KAJIAN PENGARUH TIPE VENTILASI DAN SUHU PENYIMPANAN TERHADAP PERUBAHAN MUTU BUAH ALPUKAT (Persea Americana, Mill) DAN SEBARAN SUHU DALAM KEMASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN PENGARUH TIPE VENTILASI DAN SUHU PENYIMPANAN TERHADAP PERUBAHAN MUTU BUAH ALPUKAT (Persea Americana, Mill) DAN SEBARAN SUHU DALAM KEMASAN"

Transkripsi

1 KAJIAN PENGARUH TIPE VENTILASI DAN SUHU PENYIMPANAN TERHADAP PERUBAHAN MUTU BUAH ALPUKAT (Persea Americana, Mill) DAN SEBARAN SUHU DALAM KEMASAN SKRIPSI DETI KUSNIATI F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 STUDY ON THE EFFECT OF VENTILATION TYPE AND STORAGE TEMPERATURE ON THE QUALITY CHANGES OF AVOCADO (Persea Americana, Mill) AND THE DISTRIBUTION OF TEMPERATURE INSIDE PACKAGING Deti Kusniati Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone , ABSTRACT Post harvest handling of avocado in Indonesia usually are still done with less carefull during harvesting, packaging, transportation, and storage can lead to mechanical, physiological, chemical, and microbiological damage. Mechanical damage during the distribution process of fruits due to impact between fruit inside the packaging, the impact of the fruit with a wall packaging, as well as the excess pressure due to pile in one package. The use of corrugated box packaging by giving insulation between the fruit and ventilation holes are expected to reduce mechanical damage and changes in avocado fruit quality such as shrinkage weight, hardness, total soluble solids, and physical damage during storage. This research was done to investigate four packaging types : packaging without ventilation, circle type ventilation packaging, oblong type, insulation type; and two treatment of storage temperature of room temperature and 8 0 C temperature. The testing result in the temperature distribution on the packaging indicates that the packaging with oblong ventilation type most quickly reach the expected storage temperature. The transport simulation results of the which was equivalent with miles in the road out of town or approximately 3:08 hours for trucks with speed of 60 km / h shows the level of fruits mechanical damage in 0% on all packaging. Although the package with oblong ventilation is better in distribution temperature, but overall, the decreasing quality of avocado in circle ventilation package is slower than the other packages. Due to, the best package to be distributed the avocado is package with circle ventilation in temperature of 8 o C. Keyword : Avocado, package, ventilation

3 Deti Kusniati. F Kajian Pengaruh Tipe Ventilasi dan Suhu Penyimpanan Terhadap Perubahan Mutu Buah Alpukat (Persea Americana, Mill) dan Sebaran Suhu dalam Kemasan. Di bawah bimbingan Sutrisno dan Emmy Darmawati RINGKASAN Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang mempunyai kekayaan alam yang melimpah, tanah yang subur, dan dapat ditanami berbagai macam tanaman, sehingga dapat menghasilkan produk hortikultura yang potensial. Buah-buahan sebagai komoditas hortikultura memiliki potensi untuk dikembangkan baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri. Salah satunya yaitu buah alpukat, Alpukat merupakan salah satu jenis buah bergizi tinggi yang semakin banyak diminati dan tidak kalah bersaing jika dibandingkan dengan buah-buahan lainnya yang memiliki nilai komersial lebih tinggi. Penanganan buah alpukat masih dilakukan seadanya oleh petani, sehingga penanganan yang kurang hati-hati pada saat panen, pengemasan, pengangkutan, dan penyimpanan mengakibatkan kerusakan buah yang tinggi. Kerusakan yang terjadi dapat berupa kerusakan mekanis, fisiologis, kimiawi, dan mikrobiologis. Selama proses distribusi masih banyak terjadi kerusakan mekanis pada buah alpukat seperti luka gores, luka memar, dan luka pecah akibat terjadinya benturan antar buah di dalam kemasan, benturan antara buah dengan dinding kemasan, serta tekanan akibat tumpukan berlebih dalam satu kemasan. Penggunaan kemasan karton dewasa ini telah menjadi kemasan yang popular untuk produk holtikultura, hal ini disebabkan karena kemasan dengan peti karton lebih ringkas dan rapi. Kemasan karton dapat dilengkapi dengan ventilasi agar adanya sirkulasi udara, dan dilengkapi penyekat antar buah sehingga kerusakan akibat gesekan dan tekanan dapat dihindari. Ventilasi penting untuk kemasan produk pertanian khususnya komoditas holtikultura segar yang masih mengalami proses respirasi yang memerlukan aliran udara yang memadai untuk membuang panas yang terjadi karena proses respirasi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh tipe ventilasi kemasan dan suhu penyimpanan terhadap perubahan mutu buah alpukat dan sebaran suhu dalam kemasan. Perlakuan untuk melihat pengaruh ventilasi ada empat yaitu kemasan tanpa ventilasi, ventilasi circle, ventilasi oblong, dan ventilasi searah sekat. Sedangkan untuk suhu penyimpanannya terdiri dari penyimpanan di suhu ruang dan penyimpanan di suhu dingin 8 C. Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departeman Teknik Mesin dan Biosistem IPB. Penelitian ini dilaksanakan mulai dari 17 Maret April Bahan utama yang digunakan adalah buah alpukat yang diperoleh dari petani di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Bahan lain yang digunakan yaitu karton sebagai bahan untuk pembuatan kemasan outer dan sekat antar buah. Peralatan yang digunakan meja simulator, Rheometer, Refraktometer, Refrigerator, dan timbangan Mettler. Kemasan hasil rancangan berukuran (37 x 23 x 21) cm dengan dua layer. Desain kemasan memiliki perkiraan berat bersih alpukat 5-6 kg, dengan kapasitas 30 buah yaitu pada masing-masing layer sebanyak 15 buah. Kemasan karton yang digunakan yaitu tipe Regular Slotted Container (RSC). Penyimpanan buah alpukat dilakukan pada suhu ruang dan suhu 8 C. Pengamatan yang dilakukan yaitu pencapaian kestabilan suhu dalam masing-masing kemasan, dan parameter mutu buah alpukat seperti kerusakan mekanis, susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut, dan kerusakan selama penyimpanan. Hasil pengujian sebaran suhu dalam kemasan pada awal penyimpanan, menunjukkan kemasan yang disimpan pada suhu ruang 28 C memiliki kestabilan suhu berkisar antara C, sedangkan kemasan yang disimpan pada suhu 8 C dapat mencapai kestabilan suhu berkisar antara C. Kemasan dengan ventilasi tipe oblong dan circle merupakan kemasan yang paling cepat mencapai suhu penyimpanan yang diharapkan. Berdasarkan hasil analisa sidik ragam, tipe ventilasi kemasan berpengaruh nyata terhadap suhu dalam kemasan. Dari hasil uji lanjut Duncan, kemasan dengan ventilasi tipe circle dan oblong, menhasilkan suhu dalam kemasan yang tidak berbeda nyata.

4 Hasil konversi frekuensi dan amplitudo selama simulasi transportasi berdasarkan konversi truk selama dua jam di jalan luar kota, menunjukkan bahwa dua jam pada alat simulasi transportasi setara dengan km di jalan luar kota atau lebih kurang 3.08 jam perjalanan truk dengan kecepatan 60 km/jam, dan tingkat kerusakan mekanis setelah simulasi transportasi pada tiap tipe kemasan adalah 0 %. Selama penyimpanan juga dilakukan pengamatan terhadap kerusakan fisik buah alpukat, dan perubahan mutunya. Kerusakan fisik tertinggi dialami oleh buah alpukat pada kemasan tanpa ventilasi yang disimpan pada suhu ruang, dengan kerusakan sebesar % setelah enam hari penyimpanan. Sedangkan pada penyimpanan di suhu 8 C, hanya kemasan dengan ventilasi tipe oblong yang mengalami kerusakan fisik. Berdasarkan hasil analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan, tipe kemasan tidak berpengaruh nyata terhadap kerusakan mekanis, susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut, dan kerusakan fisik selama penyimpanan. sedangkan suhu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap tingkat kerusakan mekanis, susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut, dan kerusakan fisik selama penyimpanan. semakin tinggi suhu penyimpanan maka akan semakin tinggi pula laju respirasi yang terjadi yang akan berpengaruh terhadap mutu buah. Berdasarkan hasil penelitian, kemasan yang sesuai untuk distribusi alpukat yang dapat mempertahankan mutu fisik alpukat dalam beberapa hari penyimpanan adalah kemasan dengan ventilasi tipe circle. Karena pada penyimpanan suhu ruang maupun suhu dingin 8 C, buah alpukat yang disimpan pada kemasan tersebut menghasilkan mutu yang lebih baik dari kemasan lainnya seperti persentase susut bobot rendah, kekerasan tinggi, peningkatan TPT yang rendah, dan tidak mengalami kerusakan selama penyimpanan.

5 KAJIAN PENGARUH TIPE VENTILASI DAN SUHU PENYIMPANAN TERHADAP PERUBAHAN MUTU BUAH ALPUKAT (Persea Americana, Mill) DAN SEBARAN SUHU DALAM KEMASAN SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Mayor Teknik Pertanian Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Oleh DETI KUSNIATI F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 i

6 Judul Skripsi : Kajian Pengaruh Tipe Ventilasi dan Suhu Penyimpanan Terhadap Perubahan Mutu Buah Alpukat (Persea Americana,Mill) dan Sebaran Suhu Dalam Kemasan Nama : Deti Kusniati Nrp : F Menyetujui, Pembimbing I, Pembimbing II, (Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr.) (Dr.Ir.Emmy Darmawati, M.Si.) NIP NIP Mengetahui : Ketua Departemen, (Dr.Ir. Desrial, M.Eng ) NIP Tanggal lulus : ii

7 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Pengaruh Tipe Ventilasi dan Suhu Penyimpanan Terhadap Perubahan Mutu Buah Alpukat (Persea Americana, Mill) dan Sebaran Suhu Dalam Kemasan adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Oktober 2011 Yang membuat pernyataan Deti Kusniati F iii

8 Hak cipta milik Deti Kusniati, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya iv

9 BIODATA PENULIS Deti Kusniati. Lahir di Serang, 2 Desember 1989 dari ayah Dedi Kusnawan dan ibu Juarsih S.Pd, sebagai putri pertama dari empat bersaudara. Pada tahun 2004 penulis menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri 1 Serang, kemudian melanjutkan SMA pada tahun 2007 di SMA Negeri 1 Serang, dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai Mahasiswa dengan Mayor Teknik Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian. Pada tahun 2010, penulis memilih bagian Lab. Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP). Sewaktu kuliah Penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan maupun kepemudaan. Pada tahun penulis aktif sebagai Staff bidang Riset dan Teknologi (Ristek) Biosistem HIMATETA (Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian). Pada tahun 2010, penulis melaksanakan Praktek Lapang di PT. Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) II Unit PG. Sindang Laut Cirebon dengan judul Aspek Keteknikan Pertanian Pada Proses Pengolahan Gula Tebu di PT.RNI II Unit PG.Sindang Laut Cirebon. Pada tahun 2011 penulis menjadi Asisten Praktikum Terpadu Mekanika dan Bahan Teknik (PTMBT). Dan sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul Kajian Pengaruh Tipe Ventilasi dan Suhu Penyimpanan terhadap Perubahan Mutu Buah Alpukat (Persea Americana, Mill) dan Sebaran Suhu dalam Kemasan. v

10 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunianya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Kajian Pengaruh Tipe Ventilasi dan Suhu Penyimpanan Terhadap Perubahan Mutu Buah Alpukat (Persea Americana,Mill) dan Sebaran Suhu Kemasan dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departeman Teknik Pertanian IPB sejak bulan Maret sampai April Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr dan Dr. Ir. Emmy Darmawati, Msi sebagai dosen pembimbing akademik atas bimbingannya selama ini. 2. Ir. Agus Sutejo, M.Si selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan koreksi dan saran terhadap skripsi Penulis. 3. Ayahanda, Ibunda, adik-adik tercinta (Suci, Vivi, dan Anida), serta saudara-saudara yang selalu mengalirkan doa untuk kelancaran kegiatan penelitian, dan memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak Sugiyono, S.Tp, M.Si atas bimbingan dan arahannya kepada penulis 5. Bapak Sulyaden dan Bapak Ahmad sebagai laboran di Laboratorium Teknik TPPHP dan LBP yang telah membantu selama penelitian. 6. Teman-teman sepermain dan seperjuangan Siska Febriana, Huda Fatmawati, Anggy Fajar M, Rahma Utami, Dewi Sartika, dan Ratna Aprilynda. 7. Teman-teman satu bimbingan Ilah Fadilah, Tri Yulni, Sartika R, Tulus Hirdata dan Adi Nuryadi. 8. Henni, Ani, Yuni, Thea, Spetri, Okta, Wendi, Suherman, Surianta, Zani, Yan, Wawat, Sabil, dan rekan TEP 44 (ENSEMBLE) lainnya yang tentunya secara langsung maupun tidak langsung telah turut membantu dalam penyusunan skripsi ini. 9. Kakak-kakak TEP 43(Ka Nanda, Ka Enny, Ka Dani Boy) yang bersedia meluangkan waktunya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penulis, serta adik-adik TMB 46 yang memberi dukungan dan semangat. 10. Fiman, Muhammad Firdaus, dan Zaid yang memberikan semangat dan motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 11. Penghuni wisma LUKITA ( Nunge, Eka, Nivi, Mba Erna, dll ) atas dukungannya. 12. Seluruh Dosen Departemen Teknik Mesin dan Biosistem atas ilmu, dan pengalaman yang telah diberikan kepada penulis. 13. Seluruh staf Departemen Teknik Mesin dan Biosistem (Ibu Rusnawati, Ibu Mar, dll) atas kebaikan dan bantuannya kepada penulis. Akhir kata, meskipun banyak kekurangan. Semoga tulisan ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis atau pembaca. Bogor, Oktober 2011 Penulis vi

11 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... vi DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN... x I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Tujuan... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA... 3 A. Alpukat... 3 B. Pengemasan... 6 C. Peti Karton Bergelombang... 7 D. Ventilasi E. Bahan Pengisi Kemasan F. Penyimpanan Buah G. Kerusakan Pasca Panen H. Transportasi I. Simulasi Transportasi III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu B. Bahan dan Alat C. Model Kemasan D. Prosedur Penelitian E. Pengamatan F. Kesetaraan Simulasi Transportasi G. Rancangan Percobaan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kemasan Alpukat Hasil Rancangan B. Pola Kestabilan Suhu Kemasan C. Pengaruh Tipe Ventilasi Terhadap Sebaran Suhu dalam Kemasan D. Tingkat Kerusakan Mekanis Setelah Simulasi Transportasi E. Pengaruh Tipe Kemasan dan Suhu Penyimpanan Terhadap Mutu Buah Alpukat F. Pemilihan Kemasan yang Sesuai V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN vii

12 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Syarat mutu buah alpukat... 4 Tabel 2. Karakteristik jenis alpukat... 5 Tabel 3. Kandungan nilai nutrisi buah alpukat per 100 gr bahan... 5 Tabel 4. Susunan flute pada karton gelombang komersial... 8 Tabel 5. Tipe flute dan sifat karton gelombang... 8 Tabel 6. Kebutuhan kondisi penyimpanan dan sifat dari buah-buahan Tabel 7. Data goncangan truk Tabel 8. Data rataan dimensi dan berat buah alpukat Tabel 9. Pengaruh tipe ventilasi kemasan terhadap sebaran suhu dalam kemasan selama penyimpanan pada suhu ruang Tabel 10. Pengaruh tipe ventilasi kemasan terhadap sebaran suhu dalam kemasan selama penyimpanan pada suhu 8 C Tabel 11 Pengaruh tipe ventilasi kemasan terhadap susut bobot alpukat Tabel 12. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap susut bobot alpukat Tabel 13. Pengaruh tipe kemasan berventilasi terhadap kekerasan buah alpukat Tabel 14. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap kekerasan buah alpukat Tabel 15. Pengaruh tipe ventilasi kemasan terhadap total padatan terlarut buah alpukat Tabel 16. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap total padatan terlarut buah alpukat viii

13 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Bentuk dan penampang alpukat mentega... 3 Gambar 2. Penggolongan karton gelombang... 7 Gambar 3. Tipe flute... 8 Gambar 4. Kemasan karton gelombang tipe Regular Slotted Container ( RSC )... 9 Gambar 5. Kemasan karton gelombang tipe Half Telescopic Container ( HTC )... 9 Gambar 6. Kemasan karton gelombang tipecfull Telescopic Container ( RSC )... 9 Gambar 7. Sekat karton Gambar 8. Model kemasan dalam penelitian Gambar 9. Ilustrasi gerakan Gambar 10. Diagram alir prosedur penelitian Gambar 11. (a) Bagian dalam kemasan.. 21 (b) Posisi titik pengukuran suhu Gambar 12. Flute AB kemasan outer Gambar 13. Penyusunan buah alpukat dalam kemasan Gambar 14. Rancangan kemasan alpukat Gambar 15. Posisi titik pengukuran suhu dalam kemasan Gambar 16. Sebaran suhu dalam kemasan pada awal penyimpanan suhu ruang Gambar 17. Sebaran suhu dalam kemasan pada awal penyimpanan suhu 8 C Gambar 18. Suhu rata-rata masing kemasan selama penyimpanan pada suhu ruang Gambar 19. Suhu rata-rata masing kemasan selama penyimpanan pada suhu 8 C Gambar 20. Simulasi transportasi desain kemasan alpukat Gambar 21. Perubahan persentase susut bobot alpukat dalam kemasan selama Penyimpanan pada suhu ruang (28-30 C).. 34 Gambar 22. Perubahan persentase susut bobot alpukat dalam kemasan selama penyimpanan pada suhu 8 C...34 Gambar 23. Perubahan kekerasan buah alpukat selama penyimpanan pada suhu ruang (28-30 C) Gambar 24. Perubahan kekerasan buah alpukat selama penyimpanan pada suhu 8 C Gambar 25. Perubahan warna kecoklatan dan timbul jamur pada alpukat untuk penyimpanan 6 hari pada suhu ruang (28-30 C) Gambar 26. Perubahan total padatan terlarut selama penyimpanan pada suhu ruang (28-30 C) Gambar 27. Perubahan total padatan terlarut selama penyimpanan pada suhu 8 C.. 40 Gambar 28. Presentasi kerusakan fisik buah alpukat selama penyimpanan pada suhu ruang. 42 Gambar 29. Kerusakan buah alpukat pada kemasan K1T1 setelah penyimpanan hari ke Gambar 30. Perubahan buah alpukat Gambar 31. Presentasi kerusakan fisik buah alpukat selama penyimpanan pada suhu 8 C Gambar 32. Jenis kerusakan buah ix

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Dimensi dan berat buah alpukat Lampiran 2. Perhitungan dimensi kemasan karton Lampiran 3. Perhitungan ventilasi kemasan Lampiran 4. Peralatan yang digunakan Lampiran 5. Simulasi transportasi Lampiran 6. Grafik pengujian sebaran suhu kemasan Lampiran 7. Suhu rata-rata dalam kemasan selama penyimpanan Lampiran 8. Persentase susut bobot buah alpukat selama penyimpanan Lampiran 9. Perubahan total padatan terlarut buah alpukat selama penyimpanan Lampiran 10. Penurunan kekerasan buah alpukat selama penyimpanan Lampiran 11. Kerusakan fisik buah alpukat selama penyimpanan Lampiran 12. Hasil analisa ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan susut bobot buah alpukat selama penyimpanan Lampiran 13. Hasil analisa ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan kekerasan buah alpukat selama penyimpanan Lampiran 14. Hasil analisa ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan total padatan terlarut buah alpukat selama penyimpanan Lampiran 15. Hasil analisa ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan suhu dalam kemasan selama penyimpanan pada suhu ruang Lampiran 16. Hasil analisa ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan suhu dalam kemasan selama penyimpanan pada suhu 8 C Lampiran 18. Penampakan buah alpukat pada akhir penyimpanan x

15 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara penghasil produk hortikultura yang potensial. Buah-buahan sebagai salah satu komoditas hortikultura memiliki potensi untuk dikembangkan baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri. Indonesia mengekspors komoditas hortikultura ke sejumlah negara maju seperti Singapura, Cina, Taiwan, Hongkong, Belanda, Perancis, Spanyol, dan Timur Tengah. Produk hortikultura yang diekspor pada umumnya berupa buah segar sehingga kadar air sangat menentukan kualitasnya. Beberapa jenis buah-buahan Indonesia yang disukai oleh Negara lain diantaranya adalah alpukat, mangga, manggis, melon, papaya, nanas, kesemek, apel, rambutan, dan lain-lain. Dalam perdagangan dunia, buah alpukat merupakan komoditas buah yang penting, volume perdagangannya menempati urutan kelima susudah jeruk, pisang, nenas, dan mangga (Winarno, 2002). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun 1997 hingga tahun 2010, produktivitas alpukat di Indonesia mengalami kenaikan. Pada tahun 1997 produksi alpukat yaitu 129,952 ton, sedangkan pada tahun 2010 produksi alpukat mencapai 225,143 ton. Produksi alpukat tertinggi di Indonesia selama kurun waktu 13 tahun, yaitu pada tahun 2009 mencapai angka 257,642 ton. Buah alpukat yang diekspor ke pasar Eropa mencapai 20,000 ton pertahun (Winarno, 2002). Pada tahun 2011 permintaan ekspor alpukat oleh Singapura akan meningkat, karena adanya pembatasan impor dari negara China. Berbeda dengan buah lain, alpukat mengandung lemak yang lumayan tinggi yakni 6,50 25,18 gram per 100 gram daging buah. Di antara buah-buahan, rasa alpukat unik, rasanya bukan manis atau pun masam, tetapi rasanya seperti kacang-kacangan. Rasa ini berasal dari daging buah yang konsistensinya menyerupai mentega. Lemak yang terdapat dalam alpukat sebagian besar (63%) merupakan asam lemak tak jenuh tunggal yang lebih dibutuhkan oleh tubuh manusia. Walaupun demikian, buah alpukat masih belum mendapatkan perhatian yang khusus dari masyarakat. Hal ini disebabkan belum diketahui potensinya secara luas. Buah alpukat masih ditangani dengan kurang tepat sehingga nilai jualnya rendah. Penanganan pasca panen (pengangkutan, sortasi, pengemasan dan penyimpanan) yang tidak tepat mempengaruhi tingkat perubahan mutu produk. Perubahan mutu selama proses penyimpanan terjadi karena buah-buahan dan sayuran masih melakukan respirasi, dimana selama proses respirasi tersebut produk mengalami pematangan dan kemudian diikuti dengan proses pembusukkan. Kerusakan akibat pasca panen ini dapat berupa kerusakan fisik, mekanik, biologi, kimia, maupun mikrobiologi. Diperkirakan lebih dari 30% komoditas buah, sayur, dan bunga segar di Indonesia mengalami kerusakan setelah sampai di tangan konsumen, akibat penanganan yang kurang baik. Kerusakan-kerusakan selama pengangkutan tersebut umumnya memar, hancur, dan mutunya tidak seragam. Penyebab utama kerusakan tersebut adalah pengemasan yang tidak sesuai atau kurang tepat. Efisiensi penanganan komoditas hasil pertanian dapat ditingkatkan melalui kemasannya. Kemasan ini diharapkan dapat memberikan perlindungan yang maksimum kepada produk yang dikemas, sehingga produk dapat sampai ke tangan konsumen dalam kondisi mutu yang seragam dan penampakan yang baik. Kemasan ada beberapa macam, mulai dari yang alami hingga buatan, mulai dari yang sederhana sampai yang paling canggih. Jenis kemasan yang dipilih harus dapat memberikan kondisi yang cocok bagi produk holtikultura sehingga dapat mencegah atau mengurangi terhadap 1

