PEMBAHASAN UMUM: MODEL DALAM PENGELOLAAN POPULASI BADAK JAWA
|
|
- Suharto Gunardi
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 PEMBAHASAN UMUM: MODEL DALAM PENGELOLAAN POPULASI BADAK JAWA Pendahuluan Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan salah satu megaherbivora yang tidak ikut punah pada saat terjadi perubahan iklim global di satu periode geologis yang dikenal dengan nama periode Holocene. Pada periode ini banyak spesies menjadi punah (terutama herbivora besar) akibat perubahan iklim yang berujung pada perubahan sebaran dan kelimpahan vegetasi (Williams et al. 2002). Hal ini menunjukkan tingkat ketergantungan yang tinggi pada herbivora besar, termasuk badak jawa, terhadap struktur vegetasi di lingkungan/habitat tempat tinggalnya; padahal vegetasi itu sendiri bukanlah komponen habitat yang statis. Perubahan habitat badak -walaupun tidak se ekstrem perubahan yang terjadi pada periode holocene- telah teramati oleh beberapa penelitian diantaranya adalah oleh Muntasib et al. (2002) yang melihat adanya kecenderungan dari sejenis tumbuhan langkap (Arenga obtusifolia) untuk mendominasi habitat badak di Taman Nasional Ujung Kulon. Kecenderungan seperti ini mengakibatkan menurunnya ketersediaan pakan badak serta berpotensi untuk mengakibatkan berubahnya iklim mikro. Penelitian yang dilakukan oleh Sarma et al. (2009) juga menjelaskan bahwa suksesi alami mengakibatkan perubahan pada habitat dan perubahan ini mengakibatkan penurunan dari ketersediaan pakan di padang rumput yang dihuni oleh badak india (Rhinoceros unicornis) di suaka margastwa Pobitora, Assam, India. Perubahan pada habitat dapat terjadi secara berangsur-angsur ataupun secara drastis akibat bencana alam seperti letusan gunung berapi. Letusan Krakatau di tahun 1883 adalah salah satu contoh fenomena alam yang dapat dikategorikan sebagai bencana klimatik yang mengakibatkan perubahan signifikan pada vegetasi di daerah sekitarnya (Budyko 1999). Oleh karena itu, berbagai fenomena alam dapat menjadi risiko yang mengancam kepunahan badak Jawa secara langsung seperti epidemi penyakit, letusan gunung berapi, dan tsunami; maupun secara tidak langsung seperti perubahan iklim drastis ataupun perubahan vegetasi akibat suksesi yang terjadi secara alamiah. Populasi badak Jawa di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon menghadapi ancaman risiko penyakit yang dapat mendorong populasi ini menuju kepunahan. Pada awal tahun 1982, lima ekor badak ditemukan mati di daerah selatan
2 142 semenanjung Ujung Kulon dengan dugaan adanya penyakit menular (Strien 1982). Dugaan ini muncul didorong dengan adanya temuan kematian satwa lain di semenanjung Ujung Kulon dan beberapa kematian pada kerbau di sekitar kawasan Taman Nasional. Kasus kematian karena penyakit masih ditemukan pada seekor badak betina di tahun Kasus kematian badak masih berlanjut di tahun 2010 dimana 3 tumpukan tulang belulang yang berasal dari 3 ekor badak ditemukan di semenanjung Ujung Kulon dan analisis menunjukkan adanya agen infeksius Trypanosoma evansi yang kemungkinan dapat menulari badak dan menyebabkan kematian (Hariyadi et al. 2011). Berdasarkan kasus kematian dari tahun 2000 sampai 2010, perhitungan angka mortalitas adalah 1 kematian setiap tahun. Dengan demikian, tiga kematian di tahun 2010 merupakan angka yang secara signifikan berada di atas rata-rata angka kematian per tahun. Sebaran temuan kasus kematian badak dari tahun 2000 sampai 2010 ditampilkan pada Gambar 33. Gambar 33. Lokasi temuan kematian badak Jawa dalam periode tahun Titik hijau menunjukkan kasus dengan informasi yang relatif lengkap mengenai penyebab kematian. Keberadaan ancaman penyakit terhadap badak jawa diperkuat dengan adanya hasil penelitian yang dilakukan oleh Khairani (2009) yang menunjukkan adanya agen infeksius berupa parasit darah dan juga cacing yang dapat menular dari ternak kerbau
3 143 ke badak Jawa dan bahkan kepada manusia (zoonosis). Berdasarkan temuan-temuan ini, para pakar yang tergabung dalam kelompok spesialis badak Asia: Asian Rhino Specialist Group (AsRSG) merekomendasikan untuk menyusun sebuah protokol kajian risiko penyakit serta pemantauan penyakit yang dapat menyerang populasi badak Jawa. Penyusunan protokol yang dilengkapi dengan pelatihan bagi staf lapangan merupakan langkah penting yang akan meningkatkan efektifitas patroli serta meningkatkan peluang untuk menemukan dan mencegah penyakit-penyakit yang membahayakan populasi badak Jawa. Tekanan yang Dihadapi oleh Badak Jawa Populasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon telah diketahui sebagai populasi yang jumlahnya tidak lebih dari 50 individu saja, sementara rata-rata perkembangan populasinya tidak lebih dari 1% saja setiap tahunnya (Hariyadi et al. 2011). Pemerintah Indonesia telah mentargetkan pertumbuhan populasi badak jawa untuk bertambah dengan tingkat laju pertumbuhan populasi 3% setiap tahunnya. Perbandingan kondisi pertumbuhan populasi yang teramati saat ini dengan target yang telah dicanangkan oleh pemerintah menunjukkan adanya kesenjangan (gap) pada laju pertumbuhan populasi badak tersebut. Kesenjangan ini diharapkan dapat dikurangi dengan meminimalisir cekaman yang dihadapi oleh badak, sehingga mereka dapat melakukan adaptasi secara optimal terhadap perubahan yang terjadi di habitatnya. Penelitian ini telah mengidentifikasi berbagai cekaman yang dihadapi badak jawa di habitat aslinya, dan cekaman ini antara lain terdiri dari: 1) Defisit Energi Asal Pakan Perbandingan jumlah asupan nutrien (protein dan lemak) dalam penelitian ini dengan asupan nutrien (protein dan lemak) pada badak sumatera yang dilakukan oleh Dierenfeld et al. (2000) menunjukkan jumlah asupan yang relatif sama. Hal yang perlu dicermati adalah perlakuan pada badak sumatera dicatat berdasarkan asupan yang diterima badak sumatera di dalam fasilitias penangkaran yang biasanya memiliki kualitas asupan lebih rendah dari kualitas asupan yang ada di alam (Dierenfeld et al. 2000). Berdasarkan informasi ini, maka kualitas asupan pakan badak sumatera di penangkaran berdasarkan literatur ini merupakan tingkat minimum yang diperlukan oleh badak jawa di habitat alaminya.
