PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI"

Transkripsi

1 EMISI KARBON DIOKSIDA (CO 2 ) DAN METAN (CH 4 ) PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI LAHAN GAMBUT YANG MEMILIKI KERAGAMAN DALAM KETEBALAN GAMBUT DAN UMUR TANAMAN ETIK PUJI HANDAYANI PROGRAM STUDI ILMU TANAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Emisi Karbon Dioksida (CO 2 ) dan Metan (CH 4 ) pada Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut yang Memiliki Keragaman dalam Ketebalan Gambut dan Umur Tanaman adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Juni 2009 Etik Puji Handayani NRP A ii

3 ABSTRACT ETIK PUJI HANDAYANI. Carbon dioxide (CO 2 ) and Methane (CH 4 ) emission on Oil Palm Peatland with various peat thickness and plant age. Under supervision of KOMARUDDIN IDRIS, SUPIANDI SABIHAM, SRI DJUNIWATI, MEINE VAN NOORDWIJK. The total area of peatland in Indonesia is about 20 million ha and average oil palm yield on peatland can reach 23 tons Fresh Fruit Bunches (FFB)/(ha year). Therefore, peatlands have considerable potential for development of oil palm agribussines in Indonesia. However, peatlands contain one-third of global soil carbon and total stocks represent 70 years of current annual global emissions from fossil fuel burning. This carbon store is now being released to the earth s atmosphere through fire and respiration, both increased by drainage. CO 2 and CH 4 gases are part of the greenhouse effect on global warming. CO 2 and CH 4 gas fluxes vary with stage of plant growth, depending on management practices for soil and plant (such as drainage and fertilization) and characteristics of peatland, including water level, and the thickness and maturity of peat deposit. The research was conducted on Meulaboh (West Aceh) from May 2008 until May Measurements of CO 2 and CH 4 flux were carried out by applying a closed chamber method and subsequent laboratory analysis. The objectives of this study were (1) to characterize physicochemical conditions of peatland used for oil palm, (2) to study the effect of N application on peat soil with different levels of maturity to the CO 2 flux, (3) to evaluate CO 2 and CH 4 flux in rhizosphere and non rhizosphere soil in oil palm field in relation to drainage, peat thickness and plant age. Peatlands around Meulaboh characteristically have ph H 2 O , ph KCl Water content per unit dry weight depends on peatland maturity level (fibric: %, hemic: % and sapric: %). Ash content per unit dry weight varied from %, and C-organic content %. Peat total acidity is me g -1, COOH content me g -1 and phenolic-oh content me g -1. In a laboratory study, application of nitrogen fertilizer on peat soil was found to increase CO 2 emission. The rate of CO 2 emission was t ha -1 yr -1. The CO 2 emission showed that: (1) there was a tendency in CO 2 flux to be higher in the rainy season than in the dry season, (2) measured flux in oil palm fields decreased with age (1-10 years), (3) CO 2 flux in rooted peat was on average 50% higher than non- rooted peat, (4) there was a tendency for the CO 2 flux to decrease with increasing peat thickness, (5) the type land used was one of factors affecting the CO 2 flux, (6) In general, CO 2 flux increased with increasing the depth of water table. However, reverse pattern was also found, and another pattern where CO 2 flux was independent on the depth of water table. The increasing depth of water table seemingly impacted on the decrease of CH 4 flux. Keywords: CO 2 and CH 4 fluxs, depth of water table, peat thickness, oil palm, West Aceh. iii

4 RINGKASAN ETIK PUJI HANDAYANI. Emisi Karbon Dioksida (CO 2 ) dan Metan (CH 4 ) pada Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut yang Memiliki Keragaman dalam Ketebalan Gambut dan Umur Tanaman. Dibimbing oleh KOMARUDDIN IDRIS, SUPIANDI SABIHAM, SRI DJUNIWATI, MEINE VAN NOORDWIJK. Gambut menyimpan fraksi besar sumber karbon di daratan bumi hingga Mt yang dapat hilang karena proses dekomposisi. Lahan gambut memiliki potensi tinggi dalam memenuhi kebutuhan investasi untuk perluasan kebun kelapa sawit, hal ini terkait dengan Indonesia sebagai negara yang memiliki lahan gambut tropik terluas dari total gambut tropik di Asia Tenggara (20,073 juta ha) dan adanya fakta bahwa kelapa sawit pada lahan gambut mampu berproduksi tinggi terutama pada lahan gambut saprik yang dapat mencapai produksi rata-rata 23,08 ton tandan buah segar per hektar per tahun. Namun pengembangan agribisnis kelapa sawit di lahan gambut dapat merupakan sumber emisi gas rumah kaca seperti gas CO 2 and CH 4. Oleh karena itu, dengan semakin pesatnya perkembangan agribisnis kelapa sawit, kajian mendalam tentang emisi CO 2 dan CH 4 yang sangat dipengaruhi oleh teknik pengelolaan kebun kelapa sawit dan karakteristik inhern dari gambut perlu dilaksanakan, karena pelepasan CO 2 dan CH 4 dari lahan gambut ke atmosfer sangat berpengaruh nyata dalam pemanasan global. Penelitian emisi CO 2 dan CH 4 dilaksanakan di lahan gambut Meulaboh, Aceh Barat dan di Laboratorium Kesuburan Tanah dan Bioteknologi Tanah Fakultas Pertanian, Program Studi Ilmu Tanah, Institut Pertanian Bogor pada bulan Mei 2008 sampai dengan Mei Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengkarakterisasi sifat fisiko kimia gambut yang berkaitan erat dengan emisi CO 2 dan CH 4 pada kebun kelapa sawit yang memiliki keragaman dalam ketebalan gambut, umur tanaman dan tingkat kematangan gambut, (2) mempelajari pengaruh dosis N terhadap fluks CO 2 pada bahan gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda, (3) mengevaluasi emisi CO 2 dan CH 4 di rhizosfer dan non rhizosfer pada perkebunan kelapa sawit yang memiliki keragaman dalam ketebalan gambut dan umur tanaman. iv

5 Sampel bahan gambut yang digunakan untuk karakterisasi sifat fisiko kimia gambut dan percobaan pengaruh dosis N berasal dari kebun kelapa sawit di Desa Suak Puntong, Suak Raya dan Cot Gajah Mati yang dikelompokkan berdasarkan tingkat kematangan gambut. Percobaan pengaruh dosis N disusun dengan menggunakan rancangan percobaan faktorial dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah dosis pupuk N (N) yang terdiri dari 5 taraf yaitu: 0 g/100 g gambut (n 0 ), 0,25 g/100 g tanah (n 1 ), 1 g/100 g tanah (n 2 ), 4 g/100 g tanah (n 3 ), 16 g/100 g tanah (n 4 ). Faktor kedua adalah tingkat kematangan gambut (G) yang terdiri dari fibrik (g 1 ), hemik (g 2 ), dan saprik (g 3 ). Dengan demikian diperoleh 15 kombinasi percobaan yaitu n 0 g 1, n 0 g 2, n 0 g 3, n 1 g 1, n 1 g 2, n 1 g 3,n 2 g 1, n 2 g 2, n 2 g 3, n 3 g 1, n 3 g 2, n 3 g 2, n 4 g 1, n 4 g 2, n 4 g 3. Sedangkan untuk mengkaji emisi CO 2 dan CH 4 dilakukan serangkaian kegiatan yang diawali dengan penentuan lokasi kebun kelapa sawit, pembuatan transek, pemasangan sungkup permanen, pengambilan sampel gas dan analisis gas di lapang dengan menggunakan alat kromatografi gas tipe CP-400 yang dilengkapi dengan program Galaxie CDS. Beberapa karakteristik tanah gambut Meulaboh, Aceh Barat menunjukkan bahwa ph H 2 O=2,9-3,9 dan ph KCl= 2,23-3,07, kadar air tergantung pada tingkat kematangan gambut (gambut fibrik= 539,9-1187,4%, hemik=268,5-479,8%, dan saprik=105,7-242,5%), kadar abu 1,8-5,9%, kandungan C-organik 53,4-57,6%, kandungan bahan organik 94,1-98,1%, kandungan kemasaman total gambut 4,2-6,4 me g -1, kandungan COOH 0,02-0,16 me g -1 dan kandungan fenolat-oh 4,2-6,2 me g -1. Hasil pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut terhadap fluks CO 2 bahan gambut. Pemupukan urea dengan dosis 0,25-4 g/100 g gambut yang diinkubasi satu minggu berkontribusi terhadap peningkatan fluks CO 2. Rata-rata emisi CO 2 berkisar antara t ha -1 th -1. Hasil evaluasi data emisi CO 2 menunjukkan bahwa: (1) terdapat kecenderungan emisi CO 2 musim hujan lebih besar daripada musim kemarau, (2) pengukuran emisi CO 2 pada kebun kelapa sawit menurun dengan umur (1-10 tahun), (3) emisi CO 2 di rhizosfer dapat mencapai 4 kali lebih besar daripada emisi CO 2 di non rhizosfer, (4) Terdapat v

6 kecenderungan emisi CO 2 semakin menurun dengan semakin tebal gambut, (5) tipe penggunaan lahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya emisi CO 2, (6) secara umum emisi CO 2 semakin meningkat dengan semakin dalam muka air tanah, namun dijumpai juga pola hubungan sebaliknya dan pola lain dimana emisi CO 2 tidak bergantung pada kedalaman muka air tanah. Untuk emisi CH 4, semakin dalam muka air tanah, jumlahnya semakin menurun. Kata kunci: Fluks CO 2 dan CH 4, kedalaman muka air tanah, ketebalan gambut, kelapa sawit, Aceh Barat. vi

7 Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin Institut Pertanian Bogor. vii

8 EMISI KARBON DIOKSIDA (CO 2 ) DAN METAN (CH 4 ) PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI LAHAN GAMBUT YANG MEMILIKI KERAGAMAN DALAM KETEBALAN GAMBUT DAN UMUR TANAMAN ETIK PUJI HANDAYANI Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah PROGRAM STUDI ILMU TANAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 viii

9 Judul Disertasi : Emisi Karbon Dioksida (CO 2 ) dan Metan (CH 4 ) pada Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut yang Memiliki Keragaman dalam Ketebalan Gambut dan Umur Tanaman. Nama : Etik Puji Handayani NPM : A Program Studi : Ilmu Tanah Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Komaruddin Idris, M.S. Ketua Dr.Ir. Sri Djuniwati Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham Dr. Meine van Noordwijk Anggota Anggota Anggota Diketahui Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Tanah Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian: 3 Desember 2009 Tanggal Lulus: ix

10 PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT., karena hanya atas pertolongan dan kekuatan dari-nya disertasi berjudul: Emisi Karbon Dioksida (CO 2 ) dan Metan (CH 4 ) pada Perkebunan Kelapa Sawit Di Lahan Gambut yang Memiliki Keragaman dalam Ketebalan Gambut dan Umur Tanaman telah dapat penyusun selesaikan. Disertasi ini tidak mungkin terselesaikan tanpa bimbingan komisi pembimbing yang telah mengarahkan dan memperbaiki segala kekurangan selama proses penelitian. Untuk itu penghargaan dan ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Dr. Ir. Komaruddin Idris, M.S. selaku ketua komisi, Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr., Dr. Ir. Sri Djuniwati, M.Sc, dan Dr. Meine van Noordwijk selaku anggota komisi yang telah memberikan motivasi, bimbingan dan arahan kepada penulis. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc dan Dr. Fahmudin Agus sebagai penguji di luar komisi pembimbing dalam ujian tertutup atas bimbingan dan saran yang diberikan guna penyempurnaan disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Daniel Murdiyarso dan Prof. Kurniatun Hairiah yang berkenan menjadi penguji utama dalam ujian terbuka. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Direktrat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS, dana Program Sandwich, dan dana Hibah Penelitian Doktor. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dekan Sekolah pascasarjana IPB beserta staf atas kesempatan studi yang diberikan, sehingga penulis dapat menempuh pendidikan jenjang S3 pada Sekolah Pascasarjana IPB. Kepada Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, khususnya Program Studi Ilmu Tanah penulis sangat berterima kasih atas kesungguhan hati para dosen dalam mentransfer ilmu pengetahuan selama perkuliahan, diskusi dan seminar. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ketua STIPER Dharma Wacana Metro beserta staf yang telah memberikan izin meninggalkan aktivitas Kampus Dharma Wacana Metro untuk melanjutkan studi. x

11 Penghargaan diberikan kepada ICRAF yang telah memberikan dana melalui proyek Rebuilding Green Infrastructure with Trees People Want (ReGrIn) yang merupakan kemitraan antara Balai Penelitian Tanah, World Agroforestry Centre (ICRAF), Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI) dan University of Hohenheim (Jerman) hingga terlaksananya penelitian ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Richard Bell atas diskusi dan fasilitas yang diberikan dalam mendapatkan berbagai literatur di Murdoch University, West Australis selama mengikuti program sandwich. Penulis menyampaikan ungkapan maaf dan terima kasih yang mendalam kepada suami tercinta S. Amanto, S.H. yang dengan penuh kesabaran, pengertian dan selalu menyalakan semangat kepada penulis selama proses pendidikan. Teruntuk anak-anakku Irfan Primantiko, Muthia Fahiratunnisa Amany, Faisal Mahdy Amanda, terima kasih atas pengertian dan ketabahan selama ini. Rasa terima kasih yang mendalam kepada Ayahanda Hery Kasidjan (Alm) dan Ibunda Hj. Sukirah, juga kepada ayah mertua Bapak Suwandar dan Ibu Sarah Sumini, yang telah tanpa lelah berdoa untuk keberhasilan penulis dan memberikan kasih sayangnya sepenuh jiwa. Ucapan terima kasih kepada kakak-kakak (mas Wid, mbak Tuti, mbak Wiwik beserta sekeluarga) dan adik-adikku (Siswi, Bekti dan Dewi beserta keluarga) serta keluarga besar penulis yang telah banyak memberikan doa, dukungan dan perhatian. Ucapan terima kasih tak terhingga penulis sampaikan untuk keluarga mas Budi Yuwono di Jakarta. Kepada rekan-rekan di Program Studi Ilmu Tanah senasib seperjuangan dan khususnya kepada satu-satunya teman angkatan 2006 (Pak Maswar) penulis mengucapkan terima kasih atas diskusi yang konstruktif dan bantuan dalam pengumpulan data di lapang. Penulis sangat berterima kasih atas persaudaraan yang indah selama ini teruntuk Nazli, Nurmi dan Sardji selama hidup di Bogor. Demikian juga kepada para laboran di Laboratorium Bioteknologi tanah (Pak Jito, Bu Asih, Bu Jule dan Mbak Nia), laboratorium kesuburan tanah (Pak Dadi, Pak Herman, Pak Ade, Pak Koyo, Pak Soleh, mbak Upik) laboratorium mineralogi tanah (Bu Otori dan Bu Yani) yang telah banyak membantu dalam analisis tanah. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih juga kepada mbak Miranti dan pak Jumari xi

12 dari Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Jakenan yang telah membantu analisis gas di lapang. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada berbagai pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung, yang telah membantu terlaksananya penelitian hingga tersusunnya disertasi ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Semoga semua amal dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis akan diberikan imbalan yang setimpal oleh Allah Subhana Wata ala. Akhirnya semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin Bogor, Juni 2009 Penulis Etik Puji Handayani xii

13 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Lampung Tengah pada tanggal 17 Maret 1968 sebagai anak keempat dari pasangan Bapak H. Hery Kasidjan dan Ibu Hj. Sukirah. Penulis menikah dengan S. Amanto, S.H dan telah dikaruniai putra-putri yang bernama Irfan Primantiko, Muthia Fahiratunnisa Amany, Faisal Mahdy Amanda. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) pada Fakultas Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian, Program Studi Ilmu Tanah, Universitas Lampung dan meraih gelar Insinyur (Ir) pada tahun Pada tahun 1994 penulis mulai bekerja sebagai dosen diperbantukan pada Akademi Pertanian Ragam Tunas Lampung, Kotabumi, Lampung Utara dan mutasi ke STIPER Dharma Wacana Metro pada tahun Selanjutnya pada tahun 1999 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana jenjang Program Master (S2) pada Program Studi Ilmu Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan Institut Pertanian Bogor dan meraih gelar Master of Science (MSi) pada tahun Pada tahun 2006 semester ganjil penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana jenjang Program Doktor (S3) pada Program Studi Ilmu Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti program S3 penulis pernah mengikuti program sandwich selama 4 bulan di Murdoch University, West Australia pada tahun Dua artikel yang telah disetujui di terbitkan adalah: (1) EMISI KARBON DIOKSIDA (CO 2 ) PADA KEBUN KELAPA SAWIT DI GAMBUT ACEH BARAT: Pengaruh Kedalaman Muka Air Tanah terhadap Fluks CO 2 pada Daerah Rhizosfer dan Non Rhizosfer di Jurnal Tanah Tropika, Universitas Lampung dan (2) EMISI CO 2 PADA KEBUN KELAPA SAWIT DI LAHAN GAMBUT: Evaluasi fluks CO 2 di Daerah Rhizosfer dan Non Rhizosfer di Jurnal Tanah Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Karya-karya tersebut merupakan bagian dari disertasi program S3 penulis. xiii

14 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xvi DAFTAR GAMBAR... xvii DAFTAR LAMPIRAN... xx PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 3 Hipotesis... 4 Kerangka Pemikiran... 4 Pendekatan Pelaksanaan Penelitian... 6 TINJAUAN PUSTAKA... 9 Pemanasan Global oleh Emisi Karbon Dioksida dan Metana... 9 Tanah Gambut dan Emisi Karbon Dioksida Tanah Gambut dan Emisi Metana Drainase Pada Perkebunan Kelapa Sawit dan Emisi Karbon Hubungan Ketebalan dan Tingkat Dekomposisi Gambut dengan Emisi karbon Tanaman Dalam Kaitannya dengan Emisi karbon KARAKTERISASI SIFAT FISIKO KIMIA GAMBUT YANG BERKAITAN ERAT DENGAN EMISI CO 2 DAN CH Rasional Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Derajat Kemasaman Gambut (ph H 2 O dan ph KCl) Kadar Air, Kadar Abu, C-Organik, dan Bahan Organik Gambut Kemasaman Total Gambut, Kandungan COOH, dan Fenolat-OH Kesimpulan PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO Rasional Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Pengaruh Dosis Pupuk N pada Gambut dengan Tingkat Kematangan yang Berbeda terhadap Kadar Air, Kadar Abu, C-Organik dan Bahan Organik Gambut Pengaruh Dosis Pupuk N pada Bahan Gambut dengan Tingkat Kematangan yang Berbeda terhadap Fluks CO 2, Total Populasi Mikroba, dan Nisbah C/N Kesimpulan xiv

15 EMISI CO 2 DAN CH 4 PADA LAHAN GAMBUT YANG MEMILIKI KERAGAMAN DALAM KETEBALAN GAMBUT DAN UMUR TANAMAN Rasional Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Evaluasi Metode Analisis Sampel Gas CO Evaluasi Emisi CO 2 pada Musim Kemarau dan Hujan Pengaruh Kedalaman Muka Air Tanah terhadap Emisi CO 2 dan CH 4. di Daerah Rhizosfer dan Non Rhizosfer Tanaman Kelapa Sawit Pengaruh Ketebalan Gambut terhadap Emisi CO Evaluasi Emisi CO 2 Berdasarkan Umur Tanaman Kelapa Sawit Evaluasi Emisi CO 2 pada tiga Tipe Penggunaan Lahan Kesimpulan PEMBAHASAN UMUM KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xv

16 DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Karakteristik gas rumah kaca utama (Murdiyarso, 2003) Variabel yang diamati pada analisis sifat fisiko kimia bahan gambut pada perkebunan kelapa sawit yang berhubungan erat dengan emisi CO 2 dan CH Nilai rata-rata ph H 2 O dan ph KCl di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut Nilai rata-rata kadar air, kadar abu, C-organik, dan bahan organik, di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut Nilai rata-rata kemasaman total gambut, kandungan COOH, dan kandungan fenolat-oh di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut Variabel yang diamati pada percobaan pengaruh dosis pupuk urea pada bahan gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda terhadap fluks CO Rata-rata kadar abu bahan gambut di tiga kebun kelapa sawit yang diberi perlakuan dosis urea Rata-rata kadar abu bahan gambut di tiga kebun kelapa sawit yang diberi perlakuan dosis urea (Hasil konversi) Emisi CO 2 di tiga kebun kelapa sawit pada bulan Mei-Juni 2008 (musim kemarau) Emisi CO 2 di tiga kebun kelapa sawit pada bulan Oktober- November 2008 (musim hujan) Emisi CO 2 di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai kedalaman muka air tanah Emisi CH 4 di hutan gambut Desa Cot Gajah Mati pada berbagai kedalaman muka air tanah Emisi CO 2 di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai ketebalan gambut xvi

17 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Kerangka pemikiran kajian emisi CO 2 dan CH 4 pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut yang memiliki keragaman dalam ketebalan gambut dan umur tanaman Derajat kemasaman tanah aktual (ph H 2 O) di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut Derajat kemasaman tanah potensial (ph KCl) di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut Rata-rata ph H 2 O dan ph KCl berdasarkan tingkat kematangan gambut Kadar air gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut Kadar abu gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut Kandungan C-organik gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut Kandungan bahan organik gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut Kemasaman total gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut Kandungan gugus karboksil (COOH) di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut Kandungan gugus fenolat (-OH) gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut Kadar air bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut Kandungan C-organik bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut Kandungan bahan Organik bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut Fluks CO 2 bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut Nisbah C/N bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut Total populasi mikrob bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut Peta lokasi penelitian (a) Kondisi kebun kelapa sawit desa Suak Puntong dekat drainase.. 58 xvii

18 (b) Profil Gambut di kebun kelapa sawit desa Suak Puntong (a) Pengambilan sampel gas dititik pengamatan terdekat dengan drainase kebun kelapa sawit desa Suak Puntong (b) Kondisi semak diantara pohon kelapa sawit pada titik pengamatan terjauh dari drainase (a) Kondisi tanaman kelapa sawit kebun desa Suak Raya (b) Profil Gambut di kebun kelapa sawit desa Suak Raya (a) Sungkup saat pengambilan sampel gas (b) Kondisi saluran drainase di kebun desa Suak Raya (a) Kondisi drainase kebun kelapa sawit desa Cot Gajah Mati (b) Kondisi kebun kelapa sawit di desa Cot Gajah Mati (a) Pemasangan Sungkup rhizosfer (b) Kondisi akar dimasukkan dalam sungkup rhizosfer (a) Pemasangan sungkup non rhizosfer berjarak 1 m dari sungkup rhizosfer (b) Sungkup rhizosfer dan non rhizosfer saat pengambilan sampel gas (a) Kondisi drainase di hutan desa Simpang (b) Kondisi hutan gambut di desa Simpang (a) Kondisi semak di lahan gambut desa Simpang (b) Pengambilan sampel gas di titik 250 m dari drainase pada vegetasi semak (a) Pengambilan sampel tanah dengan bor gambut (b) Salah satu profil sampel tanah Diagram pencar hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO 2 di rhizosfer Diagram pencar hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO 2 di non rhizosfer Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit desa Suak Puntong Transek 1 pada berbagai kedalaman muka air tanah Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit desa Suak Puntong Transek 2 pada berbagai kedalaman muka air tanah Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit desa Suak Raya Transek 3 pada berbagai kedalaman muka air tanah Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit desa Suak Raya Transek 4 pada berbagai kedalaman muka air tanah Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit desa Suak Raya Transek 5 pada berbagai kedalaman muka air tanah Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit desa Suak Raya Transek 6 pada berbagai kedalaman muka air tanah xviii

