OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN HUTAN KEMASYARAKATAN DESA NGARIP KECAMATAN ULU BELU KABUPATEN TANGGAMUS SUSNI HERWANTI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN HUTAN KEMASYARAKATAN DESA NGARIP KECAMATAN ULU BELU KABUPATEN TANGGAMUS SUSNI HERWANTI"

Transkripsi

1 OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN HUTAN KEMASYARAKATAN DESA NGARIP KECAMATAN ULU BELU KABUPATEN TANGGAMUS SUSNI HERWANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Hutan Kemasyarakatan Desa Ngarip Kecamatan Ulu Belu Kabupaten Tanggamus adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2012 Susni Herwanti NRP. E

4

5 ABSTRACT SUSNI HERWANTI. Optimization of Land Utilization of Community Forestry in Ngarip Village, Ulu Belu Sub Distric, Tanggamus. Under the Supervision of M. BUCE SALEH and BAHRUNI Poverty has been considered as one of factors which caused forest degradation in rural area. About 63% of poor communities live in rural area and most of them are farmer. This study aims to identify cropping patterns, formulate optimal cropping pattern based on social, economic, and ecological aspects, and then identify development prospect of community forestry based on farmer s perspective. This research was conducted in Desa Ngarip, Lampung province for 2 months. Data were analyzed by linear programming and descriptive method. The result showed that agroforestry system in this area were grouped into 16 cropping patterns. Based on economic and ecological consideration, all optimal cropping patterns achieved ecological criteria but not all profitable. The patterns consisted of commercial plants: 150 plants per hectare for high strata, plants per hectare for middle strata and plants per hectare for lower strata. With such an approach, it was revealed that the best result was found at cropping pattern 15.The profit was Rp which was highest profit of all optimal cropping pattern types and could support a life worth living. Furthermore, through descriptive analysis, community forestry had good prospect to be develoved based on farmer s perspective. Keywords : optimal cropping pattern, community forestry, life worth living

6

7 RINGKASAN SUSNI HERWANTI. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Hutan Kemasyarakatan Desa Ngarip Kecamatan Ulu Belu Kabupaten Tanggamus. Dibimbing oleh M. BUCE SALEH dan BAHRUNI. Masalah kemiskinan masyarakat sekitar hutan dan kerusakan hutan merupakan isu penting yang terjadi di Indonesia sejak dahulu sampai sekarang. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 32 juta orang atau sekitar 14% dan sebanyak 20 juta orang berada di perdesaan. Jumlah penduduk miskin di Provinsi Lampung yang berada di perdesaan adalah 1,2 juta orang atau sekitar 22% dari total penduduk Lampung. Luas kawasan hutan yang mengalami kerusakan khususnya di Provinsi Lampung mencapai 52% dari total luas kawasan hutan dan salah satunya disebabkan oleh kemiskinan di perdesaan. Penelitian mengenai pemanfaatan lahan optimal perlu dilakukan untuk mendapatkan pola tanam optimal yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola tanam yang ada di lahan HKm Desa Ngarip, merumuskan pola tanam optimal berdasarkan aspek sosial, ekonomi dan ekologi dan mengidentifikasi prospek pengembangan HKm berdasarkan perspektif petani. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara semi terstruktur dan studi literatur. Sampel diambil secara purposive terhadap petani HKm dan petani yang memiliki pola tanam berbeda. Analisis dilakukan dengan metode kuantitatif dan kualitatif. Pola tanam optimal dirumuskan dengan menggunakan linear programming. Pola tanam optimal adalah pola tanam hasil optimalisasi yang mampu memenuhi standar kebutuhan hidup layak (KHL) tertinggi. Standar KHL dapat dipenuhi dengan menambah luas lahan atau tidak menambah luas lahan tergantung dari keuntungan pola tanam hasil optimalisasi. Prospek pengembangan HKm dalam penelitian ini dinilai secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga puluh enam pola tanam yang ada di lapangan dan enam belas pola tanam yang direncanakan petani. Enam belas pola tanam yang direncanakan kemudian dioptimalkan sehingga dihasilkan enam belas pola tanam hasil optimalisasi. Pola tanam hasil optimalisasi terdiri dari sepuluh jenis tanaman pilihan masyarakat, yaitu tanaman kopi, lada, cengkeh, kakao, pala, alpukat, durian, pisang, cabe dan tanaman kayu-kayuan. Analisis optimalisasi menemukan bahwa pola tanam yang memberikan keuntungan tertinggi terdapat pada pola tanam 15. Pola tanam ini memiliki keuntungan sebesar Rp per hektar per tahun dan terdiri dari jenis tanaman komersial. Komposisi tanaman tajuk tinggi mencapai 150 batang per hektar, tajuk sedang batang per hektar dan tajuk rendah batang per hektar. Ada beberapa faktor penting yang menentukan keberhasilan penerapan pola tanam optimal, yaitu ketersediaan modal, ketersediaan HOK, ketersediaan pasar komoditas dan ketersediaan sarana penyuluhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah modal yang dimiliki petani tidak cukup untuk membangun pola tanam optimal, sehingga petani perlu mencari sumber-sumber modal. Sumbersumber modal bisa berasal dari dalam dan luar usahatani. Sumber dari dalam berasal dari kelebihan waktu kerja, tabungan dan kekayaan yang dapat diuangkan seperti ternak dan emas. Sumber dari luar berasal dari pinjaman atau kredit kepada

8 lembaga keuangan atau para pemilik modal. Faktor selanjutnya adalah ketersediaan HOK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah HOK yang tersedia di Desa Ngarip adalah 300 HOK, sedangkan target HOK yang dibutuhkan untuk membangun pola tanam optimal adalah 148 HOK per hektar. Petani bisa bekerja sendiri mengelola lahan HKm dan masih mampu mengelola lahan maksimal seluas 2 hektar berdasarkan potensi kerja yang ada. Faktor lain yang menjadi penentu penerapan pola tanam optimal adalah ketersediaan pasar komoditas dan sarana penyuluhan. Komoditas yang sudah lama dibudidayakan oleh masyarakat seperti kopi, lada, kakao dan alpukat lebih mudah dipasarkan daripada komoditas yang baru akan dkembangkan. Komoditas yang menjadi pilihan masyarakat Desa Ngarip adalah komoditas komersial yang memiliki permintaan dan harga jual yang tinggi sehingga petani tidak merasa kesulitan dalam memasarkan produknya. Ketersediaan sarana penyuluhan juga sangat menentukan keberhasilan penerapan pola tanam optimal. Dukungan dari pemerintah untuk memberikan bantuan barang modal dan memberikan fasilitas pelayanan kredit dan dukungan dari LSM, perguruan tinggi dan pihak terkait lainnya untuk memberikan penyuluhan sangat diharapkan untuk mempercepat penerapan pola tanam optimal. Hasil perhitungan kebutuhan hidup layak (KHL) berdasarkan standar Bank Dunia US$2 adalah Rp per kepala keluarga (KK) per tahun dengan jumlah keluarga rata-rata sebanyak 4 orang dalam satu KK. Hasil perhitungan KHL aktual diperoleh KHL sebesar Rp per kapita per tahun atau Rp per KK per tahun. KHL di wilayah penelitian lebih banyak dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan pokok. KHL lainnya dihabiskan untuk kebutuhan pendidikan, tabungan, sosial dan pakaian. KHL di wilayah penelitian adalah 4,7 kali KFM untuk mencapai standar KHL. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat Desa Ngarip sangat rendah sehingga petani harus menyesuaikan kebutuhan mereka dengan pendapatan. Pola tanam hasil optimalisasi mampu memenuhi KHL dengan mengelola lahan seluas 1,8 10 hektar. Pola tanam 15 adalah pola tanam yang dapat memenuhi KHL dengan mengelola lahan dengan luas paling minimal, yaitu 1,8 hektar. Analisis deskriptif mengenai prospek pengembangan HKm menunjukkan bahwa HKm memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan. Prospek pengembangan HKm ditentukan berdasarkan persepsi dan perspektif petani. Data menunjukan bahwa HKm memberikan kontribusi pendapatan yang cukup besar terhadap total pendapatan petani. Sebesar 53% pendapatan petani berasal dari usaha HKm. Petani memiliki keinginan-keinginan untuk mengembangkan HKm berdasarkan perspektif petani terhadap 5 hal, yaitu perpektif ekonomi, lingkungan, pengetahuan dan ketrampilan, kepentingan investasi dan keberlanjutan izin HKm. Kata kunci : hutan kemasyarakatan, pola tanam optimal, kebutuhan hidup layak

9 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

10 OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN HUTAN KEMASYARAKATAN DESA NGARIP KECAMATAN ULU BELU KABUPATEN TANGGAMUS SUSNI HERWANTI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

11

12 Judul Tesis Nama NRP : Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Hutan Kemasyarakatan Desa Ngarip Kecamatan Ulu Belu Kabupaten Tanggamus : Susni Herwanti : E Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS. Ketua Dr. Ir. Bahruni, MS. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian : 27 Januari 2012 Tanggal Lulus :

13 PRAKATA Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayahnya tesis dengan judul Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Hutan Kemasyarakatan Desa Ngarip, Kecamatan Ulu Belu, Kabupaten Tanggamus dapat diselesaikan. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh dua isu penting yang terjadi di Indonesia, yaitu isu kemiskinan dan kerusakan hutan. Hutan kemasyarakatan merupakan program pemerintah yang bertujuan untuk melestarikan hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kecenderungan masyarakat untuk menanam berbagai jenis tanpa memperhatikan kemampuan lahan untuk menumbuhkan tanaman membuat produksi tanaman tidak optimal. Penelitian ini berusaha merumuskan model pemanfaatan lahan optimal yang bisa mempertemukan kedua tujuan. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis optimalisasi dengan menggunakan linear programming, analisis ukuran garis kemiskinan, analisis KHL, analisis luas lahan minimal yang dibutuhkan berdasarkan standar KHL tertinggi dan analisis prospek pengembangan HKm. Peneliti menemukan tiga puluh enam pola tanam aktual di lapangan dan enam belas rencana pola tanam yang ingin dikembangkan petani. Enam belas pola tanam yang direncanakan kemudian dioptimalkan sehingga diperoleh enam belas pola tanam hasil optimalisasi. Pola tanam 15 adalah pola tanam yang memberikan keuntungan tertinggi. Pola tanam dikatakan optimal apabila keuntungan pola tanam hasil optimalisasi mampu memenuhi standar KHL. Standar KHL mampu dipenuhi petani dengan mengelola lahan seluas 1,8-10 hektar. Persepsi yang baik dan adanya keinginan dan dorongan untuk mengembangkan HKm berdasarkan perspektif petani menunjukkan bahwa HKm memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS dan Bapak Dr. Ir. Bahruni, MS selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan masukan dan saran yang sangat berarti mulai dari penulisan rencana penelitian hingga penulisan tesis. Demikian pula penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi. Ucapan terima

14 kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman Ilmu Pengelolaan Hutan angkatan 2009 yang selalu mendukung, memberikan semangat, dan membantu dalam menyelesaikan tesis ini. Tak lupa pula ucapan terima kasih dipersembahkan penulis kepada Bapak, Ibu (almarhumah), kakak beserta keluarga yang selalu memberikan dukungan, doa, dorongan, motivasi dan kasih sayangnya hingga tesis ini dapat diselesaikan. Terima kasih pula kepada rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu per satu dan semua pihak, atas segala dukungan, bantuan dan kerjasamanya. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikannya. Amin. Bogor, Januari 2012 Penulis

15 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tanjung Karang, 27 September 1981 dari Bapak H. Suharman dan Ibu almarhumah Hj. Amawati. Penulis merupakan putri kedua dari dua bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada dan lulus pada pada tahun Pada tahun 2009, penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Dikti. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Universitas Lampung sejak tahun Penulis aktif melakukan beberapa kegiatan penelitian, pengabdian masyarakat dan pendampingan selama menjadi dosen. Pada tahun 2006 penulis menjadi pendamping mahasiswa S3 dari Jepang untuk melakukan penelitian di Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur. Pengabdian masyarakat dilakukan penulis di Kabupaten Tanggamus pada tahun Pada tahun 2007 penulis melakukan penelitian tentang total pengelolaan kualitas (TQM) sebagai fokus perbaikan kinerja Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman dan penulis bertindak sebagai ketua. Pada tahun yang sama penulis melakukan penelitian tentang analisis penutupan lahan pada daerah tangkapan air waduk batu tegi di Provinsi Lampung bersama tim peneliti dari Universitas Lampung dan penulis bertindak sebagai anggota. Penulis juga melakukan pendampingan mahasiswa S2 dari Perancis pada tahun 2007 di Sumber Jaya, Lampung Barat dengan topik pengelolaan lahan di Sumber Jaya.

16

17 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xix DAFTAR GAMBAR... xxi DAFTAR LAMPIRAN... xxiii PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 3 Tujuan Penelitian... 3 Manfaat Penelitian... 4 Hipotesis... 4 Kerangka Pemikiran Penelitian... 4 TINJAUAN PUSTAKA Hutan Kemasyarakatan... 7 Hasil-Hasil Penelitian Optimalisasi Lahan... 9 Hasil-Hasil Penelitian Optimalisasi HKm... 9 Agroforestry Pola Tanam Perencanaan Tanaman Kebutuhan Tenaga Kerja Perencanaan Linear Programming untuk Usahatani METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Teknik Pengambilan Sampel Analisis Pola Tanam Analisis Ukuran Garis Kemiskinan Analisis Kebutuhan Hidup Layak Analisis Luas Lahan untuk Pemenuhan KHL Analisis Prospek Pengembangan HKm KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Umum Desa Ngarip Karakteristik Sosial Ekonomi Desa Ngarip Karakteristik Sosial Ekonomi Responden xvii

18 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola tanam Aktual Jenis-Jenis Tanaman Pilihan Petani Pola Tanam Optimal Faktor Penentu Implementasi Pola Tanam Optimal Ukuran Garis Kemiskinan Kebutuhan Hidup Layak Kebutuhan Luas Lahan untuk Pemenuhan KHL Pendapatan Petani berdasarkan Luas HKm Prospek Pengembangan HKm KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xviii

19 DAFTAR TABEL Halaman 1 Hasil penelitian terdahulu tentang optimalisasi lahan Hasil penelitian terdahulu tentang HKm Jumlah hari kerja yang dicurahkan per hektar tanaman di Maluku Sasaran, metode dan kegunaan Data Luas penggunaan dan produktivitas lahan Desa Ngarip Data sosial ekonomi Desa Ngarip Data sosial ekonomi responden Pola tanam aktual dan dominasi tanaman Jenis tanaman pilihan masyarakat Produksi biji kakao dengan beberapa jenis tanaman penaung Pola tanam yang direncanakan di wilayah penelitian Jumlah tanaman aktual dan hasil optimalisasi setiap strata Harga relatif komoditas yang dikembangkan Komposisi jenis pola tanam hasil optimalisasi Kebutuhan luas lahan setiap pola tanam berdasarkan standar KHL Pendapatan petani berdasarkan luas lahan Perbandingan rata-rata pendapatan dan pengeluaran petani... 58

20

21 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran optimalisasi pola tanam HKm Pola tanam dengan dominasi satu jenis tanaman kopi Kombinasi tanaman kopi dan cabai Kombinasi tanaman kopi, alpukat, pisang dan cabai Kombinasi tanaman kopi dan pisang Perbandingan keuntungan pola tanam aktual dan hasil optimalisasi Perbandingan ukuran garis kemiskinan Sajogyo, BPS dan Bank Dunia terhadap total pendapatan aktual... 55

22

23 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Karakteristik responden per pola tanam Rencana perubahan pola tanam aktual Rata-rata pendapatan petani per pola tanam Rata-rata pengeluaran petani per pola tanam Komponen kebutuhan hidup layak per pola tanam Arus uang tunai per pola tanam Hasil optimalisasi pola tanam Hasil optimalisasi pola tanam Hasil optimalisasi pola tanam Hasil optimalisasi pola tanam Hasil optimalisasi pola tanam Hasil optimalisasi pola tanam Hasil optimalisasi pola tanam Hasil optimalisasi pola tanam Hasil optimalisasi pola tanam Hasil optimalisasi pola tanam Hasil optimalisasi pola tanam Hasil optimalisasi pola tanam Hasil optimalisasi pola tanam Hasil optimalisasi pola tanam Hasil optimalisasi pola tanam Hasil optimalisasi pola tanam Persepsi petani terhadap peranan HKm Peta areal kerja HKm Desa Ngarip xxiii

24 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah kemiskinan masyarakat sekitar hutan dan kerusakan hutan merupakan isu penting yang terjadi di Indonesia sejak dahulu sampai sekarang. Pertumbuhan penduduk yang pesat, kebutuhan yang semakin meningkat, sementara luas lahan relatif tetap menyebabkan masyarakat terpaksa mengalihfungsikan kawasan hutan untuk dijadikan areal pertanian dan perkebunan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 32 juta orang atau sekitar 14% dan sebanyak 20 juta orang berada di perdesaan. Jumlah penduduk miskin di Provinsi Lampung yang berada di perdesaan adalah 1,2 juta orang atau sekitar 22% dari total penduduk Lampung (BPS 2010). Peran sektor kehutanan sangat besar dalam menanggulangi kemiskinan karena sekitar 63% penduduk miskin di Indonesia berada di perdesaan dan sebagian besar bermatapencaharian petani. Luas kawasan hutan yang mengalami kerusakan khususnya di Provinsi Lampung mencapai 52% dari total luas kawasan hutan (Wulandari 2009). Kerusakan hutan salah satunya disebabkan oleh kemiskinan di perdesaan. Program-program penanggulangan kemiskinan yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam pengelolaan hutan diperlukan untuk mengatasi isu kemiskinan dan kerusakan hutan tersebut. Pendekatan yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan salah satunya dengan mengembangkan hutan kemasyarakatan yang merupakan skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Hutan kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. HKm memberikan peluang kepada masyarakat untuk memanfaatkan hutan secara optimal berdasarkan prinsip ekonomi, ekologi dan sosial. HKm memberikan kepastian hak kelola lahan dan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pengelolaan hutan. Permenhut Nomor 37 Tahun 2007 tentang HKm menyatakan bahwa kawasan hutan yang dapat dimanfaatkan sebagai areal kerja HKm adalah kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi. Pemanfaatan kawasan hutan

25 2 dilakukan dalam pola wanatani (agroforestry) dengan stratifikasi tajuk yaitu, tajuk tinggi, sedang dan rendah. Jenis tanaman yang diarahkan untuk ditanam di lahan HKm adalah Multi Purpose Tree Species (MPTS), pohon-pohon penaung, tanaman kayu keras dan tanaman pakan ternak. Jenis-jenis tersebut diperoleh dari swadaya masyarakat, pemerintah maupun dari kebun bibit rakyat (KBR). Desa Ngarip yang terletak di Kecamatan Ulu Belu, Kabupaten Tanggamus memiliki areal kerja HKm di kawasan hutan lindung seluas hektar. Masyarakat di Desa Ngarip membuka kawasan hutan menjadi areal perkebunan sejak tahun 1980-an. Masyarakat berkebun kopi secara monokultur karena ketidakpastian hak kelola. Masyarakat beralih ke sistem budidaya agroforestry kopi sejak mendapat izin HKm. Ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh melalui agroforestry, yaitu manfaat secara ekologi, ekonomi dan sosial budaya (Utami 2003). Agroforestry dapat menciptakan iklim mikro dan melindungi tanah dan air dengan lebih baik. Kombinasi antara tanaman semusim dan tanaman kayu-kayuan dapat mengurangi serangan hama penyakit. Agroforestry juga memberikan kesinambungan vegetasi sehingga tidak pernah terjadi pembukaan tanah yang ekstrim yang dapat mengganggu keseimbangan ekologinya. Penanaman lebih dari satu jenis (diversifikasi jenis) akan meningkatkan ketahanan terhadap fluktuasi harga dan jumlah permintaan pasar yang tidak menentu berdasarkan aspek ekonomi. Petani bisa mengurangi risiko kerugian yang lebih besar ketika salah satu produknya mengalami kegagalan pasar dengan memusatkan perhatian pada produk lain yang kondisi harganya lebih stabil. Filosofi budidaya yang efisien, yaitu memperoleh hasil yang relatif besar dengan biaya atau pengorbanan yang relatif kecil memberikan makna bahwa agroforestry memperhatikan aspek sosial budaya. Berbudidaya agroforestry sama dengan melakukan investasi jangka panjang yang menguntungkan. Penanaman pohon yang bernilai ekonomi tinggi berarti menabung untuk masa depan karena produksinya baru dinikmati beberapa tahun lagi (Hairiah et al. 2000). Penelitian mengenai pemanfaatan lahan HKm yang optimal perlu dilakukan karena banyak manfaat yang bisa diperoleh dari

26 3 pemanfaatan lahan secara agroforestry. Kecenderungan petani menanam semua jenis memungkinkan terjadi pemanfaatan lahan yang tidak optimal. Program HKm harus terdesentralisasi dengan melibatkan dan memperhatikan keinginan masyarakat setempat agar program berhasil dan tujuan HKm tercapai. Pemilihan jenis yang secara sosial diterima petani dan secara teknis dikenal oleh masyarakat dan bisa diterapkan di lapangan diharapkan dapat mendukung keberhasilan program HKm dalam mengembalikan fungsi hutan. Kombinasi optimal dicapai bila kemungkinan-kemungkinan pola tanam yang ada di lapangan mampu memberikan manfaat ekonomi dan ekologi. Perumusan Masalah Pola tanam agroforestry yang diterapkan oleh masyarakat di Desa Ngarip Kabupaten Tanggamus sebagian besar didominasi oleh tanaman kopi. Pola tanam tersebut harus memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan manfaat ekologi bagi lingkungan. Hasil-hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa sistem agroforestry memberikan manfaat ekonomi dan ekologi yang baik terutama dalam meningkatkan pendapatan penduduk dan memperbaiki kualitas lahan (Budidarsono & Wijaya 2000; Lyngbæk et al. 2001; Subagyono, Marwanto, Kurnia 2003; Buana, Suyanto dan Hairiah 2005; Utomo 2005; Arsyad 2006; Rajati et al. 2006; Banuwa 2008; Marwah 2008; Payan et al. 2009; Helton et al. 2010). Meskipun demikian, seberapa besar sistem agroforestry kopi mampu mencukupi kebutuhan hidup petani Desa Ngarip? Berdasarkan uraian di atas, permasalahan-permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: 1) Apakah pola tanam di Desa Ngarip sudah optimal sesuai dengan tujuan HKm? 2) Bagaimanakah pola tanam yang optimal? 3) Bagaimanakah prospek pengembangan HKm dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani? Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu: 1) Mengidentifikasi pola tanam yang ada di lahan HKm 2) Merumuskan pola tanam optimal berdasarkan kebutuhan hidup layak petani 3) Mengidentifikasi prospek pengembangan HKm berdasarkan perspektif petani

27 4 Manfaat Penelitian mengenai optimalisasi pemanfaatan lahan HKm dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi dan sosial diharapkan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar hutan dan masukan bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan untuk mewujudkan hutan lestari dan masyarakat sejahtera. Hipotesis 1) Pola tanam berdasarkan preferensi petani dan secara teknis bisa diterapkan di lapangan akan memberikan hasil optimal 2) Pengembangan HKm dengan pola tanam optimal dan dukungan potensi sosial ekonomi masyarakat akan meningkatkan peran HKm dalam mensejahterakan masyarakat Kerangka Pemikiran HKm bertujuan melestarikan hutan dan meningkatkan kesejahteraan petani melalui pemanfaatan lahan optimal. Pemanfaatan lahan optimal mempertimbangkan tiga aspek penting, yaitu sosial, ekonomi dan ekologi. Aspek sosial melibatkan petani dalam pemilihan jenis berdasarkan preferensi petani. Jenis-jenis tanaman yang dipilih adalah jenis-jenis yang sudah dikenal dan disukai petani termasuk jenis-jenis yang sudah ada dan yang akan dikembangkan. Pemilihan jenis berdasarkan preferensi merupakan dasar dalam penentuan pola tanam yang akan dikembangkan. Petani menghadapi beberapa kendala dalam mengembangkan pola tanam yaitu kendala ekonomi dan ekologi. Kendala ekonomi yang dihadapi petani adalah ketersediaan modal dan HOK. Kendala ekologi yang dihadapi petani adalah jumlah tanaman maksimal yang dapat tumbuh optimal di lahan HKm. Berdasarkan dua kendala tersebut, pola tanam yang akan dikembangkan dioptimalkan menggunakan linear programming dengan tujuan memaksimalkan keuntungan pola tanam. Hasil analisis optimalisasi ini menghasilkan pola tanam optimal secara ruang, tetapi pola tanam ini perlu dievaluasi terhadap pemenuhan kebutuhan hidup layak (KHL) petani. Pola tanam optimal adalah pola tanam hasil optimalisasi yang mampu memenuhi standar kebutuhan hidup layak (KHL)

28 5 tertinggi. KHL petani bisa dipenuhi petani dengan menambah luas lahan atau tidak menambah luas lahan tergantung dari keuntungan pola tanam hasil optimalisasi. Petani tidak memerlukan tambahan luas lahan apabila keuntungan pola tanam hasil optimalisasi memenuhi KHL sebaliknya petani memerlukan tambahan luas lahan apabila keuntungan pola tanam hasil optimalisasi tidak memenuhi KHL. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1. Pemanfaatan lahan HKm belum optimal Pemilihan jenis berdasarkan preferensi petani (sosial) Ekonomi Ekologi Linear programming Pola tanam optimal Perlu menambah luas lahan tidak Keuntungan KHL ya Tidak perlu menambah luas lahan Gambar 1 Kerangka pemikiran optimalisasi pola tanam HKm.

29 6

30 7 TINJAUAN PUSTAKA Hutan Kemasyarakatan Hutan kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat (meningkatkan nilai ekonomi, nilai budaya, memberikan manfaat/benefit kepada masyarakat pengelola, dan masyarakat setempat), tanpa mengganggu fungsi pokoknya (meningkatkan fungsi hutan dan kawasan hutan, pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dengan tetap menjaga fungsi kawasan hutan (Cahyaningsih et al. 2006). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.37/Menhut-II/2007 menyatakan bahwa hutan kemasyarakatan adalah hutan yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat dan hanya diperuntukkan pada kawasan lindung dan kawasan hutan produksi. Hutan kemasyarakatan bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup. Penyelenggaraan hutan kemasyarakatan dimaksudkan untuk pengembangan kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat. Kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi. Hutan kemasyarakatan memiliki manfaat untuk masyarakat, pemerintah maupun manfaat terhadap fungsi hutan dan restorasi habitat. Manfaat HKm untuk masyarakat adalah: (1) pemberian izin kelola HKm memberikan kepastian hak akses untuk turut mengelola kawasan hutan; (2) masyarakat atau kelompok tani HKm menjadi pasti untuk berinvestasi dalam kawasan hutan melalui reboisasi swadaya mereka. HKm menjadi sumber mata pencaharian dengan memanfaatkan hasil dari kawasan hutan. Keanekaragaman tanaman yang diwajibkan dalam kegiatan HKm menjadikan kalender musim panen petani menjadi padat dan dapat

31 8 menutupi kebutuhan sehari-hari rumah tangga petani HKm; (3) kegiatan pengelolaan HKm yang juga menjaga sumber-sumber mata air dengan prinsip lindung, berdampak pada terjaganya ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan rumah tangga dan kebutuhan pertanian lainnya; (4) terjalinnya hubungan dialogis dan harmonis dengan pemerintah dan pihak terkait lainnya. Diskusi-diskusi dan komunikasi yang dibangun dan dilakukan melalui kegiatan HKm telah menghasilkan komunikasi yang baik dan harmonis antar para pihak yang dulu merupakan sesuatu hal yang jarang ditemukan; (5) adanya peningkatan pendapatan non tunai (innatura atau berbentuk barang) dalam bentuk pangan dan papan. Manfaat HKm untuk pemerintah adalah: (1) kegiatan HKm memberikan sumbangan tidak langsung oleh masyarakat kepada pemerintah melalui rehabilitasi yang dilakukan secara swadaya dan swadana; (2) adanya peningkatan pendapatan pemerintah daerah untuk pembangunan hutan lestari masyarakat sejahtera; (3) kegiatan teknis di lahan HKm yang mewajibkan kelompok melakukan penerapan pengolahan lahan berwawasan konservasi (menerapkan terasering, guludan, rorak, dll) dan melakukan penanaman melalui sistem MPTS membawa perbaikan pada fungsi hutan; (4) kegiatan HKm berdampak kepada pengamanan hutan (menurunkan penebangan liar), kebakaran hutan, dan perambah hutan. Kegiatan pengamanan hutan tersebut tercantum dan merupakan bagian dari program kerja masing-masing kelompok HKm; (5) terlaksananya tertib hukum di lahan HKm (berdasarkan aturan dan mekanisme kerja kelompok). Manfaat HKm terhadap fungsi hutan dan restorasi hábitat adalah: (1) terbentuknya keanekaragaman tanaman (tajuk rendah, sedang, dan tinggi); (2) terjaganya fungsí ekologis dan hidrologis, melalui pola tanam campuran dan teknis konservasi lahan yang diterapkan; (3) terjaganya blok perlindungan yang dikelola oleh kelompok pemegang izin HKm, yang diatur melalui aturan main kelompok; (4) kegiatan HKm juga menjaga kekayaan alam flora dan fauna yang telah ada sebelumnya beserta habitatnya (Cahyaningsih et al. 2006).

