BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS (PSYCHOLOGICAL WELL-BEING) 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS (PSYCHOLOGICAL WELL-BEING) 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being)"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS (PSYCHOLOGICAL WELL-BEING) 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) Kesejahteraan psikologis atau psychological well-being ditemukan oleh Ryff (1989) yang menjelaskan istilah tersebut sebagai sebuah pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal. Ryff (dalam Halim & Wahyu, 2005) juga menyatakan kesejahteraan psikologis sebagai hasil penilaian atau evaluasi seseorang terhadap dirinya yang merupakan evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya. Selanjutnya Ryff (dalam Sumule dan Taganing, 2008) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis sebagai suatu keadaan ketika individu dapat berfungsi optimal dan dapat menerima segi positif dan negatif diri, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, dapat mengontrol perilakunya sendiri, memiliki tujuan hidup, mampu mengendalikan lingkungan, serta memiliki keinginan untuk terus berkembang dan mengembangkan potensi diri. Di lain pihak, kesejahteraan psikologis didefenisikan sebagai kepuasan pribadi, harapan, rasa syukur, stabilitas suasana hati, pemaknaan terhadap diri sendiri, harga diri, kegembiraan, kepuasan

2 dan optimisme termasuk juga mengenali kekuatan dan mengembangkan bakat dan minat yang dimiliki (Bartram & Boniwell, 2007). Kesejahteraan psikologis terdiri dari adanya kebutuhan untuk merasa baik secara psikologis (psychologically-well). Ryff menambahkan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan perasaan-perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi, konsep Allport tentang kematangan, juga sesuai dengan konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa. Kesejahteraan psikologis dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi (Ryff, 1995). Menurut Bradburn, dkk (dalam Ryff, 1989) kebahagian (happiness) merupakan hasil dari dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia. Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis adalah kondisi individu yang ditandai dengan keberfungsian secara optimal, puas dan menerima keadaan dirinya, menerima sisi positif dan negatif diri, mempunyai kepuasan hidup dan realisasi potensi diri yang dipengaruhi oleh fungsi psikologis

3 yang positif dalam diri yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. 2. Dimensi-Dimensi Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) Ryff (1989) mengemukakan enam dimensi dari kesejahteraan psikologis atau psychological well-being, yaitu: a. Penerimaan diri (Self acceptance) Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri baik segi positif maupun negatif, yang ditandai dengan kemampuan menerima diri baik segi positif maupun negatif. Individu yang menerima dirinya sendiri akan bersikap positif tehadap penilaian dirinya. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik yang memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan mempunyai pengharapan untuk tidak menjadi dirinya saat ini. (Ryff dalam Keyes, 2005). Menurut Maslow (dalam Calhoun & Accocela, 1990), penerimaan diri merupakan salah satu karakter dari individu yang mengaktualisasikan dirinya dimana mereka dapat menerima dirinya apa adanya, memberikan penilaian yang tinggi pada individualitas dan keunikan diri sendiri. b. Hubungan yang positif dengan orang lain (Positive relation with others) Individu yang matang digambarkan sebagai individu yang mampu untuk mencintai dan membina hubungan interpersonal yang dibangun atas dasar saling percaya. Individu juga memiliki perasaan simpati dan kasih sayang yang kuat terhadap sesama manusia dan mampu memberikan cinta, memiliki persahabatan yang mendalam, dan mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi orang lain

4 dengan baik. Individu yang tinggi atau baik dalam dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain. Seseorang juga mempunyai rasa afeksi dan empati yang kuat. Sebaliknya, individu yang hanya mempunyai sedikit hubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat dan enggan untuk mempunyai ikatan dengan orang lain, menandakan bahwa seseorang kurang baik dalam dimensi ini. c. Otonomi (Autonomy) Dimensi otonomi menyangkut kemampuan untuk menentukan nasib sendiri (self-determination), kemandirian, bebas dan memiliki kemampuan untuk mengatur perilaku sendiri. Seseorang yang mampu untuk menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal, hal ini menandakan bahwa ia baik dalam dimensi ini. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi otonomi akan memperhatikan harapan dan evaluasi dari orang lain, membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain, dan cenderung bersikap konformis. d. Penguasaan terhadap lingkungan (Environmental mastery) Kemampuan individu untuk memilih, menciptakan, dan mengelola lingkungan agar sesuai dengan kondisi psikologisnya dalam mengembangkan diri. Dengan kata lain, seseorang mempunyai kemampuan dalam menghadapi kejadian-kejadian diluar dirinya. Hal inilah yang dimaksud dalam dimensi ini mampu untuk memanipulasi keadaan sehingga sesuai dengan kebutuhan dan nilainilai pribadi yang dianutnya dan mampu untuk mengembangkan diri secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun mental. Sebaliknya, individu yang kurang baik

5 dalam dimensi ini akan menampakkan ketidakmampuan untuk mengatur kehidupan sehari-hari, dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan luar. e. Tujuan hidup (Purpose of life) Individu yang berada dalam kondisi ini diasumsikan memiliki keyakinan yang dapat memberikan makna dan arah bagi kehidupannya. Individu yang memiliki kesejahteraan psikologis perlu memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidup yang dijalaninya, misalnya individu dapat mengabdikan dirinya pada masyarakat. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa tidak ada tujuan yang ingin dicapai dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dalam masa lalu kehidupannya, dan tidak mempunyai kepercayaan yang dapat membuat hidup lebih berarti. Dimensi ini dapat menggambarkan kesehatan mental karena kita tidak dapat melepaskan diri dari keyakinan yang dimiliki oleh seorang individu mengenai tujuan dan makna kehidupan ketika mendefenisikan kesehatan mental. f. Pertumbuhan pribadi (Personal growth) Mempunyai keinginan untuk terus mengembangkan potensinya, tumbuh sebagai individu dan dapat berfungsi secara penuh (fully functioning). Individu yang dapat berfungsi secara penuh dalam dimensi ini adalah individu yang dapat terbuka terhadap pengalaman sehingga akan lebih menyadari lingkungan sekitarnya dan menyadari potensi yang dimiliki. Sebaliknya yang kurang dalam dimensi ini tidak dapat mengembangkan diri secara maksimal, kurang memiliki ketertarikan dalam kehidupan, tidak suka mencari pengetahuan dan pengalaman baru, dan merasa jenuh dengan kehidupan yang dimiliki.

