengalir ke dalam suatu sungai yang dimaksudkan. Daerah ini umumnya
Lebih terperinci4.6 Perhitungan Debit Perhitungan hidrograf debit banjir periode ulang 100 tahun dengan metode Nakayasu, ditabelkan dalam tabel 4.
Sebelumnya perlu Dari perhitungan tabel.1 di atas, curah hujan periode ulang yang akan digunakan dalam perhitungan distribusi curah hujan daerah adalah curah hujan dengan periode ulang 100 tahunan yaitu
Lebih terperinciKAJIAN DESAIN STRUKTUR BENDUNG DAN KOLAM OLAKAN DARI BAHAYA REMBESAN (SEEPAGE)
KAJIAN DESAIN STRUKTUR BENDUNG DAN KOLAM OLAKAN DARI BAHAYA REMBESAN (SEEPAGE) Oleh: ANWAR Dosen Teknik Sipil Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai ABSTRAK Bendung selain digunakan sebagai peninggi elevasi
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. penelitian tentang Analisis Kapasitas Drainase Dengan Metode Rasional di
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Penelitian ini menggunakan tinjauan pustaka dari penelitian-penelitian sebelumnya yang telah diterbitkan, dan dari buku-buku atau artikel-artikel yang ditulis para peneliti sebagai
Lebih terperinciANALISIS DEBIT BANJIR SUNGAI TONDANO MENGGUNAKAN METODE HSS GAMA I DAN HSS LIMANTARA
ANALISIS DEBIT BANJIR SUNGAI TONDANO MENGGUNAKAN METODE HSS GAMA I DAN HSS LIMANTARA Sharon Marthina Esther Rapar Tiny Mananoma, Eveline M. Wuisan, Alex Binilang Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Universitas
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN ANALISIS
BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 PENGOLAHAN DATA HIDROLOGI 4.1.1 Data Curah Hujan Curah hujan merupakan data primer yang digunakan dalam pengolahan data untuk merencanakan debit banjir. Data ini diambil dari
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN ANALISIS
BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Pengolahan Data Hidrologi 4.1.1 Data Curah Hujan Data curah hujan adalah data yang digunakan dalam merencanakan debit banjir. Data curah hujan dapat diambil melalui pengamatan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bangunan bendung merupakan bangunan yang dipakai untuk mengatur
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bendung 2.1.1 Tipe - tipe Bendung Bangunan bendung merupakan bangunan yang dipakai untuk mengatur elevasi air di sungai atau dengan memperlebar pengambilan di dasar sungai.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Umum. Bendung adalah suatu bangunan yang dibangun melintang sungai
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Umum Bendung adalah suatu bangunan yang dibangun melintang sungai untuk meninggikan taraf muka air sungai dan membendung aliran sungai sehingga aliran sungai bisa bisa disadap dan
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Uraian Umum Sesuai dengan program pengembangan sumber daya air di Aceh khususnya di Meureubo, sebuah fasilitas listrik akan dikembangkan di daerah ini. Daerah penelitian
Lebih terperinciBAB III ANALISIS HIDROLOGI
BAB III ANALISIS HIDROLOGI 3.1 Data Hidrologi Dalam perencanaan pengendalian banjir, perencana memerlukan data-data selengkap mungkin yang berkaitan dengan perencanaan tersebut. Data-data yang tersebut
Lebih terperinciPERANCANGAN ULANG BENDUNG TIRTOREJO YOGYAKARTA (ANALISIS HIDRAULIKA) (181A)
PERANCANGAN ULANG BENDUNG TIRTOREJO YOGYAKARTA (ANALISIS HIDRAULIKA) (8A) Agatha Padma L Jurusan Teknik Sipil, Universitas Atma Jaa Yogakarta, Jl. Babarsari 44 Yogakarta Email: padma_laksita@ahoo.com ABSTRAK
Lebih terperinciBAB VIII PERENCANAAN BANGUNAN PELIMPAH (SPILLWAY)
VIII-1 BAB VIII PERENCANAAN BANGUNAN PELIMPAH (SPILLWAY) 8.1. Tinjauan Umum Bangunan pelimpah berfungsi untuk mengalirkan air banjir yang masuk ke dalam embung agar tidak membahayakan keamanan tubuh embung.
