KASUS INFEKSI CACING PARASIT PADA RUSA TOTOL (Axis axis) DI KAWASAN WISATA ALAM KAMPUNG BATU MALAKASARI KABUPATEN BANDUNG NOVITA SEPTIA LINGGA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KASUS INFEKSI CACING PARASIT PADA RUSA TOTOL (Axis axis) DI KAWASAN WISATA ALAM KAMPUNG BATU MALAKASARI KABUPATEN BANDUNG NOVITA SEPTIA LINGGA"

Transkripsi

1 KASUS INFEKSI CACING PARASIT PADA RUSA TOTOL (Axis axis) DI KAWASAN WISATA ALAM KAMPUNG BATU MALAKASARI KABUPATEN BANDUNG NOVITA SEPTIA LINGGA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kasus Infeksi Cacing Parasit pada Rusa Totol (Axis axis) di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2015 Novita Septia Lingga NIM B

4

5 ABSTRAK NOVITA SEPTIA LINGGA. Kasus Infeksi Cacing Parasit pada Rusa Totol (Axis axis) di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA. Rusa totol (Axis axis) termasuk kedalam satwa liar yang dilindungi di Indonesia. Upaya pelestarian rusa totol perlu dilakukan dengan memperhatikan kesehatan hewan tersebut. Penelitian ini dirancang untuk mempelajari prevalensi dan derajat infeksi cacing parasitik pada rusa totol di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung. Sampel feses diambil dua kali dalam setahun pada musim kemarau (19 ekor) dan musim hujan (20 ekor) untuk pemeriksaan mikroskopik menggunakan metode McMaster dan metode filtrasi bertingkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 19 ekor rusa yang diperiksa pada musim kemarau, sebanyak 11 ekor rusa (57.89%) menderita kecacingan yang disebabkan oleh Toxocara vitulorum dan/atau Fasciola sp. Dua ekor rusa (10.53%) terinfeksi T. vitulorum dalam bentuk infeksi tunggal maupun campuran dengan Fasciola sp. Sebanyak 10 ekor rusa (52.63%) menderita fasciolosis akibat infeksi tunggal Fasciola sp. (9 ekor) maupun campuran dengan T. vitulorum (1 ekor). Kecacingan pada musim hujan disebabkan oleh infeksi Fasciola sp. yang ditemukan pada 5 ekor rusa (25%). Rataan jumlah telur per gram tinja (TTGT) Fasciola sp. pada musim kemarau sebanyak 0.70±0.35 dan musim hujan 1.30±1.79. Rataan jumlah telur Toxocara sp. pada musim kemarau sebanyak ± Tingkat prevalensi Fasciola sp. tertinggi ditemukan pada rusa totol betina di musim kemarau (60%) dan musim hujan (27.3%), sedangkan tingkat prevalensi Toxocara sp. tertinggi ditemukan pada rusa totol jantan (11.1%) di musim kemarau. Infeksi cacing pada rusa totol di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung termasuk dalam kategori infeksi ringan. Kata kunci: Axis axis, Fasciola sp., Toxocara sp., Prevalensi, Derajat Infeksi

6 ABSTRACT NOVITA SEPTIA LINGGA. Helminth Infection in Spotted Deer (Axis axis) in Kampung Batu Malakasari Natural Tourism Park Bandung Regency. Supervised by FADJAR SATRIJA. Spotted deer (Axis axis) belongs to the wildlife in Indonesia. Spotted deer conservation efforts need to be done with due regard to the health of the animal. This study was designed to study the prevalence and degree of parasitic worm infection in the spotted deer in the area of Kampung Batu Malakasari Nature Tourism Bandung regency. Stool samples were taken twice a year during the dry season (19 animals) and the rainy season (20 animals) for microscopic examination using McMaster and DBL methods. During dry season, helminthosis was found in 11 deer (57.89%) due to Toxocara vitulorum and/or Fasciola sp. infection. T. vitulorum infection in the form of single or mixed infection with Fasciola sp. was found in two deer (10.53%). Ten deer (52.63%) suffered from fasciolosis due to single (9 deer) or mixed Fasciola sp.-t. vitulorum infection (1 deer). Helminthosis in the rainy season due to Fasciola sp. infections were found in 5-tailed deer (25%). Mean number of Fasciola sp. eggs per gram fecal sample (EPG) in the dry season were 0.70±0.35 and 1.30±1.79 during rainy and dry season, respectively. Mean number of Toxocara sp. eggs in the dry season was ±70.71 EPG. The prevalence rate of Fasciola sp. the highest was found in female spotted deer in the dry season (60%) and the rainy season (27.3%), while the prevalence rate of Toxocara sp. the highest was found in male spotted deer (11.1%) in the dry season. Helminth infections in the spotted deer is categorized as mild infection. Keywords: Axis axis, Fasciola sp., Toxocara sp., Prevalence, Intensity of Infection

7 KASUS INFEKSI CACING PARASIT PADA RUSA TOTOL (Axis axis) DI KAWASAN WISATA ALAM KAMPUNG BATU MALAKASARI KABUPATEN BANDUNG NOVITA SEPTIA LINGGA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

8

9

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 ini ialah infeksi cacing parasit. Judul yang dipilih untuk tema tersebut adalah Kasus Infeksi Cacing Parasit pada Rusa Totol (Axis axis) di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung. Terima kasih penulis ucapkan kepada Drh Fadjar Satrija MSc PhD selaku pembimbing skripsi, Dr Ir Etih Sudarnika MSi sebagai pembimbing akademik, serta Dr Drh Sri Murtini Msi yang selalu memberikan motivasi. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ugun, Bapak Ilham dan Bapak Beni dari kawasan wisata alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung yang telah membantu selama pengumpulan data, serta Bapak Sulaiman beserta staf laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor yang telah membantu selama pengamatan dan pelaksanaan di laboratorium. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Anambas dan Badan Kepegawaian Daerah atas partisipasinya, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya terutama Ayah, Ibu, Dwi Hariyanto serta adik-adik yang selalu memberikan semangat dan motivasinya. Rasa terima kasih ini juga penulis sampaikan kepada Hasna yang membantu sejak awal pengambilan data, rekan seperjuangan BUD Kabupaten Anambas, Nia, Delin, Atun, Jefy, Vina, Nurrul, Umi serta teman-teman FKH 48 yang selalu siap sedia membantu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Oktober 2015 Novita Septia Lingga

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 1 Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Klasifikasi 2 Morfologi 2 Pakan 3 Helminthosis 3 METODE 4 Waktu dan Tempat Penelitian 4 Rancangan Penelitian 5 Teknik Parasitologi 5 Data Cuaca 5 Analisis Data 6 HASIL DAN PEMBAHASAN 6 Manajemen Pemeliharaan Rusa Totol (Axis axis) 6 Kondisi curah hujan di Kawasan Wisata Alam 6 Infeksi Cacing pada Rusa Totol 7 Temuan Telur Cacing Gastrointestinal dan Cacing Hati 7 Tingkat Prevalensi dan Derajat Infeksi Cacing pada Rusa Totol 8 Tingkat Prevalensi Berdasarkan Jenis Kelamin 10 Pengendalian Helminthosis 11 SIMPULAN DAN SARAN 12 Simpulan 12 Saran 12 DAFTAR PUSTAKA 12 RIWAYAT HIDUP 15

12 DAFTAR TABEL 1 Tingkat prevalensi dan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) 9 2 Prevalensi (%) infeksi Fasciola sp. dan Toxocara sp. berdasarkan jenis kelamin 10 DAFTAR GAMBAR 1 Jumlah curah hujan di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung 7 2 Telur cacing yang ditemukan pada rusa totol 7

13 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang memiliki keanekaragaman hayati termasuk satwa liarnya, salah satunya adalah rusa. Rusa merupakan salah satu satwa liar Indonesia yang belum dimanfaatkan secara optimal. Sejak tahun 1931, rusa termasuk hewan yang dilindungi Undang-Undang Perlindungan Binatang Liar No. 134 dan 260, akan tetapi masih banyak masyarakat yang menangkap dan memeliharanya dengan bebas. Pemerintah berusaha menghindari kepunahan rusa ini melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, memasukkan rusa sebagai satwa langka yang perlu dilindungi. Rusa termasuk dalam kategori satwa harapan sehingga mempunyai peluang pengembangan yang intensif. Istilah satwa harapan memiliki arti sebagai hewan yang mempunyai potensi produksi daging tinggi yang dimanfaatkan dalam rangka diversifikasi sumber protein hewani baru. Oleh sebab itu, Kementerian Pertanian dengan SK Menteri Pertanian No. 362/Kpts/TN Tahun 1990, menggolongkan rusa ke dalam kelompok aneka ternak yang dapat dibudidayakan sebagaimana ternak lainnya (Semiadi 1996). Rusa totol (Axis axis) merupakan jenis rusa yang didatangkan dari India untuk dipelihara di Istana Bogor oleh Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stanford Raffles sekitar tahun Perkembangbiakan rusa yang cepat mendorong penyaluran rusa totol ini ke lokasi lain untuk menghindari terjadinya kelebihan populasi yang sesuai dengan daya dukung hijauan yang tersedia di halaman Istana Bogor (Garsetiasih dan Herlina 2005). Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung merupakan salah satu penerima rusa totol yang disalurkan dari Istana Kepresidenan Bogor. Rusa totol seperti ruminansia lainnya, bisa terinfeksi berbagai macam penyakit diantaranya disebabkan oleh cacing parasit seperti yang pernah ditemukan pada rusa totol di Istana Bogor (Pribadi 1991). Kejadian infeksi cacing dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya iklim, umur inang dan manajemen pemeliharaan hewan (Hansen dan Perry 1994). Berdasarkan pertimbangan tersebut perlu dipelajari kejadian infeksi rusa totol di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung yang menjadi habitat baru dari rusa totol. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat kejadian dan derajat infeksi cacing parasit pada rusa totol (Axis axis) di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung.