16 kemungkinan-kemungkinan terjadinya perubahan keadaan yang dapat menyebabkan kerusakan selama didistribusikan seperti perubahan suhu, kelembaban, goncangan, kontaminasi dan sebagainya. Secara ekonomis ukuran kemasan harus dibuat seefisien mungkin, tidak banyak ruangan kosong serta ukuran dan densitasnya perlu diketahui. Kemasan yang cukup baik digunakan untuk distribusi buah alpukat adalah kemasan kotak karton atau kardus. Hal ini disebabkan kemasan dengan kotak karton lebih ringkas dan rapi. Kemasan karton dapat dilengkapi dengan ventilasi untuk sirkulasi udara, dan penyekat antar buah untuk menghindari gesekan dan tekanan. Ventilasi penting pada kemasan produk pertanian khususnya komoditas holtikultura segar karena bahan tersebut masih mengalami respirasi yang mengakibatkan akumulasi panas dalam kemasan, oleh karena itu diperlukan aliran udara yang memadai untuk membuang panas tersebut. Kekuatan kardus dapat ditingkatkan dengan penambahan sekat di dalammnya, pelapis-pelapis tambahan, atau dengan menggunakan kardus teleskopik penuh yang mempunyai dua dinding luar (Pantastico, 1986). Berdasarkan kondisi tersebut diperlukan penelitian ini untuk mengetahui kesesuaian jenis bahan karton sebagai kemasan distribusi, pengaruh ventilasi pada kemasan untuk mempertahankan mutu buah didalamnya, mengetahui pengaruh ventilasi terhadap sebaran suhu dalam kemasan, juga suhu penyimpanan yang sesuai. Dengan penelitian ini juga dapat dilakukan penanganan yang tepat untuk kegiatan transportasi agar kualitas buah alpukat yang didistribusikan dari produsen kepada konsumen masih layak konsumsi. B. Tujuan Penelitian ini bertujuan: 1. Mengetahui pengaruh tipe ventilasi kemasan terhadap sebaran suhu dalam kemasan dan mutu buah alpukat (susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut dan kerusakan fisik). 2. Mengetahui pengaruh suhu penyimpanan terhadap perubahan mutu buah alpukat 3. Menentukan tipe kemasan dan suhu penyimpanan yang sesuai untuk mengurangi kerusakan mekanis dan penurunan mutu buah alpukat dalam kemasan. 2

17 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Alpukat Alpukat (Persea Americana, Mill) merupakan jenis tanaman yang termasuk famili Lauraceae, genus Parsea dan spesies americana. Tanaman alpukat merupakan tanaman buah berupa pohon dengan nama alpuket (Jawa Barat), alpokat (Jawa Timur/Jawa Tengah), boah pokat, jamboo pokat (Batak), advokat, jamboo mentega, jamboo pooan, pookat (Lampung) dan lain-lain. Tanaman alpukat berasal dari dataran rendah/tinggi Amerika Tengah dan diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad ke-18. Secara resmi antara tahun Indonesia telah mengintroduksi 20 varietas alpukat dari Amerika Tengah dan Amerika Serikat untuk memperoleh varietas-varietas unggul (Rismunandar, 1981). Berdasarkan sifat ekologis, tanaman alpukat terdiri dari 3 tipe keturunan/ras, yaitu Meksiko, Guatemala, dan Hindia Barat, masing-masing ras memiliki ciri-ciri yang berbeda-beda. Ras Meksiko memiliki buah buah yang kecil dengan berat g, bentuk oval, bertangkai pendek, kulitnya tipis dan licin seta biji buahnya besar dan memenuhi rongga buah. Daging buah ras ini mempunyai kandungan minyak /lemak yang paling tinggi. Ras Guatemala mempunyai buah yang berukuran cukup besar, berat berkisar antara g, kulit buah tebal, keras, mudah rusak dan kasar (berbintil-bintil). Bijinya relatif berukuran kecil dan menempel erat dalam rongga, dengan kulit biji yang menempel erat. Daging buahnya memiliki kandungan minyak yang sedang. Sedangkan ras Hindia Barat mempunyai buah dengan berat g, tangkai pendek, kulit buah licin, agak liat, dan tebal. Kandungan minyak daging buahnya paling kecil bila dibandingkan dengan ketiga ras yang lain. (Prihatman, 2000). Bentuk dan penampang buah alpukat dapat dilihat pada Gambar 1. Kulit Daging T Biji D Gambar 1. Bentuk dan Penampang Alpukat Mentega. T (tinggi), D (diameter) Alpukat merupakan salah satu tanaman holtikultura yang dapat tumbuh di daerah agak kering dan daerah basah. Tanah yang dikehendaki agar pohon alpukat dapat tumbuh dengan baik adalah tanah yang gembur dan memungkinkan adanya aerasi atau peredaran udara dengan ph antara Pada daerah tropis seperti Indonesia, tanaman alpukat dapat tumbuh subur di atas dataran rendah sampai dataran tinggi yang berketinggian 2000 m di atas permukaan laut (dpl). Rismunandar (1981), menyatakan bahwa musim berbunga alpukat bergantung pada daerah dan jenis alpukat. Biasanya alpukat berbunga pada bulan April-Agustus dan bulan Oktober- 3

18 November, sedangkan berbuah pada bulan Desember-Februari dan Mei-Juli. Alpukat yang ditanam dari biji akan berbuah pada umur 5-6 tahun sedangkan yang ditanam dengan okulasi berbuah pada umur 3-4 tahun. Pemanenan buah alpukat sebaiknya dilakukan pada saat yang tepat yaitu pada saat buah sudah tua tetapi belum masak. Kematangan buah alpukat ini dapat dilihat dari penampakan kulitnya. Bila masih mengkilap, maka buah masih belum cukup waktu matang walaupun bentuknya sudah cukup besar. Ciri kedua adalah bila buah diketuk dengan punggung kuku, menimbulkan bunyi yang nyaring. Sedangkan ciri yang terakhir adalah bila digoyang-goyangkan, akan terdengar goncangan biji, gejala ini menunjukkan buah sudah cukup matang (Rismunandar, 1986). Sebaiknya perlu diamati waktu bunga mekar sampai enam bulan kemudian, karena buah alpukat biasanya tua setelah 6-7 bulan dari saat bunga mekar. Menurut Muchtadi (1988) usaha-usaha penentuan kematangan buah untuk dipanen secara obyektif belum diperoleh. Biasanya indeks panen yang digunakan adalah ukuran buah, warna dan sebagainya yang diperoleh berdasarkan pengalaman petani. Ada juga yang mencoba menentukan indeks panen berdasarkan kadar lemak minimum pada buah, tetapi hal ini tidak praktis dilakukan. Penentuan indeks panen yang lebih praktis adalah berdasarkan berat buah minimum dan diameter buah. Buah alpukat memiliki komposisi kimia yang sangat lengkap. Besar kandungan ini tergantung dari jenis serta tingkat kematangan buah. Mutu buah alpukat ditentukan oleh waktu dan cara pemetikannya. Menurut Pantastico (1986), untuk menentukan waktu panen dapat dilakukan dengan beberapa cara: 1. Secara visual, dengan melihat warna kulit dan ukuran buah, adanya sisa tangkai putik, mengeringnya tepi daun tua, dan mengeringnya tubuh tanaman. 2. Secara fisik, dilihat dari mudah tidaknya buah terlepas dari tangkai dan berat jenisnya. 3. Secara analisi kimia, kandungan zat padat, zat asam, perbandingan zat padat dengan asam dan kandungan zat pati. 4. Secara perhitungan, jumlah hari setelah bunga mekar dalam hubungannya dengan tanggal berbunga. 5. Secara fisiologi, dengan melihat respirasinya. Penggolongan mutu buah alpukat dilakukan berdasarkan syarat mutu buah alpukat menurut Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan (1989), seperti yang terlihat pada Tabel 1. Karakteristik I Tabel 1. Syarat mutu buah alpukat Syarat Mutu Kesamaan sifat varietas Seragam Seragam Tingkat kematangan Matang, tidak terlalu masak Matang, tidak terlalu masak Bentuk Normal Kurang normal Kekerasan Keras Keras Ukuran Seragam Seragam Kerusakan maks. (%) 5 10 Busuk maks. (%) 1 2 Kotoran Bebas Bebas Sumber : Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (1989). Buah alpukat jenis unggul yang dianjurkan Departemen Pertanian adalah alpukat hijau panjang, alpukat hijau bundar (bulat) dan alpukat hijau lonjong (fuerte) (Sarjito dalam Anggraini 1992). II 4

19 Tabel berikut ini menunjukkan perbedaan ketiga varietas alpukat tersebut. Tabel 2. Karakteristik jenis alpukat Karakteristik Hijau panjang (mentega) Jenis Alpukat Hijau bulat (mentega/susu) Hijau lonjong (fuerte) Bentuk Pear Bulat Bulat lonjong Leher Panjang Tidak ada Pendek Ujung buah Tumpul Bulat Tumpul Pangkal buah Runcing Tumpul Runcing Warna kulit Hijau bintik kuning Hijau licin berbintik kuning Hijau agak kasar berbintik kuning Tebal kulit (mm) Daging buah : -Warna -Diameter -Panjang Biji : Bentuk -Ukuran (cm) Kuning Jorong 5.5 x 4 Kuning hijau Jorong 5.5 x 4 Kuning Lonjong 5.0 x 4 -Hasil/tahun 16.1 kg/pohon 22.0 kg/pohon 45.1 kg/pohon Sumber : Baga (1997) Alpukat merupakan salah satu jenis buah bergizi tinggi yang semakin banyak diminati yang tidak kalah bersaing jika dibandingkan dengan buah-buahan lainnya yang memiliki nilai komersial lebih tinggi. Kandungan nilai nutrisi dari buah alpukat dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 3. Kandungan nilai nutrisi buah alpukat per 100 gr bahan No Jenis Satuan Jumlah 1 Kalori kal 85 2 Lemak g Karbohidrat g Vit A IU Vit B Mg Vit C Mg 13 7 Ca Mg 10 8 Fe Mg Phosphorus Mg Soduim Mg Air (%) Protein g Potassium Mg Energi Kcal 73.6 Sumber : Direktorat Gizi,

20 B. Pengemasan Pengemasan adalah suatu usaha untuk melindungi komoditas dari penurunan mutu dan kerusakan mekanis, fisik, kimia dan mikrobiologi dan pada saat diterima konsumen akhir nilai pasarnya tetap tinggi (Soedibyo, 1985). Kualitas produk holtikultura yang rendah ketika sampai dipihak konsumen dapat disebabkan oleh sarana dan penanganan pasca panen yang belum diperhatikan. Penanganan pasca panen produk holtikultura dimulai dari pemanenan hingga penanganan sebelum diterima konsumen, termasuk didalamnya cara-cara pengemasan, penyimpanan, bongkar muat, dan transportasi/distribusi yang dapat mempengaruhi mutu produk. Pengemasan berfungsi untuk mempertahankan produk agar lebih bersih dan memberikan perlindungan terhadap kotoran dan pencemaran, melindungi bahan pangan terhadap kerusakan fisik, air, O 2, dan sinar, memberi perlindungan bagi konsumen dalam membuka wadah tersebut dan memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan pendistribusian, serta memberikan daya tarik penjualan dan pendistribusian (Buckle et.al.,1987). Menurut Purwadaria (1998), perancangan kemasan selama pengangkutan ditunjukan untuk meredam goncangan dalam perjalanan yang dapat mengakibatkan kememaran dan penurunan kekerasan holtikultura. Faktor yang perlu diperhatikan meliputi kemasan yaitu jenis, sifat, tekstur dan dimensi bahan, komoditas yang diangkut, sifat fisik, bentuk, ukuran, struktur dan pola susunan biaya pengangkutan dibandingkan dengan harga komoditas, permintaan waktu, jarak dan keadaan jalan yang dilintasi. Ada beberapa sifat kemasan distribusi yang diinginkan, yaitu sesuai dengan produk yang dikemas, cukup kuat untuk melindungi produk dari resiko-resiko yang terjadi selama pengangkutan dan penyimpanan, memiliki lubang ventilasi yang cukup (bagi produk tertentu yang memang membutuhkannya), dapat dibongkar dengan mudah tanpa menggunakan buku petunjuk, dan menyediakan informasi yang memungkinkan identifikasi produk yang dikemas, tempat produsen, dan tujuan pengiriman (Paine dan Paine, 1983). Menurut Satuhu (2004), bahan dan bentuk kemasan secara umum dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu: 1) Kemasan langsung Yaitu kemasan utama yang langsung berhubungan dengan buah yang dikemas. Bahan pengemas utama ini dapat berupa karung, plastik, kertas, atau bahkan daun. 2) Kemasan tidak langsung Merupakan kemasaan kedua dari buah yang tidak bersentuhan langsung. Wadah kedua dimaksudkan untuk melindungi bahan dari kerusakan fisik dan mekanis terutama untuk memudahkan pengaturan dalam gudang penyimpanan, dan distribusi serta memudahkan pengaturan dalam alat angkut. Bahan pengemas jenis ini dapat dibuat dari peti kayu, peti plastik, peti karton, dan keranjang bambu. Pada umumnya pembuatan kemasan sayur-sayuran dan buah-buahan untuk keperluan domestik lebih mengutamakan kemasan yang mempermudah transportasi, mempermudah selama pemuatan ke dalam kendaraan dan pembongkaran kemasan dari angkutan, maupun pemindahan dari suatu tempat ke tempat lainnya. Pencegahan terhadap kerusakan yang terjadi akibat benturan mekanis masih kurang mendapat perhatian. Untuk keperluan ekspor, kemasan yang digunakan tidak hanya ditunjukkan untuk mempermudah transportasi, namun kemasan tersebut digunakan juga sebagai pelindung terhadap kerusakan mekanis maupun kerusakan non mekanis, bahkan kemasan tersebut dijadikan sebagai sarana promosi. (Soesarsono, 1989). 6

21 Bahan pengemas digunakan untuk membatasi antara bahan pangan dan lingkungan luar yang bertujuan untuk menunda proses kerusakan dalam jangka waktu yang diinginkan (Buckle et.al.,1987 ). Berdasarkan dengan fungsinya tersebut maka pemilihan bahan kemasan harus tepat dan sesuai dengan sifat komoditi yang akan dikemas. Bahan kemasan untuk pengangkutan dirancang sedemikian rupa disesuaikan jarak angkut, lama perjalanan, keadaaan jalan yang dilalui, jenis alat angkut, panas respirasi yang timbul, serta kehilangan air atau kesegaran akibat proses respirasi. Wadah yang dimaksud juga harus cukup kecil agar mudah diangkat ketika telah diisi buah, dan cukup kuat untuk melindungi buah selama diangkat, dipindahkan, atau ditumpuk. Permukaannya harus lembut untuk menghindari kerusakan mekanis, dan punya lubang ventilasi yang cukup (Liu, 1997). C. Peti Karton Bergelombang Karton gelombang adalah karton yang dibuat dari satu atau beberapa lapisan kertas medium bergelombang dengan kertas linear sebagai penyekat dan pelapisnya. Pada akhir Perang Dunia II, 80% kemasan distribusi dibuat dalam kemasan peti karton gelombang, dan sisanya dibuat dari peti kayu (Anonim, 1994). Bahan kemasan karton gelombang merupakan bahan kemasan hasil industri kertas, jenis dan tipenya sudah terdapat standarnya. Sehingga pemilihan bahan kemasan karton gelombang lebih mudah dibandingkan dengan kayu. Papan karton gelombang yang telah dibentuk menjadi bentuk kemasan disebut kardus. Karton gelombang merupakan bahan kemasan distribusi yang paling umum dan paling banyak digunakan untuk berbagai jenis produk, mulai dari buah-buahan sampai dengan peralatan elektronik atau mesin untuk industri. Hal ini disebabkan harganya yang relatif murah dan daya tahan yang dapat diatur sesuai dengan jenis produk yang dikemas dan jenis transportasi yang digunakan (Triyanto, 1991). Agar dapat berfungsi dengan maksimal, pemakaian kotak karton gelombang harus memperhatikan penggunaan bahan baku yang baik, pengendalian mutu yang memadai selama proses pembuatan, spesifikasi kotak yang dibuat, baik dari segi ukuran, berat, dan lain-lain. Kertas gelombang antara permukaan pada papan karton gelombang disebut fluting atau media bergelombang. Kualitas terbaik dari fluting adalah yang terbuat dari serat kayu dengan metode pengolahan pulp secara khusus. Peleg (1985) mengklasifikasikan karton gelombang berdasarkan lapisan kertas (flat sheet) dan flute penyusunnya. Karton gelombang diklasifikasikan menjadi single wall board ( flute terletak di tengah-tengah flat sheet), double wall board ( dua lapis single wall board yang saling berhadapan satu sama lain ), dan triple wall board ( terdiri dari tiga flute dan empat flat sheet ), seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Gambar 2. Penggolongan karton gelombang (sumber : Lott (1977) menyatakan struktur flute yang digunakan pada karton gelombang komersial tediri atas 4 ukuran yaitu A (course), B (fine), C (medium), dan E (very fine). Flute pada karton gelombang tipe A, B, dan C banyak digunakan untuk keperluan industri, misalnya untuk keperluan transportasi. Bentuk masing-masing flute seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. 7

22 Gambar 3. Tipe Flute (sumber : Menurut Jaswin (1999), flute A memiliki sifat bantalan (cushioning) yang baik karena ketebalannya dapat meredam daya tekan yang terjadi pada saat kemasan ditumpuk. Flute B memiliki bantalan yang tidak terlalu tinggi sehingga cocok untuk produk yang sebelumnya telah dikemas dalam kaleng. Namun flute B memiliki ketahanan tekan datar (flat crush resistant) yang paling baik. Flute C dibuat dengan karakteristik berada diantara flute A dan B dengan harga lebih murah, memiliki daya bantalan yang tinggi seperti flute A dan memiliki ketahanan tekan datar yang baik seperti flute B. Sedangkan flute E banyak digunakan untuk kemasan display dengan dinding luar terbuat dari white kraft sebagai karton printed. Sifat dan tipe flute dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5. Tabel 4. Susunan flute pada karton gelombang komersial Flute configuration Number of flutes per meter Flute height (mm) Minimum flat crush (Nm -2 ) A (coarse) B (fine) C (medium) E (very fine) Sumber : Lott, di dalam Paine, F. A. The Packaging Media (1977) Tabel 5. Tipe flute dan sifat karton gelombang Jenis flute Ketebalan (mm) Kekuatan tekan tepi (kg/cm) Single-wall A B C Double-wall A+B A+C Sumber : Peleg (1985) Kemasan dari karton gelombang memiliki banyak tipe kemasan. Peleg (1985) menyatakan bahwa terdapat beberapa tipe kemasan karton gelombang yang umum digunakan yaitu : 1. Regular Slotted Container ( RSC ) Regular Slotted Container ( RSC ) biasa disebut wadah celah teratur karena kedua tutup sama panjang dan bertemu ditengah pada saat ditutup. Kemasan ini merupakan tipe yang paling banyak 8

23 digunakan sebagai kemasan distribusi produk holtikultura dari kedua tipe yang lain karena memiliki kontruksi yang lebih sederhana. Tipe kemasan RSC tersebut ditunjukkan pada Gambar 4. Gambar 4. Kemasan karton gelombang tipe Regular Slotted Container ( RSC ) 2. Half Telescopic Container ( HTC ) Kemasan ini terdiri dari dua wadah yang ditumpuk dimana satu kotak sedikit lebih kecil dari kotak yang lainnya. Keunggulan dari kemasan ini adalah dapat menyesuaikan dengan tinggi atau panjang barang yang dibawa, selain itu ketebalan karton gelombang di keempat sisinya memberikan perlindungan dan kekuatan pada produk meskipun kemasan ditumpuk-tumpuk. Kemasan ini banyak digunakan pada palletized product seperti lemari es dan mesin cuci. Tipe kemasan HTC tersebut ditunjukkan pada Gambar 5. Gambar 5. Kemasan karton gelombang tipe Half Telescopic Container ( HFC ) 3. Full Telescopic Container ( FTC ) Kemasan ini terdiri dari dua wadah yang tertutup yang terpisah wadah bagian atas dan wadah bagian bawah. Wadah penutup yang dalam hingga ke bagian bawah memberikan tambahan ketebalan papan pada semua panel samping dan bawah. Ini memberikan kuat tekan yang baik untuk penumpukan barang rapuh dan tinggi. Tipe kemasan FTC tersebut ditunjukkan pada Gambar 6. Gambar 6. Kemasan karton gelombang tipe Full Telescopic Container ( FTC ) Penggunaan peti karton bergelombang sekarang ini sudah cukup mendesak penggunaan peti kayu (Satuhu, 2004). Hal tersebut disebabkan karena beberapa hal yaitu : 1) Pembuatannya dilakukan secara masinal ( dengan mesin ) sehingga dapat diproduksi secara besar-besaran sesuai dengan ukuran dan kapasitas yang diinginkan. 9

24 2) Kemasan peti karton bekas dapat dipakai kembali dan setelah rusak dapat di daur ulang menjadi karton kembali. 3) Perancangannya dapat disesuaikan dengan kondisi buah yang dikemas. D. Ventilasi Pada kemasan untuk produk-produk hasil pertanian, biasanya terdapat beberapa lubang ventilasi. Dengan adanya ventilasi, menyebabkan sirkulasi udara yang baik dalam kemasan sehingga akan menghindarkan kerusakan komoditas akibat akumulasi CO 2 pada suhu tinggi (Hidayati, 1993). Perbedaan desain, bentuk, dan ukuran dari lubang ventilasi biasanya disesuaikan dengan tipe produk, penyimpanan, dan mode transportasi. Peleg (1985) juga menyatakan bahwa untuk mendesain sebuah kemasan baik untuk penyimpanan maupun distribusi buah (produksi holtikultura) perlu diperhatikan sirkulasi udara dengan memberikan ventilasi dengan tujuan mempertahankan kesegaran buah. Letak lubang ventilasi pada kemasan karton, biasanya terdapat pada bagian samping kemasan karton, bukan di bagian atas (penutup) kemasan. Adanya lubang ventilasi di bagian samping dapat mengurangi kekuatan kemasan yang lebih besar daripada pemotongan di bagian atas dan bawah kemasan peti karton (Peleg,1985). Jika semakin besar luasan ventilasi yang diberikan kepada peti karton maka semakin kecil compression strength peti karton tersebut. Dalam hal ini desain ventilasi harus memperhatikan letak atau posisi vertikal serta luasan ventiasi agar tercapai kekuatan kemasan yang optimal (Aspihani, 2006). Menurut New, et al. (1978) lubang ventilasi pada peti karton biasanya dibuat bulat (circle ventilation) atau celah panjang dengan sudut-sudutnya dibulatkan (oblong ventilation). Silvia (2006) juga menyatakan bahwa tipe kemasan peti karton yang banyak digunakan di Indonesia adalah tipe RSC dan FTC dengan ventilasi tipe oblong ventilation dan circle ventilation. Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu (McDonald, et al. (1979), Paklamjeak, et al. (1988), dan Won Ok (2003) dalam Aspihani, 2006) dilakukan ventilasi sebagai berikut : a. Untuk tipe oblong ventilation diberi persentase luasan ventilasi sebesar 1%, 3%, dan 5% dari luas keseluruhan peti karton. b. Untuk tipe circle ventilation diberi persentase luasan ventilasi sebesar 1%, 2%, dan 3% dari luas keseluruhan peti karton. Perbedaan perlakuan luasan ventilasi antara tipe oblong dan circle ventilation disebabkan penempatan lubang ventilasi pada tipe circle ventilation hanya di dua sisi. Apabila digunakan luasan ventilasi sampai dengan 5% akan menyebabkan diameter lubang ventilasi pada tipe circle ventilation cukup besar sehingga diperkirakan kemasan mudah rusak bila terkena tekanan. Pemberian lubang ventilasi pada kemasan peti karton menyebabkan penurunan compression strength, semakin besar luasan ventilasi terhadap luasan peti karton maka semakin kecil compression strength peti karton tersebut. Penurunan compression sthrength peti karton karena pemberian luasan ventilasi dapat dinyatakan dengan nilai faktor koreksi (FK). FK untuk tipe oblong ventilation dengan luasan ventilasi 1% terhadap seluruh luas permukaan kemasan sebesar 0.83, sedangkan untuk luasan 3% dan 5% sebesar Faktor koreksi (FK) untuk tipe circle ventilation, peti karton dengan luasan ventilasi 1% sebesar 0.93, dengan luasan ventilasi 2% sebesar 0.83, dan dengan luasan ventilasi 3% sebesar 0.73 (Aspihani, 2006). Adhinata (2008), dari hasil penelitiannya diperoleh pola hubungan waktu terhadap suhu, dimana pada kemasan berventilasi lingkaran dan berventilasi oval memiliki pola yang sama, sedangkan untuk kemasan berventilasi campuran cenderung memiliki pola yang sama dengan kemasan tanpa ventilasi. Hasil simulasi menunjukkan pola sebaran suhu dipengaruhi oleh bentuk 10

