BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
|
|
- Adi Johan
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 digilib.uns.ac.id BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teoritis A. Pembangunan Manusia Menurut UNDP (1990), pembangunan manusia adalah suatu proses untuk perluasan pilihan bagi setiap orang untuk berumur panjang dan sehat, berpendidikan, dan dapat mengakses sumber daya yang dibutuhkan demi standar hidup yang layak. Pilihan-pilihan lainnya berupa kebebasan berpolitik, jaminan hak-hak manusia dan harga diri. Pembangunan manusia harus berfokus lebih dari sekedar pembentukan kapabilitas manusia, seperti meningkatkan kesehatan atau pendidikan, akan tetapi harus memperhatikan pemanfaatan kapabilitas tersebut untuk bekerja, rekreasi atau untuk beraktifitas dalam hal politik dan kebudayaan (UNDP, 1990). Amartya Sen (1999), berpendapat bahwa pembangunan dapat dilihat sebagai suatu proses perluasan kebebasan yang dinikmati penduduk. Fokus dari pembangunan manusia berbeda jauh dengan pandanganpandangan sempit tentang pembangunan, seperti identifikasi hasil pembangunan melalui pertumbuhan GNP, kenaikan pendapatan, pertumbuhan industrialisasi, peningkatan teknologi, atau modernisasi lingkungan sosial. Pertumbuhan GNP maupun peningkatan pendapatan penduduk tentu saja dapat merefleksikan perluasan kebebasan yang dinikmati oleh anggota masyarakat. Akan tetapi kebebasan juga bergantung pada faktor-faktor penentu lainnya, seperti pengaturan permasalahan sosial dan ekonomi (seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan) harus sebaik
2 digilib.uns.ac.id 11 permasalahan politik dan hak-hak sipil (seperti kebebasan berpartisipasi dan diskusi publik dan pengawasan). Apabila kebebasan merupakan hasil dari kemajuan pembangunan, maka sangat beralasan untuk memusatkan pembangunan pada tujuan secara menyeluruh, bukan pada cara-cara tertentu atau instrument-instrumen tertentu yang sudah ditetapkan. B. Indeks Kualitas Hidup (IKH) / The Phisical Quality of Life Index (PQLI) Sebagai respon dari ketidakpuasan terhadap hasil dari strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan., beberapa negara kaya dan miskin menunjukkan perhatian baru pada kemungkinan perecpatan pemenuhan kebutuhan minimum penduduk miskin. Untuk itu beberapa lembaga penelitian (The United Nation Research Institute for Social Development/UNRISD, Organisation for Economic Co-operation and Developmnet/OECD), Bank Dunia) melakukan studi tentang ukuran hasil pembangunan dengan orientasi manusia. Dari hasil studi tersebut tidak satupun ukuran yang menggambarkan sejauh mana manfaat pembangunan diterima oleh penduduk miskin. Berdasarkan kajian dari usaha-usaha yang telah dilakukan oleh lembaga penelitian terdahulu, Overseas Development Council (ODC) mencoba untuk tidak mencakup semua variabel dalam proses pembangunan dalam satu ukuran. ODC menetapkan tiga indikator yang menjadi perhatian, yaitu: Angka kematian bayi / Infant Mortality Rate (IMR), angka harapan hidup satu tahun, dan angka literasi (melek huruf). Ketiga indikator tersebut menjadi komponen dalam penyusunan indikator komposit IKH/PQLI (Morris, 1979).
3 digilib.uns.ac.id 12 Beberapa hal yang mendasari Morris untuk menyususn suatu indikator komposit dengan memasukkan beberapa komponen adalah: a) Indeks itu tidak mengasumsikan bahwa hanya terdapat satu pola pembangunan, b) Indeks itu menghindari standar yang merefleksikan nilainilai dari masyarakat tertentu, c) Indeks tersebut bisa mengukur hasil bukan masukan, d) Indeks tersebut harus bisa menunjukkan distribusi hasil pembangunan, e) Indeks tersebut harus sederhana dan mudah menghitungnya, f) Indeks itu harus bisa menunjukkan perbandingan internasional. Penghitungan IKH dapat diformulasikan sebagai berikut : IKH = 1/3 [Ia + Ib + Ic] (2.1) dimana Ia adalah indeks usia harapan hidup satu tahun, yang didapat dari hasil penghitungan : Ia=(e 1 38)/0,39 (2.2) Angka 38 adalah batas bawah harapan hidup usia satu tahun yang ditemukan di Vietnam tahun 1950 (dalam indeks = 0), sedangkan batas atasnya adalah 78 berdasarkan hipotesa kematian tua/senescent deaths (dalam indeks=100). Angka 0,39 merupakan perubahan usia harapan hidup (dalam tahun) sebagai akibat dari perubahan satu skala angka indeks. Mengingat data nasional yang tersedia biasanya berupa data angka harapan hidup nol tahun (e 0 ), maka untuk mendapatkan angka harapan hidup satu tahun, didapatkan melalui penghitungan :
