INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN IRADIASI SINAR GAMMA Cobalt 60 UNTUK MERAKIT PADI (Oryza sativa) TAHAN KEKERINGAN SECARA IN VITRO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN IRADIASI SINAR GAMMA Cobalt 60 UNTUK MERAKIT PADI (Oryza sativa) TAHAN KEKERINGAN SECARA IN VITRO"

Transkripsi

1 INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN IRADIASI SINAR GAMMA Cobalt 60 UNTUK MERAKIT PADI (Oryza sativa) TAHAN KEKERINGAN SECARA IN VITRO INDAH PERMATA DEWI A DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN IRADIASI SINAR GAMMA COBALT 60 UNTUK MERAKIT PADI (Oryza sativa) TAHAN KEKERINGAN SECARA IN VITRO Induction of chromosomal mutation by gamma ray irradiation of Cobalt 60 to raft drought tolerant paddy (Oryza sativa) in vitro Indah Permata Dewi 1 dan Ni Made Armini Wiendi 2 1 Mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB, A Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB ABSTRACT A lot of people in the world choose rice as their main source of carbohydrate beside maize and wheat. The increasing of world population make increasing of the rice demand. Increasing of the rice demand doesn t followed by the rice supply. In order to solve that problem, researcher try to find a new paddy cultivar which is can be planted in dry area. This research aims to study the osmotic pressure that still can be accepted by paddy var. Sintanur, to study LD50 (lethal dose 50) value in the paddy especially in Sintanur and to study the interaction between irradiation and the osmotic pressure. In this research, paddy var. Sintanur is irradiated by gamma ray of Cobalt 60 at six dosages 0 Gray, 100 Gray, 200 Gray, 300 Gray, 400 Gray, 500 Gray. Then each irradiated seed is planted at four kind of mediums that contains Polyethylene glycol (PEG) at four levels of concentration are I0 (0 g/l PEG), I1 (116,538 g/l PEG), I2 (174,6 g/l PEG) and I3 (219,547 g/l PEG). Based on the data analyzed, the highest PEG concentration for drought tolerant selection in paddy var. Sintanur is 174,674 g/l PEG. There is an interaction between irradiation and PEG medium that influencing plant height and shoot multiplication. LD 50 (lethal dose 50) of paddy var. Sintanur is 375 Gy. Keyword: paddy, Sintanur, Cobalt 60, drought tolerant, irradiation.

3 RINGKASAN INDAH PERMATA DEWI. Induksi Mutasi Kromosom dengan Iradiasi Sinar Gamma Cobalt 60 untuk Merakit Padi (Oryza sativa) Tahan Kekeringan secara In Vitro. (Dibimbing oleh Ni Made Armini Wiendi). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dosis iradiasi yang paling optimal bagi padi khususnya varietas Sintanur, mengetahui tekanan osmotik (cekaman kekeringan) yang masih dapat diterima padi varietas Sintanur (padi dapat tumbuh dengan baik), serta diperoleh galur-galur baru yang tahan terhadap kekeringan. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor dari bulan Juli 2011 sampai dengan Februari Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan menggunakan dua faktor yaitu dosis iradiasi dan konsentrasi PEG (polyethylene glycol) yang diberikan. Faktor dosis iradiasi terdiri dari lima taraf yaitu R0 = 0 Gray, R1=100 Gray, R2=200 Gray, R3=300 Gray, R4=400 Gray, dan R5=500 Gray. Faktor konsentrasi PEG terdiri dari empat taraf yaitu I0= 0 g/l, I1= 174,6 g/l (-0,2 bar), I2= 174,674 g/l (-0,4 bar) dan I3= 219,547 g/l (-0,6 bar). Sebagai kelompok, masing-masing perlakuan diulang sebanyak 5 ulangan yang terdiri dari 10 benih, sehingga terdapat 1200 satuan amatan. Setelah tanaman berumur satu bulan dilakukan subkultur. Media dasar yang digunakan yaitu media Murashige dan Skoog dengan penambahan zat pengatur tumbuh NAA dan BAP. Persentase kecambah terkontaminasi cendawan mulai terjadi sejak satu minggu setelah tanam. Kontaminasi semakin meningkat setelah dilakukan subkultur. Kontaminasi pada media seleksi kekeringan (dengan penambahan PEG) lebih cepat menyebar dibandingkan pada media tanpa PEG. Kontaminasi tertinggi terjadi pada perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 300 Gray pada minggu kedelapan yaitu sebesar 50,5%. Dosis iradiasi yang diberikan menyebabkan persentase daya berkecambah benih menurun. Semakin tinggi dosis iradiasi maka daya berkecambah benih akan semakin rendah. Lethal dose 50 (LD50) pada padi varietas sintanur dicapai pada selang dosis iradiasi 375 Gray. Kecambah yang diiradiasi memiliki kemampuan tumbuh yang lebih rendah bila dibandingkan

4 dengan kecambah tanpa iradiasi. Iradiasi yang diberikan selain mempengaruhi daya berkecambah, juga memberikan pengaruh pada tinggi kecambah, jumlah anakan dan morfologi tanaman. Dosis iradiasi yang diberikan menyebabkan tinggi kecambah lebih rendah bila dibandingkan dengan kontrol (tanpa iradiasi). Keragaman yang dihasilkan oleh iradiasi dan media seleksi kekeringan termasuk ke dalam kategori sangat luas. Perlakuan media seleksi kekeringan dengan PEG memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah anakan pada minggu kedua hingga minggu kedelapan. Kecambah yang ditanam pada media seleksi kekeringan memiliki tinggi yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kecambah yang ditanam pada media kontrol. Kecambah yang ditanam pada media tanpa PEG (0g/l) memiliki jumlah anakan yang lebih banyak dibandingkan dengan kecambah yang ditanam pada media seleksi. Kondisi ini disebabkan tanaman yang ditanam pada media seleksi mengalami gangguan metabolisme sehingga pertumbuhannya tidak maksimal. Konsentrasi PEG paling optimal yang digunakan untuk seleksi kekeringan padi varietas Sintanur adalah 174,674 g/l PEG. Interaksi yang dihasilkan antara media dengan iradiasi sinar gamma Cobalt 60 termasuk ke dalam kategori agak luas pada peubah jumlah anakan dan agak sempit pada peubah tinggi kecambah. Interaksi antara iradiasi sinar gamma dan media seleksi kekeringan memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi kecambah serta jumlah anakan. Iradiasi sinar gamma dan perlakuan media seleksi kekeringan meningkatkan nilai koefisien keragaman pada karakter tinggi tanaman dan jumlah anakan bila dibandingkan dengan kontrol. Nilai koefisien keragaman fenotipe (KKF) yang terbentuk semakin menurun setelah dilakukan subkultur. Berdasarkan percobaan diperoleh 221 mutan potensial.

5 INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN IRADIASI SINAR GAMMA Cobalt 60 UNTUK MERAKIT PADI (Oryza sativa) TAHAN KEKERINGAN SECARA IN VITRO Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor INDAH PERMATA DEWI A DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

6 Judul : INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN IRADIASI SINAR GAMMA Cobalt 60 UNTUK MERAKIT PADI (Oryza sativa) TAHAN KEKERINGAN SECARA IN VITRO Nama : INDAH PERMATA DEWI NIM : A Menyetujui, Pembimbing Dr. Ir. Ni Made Armini Wiendi, MS NIP Mengetahui. Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr. NIP Tanggal Lulus:

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 22 Oktober Penulis merupakan anak kedua dari bapak Sugeng Widodo dan ibu Sumarsih. Tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya di SDN Ciriung 02 Cibinong. Kemudian penulis melanjutkan studi di SMPN 5 Bogor hingga tahun Setelah itu penulis melanjutkan studi di SMAN 2 Bogor hingga tahun Tahun 2007 penulis diterima menjadi mahasiswa IPB melalui jalur USMI dengan jurusan Agronomi dan Hortikultura. Semasa menjalani pendidikan di IPB penulis aktif baik dalam organisasi maupun kegiatan mahasiswa. Penulis menjadi pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian (BEM-A) periode Pada tahun 2011 penulis menjadi asisten mata kuliah Dasar Bioteknologi Tanaman serta mata kuliah Pembiakan Tanaman Perkebunan (Program Keahlian Perkebunan Kelapa Sawit, Program Diploma IPB).

8 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan segala rahmat-nya penelitian induksi mutasi kromosom dengan iradiasi sinar gamma Cobalt 60 untuk merakit padi (Oryza sativa) tahan kekeringan secara in vitro dapat diselesaikan dengan baik. Penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Ibu Dr. Ir. Ni Made Armini Wiendi, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan penelitian ini. 2. Umi, abi, kakak, adik dan keluarga besar yang telah memberikan dukungan baik materi, dukungan semangat serta doa. 3. Bapak Dr. Ir Ade Wachjar, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan nasihat serta bimbingan. 4. Bapak Prayitno yang telah banyak membantu pada saat melakukan iradiasi benih. 5. Keluarga Lab. Kultur jaringan tanaman: Yudia, Alfia, Tika, Neneng, Mega, Kokoh Limas, Kak Asep, Mba Ai, Bu Irni, Dwi, Eka, Mba Ardha, Kak Yudi, Teh Eneng dan Risa yang telah banyak memberikan waktu, tenaga serta dukungannya. 6. Resti, Dian, Dita, Liju, Indri, Indah, Elfa dan Sophie yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungannya. 7. Teman-teman Agronomi dan Hortikultura angkatan Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas perhatian, dukungan, doa dan bantuan kepada penulis selama ini. Semoga hasil penelitian ini dapat berguna bagi pihak yang memerlukan. Bogor, Agustus 2012 Penulis

9 i DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Hipotesis... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Kebutuhan Air Padi dan Tekanan Osmotik Padi... 6 Perakitan Varietas Tanaman melalui Mutasi Kromosom... 7 Polyethylene Glycol (PEG) sebagai Agen Seleksi Ketahanan Kekeringan 11 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Pelaksanaan Pelaksanaan Percobaan Pengamatan HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Kontaminasi Daya Berkecambah Kematian pada Kecambah Tinggi Kecambah Jumlah Anakan Jumlah Akar Keragaman fenotipe padi varietas Sintanur Hasil Iradiasi KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ii iii iv

10 ii DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1 Persentase kontaminasi eksplan kultur padi varietas Sintanur setelah iradiasi sinar gamma Cobalt 60 secara in vitro Persentase daya berkecambah benih padi varietas Sintanur yang telah diberi perlakuan iradiasi sinar gamma Cobalt 60 dengan metode UKDdp Rekapitulasi sidik ragam pengaruh iradiasi Cobalt 60 dan PEG terhadap tinggi kecambah padi varietas Sintanur Pengaruh perlakuan iradiasi sinar gamma Cobalt 60 terhadap rata-rata tinggi kecambah pada minggu pertama dan kelima Pengaruh perlakuan media PEG terhadap rata-rata tinggi kecambah Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan iradiasi Cobalt 60 dan media PEG terhadap jumlah anakan padi varietas Sintanur Pengaruh iradiasi sinar gamma Cobalt 60 terhadap rata-rata jumlah anakan padi varietas Sintanur Pengaruh media perlakuan seleksi kekeringan dengan PEG terhadap rata-rata jumlah anakan padi varietas Sintanur Persen koefisien keragaman fenotipe (KKF) peubah tinggi kecambah dari setiap populasi perlakuan iradiasi sinar gamma Cobalt Persen koefisien keragaman fenotipe (KKF) peubah jumlah anakan dari setiap populasi perlakuan iradiasi sinar gamma Cobalt Persen koefisien keragaman fenotipe (KKF) peubah tinggi kecambah dari setiap populasi perlakuan seleksi kekeringan dengan PEG Persen koefisien keragaman fenotipe (KKF) peubah jumlah anakan dari setiap populasi perlakuan seleksi kekeringan dengan PEG... 37

11 iii DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1 Penampilan fenotipe padi varietas Sintanur yang di tanam di lahan sawah (Deptan, 2001) Tahapan proses pembentukan embrio pada padi. A. Tahap globular. B. Tahap koleoptil. C. Tahap vegetatif awal. D. Tahap pendewasaan (kiri-kanan). 6 3 Kecambah padi varietas Sintanur yang dikecambahkan dengan metode UKDdp. A. Kecambah normal; B. Kecambah abnormal Kultur in vitro padi hasil iradiasi Cobalt 60 pada media PEG yang terkontaminasi Grafik pengaruh dosis iradiasi sinar gamma Cobalt 60 terhadap persentase kematian kecambah padi Kecambah padi yang memperlihatkan tanda kematian (kecambah menghitam): sebelum subkultur pada media tanpa perlakuan PEG (kiri) dan sesudah subkultur pada media perlakuan PEG (kanan) Reaksi tanaman bila diberikan cekaman kekeringan dengan periode tertentu. (De Carvalho, 2008) Perbandingan tinggi tanaman hasil pengecambahan dengan cara UKDDP. Kiri ke kanan: R0: 0 Gy, R1: 100Gy, R2: 200 Gy, R3: 300 Gy, R4: 400 Gy dan R5: 500 Gy Perbandingan daun yang tumbuh dari benih yang telah diiradiasi dan yang tidak diiradiasi pada media PEG 116,538 g/l Grafik perbandingan jumlah anakan padi varietas Sintanur terbanyak setelah iradiasi sinar gamma Cobalt 60 pada masingmasing perlakuan media dengan penambahan PEG (8 MST) Multiplikasi anakan terbanyak yang diberi perlakuan iradiasi sinar gamma Cobalt 60 dosis 400 Gy pada media tanpa PEG. A. Umur 6 MST dan B. Umur 7 MST... 30

12 iv DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1 Perbandingan perlakuan iradiasi sinar gamma Cobalt 60 dan media PEG dengan jumlah anakan terbanyak pada padi varietas Sintanur pada 8MST Sidik ragam pengaruh iradiasi sinar gamma Cobalt 60 dan media seleksi dengan PEG serta interaksi media dan iradiasi terhadap jumlah anakan Sidik ragam pengaruh iradiasi sinar gamma Cobalt 60 dan media seleksi dengan PEG serta interaksi media dan iradiasi terhadap tinggi kecambah Persentase kematian kecambah hingga minggu kelima setelah tanam (MST) pada media I Perbandingan pertumbuhan kecambah setelah iradiasi Cobalt 60 pada media seleksi kekeringan dengan PEG berumur 1 MST Persen koefisien keragaman fenotipe (KKF) peubah jumlah anakan dari setiap populasi perlakuan iradiasi sinar gamma Cobalt Persen koefisien keragaman fenotipe (KKF) peubah jumlah anakan dari setiap populasi perlakuan seleksi kekeringan dengan PEG Perbandingan perlakuan iradiasi sinar gamma Cobalt 60 dan media PEG dengan jumlah anakan total pada padi varietas Sintanur pada 8MST... 51

13 PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan salah satu sumber karbohidrat utama penduduk dunia selain jagung dan gandum. Pemilihan beras sebagai makanan pokok karena kandungan gizinya tinggi, mudahnya proses pengolahan hingga siap dikonsumsi, serta rasanya yang enak dibandingkan sumber kabohidrat lain. Keunggulan beras dengan sumber karbohidrat lain terletak pada kandungan lisinnya yang lebih tinggi dibandingkan dengan sumber karbohidrat lain (Hanny, 2004). Rasa beras yang enak disebabkan oleh kandungan amilosa dan amilopektin pada beras. Posisi beras sebagai salah satu makanan pokok di dunia menyebabkan kenaikan permintaan seiring dengan pertambahan penduduk dunia. Produksi beras indonesia pada tahun 2011 adalah 37,2 juta ton beras (Badan Pusat Statistik, 2011), sedangkan konsumsi beras di Indonesia pada tahun 2011 sebesar 319 gram per kapita per hari atau setara dengan 28,09 juta ton per tahun (Muftisany, 2012). Apabila melihat data tersebut, Indonesia dapat dikatakan memiliki surplus produksi beras. Akan tetapi untuk memenuhi target swasembada beras di tahun 2014, Indonesia harus memiliki surplus produksi sebesar 10 juta ton sehingga produksi beras pada tahun 2011 harus mencapai 39,5 juta ton (Manggiasih dan Rosalina, 2011). Selain itu, untuk menantisipasi krisis pangan, jumlah produksi beras tiap tahunnya harus bertambah minimal sesuai dengan laju pertambahan penduduk yaitu 1,4 % per tahun (Anonim, 2012). Target program swasembada beras ini dapat didukung apabila Indonesia memiliki luas panen padi sebesar 19,26 juta hektar (ha) (Anonim, 2012). Luasan panen ini masih jauh dari luas panen yang sebenarnya yaitu hanya sebesar 13,44 juta ha (Badan Pusat Statistik, 2012), sehingga dibutuhkan upaya pencetakan sawah baru sebesar 1,5 juta ha (Manggiasih dan Rosalina, 2011). Selain dengan cara pencetakan sawah baru, program swasembada beras dapat dicapai bila terjadi peningkatan produktivitas sebesar 2 ton per hektar (Manggiasih dan Rosalina, 2011).