6 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis (psychological well-being) pada diri seseorang, yaitu: a. Faktor Demografis 1. Usia Penelitian Ryff pada tahun 1989, 1991, 1995, dan 1998 menunjukkan bahwa usia menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Pada aspek penguasaan lingkungan, otonomi, penerimaan diri, hubungan positif, menunjukkan peningkatan terhadap usia yang semakin dewasa. Sedangkan tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi menunjukkan penurunan yang tajam pada setiap periode kehidupan usia dewasa (dalam Snyder & Lopez, 2002). 2. Tingkat Pendidikan Ryff, Magee, Kling & Wling (dalam Snyder & Lopez, 2002) menemukan bahwa tingkat pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis yang dimiliki individu. Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih baik juga. 3. Jenis Kelamin Menurut Ryff (dalam Papalia, Feldman & Olds, 2004), dimensi yang menunjukkan perbedaan menunjukkan signifikan antara pria dan wanita adalah dimensi hubungan positif dengan orang lain. Sejak kecil, stereotype gender telah tertanam dalam diri anak laki-laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan

7 mandiri, sementara perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain. Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih rendah dibandingkan pria. 4. Status Sosial Ekonomi Status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan diri. Individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari dirinya (Ryff dalam Snyder & Lopez, 2002). Individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi. b. Faktor Dukungan Sosial Dukungan sosial dapat membantu perkembangan pribadi yang lebih positif maupun memberi support pada individu dalam menghadapi masalah hidup seharihari. Ryff (dalam Hoyer, 2003) mengatakan bahwa pada individu dewasa, semakin tinggi tingkat interaksi sosialnya maka semakin tinggi pula kesejahteraan psikologisnya. Sebaliknya individu yang tidak mempunyai teman dekat cenderung mempunyai tingkat kesejahteraan psikologis yang rendah (Kramer dalam Hoyer, 2003). Oleh karena itu, dukungan sosial dipandang cukup memiliki dampak bagi kesejahteraan psikologis.

8 c. Faktor Kompetensi pribadi Kompetensi pribadi yaitu kemampuan atau skill pribadi yang dapat digunakan sehari-hari, didalamnya mengandung kompetensi kognitif. d. Faktor Religiusitas Hal ini berkaitan dengan transendensi segala pesoalan hidup kepada Tuhan. Individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai kejadian hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna (Bastaman, 2000). e. Faktor Kepribadian Para ahli berpendapat bahwa variable kepribadian merupakan bagian dari kesejahteraan psikologis. Hal ini ditunjukkan salah satunya dari penelitian yang dilakukan Costa & Mc Crae pada tahun 1980 yang menyimpulkan bahwa kepribadian ekstrovert dan neurotis berhubungan secara signifikan dengan kesejahteraan psikologis. Pada dasarnya, kepribadian merupakan suatu proses mental yang mempengaruhi seseorang dalam berbagai situasi yang berbeda. Sementara di lain pihak, kesejahteraan psikologis mengacu pada suatu tingkatan dimana individu mampu berfungsi, merasakan, dan berfikir sesuai dengan standar yang diharapkan (Sheldon, 1997).

9 B. IBU 1. Defenisi Ibu Ibu adalah wanita yang telah melahirkan seseorang (Depdiknas, 2001). Peranan ibu adalah sebagai istri dari suami dan ibu dari anak-anak. Menjadi ibu adalah dambaan bagi semua wanita karena ibu adalah seorang yang menentukan awal mula perkembangan anak dimana kodratnya sebagai wanita adalah melahirkan, menyusui dan merawat anak. Cinta kasih ibu terhadap anaknya merupakan jalinan emosi yang kuat (Kartono,1992). Ibu mempunyai peranan penting untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anakanaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota dalam keluarga (Effendy, 1998) 2. Perkembangan Wanita Dewasa sebagai Ibu Masa dewasa awal merupakan masa-masa dimana paling banyak wanita memutuskan untuk menikah. Ketika seorang wanita mempunyai keputusan untuk menikah dan menjadi seorang istri, maka dia harus siap untuk menjaga keutuhan keluarga dan menjadi pendamping untuk suaminya. Pernikahan merupakan babak baru bagi seorang wanita, dimana itu merupakan saat-saat yang memerlukan persiapan diri yang tinggi yaitu menjalani kehidupan baru bersama suami (menjadi seorang istri yang baik), persiapan sebagai seorang ibu (dalam memiliki anak, termasuk hamil dan melahirkan), membesarkan anak dan sebagainya. Perannya sangat penting, dimana ia harus bisa mengendalikan diri dan meluangkan banyak waktunya untuk mengurus seluruh kebutuhan keluarganya. Tanggung jawab untuk menjaga hubungan yang lebih sakral dan bertanggung

10 jawab untuk keluarga, memerlukan keterampilan dan kesiapan mental yang harus matang (Suryani & Hesti, 2008). Seorang wanita menghadapi berbagai permasalahan dalam kehidupan rumah tangganya. Menjaga kehamilan hingga lahirnya anak merupakan hal yang seharusnya dilakukan setiap ibu. Menyeimbangkan peran sebagai seorang istri dan ibu bukanlah hal yang sepele. Kehadiran seorang anak dalam rumah tangga memberikan pengaruh besar bagi keluarga terutama bagi kehidupan seorang wanita karena mereka memiliki peran baru sebagai seorang ibu. Kondisi anak yang terlahir pun tentunya berpengaruh bagi kehidupan ibu secara keseluruhan. Membesarkan dan mengasuh anak tentunya juga merupakan tantangan yang lebih besar bagi seorang ibu. 3. Peran Ibu Menjadi seorang ibu sangat sulit, karena beban seorang ibu adalah pemimpin untuk anak-anaknya. Dimana mereka menanggung beban yang berhubungan dengan anaknya, dan ibu merupakan orang pertama yang disalahkan ketika ada masalah atau anak berbuat kesalahan (Suryani & Hesti, 2008). Pada masa sekarang ini, tidak sedikit wanita yang telah berumah tangga tetap berkarir. Berbagai peran (multiple role) wanita tersebut menjadi faktor yang dapat mempengaruhi sikap kerja, terutama ibu, dimana pada kenyataannya disatu sisi ibu tetap terus bekerja dan berkarir sementara disisi lain mereka tidak bisa lepas dari perannya sebagai ibu dan istri, belum lagi bila dikaitkan dengan pembagian kerja domestik rumah tangga dimana ibu yang masih lebih banyak

11 mengerjakannya. Norma sosial yang ditanamkan pada wanita adalah untuk tampil feminin, yaitu patuh, mengabdi, pasif, mengurus rumah tangga, dan bergantung pada orang lain. Mereka sadar, mereka harus bisa menjadi ibu yang sabar dan bijaksana untuk anak-anak serta menjadi istri yang baik bagi suami serta menjadi ibu ruman tangga yang bertanggung jawab atas keperluan dan urusan rumah tangga. Sementara itu, dari dalam diri mereka pun sudah ada keinginan ideal untuk berhasil melaksanakan peran tersebut secara proporsional dan seimbang. Selain masalah internal, masalah eksternal seperti pengasuhan terhadap anak, biasanya dialami oleh para ibu yang mempunyai anak kecil (balita). Semakin kecil usia anak, maka semakin besar tingkat stress yang dirasakan. Hal ini dapat diringankan dengan adanya dukungan dari suami, sehingga tugas yang tadinya terasa berat menjadi lebih ringan dan membahagiakan. Sebaliknya, jika suami istri dalam sebuah perkawinan tidak mampu menjalin kerjasama, maka hal itu akan menyebabkan kesulitan dalam mengatasi permasalahan hidup yang lebih kompleks di kemudian hari dan mempengaruhi si istri dalam menjalankan perannya dalam kehidupan rumah tangga dengan optimal, khususnya berhubungan dengan anaknya. 4. Kesejahteraan Psikologis Ibu Kesejahteraan psikologis diperlukan agar manusia didalam hidupnya bahagia, tentram dan dapat melakukan sesuatu hal yang bermanfaat baik bagi dirinya maupun orang lain. Kesejahteraan psikologis pada seorang wanita dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya kinerja keibuan. Ibu sering dianggap sebagai peran sementara dalam keluarga yang dapat meningkatkan