32 9 Hasil-Hasil Penelitian Optimalisasi Lahan Penelitian mengenai optimalisasi lahan sistem agroforestry telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya disajikan pada Tabel 1 berikut: Tabel 1 Hasil penelitian terdahulu tentang optimalisasi lahan Nama Metode Lokasi (tahun) análisis Hasil Rauf (2004) Kabupaten Langkat Sumatera Utara Goal programming Tipe agrosilvopastural dengan kombinasi pepohonan/hutan, tanaman pertanian dan rumput pakan ternak memberikan hasil optimal Arunglangi (2005) Tana Toraja Goal programming Pola tanam optimal adalah pola yang memiliki keragaman tertinggi Mandagi Kecamatan Linear Pola tanam optimal berdasarkan (2005) Bintauna Provinsi Sulawesi Utara programming pertimbangan musim, unsur hara, hama penyakit dan sumberdaya yang tersedia memberikan pendapatan optimal. Rajati (2006) Hutan Cipadayungan, Kabupaten Sumedang Goal programming dan USLE Pola tanam yang memberikan hasil optimal adalah pola tanam berdasarkan pilihan masyarakat Hasil-Hasil Penelitian Hkm Beberapa hasil penelitian tentang HKm telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil-hasil penelitian terdahulu tentang HKm Nama Metode Lokasi (tahun) análisis Hasil Zulfarina (2003) Lampung Barat Statistik Terdapat hubungan yang positif antara persepsi dan partisipasi petani terhadap usaha pertanian konservasi Susilawati (2009) Lampung Barat Statistik deskriptif dan inferensia 1) Semakin luas lahan yang dikelola petani, semakin besar daya dukung gizi yang diperoleh untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. 2) Semakin beranekaragam jenis tanaman, ketersediaan energi yang dihasilkan semakin besar

33 10 Agroforestry Sistem agroforestry adalah sistem penggunaan lahan yang mengintegrasikan tanaman pangan, pepohonan dan atau ternak secara terus-menerus ataupun periodik, yang secara sosial dan ekologis layak dikerjakan oleh petani untuk meningkatkan produktivitas lahan dengan tingkat masukan dan teknologi rendah (Nair 1993). King (1979) diacu dalam Watanabe (1999) mendefinisikan bahwa agroforestry adalah sistem pengelolaan lahan berkelanjutan yang mampu meningkatkan produktivitas lahan secara total, mengkombinasikan tanaman pangan (termasuk tanaman tahunan), tanaman hutan dan atau ternak secara terusmenerus atau periodik pada lahan yang sama, mengaplikasikan tingkat pengelolaan yang bersaing dengan kebudayaan masyarakat di sekitarnya. Semua definisi agroforestry di atas mengimplikasikan bahwa: 1) Terdapat interaksi yang kuat, baik kompetitif maupun komplementer antara komponen pohon-pohonan dan bukan pepohonan 2) Terdapat perbedaan yang nyata antara masing-masing komponen agroforestry dalam dimensi fisik, umur dan penampilan fisiologi 3) Agroforestry umumnya mengintegrasikan dua atau lebih jenis tanaman (atau tanaman dan ternak), dimana paling tidak salah satunya merupakan tanaman berkayu 4) Agroforestry selalu mempunyai dua atau lebih hasil 5) Siklus agroforestry selalu lebih dari satu tahun 6) Walaupun dalam bentuk sederhana, secara ekologi dan ekonomi agroforestry lebih kompleks dibandingkan dengan usahatani monokultur 7) Agroforestry dapat diterapkan pada lahan-lahan yang berlereng curam, berbatu-batu, berawa-rawa, ataupun tanah marjinal dimana sistem usahatani lainnya kurang cocok. Pada saat ini dikenal empat jenis agroforestry, yaitu tanaman sela, talun, kebun campuran, pekarangan, tanaman pelindung dan pagar hidup. Empat jenis agroforestry itu adalah (Santoso et al. 2004): Tanaman sela Ada dua model pertanaman sela, yaitu pertanaman sela terus menerus dan pertanaman sela periodik dilihat dari perkembangan tajuk tanaman tahunan.

34 11 Pertanaman sela terus-menerus adalah penanaman tanaman semusim atau menahun, palawija, atau rumput pakan diantara tanaman tahunan yang sudah menghasilkan. Tajuk tanaman tahunan tidak rapat sehingga memungkinkan untuk membudidayakan tanaman lainnya yang memiliki tajuk lebih rendah dari tanaman tahunan. Pengaturan tanaman dilakukan sedemikian rupa, sehingga interaksi antar tanaman tidak saling merugikan. Penanaman kakao, pisang, ubi kayu, padi gogo, nanas, atau jagung diantara barisan kelapa adalah salah satu contoh pertanaman sela terus-menerus. Tanaman sela sementara adalah penanaman tanaman pangan semusim, palawija atau rumput pakan diantara tanaman tahunan yang tajuknya belum menutupi seluruh permukaan tanah. Tanaman semusim tidak dapat dibudidayakan lagi jika tajuk tanaman tahunan sudah menutupi seluruh permukaan tanah. Teknik tanaman sela berkembang pesat di daerah perkebunan dengan tujuan untuk memberikan penghasilan yang cepat kepada petani selama menunggu tanaman perkebunan menghasilkan atau memberikan pendapatan tambahan dari tanaman tahunan yang tajuknya tidak menutupi seluruh permukaan tanah. Beberapa keuntungan dari pertanaman sela adalah memberikan pendapatan dalam waktu singkat kepada petani pengelola kebun, mencegah pertumbuhan gulma yang dapat merugikan tanaman tahunan dan meringankan pemeliharaan tanaman tahunan karena pemberian pupuk dan pengendalian hama/penyakit tanaman sela meningkatkan kesuburan tanah dan mengurangi gangguan hama/penyakit bagi tanaman tahunan. Kekurangan dari sistem tanaman sela adalah tanaman semusim atau tanaman bertajuk rendah dapat menjadi inang hama/penyakit yang menyerang tanaman tahunan. Tanaman sela dengan tanaman semusim hanya cocok diterapkan pada lahan dengan lereng < 30% karena pada lereng yang lebih curam akan mempercepat erosi dan memerlukan banyak tenaga dan biaya. Talun Talun adalah lahan di luar areal pemukiman yang ditumbuhi oleh tanaman hutan dan tanaman tahunan lainnya. Komponen tanamannya tumbuh sendiri sehingga proporsi jarak tanamnya tidak teratur. Sistem ini lebih menyerupai hutan sekunder yang tumbuh setelah hutan primer dibuka, ditanami tanaman pangan dan setelah beberapa tahun ditinggalkan karena produktivitas lahannya rendah. Talun

35 12 berasosiasi erat dengan perladangan berpindah di daerah Sumatera dan Kalimantan yang pada umumnya menumbuhkan hutan karet rakyat. Kebun campuran Kebun campuran mirip dengan talun, tetapi komponen tanaman hutan dan tanaman tahunan lainnya sengaja ditanam. Jenis tanaman tahunan yang sengaja ditanam antara lain petai, jengkol, aren, melinjo, sengon, dan buah-buahan. Sebagian lahan kadang-kadang ditanami dengan tanaman pangan semusim tetapi komponen tanaman tahunan dalam sistem kebun campuran lebih dominan dibandingkan dengan tanaman semusim. Kebun campuran dikenal dengan istilah Taungya di Filipina, India dan Kenya, yang berarti sehamparan lahan di daerah pegunungan. Sistem ini disebut tegalan jika proporsi tanaman semusim lebih luas daripada tanaman tahunan. Pekarangan Pekarangan adalah penanaman tanaman tahunan dan tanaman pangan semusim atau menahun serta sering dikombinasikan dengan pemeliharaan ternak terutama jenis ruminansia dan unggas di sekitar rumah. Sistem ini berkembang baik di daerah transmigrasi, dimana untuk setiap rumah tangga disediakan lahan pekarangan sekitar 0,25 hektar untuk ditanami tanaman tahunan, tanaman pangan, tanaman obat-obatan, dan sering diiringi dengan pembuatan kandang ternak ruminansia dan unggas. Tanaman pelindung Tanaman pelindung adalah tanaman tahunan bertajuk tinggi yang sengaja ditanam dengan tujuan untuk melindungi tanaman semusim atau tanaman perkebunan bertajuk rendah (perdu) dari kelebihan intensitas sinar matahari dan pengaruh buruk dari angin dingin. Proporsi tanaman pelindung lebih sedikit daripada tanaman yang dilindungi dan dipilih tanaman jenis leguminosa berkayu untuk mengurangi persaingan unsur hara dengan tanaman yang dilindungi. Tanaman Erythrina sp. yang ditanam di sela-sela barisan tanaman kopi merupakan salah satu contoh tanaman pelindung. Persyaratan tanaman pelindung adalah:

36 13 1) Memiliki tajuk tinggi 2) Memiliki perakaran yang dalam sehingga dapat mendaur ulang unsur hara dari lapisan tanah yang dalam, dan mengurangi persaingan dengan tanaman pokok 3) Termasuk jenis legume berkayu, sehingga dapat memfiksasi nitrogen dari udara untuk tanaman pokok 4) Tidak mudah rebah atau patah sehingga tanaman pokok tidak mengalami kerusakan 5) Mampu mengurangi kerusakan tanaman pokok dari pengaruh jelek angin terutama di daerah beriklim kering dan kena pengaruh angin dingin dari Benua Australia Pagar hidup Pagar hidup adalah barisan tanaman tahunan jenis perdu atau pohon sepanjang batas pemilikan lahan yang ditanam dengan jarak tanam rapat, dipangkas pada ketinggian 1,5-2 m. Pagar hidup dapat berfungsi sebagai pencegah orang, ternak pemakan rumput/tanaman masuk ke lahan dan merusak tanaman, sumber pakan ternak serta menahan erosi selain sebagai batas pemilikan lahan. Persyaratan yang diperlukan untuk tanaman pagar hidup adalah: 1) Berperakaran dalam, sehingga dapat mendaur ulang unsur hara dari lapisan tanah yang dalam, mengurangi persaingan dengan tanaman pokok, dan mampu mencegah erosi 2) Tahan dipangkas secara periodik 3) Menghasilkan banyak bahan hijauan segar untuk pakan ternak atau menghasilkan banyak bahan kayu bakar 4) Bukan sebagai inang hama/penyakit bagi tanaman pokok 5) Untuk daerah beriklim kering seperti di Nusa Tenggara, dipilih tanaman yang tahan kering, sehingga tidak mati selama kemarau panjang 6) Diusahakan dari jenis legume perdu karena kualitas pakan ternak akan lebih baik dan dapat memfiksasi nitrogen dari udara untuk tanaman pokok. Klasifikasi agroforestry Klasifikasi pola agroforestry dapat dilakukan berdasarkan struktur, fungsi, sosial ekonomi, dan ekologi (Watanabe 1999). Klasifikasi berdasarkan struktur menunjukkan komponen-komponen yang menyusun pola tersebut, misalnya

37 14 tanaman pertanian, tanaman kehutanan dan ternak, sedangkan klasifikasi berdasarkan fungsi menunjukkan peranan dari pola agroforestry yang meliputi peranan produksi atau peranan proteksi. Klasifikasi agroforestry menunjukkan tingkat input yang digunakan (input rendah, input tinggi) atau intensitas pengelolaan dan tujuan komersil (subsisten, komersil atau setengah komersil) berdasarkan sosial ekonomi, sedangkan berdasarkan ekologi menunjukkan kondisi lingkungan dan kesesuaian ekologis dari pola tersebut, misalnya suatu kelompok pola agroforestry yang sesuai untuk dataran tinggi tropis, wilayah semi-arid dan lain-lain. Agroforestry dapat dibagi berdasarkan struktur atau komponenkomponen yang menyusunnya sebagai berikut (Sukandi et al. 2002): a. Kombinasi antara pohon-pohonan dan tanaman pertanian disebut agrisilviculture b. Kombinasi antara pohon-pohonan dengan tanaman pakan ternak dan atau ternak disebut silvopasture c. Kombinasi antara pohon-pohonan, tanaman pertanian, tanaman pakan ternak dan atau ternak disebut agrosilvopasture d. Kombinasi yang lain, diantaranya adalah pohon-pohonan dengan kegiatan perikanan (silvofishery) atau pohon-pohonan dengan kegiatan perlebahan. Pola Tanam Pola tanam dalam agroforestry sangat spesifik karena menyangkut berbagai komponen yang berbeda di dalamnya. Prinsip pola tanam dalam sistem agroforestry adalah bagaimana memanfaatkan ruang dan waktu secara optimal sehingga unsur-unsur hara, air dan cahaya dapat dimanfaatkan secara optimal pula. Usaha pemanfaatan ruang secara optimal dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya pengaturan jarak tanam, tata letak tanaman, perkembangan lapisan tajuk dan perakaran. Optimalisasi pemanfaatan unsur waktu dilakukan antara lain dengan pengaturan waktu tanam dan panen. Pengaturan ruang dan waktu yang optimal diharapkan komponen yang satu tidak akan menekan komponen yang lain, malah sebaliknya terjadi saling menunjang antar komponen. Pola tanam dalam sistem agroforestry diatur sedemikian rupa sehingga pada tahap awal (faktor naungan belum menjadi masalah) beberapa komponen dapat

38 15 tumbuh bersamaan dalam satu lapisan tajuk. Sistem agroforestry akan menyerupai ekosistem hutan pada tahap lanjut yang terdiri dari banyak lapisan tajuk (multistrata). Lapisan tajuk atas ditempati oleh jenis-jenis dominan, di bawahnya ditempati oleh jenis-jenis yang kurang dominan yang tahan setengah naungan, kemudian lapisan bawah ditempati oleh jenis-jenis tahan naungan. Pola tanam adalah sistem pengaturan pertanaman berdasarkan distribusi curah hujan, baik pola tanam monokultur maupun tumpang sari pada tanaman seumur pada sebidang tanah sebagai salah satu strategi untuk menjamin keberhasilan usaha tani lahan kering (Santoso et al. 2004). Perencanaan Tanaman Banyak usahatani yang disusun berdasarkan pengalaman. Kebanyakan dari petani yang menggunakan cara ini dibesarkan di daerah tempat ia berusahatani sekarang. Praktek-praktek usahataninya tidak berbeda dengan praktek-praktek yang berlaku di daerah tersebut. Perencanaan tanaman dilakukan untuk menentukan jenis tanaman yang akan diusahakan. Beberapa syarat yang harus dipenuhi tanaman tersebut adalah (Soeharjo dan Patong 1973): 1) Dapat menambah atau mempertahankan kesuburan tanah Tiap unit tanah harus dipertahankan kesuburannya. Salah satu jalan adalah dengan rotasi, baik yang sifatnya pendek maupun lama. Pergiliran tanaman yang baik akan memperbaiki struktur dan menjaga kesuburan tanah. Tanaman-tanaman yang dipilih sebagai tanaman kedua adalah tanaman yang memang sifatnya menambah kesuburan tanah. Tanaman-tanaman jenis leguminosa seperti kacang tanah, kedele adalah tanaman-tanaman yang dapat menambah kesuburan tanah. Pergiliran tanaman juga bisa didasarkan atas tanaman yang intensif dan ekstensif. 2) Komplementer dan suplementer satu sama lain Tanaman-tanaman yang diusahakan hendaknya saling meninggikan hasil antara satu dengan lainnya atau sekurang-kurangnya tidak mengurangi hasil tanaman lainnya, terutama penggunaan alat-alat dan tenaga kerja. Tanaman yang intensif dapat diusahakan bersama-sama dengan tanaman yang ekstensif, sehingga penggunaan tenaga kerja dan alat-alat tidak saling bersaing.

39 16 Absorpsi tenaga kerja pada saat-saat tertentu tidak selalu harus oleh tanaman. Ternak dapat juga mengabsorpsi tenaga kerja. 3) Menggunakan kerja keluarga dengan efisien Salah satu tujuan dari penyusunan rencana tanaman adalah menghitung jumlah kerja produktif. Tembakau dan kentang misalnya, memerlukan lebih banyak kerja per hektar daripada jagung. Jumlah jam yang diperlukan per hektar menjadi sangat berkurang setelah penemuan mesin-mesin pertanian, terutama mesin-mesin serbaguna. 4) Dalam permintaan pasar Syarat ini berlaku terutama bagi usahatani-usahatani yang bertujuan menjual hasilnya ke pasar. Faktor harga sangat berkaitan erat dengan permintaan. Seorang pengusaha harus dapat membedakan antara perubahan-perubahan harga yang sifatnya sementara dan yang relatif kekal. Perencanaan tanaman memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan ternak yang dapat diusahakan. Hasil tanaman tertentu mencerminkan jernis ternak tertentu pula. Perencanaan tanaman harus disertai dengan anggaran biaya atas tindakantindakan dan hasil yang akan diterima karena tindakan tersebut. Anggaran biaya ini menggambarkan taksiran pengeluaran total dan taksiran penerimaan total dari usahatani. Anggaran biaya ini dihitung berdasarkan analisis ekonomi sehingga dalam beberapa hal nilai total biaya bisa menjadi lebih besar dari total penerimaan. Taksiran pengeluaran total dimulai dari perhitungan penggunaan bibit, pupuk, obat-obatan, tenaga kerja, penyusutan alat dan pajak. Taksiran penerimaan total dihitung berdasarkan taksiran produksi tanaman jika tanaman tersebut sudah menghasilkan dengan memperhatikan variasi harga apakah harga untuk jangka pendek atau untuk jangka panjang. Kebutuhan Tenaga Kerja Jumlah kerja yang dibutuhkan pada usahatani dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain (Soeharjo dan Patong 1973): 1) Tingkat perkembangan usahatani Jumlah kerja yang dicurahkan untuk operasi usahataninya relatif kecil pada usahatani yang tujuannya mencukupi kebutuhan keluarga. Tambahan kerja

40 17 diperlukan lebih banyak pada usaha tani yang telah banyak menggunakan input modern. Hasil yang lebih baik diperoleh dengan melakukan pemeliharaan, penyiangan, pengaturan air, pemberantasan hama penyakit, pemupukan dan sebagainya. 2) Jenis tanaman yang diusahakan Setiap jenis tanaman memerlukan kerja yang berbeda. Berdasarkan kebutuhan kerja yang berbeda, tanaman dapat digolongkan dalam: a) Tanaman yang memerlukan kerja intensif, terutama terdiri dari tanamantanaman semusim b) Tanaman yang tidak memerlukan kerja yang banyak terutama terdiri dari tanaman tahunan. Setiap jenis tanaman dari setiap golongan juga memerlukan kerja yang berbeda, misalnya tanaman padi memerlukan kerja yang lebih banyak daripada tanaman palawija. Tanaman keras juga membutuhkan hari kerja yang berbeda dalam satu tahun. Tabel 3 menunjukkan perbedaan jumlah kerja yang dibutuhkan untuk pekerjaan membersihkan tanaman, menyiang, peremajaan dan panen. Tabel 3 Jumlah hari kerja yang dicurahkan per hektar tanaman jangka panjang di Maluku tahun 1972 No Desa (HKP) Kelapa (HKP) Eugenia aromatica Tanaman (HKP) campuran (HKP) 1 Jailolo Oba 34, Wahai 58, Tanimbar 50, Makian - 13,9-6 Saparna - 36,3-7 Tiharu - 96,1-8 P. Ambon ,7 HKP = Hari kerja pria Sumber : Masalah usahatani kelapa dan Eugenia aromatica, lokakarya dalam metode penelitian ilmu-ilmu sosial perdesaan, Departemen Sosek IPB 3) Topografi dan jenis tanah Pengusahaan tanah miring dan bergunung lebih berat daripada tanah datar. Pengusahaan tanah liat lebih berat dari pada tanah-tanah pasir.

41 18 Perencanaan Linear Programming untuk Usahatani Perencana harus menyusun perencanaan tanaman yang memenuhi beberapa persyaratan. Kegiatan pertanaman merupakan kegiatan proses produksi yang tergantung atau banyak dipengaruhi oleh faktor eksogenous di luar kontrol pengelola dengan demikian aspek ketidakpastian perlu diperhitungkan. Kegiatan pertanaman ini juga melibatkan banyak orang yang tidak terstandarkan, memiliki banyak produsen dan tersebar dan sebagian besar produkya adalah perishable (Soeharjo dan Patong 1973). Linear programming pada dasarnya menentukan penggunaan yang paling menguntungkan dari sumber-sumber pertanian dengan kendala keterbatasan faktor atau sumber itu sendiri dan mampu menunjukkan pendugaan pendapatan dari alternatif yang dipilih. Hubungan produk-produk input-input dan input produk muncul dalam masalah perencanaan usahatani (Soekartawi 1992). Ilmu usahatani adalah ilmu eknomi yang mempelajari bagaimana sumberdaya yang terbatas dapat memenuhi kehendak yang tidak terbatas. Keputusan ekonomi atau pilihan akan melibatkan tujuan, sumberdaya atau faktor dengan pembatasnya atau kendalanya untuk dapat menjangkau tujuan dan kemungkinan alternatif penggunaan sumber daya itu untuk mencapai tujuan (Hernanto 1996). Linear programming adalah salah satu pendekatan matematika yang paling sering digunakan dan diterapkan dalam keputusan-keputusan manajerial. Tujuan dari linear programming adalah untuk menyusun suatu model yang dapat dipergunakan untuk membantu pengambilan keputusan dalam menentukan alokasi yang optimal dari sumber daya perusahaan ke berbagai alternatif (Muslich 2009). Model adalah penggambaran atau tiruan dunia nyata. Keputusan optimal dari sebuah model mungkin merupakan keputusan terbaik bagi keadaan nyata, namun mungkin juga bukan. Hal itu sangat tergantung kepada kemampuan model untuk mewakili persoalan atau sistem yang sedang dianalisis. Penyelesaian optimal yang dihasilkan oleh sebuah model adalah penyelesaian matematis sehingga hasil tersebut hendaknya ditafsirkan dan kebijaksanaan dapat dibuat berdasar hasil-hasil perhitungan tersebut. Langkah untuk membuat peralihan dari realita ke model kuantitatif dinamakan perumusan model. Perumusan model

42 19 merupakan hal pertama yang tidaklah mudah dilakukan. Pemahaman terhadap unsur-unsur model akan sangat membantu mengatasi kesulitan ini. Unsur-unsur tersebut adalah (Siswanto 2007): 1) Variabel keputusan Variabel keputusan adalah variabel persoalan yang akan mempengaruhi nilai tujuan yang hendak dicapai. Penemuan variabel keputusan tersebut harus dilakukan terlebih dahulu sebelum merumuskan fungsi tujuan dan kendalakendalanya di dalam proses permodelan. 2) Fungsi tujuan Tujuan yang hendak dicapai harus diwujudkan ke dalam sebuah fungsi matematika linear dalam linear programming. Fungsi itu dimaksimumkan atau diminimumkan terhadap kendala-kendala yang ada. 3) Fungsi kendala Manajemen menghadapi berbagai kendala untuk mewujudkan tujuantujuannya. Kenyataan tentang eksistensi kendala-kendala tersebut selalu ada. Kendala dapat diumpamakan sebagai suatu pembatas terhadap kumpulan keputusan yang mungkin dibuat dan harus dituangkan ke dalam fungsi matematika. Ada tiga macam kendala sesuai dengan dengan dalil matematika yaitu: 1. Kendala berupa pembatas 2. Kendala berupa syarat 3. Kendala berupa keharusan Ketiga macam kendala tersebut akan selalu dijumpai di dalam setiap susunan kendala kasus pemrograman linear, baik yang sejenis maupun gabungan dari ketiganya. Linear programming adalah sebuah metode matematis yang berkarakteristik linear untuk menemukan suatu penyelesaian optimal dengan cara memaksimukan atau meminimumkan fungsi tujuan terhadap satu susunan kendala.

43 20

44 21 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Ngarip, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung selama dua bulan yaitu dari bulan Juli sampai dengan Agustus Desa ini dipilih secara sengaja menjadi wilayah penelitian karena beberapa pertimbangan, yaitu berada di Kabupaten Tanggamus yang merupakan wilayah pengembangan HKm, memiliki kelengkapan data pendukung yang baik dan desa ini telah mendapatkan izin HKm pada tahun Jenis dan Sumber Data Data yang diperlukan terdiri dari data primer dan data sekunder yang meliputi data biofisik dan sosial ekonomi. Data primer terdiri dari data vegetasi dan data sosial ekonomi dalam kondisi aktual dan kondisi yang direncanakan. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara terstruktur dan semi terstruktur dan studi literatur. Data sekunder meliputi data iklim (curah hujan, suhu, ketinggian tempat) dan jenis tanah. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait yaitu Kecamatan Ulu Belu, Pekon Ngarip, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tanggamus, Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, BPS, BPDAS Provinsi Lampung, literatur-literatur dan institusi yang terkait. Data biofisik yang dperlukan dalam penelitian ini adalah data vegetasi meliputi jenis dan jumlah tanaman. Data sosial ekonomi meliputi: (1) jumlah anggota keluarga (jenis kelamin, usia, pekerjaan dan tingkat pendidikan), (2) luas lahan (lahan HKm dan lahan milik), (3) status kepemilikan, (4) produksi usahatani, biaya dan pendapatan dari seluruh komponen usahatani aktual per tahun, (5) pendapatan dan biaya dari usahatani yang direncanakan per tahun (6) input produksi meliputi bibit, pupuk, pestisida, peralatan dan jumlah tenaga kerja (HOK) yang digunakan, (7) total pendapatan petani dan (8) total pengeluaran petani. (9) persepsi dan perspektif petani terhadap HKm. Sasaran, metode dan kegunaan data disajikan pada Tabel 4.

45 22 Tabel 4 Sasaran, metode dan kegunaan data No Sasaran pengumpulan data 1 Jenis tanaman dan pola tanam di lahan HKm (aktual) 2 Jenis tanaman dan pola tanam yang direncanakan 3 Sosial dan ekonomi (produksi, biaya, pendapatan dan pengeluaran) dari usahatani aktual dan luar usahatani 4 Sosial dan ekonomi (produksi, biaya dan pendapatan) dari usahatani yang direncanakan Metode pengumpulan data Pengamatan langsung secara deskriptif Wawancara terstruktur (kuisioner) Wawancara terstruktur (kuisioner) Wawancara terstruktur (kuisioner) 5 Persepsi dan perspektif petani Wawancara semi terstruktur (kuisioner) Kegunaan data Untuk mengetahui jenis pola tanam aktual Untuk mengetahui jenis pola tanam yang direncanakan Untuk menentukan karakteristik sosial ekonomi, ukuran garis kemiskinan, kebutuhan hidup layak, kebutuhan luas lahan dan modal yang tersedia Untuk menentukan pola tanam optimal dan kebutuhan luas lahan Untuk mengetahui prospek pengembangan HKm Teknik Pengambilan Sampel Pengambilan sampel pola tanam dilakukan secara purposive sampling. Responden yang diambil sebagai sampel adalah petani yang memiliki lahan HKm dan memiliki pola tanam yang berbeda. Ukuran sampel yang layak dalam penelitian minimal sebanyak 30 sampel (Sugiyono 2009). Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini sebanyak 66 responden dan tersebar di berbagai pola tanam. Analisis Pola tanam Analisis pola tanam dilakukan terhadap pola tanam aktual dan pola tanam yang direncanakan. Analisis pola tanam aktual dilakukan dengan mengamati jenis tanaman, jumlah setiap jenis dan pola tanam secara langsung di lapangan. Analisis pola tanam yang direncanakan dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu: 1) Identifikasi jenis tanaman yang ingin dikembangkan Identifikasi jenis tanaman dilakukan terhadap jenis-jenis tanaman yang ingin dikembangkan oleh petani secara deskriptif. Jenis tanaman tersebut dikelompokkan berdasarkan kelompok tanaman tajuk tinggi, sedang dan rendah. 2) Identifikasi pola tanam yang direncanakan Hasil identifikasi jenis digunakan untuk mengidentifikasi pola tanam yang direncanakan petani.