25 ventilasi. Keadaan suhu pada pada daerah yang searah dengan ventilasi menghasilkan sebaran suhu yang relatif sama dengan suhu lingkungan. Menurut Sakti (2010) bahwa kemasan yang berventilasi lingkaran lebih reponsif terhadap suhu lingkungan daripada kemasan yang berventilasi oval dan kemasan tanpa ventilasi. Hal ini menyebabkan buah tomat yang dikemas dengan kemasan berventilasi lingkaran laju penurunan kekerasan dan laju peningkatan total padatan terlarutnya lebih besar daripada buah yang dikemas pada kemasan lainnya. E. Bahan Pengisi Kemasan (Inner) Selama transportasi dan penyimpanan, kemasan dan bahan segar akan menghadapi beberapa bahaya, baik dari segi mekanis, lingkungan ataupun biologi. Bahaya mekanis dapat dinyatakan sebagai bahaya yang disebabkan oleh tumbukan, getaran, kompresi dan tusukan. Kerusakan tumbukan dapat terjadi jika kemasan jatuh atau terlempar. Buah didalamnya akan bergerak dan bersentuhan antara sesama buah dan antara buah dengan kemasan yang mengakibatkan kerusakan. Untuk mengurangi efek tersebut pada produk, kemasan harus dibuat tidak bergerak dan membagi beban yang ada pada setiap bagian dan memberikan bantalan. Efek merugikan dari getaran termasuk luka lecet yang disebabkan efek perpindahan relatif produk dari kemasan dan dari produk yang lain bisa dikurangi dengan menahan tiap bagian produk. Kerusakan kompresi terjadi selama penumpukan kemasan. Kemasan kaku yang terlampau penuh atau cacat dapat menyebabkan gaya kompresi yang ada dari penumpukan lebih banyak dilanjutkan kepada produk daripada kemasannya. Hal ini berakibat produk menjadi memar dengan tingkat keparahannya tergantung pada besarnya gaya yang terjadi dan tingkat kematangan dari produk (Burdon, 1997). Beberapa dari kerusakan ini dapat diminimalisir dengan menghindari adanya ruang kosong yang terdapat didalam kemasan serta melindungi tekanan dan gesekan antara sesama produk ataupun antara produk dengan kemasan selama kegiatan transportasi. Bahan yang digunakan untuk mengisi ruang tersebut sering disebut dengan istilah bahan pengisi kemasan. Bahan ini dapat mengurangi sebagian besar kerusakan yang terjadi selama transportasi. Selain itu bahan ini dapat juga menjadi alat penyekat antar produk, sebagai bahan pelapis dinding kemasan, atau sebagai bahan pengganjal untuk melindungi buah atau sayur terhadap pergeseran dengan dinding kemasan atau sebagai bahan pengisi disela-sela antara setiap komoditas yang dikemas untuk mencegah terjadinya pergeseran letak komoditas. Bahan yang umum digunakan adalah merang atau jerami, daun-daun kering, pelepah batang pisang, tikar, styrofoam, kertas koran atau kertas lainnya dan sebagainya. Penggunaan bahan pengisi kemasan dan contoh sekat karton seperti yng ditunjukkan pada Gambar 7. Gambar 7. Sekat karton 11

26 F. Penyimpanan Buah Penyimpanan adalah salah satu cara tindakan pengamanan yang selalu terkait dengan faktor waktu dengan tujuan menjaga dan mempertahankan nilai komoditi yang disimpan (Soesarsono,1988). Peranan penyimpanan antara lain dalam hal penyelamatan dan pengamanan hasil panen, memperpanjang umur simpan, terutama untuk komoditas musiman sehingga dapat mempertahankan harga. Menurut Pantastico,et.al.(1975), penyimpanan buah-buahan dan sayuran dapat memperpanjang daya guna dan dalam kemasan tertentu dapat mempertahankan mutunya. Produk dikatakan berada didalam kisaran umur simpannya bila kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen, serta selama bahan pengemasnya masih memiliki integritas serta melindungi isi kemasan. Menurut Shewfelt (1987), masa simpan ialah batas waktu suatu produk untuk dapat mempertahankan kualitas penerimaannya dibawah kondisi penyimpanan tertentu. Kebutuhan kondisi penyimpanan dan sifat-sifat dari buah-buahan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kebutuhan kondisi penyimpanan dan sifat-sifat dari buah-buahan Komoditi Suhu simpan o C RH (%) Masa simpan Kadar air (%) Titik beku tertinggi o C Alpukat 4 s/d minggu Apel -1 s/d bulan Pisang 13 s/d hari Mangga minggu Jambu biji 7 s/d minggu 83 - Sumber : Winarno (2002) Menurut Muchtadi (1992), karakteristik penyimpanan buah-buahan dan sayuran dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain : varietas, iklim tempat tumbuh, kondisi tanah, derajat kematangan, dan perlakuan sebelum penyimpanan. Tujuan utama penyimpanan buah segar adalah pengendalian laju transpirasi dan respirasi antara lain mengatur suhu dan kelembaban ruangan, mengendalikan infeksi penyakit dan mempertahankan produk dalam bentuk yng paling berguna bagi konsumen (Pantastico,1986) Untuk mendapatkan hasil yang baik, maka penting dijaga agar suhu ruang penyimpanan relatif tetap. Perubahan 2-3 o C dari suhu yang dikehendaki sebaiknya dicegah. Sayuran dan buah-buahan yang yang disimpan pada suhu 2-3 o C lebih tinggi dari yang seharusnya bila suhu pendingin tidak segera dicapai, akan sangat memungkinkan terjadinya pembusukan atau proses pematangan yang tidak baik. Makin lama keadaan diatas saat suhu optimum tersebut berlangsung, makin besar kemungkinan terjadinya kerusakan pada bahan yang akan disimpan (Syarif dan Hariyadi,1990). Perubahan-perubahan fisik yang umumnya terjadi pada buah-buahan selama pematangan dan penyimpanan diantaranya adalah tekstur, warna, kandungan gula, keasaman, susut bobot, kadar air, dan kandungan vitamin C. Salah satu faktor dari lingkungan penyimpanan buah adalah suhu penyimpanannya. Suhu dan kelembaban harus dijaga agar tetap konstan demikian (Satuhu, 2004). Kelembaban udara yang rendah dapat mempercepat terjadinya transpirasi atau penguapan sehingga dapat menyebabkan kehilangan bobot yang cukup besar selama penyimpanan. Penyusutan bobot menyebabkan buah mengkerut dan layu serta dapat mencegah pertumbuhan jasad renik pembusuk sehingga bahan yang disimpan menjadi 12

27 cepat rusak. Selain itu dengan mengurangi suhu dapat memperlambat terjadinya metabolisme, menghambat terjadinya perubahan, dan mengurangi kehilangan air dan peningkatan pathogen (Pantastico, 1975). Pada penyimpanan buah-buahan, sirkulasi udara harus tetap dijaga (Satuhu, 2004). Penyimpanan pada suhu dingin diperlukan untuk komoditi sayuran dan buah-buahan yang mudah rusak, karena cara ini dapat mengurangi kegiatan respirasi dan metabolisme lainnya. Proses penuaan terjadi karena adanya proses pematangan, pelunakan, dan perubahan warna serta tekstur, kehilangan air dan pelayuan, kerusakan karena aktivitas mikroba (bakteri,kapang, dan khamir) dan proses pertumbuhan yang tidak dikehendaki, misalnya pertunasan pada umbi-umbian (Muchtadi, 1988). Selain itu yang perlu diperhatikan pada penyimpanan dingin adalah suhu dari pendingin harus berada pada titik yang tepat. Suhu yang terlalu dingin akan menyebabkan terjadinya kerusakan buah akibat suhu dingin (chilling injury). Gejala chilling injury antara lain adalah buah menjadi berlubang, penghitaman kulit, gagal menjadi masak dan rentan mengalami pembusukan (Nakasone, 1998). Dengan penyimpanan, respirasi komoditi segar dapat dikendalikan. Asas dasar penyimpanan pada temperatur rendah adalah penghambatan respirasi dengan temperatur rendah. Panas yang ditimbulkan respirasi tertimbun dalam ruang penyimpanan dan jika tidak disediakan sarana untuk menghilangkannya maka laju respirasi komoditi yang disimpan akan bertambah besar. Ventilasi secara tidak langsung berhubungan dengan respirasi. (Muchtadi, 1988) G. Kerusakan Pasca Panen Penanganan pasca panen harus ditangani secara hati-hati untuk memperoleh buah-buahan yang segar dan mempunyai mutu yang tinggi. Kerusakan dapat terjadi karena kesalahan penanganan dalam salah satu atau beberapa tahapan penanganan atau tindakan manusia.kerusakan pada produk pertanian bentuknya beragam, tergantung pada sifat-sifat fisik dan biologi produk serta tipe beban yang bekerja. Pada umumnya kerusakan mekanis pada produk-produk pertanian dapat disebabkan oleh gaya-gaya luar (statik ataupun dinamis) dan gaya-gaya dalam yang disebabkan oleh perubahan fisik bahan tersebut. Perubahan fisik dapat disebabkan oleh perubahan kadar air, temperatur, biologis, dan kimia. Kerusakan mekanis dapat terjadi karena buah menerima pembebanan, baik berupa tekanan atau pukulan. Kerusakan mekanis yang terjadi selama pengangkutan dapat terjadi karena tumpukan buah yang terlalu tinggi. Hal tersebut mengakibatkan tekanan yang besar terhadap buah yang terdapat pada lapisan bawah sehingga meningkatkan kerusakan akibat kompresi (Anonim, 2008). Kerusakan fisik suatu produk holtikultura dapat diakibatkan oleh insekta atau rodentia, kondisi lingkungan seperti suhu, dan sinar matahari. Kerusakan fisik akibat insekta ditandai dengan adanya lubang atau bekas gigitan, kerusakan fisik akibat suhu tinggi menyebabkan memar dan lembek, dan kelembaban relatif yang rendah dapat menyebabkan kehilangan air. Jika kehilangan air dari dalam produk yang telah dipanen jumlahnya relatif masih kecil mungkin tidak akan menyebabkan kerugian atau dapat ditolelir, tetapi apabila kehilangan air tersebut jumlahnya banyak akan menyebabkan hasil panen yang diperoleh menjadi layu dan bahkan dapat menyebabkan produk hortikultura menjadi mengkerut. Kerusakan fisik juga dapat ditandai dengan adanya pecah (kulit terkelupas), memar dan luka pada buah. Kerusakan ini diakibatkan oleh benturan dan getaran dari kendaraan pengangkut. Sedangkan kerusakan biologis disebabkan karena serangan serangga, binatang pengerat, dan sebagainya. Masuknya ulat serangga ke dalam buah dapat merusak bagian dalam buah. selain itu memudahkan mikroba perusak masuk sehingga buah menjadi cepat menjadi busuk (Satuhu, 1993). 13

28 H. Transportasi Produk sayuran dan buah-buahan hasil panen akan didistribusikan hingga sampai ke tangan konsumen. Distribusi produk holtikultura dapat melewati berbagai jenis jalur transportasi, tergantung tujuan dan jarak distribusi. Transportasi dapat diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan. Transportasi yang baik salah satunya adalah transportasi yang mampu memberikan kerusakan minimal pada produk, terutama pada produk holtikultura yang sangat rentan terhadap goncangan dan faktor lingkungan (Pantastico, 1986). Masalah pengangkutan merupakan masalah yang sangat penting pada rantai pemasaran holtikultura. Pengangkutan mempunyai peranan penting pada setiap tingkat distribusi, sebab harga total hasil holtikultura yang dipasarkan berhubungan erat dengan masalah pengangkutan (Sjaifullah, 1996). Goncangan yang terjadi selama pengangkutan baik di jalan raya maupun di rel kereta api dapat mengakibatkan kemeraman, susut berat, dan memperpendek masa simpan (Purwadaria, 1997). Perlakuan yang kurang sempurna selama pengangkutan mengakibatkan jumlah kerusakan pada komoditas hingga sampai ke tempat tujuan mencapai kurang lebih %. Selain terjadinya susut bobot dan kerusakan mekanis akibat adanya goncangan selama dalam perjalanan, biaya angkut yang cukup mahal juga termasuk kendala dala pengangkutan (Soedibyo, 1992). I. Simulasi Transportasi Pengangkutan merupakan mata rantai yang penting dalam penanganan, penyimpanan, dan distribusi buah-buahan serta sayuran. Pengangkutan dilakukan untuk menyampaikan komoditas hasil pertanian secara cepat dari produsen ke konsumen. Di Indonesia perhubungan lewat darat sangat dominan terhadap pengangkutan buah yang hendak dipasarkan selanjutnya. Alat angkut yang umum digunakan adalah truk, mobil bak terbuka atau sejenisnya, dan menggunakan kereta api (Sutuhu, 2004). Dalam kondisi jalan yang sebenarnya, permukaan jalan ternyata memiliki permukaan yang tidak rata. Permukaan jalan yang tidak rata ini menyebabkan produk mengalami berbagai guncangan selama transportasi. Besarnya guncangan yang terjadi bergantung kepada kondisi jalan yang dilalui. Ketidakrataan ini disebut amplitudo dan tingkat kekerapan terjadinya guncangan akibat ketidakrataan jalan tersebut dinyatakan sebagai frekuensi. Kondisi transportasi yang buruk ini dan penanganan yang tidak tepat pada komoditi yang ditransportasikan (buah dan sayuran) dapat menyebabkan kerugian berupa turunnya kualitas komoditi yang akan disampaikan ke tangan konsumen. Penurunan kualitas yang sering terjadi adalah kerusakan mekanis pada buah dan sayuran. Untuk memperoleh gambaran mengenai kerusakan mekanis yang dialami oleh komoditi pertanian akibat guncangan selama transportasi dilakukan perancangan alat simulasi transportasi. Alat tersebut dapat mewakili pengaruh guncangan yang terjadi pada kondisi jalan yang sebenarnya. Desain alat simulasi ini telah disesuaikan dengan jalan yang terdapat di dalam dan luar kota (Purwadaria, 1977). Dasar yang membedakan antara jalan dalam dan luar kota adalah besarnya amplitudo yang terukur. Jalan dalam kota memiliki amplitudo yang lebih rendah dibandingkan jalan luar kota, jalan buruk, dan jalan berbatu. Pada simulasi pengangkutan dengan menggunakan truk guncangan yang dominan adalah guncangan pada arah vertikal. Sedangkan guncangan pada kereta api adalah guncangan horizontal (Soedibyo, 1992). Menurut Darmawati (1994), yang menjadi dasar perbedaan jalan dalam kota dan luar kota adalah besar amplitudo yang terukur dalam suatu panjang jalan tertentu, dimana jalan dalam kota mempunyai amplitudo yang rendah dibanding jalan luar kota, maupun jarak buruk aspal dan jalan 14

29 buruk berbatu. Frekuensi alat angkut yang tinggi bukan penyebab utama kerusakan buah dalam pengangkutan, tetapi yang lebih berpengaruh terhadap kerusakan buah adalah amplitudo jalan. Lembaga Uji Konstruksi BPPT tahun 1986 telah mengukur goncangan truk yang diisi 80% penuh dengan kecepatan 60 km/jam dalam kota dan 30 km/jam untuk jalan buruk (aspal) dan jalan berbatu, seperti ditunjukkan pada Tabel 7. Jumlah kejadian Amplitudo Jalan dalam kota Tabel 7. Data goncangan truk Amplitude getaran vertikal (cm) Jalan luar kota Jalan aspal Jalan buruk berbatu Amplitudo Rataan Sumber : Lembaga Uji Konstruksi, BPPT(1986) 15

30 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Waktu pelaksanaan penelitian selama 3 bulan terhitung mulai Maret hingga Juni B. Bahan dan Alat 1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu : a. Buah alpukat varietas mentega yang termasuk alpukat mutu I, dan memiliki karakteristik ras Meksiko antara lain bentuk buah seperti buah pear, dengan tangkai buah pendek, berkulit tipis, halus dan licin, memiliki ukuran buah yang kecil dengan berat g, diperoleh dari kebun Alpukat di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Sampel alpukat yang dibawa dari Sukabumi diangkut menggunakan motor dan dikemas menggunakan karton. Alpukat yang digunakan dalam penelitian diusahakan seragam yaitu dalam hal dimensi, bentuk, warna, ukuran, dan tingkat kekerasan serta keadaan segar dan tidak cacat. b. Kemasan berupa karton gelombang tipe flute AB, dengan dimensi 370 x 230 x 210 mm. Kemasan karton gelombang yang digunakan tipe kemasan RSC dengan sekat karton. Kemasan yang diuji adalah tanpa ventilasi, ventilasi tipe circle (lingkaran), ventilasi tipe oblong (oval), dan ventilasi searah sekat, dengan masing-masing luasan ventilasi sebesar 2% dari luas kemasan. 2. Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah meja simulator dengan kompresor, Termokopel tipe Cover Constanta (CC) untuk mengukur suhu di dalam kemasan dan suhu lingkungan, Chino Recorder Yokogawa tipe 3058 untuk membaca hasil pengukuran suhu yang diperoleh dari Termokopel, Rheometer tipe CR-3000 DX untuk mengukur kekerasan buah, Refractometer digital Atago tipe PR-201 untuk mengukur total padatan terlarut (TPT), Refrigerator untuk penyimpanan suhu dingin, serta alat-alat lainnya yang menunjang terlaksananya penelitian ini. Gambar dari peralatan yang digunakan terdapat pada Lampiran 4. C. Model Kemasan Kemasan karton gelombang dengan dimensi 370 x 230 x 210 mm. Kemasan karton gelombang yang digunakan tipe kemasan RSC dengan sekat karton. Perlakuan kemasan yang diuji adalah kemasan tanpa ventilasi, ventilasi tipe circle (lingkaran), ventilasi tipe oblong (oval), dan ventilasi searah sekat, seperti ditunjukkan pada Gambar 8. Sedangkan detail gambar dengan ukuran dalam satuan mm terdapat pada Lampiran. Presentase luasan ventilasi sebesar 2% dari luas kemasan. 16

31 (a) (b) (c) (d) Gambar 8. Model kemasan dalam penelitian, (a) tanpa ventilasi, (b) ventilasi circle, (c) ventilasi oblong, (d) ventilasi searah sekat D. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian yang dilakukan sebagai berikut : a. Perancangan Kemasan Perkiraan kapasitas dan dimensi kemasan, kapasitas ditentukan berdasarkan kemasan yang digunakan untuk pasar ekspor. Dimensi kemasan ditentukan berdasarkan ukuran buah, jumlah layer, tipe kemasan, dan tebal bahan yang digunakan. b. Alpukat yang telah diperoleh dari kebun, dibersihkan, kemudian disortasi. Alpukat yang dipilih tidak memiliki kerusakan atau cacat pada kulit buahnya serta memiliki ukuran yang seragam. c. Alpukat kemudian dimasukkan ke dalam 8 buah kemasan karton dengan kapasitas masing-masing 5 kg alpukat, yaitu 2 kemasan tanpa ventilasi (tipe 1), 2 kemasan ventilasi tipe circle (tipe 2), 2 kemasan ventilasi tipe oblong (tipe 3) dan 2 kemasan ventilasi searah sekat (tipe 3). d. Buah alpukat disusun secara teratur atau dikenal dengan pattern pack dengan arah vertikal, dan dibentuk dalam dua layer (tumpukan). 17

32 e. Buah dalam kemasan karton tersebut disusun pada meja stimulator untuk simulasi transportasi. f. Penggetaran pada simulasi tersebut dilakukan selama 2 jam pada arah vertikal berdasarkan jarak tempuh pendistribusian buah alpukat dari Sukabumi menuju Jakarta, amplitudo yang digunakan sebesar 5.34 cm dan frekuensi 3.44 Hz. Ilustrasi gerakan pada jalan sebenarnya dan pada simulasi meja getar ditunjukkan pada Gambar 9. Permukaan jalan Gambar 9. ilustrasi gerakan pada (a) Angkutan truk (b) Meja simulasi getar (Hayati, 2009) g. Setelah perlakuan simulasi transportasi, kemudian dilakukan pengamatan kerusakan mekanis untuk mengetahui jumlah dan persentase alpukat yang mengalami kerusakan akibat guncangan selama simulasi transportasi h. Tahap selanjutnya pasca simulasi transportasi, kemasan buah alpukat disimpan pada suhu ruang 28 o C dan suhu dingin 8 o C ( berdasarkan kebutuhan kondisi penyimpanan alpukat menurut Winarno (2002) ). Kemudian dilakukan pengukuran suhu dalam kemasan dan suhu lingkungan. Penyimpanan pada suhu ruang 28 o C dilakukan selama 6 hari, sedangkan pada suhu 8 o C selama 12 hari untuk selanjutnya dilakukan pengamatan setiap 3 hari sekali. Waktu penyimpanan pada masing-masing suhu penyimpanan berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Adapun data-data yang diambil selama pengamatan adalah pengukuran dan pengamatan terhadap kerusakan mekanis, kekerasan, total padatan terlarut, dan susut bobot. Penyimpanan pada suhu 8 o C ini bertujuan agar masa simpan buah alpukat dapat bertahan lebih dari seminggu. Diagram alir prosedur penelitian ditunjukkan pada Gambar

33 Perancangan 4 tipe kemasan Alpukat dibersihkan dan di sortasi ( ukuran seragam, tidak terdapat luka atau goresan) Pengemasan Tipe 1 Pengemasan Tipe 2 Pengemasan Tipe 3 Pengemasan Tipe 4 Simulasi Transportasi t = 2 jam A = 5.34 cm f = 3.44 Hz kardus = 8 buah Pengamatan kerusakan mekanis Penyimpanan pada suhu 28 o C Penyimpanan pada suhu 8 o C Pengukuran sebaran suhu dalam kemasan dan lingkungan Pengamatan : Kerusakan Selama Penyimpanan Memar kulit, Pecah/retak kulit, busuk Pengukuran Fisiologis Susut bobot, Kekerasan, Uji total padatan terlarut Pengolahan data Kemasan yang direkomendasikan Gambar 10. Diagram alir prosedur penelitian 19

34 E. Perhitungan, Pengamatan, dan Pengukuran 1. Dimensi dan Berat Buah Dimensi buah alpukat diukur menggunakan penggaris dan jangka sorong, pengukuran dilakukan untuk mengetahui diameter minor, diameter mayor buah dan untuk mengetahui tinggi buah dari bawah sampai ujung buah. Berat buah diukur menggunakan timbangan metler PM Penentuan Dimensi Kemasan Dimensi kemasan dihitung berdasarkan nilai dimensi buah dan ketebalan kemasan. Lebar dan panjang kemasan diperoleh dari penjumlahan seluruh diameter mayor buah alpukat dengan tebal dinding vertikal kemasan yang terdapat pada sisi panjang dan lebar, baik dinding outer maupun inner. Sedangkan tinggi kemasan diperoleh dari penjumlahan tinggi alpukat yang dikalikan jumlah tumpukan layer dengan tebal dinding horisontal kemasan, baik dinding outer maupun dinding inner kemasan pada sisi panjang. Sedangkan persentase luasan ventilasi dihitung berdasarkan luasan dinding vertikal kemasan. Formula untuk menghitungan dimensi outer kemasan: P = TDMBP + TDOV + TDVIP + TB...(1) Dimana : P = Panjang kemasan TDMBP = Total diameter mayor buah pada sisi panjang TDVO = Total tebal dinding vertikal outer TDVIP = Total tebal dinding vertikal kemasan inner pada sisi panjang TK = Tebal tekukan L = TDMBL + TDOV + TDIVL + TB...(2) Dimana : L = Lebar kemasan TDMBL = Total diameter mayor buah pada sisi lebar TDOV = Total tebal dinding vertikal outer TDVIP = Total tebal dinding vertikal kemasan inner pada sisi lebar TK = Tebal tekukan T = TTB + TTAIP...(3) Dimana: T = Tinggi kemasan TTBT = Total tinggi buah pada sisi tinggi TTAIP = Total tebal alas inner pada sisi tinggi Formula menghitungan dimensi inner kemasan: P = TDMBP + TDVIP...(4) Dimana: P = Panjang kemasan TDMBP = Total diameter mayor buah pada sisi panjang TDVIP = Total tebal dinding vertikal kemasan inner pada sisi panjang L= TDMBL + TDOV + TDIVL...(5) Dimana: P = Lebar kemasan TDMBP = Total diameter mayor buah pada sisi lebar TDOV = Total tebal dinding vertikal inner Tinggi kemasan = tinggi buah...(6) 20

