EMISI CO 2 DAN CH 4 PADA LAHAN GAMBUT YANG MEMILIKI KERAGAMAN DALAM KETEBALAN GAMBUT DAN UMUR TANAMAN. Rasional

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EMISI CO 2 DAN CH 4 PADA LAHAN GAMBUT YANG MEMILIKI KERAGAMAN DALAM KETEBALAN GAMBUT DAN UMUR TANAMAN. Rasional"

Transkripsi

1 EMISI CO 2 DAN CH 4 PADA LAHAN GAMBUT YANG MEMILIKI KERAGAMAN DALAM KETEBALAN GAMBUT DAN UMUR TANAMAN Rasional Pengembangan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut mempunyai potensi nyata dalam emisi gas CO 2 dan CH 4. Konversi hutan gambut ini mengakibatkan perubahan terhadap karakteristik inhern gambut. Tindakan pengelolaan kebun kelapa sawit seperti drainase, pembuatan jalan, pemupukan dan pengapuran yang dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi kelapa sawit akan berpengaruh terhadap karakteristik lahan gambut seperti perubahan pada bobot isi, morfologi profil gambut, kandungan kelembaban tanah, dan kedalaman muka air. Selain itu budidaya monokultur ini akan menurunkan keanekaragaman hayati dan perubahan unsur mikro yang sangat terkait dengan emisi CO 2 dan CH 4. Besarnya emisi CO 2 di suatu wilayah dapat diukur dengan menggunakan beberapa metode pengukuran, diantaranya metode titrasi dan menggunakan alat kromatografi gas. Pengukuran menggunakan metode tertentu pasti disertai dengan serangkaian peralatan pendukung yang berbeda dengan menggunakan metode lainnya. Dengan demikian metode pengukuran sampel gas CO 2 sangat menentukan jumlah konsentrasi CO 2 yang terukur, sehingga mempunyai pengaruh terhadap besarnya hasil pengukuran emisi CO 2. Dalam pengukuran emisi CO 2 terjadi variasi temporal yang tinggi terkait dengan faktor-faktor iklim seperti suhu, kelembaban udara, curah hujan dan distribusi curah hujan pada suatu daerah. Secara garis besarnya, musim di Indonesia dibedakan menjadi musim kemarau dan musim penghujan. Karena kondisi pada musim kemarau jelas berbeda daripada musim penghujan, maka emisi CO 2 sangat dipengaruhi oleh kedua musim tersebut. Besarnya emisi CO 2 dan CH 4 sangat dipengaruhi oleh karakteristik lahan gambut seperti kedalaman muka air tanah dan ketebalan gambut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kedalaman muka air tanah akibat pembuatan drainase berpengaruh terhadap fluks CO 2 dan CH 4 (Nyman dan DeLaune, 1991; Moore dan Dalva, 1993; Klemedtsson et al,. 1997). Kedalaman muka air tanah

2 52 akibat drainase ini menentukan suasana oksidasi dan reduksi yang sangat berkaitan erat dengan laju dekomposisi dan menentukan regulasi emisi gas CO 2 dan CH 4. Dekomposisi bahan gambut dalam kondisi anaerob (bersifat reduktif) dapat menghasilkan asam-asam organik, CO 2 dan CH 4, sedangkan bahan gambut dalam kondisi aerob (bersifat oksidatif) dapat menghasilkan CO 2. Gambut juga dapat menghasilkan CO 2 dalam kondisi anaerob jika tersedia asam asetat, propionat, dan butirat sebagai donor elektron (Morril et al., 1982), namun pada kondisi anaerob, bakteri metanogen akan memproduksi CH 4 (Rinnan et al., 23). Ketebalan gambut sangat berkaitan dengan besarnya cadangan C gambut dan tingkat kesuburan gambut. Menurut Sylvia et al. (1998), ketersediaan substrat baik kuantitas maupun kualitas karbon merupakan kunci pengendali dinamika gas. Ketebalan gambut merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam pengelolaan gambut untuk tanaman kelapa sawit, karena semakin tebal gambut akan semakin besar juga kendala biofisik yang ditemui dalam pengelolaan gambut. Makin tebal gambut cenderung semakin rendah produktivitas lahannya. Daerah perakaran (rhizosfer) khususnya pada tempat terkonsentrasinya rambut-rambut akar merupakan bagian penting yang memberikan pengaruh dalam emisi CO 2 dan CH 4 di lahan gambut. Komunitas mikrob dan proses dekomposisi di daerah rhizosfer lebih tinggi daripada tanah yang tidak dipengaruhi oleh keberadaan akar tanaman (bulk soil). Hal ini disebabkan oleh (1) meningkatnya ketersediaan substrat seperti akar-akar yang mati di rhizosfer, sehingga kualitas komunitas dekomposer meningkat, (2) meningkatnya ketersediaan eksudat akar dan derivatnya akan meningkatkan dekomposisi lignin, (3) komposisi struktur C- organik terlarut (Ekberg et al., 27). Proses dekomposisi yang lebih cepat ini menyebabkan emisi CO 2 di daerah rhizosfer lebih tinggi, karena gas CO 2 merupakan produk akhir dari proses dekomposisi. Jumlah dan luas daerah perakaran sangat bergantung pada umur tanaman kelapa sawit, tanaman yang baru tumbuh memiliki luas daerah perakaran tanaman yang lebih sempit dibandingkan dengan tanaman yang sudah dewasa. Emisi CO 2 akan meningkat dengan meningkatnya biomas akar dan umur tanaman. Pola hubungan peningkatan biomass tanaman kelapa sawit dengan umur tanaman mengikuti kurva sigmoid, sehingga biomass akan meningkat sejalan dengan

3 53 bertambahnya umur tanaman hingga pada suatu saat bersifat konstan. Tanaman dapat berperan sebagai media transportasi CO 2 dari dalam tanah ke atmosfer, terutama pada tanaman yang mempunyai jaringan aerenchima. Akar tanaman yang memiliki aerenkim akan menembus horizon yang lebih dalam, sehingga akan menyumbang eksudat akar dan memberikan substrat dalam proses produksi gas CO 2. Produksi gas-gas pada daerah perakaran ini dilepaskan ke atmosfer melalui beberapa cara yaitu difusi, ebulisi, dan transport tanaman. Perubahan ekosistem jenis tanaman mempengaruhi proses-proses penting yang berkaitan dengan pengendalian dan interaksi antara fluks CO 2 dengan mekanisme dua arah antara dalam tanah dan atmosfer (Cristensen et al., 1999; Oechel et al., 2; Strom et al., 25), tidak terkecuali pada konversi hutan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan analisis data hasil pengukuran emisi CO 2 dan CH 4 yang dilakukan pada perkebunan kelapa sawit, semak belukar dan hutan di lahan gambut dengan tujuan untuk: (1) mengevaluasi metode titrasi dan metode menggunakan alat kromatografi gas dalam menganalisis sampel gas CO 2. (2) mengevaluasi hasil pengukuran emisi CO 2 pada musim hujan dan musim kemarau. (3) Mempelajari pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO 2 dan CH 4 di daerah rhizosfer dan non rhizosfer tanaman kelapa sawit. (4) Mempelajari pengaruh ketebalan gambut terhadap emisi CO 2. (5) Mengevaluasi emisi CO 2 pada kebun kelapa sawit dengan umur tanaman yang berbeda. (6) Mengevaluasi emisi CO 2 pada 3 tipe penggunaan lahan.. Bahan dan Metode Tahapan kegiatan analisis fluks CO 2 di lapang diawali dengan penentuan lokasi kebun kelapa sawit, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan transek dan penentuan titik pengamatan. Transek dibuat berdasarkan pada jarak tanaman dengan saluran drainase utama. Titik pengamatan pertama pada pohon kedua yang jaraknya terdekat dari saluran drainase, kemudian titik kedua pada pohon

4 54 kelima dari saluran drainase, demikian untuk titik pengamatan selanjutnya pada setiap tiga pohon berikutnya yang semakin menjauhi saluran drainase utama. Pada setiap titik pengamatan dipasang dua buah sungkup untuk pengambilan sampel gas rhizosfer dan non rhizosfer. Transek yang dibuat pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pada lahan gambut Desa Suak Puntong, Kecamatan Meurebu terdapat dua transek yaitu: a) transek ke-1; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 1 tahun dan b) transek ke-2; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 1 tahun. 2. Pada lahan gambut Desa Suak Raya, Kecamatan Johan Pahlawan terdapat lima transek yaitu: a) transek ke-3; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 1 tahun b) transek ke-4; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun c) transek ke-5; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun d) transek ke-6; tiga pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun dan e) transek ke-7; tiga pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun. 3. Pada lahan gambut Desa Cot Gajah Mati, Kecamatan Arongan Lambalek terdapat dua transek yaitu a) transek ke-8; tiga titik pengamatan (Non Rhizosfer) pertama yang mewakili tanaman kelapa sawit umur 1 tahun baru ditanam dan b) transek ke-9; tiga titik pengamatan (Non Rhizosfer) kedua yang mewakili tanaman kelapa sawit umur 1 tahun. Pada pengamatan bulan Mei-Juni 28 pada lokasi ini terdapat tiga transek. Masing-masing transek terdiri dari empat pasang (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) titik pengamatan, namun pada pengamatan bulan Oktober- November sungkup tersebut hilang. 4. Pada lahan gambut Desa Simpang, Kecamatan Kaway XVI terdapat dua transek yaitu a) transek ke-1; tiga titik pengamatan non rhizosfer pada