4 144 Perhitungan dengan menggunakan formula Kleiber seperti yang dilakukan oleh Clauss et al. (2005) pada badak india menunjukkan bahwa kebutuhan energi ideal untuk mempertahankan homeostasis (maintenance energy) bagi badak jawa adalah: 20,825-28,051 kkal per hari (badak 12 dan 13) dan 15, kkal per hari (badak 18). Secara umum, jumlah asupan pakan yang tercatat di lapangan menunjukkan rataan harian yang memadai untuk memenuhi kebutuhan energi badak jawa, namun perhatian khusus perlu diberikan pada badak 18 (badak muda) yang jumlah rataan energi hariannya hanya sedikit di atas kebutuhan minimum. Hal ini terjadi akibat adanya penurunan asupan energi asal pakan pada bulan Desember. Fakta ini menunjukkan adanya risiko bahwa kebutuhan energi kemungkinan tidak dapat dipenuhi pada waktu-waktu tertentu dan harus segera dipenuhi dalam waktu berikutnya. Jumlah asupan energi asal pakan pada badak jawa perlu dipastikan untuk menjamin kemampuan badak untuk mempertahankan hidup dan berkembang biak. Hasil kajian hematologi pada hewan model menunjukkan bahwa kondisi defisit jumlah konsumsi pakan -bila terjadi- merupakan jenis cekaman bersifat akut dan merupakan kondisi riil yang harus dihadapi oleh badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Data dari tabel 4 menunjukkan adanya kemungkinan bahwa pakan sebagian besar pakan yang dipilih oleh badak adalah jenis-jenis dengan kandungan air yang cukup tinggi (9-17% air) sehingga berat kering dari tumbuhan pakan menjadi sangat kecil dibandingkan dengan berat segarnya. Ini merupakan salah satu mekanisme yang dilakukan oleh badak untuk mencegah terjadinya defisit air yang merupakan tingkat cekaman yang tinggi sebagaimana ditunjukkan dalam pengamatan profil glukokortikoid dan juga induksi defisit air pada hewan model. 2) Defisit Air Analisis kadar glukokortikoid dari feses badak menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan hormon cekaman pada musim kering dengan jumlah kejadian hujan yang rendah setiap harinya. Perbedaan kadar hormon ini sangat jelas terlihat (walaupun tidak berbeda nyata secara statistik) di semua badak contoh dalam penelitian ini terutama badak 12. Badak 12 merupakan badak dengan kandungan air yang paling kecil dari asupan pakannya sehingga hewan ini memerlukan ketersediaan air minum yang banyak. Perhitungan kebutuhan air dilakukan berdasarkan informasi
5 145 dari Galpine (2006) yang menunjukkan kebutuhan air 0.03 liter air per kilogram berat badan, dan perhitungan ini menunjukkan bahwa badak 12 dengan bobot 1,000 kg memerlukan 28 L air setiap harinya. Hasil kajian pakan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa badak 12 hanya mendapatkan rataan 5.01 L air dari tumbuhan pakan dan harus mendapatkan 23 liter dari minum setiap harinya. Kebutuhan akan air pada badak 12 ini akan meningkat pada musim kering di mana beberapa sumber air mengering dan mengakibatkan menurunnya ketersediaan air. Hal ini konsisten dengan temuan tingginya kadar glukokortikoid dari feses badak 12 di musim kering sekitar bulan Oktober 2010 (0,2 kejadian hujan per hari). Fakta ini diperkuat dengan kecenderungan yang sama saat cekaman defisit air disimulasikan pada kuda yang menunjukkan peningkatan kortisol secara eksponensial. Kajian hematologi pada hewan model menunjukkan bahwa kondisi defisit air merupakan cekaman yang bersifat kronis. Model Pengelolaan Badak Jawa Hasil penelitian ini memberikan beberapa opsi yang potensial untuk diterapkan sebagai bagian dari pengelolaan badak jawa. Opsi-opsi ini dapat dijadikan model pengelolaan dengan pendekatan baru (basis pengkayaan nutrisi dan mitigasi cekaman) yang belum pernah dirancang dan diimplementasikan secara optimal sebelumnya. Model pengelolaan Badak Jawa berbasis nutrisi dan mitigasi cekaman ditampilkan pada Gambar 34 dan terdiri dari berbagai komponen yaitu: 1. Komponen pemantauan yang terdiri dari: pemantauan status nutrisi dan status cekaman berdasarkan profil hormon glukokortikoid dan/atau metabolitnya. 2. Komponen pengkayaan nutrisi berupa intervensi habitat secara aktif untuk memastikan ketersediaan tumbuhan pakan dengan kualitas nutrisi yang tinggi untuk badak di Taman Nasional Ujung Kulon 3. Komponen mitigasi cekaman dengan memastikan ketersediaan air serta akses menuju air yang tersedia sepanjang tahun. 4. Komponen riset menggunakan hewan model untuk mempelajari kecernaan dan reaksi tanggap cekaman untuk mengantisipasi dan meminimalisir dampak negatif dari nutrisi dan kecernaan, dampak negatif dari cekaman, serta implikasi kesehatan lainnya.