4 digilib.uns.ac.id 13 e 1 = e 0 1+q 0 (1 k 0 ) 1 q 0 (2.3) dimana e 0 adalah usia harapan hidup waktu lahir, q 0 adalah angka kematian bayi per 1000 kelahiran (IMR), k 0 adalah estimasi rata-rata umur bayi yang meninggal sebelum usai satu tahun. Ib adalah indeks IMR yang didapatkan dari hasil penghitungan dengan formula sbb. : Ib = (229 IMR) /2,22 (2.4) dimana angka 229 merupakan nilai tertinggi IMR yang tercatat sejak tahun 1950 dan ditemukan di Gabon (dalam indeks=0), sedangkan IMR terendah adalah 7 dan ditemukan di Swedia (dalam indeks=100). Angka 2,22 merupakan besaran perubahan IMR akibat perubahan satu skala indeks. Ic adalah indeks literasi yang diambil langsung dari angka literasi (melek huruf). C. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Menurut UNDP, ada kelemahan dalam penghitunga PQLI, yaitu bahwa dari ketiga indikator yang digunakan secara jelas ada dua indikator yang saling tumpang tindih, khususnya bagi negara berkembang yaitu angka kematian bayi dan angka harapan hidup satu tahun. Kedua indikator tersebut berhubungan dengan umur panjang dan saling berkorelasi sangat kuat (UNDP, 1990). Persepsi pembangunan telah bergeser, pertama dari pembangunan ekonomi menjadi pembangunan sosio ekonomi dengan penekanan baru pada
5 digilib.uns.ac.id 14 kemiskinan. Saat ini persepsi pembangunan adalah pembangunan manusia, yang menekankan pembangunan pada pilihan-pilihan manusia dan menjadikan manusia sebagai orientasi pembangunan. Hal tersebut merefleksikan bahwa ukuran pembangunan bukan hanya pada perkembangan komoditas dan kesejahteraan, akan tetapi sebagai perluasan pilihan-pilihan bagi manusia (UNDP, 1990). Berdasarkan pemikiran-pemikiran di atas, UNDP memperkenalkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development Index (HDI). IPM merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai rata-rata sederhana dari indeks harapan hidup (e0), indeks pendidikan (angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah), dan indeks standar hidup layak. Komponen IPM adalah usia hidup (longevity), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent living). Penghitungan IPM dapat diformulasikan sebagai berikut : IPM = 1 /3 [X(1) + X(2) + X(3)] (2.5) dimana : X(1) : Indeks harapan hidup X(2) : Indeks pendidikan = 2 /3(indeks melek huruf) + 1 /3(indeks ratarata lama sekolah) X(3) : Indeks standar hidup layak Nilai IPM berkisar antara 0 hingga 100, semakin mendekati 100, maka hal tersebut merupakan indikasi pembangunan manusia yang semakin baik. Berdasarkan nilai IPM, UNDP membagi status pembangunan manusia
6 digilib.uns.ac.id 15 suatu negara atau wilayah ke dalam tiga golongan, yaitu: 1. IPM < 50 (rendah); IPM < 80 (sedang/menengah); 3. IPM 80 (tinggi). Sebagai sebuah indikator baru, beberapa kritikan teradap IPM bermunculan. Desai (1991) mengkritik bahwa tiga indeks dasar ditambahkan bersama-sama dalam penghitungan IPM, sehingga membuat pendapatan, kesehatan dan pendidikan bersubstitusi. Sebaliknya, ia mengusulkan untuk menggunakan bentuk aditif log yang membatasi substitusi tersebut (Desai, 1991:356). McGillivray (1991) menyatakan bahwa IPM cacat dalam komposisi komponennya, dan seperti beberapa indikator yang telah ada sebelumnya (seperti GNP per kapita), IPM gagal untuk memberikan wawasan perbandingan tingkat perkembangan antar negara apabila tidak ada indikatorindikator pendukung yang lain. Indeks pembangunan manusia lebih efektif untuk memberikan pernyataan ideologis daripada pandangan baru dalam tingkat pembangunan antar negara (McGillivray, 1991). Meskipun ada beberapa kritik yang benar, kenyataannya tetap menunjukkan bahwa ketika IPM digunakan bersama dengan indikatorindikator pembangunan ekonomi tradisional sangat meningkatkan pemahaman kita tentang negara mana yang mengalami perkembangan dalam pembangunan dan mana yang tidak. Dengan memodifikasi HDI suatu negara secara keseluruhan untuk mencerminkan distribusi pendapatan, jenis kelamin, regional, dan perbedaan etnis, seperti yang disajikan dalam Laporan Pembangunan Manusia, dapat mengidentifikasi tidak hanya apakah suatu negara sedang melaksanakan pembangunan, tetapi juga dapat diketahui
7 digilib.uns.ac.id 16 apakah keragaman kelompok yang signifikan di negara tersebut menyertai dalam proses dalam pembangunan (Todaro and Smith, 2012: 54). D. Kemiskinan Pengertian dan garis besar kemiskinan telah menjadi perhatian utama umat manusia selama beberapa abad. Sejak tahun 1880-an, tiga konsepsi alternatif tentang kemiskinan telah berevolusi sebagai dasar untuk penelitian berskala internasional dan komparatif. Ketiganya secara prinsip didasari pemikiran tentang subsisten, kebutuhan dasar, dan deprivasi relatif. Penggunaan "subsisten" untuk mendefinisikan kemiskinan mendapat banyak kritik, dikarenakan hal tersebut menyiratkan bahwa kebutuhan manusia utamanya hanya pada kebutuhan secara fisik dari pada kebutuhan sosial (UNDP, 2006). Pada tahun 1970-an, formulasi kedua yang menggunakan kebutuhan dasar mulai memberikan pengaruh yang luas dan mendapat dukungan sepenuhnya dari ILO (International Labour Organization). Ada dua unsur yang menjadi perhatian konsepsi ini. Pertama adalah kebutuhan konsumsi minimum rumahtangga, yaitu: makanan yang cukup, tempat tinggal dan pakaian, serta perabot rumah tangga dan peralatan. Unsur kedua adalah layanan penting yang disediakan oleh dan untuk masyarakat luas, seperti: air bersih, sanitasi, transportasi umum dan perawatan kesehatan, pendidikan dan fasilitas budaya. Untuk wilayah perdesaan, konsep kebutuan dasar juga memasukkan tanah, peralatan pertanian dan akses ke pertanian.