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Pendahuluan Saluran Kanal Barat yang ada dikota Semarang ini merupakan saluran perpanjangan dari sungai garang dimana sungai garang merupakan saluran yang dilewati air limpasan
Lebih terperinciJURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2013) ISSN: Perencanaan Embung Bulung Kabupaten Bangkalan
Perencanaan Embung Bulung Kabupaten Bangkalan Dicky Rahmadiar Aulial Ardi, Mahendra Andiek Maulana, dan Bambang Winarta Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh
Lebih terperinciPERENCANAAN BENDUNG UNTUK DAERAH IRIGASI SULU
PERENCANAAN BENDUNG UNTUK DAERAH IRIGASI SULU Vicky Richard Mangore E. M. Wuisan, L. Kawet, H. Tangkudung Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Universitas Sam Ratulangi Manado email: vicky_mangore@yahoo.com
Lebih terperinciACARA BIMBINGAN TUGAS
DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN...i BERITA ACARA BIMBINGAN TUGAS AKHIR...ii MOTTO DAN PERSEMBAHAN...iii KATA PENGANTAR... v ABSTRAK...vii DAFTAR ISI...viii DAFTAR GAMBAR...xi DAFTAR TABEL...xiii DAFTAR NOTASI...xiv
Lebih terperinciSTRATEGI PEMILIHAN PEREDAM ENERGI
Spectra Nomor 8 Volume IV Juli 2006: 50-59 STRATEGI PEMILIHAN PEREDAM ENERGI Kustamar Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN Malang ABSTRAKSI Peredam energi merupakan suatu bagian dari bangunan air yang berguna
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pengertian Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh penulis, adalah sebagai berikut :. Hujan adalah butiran yang jatuh dari gumpalan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. hidrologi dengan panjang data minimal 10 tahun untuk masing-masing lokasi
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan Stasiun Pengamat Hujan Untuk melakukan analisa ini digunakan data curah hujan harian maksimum untuk tiap stasiun pengamat hujan yang akan digunakan dalam analisa
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. homogeny (Earthfill Dam), timbunan batu dengan lapisan kedap air (Rockfill
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.1 Tinjauan Umum Bendungan adalah suatu bangunan air yang dibangun khusus untuk membendung (menahan) aliran air yang berfungsi untuk memindahkan aliran air atau menampung sementara
Lebih terperinciHALAMAN PENGESAHAN...
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii BERITA ACARA BIMBINGAN TUGAS AKHIR/SKRIPSI... iii MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iv KATA PENGANTAR... vii DAFTAR ISI... ix DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR TABEL...
Lebih terperinciTUGAS AKHIR ANALISIS ROUTING ALIRAN MELALUI RESERVOIR STUDI KASUS WADUK KEDUNG OMBO
TUGAS AKHIR ANALISIS ROUTING ALIRAN MELALUI RESERVOIR STUDI KASUS WADUK KEDUNG OMBO Oleh : J. ADITYO IRVIANY P. NIM : O3. 12. 0032 NIM : 03. 12. 0041 FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sungai CBL Sungai CBL (Cikarang Bekasi Laut) merupakan sudetan yang direncanakan pada tahun 1973 dan dibangun pada tahun 1980 oleh proyek irigasi Jatiluhur untuk mengalihkan
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS HIDROLOGI
54 BAB IV ANALISIS HIDROLOGI 4.1 TINJAUAN UMUM Perencanaan bendungan Ketro ini memerlukan data hidrologi yang meliputi data curah hujan. Data tersebut digunakan sebagai dasar perhitungan maupun perencanaan
Lebih terperinciBAB III TINJAUAN PUSTAKA
12 BAB III 3.1 BENDUNG 3.1.1 Tipe tipe Bendung Bangunan bendung merupakan bangunan yang dipakai untuk mengatur elevasi air di sungai atau dengan memperlebar pengambilan di dasar sungai. Ada dua tipe bendung
Lebih terperinciDAFTAR ISI. Halaman Judul... Lembar Pengesahan... Berita Acara Tugas Akhir... Lembar Persembahan... Kata Pengantar... Daftar Isi...