12 kemungkinan bahwa mereka memperhatikan dan sebagai penerima reaksi emosi dari anggota keluarga lainnya (Larson dan Richards 1994). Kesejahteraan psikologis ibu bagaimanapun lebih cenderung dipengaruhi oleh rutinitas kegiatan pengasuhan sehari-hari. Ibu melaporkan kepuasan yang lebih besar mengenai pengasuhan dibandingkan ayah dan mereka lebih mendukung anak-anak mereka dibandingkan seorang ayah (Starrels, 1994). Dibandingkan dengan ayah, ibu lebih terlibat tanggung jawab untuk perawatan anak sehari-hari, yang menghadapkan mereka ke beberapa jenis perbedaan pendapat dan ketegangan dengan anak-anak mereka (Hochschild 1989). Jumlah anak-anak dalam rumah tangga juga menjadi prediktor penting ketegangan keluarga bagi ibu. Hal-hal ini jelas mempengaruhi kesejahteraan psikologis pada ibu dimana ibu berusaha untuk menyeimbangkan perannya sebagai ibu yang baik bagi anak-anaknya, sebagai seorang istri yang mengurus rumah tangga dengan baik sekaligus memenuhi potensi-potensi yang ada dalam dirinya untuk mencapai kepuasan hidupnya sendiri. C. ANAK TUNAGRAHITA 1. Definisi Anak Tunagrahita Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial (Somantri, 2007). Dalam kepustakaan bahasa asing sering digunakan istilah-istilah seperti mental retardation, mentally retarded, mental deficiency, mental defective, dll untuk menyebutkan anak tunagrahita. Anak tunagrahita dikenal juga dengan

13 istilah keterbelakangan mental karena keterbatasan kecerdasannya mengakibatkan dirinya sulit untuk mengikuti program pendidikan biasa dan membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yang disesuaikan dengan kemampuan anak tersebut. Seseorang dikatakan tunagrahita tidak hanya dilihat dari IQ-nya akan tetapi perlu dilihat sampai sejauh mana ia dapat menyesuaikan diri. Beberapa karakteristik umum tunagrahita yaitu keterbatasan inteligensi, keterbatasan sosial dan keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya. Suatu batasan yang dikemukakan oleh AAMR (American Association on Mental Retardation) menjelaskan bahwa keterbelakangan mental menunjukkan adanya keterbatasan dalam fungsi yang mencakup fungsi intelektual yang dibawah rata-rata, dimana berkaitan dengan keterbatasan pada dua atau lebih dari keterampilan adaptif seperti komunikasi, merawat diri sendiri, keterampilan sosial, kesehatan dan keamanan, fungsi akademis, waktu luang dll dan keadaan ini terjadi pada masa perkembangan dan tampak sebelum usia 18 tahun (Hallahan & Kauffman, 2006). Fungsi intelektual ditentukan melalui tes intelegensi yang menunjukkan pada kemampuan yang berhubungan dengan kinerja akademis. Sedangkan keterampilan adaptif menunjukkan pada kemampuan yang berkaitan dengan bagaimana seseorang melakukan coping dengan lingkungannya (Mangunsong, 1998). Pada masa awal perkembangan, hampir tidak ada perbedaan antara anak-anak tunagrahita dengan anak yang memiliki kecerdasan rata-rata. Akan tetapi semakin lama perbedaan pola perkembangan antara anak tunagrahita dengan anak normal semakin terlihat jelas.

14 Dari defenisi diatas, dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita adalah anak yang memiliki tingkat kecerdasan dibawah rata-rata anak seusianya, memiliki hambatan dalam perilaku adaptif, ketidakcakapan dalam interaksi sosial dan hal ini terjadi dalam periode perkembangan anak. 2. Klasifikasi dan Karakteristik Anak Tunagrahita Pengelompokan anak tunagrahita pada umumnya didasarkan pada tingkat kecerdasan atau taraf inteligensinya. Seseorang dapat dikatakan memiliki kecerdasan dibawah rata-rata biasanya dapat dilihat ketika adanya ketidaksesuaian antara Chronological Age (CA) dan Mental Age (MA). Chronological Age adalah usia kronologis si anak atau usia anak sebenarnya, sedangkan Mental Age adalah kemampuan mental yang dimiliki seorang anak pada usia tertentu. Jika MA seorang anak lebih rendah daripada CA nya, maka anak tersebut memiliki kemampuan kecerdasan dibawah rata-rata. Anak tunagrahita selalu memiliki MA yang lebih rendah daripada CA secara signifikan (jelas). Klasifikasi menurut AAMD (American Assotiation on Mental Deficiency) dalam Amin (1995) adalah sebagai berikut: a. Tunagrahita Ringan (Mampu Didik) Tingkat kecerdasannya IQ mereka berkisar mempunyai kemampuan untuk berkembang dalam bidang pelajaran akademik, penyesuaian sosial dan kemampuan bekerja, mampu menyesuaikan

15 lingkungan yang lebih luas, dapat mandiri dalam masyaraakat, mampu melakukan pekerjaan semi trampil dan pekerjaan sederhana. b. Tunagrahita Sedang (Mampu Latih) Tingkat kecerdasan IQ berkisar dapat belajar keterampilan sekolah untuk tujuan fungsional, mampu melakukan keterampilan mengurus dirinya sendiri (self-help), mampu mengadakan adaptasi sosial dilingkungan terdekat, mampu mengerjakan pekerjaan rutin yang perlu pengawasan. c. Tunagrahita Berat dan Sangat Berat (Mampu Rawat) Tingkat kecerdasan IQ mereka kurang dari 30 hampir tidak memiliki kemampuan untuk dilatih mengurus diri sendiri. Ada yang masih mampu dilatih mengurus diri sendiri, berkomunikasi secara sederhana dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sangat terbatas. Selain karakteristik yang telah dijelaskan sebelumnya, Mangunsong (1998) juga memaparkan bahwa ada beberapa karakteristik psikologis dan tingkah laku anak tunagrahita. Namun tidak semua karakteristik psikologis dan tingkah laku ini terdapat pada anak tunagrahita. Banyak keragaman dalam tingkah laku tunagrahita yang menunjukkan keunikan diri mereka. Beberapa segi psikologis dan tingkah laku yang perlu dipertimbangkan adalah:

16 d. Atensi. Perhatian sangat diperlukan dalam proses belajar. Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak tunagrahita mengalami kesulitan belajar karena adanya masalah dalam memusatkan perhatian. e. Daya ingat. Kebanyakan anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam mengingat suatu informasi terutama yang rumit dan teoritis. f. Self-regulation. Anak tunagrahita sering mengalami kesulitan dalam selfregulation-nya yaitu kemampuan untuk mengatur tingkah lakunya sendiri. g. Perkembangan bahasa. Perkembangan bahasa yang terlambat atau menyimpang merupakan gejala yang dialami oleh anak-anak tunagrahita. Masalah dalam berbicara yang muncul misalnya kesalahan dalam artikulasi. h. Prestasi akademis. Hubungan antara inteligensi dengan prestasi seseorang sangatlah erat, maka anak-anak tunagrahita akan terhambat dalam semua prestasi akademisnya dibandingkan mereka yang normal. Mereka juga cenderung menjadi underachiever dalam kaitan dengan harapan-harapan yang didasarkan pada tingkat kecerdasannya. i. Perkembangan sosial. Anak-anak tunagrahita sering dikatakan memiliki konsep diri yang buruk, sulit mendapatkan teman dan kurang memahami bagaimana cara berinteraksi secara sosial dengan orang lain atau kemungkinan tidak mendapat kesempatan untuk bersosialisasi dengan orang lain. j. Motivasi. Jika anak tunagrahita sering atau selalu mengalami kegagalan maka dapat berisiko untuk mengembangkan kondisi learned helplessness dimana munculnya perasaan bahwa mereka tidak memiliki motivasi dan seberapa besar pun usaha mereka pasti akan menunjukkan kegagalan.