8 digilib.uns.ac.id 17 Konsep kebutuhan dasar merupakan pengembangan dari konsep subsisten. Konsep ini, di sisi lain, bertujuan untuk membangun setidaknya beberapa prasyarat untuk pengembangan masyarakat. Konsep kebutuhan dasar berperan penting dalam rencana pembangunan nasional dan dikembangkan oleh masyarakat internasional, khususnya Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Pada akhir abad ke-20, formulasi kemiskinan yang menggunakan konsep deprivasi relatif mulai dikembangkan. Pendekatan ini menggariskan bahwa setiap ukuran kemiskinan dan oleh karenanya jumlah orang yang dianggap dalam kemiskinan hanya bisa ditentukan melalui rujukan pada standar hidup anggota masyarakat tertentu. Pada abad ke-21, masyarakat mengalami perubahan yang cepat sehingga standar kemiskinan yang telah dikembangkan pada masa terdahulu sulit untuk diterapkan. Hal tersebut dikarenakan masyarakat yang tinggal di masa sekarang tidak tunduk pada hukum, kewajiban dan kebiasaan yang sama dan yang telah diterapkan pada era sebelumnya (UNDP, 2006). Amartya Sen (1999) di dalam bukunya Development As Freedom mengemukakan bahwa kemiskinan harus dipandang sebagai deprivasi kapabilitas dasar daripada sekedar sebagai rendahnya pendapatan yang merupakan kriteria standar identifikasi kemiskinan. Perspektif kapabilitaskemiskinan tidak menyangkut perihal bantahan terhadap pandangan yang menyatakan bahwa penghasilan rendah merupakan salah satu penyebab utama kemiskinan, sepanjang kurangnya pendapatan dapat menjadi alasan
9 digilib.uns.ac.id 18 utama deprivasi kapabilitas individu. Beberapa pernyataan yang mendukung pendekatan kapabilitas terhadap kemiskinan adalah sebagai berikut : a. Kemiskinan dapat diidentifikasi secara masuk akal dalam hal deprivasi kapabilitas; suatu pendekatan yang berkosentrasi pada deprivasideprivasi yang pada hakekatnya merupakan sesuatu yang penting (tidak seperti rendahnya pendapatan, yang hanya signifikan secara instrumental). b. Ada pengaruh-pengaruh pada deprivasi kapabilitas -dengan demikian pada kemiskinan yang seseungguhnya- selain rendahnya pendapatan (pendapatan bukan satu-satunya instrumen dalam membangkitkan kapabilitas). c. Hubungan yang terjadi antara pendapatan rendah dan kemampuan rendah adalah suatu kejadian yang bisa berlainan di antara komunitas yang berbeda dan bahkan antara keluarga yang berbeda dan individu yang berbeda (dampak dari pendapatan terhadap kapabilitas bersifat tidak pasti dan kondisional). BAPPENAS mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk
10 digilib.uns.ac.id 19 berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective approach (Multifiah,2011). UNDP (2006) berpendapat bahwa kemiskinan mencerminkan kurangnya pilihan dan peluang dalam pendidikan, kesehatan, dan penguasaan sumber daya, serta hak bersuara dalam proses demokrasi (UNDP, 2006). Pada tahun 2010, Bank Dunia juga mendefinisikan ulang kemiskinan sebagai berikut: Kemiskinan adalah depriviasi kesejahteraan yang nyata, dan bersifat multidimensial. Termasuk di dalamnya adalah pendapatan yang rendah dan ketidakmampuan untuk mendapatkan kebutuhan dasar yang diperlukan untuk mempertahankan hidup dengan bermartabat. Kemiskinan juga mencakup rendahnya tingkat kesehatan dan pendidikan, akses yang buruk terhadap air bersih dan sanitasi, keamanan fisik yang tidak memadai, kurangnya hak bersuara, kurangnya kapasitas yang memadai, dan kurangnya kesempatan untuk hidup yang lebih baik (World Bank, 2013). Dari beberapa konsep/definisi kemiskinan yang diuraikan di atas, penelitian ini menggunakan konsep pemenuhan kebutuhan dasar yang dikemukakan oleh BAPPENAS. Hal tersebut dikarenakan konsep tersebut sangat relevan dengan kondisi kemiskinan di Indonesia dan ketersediaan data.
11 digilib.uns.ac.id 20 E. Pengukuran Kemiskinan Ada empat alasan pengukuran kemiskinan, yaitu: a) Menjaga penduduk miskin tetap dalam perhatian, b) Mengidentifikasi penduduk miskin dan menetapkan sasaran intervensi secara tepat, c) Memonitor dan mengevaluasi program dan kebijakan intervensi untuk penduduk miskin, d) Mengevaluasi efektivitas lembaga yang bertujuan membantu penduduk miskin.(haughton dan Khandker, 2009: 1). Menurut Haughton dan Khandker (2009), penduduk miskin adalah mereka yang mempunyai besaran pengeluaran (atau pendapatan) di bawah garis kemiskinan. Ada tiga metode untuk menentukan garis kemiskinan, yaitu: pengeluaran untuk kebutuhan dasar, asupan enersi makanan, dan penilaian yang bersifat subyektif. Pendekatan biaya kebutuhan dasar paling sering digunakan. Pada pendekatan ini, pertama kali yang harus dilakukan adalah melakukan estimasi biaya makanan dengan gizi yang memadai (umumnya, kalori per orang per hari), kemudian menambahkan biaya kebutuhan pokok yang lain seperti pakaian dan perumahan. Apabila informasi harga tidak tersedia, maka metode biaya kebutuhan dasar tidak dapat digunakan, oleh karenanya menggunakan metode asupan enersi makanan. Pada metode ini, dilakukan plot antara pengeluaran (atau pendapatan) per kapita dengan konsumsi makanan (dalam kalori per kapita per hari) yang bertujuan untuk menentukan tingkat pengeluaran (atau pendapatan) yang dibutuhkan rumah tangga dalam memperoleh makanan yang cukup.
12 digilib.uns.ac.id 21 Garis kemiskinan subyektif didasarkan pada permintaan penduduk perihal tingkat pendapatan minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan. Garis kemiskinan absolut adalah tetap dari waktu ke waktu, dan disesuaikan hanya apabila terjadi inflasi, seperti yang dilakukan Amerika Serikat. Hal tersebut memungkinkan untuk melihat perkembangan kemiskinan dari waktu ke waktu, dan juga berguna untuk mengevaluasi dampak dari kebijakan dan program pengentasan kemiskinan. Bagaimanapun, di banyak negara, garis kemiskinan selalu direvisi dari waktu ke waktu. Hal tersebut berimplikasi bahwa kemiskinan yang diukur adalah kemiskinan relatif bukan kemiskinan absolut. Penentuan garis kemiskinan bergantung pada manfaat yang akan diambil, sehingga, untuk perbandingan internasional, standar satu dolar ($ 1.0) per hari adalah sangat membantu, sedangkan untuk penentuan target program atau kebijakan untuk orang miskin garis kemiskinan relatif sudah cukup. Pemilihan garis kemiskinan yang tepat adalah masalah penilaian, dan karena itu akan bervariasi antar negara (Haughton dan Khandker, 2009 : 39-40). Standar garis kemiskinan satu dolar ($ 1.0) per hari, pertama kali diusulkan oleh Bank Dunia pada tahun Ukuran tersebut untuk mengukur kemiskinan absolut dengan standar negara-negara termiskin di dunia. Berdasarkan set data garis kemisninan nasional Amerika Serikat terbaru ditemukan bahwa gradien ekonomi hanya muncul ketika konsumsi
13 digilib.uns.ac.id 22 per orang di atas paritas daya beli sekitar dua dolar ($ 2) per hari pada tahun Oleh karenanya, Bank Dunia mengusulkan garis kemiskinan rata-rata 1,25 dolar ($ 1,25) per hari sebagai garis kemiskinan internasional yang baru. Mengingat bahwa kemiskinan relatif tampaknya lebih penting bagi negaranegara berkembang daripada yang telah diperkirakan selama ini, maka Bank Dunia mengusulkan untuk membatasi garis kemiskinan relatif dibatasi di bawah 1,25 dolar per hari dan dinaikkan pada gradien satu dolar ($ 1) apabila rata-rata konsumsi di atas dua dolar ($ 2) per hari (Ravallion, Chen, dan Sangraula, 2008). Badan Pusat Statistik (BPS) mengukur kemiskinan menggunakan pendekatan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (Basic needs approach). Dengan pendekatan ini kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Berdasarkan pendekatan ini, ada tiga indikator kemiskinan yang diukur, yaitu : a. Head Count Index (HCI-P0), yaitu persentase penduduk di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan (GK) terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM), yang diformulasikan sebagai berikut. : GK = GKM + GKNM (2.6) Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk
14 digilib.uns.ac.id 23 yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. i. Garis Kemiskinan Makan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan kkalori per kapita per hari. Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi yang paling banyak dikonsumsi oleh orang miskin. Proporsi jumlah pengeluaran untuk 52 komoditi tersebut sekitar 70 persen dari total pengeluaran orang miskin. ii. Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan. iii. Teknik/tahapan penghitungan Garis Kemiskinan adalah sebagai berikut : i. Menghitung laju inflasi umum Bulan Juli tahun tertentu (t) menurut kabupaten/kota berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada tahun tersebut. Laju inflasi dapat dihitung pada 66 kota. ii. Menghitung Garis Kemiskinan untuk tingkat kabupaten/kota menggunakan formula sebagai berikut : GK t ij = GK t 1 commit ij β to user ij (2.7)
15 digilib.uns.ac.id 24 dimana : GK ij t = Garis Kemiskinan tahun t provinsi ke-i kabupaten ke-j = Garis Kemiskinan tahun t-1 provinsi ke-i kabupaten ke-j GK ij t 1 β ij = Laju inflasi kelompok referensi provinsi ke-i kabupaten ke-j iii. Laju inflasi kelompok referensi diperoleh dari rasio pertumbuhan garis kemiskinan (Garis kemiskinan hasil penghitungan dari data Susenas Bulan Maret tahun t) terhadap laju inflasinya dikalikan laju inflasi kabupaten/kota. iv. Menghitung jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin. v. Penghitungan penduduk miskin provinsi dan nasional merupakan penjumlahan dari kabupaten-kota ataupun provinsi. b. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1), yaitu ukuran yang menggambarkan rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks merefleksikan semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan. c. Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2), yaitu suatu ukuran yang commit memberikan to user gambaran mengenai penyebaran
16 digilib.uns.ac.id 25 pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks merefleksikan semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin. Penghitungan indikator-indikator kemiskinan tersebut menggunakan formulasi Foster-Greer-Thorbecke/FGT sebagai berikut : P = 1 n dimana; α = 0, 1, 2 q [z y i z ] i=1 (2.8) z = Garis Kemiskinan (GK) yi= rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada di bawah GK (I = 1, 2, 3,, q), yi < z q = banyaknya penduduk yang berada di bawah GK n = jumlah penduduk Jika α=0, diperoleh Head Count Index (P0), jika α=1 diperoleh Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1), dan jika α=2 diperoleh Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2). Ukuran kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil perhitungan Badan Pusat Statistik. Pemilihan ukuran tersebut dengan pertimbangan bahwa ukuran kemiskinan BPS merupakan ukuran yang digunakan pemerintah dalam evaluasi dan perencanaan pembangunan serta penentuan kebijakan makro, dan ketersediaan data kemiskinan pada tingkat kabupaten/kota.
17 digilib.uns.ac.id Kajian Empiris Beberapa penelitian terkait IPM dan Kemiskinan telah dilakukan. Beberapa peneliti melakukan penelitian terkait determinan kemiskinan di suatu wilayah, dan sebagian besar hasil penelitian menyimpulkan bahwa IPM dan Kemiskinan berkorelasi secara signifikan. Namun hasil berbeda diperoleh salah seorang peneliti yang menganalisis determinan IPM di Nigeria yang menyimpulan bahwa IPM dan Kemiskinan berkorelasi positif. Secara lebih jelas, penelitianpenelitian diuraikan di bawah ini. Cholili dan Pudjihardjo (2014) menganalisis faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia selama tahun Tujuan penelitian ini untuk melihat bagaimana tiga variabel independen berpengaruh terhadap kemiskinan di Indonesia, dengan variabel independen adalah indeks pembangunan manusia, produk domestik regional bruto, dan pengangguran baik secara simultan maupun secara parsial. Hasil penelitian memperlihatkan adanya pengaruh secara simultan dari ketiga variabel independen dengan koefisien determinan (R-Square). Namun ketika diuji secara parsial PDRB tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan, sedangkan IPM dan pengangguran secara parsial mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemiskinan, dengan korelasi antar variabel tersebut negatif secara signifikan. Saputra dan Mudakir (2011) menganalisis pengaruh indeks pembangunan manusia terhadap kemiskinan di Jawa Tengah selama kurun waktu Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mempunyai tanda negatif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Hal tersebut
18 digilib.uns.ac.id 27 mengindikasikan bahwa semakin tinggi IPM, maka akan menurunkan tingkat kemiskinan. Nilai IPM yang dalam perhitungannya mencakup indikator pendidikan, kesehatan, dan pengeluaran per kapita, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu indikator kemiskinan suatu daerah. Suliswanto dan Wahyudi (2010) menganalisis seberapa besar pengaruh Produk Domestik Bruto (PDB), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terhadap Kemiskinan di Indonesia selama kurun waktu Hasil analisis diperoleh bahwa nilai PDRB di masing-masing provinsi belum terlalu besar dalam mengurangi angka kemiskinan. Variabel IPM lebih dominan dalam pengurangan angka kemiskinan di Indonesia, dengan korelasi negatif secara signifikan. Franciari dan Sugiyanto (2013) menganalisis pengaruh IPM, kapasitas fiskal, dan korupsi terhadap kemiskinan di Indonesia serta menganalisis perbedaan perilaku IPM, kapasitas fiskal, dan korupsi terhadap kemiskinan pada tahun 2008 dan Hasil analisis menyimpulkan bahwa IPM tidak signifikan mempengaruhi kemiskinan. Akan tetapi IPM dan kemiskinan mempunyai hubungan negatif, artinya, semakin tinggi IPM suatu kabupaten/kota, maka kemiskinan yang terjadi di kabupaten/kota tersebut semakin rendah. Adediran (2012) menganalisis hubungan antara pembangunan manusia dan kemiskinan, dan menilai pengaruhnya terhadap target Millennium Development Goals (MDGs) dan parameter kemiskinan. Kesimpulan yang didapat menyebutkan bahwa Tingkat kemiskinan dan IPM berkorelasi positif secara signifikan apabila tingkat kemiskinan merupakan satu-satunya varaibel bebas, dan