14 2 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keragaman jenis, tingkat prevalensi dan derajat infeksi cacing pada rusa totol serta cara perawatan kesehatan yang akan digunakan untuk upaya pengendalian penyakit parasitik yang efektif. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Taksonomi rusa totol (Axis axis) menurut Jacoeb dan Wiryosuhanto (1994) termasuk dalam Filum Chordata, Sub filum Vertebrata, Kelas Mamalia, Ordo Artiodactyla, Sub ordo ruminansia, famili Cervidae, sub famili Cervinae, genus Axis, spesies Axis axis. Hewan ini memiliki nama lokal rusa totol, uncal (Sunda), atau chital (India). Genus Axis terbagi menjadi lima spesies, yaitu Axis axis terdapat di India dan Cylon, Axis porcinus calamianensis terdapat di pulau Calamian bagian barat Filipina, Axis porcinus kuhli terdapat di pulau Baween, Axis porcinus porcinus terdapat di daerah bagian utara India, dan Axis porcinus annamiticus terdapat di daerah bagian selatan India (Grzimek 1972). Morfologi Rusa totol yang baru lahir mempunyai totol putih, warna dasar cokelat, warna bulu cokelat terang, ekor berambut sikat dengan warna cokelat pada bagian atas dari pangkal ekornya, dan leher berwarna putih (Jacoeb dan Wiryosuhanto 1994). Penampilan rusa totol (Axis axis) memiliki kepala yang pendek, memiliki senjata di kepalanya, kaki yang panjang, tubuh yang panjang, dan memiliki ekor yang panjang. Daerah punggung memiliki garis gelap yang membujur dari kepala sampai dengan pangkal ekor. Daerah dada terdapat bintik-bintik yang menyerupai garis putih, biasanya satu atau dua deretan bintik-bintik (Grzimek 1972). Rusa mempunyai ukuran badan yang berbeda antar spesiesnya, ukuran jantan lebih besar daripada betina. Menurut Semiadi (1998), berat jantan kg dengan tinggi gumba 90 cm, berat betina kg dengan tinggi gumba 80 cm, dan berat lahir 3.5 kg. Anatomi rusa yang khas dan unik adalah tanduknya (antler) yang biasa disebut ranggah. Tanduk ini merupakan alat pertahanan yang dibentuk dari jaringan tulang, mempunyai percabangan yang diawali dari bungkul kepala, dan tumbuh hanya pada rusa jantan. Pertumbuhan ranggah tersebut memerlukan waktu selama empat bulan dan mencapai kesempurnaan setelah umur bulan. Tanduk rusa totol mencapai sempurna dengan percabangan tiga cabang (Jacoeb dan Wiryosuhanto 1994).

15 3 Pakan Rusa termasuk satwa liar yang sifat pertumbuhannya musiman, artinya pertumbuhan meningkat pada musim hujan, sedangkan pertumbuhan cenderung menurun pada musim kemarau dikarenakan hijauan menurun baik kualitas, kuantitas maupun kontinuitasnya (Takandjandji 1993). Kualitas dan kuantitas pakan rusa harus diperhatikan karena pakan merupakan faktor pembatas dan seringkali menjadi kendala dalam penangkaran (Kwatrina et al. 2011). Kebutuhan pakan bagi tiap jenis satwa berbeda-beda sesuai jenis, umur, bobot badan, keadaan fisiologis dan lingkungannya. Rusa memiliki tingkat kesukaan atau palatabilitas berbeda dari jenis-jenis hijauan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi palatabilitas yaitu umur hijauan, intensitas penggembalaan, kecepatan pemulihan (recovery), ketahanan terhadap kekeringan, makanan yang diberikan sebelumnya dan perbedaan-perbedaan individual satwa (Aziz 1996). Selain makanan yang mengandung karbohidrat, protein, lemak dan air rusa juga membutuhkan mineral. Menurut Semiadi (1998) mineral berfungsi sebagai pembentuk tulang, gigi, rambut, kuku dan ranggah, pembentukkan jaringan lunak dan sel darah, penyeimbang tekanan osmosis cairan tubuh, pembentukan enzim, hormon dan bagian komponen vitamin. Helminthosis Helminthosis atau kecacingan merupakan salah satu penyakit yang sering menyerang hewan ternak sehingga dapat mempengaruhi produktivitasnya. Meskipun jarang menimbulkan kematian ternak, morbiditas kecacingan yang tinggi menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Kerugian yang dapat ditimbulkan akibat infeksi cacing pada ternak diantaranya adalah pertumbuhan yang tidak optimal, penurunan berat badan, reduksi laju konversi pakan, penurunan produksi susu, penurunan daya tahan tubuh, penurunan daya reproduksi, penurunan mutu karkas, pengafkiran organ yang terinfeksi, hingga mengurangi nilai estetika penampilan hewan (Winarso et al. 2015). Infeksi cacing pada ternak disebabkan oleh tiga jenis cacing yaitu Cestoda, Nematoda dan Trematoda. Cestoda atau cacing pita termasuk dalam filum platyhelminthes. Cestoda memiliki bentuk pipih dorso-ventral, tidak memiliki rongga tubuh dan umumnya hermafrodit. Cestoda yang menyerang sapi satu diantaranya adalah Moniezia sp. Moniezia sp. ditemukan didalam usus halus sapi, domba dan kambing (Bowman 2014). Cacing Nematoda termasuk dalam filum nemathelminthes. Secara umum, cacing ini memiliki ukuran yang berbeda-beda mulai dari 2 cm sampai 1 meter dengan bentuk bulat panjang seperti benang, tidak bersegmen dan kulit dilapisi kutikula (Natadisastra dan Agoes 2009). Cacing Nematoda yang umum ditemukan pada ruminansia terutama sapi adalah Toxocara vitulorum. T. vitulorum menyerang sapi dan kerbau (pedet atau kerbau yang berumur di bawah 6 bulan). Infeksi paten Toxocara sp. umumnya terjadi pada hewan-hewan yang masih muda dan sangat jarang ditemukan pada hewan-hewan dewasa (Estuningsih 2005). Sapi dewasa apabila menelan telur T. vitulorum yang infektif, larva yang menetas akan bermigrasi ke organ tubuh dan tidak mengalami perkembangan lebih lanjut

16 4 (dorman). Induk betina yang terinfeksi telur T. vitulorum, larva kedua (L2) tidak berkembang menjadi larva ketiga (L3) tetapi akan tetap tinggal di dalam jaringan (arrested larva). Larva ketiga akan terinduksi saat betina bunting pada trimester ke-3 umur kebuntingan. Larva yang berdiam di organ atau jaringan tubuh akan aktif kembali dan bermigrasi ke ambing, anak sapi yang dilahirkan akan terinfeksi melalui air susu (transmamary infection). Larva yang aktif tersebut juga bermigrasi ke plasenta dan bisa menginfeksi fetus yang masih dalam kandungan induknya (transplacental infection). Pedet yang terinfeksi larva T. vitulorum, larva tersebut akan tetap tinggal di usus halus sampai berkembang menjadi cacing dewasa (Hansen dan Perry 1994). Sapi yang terinfeksi T. vitulorum dapat mengalami pneumonia akibat adanya migrasi larva ke paru-paru, serta toksemia apabila infeksinya berat (Estuningsih 2005). Cacing Trematoda termasuk dalam filum platyhelminthes. Cacing ini memiliki bentuk pipih, tidak memiliki rongga tubuh, tidak bersegmen. Cacing Trematoda yang sering menginfeksi sapi satu diantaranya adalah Fasciola sp. Kelangsungan hidup serta penyebaran Fasciola sp. tergantung pada kehadiran siput (Lymnea rubiginosa) sebagai induk semang antara. Sapi dapat terinfeksi cacing hati apabila meminum air atau memakan rumput yang tercemar metaserkaria (Corwin dan Randle 1993). Metaserkaria merupakan bentuk infektif dari Fasciola sp. Telur cacing diproduksi oleh cacing dewasa dan dikeluarkan bersama feses. Telur yang menetas mengeluarkan mirasidium pada kondisi lingkungan yang cocok. Mirasidium akan bergerak menembus tubuh siput, kemudian berkembang menjadi sporokista dalam waktu 24 jam. Sporokista akan berkembang menjadi redia dalam waktu 8 hari. Redia menjadi serkaria yang memiliki ekor untuk bergerak, kemudian keluar dari tubuh siput dan menempel pada tumbuhan yang terendam air, seperti padi dan rumput. Serkaria melepaskan ekor dan membentuk kista yang disebut metaserkaria. Saat metaserkaria yang termakan oleh sapi mencapai usus, metaserkaria tersebut akan keluar dari kista dan menembus dinding usus menuju ke hati. Metaserkaria akan tumbuh menjadi dewasa dan memproduksi telur dalam waktu 16 minggu. Sapi yang mengalami fasciolosis akut akan mengalami konstipasi, diare, lemah dan anemia, sedangkan sapi yang mengalami fasciolosis kronis akan mengalami penurunan produktivitas. Sapi yang terinfeksi Fasciola sp. juga mengalami udema di sekitar rahang bawah (bottle jaw) (Martindah et al. 2005). METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari September 2014 hingga April Pengambilan sampel feses dan data sekunder dilakukan di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung. Pengamatan dan identifikasi terhadap jenis telur cacing dilakukan di Laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

