Tata Kelola Masyarakat Majemuk dalam Bingkai Keadilan: Membaca Liberalisme Politik Rawls * Sunaryo **

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Tata Kelola Masyarakat Majemuk dalam Bingkai Keadilan: Membaca Liberalisme Politik Rawls * Sunaryo **"

Transkripsi

1 Tata Kelola Masyarakat Majemuk dalam Bingkai Keadilan: Membaca Liberalisme Politik Rawls * Abstrak Tulisan ini berangkat dari gagasan Rawls mengenai konsepsi politik keadilan di dalam Political Liberalism. Gagasan Rawls mengenai konsepsi politik keadilan adalah jawaban atas pertanyaan dasar mengenai tata kelola masyarakat majemuk dalam bingkai keadilan. Melalui konsepsi politik keadilan, ia mengajukan beberapa prinsip agar kehidupan bersama dapat berlangsung secara langgeng. Beberapa prinsip dasar itu adalah kepastian mengenai adanya struktur dasar yang fair, tidak ada kolonisasi satu pandangan (doktrin komprehensif) atas pandangan yang lain di ranah publik dan adanya prinsip kewarasan publik (reasonableness) pada setiap doktrin komprehensif. Dari gagasan Rawls, penulis akan sedikit menguji kehidupan majemuk yang berlangsung di dalam masyarakat kita. Sejauh mana kehidupan majemuk kita dilihat dalam perspektif konsepsi politik keadilan dan sejauh mana konsepsi politik keadilan dapat diaplikasikan dalam masyarakat majemuk. Kata-kata Kunci: konsepsi politik keadilan, masyarakat yang tertata baik, kewarasan publik, konsensus bersama, doktrin komprehensif. Sunaryo ** Ekspansi kelompok agama garis keras yang merangsek ke kehidupan publik menjadi salah satu masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Pada bulan-bulan tertentu mereka melakukan sweeping atas tempat-tempat hiburan dan restoran, dan di sepanjang waktu mereka merespon hal yang dianggap maksiat atau yang bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka yakini dengan cara kekerasan dan melawan prinsip kepublikan. Benturan pandangan dan nilai di ranah publik adalah sesuatu yang niscaya. Fenomena ini tidak hanya ada pada relasi antar-kelompok yang dilatari oleh keyakinan agama tertentu, tetapi juga bisa terjadi karena perbedaan etnis, suku dan pandangan atau doktrin yang lain. Kenyataan ini menyiratkan dua hal penting terkait dengan demokrasi kita: yang pertama kolonisasi pandangan tertentu dalam kehidupan publik adalah masalah serius yang harus diatasi karena mengancam kelangsungan hidup bersama; dan yang kedua, karenanya kita perlu mencari model dan inspirasi mengenai tata kelola kemajemukan masyarakat secara adil. Dalam realitas, hampir tidak ada komunitas politik di muka bumi ini yang luput dari fakta kemajemukan, baik yang didasarkan pada keyakinan agama, nilai etnik atau suku, pandangan politik dan lain-lain. Pandangan-pandangan ini, satu sama lain tidak selalu sejalan, kadang atau malah sering, saling bertentangan. Upaya untuk menata kemajemukan secara * Pernah dipublikasikan di Waskita, Jurnal Agama dan Masyarakat, Vol. 2, No. 1, April, ** Pengajar di Universitas Paramadina Jakarta. 1

2 adil bukanlah sesuatu yang mudah bagi masyarakat dan negara manapun. 1 Dalam banyak pengalaman, perbedaan pandangan tidak jarang melahirkan konflik yang mematikan. Meski tentu saja, konflik itu tidak selalu dilatari oleh faktor perbedaan pandangan semata, ada kepentingan politik dan ekonomi yang kerap menyusup di dalamnya dan kemudian dibungkus argumen agama atau etnisitas. Pencarian model tata kelola yang adil menjadi sesuatu yang penting dan model yang dihasilkan tidak selalu bersifat final karena dalam kenyataannya masyarakat selalu mengalami perkembangan. Lewat pemikiran Rawls, filsuf politik Amerika kontemporer, penulis akan mencoba menelaah bagaimana seharusnya kita menata masyarakat majemuk dengan dasar keadilan. Buku Political Liberalism, 1993 (PL) adalah salah satu karya penting Rawls yang mengeksplorasi persoalan ini. Dan tentu saja, betapapun komprehensifnya, karya ini tetap tidak luput dari kritik dan catatan yang diajukan oleh pemikir-pemikir lain. Melalui karya ini, Rawls berupaya mencari dasar dan model bagi tata kelola komunitas politik yang majemuk dengan cara yang ia anggap adil. 2 Bentuk dari tata kelola yang ia anggap adil atau fair itu adalah dengan tidak menjadikan salah satu (atau beberapa) doktrin komprehensif yang ada dalam komunitas politik sebagai fondasi dalam menata hidup bersama. Dengan menjadikan salah satu prinsip dari doktrin komprehensif sebagai fondasi kehidupan publik berarti telah terjadi kolonisasi satu doktrin komprehensif atas doktrin komprehensif yang lain. Tidak berhenti di situ, Rawls juga menekankan prinsip reasonableness yang dapat saya terjemahkan sebagai nilai kewarasan. Melalui prinsip ini, hubungan antar-kelompok harus didasari pada nilai kepublikan yang mutualistik. Mereka yang memiliki nilai kewarasan macam ini tidak mungkin memaksakan pandangannya kepada orang lain, karena pada saat yang sama kita juga tidak menghendaki hal itu terjadi pada kita. Pertanyaan Dasar Liberalisme Politik Persoalan yang hendak dijawab lewat Political Liberalism (PL) adalah seberapa mungkin kita dapat membangun masyarakat yang adil dan stabil dengan prinsip kebebasan dan kesetaraan sementara warga yang hidup di dalamnya memiliki perbedaan agama, budaya dan 1 Masalah tata kelola kemajemukan bukan hanya masalah Indonesia, karena hampir setiap negara di dunia memiliki masalah yang sama. Dalam merespon masalah itu, setiap negara memiliki cara yang berbeda dalam mengelola perbedaan yang ada. Bahkan di antara sesama negara sekuler misalnya juga ada perbedaan dalam mengelola kamajemukan. Perancis misalnya adalah salah satu contoh di mana mereka melarang warganya untuk menggunakan simbol agama di ruang publik, seperti sekolah pemerintah dan kantor-kantor pemerintah. Sementara negara seperti Inggris dan Kanada yang juga sama-sama menganut sekularisme tidak menjadikan simbol agama sebagai persoalan, sebagaimana di Perancis. Lih. Kosmin dan Keysar dalam Secularism and Secularity (Hartford: International for the Study of Secularism in Society and Culture, Trinity College, 2007). 2 Dalam A Theory of Justice (1971, 1999) dan juga Justice as Fairness: A Restatement (2001) Rawls mengajukan dua prinsip dasar dalam teori keadilan. Prinsip pertama menegaskan bahwa setiap orang/warga memiliki klaim tak terbatalkan yang sama untuk sebuah skema yang betul-betul memadai dari kebebasan dasar yang setara, di mana skema itu juga kompatibel dengan skema kebebasan yang sama bagi semua; dalam prinsip kedua, ketidaksetaraan sosial dan ekonomi dapat dimungkinkan untuk memenuhi dua hal: yang pertama, peluang pekerjaan dan posisi tertentu harus terbuka bagi semua dalam kondisi kesetaraan yang fair, dan yang kedua memberikan manfaat paling besar bagi mereka yang paling tidak beruntung. Lih. Rawls, 2001, Justice as Fairness: A Restatement (Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press, 2001), hal , bdk. Rawls, A Theory of Justice (Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press, 1999), hlm

3 sebagainya. Di dalam pengantar PL dia bertanya how is it possible that there may exist over time a stable and just society of free and equal citizens profoundly divided by reasonable though incompatible religious, philosophical, and moral doctrines?. 3 Ada dua hal yang hendak ditegaskan Rawls dalam pertanyaan ini. Yang pertama adalah soal fakta keragaman dalam komunitas politik yang dapat bertolak belakang satu sama lain. Yang kedua adalah upaya mencari prinsip yang adil untuk mersepon realitas keragaman tersebut. Melalui ide liberalisme politik ia mencoba mencari struktur dan isi macam apakah yang dapat menjadi dasar bagi proyek besarnya itu. Namun sebelum menemukan struktur dan isi yang menjadi dasar bagi proyeknya ini, harus ada kondisi yang sudah diandaikan di dalam masyarakat, yakni pengakuan akan demokrasi dan status kebebasan yang setara bagi semua warga. Dengan pengakuan ini, warga sudah tidak lagi mempersoalkan bahwa yang disebut legtimasi adalah kekuasaan yang berasal dari para warga yang memiliki kebebasan yang setara. 4 Pengakuan akan pandangan ini menjadi landasan pokok yang harus diandaikan agar kita dapat bergerak lebih jauh membincangkan hal-hal lain yang terkait dengan tata kelola hidup bersama. Tanpa pengandaian ini, seluruh upaya untuk membangun tatanan masyarakat majemuk yang adil menjadi sesuatu yang sulit. Setelah adanya pengandaian ini, kemudian kita bertanya seberapa mungkin masyarakat yang stabil dan adil yang semua warganya adalah bebas dan setara dapat hadir sepanjang masa sementara masyarakat itu sendiri terdiri dari doktrin moral, filsafat dan agama yang berbeda-beda?. Melalui pertanyaan ini, Rawls sebenarnya hendak mencari apa yang ia sebut sebagai konsepsi politik keadilan (political conception of justice) untuk masyarakat demokratis. Konsepsi politik keadilan menjadi semacam konsep dasar yang akan menjadi landasan untuk menata kemajemukan pandangan dalam masyarakat. Kata Rawls, paling tidak ada tiga karakteristik konsepsi politik keadilan. 5 Yang pertama ia adalah konsepsi yang menata institusi politik, sosial dan ekonomi atau yang disebut sebagai struktur dasar dalam masyarakat. Struktur dasar ini harus memiliki kesinambungan dengan sistem kerjasama sosial yang berlangsung dalam masyarakat dari satu generasi ke generasi berikutnya. Yang dimaskud dengan adanya kesinambungan adalah bahwa struktur dasar itu dapat menata cara kerjasama sosial yang ada. Yang kedua, konsepsi politik ini harus lepas atau independen dari salah satu 3 Pertanyaan ini sebenarnya terdiri dari dua pertanyaan dasar: yang pertama (1) konsepsi keadilan macam apakah yang paling tepat untuk memapankan kerjasama sosial yang fair di antara warga negara yang bebas dan setara, dan kerjasama tersebut dapat bertahan dari satu generasi ke generasi berikutnya? Pertanyaan ini kemudian dikontraskan dengan pertanyaan kedua mengenai (2) toleransi macam apakah yang dapat ditegakkan di tengah keragaman pandangan hidup dan moral yang ada dalam masyarakat? Dari dua pertanyaan ini, maka kombinasi keduanya menjadi pertanyaan seberapa mungkin masyarakat yang stabil dan adil yang semua warganya adalah bebas dan setara dapat hadir sepanjang masa sementara masyarakat itu sendiri terdiri dari doktrin moral, filsafat dan agama yang berbeda-beda? Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press) hal Rawls mendefinisikan legitimasi sebagai kekuasaan yang diasalkan dari para warga. Kekuasaan itu didasarkan pada sebuah konstitusi yang menjamin seluruh warga negara sebagai warga yang bebas dan setara, dan setiap mereka memiliki kemampuan untuk berkontribusi di ranah publik dalam bingkai yang dapat diterima oleh nalar manusia secara umum. Ia menyebut legitimasi ini sebagai legitimasi yang sesuai dengan prinsip liberal. Rawls, Political Liberalism, hal Rawls, Political Liberalism, hal