DAFTAR ISI Halaman Judul... Lembar Pengesahan... Berita Acara Tugas Akhir... Lembar Persembahan... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel... Abstrak... i ii iii iv vi viii xi xii
Lebih terperinciMENU PENDAHULUAN ASPEK HIDROLOGI ASPEK HIDROLIKA PERANCANGAN SISTEM DRAINASI SALURAN DRAINASI MUKA TANAH DRAINASI SUMURAN DRAINASI BAWAH MUKA TANAH
DRAINASI PERKOTAAN NOVRIANTI, MT. MENU PENDAHULUAN ASPEK HIDROLOGI ASPEK HIDROLIKA PERANCANGAN SISTEM DRAINASI SALURAN DRAINASI MUKA TANAH DRAINASI SUMURAN DRAINASI BAWAH MUKA TANAH DRAINASI GABUNGAN DRAINASI
Lebih terperinciPERENCANAAN SISTEM DRAINASE PADA RENCANA KAWASAN INDUSTRI DELI SERDANG DI KECAMATAN MEDAN AMPLAS M. HARRY YUSUF
PERENCANAAN SISTEM DRAINASE PADA RENCANA KAWASAN INDUSTRI DELI SERDANG DI KECAMATAN MEDAN AMPLAS TUGAS AKHIR Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memenuhi ujian sarjana Teknik
Lebih terperinciBAB V ANALISIS HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI
BAB V 5.1 DATA CURAH HUJAN MAKSIMUM Tabel 5.1 Data Hujan Harian Maksimum Sta Karanganyar Wanadadi Karangrejo Tugu AR Kr.Kobar Bukateja Serang No 27b 60 23 35 64 55 23a Thn (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm)
Lebih terperinciKAJIAN PERILAKU ALIRAN MELALUI ALAT UKUR DEBIT MERCU BULAT TERHADAP TINGGI MUKA AIR
KAJIAN PERILAKU ALIRAN MELALUI ALAT UKUR DEBIT MERCU BULAT TERHADAP TINGGI MUKA AIR Abstrak Risman 1) Warsiti 1) Mawardi 1) Martono 1) Lilik Satriyadi 1) 1) Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil Politeknik
Lebih terperinciBAB VII PERENCANAAN JARINGAN UTAMA
BAB VII PERENCANAAN JARINGAN UTAMA 7.1 UMUM Untuk dapat mengalirkan air dari bendung ke areal lahan irigasi maka diperlukan suatu jaringan utama yang terdiri dari saluran dan bangunan pelengkap di jaringan
Lebih terperinciPENGARUH BENTUK MERCU BENDUNG TERHADAP TINGGI LONCAT AIR KOLAM OLAK MODEL USBR IV (SIMULASI LABORATORIUM)
PENGARUH BENTUK MERCU BENDUNG TERHADAP TINGGI LONCAT AIR KOLAM OLAK MODEL USBR IV (SIMULASI LABORATORIUM) M. Kabir Ihsan Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh email: ikhsankb@gmail.com
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah drainase kota sudah menjadi permasalahan utama pada daerah perkotaan. Masalah tersebut sering terjadi terutama pada kota-kota yang sudah dan sedang berkembang
Lebih terperinciPerencanaan Sistem Drainase Perumahan Grand City Balikpapan
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2013) 1-6 1 Perencanaan Sistem Drainase Perumahan Grand City Balikpapan Rossana Margaret, Edijatno, Umboro Lasminto Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan
Lebih terperinciPERENCANAAN SALURAN PENANGGULANGAN BANJIR MUARA SUNGAI TILAMUTA
PERENCANAAN SALURAN PENANGGULANGAN BANJIR MUARA SUNGAI TILAMUTA Rike Rismawati Mangende Sukarno, Alex Binilang Fakultas Teknik Jurusan Sipil Universitas Sam Ratulangi Email : rikem82@gmail.com ABSTRAK
Lebih terperinciBAB IV METODOLOGI DAN ANALISIS HIDROLOGI
BAB IV METODOLOGI DAN ANALISIS HIDROLOGI 4.1 Umum Secara umum proses pelaksanaan perencanaan proses pengolahan tailing PT. Freeport Indonesia dapat dilihat pada Gambar 4.1 Gambar 4.1 Bagan alir proses
Lebih terperinciDAFTAR ISI. 1.1 Latar Belakang Permasalahan Batasan Masalah Maksud dan Tujuan Sistematika Penyajian Laporan...