46 23 3) Analisis keuntungan pola tanam yang direncanakan Analisis keuntungan merupakan taksiran keuntungan yang akan diterima petani dari pola tanam-pola tanam yang direncanakan pada saat semua tanaman telah berproduksi. Analisis keuntungan dilakukan terhadap jenis tanaman yang ingin dikembangkan petani menggunakan analisis anggaran arus uang tunai (cash flow analysis) yang terdiri dari penerimaan, biaya dan pendapatan (Soeharjo dan Patong 1973, Newnan 1990, Sinaga 1992, Brigham dan Gapenski 1991, Mulyadi 1992, Soekartawi 2002, Umar 2003). Perhitungan keuntungan per jenis tanaman ditentukan dengan struktur sebagai berikut: 1. Total penerimaan per jenis tanaman (TR) merupakan perkalian antara produksi tanaman dengan harga produk yang akan diterima ketika sudah menghasilkan dan dihitung dengan persamaan sebagai berikut: TR = YP Keterangan: TR= penerimaan per jenis tanaman (Rp/btg) Y = jumlah produksi tanaman (kg/btg) P = harga komoditas tanaman (Rp/btg) 2. Total biaya per jenis tanaman (TC) merupakan semua rencana biaya yang dikeluarkan oleh petani selama proses produksi baik langsung maupun tidak langsung untuk setiap jenis tanaman. Biaya ini terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap meliputi pajak lahan, iuran kelompok dan lainlain. Biaya tidak tetap meliputi biaya bibit, pupuk, obat-obatan, tenaga kerja, pengangkutan dan lain-lain. Total biaya per jenis tanaman dihitung dengan persamaan sebagai berikut: TC = FC + VC Keterangan: TC = total biaya per jenis tanaman (Rp/btg) FC = biaya tetap (Rp/btg) VC = biaya tidak tetap (Rp/btg) 3. Keuntungan per jenis tanaman Keuntungan per jenis tanaman adalah selisih antara total penerimaan dan total biaya yang dapat dirumuskan dengan persamaan berikut:

47 24 Π = TR TC Keterangan: Π = keuntungan per jenis tanaman (Rp/btg) Harga komoditas dan produktivitas tanaman menggunakan data-data yang berlaku di lapangan pada saat penelitian. Harga komoditas menggunakan harga-harga yang berlaku di tingkat petani. Harga komoditas diperoleh melalui literatur, wawancara atau menggunakan harga di tempat lain yang terdekat jika tanaman belum berproduksi. Data produktivitas tanaman diperoleh berdasarkan hasil wawancara dan literatur. 4) Analisis optimalisasi Analisis optimalisasi dilakukan terhadap masing-masing pola tanam yang direncanakan petani dengan beberapa pendekatan dan asumsi sebagai berikut: a) Hubungan antar variabel penentu adalah linear untuk fungsi yang dioptimalkan dan kendala-kendala b) Produktivitas dan harga dianggap konstan c) Selera petani terhadap jenis dianggap tetap d) Modal usaha tani yang dibutuhkan menggunakan pendekatan biaya yang digunakan selama proses produksi yang direncanakan petani e) Perhitungan optimalisasi dinilai pada tahun ke-7, yaitu ketika semua jenis tanaman telah berproduksi dan diasumsikan semua tanaman dapat hidup f) Ketentuan jumlah tanaman tajuk rendah yang dapat hidup di bawah naungan kopi dianggap sama di bawah semua jenis tanaman tajuk sedang lainnya. g) Jarak tanam semua tanaman tajuk sedang diasumsikan sama Analisis optimalisasi menggunakan linear programming dengan dua kelompok persamaan, yaitu persamaan fungsi tujuan dan persamaan kendala fungsional dengan struktur data sebagai berikut (Bungiorno dan Gilles 2003): a) Variabel keputusan (decision variable) Variabel keputusan adalah jumlah tanaman ke-i yang dinotasikan dalam Xi dalam satuan batang per hektar. b) Fungsi tujuan Fungsi tujuan dalam model ini adalah memaksimumkan keuntungan (Z) dengan rumus sebagai berikut:

48 25 nn ΠiXXi Z ii=1 Keterangan: Πi = keuntungan tanaman ke-i (Rp/btg) Xi = jumlah tanaman ke-i (Btg/ha) Z = jumlah keuntungan seluruh tanaman (Rp/ha/th) c) Kendala Fungsional Kendala-kendala fungsional pada model ini dapat dijabarkan sebagai berikut: 1 Ketersediaan modal Perhitungan modal menggunakan pendekatan biaya (cost approach). Perhitungan modal dalam penelitian ini meliputi biaya-biaya yang digunakan selama proses produksi seperti biaya bibit, pupuk, obat-obatan, upah tenaga kerja, alat-alat pertanian, pajak lahan dan lain-lain. Pola tanam yang direncanakan tidak melebihi jumlah modal yang dimiliki petani (Mi M). 2 Ketersediaan HOK Ketersediaan HOK adalah jumlah hari kerja yang tersedia untuk mengelola usahatani tertentu dengan satuan hari orang kerja (HOK). Ketersediaan HOK setiap jenis dihitung sehingga diperoleh total kebutuhan HOK setiap pola agroforestry. Jumlah HOK pola tanam yang direncanakan harus melebihi jumlah HOK yang tersedia agar pola tanam terbentuk (HOKi HOK). 3 Kendala jumlah tanaman per hektar Jumlah tanaman harus disesuaikan dengan kapasitas lahan menumbuhkan tanaman yang optimal. Jumlah tanaman minimal ditentukan berdasarkan jumlah tanaman aktual yang ada di lahan petani maupun dari studi literatur. Jumlah minimal tanaman tajuk sedang adalah tanaman per hektar dan jumlah maksimal adalah tanaman per hektar. Penentuan jumlah ini berdasarkan jarak tanam yang dianjurkan oleh Dirjen Perkebunan 2006 untuk tanaman kopi. Jumlah maksimal tanaman tajuk tinggi adalah 150 batang per hektar. Penentuan ini berdasarkan tabel tegakan jenis kayu industri pada akhir daur (Suharlan et al. 1975). Komposisi MPTS dan kayu-kayuan menggunakan perbandingan 70% dan 30%. Jumlah maksimal tanaman tajuk rendah adalah batang per hektar. Penentuan jumlah ini berdasarkan hasil wawancara

49 26 dengan petani yang mengemukakan bahwa penanaman tumpang sari tanaman tajuk rendah yang baik dilakukan dengan perbandingan 2 : 1 terhadap tanaman kopi, artinya dua tanaman tajuk rendah dinaungi oleh satu tanaman kopi. Penaung tidak hanya tanaman kopi, tetapi semua tanaman tajuk sedang. Analisis Ukuran Garis kemiskinan Ada tiga metode yang sering digunakan dalam melihat standar kemiskinan suatu rumah tangga atau seseorang. Pertama, ukuran garis kemiskinan menurut Sajogyo; kedua, ukuran garis kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS); ketiga, ukuran garis kemiskinan menurut Bank Dunia. Ukuran garis kemiskinan atau ukuran kebutuhan fisik minimum (KFM) menurut Sajogyo dihitung berdasarkan nilai tukar beras per kapita per tahun, yaitu kilogram harga beras (Rp/kg). Harga beras yang berlaku di daerah penelitian pada tahun 2011 adalah Rp sehingga ukuran garis kemiskinan menurut Sajogyo adalah Rp Rp Ukuran garis kemiskinan menurut BPS (2010) yaitu Rp Ukuran ini dinilai untuk tahun 2011 (future value) dengan mempertimbangkan tingkat inflasi rata-rata, dalam penelitian ini rata-rata diambil selama 3 tahun terakhir (tahun 2009, 2010 dan 2011). Tingkat inflasi rata-rata sebesar 4,5 (BPS 2011). Ukuran garis kemiskinan menurut Bank Dunia US$1 dan Bank Dunia US$2 per kapita per hari adalah Rp dan Rp US$1 sama dengan Rp pada bulan November 2011 (Kemendag 2011). Ukuranukuran garis kemiskinan tersebut akan dibandingkan dengan total pendapatan aktual petani untuk mengetahui standar garis kemiskinan di wilayah penelitian. Total pendapatan aktual petani terdiri dari pendapatan dari lahan HKm, lahan milik, usaha ternak, tukang, buruh tani, penjualan kayu bakar, jasa transportasi, pembantu rumah tangga dan usaha lainnya. Satuan yang digunakan disamakan dalam rupiah per kapita per bulan pada tahun Analisis Kebutuhan Hidup Layak Kebutuhan hidup layak (KHL) petani adalah kebutuhan petani meliputi pakaian, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, keagamaan, rekreasi, kegiatan sosial dan tabungan hari tua. KHL aktual diukur pada setiap pola tanam

50 27 berdasarkan biaya yang dikeluarkan petani untuk memenuhi kebutuhan pangan, pendidikan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, keagamaan, rekreasi, tabungan dan kegiatan sosial. KHL aktual akan dibandingkan dengan standar KHL. Standar KHL adalah 250% dari ukuran garis kemiskinan tertinggi. KHL tertinggi dijadikan dasar dalam penentuan kebutuhan luas lahan yang seharusnya dimiliki petani. Penggunaan standar KHL tertinggi bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Desa Ngarip. Analisis Luas Lahan untuk Pemenuhan KHL Analisis kebutuhan luas lahan dilakukan terhadap pola tanam aktual dan pola tanam hasil optimalisasi. Pola tanam optimal adalah pola tanam hasil optimalisasi yang mampu memenuhi standar KHL. Standar KHL dipenuhi dengan menambah luas lahan atau tidak menambah luas lahan tergantung dari keuntungan pola tanam hasil optimalisasi. Petani perlu menambah luas lahan apabila keuntungan pola tanam aktual dan hasil optimalisasi tidak memenuhi standar KHL tertinggi ( KHL π persamaan sebagai berikut: Keterangan: 1). Analisis kebutuhan luas lahan dihitung dengan Lm = KHL π 1 hektar KHL = Kebutuhan hidup layak (Rp/KK/tahun) Lm = Luas lahan minimal (ha) π = Keuntungan dari lahan HKm (Rp) Analisis Prospek Pengembangan HKm Analisis mengenai prospek pengembangan HKm dilakukan secara deskriptif. Penilaian persepsi petani terhadap peranan HKm dalam meningkatkan kesejahteraan dilakukan sebagai dasar untuk melihat prospek pengembangan HKm ke depan. Persepsi petani terhadap HKm muncul dari pengalamanpengalaman petani. Petani akan menilai baik atau buruk HKm berdasarkan pengalaman mereka selama mengelola lahan HKm. Kontribusi pendapatan dari lahan HKm terhadap total pendapatan petani perlu diketahui. Kontribusi pendapatan yang tinggi akan memberikan pandangan positif terhadap HKm,

51 28 sebaliknya kontribusi yang rendah akan menimbulkan pandangan negatif terhadap HKm. Persepsi positif akan memunculkan harapan-harapan, keinginankeinginan dan dorongan-dorongan untuk mengembangkan HKm berdasarkan perspektif mereka.

52 29 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Batas Administrasi Wilayah Kondisi Umum Desa Ngarip Desa Ngarip merupakan wilayah penelitian yang berada di Kecamatan Ulu Belu Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung dengan luas wilayah ha. Adapun batas administrasi wilayah meliputi: 1. Sebelah utara berbatasan dengan hutan lindung register Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sukamaju 3. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Muara Dua/Pagar Alam 4. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Penantian Iklim Wilayah penelitian sebagian besar merupakan dataran tinggi dan berada pada ketinggian antara meter di atas permukaan laut. Jumlah curah hujan berkisar antara mili meter dengan jumlah bulan basah sebanyak 6 bulan dan suhu rata-rata adalah 22 o C (Pekon Ngarip 2010). Jenis Tanah Tanah di daerah penelitian terdiri dari tanah dystropepts, humitropepts, hapludults, tropaquepts, dystrandepts dan tropofluvents. Tekstur tanah di dominasi oleh lempung dengan warna tanah sebagian besar berwarna merah kehitaman (BPKH 2010). Luas Penggunaan Lahan Lahan di Desa Ngarip terdiri dari lahan perkebunan, lahan pertanian dan hutan. Data penggunaan lahan beserta luasnya disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Luas Penggunaan dan produktivitas lahan Desa Ngarip Keterangan Luas (ha) Produktivitas (ton/ha) Kopi ,8 Lada 2,5 0,5 Kakao 10 0,6 Sawah 62 3 Hutan HKm 1446,88 Belum tercatat Sumber: Pekon Ngarip 2010

53 30 Karakteristik Sosial Ekonomi Desa Ngarip Desa Ngarip memiliki jumlah penduduk terbanyak di Kecamatan Ulu Belu. Mata pencaharian sebagian besar adalah petani lahan kering. Data sosial ekonomi selengkapnya disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Data sosial ekonomi Desa Ngarip Keterangan Jumlah Orang Persen (%) Jumlah penduduk (jiwa) Laki-laki (jiwa) Perempuan (jiwa) Jumlah keluarga (KK) Kepadatan penduduk (jiwa/km 2 ) 133,28 Jumlah angkatan kerja usia produktif (orang) ,77 Suku (orang) Jawa Semendo Sunda 37 1 Agama islam Jumlah petani pemilik lahan (orang) Jumlah petani penggarap (orang) 15 1 Jumlah petani HKm Pemukiman penduduk (ha) 108 Pekarangan (ha) 108 Keluarga pra sejahtera (orang) ,9 Keluarga sejahtera I (orang) ,86 Keluarga sejahtera II (orang) ,84 Keluarga sejahtera III (orang) ,49 Keluarga sejahtera III plus 9 0,009 Jarak ke ibukota kecamatan (km) 0,5 Jarak ke ibukota kabupaten (km) 65 Sumber: Pekon Ngarip 2010 Karakteristik Sosial Ekonomi Responden Desa Ngarip memiliki satu Gabungan Kelompok HKm (GAPOKTAN) yang diberi nama Kelompok HKm Margo Rukun. Kelompok HKm Margo Rukun memiliki jumlah anggota sebanyak 735 penggarap. Luas areal kelola HKm adalah hektar yang terdiri dari hektar blok budi daya dan 365 hektar blok lindung. Jumlah petani sampel yang diambil sebanyak 66 responden. Data mengenai karakteristik responden disajikan pada Tabel 7.

54 31 Tabel 7 Data sosial ekonomi responden Keterangan Jumlah Orang % -Mata pencaharian Petani HKm Usaha sampingan Pendidikan SD/sederajat SLTP/sederajat SLTA/sederajat 5 8 Tidak sekolah 6 9 -Usia produktif (15-55) Usia tidak produktif Sumber: Pekon Ngarip 2010 Mata pencaharian utama sebagian besar responden adalah petani. Sebesar 24% petani memiliki pekerjaan sampingan sebagai pedagang, jasa transportasi, tukang, buruh tani, pedagang dan lain-lain. Pendidikan responden paling banyak setingkat SD yaitu 67%, sisanya setingkat SLTP dan SLTA. Usia responden adalah antara tahun. Usia produktif sebanyak 80% (53 orang) dan usia tidak produktif sebanyak 20% (13 orang).

55 32

56 33 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Tanam Aktual Hasil identifikasi pola tanam menunjukkan bahwa ada tiga puluh enam pola tanam di lahan HKm (Tabel 8). Pengelolaan lahan bersifat semi komersial, artinya kelompok-kelompok masyarakat memiliki motivasi ekonomi yang cukup tinggi dalam penggunaan lahan, cenderung ingin meningkatkan produktivitas serta kualitas hasil yang dapat dipasarkan untuk memperoleh uang tunai tetapi pola hidup mereka masih bersifat subsisten. Komposisi jenis setiap pola tanam terdiri dari 1-6 jenis tanaman. Jenisjenis tanaman pada pola tanam aktual terdiri dari tanaman kopi, lada, kakao, cengkeh, pala, alpukat, durian, pisang, cabai dan tanaman kayu-kayuan. Tanaman kopi terdapat di semua pola tanam aktual. Sebagian besar pola tanam didominasi oleh satu jenis tanaman, yaitu tanaman kopi, tetapi ada juga pola tanam yang tidak hanya didominasi oleh tanaman kopi seperti pola tanam 2, 22, 24, 26, 27, 29, 33 dan 34. Pola 2 didominasi oleh tanaman kopi dan cengkeh. Pola 22, 24 dan 27 didominasi oleh tanaman kopi dan cabai. Pola 26 didominasi oleh tanaman kopi, lada, pisang dan cabai. Pola 29 didominasi oleh tanaman kopi, cabai dan kayu. Pola 33 didominasi oleh tanaman kopi dan kakao. Pola 34 didominasi oleh tanaman kopi dan pisang. Pola tanam yang banyak diterapkan oleh petani adalah pola tanam yang terdiri dari satu jenis (tanaman kopi), dua kombinasi jenis (kopi + cabai dan kopi + pisang) dan empat kombinasi jenis (kopi + alpukat + pisang + cabai) (Gambar 2,3,4 dan 5). Gambar 2 Pola tanam dengan satu jenis tanaman kopi.

57 34 Gambar 3 Kombinasi tanaman kopi dan cabai. Gambar 4 Kombinasi tanaman kopi, alpukat, pisang dan cabai. Gambar 5 Kombinasi tanaman kopi dan pisang.

58 35 Tabel 8 Pola tanam aktual dan dominasi tanaman No Pola tanam aktual Dominasi tanaman 1 kopi kopi 2 kopi + cengkeh kopi, cengkeh 3 kopi + pisang kopi 4 kopi + cabai kopi 5 kopi + alpukat kopi 6 kopi + kayu kopi 7 kopi + durian kopi 8 kopi + cabai + kayu kopi 9 kopi + cengkeh + cabai kopi 10 kopi + pisang + cabai kopi 11 kopi + kakao + cabai kopi 12 kopi + lada + cabai kopi 13 kopi + lada + kakao kopi 14 kopi + alpukat + cabai kopi 15 kopi + kakao + cabai kopi 16 kopi + pala + alpukat kopi 17 kopi + kakao + alpukat kopi 18 kopi + alpukat + cabai + kayu kopi 19 kopi + alpukat + pisang + cabai kopi 20 kopi + kakao + alpukat + pisang kopi 21 kopi + kakao + alpukat + cabai kopi 22 kopi + cengkeh + kakao + pisang kopi, cabai 23 kopi + alpukat + pisang + cabai kopi 24 kopi + kakao + pisang + cabai kopi, cabai 25 kopi + lada + alpukat + pisang kopi 26 kopi + lada + pisang + cabai + kayu kopi, lada, pisang, cabai 27 kopi + alpukat + durian + pisang + cabai kopi, cabai 28 kopi + cengkeh + alpukat + pisang + cabai kopi 29 kopi + alpukat + durian + cabai + kayu kopi, cabai, kayu 30 kopi + alpukat + durian + pisang + kayu kopi 31 kopi + cengkeh + kakao + alpukat + cabai kopi 32 kopi + kakao + alpukat + cabai + kayu kopi 33 kopi + lada + kakao + alpukat + cabai kopi, kakao 34 kopi + kakao + durian + pisang + cabai + kayu kopi, pisang 35 kopi + lada + kakao + alpukat + cabai + kayu kopi 36 kopi + cengkeh + kakao + pala + alpukat + cabai + kayu kopi Jaminan penguasaan lahan melalui izin HKm menyebabkan masyarakat mulai melakukan pengembangan pola tanam. Penguasaan lahan (property right) sangat penting dalam pelaksanaan agroforestry. Insentif untuk menanam pohon/agroforestry menjadi sangat lemah apabila tidak ada kepastian penguasaan lahan mengingat sistem agroforestry merupakan strategi usaha tani dalam jangka panjang. Investasi yang dilakukan dalam pembukaan lahan dan penanaman pohon akan dinikmati dalam waktu yang lebih panjang. Kepastian penguasaan lahan dan pohon diperlukan untuk memberikan jaminan kepada petani untuk menikmati hasil panen (Suharjito et al. 2003). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Otsuka et al. (2001) yang menunjukkan bahwa penguatan penguasaan lahan di hutan

59 36 negara oleh masyarakat berdampak pada perubahan sistem pertanian. Perubahan sistem pertanian juga terjadi di Desa Ngarip. Masyarakat mulai mengembangkan jenis-jenis tanaman tertentu. Jenis-Jenis Tanaman Pilihan Petani Jenis-jenis tanaman yang ingin dikembangkan petani memiliki sifat komplementer dan suplementer satu sama lain. Tanaman-tanaman yang intensif dapat diusahakan bersama-sama dengan tanaman ekstensif, sehingga penggunaan tenaga kerja dan alat-alat tidak saling bersaing. Jenis tanaman tersebut terdiri dari tanaman tajuk tinggi, tajuk sedang dan tajuk rendah sehingga diharapkan membentuk agroforestry multistrata yang bermanfaat baik secara ekonomi dan ekologi. Tanaman tajuk tinggi terdiri dari E. aromatica, P. americana, M. fragrans, G. sepium, D. zibethinus, P. falcataria, M. eminii, Michelia sp., M. azedarach dan L. leucocephala. Petani memilih tanaman-tanaman tersebut sebagai tanaman tajuk tinggi karena tanaman tersebut memiliki nilai komersial dan fungsi lindung yang baik terutama pelindung bagi tanaman kopi. Tanaman tajuk sedang terdiri dari tanaman C. robusta, T. cacao, P. nigrum dan Musa sp. Petani memilih tanamantanaman tersebut sebagai tanaman tajuk sedang karena tanaman tersebut memiliki nilai komersial dan memiliki kompatibilitas dengan tanaman kopi sehingga tidak bersaing satu sama lain. Tanaman tajuk rendah adalah C. frustescens. Petani memilih tanaman tersebut sebagai tanaman tajuk rendah karena tanaman ini tahan terhadap naungan dan memberikan pendapatan tambahan bagi petani. Ada beberapa alasan yang menyebabkan petani berminat menanam pepohonan (tajuk tinggi) antara lain, pepohonan yang masih kecil tidak mengganggu tanaman semusim dan perawatan terhadap tanaman pangan dapat memberikan keuntungan bagi pepohonan, petani dapat menanam tanaman yang tahan naungan sehingga menambah pendapatan, menanam pepohonan yang bernilai ekonomi tinggi misalnya buah-buahan berarti menabung untuk masa depan dan menanam pohon tidak memerlukan banyak perawatan (Hairiah et al. 2000). Hasil penelitian ini memperkuat kesimpulan Helton et al. (2010) yang menyatakan bahwa pemilihan jenis yang tepat adalah kunci kesuksesan

60 37 agroforestry di Brazil. Jenis pohon yang ingin dikembangkan petani adalah pohon yang tumbuhnya tidak bersaing dengan tanaman kopi (compatible) atau tidak kompatibel tetapi memiliki keragaman produk. Hasil identifikasi jenis tanaman yang ingin dikembangkan petani disajikan pada Tabel 9. Jenis tanaman pilihan petani dijadikan dasar dalam penentuan pola tanam optimal. Tanamantanaman tersebut adalah: Tanaman Coffea robusta Tanaman C. robusta atau tanaman kopi paling diminati masyarakat Desa Ngarip sebagai tanaman pokok karena tanaman ini lebih stabil memberikan pendapatan tahunan dibandingkan tanaman tahunan lain dan tanaman kopi cocok tumbuh di lahan HKm. Tanaman ini sudah ada sejak tahun 1980an ketika pertama kali masyarakat membuka lahan kawasan. Pertumbuhan dan produktivitas tanaman kopi sangat tergantung atau dipengaruhi oleh keadaan lingkungan secara ekonomis. Faktor-faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap tanaman kopi antara lain adalah ketinggian tempat, curah hujan, sinar matahari dan tanah. Setiap jenis kopi menghendaki suhu atau ketinggian tempat yang berbeda-beda. Jenis kopi yang dibudidayakan di Desa Ngarip adalah kopi robusta. Kopi robusta tumbuh optimum pada ketinggian meter di atas permukaan laut, tetapi beberapa diantaranya masih tumbuh baik dan ekonomis pada ketinggian tempat antara meter di atas permukaan laut. Curah hujan yang dibutuhkan berkisar antara mili meter per tahun, tetapi kopi masih tumbuh baik pada daerah bercurah hujan mili meter per tahun. Banyaknya intensitas matahari yang dikehendaki tanaman kopi berkisar antara 10-50%. Tanaman kopi menghendaki tanah yang gembur, agak masam, subur dan kaya bahan organik dengan ph 4,5-6,5 (Najiyati dan Danarti 1999). Jumlah tersebut tergantung pada iklim dan jenis kopinya. Tanaman kopi di Kabupaten Tanggamus memiliki areal seluas hektar atau 42% dari luas areal tanaman perkebunan (BPS 2010). Produktivitas biji kopi kering di Desa Ngarip rata-rata sebesar 0,8 ton per hektar per tahun dengan ratarata jumlah tanaman sebanyak batang per hektar (Pekon Ngarip 2010).

61 38 38 Tabel 9 Jenis tanaman pilihan masyarakat Nama Lokal Jenis Tanaman Nama Botani Harga(Rp/kg) (Rp/bh)* (Rp/tandan)** Rata-rata Produktivitas (kg/btg/th) (buah/btg/th)* (tandan/btg/th)** Harga komoditas (Rp/btg) Usia panen (th) (bln)* Frekuensi panen rata-rata (dalam setahun) (dalam sebulan)* Kopi Coffea robusta *** , x Lada Piper nigrum *** , x Cengkeh Eugenia aromatica *** x Kakao Theobroma cacao *** , x Pala Myristica fragrans *** x Alpukat Persea americana x Durian Durio zibethinus x Pisang Musa spp x Cabai Capsicum frustescens , x Kayu Kayu Sumber: hasil perhitungan penulis Keterangan: *) Rata-rata produktivitas buah durian dihitung dalam satuan buah/btg/th. Satuan usia panen tanaman pisang dan cabai adalah bulan. Frekuensi panen rata-rata tanaman cabai dihitung dalam sebulan **) Harga buah pisang dinilai dalam satuan Rp/tandan dan rata-rata produktivitas dinilai dalam satuan tandan/btg/th ***) Produktivitas buah kopi,lada,cengkeh,dan kakao dinilai dalam kondisi buah kering, produktivitas pala dinilai dalam kondisi buah segar

62 39 Tanaman Piper nigrum Tanaman lada (P. nigrum) adalah tanaman yang diminati oleh masyarakat desa Ngarip sebagai tanaman sela. Tanaman ini sebagian besar belum berproduksi. Produktivitas lada nasional yaitu 800 kilogram per hektar (Suprapto dan Yani 2008). Produktivitas tumpang sari tanaman lada adalah gram per tanaman per tahun (Zaubin dan Yufdi 1996). Rata-rata produktivitas tumpang sari tanaman adalah 375 gram buah kering per tanaman per tahun. Pada umumnya lada memerlukan tanaman penegak atau tajar untuk rambatannya. Tanaman penegak yang digunakan sebagai rambatan lada adalah tanaman G. sepium, L. leucocephala, M. fragrans, Erythrina sp. dan C. pentandra. Tanaman Eugenia aromatica E. aromatica atau cengkeh merupakan salah satu komoditas pertanian yang diminati karena bernilai ekonomi tinggi. Manfaat tanaman ini cukup banyak sebagai rempah-rempah, bahan campuran rokok kretek atau bahan dalam pembuatan minyak atsiri. Tanaman ini sudah pernah ditanam di Desa Ngarip. Harga yang tidak menguntungkan pada saat itu menyebabkan tanaman cengkeh ditebang. Penanaman mulai dilakukan kembali saat ini. Tanaman cengkeh memiliki struktur perakaran yang dalam hingga mencapai kedalaman 3 meter. Tinggi pohon mencapai meter. Tajuk tanaman cengkeh umumnya berbentuk kerucut, piramid atau piramid ganda, dengan batang utama menjulang keatas. Tanaman cengkeh cukup baik ditanam di lahan-lahan miring sehingga mampu melindungi tanah dari bahaya longsor. Lahan miring akan memberikan drainase yang lebih baik dan kecil kemungkinan terjadinya penggenangan air yang berpengaruh buruk pada pertumbuhan akar (Hadipoentyanti 1997). Produksi yang dihasilkan tanaman cengkeh dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Produksi tanaman cengkeh tidak sama dari tahun ke tahun. Produksi masih sedikit pada saat awal panen, semakin lama produksi semakin meningkat. Tanaman cengkeh mengalami panen raya dalam 3-4 tahun sekali (Bintoro 1986). Berdasarkan pengalaman petani, cengkeh masih dapat tumbuh di Desa Ngarip meskipun produksinya kurang optimal. Produktivitas tanaman cengkeh di daerah penelitian bervariasi berdasarkan hasil wawancara. Produktivitas tanaman cengkeh semakin baik sejalan dengan semakin tuanya umur tanaman. Produktivitas tanaman mencapai 6-8 kilogram

63 40 cengkeh kering per pohon per tahun pada umur tahun. Produktivitas hanya 1 kilogram cengkeh kering per pohon per tahun pada umur 6-7 tahun. Tanaman Theobroma cacao Tanaman T. cacao atau tanaman kakao tumbuh ideal pada ketinggian kurang dari 800 meter di atas permukaan laut, curah hujan milimeter per tahun dan suhu 18 o - 32 o C (Siregar, Riyadi, Nuraeni 1988). Wilayah penelitian masih sesuai untuk penanaman kakao ditinjau dari faktor iklim. Produktivitas tanaman kakao di Desa Ngarip sebesar 600 kilogram per hektar per tahun (Profil Pekon 2010). Produktivitas tumpang sari tanaman kakao dengan tanaman kelapa yang ditanam pada tahun 1983 menghasilkan 700 kilogram per hektar biji kakao kering pada tahun 2002 dengan jarak tanam 2 m 3 m. Hal ini berarti produktivitas biji kakao kering adalah 0,6 kilogram per tanaman per tahun. Produksi biji kakao dengan beberapa jenis tanaman penaung disajikan pada Tabel 10. Berdasarkan hasil wawancara, produktivitas rata-rata kakao cukup baik di wilayah penelitian yaitu 1,5 kilogram biji kakao kering per tanaman per tahun. Tabel 10 Produksi biji kakao dengan beberapa jenis tanaman penaung Spesies tanaman penaung Produksi kakao (kg/ha/th) G. maculate 897 P. javanica C. pentandra P. speciosa 982 G. robusta dan Mahagony sp Sumber: Lim 1978 diacu dalam Zaenuddin 2010 Tanaman kakao memerlukan pohon pelindung untuk mengurangi pencahayaan matahari penuh. Pohon pelindung yang baik adalah pohon yang tidak menghasilkan biji, cepat tumbuh, percabangan dan daunnya memberikan perlindungan yang baik, tidak mengalami masa gugur daun pada musim tertentu, perakaran kokoh, dan bebas dari kemungkinan serangan hama dan penyakit. Jenis pohon yang sering menjadi pelindung tanaman kakao adalah L. leucocephala, M. fragrans, Erythrina sp., dan Musa sp. (Siregar, Riyadi, Nuraeni 1988). Tanaman Myristica fragrans Tanaman M. fragrans atau tanaman pala banyak diminati karena produktivitas dan bernilai ekonomi tinggi. Tanaman pala memiliki ketinggian mencapai hingga 16 m dan membentuk akar tunggang yang cukup dalam.