14 2 Pertambahan penduduk yang kian pesat menyebabkan porsi lahan persawahan berkurang. Menurut Apriyantono (2004), berkurangnya lahan untuk persawahan karena konversi lahan menjadi perumahan dan industri akibat kebijakan pemerintah daerah. Laju konversi lahan persawahan di indonesia mencapai 100 ribu ha per tahun (Manggiasih dan Rosalina, 2011). Berkurangnya lahan persawahan tidak hanya disebabkan oleh adanya konversi lahan, berubahnya iklim global juga ikut berperan serta. Salah satu akibat dari perubahan iklim adalah meluasnya lahan kering di Indonesia yang belum termanfaatkan seperti yang terjadi di daerah Aceh dan Nusa Tenggara Barat (Bakar, et al., 2010 dan Masnun 2011). Meluasnya lahan kering di Indonesia menyebabkan banyaknya pemuliaan tanaman yang dilakukan untuk menghasilkan varietas yang tahan dan toleran tumbuh pada lahan marjinal (lahan bercekaman). Perakitan varietas baru dapat dilakukan melalui dua cara yaitu secara konvensional dan secara in vitro. Perakitan melalui cara in vitro dapat dilakukan dengan cara menyeleksi tanaman yang telah diberikan perlakuan khusus seperti menambahkan zat pengatur tumbuh (ZPT) dan bahan kimia lainnya. Menurut Rai et al., 2011, bahan kimia yang digunakan untuk menyeleksi tanaman secara in vitro diantaranya adalah NaCl untuk menginduksi ketahanan terhadap salinitas. Seleksi karakter ketahanan terhadap kekeringan dapat dilakukan dengan memberikan PEG (polyethylene glycol) dan manitol. Pemberian FCF (Fungal Culture Filtrate) atau asam fusarat pada media tanam in vitro akan memberikan pengaruh cekaman terhadap cendawan fusarium. Kondisi ini disebabkan zat tersebut merupakan eksudat yang dikeluarkan cendawan pada saat menyerang tanaman. Pemberian bahan kimia pada saat seleksi dapat dilakukan dengan cara perlakuan jangka panjang dan shock treatment. Pemberian perlakuan jangka panjang dilakukan dengan meningkatkan konsentrasi agen seleksi secara bertahap selama jangka waktu tertentu, sedangkan pada perlakuan shock treatment, agen seleksi yang akan dipakai diberikan dalam dosis yang tinggi sejak awal perlakuan. Seleksi yang dilakukan secara in vitro dapat menghemat waktu dibandingkan dengan seleksi tanaman secara konvensional karena seleksi dapat dilakukan pada

15 3 tingkat sel dan untuk melakukan perbanyakan tidak perlu menunggu tanaman bereproduksi. Luasnya lahan marjinal di Indonesia yang belum termanfaatkan dengan baik merupakan peluang bagi pemulia tanaman untuk menghasilkan varietas padi yang toleran. Peluang tersebut didukung dengan ekspor beras premium dan beras organik Indonesia yang telah mendapatkan sertifikasi Internasional (Apriyantono, 2008). Selain itu, hambatan waktu untuk merakit suatu varietas baru dapat diatasi dengan menggunakan teknik pemuliaan secara in vitro sehingga waktu yang diperlukan menjadi lebih singkat. Dengan memanfaatkan peluang di atas, diharapkan ditemukannya varietas padi yang tahan bila ditanam pada lahan kering sehingga produktivitas lahan kering dapat meningkat. Tujuan Percobaan ini dilakukan untuk mempelajari dosis iradiasi sinar gamma Cobalt 60 terhadap induksi keragaman genetik pada padi varietas Sintanur, mempelajari tekanan osmotik (cekaman kekeringan) yang masih dapat diterima padi varietas Sintanur hasil induksi mutasi genetik serta diharapkan diperoleh galur-galur baru yang tahan terhadap kekeringan. Hipotesis 1. Diduga terdapat dosis iradiasi yang menyebabkan LD-50 (lethal dose 50) pada kecambah padi varietas Sintanur. 2. Diduga terdapat interaksi antara perlakuan dosis iradiasi dan konsentrasi PEG terhadap mutan yang dihasilkan. 3. Terdapat paling sedikit satu mutan yang tahan terhadap kekeringan dari seleksi in vitro.

16 4 TINJAUAN PUSTAKA Sintanur merupakan salah satu varietas padi yang dilepas pada tanggal 12 Januari 2001 oleh Balai Penelitian Padi (BALITPA) Sukamandi. Sintanur berasal dari tetua Lusi/B7136E-MR (Bengawan solo). Sintanur merupakan varietas padi sawah aromatik yang dirakit oleh pemulia Adijono P., Suwito T., Suwarno, B. Kustianto, Allidawati B. S., Shagir Sama. Sintanur memiliki potensi produksi rata-rata 6 ton/ha dan memiliki sifat sedikit tahan terhadap rebah. Padi varietas sintanur memiliki sifat tahan terhadap hama wereng coklat biotipe 1 dan 2, serta peka terhadap wereng coklat biotipe 3. Selain itu varietas ini memiliki ketahanan terhadap penyakit hawar daun bakteri strain III, peka terhadap strain IV dan VIII. Sintanur sesuai untuk sawah irigasi dataran rendah sampai ketinggian kurang dari 500 m dpl. Varietas ini termasuk ke dalam golongan padi yang memiliki bulir kecil dan umur panen pendek. Padi varietas sintanur memiliki umur 120 hari serta memiliki bentuk tanaman tegak dengan tinggi 120 cm dan memiliki banyak anakan. Varietas Sintanur memiliki daun bendera tegak. Varietas Sintanur memiliki potensi hasil yang tinggi yaitu sebesar 6-7 ton/ha gabah kering giling, sedangkan berdasarkan hasil penanaman yang pernah dilakukan di Grobogan, varietas ini mampu menghasilkan hingga 7,78 ton/ha. Tanaman ini memiliki warna batang hijau serta tidak memiliki warna pada daun telinga dan lidah daunnya. Posisi daun tanaman ini tegak sampai miring dan daun benderanya tegak, permukaan daun terasa kasar dengan warna hijau. Gabah varietas ini berbentuk medium dengan warna kuning bersih dan tingkat kerontokannya sedang. Bobot 1000 butir gabah varietas Sintanur adalah sebesar 27,4 gram. Selain itu, varietas ini memiliki ciri khusus yaitu memiliki wangi mulai saat pertanaman hingga pada nasi yang dihasilkan. Beras yang dihasilkan memiliki tekstur pulen, rasa enak dan tingkat kadar amilosa sebesar 18% (Deptan, 2001).

17 5 Gambar 1. Penampilan fenotipe padi varietas Sintanur yang di tanam di lahan sawah (Deptan, 2001) Proses pembentukan embrio pada padi memberikan gambaran ilustrasi pada tipe tanaman monokotil. Proses embriogenesis pada padi terdiri dari lima tahap yaitu: 1. Tahap zigotik. Pada tahap ini terjadi peleburan antara sel telur dengan sperma. 2. Tahap globular. Tahap ini terjadi pada 2-4 hari setelah penyerbukan. Pada tahap ini terjadi pembagian pembentukan jaringan apikal dan basal oleh sel, sehingga terbentuk embrio globular yang terdiri dari beberapa lapisan. 3. Tahap koleoptil. Tahapan ini terjadi pada hari kelima setelah penyerbukan. Pada tahap ini terjadi pembentukan koleoptil, meristem apikal tunas dan akar, serta pembentukan radicle (akar embrionik). 4. Tahap vegetatif awal. Tahapan ini terjadi pada 6-10 hari setelah penyerbukan. Meristem apikal pucuk mulai menginisiasi pembentukan beberapa daun vegetatif. 5. Tahap pendewasaan. Tahapan ini terjadi pada hari setelah penyerbukan. Pada tahapan ini salah satu cirinya adalah benih berada pada kondisi dormansi (Taiz dan Zeiger, 2011).

18 6 A B C D Gambar 2. Tahapan proses pembentukan embrio pada padi. A. Tahap globular. B. Tahap koleoptil. C. Tahap vegetatif awal. D. Tahap pendewasaan (kiri-kanan) Kebutuhan Air Padi dan Tekanan Osmotik Padi Menurut Ibrahim (2001), nilai rata-rata Eto (Evapotranspirasi potensial) di daerah Jawa Barat dan Banten adalah 6,28 mm/hari, sedangkan nilai Eto yang seharusnya terjadi di daerah tropis adalah 6,5 mm/hari. Ibrahim (2001) juga menyatakan bahwa rasio rata-rata ETo terhadap pengukuran pada lisimeter adalah 0,97. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kahowna et al. (2007), padi di daerah Pakistan membutuhkan irigasi sebanyak 4987 m 3 /ha untuk menghasilkan gabah sebanyak 3,257 ton/ha. Tanaman padi yang ditanam di Indonesia membutuhkan curah hujan minimal 200 mm/bulan atau sebanyak 2000 mm per tahun yang terdistribusi selama 4 bulan agar dapat tumbuh dengan baik (Dinas Pertanian dan Kehutanan, 2000). Cekaman kekeringan pada padi dataran rendah varietas IR20 dan IR72 telah diteliti oleh Wopereis, Kropff, Maligaya, dan Tuong tahun 1992 dengan cara menanam padi pada pot PVC (polyvinyl chloride). Berdasarkan penelitian tersebut, titik kritis tekanan osmotik tanaman padi yang berada pada pertengahan fase pertumbuhan disaat musim kemarau berkisar antara -50 kpa (kilopascal) hingga -160 kpa. Pada musim hujan, titik kritis tekanan osmotik berkisar antara -50 kpa hingga -260 kpa (pada umur tanaman yang sama). Apabila permukaan air tanah diturunkan menjadi <-200 kpa, akan mengakibatkan penggulungan daun pada semua varietas dan perlakuan. Penggulungan daun secara penuh akan terjadi bila tekanan osmotik turun hingga -1 Mpa (megapascal) atau lebih rendah. Tanaman

19 7 padi bila terkena cekaman kekeringan maka akan menyebabkan penurunan luas daun serta terjadi hambatan pada produksi hijauan (daun). Selain itu, kekerigan akan menyebabkan penutupan stomata sehingga fotosintesis akan berkurang. Terhambatnya fotosintesis akan menyebabkan tanaman menjadi kerdil dan proses pembungaan akan terhambat. Selain itu, kekeringan juga mampu mengurangi jumlah malai yang terbentuk serta meningkatkan angka kematian malai sehingga jumlah bulir yang dihasilkan akan menurun (Wopereis et al., 1996). Perakitan Varietas Tanaman melalui Mutasi Kromosom Perakitan varietas dalam pemuliaan tanaman dapat dilakukan secara konvensional maupun secara kultur in vitro. Perakitan varietas melalui pemuliaan konvensional salah satunya dapat dilakukan dengan melakukan persilangan, sedangkan pemuliaan tanaman melalui kutur in vitro dapat dilakukan melalui: 1. Variasi somaklonal yang menyebabkan penyimpangan pada pembelahan sel kalus dan suspensi sel sehingga muncul sifat yang tidak tampak pada induk asalnya. 2. Mutasi dan transformasi seperti mutasi pada klorofil yang menyebabkan tanaman menjadi albino. 3. Hibridisasi somatik, dan lain-lain (Hartman et al., 1990). Perbanyakan vegetatif secara kultur jaringan dapat dilakukan dengan cara kultur meristem, perbanyakan tunas samping, induksi tunas adventif, organogenesis, embriogenesis somatik. Pemuliaan padi secara in vitro lebih banyak menggunakan teknik kultur kalus (Musa, 2008) dan perbanyakan tunas samping. Perbanyakan dengan tunas samping lebih sering digunakan karena menggunakan bahan perbanyakan yang lebih besar bila dibandingkan dengan perbanyakan dengan menggunakan jaringan meristem (Hartman et al., 1990). Sistem perbanyakan dengan menggunakan tunas samping terdiri dari empat tahapan yaitu: 1. Tahap pemantapan eksplan. Pada tahap ini eksplan diperbanyak dan ditanam pada media steril yang mengandung garam mineral, sumber energi, vitamin dan beberapa zat pengatur tumbuh bila diperlukan. Jumlah tunas yang

20 8 dihasilkan pada tahap ini dipengaruhi oleh dominansi apikal masing-masing tanaman. 2. Multiplikasi. Pada tahap ini tunas samping akan diperbanyak dan dipisahkan atau subkultur. Perbanyakan tunas samping dilakukan dengan mengatur konsentrasi dan rasio sitokinin terhadap auksin. 3. Pretransplanting. Tahap ini dilakukan untuk mempersiapkan tunas mikro sebelum dipindahkan dari lingkungan aseptik menuju lingkungan luar (lapang). Pada tahap ini tunas yang akan dipindahtanamkan akan diakarkan terlebih dahulu pada media yang mengandung konsentrasi auksin tinggi dan kandungan sitoknin rendah. 4. Pindah tanam dan aklimatisasi. Pada tahap ini tanaman akan mengalami pergantian kondisi dari heterotrof menjadi autotrof. Tanaman yang akan dipindahtanamkan harus memiliki tingkat kelembaban tinggi dan secara bertahap ditaruh pada kondisi lapang (Hartman, et al., 1990). Induksi mutasi pada tanaman dapat dilakukan dengan menggunakan baik mutagen kimia maupun mutagen fisik. Mutagen fisik maupun kimia memiliki beberapa kekurangan dan kelebihan. Penggunaan mutagen fisik memiliki kelebihan yaitu energi penetrasi yang tinggi sehingga mampu menyebabkan mutasi pada multisel jaringan tanaman. Percobaan induksi mutasi menggunakan mutagen fisik dapat dengan mudah dilakukan percobaan ulang dengan cara yang sama bila dosis dan dosis rata-rata diketahui. Keunggulan lainnya adalah prosedur kerja yang lebih aman baik untuk peneliti maupun lingkungan dibandingkan dengan penggunaan mutagen kimia. Akan tetapi penggunaan mutagen fisik memiliki kekurangan seperti menyebabkan kerusakan pada kromosom lebih banyak dibandingkan dengan mutagen kimia. Mutasi yang disebabkan oleh mutagen fisik memiliki frekuensi mutasi lebih rendah dibandingkan dengan mutasi akibat mutagen kimia. Pada kultur in vitro, mutagen fisik juga menyebabkan terbentuknya pengaruh kimia pada media yang dapat bersifat racun bagi tanaman sehingga tanaman harus dipindahkan ke media baru (Harten, 1990). Perakitan varietas dengan mutasi fisik dapat dilakukan melalui induksi radiasi. Radiasi dapat dilakukan dengan menggunakan sinar gelombang