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN TUGAS AKHIR... BERITA ACARA BIMBINGAN TUGAS AKHIR... MOTTO DAN PERSEMBAHAN... KATA PENGANTAR... ABSTRAKSI... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...
Lebih terperinciTUGAS AKHIR PERENCANAAN DIMENSI STRUKTUR BENDUNG PLTM KAREKAN DI BANJARNEGARA
TUGAS AKHIR PERENCANAAN DIMENSI STRUKTUR BENDUNG PLTM KAREKAN DI BANJARNEGARA Untuk Memenuhi Sebagaian Persyaratan Mencapai Derajat sarjana S-1 Teknik Sipil Disusun oleh : Nandar Sunandar 41107110003 JURUSAN
Lebih terperinciFAKULTAS TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BANDUNG
LAPORAN PENELITIAN PENGGERUSAN DI HILIR BENDUNG DENGAN MERCU TYPE VLUGTER PENELITI / TIM PENELITI Ketua : Ir.Maria Christine Sutandi.,MSc 210010-0419125901 Anggota : Ir.KanjaliaTjandrapuspa T.,MT 21008-0424084901
Lebih terperinciSTUDI KELAYAKAN SALURAN DRAINASE JALAN SULTAN KAHARUDDIN KM. 02 KABUPATEN SUMBAWA. Oleh : Ady Purnama, Dini Eka Saputri
1 STUDI KELAYAKAN SALURAN DRAINASE JALAN SULTAN KAHARUDDIN KM. 02 KABUPATEN SUMBAWA Oleh : Ady Purnama, Dini Eka Saputri ABSTRAK Kelebihan air hujan pada suatu daerah atau kawasan dapat menimbulkan suatu
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI Uraian Umum
BAB III METODOLOGI 3.1. Uraian Umum Metodologi adalah suatu cara atau langkah yang ditempuh dalam memecahkan suatu persoalan dengan mempelajari, mengumpulkan, mencatat dan menganalisa semua data-data yang
Lebih terperinciANALISIS EFEKTIFITAS KAPASITAS SALURAN DRAINASE DAN SODETAN DALAM MENGURANGI DEBIT BANJIR DI TUKAD TEBA HULU DAN TENGAH
ANALISIS EFEKTIFITAS KAPASITAS SALURAN DRAINASE DAN SODETAN DALAM MENGURANGI DEBIT BANJIR DI TUKAD TEBA HULU DAN TENGAH TUGAS AKHIR NYOMAN INDRA WARSADHI 0704105031 JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK
Lebih terperinciANALISIS CURAH HUJAN UNTUK MEMBUAT KURVA INTENSITY-DURATION-FREQUENCY (IDF) DI KAWASAN KOTA LHOKSEUMAWE
ANALISIS CURAH HUJAN UNTUK MEMBUAT KURVA INTENSITY-DURATION-FREQUENCY (IDF) DI KAWASAN KOTA LHOKSEUMAWE Fasdarsyah Dosen Jurusan Teknik Sipil, Universitas Malikussaleh Abstrak Rangkaian data hujan sangat
Lebih terperinciBAB III METODE ANALISIS
BAB III Bab III Metode Analisis METODE ANALISIS 3.1 Dasar-dasar Perencanaan Drainase Di dalam pemilihan teknologi drainase, sebaiknya menggunakan teknologi sederhana yang dapat di pertanggung jawabkan
Lebih terperinciANALISA DEBIT BANJIR SUNGAI BONAI KABUPATEN ROKAN HULU MENGGUNAKAN PENDEKATAN HIDROGRAF SATUAN NAKAYASU. S.H Hasibuan. Abstrak
Analisa Debit Banjir Sungai Bonai Kabupaten Rokan Hulu ANALISA DEBIT BANJIR SUNGAI BONAI KABUPATEN ROKAN HULU MENGGUNAKAN PENDEKATAN HIDROGRAF SATUAN NAKAYASU S.H Hasibuan Abstrak Tujuan utama dari penelitian
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN ANALISIS. menyimpan semua atau sebagian air yang masuk (inflow) yang berasal dari
BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Uraian Umum Bendungan (waduk) mempunyai fungsi yaitu menampung dan menyimpan semua atau sebagian air yang masuk (inflow) yang berasal dari daerah pengaliran sunyainya (DPS).