4 atau beberapa doktrin komprehensif yang ada dan diyakini oleh masyarakat. Dengan demikian, konsepsi politik ini bukan derivasi dari doktrin komprehensif tertentu. Dan yang ketiga, isi dari konsepsi politik itu diekspresikan dalam pengertian ide fundamental yang secara implisit mengandung budaya politik publik dari masyarakat demokratis. Di dalam budaya politik publik kita menjaga prinsip kepantasan mutualistik yang dengannya sistem kerjasama sosial yang fair dapat dibangun secara langgeng. Yang dimaksud dengan prinsip kepantasan mutualistik adalah pengakuan kewarganegaraan yang bebas dan setara, serta ide masyarakat yang tertata baik (well-ordered society). Dengan demikian, tiga karakteristik konsep politik keadilan itu terkonsentrasi pada struktur dasar masyarakat, kepastian bahwa tidak ada kolonisasi satu pandangan atas pandangan yang lain, dan yang terakhir di dalam konspesi politik keadilan itu terkandung nilai kewarasan (reasonableness) yang mutualistik. Ketiga karakteristik ini saling berpaut dan saling mengandaikan dalam upaya menata masyarakat majemuk secara adil. Struktur Dasar Masyarakat Menurut Rawls, subjek utama dari keadilan adalah struktur dasar yang ada dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan struktur dasar adalah satu model di mana institusi sosial dan institusi politik bersinambung dengan sistem kerjasama sosial, dan sistem kerjasama ini kemudian menata pengaturan hak-kewajiban serta pembagian manfaat yang dihasilkan. 6 Konsep keadilan Rawls memiliki perhatian besar pada cara bagaimana institusi sosial besar harus mendistribusikan hak dan kewajiban dasar, serta pembagian sumber daya di dalam suatu kerjasama sosial. 7 Yang dimaksudkan dengan institusi besar misalnya adalah konstitusi politik, prinsip ekonomi dan aturan sosial. Konsep keadilan menata struktur dasar dalam kerjasama sosial, dan secara tidak langsung ia kemudian menata proses yang berjalan dalam organisasi masyarakat. 8 Ide dasar yang menata kerjasama sosial memiliki tiga ciri berikut. Yang pertama, kerjasama sosial diatur oleh aturan yang dapat diterima oleh masyarakat bersangkutan. Aturan yang dijalankan bukanlah produk dari satu otoritas yang sama sekali tidak berangkat dari masyarakat (yang menjadi pelaku aturan) itu sendiri. Yang kedua, kerjasama sosial harus bertopang pada prinsip kerjasama yang fair. Tidak ada satu bagian dari pelaku kerjasama sosial yang merasa dipaksa karena dominasi yang lain. Itu artinya dalam kerjasama harus ada relasi mutualistis dan resiprokal yang setara. Dalam kerjasama sosial yang fair, kebebasan dan kesetaraan warganegara harus dijamin dan tidak dikorbankan untuk kepentingan apapun. 9 Sementara yang ketiga, kerjasama harus bertujuan untuk mencapai tujuan atau manfaat/kebaikan bersama. 10 Dalam Justice as Fairness: A Restatement (2001), Rawls menegaskan bahwa salah satu tujuan praktis dari konsep keadilan sebagai fairness adalah untuk memberikan dasar moral dan filosofis dari institusi demokrasi dan untuk menjawab pertanyaan bagaimana kebebasan dan 6 Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, hal Rawls, A Theory of Justice, hal Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, hal Rawls, A Theory of Justice, hal Bdk. Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, hal. 6. 4

5 kesetaraan dipahami dalam kerangka itu. 11 Untuk tujuan itu, maka kita perlu melihat hubungan antara kultur publik politis yang berlangsung dalam masyarakat dengan prasyaratprasyarat yang diandaikan dalam ide keadilan politis. Dalam masyarakat demokratis diasumsikan bahwa mereka tidak asing dengan pandangan bahwa konstitusi dan hukum harus didasarkan pada prinsip kebebasan dan kesetaraan. Tanpa pengandaian pemahaman itu akan sangat sulit untuk membayangkan satu kerjasama sosial yang adil bagi semua yang terlibat di dalamnya. Salah satu peran penting dari prinsip keadilan adalah untuk menspesifikkan terma fair dalam kerjasama sosial. Prinsip ini menjelaskan lebih lanjut masalah kewajiban dan hak dasar yang harus ditegakkan oleh satu institusi sosial dan politik tertentu. Prinsip ini juga mengatur pembagian manfaat yang dihasilkan dari kerjasama tersebut. 12 Dalam masyarakat demokratis, warganegara dilihat secara politis sebagai orang-orang yang bebas dan setara. Dengan demikian konsepsi keadilan dalam demokrasi sebagaimana yang dipahami oleh Rawls terkait dengan pemahaman mengenai konsep kewarganegaraan yang bebas dan setara. Gagasan ini memiliki hubungan dengan apa yang ia sebut sebagai masyarakat yang tertata baik (wellordered society). Dua ide ini, yakni ide tentang kewarganegaraan yang bebas dan setara, serta masyarakat yang tertata baik menjadi ide sentral dalam memandu institusi demokrasi yang didasarkan pada konsep keadilan politis yang dibayangkan oleh Rawls. 13 Masyarakat Yang Tertata Baik Melalui konsep keadilan sebagai fairness, kerjasama masyarakat dimapankan oleh dua ide fundamental yang saling terkait: pertama ide tentang warga yang bebas dan setara, dan kedua ide masyarakat yang tertata baik (well-ordered society). Menurut Rawls, ada tiga hal yang terkandung di dalam ide masyarakat yang tertata. Yang pertama, setiap orang dari masyarakat tersebut menerima dan mengetahui bahwa orang lain juga menerima prinsip keadilan yang sama. Yang kedua, struktur dasar masyarakat dapat diketahui secara publik dan diyakini bahwa mereka mampu memenuhi tuntutan yang ada dalam struktur dasar tersebut. Dan yang ketiga setiap warga yang ada dalam masyarakat tersebut memiliki pengertian yang efektif mengenai keadilan sehingga mereka bisa mencapai pengertian yang sama dengan warga negara yang lain. 14 Ide mengenai masyarakat yang tertata baik mengupayakan satu hubungan antarkelompok yang memiliki cita rasa keadilan. Yang saya maksud dengan cita rasa keadilan adalah kemampuan untuk melampaui kepentingan kelompok atau doktrin komprehensif tertentu. Dengan kemampuan ini, maka kemungkinan terjadinya konflik kepentingan antarkelompok dapat ditekan karena setiap kelompok memiliki nilai kewarasan publik (reasonable pluralism). Rawls menyebut bahwa pada dasarnya setiap warga memiliki dua daya moral dasar, daya kewarasan publik (reasonable) dan daya rasional. Daya kewarasan publik (reasonable) didefinisikan sebagai elemen sosial yang memungkinkan kerjasama berada dalam hubungan yang fair. Satu hubungan dapat dikatakan reasonable jika setiap pihak dapat menerimanya 11 Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, hal Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, hal Rawls, Justice as Fairness: A Restatement, hal Rawls, Political Liberalism, hal

6 secara timbal balik. Dengan demikian sesuatu yang reasonable terkandung nilai imparsialitas dan saling menguntungkan. Seseorang dapat dikatakan bertindak reasonable jika ia mempertimbangkan sesuatu yang dapat diterima oleh pihak lain yang sama-sama memiliki kebebasan yang setara. Dalam prinsip reasonable, nilai timbal balik mendapatkan tekanan cukup besar. Sebaliknya, seseorang dikatakan tidak memiliki daya reasonable jika tidak memperhatikan prinsip timbal-balik dengan pihak lain yang juga memiliki kebebasan yang setara. 15 Sementara yang dimaksud dengan daya rasional adalah kemampuan untuk menilai dan kemampuan deliberasi yang dimiliki oleh individu atau kelompok dalam mencari tujuan akhir dan kepentingan mereka sendiri. Daya rasional akan menentukan tujuan dan juga kepentingan yang akan diambil serta sarana yang dianggap efektif untuk mencapai tujuan dan kepentingan yang sudah diambil. Namun kata Rawls, meski kemampuan ini berkaitan dengan tujuan dan kepentingan serta sarana yang dapat dipilih oleh seseorang atau satu kelompok, tidak berarti bahwa kepentingan itu hanya kepentingan diri atau kelompoknya saja. Dalam menentukan tujuan dan kepentingannya, subjek rasional juga memiliki afeksi yang dapat mempertimbangkan komunitas dan tempat sehingga mereka dapat memilih tujuan dalam banyak cara. Menurut Rawls, hal yang dianggap kurang dari agen rasional adalah sensibilitas moral yang dapat menuntun proses pelibatan dalam cara yang fair. Karena alasan itulah maka daya reasonable menjadi sangat penting dalam teori keadilan. 16 Dalam pandangan Rawls, dua daya ini berbeda satu sama lain namun saling mengandaikan. Karena pembedaan dua daya ini maka salah satu dari keduanya bukan derivasi dari yang lain. Hal yang paling membedakan keduanya adalah bahwa daya reasonable bersifat publik sementara daya rasional tidak memiliki hal tersebut. Dengan demikian daya kewarasan publik (reasonable) memainkan peran yang teramat penting dalam membangun hubungan antar-kelompok yang adil. Rawls menegaskan bahwa ada dua aspek dasar dalam daya reasonable: yang pertama kehendak untuk mengajukan model kerjasama yang fair dan menjadikannya sebagai model yang berlaku untuk semua; yang kedua adalah kehendak untuk mengakui adanya tanggungjawab penilaian yang bersifat publik sehingga harus menerima pendayagunaan nalar publik dalam melegitimasi kekuasaan politik konstitusional. 17 Tentang aspek dasar yang kedua, Rawls menjelaskan lebih lanjut dengan mengingatkan kembali bahwa di dalam komunitas politik terdapat fakta pluralitas pandangan dengan tujuan dan kepentingan yang berbeda satu sama lain. Pertanyaannya, bagaimana ketidaksepakatan atau perbedaan yang waras itu mungkin? Untuk menjawab pertanyaan ini, Rawls kembali pada dua daya moral yang dimiliki setiap warga. Katakan saja bahwa setiap orang atau kelompok memiliki tujuan dan kepentingannya sendiri yang berbeda satu sama lain, namun dalam melegitimasi kerjasama yang fair dari warga yang memiliki kebebasan dan 15 Rawls, Political Liberalism, hal Rawls, Political Liberalism, hal Tentang aspek kedua ini Rawls menyinggung sebuah konsep mengenai tanggung jawab penilaian publik (the burdens of judgment). Ia memahami konsep itu sebagai sumber atau penyebab dari ketidaksepakatan yang waras. Setiap orang atau kelompok bisa saja saling tidak sepakat dalam banyak hal, namun setiap mereka (yang memiliki kebebasan dan kesetaraan) dituntut untuk mempertimbangkan gagasannya dengan mendayagunakan nalar publik yang bersifat imparsial. 6

