TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Individu Umur Tingkat Pendidikan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Individu Umur Tingkat Pendidikan"

Transkripsi

1 5 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Individu Karakteristik individu merupakan ciri-ciri yang dimiliki oleh seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dengan lingkungannya. Karakteristik tersebut terbentuk oleh faktor-faktor biologis dan sosiopsikologis. Faktor biologis meliputi genetik, sistem syaraf dan hormonal, sedangkan faktor sosiopsikologis terdiri dari komponen-komponen kognitif (intelektual), konatif (kebiasaan dan kemauan bertindak), afektif (emosional). Menurut Kotler (1980) yang dikutip oleh Zahid (1997) karakteristik individu diklasifikasikan menjadi dua yaitu karakteristik demografi dan karakteristik psikografi. Karakteristik demografi meliputi umur, jenis kelamin, ukuran keluarga, daur kehidupan keluarga, penghasilan, pekerjaan, pendidikan, agama, ras, bangsa dan tingkat sosial. Karakteristik psikografi meliputi gaya hidup dan kepribadian. Pada penelitian ini karakteristik individu karyawan yang lihat adalah umur, tingkat pendidikan, pengetahuan, pengalaman bekerja, penyuluhan yang pernah diperoleh dan tingkat pendapatan. Umur Sujarwo (2004) menyatakan bahwa umur merupakan suatau indikator umum tentang kapan suatu perubahan akan terjadi. Umur menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga terdapat keragaman tindakan berdasarkan usia yang dimiliki. Tingkat Pendidikan Pendidikan menunjukkan tingkat intelegensi yang berhubungan dengan daya pikir seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin luas pengetahuannya. Pendidikan merupakan suatu faktor yang menentukan dalam mendapatkan pengetahuan. Nasution (1987) yang dikutip oleh Garnadi (2004) mengemukakan bahwa pendidikan adalah proses pengembangan diri kepribadian seseorang yang dilaksanakan secara sadar dan penuh tanggung jawab untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap, serta nilai-nilai sehingga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

2 6 Pengalaman Bekerja Pengalaman merupakan salah satu cara kepemilikan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Secara psikologis seluruh pemikiran manusia, kepribadian dan temperamen ditentukan pengalaman indera. Pikiran dan perasaan bukan penyebab tindakan tapi oleh penyebab masa lalu (Rakhmat 2001). Azwar (2003) mengatakan bahwa apa yang dialami seseorang akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis. Pengetahuan Soekanto (2003) menyatakan pengetahuan adalah kesan yang didapatkan dari hasil pengolahan pancainderanya. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui kenyataan (fakta), penglihatan, pendengaran, serta keterlibatan langsung dalam suatu aktivitas. Pengetahuan juga didapatkan dari hasil komunikasi dengan orang lain seperti teman dekat dan relasi kerja. Pengetahuan yang tersimpan dalam ingatan ini digali saat dibutuhkan melalui bentuk ingatan mengingat (recall) atau mengenal kembali (recognition). Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa pengetahuan adalah hasil tahu yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui pancaindera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba yang sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Menurut Nasution (1999) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003) faktor-faktor yang berpengaruh dalam tingkatan pengetahuan seseorang antara lain (1) tingkat pendidikan, (2) informasi, (3) budaya, (4) pengalaman (5) sosial ekonomi, (6) pengukuran tingkat pengetahuan. Lakhan dan Sharma (2010) mendefinisikan pengetahuan adalah kemampuan untuk memperoleh, mempertahankan dan menggunakan informasi, gabungan pemahaman, ketajaman dan keterampilan. selanjutnya Walgito (2002) menyebutkan bahwa pengetahuan adalah mengenal suatu objek baru yang selanjutnya menjadi sikap terhadap objek tersebut apabila pengetahuan itu disertai 6

3 7 oleh kesiapan untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan tentang objek itu. Bila seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap suatu objek, itu berarti orang tersebut telah mengetahui tentang objek tersebut. Menurut Kibler et al. (1981) yang dikutip oleh Zahid (1997) pengetahuan adalah ingatan mengenai sesuatu yang bersifat spesifik dan umum, ingatan mengenai metode atau proses, ingatan mengenai pola, susunan atau keadaan. Jenis pengetahuan dibagi secara hierarkis kedalam (1) pengetahuan yang bersifat spesifik, (2) pengetahuan mengenai terminologi, (3) pengetahuan mengenai faktafakta tertentu, (4) pengetahuan mengenai cara-cara tertentu, (5) pengetahuan mengenai kaidah, (6) pengetahuan mengenai arah dan urutan, (7) pengetahuan mengenai klasifikasi dan kategori, (8) pengetahuan mengenai kriteria, (9) pengetahuan mengenai metoda, (10) pengetahuan mengenai pola, (11) pengetahuan mengenai prinsip dan generalisasi dan (12) pengetahuan mengenai teori dan struktur. Harihanto (2001) menyebutkan bahwa pengetahuan didapatkan seseorang melalui proses berupa penerimaan (perceiving), pemahaman (understanding), dan pemikiran (thinking). Sikap Sikap adalah suatu reaksi evaluasi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap sesuatu atau seseorang, yang ditunjukkan dalam kepercayaan, perasaan atau tindakan seseorang. Sikap ini terbentuk dari pengalaman melalui proses belajar. Proses belajar itu sendiri dapat terjadi melalui proses pengkondisian atau melalui proses belajar sosial atau karena pengalaman secara langsung (Sarwono 2002). Rahayuningsih (2008) menjabarkan bahwa sikap merupakan bagaimana individu suka atau tidak suka terhadap sesuatu yang pada akhirnya menentukan perilaku individu tersebut. Sikap menyukai cenderung mendekat, mencari tahu dan bergabung. Sementara sikap tidak menyukai cenderung menghindar atau menjauhi. Berbagai pengertian sikap dikemukakan oleh beberapa ahli seperti Sherif, Allport, dan Bem dirangkum dalam Rakhmat (2001) yaitu (1) sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi, atau nilai, (2) sikap mempunyai daya dorong dan motivasi, (3)