19 digilib.uns.ac.id 28 berkorelasi positif secara tidak signifikan apabila ada varibel bebas lain yang dibangun dalam model tersebut. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang telah diuraikan di atas, penulis berpendapat bahwa analisis determinan kemiskinan belum cukup untuk mengevaluasi pencapaian hasil pembangunan. Oleh karena itu, penelitian ini memfokuskan pada kajian historis perkembangan (trend) IPM dan kemiskinan di Jawa Tengah, serta menyusun analisa komparatif antar wilayah untuk memetakan fenomena perkembangan dua faktor (IPM dan kemiskinan) secara mendalam. 2.3 Prosedur Analisis Berdasarkan kajian di atas, studi ini menganalisis pencapaian hasil pembangunan manusia di Provinsi Jawa Tengah. Analisis dilakukan melalui perkembangan dan variasi IPM dan Tingkat Kemiskinan dari 35 kabupaten/kota yang ada selama kurun waktu tahun Tahap pertama adalah melakukan analisis perkembangan dan variasi nilai IPM kabupaten/kota selama masa Orde Baru dan Pasca Reformasi. Selanjutnya, variasi antar wilayah dilihat melalui komparasi posisi relatif nilai setiap daerah terhadap angka provinsi selama kurun waktu tertentu. Komparasi menghasilkan kelompok yang beranggotakan daerah dengan nilai IPM di atas angka provinsi dan kelompok daerah dengan nilai IPM di bawah angka provinsi. Karakteristik daerah dalam kelompok yang sama dianalisis lebih lanjut guna mengetahui karakteristik umum kelompok tersebut. Dengan cara yang sama, dua tahap berikutnya dilakukan analisis terhadap Tingkat Kemiskinan dan analisis terhadap
20 digilib.uns.ac.id 29 nilai IPM dan Tingkat kemiskinan secara simultan. Gambaran tahapan analisis secara visual disajikan pada gambar 2.1 Gambar 2.1. Kerangka Prosedur Analisis Indeks Pembangunan Manusia dan Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah IPM, Tingkat Kemiskinan Kab. ke-1 Tahun 1980 Perkembangan? Variasi? IPM, Tingkat Kemiskinan Kab. ke-1 Tahun 2013 IPM, Tingkat Kemiskinan Kab/kota berikutnya Th Perkembangan? Variasi? Perbandingan? IPM, Tingkat Kemiskinan Kab/kota berikutnya Th IPM, Tingkat Kemiskinan Kab. ke- 35 Tahun 1980 Perkembangan? Variasi? IPM, Tingkat Kemiskinan Kab. ke- 35 Tahun 2013
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2016 adalah 515,40 ribu atau 7,98 persen dari total penduduk.
No. 35/07/14 Th. XVII, 18 Juli 2016 TINGKAT KEMISKINAN RIAU MARET 2016 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2016 adalah 515,40 ribu atau 7,98 persen dari total penduduk. Jumlah penduduk
Lebih terperinciJumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2017 adalah 514,62 ribu jiwa atau 7,78 persen dari total penduduk.
No. 32/07/14/Th. XVIII, 17 Juli 2017 TINGKAT KEMISKINAN RIAU MARET 2017 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2017 adalah 514,62 ribu jiwa atau 7,78 persen dari total penduduk. Jumlah penduduk
Lebih terperinciBERITA RESMI STATISTIK
BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR No. 01/11/Th.I, 21 November 2016 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN BLITAR TAHUN 2015 RINGKASAN Persentase penduduk miskin (P0) di Kabupaten Blitar pada tahun 2015
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik (BPS, 2009).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Kemiskinan Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan
Lebih terperinciGaris Kemiskinan. Rumus Penghitungan : GK = GKM + GKNM. GK = Garis Kemiskinan GKM = Garis Kemiskinan Makanan GKNM = Garis Kemiskinan Non Makan
Garis Kemiskinan Garis kemiskinan atau batas kemiskinan adalah tingkat minimum pendapatan yang dianggap perlu dipenuhi untuk memperoleh standar hidup yang mencukupi di suatu negara. Garis kemiskinan berguna
Lebih terperinciTINGKAT KEMISKINAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2013 SEBESAR 15,03 PERSEN
BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 05/01/34/Th.XVI, 02 Januari 2014 TINGKAT KEMISKINAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2013 SEBESAR 15,03 PERSEN RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa
Lebih terperinciBERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR
BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR No. 02/06/3505/Th.I, 13 Juni 2017 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN BLITAR TAHUN 2016 RINGKASAN Persentase penduduk miskin (P0) di Kabupaten Blitar pada tahun 2016
Lebih terperinciTingkat Kemiskinan Jawa Barat Maret 2015
BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 55/09/32/Th. XVII, 15 September 2015 Tingkat Kemiskinan Jawa Barat Maret 2015 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Jawa Barat pada bulan
Lebih terperinciKEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2016
No. 50/07/71/Th. X, 18 Juli 2016 KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2016 Angka-angka kemiskinan yang disajikan dalam Berita Resmi Statistik ini merupakan angka yang dihasilkan melalui Survei Sosial
Lebih terperinciKEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA SEPTEMBER 2016
No. 89/01/71/Th. XI, 03 Januari 2017 KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA SEPTEMBER 2016 Angka-angka kemiskinan yang disajikan dalam Berita Resmi Statistik ini merupakan angka yang dihasilkan melalui Survei
Lebih terperinciTINGKAT KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MARET 2014 SEBESAR 15,00 PERSEN RINGKASAN
BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 38/07/34/Th.XVI,1 Juli 2014 TINGKAT KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MARET 2014 SEBESAR 15,00 PERSEN RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta
Lebih terperinciKONDISI KEMISKINAN PROVINSI GORONTALO SEPTEMBER 2014
No. 05/01/75/Th.IX, 2 Januari 2015 KONDISI KEMISKINAN PROVINSI GORONTALO SEPTEMBER 2014 Pada September 2014 persentase penduduk miskin di Provinsi Gorontalo sebesar 17,41 persen. Angka ini turun dibandingkan
Lebih terperinciKEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2014
No. 42/07/71/Th. VIII, 1 Juli 2014 KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2014 Angka-angka kemiskinan yang disajikan dalam Berita Resmi Statistik ini merupakan angka yang dihasilkan lewat pengolahan
Lebih terperinciTINGKAT KEMISKINAN BALI, MARET 2009
No. 29/07/51/Th. III, 1 Juli 2009 TINGKAT KEMISKINAN BALI, MARET 2009 Jumlah penduduk miskin di Bali pada bulan Maret 2009 tercatat sebesar 181,7 ribu orang, mengalami penurunan sebesar 33,99 ribu orang
Lebih terperinciKEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2015
No. 64/09/71/Th. IX, 15 September 2015 KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2015 Angka-angka kemiskinan yang disajikan dalam Berita Resmi Statistik ini merupakan angka yang dihasilkan melalui Survei
Lebih terperincisebanyak 158,86 ribu orang atau sebesar 12,67 persen. Pada tahun 2016, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, yaitu se
BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN MAGELANG No.02/06/33.08/Th.II, 15 Juni 2017 PROFIL KEMISKINAN DI KABUPATEN MAGELANG 2016 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN TAHUN 2016 SEBESAR 12,67 PERSEN Jumlah penduduk miskin
Lebih terperinciTINGKAT KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MARET 2013 SEBESAR 15,43 PERSEN RINGKASAN
BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 37/07/34/Th.XV, 1 Juli 2013 TINGKAT KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MARET 2013 SEBESAR 15,43 PERSEN RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT SEPTEMBER 2015
No. 04 / 01 /13/Th. XIX / 4 Januari 2016 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT SEPTEMBER 2015 Jumlah penduduk miskin di Provinsi Sumatera Barat pada adalah 349.529 jiwa. Dibanding (379.609 jiwa) turun
Lebih terperinciKONDISI KEMISKINAN PROVINSI GORONTALO SEPTEMBER 2016
No. 05/01/75/Th.XI, 3 Januari 2017 KONDISI KEMISKINAN PROVINSI GORONTALO SEPTEMBER 2016 Berdasarkan survei pada September 2016 persentase penduduk miskin di Provinsi Gorontalo sebesar 17,63 persen. Angka
