Pengaruh Perubahan Fraksi Berat Zn dan Temperatur Milling pada Mechanical Alloying terhadap Proses Pemaduan Cu-Zn Alloy

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Pengaruh Perubahan Fraksi Berat Zn dan Temperatur Milling pada Mechanical Alloying terhadap Proses Pemaduan Cu-Zn Alloy"

Transkripsi

1 Pengaruh Perubahan Fraksi Berat Zn dan Temperatur Milling pada Mechanical Alloying terhadap Proses Pemaduan Cu-Zn Alloy Miftakhun Khoiriana 1, Widyastuti 2, Agus Sukarto 3 Jurusan Teknik Material dan Metalurgi FTI-ITS Surabaya Pusat Penelitian Fisika LIPI miftakhun_khoiriana@yahoo.com ABSTRAK Brass atau kuningan merupakan salah satu paduan dari Cu dan Zn. Salah satu aplikasinya adalah pembuatan kelongsong peluru, yang selama ini dibuat menggunakan proses deep drawing. Metode tersebut memiliki kelemahan dari aspek homogenitas dan densitas penyebab stress corrossion cracking akibat adanya tegangan sisa. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode alternatif pembuatan paduan Cu- Zn melalui proses metalurgi serbuk yang pembuatan bahan dasar berasal dari serbuk paduan Cu-Zn. Pada penelitian ini akan dilakukan pembuatan serbuk paduan Cu-Zn ini dengan metode Mechanical Alloying (MA). Variasi yang digunakan pada penelitian ini menggunakan fraksi berat Zn 20%, 30%, dan 40% dengan memvarisikan juga temperatur milling 25, 100 dan 200 o C. Dari hasil penelitian diperoleh hasil XRD berupa fasa α yang optimum pada paduan Cu-20%Zn dengan temperatur milling 200 o C, dengan intensitas Mikroskop Optik dan SEM-EDX menunjukkan bahwa pada paduan tersebut memiliki grain powder yang besar dan bulat. Diharapkan paduan tersebut dapat digunakan sebagai bahan alternatif pembuatan kelongsong peluru. Kata kunci : Paduan Cu-Zn, Fraksi Berat, Temperatur Milling PENDAHULUAN Dalam beberapa tahun terakhir ini, riset dan pengembangan luas metode Powder Metallurgi terus dilakukan. Salah satunya untuk menghasilkan kelongsong peluru yang lebih baik, lebih effektif. Selama ini dalam pembuatan kelongsong peluru dilakukan dengan proses metallurgi cair/ casting maupun dengan proses deep drawing. Akan tetapi hasil proses casting ini memiliki kelemahan dari aspek homogenitas densitasnya. Selain itu proses deep drawing memiliki kelemahan dari aspek sensitifitas terhadap stress corossion cracking akibat tegangan sisa yang ada. Maka, ditawarkan dengan metode Powder Metallurgi dengan berbahan serbuk Cu dan Zn yang dipadukan secara mekanik (mechanical alloying). Dalam pembuatan CuZn Alloy fasa yang diharapkan adalah fasa α(cu 0.64 Zn 0.36 ). Karena fasa α merupakan fasa yang homogen pada paduan CuZn. Mechanical alloying (MA) adalah proses pemaduan dalam fase solid dengan teknik pengulangan penggabungan, penghancuran dan penggabungan kembali (rewelding) untuk butiran serbuk pada high energy ball mill. Mechanical Alloying dapat digunakan untuk sintesis larutan padatan, nano partikel, paduan amorf, intermetallic, dan komposisi kimia. Proses MA sebagian besar dipengaruhi oleh thermodynamic dan sifat kinetik pada system serbuk, intensitas milling dan temperatur. Dalam proses milling ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil akhir, diantaranya temperatur, kecepatan, rasio berat antara bola dan serbuk / ball to powder weight ratio (BPR), waktu dan fraksi volume dari serbuk tersebut (Suryanarayana, 2003) Pada penelitian ini akan dilakukan studi awal MA dengan milling pada serbuk Cu dan Zn, untuk solid soluton dan intermetaliknya. Yang ditekankan adalah faktor penambahan Zn dan temperatur yang diperlukan untuk milling. TINJAUAN PUSTAKA Mechanical Alloying Mechanical alloying (MA) adalah proses pemaduan dalam fase solid dengan teknik pengulangan penggabungan, penghancuran dan penggabungan kembali (rewelding) untuk butiran serbuk pada high energy ball mill. Mechanical Alloying dapat digunakan untuk sintesis larutan padatan, nano partikel, paduan amorf, intermetallic, dan komposisi kimia. Proses MA sebagian besar dipengaruhi oleh thermodynamic, sifat kinetik pada system serbuk, intensitas milling dan temperatur. Mekanisme Alloying Dalam mechanical alloying/ mechanical milling serbuk akan di campur dalam suatu chamber (ruangan) dan dikenai energi agar

2 terjadi deformasi yang berulang- ulang sehingga akan terjadi partikel partikel yang lebih kecil dari sebelumnya. Akibat dari tumbukan pada tiap tipe dari unsur partikel serbuk akan menghasilkan bentuk yang berbeda juga, untuk bahan yang ulet sebelum terjadi fracture akan menjadi flat atau pipih terlebih dahulu, sedangkan untuk bahan yang getas akan langsung terjadi fracture dan menjadi partikel serbuk yang lebih kecil. Saat dua bola bertumbukan berulang ulang menyebabkan terjadinya penggabungan alloying, ilustrasinya dapat di lihat pada Gambar 2.1(Suryanarayana, 2003) Gambar 1 Mekanisme terjadinya tumbukan Faktor yang Mempengaruhi Proses Mechanical Alloying a. Kecepatan Milling Besar kecepatan maksimum tiap tipe milling akan berbeda, ketika perputaran ball mill semakin cepat, maka energi yang di hasilkan juga akan semakin besar. Tetapi di samping semua itu, design dari milling ada pembatasan kecepatan yang harus di lakukan. Sebagai contoh pada planetary ball mill, meningkatkan kecepatan akan mengakibatkan bola yang ada di dalam chamber juga akan semakin cepat pergerakannya, tenaga yang di hasikan juga besar. Tapi jika kecepatan melebihi kecepatan kritis maka akan terjadi pinned pada dinding bagian dalam sehingga bola bola tidak jatuh sehingga tidak menghasilkan gaya impact. Jadi sebaiknya menggunakan kecepatan di bawah kecepatan kritisnya sehingga bola dapat jatuh dan menghasilkan tenaga impact yang optimal. Hal ini akan berpengaruh ke waktu yang di butuhkan untuk mencapai hasil yang di inginkan. (Suryanarayana, 2003) b. Grinding Medium Ukuran dari bola juga mempengaruhi efisiensi dari proses milling. Ukuran yang besar dan density yang tinggi pada suatu bola akan menghasilkan energi impact yang besar. Bentuk akhir dari serbuk setelah di lakukan milling juga di pengaruhi oleh ukuran ball mill itu sendiri. Bola yang besar maka kemungkinan adanya kontaminan akan semakin besar, walaupun energi yang akan dihasilkan juga besar tapi bagian bola yang akan menumbuk serbuk akan semakin kecil luasnya. Sedangkan jika menggunakan bolan kecil semua maka energi yang dihasilkan juga kecil, tapi proses terjadinya alloying bisa lebih maksimal. (Suryanarayana, 2003) Kaloshkin (1997) mengungkapkan bahwa untuk memaksimalkan proses milling salah satunya adalah dengan menggunakan ukuran bola yang berbeda beda. Tetapi ada batasan dalam mengkombinasi bola tersebut, jika perbedaan (bola besar dan bola yang kecil) terlalu besar maka di khawatirkan bola yang besar akan menghancurkan bola yang kecil. c. Ball to Powder Weight Ratio (BPR) Perbandingan berat antara bola dengan serbuk (BPR) merupakan variable yang penting dalam proses milling. Sa Lisboa (2002) yakni milling Al 50 Si 30 Fe 15 Ni 15 menghasilkan produk yang hampir sama yaitu waktu penggilingan 40 jam dengan BPR 15:1 dan waktu penggilingan 95 jam dengan BPR 10:1. Pada penelitian Gonzalez (2001), campuran Fe-Al tidak terjadi alloying jika perbandingan BPRnya 1:1 dengan menggunakan ball mill baja maupun WC. Ketika perbandingan BPR di naikkan menjadi 8:1 maka akan terjadi alloying selama 3 jam(menggunakan bola baja) dan 5 jam jika menggunakan ballmill WC (wolfram carbon). (Sa Lisboa 2002) d. Waktu Milling Waktu milling merupakan salah satu parameter yang penting untuk milling pada serbuk. Pada umumnya waktu dipilih untuk mencapai posisi tepat antara pemisahan dan pengelasan partikel serbuk untuk memudahkan memadukan logam. Variasi waktu yang diperlukan tergantung pada tipe mill yang digunakan, pengaturan milling, intensitas milling, BPR, dan temperatur pada milling. Pada umumnya dihitung waktu yang diambil untuk mencapai kondisi yang tepat, yaitu jangka pendek untuk energi milling yang tinggi, dan jangka waktu lama ketika dengan energi milling yang rendah. Waktu yang dibutuhkan lebih sedikit untuk BPR dengan nilai-nilai yang tinggi dan waktu yang lama untuk BPR dengan nilai rendah. Ini dapat dilihat pada Gambar 2.2 (Suryanarayana, 2003) e. Process Control Agents Process control agent atau biasa disebut pelumas di tambahkan ke dalam campuran