35 3. Sebaran Suhu Dalam Kemasan Pengukuran sebaran suhu dalam kemasan selama penyimpanan menggunakan thermocouple dan Hybrid Recorder. Jumlah titik pengukuran suhu yang dilakukan yaitu sebanyak 5 titik pada masing-masing kemasan diletakkan pada sepanjang diagonal kemasan, dan1 titik pengukuran suhu lingkungan. Pengukuran suhu dititik tersebut untuk melihat sebaran suhu dalam masing-masing tipe kemasan. Posisi titik pengukuran suhu dalam kemasan berada di bagian layer bawah, seperti ditunjukkan pada Gambar 11. (a) (b) Gambar 11. Bagian dalam kemasan (a) dan posisi titik pengukuran suhu (b). Pengujian sebaran suhu dilakukan pada dua perlakuan suhu ruang penyimpanan yaitu suhu ruang tropis 28 0 C dan suhu ruang penyimpanan 8 o C. Fokus utama dari pengujian ini adalah menentukan waktu yang dibutuhkan kemasan agar dapat mencapai suhu ruang penyimpanan, dan bagaimana sebaran suhu pada titik-titik sampel koordinat yang dipilih setelah suhu dalam kemasan stabil. 4. Susut Bobot Susut bobot merupakan perbedaan berat komoditas sebelum dan setelah aktivitas pemanenan. Pengukuran susut bobot dilakukan dengan menggunakan timbangan digital. Penurunan susut bobot berdasarkan persentase penurunan berat bahan sejak awal penyimpanan sampai akhir penyimpanan. Persamaan yang digunakan untuk menghitung susut bobot adalah sebagai berikut: ( )...(7) dimana : W = bobot bahan awal penyimpanan (gram) Wa = bobot bahan akhir penyimpanan (gram) 5. Kekerasan Pengukuran kekerasan adalah salah satu metode yang digunakan dalam menilai kualitas tekstural produk buah segar. Uji kekerasan diukur berdasarkan tingkat ketahanan buah terhadap jarum penusuk dari rheometer dengan mode 20, beban maksimum 10 kg, kedalaman penekanan 10 mm, kecepatan penurunan beban 60mm/menit, dengan diameter jarum 5 mm. Uji kekerasan dilakukan pada tiga titik yang berbeda yaitu bagian tengah, bagian bawah, dan bagian atas. Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali ulangan dan kemudian dirata-ratakan nilainya. Pengukuran kekerasan ini dilakukan 21

36 tiap tiga hari sekali hingga buah dalam keadaan tidak layak konsumsi lagi. Nilai pengukuran dapat dilihat pada alat yang dinyatakan dalam kg-force. 6. Total Padatan Terlarut Pengukuran total padatan terlarut dilakukan dengan menggunakan refraktometer. Cairan dari daging buah yang telah dihancurkan, diletakkan pada prisma refraktormeter, kemudian dilakukan pembacaan. Sebelum dan sesudah pembacaan, prisma refraktormeter dibersihkan dengan aquades. Angka yang tertera pada refraktormeter menunjukan kadar total padatan terlarut ( Brix) yang mewakili rasa manis. Pengukuran total padatan terlarut setiap 3 hari sekali dengan perlakuan tiga kali ulangan terhadap masing-masing sampel. 7. Kerusakan Mekanis Pengamatan terhadap tingkat kerusakan mekanis alpukat bertujuan untuk melihat cacat yang dialami oleh alpukat setelah kegiatan simulasi transportasi. Pengamatan dilakukan secara visual berdasarkan adanya luka gores, memar, dan pecah pada buah. Persamaan yang digunakan untuk menghitung kerusakan mekanis yang terjadi adalah sebagai berikut: KM = (JAR/TBA) x 100%...(8) Dimana : KM = Kerusakan mekanis (%) JAR = Jumlah alpukat rusak (buah) TBA = Total buah alpukat (buah) Klasifikasi kerusakan pada alpukat adalah luka memar yang terjadi akibat adanya benturan antar produk dengan dinding alat pengemasan atau tekanan sesama produk, luka gores terjadi akibat adanya gesekan antar produk dengan kemasan atau dengan sesama produk, dan luka pecah terjadi akibat adanya tekanan yang terjadi dari arah vertikal maupun dari arah horizontal produk, atau dapat juga karena guncangan selama proses pengangkutan. 8. Kerusakan selama penyimpanan Pengamatan terhadap tingkat kerusakan alpukat selama penyimpanan bertujuan untuk melihat kerusakan fisik dan biologis yang dialami oleh alpukat selama penyimpanan didalam kemasan. Pengamatan dilakukan secara visual berdasarkan adanya luka memar, pecah, perubahan warna, dan kebusukan. Persamaan yang digunakan untuk menghitung kerusakan selama penyimpanan yang terjadi adalah sebagai berikut: K = (JMRs/TBMs) x 100%...(9) Dimana : K = Kerusakan selama penyimpanan (%) JARs = Jumlah alpukat rusak selama penyimpanan (buah) TBAs = Total buah alpukat yang disimpan (buah) F. Kesetaraan Simulasi Transportasi Kesetaraan simulasi transportasi yang dilakukan dengan menggunakan meja getar dapat dihitung dengan menggunakan persaman di bawah ini: Input fm = frekuensi meja getar (Hz) Am = amplitudo meja getar (cm) 22

37 Ft = frekuensi truk (Hz) Amplitudo rata-rata getaran bak truk (At) At = (Ni x Ai)/ (Ni).....(10) Dimana : Ni = jumlah kejadian amplitude ke-i Ai = amplitudo getaran vertical truk di jalan luar kota pada saat i (cm) Luas satu siklus bak truk jalan kota ( Lt ) Lt = Sin WT Tt dtt... (11) Dimana : Tt = 1/ft Wt = 2π/Tt Tt = periode truk (detik/getaran) Wt = kecepatan sudut truk (getaran/detik) Jumlah luas seluruh getaran bak truk jalan luar kota selama 0.5 jam (Lt (0.5) ) Lt (0.5) = t x f x Lt......(12) Dimana : t = lama penggetaran (0.5 jam) Luas satu siklus getaran vibrator (Lm) Lm = A T o P Sin WT dt.....(13) Dimana : Tm = 1/fm Tm = Periode meja getar (detik/getaran) W = 2π/Tm Wm = Kecepatan sudut meja getar (getaran/detik) Jumlah seluruh getaran vibrator selama 1 jam (Gm) Gm = t x fm (14) Dimana : T = lama penggetaran (1jam) Jumlah luas seluruh getaran vibrator selama 1 jam (Lm (1) ) Lm (1) = Gm x Lm.. (15) Kesetaraan panjang jalan selama 30 menit dengan 30 km = ( ) ( ) x 30 km... (16) G. Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dan factorial dengan dua kali ulangan perlakuan. Factor perlakuan yang digunakan adalah K (tipe kemasan), yaitu K1 (kemasan tanpa ventilasi), K2 (kemasan ventilasi tipe circle), K3 (kemsasan ventilasi tipe oblong) dan K4 (kemasan ventilasi searah sekat). Sedangkan faktor perlakuan suhu (T), yaitu T1 (suhu ruang), T2 (suhu 8 o C). Kombinasi perlakuan dua factor tersebut adalah K1T1, K1T2, K2T1, K2T2, K3T1, K3T2,K4T1,K4T2. 23

38 Model umum dari rancangan percobaan tersebut adalah : Y ijk = µ + K i + T j (KT) ij + C ijk. (17) Dimana : Y ijk = Pengamatan perlakuan K ke i dan T ke j pada ulangan ke k µ = Nilai rata-rata harapan K i = Perlakuan K ke i T j = Perlakuan T ke j (KT) ij = Interaksi K ke i dan T ke j C ijk = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan K ke i dan T ke j pada ulangan ke k i = 1,2,3,4 (jenis kemasan) j = 1,2 (suhu) k = 1,2 (ulangan) Analisis data didasarkan pada analisis sidik ragam untuk mengetahui pengaruh dan interaksi perlakuan, serta dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf f =

39 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kemasan Alpukat Hasil Rancangan Kemasan distribusi dirancang dan dipilih terutama untuk mengatasi faktor getaran (vibrasi) dan kejutan (shock) karena faktor ini sangat berpengaruh terhadap besar kecilnya kerusakan yang terjadi. Sementara pengaruh yang lain seperti RH dan suhu dapat diatasi dengan modifikasi kecil dari rancangan yang ada (Maezawa, 1990). Kemasan alpukat untuk pasar lokal berbeda dengan kemasan untuk tujuan ekspor. Untuk pasar lokal, pendistribusian alpukat dari kebun ke pedagang pengumpul menggunakan karung-karung plastik atau peti kayu albasia dengan kapasitas kg dan diangkut dengan truk. Sedangkan untuk kemasan ekspor umumnya menggunakan kotak karton berventilasi. Bentuk peti kemasan ada tiga jenis yaitu kemasan kapasitas 5.7 kg, 11.3 kg, dan 14.5 kg. Namun umumnya pasar dunia menyukai kemasan dengan kapasitas 5 kg. Setelah dilakukan grading, didalam peti buah hanya disusun selapis saja dan setiap buah diberi penyekat karton berbentuk H atau bentuk Z dengan tujuan agar tidak terjadi gesekan antar buah (Supriyono,2003). Pada proses pendistribusian buah sering terjadi kerusakan akibat penanganan selama transportasi sehingga buah mengalami tekanan fisik, getaran, gesekan yang memacu proses pelayuan. Kerusakan fisik yang terjadi seperti adanya memar, luka tusukan, terpotong, lecet, dan bagian yang pecah. Kerusakan fisik juga memacu kerusakan fisiologis maupun patologis (serangan mikroorganisme pembusuk). Dalam penelitian ini, dilakukan beberapa perbaikan terhadap penanganan buah alpukat yaitu perancangan kemasan karton buah alpukat dengan penambahan lubang ventilasi, layer dan sekat - sekat antar buah, serta penyimpanan pada suhu dingin untuk mengurangi kerusakan mekanis dan kerusakan fisik buah alpukat selama distribusi. Informasi yang dibutuhkan dalam perancangan kemasan adalah dimensi, berat, dan jumlah buah yang dikemas. Tahap selanjutnya adalah memilih bahan kemasan dengan karakteristik tertentu yang disesuaikan dengan kondisi buah dan menentukan tipe kemasan. Pemilihan tipe kemasan yang tepat berdampak pada meningkatnya efektifitas dan efisiensi kemasan (Sukmana, 2011). Alpukat memiliki beberapa jenis varietas, namun alpukat yang digunakan sebagai acuan untuk perancangan kemasan adalah alpukat mentega ras Mexico, dan termasuk alpukat kecil dengan berat g. Data rataan dimensi dan berat buah alpukat ditunjukkan pada Tabel 8. Sample dimensi dan berat masing-masing buah alpukat dicantumkan pada Lampiran 1. Tabel 8. Data rataan dimensi dan berat buah alpukat No. Data Pengukuran Rataan 1 Berat (gram) ± Tinggi (cm) ± Diameter (cm) ± 6.66 Perancangan kemasan untuk pengangkutan dan distribusi diutamakan pada penentuan dimensi kemasan yang dinyatakan dalam tiga macam dimensi yaitu dimensi dalam (inner dimension), dimensi pola (design dimension) dan dimensi luar (outer dimension). Dari data diatas, kemasan hasil rancangan berukuran (pxlxt) adalah 370 mm x 230 mm x 210 mm dengan dua layer. Perhitungan perancangan dimensi kemasan karton terdapat pada Lampiran 2. Desain kemasan memiliki perkiraan 25

40 berat bersih alpukat 5-6 kg, dengan kapasitas 30 buah yaitu pada masing-masing layer sebanyak 15 buah. Kemasan karton yang digunakan yaitu tipe Regular Slotted Container (RSC). Tipe RSC merupakan kemasan distribusi yang paling banyak digunakan karena memiliki bentuk yang sederhana dan ekonomis dalam penggunaan material, karena bahan yang digunakan minimal tetapi volumenya maksimal walaupun tidak memiliki kekuatan yang baik. Jenis karton gelombang yang digunakan yaitu double wall board sehingga kemasan karton dapat lebih kokoh dan dapat menahan tumpukan lebih banyak, serta dapat meredam goncangan yang terjadi selama poses transportasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Silvia (2006) bahwa tipe kemasan peti karton yang banyak digunakan di Indonesia adalah tipe RSC dan FTC dengan ventilasi tipe oblong ventilation dan circle ventilation selain itu tipe flute kemasan yang digunakan yaitu tipe flute AB karena banyak digunakan untuk kemasan distribusi, seperti dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12. Flute AB kemasan outer Selain kemasan outer, terdapat kemasan inner berupa tambahan sekat karton dengan dua layer. Penambahan inner bertujuan untuk membatasi kontak antar buah alpukat yang berpotensi menimbulkan kerusakan mekanis buah. Sekat-sekat antar buah ini dibuat dari karton tipe flute BC. Buah alpukat disusun secara teratur dengan arah vertikal agar dapat mengurangi kerusakan mekanis akibat benturan pada dinding kemasan, dan memperkecil ukuran kemasan. Pola susunan alpukat dalam kemasan ditunjukkan pada Gambar 13. Gambar 13. Penyusunan buah alpukat dalam kemasan tumpukan bawah Kemasan untuk produk holtikultura terutama untuk buah-buahan sangat membutuhkan lubang ventilasi, karena buah-buahan selama proses pematangan menghasilkan gas etilen dan panas respirasi. Jika gas etilen dan panas respirasi terakumulasi mengakibatkan proses pematangan buah semakin cepat berdampak pada penurunan mutu dan umur simpan buah. Adanya ventilasi ini menyebabkan 26

41 sirkulasi udara yang baik dalam kemasan sehingga dapat menghindari kerusakan komoditas akibat akumulasi CO 2 pada suhu tinggi (Hidayati,1993). Oleh karena itu selain penambahan sekat, masing-masing kemasan juga diberi lubang ventilasi. Gambar 14 menunjukkan empat jenis rancangan kemasan alpukat yaitu kemasan berventilasi tipe circle, tipe oblong, ventilasi searah sekat, dan kemasan tanpa ventilasi. Penentuan luas ventilasi kemasan harus mempertimbangkan kemungkinan penurunan kekutan kemasan. Penggunaan ventilasi dan hand hold sebesar 2% dari bidang vertikal kemasan akan mengurangi kekuatan kemasan karton sebesar 10 % dari kemasan tanpa ventilasi dan hand hole (Singh, 2008). Luasan lubang ventilasi yang digunakan dalam perancangan sebesar 2% dari total luasan dinding kemasan, karena penggunaan ventilasi dan hand hole melebihi 2 % dapat mengurangi kekuatan tekan vertikal kemasan yang cukup signifikan. Selain kemasan outer yang diberi lubang ventilasi, kemasan inner atau sekat-sekat antar buah juga diberi lubang ventilasi agar udara didalam kemasan tetap mengalir walaupun adanya sekat. Perhitungan luasan ventilasi kemasan terdapat pada Lampiran 3. (a) (b) (c) (d) Gambar 14. Rancangan Kemasan Alpukat model (a) tanpa ventilasi, (b) tipe ventilasi circle, (c) ventilasi oblong, dan (d) ventilasi searah sekat. B. Pola Kestabilan Suhu Dalam Kemasan Suhu merupakan salah satu faktor penting pada sistem kemasan produk holtikultura, karena suhu mempengaruhi proses respirasi produk. Oleh karena itu dalam perancangan kemasan untuk produk hasil pertanian diperlukan ventilasi yang cukup untuk mengeluarkan panas hasil metabolisme. Dengan ventilasi sirkulasi udara dalam kemasan menjadi lebih baik dan menghindarkan kerusakan komoditas akibat akumulasi CO 2 pada suhu tinggi (Hidayati, 1993). Udara dalam kemasan perlu 27

42 disirkulasikan agar suhunya merata. Suhu dalam kemasan selama penyimpanan dapat bervariasi karena peningkatan suhu akibat mengambil panas dari komoditi atau adanya kebocoran pada beberapa bagian dalam ruang penyimpanan. Penentuan sebaran suhu dalam kemasan saat penyimpanan digunakan untuk mengetahui kemampuan kemasan dalam beradaptasi terhadap suhu penyimpanan. Buah alpukat, pisang, nangka, jambu, mangga, papaya, dan markisa termasuk kedalam buah klimakterik (Winarno,2002). Buah klimakterik merupakan buah yang masih mengalami proses pematangan, dan mengalami peningkatan respirasi. Sehingga untuk menghambat proses respirasi, diperlukan penyimpanan dingin yang sesuai. Oleh karena itu, suhu dalam kemasan harus sesuai dengan suhu ruang penyimpanan yang diharapkan. Kebutuhan untuk sirkulasi udara yang cepat terutama pada saat penyesuaian suhu produk dengan suhu penyimpanan dingin untuk menghilangkan panas lapangan. Posisi titik pengukuran suhu dalam kemasan ditunjukkan pada Gambar 15. Gambar 15. Posisi titik pengukuran suhu dalam kemasan 32,0 Suhu ( C ) 31,0 30,0 29,0 28,0 27,0 K1T1 K2T1 K3T1 K4T1 TLingkungan 26, waktu ( menit ) Gambar 16. Sebaran suhu dalam kemasan pada awal penyimpanan suhu ruang Gambar 16. menunjukkan pola sebaran suhu masing-masing kemasan dan suhu lingkungan pada penyimpanan suhu ruang selama 24 jam dari awal penyimpanan. Dari grafik dapat dilihat bahwa semua perlakuan kemasan menunjukkan pola sebaran suhu yang sama, terjadi peningkatan sampai waktu tertentu, kemudian turun kembali mengikuti penurunan suhu lingkungan. Pada menit ke-265 hingga menit ke-415 terjadi peningkatan suhu lingkungan, namun tidak diikuti oleh suhu masingmasing kemasan. Fluktuasi suhu dalam kemasan tersebut disebabkan pengaruh suhu lingkungan atau 28

43 ruangan berpendingin (AC) yang tidak kontinyu. Suhu kemasan tanpa ventilasi lebih tinggi dari suhu kemasan berventilasi, karena tidak terjadinya pertukaran udara dari lingkungan ke dalam kemasan atau sebaliknya. Oleh karenaa itu, suhu didalam kemasan tidak dapat bergerak bebas keluar dan menyebabkan terjadinya suhu yang tinggi di dalam ruang kemasan. Suhu pada perlakuan K1T1 yaitu kemasan tanpa ventilasi, membutuhkan waktu yang paling lama untuk mencapai suhu yang stabil yaitu 540 menit (9 jam). Hal ini terjadi karena proses pemindahan udara lingkungan ke dalam kemasan atau udara dalam kemasan ke lingkungan sulit terjadi karena tidak adanya ventilasi. Untuk perlakuan K2T1 (kemasan dengan ventilasi tipe circle) waktu yang dibutuhkan yaitu 265 menit (± 4 jam), K3T1 (ventilasi tipe oblong) memerlukan waktu 210 menit (3.5 jam), dan K4T1 (ventilasi searah sekat) memerlukan waktu 495 menit (± 8 jam) pada kestabilan suhu berkisar o C. Dengan demikian pola perubahan suhu lingkungan lebih cepat daripada suhu dalam kemasan. Hal ini disebabkan oleh udara pada bagian lingkungan lebih bebas dari pada pergerakan udara dalam kemasan. Keadaan ventilasi berpengaruh pada proses perubahan suhu dalam kemasan terhadap suhu lingkungan untuk mencapai kondisi seimbang. Adanya ventilasi pertukaran udara lebih mudah dilakukan daripada tanpa ventilasi (Adhinata, 2008). 30,0 Suhu ( C) 25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 K1T2 K2T2 K3T2 K4T2 TLingkungan 0, Waktu (menit) Gambar 17. Sebaran suhu dalam kemasan pada awal penyimpanan suhu 8 o C Gambar 17. menunjukkan pola sebaran suhu masing-masing kemasan dan suhu lingkungan pada penyimpanan suhu dingin. Pengukuran suhu dilakukan dari awal penyimpanan (suhu 27 o C) hingga mencapai suhu 8 o C, dimana tiap kemasan membutuhkan waktu yang berbeda untuk mencapai suhu optimum yang diharapkan. Suhu pada perlakuan K1T2 yaitu kemasan tanpa ventilasi, membutuhkan waktu yang paling lama untuk mencapai suhu pendingin yang diharapkan. Pada perlakuan tersebut diperlukan waktu 1120 menit (± 18 jam) untuk mencapai kondisi suhu 8 o C yang stabil. Hal serupa untuk kemasan tanpa ventilasi pada penyimpanan suhu ruang, proses pemindahan udara lingkungan ke dalam kemasan atau udara dalam kemasan ke lingkungan sulit terjadi karena tidak adanya ventilasi. Untuk perlakuan K2T2 (kemasan dengan ventilasi tipe circle) waktu yang dibutuhkan yaitu 715 menit (± 12 jam), K3T2 (ventilasi tipe oblong) selama 580 menit (± 10 jam), dan K4T2 (ventilasi searah sekat) selama 915 menit (± 15 jam) untuk mencapai kestabilan suhu pendingin yang diharapkan. Kestabilan suhu awal penyimpanan yang didapat berkisar pada suhu o C. Suhu pada kemasan dengan tipe ventilasi oblong, lebih cepat mencapai suhu penyimpanan yang diharapkan. Semakin cepat suhu dalam kemasan mencapai kondisi ruang penyimpanan, maka laju respirasi buah dapat diperlambat, sehingga dapat memperpanjang umur simpan buah tersebut. 29

44 Dari keempat tipe kemasan, ternyata kemasan dengan ventilasi tipe oblong merupakan kemasan yang paling cepat menyesuaikan suhu kemasan di dalamnya dengan suhu lingkungan. Perbedaan waktu kemasan ventilasi tipe oblong dengan ventilasi circle dalam menyesuaikan dengan suhu lingkungan tidak begitu jauh. Kemasan dengan ventilasi tipe oblong paling cepat menyesuaikan dengan suhu lingkungan dikarenakan kemasan tersebut memiliki lubang ventilasi pada empat bagian sisinya yaitu bagian depan belakang dan samping kiri dan kanan, sehingga dengan adanya lubang ventilasi di empat bagian sisinya lebih memudahkan terjadinya pertukaran udara dan penyebaran udara didalam kemasan. Grafik sebaran suhu masing-masing kemasan pada awal penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 6. C. Pengaruh Tipe Ventilasi Terhadap Sebaran Suhu dalam Kemasan Suhu tiap kemasan selama penyimpanan pada suhu ruang mengalami kenaikan dari awal penyimpanan hingga akhir penyimpanan, seperti ditunjukkan pada Gambar 17. Hal ini disebabkan alpukat selama penyimpanan terus mengalami respirasi, sehingga timbul panas di dalam ruang kemasan. Suhu yang paling tinggi yaitu pada kemasan tanpa ventilasi (K1T1) karena panas hasil respirasi alpukat tidak dapat keluar dari dalam ruang kemasan, sehingga terjadi akumulasi panas di dalam kemasan. Selain karena proses respirasi dari alpukat, peningkatan suhu rata-rata selama penyimpanan juga dipengaruhi oleh suhu lingkungan yang mengalami kenaikan. Suhu kemasan yang tinggi dengan kelembaban yang rendah mempengaruhi mutu produk didalamnya. Karena dengan suhu ruang penyimpanan yang tinggi dapat mempercepat laju respirasi, sehingga mempercepat proses pematangan yang tidak sempurna. 31 Suhu ( C ) 30, , ,5 K1T1 K2T1 K3T1 K4T1 TLingkungan Hari ke- Gambar 18. Suhu rata-rata masing kemasan selama penyimpanan pada suhu ruang Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, tipe ventilasi kemasan sangat berpengaruh nyata terhadap suhu dalam kemasan, karena nilai p < α = Dari hasil uji lanjut Duncan (Tabel.9), pada penyimpanan hari ke-0 kemasan K1T1 (kemasan tanpa ventilasi) dengan K2T1 ( ventilasi tipe circle ) tidak menghasilkan suhu yang berbeda nyata. Pada penyimpanan hari ke-3 hingga hari ke-6, perlakuan K1T1 berbeda nyata dibandingkan perlakuan lainnya, tetapi kemasan berventilasi menunjukkan suhu yang tidak berbeda nyata. 30

