PEMODELAN JARINGAN SARAF TIRUAN (Artificial Neural Networks) UNTUK IDENTIFIKASI KAWANAN LEMURU DENGAN MENGGUNAKAN DESKRIPTOR HIDROAKUSTIK

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMODELAN JARINGAN SARAF TIRUAN (Artificial Neural Networks) UNTUK IDENTIFIKASI KAWANAN LEMURU DENGAN MENGGUNAKAN DESKRIPTOR HIDROAKUSTIK"

Transkripsi

1 PEMODELAN JARINGAN SARAF TIRUAN (Artificial Neural Networks) UNTUK IDENTIFIKASI KAWANAN LEMURU DENGAN MENGGUNAKAN DESKRIPTOR HIDROAKUSTIK AMIR HAMZAH MUHIDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pemodelan Jaringan Saraf Tiruan (Artificial Neural Networks) Untuk Identifikasi Kawanan Lemuru Dengan Menggunakan Deskriptor Hidroakustik adalah karya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, April 2007 Amir Hamzah Muhiddin NIM C

3 ABSTRAK AMIR HAMZAH MUHIDDIN. Pemodelan Jaringan Saraf Tiruan (Artificial Neural Networks) Untuk Identifikasi Kawanan Lemuru Dengan Menggunakan Deskriptor Hidroakustrik. Dibimbing oleh INDRA JAYA, TOTOK HESTIRIANOTO dan DANIEL R. MONINTJA. Dalam disertasi ini dilakukan pemodelan Jaringan Saraf Tiruan Perambatan Balik (JSTPB) untuk mengidentifikasi kawanan lemuru (Sardinella lemuru) dengan menggunakan deskriptor hidroakustik. Dalam pemodelan ini identifikasi dengan Metode Statistik Analisis Gerombol (Cluster Analysis) dan Metode Analisis Diskriminan (Descriminant Function Analysis) digunakan sebagai pembanding. Deskriptor hidroakustik yang digunakan terdiri dari 15 jenis deskriptor hidroakustik yang dikelompokkan kedalam kelompok deskriptor morfometrik, batimetrik, dan energetik. Ke-15 jenis deskriptor diekstrak dari 114 kawanan ikan dengan 58 diantaranya adalah kawanan ikan teridentifikasi (data latih) sedangkan 56 lainnya adalah kawanan ikan yang belum teridentifikasi (data uji). Analisis gerombol dilakukan dengan 35 kawanan ikan data latih dan 56 kawanan ikan data uji dengan masing-masing 11 deskriptor, sedangkan analisis diskriminan dilakukan dengan 56 kawanan data uji yang sebelumnya telah diidentifikasi dengan analisis gerombol dan 15 deskriptor hidroakustik. Hasil analisis gerombol menunjukkan bahwa +89% dari 56 kawanan tersebut adalah kawanan lemuru (50 kawanan) dengan 4 spesies kawanan ikan yaitu kawanan lemuru (12 kawanan), protolan (15 kawanan), sempenit (16 kawanan), dan campuran (7 kawanan) sedangkan 11% sisanya (6 kawanan) adalah kawanan nonlemuru. Dengan analisis diskriminan, klasifikasi terhadap 56 kawanan ikan dapat dilakukan dengan ketepatan hingga 98,2%, hanya 1 spesies kawanan sempenit yang teridentifikasi sebagai kawanan campuran sedang ke-55 kawanan ikan lainnya dapat diklasifikasikan dengan benar. Dari hasil analisis ini didapatkan 8 deskriptor utama yaitu deskriptor panjang (L), tinggi (H), luas (A), keliling (P), elongasi (E) dari kelompok deskriptor morfometrik; deskriptor tinggi relatif (Trel) dari kelompok deskriptor batimetrik; dan deskriptor rataan energi hamburan balik (Er) dan densitas (Dv) dari kelompok deskriptor energetik. Ada 3 tipe model jaringan yang digunakan dalam disertasi ini, yaitu model Jaringan Saraf Tiruan Perambatan Balik 1(JSTPB1), 2(JSTPB2), dan 3(JSTPB3). JSTPB1 adalah jaringan dengan 8 deskriptor utama hasil analisis statistik diskriminan pada lapisan masukan, JSTPB2 adalah jaringan yang menggunakan data deskriptor masukan yang sama banyaknya dengan data deskriptor yang digunakan metode statistik yaitu 15 deskriptor, JSTPB3 adalah jaringan yang menggunakan deskriptor hasil analisis tingkat kontribusi deskriptor pada JSTPB2 yang jumlahnya disamakan dengan jumlah deskriptor masukan JSTPB1, 8 deskriptor, tetapi dengan kelompok deskriptor yang berbeda. Dengan metode ini digunakan 114 kawanan ikan dengan 15 deskriptor hidroakustik. Setelah menggunakan beberapa model alternatif, model jaringan yang dipilih untuk digunakan dalam disertasi ini adalah model jaringan 8(8-1) untuk JSTPB1

4 dan JSTPB3 yaitu model dengan lapisan tersembunyi tunggal dengan 8 unit sel pada lapisan masukan dan 8 unit sel pada lapisan tersembunyi, sedangkan JSTPB2 menggunakan model jaringan 15(15-1) yaitu model jaringan dengan 15 unit sel masukan pada lapisan masukan dan 15 unit sel pada lapisan tersembunyi. Untuk mendapatkan hasil identifikasi yang optimal maka komposisi akhir data latih dan uji yang digunakan dalam Metode Jaringan Saraf Perambatan Balik adalah 80 pola data pada data latih dan 30 pola data pada data uji. Dengan komposisi data seperti yang disebutkan di atas, didapatkan ketepatan tingkat identifikasi masingmasing untuk JSTPB1 100%, JSTPB2 70%, JSTPB3 73,3% dengan jumlah hitungan iterasi masing-masing JSTPB1 10 kali iterasi, JSTPB2 32 kali iterasi, dan JSTPB3 14 kali iterasi. Hasil analisis kontribusi pareto pada JSTPB2 menunjukkan bahwa dari 15 jenis deskriptor yang digunakan, hanya kelompok deskriptor morfometrik dan energetik yang berperan besar dalam analisis ini. Kelompok deskriptor morfometrik yaitu; deskriptor keliling (P), panjang (L), luas(a), elongasi (E), dan tinggi (H), kelompok deskriptor energetik yaitu; kurtosis (K), skewness (S), dan intensitas hamburan balik (Er). Deskriptordeskriptor ini selanjutnya digunakan sebagai deskriptor masukan JSTPB3. Dalam disertasi ini disimpulkan bahwa; (1) Metode Statistik dan Jaringan Saraf Tiruan Perambatan Balik dapat digunakan dengan baik untuk identifikasi dan klasifikasi kawanan ikan pelagis, (2) Dari kedua metode didapatkan bahwa Morfometrik kawanan ikan berperan lebih besar dalam proses identifikasi dan klasifikasi dibanding energetik dan batimetrik, (3) Model jaringan saraf yang ideal adalah 8(8-1) untuk JSTPB1 dan JSTPB3 serta 15(15-1) untuk JSTPB2, (4) Untuk mendapatkan tingkat ketepatan yang optimum maka data kawanan ikan yang akan diidentifikasi dengan metode ini maksimum berjumlah 35,7% dari total data latih yang tersedia. Kata kunci: identifikasi, kawanan lemuru, deskriptor hidroakustik, metode jaringan saraf tiruan.

5 ABSTRACT AMIR HAMZAH MUHIDDIN. Modeling of Artificial Neural Networks for Identification of Lemuru Schools Using Hydroacoustic Descriptors. Supervised by INDRA JAYA, TOTOK HESTIRIANOTO and DANIEL R. MONINTJA In this dissertation, Back Propagation Artificial Neural Networks (BPANN) model was used to identify schools of lemuru (Sardinella lemuru) utilizing hydroacoustic descriptors. Statistical methods of Cluster Analysis and Discriminant Function Analysis were used for comparison. Hydroacoustic descriptor approach categorized as morphometric, bathymetric, and energetic descriptors was performed by using 15 types of hydroacoustic descriptors. The 15-descriptor types were extracted from 114 fish schools echogram of which 58 were identified (training data) while the other 56 schools were unidentified (testing data). Cluster analysis was performed on 35 fish school training data and 56 fish school testing data, each with 11 descriptors, while discriminant analysis was performed on 56 school testing data which had previously been identified with cluster analysis and 15 hydroacoustic descriptors. Results of cluster analysis showed that +89% of the 56 schools were lemuru (50 schools) with 4 fish species school namely lemuru (12 schools), protolan (15 schools), sempenit (16 schools), and combination (7 schools), while remaining 11% (6 schools) were non-lemuru schools. Using discriminant analysis, classification of 56 fish schools can be obtained with 98.2% accuracy; only 1 school of sempenit species was identified as combination of fish school, whereas the other 55 schools were correctly classified. Further, 8 key descriptors of the school were found, namely length (L), height (H), area (A), perimeter (P), Elongation (E) from morphometric descriptor category, Relative Altitude (Trel) from bathymetric descriptor category, and mean backscattering energy (Er) and Density (Dv) from energetic descriptor category. Three neural models were used in this dissertation: (1) Back Propagation Neural Network 1 (BPANN1), (2) BPANN2, and (3) BPANN3. BPANN1 was network with 8 key descriptors obtained from discriminant statistical analysis on input layer. BPANN2 was a network that used the same 15 input descriptors data with those used in statistical method. BPANN3 was network that used descriptors obtained from analysis of degree of descriptor s contribution in BPANN2 with the same number of input descriptors as in BPANN1, but with different descriptor category. These methods used 114 fish schools with 15 hydroacoustic descriptors. After simulating several alternative models, the selected network models in this dissertation was network model 8(8-1) for BPANN1 and BPANN3, model with one hidden layer and 8 unit cells on input layer and 8 unit cell on hidden layer, whereas BPANN2 used network model 15(15-1), network model with 15 unit cells on input layer and 15 unit cells on hidden layer. In order to obtain optimal identification results, final composition of training and testing data used in Back Propagation Neural Network was 84 data patterns in training data and 30 data patterns in testing data. With this composition, degrees of identification accuracy for BPANN1, BPANN2, and BPANN3 were 100%, 70%, and 73.3% and with number of iteration were 10, 32, and 14, respectively. Results from pareto

6 contribution analysis on BPANN2 showed that from 15 descriptor types used, only morphometric and energetic descriptor categories play major roles in this analysis. The descriptors from morphometric category were perimeter (P), length (L), area (A), elongation (E), and height (H), while descriptors from energetic category were kurtosis (K), skewness (S), and mean intensity of back-scattering (Er). These descriptors were then used as input descriptors for BPANN3. In conclusion: 1) Statistical method and Back Propagation Neural Network can be well utilized to identify and classify pelagic fish schools, 2) Morphometric of fish schools played a larger role in identification and classification process compared to energetic and bathymetric, 3) Ideal neural network model was 8(8-1) for BPANN1 and BPANN3, and 15(15-1) for BPANN2, 4) In order to obtain optimum degree of accuracy, a maximum number of fish schools to be identified in the computation was 35.7% of total available training data. Keywords: identification, lemuru schools, hydroacoustic descriptor, artificial neural networks method.

7 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

8 PEMODELAN JARINGAN SARAF TIRUAN (Artificial Neural Networks) UNTUK IDENTIFIKASI KAWANAN LEMURU DENGAN MENGGUNAKAN DESKRIPTOR HIDROAKUSTIK AMIR HAMZAH MUHIDDIN Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

9 LEMBAR PENGESAHAN Judul Disertasi Nama NIM Program Studi : Pemodelan Jaringan Saraf Tiruan (Artificial Neural Networks) Untuk Identifikasi Kawanan Lemuru Dengan Menggunakan Deskriptor Hidroakustik : Amir Hamzah Muhiddin : C : Teknologi Kelautan Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Indra Jaya, MSc. Ketua Dr. Ir. Totok Hestirianoto, MSc. Anggota Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja Anggota Diketahui, Program Studi Teknologi Kelautan Ketua, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Prof.Dr.Ir. John Haluan.MSc Prof. Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro.MS Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :

10 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 20 November 1963, sebagai anak ketiga dari enam bersaudara pasangan Bapak Hammad Muhiddin dan Ibu Hadawijah. Pendidikan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas ditempuh di Ujung Pandang. Setamat SMA tahun 1982 penulis melanjutkan pendidikan S1 di Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui Program Perintis I di Jurusan Teknik Geodesi. Penulis menyelesaikan pendidikan di ITB tahun 1990 dengan skripsi berjudul Hitungan tiga dimensi dengan kontrol tinggi untuk penentuan posisi horisontal skripsi yang berkaitan dengan Teknologi Global Positioning System (GPS). Sebelum dan setelah menyelesaikan studi di ITB penulis terlibat dalam beberapa kegiatan survey topografi dan hidrografi di beberapa daerah. Tahun 1992 hingga saat ini penulis bekerja di Universitas Hasanuddin (UNHAS) sebagai staf pengajar di Jurusan Ilmu Kelautan dan bertugas di Laboratorium Geomorfologi dan Menejemen Pantai. Sebelum melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor (IPB), dengan beasiswa UCE- CEPI Kanada penulis mengikuti kursus bahasa Inggris selama 9 bulan di IALF Denpasar Bali dan melanjutkan pendidikan S2 di University of Waterloo Kanada dalam bidang lingkungan tetapi karena sesuatu hal pendidikan tersebut tidak penulis selesaikan. Dengan beasiswa BPPS, penulis melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi Teknologi Kelautan IPB tahun 2000 dan menyelesaikan pendidikan S2 dengan thesis berjudul Pengamatan sinoptik sifat optik Perairan Muara Sungai Cimandiri Teluk Pelabuhan Ratu pada Januari 2003, thesis yang berkaitan dengan bidang pengindraan jauh kelautan. Saat ini penulis juga tercatat sebagai dosen luar biasa di Fakultas Teknik Universitas Muslim Indonesia Makassar.

11 PRAKATA Penggunaan Metode Jaringan Saraf Tiruan untuk mengidentifikasi kawanan ikan lemuru termasuk relatif baru. Sebelumnya metode yang digunakan untuk itu adalah Metode Statistik. Beberapa keunggulan Metode Jaringan Saraf Tiruan terhadap Metode Statistik menjadikan metode ini menarik untuk diteliti. Penulis mencoba mempelajari faktor-faktor yang berkaitan dengan penggunaan jaringan saraf tiruan dalam bidang perikanan. Dengan selesainya penelitian dan tulisan disertasi ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Indra Jaya, Msc., sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Ir. Totok Hestirianoto, MSc., dan Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing atas bimbingan, saran dan kritik yang diberikan selama masa penelitian dan penulisan disertasi ini. Khusus kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja penulis mengucapkan banyak terimakasih atas kemudahan yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat langsung meneruskan pendidikan S2 ke S3 di PS.TKL IPB. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Ir. Duto Nugroho, MSi.(Kepala BRPL-DKP), dan Dr. Ir. Bambang Sadatomo, MSc. (Peneliti senior BRPL-DKP) atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti pelayaran survey akustik jalur Semarang-Tarakan yang sangat berkesan bagi penulis dan juga atas bantuan data akustik yang diberikan. Terima kasih juga penulis haturkan kepada rekan-rekan alumni ITB di BPPT, Dr. Ir. Ridwan Djamaluddin, M.Sc., Ir. Amarsyah di Departemen Kelautan dan Perikanan Gambir, dan rekan-rekan alumni ITB lainnya yang telah membantu menyediakan data survei akustik Selat Bali tahun 1998, 1999, 2000 yang penulis gunakan sebagai data penelitian dalam disertasi ini. Tidak lupa diucapkan terima kasih kepada kamerad Syaiful Akbar, David Pranata, Ultra Syahbunan, dan Arwin Lubis atas segala dukungan moral dan materil yang diberikan. Kepada seluruh rekan-rekan mahasiswa, staf pengajar dan administrasi Program Studi Teknologi Kelautan (PS TKL) IPB diucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama ini dan kepada rekan Fauziyah diucapkan terima kasih atas izin untuk menggunakan dan memodifikasi Program ADA-2004.

12 Kepada Rektor Universitas Hasanuddin, Rektor Institut Pertanian Bogor, dan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional diucapkan terima kasih atas kesempatan dan bantuan beasiswa yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan di IPB. Terakhir kepada kedua orang tua, anak (Dhila, Dayat, dan Iba), istri (Niar), dan saudara-saudara tercinta atas dukungan moral dan materil yang diberikan terus menerus penulis mengucapkan beribu terima kasih. Semoga seluruh bantuan yang diberikan bernilai ibadah dan diberikan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Bogor, April 2007 Penulis

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... GLOSARI xii xv xvii xx xxi 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Batasan Masalah Tujuan Manfaat Penelitian Hipotesis TINJAUAN PUSTAKA Jaringan Saraf Tiruan Sel saraf tiruan (artificial neural) Koneksitas sel saraf tiruan (topology) Aturan pembelajaran (learning rule) Arsitektur JST Aplikasi JST dalam bidang perikanan Ikan Pelagis Kawanan dan gerombolan ikan pelagis Struktur kawanan ikan pelagis Ukuran kawanan ikan pelagis Bentuk kawanan ikan pelagis METODOLOGI Data Akustik Pemrosesan data akustik Data hasil tangkapan Matriks data akustik xii

14 Halaman 3.2 Hitungan Nilai Deskriptor Deskriptor Akustik Identifikasi, Klasifikasi dan Penentuan Deskriptor Utama dengan Metode Statistik Arsitektur JST Rancangan Awal JST Validasi Silang Hasil Validasi Silang DESKRIPTOR HIDROAKUSTIK KAWANAN IKAN PELAGIS Pendahuluan Metode Penelitian Hasil Analisis korelasi Analisis komponen utama Pembahasan Kesimpulan IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KAWANAN IKAN PELAGIS DENGAN METODE STATISTIK Pendahuluan Metode Penelitian Hasil Analisis gerombol Analisis diskriminan Pembahasan Kesimpulan IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KAWANAN IKAN PELAGIS DENGAN JARINGAN SARAF TIRUAN PERAMBATAN BALIK Pendahuluan Metode Penelitian Perancangan awal dan pelatihan JSTPB Perancangan akhir dan uji coba JSTPB Hasil Hasil perancangan awal dan pelatihan JSTPB Hasil perancangan akhir dan uji coba JSTPB Pembahasan Kesimpulan xiii

15 Halaman 7 PEMBAHASAN UMUM Karakteristik Kawanan Lemuru Jaringan Saraf Tiruan Perambatan Balik KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiv

16 DAFTAR TABEL Halaman 1 Contoh deskriptor yang digunakan untuk identifikasi sardine, anchovy, dan horse mackarel (Haralabous & Georgakarakos, 1996) 21 2 Deskriptor hidroakustik (Fauziyah, 2005) Rangkuman nilai rataan dan koefisien keragaman (kk dalam %) deskriptor morfometrik kawanan ikan berdasarkan selang waktu pengukuran Matriks korelasi antar deskriptor morfometrik Rangkuman nilai rataan dan koefisien keragaman (kk dalam %) deskriptor batimetrik kawanan ikan berdasarkan selang waktu pengukuran Matriks korelasi antar deskriptor batimetrik Rangkuman nilai rataan dan koefisien keragaman (kk dalam %) deskriptor energetik kawanan ikan berdasarkan selang waktu pengukuran Matriks korelasi antar deskriptor energetik Matriks korelasi antar deskriptor morfometrik, batimetrik, dan energetik Deskriptor hidroakustik untuk analisis statistik (Fauziyah, 2005) Kelompok kawanan ikan hasil analisis gerombol Hasil pengelompokan 56 kawanan ikan (data A) dengan Metode Analisis Gerombol Terbimbing Nilai rataan deskriptor pada masing-masing kelompok Koefisien fungsi diskriminan dan struktur matriks fungsi Eigenvalue dari kempat fungsi diskriminan Hasil klasifikasi dengan Metode Analisis Diskriminan xv

17 Halaman 17 Perbandingan hasil pelatihan beberapa metode pelatihan JSTPB model 8(5-1) dengan menggunakan data pelatihan yang sama Perbandingan hasil pelatihan berdasarkan arsitektur jaringan yang berbeda dengan fungsi aktivasi tansig-purelin Deskriptor pada unit sel masukan JSTPB Hasil identifikasi dan klasifikasi dengan JSTPB Hasil identifikasi dan klasifikasi dengan JSTPB Deskriptor pada unit sel masukan JSTPB Hasil identifikasi dan klasifikasi dengan JSTPB Rangkuman hasil identifikasi dan klasifikasi dengan metode yang berbeda xvi

18 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Jaringan sel saraf biologi Sebual sel saraf dengan masukan tunggal Sebuah sel saraf dengan r masukan Pemrosesan umpan balik Arsitektur JSTPB sederhana JST dengan satu lapisan, dengan r masukan dan s buah sel saraf Arsitektur JST umpan maju (feed-forward) dengan banyak lapisan JST dengan banyak lapisan (multi layer) dengan r masukan dan s buah sel saraf Contoh deskriptor citra akustik kawanan ikan dengan intensitas hamburan balik yang berbeda pada setiap titik pikselnya Sardinella lemuru Bleeker, 1853 (DKP) Bentuk berlian dalam kawanan ikan (He, 1989) Bentuk-bentuk kawanan ikan yang terdeteksi dengan peralatan Sonar (He, 1989) Pola sebaran ikan di dalam kolom air (Reid, 2000) Diagram alir metode penelitian Lintasan survei kapal Baruna Jaya IV di Selat Bali tahun 1998, 1999, Deskriptor hidroakustik kawanan ikan pelagis Diagram alir analisis deskriptor hidroakustik xvii

19 Halaman 18 Citra akustik kawanan ikan setelah proses binerisasi (b) dan sebelumnya (a) Hasil plot AKU deskriptor hidroakustik Karakteristik deskriptor hasil AKU pada malam dan siang hari Diagram alir identifikasi dan klasifikasi dengan Metode Statistik Contoh beberapa citra akustik kawanan ikan di Selat Bali Posisi anggota kelompok kelima kawanan ikan terhadap fungsi diskriminan 1 dan Karakteristik 8 deskriptor utama dari kelima kelompok kawanan ikan Diagram alir proses perancangan hingga operasional JSTPB Grafik fungsi aktivasi Sigmoid Bipolar dan Linier Diagram alir algoritma jaringan Grafik hasil pelatihan dengan jumlah unit sel masukan yang berbeda (a) Jumlah unit masukan Vs Jumlah iterasi (b) Jumlah unit sel masukan Vs MSE Grafik hasil pelatihan dengan jumlah unit sel lapisan tersembunyi yang berbeda (a) Jumlah unit sel tersembunyi Vs Jumlah iterasi (b) Jumlah unit sel tersembunyi Vs MSE Grafik hasil pelatihan berdasarkan arsitektur jaringan yang berbeda dengan fungsi aktivasi tansig-purelin (a) Model JSTPB Vs Jumlah iterasi (b) Model JSTPB Vs MSE Grafik hasil pelatihan dengan jumlah pola masukan yang berbeda (a) Jumlah pola masukan Vs Jumlah iterasi (b) Jumlah pola masukan Vs MSE Hasil simulasi data uji model JSTPB1 dengan arsitektur 8(8-1) dengan Metode Pelatihan Levenberg-Marquard Diagram Pareto JSTPB xviii

20 Halaman 34 Hasil simulasi data uji model JSTPB2 15(15-1) dengan Metode Pelatihan Levenberg-Marquard Diagram Pareto JSTPB Hasil simulasi data uji model JSTPB3 8(8-1) dengan Metode Pelatihan Levenberg-Marquard Diagram Pareto JSTPB xix

21 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Data latih mentah Data latih dalam bentuk z-score Data latih dalam bentuk bipolar Histogram deskriptor hidroakustik data latih Data uji mentah Data uji dalam bentuk logaritmik Data uji dalam bentuk z-score Data uji dalam bentuk bipolar Histogram deskriptor hidroakustik data uji Hasil analisis gerombol Hasil analisis diskriminan Hasil hitungan JSTPB Hasil hitungan JSTPB Hasil hitungan JSTPB Jumlah iterasi Vs ketepatan dari seluruh model JSTPB Jumlah iterasi Vs ketepatan dari seluruh model JSTPB Jumlah iterasi Vs ketepatan dari seluruh model JSTPB Deskripsi, sebaran, dan produksi lemuru xx

22 GLOSARI DAFTAR ISTILAH Akustik (acoustics) Arsitektur (architecture) = Ilmu tentang suara yang mempelajari sifat perambatan suara di dalam suatu medium. = Deskripsi tentang jumlah sel, lapisan tersembunyi, fungsi aktivasi, dan koneksi antar lapisan. Bias = Parameter sel saraf yang ditambahkan ke masukan terbobot yang selanjutnya diproses oleh fungsi aktivasi. Bobot (weight) = Besaran pengali yang berfungsi menguatkan atau melemahkan masukan yang diberikan kedalam sebuah sel saraf. Citra akustik (echogram) Deskriptor (descriptor) Fungsi aktivasi (activation function) = Rekaman dari rangkaian gema yang divisualisasikan. = Variabel atau peubah yang menggambarkan ciri atau sifat dari pantulan akustik, baik berupa morfometrik, batimetrik, dan energetik. = Fungsi aktivasi adalah fungsi yang secara spesifik menentukan langkah yang harus dilakukan oleh sebuah sel setelah sel tersebut menerima sinyal terbobot. Gema (echo) = Gelombang suara yang dipantulkan obyek. Gerombolan (shoaling) Hamburan balik (backscattering) = Kelompok ikan yang terdiri dari beberapa kawanan ikan, bersifat tidak homogen, dan memiliki karakteristik masing-masing. = Jumlah energi per satuan waktu yang dipantulkan oleh target selama transmisi suara dari transducer. Iterasi (epoch) = Pengulangan yang dilakukan untuk pemrosesan data. Jaringan saraf tiruan (artificial neural networks) = Model yang dibuat untuk simulasi sistem saraf biologi. xxi

23 Jarak euklidean (D) (euclidean distance) Jaringan umpan maju (feedforward network) Kawanan (schooling) Kekuatan target (target strength) Klasifikasi (classification) = Jarak antara vektor 1(x 1, x 2,,x n ) dan 2(y 1, y 2,,y n ) yang n 2 2 dihitung dengan D 12 = (xi yi ) i= 1 = Lapisan jaringan yang hanya menerima masukan dari lapisan sebelumnya. = Salah satu kelompok dari gerombolan, bersifat homogen, tersinkronisasi dan terpolarisasi ketika beruaya. = Rasio intensitas gema yang diukur pada jarak 1m dari permukaan transducer dengan intensitas yang datang mengenai target. = Asosiasi antar vektor masukan dan vektor target. Lemuru campuran = Kawanan ikan yang tercampur yang terdiri dari sempenit, protolan, dan lemuru. Lemuru protolan = Lemuru yang berukuran panjang total antara 11-15cm. Lemuru sempenit = Lemuru yang berukuran panjang total kurang dari 11cm. Pelatihan (training) Perambatan balik (back propagation) = Proses yang dilakukan terhadap setiap masukan terbobot dan bias agar jaringan mencapai kondisi tertentu yang diinginkan. = Metode pelatihan terbimbing dimana galat di rambatkan balik ke lapisan dibawahnya dengan terlebih dahulu diberi bobot. Perceptron = Jaringan lapisan tunggal dengan fungsi aktivasi biner. Sel saraf (neuron) = Elemen dasar pemrosesan pada jaringan saraf. xxii

24 DEFINISI DESKRIPTOR Batimetrik (bathymetric) Dimensi fraktal (fractal dimension) = Posisi kawanan ikan dalam kolom perairan = Bangun dengan dimensi bukan bilangan bulat. Elongasi (elongation) Energetik (energetic) Kedalaman minimum (minimum depth) Ketinggian minimum (minimum altitude) Ketinggian relatif (relative altitude) Kurtosis = Rasio antara panjang dan tinggi kawanan = Sifat internal kawanan dilihat dari pancaran energinya. = Jarak terdekat antara permukaan laut dengan kawanan. = Jarak terdekat antara dasar perairan dengan kawanan. = Rasio antara rataan ketinggian kawanan dengan kedalaman perairan (%) = Ukuran yang digunakan dalam menentukan ekor dan puncak suatu sebaran. Luas = Total pixel dalam citra akustik kawanan ikan. Panjang (length) = Jarak antar pixel terdepan dan terbelakang dari kawanan. Rataan energi akustik (mean acoustic energy) Rataan kedalaman (mean depth) Skewness = Energi akustik dari pixel atau backscattering cross section. = Jarak dari permukaan laut ke titik tengah kawanan. = Kemenjuluran, menyatakan sifat sebaran terhadap nilai rataannya. Tinggi (height) = Jarak antara sel tertinggi dan terendah dari kawanan ikan. xxiii

25 DAFTAR SINGKATAN ADA-2004 = Acoustics Descriptor Analyzer Version 2004 AFD = Analisis Fungsi Diskriminan AG = Analisis Gerombol AKU = Analisis Komponen Utama JST = Jaringan Saraf Tiruan JSTPB = Jaringan Saraf Tiruan Perambatan Balik MDA = Matriks Data Akustik MSE = Mean Square Error SV = Backscattering Volume TS = Target Strength xxiv

26 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan metode identifikasi dan klasifikasi spesies kawanan ikan berdasarkan data hidroakustik merupakan salah satu kunci penurunan tingkat kesalahan dalam pendugaan biomassa (Haralabous & Georgakarakos, 1996). Selama ini, identifikasi dan klasifikasi spesies kawanan ikan berdasarkan data hidroakustik dilakukan dengan menggunakan metode echo counting, echo integrations, echosounder mapping, dan sonar mapping. Identifikasi spesies ikan dengan keempat metode ini dilakukan dengan menganalisis karakteristik sinyal hamburan balik (echo backscattered) dari kawanan ikan tertentu. Hasil analisis sinyal akustik selanjutnya dibandingkan dengan data spesies ikan yang tertangkap pada saat sampling dilakukan. Pengambilan contoh spesies ikan dapat dilakukan dengan metode trawling dan dilakukan pada saat yang bersamaan dengan pengambilan data hidroakustik. Sementara itu, identifikasi dan klasifikasi data hidroakustik dengan keempat metode ini umumnya dilakukan dengan Metode Statistik Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis, PCA), Analisis Gerombol (Cluster Analysis, CA), dan Analisis Diskriminan (Discriminant Function Analysis, DFA) sebagaimana yang dilakukan oleh Lu & Lee (1995), Weill et al. (1993), Haralabous & Georgakarakos (1996), Coetzee (2000), Simmonds et al. (1996), dan Lawson et al. (2001). Berdasarkan hasil identifikasi dan klasifikasi tersebut, pendugaan biomassa dari spesies kawanan ikan tertentu dilakukan. Metode analisis data hidroakustik seperti dijelaskan di atas membutuhkan waktu yang lama, biaya yang tidak sedikit, juga masih bersifat subjektif. Selain itu pada kondisi tertentu metode ini sangat sulit untuk dilakukan dan hasilnya hanya cocok digunakan pada daerah dimana pengambilan sampling dilakukan (Haralabous & Georgakarakos, 1996; Lawson et al., 2001). Sebagai gambaran akibat dari dibutuhkannya biaya dan waktu yang tidak sedikit dalam identifikasi spesies, di Departemen Kelautan dan Perikanan terdapat sejumlah besar echogram

27 2 (selanjutnya disebut citra akustik) data hidroakustik yang diambil dari hasil survei akustik sebelumnya yang hingga tulisan ini dibuat belum juga teridentifikasi (Nugroho, Januari 2005, komunikasi pribadi). Karena itu dikembangkanlah metode identifikasi spesies kawanan ikan melalui proses identifikasi data sinyal hamburan balik yang dilakukan dengan menganalisis sekumpulan parameter kuantitatif dari data sinyal hamburan balik yang bersifat unik, yang dapat membedakan secara efisien struktur dari kawanan ikan pelagis yang berbeda (Diner et al., 1989; Georgakarakos & Paterakis, 1993) atau dari populasi akustik (Gerlotto & Frĕon, 1988; Lu & Lee, 1995). Dengan demikian estimasi stok biomassa dari setiap spesies dilihat dari kawanannya dan penangkapan ikan yang lebih selektif secara ekonomis dan berkelanjutan dimungkinkan untuk dilakukan (Marchal & Petitgas, 1993; Cochrane et al., 1998). Salah satu metode identifikasi yang dapat digunakan dan sedang dikembangkan saat ini adalah metode identifikasi dan klasifikasi dengan Jaringan Saraf Tiruan (artificial neural networks), yang selanjutnya disingkat JST. JST merupakan suatu struktur komputasi yang dikembangkan dari sistem pemrosesan informasi pada jaringan sel saraf manusia (Lawrence, 1992). JST memiliki kemampuan dasar untuk mempelajari contoh masukan dan keluaran yang diberikan, kemudian berdasarkan masukan dan keluaran tersebut, sistem ini berlatih beradaptasi dengan lingkungan (Kusumadewi, 2004). Penggunaan JST dalam identifikasi dan klasifikasi spesies kawanan ikan dilakukan dengan memberikan masukan berupa parameter kuantitatif yang bersifat unik yang diambil dari pola-pola sinyal hamburan balik dari spesies kawanan ikan target yaitu kawanan ikan yang sudah teridentifikasi secara hidroakustik dan menjadi objek penelitian. Parameter yang unik tersebut dijadikan sebagai parameter pembanding untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi kawanan ikan pelagis lainnya. Penggunaan JST untuk identifikasi kawanan ikan telah dilakukan oleh Jaya & Sriyasa (2004) dengan hasil yang cukup menjanjikan walaupun dengan data pelatihan terbatas. Karena hal-hal tersebut di atas maka proses identifikasi dan klasifikasi dengan metode jaringan sel saraf tiruan, tidak lagi bergantung pada asumsi-asumsi yang berkaitan dengan distribusi dari spesies kawanan ikan pelagis tertentu

28 3 sebagaimana halnya yang dilakukan pada metode konvensional (Haralabous & Georgakarakos, 1996). Dengan demikian, identifikasi dan klasifikasi dengan jaringan sel saraf tiruan selain dapat dilakukan dengan cepat, dapat memperkecil peluang terjadinya kesalahan identifikasi akibat kesalahan manusia, dapat menekan biaya operasi, dan dapat juga digunakan secara bebas pada situasi dan kondisi apapun karena tidak memerlukan asumsi-asumsi yang berkaitan dengan distribusi ikan. 1.2 Batasan Masalah Penelitian ini akan membahas tentang penggunaan Metode Jaringan Saraf Tiruan Perambatan Balik (feed-forward back propagation neural networks) selanjutnya disingkat JSTPB dan Metode Analisis Statistik untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi spesies kawanan ikan pelagis dengan menjadikan spesies kawanan ikan lemuru (Sardinella lemuru) sebagai spesies kawanan ikan target dan ikan uji. JSTPB yang akan digunakan adalah JSTPB dengan struktur lapisan tunggal dan banyak lapisan. JSTPB dengan lapisan tunggal (single-layer) tersusun dari satu lapisan masukan (input layer), satu lapisan tersembunyi (hidden layer), dan satu lapisan keluaran (output layer), sedangkan struktur JSTPB dengan banyak lapisan (multi layers) terdiri dari satu lapisan masukan (input layer), beberapa lapisan tersembunyi (hidden layer), dan satu lapisan keluaran (output layer). Parameter pembanding yang akan digunakan dan selanjutnya disebut deskriptor adalah parameter yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Coetzee (2000), Bahri & Frĕon (2000), Lawson et al. (2001); Fauziyah (2005). Penelitian ini mencoba menjawab beberapa pertanyaan yang telah dikemukakan oleh peneliti sebelumnya yang berkaitan dengan: (1) Pemilihan deskriptor yang dapat secara efisien digunakan untuk mengidentifikasi kawanan ikan target (Lu & Lee, 1995). (2) Perancangan arsitektur JST yang baik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies kawanan ikan (Haralabous & Georgakarakos, 1996).

29 4 (3) Ketelitian hasil identifikasi JST sangat bergantung pada jumlah data yang digunakan dalam proses pelatihannya. Pertanyaannya adalah berapa banyak data yang diperlukan untuk mendapatkan hasil identifikasi dengan ketelitian yang maksimal (Haralabous & Georgakarakos, 1996). 1.3 Tujuan Mengembangkan penggunaan Metode JST untuk identifikasi kawanan pelagis guna meningkatkan kecepatan dan ketelitian metode tersebut. Hal ini dilakukan dengan cara menentukan struktur JST, deskriptor, dan jumlah data pelatihan yang minimal yang dapat memberikan hasil identifikasi dengan ketelitian yang maksimal. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan manfaat yang besar dalam meningkatkan efisiensi dalam pemanfaatan waktu, dana, dan meningkatkan ketepatan dalam melakukan identifikasi dan klasifikasi spesies kawanan ikan. 1.5 Hipotesis Kecepatan dan ketelitian identifikasi kawanan spesies ikan pelagis dengan Metode JST dapat ditingkatkan dengan: (1) Menentukan deskriptor hidroakustik yang paling berperan untuk dijadikan dasar identifikasi kawanan ikan pelagis, (2) Menentukan dengan tepat jumlah sel saraf dan lapisan tersembunyi yang dibutuhkan untuk identifikasi kawanan ikan pelagis, (3) Menentukan jumlah data pelatihan yang minimal yang dapat menghasilkan ketelitian yang memadai. Deskriptor hidroakustik yang paling berperan dalam identifikasi selain didapatkan dari hasil analisis statistik diskriminan juga didapatkan dari hasil analisis diagram pareto JST. Jumlah sel saraf dan lapisan tersembunyi sebagaimana disebutkan diatas dapat dilihat pada model JST yang dipilih. Jumlah data pelatihan minimal ditentukan berdasarkan ketelitian maksimal yang dapat dicapai dengan jumlah data tersebut.

30 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jaringan Saraf Tiruan Jaringan saraf manusia tersusun atas sel saraf yang masing-masing selnya tersambung dengan 10 3 hingga 10 5 sel saraf. membentuk suatu jaringan yang sangat kompleks (Rumelhard & McLelland, 1986 yang diacu Storbeck & Daan, 2001). Gambar 1 memperlihatkan beberapa bagian sel saraf seperti inti sel, badan sel, dendron, dendrit, akson, serta sinapsis. Gambar 1 Jaringan sel saraf biologi (Artificial Neural Networks in Medicine Juli 2005). Inti sel yang terletak di pusat badan sel saraf dikelilingi oleh sitoplasma yang mengandung mitokondria, lisosom, badan golgi, dan badan napsel. Mitokondria merupakan alat respirasi sel sementara lisosom menangani pembentukan enzim-enzim pencernaan. Proses ekskresi sel dilakukan oleh badan golgi sedangkan badan napsel berperan aktif dalam sintesis protein.