Lebih terperinciPERENCANAAN TUBUH EMBUNG ROBATAL, KECAMATAN ROBATAL, KABUPATEN SAMPANG
PERENCANAAN TUBUH EMBUNG ROBATAL, KECAMATAN ROBATAL, KABUPATEN SAMPANG TUGAS AKHIR Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Program Studi Teknik Sipil Oleh : DONNY IRIAWAN
Lebih terperinciBAB IV ANALISA. membahas langkah untuk menentukan debit banjir rencana. Langkahlangkah
BAB IV ANALISA 4.1 Analisa Hidrologi Sebelum melakukan analisis hidrologi, terlebih dahulu menentukan stasiun hujan, data hujan, dan luas daerah tangkapan. Dalam analisis hidrologi akan membahas langkah
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kolam Retensi Kolam retensi merupakan kolam/waduk penampungan air hujan dalam jangka waktu tertentu, berfungsi untuk memotong puncak banjir yang terjadi dalam badan air/sungai.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. analisis studi seperti teori tentang : pengertian curah hujan (presipitasi), curah hujan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Teori-teori yang dikemukakan dalam studi ini, adalah teori yang relevan dengan analisis studi seperti teori tentang : pengertian curah hujan (presipitasi), curah hujan
Lebih terperinciBAB IV ANALISA DATA CURAH HUJAN
BAB IV ANALISA DATA CURAH HUJAN 4.1 Tinjauan Umum Dalam menganalisis tinggi muka air sungai, sebagai langkah awal dilakukan pengumpulan data. Data tersebut digunakan sebagai perhitungan stabilitas maupun
Lebih terperinciPerbandingan Perhitungan Debit Banjir Rancangan Di Das Betara. Jurusan Survei dan Pemetaan, Fakultas Teknik, Universitas IGM 1.
Perbandingan Perhitungan Debit Banjir Rancangan Di Das Betara Dengan Menggunakan Metode Hasper, Melchior dan Nakayasu Yulyana Aurdin Jurusan Survei dan Pemetaan, Fakultas Teknik, Universitas IGM Email
Lebih terperinciBAB IV HASIL PERHITUNGAN DAN ANALISA. Data hidrologi adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena
BAB IV HASIL PERHITUNGAN DAN ANALISA 4.1 Ketersediaan Data Hidrologi 4.1.1 Pengumpulan Data Hidrologi Data hidrologi adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena hidrologi (hydrologic phenomena).
Lebih terperinciBAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH. curah hujan ini sangat penting untuk perencanaan seperti debit banjir rencana.
BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH A. Intensitas Curah Hujan Menurut Joesron (1987: IV-4), Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu. Analisa intensitas
Lebih terperinciANALISA DESAIN BENDUNG D.I KAWASAN SAWAH LAWEH TARUSAN (3.273 HA) KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMATERA BARAT
ANALISA DESAIN BENDUNG D.I KAWASAN SAWAH LAWEH TARUSAN (3.273 HA) KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMATERA BARAT Syofyan. Z 1), Frizaldi 2) 1) DosenTeknik Sipil 2) Mahasiswa Teknik Sipil Fakultas Teknik
Lebih terperinciVol.14 No.1. Februari 2013 Jurnal Momentum ISSN : X
Vol.14 No.1. Februari 013 Jurnal Momentum ISSN : 1693-75X Perencanaan Teknis Drainase Kawasan Kasang Kecamatan Batang Anai Kabupaten Padang Pariaman Ir. Syofyan. Z, MT*, Kisman** * Staf Pengajar FTSP ITP
Lebih terperinciPRESENTASI TUGAS AKHIR PERENCANAAN BENDUNG TETAP SEMARANGAN KABUPATEN TRENGGALEK PROPINSI JAWA TIMUR KHAIRUL RAHMAN HARKO DISAMPAIKAN OLEH :
PRESENTASI TUGAS AKHIR PERENCANAAN BENDUNG TETAP SEMARANGAN KABUPATEN TRENGGALEK PROPINSI JAWA TIMUR DISAMPAIKAN OLEH : KHAIRUL RAHMAN HARKO PROGRAM STUDI DIPLOMA 3 TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN
Lebih terperinciAPLIKASI METODE NAKAYASU GUNA PREDIKSI DEBIT DAN PENCEGAHAN BENCANA BANJIR DI KALI BATAN PURWOASRI KEDIRI
Pemanfaatan Metode Log Pearson III dan Mononobe Untuk 1 APLIKASI METODE NAKAYASU GUNA PREDIKSI DEBIT DAN PENCEGAHAN BENCANA BANJIR DI KALI BATAN PURWOASRI KEDIRI Sri Wiwoho Mudjonarko, ST., MT. ABSTRAK
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kata kunci : Air Baku, Spillway, Embung.
Perencanaan Embung Tambak Pocok Kabupaten Bangkalan PERENCANAAN EMBUNG TAMBAK POCOK KABUPATEN BANGKALAN Abdus Salam, Umboro Lasminto, dan Nastasia Festy Margini Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil
Lebih terperinci4. BAB IV ANALISA DAN PENGOLAHAN DATA ANALISA DAN PENGOLAHAN DATA
4. BAB IV ANALISA DAN PENGOLAHAN DATA ANALISA DAN PENGOLAHAN DATA 4.1. TINJAUAN UMUM Dalam rangka perencanaan bangunan dam yang dilengkapi PLTMH di kampus Tembalang ini sebagai langkah awal dilakukan pengumpulan
Lebih terperinciDAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN» KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK. 1.
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL l HALAMAN PENGESAHAN» KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK jl1 v v111 x xi xu BAB I PENDAHULUAN1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Rumusan Masalah
Lebih terperinciStenly Mesak Rumetna NRP : Pembimbing : Ir.Endang Ariani,Dipl. H.E. NIK : ABSTRAK
STUDI PERENCANAAN TEKNIS BENDUNG DI SUNGAI INGGE DAERAH IRIGASI BONGGO KABUATEN SARMI PAPUA Stenly Mesak Rumetna NRP : 0721017 Pembimbing : Ir.Endang Ariani,Dipl. H.E. NIK : 210049 ABSTRAK Daerah Irigasi
Lebih terperinciBAB III METODELOGI PENELITIAN
BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Uraian Umum Metodologi adalah suatu cara atau langkah yang ditempuh dalam memecahkan suatu persoalan dengan mempelajari, mengumpulkan, mencatat dan menganalisa semua data-data
Lebih terperinciSURAT KETERANGAN PEMBIMBING
ABSTRAK Sungai Ayung adalah sungai utama yang mengalir di wilayah DAS Ayung, berada di sebelah selatan pegunungan yang membatasi Bali utara dan Bali selatan serta berhilir di antai padanggalak (Kota Denpasar).