7 kesetaraan, tujuan dan kepentingannya harus dilihat secara imparsial dan mendayagunakan nalar publik. 18 Dengan pendayagunaan nalar publik, perbedaan tujuan dan kepentingan yang ada di dalam doktrin komprehensif yang begitu beragam dapat dibuat waras. Fakta bahwa setiap kelompok memiliki perbedaan tujuan diakui, namun pada saat yang sama perbedaan itu juga harus mempertimbangkan tujuan kelompok atau doktrin komprehensif yang lain. Dengan demikian, ide masyarakat yang tertata baik (well-ordered society) hanya memberikan tempat kepada doktrin komprehensif yang memiliki daya kewarasan publik sehingga hanya dengan cara ini hubungan antar-doktrin komprehensif secara fair menjadi mungkin. Doktrin komprehensif yang memiliki kecenderungan untuk memaksakan tujuan dan kepentingannya kepada pihak lain akan disebut sebagai doktrin komprehensif yang tidak waras (unreasonable comprehensive doctrine). Doktrin komprehensif macam ini tidak memiliki kehendak untuk membangun kerjasama yang fair dan juga tidak memiliki kemampuan untuk mendayagunakan nalar publiknya. Dengan kata lain, doktrin komprehensif semacam ini adalah ancaman bagi kemungkinan untuk membangun masyarakat yang tertata baik (well-ordered society). Nalar Publik dan Konsensus Bersama Untuk menjawab pertanyaan dasar dalam Liberalisme Politik, di atas sudah dijelaskan konsep kunci yang hendak dituju, yakni strukur dasar masyarakat yang sesuai dengan prinsip keadilan dan yang kedua mengupayakan satu masyarakat yang tertata baik (well-ordered society) di mana relasi antar-doktrin komprehensif berlangsung secara waras. Namun menurut Rawls, dalam masyarakat yang tertata baik belum ada jaminan dapat melahirkan dasar kesatuan sosial (basis of social unity) dan juga belum memberikan isi dari nalar publik. 19 Karena itu, agar hubungan antar-doktrin komprehensif yang waras dapat menciptakan dasar kesatuan sosial, kita perlu masuk pada satu ide yang disebut konsensus bersama atau overlapping consensus. Namun sebelum masuk pada uraian mengenai konsensus bersama, Rawls menjelaskan pengandaian penting yang membuat liberalisme politik menjadi mungkin. Menurut Rawls ada dua ciri hubungan politis dalam rezim konstitusional. Yang pertama, hubungan setiap orang selalu sudah dalam kerangka struktur dasar yang kita memasukinya melalui kelahiran dan keluar lewat kematian, tidak ada pilihan yang lain. Kita tidak bisa mengatakan kepada komunitas politik semacam itu: saya bisa masuk atau keluar secara sukarela. Yang kedua, kekuasaan politik dari institusi itu bersifat memaksa dan ditopang oleh adanya sanksi bagi mereka yang tidak mematuhi hukum yang ada. Dalam rezim konstitusional, kekuasaan politik itu berasal dari publik di mana setiap warga memiliki kebebasan yang setara. 20 Ciri ini menyiratkan kecenderungan Rawls pada peran sentral negara dalam bentuk jaminan keadilan, kebebasan dan kesetaraan bagi seluruh warga sekaligus juga kemampuan negara untuk menghukum mereka yang melangkahi prinsip-prinsip tersebut. Dalam komunitas politik semacam itu, setiap orang/warga atau kelompok dituntut untuk memiliki kemampuan bertindak waras (reasonable) dan rasional. Dengan cara ini, relasi 18 Rawls, Political Liberalism, hal Rawls, Political Liberalism, hal Rawls, Political Liberalism, hal

8 antar-kelompok atau doktrin komprehensif didasari pada sensibiltas keadilan. Kepada mereka yang gagal untuk bertindak sesuai dengan prinsip keadilan, negara memiliki hak legal untuk memaksa atau menghukum. Rawls juga menegaskan bahwa kerjasama sosial yang dibangun adalah kerjasama sosial yang didasarkan pada prinsip keadilan: setiap orang memiliki kebebasan yang setara; memiliki kesetaraan kesempatan yang fair; memiliki nilai timbal balik ekonomi dan memiliki rasa saling hormat di antara warga. Selain itu nilai yang juga penting untuk dibangun dalam masyarakat semacam ini adalah nilai nalar publik (public reason). 21 Dengan nilai nalar publik, kita hendak menuntun setiap nilai partikular yang ada untuk menggunakan nalar yang dapat diterima secara publik. Yang disebut dengan nalar publik bukanlah nalar agama atau nalar moral dari komunitas tertentu. Menurut Freeman, dalam komunitas politik yang mendasarkan pada demokrasi konstitusional, warga negara atau pegawai-pegawai resmi dari kantor pemerintahan biasanya memiliki kelayakan nalar yang pantas disampaikan dalam forumforum tersebut. Salah satu kepantasannya adalah bahwa mereka tidak menggunakan bahasa yang berasal dari nalar kelompok doktrin komprehensif tertentu. Itu artinya, dalam forumforum publik, argumen yang mendasarkan pada doktrin komprehensif tertentu akan dibatasi. Freeman mengambil salah satu contoh mengenai hal ini, yakni ketika Martin Luther King menyampaikan deklarasi hak-hak sipil dan politik yang diinspirasi oleh keyakinan agama. Meski hal itu diinspirasi dari keyakinan agamanya, ia menyampaikan dalam bahasa dan argumen yang dapat dicerna oleh kelompok yang lain. 22 Ide mengenai nalar publik kadang disalahpahami sebagai nalar bersama yang disepakati. Misalnya dalam negara teokrasi yang mendasarkan konstitusinya pada kitab suci tertentu, menurut Freeman tidak bisa disebut sebagai nalar publik. Gagasan mengenai nalar publik terkait dengan masyarakat demokratis yang mengakui kesetaraan dan kebebasan semua warga negara tanpa melihat latar belakangnya. 23 Dalam pandangan Rawls, tidak semua nalar dapat langsung disebut sebagai nalar publik. Ia menyebut nalar publik sebagai karakteristik masyarakat demokratis di mana semua warganya memiliki status kewarganegaraan yang setara. 24 Isi dari nalar publik adalah nalar yang memiliki nilai kepublikan, atau persisnya adalah nalar yang mengandung konsepsi politik keadilan. Selain tidak memiliki ciri partikular, nalar publik juga memiliki tujuan untuk menjaga agar status kesetaraan tetap terjaga. Isinya bukan hanya sekadar merefleksikan kesepakatan tertentu tetapi lebih dari itu adalah nalar yang didasari pada prinsip kewarasan (reasonableness). 21 Rawls, Political Liberalism, hal Freeman, Rawls (New York: Routledge, 2007), hal Freeman, Rawls, hal Rawls, Political Liberalism, hal Dalam pandangan Freeman, konsep mengenai nalar publik sebenarnya tidak sederhana. Di dalam Collected papers [CP] (hal. 575) Rawls menyebut bahwa tuntutan untuk mengaplikasikan nalar publik hanya ada pada forum politik yang bersifat publik, bukan di dalam budaya latar (background culture). Di tempat yang sama misalnya Rawls juga menekankan pentingnya kriteria resiprositas dalam nalar publik, yakni bahwa kita berpikir secara waras di mana pada saat yang sama pihak lain juga dapat menerimanya dengan cara yang waras, dan mereka semua akan sampai pada satu kesimpulan yang dapat diterima secara waras. Lih. Freeman, Rawls, hal

9 Dalam komunitas yang majemuk, hal terpenting yang perlu ditekankan adalah adanya hubungan antar-doktrin komperhensif yang waras (reasonable comprehensive doctrines). Hal ini menjadi salah satu dari dua poin yang diingatkan oleh Rawls ketika membahas ide mengenai konsensus bersama (overlapping consensus). Dua poin itu adalah, yang pertama tentang pencarian konsensus dari doktrin komprehensif yang waras, dan yang kedua dalam demokrasi konstitusional, konsepsi keadilan politik harus bebas dari doktrin tertentu di dalam masyarakat. 25 Tanpa pengandaian adanya relasi yang waras, setiap doktrin komprehensif hanya akan memusatkan perhatiannya pada tujuan dan kepentingannya saja. Sulit untuk membayangkan tercapainya konsensus bersama jika setiap kelompok hanya memerhatikan tujuan dan kepentingannya. Karena itu kemampuan setiap kelompok untuk berrelasi secara waras (reasonable) menjadi sesuatu yang mutlak. Urgensi sikap waras dari setiap kelompok didasari oleh pandangan bahwa konsensus yang hendak dicapai bukan semata kesepakatan yang bersifat sementara saja. Rawls memahami overlapping consensus bukan sekadar konsensus untuk menerima otoritas tertentu atau mematuhi kesepakatan institusional yang didasari pada titik temu di antara berbagai kelompok dan kepentingan. Konsensus bersama bukan semata kesepakatan yang muncul di antara berbagai kelompok. Konsensus semacam itu baru sebatas modus Vivendi, bukan overlapping consensus. Rawls memahami modus Vivendi sebagai kesepakatan yang terjadi di antara dua pihak (atau lebih) di mana masing-masing pihak hanya memerhatikan tujuan dan kepentingannya. Dalam proses negosiasi, masing-masing pihak berupaya melindungi tujuan dan kepentingannya itu hingga sampai pada titik ekuilibrium. Hal yang ingin digarisbawahi oleh Rawls, dan ini menjadi pembeda dengan konsep konsensus bersama adalah bahwa di dalam modus Vivendi, kesatuan sosial (social unity) hanya ada di permukaan dan stabilitasnya bersifat kontingen. Padahal, tujuan penting dalam konsensus bersama adalah hadirnya stabilitas dalam waktu yang langgeng. 26 Lantas bagaimana kita membangun sebuah konsensus bersama? Pertama-tama yang dimaksud dengan konsensus bersama adalah kesepakatan yang bersandar pada prinsip kebebasan dan muncul dari doktrin komprehensif yang reasonable (waras) di mana tujuannya adalah untuk melahirkan satu konsepsi keadilan yang paling pas untuk masyarakat demokratis. 27 Kesepakatan di antara keragaman itu diikat oleh hukum yang adil dan waras dan mendukung isi dari konsepsi politik keadilan. Kesepakatan itu bisa saja berangkat dari perspektif doktrin komprehensif masing-masing, dan kesepakatan itu sendiri tidak membuat mereka menjadi kurang relijius, karena doktrin komprehensif yang bisa sampai pada konsensus bersama adalah mereka yang menempatkan prinsip kewarasan sebagai bagian integral. 28 Dengan demikian, kesepakatan ini tidak hanya melahirkan stabilitas yang bersifat sementara tetapi juga langgeng. Tujuan pada hadirnya stabilitas yang langgeng menjadi perbedaan antara apa yang disebut dengan modus Vivendi dan konsensus bersama (overlapping consensus). 25 Rawls, Political Liberalism, hal Rawls, Political Liberalism, hal Freeman, Rawls, hal Rawls, Political Liberalism, hal