31 6 Rangsangan atau impuls berupa sinyal elektris akan diterima oleh dendrit dan diteruskan melalui dendron menuju badan sel saraf. Akson kemudian membawa impuls menyeberangi sinapsis (pertemuan antara akson suatu sel saraf dengan dendrit sel saraf lain) dan mengantarkan impuls tersebut ke sel saraf berikutnya. Hubungan antara sel saraf bukan hanya sekedar bersifat on dan off saja, melainkan memiliki bobot (weight) yang bervariasi yang juga menentukan besar kecilnya pengaruh suatu sel saraf terhadap sel saraf berikutnya (Lawrence, 1992). Selain itu banyak proses pada fungsi otak manusia khususnya proses berlatih yang berkaitan erat dengan bobot hubungan antar sel saraf yang bervariasi tersebut. Sebagai pusat pemrosesan data, aktivitas otak dapat digambarkan sebagai pola aktivitas perjalanan impuls pada jaringan sel saraf (firing) yang khas, dan kerja sama sel saraf secara simultan inilah yang menyebabkan otak manusia mempunyai daya komputasi yang menakjubkan. Untuk menciptakan daya komputasi yang menakjubkan tersebut maka diciptakanlah JST yang diharapkan dapat bekerja sebagaimana bekerjanya jaringan saraf manusia. Jaringan saraf ini selanjutnya disebut Jaringan Saraf Tiruan (Artificial Neural Networks). Oleh beberapa ahli JST didefinisikan sebagai berikut; (1) JST adalah jaringan kerja yang tersusun dari sejumlah elemen-elemen komputasi yang bersifat non-linier yang dioperasikan dan dirancang sebagaimana layaknya struktur saraf biologi. Elemen komputasi atau node dihubungkan satu sama lain berdasarkan bobot tertentu yang dapat beradaptasi dengan kondisi tertentu (Kosko, 1992). (2) JST adalah jaringan kerja yang terbentuk oleh sejumlah sel saraf yang terhubung dengan cara yang sama seperti sel saraf otak biologi dan karenanya dapat bekerja sebagaimana bekerjanya sel saraf biologi. Jaringan sel-sel saraf yang terhubung dengan baik tadi dapat bekerja secara paralel dalam mengolah informasi (Lawrence, 1992). (3) JST adalah sistem pemrosesan informasi yang menyerupai struktur jaringan otak biologi. Dari sudut pandang teknis, JST dapat diinterpretasi sebagai kumpulan model matematik yang mencoba melakukan fungsifungsi sel saraf otak dalam memproses sejumlah informasi dengan

32 7 kemampuan sama atau lebih baik dari kemampuan sel saraf itu sendiri (Reid et al., 2000). Dengan demikian diharapkan JST dapat bekerja lebih cepat dan akurat dalam pemrosesan informasi dibandingkan dengan jaringan saraf biologi dan dapat beradaptasi dengan dinamika informasi yang diterimanya sebagai mana hal tersebut terjadi pada sel saraf biologi (Vemuri, 1990). Dari definisi tentang JST seperti yang disebutkan diatas maka dapat disimpulkan bahwa; (1) JST adalah jaringan kerja komputasi yang mencoba meniru kerja saraf biologi. (2) Struktur JST menyerupai struktur saraf biologi. (3) Pemerosesan informasi pada setiap simpul saraf dilakukan secara paralel. (4) Setiap simpul saraf pada dasarnya adalah model matematis yang dapat digunakan untuk memproses setiap informasi yang masuk. JST telah diaplikasikan pada beberapa bidang kegiatan seperti Pertahanan & Keamanan (Militer) untuk pembuatan simulator pesawat tempur yang digunakan untuk melatih pilot-pilot baru pesawat tempur Angkatan Udara Amerika (US Air Force) dan deteksi bom di sejumlah terminal pesawat TWA, bidang Kesehatan untuk membantu dokter dalam menganalisis kemajuan kesehatan pasien di rumah-rumah sakit, bidang Industri Perminyakan untuk mengidentifikasi tipe batuan yang ditemukan pada lubang-lubang eksplorasi minyak, dan bidang Transportasi untuk digunakan dalam merancang sistem pengereman pada kendaraan truk raksasa yang digunakan di Amerika (Lawrence, 1992). Selain itu, oleh Federal Bureau of Investigation (FBI), JST juga sudah digunakan untuk melakukan identifikasi dan klasifikasi tanda tangan, wajah, sidik jari dan DNA seseorang (Kosko, 1992). Ada beberapa jenis sistem JST, tetapi pada dasarnya semua sistem JST dapat dipelajari dari sel saraf tiruan, koneksitas sel saraf tiruan (topology), dan aturan pembelajarannya (learning rule) Sel saraf tiruan (artificial neural) Sel saraf tiruan disebut juga elemen pemrosesan, nodes, atau sel. Setiap sel saraf tiruan menerima sinyal keluaran dari sel saraf tiruan lainnya, sedangkan untuk menghasilkan keluarannya sendiri maka setiap sel saraf tiruan

33 8 menjumlahkan masukan yang diterimanya dengan terlebih dahulu memberikan bobot tertentu pada setiap masukan. Selanjutnya, dengan memperhatikan batasan aktivasi yang telah ditentukan sebelumnya, masukan-masukan tersebut dijadikan sebagai keluaran dengan menggunakan fungsi transfer. Dengan demikian kualitas koneksi antara satu sel saraf tiruan dengan sel saraf tiruan lainnya ditentukan dengan besarnya nilai bobot yang diberikan. Gambar 2 Sebuah sel saraf dengan masukan tunggal. Gambar 2 memperlihatkan sebuah sel saraf tiruan dengan masukan tunggal. Setiap sel saraf dengan masukan tunggal atau jamak selalu memiliki parameter-parameter masukan I, bobot W, bias b, masukan murni n dan fungsi transfer F, serta keluaran yang berupa skalar O. Gambar 3 Sebuah sel saraf dengan r masukan. Gambar 3 memperlihatkan sel saraf tunggal dengan r masukan. Elemen bobot W(1,1), W(1,2),, W(1,r) diberikan pada setiap masukan I(1), I(2),, I(r) untuk mendapatkan masukan berbobot W*I.

34 9 I(1) I(2). W * I = [ W (1,1), W (1,2),..., W (1, r) ] (1).. I( r) Masukan berbobot W*I ini merupakan hasil perkalian antara vektor baris W dan vektor kolom I, sedangkan masukan murni (net input, n) untuk fungsi transfer F diperoleh melalui penjumlahan masukan berbobot W*I dengan bias b sehingga n = W*I + b. Bias adalah sebuah parameter saraf yang ditambahkan ke masukan yang sudah terbobot dan melewati fungsi aktivasi untuk mengaktivkan keluaran sel Koneksitas sel saraf tiruan (topology) Koneksitas diantara sel saraf tiruan merupakan bentuk komunikasi yang unik yang terjadi dari sebuah sel saraf tiruan pengirim sinyal ke sebuah sel saraf tiruan penerima sinyal. Koneksi yang terjadi diantara sel-sel saraf tiruan tersebut akan menentukan tipe pemrosesan yang akan terjadi dalam suatu JST. Sebagai contoh, jika terjadi koneksi antara keluaran sel saraf tiruan yang satu dengan bagian masukan pada sel saraf tiruan sebelumnya maka tipe pemrosesan yang terjadi adalah tipe pemrosesan umpan balik (feedback). target I sel saraf awal K/M sel saraf pembanding pembaruan bobot O Gambar 4 Pemrosesan umpan balik. Dengan O adalah keluaran dan I adalah masukan. Dilihat dari sifatnya, bentuk koneksi yang terjadi diantara sel saraf tiruan dapat bersifat inhibitory

35 10 connections dan exitatory connectios. Disebut inhibitory connections karena koneksi bersifat mencegah atau menghambat terjadinya pengiriman sinyal. Koneksi seperti ini terjadi antara sel saraf tiruan yang terdapat pada lapisan yang sama, sedangkan exitatory connectios adalah tipe koneksi yang bersifat cenderung mengirimkan sinyal seperti yang terjadi antara sel saraf tiruan yang satu dengan sel saraf tiruan lain yang ada pada lapisan berikutnya Aturan pembelajaran (learning rule) Aturan pembelajaran pada dasarnya digunakan untuk menentukan perubahan nilai bobot (W) yang optimum yang dapat memperkecil galat. Hal ini dilakukan dengan cara memberikan nilai koreksi bobot (ΔW) pada bobot sebelumnya sehingga bobot yang baru (W ) akan bernilai W+ΔW. Dari sejumlah aturan pembelajaran yang ada, aturan pembelajaran yang umum digunakan pada sebuah jaringan sel saraf tiruan adalah Aturan Hebb (Hebb s Rule), Aturan Delta (Delta Rule), dan Aturan Perambatan Balik (Back Propagation Rule). 1) Aturan Hebb (Hebb s Rule) Donald O Hebb yang diacu Lawrence (1992) mengemukakan teori bahwa sistem penyimpanan memori maupun pemrosesan informasi manusia berkaitan dengan kualitas koneksi dari sel sinaptic yang merupakan jembatan penghubung antara dua sel saraf. Dua sel saraf disebut terkoneksi dengan baik jika proses pengiriman dan penerimaan impuls diantara keduanya berlangsung dengan cepat. Proses yang demikian dapat terjadi jika pembelajaran dalam pengiriman, dan penerimaan impuls berlangsung secara terus menerus. Secara alami hal ini berakibat pada perubahan beberapa komposisi kimia yang selalu menyertai proses pengiriman dan penerimaan impuls. Secara matematis Teori Hebb dituliskan sebagai berikut; Δ W = η a o. (2) i j i j dimana ΔW ij adalah perubahan bobot koneksi antara koneksi sel saraf j ke sel saraf i, a i adalah fungsi aktivasi dari sel saraf i, o j adalah keluaran dari sel saraf j, dan η adalah laju pembelajaran (learning rate). Laju pembelajaran merupakan indikator yang menunjukkan berapa besar perubahan yang dapat terjadi pada jaringan

36 11 akibat proses pembelajaran atau berapa cepat jaringan dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Lawrence (1992) mengemukakan bahwa jika dalam proses ini perubahan terjadi secara dramatis maka jaringan dapat bereaksi secara berlebihan dan berakibat pada lamanya proses pembelajaran berlangsung bahkan lebih dari itu dapat berakibat jaringan tidak dapat melakukan proses pembelajaran dengan baik. 2) Aturan Delta (Delta Rule) Aturan Delta merupakan variasi dari Aturan Hebb untuk jaringan dengan lapisan sel saraf tersembunyi. Aturan Delta disebut juga Rerata Kuadrat Terkecil (Least Mean Square/LMS) yang merupakan variasi dari Aturan Hebb. Aturan ini ditemukan oleh Bernard Widrow dan Ted Hoff dari Universitas Stanford tahun 1960 (Lawrence, 1992). Jaringan penemuan mereka dinamakan ADAptive LINear Element (ADALINE). Aturan ini menyebutkan bahwa jika terdapat perbedaan antara keluaran yang dihasilkan dengan keluaran yang diinginkan maka untuk memperkecil perbedaan tersebut harus dilakukan perubahan pada bobot koneksi. Secara matematis besarnya perubahan bobot dapat dituliskan sebagai berikut: ΔW = η (T (t) a (t)) O (t).. (3) ij i i j dimana ΔW ij adalah perubahan bobot koneksi antara sel saraf ke-j ke sel saraf kei, T i (t) adalah hasil yang diharapkan, a i (t) adalah hasil yang didapatkan sel saraf i, O j adalah keluaran dari sel saraf j, t adalah waktu spesifik, dan η adalah laju pembelajaran. 3) Aturan Perambatan Balik (Back Propagation Rule) Aturan Perambatan Balik pada dasarnya juga melakukan hal yang sama seperti aturan sebelumnya, yaitu mencoba memperkecil galat yang ada antara hasil yang diperoleh dengan hasil yang diinginkan dengan cara memberikan koreksi (ΔW) kepada bobot pada setiap koneksi. Mengingat jumlah lapisan dalam aturan perambatan balik dapat meningkatkan kemampuan jaringan saraf tiruan dalam menyelesaikan masalah yang lebih kompleks (Fausett, 1994) maka aturan yang akan digunakan dalam disertasi ini adalah aturan perambatan balik. Karena itu, penjelasan tentang aturan ini dituliskan lebih rinci dibanding kedua aturan lainnya.

37 12 Lap. Masukan Lap. Tersembunyi Lap. Keluaran Gambar 5 Arsitektur JSTPB sederhana. Jika dalam proses pembelajaran terdapat N pasang data masukan (I) dan keluaran yang diharapkan ( O ) yang diberi indeks p (p = 1,2,3, N) dari target yang teridentifikasi maka galat oleh sel saraf tunggal ke-i dari pasangan data ke-p adalah; E 1 2 pi 2 (Opi O pi ) = (4) dengan O pi adalah keluaran yang dihasilkan oleh sel saraf ke-i untuk pasangan data ke-p. Sehingga total galat oleh seluruh sel saraf pada satu lapisan adalah; 1 2 E pi = (Opi O pi ).. (5) 2 i dan total galat yang dihasilkan oleh seluruh sel saraf untuk seluruh pasangan data pembelajaran p sebanyak N pasangan adalah; 2 E = 1 (O O )... (6) 2 p i pi pi Koreksi bobot pada masing-masing koneksi akibat total galat oleh seluruh sel saraf pada satu lapisan dapat ditentukan dengan menggunakan Metode Gradient Descent. Metode ini pada dasarnya juga mencari nilai ΔW dari nilai E pi minimum. Nilai koreksi bobot dari sel saraf j ke sel saraf ke-i di lapisan diatasnya pada pasangan data pembelajaran ke-p dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:

38 13 δe pi Δ p Wij = η... (7) δ Wij karena E fungsi dari A dan A fungsi dari W maka; δepi δ Wij δe pi δa pi = δapi δ Wij dan δe δ Wij = δe pi p δ Wij karena A pi = W j ij Opj (fungsi aktivasi sel saraf ke-i pada pasangan data ke-p) maka δa pi = Opj (keluaran sel saraf ke-j dari pasangan data ke-p). δ Wij Jika δe pi = δa pi δ pi maka δe pi δa pi Δ p Wij = η sehingga, δapi δ Wij Δ p Wij = η δpi Opj... (8) δe karena δa pi pi δe = δo pi pi δo δa pi pi dan O f(a ) pi = pi sehingga δ pi δe pi f '(A pi ) δo =... (9) pi jika I terletak pada lapisan keluaran maka δe δo δe pi persamaan (4) dan didapatkan = (Opi O pi ). δo pi pi pi dapat dihitung langsung dari Karena O pi = f(a pi ), menjadi δo δa pi pi df = sehingga δ pi dari sel saraf dilapisan keluaran da δ pi ( O O ) f '(A ) =..... (10) pi pi pi

39 14 δe jika sel saraf i tidak pada lapisan keluaran maka pi δe pi δa pk = atau k δo pi δa pk δopi δepi δopi = k δpk Wki sehingga δ pi menjadi, δ pi = f '(Api ) δ k pk Wki... (11) dimana indeks k menunjukkan sel saraf ke-k pada lapisan sebelumnya. Dengan aturan ini maka galat yang diperoleh di lapisan atas dari pasangan data masukan dan keluaran dari pola-pola yang sudah teridentifikasi selanjutnya dikirimkan balik ke lapisan dibawahnya dengan tujuan untuk menghitung koreksi bobot koneksi antara sel saraf sesuai dengan persamaan (8) Arsitektur JST Arsitektur JST menggambarkan susunan lapisan-lapisan dan sel-sel saraf dalam suatu jaringan. Satu JST dapat tersusun dari satu atau lebih lapisan tersembunyi. Lapisan tersembunyi dapat tersusun dari satu atau beberapa sel saraf pada setiap lapisannya. Sel-sel saraf tersebut melakukan pengolahan data secara paralel. Secara sederhana arsitektur JST dapat diilustrasikan dengan Gambar 6, Gambar 6 JST dengan satu lapisan, dengan r masukan dan s buah sel saraf. Gambar 6 menunjukkan sebuah JST dengan r buah masukan dan s buah sel saraf. Pada jaringan sel saraf diatas, setiap informasi I(r) yang diterima oleh

40 15 sebuah sel saraf baik dari satu atau beberapa sel saraf sebelumnya, akan diolah dengan terlebih dahulu diberi bobot tertentu dimana W(s, r) yang menyatakan bobot dari sel saraf ke-r yang diterima oleh sel saraf ke-s. Keluaran yang dihasilkan oleh sebuah sel saraf ke-s, O(s), akan merupakan fungsi nilai total dari seluruh informasi yang diterima yang dinyatakan dengan F(W*I + b). Fungsi ini merupakan fungsi transfer yang dapat dinyatakan dalam bentuk fungsi linier ataupun fungsi dengan bentuk yang lebih kompleks. Fungsi ini dikenal juga dengan sebutan fungsi aktivasi. Ada beberapa jenis fungsi aktivasi yang dapat digunakan dalam JST seperti fungsi bipolar, linier, sigmoid dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan keakuratan hasil identifikasi maka keakuratan dalam pemberian nilai bobot pada setiap sambungan akan menentukan hasil identifikasi dari model JST yang digunakan. Matriks bobot dari masukan I ke sel saraf dapat ditulis sebagai berikut: W(1,1) W(1,2) W(1,r) W(2,1) W(2,2) W(1,r) W = W(s,1) W(s,2) W(s,r) Sel-sel saraf selanjutnya dikelompokkan kedalam tiga lapisan yang disebut lapisan masukan (input layer), lapisan tersembunyi (hidden layer), dan lapisan keluaran (output layer) seperti tampak pada Gambar 7. Pada gambar tersebut ditunjukkan sebuah JST dengan 1 lapisan masukan (lapisan j), 2 lapisan tersembunyi (lapisan i dan k) dengan keluaran O i dan O k, dan 1 lapisan keluaran (lapisan l) dengan keluaran O l.

41 16 Lapisan Masukan j Lapisan Tersembunyi i & k Lapisan Keluaran l Gambar 7 Arsitektur JST umpan maju (feed-forward) dengan banyak lapisan. Pada lapisan masukan terdapat sejumlah sel saraf yang berfungsi untuk menerima informasi dari luar yang dapat berbentuk file data, gambar hasil digitasi, atau informasi lain yang merupakan hasil pengolahan dengan program sebelumnya. Pada lapisan tersembunyi terdapat sejumlah sel saraf yang berfungsi mengolah informasi yang diterima dari lapisan masukan dengan terlebih dahulu memberikan bobot tertentu (W ij dan W ki ) pada informasi tersebut, dimana W ij bobot dari lapisan ke-j ke lapisan ke-i dan W ki bobot dari lapisan ke-i ke lapisan ke-k. Pengolahan informasi pada arsitektur JST dengan banyak lapisan seperti pada Gambar 7 dapat dijelaskan dengan Gambar 8.

42 17 I I O 1 O 2 W 1 W 2 rx1 n 1 s 1 x1 n s 2 x1 2 n 3 s 1 xr s 2 xs 1 s 3 xs 2 + F 1 + F 2 + F 3 s 1 x1 s 2 x1 s 3 x1 W 3 O s 3 x1 r Masukan b b 2 s 1 x1 S 2 x1 s 3 x1 O 1 =F 1 (W 1 *I+b 1 ) O 2 =F 2 (W 2 *O 1 +b 2 ) O 3 =F 3 (W 3 *O 2 +b 3 ) b 3 O = F 3 (W 3 *F 2 (W 2 *F 1 (W 1 *I+b 1 )+b 2 )+b 3 ) Gambar 8 JST dengan banyak lapisan (multi layer) dengan r masukan dan s buah sel saraf.

43 Aplikasi JST dalam bidang perikanan Dalam bidang perikanan tangkap, JST umumnya digunakan untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi spesies kawanan ikan pelagis. Identifikasi dan klasifikasi dilakukan dengan cara memanfaatkan perbedaan intensitas sinyal hamburan balik yang dipancarkan kawanan ikan. Perbedaan ini dimungkinkan karena setiap spesies kawanan ikan mempunyai tingkah laku yang berbeda, dan secara fisiologis memiliki struktur tubuh yang berbeda yang pada akhirnya berdampak pada tipologi akustik yang berbeda pula (MacLennan & Simmons, 1992). Karena itu, masing-masing spesies kawanan ikan akan memberikan informasi yang unik baik yang bersifat internal maupun external (Lu & Lee, 1995). Oleh Lawson et al., 2001; Bahri & Freon, 2000; Reid et al., 2000., informasi yang unik ini disebut deskriptor akustik kawanan ikan. Haralabous & Georgakarakos (1996) menegaskan bahwa deskriptor akustik dapat digunakan sebagai pembeda antara spesies kawanan ikan tertentu dengan spesies kawanan ikan lainnya. Oleh Reid et al. (2000) metode ekstraksi deskriptor hidroakustik kawanan ikan dikelompokkan kedalam tiga tingkatan ekstraksi yang berbeda yang didasarkan pada: (1) Tingkatan kawanan (the school level), deskriptor-deskriptor didapatkan dari hasil ekstraksi data citra akustik yang dilakukan melalui pemrosesan citra akustik dari masing-masing kawanan ikan. (2) Tingkatan satuan elemen jarak contoh (the element distance sampling unit, EDSU), deskriptor-deskriptor didapatkan dari sekumpulan citra akustik yang terukur dari satu satuan jarak contoh yang ditetapkan sebelum survei dilakukan. (3) Tingkatan wilayah (the region level), deskriptor-deskriptor diambil dari suatu hasil survei yang dilakukan pada suatu area yang sangat luas yang dilakukan, misalnya dengan satelit.

44 19 Deskriptor-dekriptor tersebut selanjutnya dikelompokkan kedalam lima kawanan deskriptor utama (Reid et al., 2000), yaitu: (1) Positional Descriptors, deskriptor yang menjelaskan posisi kawanan ikan yang dinyatakan dalam lintang, bujur (posisi horizontal), dan kedalaman (posisi vertikal, jarak dari permukaan ke titik tengah kawanan ikan), posisi awal dan akhir pixel pada arah vertikal dan horizontal. (2) Morphometric Descriptors, deskriptor yang menjelaskan tentang morfologi dari kawanan ikan target yang mencakup tinggi, lebar, ketebalan, rataan lintang, rataan bujur, rataan kedalaman, perimeter kawanan ikan dan kekasarannya. (3) Energetic Descriptors, deskriptor yang menjelaskan tentang total energi akustik, nilai rataan dan variabilitas energi akustik dari setiap pixel, dan pusat massa kawanan ikan. (4) School Environment Descriptors, deskriptor yang menjelaskan tentang jarak terpendek dan terjauh antara perimeter kawanan ikan dengan dasar perairan. (5) Biological Descriptors, deskriptor yang menjelaskan sifat-sifat unik dari spesies kawanan ikan yang akan diidentifikasi.

45 20 Gambar 9 Contoh deskriptor citra akustik kawanan ikan dengan intensitas hamburan balik yang berbeda pada setiap titik pikselnya. Pada Gambar 9 tampak beberapa deskriptor akustik batimetrik dan morfometrik dari kawanan ikan seperti deskriptor rataan kedalaman kawanan (Dr), kedalaman minimum kawanan (Dmin), ketinggian minimum kawanan dari dasar perairan (Tmin), tinggi kawanan (H), dan panjang kawanan (L). Berikut ini adalah beberapa contoh deskriptor yang digunakan untuk mengidentifikasi spesies kawanan sardine, anchovy, dan horse mackerel.

46 21 Tabel 1 Contoh deskriptor yang digunakan untuk identifikasi sardine, anchovy, dan horse mackarel (Haralabous & Georgakarakos, 1996) Deskriptor Simbol & Persamaan Satuan General Species Id SPE Morphological Height H m Length L m Perimeter P m Area A m 2 Elongation L/H Circularity P 2 /4πA Rectangularity (LH)/A Radius of perimeter Rmean, Rmin, Rmax, Rcv m Fractal dimension 2[ln(P/4)]/ln(A) Bathymetric School depth Dmean, Dmin, Dmax m Bottom depth Bmean, Bmin, Bmax m Altitude Amean, Amin, Amax M Energetic Total school energy E V 2 School energy Emean, Emax, Ecv V 2 Index of dispersion Evar/Emean V 2 Dari penelitian-penelitian yang dilakukan terhadap kawanan ikan pelagis seperti yang dilakukan oleh Gerlotto & Frĕon (1988), Diner et al. (1989), Georgakarakos & Paterakis (1993), Lu & Lee (1995) diketahui bahwa deskriptor yang paling menentukan hasil dari proses identifikasi kawanan ikan dapat dikelompokkan kedalam kelompok deskriptor bathymetric, morphometric, dan energetic.

47 Ikan Pelagis Ikan pelagis jika dilihat dari ukurannya, dapat dibedakan atas ikan pelagis besar dan kecil. Direktorat Jenderal Perikanan (1979) mengungkapkan bahwa ikan pelagis besar mempunyai ukuran cm (ikan dewasa) dimana yang termasuk didalamnya antara lain tuna (Thunnus spp), cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scomberomorus spp), tongkol (Euthynnus spp), setuhuk (Xiphias spp), dan lemadang (Coryphaena spp); sedangkan ikan pelagis kecil ukuran ikan dewasanya berkisar antara 5-50cm. Ikan pelagis kecil dikelompokkan kedalam 16 kelompok yang populasinya didominasi oleh 6 kelompok besar yaitu: ikan layang (Decapterus spp), kembung (Rastreligger), teri (Stolephorus spp), Lemuru bali (Sardinella Lemuru), dan jenis-jenis selar (Selaroides spp, Alepes spp, dan Atale spp). Dilihat dari kemampuannya beruaya, ikan pelagis digolongkan sebagai ikan yang mempunyai kemampuan untuk beruaya secara bebas dalam bentuk kumpulan. Frĕon & Misund (1999) mengemukakan bahwa ikan pelagis melakukkan ruaya antara lain untuk mencari makanan, memijah, menghindari pemangsa, dan menemukan pasangan untuk melakukan reproduksi. Dalam melakukan ruayanya ikan pelagis membentuk kumpulan teratur dengan pola-pola tertentu yang disebut kawanan ikan (fish schooling) atau kumpulan acak yang tidak membentuk pola-pola tertentu yang disebut gerombolan ikan (fish shoaling) Kawanan dan gerombolan ikan pelagis Kawanan ikan dan gerombolan ikan adalah dua istilah yang digunakan untuk menggambarkan kumpulan ikan yang sedang beruaya bersama. Organisasi kumpulan ikan yang beruaya yang membentuk kawanan atau gerombolan ikan, dapat dijelaskan berdasarkan ukuran kawanan, densitas, serta posisi dan lokasi ikan di dalam kolom air (Bahri & Frĕon, 2000). Beberapa definisi tentang istilah kawanan dan gerombolan ikan dapat dilihat berikut ini: (1) Reid et al. (2000), kawanan ikan merupakan fenomena biologis yang dipengaruhi kondisi internal dan eksternal kumpulan ikan pada saat itu.

48 23 (2) Breder & Halpern (1946) yang diacu Frĕon & Misund (1999), kawanan ikan adalah kumpulan ikan yang berenang dengan arah tertentu, pada ruang tertentu, dan berenang dengan kecepatan yang sama. (3) Radakov (1973), kawanan ikan adalah kumpulan ikan yang berenang bersama-sama. (4) Pitcher & Parish (1982), kawanan ikan adalah kumpulan ikan yang berenang terpolarisasi dan tersinkronisasi. (5) Frĕon & Misund (1999), gerombolan ikan adalah kumpulan ikan yang tersosialisasi yang tidak dipengaruhi oleh pola sinkronisasi dan polarisasi sedangkan kawanan ikan adalah kumpulan ikan dimana setiap individu dalam kumpulan itu berinteraksi secara sosial dengan melakukan sinkronisasi dan polarisasi dalam berenang dengan arah tertentu dengan jarak terdekat antara individu (nearest neighbour distance) yang tertentu. Dalam kawanan umumnya terdapat spesies ikan mayoritas sedangkan hal sebaliknya sangat jarang terlihat pada gerombolan ikan. (6) He (1989), kawanan ikan adalah bagian dari gerombolan ikan. Dari definisi diatas disimpulkan bahwa kawanan ikan (fish school) adalah kumpulan ikan yang beruaya yang membentuk pola-pola tertentu dan terorganisir dengan baik berdasarkan kecepatan, dan jarak antar individu dalam kumpulan tersebut, sedangkan gerombolan ikan adalah kumpulan ikan yang karena kebutuhannya melakukan sosialisasi antar individu tetapi tidak terorganisir sebagaimana layaknya sebuah kawanan ikan. Dalam kawanan umumnya terdapat spesies ikan mayoritas sedangkan hal sebaliknya tidak terlihat pada gerombolan ikan. Dalam disertasi ini, kumpulan ikan yang akan diteliti adalah kumpulan lemuru (sardinella lemuru). Nugroho & Sadatomo (komunikasi pribadi, Juli 2005), mengemukakan bahwa kumpulan lemuru cenderung memiliki karakteristik kawanan ikan, lebih lanjut Wudianto (2001) & Fauziyah (2005) mengemukakan bahwa Lemuru Bali beruaya dengan membentuk kawanan ikan. Karena itu dalam disertasi ini istilah yang akan digunakan selanjutnya adalah istilah kawanan ikan yang menggambarkan kumpulan lemuru.

49 24 Gambar 10 Sardinella lemuru Bleeker, 1853 (DKP). Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, aplikasi JST untuk identifikasi kawanan ikan pelagis dilakukan berdasarkan nilai deskriptor akustik. Nilai deskriptor diambil dari citra akustik kawanan ikan target karenanya, karakteristik kawanan ikan target menjadi perlu diperhatikan. Beberapa sifat kawanan ikan yang teramati oleh peneliti sebelumnya antara lain; (1) Dilihat dari bentuk kawanannya, 70% kawanan ikan pelagis berbentuk oval, bulat, dan persegi, kawanan ikan pada lapisan dasar dan permukaan umumnya berbentuk pipih sedangkan pada kolom air berbentuk bulat dan oval (Misund, 1993). (2) Dilihat dari kecepatan renangnya, semakin besar kawanan ikan semakin lambat pergerakannya (Hara,1987), tetapi menurut Misund (1993) hal tersebut tidak berlaku untuk kawanan ikan capelin yang bergerak semakin cepat ketika kawanannya semakin besar. (3) Dilihat dari sebarannya, ikan pelagis bergerak dekat permukaan pada malam hari dan ke perairan agak dalam pada siang hari (Laevastu & Hayes, 1982). Sebagian ikan pelagis bergerak ke pantai pada malam hari dan ke tengah laut pada siang hari (Frĕon et al., 1993). Jack Mackarel banyak dijumpai dekat permukaan pada musim dingin dan di tengah kolom air pada musim panas (Williams & Pullen, 1993). (4) Dilihat dari densitasnya, semakin besar volume kawanan ikan maka semakin besar densitasnya (Misund, 1993). Densitas ikan pelagis dipengaruhi posisi

50 25 vertikal thermoklin. Jika thermoklin semakin dekat permukaan maka kawanan ikan pelagis semakin tipis dan semakin tebal jika thermoklin bergerak kearah lapisan dasar (Inakage & Hirano, 1983). (5) Diperairan Laut Jawa dan Selat Makassar, secara vertikal kawanan ikan di Laut Jawa berbeda berdasarkan musim (Nugroho et al., 1997), tetapi tidak terdapat perbedaan nyata tentang penyebaran densitas ikan pelagis di perairan Selat Makassar antara siang dan malam hari (Pasaribu et al., 1997). Selanjutnya He (1989) mengemukakan bahwa kawanan ikan pelagis dapat dibedakan berdasarkan struktur (structure), ukuran (size), dan bentuk (shape) atau pola dari kawanan ikan Struktur kawanan ikan pelagis Struktur kawanan ikan dapat dilihat dari pola kawanan (pattern) yang memperlihatkan posisi individu ikan relatif terhadap individu lain yang ada disekitarnya. Pola yang umum terlihat pada sebuah kawanan ikan adalah pola berbentuk berlian. Struktur pola pergerakan berbentuk berlian ditentukan oleh jarak terdekat antara individu yang berdampingan (nearest neighbouring distance, NND). Pengaturan jarak terdekat antar individu ikan dilakukan untuk mengurangi tekanan air yang diterima ikan ketika sedang beruaya (Freon & Misund,1999). Lebih lanjut He (1989) mengemukakan bahwa semakin panjang ukuran ikan maka semakin besar jarak terdekatnya tetapi semakin cepat ikan beruaya maka semakin kecil jarak terdekat antara individu. Posisi ikan dalam kawanannya diilustrasikan dengan Gambar 11.

51 26 NND: nearest neighbouring distance Gambar 11 Bentuk berlian dalam kawanan ikan (He, 1989). Besarnya variasi jarak terdekat antar individu bergantung pada spesies ikan, sudut arah pergerakan kawanan (heading) yang dipengaruhi oleh arah arus, dan ukuran ikan dalam kawanan (size). Kalaupun terdapat variasi jarak terdekat antara individu akibat variasi ukuran panjang ikan, variasi tersebut tidak akan lebih dari 30% (He, 1989) Ukuran kawanan ikan pelagis Ukuran kawanan ikan adalah luasnya ruang yang ditempati oleh kawanan ikan. Ukuran kawanan ikan bervariasi dan dipengaruhi oleh spesies ikan, ukuran ikan, waktu harian (siang atau malam hari), musim, dan tahapan fisiologis perkembangan ikan (Freon & Misund, 1999). Spesies ikan pelagis besar umumnya menunjukkan kawanan ikan yang lebih besar tetapi dengan densitas yang lebih kecil dibanding spesies ikan pelagis yang lebih kecil (He, 1989). Pada malam hari umumnya kawanan ikan terpecah menjadi kawanankawanan yang mengelompok pada kawanan yang lebih kecil yang berpencar pada beberapa lapisan (Shaw, 1961 yang diacu Frĕon & Misund, 1999).

52 27 Pada musim gugur (fall) dan musim dingin (winter) kawanan anchovy membentuk kawanan ikan yang lebih kecil dibandingkan dengan kawanan ikan anchovy pada musim semi (spring) dan musim panas (summer) (Frĕon & Misund, 1999). Pada musim gugur dan musim dingin anchovy utara dapat membentuk kawanan ikan dengan ukuran m pada arah horisontal dan m pada arah vertikal sedangkan ukuran kawanan hering saat makan lebih kecil dibandingkan dengan saat memijah tetapi, ukuran kawanan ikan hering dan capelin yang terbesar dapat ditemukan pada saat ikan tersebut memijah (He, 1989) Bentuk kawanan ikan pelagis Bentuk kawanan ikan bervariasi. Jika dilihat dari atas maka rataan perbandingan antara panjang, lebar, dan kedalaman kawanan ikan adalah sebesar 3: 2: 1 (He, 1989). Variasi bentuk kawanan ikan ini bergantung pada aktivitas kawanan tersebut saat terdeteksi. Bentuk kawanan ikan yang sedang menghadapi pemangsanya berbeda dengan bentuk kawanan ikan yang sedang makan. Kawanan ikan yang sedang menghadapi pemangsanya umumnya membelah menjadi bagian yang kecil atau berubah bentuk menjadi bentuk bola yang berputar dengan tujuan untuk membingungkan pemangsanya. Pecahan-pecahan kecil dari ikan-ikan tersebut akan membentuk kawanan seperti semula jika ancaman dari pemangsa telah dapat dihindari (Frĕon & Misund, 1999). Kawanan ikan yang sedang beruaya cepat memiliki ukuran panjang kawanan yang lebih besar dibandingkan dengan lebarnya (He, 1989). Gambar 12 dan Gambar 13 menggambarkan beberapa ilustrasi tentang bentuk dan pola kawanan ikan di dalam kolom air.

53 Gambar 12 Bentuk-bentuk kawanan ikan yang terdeteksi dengan peralatan Sonar (He, 1989). 28

54 Gambar 13 Pola sebaran ikan di dalam kolom air (Reid et al., 2000). 29

55 30 Gambar 13 menunjukkan pola-pola sebaran ikan yang terdapat di permukaan, kolom, dan dasar perairan. (1) Tipe 1, Scattered Fish menggambarkan citra akustik sejumlah besar gema dari ikan-ikan tunggal yang menyebar secara acak pada kolom air, tanpa adanya struktur yang jelas. (2) Tipe 2, Fish in school menggambarkan citra akustik sebaran beberapa kawanan ikan yang terstruktur yang terdapat pada kolom air. (3) Tipe 3, Fish in aggregations menggambarkan sejumlah besar gema dari ikanikan tunggal yang menggerombol yang menyebar secara acak pada kolom air, tanpa adanya struktur yang jelas. (4) Tipe 4 dan 5, Fish in a pelagic & demersal layers menggambarkan citra akustik dari kawanan besar ikan pelagis (a) dan ikan demersal (b) yang terdapat di kolom dan dekat dasar perairan. Dalam disertasi ini deskriptor akustik kawanan ikan pelagis dengan tipe 2, 4 dan 5 yang akan diukur sebagai data penelitian. Hal ini didasarkan pada studi literatur yang dilakukan sebelumnya dimana hampir semua kawanan ikan pelagis ekonomis beruaya dengan tipe sebagaimana yang disebutkan (Lawson et al., 2001; Lu & Lee, 1995; Coetzee, 2000; Bahri & Freon, 2000).

56 3 METODOLOGI Secara garis besar metode penelitian dalam disertasi ini berkaitan dengan permasalahan identifikasi kawanan ikan secara hidroakustik yang berkaitan dengan pengukuran dan pemrosesan data hidroakustik, ekstraksi deskriptor hidroakustik, dan identifikasi kawanan ikan berdasarkan deskriptor hidroakustik. Pengukuran data hidroakustik sebagian besar dilakukan secara vertikal dan dilakukan dengan alat scientific echosounder. Data hasil pengukuran selanjutnya diproses dengan cara tertentu dan ditampilkan dalam bentuk citra akustik duadimensi (2-D). Walaupun digambarkan secara 2-D, informasi yang terdapat pada sebuah data citra akustik bersifat tiga-dimensi (3-D). Karena itu, dari citra akustik yang dihasilkan dapat diperoleh informasi tentang bentuk dan posisi kawanan ikan dalam kolom air serta intensitas hamburan balik dari kawanan tersebut. Metode identifikasi yang digunakan hingga saat ini tidak dapat secara langsung bekerja pada citra akustik maka identifikasi tidak dilakukan secara langsung pada citra tersebut tetapi pada deskriptor hidroakustik yang terkandung dalam data citra akustik. Karena itu, ekstraksi deskriptor akustik yang terdapat pada sebuah data hidroakustik merupakan permasalahan tersendiri dalam disertasi ini. Saat ini telah tersedia banyak program ekstraksi yang dapat digunakan untuk keperluan itu tetapi dalam disertasi ini digunakan Program ADA Dalam disertasi ini, identifikasi kawanan ikan dilakukan dengan Metode Statistik dan JST. Hasil identifikasi metode statistik selain digunakan sebagai masukan JST juga digunakan sebagai pembanding hasil identifikasi JST. Secara menyeluruh metode penelitian dalam disertasi ini dapat dirangkum dalam bentuk diagram alir seperti tampak pada Gambar 14.

57 32 MULAI Masukan Data Pemrosesan data /citra akustik Data Hasil Tangkapan Citra akustik Ikan Uji Citra Akustik Ikan Target Matriks Data Akustik 17 Desk hidroakustik METODE STATISTIK 15 Desk. teridentifikasi Hitungan Deskriptor JSTPB2 8 Desk. utama 8 Desk. utama Rancangan awal JSTPB JSTPB1 JSTPB3 Identifikasi STATISTIK Identifikasi JSTPB1 Identifikasi JSTPB2 Identifikasi JSTPB3 Validasi Silang Validasi Silang SELESAI Gambar 14 Diagram alir metode penelitian.

58 33 Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dalam disertasi ini, identifikasi spesies kawanan lemuru dilakukan dengan Metode Statistik dan Metode JST. Hasil dari kedua metode ini selanjutnya dibandingkan untuk melihat apakah terdapat perbedaan nyata antara hasil keduanya. Dalam melakukan identifikasi, kedua metode ini pada dasarnya melakukan hal yang sama yaitu melihat kesamaan antara variabel-varibel deskriptor dari ikan target dengan variabelvariabel deskriptor dari ikan uji. Gambar 14 menunjukkan seluruh proses yang akan dilakukan dalam mengolah data akustik baik data akustik kawanan ikan target (data akustik dari kawanan ikan yang sudah diidentifikasi dan klasifikasi), maupun data akustik kawanan ikan uji (data akustik dari kawanan ikan yang akan di identifikasi dan klasifikasi). Dengan demikian data kawanan lemuru akan terdiri dari dua kelompok data yaitu kelompok data kawanan ikan target dan kelompok data kawanan ikan uji. 3.1 Data Akustik Data akustik yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah data threshold dari kawanan lemuru (Sardinella lemuru) yang diperoleh dari hasil survei akustik yang telah dilakukan sebelumnya. Data akustik lemuru diperoleh dari hasil survei akustik yang dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang dilakukan di Selat Bali pada bulan September 1998 (musim peralihan II, September-November), bulan Mei 1999 (musim peralihan I, Maret-Mei), dan bulan Agustus 2000 (musim timur, Juni-Agustus) dengan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya IV. Pengukuran data akustik dilakukan dengan SIMRAD Scientific Echosounder EK-500 tipe bim terbagi (split beam) dengan tipe transduser ES120-7F dengan frekwensi 120kHz, dan maksimum daya pancar 1500watt. Transduser dipasang secara tetap (hull mounted) di bawah Kapal Riset Baruna Jaya IV. Gambar 15 menunjukkan lintasan survei akustik Kapal Baruna Jaya IV.

59 34 Gambar 15 Lintasan survei kapal Baruna Jaya IV di Selat Bali tahun 1998, 1999, Pemrosesan data akustik Pemrosesan data akustik dilakukan terhadap data ikan target dan data ikan uji. Pemrosesan data lemuru dilakukan dengan program SIMRAD Echo Processing 500 (EP-500) versi 5. dengan menggunakan fasilitas analyze pelagic layer, analyze trace tracking, dan analyze expended integral dengan Time Varied Gain (TVG) 40log(r). Dari pemrosesan ini didapatkan citra akustik dan Matriks Data Akustik (MDA) dari kawanan ikan target dan ikan uji yang akan diidentifikasi. Secara garis besar citra akustik dan MDA didapatkan dengan cara sebagai berikut: (1) Menghapuskan jejak-gema (echo-trace) dari konsentrasi biomassa bukan target dengan menetapkan ambangbatas (threshold) Scattering Volume (SV) dan Target Strength (TS) dari spesies kawanan ikan target. (2) Mengelompokkan pixel dari kawanan ikan target, untuk hitungan nilai deskriptor. (3) Mengelompokkan rataan energi kawanan ikan target untuk menghilangkan jejak-gema dari kumpulan plankton.

60 35 Pada tahapan ini dihasilkan matriks data akustik yang berisi nilai SV, TS dan informasi tambahan lainnya seperti posisi vertikal dan horisontal kawanan ikan. Hasil dari tahapan ini selanjutnya digunakan sebagai data masukan dalam menghitung nilai-nilai deskriptor. Sebelum citra akustik kawanan ikan diproses lebih lanjut maka terlebih dahulu dilakukan seleksi morfometrik, batimetrik, dan energetik terhadap citra tersebut. Hal ini dilakukan selain untuk mengurangi kemungkinan tercampurnya data kawanan ikan yang diinginkan dengan data kawanan ikan lainnya juga untuk memudahkan dalam proses pengelompokan nantinya. Kriteria morfometrik, batimetrik, dan energetik yang digunakan adalah sebagai berikut: (1) Kriteria Morfometrik; ukuran minimal panjang dan tinggi kawanan ikan masing-masing 5m dan 6m, sedangkan ukuran maksimalnya tidak dibatasi. Kriteria ini diambil berdasarkan hasil penelitian Simmonds et al. (1996); Coetzee (2000); Bahrie & Freon (2000) terhadap kawanan ikan mackarel, sardine, anchovy, dan herring. (2) Kriteria Batimetrik; posisi vertikal kawanan ikan dibatasi antara selang kedalaman m. Pada selang kedalaman ini 80% kawanan ikan yang paling sering tertangkap oleh masyarakat pada bulan Mei, Agustus, dan September adalah kawanan lemuru Selat Bali (Wudianto, 2001). (3) Kriteria Energetik; kriteria energetik yang digunakan adalah kriteria yang didasarkan pada hasil penelitian Wudianto (2001) yang menyebutkan bahwa intensitas hamburan balik (SV) kawanan lemuru bali yang terukur pada kedalaman seperti yang disebutkan diatas adalah berkisar antara -80dB sampai -30dB dengan nilai TS berkisar antara -50db sampai -41dB atau setara dengan panjang ikan antara 7,5-21,5cm Data hasil tangkapan Data hasil tangkapan adalah data ikan tangkapan yang diperoleh dengan menggunakan pukat cincin dan atau hasil tangkapan nelayan yang melakukan penangkapan di sekitar areal survei. Data hasil tangkapan diperlukan untuk mengidentifikasi citra akustik kawanan ikan target dengan cara membandingkan data hasil tangkapan dengan citra akustik kawanan ikan. Dari hasil perbandingan

61 36 ini, citra akustik dari kawanan ikan yang terdeteksi diidentifikasi. Jika data hasil tangkapan tidak tersedia maka identifikasi dan klasifikasi kawanan ikan dilakukan dengan pendekatan statistik dengan memperhatikan hasil penelitian sebelumnya sebagaimana dijelaskan pada sub-bab 3.4. Dalam disertasi ini, data kawanan ikan yang sudah diidentifikasi diambil dari hasil penelitian Wudianto (2001) dan Fauziyah (2005). Data ini digunakan sebagai data pembimbing dalam identifikasi dan klasifikasi dengan Metode Statistik Terbimbing (supervised identification and classification) sedangkan dalam identifikasi dan klasifikasi dengan Metode JST data ini digunakan sebaga data pelatihan (data latih) Matriks data akustik Matriks data akustik merupakan matriks hasil olahan data akustik dari kawanan ikan target dan ikan uji. Matriks ini menunjukkan nilai-nilai SV yang terukur pada kolom air baik yang berasal dari kawanan ikan maupun dari sekitar kawanan. Matriks ini berisikan nilai kedalaman, jumlah ping, posisi ikan, dan nilai intensitas hamburan balik, SV. 3.2 Hitungan Nilai Deskriptor Hitungan nilai deskriptor terhadap citra akustik ikan target dan citra akustik ikan uji dilakukan dengan menggunakan program ADA Data masukan yang digunakan untuk menentukan nilai deskriptor adalah matriks data akustik. Nilai deskriptor dihitung dengan rumus tertentu, sebagai contoh lihat Tabel 1. Dengan program ADA-2004 deskriptor akustik yang digunakan untuk mengidentifikasi spesies kawanan ikan adalah dekriptor yang dikemukakan oleh Lawson et al. (2001), Coetzee (2000), Bahri & Frĕon (2000), dan Fauziyah (2005). Pemilihan variabel deskriptor yang digunakan dalam program ADA-2004 dilakukan dengan merujuk pada standar baku Reid et al. (2000), Haralabous & Georgakarakos (1996), Bahri & Freon (2000). Deskriptor yang dihasilkan dikelompokkan kedalam 3 tipe deskriptor yaitu; deskriptor morfometrik, deskriptor energetik, dan deskriptor batimetrik.

62 Deskriptor Akustik Dengan Program ADA-2004 didapatkan 17 deskriptor akustik. Ke-17 deskriptor tersebut dianalisis dengan menggunakan Metode Statistik untuk melihat korelasi antara deskriptor dalam kelompok deskriptor masing-masing (morfometrik, batimetrik atau energetik) dan kaitannya satu sama lain secara menyeluruh (Coetzee, 2000). Selanjutnya dengan menggunakan Metode Analisis Komponen Utama (selanjutnya disingkat AKU) ditentukan peran masing-masing deskriptor dalam pengelompokan kawanan ikan. Dengan menggunakan AKU maka variabel penciri dari sekelompok observasi dapat diketahui (Santoso, 2006). Lebih lanjut Haralabous & Georgakarakos (1996) mengemukakan bahwa dengan AKU dapat ditentukan variabel-variabel bebas (deskriptor akustik) yang berpengaruh dalam membedakan sekumpulan kawanan ikan. 3.4 Identifikasi, Klasifikasi dan Penentuan Deskriptor Utama dengan Metode Statistik Analisis dengan Metode Statistik selain dilakukan untuk validasi silang, identifikasi dan klasifikasi kawanan ikan uji (56 kawanan), juga dilakukan untuk menentukan deskriptor utama. Identifikasi, klasifikasi dan penentuan deskriptor utama dilakukan dengan menggunakan Metode Analisis Gerombol (selanjutnya disingkat AG) dan Analisis Fungsi Diskriminan (selanjutnya disingkat AFD) (Barange & Hampton, 1997; Lu & Lee, 1995). AG dilakukan untuk mengelompokkan observasi (Santoso, 2006). Pengelompokan kawanan ikan yang memiliki kemiripan yang tinggi dilakukan berdasarkan indeks kesamaan atau ketidaksamaan. AFD dilakukan untuk mengetahui fungsi diskriminan dari variabel deskriptor yang secara signifikan membedakan antara grup, kelompok, atau kategori dari sekelompok observasi (Santoso, 2006). AG dilakukan terhadap kelompok data uji dengan menggunakan kelompok data target sebagai data pembimbing. Dari AG dihasilkan kelompok data uji yang teridentifikasi. AFD dilakukan dengan cara mereduksi data dengan menggunakan Multy Analysis of Varians (MANOVA). Dengan analisis MANOVA maka analisis ragam beberapa variabel dapat dilakukan secara sekaligus. AFD dilakukan setelah

63 38 didapatkan hasil dari AG. Data kelompok kawanan ikan yang dihasilkan AG digunakan sebagai masukan dalam AFD. Dari analisis AFD dihasilkan fungsifungsi diskriminan yang berfungsi secara signifikan membedakan antar kelompok kawanan ikan. Fungsi diskriminan yang dimaksud adalah fungsi dari beberapa variabel diskriminan. Variabel-variabel ini yang selanjutnya disebut sebagai deskriptor utama. Hasil dari tahap ini adalah kawanan ikan terklasifikasi dan deskriptor utama. Analisis statistik dilakukan dengan Program Statistik SPSS Arsitektur JST Dalam penelitian ini arsitektur JST dibangun untuk mengidentifikasi spesies kawanan ikan berdasarkan data kawanan ikan target. Arsitektur jaringan saraf yang dibangun tersusun dari lapisan tunggal dan banyak lapisan. Pemilihan arsitektur JST yang terbaik dilakukan dengan mengujicobakan setiap arsitektur JST dengan menggunakan data ikan uji. Arsitektur JST yang terbaik ditentukan berdasarkan nilai Mean Square Error (MSE), Jumlah iterasi, dan tingkat ketepatan jaringan dalam melakukan identifikasi (Storbeck & Daan, 2001; Haralabous & Georgakarakos, 1996; Simmonds et al., 1996). Ada 3 arsitektur JST yang akan dibangun yang dibedakan berdasarkan jumlah dan jenis deskriptor akustik yang digunakan sebagai masukannya. Ketiga JST tersebut adalah; (1) JST dengan unit sel masukan sebanyak jumlah deskriptor utama hasil analisis statistik, JST1. (2) JST dengan jumlah unit sel masukan sebanyak jumlah deskriptor akustik yang dihasilkan dari hasil hitungan deskriptor, JST2. Dengan JST ini ditentukan kontribusi masing-masing deskriptor dalam proses identifikasi dan klasifikasi dengan Metode JST2. Kontribusi masing-masing deskriptor dapat dilihat pada Diagram Pareto. (3) JST dengan jumlah unit sel masukan yang sama dengan jumlah unit sel masukan JST1 tetapi dengan jenis deskriptor yang berbeda, JST3. Deskriptor JST3 adalah deskriptor dengan kontribusi yang terbesar yang dihasilkan JST2.

64 Rancangan Awal JST Rancangan awal JST dilakukan untuk menentukan kisaran jumlah awal (initial value) dari jumlah sel dalam lapisan masukan, lapisan tersembunyi, lapisan keluaran, dan metode pelatihan yang tepat yang dapat digunakan untuk merancang model JST. Penentuan jumlah awal dilakukan dengan pendekatan numerik dengan mencobakan beberapa jumlah sel dan metode pelatihan kedalam JST. Jumlah sel dan metode pelatihan yang dipilih dijadikan sebagai jumlah awal dan metode pelatihan dalam pembuatan model JST. Model JST yang dipilih selanjutnya dilatih lagi untuk mengenali pola-pola tertentu yang unik dari nilai deskriptor kawanan ikan target. Jika proses pelatihan dengan sejumlah citra akustik ikan target berhasil maka selanjutnya dilakukan uji coba jaringan dengan cara mencoba mengidentifikasi citra akustik kawanan lainnya dari data uji yang sudah teridentifikasi sebelumnya. Hasil identifikasi dan klasifikasi dengan metode JST selanjutnya dibandingkan dengan hasil identifikasi dan klasifikasi yang dilakukan dengan Metode Statistik. Hal ini sejalan dengan apa yang telah dilakukan oleh Haralabous & Georgakarakos (1996); Simmonds et al. (1996). 3.7 Validasi Silang Validasi silang dilakukan dengan maksud untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan ketelitian yang nyata antara Metode Statistik dengan Metode JST. Validasi dilakukan dengan membandingkan ketepatan hasil identifikasi Metode Analisis Statistik dengan ketepatan hasil identifikasi Metode JST. 3.8 Hasil Validasi Silang Dari proses validasi silang dihasilkan spesies kawanan ikan teridentifikasi, deskriptor akustik yang paling berperan dalam proses identifikasi, arsitektur JST yang terbaik, jumlah data minimal yang dibutuhkan untuk proses identifikasi, ketelitian dan kecepatan identifikasi yang dapat dicapai dengan metode JST.

65 4 DESKRIPTOR HIDROAKUSTIK KAWANAN IKAN PELAGIS 4.1 Pendahuluan Teknik akustik memiliki keterbatasan tingkat keakuratan dalam hal identifikasi spesies kawanan ikan (Lawson et al., 2001). Keterbatasan kemampuan dalam hal memisahkan energi hamburan balik dari spesies ikan yang berbeda merupakan penyebab utama kesalahan dalam pendugaan kelimpahan khususnya di lingkungan dengan banyak spesies (Misund, 1993). Keterbatasan ini pada akhirnya berpengaruh terhadap tingkat ketelitian dalam pendugaan biomassa (Haralabous & Georgakarakos, 1996). Selama ini identifikasi spesies gerombolan ikan berdasarkan data hidroakustik umumnya dilakukan dengan menganalisis karakteristik sinyal hamburan balik dari kawanan ikan tertentu. Hasil analisis sinyal akustik selanjutnya dibandingkan dengan data spesies ikan yang tertangkap pada saat sampling dilakukan. Pendekatan identifikasi seperti ini bersifat bias karena perbedaan yang signifikan antara luasan yang dapat dicakup dengan alat trawl dan luasan yang dapat dicakup dengan teknik akustik (Masse & Retiere, 1995). Karenanya beberapa pendekatan telah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam mengidentifikasi spesies kawanan ikan berdasarkan data hidroakustik dimana salah satu diantaranya adalah pendekatan berdasarkan deskriptor akustik. Deskriptor akustik adalah kumpulan variabel bebas akustik yang menyatakan nilai internal dan eksternal dari kawanan ikan. Nilai-nilai tersebut oleh Reid et al. (2000) dikelompokkan kedalam empat kategori deskriptor yaitu: posisi yang menyatakan antara lain jarak antara kawanan ikan yang berdekatan, morfometrik yang menyatakan antara lain tinggi, panjang, dan luas kawanan, energetik yang menyatakan antara lain rataan dan variansi nilai energi hamburan balik, batimetrik yang menyatakan antara lain posisi kawanan terhadap permukaan dan dasar laut, seperti terlihat pada Gambar 16.

66 41 Ping PermukaanLaut Ked. Min. Panjang Ked. Maks. Ketinggian Maks. Tinggi Citra Akustik Min. Kedalaman Dasar Maks. Kedalaman Dasar Ketinggian Min. Dasar Perairan Gambar 16 Deskriptor hidroakustik kawanan ikan pelagis. Nilai-nilai deskriptor didapatkan dengan cara mengekstraksi nilai SV perkiraan yaitu nilai selang SV perkiraan dari ikan yang akan diidentifikasi yang terdapat pada citra akustik kawanan ikan. Ekstraksi deskriptor dilakukan dengan menggunakan program ADA Deskriptor-deskriptor ini selanjutnya digunakan sebagai data masukan dalam identifikasi spesies ikan. Tabel 2 menunjukkan deskriptor dan formula hitungan yang digunakan dalam program ADA 2004.

67 42 Tabel 2 Deskriptor hidroakustik (Fauziyah, 2005) No Deskriptor Formula Hitungan A Morfometrik 1 Tinggi (H), m H terlihat = (Vertikal akhir Vertika awal ) 4) cγ 2) H nyata = H terlihat ( ) 2 2 Panjang (L), m L terlihat = ping. k 2) L nyata = θ 4 Lterlihat 2Dr tan 2) 2 π 3 Keliling (P), m Σ sel terluar dari kawanan ikan (menggunakan 4 neighbourhood) 4) 4 Luas (A), m 2 Σ sel * tinggi 1 sel * panjang 1 sel 4) 5 Elongasi (E) L/H 3) 6 Dimensi fraktal (Df) P Ln *2 4 Ln ( A) 7 Jumlah item (Ji) Jumlah pixel dgn intensitas tertentu dalam satu citra B Batimetrik 8 Rataan kedalaman kawanan (D r ), m 9 Ketinggian relatif (Trel), % 10 Ketinggian minimum (Tmin), m 11 Kedalaman minimum (Dmin), m akustik n D i / n 1) i= 1 3) T min+ H / 2 3) *100 D Jarak antara dasar perairan dan batas kawanan yang paling rendah 3) Jarak antara permukaan laut dan batas kawanan yang paling atas 3)

68 43 Tabel 2 (lanjutan) No Deskriptor Formula Hitungan C Energetik 12 Rataan energi akustik (Er), db 13 Standar deviasi energi akustik (E SD ), db 14 Skewnes (S) 15 Kurtosis (K) 10 log10 E SD = K3 3 (ESD ) i Ei n 1) atau ( E E ) i r 2 n 1 1) 2) dimana n=3; 0 jika n<3 n( n + 1) ( n 1)( n 2)( n 3) 1) 2) i SV 10 E i = 10 1) 2) K3 = n i ( E E ) i 3 [( n 1)( n 2) ] 4 Ei Er E SD 16 Densitas Volume S A (Dv), g.m -3 1 * ,1TS.kg 2 (4π ΔR) 17 Rataan Target Strength (TSr), db σ Log 4π 10 5) 2) r jika 2 3( n 1) ( n 2)( n 3) Keterangan : dirujuk dari 1) Lawson et al. (2001), 2) Coetzee (2000), 3) Bahri & Freon (2000), 4) Fauziyah (2005), 5) variabel pendukung γ = panjang pulsa, ms. n = jumlah pixel, k = jarak antara ping, m, D = kedalaman perairan c = kecepatan suara, ms -1 D i = kedalaman di titik i θ = setengah sudut beam S A = area back-scattering strength ΔR = Lebar saluran integrasi vertikal TS db.kg -1 = -10,9 log L - 20,9 4.2 Metode Penelitian Metode penelitian untuk mendapatkan dan menganalisis nilai deskriptor dapat dilihat pada Gambar 17. Pada gambar tersebut diperlihatkan tiga tahapan yang dilakukan untuk mendapatkan dan menganalisis nilai deskriptor.

69 44 Data Threshold (dt) Analisis dt dengan EP500: pelagic layer, trace tracking pelagic, expanded integral I Matriks Data Akustik Program ADA 2004 Interchange, Filtering data, Binerisasi Deskriptor akustik morfometrik, energetik, batimetrik II Analisis Korelasi & Komponen Utama III Korelasi antar deskriptor & peran masing-masing Gambar 17 Diagram alir analisis deskriptor hidroakustik. Pada tahap I, data mentah yang disimpan dalam format digital datagram (dg) dirubah menjadi data terkompres dengan format digital data threshold (dt). Analisis data akustik dengan menggunakan data threshold dapat dilakukan dengan beberapa program pengolahan data akustik. Dalam disertasi ini data threshold lemuru dianalisis dengan program komputer EP-500. Analisis data threshold dengan program EP500 dilakukan dengan metode pelagic layer yang berfungsi untuk melihat ada tidaknya sebaran ikan pada lapisan-lapisan tertentu, trace tracking pelagic untuk melihat sebaran intensitas beberapa ikan dalam arah dan

70 45 kedalaman tertentu, dan dengan metode expanded integral untuk mendapatkan nilai SV per segmentasi dari kawanan ikan. Hasil analisis dari ketiga metode tadi yang disimpan dalam bentuk matriks data akustik. Matriks data akustik (MDA) adalah matriks yang menunjukkan kumpulan nilai digital dari energi hamburan balik (Coetzee, 2000), dalam hal ini MDA dari citra akustik ikan target dan ikan uji. Setiap elemen matriks atau disebut juga piksel dalam matriks tersebut mewakili satu nilai digital. Baris pada MDA menyatakan nilai kedalaman per meternya sedangkan kolom menyatakan pancaran sinyal akustik yang ke-n kali atau yang disebut juga ping akustik. Matriks data akustik selanjutnya digunakan sebagai data masukan dalam hitungan nilai deskriptor. Pada tahap II, program ADA 2004 digunakan untuk mengekstrak nilai deskriptor dari citra akustik ikan target dan ikan uji. Program ini telah digunakan oleh Fauziyah (2005) dalam disertasinya yang mencoba mengidentifikasi spesies kawanan lemuru dengan metode statistik. Dalam disertasi ini beberapa bagian dari program ini atas izin yang bersangkutan telah dimodifikasi untuk memudahkannya berinteraksi dengan program JST. Ada tiga proses utama yang dilakukan dalam program ini yaitu; interchange, filtering data, dan binerisasi. (1) Pengubahan format (Interchange) adalah proses yang dilakukan untuk mengubah data digital yang disimpan dalam format comma separated variable (csv) menjadi bentuk gambar yang disimpan dalam format joint photographic expert group (jpeg). Hal ini dilakukan agar pemakai program dapat dengan mudah menyeleksi citra akustik yang akan dianalisis. (2) Seleksi data (data filtering) adalah proses yang dilakukan untuk memisahkan elemen matriks dengan nilai digital yang diinginkan dengan elemen matriks lainnya dengan nilai digital yang tidak diinginkan, sehingga didapatkan citra akustik yang hanya tersusun dari nilai digital ikan target atau ikan uji. Nilai-nilai digital tersebut selanjutnya dikelompokkan dalam selang tertentu dan diwarnai dengan warna yang sesuai. Dari proses ini didapatkan citra akustik ikan target atau ikan uji yang komposisi warnanya sesuai dengan yang diinginkan.

71 46 (3) Binerisasi adalah proses yang dilakukan untuk menyatakan nilai digital yang telah didapatkan dari proses sebelumnya menjadi nilai biner yang hanya terdiri dari nilai antara 0 dan 1. Binerisasi dilakukan untuk memudahkan hitungan nilai-nilai deskriptor. Dengan binerisasi, degradassi warna citra akustik hanya berada pada selang warna putih hingga hitam. Warna hitam mewakili nilai-nilai digital yang mendekati atau sama dengan 0 sedangkan warna putih mewakili nilai-nilai digital yang mendekati atau sama dengan 1. Deskriptor akustik seperti telah dijelaskan sebelumnya menyatakan karakteristik internal dan external dari citra akustik ikan target atau ikan uji yang dikelompokkan kedalam karakteristik morfometrik, batimetrik dan energetik. Nilai-nilai deskriptor dihitung dengan formulasi seperti terlihat pada Tabel 2. Nilai-nilai deskriptor selanjutnya digunakan sebagai masukan dalam proses identifikasi baik yang dilakukan dengan metode statistika maupun yang dilakukan dengan metode JST. Pada tahap III dilakukan analisis korelasi dan komponen utama. Analisis korelasi dilakukan untuk melihat keterkaitan antara deskriptor dalam masingmasing kelompok deskriptor morfometrik, batimetrik, energetik dan keterkaitan antara seluruh deskriptor. AKU dilakukan untuk melihat secara umum deskriptor yang mencirikan kelompok-kelompok kawanan ikan. Dari hasil penelitian Fauziyah (2005) dan Wudianto (2001) diketahui bahwa berdasarkan ukuran panjangnya terdapat 4 spesies kawanan lemuru di Selat Bali yaitu; kawanan ikan lemuru sempenit dengan ukuran (7,5-10,5cm) dengan selang nilai TS (-50dB)-(-47dB), lemuru protolan (10,5-15,0cm) dengan selang nilai TS (-47dB)-(-44dB), lemuru dengan ukuran (15,0-21,5cm) dengan selang nilai TS (-44dB)-(-41dB), dan campuran, campuran antara sempenit dan protolan, protolan dan lemuru, atau campuran ketiganya. Penamaan spesies kawanan lemuru di atas didasarkan pada penamaan lemuru oleh masyarakat setempat yang dilakukan berdasarkan ukuran ikan (Dwiponggo & Subani, 1971).

72 47 Berdasarkan nilai TS-nya, ukuran ikan dapat dihitung dengan persamaan berikut (Lida et al., 1999 yang diacu Wudianto, 2001); TS = 20 log L 67,7... (12) dengan memasukkan nilai TS dalam satuan db maka panjang ikan L dalam satuan cm dapat ditentukan. 4.3 Hasil Pada sub-bab ini akan dibahas analisis korelasi dan AKU untuk melihat ada tidaknya hubungan yang signifikan antara deskriptor dan untuk melihat peranan deskriptor dalam pengelompokan data kawanan ikan. Gambar 18 Citra akustik kawanan ikan setelah proses binerisasi (b) dan sebelumnya (a). Gambar 18 memperlihatkan dua citra akustik dari kawanan ikan yang sama yang diperoleh dengan menggunakan program pengolah citra ADA Kawanan ikan ini adalah kawanan lemuru yang terdeteksi di Selat Bali pada tahun Pada citra akustik (a) dapat dilihat adanya perbedaan warna yang jelas antara satu piksel dengan piksel lainnya. Perbedaan ini menunjukkan perbedaan intensitas hamburan balik antara piksel dalam satu kawanan. Jika warna yang

73 48 ditampilkan dalam satu kawanan semakin bervariasi maka intensitas hamburan balik dalam kawanan tersebut juga semakin bervariasi. Dalam disertasi ini, piksel dengan warna merah cerah mewakili piksel dengan intensitas hamburan balik yang tinggi sedangkan piksel dengan warna gelap mewakili piksel dengan intensitas hamburan balik yang lemah. Pada Gambar 18 tampak bahwa intensitas hamburan balik tertinggi terkonsentrasi di tengah citra akustik. Dengan demikian dapat diduga bahwa ikan dengan ukuran tubuh yang lebih besar berada di tengah kawanan ikan. Pada citra akustik (b) hasil binerisasi, piksel dengan intensitas hamburan balik yang sesuai dengan kriteria, piksel yang mewakili ikan target ditunjukkan dengan piksel berwarna hitam sedangkan piksel berwarna putih mewakili air laut atau objek lain dengan jejak ekho yang lebih kecil dari ambang batas gema yang diinginkan. Secara visual perbedaan intensitas sinyal hamburan balik antara piksel pada citra ini cukup sulit untuk dilihat. Pada gambar tersebut juga diperlihatkan deskriptor batimetrik seperti deskriptor ketinggian minimum (Tmin) yang menunjukkan jarak terdekat antara piksel terbawah dengan dasar perairan, deskriptor rataan kedalaman (Dr) dan deskriptor morfometrik seperti deskriptor tinggi (H) dan panjang (L) kawanan Analisis korelasi Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui apakah diantara dua variabel terdapat hubungan yang nyata. Keeratan hubungan antara kedua variabel dinyatakan dengan besar kecilnya nilai koefisien korelasi diantara keduanya sedangkan besar-kecilnya variasi nilai sebuah deskriptor dinyatakan dengan besar kecilnya nilai koefisien keragaman (kk) yang dinyatakan dalam satuan %. Pada sub-bab ini akan dibahas hubungan antara deskriptor dari masing-masing kelompok deskriptor dan hubungan antara deskriptor secara keseluruhan. 1) Korelasi antara deskriptor morfometrik Rangkuman nilai rataan dan koefisien keragaman deskriptor yang menggambarkan ukuran dan bentuk kawanan lemuru yang dikelompokkan kedalam selang waktu pengukuran jam (24-06), (06-12), (12-18), 18-24) dapat dilihat pada Tabel 3 sedangkan Tabel 4 memperlihatkan korelasi antara deskriptor morfometrik.

74 49 Tabel 3 Rangkuman nilai rataan dan koefisien keragaman (kk dalam %) deskriptor morfometrik kawanan ikan berdasarkan selang waktu pengukuran DESKRIPTOR Selang Waktu Pengukuran (jam) MORFOMETRIK Panjang, L (m) Rataan 374,92 327,56 932, ,07 kk 1,70 0,99 1,12 0,52 Tinggi, H (m) Rataan 21,01 13,91 16,23 11,23 kk 6,73 3,57 5,22 6,04 Luas, A (m 2 ) Rataan 21375, , , ,00 kk 0,35 0,61 0,81 0,31 Jumlah item, Ji Rataan 3594,00 274,41 580,56 787,22 kk 0,72 1,21 1,96 1,06 Keliling, P (m) Rataan 2348,92 584,85 575,68 763,85 kk 0,89 0,81 1,21 0,77 Elongasi, E Rataan 135,70 71,98 136,85 169,45 kk 3,83 3,39 3,59 1,71 Dimensi fraktal, Df Rataan 1,35 1,37 1,39 1,20 kk 13,00 5,79 11,47 10,85 Tabel 4 Matrix korelasi antar deskriptor morfometrik Desk. L H A Ji P E Df L 1 H -0,051 1 A 0,133 0,228 1 Ji 0,174 0,453** 0,692** 1 P 0,213 0,545** 0,700** 0,856** 1 E 0,344** 0,136 0,235 0,205 0,205 1 Df -0,283* -0,088-0,166-0,241-0,030-0,494** 1 ** Korelasi signifikan pada level 0,01 (2-sisi). * Korelasi signifikan pada level 0,05 (2-sisi). Hasil analisis memperlihatkan kecenderungan dimana dimensi horisontal (L) kawanan ikan lebih besar dari dimensi vertikalnya (H). Rataan panjang kawanan berkisar antara 327,56m hingga 1717,07m, sedangkan rataan tinggi kawanan berkisar antara 11,23m hingga 21,01m. Nilai tertinggi koefisien keragaman deskriptor panjang (kk=1,70) dan tinggi (kk=6,73) didapatkan pada selang pengukuran jam (24-06). Hal ini berarti bahwa variasi tertinggi ukuran

75 50 deskriptor panjang dan tinggi terjadi pada selang pengukuran jam (24-06). Disisi lain, matriks korelasi menunjukkan bahwa deskriptor panjang berkorelasi positif dengan deskriptor elongasi R=0,344 (P<0,05) dan berkorelasi negatif dengan deskriptor dimensi fraktal R=-0,283 (P<0,05) sedangkan deskriptor tinggi berkorelasi positif dengan deskriptor jumlah item R=0,453 (P<0,05) dan deskriptor keliling R=0,545 (P<0,05). Dengan demikian tingginya variasi nilai deskriptor panjang dan tinggi dikonfirmasikan nilai deskriptor elongasi dan dimensi fraktal yang pada selang yang sama juga menunjukkan nilai variasi tertinggi yaitu masing-masing dengan nilai kk=3,83 dan kk=13,00. Sementara itu, walaupun deskriptor jumlah item dan panjang berkorelasi dengan deskriptor tinggi, tetapi hanya deskriptor jumlah item yang menunjukkan nilai variasi yang tertinggi pada selang pengukuran yang sama (kk=0,72) sedangkan deskriptor keliling tidak menunjukkan hal yang sama. Rataan luas kawanan ikan bervariasi antara 1416,16m 2 hingga 21375,33m 2 sedangkan rataan keliling kawanan ikan bervariasi antara 575,68m hingga 2348,92m. Rataan tertinggi dari deskriptor luas dan keliling, sebagaimana rataan panjang dan tinggi, terukur pada selang pengukuran jam (24-06). Walaupun demikian, variasi tertinggi deskriptor luas (kk=0,81) dan deskriptor keliling (kk=1,21) terjadi pada selang pengukuran jam (12-18). Matriks korelasi menunjukkan bahwa deskriptor luas berkorelasi positif dengan deskriptor keliling dengan R=0,700 (P=0,05) dan deskriptor jumlah item dengan R=0,692 (P<0,05) sedangkan deskriptor keliling selain berkorelasi positif dengan deskriptor tinggi dan luas juga berkorelasi positif dengan deskriptor jumlah item dengan R=0,856 (P<0,05). 2) Korelasi antara deskriptor batimetrik Rangkuman nilai rataan dan koefisien keragaman deskriptor yang menggambarkan posisi kawanan lemuru dalam kolom air yang dikelompokkan kedalam selang waktu pengukuran jam (24-06), (06-12), (12-18), 18-24) dapat dilihat pada Tabel 5, sedangkan Tabel 6 memperlihatkan korelasi antara deskriptor batimetrik.

76 51 Tabel 5 Rangkuman nilai rataan dan koefisien keragaman (kk dalam %) deskriptor batimetrik kawanan ikan berdasarkan selang waktu pengukuran DESKRIPTOR Selang Waktu Pengukuran (jam) BATIMETRIK Kedalaman minimum, Rataan 23,67 64,22 37,11 28,89 Dmin (m) Kk 5,85 1,86 4,06 4,37 Rataan kedalaman, Rataan 35,67 72,67 47,72 35,56 Dr (m) Kk 4,37 1,66 3,08 3,40 Ketinggian minimum, Rataan 49,33 19,73 27,20 27,56 Tmin (m) Kk 4,76 3,43 6,29 4,04 Ketinggian relatif, Rataan 60,72 30,02 42,92 49,26 Trel (%) Kk 2,54 2,29 3,40 2,88 Tabel 6 Matrix korelasi antar deskriptor batimetrik Desk. Dmin Dr Tmin Trel Dmin 1 Dr 0,995** 1 Tmin -0,080-0,030 1 Trel -0,611** -0,578** 0,687** 1 ** Korelasi signifikan pada level 0,01 (2-sisi). * Korelasi signifikan pada level 0,05 (2-sisi). Hasil analisis memperlihatkan kecenderungan dimana kawanan ikan akan berada dekat permukaan pada selang waktu antara jam (24-06). Pada selang waktu itu, nilai kedalaman minimum adalah sebesar 23,67m dengan nilai koefisien keragaman 5,85, sedangkan posisi terdalam kawanan ikan terukur pada kedalaman 64,22m dengan nilai koefisien keragaman 1,86 dimana posisi tersebut terukur pada selang waktu pengukuran jam (06-12). Disisi lain, jarak kawanan ikan terdekat dengan dasar perairan terjadi pada selang pengukuran jam (06-12). Pada selang itu nilai ketinggian minimum sebesar 19,73m dengan nilai koefisien keragaman 3,43 sedangkan jarak terjauhnya dengan dasar perairan terjadi pada selang pengukuran jam (24-06) dengan nilai ketinggian minimum sebesar 49,33m dengan nilai koefisien keragaman 4,76. Matriks korelasi memperlihatkan deskriptor kedalaman minimum berkorelasi positif dengan deskriptor rataan kedalaman dengan nilai R=0,995 (P<0,05) dan berkorelasi negatif dengan deskriptor kedalaman relatif dengan

77 52 R=-0,611 (P<0,05). Kedua nilai korelasi ini mengkonfirmasikan bahwa metode hitungan nilai deskriptor batimetrik dengan program ADA2004 sudah sesuai dengan logika hitungan dimana nilai kedalaman minimum akan semakin besar jika nilai ketinggian relatif semakin kecil, demikian juga sebaliknya. 3) Korelasi antara deskriptor energetik Rangkuman nilai rataan dan koefisien keragaman deskriptor yang menggambarkan intensitas energi kawanan ikan yang dikelompokkan kedalam selang waktu pengukuran jam (24-06), (06-12), (12-18), 18-24) dapat dilihat pada Tabel 7 sedangkan Tabel 8 memperlihatkan korelasi antara deskriptor energetik. Tabel 7 Rangkuman nilai rataan dan koefisien keragaman (kk dalam %) deskriptor energetik kawanan ikan berdasarkan selang waktu pengukuran DESKRIPTOR Selang Waktu Pengukuran (jam) ENERGETIK Rataan Energi, Er Rataan -56,03-56,23-53,83-56,50 (db) kk 0,73 0,87 1,18 0,49 Standar Deviasi Rataan 2,20 3,36 2,62 2,23 Energi, Esd (db) kk 13,59 7,82 8,07 10,57 Skewness, S Rataan -0,43-0,58-0,68-0,01 kk -65,72-19,66-28,30-28,36 Kurtosis, K Rataan -0,73-0,96-0,89-0,88 kk -33,98-10,49-24,45-24,13 Rataan Target Rataan -45,51-44,26-45,06-45,42 Strength, TSr (db) kk -0,84-0,52-0,85-0,72 Densitas, Dv (g m -3 ) Rataan 0, , , ,01800 kk Tabel 8 Matrix korelasi antar deskriptor energetik Desk. Er Esd S K TSr Dv Er 1 Esd 0,305* 1 S -0,163-0,506** 1 K -0,160-0,157 0,104 1 TSr -0,014 0,583** -0,433** -0,007 1 Dv 0,564** 0,234-0,139-0,034 0,032 1 ** Korelasi signifikan pada level 0,01 (2-sisi). * Korelasi signifikan pada level 0,05 (2-sisi).

78 53 Hasil analisis memperlihatkan nilai tertinggi rataan energi terukur pada selang pengukuran jam (12-18) dengan rataan energi -53,83dB dengan koefisien keragaman 1,18 sedangkan yang terendah terukur pada selang pengukuran jam (18-24) dengan nilai rataan energi -56,50dB dan koefisien keragaman 0,49. Dilihat dari matriks korelasinya, deskriptor ini berkorelasi positif dengan deskriptor densitas ikan, dengan R=0,564 (P<0,05). Sementara itu, nilai tertinggi rataan target strength (-44,26dB) terukur pada selang pengukuran jam (06-12) dengan koefisien keragaman 0,52 dan yang terendah (-45,51dB) terukur pada selang pengukuran jam (24-06) dengan koefisien keragaman 0,84. Matriks korelasi menunjukkan bahwa deskriptor ini berkorelasi positif dengan deskriptor standar deviasi energi R=0,583 (P<0,05) dan berkorelasi negatif dengan deskriptor skewness R=-0,433 (P<0,05). 4) Korelasi antara seluruh deskriptor Tabel 9 memperlihatkan hampir seluruh deskriptor morfometrik secara signifikan berkorelasi positif dengan deskriptor batimetrik Tmin dan Trel, kecuali deskriptor Df yang berkorelasi negatif dengan kedua deskriptor tersebut. Disisi lain deskriptor morfometrik H walaupun tidak berkorelasi dengan deskriptor Trel tetapi secara signifikan berkorelasi positif dengan deskriptor energetik Dv sedangkan deskriptor morfometrik L kawanan ikan secara signifikan berkorelasi negatif dengan deskriptor energetik TSr. Untuk deskriptor Df yang berkorelasi secara negatif dengan Tmin dan Trel maka hal yang sebaliknya yang terjadi yaitu semakin besar jarak minimum dan relatif kawanan ikan terhadap dasar perairan maka semakin kecil nilai Df, dengan kata lain bentuk kawanan ikan akan semakin beraturan. Sementara itu, korelasi antara deskriptor morfometrik dengan deskriptor energetik menunjukkan bahwa densitas kawanan ikan akan membesar jika H bertambah besar dan sebaliknya jika H mengecil, sementara hal yang sebaliknya terjadi pada deskriptor TSr dimana nilai deskriptor tersebut akan bertambah besar jika L bertambah kecil.

79 54 Tabel 9 Matriks korelasi antara deskriptor morfometrik, batimetrik, dan energetik Desk. L H A Ji P E Df Dr Dmin Tmin Trel Er Esd S K TSr Dv L 1 H -0,051 1 A 0,133 0,228 1 Ji 0,174,453**,692** 1 P 0,213,545**,700**,856** 1 E,344** 0,136 0,235 0,205 0,205 1 Df -,283* -,088-0,166-0,241-0,03 -,494** 1 Dr -0,118 0,067-0,14-0,122-0,034-0,056 0,023 1 Dmin -0,124 0,167-0,118-0,08 0,019-0,032 0,014,995** 1 Tmin,309*,446**,619**,619**,674**,468** -,347** -0,08-0,03 1 Trel,318*,249,414**,425**,350**,291* -,351** -,611** -,578**,687** 1 Er -0,1 0,022-0,043-0,043-0,068-0,205 0,07 -,549** -,540** -,138,291* 1 Esd -0,258 0,109-0,148-0,177-0,205-0,163-0,197 0,053 0,062-0,204-0,189,305* 1 S,505** 0,082 0,235,291*,371** 0,154-0,132 0,105 0,108,369** 0,23-0,163 -,506** 1 K 0,08 0,079 0,15,264* 0,147 0,14-0,158 0,159 0,167 0,186 0,058-0,16-0,157 0,104 1 TSr -,314* 0,066-0,153-0,176-0,176-0,121 0,008 0,111 0,116-0,197 -,279* -0,014,583** -,433** -0,007 1 Dv -0,195,365** -0,031 0,027 0,022-0,169 0,024-0,243-0,205-0,02 0,253,564** 0,234-0,139-0,034 0,032 1 ** Korelasi signifikan pada level 0,01 (2-sisi). * Korelasi signifikan pada level 0,05 (2-sisi).

80 Analisis komponen utama Sebagaimana dijelaskan sebelumnya kawanan ikan yang berjumlah 56 buah akan dikelompokkan berdasarkan nilai deskriptornya. Metode AKU digunakan untuk melihat deskriptor-deskriptor yang mencirikan kelompok-kelompok kawanan ikan. Dengan AKU dapat diketahui deskriptor-deskriptor yang dapat secara umum menjelaskan karakteristik sekelompok kawanan ikan. Pada Gambar 19 dapat dilihat deskriptor-deskriptor yang membedakan kelompok data kawanan ikan. Deskriptor yang berada pada sisi positif (sisi kanan) dan dekat dengan sumbu 1 (sumbu mendatar) yaitu deskriptor kurtosis (K), skewness (S), elongasi (E), panjang (L), tinggi (H), jumlah item (Ji), keliling (P), ketinggian minimum (Tmin), ketinggian relatif (Trel), sedangkan yang berada disisi negatifnya yaitu deskriptor rataan target strength (TSr), dimensi fraktal (Df), dan standar deviasi energi (Esd). Disisi lain, deskriptor yang berada pada sisi positif (sisi atas) dan dekat dengan sumbu 2 (sumbu vertikal) yaitu deskriptor rataan kedalaman (Dr), kedalaman minimum (Dmin), sedangkan yang berada disisi negatifnya yaitu deskriptor rataan energi (Er) dan densitas (Dv). Gambar 19 juga memperlihatkan karakteristik setiap kawanan ikan berdasarkan nilai deskriptornya. Dari hasil AKU didapatkan bahwa ke-17 deskriptor dari 56 kawanan ikan menunjukkan sebagian besar (77,81%) ragam terjelaskan pada dua sumbu utama yaitu; sumbu Fungsi 1 (57,38%) dan sumbu Fungsi 2 (20,43%) dengan nilai akar ciri sumbu utama masing-masing 786,18 dan 279,85. Menurut Supranto (2004), dengan kemampuan menjelaskan ragam lebih dari 70% maka persyaratan untuk mereduksi data asli menjadi komponen utama sudah terpenuhi. Dari hasil AKU dapat ditentukan deskriptor yang mencirikan observasi dengan melihat panjang garis yang menghubungkan deskriptor dengan titik nol sistem salib sumbu, besarnya sudut proyeksi titik tersebut ke salah satu sumbu (sumbu 1 = sumbu tegak, sumbu 2 = sumbu mendatar), dan jumlah titik observasi yang berada di sekitar titik deskriptor. Semakin panjang jarak antara deskriptor dengan titik tengahnya, semakin kecil sudut proyeksi deskriptor, dan semakin banyak titik observasi disekitar deskriptor maka semakin besar peluang deskriptor tersebut berperan dalam membedakan kawanan ikan.

81 Dr Dmin B7 B B20 S K B21 B17 B27 B18B10 B12 E B3 D6 P Tmin B16 B15 B14 B8 C4 L A2 B25 B9C6B11 D3 Ji TSr B4 D7 D4 C9 A C8 D1 D2 B22 B A1 C5 H Df C2 B24 B19 B A B23C7 A4 D9 D5 A3 B5 C3 D8 B31 B26 A6 B29 Esd B2 B B30 B Er Dv C1 Trel Gambar 19 Hasil plot AKU deskriptor hidroakustik.

82 57 Bagaimana deskriptor-deskriptor ini membedakan antara satu kawanan dengan kawanan lainnya dapat dilihat pada hasil hitungan metode analisis deskriminan stepwise pada Bab 5. Nilai rataan (log) L H A Ji P E Tmin Trel Er Dv Malam Siang Deskriptor Gambar 20 Karakteristik deskriptor hasil AKU pada malam dan siang hari. Gambar 20 memperlihatkan karakteristik dari kesepuluh deskriptor hasil AKU yang secara dominan mencirikan kawanan lemuru dan non-lemuru pada waktu siang dan malam hari. Pada Gambar 20 diperlihatkan bahwa pada malam hari deskriptor-deskriptor morfometrik dan batimetrik hasil AKU tampak terukur lebih besar dibandingkan deskriptor yang sama yang terukur pada siang hari. Sebaliknya pada siang hari, deskriptor energetik tampak terukur lebih besar dibandingkan dengan deskriptor yang sama yang terukur pada malam hari. Hal ini menunjukkan bahwa pada malam hari dimensi horisontal dan vertikal kawanan ikan cenderung lebih panjang, tinggi, dan luas dibandingkan dengan siang hari, tetapi dengan intensitas hamburan balik Er dan densitas yang lebih kecil Dv. 4.4 Pembahasan Dari nilai rataan deskriptor, koefisien keragaman deskriptor, dan hasil analisis korelasi deskriptor morfometrik seperti terlihat pada Tabel 3 dan Tabel 4 maka dapat diduga bahwa tingginya nilai deskriptor H, A dan P akan disertai dengan banyaknya jumlah individu ikan (Ji) yang terukur. Dugaan ini didasarkan pada korelasi positif signifikan yang terjadi pada keempat deskriptor tersebut. Hal ini berarti bahwa semakin besar ukuran luas, tinggi dan keliling kawanan ikan maka semakin besar peluang banyaknya jumlah ikan dalam kawanan tersebut. Korelasi seperti ini terjadi

83 58 pada malam hari pada selang pengukuran jam (24-06). Sementara itu, korelasi yang sama juga terjadi antara deskriptor panjang (L) dengan elongasi (E) sedangkan yang negatif signifikan terjadi dengan dimensi fraktal (Df). Dengan demikian semakin panjang ukuran kawanan ikan (L besar) maka geometri kawanan akan semakin besar (E besar) dan beraturan (Df kecil). Korelasi seperti ini terjadi pada malam hari tetapi pada selang pengukuran jam (18-24). Dengan demikian, pada malam hari jika panjang kawanan ikan bertambah besar maka tinggi kawanan dapat saja bertambah kecil dilihat dari koefisien korelasi antar L dan H yang bernilai negatif. Pada saat itu, bentuk kawanan ikan bertambah pipih dengan jumlah individu ikan yang lebih sedikit. Nilai rataan deskriptor, koefisien keragaman deskriptor, dan hasil analisis korelasi deskriptor energetik dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa nilai maksimum Er terukur pada selang waktu pengukuran jam (12-18), sedangkan nilai minimumnya terukur pada selang pengukuran jam (18-24). Dilihat dari korelasinya yang positif dan signifikan dengan Dv maka dapat diduga bahwa semakin besar nilai Er semakin besar Dv terukur dan semakin kecil nilai Er semakin kecil Dv. Hal ini dibuktikan dengan didapatkannya nilai tertinggi Dv pada selang pengukuran jam (12-18) dengan densitas 0,12685gr/m 3, sedangkan nilai terendahnya terukur pada selang pengukuran jam (18-24) dengan densitas 0,01800gr/m 3. Dari korelasi Er dengan Esd dan korelasi Esd dengan TSr yang positif dan signifikan, dapat diduga bahwa ukuran individu ikan yang terukur pada saat Er maksimum akan lebih besar dibandingkan dengan ukuran ikan pada saat Er minimum. Dengan demikian, semakin besar nilai Er maka Dv dan ukuran individu ikan cenderung semakin besar. Dari Tabel 9 dan seluruh penjelasan sebelumnya dapat dilihat bahwa deskriptor batimetrik Tmin berkorelasi positif signifikan dengan hampir seluruh deskriptor morfometrik tetapi berkorelasi negatif siginifikan dengan deskriptor Df. Hal ini berarti bahwa semakin dekat kepermukaan (Tmin besar) semakin besar dimensi horisontal dan vertikal kawanan, sehingga geometri kawanan ikan cenderung bertambah besar (E besar) dan beraturan (Df kecil) dan sebalikanya semakin dekat ke dasar perairan maka dimensi horisontal dan vertikal semakin kecil, geometri kawanan cenderung semakin kecil (E kecil) dan tidak beraturan (Df besar).

84 59 Berdasarkan tabel yang sama dapat dilihat bahwa Trel berkorelasi positif signifikan dengan Er tetapi berkorelasi negatif dengan TSr, sementara itu Er berkorelasi positif dan signifikan dengan Dv. Karenanya, semakin besar nilai Trel semakin besar nilai Er dan D tetapi nilai TSr semakin kecil. Hal ini berarti bahwa intensitas hamburan balik kawanan ikan yang dekat ke permukaan (Trel besar) menjadi lebih besar sehingga densitas dan ukuran individu ikan juga membesar, kondisi ini cenderung terjadi pada malam hari. Perbedaan posisi deskriptor seperti tampak pada Gambar 19 mengindikasikan bahwa pertambahan nilai deskriptor dari kawanan ikan yang berada disisi positif dari sumbu 1 akan diikuti dengan pengurangan nilai-nilai deskriptor disisi lainnya, demikian juga halnya dengan deskriptor-deskriptor yang berada disisi positif dan negatif sumbu 2. Sementara itu, semakin kecil jarak antara kawanan ikan dengan deskriptor maka semakin kuat pengaruh deskriptor tersebut terhadap kawanan tersebut. Sebagai contoh, pertambahan nilai deskriptor L, H, Ji, A yang berada disisi positif akan diikuti pengurangan nilai deskriptor TSr dan Df yang berada disisi negatif sumbu 1. Kondisi yang berlawanan ini dapat dilihat pada kawanan ikan dengan nomor index A1, A2, B2, dan B5. Pada keempat kawanan tersebut didapatkan nilai-nilai deskriptor yang saling berlawanan sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Hal yang sama juga dapat dilihat pada deskriptor Dr dan Dmin dari kawanan ikan dengan no index B6, B7, dan C1 yang berlawanan dengan nilai deskriptor Er dan Dv. Sementara itu, dilihat dari kedekatan posisinya dengan deskriptor maka karakteristik kawanan ikan A2 akan sangat dipengaruhi oleh deskriptor Tmin, Ji, P dan A. Secara grafis kekuatan pengaruh deskriptor terhadap pengelompokan kawanan ikan dapat dilihat dari panjang garis yang terbentuk dan kedekatannya ke masing-masing sumbu. Semakin panjang garis yang terbentuk dan semakin dekat posisi deskriptor ke sumbunya maka semakin kuat pengaruh deskriptor tersebut dalam pengelompokan kawanan ikan. Dengan demikian dari Gambar 19 dapat diduga bahwa deskriptor yang berpengaruh secara signifikan dalam pengelompokkan kawanan ikan pada sumbu 1 adalah deskriptor E, L, P, Tmin, Ji, H, A, Trel dan pada sumbu 2 adalah deskriptor Er dan Dv.

85 Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa; (1) Deskriptor akustik morfometrik, batimetrik, dan energetik saling berkorelasi baik secara positif maupun negatif. Pada saat berkorelasi positif maka penambahan nilai deskriptor yang satu akan diikuti oleh penambahan nilai deskriptor lainnya, demikian juga sebaliknya. Pada saat berkorelasi negatif penambahan nilai deskriptor yang satu akan diikuti pengurangan nilai deskriptor lainnya, demikian juga sebaliknya. (2) Pada malam hari kawanan ikan cenderung berada lebih dekat ke permukaan, sedangkan pada siang hari cenderung berada lebih dekat ke dasar perairan. (3) Kawanan ikan yang berada lebih dekat ke permukaan cenderung memiliki dimensi horisontal dan vertikal yang lebih besar dibandingkan dengan kawanan ikan dekat dasar perairan. Pada saat dekat ke permukaan, geometri kawanan ikan menjadi lebih pipih dan beraturan. Pada saat yang sama densitas dan ukuran individu ikan lebih besar dibandingkan densitas dan ukuran ikan dekat dasar perairan. (4) Dari hasil AKU didapatkan 10 deskriptor yang secara umum mencirikan kawanan ikan lemuru dan non-lemuru yaitu deskriptor morfometrik (panjang, L; tinggi, H; luas, A; jumlah item, Ji; keliling, P; elongasi, E), batimetrik (ketinggian minimum, Tmin; ketinggian relatif, Trel), dan deskriptor energetik (rataan intensitas hamburan balik, Er; densitas volume, Dv).

86 5 IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KAWANAN IKAN PELAGIS DENGAN METODE STATISTIK 5.1 Pendahuluan Dalam bidang perikaan, metode statistik adalah metode analisis yang paling sering digunakan dalam melakukan identifikasi dan klasifikasi spesies kawanan ikan. Identifikasi dan klasifikasi spesies kawanan ikan umumnya dilakukan dengan Metode Statistik Analisis Komponen Utama (AKU), Metode Analisis Gerombol (AG) dan Metode Analisis Fungsi Diskriminan (AFD). Tujuan utama penggunaan AKU adalah untuk mengurangi jumlah variabel yang akan digunakan pada proses selanjutnya, sedangkan analisis gerombol digunakan untuk mengelompokkan obyek-obyek pengukuran berdasarkan kesamaan atau ketidaksamaan karakteristik diantara objekobjek yang diukur (Lebart et al., 1995). Adapun analisis diskriminan selain digunakan untuk mengetahui apakah hasil pengelompokan yang diperoleh dari analisis gerombol memiliki perbedaan yang nyata juga digunakan untuk mengetahui variabel apa saja yang terdapat pada fungsi diskriminan yang berperan sebagai pembeda yang nyata dalam pengelompokan tersebut (Cacoullos & Styan, 1973 yang diacu Lawson et al., 2001). Hasil akhir yang diharapkan dari penggunaan metode analisis statistik untuk identifikasi dan klasifikasi kawanan ikan adalah didapatkannya kelompok kawanan ikan yang sejenis dan fungsi diskriminan deskriptor yang berperan dalam membedakan kelompok-kelompok kawanan ikan tersebut. Beberapa penelitian tentang identifikasi dan klasifikasi kawanan ikan dengan metode statistik dengan menggunakan deskriptor sebagai variabel pembedanya antara lain dilakukan oleh Lu & Lee (1995) yang menggunakan Metode Analisis Komponen Utama dan Analisis Gerombol untuk melihat hubungan antara deskriptor kawanan serta menggunakan Analisis Diskriminan Bertahap (Stepwise DFA) untuk

87 62 menentukan deskriptor terbaik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kawanan ikan. Weill et al.(1993), menggunakan Analisis Komponen Utama dan Analisis Diskriminan Bertahap untuk menentukan deskriptor terbaik dan mengelompokkan data kawanan ikan, LeFeuvre et al. (2000), menggunakan deskriptor, Metode Analisis Gerombol dan Analisis Diskriminan untuk identifikasi dan klasifikasi kawanan ikan. Selain ketiga nama tersebut, masih banyak lagi penelitian-penelitian tentang identifikasi dan klasifikasi yang dilakukan dengan metode statistika dengan menggunakan deskriptor sebagai variabel pembeda. 5.2 Metode Penelitian Data akustik yang akan diidentifikasi dan klasifikasi adalah data akustik kawanan lemuru yang diperoleh dari hasil survei akustik yang dilakukan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Survei akustik dilakukan di Selat Bali pada bulan September 1998 (musim peralihan II, September-November), bulan Mei 1999 (musim peralihan I, Maret-Mei), dan bulan Agustus 2000 (musim timur, Juni-Agustus) dengan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya IV. Pengambilan data akustik dilakukan dengan SIMRAD Scientific Echosounder EK-500 tipe bim terbagi (split beam) dengan tipe transduser ES120-7F dengan frekwensi 120kHz, maksimum daya pancar 1500watt. Transduser dipasang secara tetap (hull mounted) di bawah Kapal Riset Baruna Jaya IV. Dari sekian banyak citra kawanan ikan yang dihasilkan, hanya 56 kawanan ikan yang memenuhi kriteria dan dapat dianalisis lebih lanjut. Identifikasi dan klasifikasi dilakukan terhadap 56 kawanan ikan yang selanjutnya disebut data A dan dilakukan berdasarkan nilai deskriptornya. Deskriptor yang digunakan terdiri dari deskriptor morfometrik, deskriptor batimetrik dan deskriptor energetik. Data A berdimensi 56x15 (56 kawanan ikan dengan 15 deskriptor) dimana deskriptor-deskriptor tersebut dihitung dengan menggunakan formula hitungan sebagai berikut;

88 63 Tabel 10 Deskriptor hidroakustik untuk analisis statistik (Fauziyah, 2005) No Deskriptor Formula Hitungan A Morfometrik 1 Tinggi (H), m H terlihat = (Vertikal akhir Vertika awal ) 4) cγ 2) 2 H nyata = Tinggi terlihat ( ) 2 Panjang (L), m L terlihat = ping. k 2) θ 4 L nyata = Lterlihat 2Dr tan 2 π 3 Keliling (P), m Σ sel terluar dari kawanan ikan (menggunakan 4 neighbourhood) 4) 4 Luas (A), m 2 Σ sel * tinggi 1 sel * panjang 1 sel 4) 5 Elongasi (E) L/H 3) 6 Dimensi Fraktal (Df) P Ln *2 4 3) Ln( A) B Batimetrik 7 Rataan kedalaman kawanan (D r ), m 8 Ketinggian Relative (Trel), % 9 Ketinggian Minimum (Tmin), m 10 Kedalaman Minimum (Dmin), m ( ) D i / n 1) Min.Al + H / 2 3) *100 D Jarak antara dasar perairan dan batas kawanan yang paling rendah 3) Jarak antara permukaan laut dan batas kawanan yang paling atas 3)

89 64 Tabel 10 (lanjutan) No Deskriptor Formula Hitungan C Energetik 11 Rataan energi akustik Sv (Er), db Ei 1) 10 log10 atau E 10 i = 10 n 12 Standar deviasi 2 ( E ) energi akustik (E SD ), i E r 1) 2) E SD = db i n 1 13 Skewnes (S) 3 n ( Ei E r ) K3 1) 2) i dimana K 3 3 = jika n=3; (ESD ) [( n 1)( n 2) ] 0 jika n<3 14 Kurtosis (K) 4 2 n( n + 1) Ei Er 3( n 1) ( n 1)( n 2)( n 3) E SD ( n 2)( n 3) 1) 2) 15 Densitas Volume (Dv), g.m -3 S A 1 * ) 0,1TS.kg 2 (4π ΔR) Keterangan : dirujuk dari 1) Lawson et al. (2001), 2) Coetzee (2000), 3) Bahri & Freon (2000), 4) Fauziyah (2005), 5) variabel pendukung Analisis gerombol dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengelompokkan data A berdasarkan data kelompok kawanan ikan yang ada pada data tambahan yang sudah diidentifikasi sebelumnya. Identifikasi dilakukan berdasarkan kesamaan karakteristik data deskriptor yang ada pada data A dan data tambahan. Dalam analisis ini data tambahan selanjutnya disebut data B yang berfungsi sebagai data pembimbing. Data B terdiri dari 58 kawanan ikan yang telah diidentifikasi dan diklasifikasi oleh Fauziyah (2005). Kawanan ikan dalam data B dikelompokkan kedalam 5 kelompok kawanan ikan yaitu; kelompok kawanan non-lemuru (kelompok 1), kelompok kawanan sempenit (kelompok 2), kelompok kawanan lemuru (kelompok 3), kelompok kawanan campuran (kelompok 4), dan kelompok kawanan protolan (kelompok 5). Penggunaan data B dilakukan mengingat data akustik yang digunakan dalam kedua penelitian ini adalah data hasil survei yang sama. Dari 58 i

90 65 kawanan ikan dengan 15 deskriptor yang ada pada kelompok data B, hanya 35 kawanan dan 11 deskriptor yang dapat digunakan dalam analisis gerombol. Hal ini dilakukan karena beberapa deskriptor dari kelompok data B tidak memiliki data deskriptor yang lengkap sehingga deskriptor tersebut harus dikeluarkan dalam analisis gerombol. Dengan demikian data masukan untuk analisis gerombol berdimensi 91x11 (91 kawanan ikan dari data A dan B dengan 11 deskriptor). Deskriptor yang digunakan dalam analisis gerombol dapat dilihat pada Tabel 11. Dalam melakukan analisis gerombol, metode analisis yang digunakan adalah Metode K-Means Cluster. Dengan metode ini diukur jarak antara dua objek dengan Metode Euclidean Distance. Hasil analisis gerombol yang berupa data kelompok kawanan ikan data A selanjutnya digunakan sebagai data kelompok kawanan atau grup dalam melakukan analisis diskriminan. Diagram alir metode identifikasi dan klasifikasi yang ditetapkan adalah sebagai berikut (Gambar 21): Gambar 21 Diagram alir identifikasi dan klasifikasi dengan Metode Statistik.

91 66 Dalam analisis diskriminan data masukan yang digunakan hanyalah data A yang sudah dikelompokkan. Dalam analisis ini deskriptor yang digunakan berjumlah 15 buah sehingga matriks masukan untuk analisis ini berdimensi 56x15 (56 kawanan ikan dengan 15 deskriptor). Pengurangan jumlah deskriptor dilakukan karena deskriptor JI dan TSr tidak berperan secara nyata dalam analisis statistik (Fauziyah, 2005). Data dengan jumlah deskriptor yang sama selanjutnya digunakan sebagai masukan dalam analisis dengan Metode Jaringan Saraf Tiruan Perambatan Balik (dibahas pada Bab 6). Tahapan analisis diskriminan diawali dengan memisahkan variabel-variabel menjadi variabel bebas (independent) dan variabel tidak bebas (dependent). Dengan metode Step-Wise Estimation ditentukan variabel yang berperan dalam pengelompokan data dan menjadi variabel fungsi-fungsi diskriminan, fungsi diskriminan yang terbentuk selanjutnya diuji signifikansinya. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis diskriminan adalah; (1) variabel independen terdistribusi normal, (2) matriks kovarian dari semua variabel serupa, (3) jika terjadi korelasi yang kuat antara beberapa variabel independen maka hanya variabel-variabel yang paling berperan yang digunakan pada proses selanjutnya, (4) tidak terdapat data ekstrim (outlier) pada variabel independen. Karena terdapat perbedaan nilai yang besar diantara variabel deskriptor yang digunakan baik dalam analisis gerombol maupun dalam analisis diskriminan maka nilai-nilai deskriptor terlebih dahulu dinormalisir kedalam nilai z (z-score) sehingga didapatkan variabel-variabel dengan perbedaan nilai yang tidak besar. Variabel yang sudah dinormalisir diberi awalan z.

92 Hasil Analisis gerombol Pada Tabel 11 ditunjukkan hasil pengelompokan data A dan B kedalam 5 kelompok. Tabel tersebut juga menunjukkan kekuatan pengaruh masing-masing deskriptor dalam pengelompokan ini. Kekuatan pengaruh tersebut dapat dilihat dari nilai F. Jika nilai F semakin besar dan nilai Signifikansinya semakin kecil (<0,05) maka kekuatan pengaruh deskriptor semakin besar. Hasil uji signifikansi-f pada Tabel 11 menunjukkan bahwa deskriptor K adalah deskriptor yang tidak berpengaruh nyata dalam pengelompokan data A kedalam 5 kelompok, karenanya hanya ada 10 deskriptor yang secara nyata berperan besar dalam pengelompokan ini. Dari kesepuluh deskriptor yang dimaksud, 5 diantaranya adalah deskriptor dari kelompok morfometrik (L, H, A, P, E), 3 dari kelompok energetik (Er, Esd, S), dan 2 dari kelompok batimetrik (Dr dan Trel). Tabel 11 Kelompok kawanan ikan hasil analisis gerombol No. Desk. Kelompok F Sig zl -0,1165-0,5900-0,2810-0,5755 0, ,33 0, zh 2,5548 1,9206-0,3620-0,1198 0,2618 7,84 0, za 3,9268-0,3616-0,2468-0,3510 0, ,33 0, zp 4,8559-0,0183-0,3575-0,4451 0, ,11 0, ze 0,7741 7,1393-0,2113-0,4847 0, ,22 0, zdr -0,8607 0,2974 0,8700-0,7397-0, ,06 0, ztrel 1,9237 0,3486-0,8458 0,3980 0, ,51 0, zer -0,0929-1,0927-1,0004 1,0929 0, ,18 0, zesd -1,0179-0,3152 0,1591 0,1807-0,6296 4,02 0, zs 1,5198-0,7053-0,2437-0,3050 0, ,22 0, zk 0,9388 0,0371 0,0025-0,2000-0,2979 1,25 0,29460 Disisi lain, nilai z-score yang tampak pada Tabel 11 menunjukkan kuatlemahnya pengaruh deskriptor terhadap pembentukan kelompok 1 hingga 5. Santoso (2006) mengemukakan, jika nilai z-score deskriptor semakin besar dan

93 68 bernilai positif maka deskriptor tersebut berpengaruh semakin kuat terhadap kelompoknya dan sebaliknya jika z-score bernilai negatif. Berdasarkan nilai z-score tersebut nilai rataan deskriptor pada masing-masing kelompok dapat dihitung dengan persamaan X = μ + zσ dimana X nilai rataan deskriptor, μ nilai rataan populasi, z zscore, dan σ standar deviasi populasi. Berdasarkan kesepuluh deskriptor yang telah disebutkan di atas dapat dikatakan bahwa kekuatan pembentuk kelompok 1, kawanan non-lemuru, ditentukan oleh deskriptor P, A, H, Trel, S dan E. Pembentukan kelompok 2, kawanan sempenit, ditentukan oleh deskriptor E, H, Trel, Dr. Pembentukan kelompok 3, kawanan lemuru, ditentukan oleh deskriptor Dr dan Esd sedangkan pembentukan kelompok 4, kawanan campuran, ditentukan oleh deskriptor Er, Trel, Esd dan pembentukan kelompok 5, kawanan protolan, ditentukan oleh deskriptor L, S, P, Er, Trel, A, dan H. Hal di atas menjelaskan bahwa, kawanan non-lemuru, kelompok 1, dapat dicirikan dengan bentuk citra akustik yang luas dengan keliling kawanan yang terpanjang dibandingkan dengan kawanan ikan lainnya dan dengan posisi relatif kawanan terhadap dasar perairan adalah yang terbesar. Kawanan sempenit, kelompok 2, adalah kawanan ikan yang dapat dicirikan dengan bentuk kawanan yang sangat pipih yang diindikasikan dengan besarnya perbandingan antara panjang kawanan dan tingginya. Kawanan lemuru, kelompok 3, adalah kawanan ikan yang cukup sulit untuk diidentifikasi berdasarkan nilai deskriptornya mengingat kedua deskriptor dalam kelompok kawanan ini tidak berpengaruh kuat terhadap pembentukan kelompoknya. Diduga ada deskriptor lain yang lebih mencirikan kelompok 3 tetapi tidak terukur dalam penelitian ini. Disisi lain, kawanan campuran, kelompok 4, walaupun tidak memiliki ciri morfometrik dan batimetrik yang kuat tetapi kawanan ini menunjukkan ciri yang kuat dalam hal intensitas pancaran hamburan baliknya yang bernilai paling tinggi dibandingkan kawanan lainnya, sedangkan kawanan protolan, kelompok 5, adalah kawanan ikan yang dicirikan oleh ketiga kelompok

94 69 deskriptor tetapi ciri yang paling menonjol adalah ukuran panjang kawanan ini yang melebihi ukuran panjang kawanan lainnya. Gambar 22 Contoh beberapa citra akustik kawanan ikan di Selat Bali.

95 70 Gambar 22 memperlihatkan kawanan lemuru, sempenit, protolan, campuran, dan non-lemuru yang terdeteksi di Perairan Selat Bali. Dari gambar tersebut tampak bahwa geometri kawanan protolan, lemuru, dan sempenit lebih beraturan dibandingkan dengan geometri kawanan non-lemuru dan campuran. Panjang kawanan ikan tersebut dapat berukuran antara puluhan hingga ratusan meter.

96 71 Tabel 12 Hasil pengelompokan 56 kawanan ikan (data A) dengan Metode Analisis Gerombol Terbimbing No. Index Kel. Jarak JK No. Index Kel. Jarak JK 1 A1 1 35,590 N 29 B ,661 L 2 A2 1 35,590 N 30 B ,227 S 3 A3 1 33,931 N 31 B ,676 P 4 A4 4 23,436 C 32 B ,197 L 5 A5 2 19,193 S 33 B L 6 A6 5 22,261 P 34 B ,146 S 7 B1 2 18,460 S 35 B ,668 S 8 B2 2 45,003 S 36 B ,230 S 9 B3 4 15,728 C 37 B ,050 S 10 B4 4 18,956 C 38 B ,069 S 11 B5 2 46,787 S 39 C1 2 22,896 S 12 B6 4 48,500 C 40 C2 5 20,310 P 13 B7 3 37,227 L 41 C3 5 18,953 P 14 B8 4 22,505 C 42 C4 1 0,9776 N 15 B9 4 18,501 C 43 C5 2 30,539 S 16 B ,735 L 44 C6 3 22,715 L 17 B ,178 C 45 C7 2 18,331 S 18 B ,431 L 46 C8 2 19,950 S 19 B ,074 S 47 C9 5 40,290 P 20 B ,472 N 48 D1 5 14,491 P 21 B ,739 P 49 D2 5 16,002 P 22 B ,961 P 50 D3 5 23,216 P 23 B ,461 P 51 D4 5 25,471 P 24 B ,935 L 52 D5 1 33,636 N 25 B ,183 S 53 D6 3 25,896 L 26 B ,852 L 54 D7 5 14,327 P 27 B ,411 L 55 D8 5 24,047 P 28 B ,602 L 56 D9 5 12,815 P Keterangan: N=non-lemuru, C=campuran, S=sempenit, P=protolan, l=lemuru, JK=Spesies Kawanan, Jarak=Jarak Euclidean, Index=Nomor kawanan berdasarkan waktu pengukuran Ke-56 kawanan ikan tersebut terukur di 4 waktu pengukuran yaitu pengukuran jam (A1-A6), jam (B1-B32), jam (C1-C9) dan jam (D1-D9).

97 72 Pada waktu pengukuran jam kawanan non-lemuru mendominasi hasil deteksi dengan 3 kawanan dan diikuti kawanan sempenit, campuran, dan protolan dengan masing-masing 1 kawanan. Sementara itu kawanan lemuru tidak terdeteksi sama sekali pada selang pengukuran ini. Disisi lain, semua spesies kawanan ikan terdeteksi pada waktu pengukuran jam 06-12, tetapi pada selang waktu ini spesies kawanan ikan yang terdeteksi didominasi kawanan sempenit dan lemuru yang berjumlah 21 kawanan dan diikuti kawanan campuran dengan 6 kawanan dan hanya 1 kawanan non-lemuru dan 4 kawanan protolan. Pada selang waktu pengukuran jam 12-18, hanya 4 spesies kawanan ikan yang terdeteksi yaitu kawanan non-lemuru, sempenit, lemuru, dan protolan, sedangkan kawanan sempenit tidak terdeteksi. Dari keempat spesies kawanan tersebut, kawanan campuran mendomiasi hasil deteksi dengan 4 kawanan, diikuti kawanan lemuru dengan 3 kawanan, dan kawanan non-lemuru dan lemuru yang masing-masing hanya berjumlah 1 kawanan. Pada selang waktu pengukuran jam 18-24, hanya 3 spesies kawanan ikan yang terdeteksi yaitu kawanan non-lemuru, lemuru, dan protolan sedangkan kawanan sempenit dan campuran tidak terdeteksi. Dari ketiga kawanan yang terdeteksi, kawanan protolan mendominasi hasil deteksi dengan 7 kawanan sedangkan kawanan non-lemuru dan lemuru masing-masing hanya 1 kawanan Analisis diskriminan Sebagaimana disebutkan sebelumnya, dalam analisis diskriminan hanya kelompok data A dengan 15 deskriptor yang digunakan. Tabel 13 memperlihatkan nilai z-score dan signifikansi uji-f deskriptor pada kelima kelompok. Jika nilai F deskriptor semakin besar dan nilai signifikansinya semakin kecil (<0,05), maka deskriptor tersebut berpengaruh semakin nyata dalam membedakan kelima kelompok (Santoso, 2006).

98 73 Tabel 13 Nilai rataan deskriptor pada masing-masing kelompok No. Desk. Rataan dari Kelompok F P zl 2,9633 2,1245 2,5436 1,3475 3, ,09 0, zh 1,2650 1,1555 0,8077 1,0944 1,1777 5,82 0, za 4,1812 2,6869 2,6950 2,4703 3, ,73 0, zp 3,2784 2,4302 2,5634 2,2372 2, ,68 0, ze 2,2862 0,9691 1,9321 0,2532 2, ,26 0, zdf 0,0668 0,1336 0,1442 0,1179 0,1196 1,35 0, zdr 1,3848 1,4411 1,7921 1,7838 1,5291 3,41 0, zdmin 1,5717 1,5943 1,8315 1,8426 1,6459 2,56 0, ztmin 1,7168 1,0482 1,0899 1,2520 1,4612 7,69 0, ztrel 1,7687 1,5140 1,3086 1,4271 1,6560 7,83 0, zer 1,7492 1,6917 1,7820 1,7907 1, ,65 0, zesd 0,3199 0,5184 0,4097 0,4419 0,3956 2,71 0, zs -0,8028-0,2431-0,2560-0,1898-0,5636 4,75 0, zk -0,2062-0,1162-0,0754-0,1941-0,0187 0,60 0, zdv 0,0547 0,1606 0,0032 0,0039 0,0386 4,21 0,00508 Tabel 13 menunjukkan bahwa ada beberapa deskriptor yang berpengaruh nyata dalam membentuk perbedaan yang signifikan diantara kelima kelompok. Dilihat dari nilai signifikansinya, hampir semua deskriptor berpengaruh nyata dalam membentuk perbedaan diantara kelima kelompok dengan nilai signifikansi uji-f yang lebih kecil dari 0,05 (Sig.<0,05), kecuali untuk deskriptor Df, dan Ku yang nilai signifikansi uji-f nya lebih besar dari 0,05 (Sig.>0,05). Walaupun demikian, jika deskriptor dengan nilai F yang lebih besar dari 10 (F>10) disebut sebagai deskriptor yang berpengaruh sangat kuat dan deskriptor dengan F<10 disebut deskriptor dengan pengaruh kuat maka hanya ada beberapa deskriptor yang benar-benar menunjukkan

99 74 bahwa kelompok 1 hingga 5 memiliki perbedaan yang sangat nyata yaitu deskriptor L, A, P, E, dan Er sedangkan perbedaan yang nyata dari kelompok 1 hingga 5 ditunjukkan oleh deskriptor H, Dr, Dmin, Tmin, Trel, Esd, S, dan Dv. Hal ini dapat diartikan bahwa dari 13 deskriptor yang berpengaruh nyata dan sangat nyata, kelompok deskriptor morfometrik kembali menunjukkan pengaruh yang sangat nyata dalam membedakan kelima kelompok dibandingkan dengan kedua kelompok deskriptor lainnya. Tabel 14 Koefisien fungsi diskriminan dan struktur matriks fungsi No. Desk. Koef. Fungsi Diskriminan Struktur Matriks Fungsi 1 Fungsi 2 Fungsi 1 Fungsi 2 1 L 23,839 19,254 0,672* 0,288 2 H -183, ,651 0,127-0,276* 3 A -26,138-20,305 0,557* 0,070 4 P 19,912-2,846 0,608* 0,052 5 E 13,395 10,099 0,538* 0,494 6 Trel 134, ,064 0,246* -0,180 7 Er 3239, ,892-0,088 0,643* 8 Dv 398, ,444 0,004-0,293* Konstanta -2880, ,23 Tabel 14 menunjukkan struktur matriks fungsi diskriminan yang menjelaskan korelasi antara variabel deskriptor yang independen dengan fungsi diskriminan yang terbentuk. Korelasi deskriptor L dengan fungsi 1 (0,672) lebih besar dari korelasi deskriptor L dengan fungsi 2 (0,288) karenanya deskriptor L dimasukkan sebagai variabel dalam fungsi diskriminan 1. Hal yang sama juga diikuti oleh deskriptor A, P, E, dan Trel yang juga masuk ke fungsi diskriman 1, sedangkan deskriptor H, Er, dan Dv masuk ke fungsi diskriminan 2.

100 75 Tabel 15 Eigenvalue dari keempat fungsi diskriminan Fungsi Eigenvalue Variance % Kumulatif % Korelasi Kanonik Tabel 15 menunjukkan bahwa untuk membedakan kelima kelompok kawanan ikan hingga ketepatan 100% diperlukan 4 fungsi diskriminan. Tetapi pilihan empat fungsi diskriminan tidaklah efektif karena menyebabkan semakin banyak variabel deskriptor yang dilibatkan sehingga tujuan analisis diskriminan untuk menyederhanakan jumlah variabel yang digunakan untuk membedakan kelima kelompok kawanan ikan tidak tercapai. Karena itu hanya 2 fungsi diskriminan yaitu fungsi diskriminan 1(F1) dan 2(F2) yang digunakan. Dengan fungsi diskriminan 1 dan 2 maka perbedaan diantara kelima kelompok kawanan ikan dapat dijelaskan dengan baik hingga 81,7%. Tabel tersebut menunjukkan bahwa fungsi diskriminan 1 dapat menjelaskan 55,9% pengelompokan kawanan ikan kedalam 5 kelompok kawanan. Pengelompokan dengan fungsi diskriminan 1 ditentukan oleh deskriptor L, A, P, E, dan Trel sedangkan fungsi diskriminan 2 menjelaskan bahwa 25,8% pengelompokan tersebut ditentukan oleh deskriptor H, Er, dan Dv. Karenanya untuk menjelaskan perbedaan pengelompokan ini cukup digunakan fungsi diskriminan 1 dan 2 dengan variabel fungsinya adalah L, A, P, E, Trel, H, Er, dan Dv. Koefisien fungsi untuk masing-masing variabel dan konstanta masing-masing dapat dilihat pada Tabel 14 kolom 2 dan 3. Kedelapan deskriptor ini selanjutnya disebut dengan deskriptor utama.

101 76 Gambar 23 Posisi anggota kelompok kelima kawanan ikan terhadap fungsi diskriminan 1 dan 2. Gambar 23 memperlihatkan bagaimana kelima kawanan ikan dibedakan dengan menggunakan kedua fungsi diskriman 1 dan 2. Fungsi diskriminan 1 dapat membedakan kelompok kawanan ikan 1, 5 dengan kelompok kawanan 4 dengan ketepatan 55,9%, sedangkan fungsi diskriminan 2 dengan ketepatan 25,8% dapat membedakan kelompok kawanan 2 dengan 3. Walaupun demikian, kedua fungsi diskriminan tidak dapat membedakan dengan baik perbedaan antara kawanan 1 dengan kawanan 5. Kedua kawanan mengelompok disekitar garis fungsi diskriminan 1 dan 2. Dilihat dari jarak antara pusat kawanan ke garis fungsi diskriminan 1 dan 2, selisih jarak diantara keduanya tampak lebih besar jika dilihat dari garis fungsi diskriminan 1 dibandingkan dari garis fungsi diskriminan 2. Hal ini menunjukkan bahwa kawanan ikan dengan ukuran individu yang hampir sama lebih mudah dibedakan jika dilihat dari karakteristik deskriptor morfometriknya sedangkan

102 77 kawanan ikan dengan ukuran tubuh individu yang berbeda lebih mudah dibedakan dengan melihat karakteristik deskriptor energetiknya, sebagaimana terlihat antara kawanan lemuru (kelompok 3) dengan sempenit (kelompok 2) dan antara kawanan campuran (kelompok 4) dengan kawanan non-lemuru (kelompok 1) dan protolan (kelompok 5). Tabel 16 Hasil klasifikasi dengan Metode Analisis Diskriminan Spesies Jml. Hasil prediksi Kawanan 1:N 2:S 3:L 4:C 5:P 1:N 6 6(100%) :S (93,75%) 0 1(6,25%) 0 3:L (100%) 0 0 4:C (100%) 0 5:P (100%) Total Pada Tabel 16 ditunjukkan hasil klasifikasi yang dilakukan dengan Metode Statistik AFD. Pada tabel tersebut tampak bahwa hampir setiap anggota kelompok kawanan ikan dapat diidentifikasi dengan benar sesuai dengan kelompoknya masingmasing kecuali satu anggota kelompok 2 (sempenit) yang diidentifikasi sebagai anggota kelompok 4 (campuran). Kesalahan identifikasi ini diduga karena komposisi individu dalam kawanan campuran yang teridentifikasi didominasi oleh sempenit yang bercampur dengan protolan atau lemuru. Karena dominasi inilah maka kesalahan identifikasi dapat terjadi. Hasil identifikasi ini menunjukkan bahwa dari total 56 kawanan ikan yang dikelompokkan kedalam 5 kelompok kawanan non-lemuru, sempenit, lemuru, campuran dan protolan, 55 diantaranya dapat diidentifikasi sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Dengan demikian penggunaan Metode Statistik untuk

103 78 identifikasi dan klasifikasi kawanan ikan dapat dilakukan dengan baik dengan ketepatan hingga 98,2%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap kawanan ikan memiliki karakteristik deskriptor yang berbeda. Karakteristik deskriptor utama hasil analisis statistik dari setiap kawanan ikan dapat dilihat pada Gambar 24. Keterangan: N: non-lemuru, S: sempenit, L: lemuru, C: campuran, P: protolan. Gambar 24 Karakteristik 8 deskriptor utama dari kelima kelompok kawanan ikan. Gambar 24 menunjukkan bahwa dimensi horisontal, vertikal dan densitas kawanan ikan berbeda dari satu kawanan ke kawanan yang lain. Pada gambar yang sama dapat dilihat bahwa hanya pola nilai rataan dari 8 deskriptor utama dari kawanan non-lemuru dan protolan yang menunjukkan pola yang serupa sedangkan pola nilai rataan deskriptor utama dari ketiga kawanan lainnya tampak sangat berbeda. 5.4 Pembahasan Hasil analisis statistik menunjukkan adanya kecenderungan dimana dimensi horisontal (L) secara nyata tampak lebih besar dibandingkan dengan dimensi

104 79 vertikalnya (H). Perbandingan nilai deskriptor L dan H untuk kawanan non-lemuru = 55:1, kawanan sempenit = 10:1, kawanan lemuru = 51:1, kawanan campuran = 2:1, dan kawanan protolan = 87:1. Hal yang serupa juga terlihat pada kawanan sardine hasil pengukuran Coetzee (2000) yang juga menunjukkan hal yang serupa dimana perbandingan antara rataan L dan H adalah sebesar 3:1. Perbedaan ini dapat dilihat dengan lebih mudah dari perbandingan nilai deskriptor E dari setiap kawanan ikan. Nilai deskriptor E dari kawanan non-lemuru tampaknya lebih besar dibandingkan dengan nilai E dari kawanan ikan lainnya. Menurut Blaxter & Hunter (1982), kawanan ikan yang bergerak lebih cepat akan membentuk kawanan dengan elongasi yang lebih besar dibandingkan dengan kawanan yang berenang lebih lambat. Sejalan dengan itu, Patridge et al. (1982) mengemukakan bahwa peningkatan kecepatan renang ikan dalam kawanan dapat mengakibatkan bentuk kawanan ikan menjadi lebih pipih. Dalam penelitian ini kecepatan renang kawanan ikan tidak diukur karenanya pengaruh kecepatan renang terhadap bentuk kawanan ikan tidak dapat dijelaskan lebih lanjut. Karenanya diduga bahwa kawanan non-lemuru berenang lebih cepat dibandingkan dengan empat kawanan ikan lainnya. Fenomena yang sama antara total luasan (A) yang digunakan kawanan dengan densitas (Dv) dan besar intensitas energi hamburan balik (Er) walaupun tidak nyata, tampaknya hanya terlihat antara kawanan lemuru dan sempenit. Kedua kawanan ikan ini menunjukkan bahwa semakin luas daerah cakupan kawanan ikan maka cenderung semakin besar densitas dan intensitas hamburuan balik kawanan tersebut. Hal sebaliknya terlihat pada kawanan non-lemuru, protolan dan sempenit. Pada ketiga kawanan ini terlihat bahwa walaupun luas area yang tercakup oleh kawanan nonlemuru secara nyata lebih luas dibandingkan dengan luasan dari kawanan ikan lainnya tetapi intensitas hamburan balik (Er) dan densitas kawanan non-lemuru tidak menunjukkan perbedaan yang berarti dibandingkan dengan intensitas dan densitas kawanan ikan lainnya. Karenanya proporsionalitas antara total luasan yang digunakan kawanan dengan besar intensitas energi hamburan balik dan densitas kawanan

105 80 sebagaimana yang dikemukakan oleh Coetzee (2000), Bahri & Freon (2000), dan Lawson et al.(2001) tidak terlihat secara nyata dalam penelitian ini. Diduga hal ini terjadi karena beragamnya jarak dan ukuran tubuh antara individu dalam kawanan ikan. Dugaan lain menurut Simmonds et al. (1996) karena kawanan ikan yang bergerak dengan pola arah gerak yang tidak beraturan mengakibatkan ukuran intensitas hamburan balik yang lebih beragam. Dilihat dari posisinya dalam kolom perairan, untuk kedalaman perairan yang sama, kawanan non-lemuru cenderung berada lebih dekat kepermukaan dibandingkan dengan kawanan ikan lainnya. Perbandingan Trel kawanan non-lemuru dengan kawanan sempenit 2:1, dengan kawanan lemuru 3:1, dengan kawanan campuran 2:1 dan dengan kawanan protolan 1,1:1. Perbedaan ini diduga terjadi karena rataan panjang kawanan non-lemuru yang terdeteksi dalam penelitian ini berukuran lebih kecil dibandingkan dengan rataan panjang kawanan ikan lainnya. Rataan panjang kawanan non-lemuru 12,89cm, protolan 13,14cm, lemuru 14,56, sempenit 14,99cm, dan campuran 16,31cm. Hasil analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 10 dan Lampiran 11 sedangkan distribusi kawanan lemuru dapat dilihat pada Lampiran 18. Kecenderungan dan perbedaan sebagaimana yang disebutkan di atas dapat terjadi akibat pengaruh faktor luar seperti kehadiran pemangsa dan mangsa (predator & prey) dan komposisi spesies kawanan ikan yang dapat berpengaruh terhadap distribusi vertikal dan tingkah laku ikan (Coetzee, 2000). Lebih lanjut, perbedaan densitas, bentuk, dan posisi vertikal kawanan ikan dapat terjadi akibat tingkah laku ikan, fisiologi, biologi, spesies dan lingkungan kawanan ikan (Freon & Misund, 1999). Dari beberapa faktor yang telah disebutkan, faktor yang paling sering dijadikan pokok bahasan dan berpengaruh menyebabkan perubahan dimensi horisontal, vertikal, dan densitas kawanan ikan adalah faktor pergerakan harian, aktivitas individu, interaksi diantara spesies, kehadiran elemen pengganggu, dan kondisi lingkungan (Bahri & Freon, 2000).

106 Kesimpulan Dari penjelasan yang telah disebutkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa; (1) Metode Statistik Analisis Gerombol dan Diskriminan dapat digunakan dengan baik dalam identifikasi dan klasifikasi kawanan ikan dengan ketepatan 98,2%. (2) Dari kelima belas deskriptor yang digunakan, 8 deskriptor yang berperan dalam membedakan kelompok kawanan ikan dan disebut deskriptor utama yaitu; deskriptor panjang, L; tinggi, H; luas, A; keliling, P; dan elongasi, E (deskriptor morfometrik), ketinggian relatif, Trel (deskriptor batimetrik), dan rataan intensitas energi hamburan balik, Er; densitas, Dv (deskriptor energetik). (3) Deskriptor morfometrik berperan lebih besar dalam membedakan kawanan ikan satu dengan lainnya jika ukuran tubuh individu ikan yang menyusun kawanan-kawanan tersebut berukuran hampir sama, sedangkan kawanankawanan ikan dengan ukuran tubuh individu ikan yang berbeda dapat dibedakan dengan lebih baik dengan menggunakan deskriptor energetik. (4) Dimensi horisontal kawanan cenderung lebih besar dibandingkan dengan dimensi vertikalnya sehingga bentuk kawanan ikan cenderung lebih pipih dan panjang. (5) Kawanan non-lemuru cenderung berada lebih dekat ke permukaan dibandingkan dengan empat kawanan lainnya (sempenit, lemuru, campuran, dan protolan).

107 6 IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KAWANAN IKAN PELAGIS DENGAN JARINGAN SARAF TIRUAN PERAMBATAN BALIK 6.1 Pendahuluan Seperti telah diketahui, terdapat banyak sekali model jaringan saraf tiruan (JST) (Fauset, 1994; Lawrence, 1992). Model-model JST secara garis besar oleh Lawrence (1992) dikelompokkan menjadi JST umpan balik (feedback) dan umpan maju (feedforward). Saat ini JST umpan balik adalah JST yang paling populer digunakan dan dari sekian banyak model JST umpan balik, model JST Perambatan Balik (Backpropagation Neural Network) selanjutnya disingkat JSTPB, adalah model yang paling banyak digunakan. JSTPB secara bersamaan ditemukan oleh 3 kelompok peneliti yaitu; kelompok Rumelhart, Hinton, Williams, kelompok Cun, dan kelompok Parker antara tahun (Lawrence, 1992). Jaringan ini adalah jaringan umpan maju yang bekerja dengan aturan perambatan balik delta yang terampat (generalized delta rule). Jaringan ini pada dasarnya merupakan hasil pengembangan Jaringan Saraf Percepteron. Dibandingkan dengan jaringan saraf percepteron, arsitektur jaringan saraf percepteron hanya tersusun dari lapisan tunggal (1 lapisan masukan dan 1 lapisan keluaran tanpa lapisan tersembunyi), sedangkan arsitektur JSTPB tersusun dari lapisan masukan, satu atau beberapa lapisan tersembunyi, dan lapisan keluaran. Kelenturan dalam menentukan jumlah lapisan menurut Fausett (1994) menyebabkan kemampuan JSTPB dalam menyelesaikan masalah yang lebih kompleks menjadi lebih baik dibandingkan dengan percepteron. Saat ini JSTPB telah banyak digunakan di berbagai bidang seperti pada pemrosesan sinyal, kontrol sistem, pengenalan pola (klasifikasi dan identifikasi), kesehatan, bisnis dsb. Dalam bidang perikanan JSTPB telah digunakan untuk identifikasi dan klasifikasi kawanan ikan dengan beberapa pendekatan yang berbeda antara lain; identifikasi dan klasifikasi spesies kawanan anchovy, sardine, dan horse mackerel dengan pendekatan deskriptor akustik (Haralabous &

108 83 Georgakarakos, 1996), identifikasi dan klasifikasi spesies kawanan mackarel, horse mackarel, saithe, haddock, dan cod dengan pendekatan perbedaan sinyal akustik hamburan balik dengan frekwensi akustik yang berbeda (Simmonds et al., 1996) Walaupun telah banyak digunakan diberbagai bidang, tetapi seperti JST lainnya, JSTPB juga memiliki permasalahan dalam hal kecepatan mencapai kondisi konvergen yaitu kondisi dimana nilai Mean Square Error jaringan sudah tetap atau tidak berfluktuasi lagi. Menurut Fausett (1994), kecepatan dalam pencapaian kondisi konvergen berkaitan dengan kemampuan jaringan dalam mengingat, dan merampat pola-pola masukan yang kesemuanya berkaitan dengan arsitektur, algoritma, dan fungsi aktivasi jaringan. Dalam bab ini akan dibahas langkah-langkah pemodelan JSTPB dengan memperhatikan arsitektur, algoritma, dan fungsi aktivasi jaringan untuk membangun JSTPB yang dapat digunakan secara optimal untuk identifikasi dan klasifikasi kawanan ikan pelagis. 6.2 Metode Penelitian Untuk mendapatkan model JSTPB yang dapat bekerja secara optimal maka perancangan model JSTPB dilakukan dalam dua tahap yaitu: (1) Merancang dan melatih model JSTPB, (2) Menguji rancangan model JSTPB yang dipilih. Untuk kedua tahapan yang dimaksud dibutuhkan dua kelompok data yaitu; kelompok data untuk pelatihan dan perancangan model JSTPB (data latih) serta kelompok data untuk menguji model JSTPB (data uji). Secara garis besar tahapan perancangan awal model JSTPB hingga pengoperasiannya dapat dilihat pada Gambar 25. Data latih yang dimaksud pada Gambar 25, sebagaimana dijelaskan dalam Bab 5, adalah data tambahan atau data B yang digunakan sebagai data pembimbing dalam mengidentifikasi dan mengklasifikasi secara statistik data asli atau data A. Dalam bab ini data latih digunakan sebagai data masukan untuk perancangan awal dan pelatihan model JSTPB, sedangkan data A dikelompokkan sebagai data uji dan digunakan untuk menguji coba model JSTPB yang dihasilkan pada tahap rancangan awal. Data latih terdiri dari 58 pola kawanan ikan dengan

109 84 15 deskriptor hidroakustik sedangkan data uji terdiri dari 56 pola kawanan ikan dengan juga 15 deskriptor akustik. Deskriptor data Latih dan Uji Rancangan Awal & Pelatihan JSTPB Pelatihan Sukses...? Rancangan Akhir & Uji coba JSTPB Uji coba Sukses...? Pengoperasian JSTPB Gambar 25 Diagram alir proses perancangan hingga operasional JSTPB. Pada Gambar 25 tampak bahwa keberhasilan pelatihan dan uji coba jaringan ditentukan oleh kemampuan jaringan dalam mencapai kondisi batas tertentu. Dalam penelitian ini kondisi batas yang digunakan untuk pelatihan JSTPB adalah pencapaian fungsi tujuan yang dilakukan dengan jumlah iterasi minimal, dan dengan tingkat ketepatan tertentu. Fungsi tujuan yang digunakan dalam disertasi ini adalah Mean Squre Error (MSE), dengan n n MSE = ( ei ) = ( ti yi ), i=iterasi ke-i, t=nilai target yang diinginkan, n n i= 1 i= 1 y i =nilai target keluaran fungsi aktivasi pada iterasi ke-i, dan e i nilai galat pada iterasi ke-i. Jika nilai MSE lebih kecil dari nilai batas maka hitungan dihentikan.

110 85 Dalam disertasi ini nilai batas MSE ditetapkan sebesar 0,001 dengan maksimum hitungan iterasi sebesar 1500 dan tingkat ketepatan identifikasi 70%, karenanya fungsi tujuan disebut tercapai jika MSE<0,001 dengan Jumlah Iterasi<1500 dengan tingkat ketepatan >70% Perancangan awal dan pelatihan JSTPB Perancangan awal dilakukan untuk menentukan kisaran jumlah sel masukan, lapisan tersembunyi, dan keluaran; jumlah lapisan tersembunyi dan keluaran; dan metode pelatihan yang tepat untuk mendapatkan model JSTPB awal yang ideal. Dalam melakukan perancangan awal, selain dipertimbangkan pola data masukan dan fungsi tujuan yang harus dicapai, juga dipertimbangkan 1) arsitektur jaringan, 2) fungsi aktivasi yang digunakan, dan 3) algoritma jaringan (Fausett, 1994). 1) Arsitektur Jaringan Arsitektur jaringan menggambarkan banyaknya lapisan dan jumlah unit sel pada sebuah jaringan. Untuk menyelesaikan suatu masalah dibutuhkan jaringan dengan minimal 1 lapisan masukan, 1 lapisan tersembunyi dan 1 lapisan keluaran (Mynsky & Papert, 1969 yang diacu Storbeck & Daan, 2001). Arsitektur jaringan berkaitan dengan (1) jumlah unit sel dan pola masukan, (2) jumlah lapisan dan unit sel tersembunyi, serta (3) jumlah unit sel keluaran (Siang, 2005; Kusumadewi, 2004). Berikut ini penjelasan tentang ketiga hal tersebut. (1) Jumlah unit sel dan pola masukan Jumlah unit sel masukan menyatakan banyaknya variabel masukan yang digunakan agar obyek yang diamati dapat dengan mudah diidentifikasi dan diklasifikasi. Menurut Fausett (1994) semakin banyak jumlah unit sel masukan semakin besar peluang untuk meningkatkan ketelitian tetapi dengan akibat bertambah panjangnya proses pelatihan. Sementara itu, jumlah pola masukan pada dasarnya tidak berkaitan langsung dengan arsitektur jaringan tetapi berkaitan dengan tingkat keakuratan jaringan dalam mencapai fungsi tujuan. Hect-Nielsen (1990) yang diacu Fausett (1994), mengusulkan agar digunakan dua kumpulan pola data yang terpisah selama proses pembelajaran dilakukan. Satu dari kedua kumpulan pola tersebut

111 86 digunakan untuk melatih jaringan sedangkan kumpulan lainnya digunakan untuk menguji hasil pelatihan tersebut. Sementara itu Simmonds et al. (1996) mengemukakan bahwa pengurangan jumlah pola dapat secara signifikan menurunkan tingkat keakuratan hasil identifikasi. (2) Jumlah lapisan dan unit sel tersembunyi Dengan menambah jumlah lapisan tersembunyi berarti secara teoritis memperlambat proses pencapaian nilai konvergen. Hal ini terjadi karena jumlah lapisan tersembunyi yang lebih banyak berakibat pada proses hitungan umpan maju dan balik dari lapisan tersembunyi satu ke lapisan tersembunyi yang diatasnya hingga lapisan keluaran akan bertambah panjang. Dalam disertasi ini, penentuan jumlah lapisan dan unit sel tersembunyi dilakukan dengan menggunakan Metode Trial and Error seperti yang dilakukan Simmonds et al. (1996). Sejalan dengan itu, Kusumadewi (Komunikasi pribadi, 2005) menyarankan agar rancangan model JSTPB dimulai dari minimal satu lapisan tersembunyi, sedangkan Lawrence (1992) menyarankan agar jumlah awal unit sel tersembunyi dimulai dengan minimal setengah jumlah unit sel masukan. (3) Jumlah unit sel keluaran Penentuan jumlah unit sel keluaran bergantung pada berapa banyak keluaran yang diharapkan. Sebagai nilai awal, ditetapkan jumlah unit sel keluaran sebanyak 1 unit sel keluaran. Identifikasi dilakukan dengan cara membandingkan nilai indeks kawanan ikan (nilai target) dengan nilai target hasil hitungan. Kusumadewi (Komunikasi pribadi, 2005) mengungkapkan bahwa jumlah unit sel keluaran bergantung pada seberapa banyak alternatif keluaran yang diharapkan, semakin kompleks permasalahan yang dihadapi semakin banyak alternatif keluaran yang diberikan. 2) Fungsi aktivasi Fungsi aktivasi adalah fungsi yang digunakan untuk memutuskan apakah sinyal masukan yang diterima oleh suatu unit sel berada di atas atau dibawah nilai batas (threshold). Jika berada di atas nilai batas maka sinyal tersebut akan diaktifkan atau diteruskan ke unit sel yang lebih diatasnya, sedangkan jika tidak maka sinyal tidak akan diteruskan ke unit sel yang diatasnya.

112 87 Dari beberapa fungsi aktivasi yang ada, kombinasi antara fungsi aktivasi sigmoid bipolar, fungsi aktivasi sigmoid biner, fungsi aktivasi linier (identitas), dan fungsi aktivasi saturating linier adalah kombinasi fungsi aktivasi yang paling sering digunakan dalam JSTPB (Siang, 2005 ; Kusumadewi, 2004). Dalam disertasi ini fungsi sigmoid bipolar digunakan sebagai fungsi aktivasi di lapisan tersembunyi sedangkan dilapisan keluaran digunakan fungsi aktivasi linier sebagaimana yang dilakukan oleh Haralabous & Georgakarakos (1996), Simmonds et al. (1996), Storbeck & Daan (2001), Demuth & Beale (1998). Grafik fungsi aktivasi dari kedua fungsi aktivasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 26. Gambar 26 Grafik fungsi aktivasi Sigmoid Bipolar dan Linier. Fungsi linier (identitas) memiliki nilai keluaran yang sama dengan nilai masukannya dengan selang nilai yang tidak berhingga. Fungsi ini dirumuskan dengan persamaan, y = x... (13) dengan, y adalah nilai keluaran dan x adalah nilai masukan. Fungsi sigmoid bipolar adalah fungsi sigmoid yang nilai keluarannya berada pada selang [-1 1] dan dirumuskan dengan persamaan, 2 y = f ( x) = 1... (14) 1+ exp( x) 1 dengan, y' = f '( x) = [1 + f ( x)][1 f ( x)] 2 Dalam bahasa pemrograman matlab, fungsi sigmoid bipolar dan fungsi linier (identitas) masing-masing dituliskan sebagai tansig dan purelin.

113 88 3) Algoritma jaringan Seperti telah diketahui, ketika JSTPB digunakan maka pada setiap unit sel dalam jaringan tersebut terjadi tiga proses pengolahan data yaitu: proses membaca dan meneruskan informasi pola masukan, proses perambatan balik galat yang berkaitan dengan hasil pelatihan, dan proses penghitungan nilai bobot (Fausett, 1994). Dalam disertasi ini setiap unit sel dituliskan dengan huruf besar sedangkan hasil proses dari unit sel tersebut ditulis dengan huruf kecil contoh, unit sel tersembunyi ke-i dituliskan Z i sedangkan hasil proses unit sel ini dituliskan dengan z i. Selama proses umpan maju (feedforward), setiap unit sel masukan (X i ) menerima sebuah sinyal masukan dan meneruskan sinyal tersebut ke unit-unit tersembunyi diatasnya (Z 1,,Z p ). Setiap unit sel tersembunyi selanjutnya menghitung fungsi aktivasinya dan jika memenuhi syarat hasilnya di kirimkan kesetiap unit sel keluaran. Setiap unit sel keluaran (Y k ) menghitung fungsi aktivasinya untuk menentukan reaksi jaringan terhadap pola masukan yang diberikan. Selama pelatihan, nilai galat (e) hasil identifikasi pola masukan dihitung disetiap unit sel keluaran dengan cara membandingkan hasil hitungan unit sel keluaran (y k ) dengan nilai target yang telah ditetapkan sebelumnya (t k ) dan dirumuskan dengan (e=t k -y k ). Berdasarkan nilai galat ini, faktor δ k ditentukan. Faktor δ k adalah faktor pengali yang digunakan untuk mendistribusikan galat yang ada pada unit sel keluaran ke seluruh unit sel pada lapisan sebelumnya (unit-unit lapisan tersembunyi yang tersambung ke unit sel keluaran Y k ). Selain itu, faktor δ k digunakan juga untuk memperbaharui bobot antara lapisan keluaran dan lapisan tersembunyi. Selanjutnya, dengan cara yang sama, faktor δ j dihitung pada setiap unit sel tersembunyi Z j untuk mendistribusikan galat pada unit sel tersembunyi ke seluruh unit sel pada lapisan masukan (unit-unit lapisan masukan X i yang tersambung ke unit sel tersembunyi Z j ). Setelah seluruh faktor δ ditentukan, bobot-bobot pada setiap lapisan dihitung secara bersamaan. Hitungan bobot dari lapisan unit-unit tersembunyi ke unit-unit keluaran didasarkan pada faktor δ k dan fungsi aktivasi dari unit sel tersembunyi Z j. Hitungan bobot dari unit sel masukan X i ke unit sel tersembunyi

114 89 Z j didasarkan pada faktor δ j dan aktivasi X i dari unit-unit masukan. Dalam disertasi ini setiap unit sel dituliskan dengan huruf besar sedangkan hasil proses hitungan di unit sel ini dituliskan dengan huruf kecil contoh, unit sel tersembunyi ke-j dituliskan Z j sedangkan hasil proses unit sel ini dituliskan dengan z i. MULAI Data masukan (x) dan target (t) Inisialisasi bobot awal dgn bilangan acak Antar -1,1 Hitung bobot awal Nguyen-Widrow (1990) Bobot & bias baru jadi nilai inisialisasi baru Hitung sinyal masukan (15), Keluaran (16) lap. tersembunyi Hitung faktor δ i (23), koreksi bobot & bias(24), (25) bobot & bias baru(27), lap. tersembunyi Hitung sinyal masukan (17), Keluaran (18) lap. Keluaran, (t-y), MSE MSE < toleransi Hitung faktor δ k (19), koreksi bobot & dan bias (20), (21), bobot & bias baru (26) lap. keluaran T Y Cetak hasil SELESAI Gambar 27 Diagram alir algoritma jaringan.

115 90 Algoritma JSTPB; Langkah 0. Inisialisasi bobot dari X i ke Z j dan dari Z j ke Y k dengan nilai acak yang kecil. Langkah 1. Selama kondisi stop belum dilalui maka lakukan langkah 2-9 dan hitung bobot awal JSTPB dengan Metode Nguyen-Widrow. Langkah 2. Untuk setiap pasang data masukan lakukan langkah 3-8 berikut: Umpan maju (feedforward) Langkah 3. Setiap unit sel masukan (X i, i=1,...,n) menerima sinyal x i dan meneruskannya ke semua unit sel di lapisan diatasnya. Langkah 4. Setiap unit sel tersembunyi (Z j, j=1,...,p) menjumlahkan setiap sinyal masukan yang telah diberi bobot, n z _ in j = voj + xivij,... (15) i= 1 sinyal keluaran dihitung dengan fungsi aktivasi, z j = f (z _ in j),... (16) Langkah 5. dan mengirimkan hasilnya ke setiap unit sel di lapisan diatasnya (unit-unit keluaran). Setiap unit sel keluaran (Y k, k=1,...,m) menjumlahkan setiap sinyal yang telah diberi bobot yang diterimanya, m y _ in k = w ok + z jw jk,... (17) j= 1 dengan fungsi aktivasi sinyal keluaran dihitung dengan, yk = f (y _ in k ),... (18) Perambatan balik nilai galat (backpropagation of error) Langkah 6. Setiap unit sel keluaran (Y k, k=1,...,m) menerima pola target (t k ) yang sesuai dengan pola masukan pelatihan, hitung faktor δ, δ k = ( t k yk )f '(y _ in k ),... (19) hitung koreksi bobot dengan, Δ w jk = αδk z j,... (20) hitung koreksi bias dengan, Δ w 0k = αδk,... (21)

116 91 Langkah 7. selanjutnya nilai δ k digunakan di lapisan bawah. Setiap unit sel tersembunyi (Z j, j=1,...,k) menjumlahkan nilai δ yang telah diberi bobot dari lapisan diatasnya, m δ _ in j = δk w jk,... (22) k= 1 Selanjutnya hitung nilai δj dengan, δ j = δ _ in j f '(z _ in j),... (23) hitung koreksi bobot dengan, Δ w ij = αδ jxi,... (24) hitung koreksi bias dengan, Δ v0 j = αδ j,... (25) Langkah 8. Perbaharui nilai bobot jaringan dan bobot bias, Setiap unit sel keluaran (Y k, k=1,...,m) memperbaharui bobot bias dan lapisan dengan, w jk (baru) = w jk (lama) + Δw jk... (26) Setiap unit sel tersembunyi (Z j, j=1,...,p) memperbaharui bobot bias dan lapisan dengan, vij(baru) = vij(lama) + Δvij... (27) Langkah 9. Test kondisi stop Perancangan akhir dan uji coba JSTPB Perancangan akhir dilakukan untuk menentukan apakah model awal JSTPB yang dihasilkan pada tahap rancangan awal dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi data uji yang diberikan dengan ketepatan, jumlah iterasi, dan pencapaian fungsi tujuan seperti yang disyaratkan sebelumnya dan dengan komposisi awal data latih dan uji 58:56. Jika dalam proses pengujian didapatkan bahwa model awal JSTPB tidak dapat mencapai fungsi tujuannya maka dilakukan pemodelan ulang dengan mengubah jumlah unit sel dan lapisan tersembunyi. Perubahan model dilakukan hingga dicapai jumlah maksimum unit sel dan lapisan seperti yang dihasilkan saat perancangan awal. Haralabous & Georgakarakos (1996) menyarankan untuk

117 92 menggunakan 12 hingga 18 unit sel tersembunyi untuk 140 data uji atau 9% hingga 12% dari total data uji. Jika fungsi tujuan tetap tidak dapat dicapai dengan model terakhir maka jumlah pola masukan data latih ditambah secara acak per n pola masukan, sehingga setiap penambahan n pola masukan ke data latih akan mengurangi n pola data uji. Nilai n menyatakan jumlah pola data yang ditambahkan atau dikurangkan dari data latih dan data uji. Haralabous & Georgakarakos (1996) mengemukakan bahwa dengan jumlah pola data uji sebanyak 5-35% dari total data yang tersedia dapat dicapai tingkat ketepatan identifikasi hingga 80%, tergantung spesies kawanan ikan. Dengan demikian, berdasarkan prosentase data uji seperti yang dikemukakan di atas maka perubahan komposisi jumlah pola data latih (58 pola) dan data uji (56 pola) hanya dapat dilakukan hingga jumlah pola data uji berkisar antara 6 hingga 40 pola. Karena keluaran yang diinginkan berjumlah 5 kawanan ikan yang berbeda maka jumlah unit sel lapisan tersembunyi dari setiap rancangan model yang baru akan selalu dimulai dengan jumlah 5 unit sel tersembunyi dengan tetap menggunakan fungsi aktivasi sigmoid bipolar (tansig) pada lapisan tersembunyi, fungsi linier (purelin) pada lapisan keluaran, dan menggunakan metode pelatihan Levenberg-Marquardt (trainlm). Sebagaimana disebutkan sebelumnya, ada 3 arsitektur JSTPB yang akan dibangun yang dibedakan berdasarkan jumlah dan tipe deskriptor akustik yang digunakan sebagai masukannya. Ketiga JSTPB tersebut adalah: (1) JSTPB tipe 1 (JSTPB1) dengan unit sel masukan sebanyak 8 deskriptor hasil analisis statistik. (2) JSTPB tipe 2 (JSTPB2) dengan jumlah unit sel masukan sebanyak jumlah deskriptor yang digunakan dalam analisis diskriminan yaitu sebanyak 15 deskriptor. (3) JSTPB tipe 3 (JSTPB3) adalah JSTPB dengan jumlah unit sel masukan yang sama dengan jumlah unit sel masukan JSTPB1 yaitu 8 unit sel masukan tetapi deskriptor yang digunakan adalah deskriptor hasil analisis tingkat kontribusi yang dilakukan dengan JSTPB2.

118 93 JSTPB2 digunakan sebagai pembanding Metode Statistik sedangkan JSTPB3 digunakan sebagai pembanding JSTPB1, perhatikan posisi JSTPB2 terhadap metode statistik dan posisi JSTPB3 terhadap JSTPB1 yang sejajar pada Gambar Hasil Perancangan awal model JSTPB dilakukan dalam 5 tahap untuk 1) menentukan metode pelatihan yang tepat, 2) menentukan kisaran jumlah unit sel masukan, 3) menentukan kisaran jumlah unit sel tersembunyi, 4) menentukan kisaran jumlah lapisan tersembunyi, dan 5) menentukan kisaran jumlah pola masukan Hasil perancangan awal dan pelatihan JSTPB Berikut ini hasil rancangan awal model JSTPB yang dilakukan untuk menentukan kelima hal yang telah disebutkan sebelumnya. Hasil perancangan awal ini selanjutnya digunakan sebagai nilai awal dalam pelatihan dan uji coba jaringan. 1) Metode pelatihan Dalam JSTPB ada beberapa metode pelatihan yang dapat digunakan. Metode pelatihan tersebut pada dasarnya merupakan hasil pengembangan metode pelatihan gradient descent (Fausett, 1994; Lawrence, 1992). Penggunaan metode pelatihan yang tepat dapat mempercepat kerja jaringan saraf tiruan (Demuth & Beale, 1998). Pada Tabel 17 dapat dilihat bahwa kesepuluh metode pelatihan yang digunakan menghasilkan nilai MSE yang berada dalam batas toleransi (<0,001), walaupun demikian dari kesepuluh metode tersebut, metode pelatihan Levenberg- Marquardt memberikan nilai MSE terkecil yaitu sebesar 9,71 x 10-5 dan hanya dalam 11 kali hitungan iterasi.

119 94 Tabel 17 Perbandingan hasil pelatihan beberapa metode pelatihan JSTPB model 8(5-1) dengan menggunakan data pelatihan yang sama No Nama / Penemu Metode pelatihan JSTPB (Demuth & Beale, 1998) 1 Scaled Conjugate Metode Pelatihan Jumlah Iterasi, Max 1500 MSE < trainscg 53 8,632 x Gradient 2 Fletcher-Reeves Update traincgf 103 9,421 x Polak-Ribie re traincgp 65 9,224 x Powel-Beale Restars traincgb 47 8,315 x Broyden, Fletcher, trainbfg 28 7,299 x Goldfarb, Shanno 6 One Step Secant trainoss 41 9,155 x Gradient Descent (GD) traingda ,983 x with Adaptive Learning Rate 8 GD with Momentum and traingdx 117 9,731 x Adaptive Learning Rate 9 Resilent Backpropagation trainrp 210 9,823 x Levenberg-Marquard trainlm 11 9,71 x Keterangan: MSE, mean square error Ini berarti bahwa metode pelatihan Levenberg-Marquardt dapat mencapai fungsi tujuannnya lebih cepat dibandingkan dengan metode pelatihan lainnya. Karenanya ditetapkan untuk menggunakan metode pelatihan Levenberq- Marquardt dalam proses perancangan model JSTPB tahap (2) hingga (5). 2) Jumlah unit sel masukan Jumlah unit sel masukan menyatakan banyaknya variabel yang dapat digunakan untuk membedakan obyek penelitian yang satu dengan obyek penelitian lainnya. Dalam disertasi ini variabel yang dimaksud adalah deskriptor kawanan ikan. Hasil penelitian pada Bab 5 menunjukkan bahwa deskriptor dapat digunakan untuk membedakan spesies kawanan lemuru yang satu dengan lainnya. Dari bab yang sama diketahui bahwa terdapat 8 deskriptor utama yaitu L, H, A, P, E, Trel, Er, dan Dv yang dapat digunakan sebagai pembeda antara kelompok kawanan ikan. Karena itu, pada tahapan ini nilai awal untuk jumlah unit sel masukan ditetapkan sebanyak 8 buah sedangkan jumlah unit sel masukan selanjutnya berjumlah 9, 10, 11 dst. Jumlah deskriptor untuk unit sel masukan diperbanyak hingga 30 deskriptor dengan cara menggandakan secara acak

120 95 deskriptor yang ada. Hasil pelatihan yang dilakukan dengan jumlah unit sel masukan yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 28. (a) (b) Gambar 28 Grafik hasil pelatihan dengan jumlah unit sel masukan yang berbeda (a) Jumlah unit sel masukan Vs Jumlah iterasi (b) Jumlah unit sel masukan Vs MSE. Pada Gambar 28 dapat dilihat bahwa jumlah unit masukan berpengaruh terhadap jumlah iterasi dan nilai MSE. Jika jumlah unit masukan diperbesar maka kondisi konvergen jaringan cenderung akan dicapai lebih lama (jumlah iterasi lebih banyak). Pada kondisi tersebut nilai MSE juga mempunyai kecenderungan membesar, lebih besar dari batas toleransinya. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa batas toleransi jumlah iterasi yaitu sebanyak maksimum1500 kali iterasi tercapai setelah unit sel masukan berjumlah 17 buah. Pada saat itu nilai MSE sudah melampaui batas toleransinya (MSE > 0,001). Nilai-nilai tersebut tampaknya menurun setelah unit masukan berjumlah 20, tetapi Fausett (1994) menyarankan agar hitungan dihentikan setelah nilai MSE melampaui nilai toleransinya, karena pada saat itu jaringan sudah kehilangan kemampuannya dalam melakukan identifikasi secara umum terhadap data masukan.

121 96 Karena kedua hal tersebut di atas maka ditetapkan untuk merancang model JSTPB dengan unit sel masukan berjumlah antara 8 hingga 17 unit sel masukan. Tetapi karena jumlah iterasi terkecil (19 kali iterasi) dicapai ketika unit sel masukan berjumlah 8 unit dengan nilai MSE=0,00056 < toleransi, karenanya nilai awal jumlah masukan jaringan dapat dimulai dengan 8 unit masukan. Jika dengan jumlah ini fungsi tujuan tidak tercapai maka jumlah unit sel masukan ditambah 1 persatu hingga mencapai nilai maksimalnya. 3) Jumlah unit sel tersembunyi Jumlah unit sel tersembunyi berfungsi untuk meningkatkan kemampuan jaringan untuk menyaring informasi yang diterima sehingga secara umum informasi tersebut dapat diidentifikasi dan diklasifikasi. Karena data kawanan lemuru yang tersedia dikelompokkan kedalam 5 spesies kawanan maka pada tahapan ini diatur agar nilai awal untuk jumlah unit sel tersembunyi adalah sebesar 5 buah dan jumlah unit sel tersembunyi selanjutnya berjumlah 6, 7, 8 dan seterusnya atau kelipatan 5. Hasil pelatihan dengan jumlah unit sel tersembunyi yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 29. (a) (b) Gambar 29 Grafik hasil pelatihan dengan jumlah unit sel lapisan tersembunyi yang berbeda (a) Jumlah unit sel tersembunyi Vs Jumlah iterasi (b) Jumlah unit sel tersembunyi Vs MSE.

122 97 Pada Gambar 29 dapat dilihat bahwa banyaknya unit sel tersembunyi pada lapisan tersembunyi menentukan jumlah iterasi dan nilai MSE. Gambar tersebut menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah iterasi dan nilai MSE. Ketika jumlah unit sel lapisan tersembunyi lebih sedikit, jumlah iterasi tampak lebih tinggi dan ketika jumlah unit sel lapisan tersembunyi bertambah banyak maka jumlah iterasi semakin mengecil. Hal ini berarti bahwa peningkatan kecepatan jaringan untuk mencapai kondisi konvergen dapat dilakukan dengan penambahan jumlah unit sel tersembunyi. Gambar yang sama juga menunjukkan bahwa nilai MSE cenderung bergerak mengecil ketika jumlah unit sel tersembunyi diperbanyak. Tampak bahwa nilai MSE masih berada di atas batas toleransi (>0,001) ketika unit sel tersembunyi masih berjumlah 5 buah dengan jumlah iterasi masih cukup besar (56 iterasi). Berdasarkan kedua hal di atas maka ditetapkan untuk menggunakan unit sel tersembunyi minimal sebanyak 5 buah unit sel dan akan ditambah satu atau hingga kelipatan lima untuk setiap pengulangan hitungan. 4) Jumlah lapisan tersembunyi Sebagaimana jumlah unit sel tersembunyi, secara teoritis jika lapisan tersembunyi diperbanyak maka kemampuan jaringan untuk mencapai fungsi tujuannya (MSE<0,001) menjadi lebih lambat mengingat jumlah lapisan tersembunyi menentukan jumlah langkah kerja jaringan seperti tampak pada algoritma JSTPB. Kusumadewi (komunikasi pribadi, Januari 2006) menyarankan agar jumlah lapisan tersembunyi tidak lebih dari 7 lapisan karena dengan jumlah lapisan lebih dari itu ketidakstabilan jaringan akan mudah sekali terjadi. Hasil pelatihan JSTPB dengan jumlah lapisan tersembunyi yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 30. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, fungsi aktivasi yang digunakan pada seluruh model ini adalah fungsi sigmoid bipolar (tansig) pada setiap lapisan tersembunyi sedangkan pada lapisan keluarannya digunakan fungsi linier (purelin). Tabel 18 dan Gambar 30 menunjukkan bahwa jumlah lapisan dalam JSTPB menentukan jumlah iterasi dan nilai MSE. Susunan angka pada Tabel 18 kolom 2 seperti pada baris 4 (model jaringan ke-3) adalah artinya, lapisan

123 98 tersembunyi pada model jaringan ke-3 berjumlah 3 lapisan dengan 5 buah unit sel tersembunyi pada setiap lapisannya. Gambar 30 memperlihatkan dengan jelas fluktuasi jumlah iterasi akibat variasi jumlah lapisan tersembunyi. Jumlah iterasi terbesar (=865) didapatkan ketika lapisan tersembunyi berjumlah 7 lapisan sedangkan yang terkecil (=6) didapatkan ketika lapisan tersebunyi berjumlah 1 lapisan. Gambar yang sama juga memperlihatkan adanya kecenderungan dimana nilai MSE membesar ketika jumlah lapisan diperbanyak walaupun tetap dalam batas toleransi (<0,001). Nilai MSE terbesar (9,9258 x 10-4 ) didapatkan ketika lapisan tersembunyi berjumlah 7 lapisan (model 7) sedangkan nilai MSE terkecil (2,6087 x 10-5 ) didapatkan ketika lapisan tersembunyi berjumlah 1 lapisan (model 1). (a) (b) Gambar 30 Grafik hasil pelatihan berdasarkan arsitektur jaringan yang berbeda dengan fungsi aktivasi tansig-purelin (a) Model JSTPB Vs Jumlah iterasi (b) Model JSTPB Vs MSE.

124 99 Tabel 18 Perbandingan hasil pelatihan berdasarkan arsitektur jaringan yang berbeda dengan fungsi aktivasi tansig-purelin. Model Jaringan Arsitektur Jaringan Jumlah Iterasi M S E < (5-1) 6 2,6087 x (5-5-1) 23 1,6288 x ( ) 131 1,1706 x ( ) 13 8,3708 x ( ) 50 2,6559 x ( ) 26 6,3735 x ( ) x 10-4 Dari penjelasan di atas ditetapkan bahwa jumlah lapisan tersembunyi berpengaruh terhadap kecepatan kerja jaringan JSTPB. Dalam disertasi ini jumlah awal lapisan tersembunyi adalah sebanyak 1 lapisan dengan 5 unit sel tersembunyi. Jika dengan arsitektur seperti ini fungsi tujuan tidak dapat dicapai maka jumlahnya dapat ditambah hingga jumlah maksimal 7 lapisan. 5) Jumlah pola pelatihan Tahapan ini dilakukan untuk menentukan jumlah minimal data pelatihan yang diperlukan agar kerja jaringan dapat dioptimalkan. Dalam disertasi ini kawanan ikan yang akan diidentifikasi adalah 4 spesies kawanan lemuru dan 1 kawanan non-lemuru, karenanya secara teoritis diperlukan minimal 5 pola masukan untuk dapat melakukan identifikasi sedangkan jumlah pola selanjutnya adalah 6, 7, 8 atau sebanyak kelipatan dari 5. Hal ini sejalan dengan Hecht- Nielsen (1990) yang diacu Haralabous & Georgakarakos (1996) yang menyarankan agar penentuan jumlah minimum data yang diperlukan ditentukan dengan Metode Leaving-one-out. Hasil pelatihan JSTPB dengan junlah pola masukan yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 31.

125 100 (a) (b) Gambar 31 Grafik hasil pelatihan dengan jumlah pola masukan yang berbeda (a) Jumlah pola masukan Vs Jumlah Iterasi (b) Jumlah pola masukan Vs M S E. Gambar 31 memperlihatkan hasil pelatihan yang dilakukan dengan pola masukan yang berbeda-beda. Pada gambar tersebut tampak terlihat bahwa jumlah iterasi dan nilai MSE cenderung bertambah besar ketika jumlah pola latihan diperbanyak. Jumlah iterasi terkecil (=6) didapatkan ketika pola data pelatihan berjumlah 5 buah, sedangkan nilai maksimumnya (=1500) dicapai ketika pola data pelatihannya berjumlah 50 buah. Dari gambar yang sama tampak terlihat bahwa nilai MSE terkecil (=7,0953 x 10-7 ) didapatkan ketika pola data pelatihan berjumlah 5 buah dan nilai terbesarnya (=0,0186) didapatkan ketika pola data pelatihan berjumlah 50 buah. Karenanya, jumlah pola data pelatihan yang digunakan dapat berjumlah antara 5 hingga +50 jumlah pola latihan. Pada kisaran pola data tersebut jumlah iterasi berkisar antara 5 hingga 203 iterasi sedangkan nilai MSE yang dapat dicapai berkisar antara 7,0953 x 10-7 hingga x 10-4 (<0,001). Peningkatan nilai MSE ketika jumlah pola data ditambah seperti terlihat pada Gambar 31 disebabkan karena galat yang timbul akibat salah melakukan identifikasi pola masukan ke-n juga dibebankan ke proses identifikasi pola ke-

126 101 (n+1). Sebagaimana terlihat pada Gambar 27, pembebanan ini dilakukan dengan menjadikan bobot akhir proses identifikasi pola ke-n, yang koreksinya dihitung berdasarkan nilai galat pola ke-n, menjadi bobot awal proses identifikasi pola ke- (n+1). Karenanya, secara teoritis nilai MSE akan membesar ketika jumlah galat hasil identifikasi pola-pola sebelumnya menumpuk pada pola-pola berikutnya. Berdasarkan hasil pemodelan jaringan yang dilakukan diatas maka model awal yang akan digunakan untuk identifikasi dan klasifikasi kawanan ikan adalah model JSTPB 1 yang terdiri dari 1 lapisan masukan dengan 8 unit sel masukan, sesuai banyaknya deskriptor utama hasil analisis statistik, 1 lapisan tersembunyi dengan 5 unit sel tersembunyi, sesuai banyaknya spesies kawanan ikan hasil analisis statistik, dan 1 lapisan keluaran dengan 1 unit sel keluaran (Y k ; k = 1). Model ini menggunakan fungsi aktivasi sigmoid bipolar di lapisan tersembunyi dan fungsi aktivasi linier di lapisan keluaran dan bekerja dengan metode pelatihan Levenberg-Marquardt dengan pola data masukan berjumlah 56 buah Hasil perancangan akhir dan uji coba JSTPB Pengujian model JSTPB dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana model JSTPB yang dipilih pada tahap perancangan dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi kawanan ikan. Komposisi awal data latih dan data uji yang digunakan dalam pengujian ini adalah 56 pola data pada data uji dan 58 pola data pada data latih. Pengujian dilakukan dengan melakukan simulasi data uji pada model JSTPB1, JSTPB2, dan JSTPB3. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, jaringan dinyatakan dapat bekerja secara optimal jika nilai MSE<0,001, jumlah iterasi< 1500, dan ketepatan hasil identifikasi > 70%. Setelah dilakukan pengujian model JSTPB1 dengan pola data uji dan latih masing-masing sebanyak 56 dan 58 pola dengan berbagai alternatif model jaringan, didapatkan bahwa tingkat ketepatan identifikasi terbaik dihasilkan saat komposisi pola data uji dan latih masing-masing sebanyak 30 dan 84 pola atau jumlah pola data uji sebesar 26,3% dari total data yang tersedia atau 35,7% dari total data latih dengan arsitektur JSTPB sebagai berikut.

127 102 1) Uji JSTPB1 Pada Tabel 19 dapat dilihat deskriptor yang digunakan pada unit sel masukan. Deskriptor ini sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya adalah deskriptor utama yang didapatkan dari hasil analisis statistik diskriminan. Tabel 19 Deskriptor pada unit sel masukan JSTPB1 No Deskriptor Definisi Satuan 1 Panjang, L Jarak antar individu ikan terdepan dan terbelakang m dalam kawanannya 2 Tinggi, H Jarak antara individu ikan teratas dan terbawah m dalam kawanannya 3 Luas, A Luas kawanan ikan. m 2 4 Keliling, P Keliling citra akustik kawanan ikan m 5 Elongasi, E Perbandingan antara panjang dan tinggi kawanan m 6 Ketinggian relatif, Trel 7 Rataan Hamburan Balik Sv, Er 8 Densitas volume, Dv Jarak terdekat antara rataan tinggi kawanan ke dasar dibandingkan kolom perairan Rataan intensitas pantulan hamburan balik oleh individu ikan yang berada dalam volume air tertentu Biomassa ikan per satuan volume gr/m 3 % db Gambar 32 (a) memperlihatkan banyaknya iterasi (epoch) yang diperlukan untuk mendapatkan hasil pelatihan yang sesuai dengan batas toleransi galat yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada gambar tersebut tampak bahwa nilai MSE>1 pada awal hitungan, nilai ini secara konsisten terus mengecil hingga hitungan iterasi ke-218. Pada hitungan iterasi ke-218 didapatkan nilai MSE terkecil yaitu sebesar 0, Gambar 32 (b) menunjukkan perubahan tingkat ketepatan identifikasi yang dihasilkan jaringan setelah dilakukan hitungan iterasi sebanyak 10 kali. Gambar tersebut menunjukkan tingkat ketepatan dibawah 40% dicapai diawal hitungan sedangkan pada hitungan iterasi ke-10 tingkat ketepatan mencapai 100%. Ini berarti bahwa pada hitungan iterasi ke-10 seluruh data uji dapat diidentifikasi dengan benar. Pada saat itu hitungan iterasi<1500, nilai MSE<0,001, dan tingkat ketepatan hitungan 100%. Hasil identifikasi dapat dilihat pada Tabel 20.

128 103 (a) (b) Gambar 32 Hasil simulasi data uji model JSTPB1 dengan arsitektur 8(8-1) dengan Metode Pelatihan Levenberg-Marquard. Tabel 20 menunjukkan hasil identifikasi dan klasifikasi yang dilakukan dengan JSTPB1. Pada tabel tersebut tampak bahwa seluruh anggota kelompok kawanan ikan dapat diidentifikasi dengan benar sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Dari total 30 kawanan ikan data uji yang dikelompokkan kedalam 5 kelompok kawanan non-lemuru (N), sempenit (S), lemuru (L), campuran (C) dan protolan (P), ketigapuluh kawanan tersebut dapat diidentifikasi sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Tabel 20 Hasil identifikasi dan klasifikasi dengan JSTPB1 J K Jml. Hasil identifikasi 1:N 2:S 3:L 4:C 5:P 1:N 3 3(100%) :S 9 0 9(100%) :L (100%) 0 0 4:C (100%) 0 5:P (100%) Total

129 104 Gambar 33 memperlihatkan kontribusi masing-masing deskriptor dalam JSTPB1. Dari kedelapan deskriptor yang digunakan, kelompok deskriptor morfometrik (P, A, L, El, H) berkontribusi paling besar dalam proses identifikasi dan klasifikasi, diikuti kelompok deskriptor batimetrik (Trel) dan kelompok deskriptor energetik (Dv, Er). A P Deskriptor Trel Dv E L Er H Tingkat Kontribusi Gambar 33 Diagram Pareto JSTPB1. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa model jaringan JSTPB1 dengan 8 unit sel masukan pada lapisan masukan, 8 unit sel tersembunyi pada 1 lapisan tersembunyi, dan 1 unit sel keluaran pada 1 lapisan keluaran dapat digunakan dengan baik untuk mengidentifikasi dan klasifikasi 30 data kawanan ikan uji dengan ketepatan hingga 100%. 2) Uji JSTPB2 Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, deskriptor masukan yang digunakan dalam JSTPB2 jumlahnya sama dengan jumlah deskriptor yang digunakan dalam analisis statistik diskriminan yaitu limabelas deskriptor. Deskriptor tersebut digunakan sebagai unit sel masukan pada JSTPB2 dapat dilihat pada Tabel 13. Gambar 34 (a) memperlihatkan jumlah iterasi (epoch) yang diperlukan JSTPB2 untuk mendapatkan hasil pelatihan yang sesuai dengan batas toleransi galat yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada gambar tersebut tampak bahwa nilai MSE>1 pada awal hitungan, nilai ini secara konsisten terus mengecil hingga hitungan iterasi ke-6. Pada hasil hitungan iterasi ke-6 didapatkan nilai MSE terkecil yaitu sebesar 7,73x10-6.

130 105 Gambar 34 (b) menunjukkan perubahan tingkat ketepatan identifikasi yang dihasilkan jaringan setelah dilakukan hitungan iterasi sebanyak 32 kali. Gambar tersebut menunjukkan tingkat ketepatan dibawah 70% dicapai diawal hitungan sedangkan pada hitungan iterasi ke-32 tingkat ketepatan mencapai 70%. Ini berarti bahwa setelah hitungan iterasi ke-32, 70% dari total 30 data uji dapat diidentifikasi dengan benar. Pada saat itu hitungan iterasi<1500, nilai MSE<0,001. Hasil identifikasi dapat dilihat pada Tabel 21. (a) (b) Gambar 34 Hasil simulasi data uji model JSTPB2 15(15-1) dengan Metode Pelatihan Levenberg-Marquard. Pada Tabel 21 tampak bahwa seluruh anggota kelompok kawanan Nonlemuru dapat diidentifikasi dengan benar, sedangkan anggota kelompok kawanan ikan lainnya sebagian dapat diidentifikasi dengan benar, sebagian lainnya teridentifikasi sebagai anggota kawanan ikan lain dan 1 anggota kawanan lemuru dan campuran tidak dapat diidentifikasi (Tidak Dikenali, T.D).

131 106 Tabel 21 Hasil identifikasi dan klasifikasi dengan JSTPB2 JK Jml. Hasil identifikasi 1:N 2:S 3:L 4:C 5:P T.D 1:N 4 4(100%) :S 7 0 3(42,9%) 3(42,9%) 1(14,2%) 0 0 3:L (80%) 0 0 1(20%) 4:C (83,3%) 0 1(16,7%) 5:P 8 1(12,5%) 1(12,5%) 0 1(12,5%) 5(62,5%) 0 Total Pada Gambar 35 dapat dilihat kontribusi masing-masing deskriptor dalam proses identifikasi dan klasifikasi dengan JSTPB2. Dari ke-15 deskriptor yang digunakan, 8 deskriptor yang menunjukkan kontribusi paling besar adalah deskriptor Er, A, Ku, H, P, Sk, El, dan L. Kedelapan deskriptor tersebut adalah deskriptor dari kelompok deskriptor morfometrik dan energetik. Dari kedelapan deskriptor tersebut, kelompok deskriptor morfometrik adalah kelompok deskriptor yang berpengaruh besar dalam proses identifikasi dan klasifikasi JSTPB2 dengan 5 deskriptor. Kedelapan deskriptor selanjutnya digunakan sebagai deskriptor masukan pada JSTPB3. Deskriptor Dr Tmin Df Es d Dv P S E L Trel Dm in K H A Er Tingkat Kontribusi Gambar 35 Diagram Pareto JSTPB2. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa model jaringan JSTPB2 dengan 15 unit sel masukan pada 1 lapisan masukan, 15 unit sel tersembunyi pada

132 107 1 lapisan tersembunyi, dan 1 unit sel keluaran pada 1 lapisan keluaran dapat digunakan dengan baik untuk identifikasi dan klasifikasi kawanan ikan dengan ketepatan hingga 70%. 3) Uji JSTPB3 Deskriptor yang digunakan sebagai unit sel masukan pada JSTPB3 dapat dilihat pada Tabel 22 berikut ini. Deskriptor-deskriptor ini adalah hasil dari analisis tingkat kontribusi yang dilakukan pada JSTPB2. Tabel 22 Deskriptor pada unit sel masukan JSTPB3 No Deskriptor Definisi Satuan 1 Panjang, L Jarak antar individu ikan terdepan dan terbelakang m dalam kawanannya 2 Tinggi, H Jarak antara individu ikan teratas dan terbawah m dalam kawanannya 3 Luas, A Luas kawanan ikan. m 2 4 Keliling, P Keliling citra akustik kawanan ikan m 5 Elongasi, E Perbandingan antara panjang dan tinggi kawanan m 6 Skewness, S Ukuran sebaran data terhadap nilai rataannya 7 Rataan Hamburan Balik Sv, Er Rataan Intensitas pantulan hamburan balik oleh individu ikan yang berada dalam volume air tertentu 8 Kurtosis, K Ukuran sebaran data terhadap sebaran normalnya db Pada Gambar 36 (a) diperlihatkan banyaknya iterasi (epoch) yang diperlukan untuk mendapatkan hasil pelatihan yang sesuai dengan batas toleransi galat yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada gambar tersebut tampak bahwa nilai MSE>1 pada awal hitungan dan nilai ini secara konsisten terus mengecil hingga hitungan iterasi ke-42. Pada hitungan iterasi ke-42 didapatkan nilai MSE terkecil yaitu sebesar 0, Pada Gambar 36 (b) ditunjukkan perubahan tingkat ketepatan identifikasi yang dihasilkan jaringan setelah dilakukan hitungan iterasi sebanyak 50 kali. Gambar tersebut menunjukkan tingkat ketepatan dibawah 50% dicapai diawal hitungan sedangkan pada hitungan iterasi ke-14 tingkat ketepatan mencapai 73,33%. Ini berarti bahwa setelah hitungan iterasi ke-14, 22 dari 30 data uji dapat

133 108 diidentifikasi dengan benar. Pada saat itu hitungan iterasi<1500, nilai MSE<0,001, dan tingkat ketepatan hitungan 73,33%. Hasil identifikasi dapat dilihat pada Tabel 23. (a) (b) Gambar 36 Hasil simulasi data uji model JSTPB3 8(8-1) dengan Metode Pelatihan Levenberg-Marquard. Tabel 23 menunjukkan hasil identifikasi dan klasifikasi yang dilakukan dengan Metode JSTPB. Pada tabel tersebut tampak bahwa seluruh anggota kelompok kawanan non-lemuru dapat diidentifikasi dengan benar, sedangkan anggota kelompok kawanan ikan lainnya sebagian dapat diidentifikasi dengan benar, sebagian lainnya teridentifikasi sebagai spesies kawanan ikan lain, 1 anggota kawanan sempenit dan lemuru tidak dapat dikenali. Dari kelima spesies kawanan ikan, tingkat ketepatan terendah dalam identifikasi terlihat pada kawanan sempenit dengan 57,1%.

134 109 Tabel 23 Hasil identifikasi dan klasifikasi JSTPB3 JK Jml. Hasil identifikasi 1:N 2:S 3:L 4:C 5:P T.D 1:N 4 4(100%) :S 7 0 4(57,1%) 1 (14,3%) 1(14,3%) 0 1(14,3%) 3:L 5 0 1(20%) 3(60%) 0 0 1(20%) 4:C (16,7%) 5(83,3%) 0 0 5:P 8 0 1(12,5%) 0 1(12,5%) 6 (75%) 0 Total Pada Gambar 37 ditunjukkan kekuatan pengaruh kedelapan deskriptor dalam proses identifikasi dan klasifikasi JSTPB3. Dengan urutan kekuatan kontribusi seperti pada gambar tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kelompok deskriptor morfometrik adalah kelompok deskriptor yang paling berperan dalam JSTPB3. L P Deskriptor E S Er H K A Tingkat Kontribusi Gambar 37 Diagram Pareto JSTPB3. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa model jaringan JSTPB3 dengan 8 unit masukan pada 1 lapisan masukan, 8 unit sel tersembunyi pada 1 lapisan tersembunyi, dan 1 unit sel keluaran pada 1 lapisan keluaran dapat bekerja secara optimal untuk identifikasi dan klasifikasi kawanan ikan dengan ketepatan hingga 73,33%.

135 110 Galat hasil identifikasi yang terukur pada JSTPB2 dan JSTPB3 diduga karena beberapa data deskriptor citra akustik dari kelompok kawanan ikan satu dengan lainnya bertampalan atau hampir bertampalan (overlap) sebagaimana terlihat pada Gambar 23. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa, fungsi diskriminan 1 dan 2 hanya dapat membedakan dengan benar 81,7% data uji, dengan demikian 18,3% sisanya dapat teridentifikasi sebagai anggota kelompok kawanan lain. Kemungkinan lain dikemukakan oleh Simmonds et al.(1996) yang mengatakan bahwa galat hasil identifikasi dapat disebabkan karena kemiripin tingkah laku ikan yang diamati. Hasil hitungan JSTPB1, JSTPB2, dan JSTPB3 dapat dilihat masing-masing pada Lampiran 12, 13, dan Pembahasan Dari hasil perancangan awal dan pelatihan JSTPB serta hasil analisis statistik, didapatkan model awal JSTB yang bekerja dengan metode pelatihan Levenberg-Marquardt. Model ini tersusun dari 8 unit sel masukan pada lapisan masukan, 5 unit sel tersembunyi pada lapisan tersembunyi dan 1 unit sel keluaran pada 1 lapisan keluaran, model 8(5-1). Penggunaan metode pelatihan Levenberg-Marquardt sebagaimana disebutkan di atas didasarkan pada kemampuan metode pelatihan ini untuk mencapai fungsi tujuannya dengan lebih cepat dibandingkan dengan metode pelatihan lainnya (lihat Tabel 17). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Demuth & Beale (1998) yang juga menemukan hal yang sama. Kecepatan pemrosesan data yang ditunjukkan metode pelatihan Levenberg-Marquardt diduga karena metode ini menggunakan Algoritma Newton yang sudah dikembangkan. Kreyszig (1988) mengemukakan bahwa algoritma Newton adalah algoritma yang efisien yang dapat digunakan untuk menyelesaikan operasi-operasi matriks. Karena itu, penyelesaian Matriks Hesian dapat dilakukan dengan lebih cepat dan dengan penggunaan memori komputer yang lebih sedikit (Demuth & Beale, 1998). Hasil perancangan awal dan pelatihan JSTPB juga menunjukkan bahwa setelah unit sel masukan berjumlah lebih besar dari 18, nilai MSE dan iterasi hitungan mencapai nilai yang melebihi batas toleransi (lihat Gambar 28). Hal ini

136 111 menunjukkan bahwa penambahan jumlah unit sel masukan berpengaruh terhadap kecepatan dan ketepatan pencapaian fungsi tujuan. Fausett (1994) mengemukakan bahwa kecenderungan peningkatan nilai galat selama berlangsungnya proses pelatihan, mengindikasikan bahwa JSTPB telah kehilangan kemampuannya dalam merampat pola-pola masukan yang diberikan, pada kondisi seperti itu proses pelatihan sebaiknya dihentikan. Dengan demikian pencapaian fungsi tujuan dan ketepatan hasil identifikasi yang memadai dapat dilakukan jika unit sel masukan berkisar antar 8 hingga 17deskriptor. Hasil perancangan awal dan pelatihan JSTPB juga menunjukkan bahwa penambahan jumlah unit sel tersembunyi pada lapisan tersembunyi mengakibatkan proses pencapaian fungsi tujuan dapat dilakukan dengan lebih cepat (jumlah iterasi berkurang) seperti terlihat pada Gambar 29. Hal ini sejalan dengan Fausett (1994) yang juga menemukakan hal yang sama ketika membandingkan kecepatan pemrosesan data yang dilakukan dengan jumlah unit sel tersembunyi yang berbeda. Hal yang sebaliknya terjadi jika jumlah lapisan tersembunyi diperbanyak. Gambar 30 menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah lapisan tersembunyi maka semakin lambat proses hitungan dilakukan dan semakin besar nilai MSE yang dihasilkan, dengan kata lain semakin banyak jumlah iterasi hitungan yang diperlukan. Fausett (1994) mengemukakan bahwa pada kondisi tertentu JSTPB hanya memerlukan cukup 1 lapisan tersembunyi untuk mendapatkan hasil identifikasi dengan ketepatan yang memadai, sedangkan pada kondisi lainnya 2 lapisan tersembunyi dapat membuat proses pelatihan jaringan menjadi lebih mudah. Model hasil rancangan awal selanjutnya diuji coba dengan menggunakan data uji dengan komposisi awal data latih dan data uji 58:56.. Hasil uji coba menunjukkan bahwa model JSTPB 8(5-1) tidak dapat meberikan hasil yang memadai dalam proses identifikasi dan klasifikasi data uji, karenanya dilakukan pemodelan ulang. Dari hasil pemodelan ulang didapatkan 3 model JSTPB yaitu JSTPB1 8(8-1), JSTPB2 15(15-1) dan JSTPB3 8(8-1). Ketiga JSTPB ini dapat mencapai fungsi tujuan dengan jumlah iterasi<1500 dan ketepatan >70%. Hasil pemodelan ulang ini dapat dicapai setelah komposisi data latih dan uji diubah menjadi 84:30.

137 112 Hal ini mengindikasikan bahwa ketiga JSTPB layak digunakan untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi kawanan ikan lemuru. Walaupun demikian, Gambar 32(b), 34(b) dan 36(b) menunjukkkan bahwa hanya JSTPB1 yang menunjukkan adanya kecenderungan yang nyata dimana nilai ketepatan akan meningkat ketika jumlah iterasi diperbanyak. Hal sebaliknya terlihat pada Gambar 34(b) dan 36(b). Pada kedua gambar ini, nilai ketepatan tidak mengalami peningkatan seiring dengan penambahan jumlah iterasi hitungan. Dengan demikian peluang untuk mendapatkan hasil identifikasi yang memadai akan lebih besar jika identifikasi dan klasifikasi dilakukan dengan model JSTPB Kesimpulan Dari penjelasan di atas disimpulkan bahwa; (1) JSTPB1 dengan model 8(8-1), JSTPB2 dengan model 15(15-1), dan JSTPB3 dengan model 8(8-1) dan dengan metode pelatihan Levenberg- Merquardt (trainlm), layak digunakan untuk identifikasi dan klasifikasi kawanan lemuru. (2) Fungsi aktivasi tansig dan purelin pada lapisan tersembunyi dan keluarannya, dapat digunakan dengan baik untuk mengidentifikasi spesies kawanan lemuru dengan ketepatan antara %. (3) Untuk mencapai tingkat ketepatan yang demikian, dibutuhkan maksimal 35,7% data uji dari total data latih yang tersedia atau 30 pola data uji dengan 84 pola data latih.

138 7 PEMBAHASAN UMUM Sesuai tujuan utama, penelitian dalam disertasi ini difokuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan penggunaan Metode JST dalam bidang perikanan. Dari hasil penelitian ini didapatkan arsitektur JST yang ideal yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi dan klasifikasi kawanan ikan pelagis, khususnya kawanan lemuru (sardinella lemuru). Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, penggunaan JST dilakukan dengan pendekataan akustik dengan menggunakan deskriptor akustik sebagai masukan jaringan dan berdasarkan masukan tersebut identifikasi dan klasifikasi kawanan lemuru dengan JST dilakukan. Hasil identifikasi dan klasifikasi dengan JST selanjutnya dibandingkan dengan hasil yang sama yang dilakukan dengan Metode Statistik. Dalam bab ini dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan; (1) karakteristik lemuru berdasarkan hasil analisis statistik deskriptor akustik, (2) hasil identifikasi dan klasifikasi dengan Metode JSTPB. Data yang digunakan dalam analisis statistik dan JSTPB dapat dilihat pada Lampiran Karakteristik Kawanan Lemuru Lemuru adalah spesies ikan pelagis yang membetuk kawanan ketika sedang beruaya. Hasil analisis statistik terhadap 56 kawanan lemuru menunjukkan bahwa dari 56 kawanan yang teridentifikasi dan terklasifikasi didapatkan bahwa +89% dari kawanan tersebut adalah kawanan lemuru (50 kawanan) sedangkan 11% sisanya (6 kawanan) adalah kawanan non-lemuru. Wudianto (2001) menduga kawanan non-lemuru ini adalah kawanan layang atau tongkol. Statistik ini tampaknya sejalan dengan hasil penelitian Budiharjo et al. (1990) yang menyebutkan bahwa +80% hasil tangkapan ikan di Perairan Selat Bali adalah spesies lemuru. Lebih lanjut Wudianto (2001) mengemukakan bahwa 98,76% hasil tangkapan ikan di Perairan Selat Bali pada bulan November adalah spesies lemuru.

139 114 Hasil analisis statistik juga menunjukkan bahwa kawanan lemuru di Perairan Selat Bali dapat dibedakan atas 4 spesies kawanan yaitu kawanan lemuru sempenit, protolan, lemuru, dan campuran. Kawanan campuran dapat terdiri dari campuran antara sempenit dan protolan, sempenit dan lemuru, protolan dan lemuru, atau campuran dari ketiganya (Fauziyah, 2005). Dilihat dari ukuran tubuhnya yang dihitung dengan persamaan 12, kawanan sempenit adalah kawanan ikan dengan rataan ukuran tubuh terkecil dan menyerupai ukuran tubuh kawanan protolan dengan ukuran tubuh masing-masing berkisar antara (10,34-15,47Cm) dan (11,39-14,52Cm), ukuran tubuh lemuru sedikit lebih besar dengan kisaran antara (11,82-19,08Cm), sedangkan ukuran non-lemuru hampir sama dengan ukuran sempenit dan protolan berkisar antara (10,93-14,52Cm). Sebagaimana diketahui, ukuran tubuh ikan berkorelasi linier (lihat persamaan 4.1) dengan nilai rataan target strength yang berkorelasi negatif signifikan dengan panjang kawanan sedangkan panjang kawanan ikan berperan sebagai deskriptor utama dalam membedakan kelompok ikan. Karena itu ukuran tubuh yang hampir sama besar ini diduga menjadi penyebab beberapa kawanan sempenit teridentifikasi sebagai protolan atau lemuru atau sebaliknya. Hasil analisis statistik juga menunjukkan bahwa karakteristik bentuk dan struktur kawanan ikan dapat dibedakan pada siang dan malam hari. Pada siang hari antara jam , jumlah kawanan ikan yang terdeteksi sebanyak 41 kawanan dengan rincian 16 kawanan sempenit, 12 kawanan lemuru, 7 kawanan campuran, dan 6 kawanan protolan, sedangkan pada malam hari antara jam jumlah kawanan ikan yang terdeteksi sebanyak 15 kawanan dengan rincian 9 kawanan protolan, dan 6 kawanan non-lemuru. Hasil analisis menunjukkan bentuk kawanan ikan yang terdeteksi pada malam hari tampak lebih panjang dan pipih dibandingkan dengan bentuk kawanan ikan pada siang hari. Akan tetapi, pada malam hari densitas kawanan ikan tampak lebih rendah dibandingkan dengan densitas kawanan ikan pada siang hari. Pada malam hari kawanan ikan cenderung berada lebih dekat ke permukaan dibandingkan pada siang hari. Freon & Misund (1999) mengemukakan bahwa sebagian besar ikan pelagis membentuk kawanan dalam ukuran besar pada malam hari dengan densitas rendah, sedang pada siang hari membentuk kawanan lebih kecil dengan densitas

140 115 lebih tinggi. Hal ini tampaknya sejalan dengan He (1989) yang menyatakan bahwa pada malam hari kawanan ikan akan tampak terpecah dan bergerak ke arah yang berbeda tetapi sisanya akan membentuk kawanan yang sangat panjang. Hal ini diduga terjadi selain karena ikan pelagis aktif mencari makan pada malam hari (Pitcher & Parish, 1982), juga karena bentuk kawanan yang panjang dan utuh memudahkan ikan pelagis menemukan lokasi makanan dan terhindar dari pemangsanya (Freon & Misund, 1999). Nilai deskriptor juga menunjukkan bahwa pada malam hari kawanan ikan membentuk struktur kawanan dimana ikan dengan ukuran tubuh lebih kecil cenderung berada pada lapisan lebih dekat ke permukaan sedangkan ikan dengan ukuran tubuh yang lebih besar cenderung berada pada lapisan yang lebih dalam. Ikan dengan ukuran tubuh lebih kecil cenderung membentuk kawanan yang lebih panjang, lebih tinggi, lebih pipih dengan bentuk yang lebih beraturan tetapi dengan intensitas hamburan balik yang lebih rendah dibandingkan dengan kawanan ikan dengan ukuran tubuh yang lebih besar. Hasil analisis diskriminan juga menunjukkan bahwa dari 8 deskriptor utama yang dihasilkan, 5 berasal dari kelompok deskriptor morfometrik yaitu deskriptor L, A, P, E pada fungsi diskriminan 1 dan H pada fungsi diskriminan 2, 1 berasal dari kelompok deskriptor batimetrik yaitu Trel pada fungsi diskriminan 1, dan 2 berasal dari kelompok deskriptor energetik yaitu Er dan Dv keduanya pada fungsi diskriminan 2, lihat Tabel 14. Dengan demikian, berdasarkan hasil analisis statistik dapat disimpulkan bahwa kelompok deskriptor morfometrik memegang peranan sangat penting dalam membedakan kelompok ikan yang satu dengan lainnya, diikuti kelompok deskriptor energetik dan batimetrik. Kedelapan deskriptor yang dimaksud adalah deskriptor ukuran panjang (L), tinggi (H), elongasi (E), luas (A), keliling ketinggian relatif (Trel), rataan intensitas hamburan balik SV (Er), dan densitas volume (Dv). Hasil lengkap analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 10, Jaringan Saraf Tiruan Perambatan Balik Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, terdapat 3 tipe JSTPB yang dirancang untuk digunakan dalam mengidentifikasi dan mengklasifikasi kawanan ikan. Ketiga JSTPB tersebut adalah JSTPB1, JSTPB2, dan JSTPB3. JSTPB1

141 116 adalah jaringan saraf dimana jumlah unit sel masukannya sama dengan jumlah deskriptor utama hasil analisis statistik diskriminan. JSTPB2 adalah jaringan saraf dimana jumlah unit sel masukannya sama banyaknya dengan jumlah deskriptor yang digunakan dalam analisis diskriminan yaitu sebanyak 15 deskriptor, sedangkan JSTPB3 adalah jaringan saraf dimana jumlah unit sel masukannya sama dengan 8 deskriptor utama yang dihasilkan JSTPB2 melalui analisis tingkat kontribusi dengan Diagram Pareto. Berdasar hasil analisis tingkat kontribusi deskriptor yang dilakukan dengan JSTPB1 diketahui bahwa kelompok deskriptor morfometrik adalah kelompok deskriptor yang memiliki peran yang besar dalam proses identifikasi dan klasifikasi kawanan ikan. Hal yang sama juga terlihat pada hasil identifikasi dan klasifikasi yang dilakukan dengan JSTPB2. Dari 8 deskriptor teratas hasil analisis tingkat kontribusi dengan JSTPB2 tampak bahwa hanya ada 2 kelompok deskriptor yang berperan dalam proses identifikasi dan klasifikasi yaitu kelompok deskriptor morfometrik dan energetik (lihat Gambar 35), dengan perincian, kelompok deskriptor morfometrik terdiri dari 5 deskriptor, yaitu deskriptor panjang (L), tinggi (H), luas (A), elongasi (E), keliling (P) sedangkan kelompok deskriptor energetik terdiri dari 3 deskriptor yaitu deskriptor rataan intensitas energi hamburan balik SV (Er), kurtosis (K), dan skewness (S). Berdasarkan hasil uji jaringan JSTPB3 diketahui urutan tingkat kontribusi dari yang tinggi ke rendah dari kedelapan deskriptor hasil JSTPB2 yang digunakan sebagai deskriptor masukan JSTPB3 adalah sebagai berikut, deskriptor P, L, A, K, E, S, Er, dan H (lihat Gambar 37). Hal yang sama juga dapat dilihat pada hasil penelitian Haralabous & Georgakarakos (1996), Lu & Lee (1995). Hasil penelitian keduanya juga menunjukkan bahwa deskriptor morfometrik berperan besar dalam proses identifikasi dan klasifikasi kawanan ikan, baik yang dilakukan dengan metode statistik maupun yang dilakukan dengan metode JST. Dengan demikian maka hasil uji jaringan JSTPB1, JSTPB2, dan JSTPB3 menempatkan deskriptor morfometrik sebagai deskriptor yang paling berperan dalam proses identifikasi dan klasifikasi, diikuti dengan deskriptor energetik dan batimetrik. Tabel 24 menunjukkan rekapitulasi hasil identifikasi dan klasifikasi yang dilakukan dengan Metode Statistik dan Jaringan Saraf Perambatan Balik 1, 2, dan 3.

142 117 Tabel 24 Rangkuman hasil identifikasi dan klasifikasi dengan metode yang berbeda No. Metode Jumlah Deskriptor Jumlah Data Uji Jumlah Data Latih Jumlah Iterasi Ketepatan 1 Statistik ,2% 2 JSTPB1 8(8-1) % 3 JSTPB2 15(15-1) % 4 JSTPB3 8(8-1) ,33% Dilihat dari jumlah iterasi, dan ketepatan hasil identifikasi, JSTPB1 menunjukkan kerja terbaik dibandingkan dengan kerja Metode Statistik, JSTPB2, dan JSTPB3. Walaupun demikian hasil kerja yang dicapai dengan metode JSTPB 1 tidak lepas dari hasil analisis diskriminan yang memberikan 8 deskriptor masukan untuk JSTPB1, deskriptor utama hasil analisis diskriminan. Tabel 24 juga menunjukkan bahwa dengan jumlah data latih yang lebih sedikit, 35 pola data, identifikasi terhadap 56 data uji dapat dilakukan lebih baik dengan Metode Statistik dibandingkan dengan JSTPB2 dan JSTPB1, dengan tingkat ketepatan hasil identifikasi metode statistik sebesar 98,2% sedangkan dengan JSTPB2 dan JSTPB3 masing-masing dengan 70% dan 73,33%. Hal yang sama juga didapatkan Simmonds et al. (1996) yang menemukan keunggulan metode statitistik jika digunakan pada jumlah data latih yang terbatas, kurang dari 100 pola data. Hasil uji jaringan yang dilakukan dengan jumlah data masukan yang berbeda menunjukkan bahwa semakin banyak data masukan, semakin banyak jumlah iterasi diperlukan. Walaupun demikian Haralabous & Georgakarakos (1996) mengemukakan bahwa penambahan jumlah data masukan dapat meningkatkan tingkat ketepatan hasil identifikasi & klasifikasi. Hasil uji jaringan juga menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah lapisan dan unit sel tersembunyi maka semakin banyak jumlah iterasi hitungan yang diperlukan. Haralabous & Georgakarakos (1996) mengemukakan bahwa penambahan jumlah lapisan tersembunyi berkaitan dengan penambahan jumlah bobot yang diperlukan jaringan, akibatnya jumlah iterasi hitungan bertambah

143 118 banyak. Dalam penelitian ini, selain digunakan jaringan dengan lapisan tersembunyi tunggal juga digunakan jaringan dengan beberapa lapisan tersembunyi. Hasil lengkap hitungan JSTPB1, 2, dan 3 masing-masing dapat dilihat pada Lampiran 12, 13, dan 14.

144 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan Dalam disertasi ini Metode JSTPB dan Analisis Statistik digunakan untuk melakukan identifikasi dan klasifikasi kawanan lemuru, protolan, sempenit, campuran dan non-lemuru. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecepatan dan ketelitian identifikasi dan klasifikasi dengan JSTPB dapat ditingkatkan dengan menggunakan model JST, deskriptor utama, dan komposisi data latih dan data uji yang tepat. Tingkat ketepatan identifikasi yang dapat dicapai dengan Metode Statistik, JSTPB1, JSTPB2, dan JSTPB3 adalah masing sebesar 98,2%, 100%, 70%, dan 73,3% dengan jumlah iterasi masing-masing 8, 10, 32, dan 14 iterasi. Dari hasil identifikasi dan klasifikasi yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa: (1) Dengan ketepatan seperti yang disebutkan diatas, model JSTPB1 dan JSTPB3 dengan arsitektur 8(8-1), dan JSTPB2 dengan arsitektur 15(15-1) layak digunakan untuk identifikasi dan klasifikasi kawanan ikan. (2) Kelompok deskriptor morfometrik adalah kelompok deskriptor yang sangat berperan dalam proses identifikasi dan klasifikasi, diikuti kelompok deskriptor energetik dan kelompok deskriptor batimetrik. Dari kelompok deskriptor morfometrik dihasilkan deskriptor panjang (L), tinggi (H), luas (A), elongasi (E), dan keliling (P) sedangkan dari kelompok deskriptor energetik dihasilkan deskriptor rataan intensitas hamburan balik SV (Er), densitas volume (Dv) dan dari kelompok deskriptor batimetrik dihasilkan deskriptor ketinggian relatif (Trel). (3) Dilihat dari jumlah data yang dibutuhkan maka identifikasi dengan JSTPB1, JSTPB2, JSTPB3 dapat dilakukan dengan baik jika data uji berjumlah 26,3% dari total data yang tersedia atau 35,7% dari total data latih yang tersedia. Dalam disertasi ini, komposisi data uji dan data latih yang digunakan masingmasing adalah 30 dan 84 pola data.

145 Saran Pemodelan jaringan saraf tiruan sebaiknya dilakukan seperti pada proses pemodelan JSTPB1 dimana deskriptor masukan ditentukan berdasarkan hasil analisis statistik sedangkan proses selanjutnya dapat dilakukan dengan baik dengan JST. Hasil penelitian menunjukkan proses pemodelan seperti ini akan memberikan hasil yang lebih baik. Mengingat jumlah spesies kawanan ikan pelagis ekonomis yang tersedia dalam penelitian ini terbatas maka disarankan agar dilakukan uji coba jaringan dengan menggunakan jumlah spesies kawanan ikan yang lebih banyak untuk melihat sampai seberapa banyak variasi spesies kawanan ikan yang dapat diidentifikasi dengan baik dengan menggunakan JSTPB1.

146 DAFTAR PUSTAKA [Anonim] Artificial Neural Network in Medicine, ( ). Bahri, T., and Frĕon, P Spatial Structure of Coastal Pelagic Schools descriptors in the Mediterian Sea. Fisheries Research, 48: Barange, M., and Hampton, I Spatial Structure of co-occuring Anchovy and Sardine Population from Accoustic Data Implication for Surveys Design. Fisheries Oceanography, 6(2): Blaxter, J.S.H., and Hunter, J.R The Biology of the Clupeoid Fishes, Adv. Mar. Biol., 20:1-23. Breder, C.M., and Halpern, F Innate and Acquaired Behaviour affecting the Aggregation of Fishes. Physiol. Zool. Sociobiol., 6: Budiharjo, T., Amin, E.M., dan Rusmaji Estimasi Pertumbuhan dan Tingkat Kematian Ikan Lemuru (sardinella longiceps) di Selat Bali. Jurnal Penelitian Perikanan Laut, 56: Cacoullos, T., and Styan Discriminate Analysis and Applications. Academic Press, New York. Cochrane, K.L., Butterwoth, D.S., De Oliveira, J.A.A., and Roel, B.A Management Procedurs in a Fishery Based on Highly Variable Stocks with Conflicting Objectives: Experiences in the South African Pelagic Fishery. Fish Biology and Fisheries, 8: Coetzee, J Use of Shoal Analysis and Patch Estimation System (SHAPES) to Characterise Sardine Schools. Aquat. Liv. Res., 13(1):1-10. Demuth, H., and Beale, M Neural Network Toolbox for Use with MATLAB, User s Guide Ver [1371] Departemen Kelautan dan Perikanan, ( ) Diner, N., Weill, A., Coail, J.Y., and Coudevil, J.M Ines-Movies : A New Acoustic Data Acquisition and Processing System. ICES Journal of Marine Science, 45:

147 122 Direktorat Jenderal Perikanan Buku Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut. Bagian I: Jenis-Jenis Ikan Ekonomis Penting. Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta [102] Dwiponggo, A., dan Subani, W Masalah Perikanan Lemuru dan Bagan di Selat Bali. LPP 1/7. Laporan Penelitian Perikanan Laut, 1: Fausett, L Fundamentals of Neural Networks, Architectures, Algorithms, and Aplications. Prentice-Hall, Inc., Upper Saddle River, New Jersey [461] Fauziyah Identifikasi, Klasifikasi dan Analisis Struktur Spesies Kawanan Ikan Pelagis Berdasarkan Metode Deskriptor Akustik. Disertasi (tidak dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. [203] Frěon, P., Gerlotto, F., and Soria, M Change in School Structure According to External Stimuli: Description and Influence on Accoustic assesment. Fisheries Research, 15: Frěon, P., and Misund, O.A Dynamic of Pelagic fish Distribution and Behaviour: Effects on Fisheries and Stock Assessmenet. Fishing News Books Ltd. London [348] Georgakarakos, S., and Paterakis, G School : A Software For Fish-School Identification. ICES Journal of Marine Science, 8: Gerlotto, F., and Frĕon, P School Structure Observed in Some Clupeid Species. ICES/FAST Work Group, Olstend, Belgium, April Hara, I Swimming Speed of Sardine School on the Basis of Aerial Survey. Nippon Suisan Gakkaishi. 53(2): Haralabous, J., and Georgakarakos, S Artificial Neural Networks as a Tool for Species Identification of Fish Schools. ICES Journal of Marine Science, 53: He, Pingguo Fish Behaviour and Its Application in Fisheries. Newfoundland and Labrador Institute of Fisheries and Marine Technology [238] Hebb, O.D The Organization of Behaviour. Wiley Publications. Hect-Nielsen (1990). Neurocomputing. Addison-Wesley. MA [433] Inakage, D., and Hirano, T Vertical Distribution of the Japanese Sardine in Relation to Temperature and Thermocline at the Purse Seine Fishing Grounds Southeast of Hokkaido. Bull. Jap.Soc.Sci.Fish., 49(10):

148 123 Jaya, I and Sriyasa, W Fish School Identification in The Bali Straits Using Acoustic Descriptors and Artificial Neural Networks Techniques. International Journal of Remote Sensing and Earth Sciences. Vol.1(4): Kosko, B Neural Networks For Signal Processing. Prentice-Hall International Editions [399] Kreyszig, E Advanced Engineering Mathematics. 6 th ed. John Wiley & Sons. New York [1294] Kusumadewi, S Membangun Jaringan Sel Syaraf Tiruan Menggunakan Matlab & Excel Link. Graha Ilmu. Yogyakarta. [407] Laevastu, T. and Hayes, M.L Fisheries Oceanography and Ecology. Fishing News Books Ltd. London [199] Laevastu, T., and Hela, I Fisheries Oceanography. Fishing News Books Ltd. London [238] Lawrence Introduction to Neural Networks and Expert System. California Scientific Software. [264] Lawson, G.L., Barange, M., and Frĕon, P Species Identification of Pelagic Fish Schools on the South African Continental Shelf Using Acoustic Descriptors and Ancillary Information. ICES J of Marine Science, 58: Lebart, L., Morineau, A., and Piron, M Statistique Exploratoire Multidimensionelle. Dunot, Paris. [439] LeFeuvre, P., Rose, R., Gosine, G.A., Hale, R., Pearson, W., and Khan, R Acoustic Species Identification in the Northwest Atlantic Using Digital Image Processing. University Newfoundland Canada. [14] Lida, K., Mukai, T., and Hwang, D.J Target Strength Measurement of Live Fish Using a Net Cage. Proceeding of the 3 rd JSPS International Seminar on Fisheries Science in Tropical Area. Bali-Island Indonesia, August Lu, H.J., and Lee, K.T Species Identification of Fish Shoals Echograms by an Echo-Signal Image Processing System. J Fisheries Research, 24: MacLennan, D.N., and Simmons, E.J Fisheries Acoustics. Chapman & Hall. London [235]

149 124 Marchal, E., and Petitgas, P Precision of Acoustic Fish Abundance Estimates: Seperating the Number of schools from the Biomass in the Schools. Aquatic Living Resources, 6: Masse, J., and Retiere, N Effect of Number of Transects and Identification Hauls on Acoustic Biomass Estimates Under Mixed Species Condition. Aquatic Living Resources, 8: Mynsky, M., and Papert, S Perceptrons. MIT Press, Cambridge, MA. Misund, O.A Dynamics of Moving Masse Variability in Packing Density, Shape and Size Among Herring, Sprat, and Saithe Schools. ICES. J. Mar. Science, 50: Nguyen, D., and Widrow, B. (1990). Improving the Learning Speed of Two-Layer Neural Networks by Choosing Initial Values of the Adaptive Weight. International Joint Conference on Neural Networks, San Diego. Nugroho, D., Petit, D., Cotel, P., and Luong, N Pelagic Fish Shoals in The Java Sea. Proceed. Acoust. Sem. Akustikan, 2: Pasaribu, P.B., Latumeten, J., and Simbolon, D Acoustic Estimation on Fish Abundance in Makassar Straits, Indonesia. Bull. PSP. Edisi Khusus Akustik Perikanan, VI(2): Patridge, B.L., Pitcher, T., Cullen, J.M., and Wilson, J The threedimensional structure of fish schools, Behav. Ecol. Sociobiol., 6: Pitcher, T.J., and Parish, J.K Function of Shoaling Behaviour in Teleost. Chapman and Hall. London. [439] Radakov, D.V Schooling and Biology of Fish. John Wiley and Sons. New York. [173] Reid, D., Scalabrin, C., Petitgas, P., Masse, J., Auckland, R., Carrera, P., and Georgakarakos S Standart protocol for the analysis of school based data from echo sounder surveys. Fisheries Research, 47: Rumelhard, D.E., and McLelland, J.L PDP models and general issues in cognitive science. MIT Press, Cambridge, MA. [391] Santoso, S Menguasai Statistik di Era Informasi dengan SPSS 12. Elex Media Komputindo, Jakarta. [613] Shaw, E The Development of Schooling Behaviour in Fishes II. Physiol. Zool., 34:

150 125 Siang, J.J Jaringan Syaraf Tiruan dan Programnya Menggunakan Matlab. Penerbit Andi, Yogyakarta. [308] Simmonds, E.J., Armstrong, F., and Copland, P.J Species Identification Using Wideband Backscatter with Neural Network and Discriminant Analysis. ICES Journal of Marine Science, 53: Storbeck, F., and Daan, B Fish Species Recognition Using Computer Vision and a Neural Network. Fisheries Research, 51: Supranto. J., Analisis Multivariat Arti dan Interpretasi. Rineka Cipta. Jakarta [359] Vemuri, V Artificial Neural Networks: Theoritical Concepts. IEEE Computer Society Press. California. USA. [127] Weill, A., Scalabrin, C., and Diner, N MOVIES-B: an Acoustic Detection Description Software, Application to Shoal Species Classification. Aquat. Living Resources, 6: Williams, H., and Pullen, G Schooling Behaviour of Jack Mackarel, Trachurus declivis (Jenyns), Observed in the Tasmanian Purse Seine Fishery. Aust. J. Mar.Freshwater Res., 44: Wudianto Analisis Sebaran dan Kelimpahan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Bleeker, 1853) di Perairan Selat Bali; Kaitannya dengan optimasi penangkapan. Disertasi (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana IPB. Bogor. [221]

151 126 Lampiran 1 Data latih mentah DATA LATIH MENTAH Nomor & Index Kelompok Deskriptor Morfometrik Kelompok Deskriptor Batimetrik Kelompok Deskriptor Enerjetik No. NS Index JK L H A P El Df Dr RAl MinDi MinAl Er Esd Sk Ku D N N N N N N N N S S S S S S S S S L L L L L L L L L L L L L L L C C C C C C C C C C P P P P P P P P P P P P P P P P

152 127 Lampiran 2 Data latih dalam bentuk z-score DATA LATIH DALAM BENTUK ZScore Nomor & Index Kelompok Deskriptor Morfometrik Kelompok Deskriptor Batimetrik Kelompok Deskriptor Enerjetik NS Idx JK L H A P El Df Dr RAl MinAl MinDi Er Esd Sk Ku D 5 1 N N N N N N N N S S S S S S S S S L L L L L L L L L L L L L L L C C C C C C C C C C P P P P P P P P P P P P P P P P

153 128 Lampiran 3 Data latih dalam bentuk bipolar DATA LATIH DALAM BENTUK Bipolar Nomor & Index Kelompok Deskriptor Morfometrik Kelompok Deskriptor Batimetrik Kelompok Deskriptor Enerjetik NS Index JK L H A P El Df Dr RAl MinDi MinAl Er Esd Sk Ku D 5 1 N N N N N N N N S S S S S S S S S L L L L L L L L L L L L L L L C C C C C C C C C C P P P P P P P P P P P P P P P P

154 129 Lampiran 4 Histogram deskriptor hidroakustik data latih Frequency 30 Frequency Mean = Std. Dev. = N = L H Mean = Std. Dev. = N = Frequency 30 Frequency Mean = Std. Dev. = N = A P Mean = Std. Dev. = N = 58

155 130 Lampiran 4 (lanjutan) Frequency 15 Frequency Mean = Std. Dev. = N = El Df Mean = Std. Dev. = N = Frequency 8 6 Frequency Mean = Std. Dev. = N = Dr RAl Mean = Std. Dev. = N = 58

156 131 Lampiran 4 (lanjutan) Frequency 6 Frequency Mean = Std. Dev. = N = MinDi MinAl Mean = Std. Dev. = N = Frequency 10 Frequency Mean = Std. Dev. = N = Er Esd Mean = Std. Dev. = N = 58

157 132 Lampiran 4 (lanjutan) Frequency 6 Frequency Mean = Std. Dev. = N = Sk Ku Mean = Std. Dev. = 0.43 N = Frequency D Mean = Std. Dev. = N = 58

158 133 Lampiran 5 Data uji mentah DATA UJI MENTAH Nomor & Index Kelompok Deskriptor Morfometrik Kelompok Deskriptor Batimetrik Kelompok Deskriptor Enerjetik No. Sampel NS Index JK L H A JI P El DF Dr MinDi MinAl RAl Er Esd Sk Ku TSr D L Ikan dt8 A1 1 N b A2 1 N dt8 A3 1 N dt0 B14 1 N dt0 C4 1 N e D5 1 N b A5 2 S dt0 B1 2 S dt0 B2 2 S e B5 2 S dt8 B13 2 S dt0 B19 2 S c B24 2 S dt0 B28 2 S dt0 B29 2 S b B30 2 S c B31 2 S dt0 B32 2 S dt0 C1 2 S dt9 C5 2 S dt9 C7 2 S b C8 2 S dt0 B7 3 L c B10 3 L e B12 3 L dt0 B18 3 L dt9 B20 3 L b B21 3 L dt0 B22 3 L b B23 3 L dt0 B26 3 L dt9 B27 3 L b C6 3 L dt8 D6 3 L dt0 A4 4 C c B3 4 C d B4 4 C dt0 B6 4 C dt0 B8 4 C b B9 4 C d B11 4 C c A6 5 P b B15 5 P c B16 5 P d B17 5 P dt9 B25 5 P dt8 C2 5 P b C3 5 P dt8 C9 5 P dt8 D1 5 P b D2 5 P c D3 5 P d D4 5 P b D7 5 P c D8 5 P d D9 5 P

159 134 Lampiran 6 Data uji dalam bentuk logaritmik DATA UJI DALAM BENTUK Logaritmik Nomor & Index Kelompok Deskriptor Morfometrik Kelompok Deskriptor Batimetrik Kelompok Deskriptor Enerjetik No. Sampel NS Index JK L H A JI P El Df Dr MinDi MinAl RAl Er Esd Sk Ku TSr D dt8 A1 1 N b A2 1 N dt8 A3 1 N dt0 B14 1 N dt0 C4 1 N e D5 1 N b A5 2 S dt0 B1 2 S dt0 B2 2 S e B5 2 S dt8 B13 2 S dt0 B19 2 S c B24 2 S dt0 B28 2 S dt0 B29 2 S b B30 2 S c B31 2 S dt0 B32 2 S dt0 C1 2 S dt9 C5 2 S dt9 C7 2 S b C8 2 S dt0 B7 3 L c B10 3 L e B12 3 L dt0 B18 3 L dt9 B20 3 L b B21 3 L dt0 B22 3 L b B23 3 L dt0 B26 3 L dt9 B27 3 L b C6 3 L dt8 D6 3 L dt0 A4 4 C c B3 4 C d B4 4 C dt0 B6 4 C dt0 B8 4 C b B9 4 C d B11 4 C c A6 5 P b B15 5 P c B16 5 P d B17 5 P dt9 B25 5 P dt8 C2 5 P b C3 5 P dt8 C9 5 P dt8 D1 5 P b D2 5 P c D3 5 P d D4 5 P b D7 5 P c D8 5 P d D9 5 P

160 135 Lampiran 7 Data uji dalam bentuk z-score DATA UJI DALAM BENTUK ZScore Nomor & Index Kelompok Deskriptor Morfometrik Kelompok Deskriptor Batimetrik Kelompok Deskriptor Enerjetik No. Sampel NS Index JK L H A JI P El Df Dr MinDi MinAl RAl Er Esd Sk Ku TSr D dt8 A1 1 N b A2 1 N dt8 A3 1 N dt0 A4 1 N dt0 A5 1 N e A6 1 N b B1 2 S dt0 B2 2 S dt0 B3 2 S e B4 2 S dt8 B5 2 S dt0 B6 2 S c B7 2 S dt0 B8 2 S dt0 B9 2 S b B10 2 S c B11 2 S dt0 B12 2 S dt0 B13 2 S dt9 B14 2 S dt9 B15 2 S b B16 2 S dt0 B17 3 L c B18 3 L e B19 3 L dt0 B20 3 L dt9 B21 3 L b B22 3 L dt0 B23 3 L b B24 3 L dt0 B25 3 L dt9 B26 3 L b B27 3 L dt8 B28 3 L dt0 B29 4 C c B30 4 C d B31 4 C dt0 B32 4 C dt0 C1 4 C b C2 4 C d C3 4 C c C4 5 P b C5 5 P c C6 5 P d C7 5 P dt9 C8 5 P dt8 C9 5 P b D1 5 P dt8 D2 5 P dt8 D3 5 P b D4 5 P c D5 5 P d D6 5 P b D7 5 P c D8 5 P d D9 5 P

161 136 Lampiran 8 Data uji dalam bentuk bipolar DATA UJI DALAM BENTUK Bipolar Nomor & Index Kelompok Deskriptor Morfometrik Kelompok Deskriptor Batimetrik Kelompok Deskriptor Enerjetik No. Sampel NS Index JK L H A P El Df Dr MinDi MinAl RAl Er Esd Sk Ku D dt8 A1 1 N b A2 1 N dt8 A3 1 N dt0 B14 1 N dt0 C4 1 N e D5 1 N b A5 2 S dt0 B1 2 S dt0 B2 2 S e B5 2 S dt8 B13 2 S dt0 B19 2 S c B24 2 S dt0 B28 2 S dt0 B29 2 S b B30 2 S c B31 2 S dt0 B32 2 S dt0 C1 2 S dt9 C5 2 S dt9 C7 2 S b C8 2 S dt0 B7 3 L c B10 3 L e B12 3 L dt0 B18 3 L dt9 B20 3 L b B21 3 L dt0 B22 3 L b B23 3 L dt0 B26 3 L dt9 B27 3 L b C6 3 L dt8 D6 3 L dt0 A4 4 C c B3 4 C d B4 4 C dt0 B6 4 C dt0 B8 4 C b B9 4 C d B11 4 C c A6 5 P b B15 5 P c B16 5 P d B17 5 P dt9 B25 5 P dt8 C2 5 P b C3 5 P dt8 C9 5 P dt8 D1 5 P b D2 5 P c D3 5 P d D4 5 P b D7 5 P c D8 5 P d D9 5 P

162 137 Lampiran 9 Histogram deskriptor hidroakustik data uji Frequency 15 Frequency Mean = Std. Dev. = N = L H Mean = Std. Dev. = N = Frequency 30 Frequency Mean = Std. Dev. = N = A Mean = Std. Dev. = N = JI

163 138 Lampiran 9 (lanjutan) Frequency 20 Frequency Mean = Std. Dev. = N = P El Mean = Std. Dev. = N = Frequency 8 6 Frequency Dr Mean = Std. Dev. = N = Mean = Std. Dev. = N = Df

164 139 Lampiran 9 (lanjutan) Frequency 8 6 Frequency MinDi Mean = Std. Dev. = N = MinAl Mean = Std. Dev. = N = Frequency 6 Frequency RAl Mean = Std. Dev. = N = Er Mean = Std. Dev. = N = 56

165 140 Lampiran 9 (lanjutan) Frequency 20 Frequency Mean = Std. Dev. = N = Esd Sk Mean = Std. Dev. = N = Frequency 15 Frequency Ku Mean = Std. Dev. = N = TSr Mean = Std. Dev. = N = 56

166 141 Lampiran 9 (lanjutan) Frequency Mean = Std. Dev. = N = D

167 141 Lampiran 10 Hasil analisis gerombol Initial Cluster Centers Cluster ZL ZH ZA ZP ZEl ZDr ZRAl ZEr ZEsd ZSk ZKu Iteration History Iteration Change in Cluster Centers Final Cluster Centers Cluster ZL ZH ZA ZP ZEl ZDr ZRAl ZEr ZEsd ZSk ZKu

168 142 Lampiran 10 (lanjutan) Distances between Final Cluster Centers Cluster ANOVA Cluster Error Mean Square df Mean Square df F Sig. ZL ZH ZA ZP ZEl ZDr ZRAl ZEr ZEsd ZSk ZKu Number of Cases in each Cluster Cluster Valid Missing.000

169 143 Lampiran 11 Hasil analisis diskriminan Analysis Case Processing Summary Unweighted Cases N Percent Valid Excluded Missing or out-ofrange group codes 0.0 At least one missing discriminating 0.0 variable Both missing or out-of-range group codes and at least one missing 0.0 discriminating variable Total 0.0 Total Tests of Equality of Group Means Wilks' Lambda F df1 df2 Sig. L H A P El R Di MinDi MinAl RAl Er Esd Sk Ku D

170 144 Lampiran 11 (lanjutan) Log Determinants Grup Rank Log Determinant 1.(a).(b) (c).(b) Pooled within-groups The ranks and natural logarithms of determinants printed are those of the group covariance matrices. a Rank < 6 b Too few cases to be non-singular c Rank < 7 Test Results(a) Box's M F Approx df1 72 df Sig..000 Tests null hypothesis of equal population covariance matrices. a Some covariance matrices are singular and the usual procedure will not work. The non-singular groups will be tested against their own pooled within-groups covariance matrix. The log of its determinant is

171 145 Lampiran 11 (lanjutan) Variables in the Analysis Step Tolerance Sig. of F to Remove Wilks' Lambda 1 L L Er L Er P L Er P El L Er P El RAl L Er P El RAl A L Er P El RAl A H L Er P El RAl A H D

172 146 Lampiran 11 (lanjutan) Variables Not in the Analysis Step Tolerance Min. Tolerance Sig. of F to Enter Wilks' Lambda 0 L H A P El DF Di MinDi MinAl RAl Er Esd Sk Ku D H A P El DF Di MinDi MinAl RAl Er Esd Sk Ku D H A P El DF Di MinDi MinAl RAl Esd Sk Ku D

173 147 Lampiran 11 (lanjutan) Step Tolerance Min. Tolerance Sig. of F to Enter Wilks' Lambda 3 H A El DF Di MinDi MinAl RAl Esd Sk Ku D H A DF Di MinDi MinAl RAl Esd Sk Ku D H A DF Di MinDi MinAl Esd Sk Ku D H Di MinDi MinAl Esd Sk Ku D

174 148 Lampiran 11 (lanjutan) Step Tolerance Min. Tolerance Sig. of F to Enter Wilks' Lambda 7 DF Di MinDi MinAl Esd Sk Ku D DF Di MinDi MinAl Esd Sk Ku Eigenvalues Function Eigenvalue % of Variance Cumulative % Canonical Correlation (a) (a) (a) (a) a First 4 canonical discriminant functions were used in the analysis. Wilks' Lambda Test of Function(s) Wilks' Lambda Chi-square df Sig. 1 through through through Standardized Canonical Discriminant Function Coefficients Function L H A P El RAl Er D

175 149 Lampiran 11 (lanjutan) Structure Matrix Function L.672(*) P.608(*) A.557(*) El.538(*) Sk(a) -.306(*) RAl.246(*) Di(a) -.160(*) MinDi(a) -.143(*) Er (*) Esd(a) (*) D (*) H (*) Ku(a) (*) R(a) (*).076 MinAl(a) (*).275 Pooled within-groups correlations between discriminating variables and standardized canonical discriminant functions Variables ordered by absolute size of correlation within function. * Largest absolute correlation between each variable and any discriminant function a This variable not used in the analysis. Functions at Group Centroids Function Grup Unstandardized canonical discriminant functions evaluated at group means Classification Processing Summary Processed 56 Excluded Missing or out-ofrange group codes 0 At least one missing discriminating 0 variable Used in Output 56

176 150 Lampiran 11 (lanjutan) Classification Function Coefficients Grup L H A P El RAl Er D (Constant) Fisher's linear discriminant functions Classification Results(b,c) Grup Predicted Group Membership Total Original Count % Cross-Validated (a) Count % a Cross validation is done only for those cases in the analysis. In cross validation, each case is classified by the functions derived from all cases other than that case. b 98.2% of original grouped cases correctly classified. c 87.5% of cross-validated grouped cases correctly classified.

177 151 Lampiran 12 Hasil hitungan JSTPB1 Iterasi ke- 10 Bobot awal masukan-lapisan (8x8): Bobot awal bias masukan-lapisan (8x1): Bobot awal lapisan-keluaran (1x8): Bobot awal bias lapisan-keluaran (1x1): Bobot akhir masukan-lapisan (8x8): Bobot akhir bias masukan-lapisan (8x1):

178 152 Lampiran 12 (lanjutan) Bobot akhir lapisan-keluaran (1x8): Bobot akhir bias lapisan-keluaran (1x1): HASIL SIMULASI DATA UJI : No NoSampel Jenis Kawanan Jenis Kawanan Sesungguhnya Hasil Prediksi 1 B4 Campuran Campuran - 2 B6 Campuran Campuran - 3 B8 Campuran Campuran - 4 B9 Campuran Campuran - 5 B23 Lemuru Lemuru - 6 B26 Lemuru Lemuru - 7 B27 Lemuru Lemuru - 8 B7 Lemuru Lemuru - 9 C6 Lemuru Lemuru - 10 D6 Lemuru Lemuru - 11 B14 Non-lemuru Non-lemuru - 12 C4 Non-lemuru Non-lemuru - 13 D5 Non-lemuru Non-lemuru - 14 C9 Protolan Protolan - 15 D1 Protolan Protolan - 16 D2 Protolan Protolan - 17 D3 Protolan Protolan - 18 D4 Protolan Protolan - 19 D7 Protolan Protolan - 20 D8 Protolan Protolan - 21 D9 Protolan Protolan - 22 B30 Sempenit Sempenit - 23 B31 Sempenit Sempenit - 24 B32 Sempenit Sempenit - 25 B5 Sempenit Sempenit - 26 C1 Sempenit Sempenit - 27 C5 Sempenit Sempenit - 28 C7 Sempenit Sempenit - 29 C8 Sempenit Sempenit - 30 B29 Sempenit Sempenit - Ketepatan = %

179 153 Lampiran 13 Hasil hitungan JSTPB2 Iterasi ke- 32 Bobot awal masukan-lapisan (15x15): Bobot awal bias masukan-lapisan (15x1):

180 154 Lampiran 13 (lanjutan) Bobot awal lapisan-keluaran (1x15): Bobot awal bias lapisan-keluaran (1x1): Bobot akhir masukan-lapisan (15x15):

181 155 Lampiran 13 (lanjutan) Bobot akhir bias masukan-lapisan (15x1): Bobot akhir lapisan-keluaran (1x15): Bobot akhir bias lapisan-keluaran (1x1):

182 156 Lampiran 13 (lanjutan) HASIL SIMULASI DATA UJI : No NoSampel Jenis Kawanan Jenis Kawanan Sesungguhnya Hasil Prediksi 1 B8 Sempenit - Lemuru 2 A4 Non-lemuru Non-lemuru - 3 B20 Lemuru Lemuru - 4 B13 Sempenit Sempenit - 5 B31 Campuran Campuran - 6 B28 Lemuru Lemuru - 7 B26 Lemuru Lemuru - 8 B12 Sempenit - Campuran 9 C8 Protolan - Non-lemuru 10 B9 Sempenit Sempenit - 11 B10 Sempenit - Lemuru 12 C2 Campuran Campuran - 13 B6 Sempenit Sempenit - 14 B32 Campuran Campuran - 15 C1 Campuran Campuran - 16 B27 Lemuru Lemuru - 17 D5 Protolan Protolan - 18 B29 Campuran - Tdk Dikenali 19 C3 Campuran Campuran - 20 B25 Lemuru - Tdk Dikenali 21 C6 Protolan Protolan - 22 D6 Protolan Protolan - 23 B15 Sempenit - Lemuru 24 D3 Protolan - Campuran 25 D1 Protolan Protolan - 26 C4 Protolan - Sempenit 27 D2 Protolan Protolan - 28 A5 Non-lemuru Non-lemuru - 29 A2 Non-lemuru Non-lemuru - 30 A6 Non-lemuru Non-lemuru - Ketepatan = 70.00%

183 157 Lampiran 14 Hasil hitungan JSTPB3 Iterasi ke- 14 Bobot awal masukan-lapisan (8x8): Bobot awal bias masukan-lapisan (8x1): Bobot awal lapisan-keluaran (1x8): Bobot awal bias lapisan-keluaran (1x1): Bobot akhir masukan-lapisan (8x8): Bobot akhir bias masukan-lapisan (8x1):

184 158 Lampiran 14 (lanjutan) Bobot akhir lapisan-keluaran (1x8): Bobot akhir bias lapisan-keluaran (1x1): HASIL SIMULASI DATA UJI : No NoSampel Jenis Kawanan Jenis Kawanan Sesungguhnya Hasil Prediksi 1 B8 Sempenit Sempenit - 2 A4 Non-lemuru Non-lemuru - 3 B20 Lemuru Lemuru - 4 B13 Sempenit - Lemuru 5 B31 Campuran Campuran - 6 B28 Lemuru Lemuru - 7 B26 Lemuru - Sempenit 8 B12 Sempenit Sempenit - 9 C8 Protolan Protolan - 10 B9 Sempenit Sempenit - 11 B10 Sempenit Sempenit - 12 C2 Campuran Campuran - 13 B6 Sempenit - Tdk Dikenali 14 B32 Campuran Campuran - 15 C1 Campuran - Lemuru 16 B27 Lemuru Lemuru - 17 D5 Protolan Protolan - 18 B29 Campuran Campuran - 19 C3 Campuran Campuran - 20 B25 Lemuru - Tdk Dikenali 21 C6 Protolan Protolan - 22 D6 Protolan - Campuran 23 B15 Sempenit - Campuran 24 D3 Protolan Protolan - 25 D1 Protolan Protolan - 26 C4 Protolan - Sempenit 27 D2 Protolan Protolan - 28 A5 Non-lemuru Non-lemuru - 29 A2 Non-lemuru Non-lemuru - 30 A6 Non-lemuru Non-lemuru - Ketepatan = 73.33%

185 Lampiran 15 Jumlah iterasi Vs ketepatan dari seluruh model JSTPB1 160

186 Lampiran 16 Jumlah iterasi Vs ketepatan dari seluruh model JSTPB2 161

187 Lampiran 17 Jumlah iterasi Vs ketepatan dari seluruh model JSTPB3 162

188 163 Lampiran 18 Deskripsi, sebaran, dan produksi lemuru Deskripsi Lemuru (DKP) Nama Lemuru Indonesia Nama Bali sardinella Internasional Nama Latin Sardinella lemuru (Bleeker, 1853) Lemuru (PPP Banjarmasin), Lemuru (PPN Brondong), lemuru (PPN Ternate), Lemuru (PPN Ambon), Lemuru (PPS Kendari), Lemuru (PPS Jakarta), Dencis (PPP Sungai Liat), Sardin (PPN Bitung), Lemuru (PPN Nama Lokal Palabuhan Ratu), Lemuru (PPN Pekalongan), Lemuru (PPP Sorong), Lemuru (PPN Prigi), lemuru (PPS Belawan), Lemuru (PPP Pengambengan) Distribusi ikan Lemuru berada di seluruh perairan Indonesia dengan kontribusi terbesar berada di Selat Bali, yaitu di sekitar Muncar dekat Banyuwangi (Jatim) dan dalam skala kecil juga di desa Cupel serta Daerah Sebar Pangambengan di pantai Bali. Perikanan Lemuru terutama terdapat di pantai utara Jawa, Tegal, Pekalongan, Selatan Sumbawa dan Timur Sumba. Penyebaran yang luas berawal dari Kepulauan Filipina ke barat sampai India serta terus ke barat sampai ke pantai timur Afrika Ordo Malacopterygii (Clupeiformes), Famili Clupeidae (Sub-Famili : Clupeinae), Genus Sardinella. Badannya bulat panjang dengan bagian perut agak membulat dan sisik duri agak tumpul serta tidak menonjol. Warna badan biru kehijauan pada bagian atas (punggung), putih keperakan pada bagian bawah. Pada bagian atas penutup insang sampai Deskripsi pangkal ekor terdapat sebaris bulatan-bulatan hitam sebanyak buah. Siripnya berwarna abu-abu kekuning-kuningan. Warna sirip ekor kehitaman demikian juga pada ujung moncongnya (Dwiponggo, 1992). Termasuk pemakan plankton. Ukuran : Panjang badan dapat mencapai 23 cm dan umumnya antara cm

189 164 Lampiran 18 (lanjutan) Distribusi Ikan Lemuru. ( ) Keterangan: Gambar tidak sesuai skala.

190 165 Lampiran 18 (lanjutan) Produksi ikan Lemuru. ( )

PEMODELAN JARINGAN SARAF TIRUAN (Artificial Neural Networks) UNTUK IDENTIFIKASI KAWANAN LEMURU DENGAN MENGGUNAKAN DESKRIPTOR HIDROAKUSTIK

PEMODELAN JARINGAN SARAF TIRUAN (Artificial Neural Networks) UNTUK IDENTIFIKASI KAWANAN LEMURU DENGAN MENGGUNAKAN DESKRIPTOR HIDROAKUSTIK PEMODELAN JARINGAN SARAF TIRUAN (Artificial Neural Networks) UNTUK IDENTIFIKASI KAWANAN LEMURU DENGAN MENGGUNAKAN DESKRIPTOR HIDROAKUSTIK AMIR HAMZAH MUHIDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Citra akustik Ikan Uji. Matriks Data Akustik. Hitungan Deskriptor. 15 Desk. teridentifikasi. 8 Desk. utama. Rancangan awal JSTPB JSTPB1

Citra akustik Ikan Uji. Matriks Data Akustik. Hitungan Deskriptor. 15 Desk. teridentifikasi. 8 Desk. utama. Rancangan awal JSTPB JSTPB1 3 METODOLOGI Secara garis besar metode penelitian dalam disertasi ini berkaitan dengan permasalahan identifikasi kawanan ikan secara hidroakustik yang berkaitan dengan pengukuran dan pemrosesan data hidroakustik,

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Jaringan sel saraf biologi (Artificial Neural Networks in Medicine Juli 2005).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Jaringan sel saraf biologi (Artificial Neural Networks in Medicine  Juli 2005). 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jaringan Saraf Tiruan Jaringan saraf manusia tersusun atas 10 10 sel saraf yang masing-masing selnya tersambung dengan 10 3 hingga 10 5 sel saraf. membentuk suatu jaringan yang sangat

Lebih terperinci

6 IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KAWANAN IKAN PELAGIS DENGAN JARINGAN SARAF TIRUAN PERAMBATAN BALIK

6 IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KAWANAN IKAN PELAGIS DENGAN JARINGAN SARAF TIRUAN PERAMBATAN BALIK 6 IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KAWANAN IKAN PELAGIS DENGAN JARINGAN SARAF TIRUAN PERAMBATAN BALIK 6.1 Pendahuluan Seperti telah diketahui, terdapat banyak sekali model jaringan saraf tiruan (JST) (Fauset,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Perairan umum daratan Indonesia memiliki keanekaragaman jenis ikan yang tinggi, sehingga tercatat sebagai salah satu perairan dengan mega biodiversity di Indonesia. Komisi

Lebih terperinci

5 IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KAWANAN IKAN PELAGIS DENGAN METODE STATISTIK

5 IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KAWANAN IKAN PELAGIS DENGAN METODE STATISTIK 5 IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KAWANAN IKAN PELAGIS DENGAN METODE STATISTIK 5.1 Pendahuluan Dalam bidang perikaan, metode statistik adalah metode analisis yang paling sering digunakan dalam melakukan identifikasi

Lebih terperinci

Architecture Net, Simple Neural Net

Architecture Net, Simple Neural Net Architecture Net, Simple Neural Net 1 Materi 1. Model Neuron JST 2. Arsitektur JST 3. Jenis Arsitektur JST 4. MsCulloh Pitts 5. Jaringan Hebb 2 Model Neuron JST X1 W1 z n wi xi; i1 y H ( z) Y1 X2 Y2 W2

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengambilan data akustik ikan

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengambilan data akustik ikan IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengambilan data akustik ikan Data akustik yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi 3 (tiga) jenis ikan yaitu ikan mas, nila dan patin masing-masing sebanyak 5 ekor. Pengambilan

Lebih terperinci

JARINGAN SARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORK) ERWIEN TJIPTA WIJAYA, ST, M.KOM

JARINGAN SARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORK) ERWIEN TJIPTA WIJAYA, ST, M.KOM JARINGAN SARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORK) ERWIEN TJIPTA WIJAYA, ST, M.KOM INTRODUCTION Jaringan Saraf Tiruan atau JST adalah merupakan salah satu representasi tiruan dari otak manusia yang selalu

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Waduk Ir. H. Djuanda dan Laboratorium Akustik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor. Kegiatan penelitian ini terbagi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Jaringan Syaraf Biologi Jaringan Syaraf Tiruan merupakan suatu representasi buatan dari otak manusia yang dibuat agar dapat mensimulasikan apa yang dipejalari melalui proses pembelajaran

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dielaskan mengenai teori-teori yang berhubungan dengan penelitian ini, sehingga dapat diadikan sebagai landasan berpikir dan akan mempermudah dalam hal pembahasan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI Jaringan Syaraf Tiruan. Universitas Sumatera Utara

BAB II DASAR TEORI Jaringan Syaraf Tiruan. Universitas Sumatera Utara BAB II DASAR TEORI Landasan teori adalah teori-teori yang relevan dan dapat digunakan untuk menjelaskan variabel-variabel penelitian. Landasan teori ini juga berfungsi sebagai dasar untuk memberi jawaban

Lebih terperinci

BAB 2 KONSEP DASAR PENGENAL OBJEK

BAB 2 KONSEP DASAR PENGENAL OBJEK BAB 2 KONSEP DASAR PENGENAL OBJEK 2.1 KONSEP DASAR Pada penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teori yang dijadikan acuan untuk menyelesaikan penelitian. Berikut ini teori yang akan digunakan penulis

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.6. Jaringan Syaraf Tiruan Jaringan syaraf tiruan atau neural network merupakan suatu sistem informasi yang mempunyai cara kerja dan karakteristik menyerupai jaringan syaraf pada

Lebih terperinci

BAB IV JARINGAN SYARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORK)

BAB IV JARINGAN SYARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORK) BAB IV JARINGAN SYARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORK) Kompetensi : 1. Mahasiswa memahami konsep Jaringan Syaraf Tiruan Sub Kompetensi : 1. Dapat mengetahui sejarah JST 2. Dapat mengetahui macam-macam

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. fuzzy logic dengan aplikasi neuro computing. Masing-masing memiliki cara dan proses

BAB 2 LANDASAN TEORI. fuzzy logic dengan aplikasi neuro computing. Masing-masing memiliki cara dan proses 8 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori Neuro Fuzzy Neuro-fuzzy sebenarnya merupakan penggabungan dari dua studi utama yaitu fuzzy logic dengan aplikasi neuro computing. Masing-masing memiliki cara dan proses

Lebih terperinci

PREDIKSI CURAH HUJAN DI KOTA MEDAN MENGGUNAKAN METODE BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK

PREDIKSI CURAH HUJAN DI KOTA MEDAN MENGGUNAKAN METODE BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK PREDIKSI CURAH HUJAN DI KOTA MEDAN MENGGUNAKAN METODE BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK Yudhi Andrian 1, Erlinda Ningsih 2 1 Dosen Teknik Informatika, STMIK Potensi Utama 2 Mahasiswa Sistem Informasi, STMIK

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pengenalan suara (voice recognition) dibagi menjadi dua jenis, yaitu

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pengenalan suara (voice recognition) dibagi menjadi dua jenis, yaitu BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengenalan Suara. Pengenalan suara (voice recognition) dibagi menjadi dua jenis, yaitu speech recognition dan speaker recognition. Speech recognition adalah proses yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 21 Anatomi Ayam Pengetahuan tentang anatomi ayam sangat diperlukan dan penting dalam pencegahan dan penanganan penyakit Hal ini karena pengetahuan tersebut dipakai sebagai dasar

Lebih terperinci

JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MEMPREDIKSI CURAH HUJAN SUMATERA UTARA DENGAN METODE BACK PROPAGATION (STUDI KASUS : BMKG MEDAN)

JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MEMPREDIKSI CURAH HUJAN SUMATERA UTARA DENGAN METODE BACK PROPAGATION (STUDI KASUS : BMKG MEDAN) JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MEMPREDIKSI CURAH HUJAN SUMATERA UTARA DENGAN METODE BACK PROPAGATION (STUDI KASUS : BMKG MEDAN) Marihot TP. Manalu Mahasiswa Program Studi Teknik Informatika, STMIK Budidarma

Lebih terperinci

PENENTUAN KARAKTERISTIK KAWANAN IKAN PELAGIS DENGAN MENGGUNAKAN DESKRIPTOR AKUSTIK

PENENTUAN KARAKTERISTIK KAWANAN IKAN PELAGIS DENGAN MENGGUNAKAN DESKRIPTOR AKUSTIK PENENTUAN KARAKTERISTIK KAWANAN IKAN PELAGIS DENGAN MENGGUNAKAN DESKRIPTOR AKUSTIK (Determination of Pelagic Fish Schools Characteristics Using Acoustic Descriptors) Fauziyah 1 dan Indra Jaya 2 ABSTRAK

Lebih terperinci

oleh WAHYUNI PUTRANTO NIM. M SKRIPSI ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sains Matematika

oleh WAHYUNI PUTRANTO NIM. M SKRIPSI ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sains Matematika PERBANDINGAN METODE GRADIENT DESCENT DAN GRADIENT DESCENT DENGAN MOMENTUM PADA JARINGAN SYARAF TIRUAN BACKPROPAGATION DALAM PERAMALAN KURS TENGAH RUPIAH TERHADAP DOLAR AMERIKA oleh WAHYUNI PUTRANTO NIM.

Lebih terperinci

BAB VIII PENGANTAR JARINGAN SYARAF TIRUAN (JST)

BAB VIII PENGANTAR JARINGAN SYARAF TIRUAN (JST) BAB VIII PENGANTAR JARINGAN SYARAF TIRUAN (JST) 8.1 Komponen Jaringan Syaraf JARINGAN SYARAF BIOLOGIS (JSB) Otak manusia berisi sekitar 10 11 sel syaraf (neuron) yang bertugas untuk memproses informasi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jaringan Syaraf Biologi Otak manusia memiliki struktur yang sangat kompleks dan memiliki kemampuan yang luar biasa. Otak terdiri dari neuron-neuron dan penghubung yang disebut

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Data Yang Digunakan Dalam melakukan penelitian ini, penulis membutuhkan data input dalam proses jaringan saraf tiruan backpropagation. Data tersebut akan digunakan sebagai

Lebih terperinci

PERANCANGAN PROGRAM PENGENALAN BENTUK MOBIL DENGAN METODE BACKPROPAGATION DAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK SKRIPSI

PERANCANGAN PROGRAM PENGENALAN BENTUK MOBIL DENGAN METODE BACKPROPAGATION DAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK SKRIPSI PERANCANGAN PROGRAM PENGENALAN BENTUK MOBIL DENGAN METODE BACKPROPAGATION DAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK SKRIPSI Oleh Nama : Januar Wiguna Nim : 0700717655 PROGRAM GANDA TEKNIK INFORMATIKA DAN MATEMATIKA

Lebih terperinci

Jaringan Syaraf Tiruan. Disusun oleh: Liana Kusuma Ningrum

Jaringan Syaraf Tiruan. Disusun oleh: Liana Kusuma Ningrum Jaringan Syaraf Tiruan Disusun oleh: Liana Kusuma Ningrum Susilo Nugroho Drajad Maknawi M0105047 M0105068 M01040 Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret

Lebih terperinci

VIII.PENGANTAR JARINGAN SYARAF TIRUAN (JST)

VIII.PENGANTAR JARINGAN SYARAF TIRUAN (JST) VIII.PENGANTAR JARINGAN SYARAF TIRUAN (JST) 3 JARINGAN SYARAF BIOLOGIS (JSB) Otak manusia berisi sekitar 0 sel syaraf (neuron) yang bertugas untuk memproses informasi yang masuk. Tiap sel syaraf dihubungkan

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga ABSTRAK. viii

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga ABSTRAK. viii Muhammad Arif Santoso, 2015. Peramalan Penjualan Produk Menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan Metode Extreme Learning Machine. Skripsi ini dibawah bimbingan Auli Damayanti,S.Si, M.Si dan Dr. Herry Suprajitno,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 JARINGAN SARAF SECARA BIOLOGIS Jaringan saraf adalah salah satu representasi buatan dari otak manusia yang selalu mencoba untuk mensimulasikan proses pembelajaran pada otak

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Survei hidroakustik dalam bidang perikanan dilakukan dengan tujuan untuk memperkirakan stok ikan di suatu perairan. Untuk memenuhi harapan tersebut, survei-survei yang

Lebih terperinci

PENENTUAN MODEL RETURN HARGA SAHAM DENGAN MULTI LAYER FEED FORWARD NEURAL NETWORK MENGGUNAKAN ALGORITMA RESILENT BACKPROPAGATION

PENENTUAN MODEL RETURN HARGA SAHAM DENGAN MULTI LAYER FEED FORWARD NEURAL NETWORK MENGGUNAKAN ALGORITMA RESILENT BACKPROPAGATION ISSN: 2339-2541 JURNAL GAUSSIAN, Volume 5, Nomor 1, Tahun 2016, Halaman 203-209 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/gaussian PENENTUAN MODEL RETURN HARGA SAHAM DENGAN MULTI LAYER FEED FORWARD

Lebih terperinci

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UIN SUSKA RIAU. IIS AFRIANTY, ST., M.Sc

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UIN SUSKA RIAU. IIS AFRIANTY, ST., M.Sc IIS AFRIANTY, ST., M.Sc Sistem Penilaian Tugas dan Keaktifan : 15% Quiz : 15% UTS : 35% UAS : 35% Toleransi keterlambatan 15 menit Handphone: Silent Costume : aturan UIN Laki-laki Perempuan Menggunakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengenalan Pola Pengenalan pola adalah suatu ilmu untuk mengklasifikasikan atau menggambarkan sesuatu berdasarkan pengukuran kuantitatif fitur (ciri) atau sifat utama dari suatu

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KAWANAN LEMURU SELAT BALI BERDASARKAN DATA HIDROAKUSTIK DENGAN METODE STATISTIK

IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KAWANAN LEMURU SELAT BALI BERDASARKAN DATA HIDROAKUSTIK DENGAN METODE STATISTIK IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KAWANAN LEMURU SELAT BALI BERDASARKAN DATA HIDROAKUSTIK DENGAN METODE STATISTIK Identification and Classification of Lemuru Schoal of Bali Strait Based on Hydroaccoustics Data

Lebih terperinci

NEURAL NETWORK BAB II

NEURAL NETWORK BAB II BAB II II. Teori Dasar II.1 Konsep Jaringan Saraf Tiruan (Artificial Neural Network) Secara biologis jaringan saraf terdiri dari neuron-neuron yang saling berhubungan. Neuron merupakan unit struktural

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Kerangka Pemikiran Perusahaan dalam era globalisasi pada saat ini, banyak tumbuh dan berkembang, baik dalam bidang perdagangan, jasa maupun industri manufaktur. Perusahaan

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI JARINGAN SYARAF TIRUAN MULTI LAYER FEEDFORWARD DENGAN ALGORITMA BACKPROPAGATION SEBAGAI ESTIMASI NILAI KURS JUAL SGD-IDR

IMPLEMENTASI JARINGAN SYARAF TIRUAN MULTI LAYER FEEDFORWARD DENGAN ALGORITMA BACKPROPAGATION SEBAGAI ESTIMASI NILAI KURS JUAL SGD-IDR Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Multimedia 205 STMIK AMIKOM Yogyakarta, 6-8 Februari 205 IMPLEMENTASI JARINGAN SYARAF TIRUAN MULTI LAYER FEEDFORWARD DENGAN ALGORITMA BACKPROPAGATION SEBAGAI ESTIMASI

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KAWANAN LEMURU SELAT BALI BERDASARKAN DATA HIDROAKUSTIK DENGAN METODE STATISTIK

IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KAWANAN LEMURU SELAT BALI BERDASARKAN DATA HIDROAKUSTIK DENGAN METODE STATISTIK IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KAWANAN LEMURU SELAT BALI BERDASARKAN DATA HIDROAKUSTIK DENGAN METODE STATISTIK Identification and Classification of Lemuru Schoal of Bali Strait Based on Hydroaccoustics Data

Lebih terperinci

PREDIKSI PERHITUNGAN DOSIS RADIASI PADA PEMERIKSAAN MAMMOGRAFI MENGGUNAKAN ALGORITMA JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK

PREDIKSI PERHITUNGAN DOSIS RADIASI PADA PEMERIKSAAN MAMMOGRAFI MENGGUNAKAN ALGORITMA JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK Berkala Fisika ISSN : 1410-9662 Vol.18, No.4, Oktober 2015, hal 151-156 PREDIKSI PERHITUNGAN DOSIS RADIASI PADA PEMERIKSAAN MAMMOGRAFI MENGGUNAKAN ALGORITMA JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK Zaenal

Lebih terperinci

PENGENALAN HURUF DAN ANGKA PADA CITRA BITMAP DENGAN JARINGAN SARAF TIRUAN METODE PROPAGASI BALIK

PENGENALAN HURUF DAN ANGKA PADA CITRA BITMAP DENGAN JARINGAN SARAF TIRUAN METODE PROPAGASI BALIK PENGENALAN HURUF DAN ANGKA PADA CITRA BITMAP DENGAN JARINGAN SARAF TIRUAN METODE PROPAGASI BALIK Naskah Publikasi disusun oleh Zul Chaedir 05.11.0999 Kepada SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER

Lebih terperinci

Penerapan Jaringan Saraf Tiruan Metode Backpropagation Menggunakan VB 6

Penerapan Jaringan Saraf Tiruan Metode Backpropagation Menggunakan VB 6 Penerapan Jaringan Saraf Tiruan Metode Backpropagation Menggunakan VB 6 Sari Indah Anatta Setiawan SofTech, Tangerang, Indonesia cu.softech@gmail.com Diterima 30 November 2011 Disetujui 14 Desember 2011

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Cara Pengambilan Data

MATERI DAN METODE. Cara Pengambilan Data MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Bagian Ilmu Produksi Ternak Perah, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan selama dua

Lebih terperinci

SATIN Sains dan Teknologi Informasi

SATIN Sains dan Teknologi Informasi SATIN - Sains dan Teknologi Informasi, Vol. 2, No. 1, Juni 2015 SATIN Sains dan Teknologi Informasi journal homepage : http://jurnal.stmik-amik-riau.ac.id Jaringan Syaraf Tiruan untuk Memprediksi Prestasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tahapan Penelitian Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 14, terdiri dari tahap identifikasi masalah, pengumpulan dan praproses data, pemodelan

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 1 (2013), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 1 (2013), Hal ISSN : Prediksi Tinggi Signifikan Gelombang Laut Di Sebagian Wilayah Perairan Indonesia Menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan Metode Propagasi Balik Abraham Isahk Bekalani, Yudha Arman, Muhammad Ishak Jumarang Program

Lebih terperinci

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Forecasting Forecasting (peramalan) adalah seni dan ilmu untuk memperkirakan kejadian di masa yang akan datang. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan data historis dan memproyeksikannya

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN TEKNIK PENENTUAN DINI JENIS KELAMIN KOI 1

PENGEMBANGAN TEKNIK PENENTUAN DINI JENIS KELAMIN KOI 1 PENGEMBANGAN TEKNIK PENENTUAN DINI JENIS KELAMIN KOI 1 (Development of a Technique for Early Sexing of Koi (Ornamental Carp)) Indra Jaya 2 dan Muhammad Iqbal 2 ABSTRAK Salah satu faktor utama yang dihadapi

Lebih terperinci

VOL. 01 NO. 02 [JURNAL ILMIAH BINARY] ISSN :

VOL. 01 NO. 02 [JURNAL ILMIAH BINARY] ISSN : PENERAPAN JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MEMPREDIKSI JUMLAH PRODUKSI AIR MINUM MENGGUNAKAN ALGORITMA BACKPROPAGATION (STUDI KASUS : PDAM TIRTA BUKIT SULAP KOTA LUBUKLINGGAU) Robi Yanto STMIK Bina Nusantara

Lebih terperinci

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA. Jurusan Teknik Informatika Skripsi Sarjana Komputer Semester Genap tahun 2004/2005

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA. Jurusan Teknik Informatika Skripsi Sarjana Komputer Semester Genap tahun 2004/2005 UNIVERSITAS BINA NUSANTARA Jurusan Teknik Informatika Skripsi Sarjana Komputer Semester Genap tahun 2004/2005 PENGENALAN CITRA WAJAH DENGAN MENGGUNAKAN TRANS FORMAS I WAVELET DIS KRIT D AN JARINGAN S ARAF

Lebih terperinci

PENENTUAN MODEL RETURN HARGA SAHAM DENGAN MULTI LAYER FEED FORWARD NEURAL NETWORK MENGGUNAKAN ALGORITMA RESILENT BACKPROPAGATION SKRIPSI

PENENTUAN MODEL RETURN HARGA SAHAM DENGAN MULTI LAYER FEED FORWARD NEURAL NETWORK MENGGUNAKAN ALGORITMA RESILENT BACKPROPAGATION SKRIPSI PENENTUAN MODEL RETURN HARGA SAHAM DENGAN MULTI LAYER FEED FORWARD NEURAL NETWORK MENGGUNAKAN ALGORITMA RESILENT BACKPROPAGATION (Studi Kasus : Harga Penutupan Saham Unilever Indonesia Tbk. Periode September

Lebih terperinci

Perbaikan Metode Prakiraan Cuaca Bandara Abdulrahman Saleh dengan Algoritma Neural Network Backpropagation

Perbaikan Metode Prakiraan Cuaca Bandara Abdulrahman Saleh dengan Algoritma Neural Network Backpropagation 65 Perbaikan Metode Prakiraan Cuaca Bandara Abdulrahman Saleh dengan Algoritma Neural Network Backpropagation Risty Jayanti Yuniar, Didik Rahadi S. dan Onny Setyawati Abstrak - Kecepatan angin dan curah

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PERANGKAT LUNAK ACOUSTIC DESCRIPTOR ANALYZER (ADA-VERSI 2004) UNTUK IDENTIFIKASI KAWANAN IKAN PELAGIS

PENGEMBANGAN PERANGKAT LUNAK ACOUSTIC DESCRIPTOR ANALYZER (ADA-VERSI 2004) UNTUK IDENTIFIKASI KAWANAN IKAN PELAGIS PENGEMBANGAN PERANGKAT LUNAK ACOUSTIC DESCRIPTOR ANALYZER (ADA-VERSI 2004) UNTUK IDENTIFIKASI KAWANAN IKAN PELAGIS (Development of Acoustics Descriptor Analyzer (ADA- version 2004) for Pelagic Fish School

Lebih terperinci

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA. Jurusan Teknik Informatika Fakultas Ilmu Komputer Skripsi Sarjana Komputer Semester Ganjil tahun 2006/2007

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA. Jurusan Teknik Informatika Fakultas Ilmu Komputer Skripsi Sarjana Komputer Semester Ganjil tahun 2006/2007 UNIVERSITAS BINA NUSANTARA Jurusan Teknik Informatika Fakultas Ilmu Komputer Skripsi Sarjana Komputer Semester Ganjil tahun 2006/2007 Peramalan Harga Indeks Saham Hang Seng dengan Menggunakan Jaringan

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN TOOL UNTUK JARINGAN SYARAF TIRUAN (JST) MODEL PERCEPTRON

RANCANG BANGUN TOOL UNTUK JARINGAN SYARAF TIRUAN (JST) MODEL PERCEPTRON RANCANG BANGUN TOOL UNTUK JARINGAN SYARAF TIRUAN (JST) MODEL PERCEPTRON Liza Afriyanti Laboratorium Komputasi dan Sistem Cerdas Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Industri,Universitas Islam

Lebih terperinci

ANALISA JARINGAN SARAF TIRUAN DENGAN METODE BACKPROPAGATION UNTUK MENGETAHUI LOYALITAS KARYAWAN

ANALISA JARINGAN SARAF TIRUAN DENGAN METODE BACKPROPAGATION UNTUK MENGETAHUI LOYALITAS KARYAWAN ANALISA JARINGAN SARAF TIRUAN DENGAN METODE BACKPROPAGATION UNTUK MENGETAHUI LOYALITAS KARYAWAN Jasmir, S.Kom, M.Kom Dosen tetap STIKOM Dinamika Bangsa Jambi Abstrak Karyawan atau tenaga kerja adalah bagian

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI JARINGAN SYARAF TIRUAN METODE BACKPROPAGATION UNTUK MEMPREDIKSI HARGA SAHAM

IMPLEMENTASI JARINGAN SYARAF TIRUAN METODE BACKPROPAGATION UNTUK MEMPREDIKSI HARGA SAHAM IMPLEMENTASI JARINGAN SYARAF TIRUAN METODE BACKPROPAGATION UNTUK MEMPREDIKSI HARGA SAHAM Ayu Trimulya 1, Syaifurrahman 2, Fatma Agus Setyaningsih 3 1,3 Jurusan Sistem Komputer, Fakultas MIPA Universitas

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN II LANDASAN TEORI

I PENDAHULUAN II LANDASAN TEORI I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Hujan merupakan salah satu unsur iklim yang berpengaruh pada suatu daerah aliran sungai (DAS). Pengaruh langsung yang dapat diketahui yaitu potensi sumber daya air. Besar

Lebih terperinci

POSITRON, Vol. IV, No. 2 (2014), Hal ISSN :

POSITRON, Vol. IV, No. 2 (2014), Hal ISSN : Modifikasi Estimasi Curah Hujan Satelit TRMM Dengan Metode Jaringan Syaraf Tiruan Propagasi Balik Studi Kasus Stasiun Klimatologi Siantan Fanni Aditya 1)2)*, Joko Sampurno 2), Andi Ihwan 2) 1)BMKG Stasiun

Lebih terperinci

T 11 Aplikasi Model Backpropagation Neural Network Untuk Perkiraan Produksi Tebu Pada PT. Perkebunan Nusantara IX

T 11 Aplikasi Model Backpropagation Neural Network Untuk Perkiraan Produksi Tebu Pada PT. Perkebunan Nusantara IX T 11 Aplikasi Model Backpropagation Neural Network Untuk Perkiraan Produksi Tebu Pada PT. Perkebunan Nusantara IX Oleh: Intan Widya Kusuma Program Studi Matematika, FMIPA Universitas Negeri yogyakarta

Lebih terperinci

PENERAPAN JARINGAN SYARAF TIRUAN DALAM MEMPREDIKSI TINGKAT PENGANGGURAN DI SUMATERA BARAT

PENERAPAN JARINGAN SYARAF TIRUAN DALAM MEMPREDIKSI TINGKAT PENGANGGURAN DI SUMATERA BARAT PENERAPAN JARINGAN SYARAF TIRUAN DALAM MEMPREDIKSI TINGKAT PENGANGGURAN DI SUMATERA BARAT Havid Syafwan Program Studi Manajemen Informatika, Amik Royal, Kisaran E-mail: havid_syafwan@yahoo.com ABSTRAK:

Lebih terperinci

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

BAB 3 PERANCANGAN SISTEM. Bab ini menguraikan analisa penelitian terhadap metode Backpropagation yang

BAB 3 PERANCANGAN SISTEM. Bab ini menguraikan analisa penelitian terhadap metode Backpropagation yang BAB 3 PERANCANGAN SISTEM Bab ini menguraikan analisa penelitian terhadap metode Backpropagation yang diimplementasikan sebagai model estimasi harga saham. Analisis yang dilakukan adalah menguraikan penjelasan

Lebih terperinci

PENGENALAN KARAKTER ALFANUMERIK MENGGUNAKAN METODE BACKPROPAGARATION

PENGENALAN KARAKTER ALFANUMERIK MENGGUNAKAN METODE BACKPROPAGARATION PENGENALAN KARAKTER ALFANUMERIK MENGGUNAKAN METODE BACKPROPAGARATION Amriana 1 Program Studi D1 Teknik Informatika Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik UNTAD ABSTRAK Jaringan saraf tiruan untuk aplikasi

Lebih terperinci

Implementasi Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation dan Steepest Descent untuk Prediksi Data Time Series

Implementasi Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation dan Steepest Descent untuk Prediksi Data Time Series Implementasi Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation dan Steepest Descent untuk Prediksi Data Time Series Oleh: ABD. ROHIM (1206 100 058) Dosen Pembimbing: Prof. Dr. M. Isa Irawan, MT Jurusan Matematika

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengklasifikasian merupakan salah satu metode statistika untuk mengelompok atau menglasifikasi suatu data yang disusun secara sistematis. Masalah klasifikasi sering

Lebih terperinci

BAB II NEURAL NETWORK (NN)

BAB II NEURAL NETWORK (NN) BAB II NEURAL NETWORK (NN) 2.1 Neural Network (NN) Secara umum Neural Network (NN) adalah jaringan dari sekelompok unit pemroses kecil yang dimodelkan berdasarkan jaringan syaraf manusia. NN ini merupakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Citra Digital Citra digital dapat didefenisikan sebagai fungsi f(x,y) yaitu dua dimensi, dimana x dan y merupakan koordinat spasial dan f(x,y) disebut dengan intensitas atau

Lebih terperinci

ANALISIS PENAMBAHAN NILAI MOMENTUM PADA PREDIKSI PRODUKTIVITAS KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN BACKPROPAGATION

ANALISIS PENAMBAHAN NILAI MOMENTUM PADA PREDIKSI PRODUKTIVITAS KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN BACKPROPAGATION ANALISIS PENAMBAHAN NILAI MOMENTUM PADA PREDIKSI PRODUKTIVITAS KELAPA SAWIT MENGGUNAKAN BACKPROPAGATION Eka Irawan1, M. Zarlis2, Erna Budhiarti Nababan3 Magister Teknik Informatika, Universitas Sumatera

Lebih terperinci

BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK AS A METHOD OF FORECASTING ON CALCULATION INFLATION RATE IN JAKARTA AND SURABAYA

BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK AS A METHOD OF FORECASTING ON CALCULATION INFLATION RATE IN JAKARTA AND SURABAYA BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK AS A METHOD OF FORECASTING ON CALCULATION INFLATION RATE IN JAKARTA AND SURABAYA Anggi Purnama Undergraduate Program, Computer Science, 2007 Gunadarma Universiy http://www.gunadarma.ac.id

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 19 3. METODE PENELITIAN 3.1 Diagram Alir Penelitian Kerangka pemikiran pada penelitian ini dapat digambarkan dalam suatu bagan alir seperti pada Gambar 8. Gambar 8 Diagram Alir Penelitian Pengumpulan Data

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Barcode Salah satu obyek pengenalan pola yang bisa dipelajari dan akhirnya dapat dikenali yaitu PIN barcode. PIN barcode yang merupakan kode batang yang berfungsi sebagai personal

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 19 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran untuk penelitian ini seperti pada Gambar 9. Penelitian dibagi dalam empat tahapan yaitu persiapan penelitian, proses pengolahan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Jaringan Syaraf Tiruan Artificial Neural Network atau Jaringan Syaraf Tiruan (JST) adalah salah satu cabang dari Artificial Intelligence. JST merupakan suatu sistem pemrosesan

Lebih terperinci

PEMANFAATAAN BIOMETRIKA WAJAH PADA SISTEM PRESENSI MENGGUNAKAN BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK

PEMANFAATAAN BIOMETRIKA WAJAH PADA SISTEM PRESENSI MENGGUNAKAN BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK PEMANFAATAAN BIOMETRIKA WAJAH PADA SISTEM PRESENSI MENGGUNAKAN BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK Program Studi Matematika FMIPA Universitas Negeri Semarang Abstrak. Saat ini, banyak sekali alternatif dalam

Lebih terperinci

ANALISA JARINGAN SARAF TIRUAN DENGAN METODE BACKPROPAGATION UNTUK MEMPREDIKSI PRODUKTIVITAS PEGAWAI. Jasmir, S.Kom, M.Kom

ANALISA JARINGAN SARAF TIRUAN DENGAN METODE BACKPROPAGATION UNTUK MEMPREDIKSI PRODUKTIVITAS PEGAWAI. Jasmir, S.Kom, M.Kom ANALISA JARINGAN SARAF TIRUAN DENGAN METODE BACKPROPAGATION UNTUK MEMPREDIKSI PRODUKTIVITAS PEGAWAI Jasmir, S.Kom, M.Kom Dosen tetap STIKOM Dinamika Bangsa Jambi Abstrak Pegawai atau karyawan merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS ALGORITMA INISIALISASI NGUYEN-WIDROW PADA PROSES PREDIKSI CURAH HUJAN KOTA MEDAN MENGGUNAKAN METODE BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK

ANALISIS ALGORITMA INISIALISASI NGUYEN-WIDROW PADA PROSES PREDIKSI CURAH HUJAN KOTA MEDAN MENGGUNAKAN METODE BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK ANALISIS ALGORITMA INISIALISASI NGUYEN-WIDROW PADA PROSES PREDIKSI CURAH HUJAN KOTA MEDAN MENGGUNAKAN METODE BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK Yudhi Andrian 1, M. Rhifky Wayahdi 2 1 Dosen Teknik Informatika,

Lebih terperinci

Jaringan Syaraf Tiruan

Jaringan Syaraf Tiruan 07/06/06 Rumusan: Jaringan Syaraf Tiruan Shinta P. Sari Manusia = tangan + kaki + mulut + mata + hidung + Kepala + telinga Otak Manusia Bertugas untuk memproses informasi Seperti prosesor sederhana Masing-masing

Lebih terperinci

Architecture Net, Simple Neural Net

Architecture Net, Simple Neural Net Architecture Net, Simple Neural Net 1 Materi 1. Perceptron 2. ADALINE 3. MADALINE 2 Perceptron Perceptron lebih powerful dari Hebb Pembelajaran perceptron mampu menemukan konvergensi terhadap bobot yang

Lebih terperinci

SATIN Sains dan Teknologi Informasi

SATIN Sains dan Teknologi Informasi SATIN - Sains dan Teknologi Informasi, Vol. 2, No., Juni 206 SATIN Sains dan Teknologi Informasi journal homepage : http://jurnal.stmik-amik-riau.ac.id Penerapan Jaringan Syaraf Tiruan Untuk Estimasi Needs

Lebih terperinci

PERANCANGAN SISTEM KONTROL POSISI DAN KECEPATAN PADA KAPAL SELAM MENGGUNAKAN JARINGAN SARAF TIRUAN

PERANCANGAN SISTEM KONTROL POSISI DAN KECEPATAN PADA KAPAL SELAM MENGGUNAKAN JARINGAN SARAF TIRUAN ABSTRAK PERANCANGAN SISTEM KONTROL POSISI DAN KECEPATAN PADA KAPAL SELAM MENGGUNAKAN JARINGAN SARAF TIRUAN Agus Syahril / 0322013 Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik Universitas Kristen Maranatha Jl.

Lebih terperinci

Jaringan Syaraf Tiruan

Jaringan Syaraf Tiruan Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network) Intelligent Systems Pembahasan Jaringan McCulloch-Pitts Jaringan Hebb Perceptron Jaringan McCulloch-Pitts Model JST Pertama Diperkenalkan oleh McCulloch

Lebih terperinci

KOMPRESI CITRA DIGITAL DENGAN MENGGUNAKAN HEBBIAN BASED PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS

KOMPRESI CITRA DIGITAL DENGAN MENGGUNAKAN HEBBIAN BASED PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS KOMPRESI CITRA DIGITAL DENGAN MENGGUNAKAN HEBBIAN BASED PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS 1 Sofyan Azhar Ramba 2 Adiwijaya 3 Andrian Rahmatsyah 12 Departemen Teknik Informatika Sekolah Tinggi Teknologi Telkom

Lebih terperinci

BAB 4 DISAIN MODEL. Pengguna. Citra. Ekstraksi Ciri x. Antar muka (Interface) Data Hasil Ekstraksi Ciri. Testing dan Identifikasi.

BAB 4 DISAIN MODEL. Pengguna. Citra. Ekstraksi Ciri x. Antar muka (Interface) Data Hasil Ekstraksi Ciri. Testing dan Identifikasi. 33 BAB 4 DISAIN MODEL Disain model sistem identifikasi citra karang dirancang sedemikian rupa dengan tuuan untuk memudahkan dalam pengolahan data dan pembuatan aplikasi serta memudahkan pengguna dalam

Lebih terperinci

PERAMALAN INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN (IHSG) MENGGUNAKAN JARINGAN SARAF TIRUAN ELMAN DENGAN ALGORITME GRADIENT DESCENT ADAPTIVE LEARNING RATE

PERAMALAN INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN (IHSG) MENGGUNAKAN JARINGAN SARAF TIRUAN ELMAN DENGAN ALGORITME GRADIENT DESCENT ADAPTIVE LEARNING RATE PERAMALAN INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN (IHSG) MENGGUNAKAN JARINGAN SARAF TIRUAN ELMAN DENGAN ALGORITME GRADIENT DESCENT ADAPTIVE LEARNING RATE oleh BETA VITAYANTI M0110012 SKRIPSI Ditulis dan diajukan untuk

Lebih terperinci

Estimasi Suhu Udara Bulanan Kota Pontianak Berdasarkan Metode Jaringan Syaraf Tiruan

Estimasi Suhu Udara Bulanan Kota Pontianak Berdasarkan Metode Jaringan Syaraf Tiruan Estimasi Suhu Udara Bulanan Kota Pontianak Berdasarkan Metode Jaringan Syaraf Tiruan Andi Ihwan 1), Yudha Arman 1) dan Iis Solehati 1) 1) Prodi Fisika FMIPA UNTAN Abstrak Fluktuasi suhu udara berdasarkan

Lebih terperinci

Karakteristik Shoaling Ikan Pelagis Menggunakan Data Akustik Split Beam di Perairan Selat Bangka Pada Musim Timur

Karakteristik Shoaling Ikan Pelagis Menggunakan Data Akustik Split Beam di Perairan Selat Bangka Pada Musim Timur ISSN 0853-7291 Karakteristik Shoaling Ikan Pelagis Menggunakan Data Akustik Split Beam di Perairan Selat Bangka Pada Musim Timur Fauziyah, Hartoni dan Agussalim A Jl. Lingkar Kampus UNSRI Inderalaya PS

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari Ekspedisi Selat Makassar 2003 yang diperuntukkan bagi Program Census of Marine Life (CoML) yang dilaksanakan oleh

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PERACANGAN APLIKASI SISTEM PENDETEKSI GANGGUAN JARINGAN KOMPUTER MENGGUNAKAN MULTILAYER DENGAN PELATIHAN FEEDFORWARD SKRIPSI

ANALISIS DAN PERACANGAN APLIKASI SISTEM PENDETEKSI GANGGUAN JARINGAN KOMPUTER MENGGUNAKAN MULTILAYER DENGAN PELATIHAN FEEDFORWARD SKRIPSI ANALISIS DAN PERACANGAN APLIKASI SISTEM PENDETEKSI GANGGUAN JARINGAN KOMPUTER MENGGUNAKAN MULTILAYER DENGAN PELATIHAN FEEDFORWARD SKRIPSI SISKA MELINWATI 061401040 PROGRAM STUDI SARJANA ILMU KOMPUTER DEPARTEMEN

Lebih terperinci

Jaringan syaraf dengan lapisan tunggal

Jaringan syaraf dengan lapisan tunggal Jaringan syaraf adalah merupakan salah satu representasi buatan dari otak manusia yang mencoba untuk mensimulasikan proses pembelajaran pada otak manusia. Syaraf manusia Jaringan syaraf dengan lapisan

Lebih terperinci

terinspirasi dari sistem biologi saraf makhluk hidup seperti pemrosesan informasi

terinspirasi dari sistem biologi saraf makhluk hidup seperti pemrosesan informasi 25 BAB III JARINGAN SARAF TIRUAN (JST) 3.1 Pengertian JST JST merupakan sebuah model atau pola dalam pemrosesan informasi. Model ini terinspirasi dari sistem biologi saraf makhluk hidup seperti pemrosesan

Lebih terperinci

KLASIFIKASI ARITMIA EKG MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN DENGAN FUNGSI AKTIVASI ADAPTIF

KLASIFIKASI ARITMIA EKG MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN DENGAN FUNGSI AKTIVASI ADAPTIF KLASIFIKASI ARITMIA EKG MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN DENGAN FUNGSI AKTIVASI ADAPTIF Asti Rahma Julian 1, Nanik Suciati 2, Darlis Herumurti 3 Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Informasi, ITS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diatur di dalam otak sebagai pengendali utama tubuh manusia. Otak manusia

BAB I PENDAHULUAN. diatur di dalam otak sebagai pengendali utama tubuh manusia. Otak manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia telah diciptakaan oleh Tuhan dalam bentuk kesempurnaan. Salah satu ciptaan yang menakjubkan adalah otak manusia dimana semua kecerdasaan diatur di dalam otak

Lebih terperinci

ARTIFICIAL NEURAL NETWORK TEKNIK PERAMALAN - A

ARTIFICIAL NEURAL NETWORK TEKNIK PERAMALAN - A ARTIFICIAL NEURAL NETWORK CAHYA YUNITA 5213100001 ALVISHA FARRASITA 5213100057 NOVIANTIANDINI 5213100075 TEKNIK PERAMALAN - A MATERI Neural Network Neural Network atau dalam bahasa Indonesia disebut Jaringan

Lebih terperinci

PREDIKSI PENDAPATAN ASLI DAERAH KALIMANTAN BARAT MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN BACKPROPAGATION

PREDIKSI PENDAPATAN ASLI DAERAH KALIMANTAN BARAT MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN BACKPROPAGATION PREDIKSI PENDAPATAN ASLI DAERAH KALIMANTAN BARAT MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN BACKPROPAGATION Dwi Marisa Midyanti Sistem Komputer Universitas Tanjungpura Pontianak Jl Prof.Dr.Hadari Nawawi, Pontianak

Lebih terperinci

BAB III PERANCANGAN SISTEM

BAB III PERANCANGAN SISTEM BAB III PERANCANGAN SISTEM 3.1 Definisi Masalah Dalam beberapa tahun terakhir perkembangan Computer Vision terutama dalam bidang pengenalan wajah berkembang pesat, hal ini tidak terlepas dari pesatnya

Lebih terperinci

Bab 5 Penerapan Neural Network Dalam Klasifikasi Citra Penginderaan Jauh

Bab 5 Penerapan Neural Network Dalam Klasifikasi Citra Penginderaan Jauh Penerapan Neural Dalam Klasifikasi Citra Penginderaan Jauh Klasifikasi citra penginderaan jarak jauh (inderaja) merupakan proses penentuan piksel-piksel masuk ke dalam suatu kelas obyek tertentu. Pendekatan

Lebih terperinci

KLASIFIKASI CITRA PARU MENGGUNAKAN MODEL SELF-ORGANIZING MAPS RADIAL BASIS FUNCTION NEURAL NETWORKS (SOM-RBFNN) SKRIPSI

KLASIFIKASI CITRA PARU MENGGUNAKAN MODEL SELF-ORGANIZING MAPS RADIAL BASIS FUNCTION NEURAL NETWORKS (SOM-RBFNN) SKRIPSI KLASIFIKASI CITRA PARU MENGGUNAKAN MODEL SELF-ORGANIZING MAPS RADIAL BASIS FUNCTION NEURAL NETWORKS (SOM-RBFNN) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri

Lebih terperinci