5 55 lahan gambut yang didominasi semak belukar, masing-masing titik pengamatan adalah jarak 1 m, 1 m, dan 25 m dari saluran drainase utama dan b) transek ke-11; tiga titik pengamatan non rhizosfer pada hutan sekunder gambut, masing-masing titik pengamatan adalah jarak 1 m, 2 m, dan 25 m dari saluran drainase utama. Setelah pembuatan transek, dilakukan pemasangan sungkup permanen rhizosfer dan non rhizosfer pada masing-masing titik pengamatan. Sungkup rhizosfer berupa paralon silinder berdiameter 3 cm dan tinggi 3 cm. Pada paralon tersebut dibuat lubang dengan diameter 5 cm pada titik 2 cm dari atas permukaan paralon. Lubang ini dimaksudkan untuk memasukkan tiga buah akar sedemikian rupa sehingga akar tetap dapat tumbuh dan berkembang dalam sungkup (Gambar 25b). Sungkup ini dipasang pada jarak 2,5 m dari pokok batang tanaman kelapa sawit umur 1 tahun (Gambar 23a), 1 m dari pokok batang tanaman kelapa sawit umur 5 tahun, dan < 1 m untuk kelapa sawit umur 1 tahun (Gambar 25a), hal ini disesuaikan dengan keberadaan bulu-bulu akar. Sedangkan untuk pengambilan sampel gas non rhizosfer dilakukan dengan memasang paralon silinder dengan ukuran yang sama tetapi tanpa dibuat lubang. Paralon ini dipasang pada 1 m dari paralon rhizosfer dengan perlakuan yang sama (Gambar 26a). Saat pengambilan sampel gas, pada sungkup permanen dipasang tutup sungkup yang telah dilengkapi sebuah septum untuk tempat jarum syringe, sebuah kipas angin kecil yang digerakkan dengan baterei 9 volt untuk mengaduk udara dalam sungkup dan sebuah termometer untuk mengukur suhu dalam sungkup. Untuk metode analisis dengan menggunakan alat kromatografi gas, sampel gas diambil dengan menggunakan syringe berukuran 5 dan 1 ml, dengan frekuensi pengambilan sampel gas, 5, 1, 15, 25 dan 35 menit setelah tutup sungkup dipasang. Pengambilan gas dilakukan pada pukul wib. Sampel gas dianalisis dengan menggunakan alat kromatografi gas tipe CP-4 yang dilengkapi dengan program Galaxie CDS. Alat ini selain mengukur konsentrasi gas CO 2 juga mampu mendeteksi CH 4 sekaligus. Dari data perubahan konsentrasi CO 2 dan atau CH 4 antar waktu pengambilan sampel gas akan diperoleh gradien perubahan konsentrasi per satuan waktu (dc/dt). Dengan diketahuinya gradien ini dan dengan diukurnya data suhu,

6 dan ketinggian efektif sungkup akan dapat dihitung nilai fluks CO 2 dan CH 4. Perhitungan fluks gas CO 2 dan CH 4 didasarkan pada metode Hue et al. (2), dengan rumus: Dengan lambang notasi: F = m/a/ t F = ρ x H x dc/dt (mg CO 2 -C m -2 jam -1 atau mg CH 4 - C m -2 jam -1 ) F = (44/22,4) x H x dc/dt x {273/ (273+t)} (mg CO 2 -C m -2 jam -1 ) F = (16/22,4) x H x dc/dt x {273/ (273+t)} (mg CH 4 - C m -2 jam -1 ) F = fluks CO 2 atau CH 4 (mg CH 4 -C m -2 jam -1 atau mg CH 4 -C m -2 jam -1 ) ρ = kerapatan CO 2 -C atau CH 4 -C pada suhu absolut (g dm -3 ), H = tinggi efektif sungkup (m) dc/dt = perubahan konsentrasi CO 2 atau CH 4 -C antar waktu (ppm jam -1 ) t = rata-rata suhu dalam sungkup ( o C) Sedangkan untuk analisis gas dengan metode titrasi, sampel gas diambil dengan menggunakan syringe berukuran 5 ml dari sungkup yang dipasang di atas paralon silinder permanen yang telah dipasang di lahan gambut. Pengambilan gas dilakukan pada pukul wib dengan frekuensi pengambilan, 5, 1, 15, 25 dan 35 menit setelah tutup sungkup dipasang. Sampel gas dalam syringe dimasukkan ke dalam botol vial berukuran 35 ml yang telah diisi dengan KOH,2N sebanyak 5 ml. Untuk mengetahui konsentrasi gas CO 2 dilakukan titrasi pada larutan KOH,2N yang telah menyerap sampel gas CO 2 dengan larutan HCl,1N dengan menggunakan indikator penolptalin (pp) dan metil oranye (mo), dengan berpedoman pada perubahan warna sebagai berikut: 1. Perubahan warna menjadi tidak berwarna (dengan indikator pp) K 2 CO 3 + HCl KCl + KHCO 3 2. Perubahan warna kuning menjadi pink (dengan indikator mo) KHCO 3 + HCl KCl + H 2 O + CO 2 56 Perhitungan jumlah CO 2 menggunakan persamaan: dengan metode titrasi diperoleh dengan r = (a-b) x t Dengan lambang notasi: a = ml HCl sampel gas b = ml HCl blanko t = normalitas HCl (tentukan normalitas yang tepat dari larutan HCl)

7 57 Evaluasi metode analisis dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran emisi CO 2 dari kedua metode tersebut, sedangkan evaluasi pengaruh musim dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran emisi CO 2 dengan menggunakan alat kromatografi gas yang dilakukan pada bulan Mei-Juni 28 mewakili musim kemarau dan bulan Oktober-November mewakili musim hujan. Disamping pengukuran konsentrasi gas CO 2 dan CH 4 pada sungkup rhizosfer dan non rhizosfer, dilakukan juga pengukuran kedalaman muka air tanah dan ketebalan gambut. Untuk mengetahui kedalaman muka air tanah dilakukan kegiatan sebagai berikut: (1) membuat lubang dengan bor tanah pada titik tengah antara sungkup rhizosfer dan non rhizosfer setiap titik pengamatan, (2) lubang dibiarkan selama 2 jam supaya posisi air tanah stabil, (3) memasukkan kayu ke dalam lubang hingga menyentuh air tanah dan mengukur kedalaman muka air tanah dari permukaan gambut dengan alat meteran, dinyatakan dengan satuan centimeter (cm). Untuk mengetahui ketebalan gambut diukur dengan melakukan pengeboran gambut dari permukaan hingga ditemukan lapisan tanah mineral yang dinyatakan dengan satuan centimeter (cm). Data emisi CO 2 dan CH 4 pada daerah rhizosfer dan non rhizosfer, pengukuran kedalaman muka air tanah dan pengukuran ketebalan gambut yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Statistical Analysis System (SAS) versi 9,1 untuk mengetahui: (1) regresi dan korelasi antara kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO 2 dan CH 4, (2) regresi dan korelasi antara ketebalan gambut terhadap emisi CO 2. Semua pengujian dilakukan pada taraf nyata 5%. Untuk mempelajari pengaruh pengelolaan kebun kelapa sawit sesuai dengan umur tanaman terhadap fluks CO 2 dilakukan analisis korelasi dan regresi pada data emisi CO 2 non rhizosfer berdasarkan umur tanaman dengan menggunakan SAS versi 9,1. Pengujian dilakukan pada taraf nyata 5%. Sedangkan data fluks CO 2 dari kebun kelapa sawit (desa Suak Puntong, Suak Raya, dan Cot Gajah Mati), semak, hutan (desa Cot Gajah Mati dan Simpang) dievaluasi untuk mengetahui pengaruh tipe penggunaan lahan terhadap fluks CO 2.

8 58 Hasil dan Pembahasan Penelitian dilaksanakan di empat lokasi gambut yang terdapat di Meulaboh, Aceh Barat, yaitu (1) kebun kelapa sawit di Desa Suak puntong, Kecamatan Meurebu (2) kebun kelapa sawit di Desa Suak Raya, Kecamatan Johan Pahlawan, (3) kebun kelapa sawit di Desa Cot Gajah Mati, Kecamatan Arongan Lambalek, dan (4) hutan dan semak belukar di Desa Simpang, Kecamatan Kaway XVI (Gambar 18). Deskripsi masing-masing lokasi adalah sebagai berikut: 1. Kebun Kelapa Sawit di Desa Suak Puntong, Kecamatan Meurebu. Kebun kelapa sawit di Desa Suak Puntong, Kecamatan Meurebu merupakan perkebunan milik perorangan dengan luas kebun sekitar 15 ha. Tanaman kelapa sawit ditanam dengan jarak 9 m x 9 m dan telah berumur 1 tahun (Gambar 19a). Kebun ini tidak terpelihara secara intensif, terbukti dengan tingginya semak belukar diantara pohon kelapa sawit mencapai 1-1,5 m (Gambar 2b), tidak dilakukannya pemangkasan dahan yang kering dan pemupukan tidak diberikan secara rutin. (a) Gambar 19. (a) Kondisi kebun kelapa sawit desa Suak Puntong dekat drainase. (b) Profil Gambut di kebun kelapa sawit desa Suak Puntong Pada blok kebun yang berukuran panjang 115 m dan lebar 3 m dibuat 2 buah transek, jarak antar transek 1 dan 2 sekitar 15 m ke arah hutan. (b)

9 59 Lokasi Peat domes Penelitian: on 3 1. Suak Tsunami Puntong 2. Suak affected Raya 3. Cot coastal Gajah Mati 4. Simpang 4 zone 2 1 Gambar 18. Peta lokasi penelitian

10 6 Pembuatan transek ini berdasarkan perkiraan perbedaan ketebalan gambut. Setiap transek terdiri dari lima pasang titik pengamatan berupa sungkup permanen untuk pengambilan sampel gas CO 2 dan CH 4 pada daerah Rhizosfer dan Non Rhizosfer (Gambar 2a). Pada saat pembuatan transek masih dilakukan perbaikan saluran drainase. Kedalaman saluran drainase utama dibuat 2 m dan lebar 1,5 m (Gambar 19b). (a) (b) Gambar 2. (a) Pengambilan sampel gas di titik pengamatan terdekat dengan drainase kebun kelapa sawit desa Suak Puntong (b) Kondisi semak di antara pohon kelapa sawit pada titik pengamatan terjauh dari drainase 2. Kebun Kelapa Sawit di Desa Suak Raya, Kecamatan Johan Pahlawan. Kebun kelapa sawit di Desa Suak Raya, Kecamatan Johan Pahlawan merupakan kebun milik perorangan, luas kebun sekitar 12 Ha. Umur tanaman kelapa sawit pada kebun ini terdiri dari umur 5 tahun dan 1 tahun (Gambar 21a dan Gambar 22a). Setelah tsunami, kebun sudah dikelola dengan baik seperti telah dilakukan pemangkasan tanaman di sela-sela pohon kelapa sawit, pengapuran dan pemupukan. Pengapuran dilakukan dengan menambahkan fosfat alam setahun sekali, sedangkan pemupukan nitrogen dilakukan dua kali setahun, pemupukan P dan K hanya satu kali setahun dengan dosis yang tidak konstan setiap aplikasi. Drainase utama lebih sempit dan dangkal yaitu berukuran lebar,5 m dan dalam 1 m (Gambar 21b dan 22b). Transek yang dibuat pada kebun ini berjumlah lima. Dasar penentuan titik pengamatan yang dipasang sungkup

11 61 paralon adalah umur tanaman dan dugaan ketebalan gambut yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Tidak semua transek terdiri dari lima titik pengamatan karena panjang lahan yang tegak lurus dengan saluran drainase utama tidak sama. Pada transek 6 dan 7 hanya terdapat tiga pasang sungkup, karena luas lahan sempit. (a) (b) Gambar 21. (a) Kondisi tanaman kelapa sawit kebun desa Suak Raya. (b) Profil Gambut di kebun kelapa sawit desa Suak Raya (a) (b) Gambar 22. (a) Sungkup saat pengambilan sampel gas. (b) Kondisi saluran drainase di kebun kelapa sawit Suak Raya 3. Kebun Kelapa Sawit di Desa Cot Gajah Mati, Kecamatan Arongan Lambalek. Kebun kelapa sawit di Desa Cot Gajah Mati merupakan hutan gambut yang baru dibuka pada tahun 27 untuk perkebunan kelapa sawit (Gambar 23b).