19 37. Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit desa Suak Raya Transek 7 pada berbagai kedalaman muka air tanah Emisi CO 2 di daerah rhizosfer dan non rhizosfer tanaman kelapa sawit pada berbagai kedalaman muka air tanah Emisi CH 4 di hutan gambut Desa Cot Gajah Mati pada berbagai kedalaman muka air tanah Diagram pencar hubungan antara ketebalan gambut dengan emisi CO 2 di rhizosfer Diagram pencar hubungan antara ketebalan gambut dengan emisi CO 2 di non rhizosfer Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit desa Suak Puntong Transek 1 pada berbagai ketebalan gambut Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit desa Suak Puntong Transek 2 pada berbagai ketebalan gambut Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit desa Suak Raya Transek 3 pada berbagai ketebalan gambut Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit desa Suak Raya Transek 4 pada berbagai ketebalan gambut Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit desa Suak Raya Transek 5 pada berbagai ketebalan gambut Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit desa Suak Raya Transek 6 pada berbagai ketebalan gambut Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit desa Suak Raya Transek 7 pada berbagai ketebalan gambut Emisi CO 2 pada kebun kelapa sawit berdasarkan umur tanaman Emisi CO 2 di tiga tipe penggunaan lahan gambut pada berbagai kedalaman muka air tanah Emisi CO 2 di tiga tipe penggunaan lahan pada berbagai ketebalan gambut Hubungan antara nisbah C/N dengan emisi CO Pola hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO Skema profil kedalaman yang menunjukkan distribusi komunitas bakteri metanogen (penghasil CH 4 ) dan bakteri metanotrop (konsumsi CH 4 ) dalam hubungannya dengan rata-rata permukaan air tanah (Granberg et al., 1997) Hubungan antara emisi CO 2 di rhizosfer dan non rhizosfer xix

20 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1. Kemasaman tanah aktual (ph H 2 O) gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut Kemasaman tanah potensial (ph KCl) gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut Kadar air gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut (%) Kadar abu gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut (%) Kandungan C- organik gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut (%) Kandungan bahan organik gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut (%) Data kemasaman total gambut, kandungan COOH, dan fenolat-oh gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut (me g -1 ) Kadar air bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea di tiga kebun kelapa sawit (%) Kadar abu bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea di tiga kebun kelapa sawit (%) Kandungan C- organik bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea di tiga kebun kelapa sawit (%) Kandungan Bahan Organik bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea di tiga kebun kelapa sawit (%) Fluks CO 2 bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea di tiga kebun kelapa sawit (mg CO 2 kg tanah -1 hari -1 ) Nisbah C/N bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea di tiga kebun kelapa sawit Total populasi mikrob bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea di tiga kebun kelapa sawit (SPK g gambut -1 ) Posisi geografis titik-titik pengamatan, kedalaman muka air tanah dan ketebalan gambut Analisis konsentrasi gas CO 2 pada bulan Mei - Juni 2008 (musim kemarau) Analisis konsentasi gas CO 2 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Suak Puntong, transek xx

21 18 Analisis konsentasi gas CO 2 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Suak Puntong, transek Analisis konsentasi gas CO 2 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Suak Raya, transek Analisis konsentasi gas CO 2 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Suak Raya, transek Analisis konsentasi gas CO 2 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Suak Raya, transek Analisis konsentasi gas CO 2 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Suak Raya, transek Analisis konsentasi gas CO 2 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Suak Raya, transek Analisis konsentasi gas CO 2 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Cot Gajah Mati, transek Analisis konsentasi gas CO 2 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di kebun kelapa sawit Cot Gajah Mati, transek Analisis konsentasi gas CO 2 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di hutan Cot Gajah Mati, transek Analisis konsentasi gas CO 2 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di semak Simpang, transek Analisis konsentasi gas CO 2 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di hutan Simpang, transek Analisis konsentasi gas CO 2 dan CH 4 pada Oktober - November 2008 (musim hujan) di hutan Cot Gajah Mati Tinggi efektif sungkup (h) pada analisis konsentrasi gas CO 2 dan CH 4 pada bulan Oktober - November 2008 (musim hujan) Suhu dalam sungkup pada analisis konsentrasi gas CO 2 dan CH 4 pada bulan Oktober - November 2008 (musim hujan) Hasil pengukuran konsentrasi CO 2 dengan metode titrasi pada bulan Mei - Juni 2008 (musim kemarau) Hasil pengukuran konsentrasi CO 2 dengan metode titrasi pada bulan Oktober-November 2008 (musim hujan) Analisis ragam karakteristik ph H 2 O gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda Analisis Duncan karakteristik ph H 2 O gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda Analisis ragam karakteristik ph KCl gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda xxi

22 37 Analisis Duncan karakteristik ph KCl gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda Analisis ragam karakteristik kadar air gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda Analisis Duncan karakteristik kadar air gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda Analisis ragam karakteristik kadar abu gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda Analisis Duncan karakteristik kadar abu gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda Analisis ragam karakteristik kandungan C-Organik gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda Analisis Duncan karakteristik kandungan C-Organik gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda Analisis ragam karakteristik kandungan bahan organik gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda Analisis Duncan karakteristik kandungan bahan organik gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda Analisis ragam karakteristik kemasaman total gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda Analisis Duncan karakteristik kemasaman total gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda Analisis ragam karakteristik kandungan COOH gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda Analisis Duncan karakteristik kandungan COOH gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda Analisis ragam karakteristik kandungan fenolat-oh gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda Analisis Duncan karakteristik kandungan fenolat-oh gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap kadar air (Suak Puntong) Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap kadar air (Suak Raya) Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap kadar air (Cot Gajah Mati) xxii

23 55 Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap kadar abu (Suak Puntong) Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap kadar abu (Desa Suak Raya) Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap kadar abu (Cot Gajah Mati) Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap kandungan C-organik (Suak Puntong) Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap kandungan C-organik (Suak Raya) Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap kandungan C-organik (Cot Gajah Mati) Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap kandungan bahan organik (Suak Puntong) Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap kandungan bahan organik (Suak Raya) Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap kandungan bahan organik (Cot Gajah Mati) Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap fluks CO 2 (Suak Puntong) Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap fluks CO 2 (Suak Raya) Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap fluks CO 2 (Cot Gajah Mati) Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap nisbah C/N (Suak Puntong) Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap nisbah C/N (Suak Raya) xxiii

24 69 Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap nisbah C/N (Cot Gajah Mati) Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap total populasi mikrob (Suak Puntong) Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap total populasi mikrob (Suak Raya) Analisis ragam pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan gambut yang berbeda terhadap total populasi mikrob (Cot Gajah Mati) Hasil regresi dan korelasi Spearman antara kedalaman muka air tanah dan emisi CO 2 rhizosfer Hasil regresi dan korelasi Spearman antara kedalaman muka air tanah dan emisi CO 2 non rhizosfer Hasil regresi dan korelasi Spearman antara ketebalan gambut dan emisi CO 2 rhizosfer Hasil regresi dan korelasi Spearman antara ketebalan gambut dan emisi CO 2 non rhizosfer xxiv

25 PENDAHULUAN Latar Belakang Gambut berperanan penting dalam biosfer karena gambut terlibat dalam siklus biogeokimia, merupakan habitat tanaman dan hewan, sebagai lingkungan hasil dari evolusi, dan referen dalam mempelajari pola perubahan iklim global masa lalu dan masa sekarang. Lahan gambut menutupi 3% (4 juta km 2 ) dari permukaan bumi dan menyimpan fraksi besar sumber karbon di daratan bumi ini hingga Mt (Gorham, 1991). Menurut Hooijer et al. (2006), jumlah karbon ini setara dengan 1/3 karbon tanah global atau 70 kali emisi pembakaran bahan bakar fosil global per tahun ( Mt C/tahun Mt CO 2 /tahun pada tahun 2006). Simpanan C ini mempunyai pengaruh nyata terhadap konsentrasi CO 2 atmosfer. Akhir-akhir ini banyak penelitian tentang gambut tropik secara global karena pentingnya gambut sebagai carbon sink (penambat C) dan peranan penting gambut tropik dalam dinamika karbon biosfer yang merupakan hasil dari akumulasi bahan organik selama ribuan tahun. Luas Gambut tropik di dunia meliputi 30,631-45,961 juta ha (10-12% dari luas global gambut). Sebagian besar lahan gambut tropik berada di Asia Tenggara (26,216 juta ha) dan Indonesia memiliki lahan gambut terluas (20,073 juta ha) dari total gambut tropik di Asia Tenggara (Rieley et al., 1996). Oleh karena itu kajian mendalam tentang faktorfaktor di lapang yang mempengaruhi emisi CO 2 dan CH 4 dari lahan gambut yang sangat diperlukan untuk menentukan kebijakan dalam pengelolaan gambut dan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Pengembangan agribisnis kelapa sawit merupakan salah satu langkah penting dalam kegiatan pembangunan sub sektor perkebunan dalam rangka revitalisasi sektor pertanian, dimana lahan gambut memiliki potensi tinggi dalam memenuhi kebutuhan investasi untuk perluasan kebun kelapa sawit. Hal ini terkait dengan masih luasnya lahan gambut di Indonesia yang siap dibuka untuk perkebunan kelapa sawit dan adanya fakta bahwa kelapa sawit pada lahan gambut mampu berproduksi tinggi terutama pada lahan gambut saprik yang dapat

26 2 mencapai produksi rata-rata 23,08 ton tandan buah segar per hektar per tahun (Winarna, 2007). Beberapa penelitian telah dilakukan di Asia Tenggara tentang emisi gas karbon dari gambut tropik dalam kondisi alami, terdegradasi dan terkonversi menjadi lahan pertanian dan perkebunan (Hirano et al., 2007; Jauhiainen et al., 2001; Melling et al., 2005 a, b, c). Konversi hutan gambut menyebabkan perubahan siklus karbon dan mempunyai pengaruh terhadap fluks karbon global. Pengelolaan sumber karbon merupakan konservasi keberadaan stok karbon dan penambatan karbon dari atmosfer untuk menambah C tersimpan dalam pohon atau C-sequestration, karena keseimbangan antara input C dan mineralisasi akan terganggu dengan adanya konversi lahan hingga tercipta keseimbangan baru. Besarnya peningkatan emisi CO 2 akibat konversi hutan gambut sangat bergantung pada berbagai proses seperti drainase, penggenangan, konsolidasi, pemadatan, pencucian hara, pemupukan yang mempunyai pengaruh terhadap berbagai faktor seperti bobot isi, morfologi profil gambut, kandungan kelembaban tanah, dan kedalaman muka air. Faktor-faktor ini menentukan aktivitas mikrob dalam tanah yang berhubungan dengan emisi gas rumah kaca. Dengan demikian, pengembangan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut mempunyai potensi nyata dalam emisi gas CO 2 dan CH 4. Tindakan drainase dan teknik budidaya dalam perkebunan kelapa sawit mengakibatkan terganggunya stabilitas gambut seperti terjadinya subsiden. Subsiden merupakan resultante dari proses oksidasi dan pemadatan (compaction) akan memacu proses dekomposisi cadangan bahan organik, sehingga emisi CO 2 dan N 2 O cenderung meningkat (Aerts dan Caluwe, 1999; Inubushi et al., 2003), walaupun terjadi penurunan emisi CH 4 (Klemedtssons et al., 1997). Oleh karena itu, dengan semakin pesatnya perkembangan agribisnis kelapa sawit, kajian mendalam karakteristik sifat fisiko kimia lahan gambut akibat perubahan pola penggunaan lahan perlu dilaksanakan karena perubahan ini akan merubah keseimbangan dan pelepasan CO 2 dan CH 4 ke atmosfer yang mempengaruhi pemanasan global. Hasil penelitian aplikasi pupuk N pada lahan gambut memberikan pengaruh yang berbeda terhadap proses dekomposisi (Aerts dan de Caluwe, 1999; Saarnio dan Silvola, 1999). Aplikasi pupuk N juga memberikan dampak yang

27 3 bervariasi terhadap emisi CH 4 pada lahan gambut (Granberg et al., 2001; Nikanen et al., 2002; Aerts dan de Caluwe, 1999; Saarnio dan Silvola, 1999; Saarnio et al., 2000ab). Oleh karena itu, perlu dikaji lebih mendalam pengaruh aplikasi pupuk N pada lahan gambut terhadap emisi CO 2 dan CH 4. Penelitian pengaruh tanaman padi terhadap emisi CO 2 dan CH 4 telah banyak dilakukan (Mariko et al., 1991; Shalini-Sigh et al., 1997; Hou et al., 2000; Allen et al., 2003), namun tidak demikian dengan penelitian tanaman kelapa sawit. Rinnan et al. (2003) menyatakan bahwa akar tanaman yang menembus horizon anaerob gambut akan memberikan substrat kepada bakteri metanogen dalam bentuk eksudat akar sehingga pada zone ini memproduksi gas CH 4. Produksi gas-gas pada daerah perakaran dilepaskan ke atmosfer dengan cara difusi, ebulisi, atau transpot tanaman. Dengan demikian jenis tanaman sangat mempengaruhi besarnya emisi gas CO 2 dan CH 4. Proses di bawah tanah juga memainkan peranan penting dalam siklus karbon biosfer. Respirasi tanah dan respirasi akar merupakan jalur utama untuk pergerakan karbon dari ekositem ke atmosfer (Dannoura dan Jomura, 2005). Kerapatan efflux CH 4 pada sistem lahan basah berkorelasi linier dengan rata-rata uptake CO 2 dalam fotosintesis (Allen et al., 2003), sehingga perlu dihitung produksi CO 2 dan CH 4 dari rhizosfer selain produksi gas dari bahan gambut. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengkarakterisasi sifat fisiko kimia gambut yang berkaitan erat dengan emisi CO 2 dan CH 4 pada kebun kelapa sawit yang memiliki keragaman dalam ketebalan, tingkat kematangan gambut, dan umur tanaman. 2. Mempelajari pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda terhadap fluks CO Mengevaluasi emisi CO 2 dan CH 4 di rhizosfer dan non rhizosfer pada perkebunan kelapa sawit yang memiliki keragaman dalam ketebalan gambut dan umur tanaman.

28 4 Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Bahan gambut dari kebun kelapa sawit yang memiliki keragaman dalam ketebalan dan tingkat kematangan gambut serta umur tanaman mempunyai karakteristik sifat fisiko kimia gambut yang berbeda. 2. Semakin meningkat dosis pupuk N yang diberikan semakin tinggi fluks CO 2 dihasilkan, namun sangat bergantung pada tingkat kematangan bahan gambut. 3. Jumlah emisi CO 2 dan CH 4 di rhizosfer lebih tinggi daripada non rhizosfer. Kerangka Pemikiran Pemanasan global yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) seperti CO 2 dan CH 4 akhir-akhir ini menjadi sorotan utama. Aktivitas pertanian menyumbang sebesar 25% dari total emisi CO 2 asal sumber antropogenik (Klemedtsson et al., 1997). Tanah gambut dapat bertindak sebagai sumber (source) dan penambat/rosot (sink) CO 2 atmosfer. CO 2 yang diikat oleh biomass tanaman selama proses fotosintesis dapat disimpan dalam tanah sebagai karbon organik melalui perubahan residu tanaman menjadi bahan organik tanah setelah residu tersebut dikembalikan ke tanah. Bila lahan gambut dibuka untuk pertanian, praktek-praktek managemen seperti drainase dan penambahan unsur hara dapat berakibat pada meningkatnya emisi CO 2 (Rinnan et al., 2003). Karakteristik sifat-sifat fisiko kimia bahan gambut yang sangat berhubungan dengan kestabilan gambut akibat drainase dalam perubahan pola penggunaan lahan perlu dikaji secara lebih mendalam. Dampak aplikasi pupuk N pada lahan gambut terhadap emisi CO 2 dan CH 4 belum diketahui secara pasti. Terdapat hasil yang berlawanan pada pengaruh N terhadap proses dekomposisi pada gambut. Menurut Aerts dan de Caluwe (1999), penambahan N berakibat pada menurunnya produksi CO 2 pada tanah gambut miskin, namun hasil penelitian Saarnio dan Silvola (1999) menyatakan bahwa terdapat peningkatan emisi CO 2 setelah aplikasi N. Demikian juga hasil penelitian pengaruh aplikasi N terhadap emisi CH 4 masih bervariasi. Granberg et al. (2001) menyatakan bahwa penambahan N dapat menurunkan secara nyata emisi CH 4

29 5 pada gambut miskin, namun Nikanen et al. (2002) menyatakan bahwa penambahan 100 kg NH 4 NO 3 -N ha 1 th 1 meningkatkan emisi CH 4. Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa penambahan N tidak memberikan pengaruh terhadap emisi CH 4 pada lahan gambut (Aerts dan de Caluwe, 1999; Saarnio dan Silvola, 1999; Saarnio et al., 2000ab). Dinamika CH 4 juga sangat berkorelasi dengan upaya peningkatan produksi hasil pertanian, yaitu dihubungkan dengan dekomposisi bahan organik. Hampir 70% emisi gas CH 4 berasal dari sumber-sumber antropogenik dan dua per tiganya berasal dari aktivitas pertanian (Klemedtsson et al., 1997). CH 4 merupakan GRK yang penting karena mempunyai daya absorbsi infra red yang kuat dan kehadirannya di atmosfer semakin meningkat, sehingga berkontribusi dalam pemanasan global (Yang dan Chang, 1997). CH 4 dihasilkan oleh aktivitas metanogen baik melalui jalur fermentasi asam asetat maupun reduksi CO 2 (Sylvia et al., 1998) akan dilepaskan dari zone reduktif ke atmosfer melalui tiga proses, yaitu difusi, ebulisi, dan sistem jaringan tanaman (Redeker et al., 2003; Rinnan et al., 2003). Suasana oksidasi dan reduksi ditentukan oleh tingginya muka air tanah akibat drainase, berkaitan erat dengan laju dekomposisi serta menentukan regulasi emisi gas CO 2 dan CH 4 (Barchia, 2006). Besarnya emisi gas CO 2 dan CH 4 sangat bervariasi tergantung pada faktor bahan gambut seperti: ketebalan, tingkat kematangan, dan kondisi hidrologi (Nyman dan DeLaune, 1991) dan faktor tanaman seperti jenis tanaman, varietas dan stadia pertumbuhan (Shalini-Sigh et al., 1997), umur dan ukuran tanaman (Mariko et al., 1991), jumlah jaringan aerenchima (Parashar, 1993). Pengaruh daerah perakaran kelapa sawit terhadap produksi CO 2 dan CH 4 merupakan hal yang sangat penting untuk dikaji lebih lanjut karena daerah perakaran merupakan suatu tempat dikeluarkan eksudat-eksudat akar, tempat pusat populasi dan aktivitas mikroorganisme yang jauh berbeda dengan daerah di luar perakaran. Menurut Dannoura dan Jomura (2005), proses respirasi tanah dan respirasi akar di bawah tanah memainkan peranan penting dalam siklus karbon biosfer. Fauzi et al. (2006) menyatakan bahwa penyebaran akar kelapa sawit terkonsentrasi pada lapisan atas tanah, akar tertier dan kuarter yang banyak

30 6 ditumbuhi bulu-bulu halus akar dan dilindungi dengan tudung akar banyak ditemukan pada 2-2,5 m dari pangkal batang dan sebagian besar berada di luar piringan. Tanah disekitar daerah bulu-bulu akar ini diduga akan memproduksi CO 2 yang lebih banyak dibandingkan dengan tanah yang tidak dipengaruhi oleh perakaran tanaman, sehingga fluks CO 2 di rhizosfer lebih tinggi daripada non rhizosfer. Kerangka pemikiran pengkajian besarnya emisi CO 2 dan CH 4 lahan gambut yang memiliki keragaman dalam ketebalan gambut dan umur tanaman kelapa sawit disajikan pada Gambar 1. Pendekatan Pelaksanaan Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran seperti pada Gambar 1, maka disusun serangkaian kegiatan sebagai berikut: 1. Judul : Karakterisasi sifat fisiko kimia gambut pada perkebunan kelapa sawit yang berkaitan erat dengan emisi CO 2 dan CH 4. Tujuan : Mengkarakterisasi sifat fisiko kimia gambut yang berkaitan erat dengan emisi CO 2 dan CH 4 pada kebun kelapa sawit yang memiliki keragaman dalam ketebalan dan tingkat kematangan gambut serta umur tanaman. 2. Judul : Pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda terhadap fluks CO 2. Tujuan : 1. Untuk mengetahui pengaruh dosis pupuk N terhadap terhadap fluks CO Untuk mengetahui pengaruh tingkat kematangan gambut terhadap fluks CO Untuk mengetahui interaksi yang terjadi antara dosis pupuk N dan tingkat kematangan gambut terhadap terhadap fluks CO 2.

31 7 Pemanasan gas rumah kaca (Global warming potential) Emisi CO 2 dan CH 4 Sifat Fisiko Kimia Gambut: Kadar air Kadar kemasaman total Gugus COOH & -OH Di daerah Perakaran Produksi CO 2 dan CH 4 Bahan Gambut Karakteristik Gambut Lingkungan oksidatif Bahan Gambut: Ketebalan gambut Kematangan gambut Tanaman Kelapa Sawit: Perbedaan Umur Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Pada Lahan Gambut Drainase Subsiden = pemadatan + oksidasi Gambut sebagai Source dan Sink CO 2 dan CH 4 Gambar 1. Kerangka pemikiran kajian emisi CO 2 dan CH 4 pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut yang memiliki keragaman dalam ketebalan gambut dan umur tanaman.

32 8 3. Judul : Emisi CO 2 dan CH 4 pada Lahan Gambut yang Memiliki Keragaman dalam Ketebalan Gambut dan Umur Tanaman. Tujuan : 1. Mengevaluasi metode titrasi dan metode menggunakan alat kromatografi gas dalam menganalisis sampel gas CO Mengevaluasi hasil pengukuran emisi CO 2 pada musim hujan dan musim kemarau. 3. Mempelajari pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO 2 dan CH 4 di daerah rhizosfer dan non rhizosfer tanaman kelapa sawit. 4. Mempelajari pengaruh ketebalan gambut terhadap emisi CO Mengevaluasi emisi CO 2 pada kebun kelapa sawit berdasarkan umur tanaman. 6. Mengevaluasi emisi CO 2 pada 3 tipe penggunaan lahan..