64 41 Tanaman ini sangat baik sebagai tanaman pelindung selain memiliki produktivitas yang tinggi. Tajuknya berbentuk kerucut dan berdaun rimbun. Tanaman ini bermanfaat sebagai tanaman rempah-rempah dan penghasil minyak atsiri yang banyak digunakan dalam industri pengalengan, minuman dan kosmetik (Drazat 2007). Tanaman pala rata-rata mulai berbuah pada umur 5-6 tahun. Setelah mencapai umur 10 tahun hasilnya mulai meningkat. Peningkatan optimum dicapai pada umur rata-rata 25 tahun. Produksi optimum bertahan hingga tanaman berumur tahun dan kemudian produksi menurun hingga mencapai umur lebih dari 100 tahun. Produktivitas buah pala per pohon tercatat buah di daerah Ungaran (Rismunandar 1992). Purseglove JW menyatakan bahwa sebatang pohon pala yang sudah cukup dewasa dapat menghasilkan buah. Produktivitas pala berkisar antara kilogram per hektar dan kilogram biji kering per hektar. Pada tahun 1983 di Maluku tercatat tanaman pala yang sudah menghasilkan seluas hektar dengan produksi sekitar ton biji kering. Ini berarti produksi per hektar di Maluku mencapai 450 kilogram biji pala kering dengan jarak tanam rata-rata 10 m 10 m, sehingga dapat ditaksir produksi per tahun adalah 4,5 kilogram biji pala kering per pohon atau sekitar 600 kilogram buah pala segar per pohon. Tanaman pala rata-rata mulai berbuah pada umur 7 tahun di daerah penelitian. Semakin tua umur tanaman, produktivitas semakin tinggi. Berdasarkan pengalaman petani di daerah sekitar wilayah penelitian (Gisting), tanaman pala bisa menghasilkan buah sebanyak 1 ton per batang dengan umur diatas 20 tahun. Produksi tanaman pala pada umur 7 tahun adalah 1 kuintal buah pala segar per pohon per tahun di wilayah penelitian. Produktivitas tanaman pala sangat dipengaruhi ketinggian tempat tumbuh dan iklim. Ketinggian tempat yang optimal adalah meter di atas permukaan laut, suhu sekitar 20 o - 30 o C dan curah hujan merata sepanjang tahun (Sunanto 1988). Produktivitas pala akan rendah bila tidak memenuhi persyaratan optimal. Tanaman Persea americana Tanaman P. americana atau tanaman alpukat diminati masyarakat sebagai sumber makanan dan pakan ternak. Tanaman ini sudah lama ditanam di Desa

65 42 Ngarip. Manfaat yang diambil dari tanaman ini berupa buah dan daun. Bentuk tajuk tanaman alpukat menjorong ke atas, sistem perakarannya berakar tunggang dan tinggi tanaman mencapai 15 meter (Kemenristek 2011). Tanaman dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi, curah hujan minimum milimeter per tahun dan suhu optimal 12,8 o - 28,3 o C. Tanaman alpukat dapat tumbuh di dataran rendah hingga dataran tinggi, sehingga bisa mentolerir suhu udara 15 o - 30 o C atau lebih. Ketinggian tempat optimum yaitu meter di atas permukaan laut. Produktivitas varietas alpukat unggul nasional, yaitu varietas hijau panjang dan varietas hijau bundar mencapai kilogram per pohon per tahun atau rata-rata 50 kilogram dan kilogram per pohon per tahun atau rata-rata 30 kilogram (Agromedia 2009). Produktivitas cukup rendah jika dibandingkan dengan produktivitas alpukat di wilayah penelitian. Berdasarkan hasil wawancara, produktivitas buah alpukat rata-rata sebesar 10 kilogram per tanaman per tahun. Tanaman Durio zibethinus Tanaman D. zibethinus atau durian diminati sebagai sumber makanan untuk dikonsumsi dan dijual. Tanaman durian tumbuh optimal pada ketinggian kurang meter di atas permukaan laut, tetapi ada juga tanaman durian yang cocok ditanam di berbagai ketinggian. Waktu berbunganya lebih lambat dibandingkan dengan durian yang ditanam di dataran rendah jika ditanam di dataran tinggi. Curah hujan maksimum milimeter per tahun dan minimal milimeter per tahun. Intensitas cahaya matahari yang dibutuhkan adalah 40% - 50%. Tanaman durian cocok pada suhu rata-rata 22 o - 29 o C. Durian dapat tumbuh tetapi pertumbuhan tidak optimal pada suhu 15 o C (Agromedia 2009). Tanaman durian memiliki tajuk berbentuk kerucut (Anonim 2011). Tanaman ini bisa dikembangkan di wilayah penelitian berdasarkan persyaratan optimal. Produktivitas tanaman dipengaruhi oleh umur tanaman. Lebih dari 50 varietas durian unggul nasional dari berbagai daerah sudah dilepas di Indonesia. Produktivitas varietas tanaman durian unggul nasional berkisar antara buah per pohon per tahun. Produktivitas cukup rendah jika dibandingkan dengan produktivitas rata-rata buah di sekitar wilayah penelitian. Berdasarkan hasil

66 43 wawancara, produktivitas tanaman pada saat mulai berbuah (umur 7 tahun) adalah 20 buah per pohon per tahun sedangkan pada umur tanaman lebih dari 15 tahun, produktivitas mencapai 100 buah per pohon per tahun. Tanaman Musa sp. Tanaman Musa sp. atau tanaman pisang diminati masyarakat sebagai tanaman sela. Tanaman ini banyak manfaatnya sebagai sumber makanan, pakan ternak dan pembungkus makanan. Pisang dapat tumbuh di daerah tropis baik di dataran rendah maupun dataran tinggi dengan ketinggian tidak lebih dari meter di atas permukaan laut. Suhu optimum untuk pertumbuhan adalah 27 o C, dan suhu maksimumnya 38 o C. Curah hujan milimeter per tahun atau paling tidak 100 milimeter per bulan (BPTP 2008). Berdasarkan persyaratan tumbuh optimal, tanaman cocok dikembangkan di wilayah penelitian. Hasil wawancara menyatakan bahwa produktivitas tanaman pisang rata-rata sebanyak 4 tandan per tanaman per tahun. Tanaman Capsicum frustescens C. frustescens atau cabai rawit merupakan tanaman tajuk rendah yang banyak diminati masyarakat karena mampu tumbuh di bawah naungan dan memiliki harga jual yang cukup tinggi saat ini. Tanaman cabai yang ditanam secara intensif pada lahan 1 hektar rata-rata sebanyak tanaman. Produktivitas mencapai 1 kilogram per tanaman per tahun dengan keuntungan sekitar 45 juta rupiah (Agromedia 2008). Produktivitas cabai rawit hibrida mencapai 14 ton per hektar per tahun atau ditaksir sekitar 0,8-0,9 kilogram per tanaman per tahun (Agromedia 2007). Hasil penelitian Harisetijono et al. (2005) di Pulau Lombok menemukan rata-rata produktivitas tumpang sari tanaman cabai berkisar antara kilogram per hektar per tahun. Berdasarkan hasil wawancara, penanaman tanaman di bawah naungan akan menurunkan produktivitas tanaman, tetapi tanaman mampu bertahan hidup lebih lama (2 tahun) dibandingkan bila ditanam tanpa naungan (1 tahun). Cabai rawit mencapai usia panen pada umur 5 bulan. Pemanenan selanjutnya dilakukan setiap 10 sampai 20 hari sekali atau 2 kali dalam sebulan. Produktivitas tanaman di bawah naungan cukup rendah, yaitu rata-rata 0,1 kilogram per tanaman per tahun. Jarak tanam

67 44 cabai rawit diwilayah penelitian rata-rata cukup rapat (0,5 m 0,3 m), sehingga dalam satu baris tanaman kopi terdapat tanaman cabai rawit. Tanaman kayu Tanaman kayu terdiri dari jenis M. azedarach, P. falcataria, L. leucocephala, Michelia sp., G. sepium, Erhytrina sp. C. calothyrsus dan M. eminii. Tanaman kayu di lahan HKm berfungsi sebagai tanaman pelindung bagi tanaman di bawahnya khususnya tanaman kopi. Tanaman pelindung berfungsi mengatur intensitas matahari sesuai dengan yang dibutuhkan, menghasilkan bahan organik berupa daun-daunan yang dapat menyuburkan tanah, menyerap unsur hara dari tanah bagian dalam, menahan erosi, menahan kencangnya angin, menahan tumbuhnya beberapa jenis gulma sehingga mengurangi biaya pemeliharaan, mengurangi terjadinya kekeringan dan sebagai pakan ternak (Najiyati dan Danarti 1999). Pola Tanam Optimal Hasil identifikasi pola tanam ditemukan adanya rencana perubahan pola tanam berdasarkan jenis-jenis tanaman pilihan petani. Tiga puluh enam pola tanam aktual mengalami perubahan pola menjadi enam belas pola tanam. Pola tanam aktual dengan komposisi sederhana yaitu 1-6 kombinasi tanaman dikembangkan menjadi pola tanam yang komposisinya lebih beragam, yaitu 6-10 kombinasi tanaman. Pola tanam yang paling banyak ingin dikembangkan masyarakat adalah pola tanam 4, 7, 12, 14 dan 15 sedangkan pola tanam yang paling sedikit ingin dikembangkan masyarakat adalah pola tanam 16. Beberapa pola tanam aktual yang sama mengalami perubahan pola tanam yang berbeda tergantung preferensi petani dalam mengembangkan jenis tanaman, misalnya pola tanam 1. Beberapa pola tanam aktual yang berbeda berubah menjadi pola tanam yang sama sesuai dengan jenis-jenis tanaman yang ingin dikembangkan, misalnya pola tanam 2 dan pola tanam 12. Petani-petani yang menerapkan pola tanam 1 ingin menambah jenis tanaman lada, kakao, alpukat, durian, pisang, cabai dan kayu tetapi ada juga petani yang ingin mengembangkan jenis tanaman yang berbeda, seperti tanaman lada, cengkeh, kakao, alpukat, durian, pisang, cabai dan kayu. Petani-petani yang menerapkan pola tanam yang berbeda seperti pola

68 45 tanam 2 dan pola tanam 12 ingin mengembangkan jenis tanaman yang sama, yaitu tanaman kopi, lada, cengkeh, alpukat, durian, pisang, cabai dan kayu. Perubahan tiga puluh enam pola tanam aktual menjadi enam belas pola tanam disajikan pada Lampiran 2. Enam belas pola tanam yang direncanakan disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Pola tanam yang direncanakan di wilayah penelitian No Rencana pola tanam 1 kopi + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu 2 kopi + lada + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu 3 kopi + cengkeh + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu 4 kopi + kakao + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu 5 kopi + pala + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu 6 kopi + lada + cengkeh + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu 7 kopi + lada + kakao + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu 8 kopi + lada + pala + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu 9 kopi + cengkeh + pala + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu 10 kopi + cengkeh + kakao + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu 11 kopi + kakao + pala + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu 12 kopi + lada + cengkeh + kakao + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu 13 kopi + lada + cengkeh + pala + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu 14 kopi + cengkeh + kakao + pala + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu 15 kopi + lada + kakao + pala + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu 16 kopi + lada + cengkeh + kakao + pala + alpukat + durian + pisang + cabai + kayu Hasil wawancara dengan petani diketahui bahwa petani memiliki kecenderungan menanam tanaman kopi, alpukat, durian, pisang, cabai dan kayukayuan sehingga tanaman-tanaman tersebut selalu ada di setiap rencana pola tanam sedangkan tanaman lada, cengkeh, kakao dan pala menempati 50% dari pola tanam yang direncanakan petani. Kecenderungan ini didasarkan pada pengalaman masing-masing petani dalam membudidayakan jenis tanaman tersebut. Pengalaman yang baik dalam membudidayakan suatu jenis akan meningkatkan minat petani untuk menanam jenis itu. Enam belas pola tanam dihitung jumlah tanaman dan keuntungannya untuk pola tanam aktual dan pola tanam yang direncanakan dengan ketentuan sebagai berikut: 1 Perhitungan jumlah tanaman dan keuntungan pada pola tanam aktual berdasarkan tanaman-tanaman yang ada di lapangan sedangkan tanaman yang belum ada (belum ditanam) tidak dihitung. 2 Perhitungan jumlah tanaman dan keuntungan pada pola tanam yang direncanakan berdasarkan tanaman-tanaman yang ada di lapangan dan yang

69 46 direncanakan. Jumlah tanaman tersebut dioptimalkan melalui analisis optimalisasi. Tabel 12 menunjukkan rata-rata jumlah tanaman aktual dan hasil optimalisasi untuk setiap strata. Tabel 12 Jumlah tanaman aktual dan hasil optimalisasi setiap strata Aktual (btg/ha) Hasil optimalisasi (btg/ha) Pola Strata Strata tanam Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah Pola tanam aktual memiliki jarak tanam cukup rapat. Jarak tanam ditentukan berdasarkan kerapatan tanaman tajuk sedang. Jarak tanam tanaman kopi pada pola tanam aktual adalah 2 m 2 m kecuali pola tanam 1 yang mendekati kombinasi optimal dengan jarak tanam 2,75 m 2 m. Tanaman tajuk tinggi ditanam diantara baris tanaman kopi sebagai tanaman sela secara acak sedangkan tanaman tajuk rendah ditanam di bawah tanaman kopi. Tanaman ini mampu tumbuh di bawah naungan sampai umur 2 tahun. Pola tanam hasil optimalisasi memiliki jarak tanam ideal, yaitu 2,5 m 2,5 m (Najiyati dan Danarti 1999). Jarak tanam ideal memberikan ruang tumbuh yang cukup bagi tanaman sela. Semua pola tanam hasil optimalisasi memiliki jumlah tanaman tajuk tinggi sebanyak 150 pohon per hektar dengan jarak tanam 8 m 8 m. Jumlah tanaman tajuk tinggi yang disarankan oleh pemerintah sebanyak 400 batang per hektar. Jumlah ini terlalu padat sehingga akan mengganggu produktivitas tanaman kopi menurut petani. Kemungkinan tanaman kopi tidak berproduksi karena terganggu oleh tanaman tajuk tinggi pada saat izin HKm berakhir. Penelitian sistem agroforestry kopi oleh Helton et al. (2010) yang melibatkan petani dalam penelitiannya menggunakan kerapatan pohon sekitar 100 batang per hektar. Pemangkasan tajuk yang rutin disarankan dalam penelitian ini agar tanaman kopi mendapatkan sinar matahari yang cukup sehingga produksi tanaman tetap baik. Hairiah et al. (2000) menyebutkan bahwa untuk mengurangi

70 47 persaingan cahaya antara pohon dan tanaman semusim perlu dilakukan pemangkasan daun dan ranting pohon tanaman pagar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola tanam aktual memiliki keuntungan yang lebih rendah dari pada pola tanam hasil optimalisasi (Gambar 6). Keuntungan pola tanam hasil optimalisasi berkisar antara Rp Rp per hektar per tahun. Keuntungan pola tanam aktual berkisar antara Rp Rp per hektar per tahun. Keuntungan pola tanam aktual dihitung berdasarkan keuntungan rata-rata setiap pola tanam. K e u n t u n g a n ( j u t a r u p i a h ) keuntungan aktual (Rp/ha) Pola Tanam keuntungan hasil optimalisasi (Rp/ha) Gambar 6 Perbandingan keuntungan pola tanam aktual dan hasil optimalisasi. Keuntungan pola tanam yang berbeda-beda dipengaruhi oleh tingkat komersial tanaman penyusun pola tanam dan keragaman jenis. Pola tanam yang direncanakan terdiri dari jenis-jenis komersial dan memiliki keragaman yang tinggi. Pola tanam aktual kurang komersial dan memiliki keragaman jenis yang rendah. Jenis tanaman komersial berdasarkan harga komoditas dari yang paling tinggi sampai paling rendah adalah tanaman pala, durian, cengkeh, kakao, alpukat, pisang, kopi dan cabai. Jenis tanaman paling komersial di setiap strata adalah tanaman pala, kakao dan cabai. Harga relatif komoditas yang dikembangkan disajikan pada Tabel 13.

71 48 Tabel 13 Harga relatif komoditas yang dikembangkan X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 X 6 X 7 X 8 X 9 X 10 X 1 0,56 0,1 0,2 0,02 0,26 0,09 0,66 10,56 - X 2 0,19 0,35 0,03 0,47 0,16 1,17 18,75 - X 3 1,85 0,17 2,5 0,8 6, X 4 0,09 1,35 0,45 3, X , X 6 0,3 2, X 7 7, X X 9 - X 10 Keterangan: X1 : tanaman kopi, X2 : tanaman lada, X3 : tanaman cengkeh, X4 : tanaman kakao, X5 : tanaman pala, X6 : tanaman durian, X7 : tanaman alpukat, X8 : tanaman pisang, X9 : tanaman cabai, X10 : tanaman kayu Rentang nilai komersial tanaman pala yang cukup tinggi dengan tanaman lain menyebabkan keberadaan tanaman pala sangat menentukan tingkat keuntungan pola tanam. Tanaman-tanaman yang selalu ada di setiap pola tanam seperti tanaman kopi, alpukat, durian, pisang dan cabai ternyata tidak menentukan keuntungan pola tanam meskipun tanaman kopi mendominasi sebesar 81% dan tanaman cabai mendominasi 100% di setiap strata pola tanam. Komposisi masingmasing jenis pola tanam hasil optimalisasi disajikan pada Tabel 14. Pola tanam 5, 8, 9, 11, 13, 14, 15 dan 16 memiliki tanaman pala sebanyak 65%. 79%, 36%, 62%, 55%, 51%, 68% dan 26% sehingga pola tanam tersebut memperoleh keuntungan yang tinggi dibandingkan pola tanam lainnya. Pola tanam 8 memiliki tanaman pala paling banyak sehingga keuntungannya cukup besar tetapi keuntungan pola tanam ini lebih rendah dari pola tanam 15. Pola tanam 15 memperoleh keuntungan tertinggi sebesar Rp Keuntungan tertinggi disebabkan karena pola tanam ini terdiri dari tanaman komersial di setiap strata, memiliki keragaman jenis yang tinggi dan komposisi jenis yang tepat.

72 49 Analisis optimalisasi menunjukkan bahwa jenis-jenis yang kurang komersial akan dikalahkan oleh pilihan jenis-jenis komersial sehingga jenis paling komersial akan dipilih lebih dulu. Hal ini berbeda dengan pola tanam 11, 14 dan 16 yang juga terdiri dari tanaman komersial di setiap strata. Jenis tanaman komersial yang seharusnya diperbanyak menjadi berkurang jumlahnya karena ada tanaman lain yang harus ditanam, seperti adanya tanaman cengkeh yang menyebabkan jumlah tanaman pala menjadi berkurang. Hasil penelitian ini memperkuat kesimpulan Arrunglangi (2004) yang menyatakan bahwa pola tanam yang memberikan hasil optimal adalah pola tanam dengan keragaman jenis tanaman yang besar dan bernilai ekonomi tinggi. Tabel 14 Komposisi jenis pola tanam hasil optimalisasi Pola Komposisi hasil optimalisasi tanam X 1 + 9X X X X X X X 2 + 7X X X X X X 1 + 2X 3 + 9X X X X X X X 4 + 3X X X X X X X 5 + X 6 + 7X X X X X X X 3 + 5X X X X X X X X 4 + 5X X 7 + 4X X X X X X 5 + 4X 6 + 5X X X X X 1 + X X X 6 + 9X X X X X 1 + 2X X 4 + 5X X 7 + 2X X X X X X 5 + 8X 6 + 3X 7 + 3X X X X X 2 + 2X X 4 + 9X X 7 + 3X X X X X 2 + 3X X X 6 + 9X X X X X X X X X 6 + 7X X X X X X X X 5 + 2X 6 + X 7 + 2X X X X X 2 + 5X X X X X X X X 10 Peningkatan pola tanam hasil optimalisasi tertinggi terhadap pola tanam aktual terdapat pada pola tanam 13 dengan peningkatan sebesar 1.000%. Peningkatan keuntungan pola tanam hasil optimalisasi terhadap pola tanam aktual tidak terjadi di semua pola tanam hasil optimalisasi. Pola tanam 3 dan 4 mengalami penurunan keuntungan sebesar 18% dan 9%. Hal ini disebabkan karena analisis keuntungan yang dilakukan dalam jangka pendek. Analisis jangka pendek menghasilkan taksiran keuntungan yang lebih rendah dari sesungguhnya dan hasilnya seolah-olah tidak ekonomis (Suharjito et al. 2003). Analisis dilakukan hanya sampai tahun ke-7 sedangkan biaya produksi harus dikeluarkan

73 50 pada awal pelaksanaan sehingga terjadi penundaan keuntungan, tetapi keuntungan ini akan terus meningkat sejalan dengan umur tanaman. Keuntungan pola tanam hasil optimalisasi masih dalam tahap wajar jika dibandingkan dengan keuntungan dari penggunaan lahan lainnya. Keuntungan yang diperoleh dari perkebunan kelapa sawit rakyat monokultur, karet monokultur, agroforestry karet dan agroforestry kopi multistrata dengan pohon buah-buahan, yaitu Rp per hektar per tahun (Rubiansyah 2004), Rp (Joshi et al. 2001), Rp per hektar per tahun (Rodgers 2008) dan Rp per hektar per tahun (Budidarsono dan Wijaya 2003). Hasil perbandingan keuntungan-keuntungan tersebut menunjukkan bahwa penggunaan lahan dengan sistem agroforestry lebih menguntungkan dibandingkan sistem penggunaan lahan lainnya (monokultur). Suharjito et al. (2003) menyebutkan bahwa agroforestry mampu mencegah penurunan output dan meningkatkan produktivitas dari sistem produksi masa kini. Keberadaan pohon dalam agroforestry dapat mempertahankan produksi tanaman pangan dan memberikan pengaruh positif pada lingkungan fisik terutama dengan memperlambat kehilangan hara dan energi dan menahan daya perusak air dan angin dan memberikan hasil ekonomi bagi rumah tangga petani. Hasil penelitian Marwah (2008) menyebutkan bahwa sistem agroforestry menghasilkan laju erosi yang lebih kecil dari erosi yang ditoleransikan dengan produksi dan pendapatan yang dapat memenuhi KHL keluarga petani dan secara sosial budaya dapat diterima. Buana, Suyanto dan Hairiah (2005) menunjukkan bahwa kebun lindung kopi multistrata memiliki nilai jasa lingkungan yang lebih tinggi daripada kopi monokultur, mampu menekan erosi sampai level terendah dan mampu meningkatkan pendapatan petani sampai level tertinggi Banuwa (2008). Agroforestry multistrata kopi dan shaded coffee system juga mampu menurunkan erosi dan run off dibandingkan kopi monokultur. Hal ini mengindikasikan bahwa pepohonan berperan penting dalam perbaikan permukaan tanah terutama kontribusinya dalam memproduksi seresah dan melindungi tanah (Hairiah et al. 2005). Pola tanam yang direncanakan membutuhkan dimensi waktu dan ruang dalam penerapannya. Dimensi waktu berdasarkan kombinasi permanen dan

74 51 kombinasi sementara. Jangka waktu dan proses kesinambungan penggunaan lahan penting untuk diperhatikan dalam agroforestry. Kombinasi berdasarkan tata ruang memperhatikan penyebaran berbagai komponen khususnya tanaman kehutanan dan pertanian. Penyebaran bersifat merata atau tidak merata (Sardjono et al. 2003). Tanaman kopi dan kakao memerlukan naungan atau pelindung selama hidupnya sehingga tanaman-tanaman yang dipersiapkan sebagai tanaman pelindung dari jenis kayu-kayuan maupun MPTS ditanam lebih dulu. Penanaman tanaman pelindung dilakukan 1 atau 2 tahun sebelum penanaman tanaman kopi dan kakao (Najiyati dan Danarti 1999). Penanaman tanaman cabai dilakukan pada saat tanaman kopi belum ditanam dan dapat terus ditanam di bawah naungan kopi. Berdasarkan hasil wawancara, tanaman cabai dapat bertahan hidup selama 6 tahun di bawah tanaman kopi. Penyebaran tanaman pada kondisi aktual tidak merata (acak). Penyebaran pada pola tanam yang direncanakan bisa dilakukan secara merata atau acak. Penyebaran dilakukan secara merata apabila pohon-pohon tumbuh secara merata berdampingan dengan tanaman pertanian, baik sifatnya sementara ataupun permanen dengan memperhatikan jarak tanamnya. Penyebaran dilakukan secara acak apabila tanaman berkayu ditempatkan secara jalur di pinggir atau mengelilingi lahan. Jenis pohon yang cepat tumbuh dan cepat menyebar (umumnya dari suku Leguminosae atau Fabaceae) bisa ditanam di sepanjang garis kontur pada daerah-daerah lereng untuk menghindarkan erosi (shelterbelt). Faktor Penentu Implementasi Optimalisasi Pola Tanam Faktor ketersediaan modal dan HOK sangat penting dalam menerapkan pola tanam optimal. Pola tanam yang direncanakan tidak dapat diterapkan apabila modal yang dibutuhkan untuk membangun pola tanam yang direncanakan tidak tersedia. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa petani memperoleh pendapatan rata-rata sebesar Rp (Lampiran 3) dan pengeluaran rata-rata sebesar Rp (Lampiran 4). Modal minimal yang harus disediakan petani adalah Rp sedangkan modal yang tersedia sebesar Rp , sehingga secara finansial petani kekurangan modal. Petani bisa mencari sumber-sumber modal dari dalam dan luar petani. Sumber modal dari dalam berasal dari milik

75 52 petani sendiri seperti tabungan, kerja petani, ternak, alat-alat pertanian dan emas. Kekayaan yang semula tidak produktif dapat digerakkan menjadi produktif. Petani bisa menggunakan tabungan untuk menambah modal usahatani. Petani yang memiliki kelebihan waktu kerja memanfaatkan waktunya dengan usaha lain untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Petani juga bisa memanfaatkan ternak dan emas dengan menguangkannya untuk menambah modal. Penyediaan modal dari luar petani berasal dari pinjaman atau kredit. Petani bisa memperoleh kredit dari lembaga keuangan (bank) atau pemilik modal swasta yang berada di wilayah sekitarnya. Kredit digunakan petani untuk pembelian sarana produksi dan biaya hidup. Kendala yang sering dihadapi adalah petani sering tidak memiliki surat bukti pemilikan tanah sebagai jaminan sehingga menyulitkan petani untuk memperoleh kredit dari bank. Petani lebih banyak menggunakan fasilitas kredit dari pemilik modal (perseorangan) karena prosedurnya lebih mudah, akibatnya mereka terjerat dalam sistem ijon yang merugikan petani. Pemerintah perlu menyediakan fasilitas kredit yang mudah dicapai, prosedur mudah dan suku bunga yang relatif rendah kepada petani agar menguntungkan kedua belah pihak. Dukungan pemerintah juga dapat dalam bentuk pemberian barang modal. Modal yang dibutuhkan berupa modal bergerak seperti bibit, pupuk, obat-obatan dan sebagainya. Bantuan berupa bibit yang berkualitas, pupuk dan alat-alat pertanian akan mempercepat penerapan pola tanam optimal. Bantuan bibit yang selama ini diterima petani belum sesuai dengan harapan petani. Bibit yang diperoleh dari pemerintah sering tidak berkualitas sehingga mengalami kegagalan hidup. Bibit yang diberikan juga sering tidak kompatibel dengan tanaman kopi. Bantuan pupuk juga sangat diharapkan selain bantuan bibit. Rata-rata petani di Desa Ngarip melakukan pemupukan 1 kali dalam setahun bahkan ada yang sama sekali tidak melakukan pemupukan. Frekuensi pemupukan yang dianjurkan adalah 2 kali dalam setahun, yaitu pada awal dan akhir musim hujan (Najiyati dan Danarti 1999). Harga pupuk yang tinggi menyebabkan petani tidak mampu membeli pupuk. Faktor penentu lainnya untuk menerapkan pola tanam optimal adalah ketersediaan HOK. Rata-rata tenaga kerja yang tersedia di Desa Ngarip terdiri dari satu orang tenaga kerja pria dan satu orang tenaga kerja wanita.