12 62 Pembukaan hutan yang berukuran 2225 m x 3 m dilakukan oleh CV Rima kemudian ditanam kelapa sawit yang dibagikan kepada warga masyarakat korban tsunami di Meulaboh. Jumlah transek ada 3 buah, masing-masing transek terdapat 4 pasang sungkup paralon untuk pengambilan sampel gas. Namun pada saat pengambilan sampel gas kedua pada bulan Oktober 28, sungkup paralon yang di tanam di kebun kelapa sawit hilang, sehingga tidak dapat dilakukan pengambilan sampel untuk daerah rhizosfer. Kemudian dipasang paralon lagi untuk pengambilan sampel gas yang mewakili daerah non rhizosfer sebanyak 2 transek di kebun kelapa sawit dan satu transek di hutan sekunder yang terdapat tidak jauh dari kebun kelapa sawit tersebut. (a) (b) Gambar 23. (a) Kondisi drainase kebun kelapa sawit desa Cot Gajah Mati (b) Kondisi kebun kelapa sawit di desa Cot Gajah Mati (a) (b) Gambar 24. (a) Pemasangan Sungkup rhizosfer (b) Kondisi akar yang dimasukkan dalam sungkup rhizosfer.

13 63 (a) (b) Gambar 25. (a) Pemasangan Sungkup non rhizosfer berjarak 1 m dari sungkup rhizosfer. (b) Sungkup rhizosfer dan non rhizosfer saat pengambilan sampel gas. 4. Semak Belukar dan Hutan Gambut di Desa Simpang, Kecamatan Kaway XVI. Pengambilan sampel gas di desa Simpang dilakukan di hutan sekunder (Gambar 26) pada titik 1 m, 2 m, dan 25 m dari saluran drainase utama dan semak belukar (Gambar 27) pada titik 1 m, 1 m, dan 25 m dari saluran drainase utama. Jarak titik pengamatan tidak sama karena pada jarak 1 m dari saluran drainase utama banyak pohon terbakar. Disamping pengambilan sampel gas, pada masing-masing lokasi penelitian dilakukan juga pengambilan sampel tanah yang digunakan untuk analisis laboratorium (Gambar 28). (a) (b) Gambar 26. (a) Kondisi drainase di hutan desa Simpang (b) Kondisi hutan gambut di desa Simpang

14 64 (a) (b) Gambar 27. (a) Kondisi semak di lahan gambut desa Simpang (b) Pengambilan sampel gas di titik 25 m dari drainase pada vegetasi semak. (a) Gambar 28. (a) Pengambilan sampel tanah dengan bor gambut (b) Salah satu profil sampel tanah 1. Evaluasi Metode Analisis Sampel Gas CO 2. CO 2 Metode titrasi dapat digunakan untuk mengetahui besarnya konsentrasi yang dikeluarkan dari bahan gambut, namun jika dibandingkan dengan pengukuran dengan alat gas kromatografi menunjukkan hasil yang sangat berbeda. Fluks CO 2 tidak dapat dihitung dengan menggunakan metode titrasi, karena konsentrasi CO 2 dari setiap selang waktu pengambilan sampel menunjukkan nilai yang relatif sama, tidak terdapat kecenderungan meningkat walaupun waktu pengamatan mencapai 35 menit (Lampiran 32 dan 33). (b)

15 65 Nilai konsentrasi CO 2 yang diperoleh dengan metode titrasi masih terlalu kasar dan tidak dapat digunakan untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan seperti kedalaman muka air tanah, musim, ketebalan gambut yang sangat mempengaruhi besarnya konsentrasi gas CO 2 dari lahan gambut yang dikeluarkan ke atmosfer. 2. Evaluasi Emisi CO 2 pada Musim Kemarau dan Hujan Menurut Hirano et al. (27), hasil pengukuran emisi CO 2 dari gambut tropik sangat tinggi variasinya tergantung pada waktu dan tempat, kapan lahan mulai di konversi (tingkat humifikasi), variasi tempat (perbedaan mikroklimat seperti suhu tanah dan suhu udara), status hara dan variasi saat pengukuran (perubahan musim), sehingga musim berpengaruh terhadap hasil pengukuran emisi gas CO 2 di suatu tempat. Untuk mengetahui kecenderungan pengaruh musim terhadap emisi CO 2 dilakukan evaluasi data hasil pengukuran pada bulan Mei-Juni 28 yang mewakili musim kemarau dan bulan Oktober-November 28 yang mewakili musim hujan. Hasil perhitungan emisi CO 2 pada lahan gambut tersebut disajikan pada Tabel 9 dan 1. Jika dibandingkan hasil pengukuran kedua musim tersebut, ternyata emisi CO 2 hasil pengukuran pada bulan Mei - Juni 28 (musim kemarau) tidak sama dengan emisi CO 2 hasil pengukuran pada bulan Oktober - November 28 (musim hujan). Emisi CO 2 pada musim hujan lebih tinggi daripada emisi CO 2 musim kemarau baik pada kebun kelapa sawit Desa Suak Raya maupun Desa Cot Gajah Mati. Hasil penelitian serupa dilaporkan oleh Liu et al. (28), bahwa perubahan emisi CO 2 mengikuti pola perubahan musim, rata-rata fluks CO 2 pada musim hujan (194,4 mg CO 2 m -2 h -1 ) lebih tinggi daripada musim kering (112,81 mg CO 2 m -2 h -1 ). Namun emisi CO 2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Puntong pada musim kemarau lebih tinggi daripada musim hujan. Hal ini terjadi karena di kebun tersebut pada musim kemarau sedang dilakukan pelebaran dan pendalaman saluran drainase utama, sehingga tercipta kondisi aerobik (ketersediaan O 2 meningkat), akibatnya respirasi mikrob bertambah karena populasi dan aktivitas mikrob aerobik meningkat. Disamping itu, keberadaan O 2 akan memacu proses

16 66 Tabel 9. Emisi CO 2 di tiga kebun kelapa sawit pada bulan Mei-Juni 28 (musim kemarau). Tipe Penggunaan Lahan/ Emisi CO 2 (t ha -1 th -1 ) pada titik pengamatan ke Umur tanaman/ Transek Lokasi Kelapa Sawit / 1 th/ 1 (NR) 28,118 28,4265 1,2651 Suak Puntong Kelapa Sawit / 1 th/ 1 (R) 64,927 31, ,5352 Suak Puntong Kelapa Sawit / 1 th/ 2 (NR) 41,7925 8, ,476 Suak Puntong Kelapa Sawit / 1 th/ 2 (R) 58, , ,8747 Suak Puntong Kelapa Sawit / 1 th/ 3 (NR) 22, ,799 3,662 Suak Raya Kelapa Sawit / 1 th/ 3 (R) 25,229 23,562 36,7686 Suak Raya Kelapa Sawit / 5 th/ 4 (NR) 21,9223 6,7594 8,9695 Suak Raya Kelapa Sawit / 5 th/ 4 (R) 21,9859 1,9477 9,38 Suak Raya Kelapa Sawit / 5 th/ 5 (NR) 16,119 16,556 Suak Raya Kelapa Sawit / 5 th/ 5 (R) 39,9862 3, ,7815 Suak Raya Kelapa Sawit / 5 th/ 6 (NR) 5,963 3,8659 9,8633 Suak Raya Kelapa Sawit / 5 th/ 6 (R) 17,568 6,659 24,6667 Suak Raya Kelapa Sawit / 1 th/ 7 (NR) 25, , ,4947 Cot Gajah Mati Kelapa Sawit / 1 th/ 7 (R) 32, ,158 Cot Gajah Mati Kelapa Sawit / 1 th/ 8 (NR) 12,914 14, ,3773 Cot Gajah Mati Kelapa Sawit / 1 th/ 8 (R) 56,452 61,822 48,249 Cot Gajah Mati Kelapa Sawit / 1 th/ 9 (NR) 42,9689 2,3222 Cot Gajah Mati Kelapa Sawit / 1 th/ 9 (R) 5, , ,6998 Cot Gajah Mati Tabel 1. Emisi CO 2 di tiga kebun kelapa sawit pada bulan Oktober - November 28 (musim hujan). Tipe Penggunaan Lahan/ Emisi CO 2 (t ha -1 th -1 ) pada titik pengamatan ke Lokasi Umur tanaman/ Transek Kelapa Sawit / 1 th/ 1 (NR) 16, , , ,6297 9,8983 Suak Puntong Kelapa Sawit / 1 th/ 1 (R) 24,645 28, , , ,893 Suak Puntong Kelapa Sawit / 1 th/ 2 (NR) 12, ,242 5,7633 4,8714 4,8695 Suak Puntong Kelapa Sawit / 1 th/ 2 (R) 15, ,3532 6, ,3759 3,346 Suak Puntong Kelapa Sawit / 1 th/ 3 (NR) 7,847 2,737 13,695,145 16,523 Suak Raya Kelapa Sawit / 1 th/ 3 (R) 87, ,76 42, , ,73 Suak Raya Kelapa Sawit / 5 th/ 4 (NR) 15, , , , ,647 Suak Raya Kelapa Sawit / 5 th/ 4 (R) 17, , , ,9176 3,342 Suak Raya Kelapa Sawit / 5 th/ 5 (NR) 32, ,954 55, , ,535 Suak Raya Kelapa Sawit / 5 th/ 5 (R) 42, , ,196 17, ,166 Suak Raya Kelapa Sawit / 5 th/ 6 (NR) 16,781 16, ,887 Suak Raya Kelapa Sawit / 5 th/ 6 (R) 19,932 17, ,71 Suak Raya Kelapa Sawit / 5 th/ 7 (NR) 17,4539 1, ,816 Suak Raya Kelapa Sawit / 5 th/ 7 (R) 17, , ,6678 Suak Raya Kelapa Sawit / 1 th/ 8 (NR) 67, , ,426 Cot Gajah Mati Kelapa Sawit / 1 th/ 9 (NR) 33,57 1,5915 8,4641 Cot Gajah Mati Semak 1 (NR) 36, , ,57 Simpang Hutan 11 (NR) 27,467 23,8134 8,7568 Simpang