4 8 sikap relatif lebih menetap, (4) sikap mengandung aspek evaluatif, (5) sikap dapat timbul dari pengalaman, tidak dibawa sejak lahir tapi merupakan hasil belajar, sehingga sikap dapat diperkuat atau dirubah. Azwar (2003) mengemukakan berbagai metode dan teknik yang telah dikembangkan untuk mengungkapkan sikap manusia dan memberikan interpretasi yang valid. Pengungkapan sikap manusia dilakukan dengan beberapa metode diantaranya : a. Observasi langsung, dilakukan dengan memperhatikan perilakunya karena perilaku merupakan salah satu indikator sikap individu, namun hal ini hanya bila sikap berada pada kondisi yang ekstrim. Perilaku hanya akan konsisten dengan sikap apabila kondisi dan situasi memungkinkan. b. Penanyaan langsung, asumsi yang mendasari metode ini adalah bahwa individu merupakan orang yang paling tahu mengenai dirinya sendiri dan manusia akan mengungkapkan secara terbuka apa yang dirasakannya. c. Pengungkapan langsung, metode ini digunakan karena metode penanyaan langsung memiliki beberapa kelemahan diantaranya orang akan mengemukakan pendapat dan jawaban yang sebenarnya secara terbuka hanya apabila situasi dan kondisi memungkinkan. Metode pengungkapan langsung secara tertulis dilakukan dengan meminta responden menjawab langsung suatu pertanyaan tertulis mengenai sikap, dengan memberi tanda setuju atau tidak setuju. Azemi (2010) mengemukakan bahwa suatu sikap belum tentu terwujud secara otomatis dalam suatu tindakan. Untuk terwujudnya sikap menjadi perbuatan atau tindakan diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan. Perilaku Perilaku merupakan aplikasi peraturan dan pengetahuan yang mengarah ke tindakan atau perbuatan (Lakhan dan Sharma 2010). Sarwono (2002) mendefinisikan perilaku sebagai perbuatan manusia, baik yang terbuka (kasat indera) maupun tertutup (tak kasat indera). Proses interaksi itu sendiri terjadi pada kesadaran atau pengetahuan seseorang. Kemauan untuk mengubah perilaku ditentukan oleh persepsi dan keyakinan seseorang (Wilcock et al. 2004). 8

5 9 Suparta (2002) menyatakan bahwa dalam pendekatan interaksionis, perilaku individu secara umum dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Kondisi situasional luar mempengaruhi sikap dan selanjutnya sikap ini dapat mempengaruhi perilaku. Menurut Notoatmodjo (2007) tingkatan praktik terdiri atas empat tahapan yakni: (1) persepsi, (2) respon terpimpin (3) mekanisme, dan (4) adaptasi. Hubungan antara Karakteristik, Sikap, dan Perilaku Pengetahuan, sikap, dan perilaku menurut Notoatmodjo (2003) dan Sarwono (2002) merupakan bentuk operasional dari perilaku dimana perilaku tersebut diartikan sebagai suatu reaksi psikis seseorang terhadap lingkungannya. Reaksi ini pada hakekatnya digolongkan kedalam bentuk pasif (tanpa tindakan) dan bentuk aktif (dengan tindakan) Pendapat lain dikemukakan Gerungan (1996) yang dikutip oleh (Zahid 1997) bahwa pengetahuan mengenai suatu objek akan menjadi attitude terhadap objek tersebut apabila pengetahuan itu disertai dengan kesiapan untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan terhadap objek tersebut. Sikap memiliki motivasi dimana terdapat segi kedinamisan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sikap terbentuk karena adanya interaksi manusia dengan objek tertentu (komunikasi) serta interaksi sosial di dalam kelompok maupun di luar kelompoknya. Interaksi di luar kelompok bisa dilakukan melalui media komunikasi seperti surat kabar, radio, televisi, buku, dan majalah. Media massa juga mempunyai pengaruh besar dalam membentuk atau mengubah sikap orang banyak, namun hal ini tergantung pada isi komunikasi dan sumber komunikasi. Mar at yang dikutip oleh Garnadi (2004) menjelaskan bahwa sikap belum merupakan suatu tindakan atau action, akan tetapi masih merupakan predisposisi tingkah laku. Kesiapan dalam hal ini sebagai suatu kecenderungan potensial untuk bereaksi apabila individu dihadapkan pada stimulus yang menghendaki adanya respon. Respon evaluatif berarti bentuk respon yang dinyatakan sebagai sikap itu didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu, yang memberikan kesimpulan nilai terhadap stimulus dalam bentuk baik dan buruk, positif dan negatif, menyenangkan atau tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap sesuatu nilai apakah menolak atau menerima.

6 10 Ajzen dan Fishbein (1980) yang dikutip oleh Zahid (1997) dalam Theory of reasoned action menyatakan bahwa perilaku merupakan fungsi dari tujuan untuk melakukan perilaku itu sendiri, sedangkan tujuan perilaku sangat ditentukan oleh dua faktor yakni sikap terhadap perilaku dan tekanan sosial yang dirasakan (norma subyektif) untuk melakukan perilaku. Norma subyektif yang dimaksud merupakan peubah situsional yang mungkin merintangi pelaksanaan niat atau kehendak seseorang. Model hubungan sikap dengan perilaku dari Ajzen and Fisbein dapat dilihat pada gambar 1 Sikap terhadap tindakan Norma subjektif untuk mengambil tindakan Tujuan mengambil tindakan Perilaku mengambil tindakan Gambar 1. The Ajzen and Fishbein theory of reasoned action ( Zahid 1997) Peubah Situasional Peubah situasional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kondisi atau tekanan yang berasal dari luar individu. Dimana kondisi ini diduga sangat mempengaruhi hubungan antara sikap dan perilaku seseorang. Peubah situasional yang dilihat dalam penelitian ini adalah Prosedur operasional baku (SOP) kerja. Dan pengawasan pimpinan. SOP adalah suatu prosedur kerja yang dibuat perusahaan agar semua tahapan kegiatan berjalan sesuai standar yang diinginkan. SOP ini berlaku mutlak bagi semua karyawan sehingga semua aktifitas diharapkan berjalan sesuai prosedur yang dibuat. Pengawasan pimpinan adalah suatu intervensi baik kelihatan maupun tidak terhadap semua aspek produksi. Pengawasan pimpinan dapat berupa kehadiran pimpinan namun pengawasan juga tidak perlu berupa kehadiran fisik pimpinan, melainkan cukup rasa takut terhadap ancaman sanksi yang berlaku, jika individu tidak melakukan tindakan tersebut. Kedua Peubah ini diduga memiliki peran penting sebagai peubah situasional (faktor eksternal) yang dapat mempengaruhi kekuatan hubungan antara sikap dan 10

7 11 perilaku. Sebenarnya masih banyak peubah situasional yang dapat mempengaruhi hubungan sikap dengan perilaku, seperti pengaruh rekan sekerja, sanksi, fasilitas yang kurang mendukung, lingkungan sekitar dan lain-lain. Keamanan Pangan Menurut UU No. 7 Tahun 1996 Keamanan Pangan adalah suatu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari pencemaran agen mikroba patogen, bahan kimia-beracun dan benda asing lainnya yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia (Bahri et al.2006). Menurut WHO (2005), sekitar 75% penyakit-penyakit baru yang menyerang manusia dalam dua dasawarsa terakhir disebabkan oleh patogen-patogen yang berasal dari hewan atau produk hewan. Pangan asal hewan lebih berpotensi berbahaya dibandingkan pangan nabati karena dapat menyebabkan zoonosis pada konsumen. Sehingga aspek keamanan pangan asal hewan perlu mendapat perhatian khusus. Keamanan pangan merupakan hal yang kompleks dan berkaitan erat dengan aspek kebijakan, toksisitas, mikrobiologis, kimia, status gizi, kesehatan dan ketentraman batin. Masalah keamanan pangan bersifat dinamis seiring dengan berkembangnya peradaban manusia yang meliputi aspek sosial budaya, kesehatan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta segala sesuatu yang terkait dengan kehidupan manusia (Bahri et al.2006). Program keamanan pangan merupakan suatu langkah strategis yang perlu dilaksanakan secara terpadu untuk memberikan jaminan perlindungan bagi kesehatan masyarakat. Pengembangan keamanan pangan perlu didukung oleh riset dan teknologi dari berbagai bidang keilmuan dan kebijakan diantaranya kesehatan (medis), veteriner, pangan, peternakan dan pertanian (Bahri et al.2006). Pesatnya perubahan pasar internasional (era pasar bebas dunia) dewasa ini, memudahkan aspek keamanan pangan bukan hanya menjadi isu nasional tetapi juga merupakan isu global. Untuk menjamin kesetaraan dalam perdagangan, World Trade Organization (WTO) menetapkan standar, pedoman dan rekomendasi masalah perdagangan produk pangan yang ditetapkan oleh Komisi Gabungan FAO/WHO Codex Alimentarius Comision (CAC) (Joint FAO/WHO

8 12 Codex Alimentarius Commission) pada tahun CAC ini dibentuk untuk melindungi kesehatan masyarakat sebagai konsumen serta menjamin praktek yang jujur dan bertanggung jawab serta tidak saling merugikan dalam perdagangan pangan baik internasional maupun nasional (Erniningsih 2004). Banyak negara telah menerbitkan undang-undang atau peraturan yang terkait dengan keamanan pangan dengan mencantumkan suatu sistem yang dapat memberikan jaminan keamanan pangan bagi rakyatnya. Uni Eropa menerbitkan undang-undang tentang pangan yang disebut dengan General Principles of Food Lawin the European Union. Isinya antara lain mewajibkan produsen harus memberikan informasi secara akurat dan jujur kepada konsumen, tidak hanya kandungan nutrisi tetapi juga proses penanganan produksi dan distribusi mulai dari farm sampai ke konsumen akhir. Pada intinya Eropa mulai menerapkan prinsip jaminan keamanan from farm to table. Bahkan sejak Januari 2006, produk pangan yang dicurigai mengandung bahan berbahaya dapat langsung dimusnahkan (Murdiati 2006). Masih menurut Murdiati (2006) sejak Desember 1999 Amerika Serikat telah memberlakukan sistem jaminan mutu atau analysis critical control point (HACCP) bagi produk pangan terutama hasil ternak yang masuk pasar Amerika Serikat. Di Asia salah satu negara yang sangat ketat menerapakan jaminan mutu pangan adalah Jepang. Negara ini telah beberapa kali melakukan revisi dan telah memasukkan persyaratan sistem jaminan mutu HACCP untuk proses penanganan produksi pangan. Artinya, hanya produk pangan yang proses produksinya mengikuti sistem jaminan mutu HACCP yang dapat masuk ke pasar Jepang. Di Indonesia masalah keamanan pangan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 22 tahun 1983 tentang kesehatan masyarakat veteriner (Kesmavet). Dalam PP ini dinyatakan pentingnya pengamanan bahan pangan asal ternak serta pencegahan penularan penyakit zoonosis, serta perlunya menjaga keamanan bahan pangan asal ternak dengan melindunginya dari pencemaran dan kontaminasi serta kerusakan akibat penanganan yang kurang higienis. Selanjutnya masalah kesmavet di atur kembali dalam Undang-Undang (UU) No 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. 12

9 13 Peraturan lain yang mengatur masalah keamanan pangan adalah Undang- Undang No 7 tahun 1996 tentang pangan dan PP Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Peraturan ini menyatakan bahwa setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan kegiatan pada rantai pangan yang meliputi proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan peredaran pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi yang telah ditetapkan. Praktik Higiene Daging Higiene berasal dari bahasa Yunani yang artinya sehat atau baik untuk kesehatan. Higiene daging adalah semua kondisi dan tindakan untuk menjamin keamanan dan kelayakan daging pada semua tahap dalam rantai makanan Tujuan higiene adalah untuk menjamin agar daging tetap aman dan layak dikonsumsi untuk manusia, tanpa menimbulkan gangguan kesehatan (Lukman 2004). Kepentingan penerapan higiene dalam rantai makanan adalah (a) melindungi dan menjaga kesehatan manusia, (b) melindungi dan menjaga kesehatan hewan dan lingkungan, (c) menjamin kebersihan, (d) menghindari kerugian ekonomis, (e) menjaga kesegaran dan keutuhan makanan, serta (f) menghindari ketidak puasan konsumen. Secara umum higiene perlu juga diterapkan pada bangunan, proses/produksi dan karyawan (Lukman 2004). Pada penelitian ini praktik higiene daging difokuskan pada proses penyimpanan daging sapi impor di cold storage. Umumnya daging impor berasal dari Australia, USA, Kanada serta Selandia Baru yang masuk ke Indonesia melalui Pelabuhan Tanjung Priok dan Bandara Internasional Soekarno Hatta. Salah satu penyebab penting terjadinya kasus foodborne disease adalah suhu penyimpanan yang tidak terjaga dengan baik. Penyimpanan daging merupakan tahapan yang sangat krusial dalam tahap rantai makanan. Penerapan higiene terhadap daging selama penyimpanan di cold storage bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan pada daging dan mempertahankan kualitas daging sehingga aman untuk dikonsumsi oleh manusia. Untuk menjaga dan menjamin kualitas produk daging maka pada proses produksi dan hal-hal yang dimungkinkan dapat mempengaruhi kualitas daging harus diterapkan sistem pengendalian higiene yang ketat. Faktor Sumber daya manusia dalam hal ini perilaku higiene personal karyawan sangat berperan untuk

10 14 tercapainya praktik higiene daging selama penyimpanan di cold storage. Kontrol internal serta pengawasan dari pemerintah dalam hal ini Dinas atau yang membidangi kesehatan hewan dan kesehatan masyrakat veteriner serta instansi Karantina sangat diperlukan. Cold Storage Daging Pada industri komersial penyimpanan daging di cold storage umumnya bertujuan untuk memperpanjang masa simpan, mengubah atau meningkatkan karakteristik produk (warna, cita rasa, tekstur), mempermudah penanganan dan distribusi, memberikan lebih banyak pilihan dan ragam produk pangan di pasaran, meningkatkan nilai ekonomis bahan baku, serta mempertahankan atau meningkatkan mutu, terutama mutu gizi, daya cerna, dan ketersediaan gizi. Menurut Permentan no 20 tahun 2009 tentang pemasukan dan pengawasan peredaran karkas, daging, dan/atau jeroan dari luar negeri, setiap cold storage wajib memenuhi persyaratan yang meliputi : 1. Suhu untuk daging segar dingin (chilled) harus berkisar antara 0 sampai dengan 4 O C, 2. Daging beku antara -18 O C sampai dengan -22 O C, 3. Masa penyimpanan daging beku (frozen) dalam peredaran tidak lebih dari 8 bulan dengan suhu internal daging paling kurang Masa penyimpanan jeroan beku (frozen) dalam peredaran tidak lebih dari 6 bulan dengan suhu internal paling kurang -18 C. Pengawasan terhadap penerapan higiene dan sanitasi daging di cold storage dilakukan oleh Dinas provinsi yang membidangi kesmavet. Setiap cold storage yang telah diaudit dan dinyatakan memenuhi persyaratan higiene akan diberi sertifikat nomor kontrol veteriner (NKV). Perusahaan pengimpor daging harus memiliki NKV dimana ini merupakan Persyaratan NKV ini menjadi syarat utama untuk memperoleh rekomendasi sebagai Instalasi Karantina Produk Hewan (IKPH) dari Badan Karantina Pertanian. Pedoman persyaratan teknis IKPH ini diatur dalam Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 499 tahun O O C, 14

11 15 Gambar 2 Petugas Karantina memeriksa daging impor di Pelabuhan Tanjung Priok. Menurut Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) Nomor 381 tahun 2005 tentang Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner Unit Usaha Panga Asal Hewan, penerapan higiene dan sanitasi pada cold storage meliputi : (1) bangunan fisik cold storage, (2) penyediaan peralatan, (3) kebersihan dan sanitasi, (4) program pengendalian hama, (5) higiene karyawan, (6) pemantauan oleh manajemen, (7) penanganan daging mulai dari penerimaan, pemeriksaan laboratorium, dan penyimpanan daging di cold storage. Bangunan, Fasilitas, dan Peralatan Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor : 50 tahun 2011 tentang Persetujuan Pemasukan Daging, Karkas, Jeroan dan/atau Olahannya ke dalam wilayah Republik Indonesia, setiap unit usaha yang bergerak dibidang importasi daging wajib memiliki gudang penyimpanan beku atau cold storage. Bangunan cold storage secara umum harus bersifat permanen yang bentuknya dapat berupa gudang ataupun kontainer yang didesain khusus sehingga layak digunakan untuk penyimpanan. Selain ruang penyimpanan, bangunan harus memiliki ruang yang cukup dan leluasa untuk bekerja. Dinding bagian dalam terbuat dari bahan yang tidak toksik serta mudah dibersihkan. Pintu cold storage harus memiliki tirai plastik untuk menjaga kestabilan suhu bagian dalam cold storage selama pemasukan dan pengeluaran barang (Deptan 2005).

12 16 Gambar 3 Cold storage daging impor. Bangunan dalam yang merupakan ruang penyimpanan harus dilengkapi rakrak penyimpanan dan palet. Bangunan juga harus dilengkapi kamar mandi/toilet, fasilitas cuci tangan (wastafel), tepat sampah tertutup. Selain itu, bangunan juga harus memiliki sumber listrik yang memadai. Jika menggunakan sumber listrik PLN, seyogyannya disediakan genset sehingga apabila listrik padam, alat pendingin atau pembeku daging tetap berfungsi baik (Deptan 2005). Kebersihan dan Sanitasi Bangunan, fasilitas dan peralatan cold storage harus selalu dalam keadaan baik, bersih dan terawat. Penyimpanan daging hanya dapat dilakukan bila ruangan benar-benar bersih. Peralatan dan ruangan harus mempunyai jadwal pembersihan yang teratur dan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Bahan pembersih atau desinfektan yang digunakan harus memenuhi persyaratan dan penggunaannya harus mengikuti tata cara yang ditentukan (Deptan 2005). Adapun tata cara pembersihan cold storage menurut Barantan (2008) sebagai berikut : 1. Bersihkan semua sampah di dalam ruangan pendingin 2. Bersihkan pallets dan tempat penyimpanan/kontainer setiap 4 bulan sekali 3. Jika ruangan kosong maka bersihkan lantai dan dinding dengan diterjen dan air panas, bilas dengan air bersih dan spray dengan larutan yang mengandung chlorine aktif 0,3%. 4. Desinfeksi ruangan chilling storage selama 48 jam tidak kurang 2 tahun sekali dan ruangan produk beku ketika kosong 16

13 17 5. Sebelum menyimpan produk hewan dalam ruang penyimpanan, bersihkan bau ruangan dengan mengatur ventilasi dan spray. 6. Alat angkut dibersihkan dengan desinfektans setiap hari Penyimpanan Daging Penyimpanan daging merupakan salah satu tahapan paling kristis dalam proses rantai dingin makanan. Penyimpanan dingin atau beku bertujuan untuk memperpanjang masa simpan daging tanpa mengurangi kualitasnya. Sebelum daging masuk ke ruang penyimpanan, daging harus diperiksa terlebih dahulu, dan dipastikan daging dalam kondisi baik. Penyimpanan daging harus dipisahkan menurut jenis, kemasan dan suhu penyimpanan. Khusus daging babi harus disimpan pada cold storage yang terpisah untuk memastikan kehalalan daging (Deptan 2005). Kondisi dan masa simpan produk hewan disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Kondisi suhu dan masa simpan produk hewan (Barantan 2008) Produk Masa simpan -1 to 0 C -1,5 to 0 C -18 C -25 C -30 C Daging Sapi mgg 12 bln 18 bln 24 bln Daging Kambing 2 mgg - 9 bln 12 bln 24 bln Daging Babi - 2 mgg 6 bln 12 bln 15 bln Veal 1-3 mgg - 9 bln 12 bln 25 bln Daging Ayam 7-10 mgg 12 bln 24 bln 24 bln Daging Kelinci 1 mgg Roasts, steaks, packaged bln 18 bln 24 bln Ground meat, packaged bln >12 bln >12 bln (unsalted) Roast chops bln 12 bln 12 bln Ground sausage bln 10 bln Bacoon (green, bln 6 bln 12 bln unsmoked) Lard bln 12 bln 12 bln Fried Chicken bln 9 bln 12 bln Offal, edible bln - - Daging harus disimpan di rak-rak penyimpanan agar suhu terdistribusi merata. Bila rak penyimpanan penuh, daging dapat disimpan pada lantai dengan alas pallet. Sistem penyimpanan harus menggunakan first in first out (FIFO) dimana daging yang masuk pertama harus dikeluarkan terlebih dahulu. Hal ini untuk mencegah daging disimpan terlalu lama. (Deptan 2005). Higiene Personal Karyawan Cold Storage

14 18 Karyawan merupakan salah satu elemen terpenting dalam praktik higiene di cold storage. Tujuan higiene personal adalah untuk menjamin bahwa orang yang berhubungan langsung atau tidak langsung melalui tubuhnya tidak mencemari bahan makanan, berperilaku dan bekerja sesuai aturan serta diharapkan pekerja yang sakit atau diduga sakit tidak ikut melakukan penanganan daging.(lukman 2004). Menurut Deptan (2005) higiene karyawan meliputi : 1. Karyawan memiliki dan melaksanakan program pelatihan tentang penanganan higienis bagi seluruh karyawan. Pelatihan ini harus dilakukan secara berkala dan berkesinambungan. 2. Setiap karyawan yang menangani langsung daging harus benar-benar sehat, tidak memiliki luka infeksi,tidak menderita diare atau radang serta tidak membawa agen penyakit yang dapat ditularkan melalui daging. 3. Karyawan dan setiap orang yang bekerja pada cold storage harus memakai pakaian khusus yang bersih. 4. Semua karyawan harus diperiksa secara rutin kesehatannya minimum satu satu kali dalam setahun 5. Setiap karyawan harus senantiasa menjaga kebersihan diri, pakaian dan perlengkapannya. 6. Selama bekerja karyawan dilarang makan, merokok, meludah atau membuang ingus di sembarang tempat (harus dilakukan dikamar mandi). Pengendalian Hama Program pengendalian hama harus dimiliki oleh setiap unit cold storage. Hal ini bertujuan agar hama tidak mencemari daging, peralatan dan fasilitas lainnya. Pemakain pestisida ataupun desinfektan untuk membasmi serangga, burung, rodensia atau hama lainnya sedapat mungkin dihindari. Bila terpaksa digunakan, bahan tersebut harus memenuhi persyaratan dan tidak boleh kontak langsung dengan karkas, daging atau kemasan (Deptan 2005). 18

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Cold Storage Karakteristik individu yang diamati dalam penelitian ini meliputi (1) umur, (2) tingkat pendidikan, (3) pengalaman dalam bekerja, (4) tingkat pengetahuan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan Menurut Walgito (2002), pengetahuan (knowledge) adalah mengenal suatu obyek baru yang selanjutnya menjadi sikap terhadap obyek tersebut apabila pengetahuan itu disertai

Lebih terperinci

II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN. A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN. A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam BAB XA mengenai Hak Asasi Manusia pada pasal

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sikap Sikap terkait praktik higiene daging. Peubah Situasional SOP Pengawasan pimpinan. Gambar 4 Kerangka konsep penelitian

METODE PENELITIAN. Sikap Sikap terkait praktik higiene daging. Peubah Situasional SOP Pengawasan pimpinan. Gambar 4 Kerangka konsep penelitian 19 METODE PENELITIAN Kerangka Konsep Penelitian Terdapat beberapa peubah yang akan diamati pada penelitian ini yaitu karakteristik individu (umur, pendidikan, pengetahuan, pengalaman kerja, pelatihan dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Tempat Penjualan Daging Ayam Sampel daging ayam yang diteliti diperoleh dari pasar-pasar di Kota Tangerang Selatan. Selama pengambilan kuisioner terdapat 24 pedagang

Lebih terperinci

PERANAN NOMOR KONTROL VETERINER (NKV) SEBAGAI PERSYARATAN DASAR UNTUK PRODUKSI PANGAN HEWANI YANG AMAN, SEHAT, UTUH DAN HALAL (ASUH)**

PERANAN NOMOR KONTROL VETERINER (NKV) SEBAGAI PERSYARATAN DASAR UNTUK PRODUKSI PANGAN HEWANI YANG AMAN, SEHAT, UTUH DAN HALAL (ASUH)** PERANAN NOMOR KONTROL VETERINER (NKV) SEBAGAI PERSYARATAN DASAR UNTUK PRODUKSI PANGAN HEWANI YANG AMAN, SEHAT, UTUH DAN HALAL (ASUH)** Oleh : Dr.drh. I Wayan Suardana, MSi* *Dosen Bagan Kesmavet Fakultas

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65/Permentan/PD.410/5/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65/Permentan/PD.410/5/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65/Permentan/PD.410/5/2014 TENTANG TINDAKAN KARANTINA HEWAN TERHADAP PEMASUKAN DAN PENGELUARAN HASIL BAHAN ASAL HEWAN KONSUMSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Analisa Mikroorganisme

Analisa Mikroorganisme 19 Analisa Mikroorganisme Pemeriksaan awal terhadap 36 sampel daging ayam dan 24 sampel daging sapi adalah pemeriksaan jumlah mikroorganisme. Hasil yang diperoleh untuk rataan jumlah mikroorganisme daging

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perdagangan global, tidak dapat dipungkiri bahwa lalu lintas barang semakin terbuka, sehingga memungkinkan tidak adanya batasan negara dalam lalu lintas

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : karakteristik, sikap dan perilaku karyawan cold storage, praktik higiene daging

ABSTRAK. Kata kunci : karakteristik, sikap dan perilaku karyawan cold storage, praktik higiene daging ABSTRAK DONNI MUKSYDAYAN. Karakteristik, Sikap dan Perilaku Karyawan Cold Storage terkait Praktik Higiene Daging. Dibimbing oleh DENNY W LUKMAN dan ABDUL ZAHID Penyimpanan daging di cold storage merupakan

Lebih terperinci

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK Pada umumnya sumber pangan asal ternak dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) macam, yaitu berupa daging (terdiri dari berbagai spesies hewan yang lazim dimanfaatkan

Lebih terperinci

b. bahwa pengawasan dan tindakan karantina terhadap

b. bahwa pengawasan dan tindakan karantina terhadap KEPUTUSAN KEPALA BADAN KARANTINA PERTANIAN Nomor : 499.a/Kpts/PD.670.210/L/12/2008 TENTANG PEDOMAN PERSYARATAN TEKNIS INSTALASI KARANTINA HEWAN UNTUK PRODUK HEWAN PANGAN (DAGING, KARKAS DAN JEROAN) DENGAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Instalasi Karantina Hewan

TINJAUAN PUSTAKA Instalasi Karantina Hewan TINJAUAN PUSTAKA Instalasi Karantina Hewan Instalasi karantina hewan (IKH) adalah bangunan berikut peralatan, lahan dan sarana pendukung lainnya yang diperlukan sebagai tempat pelaksanaan tindakan karantina

Lebih terperinci

Regulasi sanitasi Industri Pangan

Regulasi sanitasi Industri Pangan Regulasi sanitasi Industri Pangan Nur Hidayat Regulasi Undang Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang : Pangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang: Keamanan, Mutu Dan Gizi Pangan

Lebih terperinci

2 ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Meskipun sebenarnya telah diterapkan suatu program manajemen mutu terpadu berdasarkan prinsip hazard analysis crit

2 ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Meskipun sebenarnya telah diterapkan suatu program manajemen mutu terpadu berdasarkan prinsip hazard analysis crit TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LINGKUNGAN HIDUP. Perikanan. Hasil. Jaminan Mutu. Keamanan. Sistem. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 181). PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

KEAMANAN PANGAN PRODUK PETERNAKAN DITINJAU DARI ASPEK PASCA PANEN: PERMASALAHAN DAN SOLUSI (ULASAN)

KEAMANAN PANGAN PRODUK PETERNAKAN DITINJAU DARI ASPEK PASCA PANEN: PERMASALAHAN DAN SOLUSI (ULASAN) KEAMANAN PANGAN PRODUK PETERNAKAN DITINJAU DARI ASPEK PASCA PANEN: PERMASALAHAN DAN SOLUSI (ULASAN) TANTAN R. WIRADARYA Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Pangan produk peternakan yang

Lebih terperinci

TEKNIK PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

TEKNIK PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN TEKNIK PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN BAB XV PENGENDALIAN MUTU SELAMA PROSES KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai pembangunan sesuai dengan yang telah digariskan dalam propenas. Pembangunan yang dilaksakan pada hakekatnya

Lebih terperinci

Pujianto, SE DINAS PERINKOP DAN UMKM KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2015

Pujianto, SE DINAS PERINKOP DAN UMKM KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2015 Pujianto, SE DINAS PERINKOP DAN UMKM KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2015 APA ITU CPPOB? adalah cara produksi yang memperhatikan aspek keamanan pangan, antara lain dengan cara : a. mencegah tercemarnya pangan

Lebih terperinci

MENERAPKAN HIGIENE SANITASI

MENERAPKAN HIGIENE SANITASI BAHAN AJAR PELATIHAN JURU SEMBELIH HALAL KODE UNIT KOMPETENSI : A. 016200.006.01 MENERAPKAN HIGIENE SANITASI BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN PUSAT PELATIHAN PERTANIAN 2015 1 DAFTAR ISI

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 65 TAHUN 2014 TENTANG PEMOTONGAN HEWAN RUMINANSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan mendasar manusia dalam bertahan hidup adalah adanya pangan. Pangan merupakan sumber zat gizi (karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan air) menjadi

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PROSEDUR DAN LEMBAR KERJA

PENGEMBANGAN PROSEDUR DAN LEMBAR KERJA PENGEMBANGAN PROSEDUR DAN LEMBAR KERJA BAHAYA BIOLOGIS BAHAYA KIMIA AMANKAN PANGAN dan BEBASKAN PRODUK dari BAHAN BERBAHAYA BAHAYA FISIK BEBAS BAHAYA Direktorat Surveilan dan Penyuluhan 1 PROSEDUR Direktorat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

X. STRATEGI MENGHASILKAN PANGAN ASAL TERNAK YANG AMAN

X. STRATEGI MENGHASILKAN PANGAN ASAL TERNAK YANG AMAN X. STRATEGI MENGHASILKAN PANGAN ASAL TERNAK YANG AMAN A. Penguatan Aspek Kelembagaan Keamanan Pangan Asal Ternak Kelembagaan yang paling berkepentingan dalam mewujudkan keamanan pangan asal ternak di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (CPOB). Hal ini didasarkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (CPOB). Hal ini didasarkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Industri farmasi diwajibkan menerapkan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Hal ini didasarkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI. No.43/MENKES/SK/II/1988 tentang CPOB dan Keputusan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkarantinaan hewan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan

II. TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keamanan Pangan Keamanan pangan merupakan kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

*37679 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 82 TAHUN 2000 (82/2000) TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*37679 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 82 TAHUN 2000 (82/2000) TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 82/2000, KARANTINA HEWAN *37679 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 82 TAHUN 2000 (82/2000) TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

g. Pemeliharaan dan Program Higiene Sanitasi

g. Pemeliharaan dan Program Higiene Sanitasi g. Pemeliharaan dan Program Higiene Sanitasi Fokus Menghindari Pencemaran dan Penurunan Mutu Produk Pemeliharaan dan Pembersihan Prosedur Pembersihan dan Sanitasi Program Pengendalian Hama (Mencegah, Pemasangan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG RGS Mitra Page 1 of 11 PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2004 TENTANG PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN KOMODITAS HASIL PERTANIAN DI PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. higiene sanitasi di perusahaan dan konsep HACCP yang telah diteliti pada tahap

BAB V PEMBAHASAN. higiene sanitasi di perusahaan dan konsep HACCP yang telah diteliti pada tahap digilib.uns.ac.id BAB V PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai penyelenggaraan kantin, faktor higiene sanitasi di perusahaan dan konsep HACCP yang telah diteliti pada tahap penyajian makanan,

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGAMANAN PANGAN ASAL HEWAN

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGAMANAN PANGAN ASAL HEWAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGAMANAN PANGAN ASAL HEWAN ETTY WURYANINGSIH Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian PENDAHULUAN Dalam era globalisasi,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL P

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL P LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.181, 2015 LINGKUNGAN HIDUP. Perikanan. Hasil. Jaminan Mutu. Keamanan. Sistem. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5726). PERATURAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.214, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Peternakan. Kesehatan. Veteriner. Hewan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5356) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting bagi masyarakat dunia. Diperkirakan konsumsi ikan secara global

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting bagi masyarakat dunia. Diperkirakan konsumsi ikan secara global BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengolahan hasil perikanan memegang peranan penting dalam kegiatan pascapanen, sebab ikan merupakan komoditi yang sifatnya mudah rusak dan membusuk, di samping itu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG KEAMANAN, MUTU DAN GIZI PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG KEAMANAN, MUTU DAN GIZI PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG KEAMANAN, MUTU DAN GIZI PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pangan yang aman,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Jaminan Mutu Pangan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Jaminan Mutu Pangan. No.81, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Jaminan Mutu Pangan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 20/Permentan/OT.140/2/2010 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU PANGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.82, 2010 Kementerian Pertanian. Babi. Produknya. Pemasukan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.82, 2010 Kementerian Pertanian. Babi. Produknya. Pemasukan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.82, 2010 Kementerian Pertanian. Babi. Produknya. Pemasukan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/Permentan/OT.140/2.2010/ TENTANG PEMASUKAN HEWAN

Lebih terperinci

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG RUMAH POTONG UNGGAS

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG RUMAH POTONG UNGGAS WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG RUMAH POTONG UNGGAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR.../PERMEN-KP/2017 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PENERBITAN SERTIFIKAT CARA PENANGANAN IKAN YANG BAIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT

GUBERNUR SUMATERA BARAT GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PANGAN SEGAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Produksi Daging Unggas yang Sehat dan Higienis

Produksi Daging Unggas yang Sehat dan Higienis Produksi Daging Unggas yang Sehat dan Higienis Pasar merupakan tempat bertemunya para penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi jual beli. Secara umum berdasarkan kelas mutu pelayanan terbagi menjadi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.842, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Keamanan Pangan. Pengawasan Pemasukan. Pangan Segar. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 88/Permentan/PP.340/12/2011

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 381/Kpts/OT.140/10/2005 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 381/Kpts/OT.140/10/2005 TENTANG MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 381/Kpts/OT.140/10/2005 TENTANG PEDOMAN SERTIFIKASI KONTROL VETERINER UNIT USAHA PANGAN ASAL HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Rekomendasi nasional kode praktis - Prinsip umum higiene pangan

Rekomendasi nasional kode praktis - Prinsip umum higiene pangan Standar Nasional Indonesia Rekomendasi nasional kode praktis - Prinsip umum higiene pangan (CAC/RCP 1-1969, Rev. 4-2003, IDT) ICS 67.020 Badan Standardisasi Nasional Hak cipta dilindungi undang-undang.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi PENDAHULUAN Latar Belakang Keanekaragaman sumber daya hayati merupakan modal dasar dan faktor dominan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Seiring dengan perkembangan ekonomi, perdagangan dan teknologi

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 038 TAHUN 2016

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 038 TAHUN 2016 PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 038 TAHUN 2016 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN SEGAR HASIL PERTANIAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Dari segi kepentingan nasional, sektor peternakan memerlukan penanganan dengan seksama karena dapat memenuhi kebutuhan protein hewani, gizi masyarakat, membuka lapangan kerja,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 20/Permentan/OT.140/2/2010 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU PANGAN HASIL PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 20/Permentan/OT.140/2/2010 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU PANGAN HASIL PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 20/Permentan/OT.140/2/2010 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU PANGAN HASIL PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dikonsumsi. Maka dari itu, dalam hal ini higienitas sangat berperan penting

BAB I PENDAHULUAN. untuk dikonsumsi. Maka dari itu, dalam hal ini higienitas sangat berperan penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Makanan yang bergizi sangat penting untuk kebutuhan tubuh tetapi makanan yang aman atau terjamin mutunya juga sangat penting agar tidak merusak tubuh karena penularan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengharapkan produk pangan yang lebih mudah disiapkan, mengandung nilai

I. PENDAHULUAN. mengharapkan produk pangan yang lebih mudah disiapkan, mengandung nilai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsumen masa kini lebih cerdas dan lebih menuntut, mereka mengharapkan produk pangan yang lebih mudah disiapkan, mengandung nilai gizi yang tinggi, harga terjangkau, rasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik sebagai media pertumbuhan

Lebih terperinci

HANS PUTRA KELANA F

HANS PUTRA KELANA F KAJIAN SISTEM MANAJEMEN TERPADU (ISO 9001:2000 DAN ISO 22000:2005) DI PERUSAHAAN GULA RAFINASI MELALUI MAGANG DI PERUSAHAAN JASA KONSULTASI, PREMYSIS CONSULTING, JAKARTA HANS PUTRA KELANA F24104051 2009

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bila dikonsumsi akan menyebabkan penyakit bawaan makanan atau foodborne

BAB 1 PENDAHULUAN. bila dikonsumsi akan menyebabkan penyakit bawaan makanan atau foodborne BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebersihan makanan dan minuman sangatlah penting karena berkaitan dengan kondisi tubuh manusia. Apabila makanan dan minuman yang dikonsumsi tidak terjaga kebersihannya

Lebih terperinci

TATA CARA PEMERIKSAAN SARANA PRODUKSI PANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA

TATA CARA PEMERIKSAAN SARANA PRODUKSI PANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA 5 LAMPIRAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.03.1.23.04.12.2207 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN SARANA PRODUKSI PANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA TATA CARA

Lebih terperinci

BAB III METODE PELAKSANAAN

BAB III METODE PELAKSANAAN A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan BAB III METODE PELAKSANAAN Kegiatan penelitian Tugas Akhir ini dilaksanakan mulai bulan Maret - Juni 2016 di UKM tahu bakso EQ di Perumahan Singkil Rt 02 Rw 05, Singkil,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 381/Kpts/OT.140/10/2005 TENTANG PEDOMAN SERTIFIKASI KONTROL VETERINER UNIT USAHA PANGAN ASAL HEWAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 381/Kpts/OT.140/10/2005 TENTANG PEDOMAN SERTIFIKASI KONTROL VETERINER UNIT USAHA PANGAN ASAL HEWAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 381/Kpts/OT.140/10/2005 TENTANG PEDOMAN SERTIFIKASI KONTROL VETERINER UNIT USAHA PANGAN ASAL HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

Berbagai Teori Tentang Sikap dan Perilaku Menurut Beberapa Referensi

Berbagai Teori Tentang Sikap dan Perilaku Menurut Beberapa Referensi Berbagai Teori Tentang Sikap dan Perilaku Menurut Beberapa Referensi Pengertian perilaku Menurut Green dan Kreuter (2000), perilaku merupakan hasil dari seluruh pengalaman serta interaksi manusia dengan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan, dan keturunan. Berdasarkan ke empat faktor tersebut, di negara yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan, dan keturunan. Berdasarkan ke empat faktor tersebut, di negara yang BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Blum yang dikutip oleh Notoadmodjo (2007), bahwa derajat kesehatan dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor yaitu : lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan, dan

Lebih terperinci

BAB IV KURSUS HIGIENE SANITASI MAKANAN

BAB IV KURSUS HIGIENE SANITASI MAKANAN - 18 - BAB IV KURSUS HIGIENE SANITASI MAKANAN A. PENYELENGGARAAN 1. Peserta, Penyelenggara, Penanggung Jawab dan Pembina Teknis a. Peserta pelatihan adalah setiap orang dan/atau pengusaha/pemilik/penanggung

Lebih terperinci

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN 2012 DAFTAR ISI 1. Apa Kandungan gizi dalam Daging ayam? 2. Bagaimana ciri-ciri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Kandungan Gizi dan Vitamin pada Ikan Layur

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Kandungan Gizi dan Vitamin pada Ikan Layur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan layur (Trichiurus sp.) adalah salah satu jenis ikan demersal ekonomis penting yang banyak tersebar dan tertangkap di perairan Indonesia terutama di perairan Palabuhanratu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh globalisasi perdagangan pangan sudah mulai meluas ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh globalisasi perdagangan pangan sudah mulai meluas ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pengaruh globalisasi perdagangan pangan sudah mulai meluas ke berbagai negara termasuk Indonesia. Ditinjau dari aspek keamanan pangan, globalisasi tersebut dapat memperbesar

Lebih terperinci

REGULASI PEMERINTAH TERHADAP RANTAI PASOK DAGING SAPI BEKU

REGULASI PEMERINTAH TERHADAP RANTAI PASOK DAGING SAPI BEKU REGULASI PEMERINTAH TERHADAP RANTAI PASOK DAGING SAPI BEKU Disampaikan Oleh : Ir. Fini Murfiani,MSi Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Setiap masyarakat selalu mengembangkan suatu sistem dalam

BAB II LANDASAN TEORI. Setiap masyarakat selalu mengembangkan suatu sistem dalam BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Perilaku Konsumen Setiap masyarakat selalu mengembangkan suatu sistem dalam memproduksi dan meyalurkan barang-barang dan jasa. Dalam masyarakat industri yang sudah maju, seperti

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP.18/MEN/2003 T E N T A N G

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP.18/MEN/2003 T E N T A N G KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR: KEP.18/MEN/2003 T E N T A N G TINDAKAN KARANTINA UNTUK PEMASUKAN MEDIA PEMBAWA HAMA DAN PENYAKIT IKAN KARANTINA DARI LUAR NEGERI DAN DARI SUATU AREA KE AREA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengetahuan (Knowledge) Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan sesuai dengan yang telah digariskan dalam propenas. Pembangunan

I. PENDAHULUAN. pembangunan sesuai dengan yang telah digariskan dalam propenas. Pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai pembangunan sesuai dengan yang telah digariskan dalam propenas. Pembangunan yang dilaksakan pada hakekatnya

Lebih terperinci

LAPORAN KINERJA 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

LAPORAN KINERJA 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi

Lebih terperinci

LEMBAR KUESIONER UNTUK PENJAMAH MAKANAN LAPAS KELAS IIA BINJAI. Jenis Kelamin : 1.Laki-laki 2. Perempuan

LEMBAR KUESIONER UNTUK PENJAMAH MAKANAN LAPAS KELAS IIA BINJAI. Jenis Kelamin : 1.Laki-laki 2. Perempuan LAMPIRAN 1 LEMBAR KUESIONER UNTUK PENJAMAH MAKANAN LAPAS KELAS IIA BINJAI A. IDENTITAS PEKERJA Nama Alamat Usia :... :... :. Tahun Jenis Kelamin : 1.Laki-laki 2. Perempuan Status Perkawinan : 1.Kawin 2.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup manusia yang harus dicapai, untuk itu diperlukan upaya-upaya dalam mengatasi masalah kesehatan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsumen dan Perilaku Konsumen Konsumen adalah orang yang melakukan tindakan menghabiskan nilai barang dan jasa setelah mengeluarkan sejumlah

Lebih terperinci

Pengembangan Kelembagaan Pangan di Indonesia Pasca Revisi Undang-Undang Pangan. Ir. E. Herman Khaeron, M.Si. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI

Pengembangan Kelembagaan Pangan di Indonesia Pasca Revisi Undang-Undang Pangan. Ir. E. Herman Khaeron, M.Si. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Pengembangan Kelembagaan Pangan di Indonesia Pasca Revisi Undang-Undang Pangan Ir. E. Herman Khaeron, M.Si. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI KEBIJAKAN PANGAN INDONESIA Kebijakan pangan merupakan prioritas

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.15/MEN/2011 TENTANG PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN YANG MASUK KE DALAM WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 63/Permentan/OT.140/5/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 63/Permentan/OT.140/5/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 63/Permentan/OT.140/5/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 50/Permentan/OT.140/9/2011 TENTANG REKOMENDASI PERSETUJUAN PEMASUKAN KARKAS, DAGING,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Larangan. Hewan Babi. Pencabutan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Larangan. Hewan Babi. Pencabutan. No.209,2010 BERITA NEGARA KEMENTERIAN PERDAGANGAN. Larangan. Hewan Babi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR : 05/M-DAG/PER/2/2010 TENTANG PENCABUTAN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN NOMOR 16/M-DAG/PER/5/2009

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA KEAMANAN PANGAN (STUDI TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN MAKANAN SIAP SAJI DI WILAYAH HUKUM SURAKARTA) SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melaksanakan Tugas dan Syarat Guna Mencapai Derajat Sarjana

Lebih terperinci

GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF 1 GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BENGKULU, Menimbang : a.

Lebih terperinci

FORMULIR PEMERIKSAAN SARANA PRODUKSI PANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA. Kabupaten / Kota Propinsi Nomor P-IRT. Penanggungjawab :

FORMULIR PEMERIKSAAN SARANA PRODUKSI PANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA. Kabupaten / Kota Propinsi Nomor P-IRT. Penanggungjawab : Sub Lampiran 1 FORMULIR PEMERIKSAAN SARANA PRODUKSI PANGAN INDUSTRI RUMAH TANGGA Nama dan alamat fasilitas yang diperiksa Kabupaten / Kota Propinsi Nomor P-IRT Pemilik Fasilitas (Perusahaan atau Perorangan)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Saat ini, dunia memasuki era globalisasi yang berdampak terhadap sistem perdagangan internasional yang bebas dan lebih terbuka. Keadaan ini memberi peluang sekaligus tantangan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PEMOTONGAN HEWAN, PENGANGKUTAN DAN PENJUALAN DAGING DALAM WILAYAH KOTA PONTIANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN xxix HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel daging ayam beku yang diambil sebagai bahan penelitian berasal dari daerah DKI Jakarta sebanyak 16 sampel, 11 sampel dari Bekasi, 8 sampel dari Bogor, dan 18 sampel dari

Lebih terperinci

sebagai vector/ agen penyakit yang ditularkan melalui makanan (food and milk

sebagai vector/ agen penyakit yang ditularkan melalui makanan (food and milk BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal.

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action) Icek Ajzen dan Martin Fishbein bergabung untuk mengeksplorasi cara untuk memprediksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan itu harus memenuhi syarat-syarat bagi kesehatan hidup manusia.

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan itu harus memenuhi syarat-syarat bagi kesehatan hidup manusia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Makanan merupakan suatu kebutuhan pokok manusia, dimana persyaratan itu harus memenuhi syarat-syarat bagi kesehatan hidup manusia. Syarat-syarat makanan yang baik diantaranya

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN JAMINAN PANGAN AMAN DAN HALAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkarantinaan hewan

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Makanan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk bertahan hidup. Makanan yang dibutuhkan harus sehat dalam arti memiliki nilai gizi optimal seperti vitamin, mineral,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 88/Permentan/PP.340/12/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 88/Permentan/PP.340/12/2011 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 88/Permentan/PP.340/12/2011 TENTANG PENGAWASAN KEAMANAN PANGAN TERHADAP PEMASUKAN DAN PENGELUARAN PANGAN SEGAR ASAL TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

Keberadaan mikroorganisme patogen pada makanan umumnya tidak menyebabkan perubahan fisik

Keberadaan mikroorganisme patogen pada makanan umumnya tidak menyebabkan perubahan fisik Prerequisite Program #7 Pencegahan Kontaminasi Silang Pencegahan, pengendalian, deteksi kontaminasi; kontaminasi mikrobiologik, fisik, dan kimiawi Bahaya biologis: cacing, protozos, bakteri, cendawan/fungi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 965/MENKES/SK/XI/1992 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 965/MENKES/SK/XI/1992 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR : 965/MENKES/SK/XI/1992 TENTANG CARA PRODUKSI KOSMETIKA YANG BAIK MENTERI KESEHATAN, Menimbang : a. bahwa langkah utama untuk menjamin keamanan kosmetika adalah penerapan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. termasuk makanan dari jasaboga. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik

BAB 1 PENDAHULUAN. termasuk makanan dari jasaboga. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningkatnya pendapatan masyarakat dan meningkatnya kegiatan pekerjaan di luar rumah, akan meningkatkan kebutuhan jasa pelayanan makanan terolah termasuk makanan dari

Lebih terperinci

EVALUASI KEGIATAN DIREKTORAT KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER TAHUN 2017 & RENCANA KEGIATAN TAHUN 2018 RAKONTEKNAS II SURABAYA, 12 NOVEMBER 2017

EVALUASI KEGIATAN DIREKTORAT KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER TAHUN 2017 & RENCANA KEGIATAN TAHUN 2018 RAKONTEKNAS II SURABAYA, 12 NOVEMBER 2017 EVALUASI KEGIATAN DIREKTORAT KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER TAHUN 2017 & RENCANA KEGIATAN TAHUN 2018 RAKONTEKNAS II SURABAYA, 12 NOVEMBER 2017 Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner Direktorat Jenderal

Lebih terperinci