76 53 Curahan waktu kerja pria untuk mengelola lahan HKm rata-rata adalah 7 jam dalam sehari atau 200 HOK dalam setahun, sisa waktunya digunakan untuk mengerjakan pekerjaan lain seperti mengurus ternak, mengikuti kegiatan kelompok HKm, kerja sampingan, kegiatan sosial dan lain-lain. Curahan waktu kerja wanita untuk mengelola lahan HKm rata-rata adalah 4 jam dalam sehari atau 100 HOK dalam setahun. Pekerja wanita lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Total curahan waktu kerja yang tersedia di Desa Ngarip adalah 300 HOK. Jumlah HOK yang dibutuhkan untuk mengelola pola tanam optimal yaitu 148 HOK per hektar sehingga kebutuhan HOK untuk mengelola pola tanam optimal dapat dipenuhi dengan bekerja sendiri. Petani masih mampu mengerjakan lahan maksimal seluas 2 hektar dengan jumlah HOK yang tersedia di Desa Ngarip. Hasil penelitian Budidarsono dan Wijaya (2003) menunjukkan bahwa budidaya kopi monokultur dengan pengelolaan semi intensif membutuhkan tenaga kerja paling besar (184 HOK/ha/th) diantara sistem lainnya sedangkan budidaya kopi multistrata rata-rata menyerap tenaga kerja HOK per hektar per tahun. Faktor lain yang menjadi penentu penerapan pola tanam optimal adalah ketersediaan pasar komoditas dan sarana penyuluhan bagi petani. Komoditas yang sudah lama dibudidayakan oleh masyarakat seperti kopi, lada, kakao dan alpukat lebih mudah dipasarkan daripada komoditas yang baru akan dkembangkan. Komoditas yang menjadi pilihan masyarakat Desa Ngarip adalah komoditas komersial yang memiliki permintaan dan harga jual yang tinggi sehingga petani tidak merasa kesulitan dalam memasarkan produknya. Kendala yang sering petani hadapi adalah harga komoditas yang tidak stabil. Informasi pasar berupa perkembangan harga, permintaan pasar, karakteristik produk yang diinginkan, alternatif saluran distribusi dan harga komoditas yang diusahakan perlu diketahui agar petani tidak dirugikan. Pemasaran yang efektif dapat membantu petani memaksimalkan dan menstabilkan pendapatan dalam periode jangka panjang. Pengetahuan tentang pemasaran juga dapat menurunkan risiko kelebihan pasokan yang menyebabkan menurunnya harga produk. Pemasaran dapat mengidentifikasi permintaan-permintaan baru dan melalui diversifikasi produk dan jasa dapat memuaskan konsumen. Masyarakat di perdesaan dapat mempelajari penyesuainpenyesuaian yang harus mereka lakukan untuk mempertemukan permintaan pasar.

77 54 Banyak petani subsisten memiliki akses dan informasi pasar yang terbatas. Petani dapat meningkatkan pilihan-pilihan mereka dan memanfaatkan sumber daya yang terbatas untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar melalui pemasaran (Harcharik 1996). Petani juga harus menguasai pengetahuan teknis selain pengetahuan pasar. Pengetahuan teknis sangat menentukan keberhasilan penerapan pola tanam optimal terutama pengetahuan tentang teknik budidaya tanaman. Peran penyuluh sangat diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan petani. Penyuluhan dapat berupa pengenalan cara-cara produksi yang baru, pengenalan teknologi baru, demonstrasi usahatani dan sebagainya. Pada umumnya petani mengelola jenis-jenis yang sudah mereka kenal. Penguasaan teknis terhadap jenis-jenis yang baru dikenal seperti tanaman pala dan durian mereka ketahui dari orang lain yang sudah berpengalaman. Kendala teknis yang sering petani hadapi adalah masalah hama dan penyakit yang sering menyerang tanaman kopi, seperti penyakit jamur upas dan karat daun. Penyuluhan dan pendampingan tentang teknik budidaya tanaman yang diusahakan sangat diperlukan agar petani memperoleh informasi yang benar. Dukungan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan perguruan tinggi sangat diharapkan dalam meningkatkan usahatani di Desa Ngarip. Ukuran Garis Kemiskinan Total pendapatan aktual petani Desa Ngarip berkisar antara Rp Rp per kapita per bulan. Ukuran garis kemiskinan Sajogyo, BPS dan Bank Dunia adalah Rp Rp , Rp dan Rp Rp per kapita per bulan. Berdasarkan standar tersebut, sebanyak 8% pendapatan petani desa Ngarip berada di bawah garis kemiskinan Sajogyo, 15% berada di bawah garis kemiskinan BPS, 22% berada di bawah garis kemiskinan Bank Dunia US$1 dan 77% berada di bawah garis kemiskinan Bank Dunia US$. sedangkan sebanyak 23% pendapatan petani desa Ngarip berada di atas garis kemiskinan Bank Dunia US$2. Sebagian besar pendapatan petani berada di antara garis kemiskinan Bank Dunia US$1 dan garis kemiskinan Bank Dunia US$2. Gambar 7 menunjukkan perbandingan ukuran garis kemiskinan Sajogyo, BPS dan Bank Dunia terhadap total pendapatan aktual.

78 55 U k u r a n g a r i s k e m i s k i n a n ( R p / k a p i t a / b l n ) Responden Totap pendapatan ( Rp/kapita/bln) BPS Sajogyo 240 kg Bank Dunia US$1 Sajogyo 320 kg Bank Dunia US$2 Gambar 7 Perbandingan ukuran garis kemiskinan Sajogyo, BPS dan Bank Dunia terhadap total pendapatan aktual. Kebutuhan Hidup Layak Hasil perhitungan ukuran garis kemiskinan diperoleh bahwa standar garis kemiskinan tertinggi adalah garis kemiskinan Bank Dunia US$2, sehingga ukuran ini yang dijadikan standar dalam menghitung KHL. Berdasarkan standar tersebut, KHL petani adalah Rp per kapita per bulan atau Rp per kapita per tahun. Rata-rata jumlah orang dalam satu kepala keluarga (KK) di Desa Ngarip adalah empat orang sehingga KHL adalah Rp per KK per tahun. Hasil perhitungan KHL aktual adalah Rp per kapita per tahun atau Rp per KK per tahun. Hal ini berarti bahwa KHL di wilayah penelitian lebih rendah dari standar KHL dan membutuhkan 4,7 kali KFM untuk mencapai standar KHL. Jumlah KHL aktual yang jauh di bawah standar KHL menunjukkan bahwa pendapatan petani di desa Ngarip sangat rendah sehingga petani harus menyesuaikan pengeluaran dengan pendapatan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup terbesar adalah kebutuhan pokok yang merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi setiap orang. Pendapatan yang rendah mengharuskan petani mendahulukan pemenuhan kebutuhan pokok dibandingkan kebutuhan yang lain agar dapat bertahan hidup. Kebutuhan

79 56 selanjutnya yang menjadi perhatian petani adalah pendidikan anak, tabungan, sosial dan pakaian (Lampiran 5). Sardjono et al. (2003) menyatakan bahwa keterbatasan investasi yang dimiliki, jangkauan pemasaran produk yang belum meluas dan pola hidup yang masih subsisten, maka jaminan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari tetap menjadi dasar pertimbangan terpenting. Kebutuhan Luas Lahan untuk Pemenuhan KHL Analisis luas lahan minimal menggunakan standar KHL tertinggi. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa semua keuntungan dari pola tanam aktual dan hasil optimalisasi tidak dapat memenuhi standar KHL sehingga petani perlu menambah luas lahan untuk memenuhi KHL. Kebutuhan luas lahan disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Kebutuhan luas lahan setiap pola tanam berdasarkan standar KHL Pola tanam Standar KHL (Rp/th) Pendapatan aktual (Rp/th) Luas lahan aktual (ha) Kebutuhan luas lahan (ha) Hasil optimalisasi Aktual ,75 13,7 9, ,4 12,8 8, ,5 9, ,9 9,4 10, ,95 9,1 2, ,3 11,9 8, ,6 5, ,1 10,6 1, ,2 8,1 3, ,0 5, ,7 6,5 1, ,75 5,9 5, ,2 17,0 2, ,1 10,8 1, ,9 7,1 1, ,1 3,2 Pola tanam hasil optimalisasi mencapai optimal dengan mengelola lahan seluas 1,8-10 hektar sedangkan pola tanam aktual membutuhkan luas lahan 6-17 hektar untuk memenuhi standar KHL. Kebutuhan luas lahan paling minimal terdapat pada pola tanam 8, 11, 14 dan 15 sedangkan luas lahan yang dikelola petani berkisar antara 0,7-2 hektar. Petani yang dapat memenuhi standar KHL dengan mengoptimalkan lahannya tanpa menambah luas lahan adalah petani pada

80 57 pola tanam 16. Luas lahan yang dimiliki mencapai 2 hektar sehingga petani dapat memanfaatkan lahan dengan pola tanam 8, 11, 14 dan 15 untuk memenuhi KHL. Petani yang lain memiliki luas lahan yang sempit sehingga penambahan luas lahan sangat diperlukan untuk memenuhi KHL mereka. Pendapatan Petani berdasarkan Luas Lahan HKm Pendapatan aktual dari lahan HKm sebesar Rp Rp berdasarkan perbedaan luas lahan (Tabel 16). Tabel 16 Pendapatan petani berdasarkan luas lahan Pendapatan aktual Luas lahan (ha) (Rp) 0,25-1 1,5-2 2,5-3,5 Minimum Maksimum Pendapatan rata-rata Pendapatan petani HKm di desa Ngarip dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: luas lahan yang dimiliki, harga komoditas, jumlah tanaman yang sudah menghasilkan dan jenis tanaman komersial yang ditanam pada lahan tersebut. Pendapatan sangat dipengaruhi oleh kondisi tanaman yang berada di atasnya. Pendapatan petani dari lahan yang sempit tetapi sudah banyak yang menghasilkan akan lebih besar daripada lahan garapan yang luas namun belum ditanami (belum menghasilkan). Harga komoditas juga mempengaruhi pendapatan yang diterima petani. Komoditas yang diusahakan dari jenis-jenis tanaman komersial akan memberikan pendapatan lebih tinggi daripada tanaman dengan komoditas bernilai ekonomi rendah. Awang (2002) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dari lahan HKm lebih disebabkan oleh jumlah tanaman di lahan HKm, jumlah jenis tanaman, jenis tanaman yang sudah menghasilkan dan jenis tanaman yang memberikan pendapatan tertinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan petani HKm perlu diperhatikan terutama dengan menanam tanaman komersial yang cocok atau sesuai dengan kondisi lahan.

81 58 Prospek Pengembangan HKm Prospek pengembangan HKm cukup baik di Desa Ngarip. Prospek pengembangan HKm ditentukan berdasarkan persepsi dan perspektif petani terhadap HKm. Pengalaman hidup petani selama berusahatani di lahan HKm telah menimbulkan persepsi yang baik terhadap HKm. Data menunjukan bahwa HKm memberikan kontribusi pendapatan yang cukup besar terhadap total pendapatan petani. Lebih dari separuh (53%) pendapatan petani berasal dari usaha HKm (Tabel 17). Tabel 17 Perbandingan rata-rata pendapatan dan pengeluaran petani Rata-raat pendapatan dan pengeluaran (Rp/th) Pengeluaran Rp Pendapatan -HKm Rp Lahan milik Rp Usaha lain Total pendapatan Rp Persepsi yang baik terhadap peranan HKm dalam meningkatkan kesejahteraan ditunjukkan oleh beberapa variabel persepsi (Lampiran 23). Variabel persepsi terdiri dari pengetahuan tentang HKm (definisi HKm, definisi hutan, manfaat ekologi HKm dan hutan dan perbedaan keduanya), tujuan mengikuti program HKm, keuntungan dan kerugian mengikuti program HKm dan kendala-kendala dalam menjalankan program HKm. Masyarakat sebagian besar mengetahui informasi tentang HKm (definisi HKm, definisi hutan, manfaat ekologi HKm dan hutan dan dapat membedakan keduanya) dari sosialisasi yang terus dilakukan oleh pemerintah, LSM, perguruan tinggi dan pihak terkait lainnya. Masyarakat mengikuti program ini untuk mendapatkan ketenangan dan kesejahteraan. Izin Hkm memberikan ketenangan kepada 87% masyarakat, sedangkan sisanya masih merasa tidak tenang. Petani khawatir terjadi pengusiran seperti yang dulu pernah dilakukan pemerintah pada tahun 1990-an. Petani juga khawatir sewaktu-waktu izin HKm dicabut. Izin HKm memberikan dampak yang baik bagi kehidupan petani. HKm telah menciptakan lapangan kerja, kesempatan berusaha dan meningkatkan kesadaran akan fungsi hutan sehingga petani merasa diuntungkan. Banyak pemuda desa yang menganggur sebelum mendapat izin

82 59 HKm. Kekurangan tenaga kerja terutama pada saat musim panen sering dialami petani setelah mendapat izin HKm. Ada beberapa kendala yang dihadapi petani dalam melaksanakan program ini, yaitu kendala modal (pupuk, obat-obatan, harga bibit, transportasi dan sebagainya), harga jual yang tidak stabil, faktor iklim, kekurangan tenaga kerja, keterbatasan pengetahuan (bercocok tanam dan pengetahuan pasar) dan hama penyakit. Upaya-upaya telah dilakukan untuk mengatasi kendala terutama kendala yang terkontrol, sedangkan kendala yang tidak terkontrol tidak bisa diatasi petani. Kendala modal diatasi dengan upaya mencari pinjaman atau menjual barang investasi (ternak dan emas). Kendala tenaga kerja diatasi dengan mencari tenaga kerja dari desa lain. Kendala pengetahuan dilakukan dengan aktif mengikuti kegiatan kelompok HKm. Kendala hama dan penyakit dilakukan dengan upaya pemberantasan hama dan penyakit. Petani ingin mengembangkan HKm berdasarkan perspektif petani terhadap 5 hal, yaitu perpektif ekonomi, lingkungan, teknis, kepentingan investasi dan keberlanjutan izin HKm. Petani ingin mengembangkan HKm untuk meningkatkan pendapatan, meningkatkan kualitas lingkungan agar produksi lestari, meningkatkan pengetahuan teknis, pendidikan anak dan mendapatkan perpanjangan izin HKm. Kepentingan-kepentingan ini direalisasikan petani melalui beberapa cara: 1) Peningkatan pendapatan dilakukan melalui peningkatan produktivitas tanaman dan lahan, peningkatan kualitas produk, perbaikan pemasaran dan diversifikasi usahatani. Peningkatan produktivitas dimulai dari pemilihan bibit yang berkualitas, pemeliharaan (okulasi, pemupukan, penyiangan rumput, pemangkasan cabang, pemberantasan hama penyakit, konservasi tanah), pemberantasan hama penyakit dan sebagainya. Peningkatan kualitas produk kopi dilakukan dengan pemanenan yang tepat dan perlakuan pasca panen yang benar. Upaya pemasaran dilakukan dengan memasarkan produk kopi kepada pedagang yang memiliki harga jual tinggi. Diversifikasi usahatani dilakukan dengan membuka usaha penggilingan kopi, usaha penjualan bibit dengan membuat persemaian secara berkelompok, menjadi pedagang pengumpul dan pedagang besar, memproduksi kopi luwak dan sebagainya.

83 60 2) Peningkatan kualitas lingkungan dilakukan melalui konservasi tanah (pembuatan teras dan rorak), penggunaan pupuk alami dan pengurangan bahan kimia (pupuk dan obat-obatan). 3) Prinsip-prinsip teknik dilakukan petani melalui pemilihan jenis tanaman pelindung yang tepat, penerapan teknologi yang tepat, perbaikan cara budidaya, pemberantasan hama penyakit dan sebagainya. Pengetahuan teknis bisa diperoleh dari kegiatan kelompok seperti kegiatan pelatihan dan sekolah lapangan yang ada di Desa Ngarip. 4) Kepentingan investasi dilakukan melalui investasi alat-alat pertanian untuk meningkatkan produksi, penanaman pohon-pohonan yang hasilnya bisa dinikmati dalam jangka panjang dan melalui upaya pendidikan. Upaya pendidikan dilakukan dengan membekali anak dengan pendidikan yang cukup. Sebagian besar petani ingin menyekolahkan anak sampai pendidikan tinggi (71%), SLTA (11%), SLTP (3%) dan lainnya (15%). Mereka menginginkan anak mendapatkan pekerjaan lebih baik seperti pegawai, dokter, bidan, karyawan dan sebagainya. 5) Upaya mendapatkan perpanjangan izin dilakukan dengan mematuhi semua aturan pemerintah dalam ber-hkm. Petani ingin mengembangkan HKm sebanyak 96%, sedangkan sisanya (4%) tidak tertarik mengembangkan HKm. Petani tidak tertarik mengembangkan HKm karena beberapa alasan yaitu: faktor usia, pekerjaan lain dan keterbatasan pengetahuan. Dampak dan manfaat yang dirasakan masyarakat menunjukkan bahwa HKm memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Pengembangan HKm akan semakin meningkatkan kontribusi HKm terhadap pendapatan petani terutama bagi petani yang hidupnya hanya mengandalkan dari lahan HKm. Peningkatan pengetahuan dengan penyuluhan diperlukan untuk mendukung peningkatan dan pengembangan usaha HKm.

84 61 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1 Pola tanam aktual di Desa Ngarip terdiri dari tiga puluh enam pola tanam. Pola tanam akan dikembangkan berdasarkan faktor sosial menurut preferensi petani menjadi enam belas pola tanam. Setiap pola tanam mencapai tingkat optimalisasi keuntungan yang berbeda. Keuntungan pola tanam hasil optimalisasi berkisar antara Rp Rp per hektar per tahun. Perbedaan keuntungan tidak dipengaruhi oleh tanaman-tanaman yang selalu ada di setiap pola tanam tetapi dipengaruhi oleh jenis tanaman lain, terutama tanaman pala yang memiliki harga komoditas paling tinggi. Pola tanam hasil optimalisasi yang memberikan keuntungan tertinggi terdapat pada pola tanam 15. Pola tanam ini terdiri dari tanaman kopi, lada, kakao, pala, alpukat, durian, pisang, cabai dan tanaman kayu-kayuan. 2 Pola tanam hasil optimalisasi yang memperhatikan faktor sosial ekonomi menghasilkan komposisi jenis tajuk tinggi, sedang dan rendah sebanyak 150 batang per hektar, batang per hektar dan batang per hektar. Tanaman kopi dan cabai mendominasi dan terdistribusi di semua pola tanam dengan jumlah batang per hektar dan batang per hektar. 3 Kebutuhan luas lahan setiap pola tanam hasil optimalisasi berbeda-beda berdasarkan standar KHL yang sama. Kebutuhan luas lahan berkisar antara 1,8-10 hektar. Pola tanam 8, 11, 14 dan 15 membutuhkan luas lahan paling minimal untuk memenuhi KHL. 4 Penerapan pola tanam optimal sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang sangat menentukan dalam penerapan pola tanam optimal adalah ketersediaan modal dan ketersediaan sarana penyuluhan. 5 Praktek-praktek agroforestry yang diterapkan petani saat ini dengan kontribusi sebesar 53% dari total pendapatan petani membuktikan bahwa HKm memberikan kontribusi yang baik bagi kesejahteraan petani. Potensi dan prospek yang baik untuk dikembangkan menyebabkan petani ingin mengembangkan HKm.

85 62 Saran 1 Jumlah yang direkomendasikan oleh Pemerintah sebanyak 400 batang per hektar tanaman tajuk tinggi sebaiknya dipertimbangkan kembali karena menurut petani jumlah ini cukup rapat dan dapat mengganggu tanaman utama. Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan penerapan pola tanam optimal karena pola tanam optimal terbukti mampu memenuhi aspek ekonomi dan ekologi. 2 Pola tanam optimal yang sebaiknya diterapkan petani adalah pola tanam 8, 11, 14 dan 15 karena pola tanam ini mampu memenuhi standar KHL dengan kebutuhan luas lahan yang paling minimal. 3 Petani sangat mengandalkan pendapatan dari lahan HKm karena itu pemerintah sebaiknya lebih banyak mengembangkan program HKm kepada masyarakat. 4 Kegiatan penyuluhan sebaiknya lebih sering dilakukan di Desa Ngarip untuk meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan petani.

86 63 DAFTAR PUSTAKA [Anonim] Durian Juntak. [11 November 2011]. AgroMedia Budidaya Cabai Hibrida. Jakarta: PT Agromedia Pustaka. AgroMedia Budidaya dan Bisnis Cabai. Jakarta: PT Agromedia Pustaka. AgroMedia Budidaya Tanaman Buah Unggul Indonesia. Jakarta: PT Agromedia Pustaka. Arrunglangi W Optimalisasi pemanfaatan lahan pola agroforestry: kasus di Kecamatan Tondon Nanggala Kabupaten Tana Toraja. [Tesis]. Bogor. Sekolah pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Arsyad S Konservasi Tanah Dan Air. Ed ke-2. Bogor: IPB press. Awang SA dan Iisnarti B Pengaruh Program Hutan Kemasyarakatan terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat. Jurnal Hutan Rakyat IV(2): Banuwa IR Pengembangan alternatif usahatani berbasis kopi untuk pengembangan pertanian berkelanjutan di DAS Sekampung hulu. [Disertasi]. Bogor. Sekolah pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bintoro Budidaya Cengkeh: teori dan praktek. Bogor: Lembaga Sumberdaya Informasi. [BPS] Badan Pusat Statistik Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/kota. Tanggamus: Badan Pusat Statistik. [BPKH] Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah II Palembang Peta Jenis Tanah. Palembang: Balai Pemantapan Kawasan Hutan. [BPTP] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Teknologi Budidaya Pisang. Lampung: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Brigham EF dan Gapenski LC Financial Management: theory and practice. Sixth edition. USA: The Dryden Press. Buana RY, Suyanto S, Hairiah K Kebun lindung: kajian ekologi dan sosio ekonomi di Lampung Barat. Agrivita 27(3): Budidarsono S, Wijaya K Praktek konservasi dalam budidaya kopi robusta dan keuntungan petani. Bogor. World Agroforestry Center. Drazat Meraup Laba dari Pala. Jakarta: PT Agromedia Pustaka.

87 64 Hadipoentyanti E Monograf Tanaman Cengkeh. Bogor: Balitbang Pertanian. Hairiah et al Pengenalan tanah masam secara biologi: refleksi pengalaman dari Lampung Utara. Bogor: World Agroforestry Center. Harcharik Marketing in Forestry and Agroforestry by Rural People. Bangkok: Forestry Department. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Helton et al Selection of native trees for intercropping with coffee in the Atlantic Rainforest biome. Agroforestry Systems 2010(80):1 16. Joshi L, Wibawa G, Vincent G, Boutin D Jungle Rubber: a traditional agroforestry system under pressure. Bogor: World Agroforestry Center. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.37/Menhut-II/2007 tentang hutan kemasyarakatan. Kemenhut Dirjen BPDAS dan PS Direktorat BPS. [Kemendag RI] Kementrian Perdagangan Republik Indonesia Statistik Nilai Tukar Mata Uang Asing Terhadap Rupiah. [25 Desember 2011]. [Kemenristek RI] Kementerian Riset dan Teknologi Pertanian alpukat. [11 November 2011]. Lyngbæk AE, Muschler RG, Sinclair FL Productivity and profitability of multistrata organic versus conventional coffee farms in Costa Rica. Agroforestry Systems 2001(53): Mandagi VO Optimalisasi pemanfaatan lahan proyek hutan kemasyarakatan di Kecamatan Bintauna Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara. [Tesis]. Bogor. Sekolah pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Marwah S Optimalisasi pengelolaan sistem agroforestry untuk pembangunan pertanian berkelanjutan di DAS Konaweha Sulawesi Tenggara. [Disertasi]. Bogor. Sekolah pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mulyadi Akuntansi Biaya untuk Manajemen. Yogyakarta: BPFE. Muslich M Metode Pengambilan keputusan kuantitatif. Jakarta: Bumi Aksara. Nair R An Introduction to Agroforestry. Netherlands. Kluwer Academic Publishers.

88 65 Najiyati dan Danarti Kopi. Budidaya dan Penanganan Lepas Panen. Jakarta: Penebar Swadaya. Newnan DG Engineering Ecocnomic Analysis. Third Edition.Jakarta Barat: Binarupa Aksara. Otsuka K, Suyanto, Sonobe T, Tomich TP Evolution of customary land tenure and development of agroforestry: evidence from Sumatra. Agriculture Economics in press. Payan et al Soil characteristics below Erythrina poeppigiana in organic and conventional Costa Rican coffee plantations. Agroforestry Systems 2009(76): [Pekon Ngarip] Pekon Ngarip Profil Pekon Ngarip Kecamatan Ulu Belu Tahun Tanggamus: Kabupaten Tanggamus Lampung. Rajati T Optimalisasi pemanfaatan lahan kehutanan dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan dan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat desa sekitar hutan: studi kasus di Kabupaten Sumedang. [Disertasi]. Bogor. Sekolah pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rauf A Kajian sistem dan optimasi penggunaan lahan agroforestry di kawasan penyangga Tn Gunung Leuser: studi kasus di kabupaten Langkat Sumatera Utara. [Tesis]. Bogor. Sekolah pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rismunandar Budidaya dan Tata Niaga Pala. Jakarta: Penebar Swadaya. Rodgers T Economic analysis of smallholder rubber agroforestry system efficiency in Jambi Indonesia. [Tesis]. Bogor. Sekolah pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rubiansyah H Analisis ekonomi dan kelembagaan perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. [Tesis]. Bogor. Sekolah pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sajogyo Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Yogyakarta: Aditya Media. Santoso et al Teknik Konservasi Tanah Vegetatif. Di dalam: Kurnia U, Rachman A, Dairiah, editor. Teknologi Konservasi Tanah Pada Lahan Kering Berlereng. Bogor: Puslittanak Balitbang Departemen Pertanian. hlm Sardjono MA, Djogo T, Arifin HS, Wijayanto N Klasifikasi dan Pola Kombinasi Komponen Agroforestri. Bogor: World Agroforestry Center.