17 67 oksidasi bahan organik/mempercepat proses mineralisasi C-organik sehingga produksi dan emisi CO 2 lebih tinggi. Tingginya emisi CO 2 pada musim hujan dibandingkan dengan musim kemarau sangat terkait dengan pengaruh kadar air terhadap proses dekomposisi bahan organik pada lahan gambut. Beberapa penelitian melaporkan bahwa dekomposisi sangat dipengaruhi oleh kedalaman muka air (Hilbert et al., 2) dan fluktuasi muka air (Belyea and Clymo, 21), sehingga kandungan air mempengaruhi emisi CO 2 dari tanah (Smith et al., 23; Liu et al., 28). Kandungan air pada musim kemarau diprediksi lebih sedikit daripada musim hujan, sehingga menyebabkan laju proses dekomposisi bahan organik pada musim kemarau lebih lambat daripada musim hujan, sehingga produksi gas CO 2 lebih sedikit. Menurut Jia et al. (26), rendahnya konsentrasi air dalam tanah akan menurunkan aktivitas mikrob karena tekanan osmotik. Emisi CO 2 dari tanah yang diinkubasi dengan kapasitas memegang air 5% lebih besar daripada tanah dengan kapasitas memegang air 2% dan 4%. Dengan demikian dalam kondisi kadar air sedikit akan memperlambat laju proses dekomposisi atau bahkan tidak memungkinkan untuk terjadinya proses dekomposisi jika gambut sudah berubah menjadi pseudosand. Ketersediaan air pada musim hujan lebih terjamin, sehingga laju proses dekomposisi yang menghasilkan gas CO 2 cenderung meningkat. Hasil penelitian Jia et al. (26) menunjukkan bahwa kandungan air tanah yang terlalu tinggi akan menghambat difusi CO 2 dan aktivitas mikrob, seperti halnya hasil penelitian Silva et al. (28) yang menunjukkan bahwa emisi CO kali lebih besar pada tanah yang diinkubasi dengan kapasitas memegang air 4%, 6% dan 8% dibandingkan dengan tanah dengan kapasitas memegang air 1%. Menurut Kirk (24), reaksi termodinamika yang terjadi pada kondisi reduksi adalah: O 2 + CH 2 O CO 2 + H 2 O 4NO CH 2 O + 4H + 2N 2 + 5CO 2 + 7H 2 O 2MnO CH 2 O + 4H + 2Mn 2+ + CO 2 + 3H 2 O 4Fe(OH) 3 + CH 2 O + 8H + 4 Fe 2+ + CO H 2 O SO CH 2 O + 4H + H 2 S + 2CO 2 + 2H 2 O 2CH 2 O CH 4 + CO 2

18 68 3. Pengaruh Kedalaman Muka Air Tanah terhadap Emisi CO 2 dan CH 4 di Daerah Rhizosfer dan Non Rhizosfer Tanaman Kelapa Sawit. Suasana oksidasi dan reduksi yang ditentukan oleh kedalaman muka air tanah akibat pembuatan drainase pada areal kebun kelapa sawit di lahan gambut sangat menentukan regulasi emisi gas CO 2 dan CH 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedalaman muka air tanah mempunyai pengaruh yang beragam terhadap emisi CO 2. Hal ini berkaitan erat dengan beragamnya karakteristik inhern tanah gambut dari masing-masing titik pengamatan seperti ketebalan gambut dan pengelolaan kebun yang sangat berbeda. Hasil pengukuran emisi CO 2 masing-masing transek pada lokasi penelitian yang dilakukan pada bulan Oktober-November 28 disajikan pada Tabel 11. Apabila seluruh titik pengamatan dianalisis dengan program SAS versi 9,1 tanpa dikelompokan berdasarkan transek diperoleh diagram pencar seperti Gambar 29 dan Gambar 3. Dari diagram pencar antara emisi CO 2 (baik rhizosfer maupun non rhizosfer) dengan kedalaman muka air tanah tidak membentuk pola garis lurus, sehingga dikatakan hubungan antara emisi CO 2 dengan kedalaman muka air tanah tidak linier. Rata-rata emisi CO 2 sebesar 3,53 ± 17,94 t ha -1 th -1 untuk rhizosfer dan 19,2 ± 14,22 t ha -1 th -1 untuk non rhizosfer. Emisi CO 2 (t ha -1 th -1 ) Kedalaman muka air tanah (cm) Gambar 29. Diagram pencar hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO 2 di rhizosfer

19 69 Tabel 11. Emisi CO 2 di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai kedalaman muka air tanah. Tipe penggunaan Lokasi Titik Kedalaman Emisi CO 2 (t ha -1 th -1 ) pengamatan muka air tanah Non lahan/umur / transek ke (cm) rhizosfer Rhizosfer Kelapa Sawit /1 th/ 1 Suak Puntong , ,645 Kelapa Sawit /1 th/ 1 Suak Puntong , ,7673 Kelapa Sawit /1 th/ 1 Suak Puntong , ,7814 Kelapa Sawit /1 th/ 1 Suak Puntong , ,8753 Kelapa Sawit /1 th/ 1 Suak Puntong , ,8935 Kelapa Sawit /1 th/ 2 Suak Puntong , ,4158 Kelapa Sawit /1 th/ 2 Suak Puntong ,242 16,3532 Kelapa Sawit /1 th/ 2 Suak Puntong ,7633 6,4692 Kelapa Sawit /1 th/ 2 Suak Puntong , ,3759 Kelapa Sawit /1 th/ 2 Suak Puntong ,8695 3,3461 Kelapa Sawit /1 th/ 3 Suak Raya ,847 87,1325 Kelapa Sawit /1 th/ 3 Suak Raya ,737 37,76 Kelapa Sawit /1 th/ 3 Suak Raya ,695 42,6842 Kelapa Sawit /1 th/ 3 Suak Raya 4 46,145 27,8723 Kelapa Sawit /1 th/ 3 Suak Raya , ,734 Kelapa Sawit /5 th/ 4 Suak Raya , ,8153 Kelapa Sawit /5 th/ 4 Suak Raya , ,1922 Kelapa Sawit /5 th/ 4 Suak Raya , ,8148 Kelapa Sawit /5 th/ 4 Suak Raya , ,9176 Kelapa Sawit /5 th/ 4 Suak Raya ,647 3,3422 Kelapa Sawit /5 th/ 5 Suak Raya , ,7116 Kelapa Sawit /5 th/ 5 Suak Raya ,954 15,9136 Kelapa Sawit /5 th/ 5 Suak Raya , ,196 Kelapa Sawit /5 th/ 5 Suak Raya , ,9727 Kelapa Sawit /5 th/ 5 Suak Raya , ,1663 Kelapa Sawit /5 th/ 6 Suak Raya ,781 19,932 Kelapa Sawit /5 th/ 6 Suak Raya , ,6524 Kelapa Sawit /5 th/ 6 Suak Raya ,887 31,71 Kelapa Sawit /5 th/ 7 Suak Raya , ,6758 Kelapa Sawit /5 th/ 7 Suak Raya , ,4385 Kelapa Sawit /5 th/ 7 Suak Raya ,816 64,6678

20 7 Emisi CO2 (t ha -1 th -1 ) Kedalaman muka air tanah (cm) Gambar 3. Diagram pencar hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO 2 di non rhizosfer Tidak liniernya hubungan antara emisi CO 2 dengan kedalaman muka air tanah ini didukung oleh nilai korelasi yang lebih mendekati ke nol yaitu r = -,35 dengan nilai P=,9 untuk rhizosfer dan r = -,73 dengan nilai P=,68 untuk non rhizosfer. Dengan demikian pola hubungan antara emisi CO 2 rhizosfer dan kedalaman muka air tanah tidak membentuk persamaan linier Y= 56,59-,46x (dimana Y= emisi CO 2 rhizosfer dan x= kedalaman muka air tanah) karena nilai P =,9 artinya tidak berbeda nyata pada taraf 5% dan R 2 hanya 9% yang berarti model tidak mampu menerangkan perilaku peubah emisi CO 2 rhizosfer (Y). Pola hubungan antara emisi CO 2 non rhizosfer dan kedalaman muka air tanah juga tidak membentuk persamaan linier Y= 23,97-,8x (dimana Y= emisi CO 2 non rhizosfer dan x= kedalaman muka air tanah) karena nilai P =,69 artinya tidak berbeda nyata pada taraf 5% dan R 2 hanya,3% yang berarti model tidak mampu menerangkan perilaku peubah emisi CO 2 non rhizosfer (Lampiran 73 dan 74). Karena hasil analisis secara keseluruhan tidak dapat menerangkan pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO 2, maka analisis pola hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO 2 dilakukan pada masing-masing transek seperti yang diilustrasikan pada Gambar Evaluasi emisi CO 2 ini dibedakan pada daerah perakaran (rhizosfer) dan non rhizosfer. Emisi CO 2 rhizosfer dipergunakan untuk memprediksi adanya pengaruh akar terhadap CO 2 hasil respirasi mikrob dan gas CO 2 hasil dekomposisi bahan gambut.

21 71 Emisi CO 2 (t ha -1 th -1 ) y =,2251x + 9,325 R 2 =,27 y =,1547x + 8,1579 R 2 =, Kedalaman muka air tanah (cm) Non rhizosfer Rhizosfer Linear (Rhizosfer) Linear (Non rhizosfer) Gambar 31. Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Puntong Transek 1 pada berbagai kedalaman muka air tanah. Emisi CO 2 (t ha -1 th -1 ) y =,4833x - 27,363 R 2 =,8217 y = -,6457x + 67,819 R 2 =, Kedalaman muka air tanah (cm) Non rhizosfer Rhizosfer Linear (Rhizosfer) Linear (Non rhizosfer) Gambar 32. Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Puntong Transek 2 pada berbagai kedalaman muka air tanah. Emisi CO 2 (t ha -1 th -1 ) y = 3,2721x - 111,8 R 2 =,316 y = 3,9741x - 168,24 R 2 =, Kedalaman muka air tanah (cm) Non Rhizosfer Rhizosfer Linear (Rhizosfer) Linear (Non Rhizosfer) Gambar 33. Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 3 pada berbagai kedalaman muka air tanah.