33 TINJAUAN PUSTAKA Pemanasan Global oleh Emisi Karbon Dioksida dan Metana Persoalan pemanasan global menjadi isu lingkungan hidup sejak tahun 1990-an dan merupakan ancaman serius bagi kelestarian ekosistem bumi. Menurut Murdiyarso (2003), GRK terdiri dari terdiri dari gas karbon dioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ), nitrous oksida (N 2 O), hidrofluorokarbon (HFC s ), perfluorokarbon (PFC s ), dan Sulfur heksafluorida (SF 6 ). Keberadaan gas CO 2 dan CH 4 di atmosfer lebih berlimpah dan konsentrasi kedua gas ini terus meningkat, sehingga perlu mendapat perhatian serius. Gas CO 2 dan CH 4 di atmosfer memiliki sifat seperti kaca yakni meneruskan radiasi gelombang pendek dari cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang atau radiasi balik yang dipancarkan bumi yang bersifat panas. Karakteristik gas CO 2 dan CH 4 disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik gas rumah kaca utama (Murdiyarso, 2003). Karakteritik CO 2 CH 4 Konsentrasi pada pra-industri 290 ppmv 700 ppbv Konsentrasi pada ppmv 1714 ppbv Konsentrasi pada ppmv 1745 ppbv Laju pertumbuhan per tahun 1,5 ppmv 7 ppbv Persen pertumbuhan per tahun 0,4 0,8 Waktu paruh (tahun) Kemampuan memperkuat radiasi 1 23 Keberadaan GRK di alam dalam jumlah yang wajar memang dibutuhkan untuk menjaga kehangatan suhu permukaan bumi dan kenyamanan bagi kehidupan. Namun apabila jumlah GRK tersebut berlebihan dan cenderung meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan global. Pemanasan global ini tidak terjadi secara seketika, tetapi berangsur-angsur. Dari Tabel 1 terlihat bahwa pada tahun 1950-an ketika revolusi industri baru dimulai, konsentrasi CO 2 di atmosfer baru 290 ppmv, pada tahun 1992 telah mencapai 355 ppmv. Jika pola

34 10 konsumsi, gaya hidup, dan pertumbuhan penduduk tidak berubah, 100 tahun yang akan datang konsentrasi CO 2 diperkirakan akan meningkat menjadi 580 ppmv atau dua kali lipat dari zaman pra-industri. Akibatnya dalam kurun waktu 100 tahun yang akan datang suhu rata-rata bumi meningkat hingga 4,5 o C dan berpengaruh pada perubahan besaran dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas dalam banyak segi kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan perubahan suhu dan curah hujan secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi sistem produksi pangan, sumber daya air, pemukiman, kesehatan, energi, dan kenaikan permukaan air laut. Kenaikan emisi CO 2 harus dikendalikan karena waktu paruh gas ini di atmosfer cukup lama hingga mencapai 200 tahun. Meskipun emisi yang dilakukan oleh kegiatan antropologis dihentikan dengan segera, dampak dari akumulasi GRK tersebut masih akan tetap dirasakan untuk jangka waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Demikian juga dengan gas CH 4, walaupun masa hidup, konsentrasi dan laju pertumbuhan emisi CH 4 relatif rendah, namun kemampuan memperkuat radiasi (radiative forcing) gelombang pendek menjadi gelombang panjang yang bersifat panas 20 kali lipat dari kemampuan CO 2, sehingga kenaikan sekecil apapun emisi CH 4 harus tetap dikendalikan. Tanah Gambut dan Emisi Karbon Dioksida Istilah gambut merupakan istilah Indonesia untuk tanah-tanah yang sebagian besar bahan penyusunnya berupa bahan organik. Nama gambut berasal dari nama suatu kecamatan yaitu Kecamatan Gambut, dekat Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Di kecamatan tersebut usaha pertanian pada lahan gambut dapat berhasil dengan baik untuk pertama kalinya, yaitu pada awal tahun 1930-an. Atas dasar itulah maka para ahli tanah di Indonesia sepakat untuk menggunakan istilah peat sebagai gambut (Sabiham, 2006). Di dalam dunia ilmu pengetahuan, terutama untuk bidang ilmu tanah, gambut dikenal dengan sebutan Histosols, atau yang populer disebut sebagai peat. Menurut Soil Survey Staff (1999), bahan tanah organik adalah bahan tanah dengan diameter < 2 mm dan memenuhi salah satu syarat berikut:

35 11 1. Jenuh air kurang dari 30 hari (kumulatif) dan mengandung C-organik sebesar 20% atau lebih, atau 2. Jenuh air selama 30 hari atau lebih per tahun (kumulatif) dan mengandung C-organik (tidak termasuk akar-akar hidup) sebesar: a. 18% atau lebih (setara dengan 30% bahan organik atau lebih) bila fraksi tanah mineral mengandung liat 60% atau lebih, atau b. 12% atau lebih (setara dengan 20% bahan organik atau lebih) bila fraksi tanah mineral mengandung tanpa liat, atau c. 12% ditambah (persen liat dikalikan 0,1) bila fraksi tanah mineral mengandung kurang dari 60% liat. Sedangkan bahan tanah mineral adalah bahan tanah yang mengandung C-organik lebih rendah dari ketentuan yang berlaku pada tanah organik. Tanah gambut digolongkan ke dalam tanah organik atau histosol dengan sifat-sifat sebagai berikut (Soil Survey Staff, 1999): 1. Tidak mempunyai sifat-sifat tanah andik pada 60% atau lebih ketebalan diantara permukaan tanah dan kedalaman 60 cm, atau diantara permukaan tanah hingga ke kontak densik, litik, atau paralitik atau duripan, apabila lebih dangkal; dan 2. Mempunyai bahan tanah organik yang tebalnya sebagai berikut: a. Pada tanah berkerikil atau berbatu (bersinder, fragmental, berbatu apung) dan ada kontak litik atau paralitik dibawahnya; tebal bahan organik tidak disyaratkan asalkan di sela-sela kerikil/batu tersebut terisi oleh bahan tanah organik; atau b. Pada tanah berkerikil atau berbatu tetapi tidak ada kontak litik atau paralitik dibawahnya, tebal lapisan tanah organik ditambah dengan tebal lapisan berkerikil atau berbatu yang sela-selanya terisi bahan tanah organik 40 cm atau lebih (dihitung dari permukaan tanah hingga kedalaman 50 cm); atau c. Pada tanah berkerikil atau berbatu tetapi ada kontak litik atau paralitik dibawahnya, tebal lapisan tanah organik 2/3 tebal tanah atau lebih sampai kontak/paralitik, tebal tanah mineral (bila ada) adalah 10 cm atau kurang; atau

36 12 d. Jenuh air selama 30 hari atau lebih tiap tahun pada tahun-tahun normal (atau telah drainase), mempunyai batas atas di dalam 40 cm dari permukaan tanah dan memiliki ketebalan total salah satu berikut: Setebal 60 cm atau lebih, apabila ¾ (volume) terdiri dari serat-serat lumut, atau apabila berat jenisnya (lembab) kurang dari 0,1 g cm -3, atau Setebal 40 cm atau lebih, apabila terdiri dari bahan saprik atau hemik, atau bahan fibrik < ¾ (volume) terdiri dari serat-serat lumut dan berat jenisnya (lembab) kurang dari 0,1 g cm -3 atau lebih. Karbon dioksida adalah jumlah gas terbesar dalam atmosfer. CO 2 akan diikat oleh biomass tanaman selama proses fotosintesis, kemudian disimpan dalam tanah sebagai karbon organik melalui perubahan residu tanaman menjadi bahan organik tanah setelah residu tersebut dikembalikan ke tanah, sehingga tanah gambut dapat bertindak sebagai rosot (sink) CO 2 atmosfer (Rinnan et al., 2003). Gambut yang terbentuk tahun yang lalu, menyimpan GT karbon atau 15-86% C terestrial yang ada di muka bumi, dimana sekitar 46 GT diantaranya tersimpan di lahan gambut Indonesia (Allen et al., 2003). Simpanan karbon dalam gambut dapat keluar dari bumi ke atmosfer melalui dua cara yaitu: (1) pembakaran dalam degradasi lahan gambut yang menghasilkan emisi gas CO 2 dan (2) drainase lahan gambut yang menyebabkan aerasi bahan gambut disamping oksidasi (dekomposisi aerobik). Oksidasi bahan gambut (yang umumnya mengandung 10% organ tanaman dan 90% air) menghasilkan emisi gas CO 2 (Hooijer et al., 2006). Gas CO 2 yang dihasilkan dari dekomposisi bahan organik pada lahan gambut dikendalikan oleh perubahan suhu, kondisi hidrologi, ketersediaan dan kualitas bahan gambut, tergantung pada faktor lingkungan, sifat tanah, dan teknik budidaya pertanian. Pada suhu tinggi, gas CO 2 dan CH 4 merupakan bentuk gas yang segera terbentuk dan besar jumlahnya. Perbandingan perubahan gas CH 4 menjadi CO 2 dalam tanah pada suhu dan ph tinggi, bentuk CH 4 lebih memungkinkan, karena kondisi tersebut merupakan suhu optimum untuk metanogen (Kirk, 2004).

37 13 Proses dekomposisi terdiri dari 2 tahap, yaitu (1) pembentukan asam organik, asetik, propianat dan butirat, ditambah gugus alifatik dan phenolik, (2) konversi asam-asam organik tersebut menjadi gas (Kirk, 2004). Hasil dekomposisi pada aerob berupa CO 2, NO - 3, SO -2 4 dan residu resisten, tetapi hasil dekomposisi pada anaerob berupa CO 2, H 2, CH 4, N 2, NH 4, H 2 S, bagian terdekomposisi dan residu humik. Selama kebutuhan oksidator anorganik tercukupi, CO 2 merupakan hasil akhir utama dalam dekomposisi bahan organik, namun setelah oksidator anorganik habis terpakai, digantikan oleh proses metanogen sehingga proporsi CH 4 meningkat seperti digambarkan dengan reaksi sebagai berikut Kirk (2004): SOM 0 + a H 2 O SOM 1 + b CH 3 COOH + c H 2 + d CO 2 CH 3 COOH CH 4 + CO 2 H 2 + CO 2 CH 4 + 2H 2 O Oksidasi CH 4 tergantung pada populasi dan pertumbuhan bakteri pengoksidasi CH 4, difusi CH 4 dari tanah anaerobik yang mungkin teroksidasi dari interface tanah atau dari daerah rhizosfer. Tanah Gambut dan Emisi Metan Metan merupakan salah satu komponen GRK yang diemisikan oleh tanah akibat metabolisme bakteri metanogen. Laju pembentukan CH 4 secara akumulatif ditentukan oleh keberadaan bahan dasar, populasi dan aktivitas mikrob penghasil CH 4 dan lingkungannya (Alexander, 1977). Metabolisme mikrob penghasil CH 4 lebih kompleks daripada emisi CO 2 dalam tanah. Tanah dapat memproduksi dan mengkonsumsi metana secara simultan dibawah kondisi lingkungan tertentu. Metan mempunyai kemampuan menyerap sinar infra merah yang dipancarkan oleh permukaan bumi sebesar 21 kali dibandingkan dengan CO 2 (Shine et al., 1995). Kontribusi CH 4 terhadap pemanasan global sebesar 20%, urutan kedua setelah CO 2 yaitu sekitar 55% (Shine et al., 1995). Menurut Sylvia et al. (1998), total emisi CH 4 diperkirakan sebesar 410 TG CH 4 -C th -1. Emisi langsung dari lahan basah sekitar 32% dari total emisi ke atmosfer. Di lahan basah, mikrob pengoksidasi CH 4 dapat mengkonsumsi lebih dari 90% CH 4 di daerah anaerobik sebelum mencapai atmosfer, sehingga oksidasi

38 14 metana di lahan basah merupakan satu dari faktor terbesar yang mempengaruhi siklus global metana. Metanogen dalam tanah memproduksi metana melalui dua jalan utama, yaitu: CO 2 + H 2 CH 4 (reduksi CO 2 ) CH 3 COOH CH 4 + CO 2 (fermentasi asetat) Sebagian besar ekosistem gambut menyimpan karbon dan nitrogen dari atmosfer. Peningkatan deposisi N atmosfer memberikan dampak nyata dalam emisi GRK. Dari hasil penelitian Aerts dan Caluwe (1999) tentang emisi CO 2 dan CH 4 dari tanah gambut eutropik dan mesotropik dengan deposisi N yang berbeda di daerah temperet tanpa perlakuan menunjukkan bahwa tanah gambut eutropik dengan deposisi N tinggi, emisi CH 4 lebih tinggi daripada gambut mesotropik dengan deposisi N tinggi dan mesotropik dengan deposisi N rendah. Analisis regresi linier antara emisi CH 4 berkorelasi positif dengan variabel kesuburan tanah (r 2 = 0,42-0,55), walaupun model regresi multipel emisi CH 4 tergantung pada variabel N tanah (r 2 = 0,93), sehingga disimpulkan bahwa peningkatan deposisi N atmosfer menyebabkan peningkatan emisi CH 4 dari tanah gambut kesuburan rendah. Pada kondisi anaerobik, dekomposisi bahan organik sangat lambat dan karbon dilepaskan sebagai CH 4. Gas CH 4 terbentuk dari asam organik atau gas C oleh bakteri methanogen, kemudian CH 4 ditranslokasikan ke zone aerasi dari bahan gambut yang memungkinkan untuk teroksidasi dan dilepaskan sebagai CO 2. Menurut Roulet et al. (1993), emisi CH 4 menurun dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah. Tingginya emisi CH 4 berasosiasi dengan jaringan pembuluh vascular dan dalamnya perakaran tanaman yang meningkatkan efisiensi pergerakan CH 4 dari lapisan anaerobik ke atmosfer Emisi CH 4 dari lahan gambut tergantung pada produksi dan konsumsi CH 4 dan kemampuan transport gas ke permukaan oleh tanah dan tanaman. Metana yang dihasilkan oleh aktivitas metanogen ini akan dilepaskan dari zone reduktif ke atmosfer melalui tiga proses, yaitu difusi, ebulisi, dan sistem jaringan tanaman (Redeker et al., 2003; Rinnan et al., 2003). Ebulisi merupakan suatu proses lepasnya bentuk gelembung gas dari pelarut yang volatil dari dalam larutan ke permukaan tanah dan ke atmosfer. Bentuk gelembung gas terbentuk secara

39 15 spontan jika larutan menjadi jenuh dengan pelarut yang volatil. Pembentukan gelembung gas CH 4 dalam tanah melebihi CO 2 walaupun kedua gas tersebut dalam proporsi yang sama, karena CH 4 20 kali lebih volatil daripada CO 2 (Kirk, 2004). Melling et al. (2005c) melaporkan fluks CH 4 pada ekosistem hutan gambut berkisar dari -4,53 sampai 8,40 μg C m -2 jam -1, pada ekosistem kelapa sawit berkisar dari -32,78 sampai 4,17 μg C m -2 jam -1, dan pada ekosistem sagu berkisar dari -7,44 sampai 102,06 μg C m -2 jam -1. Dengan pendekatan analisis pohon regresi diperoleh hasil bahwa fluks CH 4 pada masing-masing ekosistem dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang berbeda yakni kelembaban udara untuk ekosistem hutan, muka air tanah untuk ekosistem kelapa sawit dan ekosistem sagu. Ekosistem hutan dan sagu merupakan source CH 4 dengan emisi 18,34 mg C m -2 jam -1 untuk hutan dan 180 mg C m -2 jam -1 untuk sagu, sedangkan ekosistem kelapa sawit merupakan sink CH 4 dengan uptake -15,14 mg C m -2 jam -1. Kelembaban udara merupakan faktor penting yang mempengaruhi uptake dan emisi CH 4 dengan batas kritis 90,55%. Emisi CH 4 tertinggi sebesar 9,23 μg C m -2 jam -1 terjadi pada kelembaban udara 90,55% dan muka air tanah lebih dari 49 cm. Pada ekosistem sagu meningkatnya suhu akan meningkatkan emisi CH 4 akibat tingginya difusi gas, tetapi pada ekosistem kelapa sawit yang memiliki lapisan aerobik lebih tebal, meningkatnya suhu memungkinkan meningkatkan oksidasi CH 4, sehingga uptake CH 4 semakin besar. Drainase Pada Perkebunan Kelapa Sawit dan Emisi Karbon Perkebunan kelapa sawit saat ini telah berkembang tidak hanya yang diusahakan oleh perusahaan negara, tetapi juga perkebunan rakyat dan swasta, sehingga perlu tersedianya lahan untuk pengembangan area tanam. Lahan gambut memiliki potensi tinggi dalam memenuhi kebutuhan investasi untuk perluasan kebun kelapa sawit. Secara umum, produksi kelapa sawit pada lahan gambut saprik lebih tinggi dibandingkan dengan lahan gambut hemik dan fibrik. Produktivitas kelapa sawit di lahan gambut saprik dengan ketebalan gambut mencapai 48 cm, dengan kadar abu 36,34 %, ph 3,67, dan salinitas 0,65 ms per cm, pada usia produksi 10 tahun mencapai 27,17 ton tandan buah segar

40 16 (TBS) per hektar per tahun, sedangkan untuk lahan gambut yang sama dengan kedalaman 450 cm, kadar abu 2,71 %, ph 3,55, salinitas 1,41 ms per cm, menghasilkan lebih rendah TBS yakni 23,74 ton TBS per hektar per tahun. Untuk lahan gambut hemik dengan kedalaman 240 cm, kadar abu 3,44 %, ph 3,53, serta salinitas 1,34 ms per cm, mampu menghasilkan 23,20 ton TBS per hektar per tahun pada usia produksi tahun ke 10. Sementara untuk jenis lahan gambut fibrik dengan kedalaman mencapai 220 cm, kadar abu 10,65 %, ph 3,53, dan salinitas 1,11 ms per cm, hanya dapat menghasilkan 20,80 ton TBS per hektar per tahun (Winarna, 2007). Pengelolaan gambut mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseimbangan karbon pada ekosistem gambut. Pembuatan drainase pada lahan gambut digunakan untuk mengatasi kandungan air gambut yang dapat mencapai 90% volume. Drainase diperlukan untuk pertumbuhan akar tanaman kelapa sawit dan untuk mengakses jalan. Sejak dimulainya drainase, wilayah gambut telah menjadi source CO 2 sebagai akibat meningkatnya oksidasi gambut. Dilain pihak peningkatan muka air tanah dapat merubah area gambut menjadi source CH 4 yang lebih efektif sebagai gas rumah kaca daripada CO 2 (Hendriks et al., 2007). Ikkonen dan Kurets (2002) menyatakan bahwa drainase lahan gambut selama 10 tahun akan menurunkan muka air dari 10 menjadi 30 cm dan emisi CO 2 dari tanah meningkat 1,5 kali. Sebelum drainase sekitar 70% produksi CO 2 dari gambut sphagnum merupakan hasil dari mineralisasi bahan organik, namun setelah drainase respirasi akar menyumbangkan 40% dari total respirasi tanah. Intensitas maksimum dari fluks CO 2 dihasilkan dari respirasi akar dan mikroorganisme teramati pada kelembaban gambut 70-75%. Klemedtsson et al. (1997) melaporkan bahwa jika dibandingkan dengan gambut yang tidak didrainase, tindakan drainase pada tanah organik untuk lahan pertanian akan meningkatkan emisi GRK (CO 2, N 2 O dan CH 4 ) sekitar 1 t CO 2 ha -1 th -1. Suasana oksidasi dan reduksi yang ditentukan oleh tingginya muka air tanah akibat drainase sangat berkaitan erat dengan laju dekomposisi dan menentukan regulasi emisi gas CO 2 dan CH 4. Murase dan Kimura (1994) dalam Barchia (2006) melaporkan bahwa jumlah CH 4 biasanya ditemukan paling banyak di dalam tanah tergenang atau tereduksi. Jumlah CO 2 di dalam tanah tergenang

41 17 berkisar antara 2 10% dan CH 4 berkisar antara 4 55%. Rendahnya kandungan CO 2 pada tanah tergenang dibandingkan dengan kandungan CH 4 karena pada tanah tergenang oksigen masuk ke dalam tanah melalui proses difusi, dimana proses difusi O 2 ini kali lebih lambat daripada difusi O 2 di dalam pori terisi gas. Sistem drainase akan berdampak pada terjadinya subsiden dan perubahan kondisi tanah dari reduktif menjadi oksidatif yang berpengaruh pada proses dekomposisi bahan gambut. Dekomposisi bahan gambut dalam kondisi jenuh air berjalan sangat lambat, namun dengan adanya drainase, proses dekomposisi berjalan cepat (Rinnan et al., 2003). Bahan gambut dalam kondisi anaerob (bersifat reduktif) dapat menghasilkan asam-asam organik, CO 2 dan CH 4, sedangkan bahan gambut dalam kondisi aerob (bersifat oksidatif) dapat menghasilkan CO 2. Gambut dapat menghasilkan CO 2 dalam kondisi anaerob jika tersedia asam asetat, asam propionat, dan asam butirat yang bertindak sebagai donor elektron (Morril et al., 1982). Lingkungan oksidatif dan reduktif berpengaruh nyata terhadap fluks CH 4. Pada horizon anoxic gambut, bakteri metanogen memproduksi CH 4 (Rinnan et al., 2003). Bakteri metanogen ini hidup pada kondisi anaerob dan sangat sensitif bila ada oksigen, walaupun dalam konsentrasi yang sangat rendah. Bakteri metanogen membutuhkan redoks potensial lebih kecil dari -200 mv dan tumbuh optimal pada suhu o C (Alexander, 1977). Kondisi hidrologi gambut berpengaruh terhadap emisi CO 2. Nyman dan DeLaune (1991) melaporkan bahwa terdapat perbedaaan perhitungan emisi CO 2 di lapang antara fresh, brackhis, dan saline tanah rawa. Emisi CO 2 tertinggi di frest dan terkecil di brackish pada seluruh kedalam air tanah yang terukur. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang mendasar dalam proses dekomposisi dan Eh tanah pada tipe-tipe tanah rawa tersebut. Hubungan Ketebalan dan Tingkat Dekomposisi Gambut dengan Emisi karbon Salah satu faktor pembatas dalam pengelolaan gambut adalah hubungan negatif antara ketebalan gambut dengan produktivitas lahan. Berdasarkan ketebalannya, gambut dibagi menjadi empat tipe, yaitu 1) gambut dangkal dengan

42 18 ketebalan 0,5-1 m, 2) gambut sedang dengan ketebalan 1-2 m, 3) gambut dalam dengan ketebalan 2-3 m, dan 4) gambut sangat dalam dengan ketebalan > 3 m (Sabiham, 2006). Makin tebal gambut, makin besar kendala biofisiknya dan makin rendah produktivitas lahannya. Perubahan pola penggunaan lahan gambut akan mempengaruhi tinggi muka air di lahan gambut dan perubahan suhu secara drastis sehingga akan merubah keseimbangan dan pelepasan CO 2 dan CH 4. Sistem drainase di lapang merupakan faktor yang dapat menyebabkan kehilangan C-organik dan subsiden pada bahan gambut. Proses subsiden merupakan perubahan sifat gambut secara fisik, kimia dan biologi yang ditunjukkan di lapangan dengan penurunan lapisan gambut. Hal ini terkait dengan terjadinya perubahan suhu, ketersediaan O 2, ph, dan Eh tanah jika dilakukan drainase pada bahan gambut. Suhu tanah merupakan pengendali utama terhadap laju dekomposisi bahan gambut dan peranannya sangat dominan bila berinteraksi dengan ketersediaan O 2. Ketersediaan O 2 di dalam bahan gambut dapat mempercepat proses mineralisasi C-organik sehingga bahan gambut menghasilkan CO 2 dan CH 4. Nilai Eh dan ph berperanan dalam produksi CH 4 (Yagi et al., 1994). Dinamika kesetimbangan antara rata-rata produksi CO 2 dan CH 4 dan oksidasi pada profil tanah gambut dan rata-rata perpindahan dari bahan gambut ke atmosfer mengendalikan fluks CO 2 dan CH 4 dari lahan gambut. Fluks tersebut menunjukkan spatial tinggi dan variasi temporal yang berhubungan dengan faktorfaktor lingkungan, seperti suhu dan kedalaman air (Moore dan Dalva, 1993). Fisiografi gambut (pantai, transisi, dan pedalaman) mempengaruhi sifatsifat inhern gambut. Berdasarkan tingkat dekomposisinya, gambut dibedakan menjadi 3, yaitu fibrik, hemik dan saprik. Bahan fibrik biasanya diendapkan di lapisan gambut bawah, bahan ini banyak mengandung serat yang dipertahankan dalam bentuk asalnya dan masih dapat diidentifikasikan atau sedikit mengalami dekomposisi. Bahan hemik apabila tingkat dekomposisinya sedang dan saprik apabila tingkat dekomposisinya telah lanjut, kedua bahan ini biasanya ditemukan di atas lapisan bahan fibrik. Dilapangan, bahan hemik dan saprik sulit dibedakan asal botaninya. Bobot isi (BI) hemik biasanya berkisar 0,11-0,2 g cm -3, sedangkan BI bahan saprik > 0,2 g cm -3 (Sabiham, 2006).