45 Tabel 9. Pengaruh tipe ventilasi kemasan terhadap sebaran suhu dalam kemasan selama penyimpanan pada suhu ruang Tipe Kemasan suhu ( C ) H-0 H-3 H-6 K1T a a a K2T a b b K3T ab bc bc K4T b c 29.8 c Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5% Suhu rata-rata masing-masing kemasan pada suhu penyimpanan 8 C selama 12 hari penyimpanan terlihat stabil (Gambar 21). Penurunan suhu terjadi pada awal penyimpanan hingga mencapai suhu dingin optimum yang diharapkan. Namun suhu rata-rata selama penyimpanan yang dicapai pada masing-masing kemasan hanya berkisar antara C, hal ini dikarenakan suhu rata-rata penyimpanan/refrigerator diperoleh dari pengukuran proses perubahan suhu dalam refrigerator, karena kondisi pendingin mengalami on-off. Dapat dilihat bahwa suhu kemasan tertinggi, sama seperti pada penyimpanan suhu ruang yaitu kemasan tanpa ventilasi. Grafik suhu yang dibentuk oleh kemasan K2T2 (tipe ventilasi circle) dan K3T2 (tipe ventilasi oblong) membentuk garis yang berhimpitan berarti menunjukkan suhu rata-rata yang sama hingga akhir penyimpanan. Suhu kemasan K2T2 dan K3T2 lebih rendah dibandingkan suhu pada kemasan K1T2 dan K4T2, namun suhu pada kemasan K2T2 dan K3T2 cenderung mendekati suhu lingkungan selama penyimpanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemasan K2T2 dan K3T2 merupakan kemasan yang cepat menyesuaikan dengan suhu lingkungan penyimpanan. 9,5 Suhu ( C ) 9 8,5 8 7,5 7 6, Hari ke- K1T2 K2T2 K3T2 K4T2 TLingkungan Gambar 19. Suhu rata-rata masing-masing kemasan selama penyimpanan pada suhu 8 C Berdasarkan analisa sidik ragam nilai p < α = 0.05 sehingga tipe ventilasi kemasan berpengaruh nyata terhadap sebaran suhu dalam kemasan selama penyimpanan pada suhu dingin. Dari hasil uji lanjut Duncan (Tabel. 10), pada hari ke-0 suhu dalam kemasan tanpa ventilasi (K1T2) berbeda nyata dengan K2T2, K3T2, dan K4T2. Sedangkan untuk hari ke-3 hingga hari ke-12, hanya suhu dalam 31

46 kemasan K2T2 dan K3T2 yang tidak berbeda nyata. Jadi penggunaan tipe ventilasi circle dan oblong pada penyimpanan suhu dingin, tidak menghasilkan beda nyata pada suhu dalam kemasan. Tabel 10. Pengaruh tipe ventilasi kemasan terhadap sebaran suhu dalam kemasan selama penyimpanan pada suhu 8 C Tipe Kemasan suhu ( C) H-0 H-3 H-6 H-9 H-12 K1T2 9.2 a 7.64 a 7.5 a 7.54 a 7.56 a K2T2 8 bc 7.2 c 7.16 b 7.24 c 7.24 c K3T c 7.2 c 7.1 b 7.18 c 7.16 c K4T b 7.44 b 7.36 a 7.42 b 7.44 b Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5% Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Adhinata (2008), dimana pola grafik hubungan waktu terhadap suhu pada kemasan berventilasi lingkaran dan oval memiliki pola yang sama, sedangkan kemasan berventilasi campuran cenderung memiliki pola yang sama dengan kemasan tanpa ventilasi. Hasil simulasi juga menunjukkan pola sebaran suhu dipengaruhi oleh bentuk ventilasi. Keadaan suhu pada daerah yang searah dengan ventilasi menghasilkan sebaran suhu yang relatif sama dengan suhu lingkungan. Data suhu rata-rata selama penyimpanan dapat dilihat di Lampiran 7. D. Tingkat Kerusakan Mekanis Setelah Simulasi Transportasi Simulasi transportasi dilakukan menggunakan meja getar dengan tujuan untuk mendapatkan kondisi yang homogen pada tiap ulangan yang sulit diperoleh pada kondisi real di jalan, dan untuk mendapatkan gambaran kerusakan mekanis buah alpukat apabila mengalami goncangan dan getaran selama transportasi. Simulasi transportasi dilakukan selama dua jam, berdasarkan lama pengiriman buah alpukat yang dilakukan oleh pedagang pengumpul kecil di Sukabumi ke pengumpul besar di Jakarta. Gambar 20. Simulasi transportasi disain kemasan alpukat Hasil konversi frekuensi dan amplitudo selama simulasi transportasi penggetaran berdasarkan konversi angkutan truk selama dua jam pada alat simulasi transportasi (terdapat pada Lampiran 5) 32

47 setara dengan km dijalan luar kota atau lebih kurang 3.08 jam perjalanan truk dengan kecepatan 60 km/jam. Pada jalan buruk beraspal jarak yang ditempuh 89.6 km atau lebih kurang 2.98 jam perjalanan truk dengan kecepatan 30 km/jam. Hal ini cukup sesuai dengan jarak yang ditempuh oleh pedagang pengumpul kecil di Sukabumi ke pengumpul besar di Jakarta yaitu ±115 km. Dalam pengangkutan juga perlu diperhatikan kondisi lingkungan. Pengangkutan dengan truk tanpa pendingin, sebaiknya dilakukan pada malam hari untuk menghindari suhu lingkungan yang terlalu tinggi. Karena hal ini akan berpengaruh pada umur simpan buah alpukat. Pada malam hari suhu udara relatif lebih rendah dan dapat mengurangi resiko kerusakan mekanis akibat kenaikan suhu. Pengukuran tingkat kerusakan mekanis buah alpukat setelah simulasi transportasi dilakukan secara visual pada penampakan luar buah alpukat dan jumlah buah yang rusak pada tiap kemasan. Buah dinyatakan rusak jika terjadi penyimpangan tekstur dari keadaan normal. Parameter kerusakan buah alpukat dapat dilihat dari adanya luka memar, luka gores, dan luka pecah pada kulit. Kerusakan mekanis akibat memar ditandai dengan terbentuknya bagian dengan warna agak berbeda dan lunak, sedangkan luka gores ditandai dengan adanya luka seperti sayatan pada kulit buah, dan luka pecah ditandai dengan kulit buah alpukat yang berwarna agak berbeda namun keras (Destiyani, 2010). Dari hasil studi lapang transportasi buah alpukat yang didistribusikan dengan menggunakan peti kayu berkapasitas 44 Kg pada suhu ruang memiliki tingkat kerusakan mekanis sebesar %, sedangkan pengemasan alpukat dengan menggunakan kemasan karton berkapasitas 15 Kg tanpa bahan pengisi pada suhu ruang memiliki kerusakan mekanis sebesar % dan pengemasan alpukat dengan menggunakan karton berkapasitas 7 Kg dengan bahan pengisi berupa potongan karton cacah pada suhu ruang memiliki tingkat kerusakan mekanis sebesar 4.05 % (Destiyani, 2010). Dari hasil pengamatan secara visual pada buah alpukat setelah simulasi transportasi pada empat macam kemasan dengan tipe ventilasi yang berbeda-beda, tidak ditemukan kerusakan mekanis seperti luka memar, luka gores, dan luka pecah pada kulit alpukat. Karena adanya kemasan inner berupa sekat-sekat pada ruang kemasan tidak menyebabkan terjadinya benturan antar buah alpukat yang dapat mengakibatkan luka memar. Permukaan karton gelombang yang halus dibandingkan kemasan kayu juga dapat memperkecil terjadinya luka gores pada kulit alpukat. Kemungkinan kerusakan dapat terjadi akibat benturan buah terhadap permukaan kemasan. Namun belum dapat terlihat karena kulit alpukat yang keras. Kerusakan fisik dari alpukat dapat dilihat setelah penyimpanan pada berbagai kondisi seperti suhu ruang dan 8 C. E. Pengaruh Tipe Ventilasi dan Suhu Penyimpanan Terhadap Mutu Buah Alpukat 1. Susut Bobot Susut bobot terjadi karena selama proses penyimpanan menuju pematangan terjadi perubahan fisiokimia berupa penyerapan dan pelepasan air dari dan ke lingkungan penyimpanan. Kehilangan air pada bahan tersimpan selama periode penyimpanan tidak hanya menyebabkan kehilangan berat, tetapi dapat juga menyebabkan kerusakan dan penurunan kualitas. Kehilangan berat dalam jumlah sedikit yang terjadi secara perlahan mungkin saja tidak berarti bagi bahan tersebut, tetapi kehilangan yang besar dan terjadi secara cepat akan menyebabkan pengkeriputan dan pelayuan. (Muchtadi, 1988). Susut bobot setelah transportasi disebabkan oleh faktor metabolisme buah, yaitu proses transpirasi dan respirasi. Proses transpirasi adalah proses penguapan air dari komoditi segar keluar melalui permukaan luar komoditi. Proses transpirasi ini dapat menurunkan tekstur, menyebabkan pelayuan, dan pengerutan. Jika kerusakan mekanis pasca transportasi yang terjadi pada permukaan 33

48 buah relatif besar maka penguapan dan kehilangan air dapat terjadi lebih cepat sebaliknya jika kerusakan mekanis pasca transportasi yang terjadi pada permukaan buah relatif kecil maka penguapan dan kehilangan air yang terjadi selama penyimpanan akan berjalan lambat. Hal ini disebabkan buah kehilangan pelindung alaminya sehingga proses transpirasi berlangsung lebih cepat. Pola perubahan persentase susut bobot buah alpukat yang dikemas dalam berbagai tipe kemasan selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 21 dan Susut Bobot (%) Lama Penyimpanan (Hari) K1T1 K2T1 K3T1 K4T1 Gambar 21. Perubahan persentase susut bobot alpukat dalam kemasan selama penyimpanan pada suhu ruang (28-30 o C) Susut Bobot (%) Lama Penyimpanan (Hari) K1T2 K2T2 K3T2 K4T2 Gambar 22. Perubahan persentase susut bobot alpukat dalam kemasan selama penyimpanan pada suhu 8 o C. Berdasarkan Gambar 21 dan 22. terlihat bahwa semakin lama penyimpanan maka susut bobot buah pada setiap perlakuan semakin meningkat. Dari Gambar 21. Persentase susut bobot buah alpukat tertinggi pada penyimpanan suhu ruang (28-30 o C ) yaitu kemasan tanpa ventilasi (K1T1) sebesar %. Hal ini dapat terjadi karena suhu di dalam kemasan yang tinggi dibandingkan kemasan berventilasi. Pada kemasan berventilasi terjadi pertukaran udara dari lingkungan dengan suhu dalam kemasan. Umumnya semakin tinggi suhu ruang penyimpanan maka semakin tinggi laju penurunan bobot buah, karena transpirasi yang terjadi semakin besar. Kehilangan air 5 10 % dari berat semula melalui transpirasi dianggap tidak laku dijual sehingga merugikan pada tingkat penjualan eceran (Pantastico, 1989). 34

49 Transpirasi yang tinggi dapat menurunkan kadar air buah alpukat sehingga susut bobot menjadi tinggi. Selain itu suhu tinggi menyebabkan respirasi meningkat, substrat yang dihasilkan pada proses fotosintesis diuraikan menjadi gula sederhana sehingga dihasilkan CO 2 dan air pada proses respirasi, akibatnya terjadi penurunan air dalam bahan yang menyebabkan penurunan bobot. Sedangkan persentase susut bobot terkecil pada penyimpanan suhu ruang adalah pada kemasan dengan ventilasi tipe circle (K2T1) sebesar %. Hal ini dikarenakan dengan adanya ventilasi pada bagian sisi kemasan, terjadi sirkulasi udara dari dalam kemasan ke luar lingkungan sehingga tidak terjadi akumulasi panas dalam kemasan yang dapat mempercepat laju respirasi alpukat. Berdasarkan Gambar 22. Dapat dilihat bahwa persentase susut bobot buah alpukat terkecil pada penyimpanan suhu 8 o C yaitu kemasan tanpa ventilasi (K1T2) sebesar 4.85%. Sama seperti halnya pada kemasan ventilasi yang disimpan pada suhu ruang, perubahan suhu lingkungan kurang berpengaruh terhadap suhu dalam kemasan tanpa ventilasi. Sehingga saat suhu lingkungan lebih rendah dari suhu penyimpanan dingin yang diharapkan, suhu pada ruang kemasan tanpa ventilasi tidak mengalami penurunan yang drastis dari suhu yang diharapkan. Kemasan tanpa ventilasi (K1T2) memiliki persentase susut bobot paling kecil dikarenakan tidak adanya lubang ventilasi menyebabkan kandungan oksigen rendah didalam kemasan akan menghambat laju respirasi, sehingga proses perombakan senyawa makromolekul seperti karbohidrat, lemak, dan protein menjadi gula sederhana terhambat, CO 2 dan air yang dikeluarkan pun berkurang. Buah yang disimpan pada suhu ruang (28-30 o C) sebagian sudah mengalami pembusukan pada hari ke-6 sehingga tidak dapat bertahan hingga hari ke-12. Hal ini sesuai dengan Sudarminto (1992) bahwa alpukat pada kondisi penyimpanan udara normal dengan suhu o C hanya dapat bertahan selama 5-8 hari. Oleh karena itu penting dijaga agar suhu dan kelembaban ruang penyimpanan relatif tetap. Karena perubahan suhu penyimpanan sebesar 2-3 o C lebih tinggi dari suhu yang dikehendaki sangat memungkinkan terjadinya pembusukan atau proses pematangan yang tidak baik dan kelembaban udara yang rendah dapat mempercepat terjadinya transpirasi atau penguapan yang dapat menyebabkan kehilangan bobot yang cukup besar. Susut bobot pada penyimpanan suhu 8 o C lebih kecil daripada penyimpanan pada suhu ruang (28-30 o C). Hal ini disebabkan perbedaan kelembapan relatif pada suhu ruang penyimpanan. Ryali dan Pentzer (1982) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi susut bobot salah satunya adalah kelembapan relative (RH) pada ruang simpan. Kelembapan udara yang rendah dapat mempercepat terjadinya transpirasi atau penguapan sehingga dapat menyebabkan kehilangan bobot yang cukup besar selama penyimpanan. Apabila ruang simpan memiliki RH tinggi maka susut bobot yang dialami lebih kecil dibandingkan dengan ruang simpan yang memiliki RH rendah. Kelembaban relatif (RH) pada suhu 8 o C sebesar %, sedangkan RH pada suhu ruang 28 o C sebesar %. Meskipun kelembapan yang tinggi mencegah terjadinya pembusukan, namun kelembapan yang tinggi juga dapat mengakibatkan penyusutan yang berlebihan, pengkeriputan, dan kerusakan kulit (Pantastico, 1989). Dari hasil analisis sidik ragam, terbukti bahwa model (interaksi antara kemasan, suhu, danlama penyimpanan) berpengaruh nyata terhadap susut bobot buah alpukat selama penyimpanan. Ternyata dari hasil analisis sidik ragam, tipe ventilasi kemasan tidak berpengaruh signifikan terhadap susut bobot, tetapi suhu penyimpanan berpengaruh secara signifikan terhadap susut bobot, karena p value < Dari hasil uji lanjut Duncan (Tabel 11 dan 12), ternyata kemasan dan interaksi dari tiap-tiap faktor perlakuan tidak berbeda nyata pada susut bobot, sehingga penggunaan tipe ventilasi yang berbeda atau tanpa penggunaan ventilasi pada kemasan tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap perubahan susut bobot buah alpukat. Sedangkan interaksi antara suhu terhadap waktu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap susut bobot sehingga memberikan perbedaan yang signifikan terhadap perubahan susut bobot buah alpukat pada tiap suhu penyimpanan yang berbeda. 35

50 Hal ini berarti bahwa susut bobot termasuk parameter mutu yang tidak dapat menggambarkan pengaruh ragam perlakuan pada tipe ventilasi kemasan, tetapi menggambarkan ragam perlakuan pada suhu penyimpanan. Dengan demikian penggunaan kemasan dengan tipe ventilasi kemasan yang berbeda ataupun tanpa menggunakan ventilasi, tidak terlalu menghasilkan perbedaan peningkatan susut bobot yang signifikan, tetapi suhu penyimpanan justru yang sangat berpengaruh terhadap susut bobot. Hasil analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 12. Tabel 11. Pengaruh tipe ventilasi kemasan terhadap susut bobot alpukat Tipe Kemasan Susut Bobot (%) H-3 H-6 H-9 H-12 K a a a a K a a a a K a a a a K a a a a Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5% Tabel 12. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap susut bobot buah alpukat Suhu Penyimpanan T1 ( 28 o C ) a a Susut bobot (%) H-3 H-6 H-9 H-12 T2 ( 8 o C) b b Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5% 2. Kekerasan Kekerasan merupakan salah satu parameter yang menunjukan kualitas tekstural produk segar holtikultura. Pengukuran uji kekerasan dilakukan sebagai salah satu indikasi terjadinya kerusakan pada suatu komoditi, dimana semakin kecil nilai tekan buah maka akan semakin rusak buah tersebut. Buah yang matang dan siap konsumsi relatif lebih lunak daripada buah yang masih mentah (Sjaifullah,1996). Menurut Pantastico (1986), ketegangan disebabkan oleh tekanan isi sel pada dinding sel dan bergantung pada konsentrasi zat-zat osmotic aktif pada vakuola, permeabilitas protoplasma, dan elastisitas dinding sel. Buah-buahan akan kehilangan airnya karena proses transpirasi dan respirasi setelah pemanenan, sehingga tekanan turgornya menjadi semakin kecil dan menyebabkan komoditas tersebut menjadi lunak. Air sel yang menguap membuat sel menciut sehingga ruangan antar sel menyatu dan zat pectin menjadi saling berikatan. Pengaruh dari kerusakan mekanis selama transportasi, mengakibatkan buah mengalami penurunan kekerasan karena beberapa jenis luka menyebabkan struktur permukaan buah terjadi kerusakan sel-sel penyusun jaringan dan akan terpisah ikatannya. Menurut Pantastico (1989), parahnya tingkat kerusakan dapat memicu respirasi. Hal ini akan menyebabkan proses metabolisme buah tersebut akan berlangsung lebih cepat dari yang seharusnya (buah yang tidak rusak). Selain itu tingginya susut bobot buah juga mempengaruhi tingkat kekerasan suatu buah. Perubahan kekerasan buah alpukat pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada gambar berikut ini. 36

51 4,00 Kekerasan buah (Kgf) 3,00 2,00 1,00 K1T1 K2T1 K3T1 K4T1 0, Lama Penyimpanan (Hari) Gambar 23. Perubahan kekerasan buah alpukat selama penyimpanan pada suhu ruang (28-30 o C) 4,00 Kekerasan Buah (Kgf) 3,50 3,00 2,50 2,00 K1T2 K2T2 K3T2 K4T2 1, Lama Penyimpanan (Hari ke-) Gambar 24. Perubahan kekerasan buah alpukat selama penyimpanan pada suhu 8 o C Dari Gambar 23. dapat dilihat bahwa pola perubahan kekerasan pada penyimpanan suhu ruang terjadi penurunan kekerasan, yang menandakan bahwa buah alpukat semakin lunak. Penurunan kekerasan disebabkan oleh proses respirasi yang membutuhkan air dari sel sehingga terjadinya pengurangan air pada sel yang berakibat sel kehilangan kekerasannya. Semakin tinggi laju respirasi, maka kekerasanya akan semakin menurun. Berdasarkan hasil penelitian Soesarsono (1989) pada penyimpanan suhu ruang, laju respirasi alpukat yang ditempatkan dalam wadah kedap udara menunjukkan puncak respirasi terjadi pada hari kedua penyimpanan dengan jumlah mg/kg.jam, sedangkan pada penyimpanan semi kedap udara mengalami puncak respirasi pada hari ketiga dengan laju respirasi 350 mg/kg.jam. Laju penurunan kekerasan yang lambat pada penyimpanan ruang adalah pada kemasan ventilasi tipe circle (K2T1), pada akhir penyimpanan kekerasannya lebih tinggi dibandingkan dengan kemasan lain yaitu sebesar 0.69 Kgf, hal ini sesuai dengan penurunan susut bobot yang rendah pada kemasan K2T1 dibandingkan dengan kemasan lainnya. Menurut Muchtadi (1988) proses pelunakan buah alpukat terjadi karena buah mengalami pemasakan dan pembongkaran protopectin tak larut menjadi asam pektat dan pectin yang lebih mudah 37

52 larut, maupun terjadinya hidrolisi pati (seperti pada buah squash ) atau lemak (pada buah alpukat). Kecepatan reaksi pematangan (ripening) sampai dengan pembusukan (deterioration) buah alpukat pada suhu ruang jauh lebih cepat dibandingkan dengan suhu dingin. Pada suhu diantara (0 35 o C) kecepatan respirasi pada sayuran dan buah-buahan 2-3 kali lipatnya untuk tiap kenaikan suhu sebesar 10 o C, yang menunjukkan adanya pengaruh proses biologis maupun kimia. Pada hari ke-3 pada penyimpanan suhu ruang, nilai kekerasan buah alpukat mengalami penurunan. Hal ini disebabkan buah mulai mengalami kerusakan akibat pemanasan, sehingga terjadi perubahan warna dan aroma. Menurut Pantastico (1986) pemberian suhu diatas 25 o C terlalu lama menyebabkan kerusakan pada buah alpukat. Buah yang disimpan pada suhu o C memiliki ciri antara lain : tidak matang secara normal, penampakan fisik buruk, daging buah lunak secara tidak merata, timbulnya noda-noda berwarna kecoklatan pada kulit, serta timbulnya rasa dan bau yang tidak dikehendaki. Pada suhu 32 o C daging buah alpukat menjadi kenyal, dan muncul gejala-gejala pengkeriputan pada kulit. Pada akhir penyimpanan (hari ke-6) semakin terjadinya penurunan kekerasan yang drastis, hal ini berarti buah alpukat semakin lunak. Pelunakan buah alpukat pada akhir penyimpanan disebabkan terjadinya pembusukan, dan pertumbuhan jamur pada pangkal dan ujung buah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 25. Gambar 25. Perubahan warna kecoklatan dan timbul jamur pada alpukat untuk penyimpanan 6 hari pada suhu ruang (28-30 C) Gambar 24. Menunjukkan perubahan kekerasan buah alpukat pada penyimpanan suhu 8 C cenderung mengalami penurunan hingga pertengahan hari penyimpanan yang terjadi tidak signifikan. Namun pada perlakuan K2T2 dan K3T2 kekerasan buah alpukat mengalami kenaikan pada penyimpanan hari ke-9 hingga hari akhir penyimpanan yaitu pada hari ke-12. Nilai kekerasan pada K2T2 sebesar 3.03 Kgf dan K3T2 sebesar 2.97 Kgf. Kenaikan nilai kekerasan ini diikuti dengan adanya sedikit pengkeriputan kulit buah akibat penyimpanan suhu rendah yang terlalu lama. Kenaikan nilai kekerasan ini disebabkan kulit buah yang menjadi keriput, sehingga nilai tekannya semakin besar. Menurut Pantastico (1986), buah alpukat dapat mengalami kerusakan apabila disimpan pada waktu cukup lama pada suhu rendah. Gejala kerusakan yang dialami oleh alpukat antara lain : pengeriputan, timbul warna kuning kecoklatan pada daging buah sekitar biji atau pada jaringan dipertengahan biji dan kulit, aroma dan rasa yang tidak dikehendaki, serta jaringan pembuluh tampak berwarna kuning kecoklatan. Penurunan kekerasan pada kemasan K1T2 dan K4T2 menunjukkan pola yang hampir sama, tidak mengalami peningkatan kekerasan seperti K2T2 dan K3T2. Nilai kekerasan pada K1T2 sebesar 2 Kgf dan K4T2 sebesar 2.33 Kgf yang masih dapat diterima konsumen. 38

53 Hasil analisis sidik ragam didapat bahwa tipe kemasan tidak berpengaruh nyata pada tingkat kekerasan buah alpukat, sedangkan suhu penyimpanan memberikan pengaruh nyata pada tingkat kekerasan alpukat masing-masing kemasan dengan nilai p < α=0.05. Berdasarkan hasil analisa uji lanjut Duncan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 13 dan 14, tipe kemasan tidak menghasilkan perbedaan kekerasan yang signifikan, sedangkan pengaruh suhu penyimpanan terhadap kekerasan buah alpukat menunjukkan perbedaan yang signifikan antara penyimpanan pada suhu ruang dengan penyimpanan suhu dingin 8 o C. Hasil analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 13. Tabel 13. Pengaruh tipe kemasan berventilasi terhadap kekerasan buah alpukat Tipe Kemasan Kekerasan (Kgf) H-0 H-3 H-6 H-9 H-12 K b a a b a K a a a a a K a a a b a K b a a 2.91 a a Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5% Tabel 14. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap kekerasan buah alpukat Suhu Penyimpanan Kekerasan hari ke- (Kgf) H-0 H-3 H-6 H-9 H-12 T1 ( 28 o C ) b b b T2 ( 8 o C) a a a Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5 % 3. Total Padatan Terlarut Kandungan total padatan terlarut (TPT) pada suatu bahan menunjukkan kandungan gula yang terdapat pada bahan tersebut (Sjaifullah, 1996). Pengamatan kandungan gula pada buah termasuk ke dalam indikator dari rusaknya buah tersebut karena buah semakin lama semakin berkurang kadar gulanya diiringi proses respirasi dari buah tersebut. Pada saat respirasi, terjadi pemecahan oksidatif dari bahan-bahan yang kompleks seperti karbohidrat, lemak, dan protein (Muchtadi, 1988). Total Padatan Terlarut ( Brix ) 9 8,5 8 K1T1 K2T1 7,5 K3T1 7 K4T1 6, Lama Penyimpanan ( Hari ) Gambar 26. Perubahan total padatan terlarut selama penyimpanan pada suhu ruang (28-30 o C) 39