89 66 Sinaga M Akuntansi Biaya: suatu pendekatan manajerial. Jakarta: Erlangga. Sinukaban N Membangun Pertanian Menjadi Industri yang Lestari dengan Pertanian Berkelanjutan. Di dalam: Sinukaban N, penulis. Konservasi Tanah dan Air. Kunci Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Dirjen RLPS. Siregar THS, Riyadi S, Nuraeni L Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Cokelat. Jakarta: Penebar Swadaya. Siswanto Operations Research. Jakarta: Erlangga. Soeharjo A dan Patong D Sendi-Sendi Pokok Ilmu Usahatani. Bogor:Institut Pertanian Bogor. Soekartawi Linear programming: teori dan aplikasi khususnya di bidang pertanian. Jakarta: Rajawali. Soekartawi Analisis Usahatani. Jakarta: Universitas Indonesia. Subagyono K, Marwanto S, Kurnia Teknik Konservasi Tanah secara Vegetatif. Bogor: Puslittanak Balitbang Departemen Pertanian. Sugiyono Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. Suharjito D, Sundawati L, Suyanto, Utami SR, Aspek Sosial Ekonomi dan BudayaAgroforestri. Bogor: World Agroforestry Center. Suharlan A, Sumarna K, Sudiono J Tabel Tegakan Sepuluh Jenis Kayu Industri. Bogor: Puslitbanghut, Depertemen Kehutanan. Sukandi T, Sumarhani, Murniati Informasi Teknis. Pola Wanatani (Agroforestry). Bogor. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam Badan Litbang Kehutanan. Sunanto Budidaya Pala. Yogyakarta: Kanisius. Suprapto dan Yani A Teknologi Budidaya Lada. Bogor: BPPT. Susilawati KI Analisis daya dukung gizi hutan kemasyarakatan di Kabupaten Lampung Barat. [Tesis]. Bogor. Sekolah pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Utomo WH Agroforestry: Hidup Layak Berkesinambungan pada Lahan Sempit. Di dalam: Krisnamurthi B, ABS Dwi dan Kriswantriyono (Eds). Prosiding seminar: Tekanan penduduk, Degradasi Lingkungan dan Ketahanan Pangan. Jakarta: Kerjasama Pusat Studi Pembangunan Lembaga

90 67 Penelitian IPB, Proyek Koordinasi Kelembagaan Ketahanan Pangan dan Badan Bimas Ketahanan Pangan Departemen Pertanian. Umar H Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Umar H Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka. Utami SR, Verbist B, Noordwijk MV, Hairiah K, Sardjono MA Prospek Penelitian dan Pengembangan Agroforestri di Indonesia. Bogor: World Agroforestry Center. Watanabe H Handbook of agroforestry. Japan: Association for International Cooperation of Agriculture and Forestry (AICAF), Japan. Zaenudin Budidaya Kakao. Jakarta: PT Agromedia Pustaka. Zaubin R dan Yufdi P Monograf Tanaman Lada. Bogor: Balitbang Pertanian Zulfarina Persepsi dan Partisipasi Petani terhadap Usaha Pertanian Konservasi: studi kasus kelompok pengelola HKM di kawasan hutan lindung register 45B, kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung. [Tesis]. Bogor. Sekolah pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

91 68 Lampiran 1 Karakteristik responden per pola tanam Pola Tanam Responden Jenis kelamin Umur (tahun) Pendidikan Pekerjaan Jumlah tanggungan (orang) Hubungan keluarga Umur (th) Pendidikan terakhir Pekerjaan Utama Sampingan 1 1 L 43 SD Petani peternak 4 anak ke SLTP - anak ke-2 16 SMO pelajar istri 43 SPG guru honor 2 L 36 STM petani 3 anak ke istri 33 S1 petani 3 L 62 SD petani pedagang dan peternak 4 anak ke-1 27 SMP - anak2 25 SMP - pedagang tempe istri 60 SD 4 L 65 SD petani petani 5 anak ke-1 19 SMA - anak ke-2 14 SD - anak ke istri 35 SD Petani anak ke-2 15 SD Pelajar istri 40 SD Petani 2 5 L 52 SD petani - 2 istri 50 SD ibu RT 6 L 45 - petani peternak 3 anak ke-1 35 SMA - istri 45 SD Petani 7 L 33 SMP petani - 3 anak ke Pelajar istri 27 SMP Petani 3 8 L 45 SMP petani pedagang 5 anak ke-1 18 SMP Pelajar anak ke-2 12 SD Pelajar anak ke istri 36 SMP pedagang 9 L 40 - petani - 5 anak ke pelajar anak ke pelajar anak ke

92 69 69 Lanjutan Pola Tanam Responden Jenis Umur Jumlah Hubungan Umur Pendidikan Pendidikan Pekerjaan kelamin (tahun) tanggungan keluarga (th) terakhir Pekerjaan istri 35 - ibu RT 10 L 65 SD petani - 4 anak ke-1 28 SMA petani anak ke-2 19 SMA petani istri 60 SD petani 4 11 L 45 SD petani pedagang dan buruh 4 anak ke-1 19 SMA pelajar anak ke-2 16 SMP pelajar anak ke-3 11 SD pelajar istri 35 - pedagang 12 L 25 SD petani - 3 anak ke-1 1,5 - - istri 23 SD ibu RT 13 L 30 SMP petani pedagang 4 anak ke pelajar anak ke istri 28 SD pedagang 14 L 45 SD petani - 4 anak ke-1 20 SMP petani anak ke-2 19 SMP petani istri 40 SMP petani 5 16 L 30 SMA petani pedagang 3 anak ke istri 27 SMA pedagang 17 L 33 SD petani - 3 anak ke istri 26 SMP ibu RT 18 L 38 SD petani pedagang 4 anak ke-1 11 SD Pelajar anak ke anak ke istri 28 SD ibu RT 29 L 40 SMP petani - 4 anak ke-1 18 SMP pelajar anak ke istri 33 SMP petani 20 L 60 SD petani - 4 anak ke-1 28 SD petani cucu 12 SD pelajar mantu 30 SD petani

93 70 Lanjutan Pola Jenis Umur Jumlah Hubungan Umur Pendidikan Responden Pendidikan Pekerjaan Tanam kelamin (tahun) tanggungan keluarga (th) terakhir Pekerjaan 6 21 L 59 SMP petani - 3 anak 16 SMP pelajar istri 62 SD petani 22 L 39 SMP petani peternak 4 anak ke-1 6 SD pelajar anak ke istri 34 SD ibu RT 23 L 44 SD petani - 4 anak ke-1 19 SMP petani anak ke-2 15 SD pelajar istri 25 SD ibu RT 24 L 40 SD petani - 5 anak 12 SD pelajar istri 38 SD ibu RT 25 L 65 SD petani pedagang 4 anak ke-1 25 STM pedagang anak ke-2 19 S1 mahasiswa istri 60 SD petani 7 26 L 63 SD petani - 4 anak ke-1 28 SMA petani anak ke-2 21 SMA petani istri 50 SD petani 27 L 38 SMP petani - 3 anak 5 - pelajar istri 28 SMP ibu RT 28 L 50 SMP petani - 4 anak ke-1 19 SMA pelajar anak ke-2 13 SD pelajar istri 39 SMP ibu RT 29 L 40 SD petani buruh 5 anak 15 SD Pelajar istri 38 SD ibu RT 30 L 40 - petani pedagang 4 anak ke-1 20 SMP buruh anak ke-2 19 SMP petani istri 60 SD petani 8 31 L 30 SMP petani - 4 anak ke-1 19 SMP petani anak ke-2 11 SD pelajar istri 50 SD petani 32 L 51 SD petani - 3 anak ke-1 24 SD petani anak ke-2 13 SD pelajar 70

94 Lanjutan Pola Jenis Umur Jumlah Hubungan Umur Pendidikan Responden Pendidikan Pekerjaan Tanam kelamin (tahun) tanggungan keluarga (th) terakhir Pekerjaan istri 28 SMP ibu RT 33 L 66 SD petani - 4 anak ke-1 17 SMP pelajar anak ke pelajar istri 40 SD ibu RT 34 L 40 SD petani peternak 5 anak ke-1 14 SD pelajar anak ke pelajar anak ke istri 30 SD ibu rt 35 L 55 - petani pedagang 4 anak 25 SMA petani istri 60 SD pedagang 9 36 L 48 SMP petani pedagang 4 anak ke-1 17 SMP pelajar anak ke-2 17 SMP pelajar istri 50 SMP pedagang 37 L 55 SD petani buruh 3 anak ke-1 18 SMP pelajar anak ke-2 11 SD pelajar istri 28 SD buruh 38 L 40 SD petani - 4 anak ke-1 21 SMA petani anak ke-2 25 SD petani istri 40 SD petani 39 L 68 SD petani pedagang 4 anak 22 SMP ibu RT cucu 14 SD pelajar istri 55 SD pedagang 40 L 51 - petani pedagang 4 anak ke-1 17 SMP pelajar anak ke pelajar istri 30 SMP ibu RT L 65 SD petani pedagang 4 anak ke-1 24 SMP pedagang anak ke-2 17 SMA pelajar istri 50 SD pedagang 42 L 41 - petani peternak 3 anak ke-1 25 SMP petani anak ke-2 5 TK pelajar istri 38 SD petani 71 71

95 72 Lanjutan Pola Jenis Umur Jumlah Hubungan Umur Pendidikan Responden Pendidikan Pekerjaan Tanam kelamin (tahun) tanggungan keluarga (th) terakhir Pekerjaan 43 L 43 SD petani - 4 anak ke-1 21 SMP pelajar anak ke-2 14 SD petani istri 40 SD petani L 50 SD petani - 4 anak ke-1 20 SMA petani anak ke-2 15 SD pelajar istri 33 SD petani 45 L 50 SD petani - 4 anak ke-1 20 SD petani anak ke-2 19 SD petani istri 40 SD petani 46 L 31 SMP petani pedagang 3 anak 11 SD pelajar istri 31 SD petani 47 L 45 SD petani - 4 anak ke-1 14 SD pelajar anak ke-2 2,5 - - istri 35 SMP ibu RT L 40 SLTA petani guru 4 anak ke pelajar anak ke-2 3,5 - - istri 33 SD petani 49 L 61 SD petani - 3 anak 19 SMP petani istri 54 SD petani 50 L 31 SD petani pedagang 3 anak ke istri 27 SMA pedagang pulsa 51 L 53 - petani - 1 istri L 50 SD petani - 4 anak ke-1 30 SMP L 40 SD petani - 4 anak ke-1 11 SMP pelajar anak ke istri 33 SD petani 54 L 55 SD petani - 4 anak ke-1 25 SD petani anak ke-2 17 SD petani istri 50 SD petani 55 L 42 SD petani buruh 4 anak ke-1 12 SD pelajar 72

96 Lanjutan Pola Jenis Umur Jumlah Hubungan Umur Pendidikan Responden Pendidikan Pekerjaan Tanam kelamin (tahun) tanggungan keluarga (th) terakhir Pekerjaan anak ke istri 27 SD petani L 43 SD petani - 4 anak ke-1 15 SMA pelajar anak ke-2 11 SD pelajar anak ke istri 36 SD petani 57 L 40 SD petani - 3 anak ke-1 12 SD pelajar anak ke-2 0,5 - pelajar kakak 45 - petani istri 35 SD petani jasa transportasi L 27 SMA petani 59 L 35 SD petani - 3 anak 6 - pelajar istri 31 SMP - 60 L 50 - petani pedagang 2 istri 40 SD petani L 70 SD petani - 2 anak 25 SMP petani 62 L 40 - petani - 3 anak ke-1 24 SMP pembantu RT istri 35 - ibu RT 63 L 57 SD petani - 5 anak ke-1 28 SMP petani anak ke-2 24 SMA petani anak ke pelajar istri 50 - petani tukang 64 L 45 SD petani bangunan 5 anak ke-1 25 SMA pedagang anak ke-2 23 SMP penjaga toko anak ke pelajar istri 45 SD petani dan pedagang 73 73

97 74 Lanjutan Pola Jenis Umur Jumlah Hubungan Umur Pendidikan Responden Pendidikan Pekerjaan Tanam kelamin (tahun) tanggungan keluarga (th) terakhir Pekerjaan 65 L 34 SMA petani - 3 anak anak ke-1 25 SMA Ibu RT L 55 SD petani - 5 anak 14 SD pelajar istri 45 SMP petani 74

98 75 Lampiran 2 Rencana perubahan pola tanam aktual No Pola tanam aktual Rencana perubahan pola 1 kopi tujuh, dua belas 2 kopi + cengkeh enam 3 kopi + pisang tujuh 4 kopi + cabai empat, lima, enam, delapan, dua belas 5 kopi + alpukat sembilan, sepuluh, dua belas 6 kopi + kayu sebelas 7 kopi + durian lima belas 8 kopi + cabai + kayu satu, dua, lima, tujuh 9 kopi + cengkeh + cabai tiga 10 kopi + pisang + cabai empat, sembilan, empat belas 11 kopi + kakao + cabai empat 12 kopi + lada + cabai enam 13 kopi + lada + kakao tujuh, dua belas 14 kopi + alpukat + cabai delapan, tiga belas 15 kopi + kakao + cabai sebelas 16 kopi + pala + alpukat tiga belas 17 kopi + kakao + alpukat lima belas 18 kopi + alpukat + cabai + kayu satu, dua, lima, tujuh 19 kopi + alpukat + pisang + cabai satu, lima 20 kopi + kakao + alpukat + pisang empat, sebelas 21 kopi + kakao + alpukat + cabai sepuluh, sebelas 22 kopi + cengkeh + kakao + pisang sepuluh 23 kopi + alpukat + pisang + cabai tiga belas, empat belas 24 kopi + kakao + pisang + cabai empat belas 25 kopi + lada + alpukat + pisang lima belas 26 kopi + lada + pisang + cabai + kayu dua 27 kopi + alpukat + durian + pisang + cabai tiga 28 kopi + cengkeh + alpukat + pisang + cabai tiga, dua belas 29 kopi + alpukat + durian + cabai + kayu enam 30 kopi + alpukat + durian + pisang + kayu delapan 31 kopi + cengkeh + kakao + alpukat + cabai empat belas 32 kopi + kakao + alpukat + cabai + kayu lima belas 33 kopi + lada + kakao + alpukat + cabai enam belas 34 kopi + kakao + durian + pisang + cabai + kayu empat 35 kopi + lada + kakao + alpukat + cabai + kayu lima belas 36 kopi + cengkeh + kakao + pala + alpukat + cabai + kayu empat belas

99 76 Lampiran 3 Rata-rata pendapatan petani Pola tanam HKm (Rp/th) Lahan milik (Rp/th) Guru Jasa transportasi Pekerjaan sampingan (Rp/th) Tukang Buruh Kayu bakar Ternak Pedagang Penjaga toko Pembantu RT Petani penyakap Total pendapatan (Rp/th) Rata-rata

100 77 Lampiran 4 Rata-rata pengeluaran petani per pola tanam Pola tanam Biaya produksi (Rp/th) KHL (Rp/th) Total pengeluaran (Rp/th) Rata-rata

101 78 Lampiran 5 Komponen KHL per pola tanam Komponen KHL Rata-rata KHL (Rp/th) (Rp/th) Pola tanam Konsumsi Pendidikan Kesehatan Papan Sosial Pajak Listrik Pakaian Transportasi Komunikasi Tabungan Total KHL

102 79 Lampiran 6 Arus uang tunai (cash flow) per pola tanam Pola tanam Arus uang tunai ( Rp/btg) Rata-rata Tahun (Rp/btg) Pendapatan Biaya Keuntungan Pendapatan Biaya Keuntungan Pendapatan Biaya Keuntungan Pendapatan Biaya Keuntungan Pendapatan Biaya Keuntungan Pendapatan Biaya Keuntungan Pendapatan Biaya Keuntungan Pendapatan Biaya Keuntungan Pendapatan Biaya Keuntungan Pendapatan Biaya Keuntungan Pendapatan Biaya Keuntungan Pendapatan Biaya Keuntungan Pendapatan Biaya Keuntungan Pendapatan Biaya Keuntungan Pendapatan Biaya Keuntungan Pendapatan Biaya Keuntungan

103 80 Lampiran 7 Hasil optimalisasi Pola tanam 1 Target Cell (Max) Cell Name Original Value Final Value $H$ Adjustable Cells Cell Name Original Value Final Value $B$6 Variabel keputusan X $C$6 Variabel keputusan X6 9 9 $D$6 Variabel keputusan X $E$6 Variabel keputusan X $F$6 Variabel keputusan X $G$6 Variabel keputusan X Constraints Cell Name Cell Value Formula Status Slack $B$9 Ketersedian HOK X1 0,05 $B$9<=$I$15 Not Binding 147, $C$9 Ketersedian HOK X6 0,03 $C$9<=$I$15 Not Binding 147, $D$9 Ketersedian HOK X7 0,03 $D$9<=$I$15 Not Binding 147, $E$9 Ketersedian HOK X8 0,04 $E$9<=$I$15 Not Binding 147, $F$9 Ketersedian HOK X9 0,03 $F$9<=$I$15 Not Binding 147, $G$9 Ketersedian HOK X10 0,03 $G$9<=$I$15 Not Binding 147, $H$4 45 $H$4=$I$4 Not Binding 0 $B$8 Ketersediaan modal X $B$8<=$I$14 Not Binding ,94 $C$8 Ketersediaan modal X $C$8<=$I$14 Not Binding ,281 $D$8 Ketersediaan modal X $D$8<=$I$14 Not Binding ,204 $E$8 Ketersediaan modal X $E$8<=$I$14 Not Binding ,004 $F$8 Ketersediaan modal X9 959 $F$8<=$I$14 Not Binding ,024 $G$8 Ketersediaan modal X $G$8<=$I$14 Not Binding ,236 $I$14 Ketersediaan modal HASIL $I$14<=$K$14 Not Binding ,1664 $I$15 Ketersedian HOK HASIL 148 $I$15>=$K$15 Binding 0 $H$5 X $H$5<=$I$5 Binding 0 $H$ $H$7<=$I$7 Binding 0 $G$6 Variabel keputusan X10 45 $G$6>=$G$17 Not Binding 1 $C$6 Variabel keputusan X6 9 $C$6>=$C$17 Binding 0 $D$6 Variabel keputusan X7 96 $D$6>=$D$17 Not Binding 93 $B$6 Variabel keputusan X $B$6>=$B$18 Binding 0 $F$6 Variabel keputusan X $F$6>=$F$17 Not Binding 1998 $B$6 Variabel keputusan X $B$6<=$B$17 Not Binding 300 $F$6 Variabel keputusan X $F$6<=$F$18 Not Binding 432,690105

104 81 Lampiran 8 Hasil optimalisasi Pola tanam 2 Target Cell (Max) Cell Name Original Value Final Value $I$ , ,538 Adjustable Cells Cell Name Original Value Final Value $B$6 Variabel keputusan X $C$6 Variabel keputusan X2 22,5 22,5 $D$6 Variabel keputusan X6 7 7 $E$6 Variabel keputusan X $F$6 Variabel keputusan X $G$6 Variabel keputusan X9 2548, , $H$6 Variabel keputusan X10 22,5 22,5 Constraints Cell Name Cell Value Formula Status Slack $B$8 Ketersediaan modal X1 2215,55 $B$8<=$J$14 Not Binding ,244 $C$8 Ketersediaan modal X2 1745,94 $C$8<=$J$14 Not Binding ,853 $D$8 Ketersediaan modal X6 1404,20 $D$8<=$J$14 Not Binding ,585 $E$8 Ketersediaan modal X7 1689,28 $E$8<=$J$14 Not Binding ,509 $F$8 Ketersediaan modal X8 1218,48 $F$8<=$J$14 Not Binding ,308 $G$8 Ketersediaan modal X9 959,46 $G$8<=$J$14 Not Binding ,328 $H$8 Ketersediaan modal X ,25 $H$8<=$J$14 Not Binding ,541 $J$14 Ketersediaan modal hasil $J$14<=$L$14 Not Binding ,8622 $J$15 Ketersedian HOK hasil 148 $J$15>=$L$15 Binding 0 $B$9 Ketersedian HOK X1 0,05 $B$9<=$J$15 Not Binding 147, $C$9 Ketersedian HOK X2 0,05 $C$9<=$J$15 Not Binding 147, $D$9 Ketersedian HOK X6 0,03 $D$9<=$J$15 Not Binding 147, $E$9 Ketersedian HOK X7 0,03 $E$9<=$J$15 Not Binding 147, $F$9 Ketersedian HOK X8 0,04 $F$9<=$J$15 Not Binding 147, $G$9 Ketersedian HOK X9 0,03 $G$9<=$J$15 Not Binding 147, $H$9 Ketersedian HOK X10 0,03 $H$9<=$J$15 Not Binding 147, $I$4 45 $I$4=$J$4 Not Binding 0 $I$ $I$7<=$J$7 Binding 0 $I$3 Kayu 22,5 $I$3=$J$3 Not Binding 0 $I$5 X $I$5<=$J$5 Binding 0 $E$6 Variabel keputusan X7 98 $E$6>=$E$17 Not Binding 88 $B$6 Variabel keputusan X $B$6>=$B$18 Binding 0 $G$6 Variabel keputusan X9 2548, $G$6<=$G$18 Not Binding 451, $D$6 Variabel keputusan X6 7 $D$6>=$D$17 Binding 0 $F$6 Variabel keputusan X8 300 $F$6>=$F$17 Not Binding 250 $G$6 Variabel keputusan X9 2548, $G$6>=$G$17 Not Binding 1248, $B$6 Variabel keputusan X $B$6<=$B$17 Not Binding 300

105 82 Lampiran 9 Hasil optimalisasi Pola tanam 3 Target Cell (Max) Cell Name Original Value Final Value $I$ Adjustable Cells Cell Name Original Value Final Value $B$6 Variabel keputusan X $C$6 Variabel keputusan X3 2 2 $D$6 Variabel keputusan X6 9 9 $E$6 Variabel keputusan X $F$6 Variabel keputusan X $G$6 Variabel keputusan X9 2566, , $H$6 Variabel keputusan X Constraints Cell Name Cell Value Formula Status Slack $B$8 Ketersediaan modal X1 2215,55 $B$8<=$J$14 Not Binding ,883 $C$8 Ketersediaan modal X3 1849,43 $C$8<=$J$14 Not Binding ,999 $D$8 Ketersediaan modal X6 1404,20 $D$8<=$J$14 Not Binding ,224 $E$8 Ketersediaan modal X7 1689,28 $E$8<=$J$14 Not Binding ,147 $F$8 Ketersediaan modal X8 1218,48 $F$8<=$J$14 Not Binding ,946 $G$8 Ketersediaan modal X9 959,46 $G$8<=$J$14 Not Binding ,967 $H$8 Ketersediaan modal X ,25 $H$8<=$J$14 Not Binding ,179 $J$14 Ketersediaan modal hasil ,428 $J$14<=$L$14 Not Binding ,2238 $J$15 Ketersedian HOK hasil 147, $J$15>=$L$15 Binding 0 $I$4 45 $I$4=$J$4 Not Binding 0 $I$ $I$7<=$J$7 Binding 0 $B$9 Ketersedian HOK X1 0,05 $B$9<=$J$15 Not Binding 147, $C$9 Ketersedian HOK X3 0,04 $C$9<=$J$15 Not Binding 147, $D$9 Ketersedian HOK X6 0,03 $D$9<=$J$15 Not Binding 147, $E$9 Ketersedian HOK X7 0,03 $E$9<=$J$15 Not Binding 147, $F$9 Ketersedian HOK X8 0,04 $F$9<=$J$15 Not Binding 147, $G$9 Ketersedian HOK X9 0,03 $G$9<=$J$15 Not Binding 147, $H$9 Ketersedian HOK X10 0,03 $H$9<=$J$15 Not Binding 147, $I$5 X $I$5<=$J$5 Binding 0 $E$6 Variabel keputusan X7 94 $E$6>=$E$17 Not Binding 86 $B$6 Variabel keputusan X $B$6<=$B$17 Not Binding 300 $B$6 Variabel keputusan X $B$6>=$B$18 Binding 0 $C$6 Variabel keputusan X3 2 $C$6>=$C$17 Binding 0 $D$6 Variabel keputusan X6 9 $D$6>=$D$17 Binding 0 $F$6 Variabel keputusan X8 300 $F$6>=$F$17 Not Binding 292 $G$6 Variabel keputusan X9 2566, $G$6>=$G$17 Not Binding 1866, $G$6 Variabel keputusan X9 2566, $G$6<=$G$18 Not Binding 433,

106 83 Lampiran 10 Hasil optimalisasi Pola tanam 4 Target Cell (Max) Cell Name Original Value Final Value $I$ , ,226 Adjustable Cells Cell Name Original Value Final Value $B$6 Variabel keputusan X $C$6 Variabel keputusan X $D$6 Variabel keputusan X6 3 3 $E$6 Variabel keputusan X $F$6 Variabel keputusan X $G$6 Variabel keputusan X9 2547, , $H$6 Variabel keputusan X Constraints Cell Name Cell Value Formula Status Slack $B$8 Ketersediaan modal X1 2215,55 $B$8<=$J$14 Not Binding ,699 $C$8 Ketersediaan modal X4 1713,86 $C$8<=$J$14 Not Binding ,382 $D$8 Ketersediaan modal X6 1404,20 $D$8<=$J$14 Not Binding ,04 $E$8 Ketersediaan modal X7 1689,28 $E$8<=$J$14 Not Binding ,963 $F$8 Ketersediaan modal X8 1218,48 $F$8<=$J$14 Not Binding ,762 $G$8 Ketersediaan modal X9 959,46 $G$8<=$J$14 Not Binding ,782 $H$8 Ketersediaan modal X ,25 $H$8<=$J$14 Not Binding ,995 $J$14 Ketersediaan modal hasil $J$14<=$L$14 Not Binding ,4081 $J$15 Ketersedian HOK hasil 148 $J$15>=$L$15 Binding 0 $I$3 Kayu 1342 $I$3>=$J$3 Not Binding 342 $I$4 45 $I$4=$J$4 Not Binding 0 $I$ $I$7<=$J$7 Binding 0 $B$9 Ketersedian HOK X1 0,05 $B$9<=$J$15 Not Binding 147, $C$9 Ketersedian HOK X4 0,05 $C$9<=$J$15 Not Binding 147, $D$9 Ketersedian HOK X6 0,03 $D$9<=$J$15 Not Binding 147, $E$9 Ketersedian HOK X7 0,03 $E$9<=$J$15 Not Binding 147, $F$9 Ketersedian HOK X8 0,04 $F$9<=$J$15 Not Binding 147, $G$9 Ketersedian HOK X9 0,03 $G$9<=$J$15 Not Binding 147, $H$9 Ketersedian HOK X10 0,03 $H$9<=$J$15 Not Binding 147, $I$3 Kayu 1342 $I$3<=$K$3 Not Binding 258 $I$5 X $I$5<=$J$5 Binding 0 $E$6 Variabel keputusan X7 60 $E$6>=$E$17 Not Binding 57 $B$6 Variabel keputusan X $B$6>=$B$18 Binding 0 $C$6 Variabel keputusan X4 42 $C$6>=$C$17 Binding 0 $D$6 Variabel keputusan X6 3 $D$6>=$D$17 Binding 0 $F$6 Variabel keputusan X8 300 $F$6>=$F$17 Not Binding 218 $G$6 Variabel keputusan X9 2547, $G$6>=$G$17 Not Binding 2407, $B$6 Variabel keputusan X $B$6<=$B$17 Not Binding 300 $G$6 Variabel keputusan X9 2547, $G$6<=$G$18 Not Binding 452, $G$6 Variabel keputusan X9 2547, $G$6<=$G$18 Not Binding 452,

107 84 Lampiran 11 Hasil optimalisasi Pola tanam 5 Target Cell (Max) Cell Name Original Value Final Value $I$ , ,2 Adjustable Cells Cell Name Original Value Final Value $B$6 Variabel keputusan X $C$6 Variabel keputusan X $D$6 Variabel keputusan x6 1 1 $E$6 Variabel keputusan x7 7 7 $F$6 Variabel keputusan x $G$6 Variabel keputusan x9 2562, ,59045 $H$6 Variabel keputusan x Constraints Cell Name Cell Value Formula Status Slack $B$8 Ketersediaan modal X1 2215,55 $B$8<=$J$14 Not Binding ,665 $C$8 Ketersediaan modal X5 2079,10 $C$8<=$J$14 Not Binding ,112 $D$8 Ketersediaan modal x6 1404,20 $D$8<=$J$14 Not Binding ,006 $E$8 Ketersediaan modal x7 1689,28 $E$8<=$J$14 Not Binding ,929 $F$8 Ketersediaan modal x8 1218,48 $F$8<=$J$14 Not Binding ,728 $G$8 Ketersediaan modal x9 959,46 $G$8<=$J$14 Not Binding ,749 $H$8 Ketersediaan modal x ,25 $H$8<=$J$14 Not Binding ,961 $J$14 Ketersediaan modal hasil ,21 $J$14<=$L$14 Not Binding ,4417 $J$15 Ketersedian HOK hasil 147, $J$15>=$L$15 Binding 0 $B$9 Ketersedian HOK X1 0,05 $B$9<=$J$15 Not Binding 147, $C$9 Ketersedian HOK X5 0,04 $C$9<=$J$15 Not Binding 147, $D$9 Ketersedian HOK x6 0,03 $D$9<=$J$15 Not Binding 147, $E$9 Ketersedian HOK x7 0,03 $E$9<=$J$15 Not Binding 147, $F$9 Ketersedian HOK x8 0,04 $F$9<=$J$15 Not Binding 147, $G$9 Ketersedian HOK x9 0,03 $G$9<=$J$15 Not Binding 147, $H$9 Ketersedian HOK x10 0,03 $H$9<=$J$15 Not Binding 147, $I$ $I$7<=$J$7 Binding 0 $I$4 45 $I$4=$J$4 Not Binding 0 $I$5 x $I$5<=$J$5 Binding 0 $E$6 Variabel keputusan x7 7 $E$6>=$E$17 Binding 0 $B$6 Variabel keputusan X $B$6<=$B$17 Not Binding 300 $B$6 Variabel keputusan X $B$6>=$B$18 Binding 0 $C$6 Variabel keputusan X5 97 $C$6>=$C$17 Not Binding 96 $D$6 Variabel keputusan x6 1 $D$6>=$D$17 Binding 0 $F$6 Variabel keputusan x8 300 $F$6>=$F$17 Not Binding 299 $G$6 Variabel keputusan x9 2562,59045 $G$6>=$G$17 Not Binding 2122,59045 $G$6 Variabel keputusan x9 2562,59045 $G$6<=$G$18 Not Binding 437,

108 85 Lampiran 12 Hasil optimalisasi Pola tanam 6 Target Cell (Max) Cell Name Original Value Final Value $J$ , ,875 Adjustable Cells Cell Name Original Value Final Value $B$6 Variabel keputusan X $C$6 Variabel keputusan X $D$6 Variabel keputusan X $E$6 Variabel keputusan X6 5 5 $F$6 Variabel keputusan X $G$6 Variabel keputusan X $H$6 Variabel keputusan X9 2544, , $I$6 Variabel keputusan X Constraints Cell Name Cell Value Formula Status Slack $B$8 Ketersediaan modal X1 2215,55 $B$8<=$K$14 Not Binding ,111 $C$8 Ketersediaan modal X2 1745,94 $C$8<=$K$14 Not Binding ,72 $D$8 Ketersediaan modal X3 1849,43 $D$8<=$K$14 Not Binding ,227 $E$8 Ketersediaan modal X6 1404,20 $E$8<=$K$14 Not Binding ,452 $F$8 Ketersediaan modal X7 1689,28 $F$8<=$K$14 Not Binding ,376 $G$8 Ketersediaan modal X8 1218,48 $G$8<=$K$14 Not Binding ,175 $H$8 Ketersediaan modal X9 959,46 $H$8<=$K$14 Not Binding ,195 $I$8 Ketersediaan modal X ,25 $I$8<=$K$14 Not Binding ,408 $K$14 Ketersediaan modal hasil $K$14<=$M$14 Not Binding ,9953 $K$15 Ketersedian HOK hasil 148 $K$15>=$M$15 Binding 0 $J$4 45 $J$4=$K$4 Not Binding 0 $J$ $J$7<=$K$7 Binding 0 $J$5 X $J$5<=$K$5 Binding 0 $J$3 Kayu 22,5 $J$3=$K$3 Not Binding 0 $B$9 Ketersedian HOK X1 0,05 $B$9<=$K$15 Not Binding 147, $C$9 Ketersedian HOK X2 0,05 $C$9<=$K$15 Not Binding 147, $D$9 Ketersedian HOK X3 0,04 $D$9<=$K$15 Not Binding 147, $E$9 Ketersedian HOK X6 0,03 $E$9<=$K$15 Not Binding 147, $F$9 Ketersedian HOK X7 0,03 $F$9<=$K$15 Not Binding 147, $G$9 Ketersedian HOK X8 0,04 $G$9<=$K$15 Not Binding 147, $H$9 Ketersedian HOK X9 0,03 $H$9<=$K$15 Not Binding 147, $I$9 Ketersedian HOK X10 0,03 $I$9<=$K$15 Not Binding 147, $F$6 Variabel keputusan X7 90 $F$6>=$F$17 Not Binding 87 $D$6 Variabel keputusan X3 10 $D$6>=$D$17 Binding 0 $B$6 Variabel keputusan X $B$6>=$B$18 Binding 0 $E$6 Variabel keputusan X6 5 $E$6>=$E$17 Binding 0 $G$6 Variabel keputusan X8 300 $G$6>=$G$17 Not Binding 299 $H$6 Variabel keputusan X9 2544, $H$6>=$H$17 Not Binding 2258, $B$6 Variabel keputusan X $B$6<=$B$17 Not Binding 300 $H$6 Variabel keputusan X9 2544, $H$6<=$H$18 Not Binding 455,

109 86 Lampiran 13 Hasil optimalisasi Pola tanam 7 Target Cell (Max) Cell Name Original Value Final Value $J$ , ,38 Adjustable Cells Cell Name Original Value Final Value $B$6 Variabel keputusan X $C$6 Variabel keputusan X2 22,5 22,5 $D$6 Variabel keputusan X $E$6 Variabel keputusan X6 5 5 $F$6 Variabel keputusan X $G$6 Variabel keputusan X8 4 4 $H$6 Variabel keputusan X9 2422, , $I$6 Variabel keputusan X10 22,5 22,5 Constraints Cell Name Cell Value Formula Status Slack $B$8 Ketersediaan modal X1 2215,55 $B$8<=$K$14 Not Binding ,61 $C$8 Ketersediaan modal X2 1745,94 $C$8<=$K$14 Not Binding ,219 $D$8 Ketersediaan modal X4 1713,86 $D$8<=$K$14 Not Binding ,293 $E$8 Ketersediaan modal X6 1404,20 $E$8<=$K$14 Not Binding ,951 $F$8 Ketersediaan modal X7 1689,28 $F$8<=$K$14 Not Binding ,874 $G$8 Ketersediaan modal X8 1218,48 $G$8<=$K$14 Not Binding ,673 $H$8 Ketersediaan modal X9 959,46 $H$8<=$K$14 Not Binding ,694 $I$8 Ketersediaan modal X ,25 $I$8<=$K$14 Not Binding ,906 $K$14 Ketersediaan modal hasil ,155 $K$14<=$M$14 Not Binding ,4966 $K$15 Ketersedian HOK hasil 147, $K$15>=$M$15 Binding 0 $J$ $J$7>=$K$7 Not Binding 600 $J$4 45 $J$4=$K$4 Not Binding 0 $J$ $J$7<=$L$7 Binding 0 $J$3 Kayu 22,5 $J$3=$K$3 Not Binding 0 $B$9 Ketersedian HOK X1 0,05 $B$9<=$K$15 Not Binding 147, $C$9 Ketersedian HOK X2 0,05 $C$9<=$K$15 Not Binding 147, $D$9 Ketersedian HOK X4 0,05 $D$9<=$K$15 Not Binding 147, $E$9 Ketersedian HOK X6 0,03 $E$9<=$K$15 Not Binding 147, $F$9 Ketersedian HOK X7 0,03 $F$9<=$K$15 Not Binding 147, $G$9 Ketersedian HOK X8 0,04 $G$9<=$K$15 Not Binding 147, $H$9 Ketersedian HOK X9 0,03 $H$9<=$K$15 Not Binding 147, $I$9 Ketersedian HOK X10 0,03 $I$9<=$K$15 Not Binding 147, $J$5 X $J$5<=$K$5 Binding 0 $F$6 Variabel keputusan X7 100 $F$6>=$F$17 Not Binding 97 $B$6 Variabel keputusan X $B$6>=$B$18 Binding 0 $H$6 Variabel keputusan X9 2422, $H$6<=$H$18 Not Binding 577, $E$6 Variabel keputusan X6 5 $E$6>=$E$17 Binding 0 $G$6 Variabel keputusan X8 4 $G$6>=$G$17 Binding 0 $H$6 Variabel keputusan X9 2422, $H$6>=$H$17 Not Binding 2322, $B$6 Variabel keputusan X $B$6<=$B$17 Not Binding 300 $D$6 Variabel keputusan X4 296 $D$6>=$D$17 Not Binding 293

110 87 Lampiran 14 Hasil optimalisasi Pola tanam 8 Target Cell (Max) Cell Name Original Value Final Value $J$ , ,9 Adjustable Cells Cell Name Original Value Final Value $B$6 Variabel keputusan X $C$6 Variabel keputusan X2 22,5 22,5 $D$6 Variabel keputusan X5 118,5 118,5 $E$6 Variabel keputusan X6 4 4 $F$6 Variabel keputusan X7 5 5 $G$6 Variabel keputusan X $H$6 Variabel keputusan X9 2512, , $I$6 Variabel keputusan X10 22,5 22,5 Constraints Cell Name Cell Value Formula Status Slack $B$8 Ketersediaan modal X1 2215,55 $B$8<=$K$14 Not Binding ,628 $C$8 Ketersediaan modal X2 1745,94 $C$8<=$K$14 Not Binding ,236 $D$8 Ketersediaan modal X5 2079,10 $D$8<=$K$14 Not Binding ,075 $E$8 Ketersediaan modal X6 1404,20 $E$8<=$K$14 Not Binding ,969 $F$8 Ketersediaan modal X7 1689,28 $F$8<=$K$14 Not Binding ,892 $G$8 Ketersediaan modal X8 1218,48 $G$8<=$K$14 Not Binding ,691 $H$8 Ketersediaan modal X9 959,46 $H$8<=$K$14 Not Binding ,712 $I$8 Ketersediaan modal X ,25 $I$8<=$K$14 Not Binding ,924 $K$14 Ketersediaan modal hasil ,173 $K$14<=$M$14 Not Binding ,479 $K$15 Ketersedian HOK hasil 147, $K$15>=$M$15 Binding 0 $J$4 45 $J$4=$K$4 Not Binding 0 $J$ $J$7<=$K$7 Binding 0 $J$5 X $J$5<=$K$5 Binding 0 $J$3 Kayu 22,5 $J$3=$K$3 Not Binding 0 $B$9 Ketersedian HOK X1 0,05 $B$9<=$K$15 Not Binding 147, $C$9 Ketersedian HOK X2 0,05 $C$9<=$K$15 Not Binding 147, $D$9 Ketersedian HOK X5 0,04 $D$9<=$K$15 Not Binding 147, $E$9 Ketersedian HOK X6 0,03 $E$9<=$K$15 Not Binding 147, $F$9 Ketersedian HOK X7 0,03 $F$9<=$K$15 Not Binding 147, $G$9 Ketersedian HOK X8 0,04 $G$9<=$K$15 Not Binding 147, $H$9 Ketersedian HOK X9 0,03 $H$9<=$K$15 Not Binding 147, $I$9 Ketersedian HOK X10 0,03 $I$9<=$K$15 Not Binding 147, $F$6 Variabel keputusan X7 5 $F$6>=$F$17 Binding 0 $D$6 Variabel keputusan X5 118,5 $D$6>=$D$17 Not Binding 112,5 $B$6 Variabel keputusan X $B$6>=$B$18 Binding 0 $E$6 Variabel keputusan X6 4 $E$6>=$E$17 Binding 0 $G$6 Variabel keputusan X8 300 $G$6>=$G$17 Not Binding 299 $H$6 Variabel keputusan X9 2512, $H$6>=$H$17 Not Binding 2262, $B$6 Variabel keputusan X $B$6<=$B$17 Not Binding 300 $H$6 Variabel keputusan X9 2512, $H$6<=$H$18 Not Binding 487,

111 88 Lampiran 15 Hasil optimalisasi Pola tanam 9 Target Cell (Max) Cell Name Original Value Final Value $J$ , ,25 Adjustable Cells Cell Name Original Value Final Value $B$6 Variabel keputusan X $C$6 Variabel keputusan X3 1 1 $D$6 Variabel keputusan X $E$6 Variabel keputusan X $F$6 Variabel keputusan X7 9 9 $G$6 Variabel keputusan X $H$6 Variabel keputusan X9 2564, , $I$6 Variabel keputusan X Constraints Cell Name Cell Value Formula Status Slack $B$8 Ketersediaan modal X1 2215,55 $B$8<=$K$14 Not Binding ,751 $C$8 Ketersediaan modal X3 1849,43 $C$8<=$K$14 Not Binding ,866 $D$8 Ketersediaan modal X4 2079,10 $D$8<=$K$14 Not Binding ,198 $E$8 Ketersediaan modal X6 1404,20 $E$8<=$K$14 Not Binding ,092 $F$8 Ketersediaan modal X7 1689,28 $F$8<=$K$14 Not Binding ,015 $G$8 Ketersediaan modal X8 1218,48 $G$8<=$K$14 Not Binding ,814 $H$8 Ketersediaan modal X9 959,46 $H$8<=$K$14 Not Binding ,835 $I$8 Ketersediaan modal X ,25 $I$8<=$K$14 Not Binding ,047 $K$14 Ketersediaan modal hasil ,296 $K$14<=$M$14 Not Binding ,3561 $K$15 Ketersedian HOK hasil 147, $K$15>=$M$15 Binding 0 $B$9 Ketersedian HOK X1 0,05 $B$9<=$K$15 Not Binding 147, $C$9 Ketersedian HOK X3 0,04 $C$9<=$K$15 Not Binding 147, $D$9 Ketersedian HOK X4 0,04 $D$9<=$K$15 Not Binding 147, $E$9 Ketersedian HOK X6 0,03 $E$9<=$K$15 Not Binding 147, $F$9 Ketersedian HOK X7 0,03 $F$9<=$K$15 Not Binding 147, $G$9 Ketersedian HOK X8 0,04 $G$9<=$K$15 Not Binding 147, $H$9 Ketersedian HOK X9 0,03 $H$9<=$K$15 Not Binding 147, $I$9 Ketersedian HOK X10 0,03 $I$9<=$K$15 Not Binding 147, $J$4 45 $J$4=$K$4 Not Binding 0 $J$ $J$7<=$K$7 Binding 0 $J$5 X $J$5<=$K$5 Binding 0 $F$6 Variabel keputusan X7 9 $F$6>=$F$17 Binding 0 $B$6 Variabel keputusan X $B$6>=$B$18 Binding 0 $C$6 Variabel keputusan X3 1 $C$6>=$C$17 Binding 0 $E$6 Variabel keputusan X6 41 $E$6>=$E$17 Binding 0 $G$6 Variabel keputusan X8 300 $G$6>=$G$17 Not Binding 298 $H$6 Variabel keputusan X9 2564, $H$6>=$H$17 Not Binding 2556, $D$6 Variabel keputusan X4 54 $D$6>=$D$17 Not Binding 53 $B$6 Variabel keputusan X $B$6<=$B$17 Not Binding 300 $H$6 Variabel keputusan X9 2564, $H$6<=$H$18 Not Binding 435,

112 89 Lampiran 16 Hasil optimalisasi Pola tanam 10 Target Cell (Max) Cell Name Original Value Final Value $J$ , ,76 Adjustable Cells Cell Name Original Value Final Value $B$6 Variabel keputusan X $C$6 Variabel keputusan X3 2 2 $D$6 Variabel keputusan X $E$6 Variabel keputusan X6 5 5 $F$6 Variabel keputusan X $G$6 Variabel keputusan X8 2 2 $H$6 Variabel keputusan X9 2444, , $I$6 Variabel keputusan X Constraints Cell Name Cell Value Formula Status Slack $B$8 Ketersediaan modal X1 2215,55 $B$8<=$K$14 Not Binding ,605 $C$8 Ketersediaan modal X3 1849,43 $C$8<=$K$14 Not Binding ,721 $D$8 Ketersediaan modal X4 1713,86 $D$8<=$K$14 Not Binding ,288 $E$8 Ketersediaan modal X6 1404,20 $E$8<=$K$14 Not Binding ,946 $F$8 Ketersediaan modal X7 1689,28 $F$8<=$K$14 Not Binding ,869 $G$8 Ketersediaan modal X8 1218,48 $G$8<=$K$14 Not Binding ,668 $H$8 Ketersediaan modal X9 959,46 $H$8<=$K$14 Not Binding ,689 $I$8 Ketersediaan modal X ,25 $I$8<=$K$14 Not Binding ,901 $K$14 Ketersediaan modal hasil ,15 $K$14<=$M$14 Not Binding ,5017 $K$15 Ketersedian HOK hasil 147, $K$15>=$M$15 Binding 0 $J$ $J$7>=$L$7 Binding 0 $J$4 45 $J$4=$K$4 Not Binding 0 $J$5 X $J$5<=$K$5 Binding 0 $B$9 Ketersedian HOK X1 0,05 $B$9<=$K$15 Not Binding 147, $C$9 Ketersedian HOK X3 0,04 $C$9<=$K$15 Not Binding 147, $D$9 Ketersedian HOK X4 0,05 $D$9<=$K$15 Not Binding 147, $E$9 Ketersedian HOK X6 0,03 $E$9<=$K$15 Not Binding 147, $F$9 Ketersedian HOK X7 0,03 $F$9<=$K$15 Not Binding 147, $G$9 Ketersedian HOK X8 0,04 $G$9<=$K$15 Not Binding 147, $H$9 Ketersedian HOK X9 0,03 $H$9<=$K$15 Not Binding 147, $I$9 Ketersedian HOK X10 0,03 $I$9<=$K$15 Not Binding 147, $J$ $J$7<=$L$7 Binding 0 $F$6 Variabel keputusan X7 98 $F$6>=$F$17 Not Binding 97 $B$6 Variabel keputusan X $B$6>=$B$18 Binding 0 $C$6 Variabel keputusan X3 2 $C$6>=$C$17 Binding 0 $E$6 Variabel keputusan X6 5 $E$6>=$E$17 Binding 0 $G$6 Variabel keputusan X8 2 $G$6>=$G$17 Binding 0 $H$6 Variabel keputusan X9 2444, $H$6>=$H$17 Not Binding 2111, $B$6 Variabel keputusan X $B$6<=$B$17 Not Binding 300 $D$6 Variabel keputusan X4 298 $D$6>=$D$18 Not Binding 298 $H$6 Variabel keputusan X9 2444, $H$6<=$H$18 Not Binding 555,

113 90 Lampiran 17 Hasil optimalisasi Pola tanam 11 Target Cell (Max) Cell Name Original Value Final Value $J$ , ,82 Adjustable Cells Cell Name Original Value Final Value $B$6 Variabel keputusan X $C$6 Variabel keputusan X $D$6 Variabel keputusan X $E$6 Variabel keputusan X6 8 8 $F$6 Variabel keputusan X7 3 3 $G$6 Variabel keputusan X8 3 3 $H$6 Variabel keputusan X $I$6 Variabel keputusan X Constraints Cell Name Cell Value Formula Status Slack $B$8 Ketersediaan modal X1 2215,55 $B$8<=$K$14 Not Binding ,034 $C$8 Ketersediaan modal X4 1713,86 $C$8<=$K$14 Not Binding ,717 $D$8 Ketersediaan modal X5 2079,10 $D$8<=$K$14 Not Binding ,481 $E$8 Ketersediaan modal X6 1404,20 $E$8<=$K$14 Not Binding ,375 $F$8 Ketersediaan modal X7 1689,28 $F$8<=$K$14 Not Binding ,298 $G$8 Ketersediaan modal X8 1218,48 $G$8<=$K$14 Not Binding ,098 $H$8 Ketersediaan modal X9 959,46 $H$8<=$K$14 Not Binding ,118 $I$8 Ketersediaan modal X ,25 $I$8<=$K$14 Not Binding ,33 $K$14 Ketersediaan modal hasil ,579 $K$14<=$M$14 Not Binding ,0726 $K$15 Ketersedian HOK hasil 147, $K$15>=$M$15 Binding 0 $J$ $J$7>=$K$7 Not Binding 600 $J$4 45 $J$4=$K$4 Not Binding 0 $J$5 X $J$5<=$K$5 Binding 0 $B$9 Ketersedian HOK X1 0,05 $B$9<=$K$15 Not Binding 147, $C$9 Ketersedian HOK X4 0,05 $C$9<=$K$15 Not Binding 147, $D$9 Ketersedian HOK X5 0,04 $D$9<=$K$15 Not Binding 147, $E$9 Ketersedian HOK X6 0,03 $E$9<=$K$15 Not Binding 147, $F$9 Ketersedian HOK X7 0,03 $F$9<=$K$15 Not Binding 147, $G$9 Ketersedian HOK X8 0,04 $G$9<=$K$15 Not Binding 147, $H$9 Ketersedian HOK X9 0,03 $H$9<=$K$15 Not Binding 147, $I$9 Ketersedian HOK X10 0,03 $I$9<=$K$15 Not Binding 147, $J$ $J$7<=$L$7 Binding 0 $F$6 Variabel keputusan X7 3 $F$6>=$F$17 Binding 0 $B$6 Variabel keputusan X $B$6>=$B$18 Binding 0 $C$6 Variabel keputusan X4 297 $C$6>=$C$17 Not Binding 279 $E$6 Variabel keputusan X6 8 $E$6>=$E$17 Binding 0 $G$6 Variabel keputusan X8 3 $G$6>=$G$17 Binding 0 $H$6 Variabel keputusan X $H$6>=$H$17 Not Binding 841 $D$6 Variabel keputusan X5 94 $D$6>=$D$17 Not Binding 87 $B$6 Variabel keputusan X $B$6<=$B$17 Not Binding 300

114 91 Lampiran 18 Hasil optimalisasi Pola tanam 12 Target Cell (Max) Cell Name Original Value Final Value $K$ , ,45 Adjustable Cells Cell Name Original Value Final Value $B$6 Variabel keputusan X $C$6 Variabel keputusan X2 22,5 22,5 $D$6 Variabel keputusan X3 2 2 $E$6 Variabel keputusan X $F$6 Variabel keputusan X6 9 9 $G$6 Variabel keputusan X $H$6 Variabel keputusan X8 3 3 $I$6 Variabel keputusan X9 2425, , $J$6 Variabel keputusan X10 22,5 22,5 Constraints Cell Name Cell Value Formula Status Slack $B$8 Ketersediaan modal X1 2215,55 $B$8<=$L$14 Not Binding ,346 $C$8 Ketersediaan modal X2 1745,94 $C$8<=$L$14 Not Binding ,955 $D$8 Ketersediaan modal X3 1849,43 $D$8<=$L$14 Not Binding ,462 $E$8 Ketersediaan modal X4 1713,86 $E$8<=$L$14 Not Binding ,029 $F$8 Ketersediaan modal X6 1404,20 $F$8<=$L$14 Not Binding ,687 $G$8 Ketersediaan modal X7 1689,28 $G$8<=$L$14 Not Binding ,61 $H$8 Ketersediaan modal X8 1218,48 $H$8<=$L$14 Not Binding ,409 $I$8 Ketersediaan modal X9 959,46 $I$8<=$L$14 Not Binding ,43 $J$8 Ketersediaan modal X ,25 $J$8<=$L$14 Not Binding ,642 $L$15 Ketersedian HOK hasil 147, $L$15>=$N$15 Binding 0 $K$4 45 $K$4=$L$4 Not Binding 0 $K$5 X $K$5<=$L$5 Binding 0 $K$ $K$7<=$M$7 Binding 0 $K$3 Kayu 22,5 $K$3=$L$3 Not Binding 0 $K$ $K$7>=$L$7 Not Binding 600 $B$9 Ketersedian HOK X1 0,05 $B$9<=$L$15 Not Binding 147, $C$9 Ketersedian HOK X2 0,05 $C$9<=$L$15 Not Binding 147, $D$9 Ketersedian HOK X3 0,04 $D$9<=$L$15 Not Binding 147, $E$9 Ketersedian HOK X4 0,05 $E$9<=$L$15 Not Binding 147, $F$9 Ketersedian HOK X6 0,03 $F$9<=$L$15 Not Binding 147, $G$9 Ketersedian HOK X7 0,03 $G$9<=$L$15 Not Binding 147, $H$9 Ketersedian HOK X8 0,04 $H$9<=$L$15 Not Binding 147, $I$9 Ketersedian HOK X9 0,03 $I$9<=$L$15 Not Binding 147, $J$9 Ketersedian HOK X10 0,03 $J$9<=$L$15 Not Binding 147, $G$6 Variabel keputusan X7 94 $G$6>=$G$17 Not Binding 89 $D$6 Variabel keputusan X3 2 $D$6>=$D$17 Binding 0 $E$6 Variabel keputusan X4 297 $E$6>=$E$17 Not Binding 294 $B$6 Variabel keputusan X $B$6>=$B$18 Binding 0 $F$6 Variabel keputusan X6 9 $F$6>=$F$17 Binding 0 $H$6 Variabel keputusan X8 3 $H$6>=$H$17 Binding 0 $J$6 Variabel keputusan X10 22,5 $J$6>=$J$17 Not Binding 22,5 $B$6 Variabel keputusan X $B$6<=$B$17 Not Binding 300 $I$6 Variabel keputusan X9 2425, $I$6<=$I$18 Not Binding 574,438665

115 92 Lampiran 19 Hasil optimalisasi Pola tanam 13 Target Cell (Max) Cell Name Original Value Final Value $K$ , ,32 Adjustable Cells Cell Name Original Value Final Value $B$6 Variabel keputusan X $C$6 Variabel keputusan X2 22,5 22,5 $D$6 Variabel keputusan X3 3 3 $E$6 Variabel keputusan X $F$6 Variabel keputusan X $G$6 Variabel keputusan X7 9 9 $H$6 Variabel keputusan X $I$6 Variabel keputusan X9 2543, , $J$6 Variabel keputusan X10 22,5 22,5 Constraints Cell Name Cell Value Formula Status Slack $B$8 Ketersediaan modal X1 2215,55 $B$8<=$L$14 Not Binding ,934 $C$8 Ketersediaan modal X2 1745,94 $C$8<=$L$14 Not Binding ,542 $D$8 Ketersediaan modal X3 1849,43 $D$8<=$L$14 Not Binding ,049 $E$8 Ketersediaan modal X5 2079,10 $E$8<=$L$14 Not Binding ,381 $F$8 Ketersediaan modal X6 1404,20 $F$8<=$L$14 Not Binding ,275 $G$8 Ketersediaan modal X7 1689,28 $G$8<=$L$14 Not Binding ,198 $H$8 Ketersediaan modal X8 1218,48 $H$8<=$L$14 Not Binding ,997 $I$8 Ketersediaan modal X9 959,46 $I$8<=$L$14 Not Binding ,018 $J$8 Ketersediaan modal X ,25 $J$8<=$L$14 Not Binding ,23 $L$15 Ketersedian HOK hasil 148 $L$15>=$N$15 Binding 0 $K$4 45 $K$4=$L$4 Not Binding 0 $K$ $K$7<=$L$7 Binding 0 $K$5 X $K$5<=$L$5 Binding 0 $K$3 Kayu 22,5 $K$3=$L$3 Not Binding 0 $B$9 Ketersedian HOK X1 0,05 $B$9<=$L$15 Not Binding 147, $C$9 Ketersedian HOK X2 0,05 $C$9<=$L$15 Not Binding 147, $D$9 Ketersedian HOK X3 0,04 $D$9<=$L$15 Not Binding 147, $E$9 Ketersedian HOK X5 0,04 $E$9<=$L$15 Not Binding 147, $F$9 Ketersedian HOK X6 0,03 $F$9<=$L$15 Not Binding 147, $G$9 Ketersedian HOK X7 0,03 $G$9<=$L$15 Not Binding 147, $H$9 Ketersedian HOK X8 0,04 $H$9<=$L$15 Not Binding 147, $I$9 Ketersedian HOK X9 0,03 $I$9<=$L$15 Not Binding 147, $J$9 Ketersedian HOK X10 0,03 $J$9<=$L$15 Not Binding 147, $L$14 Ketersediaan modal hasil $L$14<=$N$14 Not Binding ,1731 $G$6 Variabel keputusan X7 9 $G$6>=$G$17 Binding 0 $D$6 Variabel keputusan X3 3 $D$6>=$D$17 Binding 0 $E$6 Variabel keputusan X5 82 $E$6>=$E$17 Not Binding 80 $B$6 Variabel keputusan X $B$6>=$B$18 Binding 0 $F$6 Variabel keputusan X6 11 $F$6>=$F$17 Binding 0 $H$6 Variabel keputusan X8 300 $H$6>=$H$17 Not Binding 296 $I$6 Variabel keputusan X9 2543, $I$6>=$I$17 Not Binding 2387, $B$6 Variabel keputusan X $B$6<=$B$17 Not Binding 300 $I$6 Variabel keputusan X9 2543, $I$6<=$I$18 Not Binding 456,

116 93 Lampiran 20 Hasil optimalisasi Pola tanam 14 Target Cell (Max) Cell Name Original Value Final Value $K$ , ,93 Adjustable Cells Cell Name Original Value Final Value $B$6 Variabel keputusan X $C$6 Variabel keputusan X $D$6 Variabel keputusan X $E$6 Variabel keputusan X $F$6 Variabel keputusan X $G$6 Variabel keputusan X7 7 7 $H$6 Variabel keputusan X $I$6 Variabel keputusan X9 2459, , $J$6 Variabel keputusan X Constraints Cell Name Cell Value Formula Status Slack $B$8 Ketersediaan modal X1 2215,55 $B$8<=$L$14 Not Binding ,798 $C$8 Ketersediaan modal X3 1849,43 $C$8<=$L$14 Not Binding ,913 $D$8 Ketersediaan modal X4 1713,86 $D$8<=$L$14 Not Binding ,481 $E$8 Ketersediaan modal X5 2079,10 $E$8<=$L$14 Not Binding ,245 $F$8 Ketersediaan modal X6 1404,20 $F$8<=$L$14 Not Binding ,139 $G$8 Ketersediaan modal X7 1689,28 $G$8<=$L$14 Not Binding ,062 $H$8 Ketersediaan modal X8 1218,48 $H$8<=$L$14 Not Binding ,861 $I$8 Ketersediaan modal X9 959,46 $I$8<=$L$14 Not Binding ,882 $J$8 Ketersediaan modal X ,25 $J$8<=$L$14 Not Binding ,094 $K$ $K$7>=$L$7 Not Binding 600 $L$15 Ketersedian HOK hasil 147, $L$15>=$N$15 Binding 0 $K$5 X $K$5<=$L$5 Binding 0 $K$4 45 $K$4=$L$4 Not Binding 0 $B$9 Ketersedian HOK X1 0,05 $B$9<=$L$15 Not Binding 147, $C$9 Ketersedian HOK X3 0,04 $C$9<=$L$15 Not Binding 147, $D$9 Ketersedian HOK X4 0,05 $D$9<=$L$15 Not Binding 147, $E$9 Ketersedian HOK X5 0,04 $E$9<=$L$15 Not Binding 147, $F$9 Ketersedian HOK X6 0,03 $F$9<=$L$15 Not Binding 147, $G$9 Ketersedian HOK X7 0,03 $G$9<=$L$15 Not Binding 147, $H$9 Ketersedian HOK X8 0,04 $H$9<=$L$15 Not Binding 147, $I$9 Ketersedian HOK X9 0,03 $I$9<=$L$15 Not Binding 147, $J$9 Ketersedian HOK X10 0,03 $J$9<=$L$15 Not Binding 147, $L$14 Ketersediaan modal hasil ,343 $L$14<=$N$14 Not Binding ,309 $K$ $K$7<=$M$7 Binding 0 $G$6 Variabel keputusan X7 7 $G$6>=$G$17 Binding 0 $D$6 Variabel keputusan X4 11 $D$6>=$D$17 Binding 0 $E$6 Variabel keputusan X5 77 $E$6>=$E$17 Not Binding 76 $B$6 Variabel keputusan X $B$6>=$B$18 Binding 0 $C$6 Variabel keputusan X3 289 $C$6>=$C$17 Not Binding 246 $F$6 Variabel keputusan X6 10 $F$6>=$F$17 Binding 0 $H$6 Variabel keputusan X8 11 $H$6>=$H$17 Binding 0 $I$6 Variabel keputusan X9 2459, $I$6>=$I$17 Not Binding 1814, $B$6 Variabel keputusan X $B$6<=$B$17 Not Binding 300 $I$6 Variabel keputusan X9 2459, $I$6<=$I$18 Not Binding 540,