43 19 Riwandi (2001) menyatakan bahwa kehilangan C organik gambut pantai, transisi, dan pedalaman relatif sama, tetapi jumlah kehilangan C organik gambut fibrik lebih tinggi dibandingkan dengan saprik, sedangkan hemik berada diantaranya. Berdasarkan kehilangan C organiknya, stabilitas gambut fibrik paling rendah, saprik paling tinggi, dan hemik berada diantara keduanya. Hasil penelitian Sulistyono (2000) menyatakan bahwa tingkat dekomposisi gambut berpengaruh nyata terhadap produksi CO 2 dan CH 4 dengan urutan gambut fibrik > hemik > saprik. Dalam kondisi aerob, produksi CO 2 meningkat dan CH 4 menurun dan sebaliknya pada kondisi anerob, produksi CH 4 meningkat dan CO 2 menurun. Berdasarkan hal tersebut, kehilangan karbon melalui CO 2 dan CH 4 dari gambut dapat terjadi baik pada kondisi basah maupun kondisi kering. Dalam kondisi basah atau anaerob masalah kehilangan CO 2 sudah dapat ditekan, namun masalah yang berkaitan dengan pemanasan global harus diperhatikan. Meskipun bentuk CH 4, secara angka nilainya lebih kecil daripada CO 2, namun kemampuan CH 4 dalam menyebabkan pemanasan global lebih besar. Dekomposisi anaerob merupakan sumber utama emisi karbon ke atmosfer. Prekusor metanogenesis diproduksi melalui dekomposisi anaerob polimer organik oleh bakteri hidrolitik dan fermentasi. Faktor lingkungan yang sangat menentukan degradasi anaerob adalah kelembaban, suhu, konsentrasi substrat, dan ph (Bergman et al., 1997). Menurut Whalen dan Reeburgh (1996), metanotrop pada daerah subsurface bahan gambut secara fisiologi telah beradaptasi dengan konsentrasi CH 4 yang berlebihan jumlahnya. Kelembaban tanah dan suhu sangat mempengaruhi konsumsi rata-rata CH 4. Pengaruh tersebut terlihat pada suply substrat dan aktivitas enzim. Bakteri pembentuk metan dikelompokkan dalam famili Methano bacteriaceae yang dibedakan dalam dua kelompok bakteri, yaitu (1) rod-shaped bacteria: Methanobacterium, (2) spherical cell: a. sarchinae, Methanosarcina dan b. bukan sarchinae group, Methanococcus. Degradasi bahan organik oleh bakteri methanogen anaerobik membutuhkan kerjasama 4 tipe bakteria yaitu: a) bakteri penghidrolisis dan fermentasi, b) bakteri pereduksi H, c) bakteri homoasetogenik, dan d) bakteri metanogenik (Alexander, 1977). Faktor biotik dan abiotik mengendalikan fluks gas di lahan gambut. Lahan gambut beriklim tropik, suhu tinggi sepanjang tahun dengan sedikit deviasi, tetapi

44 variasi harian dan bulanan terjadi untuk curah hujan, sehingga di daerah tropik, tingkat air tanah lebih penting peranannya daripada suhu dalam fluks gas bahan gambut ke atmosfer. Sylvia et al. (1998) menyatakan bahwa suhu, kelembaban, potensial redoks, dan ketersediaan substrat merupakan empat faktor utama dalam pengendalian dinamika gas dalam ekosistem. Suhu merupakan faktor penting karena seluruh reaksi biologi terpengaruh oleh suhu. Kelembaban merupakan faktor penting karena (1) seluruh kehidupan organisme memerlukan air dan (2) kandungan air tanah mengendalikan difusi oksigen ke dalam tanah, sehingga mempengaruhi potensial redox dan mempunyai kontribusi dalam proses aerobik dan anaerobik. Ketersediaan substrat baik kuantitas maupun kualitas karbon merupakan kunci pengendali dinamika gas. Pengukuran CO 2 secara sederhana dapat dilakukan dengan metode titrasi asam basa. CO 2 yang dihasilkan ditangkap oleh KOH sehingga akan terbentuk K 2 CO 3 yang kemudian dititrasi dengan HCl dengan indikator penolptalin (pp) dan metil oranye (mo), reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut: 1. Perubahan warna menjadi tidak berwarna (dengan indikator pp) K 2 CO 3 + HCl KCl + KHCO 3 2. Perubahan warna kuning menjadi pink (dengan indikator mo) KHCO 3 + HCl KCl + H 2 O + CO 2 Tanaman Dalam Kaitannya dengan Emisi karbon Emisi karbon erat kaitannya dengan tanaman, sehingga sangat penting menghubungkan antara komposisi jenis tanaman dengan fungsi ekosistem gambut. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan ekosistem jenis tanaman mempengaruhi proses-proses penting yang berkaitan dengan pengendalian dan interaksi antara fluks CO 2 dan CH 4 dengan mekanisme dua arah dalam perubahan iklim (Cristensen et al., 1999; Oechel et al., 2000; Strom, Mastepanov dan Cristensen, 2005). Strom, Mastepanov dan Cristensen (2005) melaporkan monolith gambut-tanaman dengan vegetasi dominan Carex memiliki emisi CH 4 tertinggi (6,76 mg CH 4 m -2 h -1 ) daripada jika didominasi vegetasi Eriophorum (2,38 mg CH 4 m -2 h -1 ) atau Juncus (2,68 mg CH 4 m -2 h -1 ). Emisi gas melalui tanaman dipengaruhi oleh jenis tanaman, varietas dan stadia pertumbuhan tanaman Shalini-Sigh et al. (1997), begitu juga umur dan ukuran tanaman (Mariko 20

45 21 et al., 1991). Menurut Parashar (1993), perbedaan varietas dalam jumlah jaringan aerenchima mempengaruhi kapasitas transport emisi karbon. Emisi ini akan meningkat dengan meningkatnya biomas, kondisi tanaman, dan perbedaan varietas. Kerapatan efflux CH 4 pada sistem lahan basah berkorelasi linier dengan rata-rata uptake CO 2 dalam fotosintesis, dimana umumnya lebih tinggi pada lahan basah yang subur (Allen et al., 2003). Ketersediaan CO 2 berkaitan erat dengan aktivitas metanogen. Peningkatan CO 2 atmosfer ternyata meningkatkan aktivitas metanogen dalam memproduksi CH 4. Beverland et al. (1996) menjelaskan bahwa peningkatan CO 2 akan meningkatkan proses fotosintesis, sehingga jumlah karbohidrat yang terbentuk semakin besar. Hal ini memperbesar translokasi fotosintat ke akar tanaman dan meningkatkan pengeluaran eksudat akar. Ketersediaan substrat organik hasil dekomposisi bahan organik secara anaerob dan hasil eksudasi akar akan mensuplai energi bagi mikrob metanogen untuk memproduksi CH 4, yang berakibat pada tingginya emisi CH 4. Alexander (1977) menyatakan bahwa produksi CH 4 berkaitan erat dengan aspek aktivitas mikrob metanogen yang berlangsung pada ekosistem anaerob. Metan mulai terbentuk pada potensial redoks -100 mv hingga -200 mv. Jauhiainen dan Vasander (2002) melaporkan bahwa pada tanpa vegetasi emisi CO 2 menurun dengan meningkatnya kelembaban, hal ini terkait dengan rendahnya aktivitas bakteri aerobik dalam memproduksi CO 2 dan lambatnya perubahan gas dalam kondisi tergenang. Untuk itu sangat perlu dilakukan pengukuran produksi CO 2 dan CH 4 di sekitar dan diluar daerah perakaran. Menurut Pendal et al. (2004), ketersediaan CO 2, suhu, dan interaksinya berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap siklus C di dalam tanah. Ketersediaan CO 2 secara langsung memacu proses respirasi sebagai bahan dasar. Meningkatnya suhu secara langsung memacu proses dekomposisi dengan mempercepat aktivitas enzim dan reaksi-reaksi kimia. Peningkatan CO 2 secara tidak langsung mempengaruhi kecepatan dekomposisi. Rambut-rambut akar merupakan kunci penghubung bagi uptake air dan unsur hara tanaman, input C tanah, dan aktivitas mikrob tanah. Turnover rambut akar (diameter < 2 mm) berperan sangat penting dalam pengaturan keseimbangan

46 22 C pada ekosistem (Pendall et al., 2004). Peningkatan fotosintesis pada keadaan CO 2 semakin banyak dapat memacu C dalam tanah dan pertumbuhan rambut akar, kecepatan turnover dan biomass akar. Fauzi et al. (2005) menjelaskan bahwa tanaman kelapa sawit mempunyai akar serabut dengan sistem perakaran yang sangat kuat. Hal ini dikarenakan oleh tumbuhnya akar ke bawah dan ke samping membentuk akar primer, sekunder, tertier, dan kuarter. Akar primer tumbuh ke bawah di dalam tanah sampai batas permukaan air tanah. Akar sekunder, tertier, dan kuarter tumbuh sejajar dengan permukaan air tanah bahkan akar tertier dan kuarter menuju ke lapisan atas atau ke tempat yang mengandung unsur hara. Di samping itu, tumbuh pula akar nafas yang muncul di atas permukaan atau di dalam air tanah. Pendal et al. (2004) mengajukan konsep 3 pool utama untuk menjelaskan siklus karbon di bawah permukaan tanah yaitu pool aktif, lambat dan pasif. Pool aktif menerima input dari rizosfer dan serasah di atas tanah dan mengalami turnover pada jangka waktu sampai beberapa tahun. Pool lambat atau slow menerima kebanyakan dari pool aktif, disertai dengan remineralisasi pasif C yang berperan dalam jumlah sedikit, dan juga mengalami turnover dalam jangka waktu sampai beberapa dekade. Pool pasif C terdiri dari kompleks-kompleks organomineral yang dilindungi secara fisik maupun kimia, dimana pool ini mengalami turnover dalam jangka waktu 100 tahun. Efflux CO 2 dihasilkan dari dekomposisi berbagai macam pool C termasuk akar dan serasah yang dipengaruhi oleh suhu tanah, kelembaban, dan fenologi tanaman. Dekomposisi pada semua pool karbon tanah menghasilkan CH 4 maupun CO 2 dengan perbandingan tergantung pada kejenuhan O 2. Pembentukan metan lebih bergantung pada pool karbon yang tidak stabil, namun hanya sedikit diketahui mengenai peran berbagai jenis bentuk pool C terhadap pembentukan CH 4. Menurut Rinnan et al. (2003), tanaman dapat berperanan sebagai media transportasi CH 4 dari tanah tergenang ke atmosfer. Alur emisi CH 4 dari lahan basah melalui tiga cara yaitu: (1) tanaman menyediakan substrat untuk metanogen dalam bentuk eksudat tanaman, akar, sisa tanaman periode sebelumnya, (2) sistem aerenchyma menyediakan media transport gas dari tanah ke atmosfer, dan (3) tekanan O 2 pada daerah perakaran merupakan salah satu faktor penting untuk

47 23 mereduksi potensi fluks CH 4 dan melalui keberadaan O 2 ini tanaman dapat mengoksidasi CH 4 di daerah perakaran dan menghambat aktivitas bakteri metanogen. Hasil penelitian Ekberg et al. (2007) menyatakan bahwa perubahan dalam komunitas mikrob dan dekomposisi di daerah rhizosfer terjadi melalui cara (1) meningkatnya ketersediaan substrat (akar mati) menyebabkan meningkatnya kualitas komunitas dekomposer, (2) eksudar akar dan derivatnya meningkatkan dekomposisi lignin, (3) komposisi struktur C-organik terlarut. Pelepasan CO 2 dan CH 4 ke atmosfer dipengaruhi oleh umur tanaman. Barchia (2006) melaporkan bahwa emisi CH 4 tertinggi pada saat tinggi tanaman dan bobot akar mencapai perkembangan maksimum. Pada fase generatif emisi CH 4 menurun bahkan hampir sama dengan emisi pada lahan yang terbuka tanpa tanaman. Besarnya transpirasi dan jumlah pori mikro pada lembar daun menentukan pelepasan CH 4.

48 KARAKTERISASI SIFAT FISIKO KIMIA GAMBUT YANG BERKAITAN ERAT DENGAN EMISI CO 2 DAN CH 4 Rasional Kehilangan C-organik gambut dapat berupa emisi gas CO 2 dan CH 4. Beberapa sifat fisiko kimia gambut seperti ph, kadar air, kadar bahan organik, kemasaman total gambut, kandungan COOH dan fenolat-oh mempunyai keterkaitan dengan emisi CO 2 dan CH 4, karena sifat fisiko kimia ini ikut berperan dalam mengendalikan aktivitas mikrob yang mempengaruhi laju proses dekomposisi. Pergerakan gas dalam tanah secara langsung tergantung pada koefisien difusi, tortuisitas saluran pori-pori tanah dan secara tidak langsung tergantung pada bobot isi, porositas, dan fungsi distribusi pori tanah dan jumlah air tanah (Walezak, Bieganowski dan Rovdan, 2002). Analisis kadar air, kadar abu, kandungan C-organik dan bahan organik diperlukan dalam mengevaluasi fluks CO 2 dari lahan gambut, karena intensitas proses-proses dalam tanah seperti absorpsi oksigen dan emisi CO 2 dalam tanah sama halnya seperti proses-proses fisik pertukaran gas dari dalam tanah ke atmosfer. Gugus karboksil (COOH) dan fenolat OH merupakan ion-ion yang sangat penting kehadirannya dalam senyawa humik, karena proton utama yang mengikat senyawa humik adalah COOH dan fenolat-oh. Gugus COOH dan fenolat-oh ini bersifat polar dan hidrofil, sehingga fungsinya dalam bahan gambut dapat membantu meningkatkan penyerapan air. Kemasaman total gambut, kandungan COOH dan fenolat-oh terkait erat dengan sifat kering tidak balik gambut akibat drainase yang berlebihan pada lahan gambut. Berdasarkan uraian di atas, tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengkarakterisasi sifat fisiko kimia gambut yang berkaitan erat dengan emisi CO 2 dan CH 4 pada kebun kelapa sawit yang memiliki keragaman dalam ketebalan dan tingkat kematangan gambut serta umur tanaman. Bahan dan Metode Analisis sifat fisiko kimia gambut dilakukan pada Laboratorium Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Program Studi Ilmu Tanah, Institut Pertanian

49 25 Bogor. Sampel tanah yang dianalisis merupakan sampel tanah gambut berasal dari kebun kelapa sawit desa Suak Puntong, Suak Raya, dan Cot Gajah Mati, Kabupaten Meulaboh, Aceh Barat. Pada setiap titik pengamatan sesuai dengan transek yang telah ditentukan, dilakukan pengambilan sampel tanah dengan menggunakan bor gambut, kemudian dikompositkan. Komposit sampel tanah pada masing-masing transek dikelompokkan berdasarkan tingkat kematangan gambut yang ditentukan dengan metode cepat di lapang menjadi fibrik, hemik, dan saprik. Beberapa sifat fisiko kimia gambut yang dianalisis dan metode analisa yang digunakan terdapat pada Tabel 2. Tabel 2. Variabel yang diamati pada analisis sifat fisiko kimia bahan gambut pada perkebunan kelapa sawit yang berhubungan erat dengan emisi CO 2 dan CH 4. No Variabel Pengamatan Metode 1. ph tanah (ph H 2 O 1: 5) ph meter 2. ph tanah (ph KCl 1 N 1: 5) ph meter 3. Kadar air Gravimetri 4. Kadar Abu Pengabuan kering 5. C-organik Pengabuan kering 6. Bahan organik Pengabuan kering 7. Kadar kemasaman total gambut Titrasi (Stevenson, 1982 & Tan, 1996) 8. Kadar COOH Titrasi (Stevenson, 1982 & Tan, 1996) 9. Fenolat-OH gambut Titrasi (Stevenson, 1982 & Tan, 1996) Untuk mengetahui pengaruh tingkat kematangan gambut pada masingmasing variabel pengamatan, data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam yaitu membandingkan antara F hitung dengan F tabel pada taraf nyata 5%, Kemudian di lanjutkan dengan uji Duncan. Namun sebelumnya data diuji homogenitas dengan menggunakan uji Bartlett dan ketidakaditifan dengan menggunakan uji Tuckey. Hasil dan Pembahasan 1. Derajat Kemasaman Gambut (ph H 2 O dan ph KCl). Derajat kemasaman (ph) tanah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju dekomposisi bahan organik tanah, karena pertumbuhan dan

50 perkembangan serta aktivitas mikrob yang hidup di dalam tanah termasuk metanogen dan metanotrof sangat dikendalikan oleh ph tanah. Nilai rata-rata derajat kemasaman (ph) gambut baik ph aktual (ph H 2 O) maupun ph potensial (ph KCl) dari analisis laboratorium dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 3. Hasil analisis ph H 2 O dan ph KCl berdasarkan tingkat kematangan gambut dari masing-masing transek pada lokasi penelitian diilustrasikan pada Gambar 2 dan Gambar 3. Tabel 3. Nilai rata-rata ph H 2 O dan ph KCl di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut Tingkat No Lokasi kematangan Nilai rata-rata Nilai rata-rata Gambut ph H 2 0 ph KCl 1 Suak Puntong, transek 1 (SP-1) Fibrik 3,43 2,60 2 Suak Puntong, transek 1 (SP-1) Hemik 3,27 2,43 3 Suak Puntong, transek 1 (SP-1) Saprik 3,10 2,50 4 Suak Puntong, transek 2 (SP-2) Fibrik 3,23 2,53 5 Suak Puntong, transek 2 (SP-2) Hemik 3,40 2,50 6 Suak Puntong, transek 2 (SP-2) Saprik 3,03 2,30 7 Suak Raya, transek 3 (SR-3) Fibrik 3,23 2,43 8 Suak Raya, transek 3 (SR-3) Hemik 3,23 2,40 9 Suak Raya, transek 3 (SR-3) Saprik 2,90 2,23 10 Suak Raya, transek 4 (SR-4) Fibrik 3,33 2,57 11 Suak Raya, transek 4 (SR-4) Hemik 3,27 2,40 12 Suak Raya, transek 4 (SR-4) Saprik 3,13 2,67 13 Suak Raya, transek 5 (SR-5) Fibrik 3,43 2,87 14 Suak Raya, transek 5 (SR-5) Hemik 3,30 2,47 15 Suak Raya, transek 5 (SR-5) Saprik 2,97 2,33 16 Suak Raya, transek 6 (SR-6) Fibrik 3,53 2,73 17 Suak Raya, transek 6 (SR-6) Hemik 3,20 2,57 18 Suak Raya, transek 6 (SR-6) Saprik 3,10 2,60 19 Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7) Fibrik 3,83 2,80 20 Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7) Hemik 3,77 2,80 21 Cot Gajah Mati, transek 7 (CGM-7) Saprik 3,20 2,80 22 Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8) Fibrik 3,77 3,07 23 Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8) Hemik 3,73 3,00 24 Cot Gajah Mati, transek 8 (CGM-8) Saprik 3,00 2,77 25 Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9) Fibrik 3,90 3,00 26 Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9) Hemik 3,87 3,03 27 Cot Gajah Mati, transek 9 (CGM-9) Saprik 3,27 2,73 26

51 27 ph H2O SP-1 SP-2 SR-3 SR-4 SR-5 SR-6 CGM-7 CGM-8 CGM-9 Lokasi kebun kelapa sawit Fibrik Hemik Saprik Gambar 2. Derajat kemasaman tanah aktual (ph H 2 O) di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut ph KCl SP-1 SP-2 SR-3 SR-4 SR-5 SR-6 CGM-7 CGM-8 CGM-9 Lokasi kebun kelapa sawit Fibrik Hemik Saprik Gambar 3. Derajat kemasaman tanah potensial (ph KCl) di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa ph H 2 O berbeda nyata pada tingkat kematangan gambut, sedangkan ph KCl tidak berbeda nyata (Lampiran 34 dan 36). Dengan uji lanjut Duncan, ph H 2 O pada gambut fibrik sama dengan gambut hemik, tetapi gambut saprik memiliki ph lebih rendah daripada ph gambut hemik dan fibrik (Lampiran 35). Sedangkan untuk ph KCl, dengan uji Duncan menunjukkan nilai yang sama pada gambut fibrik, hemik, dan saprik (Lampiran 37).

52 28 Nilai ph tanah sangat menentukan laju dekomposisi bahan organik tanah melalui pengendalian aktivitas mikrob tanah. Hasil penelitian Haraguchi et al., (2002) menunjukkan bahwa dekomposisi selulosa mempunyai korelasi positif terhadap ph tanah gambut yang pada umumnya memiliki ph masam. Rendahnya ph tanah ternyata menurunkan aktivitas mikrob perombak selulosa. Menurut van Huissteden et al. (2006), dekomposisi cenderung berjalan lambat pada ph yang rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ph H 2 O berkisar pada ph 2,9-3,9 dan ph KCl pada kisaran 2,23-3,07. Berdasarkan tingkat kematangan gambut ternyata rata-rata ph H 2 O adalah 3,52 untuk gambut fibrik, 3,45 untuk gambut hemik, dan 3,08 untuk gambut saprik. Sedangkan rata-rata ph KCl lebih rendah daripada ph H 2 O yaitu 2,73 untuk gambut fibrik, 2,62 untuk gambut hemik, dan 2,55 untuk gambut saprik (Gambar 4). Hasil analisis ph tanah gambut ini tergolong ph tanah sangat masam. Rata-rata ph gambut Fibrik Hemik Saprik Tingkat Kematangan Gambut ph H2O ph KCl Gambar 4. Rata-rata ph H 2 O dan ph KCl berdasarkan tingkat kematangan gambut Beberapa penelitian melaporkan bahwa bagian topsoil gambut di Belanda memiliki ph sedang berkisar antara 5-7, namun tanah gambut di Peninsular Malaysia memiliki ph lebih rendah berkisar antara 2,6 3,8 (Yule dan Gomez, 2009). Karakteristik gambut yang masam dan kondisi anaerob (Qual dan Haines 1990) serta air yang bersifat toksik seperti rendahnya oksigen, miskin unsur hara, banyak mengandung tanin dan tingkat kemasaman tinggi akan menghambat aktivitas mikrob dan fungi (Gorham, 1991)

53 29 Masih banyak diperdebatkan tentang pengaruh langsung ph masam di tanah gambut terhadap aktivitas metanogen. Wang et al. (1993) menyatakan bahwa ph berpengaruh terhadap produksi CH 4, produksi CH 4 menurun jika ph terlalu tinggi maupun terlalu rendah. Lebih lanjut Yang dan Chang (1998) melaporkan bahwa setiap satu gram tanah menghasilkan CH 4 sebesar 32,7± 2,2 μg hingga 65,1± 6,4 μg antara ph 4,3 sampai dengan 8,7. Produksi CH 4 akan terhambat jika ph tanah lebih dari 9,3 atau kurang dari 3,2. Pada ph tanah 6 hingga 7,7 menunjukkan tidak adanya perbedaan jumlah produksi CH 4. Menurut Garcia et al. (2000), metanogen tumbuh baik pada kisaran ph 5,6 8. Menurut Van Kessel dan Russell (1996), sifat toksik akibat rendahnya ph pada tanah gambut menghalangi aktivitas metanogen, namun Yavitt, Williams, dan Wieder (2005) melaporkan bahwa sifat toksik tidak mengganggu aktivitas mikrob anaerob tersebut. 2. Kadar Air, Kadar Abu, C-organik dan Bahan Organik Gambut. Analisis kadar air, kadar abu, kandungan bahan organik ada kaitannya dengan besarnya fluks CO 2 dari lahan gambut, karena intensitas proses-proses biologi seperti absorpsi oksigen dan emisi CO 2 dalam tanah sama halnya seperti proses-proses fisik pertukaran gas dari dalam tanah ke atmosfer. Menurut Walezak, Bieganowski dan Rovdan (2002), pergerakan gas dalam tanah secara langsung tergantung pada koefisien difusi, tortuisitas saluran pori-pori tanah dan secara tidak langsung tergantung pada bobot isi, porositas, dan distribusi pori tanah dan jumlah air tanah. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kadar air gambut sangat tergantung pada tingkat kematangan gambut (Lampiran 38). Gambut fibrik memiliki kadar air tertinggi, kemudian diikuti oleh gambut hemik dan gambut saprik (Lampiran 39). Kadar air gambut fibrik berkisar antara 539,897%- 1187,385%, kisaran kadar air gambut hemik dari 268,556%-479,788% dan kadar air gambut saprik berada pada kisaran 105,673%- 242,506% (Tabel 4).