54 Total padatan terlarut (Brix) 9 8,5 8 7,5 7 6, Lama Penyimpanan (Hari) K1T2 K2T2 K3T2 K4T2 Gambar 27. Perubahan total padatan terlarut selama penyimpanan pada suhu 8 o C Pola perubahan total padatan terlarut pada penyimpanan suhu ruang menunjukkan terjadinya kecenderungan menurun sejak awal hingga akhir penyimpanan (Gambar 26). Penurunan total padatan terlarut terjadi karena kematangan yang tidak sempurna pada buah alpukat. Penyimpanan pada suhu ruang (28-30 o C) selama 6 hari menunjukkan penurunan total padatan terlarut yang drastis, diikuti dengan busuknya buah alpukat. Hal ini karena adanya perombakan gula dalam alpukat menjadi alkohol. Proses ini ditandai dengan munculnya senyawa volatile seperti aroma tidak sedap ( busuk ). Selain itu, akan timbul pula jamur pada bonggol dan kulit alpukat. Hal ini sesuai pendapat Biale dan Young (1962) di dalam Kartasapoetra (1994), bahwa penyimpanan pada suhu 30 o C dapat mengakibatkan buah alpukat tidak masak. Berdasarkan Gambar 27. dapat dilihat bahwa total padatan terlarut pada penyimpanan suhu dingin menunjukan kenaikan diawal proses penyimpanan di hari ke-3, dan mengalami penurunan pada pertengahan penyimpanan (hari ke-6 dan hari ke-9), kemudian mengalami kenaikan di akhir penyimpanan (hari ke 12). Pola peningkatan total padatan terlarut pada hari ke-12 disebabkan terjadinya hidrolisis pati menjadi gula. Pola perubahan total padatan terlarut selama penyimpanan tersebut merupakan indikasi perubahan komposisi total padatan terlarut buah alpukat dipengaruhi laju respirasi klimaterik buah alpukat. Menurut Pantastico (1986), terdapatnya kecenderungan kenaikan dan penurunan dalam proses pemasakan merupakan sifat khas dari buah dalam keadaan klimakterik. Secara umum selama proses pematangan terjadi peningkatan kadar gula buah-buahan karena terjadi proses hidrolisa pati menjadi zat gula baik dalam bentuk sukrosa, glukosa, maupun fruktosa. Kondisi ruang penyimpanan buah alpukat yang tertutup dan bersuhu rendah mempengaruhi perubahan komposisi total gula daging buah alpukat karena menurunkan kadar oksigen dan meningkatkan kadar karbondioksida. Menurut Ulrich di dalam Pantastico (1986), konsentrasi oksigen yang rendah berpengaruh terhadap penundaan proses pematangan, sedangkan peningkatan kadar karbondioksida berpengaruh terhadap penurunan reaksi sintesis pematangan dan perubahan perbandingan berbagai gula. Nilai total padatan terlarut terbesar dimiliki oleh perlakuan K3T2 yaitu kemasan dengan ventilasi tipe oblong pada suhu penyimpanan dingin 8 o C selama 12 hari sebesar Brix. Sedangkan total padatan terlarut terendah dimiliki oleh buah alpukat pada perlakuan K2T1 yaitu pada kemasan dengan ventilasi tipe circle pada penyimpanan suhu ruang sebesar 6.12 Brix setelah enam hari penyimpanan. 40

55 Total padatan terlarut akan meningkat dengan cepat ketika buah mengalami pematangan dan akan terus menurun seiring lama penyimpanan. hal ini disebabkan terjadinya hidrolisis pati yang tidak larut dalam air menjadi gula yang larut dalam air. Selanjutnya dalam proses penuaan semakin berlanjut kadar gula menurun, hal ini diduga karena hidrolisis pati sedikit sekali, sehingga proses respirasi meningkat dan sintesa asam yang mendegradasi gula berjalan terus. Hasil analisa sidik ragam dan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada Lampiran 14. Tabel 15. Pengaruh tipe ventilasi kemasan terhadap total padatan terlarut (TPT) buah alpukat Tipe Kemasan Total Padatan Terlarut ( Brix) H-0 H-3 H-6 H-9 H-12 K a a a a a K a a a a a K a a a a a K a a a a a Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5 % Tabel 16. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap total padatan terlarut (TPT) buah alpukat Suhu Penyimpanan Total Padatan Terlarut hari ke- ( Brix) H-0 H-3 H-6 H-9 H-12 T1 (28 o C) 7.8 a b b T2 (8 o C) 7.72 a a a Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5 % Berdasarkan hasil analisa sidik ragam, hubungan antara tipe ventilasi kemasan, suhu penyimpanan, dan waktu tidak berpengaruh nyata terhadap total padatan terlarut, sedangkan suhu penyimpanan berpengaruh nyata karena P value < α=0.05. Perlakuan tipe ventilasi kemasan tidak berpengaruh nyata pada total padatan terlarut. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Tabel 15 dan 16) suhu penyimpanan memberikan perbedaan yang nyata terhadap perubahan pada total padatan terlarut buah alpukat. Hal ini berarti perubahan total padatan terlarut buah alpukat hanya dipengaruhi oleh suhu penyimpanan, sedangkan tipe kemasan tidak memberikan perbedaan yang signifikan. Buah alpukat merupakan produk pertanian yang sulit dicari keseragaman dari tingkat kematangannya sehingga total padatan terlarut termasuk parameter mutu yang tidak dapat menggambarkan pengaruh ragam perlakuan, yaitu tipe ventilasi kemasan. Kandungan gula atau total padatan terlarut merupakan refleksi dari manis, yang juga menunjukkan tingkat ketuaan dan kematangan. Umumnya, total padatan terlarut pada buah-buahan akan meningkat cepat ketika buah mengalami pematangan dan terus menurun seiring dengan lama penyimpanan buah. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan pati yang tidak larut dalam air menjadi gula yang larut dalam air. Menurut Wilson (1989), beberapa penyebab perubahan total padatan terlarut diantaranya karena proses pematangan, pemecahan pati menjadi gula dan karena adanya penumpukan substrat sebagai akibat dari respirasi. Aktivitas etilen dalam pematangan buah akan menurun dengan menurunnya suhu. Selain suhu, salah satu faktor yang mempercepat proses 41

56 pematangan adalah kerusakan mekanis pada buah. Kecepatan proses pematangan buah akan meningkatkan total padatan terlarut buah. 4. Kerusakan Buah Alpukat Selama Penyimpanan Kerusakan produk holtikultura selama penyimpanan dapat berupa kerusakan fisik dan kerusakan biologis. Kerusakan fisik yang terjadi dapat disebabkan oleh kerusakan mekanis, sedangkan kerusakan biologis dapat dipengaruhi oleh laju respirasi yang tergantung kondisi suhu dan lama simpan. Kerusakan mekanis yang terjadi setelah simulasi transportasi belum terlihat pada masingmasing perlakuan tipe kemasan, namun mulai tampak terjadi perubahan pada alpukat setelah pengamatan di hari ke-3 hingga akhir penyimpanan seperti ditunjukkan pada gambar berikut ini. kerusakan fisik (%) Lama Penyimpanan (Hari) K1T1 K2T1 K3T1 K4T1 Gambar 28. Presentasi kerusakan fisik buah alpukat selama penyimpanan pada suhu ruang Berdasarkan Gambar 28. kerusakan tertinggi buah alpukat pada penyimpanan suhu ruang terdapat pada perlakuan KIT1 (kemasan tanpa ventilasi) dengan persentasi kerusakan sebesar %. Pada penyimpanan hari ke-3 pada suhu ruang, mulai terlihat luka memar dan timbul warna kecoklatan pada bagian ujung buah seperti di tunjukkan pada Gambar 29. Luka memar tersebut diakibatkan oleh benturan alpukat dengan dinding kemasan yang baru terlihat setelah dilakukan penyimpanan. Luka atau memar yang terjadi pada buah-buahan akan meningkatkan sintesa etilen. Dengan demikian secara tidak langsung akan meningkatkan kecepatan respirasi, karena etilen dapat menstimulir reaksi enzimatis dalam buah-buahan (Muchtadi,1988) Gambar 29. Kerusakan buah alpukat pada kemasan K1T1 setelah penyimpanan hari ke-3 42

57 Pada penyimpanan hari ke-6 pada suhu ruang, kerusakan pada buah semakin meningkat. Buah mulai layu, mengkerut, bahkan terdapat buah yang busuk dan ditumbuhi kapang atau jamur pada bagian bonggol dan kulit buah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 29. Kerusakan ini dipengaruhi oleh suhu ruang kemasan yang tinggi, dan relative lembab, sehingga mempercepat laju respirasi dan kebusukan. Kerusakan tertinggi pada K1T1 (tanpa ventilasi) dikarenakan dengan tidak adanya lubang ventilasi, suhu didalam kemasan akan tinggi dan mempercepat laju respirasi dan kandungan CO 2 yang meningkat didalam kemasan, yang akan merusak buah dan mempercepat kebusukan. (a) (b) (c) Gambar 30. Perubahan buah alpukat (a) kerutan pada kulit, (b). busuk bagian ujung, dan (c) pertumbuhan jamur 43

58 Kerusakan Mekanis (%) Lama Penyimpanan (Hari) K1T2 K2T2 K3T2 K4T2 Gambar 31. Presentasi kerusakan fisik buah alpukat selama penyimpanan pada suhu 8 C Berdasarkan Gambar 31. perlakuan tiap kemasan yang disimpan di suhu 8 C kerusakan mekanis hanya terdapat pada perlakuan K3T2 (ventilasi tipe oblong). Kerusakan yang terjadi berupa luka pecah dan memar akibat penggetaran saat transportasi yang baru terlihat setelah penyimpanan di hari ke-3 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 32. Pada penyimpanan dingin tidak terdapat kerusakan akibat jamur atau busuk hingga di akhir penyimpanan, karena suhu dingin dapat menghambat pertumbuhan jamur atau kapang. (a) (b) Gambar 32. Jenis kerusakan buah yang berupa (a) Luka pecah dan (b) Luka memar Penampilan buah alpukat pada penyimpanan suhu dingin masih tampak terlihat segar, tidak terjadi kerusakan seperti pada penyimpanan di suhu ruang. Namun pada masing-masing kemasan terdapat beberapa buah alpukat mengalami keriput pada kulit. Hal ini terjadi karena suhu dalam ruang pendingin yang tercapai dibawah suhu optimum yang diharapkan yaitu 8 C, karena pengaturan suhu seharusnya diset pada suhu 10 C sehingga ketika terjadi on-off pada refrigerator, suhunya tidak dibawah 8 C. Meskipun penampilan buah yang disimpan pada kemasan tanpa ventilasi terlihat baik lebih lama daripada buah yang berada didalam kemasan berventilasi, hal ini dikarenakan termodifikasinya udara menjadi udara dengan kandungan oksigen rendah, dan karbondioksida yang meningkat. Namun bau dan rasa yang tidak diinginkan dapat timbul dalam kemasan yang tertutup rapat, meskipun 44

59 penampilannya terlihat baik. Penampilan fisik buah alpukat pada akhir penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 17. F. Pemilihan Kemasan yang Sesuai Berdasarkan hasil penelitian Destiyani (2010), kemasan karton dengan ukuran 38 cm x 26 cm x 18 cm dengan kapasitas 7 kg yang memiliki tumpukan dua layer dengan bahan pengisi potongan atau cacahan kertas koran yang disimpan pada suhu 5 o C merupakan kemasan yang paling baik digunakan kemasan distribusi buah alpukat, namun masih terjadi kerusakan mekanis sebesar 3.65%. Berdasarkan hasil penelitian, kemasan berukuran 37 cm x 23 cm x 21 cm dari bahan karton gelombang dengan double wall, flute tipe AB, dua layer dan penambahan sekat/inner pada tiap buah, dapat mengurangi kerusakan mekanis selama transportasi. Dengan pemberian sekat, buah dalam kemasan tidak saling berbenturan, dan dengan penambahan karton gelombang sebagai alas layer juga dapat mengurangi kerusakan akibat tertindih atau tertekan buah lainnya. Dengan pemberian lubang ventilasi memungkinkan masuknya oksigen yang cukup dan menghindarkan kerusakan karena akumulasi karbondioksida selama penyimpanan pada suhu tinggi. Dilihat dari waktu yang digunakan untuk mencapai suhu optimum yang diharapkan, kemasan dengan ventilasi oblong merupakan kemasan yang mencapai suhu optimum yang lebih cepat dibandingkan kemasan dengan tipe ventilasi lainnya. Namun waktu yang dicapai antara kemasan ventilasi tipe oblong dengan kemasan ventilasi tipe circle tidak berbeda jauh. Walaupun kemasan dengan ventilasi oblong lebih baik dalam sebaran suhu dalam kemasan, tetapi secara keseluruhan, perubahan penurunan mutu buah alpukat yang disimpan pada kemasan dengan ventilasi circle lebih lambat. Nilai persentase susut bobot yang dihasilkan lebih kecil di bandingkan kemasan lainnya, kekerasan yang masih tinggi, persentase kerusakan selama penyimpanan yang rendah, dan penampilan yang masih dapat diterima konsumen. Oleh karena itu, kemasan yang sesuai untuk distribusi alpukat adalah kemasan dengan ventilasi tipe circle, dengan suhu penyimpanan 8 C. 45

60 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Berdasarkan hasil analisa sidik ragam, tipe ventilasi kemasan (kemasan tanpa ventilasi, kemasan ventilasi tipe circle, tipe oblong, dan tipe ventilasi searah sekat) berpengaruh nyata terhadap sebaran suhu dalam kemasan selama penyimpanan. Berdasarkan uji lanjut Duncan, antara kemasan tipe ventilasi circle dan tipe ventilasi oblong menunjukkan suhu dalam kemasan yang tidak berbeda nyata. Jadi penggunaan tipe ventilasi circle atau oblong pada kemasan tidak memberikan sebaran suhu yang berbeda. 2. Hasil pengujian sebaran suhu dengan penggunaan luasan ventilasi sebesar 2% dari luasan permukaan kemasan menunjukkan kemasan yang disimpan pada suhu ruang 28 C memiliki kestabilan suhu berkisar antara C, sedangkan kemasan yang disimpan pada suhu 8 C dapat mencapai kestabilan suhu berkisar C. Kemasan dengan ventilasi tipe oblong dan circle merupakan kemasan dengan waktu paling cepat mencapai suhu optimum yang diharapkan dibandingkan kemasan lainnya. 3. Kemasan karton gelombang berukuran 37 cm x 23 cm x 21 cm tipe RSC dengan dua layer dan penambahan sekat, dapat mencegah kerusakan mekanis akibat benturan antara buah alpukat hingga 0 % setelah simulasi transportasi. 4. Kemasan berventilasi tidak berpengaruh nyata terhadap kerusakan mekanis, susut bobot, total padatan terlarut, kekerasan, dan kerusakan fisik selama penyimpanan. 5. Suhu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap susut bobot, kekerasan, total padatan terlarut dan kerusakan buah alpukat selama penyimpanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka semakin cepat buah mengalami transpirasi atau penguapan. Susut bobot buah pada kemasan ventilasi tipe circle pada penyimpanan suhu ruang (K2T1) adalah sebesar %, sedangkan pada penyimpanan suhu 8 C (K2T2) sebesar 5.45 %, sehingga penyimpanan pada suhu 8 C dapat mengurangi persentase susut bobot buah alpukat dari penyimpanan suhu ruang. 6. Kemasan yang paling sesuai untuk distribusi alpukat adalah kemasan dengan ventilasi tipe circle yang disimpan pada suhu 8 C. Kemasan tersebut memiliki persentase susut bobotnya rendah, kekerasan yang tinggi, persentase kerusakan fisik yang rendah selama penyimpanan, dan penampilan fisik masih dapat diterima. B. Saran 1. Kemasan distribusi yang sesuai untuk buah alpukat yaitu kemasan ventilasi tipe circle berkapasitas 5 kg dengan tumpukan dua layer, pemberian sekat pada masing-masing buah, yang disimpan pada suhu 8 C sehingga dapat mengurangi kerusakan mekanis buah alpukat selama transportasi. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai ketersedian oksigen dan pengukuran kelembaban didalam kemasan dengan tujuan untuk mendapatkan tipe ventilasi yang optimum untuk kemasan distribusi produk hortikultura. 46

61 DAFTAR PUSTAKA Adhinata Y Analisis pengaruh Ventilasi Terhadap Suhu, RH, dan Aliran Udara pada Kemasan Karton (Corrugated Box) Menggunakan Teknik Computational Fluid Dynamics (CFD). [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Anonim Manual on The Packaging of Fresh Fruits and Vegetables. International Trade Centre UNCTAD/GATT, Geneva, Switzerland. Anonim a. Alpukat (Persea Americana Mill). [02 Februari 2011]. Anonim b. Pemanfaatan Alpukat (Persea Americana Mill). [02 Februari 2011]. Aspihani H Kajian Pengaruh Tipe Kemasan, Bahan Kemasan, dan Pengaruh Ventilasi Terhadap Kekuatan Kemasan Peti Karton (Corrugated Box) Untuk Distribusi. Skipsi. Fakultas Teknologi Petanian, IPB. Baga, K. M Alpukat, Budidaya dan Pengembangannya. Penerbit Kansius, Yogyakarta. Biale, J. BEM dan Young, R. E The Avocado pear. Di dalam Hulme, A.C The Biochemistry of Fruit and Their Produce. Vol 2. Academic Press, London. Biro Pusat Statistik (BPS). Data Statistik Alpukat [26 Juli 2011]. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G.H. Fleet dan M.Wooton Ilmu Pangan. Terjemahan: Purnomo Adiono. UI Press. Jakarta. Darmawati E Simulasi Komputer untuk Perancangan Kemasan Karton Bergelombang dalam Pengangkutan Buah-buahan [Tesis]. Program Studi Keteknikan Pertanian. IPB. Bogor. Destiyani E Kajian Kemasan Karton untuk Transportasi Buah Alpukat (Persea Americana,Mill) [Skripsi]. Departemen Teknik Pertanian. FATETA. IPB. Bogor. Hayati R Simulasi Transportasi Darat pada Kentang (Solanun tuberosum) Dalam Kemasan Untuk Mempelajari Kerusakan Mekanis Akibat Guncangan. [Skripsi]. Departemen Teknik Pertanian. FATETA. IPB. Bogor. Hidayati N Teknik Pengemasan Buah Nanas (Ananas comosus,l) Dalam Kemasan Karton Untuk Mempertahankan Mutu Segarnya. [Skripsi]. Departemen Teknik Pertanian. FATETA. IPB. Bogor. Jaswin, M Teknologi Pengemasan. Industri Pengemasan Indonesia. Jakarta. Kartasapoetra, A.G Teknologi Penanganan Pasca Panen. PT. Rieneka Cipta, Jakarta. Lott, A. R Solid and Corrugated Fibreboard Cases. Di dalam Paine, F. A The Packaging Media. Blackie & Son Ltd, London, Inggris. Maezawa, E Cushioning Package Design. Japan Packaging Institute, Jepang. McDonald, R. E., T. H. Camp and W. F. Goddard, Jr A modified fiberboard citrus box for conventional refrigerated trailers and USDA experimental van container. USDA Marketing Res. Rep. No. 1100, 12 pp. Muchtadi, D Fisiologi Pasca Panen Sayuran dan Buah-buahan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. Nakasone, H.Y. and R.E. Paull Tropical Fruit. P Cab International. Paine FA The Packaging Media. Blackie & Son Ltd, london, Inggris. Paine FA, Paine HY A Handbook of Food Packaging. London : Leonard Hill. Pantastico, ER B Fisiologi Pasca Panen, Penanganan, dan Pemanfaatan Buah-Buahan dan Sayur-Syuran Tropika dan Sub tropika. Gajah Mada Press. Yogyakarta. Pantastico, E.B Fisiologi Pasca Panen. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 47

62 Peleg, Kalman Storage and Preservation Techniques. Dalam Produce Handling, Packaging and Distribution. AVI Publishing Co. Inc., Connecticut. Prihatman, K Alpukat/Avocad. [20 April 2011] Purwadaria, HK Sistem Pengangkutan Buah-buahan dan Sayuran. Makalah Penelitian Teknologi Pasca Panen Buah-buahan dan Sayuran. PAU Pagan dan Gizi, IPB. Bogor, 24 Februari Rismunandar Bertanam Buah-buahan di Pekarangan.Bumi Aksara. Jakarta Rismunandar "Memperbaiki lingkungan dengan bercocok tanam jambu mede dan alpukat". Bandung: Sinar Baru 39 hal. Ryall, A.L. and Pentzer, W.T. (1983). Handling, Transportation and Storage of Fruit and Vegetable. AVI Publishing Co.Inc., Westport, Connecticut, USA. Sakti GA Kajian Perubahan Suhu dalam Kemasan berventilasi Untuk Komoditas hortikultura, Studi Kasus Kemasan Karton (Corrugated Box) Dengan Komoditas Tomat (Lycopersicum esculentum mill). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Satuhu, Suyanti Penanganan dan Pengolahan Buah. Penebar Swadaya, Jakarta. Shewfelt R.L. and Prussia, S.E. (eds) Postharvest Handling A Systems Approach. Academic Press. San Diego. Silvia, A Perancangan Sistem Manajemen Basis Data untuk Kemasan Transportasi Komoditas Hortikultura (Buah-buahan dan Sayuran). Skripsi. Jurusan Teknik Pertanian, IPB, Bogor. Singh J, Olsen E, Singh SP The Effect of Ventilation and Hand Holes on Loss of Compression Strength in Corrugated Boxes. Journal of Applied Packaging Research 2.4 : Sjaifullah Petunjuk Memilih Buah Segar. Penebar Swadaya. Jakarta Soedarminto, E Mempelajari Pengaruh Modified Atmosfer Packaging Terhadap Alpukat. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Soedibyo M Penanganan Pasca Panen Buah-buahan dan Sayur-sayuran ( Khusus Pengepakan, Pengangkutan, dan Penyimpanan). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Sub Balai Penelitian Tanaman Pangan, Jakarta. Soedibyo M Alat simulasi buah-buahan segar dengan mobil dan kereta api. Jurnal Holtikultura 2(1) : Soesarsono Laporan Penelitian Studi Kemasan Komoditi Buah-buahan, Sayur-sayuran dan Bunga-bungaan Segar yang Bernilai Ekonomis Tinggi dalam Rangka Meningkatkan Ekspor Non Migas, IPB. Bogor. Sukmana Perancangan dan Pengujian Kemasan Berbahan Karton Gelombang (Corrugated Fiber Board) Untuk Buah Manggis (Garcinia mangostana L.). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Syarif, R. dan Hariyadi, H Teknologi Penyimpanan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. Triyanto HS Karton Gelombang dan Kotak Karton gelombang (Sifat-sifat dan spesifikasinya). Makalah Seminar Kotak Karton Gelombang: 9 Juli 1991, Hyatt regency, Surabaya. Winarno, F.G Fisiologi Lepas Panen Produk Holtikultura. M-BRIO PRESS. Bogor. Cetakan 1. Won Ok, Lee Packing Strawberries in Paper Boxes Designed for Chilling Storage. [29 Mei 2011]. Wilson, et all. (1989) Postharvests An Istroduction To The Physiologi and Handling og Fruit and Vegetables. NSW Presslimited. Australia. 48

63 LAMPIRAN 49

64 Lampiran 1. Sample dimensi dan berat buah alpukat Sample Berat (g) Diameter (cm) Tinggi (cm) Rata-rata

65 Lampiran 2. Perhitungan dimensi kemasan karton Dimensi rata-rata buah alpukat tinggi = 8.46 cm, diameter = 6.66 cm Tebal bahan outer = 0.7 cm Tebal bahan inner : 0.35 cm Formula untuk menghitungan dimensi outer kemasan: 1. P = TDMBP + TDOV + TDVIP + TB = (5x6.66) + (2x0.7) + (4x0.35) = 36.9 cm = 37 cm 2. L = TDMBL + TDOV + TDIVL + TB = (3x6.66) + (2x0.7) + (2x0.35) = cm = 23 cm 3. T = TTB + TTAIP = (2x8.46) = cm = 21 cm Jadi, dimensi outer adalah 37 cm x 23 cm x 21 cm Formula menghitungan dimensi inner kemasan: 1. P = TDMBP + TDVIP = (5x6.66) + (4x0.35) = 34.7 cm = 35 cm 2. L = TDMBL + TDOV + TDIVL = (3x6.66) + (2x0.7) + (2x0.35) = cm 3. T = TB + TTAIP = = cm Jadi, dimensi inner adalah 35 cm x 22 cm x 10 cm 51