17 5 Rancangan Penelitian Pengambilan sampel feses dari semua rusa yang ada di Kawasan Wisata Alam dilakukan dua kali yaitu pada bulan September 2014 (musim kemarau) dan April 2015 (musim hujan). Pada musim kemarau sampel feses yang diambil sebanyak 19 ekor terdiri atas 10 ekor betina dan 9 ekor jantan. Musim hujan sampel yang diambil sebanyak 20 ekor terdiri atas 11 ekor betina dan 9 ekor jantan. Sampel feses dianalisis laboratorik secara kuantitatif untuk mengidentifikasi jenis telur serta menghitung persentase dan derajat infeksi cacing. Semua rusa totol diobati dengan Albendazol per oral pada bulan November Teknik Parasitologi Pengambilan Sampel Feses dikoleksi dengan mengenakan sarung tangan dan menggunakan sendok plastik, lalu dimasukkan ke dalam kantung plastik. Plastik diberi keterangan berupa nomor identifikasi dan tanggal, kemudian langsung dimasukkan kedalam coolbox. Metode McMaster (Permin dan Hansen 1998) Pemeriksaan kuantitatif dilakukan untuk mengetahui jumlah telur Nematoda dan Cestoda tiap gram tinja serta menghitung derajat infeksi cacing pada rusa totol. Sampel feses ditimbang sebanyak dua gram, kemudian dicampurkan dengan 58 ml larutan gula-garam ke dalam gelas plastik, lalu diaduk hingga homogen. Campuran disaring menggunakan saringan 30 mesh sebanyak tiga kali, kemudian dihomogenkan kembali. Larutan yang telah dihomogenkan diambil dengan pipet lalu dimasukkan ke dalam kedua sisi kamar hitung McMaster hingga penuh dan ditunggu selama 5 menit. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan di bawah mikroskop untuk mengidentifikasi dan menghitung jumlah telur cacing. Telur tiap gram tinja (TTGT) diperoleh dengan mengalikan jumlah tiap tipe telur yang ditemukan dengan 100. Metode Filtrasi Bertingkat/DBL (Willingham et al. 1998) Metode ini dilakukan untuk mengisolasi dan menghitung jumlah telur Trematoda (TTGT). Sampel feses ditimbang sebanyak dua gram, kemudian dicampurkan dengan 50 ml aquades ke dalam gelas dan diaduk hingga homogen. Larutan tersebut disaring menggunakan saringan 30 mesh. Setelah itu, sampel disaring menggunakan filter dengan ukuran 400 µm, 100 µm, dan 45 µm. Filtrat hasil penyaringan diperiksa di bawah mikroskop setelah ditetesi dengan larutan methylene blue untuk membedakan telur Fasciola sp. dan Paramphistomum sp. Data Cuaca Data cuaca merupakan data sekunder yang didapatkan dari Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor. Data tersebut merupakan hasil pemantauan curah hujan bulanan selama tahun 2014 dan curah

18 6 hujan April-Juni 2015 dari Stasiun Klimatologi Cemara/Sukajadi-Bandung yang merupakan stasiun terdekat dari lokasi penelitian. Analisis Data Prevalensi infeksi dari setiap parasit dihitung pada setiap waktu pengambilan sampel. Derajat infeksi dihitung dengan melihat rataan TTGT dari setiap jenis parasit. Analisis data dilakukan dengan uji Duncan menggunakan software SPSS 18.0 untuk mengetahui perbedaan tingkat prevalensi fasciolosis dan toxocariasis berdasarkan jenis kelamin. HASIL DAN PEMBAHASAN Manajemen Pemeliharaan Rusa Totol (Axis axis) di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung Pemeliharaan rusa totol (Axis axis) di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung menggunakan sistem kandang umbaran, yaitu rusa dipelihara di dalam kandang yang luas sehingga dapat bergerak bebas. Luas areal secara keseluruhan yaitu 63 m x 29 m. Rusa totol dipelihara secara intensif (dikandangkan terus menerus). Pemeliharaan secara intensif dapat menurunkan kemungkinan terjadinya infeksi cacing karena pakan diberikan secara teratur di dalam kandang. Pemberian pakan dilakukan sebanyak 3 kali sehari, pakan yang diberikan berupa rumput dan ubi jalar. Rumput diberikan pada pagi dan sore hari, sedangkan ubi jalar diberikan pada siang hari. Sumber rumput diperoleh dari tiga tempat yaitu, kebun di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari, kebun sekitar pabrik Ranca Bungur, dan lapangan bola. Kondisi Curah Hujan di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung Jumlah curah hujan di Kawasan Wisata Alam tahun disajikan pada Gambar 1. Data BMKG (2014) menunjukkan curah hujan pada bulan September 2014 sebesar 0.6 mm dan bulan April 2015 sebesar 225 mm (Gambar 1). Musim kemarau ditandai dengan rendahnya jumlah curah hujan yaitu dibawah 100 mm (BMKG 2014). Dengan demikian pada bulan September 2014 merupakan musim kemarau, sedangkan bulan April 2015 termasuk musim hujan. Berdasarkan data curah hujan maka pengambilan sampel dilakukan sesuai dengan kedua musim yang ada.

19 Gambar 1 Jumlah curah hujan di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung 7 Curah Hujan (mm) (BMKG 2014) Infeksi Cacing pada Rusa Totol Temuan Telur Cacing Gastrointestinal dan Cacing Hati Hasil identifikasi telur cacing yang ditemukan dalam sampel feses menunjukkan rusa totol di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung terinfeksi cacing Nematoda dari genus Toxocara serta Trematoda dari genus Fasciola. Telur dari genus Toxocara hanya ditemukan pada rusa totol di musim kemarau, sedangkan telur dari genus Fasciola ditemukan pada rusa totol di musim kemarau maupun musim hujan. Jenis-jenis telur cacing yang ditemukan dari hasil pengamatan disajikan pada Gambar 2. Gambar 2 Telur cacing yang ditemukan pada rusa totol Genus Toxocara sp. Gambar (Pengamatan) (Perbesaran: 40x10) Gambar (Literatur) Fasciola sp. (Tavassoli et al. 2008) (Purwanta et al. 2009)

20 8 Toxocara sp. merupakan jenis cacing yang umum menginfeksi hewan. Spesies yang menyerang sapi dan kerbau (pedet atau kerbau yang berumur di bawah 6 bulan) adalah Toxocara vitulorum. Telur cacing ini berbentuk bulat, berwarna cokelat, berdinding cukup tebal dan memiliki ukuran telur sekitar x µm (Tavassoli et al. 2008). Jenis telur yang ditemukan pada pengamatan memiliki tipe yang sama dengan genus Toxocara, terlihat memiliki dinding sel yang cukup tebal berbentuk bulat dan berwarna cokelat. Telur dari genus Fasciola berwarna emas, memiliki operkulum pada salah satu kutubnya (Purwanta et al. 2009). Fasciola sp. merupakan jenis parasit yang paling banyak menyerang ruminansia terutama sapi Bali. Jenis Fasciola yang menyerang sapi, kerbau, domba, kambing, dan ruminansia lainnya adalah Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica (Guntoro 2002). Pemeriksaan sampel feses dari rusa totol di halaman Istana Kepresidenan Bogor pernah dilakukan oleh Pribadi (1991). Jenis telur cacing yang ditemukan dalam penelitian tersebut adalah Haemonchus sp., Cooperia sp., Strongylus sp. dan Gongylonema sp. (Nematoda), Moniezia sp. (Cestoda), serta Fasciola sp. (Trematoda). Tingkat Prevalensi dan Derajat Infeksi Cacing pada Rusa Totol Hasil pemeriksaan feses menunjukkan rusa totol di kawasan wisata alam Kampung Batu Malakasari terinfeksi cacing Nematoda dan Trematoda. Jenis cacing Nematoda yang ditemukan adalah Toxocara vitulorum, dan jenis cacing Trematoda yang ditemukan adalah Fasciola sp. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 19 ekor rusa yang diperiksa pada musim kemarau, sebanyak 11 ekor rusa (57.89%) menderita kecacingan yang disebabkan oleh Toxocara vitulorum dan/atau Fasciola sp. Dua ekor rusa (10.53%) terinfeksi T.vitulorum dalam bentuk infeksi tunggal maupun campuran dengan Fasciola sp. Sebanyak 10 ekor rusa (52.63%) menderita fasciolosis akibat infeksi tunggal Fasciola sp. (9 ekor) maupun campuran dengan T. vitulorum (1 ekor). Dari sebanyak 20 sampel feses musim hujan ditemukan telur Fasciola sp. pada 5 sampel (25%) (Tabel 1). Prevalensi infeksi Fasciola sp. pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan pada musim hujan. Hal ini dimungkinkan karena pemberian anthelmintik yang diberikan sebelum pengambilan sampel pada musim hujan. Sayuti (2007) melaporkan bahwa persentase kasus positif cenderung lebih tinggi pada musim hujan, meskipun perbedaannya tidak signifikan antara infeksi fasciolosis pada musim hujan dan musim kemarau. Kelangsungan hidup serta penyebaran Fasciola sp. tergantung pada kehadiran siput (Lymnea rubiginosa) sebagai induk semang antara. Siput Lymnea rubiginosa yang biasanya hidup di sawah tidak tahan kekeringan dan akan mati apabila tidak menemukan tempat yang berair (Kusumamiharja 1992). Tingkat prevalensi penyebaran cacing hati (Fasciola sp.) pada ternak masih menunjukkan angka yang tinggi, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Prevalensi pada ruminansia diperkirakan berkisar hingga 90% di beberapa Negara, misalnya Indonesia mencapai 80-90%, Kamboja 85.2%, Wales 86%, Tunisia 68.4% dan Vietnam 30-90% (Nguyen 2012). Infeksi Toxocara sp. pada rusa hanya terjadi pada musim kemarau dengan prevalensi sebesar 10.53%. Hal ini berkaitan dengan anthelmintik yang diberikan