17 3. Faktor-Faktor Penyebab Ketunagrahitaan Beberapa di bawah ini akan dijelaskan faktor penyebab tunagrahita atau retardasi mental (Luckasson et al dalam Heward, 1996): a. Penyebab Genetik dan Kromosom Terdapat sejumlah bentuk-bentuk retardasi mental yang disebabkan oleh faktor-faktor genetik dan kromosom. 1. Kerusakan Kromosom misalnya Trisomy 21 (Down Syndrome) Down Syndrome adalah bentuk retardasi mental yang dikenal kebanyakan orang. Down Syndrome merupakan suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Keadaan yang paling sering terjadi adalah terbentuknya kromosom 21. kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan. 2. Gangguan Metabolisme seperti Phenylketonuria (PKU) Adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh keturunan dari dua gen yang terpendam dari orang tua yang membawa kondisi tersebut. b. Penyebab Pra Kelahiran Penyebab pada masa pra-kelahiran kadang-kadang terjadi setelah pembuahan sebelum kelahiran. Diantaranya: 1. Rubella (Cacar Air) 2. Penyakit Syphilis dan infeksi penyakit kelamin lainnya 3. Gangguan perkembangan otak, contohnya hydrocephalus

18 4. Pengaruh lingkungan seperti malnutrisi 5. Racun yang berasal dari obat-obatan dan alkohol c. Penyebab Pada Saat Kelahiran Masalah utama pada saat kelahiran yang mungkin menyebabkan retardasi mental adalah prematur. Bayi yang baru lahir sangat prematur berada pada resiko mengalami berbagai kesulitan fisik yang mungkin dapat dihubungkan dengan kerusakan otak. Namun banyak juga bayi yang lahir prematur akhirnya tumbuh dengan baik dan tidak menderita kerusakan. Semakin besar tingkat kelahiran prematur, maka semakin besar pula risikonya. d. Penyebab Pada Masa Perkembangan Anak 1. Radang selaput otak (meningitis) 2. Kecelakaan yang menyebabkan cedera 3. Gangguan epilepsy atau kejang-kejang 4. Malnutrisi 4. Dampak Ketunagrahitaan Anak Terhadap Keluarga Menurut Somantri (2007), orang yang paling banyak menanggung beban akibat ketunagrahitaan adalah orang tua dan keluarga anak tersebut. Oleh karena itu dikatakan bahwa penanganan anak tunagrahita merupakan resiko keluarga. Keluarga anak tunagrahita berada dalam resiko, mereka menghadapi resiko yang berat. Saudara-saudara anak tersebut pun menghadapi hal-hal yang bersifat emosional. Saat yang krisis adalah ketika keluarga itu pertama kali menyadari bahwa anak tersebut tidak normal seperti yang lain. Jika anak tersebut menunjukkan

19 gejala-gejala kelainan fisik (misalnya mongolisme) maka kelainan anak dapat segera diketahui sejak anak dilahirkan. Tetapi jika anak tersebut tidak mempunyai kelainan fisik, maka orang tua hanya akan mengetahui dari hasil pemeriksaan. Orang tua mungkin menolak kenyataan atau menerima dengan beberapa persyaratan tertentu. Reaksi orang tua berbeda-beda tergantung pada berbagai faktor, misalnya apakah kecacatan tersebut dapat segera diketahuinya atau terlambat diketahuinya. Faktor lain yang juga yang sangat penting ialah derajat ketunagrahitaannya dan jelas tidaknya kecacatan tersebut terlihat orang lain (Somantri, 2007). Perasaan dan tingkah laku orang tua itu berbeda-beda dan dapat dibagi menjadi : 1. Perasaan melindungi anak secara berlebihan, yang bisa dibagi dalam wujud: a. Proteksi biologis b. Perubahan emosi yang tiba-tiba, yang dapat mendorong untuk menolak kehadiran anak dengan memberikan sikap dingin. c. Merasa ada yang tidak beres tentang urusan keturunan 2. Ada perasaan bersalah melahirkan anak berkelainan 3. Kehilangan kepercayaan akan mempunyai anak yang normal. 4. Terkejut dan kehilangan kepercayaan diri. 5. Banyak tulisan yang menyatakan bahwa orang tua merasa berdosa. Sebenarnya perasaan tersebut tidak selalu ada. Perasaan tersebut bersifat kompleks dan dapat mengakibatkan depresi.

20 6. Merasa bingung dan malu, yang mengakibatkan orang tua kurang suka bergaul dan lebih suka menyendiri. Orang tua dari anak tunagrahita dapat terganggu ketika menghadapi peristiwa-peristiwa kritis. Adapun saat-saat kritis itu terjadi pada saat berikut : 1. Pertama kali mengetahui bahwa anaknya cacat. 2. Memasuki usia sekolah, pada saat tersebut sangat penting kemampuan masuk sekolah biasa, sebagai tanda bahwa anak tersebut normal. 3. Meninggalkan sekolah. 4. Orang tua bertambah tua, sehingga tidak mampu lagi memelihara anaknya yang cacat. Orang tua biasanya tidak memiliki gambaran mengenai masa depan anaknya yang tunagrahita. Mereka tidak mengetahui layanan yang dibutuhkan oleh anaknya yang tersedia di masyarakat. Dilihat dari sudut tertentu, baik juga seandainya anak tunagrahita dipisahkan di tempat-tempat penampungan. Tetapi bila dilihat dari sudut lain pemisahan seperti ini dapat pula mengakibatkan ketegangan orang tua, terlebih-lebih bagi ibu-ibu yang selama ini menyayangi orang tersebut (Somantri, 2007). D. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS IBU YANG MEMILIKI ANAK TUNAGRAHITA Tidak ada satupun ibu yang menginginkan anaknya terlahir dan besar dengan kondisi yang berbeda dari anak normal. Engel et. al (1997) mengatakan, melalui penelitian ilmiah akhir-akhir ini dapat diketahui secara pasti bahwa faktor

