BAB II ARSITEKTUR PERILAKU DAN LINGKUNGAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II ARSITEKTUR PERILAKU DAN LINGKUNGAN"

Transkripsi

1 BAB II ARSITEKTUR PERILAKU DAN LINGKUNGAN 2.1 Proses Perilaku Manusia Proses dan pola perilaku manusia dikelompokkan ke dalam dua bagian, (1) proses individual dan (2) proses sosial (Laurens, 2005) Proses individual Membahas hal-hal yang ada dalam benak seseorang, yaitu bagaimana persepsi lingkungan terjadi, bagaimana lingkungan fisik tersebut diorganisasikan dalam pikiran sesorang, dan mengenal berbagai cara orang berpikir dan mersakan ruang, termasuk preferensi personal dan respon emosional terhadap stimulus lingkungan. Proses individual ini mengacu pada skemata pendekatan perilaku berikut (Gambar 2.1). Gambar 2.1 Proses Fundamental Perilaku Manusia (Laurens, 2005)

2 Persepsi Persepsi adalah proses memperoleh atau menerima informasi dari lingkungan. Suatu proses untuk mendapatkan informasi, dari dan tentang lingkungan seseorang, yang berfokus pada penerimaan pengalaman empiris. Biasanya didahului degan adanya stimulus Kognisi spasial Kognisi spasial berkaiatan dengan cara kita memperoleh, mengorganisasi, menyimpan, dan membuka kembali informasi mengenai lokasi, jarak, dan tatanan di lingkungan fisik Perilaku spasial Perilaku spasial atau bagaimana orang rnenggunakan tatanan dalam lingkungan adalah sesuatu yang dapat diamati secara langsung sehingga pada tingkat deskriptif hal ini tidak menjadi kontroversi seperti halnya usaha orang menjelaskan proses persepsi dan kognisi Proses sosial Proses Sosial menunjukkan bahwa manusia juga makhluk sosial, hidup dalam masyarakat dalam suatu kolektivitas. Dalam memenuhi kebutuhan sosialnya inilah manusia berperilaku sosial dalam lingkungannya yang dapat diamati dari

3 fenomena perilaku-lingkungan, kelompok-kelompok pemakai dan tempat terjadinya aktivitas. Fenomena ini menunjuk pada pola-pola perilaku pribadi, yang berkaitan dengan lingkungan fisik yang ada, terkait dengan perilaku interpersonal manusia atau perilaku sosial manusia. Perilaku interpersonal manusia tersebut yang meliputi halhal sebagai berikut: Ruang personal (Personal Space) Ruang personal seolah-olah merupakan sebuah balon atau tabung yang menyelubungi kita, membatasi jarak dengan orang lain, dan tabung itu membesar atau mengecil bergantung dengan siapa kita sedang berhadapan. Atau dengan kata lain, luas atau sempitnya kapsul tersebut bergantung pada kadar dan sifat hubungan individu dengan individu lainya Teritorialitas (Territoriality) Teritorialitas adalah suatu pola tingkah laku yang ada hubunganya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas suatu tempat atau suatu lokasi geografis. Pola tingkah laku ini mencakup personalisasi dan pertahanan terhadap gangguan dari luar.

4 Kesesakan (Crowding) Crowding (kesesakan/kesumpekan) terjadi karena privacy yang diperoleh/ lebih tinggi dari pada privacy yang diinginkan. Merupakan pengalaman yang multidimensional, bisa untuk diri sendiri maupun setting. Terlalu besar privacy menyebabkan isolasi sosial, sedangkan terlalu sedikit privacy menyebabkan perasaan terlalu ramai. Keramaian disamakan dengan suatu perasaan kurangnya kontrol terhadap lingkungan. Kondisi-kondisi ramai menyebabkan timbulnya perilaku negatif, karena memiliki hubungan secara kausal dengan beban sosial yang berlebih. Ada beberapa gejala yang dapat mengindikasikan terjadi crowding di masyarakat antara lain, (1) munculnya bermacam-macam penyakit baik fisik maupun psikis, seperti stres, tekanan darah meningkat, psikosomatis, dan gangguan jiwa; 2) munculnya patologi sosial, seperti kejahatan dan kenakalan remaja; (3) munculnya tingkah laku sosial yang negatif, seperti agresi, menarik diri, berkurangnya tingkah laku menolong (prososial), dan kecenderungan berprasangka; (4) menurunnya prestasi kerja dan suasana hati yang cenderung murung (Holahan, 1982). Selain melihat dari gejala yang timbul, juga akan dilakukan wawancara mengenai pendapat masyarakat mengenai keadaan tinggal di Kampung Aur Privasi (Privacy) Privasi adalah keinginan atau kecenderungan pada diri seseorang untuk tidak diganggu kesendiriannya. Baik itu proses individual maupun proses sosial, masing-masing mempunyai faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya hal

5 tersebut. Sebagai contoh, persepsi orang mengenai arti lebar terhadap sebuah ruangan dapat berbeda dengan orang yang lain bergantung dari latar belakang budayanya atau keadaan ekonominya atau pun agama yang dianutnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku manusia tersebut antara lain (1) faktor personal seperti jenis kelamin, umur, tipe kepribadian; (2) faktor situasi lingkungan; (3) faktor budaya dan Variasi Etnis (Laurens, 2005) Dari beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku manusia tersebut, faktor budaya adalah faktor penentu atau modifier utama (Rapoport 1977). Kemudian hubungan antara latar belakang budaya terhadap perilaku, sistem aktivitas dan sistem seting diterjemahkan dalam bentuk diagram (Haryadi dan Setiawan, 2014) (Gambar 2.2). Gambar 2.2 Hubungan antara budaya, perilaku, sistem aktivitas dan sistem setting (Haryadi dan Setiawan, 2014) Melihat dominannya faktor budaya dalam mempengaruhi perilaku manusia, maka untuk memulai penelitian berdasarkan pendekatan perilakulingkungan diperlukan pemilihan sampel yang didasarkan pada keragaman

6 budayanya. Untuk penelitian yang dilakukan pada tesis ini, pemilihan sampel tersebut akan didasarkan pada suku/etnis yang hidup di Kampung Aur. 2.2 Pemahaman Lingkungan Kata lingkungan banyak sekali digunakan dengan berbagai pengertian sesuai bidang ilmu yang mendalaminya. Misalnya dalam ilmu psikologi, lingkungan adalah manusia dan kepribadiannya, bagi ilmu sosiologi adalah organisasi dan proses sosial, bagi ilmu geografi adalah tanah dan iklim, dan bagi arsitektur adalah bangunan dan ruang luar. Kategorisasi ini bergantung pada kegunaannya. Lingkungan dapat dibagi menjadi lingkungan fisik dan sosial atau lingkungan psikologikal dan behavioural (Laurens, 2005). 1. Lingkungan fisik terdiri atas terstrial atau tatar geografis. 2. Lingkungan sosial terdiri atas organisasi sosial kelompok interpersonal. 3. Lingkungan psikologikal terdiri atas imaji yang dimiliki orang dalam benaknya. 4. Lingkungan behavioral mencakup elemen-elemen yang menjadi pencetus respon seseorang Perbedaan utama dalam menyusun klasifikasi ini adalah perbedaan antara lingkungan objektif yang nyata disekitar seorang individu dan lingkungan fenomenologis yang dihayati (perceived) dan yang secara sadar ataupun tidak sadar mempengaruhi pola perilaku dan emosi seseorang.

7 Begitu juga untuk penelitian yang akan dilakukan dalam tesis ini. Lingkungan yang akan diteliti akan terdiri dari lingkungan objektif, berupa lingkungan fisik seperti bangunan, fasilitas, prasarana dan saran, serta individu dan masyarakat yang ada di dalamnya dan lingkungan fenomenologis yang akan menjelaskan persepsi manusia terhadap lingkungannya Lingkungan permukiman Sejalan dengan penjelasan di atas, maka lingkungan permukiman juga dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu lingkungan fenomenologis dan lingkungan objektif Lingkungan permukiman yang bersifat fenomenologis Pembahasan terkait lingkungan fenomenologis sudah dibahas terlebih dahulu pada subbab 2.1. Dapat dikatakan bahwa untuk memahami lingkungan fenomenologis, peneliti harus bergerak terlebih dahulu dari faktor utama yang menjadi latar belakang. Dalam hal ini faktor utama tersebut adalah faktor budaya masyarakat setempat. Maka untuk dapat memulai penelitian perilaku-lingkungan pada permukiman Kampung Aur, harus dilakukan observasi perilaku masyarakat didasarkan pada suku atau etnisnya.