21 pada rusa. Anthelmintik mampu mengurangi kejadian penyakit pada rusa di musim hujan. Jenis cacing yang umum ditemukan pada ruminansia terutama sapi adalah Toxocara vitulorum. Infeksi paten Toxocara sp. umumnya terjadi pada hewanhewan yang masih muda dan sangat jarang ditemukan pada hewan-hewan dewasa (Estuningsih 2005). Pedet dapat terinfeksi T. vitulorum apabila menelan larva dari air susu yang terinfeksi bukan menelan telur T. vitulorum dari lingkungan, dan melalui infeksi prenatal (transplacental infection) (Mia et al. 1975). Toxocarosis pada sapi dilaporkan di Indonesia dengan prevalensi berkisar 21.33%-36.4% (Agustina et al. 2013). Tabel 1 Tingkat prevalensi dan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) 9 Musim Kemarau Hujan Jumlah Jumlah Rusa Prevalensi Jenis Cacing TTGT Sampel Terinfeksi (%) Fasciola sp ± Toxocara sp ±70.71 Fasciola sp ± Toxocara sp Hasil pemeriksaan feses menunjukkan rusa totol pada musim kemarau dan hujan terinfeksi cacing Trematoda dengan kategori infeksi ringan, dengan jumlah TTGT Fasciola sp. musim kemarau 0.70±0.35 dan musim hujan 1.30±1.79 (Tabel 1). Menurut Thienpont et al. (1995), berdasarkan keterangan standar infeksi maka derajat infeksi dapat dibedakan yaitu infeksi ringan jika jumlah telur butir per gram tinja, infeksi sedang ditunjukkan jika jumlah telur butir per gram tinja, dan infeksi berat ditunjukkan juka telur yang dihasilkan >5000 butir per gram tinja. Pada musim hujan, jumlah rusa yang terinfeksi menurun, tetapi pada pemeriksaan feses ada rusa yang jumlah telur cacingnya meningkat sehingga menyebabkan peningkatan jumlah TTGT. Rusa totol juga terinfeksi cacing Nematoda pada musim kemarau dengan kategori infeksi ringan, dengan rataan jumlah TTGT Toxocara sp ±70.71 (Tabel 1). Menurut Akhtar et al. (1982) infeksi Toxocara sp. digolongkan menjadi 3 yaitu infeksi ringan jika jumlah TTGT <5000, infeksi sedang jika jumlah TTGT , dan infeksi berat jika jumlah TTGT > Menurut Tantri et al. (2013), kisaran infeksi ringan atau rendah umumnya tidak mengganggu kesehatan namun mempengaruhi produktivitas ternak. Infeksi Fasciola sp. pada rusa berkaitan dengan rumput maupun air minum yang tercemar oleh metaserkaria dan keberadaan inang antara yaitu siput Lymnea rubiginosa. Infeksi Toxocara sp. berkaitan dengan pemeliharaan secara intensif, terutama pemberian pakan. Pakan yang diberikan pada rusa totol di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari umumnya berupa rumput. Pemberian rumput pada rusa totol berisiko menimbulkan infeksi Fasciola sp. maupun Toxocara sp. Infeksi Fasciola sp. dapat menyebabkan gangguan fungsi hati, peradangan hati dan empedu, obstipasi, serta gangguan pertumbuhan. Tingkat infeksi fasciolosis bergantung pada jumlah metaserkaria yang tertelan dan infektivitasnya (Guntoro 2002). Infeksi Toxocara sp. menyebabkan diare, kehilangan nafsu makan, kurus, dan anemia. Sapi yang terinfeksi Toxocara vitulorum dapat mengalami pneumonia akibat adanya migrasi larva ke paru-paru, selain itu sapi

22 10 juga mengalami kerusakan hati dan paru-paru, serta toksemia apabila infeksinya berat (Estuningsih 2005). Kondisi fisik rusa totol di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung cukup baik ditandai dengan tingkah laku yang aktif dan selalu waspada, sesuai dengan sifat alami rusa totol. Salah satu gejala klinis dari infeksi cacing adalah kekurusan. Kondisi tubuh rusa totol yang memiliki derajat infeksi ringan tidak berbeda jauh dengan rusa totol yang tidak terinfeksi cacing. Oleh karena itu, infeksi cacing di Kawasan Wisata Alam ini tidak menunjukkan gejala klinis yang signifikan. Gejala klinis dapat timbul tergantung pada beberapa faktor, salah satunya adalah status gizi hewan. Status gizi yang baik akan menyebabkan gejala klinis yang disebabkan oleh helminthosis tidak terlihat. Selain itu, konsistensi feses pada seluruh rusa totol juga tidak menunjukkan gejala diare. Tingkat Prevalensi Berdasarkan Jenis Kelamin Hasil penelitian menunjukkan infeksi Fasciola sp. tertinggi ditemukan pada rusa totol betina di musim kemarau maupun di musim hujan, sedangkan infeksi Toxocara sp. tertinggi ditemukan pada rusa totol jantan dibandingkan betina pada musim kemarau (Tabel 2). Secara statistik, tingkat prevalensi antara rusa totol betina dan jantan tidak berbeda nyata. Tabel 2 Prevalensi (%) infeksi Fasciola sp. dan Toxocara sp. berdasarkan jenis kelamin Musim Fasciola sp. Toxocara sp. Jenis Prevalensi (%) Prevalensi (%) Kelamin Positif Positif (positif/n) (positif/n) Nilai-p Kemarau Betina (6/10) (1/10) Jantan (4/9) (1/9) Hujan Betina (3/11) (0/11) Jantan (2/9) (0/9) Keterangan: n = total sampel Perbedaan tingkat prevalensi ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya pakan, kondisi individu dan lingkungan. Menurut Suweta (1982), sapi jantan memiliki kerentanan lebih tinggi terhadap infeksi cacing hati dibandingkan sapi betina, hal tersebut berkaitan dengan hormon estrogen. Menurut Dobson (1966) yang diacu oleh Suweta (1982), hormon estrogen pada ternak betina memiliki sifat pemacu sel-sel Reticulo Endotelial System (RES) dalam membentuk antibodi terhadap parasit. Akibatnya ternak betina relatif lebih tahan terhadap berbagai jenis penyakit. Menurut Winarso et al. (2015) jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko yang mempengaruhi kejadian infeksi Toxocara vitulorum. Avcioglu dan Balkaya (2011) juga menemukan bahwa kejadian infeksi T. vitulorum pada sapi jantan cenderung lebih tinggi daripada betina sebagaimana penelitian-penelitian lainnya, meskipun tidak berbeda nyata secara statistik.