6 146 Gambar 34. Model pengelolaan populasi dan habitat badak jawa dengan pendekatan aspek nutrisi, cekaman, dan kesehatan Komponen 1: Teknik Pemantauan Pemantauan Status Nutrisi Keberhasilan pengamat dalam mengikuti pola pergerakan badak (trajektori) serta identifikasi lokasi-lokasi yang menjadi areal makan badak (rumpang) menunjukkan potensi pengembangan dari teknik ini menjadi suatu teknik pemantauan kuantitas dan kualitas nutrisi yang terjadi di habitat alami badak. Kemampuan pemetaan dan analisis spatial akan mendorong keakuratan dari metode ini ke tingkat yang lebih tinggi dan dapat memberikan informasi yang sahih bagi pihak pengelola populasi badak jawa Pemantauan Cekaman Berdasarkan Profil Hormon Penelitian ini menunjukkan bahwa badak kemungkinan besar bisa beradaptasi terhadap kondisi defisit pakan ini sebagaimana ditunjukkan oleh rendahnya kadar hormon cekaman (kelas glukokortikoid) dari feses badak yang mengalami defisit pakan (individu 12). Kemampuan badak untuk beradaptasi saat ini ditunjang dengan kemampuan jelajah badak di areal yang masih cukup banyak ditumbuhi vegetasi pakan yang disukai badak (palatabilitas tinggi). Literatur juga menyebutkan
7 147 kemungkinan adanya mekanisme internal dalam fisiologi tubuh badak yang melakukan supresi terhadap sekresi glukokortikoid (Linklater et al. 2010). Kecenderungan (trend) kenaikan kadar kortisol dalam darah dan penurunan kadar kortisol tersebut pada pola cekaman yang muncul pada kuda sebagai hewan model yang digunakan untuk mempelajari respons akibat kondisi cekaman terkait dengan defisit pakan. Kemampuan mendeteksi kadar glukokortikoid merupakan hal yang penting dalam mengembangkan protokol pemantauan yang memungkinkan pengamat untuk mengambil data tingkat cekaman yang dihadapi oleh populasi badak di habitat alaminya. Komponen 2: Pengkayaan Nutrisi Berkurangnya ketersediaan pakan bagi badak Jawa disebabkan oleh berbagai hal yang sebagian tidak dapat dikendalikan seperti suksesi alami dan perubahan iklim. Namun demikian, sebagian dari penyebab berkurangnya ketersediaan pakan masih dapat dikendalikan seperti: dominasi/invasi vegetasi tertentu (Arenga sp atau Lantana camara), dan kualitas nutrisi yang kurang memadai. Pengkayaan nutrisi dapat dilakukan dengan tiga langkah yang terdiri dari: mengendalikan tumbuhan invasif; meningkatkan ketersediaan tumbuhan dengan kandungan air, nutrien, dan energi tinggi; serta mengurangi tumbuhan Lantana camara yang memiliki kandungan toksin. Menekan Laju Invasi dan Dominasi Tumbuhan Langkap (Arenga obtusifolia) Tumbuhan jenis palma ini memiliki pola penyebaran dengan menggunakan akar dan biji. Tumbuhan langkap ini memiliki sifat alelopatik yang menghambat pertumbuhan vegetasi lainnya di areal tempat mereka tumbuh. Risiko invasi vegetasi dapat ditentukan menggunakan protokol yang dikenal dengan Weed Risk Assessment (Dawson et al. 2009). Penyebaran tumbuhan langkap ini dapat dihambat dengan bernagai cara seperti menebang atau menggunakan herbisida sebagaimana telah dilakukan oleh YMR (2004). Talukdar et al. (2010) menyebutkan bahwa WWF telah melakukan uji coba penebangan tumbuhan langkap ini dan mencatat bahwa areal uji coba tersebut ditumbuhi oleh tumbuhan pakan badak tiga bulan setelah tumbuhan langkap ditebang dari areal ini. Setelah tumbuhan pakan tumbuh, areal ini kemudian dikunjungi untuk pertama kalinya oleh badak Jawa (induk dan anak) yang menunjukkan bahwa intervensi habitat semacam ini memiliki potensi untuk memberikan dampak positif