22 72 Emisi CO 2 (t ha -1 th -1 ) y = -,8557x + 73,82 R 2 =,651 y = -,74x + 57,59 R 2 =, Kedalaman muka air tanah Non rhizosfer rhizosfer Linear (rhizosfer) Linear (Non rhizosfer) Gambar 34. Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 4 pada berbagai kedalaman muka air tanah. Emisi CO 2 (t ha -1 th -1 ) y =,5348x + 7,2786 R 2 =,37 y =,6189x - 7,2168 R 2 =, Kedalaman muka air tanah (cm) Non Rhizosfer Rhizosfer Linear (Rhizosfer) Linear (Non Rhizosfer) Gambar 35. Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 5 pada berbagai kedalaman muka air tanah. 35 Emisi CO 2 (t ha -1 th -1 ) y = -1,895x + 73,426 R 2 =,8248 y = -1,1791x + 75,996 R 2 =, Kedalaman muka air tanah (cm) Non Rhizosfer Rhizosfer Linear (Rhizosfer) Linear (Non Rhizosfer) Gambar 36. Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 6 pada berbagai kedalaman muka air tanah.

23 73 Emisi CO 2 (t ha -1 th -1 ) y = -5,9859x + 313,39 R 2 =,3155 y = 1,9341x - 42,849 R 2 =, Kedalaman muka air tanah (cm) Non Rhizosfer Rhizosfer Linear (Non Rhizosfer) Linear (Rhizosfer) Gambar 37. Emisi CO 2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 7 pada berbagai kedalaman muka air tanah. Hasil pengukuran kedalaman muka air tanah di lapang menunjukkan bahwa dalam transek yang sama, titik pengamatan yang dekat dengan saluran drainase memiliki muka air tanah lebih dalam, dan semakin jauh dengan saluran drainase utama, maka kedalaman muka air tanah semakin berkurang (muka air tanah lebih dangkal). Pada semua transek kecuali transek SR-4 dan SR-6 menunjukkan korelasi yang sama yaitu semakin jauh dari saluran drainase, muka air tanah semakin dangkal dan emisi CO 2 semakin menurun. Hal ini terjadi karena titik yang lebih dekat dengan saluran drainase terjadi penurunan muka air tanah menyebabkan terjadinya proses dekomposisi yang lebih lanjut pada lapisan di atas muka air tanah. Kondisi aerasi akan lebih memacu meningkatkan ketersediaan O 2 di dalam bahan gambut dan dapat mempercepat proses mineralisasi C-organik sehingga bahan gambut menghasilkan CO 2, sehingga emisi CO 2 di titik yang lebih dekat dengan drainase lebih tinggi. Dari Gambar terdapat fenomena emisi CO 2 meningkat dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah pada transek 1, 2, 3, 5 dan 7, sedangkan pada transek 4 dan 6 emisi CO 2 menurun dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah. Dengan mempertimbangkan perbandingan antara nilai peningkatan dengan nilai penurunan emisi CO 2 ternyata angka peningkatan lebih besar daripada angka penurunan emisi CO 2, sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa semakin jauh dari saluran drainase, emisi CO 2 semakin menurun.

24 74 Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedalaman muka air tanah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya emisi CO 2. Dari transek 1, 2, 3, 5 dan 7 terlihat bahwa titik pengamatan terdekat dengan saluran drainase utama memiliki emisi CO 2 lebih tinggi dibandingkan dengan titik pengamatan yang lebih jauh dari saluran drainase. Hal ini terjadi karena titik pengamatan terdekat dengan saluran drainase utama memiliki muka air tanah lebih dalam. Muka air tanah yang dalam pada titik pengamatan yang terdekat dengan saluran drainase utama menyebabkan terciptanya suasana aerob yang memacu laju proses dekomposisi yang melepaskan CO 2 dari dalam tanah ke atmosfer. Kirk (24) menyatakan bahwa dekomposisi bahan organik pada kondisi aerob lebih cepat daripada kondisi anaerob karena perubahan energi bebas untuk terjadinya reaksi lebih besar yaitu G = -199 kj mol -1 pada ph 7 pada kondisi aerob, sedangkan pada kondisi anaerob G = -17,7 kj mol -1 pada ph 7. Dengan demikian, mikrob sebagai media dekomposisi mendapat lebih banyak energi, sehingga produksi sel per unit lebih tinggi pada kondisi aerob. Menurut Climo (1983), dekomposisi aerobik 5 kali lebih cepat daripada anaerobik. Keberadaan oksigen pada kondisi aerob akan meningkatkan proses mineralisasi unsur hara (terutama unsur C, N, dan S), sehingga memacu hilangnya unsur hara. Sistem drainase di lapang merupakan faktor yang dapat menyebabkan subsiden pada bahan gambut. Ikkonen dan Kurets (22) menyatakan bahwa drainase lahan gambut selama 1 tahun akan menurunkan muka air dari 1 menjadi 3 cm dan emisi CO 2 dari tanah meningkat 1,5 kali. Proses subsiden merupakan perubahan sifat gambut secara fisik, kimia dan biologi yang ditunjukkan di lapangan dengan penurunan lapisan gambut. Menurut Yagi et al. (1994), drainase terkait dengan perubahan suhu, ketersediaan O 2, ph, dan Eh pada bahan gambut. Morril et al., (1982) menyatakan bahwa bahan gambut dalam kondisi anaerob (bersifat reduktif) dapat menghasilkan asam-asam organik, CO 2 dan CH 4, sedangkan bahan gambut dalam kondisi aerob (bersifat oksidatif) dapat menghasilkan CO 2. Dalam kondisi anaerob Gambut akan menghasilkan CO 2, jika tersedia asam asetat, propionat, dan butirat sebagai donor elektron. Besarnya emisi gas CO 2 dan CH 4 sangat bervariasi tergantung pada faktor bahan gambut

25 75 seperti: ketebalan, tingkat kematangan, dan kondisi hidrologi (Nyman dan DeLaune, 1991). Penyebab menurunnya emisi CO 2 dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah pada transek 6 diduga karena ketebalan gambut pada transek ini paling tipis dibandingkan dengan lokasi penelitian lainnya yaitu sekitar cm. Hasil penelitian Yulianti (29) melaporkan bahwa cadangan C gambut mempunyai korelasi nyata positif terhadap ketebalan gambut (r=,93) dan bobot isi (r=,65). Kandungan cadangan gambut terendah terdapat pada gambut yang tipis dan semakin besar bobot isi, maka semakin besar juga cadangan C. Jumlah cadangan C dan bobot isi seperti ini menyebabkan menurunnya emisi CO 2 pada transek 6. Hasil evaluasi data emisi CO 2 di rhizosfer dan non rhizosfer tanaman kelapa sawit (Tabel 11) menunjukkan bahwa emisi CO 2 di daerah rhizosfer lebih tinggi daripada di non rhizosfer seperti yang diilustrasikan pada Gambar 38. Hal ini sangat berkaitan erat dengan pengaruh kualitas media akar yang mampu merubah sifat fisik, kimia dan biologi tanah di sekitar akar (Darrah, 1993; Gregory dan Hinsinger, 1999). Rhizosfer mempunyai lingkungan yang memungkinkan untuk berkembangnya banyak organisme (Bowen dan Rovina, 1991; Peterson, 23), sehingga banyak proses yang terjadi pada daerah sekitar akar yang secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan kapasitas fungsi tanah terhadap pertumbuhan tanaman dan buffer lingkungan, seperti: 1) akar tanaman menstabilkan tanah dari gangguan fisik, pergantian siklus pembasahan dan pengeringan, (2) eksudat akar jenis mucilage asam Poligalakturonat membantu terbentuknya formasi agregat tanah, (3) asam organik seperti asam oksalat, asam tatrat, dan asam sitrat melarutkan unsur hara dan detoksifikasi unsur logam (Thiele et al., 25). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanah yang dipengaruhi oleh aktivitas akar merupakan tempat yang disukai oleh banyak mikrob dibandingkan dengan bulk soil (Peterson, 23). Disamping meningkatnya populasi mikrob, aktivitas mikrob di sekitar daerah perakaran juga meningkat. Peningkatan aktivitas mikrob ini sebagai akibat tingginya konsentrasi nutrisi, C-labil, dan pengaruh eksudat akar (Kuzyakov et al., 2; Subke et al., 24; Hamer dan

26 76 Marschner, 25). Dengan meningkatnya jumlah populasi dan aktivitas mikrob di daerah rhizosfer menyebabkan respirasi mikrob meningkat dan produksi CO 2 dari daerah rhizosfer lebih besar daripada daerah non rhizosfer. Namun mekanisme dua arah proses emisi gas CO 2 dari dalam tanah ke atmosfer sangatlah komplek dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan yang saling berinteraksi. Emisi CO 2 (t ha -1 th -1 ) Kedalaman muka air tanah (cm ) Non Rhizosfer Rhizosfer Gambar 38. Emisi CO 2 di daerah rhizosfer dan non rhizosfer tanaman kelapa sawit pada berbagai kedalaman muka air tanah. Pelepasan CO 2 dari topsoil yang banyak dipengaruhi oleh kehadiran akar tanaman lebih besar daripada subsoil. Beberapa penelitian menyatakan produksi CO 2 menurun dengan meningkatnya kedalaman tanah pada tanah yang diinkubasi baik pada kondisi aerobik maupun anaerobik (Bridgham dan Richardson, 1992; McKenzie et al., 1998 dan Waddington et al., 21). Hal ini disebabkan karena (1) perbedaan dalam populasi mikrob, (2) rendahnya jumlah C-organik tersedia

27 77 (Nadelhoffer et al., 1991), dan akumulasi senyawa humik (Hogg et al., 1992). Kluge et al. (28) melaporkan bahwa tingginya jumlah C-organik di topsoil merupakan indikasi C organik lebih mudah tersedia dan munculnya lumpur di subsoil yang merupakan kondisi yang tidak menguntungkan untuk kehidupan mikrob merupakan penyebab tingginya pelepasan CO 2 di top soil. Moren and Lindroth (2) menyatakan bahwa efemisi CO 2 dari dalam tanah merupakan hasil dari dua proses yaitu produksi CO 2 dan transport CO 2. Berkaitan dengan proses transport CO 2, maka besarnya produksi CO 2 di daerah rhizosfer akan diikuti oleh besarnya emisi CO 2 di daerah ini akibat dari lebih memungkinkannya proses difusi gas CO 2 dari dalam tanah ke atmosfer. Disamping itu, bobot isi semakin meningkat dengan meningkatnya kedalaman tanah (Walczak, Bieganowski, and Rovdan, 22). Adanya perbedaan bobot isi tanah di sekitar akar dengan bulk soil memungkinkan produksi CO 2 didaerah Rhizosfer lebih tinggi daripada non Rhizosfer. Hinsinger et al. (25) menyatakan bahwa beberapa cm dari daerah sekitar akar terdapat peningkatan asam atau basa yang tergantung pada spesies tanaman. Untuk tanaman kacang-kacangan ph tanah akan meningkat asam, sedangkan untuk tanaman spruce akan menjadi basa. Pada penelitian ph tanah berada dalam kisaran 2,9 sampai dengan 3,9. Perubahan derajat kemasaman tanah ini tentu akan berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap jumlah populasi dan aktivitas mikrob yang mempunyai dampak terhadap besarnya emisi CO 2 dari dalam tanah ke atmosfer. Bentuk emisi C ke atmosfer selain gas CO 2, CH 4 merupakan salah satu komponen gas rumah kaca yang diemisikan oleh tanah akibat metabolisme bakteri metanogen. Kira-kira 8% diproduksi secara biologis oleh grup bakteri anaerobik pada lingkungan yang sangat reduktif (Ehhalt and Schmidt, 1978), dengan redoks potensial lebih kecil dari -2 mv dan tumbuh optimal pada temperatur 3-4 o C (Kirk, 24). Produksi CH 4 tidak akan dimulai sebelum oksigen, nitrat, besi (III), mangan (IV) dan sulfat tereduksi semua (Smith et al., 23). Proses ini sangat dipengaruhi oleh suhu, kandungan bahan organik, ph, kelembaban dan potensial redoks dalam tanah (Kimura et al., 1993; Moore dan Dalva, 1993; Yang dan