23 11 Pengendalian Helminthosis Pengendalian kecacingan pada hewan lebih efektif dengan melakukan manajemen pemeliharaan yang baik dan pemberian anthelmintik yang cocok. Tindakan pengendalian bertujuan untuk menekan derajat infeksi sehingga tidak menimbulkan kerugian. Higiene kandang merupakan salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk memberantas agen infektif yang terdapat di kandang dan lingkuangan sekitarnya. Telur Toxocara sp. yang dikeluarkan bersama feses pedet merupakan sumber kontaminan di lingkungan kandang. Hewan dewasa akan terinfeksi apabila menelan telur yang telah berkembang menjadi telur infektif. Oleh karena itu, harus dihindarkan terjadinya penumpukan feses di lantai kandang. Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah dengan cara memperbaiki nutrisi hewan. Kualitas pakan yang baik secara tidak langsung dapat meningkatkan kekebalan inang terhadap infeksi. Menurut Purwanta et al. (2009), nutrisi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kerentanan terhadap infeksi cacing. Selain itu, harus dihindarkan sumber pakan atau hijauan yang berasal dari daerah yang menjadi habitat siput Lymnea. Konsumsi hijauan yang lembab dan tercemar metaserkaria atau telur infektif merupakan salah satu penyebab terjadinya infeksi larva cacing saluran pencernaan dan cacing hati. Prinsip pengendalian fasciolosis pada ternak ruminansia adalah memutus daur hidup cacing. Secara umum, strategi pengendalian fasciolosis didasarkan pada musim (penghujan dan kemarau). Pada musim penghujan, populasi siput mencapai puncaknya dan tingkat pencemaran metaserkaria sangat tinggi (Martindah et al. 2005). Pengendalian untuk menekan tingkat kejadian toxocariasis yaitu dengan melakukan manajemen pemeliharaan yang baik salah satunya menjaga higiene kandang. Menurut Estuningsih (2005), kebersihan kandang merupakan faktor yang sangat penting, terutama feses dari anak sapi yang mengandung telur Toxocara sp. harus segera ditangani atau dibersihkan sebelum telur menjadi infektif agar induknya tidak tertular. Tindakan pengobatan dilakukan dengan memberikan obat cacing (anthelmintik) pada rusa totol. Selain itu, sebaiknya dilakukan pemeriksaan telur cacing pada feses untuk mengetahui jenis cacing yang menginfeksi. Tindakan ini juga berguna untuk memberikan obat cacing yang tepat pada rusa totol. Pemberian anthelmintik dapat mengurangi derajat infeksi dan menekan jumlah kontaminasi di kandang yang berhubungan dengan kepadatan inang. Anthelmintik yang digunakan pada rusa totol adalah Albendazole cair dengan dosis 10 mg/kg bb yang diberikan secara oral. Albendazole merupakan anthelmintik berspektrum luas, efektif menyerang cacing saluran pencernaan, cacing hati, cacing tambang dan beberapa cacing gilig (Alexander 1985). Menurut Satrija et al. (2011), pemberian piperazin pada infeksi T. vitulorum bisa dilakukan pada pedet yang berumur antara hari. Rekomendasi dari Estuningsih (2005), salah satu jenis anthelmintik yang dapat digunakan untuk membunuh larva T. vitulorum adalah Levamisol. Levamisol bisa membunuh larva T. vitulorum pada anak sapi 7 hari setelah infeksi (Hossain et al. 1980). Menurut DitjenPKH (2012), pengobatan fasciolosis menggunakan Nitroxinil dengan dosis 10 mg/kg sangat efektif dengan daya bunuh 100% pada infeksi setelah 6 minggu. Namun pengobatan ini perlu diulang 8-12 minggu setelah pengobatan pertama.

24 12 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Rusa totol di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung terinfeksi cacing Nematoda dan Trematoda. Jenis cacing yang menginfeksi adalah Toxocara sp. dan Fasciola sp. Tingkat prevalensi pada musim kemarau sebesar 57.89% terdiri atas Fasciola sp % dan Toxocara sp %, serta prevalensi Fasciola sp. pada musim hujan sebesar 25%. Terdapat perbedaan tingkat prevalensi antara rusa totol betina dan jantan. Derajat infeksi cacing pada musim kemarau dan hujan termasuk dalam kategori infeksi ringan. Saran Manajemen pemeliharaan meliputi pemberian pakan dan kebersihan kandang harus diperhatikan untuk mengurangi kejadian kecacingan pada rusa totol. Perlu dilakukan pemeriksaan feses untuk mengontrol kesehatan ternak terhadap infeksi parasit dan berguna untuk menentukan obat cacing yang tepat. DAFTAR PUSTAKA [BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Jumlah curah hujan di Bandung. Bogor (ID): Stasiun Klimatologi Darmaga. [DitjenPKH] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta (ID): Subdit Pengamatan Penyakit Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan. Agustina KK, Dharmayudha AAGO, Wirata IW Prevalensi Toxocara vitulorum pada induk dan anak sapi bali di wilayah Bali Timur. Buletin Veteriner Udayana. 5(1):1-6. Akhtar MS, Chattha MI, Chaudhry AH Comparative efficacy of santonin and piperazine against Neoascaris vitulorum in buffalo calves. J Vet Phamacol and Therapeutics. 5: Alexander F An Introduction to Veterinary Pharmacology 4 nd edition. London (UK): Longman. Avcioglu H, Balkaya I Prevalence of Toxocara vitulorum in Calves in Erzuum, Turkey. Kafkas Universitesi Veteriner Fakultesi Dergisi. 17(3): Aziz A Analisis potensi hijauan pakan rusa di penangkaran rusa jonggol BKPH Jonggol KPH Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Bowman DD Georgis Parasitology for Veterinerians. 10 th edition. St. Louis (US): Elsevier.

25 Corwin RM, Randle RF Common Internal Parasites of Cattle. Columbia (US): University of Missouri. Estuningsih SE Toxocariasis pada hewan dan bahayanya pada manusia. Wartazoa. 15(3): Garsetiasih R, Herlina N Evaluasi plasma nutfah rusa totol (Axis axis) di halaman Istana Bogor. Buletin Plasma Nutfah. 11(1):1-7. Grzimek B Grzimek s Animal Life Encyclopedia, Volume 13: Mammals IV. New York (US): Van Nostrand Reinhold Company. Guntoro S Membudidayakan Sapi Bali. Yogyakarta (ID): Kanisius. Hansen J, Perry B The Epidemiology, Diagnosis and Control of Helminth Parasites of Ruminants. Nairobi (KE): The International Laboratory for Research on Animal Diseases. Hossain MI, Dewan ML, Baki MA Preliminary studies on the efficacy of tetramisole hydrochloride (ICI) against transmammary migration of Toxocara (Neoascaris) vitulorum larvae in buffalo cows. Bangladesh Journal of Agricultural Sciences. 7(1): Jacoeb TN, Wiryosuhanto SD Prospek Budidaya Ternak Rusa. Jakarta (ID): Penerbit Kanisius. Kusumamiharja S Parasit dan parasitosis pada hewan ternak dan hewan piaraan di Indonesia. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Kwatrina RT, Takandjandji M, Bismark M Ketersediaan tumbuhan pakan dan daya dukung habitat rusa timorensis di Hutan Penelitian Dramaga. Buletin Plasma Nutfah. 17(2): Martindah E, Widjajanti S, Estuningsih SE, Suhardono Meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap fasciolosis sebagai penyakit infeksius. Wartazoa. 15(3): Mia S, Dewan ML, Uddin M, Cowdhury MUA The route of infection of buffalo calves by Toxocara (Neoascaris) vitulorum. Trop Anim Health Prod. 7: Natadisastra D, Agoes R Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari organ tubuh yang diserang. Jakarta (ID): Penerbit buku kedokteran ECG. Nguyen TGT Zoonotic fasciolosis in Vietnam: molecular identification and geographical distribution [disertasi]. Belgia: Universitas Gent. Permin A, Hansen JW Epidemology, Diagnosis, and Control Poultry Parasites. FAO Animal Health Manual. Rome (IT): FAO United Nation. Pribadi BA Inventarisasi telur cacing yang ditemukan pada rusa totol (Axis axis) di halaman Istana Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Purwanta, Nuraeni, Hutauruk JD, Setiawaty S Identifikasi cacing saluran pencernaan (gastrointestinal) pada sapi bali melalui pemeriksaan tinja di Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem. 5(1): Satrija F, Ridwan Y, Retnani EB Efficacy of piperazine dihydrochlloride against Toxocara Vitulorum in buffalo calves. Jurnal Veteriner. 12(2):

26 14 Sayuti L Kejadian infeksi cacing hati (Fasciola sp.) pada sapi bali di Kabupaten Karangasem Bali [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Semiadi G Tata laksana pemeliharaan rusa timorensis (Cervus timorensis) oleh masyarakat di Pulau Timor. Proseding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Departemen Pertanian. Bogor (ID). pp Semiadi G Budidaya Rusa Tropika sebagai Hewan Ternak. Masyarakat Zoonosis Indonesia. Jakarta (ID): Armas Duta Jaya. Suweta IGP Kerugian ekonomi oleh cacing hati pada sapi bali sebagai implikasi interaksi dalam lingkungan hidup pada ekosistem pertanian di Bali [disertasi]. Bandung (ID): Universitas Padjajaran. Takandjandji M Penangkaran rusa timor (Cervus timorensis) di Oilsonbai dan permasalahannya. Proseding Diskusi Hasil-hasil Penelitian BPK Kupang. Kupang (ID). pp Tantri N, Tri RS, Siti K Prevalensi dan intensitas cacing parasit pada feses sapi (Bos sp.) rumah potong hewan (RPH) Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Protobiont. 2(2): Tavassoli M, Hadian M, Charesaz S, Javadi S Toxocara spp. Eggs in public parks in Urmia City, West Azerbaijan Province Iran. Iranian Journal of Parasitology. 3(3): Thienpont, Rochette F, Vanparijs OFJ Diagnosting Helminthiasis Through Coprological Examination. Belgium: Jannsen Pharmaeutica. Willingham AL, Johansen MV, Barnes EH A new technique for counting Schistosoma japonicum egg in pig feces. SE Asian J Trop Med Pub Health. 29(1): Winarso A, Satrija F, Ridwan Y Faktor risiko dan prevalensi infeksi Toxocara vitulorum pada sapi potong di Kecamatan Kasiman, Kabupaten Bojonegoro. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 20(2):85-90.