54 Tabel 4. Nilai rata-rata kadar air, kadar abu, C-organik, dan bahan organik di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut. Tingkat kematangan gambut Rata-rata kadar air Rata-rata kadar abu Rata-rata C-organik Rata-rata bahan organik No Lokasi (%) (%) (%) (%) 1 Suak Puntong, transek 1 Fibrik 622,473 2,000 56,845 98,000 2 Suak Puntong, transek 1 Hemik 418,154 2,772 56,397 97,228 3 Suak Puntong, transek 1 Saprik 240,707 3,671 55,875 96,329 4 Suak Puntong, transek 2 Fibrik 711,631 2,263 56,692 97,737 5 Suak Puntong, transek 2 Hemik 387,518 2,696 56,441 97,304 6 Suak Puntong, transek 2 Saprik 178,750 3,505 55,972 96,495 7 Suak Raya, transek 3 Fibrik 625,473 3,984 55,694 96,016 8 Suak Raya, transek 3 Hemik 370,661 4,687 55,286 95,313 9 Suak Raya, transek 3 Saprik 168,576 5,900 54,582 94, Suak Raya, transek 4 Fibrik 650,120 3,438 56,010 96, Suak Raya, transek 4 Hemik 434,420 3,969 55,702 96, Suak Raya, transek 4 Saprik 242,506 5,078 55,059 94, Suak Raya, transek 5 Fibrik 543,159 2,440 56,589 97, Suak Raya, transek 5 Hemik 268,556 2,879 56,335 97, Suak Raya, transek 5 Saprik 105,673 4,878 55,175 95, Suak Raya, transek 6 Fibrik 724,454 2,942 56,298 97, Suak Raya, transek 6 Hemik 433,251 3,382 56,043 96, Suak Raya, transek 6 Saprik 150,341 3,659 55,882 96, Cot Gajah Mati, transek 7 Fibrik 539,897 1,852 56,931 98, Cot Gajah Mati, transek 7 Hemik 275,416 2,708 56,434 97, Cot Gajah Mati, transek 7 Saprik 204,295 3,998 55,686 96, Cot Gajah Mati, transek 8 Fibrik 942,659 2,488 56,562 97, Cot Gajah Mati, transek 8 Hemik 479,788 2,818 56,370 97, Cot Gajah Mati, transek 8 Saprik 178,624 4,287 55,518 95, Cot Gajah Mati, transek 9 Fibrik 1187,385 2,615 56,488 97, Cot Gajah Mati, transek 9 Hemik 476,045 2,275 56,685 97, Cot Gajah Mati, transek 9 Saprik 201,854 5,852 54,610 94,148 Gambut di daerah Cot Gajah Mati yang merupakan hutan gambut yang baru dibuka dan diusahakan untuk budidaya tanaman kelapa sawit memiliki kadar air rata-rata lebih tinggi daripada gambut di Desa Suak Puntong dan Suak Raya pada masing-masing tingkat kematangan gambut (Gambar 17). Tingginya kadar air pada gambut fibrik menunjukkan bahwa gambut tersebut belum mengalami pelapukan lanjut. Hal ini mengindikasikan bahwa subsiden telah terjadi pada gambut yang telah lama digunakan untuk budidaya kelapa sawit seperti di Desa Suak puntong dan Suak Raya. Subsiden ini disebabkan oleh perubahan posisi muka air akibat pemadatan dan proses oksidasi. Ketika muka air rendah, struktur gambut tidak dapat 30

55 31 mendukung bahan diatasnya dan pori-pori struktur hancur, sehingga bahan gambut pada permukaan lahan gambut menurun. Dengan terjadinya subsiden, maka bobot isi meningkat dan konduktivitas hidraulik menurun. Hal ini dikarenakan oleh pemadatan pori-pori tanah gambut. Konsekuensi dari berubahnya volume pada sifat hidrolik akan berpengaruh langsung pada perubahan simpanan air dan rata-rata aliran air yang menembus tanah (Price, 2003) dan menyebabkan perubahan air dan proses-proses biogeokimia gambut seperti terjadinya perubahan fluks karbon dengan rendahnya muka air (Strack et al., 2004) Kadar air (%) SP-1 SP-2 SR-3 SR-4 SR-5 SR-6 CGM-7 CGM-8 CGM-9 lokasi kebun kelapa sawit Fibrik Hemik Saprik Gambar 5. Kadar air gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut Bila dikaitkan dengan kehilangan C-organik gambut, dengan kadar air yang semakin tinggi, kehilangan C-organik semakin banyak. Hal ini disebabkan oleh kadar air yang tinggi menyebabkan terjadinya kondisi reduktif dalam gambut. Kondisi reduktif ini akan memacu produksi CH 4 dan CO 2, sehingga emisi CO 2 dan CH 4 meningkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kadar abu gambut berkisar antara 1,852%-3,984% untuk gambut fibrik, 2,275%-4,696% untuk gambut hemik dan 3,505%- 5,900% untuk gambut saprik (Tabel 4). Berdasarkan tingkat kematangan gambutnya, kadar abu pada masing-masing lokasi kebun kelapa sawit diilustrasikan pada Gambar 6. Analisis ragam kadar abu pada tingkat kematangan gambut yang berbeda menunjukkan bahwa kadar abu berbeda nyata pada setiap

56 32 tingkat kematangan gambut (Lampiran 40), dan dari hasil analisis Duncan dapat diketahui bahwa kadar abu untuk gambut fibrik lebih rendah daripada kadar abu gambut hemik dan saprik, dimana gambut hemik memiliki kadar abu relatif sama dengan gambut saprik (Lampiran 41). Hasil penelitian ini didukung oleh Klemedtsson et al. (1997) yang menunjukkan bahwa gambut yang belum mengalami tingkat dekomposisi lanjut mempunyai kadar abu lebih rendah. Menurut Berglund (1995), gambut miskin memiliki kadar abu lebih rendah daripada gambut kaya. 6 5 Kadar abu (%) SP-1 SP-2 SR-3 SR-4 SR-5 SR-6 CGM-7 CGM-8 CGM-9 Lokasi kebun kelapa sawit Fibrik Hemik Saprik Gambar 6. Kadar abu gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut Kandungan C-organik pada penelitian ini berkisar antara 53,371-57,651%. Kisaran besarnya rata-rata kandungan C-organik pada masing-masing tingkat kematangan gambut yaitu 55,694-56,845% untuk gambut fibrik, 55,286-56,685 untuk gambut hemik, 55,059-55,882% untuk gambut saprik (Gambar 7). Berdasarkan analisis ragam, ternyata kandungan C-organik dipengaruhi oleh tingkat kematangan gambut (Lampiran 42). Dengan uji lanjut Duncan dapat diketahui bahwa kandungan C-organik gambut fibrik sama dengan gambut hemik, tetapi gambut saprik memiliki kandungan C-organik yang lebih rendah dibandingkan dengan kedua gambut tersebut (Lampiran 43).

57 33 Kandungan C-organik (%) SP-1 SP-2 SR-3 SR-4 SR-5 SR-6 CGM-7 CGM-8 CGM-9 Lokasi kebun kelapa sawit Fibrik Hemik Saprik Gambar 7. Kandungan C-organik gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut Tingkat kematangan gambut juga berpengaruh nyata terhadap kandungan bahan organik (Lampiran 44). Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut saprik memiliki kandungan bahan organik paling rendah. Rata-rata kandungan bahan organik yang terdapat pada gambut berkisar antara 94,148%-98,148% (Tabel 3). Kandungan bahan organik berdasarkan tingkat kematangan gambut pada masingmasing transek diilustrasikan pada Gambar 8. Kandungan bahan organik (%) SP-1 SP-2 SR-3 SR-4 SR-5 SR-6 CGM-7 CGM-8 CGM-9 Lokasi kebun kelapa sawit Fibrik Hemik Saprik Gambar 8. Kandungan bahan organik gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa gambut fibrik memiliki kandungan bahan organik yang lebih tinggi daripada gambut saprik dan hemik (Lampiran

58 34 45). Menurut Walezak, Bieganowski dan Rovdan (2002), menurunnya kandungan bahan organik merupakan hasil dari menurunnya bahan gambut menahan air. Dalam penelitian ini gambut fibrik yang memiliki kadar air lebih tinggi daripada gambut hemik maupun gambut saprik, sehingga memungkinkan gambut fibrik memiliki kandungan bahan organik lebih tinggi. Kandungan bahan organik mempunyai pengaruh dalam fluks CO 2 dan CH 4. Meningkatnya kandungan bahan organik menyebabkan menurunnya bobot isi dan meningkatnya total porositas yang terkait dengan proses transport gas CO 2 dan CH 4 yang telah diproduksi dalam tanah untuk dilepaskan ke atmosfer. Hasil penelitian Walezak, Bieganowski dan Rovdan (2002) menunjukkan bahwa meningkatnya kandungan bahan organik dari 0,1 menjadi 57,4% menyebabkan menurunnya bobot isi dari 1,86 menjadi 0,33 g cm -3 dan meningkatnya total porositas dari 38 menjadi 90%. Disamping itu, distribusi ukuran pori pada tanah gambut sangat ditentukan oleh tingkat dekomposisi gambut, pada gambut yang telah terdekomposisi lanjut akan memiliki distribusi ukuran pori yang lebih seragam. Dengan demikian, produksi dan emisi gas CO 2 dan CH 4 sangat ditentukan oleh kadar air, kadar abu, C-organik, bahan organik. Dari hasil penelitian ini ternyata kadar air, kadar abu, C-organik, bahan organik dipengaruhi oleh tingkat kematangan gambut. Ditinjau dari proses biologi tanah, pengaruh kandungan bahan organik terhadap fluks CO 2 dan CH 4 sangat berkaitan dengan peran bahan organik sebagai sumber energi bagi mikrob di dalam tanah. Peningkatan jumlah ketersediaan C dalam gambut akan memacu mikrob dalam proses degradasi, yang tercermin dari meningkatnya produksi gas CO 2 dan CH 4. Kandungan C gambut tergantung pada bobot isi dari bahan gambut dan kandungan C pada serat gambut yang keduanya sangat beragam tergantung pada sumber bahan gambut dan tingkat dekomposisi gambut. 3. Kemasaman Total Gambut, Kandungan COOH, dan Fenolat-OH Kemasaman total gambut merupakan jumlah dari gugus fungsional COOH dan fenolat-oh yang menunjukkan besarnya kapasitas tukar kation bahan gambut. Hasil pengukuran kemasaman total gambut, kandungan COOH dan kandungan fenolat OH disajikan dalam Tabel 5.

59 Tabel 5. Nilai rata-rata kemasaman total gambut, kandungan COOH, dan kandungan fenolat OH di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut. Tingkat kematangan Gambut kemasaman total gambut kandungan COOH kandungan fenolat -OH No Lokasi (me g -1 ) (me g -1 ) (me g -1 ) 1 Suak Puntong, transek 1 Fibrik 4,99 0,13 4,86 2 Suak Puntong, transek 1 Hemik 5,71 0,13 5,58 3 Suak Puntong, transek 1 Saprik 6,37 0,16 6,21 4 Suak Puntong, transek 2 Fibrik 4,95 0,08 4,87 5 Suak Puntong, transek 2 Hemik 5,85 0,08 5,78 6 Suak Puntong, transek 2 Saprik 5,91 0,22 5,69 7 Suak Raya, transek 3 Fibrik 5,19 0,06 5,13 8 Suak Raya, transek 3 Hemik 4,79 0,15 4,63 9 Suak Raya, transek 3 Saprik 5,03 0,08 4,95 10 Suak Raya, transek 4 Fibrik 5,55 0,05 5,50 11 Suak Raya, transek 4 Hemik 5,27 0,04 5,23 12 Suak Raya, transek 4 Saprik 5,07 0,09 4,97 13 Suak Raya, transek 5 Fibrik 4,87 0,04 4,83 14 Suak Raya, transek 5 Hemik 5,19 0,09 5,10 15 Suak Raya, transek 5 Saprik 5,43 0,16 5,27 16 Suak Raya, transek 6 Fibrik 5,41 0,04 5,37 17 Suak Raya, transek 6 Hemik 4,95 0,09 4,86 18 Suak Raya, transek 6 Saprik 5,17 0,12 5,05 19 Cot Gajah Mati, transek 7 Fibrik 5,39 0,04 5,35 20 Cot Gajah Mati, transek 7 Hemik 4,73 0,06 4,67 21 Cot Gajah Mati, transek 7 Saprik 4,26 0,04 4,23 22 Cot Gajah Mati, transek 8 Fibrik 4,22 0,04 4,19 23 Cot Gajah Mati, transek 8 Hemik 4,36 0,06 4,30 24 Cot Gajah Mati, transek 8 Saprik 5,11 0,04 5,07 25 Cot Gajah Mati, transek 9 Fibrik 5,07 0,02 5,05 26 Cot Gajah Mati, transek 9 Hemik 5,31 0,04 5,27 27 Cot Gajah Mati, transek 9 Saprik 5,47 0,06 5,41 35 Gugus karboksil (COOH) dan fenolat OH merupakan ion-ion yang dapat membantu meningkatkan penyerapan air. Hasil penelitian Kwak, Ayub, dan Sheppard (1986) dalam Riwandi (2001) menunjukkan bahwa dari jumlah air yang terikat secara kimia pada bahan gambut yang mempunyai kapasitas tukar kation 100 me/100 g tanah, sekitar 4% air terikat pada gugus COOH dan fenolat-oh dan bila kedua gugus fungsi tersebut mengion, maka jumlah air yang terikat padanya meningkat menjadi sekitar 30% dari bobot segar bahan gambut. Dengan demikian, ketidakmampuan bahan gambut untuk menyerap air kembali dapat disebabkan salah satunya oleh adanya penurunan fungsi dari gugus COOH dan fenolat-oh. Nilai rata-rata kemasaman total gambut pada masing-masing transek

60 36 diilustrasikan pada Gambar 9. Berdasarkan hasil analisis ragam data kemasaman total gambut pada bahan gambut fibrik, hemik, dan saprik dapat diketahui bahwa kemasaman total gambut tidak berbeda nyata pada setiap tingkat kematangan gambut (Lampiran 46), sehingga kemasaman total gambut fibrik= hemik = saprik (Lampiran 47). Kemasaman total gambu (me g -1 ) SP-1 SP-2 SR-3 SR-4 SR-5 SR-6 CGM-7 CGM-8 CGM-9 Lokasi kebun kelapa sawit Fibrik Hemik Saprik Gambar 9. Kemasaman total gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kandungan COOH berbeda nyata pada tingkat kematangan gambut (Lampiran 48). Dengan uji Duncan dapat diketahui bahwa gambut saprik memiliki kandungan COOH tertinggi dan diikuti oleh gambut hemik, kemudian gambut fibrik (Lampiran 49). Sedangkan hasil analisis ragam untuk kandungan OH tidak berbeda nyata pada tingkat kematangan gambut (Lampiran 50), sehingga gambut fibrik, hemik dan saprik memiliki kandungan OH yang relatif sama (Lampiran 51). Nilai rata-rata kandungan COOH dan OH pada masing-masing transek diilustrasikan pada Gambar 10 dan 11.

61 Kandungan COOH (me g -1 ) SP-1 SP-2 SR-3 SR-4 SR-5 SR-6 CGM-7 CGM-8 CGM-9 Lokasi kebun kelapa sawit Fibrik Hemik Saprik Gambar 10. Kandungan gugus karboksil (COOH) di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut. kandungan -OH (me ḡ 1 ) SP-1 SP-2 SR-3 SR-4 SR-5 SR-6 CGM-7 CGM-8 CGM-9 Lokasi kebun kelapa sawit Fibrik Hemik Saprik Gambar 11. Kandungan gugus fenolat (-OH) gambut di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai tingkat kematangan gambut Kandungan kemasaman total, gugus COOH dan fenolat-oh sangat berkaitan erat dengan kehilangan C-organik. Menurut Riwandi (2001), bila gambut mempunyai kandungan fenolat-oh dan kemasaman total gambut yang bersifat hidrofil lebih tinggi daripada kandungan derivat asam fenolat yang bersifat hidrofob, maka gambut mempunyai kemampuan menyerap air lebih tinggi daripada kemampuan menolak air. Rasio antara air yang dijerap dengan air yang ditolak oleh gambut sangat berpengaruh terhadap kehilangan C-organik.

62 38 Kesimpulan Dari serangkaian analisis laboratorium yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa karakteristik tanah gambut di Meulaboh, Aceh Barat adalah sebagai berikut: 1. Besarnya ph H 2 O berkisar antara 2,9-3,9 dan ph KCl= 2,23-3, Kadar air gambut ditentukan oleh tingkat kematangan gambut yaitu fibrik= 539, ,385%, hemik= 268, ,788% dan saprik= 105, ,506%. 3. Rata-rata kadar abu gambut fibrik (1,852-3,984%) relatif sama dengan gambut hemik (2,275-4,696%) dan berbeda dengan gambut saprik (3,505-5,900%) 4. Kandungan C-organik berkisar antara 53,371-57,651% dan kandungan bahan organik 94,148-98,148%. 5. Kemasaman total gambut dan kandungan fenolat-oh relatif sama untuk gambut fibrik, hemik dan saprik, masing-masing berkisar antara 4,22-6,37 me g -1 dan 4,19-6,21 me g -1, sedangkan kandungan COOH gambut saprik > hemik > fibrik berkisar antara 0,02-0,16 me g -1.

63 PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2 Rasional Penambahan pupuk N pada lahan gambut dapat mempengaruhi emisi GRK. Urea merupakan pupuk N inorganik yang selalu digunakan oleh petani dalam upaya meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit. Jumlah dan waktu pemupukan urea sangat penting diperhatikan bukan hanya untuk optimalisasi produksi kelapa sawit, namun untuk meminimalkan emisi GRK yang mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan. Ketersediaan unsur N dalam tanah mempunyai peranan penting dalam mengendalikan reaksi-reaksi biologi dalam tanah, termasuk mengendalikan mikroorganisme dan akar tanaman yang memproduksi CO 2 untuk dilepaskan ke atmosfer, sehingga aplikasi pemupukan N mempunyai pengaruh nyata dalam meningkatkan respirasi (Lai et al., 2002; Zhang et al., 2007). Pemupukan urea akan meningkatkan emisi CO 2 dengan cara memacu pertumbuhan akar, aktivitas mikrob, dan proses dekomposisi bahan organik. Pengaruh pemupukan N terhadap emisi CH 4 pada lahan basah masih menjadi perdebatan. Pengaruh pemupukan N terhadap metanogenesis tidak diketahui dengan pasti. Zhang et al. (2007) melaporkan bahwa pemupukan N akan meningkatkan emisi CH 4, namun Cai et al. (1997) melaporkan bahwa ratarata fluks CH 4 cenderung menurun dengan meningkatnya dosis pupuk N. Berlainan dengan Flessa et al. (2002) yang menunjukkan bahwa pemupukan N tidak mempunyai pengaruh terhadap emisi CH 4. Menurut Kruger dan Frenzel (2003), penambahan pupuk N pada lahan basah dapat memacu: (1) pertumbuhan tanaman sehingga emisi CH 4 lebih intensif karena pemupukan N akan meningkatnya substrat untuk bakteri metanogen dan membaiknya kondisi aerenkim, (2) oksidasi CH 4, karena adanya O 2 dari rhizosfer akibat membaiknya saluran aerenkim, sehingga emisi CH 4 menurun, dan (3) konsumsi CH 4, karena dipacu oleh aktivitas bakteri metanotropik. Berdasarkan uraian di atas, percobaan ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh dosis N terhadap fluks CO 2 pada bahan gambut dengan tingkat

64 40 kematangan yang berbeda yang didukung oleh data kadar air gambut, kadar abu, kandungan C-organik, nisbah C/N dan total populasi mikrob. Bahan dan Metode Untuk mempelajari pengaruh dosis pupuk N pada bahan gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda terhadap fluks CO 2 dilakukan percobaan di Laboratorium Bioteknologi Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sampel bahan gambut yang digunakan untuk percobaan ini berasal dari lahan gambut di Meulaboh, Aceh Barat yang ditanami kelapa sawit di Desa Suak Puntong, Suak Raya dan Cot Gajah Mati. Pada setiap titik pengamatan sesuai dengan transek yang telah ditentukan, dilakukan pengambilan sampel tanah dengan menggunakan bor gambut. Komposit sampel tanah dari masing-masing titik pengamatan pada transek yang sama dikelompokkan berdasarkan tingkat kematangan gambut yaitu fibrik, hemik, dan saprik yang ditentukan dengan metode cepat di lapang. Percobaan di laboratorium disusun dengan menggunakan rancangan percobaan faktorial dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah dosis pupuk N (N) yang terdiri dari 5 taraf yaitu: 0 g/100 g tanah (n 0 ), 0,25 g/100 g tanah (n 1 ), 1 g/100 g tanah (n 2 ), 4 g/100 g tanah (n 3 ), 16 g/100 g tanah (n 4 ). Faktor kedua adalah tingkat kematangan gambut (G) yang terdiri dari fibrik (g 1 ), hemik (g 2 ), dan saprik (g 3 ). Dengan demikian diperoleh 15 kombinasi percobaan yaitu n 0 g 1, n 0 g 2, n 0 g 3, n 1 g 1, n 1 g 2, n 1 g 3,n 2 g 1, n 2 g 2, n 2 g 3, n 3 g 1, n 3 g 2, n 3 g 2, n 4 g 1, n 4 g 2, n 4 g 3. Sampel tanah berasal dari bahan gambut sesuai dengan tingkat kematangannya (fibrik, hemik, dan saprik) sebanyak 100 g dimasukkan ke dalam toples tertutup. Pupuk N dengan dosis 0, 0,25, 1, 4, dan 16 g dicampurkan ke dalam 100 g bahan gambut tersebut. Tabung film yang telah diisi 10 ml KOH 0,2 N diletakkan di dalam toples, demikian juga tabung film yang berisi sebanyak 10 ml aquades. Kemudian toples ditutup rapat dan diinkubasi selama 7 hari. Pengukuran CO 2 hasil respirasi bahan gambut dilakukan dengan menggunakan metode titrasi. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam yaitu membandingkan antara F hitung dengan F tabel pada taraf nyata 5%, namun sebelumnya data diuji homogenitas dengan menggunakan uji Bartlett dan