21 9 elektromagnet. Gelombang yang biasa digunakan adalah ultraviolet, sinar-x dan sinar gamma. Sinar gamma dan sinar-x memiliki energi yang cukup tinggi untuk mengionisasi atom pada molekul yang terpapar. Selain cara di atas, radiasi juga dapat terjadi secara alami. Sumber-sumber radiasi secara alami adalah: 1. Radon. 2. Radiasi dari dalam tubuh manusia. 3. Radiasi matahari dan kosmik. 4. Radiasi dari bebatuan, tanah dan air tanah (Harten, 1998). Dosis radiasi yang diterima merupakan jumlah energi yang diterima dan diserap objek dari sumber pada saat proses radiasi. Unit radiasi dinyatakan dalam beberapa satuan, yaitu: 1. Joule. 2. Electronvolt. 3. Roentgen atau Röntgen (R) merupakan unit spesial lama yang digunakan untuk menyatakan kuantitas dari ionisasi yang terjadi di udara. 4. Gray (Gy) merupakan satuan unit radiasi yang sesuai dengan standar internasional (SI), yang mana 1 Gy = 100 rad. Dosis radiasi yang diterima objek biasa dinyatakan dalam satuan Gy.min -1 atau Gy.s Rad merupakan satuan lama yang digunakan untuk menyatakan dosis radiasi yang diterima. Satuan yang biasa dipakai adalah rad.s -1 atau rad.min -1 yang menyatakan jumlah radiasi yang diterima selama waktu tertentu. 6. Sievert (Sv) merupakan satuan SI yang digunakan untuk menyatakan pengaruh biologi yang ditimbulkan oleh radiasi sebesar 1 gray bagi manusia. 7. Rem (röntgen equivalen man) merupakan satuan unit radiasi lama yang penggunaannya serupa dengan sievert. 8. Becquerel (Bq) merupakan satuan SI yang menyatakan aktivitas dari radionuklida atau radioaktivitas. 9. Curie (Ci) merupakan satuan lama yang menyatakan radioaktivitas dan telah digantikan dengan Bq.

22 LET (Linear Energy Transfer) merupakan energi per unit perlakuan yang memberikan ukuran untuk kepadatan energi yang dikeluarkan oleh partikel selama perlakuan (radiasi). Dosis yang diterima oleh objek dipengaruhi oleh jarak antara sumber dan objek radiasi. Dosis yang diterima berbanding terbalik dengan jarak sehingga semakin besar jarak antara sumber dan objek maka radiasi yang diterima akan semakin kecil (Harten, 1998). Radiasi sinar gamma ditemukan oleh fisikawan Perancis, Henri Becquerel tahun Henri menemukan sinar gamma dipancarkan oleh radium- 226 yang merupakan bagian dari perombakan rantai uranium. Radiasi sinar gamma memiliki energi ionisasi yang sangat tinggi sehingga mampu menembus beberapa jenis materi termasuk jaringan tubuh manusia. Sinar gamma berbeda dengan sinar-x pada sasaran atau target ionisasi. Target radiasi sinar gamma adalah nukleus sedangkan target sinar-x adalah elektron yang melingkupi inti (nukleus) (Environmental Protection Agency, 2010). Sumber radiasi sinar gamma yang sering digunakan adalah Cessium-137, Cobalt-60 dan Technetium-99m. Cessium-137 biasa digunakan untuk pengobatan kanker, mengukur dan mengendalikan aliran cairan pada proses industri, menyelidiki jenis minyak pada sumur minyak bawah tanah, mengukur kepadatan tanah pada lokasi konstruksi, serta meastikan keakuratan isi pada pengemasan makanan, obat dan produk lain. Cobalt-60 banyak digunakan untuk sterilisasi peralatan medis, pasturisasi makanan tertentu, pengobatan kanker, dan mengukur ketebalan logam pada penggilingan baja. Technetium-99m menggunakan isotop radioaktif untuk studi diagnostik. Komposisi kimia yang berbeda digunakan untuk menggambarkan organ otak, tulang, hati, limpa, ginjal dan aliran darah (Environmental Protection Agency, 2010). Tingkat efektivitas radiasi yang diterima tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi tingkat efektivitas radiasi adalah sensitivitas objek yang akan diiradiasi. Sebagai contoh, tanaman berkayu lebih sensitif 2-2,5 kali dibandingkan tanaman semak. Faktor eksternal yang mempengaruhi tingkat efektivitas radiasi adalah oksigen,

23 11 kandungan air, kondisi selama penyimpanan setelah radiasi dan temperatur (Harten, 1998). Iradiasi sinar gamma pada wasabi menurunkan kemampuan regenerasi eksplan. Semakin tinggi dosis maka kemampuan regenerasi semakin menurun. (Hung dan Johnson, 2008). Polyethylene Glycol (PEG) sebagai Agen Seleksi Ketahanan Kekeringan Polyethylene glycol (PEG) digunakan dalam bidang pertanian untuk menyeleksi tanaman yang tahan cekaman kekeringan, karena tidak semua somaklonal hasil kultur jaringan tahan terhadap kekeringan (Bouslama, 1984). PEG merupakan polimer hasil kondensasi dari oksida etilen dan air yang memiliki rumus kimia H(OCH 2 CH 2 ) n OH. Nilai n pada rumus kimia polietilen berkisar antara 4 hingga 180. Polimer yang memiliki nilai n=2 (dietilen glikol) hingga n=4 (tetraetilen glikol) dapat terbentuk secara alami. Polimer yang memiliki berat molekul (BM) lebih rendah dari 700 memiliki sifat tidak berwarna, tidak berbau, berwujud cair dengan titk beku C (dietilen glikol). Sementara untuk polimer yang memiliki BM lebih dari 1000 memiliki bentuk padat di suhu ruang dan memiliki titik leleh tertinggi 67 0 C (untuk polietilen dengan n=180). Polyethylene glycol dapat larut dalam air dan beberapa pelarut organik termasuk hidrokarbon aromatik (non alifatik). Polyethylene glycol juga memiliki sifat tidak beracun, tidak berbau, tidak bereaksi dengan senyawa lain (netral), non volatil dan tidak menyebabkan iritasi (Chemicalland, 2010). Cekaman lingkungan dapat memberikan pengaruh fisiologi dan biokimia yang berbeda-beda pada tanaman. Pengaruh yang diterima pada tanaman bergantung pada mekanisme metabolisme masing-masing tanaman. Respon tanaman padi terhadap cekaman kekeringan adalah dengan cara memproduksi sitotoksik ROS (reactive oxygen species) seperti superoksida (O - 2 ), hidrogen peroksida (H 2 O 2 ) dan gugus hidroksi (OH - ). Ketiga molekul tersebut dapat mengganggu metabolisme normal yang nantinya akan mengkibatkan hilangnya klorofil, peroksidasi pada membran lipid, karboksilasi protein dan menonaktifkan enzim yang mengandung gugus SH. Selain menghasilkan senyawa di atas, ROS juga memproduksi antioksidan (unsur nonenzimatis) untuk detoksifikasi seperti

24 12 tocopherols, antosianin, flavonoid, karotenoid. ROS juga memproduksi enzim seperti SOD (superoxide dismutase) yang merubah superoksida menjadi peroksida dan air, katalase (mengubah H 2 O 2 menjadi air dan oksigen), GPX (guaiacol peroxidase), ascorbate peroksidase dan glutathione reductase. Berdasarkan penelitian Basu et. al. (2010), beberapa varietas padi yang diberi perlakuan induksi kekeringan akan memiliki klorofil lebih rendah dibandingkan pada kondisi normal. Selain itu, produksi peroksida pada tanaman padi yang mengalami induksi kekeringan akan meningkat, hal yang sama juga terjadi pada pembentukan senyawa MDA (Malondialdehyde), LOX (Lipoxygenase) dan senyawa oksida. Akan tetapi, induksi cekaman kekeringan pada tanaman padi akan meningkatkan sintesis senyawa antosianin, flavonoid dan fenolik. Berdasarkan penelitian Husni, Kosmiatin dan Mariska (2006), induksi cekaman kekeringan pada tanaman kedelai dapat dilakukan dengan menambahkan PEG ke dalam media tanam dengan konsentrasi 10%-30%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan tunas pada eksplan kedelai akan menurun seiring dengan kenaikan konsentrasi PEG. Pemberian induksi cekaman pada tanaman padi juga telah dilakukan oleh Biswas et al. (2001) dengan cara menambahkan PEG sebanyak 5 g/l hingga 15 g/l ke dalam media tanam Murashige dan Skoog (MS). Induksi cekaman kekeringan telah dilakukan pula oleh Lestari dan Mariska (2005) pada beberapa jenis padi ladang (gogo), yaitu dengan memberikan PEG dengan konsentrasi 10% (-1,9 bar) hingga 20% (-6,7 bar) pada media pada saat mengecambahkan benih. Berdasarkan hasil penelitian Musa (2008), induksi cekaman kekeringan pada tanaman tebu dapat dilakukan dengan memberikan 10 g/l hingga 20 g/l PEG.

25 13 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2011 hingga bulan Februari 2012 di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. Induksi mutasi kromosom padi dilakukan di Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Atom dan Nuklir (PATIR-BATAN), Jakarta Selatan. Alat dan Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi bahan media tanam, bahan tanaman dan bahan sterilisasi. Bahan yang digunakan sebagai media tanam adalah larutan media tanam MS (Murashige-Skoog), NAA dan BAP untuk menginduksi pembentukan tunas, agar-agar, serta Polyethylene glycol (PEG) 6000 sebagai penginduksi cekaman kekeringan pada eksplan. Bahan tanaman yang dipakai adalah benih padi varietas Sintanur yang diperoleh dari Balai Penelitian Padi (BALITPA) Sukamandi. Benih berasal dari hasil panen pada musim tanam kedua tahun Bahan sterilisasi yang digunakan adalah Sodium Hipoklorit (NaClO 3 ) 5% dan alkohol. Bahan lain yang digunakan adalah aquades, spirtus, alkohol 70%, tissue dan plastik wrap. Alat yang dipakai untuk penelitian ini adalah alat iradiasi gamma Chamber, botol kultur, alat-alat kultur, autoclave dan Laminar Air Flow Cabinet. Metode Pelaksanaan Disain perlakuan menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua faktor yaitu: perbedaan dosis iradiasi sebagai faktor I dan taraf konsentrasi PEG sebagai faktor II. Perlakuan dosis iradiasi yang digunakan terdiri dari lima taraf yaitu R0=0 Gy, R1=100 Gy, R2=200 Gy, R3=300 Gy, R4=400 Gy, dan R5=500 Gy. Iradiasi sinar gamma yang digunakan berasal dari Cobalt 60.

26 Jumlah PEG yang dibutuhkan untuk menginduksi cekaman kekeringan dapat dihitung dengan menggunakan rumus: 14 Y = Tekanan osmotik (bar) C = Konsentrasi PEG 6000 (g/l) T = Suhu ( 0 C) (Michel dan Kaufmann, 1973). Perlakuan konsentrasi PEG terdiri dari empat taraf yaitu I0= 0 g/l, I1= 116,538 g/l (-0,2 bar), I2= 174,674 g/l (-0,4bar) dan I3= 219,547 g/l (-0,6 bar). Masingmasing perlakuan diulang sebanyak 5 ulangan yang terdiri dari 10 benih sebagai eksplan yang diamati sehingga terdapat 1200 satuan amatan. Model rancangan percobaan yang digunakan adalah: Y ijk μ = pengamatan pada dosis iradiasi ke-i, konsentrasi PEG ke-j, dan ulangan ke-k; = rataan umum; α i = pengaruh dosis iradiasi ke-i, i = 1,...,5; β j = pengaruh konsentrasi PEG ke-j, j = 1,...,5; ε ijk = pengaruh acak pada dosis iradiasi ke-i, konsentarsi PEG ke-j dan ulangan ke-k, k = 1,...,10 (Gomez dan Gomez, 1995). Data yang dihasilkan dianalisis menggunakan uji F serta dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT). Pelaksanaan Percobaan Sterilisasi Alat Tanam. Semua peralatan yang dipakai dalam kultur jaringan harus dalam keadaan steril untuk mengurangi persentase kontaminasi. Alat tanam, botol kultur serta Laminar Air Flow Cabinet harus disterilisasi terlebih dahulu sebelum digunakan. Sterilisasi botol kultur, alat kultur serta air steril dilakukan dengan cara memasukkan ke dalam autoclave dengan suhu 121 C dan tekanan 17.5 psi (pound per square inch) selama 60 menit. Sterilisasi alat tanam seperti pinset, scalpel, gunting dan cawan petri dibungkus dahulu dengan

27 15 menggunakan kertas sebelum dimasukkan ke dalam autoclave. Setelah disterilisasi, botol kultur disimpan pada rak bersih, kering dan tertutup. Sedangkan untuk alat tanam disimpan dalam oven untuk mencegah menempelnya sumber kontaminan pada alat kultur. Sterilisasi Laminar Air Flow Cabinet dilakukan dengan menggunakan sinar UV selama 1 jam sebelum digunakan atau dengan membersihkannya dengan menggunakan alkohol 70%. Persiapan Media Tanam. Media tanam yang dipakai untuk kultur in vitro setelah benih diiradiasi adalah jenis Murashige-Skoog, (1962) dengan zat pengatur tumbuh NAA 0,1 mg/l dan BAP 1 mg/l serta penambahan PEG. PEG yang diberikan sesuai dengan tingkat cekaman pada masing-masing perlakuan. Tahapan pembuatan media dimulai dengan memipet larutan stok sesuai dengan konsentrasi yang dibutuhkan untuk membuat 1 liter media. Selanjutnya media ditambahkan gula, zat pengatur tumbuh dan PEG sesuai perlakuan. Setelah itu, media ditambahkan aquades hingga mencapai 1 liter. Kemudian larutan media yang telah bervolume 1 liter diukur phnya. Media tanpa penambahan PEG, ph media adalah sebesar 5,9. Sedangkan media seleksi dengan PEG, ph media adalah sebesar 6,2. Untuk mengatur ph media digunakan HCl 1 N dan KOH 1 N. Media yang telah diukur phnya ditambahkan agar-agar dan dimasak hingga mendidih. Setelah itu media dimasukkan ke dalam botol kultur bervolume 200 ml yang telah disterilisasi sebanyak 20 ml serta ditutup dengan plastik bening tahan panas dan karet. Media yang telah ditutup disterilisasi dengan menggunakan autoclave selama 20 menit lalu disimpan pada rak penyimpanan media. Iradiasi Bahan Tanam. Benih yang digunakan sebagai bahan tanaman diiradiasi terlebih dahulu sesuai dengan dosis yang telah ditentukan. Iradiasi dilakukan pada bulan Maret 2011 di Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Atom dan Nuklir (PATIR-BATAN), Jakarta Selatan. Benih diiradiasi menggunakan gamma chamber dengan sumber iradiasi berasal dari Cobalt 60. Masing-masing dosis iradiasi dilakukan pada 300 butir benih yang telah dimasukkan ke dalam botol kultur bervolume 200 ml. Sterilisasi Bahan Tanam. Benih yang telah diiradiasi, dikupas dahulu untuk menghilangkan sekam yang ada. Pengupasan dilakukan untuk