21 lingkungan yang menjadi penyebab asli dari timbulnya berbagai bentuk kecacatan dan kelumpuhan anak. Ketidaknormalan yang terjadi pada seorang anak dapat disebabkan benih yang baik namun berada pada lingkungan yang buruk atau benih yang buruk yang berada pada lingkungan yang baik. Banyak sekali fenomena cacat fisik yang terjadi pada anak yang dahulu dianggap sebagai akibat turunan, namun kini diketahui bahwa penyebabnya adalah faktor lingkungan terutama karena kekurangan oksigen pada masa kehamilan. Perlu diketahui bahwa lingkungan pada masa perkembangan awal janin memberikan pengaruh kepada janin yang pengaruhnya lebih besar dari pengaruh lingkungan luar. Kondisi anak yang berbeda dari harapan orang tua memicu tekanan dan kesedihan, khususnya ibu sebagai figur terdekat dengan anak. Ibu merupakan tokoh yang sangat rentan terhadap masalah penyesuaian dikarenakan mereka berperan langsung dalam mengandung, melahirkan dan membesarkan anak. Pandangan yang terbentuk pada ibu juga sering menyebabkan kesenjangan antara kegembiraan setelah masa penantian kehamilan dengan realitas keadaan anaknya. Mengatasi kesenjangan antara harapan dan kenyataan ini merupakan tantangan tersendiri bagi orang tua yang memiliki anak tunagrahita (Mangunsong, 1998). Bowlby dalam penelitiannya (dalam Notosoedirjo & Latipun, 2002) mengemukakan bahwa kelekatan anak sangat kuat terhadap ibunya hingga usia 3-6 tahun dan setelah itu mulai berkurang. Reaksi yang terjadi membuat ibu sulit menerima kondisi anak tunagrahita dimana anak tunagrahita membutuhkan perhatian yang lebih besar jika dibandingkan anak yang normal (Mawardah, Siswati & Hidayati, 2012).

22 Sebagian besar orang tua dengan anak tunagrahita, menghadapi dua krisis utama (Kirk & Gallagher, 1989). Pertama, orang tua tentunya memiliki harapanharapan mengenai masa depan dari anak yang akan lahir, seperti harapan mengenai kesuksesan, pendidikan, hingga kondisi finansial anak tersebut. Tidak dapat dielakkan lagi orang tua yang mengetahui bahwa anaknya berbeda dari anak normal, akan kehilangan mimpi dan harapan mereka. Bahkan beberapa dari orang tua mengalami depresi berat ketika mengetahui kenyataan tersebut (Farber dalam Kirk & Gallagher, 1989). Kedua, krisis yang dialami berhubungan dengan masalah untuk memberikan pelayanan sehari-hari bagi anak mereka yang tunagrahita dimana anak tersebut harus mendapatkan bantuan oleh orang tuanya, seperti membantu anak dalam urusan sekolah, dalam hal berpakaian, makan, minum dan sebagainya. Keberadaan anak berkelainan juga akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap keluarga dan dalam interaksi satu sama lain. Terdapat beberapa reaksi awal ibu terhadap anak tunagrahita hingga pada akhirnya mereka perlahan dapat menerima kondisi dirinya sebagai orang tua dari anak tunagrahita dan kondisi anak mereka. Kubler Ross (dalam Garguilo,1985) membagi penerimaan menjadi tiga tahapan besar. Tahapan-tahapan itu adalah: a. Primary Phase 1. Shock Orangtua merasa terguncang, tidak mencapai apa yang telah terjadi. Timbul tingkah laku yang tidak rasional di tandai dengan menangis terus-menerus dan perasaan tidak berdaya. 2. Denial

23 Orangtua menolak keadaan keluarganya dengan cara merasionalisasi kekurangan yang ada atau mencari penegasan dari para ahli bahwa tidak ada kekurangan. 3. Grief and Depression Merupakan reaksi yang wajar dan tidak perlu dihindari. Dengan adanya perasaan ini orangtua mengalami masa transisi, dimana harapan masa lalu mengenai anak yang seumpama tidak sesuai dengan kenyataan yang ada saat ini. b. Secondary Phase 1. Ambivalence Kecacatan yang dialami oleh salah satu anggota keluarga dapat meningkatkan intensitas kasih sayang sekaligus perasaan bencinya. Dalam hal ini seseorang dapat mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk anak atau justru menolak memberikan kasih sayang kepada anak dan menganggap anaknya tidak berguna. 2. Guilty Feeling Perasaan bersalah karena menganggap dirinyalah yang menyebabkan anaknya mengalami cacat, dan dirinya akan dihukum karena dosanya di masa lalu. 3. Anger Perasaan ini dapat ditunjukkan dengan dua cara. Pertama, timbulnya pertanyaan: mengapa saya? Kedua, displacement dimana rasa marah ditunjukkan kepada orang lain, seperti dokter, terapis atau anggota keluarga yang lain. 4. Shame and embarrasment Perasaan ini timbul saat menghadapi lingkungan sosial yang menolak, mengasihani atau mengejek kecacatan anak. c. Tertiary Phase 1. Bargaining

24 Suatu strategi dimana orangtua membuat perjanjian dengan Tuhan, ilmu pengetahuan atau pihak manapun yang mampu membuat anaknya menjadi kembali normal. 2. Adaptation dan reorganization Adaptation merupakan proses bertahap yang membutuhkan waktu dan berkurangnya rasa cemas dan reaksi emosional lainnya., sedangkan reorganization adalah kondisi dimana orangtua merasa nyaman dengan situasi yang ada dan terdapat rasa percaya diri akan kemampuan mereka untuk merawat dan mengasuh. 3. Acceptance dan Adjustment Pada fase ini seseorang tidak hanya menerima kondisi penderita tetapi juga menerima kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri.. Adjustment atau penyesuaian diri adalah tambahan untuk menjelaskan konsep acceptance, dimana terdapat suatu tindakan positif yang bergerak maju. Tahapan-tahapan ini mungkin dapat terjadi satu demi satu pada beberapa orang, namun pada sebagian orang dalam mencapai tahap penerimaan tidak harus melalui keseluruhan tahap demi tahap diatas dan bisa hanya mengalami beberapa tahap saja serta tidak berurutan. Orang tua adalah guru pertama bagi anak mereka, mereka selalu ada untuk memberikan dorongan maupun pujian bagi anak. Anak tunagrahita memiliki keterbatasan intelektual dan perilaku adaptif, orang tua juga harus mengajarkan anak mereka agar dapat meneruskan kelangsungan hidupnya dan mandiri. peran