65 ketidakaditifan dengan menggunakan uji Tuckey. Pengamatan yang dilakukan pada percobaan ini terdapat pada Tabel 6. Tabel 6. Variabel yang diamati pada percobaan pengaruh dosis pupuk urea pada bahan gambut dengan tingkat kematangan yang berbeda terhadap fluks CO No. Variabel Pengamatan Metode 1. Fluks CO2 Titrasi 2. Kadar air Gravimetri 3. Kadar Abu Pengabuan kering 4. C-organik Pengabuan kering 5. Bahan organik Pengabuan kering 6. Total populasi mikrob Media Nutrien Agar 7. Nitrogen Kjeldahl 8. Nisbah C/N Hasil dan Pembahasan 1. Pengaruh Dosis Pupuk N pada Bahan Gambut dengan Tingkat Kematangan yang Berbeda terhadap Kadar Air, Kadar Abu, C-Organik dan Bahan Organik Gambut Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kadar air gambut hanya dipengaruhi oleh tingkat kematangan gambut, sedangkan penambahan dosis urea tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air gambut. Antara dosis pupuk urea dan tingkat kematangan gambut tidak terdapat interaksi terhadap kadar air gambut (Lampiran 52 54). Kadar air (%) Dosis urea (g/100 g gambut) Fibrik Hemik Saprik Gambar 12. Kadar air bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut

66 Dari Gambar 12 jelas terlihat bahwa gambut dengan tingkat kematangan yang sama memiliki kadar air yang relatif sama. Kadar air gambut fibrik berkisar antara %, gambut hemik %, dan gambut saprik %. Kadar air gambut fibrik lebih tinggi daripada gambut hemik dan saprik. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan dosis urea tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu, namun tingkat kematangan gambut berpengaruh nyata dalam kadar abu gambut, dan tidak terdapat interaksi antara kedua faktor perlakuan tersebut (Lampiran 55 57). Pengaruh tingkat kematangan gambut terhadap kadar abu sangat berkaitan erat dengan perbedaan karakteristik gambut tersebut terhadap daya serap terhadap air. Semakin besar kandungan air pada gambut tersebut semakin sedikit kadar abu setelah pembakaran gambut pada suhu 700 o C. Dengan uji lanjut dapat diketahui bahwa gambut saprik memiliki rata-rata kadar abu tertinggi dibandingkan dengan gambut hemik dan fibrik, dan kadar abu gambut fibrik sama dengan gambut hemik. Hasil analisis kadar abu pada masing-masing lokasi kebun kelapa sawit, disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Rata-rata kadar abu bahan gambut di tiga kebun kelapa sawit yang diberi perlakuan dosis urea. Lokasi kebun Tingkat kematangan Kadar abu dengan penambahan dosis N (%) Ratagambut 0 0, rata Suak Puntong Fibrik 3,200 4,267 5,314 5,533 5,997 4,862 Hemik 3,585 5,074 6,104 7,121 7,773 5,931 Saprik 5,172 6,117 7,642 8,319 9,411 7,332 Suak Raya Fibrik 3,308 3,849 4,375 7,082 7,318 5,187 Hemik 3,352 4,573 4,978 7,151 7,558 5,522 Saprik 4,357 5,045 6,291 7,299 7,685 6,135 Cot Gajah Mati Fibrik 2,764 4,662 5,419 6,878 7,287 5,402 Hemik 3,676 6,390 6,847 6,888 8,621 6,484 Saprik 4,935 7,236 7,108 8,261 9,620 7,432 Walaupun penambahan dosis urea tidak berpengaruh terhadap kadar abu bahan gambut, namun terdapat kecenderungan peningkatan kadar abu dengan penambahan dosis urea, hal ini terjadi karena ternyata dalam pupuk urea juga 42

67 menyumbangkan kadar abu sebesar 0,06%. Hasil perhitungan setelah konversi dengan sumbangan kadar abu dari pupuk urea disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Rata-rata kadar abu bahan gambut di tiga kebun kelapa sawit yang diberi perlakuan dosis urea (Hasil konversi). Lokasi kebun Tingkat Kadar abu dengan penambahan dosis N Ratarata kematangan (%) gambut 0 0, Suak Puntong Fibrik 3,197 4,263 5,310 5,528 5,992 4,858 Hemik 3,583 5,072 6,101 7,117 7,769 5,928 Saprik 5,170 6,115 7,640 8,317 9,408 7,330 Suak Raya Fibrik 3,305 3,845 4,371 7,076 7,312 5,182 Hemik 3,350 4,570 4,975 7,147 7,555 5,519 Saprik 4,356 5,043 6,289 7,297 7,682 6,133 Cot Gajah Mati Fibrik 2,761 4,657 5,414 6,871 7,280 5,397 Hemik 3,674 6,386 6,843 6,884 8,616 6,480 Saprik 4,933 7,234 7,105 8,258 9,617 7,429 Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan dosis urea dan tingkat kematangan gambut mempengaruhi kandungan C-organik, namun tidak terdapat interaksi antara ke dua perlakuan tersebut (Lampiran 58-60). Peningkatan dosis urea yang ditambahkan ke dalam bahan gambut, diikuti oleh berkurangnya kandungan C-organik pada masing-masing tingkat kematangan gambut. Hubungan kandungan C-organik pada masing-masing tingkat kematangan gambut akibat penambahan urea sampai dengan dosis 16 g/100 g gambut diilustrasikan dengan persamaan regresi Y=-0,57x + 56,72 (R 2 = 0,98) untuk gambut fibrik, Y= -0,61x + 56,38 (R 2 = 0,97) untuk gambut hemik dan Y = -0,57x + 55,70 (R 2 = 0,99) untuk gambut saprik (Gambar 13). Penurunan kandungan C-organik ini disebabkan oleh semakin meningkatnya laju dekomposisi cadangan C pada bahan gambut dengan semakin meningkatnya penambahan dosis urea. Demikian halnya dengan kandungan bahan organik, hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan dosis urea dan tingkat kematangan gambut mempengaruhi kandungan bahan organik, namun tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan tersebut (Lampiran 61-63). 43

68 44 57 Kandungan C-Organik (%) y = -0,568x + 56,721 R 2 = 0,9771 y = -0,5797x + 55,703 R 2 = 0,9946 y = -0,6149x + 56,381 R 2 = 0, Dosis urea (g/100 g gambut) Fibrik Hemik Saprik Linear (Fibrik) Linear (Hemik) Linear (Saprik) Gambar 13. Kandungan C-organik bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut Peningkatan dosis urea yang ditambahkan ke dalam bahan gambut, diikuti oleh menurunnya kandungan bahan organik pada masing-masing tingkat kematangan gambut. Dari persamaan regresi Y=-0,98x + 97,80 (R 2 = 0,98) untuk gambut fibrik, Y=-1,06x + 97,20 (R 2 = 0,97) untuk gambut hemik dan Y=-0,99x + 96,03 (R 2 = 0,99) untuk gambut saprik menunjukkan bahwa respon penurunan kandungan bahan organik pada gambut akibat penambahan dosis pupuk urea bergantung pada tingkat kematangan gambut (Gambar 14). Kandungan bahan organik (%) y = -0,9792x + 97,787 R 2 = 0,9771 y = -1,06x + 97,201 R 2 = 0,9741 y = -0,9995x + 96,032 R 2 = 0, Dosis urea (g/100 g gambut) Fibrik Hemik Saprik Linear (Fibrik) Linear (Hemik) Linear (Saprik) Gambar 14. Kandungan bahan organik bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut

69 45 2. Pengaruh Dosis Pupuk N pada Bahan Gambut dengan Tingkat Kematangan yang Berbeda terhadap Fluks CO2, Total Populasi Mikroba, dan Nisbah C/N. Pada penelitian ini pengukuran CO 2 hasil respirasi bahan gambut yang telah diberi pupuk urea sesuai dengan dosis perlakuan dan diinkubasi selama satu minggu diukur dengan metode titrasi. Fluks CO 2 tanah merupakan salah satu parameter yang sering digunakan untuk menggambarkan aktivitas kehidupan biologi tanah. Pendekatan respirasi lebih komprehensif karena didalamnya tercakup informasi variasi populasi, ukuran, dan aktivitas yang secara bersamaan mempengaruhi produksi CO 2 dari dalam tanah. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara perlakuan penambahan dosis urea dan tingkat kematangan gambut terhadap fluks CO 2 dari bahan gambut yang telah diinkubasi selama satu minggu (Lampiran 64-66). Penambahan dosis urea sampai dengan dosis 4 g/100 g gambut ternyata meningkatkan fluks CO 2 gambut pada berbagai tingkat kematangan gambut baik gambut dari kebun kelapa sawit Desa Suak Puntong, Desa Suak Raya, maupun Desa Cot Gajah Mati. Namun dengan penambahan dosis urea yang lebih tinggi, fluks CO 2 pada masing-masing tingkat kematangan gambut dari ketiga lokasi penelitian tersebut menunjukkan adanya perbedaan. Fluks CO 2 gambut fibrik masih meningkat dengan meningkatnya dosis urea, sedangkan fluks CO 2 pada gambut hemik dan saprik sudah mengalami penurunan dengan bertambahnya dosis urea dari 4 g/100 g gambut menjadi 16 g/100 g gambut (Gambar 15). Fluks CO2 bahan gambut (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 ) Dosis urea (g/100 g gambut) Fibrik SP Hemik SP Saprik SP Fibrik SR Hemik SR Saprik SR Fibrik CGM Hemik CGM Saprik CGM Gambar 15. Fluks CO 2 bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut

70 46 Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa meningkatnya dosis pupuk urea akan meningkatkan respirasi. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa meningkatnya respirasi akibat pemupukan urea tersebut dapat mencapai 10 kali setelah gambut diinkubasi selama satu minggu, namun respons tersebut tergantung pada tingkat kematangan gambut dan dosis pupuk urea. Zhang et al. (2007) melaporkan peningkatan respirasi akibat penambahan pupuk N pada marsh di timur laut Cina dapat mencapai 140%. Meningkatnya respirasi akibat penambahan pupuk urea menunjukkan adanya percepatan laju aktivitas mikrob karena tersedianya sumber energi yang lebih besar dengan meningkatnya dosis pupuk urea yang diberikan. Menurut Silva et al. (2008), dampak dari meningkatnya respirasi dengan penambahan urea adalah peningkatan produksi dan emisi CO 2, namun Yang dan Chang (1998) melaporkan bahwa peningkatan respirasi dapat menghambat produksi metan. Penelitian lain melaporkan bahwa pada tanah yang jarang diberi pupuk, penambahan urea akan meningkatkan ph tanah dan menurunkan produksi CH 4 (Shine et al., 1995). Pemupukan urea pada tanah salin tidak mempengaruhi produksi metan, walaupun pemupukan urea akan merangsang pertumbuhan tanaman yang mampu mengeluarkan lebih banyak sekresi bahan organik (seperti gula terlarut, asam-asam organik dan asam amino) yang merupakan substrat untuk produksi CH 4 di lapisan bawah (Lindau et al., 1991). Dari dua metode pengukuran hilangnya C menunjukkan hasil yang berbeda. Dengan pengukuran kadar abu dapat diketahui bahwa peningkatan dosis urea sampai dengan dosis 16 g urea/100 g bahan gambut basah menyebabkan 0,1% C gambut hilang, namun dengan metode titrasi untuk menghitung fluks CO 2 dapat diketahui bahwa kehilangan CO 2 sebesar 2% dalam inkubasi selama satu minggu. Hasil penelitian terhadap nisbah C/N menunjukkan bahwa interaksi antar perlakuan dosis urea dan tingkat kematangan gambut juga terjadi terhadap nisbah C/N (Lampiran 67-69). Secara umum penambahan dosis urea akan menurunkan nisbah C/N gambut, namun besarnya penurunan tergantung pada tingkat kematangan gambut dari masing-masing lokasi penelitian. Gambut saprik mengalami penurunan nisbah C/N lebih rendah daripada gambut hemik dan fibrik.

71 47 Respons gambut akibat penambahan dosis urea pada nisbah C/N menunjukkan bahwa penambahan urea sampai dengan dosis 16 g/100 g gambut, menurunkan nisbah C/N, namun besarnya masing-masing penurunan tergantung pada tingkat kematangan gambut tersebut (Gambar 16). Nisbah C/N Dosis urea (g/100 g gambut) Fibrik SP Hemik SP Saprik SP Fibri SR Hemik SR Saprik SR Fibrik CGM Hemik CGM Saprik CGM Gambar 16. Nisbah C/N bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut Dari analisis unsur N dapat diketahui bahwa penambahan dosis urea akan menambah ketersediaan N pada bahan gambut dan kandungan N pada gambut saprik baik dengan maupun tanpa penambahan urea ternyata lebih tinggi daripada gambut hemik dan fibrik. Hal ini menyebabkan nisbah C/N pada gambut saprik lebih rendah daripada gambut hemik dan fibrik, karena kandungan unsur N merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju proses dekomposisi. Semakin banyak N, maka laju proses dekomposisi semakin cepat. Berglund (1995) melaporkan bahwa gambut yang kaya unsur N akan memiliki nisbah C/N rendah, namun emisi CO 2 lebih tinggi daripada gambut yang memiliki nisbah C/N tinggi. Nilai nisbah C/N pada gambut miskin berada pada kisaran , sedangkan pada gambut kaya dari kisaran (Berglund, 1995). Nilai nisbah C/N hasil penelitian tergolong tinggi. Tingginya nisbah C/N mengakibatkan kandungan N total yang tinggi tidak diikuti oleh tingginya ketersediaan N. Hal ini berdampak pada kehidupan mikrob tanah yang selanjutnya berpengaruh terhadap emisi CO 2 dari lahan gambut. Menurut

72 48 Klemedtsson et al. (1997), gambut dengan nisbah C/N yang tinggi mendukung tingginya rata-rata produksi CO 2 karena C selulose labil. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara perlakuan penambahan dosis urea dan tingkat kematangan gambut terhadap total populasi mikrob dari bahan gambut yang telah diinkubasi selama satu minggu (Lampiran 70-72). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penambahan dosis urea sampai dengan 1 g/100 g gambut, jumlah total populasi mikrob meningkat, namun dengan penambahan dosis urea yang lebih tinggi berdampak penurunan jumlah total populasi mikrob pada gambut saprik, sedangkan jumlah populasi mikrob pada gambut hemik dan fibrik ada yang masih menunjukkan peningkatan, namun ada yang sudah menurun (Gambar 17). Total populasi mikroba (SPK/ g gambut) Dosis urea (g/100 g gambut) Fibrik SP Hemik SP Saprik SP Fibrik SR Hemik SR Saprik SR Fibrik CGM hemik CGM Saprik CGM Gambar 17. Total populasi mikrob bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut Pupuk N merupakan salah satu faktor pengendali terpenting dalam reaksireaksi biologi dalam tanah, meliputi mikroorganisme heterotropik dan akar tanaman, yang memproduksi gas CO 2 ke atmosfer. Dalam penelitian Zhang et al. (2007) ternyata respirasi pada lahan yang dipupuk lebih tinggi daripada yang tidak dipupuk, karena pemupukan meningkatkan respirasi biomas di atas permukaan tanah. Peningkatan biomass akibat pemupukan N dapat mencapai 250% (Lai et al., 2002), % (Makipaa et al., 1998). Secara umum, pemupukan urea akan meningkatkan emisi CO 2 dengan jalan memacu pertumbuhan akar, jumlah populasi mikrob, dan aktivitas mikrob. Pengaruh pemupukan urea terhadap fluks CO 2, jumlah total populasi mikrob, dan

73 49 nisbah C/N pada penelitian ini menunjukkan pola yang sama antar lokasi penelitian. Pada masing-masing tingkat kematangan gambut, potential fluks CO 2 berkorelasi erat dengan total populasi mikrob. Jumlah populasi mikrob Semakin banyak dengan penambahan urea sampai dengan dosis 4 g/100 g gambut dan akan diikuti oleh semakin tinginya CO 2 hasil respirasi. Penambahan dosis urea meningkatkan laju dekomposisi bahan organik baik pada gambut fibrik, hemik, maupun saprik. Hal ini terbukti dengan semakin menurunnya nilai nisbah C/N gambut dengan semakin meningkatnya dosis pupuk urea yang ditambahkan. Kesimpulan Dari serangkaian percobaan laboratorium yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Tingkat kematangan gambut berpengaruh nyata terhadap kadar air dan kadar abu, namun dosis pupuk urea tidak berpengaruh nyata. Kadar air gambut fibrik ( %) > hemik ( %) > saprik ( %). Kadar abu gambut saprik > hemik = fibrik. 2. Perlakuan dosis urea dan tingkat kematangan gambut mempengaruhi kandungan C-organik, namun tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan. C-organik fibrik > hemik > saprik. Penurunan kandungan C- organik mengikuti persamaan regresi untuk gambut fibrik Y=-0,57x + 56,72 (R 2 = 0,98), hemik Y= -0,61x + 56,38 (R 2 = 0,97), dan saprik Y= - 0,57x + 55,70 (R 2 = 0,99). 3. Perlakuan dosis urea dan tingkat kematangan gambut mempengaruhi kandungan bahan organik, namun tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan. Bahan organik fibrik > hemik > saprik. Penurunan kandungan bahan organik mengikuti persamaan regresi untuk gambut fibrik Y=-0,98x + 97,80 (R 2 = 0,98), hemik Y=-1,06x + 97,20 (R 2 = 0,97), saprik Y=-0,99x + 96,03 (R 2 = 0,99). 4. Terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut terhadap fluks CO 2 gambut. Penambahan dosis urea sampai dengan dosis 4 g/100 g gambut ternyata meningkatkan fluks CO 2, namun pada dosis urea yang lebih tinggi, respons fluks CO 2 tergantung pada tingkat kematangan gambut.

74 50 5. Terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut terhadap nisbah C/N dan total populasi mikrob. Respons penurunan nisbah C/N dengan penambahan dosis urea tergantung pada tingkat kematangan gambut. Penambahan dosis urea sampai dengan dosis 1 g/100 g gambut ternyata meningkatkan total populasi mikrob, namun pada dosis urea yang lebih tinggi, respons total populasi mikrob tergantung pada tingkat kematangan gambut.

75 EMISI CO 2 DAN CH 4 PADA LAHAN GAMBUT YANG MEMILIKI KERAGAMAN DALAM KETEBALAN GAMBUT DAN UMUR TANAMAN Rasional Pengembangan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut mempunyai potensi nyata dalam emisi gas CO 2 dan CH 4. Konversi hutan gambut ini mengakibatkan perubahan terhadap karakteristik inhern gambut. Tindakan pengelolaan kebun kelapa sawit seperti drainase, pembuatan jalan, pemupukan dan pengapuran yang dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi kelapa sawit akan berpengaruh terhadap karakteristik lahan gambut seperti perubahan pada bobot isi, morfologi profil gambut, kandungan kelembaban tanah, dan kedalaman muka air. Selain itu budidaya monokultur ini akan menurunkan keanekaragaman hayati dan perubahan unsur mikro yang sangat terkait dengan emisi CO 2 dan CH 4. Besarnya emisi CO 2 di suatu wilayah dapat diukur dengan menggunakan beberapa metode pengukuran, diantaranya metode titrasi dan menggunakan alat kromatografi gas. Pengukuran menggunakan metode tertentu pasti disertai dengan serangkaian peralatan pendukung yang berbeda dengan menggunakan metode lainnya. Dengan demikian metode pengukuran sampel gas CO 2 sangat menentukan jumlah konsentrasi CO 2 yang terukur, sehingga mempunyai pengaruh terhadap besarnya hasil pengukuran emisi CO 2. Dalam pengukuran emisi CO 2 terjadi variasi temporal yang tinggi terkait dengan faktor-faktor iklim seperti suhu, kelembaban udara, curah hujan dan distribusi curah hujan pada suatu daerah. Secara garis besarnya, musim di Indonesia dibedakan menjadi musim kemarau dan musim penghujan. Karena kondisi pada musim kemarau jelas berbeda daripada musim penghujan, maka emisi CO 2 sangat dipengaruhi oleh kedua musim tersebut. Besarnya emisi CO 2 dan CH 4 sangat dipengaruhi oleh karakteristik lahan gambut seperti kedalaman muka air tanah dan ketebalan gambut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kedalaman muka air tanah akibat pembuatan drainase berpengaruh terhadap fluks CO 2 dan CH 4 (Nyman dan DeLaune, 1991; Moore dan Dalva, 1993; Klemedtsson et al,. 1997). Kedalaman muka air tanah

76 52 akibat drainase ini menentukan suasana oksidasi dan reduksi yang sangat berkaitan erat dengan laju dekomposisi dan menentukan regulasi emisi gas CO 2 dan CH 4. Dekomposisi bahan gambut dalam kondisi anaerob (bersifat reduktif) dapat menghasilkan asam-asam organik, CO 2 dan CH 4, sedangkan bahan gambut dalam kondisi aerob (bersifat oksidatif) dapat menghasilkan CO 2. Gambut juga dapat menghasilkan CO 2 dalam kondisi anaerob jika tersedia asam asetat, propionat, dan butirat sebagai donor elektron (Morril et al., 1982), namun pada kondisi anaerob, bakteri metanogen akan memproduksi CH 4 (Rinnan et al., 2003). Ketebalan gambut sangat berkaitan dengan besarnya cadangan C gambut dan tingkat kesuburan gambut. Menurut Sylvia et al. (1998), ketersediaan substrat baik kuantitas maupun kualitas karbon merupakan kunci pengendali dinamika gas. Ketebalan gambut merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam pengelolaan gambut untuk tanaman kelapa sawit, karena semakin tebal gambut akan semakin besar juga kendala biofisik yang ditemui dalam pengelolaan gambut. Makin tebal gambut cenderung semakin rendah produktivitas lahannya. Daerah perakaran (rhizosfer) khususnya pada tempat terkonsentrasinya rambut-rambut akar merupakan bagian penting yang memberikan pengaruh dalam emisi CO 2 dan CH 4 di lahan gambut. Komunitas mikrob dan proses dekomposisi di daerah rhizosfer lebih tinggi daripada tanah yang tidak dipengaruhi oleh keberadaan akar tanaman (bulk soil). Hal ini disebabkan oleh (1) meningkatnya ketersediaan substrat seperti akar-akar yang mati di rhizosfer, sehingga kualitas komunitas dekomposer meningkat, (2) meningkatnya ketersediaan eksudat akar dan derivatnya akan meningkatkan dekomposisi lignin, (3) komposisi struktur C- organik terlarut (Ekberg et al., 2007). Proses dekomposisi yang lebih cepat ini menyebabkan emisi CO 2 di daerah rhizosfer lebih tinggi, karena gas CO 2 merupakan produk akhir dari proses dekomposisi. Jumlah dan luas daerah perakaran sangat bergantung pada umur tanaman kelapa sawit, tanaman yang baru tumbuh memiliki luas daerah perakaran tanaman yang lebih sempit dibandingkan dengan tanaman yang sudah dewasa. Emisi CO 2 akan meningkat dengan meningkatnya biomas akar dan umur tanaman. Pola hubungan peningkatan biomass tanaman kelapa sawit dengan umur tanaman mengikuti kurva sigmoid, sehingga biomass akan meningkat sejalan dengan