28 Chang, 1997). Sylvia et al., (1998) menjelaskan bahwa metanogen dalam tanah memproduksi CH 4 melalui dua jalan utama, yaitu: CO 2 + H 2 CH 4 (reduksi CO 2 ) CH 3 COOH CH 4 + CO 2 (fermentasi asetat) Dari pengukuran emisi CH 4 di perkebunan kelapa sawit (di Desa Suak Puntong, Suak Raya, dan Cot Gajah Mati), semak (Desa Simpang), hutan (di Desa Cot Gajah Mati dan Desa Simpang), ternyata CH 4 hanya terdeteksi pada hutan Cot Gajah Mati. Hal ini disebabkan karena muka air tanah di Hutan Cot Gajah Mati dangkal dan saluran drainase hanya berupa saluran kecil yang tidak terpelihara Sedangkan hutan di Desa Simpang memiliki saluran drainase utama dengan ukuran lebar 2,5 m dan dalam 3 m dengan kedalaman muka air tanah sekitar 36, 41, dan 53 cm dari permukaan gambut, sehingga CH 4 tidak terdeteksi walaupun tipe penggunaan lahannya sama sebagai hutan. Hal ini menunjukkan bahwa pembuatan drainase akan menurunkan emisi CH 4 seperti hasil penelitian yang dilaporkan oleh Martikainen et al. (1992) dan Flessa et al. (1998). Disamping itu, dalamnya muka air tanah dari permukaan gambut di hutan Desa Simpang menyebabkan tebalnya kondisi aerob di horizon atas, sehingga produksi CH 4 menurun dan meningkatkan konsumsi CH 4 untuk dioksidasi menjadi gas CO 2. Yang dan Chang (1998) menyatakan bahwa produksi CH 4 tidak terjadi jika kadar air dalam tanah kurang dari 23%. Terdapat korelasi linier positif antara total produksi CH 4 dengan kadar air tanah dari 16,7% sampai dengan 66,7%, sehingga produksi CH 4 meningkat dengan meningkatnya kadar air dalam tanah dan maksimum pada kadar air 66,7%. Tabel 12. Emisi CH 4 di hutan gambut Desa Cot Gajah Mati pada berbagai kedalaman muka air tanah. Kode Lokasi Lokasi Emisi CH 4 (t ha -1 th -1 ) Kedalaman muka air tanah (cm) EIII69 Hutan Cot Mati 1, EIII7 Hutan Cot Mati 4, EIII71 Hutan Cot Mati, EIII74 Hutan Cot Mati, EIII79 Hutan Cot Mati,776 5 EIII85 Hutan Cot Mati, EIII86 Hutan Cot Mati 1,

29 79 Emisi CH 4 (t ha -1 th -1 ) Kedalaman muka air tanah (cm) Gambar 39. Emisi CH 4 di hutan gambut Desa Cot Gajah Mati pada berbagai kedalaman muka air tanah. Pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap terbentuknya gas CH 4 sangat jelas terlihat pada penelitian ini. Data yang sangat menarik dari penelitian ini adalah emisi CH 4 pada hutan Cot Gajah Mati menurun dengan kedalaman muka air tanah, dan CH 4 tidak terdeteksi dengan kedalaman muka air tanah lebih dari 34 cm dari permukaan gambut (Gambar 39). Hal ini disebabkan oleh meningkatnya laju proses oksidasi CH 4 diubah menjadi CO 2 sebelum mencapai permukaan tanah semakin meningkat, sehingga emisi CH 4 menjadi menurun. Kelembaban udara dan muka air tanah merupakan faktor penting yang mempengaruhi emisi CH 4. Saluran drainase di hutan Desa Cot Gajah Mati tidak dikelola dengan baik, hal ini dapat merubah kondisi mikroagroklimat seperti meningkatnya kelembaban tanah dan dangkalnya muka air tanah dari permukaan gambut yang berpengaruh terhadap meningkatnya produksi CH 4, sehingga emisi CH 4 terdeteksi di hutan Cot Gajah Mati. Liu et al. (28) menyatakan bahwa pola emisi CH 4 menunjukkan korelasi nyata dengan kelembaban tanah. Beberapa penelitian juga melaporkan bahwa faktor lingkungan yang dominan mengendalikan emisi CH 4 di lahan gambut adalah kedalaman air tanah (Crill et al., 1988; Moore dan Dalva, 1993; Bartlett dan Harriss, 1993). Air tanah yang dekat dengan permukaan gambut menciptakan kondisi anaerobik yang merupakan kondisi sangat baik untuk produksi CH 4. Menurut Yang dan Chang (1998), produksi CH 4 dalam kondisi anaerob 1 kali lebih besar daripada kondisi aerob,

30 8 dari 1 gram tanah umumnya memproduksi CH 4 344,4 μg dalam kondisi anaerobik dan 33,8 μg dalam kondisi aerobik. Selain sistem drainase, sistem pengelolaan tanah dan tanaman seperti pengapuran dan pemupukan serta pengaturan tanaman pokok dan tanaman sela pada kebun kelapa sawit merupakan salah satu penyebab tidak terdeteksinya CH 4 pada semua kebun kelapa sawit. Menurut Yang dan Chang (1998), sterilisasi tanah, kondisi aerobik, penambahan monosakarida, disakarida dan urea dapat mengakibatkan penurunan produksi metana, sedangkan meningkatnya suhu (Crill et al., 1988; Nyakanen et al., 1995), penambahan bahan organik dan penggenangan air dapat meningkat produksi metana. Penggenangan tanah dapat meningkatkan emisi CH 4 beberapa kali lipat hingga mencapai 42,84 hingga 57,12 mg m -2 h -1 (Przywara dan Stêpniewska, 22), hal ini karena populasi dan aktivitas bakteri pengoksidasi metan meningkat selama penggenangan, tetapi menurun setelah pengeringan (Inubushi et al., 23). Sifat bahan gambut seperti ph juga mempengaruhi aktivitas mikrob metanogen (Mosier et al., 1991). Metanogen tumbuh baik pada ph 6,5-7,5 (Mah dan Smith, 1981) dan produksi CH 4 menurun jika ph tanah terlalu tinggi atau terlalu rendah (Wang et al., 1993). Derajat kemasaman gambut pada penelitian ini menunjukkan bahwa ph aktual (ph H 2 O) gambut berada pada kisaran 2,9 sampai dengan 3,9, sedangkan ph potensial (ph KCl) berkisar antara 2,3 sampai dengan 3,7, sehingga bukan merupakan ph optimum untuk perkembangan kehidupan metanogen. Dari hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa emisi CH 4 banyak ditemukan pada tanah yang tergenang, hal ini menunjukkan pentingnya ebulusi dalam mekanisme emisi CH 4. Memang secara umum gas seperti halnya CH 4 dapat mencapai atmosfer dengan 3 proses yaitu difusi molekul dengan terlarutnya CH 4, transport tanaman, dan ebulisi. Namun karena 6% akumulasi CH 4 dalam bentuk gelembung-gelembung udara (bubbles) bukan dalam bentuk terlarut, maka emisi CH 4 lebih dominan melalui ebulusi (Redeker et al., 23; Rinnan et al., 23).

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 )

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 ) PEMBAHASAN UMUM Dari kajian pengaruh pupuk N terhadap fluks CO 2 hasil respirasi bahan gambut menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut. Penambahan dosis urea

Lebih terperinci

PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2. Rasional

PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2. Rasional PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2 Rasional Penambahan pupuk N pada lahan gambut dapat mempengaruhi emisi GRK. Urea merupakan pupuk N inorganik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Gambut berperanan penting dalam biosfer karena gambut terlibat dalam siklus biogeokimia, merupakan habitat tanaman dan hewan, sebagai lingkungan hasil dari evolusi, dan referen

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Karakteristik Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terletak di agroekosistem kelapa sawit yang berada pada 2 (dua) lokasi yang berbeda yaitu Kebun Meranti Paham

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (CH 2 O)n + n O 2 n CO 2 + n H 2 O + e - (1) mikrob (CH 2 O)n + nh 2 O nco 2 + 4n e - + 4n H + (2)

HASIL DAN PEMBAHASAN. (CH 2 O)n + n O 2 n CO 2 + n H 2 O + e - (1) mikrob (CH 2 O)n + nh 2 O nco 2 + 4n e - + 4n H + (2) HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Eh dan ph Ketika tanah digenangi, air akan menggantikan udara dalam pori tanah. Pada kondisi seperti ini, mikrob aerob tanah menggunakan semua oksigen yang tersisa dalam tanah.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sulfat masam merupakan salah satu jenis lahan yang terdapat di kawasan lingkungan rawa dan tergolong ke dalam lahan bermasalah karena tanahnya memiliki sifat dakhil

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Fluks dan Total Fluks Gas Metana (CH 4 ) pada Lahan Jagung, Kacang Tanah, dan Singkong Pada Gambar 4, 5 dan 6 menunjukkan fluks CH 4 pada lahan jagung, kacang tanah dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pemanasan Global oleh Emisi Karbon Dioksida dan Metana

TINJAUAN PUSTAKA. Pemanasan Global oleh Emisi Karbon Dioksida dan Metana TINJAUAN PUSTAKA Pemanasan Global oleh Emisi Karbon Dioksida dan Metana Persoalan pemanasan global menjadi isu lingkungan hidup sejak tahun 1990-an dan merupakan ancaman serius bagi kelestarian ekosistem