25 ibu dalam pengasuhan anak sangat penting dan membutuhkan dukungan penuh agar anak itu sendiri dapat hidup mandiri. Hubungan anak tunagrahita dengan ibunya sangatlah penting dibandingkan dengan hubungan anak yang inteligensinya normal dengan ibunya. Kepribadiannya, termasuk kestabilan atau ketidakstabilan emosinya, sampai pada batas tertentu mencerminkan kepribadian dan kestabilan atau ketidakstabilan emosional ibunya (Semiun, 2006). Ibu dengan anak tunagrahita akan mengalami beragam bentuk pengalaman psikologis yang tidak menyenangkan dan reaksi emosional negatif yang mengakibatkan penyesuaiannya kehidupan mereka (Findler & Proquest, 2000). Kondisi ini mempengaruhi kondisi ibu secara mental psikologis. Dalam kaitannya dengan kondisi psikologis, maka permasalahan penerimaan diri tidak lepas dalam kondisi ini. Beberapa studi menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak tunagrahita sering kali mengalami stres tingkat tinggi (Hendriks, DeMoor, Oud, & Savelberg; McKinney & Peterson; Rodrigue, Morgan, & Geffken; Smith, Oliver, & Innocenti dalam Lessenberry & Rehfeldt, 2004). Beban fisik penyebab stres pada ibu yang memiliki anak tunagrahita berkaitan dengan ketidakmampuan anak dalam melakukan aktivitas sehari-hari membuat orang tua khususnya ibu harus selalu siap dalam membantu dan mendampingi anaknya, sedangkan beban psikis yang dirasakan ibu berkaitan dengan proses penerimaan mulai dari rasa kaget, kecewa, rasa bersalah atas kondisi anak serta tidak adanya dukungan dari keluarga (Mawardah, Siswati & Hidayati, 2012). Ditambah dengan beban sosial dan respon negatif dari masyarakat membuat ibu yang memiliki anak tunagrahita menjadi

26 malu yang kemudian menarik diri dari kehidupan sosial, dan ini jelas mempengaruhi kesejahteraan psikologis ibu secara keseluruhan. Ibu dari anak tunagrahita harus menerima dan membantu anak dalam menyesuaikan diri. Jika anak merasa aman dalam hubungan dengan keluarganya dan mengetahui bahwa orang tuanya benar-benar memperhatikannya maka ini akan banyak membantu anak dalam menyesuaikan diri dengan dunia luar. Ibu dari anak tunagrahita yang bisa menerima kondisi anaknya lebih banyak memberikan rasa kasih sayang serta perhatiannya yang lebih terhadap anaknya. Namun ibu yang tidak bisa menerima kondisi anaknya, memilih untuk menjauhi serta berusaha untuk tidak terlalu banyak berinteraksi dengan anaknya yang tunagrahita. Biasanya ibu dari anak tunagrahita merasa sangat terbebani secara fisik maupun mental saat harus merawat anaknya sehingga banyak menutup diri dari pekerjaan maupun kegiatan di luar rumah. Ibu dengan anak tunagrahita juga harus mampu memenuhi kebutuhan psikologisnya untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan agar dapat mengasuh anaknya dengan baik. Konsultasi ibu sangat penting untuk mengatasi stres serta bisa membantu mengidentifikasi rasa marah dan bersalah yang mungkin timbul pada ibu dalam situasi ini (Yulius dalam Mawardah, Siswati & Hidayati, 2012). Pemenuhan kesejahteraan psikologis pada ibu yang memiliki anak tunagrahita dapat ditandai dengan kondisi psikologis seorang ibu yang memiliki keberfungsian hidup secara optimal, puas dan menerima keadaan dirinya sebagai seorang ibu dari anak tunagrahita, menerima sisi positif dan negatif dirinya dan anaknya, mempunyai kepuasan terhadap kehidupannya dan adanya realisasi

27 potensi dalam diri ibu yang memiliki anak tunagrahita hingga mencapai kebahagiaan dan hidup yang bermakna. Sangat penting sebagai seorang ibu, untuk meluangkan waktu untuk merawat diri sendiri sebagai individu dalam mempertahankan kesejahteraan psikologis mereka. Seorang ibu yang memiliki anak tunagrahita juga memerlukan dukungan dari segala pihak untuk mengurangi beban yang dirasakannya, dimana kondisi ibu yang memiliki anak yang memiliki keterbatasan secara intelegensi dan sosial tersebut memerlukan tenaga, pikiran dan biaya yang lebih besar dalam merawat anaknya sehingga membutuhkan bantuan dari orang lain untuk meringankan beban yang dirasakan dan membantu meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan psikologis ibu (Ravindranadan, 2007).

28 Kerangka pemikiran Semua orang tua ingin mempunyai anak normal Faktanya, banyak anak yang terlahir tidak normal. Salah satunya Tunagrahita Reaksi ibu Menerima kondisi anak dengan lapang dada Shocked, menolak Tidak dapat menerima kondisi anaknya Kesejahteraan Psikologis Ibu Menurut Ryff (1989), ada 6 dimensi Kesejahteraan Psikologis : 1. Penerimaan diri 2. Hubungan yang positif dengan orang lain 3. Otonomi 4. Penguasaan terhadap lingkungan 5. Tujuan hidup 6. Pertumbuhan pribadi Gambar I. Kerangka Pemikiran Kesejahteraan Psikologis pada Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita

BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis

BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) 2.1.1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis adalah keadaan dimana seseorang memiliki kondisi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa tahun belakangan ini, jumlah anak-anak yang berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa tahun belakangan ini, jumlah anak-anak yang berkebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beberapa tahun belakangan ini, jumlah anak-anak yang berkebutuhan khusus semakin meningkat di Indonesia dan bahkan di dunia. Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ketika seorang ibu sedang mengandung, tentunya ia mengharapkan anak yang ada dalam kandungannya itu akan lahir dengan sehat dan sempurna. Biasanya para orangtua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik, kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik, kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik, kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan khusus dapat dialami oleh setiap individu. Menurut Riset

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) 1. Kesejahteraan Psikologis Bradburn menterjemahkan kesejahteraan psikologis berdasarkan pada buku karangan Aristotetea yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Konsep Psychological Well Being Konsep psychological well being sendiri mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal. Sampai saat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebermaknaan Hidup 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup Kebermaknaan adalah berarti, mengandung arti yang penting (Poewardarminta, 1976). Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kehadiran anak umumnya merupakan hal yang dinanti-nantikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kehadiran anak umumnya merupakan hal yang dinanti-nantikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehadiran anak umumnya merupakan hal yang dinanti-nantikan oleh orang tua. Anak merupakan harta berharga dan anugerah dari Tuhan. Anak juga merupakan pemacu harapan

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang RI Nomor 34 tahun 2004, Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan

Lebih terperinci

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Masalah Pada tahun 1980-an di Amerika setidaknya 50 persen individu yang lahir menghabiskan sebagian masa remajanya pada keluarga dengan orangtua tunggal dengan pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap pasangan memiliki harapan serta keinginan-keinginan menjalani

BAB I PENDAHULUAN. Setiap pasangan memiliki harapan serta keinginan-keinginan menjalani BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap pasangan memiliki harapan serta keinginan-keinginan menjalani kehidupan yang bahagia dalam membina suatu keluarga. Anak merupakan suatu anugerah yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu 19 BAB II LANDASAN TEORI A. Biseksual 1. Definisi Biseksual Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu

Lebih terperinci

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Pendahuluan Psikologi kesehatan sebagai pengetahuan social-psychological dapat digunakan untuk mengubah pola health behavior dan mengurangi pengaruh dari psychosocial

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konsep Kebahagiaan atau Kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis Ryff (Ryff & Keyes, 1995) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan norma atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 2.1.1. Definisi Psychological Well-Being Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. Menurut Ryff (1989), psychological well being

