@UKDW BAB I PENDAHULUAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "@UKDW BAB I PENDAHULUAN"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) sebagai tubuh Kristus adalah salah satu denominasi gereja tertua dan terbesar di Sumatera Utara yang kantor pusatnya berada di Pearaja Tarutung, Tapanuli Utara. HKBP berdiri sejak tahun dengan mayoritas jemaat adalah masyarakat suku Batak Toba, masyarakat yang menganut tatanan paham patriarkhi. 2 Sejak tahun 2002, HKBP memiliki visi,misi dan tujuan yangtercantum dalam pembukaan AP HKBP Visi, misi dan tujuan HKBP dicantumkan dalam AP HKBP 2002 tersebut adalah untuk menjawab kekeliruan atas dasar-dasar iman yang mengakibatkan HKBP menjadi eksklusif. Sesungguhnya seringkali sebuah kekeliruan terjadi bukan karena disengaja, bukan pula karena ada motivasi untuk merusak. Ada kalanya kekeliruan itu terjadi karena perbedaan penafsiran dan situasi zamannya. Situasi seperti ini bisa saja terjadi dalam konteks pelayanan gereja. HKBP sebagai tubuh Kristus, juga tidak luput dari problematika seperti ini. Pemahaman teologi yang didasarkan kepada iman dan penghayatan akan firman Tuhan, ada kalanya akan berbenturan dengan perbedaan penafsiran. Hal ini lumrah, mengingat gereja adalah persekutuan orang percaya di segala tempat, di segala zaman dan di segala waktu. Gereja adalah sebuah persekutuan lintas generasi. Pemahaman teologis di masa generasi tertentu bisa saja berbeda dengan generasi sesudahnya. Ini adalah konsekuensi realita bahwa setiap generasi adalah anak zamannya sendiri. 3 1 Tim Perumus, Almanak HKBP 2013, (Tarutung : Kantor Pusat HKBP, 2013), h Menurut Rosemary Radfort Ruether, masyarakat patriarkhi adalah masyarakat di mana bapak menjadi dasar prinsipil pengaturan sosial, baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat secara keseluruhan. Lihat Lisa Isherwood & Dorothea McEwan Ruether, setidaknya ada 6 kriteria/ciri masyarakat patriarkhi : Pertama, garis keturunan mengikuti ayah; kedua, suami memiliki kekuasaan atas istri, termasuk hal memukul dan menganiaya, bahakan menjual istri dalam perbudakan; ketiga, anak laki-laki lebih disukai daripada anak perempuan; keempat, peran perempuan umumnya terbatas pada ketrampilan rumah tangga, bukan dalam politik dan budaya, kelima, sebagai istri, tubuh, seksualitas dan kemampuan reproduksi perempuan dimiliki oleh suaminya dan keenam, hak untuk menerima warisan sebagai janda dan anak perempuan sangat dibatasi. Lih. Rosemary Radford Ruethes, The Dictionary of Feminist Theologies,(Louisville, Kentucky: Wesminster John Knox Press, 1966), h Bonar Napitupulu, Beberapa catatan tentang beberapa topik pemahaman Teologi HKBP, (Tarutung : Kantor Pusat HKBP, 2012), h. xvi 1

2 Tidak dapat dipungkiri, kesadaran untuk mencetuskan visi HKBP tersebut, adalah karena kesadaran akan kekeliruan yang terjadi dalam konteks pelayanan HKBP, serta kesadaran akan sejarah perjalanan dan pelayanan HKBP yang senantiasa dikaitkan dengan ke-batak-an sehingga terkesan eksklusif. Kata Batak pada HKBP itu telah menjadikan HKBP selama ini eksklusif, sehingga kecenderungannya hanya mengakomodasi suku Batak saja. Eksklusivisme HKBP tidak hanya berasal dari keberadaannya sebagai gereja suku Batak melainkan juga merupakan warisan teologi para misionaris yang dididik dalam gerakan-gerakan kebangunan rohani dan pietisme abad 19 yang pemahamannya eksklusif. Ulrich Beyer dalam ceramah Tema rapat Pendeta HKBP tahun 2005, mengatakan bahwa : ungkapan HKBP adalah HKBP, juga lahir dari jiwa dan semangat eksklusivisme yang menimbulkan kecenderungan menilai di luar HKBP, tidak ada kebenaran. Eksklusivisme ini juga menimbulkan ketertutupan HKBP terhadap pembaharuan. 4 Sesuai dengan perkembangan zaman perjalanan panjang HKBP dalam pelayanannya, kemudian menimbulkan kesadaran untuk merumuskan dan menata aturan dan peraturan HKBP demi membongkar pemahaman tentang gereja HKBP yang eksklusif tersebut. Oleh sebab itu, dalam aturan dan peraturan HKBP 2002 terpatrikan visi, misi dan tujuan HKBP, sebagai berikut : Bahasa Indonesia : HKBP berkembang menjadi gereja yang inklusif, dialogis dan terbuka, serta mampu dan bertenaga mengembangkan kehidupan yang bermutu di dalam kasih Tuhan Yesus, bersama-sama dengan semua orang di dalam masyarakat global, terutama masyarakat Kristen, demi kemuliaan Allah Bapa yang Maha Kuasa. 5 Bahasa Batak Toba : HKBP mangerbang gabe huria na inklusif, dialogis jala ungkap huhut marhatauon jala marhagogoon pahembangkon parngoluon na marmutu di bagasan holong ni Tuhan Jesus Kristus, rap dohot sude halak di bagasan masyarakat global, tarlumobi masyarakat kristen, asa gabe hasangapon di Debata Ama Pargogo na so hatudosan. 6 4 Ulrich Beyer, Pendeta HKBP Terpanggil Membaharui Diri dalam Rangka Memberdayakan Warga dan Massyarakat di Tengah Era Globalisasi, Notulen Rapat Pendeta HKBP Tahun 2005, (Tarutung : Kantor Pusat HKBP, 2005), h Tim Perumus, Aturan dan Peraturan HKBP 2002, (Tarutung : Kantor Pusat HKBP, 2002), h Ibid., h. 3 2

3 Untuk mengerti dan memahami lebih detail tentang visi HKBP di atas, perlu lebih dahulu memahami kata-kata kunci dalam visi tersebut dengan sebaik-baiknya. Kata-kata kunci dalam visi tersebut, ialah : 7 a. Berkembang menjadi = menyatakan bahwa pencapaian visi ini adalah suatu proses berjangka panjang dan yang penuh harapan. b. Inklusif = tidak eksklusif, dalam arti bukan hanya bagi suku Batak, tetapi juga bagi suku-suku dan bangsa-bangsa lain; bukan lagi hanya di tanah Batak atau Indonesia, tetapi di seluruh dunia; bukan lagi hanya berbahasa Batak Toba tetapi juga berbahasa lain. c. Dialogis = mampu dan ingin berkomunikasi serta bergaul dengan semua orang, golongan, suku dan bangsa dalam masyarakat global, termasuk sesama umat beragama; di samping itu juga mengutamakan dialog dalam mengatasi masalah dalam berbagai pelayanan gerejawi; dalam organisasi dan kepemimpinan serta pelayanan selalu mengutamakan kebersamaan melalui tim kerja (team work) dan bukan birokratis sentralistis dan mengutamakan manajemen berbasis jemaat, bukan manajemen berbasis pimpinan. d. Terbuka = tidak menutup diri terhadap perubahan zaman yang berpengaruh pada kebutuhan jemaat dan masyarakat, tetapi dapat menerima perubahan untuk peningkatan mutu pelayanan gerejawi sesuai dengan firman Tuhan; selalu berpegang pada prinsip transparansi ( keterbukaan) dalam pengelolaan berbagai pelayanan terutama pengelolaan keuangan. e. Kehidupan yang bermutu = kehidupan yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kehendak Allah. f. Bersama-sama = mengutamakan kebersamaan yang sehati, sepikir, baik dalam jemaat maupun dalam pergaulan dalam masyarakat Indonesia dan global; juga mengutamakan kepentingan bersama, bukan kepentingan diri sendiri; dan mengutamakan pelayanan, bukan kehormatan diri atau jabatan. g. Untuk kemuliaan Allah Bapa Yang Maha Kuasa = kehidupan HKBP, dalam arti semua pelayanannya adalah untuk kemuliaan Tuhan. Dengan adanya visi seperti yang tertera di atas, HKBP juga menetapkan misi yang harus dilaksanakan HKBP dalam rangka mencapai visi tersebut, yakni : 7 Darwin Tobing, Teologi Kehidupan Terkini, (P. Siantar : L-SAPA, 2008), h