Lebih terperinciPerencanaan Sistem Drainase Pada Sungai Buntung Kabupaten Sidoarjo ABSTRAK:
NEUTRON, Vol., No., Februari 00 9 Perencanaan Sistem Drainase Pada Sungai Buntung Kabupaten Sidoarjo ABSTRAK: Sungai Buntung terletak di kabupaten Sidoarjo, pada musim hujan daerah sekitar sungai Buntung
Lebih terperinciREKAYASA HIDROLOGI. Kuliah 2 PRESIPITASI (HUJAN) Universitas Indo Global Mandiri. Pengertian
REKAYASA HIDROLOGI Kuliah 2 PRESIPITASI (HUJAN) Universitas Indo Global Mandiri Pengertian Presipitasi adalah istilah umum untuk menyatakan uap air yang mengkondensasi dan jatuh dari atmosfer ke bumi dalam
Lebih terperinciBAB III TINJAUAN PUSTAKA
III - 1 BAB III 3.1 ANALISIS HIDROLOGI Data hidrologi adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai phenomena hidrologi, seperti besarnya : curah hujan, temperatur, penguapan, lamanya penyinaran matahari,
Lebih terperinciBAB V ANALISIS HIDROLOGI DAN HIDROLIKA
BAB V ANALISIS HIDROLOGI DAN HIDROLIKA A. Analisis Hidrologi 1. Curah Hujan Rencana Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
digilib.uns.ac.id 25 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.5. Gambaran Umum Lokasi Studi Gambar 4.1. Lokasi Studi Kelurahan Jagalan merupakan salah satu kelurahan yang cukup padat dengan jumlah penduduk pada tahun
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hidrologi merupakan salah satu cabang ilmu bumi (Geoscience atau
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Analisis Hidrologi Hidrologi merupakan salah satu cabang ilmu bumi (Geoscience atau Science de la Terre) yang secara khusus mempelajari tentang siklus hidrologi atau siklus air
Lebih terperinciBAB IV ANALISA HIDROLOGI
BAB IV ANALISA HIDROLOGI 4.1. Diagram Alir M U L A I Data Curah Hujan N = 15 tahun Pemilihan Jenis Sebaran Menentukan Curah Hujan Rencana Uji Kecocokan Data - Chi Kuadrat - Smirnov Kolmogorov Intensitas
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN IV.1 Menganalisa Hujan Rencana IV.1.1 Menghitung Curah Hujan Rata rata 1. Menghitung rata - rata curah hujan harian dengan metode aritmatik. Dalam studi ini dipakai data
Lebih terperinciBAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN
37 BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Data 4.1.1 Data yang Digunakan Penilaian kinerja sungai dilakukan dengan membuat indikator komponenkomponen bangunan sungai yang didasarkan pada fungsi bangunan
Lebih terperinciPERHITUNGAN DEBIT DAN LUAS GENANGAN BANJIR SUNGAI BABURA
PERHITUNGAN DEBIT DAN LUAS GENANGAN BANJIR SUNGAI BABURA TUGAS AKHIR Diajukan untuk melengkapi syarat penyelesaian pendidikan sarjana teknik sipil Disusun oleh : BENNY STEVEN 090424075 BIDANG STUDI TEKNIK
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Hidrologi Intensitas hujan adalah tinggi hujan atau volume hujan tiap satuan waktu. Besarnya intensitas hujan berbeda-beda, tergantung dari lamanya curah
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. adalah merupakan ibu kota dari Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Dalam RTRW
Bab IV Analisis Data dan Pembahasan BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 URAIAN UMUM Jalan Melong merupakan salah satu Jalan yang berada di Kecamatan Cimahi Selatan yang berbatasan dengan Kota Bandung. Kota
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI 3.1 URAIAN UMUM
BAB III METODOLOGI 3.1 URAIAN UMUM Metodologi adalah suatu cara atau langkah yang ditempuh dalam memecahkan suatu persoalan dengan mempelajari, mengumpulkan, mencatat dan menganalisa semua data-data yang
Lebih terperinciPERENCANAAN EMBUNG MEMANJANG DESA NGAWU KECAMATAN PLAYEN KABUPATEN GUNUNG KIDUL YOGYAKARTA. Oleh : USFI ULA KALWA NPM :
PERENCANAAN EMBUNG MEMANJANG DESA NGAWU KECAMATAN PLAYEN KABUPATEN GUNUNG KIDUL YOGYAKARTA Laporan Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Lebih terperinci