27 15 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Daik Lingga pada tanggal 12 Oktober 1993 dari ayah Awaluddin dan ibu Nauyah sebagai putri pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2008, penulis lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Siantan, Kepulauan Riau. Penulis menamatkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Siantan pada tahun 2011 dan pada tahun yang sama masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah dengan pilihan program studi Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan. Selama menjadi mahasiswa, penulis menjadi anggota Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia. Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan dengan menulis skripsi yang berjudul Kasus Infeksi Cacing Parasit pada Rusa Totol (Axis axis) di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994). Menurut Williamson dan Payne (1993),

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDERS REARED IN THE SOBANGAN VILLAGE, MENGWI

Lebih terperinci

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah.

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah. 1. Penyakit Parasit Cacing pada Ruminansia Walaupun penyakit cacingan tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi kerugian dari segi ekonomi dikatakan sangat besar, sehingga penyakit parasit cacing

Lebih terperinci

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi PENDAHULUAN Infeksi cacing hati (fasciolosis) pada ternak ruminansia (sapi dan kerbau) di Indonesia merupakan penyakit parasiter yang disebabkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Sapi Penggolongan sapi ke dalam suatu Genera berdasarkan pada persamaan karakteristik yang dimilikinya. Karakteristik yang dimiliki tersebut akan diturunkan ke generasi

Lebih terperinci

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung THE PREVALENCE OF TREMATODES IN BALI CATTLE BREEDING CENTER SOBANGAN VILLAGE, DISTRICT MENGWI, BADUNG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-

I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang- I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah langka. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis

Lebih terperinci

TINGKAT PREVALENSI DAN DERAJAT INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI PERAH DI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG MIRA RAMALIA RIANTI

TINGKAT PREVALENSI DAN DERAJAT INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI PERAH DI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG MIRA RAMALIA RIANTI TINGKAT PREVALENSI DAN DERAJAT INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI PERAH DI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG MIRA RAMALIA RIANTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar hampir di seluruh Nusantara. Populasisapibali dibandingkan dengan sapi lainnya seperti sapi ongole,

Lebih terperinci

Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare.

Gambar 12 Kondisi tinja unta punuk satu memperlihatkan bentuk dan dan tekstur yang normal atau tidak diare. HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel tinja unta punuk satu yang didapatkan memiliki struktur seperti tinja hewan ruminansia pada umumnya. Tinja ini mempunyai tekstur yang kasar dan berwarna hijau kecoklatan. Pada

Lebih terperinci

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung PREVALENSI NEMATODA GASTROINTESTINAL AT SAPI BALI IN SENTRA PEMBIBITAN DESA SOBANGAN, MENGWI, BADUNG

Lebih terperinci

METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL

METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL ZAENAL KOSASIH Balai Penelitian Veteriner Jl. R.E. Martadinata 30 Bogor 16114 RINGKASAN Parasit cacing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSETUJUAN... iii RIWAYAT HIDUP... iv ABSTRAK... v ABSTRACT... vi UCAPAN TERIMA KASIH... vii DAFTAR ISI... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang di hadapi dalam pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi akan optimal, bila secara

Lebih terperinci

KECACINGAN PADA RUSA TOTOL (Axis axis) DI HALAMAN ISTANA KEPRESIDENAN BOGOR FATHIA RAMADHANI

KECACINGAN PADA RUSA TOTOL (Axis axis) DI HALAMAN ISTANA KEPRESIDENAN BOGOR FATHIA RAMADHANI KECACINGAN PADA RUSA TOTOL (Axis axis) DI HALAMAN ISTANA KEPRESIDENAN BOGOR FATHIA RAMADHANI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ayam dan telur bukanlah jenis makanan yang asing bagi penduduk indonesia. Kedua jenis makanan tersebut sangat mudah dijumpai dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah kesehatan kurang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah kesehatan kurang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar sapi potong dipelihara oleh peternak hanya sebagai sambilan. Tatalaksana pemeliharaan sapi pada umumnya belum baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah

Lebih terperinci

Infestasi Cacing Hati (Fasciola sp.) dan Cacing Lambung (Paramphistomum sp.) pada Sapi Bali Dewasa di Kecamatan Tenayan Raya Kota Pekanbaru

Infestasi Cacing Hati (Fasciola sp.) dan Cacing Lambung (Paramphistomum sp.) pada Sapi Bali Dewasa di Kecamatan Tenayan Raya Kota Pekanbaru JS V 33 (1), Juli 2015 JURNAL SAIN VETERINER ISSN : 0126-0421 Infestasi Cacing Hati (Fasciola sp.) dan Cacing Lambung (Paramphistomum sp.) pada Sapi Bali Dewasa di Kecamatan Tenayan Raya Kota Pekanbaru

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KERBAU

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KERBAU 2 kejadian kecacingan pada kerbau. Namun, yang tidak kalah penting adalah informasi yang didapat dan pencegahan yang dilakukan, akan meningkatkan produktivitas ternak serta kesejahteraan peternak khususnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi adalah ternak ruminansia yang memiliki nilai ekonomi tinggi dalam

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi adalah ternak ruminansia yang memiliki nilai ekonomi tinggi dalam 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi adalah ternak ruminansia yang memiliki nilai ekonomi tinggi dalam kehidupan masyarakat, sebab dapat menghasilkan berbagai macam kebutuhan hidup manusia. Pembangunan peternakan

Lebih terperinci

BAB 2. TARGET LUARAN BAB 3. METODE PELAKSANAAN

BAB 2. TARGET LUARAN BAB 3. METODE PELAKSANAAN BAB 1. PENDAHULUAN Kebutuhan protein hewani asal ternak yang semakin terasa untuk negara berkembang, khususnya Indonesia, harus terus ditangani karena kebutuhan itu semakin bertambah disebabkan oleh pertambahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Artiodactyla, Anak Bangsa (Subordo) Ruminansia dan Suku (Family)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Artiodactyla, Anak Bangsa (Subordo) Ruminansia dan Suku (Family) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jenis Rusa Rusa merupakan salah satu jenis satwa yang termasuk dalam Bangsa (Ordo) Artiodactyla, Anak Bangsa (Subordo) Ruminansia dan Suku (Family) Cervidae. Suku Cervidae terbagi

Lebih terperinci

PREVALENSI DAN JENIS TELUR CACING GASTROINTESTINAL PADA RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DI PENANGKARAN RUSA DESA API-API KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA

PREVALENSI DAN JENIS TELUR CACING GASTROINTESTINAL PADA RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DI PENANGKARAN RUSA DESA API-API KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA PREVALENSI DAN JENIS TELUR CACING GASTROINTESTINAL PADA RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DI PENANGKARAN RUSA DESA API-API KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA Jusmaldi dan Arini Wijayanti Jurusan Biologi FMIPA Universitas

Lebih terperinci

Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat

Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat Novese Tantri 1, Tri Rima Setyawati 1, Siti Khotimah 1 1 Program Studi

Lebih terperinci

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER PENGAMATAN EPIDEMIOLOGI HASIL PEMERIKSAAN KECACINGAN di SD MUH. KEDUNGGONG, SD DUKUH NGESTIHARJO,SDN I BENDUNGAN dan SD CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

Lebih terperinci

HUBUNGAN KECACINGAN PADA TERNAK SAPI DI SEKITAR TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS DENGAN KEMUNGKINAN KEJADIAN KECACINGAN PADA BADAK SUMATERA

HUBUNGAN KECACINGAN PADA TERNAK SAPI DI SEKITAR TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS DENGAN KEMUNGKINAN KEJADIAN KECACINGAN PADA BADAK SUMATERA HUBUNGAN KECACINGAN PADA TERNAK SAPI DI SEKITAR TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS DENGAN KEMUNGKINAN KEJADIAN KECACINGAN PADA BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) DI SUAKA RHINO SUMATERA RIZQI PUTRATAMA FAKULTAS

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Kambing merupakan binatang memamah biak yang berukuran sedang. Kambing ternak (Capra aegagrus hircus) adalah sub spesies kambing liar yang secara alami tersebar di

Lebih terperinci

TOXOCAROSIS PADA SAPI POTONG PETERNAKAN RAKYAT DI KECAMATAN UJUNG JAYA, SUMEDANG RIAN RISKI HARIYADI

TOXOCAROSIS PADA SAPI POTONG PETERNAKAN RAKYAT DI KECAMATAN UJUNG JAYA, SUMEDANG RIAN RISKI HARIYADI TOXOCAROSIS PADA SAPI POTONG PETERNAKAN RAKYAT DI KECAMATAN UJUNG JAYA, SUMEDANG RIAN RISKI HARIYADI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

Lebih terperinci

Peternakan sapi perah umumnya tergabung dalam suatu koperasi. Perhatian dan pengetahuan koperasi terhadap penyakit cacing (helminthiasis) saluran cern

Peternakan sapi perah umumnya tergabung dalam suatu koperasi. Perhatian dan pengetahuan koperasi terhadap penyakit cacing (helminthiasis) saluran cern Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 27 (2): 1-7 ISSN : 0852-3681 E-ISSN : 2443-0765 Fakultas Peternakan UB, http://jiip.ub.ac.id/ Helminthiasis saluran cerna pada sapi perah Lili Zalizar Program Studi Peternakan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan kualitatif

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Budidaya Sapi Potong Ternak sapi khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil bahan makanan berupa daging yang memiliki nilai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni ,07 sedangkan tahun 2013

I. PENDAHULUAN. Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni ,07 sedangkan tahun 2013 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni 9.665.117,07 sedangkan tahun 2013 yakni 9.798.899,43 (BPS, 2014 a ). Konsumsi protein hewani asal daging tahun 2011 2,75

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang beriklim tropis terluas di dunia dan merupakan negara yang memiliki banyak keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna.