8 Lingkungan permukiman yang bersifat objektif Lingkungan permukiman yang bersifat objektif yang pada umumnya terdiri dari lingkungan fisik berupa bangunan. Di dalam konteks permukiman, penulis membagi lingkungan fisik ini menjadi dua bagian besar yaitu unit hunian dan lingkungan (sirkulasi, ruang terbuka, warung, tempat jajanan malam, dan lainnya). Terkait dengan lokasi penelitian di permukiman Kampung Aur, maka pada bab III dan IV akan dijelaskan bahwa ada 7 komponen lingkungan yang akan dijadikan objek pembahasan karena dianggap penting dan langsung berhubungan dengan perilaku masyarakat di Kampung Aur yaitu warung, ruang terbuka umum, ruang terbuka anak, tempat cuci bersama/bantaran sungai, pelataran mesjid, tempat jajanan malam, jalan (sirkulasi) Pengartian lingkungan Mengingat bahwa penelitian yang dilakukan berupa hubungan perilaku terhadap lingkungannya, dimana nanti observasi yang dihasilkan akan berupa deskripsi-deskripsi ruang seperti besar, kecil, nyaman, panas, sejuk dan sebagainya, maka diperlukan suatu pengartian ruang yang konkret untuk dapat menjelaskan arti dari desrkripsi ruang yang dihasilkan. Dalam menterjemahkan arti ruang tersebut, maka teori yang dipergunakan adalah pemahaman lingkungan yang menyodorkan 12 poin dalam mengartikan pemahaman lingkungan yaitu, (1) tingkat kompleksitas unsur atau obyek; (2) urban grain dan texture; (3) skala, tinggi dan kepadatan bangunan; (4) warna, material dan

9 detail; (5) manusia; (6) tanda-tanda; (7) tingkat aktivitas; (8) pemanfaatan ruang; (9) tingkat kebisingan; (10) tingkat penerangan; (11) unsur alami; dan (12) bau dan kebersihan (Rapoport, 1977). Dalam perkembangannya hal ini kemudian disederhanakan menjadi (1) warna, (2) ukuran dan bentuk, (3) perabot dan penataannya, (4) suara, (5) temperatur dan (6) pencahayaan (Haryadi dan Setiawan, 2014). Enam (6) aspek inilah yang akan digunakan untuk dapat mengartikan ruang dalam bentuk yang lebih nyata dalam penelitian ini. Ke enam aspek ini juga yang nantinya akan berfungsi sebagai variabel penelitian untuk data deskripsi ruang Pola Perilaku dan Lingkungan Pola perilaku dan lingkungan memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain. Hubungan antara kedua komponen ini lah yang nantinya akan menimbulkan dampak yang disebut dengan arsitektur Hubungan perilaku dan lingkungan Kata perilaku menunjukkan manusia dalam aksinya, berkaitan dengan semua aktivitas manusia secara fisik; berupa interaksi manusia dengan sesamanya ataupun dengan lingkungan fisiknya. Kebiasaan mental dan sikap perilaku seseorang dipengaruhi oleh lingkungan fisiknya (Laurens, 2005). Hal ini dapat dilihat pada bagan yang menyatakan bahwa tingkah laku (B = behavior) merupakan fungsi keadaan pribadi seseorang (P = person) dan lingkungan tempat orang itu berada (E = environment) atau B = f(p,e) (Gambar 2.3).

10 E P B Gambar 2.3 Pengaruh E dan P terhadap B (Laurens, 2005) Ini menunjukkan bahwa lingkungan dan perilaku orang/masyarakat yang tinggal di dalamnya akan saling mempengaruhi. Lingkungan fisik akan mempengaruhi perilaku seseorang dan perilaku akan mempengaruhi lingkungan fisik hingga dicapai sebuah keseimbangan Hubungan arsitektur dan perilaku manusia Arsitektur merupakan disiplin ilmu yang memiliki kaitan erat dengan ruang, baik itu ruang yang sifatnya privat mapun publik. Ruangan tersebut dalam konteks perilaku-lingkungan dapat diterjemahkan sebagai lingkungan objektif (lingkungan fisik). Didalam pendekatan perilaku-lingkungan, lingkungan dan perilaku manusia akan saling mempengaruhi satu sama. Pada Gambar 2.2 sudah dipaparkan mengenai hubungan perilaku, budaya, sistem aktivitas dan sistem setting. Ketika kita berbicara mengenai sistem setting berarti kita sudah masuk ke dalam ranah arsitektural, karena sistem setting ini berbicara mengenai tata ruang. Namun sebelum sampai ke tahapan sistem setting, maka bagian terpenting dari pendekatan perilaku dan lingkungan ini adalah sistem aktivitas (activity system)

11 atau juga dikenal dengan unit tatar perilaku (behavior setting). Unit tatar perilaku (behavior setting) sebagai konsep kunci bagi analisis manusia dalam arsitektur (Barker, 1968). Unit tatar perilaku (behavior setting) ini didefinisikan sebagai suatu kombinasi yang stabil antara aktivitas, tempat dan kriteria. 1. Terdapat suatu aktivitas yang berulang, berupa suatu pola perilaku. Dapat terdiri dari satu atau lebih pola perilaku ekstraindividual. 2. Dengan tata lingkungan tertentu. 3. Membentuk suatu hubungan yang sama antar keduanya. 4. Dilakukan dalam periode waktu tertentu Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.4. Gambar 2.4 Skema Pengertian Behavior Setting

12 Sebagai contoh dari unit tatar perilaku (behavior setting) ini bisa diumpamakan pada sebuah toko, andil pembeli terhadap pola perilaku yang terjadi di toko meliputi perilaku dalam memilih dan mencari barang. Lemari-lemari pajang memamerkan sejumlah barang untuk proses mencari dan memilih tersebut. Di sisi lain pedagang yang menata dagangannya harus mempunyai akses langsung dengan barang dagangannya. Akan tetapi juga harus memungkinkan terjadinya interaksi antara pembeli dan pedagang, bukan didesain untuk pedagang atau pembeli saja. Seperti pembeli bisa melihat barang dagangan, menanyakan harga, memilih, kemudian pedagang memberikan barang yang dipilih atau dibeli. Keseluruhan perilaku dalam unit tatar perilaku (behavior setting) inilah yang nantinya akan membentuk sistem setting dari sebuah toko. Berdasarkan hasil analisa unit tatar perilaku (behavior setting) maka diketahui ukuran lemari pajang yang tepat, luas ruangan pajang yang dibutuhkan, jarak meja kasir dengan ruang pajang, dan sebagainya. Berdasarkan penjelasan pada subbab 2.2, telah dijelaskan bahwa lingkungan fisik yang akan diteliti berupa unit hunian dan lingkungan (fasilitas bersama, sarana dan prasarana). Untuk itu observasi terhadap unit tatar perilaku (behavior setting) akan dilakukan pada kedua objek ini (unit hunian dan lingkungan). 2.4 Mengumpulkan dan Menggunakan Informasi Perilaku Setelah mengetahui keterkaitan antara perilaku dengan lingkungan dan bagaimana arsitektur mempengaruhi perilaku manusia, maka tahapan yang diperlukan

13 selanjutnya adalah mengetahui bagaimana metode yang digunakan untuk dapat mengumpulkan dan menggunakan informasi perilaku Mengumpulkan informasi perilaku Dalam mengumpulkan informasi perilaku (dalam hal ini informasi perilaku yang dikumpulkan dalam tataran behavior setting) maka ada beberapa cara yang dapat dilakukan, (1) eksperimental (experimental research); (2) observasi partisipatif; (3) pemetaan perilaku; (4) kuisioner dan wawancara; (5) studi kasus; (6) analisis isi. Jika dilihat dari lingkup karakteristik unit tatar perilaku (behavior setting) yang akan diteliti yaitu pada setting unit hunian dan setting lingkungan (fasilitas bersama, sarana dan prasarana), maka cara yang tepat untuk digunakan dalam mengumpulkan data adalah observarsi partisipatif. Observasi partisipatif sebagai suatu proses dimana pengamat atau observer hadir pada suatu situasi sosial untuk kepentingan situasi akademik (Haryadi dan Setiawan, 2014). Disini observer berada dalam situasi hubungan langsung dengan yang diamati, dan dengan berperan serta dalam kegiatan sehari-hari observer mengumpulkan data. Observer dalam situasi ini adalah bagian dari konteks yang diamati dan dengan demikian dipengaruhi dan mempengaruhi (meskipun secara tidak langsung) dengan konteks yang diamati. Di dalam penelitian ini cara pengumpulan data dengan menggunakan metode observasi partisipatif akan digunakan untuk setting unit hunian dan setting lingkungan (Gambar 2.5 dan 2.6).

14 Gambar 2.5 Observasi Partisipatif terhadap Behavior Setting Unit Hunian Gambar 2.6 Observasi Partisipatif terhadap Behavior Setting Lingkungan

15 2.4.2 Menggunakan informasi perilaku Seperti sudah dijelaskan pada subbab 2.2, hasil yang diperoleh dari hasil observasi yang dilakukan sifatnya merupakan deskripsi, bagaimana perilaku manusia mempengaruhi lingkungannya dan sebaliknya. Untuk dapat menterjemahkan deskripsi tersebut ke dalam bentuk yang lebih konkret, maka akan digunakan 6 (enam) tolak ukur, (1) warna, (2) ukuran dan bentuk, (3) perabot dan penataannya, (4) suara, (5) temperatur dan (6) pencahayaan. Hasil dari penterjemahan ini nantinya akan berupa ukuran-ukuran yang sudah dapat langsung digunakan sebagai dasar untuk kriteria perancangan yang akan dilakukakan. Untuk lebih jelasnya, mengenai penggunan keenam komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.7. Gambar 2.7 Penggunaan Informasi Perilaku yang Diterima

16 2.5 Studi Banding Sebenarnya sudah banyak jenis-jenis penanganan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh pihak non-pemerintah terhadap permasalah permukiman kumuh ini. Penanganan tersebut bervariasi bentuknya mulai dari penggusuran secara paksa, relokasi pada rusunawa yang sudah disediakan, pembangunan dengan konsep community development (salah satu bentuk penanganan yang melibatkan masyarakat) seperti pada program Kampung Improvement Program), dll. Berikut dipaparkan beberapa studi banding dari bentuk-bentuk penanganan yang sudah dilakukan Kampung Kebalen improvement program Kampung Improvement Program (KIP), yang selanjutnya akan disebut dengan KIP saja, adalah program perbaikan kampung yang ada di perkotaan. KIP ini sendiri dilaksanakan di beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, dll. Namun yang akan dijadikan sebagai studi banding disini adalah KIP yang dilaksanakan di Surabaya, tepatnya di Kampung Kebalen. (Gambar 2.8)

