TUGAS HUKUM ACARA PIDANA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TUGAS HUKUM ACARA PIDANA"

Transkripsi

1 TUGAS HUKUM ACARA PIDANA SURAT DAKWAAN DALAM SIDANG PERTAMA Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah Hukum Acara Pidana Oleh : Kelompok 3 Ima Apriliani ( )-pagi B Ujang Setiawan ( )-pagi A Sugiman ( )-pagi A Alfian ( )-pagi A FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG KARAWANG

2 KATA PENGANTAR Puji Syukur kami panjatkan ke Hadirat Allah SWT yang Maha Menciptakan Ilmu Pengetahuan Maha Memelihara alam semesta. Berkat Rahmat dan Hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini Makalah Surat Dakwaan Dalam Sidang Pertama ini di buat untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Hukum Acara Pidana. Makalah ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak, maka dengan ini kami mengucapkan terima kasih kepada yang telah membantu hingga terselesaikannya makalah ini. Akhirnya kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, mohon kepada para pembaca berkenan untuk memberikan saran ataupun kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan. Untuk itu kami ucapkan banyak terima kasih. Karawang 11 Juni 2010 Penyusun Kelompok 3 2

3 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... 2 DAFTAR ISI... 3 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG... 4 B. RUMUSAN MASALAH... 4 C. TUJUAN PEMBAHASAN... 4 BAB II PEMBAHASAN A. PENGERTIAN SURAT DAKWAAN... 6 B. SYARAT SYARAT SURAT DAKWAAN... 7 Surat Dakwaan Yang Tidak Memenuhi Syarat... 8 Yang Menentukan Surat Dakwaan Batal... 9 C. MACAM-MACAM SURAT DAKWAAN... 9 D. RANGKAIAN SIDANG PERTAMA BAB III PENUTUP KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA DOKUMENTASI

4 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hukum acara pidana mempunyai ruanglingkup yang sempit, yaitu hanya mulai pada mencari kebenaran, penyelidikan, penyidikan, dan berahir pada pelaksanaan pidana (eksekusi) oleh jaksa. Pembinaan narapidana tidak termasuk huku m acara pidana. Apalagi menyangkut perencanaan undangundang pidana. Dalm ruang lingkup pidana yang luas baik hukum pidana substanstif (materiil), maupun hukum acara pidana (hukum pidana formal) disebut hukum pidana. Hukum acara pidana berfungsi untuk menjalankan hukum acara pidana substanstif (materiil) sehingga disebut hukum pidana formal atau hukum acara pidana. Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian peraturang yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana. Dapat dijabarkan secara jelas bahwa tujuan negara dalam menciptakan hukum pidana yaitu untuk tata tertib dan mewujudkan masyarakat yang aman dan sejahtera. Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menetapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta oemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. 4

5 Dalam batas surat dakwaan itu hakim benar-benar tidak boleh puas dengan kebenaran formal.untuk memperkuat keyakinannya, hakim dapat meminta bukti-bukti dari kedua pihak yaitu terdakwa dan penuntut umum begitu juga saksi-saksi yang diajukan keduabelah pihak. B. RUMUSAN MASALAH 1. Apa pengertian dari surat dakwaan? 2. Apakah yang menjadi syarat syarat surat dakwaan? 3. Apa saja Macam macam surat dakwaan? 4. Bagaimanakah rangkaian sidang pertama? C. TUJUAN PEMBAHASAN 1. Untuk Mengetahui arti dari surat dakwaan 2. Untuk mengetahui syarat syarat surat dakwaan 3. Untuk mengetahui macam macam surat dakwaan 4. Untuk mengetahui bagaiman rangakaian sidang pertama 5

6 BAB II MATERI PEMBAHASAN A. PENGERTIAN SURAT DAKWAAN Surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan dimuka siding pengadilan. Rumusan pengertian di atas telah disesuaikan dengan jiw dan ketentuan KUHAP. Dengan demikian, pada definisi itu sudah dipergunakan istilah atau sebutan yang berasal dari KUHAP, seperti istilah yang didakwakan dan hasil pemeriksaan penyidikan sebagai istilah baru yang dibakukan dalam KUHAP untuk menggantikan istilah tuduhan dan yang dituduhkan. demikian juga istilah pemeriksaan permulaan yang disebut dalam HIR, dibakukan menjadi sebutan pemeriksaan penyidikan oleh KUHAP. Prinsip Surat Dakwaan Membicarakan prinsip surat dakwaan harus disesuaikan dengan ketentuan KUHAP, sebab prinsip yang diatur dalam HIR dan KUHAP terdapat beberapa perbedaan.terutama yang menyangkut pasal 83 HIR, yang menegaskan surat tolakan jaksa bukan merupakan surat tuduhan dalm arti kata yang sebenarnya. Yang membuat surat tuduhan menurut HIR adalah ketua pengadilan negri, yang mempunyai wewenang untuk mengubah isi surat tolakan jaksa. Ketua pengadilan negri tidak terikat pada isi surat tolakan jaksa. Itu sebabnya, system pembuatan surat dakwaan menurut HIR, jaksa sebagai penuntut umum belum sempurna berdiri sendiri, masih berada di bawah pengawasan ketua pengadilan negri. Barangkali disebabkan anggapan bahwa pada masa pembuatan HIR, sebagian besar penuntut umum belum begitu mahir menyusun perumusan yuridis, jika dibandingkan dengan para hakim/ketua pengadilan negri, pada umumnya terdiri dari sarjana hokum. Kalau diikuti ejarah perkembangan pembuatan surat dakwaan, penuntut umum baru berdiri sendiri sejak berlaku UU pokok kekuasaan kejaksaan, UU No. 6

7 15/1961. pasal 12 UU tersebut menentukan, jaksa yang membuat surat dakwaan (menurut ketentuan itu diberi nama surat tuduhan ) bukan dilakukan oleh ketua pengadilan negri. Ketentuan pasal 12 UU No. 15/1961 tersebut dipertegas lagi dengan surat edaran bersama Mahkamah Agung dan Jaksa Agung tanggal 20 oktober 1962 No. 6 MA/1962/24/SE. surat edaran dimaksud antara lain menegaskan, pembuatan surat tuduhan (dakwaan) baik dalam perkara tolakan maupun dalam perkara sumir adalah jaksa. Dengan ketentuan pasal 12 dan penegasan surat edaran dimaksud, sejak saat itulah penuntut umum ditempatkan dalam posisi yang sempurna berdiri sendiri. Bagaimana dengan kuhap? Kedudukan jaksa sebagai penuntut umum dalam KUHAP semakin dipertegas dalam posisi sebagai instansi yang berwenang melakukan penuntutan (pasal 1butir 7 dan pasal 137). Dalam posisi sebagai aparat penuntut umum, pasal 140 ayat (1) menegaskan wewenang penuntut umum untuk membuat surat dakwaan tanpa campur tangan instansi lain. Penuntut umum berdiri sendiri dan sempurna (volwaarding) dalm pembuatan surat dakwaan. Bertitik tolak dari ketentuan pasal 1 butir 7 dan pasal 137 serta pasal 140 ayat (1), kedudukan penuntut umum dalam pembuatan surat dakwaan dapat dijelaskan Dakwaan merupakan dasar penting Hukum Acara Pidana karena berdasarkan hal yang dimuat dalam surat itu, Hakim akan memeriksa perkara dan pemeriksaan didasarkan kepada surat dakwaan. Namun putusan Hakim hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batasan itu saja (tidak keluar dari konteks perkara yang telah disidangkan). B. SYARAT-SYARAT SURAT DAKWAAN Surat dakwaan juga disebut surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi Hakim dalam pemeriksaan perkara di muka sidang Pengadilan. 7

8 Mengenai syarat surat dakwaan dapat di lihat pada pasal 143 KUHAP. Memperhatikan pasal tersebut, ditentukan dua syarat yang harus dipenuhi surat daakwaan. a. Harus memuat syarat formal: Syarat formal yang memuat hal-hal yang berhubungan dengan: Surat dakwaan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut umum/jaksa, Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, enis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka. b. Syarat materiil Syarat materiil memuat dua unsur yang tak boleh dilalaikan yaitu: Uraian cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dan, Menyebut waktu dan tempat tindak pidana yang dilakukan (tempus delicti dan locus delicti) Surat Dakwaan Yang Tidak Memenuhi Syarat Pada dasarnya, surat dakwaan dianggap tidak memenuhi syarat materiil, antara lain: a. surat dakwaan tidak terang seperti yang telah dijelaskan, syarat materiil surat dakwaan harus memuat dengan lengkap unsure-unsur tindak pidana yang didakwakan. Kalau usur-unsur tindak pidana yang didakwakan tidak dijelaskan secara keseluruhan, terdapat kekaburan dalam surat dakwaan. Bahkan pada hakikatnya surat dakwaan yang tidak memuat secara jelas yang lengkap unsure-unsur tindak pidana yang didakwakan, dengan sendirinya mengakibatkan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa bukan merupakan tindak pidana. Surat dakwaan yang tidak jelas dan tidak terang, merugikan kepentingan terdakwa mempersiapkan pembelaan. Sehubungan dengan syarat surat dakwaan harus terang, syarat tersebut bukan semata-mata tergantung kepada perumusan unsure delik saja. Sekalipun unsure delik telah dirumuskan secara lengkap pada setiap dakwaan yang berbentuk kumulatif, namun jika gabungan surat dakwaan bersifat membingungkan karena baik mengenai susunan kumulasinya maupun perumusannya tidak jelas antara dakwaan yang satu dengan dakwaan yang lain, surat dakwaan seperti itu batal demi hokum. Hal itu dapat 8

9 dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 9 november 1983 Reg. No. 600 K/Pid/1982. b. surat dakwaan mengandung pertentangan antara yang satu dengan yang lain pertentangan isi surat dakwaan menimbulkan keraguan bagi terdakwa tentang perbuatan atau tindakan mana yang didakwakan kepadanya. Surat dakwaan harus jelas memuat semua unsure tindak pidana yang didakwakan (voldoende en duidelijke opgave van het feit). Disamping itu, surat dakwaan harus merinci secara jelas. Yang Menentukan Surat Dakwaan Batal Sesuai dengan prinsip proses persidangan, telah meletakan wewenang dan tanggung jawab sepenuhnya pemeriksaan perkara kepada hakim yang memimpin persidangan. Atas dasarprinsip tersebut yang berwenang menyatakann surat dakwaan batal adalah hakim yang memimpin persidangan. Oleh karena itu, penilaian tentang batal tidaknya surat dakwaan dilakukan oleh hakim dalam proses persidangan. Uuntuk menjaga cara penilaian yang lebih objektif, hakim lebih baik memeriksa lebih dulu perkaranya secara keseluruhan. Berdasarkan pemereiksaan hakim akan lebih objektif menilai, apakah dakwaan ituterang atau tidak, berpatokan pada penilaian apakah surat dakwaan benar-benar merugikan hak terdakwa melakukan dan mempersiapkan pembelaan. Surat Dakwaan Yang Tidak Menyebut Fakta Suarat dakwaan yang tidak memuat uraian tentang fakta tidak mengakibatkan batalnya surat dakwaan.hal tersebut tercantum dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 23 agustus 1969 no. 36 K/Kr/1968. Namun, meskipun demikian sebaiknya surat dakwaan sedapat mungkin memuat fakta dan keadaan yang lengkap dalam surat dakwaan. C. MACAM-MACAM SURAT DAKWAAN 1. Tunggal Dalam Surat Dakwaan hanya satu Tindak Pidana saja yang didakwakan, karena tidak terdapat kemungkinan untuk mengajukan alternatif atau dakwaan 9

10 pengganti lainnya. Misalnya hanya didakwakan Tindak Pidana Pencurian (pasal 362 KUHP). 2. Alternatif Dalam Surat Dakwaan terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Bentuk dakwaan ini digunakan bila belum didapat kepastian tentang Tindak Pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan. Meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, tetapi hanya satu dakwaan saja yang akan dibuktikan. Pembuktian dakwaan tidak perlu dilakukan secara berurut sesuai lapisan dakwaan, tetapi langsung kepada dakwaan yang dipandang terbukti. Apabila salah satu telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Misalnya didakwakan Pertama :Pencurian (pasal 362 KUHP). atau Kedua :Penadahan(pasal 480KUHP). 3. Subsidair. Sama halnya dengan dakwaan alternatif, dakwaan subsider juga terdiri dari beberapa lapisan dakwaan yang disusun secara berlapis dengan maksud lapisan yang satu berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya. Sistematik lapisan disusun secara berurut dimulai dari Tindak Pidana yang diancam dengan pidana tertinggi sampai dengan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana terendah. Pembuktiannya dilakukan secara berurut dimulai dari lapisan terates sampai dengan lapisan yang dipandang terbukti. Lapisan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut agar terdakwa dibebaskan dari lapisan dakwaan yang bersangkutan. misalnya didakwakan : Primair : Pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP), Subsidair : Pembunuhan (pasal 338 KUHP), Lebih Subsidair : Penganiayaan yang menyebabkan matinya orang (pasal 351(3)KUHP). 10

11 4. Kumulatif. Dalam Surat Dakwaan kumulatif, didakwakan beberapa Tindak Pidana sekaligus, ke semua dakwaan harus dibuktikan satu demi satu. Dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tigas dan dituntut pembebasan dari dakwaan tersebut. Dakwaan ini dipergunakan dalam hal terdakwa melakukan beberapa Tindak Pidana yang masingmasing merupakan Tindak Pidana yang berdiri sendiri. Misalnya didakwakan : Kesatu : Pembunuhan (pasal 338 KUHP), dan Kedua : Pencurian dengan pernberatan (363 KUHP), dan Ketiga : Perkosaan (pasal 285 KUHP). 5. Kombinasi Disebut dakwaan kombinasi, karena di dalam bentuk ini dikombinasikan/digabungkan antara dakwaan kumulatif dengan dakwaan alternatif atau Subsidair. Timbulnya bentuk ini seiring dengan perkembangan dibidang kriminalitas yang semakin variatif baik dalam bentuk/jenisnya maupun dalam modus operandi yang dipergunakan. Misalnya didakwakan Kesatu. Primair: Pembunuh berencana (pasal 340 KUHP) Subsidair : Pembunuhan biasa (pasal 338 KUHP); Lebih Subsidair : Penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang (pasal 351 (3) KUHP); Kedua. Primair: Pencurian dengan pemberatan (pasal 363 KUHP); Subsidair : Pencurian (pasal 362 KUHP), dan Ketiga. Perkosaan (pasal 285 KUHP). 11

12 D. RANGKAIAN SIDANG PERTAMA Hakim / majelis hakim memasuki ruang sidang Tahap pembukaan dan pemeriksaan identitas tersangka : 1. Yang pertama kali memasuki ruang sidang adalah panitera pengganti, jaksa penuntut umum (perorangan atau tim), penasehat hukum terdakwa dan pengunjung sidang, masing-masing duduk ditempat duduk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang. 2. Sebagai protokol sidang karena keterbatasan tenaga biasanya dilakukan oleh panitera pengganti, yang mengumumkan bahwa hakim / majelis hakim akan memasuki ruang sidang dengan perkataan kurang lebih sebagai berikut : Hakim / Majelis Hakim akan memasuki ruang sidang, hadirin dimohon untuk berdiri (Pasal 2 PerMenKeh No.M.06.UM Tahun 1983). 3. Semua yang hadir dalam ruang sidang berdiri untuk menghormati hakim / majelis hakim, termasuk jaksa penuntut umum dan penasehat hukum. 4. Hakim / Majelis Hakim memasuki ruang sidang melalui pintu khusus mulai dari yang terdepan hakim ketua diikuti oleh hakim anggota I (Senior) dan hakim anggota II (Junior). 5. Hakim / Majelis Hakim duduk ditempat duduknya masing-masing tersebut diatur sebagai berikut : Hakim Ketua ditengah, dan Hakim Anggota I berada disamping kanan dan Hakim Anggota II berada dikiri. 6. Panitera mempersilahkan hadirin untuk duduk kembali. 7. Hakim ketua membuka sidang dengan kata-kata kurang lebih sebagai berikut : Sidang Pengadilan Negeri Watampone yang memeriksa perkara pidana nomor.(nomor perkara yang bersangkutan) atas nama terdakwa pada hari tanggal. Dinyatakan dibuka dan TERBUKA UNTUK UMUM, diikuti dengan ketukan palu 3 (tiga). 12

13 Pemanggilan Tersangka Supaya Masuk Keruang Sidang 1. Hakim ketua bertanya kepada penuntut umum apakah tersangka telah siap untuk dihadirkan pada sidang hari ini. Jika penuntut umum tidak dapat menghadirkan tersangka pada sidang hari ini, maka hakim harus menunda persidangan pada hari yang akan ditetapkan dengan perintah kepada penuntut umum supaya memanggil dan menghadapkan tersangka. 2. Jika penuntut umum telah siap untuk menghadirkan tersangka, maka ketua memerinthkan supaya tersangka dipanggil masuk. 3. Penuntut umum memerintahkan pada petugas agar tersangka dibawa masuk diruang sidang. 4. Petugas membawa masuk tersangka keruang sidang dan mempersilahkan tersangka untuk duduk dikursi pemeriksaan. Jika tersangka tersebut ditahan, maka biasanya dari ruang tahanan pengadilan keruang sidang dikawal oleh petugas pengawalan, sekalipun demikian tersangka harus dihadapkan dalam keadaan bebas (tidak diborgol). Ini adalah salah satu penghormatan satu asas yaitu Presamtion of Inocence (asas praduga tidak bersalah). 5. Setelah tersangka duduk dikursi pemeriksaan, hakim ketua mengajukan pertanyaan sebagai berikut : 6. Apakah tersangka dalam keadaan sehat dan siap untuk diperiksa? 7. Identitas tersangka (nama,umur,alamat,dan lain-lain) sebagaimana tersebut dalam pasal 155 ayat (1) KUHAP. Selanjutnya hakim menginggatkan tersangka untuk agar memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya dalam persidangan. 8. Hakim bertanya apakah tersangka akan didampingi oleh penasehat hukum. 9. Jika tersangka tidak didampingi penasehat hukum, maka hakim menegaskan hak tersangka untuk didampingi penasehat hukum, akhirnya tersangka diberi kesempatan untuk mengambil sikap menyangkut apakah akan maju sendiri, mengajukan permohonan agar pengadilan menunjuk penasehat hukum yang mendapinginya dengan cuma-cuma (Prodeo). Atau minta waktu untuk menunjuk penasehat hukum sendiri. 13

14 10. Jika tersangka didampingi oleh penasehat hukum maka selanjutnya hakim menanyakan pada penasehat hukum apakah benar dia bertindak sebagai penasehat hukum tersangka, lalu menanyakan surat kuasa khusus dan ijin praktek advokat, setelah ketua melihat lalu ketua menunjukkan pada hakim anggota perihal dokumen tersebut. Pembacaan Surat Dakwaan 1. Hakim ketua sidang meminta kepada tersangka untuk mendengarkan secara seksama pembacaan surat dakwaan dan selanjutnya mempersilahkan pada penuntut umum membacakan surat dakwaan. 2. Mengenal tata cara pembacaan surat dakwaan ada dua cara, cara pertama jaksa membaca dengan berdiri dan kedua dengan cara duduk, namun yang sering dipakai adalah cara pertama alasannya adalah untuk menghormati sidang. Jika dakwaan panjang maka dapat dibaca bergantian (dalam hal penuntut umumnya lebih dari satu). 3. Setelah selesai pembacaan surat dakwaan, maka status tersangka seketika itu juga berubah menjadi terdakwa. 4. Selanjutnya hakim ketua menanyakan pada terdakwa apakah sudah paham / mengerti tentang apa yang telah didakwakan padanya. Apabila terdakwa tidak mengerti maka penuntut umum harus membacakan kembali. Pengajuan Eksepsi (Keberatan) 1. Setelah terdakwah menyaakan paham dan mengerti tentang maksud dakwaan, maka terdakwa puya hak untuk mengajukan eksepsi (keberatan yang menyangkut kompetensi pengadilan. 2. Tata caranya, hakim memberi kesempatan pada terdakwa untuk menanggapi berikutnya kesempatan kedua diberikan kepada penasehat hukumnya. 3. Apabila ternyata terdakwa dan penasehat hukumnya tidak mengajukan eksepsi maka sidang dilanjutkan pada tahap pembuktian. 4. Apabila terdakwa/penasehat hukumnya akan mengajukan eksepsi, maka ketua menanyakan pada terdakwa dan penasehat hukumnya pakah sudah siap dengan nota eksepsi. 14

15 5. Kalau ternyata terdakwa dan penasehat hukumnya belum siap maka hakim memberikan kesempatan untuk mengajukan pada sidang kedua, dan sidang di tunda untuk memberi kesempatan pada terdakwa dan penasehat hukumnya. 6. Kalau eksepsi sudah siap, hakim mempersilahkan kepada terdakwa/penasehat hukumnya untuk membacakan eksepsinya. 7. Pengajuan eksepsi dapat dilakukan dengan cara lisan maupun tertulis. 8. Apabila eksepsi tertulis, setelah dibacakan maka eksepsi tersebut diserahkan kepada hakim dan salinannya diserahkan pada penuntut umum. 9. Dalam hal pembacaan surat dakwaan berlaku juga bagi terdakwa dalam membacakan eksepsi. 10. Eksepsi dapat diajukan oleh penasehat hukum saja dalam hal terdakwa telah menyerahkan sepenuhnya pada penasehat Hukumnya, dapat juga kedua-duanya mengajukan eksepsi menurut versinya masing-masing. 11. Apabila kedua-duanya akan mengajukan eksepsi maka kesempatan pertama diberikan pada penasehat hukumnya. 12. Setelah selesai terdakwa/penasehat hukumnya membacakan eksepsi, hakim ketua memberi kesempatan pada penuntut umum untuk memberikan tanggapan atas eksepsi (Replik). 13. Atas tanggapan tersebut, hakim ketua memberikan kesempatan kepada terdakwa/penasehat hukum untuk memberikan tanggapan sekali lagi (Duplik). 14. Atas eksepsi dan tanggapan-tanggapan tersebut, hakim meminta waktu untuk memeprtimbangkan dan menyusun putusan sela. 15. Apabila majelis hakim berpendapat bahwa pertimbangan untuk memutuskan eksepsi tersebut mudah/sederhana maka sidang apat diskors selama beberapa waktu untuk menentukan putusan sela. 16. Tatacara skorsing sidang ada dua macam yaitu; Cara 1: Mejelis hakim meninggalkan ruang sidang untuk membahas/memeprtimbangkan putusan sela di ruang hakim, sedangkan penuntut umum, terdakwa/penasehat hukum serta pengunjung tetap berada di ruang sidang. 15

16 Cara 2 : hakim tetap berada diruang sidang, jaksa penutut umum, penasehat hukum, dan pengunjung di mohon keluar (cara inilah yang sering dipakai). Apabila hakim berpendapat bahwa pertimbangan memerlukan wkatu agak lama, maka hakim ketua dapat menunda sidang untuk mempertimbangkan putusan sela dan akan dibacakan pada sidang berikutnya. 17. Apabila hakim berpendapat bahwa pertimbangan memerlukan waktu agak lama, maka hakim ketua dapat menunda sidang untuk mempertimbangkan putusan sela dan akan dibacakan pada sidang berikutnya.. Pembacaan/pengucapan putusan sela 1. Setelah hakim mencabut, maka sidang dibuka kembali dengan acara pembacaan/pegucapan putusan sela. 2. Tata cara pembacaan putusan sela tersebut dibacakan dan diucapkan oleh hakim ketua sambil duduk dikursinya, dalam hal putusan sela tersebut panjang, dimungkinkan putusan sela dibaca secara bergantian dengan hakim anggota pembacaan amar putusan diakhiri dengan ketokan palu sebanyak 1 (satu) kali. 3. Putusan sela biasanya menyangkut 3 kemungkinan yang secara garis besarnya sebagai berikut; i. Eksepsi terdakwa/penasehat hukum diterima, sedangkan pemeriksaan terhadap perkara tersebut tidak dapat dilanjutkan/harus dihentikan. ii. Eksepsi terdakwa/penasehat hukum ditolak maka sidang perkara tersebut dilanjutkan. iii. Eksepsi terakwa/penasehat hukum baru dapat diputus. 4. Setelah putusan sela selesai dibacakan hakim ketua menjelaskan seperlunya mengenai garis besar isi putusan sela sekaligus menyampaikan hak penuntut umum, terdakwa/penasehat hukum untuk mengambil sikap menerima putusan sela tersebut atau akan mengajukan perlawanan. 16

17 E. CONTOH SURAT DAKWAAN 17

18 Dalam surat dakwaan diatas telah jelas syarat formil yang tertera dimana ada identitas terdakwa dipaparkan secara lengkap yaitu MARDIANIS BINTI ABU ZAMAR Kasus yang terjadi disini adalah penganiayaan yang dilakukan oleh ibu mardianis terhadap SURENI IDA YUNESTI kejadian nya yaitu di mol cikampek yang beralamat di desa dauwan timur kecamatan cikampek kabupaten karawang, tepat nya di mol cikampek lantai dasar di depan toko sepatu amora sekitar pukul wib pada hari rabu tanggal 8 september 2010 antara ibu mardianis dan ibi sureni ida terjadi pertengkaran mulut yang berahir dengan pemukulan yang dilakukan oleh ibu mardianis kepada ibu sureni ida yang mengakibat kan luka di pelipis sebelah kiri ibu sureni ida. Demikian uraian secara singkat syarat materiil yang ada pada surat dakwaam di atas 18

19 BAB III PENUTUP KESIMPULAN Surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan dimuka siding pengadilan. Rumusan pengertian di atas telah disesuaikan dengan jiw dan ketentuan KUHAP. Dengan demikian, pada definisi itu sudah dipergunakan istilah atau sebutan yang berasal dari KUHAP, seperti istilah yang didakwakan dan hasil pemeriksaan penyidikan sebagai istilah baru yang dibakukan dalam KUHAP untuk menggantikan istilah tuduhan dan yang dituduhkan. demikian juga istilah pemeriksaan permulaan yang disebut dalam HIR, dibakukan menjadi sebutan pemeriksaan penyidikan oleh KUHAP Mengenai syarat surat dakwaan dapat di lihat pada pasal 143 KUHAP. Memperhatikan pasal tersebut, ditentukan dua syarat yang harus dipenuhi surat daakwaan. c. Harus memuat syarat formal: Syarat formal yang memuat hal-hal yang berhubungan dengan: Surat dakwaan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut umum/jaksa, Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, enis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka. d. Syarat materiil Syarat materiil memuat dua unsur yang tak boleh dilalaikan yaitu: Uraian cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dan, Menyebut waktu dan tempat tindak pidana yang dilakukan (tempus delicti dan locus delicti) a. Surat Dakwaan Biasa adalah surat dakwaan yang disusun dalam rumusan tunggal berisi satu dakwaan dan perumusan dakwaan tunggal dijumpai tindak pidana yang jelas, tidak ada orang lain yang terlibat, sehingga pelaku maupun tindak pidana yang dilanggar sangat jelas dan sederhana b. Surat Dakwaan Alternatif adalah surat dakwaan yang tindak pidananya masing-masing dirumuskan secara saling mengecualikan dan memberikan pilihan kepada pengadilan untuk menentukan dakwaan mana yang paling tepat untuk dipertanggungjawabkan oleh terdakwa sehubungan dengan tindak pidana. Biasanya dalam surat dakwaan ada kata atau c. Surat Dakwaan Subsidair (Pengganti) adalah surat dakwaan yang terdiri dari dua atau lebih dakwaan yang disusun secara berurutan dari dakwaan pidana yang terberat sampai yang teringan. Pemeriksaannyapun dilakukan menurut skala prioritas yang sudah tersusun. Biasanya terdapat kalimat Primair, Subsidair, Lebih Subsidair, Lebih Subsidair lagi d. Surat Dakwaan Kumulasi adalah surat dakwaan yang disusun berupa rangkaian dari beberapa dakwaan atas kejahatan atau pelanggaran. Dakwaan jenis ini bisa merupakan gabungan dari beberapa dakwaan sekaligus atau kumulasi tindak pidana ataupun gabungan dari beberapa 19

20 terdakwa karena kumulas terdakwanya karena melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang lain. Rangkaian sidang pertama dalam acara pidana a. Hakim / majelis hakim memasuki ruang sidang b. Hakim ketua membuka sidang Sidang Dengan menyebutkan Pengadilan yang memeriksa perkara pidana nomor.(nomor perkara yang bersangkutan) atas nama terdakwa pada hari tanggal.dinyatakan dibuka dan TERBUKA UNTUK UMUM, diikuti dengan ketukan palu 3 (tiga) c. Pemanggilan Tersangka agar Masuk Keruang Sidang d. Tahap pembukaan dan pemeriksaan identitas tersangka : e. Pembacaan Surat Dakwaan f. Pengajuan Eksepsi (Keberatan) jika ada dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan jika tidak maka sidang pertama selesai dan dilanjutkan kesidang berikutnya yaitu tahap pembuktian 20

21 DAFTAR PUSTAKA prof.dr.jur,andi hamzah.2008.hukum acara pidana indonesia.jakarta:sinar grafika 21

22 DOKUMENTASI 22

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA SURAT EDARAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE-004/J.A/11/1993 TENTANG PEMBUATAN SURAT DAKWAAN

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA SURAT EDARAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE-004/J.A/11/1993 TENTANG PEMBUATAN SURAT DAKWAAN I. PENDAHULUAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA SURAT EDARAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE-004/J.A/11/1993 TENTANG PEMBUATAN SURAT DAKWAAN Menurut hasil eksaminasi perkara terutama perkara-perkara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

Lampiran terdiri dari: 1. Klinis Hukum

Lampiran terdiri dari: 1. Klinis Hukum Lampiran terdiri dari: 1. Klinis Hukum LABORATORIUM HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA KELO MPO K : Ketua Kelompok : Daftar mahasiswa yang observasi/kunjungan ke: A. PENGADILAN

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun Oleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, menurut Simons hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana negara melalui

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk BAB II JENIS- JENIS PUTUSAN YANG DIJATUHKAN PENGADILAN TERHADAP SUATU PERKARA PIDANA Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan- badan peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa,

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 78/PID/2015/PT.MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 78/PID/2015/PT.MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA 1 P U T U S A N Nomor : 78/PID/2015/PT.MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan yang memeriksa dan mengadili perkara-pekara pidana pada pengadilan tingkat banding telah

Lebih terperinci

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa balinewsnetwork.com Mantan Bupati Jembrana, I Gede Winasa membantah tudingan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menyebut dirinya

Lebih terperinci

TUGAS MATA KULIAH ANALISIS KASUS DAN PRAKTEK BERACARA

TUGAS MATA KULIAH ANALISIS KASUS DAN PRAKTEK BERACARA TUGAS MATA KULIAH ANALISIS KASUS DAN PRAKTEK BERACARA OLEH : MAHASISWA BAGIAN ACARA SEMESTER VII JANUARSE DJAMI RIWU NIM. 1202011076 DPA. BILL NOPE,SH.,LLM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NUSA CENDANA TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM DISUSUN OLEH : NAMA / (NPM) : M. RAJA JUNJUNGAN S. (1141173300129) AKMAL KARSAL (1141173300134) WAHYUDIN (1141173300164) FAKULTAS :

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

PENGADILAN TINGGI MEDAN

PENGADILAN TINGGI MEDAN P U T U S A N Nomor :716/PID/2016/PT.MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dalam pengadilan tingkat banding telah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya dinamakan

Lebih terperinci

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN A. Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Penyidik Memerlukan Keterangan Ahli Di Tingkat Penyidikan Terkait dengan bantuan

Lebih terperinci

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara 1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana 2. PRAPERADILAN ADALAH (Ps 1 (10)) wewenang pengadilan

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Jakarta, 25 Maret 2003 Nomor : B-182/E.3/EP/3/2003 Sifat : Biasa Lampiran : 2 (dua) set Perihal : Surat Dakwaan Perkara Narkotika KEPADA YTH. KEPALA KEJAKSAAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

PENGADILAN TINGGI MEDAN

PENGADILAN TINGGI MEDAN P U T U S A N Nomor : 342 / PID / 2017 / PT.MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan yang memeriksa dan mengadili perkara-pekara pidana pada pengadilan tingkat banding

Lebih terperinci

P U T U S A N NOMOR : 163/PID.SUS/2015/PT.PBR DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA;

P U T U S A N NOMOR : 163/PID.SUS/2015/PT.PBR DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA; P U T U S A N NOMOR : 163/PID.SUS/2015/PT.PBR DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA; Pengadilan Tinggi Pekanbaru yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara pidana pada pengadilan tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia menerima hukum sebagai

Lebih terperinci

KEBERATAN (EKSEPSI) PENASEHAT HUKUM Atas Nama Terdakwa MONIKA ZONGGONAU

KEBERATAN (EKSEPSI) PENASEHAT HUKUM Atas Nama Terdakwa MONIKA ZONGGONAU KEBERATAN (EKSEPSI) PENASEHAT HUKUM Atas Nama Terdakwa MONIKA ZONGGONAU Terhadap Surat Dakwaan dalam Perkara Pidana Nomor Reg. Perkara: PDM-12/NABIRE/05/2009 Di Pengadilan Negeri Nabire Majelis Hakim yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu masyarakat tertentu atau dalam Negara tertentu saja, tetapi merupakan permasalahan

Lebih terperinci

: Majelis Hakim memasuki ruang sidang. Hadirin harap berdiri. (Majelis Hakim memasuki ruang persidangan)

: Majelis Hakim memasuki ruang sidang. Hadirin harap berdiri. (Majelis Hakim memasuki ruang persidangan) Panitera : Majelis Hakim memasuki ruang sidang. Hadirin harap berdiri. (Majelis Hakim memasuki ruang persidangan) Panitera : Dipersilakan duduk kembali. Hakim Ketua : Sidang perkara tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA 3.1 Dasar Filosofis Asas Ne Bis In Idem Hak penuntut umum untuk melakukan penuntuttan terhadap setiap orang yang dituduh

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-69/E/02/1997 Sifat : Biasa Lampiran : - Perihal : Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana -------------------------------- Jakarta, 19 Pebruari 1997 KEPADA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 229/PID.SUS/2012/PTR

P U T U S A N Nomor : 229/PID.SUS/2012/PTR P U T U S A N Nomor : 229/PID.SUS/2012/PTR DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA; Pengadilan Tinggi Pekanbaru, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam tingkat banding telah menjatuhkan

Lebih terperinci

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 1981 TENTANG TERDAKWA DARI SEMULA TIDAK DAPAT DIHADAPKAN DIPERSIDANGAN

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 1981 TENTANG TERDAKWA DARI SEMULA TIDAK DAPAT DIHADAPKAN DIPERSIDANGAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 1981 TENTANG TERDAKWA DARI SEMULA TIDAK DAPAT DIHADAPKAN DIPERSIDANGAN No : M/A/Pemb/1182/80 Lampiran : 1 (satu) ex. Kepada Yth. Perihal : Terdakwa dari semula

Lebih terperinci

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N NO. 144/PID.B/2014/PN.SBG

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N NO. 144/PID.B/2014/PN.SBG P U T U S A N NO. 144/PID.B/2014/PN.SBG DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Sibolga yang mengadili perkara-perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa pada peradilan tingkat

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan Mahkamaa PUTUSAN NOMOR 569 K/PID/2016 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG memeriksa dan mengadili perkara pidana memutuskan sebagai berikut dalam perkara

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan

Lebih terperinci

PENGADILAN TINGGI MEDAN

PENGADILAN TINGGI MEDAN P U T U S A N Nomor 699/PID/2016/PTMDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara pidana dalam pengadilan tingkat banding telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 196/PID.B/2014/PN.BJ

P U T U S A N Nomor : 196/PID.B/2014/PN.BJ P U T U S A N Nomor : 196/PID.B/2014/PN.BJ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Binjai yang memeriksa dan mengadili perkara perkara pidana dengan acara pemeriksaan biasa

Lebih terperinci

PENGADILAN TINGGI MEDAN

PENGADILAN TINGGI MEDAN P U T U S A N NOMOR : 514/PID/2016/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam peradilan tingkat banding, telah menjatuhkan putusan sebagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana 1. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010 atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 572/PID.SUS/2014/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 572/PID.SUS/2014/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 572/PID.SUS/2014/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam Peradilan Tingkat Banding, telah

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. IV/No. 2/April/2015. KAJIAN YURIDIS DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Yessy Paramita Samadi 2

Lex Crimen Vol. IV/No. 2/April/2015. KAJIAN YURIDIS DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Yessy Paramita Samadi 2 KAJIAN YURIDIS DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Yessy Paramita Samadi 2 ABSTRAK Tujuan dilakuakn penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan dakwaan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 19 /PID.SUS.ANAK/2014/PT-MDN.- DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. : Rantau Prapat. : Laki-laki.

P U T U S A N. Nomor : 19 /PID.SUS.ANAK/2014/PT-MDN.- DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. : Rantau Prapat. : Laki-laki. P U T U S A N Nomor : 19 /PID.SUS.ANAK/2014/PT-MDN.- DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI MEDAN, yang mengadili perkara-perkara Pidana pada peradilan tingkat banding telah

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 99/Pid.B./2013/PN.Unh. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 99/Pid.B./2013/PN.Unh. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 99/Pid.B./2013/PN.Unh. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Unaaha yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dalam acara pemeriksaan biasa

Lebih terperinci

Putusan Sela Daud Sihombing Tanggal 14 Juni 2004

Putusan Sela Daud Sihombing Tanggal 14 Juni 2004 Putusan Sela Daud Sihombing Tanggal 14 Juni 2004 Putusan sela Putusan Sela Nomor 2/A/Abepura/02/2004 demi keadilan terhadap kasus Abepura. Majelis Hakim pengadilan Hak Asasi Manusia pada pengadilan negeri

Lebih terperinci

P U T U S A N No. 240/PID.B/2014/PN.Bj

P U T U S A N No. 240/PID.B/2014/PN.Bj P U T U S A N No. 240/PID.B/2014/PN.Bj DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Binjai yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dalam peradilan tingkat pertama dengan

Lebih terperinci

: Hadirin dimohon berdiri. Majelis Hakim memasuki ruang sidang. (Majelis Hakim memasuki ruang sidang)

: Hadirin dimohon berdiri. Majelis Hakim memasuki ruang sidang. (Majelis Hakim memasuki ruang sidang) Panitera : Hadirin dimohon berdiri. Majelis Hakim memasuki ruang sidang. (Majelis Hakim memasuki ruang sidang) Panitera : Dipersilahkan duduk kembali. Hakim Ketua : Sidang perkara (penyebutan nomor register

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk membuat akta otentik dan akta lainnya sesuai dengan undangundang

BAB I PENDAHULUAN. untuk membuat akta otentik dan akta lainnya sesuai dengan undangundang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang. Notaris sebagai pejabat umum dipandang sebagai pejabat publik yang menjalankan profesinya dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, untuk membuat akta otentik dan

Lebih terperinci

Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, tidak berdasarkan. kekuasaan belaka. Penegakan hukum harus sesuai dengan ketentuan yang

Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, tidak berdasarkan. kekuasaan belaka. Penegakan hukum harus sesuai dengan ketentuan yang Makalah Kasus Pidana Penganiayaan KASUS PIDANA PENGANIAYAAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka. Penegakan hukum harus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 8 TAHUN 1980 TENTANG PASAL 284 (1) 1a KUHP

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 8 TAHUN 1980 TENTANG PASAL 284 (1) 1a KUHP SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 8 TAHUN 1980 TENTANG PASAL 284 (1) 1a KUHP Jakarta, 31 Desember 1980 No : M/A/Pemb/1182/80 Lampiran : 1 (satu) ex. Kepada Yth. Perihal : Pasal 284 (1) 1a KUHP 1. Saudara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor : 162/Pid.B/2014/PN.Bkn DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Nama : BANGUN ARITONANG Als PAK ENJEL

PUTUSAN Nomor : 162/Pid.B/2014/PN.Bkn DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Nama : BANGUN ARITONANG Als PAK ENJEL PUTUSAN Nomor : 162/Pid.B/2014/PN.Bkn DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Bangkinang yang mengadili perkara pidana pada tingkat pertama dengan acara pemeriksaan biasa telah

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords: Abstrak Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alasan terpidana pelaku tindak pidana penipuan dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dengan dasar adanya suatu kehilafaan hakim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 286/PID/2013/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 286/PID/2013/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 286/PID/2013/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI MEDAN, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam Peradilan Tingkat Banding, telah

Lebih terperinci

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 123/PUU-XIII/2015

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 123/PUU-XIII/2015 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 123/PUU-XIII/2015 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

1. PELAPORAN Proses pertama bisa diawali dengan laporan atau pengaduan ke kepolisian.

1. PELAPORAN Proses pertama bisa diawali dengan laporan atau pengaduan ke kepolisian. KASUS PIDANA UMUM CONTOH-CONTOH KASUS PIDANA: Kekerasan akibat perkelahian atau penganiayaan Pelanggaran (senjata tajam, narkotika, lalu lintas) Pencurian Korupsi Pengerusakan Kekerasan dalam rumah tangga

Lebih terperinci

BAB III PENELITIAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN (EKSEKUSI) YANG TELAH BERKEKUATAN HUKUM TETAP TERHADAP TINDAK PIDANA UMUM BERUPA PEMIDANAAN PENJARA

BAB III PENELITIAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN (EKSEKUSI) YANG TELAH BERKEKUATAN HUKUM TETAP TERHADAP TINDAK PIDANA UMUM BERUPA PEMIDANAAN PENJARA BAB III PENELITIAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN (EKSEKUSI) YANG TELAH BERKEKUATAN HUKUM TETAP TERHADAP TINDAK PIDANA UMUM BERUPA PEMIDANAAN PENJARA OLEH KEJAKSAAN A. Hasil Penelitian 1. Prosedur Jaksa

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 47/PID/2015/PT.MDN.

P U T U S A N Nomor : 47/PID/2015/PT.MDN. P U T U S A N Nomor : 47/PID/2015/PT.MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam Peradilan Tingkat Banding, telah menjatuhkan

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG MASALAH

LATAR BELAKANG MASALAH LATAR BELAKANG MASALAH Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini tidak semakin berkurang, walaupun usaha untuk mengurangi sudah dilakukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk menekan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor : 376/Pid.B/2013/PN. Bkn. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Umur / Tanggal lahir : 45 Tahun / Tahun 1968

PUTUSAN Nomor : 376/Pid.B/2013/PN. Bkn. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Umur / Tanggal lahir : 45 Tahun / Tahun 1968 PUTUSAN Nomor : 376/Pid.B/2013/PN. Bkn. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Bangkinang yang memeriksa perkara pidana pada tingkat pertama dengan acara pemeriksaan biasa

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

PETUNJUK PENGISIAN ADVISBLAAD PANITERA

PETUNJUK PENGISIAN ADVISBLAAD PANITERA PETUNJUK PENGISIAN ADVISBLAAD PANITERA I. Penelitian berkas perkara oleh Panitera. 1. Bentuk Dakwaan: a. Tunggal : Adalah tehadap terdakwa hanya didakwakan satu perbuatan yang memenuhi Uraian dalam satu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH MAHASISWA NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA DAN TATA TERTIB PERSIDANGAN MAHKAMAH MAHASISWA MAHKAMAH MAHASISWA, Menimbang : a. bahwa Mahkamah Mahasiswa Universitas Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BAGAN ALUR PROSEDUR PERKARA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

BAGAN ALUR PROSEDUR PERKARA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BAGAN ALUR PROSEDUR PERKARA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA Jaksa Ketua PN Para Pihak Melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Panitera Pidana Menunjuk Majelis Hakim dalam jangka

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

P U T U S A N NOMOR : 529/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

P U T U S A N NOMOR : 529/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. P U T U S A N NOMOR : 529/PID/2012/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. ----- PENGADILAN TINGGI MEDAN, yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dalam tingkat banding, telah

Lebih terperinci

PETUNJUK PENGISIAN ADVISBLAAD HAKIM BANDING

PETUNJUK PENGISIAN ADVISBLAAD HAKIM BANDING PETUNJUK PENGISIAN ADVISBLAAD HAKIM BANDING I. Mempelajari Berkas Perkara 1. Bentuk Dakwaan: a. Tunggal : Adalah tehadap Terdakwa hanya didakwakan satu perbuatan yang memenuhi Uraian dalam satu Pasal tertentu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Tinjauan Umum tentang Komstruksi Hukum. a. intepretasi hukum, yaitu penafsiran perkataan dalam Undang- Undang,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Tinjauan Umum tentang Komstruksi Hukum. a. intepretasi hukum, yaitu penafsiran perkataan dalam Undang- Undang, digilib.uns.ac.id BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Kerangka Teori a. Tinjauan Umum tentang Komstruksi Hukum Metode penemuan hukum oleh hakim dapat dilakukan dalam dua bentuk sebagai berikut : a. intepretasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 429/PID/2014/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 429/PID/2014/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 429/PID/2014/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam Peradilan Tingkat Banding, telah

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 108/Pid.B./2013/PN.Unh. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 108/Pid.B./2013/PN.Unh. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 108/Pid.B./2013/PN.Unh. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Negeri Unaaha yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana dalam acara pemeriksaan biasa

Lebih terperinci

PENGADILAN TINGGI MEDAN

PENGADILAN TINGGI MEDAN P U T U S A N Nomor 913/PID/2017/PT MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana dalam Peradilan Tingkat Banding, telah menjatuhkan

Lebih terperinci

POLA PEMBELAAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI PENGADILAN. Kuswindiarti STMIK AMIKOM Yogyakarta

POLA PEMBELAAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI PENGADILAN. Kuswindiarti STMIK AMIKOM Yogyakarta POLA PEMBELAAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI PENGADILAN Kuswindiarti STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Sesuai dengan semangat dan ketegasan pembukaan Undang

Lebih terperinci

POLA PEMBELAAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI PENGADILAN. Kuswindiarti STMIK AMIKOM Yogyakarta

POLA PEMBELAAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI PENGADILAN. Kuswindiarti STMIK AMIKOM Yogyakarta POLA PEMBELAAN DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM TERHADAP TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI PENGADILAN Kuswindiarti STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Sesuai dengan semangat dan ketegasan pembukaan Undang

Lebih terperinci