4 Berusaha meningkatkan mutu segenap warga masyarakat, terutama warga jemaat HKBP, melalui pelayanan-pelayanan gereja yang bermutu agar mampu melaksanakan amanat Tuhan Yesus dalam segenap perilaku kehidupan pribadi, kehidupan keluarga maupun kehidupan bersama segenap masyarakat manusia di tingkat lokal dan nasional, di tingkat regional dan global dalam menghadapi tantangan abad Dalam Aturan Peraturan HKBP 2002 sangat jelas dinyatakan, bahwa HKBP dalam mewujudkan visi dan misi HKBP berpegang teguh pada prinsip : 1) melayani, bukan dilayani (Mrk. 10:45), 2) Menjadi garam dan terang (Mat. 5 :13-14), 3) Menegakkan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan (Mrk 16:15, Luk 4 : 18-19). 9 Selanjutnya, dalam Aturan Peraturan HKBP 2002, bab II pasal 2, dikatakan, bahwa HKBP adalah satu wujud nyata tubuh Kristus yang mencakup segenap orang percaya dan bersaksi di seluruh dunia. 10 Dari penjelasan di atas, terlihat jelas identitas gereja HKBP adalah terbuka, universal (Am) dan Inklusif. 11 Namun dalam kenyataannya, gereja HKBP masih dalam proses menjadi gereja yang terbuka, universal dan inklusif. Setelah 12 tahun visi HKBP lahir dan dicantumkan dalam AP HKBP, maka tembok-tembok eksklusivisme dan rohnya sudah selayaknya hancur serta runtuh dari seluruh aras pelayanan HKBP. Sejak lahirnya visi ini, HKBP sudah seharusnya menghancurkan serta meruntuhkan pemahaman, stereotipe, tradisi dan sebagainya, yang masih mendukung adanya tembok pemisah antara pendeta laki-laki dan pendeta perempuan di HKBP. Sudah selayaknya,hkbp terhindar dan jauh dari pola hidup yang memarginalkan. Visi HKBP ini, adalah merupakan suatu impian yang harus diwujudnyatakan dalam seluruh aras pelayanan HKBP. Harapan supaya gereja HKBP sungguh-sungguh mengembangkan pelayanan yang bersifat menyeluruh ( holistic ministry ) dengan melibatkan warganya yang plural itu. Gereja HKBP sungguh-sungguh siap menyambut pelayanan pendeta perempuan di dalam struktur dan dalam segala aras pelayanan di HKBP. Akan tetapi nampaknya, pendeta perempuan di HKBP masih hidup dalam suasana dilematis. Hal ini terbukti dari minimnya pendeta perempuan yang ditempatkan pada 8 Tim Perumus, Aturan dan Peraturan HKBP tahun 2002, h Darwin Tobing, Teologi Kehidupan Terkini, h Tim Perumus, Aturan dan Peraturan HKBP 2002, h Robinson Rajagukguk, Pendeta HKBP Menjadi Pelayan Yang Menghayati Pelayanan Koinonia, Marturia, Diakonia Yang Inklusif, Dialogis dan Terbuka dalam Notulen Rapat Pendeta HKBP tahun 2005, (Tarutung : kantor Pusat HKBP, 2005), h

5 posisi pengambil keputusan, bahkan dalam unsur pimpinan pusat HKBP belum ada pendeta perempuan dan pimpinan dalam pelayanan yang non struktural di HKBP. Selain itu, suasana dilematis terhadap keberadaan dan kepemimpinan pendeta perempuan di HKBP adalah dengan masih adanya pemahaman dan sikap penolakan warga jemaat terhadap pendeta perempuan. Pemahaman bahwa pelayan laki-laki sebagai pelayan ideal dalam gereja telah tertanam dalam pikiran jemaat sejak lama dan diwariskan secara turun temurun. Pendeta perempuan itu, kurang berwibawa. Jika pendeta perempuan hamil dan melahirkan, bagaimana dengan pelayanannya di jemaat. Bagaimana dia melayani jika medan pelayanannya, dengan jarak yang jauh dan tidak didukung oleh infrastruktur yang baik, jalannya sulit dan sunyi, atau bagaimana dia melayani pada malam hari. Wah... pelayan perempuan itu repot. 12 Resistensi terhadap pelayan perempuan terkadang justru datang dari kaum ibu dalam jemaat itu sendiri. Paham patriarkhi yang telah tertanam dalam alam pikiran jemaat dan diwariskan secara turun temurun, sangat berpengaruh dalam hidup pelayan gereja, sehingga jemaat lebih senang jika pelayan mereka adalah laki-laki. Hal ini sangat bersesuaian dengan cara pikir dari teolog Thomas Aquinas, yang menganggap, bahwa hanya seorang laki-laki yang dapat mencerminkan gambar dan citra Allah. 13 Ini adalah ironi dalam perjalanan dan perjuangan yang panjang untuk meruntuhkan dominasi paham patriarkhi, untuk mengupayakan kesetaraan gender dalam pelayanan pendeta perempuan dalam gereja HKBP. Dari realita di atas dan ditambah dengan pengalaman pribadi penulis sebagai Pendeta perempuan di HKBP, ada sebuah kegelisahan bahwa sesuai dengan visi HKBP yang mengatakan bahwa, HKBP berkembang menjadi gereja yang inklusif, dialogis dan terbuka. Seharusnya pendeta perempuan tidak perlu lagi mengalami berbagai hambatan dalam mengembangkan pelayanannya dalam struktur HKBP dan dalam aras pelayanannya sebagai pendeta HKBP, apabila seluruh pelayan dan jemaat di HKBP dapat menerima dan menerapkan visi dan misi HKBP 2002 secara murni dan konsekwen. Memang harus diakui bahwa implementasi visi HKBP terhadap keberadaan dan kepemimpinan pelayan pendeta perempuan di HKBP, sebenarnya belum begitu terasa. 12 Pengalaman seorang Pendeta perempuan yang ditolak melayani sebagai Pendeta Ressort di salah satu gereja HKBP di daerah pedesaan. 13 Anne Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita Dalam Gereja dan Masyarakat, (Yogyakarta : Kanisius, 1992 & Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1992), h. 81 5