10 Tabel Konsepsi Politik Keadilan Tujuan Politik konsensus bersama Konsep Masyarakat Masyarakat yang tertata baik Model Relasi Relasi antar-doktrin komprehensif yang waras Pengakuan Dasar Penerimaan akan sistem demokrasi Jaminan kebebasan yang setara Kemungkinan Aplikasi PL Bertitik tolak dari gagasan yang ada di dalam liberalisme politik, kita akan mencoba melihat bagaimana bila gagasan itu diaplikasikan dalam masyarakat majemuk sebagaimana yang kita alami. Namun sebelum kita menguji beberapa kasus yang terjadi dalam masyarakat kita, pertanyaan dasar yang perlu kita jawab di awal adalah apakah sebagai sebuah komunitas politik kita sudah mengakui prinsip demokrasi sebagai proses mencari legitimasi dan menjamin kebebasan yang setara untuk semua warga. Kiranya, kita patut bersyukur bahwa jika kita merujuk pada konstitusi, dua hal ini sudah tertulis dengan jelas. Kekuasaan di negeri ini tidak didasarkan pada keturunan atau legitimasi yang bersifat ilahiah, melainkan melalui sistem kerakyatan, yakni bahwa kekuasaan berasal dari rakyat atau warga. 29 Dan yang kedua, negeri ini juga menjamin bahwa setiap warga memiliki hak yang setara tanpa melihat latar 29 Para pendiri bangsa seperti Sukarno dan Hatta menyadari bahwa Indonesia merdeka dibentuk oleh satu semangat baru, yakni kekuasaan yang didasari pada kedaualatan rakyat, bukan kekuasaan berdasarkan keturunan. Lih. Sukarno, Lahirnya Panca Sila (pidato 1 Juni Bung karno) dan juga Hatta, Kedaulatan rakyat (Surabaya-CV Usaha Nasional, 1946). 10

11 belakang agama atau suku. 30 Dengan pendasaran ini, cukuplah bagi kita untuk menyimpulkan bahwa dua pengandaian dasar yang disyaratkan oleh Rawls sudah tersedia di negeri ini. Masalahnya memang tidak cukup sampai di situ, karena kita harus menguji seberapa jauh pengandaian itu bersinambung dengan tata kelola kehidupan majemuk yang berlangsung di negeri ini. Terhadap fenomena yang penulis ajukan di muka, bagaimana fenomena itu dilihat dalam perspektif konsepsi politik keadilan (political conception of justice)? Pemaksaan pandangan satu kelompok di dalam kehidupan publik sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Islam garis keras mengabaikan tiga hal mendasar dalam konsepsi politik keadilan: pertama mereka melupakan asumsi dasar mengenai kebebasan yang setara yang dimiliki semua warga; kedua, terjadi upaya kolonisasi pandangan di dalam kehidupan publik; dan ketiga mereka tidak memiliki kewarasan publik (reasonableness). Tindak pemaksaan semacam sweeping di tempat hiburan dan rumah makan di bulan Ramadhan mengabaikan prinsip dasar bahwa setiap warga memiliki kebebasan yang setara. Selama seorang warga tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum, tidak ada ada kekuatan legal apapun yang berhak untuk memaksanya. Di dalam tindakan itu juga terdapat upaya kolonisasi pandangan partikular (doktrin komprehensif) terhadap pandangan kelompok lain, yakni menderivasi konsep maksiat yang bersifat partikular ke dalam aturan yang bersifat publik. Dan yang terakhir tentu saja upaya pemaksaan di ranah publik dalam bentuk apapun mengabaikan prinsip kewarasan publik yang menjadi jantung dari konsepsi politik keadilan. Kompleksitas tata kelola kehidupan publik tidak hanya ada pada kasus yang jelas-jelas bertentangan dengan konsepsi politik keadilan. Ada banyak praktik budaya yang mengandung kerumitan hidup bersama seperti azan yang menggunakan pengeras suara dan tradisi membangunkan sahur yang menggunakan alat-alat bising. Tentu ada banyak contoh lain yang juga berasal dari agama lain. Dan kerumitan semacam itu bukan monopoli agama, tetapi juga ada pada kelompok-kelompok lain, seperti perilaku kelompok yang dilatari oleh etnisitas atau suku, dan kelompok politik. Perbedaan tradisi pada beberapa suku yang hidup bersama kadang menimbulkan gesekan-gesekan yang jika tidak direspon secara bijak bisa menciptakan konflik terbuka. Bahkan masalah tata kelola hidup bersama juga bukan khas Indonesia, tetapi juga dialami oleh negara-negara Eropa. Misalnya tradisi sembelih hewan dan juga khitan tradisional yang dilakukan oleh komunitas muslim di Jerman menjadi masalah karena tindakan itu dilihat sebagai tindakan yang melukai (harmful). Begitu juga pemakaian cadar di tempat publik seperti di pengadilan dan sekolah menjadi masalah karena mengganggu proses investigasi hukum dan proses mengajar. Terhadap kompleksitas semacam itu, PL menawarkan sebuah model pemecahan masalah. Namun yang apa diajukan oleh PL bukan tanpa masalah karena pada level tertentu 30 Komitmen pada kesetaraan untuk semua warga negara dapat kita lihat dalam polemic mengenai tujuh kata dalam piagam Jakarta yang akan dimasukan ke dalam undang-undang dasar. Dalam sidang BPUPK, pada presentasi Sukarno mengenai piagam Jakarta yang sudah dibuat oleh panitia Sembilan, Latuharhary mengajukan keberatan atas pencantuman tujuh kata dengan kewajiban menjalankan syari at Islam bagi pemelukpemeluknya di dalam hukum dasar. Polemik ini akhirnya berhasil dipecahkan setelah Bung Hatta melakukan pendekatan ke kelompok Islam dengan pertimbangan yang lebih besar, yakni persatuan nasional. Lih. perdebatan ini dalam Risalah BPUPK, hal dan Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2011) hal

12 tawaran PL cenderung rigid sehingga bisa berdampak pada tingkat kemungkinan aplikasi dalam realitas masyarakat. Salah satu gagasan Rawls yang kerap dikritik adalah soal keharusan bertindak waras bagi seluruh doktrin komprehensif di dalam ruang publik (reasonable comprehensive doctrines). Tuntutan untuk memiliki kemampuan bertindak waras secara publik sangatlah ideal. Keharusan memang mengandaikan kemampuan (ought implies can) namun mewujudkan keharusan menjadi kenyataan bukan pekerjaan mudah. Ada begitu banyak keharusan yang tidak mewujud menjadi kenyataan. Masalah ini merupakan sesuatu yang rumit. Namun lepas dari kerumitan itu, pada prinsipnya banyak pemikir yang sepakat bahwa kemajemukan dalam masyarakat memang harus ditata dan konsep nalar publik sebagai sesuatu yang penting. Hanya saja setiap pemikir memiliki jalan yang berbeda dalam menata kemajemukan dan dalam memahami konsep kepublikan. Habermas misalnya cenderung menawarkan dialog dalam menyikapi perbedaan. 31 Dialog mengandaikan adanya kemauan dari masing-masing pihak dan kemampuan untuk membahasakan ulang bahasa partikularnya agar menjadi lebih publik. Hal yang sama juga diajukan oleh Sen 32 dan Dostert. 33 Keduanya menilai dialog sebagai sarana efektif untuk sampai pada kesepakatan bersama. Meski ada banyak kritik dan catatan atas PL, namun jantung dari konsepsi politik keadilan tentang pentingnya prinsip kewarasan publik dalam kehidupan bersama sebenarnya secara implisit diakui nilai pentingnya oleh banyak pihak. Kemampuan untuk menilai apakah sesuatu tertentu layak diletakan di ruang publik dan kelayakan itu harus dapat dilihat posisi sebaliknya. Artinya penilaian layak atau tidaknya juga sudah mempertimbangkan jika kita berada pada posisi pihak lain. Kemampuan ini tentu saja sangat penting dalam merawat harmoni kehidupan bersama yang di dalamnya ada begitu banyak perbedaan. Setiap masyarakat, sebagaimana yang juga ditegaskan oleh Rawls, pada dasarnya memiliki untuk bertindak waras. Hanya saja yang berbeda adalah soal batasan kepantasan yang berlaku di setiap komunitas politik. Latar budaya bersama turut menentukan perbedaan batas kepantasan publik. Dalam kultur masyarakat yang cukup cair, batasan kepantasan publiknya 31 Habermas menyinggung soal hubungan antara kelompok agama dan kelompok sekuler. Menurutnya sikap kelompok sekuler yang tidak mau berdialog dengan kelompok agama adalah sikap yang kurang tepat. Meski di masa lalu agama banyak banyak menorehkan sejarah kelam, tetapi kemampuan mereka untuk bertahan hingga kini menandai bahwa peran agama tidak bisa diabaikan bagi kehidupan masyarakat. Karenanya ia menyerukan untuk membangun dialog antara mereka yang disebut sekuler dan kelompok agama. Lih. Habermas, Between Naturalism and Religion (Cambridge: Polity, 2008), hal Juga bisa dilihat dalam Paul Kleden dan Adrianus Sunarko, 2010, Dialektika Sekularisasi: Diskusi Habermas-Ratzinger dan Tanggapan (Penerbit Lamalera dan Penerbit Ledalero, 2010). 32 Dalam The Idea of Justice Amartya Sen juga kerap menyinggung soal peran diskusi publik yang terbuka. Dalam diskusi publik, setiap pihak berhak untuk mengajukan pandangannya sambil mencari kemungkinan untuk sampai pada pandangan yang lebih baik. Lih. Sen, The Idea of Justice (Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press, 2009). 33 Secara khusus Dostert menulis buku (disertasi) untuk merespon Political Liberalism dengan judul Beyond Political Liberalism. Menurutnya model PL, cenderung mengeksklusi pandangan yang dianggap kurang waras (unreasonable). Alih-alih mengajukan model semacam itu, Dostert menawarkan model dialog yang lebih merangkul (politics of engagement). Lih. Dostert, Beyond Political Liberalism (Indiana: University of Notre Bame Press, 2006) dan Sunaryo Etika Pasca Sekularisme: Kritik Dostert atas Liberalisme Politis Rawls dalam Jurnal Titi-Temu, Volume 4, Nomor 2, Januari-Juni