17 Gambar 2.8 Lokasi Kampung Kebalen (Google Map, 2016) Data proyek Nama Proyek Pemilik Proyek : Kampung Kebalen Improvment Program : Masyarakat Kampung Kebelen yang diwakili oleh Pemerintah Surabaya Perencana Konsultan : Chusen Chasbullah dan Eddy Indrayana : Johan Silas (ahli perumahan/arsitektural) Bambang Sugeng (ahli sipil)

18 Hasyim Alahad (ahli ekonomi) Kontraktor : PT. Suba Harkat Utama Populasi : Jumlah rumah : Kepadatan Luasan : 800 orang perhektar : 32 Hektar Lama Pengerjaan : Tujuan program 1. Meningkatkan kualitas infrastruktur yang ada. 2. Meningkatkan kualitas lingkungan. 3. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarkat. 4. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mengembangkan komunitasnya Gambaran umum Kampung Kebalen (1980) Kampung Kebalen dihuni oleh penduduk yang dapat dikelompokkan dalam 5 etnis utama dengan komposisi, (1) madura 50%; (2) jawa 30%; (3) cina 10%; (4) Bali 6% dan (5) Arab 4%. Mayoritas penduduknya beragama Islam (85%) dan sisanya beragama Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha. Kampung Kebalen ini juga mempunyai beberapa fasilitas umum seperti, sekolah dasar (5 buah), mesjid (4 buah),

19 fasilitas kesehatan (2 buah), MCK (3 buah), pos jaga (4 buah) dan ruang terbuka (1 buah) Keluaran Keluaran yang dihasilkan dari KIP Kampung Kebalen ini dalam tingkat perencanaan adalah berupa guideline desain yang ditujukan untuk perbaikan permukiman. Guideline desain ini kemudian dibagi menjadi dua bagian besar yaitu perencanaan unit hunian berdasarkan karakteristik pemakai dan perencanaan lingkungan, dalam hal ini termasuk perencanaan sarana dan prasrana, fasilitas umum, tempat ibadah, dll. Sedangkan dalam tingkat konstruksi atau pembangunan, pemerintah hanya melaksanakan guideline desain untuk lingkungan saja, sedangkan untuk perbaikan unit hunian, diharapkan adanya kesadaran masyarakat untuk memperbaiki huniannya berdasarkan petunjuk perencanaan yang sudah diberikan. Guideline desain ini tidak ditampilkan dalam bentuk gambar detail untuk masing-masing unit yang ada di tempat tersebut, melainkan hanya memberikan gambaran konsep mengenai bagaimana konsep keseluruhan mengenai rencanan pengembagan yang diinginkan yang memang sesuai dengan keadaan kondisi sosial masyarakat (Gambar )

20 Gambar 2.9 Contoh Guideline Design untuk Fasilitas Umum (Aga Khan Award for Architecture, 1989)

21 Gambar 2.10 Contoh Guideline Design untuk Unit Hunian (Aga Khan Award for Architecture, 1989)

22 Gambar 2.11 Contoh Guideline Design untuk Unit Hunian (Aga Khan Award for Architecture, 1989)

23 Kajian terhadap Kampung Kebalen improvment program Pendekatan desain yang dilakukan terhadap perencanaan Kampung Kebalen, adalah pendekatan community development. Dimana masyarakat, dalam hal ini sebagai owner, diikutsertakan dalam melakukan perencanaan. Pendekatan ini jika dibandingkan dengan pendekatan perilaku-lingkungan yang digunakan dalam tesis ini bisa dikatakan masih termasuk dalam rumpun pendekatan arsitektur yang sama. Masyarakat dan perilakunya menjadi objek penelitian utama yang kemudian dijadikan sebagi input bagi proses perencanaan. Jika dilihat dari proses perencanaan yang dilakukan terhadap Kampung Kebalen,terkait dengan pendekatan perilaku yang dilakukan, maka proses perencanaannya dapat kita kelompokkan. 1. Melakukan pendataan terhadap karakteristik penduduk di permukiman Kampung Kebalen, mulai dari suku, agama, perkerjaan, struktur sosial, dll. Hal ini bisa dilihat dari kepedulian perancang terhadap pendataan struktur sosial dan budaya masyarakat. Data yang dikumpulkan tidak hanya bersifat data teknis seperti jumlah penduduk dan jumlah rumah yang dibutuhkan melainkan juga karakteristik dari masing-masing hunian eksisting seperti hunian yang digunakan oleh satu keluarga, atau dua keluarga atau lebih dari dua keluarga.

24 2. Melakukan pengelompokkan elemen permukiman yang akan dirancang. Disini pengelompokkan dilakukan menjadi beberapa bagian, yaitu unit hunian, jalan, drainase, MCK, tempat ibadah. 3. Melakukan observasi atas aktivitas/perilaku masyarakat terkait dengan elemen lingkungan yang sudah dikelompokkan sebelumnya. 4. Melakukan perencanaan berdasarkan input data perilaku/aktivitas masyarakat Kampung Kebalen. Dimana perencanaan ini dibagi menjadi dua bagian besar yaitu perencanaan untuk unit hunian dan perencananaan untuk lingkungan (jalan, drainase, MCK, tempat ibadah). Salah satu contohnya adalah disediakannya ruang tanama di bagian depan masing-masing rumah (Gambar 2.12). Penyediaan Ruang untuk Tanaman Gambar 2.12 Hasil Rancangan Lingkungan Terkait Perilaku Masyarakat (Aga Khan Award for Architecture, 1989)

25 Berdasarkan data literatur yang didapat, diketahui bahwa walaupun Kampung Kebalen termasuk daerah permukiman kumuh sebelum dilakukan peningkatan, namun kebiasaan menanam bunga atau pohon kecil di depan rumah sudah terjadi cukup lama. Untuk itu desain yang dibuat mencoba mengakomodasi kebiasaan ini dengan menyediakan ruang tanam di depan masing-masing unit hunian (Gambar 2.13). Gambar 2.13 Implementasi Hasil Rancangan Lingkungan Terkait Perilaku Masyarakat (Aga Khan Award for Architecture, 1989) Dari hasil pelaksanaan pembangunan terkait rancangan yang dilakukan terlihat bahwa penyediaan ruang tanam di depan unit hunian bisa dikatakan cukup berhasil. Ruang yang ada memang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk menanam bunga dan pohon kecil, sebagai salah satu bukti bahwa perancanaan yang berorientasi pada masyarakat akan lebih mudah diterima.

26 Mengakomodasi kebiasaan masyarakat yang memanfaatkan jalan sebagai tempat melakukan aktivitas ekonomi dapat dilihat pada Gambar 2.14 dan Gambar 2.14 Pemanfaatan pinggiran jalan sebagai tempat usaha (Aga Khan Award for Architecture, 1989) Gambar 2.15 Pemanfaatan pinggiran jalan sebagai tempat usaha (sesudah dilakukan KIP) (Aga Khan Award for Architecture, 1989)

27 Dari kedua gambar di atas bisa dilihat bagaimana perencana mengakomodasi perilaku masyarakat dalam perencaaan jalan lingkungan. Lebar jalan disesuaikan dengan keperluan masyarkat, yang pada umumnya hamya berjalan kaki dan menggunakan sepeda motor. Bagian pinggiran jalan sengaja disisakan sebagai lahan bagi masyarakat untuk berjualan. Perencanaan ini tentu juga akan menghemat biaya perencanaan jalan, dan jalan yang dibangun juga tidak akan sia-sia karena digunakan sebagai tempat berjualan. Contoh berikutnya dapat dilihat pada Gambar 2.16, dimana berdasarkan data literatur yang diperoleh diketahui bahwa daya tampung mesjid tidak dapat mencukupi jumlah penduduk yang ada, terutama pada hari-hari besar keagamaan. Solusi yang diberikan adalah dengan membuat pembatas ruang ibadah yang fleksibel yang dapat sewaktu-waktu dipindahkan dan jalur pejalan kaki yang di samping mesjid dibuat sama tinggi dengan ruang ibadah sehingga bisa digunakan sebagai tambahan ruang ibadah. Gambar 2.16 Pembatas Ruang Ibadah yang Fleksibel (Aga Khan Award for Architecture, 1989)

28 Untuk unit hunian, perencana melakukan pengelompokan berdasarkan karakteristik penghuninya. Dari karakteristik penghuni yang ada, maka didapat enam (6) tipe unit hunian. Kemudian dari masing-masing tipe unit hunian akan dibuat sebuah guideline design yang tentunya didasari perilaku dari penghuninya tersebut. 1. Unit hunian keluarga kecil (2 kamar tidur) (Gambar 2.17) - Jumlah anggota keluarga tidak lebih dari 5 orang. - Biasanya anak masih kecil sehingga bisa bergabung dalam satu kamar. Bentukan ruang tidur utama yang cukup besar dan memanjang disebabkan tingkat privasi yang cukup tinggi. Ruang tamu dengan ukuran besar dikarenakan tingkat hubungan yang baik dengan tetangga, serta digunakan juga sebagai ruang keluarga Gambar 2.17 Unit Hunian Keluarga Kecil (Aga Khan Award for Architecture, 1989)

29 2. Unit hunian keluarga kecil (3 kamar tidur) (Gambar 2.18) - Jumlah anggota keluarga tidak lebih dari 5 orang. - Biasanya anak memasuki usia menjelang remaja - Lahan cukup luas Ruang tidur utama langsung terhubung dengan ruang tidur anak yang berusia masih muda. Tiga bukaan pintu pada ruang tamu menunjukkan intensitas kunjungan tetangga. Gambar 2.18 Unit Hunian Keluarga Kecil (3 kamar tidur) (Aga Khan Award for Architecture, 1989)

30 3. Unit hunian dan kamar sewa (Gambar 2.19) Kamar sewa Dapur bersama Rumah pemilik Gambar 2.19 Unit Hunian dan Kamar Sewa (Aga Khan Award for Architecture, 1989)