8 148 berupa peningkatan akses bagi badak ke areal yang tadinya tidak pernah dikunjungi (potensi perluasan ruang jelajah). Tumbuhnya vegetasi yang merupakan makanan badak menunjukkan bahwa pengelolaan semacam ini berpotensi untuk meningkatkan ketersediaan pakan yang dibutuhkan oleh badak disamping juga berpotensi untuk membuka ruang jelajah baru yang lebih luas. Analisis nutrisi dan kecernaan menunjukkan bahwa ruang jelajah yang luas memiliki korelasi yang kuat dengan keragaman pakan. Oleh karena itu, meningkatnya luas ruang jelajah memiliki potensi untuk membantu badak menemukan keragaman pakan yang lebih tinggi. Dengan mempertimbangkan berbagai potensi dari upaya untuk menekan laju invasi dan dominasi tumbuhan langkap, maka upaya pengelolaan perlu memperhatikan dan memilih lokasi-lokasi ideal untuk mengimplementasikan upaya ini agar memberikan hasil yang optimal. Dengan mengetahui sebaran badak di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon saat ini (Gambar 35), maka lokasi-lokasi ideal untuk melakukan pengendalian langkap ini ditampilkan dalam gambar 36. Gambar 35. Distribusi badak jawa di semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon (titik merah) berdasarkan hasil survey (sumber: WWF Indonesia & Balai TNUK)
9 149 Pengkayaan Air, Nutrien, dan Energi dari Tumbuhan Pakan Selain defisit dari jumlah asupan pakan, referensi silang antara tumbuhan pakan dengan palatabilitas tinggi dengan kandungan nutrisinya (protein, lemak, energi) menunjukkan bahwa jenis tumbuhan pakan dengan palatabilitias tinggi tidak mengandung kualitas nutrisi yang tinggi. Hal ini merupakan masalah yang cukup besar dalam konteks asupan dan nutrisi bagi badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Gambar 36. Lokasi ideal untuk plot pengendalian langkap (Arenga obtusifolia) di semanjung Ujung Kulon ditandai dengan poligon berwarna merah. Berdasarkan identifikasi jenis-jenis tumbuhan pakan dalam analisis nutrisi dan kecernaan, maka tindak lanjut yang paling memungkinkan adalah membuat persemaian khusus untuk memperbanyak tumbuhan pakan bernutrisi tinggi yang terdiri dari: Moringa citrifolia, Callicarpa longifolia, Chisocheton microcarphus, (protein tinggi); Alstonia angustiloba, Callicarpa longifolia, Macaranga spp, (lemak tinggi); Derris thyorsifolia, Pterospermum javanicum, Percampyulus glances, (energi tinggi); Paederia scandens, Alstonia scholaris, Costus speciosus (kandungan air tinggi).
10 150 Hasil dari persemaian ini dapat kemudian digunakan untuk memperkaya areal pakan (rumpang) badak yang sudah ada ataupun yang akan dibuat dengan memperhitungkan kerapatan dari tumbuhan pakan ideal yaitu kerapatan 5,406 individu/ha (jenis tumbuhan bawah) ; 2,222 individu/ha untuk jenis semai ; 268 individu/ha untuk jenis pancang ; 32 individu/ha untuk jenis tiang ; dan 15 individu per hektar untuk jenis pohon. Pengendalian Lantana camara Hasil analisis pakan dan palatabilitias tumbuhan pakan menunjukkan bahwa individu badak nomor 13 menunjukkan pola asupan antinurisi lantaden yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kedua ekor badak lainnya. Hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa daerah pakan di dalam ruang jelajah badak nomor 13 ini memiliki jumlah tumbuhan Lantana camara yang lebih tinggi dibandingkan daerah pengamatan lainnya, dan oleh karenanya patut dijadikan prioritas dalam upaya pemeliharaan habitat badak di Taman Nasional Ujung Kulon. Lokasi ideal bagi upaya pengendalian Lantana camara ditampilkan dalam Gambar 37. Pengurangan tumbuhan Lantana camara diharapkan dapat membantu pertumbuhan tumbuhan pakan lain yang memiliki nutrisi tinggi. Untuk memastikan ketersediaan pakan dengan nutrisi tinggi yang telah diidentifikasi, upaya pembibitan dan penanaman tumbuhan-tumbuhan tersebut dapat dilakukan di areal pakan badak yang telah dikurangi jumlah Lantana nya, ataupun di areal pengendalian langkap (Arenga obtusifolia). Upaya optimalisasi habitat seperti ini dapat diperkuat dengan upaya pembuatan akses terhadap kubangan atau air dengan cara membuatkan jalur lintasan yang memungkinkan badak untuk mencapai sumber air dan/atau kubangan yang dibutuhkannya. Cara lainnya adalah dengan membuat sumber air, kubangan buatan, ataupun daerah resapan garam secara manual untuk memastikan ketersediaan komponen ini demi menunjang kehidupan badak Jawa.
11 151 Gambar 37. Usulan areal pengendalian tumbuhan Lantana camara di areal pakan badak ditandai dengan poligon berwarna kuning. Komponen 3: Mitigasi Cekaman Akibat Defisit Air Defisit air merupakan satu faktor yang cukup sulit untuk ditangani karena penyebab dari defisit air ini adalah faktor iklim global (curah hujan). Air berperan penting dalam kehidupan badak sebagai sumber air minum dan sebagai fungsi termoregulasi (berkubang). Cara-cara yang dapat dilakukan oleh pihak pengelola untuk membantu badak dalam beradaptasi terhadap kondisi defisit air ini adalah dengan membuat akses bagi badak ke sumber-sumber air permanen yang tidak pernah kering sepanjang tahun. Akses ini dapat dilakukan dengan membuat areal pakan (rumpang) ataupun membuat lintasan menuju kantong-kantong air tersebut. Cara lainnya adalah dengan memperkaya areal pakan (rumpang) badak dengan tumbuhan pakan yang kaya air dan bila memungkinkan kaya akan nutrisi. Jenis-jenis tumbuhan dengan karakter seperti ini adalah tumbuhan Areuy kipuak (Paederia scandens), Lame kuning (Alstonia scholaris), dan Pacing (Costus speciosus). Langkah pengelolaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan membuat kubangan di tempat-tempat yang telah diperhitungkan secara strategis. Pembuatan
12 152 kubangan yang biasanya didampingi juga dengan pembuatan salt lick dilakukan untuk memfasilitasi fungsi termoregulasi sekaligus untuk menjaga integritas kulit yang dibutuhkan oleh badak. Salt lick berfungsi sebagai reservoir di mana badak mendapatkan garam yang dibutuhkan untuk proses metabolisme. Komponen 4: Penggunaan Hewan Model untuk Riset Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa analogi hewan model dengan badak jawa dapat diperkuat dalam aspek-aspek tertentu. Kaidah penggunaan hewan model dalam riset biomedis dapat pula diterapkan dalam upaya konservasi badak jawa terkait aspek kecernaan dan nutrisi, serta mitigasi cekaman dan mitigasi penyakit. Kecernaan dan Nutrisi Dalam konteks pengelolaan populasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon, hewan model dapat digunakan untuk mempelajari aspek komposisi diet, nutrisi, dan kecernaan secara lebih dalam serta mempelajari implikasinya terhadap aspek kesehatan hewan yang terdiri dari: 1. Kesehatan reproduksi (dapat dipantau melalui profil siklus pada betina atau kadar hormon androgen pada badak jantan) 2. Kesehatan secara umum (dipantau melalui pemantauan agen penyakit). Hewan model (kuda) dapat digunakan untuk menemukan komposisi pakan yang optimal bagi badak jawa. Berbagai komposisi pakan dengan kandungan air, energi, nutrien, dan mineral yang berbada dapat diuji coba pada kuda untuk mempelajari tingkat kecernaan, asupan gizi, implikasi terhadap pakan terhadap kapasitas reproduksi (siklus, profil hormon, sperm count), toleransi terhadap cekaman, dan toleransi terhadap penyakit ataupun agen infeksius tertentu. Informasi dari komponen ini berupa perhitungan komposisi pakan yang tepat dapat digunakan untuk memberi masukan untuk upaya pengkayaan nutrisi badak pada komponen 2.
13 153 Pencegahan Cekaman dan Implikasi Kesehatan Dalam konteks penelitian lanjut terkait pengelolaan populasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon, hewan model (kuda) dapat digunakan untuk melakukan berbagai uji coba dan kuantifikasi dari sumber cekaman yang ada di habitat alami serta mengantisipasi reaksi tanggap terhadap sumber cekaman tersebut. Sumber cekaman yang dapat digunakan dalam uji coba menggunakan hewan model adalah reaksi tanggap fisiologis terhadap cekaman serta mengukur ambang batas tingkat cekaman (intensitas dan durasi) yang dapat ditolerir dengan melakukan ekstrapolasi data uji coba hewan model. Ambang batas toleransi hewan terhadap cekaman dapat dikembangkan lebih lanjut untuk melakukan kuantifikasi sehingga para pengelola dapat mengantisipasi tingkat cekaman pada badak jawa dan dapat mencegah peningkatan intensitas dan durasu cekaman tersebut sehingga implikasi klinis dan dampak negatif cekaman tersebut terhadap kesehatan pada populasi badak jawa dapat dicegah. Faktor-faktor Lain yang Relevan 1) Faktor Habitat Kelimpahan pakan merupakan kunci pertahanan hidup badak jawa. Oleh karena itu, selain tersedianya habitat bagi badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon, pemerintah Indonesia telah mencanangkan perlunya untuk melakukan optimasi dan perluasan habitat serta mencari habitat kedua demi membentuk populasi kedua untuk melengkapi populasi yang sudah ada di Taman Nasional Ujung Kulon. Untuk mencapai tujuan ini, para pengambil keputusan dan pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan faktor-faktor habitat seperti: ketersediaan air, ketersediaan pakan, dan juga kualitas pakan yang tersedia mengingat faktor-faktor tersebut merupakan sumber cekaman bagi badak bila tidak dikelola dengan baik dan optimal. 2) Faktor Populasi Komposisi dan demografi dalam populasi badak yang ada saat ini merupakan informasi yang penting dalam pengelolaan badak Jawa saat ini. Daya dukung alam yang ada saat ini diduga sudah mencapai kapasitas optimal untuk populasi badak jawa, dan persaingan antar individu badak untuk mendapatkan sumber daya untuk bertahan hidup (makanan, air, pasangan) akan semakin ketat. Faktor ini perlu dicermati oleh pengelola populasi agar keberadaan badak jawa di Taman Nasional
14 154 Ujung Kulon dapat terus berlanjut. Selain populasi di Ujung Kulon, para ahli sudah menyepakati perlunya pembentukan populasi kedua di luar Taman Nasional Ujung Kulon. Pembentukan populasi kedua akan menimbulkan dampak negatif bagi populasi induk dan populasi baru bila komposisi rasio kelamin tidak seimbang dalam memilih pionir bagi populasi kedua. Selain itu, pemilihan induk perlu mengidentifikasi banyaknya individu betina produktif yang masih mampu menghasilkan keturunan. Informasi ini kemudian ditindak lanjuti dengan memilih induk yang sesuai untuk membentuk populasi baru, namun meninggalkan individuindividu betina produktif lainnya di Taman Nasional Ujung Kulon untuk memastikan bahwa populasi Ujung Kulon masih memiliki kapasitas untuk berkembang biak. Informasi seperti ini bisa didapatkan melalui: identifikasi visual kamera ataupun video jebak, analisis hormon reproduksi jantan dan betina melalui sampel feses, dan juga mencatat (track record) kelahiran badak dari tahun ke tahun. 3) Faktor Individu dan Perilaku Hewan Kesehatan dan kesejahteraan individu badak merupakan faktor yang sangat penting dalam konsep pelestarian badak terutama dalam konteks perluasan habitat dan pembentukan populasi baru di habitat kedua. Hariyadi et al. (2011) menunjukkan secara kualitatif tentang adanya risiko penyakit yang terdiri dari bakteria (E.coli, Salmonella spp, dan Clostridium sp) serta risiko tertinggi yang berasal dari parasit Trypanosoma evansi. Oleh karenanya, pengelola populasi badak Jawa idealnya menerapkan upaya untuk mencegah penyebaran atau mencegah risiko patogenisitas dari agen-agen infeksius di atas. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan mencegah interaksi antara hewan ternak masyarakat dengan hewan liar di Taman Nasional Ujung Kulon yang berpotensi menjadi vektor ataupun reservoir bagi agen infeksius. Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong masyarakat untuk mengandangkan ternak mereka atau menggembalakan ternak mereka di luar kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Cara lain yang tidak kalah pentingnya adalah upaya untuk mengurangi risiko ataupun tingkat cekaman bagi badak Jawa. Minimnya tingkat cekaman akan memungkinkan badak untuk mengoptimalkan asupan nutrisi dan mineral untuk meningkatkan daya tahan tubuh mereka serta meningkatkan kekebalan tubuh terhadap penyakit.
Pendekatan Konservasi Melalui Aspek Medis Teknik medis konservasi mulai diperlukan dengan mempertimbangkan adanya berbagai ancaman yang dapat
PENDAHULUAN Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) merupakan mamalia besar yang tergolong langka karena jumlahnya tidak melebihi 60 ekor di seluruh dunia, sehingga IUCN memasukan badak jawa dalam kategori terancam
Lebih terperinciMODEL PENGELOLAAN POPULASI BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus) BERDASARKAN ANALISIS NUTRISI DAN TINGKAT CEKAMAN SEBAGAI PARAMETER KESEHATAN
DISERTASI MODEL PENGELOLAAN POPULASI BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus) BERDASARKAN ANALISIS NUTRISI DAN TINGKAT CEKAMAN SEBAGAI PARAMETER KESEHATAN ADHI RACHMAT SUDRAJAT HARIYADI B361080011 ILMU BIOMEDIS
Lebih terperinciProgres Pembangunan JRSCA di Taman Nasional Ujung Kulon sampai Bulan Agustus 2014
PROGRES PEMBANGUNAN JAVAN RHINO STUDI AND CONSERVATION AREA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON SAMPAI BULAN AGUSTUS 2014 Untuk menyelamatkan badak jawa dari kepunahan, Pemerintah Indonesia menetapkan Strategi
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan kebutuhan daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan daging sapi. Ternak sapi,
Lebih terperinciMEMANTAU HABITAT BADAK JAWA
NEWSLETTER [CLICK TO TYPE THE PHOTO CREDIT] 2013 MEMANTAU HABITAT BADAK JAWA Badak Jawa yang memiliki nama latin Rhinoceros sondaicus merupakan salah satu hewan yang dijamin oleh Undang-undang di Indonesia
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Lembaga konservasi dunia yaitu IUCN (International
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Lokal di Indonesia Menurut Hardjosubroto (1994) bahwa sapi potong asli indonesia adalah sapi-sapi potong yang sejak dulu sudah terdapat di Indonesia, sedangkan sapi lokal
Lebih terperinciIV. METODE PENELITIAN
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang Penentuan Kuota Panenan dan Ukuran Populasi Awal Rusa Timor di Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga ini dilakukan di Hutan Penelitian
Lebih terperinciPENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar
PENGANTAR Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar dalam pengembangan sektor peternakan dalam rangka mendukung upaya pemerintah dalam program pemenuhan kebutuhan
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,
Lebih terperinciSURVEY POTENSI SUMBER BIBIT / BENIH JENIS RUMPUT PAKAN SATWA DI SEKSI KONSERVASI WILAYAH III KARANGTEKOK
Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan SURVEY POTENSI SUMBER BIBIT / BENIH JENIS RUMPUT PAKAN SATWA DI SEKSI KONSERVASI WILAYAH III KARANGTEKOK Oleh : Nama : Arif Pratiwi, ST NIP : 710034820 TAMAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung proses-proses ekologis di dalam ekosistem. Kerusakan hutan dan aktivitas manusia yang semakin meningkat
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi
Lebih terperinciII KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong adalah jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung adalah provinsi yang memiliki luas wilayah ,50 km 2
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Provinsi Lampung adalah provinsi yang memiliki luas wilayah 35.376,50 km 2 yang terdiri dari areal pemukiman, areal pertanian, perkebunan dan areal hutan yang
Lebih terperinciKAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi
Lebih terperinciDIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM
DESKRIPSI PEMBANGUNAN JAVAN RHINO STUDY AND CONSERVATION AREA (Areal Studi dan Konservasi Badak Jawa) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI
Lebih terperinciLampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi
106 Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi 1. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa energi matahari akan diserap oleh tumbuhan sebagai produsen melalui klorofil untuk kemudian diolah menjadi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah langka. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang pengawetan jenis
Lebih terperinciWritten by Admin TNUK Saturday, 31 December :26 - Last Updated Wednesday, 04 January :53
SIARAN PERS Populasi Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon Jakarta, 29 Desember 2011 Badak jawa merupakan satu dari dua jenis spesies badak yang ada di Indonesia dan terkonsentrasi hanya di wilayah
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunitas burung merupakan salah satu komponen biotik ekosistem yang berperan dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian alam. Peran tersebut dapat tercermin dari posisi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) merupakan taman nasional yang ditunjuk berdasarkan SK Menhut No 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan
Lebih terperinciI. PENDAWLUAN. A. Latar Belakang
I. PENDAWLUAN A. Latar Belakang Wallaby lincah (Macropus agilis papuanus. Peters and Doria, 1875) merupakan satu dari empat sub spesies Macropus agilis yang penyebarannya terdapat di wilayah selatan kepulauan
Lebih terperinciEkologi Padang Alang-alang
Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi potong pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi potong merupakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi
Lebih terperinciTugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali
Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki Indeks Keanekaragaman Hayati(Biodiversity Index) tertinggi dengan 17% spesies burung dari total burung di dunia (Paine 1997). Sekitar 1598 spesies burung ada
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Faktor manajemen lingkungan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi fisiologis ternak akan membuat
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan. salah satu diantaranya adalah kepentingan ekologis.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman jenis satwa liar yang tinggi,dan tersebar di beberapa tipe habitat. Bermacam-macam jenis satwa liar ini merupakan sumberdaya alam yang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kupu-kupu merupakan serangga yang memiliki keindahan warna dan bentuk sayap sehingga mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami
Lebih terperinciMITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran
K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami pengertian mitigasi. 2. Memahami adaptasi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. tumbuhan asing yang dapat hidup di hutan-hutan Indonesia (Suryowinoto, 1988).
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Dibuktikan dengan terdapat berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan endemik yang hanya dapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ada kebanyakan hanya untuk menghasilkan hewan kesayangan dan materi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelinci sebagai salah satu sumber protein hewani pada saat ini di Indonesia belum dapat diterima sepenuhnya oleh masyarakat, sehingga budidaya kelinci yang ada saat
Lebih terperinciCara Berbeda Penghitungan Badak Jawa. Di Ujung Kulon Pada Tahun Ir. Agus Priambudi, M.Sc
Press Release Cara Berbeda Penghitungan Badak Jawa Di Ujung Kulon Pada Tahun 2010 P engelolaan TN. Ujung Kulon dititikberatkan pada bagaimana mempertahankan keberadaan satwa langka badak jawa (Rhinoceros
Lebih terperinciBUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU
BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Penambahan daun Som Jawa pada ransum menurunkan kandungan serat kasar dan bahan kering ransum, namun meningkatkan protein kasar ransum. Peningkatan protein disebabkan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1. Sejarah UPTD BPPTD Margawati Garut Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba atau disingkat UPTD BPPTD yaitu
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN
41 5.1. Ukuran Populasi Rusa Timor V. HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran populasi rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran tahun 2011 adalah 68 ekor. Angka tersebut merupakan ukuran populasi tertinggi dari
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia.
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia. Buah nenas merupakan produk terpenting kedua setelah pisang. Produksi nenas mencapai 20%
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN. Latar Belakang
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Status satwa liar di Indonesia terutama satwa badak mencapai tingkat yang paling mengkhawatirkan, populasi badak sumatera berkurang hingga 30% dalam 20 tahun terakhir sedangkan
Lebih terperinciBAB VII KEBAKARAN HUTAN
BAB VII KEBAKARAN HUTAN Api merupakan faktor ekologi potensial yang mempengaruhi hampir seluruh ekosistem daratan, walau hanya terjadi pada frekuensi yang sangat jarang. Pengaruh api terhadap ekosistem
Lebih terperinciPEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI
Tatap muka ke 7 POKOK BAHASAN : PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui program pemberian pakan pada penggemukan sapi dan cara pemberian pakan agar diperoleh tingkat
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum BBPTU-HPT Baturraden Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang ada
Lebih terperinci-2- saling melengkapi dan saling mendukung, sedangkan peran KLHS pada perencanaan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup bersifat menguatkan. K
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I LINGKUNGAN HIDUP. Strategis. Penyelenggaraan. Tata Cara. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 228) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.
BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. Laju permintaan daging sapi di Indonesia terus meningkat seiring
PENDAHULUAN Latar Belakang Laju permintaan daging sapi di Indonesia terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk, pendapatan per kapita, dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kecukupan gizi.