Lebih terperinci

Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA. Oleh FIKRI AFRIZAL NIM

Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA. Oleh FIKRI AFRIZAL NIM Laporan Praktikum Penyakit Parasitik FASCIOLA GIGANTICA Oleh FIKRI AFRIZAL NIM 1102101010049 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM, BANDA ACEH 2013 FASCIOLA GIGANTICA a. Morfologi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ternak Itik Itik ( Anas sp.) merupakan unggas air yang cukup dikenal masyarakat. Nenek moyangnya berasal dari Amerika Utara dan merupakan itik liar ( Anas moscha) atau Wild

Lebih terperinci

Kata kunci: Albumin, Cross sectional studies, Fasciolosis, Fasciola gigantica, Sapi Bali.

Kata kunci: Albumin, Cross sectional studies, Fasciolosis, Fasciola gigantica, Sapi Bali. RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Sumerta Kelod, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denapasar pada tanggal 20 Juni 1993. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis merupakan anak dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Babi merupakan salah satu hewan komersil yang dapat diternakkan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani dikalangan masyarakat. Babi dipelihara oleh masyarakat dengan

Lebih terperinci

Persentase positif

Persentase positif ISSN : 1411-8327 Kecacingan Trematoda pada Badak Jawa dan Banteng Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon PREVALENCE OF TREMATODES IN JAVAN RHINOCROS AND BANTENG AT UJUNG KULON NATIONAL PARK Risa Tiuria 1,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. Rusa di Indonesia terdiri dari empat spesies rusa endemik yaitu: rusa sambar (Cervus unicolor),

Lebih terperinci

TERNAK KAMBING 1. PENDAHULUAN 2. BIBIT

TERNAK KAMBING 1. PENDAHULUAN 2. BIBIT TERNAK KAMBING 1. PENDAHULUAN Ternak kambing sudah lama diusahakan oleh petani atau masyarakat sebagai usaha sampingan atau tabungan karena pemeliharaan dan pemasaran hasil produksi (baik daging, susu,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Kambing 2.1.1. Kambing Kacang Menurut Mileski dan Myers (2004), kambing diklasifikasikan ke dalam : Kerajaan Filum Kelas Ordo Famili Upafamili Genus Spesies Upaspesies

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI 2016 PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI LABORATORIUM JURUSAN ILMU PETERNAKAN FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI AS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR I. IDENTIFIKASI EKTOPARASIT A. Pengantar Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Trichuris trichiura Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Prevalensi Prevalensi adalah frekuensi dari penyakit yang ada dalam populasi tertentu pada titik waktu tertentu. Angka prevalensi dipengaruhi oleh tingginya insidensi dan lamanya

Lebih terperinci

Kolokium: Ulil Albab - G

Kolokium: Ulil Albab - G Kolokium: Ulil Albab - G34100119 Ulil Albab (G34100119), Achmad Farajallah, Dyah Perwitasari, Eksplorasi Endoparasit pada Koleksi Hewan Kebun Binatang di Taman Margasatwa. Makalah Kolokium departemen Biologi

Lebih terperinci

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah : BUDIDAYA SAPI POTONG I. Pendahuluan. Usaha peternakan sapi potong mayoritas masih dengan pola tradisional dan skala usaha sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan secara besar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Suzuki Metode Suzuki adalah suatu metode yang digunakan untuk pemeriksaan telur Soil Transmitted Helmints dalam tanah. Metode ini menggunakan Sulfas Magnesium yang didasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biduri (Calotropis spp.) Genera Calotropis terdiri dari dua spesies, dengan 90 % menghuni negara Asia selatan dan paling endemik di India, Indonesia, Malaysia, Thailand, Srilanka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ascaris lumbricoides Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia (FKUI, 1998). Termasuk dalam

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong adalah jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi

Lebih terperinci

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga ABSTRAK

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga ABSTRAK 114 PENGARUH TATALAKSANA KANDANG TERHADAP INFEKSI HELMINTHIASIS SALURAN PENCERNAAN PADA PEDET PERANAKAN SIMENTAL DAN LIMOUSIN DI KECAMATAN YOSOWILANGUN LUMAJANG Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga

Lebih terperinci

TINGKAT INFESTASI CACING HATI PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG

TINGKAT INFESTASI CACING HATI PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG TINGKAT INFESTASI CACING HATI PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG Liver Fluke Infestation Level of Bali Cattle in Sukoharjo Sub-District Pringsewu Regency Lampung

Lebih terperinci

TINGKAT INFESTASI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG

TINGKAT INFESTASI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG TINGKAT INFESTASI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG Infestation Rate of The Digestive Fluke on Bali Cattle in Sub-district Pringsewu District

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit yang sering terjadi pada peternakan ayam petelur akibat sistem pemeliharaan yang kurang baik salah satunya disebabkan oleh parasit (Murtidjo, 1992). Menurut Satrija

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Peningkatan produksi ternak sebagai sumber protein hewani adalah suatu strategi nasional dalam rangka peningkatan ketahanan pangan yang sangat diperlukan

Lebih terperinci

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

Prevalensi Parasit Gastrointestinal Ternak Sapi Berdasarkan Pola Pemeliharaan Di Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar

Prevalensi Parasit Gastrointestinal Ternak Sapi Berdasarkan Pola Pemeliharaan Di Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar Prevalensi Parasit Gastrointestinal Ternak Sapi Berdasarkan Pola Pemeliharaan Di Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar Prevalence Parasites Gastrointestinal Cow Based On Maintenance Pattern In Indrapuri

Lebih terperinci

DAFTAR ISI ... i... ii iii... iv... vi... vii ... ix... x

DAFTAR ISI ... i... ii iii... iv... vi... vii ... ix... x DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... i ABSTRAK... ii ABSTRACT iii UCAPAN TERIMAKASIH... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR LAMPIRAN... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

Evaluasi Plasma Nutfah Rusa Totol (Axis axis) di Halaman Istana Bogor

Evaluasi Plasma Nutfah Rusa Totol (Axis axis) di Halaman Istana Bogor Evaluasi Plasma Nutfah Rusa Totol (Axis axis) di Halaman Istana Bogor R. Garsetiasih 1 dan Nina Herlina 2 1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor 2 Sekretariat Jenderal Departemen

Lebih terperinci

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba 3 Diferensiasi SDP dilakukan berbasis preparat ulas darah total. Darah diulas di preparat kemudian difiksasi dengan metanol selama 2 menit. Preparat ulas darah diwarnai menggunakan pewarna giemsa selama

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit 39 BAB III METODE PENELITIAN A. JENIS PENELITIAN Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan kualitatif

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1. Sejarah UPTD BPPTD Margawati Garut Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba atau disingkat UPTD BPPTD yaitu

Lebih terperinci

GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI. CACING Fasciola spp SKRIPSI

GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI. CACING Fasciola spp SKRIPSI GAMBARAN KLINIS SAPI BALI YANG TERINFEKSI CACING Fasciola spp SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai GelarSarjanaKedokteranHewan Diajukan Oleh EkaWidyana

Lebih terperinci

METODE. Materi. Pakan Pakan yang diberikan selama pemeliharaan yaitu rumput Brachiaria humidicola, kulit ubi jalar dan konsentrat.

METODE. Materi. Pakan Pakan yang diberikan selama pemeliharaan yaitu rumput Brachiaria humidicola, kulit ubi jalar dan konsentrat. METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapangan IPT Ruminansia Kecil serta Laboratorium IPT Ruminansia Besar, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. besar untuk dikembangkan, sapi ini adalah keturunan Banteng (Bos sundaicus)

I. PENDAHULUAN. besar untuk dikembangkan, sapi ini adalah keturunan Banteng (Bos sundaicus) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi Bali adalah salah satu bangsa sapi murni yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan, sapi ini adalah keturunan Banteng (Bos sundaicus) dan mempunyai bentuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

KECACINGAN TREMATODA Schistosoma spp. PADA BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS

KECACINGAN TREMATODA Schistosoma spp. PADA BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS KECACINGAN TREMATODA Schistosoma spp. PADA BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS Sulinawati 1), Saputra, I G.N.A. W.A 2), Ediwan 3), Priono, T.H. 4), Slamet 5), Candra,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

JENIS DAN TINGKAT INFEKSI CACING ENDOPARASIT PADA FESES SAPI DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) MEDAN DAN KECAMATAN ANDAM DEWI KABUPATEN TAPANULI TENGAH

JENIS DAN TINGKAT INFEKSI CACING ENDOPARASIT PADA FESES SAPI DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) MEDAN DAN KECAMATAN ANDAM DEWI KABUPATEN TAPANULI TENGAH JENIS DAN TINGKAT INFEKSI CACING ENDOPARASIT PADA FESES SAPI DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) MEDAN DAN KECAMATAN ANDAM DEWI KABUPATEN TAPANULI TENGAH SKRIPSI FATMAYANTI TANJUNG 070805010 DEPARTEMEN BIOLOGI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi potong pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi potong merupakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Desa Kertosari Kecamatan Tanjungsari pada bulan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Desa Kertosari Kecamatan Tanjungsari pada bulan 25 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Desa Kertosari Kecamatan Tanjungsari pada bulan Januari selama satu bulan. Pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari. Pukul 06:00

Lebih terperinci

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain:

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain: Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain: Tubuh simetri bilateral Belum memiliki sistem peredaran darah Belum memiliki anus Belum memiliki rongga badan (termasuk kelompok Triploblastik

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau

KAJIAN KEPUSTAKAAN. terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Tinjauan Umum Kerbau Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub famili Bovidae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau domestikasi atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak keunggulan dibandingkan ternak lain, yaitu laju pertumbuhan yang cepat, mudah dikembangbiakkan,

Lebih terperinci

EFISIENSI PAKAN KOMPLIT DENGAN LEVEL AMPAS TEBU YANG BERBEDA PADA KAMBING LOKAL SKRIPSI. Oleh FERINDRA FAJAR SAPUTRA

EFISIENSI PAKAN KOMPLIT DENGAN LEVEL AMPAS TEBU YANG BERBEDA PADA KAMBING LOKAL SKRIPSI. Oleh FERINDRA FAJAR SAPUTRA 1 EFISIENSI PAKAN KOMPLIT DENGAN LEVEL AMPAS TEBU YANG BERBEDA PADA KAMBING LOKAL SKRIPSI Oleh FERINDRA FAJAR SAPUTRA FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2013 2 EFISIENSI

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BIAWAK (Varanus salvator, Ziegleri 1999) DIKOTA PEKANBARU, RIAU. Elva Maharany¹, Radith Mahatma², Titrawani²

KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BIAWAK (Varanus salvator, Ziegleri 1999) DIKOTA PEKANBARU, RIAU. Elva Maharany¹, Radith Mahatma², Titrawani² KEANEKARAGAMAN EKTOPARASIT PADA BIAWAK (Varanus salvator, Ziegleri 1999) DIKOTA PEKANBARU, RIAU Elva Maharany¹, Radith Mahatma², Titrawani² ¹Mahasiswa Program S1 Biologi ²Dosen Bidang Zoologi Jurusan Biologi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Nilai Gizi Pakan Gizi pakan rusa yang telah dianalisis mengandung komposisi kimia yang berbeda-beda dalam unsur bahan kering, abu, protein kasar, serat kasar, lemak kasar

Lebih terperinci

PERFORMANS DAN KARAKTERISTIK AYAM NUNUKAN

PERFORMANS DAN KARAKTERISTIK AYAM NUNUKAN PERFORMANS DAN KARAKTERISTIK AYAM NUNUKAN WAFIATININGSIH 1, IMAM SULISTYONO 1, dan RATNA AYU SAPTATI 2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada saat makanan tersebut siap untuk dikonsumsi oleh konsumen. adalah pengangkutan dan cara pengolahan makanan.

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada saat makanan tersebut siap untuk dikonsumsi oleh konsumen. adalah pengangkutan dan cara pengolahan makanan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sanitasi makanan adalah salah satu usaha pencegahan yang menitik beratkan kegiatan dan tindakan yang perlu untuk membebaskan makanan dari segala bahaya yang dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Susilorini, dkk (2010) sapi Bali memiliki taksonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Susilorini, dkk (2010) sapi Bali memiliki taksonomi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Bali Menurut Susilorini, dkk (2010) sapi Bali memiliki taksonomi Filum Class Ordo Famili Genus Subgenus : Chordata : Mammalia : Artiodactyla : Bovidae : Bos : Bibos sondaicus

Lebih terperinci

Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXVI, No. 85, Desember 2014 ISSN : X

Buletin Veteriner, BBVet Denpasar, Vol. XXVI, No. 85, Desember 2014 ISSN : X SURVEILANS DAN MONITORING PARASIT GASTRO INTESTINAL PADA SAPI BALI DI PROPINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR (Surveilance and Monitoring of Gastrointestinal Parasite Infection in Bali

Lebih terperinci

KLASIFIKASI PENGGEMUKAN KOMODITAS TERNAK SAPI Oleh, Suhardi, S.Pt.,MP

KLASIFIKASI PENGGEMUKAN KOMODITAS TERNAK SAPI Oleh, Suhardi, S.Pt.,MP KLASIFIKASI PENGGEMUKAN KOMODITAS TERNAK SAPI Oleh, Suhardi, S.Pt.,MP INTENSIF SEMI INENSIF EKSTENSIF SAPI Karbohidrat yg mudah larut Hemiselulosa Selulosa Pati Volatile Vatti Acids Karbohidrat By pass

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ternak disamping manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan adalah faktor manajemen lingkungan. Suhu dan kelembaban yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang memiliki potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan sudah sangat umum dibudidayakan

Lebih terperinci

PENGARUH PEMUASAAN TERHADAP KONSUMSI, BOBOT TUBUH, DAN LAMA HIDUP TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Miller)

PENGARUH PEMUASAAN TERHADAP KONSUMSI, BOBOT TUBUH, DAN LAMA HIDUP TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Miller) PENGARUH PEMUASAAN TERHADAP KONSUMSI, BOBOT TUBUH, DAN LAMA HIDUP TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Miller) NUR RACHMAN A44104056 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan

I. PENDAHULUAN. potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki banyak potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan maupun tumbuhan dapat

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat. Materi

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat. Materi METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2011. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Kandang C, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kuda (Equus caballus) Kuda sudah lama dikenal dan dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber daging, alat transportasi dan kemudian berkembang menjadi hewan yang digunakan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi adalah salah satu ruminansia yang paling banyak di ternakkan di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi adalah salah satu ruminansia yang paling banyak di ternakkan di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi adalah salah satu ruminansia yang paling banyak di ternakkan di Indonesia, merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia terhadap produksi daging

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak unggas penghasil telur, daging dan sebagai binatang kesayangan dibedakan menjadi unggas darat dan unggas air. Dari berbagai macam jenis unggas air yang ada di Indonesia,

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012)

Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012) 16 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trematoda Hati 2.1.1 Fasciola hepatica a. Morfologi dan Daur Hidup Cacing dewasa mempunyai bentuk pipih seperti daun, besarnya ± 30x13 mm. Bagian anterior berbentuk seperti

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi

Lebih terperinci

TINGKAH LAKU MAKAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DALAM KONSERVASI EX-SITU DI KEBUN BINATANG SURABAYA

TINGKAH LAKU MAKAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DALAM KONSERVASI EX-SITU DI KEBUN BINATANG SURABAYA TINGKAH LAKU MAKAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DALAM KONSERVASI EX-SITU DI KEBUN BINATANG SURABAYA VINA SITA NRP.1508 100 033 JURUSAN BIOLOGI Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi

Lebih terperinci

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Mengwi, Badung

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Mengwi, Badung Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Mengwi, Badung Muhsoni Fadli 1, Ida Bagus Made Oka 2, Nyoman Adi Suratma 2 1 Mahasiswa Pendidikan Profesi

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM PARASITOLOGI

PENUNTUN PRAKTIKUM PARASITOLOGI PENUNTUN PRAKTIKUM PARASITOLOGI ISFANDA, DVM, M.Si FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA ACEH BESAR 2016 BAB 1 PEMERIKSAAN TELUR TREMATODA Pemeriksaan Telur Cacing Dengan Metode Natif Tujuan untuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Penambahan daun Som Jawa pada ransum menurunkan kandungan serat kasar dan bahan kering ransum, namun meningkatkan protein kasar ransum. Peningkatan protein disebabkan

Lebih terperinci

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui sistem produksi ternak kerbau sungai Mengetahui sistem produksi ternak kerbau lumpur Tujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Saanen adalah salah satu ternak dwiguna yang cukup potensial

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Saanen adalah salah satu ternak dwiguna yang cukup potensial 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Saanen Kambing Saanen adalah salah satu ternak dwiguna yang cukup potensial dan perlu dikembangkan sebagai penyedia protein hewani yang dapat menghasilkan susu dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan bangsa kambing hasil persilangan kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil persilangan pejantan

Lebih terperinci