13 menjadi berbeda dengan masyarakat yang agak kaku. 34 diajukan oleh Rawls cenderung kaku atau rigid. Dan dalam soal ini, batasan yang Daftar Pustaka Dostert, Troy 2006, Beyond Political Liberalism: Toward a Post-Secular Ethics of Public Life, Notre Dame, Indiana, University of Notre Dame Press Freeman, Samuel 2007, Rawls, New York, Routledge Habermas, Juergen 2008, Between Naturalism and Religion: Philosophical Essays, diterjemahkan oleh Ciaran Cronin, Cambridge, Polity Hatta, Mohammad 1946, Kedaulatan Rakyat, Konperensi Pamong Praja, Solo, 7 Pebruari 1946, dalam terbitan ulang Kementrian Penerangan Republik Indonesia 1950, Surabaya-CV Usaha Nasional (Maret 1950) Kleden, Paul Budi dan Adrianus Sunarko 2010, Dialektika Sekularisasi: Diskusi Habermas- Ratzinger dan Tanggapan, Penerbit Lamalera dan Penerbit Ledalero Kosmin, Barry A. dan Ariela Keysar (eds.) 2007, Secularism and Secularity: Contemporary International Perspectives, Hartford-International for the Study of Secularism in Society and Culture, Trinity College Latif, Yudi 2011, Negara Pripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama Rawls, John [1971], 1999, A Theory of Justice (edisi revisi), Massachusetts, The Belknap Press of Harvard University Press Cambridge Rawls, John 2001, Justice as Fairness: A Restatement, Massachusetts, The Belknap Press of Harvard University Press Cambridge Rawls, John, 1993, Political Liberalism, New York, Columbia University Press Sekretariat Negara Republik Indonesia 1998, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei Agustus 1945, diterbitkan oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta. Sen, Amartya 2009, The Idea of Justice, Massachusetts, The Belknap Press of Harvard University Press Cambridge 34 Misalnya dalam pengalaman komunitas Islam dan komunitas Katholik di Jawa, perbincangan bersama di antara mereka kadang banyak disisipi oleh pengalaman-pengalaman keagamaan yang bersifat partikular dari masingmasing kelompoknya. Masing-masing pihak tidak merasa tereksklusi satu sama lain dan tidak mempersoalkan cara seperti itu. Menurut saya, yang memungkinkan hal itu adalah adanya kebudayaan yang lebih cair (unsur kolektivitasnya lebih kuat) dalam masyarakat tersebut. 13

14 Sukarno 1945, Lahirnya Panca Sila (Pidato 1 Juni 1945), dalam Tjamkan Pantja Sila, diterbitkan oleh Panitia Nasional Peringatan Lahirnya Pancasila, (ed) H. Amin Arjono, SH. Sunaryo Etika Pasca Sekularisme: Kritik Dostert atas Liberalisme Politis Rawls dalam Jurnal Titi-Temu, Volume 4, Nomor 2, Januari-Juni

TATA KELOLA MASYARAKAT MAJEMUK DALAM BINGKAI KEADILAN. Membaca Liberalisme Politik Rawls. Sunaryo. Abstract

TATA KELOLA MASYARAKAT MAJEMUK DALAM BINGKAI KEADILAN. Membaca Liberalisme Politik Rawls. Sunaryo. Abstract TATA KELOLA MASYARAKAT MAJEMUK DALAM BINGKAI KEADILAN Membaca Liberalisme Politik Rawls Sunaryo Abstract This paper starts from Rawls's view about the concept of justice in political liberalism. Rawls's

Lebih terperinci

MENJADI MUSLIM DI NEGARA SEKULER

MENJADI MUSLIM DI NEGARA SEKULER l Edisi 001, Oktober 2011 Edisi 001, Oktober 2011 P r o j e c t i t a i g D k a a n MENJADI MUSLIM DI NEGARA SEKULER Ihsan Ali Fauzi 1 Edisi 001, Oktober 2011 Informasi Buku: Abdullahi Ahmed An- Na`im,

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN. Kesimpulan

BAB VII KESIMPULAN. Kesimpulan BAB VII KESIMPULAN Kesimpulan Setiap bangsa tentu memiliki apa yang disebut sebagai cita-cita bersama sebagai sebuah bangsa. Indonesia, negara dengan beragam suku, bahasa, agama dan etnis, juga pastinya

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI Disampaikan Pada Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya Politik Nasional Berlandaskan Pekanbaru,

Lebih terperinci

Kritik Chantal Mouffe atas Liberalisme Rawls: Mengembalikan Yang Politis dalam Demokrasi Agonistik

Kritik Chantal Mouffe atas Liberalisme Rawls: Mengembalikan Yang Politis dalam Demokrasi Agonistik Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2013, hal 84-95 ISSN 2302-5719 Volume 1, Nomor 1 Kritik Chantal Mouffe atas Liberalisme Rawls: SUNARYO Universitas Paramadina Jl. Gatot Subroto Kav. 97, Mampang, Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik,

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Masyarakat dewasa ini dapat dikenali sebagai masyarakat yang berciri plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik, kelompok budaya dan

Lebih terperinci

MENEMPATKAN SKENARIO MASA DEPAN ANEUK DAN PEMUDA ATJEH TAHUN 2018 DALAM RUANG PUBLIK ACEH

MENEMPATKAN SKENARIO MASA DEPAN ANEUK DAN PEMUDA ATJEH TAHUN 2018 DALAM RUANG PUBLIK ACEH E. MENEMPATKAN SKENARIO MASA DEPAN ANEUK DAN PEMUDA ATJEH TAHUN 2018 DALAM RUANG PUBLIK ACEH Dalam kertas kerjanya yang berjudul Models of Public Sphere in Political Philosophy, Gürcan Koçan (2008:5-9)

Lebih terperinci

Kritik Chantal Mouffe atas Liberalisme Rawls: Mengembalikan Yang Politis dalam Demokrasi Agonistik

Kritik Chantal Mouffe atas Liberalisme Rawls: Mengembalikan Yang Politis dalam Demokrasi Agonistik Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2013, hal 84-95 ISSN 2302-5719 Volume 1, Nomor 1 Kritik Chantal Mouffe atas Liberalisme Rawls: SUNARYO Universitas Paramadina Jl. Gatot Subroto Kav. 97, Mampang, Jakarta

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dinamika Multikulturalisme Kanada ( ). Kesimpulan tersebut

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dinamika Multikulturalisme Kanada ( ). Kesimpulan tersebut BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul. Kesimpulan tersebut merujuk pada jawaban atas permasalahan penelitian yang telah dikemukakan oleh penulis

Lebih terperinci

PENDAPAT TERPISAH HAKIM ZEKIA

PENDAPAT TERPISAH HAKIM ZEKIA Saya menyetujui, dengan segala hormat, bagian pengantar keputusan terkait prosedur dan fakta dan juga bagian penutup tentang dengan penerapan Pasal 50 (pas. 50) dari Konvensi terhadap kasus ini. Saya juga

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS PERSPEKTIF JOHN RAWLS DAN UU NO. 1/PNPS/1965 BERDASARKAN IDE NALAR PUBLIK JOHN RAWLS

BAB V ANALISIS PERSPEKTIF JOHN RAWLS DAN UU NO. 1/PNPS/1965 BERDASARKAN IDE NALAR PUBLIK JOHN RAWLS BAB V ANALISIS PERSPEKTIF JOHN RAWLS DAN UU NO. 1/PNPS/1965 BERDASARKAN IDE NALAR PUBLIK JOHN RAWLS A. Relevansi Pemikiran John Rawls terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Hak beragama

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA ABSTRAK Prinsip-prinsip pembangunan politik yang kurang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila telah membawa dampak yang luas dan mendasar bagi kehidupan manusia Indonesia.

Lebih terperinci

DEMOKRASI DAN RADIKALISME

DEMOKRASI DAN RADIKALISME l i m e m o k r a t i s EMOKRASI AN RAIKALISME i g i t a AGAMA m o k r a t i s. c o m l Rumadi Edisi 009, Agustus 2011 1 emokrasi dan Radikalisme Agama Prof. John O Voll, guru besar sejarah di Georgetown

Lebih terperinci

Eksistensi Pancasila dalam Konteks Modern dan Global Pasca Reformasi

Eksistensi Pancasila dalam Konteks Modern dan Global Pasca Reformasi Eksistensi Pancasila dalam Konteks Modern dan Global Pasca Reformasi NAMA : Bram Alamsyah NIM : 11.12.6286 TUGAS JURUSAN KELOMPOK NAMA DOSEN : Tugas Akhir Kuliah Pancasila : S1-SI : J : Junaidi Idrus,

Lebih terperinci

ISLAM INDONESIA-NUSANTARA Dialektika, Pluralitas Budaya dan Pergumulan Menemukan Jati Diri. Budhy Munawar-Rachman

ISLAM INDONESIA-NUSANTARA Dialektika, Pluralitas Budaya dan Pergumulan Menemukan Jati Diri. Budhy Munawar-Rachman Annual Conference on Islamic Studies Banjarmasin, 1 4 November 2010 (ACIS) Ke - 10 ISLAM INDONESIA-NUSANTARA Dialektika, Pluralitas Budaya dan Pergumulan Menemukan Jati Diri Budhy Munawar-Rachman Diskursus

Lebih terperinci

PENGAMALAN PANCASILA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI DAN REFORMASI

PENGAMALAN PANCASILA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI DAN REFORMASI PENGAMALAN PANCASILA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI DAN REFORMASI NAMA : Ragil Prasetia Legiwa NIM : 11.02.7942 TUGAS JURUSAN KELOMPOK NAMA DOSEN : Tugas Akhir Kuliah Pancasila : D3 - MI : A : M. Khalis Purwanto

Lebih terperinci

Urgensi Memahami Kembali Pancasila Oleh : Bambang Trisutrisno Ketua Lembaga Kajian Pertahanan untuk Kedaulatan NKRI KERIS