28 16 memaksimalkan kerja bahan sterilan yang digunakan. Benih selanjutnya dicuci dengan menggunakan detergen dan dibilas dengan air bersih. Selanjutnya benih direndam dengan alkohol 70% selama 10 menit sambil dikocok. Setelah 10 menit, benih dibilas dengan aquadestilata steril dan direndam kembali sebentar ke dalam alkohol 70%. Setelah itu, benih direndam dalam larutan sodium hipoklorit konsentrasi 50 % selama 30 menit dan kemudian direndam kembali dalam larutan sodium hipoklorit 10% selama 15 menit. Benih yang telah disterilisasi langsung ditanam pada masing-masing media perlakuan yang telah disiapkan. Pindah Tanam. Pindah tanam dilakukan setelah bibit/planlet berumur satu bulan setelah kultur atau setelah benih bertunas dan diulang setiap satu bulan sekali untuk mencegah kematian karena kekurangan unsur hara. Bila planlet yang akan dipindah tanam memiliki lebih dari dua tunas maka dilakukan pemisahan terlebih dahulu. Pengamatan Pengamatan yang dilakukan pada masing-masing sampel meliputi: 1. LD 50 iradiasi yang diamati dengan cara menghitung benih yang berkecambah setelah ditanam pada media kultur mulai dari minggu pertama hingga minggu sebelum pindah tanam. Kriteria benih yang tumbuh yaitu benih berkecambah. 2. Tinggi tunas diamati dengan cara mengukur tinggi tanaman. Pengukuran dilakukan mulai dari akar hingga daun tertinggi. Pengamatan tinggi tunas akan dilakukan pada saat subkultur untuk mengurangi kesalahan paralaks pada saat pengukuran serta mengurangi persentase kontaminasi. 3. Jumlah anakan yang terbentuk serta kondisi morfologi anakan pada masingmasing eksplan. Penghitungan jumlah anakan dilakukan setiap minggu mulai dari minggu pertama hingga minggu akhir pengamatan. 4. Waktu benih berkecambah dan tipe perkecambahan benih. Selain ditanam pada media kultur, benih juga dikecambahkan dengan menggunakan metode uji kertas digulung didirikan dalam plastik (UKDdp). Tipe perkecambahan benih terbagi ke dalam dua jenis yaitu kecambah normal dan tidak normal. Penggolongan kecambah dilakukan berdasarkan kriteria abnormal jika tidak

29 memiliki akar primer, akar sekunder tidak berkembang serta plumula (calon daun) tidak berkembang. 17 A. Normal B. Abnormal Gambar 3. Kecambah padi varietas Sintanur yang dikecambahkan dengan metode UKDdp. A. Kecambah normal; B. Kecambah abnormal 5. Persentase keragaman fenotipe (% KKF) (Murdaningsih et al. 1999) Kategori keragaman berdasarkan % KKF an a a a ak an a aan a ak an, < 24,9 sempit (S) 24,9 < 49,7 agak sempit (AS) 49,7 < 74,7 agak luas (AL) 74,7 < 99,65 luas (L) >99,65 sangat luas (SL)

30 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Bahan tanam yang digunakan adalah benih padi varietas Sintanur yang diperoleh dari Balai Penelitian Padi (BALITPA) Sukamandi. Benih berasal dari hasil panen pada musim tanam kedua tahun Benih diiradiasi pada bulan Maret 2011 dan langsung ditanam pada media perlakuan. Iradiasi yang diberikan tidak mempengaruhi waktu berkecambah benih, sedangkan perlakuan seleksi kekeringan memberikan pengaruh nyata. Benih yang di tanam pada media tanpa perlakuan seleksi mulai tumbuh saat empat hari setelah tanam, sedangkan benih yang ditanam pada media seleksi I1 (116,538 g/l PEG), I2 (174,674 g/l PEG) dan I3 (219,547 g/l PEG) mulai tumbuh sejak satu minggu setelah tanam. Semakin tinggi konsentrasi PEG maka pertumbuhan eksplan semakin terhambat. Kontaminasi pada kultur dimulai saat eksplan berumur satu minggu setelah tanam (MST). Kontaminasi pada minggu pertama disebabkan oleh eksplan awal yang dipakai berasal dari benih yang diambil dari lapang, sehingga diduga terjadi kegagalan saat sterilisasi. Kontaminasi eksplan semakin tinggi saat dilakukan subkultur pada eksplan. Kontaminasi saat awal minggu hingga saat subkultur disebabkan oleh cendawan, sedangkan setelah subkultur kontaminasi lebih banyak disebabkan oleh bakteri yang pada beberapa kultur disertai dengan kontaminasi cendawan. Eksplan yang diiradiasi mulai menunjukkan pembentukan anakan pada saat berumur 2 MST, sedangkan pada eksplan yang tidak diiradiasi (kontrol) mulai membentuk anakan setelah berumur 4 MST. Jumlah anakan pada setiap perlakuan semakin meningkat setelah dilakukan subkultur akan tetapi pertambahan anakan tidak menunjukkan pola tertentu.

31 19 Kontaminasi Kontaminasi pada kultur disebabkan baik oleh cendawan maupun bakteri. Sumber kontaminan dapat berasal dari faktor eksternal maupun faktor internal. Kontaminan yang berasal dari eksternal dapat berasal dari kebersihan ruang tanam, alat tanam serta laminar yang digunakan. Faktor luar lain yang mempengaruhi kontaminasi eksplan adalah kurangnya ketelitian pada saat menanam. Kontaminan yang berasal dari faktor internal adalah dari bahan tanam yang digunakan. Cendawan Bakteri Gambar 4. Kultur in vitro padi hasil iradiasi Cobalt 60 pada media PEG yang terkontaminasi Kultur yang menunjukkan kontaminasi pada media padat diselamatkan dengan cara memindahkan eksplan ke media steril. Sedangkan pada kultur yang dilakukan di media cair (media perlakuan) dilakukan dengan cara membilas eksplan yang belum terkontaminasi dengan air steril. Kontaminasi bakteri pada kultur di media cair (Gambar 4) diselamatkan dengan cara membilas eksplan dengan air steril sebanyak tiga sampai empat kali kemudian direndam selama 5 menit dalam larutan sodium hipoklorit 5 %. Kontaminasi pada kultur mulai terlihat pada saat satu minggu setelah tanam dan semakin meningkat hingga minggu ke delapan (Tabel 1). Kontaminasi semakin meningkat setelah dilakukan subkultur. Kontaminasi yang terjadi didominasi oleh kontaminasi media akibat cendawan. Kontaminasi yang terjadi pada minggu pertama setelah tanam dapat disebabkan oleh kegagalan sterilisasi bahan tanam. Bahan tanam yang digunakan adalah benih padi yang berasal dari

32 lapang sehingga kemungkinan kontaminasi masih sangat besar. Media PEG yang cair menyebabkan sulitnya menyelamatkan eksplan yang belum terkontaminasi. Tabel 1. Persentase kontaminasi eksplan kultur padi varietas Sintanur setelah iradiasi sinar gamma Cobalt 60 secara in vitro Iradiasi Cobalt 60 Persentase Kontaminasi Kultur Minggu ke- MST %... 0 Gy 0 5,0 5,0 5,0 5,0 12,5 12,5 21,0 100 Gy 0 10,0 10,0 20,0 20,0 25,0 25,0 25,0 200 Gy 5,0 5,0 5,0 5,0 5,0 24,5 27,0 28,0 300 Gy 5,0 20,0 20,0 20,0 25,0 45,5 50,5 50,5 400 Gy ,0 25,0 25,0 35,5 500 Gy 0 5 5,0 5,3 20,0 47,5 47,5 47,5 Persentase kontaminasi yang semakin meningkat setelah dilakukan subkultur (Tabel 1) dapat disebabkan oleh kurang bersihnya laminar yang dipakai pada saat subkultur serta terlalu lamanya eksplan berada di luar botol kultur. Eksplan terlalu lama berada di luar botol kultur disebabkan pada saat pengukuran, tinggi eksplan melebihi lebar cawan petri yang digunakan. Daya Berkecambah Selain ditanam pada media kultur, benih juga dikecambahkan dengan menggunakan metode uji kertas digulung didirikan dalam plastik (UKDdp). Benih yang dikecambahkan disimpan pada wadah yang telah diatur agar kelembabannya tinggi serta mendapatkan sinar matahari yang cukup. Setelah tujuh hari, hasil uji dapat dilihat dan dikelompokkan ke dalam kriteria kecambah normal, abnormal dan mati. Daya berkecambah benih dilihat dari perbandingan jumlah kecambah normal dengan jumlah kecambah abnormal dan mati. Kecambah dapat dikategorikan sebagai kecambah abnormal jika tidak memiliki akar primer, akar sekunder tidak berkembang serta plumula (calon daun) tidak berkembang. 20

33 21 Berdasarkan hasil uji UKDdp terhadap daya berkecambah yang telah dilakukan, perlakuan R0 (tanpa iradiasi) memiliki daya berkecambah yang paling tinggi, sedangkan perlakuan R5 (500 Gy) memiliki daya berkecambah yang paling rendah (Tabel 2). Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa semakin tinggi dosis iradiasi, daya berkecambah benih semakin menurun. Kondisi ini menunjukkan bahwa iradiasi yang dilakukan membuat viabilitas benih semakin menurun. Diperkirakan iradiasi yang dilakukan merusak komponen benih, baik secara sitologi maupun genetik benih. Tabel 2. Persentase daya berkecambah benih padi varietas Sintanur yang telah diberi perlakuan iradiasi sinar gamma Cobalt 60 dengan metode UKDdp Iradiasi Cobalt 60 Kecambah Normal (%) Kecambah Abnormal dan Mati (%) (Gy) 0 94,3 5, ,3 6, ,7 14, ,0 20, ,3 47, ,7 53,3 Daya berkecambah benih berbeda dengan LD 50 benih. LD 50 (lethal dosage 50) merupakan dosis iradiasi yang mampu mematikan 50% dari populasi objek yang diradiasi (Harten, 1998). LD 50 diamati pada benih yang ditanam pada media I0 (media kontrol). Kondisi ini bertujuan untuk meminimalisir pengaruh kematian kecambah karena tekanan osmotik tinggi. Selain itu, LD50 diamati pada saat kultur berumur lima minggu, kondisi ini ditujukan untuk mempelajari kemampuan hidup kecambah setelah diiradiasi oleh sinar gamma. Berdasarkan Gambar 5, persentase kematian kecambah paling tinggi adalah perlakuan iradiasi 500 Gy (R5), sedangkan yang paling rendah adalah perlakuan tanpa iradiasi (R0). Dosis iradiasi yang semakin tinggi menyebabkan tingkat kematian kecambah yang semakin tinggi pula. Akan tetapi pada dosis iradiasi

34 22 200Gy (R2) tingkat kematian kecambah lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat kematian kecambah pada perlakuan iradiasi 100 Gy (R1). Kondisi ini dapat disebabkan oleh kontaminasi kecambah yang terjadi sejak minggu pertama pada perlakuan R2. Berdasarkan hasil analisis data, dosis iradiasi berpengaruh sangat nyata terhadap persentase kematian kecambah. Pengaruh yang terjadi berupa respon linier dengan persamaan y = 0,139 x - 2,19 dan nilai R 2 = 0,86 (Gambar 5). Peningkatan dosis iradiasi meningkatkan persentase kematian kecambah. Berdasarkan persamaan di atas LD 50 bagi padi varietas Sintanur diperoleh pada dosis iradiasi berikut:. % Kematian Y = 0,139x - 2,19 R 2 = 0, Dosis Iradiasi Cobalt 60 (Gy) Gambar 5. Grafik pengaruh dosis iradiasi sinar gamma Cobalt 60 persentase kematian kecambah padi terhadap Kematian pada Kecambah Beberapa benih yang telah ditanam pada media kultur perlahan-lahan memperlihatkan tanda-tanda kematian seperti menghitamnya daun sebelum sempat dilakukan subkultur. Pada beberapa kecambah lainnya, tanda-tanda kematian mulai terlihat setelah dilakukan subkultur. Kecambah yang mulai

35 23 mengalami gejala kematian sebelum dilakukan subkultur (Gambar 6 kiri) dapat disebabkan oleh rusaknya embrio akibat iradiasi sinar gamma yang tinggi maupun proses sterilisasi yang dilakukan. Iradiasi sinar gamma diperkirakan menyebabkan susunan DNA dan membran rusak sehingga kecambah yang diiradiasi tidak mampu bertahan hidup seperti kecambah kontrol (tanpa iradiasi). Beberapa kecambah yang telah disubkultur mulai berwarna kehitaman terutama pada bagian daun tua, pangkal daun dan akar yang terpotong (Gambar 6 kanan). Pada awalnya hanya bagian yang terluka karena dipotong dengan pisau scalpel saja yang menunjukkan tanda kematian yaitu berwarna menghitam. Akan tetapi setelah satu minggu kemudian daun muda hingga titik tumbuh menghitam. Menghitamnya kecambah disebabkan oleh proses oksidasi senyawa fenolik yang merupakan rangkaian proses mekanisme pertahanan tanaman terhadap cekaman kekeringan. Kecambah yang menghitam Kecambah yang menghitam Gambar 6. Kecambah padi yang memperlihatkan tanda kematian (kecambah menghitam): sebelum subkultur pada media tanpa perlakuan PEG (kiri) dan sesudah subkultur pada media perlakuan PEG (kanan) Secara alami, tanaman yang diberi cekaman kekeringan akan membentuk mekanisme ketahanan yaitu dengan cara meningkatkan pembentukan senyawa tertentu seperti antosianin, flavonoid (Basu et al., 2010), superoxide dismutase (SOD), katalase, ascorbate perxidase (APX), guaiacol peroxidase (GPOX), glutathione reductase (GR) serta antioksidan lainnya baik yang bersifat enzimatis maupun nonenzimatis (Gill dan Tuteja, 2010). Selain memproduksi senyawa antioksidan, cekaman kekeringan membentuk radikal bebas seperti senyawa

36 24 fenolik, senyawa oksigen yang bersifat reaktif (ROS) seperti hidroksil radikal, singlet oksigen, superoksida radikal, hidrogen peroksida (H 2 O 2 ), serta malondialdehyde (Basu et al., 2010 dan Gill dan Tuteja, 2010). Senyawa fenolik yang dikeluarkan oleh tanaman inilah yang dapat menyebabkan tanaman mati. Secara alami, senyawa fenolik merupakan antioksidan yang dikeluarkan tanaman untuk mempertahankan diri jika terkena cekaman baik abiotik maupun biotik (Sakihama et al., 2002). Akan tetapi pada saat tanaman terkena cekaman kekeringan, tanaman juga membentuk fenoksil radikal. Fenoksil radikal terbentuk saat senyawa fenolik teroksidasi oleh oksigen. Fenoksil radikal yang terbentuk ada yang mudah terdegradasi dan ada pula yang sulit terdegradasi. Fenoksil radikal yang sulit terdegradasi inilah yang membahayakan tanaman. Fenoksil radikal yang terbentuk bila berikatan dengan logam Cu dan Fe dapat berbahaya bagi DNA (deoxyribose nucleic acid), lemak dan molekul biologi lainnya (Sakihama et al., 2002). Selain itu, beberapa senyawa fenolik pada tanaman ada yang bersifat alelopati. Apabila senyawa fenolik yang bersifat alelopati ini terbentuk, maka permeabilitas membran sel akan meningkat dan menyebabkan membran menjadi tidak bersifat selektif lagi. Kondisi ini kemudian dapat menyebabkan keluarnya senyawa komponen sitoplasma sel serta peroksidasi lemak. Pada keadaan tertentu, senyawa fenolik ini mampu menghambat penyerapan hara (Li et al., 2010). Akan tetapi untuk mengetahui secara mendalam mengenai senyawa apa yang dihasilkan oleh padi pada saat terkena cekaman kekeringan serta mekanisme ketahanannya diperlukan penelitian lebih lanjut. Selain senyawa fenolik, senyawa H 2 O 2 yang dihasilkan oleh tanaman akan menonaktifkan beberapa enzim yang terkait dengan siklus Calvin pada proses fotosintesis (Smirnoff, 1993). Kondisi ini diduga menyebabkan keseimbangan metabolisme tanaman terganggu dan menimbulkan kematian. Siklus calvin yang terganggu menyebabkan terbentuknya singlet oksigen (O 2 ). Singlet oksigen terbentuk secara alami pada tanaman seperti pada klorofil, protoporphyrin IX, serta pada komponen sekunder (quinones, furanocoumarines, polyacetylenes dan thiopenes) dan relatif bersifat reaktif. Singlet oksigen juga

37 25 bersifat elektrofilik sehingga mampu menggantikan ikatan ganda (oksidasi) komponen tanaman seperti asam lemak tak jenuh histidine, methionine, tryptophan dan guanin (Smirnoff, 1993). Diduga oksidasi asam lemak serta denaturasi protein yang terjadi pada klorofil yang menyebabkan tanaman menjadi kehilangan klorofil dan mati. Pada dasarnya tanaman mampu membentuk senyawa antioksidan untuk mempertahankan hidupnya. Akan tetapi kondisi ini terjadi bila tanaman terkena cekaman kekeringan dalam periode waktu yang singkat. Namun apabila tanaman terkena cekaman kekeringan dalam waktu yang relatif lama, tanaman tidak mampu menyeimbangkan pembentukan antioksidan dengan senyawa reaktif oksigen (De Carvalho, 2008) seperti yang tersaji pada Gambar 7. Gambar 7. Reaksi tanaman bila diberikan cekaman kekeringan dengan periode tertentu. (De Carvalho, 2008) Tinggi Kecambah Secara morfologi, kecambah memiliki beberapa perbedaan terutama pada tinggi dan lebar daun. Perbedaan tinggi kecambah sangat dipengaruhi oleh faktor iradiasi dan media perlakuan seperti yang terlihat pada Tabel 3 dan Lampiran 3. Koefisien keragaman pada minggu pertama setelah tanam lebih kecil bila dibandingkan dengan minggu kelima setelah tanam. Kondisi ini disebabkan pada

38 minggu pertama belum semua benih berkecambah dan rata-rata pertumbuhannya seragam. Pada minggu kelima setelah tanam mulai terlihat pengaruh dari perlakuan iradiasi dan media yang diberikan. Koefisien keragaman yang tinggi menandakan adanya pengaruh iradiasi yang menyebabkan genetik setiap kecambah berbeda. Tabel 3. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh iradiasi Cobalt 60 dan PEG terhadap tinggi kecambah padi varietas Sintanur Umur Kecambah Perlakuan Iradiasi Media Iradiasi*Media KK (%) 1 MST ** ** ** MST ** ** ** 61,618 Keterangan: Tanda ** menunjukkan pengaruh yang sangat nyata menurut uji DMRT taraf 1%. KK = koefisien keragaman. 26 Gambar 8. Perbandingan tinggi tanaman hasil pengecambahan dengan cara UKDDP. Kiri ke kanan: R0: 0 Gy, R1: 100Gy, R2: 200 Gy, R3: 300 Gy, R4: 400 Gy dan R5: 500 Gy Secara umum tinggi kecambah pada setiap perlakuan meningkat dari minggu pertama hingga kelima, akan tetapi pertambahan tinggi kecambah pada masing-masing perlakuan berbeda. Nilai rata-rata tinggi yang paling besar ditunjukkan pada kecambah yang tidak diberikan perlakuan iradiasi atau R0 dan

39 pertambahan yang paling kecil adalah R5 (Gambar 8). Perlakuan iradiasi sinar gamma sebagian besar memberikan pengaruh pertumbuhan yang lambat (Lampiran 5). Akan tetapi pada minggu kelima, tinggi kecambah pada perlakuan R2 lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi kecambah pada perlakuan R1 (Tabel 4). Kondisi ini membuktikan bahwa pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap tanaman dapat bersifat acak, sehingga diperlukan pembuktian secara genetik untuk melihat mutasi yang terjadi. Hal yang sama terjadi pada wasabi, pemberian dosis radiasi yang semakin tinggi akan menghambat metabolisme, sehingga akan menghambat pertambahan tinggi eksplan (Hung, 2008). Selain itu, hal yang sama juga terjadi pada Tricyrtis hirta (Japanese toad lily) yang telah diradiasi dengan menggunakan ion 12 C +6. Semakin tinggi dosis iradiasi yang diberikan, tinggi tunas yang dihasilkan akan semakin pendek (Nakano, et al., 2010). Tabel 4. Pengaruh perlakuan iradiasi sinar gamma Cobalt 60 terhadap ratarata tinggi kecambah pada minggu pertama dan kelima Perlakuan Iradiasi Tinggi Kecambah (cm) 1 MST 5 MST R0: 0 Gy 2,22 a 10,92 a R1: 100 Gy 1,96 ab 6,55 bc R2: 200 Gy 1,78 b 7,67 b R3: 300 Gy 1,93 ab 5,59 bc R4: 400 Gy 0,93 c 4,78 bc R5: 500 Gy 0,86 c 3,81 c Uji F ** ** KK (%) ,618 Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%. Tanda ** menunjukkan pengaruh yang sangat nyata menurut uji DMRT taraf 1%. KK = koefisien keragaman. Selain kontrol, nilai tinggi kecambah yang lebih besar belum dapat dikatakan bahwa perlakuan tersebut yang menghasilkan mutan yang terbaik. Kondisi ini disebabkan oleh mutasi yang terjadi pada setiap benih masih bersifat 27

40 acak dan membutuhkan kegiatan subkultur. Subkultur bertujuan memisahkan kimera yang terbentuk hingga tanaman yang dihasilkan memiliki penampilan serta genetik yang seragam. Selain itu, perbedaan penampilan dapat disebabkan oleh respon masing-masing benih terhadap perlakuan berbeda. Kecambah yang ditanam pada media tanpa PEG (I0) menunjukkan pertambahan tinggi rata-rata yang paling besar (Tabel 5). Kondisi ini disebabkan media I0 tidak ditambahkan PEG sehingga kecambah tidak mengalami hambatan pertumbuhan. Rata-rata tinggi kecambah semakin menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi PEG. Keadaan ini menunjukkan bahwa simulasi cekaman kekeringan yang diberikan menghambat proses pertumbuhan kecambah. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa cekaman kekeringan menyebabkan terganggunya proses metabolisme pada tanaman. Terganggunya proses metabolisme menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat dan mati. Tabel 5. Pengaruh perlakuan media PEG terhadap rata-rata tinggi kecambah Media PEG (g/l) Tinggi Kecambah (cm) 1 MST 5 MST I0 = 0 3,6 a 15,9 a I1 = 116,538 1,8 b 7,1 b I2 = 174,674 1,0 c 2,9 c I3 = 219,547 0,07 d 0,8 c Uji F ** ** KK (%) ,618 Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%. Tanda ** menunjukkan pengaruh yang sangat nyata menurut uji DMRT taraf 1%. KK = koefisien keragaman. Secara fenotipe kecambah yang tumbuh dari benih yang diiradiasi dengan benih yang tidak diiradiasi memiliki beberapa perbedaan, seperti yang terlihat pada Lampiran 5. Daun kecambah yang berasal dari benih yang diiradiasi memiliki perbedaan meskipun berasal dari perlakuan yang sama. Pada Gambar 9, contoh daun yang telah di beri perlakuan iradiasi diambil dari perlakuan yang 28

41 sama yaitu R4. Daun yang paling bawah merupakan daun dari kecambah yang tidak diberi perlakuan iradiasi. 29 Perlakuan iradiasi Tanpa iradiasi Gambar 9. Perbandingan daun yang tumbuh dari benih yang telah diiradiasi dan yang tidak diiradiasi pada media PEG 116,538 g/l Jumlah Anakan Selain itu, iradiasi sinar gamma yang diberikan menyebabkan kecambah mampu menghasilkan jumlah anakan yang lebih banyak bila dibandingkan dengan kecambah yang tidak diberi perlakuan iradiasi (Lampiran 8). Pada media kontrol (I0) planlet yang tidak diberi perlakuan iradiasi (R0) mampu menghasilkan paling banyak 13 anakan pada minggu terakhir. Sedangkan pada kecambah yang diberi perlakuan iradiasi sinar gamma, jumlah anakan terbanyak yang dihasilkan mencapai 54 anakan yaitu pada perlakuan R4 (Gambar 10 dan Gambar 11). Pada media dengan penambahan PEG sebesar 116,538 g/l (I1), jumlah anakan terbanyak dihasilkan oleh perlakuan kontrol yaitu sebesar 23 anakan (Lampiran 1). Perlakuan iradiasi sinar gamma 500 Gy memiliki jumlah anakan tertinggi pada media dengan penambahan 174,674 g/l (I2). Pada media I3 dengan penambahan PEG 219,547 g/l, tidak ada planlet yang mampu membentuk anakan. Kondisi ini dapat disebabkan cekaman kekeringan yang terlalu tinggi menyebabkan kematian pada kecambah.

42 30 Jumlah Anakan g/l PEG 116,538 g/l PEG 174,674 g/l PEG 219,547 g/l PEG Iradiasi Cobalt 60 (Gy) Gambar 10. Grafik perbandingan jumlah anakan padi varietas Sintanur terbanyak setelah iradiasi sinar gamma Cobalt 60 pada masing-masing perlakuan media dengan penambahan PEG (8 MST) A B Gambar 11. Multiplikasi anakan terbanyak yang diberi perlakuan iradiasi sinar gamma Cobalt 60 dosis 400 Gy pada media tanpa PEG. A. Umur 6 MST dan B. Umur 7 MST Multiplikasi anakan terjadi pada semua perlakuan baik kontrol maupun pada kecambah yang diberi perlakuan iradiasi dan cekaman kekeringan. Multiplikasi anakan terjadi mulai dari minggu kedua setelah tanam seperti yang terlihat pada Tabel 6 dan Lampiran 2. Sebagian besar perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh kepada variabel pengamatan jumlah tunas. Akan tetapi mulai minggu keenam, perlakuan iradiasi tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah tunas. Perlakuan media memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah anakan mulai dari minggu kedua pengamatan hingga minggu terakhir

43 pengamatan. Koefisien keragaman yang ditunjukkan semakin meningkat dari minggu pertama hingga minggu kedelapan. Koefisien keragaman yang semakin meningkat menunjukkan keragaman semakin terlihat seiring dengan pertambahan umur kultur. Umur Kultur Tabel 6. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan iradiasi Cobalt 60 dan media PEG terhadap jumlah anakan padi varietas Sintanur Perlakuan Iradiasi Media Iradiasi*Media KK (%) 1 MST MST * * ** 7,02 3 MST ** ** ** 3,71 4 MST * ** ** 13,04 5 MST tn ** ** 16,88 6 MST tn ** ** 19,45 7 MST tn ** tn 26,25 8 MST tn ** * 33,78 Keterangan: ** menunjukkan pengaruh yang sangat nyata menurut uji DMRT taraf 1%. * menunjukkan pengaruh nyata menurut uji DMRT taraf 5%. tn = tidak nyata. KK = koefisien keragaman. Data yang dianalisis adalah data yang telah ditransformasi dengan. Berdasarkan Tabel 7, perlakuan iradiasi sinar gamma 400 Gy (R4) memiliki jumlah anakan terbanyak mulai minggu kedua hingga minggu keenam dan minggu kedelapan setelah tanam. Perlakuan iradiasi 200 Gy (R2) memiliki jumlah anakan tertinggi pada minggu ketujuh pengamatan (7 MST). Meskipun memiliki jumlah anakan yang tertinggi pada minggu ketiga, jumlah anakan pada perlakuan R4 mengalami penurunan. Penurunan jumlah anakan disebabkan oleh kematian kecambah pada perlakuan tersebut. Selain itu, perlakuan R4 yang ditanam pada media tanpa perlakuan seleksi (I0) saat minggu kedelapan memiliki jumlah anakan yang tinggi hingga mencapai 54 anakan (Gambar 10). Akan tetapi rata-rata jumlah anakan yang dihasilkan hanya sebesar 1,5 anakan (Tabel 7). Kondisi ini disebabkan oleh banyaknya kultur yang tidak menghasilkan anakan pada perlakuan media seleksi kekeringan lainnya. 31

44 32 Tabel 7. Pengaruh iradiasi sinar gamma Cobalt 60 jumlah anakan padi varietas Sintanur terhadap rata-rata Perlakuan Iradiasi (Gy) Umur Kultur (MST) b 0b 0,1b 0,1b 0,2a 0,3b 0,8a b 0b 0b 0,1b 0,3a 0,5ab 0,8a b 0b 0b 0,1b 0,4a 0,9a 1,1a b 0b 0b 0,1b 0,3a 0,5ab 1a ,1a 0,1a 0,3a 0,4a 0,5a 0,7ab 1,5a b 0b 0,2ab 0,3ab 0,4a 0,6ab 0,8a Uji F - * ** * tn tn tn tn KK (%) - 7,02 3,71 13,04 16,88 19,45 26,25 33,78 Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%. Angka yang dicetak tebal merupakan rata-rata jumlah anakan terbanyak. ** menunjukkan pengaruh yang sangat nyata menurut uji DMRT taraf 1%. * menunjukkan pengaruh nyata menurut uji DMRT taraf 5%. tn = tidak nyata. KK = koefisien keragaman. Data yang dianalisis adalah data yang telah ditransformasi dengan. Berbeda dengan benih padi, wasabi yang diiradiasi dengan sinar gamma 10 Gy, 20 Gy, 40 Gy dan 80 Gy memiliki jumlah tunas yang lebih sedikit seiring dengan meningkatnya dosis (Hung, 2008). Akan tetapi berdasarkan penelitian telah dilakukan pada Tricyrtis hirta, iradiasi ion 12 C +6 mampu meningkatkan jumlah tunas per kecambah (Nakano et al., 2010). Namun pada saat dosis iradiasi 20 Gy, jumlah tunas lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan dosis 10 Gy (Nakano et al., 2010). Berdasarkan Tabel 8, jumlah anakan yang dihasilkan semakin meningkat setiap minggunya. Akan tetapi pada minggu ketiga terjadi penurunan jumlah anakan, kondisi ini disebabkan adanya kecambah yang terkontaminasi atau mati. Kecambah yang ditanam pada media tanpa PEG (I0) memiliki rata-rata jumlah anakan yang lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah anakan pada media dengan penambahan PEG (Tabel 8). Seperti yang telah dibahas sebelumnya, mekanisme tanaman bila terkena cekaman kekeringan akan menghasilkan beberapa senyawa yang mampu menghambat pertumbuhan kecambah sehingga

45 33 kecambah akan mati. Pada media seleksi I3 (219,547 g/l PEG), tidak ada kecambah yang mampu membentuk anakan. Kondisi ini dapat disebabkan padi varietas sintanur tidak mampu berkembang biak bila terkena cekaman kekeringan -0,6 bar. Tabel 8. Pengaruh media perlakuan seleksi kekeringan dengan PEG terhadap rata-rata jumlah anakan padi varietas Sintanur Perlakuan PEG (g/l) Umur Kultur (MST) I0=0 0 0,1a 0,1a 0,3a 0,4a 0,7a 1,4a 2,1a I1 = 116, b 0b 0,1b 0,1b 0,4b 0,6b 1b I2 = 174, b 0b 0,1b 0,1b 0,2bc 0,2c 0,7bc I3 = 219, b 0b 0b 0b 0b 0c 0c Uji F - * ** ** ** ** ** ** KK (%) - 7,02 3,71 13,04 16,88 19,45 26,25 33,78 Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%.** menunjukkan pengaruh yang sangat nyata menurut uji DMRT taraf 1%. * menunjukkan pengaruh nyata menurut uji DMRT taraf 5%. tn = tidak nyata. KK = koefisien keragaman. Data yang dianalisis adalah data yang telah ditransformasi dengan. Jumlah Akar Perlakuan dosis iradiasi sinar gamma Cobalt 60 tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan akar. Akan tetapi pada beberapa mutan ditemukan pertumbuhan akar yang lebih cepat dibandingkan dengan kecambah lainnya, yaitu pada perlakuan iradiasi dosis 300 Gy dan 500 Gy. Perlakuan seleksi kekeringan memberikan pengaruh terhadap pembentukan akar. Semakin tinggi konsentrasi PEG dalam media maka akar yang terbentuk akan semakin sedikit.

46 34 Keragaman Fenotipe Padi Varietas Sintanur Hasil Iradiasi Iradiasi sinar gamma meningkatkan keragaman tanaman padi var Sintanur terutama jumlah anakan dan tinggi kecambah. Keragaman yang terjadi pada jumlah anakan dan tinggi kecambah termasuk dalam kategori sangat luas. Iradiasi sinar gamma Cobalt 60 yang diberikan menyebabkan terbentuknya keragaman fenotipe pada tanaman. Nilai persen KKF yang paling besar terdapat pada kecambah yang diberi perlakuan iradiasi sinar gamma 500 Gy (Tabel 9). Keragaman yang terbentuk pada benih yang diiradiasi semakin meningkat mulai dari minggu pertama hingga kelima setelah tanam. Akan tetapi benih yang tidak diiradiasi mengalami penurunan nilai persen keragamannya. Kondisi yang sama juga terjadi pada perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 200 Gy. Nilai persen KKF yang terbentuk mengalami penurunan pada minggu kelima, kondisi ini dapat disebabkan oleh banyaknya kecambah yang mati karena perlakuan seleksi kekeringan dengan PEG. Nilai persen koefisien keragaman fenotipe yang tinggi menunjukkan variasi yang terbentuk sangat besar. Nilai variasi yang besar akan memudahkan untuk menemukan tanaman dengan sifat terbaik. Tabel 9. Persen koefisien keragaman fenotipe (KKF) peubah tinggi kecambah dari setiap populasi perlakuan iradiasi sinar gamma Cobalt 60 Perlakuan Iradiasi Cobalt 60 (Gy) Umur Kultur (MST) KKF (%) ,2769 SL 95,5347 L ,42048 L 116,967 SL ,44336 L 87,14166 L ,3664 SL 112,7508 SL ,42749 AL 131,7654 SL ,68335 AL 153,0616 SL Keterangan: S = sempit; AS = agak sempit; AL = agak luas; L = luas; SL = sangat luas.

47 Iradiasi sinar gamma Cobalt yang diberikan selain menimbulkan keragaman pada tinggi kecambah juga menimbulkan keragaman pada jumlah anakan. Berdasarkan Tabel 10, beberapa perlakuan iradiasi sinar gamma tidak memiliki nilai persen KKF pada minggu kedua dan ketiga. Kondisi ini disebabkan pada minggu kedua dan ketiga kecambah belum membentuk anakan. Nilai KKF tertinggi pengamatan jumlah anakan terdapat pada perlakuan iradiasi dosis 300 Gy yaitu sebesar 400. Berbeda dengan peubah tinggi tunas, keragaman yang terbentuk pada peubah jumlah anakan diseluruh perlakuan termasuk ke dalam kategori sangat luas. Nilai persen koefisien keragaman pada perlakuan tanpa iradiasi (0 Gy) termasuk ke dalam kategori sangat luas. Kondisi ini menunjukkan bahwa tanpa iradiasi keragaman dapat terbentuk, namun keragaman yang terbentuk menurun pada akhir minggu pengamatan. Meskipun terjadi penurunan nilai KKF pada semua perlakuan iradiasi sinar gamma, namun pada minggu kedelapan pengamatan nilai persen KKF meningkat dari minggu sebelumnya. Tabel 10. Persen koefisien keragaman fenotipe (KKF) peubah jumlah anakan dari setiap populasi perlakuan iradiasi sinar gamma Cobalt 60 Perlakuan Iradiasi Cobalt 60 (Gy) Umur Kultur (MST) KKF (%) ,08 176,71 136,28 145,59 105, ,98 190,39 128,98 123,65 124, ,28 191,54 112,44 108,79 113, ,25 208,55 143,68 156,01 121, ,06 202,56 192,01 186,97 173,24 168,98 164, ,59 259,69 238,44 205,89 165,24 169,51 188,07 Persentase nilai KKF setelah dilakukan subkultur (5 MST) pada beberapa perlakuan cenderung terjadi penurunan hingga akhir minggu pengamatan (8 MST).

48 Akan tetapi pada perlakuan iradiasi sinar gamma Cobalt 60 dosis 100 Gy, 200 Gy dan 500 Gy, persentase nilai KKF jumlah anakan meningkat pada akhir minggu pengamatan (8 MST). Pada akhir minggu pengamatan, persentase nilai KKF semakin meningkat seiring dengan peningkatan dosis iradiasi. Selain perlakuan iradiasi sinar gamma, perlakuan seleksi kekeringan dengan menggunakan PEG juga menimbulkan keragaman fenotipe pada kecambah yang diamati. Akan tetapi nilai persen koefisien keragaman fenotipe yang terbentuk karena perlakuan seleksi kekeringan menggunakan PEG tidak sebesar nilai koefisien keragaman fenotipe yang ditimbulkan oleh iradiasi sinar gamma. Tabel 11. Persen koefisien keragaman fenotipe (KKF) peubah tinggi kecambah dari setiap populasi perlakuan seleksi kekeringan dengan PEG Perlakuan PEG (g/l) Umur kultur (MST) KKF (%)... I0 = 0 58,21 AL 33,89 AS I1 = 116,538 25,58 AS 110,69 SL I2 = 174,674 20,56 S 108,58 SL I3 = 219, ,53 SL 25,97 AS Keterangan: S = sempit; AS = agak sempit; AL = agak luas; L = luas; SL = sangat luas. Nilai persen koefisien keragaman pada perlakuan I0 (0 g/l 36 PEG) termasuk ke dalam kategori agak luas pada minggu pertama pengamatan dan menurun menjadi kategori agak sempit pada minggu kelima. Kondisi ini menunjukkan keragaman yang terbentuk sangat kecil atau kecambah yang ditanam pada media I0 memiliki penampakan fenotipe yang hampir seragam. Nilai persen KKF pada perlakuan I3 (219,547 g/l PEG) memiliki nilai tertinggi, namun nilai KKF menurun pada minggu kelima pengamatan. Penurunan nilai persen KKF ini dapat disebabkan oleh kematian kecambah akibat konsentrasi PEG yang terlalu tinggi. Persen KKF pada perlakuan I1 (116,538 g/l PEG) dan I2 (174,674 g/l PEG) meningkat mulai dari minggu pertama pengamatan hingga

49 minggu kelima. Nilai persen KKF perlakuan I1 pada minggu kelima lebih tinggi dibandingkan dengan nilai persen KKF pada perlakuan I2 dan I3. Kondisi ini dapat disebabkan oleh semakin banyak kecambah yang mati akibat semakin tinggi konsentrasi PEG yang diberikan. Perlakuan seleksi kekeringan dengan PEG memberikan pengaruh terhadap keragaman jumlah anakan yang dihasilkan. Nilai persentase koefisien keragaman (KKF) pada perlakuan media tanpa penambahan PEG (0g/l PEG) berada pada kategori luas (Lampiran 7). Tabel 12. Persen koefisien keragaman fenotipe (KKF) peubah jumlah anakan dari setiap populasi perlakuan seleksi kekeringan dengan PEG Perlakuan PEG (g/l) Umur Kultur (MST) KKF (%)... I0=0 297,23 SL 180,69 SL 97,49 L 86,33 L I1=116, ,34 SL 100,76 SL 116,66 SL I2=174, ,36 SL 177,30 SL 119,32 SL I3=219, Keterangan: S = sempit; AS = agak sempit; AL = agak luas; L = luas; SL = sangat luas. Nilai persentase koefisien keragaman fenotipe (KKF) peubah jumlah anakan pada perlakuan seleksi kekeringan dengan PEG tertinggi terdapat pada perlakuan 174,674 g/l PEG (I2) yaitu sebesar 538,52% (Lampiran 7). Nilai persen koefisien keragaman peubah jumlah anakan pada semua perlakuan semakin menurun mulai mingu kedua hingga minggu kedelapan pengamatan. Kondisi ini dapat disebabkan oleh adanya cekaman kekeringan. Perlakuan cekaman kekeringan dengan konsentrasi 219,547 g/l PEG (Tabel 12) tidak memiliki nilai persen KKF disebabkan oleh tidak ada kecambah pada perlakuan tersebut yang mampu membentuk anakan. Nilai persentase KKF jumlah anakan pada media PEG semakin menurun setelah dilakukan subkultur. Kondisi ini disebabkan oleh proses seleksi kekeringan yang dilakukan sehingga tanaman yang tidak tahan cekaman akan mati. 37

50 38 KESIMPULAN LD 50 padi varietas Sintanur diperoleh saat benih diiradiasi sinar gamma dengan dosis 375 Gray. Perlakuan iradiasi sinar gamma dan media seleksi kekeringan meningkatkan keragaman semua peubah pengamatan. Konsentrasi PEG paling tinggi yang dapat digunakan untuk seleksi kekeringan pada padi varietas Sintanur adalah 174,674 g/l karena tanaman masih dapat berproliferasi pada konsentrasi tersebut. Perlakuan media seleksi kekeringan dengan PEG memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah anakan pada minggu kedua hingga minggu kedelapan. Keragaman yang dihasilkan oleh iradiasi dan media seleksi kekeringan termasuk ke dalam kategori sangat luas. Interaksi yang dihasilkan dari interaksi keduanya termasuk ke dalam kategori agak luas pada peubah jumlah anakan dan agak sempit pada peubah tinggi kecambah. Interaksi antara iradiasi sinar gamma dan media seleksi kekeringan dengan PEG berpengaruh nyata terhadap tinggi kecambah serta jumlah anakan. Iradiasi sinar gamma memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah anakan pada minggu kedua hingga keempat. Berdasarkan percobaan diperoleh 477 mutan potensial. Iradiasi sinar gamma dan perlakuan media seleksi kekeringan dengan PEG meningkatkan nilai koefisien keragaman pada karakter tinggi tanaman dan jumlah anakan bila dibandingkan dengan kontrol. Nilai koefisien keragaman fenotipe (KKF) yang terbentuk semakin menurun setelah dilakukan subkultur.

51 39 DAFTAR PUSTAKA Anonim Capai target surplus beras 10 juta ton RI harus cetak sawah baru 200 ribu ha/tahun. [12 Agustus 2012] Apriyantono, A Pembangunan pertanian di Indonesia. go.id/renbangtan/konsep_pembangunan_pertanian.pdf. [31 Januari 2011] Apriyantono, A Masih banyak yang harus dihadapi. com/sorotan/dr.-ir.-anton-apriyantono-masih-banyak-tantangan-harusdihadapi htm. [31 Januari 2011] Badan Pusat Statistik Berita Resmi Statistik, Produksi padi, jagung dan kedelai (angka tetap 2011 dan angka ramalan I 2012). Badan Pusat Statistik. Jakarta. 10 hal. Bakar, B. A., dan A. Azis Hektar lahan kering di Aceh belum dimanfaatkan hektar-lahan-kering-di-aceh-belum-dimanfaatkan. [10 Februari 2011] Basu, S., A. Roychoudhury, P. P. Saha and D. N. Sengupta Differential antioxidative responses of indica rice cultivars to drought stress. Plant Growth Regul. 60: Biswas, J., B. Chowdhury, A. Bhattacharya, and A. B. Mandal In vitro screening for increased drought tolerance in rice. In Vitro Cell. Dev. Biol. Plant 38: Bouslama, M., and W. T. Schapaugh Stress tolerance in soybean. I. Evaluation on three screening techniques for heat and drough tolerance. Crop Sci. 24: Chemicalland Polyethylene glycol. industrialchem/organic/polyethylene%20glycol.htm. [31 Januari 2010]. De Carvalho, M. H. C., Review Drought stress and reactive oxygen species. Plant Signaling & Behavior Vol. 3 Issue 3: Deptan Sintanur. main=disp_padi_unggul&noaksesi=sintanur. [27 November 2010].

52 Deptan Padi aromatik varietas Sintanur. Departemen Pertanian. Ungaran. 2 hal. Dinas Pertanian dan Kehutanan Budidaya padi. Dinas Pertanian dan Kehutanan. Jogjakarta. 10 hal. Environmental Protection Agency Gamma rays, ionizing & non-ionizing radiation. gamma.html. [09 Februari 2011] Gill, S. S., and N. Tuteja Review: reactive oxygen spesies and antioxidant machinery in abiotic stress tolerance in crop plants. Plant Physiology and Biochemistry 48: Gomez, K. A., and Gomez, A. A Prosedur Statistika untuk Penelitian Pertanian (diterjemahkan dari: Statistical Procedures for Agricultural Research, penerjemah: E. Sjamsudin dan J. S. Baharsjah). Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 698 hal. Hartman, H. T., D. E. Kester, and F. T. Davies Plant Propagation, Principles and practices. 5th edition. New Jersey: Prentice-Hall International, Inc. 647p. Hanny Beras makanan pokok sumber protein. [31 Januari 2011] Harten, van A. M Mutation Breeding, Theory and Practical Application. Cambridge: Cambridge University Press. 365p. Husni, A., M. Kosmiatin dan I. Mariska Peningkatan toleransi kedelai sindoro terhadap kekeringan melalui seleksi in vitro. Bul. Agron. 34(1): Hung, C. D., K. Johnson, Effects of ionizing radiation on the growth and allyl isothiocyanate accumulation of Wasabia japonica in vitro and ex vitro. In Vitro Cell. Dev.Biol. Plant 44:51 58 Ibrahim Penentuan Evapotranspirasi Potensial dan Neraca Air Padi Sawah (Oryza sativa) dengan Sistem Informasi Geografik. Tesis. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Kahlowna, M. A., A. Raoof, M. Zubair, W. D. Kemper, Water use efficiency and economic feasibility of growing rice and wheat with sprinkler irrigation in the Indus Basin of Pakistan. Agricultural water management 87:

53 Lestari, E. G., dan I. Mariska Identifikasi somaklon padi Gajahmungkur, Towuti dan IR 64 tahan kekeringan menggunakan polyethylene glycol. Bul. Agron. 34(2): Li, Z. H., Q. Wang, X. Ruan, C. D. Pan, D. A. Jiang Phenolics and plant allelopathy. Molecules 15: Manggiasih, B. dan Rosalina Produksi beras terancam seret. tempo.co/read/news/2011/05/26/ /produksi-beras-terancam- Seret. [12 Agustus 2012]. Masnun Lahan kering di NTB "harta karun" yang belum digali. [10 Februari 2011]. Muftisany, H Mentan: konsumsi beras Indonesia terlalu banyak. republika.co.id/berita/rasional/umum/12/04/03/m1wj1n-mentan-konsumsiberas-indonesia-terlalu-banyak. [12 Agustus 2012] Murdaningsih, H. K., W. A. Qosim, R. Setiamihardja dan Mugiono Parameter genetik karakter morfologi krisan pada generasi mv2 akibat iradiasi sinar gamma. Zuriat. 10(2): Musa, Y., Penggunaan polyethylene glycol (PEG) sebagai seleksi ketahanan kallus dan planlet beberapa varietas tebu terhadap sifat kekeringan. J. Agrivigor 7: Nakano, M., J. Amano, Y. Watanabe, T. Nomizu, M. Suzuki, K. Mizunashi, S. Mori, S. Kuwayama, D. S. Han, H. Saito, H. Ryuto, N. Fukunishi, T. Abe, Morphological variation in Tricyrtis hirta plants regenerated from heavy ion beam-irradiated embryogenic calluses. Plant Biotechnology 27: Rai, M. K., R. K. Kalia, R. Singh, M. P. Gangola, A. K. Dhawan Developing stress tolerant plant through in vitro selection-an overview of the recent progress. Environmental and Experimental Botany 71: Sakihama, Y., M. F. Cohen, S. C. Grace, H. Yamasaki, Plant phenolic antioxidant and prooxidant activities: phenolics-induced oxidative damage mediated by metals in plants. Toxicology 177: Smirnoff, N., Tansley Review No. 52: The role of active oxygen in the response of plants to water deficit ang dessication. New Phytol. 125: Taiz, L., E. Zeiger Plant physiology, fifth edition, Rice embryogenesis. [13 Agustus 2012]. 41

54 Wopereis, M.C.S., M.J. Kropff, A.R. Maligaya, and T.P. Tuong Droughtstress responses of two lowland rice cultivars to soil water status. Field Crops Research 46:

55 LAMPIRAN 43

56 44 Lampiran 1. Perbandingan perlakuan iradiasi sinar gamma Cobalt 60 dan media PEG dengan jumlah anakan terbanyak pada padi varietas Sintanur pada 8MST Perlakuan Iradiasi (Gy) Media Jumlah Anakan 0 I0 13 I1 23 I2 10 I I0 22 I1 9 I2 5 I I0 26 I1 22 I2 9 I I0 17 I1 13 I2 6 I I0 54 I1 0 I2 0 I I0 20 I1 4 I2 14 I3 0 Total 121

57 Lampiran 2. Sidik ragam pengaruh iradiasi sinar gamma Cobalt 60 dan media seleksi dengan PEG serta interaksi media dan iradiasi terhadap jumlah anakan MST Sumber db JK KT F hitung Pr>F KK (%) Perlakuan Iradiasi Media Iradiasi*Media Galat Total Terkoreksi Perlakuan 23 0,830 0,036 2,90 0,0002 7,02y Iradiasi 5 0,170 0,034 2,73 0,0243* Media 3 0,125 0,042 3,34 0,0227* Iradiasi*Media 15 0,505 0,034 2,71 0,0019** Galat 89 1,108 0,012 Total Terkoreksi 112 1,938 Perlakuan 23 0,429 0,019 8,83 <0,0001 3,71y Iradiasi 5 0,076 0,015 7,23 <0,0001** Media 3 0,083 0,028 13,17 <0,0001** Iradiasi*Media 15 0,248 0,017 7,84 <0,0001** Galat 89 0,188 0,002 Total Terkoreksi 112 0,617 Perlakuan 23 5,605 0,244 5,07 <0, ,04y Iradiasi 5 0,707 0,141 2,94 0,0171* Media 3 1,305 0,435 9,05 <0,0001** Iradiasi*Media 15 3,104 0,207 4,31 <0,0001** Galat 82 3,941 0,048 Total Terkoreksi 105 9,546 45

58 Lanjutan... MST Sumber db JK KT F hitung Pr>F KK (%) Perlakuan 23 7,897 0,343 3,76 <0, ,88y Iradiasi 5 0,817 0,163 1,79 0,1249 Media 3 1,730 0,577 6,32 0,0007** Iradiasi*Media 15 4,347 0,290 3,18 0,0005** Galat 75 6,843 0,091 Total Terkoreksi 98 14,741 Perlakuan 23 13,733 0,597 4,06 <0, y Iradiasi ,171 1,16 0,3382 Media ,258 15,36 <0,0001** Iradiasi*Media ,343 2,33 0,0099** Galat 65 9,557 0,147 Total Terkoreksi 88 23,290 Perlakuan 23 40,957 1,781 4,243 <0, ,25y Iradiasi 5 3,126 0,625 1,56 0,1851 Media 3 26,260 8,753 21,079 <0,0001** Iradiasi*Media 15 9,939 0,663 1,65 0,0850 Galat 65 26,116 0,402 Total Terkoreksi 88 67,072 Perlakuan ,841 4,602 3,94 <0, ,78y Iradiasi 5 2,690 0,538 0,46 0,8042 Media 3 57,361 19,120 16,36 <0,0001** Iradiasi*Media 15 39,321 2,621 2,24 0,0139* Galat 61 71,304 1,169 Total Terkoreksi ,145 Keterangan : KK = Koefisien Keragaman. **= berbeda sangat nyata. * = berbeda nyata. Y= hasil transformasi. 46

59 Lampiran 3. Sidik ragam pengaruh iradiasi sinar gamma Cobalt 60 dan media seleksi dengan PEG serta interaksi media dan iradiasi terhadap tinggi kecambah MST Sumber db JK KT F hitung Pr>F KK (%) 1 5 Perlakuan ,039 13,349 60,57 <0, ,166 Iradiasi 5 33,871 6,774 30,74 <0,0001** Media 3 200,406 66, ,09 <0,0001** Iradiasi*Media 15 76,007 5,067 22,99 <0,0001** Galat 94 20,718 0,220 Total Terkoreksi ,757 Perlakuan , ,817 11,74 <0, ,618 Iradiasi 5 572, ,474 6,69 <0,0001** Media , ,269 65,43 <0,0001** Iradiasi*Media ,321 38,688 2,24 0,0111* Galat ,485 17,107 Total Terkoreksi ,276 Keterangan : KK = Koefisien Keragaman. **= berbeda sangat nyata. * = berbeda nyata. 47 Lampiran 4. Persentase kematian kecambah hingga minggu kelima setelah tanam (MST) pada media I0 Perlakuan Iradiasi (Gy) Persetase Kematian Kecambah (%) 1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST Keterangan: MST (minggu setelah tanam)

60 48 Lampiran 5. Perbandingan pertumbuhan kecambah setelah iradiasi Cobalt 60 pada media seleksi kekeringan dengan PEG berumur 1 MST Iradiasi I0 (0 g/l) I1 (116,538 g/l) Media + PEG I2 (174,674 g/l) I3 (219,547 g/l) R0 R1 R2 R3 R4 R5

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Pelaksanaan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Pelaksanaan 13 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2011 hingga bulan Februari 2012 di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian

Lebih terperinci

Penampilan fenotipe padi varietas Sintanur yang di tanam di lahan sawah (Deptan, 2001)

Penampilan fenotipe padi varietas Sintanur yang di tanam di lahan sawah (Deptan, 2001) 4 TINJAUAN PUSTAKA Sintanur merupakan salah satu varietas padi yang dilepas pada tanggal 12 Januari 2001 oleh Balai Penelitian Padi (BALITPA) Sukamandi. Sintanur berasal dari tetua Lusi/B7136E-MR-22-1-5

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2009 sampai dengan bulan Agustus 2009 di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat 17 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Perlakuan iradiasi

Lebih terperinci

BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan Tanaman dan Media

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan Tanaman dan Media BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Oktober 2010 di Laboraturium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas

Lebih terperinci

Tabel 1. Kombinasi Perlakuan BAP dan 2,4-D pada Percobaan Induksi Mata Tunas Aksilar Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro

Tabel 1. Kombinasi Perlakuan BAP dan 2,4-D pada Percobaan Induksi Mata Tunas Aksilar Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro 11 agar. Zat pengatur tumbuh yang digunakan antara lain sitokinin (BAP dan BA) dan auksin (2,4-D dan NAA). Bahan lain yang ditambahkan pada media yaitu air kelapa. Bahan untuk mengatur ph yaitu larutan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pelaksanaan Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pelaksanaan Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pelaksanaan Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya

Lebih terperinci

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK TANAMAN ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii Croat.) DENGAN RADIASI SINAR GAMMA DARI 60 Co SECARA IN VITRO

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK TANAMAN ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii Croat.) DENGAN RADIASI SINAR GAMMA DARI 60 Co SECARA IN VITRO INDUKSI KERAGAMAN GENETIK TANAMAN ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii Croat.) DENGAN RADIASI SINAR GAMMA DARI 60 Co SECARA IN VITRO SRI IMRIANI PULUNGAN A24051240 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian 14 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan bulan Juni 2011 di Laboratorium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, Balai

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 22 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2010 sampai dengan Pebruari 2011. Tempat pelaksanaan kultur jaringan tanaman adalah di Laboratorium Kultur Jaringan

Lebih terperinci

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang AgroinovasI Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale. L.) merupakan salah satu tanaman

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. 1. Percobaan 1: Pengaruh konsentrasi 2,4-D terhadap proliferasi kalus.

III. BAHAN DAN METODE. 1. Percobaan 1: Pengaruh konsentrasi 2,4-D terhadap proliferasi kalus. 18 III. BAHAN DAN METODE 3.1 STUDI 1: REGENERASI TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) DARI KALUS YANG TIDAK DIIRADIASI SINAR GAMMA Studi ini terdiri dari 3 percobaan yaitu : 1. Percobaan 1: Pengaruh

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Anggrek, Kebun Raya Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2010 hingga Juni 2011. Bahan dan Alat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim

Lebih terperinci

INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN KOLKISIN PADA TANAMAN STEVIA (Stevia rebaudiana Bertoni) KLON ZWEETENERS SECARA IN VITRO

INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN KOLKISIN PADA TANAMAN STEVIA (Stevia rebaudiana Bertoni) KLON ZWEETENERS SECARA IN VITRO INDUKSI MUTASI KROMOSOM DENGAN KOLKISIN PADA TANAMAN STEVIA (Stevia rebaudiana Bertoni) KLON ZWEETENERS SECARA IN VITRO Oleh: ASEP RODIANSAH A34302032 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan / Ilmu Tanaman Fakultas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan / Ilmu Tanaman Fakultas III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan / Ilmu Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Penelitian dilaksanakan mulai Maret 2013

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 3 ulangan. Faktor pertama, konsentrasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PEELITIA 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Bioteknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Serpong, Tangerang. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium UPT BBI (Balai Benih Induk) Jl.

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium UPT BBI (Balai Benih Induk) Jl. III. BAHA DA METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium UPT BBI (Balai Benih Induk) Jl. Jendral Besar Dr. Abdul Haris asution Gedung Johor Medan Sumatera Utara, selama

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Fakultas Pertanian, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2010 sampai dengan Juni 2010.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor yaitu:

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor yaitu: BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian eskperimental yang menggunakan Rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor yaitu: 1. Faktor pertama: konsentrasi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Perbanyakan P. citrophthora dan B. theobromae dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,

Lebih terperinci

Keragaman Somaklonal. Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP

Keragaman Somaklonal. Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP Keragaman Somaklonal Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP Mekanisme Terjadinya Keragaman Somaklonal Keragaman somaklonal adalah keragaman genetik tanaman yang terjadi sebagai hasil kultur

Lebih terperinci

: Kasar pada sebelah bawah daun

: Kasar pada sebelah bawah daun Lampiran 1. Deskripsi Padi Varietas Ciherang Varietas : Ciherang Nomor Pedigree : S 3383-1d-Pn-41-3-1 Asal/Persilangan : IR 18349-53-1-3-1-3/IR Golongan : Cere Bentuk : Tegak Tinggi : 107 115 cm Anakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Padi (Varietas Ciherang) Padi merupakan kebutuhan vital bagi manusia Indonesia sehari-hari, disebabkan setiap hari orang mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Untuk menjaga

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor. Sejarah lahan sebelumnya digunakan untuk budidaya padi konvensional, dilanjutkan dua musim

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas III. TATA CARA PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian dimulai pada bulan April

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana

BAB III METODE PENELITIAN. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana 38 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di laboratorium Plant Physiology and Culture Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik

Lebih terperinci

EVALUASI KERAGAAN FENOTIPE TANAMAN SELEDRI DAUN

EVALUASI KERAGAAN FENOTIPE TANAMAN SELEDRI DAUN EVALUASI KERAGAAN FENOTIPE TANAMAN SELEDRI DAUN (Apium graveolens L. Subsp. secalinum Alef.) KULTIVAR AMIGO HASIL RADIASI DENGAN SINAR GAMMA COBALT-60 (Co 60 ) Oleh Aldi Kamal Wijaya A 34301039 PROGRAM

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. 1. Pengaruh konsentrasi benziladenin dengan dan tanpa thidiazuron terhadap

III. BAHAN DAN METODE. 1. Pengaruh konsentrasi benziladenin dengan dan tanpa thidiazuron terhadap III. BAHAN DAN METODE Penelitian ini terdiri atas 2 percobaan, yaitu: 1. Pengaruh konsentrasi benziladenin dengan dan tanpa thidiazuron terhadap multiplikasi tunas pisang Kepok Kuning (genom ABB) eksplan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. merupakan makanan pokok lebih dari separuh penduduk dunia. Berdasarkan

I. PENDAHULUAN. merupakan makanan pokok lebih dari separuh penduduk dunia. Berdasarkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Padi merupakan tanaman yang memiliki nilai ekonomi sangat penting, dan merupakan makanan pokok lebih dari separuh penduduk dunia. Berdasarkan nilai ekonomi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN A.

III. METODE PENELITIAN A. 13 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober 2015 sampai bulan Februari 2016 yang bertempat di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan Bioteknologi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE 10 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dan Rumah Kaca Instalasi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Benih Fakultas Pertanian,, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai dari bulan April 2016 hingga Mei

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pokok di Indonesia karena sebagian besar

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pokok di Indonesia karena sebagian besar I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pokok di Indonesia karena sebagian besar penduduk Indonesia mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Tidak hanya di Indonesia,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kandungan karbondioksida mengakibatkan semakin berkurangnya lahan. subur untuk pertanaman padi sawah (Effendi, 2008).

I. PENDAHULUAN. kandungan karbondioksida mengakibatkan semakin berkurangnya lahan. subur untuk pertanaman padi sawah (Effendi, 2008). 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah penduduk yang semakin bertambah pesat setiap tahunnya justru semakin memperparah permasalahan di bidang pertanian. Bukan hanya dari tingkat kebutuhan beras yang

Lebih terperinci

Tugas Akhir - SB091358

Tugas Akhir - SB091358 Tugas Akhir - SB091358 EFEKTIVITAS META-TOPOLIN DAN NAA TERHADAP PERTUMBUHAN IN VITRO STROBERI (Fragaria ananassa var. DORIT) PADA MEDIA MS PADAT DAN KETAHANANNYA DI MEDIA AKLIMATISASI Oleh Silvina Resti

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi tanaman padi menurut Tjitrosoepomo (2004) adalah sebagai

II.TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi tanaman padi menurut Tjitrosoepomo (2004) adalah sebagai 9 II.TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Tanaman Padi (Oryza sativa L.) Taksonomi tanaman padi menurut Tjitrosoepomo (2004) adalah sebagai berikut : Regnum Divisio Sub Divisio Class Ordo Family Genus : Plantae

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 24 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung, dimulai dari Maret sampai dengan Mei 2013. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 13 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 hingga Januari 2011 di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pokok bagi sebagian besar rakyat di Indonesia. Keberadaan padi sulit untuk

I. PENDAHULUAN. pokok bagi sebagian besar rakyat di Indonesia. Keberadaan padi sulit untuk 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman terpenting di Indonesia. Hal ini karena padi merupakan tanaman penghasil beras. Beras adalah makanan pokok bagi sebagian

Lebih terperinci

REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI.

REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI. REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI Oleh: RAHADI PURBANTORO NPM : 0825010009 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Gedung

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Gedung 20 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Gedung Bioteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung dari Bulan November 2011

Lebih terperinci

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium dan vitamin B1 yang efektif bila dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada proses perbanyakan tanaman

Lebih terperinci

Pembuatan Larutan Stok, Media Kultur Dan Sterilisasi Alat Kultur Jaringan Tumbuhan. Nikman Azmin

Pembuatan Larutan Stok, Media Kultur Dan Sterilisasi Alat Kultur Jaringan Tumbuhan. Nikman Azmin Pembuatan Larutan Stok, Media Kultur Dan Sterilisasi Alat Kultur Nikman Azmin Abstrak; Kultur jaringan menjadi teknologi yang sangat menentukan keberhasilan dalam pemenuhan bibit. Kultur jaringan merupakan

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Percobaan 1. Pengujian Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Viabilitas Benih Padi Gogo Varietas Towuti dan Situ Patenggang

HASIL DA PEMBAHASA. Percobaan 1. Pengujian Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Viabilitas Benih Padi Gogo Varietas Towuti dan Situ Patenggang HASIL DA PEMBAHASA 21 Percobaan 1. Pengujian Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Viabilitas Benih Padi Gogo Varietas Towuti dan Situ Patenggang Tabel 1 menunjukkan hasil rekapitulasi sidik ragam pengaruh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi merupakan tanaman pangan yang sangat penting di dunia, karena padi merupakan pangan pokok bagi lebih dari setengah penduduk dunia (Lu 1999). Menurut Pusat Data dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya

I. PENDAHULUAN. Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya produktivitas tebu dan rendahnya tingkat rendemen gula. Rata-rata produktivitas tebu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. telah ditanam di Jepang, India dan China sejak dulu. Ratusan varietas telah

PENDAHULUAN. telah ditanam di Jepang, India dan China sejak dulu. Ratusan varietas telah PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine soya/ Glycine max L.) berasal dari Asia Tenggara dan telah ditanam di Jepang, India dan China sejak dulu. Ratusan varietas telah ditanam di negara tersebut dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis peleitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen adalah metode penelitian yang dilakukan dengan memanipulasi objek penelitian

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE. Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Teknologi

BAB III BAHAN DAN METODE. Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Teknologi BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Percobaan Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Teknologi Benih, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Penelitian dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan 2

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan 2 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan 2 perlakuan, yaitu pemberian zat pengatur tumbuh BAP yang merupakan perlakuan pertama dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN A.

III. METODE PENELITIAN A. 9 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dimulai pada bulan Juni 2015 sampai Februari 2016 dan dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan Bioteknologi Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

RESPONS PERTUMBUHAN TANAMAN ANGGREK (Dendrobium sp.) TERHADAP PEMBERIAN BAP DAN NAA SECARA IN VITRO

RESPONS PERTUMBUHAN TANAMAN ANGGREK (Dendrobium sp.) TERHADAP PEMBERIAN BAP DAN NAA SECARA IN VITRO RESPONS PERTUMBUHAN TANAMAN ANGGREK (Dendrobium sp.) TERHADAP PEMBERIAN BAP DAN NAA SECARA IN VITRO ABSTRAK Ernitha Panjaitan Staf Pengajar Fakultas Pertanian UMI Medan Percobaan untuk mengetahui respons

Lebih terperinci

Deskripsi Padi Varietas Cigeulis Informasi Ringkas Bank Pengetahuan Padi Indonesia Sumber: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi

Deskripsi Padi Varietas Cigeulis Informasi Ringkas Bank Pengetahuan Padi Indonesia Sumber: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Deskripsi Padi Varietas Cigeulis Informasi Ringkas Bank Pengetahuan Padi Indonesia Sumber: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi 2008 Nama Varietas Tahun Tetua Rataan Hasil Pemulia Golongan Umur tanaman

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan 13 I. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan Bioteknologi Fakultas Pertanian Univeristas Sebelas Maret Surakarta mulai bulan

Lebih terperinci

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In vitro Fakultas

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In vitro Fakultas III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur In vitro Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, pada Bulan November 2015 hingga

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat 15 Tabel 8 Daftar komposisi media pada kultur mangga Komponen A B C D E Unsur makro ½ MS B5 B5 B5 ½B5 Unsur mikro MS MS MS MS MS Fe-EDTA ½MS MS MS MS MS Vitamin dan asam amino MS MS MS MS MS Asam askorbat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia, sedangkan sisanya masih menkonsumsi jagung dan sagu. Usahatani

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia, sedangkan sisanya masih menkonsumsi jagung dan sagu. Usahatani PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan bahan pangan pokok bagi lebih dari 95 persen penduduk Indonesia, sedangkan sisanya masih menkonsumsi jagung dan sagu. Usahatani padi banyak menyediakan lapangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dibudidayakan karena padi merupakan tanaman sereal yang paling banyak

I. PENDAHULUAN. dibudidayakan karena padi merupakan tanaman sereal yang paling banyak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sebagian besar petani menjadikan tanaman padi sebagai pilihan utama untuk dibudidayakan karena padi merupakan tanaman sereal yang paling banyak dibutuhkan oleh

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian pendahuluan

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian pendahuluan 12 menjadi planlet/tanaman. Hormon NAA cenderung menginduksi embrio somatik secara langsung tanpa pembentukan kalus. Embrio somatik yang dihasilkan lebih normal dan mudah dikecambahkan menjadi planlet/tanaman,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang cukup penting. Komoditas kacang tanah diusahakan 70% di lahan kering dan hanya 30% di

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan pelaksanaan, yaitu tahap kultur in vitro dan aklimatisasi. Tahap kultur in vitro dilakukan di dalam Laboratorium Kultur Jaringan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo

TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo 3 TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo Padi gogo adalah budidaya padi di lahan kering. Lahan kering yang digunakan untuk tanaman padi gogo rata-rata lahan marjinal yang kurang sesuai untuk tanaman. Tanaman padi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Padi merupakan tanaman pangan pokok penduduk Indonesia. Di samping

BAB I PENDAHULUAN. Padi merupakan tanaman pangan pokok penduduk Indonesia. Di samping BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Padi merupakan tanaman pangan pokok penduduk Indonesia. Di samping itu Indonesia merupakan daerah agraris dengan profesi utama penduduknya sebagai petani terutama

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 26 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan 3, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB selama sembilan minggu sejak Februari hingga

Lebih terperinci

Penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, tahan hama dan

Penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, tahan hama dan PEMANFAATAN KOMBINASI PEMBERIAN MUTAGEN DAN KULTUR IN VITRO UNTUK PERAKITAN VARIETAS UNGGUL BARU Penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, tahan hama dan penyakit maupun cekaman lingkungan merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. eksplan hidup, persentase eksplan browning, persentase eksplan kontaminasi,

HASIL DAN PEMBAHASAN. eksplan hidup, persentase eksplan browning, persentase eksplan kontaminasi, IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan terhadap proses induksi akar pada eksplan dilakukan selama 12 minggu. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan dan pengaruh pada setiap perlakuan yang diberikan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pisang raja bulu (Musa paradisiaca L var. sapientum) merupakan salah

I. PENDAHULUAN. Pisang raja bulu (Musa paradisiaca L var. sapientum) merupakan salah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pisang raja bulu (Musa paradisiaca L var. sapientum) merupakan salah satu tanaman buah tropis yang dapat tumbuh baik pada dataran tinggi dengan kisaran ketinggian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Plant Physiology and Culture

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Plant Physiology and Culture BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di laboratorium Plant Physiology and Culture Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya penting dalam

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya penting dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya penting dalam peradaban manusia. Padi sudah dikenal sebagai tanaman pangan sejak jaman prasejarah.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam 4 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam Definisi lahan kering adalah lahan yang pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun (Mulyani et al., 2004). Menurut Mulyani

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 10 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Lingkungan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Institut Pertanian Bogor, Laboratorium

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Fakultas

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Fakultas 21 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Laboratorium terpadu Kultur jaringan Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Laboratorium terpadu Kultur jaringan Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April sampai bulan Agustus 2016 di Laboratorium terpadu Kultur jaringan Fakultas Sains dan Teknologi,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Polietilen Glikol atau dengan nama IUPEC Alpha-Hydro-Omega- (inert) dengan berat molekul antara Da (Jecfa,1987).

TINJAUAN PUSTAKA. Polietilen Glikol atau dengan nama IUPEC Alpha-Hydro-Omega- (inert) dengan berat molekul antara Da (Jecfa,1987). II. TINJAUAN PUSTAKA A. Polietilen Glikol (PEG) 1. Sifat Kimia Polietilen Glikol atau dengan nama IUPEC Alpha-Hydro-Omega- Hydroxypoly (oxy-1,2-ethanadiol) merupakan senyawa dengan rumus kimia (C 2 H 4

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Proliferasi Kalus Embriogenik Kalus jeruk keprok Garut berasal dari kultur nuselus yang diinduksi dalam media dasar MS dengan kombinasi vitamin MW, 1 mgl -1 2.4 D, 3 mgl -1 BAP, 300

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan 22 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Bandar Lampung. Penelitian

Lebih terperinci

in. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Fisiologi dan Kultur Jaringan

in. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Fisiologi dan Kultur Jaringan in. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Fisiologi dan Kultur Jaringan Balai Penelitian Sei Putih Medan Sumatra Utara. Penelitian ini dilaksanakan selama 4

Lebih terperinci

Lampiran 1. Deksripsi Varietas Padi CISADANE

Lampiran 1. Deksripsi Varietas Padi CISADANE Lampiran 1. Deksripsi Varietas Padi CISADANE Nomor seleksi : B2484B-PN-28-3-MR-1 Asal persilangan : Pelita I-1/B2388 Golongan : Cere, kadang-kadang berbulu Umur tanaman : 135-140 hari Bentuk tanaman :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang berguna untuk bahan pangan, pakan, dan bahan baku industri. Selain itu, kacang tanah merupakan

Lebih terperinci

IV. INDUKSI MUTASI DENGAN SINAR GAMMA

IV. INDUKSI MUTASI DENGAN SINAR GAMMA Latar Belakang IV. INDUKSI MUTASI DENGAN SINAR GAMMA MELALUI IRADIASI TUNGGAL PADA STEK PUCUK ANYELIR (Dianthus caryophyllus) DAN UJI STABILITAS MUTANNYA SAMPAI GENERASI MV3 Pendahuluan Perbaikan sifat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Padi Tanaman padi merupakan tanaman tropis, secara morfologi bentuk vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun berbentuk pita dan berbunga

Lebih terperinci

Tabel Lampiran 1. Komposisi Kimia Blast Furnace Slag dan Electric Furnace Slag

Tabel Lampiran 1. Komposisi Kimia Blast Furnace Slag dan Electric Furnace Slag LAMPIRAN 38 39 Tabel Lampiran 1. Komposisi Kimia Blast Furnace Slag dan Electric Furnace Slag Kadar total Satuan BF Slag Korea EF Slag Indonesia Fe 2 O 3 g kg -1 7.9 431.8 CaO g kg -1 408 260.0 SiO 2 g

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penapisan ketahanan 300 galur padi secara hidroponik 750 ppm Fe. Galur terpilih. Galur terpilih

BAHAN DAN METODE. Penapisan ketahanan 300 galur padi secara hidroponik 750 ppm Fe. Galur terpilih. Galur terpilih BAHAN DAN METODE Ruang Lingkup Penelitian Penelitian tentang penapisan galur-galur padi (Oryza sativa L.) populasi RIL F7 hasil persilangan varietas IR64 dan Hawara Bunar terhadap cekaman besi ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 26 A. Jenis Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Jenis Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen merupakan metode penelitian yang digunakan untuk mengetahui pengaruh

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan studi pembiakan in vitro tanaman pisang yang terdiri

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan studi pembiakan in vitro tanaman pisang yang terdiri III. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan studi pembiakan in vitro tanaman pisang yang terdiri dari 2 percobaan yaitu: 1. Pengaruh konsentrasi BA dan varietas pisang (Ambon Kuning dan Raja Bulu)

Lebih terperinci

PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A

PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A34403066 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pisang merupakan salah satu jenis tanaman asal Asia Tenggara yang kini sudah tersebar luas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Tanaman pisang memiliki ciri spesifik

Lebih terperinci

PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO

PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO Oleh : SITI SYARA A34301027 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor yang pertama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan nasional sebagai sumber protein dan minyak nabati, dalam setiap 100 g kacang tanah mentah mengandung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitaian ini di lakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitaian ini di lakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tepat Penelitaian ini di lakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini di lakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Jurusan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini di lakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Jurusan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini di lakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode 23 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret Agustus 2012. Perbanyakan benih dilakukan pada bulan Maret-Juni 2012 di KP Leuwikopo. Pengujian benih dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menggunakan satu eksplan yang ditanam pada medium tertentu dapat

I. PENDAHULUAN. menggunakan satu eksplan yang ditanam pada medium tertentu dapat I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban manusia. Padi sudah dikenal sebagai tanaman pangan penghasil beras sejak jaman prasejarah.

Lebih terperinci