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being, pengertian remaja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang selalu mengharapkan kehidupan yang bahagia. Salah satu bentuk kebahagiaan itu adalah memiliki anak yang sehat dan normal, baik secara fisik maupun mental.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. fisik maupun mental. Tetapi tidak semua anak terlahir normal, anak yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. fisik maupun mental. Tetapi tidak semua anak terlahir normal, anak yang tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang pasti mengharapkan kehidupan yang bahagia. Salah satu bentuk kebahagiaan itu adalah memiliki anak yang sehat dan normal, baik secara fisik maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Harapan bagi setiap wanita yang ada di dunia ini adalah untuk bisa

BAB I PENDAHULUAN. Harapan bagi setiap wanita yang ada di dunia ini adalah untuk bisa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Harapan bagi setiap wanita yang ada di dunia ini adalah untuk bisa menjadi ibu dengan memiliki seorang anak di dalam kehidupannya. Anak merupakan anugerah yang

Lebih terperinci

MENGENAL ANAK TUNAGRAHITA. anak yang biasa-biasa saja, bahkan ada anak yang cepat. Yang menjadi persoalan dalam

MENGENAL ANAK TUNAGRAHITA. anak yang biasa-biasa saja, bahkan ada anak yang cepat. Yang menjadi persoalan dalam 1 MENGENAL ANAK TUNAGRAHITA A. Pengertian Dilihat dari tingkat kecerdasannya, ada anak normal, ada anak di bawah normal, dan ada anak di atas normal. Sehingga dalam belajarnya pun ada anak yang lamban,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya untuk menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk membangun relasi sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak merupakan anugerah terindah yang diberikan Allah kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga bisa menjadi sebuah impian setiap orang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 11 BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS A.1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis adalah pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum anak-anak tinggal dengan orang tua mereka di rumah, tetapi ada juga sebagian anak yang tinggal di panti asuhan. Panti asuhan adalah suatu lembaga

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff

BAB II LANDASAN TEORI. Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff BAB II LANDASAN TEORI II.A. Psychological Well-Being II.A.1. Definisi Psychological Well-Being Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff (dalam Strauser, Lustig, dan Ciftcy, 2008)

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan berumah tangga, setiap keluarga tentunya akan mendambakan kehadiran seorang anak sebagai pelengkap kebahagiaan kehidupan pernikahan mereka. Setiap pasangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setelah sepasang pria dan wanita menikah, memiliki anak merupakan hal yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala upaya akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang indah, bahkan anak dikatakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. yang indah, bahkan anak dikatakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelahiran seorang anak dalam sebuah keluarga merupakan suatu bagian yang indah, bahkan anak dikatakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi stabilitas pernikahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak diharapkan tumbuh dan berkembang secara sehat, baik fisik,

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak diharapkan tumbuh dan berkembang secara sehat, baik fisik, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap anak diharapkan tumbuh dan berkembang secara sehat, baik fisik, mental, dan sosial. Proses pertumbuhan dan perkembangan setiap anak tidak selalu sama satu dengan

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Keberadaan orang lain dibutuhkan manusia untuk melakukan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan

BAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam berita akhir-akhir ini terlihat semakin maraknya penggunaan narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan berdampak buruk terhadap

Lebih terperinci

PENYESUAIAN DIRI DAN POLA ASUH ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL

PENYESUAIAN DIRI DAN POLA ASUH ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL PENYESUAIAN DIRI DAN POLA ASUH ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1 Bidang Psikologi dan Fakultas Psikologi Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia. Manusia dapat menjalankan berbagai macam aktivitas hidup dengan baik bila memiliki kondisi kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gereja merupakan sebuah institusi yang dibentuk secara legal dan berada di bawah hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan memperoleh ilmu sesuai dengan tingkat kebutuhannya yang dilaksanakan secara formal sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daripada psikologis yang berfungsi positif (Ryff, 1989). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesehatan mental dikaitkan dengan tidak adanya gangguan psikologis daripada psikologis yang berfungsi positif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara suami istri saja melainkan juga melibatkan anak. retardasi mental termasuk salah satu dari kategori tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. antara suami istri saja melainkan juga melibatkan anak. retardasi mental termasuk salah satu dari kategori tersebut. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam kehidupan berumah tangga, setiap pasangan tentu mendambakan kehadiran seorang anak sebagai pelengkap kebahagiaan serta puncak pemenuhan dari kebutuhan pernikahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penelitian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluarga merupakan suatu kelompok primer yang sangat erat. Yang dibentuk karena kebutuhan akan kasih sayang antara suami dan istri. (Khairuddin, 1985: 104).Secara historis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam sebuah rumah tangga setiap pasangan suami istri yang akan

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam sebuah rumah tangga setiap pasangan suami istri yang akan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam sebuah rumah tangga setiap pasangan suami istri yang akan menjadi orang tua tentunya mengharapkan mendapatkan buah hatinya dalam keadaan sehat secara lahir

Lebih terperinci

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Setiap individu, baik dengan keunikan ataupun kekurangan berhak

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. PENYESUAN SOSIAL 1. Pengertian Penyesuaian sosial merupakan suatu istilah yang banyak merujuk pada proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN. cerebral palsy, maka peneliti dapat memberi kesimpulan dari ketiga subjek terkait

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN. cerebral palsy, maka peneliti dapat memberi kesimpulan dari ketiga subjek terkait BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengenai bagaimana gambaran proses penerimaan ibu dengan anak yang mengalami cerebral palsy,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya setiap individu pasti mengalami kesulitan karena individu tidak akan terlepas dari berbagai kesulitan dalam kehidupannya. Kesulitan dapat terjadi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perceraian merupakan kata yang umum dan tidak asing lagi di telinga masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi trend, karena untuk menemukan informasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kehadiran seorang bayi dalam keluarga merupakan berkah yang luar

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kehadiran seorang bayi dalam keluarga merupakan berkah yang luar 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kehadiran seorang bayi dalam keluarga merupakan berkah yang luar biasa. Setiap orang tua mengharapkan anak yang dilahirkan kelak tumbuh menjadi anak yang menyenangkan,

Lebih terperinci

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Psikologi Disusun oleh : RIZKIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang pengertian psychological well-being, faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being,

Lebih terperinci

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kekerasan dalam rumah tangga menjadi sebuah fenomena sosial yang memprihatinkan di tengah masyarakat. Abrahams (2007), mengungkapkan bahwa kekerasan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap pasangan. Saling setia dan tidak terpisahkan merupakan salah satu syarat agar tercipta keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana seseorang akan kehilangan orang yang meninggal dengan penyebab dan peristiwa yang berbeda-beda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia akan mengalami perkembangan sepanjang hidupnya, mulai dari masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal, dewasa menengah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kelahiran anak dalam kondisi sehat dan normal adalah harapan setiap ibu (UNICEF,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kelahiran anak dalam kondisi sehat dan normal adalah harapan setiap ibu (UNICEF, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kelahiran anak dalam kondisi sehat dan normal adalah harapan setiap ibu (UNICEF, 2010). Namun faktanya, tidak semua anak lahir dalam kondisi normal. Anak yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses pematangan dan belajar (Wong, 1995) fungsi pematangan organ mulai dari aspek sosial, emosional, dan