Lebih terperinciKEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2017
No. 47/07/71/Th. XX, 17 Juli 2017 KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2017 Angka-angka kemiskinan yang disajikan dalam Berita Resmi Statistik ini merupakan angka yang dihasilkan melalui
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi
Lebih terperinciTINGKAT KEMISKINAN RIAU MARET 2011
No. 31/ 07/14/Th. X, 1 Juli 2011 TINGKAT KEMISKINAN RIAU MARET 2011 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2011 adalah 482.050 atau 8,47 persen dari total penduduk. Jumlah penduduk miskin
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2017 RINGKASAN
38/07/Th. XX, 17 JULI 2017 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2017 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Sulawesi Tenggara pada bulan Maret 2017
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT MARET 2016
No. 42/7/13/Th. XIX/18 Juli 2016 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT MARET 2016 Jumlah penduduk miskin di Provinsi Sumatera Barat pada 2016 adalah 371.555 jiwa. Dibanding (349.529 jiwa) naik sebanyak
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT MARET 2017
No. 38/07/13/Th. XX/17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT MARET 2017 Garis Kemiskinan (GK) selama - Maret 2017 mengalami peningkatan 3,55 persen, yaitu dari Rp.438.075 per kapita per bulan
Lebih terperincisebanyak 160,5 ribu orang atau sebesar 12,98 persen. Pada tahun 2015, jumlah penduduk miskin mengalami sedikit kenaikan dibanding tahun sebelumnya, ya
BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN MAGELANG No.02/11/33.08/Th.I, 08 November 2016 PROFIL KEMISKINAN DI KABUPATEN MAGELANG 2015 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN 2015 MENCAPAI 13,07 PERSEN Jumlah penduduk miskin
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2016 RINGKASAN
05/01/Th.XII, 03 JANUARI 2017 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Sulawesi Tenggara pada bulan September
Lebih terperinciKEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA SEPTEMBER 2015
No. 05/01/71/Th. X, 04 Januari 2016 KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA SEPTEMBER 2015 Angka-angka kemiskinan yang disajikan dalam Berita Resmi Statistik ini merupakan angka yang dihasilkan melalui Survei
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2010
BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 34/07/33/Th. IV, 1 Juli 2010 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2010 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Provinsi
Lebih terperinciTINGKAT KEMISKINAN RIAU MARET 2010
No. 28/ 07/14/Th. X, 1 Juli 2010 TINGKAT KEMISKINAN RIAU MARET 2010 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2010 adalah 500,26 ribu atau 8,65 persen dari total penduduk. Jumlah penduduk miskin
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2011
No. 07/01/62/Th. VI, 2 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2011 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan)
Lebih terperinciBPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2015
BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH No. 01/10/1204/Th. XIX, 12 Oktober 2016 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2015 Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Tapanuli Tengah pada Tahun 2015 mencapai
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT MARET 2013
No. 31/07/91/Th. VI, 1 Juli 2013 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT MARET 2013 Jumlah penduduk miskin (Penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Papua Barat kondisi September 2012 sebesar
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2016 RINGKASAN
07/07/Th. XI, 18 JULI 2016 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2016 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Sulawesi Tenggara pada bulan Maret 2016
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT SEPTEMBER 2016
No. 04/01/13/Th. XX/3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT SEPTEMBER 2016 Garis Kemiskinan (GK) mengalami peningkatan 3,04 persen, menjadi Rp 438.075 per kapita per bulan dari Rp 425.141
Lebih terperinciKONDISI KEMISKINAN PROVINSI GORONTALO MARET 2017
No. 37/07/75/Th.X. 17 Juli 2017 KONDISI KEMISKINAN PROVINSI GORONTALO MARET 2017 Berdasarkan survei pada Maret 2017 persentase penduduk miskin di Provinsi Gorontalo sebesar 17,65 persen. Dibandingkan persentase
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2015 RINGKASAN
BPS PROVINSI SULAWESI TENGGARA 07/01/Th. X, 4 Januari 2016 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2015 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Sulawesi
Lebih terperinciTINGKAT KEMISKINAN BALI, MARET 2011
No. 36/07/51/Th. V, 1 Juli 2011 TINGKAT KEMISKINAN BALI, MARET 2011 Terjadi penurunan jumlah penduduk miskin di Bali pada Maret 2011 jika dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada Maret 2010. Tingkat
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN SULAWESI SELATAN, MARET 2017
BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN PROFIL KEMISKINAN SULAWESI SELATAN, MARET 2017 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN MARET 2017 SEBESAR 9,38 PERSEN No. 39/07/73/Th. XI, 17 Juli 2017 Penduduk miskin di Sulawesi Selatan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Teori yang dibahas dalam bab ini terdiri dari pengertian pembangunan ekonomi,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan lebih mendalam tentang teori-teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Selain itu akan dikemukakan hasil penelitian terdahulu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berkembang maupun negara maju, meskipun telah terjadi perbaikan-perbaikan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan yang mencolok masih banyak ditemukan di negara-negara berkembang maupun negara maju, meskipun telah terjadi perbaikan-perbaikan yang siginifikan selama lebih
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT MARET 2015
No.55 /9 /13/Th. XVIII / 15 September 2015 september2015 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT MARET 2015 Garis Kemiskinan (GK) 2015 mengalami peningkatan 5,04 persen, menjadi Rp 384.277,00 perkapita
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem desentralistik atau otonomi daerah merupakan salah satu keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut dilatarbelakangi oleh pelaksanaan
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 05/01/34/Th.XVII, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada sebesar Rp 321.056,-
Lebih terperinciBAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Per Kapita dan Struktur Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam lima tahun terakhir
Lebih terperinciKemiskinan dan Ketimpangan
1 Kemiskinan dan Ketimpangan KEMISKINAN Garis Kemiskinan (GK) Poverty Line Konsep dan Definisi Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT SEPTEMBER 2014
No. 05 /1 /13/Th. XVIII / 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT SEPTEMBER 2014 Jumlah penduduk miskin di Provinsi Sumatera Barat pada September 2014 adalah 354.738 jiwa. Dibanding Maret
Lebih terperinciParadigma Kesejahteraan
