STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG"

Transkripsi

1 STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Struktur Komunitas Meiobenthos Yang Dikaitkan Dengan Tingkat Pencemaran Sungai Jerambah dan Sungai Buding Kepulauan Bangka Belitung adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Juni 2008 KARTIKA NUGRAH PRAKITRI C

3 ABSTRAK KARTIKA NUGRAH PRAKITRI. Struktur Komunitas Meiobenthos Yang Dikaitkan Dengan Tingkat Pencemaran Sungai Jerambah dan Sungai Buding Kepulauan Bangka Belitung. Dibawah bimbingan ISDRAJAD SETYOBUDIANDI dan YUSLI WARDIATNO. Komunitas metazoa meiofauna (meiobenthos) sebagai organisme interstisial memberikan respon positif terhadap perubahan lingkungan (Susetiono, 2000). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keterkaitan antara struktur komunitas meiobenthos dengan kondisi perairan Sungai Jerambah dan Sungai Buding Kepulauan Bangka Belitung. Penelitian ini dilakukan sekali dalam sebulan selama bulan September dan November Pengambilan sampel dilaksanakan 2 kali pengambilan sampel yaitu pada bulan September 2007 saat musim kemarau dan bulan November 2007 saat musim hujan dengan lokasi penelitian di Sungai Jerambah Bangka Barat dan Sungai Buding Belitung Timur. Pengambilan sampel dilakukan di bagian hulu, tengah dan hilir perairan sungai. Pada sampling pertama dilakukan dengan 2 kali ulangan dan sampling kedua dengan 3 kali ulangan. Kepadatan total meiobenthos tertinggi Sungai Jerambah pada saat bulan September maupun November 2007, terdapat pada stasiun hilir. Sedangkan kepadatan total meiobenthos tertinggi Sungai Buding, pada saat bulan September terdapat pada stasiun tengah, tetapi pada bulan November 2007 kepadatan tertinggi terdapat pada stasiun hulu. Kepadatan meiobenthos pada masing-masing stasiun sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan terutama kandungan bahan organik dan kondisi substratnya. Secara keseluruhan dari hasil pengamatan terhadap kepadatan per-taksa meiobenthos di wilayah perairan Sungai Jerambah Bangka Barat dan Sungai Buding Belitung diperoleh organisme yang terdiri beberapa taksa yaitu Nematoda, Calanoida, Harpacticoda, Ostracoda, Cumacea, Oligochaeta, Polychaeta, Foraminifera, Cyclopoida, Amphipoda, Pelecypoda, Halacaroidea dan Diptera. Tingginya kepadatan yang didominasi oleh keberadaan taksa Nematoda pada kedua sungai tersebut karena Nematoda merupakan organisme toleran yang mampu bertahan terhadap tekanan ekologis seperti pencemaran yang terjadi di perairan..menurut perhitungan Indeks Pencemaran diketahui bahwa perairan Sungai Jerambah dan Sungai Buding sudah tergolong tercemar sedang. Dalam penelitian ini pada Sungai Jerambah dan Sungai Buding, Indeks similaritas Bray Curtis berdasarkan kepadatan meiobenthos mengikuti bentuk similaritas Canberra berdasarkan parameter kualitas air dan tekstur substrat. Dari uji statistik yang dilakukan terlihat bahwa adanya korelasi antara kepadatan meiobenthos dengan kondisi kualitas perairan dan tekstur substrat.

4 STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Oleh : KARTIKA NUGRAH PRAKITRI C SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

5 LEMBAR PENGESAHAN Judul Nama Mahasiswa Nomor Pokok : Struktur Komunitas Meiobenthos yang dikaitkan dengan Tingkat Pencemaran Sungai Jerambah dan Sungai Buding, Kepulauan Bangka Belitung : Kartika Nugrah Prakitri : C Disetujui : Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Isdrajad Setyobudiandi M.Sc Dr. Ir. Yusli Wardiatno M.Sc NIP NIP Mengetahui Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Prof. Dr.Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP Tanggal Lulus :

6 PRAKATA Alhamdulillah, segala puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Struktur Komunitas Meiobenthos Yang Dikaitkan Dengan Tingkat Pencemaran Sungai Jerambah dan Sungai Buding, Kepulauan Bangka Belitung. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Dalam kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Isdrajad Setyobudiandi, M.Sc dan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku komisi pembimbing yang telah memberikan masukan, arahan dan bimbingan selama penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Etty Riani, M.Sc selaku dosen penguji tamu dan Dr. Ir. Unggul Aktani, M.Sc penguji wakil Departemen MSP atas saran dan arahan untuk skripsi ini. 3. Keluarga tercinta yang selalu memberikan dukungan, doa, semangat dan kasih sayangnya kepada penulis. 4. Bapak Sodikin dan Ibu Siti atas bantuan serta sarana dan prasarana yang diberikan kepada penulis selama penelitian ini berlangsung. 5. Mas Iwan dan seluruh civitas MSP atas segala bantuan, kebersamaan dan semangat yang diberikan kepada penulis. 6. Serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pihak lain. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak. Bogor, Juni 2008 Penulis

7 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... i ii iv I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Lokasi Meiobenthos Komunitas Meiobenthos Meiobenthos sebagai Indikator Pencemaran Perairan Kualitas Lingkungan Perairan Parameter Kualitas Perairan Parameter Fisika Perairan Parameter Kimia Perairan Tekstur Sedimen Perairan III. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Metode Metode Pengambilan Sampel Meiobenthos Kualitas Air Sedimen Metode Analisis Sampel Meiobenthos Kualitas Air Sedimen Metode Analisis Data Meiobenthos Kepadatan total Kepadaran per-taksa Rasio N/C Indeks Similaritas Bray Curtis Kualitas Air Analisa deskriptif Indeks Pencemaran Indeks Similaritas Canberra Sedimen... 21

8 Analisis uji beda nyata Analisis korelasi linier sederhana IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Komunitas Meiobenthos Kepadatan total Kepadaran per-taksa Rasio N/C Indeks Similaritas Bray Curtis Parameter Kualitas Perairan Parameter Fisika Perairan Suhu Kecepatan Arus Total Suspended Solid (TSS) Parameter Kimia Perairan ph Oksigen Terlarut (DO) Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) Total Fosfat Amonia Nitrit Nitrat Sulfida Logam Berat Minyak dan Lemak Deterjen Fenol Indeks Pencemaran Tekstur Sedimen Indeks Similaritas Canberra Korelasi antara Kepadatan dengan Kualitas Air Korelasi antara Kepadatan dengan Tekstur Sedimen Kualitas Lingkungan Berdasarkan Struktur Komunitas Meiobenthos Pengelolaan Perairan Sungai Jerambah dan Sungai Buding Kepulauan Bangka Belitung V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP... 90

9 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepulauan Bangka Belitung dalam beberapa tahun terakhir ini ramai dengan kegiatan penambangan ilegal. Fenomena ini, lebih dikenal masyarakat dengan istilah TI, singkatan dari Tambang Inkonvensional. Aktivitas TI yang terus berkembang sempat menjadi sorotan. Beberapa areal yang dilindungi pemerintah daerah setempat termasuk areal reklamasi telah menjadi tempat masyarakat untuk menambang timah. Karena tidak hanya kegiatannya yang tidak mengindahkan peraturan maupun ketentuan yang berlaku, namun berdampak bagi kerusakan lingkungan di wilayah ini. Selain kerusakan lingkungan akibat kegiatan penambangan liar (TI), pembuangan limbah domestik dan sisa aktifitas di sekitar kawasan tersebut turut mempengaruhi perubahan kualitas lingkungan. Pembuangan limbah ke sungai tidak lepas dari kesadaran masyarakat terhadap kelestarian sungai yang umumnya masih rendah, anggapan bahwa sungai merupakan tempat terakhir pembuangan sampah. Sungai merupakan jenis perairan dengan sistem terbuka sehingga sangat tergantung keadaan lingkungan sekitarnya. Secara alamiah, ekosistem sungai mampu melakukan self purification (kapasitas asimilasi) terhadap beban limbah yang masuk, namun penggunaan sungai untuk berbagai kepentingan akan melebihi daya dukung dari sungai tersebut. Pembuangan berbagai jenis limbah yang dihasilkan dari segala aktivitas masyarakat sekitar ke badan sungai, tanpa diolah dalam instalasi pengolahan limbah dapat menimbulkan masalah pencemaran perairan. Sebagai akibatnya, kondisi ekosistem air sebagai habitat berbagai jenis organisme akuatik mengalami perubahan yang sangat tajam sehingga selain dapat menurunkan kualitas suatu perairan juga dapat mempengaruhi kehidupan organisme yang hidup akuatik, salah satunya adalah komunitas meiobenthos. Komunitas metazoa meiofauna (meiobenthos) sebagai organisme interstisial memberikan respon positif terhadap perubahan lingkungan (Susetiono, 2000). Adanya peningkatan aktivitas masyarakat di sepanjang aliran sungai selain dapat mempengaruhi faktor fisika-kimia perairan juga memberikan dampak

10 2 negatif bagi komunitas Meiobenthos, misalnya penurunan jumlah komposisi dan kelimpahan dari kelompok meiobenthos Perumusan Masalah Kerusakan lingkungan perairan sungai yang terjadi akibat adanya pencemaran dari berbagai aktivitas antropogenik akan mempengaruhi kehidupan biota akuatik seperti plankton, benthos dan ikan. Bahan pencemar yang masuk kedalam perairan bersifat sangat kompleks, sehingga tidak hanya menganalisa beberapa parameter kualitas air. Salah satu cara untuk mengetahui pengaruh bahan pencemar terhadap biota akuatik maka pada penelitian menggunakan salah satu kelompok biota akuatik yaitu organisme meiobenthos sebagai bioindikator terhadap perubahan kualitas perairan, karena meiobenthos merupakan organisme yang sensitif terhadap pencemaran perairan. Kerangka masalah dapat dilihat pada Gambar Tujuan Tujuan penelitian ini adalah hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan informasi sebagai berikut : 1. Mengkaji komunitas meiobenthos yang terdapat dalam Sungai Jerambah dan Sungai Buding. 2. Mengkaji kondisi fisika kimia perairan Sungai Jerambah dan Buding. 3. Mengkaji kualitas perairan Sungai Jerambah dan Sungai Buding. 4. Mengkaji substrat yang merupakan habitat meiobenthos. 5. Mengkaji keterkaitan antara komunitas meiobenthos dengan kondisi lingkungan perairan.

11 3 Potensi Wilayah Kepulauan Bangka Belitung Pengelolaan Sumberdaya Perairan Inventarisasi, Pemetaan, Pengelolaan, Evaluasi Inventarisasi Lokasi Penelitian Sumber pencemar : Aktivitas alam dan peningkatan aktivitas masyarakat (penambangan timah (TI), aktivitas perairan, kegiatan industri, pembukaan lahan, dsb) Masukan limbah organik maupun limbah anorganik Perairan Ekosistem Sungai Perubahan Kualitas Air dan Substrat Self purification terhadap pencemaran Kondisi Perairan Belum tercemar atau Sudah tercemar Parameter Fisika & Kimia Tekstur Sedimen Biologi : Komunitas Meiobenthos Tahap Pengelolaan Selanjutnya Kesesuaian (Stake holder) Daya Dukung Pemanfaatan Rencana Pengelolaan Gambar 1. Kerangka Pendekatan Masalah. Keterangan : [ tidak dilakukan dalam penelitian ini ] bagian yang

12 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Lokasi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung secara geografis terletak pada 104 o 50 sampai 109 o 30 Bujur Timur dan 0 o 50 sampai 4 o 10 Lintang Selatan, dengan batas-batas wilayah disebelah Barat dengan Selat Bangka, sebelah Timur dengan Selat Karimata, sebelah Utara dengan Laut Natuna, sebelah Selatan dengan Laut Jawa. Pada kedua pulau besar tersebut terdapat beberapa sungai besar dan kecil. Sungai-sungai ini merupakan sungai yang secara tahunan tergenang oleh air (sungai permanen). Sungai Jerambah terletak di kabupaten Bangka Barat (Lampiran 1) berkonsentrasi pada pembangunan di sektor pertambangan, perkebunan, perikanan, pariwisata dan sektor industri seperti industri pangan, industri sandang dan kulit, industri logam mesin dan elektronik, agroindustri, industri kimia dan bahan bangunan. Sedangkan Sungai Buding (Lampiran 2) terletak di kabupaten Belitung Timur merupakan wilayah pengembangan sektor pertambangan, perkebunan, perikanan, pariwisata dan industri industri seperti industri pangan, industri sandang, industri kimia dan bahan bangunan, argoindustri, industri kerajinan dan umum, serta industri logam dan elektronik ( Secara umum kebanyakan ekosistem perairan sungai di Kepulauan Bangka Belitung dalam kondisi tercemar limbah organik dan logam berat akibat aktivitas penambangan timah dan kaolin. Menurut Kepala Bapedalda Babel menyatakan kerusakan sungai paling banyak disebabkan oleh aktivitas Tambang Inkonvensional (TI). Karena kegiatan penambangan biasanya dilakukan di aluralur sungai. Sehingga menimbulkan dampak buruk bagi perkembangan biota perairan mulai dari hulu hingga hilir sungai. Begitupula tidak sedikit masyarakat yang hidup di pinggiran sungai turut mengkontribusi bahan pencemar kedalam perairan sekitar. Peningkatan aktivitas masyarakat di sekitar sungai dikhawatirkan akan menurunkan kemampuan daya dukung sungai di kawasan tersebut. Seperti yang diketahui, dalam waktu yang relatif singkat akibat dari kegiatan TI yang tidak terkendali ini, beberapa sungai dan sumber air yang sebelumnya dapat dimanfaatkan masyarakat telah berubah menjadi keruh.

13 5 2.2 Meiobenthos Menurut Odum (1971) Benthos sebagai salah satu parameter biologi adalah organisme yang hidup pada substrat dasar perairan (epifauna) atau didalam substrat (infauna). Organisme infauna biasanya digolongkan menurut ukurannya. Organisme infauna dapat digolongkan menjadi makrobenthos, meiobenthos dan mikrobenthos. Organisme meiobenthos merupakan organisme bentik metazoa (multiseluler) yang memiliki ukuran 0.1 mm sampai 1.0 mm (Nybakken, 1992); adapun yang menggolongkannya berukuran lebih besar dari 0,042 mm atau lebih besar dari 0,063 mm (Mare, 1942 in Giere, 1993). Meiobenthos merupakan organisme interstitial yang hidup pada ruang di antara partikel sedimen. Mereka terdapat pada butiran pasir dan lumpur pada perairan tawar, daerah pesisir pantai dan dasar laut. Dari seluruh kelompok meiobenthos, diketahui beberapa terdiri dari kelompok meiobenthos yang berada di perairan tawar yaitu Tubellaria, Gastrotricha, Rotifera, Tardigrada, Annelida (Oligochaeta, Polychaeta), Cladocera, Copepoda (Calanoida, Cyclopoida, Harpacticoida), Ostracoda, Malacostraca (Cumacea, Isopoda, Amphipoda), Halacaroidae (mites), larva Diptera (midge larva) dan Nematoda (Pennak, 1988 in Giere, 1993). Tidak semua kelompok meiobenthos, seluruh daur hidupnya menjadi meiobenthos sejati (permanent meiofauna), beberapa diantaranya menjadi meiobenthos hanya pada stadia tertentu saja (temporary meiofauna) seperti pada stadia larva dan juvenile dari Insecta (Diptera: Chironomidae, Ephenmeroptera) dan Annelida (Oligochaeta) dimana setelah dewasa menjadi makrobenthos Komunitas Meiobenthos Komunitas adalah kumpulan populasi yang hidup pada suatu lingkungan tertentu atau habitat fisik tertentu yang saling berinteraksi dan secara bersama membentuk tingkat trofik (Odum, 1971). Struktur komunitas memiliki lima tipologi atau karakteristik yaitu keanekaragaman, dominansi, bentuk dan struktur pertumbuhan, kelimpahan relatif serta struktur trofik. Stabilitas komunitas terkait langsung dengan keanekaragaman komunitas. Jika faktor lingkungan mendukung, produktivitas komunitas meningkat sehingga memicu berkembangnya banyak populasi, maka pada gilirannya keanekaragaman komunitas meningkat. Salah satu

14 6 penyebab struktur komunitas mempengaruhi keanekaragaman lingkungan populasi ialah proses aliran bahan nutrisi (Wirakusumah, 2003). Struktur komunitas meiobenthos pada sedimen sangat dipengaruhi oleh karakteristik sedimen dan akumulasi bahan organik di sedimen (Hicks and Coull, 1983 in Susetiono, 2000). Disamping itu, faktor yang mempengaruhi kehidupan meiobenthos sebagai organisme interstitial adalah ukuran butiran partikel, karakteristik hidrologi, musim, oksigen, sedimen, nutrisi (Nybakken, 1992). Peranan meiobenthos sebagai organisme bentik dalam komunitas akuatik dapat dikategorikan menjadi 4 yaitu dalam daur nutrien, dalam biodegradasi bahan organik, dalam rantai makanan karena kelimpahannya dan memberikan respon sensitif terhadap gangguan, stress dan pencemaran (Coull, 1984 in Susetiono, 2000) Meiobenthos sebagai Indikator Biologi Pencemaran Perairan Komunitas metazoa meiofauna sebagai organisme interstisial memberikan respon sensitif terhadap perubahan lingkungan. Bioindikator merupakan suatu spesies organisme yang digunakan untuk melihat kesehatan lingkungan atau ekosistem karena keberadaannya maupun kelimpahannya. Kehadiran spesies toleran dan ketidakhadiran spesies yang tidak toleran dapat digunakan sebagai petunjuk terjadinya pencemaran. Pada kondisi perairan yang belum tercemar, kelompok meiobenthos biasanya ditemukan secara normal pada sedimen perairan, tetapi pada area yang mengalami gangguan yang ditemukan akan lebih berkurang. Populasi meiobenthos akan berubah menjadi lebih rendah saat polusi terjadi. Dampak dari adanya pencemaran dari komunitas natural kemungkinan terlihat terutama dari penurunan komposisi dan densitas dari organisme. Meiobenthos sangat berguna untuk pendekatan lingkungan karena tidak memiliki stadia larva planktonik (beberapa ) dan waktu regenerasi yang pendek (Warwick, 1993 in Susetiono, 2000). Kelompok organisme meiobenthos ini tidak dapat melakukan migrasi dan menjauhi pencemaran tetapi organisme ini harus bertahan (mentolerir) atau mati (Gray, 1982 in Susetiono, 2000). Dewasa ini, studi mengenai respon komunitas meiofauna terhadap gangguan lingkungan telah

15 7 dikembangkan, seperti pengkayaan organik dan eutrofikasi, logam berat dan pencemaran minyak (Susetiono, 2000). 2.3 Kualitas Lingkungan Perairan Parameter Kualitas Perairan Parameter Fisika Perairan Suhu sangat berperan mengendalikan kondisi perairan. Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme (Nybakken, 1992). Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air (Effendi, 2003). Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi badan air. Peningkatan suhu menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air sehingga terjadi peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Arus berperan penting dalam penyebaran organisma, gas-gas terlarut dan pengangkutan substansi yang terdapat dalam air. Kecepatan arus sangat berfluktuasi dari waktu ke waktu tergantung dari fluktuasi debit, aliran air dan kondisi substrat yang ada (Barus, 2002). Total Suspended Solid (TSS) adalah jumlah padatan tersuspensi (mg) dalam satu liter air. Padatan tersuspensi terdiri dari padatan dalam perairan yang tersuspensi dan terlarut, berasal dari bahan organik dan anorganik. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutama disebabkan oleh erosi tanah yang terbawa ke badan air (Effendi, 2003). Erosi yang terjadi menimbulkan dampak positif seperti peningkatan kandungan unsur hara di perairan, maupun dampak negatif terhadap kualitas air, seperti penurunan nilai kecerahan dan meningkatnya kekeruhan dan padatan tersuspensi. Kekeruhan yang tinggi dapat menghambat penetrasi cahaya matahari ke dalam air dan mengakibatkan gangguan terhadap organisme akuatik.

16 Parameter Kimia Perairan Dalam suatu perairan ph mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air. Nilai ph dibawah 6-6,5 menyebabkan keanekaragaman benthos akan sedikit menurun (Effendi, 2003). Kisaran ph yang sangat rendah akan menyebabkan toksisitas berbagai senyawa logam berat semakin tinggi. Sedangkan ph yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu. Pencemaran kimia maupun organik (eutrof) sering menjadi penyebab fluktuasi drastis terhadap nilai ph (Giere, 1993). Oksigen terlarut merupakan parameter yang sangat penting dalam mendeteksi adanya pencemaran, karena oksigen dapat digunakan untuk melihat perubahan suatu ragam biota dalam perairan. Distribusi oksigen terlarut di dalam perairan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan distribusi dan kelimpahan benthos. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada percampuran (mixing), turbulensi massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan dekomposisi atau penguraian semua limbah yang dioksidasi, terutama limbah domestik (Barus, 2002). Chemical Oxygen Demand (COD) adalah banyaknya oksigen (mg) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik dalam satu liter air limbah. Berdasarkan kemampuan oksidasi, penentuan nilai COD dianggap paling baik dalam menggambarkan keberadaan bahan organik baik yang bisa didegradasi (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (nonbiodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O (Effendi, 2003). Amonia (NH 3 -N) merupakan hasil penguraian protein yang masuk kedalam badan sungai melalui limbah domestik. Mikroorganisme akan mengoksidasi amonia menjadi nitrit (NO 2 -N) oleh bakteri Nitrosomonas dan akhirnya menjadi nitrat (NO 3- N) oleh bakteri Nitrobacter. Sumber amonia yang lain adaleh reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi udara atmosfer, dalam mineral melalui erosi tanah, limbah industri dan domestik. Amonia bebas (NH 3 ) yang tidak terionisasi bersifat toksik terhadap organisme akuatik. Avertebrata air lebih toleran terhadap toksistas amonia daripada ikan. Pada perairan tawar sebaiknya NH 3 tidak melebihi 0,02 mg/liter. Kadar nitrit yang melebihi 0,05 mg/liter bersifat toksik bagi organisme perairan yang sangat sensitif

17 9 (Moore in Effendi, 2003). Nitrat (NO 3 ) sangat mudah terlarut dalam air dan bersifat stabil, kadar nitrat diperairan yang tidak tercemar biasanya lebih tinggi daripada kadar amonium. Pada perairan yang menerima limpasan air dari daerah pertanian dapat mempengaruhi besarnya kadar nitrat dalam badan air. Fosfor total menggambarkan jumlah total fosfor, baik berupa partikulat maupun terlarut, anorganik maupun anorganik. Sumber fosfor diperairan berasal dari pelapukan batuan mineral, dekomposisi bahan organik, limbah industri dan domestik. Limpasan dari daerah pertanian yang menggunakan pupuk juga memberikan kontribusi yang besar terhadap kadar fosfor. Kadar fosfor total pada perairan alami jarang melebihi 1 mg/liter. Sulfida dapat berasal dari limbah industri atau dihasilkan dari proses dekomposisi bahan organik yaitu proses reduksi sulfat oleh bakteri pada kondisi anaerob. Sulfida dalam bentuk H 2 S tidak terionisasi dan bersifat sangat toksik dan korosif terutama terhadap bahan-bahan yang tersusun dari logam (metal). Unsur-unsur logam berat biasanya erat kaitannya dengan masalah pencemaran dan toksisitas. Pencemaran logam berat dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur komunitas perairan, jaringan makanan, tingkah laku, efek fisiologi, genetik dan resistensi (Moriarty, 1983). Logam-logam berat yang terlarut dalam badan perairan pada konsentrasi tertentu akan berubah fungsi menjadi sumber racun bagi kehidupan perairan. Berbeda dengan logam berat biasa, logam berat biasanya menimbulkan efek khusus pada mahluk hidup (Palar, 1994 in Apriadi, 2002). Seperti bioakumulasi melalui tahapan pemangsaan dari organisme terkecil hingga pada tingkat organisme terbesar (terakhir). Timbal/timah hitam/lead (Pb) pada perairan ditemukan dalam bentuk terlarut dan tersuspensi. Timbal diserap dengan baik oleh tanah sehingga pengaruhnya terhadap tanaman relatif kecil. Timbal tidak termasuk unsur yang esensial bagi mahluk hidup, bahkan unsur ini bersifat toksik bagi hewan dan manusia karena dapat terakumulasi pada tulang. Toksisitas akut timbal terhadap beberapa jenis avertebrata air tawar dan laut berkisar antara 0,5 5,0 mg/l (Moore in Effendi, 2003). Ion Seng (Zn) mudah terserap dalam sedimen dan tanah. Seng tidak bersifat toksik bagi manusia akan tetapi pada kadar yang tinggi dapat

18 10 menimbulkan rasa pada air. Banyak aktivitas manusia yang mengakibatkan konsentrasi Zn dalam alam meningkat, seperti industri biji besi dan logam serta industri lain, karena logam Zn dimanfaatkan dalam produksi cat, bahan keramik, gelas, lampu dan pestisida. Toksisitas seng menurun dengan meningkatnya kesadahan dan meningkat dengan naiknya suhu dan menurunnya oksigen terlarut (Effendi, 2003). Stannum atau timah adalah sebuah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki simbol Sn dan nomor atom 50. Unsur ini merupakan logam miskin keperakan, tidak mudah teroksidasi dalam udara sehingga tahan karat, ditemukan dalam banyak aloy, dan digunakan untuk melapisi logam lainnya untuk mencegah karat (Sugiharto, 1987). Logam berat Sn belum banyak dipaparkan bahaya maupun efeknya pada kesehatan, akan tetapi jika konsentrasi logam berat tersebut melebihi batas normal maka kemungkinan terjadi pencemaran dan bioakumulasi pada organisme akuatik. Minyak dan lemak merupakan salah satu bahan organik yang menyebabkan pencemaran di perairan. Minyak dalam perairan terutama bersumber dari kegiatan manusia antara lain limbah domestik, pencucian kapal, tumpahan minyak, kegiatan di pelabuhan dan limbah industri (Manik, 2003). Minyak tidak larut dalam air, sehingga bila ada minyak di suatu perairan, akan dapat menyebabkan penetrasi cahaya matahari dan oksigen berkurang, sehingga mengganggu kehidupan dalam perairan. Walaupun minyak dapat diuraikan oleh mikroorganisme tertentu tetapi memerlukan waktu yang lama. Deterjen merupakan salah satu sumber fosfat penting dalam perairan yang tercemar, dimana % fosfat yang masuk ke dalam perairan berasal dari deterjen (Grundy, 1971 in Anggraeni, 2002). Dengan semakin melimpahnya pemakaian deterjen sintetik diperkirakan semakin melimpah pula senyawa fosfat yang masuk ke perairan. Hal ini dapat menyebabkan eutrofikasi (Williams, 1987 in Anggraeni, 2002). Fenol merupakan senyawa kimia (senyawa aromatik) dan tergolong bahan organik yang sukar diurai sehingga fenol merupakan racun bagi organisme perairan dan penyebab timbulnya rasa pada air. Fenol umumnya berasal dari limbah cair industri (Sugiharto, 2001).

19 Tekstur Sedimen Perairan Keberadaan organisme meiobenthos dipengaruhi oleh ukuran butiran (grain size) dimana merupakan habitat bagi meiobenthos. Umumnya korelasi antara struktur sedimen dan distribusi meiofauna sangat kuat, dimana mendominasi dari berbagai faktor. Hal tersebut sering berelasi secara langsung terhadap dominansi dan keanekaragaman meiofauna. (Gray and Buchanan, 1984 in Giere, 1993). Perbedaan ukuran butiran partikel (grain size) berkorelasi terhadap sirkulasi air yang mengatur kelembaban dan mensuplai oksigen dan nutrien. Selain itu, perbedaan struktur grainsize menentukan keberadaan koloni bakteri yang berbeda pula (Meadows and Anderson, 1966 in Giere, 1993) sehingga diversifikasi ini mampu menarik spesies meiofauna yang berbeda pula (Marcotte, 1986 in Giere, 1993). Tetapi bagaimanapun, preferensi meiofauna juga dipengaruhi oleh faktor lain dan hal itu sulit untuk dijelaskan (Giere, 1993 ). Menurut Nybakken (1992) bahwa jenis subtrat dan ukurannya salah satu faktor ekologi yang mempengaruhi kandungan bahan organik dan distribusi benthos. Kandungan bahan organik dalam sedimen berhubungan erat dengan jenis sedimen. Semakin halus substrat makan kemampuan menjebak bahan organik dalam sedimen semakin tinggi begitupula sebaliknya. Perbedaan karakter tekstur tanah memiliki sifat yang berbeda pula dalam penyerapan air dan nutrien seperti dalam tabel berikut. Tabel 1. Karakteristik Tekstur Tanah (Effendi, 2003) Tekstur Tanah Kapasitas Penahan nutrien Infiltrasi Air Kapasitas Penahanan Air Aerasi Tanah liat pekat (clay) Baik Jelek Baik Jelek Lumpur (silt) Sedang Sedang Sedang Sedang Pasir (sand) Jelek Baik Jelek Baik Tanah liat / gemuk (loam) Sedang Sedang Sedang Sedang

20 12 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pada penelitian ini dilaksanakan 2 kali pengambilan sampel yaitu pada bulan September 2007 saat musim kemarau dan bulan November 2007 saat musim hujan dengan lokasi penelitian di Sungai Jerambah dan Sungai Buding (Gambar 2) Kepulauan Bangka Belitung. Pengambilan sampel dilakukan di bagian hulu, tengah dan hilir perairan sungai. Pada sampling pertama dilakukan dengan 2 kali ulangan dan sampling kedua dengan 3 kali ulangan. Lokasi pengambilan sampel sebagai berikut. Tabel 2. Stasiun Pengambilan Sampel Sungai Stasiun Hulu Tengah Hilir Sungai Jerambah 01 46' 117" LS 01 45' 987" LS 01 46' 064" LS Bangka Barat ' 570" BT ' 800" BT ' 757" BT Sungai Buding 02 42' 937" LS 02 41' 757" LS 02 39' 408" LS Belitung Timur ' 310" BT ' 295" BT ' 721" BT 3.2 Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ekman grab, pipa PVC (Sediment-corer), water sampler, plankton-net (saringan), kantong plastik, pinset, mikroskop, cawan petri, baki, pipet, ember, spidol, kertas label, alat-alat untuk mengukur kualitas air di lapangan dan di laboratorium, serta buku identifikasi meiobenthos. Bahan yang digunakan antara lain contoh air dan meiobenthos, pewarna Rose Bengal, larutan formalin 10% untuk mengawetkan contoh meiobenthos, dan bahan-bahan kimia yang digunakan dalam pengawetan contoh air untuk analisis kualitas air lainnya.

21 13

22 14 (A) (B) Gambar 3. Citra satelit pada Sungai Jerambah (A) dan Sungai Buding (B). Ket : Hulu, Tengah dan Hilir merupakan stasiun pengamatan.sumber :

23 Metode Metode Pengambilan Sampel Meiobenthos Pengambilan sampel meiobenthos Sungai Jerambah Bangka Barat dan Sungai Buding Belitung Timur dilakukan pada 3 titik tempat yaitu bagian hulu, tengah dan hilir sungai. Pengambilan sampel meiobenthos dengan alat Ekman grab pada setiap titik sampling, sedimen dalam grab tersebut diletakkan ke dalam baki lalu diambil sedimen dengan 2-3 ulangan diambil secukupnya dengan pipa PVC (sediment-corer) diameter berukuran 2 inci. Contoh meiobenthos yang didapat kemudian diawetkan dengan formalin. Masing-masing contoh meiobenthos dan contoh sedimen dimasukkan ke dalam kantung plastik, selanjutnya dibawa ke Laboratorium Biomikro I untuk diidentifikasi Kualitas Air Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mengkaji data sekunder meliputi pengukuran kualitas fisika dan kimia air pada Sungai Jerambah dan Sungai Buding. Pengambilan sampel air Sungai Jerambah Bangka Barat dan Sungai Buding Belitung dilakukan pada 3 titik tempat yaitu bagian hulu, tengah dan hilir sungai secara insitu dan exsitu. Pengamatan secara insitu dilakukan secara langsung di lapangan yaitu pengamatan parameter suhu, kecepatan arus, ph, kandungan oksigen terlarut (DO). Sedangkan pengamatan exsitu seperti pengukuran COD, total fosfat, amonia, nitrit, nitrat, sulfida dan logam berat dilakukan analisis sampel di Laboratorium Sedimen Pengambilan sampel sedimen Sungai Jerambah Bangka Barat dan Sungai Buding Belitung dilakukan pada 3 titik tempat yaitu bagian hulu, tengah dan hilir sungai. Pengambilan dengan alat Ekman grab pada setiap titik sampling lalu contoh sedimen dibawa ke Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB.

24 Metode Analisis Sampel Pengukuran parameter serta metode analisis pada parameter yang dipantau disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Parameter fisika, kimia, biologi dan sedimen yang diamati Parameter Satuan Metode FISIKA 1. Suhu ºC Pemuaian termometer 2. Kecepatan Arus m/dt Kecepatan aliran pelampung 3. TSS mg/l Gravimetrik KIMIA 1. ph - Elektroda ph meter 2. DO mg/l DO meter 3. COD mg/l Titrasi Bikarbonat dan Reflux 4. Total Fosfat mg/l Titrasi Iodometri 5. Amonia ( NH 3 -N ) mg/l Phenate 6. Nitrit ( NO 2 -N ) mg/l Sulfanilamide 7. Nitrat ( NO 3- N ) mg/l Brucine 8. Sulfida (H 2 S) mg/l Titrasi Iodometri 9. Timbal ( Pb ) mg/l Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) 10. Seng ( Zn ) mg/l Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) 11. Stanum (Sn) mg/l Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) KIMIA ORGANIK 1. Minyak dan Lemak mg/l Gravimetri 2. Deterjen mg/l Biru metilena 3. Fenol mg/l Amino antipirin BIOLOGI 1. Meiobenthos per-sampel Identifikasi, Pennak 1989 SEDIMEN 1. Tekstur % Metode Pipet (Sudjadi, 1971)

25 Meiobenthos Sedimen yang sudah didapat kemudian disaring menggunakan saringan bertingkat dimana saringan yang digunakan adalah plankton-net berukuran 35 µm, kemudian hasil saringan diberi formalin dan pewarna Rose Bengal sebelum diidentifikasi. Pengamatan sampel Meiobenthos dilakukan dengan mikroskop binokuler dan buku identifikasi yang digunakan adalah Fresh-water Invertebrates of the United States karangan Pennak Dilaksanakan di Laboratorium Biomikro I, Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan MSP, FPIK IPB Kualitas Air Analisis sampel kualitas air secara exsitu dilakukan di Laboratorium dengan menggunakan referensi dari metode standar internasional yaitu Standard Methods For The Examination of Water and Waste Water (APHA, 1995) Sedimen Penentuan tekstur substrat dalam penelitian ini dilakukan analisa hingga 10 fraksi (Lampiran 15). Analisis sedimen dilakukan dengan cara sampel sedimen dikeringkan dengan udara selama beberapa hari, lalu penetapan ukuran butiran sedimen dilakukan melalui beberapa tahapan (Sudjadi, 1971) yaitu : 1. Menghilangkan atau menonaktifkan bahan-bahan pengikat (bahan organik, ion kalsium, serta oksida besi dan alumunium pada beberapa tanah). Fase ini disebut fase perlakuan pendahuluan 2. Pemisahan fraksi kasar dengan pengayakan 50 µm. 3. Penetapan fraksi liat dan debu dalam contoh tanah dengan pemipetan atau pengukuran berat jenis dengan hidrometer khusus. 4. Karena penentuan tekstur hingga 10 fraksi maka dari hasil analisis dari fraksi pasir, debu dan liat disaring kembali dengan ayakan khusus sesuai masingmasing fraksi. Kemudian hasil dari masing-masing ayakan ditimbang.

26 Metode Analisis Data Meiobenthos Kepadatan total Kepadatan total didefinisikan sebagai jumlah individu (individu/sampel) secara keseluruhan per area Kepadatan per Kepadatan jenis didefinisikan sebagai jumlah individu satu jenis setiap stasiunnya, pada umumnya perhitungan kepadatan meiobenthos dihitung dalam individu/sampel Rasio N/C Nematoda merupakan pemakan bakteri maupun detritus sehingga dengan kehadiran pengayaan bahan organik maka jumlahnya semakin banyak. Sedangkan Copepoda merupakan pemangsa mikroalga/diatom, sangat sensitif terhadap keberadaan oksigen dan bereaksi negatif terhadap kehadiran beban organik. Raffaeli dan Mason, 1981 menggunakan perbedaan karakter ekologi dari Nematoda dan Copepoda untuk menduga dampak dari pencemaran secara perhitungan sederhana yaitu rasio Nematoda/Copepoda. Rasio ini sangat mudah dan indikator umum terhadap pencemaran dapat meniadakan jenis yang sulit diidentifikasi (Rudnick 1989; Vincx et al 1990 in Giere, 1993). Rasio N/C dapat digunakan sebagai biomonitoring tool pada komunitas bentik. Besarnya nilai perbandingan antara Nematoda dengan Copepoda dapat menunjukkan intensitas pencemaran organik yang terjadi dalam area dimana sampel diambil. Tingginya rasio N/C (N/C rasio lebih besar dari 1) mengindikasikan kehadiran dari pencemaran organik (Susetiono, 2000). Nematoda Copepoda = Indeks Similaritas Bray Curtis Pengelompokkan habitat dilakukan untuk melihat kesamaan antar stasiun pengamatan berdasarkan kepadatan meiobenthos. Pengelompokkan ini

27 19 dilakukan dengan menggunakan Indeks Similaritas Bray Curtis. Nilai yang diperoleh dikelompokan kemudian dibuat dalam bentuk plot (dendogram). Rumus yang digunakan sebagai berikut : I BC = n Y1j Y 2 j j i= 1 Y1j + Y 2 Keterangan : I BC = Indeks Similaritas Bray Curtis N = Jumlah parameter yang dibandingkan (n 0) Y1j, Y2j = Nilai parameter ke-j pada stasiun yang dibandingkan Kualitas Air Analisa deskriptif Data parameter fisika dan kimia perairan menggunakan data sekunder (sumber data: PT. Afdhal Karunia Sejahtera). Parameter kualitas fisika kimia perairan yang terukur di analisa secara deskriptif yaitu membandingkan parameter kualitas air dengan baku mutu air menurut PP. RI. No.82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air kelas III yaitu air yang diperuntukkannya dapat digunakan untuk kegiatan budidaya perikanan. Analisis parameter kualitas air dikaji dengan pola perbandingan (comparison). Data yang sudah diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk grafik dan tabel. Berikut tahapan analisis data yang digunakan adalah : 1. Mencari rata-rata dari masing-masing parameter pada setiap stasiun selama 2 kali pengamatan. 2. Menyajikan data dalam bentuk grafik untuk distribusi secara spasial. 3. Membandingkan data dengan baku mutu kualitas perairan dan literatur yang ada untuk melihat kualitas perairan Indeks Pencemaran Indeks Pencemaran (Pollution Index) yang digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran relatif terhadap parameter kualitas air yang diizinkan (Nemerow, 1974 dalam Kep.Men.LH No.115/ 2003). Indeks Pencemaran (IP) ditentukan untuk suatu peruntukan, kemudian dapat dikembangkan untuk beberapa peruntukan bagi seluruh bagian badan air atau sebagian dari suatu

28 20 sungai. Pengelolaan kualitas air atas dasar Indeks Pencemaran (IP) ini dapat memberi masukan pada pengambil keputusan agar dapat menilai kualitas badan air untuk suatu peruntukan serta melakukan tindakan untuk memperbaiki kualitas jika terjadi penurunan kualitas akibat kehadiran senyawa pencemar. Prosedur penggunaan ditentukan dengan cara : Jika L ij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air yang dicantumkan dalam Baku Peruntukan Air (j), dan Ci menyatakan konsentrasi parameter kualitas air (i) yang diperoleh dari hasil analisis cuplikan air pada suatu lokasi pengambilan cuplikan dari suatu alur sungai, maka P ij adalah Indeks Pencemaran bagi peruntukan (j) yang merupakan fungsi dari C i /L ij. 1. Pilih parameter-parameter yang menjadi acuan. 2. Hitung harga C i /L ij untuk tiap parameter pada setiap lokasi pengambilan sampel. 3. a. Jika nilai konsentrasi parameter yang menurun menyatakan tingkat pencemaran meningkat, misal DO. Tentukan nilai baku mutu atau nilai maksimum C im (misal untuk DO, maka C im merupakan nilai DO jenuh). Dalam kasus ini nilai C i /L ij hasil pengukuran digantikan oleh nilai C i /L ij hasil perhitungan yaitu : (Cij/Lij) baru = Cim - b. Jika nilai baku L ij memiliki rentang - untuk C i L ij rata-rata (Cij/Lij) baru - untuk C i > L ij rata-rata (Cij/Lij) baru = = Ci hasil pengukuran Cim - Lij [ Ci - ( Lij) rata - rata] [( Lij) minimum ( Lij) rata - rata] [ Ci - ( Lij) rata - rata] [( Lij) maksimum ( Lij) rata - rata] c. Keraguan timbil jika dua nilai (C i /L ij ) berdekatan dengan nilai acuan 1,0 misal C i /L ij = 0,9 dan C 2 /L 2j = 1,1 atau perbedaan yang sangat besar, misal C 3 /L 3j = 5,0 dan C 4 /L 4j = 10,0. Dalam contoh ini tingkat kerusakan badan air sulit ditentukan. Cara untuk mengatasi hal ini adalah : - Penggunaan nilai (C i /L ij ) hasil pengukuran kalau nilainya < 1,0. - Penggunaan nilai (C i /L ij ) baru jika nilai (C i /L ij ) hasil pengurkuran > 1,0.

29 21 (C i /L ij ) baru = 1,0 + P log (C i /L ij ) hasil pengukuran P adalah konstanta yang ditentukan dengan bebas dan disesuaikan dengan hasil pengamatan lingkungan dan atau persyaratan yang dikehendaki untuk suatu peruntukan (biasanya digunakan nilai 5). 4. Tentukan nilai rata-rata dan nilai maksimum dari keseluruhan Ci/Lij ((C i /L ij )R dan C i /L ij )M). 5. Tentukan harga PI j 2 ( Ci / Lij) M + ( Ci / lij) PIj = 2 Evaluasi terhadap nilai PI adalah : 0 PI j 1,0 : memenuhi baku mutu (kondisi baik) 1,0 < PI j 5,0 : tercemar ringan 5,0 < PI j 10 : tercemar sedang PI j > 10 : tercemar berat 2 R Indeks Similaritas Canberra Pengelompokkan habitat dilakukan untuk melihat kesamaan antar stasiun pengamatan berdasarkan parameter fisika-kimia air dan tekstur sedimen. Pengelompokkan ini dilakukan dengan menggunakan Indeks Similaritas Canberra. Nilai yang diperoleh dikelompokan dengan menggunakan sidik gerombol hirarki metode rata-rata ikatan kelompok, kemudian dibuat dalam bentuk plot (dendogram). Rumus yang digunakan sebagai berikut : I C = 1 i n n Y1 j Y 2 j j i= 1 Y1 j + Y 2 Keterangan : I C = Indeks Similaritas Canberra N = Jumlah parameter yang dibandingkan (n 0) Y1j, Y2j = Nilai parameter ke-j pada stasiun yang dibandingkan Sedimen Sampel sedimen yang telah dilakukan analisa hingga 10 fraksi. Hasilnya dianalisa dengan phi scale. Berikut prosedur penyajian data dengan phi scale : 1. Tentukan nilai diameter phi atau phi scale dari fraksi 1 hingga 10 yang sesuai dengan ukuran saringan (mm atau μm) berdasarkan Wentworth grade classification (Lampiran 15).

30 22 2. Hasil analisis dari masing-masing fraksi diakumulatifkan lalu diplotkan menjadi kurva phi-scale dalam bentuk sigmoid pada Gambar 4. Gambar 4. Kurva distribusi grain size 3. Dari kurva tersebut secara estimasi visual atau lebih akurat dengan interpolasi ditentukan φ (5 φ, 16 φ, 25 φ, 50 φ, 75 φ, 84 φ, 95 φ). 4. Kemudian dihitung Granulometric Index yang terdiri dari Graphic Mean, Inclusive Standard deviation (Sorting) dan Skewness. Digunakan rumus dibawah ini : Graphic Mean Kriteria berdasarkan nilai kisaran : - ~ sampai -1 : batuan -1 sampai 0 : pasir kasar sekali 0 sampai +1 : pasir kasar +1 sampai +2 : pasir sedang +2 sampai +3 : pasir halus +3 sampai +4 : pasir halus sekali +4 sampai +8 : debu +8 sampai + ~ : liat Inclusive graphic quartile deviation (QDI)

31 23 Kriteria berdasarkan nilai kisaran : 0 sampai 0.35 φ : very well sorted 0.35 sampai 0.50 φ : well sorted 0,50 sampai 0.71 φ : moderately well sorted 0,71 sampai 1.00 φ : moderately sorted 1,00 sampai 2.00 φ : poorly sorted 2,00 sampai 4.00 φ : very poorly sorted 4,00 sampai ~ φ : extremely poorly sorted Inclusive graphic skewness (SkI) Kriteria berdasarkan nilai kisaran : sampai : Strongly positive skewed; Very Negative phi values, coarser sampai : Positive skewed; Negative phi values sampai : Near symmetrical; Symmetrical sampai : Negative skewed; Positive phi values sampai : Strongly negative skewed; Very Positive phi values, finer Jika hasil perhitungan bernilai positif (positive skewness) mengindikasikan bahwa fraksi dari grain size lebih besar dari diameter median merupakan coarser fraction, sedangkan hasil negatif (negative skewness) berlaku pada sedimen dengan finer fraction Analisis uji beda nyata Pada parameter kualitas air perlu dibandingkan apakah secara statistik terlihat adanya perbedaan nyata di masing-masing stasiun antara hulu, tengah dan hilir. Uji tersebut dilakukan dengan membandingkan data parameter kualitas air setiap stasiun dengan menggunakan program komputer Microsoft Office Excel 2003 yaitu uji t-test: Two-Sample Assuming Unequal Variances. Nilai P-value 0,05 : berbeda nyata Nilai P-value > 0,05 : tidak berbeda nyata

32 Analisis korelasi linier sederhana Korelasi antara antara komunitas meiobenthos dengan parameter kualitas lingkungan perairan dapat diperoleh melalui analisis Pearson Correlation Coefficient (Koefisien Korelasi Pearson) dengan menggunakan program komputer Microsoft Office Excel Koefisien Korelasi Pearson digunakan untuk mengukur keeratan hubungan antara kedua variabel, dengan rumus sbb: r = n XY ( X )( Y ) ( n X ( X )( n Y ( Y ) Keterangan: r : korelasi antara kepadatan dengan parameter kualitas lingkungan x : parameter kualitas lingkungan (kualitas air, tekstur sedimen) y : kepadatan n : jumlah data

33 25 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Struktur Komunitas Meiobenthos Kepadatan total Kepadatan total meiobenthos dapat dilihat pada Gambar A Individu/sampel Hulu Tengah Hilir Hulu Tengah Hilir September Kepadatan total November 100 B 80 Individu/sampel Hulu Tengah Hilir Hulu Tengah Hilir September Kepadatan total November Gambar 5. Histogram nilai rata-rata kepadatan total meiobenthos pada Sungai Jerambah (A) dan Sungai Buding (B). Ket : tanda bar menunjukkan standar deviasi. Dari hasil pengamatan nilai rata-rata kepadatan total meiobenthos pada Sungai Jerambah, pada bulan September 2007 ditemukan pada stasiun hulu ratarata sebesar 33,5 ind/sampel dalam kisaran antara ind/sampel, stasiun tengah rata-rata sebesar 57 ind/sampel dalam kisaran antara ind/sampel dan stasiun hilir rata-rata sebesar 186,5 ind/sampel dalam kisaran ind/sampel. Pada November 2007 ditemukan pada stasiun hulu rata-rata sebesar 16,7 ind/sampel dalam kisaran antara ind/sampel, stasiun tengah rata-rata

34 26 sebesar 49,3 ind/sampel dalam kisaran antara ind/sampel dan stasiun hilir rata-rata sebesar 109,7 ind/sampel dalam kisaran ind/sampel. Sedangkan nilai rata-rata kepadatan total meiobenthos pada Sungai Buding, pada bulan September 2007 ditemukan pada stasiun hulu rata-rata sebesar 24,5 ind/sampel dalam kisaran antara ind/sampel, stasiun tengah rata-rata sebesar 50,5 ind/sampel dalam kisaran antara ind/sampel dan stasiun hilir rata-rata sebesar 33,5 ind/sampel dalam kisaran ind/sampel. Pada November 2007 ditemukan pada stasiun hulu rata-rata sebesar 22,3 ind/sampel dalam kisaran antara ind/sampel, stasiun tengah rata-rata sebesar 13,7 ind/sampel dalam kisaran antara ind/sampel dan stasiun hilir rata-rata sebesar 19,7 ind/sampel dalam kisaran ind/sampel. Kepadatan meiobenthos sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan terutama kandungan bahan organik dan kondisi substrat yang cocok mendukung kehidupan meiobenthos (McLachlan et al, 1981 in Giere, 1993). Kepadatan total meiobenthos tertinggi Sungai Jerambah pada saat bulan September maupun November 2007, terdapat pada stasiun hilir diduga karena kandungan bahan organik sebagai sumber nutrien sangat tinggi bila dibandingkan dengan stasiun lain dan kondisi substrat yang tergolong pasir sedang. Sedangkan kepadatan total meiobenthos tertinggi Sungai Buding, pada saat bulan September terdapat pada stasiun tengah diduga karena pengaruh faktor kondisi substrat pasir halus lebih dominan meski kandungan bahan organik cukup tinggi, tetapi pada bulan November 2007 kepadatan tertinggi terdapat pada stasiun hulu karena kandungan bahan organik lebih tinggi bila dibandingkan dengan stasiun lain dan kondisi substrat yang tergolong pasir sangt halus. Parameter kualitas air lainnya seperti parameter logam berat seperti Pb, Zn, dan Sn, organic compounds seperti fenol, diduga toksisitasnya turut mempengaruhi keberadaan meiobenthos dalam perairan (Mason, 1981). Sedangkan gerakan hidrodinamik pada ekosistem sungai seperti kecepatan arus juga mempengaruhi penyebaran dari beberapa meiobenthos terutama pada Copepoda, Diptera (chironomid larva) dan Oligochaeta (Palmer and Gust, 1985 in Giere, 1993). Pengaruh kecepatan arus berkorelasi dengan pergerakan aliran massa air sehingga sangat menentukan laju pergantian pore water dalam sedimen

35 27 yang mengontrol suplai oksigen dan kandungan nutrien serta mengontrol kondisi fisika-kimia sedimen, yang kemudian secara umum mempengaruhi kondisi kehidupan meiobenthos (Giere, 1993). Selain faktor abiotik seperti parameter kualitas perairan dan tekstur substrat, faktor biotik seperti preferensi feeding selective, interaksi trofik, kompetisi ruang dan kebutuhan hidup serta pemangsaan juga mempengaruhi jumlah kepadatan meiobenthos (Giere, 1993) Kepadatan per-taksa Ditemukannya Nauplius pada beberapa stasiun pada Sungai Jerambah dan Sungai Buding, data Nauplius tersebut dialokasikan proporsinya kepada kelompok Crustacea yaitu pada kelompok Calanoida, Harpacticoida dan Cyclopoida. Karena seperti yang diketahui bahwa Nauplius bukanlah kelompok taksa melainkan stadia larva dari Crustacea. Sehingga data masing-masing kepadatan Calanoida, Harpacticoida dan Cyclopoida menjadi berubah seperti terlihat pada Lampiran 4, 5, 6, dan 7. Dari hasil pengamatan kepadatan per-taksa pada Sungai Jerambah (Gambar 6) pada bulan September 2007 ditemukan Nematoda di stasiun hulu ratarata 13 ind/sampel dalam kisaran 7-19 ind/sampel, stasiun tengah rata-rata 39,5 ind/sampel dalam kisaran ind/sampel dan stasiun hilir rata-rata 158,5 ind/sampel dalam kisaran ind/sampel. Calanoida di stasiun hulu rata-rata 3 ind/sampel dalam kisaran 0-6 ind/sampel, stasiun tengah rata-rata 1,5 ind/sampel dalam kisaran 0-3 ind/sampel dan stasiun hilir rata-rata 0,5 ind/sampel dalam kisaran 0-1 ind/sampel. Harpacticoida di stasiun hulu rata-rata 12,5 ind/sampel dalam kisaran ind/sampel, stasiun tengah rata-rata 6 ind/sampel dalam kisaran 2-10 ind/sampel dan stasiun hilir rata-rata 10,5 ind/sampel dalam kisaran 5-16 ind/sampel. Ostracoda di hulu rata-rata 3,5 ind/sampel dalam kisaran 1-6 ind/sampel, stasiun tengah rata-rata 5,5 ind/sampel dalam kisaran 2-9 ind/sampel dan stasiun hilir rata-rata 4,5 ind/sampel dalam kisaran 2-7 ind/sampel. Cumacea di stasiun hulu dan stasiun tengah tidak ditemukan tetapi stasiun hilir 1,5 ind/sampel dalam kisaran 0-3 ind/sampel. Oligochaeta di stasiun hulu rata-rata 1,5 ind/sampel dalam kisaran 0-3 ind/sampel, stasiun tengah rata-rata 1,5 ind/sampel dalam kisaran 0-3 ind/sampel dan stasiun hilir rata-rata 3 ind/sampel dalam

36 28 kisaran 1-5 ind/sampel. Polychaeta di stasiun hulu dan stasiun tengah tidak ditemukan, tetapi pada stasiun hilir ditemukan rata-rata 5 ind/sampel dalam kisaran 3-7 ind/sampel. Foraminifera dan Cyclopoida tidak ditemukan di semua stasiun. Amphipoda di stasiun hulu tidak ditemukan, stasiun tengah rata-rata 1 ind/sampel dalam kisaran 0-2 ind/sampel, dan stasiun hilir rata-rata 0,5 ind/sampel dalam kisaran 0-1 ind/sampel. Halacaroidea dan Pelecypoda tidak ditemukan di semua stasiun. Diptera di stasiun hulu tidak ditemukan, stasiun tengah rata-rata 2 ind/sampel dalam kisaran 1-3 ind/sampel, dan stasiun hilir rata-rata 0,5 ind/sampel dalam kisaran 0-1 ind/sampel. Pada bulan November 2007 ditemukan Nematoda di stasiun hulu dengan rata-rata 5,67 ind/sampel dalam kisaran 4-7 ind/sampel, stasiun tengah rata-rata 32,67 ind/sampel dalam kisaran ind/sampel, dan stasiun hilir rata-rata 87,67 ind/sampel dalam kisaran ind/sampel. Calanoida stasiun hulu rata-rata 2,67 ind/sampel dalam kisaran 0-4 ind/sampel, stasiun tengah tidak ditemukan, dan stasiun hilir rata-rata 0,33 ind/sampel dalam kisaran 0-1 ind/sampel. Harpacticoida stasiun hulu rata-rata 6,67 ind/sampel dalam kisaran 4-8 ind/sampel, stasiun tengah rata-rata 3,33 ind/sampel dalam kisaran 1-7 ind/sampel dan stasiun hilir rata-rata 6 ind/sampel dalam kisaran 3-10 ind/sampel. Ostracoda stasiun hulu rata-rata 1 ind/sampel dalam kisaran 0-2 ind/sampel, stasiun tengah rata-rata 3 ind/sampel dalam kisaran 1-6 ind/sampel, dan stasiun hilir rata-rata 5 ind/sampel dalam kisaran 0-8 ind/sampel. Cumacea stasiun hulu dan stasiun tengah tidak ditemukan, dan stasiun hilir rata-rata 0,67 ind/sampel dalam kisaran 0-2 ind/sampel. Oligochaeta stasiun hulu rata-rata 0,33 ind/sampel dalam kisaran 0-1 ind/sampel, stasiun tengah 5 ind/sampel dalam kisaran 0-10 ind/sampel, dan stasiun hilir rata-rata 2,33 ind/sampel dalam kisaran 1-4 ind/sampel. Polychaeta stasiun hulu tidak ditemukan, stasiun tengah rata-rata 0,67 ind/sampel dalam kisaran 0-2 ind/sampel, dan stasiun hilir rata-rata 6 ind/sampel dalam kisaran 4-9 ind/sampel. Foraminifera stasiun hulu dan stasiun tengah tidak ditemukan, tetapi pada stasiun hilir ditemukan rata-rata 0,33 ind/sampel dalam kisaran 0-1 ind/sampel. Cyclopoida stasiun hulu dan stasiun tengah tidak ditemukan, tetapi pada stasiun hilir ditemukan rata-rata 0,33 ind/sampel dalam kisaran 0-1 ind/sampel. Amphioda stasiun hulu rata-rata 0,33 ind/sampel dalam kisaran 0-1

37 29 ind/sampel, 1 ind/sampel dalam kisaran 0-2 ind/sampel, dan stasiun hilir rata-rata 0,33 dalam kisaran 0-1 ind/sampel. Halacaroidea tidak ditemukan di semua stasiun. Pelecypoda stasiun hulu dan stasiun tengah tidak ditemukan, tetapi pada stasiun hilir ditemukan stasiun hilir rata-rata 0,67 ind/sampel dalam kisaran 0-2 ind/sampel. Diptera stasiun hulu tidak ditemukan, stasiun tengah rata-rata 3,67 ind/sampel dalam kisaran 2-5 ind/sampel, dan pada stasiun hilir tidak ditemukan. Gambar 6. Histogram nilai rata-rata kepadatan taksa meiobenthos pada Sungai Jerambah pada bulan September (A-1) dan bulan November (A-2). Ket: a. Nematoda. b. Calanoida. c. Harpacticoda. d. Ostracoda. e. Cumacea. f. Oligochaeta. g. Polychaeta. h. Foraminifera. i. Cyclopoida. j.amphipoda. k.halacaroidea. l. Pelecypoda. m. Diptera (ket : tanda bar menunjukkan standar deviasi)

38 30 Sedangkan kepadatan per-taksa pada Sungai Buding (Gambar 7), pada bulan September 2007 ditemukan Nematoda stasiun hulu rata-rata 8,5 ind/sampel dalam kisaran 7-10 ind/sampel, stasiun tengah rata-rata 28,5 dalam kisaran 19-38, stasiun hilir rata-rata 11 ind/sampel dalam kisaran 6-16 ind/sampel. Calanoida stasiun hulu rata-rata 2,5 ind/sampel dalam kisaran 1-4 ind/sampel, stasiun tengah rata-rata 4,5 ind/sampel dalam kisaran 4-5 ind/sampel, stasiun hilir rata-rata 3 ind/sampel dalam kisaran 2-4 ind/sampel. Harpacticoida stasiun hulu rata-rata 4,5 ind/sampel dalam kisaran 2-7 ind/sampel, stasiun tengah rata-rata 4 dalam kisaran 0-8 ind/sampel, stasiun hilir rata-rata 5,5 ind/sampel dalam kisaran 5-6 ind/sampel. Ostracoda stasiun hulu rata-rata 3 ind/sampel dalam kisaran 2-4 ind/sampel, stasiun tengah rata-rata 2,5 dalam kisaran 2-3, stasiun hilir rata-rata 4 dalam kisaran 1-7 ind/sampel. Cumacea tidak ditemukan disemua stasiun. Oligochaeta stasiun hulu rata-rata 1 dalam kisaran 0-2 ind/sampel, stasiun tengah rata-rata 1,5 ind/sampel dalam kisaran 1-2 ind/sampel, stasiun hilir rata-rata 4 ind/sampel dalam kisaran 2-6 ind/sampel. Polychaeta tidak ditemukan di semua stasiun. Foraminifera stasiun hulu dan stasiun tengah tidak ditemukan, stasiun hilir rata-rata 3 ind/sampel dalam kisaran 2-4 ind/sampel. Cyclopoida stasiun hulu rata-rata 1 ind/sampel dalam kisaran 0-2 ind/sampel dan stasiun tengah rata-rata 1,5 ind/sampel dalam kisaran 0-3 ind/sampel, stasiun hilir tidak ditemukan. Amphioda stasiun hulu rata-rata 3 ind/sampel dalam kisaran 2-4 ind/sampel, stasiun tengah rata-rata 3,5 ind/sampel dalam kisaran 3-4 ind/sampel, stasiun hilir rata-rata 3 ind/sampel dalam kisaran 1-5 ind/sampel. Halacaroidea tidak ditemukan di semua stasiun. Pelecypoda stasiun hulu dan stasiun tengah tidak ditemukan, stasiun hilir rata-rata 0,67 ind/sampel dalam kisaran 0-2 ind/sampel. Diptera stasiun hulu rata-rata 1 ind/sampel dalam kisaran 0-2 ind/sampel, stasiun tengah rata-rata 4,5 ind/sampel dalam kisaran 3-6 ind/sampel, stasiun hilir tidak ditemukan. Pada bulan November 2007 ditemukan Nematoda stasiun hulu rata-rata 10,3 ind/sampel dalam kisaran 7-14 ind/sampel, stasiun tengah rata-rata 5,3 ind/sampel dalam kisaran 4-7 ind/sampel, stasiun hilir rata-rata 3 ind/sampel dalam kisaran 2-5. Calanoida stasiun hulu rata-rata 0,3 ind/sampel dalam kisaran 0-1 ind/sampel, stasiun tengah rata-rata 1,33 ind/sampel dalam kisaran 1-2

39 31 ind/sampel, stasiun hilir rata-rata 1,67 ind/sampel dalam kisaran 1-3. Harpacticoida stasiun hulu rata-rata 1,67 ind/sampel dalam kisaran 0-4 ind/sampel, stasiun tengah rata-rata 2 ind/sampel dalam kisaran 0-5 ind/sampel, stasiun hilir rata-rata 3 ind/sampel dalam kisaran 2-4 ind/sampel. Ostracoda stasiun hulu rata-rata 2,7 ind/sampel dalam kisaran 0-5 ind/sampel, stasiun tengah rata-rata 1,3 ind/sampel dalam kisaran 0-2 ind/sampel, stasiun hilir rata-rata 0,3 dalam kisaran 0-1 ind/sampel. Cumacea tidak ditemukan di semua stasiun. Oligochaeta stasiun hulu rata-rata 1,7 ind/sampel dalam kisaran 0-4 ind/sampel, stasiun tengah rata-rata 0,7 ind/sampel dalam kisaran 0-2 ind/sampel, stasiun hilir tidak ditemukan. Polychaeta stasiun hulu dan stasiun tengah tidak ditemukan, stasiun hilir rata-rata 1,7 ind/sampel dalam kisaran 0-4 ind/sampel. Foraminifera stasiun hulu dan stasiun tengah tidak ditemukan, stasiun hilir rata-rata 4 ind/sampel dalam kisaran 0-10 ind/sampel. Cyclopoida stasiun hulu rata-rata 0,3 ind/sampel dalam kisaran 0-1 ind/sampel, stasiun tengah rata-rata 1 ind/sampel dalam kisaran 0-3 ind/sampel, stasiun hilir rata-rata 2 ind/sampel dalam kisaran 0-6 ind/sampel. Amphioda stasiun hulu rata-rata 3,7 ind/sampel dalam kisaran 1-7 ind/sampel, 0,7 ind/sampel dalam kisaran 0-1 ind/sampel, stasiun hilir rata-rata 2 ind/sampel dalam kisaran 1-3 ind/sampel. Halacaroidea stasiun hulu dan stasiun tengah tidak ditemukan, stasiun hilir rata-rata 0,3 ind/sampel dalam kisaran 0-1 ind/sampel. Pelecypoda stasiun hulu dan stasiun tengah tidak ditemukan, stasiun hilir rata-rata 1,7 ind/sampel dalam kisaran 2-3 ind/sampel. Diptera stasiun hulu rata-rata 1,7 ind/sampel dalam kisaran 1-4 ind/sampel, stasiun tengah rata-rata 1,3 ind/sampel dalam kisaran 0-3 ind/sampel, stasiun hilir rata-rata tidak ditemukan. Secara keseluruhan dari hasil pengamatan terhadap kepadatan permeiobenthos di wilayah perairan Sungai Jerambah Bangka Barat diperoleh organisme yang terdiri 13 yaitu Nematoda, Nauplius, Calanoida, Harpacticoda, Ostracoda, Cumacea, Oligochaeta, Polychaeta, Foraminifera, Cyclopoida, Amphipoda, Pelecypoda, dan Diptera. Halacaroidea tidak ditemukan pada setiap titik pengambilan sampel diduga tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan kondisi perairan. Sedangkan di wilayah perairan Sungai Buding Belitung diperoleh organisme yang terdiri dari 13 yaitu Nematoda, Nauplius, Calanoida, Harpacticoda, Ostracoda, Oligochaeta, Polychaeta, Foraminifera, Cyclopoida,

40 32 Amphipoda, Halacaroidea, Pelecypoda, dan Diptera. Cumacea tidak ditemukan pada setiap titik pengambilan sampel diduga tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan kondisi perairan. Tingginya kepadatan yang didominasi oleh keberadaan Nematoda pada kedua sungai tersebut karena Nematoda merupakan organisme toleran dan diduga mampu bertahan terhadap perubahan kondisi perairan akibat tekanan ekologis seperti pencemaran bahan organik maupun penurunan kadar oksigen (Giere, 1993). Gambar 7. Histogram nilai rata-rata kepadatan taksa meiobenthos pada Sungai Buding pada bulan September (B-1) dan bulan November (B-2). Ket : a. Nematoda. b. Nauplius. c. Calanoida. d. Harpacticoda. e. Ostracoda. f. Cumacea. g. Oligochaeta. h. Polychaeta. i. Foraminifera. j. Cyclopoida. k.amphipoda. l.halacaroidea. m. Pelecypoda. n. Diptera (ket : tanda bar menunjukkan standar deviasi)

41 Rasio N/C Pada Sungai Jerambah dan Sungai Buding, nilai rasio N/C bulan September hingga November 2007 cenderung fluktuatif diduga waktu sampling merupakan peralihan musim sehingga terjadi perubahan kondisi perairan saat September musim kemarau hingga November saat musim hujan. Tingginya nilai rasio antara Nematoda/Copepoda mengindikasikan keberadaan dari pencemaran bahan organik (Coull, 1985 in Giere 1993). Beberapa faktor yang mempengaruhi kepadatan Nematoda dan Copepoda seperti faktor lingkungan terutama bahan organik, kondisi sedimen (grain size) dan perubahan musim (Giere et al, 1988). Rasio antara Nematoda dengan Copepoda dapat dilihat dari Gambar A Nematoda Copepoda Hulu Tengah Hilir Hulu Tengah Hilir September November 400 B Nematoda Copepoda Hulu Tengah Hilir Hulu Tengah Hilir September November Gambar 8. Histogram nilai rata-rata Rasio Nematoda dengan Copepoda pada Sungai Jerambah (A) dan Sungai Buding (B)

42 34 Dari Tabel 4 terlihat bahwa beberapa titik stasiun pada Sungai Jerambah maupun Sungai Buding, kepadatan Nematoda selalu lebih besar dari Copepod sehingga nilai rasio dari N/C lebih dari 1. Nilai rasio N/C pada Sungai Jerambah di stasiun hulu masih dibawah nilai 1 sehingga dapat dikatakan tingkat pencemaran organik masih rendah apabila dibandingkan nilai rasio pada stasiun tengah dan hilir melebihi nilai 1. Sedangkan nilai rasio N/C pada Sungai Buding di stasiun hulu, tengah dan hilir sudah melebihi angka 1, namun pada bulan November 2007 terjadi penurunan tingkat pencemaran bahan organik pada stasiun hilir. Berikut hasil perhitungan rasio N/C dalam tabel berikut : Tabel 4. Rasio N/C pada Sungai Jerambah dan Sungai Buding Rasio N/C Bulan Sungai Jerambah Sungai Buding Hulu Tengah Hilir Hulu Tengah Hilir September 0,84 5,27 12,19 1,21 3,35 1,29 November 0,61 9,80 13,84 5,17 1,45 0, Indeks Similaritas Bray Curtis Pengelompokkan stasiun berdasarkan kepadatan meiobenthos pada Sungai Jerambah menunjukkan terdapat 2 kelompok besar yaitu kelompok pertama yaitu stasiun hulu dan kelompok kedua yaitu terdiri dari stasiun tengah dan hilir. Sedangkan pada Sungai Buding terdapat 2 kelompok besar yaitu kelompok pertama terdiri dari stasiun hulu dan tengah serta kelompok kedua yaitu hilir. Hasil analisis Indeks Bray Curtis memberi keterangan bahwa komposisi dan jumlah meiobenthos yang menyusun suatu komunitas mengikuti pengelompokkan stasiun menggunakan Indeks Canberra berdasarkan kesamaan kondisi kualitas air dan tekstur sedimen (lihat pada Gambar 28). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan organisme meiobenthos memang dipengaruhi oleh tekstur substrat yang mendukung kelangsungan hidupnya. Kesamaan habitat berdasarkan kepadatan meiobenthos dapat dilihat pada Gambar 9.

43 35 Gambar 9. Dendogram Bray Curtis berdasarkan kepadatan meiobenthos pada Sungai Jerambah (A) dan Sungai Buding (B) 4.2 Parameter Kualitas Perairan Parameter Fisika Perairan Suhu Dari hasil pengamatan diperoleh nilai rata-rata suhu (Gambar 10) pada Sungai Jerambah di stasiun hulu sebesar 28 C dalam kisaran antara C, stasiun tengah sebesar 28,50 C dalam kisaran antara 28-28,2 C dan stasiun hilir sebesar 30,95 C dalam kisaran 30,5-31,4 C. Secara statistik melalui uji t-test (Lampiran 18) terlihat bahwa perbedaan suhu antara stasiun hulu, tengah dan hilir Sungai Jerambah berbeda nyata. Sedangkan nilai rata-rata suhu pada Sungai Buding di stasiun hulu sebesar 28,20 C dalam kisaran antara 26,8-29,6 C, stasiun tengah sebesar 28,80 C dalam kisaran antara 26,6-31 C dan stasiun hilir sebesar 28,40 C dalam kisaran 27,3-29,5 C. Perubahan suhu yang terjadi diduga lebih disebabkan kepada perubahan musim karena pada sampling pertama bulan September 2007 saat musim kemarau dan sampling kedua bulan November 2007 saat musim hujan. Pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti intensitas cahaya matahari, perubahan musim, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis, penutupan oleh vegetasi dan faktor anthropogen (Barus, 2002).

44 36 35 A 35 B Suhu ( C) Suhu ( C) Hulu Tengah Hilir 20 Hulu Tengah Hilir Gambar 10. Histogram nilai rata-rata suhu ( C ) pada Sungai Jerambah (A) dan Sungai Buding (B). Ket : tanda bar menunjukkan standar deviasi Kecepatan Arus Dari hasil pengamatan diperoleh nilai rata-rata kecepatan arus (Gambar 11) pada Sungai Jerambah di stasiun hulu sebesar 0,12 m/s dalam kisaran antara 0,07-0,17 m/s, stasiun tengah sebesar 0,25 m/s dalam kisaran antara 0,15-0,35 m/s dan stasiun hilir sebesar 0,23 m/s dalam kisaran 0,15-0,30 m/s. Perlu diketahui bahwa hulu dari Sungai Jerambah merupakan daerah hilir dari Sungai Perimping sehingga diduga kecepatan arusnya rendah. Sedangkan nilai rata-rata kecepatan arus pada Sungai Buding di stasiun hulu sebesar 1,68 m/s dalam kisaran antara 1,36-2 m/s, stasiun tengah sebesar 0,30 m/s dalam kisaran antara 0,2-0,4 m/s dan stasiun hilir sebesar 0,41 m/s dalam kisaran 0,34-0,47 m/s. Secara statistik melalui uji t-test (Lampiran 18) terlihat bahwa perbedaan kecepatan arus antara stasiun hulu, tengah dan hilir Sungai Buding berbeda nyata. 2.5 A 2.5 B Kec.Arus (m/s) Kec.Arus (m/s) Hulu Tengah Hilir 0.0 Hulu Tengah Hilir Gambar 11. Histogram nilai rata-rata kecepatan arus (m/s) pada Sungai Jerambah (A) dan Sungai Buding (B). Ket: tanda bar menunjukkan standar deviasi.

45 37 Perbedaan kecepatan arus dipengaruhi oleh kekuatan angin, topografi, kedalaman, kondisi pasang-surut dan musim. Pada musim penghujan, akan meningkatkan debit air dan sekaligus mempengaruhi kecepatan arus. Adanya bentuk alur sungai dan kondisi substrat pada dasar perairan menyebabkan kecepatan arus akan bervariasi (Barus, 2002) Total Suspended Solid (TSS) Dari hasil pengamatan diperoleh nilai rata-rata TSS (Gambar 12) pada Sungai Jerambah di stasiun hulu sebesar 18 mg/l dalam kisaran antara mg/l, stasiun tengah sebesar 17 mg/l dalam kisaran antara mg/l dan stasiun hilir sebesar 15 mg/l dalam kisaran 8-22 mg/l. Sedangkan nilai rata-rata TSS pada Sungai Buding di stasiun hulu sebesar 6 mg/l dalam kisaran antara 4-8 mg/l, stasiun tengah sebesar 12 mg/l dalam kisaran antara mg/l dan stasiun hilir sebesar 11 mg/l dalam kisaran 6-16 mg/l. Secara statistik melalui uji t-test (Lampiran 18) terlihat bahwa perbedaan TSS antara stasiun hulu, tengah dan hilir Sungai Buding berbeda nyata. 40 A 40 B TSS (mg/l) TSS (mg/l) Hulu Tengah Hilir 0 Hulu Tengah Hilir Gambar 12. Histogram nilai rata-rata TSS (mg/l) pada Sungai Jerambah (A) dan Sungai Buding (B). Ket : tanda bar menunjukkan standar deviasi. Berdasarkan Baku mutu PP.No.82 tahun 2001 untuk golongan III, kisaran tersebut belum melewati standar baku mutu yaitu dibawah 400 mg/l. Tinggi rendahnya nilai TSS pada lokasi penelitian diduga oleh limpasan berbagai limbah dan erosi akibat adanya penambangan di daerah aliran sungai, hutan produksi, hutan lindung, dan wilayah pantai yang tidak terkendali sehingga turut memberi kontribusi kekeruhan dalam perairan.

46 Parameter Kimia Perairan ph Dari hasil pengamatan diperoleh nilai rata-rata ph (Gambar 13) pada Sungai Jerambah di stasiun hulu sebesar 4,72 dalam kisaran antara 4,7-4,74, stasiun tengah sebesar 6,19 dalam kisaran antara 5,67-6,7 dan stasiun hilir sebesar 7,92 dalam kisaran 7,74-8,1. Secara statistik melalui uji t-test (Lampiran 18) terlihat bahwa perbedaan ph antara stasiun hulu, tengah dan hilir Sungai Jerambah berbeda nyata. Sedangkan nilai rata-rata ph pada Sungai Buding di stasiun hulu sebesar 5,55 dalam kisaran antara 5,2-5,9, stasiun tengah sebesar 5,90 dalam kisaran antara 5,3-6,3 dan stasiun hilir sebesar 6,30 dalam kisaran 5,4-7,2. 10 A 10 B ph 4 ph Hulu Tengah Hilir 0 Hulu Tengah Hilir Gambar 13. Histogram nilai rata-rata ph pada Sungai Jerambah (A) dan Sungai Buding (B). Ket : tanda bar menunjukkan standar deviasi dan garis putus-putus (BM) menunjukkan baku mutu menurut Effendi (2003) Apabila nilai ph air kurang dari 5,0 atau lebih besar dari 9,0 maka perairan itu sudah tercemar berat sehingga kehidupan biota akuatik akan terganggu (Manik, 2003). Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan ph dan menyukai nilai ph sekitar 7-8,5 (Effendi, 2003). Perubahan nilai ph dipengaruhi oleh masukan limbah pertanian, limbah domestik maupun limbah industri Oksigen Terlarut (DO) Dari hasil pengamatan diperoleh nilai rata-rata kadar DO (Gambar 14) pada Sungai Jerambah di stasiun hulu sebesar 3,78 mg/l dalam kisaran antara 3,45-4,1 mg/l, stasiun tengah sebesar 3,53 mg/l dalam kisaran antara 3,45-3,6 mg/l dan stasiun hilir sebesar 5,98 mg/l dalam kisaran 5,45-6,5 mg/l. Secara statistik melalui uji t-test (Lampiran 18) terlihat bahwa perbedaan DO antara stasiun hulu, tengah dan hilir Sungai Jerambah berbeda nyata. Sedangkan nilai rata-rata DO

47 39 pada Sungai Buding di stasiun hulu sebesar 5,55 mg/l dalam kisaran antara 4,9-6,2 mg/l, stasiun tengah sebesar 4,75 mg/l dalam kisaran antara 3,5-6 mg/l dan stasiun hilir sebesar 5,25 mg/l dalam kisaran 4,4-6,1 mg/l. 10 A 10 B 8 8 DO (mg/l) 6 4 DO (mg/l) Hulu Tengah Hilir 0 Hulu Tengah Hilir Gambar 14. Histogram nilai rata-rata DO (mg/l) pada Sungai Jerambah (A) dan Sungai Buding (B). Ket: tanda bar menunjukkan nilai standar deviasi Penghilangan oksigen dalam perairan lebih banyak disebabkan oleh proses dekomposisi bahan organik yang membutuhkan oksigen terlarut. Keadaan perairan dengan kadar oksigen yang sangat rendah berbahaya bagi organisme akuatik. Semakin rendah kadar DO, akan meningkatkan daya toksisitas dari logam berat, hidrogen sulfida dan amonia. Menurut Effendi (2003) bahwa DO yang kurang dari 4 mg/liter menimbulkan efek yang kurang menguntungkan bagi hampir semua organisme akuatik Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) Dari hasil pengamatan diperoleh nilai rata-rata kadar COD (Gambar 15) pada Sungai Jerambah di stasiun hulu sebesar 30,5 mg/l dalam kisaran antara mg/l, stasiun tengah sebesar 220,5 mg/l dalam kisaran antara mg/l dan stasiun hilir sebesar 906,5 mg/l dalam kisaran mg/l. Secara statistik melalui uji t-test (Lampiran 18) terlihat bahwa perbedaan COD antara stasiun hulu, tengah dan hilir Sungai Jerambah berbeda nyata. Sedangkan nilai rata-rata COD pada Sungai Buding di stasiun hulu sebesar 51 mg/l dalam kisaran antara mg/l, stasiun tengah sebesar 233 mg/l dalam kisaran antara mg/l dan stasiun hilir sebesar 483 mg/l dalam kisaran mg/l. Secara statistik melalui

48 40 uji t-test (Lampiran 18) terlihat bahwa perbedaan COD antara stasiun hulu, tengah dan hilir Sungai Buding tidak berbeda nyata A 1200 B COD (mg/l) COD (mg/l) Hulu Tengah Hilir BM Hulu Tengah Hilir BM Gambar 15. Histogram nilai rata-rata COD (mg/l) pada Sungai Jerambah (A) dan Sungai Buding (B). Ket : tanda bar menunjukkan standar deviasi dan garis putus-putus (BM) menunjukkan baku mutu perairan golongan III berdasarkan PP.No.82/2001 Pada kedua sungai terlihat bahwa nilai COD yang diperoleh sangat fluktuatif dan semakin menuju daerah muara sungai kadar COD semakin besar maka semakin ke arah hilir kualitas air sungai semakin menurun. Perubahan nilai kandungan COD sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya konsentrasi beban masukan yang terbuang ke dalam sungai di sekitar pengambilan contoh maupun akumulasi dari daerah sebelum pengambilan contoh. Berdasarkan Baku mutu PP.No.82 tahun 2001 untuk golongan III, kisaran tersebut sudah melewati standar baku mutu yaitu diatas 50 mg/l. Kadar yang tinggi ini sudah melewati batas baku mutu, dengan demikian di lokasi penelitian ini dapat dikatakan bahwa sudah tercemar bahan organik Total Fosfat Dari hasil pengamatan diperoleh nilai rata-rata total fosfat (Gambar 16) pada Sungai Jerambah di stasiun hulu sebesar 0,042 mg/l dalam kisaran antara 0,015-0,068 mg/l, stasiun tengah sebesar 0,049 mg/l dalam kisaran antara 0,03-0,068 mg/l dan stasiun hilir sebesar 0,019 mg/l dalam kisaran 0,003-0,034 mg/l. Secara statistik melalui uji t-test (Lampiran 18) terlihat bahwa perbedaan total fosfat antara stasiun hulu, tengah dan hilir Sungai Jerambah tidak berbeda nyata. Sedangkan nilai rata-rata total fosfat pada Sungai Buding di stasiun hulu sebesar

49 41 0,011 mg/l dalam kisaran antara 0,002-0,02 mg/l, stasiun tengah sebesar 0,034 mg/l dalam kisaran antara 0,027-0,041mg/l dan stasiun hilir sebesar 0,023 mg/l dalam kisaran 0,013-0,032 mg/l. Secara statistik melalui uji t-test (Lampiran 18) terlihat bahwa perbedaan total fosfat antara stasiun hulu, tengah dan hilir Sungai Buding tidak berbeda nyata. Berdasarkan Baku mutu PP.No.82 tahun 2001 untuk golongan III, kisaran tersebut belum melewati standar baku mutu untuk biota yaitu dibawah 1 mg/l. Pelapukan batu mineral dan limpasan berbagai jenis limbah seperti buangan limbah industri, hanyutan dari pupuk, limbah domestik, hancuran bahan organik dan mineral-mineral fosfat memberikan kontribusi yang cukup besar bagi keberadaan fosfor (Effendi, 2003) A 0.15 B Total Fosfat (mg/l) Total Fosfat (mg/l) Hulu Tengah Hilir 0.00 Hulu Tengah Hilir Gambar 16. Histogram nilai rata-rata total fosfat (mg/l) pada Sungai Jerambah (A) dan Sungai Buding (B). Ket : tanda bar menunjukkan standar deviasi dan garis putus-putus (BM) menunjukkan baku mutu golongan III berdasarkan PP.No.82/ Amonia Dari hasil pengamatan diperoleh nilai rata-rata kadar amonia (Gambar 17) pada Sungai Jerambah di stasiun hulu rata-rata kurang dari 0,230 mg/l, stasiun tengah naik menjadi sebesar 0,344 mg/l dalam kisaran antara 0,230-0,459 mg/l dan stasiun hilir menurun sebesar 0,230 mg/l dalam kisaran 0,229-0,230 mg/l. Penurunan ini diduga keberadaan sumber pencemar sudah mengalami reduksi sepanjang aliran sungai. Secara statistik melalui uji t-test (Lampiran 18) terlihat bahwa perbedaan amonia antara stasiun hulu, tengah dan hilir Sungai Jerambah tidak berbeda nyata. Sedangkan perubahan amonia pada Sungai Buding tidak

50 42 terjadi fluktuasi, Pada stasiun hulu, stasiun tengah dan stasiun hilir rata-rata amonia kurang dari 0,230 mg/l. Berdasarkan Baku mutu PP.No.82 tahun 2001 untuk golongan I, kisaran amonia kedua sungai tersebut belum melewati standar baku mutu yaitu dibawah 0,5 mg/l. Besarnya masukan bahan organik menyebabkan besarnya proses dekomposisi sehingga mengingkatkan konsentrasi amonia di perairan A 0.50 B Amonia (mg/l) Hulu Tengah Hilir BM Amonia (mg/l) Hulu Tengah Hilir BM Gambar 17. Histogram nilai rata-rata amonia (mg/l) pada Sungai Jerambah (A) dan Sungai Buding (B). Ket : tanda bar menunjukkan standar deviasi dan garis putus-putus (BM) menunjukkan baku mutu golongan III berdasarkan PP.No.82/ Nitrit Dari hasil pengamatan diperoleh nilai rata-rata kadar nitrit (Gambar 18) pada Sungai Jerambah di stasiun hulu sebesar 0,007 mg/l dalam kisaran antara 0,006-0,007 mg/l, stasiun tengah sebesar 0,009 mg/l dalam kisaran antara 0,006-0,011 mg/l dan stasiun hilir sebesar 0,002 mg/l dalam kisaran 0,001-0,002 mg/l. Secara statistik melalui uji t-test (Lampiran 18) terlihat bahwa perbedaan nitrit antara stasiun hulu, tengah dan hilir Sungai Jerambah berbeda nyata. Sedangkan nilai rata-rata nitrit pada Sungai Buding di stasiun hulu sebesar 0,004 mg/l dalam kisaran antara 0,001-0,007 mg/l, stasiun tengah sebesar 0,005 mg/l dalam kisaran antara 0,001-0,009 mg/l dan stasiun hilir sebesar 0,007 mg/l dalam kisaran 0,001-0,012 mg/l. Berdasarkan Baku mutu PP.No.82 tahun 2001 untuk golongan III, kisaran tersebut belum melewati standar baku mutu yaitu dibawah 0,06 mg/l. Nitrit (NO 2 ) biasanya ditemukan lebih sedikit daripada nitrat, karena bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Sumber nitrit berasal dari limbah industri dan limbah domestik (Effendi, 2003).

51 A B Nitrit (mg/l) Nitrit (mg/l) Hulu Tengah Hilir Hulu Tengah Hilir Gambar 18. Histogram nilai rata-rata nitrit (mg/l) pada Sungai Jerambah (A) dan Sungai Buding (B). Ket : tanda bar menunjukkan standar deviasi dan garis putus-putus (BM) menunjukkan baku mutu golongan III berdasarkan PP.No.82/ Nitrat Dari hasil pengamatan diperoleh nilai rata-rata kadar nitrat (Gambar 19) pada Sungai Jerambah di stasiun hulu sebesar 0,47 mg/l dalam kisaran antara 0,316-0,619 mg/l, stasiun tengah sebesar 0,36 mg/l dalam kisaran antara 0,333-0,378 mg/l dan stasiun hilir sebesar 0,11 mg/l dalam kisaran 0,092-0,123 mg/l. Secara statistik melalui uji t-test (Lampiran 18) terlihat bahwa perbedaan nitrat antara stasiun hulu, tengah dan hilir Sungai Jerambah berbeda nyata. Sedangkan nilai rata-rata nitrat pada Sungai Buding di stasiun hulu sebesar 0,19 mg/l dalam kisaran antara 0,011-0,365 mg/l, stasiun tengah sebesar 0,27 mg/l dalam kisaran antara 0,092-0,445 mg/l dan stasiun hilir sebesar 0,19 mg/l dalam kisaran 0,011-0,365 mg/l. Nitrat (mg/l) A Hulu Tengah Hilir Nitrat (mg/l) B Hulu Tengah Hilir Gambar 19. Histogram nilai rata-rata nitrat (mg/l) pada Sungai Jerambah (A) dan Sungai Buding (B). Ket : tanda bar menunjukkan standar deviasi dan garis putus-putus (BM) menunjukkan baku mutu golongan III berdasarkan PP.No.82/2001

52 44 Berdasarkan Baku mutu PP.No.82 tahun 2001 untuk golongan III, kisaran tersebut belum melewati standar baku mutu yaitu dibawah 20 mg/l. Adanya akumulasi limbah dari limbah domestik menyebabkan konsentrasi nitrat menjadi lebih tinggi Sulfida Dari hasil pengamatan diperoleh nilai rata-rata kadar sulfida (Gambar 20) pada Sungai Jerambah di stasiun hulu sebesar 0,039 mg/l dalam kisaran antara 0,033-0,045 mg/l, stasiun tengah sebesar 0,004 mg/l dalam kisaran antara 0,003-0,005 mg/l dan stasiun hilir sebesar 0,0035 mg/l dalam kisaran 0,003-0,004 mg/l. Secara statistik melalui uji t-test (Lampiran 18) terlihat bahwa perbedaan sulfida antara stasiun hulu, tengah dan hilir Sungai Jerambah berbeda nyata. Sedangkan nilai rata-rata sulfida pada Sungai Buding di stasiun hulu sebesar 0,015 mg/l dalam kisaran antara 0,001-0,03 mg/l, stasiun tengah sebesar 0,014 mg/l dalam kisaran antara 0,001-0,027 mg/l dan stasiun hilir sebesar 0,008 mg/l dalam kisaran 0,001-0,015 mg/l A 0.05 B Sulfida (mg/l) BM Sulfida (mg/l) BM 0.00 Hulu Tengah Hilir 0.00 Hulu Tengah Hilir Gambar 20. Histogram nilai rata-rata sulfida (mg/l) pada Sungai Jerambah (A) dan Sungai Buding (B). Ket : tanda bar menunjukkan standar deviasi dan garis putus-putus (BM) menunjukkan baku mutu golongan III berdasarkan PP.No.82/2001 Berdasarkan Baku mutu PP.No.82 tahun 2001 untuk golongan III, kisaran tersebut sudah melewati standar baku mutu yaitu diatas 0,002 mg/l. Sulfida (H 2 S) merupakan hasil penguraian bahan organik yang mengandung sulfur secara anaerob. Konsentrasi H 2 S pada Sungai Jerambah dan Sungai Buding menunjukkan fluktuasi yang besar dan cenderung menurun menuju muara.

53 45 Penurunan tersebut diduga keberadaan bahan pencemar sudah mengalami reduksi sepanjang aliran sungai. Sulfida dapat berasal dari hasil proses dekomposisi bahan organik sulfat oleh bakteri. Jika tingkat aerasinya cukup maka H 2 S akan mampu terurai/teroksidasi menjadi sulfat Logam Berat Dari hasil pengamatan di bawah ini, kedua sungai telah mengalami perubahan konsentrasi dari unsur logam berat setiap stasiunnya. Hal ini terjadi diduga karena pengaruh arus sehingga keberadaan logam-logam berat itu sendiri di perairan maupun di sedimen menjadi tidak stabil, serta tingkat perubahan debit air diikuti dengan masukan bahan pencemar antara musim kemarau dan musim hujan. Timbal Dari hasil pengamatan diperoleh nilai rata-rata konsentrasi timbal (Gambar 21) pada Sungai Jerambah di stasiun hulu sebesar 0,088 mg/l dalam kisaran antara 0,316-0,619 mg/l, stasiun tengah sebesar 0,112 mg/l dalam kisaran antara 0,095-0,129 mg/l dan stasiun hilir sebesar 0,321 mg/l dalam kisaran 0,258-0,384 mg/l. Secara statistik melalui uji t-test (Lampiran 18) terlihat bahwa perbedaan timbal antara stasiun hulu, tengah dan hilir Sungai Jerambah berbeda nyata. Sedangkan nilai rata-rata timbal pada Sungai Buding di stasiun hulu rata-rata 0,029, stasiun tengah sebesar 0,056 mg/l dalam kisaran antara 0,030-0,083 mg/l dan stasiun hilir sebesar 0,108 mg/l dalam kisaran 0,030-0,186 mg/l. Secara statistik melalui uji t- Test (Lampiran 18) terlihat bahwa perbedaan timbal antara stasiun hulu, tengah dan hilir Sungai Buding tidak berbeda nyata. Konsentrasi timbal pada Sungai Jerambah dan Sungai Buding menunjukkan fluktuasi yang besar dan cenderung meningkat menuju muara. Berdasarkan baku mutu PP.No.82 tahun 2001 untuk golongan III, kisaran pada kedua sungai tersebut sudah melewati standar baku mutu yaitu diatas 0,03 mg/l. Masuknya logam Pb ke dalam perairan diduga dihasilkan oleh limbah cair dari industri kimia dan bahan bangunan, industri mesin dan elektronik, industri pengolahan hasil tambang dan industri logam.

54 A 0.5 B Timbal (mg/l) BM Timbal (mg/l) BM 0.0 Hulu Tengah Hilir 0.0 Hulu Tengah Hilir Gambar 21. Histogram nilai rata-rata timbal (mg/l) pada Sungai Jerambah (A) dan Sungai Buding (B). Ket : tanda bar menunjukkan standar deviasi dan garis putus-putus (BM) menunjukkan baku mutu golongan III berdasarkan PP.No.82/2001 Seng Dari hasil pengamatan diperoleh nilai rata-rata kadar seng (Gambar 22) pada Sungai Jerambah di stasiun hulu sebesar 0,081 mg/l dalam kisaran antara 0,038-0,123 mg/l, stasiun tengah sebesar 0,044 mg/l dalam kisaran antara 0,035-0,052 mg/l dan stasiun hilir sebesar 0,0023 mg/l dalam kisaran 0,015-0,03 mg/l. Secara statistik melalui uji t-test (Lampiran 18) terlihat bahwa perbedaan seng antara stasiun hulu, tengah dan hilir Sungai Jerambah tidak berbeda nyata. Sedangkan nilai rata-rata sulfida pada Sungai Buding di stasiun hulu sebesar 0,026 mg/l dalam kisaran antara 0,008-0,045 mg/l, stasiun tengah sebesar 0,020 mg/l dalam kisaran antara 0,022-0,017 mg/l dan stasiun hilir sebesar 0,059 mg/l dalam kisaran 0,034-0,084 mg/l. Secara statistik melalui uji t-test (Lampiran 18) terlihat bahwa perbedaan seng antara stasiun hulu, tengah dan hilir Sungai Buding tidak berbeda nyata. Berdasarkan baku mutu PP.No.82 tahun 2001 untuk golongan III, standar baku mutu kadar seng yaitu 0,05 mg/l. Keberadaan logam berat Seng (Zn) diduga dihasilkan oleh limbah cair dari industri sandang dan industri logam.

55 A 0.15 B Seng (mg/l) BM Seng mg/l) BM 0.00 Hulu Tengah Hilir 0.00 Hulu Tengah Hilir Gambar 22. Histogram nilai rata-rata seng (mg/l) pada Sungai Jerambah (A) dan Sungai Buding (B). Ket : tanda bar menunjukkan standar deviasi dan garis putus-putus (BM) menunjukkan baku mutu golongan III berdasarkan PP.No.82/2001 Stanum Dari hasil pengamatan diperoleh nilai rata-rata kadar stanum (Gambar 23) pada Sungai Jerambah di stasiun hulu, stasiun tengah dan stasiun hilir berada dalam kisaran yang sama yakni antara 0, ,09 mg/l dengan nilai rata-rata sebesar 0,045 mg/l. Sedangkan nilai rata-rata kadar stanum pada Sungai Buding di stasiun hulu sebesar 0,80 mg/l dalam kisaran antara 1,38-0,21 mg/l, stasiun tengah sebesar 0,056 mg/l dalam kisaran antara 0,0019-0,11 mg/l dan stasiun hilir sebesar 0,046 mg/l dalam kisaran 0,0019-0,11 mg/l. Secara statistik melalui uji t-test (Lampiran 18) terlihat bahwa perbedaan stanum antara stasiun hulu, tengah dan hilir Sungai Buding tidak berbeda nyata. 2.0 A 2.0 B Stanum (mg/l)/l) Stanum (mg/l) Hulu Tengah Hilir 0.0 Hulu Tengah Hilir Gambar 23. Histogram nilai rata-rata Stanum (mg/l) pada Sungai Jerambah (A) dan Sungai Buding (B). Ket : tanda bar menunjukkan standar deviasi dan garis putus-putus (BM) menunjukkan baku mutu golongan I berdasarkan PP.No.82/2001

56 48 Berdasarkan baku mutu PP.No.82 tahun 2001 untuk golongan I, kisaran pada kedua sungai tersebut belum melewati standar baku mutu yaitu dibawah 1 mg/l. Keberadaan logam berat Stanum (Sn) diduga dihasilkan aktivitas penambangan TI disekitar alur-alur sungai maupun limpasan limbah dari industri pengolahan hasil tambang timah putih Minyak dan Lemak Dari hasil pengamatan diperoleh nilai rata-rata minyak dan lemak (Gambar 24) pada Sungai Jerambah di stasiun hulu sebesar 3 mg/l dalam kisaran antara 2-4 mg/l, stasiun tengah sebesar 1,95 mg/l dalam kisaran antara 0,9-3 mg/l dan stasiun hilir sebesar 4,5 mg/l dalam kisaran 1-8 mg/l. Secara statistik melalui uji t-test (Lampiran 18) terlihat bahwa perbedaan minyak dan lemak antara stasiun hulu, tengah dan hilir Sungai Jerambah tidak berbeda nyata. Sedangkan nilai rata-rata ph pada Sungai Buding di stasiun hulu sebesar 2,45 mg/l dalam kisaran antara 0,9-4 mg/l, stasiun tengah sebesar 3,95 mg/l dalam kisaran antara 0,9-7 dan stasiun hilir sebesar 3,45 mg/l dalam kisaran 0,9-6 mg/l. Minyak & Lemak (mg/l) A Hulu Tengah Hilir BM Minyak & lemak (mg/l) B Hulu Tengah Hilir BM Gambar 24. Histogram nilai rata-rata minyak dan lemak (mg/l) pada Sungai Jerambah (A) dan Sungai Buding (B). Ket : tanda bar menunjukkan standar deviasi dan garis putus-putus (BM) menunjukkan baku mutu golongan III berdasarkan PP.No.82/2001 Berdasarkan Baku mutu PP.No.82 tahun 2001 untuk golongan III, kisaran pada kedua sungai tersebut sudah melewati standar baku mutu yaitu diatas 1 mg/l. Tingginya konsentrasi minyak dan lemak diduga berasal dari tumpahan minyak, limbah domestik, industri pangan, agroindustri (minyak sawit) dan industri logam. Keberadaan minyak dan lemak akan mengganggu penetrasi cahaya matahari ke

57 49 dalam air dan difusi oksigen berkurang, sehingga mengganggu kehidupan dalam perairan Deterjen Dari hasil pengamatan diperoleh nilai rata-rata deterjen (Gambar 25) pada Sungai Jerambah di stasiun hulu sebesar 0,134 mg/l dalam kisaran antara 0,068-0,02 mg/l, stasiun tengah sebesar 0,226 mg/l dalam kisaran antara 0,078-0,373 mg/l dan stasiun hilir sebesar 0,095 mg/l dalam kisaran 0,081-0,108 mg/l. Secara statistik melalui uji t-test (Lampiran 18) terlihat bahwa perbedaan deterjen antara stasiun hulu, tengah dan hilir Sungai Jerambah tidak berbeda nyata. Sedangkan nilai rata-rata deterjen pada Sungai Buding di stasiun hulu sebesar 0,085 mg/l dalam kisaran antara 0,061-0,108 mg/l, stasiun tengah sebesar 0,098 mg/l dalam kisaran antara 0,071-0,125 mg/l dan stasiun hilir sebesar 0,114 mg/l dalam kisaran 0,085-0,142 mg/l. Berdasarkan Baku mutu PP.No.82 tahun 2001 untuk golongan III, standar baku mutu deterjen yaitu 0,2 mg/l. Dengan semakin melimpahnya pemakaian deterjen sintetik diperkirakan semakin melimpah pula senyawa fosfat yang masuk ke perairan. Hal ini dapat menyebabkan eutrofikasi (Williams, 1987). 0.5 A 0.5 B Deterjen (mg/l) BM Deterjen (mg/l) BM 0.0 Hulu Tengah Hilir 0.0 Hulu Tengah Hilir Gambar 25. Histogram nilai rata-rata deterjen (mg/l) pada Sungai Jerambah (A) dan Sungai Buding (B). Ket : tanda bar menunjukkan standar deviasi dan garis putus-putus (BM) menunjukkan baku mutu golongan III berdasarkan PP.No.82/2001

58 Fenol Dari hasil pengamatan diperoleh nilai rata-rata fenol (Gambar 26) pada Sungai Jerambah di stasiun hulu sebesar 0,179 mg/l dalam kisaran antara 0,176-0,182 mg/l, stasiun tengah sebesar 0,189 mg/l dalam kisaran antara 0,163-0,215 g/l dan stasiun hilir sebesar 0,062 mg/l dalam kisaran 0,021-0,103 mg/l. Secara statistik melalui uji t-test (Lampiran 18) terlihat bahwa perbedaan fenol antara stasiun hulu, tengah dan hilir Sungai Jerambah berbeda nyata. Sedangkan nilai rata-rata fenol pada Sungai Buding di stasiun hulu sebesar 0,102 mg/l dalam kisaran antara 0,08-0,123 mg/l, stasiun tengah sebesar 0,077 mg/l dalam kisaran antara 0,051-0,103 mg/l dan stasiun hilir sebesar 0,117 mg/l dalam kisaran 0,077-0,156 mg/l. Secara statistik melalui uji t-test (Lampiran 18) terlihat bahwa perbedaan fenol antara stasiun hulu, tengah dan hilir Sungai Buding tidak berbeda nyata A 0.30 B Fenol (mg/l) Hulu Tengah Hilir BM Fenol (mg/l) Hulu Tengah Hilir BM Gambar 26. Histogram nilai rata-rata fenol (mg/l) pada Sungai Jerambah (A) dan Sungai Buding (B). Ket : tanda bar menunjukkan standar deviasi dan garis putus-putus (BM) menunjukkan baku mutu golongan III berdasarkan PP.No.82/2001 Berdasarkan Baku mutu PP.No.82 tahun 2001 untuk golongan III, kisaran tersebut sudah melewati standar baku mutu yaitu diatas 0,001 mg/l. Keberadaan fenol dalam perairan diduga berasal dari limbah industri sandang, agroindustri (karet), industri pengolahan hasil tambang, industri kimia dan bahan bangunan Indeks Pencemaran Untuk menentukan status mutu kualitas air pada Sungai Jerambah dan Sungai Buding digunakan metode Indeks Pencemaran (IP). Dari hasil perhitungan pada Tabel 5 terlihat bahwa nilai Indeks Pencemaran Sungai Jerambah dan Sungai

59 51 Buding berkisar antara Berdasarkan kisaran evaluasi nilai IP menurut Kep.Men.LH No.115/ 2003 maka kualitas air perairan Sungai Jerambah dan Sungai Buding yang diamati telah tergolong tercemar sedang. Tabel 5. Indeks Pencemaran Sungai Jerambah dan Sungai Buding Sungai Lokasi Indeks Pencemaran Keterangan Hulu 8,8834 Tercemar sedang Jerambah Tengah 8,9166 Tercemar sedang Hilir 7,3891 Tercemar sedang Hulu 7,9336 Tercemar sedang Buding Tengah 7,5838 Tercemar sedang Hilir 8,2538 Tercemar sedang Tekstur Sedimen Berikut kurva distribusi ukuran partikel sedimen (grain size) dapat dilihat pada Gambar 27. Cumulative fraction (%) A Phi scale (φ) Cumulative fraction (%) B Phi scale (φ) Gambar 27 Kurva phi-scale fraksi ukuran butiran pada Sungai Jerambah (A) dan Sungai Buding (B)

60 52 Dilihat dari bentuk kurva diatas, pada Sungai Jerambah dan Sungai Buding terlihat adanya perbedaan karakter jenis substrat antara stasiun hulu, tengah dan hilir. Sedangkan perbedaan karakteristik sedimen pada Sungai Jerambah dan Sungai Buding dapat terlihat jelas pada hasil perhitungan Indeks granulometrik (Tabel 6). Perbedaan tekstur sedimen pada dasar perairan kedua sungai tersebut terkait dengan ada-tidaknya terjadi aktivitas penambangan kondisi sekitar perairan. Tabel 6. Indeks granulometrik Indeks granulometrik Sungai Stasiun Graphic Quartile Jenis Klasifikasi Skewness Klasifikasi Mean Deviation Hulu 0,87 pasir kasar 1,39 poorly sorted 0,26 positive skewed Jerambah very poorly Tengah 2,20 pasir halus 2,15 0,55 positive skewed sorted Hilir 1,67 pasir sedang 1,74 poorly sorted 0,41 positive skewed pasir sangat very poorly Hulu 3,27 2,12 0,33 positive skewed halus sorted Buding very poorly Tengah 2,63 pasir halus 2,14 0,68 positive skewed sorted Hilir 0,37 pasir kasar 1,28 poorly sorted 0,20 positive skewed Ukuran butir sedimen (grain size) merupakan faktor utama yang secara langsung menentukan kondisi spasial dan struktural dari habitat meiobenthos. Jenis sedimen perairan akan sangat menentukan penyebaran jenis hewan benthos yang hidup di perairan tersebut, dimana kepadatan meiobenthos akan meningkat pada kondisi substrat yang sesuai. Adanya perbedaan grain size akan menentukan pergantian sirkulasi air yang mempengaruhi kelembaban, suplai oksigen dan bahan organik. Kandungan organik dalam sedimen sebagai faktor penentu nutrisi memegang peranan terhadap densitas meiofauna. Karena kelimpahan meiofauna berkorelasi positif terhadap kandungan nutrien dalam sedimen (McLachan, 1981 in Giere, 1993). Dari hasil pengamatan terlihat bahwa kepadatan tertinggi pada Sungai Jerambah terdapat di stasiun hilir yaitu jumlah kepadatan total 373 ind/sampel pada bulan September 2007 dan 329 ind/sampel pada bulan November Dilihat dari jenis sedimen pasir sedang yang cukup baik serta kandungan COD yang tinggi ( mg/l) dan kadar DO yang cukup (5,45-6,5 mg/l) diduga kondisi seperti ini masih tergolong cukup sesuai dengan kelangsungan hidup

61 53 meiobenthos. Sedangkan pada Sungai Buding, kepadatan tertinggi terdapat pada bulan September 2007 di stasiun tengah dengan kepadatan total sebesar 101 ind/sampel. Dilihat dari kondisi substrat pasir halus dan kandungan COD yang tinggi (426 mg/l) serta kadar DO yang cukup (6 mg/l) diduga kondisi seperti ini cukup mendukung. Pada bulan November 2007 kepadatan tertinggi terdapat di stasiun hulu dengan kepadatan total sebesar 67 ind/sampel. Kelimpahan ini diduga karena kondisi substrat pasir sangat halus dan kandungan COD yang tinggi (73 mg/l) serta kadar DO yang cukup (4,9 mg/l). Namun tidak mutlak hanya faktor grain size atau kandungan organik saja yang mempengaruhi keberadaan meiobenthos tetapi ada faktor lain seperti pemangsaan turut mempengaruhi penurunan densitas dan diversity meiofauna (Giere, 1993) Indeks Similaritas Canberra Pengelompokkan stasiun pengamatan berdasarkan parameter fisika kimia perairan meliputi suhu, arus, TSS, ph, DO, COD, total fosfat, amonia, nitrat, nitrit, sulfida, timbal, seng, stanum, minyak dan lemak, deterjen dan fenol serta parameter tekstur tanah 10 fraksi dengan menggunakan metode Indeks Canberra. Pada gambar 28 terlihat bahwa pengelompokkan stasiun pada Sungai Jerambah terdapat 2 kelompok besar yaitu kelompok pertama yaitu stasiun hulu dan kelompok kedua yaitu terdiri dari stasiun tengah dan hilir. Sedangkan pada Sungai Buding terdapat 2 kelompok besar yaitu kelompok pertama terdiri dari stasiun hulu dan tengah serta kelompok kedua yaitu hilir. Gambar 28. Dendogram parameter kualitas air dan tekstur sedimen pada Sungai Jerambah (A) dan Sungai Buding (B).

62 Korelasi antara parameter kualitas air dengan meiobenthos Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson antara meiobenthos dengan parameter kualitas air (Lampiran 19) disimpulkan bahwa organisme meiobenthos berhubungan erat dengan kondisi fisika-kimia perairan. Dari hasil pengamatan pada Sungai Jerambah dan Sungai Buding beberapa parameter kualitas air terlihat besar nilai korelasi semakin mendekati nilai 1 sehingga dinyatakan bahwa berkorelasi erat dengan kepadatan meiobenthos terutama oleh parameter ph, DO, COD dan beberapa parameter lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa kelangsungan hidup organisme meiobenthos sangat dipengaruhi oleh kondisi kualitas perairannya. 4.4 Korelasi antara parameter tekstur sedimen dengan meiobenthos Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson, besar nilai korelasi semakin mendekati nilai 1 sehingga dinyatakan bahwa antara meiobenthos dengan tekstur sedimen (Lampiran 20) disimpulkan bahwa meiobenthos organisme meiobenthos berhubungan erat dengan kondisi sedimen. Jenis tekstur substrat ini berkaitan dengan terkadinya sirkulasi air yang mensuplai kandungan oksigen maupun kandungan bahan organik sebagai nutrien. Pada kedua sungai yakni Sungai Jerambah dan Sungai Buding, kepadatan meiobenthos dominan pada substrat jenis pasir halus sekali. 4.5 Kualitas lingkungan berdasarkan struktur komunitas meiobenthos Dari hasil gambaran struktur meiobenthos yang meliputi kepadatan, kepadatan per- dan kekayaan jenis meiobenthos pada Sungai Jerambah dan Sungai Buding terlihat rendah dan terdapat spesies yang mendominasi pada setiap stasiun sehingga diduga kualitas sungai tersebut sudah tercemar. Untuk menjaga kondisi kualitas lingkungan perairan Sungai Jerambah Bangka Barat dan Sungai Buding Belitung Timur yang sudah tergolong tercemar sedang sebaiknya dilakukan pengelolaan yang tepat sehingga kualitas perairan dapat terjaga.

63 Pengelolaan perairan Sungai Jerambah dan Sungai Buding Kepulauan Bangka Belitung Berbagai limbah yang masuk berasal dari faktor antropogenik seperti kegiatan domestik, aktivitas penambangan liar (TI) dan kegiatan industri seperti industri pengolahan hasil tambang maupun industri non pertambangan pada umumnya telah mencemari perairan sekitar. Begitupula tidak sedikit masyarakat yang hidup di pinggiran sungai sehingga turut mengkontribusi bahan pencemar kedalam perairan sekitar. Perubahan kondisi perairan akibat masukan bahan pencemar dari berbagai limbah akan mempengaruhi kualitas perairan yang selanjutnya menimbulkan dampak buruk bagi perkembangan biota perairan mulai dari hulu hingga hilir sungai. Pencemaran toksik ini mengganggu kelangsungan hidup dari organisme akuatik melalui proses jenjang rantai makanan. Mengingat pentingnya peranan air, jumlahnya yang terbatas, dan makin tingginya intensitas pencemaran perairan maka diperlukan upaya pemanfaatan yang efisien dan pengelolaan yang baik. Pengelolaan yang dimaksud adalah pemanfaatan sumberdaya dengan membatasi penggunaannya agar daya dukung lingkungan tersebut tidak terganggu. Dengan kondisi limbah yang sangat kompleks maka dibutuhkan pengelolaan secara khusus sehingga dampaknya terhadap lingkungan dapat dicegah atau diminimalkan. Upaya pengelolaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut : Semenjak adanya pemberlakukan perda pertambangan nomor 6 tahun 2000 sehingga memberikan kebebasan terhadap semua masyarakat diperbolehkan untuk melakukan penambangan rakyat, melihat dampak yang ditimbulkan sehingga perda tersebut sebaiknya perlu di revisi kembali. Terkait dengan aktivitas penambangan liar yang merusak lingkungan sekitar, masyarakat boleh melakukan aktivitas penambangan tetapi limbah yang dihasilkan sebelumnya perlu dilakukan pengolahan limbah sebelum dibuang ke perairan. Pengolahan fisika kimia terhadap limbah penambangan dapat dilakukan secara koagulasi-flokulasi menggunakan alat Jar-test dengan pemakaian koagulan/bahan kimia Alumunium Sulfat (Al 2 (SO 4 ) 3 ) dan juga Ca(OH) 2. serta pengolahan secara filtrasi menggunakan media filter karbon aktif type ANK-102. Proses tersebut dapat mengabsorbsi bau, warna,

64 56 kekeruhan dan menurunkan kadar logam berat yang terkadung dalam air limbah dari aktivitas penambangan TI (Brahmana, 2004). Dan akan lebih baik jika kegiatan penambangan tidak dilakukan di sekitar alur-alur sungai dan perisir serta kawasan hutan lindung maupun kawasan reklamasi yang sebelumnya bekas area penambangan sebaiknya tidak dibongkar kembali. Sehingga kelestarian lingkungan perairan terjaga untuk kelangsungan hidup biota akuatik dan dapat dimanfaatkan secara aman bagi masyarakat. Pengendalian pencemaran yang dilakukan terutama pada limbah antropogenik yang dihasilkan dari kegiatan penambangan dan limbah industri, dimana perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu agar limbah aman dan memenuhi nilai baku mutu yang ditetapkan sehingga limbah yang masuk ke perairan umum tidak berbahaya bagi lingkungan. Penggolongan dan peruntukan sungai-sungai sangat diperlukan dan sebaiknya disosialisasikan kepada masyarakat sekitar sungai bersangkutan. Hal ini akan memudahkan pemantauan suatu sungai dan melindungi biota perairan, ekosistem akuatik dam masyarakat dari dampak pencemaran air. Sedangkan ketidaktahuan masyarakat sekitar akan dampak yang ditimbulkan akibat penambangan liar dapat disiasati dengan sosialisasi berupa penyuluhan maupun pengembangan informasi akan kepedulian lingkungan dan pengawasan ketat oleh pemerintah setempat. Penambangan timah merupakan pemanfaatan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui kembali sehingga disadari dalam kurun beberapa waktu kemudian timah tidak lagi bisa diandalkan menjadi primadona perekonomian, maka selanjutnya perlu diupayakan pengembangan potensi ekonomi lainnya. Jika perairan tersebut mampu mempertahankan kualitas lingkungannya, maka kelangsungan hidup organisme akuatik termasuk organisme meiobenthos tidak terganggu. Sehingga kehadiran organisme meiobenthos mampu menjalankan peranannya dalam ekosistem sehingga kualitas lingkungan akan menjadi seimbang.

65 57 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Struktur komunitas meiobenthos yang ditemukan secara keseluruhan di perairan tersebut pada saat bulan September dan November 2007 yaitu Nematoda, Nauplius, Calanoida, Harpacticoda, Ostracoda, Cumacea, Oligochaeta, Polychaeta, Sarcomatigophora, Cyclopoida, Amphipoda, Halacaroidea, Pelecypoda dan Diptera. Dari semua yang ada, kelompok Nematoda terlihat lebih mendominasi karena nematoda merupakan jenis toleran terhadap perubahan lingkungan perairan. Dari gambaran kualitas fisika kimia perairan menurut Indeks Pencemaran, kualitas perairan Sungai Jerambah dan Sungai Buding sudah tergolong tercemar sedang, sehingga hal ini merupakan tekanan ekologis terhadap kelangsungan hidup meiobenthos. Sedangkan jenis substrat pada kedua sungai tersebut relatif dengan fraksi pasir terdapat antara stasiun hulu, tengah dan hilir. Dari hasil gambaran struktur meiobenthos yang meliputi kepadatan, kepadatan per- dan kekayaan jenis meiobenthos pada Sungai Jerambah dan Sungai Buding terlihat rendah dan terdapat spesies yang mendominasi sehingga diduga kualitas sungai tersebut sudah tercemar. Dari uji statistik korelasi Pearson terlihat bahwa kepadatan organisme meiobenthos berkorelasi erat dengan kondisi parameter kualitas air serta tekstur substrat. 5.2 Saran Sebaiknya dilakukan analisa kandungan bahan organik (C-organik) dan potensial redoks dalam sedimen, sehingga kondisi sedimen sebagai habitat meiobenthos diketahui lebih jelas.

66 58 DAFTAR PUSTAKA Abel, P. D Water Pollution Biology. Ellis Howood Limited. England Anderson, J.R. Sand Sieve Analysis. [10 Maret 2008] Angraeni, I Kualitas Air Perairan Laut Teluk Jakarta Selama Periode Skripsi. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. (Tidak dipublikasikan) APHA (American Public Health Association) Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water. 19th ed. American Public Health Association. Water Pollution Control Federation. Washington DC Apriadi, D Kandungan logam berat Hg, Pb dan Cr pada air, sedimen dan kerang hijau (Perna viridis) di perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta. Skripsi. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. (Tidak dipublikasikan) Barnard, C., F. Gilbert and P. McGregor Asking Question In Biology. Design, Analysis and Presentation in Practical Work. Longman Scientific & Technical. New York Barus, T. A Pengantar Limnologi. Universitas Sumatera Utara. Medan Bahan Presentasi Meiobenthos. [10 Oktober 2007] Brahmana, S., A. Sutriati, R. Widhya dan A. Sudarna Potensi Pemanfaatan Sumber Air pada Kolam Bekas Penambangan Timah di Pulau Bangka. JLP. Vol. 18. No. 53 Bouwman, L.A Meiofauna. In : Biological surveys of estuaries and coasts. Baker, J.M. & Wolff, W.J (Eds.). Cambridge University Press. New York. Effendi, H Telaah Kualitas Air : Bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Giere, O., A. Eleftheriou and D. J. Murison Abiotic factors. In: Introduction to the study of meiofauna. R.P Higgins & H. Thiel (Eds). Smithsonian Institution Press. London.

67 59 Greiser, N. and A. Faubel Biotic Factors. In: Introduction to the study of meiofauna. R.P Higgins & H. Thiel (Eds). Smithsonian Institution Press. London. Giere, O Meiobenthology. The Microscopic Fauna in Aquatic Sediment. Springer-Verlag. London Google Local Search Photos and Info for Bangka Belitung. [1 Juni 2008] Krebs, C. J Ecological Methodology. Harper and Row Publisher. New York. 649 hal Manik, K. E. S Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penerbit Djambatan. Jakarta Mason, C.F Biology of Freshwater Pollution. Longman Press. New York Moriarty, F Ecotoxicology : The Study of Pollutants in Ecosystems. Academic Press. San Diego Nybakken, J.W Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologi. Terjemahan Eidman, M., Koesbiono, dan D.G. Bengen. PT Gramedia. Odum, E.P Dasar-dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh T. Samingan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Palar, H Pencemaran dan Toksikologi Logam berat. Penerbit Rinek Cipta. Jakarta Pemerintah Daerah Potensi daerah. [22 Februari 2008] Pennak, R.W Ecology of the Freshwater Meiofauna. In: Introduction to the study of meiofauna. R.P Higgins & H. Thiel (Eds). Smithsonian Institution Press. London. Pennak, R.W Fresh-water Invertebrates of the United States. 2 ed Ed. The Ronald Press Company. NewYork Peraturan Pemerintah Nomor 82, tentang Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Jakarta Schmid-Araya J.M.A Meiofauna. [14 September 2007] Setyaning, M Komunitas Makrobenthos dan Keterkaitannya dengan Kualitas Fisika-Kimia Perairan di Teluk Jobokutho, Jepara, Jawa Tengah.

68 60 Skripsi. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. (Tidak dipublikasikan) Sudjadi, Analisa Tanah. Litbang Tanah Sugiharto Dasar-dasar Pengelolaan Limbah. UI-Press. Jakarta Susetiono, Meiofaunal Community Structure in the Kotania Bay, Seram Island, Indonesia. Perairan Maluku dan sekitarnya. Susetiono, I. H. Supriyadi, & Z. Tarigan, Meiofauna of Sele Strait, Irian Jaya: A detection of persistent pollution. Prosiding Seminar Kelautan LIPI-UNHAS, Ambon 4-6 Juli 1997 Susetiono Perilaku meiofauna dalam Padang Lamun Enhalus Acoroides, Teluk Kuta, Lombok: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. LIPI-Jakarta Susetiono The Use of Meiofauna for Environmental Monitoring Tool. Seminar Kelautan Jakarta Suwignyo, S., B. Widigdo, Y. Wardiatno dan M. Krisanti Avertebrata Air. Penebar Swadaya. Jakarta Wirakusumah, S Dasar-dasar Ekologi. Menopang Pengetahuan Ilmu-ilmu Lingkungan. UI-Press. Jakarta Yurika, M Karakteristik Komunitas Makrozoobenthos di Kepulauan Seribu Skripsi. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. (Tidak dipublikasikan)

69 1 LAMPIRAN Lampiran 1. Gambar lokasi pengambilan sampel pada Sungai Jerambah

70 2 Bagian Hulu Sungai Bagian Tengah Sungai Bagian Hilir Sungai Lampiran 2. Gambar lokasi pengambilan sampel pada Sungai Buding

71 3 Bagian Hulu Sungai Bagian Tengah Sungai Bagian Hilir Sungai Lampiran 3. Gambar metode pengambilan sampel meiobenthos

72 4 Analisis Sampel di Laboratorium : Penyaringan + Pewarna Rose Bengal kemudian dilakukan Identifikasi menggunakan mikroskop

73 5

74 6

75 7

76 8

77 9

78 10

79 11

80 Lampiran 8. Pengelompokan stasiun berdasarkan parameter kualitas air dengan Indeks Bray Curtis 12

81 13 SUNGAI JERAMBAH =================================== BANYAKNYA DATA : 3 BANYAKNYA PEUBAH : 14 DATA AWAL SUNGAI BUDING =================================== BANYAKNYA DATA : 3 BANYAKNYA PEUBAH : 14 DATA AWAL Hulu Tengah Hilir Hulu Tengah Hilir MATRIKS SIMILARITAS BRAY CURTIS MATRIKS SIMILARITAS BRAY CURTIS PENGGABUNGAN KE: 1 DATA YANG DIGABUNGKAN : ( ) BANYAKNYA DATA DI DALAM GEROMBOL= 2 SIMILARITAS RATA-RATA = 74.1 ANGGOTA KELOMPOK 2 3 PENGGABUNGAN KE: 2 DATA YANG DIGABUNGKAN : ( 1 + 3) BANYAKNYA DATA DI DALAM GEROMBOL= 3 SIMILARITAS RATA-RATA = 61.1 ANGGOTA KELOMPOK PENGGABUNGAN KE: 1 DATA YANG DIGABUNGKAN : ( ) BANYAKNYA DATA DI DALAM GEROMBOL= 2 SIMILARITAS RATA-RATA = 64.8 ANGGOTA KELOMPOK 2 3 PENGGABUNGAN KE: 2 DATA YANG DIGABUNGKAN : ( ) BANYAKNYA DATA DI DALAM GEROMBOL= 3 SIMILARITAS RATA-RATA = 43.3 ANGGOTA KELOMPOK Lampiran 9. Hasil perhitungan kualitas fisika kimia perairan sungai Jerambah pada bulan September 2007

82 14 Hasil Pemeriksaan No. Parameter Satuan Sungai Jerambah Baku Mutu*) Hulu Tengah Hilir I II III IV FISIKA 1. Suhu C Kecepatan arus m/dt TSS mg/l KIMIA 1. ph DO mg/l COD mg/l Total Fosfat mg/l Amonia (NH 3-N) mg/l <0.230 <0.230 < Nitrat (NO 3-N) mg/l Nitrit (NO 2-N) mg/l Sulfida (H 2S) mg/l Timbal (Pb) mg/l < Seng (Zn) mg/l Stanum (Sn) mg/l <0.002 <0.002 < KIMIA ORGANIK 1 Minyak dan Lemak mg/l 2 < Deterjen mg/l Fenol mg/l *PP.No.82/2001; tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air Lampiran 10. Hasil perhitungan kualitas fisika kimia perairan sungai Jerambah pada bulan November 2007

83 15 Hasil Pemeriksaan No. Parameter Satuan Sungai Jerambah Baku Mutu*) Hulu Tengah Hilir I II III IV FISIKA 1. Suhu C Kecepatan arus m/dt TSS mg/l KIMIA 1. ph DO mg/l COD mg/l Total Fosfat mg/l Amonia (NH 3-N) mg/l < Nitrat (NO 3-N) mg/l Nitrit (NO 2-N) mg/l Sulfida (H 2S) mg/l Timbal (Pb) mg/l Seng (Zn) mg/l Stanum (Sn) mg/l <0.10 <0.10 < KIMIA ORGANIK 1 Minyak dan Lemak mg/l Deterjen mg/l Fenol mg/l *PP.No.82/2001; tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air Lampiran 11 Hasil perhitungan kualitas fisika kimia perairan sungai Buding pada bulan September 2007

84 16 Hasil Pemeriksaan No. Parameter Satuan Sungai Buding Baku Mutu*) Hulu Tengah Hilir I II III IV FISIKA 1. Suhu C Kecepatan arus m/dt TSS mg/l KIMIA 1. ph DO mg/l COD mg/l Total Fosfat mg/l Amonia (NH 3-N) mg/l <0.230 <0.230 < Nitrat (NO 3-N) mg/l Nitrit (NO 2-N) mg/l Sulfida (H 2S) mg/l <0.001 <0.001 < Timbal (Pb) mg/l < Seng (Zn) mg/l Stanum (Sn) mg/l 1.38 <0.002 < KIMIA ORGANIK 1 Minyak dan Lemak mg/l <1 <1 < Deterjen mg/l Fenol mg/l *PP.No.82/2001; tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air Lampiran 12. Hasil perhitungan kualitas fisika kimia perairan sungai Buding pada bulan November 2007

85 17 Hasil Pemeriksaan No. Parameter Satuan Sungai Buding Baku Mutu*) Hulu Tengah Hilir I II III IV FISIKA 1. Suhu C Kecepatan arus m/dt TSS mg/l KIMIA 1. ph DO mg/l COD mg/l Total Fosfat mg/l Amonia (NH 3-N) mg/l <0.230 <0.230 < Nitrat (NO 3-N) mg/l Nitrit (NO 2-N) mg/l Sulfida (H 2S) mg/l Timbal (Pb) mg/l <0.030 <0.030 < Seng (Zn) mg/l < Stanum (Sn) mg/l < KIMIA ORGANIK 1 Minyak dan Lemak mg/l Deterjen mg/l Fenol mg/l *PP.No.82/2001; tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air Lampiran 13. Perhitungan Indeks Pencemaran (Kep.Men.LH No.115/ 2003)

86 18 Parameter Baku mutu* Ci Jerambah Hulu Tengah Hilir Ci/Lix Ci/Lix baru TSS COD T.Fosfat Nitrat Nitrit Sulfida Timbal Seng Minyak&Lemak Deterjen Fenol IP Ci Ci/Lix Ci/Lix baru Ci Ci/Lix Ci/Lix baru Parameter Baku mutu* Ci Buding Hulu Tengah Hilir Ci/Lix Ci/Lix baru TSS COD T.Fosfat Nitrat Nitrit Sulfida Timbal Seng Minyak&Lemak Deterjen Ci Fenol Ci/Lix Ci/Lix baru Ci Ci/Lix Ci/Lix baru IP Contoh perhitungan : (Jerambah Hulu) Jika (Ci/Lij) hasil perhitungan >1 maka dicari (Ci/Lij) baru. (Ci/Lij) baru = 1,0 + 5 log (19,5) = Dari keseluruhan (Ci/Lij) baru didapat; Nilai rata-rata = dan Nilai maksimum = Indeks pencemaran = 2 2 ( Ci / Lij) Maksimal + ( Ci / lij) R ata rata PIj = = Lampiran 14. Pengelompokkan stasiun berdasarkan parameter kualitas air dan

87 19 tekstur tanah dengan Indeks Canberra SUNGAI JERAMBAH =================================== BANYAKNYA DATA : 3 BANYAKNYA PEUBAH : 27 DATA AWAL Hulu Tengah Hilir MATRIKS SIMILARITAS CANBERRA PENGGABUNGAN KE: 1 DATA YANG DIGABUNGKAN : ( ) BANYAKNYA DATA DI DALAM GEROMBOL= 2 SIMILARITAS RATA-RATA = 72.0 ANGGOTA KELOMPOK 2 3 PENGGABUNGAN KE: 2 DATA YANG DIGABUNGKAN : ( ) BANYAKNYA DATA DI DALAM GEROMBOL= 3 SIMILARITAS RATA-RATA = 67.5 ANGGOTA KELOMPOK SUNGAI BUDING =================================== BANYAKNYA DATA : 3 BANYAKNYA PEUBAH : 27 DATA AWAL Hulu Tengah Hilir MATRIKS SIMILARITAS CANBERRA PENGGABUNGAN KE: 1 DATA YANG DIGABUNGKAN : ( ) BANYAKNYA DATA DI DALAM GEROMBOL= 2 SIMILARITAS RATA-RATA = 74.2 ANGGOTA KELOMPOK 2 3 PENGGABUNGAN KE: 2 DATA YANG DIGABUNGKAN : ( 1 + 3) BANYAKNYA DATA DI DALAM GEROMBOL= 3 SIMILARITAS RATA-RATA = 57.5 ANGGOTA KELOMPOK 1 2 3

88 20 Lampiran 15. Prosedur penentuan tekstur substrat (Sudjadi, 1971) Tahap-tahap penetapan tekstur cara pipet adalah sebagai berikut : 1. Timbang 20 gram substrat, kemudian masukkan ke gelas piala sebanyak 1 liter. 2. Tambahkan 50 ml H 2 O 2 30% (untuk menghancurkan bahan organik). Kocok dengan hati-hati lalu tambahkan 6 tetes asam asetat 99%. Biarkan satu malam. 3. Panaskan di atas penangas air sambil ditambahkan H 2 O 2 sedikit demi sedikit sambil diaduk-aduk sampai semua bahan organik habis (tandanya apabila tidak ada buih lagi). Berikan 0,5 HCl 6 N untuk setiap persen CaCO 3 dan 100 ml HCl 0,2 N (untuk melarutkan CaCO 3 ). Tambahkan air sampai kira-kira separuh gelas piala, kemudian dididhkan kira-kira selama 20 menit. 4. Lakukan pencucian Cl sampai semua Cl hilang (uji dengan perak nitrat, tidak terjadi awan putih berarti Cl sudah habis). 5. Sisakan fraksi pasir dengan menggunakan ayakan 50µ. Fraksi debu dan liat ditampung dalam tabung sedimentasi 1 liter. 6. Pindahkan fraksi pasir dari ayakan ke dalam cawan alumunium (yang sudah diketahui bobotnya) kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 100 C semalam. Tentukan bobot pasir. 7. Ke dalam tabung sedimentasi yang berisi debu dan liat, tambahkan 20 ml Natrium pirofosfat (Na 2 P 2 O 7 ), biarkan selama 1 jam sampai terjadi suspensi sempurna. Kalau belum terjadi tambahkan lagi Natrium pirofosfat. Tambahkan air sampai tanda tera, kecuali untuk jenis tanah Andosol dimana penambahan Natrium pirofosfat jangan dilakukan, khusus untuk ini ph suspense diusahakan berada pada 2,7. 8. Tutuplah gelas ini dengan sumbat karet lalu kocok dengan jalan menjungkirbalikkan tabung sedimentasi tadi, lalu segera didirikan dalam bak air, kemudian buka sumbatnya. Catat waktu selesai pengocokkan atau mulai dijalankan stop watch. 9. Lakukanlah pemipetan dari tabung sedimentasi tersebut menurut waktu kedalaman pipet dan volume pipet sesuai dengan Tabel 1. Tabel 1. Volume pipet, waktu dan kedalaman pipet Ukuran fraksi (µ) Volume pipet (ml) Kedalaman pemipetan (cm) Waktu Jam Menit Detik Sebelum dilakukan pemipetan, isis pipet harus diperiksa dahulu dengan rumus : Isi = Bobot / Bobot jenis air *Bobot jenis air pada suhu 25 C = 0,9971 g/ml; 16 C = 0,9968 g/ml; 27 C = 0,9965 g/ml.

89 Setiap hasil pemipetan diruangkan ke dalam cawan alumunium untuk diuapkan airnya dalam penangas air yang selanjutnya dimasukkan tanur pada suhu 105 C, akhirnya dimasukkan dalam eksikator, lalu ditimbang. 11. Karena penentuan tekstur hingga 10 fraksi maka dari hasil analisis dari fraksi pasir, debu dan liat disaring kembali dengan ayakan khusus sesuai masingmasing fraksi. Kemudian hasil dari masing-masing ayakan ditimbang. Perbedaan ukuran saringan pada ayakan yang digunakan dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2. Ukuran saringan berdasarkan tipe substrat Jenis tekstur sedimen Ukuran saringan (mm) Sand Silt Clay Very coarse 2 Coarse 1 Medium 0,5 Fine 0,25 Very fine 0,125 Coarse 0,0625 Medium 0,0301 Fine 0,0156 Coarse 0,00391 Fine 0,00097 Gambar ayakan sesuai masing-masing fraksi

90 Dari hasil persentase fraksi sebaran besar butir kemudian diplotkan dalam kurva phi (µ) mengikuti klasifikasi berdasarkan Wentworth grade (Buchanan, 1984 in Giere, 1988), bisa dilihat pada Tabel 3. Size Class (Wentworth Scale) Sand Silt Clay Principal Sizes (µm) Phi Scale (φ) Boulder Cobble Pebble Granule Very coarse Coarse Medium Fine Very fine Coarse Medium Fine Very fine Coarse Medium Fine Very fine Colloid , < 12

91 23 Lampiran 16. Hasil analisa tekstur sedimen berdasarkan 10 fraksi Sungai Jerambah Buding Stasiun Fraksi Sebaran Besar Butir (%) I II III IV V VI VII VIII IX X Hulu Tengah Hilir Hulu Tengah Hilir Keterangan : Fraksi Besar Butir Kriteria I 2-1 Pasir Kasar Sekali II Pasir Kasar III Pasir Sedang IV Pasir Halus V Pasir Halus Sekali VI Debu Kasar VII Debu Sedang VIII Debu Halus IX Liat Kasar X < Liat Halus

92 24 Lampiran 17. Perhitungan Indeks glanulometrik Sungai Jerambah Buding Stasiun Nilai estimasi phi (φ) dari fraksi sedimen Hulu Tengah Hilir Hulu Tengah Hilir Contoh perhitungan : (Jerambah Hulu) - Graphic Mean = (16 φ + 50 φ + 84 φ) / 3 = (-0,1 + 0,8 + 1,9) / 3 = 0,87 - Inc.Quartile Deviation = ((84 φ 16 φ) / 4) ((95 φ 5 φ) / 6,6) = ((1,9 + 0,1) / 4) ((5 + 0,9) / 6,6) = 1,39 - Skewness = (84 φ + 16 φ - 2 (50 φ)) / 2 (84 φ 16 φ) + (95 φ + 5 φ -2 (50 φ)) / 2 ( 95 φ 5 φ) = (1,9 0,1 2 (0,8)) / 2 (1,9 + 0,1) + (5 + 0,9 2 (0,8)) / 2 (5 + 0,9) = 0,26 - Kurtosis = ( 95 φ 5 φ) / 2,44 (75 φ 25 φ) = (5 + 0,9) / 2,44 (1,5 0,2) = 1,86

93 25 Lampiran 18. Analisis uji beda nyata parameter kualitas air antara stasiun hulu, tengah dan hilir Sungai Jerambah Parameter P-value Keterangan Suhu 0,05 berbeda nyata ph 0,01 berbeda nyata DO 0,03 berbeda nyata COD 0,04 berbeda nyata Total Fosfat 0,10 tidak berbeda nyata Amonia 0,10 tidak berbeda nyata Nitrit 0,003 berbeda nyata Nitrat 0,002 berbeda nyata Sulfida 0,03 berbeda nyata Timbal 0,02 berbeda nyata Seng 0,08 tidak berbeda nyata Minyak dan Lemak 0,45 tidak berbeda nyata Deterjen 0,11 tidak berbeda nyata Fenol 0,05 berbeda nyata Sungai Buding Parameter P-value Keterangan Kecepatan arus 0,05 berbeda nyata TSS 0,01 berbeda nyata COD 0,25 tidak berbeda nyata Total Fosfat 0,11 tidak berbeda nyata Timbal 0,25 tidak berbeda nyata Seng 0,13 tidak berbeda nyata Stanum 0,19 tidak berbeda nyata Fenol 0,09 tidak berbeda nyata

94 26 Lampiran 19. Analisis korelasi Pearson antara parameter kualitas air dengan meiobenthos Parameter Kepadatan Suhu 0,91 Kecepatan arus -0,41 TSS 0,20 ph 0,95 DO 0,55 COD 1,00 Total Fosfat -0,28 Amonia (NH 3 -N) -0,09 Nitrat (NO 3 -N) -0,66 Nitrit (NO 2 -N) -0,55 Sulfida (H 2 S) -0,63 Timbal (Pb) 0,93 Seng (Zn) -0,33 Stanum (Sn) -0,45 Minyak dan Lemak 0,70 Deterjen -0,16 Fenol -0,53

95 27 Lampiran 20. Analisis korelasi Pearson antara parameter tekstur sedimen dengan meiobenthos Tekstur Kepadatan pasir kasar sekali 0,38 pasir kasar 0,03 pasir sedang 0,38 pasir halus 0,07 pasir halus sekali -0,44 debu kasar -0,25 debu sedang -0,54 debu halus 0,21 liat kasar -0,51 liat halus -0,39

96 28 Lampiran 21. Gambar organisme taxa meiobenthos yang ditemukan di Sungai Jerambah dan Sungai Buding saat pengamatan 1. Nematoda (a) 6. Cumacea (f) 2. Nauplius (b) 7. Oligochaeta (g) 3. Calanoida (c) 8. Polychaeta (h) 4. Harpacticoida (d) 9. Sarcomastigophora (i) 5. Ostracoda (e) 10. Cyclopoida (j)

97 Amphipoda (k) 12. Halacaroidea (l) 13. Pelecypoda (m) 14. Diptera (n) Keterangan : - Koleksi sendiri (a, c, d, e, f, g, h, i, j, k, m) - (b) - Buku Avertebrata air (l) - (n)

98 30 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 3 Januari 1986 merupakan anak pertama dari bapak Isdrajad Setyobudiandi dan Sundari. Riwayat pendidikan penulis dimulai dengan memasuki TK Kenanga ( ), SD Bangka 3 Bogor ( ), SMP Kesatuan Bogor ( ), SMU Yayasan Persaudaraan Haji Bogor ( ). Kemudian pada tahun 2003 penulis lulus seleksi masuk IPB melalui Jalur (SPMB). Penulis memilih program studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan dan Lingkungan Perairan, Departemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis ikut serta sebagai panitia dalam beberapa kegiatan yang diselenggarakan di lingkungan Institut Pertanian Bogor, sebagai seksi dana usaha Festival Air, mengikuti Pelatihan Metode Pengambilan Sampel (2006), sebagai guru bantu bahasa Inggris SMA Terbuka Leuwiliang (2007). Penulis melaksanakan penelitian dengan judul Struktur Komunitas yang dikaitkan dengan Tingkat Pencemaran di Sungai Jerambah dan Sungai Belitung Kepulauan Bangka Belitung sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos Odum (1993) menyatakan bahwa benthos adalah organisme yang hidup pada permukaan atau di dalam substrat dasar perairan yang meliputi organisme

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah di sekitarnya,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014. 25 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014. Tempat penelitian berlokasi di Sungai Way Sekampung, Metro Kibang,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan Selat merupakan perairan relatif sempit yang menghubungkan dua buah perairan yang lebih besar dan biasanya terletak di antara dua daratan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peranan penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah disekitarnya,

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah sekitarnya. Oleh karena

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

2.2. Struktur Komunitas

2.2. Struktur Komunitas 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobentos Hewan bentos dibagi dalam tiga kelompok ukuran, yaitu makrobentos (ukuran lebih dari 1,0 mm), meiobentos (ukuran antara 0,1-1 mm) dan mikrobentos (ukuran kurang

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Metode Pengambilan Contoh Penentuan lokasi

3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Metode Pengambilan Contoh Penentuan lokasi 17 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan contoh air dilakukan pada bulan April sampai dengan Mei 2012. Lokasi penelitian di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda (tawar dan laut)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, flora, fauna maupun makhluk hidup yang lain. Makhluk hidup memerlukan air tidak hanya sebagai

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah genangan air besar yang sengaja dibuat dengan membendung aliran sungai, sehingga dasar sungai tersebut yang menjadi bagian terdalam dari sebuah waduk. Waduk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tidak kurang dari 70% dari permukaan bumi adalah laut. Atau dengan kata lain ekosistem laut merupakan lingkungan hidup manusia yang terluas. Dikatakan bahwa laut merupakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2005 - Agustus 2006 dengan lokasi penelitian di Pelabuhan Sunda Kelapa, DKI Jakarta. Pengambilan contoh air dan

Lebih terperinci

Stasiun 1 ke stasiun 2 yaitu + 11,8 km. Stasiun '4.03"LU '6.72" BT. Stasiun 2 ke stasiun 3 yaitu + 2 km.

Stasiun 1 ke stasiun 2 yaitu + 11,8 km. Stasiun '4.03LU '6.72 BT. Stasiun 2 ke stasiun 3 yaitu + 2 km. 8 menyebabkan kematian biota tersebut. Selain itu, keberadaan predator juga menjadi faktor lainnya yang mempengaruhi hilangnya atau menurunnya jumlah makrozoobentos. 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kelangsungan hidup yang panjang. Oleh karena itu peran bentos dalam

TINJAUAN PUSTAKA. kelangsungan hidup yang panjang. Oleh karena itu peran bentos dalam TINJAUAN PUSTAKA Benthos Bentos merupakan kelompok organisme yang hidup di dalam atau di permukaan sedimen dasar perairan. Bentos memiliki sifat kepekaan terhadap beberapa bahan pencemar, mobilitas yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Waduk Cirata dengan tahap. Penelitian Tahap I merupakan penelitian pendahuluan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu pengambilan contoh dan analisis contoh. Pengambilan contoh dilaksanakan pada bulan Maret 2011 di perairan

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan.

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan. 3. METODOLOGI 3.1. Rancangan penelitian Penelitian yang dilakukan berupa percobaan lapangan dan laboratorium yang dirancang sesuai tujuan penelitian, yaitu mengkaji struktur komunitas makrozoobenthos yang

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. bersifat dinamis (bergerak atau mengalir) seperti laut dan sungai maupun statis

TINJAUAN PUSTAKA. bersifat dinamis (bergerak atau mengalir) seperti laut dan sungai maupun statis TINJAUAN PUSTAKA Perairan Sungai Perairan adalah suatu kumpulan massa air pada suatu wilayah tertentu, baik yang bersifat dinamis (bergerak atau mengalir) seperti laut dan sungai maupun statis (tergenang)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari

TINJAUAN PUSTAKA. hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari 7 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari merupakan wilayah pesisir semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan. Sebagian besar estuari

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG

ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG RIYAN HADINAFTA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu

BAB I PENDAHULUAN. Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu senggangnya (leisure time), dengan melakukan aktifitas wisata (Mulyaningrum, 2005). Lebih

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Organisme makrozoobenthos

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Organisme makrozoobenthos 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan 2.1.1. Organisme makrozoobenthos Organisme benthos merupakan organisme yang melekat atau beristirahat pada dasar perairan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA Umroh 1, Aries Dwi Siswanto 2, Ary Giri Dwi Kartika 2 1 Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,Perikanan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh karena itu, sumber air sangat dibutuhkan untuk dapat menyediakan air yang baik dari segi kuantitas

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi penelitian terletak di belakang Perumahan Nirwana Estate, Cibinong yang merupakan perairan sungai kecil bermuara ke Situ Cikaret sedangkan yang terletak di belakang Perumahan,

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR

PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR RIRIN ANDRIANI SILFIANA C24104086 SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

PENENTUAN KUALITAS AIR

PENENTUAN KUALITAS AIR PENENTUAN KUALITAS AIR Analisis air Mengetahui sifat fisik dan Kimia air Air minum Rumah tangga pertanian industri Jenis zat yang dianalisis berlainan (pemilihan parameter yang tepat) Kendala analisis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Perairan disebut danau apabila perairan itu dalam dengan tepi yang umumnya curam.air danau biasanya bersifat jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya pada daerah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir

TINJAUAN PUSTAKA. adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Perairan sungai adalah suatu perairan yang di dalamnya dicirikan dengan adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir (perairan lotik).

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran Perairan

II. TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran Perairan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan Pencemaran adalah peristiwa perubahan yang terjadi terhadap sifat-sifat fisik-kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada udara, tanah dan air (Odum, 1971),

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe Estuari dan Debit Sungai. Tipe estuari biasanya dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Pada saat pasang, salinitas perairan akan didominasi oleh salinitas air laut karena

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan Menurut Odum (1971), pencemaran adalah perubahan sifat fisik, kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada udara, tanah dan air. Sedangkan menurut Saeni

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN Lampiran 1. Alat dan Bahan Penelitian DO Meter ph Meter Termometer Refraktometer Kertas Label Botol Sampel Lampiran 1. Lanjutan Pisau Cutter Plastik Sampel Pipa Paralon Lampiran 2. Pengukuran

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

STUDI KUALITAS AIR DI SUNGAI DONAN SEKITAR AREA PEMBUANGAN LIMBAH INDUSTRI PERTAMINA RU IV CILACAP

STUDI KUALITAS AIR DI SUNGAI DONAN SEKITAR AREA PEMBUANGAN LIMBAH INDUSTRI PERTAMINA RU IV CILACAP STUDI KUALITAS AIR DI SUNGAI DONAN SEKITAR AREA PEMBUANGAN LIMBAH INDUSTRI PERTAMINA RU IV CILACAP Lutfi Noorghany Permadi luthfinoorghany@gmail.com M. Widyastuti m.widyastuti@geo.ugm.ac.id Abstract The

Lebih terperinci

stasiun 2 dengan stasiun 3 dengan stasiun 3 Stasiun 1 dengan Stasiun 1 Morishita Horn

stasiun 2 dengan stasiun 3 dengan stasiun 3 Stasiun 1 dengan Stasiun 1 Morishita Horn Didapatkan hasil sungai Wonorejo Surabaya mempunyai indeks kesamaan komunitas makrozoobenthos antara stasiun 1 dengan stasiun 2 yaitu 0.88. Perbandingan dari kedua stasiun ini memiliki indeks kesamaan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di Pulau Pramuka

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di Pulau Pramuka 21 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan rehabilitasi lamun dan teripang Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunitas Chironomid

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunitas Chironomid II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunitas Chironomid Makroavertebrata benthik atau sering kita sebut benthos adalah hewan yang tidak bertulang belakang yang memiliki ukuran tubuh lebih besar dari 0,5 mm. Menurut

Lebih terperinci

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA BAB. II TINJAUAN PUSTAKA A. Keadaan Teluk Youtefa Teluk Youtefa adalah salah satu teluk di Kota Jayapura yang merupakan perairan tertutup. Tanjung Engros dan Tanjung Hamadi serta terdapat pulau Metu Debi

Lebih terperinci

3,15 Very Fine Sand 1,24 Poorlysorted -0,21 Coarse-Skewed. 4,97 Coarse Silt 1,66 Poorlysorted -1,89 Very Coarse-Skewed

3,15 Very Fine Sand 1,24 Poorlysorted -0,21 Coarse-Skewed. 4,97 Coarse Silt 1,66 Poorlysorted -1,89 Very Coarse-Skewed BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Sedimen dasar permukaan Hasil analisis sedimen permukaan dari 30 stasiun diringkas dalam parameter statistika sedimen yaitu Mean Size (Mz Ø), Skewness (Sk

Lebih terperinci

BAB I. Logam berat adalah unsur kimia yang termasuk dalam kelompok logam yang

BAB I. Logam berat adalah unsur kimia yang termasuk dalam kelompok logam yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Logam berat adalah unsur kimia yang termasuk dalam kelompok logam yang beratnya lebih dari 5g, untuk setiap cm 3 -nya. Delapan puluh jenis dari 109 unsur kimia yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perairan Laut Belawan Perairan Laut Belawan yang berada di Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara banyak digunakan oleh masyarakat setempat untuk berbagai aktivitas.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber irigasi, sumber air minum, sarana rekreasi, dsb. Telaga Jongge ini

BAB I PENDAHULUAN. sumber irigasi, sumber air minum, sarana rekreasi, dsb. Telaga Jongge ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Telaga merupakan wilayah tampungan air yang sangat vital bagi kelestarian lingkungan. Telaga merupakan salah satu penyedia sumber air bagi kehidupan organisme atau makhluk

Lebih terperinci

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh: Sabam Parsaoran Situmorang C64103011 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air Limbah Limbah deidefinisikan sebagai sisa atau buangan dari suatu usaha atau kegiatan manusia. Limbah adalah bahan buangan yang tidak terpakai yang berdampak negatif jika

Lebih terperinci

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG F1 05 1), Sigit Febrianto, Nurul Latifah 1) Muhammad Zainuri 2), Jusup Suprijanto 3) 1) Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK UNDIP

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 1. Latar belakang Air merupakan suatu kebutuhan pokok bagi manusia. Air diperlukan untuk minum, mandi, mencuci pakaian, pengairan dalam bidang pertanian

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kepadatan 5 kijing, persentase penurunan total nitrogen air di akhir perlakuan sebesar 57%, sedangkan untuk kepadatan 10 kijing

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tahu merupakan salah satu industri yang menghasilkan limbah organik. Limbah industri tahu yang dihasilkan dapat berupa limbah padat dan cair, tetapi limbah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia sehingga kualitas airnya harus tetap terjaga. Menurut Widianto

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara dan merupakan

Lebih terperinci

Komponen Ekosistem Komponen ekosistem ada dua macam, yaitu abiotik dan biotik. hujan, temperatur, sinar matahari, dan penyediaan nutrisi.

Komponen Ekosistem Komponen ekosistem ada dua macam, yaitu abiotik dan biotik. hujan, temperatur, sinar matahari, dan penyediaan nutrisi. MINGGU 3 Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 1 Sub Pokok Bahasan : a. Pengertian ekosistem b. Karakteristik ekosistem c. Klasifikasi ekosistem Pengertian Ekosistem Istilah ekosistem merupakan kependekan dari

Lebih terperinci

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian. Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata. Dekstruksi Basah

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian. Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata. Dekstruksi Basah Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata Dekstruksi Basah Lampiran 1. Lanjutan Penyaringan Sampel Air Sampel Setelah Diarangkan (Dekstruksi Kering) Lampiran 1. Lanjutan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi 2.1.1. Klasifikasi Tiram merupakan jenis bivalva yang bernilai ekonomis. Tiram mempunyai bentuk, tekstur, ukuran yang berbeda-beda (Gambar 2). Keadaan tersebut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

: Baku mutu air kelas I menurut Peraturan Pemerintah RI no. 82 tahun 2001 (hanya untuk Stasiun 1)

: Baku mutu air kelas I menurut Peraturan Pemerintah RI no. 82 tahun 2001 (hanya untuk Stasiun 1) LAMPIRAN 48 Lampiran 1. Hasil rata-rata pengukuran parameter fisika dan kimia perairan Way Perigi Parameter Satuan Baku Mutu Kelas I 1) Baku Mutu Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Kelas III 2) Stasiun 1

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danau Maninjau merupakan danau yang terdapat di Sumatera Barat, Kabupaten Agam. Secara geografis wilayah ini terletak pada ketinggian 461,5 m di atas permukaan laut

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemaran merupakan dampak negatif dari kegiatan pembangunan yang dilakukan selama ini. Pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang

Lebih terperinci

4. KONDISI HABITAT SIMPING

4. KONDISI HABITAT SIMPING 4. KONDISI HABITAT SIMPING Kualitas habitat merupakan tempat atau keadaan dimana simping dalam melakukan proses-proses metabolisme, pertumbuhan, sampai produksi. Proses biologi tersebut ditentukan oleh

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 21 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Situ IPB yang terletak di dalam Kampus IPB Dramaga, Bogor. Situ IPB secara geografis terletak pada koordinat 106 0 34-106 0 44 BT dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus

II. TINJAUAN PUSTAKA Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus menerus pada arah tertentu, berasal dari air tanah, air hujan dan air permukaan yang akhirnya bermuara

Lebih terperinci

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Siklus Biogeokimia 33 BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Kompetensi Dasar: Menjelaskan siklus karbon, nitrogen, oksigen, belerang dan fosfor A. Definisi Siklus Biogeokimia Siklus biogeokimia atau yang biasa disebut

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODE

BAB 2 BAHAN DAN METODE BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 pada beberapa lokasi di hilir Sungai Padang, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara. Metode yang digunakan

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG RYAN KUSUMO ADI WIBOWO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Situ Gede. Situ Gede terletak di sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor-Darmaga, Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sungai Bedagai merupakan sumberdaya alam yang dimiliki oleh Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sungai Bedagai merupakan sumberdaya alam yang dimiliki oleh Pemerintah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sungai Bedagai merupakan sumberdaya alam yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai, mengalir dari hulu di Kabupaten Simalungun dan terus mengalir ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor seperti pariwisata, industri, kegiatan rumah tangga (domestik) dan sebagainya akan meningkatkan

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup lilin untuk membentuk corak hiasannya, membentuk sebuah bidang pewarnaan. Batik merupakan salah satu kekayaan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilakukan di kawasan perairan Pulau Biawak, Kabupaten Indramayu. Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan, dimulai dari bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Aktivitas pencemaran lingkungan yang dihasilkan dari suatu kegiatan industri merupakan suatu masalah yang sangat umum dan sulit untuk dipecahkan pada saat

Lebih terperinci

LIMBAH. Pengertian Baku Mutu Lingkungan Contoh Baku Mutu Pengelompokkan Limbah Berdasarkan: 1. Jenis Senyawa 2. Wujud 3. Sumber 4.

LIMBAH. Pengertian Baku Mutu Lingkungan Contoh Baku Mutu Pengelompokkan Limbah Berdasarkan: 1. Jenis Senyawa 2. Wujud 3. Sumber 4. LIMBAH Pengertian Baku Mutu Lingkungan Contoh Baku Mutu Pengelompokkan Limbah Berdasarkan: 1. Jenis Senyawa 2. Wujud 3. Sumber 4.B3 PENGERTIAN Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 18/1999 Jo.PP 85/1999

Lebih terperinci