BAB I PENDAHULUAN. proses pematangan dan belajar (Wong, 1995) fungsi pematangan organ mulai dari aspek sosial, emosional, dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemahaman pertumbuhan dan perkembangan anak diperlukan suatu kepekaan terhadap kebutuhan anak, karena dengan kepekaan tersebut pemahaman dapat mudah diperoleh. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak adalah anugerah, anak adalah titipan dari Allah SWT. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak adalah anugerah, anak adalah titipan dari Allah SWT. Setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah anugerah, anak adalah titipan dari Allah SWT. Setiap orangtua pasti menginginkan memiliki anak yang normal dan sehat baik secara jasmani maupun rohani. Anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai anak yang normal. Melihat anak anak balita tumbuh dan. akan merasa sedih. Salah satu gangguan pada masa kanak kanak yang

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai anak yang normal. Melihat anak anak balita tumbuh dan. akan merasa sedih. Salah satu gangguan pada masa kanak kanak yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Memiliki anak sehat, baik fisik maupun mental adalah harapan bagi semua orang tua, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua pasangan dikaruniai anak yang normal. Melihat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. emosional yang positif karena telah terpenuhinya kondisi-kondisi yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. emosional yang positif karena telah terpenuhinya kondisi-kondisi yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebahagiaan 1. Pengertian Spot (2004) menjelaskan kebahagiaan adalah penghayatan dari perasaan emosional yang positif karena telah terpenuhinya kondisi-kondisi yang diinginkan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berarti. Anak datang menawarkan hari-hari baru yang lebih indah, karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berarti. Anak datang menawarkan hari-hari baru yang lebih indah, karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah anugrah, kehadirannya mengubah hidup menjadi lebih berarti. Anak datang menawarkan hari-hari baru yang lebih indah, karena kehadirannya juga orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti melahirkan anak, merawat anak, menyelesaikan suatu permasalahan, dan saling peduli antar anggotanya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan berkembang secara normal terutama anak, namun itu semua tidak didapatkan

BAB I PENDAHULUAN. dan berkembang secara normal terutama anak, namun itu semua tidak didapatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap keluarga menginginkan semua anggota keluarganya dapat tumbuh dan berkembang secara normal terutama anak, namun itu semua tidak didapatkan oleh keluarga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-Being Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai 1 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Karyawan PT. INALUM 1. Pengertian Karyawan Karyawan adalah sumber daya yang sangat penting dan sangat menentukan suksesnya perusahaan. Karyawan juga selalu disebut sebagai

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui psychological well-being pada pasien HIV positif (usia 20-34 tahun) di RS X Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

Lebih terperinci

Anak adalah dambaan setiap pasangan, dimana setiap pasangan selalu. menginginkan anak mereka tumbuh dengan sehat dan normal baik secara fisik

Anak adalah dambaan setiap pasangan, dimana setiap pasangan selalu. menginginkan anak mereka tumbuh dengan sehat dan normal baik secara fisik BABI ~ PENDAHULUAN BABI PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Anak adalah dambaan setiap pasangan, dimana setiap pasangan selalu menginginkan anak mereka tumbuh dengan sehat dan normal baik secara fisik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran seorang anak dalam keluarga merupakan suatu peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran seorang anak dalam keluarga merupakan suatu peristiwa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Kehadiran seorang anak dalam keluarga merupakan suatu peristiwa yang selalu didambakan. Kelahiran anak juga dapat membawa hubungan suami istri menjadi lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagian besar orang yang sudah menikah menginginkan seorang anak dalam rumah tangga mereka. Anak merupakan titipan Tuhan yang harus dijaga dan dilindungi. Beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak adalah suatu anugerah yang sangat dinanti-nantikan oleh pasangan

BAB I PENDAHULUAN. Anak adalah suatu anugerah yang sangat dinanti-nantikan oleh pasangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anak adalah suatu anugerah yang sangat dinanti-nantikan oleh pasangan suami istri. Kehadiran seorang anak sangat dinantikan karena anak merupakan generasi penerus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami perubahan-perubahan di berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi,

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN PSIKOLOGI TENTANG MEMAKNAI HIDUP. spontan diresponi dengan berbagai cara, dengan tujuan agar diri tetap terjaga.

BAB II PENDEKATAN PSIKOLOGI TENTANG MEMAKNAI HIDUP. spontan diresponi dengan berbagai cara, dengan tujuan agar diri tetap terjaga. BAB II PENDEKATAN PSIKOLOGI TENTANG MEMAKNAI HIDUP II. 1. Pendekatan Psikologi Setiap kejadian, apalagi yang menggoncangkan kehidupan akan secara spontan diresponi dengan berbagai cara, dengan tujuan agar

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Usia sekolah menengah pertama pada umumnya berada pada usia remaja awal yaitu berkisar antara 12-15 tahun. Santrock (2005) (dalam http:// renika.bolgspot.com/perkembangan-remaja.html,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological 15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Penerimaan orangtua terhadap anak yang memiliki kebutuhan khusus sangat mempengaruhi proses perkembangan anak. Menurut Chaplin (2000) penerimaan ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB I. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri sehingga

BAB I. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri sehingga membutuhkan orang lain untuk melengkapi hidupnya yang tidak dapat terpenuhi oleh dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Perkembangan merupakan perubahan ke arah kemajuan menuju terwujudnya hakekat manusia yang bermartabat atau berkualitas. Usia lahir sampai dengan pra sekolah

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori

Bab 2. Landasan Teori Bab 2 Landasan Teori 2.1 Dewasa Muda Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Di zaman modern dan era globalisasi ini, sangat mudah untuk menemukan individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku seksual yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam hidup semua orang pasti akan mengalami kematian, terutama kematian

BAB I PENDAHULUAN. Dalam hidup semua orang pasti akan mengalami kematian, terutama kematian BAB I PENDAHULUAN I.I Latar belakang Dalam hidup semua orang pasti akan mengalami kematian, terutama kematian seorang ayah. Kematian adalah keadaan hilangnya semua tanda tanda kehidupan secara permanen

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut 12 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Pengatasan Masalah Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut Lazarus dan Folkman (1984) pengatasan masalah merupakan suatu proses usaha individu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Body Image 1. Pengertian Body image adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak yang memberi dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah satunya adalah

Lebih terperinci

`BAB I PENDAHULUAN. mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingunan ini

`BAB I PENDAHULUAN. mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingunan ini 1 `BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Siswa sekolah menengah umumnya berusia antara 12 sampai 18/19 tahun, yang dilihat dari periode perkembangannya sedang mengalami masa remaja. Salzman (dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psychological Well-Being menjelaskan istilah Psychological Well-Being sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psychological Well-Being menjelaskan istilah Psychological Well-Being sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psychological Well-Being 2.1.1 Definisi Carol D. Ryff (dalam Keyes, 1995), yang merupakan penggagas teori Psychological Well-Being menjelaskan istilah Psychological Well-Being

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Populasi lansia di dunia mengalami peningkatan pesat. Berdasarkan hasil penelitian Kinsella &Velkof (2001), bahwa sepanjang tahun 2000, populasi lansia dunia tumbuh

Lebih terperinci