Lebih terperinci

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon 1 Presentasi ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, memberikan pengantar tentang besarnya karbon yang tersimpan di lahan gambut. Bagian kedua membahas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Kopi Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi merupakan tanaman dengan perakaran tunggang yang mulai berproduksi sekitar berumur 2 tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman yang banyak mengonsumsi pupuk, terutama pupuk nitrogen (N) adalah tanaman padi sawah, yaitu sebanyak 72 % dan 13 % untuk palawija (Agency for Agricultural Research

Lebih terperinci

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN

PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN PERAN BAHAN ORGANIK DAN TATA AIR MIKRO TERHADAP KELARUTAN BESI, EMISI CH 4, EMISI CO 2 DAN PRODUKTIVITAS PADI DI LAHAN SULFAT MASAM RINGKASAN Tanah sulfat masam merupakan tanah dengan kemasaman yang tinggi

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh TINJAUAN PUSTAKA Penggenangan Tanah Penggenangan lahan kering dalam rangka pengembangan tanah sawah akan menyebabkan serangkaian perubahan kimia dan elektrokimia yang mempengaruhi kapasitas tanah dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Klasifikasi Bakteri Metanotrof Metanotrof sebagai Bakteri Pengoksidasi Metan

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Klasifikasi Bakteri Metanotrof Metanotrof sebagai Bakteri Pengoksidasi Metan TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik dan Klasifikasi Bakteri Metanotrof Bakteri metanotrof adalah bakteri Gram negatif, bersifat aerob dan menggunakan metan sebagai sumber karbon dan energi (Auman 2001). Karakteristik

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karbon Biomassa Atas Permukaan Karbon di atas permukaan tanah, meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi penelitian terlihat beragam, berikut diuraikan sifat kimia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO2 Tanah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO2 Tanah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO 2 Tanah Tanah merupakan bagian dari sistem yang mengatur konsentrasi CO 2 atmosfer. Hampir 10% CO 2 dari tanah sampai ke atmosfer tiap tahunnya (Raich dan

Lebih terperinci

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. 1 Pokok bahasan meliputi latar belakang penyusunan IPCC Supplement, apa saja yang menjadi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 12. Dinamika unsur N pada berbagai sistem pengelolaan padi sawah tanah Inseptisol, Jakenan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 12. Dinamika unsur N pada berbagai sistem pengelolaan padi sawah tanah Inseptisol, Jakenan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Dinamika Unsur Hara pada Berbagai Sistem Pengelolaan Padi Sawah 4.1.1. Dinamika unsur N Gambar 12 menunjukkan dinamika unsur nitrogen di dalam tanah pada berbagai sistem pengelolaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroorganisme Lokal (MOL) Mikroorganisme lokal (MOL) adalah mikroorganisme yang dimanfaatkan sebagai starter dalam pembuatan pupuk organik padat maupun pupuk cair. Bahan utama

Lebih terperinci

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN FUNGSI AIR Penyusun tubuh tanaman (70%-90%) Pelarut dan medium reaksi biokimia Medium transpor senyawa Memberikan turgor bagi sel (penting untuk pembelahan

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanian dan Pemanasan Global Pemanasan global yang kini terjadi adalah akibat dari makin meningkatnya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, baik secara alami maupun secara buatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO Sejumlah faktor iklim dan tanah menjadi kendala bagi pertumbuhan dan produksi tanaman kakao. Lingkungan alami tanaman cokelat adalah hutan tropis. Dengan demikian curah hujan,

Lebih terperinci

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN FUNGSI AIR Penyusun tubuh tanaman (70%-90%) Pelarut dan medium reaksi biokimia Medium transpor senyawa Memberikan turgor bagi sel (penting untuk pembelahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia pada umumnya, khususnya Provinsi Lampung. Hal ini dikarenakan

I. PENDAHULUAN. Indonesia pada umumnya, khususnya Provinsi Lampung. Hal ini dikarenakan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian merupakan bagian penting dalam pembangunan perekonomian di Indonesia pada umumnya, khususnya Provinsi Lampung. Hal ini dikarenakan kondisi

Lebih terperinci

PENGELOLAAN LAHAN BASAH DI INDONESIA YANG BERKELANJUTAN

PENGELOLAAN LAHAN BASAH DI INDONESIA YANG BERKELANJUTAN 1 PENGELOLAAN LAHAN BASAH DI INDONESIA YANG BERKELANJUTAN Syekhfani Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya 2 Pertanian Berkelanjutan Definisi: The ability to keep in existence; maintain or prolong; to

Lebih terperinci

KULIAH 2 HUBUNGAN AIR, TANAH DAN TANAMAN

KULIAH 2 HUBUNGAN AIR, TANAH DAN TANAMAN KULIAH 2 HUBUNGAN AIR, TANAH DAN TANAMAN HUBUNGAN AIR, TANAH DAN TANAMAN Hubungan air tanah dan Tanaman Fungsi air bagi tanaman Menjaga tekanan sel Menjaga keseimbangan suhu Pelarut unsur hara Bahan fotosintesis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Sifat Kimia Tanah Variabel kimia tanah yang diamati adalah ph, C-organik, N Total, P Bray, Kalium, Kalsium, Magnesium, dan KTK. Hasil analisis sifat kimia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Lahan Sawah. reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Lahan Sawah. reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Sawah Perubahan kimia tanah sawah berkaitan erat dengan proses oksidasi reduksi (redoks) dan aktifitas mikroba tanah sangat menentukan tingkat ketersediaan hara dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. a b c. Pada proses pembentukan magnetit, urea terurai menjadi N-organik (HNCO), NH + 4,

HASIL DAN PEMBAHASAN. a b c. Pada proses pembentukan magnetit, urea terurai menjadi N-organik (HNCO), NH + 4, 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Sintesis Magnetit Pembentukan magnetit diawali dengan reaksi reduksi oleh natrium sitrat terhadap FeCl 3 (Gambar 1). Ketika FeCl 3 ditambahkan air dan urea, larutan berwarna jingga.

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2011 sampai dengan bulan Mei

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2011 sampai dengan bulan Mei III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2011 sampai dengan bulan Mei 2011. Analisis tanah dan tanaman dilakukan di Laboratorium Analisis Tanah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. air, dan jasad hidup yang secara umum terdiri dari mikroorganisme. Masing masing

I. PENDAHULUAN. air, dan jasad hidup yang secara umum terdiri dari mikroorganisme. Masing masing I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah umumya tersusun oleh senyawa anorganik, senyawa organik, udara, air, dan jasad hidup yang secara umum terdiri dari mikroorganisme. Masing masing ekosistem mempunyai

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Populasi Bakteri Penambat N 2 Populasi Azotobacter pada perakaran tebu transgenik IPB 1 menunjukkan jumlah populasi tertinggi pada perakaran IPB1-51 sebesar 87,8 x 10 4 CFU/gram

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN: 978-602-18962-5-9 PENGARUH JENIS DAN DOSIS BAHAN ORGANIK PADA ENTISOL TERHADAP ph TANAH DAN P-TERSEDIA TANAH Karnilawati 1), Yusnizar 2) dan Zuraida 3) 1) Program

Lebih terperinci

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan tingkat tinggi merupakan organisme autotrof dapat mensintesa komponen molekular organik yang dibutuhkannya, selain juga membutuhkan hara dalam bentuk anorganik

Lebih terperinci

HASIL. Gambar 4 Fluks CH 4 dari beberapa perlakuan selama satu musim tanam pada sawah lahan gambut

HASIL. Gambar 4 Fluks CH 4 dari beberapa perlakuan selama satu musim tanam pada sawah lahan gambut 4 perbedaan antar perlakuan digunakan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT). Analisis regresi digunakan untuk melihat hubungan antara parameter yang diamati dengan emisi CH 4. HASIL a. Fluks CH 4 selama

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar K (15 0 C ), suhu PENDAHULUAN Latar Belakang Rataan suhu di permukaan bumi adalah sekitar 288 0 K (15 0 C ), suhu tersebut dapat dipertahankan karena keberadaan sejumlah gas yang berkonsentrasi di atmosfer bumi. Sejumlah

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa

Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa Rajiman A. Latar Belakang Pemanfaatan lahan memiliki tujuan utama untuk produksi biomassa. Pemanfaatan lahan yang tidak bijaksana sering menimbulkan kerusakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Stok Karbon 4.1.1 Panai Jaya Data stok karbon yang digunakan pada kebun Panai Jaya berasal dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yulianti (2009) dan Situmorang

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3. 1. Waktu, Lokasi Pengambilan Tanah Gambut dan Tempat Penelitian Bahan gambut berasal dari Kabupaten Dumai, Bengkalis, Indragiri Hilir, Siak, dan Kampar, Provinsi Riau dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Durian 1. Karakteristik tanaman durian Durian (Durio zibethinus Murr.) merupakan salah satu tanaman hasil perkebunan yang telah lama dikenal oleh masyarakat yang pada umumnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

Fluks Metana dan Karakteristik Tanah pada Budidaya Lima Macam Tanaman

Fluks Metana dan Karakteristik Tanah pada Budidaya Lima Macam Tanaman IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Sistematika hasil dan pembahasan disajikan dalam beberapa sub bagian yaitu Fluks metana dan karakteristik tanah pada budidaya lima macam tanaman; Pengaruh pengelolaan air terhadap

Lebih terperinci

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT Dr. David Pokja Pangan, Agroindustri, dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanah Sawah. tanaman padi sawah, dimana padanya dilakukan penggenangan selama atau

TINJAUAN PUSTAKA. Tanah Sawah. tanaman padi sawah, dimana padanya dilakukan penggenangan selama atau TINJAUAN PUSTAKA Tanah Sawah Lahan sawah adalah lahan yang dikelola sedemikian rupa untuk budidaya tanaman padi sawah, dimana padanya dilakukan penggenangan selama atau sebagian dari masa pertumbuhan padi.