3 serbuk selama terjadi proses milling untuk mengurangi efek dari cold welding. PCA bisa berbentuk cairan, gas, maupun padatan. (Suryanarayana, 2003) f. Milling Atmosfer Jenis atmosfir juga mempengaruhi fasa akhir yang terbentuk. Pada Cr-Fe serbuk saat di millling menggunakan atmosfir, tidak ada fasa amorphouse yang terbentuk. dan ketika serbuk di milling dengan selain argon dan nitrogen atmosfir, terbentuk fasa amorphous sepenuhnya (Ogino, 1990) g.temperatur Milling Temperatur juga merupakan faktor yang cukup penting. Karena dapat mempengaruhi dalam alloying serbuk tersebut. Ada beberapa cara untuk melakukan beberapa variasi temperatur, misalnya dengan menggunakan nitrogen cair untuk menghasilkan temperatur yang dingin dan menggunakan pemanas untuk temperatur yang cukup tinggi. Temperatur milling mempengaruhi tingkat struktur nanocristalline yang terbentuk (Koch,2003). Milling pada temperatur yang lebih rendah dapat menimbulkan cacat yang disebabkan oleh deformasi plastis yang berkaitan dengan thermal recovery, kerapatan dislokasi yang lebih tinggi dan oleh karena itu ukuran butir yang diperoleh dapat lebih halus. Gambar 2 Grafik grain size dan milling time untuk milling CoZr pada temperatur yang berbeda dengan menggunakan SPEX. Temperatur milling meningkatkan amorphization. Pada Gambar 2.4, temperatur rendah (cryogenic) tidak dapat menghasilkan fasa amarf, pada temperatur kamar menghasikan fasa amorf parsial dan pada temperatur tinggi menghasilkan fase amorf sempurna. Ini telah diteliti dalam Ni Ti dan Ni Zr. Selama milling Ni 50%Zn menggunakan vribating mill, fasa amorf tidak ditemukan ketika serbuk dimilling dengan liquid nitrogen temperatur selama 15 h. Disisi lain dengan waktu yang sama dihasilkan fully amorphous phase pada 200 o C, dan partially amorphous phase dihasilkan pada temperatur ruangan. (Suryanarayana, 2003) Temperatur milling meningkatkan proses penggabungan (welded). Untuk waktu milling selama 10 jam ditunjukkan pada Gambar 2.6. Ketika milling selama 10 jam butir yang terbentuk (welded) semakin besar tampak pada Gambar 2.6 a dan b. Penggabungan (welded) yang lebih sempurna lebih maximal pada temperature ruang dari pada temperature yang lebih rendah. (Zuo,2009) h Fraksi Berat Pemaduan Cu dan Zn metode mechanical alloying dengan heat treat C (24 jam) menghasilkan fasa ε dan γ untuk fraksi volume Zn >50%, dan untuk fraksi volume Zn<50% didapatkan fasa α sebagai hasil akhirnya. Pabi Murty (1996), pada penelitiannya didapatkan fasa α, β, γ, ε dari sintesis mechanical alloying dengan menggunakan planetary ball mill, kecepatan 300 rpm, WC ball dan conainer. Berikut transformasi pada saat pencampuran CuZn dengan MA : Tabel 1 Tahapan fasa Cu-Zn dengan Mechanical Alloying Composition Transformation Sequence Cu 85 Zn 15 ε α + ZnO Cu 70 Zn 30 ε + γ β α + ZnO Cu 60 Zn 40 ε + γ β + α α + ZnO Cu 50 Zn 50 ε + γ ε + γ + β + M β + α + ZnO α + ZnO Vu 35 Zn 65 ε + γ γ γ + β + ZnO β + ZnO Kombinasi Ductile Brittle Pada kombinasi ini pada tahap awal proses milling serbuk logam yang ulet akan membentuk flat / pipih akibat tumbukan antar bola. Sedangkan untuk serbuk logam yang getas akan menjadi pertikel yang lebih kecil dari sebelumnya, dan partikel pertikel kecil tersebut akan terjebak di antara dua laminae serbuk yang ulet (Gambar 2.7 a), dan tiap layer akan berubah arah sehingga menjadi berkelok kelok (Gambar 3 b dan c) a b c Gambar 3 Kombinasi antara serbuk logam getas dengan serbuk logam ulet.

4 Diagram Fasa Cu-Zn yang salah satu paduannya adalah brass yang merupakan paduan industri yang penting. Pada Gambar 4, dapat dilihat bahwa Cu melarutkan sampai kurang lebih 40% Zn dalam larutan padat primer, dan pendinginannya setiap paduan dalam kurun ini yang tentunya berstruktur fcc menghasilkan struktur larutan α. Sebaliknya larutan padat primer lain yaitu fase cph sangat terbatas. Fenomena khusus yang terlihat pada diagram adalah adanya beberapa larutan padat sekunder yaitu fase-fase yang berada di tengah-tengah diagram dengan kurun kehomogenan yang cukup luas, dan terlihat bahwa setiap fase antara (intermediate) terbentuk selama pembekuan dari reaksi peritek. Juga terlihat fase δ menjadi tidak stabil pada temperature di bawah C dan terdekomposisi dengan eutectoid menjadi γ+ε. Diagram juga memperlihatkan transformasi order-disorder fase β yang terjadi pada paduan yang mengandung kurang lebih 50%Zn dalam kurun temperatur C. Di atas temperatur yang lebih rendah, atom-atom Zn terdistribusi teratur dalam kisi BCC dan fase teratur (ordered) ini disebut β. Gambar 4. Diagram fasa Cu-Zn METODOLOGI Bahan Serbuk yang digunakan yaitu serbuk Cu murni merk Merck dengan kemurnian 99,7% dengan ukuran partikel serbuk Cu berkisar µm (230 mesh ASTM) dan serbuk Zinc <45µm, gas Argon, dan gas Nitrogen. Penentuan fraksi berat serbuk yang digunakan adalah : Tabel 2 Berat Serbuk Cu-Zn Paduan Cu Zn Cu-20%Zn 6.78 gram 1.74 gram Cu-30%Zn 5.91 gram 2.61 gram Cu-40%Zn 5.04 gram 3.48 gram Peralatan 1 HEM tipe E3D HEM tipe E3D ini memiliki keunggulan dengan pola gerakan berputar 3 dimensi. Kompleksitas gerakan ini ditujukan untuk memperbesar jumlah tumbukan bola-bola milling yang berujung pada peningkatan energi milling dan kecepatan pemprosesan material. Selain itu, penambahan jalur gerakan bola juga dilakukan untuk memperkecil kemugkinan munculnya dead zone. Ekspektasi tersebut telah dapat dicapai, namun HEM ini hanya dapat diaplikasikan pada skala laboratorium. Pengembangan ke arah produksi missal nampaknya akan sulit untuk dilakukan disebabkan kompleksifitas gerakan yang dimiliki. Gambar 5 High Energy Milling - HEM E3D 2 HEM Temperatur Tinggi HEM Temperatur Tinggi ini memiliki keunggulan yaitu dapat pengatur temperatur milling. Disini milling chamber dengan diletakkan di dalam furnace. Pola gerakannya naik turun, dengan kecepatan shaking tanpa rotasi, sehingga jika dibandingkan dengan HEM E3D jumlah tumbukan bola-bola milling yang berujung pada peningkatan energi milling dan kecepatan pemprosesan material lebih rendah. Untuk kapasitas milling pada HEM-Temperatur Tinggi ini sama dengan HEM E3D, hanya dapat diaplikasikan pada skala laboratorium. Gambar 6 High Energy Milling HEM Temperatur Tinggi

5 DIAGRAM ALIR Gambar 7 Diagram Alir Metode Penelitian Material dasar pembuatan paduan Cu-Zn yang diterapkan pada penelitian ini terdiri dari serbuk Cu dan Zn, dibuat variasi fraksi volume Zn yaitu 20%, 30%, 40% kemudian masing masing dicampurkan dengan metode dry mixing mechanical alloying dengan alat high energy milling, di milling dengan variasi temperatur 25 o C, 100 o C dan 200 o C kondisi gas inert atmosfir untuk mencegah terjadinya oksidasi. Pertama tama CuZn di pra milling dengan HEM E3D selama 5jam 1400 rpm, setelah itu dimilling temperatur 25 o C, 100 o C dan 200 o C selama 2 jam 700rpm dengan HEM-Temperatur tinggi, dan menggunakan BPR 20:1. Sampel kemudian diamati mikrostrukturnya menggunakan scaning electrone microscope (SEM) dan Mikroskop optik, serta untuk elemen pembentuk yang terjadi pada paduan serbuk dengan EDX, analisa fasa dengan X-Ray diffraction (X-RD). Proses Preparasi Milling Pada proses milling dilalui tahapan-tahapan sebagai berikut : a. Sterilisasi ball mill dan milling container (chamber) Proses milling dalam penelitian ini menggunakan perbandingan berat bola dengan serbuk adalah 20 : 1. Dengan ball stell, yaitu jumlah bola besar 35 buah (117,81 gram) dan bola kecil 105 buah (52,5 gram). Sterilisasi ball mill adalah pembersihan bola bola milling yang bertujuan untuk menghilangkan kontaminan-kontaminan yang masih tersisa di dinding bola-bola milling. Langkah pengerjaannya yaitu wadah container beserta bola bola milling dan campuran ethanol dan silica di milling selama 1 jam, dibilas dengan air dan dibilas kembali dengan ethanol. Kemudian untuk bola bolanya dibersihkan lagi dengan menggunakan ethanol di dalam ultrasonic cleaner. b. Milling dummy Milling dummy bertujuan untuk mengkondisikan milling container (chamber) dan bola-bola milling setelah langkah pembersihan. Setelah itu, chamber dan bola bila milling siap digunakan. c. State Inert Atmosfir State Inert atmosfir adalah pengkondisian pada chamber agar dalam kondisi gas inert, bertujuan untuk mencegah oksidasi selama proses milling berlangsung. Ketika memasukkan sample, chamber dialiri dengan gas inert (argon dan nitrogen), kemudian chamber ditutup, dan siap di milling. Proses Milling a. Pra-Millling CuZn yang sudah berada dalam miliing chamber dimilling dengan menggunakan HEM E3D selama 5jam dengan kecepatan 1400 rpm. b. Milling Setelah pra milling dilakukan, milling chamber dipindahkan ke HEM-Temperatur Tinggi. Milling dilakukan dengan variasi temperatur 25 o C, 100 o C dan 200 o C selama 2 jam 700 o C rpm. BPR 20:1. ANASILA DATA DAN PEMBAHASAN 1 Analisa Fasa Menggunakan Uji XRD Untuk mengetahui perubahan fasa yang terjadi pada serbuk hasil milling, maka dilakukan pengujian XRD (X-Ray Difraction). Pola XRD pada milling CuZn terdiri dari Cu, Zn, fasa ε (CuZn 5 ), fasa γ (Cu 5 Zn 8 ), fasa β (CuZn), fasa α (Cu 0.64 Zn 0.36 ) dan fasa ZnO Analisa identifikasi fasa pada serbuk paduan Mechanical Alloying ini menggunakan software PCPDFWIN, dengan menggunkan data PDF Card yang digunakan yaitu :

6 Cu Zn CuZn 5 (ε) Cu 5 Zn 8 (γ) CuZn (β) Cu 0.64 Zn 0.36 (α) ZnO Tabel 3. PDF Card Fasa Kode PDF 2θ , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Identifikasi fasa pada produk paduan MA menunjukkan bahwa adanya perubahan fasa pada tiap perlakuan milling yang berbeda. Perbedaan ini berdasarkan pengaruh temperatur milling dan fraksi berat. Pengaruh Temperatur Milling terhadap Perubahan Fasa Pengaruh temperatur milling terhadap perubahan fasa diamati pada Cu-20%Zn, Cu- 30%Zn dan Cu-40%Zn pada 25 o C, 100 o C dan 200 o C a. Pengaruh temperatur milling terhadap Cu- 20%Zn juga terlihat bahwa ZnO tidak munculnya, hal ini disebabkan karena rektan Cu dan reaktan Zn sudah saling berikatan sehingga tidak ada reaktan Zn yang berikatan dengan O. Saat milling pada temperatur 200 o C fasa yang terbentuk adalah α + ZnO, hal ini menunjukkan bahwa efek milling pada temperatur yang tinggi menyebabkan terbentuknya oksida seng (ZnO). Jika dibandingkan intensitasnya, pada temperatur milling 200 C memiliki tinggi intensitas sebesar 1069 yang lebih tinggi dibandingkan temperatur 25 o C yaitu 718 dan temperatur milling 100 C yaitu 888, hal ini menunjukkan bahwa dengan naiknya temperatur milling maka fasa yang terbentuk semakin banyak jumlahnya dan semakin sempurna. Perbedaan intensitas fasa yang terbentuk ini dipengaruhi oleh difusi atom yang terjadi pada saat milling dan terus berlanjut dengan bertambahnya temperatur milling. Kalau dilihat dari diagram fasa untuk paduan Cu-20wt%Zn, fasa yang terbentuk adalah fasa α, jadi hasil milling sudah sesuai dengan diagram fasa. b. Pengaruh temperatur milling terhadap Cu- 30%Zn Gambar 9 Grafik XRD Pengaruh Temperatur Milling terhadap perubahan fasa Cu-30wt%Zn. Gambar 8 Grafik XRD Pengaruh Temperatur Milling terhadap perubahan fasa Cu-20wt%Zn. Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa saat milling pada temperatur 25 o C fasa yang muncul adalah fasa α. Hal ini menunjukkan bahwa rektan Cu sudah habis pada saat pra milling dan fasa yang terbentuk sudah berupa fasa α. Pada milling pada temperatur 100 o C fasa yang terbentuk adalah fasa α yang lebih sempurna dengan intensitas fasa α lebih tinggi dibandingkan dengan milling pada temperatur 25 C. Disini Dari Gambar 9 diatas telihat bahwa fasa yang terbentuk adalah fasa α semua baik pada temperatur milling 25 C, 100 C dan 200 C. Tetapi jika kita lihat peak fasa α tetinggi, intensitasnya berbeda. Intensitas fasa α tertinggi pada temperatur milling 25 C adalah 724, temperatur milling 100 C adalah 812, dan pada temperatur milling 200 C adalah 682. Hal ini menunjukkan bahwa saat milling yang tejadi pada komposisi Cu-30%Zn bahan mengalami pengecilan/hancur akibat tumbukan dari ball mill, tetapi ketika dipanaskan serbuk tidak membesar dengan kata lain serbuk hancur tumbuh lagi,hancur dan tumbuh lagi terus menerus.

7 c. Pengaruh temperatur milling terhadap Cu- 40%Zn Gambar 10 Grafik XRD Pengaruh Temperatur Milling terhadap perubahan fasa Cu-40wt%Zn. Pada grafik 10 pada saat milling pada temperatur 25 o C menunjukkan mulai terbentuk fasa β baru akan muncul dan masih belum sempurna. Hal ini terlihat pada puncak tertingginya adalah fasa α. Sehingga dominasi produk paduan milling temperatur 25 o C Cu- 40%Zn ini adalah fasa α. Pada milling temperatur 100 C, fasa β muncul dengan peak pada o 2Theta Hal ini menunjukkan bahwa dengan dilakukan milling pada temperatur tinggi fasa β muncul. Pada milling temperatur 200 C intensitas fasa α pada peak o 2Theta intensitasnya semakin menurun yaitu 506. Sedangkan fasa β pada peak o 2Theta intensitas 292. Ini terlihat bahwa fasa β terus tumbuh dan semakin sempurna dengan naiknya temperatur milling. Pengaruh Fraksi Berat tehadap Perubahan Fasa Pengaruh fraksi berat terhadap perubahan fasa diamati pada serbuk dengan temperatur milling 200 o C dengan fraksi berat Cu-20wt%Zn, Cu- 30wt%Zn dan Cu-40wt%Zn. Gambar 11 Grafik XRD Pengaruh fraksi berat terhadap milling temperatur 200 C Dari Gambar 11 dan Tabel 4 pada paduan Cu- 40%Zn fasa yang terbentuk adalah fasa α, β dan ZnO. Terlihat pada peak o 2Theta dengan intensitas 506 adalah fasa α, diikuti dengan fasa β pada peak o 2Theta dengan intensitas intensitas lebih rendah yaitu 292. Hal ini menunjukan bahwa fasa β mulai bertransformasi menjadi fasa α Pada paduan Cu-30wt%Zn fasa yang terbentuk adalah fasa α + ZnO dengan puncak tertinggi pada o 2Theta dengan intensitas 682. Pada paduan Cu-20%Zn fasa yang terbentuk adalah fasa α + ZnO dengan puncak tertinggi pada o 2Theta dengan intensitas Tabel 4 Identifikasi fasa pada Mechanical Alloying Cu-Zn Paduan Cu- 20%Zn Cu- 30%Zn Cu- 40%Zn Tem peratur Fasa Intensitas fasa pada puncak tertinggi 25 C α + ZnO C α C α + ZnO C α + ZnO C α + ZnO C α C α + β + ZnO C α + β + ZnO C α + β + ZnO α β 112 (belum menjadi peak) Hal ini menunjukkan bahwa difusi Zn ke Cu lebih cepat ketika fraksi berat Cu-20%Zn. Semakin sedikit fraksi berat Zn semakin cepat terbentuk paduan. Dengan ukuran kristal Zn yang lebih besar dari pada Cu, energi untuk memperkecil ukuran Zn juga semakin besar. Ketika jumlah Zn 20% maka energi pada milling lebih cepat memperkecil ukuran Zn dari pada 40% Zn yang fraksi beratnya lebih besar. SK Pabi dan Marteli,1996 juga memetakan bahwa fraksi berat optimum terbentuknya fasa α lebih cepat ketika Zn 15%, bila dibandingkan dengan Zn 50. Dan juga ketika jumlah Zn semakin sedikit maka pembentukan kristal fasa α semakin sempurna hal ini ditunjukkan bahwa peak α pada Zn20% lebih runcing dibandingkan dengan Zn40%. Pada penelitian ini terlihat terlihat bahwa pada semua paduan jika dimilling dengan temperatur 25 C maka fasa yang dominan terbentuk adalah

8 α + ZnO. Pada paduan Cu-40%Zn jika dipanaskan terus menerus maka fasa β muncul. Hal ini bertentangan dengan penelitian Pabi Murti,1995 bahwa untuk paduan Cu 60 Zn 40 tahapan fasa Cu-Zn pada Mechanical Alloying adalah ε + γ β + α α + ZnO. Oleh karena itu penelitian Pabi Murti hanya berlaku pada milling temperatur ruang (25 C). Kalau dilihat dari diagram fasa, fasa terakhirnya α + β. Jadi jika tidak dilakukan milling pada temperatur tinggi fasa β tidak muncul. Tabel 4 menunjukkan bahwa paduan terbentuk fasa α optimum adalah pada milling temperatur 200 C dengan Cu-20%Zn, dimana intensitas fasa α tertinggi yaitu Sedangkan pada saat milling 200 C Cu-40%Zn fasa yang terbentuk adalah fasa α dan fasa β, dengan tinggi intensitas fasa α masih sangat rendah dibandingkan dengan Cu-20%Zn. Hal ini menyatakan bahwa fasa α baru tumbuh pada Cu- 40%Zn dan semakin tumbuh puncaknya pada Cu-30%Zn dan semakin sempurna di Cu-20%Zn. 2. Analisa Morfologi Serbuk Pengujian SEM dan EDX Analisa mikrostruktur dari hasil pengujian SEM-EDX digunakan untuk pengamatan mikrostruktur yang terbentuk pada produk paduan. Pada analisa SEM-EDX ini akan terbaca partikel MA dapat terbentuk paduan atau tidak. Pada analisa mikrostruktur dari partikel yang terbentuk dan menunjukkan terjadi paduan dari hasil EDX berupa data %atom dan %massa, maka dapat dibandingkan dengan analisa fasa menggunakan XRD baik pada pengaruh waktu milling maupun pengaruh fraksi berat. Dalam pengukuran besar butir menggunakan software Imagej. Pada hasil SEM EDX dapat diketahui terbentuknya paduan atau tidak dilihat dari % atom dari masin masing butir. Selain itu dapat dilihat % massa untuk mencocokkan apakah sudah sesuai dengan komposisi awalnya. Dari hasil gambar hasil uji SEM EDX Cu- 20%Zn (a) 25 C (b)100 C (c) 200 C, untuk menghitung diameter butir serbuk digunakan software ImageJ 1.44p. Hasil analisa perhitungan ukuran butir dapat dilihat pada gambar 13 Gambar 13 Hasil analisa ImageJ Pada Gambar 13 menunjukkan bahwa diameter Cu-20%Zn pada temperatur milling 25 C adalah µm, pada temperatur milling 100 C terlihat ukuran serbuknya semakin besar dengan diameter µm. Dan pada temperatur 200 C serbuk semakin besar dibandingkan saat milling dengan temperatur 25 C dan 100 C yaitu µm. Hal ini menunjukkan bahwa dengan temperatur milling yang lebih tinggi maka ukuran serbuk hasil Mechanical Alloying lebih besar. C.Suryanaryana, 2001 juga mengatakan hal yang serupa bahwa dengan naiknya temperatur milling maka ukuran serbuknya akan semakin besar. Gambar12. Hasil SEM Cu-20%Zn (a) 25 C (b)100 C (c) 200 C Gambar 14. Hasil SEM EDX temperatur 200 o C (a)cu-20%zn (b) Cu-30%Zn (c) Cu-40%Zn

9 Tabel 5 Identifikasi %Atom dari SEM EDX No Paduan Cu Zn 1 Cu-20%Zn Cu-30%Zn Cu-40%Zn No Tabel 6 Identifikasi fraksi berat dari hasil SEM EDX Data SEM Hasil EDX Paduan Perhitungan Cu Zn Cu Zn wt.% wt.% wt.% wt.% Dari hasil SEM EDX, untuk %Atom pada Gambar 13 dan 14 dengan temperatur milling 200 C dengan komposisi yang berubah. Pada paduan Cu-20%Zn terdeteksi %Atom pada kedua butir hampir sama dengan rata rata %Atom Cu = 9.38 dan %Atom Zn= Sedangkan pada paduan Cu-40%Zn terdeteksi %Atom Cu= dan %Atom Zn=9.06. Pada fraksi berat 20%Zn (80% Cu) justru memiliki jumlah %Atom Cu lebih sedikit dibandingkan dengan 40%Zn(80%Cu). Jadi jumlah %Atom Cu dan Zn berbanding terbalik dengan fraksi berat. Hal ini diakibatkan karena sebagian energi tumbukan ball mill dalam milling chamber lebih terkonsentrasi pada reduksi atom Zn. Energi penghancuran yang digunakan lebih cepat membentuk paduan pada fraksi massa Zn yang sedikit (wt%zn). Energi penghancuran untuk Zn lebih besar dari pada Cu. Oleh karena itu wt%zn yang banyak juga membutuhkan energi yang lebih besar. Wt% Zn sedikit lebih membutuhkan energi yang sedikit, karena penghancuran Zn semakin cepat. Sehingga pembentukan fasa α lebih cepat. Dari hasil SEM EDX, untuk fraksi massa, Selain itu dapat dilihat % massa untuk mencocokkan apakah sudah sesuai dengan komposisi awal serbuk sebelum di milling. Dengan rumus 4.1 dan rumus 4.2 : %Cu = %Cu EDX x 100%...(4.1) %Cu EDX +%Zn EDX %Zn = %Zn EDX x 100%...(4.2) %Cu EDX +%Zn EDX 1 Cu-20%Zn Cu-30%Zn Cu-40%Zn Dari tabel diatas, dapat kita lihat bahwa komposisi butiran yang didapat dari hasil EDX dan data hasil perhitungan memiliki perbandingan yang mendekati prosentase perbandingan berat serbuk yang digunakan pada paduan CuZn pada penelitian ini. Dari hasil XRD, menunjukkan bahwa variasi optimum untuk pembentukan fasa α adalah temperatur milling 200 C dengan fraksi berat 20%Zn. Fariasi optimum ini juga diamati mekanisme pembentukan antara bahan ulet Cu dan bahan getas Zn. Pada Tabel 6 dapat dilihat prosentase atom hasil penembakan elektron pada tiap butir sudah menggandung Cu dan Zn hal ini menunjukkan sudah terjadi paduan CuZn. Gambar 12 (C) terlihat bahwa ukuran serbuk pada Cu-20wt%Zn 200 o C adalah µm serta dari gambar tersebut sudah tidak terlihat adanya struktur lamelar, hal ini menunjukkan bahwa difusi sudah berjalan dengan baik. Cu semakin homogen dan pembentukan paduan semakin baik. Pada Gambar 12 (c) menunjukkan bahwa variasi dengan temperatur milling 200 o C dan fraksi berat 20% Zn dapat terbentuk paduan CuZn secara optimum. KESIMPULAN Dari hasil penelitian mengenai pemaduan mekanik (MA) pada produk paduan Cu dan Zn pengaruh temperaur milling dan fraksi berat terhadap perubaha fasa dan mikrostruktur, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Pada temperatur ruang semua paduan memiliki dominan fasa α 2. Pada paduan Cu-40%Zn untuk temperatur ruang fasa β baru mulai muncul, setelah dilakukan milling dengan temperatur tinggi. 3. Pengaruh temperatur milling terhadap perubahan fasa adalah semakin tinggi temperatur milling maka serbuk semakin besar berbentuk rounded (bulat), dan proses terjadinya alloying semakin cepat.

10 4. Pengaruh fraksi berat terhadap perubahan fasa adalah semakin kecil fraksi berat Zn semakin cepat terbentuknya fasa α. 5. Pengaruh temperatur milling terhadap mikrostrukturnya adalah semakin tinggi temperatur milling maka ukuran serbuk pada paduan semakin besar. 6. Fasa α optimum terbentuk pada paduan Cu- 20%Zn dengang temperatur milling 200 C. DAFTAR PUSTAKA Suryanarayana,C Mechanical Alloying and Milling Newyork: Colorado School of Mines Golden, Colorado. CO , USA Taufiq, Nurul., K Kawamoto, H.Sueyoshi Effect of milling temperature and additive elements on an Fe C system alloy prepared by Mechanical Alloying Japan : Department of Mechanical Engineering, Faculty of Engineering, Kagoshima Uni6ersity, Korimoto, Kagoshima C.C.Koch Top down synthesis of nanostructured materials mechanical and thermal processing methods.usa : North Carolina State Univercity, Raleight, NC Isra,Rahmatillah.,2010 Pengaruh Perubahan Fraksi Volum Zn dan Waktu Milling pada Mechanical Alloying Terhadap Proses Pemaduan Cu-Zn Alloy.Tugas Akhir.Jurusan Teknik Material dan Metallurgi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Ke-Sheng,ZUO., Sheng-qi,XI. Dan Jingen,ZHOU Effect of Temperature on Mechanical Alloying of Cu-Zn and Cu-Cr System: ScienceDirect Nonferrous Metals Society of China. China: School of Materials Science and Engineering, Xi an Kaloshkin SD, Tomlin IA, Andrianov GA, Mater Sci Forum, Shelekhov: Baldokhin UV EV 235± 238: 565±70. Ogino Y, Yamasaki T, 1990,Non-Cryst Solids;117/118:737±40 Pabi, S.K. dan Murty, B.S Mechanism of Mechanical Alloying in Ni-Al and Cu-Zn Systems: Materials Science & Engineering. India: Departement of Metallurgical and Material Engineering, Indian Institute of Technology, Kharagpur Setiawan, Hendy Pengaruh Perubahan Fraksi Volum Zn dan Kecepatan Milling pada Mechanical Alloying Terhadap Proses Pemaduan Cu-Zn Alloy.Tugas Akhir.Jurusan Teknik Material dan Metallurgi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Smallman, R.E Modern Physical Metallurgy : Fourth Edition Brimingham: Metallurgy and Materials, The University of Brimmingham.

Keyword: Mechanical alloying, ball to weight powder ratio (BPR), milling time.

Keyword: Mechanical alloying, ball to weight powder ratio (BPR), milling time. PENGARUH BALL TO POWDER WEIGHT RATIO (BPR) DAN WAKTU MILLING TERHADAP PERUBAHAN FASA DAN MORFOLOGI PADUAN Cu-30%Zn DENGAN MECHANICAL ALLOYING Indra Rukmana Army (3) Dr. Widyastuti, S.Si, M.Si (1), Wahyu

Lebih terperinci

Galuh Intan Permata Sari

Galuh Intan Permata Sari PENGARUH MILLING TIME PADA PROSES MECHANICAL ALLOYING DALAM PEMBENTUKAN FASA INTERMETALIK γ-tial DENGAN MENGGUNAKAN HIGH ENERGY MILLING Dosen Pembimbing: 1. Hariyati Purwaningsih, S.Si, M.Si 2. Ir. Rochman

Lebih terperinci

Pengaruh Kecepatan Milling Terhadap Perubahan Struktur Mikro Komposit Mg/Al 3 Ti

Pengaruh Kecepatan Milling Terhadap Perubahan Struktur Mikro Komposit Mg/Al 3 Ti Pengaruh Kecepatan Milling Terhadap Perubahan Struktur Mikro Komposit Mg/Al 3 Ti Budi Amin Simanjuntak, Hariyati Purwaningsih, S.Si, M.Si Teknik Material dan Metalurgi, Fakultas Teknologi Industri, Institut

Lebih terperinci

SIDANG TUGAS AKHIR Pengaruh Waktu Milling dan Temperatur Sintering Terhadap Pembentukan PbTiO 3 dengan Metode Mechanical Alloying

SIDANG TUGAS AKHIR Pengaruh Waktu Milling dan Temperatur Sintering Terhadap Pembentukan PbTiO 3 dengan Metode Mechanical Alloying -ب س م الله ال رح من ال رح يم - SIDANG TUGAS AKHIR Pengaruh Waktu Milling dan Temperatur Sintering Terhadap Pembentukan PbTiO 3 dengan Metode Mechanical Alloying Oleh : Febry Nugroho 2709 100 016 Dosen

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. Salah satu industri yang cukup berkembang di Indonesia saat ini adalah

1 BAB I PENDAHULUAN. Salah satu industri yang cukup berkembang di Indonesia saat ini adalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu industri yang cukup berkembang di Indonesia saat ini adalah industri baja. Peningkatan jumlah industri di bidang ini berkaitan dengan tingginya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK SERBUK 4.1.1. Serbuk Fe-50at.%Al Gambar 4.1. Hasil Uji XRD serbuk Fe-50at.%Al Berdasarkan gambar di atas, dapat diketahui bahwa secara keseluruhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan menggunakan kamera yang dihubungkan dengan komputer.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan menggunakan kamera yang dihubungkan dengan komputer. 10 dengan menggunakan kamera yang dihubungkan dengan komputer. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil sintesis paduan CoCrMo Pada proses preparasi telah dihasilkan empat sampel serbuk paduan CoCrMo dengan komposisi

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN 10%wt Mg DAN KECEPATAN MILLING TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIK PADUAN Al-Mg

PENGARUH PENAMBAHAN 10%wt Mg DAN KECEPATAN MILLING TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIK PADUAN Al-Mg SIDANG LAPORAN TUGAS AKHIR (MM091381) PENGARUH PENAMBAHAN 10%wt Mg DAN KECEPATAN MILLING TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIK PADUAN Al-Mg Oleh : Rendy Pramana Putra 2706 100 037 Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

PROSES PELAPISAN SERBUK Fe-50at.%Al PADA BAJA KARBON DENGAN PENAMBAHAN Cr MELALUI METODA PEMADUAN MEKANIK SKRIPSI

PROSES PELAPISAN SERBUK Fe-50at.%Al PADA BAJA KARBON DENGAN PENAMBAHAN Cr MELALUI METODA PEMADUAN MEKANIK SKRIPSI PROSES PELAPISAN SERBUK Fe-50at.%Al PADA BAJA KARBON DENGAN PENAMBAHAN Cr MELALUI METODA PEMADUAN MEKANIK SKRIPSI Oleh ARI MAULANA 04 04 04 010 Y SKRIPSI INI DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI SEBAGIAN PERSYARATAN

Lebih terperinci

Pengaruh Penambahan Aluminium (Al) Terhadap Sifat Hidrogenasi/Dehidrogenasi Paduan Mg 2-x Al x Ni Hasil Sintesa Reactive Ball Mill

Pengaruh Penambahan Aluminium (Al) Terhadap Sifat Hidrogenasi/Dehidrogenasi Paduan Mg 2-x Al x Ni Hasil Sintesa Reactive Ball Mill Pengaruh Penambahan Aluminium (Al) Terhadap Sifat Hidrogenasi/Dehidrogenasi Paduan Mg 2-x Al x Ni Hasil Sintesa Reactive Ball Mill I Wayan Yuda Semaradipta 2710100018 Dosen Pembimbing Hariyati Purwaningsih,

Lebih terperinci

pendinginan). Material Teknik Universitas Darma Persada - Jakarta

pendinginan). Material Teknik Universitas Darma Persada - Jakarta BAB V DIAGRAM FASE Komponen : adalah logam murni atau senyawa yang menyusun suatu logam paduan. Contoh : Cu - Zn (perunggu) komponennya adalah Cu dan Zn Solid solution (larutan padat) : terdiri dari beberapa

Lebih terperinci

BAB V DIAGRAM FASE ISTILAH-ISTILAH

BAB V DIAGRAM FASE ISTILAH-ISTILAH BAB V DIAGRAM FASE ISTILAH-ISTILAH Komponen : adalah logam murni atau senyawa yang menyusun suatu logam paduan. Contoh : Cu - Zn (perunggu), komponennya adalah Cu dan Zn Solid solution (larutan padat)

Lebih terperinci

BAB III PROSEDUR PENELITIAN

BAB III PROSEDUR PENELITIAN BAB III PROSEDUR PENELITIAN III.1 Umum Penelitian yang dilakukan adalah penelitian berskala laboratorium untuk mengetahui pengaruh variasi komposisi aditif (additive) yang efektif dalam pembuatan keramik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Batu bara + O pembakaran. CO 2 + complex combustion product (corrosive gas + molten deposit

BAB I PENDAHULUAN. Batu bara + O pembakaran. CO 2 + complex combustion product (corrosive gas + molten deposit BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pemadaman listrik yang dialami hampir setiap daerah saat ini disebabkan kekurangan pasokan listrik. Bila hal ini tidak mendapat perhatian khusus dan penanganan

Lebih terperinci

PASI NA R SI NO L SI IK LI A KA

PASI NA R SI NO L SI IK LI A KA NANOSILIKA PASIR Anggriz Bani Rizka (1110 100 014) Dosen Pembimbing : Dr.rer.nat Triwikantoro M.Si JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Partikel adalah unsur butir (dasar) benda atau bagian benda yang sangat kecil dan berdimensi; materi yang sangat kecil, seperti butir pasir, elektron, atom, atau molekul;

Lebih terperinci

PENGARUH TEMPERATUR KALSINASI PADA PEMBENTUKAN LITHIUM IRON PHOSPHATE (LFP) DENGAN METODE SOLID STATE

PENGARUH TEMPERATUR KALSINASI PADA PEMBENTUKAN LITHIUM IRON PHOSPHATE (LFP) DENGAN METODE SOLID STATE 1 PENGARUH TEMPERATUR KALSINASI PADA PEMBENTUKAN LITHIUM IRON PHOSPHATE (LFP) DENGAN METODE SOLID STATE Arum Puspita Sari 111010034 Dosen Pembimbing: Dr. Mochamad Zainuri, M. Si Kamis, 03 Juli 2014 Jurusan

Lebih terperinci

SINTESIS SERBUK MgTiO 3 DENGAN METODE PENCAMPURAN DAN PENGGILINGAN SERBUK. Abstrak

SINTESIS SERBUK MgTiO 3 DENGAN METODE PENCAMPURAN DAN PENGGILINGAN SERBUK. Abstrak SINTESIS SERBUK MgTiO 3 DENGAN METODE PENCAMPURAN DAN PENGGILINGAN SERBUK 1) Luluk Indra Haryani, 2) Suminar Pratapa Jurusan Fisika, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Paduan Fe-Al merupakan material yang sangat baik untuk digunakan dalam berbagai aplikasi terutama untuk perlindungan korosi pada temperatur tinggi [1]. Paduan ini

Lebih terperinci

Pengaruh Penambahan Yttrium Terhadap Struktur Mikro, Sifat Mekanik Dan Ketahanan Termal Pada Paduan Mg-6Zn Sebagai Aplikasi Engine Block

Pengaruh Penambahan Yttrium Terhadap Struktur Mikro, Sifat Mekanik Dan Ketahanan Termal Pada Paduan Mg-6Zn Sebagai Aplikasi Engine Block JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) F-34 Pengaruh Penambahan Yttrium Terhadap Struktur Mikro, Sifat Mekanik Dan Ketahanan Termal Pada Paduan Mg-6Zn Sebagai Aplikasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 27 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 METODOLOGI PENELITIAN Proses pembuatan sampel dilakukan dengan menggunakan tabung HEM dan mesin MILLING dengan waktu yang bervariasi dari 2 jam dan 6 jam. Tabung HEM

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN IV.1 FENOMENA FADING PADA KOMPOSISI PADUAN AC4B Pengujian komposisi dilakukan pada paduan AC4B tanpa penambahan Ti, dengan penambahan Ti di awal, dan dengan penambahan

Lebih terperinci

Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi

Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi NURUL ROSYIDAH Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Pendahuluan Kesimpulan Tinjauan Pustaka

Lebih terperinci

Pengaruh Milling Time Terhadap Pembentukan Fasa γ-mgal Hasil Mechanical Alloying

Pengaruh Milling Time Terhadap Pembentukan Fasa γ-mgal Hasil Mechanical Alloying JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5 1 Pengaruh Milling Time Terhadap Pembentukan Fasa γ- Hasil Mechanical loying Ganive Pangesthi Aji, Hariyati Purwaningsih Jurusan Teknik Material dan Metalurgi,

Lebih terperinci

Studi Eksperimen Pengaruh Durasi Gesek, Tekanan Gesek Dan Tekanan Tempa Pengelasan Gesek (FW) Terhadap Kekuatan Tarik dan Impact Pada Baja Aisi 1045

Studi Eksperimen Pengaruh Durasi Gesek, Tekanan Gesek Dan Tekanan Tempa Pengelasan Gesek (FW) Terhadap Kekuatan Tarik dan Impact Pada Baja Aisi 1045 Studi Eksperimen Pengaruh Durasi Gesek, Tekanan Gesek Dan Tekanan Tempa Pengelasan Gesek (FW) Terhadap Kekuatan Tarik dan Impact Pada Baja Aisi 1045 Hari Subiyanto 1,*, Subowo 1, Gathot DW 1, Syamsul Hadi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Densitas Abu Vulkanik Milling 2 jam. Sampel Milling 2 Jam. Suhu C

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Densitas Abu Vulkanik Milling 2 jam. Sampel Milling 2 Jam. Suhu C 38 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI HASIL 4.1.1 Hasil Pengujian Densitas Abu Vulkanik Milling 2 jam Pengujian untuk mengetahui densitas sampel pellet Abu vulkanik 9,5gr dan Al 2 O 3 5 gr dilakukan

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI MILLING TIME dan TEMPERATUR KALSINASI pada MEKANISME DOPING 5%wt AL NANOMATERIAL TiO 2 HASIL PROSES MECHANICAL MILLING

PENGARUH VARIASI MILLING TIME dan TEMPERATUR KALSINASI pada MEKANISME DOPING 5%wt AL NANOMATERIAL TiO 2 HASIL PROSES MECHANICAL MILLING PENGARUH VARIASI MILLING TIME dan TEMPERATUR KALSINASI pada MEKANISME DOPING 5%wt AL NANOMATERIAL TiO 2 HASIL PROSES MECHANICAL MILLING I Dewa Gede Panca Suwirta 2710100004 Dosen Pembimbing Hariyati Purwaningsih,

Lebih terperinci

STUDI PENGARUH TEMPERATUR DAN WAKTU AGING TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN MIKROSTRUKTUR KOMPOSIT

STUDI PENGARUH TEMPERATUR DAN WAKTU AGING TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN MIKROSTRUKTUR KOMPOSIT STUDI PENGARUH TEMPERATUR DAN WAKTU AGING TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN MIKROSTRUKTUR KOMPOSIT Al/Al2O3 HASIL PROSES CANAI DINGIN Asfari Azka Fadhilah 1,a, Dr. Eng. A. Ali Alhamidi, ST.,MT. 1, dan Muhammad

Lebih terperinci

PENGARUH NITROGEN TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO PADUAN IMPLAN Co-28Cr-6Mo-0,4Fe-0,2Ni YANG MENGANDUNG KARBON HASIL PROSES HOT ROLLING

PENGARUH NITROGEN TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO PADUAN IMPLAN Co-28Cr-6Mo-0,4Fe-0,2Ni YANG MENGANDUNG KARBON HASIL PROSES HOT ROLLING PENGARUH NITROGEN TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO PADUAN IMPLAN Co-28Cr-6Mo-0,4Fe-0,2Ni YANG MENGANDUNG KARBON HASIL PROSES HOT ROLLING Kafi Kalam 1, Ika Kartika 2, Alfirano 3 [1,3] Teknik Metalurgi

Lebih terperinci

4.1 ANALISA STRUKTUR MIKRO

4.1 ANALISA STRUKTUR MIKRO BAB IV PEMBAHASAN Percobaan perlakuan panas dan uji kekerasan paduan Fe-Ni-10%Al, Fe-Ni- 20%Al, Fe-Ni-30%Al dilakukan pada temperatur 900 o C dan 1000 o C dengan lama waktu pemanasan 24 jam dan 48 jam.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR-

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR- BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR- BATAN Bandung meliputi beberapa tahap yaitu tahap preparasi serbuk, tahap sintesis dan tahap analisis. Meakanisme

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini menggunakan 2 macam sampel paduan alumunium silikon dengan kadar penambahan Fe yang berbeda-beda. Yang pertama adalah sampel paduan alumunium

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS & HASIL PERCOBAAN

BAB IV ANALISIS & HASIL PERCOBAAN BAB IV ANALISIS & HASIL PERCOBAAN IV.1 Karakterisasi Serbuk Alumina Hasil Milling Menggunakan SEM Proses milling ditujukan untuk menghaluskan serbuk sehingga diperoleh gradasi ukuran partikel yang tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Magnet permanen adalah salah satu jenis material maju dengan aplikasi yang sangat luas dan strategis yang perlu dikembangkan di Indonesia. Efisiensi energi yang tinggi

Lebih terperinci

KARAKTERISASI PADUAN AlFeNiMg HASIL PELEBURAN DENGAN ARC FURNACE TERHADAP KEKERASAN

KARAKTERISASI PADUAN AlFeNiMg HASIL PELEBURAN DENGAN ARC FURNACE TERHADAP KEKERASAN No.06 / Tahun III Oktober 2010 ISSN 1979-2409 KARAKTERISASI PADUAN AlFeNiMg HASIL PELEBURAN DENGAN ARC FURNACE TERHADAP KEKERASAN Martoyo, Ahmad Paid, M.Suryadiman Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir -

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan magnetik digunakan pada peralatan tradisional dan modern. Magnet permanen telah digunakan manusia selama lebih dari 5000 tahun seperti medium perekam pada komputer

Lebih terperinci

LOGAM DAN PADUAN LOGAM

LOGAM DAN PADUAN LOGAM LOGAM DAN PADUAN LOGAM SATU KOMPONEN digunakan luas, kawat, kabel, alat RT LEBIH SATU KOMPONEN, utk memperbaiki sifat PADUAN FASA TUNGGAL, MRPKAN LARUTAN PADAT, KUNINGAN (Tembaga + Seng) perunggu (paduan

Lebih terperinci

dislokasi pada satu butir terjadi pada bidang yang lebih disukai (τ r max).

dislokasi pada satu butir terjadi pada bidang yang lebih disukai (τ r max). DEFORMASI PLASTIS BAHAN POLIKRISTAL Deformasi dan slip pada bahan polikristal lebih kompleks. Polikristal terdiri dari banyak butiran ( grain ) yang arah slip berbeda satu sama lain. Gerakan dislokasi

Lebih terperinci

Erfan Handoko 1, Iwan Sugihartono 1, Zulkarnain Jalil 2, Bambang Soegijono 3

Erfan Handoko 1, Iwan Sugihartono 1, Zulkarnain Jalil 2, Bambang Soegijono 3 SINTESIS DAN KARAKTERISASI MATERIAL MAGNET HIBRIDA BaFe 12 O 19 - Sm 2 Co 17 Erfan Handoko 1, Iwan Sugihartono 1, Zulkarnain Jalil 2, Bambang Soegijono 3 1 Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

PENGARUH PERLAKUAN PANAS PADA ANODA KORBAN ALUMINIUM GALVALUM III TERHADAP LAJU KOROSI PELAT BAJA KARBON ASTM A380 GRADE C

PENGARUH PERLAKUAN PANAS PADA ANODA KORBAN ALUMINIUM GALVALUM III TERHADAP LAJU KOROSI PELAT BAJA KARBON ASTM A380 GRADE C PENGARUH PERLAKUAN PANAS PADA ANODA KORBAN ALUMINIUM GALVALUM III TERHADAP LAJU KOROSI PELAT BAJA KARBON ASTM A380 GRADE C Kharisma Permatasari 1108100021 Dosen Pembimbing : Dr. M. Zainuri, M.Si JURUSAN

Lebih terperinci

Pengaruh Waktu Penahanan Artificial Aging Terhadap Sifat Mekanis dan Struktur Mikro Coran Paduan Al-7%Si

Pengaruh Waktu Penahanan Artificial Aging Terhadap Sifat Mekanis dan Struktur Mikro Coran Paduan Al-7%Si Pengaruh Waktu Penahanan Artificial Aging Terhadap Sifat Mekanis dan Struktur Mikro Coran Paduan Al-7%Si Fuad Abdillah*) Dosen PTM Otomotif IKIP Veteran Semarang Abstrak Waktu penahanan pada temperatur

Lebih terperinci

Background 12/03/2015. Ayat al-qur an tentang alloy (Al-kahfi:95&96) Pertemuan Ke-2 DIAGRAM FASA. By: Nurun Nayiroh, M.Si

Background 12/03/2015. Ayat al-qur an tentang alloy (Al-kahfi:95&96) Pertemuan Ke-2 DIAGRAM FASA. By: Nurun Nayiroh, M.Si Background Pertemuan Ke-2 DIAGRAM FASA Umumnya logam tidak berdiri sendiri (tidak dalam keadaan murni) Kemurnian Sifat Pemaduan logam akan memperbaiki sifat logam, a.l.: kekuatan, keuletan, kekerasan,

Lebih terperinci

1 BAB I BAB I PENDAHULUAN

1 BAB I BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Zirkonium dioksida (ZrO 2 ) atau yang disebut dengan zirkonia adalah bahan keramik maju yang penting karena memiliki kekuatannya yang tinggi dan titik lebur

Lebih terperinci

ANALISIS FASA KARBON PADA PROSES PEMANASAN TEMPURUNG KELAPA

ANALISIS FASA KARBON PADA PROSES PEMANASAN TEMPURUNG KELAPA ANALISIS FASA KARBON PADA PROSES PEMANASAN TEMPURUNG KELAPA Oleh : Frischa Marcheliana W (1109100002) Pembimbing:Prof. Dr. Darminto, MSc Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN HALAMAN PERSEMBAHAN INTISARI ABSTRACT KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN HALAMAN PERSEMBAHAN INTISARI ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN HALAMAN PERSEMBAHAN INTISARI ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR NOTASI DAN SINGKATAN i ii

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Serbuk Awal Membran Keramik Material utama dalam penelitian ini adalah serbuk zirkonium silikat (ZrSiO 4 ) yang sudah ditapis dengan ayakan 400 mesh sehingga diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Metalurgi merupakan ilmu yang mempelajari pengenai pemanfaatan dan pembuatan logam dari mulai bijih sampai dengan pemasaran. Begitu banyaknya proses dan alur yang harus

Lebih terperinci

PEMBUATAN ALUMINIUM BUSA MELALUI PROSES SINTER DAN PELARUTAN SKRIPSI

PEMBUATAN ALUMINIUM BUSA MELALUI PROSES SINTER DAN PELARUTAN SKRIPSI PEMBUATAN ALUMINIUM BUSA MELALUI PROSES SINTER DAN PELARUTAN SKRIPSI Oleh AHMAD EFFENDI 04 04 04 004 6 DEPARTEMEN METALURGI DAN MATERIAL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA GENAP 2007/2008 PEMBUATAN

Lebih terperinci

METALURGI SERBUK. By : Nurun Nayiroh

METALURGI SERBUK. By : Nurun Nayiroh METALURGI SERBUK By : Nurun Nayiroh Metalurgi serbuk adalah metode yang terus dikembangkan dari proses manufaktur yang dapat mencapai bentuk komponen akhir dengan mencampurkan serbuk secara bersamaan dan

Lebih terperinci

Diagram Fasa. Latar Belakang Taufiqurrahman 1 LOGAM. Pemaduan logam

Diagram Fasa. Latar Belakang Taufiqurrahman 1 LOGAM. Pemaduan logam Diagram Fasa Latar Belakang Umumnya logam tidak berdiri sendiri (tidak dalam keadaan murni Kemurnian Sifat Pemaduan logam akan memperbaiki sifat logam, a.l.: kekuatan, keuletan, kekerasan, ketahanan korosi,

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. BAB IV Pembahasan 69

BAB IV PEMBAHASAN. BAB IV Pembahasan 69 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 ANALISA STRUKTUR MIKRO BAJA SETELAH HARDENING DAN TEMPERING Struktur mikro yang dihasilkan setelah proses hardening akan menentukan sifat-sifat mekanis baja perkakas, terutama kekerasan

Lebih terperinci

PENGARUH PERLAKUAN TEMPERING TERHADAP KEKERASAN DAN KEKUATAN IMPAK BAJA JIS G 4051 S15C SEBAGAI BAHAN KONSTRUKSI. Purnomo *)

PENGARUH PERLAKUAN TEMPERING TERHADAP KEKERASAN DAN KEKUATAN IMPAK BAJA JIS G 4051 S15C SEBAGAI BAHAN KONSTRUKSI. Purnomo *) PENGARUH PERLAKUAN TEMPERING TERHADAP KEKERASAN DAN KEKUATAN IMPAK BAJA JIS G 4051 S15C SEBAGAI BAHAN KONSTRUKSI Purnomo *) Abstrak Baja karbon rendah JIS G 4051 S 15 C banyak digunakan untuk bagian-bagian

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Juni 2013 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Juni 2013 di III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Juni 2013 di Laboratorium Fisika Material FMIPA Unila, Laboratorium Kimia Instrumentasi

Lebih terperinci

Pengaruh Waktu Milling dan Temperatur Sintering Pada Pembentukan PbTiO 3 Dengan Metode Mechanical Alloying

Pengaruh Waktu Milling dan Temperatur Sintering Pada Pembentukan PbTiO 3 Dengan Metode Mechanical Alloying 1 Pengaruh Waktu Milling dan Temperatur Sintering Pada Pembentukan PbTiO 3 Dengan Metode Mechanical Alloying Febry Nugroho dan Rindang Fajarin S.Si., M.Si. Jurusan Teknik Material dan Metalurgi, Fakultas

Lebih terperinci

LOGO. STUDI EKSPANSI TERMAL KERAMIK PADAT Al 2(1-x) Mg x Ti 1+x O 5 PRESENTASI TESIS. Djunaidi Dwi Pudji Abdullah NRP

LOGO. STUDI EKSPANSI TERMAL KERAMIK PADAT Al 2(1-x) Mg x Ti 1+x O 5 PRESENTASI TESIS. Djunaidi Dwi Pudji Abdullah NRP LOGO PRESENTASI TESIS STUDI EKSPANSI TERMAL KERAMIK PADAT Al 2(1-x) Mg x Ti 1+x O 5 Djunaidi Dwi Pudji Abdullah NRP. 1109201006 DOSEN PEMBIMBING: Drs. Suminar Pratapa, M.Sc, Ph.D. JURUSAN FISIKA FAKULTAS

Lebih terperinci

Perbaikan Sifat Mekanik Paduan Aluminium (A356.0) dengan Menambahkan TiC

Perbaikan Sifat Mekanik Paduan Aluminium (A356.0) dengan Menambahkan TiC Perbaikan Sifat Mekanik Paduan Aluminium (A356.0) dengan Menambahkan TiC Suhariyanto Jurusan Teknik Mesin FTI-ITS Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111 Telp. (031) 5922942, Fax.(031) 5932625, E-mail : d3mits@rad.net.id

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Karakterisasi Awal Serbuk ZrSiO 4 dan ZrO 2 Serbuk ZrSiO 4 dan ZrO 2 sebagai bahan utama membran merupakan hasil pengolahan mineral pasir zirkon. Kedua serbuk tersebut

Lebih terperinci

12/03/2015. Nurun Nayiroh, M.Si

12/03/2015. Nurun Nayiroh, M.Si Fasa (P) Fasa (phase) dalam terminology/istilah dalam mikrostrukturnya adalah suatu daerah (region) yang berbeda struktur atau komposisinya dari daerah lain. Nurun Nayiroh, M.Si Fasa juga dapat didefinisikan

Lebih terperinci

PERUBAHAN STRUKTUR MIKRO DAN KEKERASAN PADUAN Co-Cr-Mo-C-N PADA PERLAKUAN AGING

PERUBAHAN STRUKTUR MIKRO DAN KEKERASAN PADUAN Co-Cr-Mo-C-N PADA PERLAKUAN AGING PERUBAHAN STRUKTUR MIKRO DAN KEKERASAN PADUAN Co-Cr-Mo-C-N PADA PERLAKUAN AGING Kisnandar 1, Alfirano 2, Muhammad Fitrullah 2 1) Mahasiswa Teknik Metalurgi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 2) Dosen Teknik

Lebih terperinci

Beberapa sifat mekanis lembaran baja yang mcliputi : pengerasan. regang, anisotropi dan keuletan merupakan parameter-parameter penting

Beberapa sifat mekanis lembaran baja yang mcliputi : pengerasan. regang, anisotropi dan keuletan merupakan parameter-parameter penting BAB II TINJAUAN PUSTAKA 11.1. Parameter - Parameter Sifat Mampu Bentuk Beberapa sifat mekanis lembaran baja yang mcliputi : pengerasan regang, anisotropi dan keuletan merupakan parameter-parameter penting

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode eksperimen yang dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap pembuatan magnet barium ferit, tahap karakterisasi magnet

Lebih terperinci

350 0 C 1 jam C. 10 jam. 20 jam. Pelet YBCO. Uji Konduktivitas IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Ba(NO 3 ) Cu(NO 3 ) 2 Y(NO 3 ) 2

350 0 C 1 jam C. 10 jam. 20 jam. Pelet YBCO. Uji Konduktivitas IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Ba(NO 3 ) Cu(NO 3 ) 2 Y(NO 3 ) 2 Y(NO 3 ) 2 Pelarutan Pengendapan Evaporasi 350 0 C 1 jam 900 0 C 10 jam 940 0 C 20 jam Ba(NO 3 ) Pelarutan Pengendapan Evaporasi Pencampuran Pirolisis Kalsinasi Peletisasi Sintering Pelet YBCO Cu(NO 3

Lebih terperinci

Tinjauan Pustaka. Gambar 1.Proses Deep Drawing pada Pembuatan Kelongsong Peluru

Tinjauan Pustaka. Gambar 1.Proses Deep Drawing pada Pembuatan Kelongsong Peluru Pembuatan Kelongsong Peluru Menggunakan 65%-35% Melalui Metode Metalurgi Serbuk Dengan Variasi Temperatur Sintering dan Waktu Tahan Sintering Terhadap Modulus Elastisitas Sebagai Metode Alternatif Dari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISTIK BAHAN Tabel 4.1 Perbandingan karakteristik bahan. BAHAN FASA BENTUK PARTIKEL UKURAN GAMBAR SEM Tembaga padat dendritic

Lebih terperinci

Korosi telah lama dikenal sebagai salah satu proses degradasi yang sering terjadi pada logam, khusunya di dunia body automobiles.

Korosi telah lama dikenal sebagai salah satu proses degradasi yang sering terjadi pada logam, khusunya di dunia body automobiles. JURUSAN TEKNIK MATERIAL DAN METALURGI FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA Korosi telah lama dikenal sebagai salah satu proses degradasi yang sering terjadi pada logam,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Struktur Mikro Menggunakan Optical Microsope Fe- Mn-Al pada Baja Karbon Rendah Sebelum Heat Treatment Hasil karakterisasi cross-section lapisan dengan

Lebih terperinci

PENGARUH KONDISI ANNEALING TERHADAP PARAMETER KISI KRISTAL BAHAN SUPERKONDUKTOR OPTIMUM DOPED DOPING ELEKTRON Eu 2-x Ce x CuO 4+α-δ

PENGARUH KONDISI ANNEALING TERHADAP PARAMETER KISI KRISTAL BAHAN SUPERKONDUKTOR OPTIMUM DOPED DOPING ELEKTRON Eu 2-x Ce x CuO 4+α-δ Proseding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya Sabtu, 21 November 2015 Bale Sawala Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor PENGARUH KONDISI ANNEALING TERHADAP PARAMETER KISI KRISTAL BAHAN SUPERKONDUKTOR

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 52 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. DATA PENELITIAN 1. Material Penelitian a. Tipe Baja : A 516 Grade 70 Bentuk : Plat Tabel 7. Komposisi Kimia Baja A 516 Grade 70 Komposisi Kimia Persentase (%) C 0,1895 Si

Lebih terperinci

Pengaruh Temperatur Solution Treatment dan Aging terhadap Fasa Dan Kekerasan Copperized-AISI 1006

Pengaruh Temperatur Solution Treatment dan Aging terhadap Fasa Dan Kekerasan Copperized-AISI 1006 A253 Pengaruh Temperatur Solution Treatment dan Aging terhadap Fasa Dan Kekerasan Copperized-AISI 1006 Widia Anggia Vicky, Sutarsis, dan Hariyati Purwaningsih Jurusan Teknik Material dan Metalurgi, Fakultas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini, pembuatan soft magnetic menggunakan bahan serbuk besi dari material besi laminated dengan perlakuan bahan adalah dengan proses kalsinasi dan variasi

Lebih terperinci

Analisa Rietveld terhadap Transformasi Fasa (α β) pada Solid Solution Ti-3 at.% Al pada Proses Mechanical Alloying dengan Variasi Milling Time

Analisa Rietveld terhadap Transformasi Fasa (α β) pada Solid Solution Ti-3 at.% Al pada Proses Mechanical Alloying dengan Variasi Milling Time JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-339 (2301-9271 Print) F-78 Analisa Rietveld terhadap Transformasi Fasa (α β) pada Solid Solution Ti-3 at.% Al pada Proses Mechanical Alloying dengan

Lebih terperinci

BAB III PERCOBAAN DAN HASIL PERCOBAAN

BAB III PERCOBAAN DAN HASIL PERCOBAAN BAB III PERCOBAAN DAN HASIL PERCOBAAN Untuk mengetahui pengaruh perlakuan panas pada kondisi struktur mikro dan sifat kekerasan pada paduan Fe-Ni-Al dengan beberapa variasi komposisi, dilakukan serangkaian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Foto Mikro dan Morfologi Hasil Pengelasan Difusi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Foto Mikro dan Morfologi Hasil Pengelasan Difusi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian sambungan logam tak sejenis antara Baja SS400 dan Aluminium AA5083 menggunakan proses pengelasan difusi ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh ketebalan lapisan

Lebih terperinci

BAB 1. PERLAKUAN PANAS

BAB 1. PERLAKUAN PANAS BAB PERLAKUAN PANAS Kompetensi Sub Kompetensi : Menguasai prosedur dan trampil dalam proses perlakuan panas pada material logam. : Menguasai cara proses pengerasan, dan pelunakan material baja karbon.

Lebih terperinci

MATERIAL TEKNIK 5 IWAN PONGO,ST,MT

MATERIAL TEKNIK 5 IWAN PONGO,ST,MT MATERIAL TEKNIK 5 IWAN PONGO,ST,MT STRUKTUR LOGAM DAPAT BERUBAH KARENA : KOMPOSISI KIMIA (PADUAN) REKRISTALISASI DAN PEMBESARAN BUTIRAN (GRAIN GROWTH) TRANSFORMASI FASA PERUBAHAN STRUKTUR MENIMBULKAN PERUBAHAN

Lebih terperinci

BAB 4 DATA DAN ANALISIS

BAB 4 DATA DAN ANALISIS BAB 4 DATA DAN ANALISIS 4.1. Kondisi Sampel TiO 2 Sampel TiO 2 disintesa dengan memvariasikan jenis pelarut, block copolymer, temperatur kalsinasi, dan kelembaban relatif saat proses aging. Kondisi sintesisnya

Lebih terperinci

Kategori unsur paduan baja. Tabel periodik unsur PENGARUH UNSUR PADUAN PADA BAJA PADUAN DAN SUPER ALLOY

Kategori unsur paduan baja. Tabel periodik unsur PENGARUH UNSUR PADUAN PADA BAJA PADUAN DAN SUPER ALLOY PENGARUH UNSUR PADUAN PADA BAJA PADUAN DAN SUPER ALLOY Dr.-Ing. Bambang Suharno Dr. Ir. Sri Harjanto PENGARUH UNSUR PADUAN PADA BAJA PADUAN DAN SUPER ALLOY 1. DASAR BAJA 2. UNSUR PADUAN 3. STRENGTHENING

Lebih terperinci

MATERIAL TEKNIK DIAGRAM FASE

MATERIAL TEKNIK DIAGRAM FASE MATERIAL TEKNIK DIAGRAM FASE Pengertian Diagram fasa Pengertian Diagram fasa Adalah diagram yang menampilkan hubungan antara temperatur dimana terjadi perubahan fasa selama proses pendinginan dan pemanasan

Lebih terperinci

Heat Treatment Pada Logam. Posted on 13 Januari 2013 by Andar Kusuma. Proses Perlakuan Panas Pada Baja

Heat Treatment Pada Logam. Posted on 13 Januari 2013 by Andar Kusuma. Proses Perlakuan Panas Pada Baja Heat Treatment Pada Logam Posted on 13 Januari 2013 by Andar Kusuma Proses Perlakuan Panas Pada Baja Proses perlakuan panas adalah suatu proses mengubah sifat logam dengan cara mengubah struktur mikro

Lebih terperinci

TRANSFORMASI FASA PADA LOGAM

TRANSFORMASI FASA PADA LOGAM MATA KULIAH TRANSFORMASI FASA Pertemuan Ke-7 TRANSFORMASI FASA PADA LOGAM Nurun Nayiroh, M.Si Sebagian besar transformasi bahan padat tidak terjadi terus menerus sebab ada hambatan yang menghalangi jalannya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini dilakukan analisis struktur kristal semen gigi seng oksida eugenol untuk mengetahui keterkaitan sifat mekanik dengan struktur kristalnya. Ada lima sampel

Lebih terperinci

PEMBUATAN KERAMIK BETA ALUMINA (Na 2 O - Al 2 O 3 ) DENGAN ADITIF MgO DAN KARAKTERISASI SIFAT FISIS SERTA STRUKTUR KRISTALNYA.

PEMBUATAN KERAMIK BETA ALUMINA (Na 2 O - Al 2 O 3 ) DENGAN ADITIF MgO DAN KARAKTERISASI SIFAT FISIS SERTA STRUKTUR KRISTALNYA. PEMBUATAN KERAMIK BETA ALUMINA (Na 2 O - Al 2 O 3 ) DENGAN ADITIF MgO DAN KARAKTERISASI SIFAT FISIS SERTA STRUKTUR KRISTALNYA. Ramlan 1, Masno Ginting 2, Muljadi 2, Perdamean Sebayang 2 1 Jurusan Fisika

Lebih terperinci

METODE PENINGKATAN TEGANGAN TARIK DAN KEKERASAN PADA BAJA KARBON RENDAH MELALUI BAJA FASA GANDA

METODE PENINGKATAN TEGANGAN TARIK DAN KEKERASAN PADA BAJA KARBON RENDAH MELALUI BAJA FASA GANDA METODE PENINGKATAN TEGANGAN TARIK DAN KEKERASAN PADA BAJA KARBON RENDAH MELALUI BAJA FASA GANDA Ahmad Supriyadi & Sri Mulyati Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang Jl. Prof. H. Sudarto, SH.,

Lebih terperinci

Baja adalah sebuah paduan dari besi karbon dan unsur lainnya dimana kadar karbonnya jarang melebihi 2%(menurut euronom)

Baja adalah sebuah paduan dari besi karbon dan unsur lainnya dimana kadar karbonnya jarang melebihi 2%(menurut euronom) BAJA Baja adalah sebuah paduan dari besi karbon dan unsur lainnya dimana kadar karbonnya jarang melebihi 2%(menurut euronom) Baja merupakan paduan yang terdiri dari besi,karbon dan unsur lainnya. Baja

Lebih terperinci

Dosen Pembimbing : Sutarsis, S.T, M.Sc.Eng

Dosen Pembimbing : Sutarsis, S.T, M.Sc.Eng Oleh : Winarto Hadi Candra (2710100098) Dosen Pembimbing : Sutarsis, S.T, M.Sc.Eng JURUSAN TEKNIK MATERIAL DAN METALURGI FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2014 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

VARIASI TEKANAN KOMPAKSI TEHADAP DENSITAS DAN KEKERASAN PADA KOMPOSIT

VARIASI TEKANAN KOMPAKSI TEHADAP DENSITAS DAN KEKERASAN PADA KOMPOSIT PENGARUH KOMPOSISI DAN VARIASI TEKANAN KOMPAKSI TEHADAP DENSITAS DAN KEKERASAN PADA KOMPOSIT - UNTUK PROYEKTIL PELURU DENGAN PROSES METALURGI SERBUK Oleh: Gita Novian Hermana 2710100077 Jurusan Teknik

Lebih terperinci

Analisis Struktur Mikro dan Sifat Mekanik Paduan Al-Mg Hasil Proses Metalurgi Serbuk

Analisis Struktur Mikro dan Sifat Mekanik Paduan Al-Mg Hasil Proses Metalurgi Serbuk JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (213) 1-5 1 Analisis Struktur Mikro dan Sifat Mekanik Paduan - Hasil Proses Metalurgi Serbuk M. Muzakki Sholihuddin, Hariyati Purwaningsih Jurusan Teknik Material dan

Lebih terperinci

TUGAS PENYAMBUNGAN MATERIAL 5 RACHYANDI NURCAHYADI ( )

TUGAS PENYAMBUNGAN MATERIAL 5 RACHYANDI NURCAHYADI ( ) 1. Jelaskan tahapan kerja dari las titik (spot welding). Serta jelaskan mengapa pelelehan terjadi pada bagian tengah kedua pelat yang disambung Tahapan kerja dari las titik (spot welding) ialah : Dua lembaran

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN. peralatan sebagai berikut : XRF (X-Ray Fluorecense), SEM (Scanning Electron

BAB V HASIL PENELITIAN. peralatan sebagai berikut : XRF (X-Ray Fluorecense), SEM (Scanning Electron BAB V HASIL PENELITIAN Berikut ini hasil eksperimen disusun dan ditampilkan dalam bentuk tabel, gambar mikroskop dan grafik. Eksperimen yang dilakukan menggunakan peralatan sebagai berikut : XRF (X-Ray

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI SUHU SINTERING PADA KOMPOSIT Al-Mg-Si TERHADAP KEKUATAN DENGAN TEKNIK METALURGI SERBUK

PENGARUH VARIASI SUHU SINTERING PADA KOMPOSIT Al-Mg-Si TERHADAP KEKUATAN DENGAN TEKNIK METALURGI SERBUK JURNAL SAINS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6 1 PENGARUH VARIASI SUHU SINTERING PADA KOMPOSIT Al-Mg-Si TERHADAP KEKUATAN DENGAN TEKNIK METALURGI SERBUK Dinda P. Hafizah, dan Heny Faisal Fisika, Fakultas Matematika

Lebih terperinci

STUDI EKSPERIMEN PENGARUH WAKTU PENIUPAN PADA METODA DEGASSING JENIS LANCE PIPE, DAN POROUS PLUG TERHADAP KUALITAS CORAN PADUAN ALUMINIUM A356.

STUDI EKSPERIMEN PENGARUH WAKTU PENIUPAN PADA METODA DEGASSING JENIS LANCE PIPE, DAN POROUS PLUG TERHADAP KUALITAS CORAN PADUAN ALUMINIUM A356. STUDI EKSPERIMEN PENGARUH WAKTU PENIUPAN PADA METODA DEGASSING JENIS LANCE PIPE, DAN POROUS PLUG TERHADAP KUALITAS CORAN PADUAN ALUMINIUM A356.0 Hari Subiyanto 1), Subowo 2), Gathot D.W 3), Syamsul Hadi

Lebih terperinci

SINTESIS KERAMIK Al 2 TiO 5 DENSITAS TINGGI DENGAN ADITIF MgO

SINTESIS KERAMIK Al 2 TiO 5 DENSITAS TINGGI DENGAN ADITIF MgO SINTESIS KERAMIK Al 2 TiO 5 DENSITAS TINGGI DENGAN ADITIF MgO Disampaikan oleh: Kurmidi [1106 100 051] Dosen Pembimbing Drs. Suminar Pratapa, M.Sc.,Ph.D. Sidang Tugas Akhir (J 102) Komponen Otomotif :

Lebih terperinci

Uji Kekerasan Sintesis Sintesis BCP HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Bahan Dasar

Uji Kekerasan Sintesis Sintesis BCP HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Bahan Dasar dilapisi bahan konduktif terlebih dahulu agar tidak terjadi akumulasi muatan listrik pada permukaan scaffold. Bahan konduktif yang digunakan dalam penelitian ini adalah karbon. Permukaan scaffold diperbesar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Baja Baja merupakan bahan dasar vital untuk industri. Semua segmen kehidupan, mulai dari peralatan dapur, transportasi, generator, sampai kerangka gedung dan jembatan menggunakan

Lebih terperinci

Bab IV. Hasil dan Pembahasan

Bab IV. Hasil dan Pembahasan Bab IV. Hasil dan Pembahasan Bab ini memaparkan hasil sintesis, karakterisasi konduktivitas listrik dan struktur kirstal dari senyawa perovskit La 1-x Sr x FeO 3-δ (LSFO) dengan x = 0,2 ; 0,4 ; 0,5 ; 0,6

Lebih terperinci

PROSES MANUFACTURING

PROSES MANUFACTURING PROSES MANUFACTURING Proses Pengerjaan Logam mengalami deformasi plastik dan perubahan bentuk pengerjaan panas, gaya deformasi yang diperlukan adalah lebih rendah dan perubahan sifat mekanik tidak seberapa.

Lebih terperinci

Pengaruh Temperatur dan Waktu Tahan Aging Presipitasi Hardening terhadap Struktur Mikro dan Sifat Mekanik Paduan Mg-6Zn-1Y

Pengaruh Temperatur dan Waktu Tahan Aging Presipitasi Hardening terhadap Struktur Mikro dan Sifat Mekanik Paduan Mg-6Zn-1Y JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No. 2, (2014) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) F-232 Pengaruh Temperatur dan Waktu Tahan Aging Presipitasi Hardening terhadap Struktur Mikro dan Sifat Mekanik Paduan Mg-6Zn-1Y

Lebih terperinci

Pengaruh Variasi Lama Waktu Hidrogenasi terhadap Pembentukan Metal Hidrida pada Paduan MgAl

Pengaruh Variasi Lama Waktu Hidrogenasi terhadap Pembentukan Metal Hidrida pada Paduan MgAl JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) F-31 Pengaruh Variasi Lama Waktu terhadap Pembentukan Metal Hidrida pada Paduan MgAl Nasrul Arif Pradana dan Hariyati Purwaningsih

Lebih terperinci

Sistem Besi-Karbon. Sistem Besi-Karbon 19/03/2015. Sistem Besi-Karbon. Nurun Nayiroh, M.Si. DIAGRAM FASA BESI BESI CARBIDA (Fe Fe 3 C)

Sistem Besi-Karbon. Sistem Besi-Karbon 19/03/2015. Sistem Besi-Karbon. Nurun Nayiroh, M.Si. DIAGRAM FASA BESI BESI CARBIDA (Fe Fe 3 C) MK: TRANSFORMASI FASA Pertemuan Ke-6 Sistem Besi-Karbon Nurun Nayiroh, M.Si Sistem Besi-Karbon Besi dengan campuran karbon adalah bahan yang paling banyak digunakan diantaranya adalah baja. Kegunaan baja

Lebih terperinci