ASPEK TEKNIS DAN KELAYAKAN EKONOMIS PEMANFAATAN KAYU SEBAGAI BAHAN BAHAN BAKAR SUBSITUSI DI PABRIK SEMEN : STUDI KASUS DI PT.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ASPEK TEKNIS DAN KELAYAKAN EKONOMIS PEMANFAATAN KAYU SEBAGAI BAHAN BAHAN BAKAR SUBSITUSI DI PABRIK SEMEN : STUDI KASUS DI PT."

Transkripsi

1 ASPEK TEKNIS DAN KELAYAKAN EKONOMIS PEMANFAATAN KAYU SEBAGAI BAHAN BAHAN BAKAR SUBSITUSI DI PABRIK SEMEN : STUDI KASUS DI PT. HOLCIM NAROGONG TEKAT DWI CAHYONO PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN S E K O L A H P A S C A S A R J A N A INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 ASPEK TEKNIS DAN KELAYAKAN EKONOMIS PEMANFAATAN KAYU SEBAGAI BAHAN BAHAN BAKAR SUBSITUSI DI PABRIK SEMEN : STUDI KASUS DI PT. HOLCIM NAROGONG TEKAT DWI CAHYONO Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN S E K O L A H P A S C A S A R J A N A INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Aspek Teknis dan Kelayakan Ekonomis Pemanfaatan Kayu sebagai Bahan Bakar Substitusi di Pabrik Semen : Studi Kasus di PT. Holcim Narogong adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Maret 2008 Tekat Dwi Cahyono E

4 SUMMARY Tekat Dwi Cahyono. E Technique Aspects and Economic Feasibility of Wood Utilization as Alternative Fuel at Cement Factory : Case Study at PT. Holcim Narogong Plant. Advisors: Zahrial Coto, Fauzi Febrianto. Coal is by far the main energy source for most industry in Indonesia. As one of the world nations with highest coal resources, Indonesia possesses coal deposit about 36,3 billion ton. There is only 7,6 billion ton of that number as reserve stock which almost 58,5% of it is young coal (lignite). The usage of young coal (lignite) as energy source has some disadvantages, due to its low heating value in burning process, and it also has high sulfur and moisture content. Moreover, the coal price, both domestic and international, is fluctuating, and has tendency to upraise too. PT. Holcim Indonesia (former name was PT. Semen Cibinong), is founded in 1971 and perform mining activity ever since. It is the biggest mining aggregate in Java with production capacity about 7,9 billion ton. This company has two cement factories at Naragong and Cilacap. Naragong factory is located in Sub district of Klapanunggal, Bogor District; it covers area about ,81 Ha. Until December 2006, the quarry of lime stone and clay had been opened were 214,69 Ha and 47,8 Ha, respectively, at the lowest elevation of 84 m above sea level. Mined area to this lowest elevation reach up to 78,9 Ha. This lowest elevation area has been used for reforestation 15,43 Ha, setting pond 8,19 Ha, reclamation 8 Ha, topsoil area 0,65 Ha, and building/factory site 46,63 Ha. The company has reclamation and re-vegetation plan for ten years ( ) already. This thesis interest is to observe technique and economic feasibility of wood plantation on cement mining area as alternative fuel in cement production. Since being proved to grow normally at marginal soil, sengon buto, waru, and gmelina woods were observed for their heating value based on wood species, ages, and horizontal position. Heating value was examined in air dry and oven dry condition. These values will be accumulated with biomass prediction of forest at mining area to determine the substitution proportion of wood to ordinary fuel, and eventually to determine the economic feasibility. Therefore, the result showed that average of wood heating value (based on wood proportion and bark) in oven dry condition for sengon buto, waru, and gmelina are kkal/kg, kkal/kg, and kkal/kg, respectively; meanwhile, in air dry condition it were kkal/kg, kkal/kg, and kkal/kg, respectively. The correlation between moisture content (MC) and heating value is presented as this equation: Heating value = -50,87 (MC) , whereas coefficient of determination (R 2 ) is 0,943. Financial analysis of re-greening activity at cement mining area for fulfilling the requirement of fuel substitution showed that capital of investment is Rp /Ha at 9% bank interest. If the average of fuel wood potency is 300 m 2 /Ha then the capital required is Rp /m 3. The calculation of investment criteria with NPV calculation on the interest 9% is Rp and BCR

5 (Benefit Cost Ratio) is 2,07 at the rate interest. These values showed that this activity is economically feasible. The fuel wood planting program is planed to involve the community surround the company location. The program is aimed as participative action that will entail natives on their force, thought, and commitment optimally; and yield sharing. The economic analysis of this mutually action revealed that BCR for society is bigger as much as 8,37% than it is for the company which is 3,53%. Keywords : wood, heating value, feasible.

6 RINGKASAN Tekat Dwi Cahyono. E Aspek Teknis dan Kelayakan Ekonomis Pemanfaatan Kayu sebagai Bahan Bakar Substitusi di Pabrik Semen : Studi Kasus di PT. Holcim Narogong. Dibimbing oleh : Zahrial Coto, Fauzi Febrianto. Batu bara selama ini masih merupakan sumber energi utama bagi sebagian besar industri di Indonesia. Indonesia termasuk negara dengan sumber tambang batu bara terbesar di dunia. Cadangannya diperkirakan 36,3 milyar ton. Dari total sumber daya tersebut, hanya 7,6 milyar ton yang dapat dikatakan sebagai cadangan pasti (reserve). Sekitar 58,5% dari cadangan batu bara tersebut tergolong batubara muda (lignite), sisanya tergolong pada sub-bituminous (26,6%), bituminous (14 %) dan antrasit (0,1%). Penyebaran terbesar berada di Kalimantan Timur (50,1 %), Kalimantan Selatan (23,5 %) dan Sumatra Selatan ( 23,2 ). Kendala yang dihadapi dalam pemakaian batu bara muda ini adalah nilai kalor yang rendah, sedangkan kadar sulfur dan air tinggi. Kendala lain yang dihadapi produsen dan pengguna batu bara adalah masalah harga yang fluktuatif namun cenderung naik, baik harga batu bara internasional maupun harga batu bara domestik. PT Holcim Indonesia (dulunya PT Semen Cibinong), telah berdiri dan aktif melakukan kegiatan pertambangan sejak tahun 1971 di Bogor. PT. Holcim Indonesia memiliki dua pabrik semen yang beroperasi di Narogong dan Cilacap serta tambang agregat terbesar di pulau Jawa dengan kapasitas produksi sebesar 7,9 juta ton semen. Holcim Indonesia adalah produsen terkemuka yang menghasilkan semen, beton jadi dan agregat, secara terintegrasi di pasar. Pabrik Narogong terletak di Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor menempati areal seluas ,81 Ha. Sampai bulan Desember 2006, luas quari batu gamping yang telah terbuka adalah 214,69 Ha, tanah liat 47,8 Ha dengan elevasi terendah 84 m dpl. Luas area yang sudah ditambang sampai elevasi terendah mencapai 78,9 Ha. Area dengan elevasi terendah tersebut telah dimanfaatkan antara lain untuk penghijauan 15,43 Ha, settling pond 8,19 Ha, reklamasi 8 Ha, area topsoil 0,65 Ha dan tapak pabrik/bangunan 46,63 Ha. PT. Holcim juga telah mempunyai rencana reklamasi serta rencana revegetasi untuk jangka waktu 20 tahun ( ). Sebuah penelitian telah dilaksanakan untuk melihat aspek teknis dan kelayakan ekonomis kayu yang ditanam di daerah pertambangan semen sebagai bahan bakar alternatif dalam proses produksi semen. Kayu Sengon buto, Waru dan Gmelina yang mampu tumbuh normal didaerah miskin hara diteliti nilai kalornya berdasarkan faktor jenis kayu, umur dan posisi horisontal dari kayu. Nilai kalor diukur pada saat kering udara (KU) dan saat kering tanur (KT). Nilai kalor tersebut kemudian diakumulasi dengan prediksi potensi biomassa hutan di wilayah pertambangan untuk melihat persentasi bahan bakar yang dapat disubstitusi oleh kayu. Selain itu juga diteliti kelayakan ekonomisnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai kalor kayu (sesuai proporsi kayu dan kulit) untuk jenis sengon buto pada kondisi KT adalah kkal/kg, waru kkal/kg dan gmelina sebesar kkal/kg. Sedangkan ratarata nilai kalor kayu (sesuai proporsi kayu dan kulit) pada kondisi KU (kadar

7 air/ka 12%) untuk jenis kayu sengon buto adalah kkal/kg, waru kkal/kg dan gmelina kkal/kg. Model hubungan antara KA dan nilai kalor adalah nilai kalor = -50,87 (KA) dengan nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0,943. Analisis terhadap harga ekonomis kayu bakar menunjukkan bahwa jika menggunakan harga batu bara Rp /ton dengan nilai kalor sebesar kkal/kg, maka harga yang sesuai untuk kayu dengan nilai kalor sebesar kkal/kg adalah Rp /ton. Satu ton kayu sengon buto KU (KA 12%) dengan kerapatan KU 0,55 g/cm 3 setara dengan 1,63 m 3 kayu sengon buto. Jika menggunakan asumsi harga kayu Rp /ton, maka harga kayu sengon buto per m 3 adalah Rp Analisis finansial kegiatan penghijauan lahan pada areal pertambangan semen untuk kebutuhan bahan bakar substitusi menunjukkan bahwa kebutuhan dana investasi adalah Rp /hektar pada suku bunga 9%. Jika menggunakan rata-rata potensi kayu bakar 300m 2 /ha, maka kebutuhan dana investasi adalah Rp /m 3. Nilai penghematan menjalankan program ini adalah Rp. 6,82 milyar per tahun. Perhitungan kriteria investasi dengan hasil perhitungan NPV pada suku bunga 9% sebesar Rp dan BCR (Benefit Cost Ratio) sebesar 2,07 pada suku bunga 9% menunjukkan bahwa kegiatan ini secara ekonomis layak untuk dijalankan. Program penanaman kayu energi direncanakan melibatkan masyarakat sekitar wilayah pabrik semen. Program ini dimaksudkan sebagai kegiatan partisipatif yang melibatkan masyarakat secara optimal baik tenaga, pikiran, komitmen dan berbagi hasil panen. Hasil analisis ekonomi kegiatan bersama masyarakat menunjukkan bahwa BCR untuk masyarakat lebih besar yaitu 8,37 dibandingkan dengan BCR untuk perusahaan sebesar 3,53. Perhitungan ini dapat dijadikan sebagai pendekatan kuantitatif dalam menetapkan dasar kegiatan penyediaan kayu energi bersama masyarakat.

8 Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilang mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

9 LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian : Aspek Teknis dan Kelayakan Ekonomis Pemanfaatan Kayu Sebagai Bahan Bakar Substitusi di Pabrik Semen : Studi Kasus di PT. Holcim Narogong Nama Mahasiswa : Tekat Dwi Cahyono Nomor Pokok : E Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto, M.Sc Ketua Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 26 Maret 2008 Tanggal Lulus :

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Tineke Mandang, MS

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Gunung Kelop, dusun kecil di Kelurahan Dampit, Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang Jawa Timur pada hari Kamis, 01 Juli 1975, pukul WIB sebagai putra kedua dari 5 bersaudara, dari ayah bernama M. Kumari dan Ibu bernama Djasemi. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SDN 04 Dampit pada tahun 1988 dan Sekolah Menengah Tingkat Pertama di SMPN 01 Dampit pada tahun 1991, sedangkan Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas diselesaikan di SMUN 8 Malang pada tahun Melalui jalan yang sangat panjang selepas SMU, penulis merasakan pendidikan di berbagai tempat sebelum akhirnya sampailah penulis di Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun Penulis menikah dengan dr. Sri Andayani pada tanggal 15 Maret 2001, putri ke 7 dari 10 bersaudara dari ayah bernama Hamim dan ibu bernama Sumartini. Dari pernikahan tersebut, sampai karya ini dihadirkan, penulis masih menantikan kehadiran putra dan putri yang akan di amanahkan oleh Allah SWT. Setamat dari Pendidikan Sarjana di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam berbagai kegiatan LSM, baik yang bergerak di bidang lingkungan maupun pembangunan masyarakat, pernah bekerja pada beberapa perusahaan baik di Jakarta maupun di Ambon. Mulai 1 Januari 2005 penulis bergabung dengan Departemen Pendidikan Nasional sebagai Dosen Kopertis XII Maluku, Maluku Utara Irian Jaya Barat dan Papua, ditempatkan pada Universitas Darussalam Ambon. Pada tahun 2006 penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan Pendidikan Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor dengan Biaya Pendidikan Pascasarjana dari Dirjen Dikti. Untuk memenuhi salah satu syarat meraih gelar Magister Sains IPB, penulis melakukan penelitian berjudul Aspek Teknis dan Kelayakan Ekonomis Pemanfaatan Kayu sebagai Bahan Bakar Alternatif di Pabrik Semen : Studi Kasus di PT. Holcim Narogong dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS.

12 KATA PENGANTAR Kayu memiliki sifat dasar istimewa yang tidak dimiliki oleh bahan lain. Diantaranya adalah sifatnya yang spesifik terhadap panas dan pembakaran. Sifat inilah yang dimanfaatkan oleh manusia dalam pemilihan kayu sebagai bahan bakar. Penyediaan kayu sebagai bahan bakar secara dalam jumlah besar juga terkendala dengan sifat tumbuh kayu yang relatif lama dibandingkan dengan bahan lain yang tersedia. Namun pemanfaatan kayu sebagai alternatif energi perlu dikembangkan untuk menjawab kajian teknologi dan khasanah keilmuan bidang sifat dasar kayu. Segala Puji Bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah- Nya sehingga pada akhirnya penulis menyelesaikan laporan penelitian dengan judul Aspek Teknis dan Kelayakan Ekonomis Pemanfaatan Kayu Sebagai Bahan Bakar Substitusi di Pabrik Semen : Studi Kasus di PT. Holcim Narogong tanpa hambatan yang berarti. Laporan penelitian ini ditulis untuk memberikan alternatif teknologi pemanfaatan kayu yang ditanam di sekitar tambang sebagai bahan substitusi dalam salah satu proses produksi semen. Ucapan terimakasih penulis haturkan yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing. 3. Ibu Prof. Dr. Ir. Tineke Mandang, MS selaku Peguji Luar Komisi. 4. Ketua Program Studi IPK, Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc selaku moderator dan Penguji dari Program Studi IPK. 5. Pak Lilik, Pak Ichsan dan Pak Wiyono, staf EQS PT. Holcim Pabrik Narogong atas bantuan dan kerjasama yang baik selama penulis melaksanakan penelitian. 6. Mas Arya dari SKI Indosat atas bantuan dan kerjasama yang baik selama penelitian. 7. Mbak Lastri, Mbak Esti, Pak Kadiman dan Pak Adang, staff laboran Lab. Kayu Solid Fakultas Kehutanan atas bantuan dan kerjasama yang baik selama penulis melakukan penelitian. i

13 8. Sri Andayani, dr. atas seluruh kerelaan dan kesabarannya dalam memberikan yang terbaik bagi penulis. 9. Rekan-rekan Program Studi IPK Sekolah Pascasarjana angkatan 2006 dan rekan-rekan Sekolah Pascasarjana pada umumnya atas bantuannya, baik secara langsung maupun tidak baik melalui moril maupun materi kepada penulis. Setiap pekerjaan manusia tidak lepas dari kesalahan, oleh karena itu, saran, kritikan dan dukungan moril akan selalu penulis harapkan dalam memperbaiki bidang kajian keilmuan dan sikap pada masa mendatang. Akhirnya penulis berharap agar karya ini dapat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Institut Pertanian Bogor pada khususnya dan masyarakat pada umumya sesuai dengan kebutuhan. Bogor, Maret 2008 Penulis ii

14 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.... DAFTAR ISI DAFTAR TABEL.... DAFTAR GAMBAR.... DAFTAR LAMPIRAN.... Halaman I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Manfaat Hipotesis... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA Kayu Sebagai Energi Sifat Kayu terhadap Perubahan Suhu Konduktifitas Panas Panas Spesifik Sifat Bakar Kayu Nilai Kalor Jenis Kayu yang digunakan dalam Penelitian Sengon Buto (Enterolobium cylocarpum) Waru (Hibiscus tiliaceus) Gmelina (Gmelina arborea) Proses Produksi Semen Investasi Pengusahaan Hutan III. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penetapan Berat Jenis, Nilai Kalor dan Kadar Abu Pembuatan Contoh Uji Pengujian Berat Jenis Pengujian Nilai Kalor Pengujian Kadar Abu Metode Analisis Analisis Persentasi Bahan Bakar yang dapat di Substitusi oleh Kayu Analisis Ekonomis. 23 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Berat Jenis, Nilai Kalor dan Kadar Abu i iii v vi vii iii