6 Hal ini disebabkan HKBP masih pertama sekali memiliki visi tersebut. Visi ini belum cukup dikenal dan dipahami oleh warga jemaat dan bahkan para pelayan di HKBP, sehingga visi ini, belum betul-betul meresap dalam segala aras pelayanan di HKBP. Di samping itu juga, sosialisasi visi HKBP ini terhadap pelayan dan warga jemaat di HKBP, kurang begitu intens dilakukan, sehingga di dalam seluruh aras pelayanan HKBP, visi ini belum begitu dirasakan implementasinya. Dapat dikatakan bahwa pengenalan atas visi HKBP ini masih terbatas pada kalangan birokrat gereja. Pada hal, visi ini adalah visi yang harus disosialisasikan hingga aras warga jemaat serta dalam seluruh aras pelayanan di HKBP, karena visi ini sangat bermanfaat untuk membantu HKBP dalam memperbaharui diri, keluar dari sikap yang eksklusif menjadi inklusif. Melihat permasalahan yang ada di atas, maka penulis mencoba memberi sumbangan dari pemahaman Paulus terhadap gereja sebagai tubuh Kristus dalam 1 Korintus 12:12-31 dan Galatia 3:28, dalam upaya memahami makna visi inklusivitas HKBP. Dengan pemahaman yang benar tentang gereja sebagai tubuh Kristus akan mempermudah implementasi visi tersebut pada seluruh aras pelayanan di HKBP secara khusus terhadap pelayan pendeta perempuan di HKBP. Walaupun tidak secara implisit dinyatakan bahwa visi inklusif HKBP merupakan implementasi dari surat Paulus ke jemaat Korintus, seperti tertulis dalam 1 Korintus 12:12-31 dan Galatia 3:28, namun dalam perjalanannya, pemahaman teologis rasul Paulus ini banyak mempengaruhinya. Pemahaman Paulus mengenai gereja sebagai tubuh kristus (1 Korintus 12:12-31), adalah barangkali gambaran yang paling kuat mengenai persekutuan orang percaya dalam satu tubuh. Gambaran tubuh yang terdiri dari berbagai organ tubuh yang berbeda-beda, menentang perasaan rendah diri di satu pihak (1 kor 12 : 21-25) dan di pihak lain menentang perasaan congkak. Masing-masing anggota tubuh mempunyai fungsi dan tidak ada yang hanya menjadi penonton. Setiap anggota menjadi partisipan aktif dalam hidup, pelayanan, persekutuan dan pembangunan gereja. Perbedaan yang ada adalah melulu dalam pengertian fungsional, bukan dalam arti kualitatif yang satu lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Mereka saling bertautan satu sama lain. Kekuatan dan kecenderungan dari gambaran satu tubuh ini bukan saja adalah pengakuan singleness tetapi juga pluralism.1 Korintus 12:12-31 ini didukung dengan tulisan 6

7 Paulus dalam Galatia 3:28, yang mengatakan tidak ada perbedaan laki-laki dan perempuan. 14 Selanjutnya Robinson mengatakan bahwa komunitas Kristen sekarang dihadapkan dengan kesadaran akan keberadaan dan tuntutan yang sangat beragam di antara anggotanya: menuntut lebih banyak keterbukaan dalam kaitannya dengan gender, perbedaan seksual atau pengertian feminisme dalam arti equality dan bukan lagi subordinasi, termasuk dalam pembagian kekuasaan. 15 Berdasarkan hal tersebut, maka menurut penulis, pemahaman Paulus tentang gereja sebagai tubuh Kristus dapat bermakna dan bahkan dalam wujudnyata visi HKBP,sehingga pendeta HKBP memperoleh kesadaran bahwa perbedaan yang ada adalah melulu dalam pengertian fungsional, bukan dalam arti kualitatif yang satu lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Oleh karena itu penulis, memilih 1 Korintus 12:12-32 dan Galatia 3:28, untuk dikaji secara kritis, sehingga jelas terlihat fungsi teks dalam memahami visi HKBP. Berdasarkan uraian deskripsi di atas, penulis termotivasi untuk melakukan penelitian dengan judul: VISI HKBP DIPERHADAPKAN DENGAN KEBERADAAN PENDETA PEREMPUAN DI HKBP. (Suatu Studi Exegetis Kritis Pandangan Paulus dalam Surat 1 Korintus & Galatia 3 : 28, Diperhadapkan Dengan Keberadaan Pelayanan dan Kepemimpinan Pendeta Perempuan di HKBP) II. Rumusan Masalah Berdasarkan pengalaman penulis sebagai pendeta HKBP, bahwa implementasi visi HKBP khususnya mengenai pendeta perempuan belum berjalan dengan baik, karena itu penulis sangat terdorong untuk menggumuli masalah ini, berdasarkan studi exegetis kritis 1 Korintus 12:12-31 dan Galatia 3:28 dengan memakai hermeneutika feminis. Bertolak dari latar belakang masalah di atas, maka masalah pokok yang dapat dirumuskan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: Apakah HKBP telah mengimplementasikan visi HKBP khususnya mengenai kesetaraan gender terhadap pendeta perempuan di HKBP? 14 Robinson Rajagukguk, Pendeta HKBP Menjadi Pelayan Yang Menghayati Pelayanan Koinonia, Marturia, Diakonia Yang Inklusif, Dialogis dan Terbuka dalam Notulen Rapat Pendeta HKBP tahun 2005, h Ibid, h.247 7

8 III. Pertanyaan Penelitian Untuk meneliti lebih dalam maka penulis merumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana implementasi visi HKBP terhadap pelayan pendeta perempuan di HKBP? 2. Bagaimana pandangan budaya Batak tentang pelayanan dan kepemimpinan perempuan? 3. Bagaimana studi kritis 1 Korintus 12 : dan Galatia 3:28 berdasarkan hermeneutik feminisyang menjadi landasan teologis mengimplementasikan visi HKBP tersebut. IV. Tujuan Penelitian Bertolak dari pertanyaan-pertanyaan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : - Agar HKBP mengetahui sejauh mana sosialisasi dan pengimplementasian visi HKBP tersebut. - Mengetahui dampak implementasi visi HKBP khususnya dalam kesetaraan gender di HKBP. V. Kegunaaan Penelitian dalam Hasil penelitian ini, diharapkan bermanfaat untuk : - Memberikan masukan dan pemikiran kepada HKBP dalam rangka mengimplementasikan visi HKBP, terhadap pendeta perempuan. - Memberikan semangat dan dorongan bagi pendeta perempuan HKBP, untuk mengembangkan diri demi mencapai posisi strategis di HKBP. - Memberikan sumbangan/kontribusi pemikiran dari hasil studi exegetis kritis berdasarkan hermeneutik feminis dari nas 1 Korintus 12:12-31 dan Galatia 3:28, dalam rangka mengimplementasikan visi HKBP tersebut. VI. Batasan Masalah Meskipun ketidakadilan dan diskriminasi akibat struktur HKBP, bisa terjadibaik pendeta laki-laki maupun pendeta perempuan di HKBP. Namun, tulisan ini difokuskan pada penelitian tentang ketidakadilan dan diskriminasi yang terjadi terhadap keberadaan dan kepemimpinan pendeta perempuan, oleh karena yang menduduki jabatan dalam 8

9 struktur HKBP didominasi oleh pendeta laki-laki. Dalam masyarakat Batak Toba, pembeda-bedaan antara laki-laki dan perempuan masih sangat kuat,hal ini juga mempengaruhi kehidupan dan pelayanan di gereja HKBP. Oleh karena itu, sumbangan teologis dari nas 1 Korintus 12:12-31 dan Galatia 3:28, sangat diharapkan untuk menyadarkan semua pihak, baik semua pendeta maupun warga jemaat HKBP tentang karunia-karunia yang berbeda-beda, yang dimiliki setiap anggota jemaat dapat dipergunakan dalam pembangunan gereja sebagai tubuh Kristus. Esensi studi ini ialah, untuk memberikan sumbangan pemikiran teologis dari nas 1 Korintus 12:12-31 dan Galatia 3:28, untuk mendapatkan pemahaman bahwa setiap warga jemaat dapat mempergunakan karunia-karunia masing-masing untuk membangun tubuh Kristus. Setiap warga jemaat dapat mengekspresikan diri dalam pelayanan dan kepemimpinan di gereja sebagai tubuh Kristus, tanpa membeda-bedakan laki-laki maupun perempuan, karena semua mereka adalah anggota tubuh Kristus. Karena itu, dalam penelitian atau pengkajian teks digunakan metode penafsiran historis kritis dengan memakai hermeneutika feminis. VII. Metodologi Penulisan Di satu pihak, tulisan ini merupakan suatu studi exegetis kritis yang didasarkan pada hermeneutik feminis namun di pihak lain, berusaha mendeskripsikan dan mengkaji implementasi visi HKBP terhadap pelayan pendeta perempuan di HKBP. Maka metode penelitian yang dipakai adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan observasi partisipatoris. Terkait dengan bagian exegetis surat Paulus, maka metode penulisan yang digunakan adalah penafsiran Alkitab dengan metode penafsiran historis kritis berdasarkan hermeneutik feminis. Metode penafsiran historis kritis merupakan satu cara sistematis untuk menafsirkan sebuah teks, guna memperoleh pemahaman yang tepat dan memadai mengenai teks tersebut. 16 Namun dalam metode penafsiran historis kritis tersebut, penulis mempertimbangkan sudut pandang perempuan. Meskipun pengalaman dan pemahaman perempuan dipertimbangkan dalam penggalian teks tersebut, namun hal itu tidak akan mengurangi kekritisan dalam menganalisis dan memahami teks. Sebaliknya pengalaman dan pemahaman perempuan tersebut merupakan alat bantu untuk menganalisis dan memahami teks. Penafsiran historis kritis secara metodologis menggunakan metode penelitian sejarah, yaitu dengan melakukan rekonstruksi sejarah 1988), h John H. Hayes dan Carl R. Holladay, Pedoman Penafsiran Alkitab, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 9

10 untuk memperkenalkan dan menggambarkan makna yang dimiliki teks sebagaimana adanya di dalam konteks sejarah kekristenan mula-mula, sehingga dapat dipahami sebagai penyataan masa kini. 17 Secara khusus sejarah Alkitab memiliki dua aspek yang harus diteliti, yaitu : 1) Alkitab memiliki sebuah sejarah yang disusun di dalam kerangka sejarah Israel dan sejarah kekristenan mula-mula. 2) Alkitab juga menceritakan sebuah sejarah yang usianya lebih awal daripada Alkitab itu sendiri. Di samping itu penulisan sejarah Alkitab juga memperlihatkan kompleksitas Alkitab. Penulisan ini menjelaskan kepelbagaian pemikiran dan tindakan yang muncul dalam kehidupan Israel dan gereja, baik dari prespektif politik, sosial, maupun agama. Oleh karena itu, penelitian terhadap Alkitab bukan hanya mencari apa yang unik dalam Alkitab, tetapi juga menjelaskan rekonstruksi peristiwa sebagai cara untuk memahami berbagai pemikiran dan tindakan yang muncul dan berkembang di dalam sejarah Israel dan gereja di berbagai waktu dan tempat. 18 Dalam metode penelitian historis kritis perlu dilakukan penelitian dan evaluasi terhadap sumber-sumber sejarah. Dalam proses ini ada dua hal yang perlu dilakukan : 1) External Criticism, perlu dilakukan pengujian terhadap keabsahan saksi mata untuk mempertimbangkan kredibilitas seseorang dan apakah peristiwa yang disampaikan tidak cacat. 2) Internal criticism, tugas kritis dimulai dari teks sebagai suatu kesaksian tentang pengalaman dan tindakan manusia di masa lalu. Langkah selanjutnya adalah evaluasi terhadap posisi penulis, secara khusus mengenai konsistensi internalnya, bias yang ada padanya dan kemampuan serta keakuratannya dalam melaporkan apa yang dia ketahui. 19 Melakukan studi exegetis kritis terhadap 1 Korintus 12 : dan Galatia 3:28 dengan memakai hermeneutik feminis dalam tulisan ini, berarti mencoba menggali makna kesatuan tubuh Kristus dengan menggunakan langkah-langkah yang sistematis berdasarkan prinsip-prinsip/ nilai-nilai feminis. Penulis memakai hermeneutik feminis ini dengan pemahaman bahwa usaha penafsiran ini tidak hanya dilakukan oleh dan untuk kepentingan perempuan, tetapi juga oleh dan untuk kepentingan semua orang, laki-laki dan perempuan, dalam memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan dan mutualitas. Menurut Margaret A. Farley prinsip dasar bagi hermeneutik feminis yaitu perempuan adalah manusia sepenuhnya dan 17 Edgar Krentz, The Historical Critical Method ( Philadelphia: Fortress Press, 1975), h Ibid. 19 Ibid., h

11 harus diperlakukan demikian. 20 Selanjutnya Farley mengatakan bahwa prinsip dasar ini harus dikaitkan secara erat dengan prinsip kesederajatan (equality) yaitu perempuan dan laki-laki sama-sama manusia sepenuhnya dan harus diperlakukan demikian, dan mutualitas didasarkan atas pandangan bahwa manusia adalah subjek yang mewujudkan diri, mandiri dan saling berhubungan. 21 Selanjutnya penulis tertarik memakai hermeneutik feminis didasarkan pada pernyataan Marie Claire Barth Frommel, bahwa Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) bersifat androsentris. Naskahnya ditulis, ditafsirkan dan diturunalihkan oleh laki-laki sebagai imam, pengajar dan pemberita. Alkitab dibentuk oleh kaum lakilaki dalam budaya patrirakhi, sehingga banyak pengalaman dan pernyataan di dalam Alkitab ditafsirkan oleh kaum laki-laki dari sudut pandang patriarkhat dan mengabaikan sudut pandang perempuan. 22 Apa yang dikatakan oleh Barth Frommel sejajar dengan pendapat Paul K. Jewett yang mengatakan bahwa ada banyak bagian Alkitab yang bersifat androsentris dan hal itu sangat erat kaitannya dengan latar belakang Yudaisme yang begitu kuat mempengaruhi proses pembentukan Alkitab. Dalam Yudaisme hubungan antara laki-laki dan perempuan dipahami dalam konsep : laki-laki sebagai figur yang superior dan perempuan sebagai figur yang inferior, laki-laki sebagai pembuat keputusan dan perempuan harus taat pada keputusan laki-laki. 23 Sebuah hermeneutika feminis yang kritis harus beralih dari teks-teks androsentrik kepada konteks-konteks sosial historis mereka. sebuah rekonstruksi kritis tentang penindasan historis kaum perempuan di dalam agama dan komunitas biblika yang patriarkhi, serta analisis tentang pembenaran teologis, konseptualnya, harus didasarkan pada sebuah visi alternatif Alkitabiah feminis tentang interaksi historis-budayakeagamaan antara kaum perempuan dan laki-laki di dalam komunitas Kristen. 24 Bahasa teks dan penafsiran Alkitab yang androsentris, mengakibatkan kaum perempuan 20 E. Sumargono, Hermeneutik : Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1993), h Ibid., h Marie Claire Barth Frommel, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu : Pengantar Teologi Feminis, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003), h Paul K. Jewett, MAN : As Male and Female, (Grand Rapids : WB. Eerdmans Publishing Company, 1975), h Fiorenza, Elizabeth S., Untuk Mengenang Perempuan itu : Rekonstruksi Teologis Feminis tentang Asal-Usul Kekristenan, Terj. Stephen Suleeman, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1997), h

12 termarginalkan secara historis-teologis. 25 Perempuan tidak dianggap sebagai mahkluk otonom. Laki-laki adalah subjek, yang mutlak, sedangkan perempuan adalah yang lain. Struktur-struktur masyarakat, budaya dan juga ilmu pengetahuan, mendefenisikan perempuan sebagai mahkluk yang muncul dari laki-laki dan menduduki tempat nomordua dan inferior. Dalam konsep yang demikian maka prinsip hermeneutik feminis merupakan suatu alternatif. Hermeneutik ini memberi ruang yang cukup bagi perempuan dan memberi jawab terhadap berbagai penafsiran androsentris atas teks-teks Alkitab yang mengandung bias patriarkhi. Melalui hermeneutik feminis kita dapat melihat kesaksian Alkitab yang autentik, yang bermakna dalam pergumulan hidup umat Kristen dan memberi makna keselamatan kepada semua ciptaan. Terkait dengan itu, maka dalam penelitian ini ada beberapa proses yang akan dilakukan untuk mencapai suatu penelitian ilmiah yang cukup memadai antara lain : - Melakukan studi kritis memakai hermeneutik feminis terhadap 1 Korintus 12:12-31 dan Galatia 3:28 dengan metode penafsiran historis kritis. - Melakukan studi kepustakaan atau literatur dan studi lapangan dengan menggunakan metodologi penelitian kualitatif. Studi lapangan yang dimaksud antara lain : wawancara, observasi, serta survei yang berkaitan dengan aspekaspek judul tesis ini. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari, mendalami dan memanfaatkan teori-teori atau konsep-konsep dari sejumlah literatur baik buku-buku, dokumen-dokumen tertulis di HKBP, jurnal, majalah atau karya tulis lainnya yang relevan dengan judul tesis ini. VIII. Sistematika Penulisan Tulisan ini akan disajikan dengan sistematika penulisan sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Bab I sebagai bab pendahuluan merupakan titik tolak dan landasan bagi pembahasan bab-bab berikutnya. Bab ini menyajikan Pendahuluan (Latar belakang Masalah, Perumusan Masalah, Pertanyaan Penelitian, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Batasan Masalah, Metodologi Penulisan dan Sistematika Penulisan). 25 Fiorenza, Elizabeth S., Untuk Mengenang Perempuan itu : Rekonstruksi Teologis Feminis tentang Asal-Usul Kekristenan, h

13 BAB II Analisa kritis terhadap visi HKBP: Menjadi Gereja Yang Inklusif, Dialogis dan Terbuka diperhadapkan dengan keberadaan Pendeta HKBP Bab ini mengenai latar belakang visi HKBP serta analisa kritis terhadap implementasi visi HKBP yang diperhadapkan dengan keberadaan pendeta perempuan di HKBP. Termasuk di dalamnya hasil studi lapangan berdasarkan wawancara, serta observasi atas keberadaan pendeta perempuan pada daerah pedesaan dan perkotaan, dan dokumen-dokumen HKBP. Kemudian data-data hasil penelitian tersebut akan dianalisa. BAB III Studi Historis Kritis Terhadap 1 Korintus 12:12-31 dan Galatia 3:28 dengan memakai hermeneutik feminis Dalam bab ini akan diuraikan studi historis Kritis terhadap 1 Korintus 12:12-31 dan Galatia 3 :28 yang berisi, konteks kehidupan baik secara umum maupun secara khusus dan tafsiran dengan memakai hermeneutuk feminis. BAB IV Sumbangan dari studi exegetis kritis berdasarkan hermeneutik feminis dari 1 Korintus 12:12-31 dan Galatia 3:28 terhadap Visi HKBP Bab ini berisi sumbangan/kontribusi pemikiran hasil studi exegetis kritis berdasarkan hermeneutik feminis 1 Korintus 12:12-31 dan Galatia 3:28 dalam rangka mengimplementasikan visi HKBP tahun BAB V Kesimpulan dan Saran Bab ini adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran bagi HKBP dalam melaksanakan dan melanjutkan pelayanan HKBP di segala aras dengan tetap teguh dalam prinsip kesetaraan gender dalam membangun tubuh Kristus sesuai dengan visi HKBP. 13

BAB 4 RELEVANSI PEMURIDAN YANG SEDERAJAT BAGI KEHIDUPAN BERGEREJA DI INDONESIA

BAB 4 RELEVANSI PEMURIDAN YANG SEDERAJAT BAGI KEHIDUPAN BERGEREJA DI INDONESIA BAB 4 RELEVANSI PEMURIDAN YANG SEDERAJAT BAGI KEHIDUPAN BERGEREJA DI INDONESIA PENDAHULUAN Telah dibahas pada bab sebelumnya bahwa setiap orang baik laki-laki dan perempuan dipanggil untuk bergabung dalam

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

BAB V PENUTUP. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: BAB V PENUTUP Pada bagian ini penulisan akan dibagi menjadi dua bagian yaitu kesimpulan dan saran. 5.1.KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Gereja adalah persekutuan orang percaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin modern dan maju secara tidak langsung menuntut setiap orang untuk mampu bersaing dalam mewujudkan tujuan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara akan persoalan Perjamuan Kudus maka ada banyak sekali pemahaman antar jemaat, bahkan antar pendeta pun kadang memiliki dasar pemahaman berbeda walau serupa.

Lebih terperinci

BAB V REFLEKSI TEOLOGIS

BAB V REFLEKSI TEOLOGIS BAB V REFLEKSI TEOLOGIS Menurut Kejadian 1:27, 1 pada dasarnya laki-laki dan perempuan diciptakan dengan keunikan masing-masing. Baik laki-laki dan perempuan tidak hanya diberikan kewajiban saja, namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap organisasi mempunyai tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap organisasi mempunyai tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap organisasi mempunyai tujuan yang ingin dicapai sesuai dengan visi dan misinya. Karena itu organisasi mempunyai sistem dan mekanisme yang diterapkan sebagai upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Kebebasan merupakan hal yang menarik bagi hampir semua orang. Di Indonesia, kebebasan merupakan bagian dari hak setiap individu, oleh karena itu setiap

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP 5.1. KESIMPULAN. Teologi feminis dibangun berdasarkan keprihatinan terhadap kaum perempuan.

BAB 5 PENUTUP 5.1. KESIMPULAN. Teologi feminis dibangun berdasarkan keprihatinan terhadap kaum perempuan. BAB 5 PENUTUP 5.1. KESIMPULAN Teologi feminis dibangun berdasarkan keprihatinan terhadap kaum perempuan. Beberapa ahli yang bekecimpung di dalam gerakan teologi feminis mendefenisikan teologi feminis yang

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH Perempuan di berbagai belahan bumi umumnya dipandang sebagai manusia yang paling lemah, baik itu oleh laki-laki maupun dirinya sendiri. Pada dasarnya hal-hal

Lebih terperinci

BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS. dalam keluarga dengan orang tua beda agama dapat dipahami lebih baik.

BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS. dalam keluarga dengan orang tua beda agama dapat dipahami lebih baik. BAB IV REFLEKSI TEOLOGIS Dalam bab IV ini akan dipaparkan suatu refleksi teologis tentang PAK dalam keluarga dengan orang tua beda agama. Refleksi teologis ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu PAK keluarga

Lebih terperinci

Tinjauan Buku. Phyllis Trible, God and the Rhetoric of Sexuality edisi ketiga (Philadelphia: Fortress Press, 1983), 206 halaman.

Tinjauan Buku. Phyllis Trible, God and the Rhetoric of Sexuality edisi ketiga (Philadelphia: Fortress Press, 1983), 206 halaman. Tinjauan Buku Phyllis Trible, God and the Rhetoric of Sexuality edisi ketiga (Philadelphia: Fortress Press, 1983), 206 halaman. Buku yang berjudul God and the Rethoric of Sexuality ini ditulis oleh Phyllis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus. Roh Kudus adalah pribadi Tuhan dalam konsep Tritunggal.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus. Roh Kudus adalah pribadi Tuhan dalam konsep Tritunggal. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Tuhan Allah menyatakan diri sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus. Roh Kudus adalah pribadi Tuhan dalam konsep Tritunggal.

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENULISAN. Berkatalah Petrus kepada Yesus: Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau!.

UKDW BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENULISAN. Berkatalah Petrus kepada Yesus: Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau!. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENULISAN Berkatalah Petrus kepada Yesus: Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau!. 1 Ucapan Petrus dalam suatu dialog dengan Yesus ini mungkin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Lihat sila pertama dalam Dasar Negara Indonesia: Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. 1 Lihat sila pertama dalam Dasar Negara Indonesia: Pancasila BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Seringkali kita mendengar dan membaca bahwa negara kita yaitu negara Indonesia adalah negara yang beragama. Dikatakan demikian, karena pada umumnya setiap warga negara

Lebih terperinci

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Tidak dapat dipungkiri bahwa ada begitu banyak tuntutan, tanggungjawab dan kewajiban yang tidak bisa diabaikan oleh seorang pendeta jemaat. Dengan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Gereja adalah sebuah persekutuan orang-orang percaya, sebagai umat yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Gereja adalah sebuah persekutuan orang-orang percaya, sebagai umat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gereja adalah sebuah persekutuan orang-orang percaya, sebagai umat yang terpanggil dan dihimpun oleh Allah Bapa, keluar dari kegelapan menuju kepada Yesus Kristus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perempuan sudah lama berlangsung dalam sejarah kehidupan manusia. Perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. perempuan sudah lama berlangsung dalam sejarah kehidupan manusia. Perkembangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejarah mencatat bahwa hampir semua bangsa di dunia ini mempunyai riwayat yang sama dalam satu hal yakni bertatanan patriarkhal. Marjinalisasi terhadap kaum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. PERMASALAHAN A.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. PERMASALAHAN A.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN A.1. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan hakekat keberadaan Gereja sebagai yang diutus oleh Kristus ke dalam dunia, maka gereja mempunyai hakekat yang unik sebagai berikut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Permasalahan Di dalam dogma Kristen dinyatakan bahwa hanya karena anugerah Allah di dalam Yesus Kristus, manusia dapat dibenarkan ataupun dibebaskan dari kuasa dan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN 1. Latar Belakang Masalah a) Gambaran GKP Dan Konteksnya Secara Umum Gereja Kristen Pasundan atau disingkat GKP melaksanakan panggilan dan pelayanannya di wilayah Jawa

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah Bab I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Gereja Kristen Protestan Indonesia atau yang sering disingkat dengan nama GKPI adalah salah satu dari sekian banyak gereja yang ada di dunia ini. Sebagai bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab I ini, penulis menjelaskan latar belakang terjadinya penulisan Disiplin

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab I ini, penulis menjelaskan latar belakang terjadinya penulisan Disiplin BAB I PENDAHULUAN Dalam bab I ini, penulis menjelaskan latar belakang terjadinya penulisan Disiplin Gereja dengan Suatu Kajian Pastoral terhadap dampak Psikologis bagi orang-orang yang dikenakan Disiplin

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan Latar Belakang Permasalahan Pertumbuhan iman

Bab I Pendahuluan Latar Belakang Permasalahan Pertumbuhan iman Bab I Pendahuluan Latar Belakang Permasalahan Pertumbuhan iman merupakan sebuah konsep yang telah lama ada dan berkembang diantara orang-orang percaya. Umumnya mereka selalu menghubungkan konsep pertumbuhan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN Latar Belakang Masalah

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN 1.1.1 Latar Belakang Masalah Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) adalah Gereja mandiri bagian dari Gereja Protestan Indonesia (GPI) sekaligus anggota Persekutuan Gereja-Gereja

Lebih terperinci

Pendeta Perempuan dalam Kepemimpinan. di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Tesis. Diajukan kepada

Pendeta Perempuan dalam Kepemimpinan. di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Tesis. Diajukan kepada Pendeta Perempuan dalam Kepemimpinan di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Tesis Diajukan kepada Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama untuk Memperoleh Gelar Magister Sosiologi Agama oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. A.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. A.1. Latar Belakang Masalah 9 BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan A.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal penting dalam kehidupan manusia untuk memperoleh bekal pengetahuan dalam menjalani hidup ini. Salah satu pendidikan

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebudayaan dalam arti luas adalah perilaku yang tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan

Lebih terperinci

UKDW. BAB I Pendahuluan

UKDW. BAB I Pendahuluan BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Permasalahan Hidup yang penuh berkelimpahan merupakan kerinduan, cita-cita, sekaligus pula harapan bagi banyak orang. Berkelimpahan seringkali diartikan atau setidaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran lingkungan hidup yang disebabkan oleh ulah dan perilaku manusia.

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran lingkungan hidup yang disebabkan oleh ulah dan perilaku manusia. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah A. Sonny Keraf mengemukakan bahwa ada dua kategori dari bencana yaitu bencana alam dan bencana lingkungan hidup. Sebagian dikategorikan sebagai bencana alam

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Permasalahan Perkawinan adalah bersatunya dua orang manusia yang bersama-sama sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Setiap manusia memiliki hak yang sama untuk

Lebih terperinci

Pertanyaan Alkitabiah Pertanyaan Bagaimanakah Orang Yang Percaya Akan Kristus Bisa Bersatu?

Pertanyaan Alkitabiah Pertanyaan Bagaimanakah Orang Yang Percaya Akan Kristus Bisa Bersatu? Pertanyaan Alkitabiah Pertanyaan 21-23 Bagaimanakah Orang Yang Percaya Akan Kristus Bisa Bersatu? Orang-orang yang percaya kepada Kristus terpecah-belah menjadi ratusan gereja. Merek agama Kristen sama

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Keluarga adalah institusi pertama yang dibangun, ditetapkan dan diberkati Allah. Di dalam institusi keluarga itulah ada suatu persekutuan yang hidup yang

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gereja hidup di tengah masyarakat. Gereja kita kenal sebagai persekutuan orangorang percaya kepada anugerah keselamatan dari Allah melalui Yesus Kristus. Yesus Kristus

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN. Kecamatan Kedaton terdiri dari 7 kelurahan, yaitu:

IV. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN. Kecamatan Kedaton terdiri dari 7 kelurahan, yaitu: IV. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN Kecamatan Kedaton terdiri dari 7 kelurahan, yaitu: (1) Kelurahan Kedaton, (2) Kelurahan Surabaya, (3) Kelurahan Sukamenanti, (4) Kelurahan Sidodadi, (5) Kelurahan Sukamenanti

Lebih terperinci

XII. Diunduh dari. Bab. Keluarga Kristen Menjadi Berkat Bagi Lingkungan

XII.  Diunduh dari. Bab. Keluarga Kristen Menjadi Berkat Bagi Lingkungan Bab XII A. Pengantar Bernyani Kucinta Keluarga Tuhan Kucinta k luarga Tuhan, terjalin mesra sekali semua saling mengasihi betapa s nang kumenjadi k luarganya Tuhan Keluarga Kristen Menjadi Berkat Bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. GPIB, 1995 p. 154 dst 4 Tata Gereja GPIB merupakan peraturan gereja, susunan (struktur) gereja atau sistem gereja yang ditetapkan

BAB I PENDAHULUAN. GPIB, 1995 p. 154 dst 4 Tata Gereja GPIB merupakan peraturan gereja, susunan (struktur) gereja atau sistem gereja yang ditetapkan 10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Secara umum gereja berada di tengah dunia yang sedang berkembang dan penuh dengan perubahan secara cepat setiap waktunya yang diakibatkan oleh kemajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gereja Oikumenikal dan Evangelikal.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gereja Oikumenikal dan Evangelikal. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.1.1. Gereja Oikumenikal dan Evangelikal. Data statistik keagamaan Kristen Protestan tahun 1992, memperlihatkan bahwa ada sekitar 700 organisasi 1 Kristen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Konsep tentang panggilan sudah ada sejak jaman Israel kuno seiring dengan pengenalan mereka tentang Allah. Misalnya panggilan Tuhan kepada Abraham (Kej 12:

Lebih terperinci

Apa Gereja 1Uhan Itu?

Apa Gereja 1Uhan Itu? Apa Gereja 1Uhan Itu? Yesus berkata, "Aku akan mendirikanjemaatku" (Matius 16 :18). Apa yang dimaksudkannya dengan kata jemaat? Apakah pengertian murid-muridnya tentang kata ini? Mungkin saudara telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Kata gender berasal dari kata

Lebih terperinci

Pendidikan Agama Kristen Protestan

Pendidikan Agama Kristen Protestan Modul ke: 04Fakultas Psikologi Pendidikan Agama Kristen Protestan GEREJA SESUDAH ZAMAN PARA RASUL (2) Program Studi Psikologi Drs. Sugeng Baskoro,M.M. A. Latar Belakang Dalam kepercayaan Iman Kristen,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB I PENDAHULUAN Dalam bagian ini akan dipaparkan: latarbelakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. 1. Latarbelakang Kehadiran gereja di tengah dunia ini

Lebih terperinci

PERAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN SOSIAL

PERAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN SOSIAL PERAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN SOSIAL Lenda Dabora Sagala STT Simpson Ungaran Abstrak Menghadapi perubahan sosial, Pendidikan Agama Kristen berperan dengan meresponi perubahan

Lebih terperinci

Surat-surat Am DR Wenas Kalangit

Surat-surat Am DR Wenas Kalangit Surat-surat Am DR Wenas Kalangit 22 Januari 2008 Jakarta 1 Surat-surat Ibrani dan Am Catatan Umum Delapan surat terakhir dalam PB disebut juga dengan nama: Surat-surat Am atau Umum. Disebut demikian karena

Lebih terperinci

LOYALITAS DAN PARTISIPASI PEMUDA DALAM GEREJA ETNIS DI HKBP SALATIGA

LOYALITAS DAN PARTISIPASI PEMUDA DALAM GEREJA ETNIS DI HKBP SALATIGA LOYALITAS DAN PARTISIPASI PEMUDA DALAM GEREJA ETNIS DI HKBP SALATIGA Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Teologi untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si Teol) Oleh David Sarman H Pardede Nim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Perkawinan betujuan untuk mengumumkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gereja adalah persekutuan orang percaya yang dipanggil oleh Allah dan diutus untuk menghadirkan Kerajaan Allah di dunia, ini merupakan hakikat gereja. Gereja juga dikenal

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia selalu diperhadapkan dengan berbagai keragaman, baik itu agama, sosial, ekonomi dan budaya. Jika diruntut maka banyak sekali keragaman yang

Lebih terperinci

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah BAB I Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah satunya karena Indonesia berdasar pada Pancasila, dan butir sila pertamanya adalah Ketuhanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Gereja adalah persekutuan umat Tuhan Allah yang baru. Ungkapan ini erat hubungannya dengan konsep tentang gereja adalah tubuh Kristus. Dalam konsep ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imannya itu kepada Kristus dalam doa dan pujian. Doa, pujian dan kegiatan-kegiatan liturgi

BAB I PENDAHULUAN. imannya itu kepada Kristus dalam doa dan pujian. Doa, pujian dan kegiatan-kegiatan liturgi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Gereja adalah persekutuan umat beriman yang percaya kepada Kristus. Sebagai sebuah persekutuan iman, umat beriman senantiasa mengungkapkan dan mengekspresikan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan semua kajian dalam bab-bab yang telah dipaparkan di atas, pada bab ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan dan rekomendasi. Rekomendasi ini terutama bagi gereja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Chris Hartono, Mandiri dan Kemandirian, dalam Majalah Gema STT Duta Wacana, Maret 1983, p. 46.

BAB I PENDAHULUAN. 1 Chris Hartono, Mandiri dan Kemandirian, dalam Majalah Gema STT Duta Wacana, Maret 1983, p. 46. BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN Gereja sebagai persekutuan orang-orang percaya yang dipanggil dan ditempatkan di dunia ini mempunyai tugas. Tugas gereja adalah untuk menyatakan hakekatnya sebagai tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Lih. Kis 18:1-8 2 The Interpreter s Dictionary of the Bible. (Nashville : Abingdon Press, 1962). Hal. 682

BAB I PENDAHULUAN. 1 Lih. Kis 18:1-8 2 The Interpreter s Dictionary of the Bible. (Nashville : Abingdon Press, 1962). Hal. 682 BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Rasul Paulus merupakan salah seorang rasul yang berperan sangat penting dalam kelahiran dan pertumbuhan jemaat Kristen mula-mula, terutama bagi kalangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup dalam komunitas sebagai anggota gereja (Gereja sebagai Institusi). 1

BAB I PENDAHULUAN. hidup dalam komunitas sebagai anggota gereja (Gereja sebagai Institusi). 1 BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Nabeel Jabbour menepis pemahaman tentang gereja hanya sebatas bangunan, gedung dan persekutuan yang institusional. Berangkat dari pengalaman hidup Nabeel Jabbour selama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Penginjilan merupakan salah satu dimensi yang esensial dari misi Kristen. Gereja bertanggungjawab untuk mewartakan injil ke seluruh dunia, untuk memberitakan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENULISAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENULISAN BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENULISAN Masyarakat Karo terkenal dengan sikap persaudaraan dan sikap solidaritas yang sangat tinggi. Namun ironisnya sikap persaudaraan dan kekerabatan yang mewarnai

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Pada bagian ini peneliti akan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan

BAB V PENUTUP. Pada bagian ini peneliti akan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan BAB V PENUTUP Pada bagian ini peneliti akan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan kesimpulan dan saran sebagai penutup dari pendahuluan hingga analisa kritis yang ada dalam bab 4. 5.1 Kesimpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia tentunya memiliki masalah dan pergumulannya masing-masing. Persoalan-persoalan ini mungkin berkaitan dengan masalah orang per

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebuah gereja dapat dikatakan gereja jikalau gereja melaksanakan misi Allah di tengah dunia ini, atau dapat dikatakan bahwa gereja tersebut menjadi gereja

Lebih terperinci

BAB IV. Refleksi Teologis

BAB IV. Refleksi Teologis BAB IV Refleksi Teologis Budaya patriarki berkembang dalam kehidupan masyarakat di seluruh dunia dan mengakibatkan adanya pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Pembagian kerja ini menyebabkan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Indonesia merupakan negara di wilayah Asia secara geografis yang diwarnai oleh dua kenyataan, yaitu kemajemukan agama dan kebudayaan, serta situasi kemiskinan

Lebih terperinci

TATA GEREJA PEMBUKAAN

TATA GEREJA PEMBUKAAN TATA GEREJA PEMBUKAAN Bahwa sesungguhnya gereja adalah penyataan Tubuh Kristus di dunia, yang terbentuk dan hidup dari dan oleh Firman Tuhan, sebagai persekutuan orang-orang percaya dan dibaptiskan ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perbedaan pandangan mengenai masalah iman dan perbuatan dalam hubungannya dengan keselamatan memang sudah ada sejak dulu kala 1. Pada satu pihak, ada orang

Lebih terperinci

10. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunalaras (SMPLB E)

10. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunalaras (SMPLB E) 10. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunalaras (SMPLB E) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latarbelakang Pluralitas agama merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat lagi dihindari atau disisihkan dari kehidupan masyarakat umat beragama. Kenyataan akan adanya pluralitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Permasalahan Seksualitas merupakan pemberian dari Allah. Artinya bahwa Allah yang membuat manusia bersifat seksual. Masing-masing pribadi merupakan makhluk seksual

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

LATAR BELAKANG PERMASALAHAN BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Sejak manusia pertama (Adam) jatuh ke dalam dosa, seperti dikisahkan pada kitab Kejadian dari Alkitab Perjanjian Lama, maka pintu gerbang dunia terbuka

Lebih terperinci

03. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia.

03. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. 03. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Obor Indonesia, 1999, p Jane Cary Peck, Wanita dan Keluarga Kepenuhan Jati Diri dalam Perkawinan dan Keluarga, Yogyakarta:

BAB I PENDAHULUAN. Obor Indonesia, 1999, p Jane Cary Peck, Wanita dan Keluarga Kepenuhan Jati Diri dalam Perkawinan dan Keluarga, Yogyakarta: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Pada dasarnya setiap orang memiliki suatu gambaran tentang keluarga dan keluarga harmonis. Keluarga merupakan sistem sosial dari hubungan utama, yang memungkinkan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Kesimpulan akhir dari penelitian tentang teologi kontekstual berbasis budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata peribadahan GKJ di dalam menanamkan

Lebih terperinci

Misiologi David Bosch

Misiologi David Bosch Misiologi David Bosch Definisi Sementara Misi. 1. Iman Kristen bersifat misioner, atau menyangkali dirinya sendiri. Berpegang pada suatu penyingkapan yang besar dari kebenaran puncak yang dipercayai penting

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Katekisasi merupakan salah satu bentuk pelayanan pendidikan kristiani yang dilakukan oleh gereja. Istilah katekisasi berasal dari kerja bahasa Yunani: katekhein yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ibadah merupakan sebuah bentuk perjumpaan manusia dengan Allah, pun juga dengan corak masing-masing sesuai dengan pengalaman iman dari setiap individu atau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjamuan kudus merupakan perintah Tuhan sendiri, seperti terdapat dalam Matius 26:26-29, Mar

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjamuan kudus merupakan perintah Tuhan sendiri, seperti terdapat dalam Matius 26:26-29, Mar BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam pengajaran gereja sakramen disebut sebagai salah satu alat pemelihara keselamatan bagi umat Kristiani. Menurut gereja-gereja reformasi hanya ada dua sakramen,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Sakramen berasal dari bahasa Latin; Sacramentum yang memiliki arti perbuatan kudus 1. Dalam bidang hukum dan pengadilan Sacramentum biasanya diartikan sebagai barang

Lebih terperinci

12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 12. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ajarannya akan berbeda dengan mainstream, bahkan memiliki kemungkinan terjadi

BAB I PENDAHULUAN. ajarannya akan berbeda dengan mainstream, bahkan memiliki kemungkinan terjadi BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Dalam suatu masyarakat terdapat sebuah sistem dan komponen yang mendukung eksistensi komunitas. Komponen itu antara lain agama, kewarganegaraan, identitas suku,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Eka Darmaputera, Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia, dalam Eka Darmaputera (peny.), Konteks

BAB I PENDAHULUAN. 1 Eka Darmaputera, Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia, dalam Eka Darmaputera (peny.), Konteks BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam tulisannya yang berjudul Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia 1, Eka Darmaputera memaparkan tentang pentingnya teologi kontekstual dengan bertolak dari keprihatinan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pembangunan Jemaat merupakan bidang yang baru dalam kekristenan, baik Protestan maupun Katolik dan masuk ke dalam ranah teologi praktis, di mana terjadi adanya perpindahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2000, p.11

BAB I PENDAHULUAN. 2000, p.11 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penulisan Pandangan tradisional yang mengatakan bahwa keluarga yang ideal adalah keluarga dimana suami berperan sebagai pencari nafkah dan istri menjalankan fungsi pengasuhan

Lebih terperinci

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN A.1 Latar Belakang Masalah Merdeka adalah bebas (dari perhambaan, penjajahan); tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak terikat, tidak bergantung kepada atau pihak

Lebih terperinci

BAB IV PEMAHAMAN TENTANG PERSEMBAHAN

BAB IV PEMAHAMAN TENTANG PERSEMBAHAN BAB IV PEMAHAMAN TENTANG PERSEMBAHAN Persembahan identik secara formal dengan memberikan sesuatu untuk Tuhan. Berkaitan dengan itu, maka dari penelitian dalam bab tiga, dapat disimpulkan bahwa, pemahaman

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih

BAB V PENUTUP. kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Munculnya feminisme memang tak lepas dari akar persoalan yang ada di kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih dianggap sebagai makhluk inferior.

Lebih terperinci

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik Sekolah Menengah Pertama (SMP) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan

11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik Sekolah Menengah Pertama (SMP) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan 11. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik Sekolah Menengah Pertama (SMP) A. Latar Belakang Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN TEOLOGIS TERHADAP PENGHAYATAN ROH KUDUS JEMAAT KRISTEN INDONESIA INJIL KERAJAAN DI SEMARANG

BAB IV TINJAUAN TEOLOGIS TERHADAP PENGHAYATAN ROH KUDUS JEMAAT KRISTEN INDONESIA INJIL KERAJAAN DI SEMARANG BAB IV TINJAUAN TEOLOGIS TERHADAP PENGHAYATAN ROH KUDUS JEMAAT KRISTEN INDONESIA INJIL KERAJAAN DI SEMARANG Pada Bab ini, penulis akan menggunakan pemahaman-pemahaman Teologis yang telah dikemukakan pada

Lebih terperinci

A. PERMASALAHAN DAN ALASAN PEMILIHAN JUDUL

A. PERMASALAHAN DAN ALASAN PEMILIHAN JUDUL BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN DAN ALASAN PEMILIHAN JUDUL A.1. Pluralitas Agama di Indonesia Pluralitas agama merupakan sebuah realita yang wajib digumuli. Berbagai agama besar yang pemeluknya tersebar

Lebih terperinci

Laki-laki yang berdasarkan Alkitab. (1 Korintus 16:13) Rasul Paulus menuliskan kata-kata ini kepada jemaat di Korintus:

Laki-laki yang berdasarkan Alkitab. (1 Korintus 16:13) Rasul Paulus menuliskan kata-kata ini kepada jemaat di Korintus: Laki-laki yang berdasarkan Alkitab (1 Korintus 16:13) Rasul Paulus menuliskan kata-kata ini kepada jemaat di Korintus: Berjaga-jagalah! Berdirilah dengan teguh dalam iman! Bersikaplah sebagai laki-laki!

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan.

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan. Kemajemukan merupakan realitas yang menjadi salah satu ciri dari kondisi masa sekarang ini. Di era modern yang untuk sementara kalangan sudah berlalu

Lebih terperinci

Merupakan metodologi penafsiran Al Qur an Bertujuan untuk menghasilkan produk tafsir berkeadilan Gender Kerangka berpikir didasari oleh Pemikiran

Merupakan metodologi penafsiran Al Qur an Bertujuan untuk menghasilkan produk tafsir berkeadilan Gender Kerangka berpikir didasari oleh Pemikiran Merupakan metodologi penafsiran Al Qur an Bertujuan untuk menghasilkan produk tafsir berkeadilan Gender Kerangka berpikir didasari oleh Pemikiran Amina Wadud Konsep terstruktur untuk menafsirkan Al Qur

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang. Dalam perkembangan sejarah kekristenan sejak pelayanan Tuhan Yesus sampai zaman

BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang. Dalam perkembangan sejarah kekristenan sejak pelayanan Tuhan Yesus sampai zaman BAB I Pendahuluan 1. Latar Belakang Dalam perkembangan sejarah kekristenan sejak pelayanan Tuhan Yesus sampai zaman sekarang, kekristenan hampir selalu diperhadapkan pada berbagai tekanan dan tantangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. E.P. Ginting, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru (Kabanjahe: Abdi Karya, 1999), hlm.

BAB I PENDAHULUAN UKDW. E.P. Ginting, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru (Kabanjahe: Abdi Karya, 1999), hlm. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Secara umum masyarakat Karo menganggap bahwa agama Hindu-Karo adalah agama Pemena (Agama Pertama/Awal). Dalam agama Pemena, terdapat pencampuran konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Seperti diketahui bersama bahwa dalam kehidupan orang Kristen saat ini, gereja adalah sebuah identitas yang sangat penting bagi orang-orang percaya kepada

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Setelah menelusuri pernyataan Yesus dalam Yohanes 14: 6 kata Yesus kepadanya,

BAB V PENUTUP. Setelah menelusuri pernyataan Yesus dalam Yohanes 14: 6 kata Yesus kepadanya, BAB V PENUTUP 5. 1 Kesimpulan Setelah menelusuri pernyataan Yesus dalam Yohanes 14: 6 kata Yesus kepadanya, Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa kalau tidak

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kehidupan di perkotaan diperhadapkan dengan sebuah realita kehidupan yang kompleks. Pembangunan yang terus berlangsung membuat masyarakat berlomba-lomba untuk

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Permasalahan The Meeting Place of World Religions. 1 Demikianlah predikat yang dikenakan pada Indonesia berkaitan dengan kemajemukan agama yang ada. Selain majemuk

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia tak dapat dilepaskan dari spiritualitas. Spiritualitas melekat dalam diri setiap manusia dan merupakan ekspresi iman kepada Sang Ilahi. Sisi spiritualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Virginia Wollf, seperti yang dikutip oleh Putranti mengungkapkan, bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Virginia Wollf, seperti yang dikutip oleh Putranti mengungkapkan, bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Virginia Wollf, seperti yang dikutip oleh Putranti mengungkapkan, bahwa semua masyarakat terbentuk atas dasar penindasan laki-laki yang dengan sengaja membuat

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dilihat secara objektif, gereja merupakan suatu institusi yang di dalamnya terjadi perjumpaan antara manusia dengan Allah. Manusia berjumpa dengan keselamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perkembangan teknologi dan komunikasi yang semakin pesat, memacu orang untuk semakin meningkatkan intensitas aktifitas dan kegiatannya. Tingginya intensitas

Lebih terperinci