117 94 Lampiran 21 Hasil optimalisasi Pola tanam 15 Target Cell (Max) Cell Name Original Value Final Value $K$ , ,58 Adjustable Cells Cell Name Original Value Final Value $B$6 Variabel keputusan X $C$6 Variabel keputusan X2 22,5 22,5 $D$6 Variabel keputusan X $E$6 Variabel keputusan X $F$6 Variabel keputusan X6 2 2 $G$6 Variabel keputusan X7 1 1 $H$6 Variabel keputusan X8 2 2 $I$6 Variabel keputusan X9 2419, , $J$6 Variabel keputusan X10 22,5 22,5 Constraints Cell Name Cell Value Formula Status Slack $B$8 Ketersediaan modal X1 2215,55 $B$8<=$L$14 Not Binding ,249 $C$8 Ketersediaan modal X2 1745,94 $C$8<=$L$14 Not Binding ,857 $D$8 Ketersediaan modal X4 1713,86 $D$8<=$L$14 Not Binding ,932 $E$8 Ketersediaan modal X5 2079,10 $E$8<=$L$14 Not Binding ,696 $F$8 Ketersediaan modal X6 1404,20 $F$8<=$L$14 Not Binding ,59 $G$8 Ketersediaan modal X7 1689,28 $G$8<=$L$14 Not Binding ,513 $H$8 Ketersediaan modal X8 1218,48 $H$8<=$L$14 Not Binding ,312 $I$8 Ketersediaan modal X9 959,46 $I$8<=$L$14 Not Binding ,333 $J$8 Ketersediaan modal X ,25 $J$8<=$L$14 Not Binding ,545 $K$3 Kayu 22,5 $K$3=$L$3 Not Binding 0 $L$15 Ketersedian HOK hasil 147, $L$15>=$N$15 Binding 0 $K$5 X $K$5<=$L$5 Binding 0 $K$ $K$7>=$L$7 Not Binding 600 $K$4 45 $K$4=$L$4 Not Binding 0 $B$9 Ketersedian HOK X1 0,05 $B$9<=$L$15 Not Binding 147, $C$9 Ketersedian HOK X2 0,05 $C$9<=$L$15 Not Binding 147, $D$9 Ketersedian HOK X4 0,05 $D$9<=$L$15 Not Binding 147, $E$9 Ketersedian HOK X5 0,04 $E$9<=$L$15 Not Binding 147, $F$9 Ketersedian HOK X6 0,03 $F$9<=$L$15 Not Binding 147, $G$9 Ketersedian HOK X7 0,03 $G$9<=$L$15 Not Binding 147, $H$9 Ketersedian HOK X8 0,04 $H$9<=$L$15 Not Binding 147, $I$9 Ketersedian HOK X9 0,03 $I$9<=$L$15 Not Binding 147, $J$9 Ketersedian HOK X10 0,03 $J$9<=$L$15 Not Binding 147, $L$14 Ketersediaan modal hasil ,794 $L$14<=$N$14 Not Binding ,8579 $K$ $K$7<=$M$7 Binding 0 $G$6 Variabel keputusan X7 1 $G$6>=$G$17 Binding 0 $D$6 Variabel keputusan X4 298 $D$6>=$D$17 Not Binding 288 $E$6 Variabel keputusan X5 102 $E$6>=$E$17 Not Binding 97 $B$6 Variabel keputusan X $B$6>=$B$18 Binding 0 $F$6 Variabel keputusan X6 2 $F$6>=$F$17 Binding 0 $H$6 Variabel keputusan X8 2 $H$6>=$H$17 Binding 0 $I$6 Variabel keputusan X9 2419, $I$6>=$I$17 Not Binding 2392, $B$6 Variabel keputusan X $B$6<=$B$17 Not Binding 300 $I$6 Variabel keputusan X9 2419, $I$6<=$I$18 Not Binding 580,

118 95 Lampiran 22 Hasil optimalisasi Pola tanam 16 Target Cell (Max) Cell Name Original Value Final Value $L$ , ,42 Adjustable Cells Cell Name Original Value Final Value $B$6 Variabel keputusan X $C$6 Variabel keputusan X2 22,5 22,5 $D$6 Variabel keputusan X3 5 5 $E$6 Variabel keputusan X $F$6 Variabel keputusan X $G$6 Variabel keputusan X $H$6 Variabel keputusan X $I$6 Variabel keputusan X $J$6 Variabel keputusan X9 2425, , $K$6 Variabel keputusan X10 22,5 22,5 Constraints Cell Name Cell Value Formula Status Slack $B$8 Ketersediaan modal X1 2215,55 $B$8<=$M$14 Not Binding ,801 $C$8 Ketersediaan modal X2 1745,94 $C$8<=$M$14 Not Binding ,409 $D$8 Ketersediaan modal X3 1849,43 $D$8<=$M$14 Not Binding ,916 $E$8 Ketersediaan modal X4 1713,86 $E$8<=$M$14 Not Binding ,484 $F$8 Ketersediaan modal X5 2079,10 $F$8<=$M$14 Not Binding ,248 $G$8 Ketersediaan modal X6 1404,20 $G$8<=$M$14 Not Binding ,142 $H$8 Ketersediaan modal X7 1689,28 $H$8<=$M$14 Not Binding ,065 $I$8 Ketersediaan modal X8 1218,48 $I$8<=$M$14 Not Binding ,864 $J$8 Ketersediaan modal X9 959,46 $J$8<=$M$14 Not Binding ,885 $K$8 Ketersediaan modal X ,25 $K$8<=$M$14 Not Binding ,097 $L$3 Kayu 22,5 $L$3=$M$3 Not Binding 0 $M$15 Ketersedian HOK hasil 148 $M$15>=$O$15 Binding 0 $L$5 X $L$5<=$M$5 Binding 0 $L$ $L$7>=$M$7 Not Binding 600 $L$4 45 $L$4=$M$4 Not Binding 0 $B$9 Ketersedian HOK X1 0,05 $B$9<=$M$15 Not Binding 147, $C$9 Ketersedian HOK X2 0,05 $C$9<=$M$15 Not Binding 147, $D$9 Ketersedian HOK X3 0,04 $D$9<=$M$15 Not Binding 147, $E$9 Ketersedian HOK X4 0,05 $E$9<=$M$15 Not Binding 147, $F$9 Ketersedian HOK X5 0,04 $F$9<=$M$15 Not Binding 147, $G$9 Ketersedian HOK X6 0,03 $G$9<=$M$15 Not Binding 147, $H$9 Ketersedian HOK X7 0,03 $H$9<=$M$15 Not Binding 147, $I$9 Ketersedian HOK X8 0,04 $I$9<=$M$15 Not Binding 147, $J$9 Ketersedian HOK X9 0,03 $J$9<=$M$15 Not Binding 147, $K$9 Ketersedian HOK X10 0,03 $K$9<=$M$15 Not Binding 147, $M$14 Ketersediaan modal hasil $M$14<=$O$14 Not Binding ,306 $L$ $L$7<=$N$7 Binding 0 $H$6 Variabel keputusan X7 10 $H$6>=$H$17 Binding 0 $E$6 Variabel keputusan X4 290 $E$6>=$E$17 Not Binding 140 $F$6 Variabel keputusan X5 40 $F$6>=$F$17 Not Binding 35 $B$6 Variabel keputusan X $B$6>=$B$18 Binding 0 $G$6 Variabel keputusan X6 50 $G$6>=$G$17 Binding 0 $I$6 Variabel keputusan X8 10 $I$6>=$I$17 Binding 0 $J$6 Variabel keputusan X9 2425, $J$6>=$J$17 Not Binding 1925, $B$6 Variabel keputusan X $B$6<=$B$17 Not Binding 300 $J$6 Variabel keputusan X9 2425, $J$6<=$J$18 Not Binding 574, $D$6 Variabel keputusan X3 5 $D$6>=$D$17 Binding 0

119 96 Lampiran 23 Persepsi petani terhadap peranan HKm No Variabel persepsi Hasil (%) Keterangan 1 Informasi tentang HKm 1) Mengetahui 100 2) Tidak mengetahui - 2 Definisi HKm 1) Mengetahui 82 2) Tidak mengetahui 18 3 Definisi hutan dan HKm 1) Sama 37 2) Berbeda 63 4 Manfaat ekologi hutan dan HKm 1) Sama 47 2) Berbeda 53 5 Partisipasi dalam kegiatan 1) Aktif 95 kelompok HKm 2) Tidak aktif 5 6 Tujuan mendapat izin 1) Ketenangan 88 2) Kesejahteraan 8 3) Lainnya 4 7 Yang diuntungkan dengan adanya HKm 8 Yang dirugikan dengan adanya HKm 9 Kendala dalam menjalankan program HKm 1) Petani 2) Pemerintah 3) Petani dan Pemerintah 1) Pemerintah 2) Petani yang tidak ikut HKm 3) Tidak ada 4) Lainnya 1) Ada 2) Tidak ada % tujuan ketenangan sudah tercapai (100%); 4,5% tujuan ketenangan tercapai sebesar 75% dan 7,5% tujuan ketenangan tercapai sebesar 50%. Sebesar 88% masyarakat menyatakan kesejahteraan belum tercapai dari masyarakat yang memilih tujuan kesejahteraan. Sisanya sudah merasakan kesejahteraan.

120 97 Lampiran 24 Peta areal kerja HKm Desa Ngarip Sumber: BPDAS Provinsi Lampung

TINJAUAN PUSTAKA Hutan Kemasyarakatan

TINJAUAN PUSTAKA Hutan Kemasyarakatan 7 TINJAUAN PUSTAKA Hutan Kemasyarakatan Hutan kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat (meningkatkan nilai ekonomi, nilai budaya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk menopang perekonomian nasional. Pembangunan pertanian yang baik untuk Negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1. Pengertian Dalam UU No. 41 tahun 1999, hutan rakyat merupakan jenis hutan yang dikelompokkan ke dalam hutan hak. Hutan hak merupakan hutan yang berada di

Lebih terperinci

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN Noviana Khususiyah, Subekti Rahayu, dan S. Suyanto World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data 21 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Ngarip, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung selama dua bulan yaitu dari bulan Juli sampai dengan Agustus 2011. Desa ini

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 33 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Tanam Aktual Hasil identifikasi pola tanam menunjukkan bahwa ada tiga puluh enam pola tanam di lahan HKm (Tabel 8). Pengelolaan lahan bersifat semi komersial, artinya kelompok-kelompok

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Agroforestri Sistem agroforestri memiliki karakter yang berbeda dan unik dibandingkan sistem pertanian monokultur. Adanya beberapa komponen berbeda yang saling berinteraksi dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya pemanfaatan sumber daya alam khususnya hutan, disamping intensitas teknologi yang digunakan. Kehutanan

Lebih terperinci

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri AGROFORESTRI Ellyn K. Damayanti, Ph.D.Agr. M.K. Ekoteknologi Konservasi Tumbuhan Bogor, 19 Maret 2013 PENDAHULUAN Apa itu Agroforestri? Agro/agriculture; forestry Nama bagi sistem-sistem dan teknologi

Lebih terperinci

POLA TANAM TANAMAN PANGAN DI LAHAN SAWAH DAN KERING

POLA TANAM TANAMAN PANGAN DI LAHAN SAWAH DAN KERING POLA TANAM TANAMAN PANGAN DI LAHAN SAWAH DAN KERING TEKNOLOGI BUDIDAYA Pola tanam Varietas Teknik Budidaya: penyiapan lahan; penanaman (populasi tanaman); pemupukan; pengendalian hama, penyakit dan gulma;

Lebih terperinci

PENDAHULLUAN. Latar Belakang

PENDAHULLUAN. Latar Belakang PENDAHULLUAN Latar Belakang Tanaman kakao sebagai salah satu komoditas andalan subsektor perkebunan Propinsi Sulawesi Tenggara banyak dikembangkan pada topografi berlereng. Hal ini sulit dihindari karena

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry TINJAUAN PUSTAKA Pengertian hutan kemasyarakatan Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry memiliki beberapa pengertian, yaitu : 1. Hutan kemasyarakatan menurut keputusan menteri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan menjadi suatu sistem yang menguntungkan adalah sistem agroforestri.

I. PENDAHULUAN. dan menjadi suatu sistem yang menguntungkan adalah sistem agroforestri. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sistem pemanfaatan lahan yang optimal dalam menghasilkan produk dan menjadi suatu sistem yang menguntungkan adalah sistem agroforestri. Agroforestri menurut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Marga dan Hutan Rakyat 1. Hutan Marga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

Lebih terperinci

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO

PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK INDRA GUMAY FEBRYANO PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung INDRA GUMAY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Rakyat Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik (Departeman Kehutanan dan Perkebunan, 1999).

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora dan fauna. Hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kehutanan, 2008). Hutan Indonesia sebagai salah satu sub sektor pertanian

I. PENDAHULUAN. Kehutanan, 2008). Hutan Indonesia sebagai salah satu sub sektor pertanian I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki kawasan hutan yang sangat luas (120,35 juta Ha), setara dengan 4 negara besar di Eropa (Inggris, Jerman, Perancis, dan Finlandia) (Departemen Kehutanan,

Lebih terperinci

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng Abstrak Sektor pertanian di Indonesia masih mempunyai peran yang penting, khususnya untuk mendukung program ketahanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan substansi pokok dalam kehidupan manusia sehingga

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan substansi pokok dalam kehidupan manusia sehingga 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pangan merupakan substansi pokok dalam kehidupan manusia sehingga diperlukan untuk mencukupi kebutuhan setiap penduduk. Di Indonesia, masalah ketahanan pangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam meningkatkan perekonomian Indonesia melalui. perannya dalam pembentukan Produk Domestic Bruto (PDB), penyerapan

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam meningkatkan perekonomian Indonesia melalui. perannya dalam pembentukan Produk Domestic Bruto (PDB), penyerapan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sumber pendapatan yang memiliki peranan penting dalam meningkatkan perekonomian Indonesia melalui perannya dalam pembentukan Produk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Agroforestry 2.1.1. Definisi Agroforestry Agroforestry adalah suatu nama kolektif untuk sistem-sistem penggunaan lahan teknologi, dimana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan tanah-tanah miring. berlereng adalah erosi. Untuk itu dalam usaha pemanfaatan lahan-lahan

PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan tanah-tanah miring. berlereng adalah erosi. Untuk itu dalam usaha pemanfaatan lahan-lahan PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan tanah-tanah miring berlereng adalah erosi. Untuk itu dalam usaha pemanfaatan lahan-lahan bertopografi miring diperlukan kajian yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

EKOLOGI MANUSIA : PERTANIAN DAN PANGAN MANUSIA. Nini Rahmawati

EKOLOGI MANUSIA : PERTANIAN DAN PANGAN MANUSIA. Nini Rahmawati EKOLOGI MANUSIA : PERTANIAN DAN PANGAN MANUSIA Nini Rahmawati Pangan dan Gizi Manusia Zat gizi merupakan komponen pangan yang bermanfaat bagi kesehatan (Mc Collum 1957; Intel et al 2002). Secara klasik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB VI. PERSIAPAN LAHAN Rizka Novi Sesanti KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia, yaitu dalam penyediaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga.

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan bertujuan untuk perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI

PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI PROSPEK PENGEMBANGAN UBIKAYU DALAM KAITANNYA DENGAN USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI TRANSMIGRASI DI DAERAH JAMBI Oleh: Aladin Nasution*) - Abstrak Pada dasarnya pembangunan pertanian di daerah transmigrasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan budi

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan budi TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Hutan rakyat adalah hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat, maupun

Lebih terperinci

JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER

JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN DAN MENDASARI PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMASARAN JERUK SIAM (Citrus nobilis LOUR var) MELALUI TENGKULAK (Studi Kasus Desa Wringinagung Kecamatan Gambiran Kabupaten

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. menggabungkan unsur tanaman dan pepohonan. Agroforestri adalah suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. menggabungkan unsur tanaman dan pepohonan. Agroforestri adalah suatu II. TINJAUAN PUSTAKA A. Agroforestri Hairiah, dkk (2003) mendefinisikan agroforestri merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan di bidang pertanian dan kehutanan yang mencoba menggabungkan unsur tanaman dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan merupakan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan merupakan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan merupakan bagian dari pembangunan nasional. Secara umum posisi sektor perkebunan dalam perekonomian nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. setengah dari penduduk Indonesia bekerja di sektor ini. Sebagai salah satu

I. PENDAHULUAN. setengah dari penduduk Indonesia bekerja di sektor ini. Sebagai salah satu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian di Indonesia memegang peranan strategis karena merupakan sebagai tumpuan hidup sebagian besar penduduk Indonesia, dimana hampir setengah dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan

Lebih terperinci

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati Ringkasan Penelitian ini dilakukan terhadap anggota Kelompok Tani

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep Usahatani Usahatani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang diusahakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia dihadapkan pada tantangan besar untuk memperbaiki sektor pertanian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan, peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan serta mengatasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kebutuhan hidupnya. Manfaat hutan bagi manusia diantaranya menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kebutuhan hidupnya. Manfaat hutan bagi manusia diantaranya menghasilkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dalam perkembangannya memanfaatkan hutan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Manfaat hutan bagi manusia diantaranya menghasilkan kayu bangunan, hasil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agroforestri Definisi agroforestri

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agroforestri Definisi agroforestri II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agroforestri 2.1.1 Definisi agroforestri Dalam Bahasa Indonesia, kata agroforestry dikenal dengan istilah wanatani atau agroforestri yang arti sederhananya adalah menanam pepohonan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, karakteristik lahan dan kaidah konservasi akan mengakibatkan masalah yang serius seperti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan

I. PENDAHULUAN. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjelaskan bahwa KPH merupakan wilayah pengelolaan hutan

Lebih terperinci

S i s t e m M a s y a ra k a t y a n g B e r ke l a n j u t a n

S i s t e m M a s y a ra k a t y a n g B e r ke l a n j u t a n T E N T A N G P E R M A K U L T U R S i s t e m M a s y a ra k a t y a n g B e r ke l a n j u t a n A PA ITU P ERMAKULTUR? - MODUL 1 DESA P ERMAKULTUR Desa yang dirancang dengan Permakultur mencakup...

Lebih terperinci

Laboratorium Tanaman Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

Laboratorium Tanaman Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Laboratorium Tanaman Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Inilah Gambaran Peternak Dalam Mencari Hijauan Bagaimna Penanaman Rumput Pada Peternak Ruminansia Bagaimna Penanaman Rumput

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Sistem pertanian polikultur didefinisikan sebagai sebuah metode pertanian yang memadukan lebih dari 4 jenis tanaman lokal bernilai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kebutuhan akan bahan pangan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan kebutuhan gizi masyarakat. Padi merupakan salah satu tanaman pangan utama bagi

Lebih terperinci

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan Oleh: Anny Mulyani, Fahmuddin Agus, dan Subagyo Penggunaan Lahan Pertanian Dari total luas lahan Indonesia, tidak terrnasuk Maluku dan Papua (tidak

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Kombinasi Produk Optimum Penentuan kombinasi produksi dilakukan untuk memperoleh lebih dari satu output dengan menggunakan satu input. Hal ini

Lebih terperinci

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAMBU MENTE (Anacardium Occidentale L.) (Kasus di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur ) Oleh : Apollonaris Ratu

Lebih terperinci

Oleh : Sri Wilarso Budi R

Oleh : Sri Wilarso Budi R Annex 2. The Training Modules 1 MODULE PELATIHAN RESTORASI, AGROFORESTRY DAN REHABILITASI HUTAN Oleh : Sri Wilarso Budi R ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kombinasi antara produksi pertanian, termasuk pohon, buah-buahan dan atau

TINJAUAN PUSTAKA. kombinasi antara produksi pertanian, termasuk pohon, buah-buahan dan atau TINJAUAN PUSTAKA Agroforestri Agroforestri adalah suatu sistem pengelolaan lahan yang merupakan kombinasi antara produksi pertanian, termasuk pohon, buah-buahan dan atau peternakan dengan tanaman kehutanan.

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya mata pencaharian penduduk Indonesia bergerak pada sektor

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya mata pencaharian penduduk Indonesia bergerak pada sektor 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pada umumnya mata pencaharian penduduk Indonesia bergerak pada sektor pertanian, sektor ini meliputi aktifitas pertanian, perikanan, perkebunan dan peternakan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada

I. PENDAHULUAN. terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Peningkatan jumlah penduduk akan terus menuntut pemenuhan kebutuhan dasar terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada krisis

Lebih terperinci

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN Penanggulangan Kerusakan Lahan Akibat Erosi Tanah OLEH: RESTI AMELIA SUSANTI 0810480202 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang harus dilindungi keberadaannya. Selain sebagai gudang penyimpan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat bermanfaat bagi manusia. Hutan merupakan ekosistem yang menjadi penyangga kehidupan manusia yang harus dilindungi

Lebih terperinci

Ekonomi Pertanian di Indonesia

Ekonomi Pertanian di Indonesia Ekonomi Pertanian di Indonesia 1. Ciri-Ciri Pertanian di Indonesia 2.Klasifikasi Pertanian Tujuan Instruksional Khusus : Mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri pertanian di Indonesia serta klasifikasi atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki iklim tropis sehingga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki iklim tropis sehingga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki iklim tropis sehingga Indonesia cocok untuk melestarikan dan memajukan pertanian terutama dalam penyediaan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN dengan pusat pemerintahan di Gedong Tataan. Berdasarkan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN dengan pusat pemerintahan di Gedong Tataan. Berdasarkan 66 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Pesawaran 1. Keadaan Geografis Pemerintah Daerah Kabupaten Pesawaran dibentuk berdasarkan Undangundang Nomor 33 Tahun 2007 dan diresmikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian masih merupakan prioritas pembangunan secara nasional maupun regional. Sektor pertanian memiliki peran penting untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. titik berat pada sektor pertanian. Dalam struktur perekonomian nasional sektor

I. PENDAHULUAN. titik berat pada sektor pertanian. Dalam struktur perekonomian nasional sektor 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sasaran pembangunan nasional diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian. Dalam struktur perekonomian nasional sektor pertanian memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan kemasyarakatan (HKm) sebagai sistem pengelolaan hutan yang

I. PENDAHULUAN. Hutan kemasyarakatan (HKm) sebagai sistem pengelolaan hutan yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan kemasyarakatan (HKm) sebagai sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu, komunitas atau negara yang diusahakan secara komersial untuk memenuhi kebutuhan

Lebih terperinci

Menengok kesuksesan Rehabilitasi Hutan di Hutan Organik Megamendung Bogor Melalui Pola Agroforestry

Menengok kesuksesan Rehabilitasi Hutan di Hutan Organik Megamendung Bogor Melalui Pola Agroforestry Menengok kesuksesan Rehabilitasi Hutan di Hutan Organik Megamendung Bogor Melalui Pola Agroforestry Oleh : Binti Masruroh Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan pada hakekatnya mempunyai karakteristik multi fungsi yang bersifat

I. PENDAHULUAN. Hutan pada hakekatnya mempunyai karakteristik multi fungsi yang bersifat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan pada hakekatnya mempunyai karakteristik multi fungsi yang bersifat holistik dan jangka panjang. Keberadaan hutan senantiasa berkaitan erat dengan isu-isu strategis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional.

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan regional memiliki peran utama dalam menangani secara langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. Peranan perencanaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah PENDAHULUAN Latar Belakang Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA

MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA PKMM-1-6-2 MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA Rahmat Hidayat, M Indriastuti, F Syafrina, SD Arismawati, Babo Sembodo Jurusan Pengelolaan Hutan dan Konservasi Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung,

I. PENDAHULUAN. satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi menampung, menyimpan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Agroforestri Istilah agroforestri mulai mendapat perhatian dunia internasional secara global sejak tahun 1970-an (van Maydel

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Agroforestri Istilah agroforestri mulai mendapat perhatian dunia internasional secara global sejak tahun 1970-an (van Maydel TINJAUAN PUSTAKA Sistem Agroforestri Istilah agroforestri mulai mendapat perhatian dunia internasional secara global sejak tahun 1970-an (van Maydel 19850. Ada banyak pengertian dan batasan agroforestri.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat dan Pengelolaannya Hutan rakyat adalah suatu lapangan yang berada di luar kawasan hutan negara yang bertumbuhan pohon-pohonan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan

Lebih terperinci

BAGIAN KELIMA PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN HUTAN RAKYAT GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BAB I PENDAHULUAN

BAGIAN KELIMA PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN HUTAN RAKYAT GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.03/MENHUT-V/2004 TANGGAL : 22 JULI 2004 BAGIAN KELIMA PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN HUTAN RAKYAT GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya sebagai modal dasar pembangunan nasional dengan. Menurut Dangler (1930) dalam Hardiwinoto (2005), hutan adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya sebagai modal dasar pembangunan nasional dengan. Menurut Dangler (1930) dalam Hardiwinoto (2005), hutan adalah suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang mampu dan dapat diperbaharui. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang besar peranannya dalam berbagai aspek kehidupan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam ANNY MULYANI Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (sumber : SINAR TANI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan lindung menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan lindung menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Lindung Hutan lindung menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang terpenting di negara kita, karena sebagian besar warga Indonesia bermatapencaharian sebagai petani, namun juga sebagian besar warga miskin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1. Pengertian Hutan Rakyat Hutan secara singkat dan sederhana didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang didominasi oleh pohon (Suharjito, 2000). Menurut

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gambaran Umum Lahan Kering Tantangan penyediaan pangan semakin hari semakin berat. Degradasi lahan dan lingkungan, baik oleh gangguan manusia maupun

Lebih terperinci

Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien

Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien Perpustakaan Universitas Indonesia >> UI - Tesis (Membership) Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien Deskripsi Dokumen: http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=74226&lokasi=lokal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Luas tanam, produksi, dan produktivitas tanaman padi dan jagung per Kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan, Tahun 2008.

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Luas tanam, produksi, dan produktivitas tanaman padi dan jagung per Kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan, Tahun 2008. A. Latar Belakang dan Masalah I. PENDAHULUAN Sektor pertanian di Indonesia memegang peranan strategis karena merupakan sebagai tumpuan hidup sebagian besar penduduk Indonesia, dimana hampir setengah dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan jasa menjadi kompetitif, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar nasional. kerja bagi rakyatnya secara adil dan berkesinambungan.

I. PENDAHULUAN. dan jasa menjadi kompetitif, baik untuk memenuhi kebutuhan pasar nasional. kerja bagi rakyatnya secara adil dan berkesinambungan. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada masa globalisasi, persaingan antarbangsa semakin ketat. Hanya bangsa yang mampu mengembangkan daya sainglah yang bisa maju dan bertahan. Produksi yang tinggi harus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya/Papua. Dari 168 juta hektar lahan

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya/Papua. Dari 168 juta hektar lahan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Luas daratan Indonesia seluruhnya adalah 2000 juta hektar. Sekitar 168 juta hektar atau 81% tersebar di empat pulau besar selain di pulau Jawa, yaitu Sumatera, Kalimantan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lahan. Kemampuan lahan yang dikelola akan memberikan. produksi yang berbeda-beda tingkat produktivitasnya.

BAB I PENDAHULUAN. lahan. Kemampuan lahan yang dikelola akan memberikan. produksi yang berbeda-beda tingkat produktivitasnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Faktor produksi utama dalam produksi pertanian adalah lahan. Kemampuan lahan yang dikelola akan memberikan produksi yang berbeda-beda tingkat produktivitasnya. Tanaman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sawah irigasi sebagai basis usahatani merupakan lahan yang sangat potensial serta menguntungkan untuk kegiatan usaha tani. Dalam satu tahun setidaknya sawah irigasi dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jenis salak yang terdapat di Indonesia, yakni : salak Jawa Salacca zalacca

I. PENDAHULUAN. jenis salak yang terdapat di Indonesia, yakni : salak Jawa Salacca zalacca I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salak merupakan salah satu buah tropis yang banyak diminati orang karena memiliki keunggulan baik dari segi rasa maupun penampilan buahnya. Ada 3 (tiga) jenis salak yang

Lebih terperinci

KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN OLEH : MOCHAMAD HADI LAB EKOLOGI & BIOSISTEMATIK JURUSAN BIOLOGI FMIPA UNDIP

KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN OLEH : MOCHAMAD HADI LAB EKOLOGI & BIOSISTEMATIK JURUSAN BIOLOGI FMIPA UNDIP KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN OLEH : MOCHAMAD HADI LAB EKOLOGI & BIOSISTEMATIK JURUSAN BIOLOGI FMIPA UNDIP Pengertian Konservasi Konservasi sumber daya alam adalah penghematan penggunaan

Lebih terperinci

POTENSI LAHAN PERTANIAN BAGI PENGEMBANGAN PALAWIJA DI LAMPUNG

POTENSI LAHAN PERTANIAN BAGI PENGEMBANGAN PALAWIJA DI LAMPUNG POTENSI LAHAN PERTANIAN BAGI PENGEMBANGAN PALAWIJA DI LAMPUNG Oleh: Muchjidin Rachmat*) Abstrak Tulisan ini melihat potensi lahan, pengusahaan dan kendala pengembangan palawija di propinsi Lampung. Potensi

Lebih terperinci

STRATEGI PENGUATAN KELOMPOK TANI DALAM PENGEMBANGAN USAHA NOVRI HASAN

STRATEGI PENGUATAN KELOMPOK TANI DALAM PENGEMBANGAN USAHA NOVRI HASAN STRATEGI PENGUATAN KELOMPOK TANI DALAM PENGEMBANGAN USAHA Kasus Kelompok Tani Karya Agung Desa Giriwinangun, Kecamatan Rimbo Ilir, Kabupaten Tebo Provinsi Jambi NOVRI HASAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN Pada bab V telah dibahas potensi dan kesesuaian lahan untuk seluruh komoditas pertanian berdasarkan pewilayahan komoditas secara nasional (Puslitbangtanak,

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci