BAB 1 PENDAHULUAN PENDAHULUAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 1 PENDAHULUAN PENDAHULUAN"

Transkripsi

1 BAB 1 PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan komoditas strategis dan kebutuhan mendasar setiap makhluk hidup. Berkurangnya produksi pangan dapat menyebabkan kestabilan daerah atau negara akan goyah. Selain itu Indonesia sebagai negara agraris perlu menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (UU No. 41/ 2009). Disisi lain adanya peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan kegiatan ekonomi akan menambah kebutuhan akan lahan. Kondisi yang demikian menyebabkan persaingan yang ketat dalam pemanfaatan lahan sehingga akan berakibat pada meningkatnya nilai lahan dan pada umumnya penggunaan lahan untuk pertanian akan selalu dikalahkan. Meningkatnya jumlah penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri mengakibatkan terjadinya degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan yang akan mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan (UU No. 41/ 2009). Hal tersebut mendorong direncanakannya suatu strategi dalam rangka pertanian yang berkelanjutan (Azman, 2013) yakni salah satunya melalui Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UU No. 41/ 2009). Cukup barunya peraturan terkait Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yakni UU No. 41/ 2009, belum dipublikasikannya persebaran lahan pertanian pangan berkelanjutan menyebabkan masih sulitnya data ataupun hasil terkait pelaksanaan Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari informasi perencanaan dan pelaksanaan Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan difokuskan pada konsistensi pelaksanaan Kebijakan Perlindungan 1

2 Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan ditinjau dari tiga aspek yakni kebijakan, organisasi pelaksana dan penerima kebijakan. Pemilihan Kabupaten Sleman sebagai wilayah kajian dikarenakan Sleman merupakan daerah dengan konversi lahan pertanian menjadi non pertanian dibandingkan kabupaten lainnya di D.I Yogyakarta adalah paling tinggi yakni dari tahun 1987 hingga tahun 2007 berkurang 0,68% (Harini, 2012) sedangkan dalam rencana luas lahan pertanian pangan berkelanjutan Kabupaten Sleman paling kurang ,59 Ha (Pasal 9 Perda No. 10/ 2010 ) dari Ha lahan sawah pada tahun 2012 (BPS, 2013). Cukup luasnya rencana lahan pertanian pangan berkelanjutan dan tingginya konversi lahan di Kabupatan Sleman tersebut menyebabkan Sleman merupakan wilayah yang menarik untuk dikaji. Kajian Geografi khususnya dalam hal pembangunan wilayah juga mengarah pada pembangunan yang berkelanjutan yakni pembangunan yang memperhatikan tidak hanya aspek peningkatan ekonomi dan sosial saja tetapi juga lingkungan sehingga kajian mengenai kebijakan tersebut dirasa selaras dengan studi pembangunan wilayah. Informasi pra lapangan berdasarkan wawancara mendalam dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sleman selanjutnya disebut BAPPEDA menunjukkan bahwa Pemerintah Sleman belum menentukan persebaran Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Lokasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan selanjutnya disebut LPPB dimungkinkan pada kawasan pertanian sesuai dengan Rencana Detail Tataruang (RDTR). Kawasan pertanian yang tercantum di dalam RDTR dapat berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan. Perbedaan kondisi pada kawasan perkotaan dan perdesaan memungkinkan adanya sikap yang berbeda pula dari petani antar kawasan tersebut (Azwar, 2013). Perbedaan kondisi tersebut dijadikan pertimbangan untuk dijadikan salah satu tujuan penelitian yakni penelitian dilakukan pada kawasan perdesaan dan perkotaan untuk mengetahui apakah ada perbedaan atau kesamaan antar kedua wilayah tersebut terkait pengetahuan, sikap, dan praktik penerima kebijakan yakni pemilik lahan pertanian pangan. Peneliti juga mencoba mencari informasi dari 2

3 pemerintah terkait perencanaan lokasi serta upaya yang telah dilakukan dalam rangka perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya oleh Rika Harini 2012 menyatakan bahwa terdapat klasifikasi kecamatan-kecamatan Kabupaten Sleman dengan tingkat konversi lahan tinggi disebut dengan zona bingkai kota meliputi Kecamatan Depok, Gamping, Mlati, dan Godean. Zona bingkai desa-kota yakni kecamatan dengan tingkat ancaman konversi rendah yaitu Kecamatan Cangkringan, Pakem, Turi, Sleman, Minggir, Moyudan, Seyegan, Prambanan, dan Ngemplak. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sleman menyatakan bahwa zona perkotaan Kabupaten Sleman meliputi Desa Caturtunggal, Maguwoharjo, Condongcatur (Kecamatan Depok), Desa Ambarketawang, Bangunrejo, Balecatur, Nogotirto, Trihanggo (Kecamatan Gamping), Desa Sinduadi, Sendangadi, Sumberadi, Tlogoadi, Tirtoadi (Kecamatan Mlati), Desa Sidoarum Godean, Desa Tridadi Sleman, Desa Sariharjo, Minomartani (Kecamatan Ngaglik), Desa Wedomartani Ngemplak, Desa Kalitirto Berbah, Desa Purwomartani Kalasan. Zonasi tersebut selanjutnya dijadikan pertimbangan wilayah kajian berdasarkan zona perkotaan dan perdesaan. 1.2 Rumusan Masalah Semakin meningkatnya jumlah penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri mengakibatkan terjadinya degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan. Hal tersebut mendorong direncanakannya suatu strategi dalam rangka pertanian yang berkelanjutan. Masih cukup barunya peraturan terkait Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menyebabkan masih sulitnya data ataupun hasil terkait pelaksanaan Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Menurut Korten (1998) keberhasilan suatu program akan ditentukan oleh hubungan dari tiga aspek yakni jenis program (peraturan kebijakan), penerima program, dan organisasi pelaksana program sehingga penelitian ini dilakukan terhadap ketiga aspek tersebut untuk selanjutnya 3

4 disimpulkan apakah Pelaksanaan Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Sleman konsisten atau tidak. 1.3 Pertanyaan Penelitian 1. Mengapa sampai pada tahun 2013 belum ada publikasi terkait persebaran lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Sleman dan dimana sajakah lokasi lahan pertanian pangan berkelanjutan yang direncanakan? 2. Bagaimanakah pengetahuan, sikap dan praktik penerima kebijakan antara kawasan perkotaan dengan kawasan perdesaan? 3. Bagaimana pengetahuan, sikap dan praktik organisasi pelaksana kebijakan? 4. Bagaimana konsistensi pelaksanaan Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan? 1.4 Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan peraturan-peraturan terkait rencana penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan 2. Mendeskripsikan pengetahuan, sikap, dan praktik organisasi pelaksana kebijakan 3. Mendeskripsikan pengetahuan, sikap, dan praktik penerima kebijakan antara kawasan perkotaan dengan perdesaan 4. Mendeskripsikan konsistensi pelaksanaan Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan 1.5 Kegunaan Penelitian 1. Sebagai syarat mendapatkan gelar Sarjana Sains dari Program Studi Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada 2. Sebagai bahan yang dapat digunakan untuk pertimbangan kelanjutan implementasi Kebijakan Lahan Petanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Sleman 4

5 1.6 Tinjauan Pustaka Kebijakan Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia, kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Publik berarti: seluruhnya atau semuanya; secara menyeluruh tidak menyangkut yang khusus (atau tertentu) saja; untuk orang banyak. Dye (1981) dalam Subarso (2013) menyatakan kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terkait permasalahan publik. Anderson (1979) dalam Subarso (2013) mendefinisikan kebijakan publik yaitu kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah yang dibuat dalam bidang tertentu misalnya pendidikan, kesehatan, pertanian. Kebijakan publik dilihat dari hirarkinya dapat bersifat nasional, regional, lokal seperti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Provinsi, Peraturan Pemerintah Kabupaten/ Kota, Keputusan Bupati/ Walikota (Subarso, 2013) Teori Kelayakan Kebijakan Penelitian ini menggunakan dasar teori kelayakan kebijakan oleh Korten (1998) dalam Subarso (2013) yang menyatakan bahwa keberhasilan suatu program akan ditentukan oleh hubungan dari tiga aspek yakni jenis program (peraturan kebijakan), penerima program, dan organisasi pelaksana program. Hubungan ketiga aspek kebijakan dapat dilihat pada Gambar 1.1 5

6 Kebijakan Hasil Kebijakan Persyaratan tugas Kebutuhan Penerima Kemampuan Khusus Penerima Kebijakan Organisasi Pelaksana Ekspresi Kebutuhan Keputusan Organisasi Sumber: Korten (1998) dalam Subarso (2013) Gambar 1.1 Teori Kelayakan Kebijakan menurut Korten Pembuatan suatu kebijakan memperhatikan beberapa hal yakni persyaratan tugas, kemampuan khusus organisasi pelaksana, keputusan organisasi pelaksana, ekspresi kebutuhan, dan kebutuhan penerima kebijakan. Persyaratan khusus yakni persyaratan teknis terkait kebijakan sesuai sifat kebijakan sehingga kebijakan tersebut dapat dilaksanaakan oleh organisasi pelaksana yang memiliki kemampuan khusus atau kemampuan teknis sesuai dengan sifat kebijakan tersebut. Ekspresi kebutuhan dan kebutuhan penerima kebijakan perlu diperhatikan oleh organisasi pelaksana agar keputusan atau program-program kebijakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga masyarakat merasa ikut terlibat langsung dan dapat melaksanaan kebijakan tersebut Teori Implementasi Kebijakan Publik Implementasi kebijakan merupakan hal yang kompleks tidak hanya karena banyaknya aktor atau unit organisasi yang terlibat tetapi juga proses implementasi dipengaruhi oleh beberapa variabel yang kompleks (Subarsono, 2013) Salah satu teori implementasi yakni dari Edward III (1980) menyatakan ada empat faktor yang mempengaruhi implemantasi kebijakan yakni (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi, (4) struktur birokrasi. 6

7 Faktor komunikasi yakni implementor harus mengetahui tujuan dan sasaran kebijakan yang selanjutnya disampaikan kepada kelompok sasaran agar dapat dipahami dan kebijakan selanjutnya dapat lebih mudah diterima oleh kelompok sasaran misalnya melalui sosialisasi. Faktor sumberdaya dapat berwujud sumberdaya manusia yakni kompetensi implementator dan sumberdaya finansial. Disposisi yakni watak atau karakteristik implementator seperti komitmen, kejujuran. Struktur Birokrasi salah satunya dapat berupa Standard Operational Prosedur yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk bertindak. Faktor-faktor tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman analisis dimana setiap faktor diturunkan menjadi variabel penelitian berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Handari (2012) dapat dilihat dalam Tabel 1.1. Tabel 1.1 Faktor dan Variabel Implementasi Kebijakan Publik Faktor Variabel Komunikasi Sosialisasi Sumberdaya Petugas, Dana Disposisi Respon implementor, Pemahaman terhadap kebijakan Struktur Birokrasi Peraturan pendukung, SOP, Koordinasi antar instansi Sumber: Handari (2012) Tinjauan tentang Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan memiliki definisi dasar yakni pembangunan untuk memenuhi kehidupan manusia baik dimasa kini ataupun masa datang ( Komisi Brundtland dalam Muta ali 2012). Bosshard (2000) dalam Muta ali (2012) menyebutkan bahwa terdapat lima prinsip yang harus diperhatikan dalam pembangunan berkelanjutan yakni abiotik lingkungan, biotik lingkungan, nilai-nilai budaya, sosiologi, serta ekonomi. Secara garis besar menurut Muta ali 2012 pembangunan berkelanjutan harus memperhatikan tiga aspek yakni keberlanjutan pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan sosial budaya, dan keberlanjutan lingkungan (ekologi) Pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan tiga aspek tersebut mengartikan bahwa pembangunan disuatu wilayah dengan segala sumberdaya yang ada dimaksudkan untuk menaikan nilai ekonomi yang dapat 7

8 mensejahterakan masyarakat dengan cara melibatkan masyarakat dan menerapkan nilai-nilai sosial yang telah ada sehingga pembangunan dapat dilakukan secara merata dan mengurangi kesenjangan antar tingkat kesejahteraan masyarakat. Aspek yang harus selalu diperhatikan dalam pembangunan yakni selain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan nilai ekonomi suatu sumberdaya, pembangunan juga harus memperhatikan aspek ekologi (lingkungan) sehingga dapat meminimalisir dampak kerusakan lingkungan, dan sumberdaya dapat dimanfaatkan tidak hanya untuk saat ini tetapi juga dimasa yang akan datang Konsep Konsep terkait Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Rencana perlindungan lahan pertanian agar tidak dialih fungsikan menjadi lahan non pertanian atau disebut lahan abadi pertanian pernah di gagas oleh pemerintah dengan luas lahan yang direncanakan menjadi lahan pertanian abadi seluas 15 juta hektar lahan beririgasi dan 15 juta hektar lahan kering (Syahyuti, 2006). Rencana tersebut dicantumkan dalam Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) pada tahun (Kementerian Negara Riset dan Teknologi R.I, 2006). UU No. 26/2007 Pasal 28 menyebutkan bahwa pertahanan kawasan lahan abadi untuk ketahanan pangan termasuk kedalam arahan penataanruang kawasan perdesaan. Rencana penetapan lahan abadi pada kawasan budidaya pertanian juga tercantum dalam PP No. 26/2008 mengenai Rencana Tataruang Wilayah Nasional. Perencanaan lahan abadi pertanian yang tercantum dalam revitalisasi pertanian tersebut menjadi pertimbangan dibentuknya undang-undang khusus terkait perlindungan lahan pertanian yakni UU No. 41/2009 mengenai Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Beberapa peraturan terkait lahan pertanian pangan berkelanjutan yakni PP No. 1/2011 tentang Penetapan dan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan, PP No. 12/2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP No. 25/2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan PP No. 30/2012 tentang Pembiayaan Perlindungan 8

9 Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Peraturan Menteri Pertanian No. 07/Permentan/OT.140/2/2012 tentang Pedoman Teknis Kriteria dan Persyaratan Kawasan, Lahan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan selanjutnya direncanakan dalam RTRW Propinsi, RTRW Kabupaten, RDTR ataupun Perda. Lahan Pertanian Pangan berkelanjutan yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah Daerah Yogyakarta ditetapkan dengan luas paling kurang ,59 Ha. Tersebar di wilayah Kabupaten Sleman dengan luas paling kurang ,59 Ha; Kabupaten Bantul dengan luas paling kurang Ha; Kabupaten Kulon Progo dengan luas paling kurang Ha; dan Kabupaten Gunungkidul dengan luas paling kurang Ha. (Perda DIY No.10/2011) Permasalahan yang terjadi terkait rencana Kebijakan Lahan Abadi Pertanian sebelum dikeluarkannya UU no 41 Tahun 2009 yakni terdapat beberapa peraturan yang tidak mendukung diantaranya UUPA No 5 Tahun 1960 dimana aspek pertama yang diatur yakni mengenai penguasaan tanah, bahwa seseorang bebas untuk mengolah, menggunakan, dan memanfatkan tanahnya. Hal ini kurang dapat membatasi pengendalian alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian. Selain itu sebelum tahun 2009 belum adanya Undang-Undang yang mengatur tentang perlindungan lahan pertanian (Syahyuti, 2006). Beberapa istilah terkait lahan pertanian pangan berkelanjutan diantaranya, lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh manusia (UU No. 41/ 2009 ). Lahan Pertanian Pangan adalah bidang lahan yang digunakan untuk usaha pertaniantanaman pangan, hortikultura, peternakan, perikanan dan perkebunan. (Perda DIY No. 10/ 2011). Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. (UU No. 41/ 2009). Suatu hamparan lahan ditetapkan sebagai lahan 9

10 pertanian pangan berkelanjutan, atau lahan yang tetap dipertahankan untuk kegiatan pertanian, merupakan hasil kesepakatan dari pihak-pihak terkait, terutama menyangkut ketahanan pangan pada berbagai tingkatan dan kesejahteraan petani yang berusaha di atasnya, serta kesepakatan mengenai satuan waktu tertentu lahan tersebut dipertahankan sebagai lahan pertanian. (Cristina, 2011). Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) adalah wilayah budi daya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan/atau hamparan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. (UU No. 41/ 2009) Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B) adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan (LPPB) pada masa yang akan datang. (UU No. 41/ 2009). Lahan Pertanian Pangan yang ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat berupa lahan beririgasi teknis, lahan reklamasi rawa pasang surut dan non pasang surut, lahan tidak beririgasi (UU No. 41/ 2009). Lahan pertanian pangan berkelanjutan menurut UU No. 41/2009 secara umum selain memperhatikan aspek ekologis kawasan pertanian tetapi juga memperhatikan aspek sosial serta ekonomi. Aspek sosial diantaranya yakni kebudayaan ataupun nilai sosial masyarakat sehingga masyarakat dapat berperan aktif dalam perencanaan ataupun pelaksanaan Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Peran serta masyarakat diharapkan dapat menjaga keberlanjutan kawasan pertanian secara ekologis dan dapat bernilai ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ritung et al (2007) merumuskan beberapa kriteria biofisik terkait kriteria Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Kriteria tersebut meliputi status irigasi, indeks penanaman padi, dan produktivitas padi sawah rata-rata pertahun. 10

11 Klasifikasi Lahan Pertanian Berkelanjutan menurut kriteria tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.2. Model Status Irigasi Tabel 1.2 Kriteria Lahan Sawah Abadi Aktual *) Produktivitas tanaman padi (P) : Jawa, Bali, dan NTB = 4,5 ton/ha : Sumatera dan Sulawesi = 4,0 ton/ha : Kalimantan = 3,0 ton/ha **) LAU = lahan sawah abadi utama LU = lawan sawah utama LS = lahan sawah sekunder Sumber : Ritung et al (2007) Konversi Lahan Konversi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perubahan dari suatu bentuk kebentuk lain. Konversi lahan yakni alih fungsi suatu penggunaan lahan sehingga konversi lahan pertanian yakni alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian. Indeks Pertanaman (IP)-Padi (%) Produktivitas Padi Sawah *) Konversi lahan dari pertanian menjadi non pertanian dapat berdampak negatif bagi ketahanan pangan nasional oleh karena itu diperlukan revitalisasi kebijakan terkait pengendalian konversi lahan guna mewujudkan ketahanan 11 Kelas **) Keterangan 1 Beririgasi 200 P LU-I = LAU-I Termasuk P LU-II = LAU-II irigasi P LU-II = LAU-II teknis, semi teknis dan P LU-II = LAU-II sederhana 5 Tadah 200 P LU-III = LAU-III Sawah 6 hujan, 200 P LU-IV = LAU-IV 7 pasang 200 P LU-IV = LAU-IV surut, P LU-IV = LAU-IV lebak berteras dan berfungsi sebagai riparian zones diarahkan sebagai lahan abadi utama

12 pangan nasional (Irawan, 2005). Kebijakan terkait pengendalian konversi lahan pertanian menjadi non pertanian salah satunya dengan perencanaan perlindungan lahan pertanian yang selanjutnya ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan sebagai upaya terhadap penjagaan pangan. Penelitian yang dilakukan oleh Harini (2012) menghasilkan klasifikasi kecamatan di Kabupaten Sleman berdasarkan tingkat konversi lahannya yakni kecamatan yang termasuk klasifikasi tinggi merupakan zone bingkai kota (Zobikot), meliputi Kecamatan Depok, Gamping, Mlati dan Godean. Kecamatan dengan klasifikasi sedang adalah merupakan zone bingkai kota-desa (Zobikodes) meliputi Kecamatan Berbah, Kalasan, Ngaglik dan Tempel. Kecamatan dengan klasifikasi rendah yang merupakan zone bingkai desa-kota (Zobideskot) meliputi Kecamatan Cangkringan, Pakem, Turi, Sleman, Minggir, Moyudan, Seyegan, Prambanan dan Ngemplak. Penelitian yang dilakukan oleh Rijanta (2013) menyimpulkan bahwa petani lahan pertanian di Ringroad Barat yang sebagian merupakan zone bingkai kota yaitu Kecamatan Gamping dan Mlati sebagian besar menilai lahan sebagai komoditas ekonomi sehingga konversi lahan pertanian tidak dapat dihindari. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah misalnya dengan pemberian subsidi dan bantuan alat pertanian dirasa tidak sebanding dengan harga yang ditawarkan oleh dunia industri ataupun ekonomi dengan kisaran penawaran harga jual lahan 40 persen lebih tinggi dari harga pasar. Lebih tingginya nilai ekonomi lahan dibandingkan penghasilan dari hasil pertanian menyebabkan sebagian besar petani memandang lahan pertanian sebagai komoditas ekonomi dengan kata lain mereka hanya menunggu waktu saja untuk menjual lahan tersebut Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dari manusia yang sekedar menjawab pertanyaan What. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan, penciuman, rasa, dan raba. 12

13 Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Menurut Bloom dan Skinner pengetahuan adalah kemampuan seseorang untuk mengungkapkan kembali apa yang diketahuinya dalam bentuk bukti jawaban baik lisan atau tulisan, bukti lisan atau tulisan tersebut merupakan suatu reaksi dari suatu stimulasi yang berupa pertanyaan baik lisan atau tulisan (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan merupakan tahap awal terjadinya persepsi, yang kemudian melahirkan sikap dan pada akhirnya melahirkan perbuatan atau tindakan (Levis, 2013). Snafiah dalam (Levis, 2013) menyatakan sikap adalah pandangan seseorang terhadap suatu objek yang dihadapinya. Salah satu cara dengan mengetahui reakisinya terhadap hal-hal yang dihadapi. Serman dalam (Levis, 2013) menyatakan sikap sebagai respons evaluasi terhadap stimulus yang diterima melalui panca indera yakni perasaan senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju. Perbedaan dari sikap dan persepsi yakni pada persepsi objek yang menjadi rangsangan sudah menyatu dalam individu sehingga responden telah merasakan dampak baik atau buruknya (Levis, 2013). Tindakan atau perilaku yakni ekspresi seseorang terhadap dunia sekitar yang dipengaruhi oleh sikap, pengetahuan dan ketrampilan. (Levis,2013). Perilaku juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, latar belakang pengalaman individu, motivasi, status kepribadian (Azwar, 2013). 1.7 Keaslian Penelitian Penelitian terkait lahan perlindungan pangan berkelanjutan sudah pernah dilakukan di beberapa lokasi. Penelitian tersebut ada yang memfokuskan kepada kajian faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi, strategi implementasi, perencanaan lokasi lahan pertanian pangan berkelanjutan, dan persepsi stakeholders terhadap penetapan lahan pertanian pangan abadi. Penelitian terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan juga pernah dilakukan di Kabupaten Sleman tetapi yang membedakan dari penelitian ini yakni penelitian 13

14 sebelumnya mengambil lokasi berdasarkan kawasan strategis tanaman pangan di Kabupaten Sleman sedangkan penelitian ini dilakukan pada kawasasan yang akan direncanakan sebagai lahan pangan berkelanjutan dengan mempertimbangkan kerawanan konversi lahan. Fokus kajian penelitian ini juga berbeda karena fokus penelitian sebelumnya terkait persepsi stakeholders tetapi penelitian ini memfokuskan pada bagaimana konsistensi antara kebijakan, organisasi pelaksana, dan penerima kebijakan terkait Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Sleman. Perbandingan penelitian terkait Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat dilihat pada Tabel

15 Tabel 1.3 Tabel Keaslian Penelitian No Judul Penelitian Tujuan Lokasi Metode Hasil 1. Persepsi Stakeholders Mengetahui persepsi Minggir, Bersifat deskriptif Pemetaan stakeholders terhadap Penetapan Lahan stakeholders terhadap Moyudan, dengan pendekatan Tabel persepsi stakeholders : Pertanian Abadi di rencana penetapan lahan Seyegan kualitatif - Makna lahan pertanian Kabupaten Sleman pertanian abadi di Kabupaten - Alih fungsi lahan pertanian Sri Nurnaeni (Thesis, 2010) Kabupaten Sleman Sleman Pengendalian lahan pertanian - Kriteria dan konteks lahan pertanian abadi - Peran kelembagaan - Harapan masyarakat - Masalah yang dihadapi petani - Langkah kedepan - Manfaat penetapan LPA - Peran masyarakat 2. Identifikasi Lahan Potensial Untuk Mendukung Usulan Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Studi Kasus Di Provinsi Jawa Barat) Dwi Ratnawati Christina (Thesis, 2011) 1. Menganalisis proyeksi kebutuhan lahan sawah di tingkat provinsi dan kabupaten. 2. Melakukan identifikasi lahan pertanian pangan potensial untuk LPPB dan LCP2B di tingkat provinsi dan kabupaten. Provinsi Jawa Barat Provinsi Pendekatan kuantitatif dengan teknik pembobotan, Analisis kebutuhan lahan sawah dihitung berdasarkan proyeksi pertumbuhan penduduk dan kebutuhan pangan Pendekatan kuantitatif - Analisis proyeksi kebutuhan lahan sawah - Inventarisasi data dan informasi - Identifikasi dan pemetaan lahan potensial untuk lahan cadangan Pertanian pangan berkelanjutan - Identifikasi dan pemetaan lahan potensial untuk lahan pertanian Pangan berkelanjutan 15

16 Lanjutan Tabel 1.4 Tabel Keaslian Penelitian No Judul Penelitian Tujuan Lokasi Metode Hasil 2 Identifikasi Lahan Potensial Jawa Barat dengan teknik - Identifikasi dan pemetaan kawasan Untuk Mendukung Usulan 3. Menetapkan lokasilokasi pembobotan, Analisis potensial untuk kawasan Pertanian Perencanaan Lahan potensial untuk kebutuhan lahan pangan berkelanjutan Pertanian Pangan diusulkan sebagai sawah dihitung Berkelanjutan (Studi Kasus Di Provinsi Jawa Barat) KP2B di tingkat provinsi dan kabupaten berdasarkan proyeksi pertumbuhan Dwi Ratnawati Christina penduduk dan (Thesis, 2011) kebutuhan pangan 3. Implementasi Kebijakan Nasional Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Di Kabupaten Sukoharjo Andria Luhur Prakoso (Skripsi, 2010) 1. Mengetahui pelaksanaan kebijakan nasional pembangunan Pertanian berkelanjutan 2. Mengetahui berbagai upaya hukum yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukoharjo untuk mendukung Pelaksanaan kebijakan nasional pembangunan pertanian Berkelanjutan. Kabupaten Sukoharjo Penelitian normatif penelitian kepustakaan hukum atau hukum Analisis terkait dokumen-dokumen terkait kebijakan nasional pembangunan Pertanian berkelanjutan di kabupaten Sukoharjo 16

17 Lanjutan Tabel 1.5 Tabel Keaslian Penelitian No Judul Penelitian Tujuan Lokasi Metode Hasil 3. Implementasi Kebijakan 3. Mengetahui visi dan Kabupaten Penelitian hukum Analisis terkait dokumen-dokumen Nasional Pembangunan misi Kabupaten Sukoharjo normatif atau terkait kebijakan nasional pembangunan Pertanian Berkelanjutan Di Sukoharjo yang penelitian hukum Pertanian berkelanjutan di kabupaten Kabupaten Sukoharjo Mendukung pelaksanaan kebijakan kepustakaan Sukoharjo Andria Luhur Prakoso nasional pembangunan (Skripsi, 2010) pertanian Berkelanjutan 4. Implementasi Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kabupaten Magelang Anita Widhy Handari (Thesis, 2012) 1. Mengkaji implementasi kebijakan perlindungan lahan pertanian berkelanjutan 2. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan 3. Menentukan strategi dalam mencapai perlindungan lahan pertanian berkelanjutan Kabupaten Magelang Tipe penelitian adalah deskriptif dengan metode gabungan (mixed methods) - Implementasi Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan Di Kabupaten Magelang - Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan di Kabupaten Magelang - Strategi Kebijakan 17

18 Lanjutan Tabel 1.6 Tabel Keaslian Penelitian No Judul Penelitian Tujuan Lokasi Metode Hasil 5 Konsistensi Pelaksanaan Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Studi Kasus Kabupaten Sleman) Galuh Kartika D.M (Skripsi, 2014) Kabupaten Sleman 1. Mendeskripsikan peraturan-peraturan yang terkait dengan rencana penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Sleman 2. Mendeskripsikan pengetahuan, sikap, dan praktik organisasi pelaksana kebijakan 3. Mendeskripsikan pengetahuan, sikap, dan praktik penerima kebijakan antara kawasan perdesaan dengan perkotaan 4. Mendeskripsikan konsistensi Pelaksanaan Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Studi Kasus - Deskripsi dokumen-dokumen perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan Kabupaten Sleman - Tabel perencanaan lokasi dan luas lahan pertanian pangan berkelanjutan Kabupaten Sleman - Matriks pengetahuan, sikap, praktik Pelaksana Kebijakan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan - Narasi pengetahuan,sikap, dan praktik penerima kebijakan terkait Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan - Diagram konsistensi pelaksanaan Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan 18

19 1.8 Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran penelitian ini berasal dari permasalahan meningkatnya konversi lahan pertanian menjadi non pertanian seiring meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitas ekonomi. Hal ini melatarbelakangi diperlukannya suatu peraturan yang berfungsi melindungi lahan pertanian. Peraturan terkait perlindungan lahan pertanian pangan salah satunya yakni Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dikeluarkan pada tahun 2009 dengan peraturan perundang undangan Nomor 41 Tahun Masih barunya peraturan yang ada dan sudah adanya luasan lahan pertanian pangan berkelanjutan pada Perda Nomor 10 Tahun 2011 yang belum dirinci persebarannya dalam Perda RTRW Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun 12 menjadikan penelitian ingin mengetahui bagaimana konsistensi pelaksanaan kebijakan tersebut dengan meninjau tiga aspek yakni kebijakan, organisasi pelaksana, dan penerima kebijakan. Variabel yang diteliti terkait aspek organisasi pelaksana dan penerima kebijakan yakni pengetahun, sikap, dan praktik. Kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar

KONSISTENSI PELAKSANAAN KEBIJAKAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS KABUPATEN SLEMAN)

KONSISTENSI PELAKSANAAN KEBIJAKAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS KABUPATEN SLEMAN) KONSISTENSI PELAKSANAAN KEBIJAKAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN (STUDI KASUS KABUPATEN SLEMAN) Galuh Kartika Dewi Megawati galuh.kartika.d@mail.ugm.ac.id Rijanta rijanta@ugm.ac.id Abstract

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN KAWASAN

BAB III TINJAUAN KAWASAN BAB III TINJAUAN KAWASAN 3.1. Tinjauan Wilayah D.I. Yogyakarta 3.1.1. Kondisi Geografis Daerah Istimewa Yogyakarta terletak antara 110º.00-110º.50 Bujur Timur dan antara 7º.33-8 º.12 Lintang Selatan. Secara

Lebih terperinci

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Latar Belakang Permasalahan yang menghadang Upaya pencapaian 10 juta ton surplus beras di tahun 2014 : Alih fungsi lahan sawah

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 45 TAHUN 2015 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG KRITERIA DAN SYARAT KAWASAN PERTANIAN DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Alih fungsi lahan pertanian merupakan salah satu permasalahan yang sedang dihadapi dalam bidang pertanian di Indonesia. Luas lahan pertanian sawah di Indonesia saat

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Lebih terperinci

CUPLIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

CUPLIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN CUPLIKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensinya. Penggunaan

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN 2012, No.205 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN, PANGAN

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 31 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 31 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 31 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN CIAMIS DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) atau lebih populer dengan sebutan

I. PENDAHULUAN. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) atau lebih populer dengan sebutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) atau lebih populer dengan sebutan Jogja merupakan salah satu destinasi pendidikan dan pariwisata di Indonesia. Julukannya sebagai kota

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN LEGISLASI LAHAN DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN LEGISLASI LAHAN DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN LEGISLASI LAHAN DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN Oleh : Muchjidin Rachmat Chairul Muslim Muhammad Iqbal PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN

Lebih terperinci

BUPATI SLEMAN PERATURAN BUPATI SLEMAN NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENGEMBANGAN PERUMAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN,

BUPATI SLEMAN PERATURAN BUPATI SLEMAN NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENGEMBANGAN PERUMAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, BUPATI SLEMAN PERATURAN BUPATI SLEMAN NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENGEMBANGAN PERUMAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang : a. bahwa perkembangan perumahan di wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. umum disebabkan dua faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor

I. PENDAHULUAN. umum disebabkan dua faktor, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan utama dalam pemenuhan kebutuhan bangan pangan adalah berkurangnya luas lahan karena adanya alih fungsi lahan sawah ke non sawah. Konversi lahan pertanian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketahanan pangan menjadi salah satu isu permasalahan penting pada skala global, apalagi jika dihubungkan dengan isu perubahan iklim yang secara langsung mengancam pola

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia dikaruniai Tuhan dengan keanekaragaman hayati, ekosistem, budaya yang sangat tinggi, satu lokasi berbeda dari lokasi-lokasi lainnya. Kemampuan dan keberadaan biodiversitas

Lebih terperinci

KABUPATEN CIANJUR PERATURAN BUPATI CIANJUR

KABUPATEN CIANJUR PERATURAN BUPATI CIANJUR BERITA KABUPATEN CIANJUR DAERAH NOMOR 41 TAHUN 2011 PERATURAN BUPATI CIANJUR NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG MEKANISME PELAKSANAAN PENCETAKAN SAWAH BARU DI KABUPATEN CIANJUR BUPATI CIANJUR, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BUPATI LEBAK PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI LEBAK PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI LEBAK PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikenal sebagai kota pendidikan dan kota pariwisata dengan jumlah penduduk

BAB I PENDAHULUAN. dikenal sebagai kota pendidikan dan kota pariwisata dengan jumlah penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi di Indonesia yang dikenal sebagai kota pendidikan dan kota pariwisata dengan jumlah penduduk yang cukup padat. Berdasarkan

Lebih terperinci

penduduk yang paling rendah adalah Kabupaten Gunung Kidul, yaitu sebanyak 454 jiwa per kilo meter persegi.

penduduk yang paling rendah adalah Kabupaten Gunung Kidul, yaitu sebanyak 454 jiwa per kilo meter persegi. penduduk yang paling rendah adalah Kabupaten Gunung Kidul, yaitu sebanyak 454 jiwa per kilo meter persegi. III.1.3. Kondisi Ekonomi Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik, perhitungan PDRB atas harga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menentukan nilai ekonomis aset dan potensi harta kekayaan. Di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. dalam menentukan nilai ekonomis aset dan potensi harta kekayaan. Di Indonesia, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penilaian merupakan salah satu sektor jasa yang dapat berperan penting dalam menentukan nilai ekonomis aset dan potensi harta kekayaan. Di Indonesia, penilaian atau

Lebih terperinci

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 109 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 109 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 109 TAHUN 2016 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN

Lebih terperinci

BUPATI PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 10 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk Indonesia yang semakin meningkat berdampak pada peningkatan kebutuhan bahan makanan yang bergizi. Diantara kebutuhan gizi yang diperlukan manusia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BAB I Pendahuluan. Youdastyo / Kompleks Wisata Perikanan Kalitirto I- 1

BAB I PENDAHULUAN. BAB I Pendahuluan. Youdastyo / Kompleks Wisata Perikanan Kalitirto I- 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek Wisata ataupun rekreasi dinilai sangatlah penting bagi kebanyakan individu karena dengan berekreasi atau mengunjungi tempat wisata kita dapat mengobati

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN WILAYAH BAB III TINJAUAN WILAYAH 3.1. TINJAUAN UMUM DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Pembagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara administratif yaitu sebagai berikut. a. Kota Yogyakarta b. Kabupaten Sleman

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Bantul terletak pada Lintang Selatan dan 110

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Bantul terletak pada Lintang Selatan dan 110 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Deskripsi Daerah Daerah hulu dan hilir dalam penelitian ini adalah Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Secara geografis Kabupaten Sleman terletak pada 110 33 00

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan pertanian pangan merupakan bagian dari lahan fungsi budidaya. Keberadaanya sangat penting dalam menyokong kedaulatan pangan baik untuk memenuhi kebutuhan wilayahnya

Lebih terperinci

BUPATI TEMANGGUNG PERATURAN BUPATI TEMANGGUNG NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KABUPATEN TEMANGGUNG

BUPATI TEMANGGUNG PERATURAN BUPATI TEMANGGUNG NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KABUPATEN TEMANGGUNG BUPATI TEMANGGUNG PERATURAN BUPATI TEMANGGUNG NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KABUPATEN TEMANGGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kabupaten Ngawi merupakan kabupaten penghasil beras keempat terbesar

I. PENDAHULUAN. Kabupaten Ngawi merupakan kabupaten penghasil beras keempat terbesar 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kabupaten Ngawi merupakan kabupaten penghasil beras keempat terbesar untuk Provinsi Jawa Timur setelah Bojonegoro, Lamongan, dan Banyuwangi. Kontribusi beras

Lebih terperinci

Tabel 7.3 CAPAIAN KINERJA PROGRAM INDIKATOR

Tabel 7.3 CAPAIAN KINERJA PROGRAM INDIKATOR Tabel 7.3 Kebijakan Umum dan Program Pembangunan Misi 3 RPJMD Kabupaten Sleman Tahun 2016-2021 Misi 3 : Meningkakan penguatan sistem ekonomi kerakyatan, aksesibilitas dan kemampuan ekonomi rakyat, penanggulangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tahun 1960 menjadi sejarah dalam sistem penguasaan dan kepemilikan tanah di Indonesia pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Sistem penguasaan tanah oleh Belanda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk khususnya di wilayah perkotaan dipengaruhi dari berbagai faktor-faktor yang menyebabkan suatu daerah menjadi padat penduduknya. Hal ini akan menimbulkan

Lebih terperinci

Cadangan Airtanah Berdasarkan Geometri dan Konfigurasi Sistem Akuifer Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Cadangan Airtanah Berdasarkan Geometri dan Konfigurasi Sistem Akuifer Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Cadangan Airtanah Berdasarkan Geometri dan Konfigurasi Sistem Akuifer Cekungan Airtanah Yogyakarta-Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta BAB I PENDAHULUAN I. 1. LATAR BELAKANG Sepanjang sejarah peradaban

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

1 Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON

1 Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 32 TAHUN 2016 SERI E. 24 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 32 TAHUN 2016 TENTANG ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN CIREBON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PEMBANGUNAN MENARA TELEKOMUNIKASI SELULER

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PEMBANGUNAN MENARA TELEKOMUNIKASI SELULER PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PEMBANGUNAN MENARA TELEKOMUNIKASI SELULER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa lahan pertanian pangan merupakan bagian

Lebih terperinci

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun sekali sejak 1963. Pelaksanaan ST2013 merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring dengan laju pertambahan penduduk yang terus meningkat. Pertambahan penduduk ini menjadi ancaman

Lebih terperinci

PETUNJUK PELAKSANAAN PENILAIAN BAGI KEPALA DAERAH DAN PETANI BERPRESTASI TINGGI PENGELOLA LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PETUNJUK PELAKSANAAN PENILAIAN BAGI KEPALA DAERAH DAN PETANI BERPRESTASI TINGGI PENGELOLA LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PETUNJUK PELAKSANAAN PENILAIAN BAGI KEPALA DAERAH DAN PETANI BERPRESTASI TINGGI PENGELOLA LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DEWAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI JAWA TENGAH 2016 KATA PENGANTAR Dalam rangka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian tidak hanya mencakup kegiatan yang menghasilkan tanaman pangan saja, namun juga kegiatan yang bergerak dalam usaha untuk menghasilkan tanaman sayur-sayuran,

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH. Sleman merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di Daerah Istimewa

KEADAAN UMUM WILAYAH. Sleman merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di Daerah Istimewa IV. KEADAAN UMUM WILAYAH A. Kabupaten Sleman 1. Kondisi Geografis Sleman merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara geografis Kabupaten Sleman terletak diantara

Lebih terperinci

BAB III PUSAT STUDI PENGEMBANGAN BELUT DI SLEMAN

BAB III PUSAT STUDI PENGEMBANGAN BELUT DI SLEMAN BAB III PUSAT STUDI PENGEMBANGAN BELUT DI SLEMAN 3.1 Tinjauan Umum Kabupaten Sleman 3.1.1 Kondisi Geografis Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110 33 00 dan 110 13 00 Bujur Timur, 7 34

Lebih terperinci

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1 KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1 Sudi Mardianto, Ketut Kariyasa, dan Mohamad Maulana Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