66 Lampiran 3. Perhitungan ventilasi kemasan Dimensi kemasan: Panjang= 37 cm, Lebar= 23 cm, Tinggi= 21 cm Luas ventilasi kemasan adalah 2% dari totql luasan dinding kemasan. Total luas dinding kemasan (LA): =2(pxl) + 2(pxt) + 2(lxt) =2(37x23) + 2(37x21) + 2(23x21) = 4222 cm 2 2% dari total luas dinding vertikal kemasan (LB): =2% x 4222 cm 2 =84.44 cm 2 a. Ventilasi circle (lingkaran) Dalam satu kemasan terdapat 8 lubang ventilasi (LV), jadi luas tiap lubang ventilasi : LV = LB/8 = cm 2 LV = Luas lingkaran = πr 2 πr 2 = r 2 = 3.36 cm, jadi jari-jari ventilasi circle r = 1.8 cm b. Ventilasi oblong (oval) Dalam satu kemasan terdapat 6 lubang ventilasi (LV), jadi luas tiap lubang ventilasi : LV = LB/8 = cm 2 LV = Luas oval = (pxl) + (πr 2 ) = (3rx2r) 6 r 2 + πr 2 = r 2 = 1.54 cm r = 1.24 cm p = (3x1.24) + (2x1.24) = 6.2 cm l = 2 x 1.24 =2.48 cm c. Ventilasi searah sekat Dalam satu kemasan terdapat 20 lubang ventilasi (LV), jadi luas tiap lubang ventilasi : LV = LB/20 = cm 2 LV = Luas lingkaran = πr 2 πr 2 = 4.22 cm2 r 2 = cm, r = 1.16 cm jadi jari-jari ventilasi circle searah sekat r = 1.16 cm 52

67 Lampiran 4. Peralatan yang digunakan Rheometer Refraktometer Recorder Meja simulator Timbangan digital 53

68 Lampiran 5. Simulasi Transportasi Sebelum meja getar ( Jalan luar kota ) Amplitudo rata-rata getaran bak truk (At) At = (Ni x Ai)/ (Ni) At = ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) Ft = cm = Hz Maka : Tt = = 1/1.442 = detik/getaran Wt = = = getaran/detik Luas satu siklus bak truk jalan kota ( Lt ) Lt = Sin WT Tt dtt = ( ) = [ ( )] = [ ( ( ) ( ))] = cm 2 /getaran Jumlah luas seluruh getaran bak truk jalan luar kota selama 0.5 jam (Lt (0.5) ) Lt (0.5) = t x f x Lt = 30 menit x 60 detik/menit x getaran/detik x cm 2 /getaran = cm 2 /jam Kesetaraan simulasi transportasi yang dilakukan dengan menggunakan meja getar dapat dihitung dengan menggunakan persamaan dibawah ini : Frekuensi rata-rata = 3.44 Hz Amplitudo rata-rata = 5.34 cm Dimana : Tm = 1/fm = 1/3.44 = detik/getaran Wm = 2π/Tm = = getaran/detik Luas satu siklus getaran vibrator (Lm) Lm = A T o P Sin WT dt Luas satu siklus getaran meja getar (simulasi) : = 5.34 = 5.34 [ ( )] = 5.34 [ ( ( ) ( ))] = x 10-3 cm 2 /getaran Jumlah seluruh getaran vibrator selama 1 jam (Gm) 54

69 Gm = t x fm = 1 x 60 menit/jam x 60 detik/menit x 3.44 getaran/detik = getaran/jam Jumlah luas seluruh getaran vibrator selama 1 jam (Lm (1) ) Lm (1) = Gm x Lm = getaran/jam x x 10-3 cm 2 /getaran = cm 2 /jam Kesetaraan panjang jalan selama 30 menit dengan 30 km = = ( ) ( ) x 30 km = x 30 km = km Karena dilakukan selama 2 jam maka panjang jalan : = 2 x km = km Jalan buruk aspal Amplitudo rata-rata getaran bak truk (At) At = (Ni x Ai)/ (Ni) At = ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) = cm Frekuensi bak truk = Hz Maka : Tt = = 1/1.442 = detik/getaran Wt = = = getaran/detik Luas satu siklus bak truk jalan kota ( Lt ) Lt = Sin WT Tt dtt = ( ) = [ ( )] = [ ( ( ) ( ))] = cm 2 /getaran Jumlah luas seluruh getaran bak truk jalan luar kota selama 0.5 jam (Lt (0.5) ) Lt (0.5) = t x f x Lt = 30 menit x 60 detik/menit x getaran/detik x cm 2 /getaran = cm 2 55

70 Kesetaraan simulasi transportasi yang dilakukan dengan menggunakan meja getar dapat dihitung dengan menggunakan persamaan dibawah ini : Frekuensi rata-rata = 3.44 Hz Amplitudo rata-rata = 5.34 cm Tm = 1/fm = 1/3.44 = detik/getaran Wm = 2π/Tm = = getaran/detik Berdasarkan konversi angkutan truk selama 0.5 jam 30 Km, maka simulasi pengangkutan dengan truk selama 1 jam jalan diluar kota : = = x 15 km = 44.8 km Karena dilakukan selama 2 jam maka panjang jalan : = 2 x 44.8 km = 89.6 km 56

71 Lampiran 6. Grafik pengujian sebaran suhu masing-masing kemasan pada awal penyimpanan a. Kemasan tanpa ventilasi Suhu( C ) 31,0 30,0 29,0 28,0 27,0 26,0 25, Waktu (menit) T1 T2 T3 T4 T5 TLingkungan Gambar. Grafik hubungan waktu terhadap suhu kemasan K1T1 pada Suhu Ruang ( o C ) Suhu ( C ) Waktu ( Menit ) T1 T2 T3 T4 T5 T Lingkungan Gambar. Grafik hubungan waktu terhadap suhu kemasan K1T2 pada suhu pendingin ( 8 o C ) b. Kemasan ventilasi tipe circle Suhu ( C ) 31,0 30,0 29,0 28,0 27,0 26,0 25, Waktu ( menit ) Gambar. Grafik hubungan waktu terhadap suhu kemasan K2T1 pada Suhu Ruang ( o C ) T1 T2 T3 T4 T5 TLingkungan 57

72 Suhu ( C ) Gambar. Grafik hubungan waktu terhadap suhu kemasan K2T2 pada suhu pendingin ( 8 o C ) c. Kemasan ventilasi tipe oblong Waktu ( menit ) T1 T2 T3 T4 T5 Tlingkungan 31,0 Suhu ( C ) 30,0 29,0 28,0 27,0 26,0 T1 T2 T3 T4 T5 TLingkungan 25, Waktu ( menit ) Gambar. Grafik hubungan waktu terhadap suhu kemasan K3T1 pada Suhu Ruang ( o C ) Suhu ( C ) T1 T2 T3 T4 T5 TLingkungan Waktu ( menit ) Gambar. Grafik hubungan waktu terhadap suhu kemasan K3T2 pada suhu pendingin ( 8 o C ) 58

73 d. Kemasan ventilasi sejajar sekat 31,0 Suhu ( C ) 30,0 29,0 28,0 27,0 26,0 25, Waktu ( menit ) T1 T2 T3 T4 T5 TLingkungan Gambar. Grafik hubungan waktu terhadap suhu kemasan K4T1 pada Suhu Ruang ( o C ) 30 Suhu ( C ) Waktu ( menit ) T1 T2 T3 T4 T5 TLingkungan Gambar. Grafik hubungan waktu terhadap suhu kemasan K4T2 pada suhu pendingin ( 8 o C ) 59

74 Lampiran 7. Suhu rata-rata dalam kemasan selama penyimpanan Kemasan Hari ke- T1 T2 T3 T4 T5 Trata-rata Stdev T Ling K1T K2T K3T K4T Kemasan Hari ke- T1 T2 T3 T4 T5 Trata-rata Stdev T Ling K1T K2T K3T K4T

75 Lampiran 8. Persentase susut bobot buah alpukat selama penyimpanan Ulangan Ulangan 1 Ulangan 2 Perlakuan Kemasan Susut Bobot Hari Ke- (%) H-0 H-3 H-6 H-9 H-12 K1T K1T K2T K2T K3T K3T K4T K4T K1T K1T K2T K2T K3T K3T K4T K4T Perlakuan Kemasan Susut Bobot Hari Ke- (%) H-0 H-3 H-6 H-9 H-12 K1T K1T K2T K2T K3T K3T K4T K4T

76 Lampiran 9. Perubahan total padatan terlarut buah alpukat selama penyimpanan Ulangan Ulangan 1 Ulangan 2 Perlakuan Kemasan Total Padatan Terlarut (TPT) H-0 H-3 H-6 H-9 H-12 K1T K1T K2T K2T K3T K3T K4T K4T K1T K1T K2T K2T K3T K3T K4T K4T Perlakuan Kemasan TPT (Brix ) H-0 H-3 H-6 H-9 H-12 K1T K1T K2T K2T K3T K3T K4T K4T

77 Lampiran 10. Penurunan kekerasan buah alpukat selama penyimpanan Ulangan Ulangan 1 Ulangan 2 Perlakuan Kemasan Kekerasan (Kgf) H-0 H-3 H-6 H-9 H-12 K1T K1T K2T K2T K3T K3T K4T K4T K1T K1T K2T K2T K3T K3T K4T K4T Perlakuan Kemasan Kekerasan (Kgf) H-0 H-3 H-6 H-9 H-12 K1T K1T K2T K2T K3T K3T K4T K4T

78 Lampiran 11. Kerusakan fisik buah alpukat selama penyimpanan Tipe Kemasan Ulangan Jumlah Rusak (buah) H-0 H-3 H-6 H-9 H-12 Persentase Jumlah Persentase Jumlah Rusak Persentase Jumlah Persentase Jumlah (%) Rusak (buah) (%) (buah) (%) Rusak (buah) (%) Rusak (buah) K1T K1T K2T K2T K3T K3T K4T K4T Persentase (%) 64

79 Lampiran 12. Hasil analisa ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan susut bobot buah alpukat selama penyimpanan. Hasil Analisa ragam Susut Bobot Hari ke-3 Sum ofsource DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model suhu <.0001 tipe kemasan tipe kemasan*suhu Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE susut_bobot Mean Susut Bobot Hari ke-6 Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model <.0001 Suhu <.0001 Tipe kemasan Tipe kemasan*suhu Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE Susut_bobot Mean Susut Bobot Hari ke-9 Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr >F Model Suhu Tipe Kemasan Tipe kemasan*suhu Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE Susut_bobot Mean Susut Bobot Hari ke-12 Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr >F Model suhu Tipe kemasan Tipe kemasan*suhu Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE Susut_bobot Mean

80 Lampiran 13. Hasil analisa ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan kekerasan buah alpukat selama penyimpanan. Hasil Analisa ragam Kekerasan Hari ke-0 Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model Suhu_Penyimpana Tipe kemasan Tipe kemasan*suhu Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE Kekerasan Mean Kekerasan Hari ke-3 Sum ofsource DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model Suhu_Penyimpanan Tipe Kemasan Suhu*tipe kemasan Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE Kekerasan Mean Kekerasan Hari ke-6 Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model suhu Tipe kemasan Tipe kemasan*suhu Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE Kekerasan Mean Kekerasan Hari ke-9 Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model Suhu Tipe kemasan Tipe kemasan*suhu Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE kekerasan Mean Kekerasan Hari ke-12 Sum of source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model Suhu Tipe kemasan TipeKemasan*Suhu Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE kekerasan Mean

81 Lampiran 14. Hasil analisa ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan total padatan terlarut buah alpukat selama penyimpanan. Hasil Analisa ragam Total padatan terlarut Hari ke-0 Sum ofsource DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model Tipe Kemasan Suhu Tipe Kemasan*Suhu Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE TPT Mean Total padatan terlarut Hari ke-3 Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model Kemasan Suhu Kemasan*Suhu Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE TPT Mean Total padatan terlarut Hari ke-6 Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model Kemasan Suhu Kemasan*Suhu Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE TPT Mean Total padatan terlarut Hari ke-9 Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr> F Model Suhu Tipe_Kemasan Tipe_Kemasan*Suhu Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE TPT Mean Total padatan terlarut Hari ke-12 Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model Suhu Tipe_Kemasan Suhu*Tipe_Kemasan Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE tpt Mean

82 Lampiran 15. Hasil analisa ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan suhu dalam kemasan selama penyimpanan pada suhu ruang. Hasil Analisa ragam Suhu hari ke-0 Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model Error Tipe_kemasan Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE suhu Mean Suhu hari ke-3 Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model Tipe_kemasan Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE suhu Mean Suhu hari ke-6 Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model <.0001 Tipe_kemasan <.0001 Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE suhu Mean

83 Lampiran 16. Hasil analisa ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan suhu dalam kemasan selama penyimpanan suhu 8 Hasil Analisa ragam Suhu hari ke-0 Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model Tipe_kemasan Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE suhu Mean Suhu hari ke-3 Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model <.0001 Tipe_kemasan <.0001 Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE suhu Mean Suhu hari ke-6 Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model <.0001 Tipe_kemasan <.0001 Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE suhu Mean Suhu hari ke-9 Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model <.0001 Tipe_kemasan <.0001 Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE suhu Mean Suhu hari ke-12 Sum of Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model <.0001 Tipe_kemasan <.0001 Error Corrected Total R-Square Coeff Var Root MSE suhu Mean

84 Lampiran 17. Penampakan buah alpukat masing-masing kemasan pada akhir penyimpanan 70

TINJAUAN PUSTAKA. A. Alpukat

TINJAUAN PUSTAKA. A. Alpukat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Alpukat Alpukat (Persea Americana, Mill) merupakan jenis tanaman yang termasuk famili Lauraceae, genus Parsea dan spesies americana. Tanaman alpukat merupakan tanaman buah berupa

Lebih terperinci

RANCANGAN KEMASAN BERBASIS INDIVIDU BUAH ALPUKAT UNTUK DISTRIBUSI DAN PENYIMPANAN DINGIN

RANCANGAN KEMASAN BERBASIS INDIVIDU BUAH ALPUKAT UNTUK DISTRIBUSI DAN PENYIMPANAN DINGIN Seminar Nasional PERTETA, Bandung 6-8 Desember 2011 RANCANGAN KEMASAN BERBASIS INDIVIDU BUAH ALPUKAT UNTUK DISTRIBUSI DAN PENYIMPANAN DINGIN Sutrisno, Emmy Darmawati, Deti Kusniati Departemen Teknik Mesin

Lebih terperinci

Umur Simpan Dan Mutu Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Dalam Berbagai Jenis Kemasan dan Suhu Penyimpanan Pada Simulasi Transportasi

Umur Simpan Dan Mutu Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Dalam Berbagai Jenis Kemasan dan Suhu Penyimpanan Pada Simulasi Transportasi Umur Simpan Dan Mutu Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Dalam Berbagai Jenis Kemasan dan Suhu Penyimpanan Pada Simulasi Transportasi Oleh : YOLIVIA ASTRIANIEZ SEESAR F14053159 2009 DEPARTEMEN TEKNIK

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Penyusunan Buah Dalam Kemasan Terhadap Perubahan Suhu Penelitian ini menggunakan dua pola penyusunan buah tomat, yaitu pola susunan acak dan pola susunan teratur. Pola

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Belimbing Manis (Averrhoa carambola L) Tanaman belimbing berasal dari Sri Lanka dan banyak terdapat di daerah Asia Tenggara, Brazil, Ghana dan Guyana. Belimbing bukan buah musiman.

Lebih terperinci

Kajian Ventilasi Dan Perubahan Suhu Dalam Kemasan Karton Dengan Komoditas Tomat

Kajian Ventilasi Dan Perubahan Suhu Dalam Kemasan Karton Dengan Komoditas Tomat Kajian Ventilasi Dan Perubahan Suhu Dalam Kemasan Karton Dengan Komoditas Tomat Emmy Darmawati 1), Gita Adhya Wibawa Sakti 1) 1) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengemasan Buah Nanas Pada penelitian ini dilakukan simulasi transportasi yang setara dengan jarak tempuh dari pengumpul besar ke pasar. Sebelum dilakukan simulasi transportasi,

Lebih terperinci

Teknologi Penanganan Panen Dan Pascapanen Tanaman Jeruk

Teknologi Penanganan Panen Dan Pascapanen Tanaman Jeruk Teknologi Penanganan Panen Dan Pascapanen Tanaman Jeruk Penanganan pascapanen sangat berperan dalam mempertahankan kualitas dan daya simpan buah-buahan. Penanganan pascapanen yang kurang hati-hati dan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian Pengaruh Perlakuan Bahan Pengisi Kemasan terhadap Mutu Fisik Buah Pepaya Varietas IPB 9 (Callina) Selama Transportasi dilakukan pada

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kemasan Alpukat Hasil Rancangan Kemasan distribusi dirancang dan dipilih terutama untuk mengatasi faktor getaran (vibrasi) dan kejutan (shock) karena faktor ini sangat berpengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tomat termasuk tanaman sayuran buah, yang berasal dari benua Amerika

BAB I PENDAHULUAN. Tomat termasuk tanaman sayuran buah, yang berasal dari benua Amerika BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tomat termasuk tanaman sayuran buah, yang berasal dari benua Amerika dan kini telah menyebar di kawasan benua Asia termasuk di Indonesia. Tomat biasa ditanam di dataran

Lebih terperinci

PERUBAHAN KUALITAS BUAH MANGGIS (Garcinia mangosiana L.) SETELAH PROSES TRANSPORTASI DAN PENYIMPANAN DINGIN

PERUBAHAN KUALITAS BUAH MANGGIS (Garcinia mangosiana L.) SETELAH PROSES TRANSPORTASI DAN PENYIMPANAN DINGIN PERUBAHAN KUALITAS BUAH MANGGIS (Garcinia mangosiana L.) SETELAH PROSES TRANSPORTASI DAN PENYIMPANAN DINGIN (Changes in the quality of mangosteen fruits (Garcinia mangosiana L.) after transportation and

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan terhitung mulai bulan Januari hingga April 2012 di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian

Lebih terperinci

RANCANGAN KEMASAN KARTON BERGELOMBANG DENGAN BAHAN PENGISI UNTUK BUAH BELIMBING (Averrhoa carambola L.) RISKA DWI WAHYUNINGTYAS

RANCANGAN KEMASAN KARTON BERGELOMBANG DENGAN BAHAN PENGISI UNTUK BUAH BELIMBING (Averrhoa carambola L.) RISKA DWI WAHYUNINGTYAS RANCANGAN KEMASAN KARTON BERGELOMBANG DENGAN BAHAN PENGISI UNTUK BUAH BELIMBING (Averrhoa carambola L.) RISKA DWI WAHYUNINGTYAS DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

KAJIAN JENIS KEMASAN SELAMA TRANSPORTASI DAN PENGARUH SUHU PENYIMPANAN TERHADAP UMUR SIMPAN DAN MUTU BUAH MANGGIS ( Garcinia mangostana L.

KAJIAN JENIS KEMASAN SELAMA TRANSPORTASI DAN PENGARUH SUHU PENYIMPANAN TERHADAP UMUR SIMPAN DAN MUTU BUAH MANGGIS ( Garcinia mangostana L. KAJIAN JENIS KEMASAN SELAMA TRANSPORTASI DAN PENGARUH SUHU PENYIMPANAN TERHADAP UMUR SIMPAN DAN MUTU BUAH MANGGIS ( Garcinia mangostana L.) Oleh : REZKI YUNIKA F14051372 2009 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman dan Buah Manggis (Garcinia mangostana L.)

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman dan Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) TINJAUAN PUSTAKA Tanaman dan Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Manggis (Garcinia mangostana L.) termasuk buah eksotik yang digemari oleh konsumen baik di dalam maupun luar negeri, karena rasanya yang

Lebih terperinci

Peluang Usaha Budidaya Cabai?

Peluang Usaha Budidaya Cabai? Sambal Aseli Pedasnya Peluang Usaha Budidaya Cabai? Potensinya terbuka, baik pasar bebas maupun industri. Kebutuhan cabai perkapita (2013) adalah 5 Kg/ tahun. Dengan jumlah penduduk 230 juta jiwa, maka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Melon Tanaman melon berasal dari daerah Mediterania yang merupakan perbatasan antara Asia Barat dengan Eropa dan Afrika, secara khusus berasal dari lembah Persia (Syria). Tanaman

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 8 Kardus tipe RSC yang digunakan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 8 Kardus tipe RSC yang digunakan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengemasan Pisang Ambon Kuning Pada simulasi transportasi pisang ambon, kemasan yang digunakan adalah kardus/karton dengan tipe Regular Slotted Container (RSC) double flute

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Mangga merupakan buah tropis yang populer di berbagai belahan dunia,

I PENDAHULUAN. Mangga merupakan buah tropis yang populer di berbagai belahan dunia, I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

KEMASAN TRANSPOR 31 October

KEMASAN TRANSPOR 31 October KEMASAN TRANSPOR 1 Outline 1. Pendahuluan 2. Karton Gelombang (KG) & Kotak Karton Gelombang (KKG) 3. Tipe Kotak Karton Gelombang (KKG) 4. Sifat Kotak Karton Gelombang (KKG) 5. Jenis Kerusakan Kotak Karton

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kentang Panen

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kentang Panen 4 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kentang Kentang (Solanum tuberosum L.) berasal dari wilayah pegunungan Andes di Peru dan Bolivia. Tanaman kentang liar dan yang dibudidayakan mampu bertahan di habitat tumbuhnya

Lebih terperinci

Penentuan Tingkat Kerusakan Buah Alpukat pada Posisi Pengangkutan Dengan Simulasi Getaran yang Berbeda

Penentuan Tingkat Kerusakan Buah Alpukat pada Posisi Pengangkutan Dengan Simulasi Getaran yang Berbeda Penentuan Tingkat Kerusakan Buah Alpukat pada Posisi Pengangkutan Dengan Simulasi Getaran yang Berbeda Khusna Fauzia*, Musthofa Lutfi, La Choviya Hawa Jurusan Keteknikan Pertanian - Fakultas Teknologi

Lebih terperinci

RANCANGAN KEMASAN TUNGGAL PADA BUAH PEPAYA (Carica Papaya L.) VARIETAS IPB 9 (CALLINA) DENGAN BAHAN PENGISI SELAMA PROSES DISTRIBUSI

RANCANGAN KEMASAN TUNGGAL PADA BUAH PEPAYA (Carica Papaya L.) VARIETAS IPB 9 (CALLINA) DENGAN BAHAN PENGISI SELAMA PROSES DISTRIBUSI RANCANGAN KEMASAN TUNGGAL PADA BUAH PEPAYA (Carica Papaya L.) VARIETAS IPB 9 (CALLINA) DENGAN BAHAN PENGISI SELAMA PROSES DISTRIBUSI SEPTARIA UMI KUSUMA TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI DAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 33 V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Tahap I Pengukuran Sifat Fisik Buah Manggis Pengukuran sifat fisik buah yang dilakukan meliputi berat buah, diameter mayor, diameter minor buah, tinggi tangkai dan tinggi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perancangan dan Pembuatan Kemasan Hasil Rancangan Perancangan kemasan bertujuan untuk menentukan kekuatan yang dibutuhkan kemasan untuk meredam gaya dari luar serta untuk mengurangi

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK EDIBLE FILM BERBAHAN DASAR KULIT DAN PATI BIJI DURIAN (Durio sp) UNTUK PENGEMASAN BUAH STRAWBERRY

KARAKTERISTIK EDIBLE FILM BERBAHAN DASAR KULIT DAN PATI BIJI DURIAN (Durio sp) UNTUK PENGEMASAN BUAH STRAWBERRY KARAKTERISTIK EDIBLE FILM BERBAHAN DASAR KULIT DAN PATI BIJI DURIAN (Durio sp) UNTUK PENGEMASAN BUAH STRAWBERRY SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Pendidikan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian dengan topik Pengaruh Perlakuan Pengemasan Belimbing (Averrhoa carambola L) dengan Penggunaan Bahan Pengisi terhadap Mutu Fisik Belimbing selama Transportasi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN III. A. Lokasi dan Waktu. B. Bahan dan Alat

METODE PENELITIAN III. A. Lokasi dan Waktu. B. Bahan dan Alat III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Pertanian IPB selama 3 bulan yaitu bulan

Lebih terperinci

RANCANGAN KEMASAN KARTON BERGELOMBANG DOUBLE FLUTE UNTUK TRANSPORTASI BUAH BELIMBING (Averrhoa Carambola L) VARIETAS DEWI SKRIPSI

RANCANGAN KEMASAN KARTON BERGELOMBANG DOUBLE FLUTE UNTUK TRANSPORTASI BUAH BELIMBING (Averrhoa Carambola L) VARIETAS DEWI SKRIPSI RANCANGAN KEMASAN KARTON BERGELOMBANG DOUBLE FLUTE UNTUK TRANSPORTASI BUAH BELIMBING (Averrhoa Carambola L) VARIETAS DEWI SKRIPSI TULUS HIRDATA NOVRAGIRI F14070100 DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA A. Kemasan

I. TINJAUAN PUSTAKA A. Kemasan I. TINJAUAN PUSTAKA A. Kemasan Kemasan memiliki pengertian umum dan khusus. Dalam pengertian umum, kemasan adalah suatu benda yang digunakan untuk wadah atau tempat bahan yang dikemas dan dapat memberikan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Pelet Daun Indigofera sp. Pelet daun Indigofera sp. yang dihasilkan pada penelitian tahap pertama memiliki ukuran pelet 3, 5 dan 8 mm. Berdasarkan hasil pengamatan

Lebih terperinci

MATA KULIAH TPPHP UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2013 TIM DOSEN PENGAMPU TPPHP

MATA KULIAH TPPHP UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2013 TIM DOSEN PENGAMPU TPPHP MATA KULIAH TPPHP UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2013 TIM DOSEN PENGAMPU TPPHP KERUSAKAN FISIK/MEKANIS KERUSAKAN KIMIAWI KERUSAKAN MIKROBIOLOGIS KEAMANAN PANGAN, CEGAH : o CEMARAN FISIK o CEMARAN KIMIAWI o CEMARAN

Lebih terperinci

PENGARUH PERLAKUAN PANAS METODE VAPOR HEAT TREATMENT TERHADAP MUTU PEPAYA (Carica papaya L.)