Kuliah 9 Paradigma Kesejahteraan 5/16/2016 Marlan Hutahaean 1 Pendahuluan Paradigma Pertumbuhan fokus pada pertumbuhan ekonomi yang bersifat agregat. Paradigma Kesejahteraan fokus pada peningkatan kesejahteraan
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2015
BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 04/01/34/Th.XVIII, 4 Januari 2016 PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2015 RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada sebesar
Lebih terperinciKEMISKINAN SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016
BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 05/01/12/Th. XX, 03 Januari 2017 KEMISKINAN SUMATERA UTARA SEPTEMBER PENDUDUK MISKIN SUMATERA UTARA SEPTEMBER SEBANYAK 1.452.550 ORANG (10,27%) Jumlah penduduk miskin di
Lebih terperinciKEMISKINAN SUMATERA UTARA MARET 2017
BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 40/07/12/Th. XX, 17 Juli 2017 KEMISKINAN SUMATERA UTARA MARET 2017 PENDUDUK MISKIN SUMATERA UTARA MARET 2017 SEBANYAK 1.453.870 ORANG (10,22%) Jumlah penduduk miskin di
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses multidimensional
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap masyarakat, dan institusi-institusi
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI MARET 2017
No.38/07/15/Th.XI, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI MARET 2017 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN MARET 2017 MENCAPAI 8,19 PERSEN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian terdahulu yang berkaitan dengan yang akan diteliti.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akandibahas mengenai teori yang menjadi dasar pokok permasalahan. Teori yang akan dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan, Produk Domestik Regional Bruto
Lebih terperinciBPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2013
BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH No. 04/09/1204/Th. XII, 30 September 2014 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2013 Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Tapanuli Tengah pada Tahun 2013 mengalami
Lebih terperinciBPS PROVINSI LAMPUNG
BPS PROVINSI LAMPUNG No. 07/01/18/TH.VII, 2 Januari 2015 ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER 2014 Angka kemiskinan Lampung pada September 2014 sedikit mengalami penurunan dibanding Maret 2014 yakni dari
Lebih terperinciProfil Kemiskinan Daerah Istimewa Yogyakarta Maret 2017
BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 39/07/34/Th.XIX, 17 Juli 2017 Profil Kemiskinan Daerah Istimewa Yogyakarta 2017 RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2017 sebesar Rp
Lebih terperinciNo.01/07/81/Th. XX,17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2017 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang pengeluaran per bulannya berada dibawah Garis Kemiskinan) di Maluku pada bulan Maret
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. dalam pembangunan adalah IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Dalam. mengukur pencapaian pembangunan sosio-ekonomi suatu negara yang
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang harus dicapai dalam pembangunan. Adapun salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan dalam pembangunan adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sementara pada waktu yang sama mengalami pertumbuhan penduduk yang cepat.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk yang besar akan menguntungkan bila diikuti dengan kualitas yang memadai. Artinya aspek kualitas penduduk menjadi sangat penting agar jumlah yang besar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Determinan kemiskinan..., Roy Hendra, FE UI, Universitas Indonesia
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensi. Kemiskinan merupakan persoalan kompleks yang terkait dengan berbagai dimensi yakni sosial,
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH MARET 2015
B P S P R O V I N S I A C E H No. 46/09/TH.XVIII, 15 September 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH MARET 2015 JUMLAH PENDUDUK MISKIN Maret 2015 MENCAPAI 851 RIBU ORANG RINGKASAN Pada Maret 2015, jumlah
Lebih terperinciISBN
ANALISIS PERKEMBANGAN KONDISI KEMISKINAN DI PROVINSI RIAU Azharuddin M. Amin 1, Saipul Bahri 1, Ratna Setianingsih 2 dan Ernawati 2 Program Studi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian, Universitas Islam
Lebih terperinciKEMISKINAN SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2015
BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 05/01/12/Th. XIX, 04 Januari 2016 KEMISKINAN SUMATERA UTARA SEPTEMBER RINGKASAN Jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara pada September sebanyak 1.508.140 orang (10,79%),
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT MARET 2017
No. 34/07/91 Th. XI, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT MARET 2017 Jumlah penduduk miskin (Penduduk yang berada di bawah ) di Papua Barat kondisi September 2016 sebesar 223,60 ribu
Lebih terperinciTINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2009
BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 26/07/31/Th XI, 1 Juli 2009 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2009 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di DKI Jakarta pada bulan Maret
Lebih terperinciKemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia
Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia Kemiskinan sangat identik dengan beberapa variabel berikut ini: Kepemilikan modal Kepemilikan lahan Sumber daya manusia Kekurangan gizi Pendidikan Pelayanan kesehatan
Lebih terperinciKEMISKINAN KABUPATEN KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO TAHUN 2016
No. 01 /06/7108/Th. I,... Juni 2017 BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO KEMISKINAN KABUPATEN KEPULAUAN SIAU TAGULANDANG BIARO TAHUN 2016 Jumlah penduduk miskin di Kabupaten
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI NTT MARET 2010
BADAN PUSAT STATISTIK No. 02 / 07 Th.XI / Juli PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI NTT MARET 2010 RINGKASAN Meskipun Penduduk miskin Provinsi NTT pada Maret 2010 mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan Maret
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI MALUKU UTARA SEPTEMBER 2014
BADAN PUSAT STATISTIK No. 05 / 01 / 82 / Th. XIV, 02 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU UTARA SEPTEMBER 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN DI MALUKU UTARA KEADAAN SEPTEMBER 2014 BERTAMBAH 2,2 RIBU ORANG
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DAN TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI ACEH MARET 2017
B P S P R O V I N S I A C E H No. 32/07/Th.XX, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DAN TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI ACEH MARET 2017 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2017 MENCAPAI 872 RIBU DENGAN
Lebih terperinciIndeks Pembangunan Manusia
Indeks Pembangunan Manusia Kuliah Pengantar: Indeks Pembangunan Sub Bidang Pembangunan Perdesaan Di Program Studi Arsitektur, ITB Wiwik D Pratiwi, PhD Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia
Lebih terperinciBPSPROVINSI JAWATIMUR