31 Pada unit hunian dengan tipe ini, biasanya jalur masuk akan dibagi menjadi dua yaitu jalur penyewa dan jalur pemilik rumah, bisa dilihat pada gambar di atas jalur pemilik di sebelah kiri dan jalur penyewa di sebelah kanan. Biasanya penyewa merupkan orang lama juga di kampung ini, sehingga penggunaan dapur secara bersama tidak mengganggu pemilik rumah. 4. Unit hunian keluarga kecil bertingkat (3 kamar tidur) (Gambar 2.20) - Jumlah anggota keluarga tidak lebih dari 5 orang. - Penambahan tingkat dikarenakan oleh keterbatasan lahan. Keberadaan ruang keluarga dan ruang tamu yang terpisah menunjukkan perlunya privasi untuk ruang keluarga bagi keluarga dengan tipe hunian ini Gambar 2.20 Unit Hunian Keluarga Kecil Bertingkat (3 kamar tidur) (Aga Khan Award for Architecture, 1989)

32 5. Unit hunian 2 keluarga gandeng (Gambar 2.21) Tipe unit hunian ini biasanya muncul karena hunian yang dulunya dihuni oleh satu keluarga kemudian berkembang menjadi dua keluarga. Sebagai contoh orangtua sebuah keluarga sudah meninggal dan anaknya ada dua orang yang kemudian masing-masing juga memiliki keluarga sendiri dan tetap tinggal di tempat yang sama. Jalur masuk bagi rumah keluarga yang ada di bagian belakang Batasan antara rumah yang ada di depan dengan rumah yang ada di belakang tidak ketat, menunjukkan masih dekatnya hubungan keluarga di antara dua pemilik rumah. Jalur masuk bagi rumah keluarga yang ada di bagian depan Gambar 2.21 Unit Hunian 2 Keluarga Gandeng (Aga Khan Award for Architecture, 1989)

33 6. Unit hunian multi keluarga (Gambar 2.22) Unit hunian Multi-Keluarga ini adalah tipe hunian yang biasanya dihuni oleh 4 keluarga atau lebih. Tipe hunian ini diperuntukkan untuk daerah unit hunian yang cukup padat. Ruang terbuka di lantai 2 yang digunakan sebagai ruang santai dan ruang jemur pakaian bagi keluarga di lantai 2. Gambar 2.22 Unit Hunian Multi-Keluarga (Aga Khan Award for Architecture, 1989)

34 2.5.2 Aranya community housing Berbeda dengan Kampung Kebalen Improvement Program yang merupakan program perbaikan kampung (slum upgrading), Aranya Community Housing, merupakan program perencanaan kawasan permukiman di lokasi baru yang dilakukan oleh pemerintah India yang ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah di Indore, India Data proyek Nama Proyek Pemilik Proyek : Aranya Community Housing : Penduduk perumahan kumuh di Indore diwakili oleh Indore Development Authority Perencana Konsultan : Balkrishna V Doshi : Himansu Parikh (pimpinan proyek) Deepak Kantawala (ahli teknik lingkungan) Vishnu Joshi (ahli sipil) Luasan : 85 Hektar Jumlah rumah : Lama Pengerjaan : Desain : : Konstruksi : Kajian terhadap aranya community housing Aspek yang akan dibahas terkait Aranya Community Housing ini akan dimulai dari tujuan proyek, metode yang digunakan dalam proses desain serta hasil keluaran desain.

35 1. Lokasi Proyek ini merupakan proyek relokasi permukiman kumuh yang ada di Kota Indore yang padat menuju daerah Aranya yang masih berada di Kota Indore dengan jarak kurang lebih 6-7 Km (Gambar 2.23). Gambar 2.23 Lokasi Aranya Community Housing (Google Map, 2016) Jika dianalisa diketahui bahwa relokasi penduduk tidak dilakukan terlalu jauh dari tempat asal, hanya sekitar 6-7 km atau sekitar setengah jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan bermotor. Ini mengindikasikan bahwa lokasi baru yang dipilih untuk relokasi tidak boleh terlalu jauh dari lokasi awal, dikarenakan banyak faktor, terutama faktor ekonomi (lokasi pekerjaan penduduk yang direlokasi).

36 2. Kondisi awal perumahan Permukiman awal memiliki karakteristik tertentu sebagai berikut. a. Merupakan kumpulan rumah-rumah kumuh yang membentuk suatu lingkungan-lingkungan kecil, dengan bagian rumah yang menjorok hingga ke bagian luar bangunan. b. Toko akan muncul pada bagian pemukiman yang padat. c. Kebiasaan untuk menanam pohon setiap ada ruang kosong di lingkungannya. d. Fungsi jalan yang tidak hanya digunakan sebagai jalur untuk pergerakan, tetapi juga mengakomodasi kegiatan sosial, dan ekonomis. e. Permasalahan utama yang muncul adalah sarana dan prasaran yang tidak mencukupi serta keadaan infrastruktur yang buruk yang pada akhirnya mempengaruhi kesehatan lingkungan serta kesejahteraan penduduk. Karakteristik ini jika dibandingkan dengan lokasi yang akan diteliti memiliki beberapa kemiripan seperti dalam penggunaan jalan, kurang memadainya sarana dan prasarana, dll.

37 3. Master plan Keluaran desain yang dihasilkan mencoba untuk mengakomodasi kriteria permukiman penduduk yang ada di Indore dalam desain permukiman yang akan dibangun di Aranya selain itu juga tentunya akan menambahkan sarana/prasarana serta infrastruktur yang lebih memadai (Gambar 2.24). Gambar 2.24 Master Plan Aranya Community Housing (Aga Khan Award for Architecture, 1981)

38 Master plan dibuat agar dapat mengakomodasi ruang terbuka (open space) setiap 10 unit hunian dan juga memperhatikan hubungannya dengan jalur lalu lintas kendaraan. Dimana pada masyarakat yang akan direlokasi ke wilayah ini keberadaan ruang terbuka sifatnya sangat penting, karena bukan hanya sebagai tempat berkumpul warga, ruang terbuka juga berfungsi sebagai tempat kegiatan-kegiatan lainnya seperti kegiatan sosial, agama, pesta kecil dan sejenisnya (Gambar 2.25). Jalan Open Space Gambar 2.25 Hubungan Jalan dan Ruang Terbuka (Aga Khan Award for Architecture, 1981) Perletakan unit hunian juga dibuat berdasarkan tingkat pemasukan dimana masyarakat berpendapatan tinggi dan menengah diletakkan di bagian pinggir jalan utama dan penduduk berpendapatan rendah di bagian dalam (Gambar 2.26).

39 Gambar 2.26 Perletakan Tipe Unit Hunian (Aga Khan Award for Architecture, 1981) 4. Unit hunian Bagian unit hunian yang akan dibahas hanya terfokus pada unit hunian yang diperuntukkan bagi masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah. Dari Gambar 2.27 dibawah bisa dilihat bahwa setiap 10 unit hunian maka terdapat sebuah ruang terbuka yang disediakan sebagai tempat masyarakat berkumpul, ini dilakukan untuk mengakomodasi tipologi bangunan di lokasi awal yang selalu membentuk satu lingkungan kecil untuk setiap beberapa rumah.

40 Gambar 2.27 Unit Hunian Penduduk Berpendapatan Rendah (Aga Khan Award for Architecture, 1981) Penghuni juga diberikan keleluasaan untuk memilih sendiri bentukan bangunan yang diinginkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Hal ini juga termasuk pada fasade dan ornamen fasade yang digunakan. Perencanan menyediakan beberapa ornamen fasade yang akan dipilih, sehingga penghuni dapat membuat pilihan dari fasade/ornamen fasade yang ditawarkan. Hal ini pada akhirnya menghasilkan fasade bangunan yang tidak monoton (Gambar 2.28). Gambar 2.28 Variasi Unit Hunian (Aga Khan Award for Architecture, 1981)

41 Bila dikombinasikan dalam komplek 10 unit hunian maka dapat membentuk variasi fasade seperti pada Gambar Pada Gambar 2.30 menunjukkan bahwa desain yang dihasilkan juga mengakomodasi kemungkinan dibuatnya rumah yang menjorok ke bagian luar dengan memberikan jarak sekitar setengah meter antara jalan dengan bangunan. Gambar 2.29 Variasi Komplek Unit Hunian (Aga Khan Award for Architecture, 1981) Gambar 2.30 Jarak Antara Hunian dengan Jalan (Aga Khan Award for Architecture, 1981)

42 Pada Gambar 2.31 menunjukkan bagaimana masyarakat memanfaatkan ruang terbuka yang ada untuk menanam pohon. Kebiasaan menanam pohon itu terkait dengan keadaan iklim dan cuaca di lokasi dimana penghuni berada. Gambar 2.31 Jarak Antara Hunian dengan Jalan (Aga Khan Award for Architecture, 1981) Gambar 2.32 menunjukkan bagaimana jalan sengaja didesain sehingga memungkinkan terjadinya sosialisasi serta kegiatan ekonomi. Gambar 2.33 menunjukkan interior tipikal di tiap rumah yang memberikan fleksibilitas bagi pemilik rumah untuk dapat mengatur rumahnya sendiri. Gambar 2.32 Jalan Sebagai Tempat Sosialisasi dan Kegiatan Ekonomi (Aga Khan Award for Architecture, 1981)

43 Gambar 2.33 Interior Tipikal Unit Hunian (Aga Khan Award for Architecture, 1981)

BAB I PENDAHULUAN. yang terletak di bantaran Sungai Deli, Kelurahan Kampung Aur, Medan. Jika