77 53 bertambahnya umur tanaman hingga pada suatu saat bersifat konstan. Tanaman dapat berperan sebagai media transportasi CO 2 dari dalam tanah ke atmosfer, terutama pada tanaman yang mempunyai jaringan aerenchima. Akar tanaman yang memiliki aerenkim akan menembus horizon yang lebih dalam, sehingga akan menyumbang eksudat akar dan memberikan substrat dalam proses produksi gas CO 2. Produksi gas-gas pada daerah perakaran ini dilepaskan ke atmosfer melalui beberapa cara yaitu difusi, ebulisi, dan transport tanaman. Perubahan ekosistem jenis tanaman mempengaruhi proses-proses penting yang berkaitan dengan pengendalian dan interaksi antara fluks CO 2 dengan mekanisme dua arah antara dalam tanah dan atmosfer (Cristensen et al., 1999; Oechel et al., 2000; Strom et al., 2005), tidak terkecuali pada konversi hutan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan analisis data hasil pengukuran emisi CO 2 dan CH 4 yang dilakukan pada perkebunan kelapa sawit, semak belukar dan hutan di lahan gambut dengan tujuan untuk: (1) mengevaluasi metode titrasi dan metode menggunakan alat kromatografi gas dalam menganalisis sampel gas CO 2. (2) mengevaluasi hasil pengukuran emisi CO 2 pada musim hujan dan musim kemarau. (3) Mempelajari pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO 2 dan CH 4 di daerah rhizosfer dan non rhizosfer tanaman kelapa sawit. (4) Mempelajari pengaruh ketebalan gambut terhadap emisi CO 2. (5) Mengevaluasi emisi CO 2 pada kebun kelapa sawit dengan umur tanaman yang berbeda. (6) Mengevaluasi emisi CO 2 pada 3 tipe penggunaan lahan.. Bahan dan Metode Tahapan kegiatan analisis fluks CO 2 di lapang diawali dengan penentuan lokasi kebun kelapa sawit, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan transek dan penentuan titik pengamatan. Transek dibuat berdasarkan pada jarak tanaman dengan saluran drainase utama. Titik pengamatan pertama pada pohon kedua yang jaraknya terdekat dari saluran drainase, kemudian titik kedua pada pohon

78 54 kelima dari saluran drainase, demikian untuk titik pengamatan selanjutnya pada setiap tiga pohon berikutnya yang semakin menjauhi saluran drainase utama. Pada setiap titik pengamatan dipasang dua buah sungkup untuk pengambilan sampel gas rhizosfer dan non rhizosfer. Transek yang dibuat pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pada lahan gambut Desa Suak Puntong, Kecamatan Meurebu terdapat dua transek yaitu: a) transek ke-1; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 10 tahun dan b) transek ke-2; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 10 tahun. 2. Pada lahan gambut Desa Suak Raya, Kecamatan Johan Pahlawan terdapat lima transek yaitu: a) transek ke-3; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 10 tahun b) transek ke-4; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun c) transek ke-5; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun d) transek ke-6; tiga pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun dan e) transek ke-7; tiga pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun. 3. Pada lahan gambut Desa Cot Gajah Mati, Kecamatan Arongan Lambalek terdapat dua transek yaitu a) transek ke-8; tiga titik pengamatan (Non Rhizosfer) pertama yang mewakili tanaman kelapa sawit umur 1 tahun baru ditanam dan b) transek ke-9; tiga titik pengamatan (Non Rhizosfer) kedua yang mewakili tanaman kelapa sawit umur 1 tahun. Pada pengamatan bulan Mei-Juni 2008 pada lokasi ini terdapat tiga transek. Masing-masing transek terdiri dari empat pasang (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) titik pengamatan, namun pada pengamatan bulan Oktober- November sungkup tersebut hilang. 4. Pada lahan gambut Desa Simpang, Kecamatan Kaway XVI terdapat dua transek yaitu a) transek ke-10; tiga titik pengamatan non rhizosfer pada

79 55 lahan gambut yang didominasi semak belukar, masing-masing titik pengamatan adalah jarak 10 m, 100 m, dan 250 m dari saluran drainase utama dan b) transek ke-11; tiga titik pengamatan non rhizosfer pada hutan sekunder gambut, masing-masing titik pengamatan adalah jarak 100 m, 200 m, dan 250 m dari saluran drainase utama. Setelah pembuatan transek, dilakukan pemasangan sungkup permanen rhizosfer dan non rhizosfer pada masing-masing titik pengamatan. Sungkup rhizosfer berupa paralon silinder berdiameter 30 cm dan tinggi 30 cm. Pada paralon tersebut dibuat lubang dengan diameter 5 cm pada titik 20 cm dari atas permukaan paralon. Lubang ini dimaksudkan untuk memasukkan tiga buah akar sedemikian rupa sehingga akar tetap dapat tumbuh dan berkembang dalam sungkup (Gambar 25b). Sungkup ini dipasang pada jarak 2,5 m dari pokok batang tanaman kelapa sawit umur 10 tahun (Gambar 23a), 1 m dari pokok batang tanaman kelapa sawit umur 5 tahun, dan < 1 m untuk kelapa sawit umur 1 tahun (Gambar 25a), hal ini disesuaikan dengan keberadaan bulu-bulu akar. Sedangkan untuk pengambilan sampel gas non rhizosfer dilakukan dengan memasang paralon silinder dengan ukuran yang sama tetapi tanpa dibuat lubang. Paralon ini dipasang pada 1 m dari paralon rhizosfer dengan perlakuan yang sama (Gambar 26a). Saat pengambilan sampel gas, pada sungkup permanen dipasang tutup sungkup yang telah dilengkapi sebuah septum untuk tempat jarum syringe, sebuah kipas angin kecil yang digerakkan dengan baterei 9 volt untuk mengaduk udara dalam sungkup dan sebuah termometer untuk mengukur suhu dalam sungkup. Untuk metode analisis dengan menggunakan alat kromatografi gas, sampel gas diambil dengan menggunakan syringe berukuran 5 dan 10 ml, dengan frekuensi pengambilan sampel gas 0, 5, 10, 15, 25 dan 35 menit setelah tutup sungkup dipasang. Pengambilan gas dilakukan pada pukul wib. Sampel gas dianalisis dengan menggunakan alat kromatografi gas tipe CP-400 yang dilengkapi dengan program Galaxie CDS. Alat ini selain mengukur konsentrasi gas CO 2 juga mampu mendeteksi CH 4 sekaligus. Dari data perubahan konsentrasi CO 2 dan atau CH 4 antar waktu pengambilan sampel gas akan diperoleh gradien perubahan konsentrasi per satuan waktu (dc/dt). Dengan diketahuinya gradien ini dan dengan diukurnya data suhu,

80 dan ketinggian efektif sungkup akan dapat dihitung nilai fluks CO 2 dan CH 4. Perhitungan fluks gas CO 2 dan CH 4 didasarkan pada metode Hue et al. (2000), dengan rumus: Dengan lambang notasi: F = m/a/ t F = ρ x H x dc/dt (mg CO 2 -C m -2 jam -1 atau mg CH 4 - C m -2 jam -1 ) F = (44/22,4) x H x dc/dt x {273/ (273+t)} (mg CO 2 -C m -2 jam -1 ) F = (16/22,4) x H x dc/dt x {273/ (273+t)} (mg CH 4 - C m -2 jam -1 ) F = fluks CO 2 atau CH 4 (mg CH 4 -C m -2 jam -1 atau mg CH 4 -C m -2 jam -1 ) ρ = kerapatan CO 2 -C atau CH 4 -C pada suhu absolut (g dm -3 ), H = tinggi efektif sungkup (m) dc/dt = perubahan konsentrasi CO 2 atau CH 4 -C antar waktu (ppm jam -1 ) t = rata-rata suhu dalam sungkup ( o C) Sedangkan untuk analisis gas dengan metode titrasi, sampel gas diambil dengan menggunakan syringe berukuran 50 ml dari sungkup yang dipasang di atas paralon silinder permanen yang telah dipasang di lahan gambut. Pengambilan gas dilakukan pada pukul wib dengan frekuensi pengambilan 0, 5, 10, 15, 25 dan 35 menit setelah tutup sungkup dipasang. Sampel gas dalam syringe dimasukkan ke dalam botol vial berukuran 35 ml yang telah diisi dengan KOH 0,2N sebanyak 5 ml. Untuk mengetahui konsentrasi gas CO 2 dilakukan titrasi pada larutan KOH 0,2N yang telah menyerap sampel gas CO 2 dengan larutan HCl 0,1N dengan menggunakan indikator penolptalin (pp) dan metil oranye (mo), dengan berpedoman pada perubahan warna sebagai berikut: 1. Perubahan warna menjadi tidak berwarna (dengan indikator pp) K 2 CO 3 + HCl KCl + KHCO 3 2. Perubahan warna kuning menjadi pink (dengan indikator mo) KHCO 3 + HCl KCl + H 2 O + CO 2 56 Perhitungan jumlah CO 2 menggunakan persamaan: dengan metode titrasi diperoleh dengan r = (a-b) x t Dengan lambang notasi: a = ml HCl sampel gas b = ml HCl blanko t = normalitas HCl (tentukan normalitas yang tepat dari larutan HCl)

81 57 Evaluasi metode analisis dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran emisi CO 2 dari kedua metode tersebut, sedangkan evaluasi pengaruh musim dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran emisi CO 2 dengan menggunakan alat kromatografi gas yang dilakukan pada bulan Mei-Juni 2008 mewakili musim kemarau dan bulan Oktober-November mewakili musim hujan. Disamping pengukuran konsentrasi gas CO 2 dan CH 4 pada sungkup rhizosfer dan non rhizosfer, dilakukan juga pengukuran kedalaman muka air tanah dan ketebalan gambut. Untuk mengetahui kedalaman muka air tanah dilakukan kegiatan sebagai berikut: (1) membuat lubang dengan bor tanah pada titik tengah antara sungkup rhizosfer dan non rhizosfer setiap titik pengamatan, (2) lubang dibiarkan selama 2 jam supaya posisi air tanah stabil, (3) memasukkan kayu ke dalam lubang hingga menyentuh air tanah dan mengukur kedalaman muka air tanah dari permukaan gambut dengan alat meteran, dinyatakan dengan satuan centimeter (cm). Untuk mengetahui ketebalan gambut diukur dengan melakukan pengeboran gambut dari permukaan hingga ditemukan lapisan tanah mineral yang dinyatakan dengan satuan centimeter (cm). Data emisi CO 2 dan CH 4 pada daerah rhizosfer dan non rhizosfer, pengukuran kedalaman muka air tanah dan pengukuran ketebalan gambut yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Statistical Analysis System (SAS) versi 9,1 untuk mengetahui: (1) regresi dan korelasi antara kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO 2 dan CH 4, (2) regresi dan korelasi antara ketebalan gambut terhadap emisi CO 2. Semua pengujian dilakukan pada taraf nyata 5%. Untuk mempelajari pengaruh pengelolaan kebun kelapa sawit sesuai dengan umur tanaman terhadap fluks CO 2 dilakukan analisis korelasi dan regresi pada data emisi CO 2 non rhizosfer berdasarkan umur tanaman dengan menggunakan SAS versi 9,1. Pengujian dilakukan pada taraf nyata 5%. Sedangkan data fluks CO 2 dari kebun kelapa sawit (desa Suak Puntong, Suak Raya, dan Cot Gajah Mati), semak, hutan (desa Cot Gajah Mati dan Simpang) dievaluasi untuk mengetahui pengaruh tipe penggunaan lahan terhadap fluks CO 2.

82 58 Hasil dan Pembahasan Penelitian dilaksanakan di empat lokasi gambut yang terdapat di Meulaboh, Aceh Barat, yaitu (1) kebun kelapa sawit di Desa Suak puntong, Kecamatan Meurebu (2) kebun kelapa sawit di Desa Suak Raya, Kecamatan Johan Pahlawan, (3) kebun kelapa sawit di Desa Cot Gajah Mati, Kecamatan Arongan Lambalek, dan (4) hutan dan semak belukar di Desa Simpang, Kecamatan Kaway XVI (Gambar 18). Deskripsi masing-masing lokasi adalah sebagai berikut: 1. Kebun Kelapa Sawit di Desa Suak Puntong, Kecamatan Meurebu. Kebun kelapa sawit di Desa Suak Puntong, Kecamatan Meurebu merupakan perkebunan milik perorangan dengan luas kebun sekitar 15 ha. Tanaman kelapa sawit ditanam dengan jarak 9 m x 9 m dan telah berumur 10 tahun (Gambar 19a). Kebun ini tidak terpelihara secara intensif, terbukti dengan tingginya semak belukar diantara pohon kelapa sawit mencapai 1-1,5 m (Gambar 20b), tidak dilakukannya pemangkasan dahan yang kering dan pemupukan tidak diberikan secara rutin. (a) Gambar 19. (a) Kondisi kebun kelapa sawit desa Suak Puntong dekat drainase. (b) Profil Gambut di kebun kelapa sawit desa Suak Puntong Pada blok kebun yang berukuran panjang 1150 m dan lebar 300 m dibuat 2 buah transek, jarak antar transek 1 dan 2 sekitar 150 m ke arah hutan. (b)

83 59 Lokasi Peat domes Penelitian: on 3 1. Suak Tsunami Puntong 2. Suak affected Raya 3. Cot coastal Gajah Mati 4. Simpang 4 zone 2 1 Gambar 18. Peta lokasi penelitian

84 60 Pembuatan transek ini berdasarkan perkiraan perbedaan ketebalan gambut. Setiap transek terdiri dari lima pasang titik pengamatan berupa sungkup permanen untuk pengambilan sampel gas CO 2 dan CH 4 pada daerah Rhizosfer dan Non Rhizosfer (Gambar 20a). Pada saat pembuatan transek masih dilakukan perbaikan saluran drainase. Kedalaman saluran drainase utama dibuat 2 m dan lebar 1,5 m (Gambar 19b). (a) (b) Gambar 20. (a) Pengambilan sampel gas di titik pengamatan terdekat dengan drainase kebun kelapa sawit desa Suak Puntong (b) Kondisi semak di antara pohon kelapa sawit pada titik pengamatan terjauh dari drainase 2. Kebun Kelapa Sawit di Desa Suak Raya, Kecamatan Johan Pahlawan. Kebun kelapa sawit di Desa Suak Raya, Kecamatan Johan Pahlawan merupakan kebun milik perorangan, luas kebun sekitar 12 Ha. Umur tanaman kelapa sawit pada kebun ini terdiri dari umur 5 tahun dan 10 tahun (Gambar 21a dan Gambar 22a). Setelah tsunami, kebun sudah dikelola dengan baik seperti telah dilakukan pemangkasan tanaman di sela-sela pohon kelapa sawit, pengapuran dan pemupukan. Pengapuran dilakukan dengan menambahkan fosfat alam setahun sekali, sedangkan pemupukan nitrogen dilakukan dua kali setahun, pemupukan P dan K hanya satu kali setahun dengan dosis yang tidak konstan setiap aplikasi. Drainase utama lebih sempit dan dangkal yaitu berukuran lebar 0,5 m dan dalam 1 m (Gambar 21b dan 22b). Transek yang dibuat pada kebun ini berjumlah lima. Dasar penentuan titik pengamatan yang dipasang sungkup

85 61 paralon adalah umur tanaman dan dugaan ketebalan gambut yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Tidak semua transek terdiri dari lima titik pengamatan karena panjang lahan yang tegak lurus dengan saluran drainase utama tidak sama. Pada transek 6 dan 7 hanya terdapat tiga pasang sungkup, karena luas lahan sempit. (a) (b) Gambar 21. (a) Kondisi tanaman kelapa sawit kebun desa Suak Raya. (b) Profil Gambut di kebun kelapa sawit desa Suak Raya (a) (b) Gambar 22. (a) Sungkup saat pengambilan sampel gas. (b) Kondisi saluran drainase di kebun kelapa sawit Suak Raya 3. Kebun Kelapa Sawit di Desa Cot Gajah Mati, Kecamatan Arongan Lambalek. Kebun kelapa sawit di Desa Cot Gajah Mati merupakan hutan gambut yang baru dibuka pada tahun 2007 untuk perkebunan kelapa sawit (Gambar 23b).

86 62 Pembukaan hutan yang berukuran 2225 m x 3000 m dilakukan oleh CV Rima kemudian ditanam kelapa sawit yang dibagikan kepada warga masyarakat korban tsunami di Meulaboh. Jumlah transek ada 3 buah, masing-masing transek terdapat 4 pasang sungkup paralon untuk pengambilan sampel gas. Namun pada saat pengambilan sampel gas kedua pada bulan Oktober 2008, sungkup paralon yang di tanam di kebun kelapa sawit hilang, sehingga tidak dapat dilakukan pengambilan sampel untuk daerah rhizosfer. Kemudian dipasang paralon lagi untuk pengambilan sampel gas yang mewakili daerah non rhizosfer sebanyak 2 transek di kebun kelapa sawit dan satu transek di hutan sekunder yang terdapat tidak jauh dari kebun kelapa sawit tersebut. (a) (b) Gambar 23. (a) Kondisi drainase kebun kelapa sawit desa Cot Gajah Mati (b) Kondisi kebun kelapa sawit di desa Cot Gajah Mati (a) (b) Gambar 24. (a) Pemasangan Sungkup rhizosfer (b) Kondisi akar yang dimasukkan dalam sungkup rhizosfer.

87 63 (a) (b) Gambar 25. (a) Pemasangan Sungkup non rhizosfer berjarak 1 m dari sungkup rhizosfer. (b) Sungkup rhizosfer dan non rhizosfer saat pengambilan sampel gas. 4. Semak Belukar dan Hutan Gambut di Desa Simpang, Kecamatan Kaway XVI. Pengambilan sampel gas di desa Simpang dilakukan di hutan sekunder (Gambar 26) pada titik 100 m, 200 m, dan 250 m dari saluran drainase utama dan semak belukar (Gambar 27) pada titik 10 m, 100 m, dan 250 m dari saluran drainase utama. Jarak titik pengamatan tidak sama karena pada jarak 10 m dari saluran drainase utama banyak pohon terbakar. Disamping pengambilan sampel gas, pada masing-masing lokasi penelitian dilakukan juga pengambilan sampel tanah yang digunakan untuk analisis laboratorium (Gambar 28). (a) (b) Gambar 26. (a) Kondisi drainase di hutan desa Simpang (b) Kondisi hutan gambut di desa Simpang

88 64 (a) (b) Gambar 27. (a) Kondisi semak di lahan gambut desa Simpang (b) Pengambilan sampel gas di titik 250 m dari drainase pada vegetasi semak. (a) Gambar 28. (a) Pengambilan sampel tanah dengan bor gambut (b) Salah satu profil sampel tanah 1. Evaluasi Metode Analisis Sampel Gas CO 2. CO 2 Metode titrasi dapat digunakan untuk mengetahui besarnya konsentrasi yang dikeluarkan dari bahan gambut, namun jika dibandingkan dengan pengukuran dengan alat gas kromatografi menunjukkan hasil yang sangat berbeda. Fluks CO 2 tidak dapat dihitung dengan menggunakan metode titrasi, karena konsentrasi CO 2 dari setiap selang waktu pengambilan sampel menunjukkan nilai yang relatif sama, tidak terdapat kecenderungan meningkat walaupun waktu pengamatan mencapai 35 menit (Lampiran 32 dan 33). (b)

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Gambut berperanan penting dalam biosfer karena gambut terlibat dalam siklus biogeokimia, merupakan habitat tanaman dan hewan, sebagai lingkungan hasil dari evolusi, dan referen

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 )

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 ) PEMBAHASAN UMUM Dari kajian pengaruh pupuk N terhadap fluks CO 2 hasil respirasi bahan gambut menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut. Penambahan dosis urea

Lebih terperinci

PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2. Rasional

PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2. Rasional PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2 Rasional Penambahan pupuk N pada lahan gambut dapat mempengaruhi emisi GRK. Urea merupakan pupuk N inorganik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global saat ini menjadi topik yang paling hangat dibicarakan dan mendapatkan perhatian sangat serius dari berbagai pihak. Pada dasarnya pemanasan global merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pemanasan Global oleh Emisi Karbon Dioksida dan Metana

TINJAUAN PUSTAKA. Pemanasan Global oleh Emisi Karbon Dioksida dan Metana TINJAUAN PUSTAKA Pemanasan Global oleh Emisi Karbon Dioksida dan Metana Persoalan pemanasan global menjadi isu lingkungan hidup sejak tahun 1990-an dan merupakan ancaman serius bagi kelestarian ekosistem

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut 2.1.1 Pengertian Tanah Gambut Gambut mempunyai banyak istilah padanan dalam bahasa asing, antara lain peat, bog, moor, mire, atau fen. Gambut diartikan sebagai material

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Karakteristik Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terletak di agroekosistem kelapa sawit yang berada pada 2 (dua) lokasi yang berbeda yaitu Kebun Meranti Paham

Lebih terperinci

EMISI CO 2 DAN CH 4 PADA LAHAN GAMBUT YANG MEMILIKI KERAGAMAN DALAM KETEBALAN GAMBUT DAN UMUR TANAMAN. Rasional

EMISI CO 2 DAN CH 4 PADA LAHAN GAMBUT YANG MEMILIKI KERAGAMAN DALAM KETEBALAN GAMBUT DAN UMUR TANAMAN. Rasional EMISI CO 2 DAN CH 4 PADA LAHAN GAMBUT YANG MEMILIKI KERAGAMAN DALAM KETEBALAN GAMBUT DAN UMUR TANAMAN Rasional Pengembangan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut mempunyai potensi nyata dalam emisi

Lebih terperinci

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG Mamihery Ravoniarijaona SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 APLIKASI ASAM OKSALAT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu PENDAHULUAN Latar Belakang Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar 288 0 K (15 0 C ), suhu tersebut dapat dipertahankan karena keberadaan sejumlah gas yang berkonsentrasi di atmosfer bumi. Sejumlah

Lebih terperinci

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Penetapan Cadangan Karbon Bahan Gambut Saprik, Hemik, dan Fibrik

Penetapan Cadangan Karbon Bahan Gambut Saprik, Hemik, dan Fibrik Penetapan Cadangan Karbon Bahan Gambut Saprik, Hemik, dan Fibrik (Studi Kasus di Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Lubuk Gaung, Kecamatan Sungai Sembilan, Dumai) Inda Safitri A14050600 Mayor Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI LAHAN PADI GAMBUT SERTA ANALISIS SERAPAN KARBON OLEH TANAMAN

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI LAHAN PADI GAMBUT SERTA ANALISIS SERAPAN KARBON OLEH TANAMAN PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI LAHAN PADI GAMBUT SERTA ANALISIS SERAPAN KARBON OLEH TANAMAN ADI BUDI YULIANTO F14104065 2008 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

Pengelolaan lahan gambut

Pengelolaan lahan gambut Pengelolaan lahan gambut Kurniatun Hairiah Sifat dan potensi lahan gambut untuk pertanian Sumber: I.G.M. Subiksa, Fahmuddin Agus dan Wahyunto BBSLDP, Bogor Bacaan Sanchez P A, 1976. Properties and Management

Lebih terperinci

KESELARASAN PENYEDIAAN NITROGEN DARI PUPUK HIJAU DAN UREA DENGAN PERTUMBUHAN JAGUNG PADA INCEPTISOL DARMAGA W A W A N

KESELARASAN PENYEDIAAN NITROGEN DARI PUPUK HIJAU DAN UREA DENGAN PERTUMBUHAN JAGUNG PADA INCEPTISOL DARMAGA W A W A N KESELARASAN PENYEDIAAN NITROGEN DARI PUPUK HIJAU DAN UREA DENGAN PERTUMBUHAN JAGUNG PADA INCEPTISOL DARMAGA W A W A N SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanian dan Pemanasan Global Pemanasan global yang kini terjadi adalah akibat dari makin meningkatnya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, baik secara alami maupun secara buatan

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH

PENGARUH PEMBERIAN KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH PENGARUH PEMBERIAN KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH (Arachis hypogaea, L) PADA LATOSOL DARI GUNUNG SINDUR Oleh Elvina Frida Merdiani A24103079

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN FOSFAT ALAM DAN PUPUK N TERHADAP KELARUTAN P, CIRI KIMIA TANAH DAN RESPONS TANAMAN PADA TYPIC DYSTRUDEPTS DARMAGA

PENGARUH PEMBERIAN FOSFAT ALAM DAN PUPUK N TERHADAP KELARUTAN P, CIRI KIMIA TANAH DAN RESPONS TANAMAN PADA TYPIC DYSTRUDEPTS DARMAGA PENGARUH PEMBERIAN FOSFAT ALAM DAN PUPUK N TERHADAP KELARUTAN P, CIRI KIMIA TANAH DAN RESPONS TANAMAN PADA TYPIC DYSTRUDEPTS DARMAGA RAFLI IRLAND KAWULUSAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG Mamihery Ravoniarijaona SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 APLIKASI ASAM OKSALAT

Lebih terperinci

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon 1 Presentasi ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, memberikan pengantar tentang besarnya karbon yang tersimpan di lahan gambut. Bagian kedua membahas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Stok Karbon 4.1.1 Panai Jaya Data stok karbon yang digunakan pada kebun Panai Jaya berasal dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yulianti (2009) dan Situmorang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. 1 Pokok bahasan meliputi latar belakang penyusunan IPCC Supplement, apa saja yang menjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global merupakan salah satu isu di dunia saat ini. Masalah pemanasan global ini bahkan telah menjadi agenda utama Perserikatan Bangsabangsa (PBB). Kontributor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

PEMBERIAN KAPUR CaCO 3 DAN PUPUK KCl DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN SERTA SERAPAN K DAN Ca TANAMAN KEDELAI SKRIPSI OLEH:

PEMBERIAN KAPUR CaCO 3 DAN PUPUK KCl DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN SERTA SERAPAN K DAN Ca TANAMAN KEDELAI SKRIPSI OLEH: 1 PEMBERIAN KAPUR CaCO 3 DAN PUPUK KCl DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN SERTA SERAPAN K DAN Ca TANAMAN KEDELAI DI TANAH ULTISOL SKRIPSI OLEH: RANGGA RIZKI S 100301002 AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pemanasan global adalah kejadian terperangkapnya radiasi gelombang panjang matahari (inframerah atau gelombang panas) yang dipancarkan oleh bumi sehingga tidak dapat

Lebih terperinci

PENGARUH PUPUK SLOW RELEASE UREA- ZEOLIT- ASAM HUMAT (UZA) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN PADI VAR. CIHERANG

PENGARUH PUPUK SLOW RELEASE UREA- ZEOLIT- ASAM HUMAT (UZA) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN PADI VAR. CIHERANG PENGARUH PUPUK SLOW RELEASE UREA- ZEOLIT- ASAM HUMAT (UZA) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN PADI VAR. CIHERANG KURNIAWAN RIAU PRATOMO A14053169 MAYOR MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

PLOT ROOT CUT PLOT CONTROL

PLOT ROOT CUT PLOT CONTROL BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Fluks CO dari Tanah Gambar dan menunjukkan fluks CO pada plot Root Cut dan plot Control. Pada Tabel menampilkan ratarata fluks CO tiap plot pada plot Root Cut dan plot Control.