PENGARUH PERLAKUAN PANAS METODE VAPOR HEAT TREATMENT TERHADAP MUTU PEPAYA (Carica papaya L.) PENGARUH PERLAKUAN PANAS METODE VAPOR HEAT TREATMENT TERHADAP MUTU PEPAYA (Carica papaya L.) Oleh : Ali Parjito F14103039 2007 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Rancangan Kemasan Berbahan Karton Gelombang untuk Individual Buah Manggis (Garcinia Mangostana L.)

Rancangan Kemasan Berbahan Karton Gelombang untuk Individual Buah Manggis (Garcinia Mangostana L.) Rancangan Kemasan Berbahan Karton Gelombang untuk Individual Buah Manggis (Garcinia Mangostana L.) Sutrisno, Emmy Darmawati, Dany Sukmana Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian,

Lebih terperinci

TEKNIK PENANGANAN PASCA PANEN R i n i Y u l i a n i n g s i h

TEKNIK PENANGANAN PASCA PANEN R i n i Y u l i a n i n g s i h TEKNIK PENANGANAN PASCA PANEN R i n i Y u l i a n i n g s i h Tujuan Instruksional Umum Mahasiswa memahami hal-hal yang menyebabkan kerusakan dan kehilangan serta memahami teknologi penanganan pasca panen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan buah-buahan. Iklim di

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan buah-buahan. Iklim di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan buah-buahan. Iklim di Indonesia memungkinkan berbagai jenis buah-buahan tumbuh dan berkembang. Namun sayangnya, masih banyak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Buah Mentimun Mentimun, timun, atau ketimun (Cucumis sativus L.; suku labu-labuan atau Cucurbitaceae) merupakan tumbuhan yang menghasilkan buah yang dapat dimakan secara langsung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pisang

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pisang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pisang Pisang adalah tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan di Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Manggis Manggis merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari hutan tropis yang teduh di kawasan Asia Tenggara, yaitu hutan belantara Malaysia atau Indonesia. Dari Asia

Lebih terperinci

KAJIAN PENGARUH TIPE KEMASAN DAN PENGGUNAAN VENTILASI TERHADAP KEKUATAN DAN BIAYA KEMASAN PETI KAYU UNTUK DISTRIBUSI HORTIKULTURA SKRIPSI

KAJIAN PENGARUH TIPE KEMASAN DAN PENGGUNAAN VENTILASI TERHADAP KEKUATAN DAN BIAYA KEMASAN PETI KAYU UNTUK DISTRIBUSI HORTIKULTURA SKRIPSI KAJIAN PENGARUH TIPE KEMASAN DAN PENGGUNAAN VENTILASI TERHADAP KEKUATAN DAN BIAYA KEMASAN PETI KAYU UNTUK DISTRIBUSI HORTIKULTURA SKRIPSI Oleh : DIANA DWI PUSPA F01499007 2006 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN

Lebih terperinci

LAPORAN MAKALAH MK. SISTEM INFORMASI BISNIS (AGB 212) Penanganan Pasca Panen Buah Alpukat (Persea americana Mill) Oleh:

LAPORAN MAKALAH MK. SISTEM INFORMASI BISNIS (AGB 212) Penanganan Pasca Panen Buah Alpukat (Persea americana Mill) Oleh: LAPORAN MAKALAH MK. SISTEM INFORMASI BISNIS (AGB 212) Penanganan Pasca Panen Buah Alpukat (Persea americana Mill) Oleh: Fitya Shabrina (H34140041) Dosen Kuliah : Dr. Ir. Burhanuddin, MM Ir. Wahyu Budi

Lebih terperinci

PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR

PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

PENANGANAN PASCA PANEN MANGGIS. Nafi Ananda Utama. Disampaikan dalam siaran Radio Republik Indonesia 20 Januari 2017

PENANGANAN PASCA PANEN MANGGIS. Nafi Ananda Utama. Disampaikan dalam siaran Radio Republik Indonesia 20 Januari 2017 7 PENANGANAN PASCA PANEN MANGGIS Nafi Ananda Utama Disampaikan dalam siaran Radio Republik Indonesia 20 Januari 2017 Pengantar Manggis merupakan salah satu komoditas buah tropika eksotik yang mempunyai

Lebih terperinci

Gambar. Diagram tahapan pengolahan kakao

Gambar. Diagram tahapan pengolahan kakao PENDAHULUAN Pengolahan hasil kakao rakyat, sebagai salah satu sub-sistem agribisnis, perlu diarahkan secara kolektif. Keuntungan penerapan pengolahan secara kolektif adalah kuantum biji kakao mutu tinggi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Tempat dan Waktu Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Tempat dan Waktu Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan bahan penelitian ini terdiri atas pelepah salak, kawat, paku dan buah salak. Dalam penelitian tahap I digunakan 3 (tiga) varietas buah salak, yaitu manonjaya, pondoh,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 17 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fateta-IPB.

Lebih terperinci

PENYIMPANAN BUAH MANGGA MELALUI PELILINAN Oleh: Masnun, BPP JAmbi BAB. I. PENDAHULUAN

PENYIMPANAN BUAH MANGGA MELALUI PELILINAN Oleh: Masnun, BPP JAmbi BAB. I. PENDAHULUAN PENYIMPANAN BUAH MANGGA MELALUI PELILINAN Oleh: Masnun, BPP JAmbi BAB. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangga ( Mangifera indica L. ) adalah salah satu komoditas hortikultura yang mudah rusak dan tidak

Lebih terperinci

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR SKRIPSI PENGARUH BERBAGAI JENIS KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN TERHADAP PERUBAHAN MUTU FISIK MENTIMUN (Cucumis sativus L.) SELAMA TRANSPORTASI Oleh : ERY SUCIARI KUSUMAH F14102081 2007 DEPARTEMEN TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang seharusnya kita dapat mempelajari dan bersyukur kepadanya. Kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. yang seharusnya kita dapat mempelajari dan bersyukur kepadanya. Kekayaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia termasuk salah satu negara yang kaya dengan berbagai spesies flora. Kekayaan tersebut merupakan suatu anugerah besar yang diberikan Allah SWT yang seharusnya

Lebih terperinci

PENANGANAN PASCA PANEN

PENANGANAN PASCA PANEN PENANGANAN PASCA PANEN KENAPA PERLU PENANGANAN PASCA PANEN??? Buah-buahan, setelah dipanen masih tetap merupakan jaringan hidup, untuk itu butuh penanganan pasca panen yang tepat supaya susut kuantitas

Lebih terperinci

Upaya Mengurangi Tingkat Kerusakan Buncis Pada Proses Transportasi

Upaya Mengurangi Tingkat Kerusakan Buncis Pada Proses Transportasi Naskah diterima : 15 Maret 2010 A R T I K E L Upaya Mengurangi Tingkat Kerusakan Buncis Pada Proses Transportasi Emmy Darmawati Institut Pertanian Bogor Dramaga Bogor ABSTRAK Sumber pangan selain padi

Lebih terperinci

PENGKAJIAN KEMASAN PRIMER PADA TRANSPORTASI BUNGA POTONG KRISAN (Chrysanthemum indicum) Oleh : DINI TURIPANAM ALAMANDA F

PENGKAJIAN KEMASAN PRIMER PADA TRANSPORTASI BUNGA POTONG KRISAN (Chrysanthemum indicum) Oleh : DINI TURIPANAM ALAMANDA F PENGKAJIAN KEMASAN PRIMER PADA TRANSPORTASI BUNGA POTONG KRISAN (Chrysanthemum indicum) Oleh : DINI TURIPANAM ALAMANDA F14103019 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2009, bertempat di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP), Departemen Teknik

Lebih terperinci

RANCANGAN KEMASAN TUNGGAL PADA BUAH JAMBU KRISTAL (Psidium guajava L.) SELAMA TRANSPORTASI MOHAMAD ROFI ASSGAF

RANCANGAN KEMASAN TUNGGAL PADA BUAH JAMBU KRISTAL (Psidium guajava L.) SELAMA TRANSPORTASI MOHAMAD ROFI ASSGAF RANCANGAN KEMASAN TUNGGAL PADA BUAH JAMBU KRISTAL (Psidium guajava L.) SELAMA TRANSPORTASI MOHAMAD ROFI ASSGAF DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. IDENTIFIKASI KERUSAKAN BUAH APEL FUJI SUN MOON. IDENTIFIKASI KERUSAKAN MERUPAKAN TAHAPAN AWAL PENANGANAN SORTASI BUAH

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. IDENTIFIKASI KERUSAKAN BUAH APEL FUJI SUN MOON. IDENTIFIKASI KERUSAKAN MERUPAKAN TAHAPAN AWAL PENANGANAN SORTASI BUAH BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. IDENTIFIKASI KERUSAKAN BUAH APEL FUJI SUN MOON. IDENTIFIKASI KERUSAKAN MERUPAKAN TAHAPAN AWAL PENANGANAN SORTASI BUAH BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identifikasi Kerusakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Susut Bobot Susut bobot merupakan salah satu faktor yang mengindikasikan penurunan mutu buah. Muchtadi (1992) mengemukakan bahwa kehilangan bobot pada buah-buahan yang disimpan

Lebih terperinci

KAJIAN PENGARUH TIPE KEMASAN, BAHAN KEMASAN, DAN PENGGUNAAN VENTILASI TERHADAP KEKUATAN KEMASAN PETI KARTON (Corrugated Box) UNTUK DISTRIBUSI

KAJIAN PENGARUH TIPE KEMASAN, BAHAN KEMASAN, DAN PENGGUNAAN VENTILASI TERHADAP KEKUATAN KEMASAN PETI KARTON (Corrugated Box) UNTUK DISTRIBUSI KAJIAN PENGARUH TIPE KEMASAN, BAHAN KEMASAN, DAN PENGGUNAAN VENTILASI TERHADAP KEKUATAN KEMASAN PETI KARTON (Corrugated Box) UNTUK DISTRIBUSI Oleh : HILALLIYAH ASPIHANI F14102111 2006 DEPARTEMEN TEKNIK

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. A. Tempat dan Waktu. B. Alat dan bahan. C. Posedur Penelitian. 1. Perancangan Kemasan

III. METODOLOGI. A. Tempat dan Waktu. B. Alat dan bahan. C. Posedur Penelitian. 1. Perancangan Kemasan III. METODOLOGI A. Tempat dan Waktu Tempat pelaksanaan penelitian adalah di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (bagian TPPHP), Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perubahan Konsentrasi O dan CO dalam Kemasan mempunyai densitas antara.915 hingga.939 g/cm 3 dan sebesar,9 g/cm 3, dimana densitas berpengaruh terhadap laju pertukaran udara

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SUSUT BOBOT Susut bobot merupakan salah satu faktor yang mengindikasikan mutu tomat. Perubahan terjadi bersamaan dengan lamanya waktu simpan dimana semakin lama tomat disimpan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan diawali dengan melakukan uji terhadap buah salak segar Padangsidimpuan. Buah disortir untuk memperoleh buah dengan kualitas paling

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN Proses respirasi sangat mempengaruhi penyimpanan dari buah melon yang terolah minimal, beberapa senyawa penting

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dikenal adalah ubi jalar (Ipomoea batatas). Ubi jalar merupakan jenis umbi

I. PENDAHULUAN. dikenal adalah ubi jalar (Ipomoea batatas). Ubi jalar merupakan jenis umbi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jenis umbi-umbian banyak terdapat di Indonesia. Salah satu jenis umbi yang dikenal adalah ubi jalar (Ipomoea batatas). Ubi jalar merupakan jenis umbi dengan masa panen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya didukung oleh pertanian. Salah satu produk pertanian Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya didukung oleh pertanian. Salah satu produk pertanian Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar perekonomiannya didukung oleh pertanian. Salah satu produk pertanian Indonesia adalah buah-buahan yaitu buah

Lebih terperinci

TEKNIK PASCAPANEN UNTUK MENEKAN KEHILANGAN HASIL DAN MEMPERTAHANKAN MUTU KEDELAI DITINGKAT PETANI. Oleh : Ir. Nur Asni, MS

TEKNIK PASCAPANEN UNTUK MENEKAN KEHILANGAN HASIL DAN MEMPERTAHANKAN MUTU KEDELAI DITINGKAT PETANI. Oleh : Ir. Nur Asni, MS TEKNIK PASCAPANEN UNTUK MENEKAN KEHILANGAN HASIL DAN MEMPERTAHANKAN MUTU KEDELAI DITINGKAT PETANI Oleh : Ir. Nur Asni, MS Peneliti Madya Kelompok Peneliti dan Pengkaji Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

TI JAUA PUSTAKA. A. Salak Pondoh

TI JAUA PUSTAKA. A. Salak Pondoh II. TI JAUA PUSTAKA A. Salak Pondoh Tanaman salak termasuk suku pinang-pinangan, ordo Spadiceflorae, famili Palmaceae dengan beberapa spesies Salacca conferta, Salacca edulis, Salacca affinis, Salacca

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditingkatkan nilai tambah, daya saing dan ekspornya adalah produk hortikultura.

BAB I PENDAHULUAN. ditingkatkan nilai tambah, daya saing dan ekspornya adalah produk hortikultura. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu produk pertanian yang memiliki potensi cukup tinggi untuk ditingkatkan nilai tambah, daya saing dan ekspornya adalah produk hortikultura. Komoditas hortikultura

Lebih terperinci

PANEN DAN PASCA PANEN DURIAN

PANEN DAN PASCA PANEN DURIAN PANEN DAN PASCA PANEN DURIAN Oleh : drh. Linda Hadju Widyaiswara Madya BALAI PELATIHAN PERTANIAN JAMBI 2012 PANEN DAN PASCA PANEN DURIAN Oleh : drh. Linda Hadju Widyaiswara Madya BALAI PELATIHAN PERTANIAN

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PASCA PANEN MKB 604/3 SKS (2-1)

TEKNOLOGI PASCA PANEN MKB 604/3 SKS (2-1) TEKNOLOGI PASCA PANEN MKB 604/3 SKS (2-1) OLEH : PIENYANI ROSAWANTI PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN KEHUTANAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA 2016 KONTRAK PERKULIAHAN KEHADIRAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Identifikasi Kerusakan Buah Apel Fuji Sun Moon. Identifikasi kerusakan merupakan tahapan awal penanganan sortasi buah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Identifikasi Kerusakan Buah Apel Fuji Sun Moon. Identifikasi kerusakan merupakan tahapan awal penanganan sortasi buah BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identifikasi Kerusakan Buah Apel Fuji Sun Moon Identifikasi kerusakan merupakan tahapan awal penanganan sortasi buah apel fuji sun moon di Hypermart Gorontalo. Tahapan sortasi

Lebih terperinci

PENANGANAN PASCA PANEN HORTIKULTURA

PENANGANAN PASCA PANEN HORTIKULTURA Oleh: Puji Lestari, S.TP Widyaiswara Pertama I. PENDAHULUAN PENANGANAN PASCA PANEN HORTIKULTURA Kebanyakan pasca panen produk hortikultura segar sangat ringkih dan mengalami penurunan mutu sangat cepat.

Lebih terperinci

RANCANGAN KEMASAN KARTON BERGELOMBANG DENGAN BAHAN PENGISI UNTUK TRANSPORTASI JAGUNG SEMI (BABY CORN) VINA RONDANG MAGDALENA

RANCANGAN KEMASAN KARTON BERGELOMBANG DENGAN BAHAN PENGISI UNTUK TRANSPORTASI JAGUNG SEMI (BABY CORN) VINA RONDANG MAGDALENA RANCANGAN KEMASAN KARTON BERGELOMBANG DENGAN BAHAN PENGISI UNTUK TRANSPORTASI JAGUNG SEMI (BABY CORN) VINA RONDANG MAGDALENA DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri PENANGANAN Jenis Kerusakan Bahan Pangan Kerusakan mikrobiologis Kerusakan mekanis Kerusakan fisik Kerusakan biologis Kerusakan kimia Kerusakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Dimensi buah salak Pengukuran dimensi buah salak dilakukan pada 3 (tiga) varietas buah salak yaitu salak pondoh, salak manonjaya dan salak sidimpuan. Sampel pengukuran pada ketiga

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN PENDAHULUAN Dari penelitian pendahuluan diperoleh bahwa konsentrasi kitosan yang terbaik untuk mempertahankan mutu buah markisa adalah 1.5%. Pada pengamatan

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan mutu yang diamati selama penyimpanan buah manggis meliputi penampakan sepal, susut bobot, tekstur atau kekerasan dan warna. 1. Penampakan Sepal Visual Sepal atau biasa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tomat Tomat (Lycopersicum esculantum MILL.) berasal dari daerah tropis Meksiko hingga Peru. Semua varietas tomat di Eropa dan Asia pertama kali berasal dari Amerika Latin

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kecamatan Jumlah produksi (ton) Jawa Barat Lampung Sumatera

TINJAUAN PUSTAKA. Kecamatan Jumlah produksi (ton) Jawa Barat Lampung Sumatera II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Nanas Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang memiliki nama ilmiah Ananas comosus (L.) Merr.). Memiliki nama daerah danas (Sunda) dan neneh (Sumatera). Dalam bahasa

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. dan mempertahankan kesegaran buah. Pada suhu dingin aktivitas metabolisme

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. dan mempertahankan kesegaran buah. Pada suhu dingin aktivitas metabolisme IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Suhu Suhu merupakan faktor yang sangat penting untuk memperpanjang umur simpan dan mempertahankan kesegaran buah. Pada suhu dingin aktivitas metabolisme menjadi lambat sehingga

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pasca Panen, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buahnya. Dilihat dari bentuk daun dan buah dikenal ada 4 jenis nanas, yaitu Cayene

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buahnya. Dilihat dari bentuk daun dan buah dikenal ada 4 jenis nanas, yaitu Cayene BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nanas (Ananas comosus L. Merr) Nanas merupakan tanaman buah yang banyak dibudidayakan di daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini mempunyai banyak manfaat terutama pada buahnya.

Lebih terperinci

PASCAPANEN MANGGA GEDONG GINCU

PASCAPANEN MANGGA GEDONG GINCU PASCAPANEN MANGGA GEDONG GINCU Mangga merupakan salah satu komoditas yang banyak dibudidayakan dan diusahakan Varietas mangga yang banyak dibudidayaka adalah Mangga Arum Manis, Dermayu dan G Komoditas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini berlangsung di kebun manggis daerah Cicantayan Kabupaten Sukabumi dengan ketinggian 500 700 meter di atas permukaan laut (m dpl). Area penanaman manggis

Lebih terperinci

PENGARUH PRA PENDINGINAN DAN SUHU PENYIMPANAN TERHADAP MUTU BUAH MANGGA CENGKIR INDRAMAYU NENG ERLITA NURMAWANTI F

PENGARUH PRA PENDINGINAN DAN SUHU PENYIMPANAN TERHADAP MUTU BUAH MANGGA CENGKIR INDRAMAYU NENG ERLITA NURMAWANTI F PENGARUH PRA PENDINGINAN DAN SUHU PENYIMPANAN TERHADAP MUTU BUAH MANGGA CENGKIR INDRAMAYU NENG ERLITA NURMAWANTI F14102011 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Produksi buah pisang di Lampung setiap tahunnya semakin meningkat. Lampung

I. PENDAHULUAN. Produksi buah pisang di Lampung setiap tahunnya semakin meningkat. Lampung I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Produksi buah pisang di Lampung setiap tahunnya semakin meningkat. Lampung mampu memproduksi pisang sebanyak 319.081 ton pada tahun 2003 dan meningkat hingga

Lebih terperinci

Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi

Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi Meningkatkan Nilai Tambah Bawang Merah Oleh: Farid R. Abadi Bawang merah merupakan komoditas hortikultura yang memiliki permintaan yang cukup tinggi dalam bentuk segar. Meskipun demikian, bawang merah

Lebih terperinci

Skripsi PENYIMPANAN POTONGAN SAWO SEGAR DALAM KEMASAN ATMOSFIR TERMODIFIKASI. Oleh : DEDY AGUSPRIANDONO SUPRAPTO F

Skripsi PENYIMPANAN POTONGAN SAWO SEGAR DALAM KEMASAN ATMOSFIR TERMODIFIKASI. Oleh : DEDY AGUSPRIANDONO SUPRAPTO F Skripsi PENYIMPANAN POTONGAN SAWO SEGAR DALAM KEMASAN ATMOSFIR TERMODIFIKASI Oleh : DEDY AGUSPRIANDONO SUPRAPTO F 14103093 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

KARAKTERISASI FISIK DAN ph PADA PEMBUATAN SERBUK TOMAT APEL LIRA BUDHIARTI

KARAKTERISASI FISIK DAN ph PADA PEMBUATAN SERBUK TOMAT APEL LIRA BUDHIARTI KARAKTERISASI FISIK DAN ph PADA PEMBUATAN SERBUK TOMAT APEL LIRA BUDHIARTI DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRAK LIRA BUDHIARTI. Karakterisasi

Lebih terperinci

PENANGANAN PASCA PANEN

PENANGANAN PASCA PANEN PENANGANAN PASCA PANEN Pasca Panen Sayuran yang telah dipanen memerlukan penanganan pasca panen yang tepat agar tetap baik mutunya atau tetap segar seperti saat panen. Selain itu kegiatan pasca panen dapat

Lebih terperinci

PASCA PANEN BAWANG MERAH

PASCA PANEN BAWANG MERAH PASCA PANEN BAWANG MERAH Oleh : Juwariyah BP3K Garum Indikator Keberhasilan : Setelah selesai mempelajari modul ini peserta diharapkan mampu : a. Menjelaskan kembali pelayuan dan pengeringan bawang merah

Lebih terperinci

PASCA PANEN BUNGA POTONG (KRISAN)

PASCA PANEN BUNGA POTONG (KRISAN) PASCA PANEN BUNGA POTONG (KRISAN) Post 04 Desember 2014, By Ir. Elvina Herdiani, MP. bbpplbungapotperkembangan bisnis bunga potong meningkat dengan cukup pesat dari waktu ke waktu, hal ini menunjukkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dari sekian banyak varietas jeruk yang sudah dikenal dan dibudidayakan. Buahnya

TINJAUAN PUSTAKA. dari sekian banyak varietas jeruk yang sudah dikenal dan dibudidayakan. Buahnya TINJAUAN PUSTAKA Jeruk Siam Jeruk siam (Citrus nobilis LOUR var Microcarpa) merupakan salah satu dari sekian banyak varietas jeruk yang sudah dikenal dan dibudidayakan. Buahnya berbentuk bulat dengan permukaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya 2.1 Komposisi Kimia Udang BAB II TINJAUAN PUSTAKA Udang merupakan salah satu produk perikanan yang istimewa, memiliki aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya lebih

Lebih terperinci

PENANGANAN PASCA PANEN CABAI Oleh: Masnun, S.Pt., M.Si.

PENANGANAN PASCA PANEN CABAI Oleh: Masnun, S.Pt., M.Si. PENANGANAN PASCA PANEN CABAI Oleh: Masnun, S.Pt., M.Si. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cabai segar mempunyai daya simpan yang sangat singkat. Oleh karena itu, diperlukan penanganan pasca panen mulai

Lebih terperinci