Urgensi Memahami Kembali Pancasila Oleh : Bambang Trisutrisno Ketua Lembaga Kajian Pertahanan untuk Kedaulatan NKRI KERIS Urgensi Memahami Kembali Pancasila Oleh : Bambang Trisutrisno Ketua Lembaga Kajian Pertahanan untuk Kedaulatan NKRI KERIS www.lembagakeris.net Sebagai Bangsa yang dihuni oleh berbagai suku bangsa, etnis,

Lebih terperinci

BAB 5 Penutup. dalam ciri-ciri yang termanifes seperti warna kulit, identitas keagamaan

BAB 5 Penutup. dalam ciri-ciri yang termanifes seperti warna kulit, identitas keagamaan BAB 5 Penutup 5.1 Kesimpulan Hidup bersama membutuhkan membutuhkan modus operandi agar setiap individu di dalamnya dapat berdampingan meskipun memiliki identitas dan kepentingan berbeda. Perbedaan tidak

Lebih terperinci

C. Peran Tokoh Perumus UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

C. Peran Tokoh Perumus UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Tabel 2.3 Arti Penting UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 No Unsur Manfaat Akibat apabila tidak ada UUD 1 Warga Negara 2 Bangsa dan Negara Kesimpulan : C. Peran Tokoh Perumus UUD Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai suatu negara multikultural merupakan sebuah kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai etnik yang menganut

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. akan adanya perspektif penyeimbang di tengah dominasi teori-teori liberal. Kedua

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. akan adanya perspektif penyeimbang di tengah dominasi teori-teori liberal. Kedua BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Penelitian ini berangkat dari sikap afirmasi penulis terhadap kebutuhan akan adanya perspektif penyeimbang di tengah dominasi teori-teori liberal. Kedua model pemikiran

Lebih terperinci

A. Pengertian Pancasila

A. Pengertian Pancasila PANCASILA SEBAGAI SISTEM NILAI A. Pengertian Pancasila Istilah nilai dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya keberhargaan atau kebaikan. Di samping itu juga untuk menunjuk kata kerja yang

Lebih terperinci

MENJAGA INDONESIA YANG PLURAL DAN MULTIKULTURAL

MENJAGA INDONESIA YANG PLURAL DAN MULTIKULTURAL SEMINAR NASIONAL Merawat Toleransi, Demokrasi dan Pluralitas Keberagaman (Mencari Masukan Gagasan untuk Pengembangan Kapasitas Peran FKUB) Royal Ambarrukmo Yogyakarta, 12 September 2017 MAKALAH MENJAGA

Lebih terperinci

Plenary Session III : State and Religion-Learning from Best Practices of each Country in Building the Trust and Cooperation among Religions

Plenary Session III : State and Religion-Learning from Best Practices of each Country in Building the Trust and Cooperation among Religions Delegasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Parliamentary Event on Interfaith Dialog 21-24 November 2012, Nusa Dua, Bali Plenary Session III : State and Religion-Learning from Best Practices of

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaan merupakan cabang ilmu. cita cita bangsa. Salah satu pelajaran penting yang terkandung dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaan merupakan cabang ilmu. cita cita bangsa. Salah satu pelajaran penting yang terkandung dalam BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaan merupakan cabang ilmu pendidikan yang menuntun masyarakat Indonesia untuk mampu mewujudkan cita cita bangsa. Salah satu pelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rencana reklamasi Teluk Benoa ini digagas oleh PT Tirta Wahana Bali

BAB I PENDAHULUAN. Rencana reklamasi Teluk Benoa ini digagas oleh PT Tirta Wahana Bali BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setidaknya sejak 2013 terjadi perdebatan di lingkup masyarakat Bali pada khususnya dan nasional juga internasional pada umumnya yang dikarenakan adanya rencana untuk

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA. Pancasila Sebagai Ideologi Negara. Modul ke: 05Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen S1

PENDIDIKAN PANCASILA. Pancasila Sebagai Ideologi Negara. Modul ke: 05Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen S1 Modul ke: 05Fakultas Gunawan EKONOMI PENDIDIKAN PANCASILA Pancasila Sebagai Ideologi Negara Wibisono SH MSi Program Studi Manajemen S1 Tujuan Perkuliahan Menjelaskan: Pengertian Ideologi Pancasila dan

Lebih terperinci

Pemerintah Baru, Masalah Lama Kamis, 04 September :12 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 04 September :49

Pemerintah Baru, Masalah Lama Kamis, 04 September :12 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 04 September :49 Pada 21 Agustus 2014 Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak seluruh permohonan dan gugatan pihak Prabowo-Hatta, baik gugatan mengenai rekapitulasi suara oleh KPU maupun gugatan menyangkut pelanggaran pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab pertama ini, peneliti akan memberikan paparan mengenai latar belakang permasalahan dan fenomena yang terkait. Selanjutnya, peneliti akan memaparkan rumusan masalah berupa pertanyaan

Lebih terperinci

Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK

Modul ke: Fakultas DESAIN SENI KREATIF. Program Studi DESAIN PRODUK Modul ke: 05 Fakultas DESAIN SENI KREATIF Pancasila Sebagai Dasar Negara Modul ini membahas mengenai Pancasila Sebagai Dasar Negara Yang Merupakan Ideologi Terbuka, Batasan keterbukaan Pancasila sebagai

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PANCASILA

PENDIDIKAN PANCASILA PENDIDIKAN PANCASILA Modul ke: 11 Fakultas Ikhwan Fikom Mata Kuliah Ini Memuat Pancasila dan Implementasinya (Sila Pertama) Aulia Fatahillah, SH., MH. Program Studi Humas 2 Pendahuluan Dr. Sila Ketuhanan

Lebih terperinci

John Rawls dan Konsep Keadilan. Muhammad Luthfi

John Rawls dan Konsep Keadilan. Muhammad Luthfi John Rawls dan Konsep Keadilan Muhammad Luthfi John Rawls adalah salah satu pemikir politik liberal kontemporer yang memberikan warna baru pada spektrum liberalisme global saat ini. Magnum Opus Rawls yang

Lebih terperinci

PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) PENGUATAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA MELALUI INSTITUSIONALISASI PARTAI POLITIK Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya) Apakah Sistem Demokrasi Pancasila Itu? Tatkala konsep

Lebih terperinci

SYARIAT ISLAM DAN KETERBATASAN DEMOKRASI

SYARIAT ISLAM DAN KETERBATASAN DEMOKRASI l Edisi 003, Agustus 2011 SYARIAT ISLAM DAN KETERBATASAN DEMOKRASI P r o j e c t i t a i g k a a n D Saiful Mujani Edisi 003, Agustus 2011 1 Edisi 003, Agustus 2011 Syariat Islam dan Keterbatasan Demokrasi

Lebih terperinci

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA 1. BPUPKI dalam sidangnya pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 membicarakan. a. rancangan UUD b. persiapan kemerdekaan c. konstitusi Republik Indonesia Serikat

Lebih terperinci

Problem Papua dan Rapuhnya Relasi Kebangsaan

Problem Papua dan Rapuhnya Relasi Kebangsaan Problem Papua dan Rapuhnya Relasi Kebangsaan http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160906163356-21-156465/problem-papua-dan-rapuhnya-relasi-kebangsaan/ Arie Ruhyanto, CNN Indonesia Kamis, 15/09/2016 08:24

Lebih terperinci

2.4 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Sebagai pendangan hidup bangsa Indonesia,

2.4 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Sebagai pendangan hidup bangsa Indonesia, 2.4 Uraian Materi 2.4.1 Pengertian dan Hakikat dari Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Sebagai pendangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila berarti konsepsi dasar tentang kehidupan yang

Lebih terperinci

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta S a m b u t a n UPACARA BENDERA PERINGATAN DETIK-DETIK PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI KE-72 TAHUN 2017 Yogyakarta, 17 Agustus 2017 --------------------------------------------------------------

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jürgen Habermas dalam bukunya Faktizitat und Geltung mengungkapkan

BAB I PENDAHULUAN. Jürgen Habermas dalam bukunya Faktizitat und Geltung mengungkapkan BAB I BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Jürgen Habermas dalam bukunya Faktizitat und Geltung mengungkapkan bahwa masyarakat modern merupakan masyarakat yang memiliki kompleksitas nilai dan kepentingan.

Lebih terperinci

RANI PURWANTI KEMALASARI SH.MH. Modul ke: Fakultas EKONOMI DAN BISNIS. Program Studi MANAJEMEN.

RANI PURWANTI KEMALASARI SH.MH. Modul ke: Fakultas EKONOMI DAN BISNIS. Program Studi MANAJEMEN. Modul ke: MATA KULIAH : KEWARGANEGARAAN MODUL 2 NEGARA DAN SISTEM PEMERINTAHAN SUMBER : BUKU ETIKA BERWARGANEGARA, PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI PERGURUAN TINGGI. ( DITERBITKAN OLEH UMB GRAHA ILMU ) Fakultas

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta BAB V Kesimpulan A. Pengantar Bab V merupakan bab terakhir dari seluruh narasi tulisan ini. Sebagai sebuah kesatuan tulisan yang utuh, ide pokok yang disajikan pada bab ini tidak dapat dipisahkan dari

Lebih terperinci

PANCASILA Modul ke: Pancasila sebagai Ideologi Nasional Fakultas MKCU Poernomo A. Soelistyo, SH., MBA. Program Studi Manajemen

PANCASILA Modul ke: Pancasila sebagai Ideologi Nasional Fakultas MKCU Poernomo A. Soelistyo, SH., MBA. Program Studi Manajemen PANCASILA Modul ke: Pancasila sebagai Ideologi Nasional Fakultas MKCU Poernomo A. Soelistyo, SH., MBA. Program Studi Manajemen www.mercubuana.ac.id Pengertian Ideologi 1. Arti Ideologi Ideologi adalah

Lebih terperinci

Hubungan Internasional (daring), 1 November 2013, <http://dinasulaeman.wordpress.com/2013/11/01/sistemdemokrasi-ala-iran-demokrasi-tangan-tuhan/>,

Hubungan Internasional (daring), 1 November 2013, <http://dinasulaeman.wordpress.com/2013/11/01/sistemdemokrasi-ala-iran-demokrasi-tangan-tuhan/>, BAB V PENUTUP Dalam pandangan konstruktivisme, kebijakan diplomasi fatwa antinuklir sebagai senjata pemusnah massal adalah hasil proses dialektis antara kondisi sentimen anti-islam pasca 11 September,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengisi jabatan tertentu di dalam suatu negara. Bagi negara yang menganut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengisi jabatan tertentu di dalam suatu negara. Bagi negara yang menganut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum merupakan suatu sarana untuk memilih orang agar dapat mengisi jabatan tertentu di dalam suatu negara. Bagi negara yang menganut sistem demokrasi,

Lebih terperinci

BAB II. KAJIAN PUSTAKA. Dalam setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial

BAB II. KAJIAN PUSTAKA. Dalam setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Relasi Kekuasaan Dalam setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial selalu tersimpul pengertian pengertian kekuasaan dan wewenang. Kekuasaan terdapat disemua bidang

Lebih terperinci

ARTIKEL ILMIAH POPULER STUDY EXCURSIE

ARTIKEL ILMIAH POPULER STUDY EXCURSIE ARTIKEL ILMIAH POPULER STUDY EXCURSIE MUTHMAINNAH 131211132004 FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA hmadib2011@gmail.com1 a. Judul Toleransi yang tak akan pernah pupus antar umat beragama di dalam

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Modul ke: PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Pancasila dan Implementasinya Fakultas EKONOMI DAN BISNIS Ikhwan Aulia Fatahillah, SH., MH. Program Studi Manajemen Bagian Isi Gerakan Pembasisan Pancasila Pancasila

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR DEMOKRASI PANCASILA MENURUT UUD 1945

TUGAS AKHIR DEMOKRASI PANCASILA MENURUT UUD 1945 TUGAS AKHIR DEMOKRASI PANCASILA MENURUT UUD 1945 Di susun oleh : Nama : Garna Nur Rohiman NIM : 11.11.4975 Kelompok : D Jurusan Dosen : S1-TI : Tahajudin Sudibyo, Drs Untuk memenuhi Mata Kuliah Pendidikan

Lebih terperinci

Modul ke: MASYARAKAT MADANI. Mengetahui masyarakat madani serta karakteristiknya. Fakultas FAKULTAS KURNIAWATI, SHI, MH.

Modul ke: MASYARAKAT MADANI. Mengetahui masyarakat madani serta karakteristiknya. Fakultas FAKULTAS KURNIAWATI, SHI, MH. Modul ke: 11 RINA Fakultas FAKULTAS MASYARAKAT MADANI Mengetahui masyarakat madani serta karakteristiknya KURNIAWATI, SHI, MH Program Studi Pengertian Masyarakat madani adalah suatu masyarakat atau institusi

Lebih terperinci

RECOGNIZING PLURALISM: ISLAM AND LIBERAL DEMOCRACY

RECOGNIZING PLURALISM: ISLAM AND LIBERAL DEMOCRACY Edisi 036, esember 2011 RECOGNIZING PLURALISM: ISLAM AN LIBERAL EMOCRACY Laith Kubba Islam dan emokrasi Liberal Review Paper oleh Ali Munhanif 1 Edisi 036, esember 2011 Sumber Paper: Laith Kubba, Recognizing

Lebih terperinci

Pancasila dan Implementasinya

Pancasila dan Implementasinya Modul ke: Pancasila dan Implementasinya Fakultas Rusmulyadi, M.Si. Program Studi www.mercubuana.ac.id Sejarah Lahirnya Pancasila Kata Pancasila pertama kali dapat ditemukan dalam buku Sutasoma karya Mpu

Lebih terperinci

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Bab IV Penutup A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Keberadaan Pasal 28 dan Pasal 28F UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari peristiwa diratifikasinya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 108

Lebih terperinci

Menguji Rasionalitas Publik

Menguji Rasionalitas Publik Menguji Rasionalitas Publik Masdar Hilmy ; Dosen UIN Sunan Ampel, Surabaya KOMPAS, 18 Juni 2014 KUALITAS demokrasi ditentukan, salah satunya, oleh kualitas pilihan warga negara dalam mengartikulasikan

Lebih terperinci

REGULASI PENYIARAN DI INDONESIA

REGULASI PENYIARAN DI INDONESIA REGULASI PENYIARAN DI INDONESIA Era Reformasi&Berakhirnya Era Orde Baru Proses disahkannya undang-undang penyiaran tersebut terjadi pada era pemerintahan Presiden Megawati. Tujuannya untuk menghasilkan

Lebih terperinci

Demokrasi Sebagai Kerangka Kerja Hak Asasi Manusia

Demokrasi Sebagai Kerangka Kerja Hak Asasi Manusia Demokrasi Sebagai Kerangka Kerja Hak Asasi Manusia Antonio Pradjasto Tanpa hak asasi berbagai lembaga demokrasi kehilangan substansi. Demokrasi menjadi sekedar prosedural. Jika kita melihat dengan sudut

Lebih terperinci

K168. Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168)

K168. Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) K168 Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) K168 - Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168) 2 K168 Konvensi

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI DEMOKRASI PADA PEMILIH PEMULA. (Studi Kasus Pada Pemilih Pemula di Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Kebak

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI DEMOKRASI PADA PEMILIH PEMULA. (Studi Kasus Pada Pemilih Pemula di Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Kebak IMPLEMENTASI NILAI-NILAI DEMOKRASI PADA PEMILIH PEMULA (Studi Kasus Pada Pemilih Pemula di Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Kebak Kecamatan Kebakkramat Kabupaten Karanganyar Tahun 2013) NASKAH PUBLIKASI

Lebih terperinci

PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA

PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA Modul ke: Fakultas FAKULTAS TEKNIK PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA ERA KEMERDEKAAN BAHAN TAYANG MODUL 3B SEMESTER GASAL 2016 RANI PURWANTI KEMALASARI SH.MH. Program Studi Teknik

Lebih terperinci

2015 KAJIAN PEMIKIRAN IR. SUKARNO TENTANG SOSIO-NASIONALISME & SOSIO-DEMOKRASI INDONESIA

2015 KAJIAN PEMIKIRAN IR. SUKARNO TENTANG SOSIO-NASIONALISME & SOSIO-DEMOKRASI INDONESIA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nasionalisme atau rasa kebangsaan tidak dapat dipisahkan dari sistem pemerintahan yang berlaku di sebuah negara. Nasionalisme akan tumbuh dari kesamaan cita-cita

Lebih terperinci

FIF 2315: FILSAFAT POLITIK SEMESTER GENAP 2014/2015 (18 Februari-18 Mei 2015) Kelas A: Senin. R.: B101, Waktu:

FIF 2315: FILSAFAT POLITIK SEMESTER GENAP 2014/2015 (18 Februari-18 Mei 2015) Kelas A: Senin. R.: B101, Waktu: FIF 2315: FILSAFAT POLITIK SEMESTER GENAP 2014/2015 (18 Februari-18 Mei 2015) Kelas A: Senin. R.: B101, Waktu: 07.30-09.10 Agus Wahyudi Kantor : R. 508, FISIPOL UGM Telepun : 901198 Email : awahyudi@ugm.ac.id

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI FALSAFAH BANGSA. NAMA : DEA ANGGENI. L NIM : KELOMPOK : BANGSA DOSEN : MOHAMAD IDRIS. P, Drs. MM

PANCASILA SEBAGAI FALSAFAH BANGSA. NAMA : DEA ANGGENI. L NIM : KELOMPOK : BANGSA DOSEN : MOHAMAD IDRIS. P, Drs. MM PANCASILA SEBAGAI FALSAFAH BANGSA NAMA : DEA ANGGENI. L NIM : 11.12. 5664 KELOMPOK : BANGSA DOSEN : MOHAMAD IDRIS. P, Drs. MM STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011 PANCASILA SEBAGAI FALSAFAH BANGSA BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. diajukan dalam rumusan masalah skripsi. Dalam rumusan masalah skripsi ini,

BAB V PENUTUP. diajukan dalam rumusan masalah skripsi. Dalam rumusan masalah skripsi ini, BAB V PENUTUP Pada bab V penulis menyimpulkan keseluruhan pembahasan dalam skripsi. Kesimpulan tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan penulis ajukan dalam pembatasan masalah. Disamping itu penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki Pancasila yang dikenal

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki Pancasila yang dikenal BAB I PENDAHULUAN Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki Pancasila yang dikenal menghargai keanekaragamaan budaya dan agama yang ada di dalamnya. Pancasila ini menjadi inti dari tindakan masyarakat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. yang sering dilakukan adalah dengan kriminalisasi melalui instrumen hukum.

BAB V KESIMPULAN. yang sering dilakukan adalah dengan kriminalisasi melalui instrumen hukum. 152 BAB V KESIMPULAN Ketidaksetujuan masyarakat terhadap kelompok keagamaan yang berbeda seringkali berujung pada upaya untuk mengeliminasi perbedaan tersebut, salah satu yang sering dilakukan adalah dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

SEKULARISASI DITINJAU KEMBALI 1

SEKULARISASI DITINJAU KEMBALI 1 SEKULARISASI DITINJAU KEMBALI 1 Oleh Nurcholish Madjid Pertama perlu ditegaskan bahwa saya membuat perbedaan prinsipal antara sekularisme dan sekularisasi. Sekularisme adalah suatu paham yang tertutup,

Lebih terperinci

REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA Fakultas Hukum Universitas Brawijaya BHINNEKA TUNGGAL IKA SEBAGAI SPIRIT KONSTITUSI Pasal 36A UUD 1945 menyatakan

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA STMIK AMIKOM YOGYAKARTA PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA STMIK AMIKOM YOGYAKARTA NAMA:ISWAHYUDI NIM :11.01.2828 KELOMPOK:B PROGRAM STUDI:PANCASILA JURUSAN:D3 TI DOSEN: IRTON, SE, M.SI 1. PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA 2. ABSTRAK

Lebih terperinci

Comparative Perspective: Pancasila dalam Konstruksi Demokrasitisasi Politik Indonesia 1

Comparative Perspective: Pancasila dalam Konstruksi Demokrasitisasi Politik Indonesia 1 Comparative Perspective: Pancasila dalam Konstruksi Demokrasitisasi Politik Indonesia 1 Oleh: CHANDRA DINATA, MPA. 2 Pendahuluan Dalam sejarahnya, Indonesia menjalani jalan terjal dalam mewujudkan cita-cita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari dua kata Yunani kuno yaitu demos dan cratein yang masingmasing

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari dua kata Yunani kuno yaitu demos dan cratein yang masingmasing BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demokrasi merupakan suatu bentuk tentang cara- cara penyelenggaraan kekuasaan pemerintah berdasarkan asas kedaulatan rakyat. Istilah demokrasi berasal dari dua

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diperlukan sikap keyakinan dan kepercayaan agar kesulitan yang kita alami. bisa membantu semua aspek dalam kehidupan kita.

I. PENDAHULUAN. diperlukan sikap keyakinan dan kepercayaan agar kesulitan yang kita alami. bisa membantu semua aspek dalam kehidupan kita. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepercayaan itu adalah kemauan seseorang atau sekelompok orang untuk mau memberi keyakinan pada seseorang yang ditujunya. Kepercayaan adalah suatu keadaan psikologis dimana

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Frankfurt. Para tokoh Mazhab Frankfurt generasi pertama terjebak dalam

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Frankfurt. Para tokoh Mazhab Frankfurt generasi pertama terjebak dalam BAB V BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Pemikiran-pemikiran Habermas merupakan sebuah ide pembaharuan atas kebuntuan berpikir yang dialami oleh para pendahulunya dalam Mazhab Frankfurt. Para tokoh

Lebih terperinci

PANCASILA & ISLAM. Di susun oleh : Dyah Ayu Wredhiningsih / A D3 Manajemen Informatika. Nama Dosen : Kalis Purwanto, Drs., MM.

PANCASILA & ISLAM. Di susun oleh : Dyah Ayu Wredhiningsih / A D3 Manajemen Informatika. Nama Dosen : Kalis Purwanto, Drs., MM. PANCASILA & ISLAM Di susun oleh : Dyah Ayu Wredhiningsih 11.02.7906 / A D3 Manajemen Informatika Nama Dosen : Kalis Purwanto, Drs., MM. PROGRAM STUDI D3 MANAJEMEN INFORMATIKA STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

Ringkasan Putusan.

Ringkasan Putusan. Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 tanggal 19 April 2010 atas Undang- Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan

Lebih terperinci

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA HUBUNGAN ANTAR AGAMA DI INDONESIA Dosen : Mohammad Idris.P, Drs, MM Nama : Dwi yuliani NIM : 11.12.5832 Kelompok : Nusa Jurusan : S1- SI 07 SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

Lebih terperinci

ETIKA POLITIK PANCASILA

ETIKA POLITIK PANCASILA ETIKA POLITIK PANCASILA Oleh: Dwi Yanto Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Ma arif Buntok, Kalimantan Tengah Abstrak Pengertian secara sederhana tentang Politik adalah, Suatu kegiatan untuk mencapai

Lebih terperinci

BAB 6 PENUTUP. Berebut kebenaran..., Abdil Mughis M, FISIP UI., Universitas Indonesia 118

BAB 6 PENUTUP. Berebut kebenaran..., Abdil Mughis M, FISIP UI., Universitas Indonesia 118 BAB 6 PENUTUP Bab ini menguraikan tiga pokok bahasan sebagai berikut. Pertama, menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian secara garis besar dan mengemukakan kesimpulan umum berdasarkan temuan lapangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bersifat material atau sosiologi, dan/atau juga unsur-unsur yang bersifat. Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghuchu.

BAB I PENDAHULUAN. yang bersifat material atau sosiologi, dan/atau juga unsur-unsur yang bersifat. Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghuchu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang terdiri dari beberapa macam suku, adat istiadat, dan juga agama. Kemajemukan bangsa Indonesia ini secara positif dapat

Lebih terperinci

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis

Lebih terperinci

PANCASILA: Akar Kemandirian Bangsa 1

PANCASILA: Akar Kemandirian Bangsa 1 PANCASILA: Akar Kemandirian Bangsa 1 Oleh: CHANDRA DINATA 2 Email: chand.dinata@gmail.com Sejarah panjang yang dilalui oleh bangsa Indonesia untuk mendapatkan pengakuan dunia, tak dapat dipungkiri bahwa

Lebih terperinci

Modul ke: MASYARAKAT MADANI. 13Fakultas FASILKOM. Salamah, SPd. MSi. Program Studi Teknik Informatika

Modul ke: MASYARAKAT MADANI. 13Fakultas FASILKOM. Salamah, SPd. MSi. Program Studi Teknik Informatika Modul ke: 13Fakultas Yayah FASILKOM MASYARAKAT MADANI Salamah, SPd. MSi. Program Studi Teknik Informatika Tujuan Instruksional Khusus 1. Menyebutkan pengertian dan latar belakang masyarakat madani 2. Menjelaskan

Lebih terperinci

Pertemuan ke-2 Sistem Perekonimian. Sumber : Presentasi Husnul Khatimah Laporan Bank Indonesia Buku Aris Budi Setyawan

Pertemuan ke-2 Sistem Perekonimian. Sumber : Presentasi Husnul Khatimah Laporan Bank Indonesia Buku Aris Budi Setyawan Pertemuan ke-2 Sistem Perekonimian Sumber : 2. Presentasi Husnul Khatimah 3. Laporan Bank Indonesia 4. Buku Aris Budi Setyawan Pengertian Sistem Ekonomi Menurut Dumairy (1996) Sistem ekonomi adalah suatu

Lebih terperinci

BAB II TELAAH PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

BAB II TELAAH PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI BAB II TELAAH PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Telaah Pustaka Berbagai penelitian menarik terkait jaminan kebebasan beragama, terutama hubungan aliran/kelompok kepercayaan maupun keagamaan dengan peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanada merupakan salah satu negara multikultur yang memiliki lebih

BAB I PENDAHULUAN. Kanada merupakan salah satu negara multikultur yang memiliki lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kanada merupakan salah satu negara multikultur yang memiliki lebih dari 200 kelompok etnis hidup bersama, dan lebih dari 40 kebudayaan terwakili di dalam media

Lebih terperinci

REFLEKSI TERHADAP MAKNA KEADILAN SEBAGAI FAIRNESS MENURUT JOHN RAWLS DALAM PERSPEKTIF KEINDONESIAAN

REFLEKSI TERHADAP MAKNA KEADILAN SEBAGAI FAIRNESS MENURUT JOHN RAWLS DALAM PERSPEKTIF KEINDONESIAAN RUANG KAJIAN REFLEKSI TERHADAP MAKNA KEADILAN SEBAGAI FAIRNESS MENURUT JOHN RAWLS DALAM PERSPEKTIF KEINDONESIAAN Fadhilah Abstrak Tujuan penulisan ini adalah untuk menambah referensi dan khasanah dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah sumber daya alam terpenting bagi bangsa Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Tanah adalah sumber daya alam terpenting bagi bangsa Indonesia untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bumi, air, ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikaruniakan

Lebih terperinci

STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

STMIK AMIKOM YOGYAKARTA Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara Disusun oleh: NAMA : HARI ANGGARA NIM : 11.12.5805 KELOMPOK STUDI JURUSAN DOSEN : H (HAK ASASI) : PANCASILA

Lebih terperinci

BAB II UNDANG-UNDANG DASAR NEGERA REPUBLIK INDONESIA Pasal 29 Ayat (2)

BAB II UNDANG-UNDANG DASAR NEGERA REPUBLIK INDONESIA Pasal 29 Ayat (2) BAB II UNDANG-UNDANG DASAR NEGERA REPUBLIK INDONESIA 1945 Pasal 29 Ayat (2) II.1. Pengantar Indonesia merupakan negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan modren adalah negara yang pembentukannya didasarkan

Lebih terperinci

Sambutan Presiden RI pd acara Buka Bersama di Kediaman Ketua DPD RI, tgl.24 Juli 2013, di Jakarta Rabu, 24 Juli 2013

Sambutan Presiden RI pd acara Buka Bersama di Kediaman Ketua DPD RI, tgl.24 Juli 2013, di Jakarta Rabu, 24 Juli 2013 Sambutan Presiden RI pd acara Buka Bersama di Kediaman Ketua DPD RI, tgl.24 Juli 2013, di Jakarta Rabu, 24 Juli 2013 SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA BUKA PUASA BERSAMA DI KEDIAMAN KETUA DPD RI

Lebih terperinci

BAB 1 PENGANTAR Latar Belakang. demokrasi sangat tergantung pada hidup dan berkembangnya partai politik. Partai politik

BAB 1 PENGANTAR Latar Belakang. demokrasi sangat tergantung pada hidup dan berkembangnya partai politik. Partai politik BAB 1 PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Partai politik merupakan sebuah institusi yang mutlak diperlukan dalam dunia demokrasi, apabila sudah memilih sistem demokrasi dalam mengatur kehidupan berbangsa dan

Lebih terperinci

PENERAPAN DEMOKRASI PANCASILA

PENERAPAN DEMOKRASI PANCASILA PENERAPAN DEMOKRASI PANCASILA Untuk memenuhi Salah Satu Syarat Mata Kuliah Pendidikan Pancasila Disusun oleh Nama : Asilka Islamey Nim : 11.11.5124 Kelompok : D Jurusan Dosen : S1-TI : Drs. Tahajudin Sudibyo

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HAK-HAK MINORITAS DAN DEMOKRASI

PERLINDUNGAN HAK-HAK MINORITAS DAN DEMOKRASI PERLINDUNGAN HAK-HAK MINORITAS DAN DEMOKRASI Antonio Prajasto Roichatul Aswidah Indonesia telah mengalami proses demokrasi lebih dari satu dekade terhitung sejak mundurnya Soeharto pada 1998. Kebebasan

Lebih terperinci

KISI-KISI PENILAIAN AKHIR SEMESTER (PAS) GANJIL MADRASAH TSANAWIYAH KOTA SERANG TAHUN PELAJARAN 2017/2018. Proses perumusan dan. penetapan Pancasila

KISI-KISI PENILAIAN AKHIR SEMESTER (PAS) GANJIL MADRASAH TSANAWIYAH KOTA SERANG TAHUN PELAJARAN 2017/2018. Proses perumusan dan. penetapan Pancasila KISI-KISI PENILAIAN AKHIR SEMESTER (PAS) GANJIL MADRASAH TSANAWIYAH KOTA SERANG TAHUN PELAJARAN 2017/2018 SEKOLAH MATA PELAJAARAN KELAS/SEMESTER : MTs Kota Serang : Pendidikan Kewarganegaraan : VII/Ganjil

Lebih terperinci

A. Latar Belakang. B. rumusan masalah

A. Latar Belakang. B. rumusan masalah ABSTRAKSI Mempelajari Pancasila sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia adalah kewajiban moral seluruh warga negara Indonesia. Pancasila yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berada di tangan rakyat. Dalam sistem demokrasi, hak-hak asasi manusia

I. PENDAHULUAN. berada di tangan rakyat. Dalam sistem demokrasi, hak-hak asasi manusia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, dimana kedaulatan rakyat diakui, sehingga kekuatan tertinggi berada di tangan rakyat. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan mempromosikan ide politik dalam tulisan-tulisan etika dan politik. Dia yakin

BAB I PENDAHULUAN. dan mempromosikan ide politik dalam tulisan-tulisan etika dan politik. Dia yakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Aristoteles merupakan salah seorang filsuf klasik yang mengembangkan dan mempromosikan ide politik dalam tulisan-tulisan etika dan politik. Dia yakin bahwa politik

Lebih terperinci

Makalah Pendidikan Pancasila

Makalah Pendidikan Pancasila Makalah Pendidikan Pancasila PANCASILA MELAWAN AGAMA STMIK AMIKOM YOGYAKARTA Di susun oleh : Nama : Anggita Dwi Chrisyana No : 11.12.6279 Jurusan : S1-Sistem Informasi FAKULTAS S1 SISTEM INFORMASI STMIK

Lebih terperinci

Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia

Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia Penyelenggaraan otonomi daerah yang kurang dapat dipahami dalam hal pembagian kewenangan antara urusan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah

Lebih terperinci