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH CAIR TAPIOKA UNTUK PENGHASIL BIOGAS SKALA LABORATORIUM. Mhd F Cholis Kurniawan

PEMANFAATAN LIMBAH CAIR TAPIOKA UNTUK PENGHASIL BIOGAS SKALA LABORATORIUM. Mhd F Cholis Kurniawan PEMANFAATAN LIMBAH CAIR TAPIOKA UNTUK PENGHASIL BIOGAS SKALA LABORATORIUM Mhd F Cholis Kurniawan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN TESIS DAN MENGENAI SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI

PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 i SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

POTENSI SIMPANAN KARBON TANAH (SOIL CARBON STOCK) PADA AREAL REHABILITASI TOSO COMPANY Ltd. DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT NAELI FAIZAH

POTENSI SIMPANAN KARBON TANAH (SOIL CARBON STOCK) PADA AREAL REHABILITASI TOSO COMPANY Ltd. DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT NAELI FAIZAH POTENSI SIMPANAN KARBON TANAH (SOIL CARBON STOCK) PADA AREAL REHABILITASI TOSO COMPANY Ltd. DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT NAELI FAIZAH DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

FLUKS CO 2 DAN KEDALAMAN MUKA AIR TANAH PADA LAHAN GAMBUT DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERUYAN, KALIMANTAN TENGAH ETIKA AGRIANITA A

FLUKS CO 2 DAN KEDALAMAN MUKA AIR TANAH PADA LAHAN GAMBUT DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERUYAN, KALIMANTAN TENGAH ETIKA AGRIANITA A FLUKS CO 2 DAN KEDALAMAN MUKA AIR TANAH PADA LAHAN GAMBUT DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERUYAN, KALIMANTAN TENGAH ETIKA AGRIANITA A14070036 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karbon Biomassa Atas Permukaan Karbon di atas permukaan tanah, meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan

Lebih terperinci

SIMULASI LAJU EMISI METAN PADA LAHAN PADI SAWAH DENGAN MODEL DENITRIFIKASI-DEKOMPOSISI (DNDC) (STUDI KASUS DI KABUPATEN TASIKMALAYA)

SIMULASI LAJU EMISI METAN PADA LAHAN PADI SAWAH DENGAN MODEL DENITRIFIKASI-DEKOMPOSISI (DNDC) (STUDI KASUS DI KABUPATEN TASIKMALAYA) SIMULASI LAJU EMISI METAN PADA LAHAN PADI SAWAH DENGAN MODEL DENITRIFIKASI-DEKOMPOSISI (DNDC) (STUDI KASUS DI KABUPATEN TASIKMALAYA) MARIA JOSEFINE TJATURETNA BUDIASTUTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI

ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI ISOLASI, SELEKSI DAN OPTIMASI PERTUMBUHAN GANGGANGG MIKRO YANG POTENSIAL SEBAGAI PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI YOLANDA FITRIA SYAHRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

LAJU MINERALISASI N-NH 4 + DAN N-NO 3 - TANAH ANDISOL PADA PERTANIAN ORGANIK DAN KONVENSIONAL YANG DITANAMI KENTANG HARRY NOVIARDI

LAJU MINERALISASI N-NH 4 + DAN N-NO 3 - TANAH ANDISOL PADA PERTANIAN ORGANIK DAN KONVENSIONAL YANG DITANAMI KENTANG HARRY NOVIARDI 1 LAJU MINERALISASI NNH 4 + DAN NNO 3 TANAH ANDISOL PADA PERTANIAN ORGANIK DAN KONVENSIONAL YANG DITANAMI KENTANG HARRY NOVIARDI DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh MOCHAMAD IQBAL WALUYO H

SKRIPSI. Oleh MOCHAMAD IQBAL WALUYO H SKRIPSI PEMUPUKAN, KETERSEDIAAN DAN SERAPAN K OLEH PADI SAWAH DI GRUMUSOL untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Oleh

Lebih terperinci

Fahmuddin Agus dan Achmad Rachman Peneliti Balitbangtan di Balai Penelitian Tanah

Fahmuddin Agus dan Achmad Rachman Peneliti Balitbangtan di Balai Penelitian Tanah Konservasi Tanah Menghadapi Perubahan Iklim 263 11. KESIMPULAN UMUM Fahmuddin Agus dan Achmad Rachman Peneliti Balitbangtan di Balai Penelitian Tanah Gejala perubahan iklim semakin nyata yang ditandai

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT Dr. David Pokja Pangan, Agroindustri, dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri

Lebih terperinci

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN Tanah sulfat masam merupakan tanah dengan kemasaman yang tinggi

Lebih terperinci

Rumus Emisi CO 2. E = (Ea + Ebb + Ebo Sa) / Δt. Ea = Emisi karena terbakarnya jaringan dipermukaan tanah, misalnya pada waktu pembukaan lahan.

Rumus Emisi CO 2. E = (Ea + Ebb + Ebo Sa) / Δt. Ea = Emisi karena terbakarnya jaringan dipermukaan tanah, misalnya pada waktu pembukaan lahan. Mencuatnya fenomena global warming memicu banyak penelitian tentang emisi gas rumah kaca. Keinginan negara berkembang terhadap imbalan keberhasilan mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD)

Lebih terperinci

PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya

PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya Pemanasan global (global warming) adalah suatu bentuk ketidakseimbangan ekosistem di bumi akibat terjadinya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peningkatan aktivitas manusia di muka bumi telah mendorong terjadinya

I. PENDAHULUAN. Peningkatan aktivitas manusia di muka bumi telah mendorong terjadinya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan aktivitas manusia di muka bumi telah mendorong terjadinya pemanasan global (global warming). Pemanasan global terjadi sebagai akibat dari makin

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ), dinitrogen oksida (N 2 O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC)

Lebih terperinci

PRODUKSI TANDAN BUAH SEGAR KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) TM-9 PADA BERBAGAI KONSENTRASI PUPUK INJEKSI BATANG (I)

PRODUKSI TANDAN BUAH SEGAR KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) TM-9 PADA BERBAGAI KONSENTRASI PUPUK INJEKSI BATANG (I) PRODUKSI TANDAN BUAH SEGAR KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) TM-9 PADA BERBAGAI KONSENTRASI PUPUK INJEKSI BATANG (I) Oleh M. TAUFIQUR RAHMAN A01400022 PROGRAM STUDI AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

PEMBERIAN FERMENTASI URIN MANUSIA SEBAGAI PUPUK ORGANIK CAIR UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG DI TANAH INSEPTISOL KWALA BEKALA SKRIPSI

PEMBERIAN FERMENTASI URIN MANUSIA SEBAGAI PUPUK ORGANIK CAIR UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG DI TANAH INSEPTISOL KWALA BEKALA SKRIPSI PEMBERIAN FERMENTASI URIN MANUSIA SEBAGAI PUPUK ORGANIK CAIR UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG DI TANAH INSEPTISOL KWALA BEKALA SKRIPSI OLEH : SEFRIANSYAH PUTRA 120301168 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PUPUK PELENGKAP CAIR DHARMAVIT TERHADAP PERTUMBUHAN, PRODUKSI, SERTA SERAPAN HARA N, P, K TANAMAN PADI SAWAH

EFEKTIVITAS PUPUK PELENGKAP CAIR DHARMAVIT TERHADAP PERTUMBUHAN, PRODUKSI, SERTA SERAPAN HARA N, P, K TANAMAN PADI SAWAH EFEKTIVITAS PUPUK PELENGKAP CAIR DHARMAVIT TERHADAP PERTUMBUHAN, PRODUKSI, SERTA SERAPAN HARA N, P, K TANAMAN PADI SAWAH (Oryza sativa L.) VARIETAS IR 64 PADA LATOSOL DARMAGA Oleh RAHMAYANI A24101094 PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi: Nita Murjani n.murjani@cgiar.org Regional Communications for Asia Telp: +62 251 8622 070 ext 500, HP. 0815 5325 1001 Untuk segera dipublikasikan Ilmuwan

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA APLIKASI PUPUK UREA DAN PUPUK KANDANG KAMBING UNTUK MENINGKATKAN N-TOTAL PADA TANAH INCEPTISOL KWALA BEKALA DAN KAITANNYA TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG(Zea mays L.) SKRIPSI OLEH ARFAN DWI PUTRA 090301181/AET

Lebih terperinci

PENDUGAAN CADANGAN KARBON DAN EMISI GAS RUMAH KACA PADA TANAH GAMBUT DI HUTAN DAN SEMAK BELUKAR YANG TELAH DIDRAINASE SITI FATIMAH BATUBARA

PENDUGAAN CADANGAN KARBON DAN EMISI GAS RUMAH KACA PADA TANAH GAMBUT DI HUTAN DAN SEMAK BELUKAR YANG TELAH DIDRAINASE SITI FATIMAH BATUBARA PENDUGAAN CADANGAN KARBON DAN EMISI GAS RUMAH KACA PADA TANAH GAMBUT DI HUTAN DAN SEMAK BELUKAR YANG TELAH DIDRAINASE SITI FATIMAH BATUBARA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sulfat masam merupakan salah satu jenis lahan yang terdapat di kawasan lingkungan rawa dan tergolong ke dalam lahan bermasalah karena tanahnya memiliki sifat dakhil

Lebih terperinci

FENOMENA GAS RUMAH KACA

FENOMENA GAS RUMAH KACA FENOMENA GAS RUMAH KACA Oleh : Martono *) Abstrak Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbon dioksida (CO 2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO 2 ini disebabkan

Lebih terperinci

PENGARUH KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI

PENGARUH KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI PENGARUH KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. merill) PADA GRUMUSOL DARI CIHEA Oleh Siti Pratiwi Hasanah A24103066 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

AKTIVITAS UREASE DAN FOSFOMONOESTERASE ASAM, SERTA PRODUKTIVITAS KACANG TANAH DENGAN PEMBERIAN PUPUK ORGANIK KURTADJI TOMO

AKTIVITAS UREASE DAN FOSFOMONOESTERASE ASAM, SERTA PRODUKTIVITAS KACANG TANAH DENGAN PEMBERIAN PUPUK ORGANIK KURTADJI TOMO AKTIVITAS UREASE DAN FOSFOMONOESTERASE ASAM, SERTA PRODUKTIVITAS KACANG TANAH DENGAN PEMBERIAN PUPUK ORGANIK KURTADJI TOMO PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN PULPA KAKAO UNTUK MEMPRODUKSI ASAM ASETAT DENGAN MENGGUNAKAN RAGI ROTI DAN AERASI MARGARETHA HAUMASSE

PEMANFAATAN PULPA KAKAO UNTUK MEMPRODUKSI ASAM ASETAT DENGAN MENGGUNAKAN RAGI ROTI DAN AERASI MARGARETHA HAUMASSE PEMANFAATAN PULPA KAKAO UNTUK MEMPRODUKSI ASAM ASETAT DENGAN MENGGUNAKAN RAGI ROTI DAN AERASI MARGARETHA HAUMASSE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

METODE EKSPLORATIF UNTUK MENGUJI KESAMAAN SPEKTRUM FTIR TEMULAWAK

METODE EKSPLORATIF UNTUK MENGUJI KESAMAAN SPEKTRUM FTIR TEMULAWAK METODE EKSPLO ORATIF UNTUK MENGUJI KESAMAAN SPEKTRUM FTIR TEMULAWAK EKO WAHYU WIBOWO SEKOLAH PASCASARJANAA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

Fluks Metana dan Karakteristik Tanah pada Budidaya Lima Macam Tanaman

Fluks Metana dan Karakteristik Tanah pada Budidaya Lima Macam Tanaman IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Sistematika hasil dan pembahasan disajikan dalam beberapa sub bagian yaitu Fluks metana dan karakteristik tanah pada budidaya lima macam tanaman; Pengaruh pengelolaan air terhadap

Lebih terperinci

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN TENTANG TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK UREA TERHADAP KETERSEDIAAN N TOTAL PADAPERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG

PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK UREA TERHADAP KETERSEDIAAN N TOTAL PADAPERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG 1 PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK UREA TERHADAP KETERSEDIAAN N TOTAL PADAPERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) PADA TANAH INCEPTISOL KWALA BEKALA SKRIPSI OLEH NIKO FRANSISCO SILALAHI 090301024

Lebih terperinci

TESIS Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Study Agronomi. Oleh : HARIYATI S

TESIS Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Study Agronomi. Oleh : HARIYATI S UJI EFEKTIFITAS PENYERAPAN PHOSPAT PADA APLIKASI MIKRO BIOTA DAN ZPT ATONIK PADA MEDIA SEMAI TERHADAP PERTUMBUHAN BENIH TEBU (Sacharum officinarumn L.) TESIS Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk ALFARED FERNANDO SIAHAAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

KANDUNGAN HORMON IAA, SERAPAN HARA, DAN PERTUMBUHAN BEBERAPA TANAMAN BUDI DAYA SEBAGAI RESPON TERHADAP APLIKASI PUPUK BIOLOGI SIGIT TRI WIBOWO

KANDUNGAN HORMON IAA, SERAPAN HARA, DAN PERTUMBUHAN BEBERAPA TANAMAN BUDI DAYA SEBAGAI RESPON TERHADAP APLIKASI PUPUK BIOLOGI SIGIT TRI WIBOWO KANDUNGAN HORMON IAA, SERAPAN HARA, DAN PERTUMBUHAN BEBERAPA TANAMAN BUDI DAYA SEBAGAI RESPON TERHADAP APLIKASI PUPUK BIOLOGI SIGIT TRI WIBOWO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 12. Dinamika unsur N pada berbagai sistem pengelolaan padi sawah tanah Inseptisol, Jakenan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 12. Dinamika unsur N pada berbagai sistem pengelolaan padi sawah tanah Inseptisol, Jakenan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Dinamika Unsur Hara pada Berbagai Sistem Pengelolaan Padi Sawah 4.1.1. Dinamika unsur N Gambar 12 menunjukkan dinamika unsur nitrogen di dalam tanah pada berbagai sistem pengelolaan

Lebih terperinci

OLEH : REZEKI AYU CITRA UTAMA ILMU TANAH

OLEH : REZEKI AYU CITRA UTAMA ILMU TANAH DAMPAK PEMBERIAN PUPUK UREA DAN PUPUK KANDANG AYAM TERHADAP C ORGANIK, TOTAL DAN SERAPAN N, SERTA PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG PADA INCEPTISOL ASAL KWALA BEKALA SKRIPSI OLEH : REZEKI AYU CITRA UTAMA 120301010

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN AIR LAUT DAN BEBERAPA BAHAN ORGANIK TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH ULTISOL DAN PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG (Zea mayz. L) SKRIPSI.

PENGARUH PEMBERIAN AIR LAUT DAN BEBERAPA BAHAN ORGANIK TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH ULTISOL DAN PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG (Zea mayz. L) SKRIPSI. PENGARUH PEMBERIAN AIR LAUT DAN BEBERAPA BAHAN ORGANIK TERHADAP SIFAT KIMIA TANAH ULTISOL DAN PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG (Zea mayz. L) SKRIPSI Oleh: BENLI MANURUNG 050303003 ILMU TANAH DEPARTEMEN ILMU

Lebih terperinci

PENDUGAAN EMISI GAS METAN (CH 4 ) PADA BERBAGAI SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN PADI

PENDUGAAN EMISI GAS METAN (CH 4 ) PADA BERBAGAI SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN PADI PENDUGAAN EMISI GAS METAN (CH 4 ) PADA BERBAGAI SISTEM PENGELOLAAN TANAMAN PADI Oleh : YANUESTIKA DWIJAYANTI F14103011 2007 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perubahan dramatis paradigma pemanfaatan sumberdaya alam yang terjadi

I. PENDAHULUAN. Perubahan dramatis paradigma pemanfaatan sumberdaya alam yang terjadi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan dramatis paradigma pemanfaatan sumberdaya alam yang terjadi sejak tahun 80-an telah memperkenalkan konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep ini berdampak kepada

Lebih terperinci

PEMODELAN STOK GABAH/BERAS DI KABUPATEN SUBANG MOHAMAD CHAFID

PEMODELAN STOK GABAH/BERAS DI KABUPATEN SUBANG MOHAMAD CHAFID PEMODELAN STOK GABAH/BERAS DI KABUPATEN SUBANG MOHAMAD CHAFID SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : PEMODELAN STOK GABAH/BERAS

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI HUTAN RAWA GAMBUT TRIPA KABUPATEN NAGAN RAYA PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM SKRIPSI Oleh SUSILO SUDARMAN BUDIDAYA HUTAN / 011202010 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI AMONIFIKASI DISIMILATIF PADA SUMBER KARBON BERBEDA AHADIYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI AMONIFIKASI DISIMILATIF PADA SUMBER KARBON BERBEDA AHADIYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI AMONIFIKASI DISIMILATIF PADA SUMBER KARBON BERBEDA AHADIYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha atau 10.8% dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa gambut sebagian besar terdapat

Lebih terperinci

PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR

PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA

SEKOLAH PASCASARJANA ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN TANAH TERHADAP LINGKUNGAN DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: Sri Martini PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 ANALISIS DAMPAK

Lebih terperinci

KAJIAN LAJU INFILTRASI TANAH PADA BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN DI DESA SEMPAJAYA KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO

KAJIAN LAJU INFILTRASI TANAH PADA BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN DI DESA SEMPAJAYA KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO KAJIAN LAJU INFILTRASI TANAH PADA BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN DI DESA SEMPAJAYA KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO SKRIPSI OLEH : RIKA ISNAINI PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

KAJIAN KETERSEDIAAN P DI ULTISOL AKIBAT PEMBERIAN BAHAN ORGANIK SKRIPSI OLEH : TAUFIK SATRIA LUBIS AGROEKOTEKNOLOGI

KAJIAN KETERSEDIAAN P DI ULTISOL AKIBAT PEMBERIAN BAHAN ORGANIK SKRIPSI OLEH : TAUFIK SATRIA LUBIS AGROEKOTEKNOLOGI KAJIAN KETERSEDIAAN P DI ULTISOL AKIBAT PEMBERIAN BAHAN ORGANIK SKRIPSI OLEH : TAUFIK SATRIA LUBIS 100301024 AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI

Lebih terperinci

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon Buletin PSL Universitas Surabaya 28 (2012): 3-5 Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon Hery Purnobasuki Dept. Biologi, FST Universitas Airlangga Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Metana CH 4 dan dinitrogen oksida (N 2 O) adalah gas penting di atmosfer yang mempengaruhi kekuatan radiasi dan sifat kimia atmosfer (WMO 1995). Konsentrasi CH 4 dan N 2 O

Lebih terperinci

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH

Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 Kemampuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengolahan tanah merupakan tindakan mekanik terhadap tanah yang ditujukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengolahan tanah merupakan tindakan mekanik terhadap tanah yang ditujukan 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengolahan Tanah dan Pemanasan Global Pengolahan tanah merupakan tindakan mekanik terhadap tanah yang ditujukan untuk menyiapkan tempat persemaian, memberantas gulma, memperbaikai

Lebih terperinci

KALIBRASI KADAR HARA TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guinensis) BELUM MENGHASILKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE SEKAT PERTUMBUHAN TERBAIK

KALIBRASI KADAR HARA TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guinensis) BELUM MENGHASILKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE SEKAT PERTUMBUHAN TERBAIK KALIBRASI KADAR HARA TANAMAN KELAPA SAWIT (Elaeis guinensis) BELUM MENGHASILKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE SEKAT PERTUMBUHAN TERBAIK Oleh : DEWI RATNASARI (A24104056) DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI UBI KAYU (Studi Kasus Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor) ALFIAN NUR AMRI DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

ESTIMASI EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI KEBAKARAN LAHAN GAMBUT

ESTIMASI EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI KEBAKARAN LAHAN GAMBUT 34 ESTIMASI EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI KEBAKARAN LAHAN GAMBUT Maswar Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar 12 Bogor 16114 (maswar_bhr@yahoo.com) Abstrak.

Lebih terperinci

David Simamora, Ainin Niswati, Sri Yusnaini & Muhajir Utomo

David Simamora, Ainin Niswati, Sri Yusnaini & Muhajir Utomo J. Agrotek Tropika. ISSN 233-4993 60 Jurnal Agrotek Tropika 3():60-64, 205 Vol. 3, No. : 60 64, Januari 205 PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP RESPIRASI TANAH PADA LAHAN PERTANAMAN

Lebih terperinci

KAJIAN PERTUMBUHAN STEK BATANG SANGITAN (Sambucus javanica Reinw.) DI PERSEMAIAN DAN LAPANGAN RITA RAHARDIYANTI

KAJIAN PERTUMBUHAN STEK BATANG SANGITAN (Sambucus javanica Reinw.) DI PERSEMAIAN DAN LAPANGAN RITA RAHARDIYANTI KAJIAN PERTUMBUHAN STEK BATANG SANGITAN (Sambucus javanica Reinw.) DI PERSEMAIAN DAN LAPANGAN RITA RAHARDIYANTI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci