UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH DENGAN PENCAMPURAN BUNGKIL INTI SAWIT DAN DISTILLERS DRIED GRAINS WITH SOLUBLES DALAM KONSENTRAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH DENGAN PENCAMPURAN BUNGKIL INTI SAWIT DAN DISTILLERS DRIED GRAINS WITH SOLUBLES DALAM KONSENTRAT"

Transkripsi

1 i UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH DENGAN PENCAMPURAN BUNGKIL INTI SAWIT DAN DISTILLERS DRIED GRAINS WITH SOLUBLES DALAM KONSENTRAT MASHA MARINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2 ii

3 iii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Upaya Peningkatan Produksi Susu Sapi Perah dengan Pencampuran Bungkil Inti Sawit dan Distillers Dried Grains with Solubles dalam Konsentrat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2013 Masha Marina NIM D

4 iv RINGKASAN MASHA MARINA. Upaya Peningkatan Produksi Susu Sapi Perah dengan Pencampuran Bungkil Inti Sawit dan Distillers Dried Grains with Solubles dalam Konsentrat. Dibimbing oleh BAGUS PRIYO PURWANTO dan RA YENI WIDIAWATI. Tingkat produksi susu nasional yang masih rendah, tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi susu national. Salah satu alternatif untuk meningkatkan produksi susu nasional adalah dengan meningkatkan produksi susu sapi perah melalui perbaikan kualitas pakan. Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra pengembangan usaha ternak sapi perah karena produksi susu pada provinsi ini mencapai 34.81% dari produksi susu nasional. Populasi sapi perah terbesar di Jawa Barat berada di Lembang. Rata-rata produksi susu di Lembang berada di atas rata-rata produksi susu nasional. Ketergantungan terhadap pakan tambahan berupa konsentrat juga menjadi sangat tinggi guna mempertahankan produksi susu. Bungkil inti sawit (BIS) adalah hasil sampingan dari industri minyak sawit yang dapat digunakan sebagai bahan pakan untuk ternak yang berpotensi sebagai bahan pakan lokal untuk alternatif sumber energi dan protein. Meskipun harganya murah, namun penggunaannya masih sangat terbata karena belum banyak penelitian tentang penggunaan BIS pada sapi perah. Bahan lain sebagai sumber protein dan energi adalah distillers dried grains with solubles (DDGS) yang merupakan bahan pakan impor tetapi harganya relatif lebih murah dari pada bungkil kedele. Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh pencampuran konsentrat oleh bahan baku pakan lokal BIS dan bahan baku pakan impor DDGS, sebagai pengganti konsentrat terhadap produksi susu sapi perah di Lembang. Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam meningkatkan produksi susu sapi perah, menurunkan biaya pakan dan meningkatkan pendapatan peternak sapi perah di Lembang. Sebanyak dua puluh dua ekor sapi perah yang sedang laktasi dengan periode laktasi pertama sampai ketujuh dikelompokkan ke dalam 4 kelompok perlakuan: R0, R1, R2, dan R3, setiap kelompok perlakuan terdiri atas 5 dan 6 ekor ternak. R0 sebagai kontrol, R1 adalah sapi yang diberi pakan konsentrat campuran 1 kg DDGS, R2 adalah sapi yang diberi pencampur 2 kg BIS dan 1 kg DDGS; dan R3 adalah sapi yang diberi pakan campuran 3 kg BIS. Parameter yang diamati dan diukur adalah status fisiologis yang meliputi suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi respirasi; konsumsi pakan; lingkar dada (cm) diukur dengan menggunakan pita ukur dilakukan sebelum, saat dan setelah penelitian; produksi susu harian dicatat setiap hari pada pemerahan pagi pukul dan sore pukul WIB; kualitas susu diukur setiap dua minggu sekali pada awal penelitian sebelum diberi perlakuan, selama diberi perlakuan pakan dan setelah diberi perlakuan dengan mengambil sampel susu 200 ml dan keadaan mastitis diuji dengan Mastitis Test dengan reagen IPB-1 yang dilakukan sebelum, saat dan setelah penelitian. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas empat perlakuan pakan dan enam ulangan. Faktor jenis pakan (R0, R1, R2 dan R3) diamati dengan model linear pada rancangan percobaan ini. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam

5 v General Linear Model. Jika terdapat perbedaan hasil, akan dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil penelitian menunjukkan pencampuran BIS dan DDGS pada pakan konsentrat tidak memberikan perbedaan yang nyata (P>0.05) terhadap status fisiologi ternak yang meliputi denyut jantung, respirasi dan temperatur rektal. Hasil pengukuran terhadap status fisiologi ternak masih berada pada kisaran normal. Hasil analisis pengaruh perlakuan terhadap kuantitas dan kualitas susu berupa kadar lemak susu, bahan kering tanpa lemak, protein dan bahan kering total, menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05). Konsumsi total digestible nutrients (TDN) pada perlakuan R1, R2, R3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap perlakuan R0, sedangkan perlakuan R1 dan R2 menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap perlakuan R3. Konsumsi energi metabolis (ME) dan net energi laktasi (NE L ) pada perlakuan R1, R2 dan R3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap perlakuan R0, sedangkan perlakuan R1 dan R3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap perlakuan R2. Produksi susu menunjukkan hasil yang sesuai dengan data konsumsi energi oleh ternak di setiap kelompok perlakuan. Produksi susu tertinggi terdapat pada ternak di R2 diikuti oleh R3, R1 dan R0. Sementara konsumsi energi yang meliputi TDN, ME dan NE L tertinggi terdapat pada ternak di R2 diikuti oleh R3, R1 dan R0. Pencampuran konsentrat oleh BIS dan DDGS juga dapat meningkatkan produksi susu selama periode perlakuan. Hal ini menunjukkan kontribusi campuran BIS dan DDGS dalam konsentrat. Biaya konsentrat R3 yang diperlukan tiap ekor ternak dalam sehari setelah dicampur oleh BIS, lebih murah daripada konsentrat yang dicampur oleh DDGS atau kombinasinya. Keuntungan peternak per kg susu yang dihasilkan lebih besar pada perlakuan R3, tetapi produksi susu yang dihasilkan lebih besar pada R2, sehingga keuntungan peternak pada kelompok perlakuan R2 adalah yang terbesar, diikuti oleh kelompok perlakuan R3. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pencampuran pakan konsentrat dengan kombinasi BIS dan DDGS dapat mempertahankan puncak produksi susu selama perlakuan. Pencampuran konsentrat dengan DDGS secara tunggal dapat menghasilkan persistensi produksi susu paling tinggi. Pencampuran konsentrat dengan BIS dapat menurunkan biaya pakan tiap kg susu yang dihasilkan. Kombinasi BIS dan DDGS dapat meningkatkan pendapatan peternak. Supaya peternak mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari usahanya, disarankan peternak menggunakan BIS yang dikombinasikan dengan DDGS sebagai salah satu bahan campuran konsentrat. Kata kunci: bungkil inti sawit, distillers dried grains with solubles, produksi susu

6 vi SUMMARY MASHA MARINA. Improvement of Milk Yield by Using Palm Kernel Cake and Distillers Dried Grains with Solubles Mixed in Concentrate Feed. Supervised by BAGUS PRIYO PURWANTO and RA YENI WIDIAWATI. National milk yield can not supply the national milk consumption. One alternative to improve national milk yield is by increasing the dairy cattle productivity through better feeding management. West Java is one of the centers of development of dairy cattle for milk yield. It provides about 34.81% of the national milk yield. The largest population of dairy cattle in West Java is in Lembang. The average milk yield in Lembang is higher than the average national milk yield. To maintain high milk yield, addition of high quality feed such as concentrates is very important for dairy cattle. Palm kernel cake (PKC) is a byproduct of the palm oil industry. As a local feed, it has a very high potential to be used as an alternative of energy and protein feed sources. Even though the price is low, there is still limited research that has been done concerning its effect on dairy cattle production. Using good quality of local feed for dairy cattle has two benefits, it decreases production costs while increasing farmer s income as well as improving animal production. Distillers dried grains with solubles (DDGS) is a feedstuff that can be used as a protein and energy source. Distillers dried grains with solubles is imported feed but the price is lower than soybean meal. Concentrate feed mixed by PKC and DDGS, was expected to increase production and quality of milk of dairy cows in Lembang. An experiment was conducted to study the effect of concentrate mix by using PKC and DDGS on milk yield in Lembang, West Java. This experiment was expected to increase milk yield, to decrease feed costs and to increase dairy farmers income in Lembang. Twenty two lactating dairy cows devided into 4 groups: R0, R1, R2 and R3. Each group consisted of 5 and 6 lactating dairy cows with different lactating periods. R0 was fed by basal diet as control, R1 was fed by basal diet and 1kg DDGS, R2 was fed by basal diet and 2 kg PKC and 1kg DDGS, and R3 was fed by basal diet and 3 kg PKC. Parameters observed and measured were physiological status, feed intake and milk yield. Physiological status including rectal temperature, respiration rate and heart rate were measured every week; feed intake was measured every day by calculating the difference in feed given; consumption of dry matter; chest circumference (cm) measured using a measuring tape taken before, during and after the experiment and converted into body weight (kg); daily milk yield recorded daily in the morning at to am and to pm; milk quality was measured every two weeks by taken 200 ml of milk sampled before, during and after the experiment; mastitis test was measured by IPB-1 reagent performed before, during and after the study. The study design used was Completely Randomized Design (CRD), which consisted of four treatments with five to six replications. Data were analyzed by analysis of variance General Linear Model. The differences among the results, were tested by Duncan test.

7 vii The experiment showed that there was no significant effect of treatment (P>0.05) on physiological status, feed consumption, body weight, milk yield and milk quality. Physiological status of cows was still in the normal range. The experiment showed there were no significant effect of treatments (P<0.05) on milk yield and milk quality (included milk fat, solid non fat, milk protein and total solid). Total digestible nutrients (TDN) consumption of R1, R2 and R3 showed significant effect (P<0.05) compared to R0, R1 and R2 showed significant effect (P<0.05) on R3. Metabolized energy (ME) consumption and Net energy of Lactation (NE L ) consumption of R1, R2 and R3 showed significant effect (P<0.05) compared to R0, R1 and R3 showed significant effect (P<0.05) on R2. Milk yield showed the same pattern to energy consumption. R2 had the highest milk yield, followed by R3, R1 and R0. R2 had the highest energy feed consumption, included TDN, ME and NE L, followed by R3, R1 and R0. The experiment showed that mixture of PKC and DDGS on concentrate feed increased milk yield during the experiment period. Concentrate feed costs on R3 needed per day were lower than concentrate feed costs on R1 or R2. Dairy farmers profit of each kg of milk on R3 was higher than R2, but milk yield on R2 was the highest. It was concluded that dairy farmers profit on R2 was the highest. PKC and DDGS mixed in concentrate feed has increased energy consumption greater than DDGS mixed in concentrate feed and PKC mixed in concentrate feed. Combination of PKC and DDGS mixed in concentrate feed, maintain milk yield s peak during experiment periods and also also increased profits of dairy farmers in Lembang. Mixture of DDGS in concentrate feed resulted in the highest milk yield persistency. Mixture of PKC in concentrate feed decreased feed costs in every kg of milk. Dairy farmers are advised to use a combination of PKC and DDGS as a mixture in their concentrate feed. Key words: distillers dried grains with solubles, palm kernel cake, milk yield

8 viii Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

9 ix UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH DENGAN PENCAMPURAN BUNGKIL INTI SAWIT DAN DISTILLERS DRIED GRAINS WITH SOLUBLES DALAM KONSENTRAT MASHA MARINA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

10 x Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Afton Atabanny, MSi

11 xi Judul Tesis : Upaya Peningkatan Produksi Susu Sapi Perah dengan Pencampuran Bungkil Inti Sawit dan Distillers Dried Grains with Solubles dalam Konsentrat Nama : Masha Marina NIM : D Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr Bagus Priyo Purwanto, MAgr Ketua Dr RA Yeni Widiawati Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof Dr Ir Muladno, MSA Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian: 28 Desember 2012 Tanggal Lulus:

12 xii PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2012 sampai Maret 2012 ini ialah produksi susu, dengan judul Upaya Peningkatan Produksi Susu Sapi Perah dengan Pencampuran Bungkil Inti Sawit dan Distillers Dried Grains with Solubles dalam Konsentrat. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Bagus Priyo Purwanto, MAgr dan Ibu Dr RA Yeni Widiawati selaku pembimbing, dan Dr Ir Afton Atabany, MSi selaku penguji luar komisi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik-adik serta seluruh keluarga dan sahabat atas segala do a, dukungan dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Januari 2013 Masha Marina

13 xiii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1. PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 2. TINJAUAN PUSTAKA 3 Sapi Perah 3 Status Fisiologis Ternak 3 Energi Pakan 4 Total Digestible Nutrient 4 Energi Metabolis 5 Protein Pakan 5 Bungkil Inti Sawit 6 Distillers Dried Grains with Solubles 8 Produksi Susu 9 3. METODE 10 Bahan 10 Alat 12 Lokasi dan Waktu Penelitian 12 Prosedur Penelitian 12 Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN 14 Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara 14 Status Fisologis Ternak 15 Denyut Jantung / Pulsus 15 Respirasi 17 Temperatur Rektal 18 Konsumsi Pakan 20 Konsumsi Hijauan 21 Konsumsi Konsentrat 22 Konsumsi BIS 23 Konsumsi DDGS 24 Total Konsumsi Pakan 25 Bobot Badan 28 Produksi Susu 30 Kualitas Susu 34 vii viii viii

14 xiv Kadar Lemak Susu 34 Bahan Kering Tanpa Lemak 36 Kadar Protein 37 Bahan Kering Total 38 Uji Mastitis 38 Gambaran Pendapatan Berdasarkan Harga Pakan SIMPULAN DAN SARAN 41 Simpulan 41 Saran 41 DAFTAR PUSTAKA 42 LAMPIRAN 46 RIWAYAT HIDUP 59

15 xv DAFTAR TABEL 1 Kebutuhan gizi untuk produksi per liter susu 6 2 Hasil ikutan tanaman dan olahan kelapa sawit tiap hektar 7 3 Komposisi nutrien bungkil inti sawit 7 4 Komposisi nutrien DDGS 8 5 Syarat mutu susu berdasarkan SNI Kondisi ternak yang digunakan selama penelitian 11 7 Persentase BIS dan DDGS dalam konsentrat serta kandungan PK dan TDN konsentrat yang digunakan selama penelitian 11 8 Populasi sapi di wilayah binaan KPSBU tahun Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata denyut jantung sapi Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata respirasi sapi Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata temperatur rektal sapi Kandungan nutrisi bahan pakan yang digunakan dalam penelitian Rata-rata konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NE L (Mkal/kg) hijauan selama penelitian Rata-rata konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NE L (Mkal/kg) konsentrat selama penelitian Rata-rata konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NE L (Mkal/kg) BIS selama penelitian Rata-rata konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NE L (Mkal/kg) DDGS selama penelitian Rata-rata total konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NE L (Mkal/kg) pakan selama penelitian Perngaruh perlakuan pakan terhadap selisih rata-rata bobot badan sapi yang digunakan dalam penelitian Perhitungan energi dibandingkan dengan laju metabolisme ternak selama penelitian Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata selisih produksi susu (kg/ekor/hari) Pengaruh perlakuan pakan terhadap rataan persistensi produksi susu selama penelitian Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata selisih kadar lemak susu Produksi susu 4% FCM Pengaruh perlakuan pakan terhadap kadar BKTL dalam susu Pengaruh perlakuan pakan terhadap protein susu Pengaruh perlakuan pakan terhadap kadar bahan kering total dalam susu Penyebaran kondisi kesehatan ambing dengan uji IPB Biaya pakan per ekor per hari selama penelitian Pendapatan peternak setiap hari selama periode perlakuan 41

16 xvi DAFTAR GAMBAR 1 Produksi lemak dan protein susu selama laktasi (Phillips 2001) 10 2 Bungkil inti sawit expeller 11 3 Distillers dried grains with solubles 12 4 Timbangan gantung 12 5 Kurva denyut jantung sapi dengan perlakuan berturut-turut (a) R0, (b) R1, (c) R2 dan (d) R3, periode 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan 16 6 Kurva respirasi sapi dengan perlakuan berturut-turut (a) R0, (b) R1, (c) R2 dan (d) R3, periode 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan 18 7 Kurva temperatur rektal sapi dengan perlakuan berturut-turut (a) R0, (b) R1, (c) R2 dan (d) R3, periode 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan 20 8 Kurva produksi susu selama 7 minggu masa penelitian, R0 ( ), R1 ( ), R2 ( ), dan R3 (X) 31 9 Diagram produksi susu perlakuan (a) R0, (b) R1, (c) R2, dan (d) R3, periode 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan 32 DAFTAR LAMPIRAN 1 Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata denyut jantung sapi selama penelitian 48 2 Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata respirasi sapi selama perlakuan 49 3 Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata temperatur rektal sapi selama perlakuan 50 4 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan pakan terhadap konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN ME dan NE L pakan selama penelitian 51 5 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan pakan terhadap selisih bobot badan ternak selama penelitian 53 6 Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata produksi susu selama penelitian 54 7 Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata kadar lemak susu selama penelitian 55 8 Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata kadar BKTL susu selama penelitian 56 9 Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata kadar protein susu selama penelitian Analisis ragam rataan pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata total bahan kering susu selama penelitian 58

17 1 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tingkat produksi susu nasional yang masih rendah, tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi susu nasional, sehingga menjadi tantangan bagi usaha ternak sapi perah untuk melakukan pengembangan produksi. Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra pengembangan usaha ternak sapi perah karena produksi susu pada provinsi ini mencapai 34.81% dari produksi susu nasional. Pada tahun 2010 populasi sapi perah di Provinsi Jawa Barat sebanyak ekor dan populasi ternak sapi perah terbesar di Jawa Barat terdapat di Kabupaten Bandung Barat khususnya wilayah Kecamatan Lembang. Pada tahun 2010, populasi sapi perah di Kabupaten Bandung Barat sebanyak ekor (Ditjennak 2010). Daerah ini memiliki rataan produksi susu terbesar di Jawa Barat sehingga mempunyai peluang yang sangat besar untuk dikembangkan lebih lanjut. Kecamatan Lembang terletak pada ketinggian hingga meter di atas permukaan laut dan memiliki suhu yang berkisar antara 15.6 sampai 16.8 o C pada musim hujan dan 30.5 sampai 32.7 o C pada musim kemarau (rataan suhu mencapai 15 sampai 18 o C) (Marliani 2008). Rata-rata produksi susu di Lembang 10 sampai 15 liter/ekor/hari dan masih di atas rata-rata produksi susu di Indonesia yang hanya 8 sampai 12 liter/ekor/hari. Ketergantungan terhadap pakan tambahan berupa konsentrat juga menjadi sangat tinggi guna mempertahankan produksi susu. Hal ini disebabkan kebutuhan nutrisi sapi perah yang sedang produksi belum dapat dipenuhi dari pakan hijauan. Kualitas konsentrat yang baik (mengandung protein kasar 18 sampai 19%) umumnya menggunakan bahan baku impor sebagai sumber protein seperti bungkil kedele, pollard dan lain-lain. Hal ini menyebabkan harga konsentrat menjadi tinggi, sedangkan harga susu masih relatif rendah, dan akan berpengaruh terhadap keuntungan peternak. Guna mendapatkan keuntungan dari usaha sapi perahnya, mayoritas peternak lebih memilih membeli konsentrat yang harganya dapat terjangkau atau lebih murah tetapi mempunyai kualitas yang kurang baik. Hal ini jelas akan berpengaruh terhadap produksi susu, sehingga diperlukan alternatif untuk mengganti pakan konsentrat dengan yang murah dan selalu tersedia, tanpa mempengaruhi produksi susu bahkan dapat meningkatkan produksi susu. Menurut Sukira dan Krisnan (2009), sumber bahan baku pakan lokal berbasis pertanian dan agroindustri di Indonesia sangat melimpah, namun ketersediaan bahan pakan tersebut sebagai makanan ternak masih belum termanfaatkan secara baik dan optimal. Telah banyak upaya yang dilakukan untuk menekan biaya pakan dan penggunaan bahan pakan alternatif yang berasal dari limbah industri yang tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, diharaokan dapat menekan biaya pakan. Perumusan Masalah Salah satu limbah yang sangat potensial untuk digunakan adalah limbah dari pengolahan minyak sawit berupa bungkil inti sawit (BIS). Bungkil inti sawit

18 2 berpotensi sebagai bahan pakan alternatif sumber protein dan energi, namun penggunaannya masih terbatas karena belum banyak penelitian tentang penggunaan BIS pada sapi perah. Bungkil inti sawit adalah hasil sampingan dari industri minyak sawit yang dapat digunakan sebagai bahan pakan untuk ternak. Menurut Sinurat et al. (2004), BIS merupakan bahan pakan yang mengandung protein yang cukup tinggi yaitu ada pada kisaran 14.6 sampai 19.0%. Bahan lain sebagai sumber protein dan energi adalah distillers dried grains with solubles (DDGS), namun bahan ini masih perlu diimpor dari negara produsen DDGS. Walaupun kandungan proteinnya masih lebih rendah dibandingkan bungkil kedele, tetapi harganya relatif lebih murah, sehingga masih memungkinkan untuk dapat digunakan sebagai pengganti bungkil kedele. Distillers dried grains with solubles adalah produk samping utama dari pengolahan etanol dan memiliki protein dan energi yang baik digunakan untuk pakan ternak. Sebagian besar DDGS berbahan dasar jagung. Menurut Rokhayati (2010), jagung dikenal sebagai bahan pakan sumber energi dan merupakan bahan pakan yang lambat terdegradasi dalam rumen. Menurut NRC (2003), DDGS memiliki kandungan protein kasar sebesar 29.7% dan fosfor sebesar 0.83%. Penelitian Schingoethe et al. (2009) mengungkapkan bahwa penggunaan DDGS dalam ransum seimbang sebesar 20% bahan kering atau lebih, dapat menghasilkan produksi susu yang sama bahkan bisa lebih tinggi dari pada pemberian 10 %. Kebutuhan energi ternak bergantung pada proses fisiologis yang berlangsung di dalam tubuh. Status fisiologis ternak sangat mempengaruhi konsumsi pakannya. Nutrisi yang sangat berpengaruh terhadap konsumsi pakan adalah jumlah energi yang terkandung dalam pakan (Tobing 2010). Pencampuran sebagian konsentrat oleh bahan baku lokal BIS dan bahan baku impor DDGS, diharapkan dapat meningkatkan produksi dan kualitas susu sapi perah di Lembang. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh pencampuran konsentrat oleh bahan baku pakan lokal BIS dan bahan baku pakan impor DDGS sebagai pengganti konsentrat, terhadap produksi susu sapi perah di Lembang. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam meningkatkan produksi susu sapi perah, menurunkan biaya pakan dan meningkatkan pendapatan peternak sapi perah di Lembang.

19 3 2. TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi perah merupakan ternak penghasil susu yang penting, sekitar 95% produksi susu dunia dihasilkan oleh sapi perah. Sapi perah diperkirakan berasal dari Asia Tengah dan telah didomestikasi sejak 400 tahun SM, kemudian menyebar ke Eropa, Afrika dan seluruh wilayah Asia (Sudono et al. 2005). Bangsa sapi perah yang umum dipelihara di Indonesia ialah sapi Friesian Holstein (FH). Tingginya produksi susu sapi perah ditentukan oleh faktor keturunan sebesar 25%, dan 75% ditentukan oleh faktor lingkungan termasuk di dalamnya adalah faktor pakan dan suhu lingkungan (Soetarno 2003). Apabila sapi FH ditempatkan pada lokasi yang memiliki suhu tinggi dan kelembaban udara yang tidak mendukung, maka sapi tersebut akan mengalami cekaman panas yang berakibat pada menurunnya produktivitas sehingga potensi genetiknya tidak dapat tampil secara optimal (Yani et al. 2007). Hal yang menentukan untuk mendapatkan produksi susu sapi yang baik dan optimal, selain bibit yang produksinya bagus, juga ditentukan oleh kualitas pakan dan cara pemberian pakan yang baik. Kualitas pakan yang rendah dapat menyebabkan produksi susu tidak optimal (Hartati 2010). Susu dihasilkan oleh sel-sel epitel pada alveoli (alveolus-alveolus) dari darah yang mengandung bahan-bahan pembentuk susu (milk precursors) melalui jalan darah yang halus (cappilair). Pada sapi yang sedang laktasi terdapat 150 sampai 220 alveoli. Susu yang dihasilkan ditampung di lumen. Zat-zat yang tidak dipergunakan (bukan pembentuk susu) dikembalikan ke jantung melalui dua vena susu: 1) vena pudica externa dan 2) vena abdominalis, vena yang besar berkelokkelok di bawah kulit dinding perut menuju ke depan dan melalui lubang (sumber susu) di dinding ruang dada kembali ke jantung. Aliran darah sebanyak 300 sampai 400 liter ke dalam ambing dibutuhkan untuk membentuk 1 liter susu. Seekor sapi yang menghasilkan susu 20 liter sehari, membutuhkan darah yang mengalir melalui ambing sebanyak 6 sampai 8 ton sehari semalam. Sapi setelah melahirkan, lima hari pertama menghasilkan kolostrum. Pada awal laktasi produksi susu meningkat dengan cepat, dan puncak (peak) produksi susu dicapai pada hari ke-30 sampai ke-60 atau minggu ke-3 sampai ke-6 atau bulan ke-1 sampai ke-2 (Soetarno 2003). Produksi rata-rata sapi FH di Indonesia 10 liter per ekor per hari atau lebih kurang kg per laktasi (Sudono et al. 2005). Status Fisiologis Ternak Respirasi penting bagi tubuh karena kebutuhan akan zat-zat makanan, oksigen dan panas dapat terpenuhi, serta zat-zat yang tidak diperlukan dibuang (Awabien 2007). Blakely dan Bade (1998) menyatakan bahwa frekuensi pernafasan normal (respirasi) untuk sapi berkisar antara 15 sampai 30 kali per menit. Perubahan denyut jantung dan frekuensi pernapasan sapi FH dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Denyut jantung sapi FH yang sehat pada daerah nyaman

20 4 (suhu tubuh 38.6 o C) adalah 60 sampai 70 kali/menit dengan frekuensi nafas 10 sampai 30 kali/menit (Ensminger 1993). Denyut jantung dan aliran darah lebih dipengaruhi oleh konsumsi pakan dan hasil proses fermentasi di rumen memiliki efek terhadap aliran darah (Cristoppherson 1984). Peningkatan frekuensi pernafasan membantu ternak meningkatkan pelepasan panas melalui pernapasan. Adapun peningkatan denyut jantung dapat membantu transportasi oksigen dan zat-zat makanan ke seluruh tubuh. Selain itu, peningkatan denyut jantung juga membantu transportasi panas hasil metabolisme ke seluruh tubuh sehingga dapat meningkatkan suhu permukaan tubuh (Gatenby 1986). Suhu rektal sedikit bervariasi pada kondisi fisik dan pada kondisi suhu lingkungan yang ekstrim. Bila laju pembentukan panas dalam tubuh lebih tinggi daripada laju hilangnya panas dalam tubuh, maka temperatur tubuh akan meningkat (Guyton dan Hall 1997). Jika suhu lingkungan meningkat dari 15.5 o C sampai 35 o C, suhu tubuh akan meningkat dari 38 o C sampai 40 o C, selanjutnya produksi susu turun dari kg sampai 7.71 kg (Habibah 2004). Pengaruh yang ditimbulkan akibat peningkatan suhu tubuh antara lain menurunnya nafsu makan, anabolisme, konsentrasi hormon dalam darah, serta meningkatnya konsumsi air minum, katabolisme, pelepasan panas melalui penguapan, respirasi, temperatur tubuh dan denyut jantung (Mc Dowell 1972 dan Armstrong 1977). Energi Pakan Upaya perbaikan nutrisi sapi perah, diantaranya dengan meningkatkan kualitas konsentrat yang dikonsumsi (Mundingsari et al 2006). Sapi akan merespon energi yang tersedia dalam bentuk produksi susu dan perubahan berat badan (Broster dan Thomas 1988). Respon ternak terhadap protein kasar pakan akan menjadi lebih baik apabila energi yang dikonsumsi tersedia dalam jumlah yang cukup (Satter 1986). Perlu diketahui bahwa nutrien yang terpenting dalam pakan sapi perah adalah energi (Schmidt dan Van Vleck 1974). Total Digestible Nutrient Aboenawan (1991) menyatakan bahwa total digestible nutrient (TDN) merupakan salah satu cara untuk mengetahui jumlah energi pakan yang tercerna. TDN suatu bahan makanan dinyatakan dengan bagian dari bahan makanan yang dimakan dan tidak diekskresikan dalam feses. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya cerna perlu diketahui guna mempertinggi efisiensi konversi makanan, antara lain suhu lingkungan, laju perjalanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan makanan, komposisi ransum dan pengaruh terhadap perbandingan dari zat makanan lainnya (Anggorodi 1990). Total digestible nutrient yang dikonsumsi dipengaruhi oleh kualitas ransum, dimana semakin tinggi kandungan serat kasar dalam ransum, maka TDN yang dikonsumsi semakin rendah dan ransum yang semakin baik kualitasnya maka TDN yang dikonsumsi semakin tinggi (Utomo 2003). Semakin tinggi nilai TDN suatu pakan maka pakan tersebut akan semakin baik karena semakin banyak zat-zat makanan yang dapat digunakan (Mundingsari et al. 2006). Konsumsi TDN dapat mempengaruhi produktivitas ternak (NRC 2003).

21 5 Kebutuhan energi dibedakan berdasarkan masa laktasinya, pada awal laktasi kebutuhan TDN sangat tinggi yaitu 73%, sedangkan pada bulan laktasi berikutnya kebutuhan TDN bergantung pada jumlah produksi susunya. Sapi yang memproduksi susu 7 sampai 13 kg/hari membutuhkan TDN sebanyak 63 sampai 67% dan sapi yang produksi susunya 13 sampai 20 kg/hari membutuhkan TDN sebanyak 67 sampai 71%. Sapi perah induk yang berada pada masa kering mempunyai kebutuhan TDN yang lebih rendah dari pada sapi yang berproduksi, kebutuhannya yaitu 56% (NRC 2003). Protein, lemak dan karbohidrat adalah bahan organik, sehingga TDN dapat juga didefinisikan sebagai bahan organik tercerna dengan mengalikan lemak dapat dicerna 1.25 (Sutardi 1981). Ternak muda menyimpan energi dalam bentuk otot, sedangkan ternak tua menyimpannya dalam bentuk lemak (Tillman et al. 1991). Energi digunakan dalam segala proses yaitu kerja otot jantung, pemeliharaan tekanan darah, pengantar impuls syaraf, transportasi ion menembus membran, absorbsi dalam ginjal, pembentukan protein dan lemak, sekresi susu, produksi dan tenaga gerak (Budianto 2002). Konsentrasi energi pakan berbanding terbalik dengan tingkat konsumsinya. Makin tinggi konsentrasi energi di dalam pakan, maka jumlah konsumsinya akan menurun (Tobing 2010). Nilai TDN tidak bisa menggambarkan jumlah energi yang terkandung dalam beberapa jenis pakan, salah satunya adalah DDGS (NRC 2003), oleh karena itu perhitungan jumlah energi dengan menghitung energi metabolis dan net energi laktasi perlu dilakukan. Energi Metabolis Kebutuhan energi untuk hidup pokok dan produksi susu dinyatakan dalam Net Energi Laktasi (NE L ), energi dalam pakan juga dinyatakan dalam NE L (NRC 2003). Energi metabolis (ME) telah digunakan dalam penentuan energi pada sapi laktasi, tetapi untuk produksi susu memiliki efisiensi 60 sampai 64% dan untuk pertumbuhan sapi laktasi 75%. Ditambahkan pula bahwa energi tercerna (DE) adalah gross energi pakan yang dimakan dikurangi dengan energi yang terkandung dalam feses. Energi metabolis didapat dengan mengurangkan DE dengan energi yang terkandung dalam metan dan urin. Umumnya, ME digunakan untuk mengestimasi jumlah energi untuk metabolisme (Moe 1981). Protein Pakan Ketersediaan TDN yang tinggi perlu diimbangi dengan suplai protein agar terjadi kesimbangan energi dan protein guna mendukung produksi susu. Selain itu, pakan yang mengandung protein kasar (PK) dan TDN tinggi dapat menghasilkan produksi susu yang tinggi pula (Mundingsari et al. 2006). Protein di dalam ransum ternak sangat penting karena berperan sebagai bahan untuk pembangun tubuh dan pengganti sel-sel yang rusak; mengatur transportasi zat-zat makanan terlarut dan sebagai bahan pembuat hormon, enzim dan antibodi (Sutardi 1981). Kekurangan protein dapat berdampak buruk bagi ternak, karena ternak akan menggunakan cadangan protein yang ada di dalam darah, hati dan jaringan otot, yang mana hal ini dapat membahayakan kondisi kesehatan ternak, menekan perkembangan mikroorganisme rumen yang bermanfaat untuk mencerna selulosa dan sebagai sumber protein ternak, dan menghambat perkembangan reproduksi

22 6 dan produktivitasnya (McDonald et al. 1988). Terdapat beberapa pendekatan untuk mengevaluasi protein makanan untuk ruminansia dan ruminansia, salah satunya adalah dengan mencari nilai PK yang ditentukan dengan prosedur Kjeldahl (Tillman et al. 1991). Martawidjaja et al (1999) mengungkapkan bahwa konsumsi protein kasar meningkat sejalan peningkatan protein ransum. Ternak ruminansia membutuhkan protein, yang nantinya akan dikonversi menjadi asam amino, yang berguna untuk menghasilkan protein susu dan proses lainnya (Charles et al. 2009). Penggunaan protein pakan oleh mikrobia rumen sangat bergantung pada ketersediaan energi. Selain itu, suplai protein yang tidak diimbangi oleh ketersediaan energi, akan menyebabkan protein tersebut difermentasi dalam rumen sehingga suplai asam amino tidak cukup dan tidak dapat langsung digunakan (McDonald et al. 1988). Nilai kebutuhan gizi yang diperlukan untuk memproduksi susu dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Kebutuhan gizi untuk produksi per liter susu Kadar lemak (%) Protein kasar (g) TDN (kg) NE L (Mkal) Ca (g) P (g) Sumber: NRC (2003) TDN = Total Digestible Nutrients NE L = Net Energy for Lactation Kebutuhan protein bagi sapi perah dipengaruhi oleh umur, masa pertumbuhan, kebuntingan, laktasi, ukuran tubuh, kondisi tubuh dan rasio energiprotein (Ensminger 1993). Kebutuhan protein kasar untuk sapi yang sedang tumbuh adalah 16%, untuk ternak yang bobot badannya lebih dari 100 kg (NRC, 2003). Konsentrat dengan kandungan PK 13% merupakan komposisi yang paling baik untuk menghasilkan produksi susu paling optimal serta dapat memberikan nilai penerimaan dan income over feed cost paling tinggi (Sugandi et al. 2005). Bungkil Inti Sawit Bungkil inti sawit atau palm kernel cake (PKC), merupakan hasil ikutan dalam pembuatan minyak sawit atau crude palm oil (CPO), yang paling tinggi nilai gizinya untuk pakan ternak dengan kandungan protein kasarnya yang bervariasi yaitu 15 sampai 17% (Sukria dan Krisnan 2009). Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar kedua di dunia setelah Malaysia. Luas pengembangannya di Indonesia hingga saat ini sangat pesat, dengan laju peningkatan areal penanaman sawit sebesar 14% per tahun (Muchtadi 2003). Hasil utama pengolahan tandan buah sawit adalah minyak sawit dan minyak inti sawit, dan sebagai hasil ikutan diperoleh bungkil inti sawit dan sisanya adalah limbah berupa serat perasan buah, tandan buah kosong, lumpur minyak sawit dan tempurung (Simanjuntak 1998). Bungkil inti sawit yang dihasilkan mencapai 45 sampai 46% dari inti sawit atau 2.0 sampai 2.5% dari bobot tandan sawit; dan umumnya mengandung air

23 7 kurang dari 10%, protein 14 sampai 17%, lemak 9.5 sampai 10.5%, dan serat kasar 12 sampai 18%, dimana dengan komposisi gizi seperti ini BIS berpotensi sebagai bahan pakan, baik untuk ternak ruminansia maupun nonruminansia (Iskandar et al. 2008). Hasil sampingan tanaman sawit dapat dilihat pada Tabel 2, dengan asumsi 1 hektar terdiri atas 130 pohon, 1 pohon dapat menghasilkan 22 pelepah per tahun, yang berbobot masing-masing 7 kg (Mathius 2009). Tabel 2 Hasil ikutan tanaman dan olahan kelapa sawit tiap hektar Biomassa Segar Bahan Kering Bahan Kering (%) (kg/ha/tahun) (kg/ha/tahun) Daun tanpa lidi Pelepah Tandan kosong Serat sawit Lumpur sawit Bungkil inti sawit Total biomassa Sumber: Mathius (2009) Bungkil inti sawit yang didapat langsung dari pabrik, diketahui masih banyak mengandung cangkang atau batok. Penelitian terhadap perlakuan fisik BIS, yakni pengayakan/penyaringan atau dengan pemisahan yang menggunakan gaya gravitasi (blower) menunjukkan bahwa tingkat cemaran cangkang pada BIS dapat dikurangi (Mathius 2009). Pengayakan memberikan pengaruh terhadap perubahan struktur fisik bahan, dimana jumlah produk hasil ayakan terendah pada BIS berada pada nomor mesh 100, yaitu sebesar 2.31% dan tertinggi berada pada nomor mesh 30, yaitu sebesar 29.04% (Situmorang 2011). Komposisi zat nutrien BIS disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi nutrien bungkil inti sawit Nutrien Siregar (2003) Simanjuntak (1998) (%) Bahan kering Protein kasar Lemak kasar Serat kasar Abu Kalsium Fosfor TDN Bungkil inti sawit adalah pakan yang memiliki kualitas yang baik untuk ruminansia dan memiliki kecernaan yang tinggi (O Mara 1999), dan dapat digunakan sebagai sumber energi dan serat pada penggunaan 30 sampai 50% (Zahari dan Alimon 2011). Penggunaan daun sawit segar sebagai pengganti hijauan dalam konsentrat yang mengandung 30% BIS, memberikan pertambahan

24 8 bobot badan 750 g/ekor/hari (Sukria dan Krisnan 2009). Penggunaan 100% larutan ekstrak BIS pada sapi perah Sahiwal-Friesian meningkatkan produksi susu dari 4.8 kg menjadi 7.9 kg (Chin 2002). Distillers Dried Grains with Solubles Distillers dried grains with solubles merupakan hasil sampingan pada industri penyulingan etanol dan sebagian besar berbahan dasar jagung, dan dapat digunakan sebagai suplemen protein untuk sapi laktasi (Powers et al. 1995), disamping itu, DDGS dapat digunakan dalam bentuk basah atau kering dan biasanya DDGS digunakan sebagai pengganti konsentrat dan hijauan dalam pakan sapi perah (Schingoethe 2006). Menurut Linn dan Chase (1996), DDGS memiliki kandungan nutrien tiga kali lebih banyak daripada bijian, mengandung pati yang rendah, memiliki kandungan lemak, protein, serat, dan fosfor yang tinggi. Dalam hasil penelitiannya, Owen dan Larson (1991) mengungkapkan bahwa DDGS dapat meningkatkan produksi susu jika diberikan 18.8% dari total bahan kering pakan, namun produksi berkurang jika DDGS diberikan 35.8% dari total bahan kering pakan. Hal ini dikarenakan kecernaan protein makin rendah dan rendahnya konsentrasi lisin, sehingga menyebabkan menurunnya performa sapi. Kandungan TDN rata-rata berdasarkan hasil analisis terhadap 13 sampel DDGS dari berbagai daerah di Amerika Serikat adalah sebesar 77.45% (Anonim 2001). Menurut Shurson (2011), DDGS generasi terbaru mengandung bahan kering 89.2%, protein kasar 31.6%, lemak kasar 11.5%, serat kasar 6.2% dan abu 7.8%. Penggunaan DDGS 31.6% dengan alfalfa dapat meningkatkan produksi susu (Grings et al. 1992). Komposisi nutrien DDGS dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Komposisi nutrien DDGS Komposisi kimia Spiehs et al. (2002) Kalscheur et al. (2012) (%) Bahan kering ± ± 7.00 Protein kasar ± ± 4.00 Lemak kasar ± ± 3.00 Serat kasar 8.80 ± Abu TDN 5.80 ± ± ± 4.90 Penggunaan DDGS yang dianjurkan untuk sapi laktasi maksimal sebesar 20% bahan kering atau 10 sampai 20 lb per hari atau sekitar 4.53 sampai 9.07 kg per hari. Pemberian DDGS sampai level 35.5% dengan pakan dasar silase dan biji kapuk, dapat menghasilkan produksi susu lebih rendah daripada pemberian pada level 18.8%. Sedangkan penggunaan DDGS pada pakan yang mengandung protein 18%, akan meningkatkan produksi susu dan kualitas susu lebih tinggi dibanding dengan pakan yang mengandung protein 14% (Powers et al. 1995). Penggunaan DDGS yang dianjurkan adalah 26% bahan kering pakan dan dikombinasikan dengan sumber protein lain (Linn dan Chase 1996). Penggunaan DDGS dapat meningkatkan produksi susu, menurunkan kadar protein susu, dan

25 9 meningkatkan kadar lemak dan laktosa susu selama dan setelah pemberian (Tanaka 2008). Penggunaan DDGS yang berlebihan dapat menurunkan produksi susu dan performans sapi, karena DDGS memiliki kecernaan yang rendah dan defisiensi asam amino lisin (Linn dan Chase 1996). Meskipun DDGS dihasilkan dari bahan dasar jagung, namun keduanya mengandung energi dalam bentuk yang berbeda. Sumber energi DDGS dalam bentuk serat dan lemak tercerna sedangkan sumber energi dalam jagung dalam bentuk pati. Fermentasi pati dalam rumen biasanya menghasilkan asidosis, laminitis dan lemak hati (Schingoethe 2004). Konsentrat yang lambat degradasinya, seperti jagung dan kulit kedelai, dalam rumen cenderung menghasilkan susu lebih tinggi dibanding dengan yang cepat degradasinya, seperti gandum, gula beet, kulit jeruk dan bekatul (Agus 1997). Produksi Susu Faktor yang dapat mempengaruhi kualitas susu adalah kesehatan ternak, pakan, kondisi pemerahan, kebersihan alat yang digunakan pemerahan, dan penanganan pasca panen (Mubarack et al. 2010). Pakan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan kualitas dan kuantitas susu, dimana pakan dengan kualitas rendah dapat berpengaruh buruk terhadap produksi susu maupun reproduksi. Nutrisi pakan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, produksi dan reproduksi (Ensminger 1993). Penggunaan konsentrat level tinggi dalam ransum dapat meningkatkan produksi susu, tetapi jika terlalu berlebihan akan menurunkan persentase lemak susu tetapi dapat meningkatkan protein susu (Keslera dan Spahra 2010). Tipe konsentrat dalam ransum dapat mempengaruhi produksi dan komposisi susu, jika proporsi konsentrat dalam ransum melebihi 60% (Agus 1997). Ditambahkan oleh Agus (1997), pemberian konsentrat tipe pati akan menghasilkan kadar protein yang lebih tinggi dan kadar lemak yang lebih rendah daripada konsentrat tipe serat. Konsentrat yang cepat degradasinya dalam rumen dapat menurunkan konsumsi bahan kering. Dalam ransum sapi perah harus diperhatikan imbangan protein dan energi. Jika energi dalam ransum berlebihan, konsumsi pakan akan meningkat dan apabila energi dalam pakan rendah, maka akan meningkatkan efisiensi penggunaan protein sehingga terjadi penurunan protein susu (Rokhayati 2010). Energi yang persentasenya ditingkatkan dari 60 menjadi 90% akan menurunkan kadar lemak susu (Sutton 1988). Defisiensi protein pada awal laktasi dapat menurunkan produksi susu dan kandungan lemaknya tapi tidak banyak berpengaruh terhadap kandungan bahan kering tanpa lemak (BKTL) atau solid non fat (SNF) (Oldham dan Smith 1981). Air susu mengandung tiga komponen utama yaitu laktosa, kasein dan lemak, selain masih ada komponen umum yang lain, mineral dan vitamin (Schmidt dan Van Vleck 1974). Persentase protein dan lemak berada di titik terendah ketika produksi berada di puncak laktasi dan berangsur-angsur meningkat menjelang akhir laktasi (Gambar 1) (Schmidt et al. 1988).

26 10 Gambar 1 Produksi lemak dan protein susu selama laktasi (Phillips 2001) Menurut Tillman et al. (1991), susu sapi mengandung sekitar 87.2% air, 3.7% lemak, 3.5% protein, 4.9% laktosa, 0.71% abu, 0.121% kalsium, 0.095% fosfor dan 73 Kkal/l. Sedangkan menurut Ensminger (1993), rata-rata komposisi susu sapi FH adalah BK 12.27%, lemak 3.80%, protein 3.19%, dan laktosa 8.47%. Standar Nasional Indonesia juga telah menetapkan syarat mutu susu seperti terlihat di Tabel 5. Tabel 5 Syarat mutu susu berdasarkan SNI Karakteristik Syarat Berat jenis (27.5 C) minimum kg/l Kadar lemak minimum 3.0% Kadar BKTL/SNF minimum 8.0% Kadar protein minimum 2.7% Warna, bau, rasa, kekentalan Tidak ada perubahan Derajat asam 6 sampai 7 SH Uji alcohol Negatif Uji katalase maksimum 3 (cc) Kotoran dan benda asing Negatif Uji pemalsuan Negatif Total kuman maksimum 1 x 10 6 CFU/ml Sumber: SNI METODE Bahan Ternak yang digunakan adalah bangsa sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) laktasi sebanyak 22 ekor yang dibagi dalam 4 kelompok perlakuan (R0, R1, R2 dan R3). Perlakuan R0 dan R3 masing-masing terdiri atas 5 ekor ternak, sedangkan R1 dan R2 masing-masing terdiri atas 6 ekor ternak. Kondisi bulan

27 11 laktasi, umur dan bobot badan yang dicatat dan dirata-rata sebelum penelitian, dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Kondisi ternak yang digunakan selama penelitian Keterangan Perlakuan R0 R1 R2 R3 Bulan laktasi ke Tahun laktasi ke Bobot Badan (kg) 414 ± ± ± ± R0 = R1 = R2 = R3 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg Pakan basal yang digunakan terdiri atas rumput gajah, rumput raja, rumput taiwan, rumput lapang, onggok dan makanan konsentrat produksi KPSBU. BIS (Gambar 2) mengandung PK 16.22% dan TDN 64.87%, sedangkan DDGS (Gambar 3) mengandung PK 28.68% dan TDN 83.58%. Kandungan PK dan TDN konsentrat setelah dicampur dengan BIS dan DDGS, ditampilkan pada Tabel 7. Tabel 7 Persentase BIS dan DDGS dalam konsentrat serta kandungan PK dan TDN konsentrat yang digunakan selama penelitian Perlakuan BIS DDGS PK TDN (%) R R R R R0 = R1 = R2 = R3 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg Gambar 2 Bungkil inti sawit expeller

28 12 Gambar 3 Distillers dried grains with solubles Alat Peralatan yang digunakan adalah milkcan ukuran 15 dan 40 liter, untuk menampung susu; timbangan gantung (salter) kapasitas 22 kg dengan kepekaan 250 g (Gambar 4) untuk menimbang susu, pakan, dan sisa pakan; termometer, stetoskop; paddle mastitis test; pita ukur dan milkanalyzer Lactoscan untuk mengukur berat jenis susu, protein, kadar lemak, bahan kering tanpa lemak dan total solid. Gambar 4 Timbangan gantung Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2012 sampai Maret 2012 di Desa Gunung Putri, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Lokasi penelitian berada di Peternakan sapi perah Lembang yang berada dibawah binaan Koperasi Peternak Sapi Perah Bandung Utara (KPSBU), Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Pengujian dan analisis sampel susu dilakukan di Laboratorium Proksimat, Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. Sedangkan pengujian sampel pakan dilakukan di Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak, Dinas Peternakan Jawa Barat, Cikole, Lembang. Prosedur Penelitian Keadaan mastitis diuji dengan Mastitis Test dengan reagen IPB-1 yang dilakukan sebelum, saat dan setelah penelitian yaitu saat pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan pakan. 1. Data fisiologis meliputi suhu rektal, denyut jantung dan frekuensi respirasi. Pengukuran dilakukan setiap minggu sekali, sebelum dan setelah diberi pakan,

29 13 pada pagi, siang dan sore hari. Pengukuran dilakukan sebelum, saat dan setelah aplikasi perlakuan pakan. Periode pra perlakuan adalah pengukuran fisiologis pada minggu pertama, perlakuan adalah saat pengukuran fisiologis pada minggu ke 2 sampai 5, dan pasca perlakuan adalah pengukuran fisiologis pada minggu keenam. Suhu rektal diukur dengan memasukkan termometer ke dalam rektal sedalam ± 10 cm selama 15 detik yang kemudian dikonversi menjadi 1 menit. Denyut jantung diukur dengan menempelkan stetoskop di dekat tulang axilla sebelah kiri (dada sebelah kiri) selama 15 detik yang kemudian dikonversi menjadi 1 menit, diulang sebanyak tiga kali. Frekuensi pernafasan diukur dengan cara menempelkan stetoskop di dada untuk menghitung inspirasi dan ekspirasi pernafasan selama 15 detik yang kemudian dikonversi menjadi 1 menit, diulang sebanyak tiga kali pada setiap periode pengukuran. 2. Konsumsi pakan (kg/ekor/hari). Konsumsi pakan diukur setiap hari dengan menghitung selisih pakan yang diberikan, dikurangi dengan pakan yang tersisa pada keesokan harinya. 3. Konsumsi bahan kering pakan. Untuk mengetahui kandungan bahan kering, diambil sampel pakan rumput dan konsentrat baik yang diberikan maupun pakan sisa kemudian dikeringkan dalam oven 105 o C selama 24 jam. Kandungan bahan kering pakan ini kemudian dikalikan dengan jumlah pakan yang diberikan dan pakan sisa, sehingga selisih keduanya merupakan jumlah bahan kering yang dikonsumsi. 4. Kandungan nutrisi rumput dan konsentrat, BIS, DDGS dan onggok. Sampel rumput dan konsentrat dikumpulkan secara komposit untuk kemudian dianalisa kandungan nutrisinya di laboratrorium analisis proksimat Balai Pengujian Mutu Pakan Ternak, Dinas Pertanian Cikole, Lembang, Jawa Barat. Hal ini dilakukan untuk mengetahui jumlah nutrisi yang terkonsumsi oleh ternak. 5. Lingkar dada (cm) diukur dengan menggunakan pita ukur dilakukan pada pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan, setelah itu dikonversi menjadi bobot badan (kg) dengan rumus Schrool (Soetarno 2003) dengan persamaan: Bobot Badan = (Lingkar dada cm +22)2 Hasil pengukuran bobot badan kemudian dikonversi menjadi metabolic body size (MBS) (Kleiber 1947), yang didapat dengan persamaan: 100 MBS = Bobot badan (kg) 0,75 6. Produksi susu harian, diukur dan ditimbang (kg) dan dicatat setiap hari pada pemerahan pagi pukul sampai WIB dan sore pukul sampai WIB selama penelitian dari minggu pertama hingga minggu ketujuh. Persistensi produksi susu (%) dihitung berdasarkan penurunan produksi susu setiap minggu setelah puncak produksi dengan persamaan: % Persistensi = Produksi susu setelah produksi puncak (kg ) Produ ksi puncak (kg ) x 100% 7. Kualitas susu diukur setiap dua minggu sekali yaitu pada pra perlakuan yaitu pada awal penelitian sebelum diberi perlakuan, periode perlakuan yaitu selama diberi perlakuan pakan pada minggu kedua dan keempat penelitian,

30 14 dan pasca perlakuan yaitu setelah diberi perlakuan pakan pada minggu keenam penelitian, dengan mengambil sampel susu sebanyak 200 ml. Analisis kualitas yang diukur meliputi berat jenis susu, protein (%), kadar lemak (%), bahan kering tanpa lemak (BKTL) (%) dan total bahan kering (%). Berdasarkan hasil analisis kadar lemak dan data produksi susu yang didapat, kemudian produksi susu dihitung berdasarkan 4% FCM dengan persamaan: Produksi susu 4% FCM = (0,4 x PS) + (15 x PS x %Fat) FCM = Fat Corrected Milk PS = Produksi susu Fat = Kadar lemak susu sebenarnya Analisis Data Sapi perah yang digunakan dalam penelitian dikelompokkan menjadi empat kelompok perlakuan pakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) (Mattjik dan Sumertajaya 2006) berdasarkan bulan laktasi dan tahun laktasi. Faktor jenis pakan (R0, R1, R2 dan R3) diamati dengan model linear pada rancangan percobaan ini. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam General Linear Model. Jika terdapat perbedaan hasil, akan dilanjutkan dengan uji Duncan. Penelitian terdiri dari tiga periode, yaitu pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan. Periode pra perlakuan adalah saat ternak belum diberi perlakuan pakan yaitu selama 7 hari; periode perlakuan adalah saat ternak diberi pakan perlakuan yaitu selama 30 hari; dan pasca perlakuan adalah saat ternak kembali tidak diberi pakan perlakuan yaitu selama 14 hari. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara adalah koperasi persusuan yang berada di Kabupaten Lembang, Jawa Barat dengan jumlah anggota mencapai orang pada tahun Sepanjang tahun 2011, produksi susu di koperasi ini terus mengalami penurunan. Bahkan produksi terendah mencapai angka liter/hari dengan rataan produksi liter/hari. Namun, jika dibandingkan dengan tahun 2010, jumlah sapi menurun 0.88% yaitu dari ekor menjadi ekor. Populasi sapi di wilayah KPSBU pada tahun 2010 hingga 2011 dapat dilihat pada Tabel 8. Usaha peternakan sapi perah rakyat, bertujuan memenuhi aspek pemerataan, meluaskan lapangan kerja, meningkatan pendapatan peternak, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah pedesaan. Usaha peternakan sapi perah rakyat berskala keluarga, terhimpun dalam wadah koperasi persusuan sebagai pengumpul susu dan merupakan pemasok utama bahan baku susu segar bagi Industri Pengolahan Susu (IPS) yang mencapai 92% produksi nasional,

31 15 dimana jumlah sapi yang dikelola peternak rakyat sekitar 95% nya dari populasi sapi yang ada di Indonesia, kepemilikannya sekitar 3 ekor per peternak (Soetarno 2003). Tabel 8 Populasi sapi di wilayah binaan KPSBU tahun Keadaan sapi Laktasi -Kosong -Bunting Dara -Kosong -Bunting Pedet -Jantan -Betina Jantan dewasa Sapi kering kandang Jumlah Sumber : KPSBU 2011 Semakin meningkatnya harga pakan dan tidak diiringi dengan peningkatan harga susu, menjadi salah satu penyebab banyaknya peternak yang tidak melanjutkan usaha ternaknya. Produksi susu merupakan tujuan utama dalam pemeliharaan ternak. Sehingga berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan produksi susu dan memenuhi taraf hidup peternak. Salah satu cara yang dilakukan adalah meningkatkan efisiensi produksi melalui penggunaan bahan pakan lokal yang mempunyai kualitas baik tetapi harga relatif lebih murah. Bungkil inti sawit yang merupakan limbah pabrik pembuatan minyak sawit merupakan bahan pakan yang potensial untuk peternakan sapi perah. Status Fisologis Ternak Reaksi sapi terhadap perubahan suhu yang dilihat dari respons pernapasan dan denyut jantung merupakan mekanisme dari tubuh sapi untuk mengurangi atau melepaskan panas yang diterima dari luar tubuh ternak (Yani dan Purwanto 2006). Denyut Jantung / Pulsus Pulsus merupakan denyut jantung yang dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, ketinggian tempat, kelembaban, stres, penyakit dan lain-lain. Metode yang digunakan untuk mengetahui pulsus pada ternak dapat dilakukan dengan cara meraba bagian pangkal ekor sehingga terasa denyutan artery caudalisnya. Kisaran pulsus yang normal menurut Frandson (1992) adalah 60 sampai 70 kali/menit. Hasil pengukuran dan pengamatan laju denyut jantung selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 9.

32 16 Tabel 9 Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata denyut jantung sapi Periode Perlakuan R0 R1 R2 R3 (kali/menit) a Pra perlakuan ± ± ± ± 2.53 Perlakuan ± ± ± ± 1.06 Pasca perlakuan ± ± ± ± 2.74 a Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg Rata-rata denyut jantung pada perlakuan R0, R1, R2 dan R3 masih berada pada kisaran normal. Frandson (1992) menyatakan bahwa pulsus sapi sekitar 60 sampai 70 kali/menit. Hasil analisis statistik menunjukkan denyut jantung antar perlakuan selama penelitian tidak berbeda nyata (P>0.05). Hal ini disebabkan oleh konsumsi pakan berupa bahan kering dan bobot badan ternak selama penelitian juga tidak berbeda nyata. Faktor-faktor yang mempengaruhi denyut jantung adalah bangsa, ukuran tubuh, umur, musim, kondisi fisik, temperatur lingkungan (Kelly 1984), derajat metabolisme tubuh, latihan dan aktivitas kerja (Evans et al. 1997). Frekuensi (kali/menit) (a) R0 65,00 64,50 64,00 63, Periode Frekuensi (kali/menit) (b) R1 65,50 65,00 64,50 64,00 63,50 63, Periode Frekuensi (kali/menit) 66,50 66,00 65,50 65,00 64,50 64, Periode Frekuensi (kali/menit) 65,00 64,00 63,00 62, Periode (c) R2 (d) R3 Gambar 5 Kurva denyut jantung sapi dengan perlakuan berturut-turut (a) R0, (b) R1, (c) R2 dan (d) R3, periode 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan

33 17 Hasil penelitian Rakhman (2012) mengungkapkan bahwa peningkatan denyut jantung terjadi satu jam setelah ternak mengonsumsi pakan pada pagi hari. Peningkatan denyut jantung merupakan respon dari tubuh ternak untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin (Anderson 1983 dalam Yani dan Purwanto 2006). Kurva denyut jantung sapi selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan Gambar 5 yang merupakan rataan denyut jantung pra perlakuan (1), perlakuan (2) dan pasca perlakuan (3), diketahui bahwa perlakuan R2 menunjukkan bentuk kurva yang berbeda dibandingkan dengan perlakuan R0, R1 dan R3. Kenaikkan denyut jantung selama penelitian pada perlakuan R0, R1 dan R3 menurut Swenson (1997) adalah keadaan sapi yang proestrus dimana terjadi gejala-gejala perubahan tingkah laku sapi yaitu sapi menjadi gelisah dan sapi selalu bergerak, dapat mengakibatkan kenaikkan pulsus. Kadar energi yang lebih tinggi menyebabkan produksi panas metabolis lebih tinggi dan selanjutnya dapat memicu peningkatan respon fisiologis termasuk denyut jantung. Berdasarkan hasil penelitian Rakhman (2012), diungkapkan bahwa ternak yang mengonsumsi konsentrat dengan tingkat energi (TDN) yang lebih tinggi, memiliki denyut jantung yang cenderung lebih tinggi terutama saat ada cekaman panas. Respirasi Fungsi utama respirasi adalah mengambil O 2 dan melepaskan CO 2, dan fungsi tambahannya adalah membantu pengaturan suhu tubuh (Frandson 1992). Frekuensi respirasi dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu berat badan, umur, exercise, rangsangan atau gerakan aktivitas yang banyak, temperatur lingkungan, kebuntingan, faktor kekenyangan pada ternak dan status kesehatan (Swenson 1997). Hasil pengukuran laju respirasi ternak disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata respirasi sapi Periode Perlakuan R0 R1 R2 R3 (kali/menit) a Pra perlakuan ± ± ± ± 2.28 Perlakuan ± ± ± ± 4.13 Pasca perlakuan ± ± ± ± 3.17 a Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg Respirasi ternak pada saat penelitian masih berada pada kisaran normal yaitu 24 sampai 42 kali/menit (Swenson 1997). Hasil analisis antar perlakuan R0, R1, R2, R3 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05). Laju respirasi tertinggi selama perlakuan terdapat pada ternak yang diberi perlakuan R0 diikuti R2, dan yang terendah adalah ternak dengan perlakuan R3. Hal ini berkaitan

34 18 dengan konsumsi pakan ternak. Semakin tinggi konsumsi pakan dan produksi susu, maka laju respirasi yang dihasilkan akan semakin rendah. Hal ini sejalan dengan Schütz et al. (2010), yang menyatakan bahwa keadaan panas yang menyebabkan meningkatnya suhu udara akan meningkatkan suhu tubuh, laju respirasi yang akan menurunkan konsumsi pakan dan menurunkan produksi susu. Frekuensi (kali/menit) 33,00 32,00 31,00 30,00 29, Periode Frekuensi (kali/menit) 31,50 31,00 30,50 30,00 29,50 29, Periode (a) R0 (b) R1 Frekuensi (kali/menit) 31,00 30,50 30,00 29,50 29,00 28, Periode Frekuensi (kali/menit) 31,50 29,50 27, Periode (c) R2 (d) R3 Gambar 6 Kurva respirasi sapi dengan perlakuan berturut-turut (a) R0, (b) R1, (c) R2 dan (d) R3, periode 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan Pernapasan merupakan respon tubuh ternak untuk membuang atau mengganti panas dengan udara di sekitarnya (Anderson 1983 dalam Yani dan Purwanto 2006). Berdasarkan Gambar 6 diketahui bahwa perlakuan R2 menunjukkan bentuk kurva yang berbeda dibandingkan dengan perlakuan R0, R1 dan R3. Tingginya laju respirasi pada perlakuan R2 pada periode perlakuan disebabkan oleh pakan yang dikonsumsi mengandung energi metabolis lebih tinggi dibandingkan dengan pakan pada perlakuan R0, R1 dan R3. Peningkatan laju respirasi merupakan salah satu aktivitas yang dapat dilakukan ternak agar suhu tubuhnya tidak terus menerus naik (McNeilly 2001). Temperatur Rektal Ternak harus mempertahankan keseimbangan panas yaitu antara panas yang diproduksi oleh tubuh atau panas yang didapat dari lingkungannya dengan panas yang hilang ke lingkungannya (Williamson dan Payne 1993). Menurut Anderson (1970), salah satu cara untuk memperoleh gambaran suhu tubuh adalah

35 19 dengan melihat suhu rektal dengan pertimbangan bahwa rektal merupakan tempat pengukuran terbaik dan dapat mewakili suhu tubuh secara keseluruhan sehingga dapat disebut sebagai suhu tubuh. Hasil pengukuran temperatur rektal selama penelitian disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata temperatur rektal sapi Periode Perlakuan R0 R1 R2 R3 ( o C) a Pra perlakuan ± ± ± ± 0.29 Perlakuan ± ± ± ± 0.24 Pasca perlakuan ± ± ± ± 0.15 a Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg Hasil pengukuran menunjukkan perlakuan pakan tidak berpengaruh terhadap penurunan atau kenaikkan temperatur rektal ternak (P>0.05). Temperatur rektal yang didapat masih berada dalam kisaran normal sesuai dengan Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yang menyatakan bahwa temperatur rektal ideal bagi sapi adalah berkisar 38 o C. Kelompok R0 memiliki temperatur rektal tertinggi selama periode perlakuan dan pasca perlakuan. Perbedaan konsumsi energi pada ternak selama penelitian tidak dapat mempengaruhi temperatur rektal ternak. Gambaran peningkatan dan penurunan temperatur rektal selama penelitian pada tiap perlakuan, disajikan pada Gambar 7. Produksi panas sapi bergantung pada beberapa faktor, diantaranya jumlah pakan yang dikonsumsi, tingkat produksinya dan tingkah laku peternak (Dian et al. 2010). Berdasarkan kurva diketahui bahwa perlakuan R2 menunjukkan bentuk grafik yang berbeda dibandingkan dengan perlakuan R0, R1 dan R3. Tingginya energi metabolis pakan yang dikonsumsi oleh kelompok perlakuan R2 tidak menyebabkan kenaikan temperatur rektal ternak selama perlakuan seperti yang dijelaskan oleh Brosh et al. (1998), bahwa konsumsi energi pada sapi dapat menyebabkan peningkatan produksi panas. Beragamnya bulan dan periode laktasi ternak yang digunakan dapat menjadi penyebab tidak berbedanya temperatur rektal ternak.

36 20 Suhu ( o C) 38,00 37,95 37,90 37,85 37, Suhu ( o C) 37,90 37,80 37,70 37, (a) R0 Periode (b) R1 Periode Suhu ( o C) 38,00 37,90 37,80 37,70 37,60 37, Suhu ( o C) 37,85 37,80 37,75 37, Periode Periode (c) R2 (d) R3 Gambar 7 Kurva temperatur rektal sapi dengan perlakuan berturut-turut (a) R0, (b) R1, (c) R2 dan (d) R3, periode 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan Makanan yang berserat menghasilkan panas yang paling tinggi dalam proses pencernaannya, kemudian diikuti oleh protein, karbohidrat dan disusul oleh lemak yang memiliki kadar energi yang paling tinggi, akan tetapi, lemak menghasilkan panas terbuang/heat increament yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan protein dan karbohidrat (Parakkasi 1999). Penelitian Dian et al. (2010), mengungkapkan bahwa sapi perah induk berkemampuan produksi tinggi mempunyai aktivitas faali yang lebih tinggi, sehingga proses metabolisme pada sapi-sapi induk berkemampuan produksi tinggi berlangsung lebih cepat, guna mengimbangi produksi susu. Konsumsi Pakan Konsumsi pakan merupakan faktor penting untuk menentukan kebutuhan hidup pokok dan produksi karena dengan tingkat konsumsi pakan maka dapat ditentukan kadar zat makanan dalam pakan untuk memenuhi hidup pokok dan produksi (Parakkasi, 1999). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan oleh ternak ruminansia antara lain jenis pakan, rasio pemberian pakan antara hijauan dan konsentrat, bentuk pakan, umur dan berat ternak, kebutuhan hidup pokok dan tujuan pemeliharaan ternak (Tillman et al. 1991). Pada peternakan rakyat, imbangan hijauan dan konsentrat pada sapi perah di awal dan akhir laktasi, lebih bergantung kepada ketersediaan pakan. Oleh sebab itu

37 21 konsumsi pakan perlu dinyatakan dalam bahan kering mengingat kandungan air dari pakan yang tersedia sangat bervariasi. Sapi yang berproduksi tinggi dapat mengonsumsi bahan kering pakan 3.6% sampai 4% bobot badannya (Sutardi 1983). Total digestible nutrients dihitung dengan rumus ( x protein kasar) + ( x bahan ekstrak tanpa nitrogen) + ( x lemak kasar) + ( x serat kasar) (Wardek 1981). Tabel 12 menunjukkan hasil analisis proksimat bahan pakan yang digunakan saat penelitian. Tabel 12 Kandungan nutrisi bahan pakan yang digunakan dalam penelitian Bahan Pakan Bahan Kadar Kadar Kadar Kadar Serat Kering Air Abu Protein Lemak Kasar BETN TDN (%) BIS DDGS Konsentrat KPSBU Onggok Rumput Gajah Rumput Lapang Batang Pisang Rumput Raja Konsumsi Hijauan Hijauan yang diberikan selama penelitian terdiri atas berbagai jenis rumput yaitu rumput gajah, rumput taiwan, rumput raja dan rumput lapang dan daun yang terdiri atas daun pisang, daun jagung dan lain-lain. Pemberian hijauan berbeda-beda setiap harinya bergantung pada ketersediaan hijauan yang ada di lokasi. Energi metabolis (ME) yang dikonsumsi dihitung dengan menggunakan rumus: ME = -0,45 + 1,01 DE (digestible energy) (Moe dan Tyrell 1970), adapun DE = x %TDN dan NE L = x %TDN (NRC 2003). Hasil konsumsi bahan kering dan nutrisi lainnya dari hijauan oleh ternak selama penelitian, dapat dilihat pada Tabel 13.

38 22 Tabel 13 Rata-rata konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NE L (Mkal/kg) hijauan selama penelitian Konsumsi Hijauan Perlakuan R0 R1 R2 R3 (kg/ekor/hari) a Bahan kering ± ± ± ± 1.42 Protein kasar 1.16 ± ± ± ± 0.14 Lemak kasar 0.36 ± ± ± ± 0.04 Serat kasar 4.32 ± ± ± ± 0.54 BETN 5.84 ± ± ± ± 0.68 TDN 7.08 ± ± ± ± 0.64 (Mkal/kg) a ME 1.96 ± ± ± ± 0.12 NE L 1.21 ± ± ± ± 0.07 a Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada konsumsi bahan kering, protein kasar, serat kasar, lemak kasar, BETN, TDN, ME dan NE L hijauan dalam setiap kelompok perlakuan pakan (P>0.05). Konsumsi bahan kering hijauan tertinggi terdapat pada perlakuan R2 yaitu kg/ekor/hari sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan R0 yaitu kg/ekor/hari. Konsumsi ME dan NE L hijauan tertinggi terdapat pada perlakuan R0, namun tingginya konsumsi ME dan NE L hijauan tidak diikuti oleh tingginya produksi susu. Konsumsi Konsentrat Pemberian pakan berupa hijauan saja tidak dapat mencukupi energi dan protein yang dibutuhkan oleh ternak. Oleh karena itu, perlunya pemberian konsentrat untuk memenuhi kebutuhan gizi ternak. Hasil data rata-rata konsumsi bahan kering dan nutrisi lainnya dari konsentrat selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 14.

39 23 Tabel 14 Rata-rata konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NE L (Mkal/kg) konsentrat selama penelitian Konsumsi Konsentrat Perlakuan R0 R1 R2 R3 (kg/ekor/hari) a Bahan kering 8.81 ± ± ± ± 1.55 Protein kasar 1.23 ± ± ± ± 0.33 Lemak kasar 0.57 ± ± ± ± 0.14 Serat kasar 1.30 ± ± ± ± 0.23 BETN 5.06 ± ± ± ± 1.26 TDN 6.46 ± ± ± ± 1.13 (Mkal/kg) a ME 7.53 ± ± ± ± 1.05 NE L 3.43 ± ± ± ± 0.00 a Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg Berdasarkan hasil analisis statistik, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan nyata dalam konsumsi bahan kering, protein kasar, serat kasar, lemak kasar, BETN, ME dan NE L dari setiap perlakuan (P>0.05). Pemberian konsentrat berupa onggok dan ampas tahu berbeda-beda pada tiap ternak, hal ini bergantung pada produksi susu masing-masing ternak. Penelitian Sugandi et al. (2005) mengungkapkan ternak yang mengonsumsi total bahan kering pakan rata-rata sekitar 17 kg/ekor/hari menghasilkan susu rata-rata 10 kg/ekor/hari. Menurut Tillman et al. (1991), sapi dengan kemampuan produksi susu tinggi, membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan dengan sapi yang berproduksi susu rendah. Ternak yang digunakan pada perlakuan R2 memiliki produksi susu tertinggi yang diikuti oleh perlakuan R3, sedangkan perlakuan R0 memiliki produksi susu yang terendah. Konsumsi BIS Konsumsi BIS rata-rata dalam berat basah selama penelitian pada perlakuan R2 sebesar 1.59 kg/ekor/hari dari pemberian 2 kg BIS dan pada perlakuan R3 sebesar 1.67 kg/ekor/hari dari pemberian 3 kg BIS. Hal ini menyebabkan konsumsi BIS selama penelitian pada perlakuan R2 hanya sebesar 24% dari jumlah konsentrat yang dicampur dan pada perlakuan R3 hanya sebesar 29% dari jumlah konsentrat yang dicampur. Jumlah konsumsi bahan kering dan nutrisi lainnya dari BIS sebelum, selama dan setelah penelitian dapat dilihat pada Tabel 15.

40 24 Tabel 15 Rata-rata konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NE L (Mkal/kg) BIS selama penelitian Konsumsi BIS Perlakuan R0 R1 R2 R3 (kg/ekor/hari) a Bahan kering ± ± 0.42 Protein kasar ± ± 0.07 Lemak kasar ± ± 0.01 Serat kasar ± ± 0.15 BETN ± ± 0.18 TDN ± ± 0.27 (Mkal/kg) a ME ± ± 0.00 NE L ± ± 0.00 a Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering dan nutrisi lainnya dari BIS pada kelompok R2 dan R3 tidak berbeda (P>0.05). Selama periode perlakuan, tidak semua BIS yang diberikan (3 kg/ekor/hari) habis dikonsumsi oleh ternak. Kandungan lemak kasar dalam BIS yang tinggi, mengakibatkan rendahnya palatabilitas BIS. Lemak mempengaruhi palatabilitas suatu pakan oleh karenanya mempengaruhi tingkat konsumsi pakan (Sutardi 1981). Bungkil inti sawit memiliki keterbatasan yaitu kandungan serat kasar yang cukup tinggi terutama lignin serta palatabilitasnya rendah (Widjastuti et al. 2007), disamping itu faktor adaptasi juga berpengaruh pada konsumsi BIS. Ternak belum terbiasa mengkonsumsi BIS sehingga masih memerlukan waktu untuk beradaptasi. Jumlah konsumsi akan dipengaruhi oleh palatabilitas, komposisi kimia, jumlah pakan yg tersedia serta kualitas pakan tersebut, sedangkan kualitas ransum akan mempengaruhi besarnya protein yang dikonsumsi, palatabilitas, kapasitas alat pencernaan serta kemampuan menggunakan zat-zat makanan yang diserap menggunakan faktor yang ikut menentukan tingkat konsumsi (Okmal 1993). Konsumsi DDGS Distillers dried grains with solubles merupakan bahan pakan yang mengandung PK dan TDN tinggi yaitu masing-masing 28.68% dan 83.58%. Hasil bahan kering dan nutrisi lainnya dari konsumsi DDGS yang telah dirata-rata sebelum, selama dan setelah penelitian dapat dilihat pada Tabel 16.

41 25 Tabel 16 Rata-rata konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NE L (Mkal/kg) DDGS selama penelitian Konsumsi DDGS Perlakuan R0 R1 R2 R3 (kg/ekor/hari) a Bahan kering ± ± 0.00 Protein kasar ± ± 0.00 Lemak kasar ± ± 0.00 Serat kasar ± ± 0.00 BETN ± ± 0.00 TDN ± ± 0.00 (Mkal/kg) a ME ± ± 0.00 NE L ± ± 0.00 a Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg Berdasarkan hasil analisis statistik, konsumsi bahan kering dan nutrien lainnya dari DDGS tidak berbeda nyata pada kelompok R1 dan R2 (P>0.05). Hal ini dapat disebabkan oleh DDGS diberikan dan dikonsumsi dalam jumlah yang sama pada perlakuan R1 dan R2 yaitu 1 kg/ekor/hari. Penggunaan DDGS dalam pakan sangatlah ekonomis karena dapat menggantikan soybean meal (SBM) atau tepung kedelai dan merupakan sumber dikalsium fosfat pada pakan ternak (Anonim 2011). Pemberian yang berlebihan akan mengakibatkan kelebihan protein, pemberian 27 sampai 40% akan mengakibatkan menurunnya produksi susu, persentase lemak susu akan turun jika pemberiannya sebesar 13%, dengan penggunaan silase jagung dan hay alfalfa sebagai sumber hijauan (Schingoethe 2004). Total Konsumsi Pakan Biaya yang dikeluarkan untuk pakan di Indonesia mencapai 60 hingga 70% dari total biaya produksi (Sudono et al. 2005), oleh karena itu pemberian pakan hendaknya memperhatikan kebutuhan hidup pokok dan produksi. Menurut Kurihara dan Shioya (2003), sapi yang mengonsumsi pakan lebih dari 20 kg/ekor/hari bahan kering dengan TDN 75 sampai 77%, akan menurunkan suhu efektif lingkungan untuk berproduksi pada 25 o C, jika kurang dari 20 kg maka suhu akan relatif konstan. Peningkatan mutu pakan dapat memperbaiki kuantitas dan kualitas susu sapi perah yang dikelola peternak rakyat, tanpa harus meningkatkan volume pakan yang disediakan (Sugandi et al. 2005). Imbangan hijauan dan konsentrat selama penelitian pada R0 yaitu 54:46, dan pada perlakuan R1, R2 dan R3 yaitu 52:48. Imbangan ini masih berada didalam kisaran imbangan ideal yang disarankan oleh JICA (1992) dalam Soetarno (2003), imbangan hijauan:konsentrat untuk sapi perah pada awal laktasi yaitu 55:45, pada pertengahan laktasi 45:55, dan pada akhir laktasi 35:65.

42 26 Menurut McCullough (1973), untuk mencapai produksi susu yang tinggi dengan tetap mempertahankan kadar lemak susu yang memenuhi persyaratan kualitas, maka perbandingan antara bahan kering hijauan dengan konsentrat yang ideal adalah 60:40. Imbangan rumput dapat ditingkatkan menjadi 64:35 apabila rumput yang diberikan berkualitas sedang hingga tinggi. Total rata-rata konsumsi pakan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Rata-rata total konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, BETN, TDN (kg/ekor/hari), ME dan NE L (Mkal/kg) pakan selama penelitian Perlakuan Konsumsi R0 R1 R2 R3 (kg/ekor/hari) a Bahan kering ± 1.41a ± 1.95 a ± 1.67 a ± 1.22 a Protein kasar 2.39 ± 0.44 a 2.80 ± 0.61 a 2.72 ± 0,37 a 2.54 ± 0.40 a Lemak kasar 0.93 ± 0.15 a 1.00 ± 0.21 a 1.13 ± 0,12 a 0.91 ± 0.14 a Serat kasar 5.56 ± 0.73 a 6.00 ± 0.75 a 6.30 ± 0.77 a 6.15 ± 0.55 a BETN ± 0.27 a ± 0.86 a ± 0.98 a ± 0.77 a TDN ± 0.57a ± 1.16b ± 0.94b ± 0.56ab (Mkal/kg) a ME 9.49 ± 0.71a ± 0.60b ± 0.36c ± 1.03b NE L 4.64 ± 0.10 a 6.09 ± 0.10b 8.02 ± 0.07c 6.05 ± 0.06b a Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg Hasil analisis statistik menunjukkan perlakuan pakan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05) terhadap konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan BETN. Hasil analisis statistik menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap TDN, ME dan NE L. Konsumsi TDN pada perlakuan R1, R2, R3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap perlakuan R0, sedangkan perlakuan R1 dan R2 menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap perlakuan R3. Terjadi kenaikan TDN sebesar 1.25 kg bahan kering pada R1, 4.85 kg pada R2 dan 1.82 kg pada R3. Adapun konsumsi ME pada perlakuan R1, R2 dan R3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap perlakuan R0, sedangkan perlakuan R1 dan R3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap perlakuan R2. Penambahan BIS dan DDGS pada perlakuan R1, R2 dan R3 meningkatkan konsumsi ME pakan. Konsumsi ME tertinggi pada perlakuan R2 yaitu dengan kombinasi penambahan BIS 2 kg dan DDGS 1 kg. Penambahan BIS dan DDGS ini meningkatkan konsumsi ME sebesar 4.85 Mkal/kg atau terjadi peningkatan sebesar 51%. Pada penambahan campuran BIS dan DDGS secara tunggal, maka peningkatan konsumsi ME lebih besar pada penambahan DDGS yaitu sebesar

43 2.13 Mkal/kg atau terjadi peningkatan sebesar 30%, dibandingkan dengan penambahan BIS saja yaitu 1.82 Mkal/kg atau 19%. Hal ini menunjukkan kontribusi DDGS terhadap ME pakan lebih besar, yaitu sekitar 26% pada perlakuan R1 dibandingkan dengan BIS yaitu sebesar 21% pada perlakuan R3. Adapun konsumsi NE L pada perlakuan R1, R2 dan R3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap perlakuan R0, sedangkan perlakuan R1 dan R3 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap perlakuan R2. Terjadi peningkatan NE L sebesar 1.45 Mkal/kg pada perlakuan R1, 3.38 Mkal/kg pada perlakuan R2 dan 1.41 Mkal/kg pada perlakuan R3. Pemberian campuran DDGS secara tunggal pada konsentrat memberikan tambahan NE L lebih besar dari pada NE L pada pemberian campuran BIS dan DDGS atau BIS secara tungga pada konsentrat. Menurut Ensminger et al. (1990), kebutuhan zat-zat gizi untuk hidup pokok sapi perah dengan bobot 400 kg yaitu protein sebesar 373 g dan ME 11.9 Mkal atau setara dengan DE Kkal, sedangkan untuk memproduksi 1 kg susu, sapi perah membutuhkan protein sebesar 77 g dan ME 1.07 Mkal atau setara dengan DE Kkal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi energi metabolis ternak di perlakuan kontrol (R0) hanya 9.47 MKal dan masih dibawah kebutuhan ternak sapi laktasi dengan bobot 400 kg yaitu 11.9 Mkal. Penambahan BIS saja (R3) hanya meningkatkan konsumsi energi metabolis menjadi Mkal sedikit dibawah kebutuhan untuk bobot hidup 400 kg yaitu 11.9 Mkal. Tetapi penambahan DDGS secara tunggal dapat meningkatkan konsumsi energi metabolis sampai Mkal dan meningkat lagi menjadi Mkal jika penambahan DDGS dikombinasi dengan BIS. sehingga dapat memenuhi kebutuhan untuk sapi yang sedang laktasi. Dengan adanya penambahan pada konsumsi energi ini maka diharapakan akan terjadi peningkatan produksi susu pada perlakuan yang diberi konsentrat dengan campuran BIS dan DDGS baik secara tunggal maupun campuran keduanya. Konsumsi NE L pada perlakuan R0 sebesar 48.89% ME pakan, sedangkan pada perlakuan R1 sebesar 52.41%, R % dan R %. Persentase NE L tertinggi terdapat pada perlakuan R2 yang diikuti oleh R3, R1 dan R0. Hasil ini sejalan dengan hasil produksi susu. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi persentase NE L, tampak semakin tinggi produksi susunya. Ransum yang sama kandungan zat-zat makanannya belum tentu sama pengaruhnya terhadap ternak karena dipengaruhi oleh kesukaan dan pencernaan masing-masing (Okmal 1993). Konsumsi bahan kering total dari semua perlakuan (21.76 sampai kg/ekor/hari), ternyata jauh lebih tinggi dari pada konsumsi bahan kering yang seharusnya diberikan untuk sapi dengan bobot badan 400 sampai 450 kg, dengan produksi sekitar 20 kg/ekor/hari yang membutuhkan bahan kering sebesar sampai kg/ekor/hari (NRC 1989). Jumlah bahan kering yang dikonsumsi oleh ternak, lebih tinggi daripada produksi susu yang dihasilkan Hal ini menunjukkan bahwa ransum yang diberikan oleh peternak tidak efisien, karena rendahnya kecernaan pada pakan yang digunakan dalam penelitian. 27

44 28 Bobot Badan Kebutuhan nutrien yang tidak tercukupi, dapat mengakibatkan penurunan bobot badan. Bobot badan perlu diukur untuk mengetahui pertumbuhan ternak, yang dalam penelitian ini didapat melalui Rumus Schroorl, yaitu rumus untuk menduga berat badan ternak berdasarkan ukuran linear dari badannya (Soetarno 2003). Hasil pengukuran lingkar dada dan bobot badan hasil perhitungan melalui rumus Schroorl dapat dilihat pada Tabel 18. Pengukuran terhadap lingkar dada dilakukan guna mengestimasi bobot badan pada sapi, karena lingkar dada banyak dipengaruhi oleh keadaan perdagingan dan perlemakan. Penentuan bobot badan dengan menggunakan alat timbang masih terkendala oleh pengadaan alat dan kandang, selain itu juga dinilai kurang praktis dan ekonomis. Tabel 18 Perngaruh perlakuan pakan terhadap selisih rata-rata bobot badan sapi yang digunakan dalam penelitian Periode Perlakuan R0 R1 R2 R3 (kg/ekor) a Perlakuan-pra perlakuan 4.91 ± ± ± ± 9.32 Pasca perlakuan- perlakuan 4.99 ± ± ± ± a Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan pakan tidak memberikan pengaruh nyata (P>0.05) terhadap lingkar dada dan bobot badan ternak. Ternak pada kelompok perlakuan R1 mengalami penurunan bobot badan selama periode perlakuan yang ditunjukkan oleh notasi (-) minus. Hasil pengukuran bobot badan pada pra perlakuan dibandingkan dengan periode perlakuan, memperlihatkan bahwa perlakuan R0 mengalami kenaikkan berat badan tertinggi disusul oleh perlakuan R3 dan R2 Kenaikkan bobot badan pada perlakuan R0 yang cukup tinggi disebabkan oleh sapi yang digunakan dalam penelitian didominasi oleh sapi-sapi yang berada pada tahun laktasi awal dan fase pertumbuhan cepat. Pada awal laktasi kebutuhan nutrien meningkat dengan pesat dan apabila tidak diimbangi dengan konsumsi yang mencukupi, maka akan terjadi mobilisasi energi dalam tubuh sehingga mengakibatkan penurunan bobot badan (Mundingsari et al. 2006). Hasil ini menunjukkan bahwa selama penelitian ternak mendapatkan asupan nutrisi yang diperlukan untuk fase ini. Kenaikan bobot badan yang terjadi pada kelompok perlakuan R1 dan R2 dapat disebabkan oleh konsumsi energi metabolis pada DDGS lebih tinggi daripada BIS yang diberikan selama penelitian. Pemberian DDGS sampai 25% dan 30% dalam pakan dapat meningkatkan bobot badan ternak (Di Costanzo 2005). Hasil pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nutrien yang tersedia dari pakan

45 29 yang dikonsumsi ternak dapat memenuhi kebutuhan nutrien ternak sehingga tidak terjadi penurunan maupun kenaikan bobot badan yang signifikan. Metabolic body size adalah laju metabolisme per ukuran tubuh (Kleiber 1947). Menurut Soetarno (2003), MBS adalah berat seekor hewan yang dipangkatkan 0.75 (B 0.75 ) dan digunakan dalam berbagai pengamatan metabolisme yang terjadi di dalam tubuh dan sangat berguna untuk membandingkan laju metabolisme hewan-hewan yang sangat berbeda berat badannya satu sama lain, selain itu juga digunakan untuk perbaikan jaringan. Hasil perhitungan TDN dibagi dengan bobot badan selama penelitian yang dikonversikan ke dalam MBS, ditunjukan pada Tabel 19. Tabel 19 Perhitungan energi dibandingkan dengan laju metabolisme ternak selama penelitian Perlakuan Uraian R0 R1 R2 R3 MBS (kg BB 0.75 ) a -Pra Perlakuan ± ± ± ± Perlakuan ± ± ± ± Pasca Perlakuan ± ± ± ± 3.91 TDN/MBS (g TDN/kg BB 0.75 ) a -Pra Perlakuan ± ± ± ± Perlakuan ± ± ± ± Pasca Perlakuan ± ± ± ± a Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 kg Hasil MBS selama penelitian menunjukkan bahwa, perlakuan pakan tidak memberikan pengaruh nyata (P>0.05) terhadap perubahan MBS ternak. Begitu pula hasil TDN per MBS. Perlakuan R0 mengalami kenaikan MBS paling besar yaitu 1,01. Hal ini dikarenakan energi pakan yang terkonsumsi oleh ternak di kelompok R0 lebih banyak digunakan untuk pertumbuhan daripada produksi susu. Kenaikan MBS pasca perlakuan pada perlakuan R1 dan R3 masing-masing 0.78 dan 0.95 kg BB 0.75, sedangkan kenaikkan terkecil terdapat pada kelompok perlakuan R2 sebesar 0.45 kg BB Hal ini dapat disebabkan oleh konsumsi ME pada ternak di perlakuan R2 (14.34 Mkal/kg) lebih banyak digunakan untuk produksi susu, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 20. Pada perlakuan R1, R2 dan R3 terjadi peningkatan pemanfaatan energi yang tinggi selama pemberian pakan perlakuan. Pemanfaatan energi terbesar terbesar terjadi pada perlakuan R2 selama penelitian. Hasil TDN/MBS menunjukkan semakin besar energi pakan yang dikonsumsi, maka semakin banyak susu yang dihasilkan. Hal ini sejalan dengan produksi susu tiap perlakuan, dimana produksi tertinggi terdapat pada perlakuan R2, diikuti oleh R2, R1 dan R0. Hal ini juga menunjukkan bahwa pakan perlakuan memberikan asupan energi yang besar yang dapat digunakan untuk

46 30 produksi susu, metabolisme dan pertumbuhan bobot badan. Jika energi dalam ransum berlebihan, konsumsi pakan akan meningkat (Agus 1997). Produksi Susu Kemampuan berproduksi seekor sapi perah dipengaruhi oleh sifat-sifat genetik dan lingkungan seperti makanan, manajemen, iklim dan penyakit. Sapi FH diketahui merupakan bangsa sapi perah yang memiliki produksi tertinggi jika dibandingkan dengan bangsa sapi perah lainnya. Menurut Sudono et al. (2005), produksi susu rata-rata sebanyak 6 liter/ekor/hari masih menguntungkan. Hasil rata-rata produksi susu selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 20.. Tabel 20 Periode Pengaruh perlakuan pakan terhadap rata-rata selisih produksi susu (kg/ekor/hari) Perlakuan R0 R1 R2 R3 (kg/ekor/hari) a Perlakuan pra perlakuan 0.72 ± ± ± ± 0.92 Pasca perlakuan perlakuan 0.01 ± ± ± ± 1.07 a Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). R0 = Pakan seperti yang biasa dilakukan oleh peternak berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 7 kg R1 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 6 kg dan DDGS 1 kg R2 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg, BIS 2 kg dan DDGS 1 kg R3 = Pakan berupa hijauan + onggok + konsentrat KPSBU 4 kg dan BIS 3 Hasil analisis statistik selisih produksi susu sebelum dan setelah penelitian antar perlakuan (Tabel 20) menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0.05). Angka dengan notasi minus (-) menunjukkan terjadi penurunan produksi. Kenaikkan produksi susu tertinggi terdapat pada perlakuan R0 diikuti perlakuan R2. Setelah perlakuan, pada perlakuan R0 tidak terjadi penurunan produksi susu setelah perlakuan. Pada perlakuan R2 terjadi penurunan produksi yang paling tinggi setelah campuran BIS dan DDGS dihilangkan pada pasca perlakuan, yaitu 1.07 kg/ekor/hari. Hasil pengukuran di lapangan menunjukkan rataan produksi susu selama periode perlakuan yang terendah dimiliki oleh sapi dengan perlakuan R0 yaitu kg/ekor/hari dan yang tertinggi dimiliki oleh sapi R2 dengan kg/ekor/hari. Adapun produksi susu sapi R1 dan R3 adalah dan kg/ekor/hari. Data produksi susu ini sesuai dengan data konsumsi energi ternak disetiap kelompok perlakuan. Produksi susu yang lebih tinggi ada pada ternak di R2 diikuti oleh R3, R1 dan R0. Hasil ini sejalan dengan data konsumsi energi yang menunjukkan bahwa konsumsi energi tertinggi pada ternak di kelompok R2 diikuti oleh ternak dikelompok R3, R1 dan R0. Hasil ini menunjukkan bahwa produksi susu erat kaitannya dengan konsumsi dan ketersediaan energi dalam pakan.

47 31 Gambaran produksi susu selama penelitian ditunjukkan pada Gambar 8. Terjadi kenaikan produksi susu pada masing-masing kelompok perlakuan selama pemberian pakan perlakuan. Kenaikan produksi tertinggi terdapat pada kelompok R0 diikuti R2, R3 dan R1. Penurunan produksi terjadi setelah ternak tidak diberi pakan perlakuan. Penurunan paling drastis terjadi pada kelompok perlakuan R2, diikuti R3, R1 dan R0. Selisih kenaikan produksi pasca perlakuan dengan pra perlakuan menunjukkan penurunan pada kelompok perlakuan R2, diikuti R1 dan R3. Pada kelompok R2 terjadi kenaikkan produksi susu. Hal ini disebabkan, pakan perlakuan berupa BIS dan DDGS, memberikan pengaruh mempertahankan produksi susu pada level produksi yang tinggi. Gambar 8 Kurva produksi susu selama 7 minggu masa penelitian, R0 ( ), R1 ( ), R2 ( ), dan R3 (X) Produksi susu tertinggi dimiliki oleh sapi dengan perlakuan R2, sedangkan produksi susu terendah dimiliki oleh sapi dengan perlakuan R0. Semua perlakuan mengalami kenaikan produksi susu pada minggu keempat. Bulan laktasi yang beragam menjadi penyebab ikut meningkatnya produksi susu pada perlakuan kontrol R0 mengikuti perlakuan R1, R2 dan R3. Puncak produksi didapatkan pada minggu kelima penelitian pada perlakuan R2. Puncak produksi tertinggi terdapat pada perlakuan R2. Hal ini berarti pengaruh pemberian campuran BIS dan DDGS dapat meningkatkan produksi susu selama periode perlakuan. Produksi susu mengalami penurunan cukup tajam mulai minggu keenam atau setelah perlakuan pakan.

48 32 Produksi Susu (kg/ekor/hari) 16,80 16,60 16,40 16,20 16,00 15,80 15, % 4.50 % Produksi Susu (kg/ekor/hari) 18,10 17,60 17,10 16,60 16,10 15, % % Periode Periode (a) R0 (b) R1 Produksi Susu (kg/ekor/hari) 20,60 19,60 18,60 17,60 16,60 15, % 5.46% Produksi Susu (kg/ekor/hari) 18,60 18,10 17,60 17,10 16,60 16,10 15, % 2.98% Periode (c ) R2 (d) R3 Periode Gambar 9 Diagram produksi susu perlakuan (a) R0, (b) R1, (c) R2, dan (d) R3, periode 1, 2 dan 3 berturut-turut adalah pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan Rerata produksi susu ditampilkan pada Gambar 9, periode merupakan pra perlakuan, perlakuan dan pasca perlakuan pakan. Produksi susu R0 mengalami peningkatan 4.50% selama perlakuan dan tidak mengalami penurunan pasca perlakuan. Produksi susu R1 mengalami peningkatan 0.81% selama penelitian dan mengalami penurunan pasca perlakuan sebesar 2.95%. Produksi susu R2 mengalami peningkatan 2.50% selama perlakuan dan mengalami penurunan 5.46% pasca perlakuan. Produksi susu R3 mengalami peningkatan 1.26% selama perlakuan dan mengalami penurunan 2.98% pasca perlakuan. Penghentian pemberian perlakuan pakan lebih berdampak negatif menurunkan produksi susu (Tabel 20), dibandingkan dengan pengaruhnya terhadap penurunan bobot badan (Tabel 18). Penurunan produksi susu terjadi pada kelompok perlakuan R1, R2 dan R3 yang diberi campuran BIS, DDGS dan campuran keduanya. Hal ini menunjukkan bahwa campuran BIS dan DDGS secara tunggal maupun campuran keduanya, meningkatkan produksi susu selama periode perlakuan.

2. TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Status Fisiologis Ternak

2. TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Status Fisiologis Ternak 3 2. TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi perah merupakan ternak penghasil susu yang penting, sekitar 95% produksi susu dunia dihasilkan oleh sapi perah. Sapi perah diperkirakan berasal dari Asia Tengah dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi

Lebih terperinci

RESPON PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP PEMBERIAN SUPLEMEN BIOMINERAL DIENKAPSULASI SKRIPSI PIPIT

RESPON PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP PEMBERIAN SUPLEMEN BIOMINERAL DIENKAPSULASI SKRIPSI PIPIT RESPON PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP PEMBERIAN SUPLEMEN BIOMINERAL DIENKAPSULASI SKRIPSI PIPIT DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu sebanyak-banyaknya, disamping hasil lainnya. Macam - macam sapi perah yang ada di dunia adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Sapi perah yang dipelihara di Indonesia pada umumnya adalah Friesian Holstein (FH) dan Peranakan Friesian Holstein (PFH) (Siregar, 1993). Sapi FH memiliki ciri-ciri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu Masa laktasi adalah masa sapi sedang menghasilkan susu, yakni selama 10 bulan antara saat beranak hingga masa kering kandang. Biasanya peternak akan mengoptimalkan reproduksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%) TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein (FH) Bangsa sapi perah Fries Holland berasal dari North Holland dan West Friesland yaitu dua propinsi yang ada di Belanda. Kedua propinsi tersebut merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Penambahan daun Som Jawa pada ransum menurunkan kandungan serat kasar dan bahan kering ransum, namun meningkatkan protein kasar ransum. Peningkatan protein disebabkan

Lebih terperinci

KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL PEMERAHAN BERBEDA

KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL PEMERAHAN BERBEDA Animal Agriculture Journal 5(1): 195-199, Juli 2015 On Line at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ternak Domba Garut merupakan ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara oleh masyarakat, karena pemeliharaannya yang tidak begitu sulit, dan sudah turun temurun dipelihara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tanduknya mengarah ke depan (Rahman, 2007). Sapi FH memiliki produksi susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tanduknya mengarah ke depan (Rahman, 2007). Sapi FH memiliki produksi susu 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Sapi perah FH merupakan sapi yang memiliki ciri warna putih belang hitam atau hitam belang putih dengan ekor berwarna putih, sapi betina FH memiliki ambing yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Rataan konsumsi rumput, konsentrat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ternak disamping manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan adalah faktor manajemen lingkungan. Suhu dan kelembaban yang

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4. PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Rata-rata suhu lingkungan dan kelembaban kandang Laboratotium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja sekitar 26,99 0 C dan 80,46%. Suhu yang nyaman untuk domba di daerah

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : Imbangan Pakan; Efisiensi Produksi Susu; Persistensi Susu. ABSTRACT

ABSTRAK. Kata kunci : Imbangan Pakan; Efisiensi Produksi Susu; Persistensi Susu. ABSTRACT On Line at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj EFISIENSI DAN PERSISTENSI PRODUKSI SUSU PADA SAPI FRIESIAN HOLSTEIN AKIBAT IMBANGAN HIJAUAN DAN KONSENTRAT BERBEDA (The Efficiency and Persistency

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi perah mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia, dikarenakan kebutuhan akan susu domestik dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

Lebih terperinci

KAJIAN PENGOLAHAN JERAMI PADI SECARA KIMIA DAN BIOLOGI SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PENAMPILAN SAPI PERANAKAN ONGOLE

KAJIAN PENGOLAHAN JERAMI PADI SECARA KIMIA DAN BIOLOGI SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PENAMPILAN SAPI PERANAKAN ONGOLE KAJIAN PENGOLAHAN JERAMI PADI SECARA KIMIA DAN BIOLOGI SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PENAMPILAN SAPI PERANAKAN ONGOLE TESIS Oleh : NURIANA Br SINAGA 097040008 PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN PROGRAM PASCASARJANA

Lebih terperinci

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPRODUKSI SUSU SAPI PERAH LAKTASI MELALUI PERBAIKAN PAKAN DAN FREKUENSI PEMBERIANNYA

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPRODUKSI SUSU SAPI PERAH LAKTASI MELALUI PERBAIKAN PAKAN DAN FREKUENSI PEMBERIANNYA PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPRODUKSI SUSU SAPI PERAH LAKTASI MELALUI PERBAIKAN PAKAN DAN FREKUENSI PEMBERIANNYA SORI B. SIREGAR Balai Penelitian Ternak P.O. Box 221, Bogor 16002, Indonesia (Diterima dewan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Salah satu bangsa sapi bangsa sapi perah yang dikenal oleh masyarakat adalah sapi perah Fries Holland (FH), di Amerika disebut juga Holstein Friesian disingkat Holstein, sedangkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Peternakan Rakyat di Ciater Peternakan rakyat di Ciater Kabupaten Subang merupakan peternakan yang

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Peternakan Rakyat di Ciater Peternakan rakyat di Ciater Kabupaten Subang merupakan peternakan yang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Peternakan Rakyat di Ciater Peternakan rakyat di Ciater Kabupaten Subang merupakan peternakan yang tergabung dalam Koperasi Peternak Sapi Perah Bandung Utara (KPSBU)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Performa Produksi Bobot Badan Akhir dan Pertambahan Bobot Badan Harian Bobot badan merupakan salah satu indikator untuk mengetahui performa produksi suatu ternak. Performa produksi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi

MATERI DAN METODE. Waktu dan Lokasi. Materi MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Kandang B, Laboratorium Biologi Hewan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Nutrisi

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN KONSENTRAT... PERIODE LAKTASI TERHADAP BERAT JENIS, KADAR LEMAK DAN KADAR BAHAN KERING SUSU SAPI

PENGARUH PEMBERIAN KONSENTRAT... PERIODE LAKTASI TERHADAP BERAT JENIS, KADAR LEMAK DAN KADAR BAHAN KERING SUSU SAPI SKRIPSI PENGARUH PEMBERIAN KONSENTRAT PADA PERIODE LAKTASI TERHADAP BERAT JENIS, KADAR LEMAK DAN KADAR BAHAN KERING SUSU SAPI Oleh : 060810228 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2012

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Metode

MATERI DAN METODE. Metode MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Peternakan Kambing Perah Bangun Karso Farm yang terletak di Babakan Palasari, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Analisis pakan

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN DALAM BENTUK SABUN KALSIUM

RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN DALAM BENTUK SABUN KALSIUM RESPON FISIOLOGIS DOMBA YANG DIBERI MINYAK IKAN DALAM BENTUK SABUN KALSIUM SKRIPSI R. LU LUUL AWABIEN PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 RINGKASAN

Lebih terperinci

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja (kandang B) pada bulan Mei sampai dengan bulan November 2010. Analisis sampel dilakukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian Suhu dan Kelembaban HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Suhu dalam kandang saat penelitian berlangsung berkisar antara 26,9-30,2 o C. Pagi 26,9 o C, siang 30,2 o C, dan sore 29,5 o C. Kelembaban

Lebih terperinci

PERFORMA AYAM BROILER YANG DIBERI RANSUM BERBASIS JAGUNG DAN BUNGKIL KEDELAI DENGAN SUPLEMENTASI DL-METIONIN SKRIPSI HANI AH

PERFORMA AYAM BROILER YANG DIBERI RANSUM BERBASIS JAGUNG DAN BUNGKIL KEDELAI DENGAN SUPLEMENTASI DL-METIONIN SKRIPSI HANI AH PERFORMA AYAM BROILER YANG DIBERI RANSUM BERBASIS JAGUNG DAN BUNGKIL KEDELAI DENGAN SUPLEMENTASI DL-METIONIN SKRIPSI HANI AH PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN. Suryahadi dan Despal. Departemen Ilmu Nutrisi &Teknologi Pakan, IPB

PRODUKSI DAN. Suryahadi dan Despal. Departemen Ilmu Nutrisi &Teknologi Pakan, IPB EFEK PAKAN TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS AIR SUSU Suryahadi dan Despal Departemen Ilmu Nutrisi &Teknologi Pakan, IPB PENDAHULUAN U Perkembangan sapi perah lambat Populasi tidak merata, 98% di P. Jawa

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian kecernaan protein dan retensi nitrogen pakan komplit dengan

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian kecernaan protein dan retensi nitrogen pakan komplit dengan 16 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian kecernaan protein dan retensi nitrogen pakan komplit dengan kadar protein dan energi berbeda pada kambing Peranakan Etawa bunting dilaksanakan pada bulan Mei sampai

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan selama 2 bulan dari tanggal 5 Agustus

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan selama 2 bulan dari tanggal 5 Agustus 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian telah dilaksanakan selama 2 bulan dari tanggal 5 Agustus sampai dengan 30 September 2015. Kegiatan penelitian ini bertempat di P.T. Naksatra Kejora Peternakan Sapi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Domba pada umumnya dipelihara sebagai penghasil daging (Edey, 1983). Domba Lokal yang terdapat di Indonesia adalah Domba Ekor Tipis, Priangan dan Domba Ekor Gemuk.

Lebih terperinci

METODE. Materi 10,76 12,09 3,19 20,90 53,16

METODE. Materi 10,76 12,09 3,19 20,90 53,16 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pemeliharaan ternak percobaan dilakukan dari bulan

Lebih terperinci

Evaluasi Kecukupan Nutrien pada Sapi Perah Laktasi... Refi Rinaldi

Evaluasi Kecukupan Nutrien pada Sapi Perah Laktasi... Refi Rinaldi EVALUASI KECUKUPAN NUTRIEN PADA SAPI PERAH LAKTASI PRODUKSI SEDANG MILIK ANGGOTA KOPERASI DI KOPERASI PETERNAKAN BANDUNG SELATAN (KPBS) PANGALENGAN Refi Rinaldi*, Iman Hernaman**, Budi Ayuningsih** Fakultas

Lebih terperinci

EVALUASI PEMBERIAN PAKAN SAPI PERAH LAKTASI MENGGUNAKAN STANDAR NRC 2001: STUDI KASUS PETERNAKAN DI SUKABUMI

EVALUASI PEMBERIAN PAKAN SAPI PERAH LAKTASI MENGGUNAKAN STANDAR NRC 2001: STUDI KASUS PETERNAKAN DI SUKABUMI EVALUASI PEMBERIAN PAKAN SAPI PERAH LAKTASI MENGGUNAKAN STANDAR NRC 2001: STUDI KASUS PETERNAKAN DI SUKABUMI (Evaluation of feeding practice on lactating dairy cowsusing NRC 2001 standard: study case from

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi Penelitian

MATERI DAN METODE. Materi Penelitian 17 MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada 11 Maret hingga 5 Juni 011. Waktu penelitan dibagi menjadi enam periode, setiap periode perlakuan dilaksanakan selama 14 hari. Penelitian

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Januari 2012 di Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang untuk proses pembuatan silase daun singkong,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendapatan peternak (Anggraeni, 2012). Produksi susu sapi perah di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendapatan peternak (Anggraeni, 2012). Produksi susu sapi perah di Indonesia 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Produksi dan Kualitas Susu Sapi 2.1.1. Produksi susu Produksi susu merupakan faktor esensial dalam menentukan keberhasilan usaha sapi perah, karena jumlah susu yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan 6

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan 6 12 BAB III MATERI DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan 6 Maret 2016 di Kelompok Tani Ternak Wahyu Agung, Desa Sumogawe, Kecamatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan Konsumsi Bahan Kering (BK) HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Konsumsi pakan merupakan jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan proses produksi

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. pada Ransum Sapi FH dilakukan pada tanggal 4 Juli - 21 Agustus Penelitian

BAB III MATERI DAN METODE. pada Ransum Sapi FH dilakukan pada tanggal 4 Juli - 21 Agustus Penelitian 14 BAB III MATERI DAN METODE Penelitan dengan judul Tampilan Protein Darah Laktosa dan Urea Susu akibat Pemberian Asam Lemak Tidak Jenuh Terproteksi dan Suplementasi Urea pada Ransum Sapi FH dilakukan

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak penelitian yang digunakan adalah sapi perah FH pada periode

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak penelitian yang digunakan adalah sapi perah FH pada periode III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1. Bahan Penelitian 3.1.1. Ternak Penelitian Ternak penelitian yang digunakan adalah sapi perah FH pada periode laktasi 2 dengan bulan ke-2 sampai bulan ke-5 sebanyak

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum BBPTU-HPT Baturraden Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang ada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol (UP3J) merupakan areal peternakan domba milik Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terletak di desa Singasari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. KUNAK didirikan berdasarkan keputusan presiden (Keppres)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan menjadi salah satu faktor penentu dalam usaha peternakan, baik terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan tercapai bila mendapat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Berdasarkan hasil analisa proksimat, kandungan zat makanan ransum perlakuan disajikan pada Tabel 10. Terdapat adanya keragaman kandungan nutrien protein, abu

Lebih terperinci

PENAMPILAN DOMBA EKOR TIPIS ( Ovis aries) JANTAN YANG DIGEMUKKAN DENGAN BEBERAPA IMBANGAN KONSENTRAT DAN RUMPUT GAJAH ( Pennisetum purpureum)

PENAMPILAN DOMBA EKOR TIPIS ( Ovis aries) JANTAN YANG DIGEMUKKAN DENGAN BEBERAPA IMBANGAN KONSENTRAT DAN RUMPUT GAJAH ( Pennisetum purpureum) PENAMPILAN DOMBA EKOR TIPIS ( Ovis aries) JANTAN YANG DIGEMUKKAN DENGAN BEBERAPA IMBANGAN KONSENTRAT DAN RUMPUT GAJAH ( Pennisetum purpureum) SKRIPSI TRI MULYANINGSIH PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Nutrien Biskuit Rumput Lapang dan Daun Jagung Komposisi nutrien diperlukan untuk mengetahui kandungan zat makanan yang terkandung di dalam biskuit daun jagung dan rumput

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kambing menyukai pakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kambing menyukai pakan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pakan Ternak Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kambing menyukai pakan beragam dan tidak bisa tumbuh dengan baik bila terus diberi pakan yang sama dalam jangka waktu yang

Lebih terperinci

S. Sarah, T. H. Suprayogi dan Sudjatmogo* Program Studi S-1 Peternakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro

S. Sarah, T. H. Suprayogi dan Sudjatmogo* Program Studi S-1 Peternakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro On Line at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj KECERNAAN PROTEIN RANSUM DAN KANDUNGAN PROTEIN SUSU SAPI PERAH AKIBAT PEMBERIAN IMBANGAN HIJAUAN DAN KONSENTRAT RANSUM YANG BERBEDA (Protein Digestibility

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE P1U4 P1U1 P1U2 P1U3 P2U1 P2U2 P2U3 P2U4. Gambar 1. Kambing Peranaka n Etawah yang Diguna ka n dalam Penelitian

MATERI DAN METODE P1U4 P1U1 P1U2 P1U3 P2U1 P2U2 P2U3 P2U4. Gambar 1. Kambing Peranaka n Etawah yang Diguna ka n dalam Penelitian MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan pada bulan Juni sampai September 2011 bertempat di Peternakan Kambing Darul Fallah - Ciampea Bogor; Laboratorium

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Contoh Domba Penelitian

MATERI DAN METODE. Gambar 2. Contoh Domba Penelitian MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN UREA-MINYAK DALAM RANSUM TERHADAP ph, KECERNAAN BAHAN KERING,BAHAN ORGANIK, DAN KECERNAAN FRAKSI SERAT PADA SAPI PO

PENGARUH PENGGUNAAN UREA-MINYAK DALAM RANSUM TERHADAP ph, KECERNAAN BAHAN KERING,BAHAN ORGANIK, DAN KECERNAAN FRAKSI SERAT PADA SAPI PO PENGARUH PENGGUNAAN UREA-MINYAK DALAM RANSUM TERHADAP ph, KECERNAAN BAHAN KERING,BAHAN ORGANIK, DAN KECERNAAN FRAKSI SERAT PADA SAPI PO Oleh: Adi Susanto Setiawan H0506018 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan di Kandang Peternakan Koperasi PT Gunung

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan di Kandang Peternakan Koperasi PT Gunung 22 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di Kandang Peternakan Koperasi PT Gunung Madu Plantation Kecamatan Terusan Nunyai Kabupaten Lampung Tengah pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Nutrien Silase dan Hay Daun Rami (%BK)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Nutrien Silase dan Hay Daun Rami (%BK) HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Hasil analisis kandungan nutrien silase dan hay daun rami yang dilakukan di Laboratorium PAU IPB dapat dilihat pada Tabel 4 dan kandungan nutrien ransum disajikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. besar dipelihara setiap negara sebagai sapi perahan (Muljana, 2010). Sapi FH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. besar dipelihara setiap negara sebagai sapi perahan (Muljana, 2010). Sapi FH 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Friesian Holstien Sapi FH telah banyak tersebar luas di seluruh dunia. Sapi FH sebagian besar dipelihara setiap negara sebagai sapi perahan (Muljana, 2010). Sapi FH

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tabel 7 Karakteristik sapi dara No Kode ternak Umur (bulan) Lingkar dada (cm) Bobot Badan (kg) 1.

BAHAN DAN METODE. Tabel 7 Karakteristik sapi dara No Kode ternak Umur (bulan) Lingkar dada (cm) Bobot Badan (kg) 1. 21 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai Januari 2010. Pemeliharaan ternak di Laboratorium Lapang, kandang blok B sapi perah bagian IPT Perah Departemen

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada 4 Juli sampai dengan 21 Agustus 2016.

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada 4 Juli sampai dengan 21 Agustus 2016. 21 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada 4 Juli sampai dengan 21 Agustus 2016. Penelitian dilaksanakan di Peternakan Sapi Perah Unit Pelaksanaan Teknis Daerah Pembibitan Ternak Unggul

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Biskuit Pakan Biskuit pakan merupakan inovasi bentuk baru produk pengolahan pakan khusus untuk ternak ruminansia. Pembuatan biskuit pakan menggunakan prinsip dasar pembuatan

Lebih terperinci

PERFORMA REPRODUKSI CACING TANAH Lumbricus rubellus YANG MENDAPAT PAKAN SISA MAKANAN DARI WARUNG TEGAL

PERFORMA REPRODUKSI CACING TANAH Lumbricus rubellus YANG MENDAPAT PAKAN SISA MAKANAN DARI WARUNG TEGAL PERFORMA REPRODUKSI CACING TANAH Lumbricus rubellus YANG MENDAPAT PAKAN SISA MAKANAN DARI WARUNG TEGAL SKRIPSI ENHA DIKA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Pakan Pakan adalah bahan makanan tunggal atau campuran, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diberikan kepada hewan untuk kelangsungan hidup, berproduksi, dan berkembang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada

PENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan ternak ruminansia yang banyak dipelihara masyarakat dan dimanfaatkan produksinya sebagai ternak penghasil daging dan sebagai tabungan. Domba memiliki

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak. Indonesia populasi domba pada tahun 2015 yaitu ekor, dan populasi

PENDAHULUAN. Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak. Indonesia populasi domba pada tahun 2015 yaitu ekor, dan populasi 1 I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak dikembangbiakan oleh masyarakat. Pemeliharaan domba yang lebih cepat dibandingkan ternak sapi, baik sapi

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN DENGAN IMBANGAN KONSENTRAT DAN HIJAUAN YANG BERBEDA TERHADAP KANDUNGAN LAKTOSA DAN AIR PADA SUSU SAPI PERAH SKRIPSI.

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN DENGAN IMBANGAN KONSENTRAT DAN HIJAUAN YANG BERBEDA TERHADAP KANDUNGAN LAKTOSA DAN AIR PADA SUSU SAPI PERAH SKRIPSI. PENGARUH PEMBERIAN PAKAN DENGAN IMBANGAN KONSENTRAT DAN HIJAUAN YANG BERBEDA TERHADAP KANDUNGAN LAKTOSA DAN AIR PADA SUSU SAPI PERAH SKRIPSI Oleh: ERVIN NOVA WIDIYANTONO PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Ternak Kerbau yang Digunakan Dalam Penelitian

MATERI DAN METODE. Gambar 4. Ternak Kerbau yang Digunakan Dalam Penelitian MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni hingga bulan September 2011 dan bertempat di Laboratorium Lapang Blok A, Laboratorium Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

PENGARUH PENYIRAMAN DAN PENGANGINAN TERHADAP RESPON TERMOREGULASI DAN TINGKAT KONSUMSI PAKAN SAPI FRIES HOLLAND DARA SKRIPSI

PENGARUH PENYIRAMAN DAN PENGANGINAN TERHADAP RESPON TERMOREGULASI DAN TINGKAT KONSUMSI PAKAN SAPI FRIES HOLLAND DARA SKRIPSI PENGARUH PENYIRAMAN DAN PENGANGINAN TERHADAP RESPON TERMOREGULASI DAN TINGKAT KONSUMSI PAKAN SAPI FRIES HOLLAND DARA SKRIPSI MUHAMMAD ISMAIL PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia. Kebutuhan protein hewani semakin

I. PENDAHULUAN. pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia. Kebutuhan protein hewani semakin I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Protein hewani merupakan zat makanan yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia. Kebutuhan protein hewani semakin meningkat seiring dengan meningkatnya

Lebih terperinci

EFEK PENGGUNAAN KONSENTRAT PABRIKAN DAN BUATAN SENDIRI DALAM RANSUM BABI STARTER TERHADAP EFISIENSI PENGGUNAAN RANSUM. S.N.

EFEK PENGGUNAAN KONSENTRAT PABRIKAN DAN BUATAN SENDIRI DALAM RANSUM BABI STARTER TERHADAP EFISIENSI PENGGUNAAN RANSUM. S.N. EFEK PENGGUNAAN KONSENTRAT PABRIKAN DAN BUATAN SENDIRI DALAM RANSUM BABI STARTER TERHADAP EFISIENSI PENGGUNAAN RANSUM S.N. Rumerung* Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado, 95115 ABSTRAK

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi keseluruhan kecernaan ransum. Nilai kecernaan yang paling

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk. (2015) kelinci dapat mengubah dan memanfaatkan bahan pakan kualitas rendah

Lebih terperinci

EFISIENSI PEMANFAATAN BUNGKIL INTI SAWIT (BIS) SEBAGAI SUBSTITUSI BUNGKIL KEDELE DALAM RANSUM SAPI PERAH

EFISIENSI PEMANFAATAN BUNGKIL INTI SAWIT (BIS) SEBAGAI SUBSTITUSI BUNGKIL KEDELE DALAM RANSUM SAPI PERAH EFISIENSI PEMANFAATAN BUNGKIL INTI SAWIT (BIS) SEBAGAI SUBSTITUSI BUNGKIL KEDELE DALAM RANSUM SAPI PERAH (Efficiency of Palm Kernel Cake as Substitute of Soybean Meal in Dairy Cattle Ration) DWI PRIYANTO

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan hewan ternak perah lainnya. Keunggulan yang dimiliki sapi perah tersebut membuat banyak pengusaha-pengusaha

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi dan Kecernaan Bahan Kering Konsumsi dan kecernaan bahan kering dapat dilihat di Tabel 8. Penambahan minyak jagung, minyak ikan lemuru dan minyak ikan lemuru terproteksi tidak

Lebih terperinci

Pengaruh Imbangan Hijauan-Konsentrat dan Waktu Pemberian Ransum terhadap Produktivitas Kelinci Lokal Jantan

Pengaruh Imbangan Hijauan-Konsentrat dan Waktu Pemberian Ransum terhadap Produktivitas Kelinci Lokal Jantan Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 12 (2): 69-74 ISSN 1410-5020 Pengaruh Imbangan Hijauan-Konsentrat dan Waktu Pemberian Ransum terhadap Produktivitas Kelinci Lokal Jantan The Effect of Ration with

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi Kandungan nutrien biomineral tanpa proteksi dan yang diproteksi serta mineral mix dapat dilihat pada Tabel 7. Kandungan nutrien biomineral

Lebih terperinci

SKRIPSI TRESNA SARI PROGRAM STUD1 ILMU NUTFUSI DAN MAKAWAN TERNAK

SKRIPSI TRESNA SARI PROGRAM STUD1 ILMU NUTFUSI DAN MAKAWAN TERNAK i 0 b('/ PEMANFAATAN RANSUM AMPAS TEH (Cnnzrllin sinensis) YANG DITAMBAHKAN SENG (Zn) LEVEL BERBEDA TERHADAP REPRODUKSI DAN KONSUMSI KELINCI BETINA PADA SETIAP STATUS FISIOLOGI SKRIPSI TRESNA SARI PROGRAM

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli 2010 hingga April 2011 di peternakan sapi rakyat Desa Tanjung, Kecamatan Sulang, Kabupaten Rembang, dan di Departemen Ilmu Nutrisi

Lebih terperinci

ABSTRAK ABSTRACT PENDAHULUAN

ABSTRAK ABSTRACT PENDAHULUAN On Line at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj TAMPILAN PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU SAPI YANG DIPRODUKSI DI DATARAN TINGGI DAN RENDAH DI KABUPATEN SEMARANG (Performans of Milk Production and

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI

PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Pengaruh penggunaan ajitein dalam pakan terhadap produksi dan kualitas susu sapi perah

Pengaruh penggunaan ajitein dalam pakan terhadap produksi dan kualitas susu sapi perah Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 23 (2): 42-51 ISSN: 0852-3581 Fakultas Peternakan UB, http://jiip.ub.ac.id/ Pengaruh penggunaan ajitein dalam pakan terhadap produksi dan kualitas susu sapi perah Sunu, K. P.

Lebih terperinci

Gambar 6. Pemberian Obat Pada Domba Sumber : Dokumentasi Penelitian

Gambar 6. Pemberian Obat Pada Domba Sumber : Dokumentasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Secara umum penelitian ini dapat berjalan dengan baik. Meskipun demikian terdapat hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya, diantaranya adalah kesulitan mendapatkan

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PENGGUNAAN BUNGKIL INTI SAWIT YANG DIBERI HEMICELL DALAM RANSUM TERHADAP KARKAS DAN PANJANG SALURAN PENCERNAAN ITIK RAJA (MOJOSARI ALABIO) UMUR 1-7 MINGGU SKRIPSI Oleh: AFFAN LUBIS 060306028/Peternakan

Lebih terperinci

EVALUASI PEMBERIAN PAKAN SAPI PERAH LAKTASI MENGGUNAKAN STANDAR NRC 2001: STUDI KASUS PETERNAKAN DI SUKABUMI

EVALUASI PEMBERIAN PAKAN SAPI PERAH LAKTASI MENGGUNAKAN STANDAR NRC 2001: STUDI KASUS PETERNAKAN DI SUKABUMI EVALUASI PEMBERIAN PAKAN SAPI PERAH LAKTASI MENGGUNAKAN STANDAR NRC 2001: STUDI KASUS PETERNAKAN DI SUKABUMI Evaluation of feeding practice on lactating dairy cows using NRC 2001 standard: study case from

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan selama 45 hari mulai pada Desember 2014 hingga

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan selama 45 hari mulai pada Desember 2014 hingga 20 III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan selama 45 hari mulai pada Desember 2014 hingga Januari 2015 di kandang peternakan Koperasi Gunung Madu Plantation,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi PT. Purwakarta Agrotechnopreneur Centre (PAC), terletak di desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Berdasarkan data statistik desa setempat, daerah

Lebih terperinci

THE EFFECT OF PROBIOTIC FEED SUPPLEMENT ON MILK YIELD, PROTEIN AND FAT CONTENT OF FRIESIAN HOLSTEIN CROSSBREED

THE EFFECT OF PROBIOTIC FEED SUPPLEMENT ON MILK YIELD, PROTEIN AND FAT CONTENT OF FRIESIAN HOLSTEIN CROSSBREED THE EFFECT OF PROBIOTIC FEED SUPPLEMENT ON MILK YIELD, PROTEIN AND FAT CONTENT OF FRIESIAN HOLSTEIN CROSSBREED Wahyu Andry Novianto, Sarwiyono, and Endang Setyowati Faculty of Animal Husbandry, University

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Upaya memenuhi kebutuhan hijauan ternak ruminansia saat ini, para

I. PENDAHULUAN. Upaya memenuhi kebutuhan hijauan ternak ruminansia saat ini, para I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya memenuhi kebutuhan hijauan ternak ruminansia saat ini, para peternak selayaknya memanfaatkan bahan pakan yang berasal dari hasil ikutan produk sampingan olahan

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi Perah Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang mempunyai tanduk berongga. Sapi perah Fries Holland atau juga disebut Friesian Holstein

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produk Fermentasi Fermentasi merupakan teknik yang dapat mengubah senyawa kompleks seperti protein, serat kasar, karbohidrat, lemak dan bahan organik lainnya

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN KONVERSI PAKAN ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA KOMBINASI PAKAN KOMERSIAL DENGAN DEDAK PADI, ONGGOK DAN POLLARD

PERTUMBUHAN DAN KONVERSI PAKAN ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA KOMBINASI PAKAN KOMERSIAL DENGAN DEDAK PADI, ONGGOK DAN POLLARD PERTUMBUHAN DAN KONVERSI PAKAN ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA KOMBINASI PAKAN KOMERSIAL DENGAN DEDAK PADI, ONGGOK DAN POLLARD SKRIPSI RISNA HAIRANI SITOMPUL PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI PETERNAKAN

Lebih terperinci

konsentrat dengan kandungan TDN berbeda. Enam ekor sapi dara FH digunakan pada penelitian ini. Sebanyak enam perlakukan yang digunakan merupakan

konsentrat dengan kandungan TDN berbeda. Enam ekor sapi dara FH digunakan pada penelitian ini. Sebanyak enam perlakukan yang digunakan merupakan RINGKASAN DADANG SUHERMAN. Penentuan Suhu Kritis Atas pada Sapi Perah Dara Berdasarkan Respon Fisiologis dengan Manajemen Pakan melalui Simulasi Artificial Neural Network. Dibimbing oleh BAGUS P PURWANTO,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba yang Digunakan Dalam Penelitian

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba yang Digunakan Dalam Penelitian MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja untuk tahap pemeliharaaan serta analisis sampel di Laboratorium Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu usaha peternakan. Minat

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu usaha peternakan. Minat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu usaha peternakan. Minat masyarakat yang tinggi terhadap produk hewani, terutama daging kambing, menyebabkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya dari pulau Madura. Sapi Madura merupakan ternak yang dikembangkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya dari pulau Madura. Sapi Madura merupakan ternak yang dikembangkan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Madura Sapi Madura adalah salah satu plasma nutfah yang berasal dari Indonesia, tepatnya dari pulau Madura. Sapi Madura merupakan ternak yang dikembangkan sebagai ternak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia. Selain menghasilkan produksi utamanya berupa minyak sawit dan minyak inti sawit, perkebunan kelapa

Lebih terperinci