BAB II PROFIL DAERAH KABUPATEN SLEMAN & BADAN NARKOTIKA NASIONAL KABUPATEN SLEMAN

BAB II PROFIL DAERAH KABUPATEN SLEMAN & BADAN NARKOTIKA NASIONAL KABUPATEN SLEMAN BAB II PROFIL DAERAH KABUPATEN SLEMAN & BADAN NARKOTIKA NASIONAL KABUPATEN SLEMAN A. Profil Daerah Kabupaten Sleman 1. Letak dan Luas Wilayah a. Letak Wilayah Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi pajak yang sangat

PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi pajak yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi pajak yang sangat tinggi, akan tetapi banyak potensi pajak yang hilang atau tidak diperhatikan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya, menghadapi tantangan yang berat dan sangat kompleks. Program dan kebijakan yang terkait dengan ketahanan pangan

Lebih terperinci

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi yang sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Di lihat dari sisi ekonomi, lahan merupakan input

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Dalam rangka mencapai tujuan sasaran pembangunan untuk mewujudkan visi misi yang telah ditetapkan, perlu perubahan secara mendasar, terencana terukur. Upaya pencapaian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGELOLAAN SEKTOR PERIKANAN. 1. Kondisi Geografis dan Batas Wilayah Administrasi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGELOLAAN SEKTOR PERIKANAN. 1. Kondisi Geografis dan Batas Wilayah Administrasi BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGELOLAAN SEKTOR PERIKANAN A. Gambaran Umum Kabupaten Sleman 1. Kondisi Geografis dan Batas Wilayah Administrasi Kabupaten Sleman merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi

Lebih terperinci

Bab 3 Skenario Pembangunan Sanitasi

Bab 3 Skenario Pembangunan Sanitasi Bab 3 Skenario Pembangunan Sanitasi 3.1 Visi dan Misi Pembangunan Sanitasi Berdasarkan pengalaman pembangunan sanitasi selama ini, maka Pemerintah Kabupaten Sleman memandang bahwa peran masyarakat sebagai

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI

EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI EXECUTIVE SUMMARY PEMETAAN ZONASI POTENSI DAN ALIH FUNGSI LAHAN IRIGASI DESEMBER, 2014 Pusat Litbang Sumber Daya Air i KATA PENGANTAR Puji dan Syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunianya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki sebutan sebagai negara agraris. Indonesia sebagai negara agraris karena pada jaman dahulu hasil pertanian merupakan produk yang dapat diunggulkan.

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR... TAHUN... TENTANG

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR... TAHUN... TENTANG DRAFT 28 OKTOBER 2015 GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR... TAHUN... TENTANG INSENTIF BAGI KEPALA DAERAH DAN PETANI BERPRESTASI TINGGI PADA LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN

Lebih terperinci

KE-2) Oleh: Supadi Valeriana Darwis

KE-2) Oleh: Supadi Valeriana Darwis LAPORAN AKHIR TA. 2013 STUDI KEBIJA AKAN AKSELERASI PERTUMBUHAN PRODUKSI PADI DI LUAR PULAUU JAWAA (TAHUN KE-2) Oleh: Bambang Irawan Gatoet Sroe Hardono Adreng Purwoto Supadi Valeriana Darwis Nono Sutrisno

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH. ke selatan dengan batas paling utara adalah Gunung Merapi.

KEADAAN UMUM WILAYAH. ke selatan dengan batas paling utara adalah Gunung Merapi. IV. KEADAAN UMUM WILAYAH Kabupaten Sleman merupakan salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta, secara makro Kabupaten Sleman terdiri dari daerah dataran rendah yang subur pada bagian selatan,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TASIKMALAYA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TASIKMALAYA, BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TASIKMALAYA,

Lebih terperinci

BAB III DATA LOKASI. Perancangan Arsitektur Akhir Prambanan Hotel Heritage & Convention. 3.1 Data Makro

BAB III DATA LOKASI. Perancangan Arsitektur Akhir Prambanan Hotel Heritage & Convention. 3.1 Data Makro BAB III DATA LOKASI 3.1 Data Makro 3.1.1 Data Kawasan wilayah Kabupaten Sleman yaitu : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang (Provinsi Jawa Tengah) Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan basis perekonomiannya berasal dari sektor pertanian. Hal ini disadari karena perkembangan pertanian merupakan prasyarat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI, KABUPATEN, DAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Kondisi Fisiografi 1. Letak Wilayah Secara Geografis Kabupaten Sleman terletak diantara 110 33 00 dan 110 13 00 Bujur Timur, 7 34 51 dan 7 47 30 Lintang Selatan. Wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu hak manusia yang paling

I. PENDAHULUAN. Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu hak manusia yang paling I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu hak manusia yang paling penting. Kekurangan pangan secara meluas di suatu negara akan menyebabkan kerawanan ekonomi, sosial

Lebih terperinci

I. KARAKTERISTIK WILAYAH

I. KARAKTERISTIK WILAYAH I. KARAKTERISTIK WILAYAH Sumber : http//petalengkap.blogspot.com. Akses 31 Mei 2016 A B Gambar 1. A. Peta Jl Magelang, B. Peta Jl Solo Kabupaten Sleman merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian 23 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan pada lahan sagu yang ada di sekitar Danau Sentani dengan lokasi penelitian mencakup 5 distrik dan 16 kampung di Kabupaten Jayapura.

Lebih terperinci

TINGKAT KERUSAKAN LINGKUNGAN FISIK AKIBAT PENAMBANGAN PASIR DAN BATU DI KECAMATAN TURI DAN PAKEM KABUPATEN SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

TINGKAT KERUSAKAN LINGKUNGAN FISIK AKIBAT PENAMBANGAN PASIR DAN BATU DI KECAMATAN TURI DAN PAKEM KABUPATEN SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TINGKAT KERUSAKAN LINGKUNGAN FISIK AKIBAT PENAMBANGAN PASIR DAN BATU DI KECAMATAN TURI DAN PAKEM KABUPATEN SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Agung Dwi Sutrisno, Ag. Isjudarto Jurusan Teknik Pertambangan

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PENYUSUNAN ARAHAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN DI KABUPATEN SLEMAN

NASKAH PUBLIKASI APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PENYUSUNAN ARAHAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN DI KABUPATEN SLEMAN NASKAH PUBLIKASI APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PENYUSUNAN ARAHAN PENGEMBANGAN PERUMAHAN DI KABUPATEN SLEMAN Oleh : Fahmi Nur Prasetyo E10010001071 FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 12/PJ/2010 TENTANG : NOMOR OBJEK PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN TATA CARA PEMBERIAN NOP

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 12/PJ/2010 TENTANG : NOMOR OBJEK PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN TATA CARA PEMBERIAN NOP LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 12/PJ/2010 TENTANG : NOMOR OBJEK PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN TATA CARA PEMBERIAN NOP DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS DIREKTORAT PERLUASAN DAN PERLINDUNGAN LAHAN TAHUN

RENCANA STRATEGIS DIREKTORAT PERLUASAN DAN PERLINDUNGAN LAHAN TAHUN RENCANA STRATEGIS DIREKTORAT PERLUASAN DAN PERLINDUNGAN LAHAN TAHUN 2015-2019 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 80/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 80/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 80/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG KRITERIA DAN TATA CARA PENILAIAN PETANI BERPRESTASI TINGGI PADA LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN KAWASAN

BAB III TINJAUAN KAWASAN BAB III TINJAUAN KAWASAN III.1 Latar Belakang Pemilihan Kawasan Day care dan Pre-school merupakan sebuah lembaga pendidikan bagi anak usia dini yang membutuhkan bimbingan dalam perkembangannya karena orang

Lebih terperinci

CATATAN KECIL MENIGKUTI ASISTENSI DAN SUPERVISI DAERAH DALAM PENYUSUNAN DAN PENETAPAN RAPERDA TENTANG RTR DERAH YANG MENGAKOMODIR LP2B

CATATAN KECIL MENIGKUTI ASISTENSI DAN SUPERVISI DAERAH DALAM PENYUSUNAN DAN PENETAPAN RAPERDA TENTANG RTR DERAH YANG MENGAKOMODIR LP2B CATATAN KECIL MENIGKUTI ASISTENSI DAN SUPERVISI DAERAH DALAM PENYUSUNAN DAN PENETAPAN RAPERDA TENTANG RTR DERAH YANG MENGAKOMODIR LP2B Oleh: Ir. ADRY NELSON PENDAHULUAN Kegiatan Asistensi dan Supervisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. Lahan berfungsi sebagai tempat manusia beraktivitas

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

DINAS PENGENDALIAN PERTANAHAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN

DINAS PENGENDALIAN PERTANAHAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN DINAS PENGENDALIAN PERTANAHAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN 1 D A F T A R I S I DAFTAR ISI... i DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR TABEL... iv BAB I. PENDAHULUAN... 1-1 1.1. Latar Belakang... 1-1 1.2. Maksud Dan Tujuan...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Ketersediaan pangan

BAB I PENDAHULUAN. kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Ketersediaan pangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ketersediaan pangan didefinisikan sebagai kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional serta impor apabila kedua sumber utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses penataan ruang. Pemanfaatan ruang dibanyak daerah di Indonesia, dalam pelaksanaan

Lebih terperinci

INSENTIF EKONOMI DAN ASPEK KELEMBAGAAN UNTUK MENDUKUNG IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

INSENTIF EKONOMI DAN ASPEK KELEMBAGAAN UNTUK MENDUKUNG IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 INSENTIF EKONOMI DAN ASPEK KELEMBAGAAN UNTUK MENDUKUNG IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN Oleh : Benny Rachman Amar K. Zakaria

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Ungaran, Februari 2017

KATA PENGANTAR Ungaran, Februari 2017 KATA PENGANTAR Dalam rangka menjaga dan mendorong petani dan kepala daerah kabupaten/kota agar termotivasi dalam mempertahankan dan tidak mengalihfungsikan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak, masih dianggap belum dapat menjadi primadona. Jika diperhatikan. dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian.

BAB I PENDAHULUAN. banyak, masih dianggap belum dapat menjadi primadona. Jika diperhatikan. dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk kemakmuran rakyat, memerlukan keseimbangan antar berbagai sektor. Sektor pertanian yang selama ini merupakan aset penting karena

Lebih terperinci

BAB III. TINJAUAN KHUSUS WISMA UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA Kondisi Wilayah Kaliurang Sleman Yogyakarta Gambaran Umum Wilayah Sleman

BAB III. TINJAUAN KHUSUS WISMA UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA Kondisi Wilayah Kaliurang Sleman Yogyakarta Gambaran Umum Wilayah Sleman BAB III. TINJAUAN KHUSUS WISMA UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA 3.1. Kondisi Wilayah Kaliurang Sleman Yogyakarta 3.1.1. Gambaran Umum Wilayah Sleman Luas Wilayah Kabupaten Sleman adalah 57.482 Ha atau

Lebih terperinci

Berdasarkan pernyataan Visi yang diinginkan sebagai tersebut diatas selanjutnya misi Polres Sleman adalah sebagai berikut:

Berdasarkan pernyataan Visi yang diinginkan sebagai tersebut diatas selanjutnya misi Polres Sleman adalah sebagai berikut: Kepolisian Resor Sleman adalah merupakan Institusi Polri yang mempunyai tugas pokok Polri Sebagai pemelihara keamanan, ketertiban masyarakat serta penegakan hukum untuk memberi perlindungan, pengayoman

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 27 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

Lebih terperinci

TENTANG KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNGAPI MERAPI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN,

TENTANG KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNGAPI MERAPI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, PERATURAN BUPATI SLEMAN NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG KAWASAN RAWAN BENCANA GUNUNGAPI MERAPI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang : a. bahwa salah satu upaya penyelamatan masyarakat

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN. IV.1.1 Kondisi Geografis dan Administratif

BAB IV DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN. IV.1.1 Kondisi Geografis dan Administratif BAB IV DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN IV.1 Gambaran Umum Wilayah IV.1.1 Kondisi Geografis dan Administratif Kabupaten Sleman merupakan salah satu wilayah yang tergabung kedalam Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Lebih terperinci

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN Emlan Fauzi Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar 220

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DI KABUPATEN KENDAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DI KABUPATEN KENDAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DI KABUPATEN KENDAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER- 12 /PJ/2010 TENTANG NOMOR OBJEK PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN TATA CARA PEMBERIAN NOP

LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER- 12 /PJ/2010 TENTANG NOMOR OBJEK PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN TATA CARA PEMBERIAN NOP LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER- 12 /PJ/2010 TENTANG NOMOR OBJEK PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN TATA CARA PEMBERIAN NOP DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

Lebih terperinci

DAFTAR PESERTA BIMTEK PENGELOLAAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH TANGGAL 26,27,28 APRIL 2016

DAFTAR PESERTA BIMTEK PENGELOLAAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH TANGGAL 26,27,28 APRIL 2016 DAFTAR PESERTA BIMTEK PENGELOLAAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH TANGGAL 26,27,28 APRIL 2016 NO NAMA SEKOLAH ALAMAT PETUGAS 1 SMP N 1 Depok 2 SMP N 5 Depok 3 SMP N 1 Cangkringan 4 SMP N 2 Cangkringan 5 SMP N 1 6

Lebih terperinci

LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN

LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN Lampiran VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR TAHUN 2011 LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2011 2031 MATRIK

Lebih terperinci

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN Oleh : Ir. Iwan Isa, M.Sc Direktur Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional PENGANTAR Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kesejahteraan bangsa

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. 8.1 Kesimpulan. penelitian, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. 8.1 Kesimpulan. penelitian, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 257 BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 8.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis terhadap permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Menindaklanjuti ketentuan

Lebih terperinci