BPSPROVINSI JAWATIMUR No. 06/01/35/Th.XIII, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TIMUR SEPTEMBER 2014 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin di Jawa Timur pada bulan September 2014 dibandingkan turun sebesar
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI SEPTEMBER 2016
10,00 5,00 0,00-5,00 4,91 1,37 0,83-0,60 0,44 0,43 1,18 Bahan Mkn Jadi, Mnman, Rokok & Tbk Perumahan Sandang No.05/05/15/Th. XI, 3 Januari 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI SEPTEMBER 2016 JUMLAH
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 43/08/34/Th.XVIII, 1 Agustus 2016 PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MARET 2016 RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2016
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH MARET 2014
B P S P R O V I N S I A C E H No. 31/07/Th.XVII, 1 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH MARET 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2014 MENCAPAI 881 RIBU ORANG RINGKASAN Persentase penduduk miskin
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2009
BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 6/07/33/Th. III/1 Juli 2009 PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH MARET 2009 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Jawa Tengah pada
Lebih terperinciBPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU
BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 125/07/21/Th. III, 1 Juli 2009 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU MARET 2009 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Provinsi
Lebih terperinciBPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU
BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 06/01/21/Th.VII, 2 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, SEPTEMBER 2011 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Provinsi
Lebih terperinciKemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia
Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia Capaian Pembelajaran Mahasiswa dapat menjelaskan indikator dan faktor-faktor penyebab kemiskinan Mahasiswa mampu menyusun konsep penanggulangan masalah kemiskinan
Lebih terperinciBPS KABUPATEN MALINAU
BPS KABUPATEN MALINAU Profil Kemiskinan Kabupaten Malinau Tahun 2011-2016 No.02/06/Th.I, 20 Juni 2017 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN MALINAU TAHUN 2011-2016 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN 2016 SEBESAR 7,15 PERSEN
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. pokok penelitian. Teori yang dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan,
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar pokok penelitian. Teori yang dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, inflasi, pengangguran,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kemiskinan merupakan isu sentral yang dihadapi oleh semua negara di dunia termasuk negara sedang berkembang, seperti Indonesia. Kemiskinan menjadi masalah kompleks yang
Lebih terperinciTINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA TAHUN 2007
BADAN PUSAT STATISTIK No. 38/07/Th. X, 2 Juli 2007 TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA TAHUN 2007 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2007 sebesar
Lebih terperinciBPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU
BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 06/01/21/Th.VIII, 2 Januari 2013 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, SEPTEMBER 2012 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di
Lebih terperinciTINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2010
BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 21/07/31/Th. XII, 1 Juli 2010 TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2010 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di DKI Jakarta
Lebih terperinciBPS KABUPATEN PAKPAK BHARAT
BPS KABUPATEN PAKPAK BHARAT No. 01/07/1216/Th. II, 17 Juli 2013 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN PAKPAK BHARAT TAHUN 2012 Terdapat sebesar 12.40 persen penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2014 RINGKASAN
07/01/Th. IX, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2014 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Sulawesi Tenggara pada bulan September
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012
No. 05/01/33/Th. VII, 2 Januari 2013 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2012 MENCAPAI 4,863 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH BULAN SEPTEMBER 2011
No. 05/01/33/Th. VI, 2 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH BULAN SEPTEMBER 2011 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Provinsi Jawa Tengah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pembangunan milenium (Millenium Development Goals/MDG s), yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di negara berkembang seperti Indonesia, peranan sumber daya manusia mengambil tempat yang sentral, khususnya dalam setiap pencapaian pembangunan ekonomi, di
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN SUMATERA UTARA MARET 2015
BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 58/09/12/Th. XVIII, 15 September 2015 PROFIL KEMISKINAN SUMATERA UTARA MARET 2015 MARET 2015, JUMLAH PENDUDUK MISKIN SUMATERA UTARA NAIK 103.070 ORANG DIBANDING SEPTEMBER
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2014
BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 06/01/12/Th. XVIII, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2014 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara pada September 2014 sebanyak 1.360.600
Lebih terperinciPERKEMBANGAN KEMISKINAN KABUPATEN BENGKAYANG MARET 2014 MARET 2016
No. 01/06/Th. XVII, Juni 2017 PERKEMBANGAN KEMISKINAN KABUPATEN BENGKAYANG MARET 2014 MARET 2016 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN KABUPATEN BENGKAYANG MENINGKAT Pada bulan Maret 2016, jumlah penduduk miskin
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014
No. 05/01/33/Th. IX, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2014 MENCAPAI 4,562 JUTA ORANG RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang
Lebih terperinciBPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT
BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 54/09/61/Th.XVIII, 15 September 2015 TINGKAT KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT MARET 2015 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di
Lebih terperinciPROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH SEPTEMBER 2014
B P S P R O V I N S I A C E H No. 4/01/Th.XVIII, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI ACEH SEPTEMBER 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2014 MENCAPAI 837 RIBU ORANG RINGKASAN Pada September
Lebih terperinciBPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT
BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 40/7/61/Th. XVII, 1 Juli 2014 TINGKAT KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT MARET 2014 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan
Lebih terperinciPemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah
BADAN PUSAT STATISTIK Kabupaten Bandung Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Soreang, 1 Oktober 2015 Ir. R. Basworo Wahyu Utomo Kepala BPS Kabupaten Bandung Data adalah informasi
Lebih terperinci