15 Berat Jenis Kayu dan Kulit Nilai Kalor dan Kadar Abu Analisis Hubungan antara Kadar Air dengan Nilai Kalor Nilai Kalor Kayu dan Kadar Abu berdasarkan Proporsi Kayu dan Kulit Analisis Persentasi Bahan Bakar yang dapat di Substitusi oleh Kayu Analisis Teknis Kayu sebagai Bahan Bakar di Pabrik Semen Analisis Ekonomis Pengusahaan Hutan Analisis Ekonomis Kegiatan Sosial Masyarakat V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iv

16 DAFTAR TABEL Halaman 1 Nilai kalor kayu dibandingkan dengan bahan bakar fosil alternatif di Amerika pada tahun Analisis proksimat dari beberapa jenis bahan bakar Analisis proksimat dan ultimat beberapa jenis kayu Indonesia Rata-rata nilai kalor kayu dibandingkan dengan kulit Pendapatan Acacia mangium sejak umur komersial (4-8 tahun) Nilai kalor dan kadar abu tanaman yang ditanam di sekitar lokasi tambang dibandingkan dengan batu bara Proyeksi perhitungan kayu yang dapat mensubstitusi batu bara Hasil percobaan pembakaran kayu Rata-rata volume kayu yang ditanam di sekitar lokasi tambang (m 3 /ha) Perbandingan harga kayu dan batu bara berdasarkan nilai kalornya Arus kas hutan tanaman sengon buto rotasi 5 tahun (x Rp.1.000/Ha) Perhitungan NPV dan BCR Kebutuhan investasi dan nilai penghematan menjalankan program penanaman kayu energi BCR (15%, 5 tahun) dengan berbeda harga dan produksi Nama desa dan jumlah petani yang terlibat penanaman kayu energi tahap pertama (September sampai Desember 2007) v

17 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Penurunan nilai panas kayu pada berbagai kadar air Proses produksi semen Diagram alir penelitian Berat jenis kayu sengon buto, waru dan gmelina pada umur dan posisi horisontal kayu yang berbeda Nilai kalor kayu sengon buto, waru dan gmelina pada umur dan posisi horisontal kayu yang berbeda Kadar abu kayu sengon buto, waru dan gmelina pada umur dan posisi horisontal kayu yang berbeda Regresi linier antara nilai kalor dan kadar air Persentasi nilai kalor kayu dibandingkan dengan nilai kalor batu bara per tahun Potongan kayu sengon buto umur 4 tahun Wood chipper tipe CH260HF (inset : chip kayu) Gudang penyimpanan kayu Tempat penimbunan batu bara vi

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Rata-rata pengukuran nilai kalor (nilai kalor tertinggi), berat jenis dan kadar abu Hasil analisis sidik ragam nilai kalor, kadar abu dan berat jenis Jenis tanaman, riap dan nilai kalor beberapa jenis kayu energi di Indonesia Data pengukuran nilai kalor pada beberapa kondisi kadar air Analisis sidik ragam regresi antara kadar air dengan nilai kalor Contoh perhitungan persentasi kebutuhan kayu dibandingkan dengan batu bara (Contoh untuk kayu sengon buto) Contoh perhitungan penetapan harga kayu yang berdasarkan nilai kalornya Peta lokasi penelitian vii

19 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang PT Holcim Indonesia (dulunya PT Semen Cibinong), telah berdiri dan aktif melakukan kegiatan pertambangan sejak tahun 1971 di Bogor. PT. Holcim Indonesia memiliki dua pabrik semen yang beroperasi di Narogong dan Cilacap serta tambang agregat terbesar di pulau Jawa dengan kapasitas produksi sebesar 7,9 juta ton semen. Pabrik Narogong memiliki 2 buah tanur semen, yaitu NR3 dan NR4 dengan kapasitas total terpasang sebesar 4,1 juta ton semen/tahun (Bertschinger, 2006). Secara umum, kegiatan pabrik semen terdiri atas tiga tahap, yaitu penambangan bahan baku, proses produksi semen dan proses pemasaran. Proses produksi secara khusus terdiri dari 4 tahap yaitu penggilingan bahan baku, pembakaran, penggilingan akhir dan pengantongan semen. Kegiatan pembakaran dalam proses produksi merupakan proses inti, karena sebagian besar energi diperlukan dalam proses ini. Kegiatan pembakaran menggunakan batu bara sebagai bahan bakar utama. Kebutuhan batu bara Pabrik Narogong tahun 2006 adalah ton. Jika rata-rata nilai kalor batu bara yang digunakan adalah kkal/kg, maka kebutuhan kalor batu bara adalah sebesar 2,84 x kkal. Jika harga batu bara Rp /ton, maka dibutuhkan Rp. 213,5 miliar untuk biaya pengadaan batu bara. Komponen biaya energi, termasuk listrik pada pabrik semen mencapai 40% dari total biaya produksi. Ditinjau dari pengaruh lingkungan, maka proses pembakaran termasuk salah satu yang paling berpotensi (disamping juga kegiatan penambangan) dalam mempengaruhi kualitas lingkungan (Bertschinger, 2006). Indonesia termasuk negara dengan sumber tambang batu bara terbesar di dunia. Cadangannya diperkirakan 36,3 milyar ton. Dari total sumber daya tersebut, hanya 7,6 milyar ton yang dapat dikatakan sebagai cadangan pasti (reserve). Sekitar 58,5 % dari cadangan batu bara tersebut tergolong batubara muda (lignite), sub-bituminous (26,6 %), bituminous (14 %) dan sisanya adalah antrasit. Penyebaran terbesar berada di Kalimantan Timur ( 50,1 %), Kalimantan Selatan (23,5 %) dan Sumatra Selatan ( 23,2 % ). Kendala yang dihadapi dalam

20 2 pemakaian batu bara muda ini adalah nilai kalor rendah, sedangkan kadar sulfur dan air tinggi. Karena itu, batu bara muda yang disebut juga batu bara lignite atau batu bara coklat tidak ekonomis dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Bila sumber energi ini dibawa ke lokasi yang jauh dari areal tambang, maka biaya transportasinya menjadi mahal karena biaya transportasi sebagian besar dikeluarkan untuk membawa air dan abu yang nantinya harus dibuang dalam proses pemanfaatan batu bara. Selanjutnya, ketika batu bara muda dibakar, banyak energi yang terbuang untuk menguapkan air, sedangkan nilai kalor bersih yang diperoleh relatif rendah. Selain itu, kandungan sulfur yang tinggi akan menjadi gas pencemar. Karenanya diperlukan biaya tambahan untuk mengurangi emisi gas sulfur (Widagdo, 2004). Semakin rendahnya kualitas batu bara yang dipasok oleh produsen batu bara dan semakin meningkatnya harga batu bara di dalam negeri berdampak pada industri yang memanfaatkan batu bara sebagai bahan bakar. Sebagai contoh, masalah yang dihadapi PT. Indocement Tunggal Prakarsa adalah jika sebelumnya pasokan batu bara memilki nilai kalor kk/kg, maka sekarang hanya mencapai kk/kg (Susianto, 2005). Sementara itu harga batu bara kualitas baik terus naik dari US$ 50,54/ton (Maret 2004) menjadi US$ 70/ton (Januari 2008). Harga batu bara kualitas rendah berada pada kisaran US$32 - US$34/ton, naik hampir 100 % dibandingkan awal tahun 2007 yang masih berada pada kisaran US$ 16 US$ 20/ton (Budhiwijayanto, 2008). Untuk mengatasi masalah tersebut, industri yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar mulai mengintensifkan program substitusi batu bara dengan bahan bakar dan material alternatif (BBMA). Salah satu pemanfaatan energi alternatif adalah energi yang berasal dari biomassa. Pemanfaatan energi alternatif dari biomassa akan terus dikembangkan sampai tersedia sumber energi yang murah dan tersedia berlimpah. Smith (1981) dalam Haygreen et al. (2003) menyatakan bahwa pada tahun 2000, secara menyeluruh di dunia, kayu akan berjumlah 10% dari pemakaian energi. Sementara itu menurut Buongiorno et al. (2003), pemakaian kayu sebagai bahan bakar selama tahun meningkat hampir 53% dan diprediksikan peningkatannya akan mencapai 73% pada tahun Bahan bakar biomassa lain

21 3 selain kayu juga digunakan dalam memenuhi kebutuhan energi alternatif. Sebagai contoh, PT. Indocement Tunggal Perkasa telah menanam bibit jarak pagar yang dimulai pada bulan Januari 2007 (Lavalle, 2007). PT. Semen Padang mempersiapkan limbah tandan kosong sawit (TKS) sebagai bahan bakar substitusi. Tahap awal substitusi adalah 5% dari kebutuhan batu bara. Persentase substitusi akan terus ditingkatkan dengan syarat tidak ada modifikasi terhadap mesin utama pembakaran. Bahan substitusi ini bisa dicampur dengan batu bara ataupun tanpa dicampur. Bahan bakar selain biomassa yang telah digunakan dan mendapat legalisasi dari Kementrian Negara Lingkungan Hidup diantaranya adalah limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) (KepMenLH No. 136 Tahun 2004) (Saksono, 2006). Pabrik semen PT. Holcim yang beroperasi di Narogong terletak di Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor menempati areal seluas 1.337,81 Ha. Luasan tersebut termasuk areal pertambangan bahan baku, tapak pabrik, perumahan karyawan, perkantoran dan fasilitas penunjang lainnya. Aktifitas pertambangan yang telah dilakukan sampai Desember 2006, luas quari batu gamping yang telah terbuka seluas 214,69 Ha, tanah liat 47,8 Ha dengan elevasi terendah 84 m dpl. Luas areal yang sudah ditambang sampai elevasi terendah mencapai 78,9 Ha. Areal dengan elevasi terendah tersebut telah dimanfaatkan antara lain untuk penghijauan 15,43 Ha, settling pond 8,19 Ha, reklamasi 8 Ha, areal topsoil 0,65 Ha dan tapak pabrik/bangunan 46,63 Ha. Jenis tanaman penghijauan yang telah ditanam sejak tahun 2001 diantaranya adalah Sengon Buto, Gmelina, Waru, Lamtoro, Trembesi, Turi, Gamal dan Angsana. PT. Holcim juga telah mempunyai rencana reklamasi serta rencana revegetasi untuk jangka waktu 20 tahun ( ) (Bertschinger, 2006). Penelitian tentang pemanfaatan limbah kelapa sawit (Susanto, 2006), sekam padi (Susanto, 2005), limbah B3 (Bertschinger, 2006) pernah dilakukan untuk menjawab permasalahan penyediaan bahan bakar dan material alternatif pada pabrik semen. Penelitian tentang monitoring reforestasi pada areal bekas tambang untuk memantau parameter pertumbuhan dan kondisi tempat tumbuh juga pernah dilakukan (Puspaningsih, 2007). Sedangkan pemanfaatan hasil reforestasi untuk penyediaan kayu energi untuk mensuplai bahan bakar pada

22 4 industri semen belum pernah dilakukan. Oleh karena itu diperlukan suatu kajian teknologi dan kelayakan ekonomis pemanfaatan hasil reforestasi pada areal bekas tambang untuk penyediaan kayu energi sebagai bahan bakar dan material alternatif (BBMA) substitusi 1 batu bara Tujuan Penelitian ini bertujuan adalah untuk mengetahui aspek teknologi dan kelayakan ekonomis kayu yang ditanam pada areal bekas tambang maupun lahan yang direncanakan ditambang sebagai bahan bakar substitusi pada proses produksi semen. Untuk mencapai tujuan itu, maka diperlukan beberapa tahap penelitian sebagai berikut : 1. Menghitung persentase nilai kalor kayu terhadap nilai kalor batu bara per tahun berdasarkan perhitungan potensi biomassa hutan secara lestari. 2. Menghitung kelayakan ekonomis pengusahaan hutan untuk penyediaan kayu energi Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan rekomendasi kepada pengelola pertambangan untuk menggunakan kayu dari jenis-jenis tertentu yang secara teknologi dan ekonomis layak untuk ditanam di areal bekas tambang maupun areal yang akan ditambang sebagai bahan bakar substitusi batu bara dalam proses produksi semen Hipotesis Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Kayu secara teknologi layak digunakan sebagai bahan bakar alternatif di pabrik semen. 2. Program penghijauan lahan bekas tambang untuk penyediaan kayu energi secara ekonomis layak untuk dijalankan. 1 Istilah substitusi batu bara digunakan dalam penelitian ini, sedangkan kata yang digunakan dalam surat KepMenLH tentang penggunaan bahan bakar menggunakan kata alternatif.

23 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kayu Sebagai Energi. Sejak tahun 1970, pemakaian biomassa dari hutan sebagai sumber energi menunjukkan pemakaian yang signifikan. Demikian juga dengan produk kimia yang dihasilkan dari hutan. Pemakaian kayu sebagai bahan bakar dalam industri yang membutuhkan panas seperti industri listrik meningkatkan kelangsungan hidup industri hasil hutan. Smith (1981) dalam Haygreen et al. (2003) menyatakan bahwa pada tahun 2000 secara menyeluruh, kayu akan berjumlah 10 % dari pemakaian energi dunia. FAO, 2001 dalam Haygreen et al., 2003 menjelaskan bahwa diperkirakan 53 % konsumsi kayu dunia digunakan untuk pemanas rumah dan memasak. Sementara itu di Indonesia, seperti dilaporkan oleh Soetomo dan Soemarna dalam Rostiwati (2006), dengan pertumbuhan populasi di Indonesia ± 2,46% pada tahun telah menimbulkan peningkatan kebutuhan energi tahunan pada periode dari 6,67% menjadi 16,28%, sehingga diperkirakan 90% dari produksi kayu akan digunakan sebagai kayu bakar oleh masyarakat pedesaan. Hal tersebut dengan pertimbangan bahwa 80% penduduk Indonesia yang hidup di pedesaan mengkonsumsi 70-75% kayu bakar sebagai sumber energi, sisanya digunakan dalam industri kecil menengah pada beberapa unit usaha diantaranya adalah industri gamping, industri genting dan industri tekstil. Sebagai contoh, industri gamping di Kecamatan Donomulyo Kabupaten Malang membutuhkan ,32 sm/th (tahun 1992). Kayu bakar yang dikonsumsi bersumber dari hutan rakyat (pekarangan, tegalan dan ladang kering) sebesar 99,08%, sisanya adalah dari hutan negara sebesar 0,92%. Pada awalnya, pemakaian kayu sebagai bahan energi bisa dikatakan tidak ekonomis, karena mahalnya peralatan dan kecilnya nilai kalor yang dihasilkan dalam pembakaran. Bahkan, meskipun kayu tersedia dengan harga murah atau tersedia secara cuma cuma, tingginya harga peralatan bahan bakar kayu menyebabkan penggunaanya tidak ekonomis. Faktor lainnya adalah rendahnya tingkat efisiensi pembakaran pada tungku pembakaran dan kadar abu. Sebagai contoh seperti yang dilaporkan Tim P3HH dan Sosek Kehutanan (1999) mengenai

24 6 efisiensi tungku pembakaran. Hasil penelitian terhadap beberapa desa di Pulau Jawa menunjukkan bahwa tungku pembakaran sederhana yang digunakan oleh masyarakat memiliki nilai efisiensi yang rendah, yaitu 3 14%. Rendahnya efisiensi ini dikarenakan sistem pemakaran terbuka dan tidak adanya cerobong asap, mengakibatkan panas yang dihasilkan kayu bakar sebagian akan balik kemulut lubang pembakaran. Dengan tungku sederhana seperti ini selain tingkat efisiensinya rendah, asap yang ditimbulkan juga akan mengganggu kesehatan. Efisiensi tentunya akan semakin baik jika menggunakan tungku pembakaran yang lebih baik. Pentingnya kayu (atau biomassa hutan) sebagai sumber energi tidak akan berkurang sampai alternatif ekonomis akan minyak bumi dan gas alam dikembangkan. Perkembangannya dapat berbentuk teknologi nuklir, energi kimia, hidrogren atau thermokimia. Apabila dikembangkan, diharapkan sumber energi baru ini akan cukup melimpah dengan harga yang murah sehingga tekanan kayu sebagai energi komersial akan berkurang. Hal ini akan memerlukan waktu yang cukup lama. Dalam tahun 1980, 14 perusahaan produk hutan terbesar di Amerika Serikat memproduksi 70% energinya dari limbah kayu. Perusahaan-perusahaan tersebut memproduksi seperempat kayu gergajian dan separuh kayu lapis dan papan partikel di Amerika Serikat (Haygreen et al., 2003). Seiring dengan semakin meningkatnya harga bahan bakar cair dan gas, maka kayu merupakan sumber energi alternatif yang bisa dimanfaatkan baik dalam skala rumah tangga maupun skala industri. Harga minyak bumi dan gas alam terus cenderung naik dari tahun 1970, bahkan mencapai nilai diatas 90 US$/barel (akhir tahun 2007). Naiknya harga minyak dan gas bumi diikuti pula dengan sumber energi berbasis fosil lainnya seperti batu bara. Kenaikan ini akan berdampak terhadap sektor industri, karena komponen energi pada industri, termasuk listrik mencapai 40 % dari total biaya produksi (Bertschinger, 2006). Secara ekonomis, contoh kasus pada Industri di Amerika, pasahan kering kayu dengan kadar air (KA) 15 % mampu bersaing dibandingkan dengan bahan bakar minyak dan gas alam. Dengan harga 25 US$, pasahan kering kayu pada KA 15% menghasilkan energi sebesar 17 GJ, sedangkan bahan bakar minyak yang menghasilkan energi sebesar 42 GJ (hampir 3 kali lipat pasahan kering kayu)

25 7 harganya mencapai 180 US$/ton (hampir 8 kali lipat dibandingkan dengan harga pasahan kering kayu) (Tabel 1). Batu bara mampu menjadi alternatif karena nilai kalornya tinggi dengan harga yang murah, namun kendala yang sama bagi energi fosil adalah harga yang cenderung naik, permasalahan distribusi, pencemaran dan kelangkaan. Tabel 1 Nilai kalor kayu dibandingkan dengan bahan bakar fosil alternatif di Amerika pada tahun 2001 Jenis Bahan Bakar Harga Bahan bakar curah (US$/t) Perkiraan Jumlah energi Perkiraan biaya (US$ GJ/t) GJ/t Kkal/t Kayu (pasahan kering ,5 (KA 15%) Kayu (serbuk gergaji, ,2 KA 90%) Batu Bara ,3 Bahan Bakar Minyak ,3 no. 2 Gas Alam ,2 Listrik 0,07 (/kwh) ,80 Sumber : Departemen Energi dalam Haygreen et al., Standar pengujian untuk mengevaluasi sebuah bahan sebagai energi disebut analisis proksimat (proximate analysis). Analisis ini dilakukan pada persentase zat yang mudah terbakar, kadar abu dan kandungan karbon bahan bakar. Kayu memiliki kandungan zat mudah terbakar lebih tinggi dibandingkan dengan kulit sedangkan kadar abu kulit lebih besar dibandingkan dengan kadar abu kayu (Tabel 2). Tabel 2 Analisis proksimat dari beberapa jenis bahan bakar Jenis Bahan Bakar Zat mudah terbakar (%) Karbon (%) Abu (%) Douglas fir Kayu 86,2 13,7 0,1 Kulit 70,6 27,2 2,2 Western hemloc Kayu 84,8 15,0 0,2 Kulit 74,3 24,0 1,7 Hardwood Kayu 77,3 19,4 3,4 Kulit 76,7 18,6 4,6 Arang dari Barat 43,4 51,7 4,9 Sumber : Corder (1975), Arola (1976), Pingrey (1976) dalam Haygreen et al. (2003).

26 8 Sedangkan analisis proksimat dan ultimat untuk beberapa jenis kayu yang pernah diteliti di Indonesia disajikan pada Tabel 3 berikut ini : Tabel 3 Analisis proksimat dan ultimat beberapa jenis kayu Indonesia No. Jenis Analisis Kayu Borneo Kayu Asem Kayu Lamtorogung 1 Proximate Kadar Air (%) 9,25 7,78 12,98 Bahan Menguap (%) 72,18 78,55 73,04 Karbon Tetap (%) 18,31 12,06 12,96 2 Ultimate Kandungan Abu (%) 0,25 1,59 1,02 Karbon (%) 47,87 43,86 42,85 Hidrogen (%) 5,23 5,23 4,93 Nitrogen (%) 1,43 0,25 0,15 Oksigen (%) 35,98 41,29 38,07 4 Nilai Kalor (kkal/kg) Sumber : Gaos (2007) Menurut Haygreen et al. (2003), pembakaran melibatkan karbon dari kayu dengan oksigen dari CO 2 dan kombinasi hidrogen dari kayu dengan oksigen untuk membentuk uap air. Oksigen pada reaksi ini berasal sebagian dari kayu tetapi sebagian besarnya dari udara. Kayu mengandung 6 % hidrogen, 49 % karbon dan 44 % oksigen. Jumlah oksigen (berasal dari udara) yang dibutuhkan dalam proses pembakaran secara teori dapat dihitung dengan analisis kimia yang dinamakan ultimate analysis Sifat Kayu terhadap Perubahan Suhu Konduktifitas Panas Sifat konduktifitas panas merupakan kebalikan dari sifat insulasi panas dari kayu atau bahan lainnya. Kayu memiliki sifat konduktor yang jelek karena bahannya yang berpori. Konduktifitas panas dinyatakan dalam koefisien konduktifitas panas (k). Ini adalah ukuran jumlah panas dalam kalori yang mengalir selama satu unit waktu melalui bahan setebal 1 cm dengan permukaan 1 cm 2, jika perubahan suhu sebesar 1 o C dikenakan diantara dua permukaan. Satuan koefisien konduktifitas panas adalah kal.cm/s.cm 2. o C. Konduktifitas panas dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah struktur kayu, kerapatan, kelembaban, suhu, ekstraktif dan kerusakan kayu.

27 9 Konduktifitas panas arah axial 2 kali lebih besar daripada arah radial maupun tangensial. Koefisien dari konduktifitas panas pada beberapa kayu pada suhu 20 o C, pada arah axial adalah 0,191 0,284 kkal.m./h. o C, radial 0,104 0,151 kkal.m./h. o C dan tangensial 0,090 0,140 kkal.m./h. o C. Besarnya konduktifitas pada arah aksial dipengaruhi oleh morfologi serat dan susunan axial dari sel kayu. Antara arah radial dan tangensial tidak ada perbedaan yang berarti. Pada arah radial, konduktifitas panas lebih besar (antara 5 s/d 10%), hal ini banyak dipengaruhi oleh jari-jari kayu. Bahkan pada beberapa penelitian, perbedaan konduktifitas juga dipengaruhi oleh perbedaan kerapatan kayu awal dan kayu akhir. Akhirnya perbedaan konduktifitas antara axial dan tranversal (radial dan tangensial) ditemukan banyak disebabkan karena perbedaan ultrastruktur dari kayu yaitu sudut mikrofibril. Semakin besar sudut mikrofirbril menunjukkan semakin kecil perbedaan konduktifitas antara axial dan tranversal. Konduktifitas panas semakin meningkat dengan meningkatnya kerapatan kayu, kadar air dan suhu. Jika kadar air kayu dinaikkan atau diturunkan diatas titik jenuh serat sebesar 1 %, maka konduktifitas panas bertambah atau berkurang sebesar 0,7 sampai 1,18 %. Pada umumnya, kayu yang memiliki kadar air diatas 40 % memiliki 1/3 kali dari ukuran konduktifitas panas kayu kering. Konduktifitas panas juga dipengaruhi oleh ekstraktif. Kayu dengan kadar ekstraktif tinggi (biasanya memiliki warna kayu lebih gelap) memiliki konduktifitas panas yang lebih besar (contoh yang sama ditemukan pada kayu pinus yang disebabkan karena oleoresin) Panas Spesifik Panas spesifik dari suatu benda adalah banyaknya panas yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu satu bagian massa sebesar 1 o C. Karena panas spesifik dari air adalah 1 (dimana dibutuhkan 1 kal untuk menaikkan suhu dari 1 gram air dari 15 o C ke 16 o C), maka panas spesifik dari suatu benda termasuk kayu adalah perbandingan antara banyaknya kalori yang dibutuhkan untuk menaikkan suhunya 1 o C terhadap banyakkya kalori yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu satu bagian air sebesar 1 o C. Panas spesifik dari kayu lebih tinggi dari logam atau bahan yang lain, ini berarti dibutuhkan lebih banyak kalori untuk menaikkan suhu tiap bagian kayu

28 10 dari pada logam atau bahan lainnya. Sifat ini sangat sejalan dengan sifat kayu yang sangat buruk dalam menghantarkan panas (sifat konduktifitas panas), sehinga kayu cocok sebagai bahan pegangan yang membutuhkan penghantar panas yang lama. Hal ini juga sangat penting dalam proses industri kayu seperti pengeringan, penambahan pengawet dan perekatan. Panas spesifik tidak dipengaruhi oleh jenis dan kerapatan kayu tetapi meningkat jika suhu dan kelembaban ditingkatkan Sifat Bakar Kayu Kayu dapat terbakar. Sifat ini sangat berguna bagi penggunaan yang berhubungan dengan panas dan energi, tetapi harus diperhatikan jika digunakan sebagai material konstruksi. Kayu terbakar pada temperatur yang sangat tinggi, menghasilkan dekomposisi kimia dan gas yang mudah terbakar. Secara umum, tahap-tahap perubahan kayu terhadap panas adalah sebagai berikut : a. Penguapan air dalam kayu (sampai 100 o C). b. Penguapan bahan volatil ( o C). c. Perubahan struktur karbon dan mengeluarkan gas yang mudah terbakar secara perlahan ( o C). d. Percepatan keluarnya gas yang mudah terbakar, diikuti dengan pengapian dan cahaya ( o C). e. Seluruh bagian kayu terbakar dan terjadinya proses pembentukan arang ( o C). Kecepatan terbakarnya kayu dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah spesies, kelembaban, suhu, ukuran dan tipe struktur kayu. Faktor lain yang mempengaruhi antara lain adalah adanya zat ekstraktif seperti resin. Struktur kayu yang mempengaruhi kecepatan terbakarnya kayu antara lain adalah kayu daun lebar dengan pembuluh terbuka dan tanpa tilosis lebih mudah terbakar. Kecepatan terbakar lebih cepat 2 kali lipat arah axial dibandingkan dengan arah transversal. Kadar air kayu memperlambat proses pengapian dan proses pembakaran. Dengan bertambahnya suhu, kayu lebih mudah terbakar. Tetapi pengecualian untuk kayu dengan dimensi cukup besar akan sulit terbakar, dan kekuatannya menurun secara berangsur-angsur dibandingkan dengan logam yang langsung melengkung pada suhu tinggi diatas 100 o C. Fenomena ini dipengaruhi

29 11 oleh rendahnya konduktifitas panas dan tingginya panas spesifik dari kayu sehingga memperlambat proses terbakar (Tsoumis, 1991) Nilai Kalor Pada saat terbakar, kayu menghasilkan panas. Jumlah panas yang di timbulkan oleh 1 g atau 1 kg kayu sampai semuanya terbakar dinamakan nilai kalor. Rata-rata nilai kalor pada kayu kering tanur adalah kkal/kg. Nilai kalor dipengaruhi oleh kadar air, ekstraktif, susunan kimia kayu dan jenis kayu. Kadar air kayu menurunkan nilai kalor. Nilai kalor kayu kering udara 15% lebih kecil daripada kayu kering tanur. Nilai kalor kayu tertinggi dicapai jika kayu dalam kondisi kering tanur dan terus menurun dengan semakin tingginya kadar air di dalam kayu. Hal ini disebabkan karena sebagaian besar kalor hilang untuk menghilangkan dan menguapkan air. Faktor lainnya adalah kandungan lignin dan adanya zat ekstraktif seperti resin dan tannin (Tabel 4) (Haygreen et al., 2003). Tabel 4 Rata-rata nilai kalor kayu dibandingkan dengan kulit Jenis bagian kayu Nilai kalor tertinggi Kayu Kulit (MJ/kg) (Kkal/kg) (MJ/kg) (Kkal/kg) Non Resin Mengandung Resin Sumber : Corder (1975) dalam Haygreen et al., Ekstraktif merupakan faktor penting dalam menentukan nilai kalor. Sebagai contoh, oleoresin memiliki nilai kalor kkal/kg, sehingga kayu daun jarum yang memiliki resin memiliki nilai kalor yang tinggi. Pengaruh dari komposisi kimia diturunkan dari nilai kalor lignin (6.100 kkal/kg) lebih besar daripada nilai kalor selulosa ( kkal/kg) (Tsoumis, 1991). Nilai kalor pada kondisi kering tanur disebut nilai kalor tertinggi (NKT), sedangkan nilai kalor pada kadar air tertentu disebut nilai kalor bersih (NKB). Hubungan antara nilai kalor tertinggi dan nilai kalor bersih dapat dihitung dengan rumus : NKB = NKT [1 - % kadar air / 100] keterangan : NKT = nilai kalor tertinggi NKB = nilai kalor bersih (Haygreen et al., 2003).

30 12 Nilai kalor kayu pada kondisi kering tanur berkisar antara btu/lb ( kkal/kg). Sedangkan pada kadar air 60%, nilai kalor kayu hanya sebesar btu/lb ( kkal/kg) (Gambar 1). Gambar 1 Penurunan nilai kalor dari kayu pada berbagai kadar air. Sumber : Ince (1979) dalam Haygreen et al. (2003) Penggunaan nilai kalor dari kayu sangat tergantung dari bagaimana cara kayu tersebut dibakar. Pada tungku pembakaran sederhana, hanya sekitar 5 20% nilai kalor yang termanfaatkan. Sedangkan pada tungku yang lebih baik (stoves), nilai kalor yang dimanfaatkan bisa mencapai 70%. Proses-proses pemanfaatan kayu lainnya dapat dilakukan dengan proses pyrolysis (carbonization, destructive destilation, liquification), gasification dan hydrolysis (Tsoumis, 1991) Jenis Kayu yang digunakan dalam Penelitian Sengon Buto (Enterolobium cylocarpum) Enterolobium cyclocarpum termasuk famili Leguminosae. Di beberapa negara jenis ini dikenal dengan nama guanacasta (Guantemala, Honduras, Nicaragua); cuanacaztle, huanacaxtle, huinecaztle, nacaxle, cuaunacaztli cascale

31 13 sonaya, orejon, parota, piche (Mexico); genisero, jenizero, jenezero (Nicaragua); conacaste (Guatemala); conacaste, caro, caro hembra, arbol de orejas (Salvador); coratu, jarina; Harina (Panama); anjera, carits, carito, oriera, pinon (Colombia); caro hembra (Venezuela); oreja de judio, arbol de las orejas, algarrobo carretera, cabelos de venus (Cuba); timbauba, timbo, timbo color, tobroos (Brasil). Dalam perdangan jenis ini dikenal dengan nama pichwood, south american walnut, central american walnut, mexican walnut, conacasta, jenisero (Chudnoff, 1984). Pohon ini mempunyai bebas cabang yang pendek, terutama kalau berada ditempat terbuka. Kulit pohon agak tebal yaitu sekitar 3 4 cm terutama pada pohon tua, karena itu pohon yang sudah tua agak tahan terhadap kebakaran. Tajuknya besar berbentuk seperti payung dan lebarnya berkisar antara 15,24 30,48 m. Susunan daun pinnate, kecil dan sebagian daun gugur untuk beberapa bulan dalam satu tahun. Pohon ini mulai berbunga pada umur 5 11 tahun dan mulai berbuah pada umur 6 11 tahun. Sengon buto menggugurkan daunnya terutama periode musim bunga atau periode musim panas dilanjutkan sampai periode musim buah. Dengan adanya masa gugur daun dan daunnya mudah terdekomposisi dalam tanah, berarti kemampuan untuk memperbaiki kesuburan tanah dari pohon ini cukup baik (Asmarahman, 2008). Genus pohon ini terdiri dari 7 spesies yang tersebar di seluruh Amerika tropis dan jenis yang terbaik adalah Enterolobium cyclocarpum dan Enterolobium timbouva. Enterolobium cyclocarpum umumnya banyak terdapat di Amerika tropis bagian utara, Amerika tengah, dan sebelah selatan Mexico. Di Indonesia penanaman pertama tahun 1916 di kebun Raya Bogor dan bijinya berasal dari Brazil. Dari sini disebar luaskan ke seluruh Jawa yaitu ditanam di kebun-kebun percobaan Lembaga Penelitian Hutan. Penanaman di Jawa dilakukan diberbagai tempat tumbuh pada ketinggian meter diatas permukaan laut dengan keadaan tanah dan iklim yang berbeda. Kayu sengon buto memiliki berat jenis dengan kisaran 0,43 0,45 dengan penyusutan arah tangensial, radial dan volumetrik berturut-turut adalah 5,2%, 2% dan 7,2%. Pada umur 4 tahun, warna kayu gubal dan teras sudah bisa dibedakan. Kayu gubal berwarna kuning pucat sedangkan kayu terasnya berwarna coklat kemerahan. Tekstur kayu sengon buto kasar, arah serat berpadu dengan rasa dan

32 14 bau tidak khas. Porinya berjumlah kurang dari 6 tiap mm 2 (jarang), sering ditemukan endapan berwarna dengan diameter porinya lebih dari 200 mikron. Kayu ini memiliki keawetan yang baik terhadap jamur dan serangan rayap. Selain itu, serbuk kayu sengon buto dapat mengakibatkan iritasi dan alergi. Dalam penggunaan umum, kayu Sengon buto sering digunakan sebagai bahan paking dan papan partikel dalam jumlah yang terbatas (Chudnoff, 1984) Waru (Hibiscus tiliaceus). Hibiscus tiliaceus termasuk dalam famili Malvaceae. Di beberapa negara tanaman ini dikenal dengan nama babaru, waru, baru (Indonesia), babara bulu, baru-baru, baru laut (malaysia), danglin (Filipina), ta sua (Myanmar) dan sering juga disebut waru (Indoensia). Penyebaran tanaman ini di asia tenggara diantaranya adalah di Indonesia, Laos, Malaysia dan Filiphina. Waru merupakan salah satu spesies yang sering dijumpai di hutan sekuner dataran rendah, walaupun ada juga yang ditemukan di hutan primer dengan ketinggian diatas m dpl. Waru merupakan tanaman yang memiliki pertumbuhan yang sedang, belum pernah ditanam dalam skala yang cukup besar dan digunakan untuk beberapa kegunaan, diantaranya untuk kayu bakar, bahan pensil dan peralatan olahraga, bodi truk, peralatan musik dan bahan dasar seni kerajinan. Kayu waru dapat mencapai ketinggian sampai 30 meter dan diamter sampai 80 cm, tinggi bebas cabang sampai 12 meter (Supadmo et al., 1996). Kayu waru memiliki berat jenis antara 0,49 samai 0,53 dengan penyusutan arah tangensial 4,9%, radial 2,4 % dan penyusutan volume 7,3%. Kayu waru berwarna kuning pucat, coklat, coklat pucat abu-abu dengan sedikit warna ungu, abu-abu agak kehitaman. Kayu waru merupakan kayu yang tidak tahan terhadap iklim dan kontak langsung dengan tanah. Kayu teras tahan terhadap rayap kayu kering. Pori kayu waru memiliki endapan berwarna, berjumlah 5 20 buah per m 2 dengan perforasi sederhana (Sosef et al., 1998) Gmelina (Gmelina arborea). Tanaman gmelina termasuk dalam famili Verbenaceae. Di beberapa negara asia sering disebut gamar, gumhu, gaminea, chimman, cummi (India), gomari, gumadi, gumai, gumar (Filipina), gumbar, so, sor, shiwan, shivana

33 15 (Thailand), kayu titi, biti (Indonesia), yamane, yemane (Myanmar). Sebaran di negara asia tenggara diantaranya ditemukan di India, Myanmar, sebagian Vietman. Gmelina merupakan tanaman yang dapat hidup pada habitat yang sangat beragam, bervariasi dari hutan hujan sampai hutan kering dengan ketinggian sampai meter dpl. Kayu gmelina dapat mencapai tinggi 30 meter dengan diameter rata-rata 5 cm dan kadang mencapai 140 cm. Kayu dimanfaatkan untuk perabotan rumah tangga, plywood, bodi truk dan bagian kapal serta dibuat peti dalam pengangkutan hasil-hasil pertanian (Soerianegara dan Lemmens, 1990). Kayu gmelina memiliki warna yang tidak kontras antara gubal dan teras. Kayu teras berwarna kuning pucat sampai coklat muda pada saat segar dan semakin gelap sampai mendekati coklat jika telah kering. Kayu gmelina bertekstur halus. Pori kadang ditemukan zat berwana gelap. Jumlah pori per mm 2 antara 5 20 buah dengan perforasi sederhana. Jari-jari tidak homogen, frekuensi sel jari-jari 4 10 buah per mm dengan tinggi lebih dari 1 mm dan lebar µ. Kayu gmelina merupakan kayu yang tidak awet, bagian teras lebih awet dibandingkan dengan gubal. Kayu teras sulit untuk dimasuki bahan pengawet (Soerianegara dan Lemmens, 1990). Kayu gmelina memiliki berat jenis antara 0,46 sampai 0,5 dengan penyusutan arah tangensial, radial dan volume masing-masing sebesar 6,3% dan 3,1% dan 8,3%. Keteguhan lentur (MOE) kayu gmelina sebesar 634 kg/cm 2 dan keteguhan patah (MOR) sebesar kg/cm 2. Keteguhan tekan sejajar serat sebesar 338 kg/cm 2 dan keteguhan tekan tegak lurus serat sebesar 30 kg/cm 2 (ITTO, 1997) Proses Produksi Semen. Kegiatan utama di pabrik semen terdiri dari tiga tahap, yaitu penambangan bahan baku, proses produksi semen dan proses pemasaran, baik untuk dalam maupun luar negeri. Proses produksi semen secara khusus terdiri dari empat tahapan, yaitu proses produksi campuran bahan baku (kegiatan penambangan dan penggilingan bahan baku), proses produksi klinker (pembakaran campuran bahan baku dan batu bara sebagai bahan bakar utama), proses produksi semen (penggilingan akhir) dan pengantongan semen. Tiap tahapan proses produksi

34 16 tersebut memerlukan bahan baku dan alat produksi yang khusus, demikan juga masing masing proses menghasilkan produk yang berbeda (Gambar 2). Gambar 2 Proses produksi semen. Tahapan seperti yang disajikan pada Gambar 2 antara lain adalah : 1. Penambangan bahan mentah (batu kapur, tanah liat, pasir besi, copper slag). 2. Penggilingan awal bahan mentah. 3. Pengangkutan bahan mentah. 4. Pencampuran dan penimbangan bahan mentah. 5. Tahap penggilingan bahan mentah. Proses ini memerlukan mill tegak atau mill jenis tabung sebagai mesin utama untuk grinding dan pengeringan. Bahan baku yang dimasukkan terdiri dari batu kapur, batu silika, tanah liat, slag (kerak) tembaga dengan komposisinya masing-masing dan produknya adalah campuran bahan baku. Energi listrik digunakan untuk grinding dan gas panas (gas buang kiln) digunakan untuk pengeringan. 6. Pembuang Emisi Gas. 7. Pemanasan awal (pre heater). 8. Pemanasan lanjut dan pembentukan kristal klinker. Alat utama untuk produksi klinker adalah kiln. Proses terdiri dari kalsinasi, pembentukan klinker pada suhu o C dan pendinginan. Bahan yang dimasukkan adalah campuran bahan baku dan batu bara sebagai bahan bakar. Proses pemasukan bahan substitusi dilakukan pada unit ini. 9. Pendinginan klinker. 10. Penyimpanan klinker. 11. Penggilingan akhir. Alat utama adalah mill berbentuk tabung untuk menghaluskan klinker dan gypsum. Sistem ini menggunakan listrik untuk menjalatkan alat. 12. Pengeluaran Semen dalam bentuk curah maupun kemasan.

35 17 Proses pembakaran merupakan proses inti dalam pembuatan semen, karena sebagian besar energi yang diperlukan digunakan dalam proses ini. Ditinjau dari pengaruh lingkungan maka proses ini termasuk salah satu yang paling berpotensi (selain proses pertambangan) dalam mempengaruhi kualitas lingkungan. Titik keluaran dari proses ini (stack kiln dan stack cooler) menjadi salah satu titik pantau penting dalam kegiatan lingkungan. Gas buang dalam proses ini mengandung polutan debu dan gas lainnya seperti NO x dan SO 2 (Bertschinger, 2006) Investasi Pengusahaan Hutan Kegiatan penanaman hutan adalah investasi tipikal, yaitu pembiayaan besar pada awal tahun, proses produksi yang lamanya bertahun-tahun dan dibayangi oleh ancaman kegagalan, serta hasil kegiatannya baru diperoleh sekian tahun setelah ditunggu. Masukan tetap untuk hutan tanaman antara lain pembibitan, penanaman dan pemeliharaan yang dikeluarkan pada awal-awal tahun, biaya tahunan berupa gaji, pajak dan lain-lain yang dikeluarkan tiap tahun; sedangkan biaya variabelnya adalah waktu dari saat penanaman sampai pemanenan (Sumitro, 2003). Investasi di hutan tanaman dapat dipantau tiap tahun mengenai volume, tinggi dan diameter pohon. Volume dari pohon merupakan suatu yang unik, karena akan berbeda pada tiap tapak (tempat tumbuh) yang berbeda, sehingga pengukuran real pada areal perlu dilakukan. Bila produk fisik dikalikan dengan harganya, makan akan didapat kurva pendapatan. Harga yang dimaksud adalah harga kayu pada saat masih berdiri (stumpage value) dan akan semakin meningkat dengan umur atau diameter yang lebih besar. Harga yang valid adalah harga yang diperoleh pada pasar yang bersaing (banyak penjual dan pembeli). Nilai stumpage value dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini : S = R (M + C), Keterangan : S = stumpage value, R = harga pasar (pabrik),

36 18 C = biaya pemungutan yaitu pengangkutan, penyaradan dan M penebangan, dan = Margin untuk keuntungan resiko perusahaan. Setelah diketahui harga pohon berdiri, maka pendapatan dapat diperoleh dengan mengalikan volume per ha (m 3 /ha). Volume kayu meningkat dengan bertambahnya umur kayu sehingga harga kayu akan semakin tinggi dengan meningkatnya umur kayu (Tabel 5). Tabel 5 Pendapatan Acacia mangium sejak umur komersial (4-8 tahun) Umur (th) Volume kayu komersial (m3/ha) Harga kayu berdiri (SV)/m3 (Rp. 1000) Pendapatan (Rp x 1000)/Ha Pendapatan pada hutan tanaman tidak diperoleh setiap tahun, melainkan menunggu sampai pohon ditebang, yaitu memungut akumulasi riap (pertumbuhan). Jadi dalam periode menunggu tersebut tidak ada pendapatan (cash in flow), kecuali ada kegiatan antara seperti penjarangan pada tahun tertenu, kegiatan tumpang sari dengan tanaman buah-buahan atau hasil hutan non kayu dan kegiatan ekowisata (Sumitro, 2003).

37 19 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pabrik Semen PT. Holcim, Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor dan Laboratorium Kayu Solid Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Kegiatan Penelitian dimulai dari bulan Juni 2007 sampai bulan Januari Alat dan Bahan Bahan dan peralatan yang digunakan untuk dapat memenuhi tujuan penelitian tersebut diatas antara lain meliputi : 1. Peralatan analisis nilai kalor kayu, kadar air dan berat jenis (kalorimeter, jangka sorong, cawan petri, oven, timbangan, parafin) 2. Peralatan tulis menulis dan dokumentasi. 3. Bahan yang digunakan adalah kayu sengon buto, kayu gmelina dan kayu waru yang berumur 2, 4 dan 6 tahun Penetapan Berat Jenis, Nilai Kalor dan Kadar Abu. Nilai kalor kayu dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kadar air dan berat jenis kayu. Tahapan kegiatan pada bagian ini adalah : Pembuatan contoh uji Contoh uji diambil pada tiga bagian pohon yaitu bagian teras, gubal dan kulit. Dari setiap bagian ini dibuat contoh uji untuk penentuan berat jenis dan kadar air dengan panjang 2,5 cm. Demikian juga contoh uji untuk penentuan nilai kalor. Selanjutnya contoh uji dibuat dan disesuaikan dengan kebutuhan pengujian lanjutan, yaitu contoh uji untuk penetapan nilai kalor proporsi kayu dan kulit Pengujian berat jenis Berat jenis kayu atau kulitnya ditentukan berdasarkan berat contoh kering tanur dibagi dengan volume basah. Contoh kayu atau kulit dalam penentuan berat jenis ini berukuran lebih kurang 5 x 5 x 2,5 cm untuk kayu dan 5 x 2,5 cm dan tebalnya menurut tebal kulit. Contoh uji kayu dan kulit

38 20 ditimbang secara terpisah untuk menentukan berat basahnya, kemudian dicelupkan ke dalam parafin dan ditimbang kembali untuk menentukan volume parafin. Volume parafin dihitung dengan cara membagi berat parafin yang menempel pada contoh dengan berat jenis parafin. Contoh kayu atau kulit yang dilapisi parafin ditimbang dalam air untuk menentukan volumenya berdasarkan prinsip Archimedes. Berat jenis kayu atau kulit dapat ditentukan dengan rumus : Berat Jenis Pengujian Nilai Kalor Berat Kering Oven Volume Basah Contoh kayu atau kulit secara terpisah dibuat serpihan-serpihan kecil dengan menggunakan gergaji. Untuk menetapkan nilai kalor pada kadar air tertentu, maka serpihan kayu tersebut langsung hitung nilai kalornya. Sedangkan untuk menetapkan nilai kalor ada saat kering tanur, serpihan kayu dikeringkan dalam oven selama 24 jam pada suhu 103 ± 2 o C. Serpihan kayu atau kulit seberat lebih kurang satu gram dibuat pelet berbentuk tablet kemudian ditimbang untuk menentukan beratnya, lalu ditetapkan nilai kalornya dengan bomb kalorimeter. Nilai kalor dihitung berdasarkan banyaknya kalor yang dilepaskan yang akan sama dengan kalor yang akan diserap oleh air dalam kalorimeter, yang dinyatakan dalam kalori per gram dan dihitung dengan memakai rumus sebagai berikut : Nilai kalor W x t t A B Keterangan : W : Nilai air dari alat kalorimeter t2 : Suhu setelah pembakaran t1 : Suhu mula-mula A : Berat contoh B : Koreksi panas pada kawat besi Pengujian Kadar Abu (TAPPI T211 om-93) Sebelum dilakukan pengujian kadar abu, perlu dilakukan pengujian kadar air sesuai TAPPI T 264, yaitu :

39 21 Sekitar 2 gram sampel mendekati 0,001 g (A) ditimbang dan dikeringkan selama 2 jam dalam oven pada suhu 102 ± 3 o C. Sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel di oven kembali sampel selama 1 jam, didinginkan dan ditimbang. Pekerjaan diulang hingga dicapai berat konstan (B), yaitu penimbangan tidak berubah lebih dari 0,002 g. Kadar air kayu yang dinyatakan dalam persen yang mendekati 0,1% : Kadar air % A-B/B x 100 % Sedangkan prosedur penentuan kadar abu dalam kayu (TAPPI T 211 om- 93) adalah sebagai berikut : Cawan abu kosong dibersihkan dan dipanaskan pada suhu 525 ± 25 o C selama menit. Setelah pemanasan, cawan didinginkan dalam desikator dan ditiimbang. Contoh uji uji ekuivalen 1 g kering tanur dipindahkan kedalam cawan abu. Contoh uji kemudian dipanaskan pada suhu 100 o C, lalu ditingkatkan sampai mencapai 525 o C secara bertahap sehingga terjadi karbonasi tanpa pembakaran. Suhu pengabuan diatur pada 525 ± 25 o C. Pembakaran selesai jika partikel hitam telah hilang, cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pembakaran dan penimbangan dilakukan hingga berat abu konstan hingga ± 0,2 mg. Kadar abu dihitung dengan rumus : Abu, % A/B x 100, dimana : A = berat abu (g) B = berat kayu kering (g) 3.4. Metode Analisis Dalam penelitian ini dipakai rancangan percobaan faktorial dalam kelompok dengan subsampling, dengan model umum sebagai berikut : Yijkl µ + ρk + αi + βj + αβij + εijk + Sijkl Dengan, Y ijkl = nilai pengamatan µ = nilai rataan umum ρ k α i = pengaruh kelompok (jenis) ke k = pengaruh faktor umur ke i

40 22 β j αβ ij = pengaruh faktor letak dalam pohon ke j = pengaruh interaksi faktor umur ke i dengan faktor letak dalam pohon ke j ε ijk S ijkl = kesalahan percobaan karena faktor umur ke i, letak ke j dalam kelompok ke k = kesalahan sampling pada satuan pengamatan ke l karena faktor umum ke i, faktor letak ke j dalam kelompok ke k Sebagai kelompok dalam penelitian ini berupa jenis kayu berikut lingkungannya (ρ k, k = 1,2,3). Sedangkan sebagai faktor terdiri atas umur (α i, i = 2, 4, 6) dan letak dalam pohon (β j, j = 1, 2, 3) yaitu teras, gubal dan kulit. Untuk mengetahui hubungan kadar air dengan nilai kalor, dibuat persaman regresi untuk mencari kesesuaian dengan rumus : Keterangan : NKB NKT [1 % kadar air / 100 ] NKB NKT = Nilai Kalor Bersih = Nilai Kalor Tertinggi 3.5. Analisis Persentase Bahan Bakar yang dapat di Substitusi oleh Kayu. berikut : Analisis persentase bahan bakar dilakukan dengan beberapa tahap kegiatan 1. Penentuan riap kayu dengan studi pustaka. 2. Penetapan Volume tebang tahunan secara lestari, menggunakan rumus Cotta, yaitu : Ay V + 0,5I R Keterangan : Ay = Panen tahunan (m 3 /ha) V = Volume total/tegakan persediaan (m 3 ) I R = Riap total dari volume/riap nyata (m 3 /ha) = Daur (tahun) 3. Menghitung jumlah kalor yang dapat disubstitusi oleh kayu per tahun. Dilakukan dalam dua tahap, yaitu : a. Menghitung nilai kalor rata-rata berdasarkan proporsi kayu dan kulit.

41 23 NKr A x A1 + B x B1 Keterangan : NKr A = Nilai kalor rata-rata = Nilai kalor kayu A 1 = Proporsi kayu (%) B = Nilai kalor kulit Bb 1 = Proporsi kulit (%) b. Menghitung nilai kalor kayu per tahun. NKt M x NKr Keterangan : M NKr = Berat kayu berdasarkan perhitungan volume tebangan lestari = Nilai kalor rata-rata berdasarkan proporsi kayu dan kulit. 4. Menghitung persentase nilai kalor kayu yang terhadap kebutuhan nilai kalor batu bara selama setahun. N NKt NKb x100% Keterangan : N NKt NKb 3.6. Analisis Ekonomis = Persentase nilai kalor kayu terhadap nilai kalor batu bara = Nilai kalor kayu per tahun (kkal) = Nilai kalor batu bara per tahun (kkal) Analisis ekonomis menggunakan metode Profitability Index (PI) atau disebut juga dengan istilah Benefit Cost Rasio (BCR). BCR merupakan rasio aktifitas dari jumlah nilai sekarang penerimaan bersih dengan nilai sekarang penggeluaran investasi selama umur investasi (Kasmir dan Jakfar, 2003). Untuk menghitung B/C rasio diperlukan nilai NPV (Net Present Value), yaitu selisih antara nilai investasi dengan nilai sekarang penerimaan kas bersih (aliran ks masuk/cash in) di waktu yang akan datang. Jika hasil menunjukkan positif, usulan investasi dapat dipertimbangkan untuk diterima (Arifin, 2007). NPV dihitung pada kondisi bunga 9% dan 15%. Metode perhitungan NPV dan BCR mengikuti metode Sumitro (2003) untuk contoh kasus HTI Akasia Mangium.

42 24 berikut ini : Diagram alir penelitian secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 3 BAHAN BAKAR DI PABRIK SEMEN Kelayakan Ekonomis Persentase kebutuhan bahan bakar per tahun Kayu (5%) Batu Bara (95%) Analisis Sifat Dasar BJ Kayu dan Kulit Nilai Kalor Kayu dan Kulit pada Kondisi Basah, Kering Udara dan Kering Tanur Kadar Abu Kayu dan Kulit Kelompok Faktor Umur/ kelas diameter Faktor Posisi Horisontal SB, Gmelina, Waru 2, 4 dan 6 th Teras, Gubal Gambar 3 Diagram alir penelitian.

43 25 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Berat Jenis, Nilai Kalor dan Kadar Abu. Pada penelitian ini, sampel tanaman diambil dari tanaman yang ditanam pada areal bekas tambang kawasan Pabrik Semen PT. Holcim di Narogong, kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor. Penghijauan sudah dilakukan oleh bagian lingkungan PT. Holcim sejak tahun 2001 seluas kurang lebih 50 Ha dengan berbagai tanaman yang dapat tumbuh pada kondisi yang kritis dan berpotensi sebagai kayu energi. Jenis yang telah ditanam diantaranya adalah sengon buto, waru, gmelina, lamtoro, trembesi, turi, gamal dan angsana. Tanaman sengon buto, waru dan gmelina digunakan dalam penelitian ini karena tersedia pada berbagai kelas umur. Berat jenis sengon buto, waru dan gmelina dianalisis berdasarkan faktor jenis, umur dan faktor posisi horisontal (gubal, teras dan kulit). Analisis berdasarkan faktor tersebut juga dilakukan dalam menghitung nilai kalor pada kondisi basah, kering udara dan kering tanur Berat Jenis Kayu dan Kulit Hasil pengujian berat jenis kayu menunjukkan rata-rata berat jenis kayu sengon buto adalah 0,50 dengan kisaran dari 0,48-0,52. Kayu waru memiliki rata-rata berat jenis 0,58 dengan kisaran dari 0,55-0,63. Kayu gmelina memiliki rata-rata berat jenis sebesar 0,57 dengan kisaran dari 0,51-0,63. Sementara itu untuk pengujian berat jenis kulit, kulit waru memiliki rata-rata berat jenis paling besar yaitu 0,47 dengan kisaran 0,44-0,49. Kulit gmelina memiliki rata-rata sebesar 0,46 dengan kisaran 0,44-0,49. Kulit sengon buto memiliki rata-rata 0,39 dengan kisaran 0,32-0,45. Secara umum, rata-rata berat jenis kayu lebih besar dibandingkan dengan berat jenis kulit. Sebagai contoh, kayu gmelina memiliki rata-rata berat jenis kayu sebesar 0,57 sedangkan rata-rata berat jenis kulitnya 0,47. Berat jenis kayu dan kulit juga meningkat seiring dengan pertambahan umur kayu. Sementara itu, berat jenis kayu gubal secara umum lebih rendah dibandingkan dengan kayu teras, kecuali pada beberapa sampel yang menunjukkan perbedaan. Sebagai contoh pada kayu sengon buto umur 4 tahun, rata-rata berat jenis kayu teras sebesar 0,50 dan

44 26 rata-rata berat jenis kayu gubal sebesar 0,49. Variasi perbedaan berat jenis berdasarkan faktor-faktor yang diteliti disajikan pada Gambar 4 berikut ini : 0,7 0,6 0,5 Berat jenis 0,4 0,3 0,2 0,1 gubal teras kulit rata-rata 0 sb2 sb4 sb6 wr2 wr4 wr6 gm2 gm4 gm6 Gambar 4 Berat jenis kayu sengon buto, waru dan gmelina pada umur dan posisi horisontal kayu yang berbeda. Keterangan : sb = sengon buto, wr = waru, gm = gmelina 2, 4 dan 6 = menunjukkan umur 2, 4 dan 6 tahun Rata-rata dihitung sesuai proporsi kayu dan kulit Berat jenis dan kerapatan dipengaruhi oleh kadar air, struktur sel, ekstraktif dan komposisi kimia. Berat jenis dan kerapatan bervariasi antara jenis, diantara jenis yang sama dalam satu spesies dan di dalam satu pohon. Kerapatan kulit luar kayu daun jarum bervariasi dari 0,29 sampai 0,70 g/cm 3, sedangkan kayu daun lebar berkisar antara 0,28 sampai 0,81 g/cm 3 (Tsoumis, 1991). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor jenis kayu, umur dan faktor posisi horisontal berpengaruh sangat nyata terhadap berat jenis baik pada taraf 1 % maupun 5 %. Sedangkan faktor interaksi antara umur dan faktor posisi horisontal tidak berpengaruh baik pada taraf 1% maupun 5% Nilai Kalor dan Kadar Abu Jenis dan umur kayu Hasil pengujian nilai kalor kayu menunjukkan bahwa rata-rata nilai kalor kayu sengon buto sebesar kkal/kg dengan kisaran kkal/kg kkal/kg. Kayu waru memiliki rata-rata nilai kalor sebesar kkal/kg dengan kisaran antara kkal/kg -i kkal/kg. Kayu gmelina memiliki rata-rata nilai kalor sebesar kkal/kg dengan kisaran antara kkal/kg kkal/kg. Pada bagian kulit, nilai kalor rata-ratanya lebih rendah dibandingkan

45 27 dengan kayu. Pada bagian kulit, rata-rata nilai kalor kulit sengon buto adalah kkal/kg dengan kisaran antara kkal/kg kkal/kg, kulit waru memiliki rata-rata nilai kalor sebesar kkal/kg dengan kisaran antara kka/kg kkal/kg dan kulit gmelina memiliki rata-rata nilai kalor sebesar kkal/kg dengan kisaran antara kkal/kg kkal/kg. Hasil rata-rata pengukuran nilai kalor menunjukkan bahwa secara umum nilai kalor kayu teras lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kalor kayu gubal kecuali pada beberapa sampel kayu menunjukkan hasil sebaliknya, misalnya kayu gubal gmelina umur 2 tahun nilai kalornya kkal/kg sedangkan nilai kalor kayu terasnya sebesar kkal/kg. Perbedaan nilai kalor pada kayu menurut faktor-faktor yang diteliti disajikan pada Gambar 5 berikut ini: 6000 NIlai kalor (kkal/kg) sb2 sb4 sb6 wr2 wr4 wr6 gm2 gm4 gm6 Jenis dan umur kayu gubal teras kulit rata-rata Gambar 5 Nilai kalor kayu sengon buto, waru dan gmelina pada umur dan posisi horisontal kayu yang berbeda. Keterangan : sb = sengon buto, wr = waru, gm = gmelina 2, 4 dan 6 = menunjukkan umur 2, 4 dan 6 tahun Rata-rata dihitung sesuai proporsi kayu dan kulit Hasil analisis sidik ragam terhadap nilai kalor kayu menunjukkan bahwa perbedaan posisi horisontal (gubal, teras dan kulit) berpengaruh nyata terhadap nilai kalor kayu baik pada taraf 1 % maupun 5 %. Sedangkan faktor jenis, umur kayu dan faktor interaksi antara jenis dan umur tidak berpengaruh yang nyata terhadap nilai kalor baik pada taraf 1 % maupun 5 %. Pengujian terhadap kadar abu mendapatkan hasil rata-rata kadar abu kulit sengon buto adalah 4,82%. Rata-rata kadar abu kulit waru dan gmelina masingmasing sebesar 4,23% dan 4,06%. Rata-rata kadar abu seluruh sampel kulit yang

46 28 diteliti sebesar 4,37%. Rata-rata kadar abu kayu sengon buto adalah 0,65%. Kayu waru dan gmelina memiliki rata-rata kadar abu masing masing sebesar 1,27 dan 1,11%. Rata-rata kadar abu seluruh sampel kayu (gubal dan teras) adalah 1,01%. Hasil perhitungan ini masih dalam kisaran kadar abu yang disajikan oleh Tsoumis (1991), yaitu kadar abu kayu daun jarum berkisar antara 0,02 1,1%, kayu daun lebar berkisar antara 0,1 5,4% dan kulit kayu berkisar antara 0,6 10,7%. Variasi rata-rata kadar abu pada seluruh sampel yang diteliti dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini : 6 5 Kadar abu (%) sb2 sb4 sb6 wr2 wr4 wr6 gm2 gm4 gm6 Jenis dan umur kayu gubal teras kulit rata-rata Gambar 6 Kadar abu kayu sengon buto, waru dan gmelina pada umur dan posisi horisontal kayu yang berbeda. Keterangan : sb = sengon buto, wr = waru, gm = gmelina 2, 4 dan 6 = menunjukkan umur 2, 4 dan 6 tahun Rata-rata dihitung sesuai proporsi kayu dan kulit Dari gambar 6 diatas terlihat bahwa rata-rata kadar abu kayu memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata kadar abu kulit. Rata-rata kadar abu kayu sebesar 1,01% sedangkan rata-rata kadar abu kulit sebesar 4,37%. Hal ini sesuai dengan apa yang disajikan oleh Tsoumis (1991), yaitu kadar abu kulit (khususnya kulit bagian dalam) memiliki kandungan inorganik lebih besar dibandingkan dengan kayu gubal. Hasil analisis sidik ragam terhadap kadar abu menunjukkan bahwa perbedaan posisi horisontal (gubal, teras dan kulit) berpengaruh sangat nyata terhadap kadar abu baik pada taraf 1% maupun 5%. Sedangkan faktor jenis, umur kayu dan faktor interaksi antara jenis dan umur tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu baik pada taraf 1% maupun 5%.

47 29 Abu menunjukkan kandungan bahan inorganik kayu yang merupakan sisa setelah pembakaran bahan organik. Abu dapat ditelusuri karena adanya senyawa yang tidak terbakar yang mengandung unsur-unsur seperti kalsium, kalium, magnesium, mangan dan silikon. Kayu yang mengandung silika lebih dari 0,3% akan menyebabkan alat pertukangan akan cepat tumpul (Haygreen et al., 2003). Abu pada sebuah pembakaran harus dihindari, karena dapat menyebabkan penumpukan abu dan mengganggu proses pembakaran. Pada proses produksi semen, kadar abu bukan merupakan masalah yang mengganggu, karena abu yang dihasilkan dari proses pembakaran juga merupakan salah satu bahan yang dicampur pada proses produksi sehingga tidak meninggalkan unsur abu dalam jumlah yang besar. Silika yang dihasilkan dalam proses pembakaran kayu juga merupakan salah satu bahan dasar pembuat semen Analisis hubungan antara kadar air dengan nilai kalor. Faktor utama yang berpengaruh terahadap nilai kalor kayu adalah berat jenis dan kadar air. Faktor lainnya adalah kandungan lignin dan adanya zat ekstraktif seperti resin dan tannin. Nilai kalor kayu yang mengandung kadar air dalam jumlah tertentu memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai kalor kayu pada saat kering tanur, karena sebagaian besar kalor hilang untuk menghilangkan dan menguapkan air (Panshin, 1970). Sementara itu menurut Haygreen et al. (2003), Faktor utama yang mempengaruhi nilai kalor kayu adalah kadar air. Nilai kalor kayu tertinggi dicapai jika kayu dalam kondisi kering tanur dan terus menurun dengan semakin tingginya kadar air di dalam kayu. Nilai kalor pada kondisi kering tanur disebut nilai kalor tertinggi (NKT), sedangkan nilai kalor pada kadar air tertentu disebut nilai kalor bersih (NKB). Pada penelitian ini, nilai kalor diukur pada tiga kondisi, yaitu pada kondisi kering tanur, kondisi kering udara dan kondisi basah. Nilai kalor pada kondisi kering tanur digunakan pada analisis faktor jenis kayu, posisi horisontal dan umur kayu terhadap nilai kalor. Pengukuran nilai kalor pada kadar air kering udara dan kadar air pada kondisi basah digunakan untuk melihat keeratan hubungan antara penurunan nilai kalor kayu dengan perubahan kadar air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan nilai kalor kayu sangat signifikan dengan

48 30 meningkatnya kadar air. Sebagai contoh, nilai kalor kayu sengon buto umur 4 tahun pada kadar air 7,96% sebesar kkal/kg, sedangkan pada kadar air 44,4% sebesar kkal/kg, penurunannya diatas 50% (selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4). Hasil regresi linier antara kadar air dan nilai kalor dapat dilihat pada Gambar 7 berikut ini : Nilai kalor (kkal/kg) y = -50,87x , R² = 0,943 0,00 20,00 40,00 60,00 80,00 Kadar air (%) Kalori Linear (Kalori) Gambar 7 Regresi linier antara nilai kalor dan kadar air. Dari Gambar 7 terlihat bahwa regresi linier antara nilai kalor dan kadar air didapatkan persamaan : Kadar air = -50,87 (nilai kalor) Dengan nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0,94 menunjukkan adanya korelasi yang tinggi antara pengurangan nilai kalor dengan perubahan kadar air. Hasil analsis sidik ragam (Lampiran 5) menunjukkan nilai f hitung yang sangat besar yaitu 394,18 sehigga dapat dikatakan dikatakan kadar air sangat nyata memiliki korelasi dengan nilai kalor, baik pada taraf nyata 5 % maupun 1 % Nilai Kalor dan Kadar Abu berdasarkan Proporsi Kayu dan Kulit. Hasil penelitian pada sub bab menunjukkan nilai kalor kayu berdasarkan faktor jenis, umur dan posisi horisontal secara parsial. Pada pemakaian kayu sebagai bahan bakar dalam industri, penggunaan kayu tidak dipisah-pisahkan antara kayu atau kulit, melainkan campuran keduanya atau bahkan campuran dengan jenis lainnya. Nilai kalor tertinggi dicapai jika kayu dalam kondisi kering tanur, yaitu sekitar kkal/kg. Dalam penggunaan kayu sebagai bahan bakar, mengeringkan kayu sampai kondisi kering tanur tidak

49 31 ekonomis dari segi biaya. Untuk mendapatkan nilai kalor optimum, kayu digunakan pada kondisi kering udara (kadar air 12%) dengan nilai kalor berkisar kkal/kg. Perbandingan nilai kalor kayu dibandingkan dengan batu bara yang digunakan dalam industri disajikan dalam Tabel 6 berikut ini : Tabel 6 Nilai kalor dan kadar abu tanaman yang ditanam di sekitar lokasi tambang dibandingkan dengan batu bara Parameter Jenis Kayu Kadar Air (%) Nilai Kalor (kkal/kg) Kadar Abu (%) Lamtoro (Leuchaena leucocephala) 10, ,78 Trembesi (Samanea saman) 10, ,92 Turi (Sesbandia grandiflora) 6, ,62 Gamal (Glirisidia maculate) 23, ,97 Angsana (Pterocarpus indica) 7, ,08 Sengon Buto (Enterolobium cylocarpum) ,08 Waru (Hibiscus tiliaceus) ,48 Gmelina (Gmelina arborea) ,47 Batu bara muda (lignite) 2, ,2 Batu bara 2, ,1 sampel diambil secara acak tanpa memperhatikan bagian kayu atau kulit. nilai kalor dan kadar abu merupakan rata-rata berdasarkan proporsi kayu dan kulit dan dimasukkan dalam rumus regresi pada kadar air 12%. Dari Tabel 6 di atas terlihat bahwa lamtoro pada kadar air 10,13% memiliki nilai kalor tertinggi dibandingkan dengan tanaman lainnya. Sedangkan kayu trembesi dengan kadar air 10,36 % memiliki nilai kalor terendah yaitu kkal/kg. Sementara itu, angsana memiliki kadar abu tertinggi yaitu 9,08 %, namun nilai ini masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan kadar abu batu bara muda sebesar 19,2 %. Nilai kalor sengon buto, waru dan gmelina pada kondisi kering udara (kadar air 12%) berdasarkan proporsi kayu dan kulit berada pada kisaran kkal/kg dengan kadar abu berada pada kisaran 1%. Batu bara dengan kualitas lebih baik memiliki nilai kalor kcal/kg pada kadar air 2,1 % dan kadar abu yang lebih kecil, yaitu 18,1 % Analisis Persentase Bahan Bakar yang dapat disubstitusi oleh Kayu. Tanaman digunakan sebagai kayu energi dengan dua alasan, yaitu riap pertumbuhan dan nilai kalor yang tinggi. Diantara jenis tanaman yang memiliki riap yang tinggi adalah jeunjing (Paraserianthes falcataria), yaitu 37,3 m 3 /ha/tahun, ki hujan (Samanea saman), yaitu 30,0 m 3 /ha/tahun. Tanaman lainnya

50 32 adalah kaliandra merah memiliki riap m 3 /ha/tahun (Lampiran 3). Pada percobaan jenis pohon kayu bakar yang ditanam di Gunung Bromo pada ketinggian ± 250 mdpl, jenis tanah latosol coklat, tipe iklim C dan curah hujan rata-rata tahunan 2000 mm. Pada umur 3 tahun, jenis yang tergolong memiliki pertumbuhan yang cepat adalah Gmelina arborea (280,67cm), yang pertumbuhannya sedang adalah Eucalyptus degulpta (176,67cm) dan yang termasuk rendah adalah Eucalyptus Alba (164,33cm) (Rostiwati, 2006). Sementara itu, hasil penelitian Asmarahman (2008) pada persemaian jenis pohon kayu bakar yang ditanam menggunakan media tanah pasca tambang menunjukkan hasil bahwa pada pengukuran diameter tanaman umur 4 bulan, sengon buto menunjukkan pertumbuhan diameter 2 kali lipat dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya. Jenis tanaman yang digunakan adalah sengon buto, lamtoro, kaliandra dan jeunjing dengan rata-rata pengukuran diameter tanaman pada umur 4 bulan berturut-turut adalah 5,46 cm, 2,10 cm, 1,72 cm dan 1,61 cm. Persentase nilai kalor kayu terhadap batu bara dihitung berdasarkan perhitungan potensi kayu lestari (dalam ton/th) yang ditanam pada areal seluas 850 Ha (Lampiran 8) kemudian dikalikan dengan rata-rata hasil pengukuran nilai kalor campuran antara kulit dan kayu pada ketiga jenis kayu. Hasil yang diperloleh kemudian dibandingkan dengan kebutuhan nilai kalor batu bara dalam setahun. Hasil perhitungan disajikan pada Tabel 7 berikut ini : Tabel 7 Proyeksi perhitungan kayu yang dapat mensubstitusi batu bara No. Uraian Sengon buto Waru Gmelina 1 Volume tebangan lestari (m 3 /th) Kerapatan kayu kering udara (kadar 0,55 0,65 0,62 air 12%) (g/cm 3 ) 3 Berat kayu kering udara (volume x kerapatan kayu) (ton). 4 Rata-rata nilai kalor kering udara, campuran kulit dan kayu (kkal/kg). 5 Nilai kalor yang dapat disubstitusi kayu pertahun (berat kayu x nilai kalor) (kkal) 1,27 x ,46 x ,43 x Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6 Berdasarkan kebutuhan batu bara selama setahun (data tahun 2006), yaitu sebesar ton dan menggunakan rata-rata nilai kalor kkal/kg, maka nilai kalor batu bara sebesar 2,9 x kkal/tahun. Jika dibandingkan dengan nilai

51 33 kalor kayu yang dapat di substitusi oleh kayu per tahun (Tabel 7), maka persentasenya terhadap nilai kalor batu bara disajikan pada Gambar 8 berikut ini : Gmelina 5,03% Waru 5,14% Sengon Buto 4,49% Gambar 8 Persentase nilai kalor kayu dibandingkan dengan nilai kalor batu bara per tahun Dari Gambar 8 diatas dapat dilihat bahwa persentase bahan bakar yang paling besar adalah jenis kayu gmelina, yaitu 5,14 %. Kayu waru dan sengon buto masing-masing memberikan kontribusi sebesar 5,03% dan 4,49% terhadap kebutuhan batu bara selama setahun. Persentase ini dipengaruhi oleh perhitungan jatah tebang lestari, kerapatan dan nilai kalor. Kayu sengon buto memiliki volume tebangan lestari terbesar yaitu m 3 /th, tetapi karena kerapatan dan nilai kalornya kecil, persentase terhadap kebutuhan batu bara menunjukkan nilai paling kecil yaitu dibandingkan dengan kedua jenis lainnya Analisis Teknis Kayu Sebagai Bahan Bakar di Pabrik Semen Kegiatan percobaan teknis pencampuran kayu dengan batu bara mulai dilakukan pada tanggal 27 Juni Kayu yang digunakan pada percobaan teknis adalah kayu sengon buto dan beberapa jenis lainya seperti lamtoro, trembesi, gamal, waru dan gmelina (selengkapnya seperti yang telah disajikan pada Tabel 6). Semua jenis kayu yang digunakan tersedia di sekitar areal pertambangan, hasil penghijauan yang dilakukan sejak tahun Bentuk kayu yang akan di campur pada proses pembakaran adalah bentuk chip. Oleh karena itu, setelah kayu ditebang (Gambar 9), selanjutnya dijadikan chip dengan menggunakan wood chipper produksi lokal yang memiliki kapasitas yang

52 34 terbatas. Dengan alat ini, dibutuhkan waktu 8 jam untuk mempersiapkan 1 ton chip kayu (dari proses penebangan sampai kayu menjadi chip) ). Wood chipper dengan kapasitas 3 15 ton/jam (Gambar 10) pada saat percobaan ini dilaksanakan sedang dalam proses pengadaan. Gambar 9 Potongan kayu Sengon buto umur 4 tahun Gambar 10 Wood chipper tipe CH260HF (inset : chip kayu) Chip yang dihasilkan dari wood chipper masih memilikii kadar air yang cukup tinggi (diatas 40%), oleh karena itu dilakukan proses pengeringan untuk mendapatkan kadar air kering udara. Pengeringan dilakukan di gudang penyimpanan selama 7 hari. Gudang penyimpanan dibuat dengann ukuran panjang

53 35 dan lebarnya 20 x 8 meter dengan tinggi tiang atap 4 meter. Sebelum dicampur dengan batu bara, sampel chip kayu di ukur kadar air dan nilai kalornya. Pengukuran kadar air dan nilai kalor pada pabrik semen adalah kegiatan periodik. Setiap ada perubahan komposisi bahan bakar maupun stok batu bara yang baru masuk selalu di ukur nilai kalornya. Hal ini dilakukan untuk memprediksi nilai kalor total yang dibutuhkan selama proses pembakaran. Kayu merupakan bahan yang higroskopis, yaitu mudah menyerap dan melepaskan air. Oleh karena itu untuk mencegah agar kayu tidak basah oleh air hujan secara langsung, gudang penimbunan kayu dibuat menggunakan atap. Berbeda dengan batu bara yang tidak mudah menyerap air, penyimpanannya dapat dilakukan pada tempat terbuka tanpa atap (Gambar 11 dan 12). Gambar 11 Gudang penyimpanan kayu. Gambar 12 Tempat penimbunan batu bara.

ASPEK TEKNIS DAN KELAYAKAN EKONOMIS PEMANFAATAN KAYU SEBAGAI BAHAN BAHAN BAKAR SUBSITUSI DI PABRIK SEMEN : STUDI KASUS DI PT.

ASPEK TEKNIS DAN KELAYAKAN EKONOMIS PEMANFAATAN KAYU SEBAGAI BAHAN BAHAN BAKAR SUBSITUSI DI PABRIK SEMEN : STUDI KASUS DI PT. ASPEK TEKNIS DAN KELAYAKAN EKONOMIS PEMANFAATAN KAYU SEBAGAI BAHAN BAHAN BAKAR SUBSITUSI DI PABRIK SEMEN : STUDI KASUS DI PT. HOLCIM NAROGONG TEKAT DWI CAHYONO PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

Aspek Thermofisis Pemanfaatan Kayu. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 1(1): (20) Tekat DWI CAHYONO 1, Zahrial COTO 2, Fauzi FEBRIANTO 3

Aspek Thermofisis Pemanfaatan Kayu. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 1(1): (20) Tekat DWI CAHYONO 1, Zahrial COTO 2, Fauzi FEBRIANTO 3 5 ASPEK THERMOFISIS PEMANFAATAN KAYU SEBAGAI BAHAN BAKAR SUBSTITUSI DI PABRIK SEMEN Thermophisic Aspect of Wood Utilization as Substitution Fuel at Cement Factory Tekat DWI CAHYONO, Zahrial COTO 2, Fauzi

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI KALOR DAN KELAYAKAN EKONOMIS KAYU SEBAGAI BAHAN BAKAR SUBSTITUSI BATU BARA DI PABRIK SEMEN 1)

ANALISIS NILAI KALOR DAN KELAYAKAN EKONOMIS KAYU SEBAGAI BAHAN BAKAR SUBSTITUSI BATU BARA DI PABRIK SEMEN 1) Analisis Nilai Kalor Dan Kelayakan Ekonomis Kayu Sebagai Bahan Bakar (T.D. Cahyono et al.) ANALISIS NILAI KALOR DAN KELAYAKAN EKONOMIS KAYU SEBAGAI BAHAN BAKAR SUBSTITUSI BATU BARA DI PABRIK SEMEN 1) (Heat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Berat Jenis, Nilai Kalor dan Kadar Abu. Pada penelitian ini, sampel tanaman diambil dari tanaman yang ditanam pada areal bekas tambang kawasan Pabrik Semen PT. Holcim di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. energi untuk melakukan berbagai macam kegiatan seperti kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. energi untuk melakukan berbagai macam kegiatan seperti kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan bakar adalah suatu materi yang dapat dikonversi menjadi energi untuk melakukan berbagai macam kegiatan seperti kegiatan transportasi, industri pabrik, industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan pasokan energi dalam negeri. Menurut Pusat Data dan Informasi Energi dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dengan pasokan energi dalam negeri. Menurut Pusat Data dan Informasi Energi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan energi di Indonesia terus meningkat namun belum sebanding dengan pasokan energi dalam negeri. Menurut Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 19 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pabrik Semen PT. Holcim, Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor dan Laboratorium Kayu Solid Fakultas

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH SEKAM PADI MENJADI BRIKET SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF DENGAN PROSES KARBONISASI DAN NON-KARBONISASI

PEMANFAATAN LIMBAH SEKAM PADI MENJADI BRIKET SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF DENGAN PROSES KARBONISASI DAN NON-KARBONISASI PEMANFAATAN LIMBAH SEKAM PADI MENJADI BRIKET SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF DENGAN PROSES KARBONISASI DAN NON-KARBONISASI Yunus Zarkati Kurdiawan / 2310100083 Makayasa Erlangga / 2310100140 Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. diperbahurui makin menipis dan akan habis pada suatu saat nanti, karena itu

PENDAHULUAN. diperbahurui makin menipis dan akan habis pada suatu saat nanti, karena itu PENDAHULUAN Latar Belakang Energi merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan saat ini konsumsi meningkat. Namun cadangan bahan bakar konvesional yang tidak dapat diperbahurui makin menipis dan akan

Lebih terperinci

Pemanfaatan Limbah Sekam Padi Menjadi Briket Sebagai Sumber Energi Alternatif dengan Proses Karbonisasi dan Non-Karbonisasi

Pemanfaatan Limbah Sekam Padi Menjadi Briket Sebagai Sumber Energi Alternatif dengan Proses Karbonisasi dan Non-Karbonisasi JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 Pemanfaatan Limbah Sekam Padi Menjadi Briket Sebagai Sumber Energi Alternatif dengan Proses Karbonisasi dan Non-Karbonisasi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indocement. Bosowa Maros Semen Tonasa. Semen Kupang

1. PENDAHULUAN. Indocement. Bosowa Maros Semen Tonasa. Semen Kupang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semen adalah komoditas yang strategis bagi Indonesia. Sebagai negara yang terus melakukan pembangunan, semen menjadi produk yang sangat penting. Terlebih lagi, beberapa

Lebih terperinci

ANALISA KUALITAS BRIKET ARANG KULIT DURIAN DENGAN CAMPURAN KULIT PISANG PADA BERBAGAI KOMPOSISI SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF

ANALISA KUALITAS BRIKET ARANG KULIT DURIAN DENGAN CAMPURAN KULIT PISANG PADA BERBAGAI KOMPOSISI SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF ANALISA KUALITAS BRIKET ARANG KULIT DURIAN DENGAN CAMPURAN KULIT PISANG PADA BERBAGAI KOMPOSISI SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF Paisal 1), Muhammad Said Karyani. 2) 1),2) Jurusan Teknik Mesin Politeknik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan TINJAUAN PUSTAKA Papan Partikel Menurut Badan Standardisasi Nasional (2010) papan partikel merupakan papan yang terbuat dari bahan berlignoselulosa yang dibuat dalam bentuk partikel dengan menggunakan

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 AREN (Arenga pinnata) Pohon aren (Arenga pinnata) merupakan pohon yang belum banyak dikenal. Banyak bagian yang bisa dimanfaatkan dari pohon ini, misalnya akar untuk obat tradisional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini, Indonesia sedang berkembang menjadi sebuah negara industri. Sebagai suatu negara industri, tentunya Indonesia membutuhkan sumber energi yang besar. Dan saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. krusial di dunia. Peningkatan pemakaian energy disebabkan oleh pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. krusial di dunia. Peningkatan pemakaian energy disebabkan oleh pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahan bakar (minyak, gas dan batu bara) merupakan persoalan yang krusial di dunia. Peningkatan pemakaian energy disebabkan oleh pertumbuhan populasi penduduk dan menipisnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (waferboard) yang terbuat dari limbah kayu yang ditemukan oleh ilmuwan Amerika

TINJAUAN PUSTAKA. (waferboard) yang terbuat dari limbah kayu yang ditemukan oleh ilmuwan Amerika TINJAUAN PUSTAKA Oriented Strand Board (OSB) Awalnya produk OSB merupakan pengembangan dari papan wafer (waferboard) yang terbuat dari limbah kayu yang ditemukan oleh ilmuwan Amerika pada tahun 1954. Limbah-limbah

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BIOBRIKET CAMPURAN AMPAS AREN, SEKAM PADI, DAN BATUBARA SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF

KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BIOBRIKET CAMPURAN AMPAS AREN, SEKAM PADI, DAN BATUBARA SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BIOBRIKET CAMPURAN AMPAS AREN, SEKAM PADI, DAN BATUBARA SEBAGAI BAHAN BAKAR ALTERNATIF Joko Triyanto, Subroto, Marwan Effendy Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan energi semakin meningkat seiring dengan laju pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan energi semakin meningkat seiring dengan laju pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan energi semakin meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Sumber energi yang digunakan masih mengandalkan pada energi fosil yang merupakan sumber

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMBUATAN BRIKET ARANG DARI LIMBAH BLOTONG PABRIK GULA DENGAN PROSES KARBONISASI SKRIPSI

LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMBUATAN BRIKET ARANG DARI LIMBAH BLOTONG PABRIK GULA DENGAN PROSES KARBONISASI SKRIPSI LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMBUATAN BRIKET ARANG DARI LIMBAH BLOTONG PABRIK GULA DENGAN PROSES KARBONISASI SKRIPSI OLEH : ANDY CHRISTIAN 0731010003 PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

Lebih terperinci

PEMBUATAN BRIKET BIOARANG DARI ARANG SERBUK GERGAJI KAYU JATI

PEMBUATAN BRIKET BIOARANG DARI ARANG SERBUK GERGAJI KAYU JATI PEMBUATAN BRIKET BIOARANG DARI ARANG SERBUK GERGAJI KAYU JATI Angga Yudanto (L2C605116) dan Kartika Kusumaningrum (L2C605152) Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Jln. Prof. Sudharto,

Lebih terperinci

SEMINAR TUGAS AKHIR. Oleh : Wahyu Kusuma A Pembimbing : Ir. Sarwono, MM Ir. Ronny Dwi Noriyati, M.Kes

SEMINAR TUGAS AKHIR. Oleh : Wahyu Kusuma A Pembimbing : Ir. Sarwono, MM Ir. Ronny Dwi Noriyati, M.Kes SEMINAR TUGAS AKHIR KAJIAN EKSPERIMENTAL TERHADAP KARAKTERISTIK PEMBAKARAN BRIKET LIMBAH AMPAS KOPI INSTAN DAN KULIT KOPI ( STUDI KASUS DI PUSAT PENELITIAN KOPI DAN KAKAO INDONESIA ) Oleh : Wahyu Kusuma

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun taksonomi tanaman kelapa sawit menurut Syakir et al. (2010) Nama Elaeis guineensis diberikan oleh Jacquin pada tahun 1763

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun taksonomi tanaman kelapa sawit menurut Syakir et al. (2010) Nama Elaeis guineensis diberikan oleh Jacquin pada tahun 1763 16 TINJAUAN PUSTAKA A. Kelapa sawit Adapun taksonomi tanaman kelapa sawit menurut Syakir et al. (2010) adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Ordo Famili Sub famili Genus Spesies : Plantae

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan diameternya mencapai 1 m. Bunga dan buahnya berupa tandan,

TINJAUAN PUSTAKA. sedangkan diameternya mencapai 1 m. Bunga dan buahnya berupa tandan, [ TINJAUAN PUSTAKA Batang Kelapa Sawit Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tumbuhan tropis yang berasal dari Nigeria (Afrika Barat). Tinggi kelapa sawit dapat mencapai 24 m sedangkan diameternya

Lebih terperinci

5.1 PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. secara terpadu. Perusahaan ini termasuk perusahaan perseroan terbatas dengan

5.1 PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. secara terpadu. Perusahaan ini termasuk perusahaan perseroan terbatas dengan V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk adalah salah satu produsen semen terbesar di Indonesia yang memproduksi berbagai jenis semen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan target luas lahan yang ditanam sebesar hektar (Atmosuseno,

BAB I PENDAHULUAN. dengan target luas lahan yang ditanam sebesar hektar (Atmosuseno, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sengon merupakan salah satu tanaman cepat tumbuh yang dipilih dalam program pembangunan hutan tanaman industri (HTI) karena memiliki produktivitas yang tinggi dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar, plafon, dan

TINJAUAN PUSTAKA. perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar, plafon, dan TINJAUAN PUSTAKA A. Papan Partikel A.1. Definisi papan partikel Kayu komposit merupakan kayu yang biasa digunakan dalam penggunaan perabot rumah tangga, rak, lemari, penyekat dinding, laci, lantai dasar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Millenium yang ketiga ini manusia tidak pernah jauh dari bangunan yang terbuat dari Beton. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biomassa BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Biomassa meliputi semua bahan yang bersifat organik ( semua makhluk yang hidup atau mengalami pertumbuhan dan juga residunya ) (Elbassan dan Megard, 2004). Biomassa

Lebih terperinci

PEMANFATAN LIMBAH SERBUK GERGAJI ULIN DAN KAYU BIASA SEBAGAI ENERGI ALTERNATIF PENGGANTI BAHAN BAKAR MINYAK

PEMANFATAN LIMBAH SERBUK GERGAJI ULIN DAN KAYU BIASA SEBAGAI ENERGI ALTERNATIF PENGGANTI BAHAN BAKAR MINYAK p-issn: 2088-6991 Jurnal Tarbiyah (Jurnal Ilmiah Kependidikan) e-issn: 2548-8376 Desember 2017 PEMANFATAN LIMBAH SERBUK GERGAJI ULIN DAN KAYU BIASA SEBAGAI ENERGI ALTERNATIF PENGGANTI BAHAN BAKAR MINYAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Secara umum ketergantungan manusia akan kebutuhan bahan bakar

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Secara umum ketergantungan manusia akan kebutuhan bahan bakar BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Secara umum ketergantungan manusia akan kebutuhan bahan bakar yang berasal dari fosil dari tahun ke tahun semakin meningkat, sedangkan ketersediaannya semakin berkurang

Lebih terperinci

SIFAT PANAS, AKUSTIK DAN ELEKTRIK PADA KAYU

SIFAT PANAS, AKUSTIK DAN ELEKTRIK PADA KAYU KARYA TULIS SIFAT PANAS, AKUSTIK DAN ELEKTRIK PADA KAYU Disusun Oleh: APRI HERI ISWANTO, S.Hut, M.Si NIP. 132 303 844 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2008 KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Salah satu sumberdaya alam Indonesia dengan jumlah yang

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Salah satu sumberdaya alam Indonesia dengan jumlah yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan sumberdaya alam yang melimpah. Salah satu sumberdaya alam Indonesia dengan jumlah yang melimpah adalah batubara. Cadangan batubara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ( Jamilah, 2009 ). Menurut Direktorat Bina Produksi Kehutanan (2006) bahwa

BAB I PENDAHULUAN. ( Jamilah, 2009 ). Menurut Direktorat Bina Produksi Kehutanan (2006) bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan manusia terhadap kayu sebagai konstruksi, bangunan atau furniture terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertambahan jumlah penduduk, sementara ketersediaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jati Tectona grandis Linn. f. atau jati merupakan salah satu tumbuhan yang masuk dalam anggota famili Verbenaceae. Di Indonesia dikenal juga dengan nama deleg, dodolan, jate,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, definisi biomassa adalah jumlah

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, definisi biomassa adalah jumlah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Biomassa adalah bahan biologis yang berasal dari organisme atau makhluk hidup. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, definisi biomassa adalah jumlah keseluruhan organisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ada dibumi ini, hanya ada beberapa energi saja yang dapat digunakan. seperti energi surya dan energi angin.

BAB I PENDAHULUAN. yang ada dibumi ini, hanya ada beberapa energi saja yang dapat digunakan. seperti energi surya dan energi angin. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan energi pada saat ini dan pada masa kedepannya sangatlah besar. Apabila energi yang digunakan ini selalu berasal dari penggunaan bahan bakar fosil tentunya

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK CAMPURAN BATUBARA DAN VARIASI ARANG SERBUK GERGAJI DENGAN PENAMBAHAN ARANG TEMPURUNG KELAPA DALAM PEMBUATAN BRIKET

KARAKTERISTIK CAMPURAN BATUBARA DAN VARIASI ARANG SERBUK GERGAJI DENGAN PENAMBAHAN ARANG TEMPURUNG KELAPA DALAM PEMBUATAN BRIKET KARAKTERISTIK CAMPURAN BATUBARA DAN VARIASI ARANG SERBUK GERGAJI DENGAN PENAMBAHAN ARANG TEMPURUNG KELAPA DALAM PEMBUATAN BRIKET Siti Hosniah*, Saibun Sitorus dan Alimuddin Jurusan Kimia FMIPA Universitas

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH PEMBAKARAN BRIKET CAMPURAN AMPAS TEBU DAN SEKAM PADI DENGAN MEMBANDINGKAN PEMBAKARAN BRIKET MASING-MASING BIOMASS

ANALISIS PENGARUH PEMBAKARAN BRIKET CAMPURAN AMPAS TEBU DAN SEKAM PADI DENGAN MEMBANDINGKAN PEMBAKARAN BRIKET MASING-MASING BIOMASS ANALISIS PENGARUH PEMBAKARAN BRIKET CAMPURAN AMPAS TEBU DAN SEKAM PADI DENGAN MEMBANDINGKAN PEMBAKARAN BRIKET MASING-MASING BIOMASS Tri Tjahjono, Subroto, Abidin Rachman Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI TUNGKU PEMBAKARAN DENGAN AIR HEATER TANPA SIRIP

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI TUNGKU PEMBAKARAN DENGAN AIR HEATER TANPA SIRIP PENGEMBANGAN TEKNOLOGI TUNGKU PEMBAKARAN DENGAN AIR HEATER TANPA SIRIP Putro S., Sumarwan Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik, Universitas Muhamadiyah Surakarta Jalan Ahmad Yani Tromol Pos I Pebelan,

Lebih terperinci

ANALISA NILAI KALOR BRIKET DARI CAMPURAN AMPAS TEBU DAN BIJI BUAH KEPUH

ANALISA NILAI KALOR BRIKET DARI CAMPURAN AMPAS TEBU DAN BIJI BUAH KEPUH ANALISA NILAI KALOR BRIKET DARI CAMPURAN AMPAS TEBU DAN BIJI BUAH KEPUH Hidro Andriyono 1), Prantasi Harmi Tjahjanti 2) 1,2) Prodi Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (UMSIDA) Jalan Raya Gelam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pra Rancangan Pabrik Pembuatan Bio Oil Dengan Bahan Baku Tandan Kosong Kelapa Sawit Melalui Proses Pirolisis Cepat

BAB I PENDAHULUAN. Pra Rancangan Pabrik Pembuatan Bio Oil Dengan Bahan Baku Tandan Kosong Kelapa Sawit Melalui Proses Pirolisis Cepat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Selama ini Indonesia menggunakan BBM (Bahan Bakar Minyak) sebagai sumber daya energi primer secara dominan dalam perekonomian nasional.pada saat ini bahan bakar minyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Batu bara

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Batu bara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sumber daya alam atau biasa disingkat SDA adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan hidup manusia agar hidup lebih sejahtera yang

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL

Lebih terperinci

Studi Awal Pembuatan Komposit Papan Serat Berbahan Dasar Ampas Sagu

Studi Awal Pembuatan Komposit Papan Serat Berbahan Dasar Ampas Sagu Studi Awal Pembuatan Komposit Papan Serat Berbahan Dasar Ampas Sagu Mitra Rahayu1,a), Widayani1,b) 1 Laboratorium Biofisika, Kelompok Keilmuan Fisika Nuklir dan Biofisika, Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

Studi Kualitas Briket dari Tandan Kosong Kelapa Sawit dengan Perekat Limbah Nasi

Studi Kualitas Briket dari Tandan Kosong Kelapa Sawit dengan Perekat Limbah Nasi Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan ISSN: 2085-1227 Volume 5, Nomor 1, Januari 2013 Hal. 27-35 Studi Kualitas Briket dari Tandan Kosong Kelapa Sawit dengan Perekat Limbah Nasi Hijrah Purnama Putra 1)

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH CAIR TAPIOKA UNTUK PENGHASIL BIOGAS SKALA LABORATORIUM. Mhd F Cholis Kurniawan

PEMANFAATAN LIMBAH CAIR TAPIOKA UNTUK PENGHASIL BIOGAS SKALA LABORATORIUM. Mhd F Cholis Kurniawan PEMANFAATAN LIMBAH CAIR TAPIOKA UNTUK PENGHASIL BIOGAS SKALA LABORATORIUM Mhd F Cholis Kurniawan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN TESIS DAN MENGENAI SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB III PROSES PEMBAKARAN

BAB III PROSES PEMBAKARAN 37 BAB III PROSES PEMBAKARAN Dalam pengoperasian boiler, prestasi yang diharapkan adalah efesiensi boiler tersebut yang dinyatakan dengan perbandingan antara kalor yang diterima air / uap air terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Kebutuhan kayu yang semakin meningkat membutuhkan kenaikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Kebutuhan kayu yang semakin meningkat membutuhkan kenaikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kebutuhan kayu yang semakin meningkat membutuhkan kenaikan pasokan bahan baku, baik dari hutan alam maupun hutan tanaman. Namun, produksi kayu dari hutan alam menurun

Lebih terperinci

PAPAN PARTIKEL DARI CAMPURAN LIMBAH ROTAN DAN PENYULINGAN KULIT KAYU GEMOR (Alseodaphne spp)

PAPAN PARTIKEL DARI CAMPURAN LIMBAH ROTAN DAN PENYULINGAN KULIT KAYU GEMOR (Alseodaphne spp) Papan partikel dari campuran limbah rotan dan penyulingan PAPAN PARTIKEL DARI CAMPURAN LIMBAH ROTAN DAN PENYULINGAN KULIT KAYU GEMOR (Alseodaphne spp) Particle Board from Mixture of Rattan Waste and Gemor

Lebih terperinci

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk ALFARED FERNANDO SIAHAAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat menyebabkan permintaan energi semakin meningkat pula. Sektor energi memiliki peran penting dalam rangka mendukung kelangsungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Kelapa sawit termasuk tanaman keras (tahunan) yang mulai menghasilkan pada umur 3 tahun dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tandan Kosong Sawit Jumlah produksi kelapa sawit di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, pada tahun 2010 mencapai 21.958.120 ton dan pada tahun 2011 mencapai

Lebih terperinci

Jurnal Penelitian Teknologi Industri Vol. 6 No. 2 Desember 2014 Hal :

Jurnal Penelitian Teknologi Industri Vol. 6 No. 2 Desember 2014 Hal : Jurnal Penelitian Teknologi Industri Vol. 6 No. 2 Desember 2014 Hal : 95-102 ISSN NO:2085-580X PENGARUH JUMLAH TEPUNG KANJI PADA PEMBUATAN BRIKET ARANG TEMPURUNG PALA THE EFFECT OF TAPIOCA STARCH VARIATION

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PE ELITIA

III. METODOLOGI PE ELITIA 10 III. METODOLOGI PE ELITIA 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di areal IUPHHK PT. DRT, Riau. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan dua tahap, yaitu tahap pertama pengambilan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI TUNGKU PEMBAKARAN MENGGUNAKAN AIR HEATER YANG DIPASANG DIDINDING BELAKANG TUNGKU

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI TUNGKU PEMBAKARAN MENGGUNAKAN AIR HEATER YANG DIPASANG DIDINDING BELAKANG TUNGKU NASKAH PUBLIKASI KARYA ILMIAH PENGEMBANGAN TEKNOLOGI TUNGKU PEMBAKARAN MENGGUNAKAN AIR HEATER YANG DIPASANG DIDINDING BELAKANG TUNGKU Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Program Studi Strata

Lebih terperinci

Jenis-jenis kayu untuk konstruksi Bangunan

Jenis-jenis kayu untuk konstruksi Bangunan Jenis-jenis kayu untuk konstruksi Bangunan Jenis-jenis kayu untuk konstruksi di proyek- Pada kesempatan ini saya akan berbagi informasi tentang Jenis-jenis kayu untuk konstruksi Bangunan Kayu adalah material

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Biomassa Guna memperoleh pengertian yang menyeluruh mengenai gasifikasi biomassa, maka diperlukan pengertian yang tepat mengenai definisi biomassa. Biomassa didefinisikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan merupakan unsur terpenting bagi semua makhluk hidup di bumi, karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hutan juga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Biomassa Biomassa merupakan bahan organik dalam vegetasi yang masih hidup maupun yang sudah mati, misalnya pada pohon (daun, ranting, cabang, dan batang utama) dan biomassa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banyaknya jumlah kendaraan bermotor merupakan konsumsi terbesar pemakaian

BAB I PENDAHULUAN. Banyaknya jumlah kendaraan bermotor merupakan konsumsi terbesar pemakaian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyaknya jumlah kendaraan bermotor merupakan konsumsi terbesar pemakaian bahan bakar dan penghasil polusi udara terbesar saat ini. Pada 2005, jumlah kendaraan bermotor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum tentang Pinus 2.1.1. Habitat dan Penyebaran Pinus di Indonesia Menurut Martawijaya et al. (2005), pinus dapat tumbuh pada tanah jelek dan kurang subur, pada tanah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus) berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus) berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Morfologi Tanaman Gladiol Gladiol (Gladiolus hybridus) berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti pedang sesuai dengan bentuk daunnya yang meruncing dan memanjang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia saat ini sedang bergerak menjadi sebuah negara industri. Sebagai negara industri, Indonesia pasti membutuhkan sumber energi yang besar yang bila tidak diantisipasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanpa disadari pengembangan mesin tersebut berdampak buruk terhadap

I. PENDAHULUAN. tanpa disadari pengembangan mesin tersebut berdampak buruk terhadap I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mesin pada mulanya diciptakan untuk memberikan kemudahan bagi manusia dalam melakukan kegiatan yang melebihi kemampuannya. Umumnya mesin merupakan suatu alat yang berfungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya energi, manusia dapat menjalankan aktivitasnya dengan lancar. Saat

BAB I PENDAHULUAN. adanya energi, manusia dapat menjalankan aktivitasnya dengan lancar. Saat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Energi merupakan salah satu kebutuhan vital manusia karena dengan adanya energi, manusia dapat menjalankan aktivitasnya dengan lancar. Saat ini energi yang banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Hampir setiap produk menggunakan plastik sebagai kemasan atau

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Hampir setiap produk menggunakan plastik sebagai kemasan atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan teknologi plastik membuat aktivitas produksi plastik terus meningkat. Hampir setiap produk menggunakan plastik sebagai kemasan atau bahan dasar. Material plastik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Mutu Kekakuan Lamina BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penyusunan lamina diawali dengan melakukan penentuan mutu pada tiap ketebalan lamina menggunakan uji non destructive test. Data hasil pengujian NDT

Lebih terperinci

Efisiensi PLTU batubara

Efisiensi PLTU batubara Efisiensi PLTU batubara Ariesma Julianto 105100200111051 Vagga Satria Rizky 105100207111003 Sumber energi di Indonesia ditandai dengan keterbatasan cadangan minyak bumi, cadangan gas alam yang mencukupi

Lebih terperinci

SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI

SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI SIFAT FISIS MEKANIS PANEL SANDWICH DARI TIGA JENIS BAMBU FEBRIYANI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN Febriyani. E24104030. Sifat Fisis Mekanis Panel Sandwich

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Karbon Aktif Grade Industri Dari Tempurung Kelapa dengan Kapasitas 4000 ton/tahun BAB I PENGANTAR

Prarancangan Pabrik Karbon Aktif Grade Industri Dari Tempurung Kelapa dengan Kapasitas 4000 ton/tahun BAB I PENGANTAR BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Perkembangan industri di Indonesia mengalami peningkatan secara kualitatif maupun kuantitatif, khususnya industri kimia. Hal ini menyebabkan kebutuhan bahan baku dan bahan

Lebih terperinci

PEMBUATAN BATANG SILINDRIS DENGAN VARIASI UKURAN PARTIKEL SEKAM DARI SEKAM PADI

PEMBUATAN BATANG SILINDRIS DENGAN VARIASI UKURAN PARTIKEL SEKAM DARI SEKAM PADI Available online at Website http://ejournal.undip.ac.id/index.php/rotasi PEMBUATAN BATANG SILINDRIS DENGAN VARIASI UKURAN PARTIKEL SEKAM DARI SEKAM PADI *Norman Iskandar, Agung Eko Wicaksono, Moh Farid

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH KAYU (BIOMASSA) UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK. PT. Harjohn Timber. Penerima Penghargaan Energi Pratama Tahun 2011 S A R I

PEMANFAATAN LIMBAH KAYU (BIOMASSA) UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK. PT. Harjohn Timber. Penerima Penghargaan Energi Pratama Tahun 2011 S A R I PEMANFAATAN LIMBAH KAYU (BIOMASSA) UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK PT. Harjohn Timber Penerima Penghargaan Energi Pratama Tahun 2011 S A R I PT. Harjhon Timber adalah salah satu Penerima Penghargaan Energi Pratama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Tanaman adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam Hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperbaharui (non renewable ). Jumlah konsumsi bahan bakar fosil baik

BAB I PENDAHULUAN. diperbaharui (non renewable ). Jumlah konsumsi bahan bakar fosil baik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Bahan bakar fosil adalah termasuk bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui (non renewable ). Jumlah konsumsi bahan bakar fosil baik minyak bumi, gas alam, ataupun

Lebih terperinci

Pemanfaatan Limbah Tongkol Jagung dan Tempurung Kelapa Menjadi Briket Sebagai Sumber Energi Alternatif dengan Proses Karbonisasi dan Non Karbonisasi

Pemanfaatan Limbah Tongkol Jagung dan Tempurung Kelapa Menjadi Briket Sebagai Sumber Energi Alternatif dengan Proses Karbonisasi dan Non Karbonisasi Pemanfaatan Limbah Tongkol Jagung dan Tempurung Kelapa Menjadi Briket Sebagai Sumber Energi Alternatif dengan Proses dan Non Dylla Chandra Wilasita (2309105020) dan Ragil Purwaningsih (2309105028) Pembimbing:

Lebih terperinci

STUDI PEMANFAATAN BATUBARA DI PABRIK PUPUK

STUDI PEMANFAATAN BATUBARA DI PABRIK PUPUK STUDI PEMANFAATAN BATUBARA DI PABRIK PUPUK TESIS Karya tulis sebagi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh RATIH DEWI ANDRIANNY NIM : 23005015 Program Studi

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DASAR KAYU SEBAGAI BAHAN BANGUNAN

PENGETAHUAN DASAR KAYU SEBAGAI BAHAN BANGUNAN PENGETAHUAN DASAR KAYU SEBAGAI BAHAN BANGUNAN Pilihan suatu bahan bangunan tergantung dari sifat-sifat teknis, ekonomis, dan dari keindahan. Perlu suatu bahan diketahui sifat-sifat sepenuhnya. Sifat Utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terpenting di dalam menunjang kehidupan manusia. Aktivitas sehari-hari

BAB I PENDAHULUAN. terpenting di dalam menunjang kehidupan manusia. Aktivitas sehari-hari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semakin menipisnya sumber daya alam yang berasal dari sisa fosil berupa minyak bumi diakibatkan karena kebutuhan manusia yang semakin meningkat dalam penggunaan energi.

Lebih terperinci

Karakteristik Pembakaran Briket Arang Tongkol Jagung

Karakteristik Pembakaran Briket Arang Tongkol Jagung Jurnal Kompetensi Teknik Vol. 1, No. 1, November 2009 15 Karakteristik Pembakaran Briket Arang Tongkol Jagung Danang Dwi Saputro Jurusan Teknik Mesin, Universitas Negeri Semarang Abstrak : Potensi biomass

Lebih terperinci

2012, No BAB I PENDAHULUAN

2012, No BAB I PENDAHULUAN 5 2012, No.155 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12/M- IND/PER/1/2012 TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGURANGAN EMISI CO 2INDUSTRI SEMEN DI INDONESIA BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

OLEH :: INDRA PERMATA KUSUMA

OLEH :: INDRA PERMATA KUSUMA STUDI PEMANFAATAN BIOMASSA LIMBAH KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHAN BAKAR PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP DI KALIMANTAN SELATAN (STUDI KASUS KAB TANAH LAUT) OLEH :: INDRA PERMATA KUSUMA 2206 100 036 Dosen Dosen

Lebih terperinci

PENGARUH VARIASI KOMPOSISI BIOBRIKET CAMPURAN ARANG KAYU DAN SEKAM PADI TERHADAP LAJU PEMBAKARAN, TEMPERATUR PEMBAKARAN DAN LAJU PENGURANGAN MASA

PENGARUH VARIASI KOMPOSISI BIOBRIKET CAMPURAN ARANG KAYU DAN SEKAM PADI TERHADAP LAJU PEMBAKARAN, TEMPERATUR PEMBAKARAN DAN LAJU PENGURANGAN MASA PENGARUH VARIASI KOMPOSISI BIOBRIKET CAMPURAN ARANG KAYU DAN SEKAM PADI TERHADAP LAJU PEMBAKARAN, TEMPERATUR PEMBAKARAN DAN LAJU PENGURANGAN MASA Subroto, Tri Tjahjono, Andrew MKR Jurusan Teknik Mesin

Lebih terperinci

KUALITAS BRIKET ARANG DARI KOMBINASI KAYU BAKAU

KUALITAS BRIKET ARANG DARI KOMBINASI KAYU BAKAU KUALITAS BRIKET ARANG DARI KOMBINASI KAYU BAKAU (Rhizophora mucronata Lamck) DAN KAYU RAMBAI (Sonneratia acida Linn) DENGAN BERBAGAI TEKANAN Oleh/by: Gt. A. R. THAMRIN Program Studi Teknologi Hasil Hutan

Lebih terperinci

OLEH : SHOLEHUL HADI ( ) DOSEN PEMBIMBING : Ir. SUDJUD DARSOPUSPITO, MT.

OLEH : SHOLEHUL HADI ( ) DOSEN PEMBIMBING : Ir. SUDJUD DARSOPUSPITO, MT. PENGARUH VARIASI PERBANDINGAN UDARA- BAHAN BAKAR TERHADAP KUALITAS API PADA GASIFIKASI REAKTOR DOWNDRAFT DENGAN SUPLAI BIOMASSA SERABUT KELAPA SECARA KONTINYU OLEH : SHOLEHUL HADI (2108 100 701) DOSEN

Lebih terperinci

Lampiran 1. Perbandingan nilai kalor beberapa jenis bahan bakar

Lampiran 1. Perbandingan nilai kalor beberapa jenis bahan bakar Lampiran 1. Perbandingan nilai kalor beberapa jenis bahan bakar Jenis Bahan Rataan Nilai Kalor (kal/gram) Kayu 4.765 Batubara 7.280 Fuel Oil 1) 10.270 Kerosine (Minyak Tanah) 10.990 Gas Alam 11.806 Sumber

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Desember 2009 sampai Februari

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Desember 2009 sampai Februari 28 III. METODELOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Desember 2009 sampai Februari 2010 yang bertempat di Laboratorium Rekayasa Bioproses dan Pasca

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil identifikasi herbarium yang dilakukan mempertegas bahwa ketiga jenis kayu yang diteliti adalah benar burmanii Blume, C. parthenoxylon Meissn., dan C. subavenium Miq. 4.1

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 24 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Data hasil pengujian sifat fisis kayu jabon disajikan pada Tabel 4 sementara itu untuk analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95% ditampilkan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Prarancangan Pabrik Karbon Aktif dari BFA dengan Aktifasi Kimia Menggunakan KOH Kapasitas Ton/Tahun. A.

BAB I PENGANTAR. Prarancangan Pabrik Karbon Aktif dari BFA dengan Aktifasi Kimia Menggunakan KOH Kapasitas Ton/Tahun. A. BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah yang salah satu hasil utamanya berasal dari sektor pertanian berupa tebu. Indonesia

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisis Sifat fisis dari panel CLT yang diuji yaitu, kerapatan (ρ), kadar air (KA), pengembangan volume (KV) dan penyusutan volume (SV). Hasil pengujian sifat fisis

Lebih terperinci

KADAR AIR TITIK JENUH SERAT BEBERAPA JENIS KAYU PERDAGANGAN INDONESIA ARIF RAKHMAN HARIJADI

KADAR AIR TITIK JENUH SERAT BEBERAPA JENIS KAYU PERDAGANGAN INDONESIA ARIF RAKHMAN HARIJADI KADAR AIR TITIK JENUH SERAT BEBERAPA JENIS KAYU PERDAGANGAN INDONESIA ARIF RAKHMAN HARIJADI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 KADAR AIR TITIK JENUH SERAT BEBERAPA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Bahan bakar minyak dan gas semakin penting dalam berbagai kegiatan ekonomi dan kehidupan masyarakat. Oleh karena nya, kebutuhan dan konsumsi bahan bakar minyak dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari. Permasalahannya adalah, dengan tingkat konsumsi. masyarakat yang tinggi, bahan bakar tersebut lambat laun akan

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari. Permasalahannya adalah, dengan tingkat konsumsi. masyarakat yang tinggi, bahan bakar tersebut lambat laun akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan bakar minyak (BBM) dan gas merupakan bahan bakar yang tidak dapat terlepaskan dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Permasalahannya adalah, dengan tingkat konsumsi

Lebih terperinci

PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN SAMPAH ORGANIK MENJADI BRIKET ARANG DAN ASAP CAIR

PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN SAMPAH ORGANIK MENJADI BRIKET ARANG DAN ASAP CAIR PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN SAMPAH ORGANIK MENJADI BRIKET ARANG DAN ASAP CAIR Nisandi Alumni Mahasiswa Magister Sistem Teknik Fakultas Teknik UGM Konsentrasi Teknologi Pengelolaan dan Pemanfaatan Sampah

Lebih terperinci

Biomas Kayu Pellet. Oleh FX Tanos

Biomas Kayu Pellet. Oleh FX Tanos Biomas Kayu Pellet Energi Pemanas Rumah Tangga (winter) Energi Dapur Masak Energi Pembangkit Tenaga Listrik Ramah Lingkungan Karbon Neutral Menurunkan Emisi Karbon Oleh FX Tanos Pendahuluan Beberapa tahun

Lebih terperinci

PENGARUH PERENDAMAN PANAS DAN DINGIN SABUT KELAPA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA SISKA AMELIA

PENGARUH PERENDAMAN PANAS DAN DINGIN SABUT KELAPA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA SISKA AMELIA i PENGARUH PERENDAMAN PANAS DAN DINGIN SABUT KELAPA TERHADAP KUALITAS PAPAN PARTIKEL YANG DIHASILKANNYA SISKA AMELIA DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 i PENGARUH PERENDAMAN

Lebih terperinci