Lebih terperinciTatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU
Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui sistem produksi ternak kerbau sungai Mengetahui sistem produksi ternak kerbau lumpur Tujuan
Lebih terperinciDrought Management Untuk Meminimalisasi Risiko Kekeringan
Drought Management Untuk Meminimalisasi Risiko Kekeringan Oleh : Gatot Irianto Fakta menunjukkan bahhwa kemarau yang terjadi terus meningkat besarannya (magnitude), baik intensitas, periode ulang dan lamanya.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk ke dalam kategori negara
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk ke dalam kategori negara yang kaya akan keanekaragaman jenis flora di dunia. Keanekaragaman hayati di Indonesia jauh
Lebih terperinciKuliah ke-2. R. Soedradjad Lektor Kepala bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam
Kuliah ke-2 R. Soedradjad Lektor Kepala bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam Spektrum Biologi: KOMPONEN BIOTIK GEN SEL ORGAN ORGANISME POPULASI KOMUNITAS berinteraksi dengan KOMPONEN ABIOTIK menghasilkan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Kambing merupakan ternak ruminansia kecil yang sangat populer, mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi, dan mampu beradaptasi
PENDAHULUAN Kambing merupakan ternak ruminansia kecil yang sangat populer, mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi, dan mampu beradaptasi dengan lingkungan ekstrem, cukup mudah pengembangannya dan tidak
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Wonosobo Domba Wonosobo merupakan domba hasil persilangan antara domba Texel yang didatangkan pada tahun 1957 dengan Domba Ekor Tipis dan atau Domba Ekor Gemuk yang secara
Lebih terperinci51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON
51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON Badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822) merupakan spesies paling langka diantara lima spesies badak yang ada di dunia sehingga dikategorikan
Lebih terperinciGAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
31 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Geografis Wilayah Secara astronomis, wilayah Provinsi Banten terletak pada 507 50-701 1 Lintang Selatan dan 10501 11-10607 12 Bujur Timur, dengan luas wilayah
Lebih terperinciPENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang memiliki potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan sudah sangat umum dibudidayakan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Kandungan Nutrien Daging pada Beberapa Ternak (per 100 gram daging) Protein (g) 21 19, ,5
TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Kelinci domestik (Oryctolagus cuniculus) merupakan keturunan dari kelinci liar Eropa yang berasal dari negara sekitar Laut Mediterania dan dibawa ke Inggris pada awal abad 12 (NRC,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga membutuhkan ketersediaan pakan yang cukup untuk ternak. Pakan merupakan hal utama dalam tata laksana
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan
1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan hewan ternak perah lainnya. Keunggulan yang dimiliki sapi perah tersebut membuat banyak pengusaha-pengusaha
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
14 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai salah satu Megabiodiversity Country. Pulau Sumatera salah
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan
Lebih terperinciMETODE PENELTIAN. Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan
III. METODE PENELTIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan di Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat (Gambar 6) pada bulan Mei
Lebih terperinciBAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Data hasil perhitungan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, MCV, MCH, dan MCHC pada kerbau lumpur betina yang diperoleh dari rata-rata empat kerbau setiap
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah tropis dan mempunyai hutan hujan tropis yang cukup luas. Hutan hujan tropis mempunyai keanekaragaman hayati
Lebih terperinciProgres Pembangunan. Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) di Taman Nasional Ujung Kulon PENDAHULUAN
Progres Pembangunan Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) di Taman Nasional Ujung Kulon PENDAHULUAN Populasi badak jawa di TNUK merupakan satu-satunya populasi secara potensial masih memungkinkan
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk
PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menduduki posisi yang penting dalam peta keanekaragaman hayati di dunia karena termasuk dalam sepuluh negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi (Indrawan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia cenderung terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan kesadaran masyarakat akan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Kandang Penelitian Rataan suhu kandang pada pagi, siang, dan sore hari selama penelitian secara berturut-turut adalah 25,53; 30,41; dan 27,67 C. Suhu kandang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hewan sebagai karunia dan amanat Tuhan Yang
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat
Lebih terperinciWALIKOTA MALANG PROVINSI JAWA TIMUR
WALIKOTA MALANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 43 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciFORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN
AgroinovasI FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN Usaha penggemukan sapi potong semakin menarik perhatian masyarakat karena begitu besarnya pasar tersedia untuk komoditas ini. Namun demikian,
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan mengakibatkan kebutuhan permintaan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Zat Makanan Berdasarkan analisis statistik, konsumsi bahan kering nyata dipengaruhi oleh jenis ransum, tetapi tidak dipengaruhi oleh jenis domba dan interaksi antara kedua
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Rataan konsumsi rumput, konsentrat
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Kambing 2.1.1. Kambing Kacang Menurut Mileski dan Myers (2004), kambing diklasifikasikan ke dalam : Kerajaan Filum Kelas Ordo Famili Upafamili Genus Spesies Upaspesies
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelinci adalah salah satu ternak penghasil daging yang dapat dijadikan sumber protein hewani di Indonesia. Sampai saat ini masih sangat sedikit peternak yang mengembangkan
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Memperoleh pangan yang cukup merupakan suatu hal yang sangat penting bagi manusia agar berada dalam kondisi sehat, produktif dan sejahtera. Oleh karena itu hak untuk memperoleh
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa
19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan
TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Pakan Pakan adalah bahan makanan tunggal atau campuran, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diberikan kepada hewan untuk kelangsungan hidup, berproduksi, dan berkembang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. disekitarnya. Telah menjadi realita bila alam yang memporak-porandakan hutan,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan adalah sumber kehidupan karena hutan bukan hanya penopang kehidupan manusia namun juga hewan dan bahkan tumbuhan itu sendiri. Kelangsungan hutan terancam oleh
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. sedikit berbukit. Kecamatan Tanjung Bintang merupakan daerah yang sebagian
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi Geografis Kecamatan Tanjung Bintang merupakan daerah dataran yang sedikit berbukit. Kecamatan Tanjung Bintang merupakan daerah yang sebagian wilayahnya dimanfaatkan
Lebih terperinciBAB I IDENTIFIKASI KEBUTUHAN
BAB I IDENTIFIKASI KEBUTUHAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia telah berhasil dalam swasembada daging ayam dan telur, namun data statistika peternakan mengungkapkan bahwa Indonesia belum dapat memenuhi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti hutan rawa, danau,
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi
Lebih terperinciPELESTARIAN HUTAN DAN KONSERFASI ALAM
PELESTARIAN HUTAN DAN KONSERFASI ALAM PENDAHULUAN Masalah lingkungan timbul sebagai akibat dari ulah manusia itu sendiri, dari hari ke hari ancaman terhadap kerusakan lingkungan semakin meningkat. Banyaknya
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi peningkatan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. adanya wabah flu burung pada unggas, tidak mustahil untuk memenuhi kebutuhan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Potensi Ternak Kelinci Konsumsi daging kelinci di Indonesia dimasa mendatang diprediksikan akan meningkat. Hal tersebut disebabkan meningkatnya jumlah penduduk dan berkurangnya
Lebih terperinciTAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LINGKUNGAN HIDUP. Peternakan. Kesehatan. Pemanfaatan. Pelestarian. Hewan. Perubahan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 338) PENJELASAN ATAS
Lebih terperinci