BAB I PENDAHULUAN. yang terletak di bantaran Sungai Deli, Kelurahan Kampung Aur, Medan. Jika BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukiman Kampung Aur merupakan salah satu permukiman padat penduduk yang terletak di bantaran Sungai Deli, Kelurahan Kampung Aur, Medan. Jika berbicara mengenai permukiman

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN KHUSUS

BAB III TINJAUAN KHUSUS BAB III TINJAUAN KHUSUS III.1. Latar Belakang Pemilihan Tema Gambaran beberapa kata kunci dengan pengelompokan dalam tapak dan sekitarnya, dengan pendekatan pada tema : Diagram 3.1.Latar Belakang Pemilihan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Pasar Oeba selain sebagai layanan jasa komersial juga sebagai kawasan permukiman penduduk. Kondisi pasar masih menghadapi beberapa permasalahan antara lain : sampah

Lebih terperinci

KAJIAN PERANCANGAN PERMUKIMAN KAMPUNG AUR DENGAN PENDEKATAN ARSITEKTUR PERILAKU DAN LINGKUNGAN TESIS OLEH : DICKY ANDREA SEMBIRING /AR

KAJIAN PERANCANGAN PERMUKIMAN KAMPUNG AUR DENGAN PENDEKATAN ARSITEKTUR PERILAKU DAN LINGKUNGAN TESIS OLEH : DICKY ANDREA SEMBIRING /AR KAJIAN PERANCANGAN PERMUKIMAN KAMPUNG AUR DENGAN PENDEKATAN ARSITEKTUR PERILAKU DAN LINGKUNGAN TESIS OLEH : DICKY ANDREA SEMBIRING 127020011/AR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017 KAJIAN

Lebih terperinci

KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. perumahan di Kota Sleman dan lahan pertanian masih tetap. penggunaan tanah sebagai pertimbangan utama, juga harus

KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. perumahan di Kota Sleman dan lahan pertanian masih tetap. penggunaan tanah sebagai pertimbangan utama, juga harus BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN 5. 1 Konsep Dasar Perencanaan 5.1.1 Tata Ruang Makro A. Konsep Pola Ruang Rumah susun diharapkan akan menekan pembangunan perumahan di Kota Sleman dan lahan pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Eksistensi Proyek. kota besar di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan jumlah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Eksistensi Proyek. kota besar di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1 Latar Belakang Eksistensi Proyek Meningkatnya kebutuhan akan rumah, terbatasnya lahan, serta tingginya nilai lahan menjadi fenomena umum yang terjadi hampir

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Setelah dilakukan penelitian tentang perilaku warga di rumah tinggal di kawasan pantai Purus kota Padang, maka telah di dapatkan jawaban tentang bagaimana orang

Lebih terperinci

BAB 1 KONDISI KAWASAN KAMPUNG HAMDAN

BAB 1 KONDISI KAWASAN KAMPUNG HAMDAN BAB 1 KONDISI KAWASAN KAMPUNG HAMDAN Daerah pemukiman perkotaan yang dikategorikan kumuh di Indonesia terus meningkat dengan pesat setiap tahunnya. Jumlah daerah kumuh ini bertambah dengan kecepatan sekitar

Lebih terperinci

BAB I. Persiapan Matang untuk Desain yang Spektakuler

BAB I. Persiapan Matang untuk Desain yang Spektakuler BAB I Persiapan Matang untuk Desain yang Spektakuler Kampung Hamdan merupakan salah satu daerah di Kota Medan yang termasuk sebagai daerah kumuh. Hal ini dilihat dari ketidak beraturannya permukiman warga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Pemahaman Judul dan Tema

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Pemahaman Judul dan Tema BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkotaan dengan kompleksitas permasalahan yang ada di tambah laju urbanisasi yang mencapai 4,4% per tahun membuat kebutuhan perumahan di perkotaan semakin meningkat,

Lebih terperinci

KAJIAN AREA PARKIR SEPEDA MOTOR PLAZA SIMPANGLIMA SEMARANG DITINJUA DARI PERILAKU PENGUNJUNG

KAJIAN AREA PARKIR SEPEDA MOTOR PLAZA SIMPANGLIMA SEMARANG DITINJUA DARI PERILAKU PENGUNJUNG KAJIAN AREA PARKIR SEPEDA MOTOR PLAZA SIMPANGLIMA SEMARANG DITINJUA DARI PERILAKU PENGUNJUNG Mohhamad Kusyanto Program Studi Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sultan Fatah (UNISFAT) Jl. Sultan

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN SETING PRILAKU PENGUNJUNG DI TAMAN NOSTALGIA KUPANG. Oleh I Kadek Mardika

LAPORAN PENELITIAN SETING PRILAKU PENGUNJUNG DI TAMAN NOSTALGIA KUPANG. Oleh I Kadek Mardika LAPORAN PENELITIAN SETING PRILAKU PENGUNJUNG DI TAMAN NOSTALGIA KUPANG Oleh I Kadek Mardika UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA KUPANG 2015 i KATA PENGANTAR Dunia arsitektur selama ini lebih banyak diketahui

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK TERITORIALITAS RUANG PADA PERMUKIMAN PADAT DI PERKOTAAN

KARAKTERISTIK TERITORIALITAS RUANG PADA PERMUKIMAN PADAT DI PERKOTAAN KARAKTERISTIK TERITORIALITAS RUANG PADA PERMUKIMAN PADAT DI PERKOTAAN Burhanuddin Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas Tadulako bur_arch07@yahoo.co.id Abstrak Perkembangan kota yang begitu cepat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Seorang anak sejak lahir tentu sejatinya membutuhkan kasih sayang yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Seorang anak sejak lahir tentu sejatinya membutuhkan kasih sayang yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seorang anak sejak lahir tentu sejatinya membutuhkan kasih sayang yang diberikan oleh orang tua. Keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu dan saudara kandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perlunya perumahan dan pemukiman telah diarahkan pula oleh Undang-undang Republik

BAB I PENDAHULUAN. perlunya perumahan dan pemukiman telah diarahkan pula oleh Undang-undang Republik BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG I.1.1. Latar Belakang Eksistensi Proyek Pemukiman dan perumahan adalah merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh manusia. Perumahan dan pemukiman tidak hanya

Lebih terperinci

BAB I: PENDAHULUAN Latarbelakang.

BAB I: PENDAHULUAN Latarbelakang. BAB I: PENDAHULUAN 1.1. Latarbelakang Seiring dengan perkembangan Kota DKI Jakarta di mana keterbatasan lahan dan mahalnya harga tanah menjadi masalah dalam penyediaan hunian layak bagi masyarakat terutama

Lebih terperinci

Penerapan Konsep Defensible Space Pada Hunian Vertikal

Penerapan Konsep Defensible Space Pada Hunian Vertikal JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 6, No.2, (2017) 2337-3520 (2301-928X Print) G 218 Penerapan Konsep Defensible Space Pada Hunian Vertikal Ariq Amrizal Haqy, dan Endrotomo Departemen Arsitektur, Fakultas

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA PERENCANAAN

BAB IV ANALISA PERENCANAAN BAB IV ANALISA PERENCANAAN 4.1. Analisa Non Fisik Adalah kegiatan yang mewadahi pelaku pengguna dengan tujuan dan kegiatannya sehingga menghasilkan besaran ruang yang dibutuhkan untuk mewadahi kegiatannya.

Lebih terperinci

BAB 2 EKSISTING LOKASI PROYEK PERANCANGAN. Proyek perancangan yang ke-enam ini berjudul Model Penataan Fungsi

BAB 2 EKSISTING LOKASI PROYEK PERANCANGAN. Proyek perancangan yang ke-enam ini berjudul Model Penataan Fungsi BAB 2 EKSISTING LOKASI PROYEK PERANCANGAN 2.1 Lokasi Proyek Proyek perancangan yang ke-enam ini berjudul Model Penataan Fungsi Campuran Perumahan Flat Sederhana. Tema besar yang mengikuti judul proyek

Lebih terperinci

terarah menurut SNI kriteria kenyamanan adalah (aksesibilitas), kemudahan berkomunikasi (internal/eksternal,

terarah menurut SNI kriteria kenyamanan adalah (aksesibilitas), kemudahan berkomunikasi (internal/eksternal, 2.2. Kenyamanan Secara harfiah pengertian kenyamanan dapat kita lihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu keadaan yang nyaman. Untuk memenuhi suatu keadaan yang nyaman maka harus mampu memenuhi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jakarta yang mencakup Jabodetabek merupakan kota terpadat kedua di dunia dengan jumlah penduduk 26.746.000 jiwa (sumber: http://dunia.news.viva.co.id). Kawasan Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemakaian energi karena sumbernya telah menipis. Krisis lingkungan sangat mempengaruhi disiplin arsitektur di setiap

BAB I PENDAHULUAN. pemakaian energi karena sumbernya telah menipis. Krisis lingkungan sangat mempengaruhi disiplin arsitektur di setiap BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Arsitek pada jaman ini memiliki lebih banyak tantangan daripada arsitekarsitek di era sebelumnya. Populasi dunia semakin bertambah dan krisis lingkungan semakin menjadi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lahan untuk bermukim. Beberapa diantara mereka akhirnya memilih untuk

BAB I PENDAHULUAN. lahan untuk bermukim. Beberapa diantara mereka akhirnya memilih untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di kota-kota besar di negara-negara dunia sering ditemukan adanya daerah kumuh atau pemukiman miskin. Daerah kumuh ini merupakan pertanda kuatnya gejala kemiskinan,

Lebih terperinci

Konsep Desain Partisi Dengan Sistem Modular Untuk Hunian Dengan Lahan Terbatas Di Surabaya

Konsep Desain Partisi Dengan Sistem Modular Untuk Hunian Dengan Lahan Terbatas Di Surabaya Konsep Desain Partisi Dengan Sistem Modular Untuk Hunian Dengan Lahan Terbatas Di Surabaya Ratna Puspitasari 1, Faza Wahmuda 2 Jurusan Desain Produk, Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya Email: ratna.puspitasari03@gmail.com

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembangunan perkotaan yang begitu cepat, memberikan dampak terhadap pemanfaatan ruang kota oleh masyarakat yang tidak mengacu pada tata ruang kota yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Aktivitas Pengrajin Gerabah di Desa Pagelaran

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Aktivitas Pengrajin Gerabah di Desa Pagelaran BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Desa Pagelaran merupakan salah satu daerah penghasil gerabah di Kabupaten Malang. Di tengah wilayah desa ini dilintasi jalan yang menghubungkan Malang dengan Bantur

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KONDISI PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK ( STUDI KASUS RW 13 KELURAHAN DEPOK )

IDENTIFIKASI KONDISI PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK ( STUDI KASUS RW 13 KELURAHAN DEPOK ) IDENTIFIKASI KONDISI PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK ( STUDI KASUS RW 13 KELURAHAN DEPOK ) Bagus Ahmad Zulfikar 1) ; Lilis Sri Mulyawati 2), Umar Mansyur 2). ABSTRAK Berdasarkan hasil

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PERANCANGAN. Dalam kajian perancangan ini berisi tentang penjelasan dari proses atau

BAB 3 METODOLOGI PERANCANGAN. Dalam kajian perancangan ini berisi tentang penjelasan dari proses atau BAB 3 METODOLOGI PERANCANGAN 3.1. Metode Umum Dalam kajian perancangan ini berisi tentang penjelasan dari proses atau tahapan-tahapan dalam merancang, yang disertai dengan teori-teori dan data-data yang

Lebih terperinci

BAB VII RENCANA. 7.1 Mekanisme Pembangunan Rusunawa Tahapan Pembangunan Rusunawa

BAB VII RENCANA. 7.1 Mekanisme Pembangunan Rusunawa Tahapan Pembangunan Rusunawa BAB VII RENCANA 7.1 Mekanisme Pembangunan Rusunawa 7.1.1 Tahapan Pembangunan Rusunawa Agar perencanaan rumah susun berjalan dengan baik, maka harus disusun tahapan pembangunan yang baik pula, dimulai dari

Lebih terperinci

BAGIAN 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Persoalan Perancangan

BAGIAN 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Persoalan Perancangan BAGIAN 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persoalan Perancangan Karakteristik kawasan permukiman kumuh di Kota Yogyakarta adalah kawasan permukiman dengan tingkat kepadatan bangunan yang tinggi dan terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Apartemen di D.I. Yogyakarta. Tabel 1. 1 Jumlah Penduduk DIY menurut Kabupaten/Kota Tahun (000 jiwa)

BAB I PENDAHULUAN. Apartemen di D.I. Yogyakarta. Tabel 1. 1 Jumlah Penduduk DIY menurut Kabupaten/Kota Tahun (000 jiwa) BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.1.1 Latar Belakang Pengadaan Proyek Perkembangan suatu wilayah dapat dilihat dari pertumbuhan secara fisik, soasial, ekonomi, dan aktivitas di dalamnya. Daerah Istimewa

Lebih terperinci

Persepsi Masyarakat terhadap Permukiman Bantaran Sungai

Persepsi Masyarakat terhadap Permukiman Bantaran Sungai TEMU ILMIAH IPLBI 0 Persepsi Masyarakat terhadap Permukiman Bantaran Sungai Binar T. Cesarin (), Chorina Ginting () () Magister Rancang Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan

Lebih terperinci

BAB VI HASIL PERANCANGAN. apartemen sewa untuk keluarga baru yang merupakan output dari proses analisis

BAB VI HASIL PERANCANGAN. apartemen sewa untuk keluarga baru yang merupakan output dari proses analisis 185 BAB VI HASIL PERANCANGAN Bab enam ini akan menjelaskan tentang desain akhir perancangan apartemen sewa untuk keluarga baru yang merupakan output dari proses analisis tapak dan objek. 6.1 Tata Massa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penduduk kota kota di Indonesia baik sebagai akibat pertumbuhan penduduk maupun akibat urbanisasi telah memberikan indikasi adanya masalah perkotaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman kumuh di kota yang padat penduduk atau dikenal dengan istilah urban

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman kumuh di kota yang padat penduduk atau dikenal dengan istilah urban BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kota Jakarta sebagai ibu kota negara yang terus berkembang mengalami permasalahan dalam hal penyediaan hunian yang layak bagi warga masyarakatnya. Menurut data kependudukan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tinggi terletak pada LU dan BT. Kota Tebing Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Tinggi terletak pada LU dan BT. Kota Tebing Tinggi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tebing Tinggi adalah adalah satu dari tujuh kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara, yang berjarak sekitar 78 kilometer dari Kota Medan. Kota Tebing Tinggi terletak

Lebih terperinci

PENGARUH LINGKUNGAN BUATAN PADA PERILAKU MANUSIA

PENGARUH LINGKUNGAN BUATAN PADA PERILAKU MANUSIA PENGARUH LINGKUNGAN BUATAN PADA PERILAKU MANUSIA Pia Sri Widiyati Program Studi Desain Interior Sekolah Tinggi Desain InterStudi Jl. Kapten Tendean No. 2 Kebayoran Baru Jakarta Selatan Abstrak Para ahli

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PEMANFAATAN RUANG PUBLIK DENGAN PENYESUAIAN SOSIAL PENGHUNI RUMAH SUSUN KOPASSUS DI CIJANTUNG

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PEMANFAATAN RUANG PUBLIK DENGAN PENYESUAIAN SOSIAL PENGHUNI RUMAH SUSUN KOPASSUS DI CIJANTUNG HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PEMANFAATAN RUANG PUBLIK DENGAN PENYESUAIAN SOSIAL PENGHUNI RUMAH SUSUN KOPASSUS DI CIJANTUNG S K RI P S I Untuk Memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat S-1

Lebih terperinci

MOTTO DAN HALAMAN PERSEMBAHAN...

MOTTO DAN HALAMAN PERSEMBAHAN... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii ABSTRAK... iii MOTTO DAN HALAMAN PERSEMBAHAN... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiv BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina dan dikembangkan

Lebih terperinci

BAB I MELIHAT SUNGAI DELI SECARA KESELURUHAN

BAB I MELIHAT SUNGAI DELI SECARA KESELURUHAN 4 BAB I MELIHAT SUNGAI DELI SECARA KESELURUHAN 1.1 Faktor Tapak dan Lingkungan Proyek Kasus proyek yang dibahas disini adalah kasus proyek C, yaitu pengembangan rancangan arsitektural model permukiman

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Mahasiswa merupakan salah satu aktor dalam perguruan tinggi karena

BAB I. PENDAHULUAN. Mahasiswa merupakan salah satu aktor dalam perguruan tinggi karena BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mahasiswa merupakan salah satu aktor dalam perguruan tinggi karena aktivitasnya dalam perguruan tinggi tersebut, adapun mahasiswa dengan segala aktivitasnya dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERANCANGAN. Konsep dasar perancangan beranjak dari hasil analisis bab sebelumnya yang

BAB V KONSEP PERANCANGAN. Konsep dasar perancangan beranjak dari hasil analisis bab sebelumnya yang BAB V KONSEP PERANCANGAN 5.1 Konsep Dasar Konsep dasar perancangan beranjak dari hasil analisis bab sebelumnya yang kemudian disintesis. Sintesis diperoleh berdasarkan kesesuaian tema rancangan yaitu metafora

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1981). Kondisi dualistik pada kawasan perkotaan di gambarkan dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. 1981). Kondisi dualistik pada kawasan perkotaan di gambarkan dengan adanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Hampir seluruh kota di indonesia kini bersifat dualistik. Dualistik berarti telah terjadi pertemuan antara dua kondisi atau sifat yang berbeda (Sujarto, 1981). Kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. a. Strategi/ Pendekatan Perancangan. Untuk pemilihan judul rest area tol Semarang-Solo

BAB I PENDAHULUAN. a. Strategi/ Pendekatan Perancangan. Untuk pemilihan judul rest area tol Semarang-Solo BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang a. Strategi/ Pendekatan Perancangan Untuk pemilihan judul rest area tol Semarang-Solo dikarenakan masih kurangnya fasilitas seperti rest area yang berada di tol Jawa

Lebih terperinci

CONTOH KASUS PEREMAJAAN KOTA DI INDONESIA (GENTRIFIKASI)

CONTOH KASUS PEREMAJAAN KOTA DI INDONESIA (GENTRIFIKASI) Perancangan Kota CONTOH KASUS PEREMAJAAN KOTA DI INDONESIA (GENTRIFIKASI) OLEH: CUT NISSA AMALIA 1404104010037 DOSEN KOORDINATOR IRFANDI, ST., MT. 197812232002121003 PEREMAJAAN KOTA Saat ini, Perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang Saat ini industri perhotelan di Indonesia terus berkembang seiring dengan perkembangan dunia usaha yang ditandai dengan terus bertambahnya jumlah hotel yang ada. Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Oleh karena itu,bukan suatu pandangan yang aneh bila kota kota besar di

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Oleh karena itu,bukan suatu pandangan yang aneh bila kota kota besar di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota di Indonesia merupakan sumber pengembangan manusia atau merupakan sumber konflik sosial yang mampu mengubah kehidupan dalam pola hubungan antara lapisan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara

BAB 2 LANDASAN TEORI. kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Redevelopment Redevelopment atau yang biasa kita kenal dengan pembangunan kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara mengganti sebagian dari,

Lebih terperinci

JUDUL TESIS KONSEP PERANCANGAN RUMAH SUSUN BAGI PEDAGANG PASAR STUDI KASUS : PASAR OEBA, KELURAHN FATUBESI, KOTA KUPANG

JUDUL TESIS KONSEP PERANCANGAN RUMAH SUSUN BAGI PEDAGANG PASAR STUDI KASUS : PASAR OEBA, KELURAHN FATUBESI, KOTA KUPANG JUDUL TESIS KONSEP PERANCANGAN RUMAH SUSUN BAGI PEDAGANG PASAR STUDI KASUS : PASAR OEBA, KELURAHN FATUBESI, KOTA KUPANG LATAR BELAKANG PENDAHULUAN : a) Hunian merupakan kebutuhan dasar manusia, dan hak

Lebih terperinci

BAB VI HASIL PERANCANGAN. terdapat pada konsep perancangan Bab V yaitu, sesuai dengan tema Behaviour

BAB VI HASIL PERANCANGAN. terdapat pada konsep perancangan Bab V yaitu, sesuai dengan tema Behaviour BAB VI HASIL PERANCANGAN 6.1 Dasar Perancangan Hasil perancangan Sekolah Dasar Islam Khusus Anak Cacat Fisik di Malang memiliki dasar konsep dari beberapa penggambaran atau abstraksi yang terdapat pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persoalan kecenderungan meningkatnya permintaan dan kurangnya penyediaan di

BAB I PENDAHULUAN. persoalan kecenderungan meningkatnya permintaan dan kurangnya penyediaan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumahan menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia, dimana perkembangannya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah perkembangan wilayah perkotaan. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB III METODE PERANCANGAN. kualitatif. Dimana dalam melakukan analisisnya, yaitu dengan menggunakan konteks

BAB III METODE PERANCANGAN. kualitatif. Dimana dalam melakukan analisisnya, yaitu dengan menggunakan konteks BAB III METODE PERANCANGAN Metode perancangan Rumah Susun pekerja ini menggunakan metode secara kualitatif. Dimana dalam melakukan analisisnya, yaitu dengan menggunakan konteks permasalahan yang ada secara

Lebih terperinci

BAB III: DATA DAN ANALISA

BAB III: DATA DAN ANALISA BAB III: DATA DAN ANALISA 3.1. Data Fisik dan Non Fisik 2.1.1. Data Fisik Lokasi Luas Lahan Kategori Proyek Pemilik RTH Sifat Proyek KLB KDB RTH Ketinggian Maks Fasilitas : Jl. Stasiun Lama No. 1 Kelurahan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan Karakteristik penghuni yang mempengaruhi penataan interior rumah susun

BAB VI KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan Karakteristik penghuni yang mempengaruhi penataan interior rumah susun BAB VI KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian diketahui telah terjadi suatu pola perubahan pada unit hunian rumah susun sewa Sombo. Perubahan terjadi terutama pada penataan ruang hunian yang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN ARSITEKTUR BINUS UNIVERSITY

BAB V KESIMPULAN ARSITEKTUR BINUS UNIVERSITY 81 BAB V KESIMPULAN V.1 Dasar Perencanaan dan Perancangan V.1.1 Keterkaitan Konsep dengan Tema dan Topik Konsep dasar pada perancangan ini yaitu penggunaan isu tentang Sustainable architecture atau Environmental

Lebih terperinci

TEORI & STUDIO PERANCANGAN ARSITEKTUR 1

TEORI & STUDIO PERANCANGAN ARSITEKTUR 1 TEORI & STUDIO PERANCANGAN ARSITEKTUR 1 MAKNA FUNGSI Fungsi dalam pengertian sederhana adalah kegunaan Fungsi juga dapat dimaknai sebagai suatu cara untuk memenuhi keinginan Fungsi timbul sebagai akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.1.1 Latar Belakang proyek

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.1.1 Latar Belakang proyek BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.1.1 Latar Belakang proyek Di ibukota Jakarta, penduduknya lebih banyak adalah para pendatang dari luar daerah Jakarta untuk mencari pekerjaan. Mereka berasal dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pusat kota, terutama kawasan bantaran sungai di tengah kota. Status kepemilikan

BAB I PENDAHULUAN. pusat kota, terutama kawasan bantaran sungai di tengah kota. Status kepemilikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan pertumbuhan yang kini sedang dirasakan sebagian besar kotakota di Indonesia salah satunya adalah pertumbuhan permukiman informal di kawasan pusat kota,

Lebih terperinci

PUSAT DESAIN DAN PEMBUATAN MEBEL

PUSAT DESAIN DAN PEMBUATAN MEBEL PUSAT DESAIN DAN PEMBUATAN MEBEL JURNAL PERANCANGAN TUGAS AKHIR Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Penyelesaian Program S 1 Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas 17 Agustus 1945 Samarinda OLEH

Lebih terperinci

BAB I SHARPEN YOUR POINT OF VIEW. Pelaksanaan PA6 ini dimulai dari tema besar arsitektur muka air, Riverfront

BAB I SHARPEN YOUR POINT OF VIEW. Pelaksanaan PA6 ini dimulai dari tema besar arsitektur muka air, Riverfront BAB I SHARPEN YOUR POINT OF VIEW Proses Perancangan Arsitektur 6 (PA6) merupakan obyek riset skripsi untuk pendidikan sarjana strata satu (S1) bagi mahasiswa peserta skripsi alur profesi. Pelaksanaan PA6

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2000 persentase penduduk kota di Negara Dunia Ketiga telah

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2000 persentase penduduk kota di Negara Dunia Ketiga telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 2000 persentase penduduk kota di Negara Dunia Ketiga telah mencapai 40,7% (Maran, 2003). Di Indonesia, persentase penduduk kota mencapai 42,4% pada tahun

Lebih terperinci

VI. PERENCANAAN LANSKAP PEDESTRIAN SHOPPING STREET

VI. PERENCANAAN LANSKAP PEDESTRIAN SHOPPING STREET 42 VI. PERENCANAAN LANSKAP PEDESTRIAN SHOPPING STREET Pengembangan konsep dalam studi perencanaan kawasan ini akan terbagi ke dalam empat sub konsep, yaitu perencanaan lanskap pedestrian shopping street,

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR 118 PEREMAJAAN RUMAH SUSUN PEKUNDEN SEMARANG BAB I PENDAHULUAN

TUGAS AKHIR 118 PEREMAJAAN RUMAH SUSUN PEKUNDEN SEMARANG BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan, perumahan, dan pemukiman pada hakekatnya merupakan pemanfaatan lahan secara optimal, khususnya lahan di perkotaan agar berdaya guna dan berhasil guna sesuai

Lebih terperinci

Hubungan Karakteristik Penduduk dengan Pemilihan Ruang Publik di Kampung Luar Batang, Jakarta Utara

Hubungan Karakteristik Penduduk dengan Pemilihan Ruang Publik di Kampung Luar Batang, Jakarta Utara TEMU ILMIAH IPLBI 2016 Hubungan Karakteristik Penduduk dengan Pemilihan Ruang Publik di Kampung Luar Batang, Jakarta Utara Tamiya Miftau Saada Kasman Program Studi Magister Arsitektur, Sekolah Arsitektur,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Studi Elemen Preservasi Kawasan Kota dengan studi kasus Koridor Jalan Nusantara Kecamatan Karimun Kabupaten Karimun diantaranya menghasilkan beberapa kesimpulan:

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Struktur penelitian ini berhubungan dengan ekologi-arsitektur yaitu hubungan interaksi ekosistem mangrove dengan permukiman pesisir Desa Tanjung Pasir

Lebih terperinci

AR 40Z0 Laporan Tugas Akhir Rusunami Kelurahan Lebak Siliwangi Bandung BAB 5 HASIL PERANCANGAN

AR 40Z0 Laporan Tugas Akhir Rusunami Kelurahan Lebak Siliwangi Bandung BAB 5 HASIL PERANCANGAN BAB 5 HASIL PERANCANGAN 5.1 Konsep Dasar Bangunan yang baru menjadi satu dengan pemukiman sekitarnya yang masih berupa kampung. Rumah susun baru dirancang agar menyatu dengan pola pemukiman sekitarnya

Lebih terperinci

BAB III METODE PERANCANGAN. ingin dibuat sebelum kita membuatnya, berkali-kali sehingga memungkinkan kita

BAB III METODE PERANCANGAN. ingin dibuat sebelum kita membuatnya, berkali-kali sehingga memungkinkan kita BAB III METODE PERANCANGAN Perancangan merupakan suatu proses yang terdiri dari beberapa tahapan, dan tahapan tersebut memburtuhkan proses dalam jangka waktu yang tidak singkat. Menurut Booker perancangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendasar yang harus diwujudkan untuk melangsungkan hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. mendasar yang harus diwujudkan untuk melangsungkan hidupnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya, manusia membutuhkan makan, minum, suatu ruang di mana dia dapat merasakan kenyamanan, keamanan dan perlindungan dari segala aspek yang ada di sekitarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di kota Jakarta mendorong perkembangan dari berbagai sektor, yaitu: hunian, perkantoran dan pusat perbelanjaan/ bisnis. Tanah Abang terletak di

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KONFIRGURASI PERUBAHAN RUANG RSS GRIYA HARAPAN A PALEMBANG

IDENTIFIKASI KONFIRGURASI PERUBAHAN RUANG RSS GRIYA HARAPAN A PALEMBANG IDENTIFIKASI KONFIRGURASI PERUBAHAN RUANG RSS GRIYA HARAPAN A PALEMBANG Wienty Triyuly Program Studi Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya JL. Raya Prabumulih Telp. 0711-7083885 Inderalaya,

Lebih terperinci

DESKRIPSI OBJEK STUDI

DESKRIPSI OBJEK STUDI BAB III DESKRIPSI OBJEK STUDI 3.1 Deskripsi Objek Studi Objek yang akan penulis redesain adalah sebuah Lembaga Pemasyaratan Sukamiskin Bandung. Lembaga Pemasyarakatan yang akan dirancang adalah salah satu

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... xiv BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 LATAR BELAKANG... 1 1.2 TUJUAN DAN SASARAN...

Lebih terperinci

1 A p a r t e m e n S i s i n g a m a n g a r a j a S e m a r a n g

1 A p a r t e m e n S i s i n g a m a n g a r a j a S e m a r a n g BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Berbagai upaya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal ini, salah satu caranya adalah

Lebih terperinci

BAB III METODE PERANCANGAN. Pembahasan yang dikemukakan dalam bagian bab ini ditujukan untuk

BAB III METODE PERANCANGAN. Pembahasan yang dikemukakan dalam bagian bab ini ditujukan untuk BAB III METODE PERANCANGAN Pembahasan yang dikemukakan dalam bagian bab ini ditujukan untuk dijadikan metode serta acuan dasar perancangan arsitektur, baik secara umum maupun khusus terkait dengan rancangan

Lebih terperinci

Fasilitas Komersial (Area Makan Lantai 1) (2)

Fasilitas Komersial (Area Makan Lantai 1) (2) Fasilitas Komersial (Area Makan Lantai 1) (2) Gambar simulasi rancangan 5.30 : Area makan lantai satu bangunan komersial di boulevard stasiun kereta api Bandung bagian Selatan 5.6.3 Jalur Pedestrian Jalur

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN KHUSUS

BAB III TINJAUAN KHUSUS BAB III TINJAUAN KHUSUS 3.1 Pengertian Tema Arsitektur Berwawasan Perilaku, berasal dari kata : Arsitektur : Arsitektur adalah ruang fisik untuk aktifitas manusia, yang memungkinkan pergerakan manusia

Lebih terperinci

Perubahan Pola Tata Ruang Unit Hunian pada Rusunawa Bayuangga di Kota Probolinggo

Perubahan Pola Tata Ruang Unit Hunian pada Rusunawa Bayuangga di Kota Probolinggo Perubahan Pola Tata Ruang Unit Hunian pada Rusunawa Bayuangga di Kota Probolinggo Damianus Andrian 1 dan Chairil Budiarto 2 1 Mahasiswa Program Studi Sarjana Arsitektur, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

PENDEKATAN KONSEP DASAR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. Pendekatan konsep untuk tata ruang dan tata fisik

PENDEKATAN KONSEP DASAR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN. Pendekatan konsep untuk tata ruang dan tata fisik BAB IV PENDEKATAN KONSEP DASAR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN 4. 1 Pendekatan Konsep Dasar Perencanaan 4. 1. 1 Pendekatan Konsep Tata Ruang Makro Pendekatan konsep untuk tata ruang dan tata fisik bangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Kawasan Ampel (Koridor Jalan Nyamplungan - Jalan Pegirian)

BAB I PENDAHULUAN Kawasan Ampel (Koridor Jalan Nyamplungan - Jalan Pegirian) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Kawasan Ampel (Koridor Jalan Nyamplungan - Jalan Pegirian) Sebagai pusat ibadah dan pusat dakwah Islam yang dirintis oleh Sunan Ampel, kawasan ini menjadi penting

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WISATAWAN ELITE

BAB III TINJAUAN WISATAWAN ELITE BAB III TINJAUAN WISATAWAN ELITE Dalam bab ini berisi tentang tinjauan wisatawan elite, yaitu berupa: batasan dan pengertian wisatawan elite, tuntutan dan kebutuhan pokok wisatawan elite selama mereka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan tempat kosentrasi kegiatan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, meliputi kegiatan industri, perkantoran, hingga hunian. Perkembangan kegiatan

Lebih terperinci

BAGIAN 1 PENDAHULUAN

BAGIAN 1 PENDAHULUAN BAGIAN 1 PENDAHULUAN A. Judul Rancangan SENTRA KERAJINAN TERPADU PENERAPAN SOCIAL SUSTAINABILITY SEBAGAI DASAR PENDEKATAN PERANCANGAN Sentra : Pusat aktivitas kegiatan usaha dilokasi atau kawasan tertentu,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. juta jiwa. Sedangkan luasnya mencapai 662,33 km 2. Sehingga kepadatan

BAB 1 PENDAHULUAN. juta jiwa. Sedangkan luasnya mencapai 662,33 km 2. Sehingga kepadatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jakarta merupakan ibu kota Indonesia yang termasuk dalam 14 kota terbesar di dunia. Berdasarkan data sensus penduduk dari Badan Pusat Statistik, pada tahun 2009 Jakarta

Lebih terperinci

BAB III METODE PERANCANGAN Ruang Lingkup Penelitian Untuk Rancangan. Penelitian tentang upaya Perancangan Kembali Pasar Karangploso

BAB III METODE PERANCANGAN Ruang Lingkup Penelitian Untuk Rancangan. Penelitian tentang upaya Perancangan Kembali Pasar Karangploso BAB III METODE PERANCANGAN 3.1 Proses Perancangan 3.1.1 Ruang Lingkup Penelitian Untuk Rancangan Penelitian tentang upaya Perancangan Kembali Pasar Karangploso Kabupaten Malang ini mempunyai ruang lingkup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Pada dasarnya hunian tidak dapat dilihat sebagai tempat hidup saja

BAB I PENDAHULUAN. 1 Pada dasarnya hunian tidak dapat dilihat sebagai tempat hidup saja BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATARBELAKANG Indonesia sebagai negara berkembang dengan kondisi kependudukan yang tidak stabil tercermin pada angka pertumbuhan penduduk yang tak terkendali. Hal tersebut tampak

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERENCANAAN DAN PERANCANGAN PERMUKIMAN TUMBUH DIATAS LAHAN BENCANA LUMPUR LAPINDO

BAB IV ANALISIS PERENCANAAN DAN PERANCANGAN PERMUKIMAN TUMBUH DIATAS LAHAN BENCANA LUMPUR LAPINDO BAB IV ANALISIS PERENCANAAN DAN PERANCANGAN PERMUKIMAN TUMBUH DIATAS LAHAN BENCANA LUMPUR LAPINDO Analisis konsep perencanaan merupakan proses dalam menentukan apa saja yang akan dirumuskan sebagai konsep

Lebih terperinci

AR 40Z0 Laporan Tugas Akhir Rusunami Kelurahan Lebak Siliwangi Bandung BAB 1 PENDAHULUAN

AR 40Z0 Laporan Tugas Akhir Rusunami Kelurahan Lebak Siliwangi Bandung BAB 1 PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumah susun ini dirancang di Kelurahan Lebak Siliwangi atau Jalan Tamansari (lihat Gambar 1 dan 2) karena menurut tahapan pengembangan prasarana perumahan dan permukiman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN TA Latar Belakang PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN SUNGAI GAJAH WONG DI YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN TA Latar Belakang PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN SUNGAI GAJAH WONG DI YOGYAKARTA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dinamika dalam sebuah kota tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan yang membawa kemajuan bagi sebuah kota, serta menjadi daya tarik bagi penduduk dari wilayah lain

Lebih terperinci

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN BAB V KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN V.1 Konsep Dasar Perancangan Konsep dasar perancangan meliputi pembahasan mengenai pemanfaatan penghawaan dan pencahayaan alami pada City Hotel yang bertujuan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia sekarang ini semakin meningkat

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia sekarang ini semakin meningkat BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia sekarang ini semakin meningkat dengan pesat sehingga jumlah kebutuhan akan hunian pun semakin tidak terkendali. Faktor keterbatasan

Lebih terperinci

BAGIAN 3 HASIL RANCANGAN DAN PEMBUKTIANNYA

BAGIAN 3 HASIL RANCANGAN DAN PEMBUKTIANNYA BAGIAN 3 HASIL RANCANGAN DAN PEMBUKTIANNYA 1.1.1.1 Narasi dan Ilustrasi Skematik Hasil Rancangan Hasil yang akan dicapai dalam perancangan affordable housing dan pertanian aeroponik ini adalah memecahkan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bagian ini akan dijabarkan kesimpulan dan rekomendasi. Kesimpulan berisi rangkuman dari hasil penelitian dan pembahasan sekaligus menjawab tujuan penelitian di bab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumah susun adalah sebuah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Subjek Penelitian 1. Lokasi Lokasi penelitian adalah tempat di mana penelitian akan dilakukan, beserta jalan dan kotanya. Dalam penelitian ini peneliti mengambil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Feri Susanty Spesial, Tahun 2007, 6). Populasi dan permintaan penduduk terhadap hunian yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. Feri Susanty Spesial, Tahun 2007, 6). Populasi dan permintaan penduduk terhadap hunian yang semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.1.1 Latar Belakang Pemilihan Proyek Tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan dasar dan pokok manusia. Oleh karena itu, kebutuhan akan hunian sangat penting dan

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PERANCANGAN

BAB 3 METODOLOGI PERANCANGAN BAB 3 METODOLOGI PERANCANGAN Kerangka kajian yang digunakan dalam proses perancangan Hotel Resort Batu ini secara umum, diuraikan dalam beberapa tahap antara lain: 3.1 Pencarian Ide/Gagasan Tahapan kajian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masalah perumahan telah menjadi masalah yang pelik. bagi masyarakat karena jumlah penduduk yang bertambah

BAB I PENDAHULUAN. Masalah perumahan telah menjadi masalah yang pelik. bagi masyarakat karena jumlah penduduk yang bertambah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan 1.1.1 Pentingnya Perumahan Untuk Karyawan Masalah perumahan telah menjadi masalah yang pelik bagi masyarakat karena jumlah penduduk yang bertambah sementara

Lebih terperinci