Lebih terperinci

BAB IV BASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV BASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV BASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Tanaman Padi Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman padi hingga masulcnya awal fase generatif meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan maksimum, jumlah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tanah merupakan salah satu komponen sistem lahan yang didefinisikan sebagai benda alam yang tersusun dari 3 frasa, yaitu padatan, cair, dan gas, yang berada dipermukaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Sifat Kimia dan Fisik Latosol Darmaga Sifat kimia dan fisik Latosol Darmaga yang digunakan dalam percobaan ini disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Sifat Kimia

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah yang di analisis adalah tekstur tanah, bulk density, porositas, air tersedia, serta permeabilitas. Berikut adalah nilai masing-masing

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertambahan Tinggi Bibit Tanaman (cm) Hasil pengamatan terhadap pertambahan tinggi bibit kelapa sawit setelah dilakukan sidik ragam (lampiran 9) menunjukkan bahwa faktor petak

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisik Tanah 5.1.1. Bobot Isi dan Porositas Total Penambahan bahan organik rumput signal pada lahan Kathryn belum menunjukkan pengaruh baik terhadap bobot isi (Tabel

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN RESPIRASI PADA TUMBUHAN. Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Fisiologi Tumbuhan

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN RESPIRASI PADA TUMBUHAN. Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Fisiologi Tumbuhan LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN RESPIRASI PADA TUMBUHAN Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Fisiologi Tumbuhan yang diampu oleh Drs.Dahlia, M.Pd Disusun oleh : Kelompok II/Offering A 1. Annas

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Parameter pertumbuhan yang diamati pada penelitian ini adalah diameter batang setinggi dada ( DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi dan Seleksi Mikrob pada A. malaccensis Populasi bakteri dan fungi diketahui dari hasil isolasi dari pohon yang sudah menghasilkan gaharu. Sampel yang diambil merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanah merupakan salah satu faktor yang sangat berperan penting dalam bidang

I. PENDAHULUAN. Tanah merupakan salah satu faktor yang sangat berperan penting dalam bidang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tanah merupakan salah satu faktor yang sangat berperan penting dalam bidang pertanian, sebab tanah merupakan media tumbuh dan penyedia unsur hara bagi tanaman.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Pemberian dan Terhadap Sifat sifat Kimia Tanah Penelitian ini mengevaluasi pengaruh pemberian amelioran bahan humat dan abu terbang terhadap kandungan hara tanah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan-hutan maupun daerah semak belukar tetapi kemudian dibudidayakan. Sebagai tanaman

Lebih terperinci

Pengaruh ph tanah terhadap pertumbuhan tanaman

Pengaruh ph tanah terhadap pertumbuhan tanaman Pengaruh ph tanah terhadap pertumbuhan tanaman 1. Menentukan mudah tidaknya ion-ion unsur hara diserap oleh tanaman. Pada umumnya unsur hara akan mudah diserap tanaman pada ph 6-7, karena pada ph tersebut

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya. 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merr) Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya. Susunan morfologi kedelai terdiri dari akar, batang, daun, bunga dan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang memiliki prospek pengembangan cukup cerah, Indonesia memiliki luas areal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L.) Mentimun dapat diklasifikasikan kedalam Kingdom: Plantae; Divisio: Spermatophyta; Sub divisio: Angiospermae; Kelas : Dikotyledonae;

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Siklus dan Neraca Nitrogen (N) Menurut Hanafiah (2005 :275) menjelaskan bahwa siklus N dimulai dari fiksasi N 2 -atmosfir secara fisik/kimiawi yang meyuplai tanah bersama

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tumbuhan hutan yang dibudidayakan. Tanaman ini memiliki respon yang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tumbuhan hutan yang dibudidayakan. Tanaman ini memiliki respon yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tumbuhan hutan yang dibudidayakan. Tanaman ini memiliki respon yang baik sekali terhadap kondisi lingkungan hidup dan perlakuan

Lebih terperinci

PLOT ROOT CUT PLOT CONTROL

PLOT ROOT CUT PLOT CONTROL BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Fluks CO dari Tanah Gambar dan menunjukkan fluks CO pada plot Root Cut dan plot Control. Pada Tabel menampilkan ratarata fluks CO tiap plot pada plot Root Cut dan plot Control.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang terjadi hampir sepanjang tahun. Keadaan hidro-topografi berupa genangan

TINJAUAN PUSTAKA. yang terjadi hampir sepanjang tahun. Keadaan hidro-topografi berupa genangan TINJAUAN PUSTAKA Tanah Gambut Gambut dibentuk oleh lingkungan yang khas dengan suasana tergenang yang terjadi hampir sepanjang tahun. Keadaan hidro-topografi berupa genangan menciptakan kondisi anaerob

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Letak dan Ciri-ciri Lintasan Sepeda Gunung Letak lintasan sepeda gunung di HPGW disajikan dalam Gambar 5. Ciricirinya disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Keadaan plot penelitian

Lebih terperinci

STAF LAB. ILMU TANAMAN

STAF LAB. ILMU TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN Suhu Suhu merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman Suhu berkorelasi positif dengan radiasi mata hari Suhu: tanah maupun udara disekitar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut 2.1.1 Pengertian Tanah Gambut Gambut mempunyai banyak istilah padanan dalam bahasa asing, antara lain peat, bog, moor, mire, atau fen. Gambut diartikan sebagai material

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Jenuh Air

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Jenuh Air 4 TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Jenuh Air Budidaya jenuh air merupakan sistem penanaman dengan membuat kondisi tanah di bawah perakaran tanaman selalu jenuh air dan pengairan untuk membuat kondisi tanah jenuh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Emisi Metan dari Lahan Sawah

II. TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Emisi Metan dari Lahan Sawah 54 II. TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Emisi Metan dari Lahan Sawah Sumber utama emisi gas metan berasal dari aktivitas manusia (sumber antropogenik). Hampir 70% total emisi metan berasal dari sumber antropogenik

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Organik Tanah Bahan organik tanah merupakan bagian dari fraksi organik yang telah mengalami degradasi dan dekomposisi, baik sebagian atau keseluruhan menjadi satu dengan

Lebih terperinci

Mikrobia dan Tanah KULIAH 1 PENDAHULUAN 9/5/2013 BIOLOGI TANAH BIOLOGI TANAH TANAH. Tanah merupakan habitat yang sangat heterogen. Penghuninya beragam

Mikrobia dan Tanah KULIAH 1 PENDAHULUAN 9/5/2013 BIOLOGI TANAH BIOLOGI TANAH TANAH. Tanah merupakan habitat yang sangat heterogen. Penghuninya beragam BIOLOGI TANAH BIOLOGI TANAH Ilmu yang mempelajari : KULIAH 1 PENDAHULUAN Organisme yang hidup dalam tanah, klasifikasi dan aktivitas metabolismenya,serta peranannya dalam siklus nutrisi dan perombakan

Lebih terperinci

TINJAUN PUSTAKA. Sifat sifat Kimia Tanah. tekstur tanah, kepadatan tanah,dan lain-lain. Sifat kimia tanah mengacu pada sifat

TINJAUN PUSTAKA. Sifat sifat Kimia Tanah. tekstur tanah, kepadatan tanah,dan lain-lain. Sifat kimia tanah mengacu pada sifat TINJAUN PUSTAKA Sifat sifat Kimia Tanah Tanah memiliki sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi. Sifat fisik dan biologi tanah dapat dilihat secara kasat mata dan diteliti dengan warna tanah, tekstur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan seperti banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. ph 5,12 Total Volatile Solids (TVS) 0,425%

HASIL DAN PEMBAHASAN. ph 5,12 Total Volatile Solids (TVS) 0,425% HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas Sebelum dilakukan pencampuran lebih lanjut dengan aktivator dari feses sapi potong, Palm Oil Mill Effluent (POME) terlebih dahulu dianalisis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam 5 tahun terakhir produksi nasional kedelai tergolong rendah berkisar 600-

I. PENDAHULUAN. Dalam 5 tahun terakhir produksi nasional kedelai tergolong rendah berkisar 600- 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Dalam 5 tahun terakhir produksi nasional kedelai tergolong rendah berkisar 600-700 ribu ton per tahun dengan kebutuhan kedelai nasional mencapai 2 juta ton

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global saat ini menjadi topik yang paling hangat dibicarakan dan mendapatkan perhatian sangat serius dari berbagai pihak. Pada dasarnya pemanasan global merupakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau Bahan gambut dari Riau dianalisis berdasarkan karakteristik ekosistem atau fisiografi gambut yaitu gambut marine (coastal peat swamp),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global.

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global. Hal itu terjadi karena dampak dari kebakaran hutan tersebut bukan hanya dirasakan ole11 Indonesia saja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pemanasan global adalah kejadian terperangkapnya radiasi gelombang panjang matahari (inframerah atau gelombang panas) yang dipancarkan oleh bumi sehingga tidak dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al., 1996 dalam Iriany et al., 2007).

I. PENDAHULUAN. sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al., 1996 dalam Iriany et al., 2007). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jagung merupakan tanaman serealia yang paling produktif di dunia, cocok ditanam di wilayah bersuhu tinggi. Penyebaran tanaman jagung sangat luas karena mampu beradaptasi

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan mulai bulan November 2010 sampai dengan Juni 2011. Lokasi penelitian terletak di Desa Bantar Kambing, Kecamatan Ranca Bungur,

Lebih terperinci

(PERSYARATAN LINGKUNGAN TUMBUH) IKLIM IKLIM TANAH

(PERSYARATAN LINGKUNGAN TUMBUH) IKLIM IKLIM TANAH AGRO EKOLOGI (PERSYARATAN LINGKUNGAN TUMBUH) TANAMAN KELAPA IKLIM IKLIM TANAH AGRO EKOLOGI TANAMAN KELAPA Suhu rata rata tahunan adalah 27 C dengan fluktuasi 6 7 C Suhu yang tinggi dapat mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanaman kedelai, namun hasilnya masih kurang optimal. Perlu diketahui bahwa kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. tanaman kedelai, namun hasilnya masih kurang optimal. Perlu diketahui bahwa kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu jenis tanaman pangan yang menjadi mata pencaharian masyarakat adalah tanaman kedelai, namun hasilnya masih kurang optimal. Perlu diketahui bahwa kebutuhan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Terdapat 11 profil tanah yang diamati dari lahan reklamasi berumur 0, 5, 9, 13 tahun dan lahan hutan. Pada lahan reklamasi berumur 0 tahun dan lahan hutan, masingmasing hanya dibuat

Lebih terperinci

Pengelolaan Air di Areal Pasang Surut. Disampaikan Pada Materi Kelas PAM

Pengelolaan Air di Areal Pasang Surut. Disampaikan Pada Materi Kelas PAM Pengelolaan Air di Areal Pasang Surut Disampaikan Pada Materi Kelas PAM Pundu Learning Centre - 2012 DEFINISI Disampaikan Pada Materi Kelas PAM Pundu Learning Centre - 2012 DEFINISI Areal Pasang Surut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Permasalahan Tanah Ultisol dan Upaya Mengatasinya

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Permasalahan Tanah Ultisol dan Upaya Mengatasinya 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Permasalahan Tanah Ultisol dan Upaya Mengatasinya Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran yang cukup luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar

Lebih terperinci

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB VI. PERSIAPAN LAHAN Rizka Novi Sesanti KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci