2. TINJAUAN PUSTAKA Umum

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2. TINJAUAN PUSTAKA Umum"

Transkripsi

1 2. TINJAUAN PUSTAKA Umum Tikus hutan ekor putih (Maxomys hellwandii) hanya terdapat di Indonesia khususnya di Pulau Sulawesi. Tikus ini dikenal dengan nama lokal Turean, dan mempunyai 14 spesies tikus ekor putih lainnya. Sampai saat ini habitatnya belum diketahui (Corbet dan Hill, 1992). Di Provinsi Sulawesi Utara nama lokal hewan nokturnal tersebut beragam macam sesuai dengan wilayah penyebarannya. Tikus ini berwarna krem kecokelatan dengan ciri-ciri khusus bagian dada berwarna agak putih dengan ekor yang panjang dan sebagian ujungnya berwarna putih sehingga dikenal dengan nama tikus ekor putih (Van der Zon, 1979). Petani Delta Mekong yang dulu selalu dibuat pusing oleh serangan tikus, kini malah menangguk untung dari bisnis tikus. Mereka mulanya tidak ada niat untuk mengekspor binatang hama sawah, bahkan berupaya memusnahkan tikustikus tersebut. Tikus menjadi bisnis serius setelah adanya permintaan dari restoran-restoran di negara tetangga Kamboja. Tikus-tikus ini dikonsumsi di restoran untuk sajian makan malam. Di Provinsi Bac Lieu kini diperkirakan ada sekitar 2000 peternak yang mata pencaharian utamanya adalah budidaya tikus (Kompas, 17 April 2002). Pusat distribusi tikus di delta Sungai Mekong, Vietnam terdapat di enam propinsi yaitu : Ca Mau, Bac Lieu, Soc Trang, Can Tho, An Giang, dan Dong Thap yang menghasilkan produksi daging tikus tahunan untuk konsumsi manusia sebesar 3300 sampai 3600 ton dengan nilai harga pasar sekitar 25 sampai 30 milyar (VND) Vietnam Dong (US$ 2 juta). Bisnis tikus melibatkan 2000 penangkap tikus, 50 distributor sangat menolong sebagai sumber pendapatan petani miskin dan juga sumber protein (Nguyen Tri Khiem et al., 2003).

2 5 Klasifikasi Menurut Corbet dan Hill (1992), klasifikasi tikus ekor putih adalah sebagai berikut: kingdom : Animal filum : Chordata subfilum : Vertebrata (Craniata) kelas : Mamalia subkelas : Theria infrakelas : Eutheria ordo : Rodentia subordo : Myomorpha superfamili : Muroidea famili : Muridae subfamili : Murinae genus : Murinae spesies : Maxomys hellwandii Habitat Habitat adalah suatu tempat organisme atau individu biasanya ditemukan. Habitat merupakan hasil interaksi berbagai komponen, yaitu komponen fisik yang terdiri atas air, tanah, topografi dan iklim (makro dan mikro) serta komponen biologis yang terdiri atas manusia, vegetasi, dan satwa (Smiet, 1986). Naungan (cover) adalah bagian dari habitat yang berfungsi sebagai tempat berlindung (terhadap panas matahari, predator dan gangguan lain), beristirahat atau berkembang biak bagi beberapa jenis satwa. Naungan dapat berfungsi sebagai tempat mencari makan dan minum. Secara fisik naungan dapat berupa vegetasi, gua atau bentukan alam lainnya (Direktorat Jenderal PHPA, 1986). Satwa liar adalah binatang yang hidup di dalam ekosistem alam (Bailey, 1984 diacu dalam Alikodra, 1997). Penangkaran satwa liar adalah perkembangbiakan dan pemeliharaan satwa liar dalam keadaan terkurung oleh manusia untuk mencapai sasaran tertentu (Helvoort, 1986). Penangkaran dengan sistem kandang merupakan upaya pengembangbiakan jenis-jenis satwa liar yang dilakukan secara intensif dalam kandang. Thohari (1987) menyatakan bahwa dalam usaha penangkaran suatu jenis satwa liar, proses adaptasi berlangsung dalam jangka waktu cukup panjang, mulai saat individu ditangkap dari habitat asli sampai pada tahap

3 6 individu tersebut mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lokasi penangkaran dan lingkungannya serta perlakuan-perlakuan yang diterimanya. Demikian pula proses adaptasi masih berlanjut sampai individu tersebut mampu berasosiasi dengan individu-individu lainnya baik sesama jenis ataupun berlainan jenis kelamin (Tomaszew dan Putu, 1993). Pertimbangan dalam menetapkan jenis-jenis satwa liar yang perlu ditangkarkan atau dibudidayakan apabila (1) secara alami populasinya mengalami penurunan tajam dari waktu ke waktu sehingga terancam punah, dan (2) mempunyai potensi ekonomi tinggi dan tingkat pemanfaatannya bagi manusia terus bertambah sehingga kelestariannya terancam (Thohari, 1987). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa dalam proses budidaya, teknologi yang diperlukan mencakup aspek perkandangan, pakan, reproduksi, kesehatan, dan pascapanen. Teknik yang diterapkan harus mampu mempercepat proses adaptasi satwa. Penangkaran dinilai berhasil bila teknologi reproduksi satwa tersebut telah dikuasai, artinya usaha penangkaran telah berhasil mengembangbiakkan satwa yang ditangkarkan. Tingkah Laku Tingkah laku dapat diartikan sebagai ekspresi hewan yang ditimbulkan oleh semua faktor yang mempengaruhinya, baik faktor dari dalam tubuh hewan itu sendiri (endogenous) maupun faktor dari luar (exogenous) (Suratmo, 1979). Menurut Lehner (1979) tingkah laku yang dipelajari tidak hanya apa yang dilakukan oleh hewan itu saja, tetapi juga kapan, di mana, bagaimana dan mengapa tingkah laku itu terjadi. Macam dan banyaknya rangsangan yang diterima akan menghasilkan pengalaman hewan dari waktu ke waktu pada masa lalu, yang sangat mempengaruhi respon hewan (Suratmo, 1979). Selanjutnya rangsangan yang sama juga dapat mempunyai efek yang berbeda pada individu yang berbeda atau pada spesies yang berbeda (Huntingford, 1984). Rangsangan berupa suara, pandangan, tenaga mekanis, dan kimia yang berasal dari luar diterima dan disaring oleh indera. Rangsangan eksternal akan berinteraksi dengan rangsangan internal, dan secara bersama-sama akan menentukan respon hewan, sehingga tingkah laku suatu spesies merupakan fungsi dari faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhi. Dengan demikian, tingkah laku merupakan hasil dari perubahan yang terjadi terus

4 7 menerus pada hewan yang merupakan konsekuensi hubungan antara hewan dan lingkungannya (Suratmo, 1979; Huntingford, 1984). Respon hewan terhadap semua faktor rangsangan, pada prinsipnya berasal dari suatu dorongan dasar untuk tetap hidup (survive) dengan melakukan semua usaha. Survival suatu individu atau spesies bergantung pada kemampuannya memperoleh pakan, melakukan reproduksi dan regenerasi, kehadiran predator, pasangan kawin, serta individu muda (anak) yang memerlukan pengasuhan serta adaptasi terhadap tekanan faktor lingkungan baik biotik maupun abiotik. Dorongan dasar ini akan menentukan beberapa pola yang relatif tetap dalam tingkah laku hewan (Suratmo, 1979). Tingkah laku hewan dapat merupakan hasil proses belajar (learned) atau hanya merupakan instinct (innate) yang dimulai sejak lahir sampai mati terhadap segala sesuatu yang dialaminya, sehingga respon yang diperlihatkan individu dewasa merupakan hasil adaptasinya terhadap rangsangan yang terjadi. Oleh karena itu bila rangsangan yang terjadi belum pernah dialami sebelumnya maka respon yang diperlihatkan individu (spesies) merupakan respon spontan yang bersifat naluriah (insting) (Huntingford, 1984). Respon yang bersifat naluriah, jarang ditemukan pada hewan-hewan tingkat tinggi dibandingkan pada hewanhewan dengan tingkat rendah (Huntingford, 1984). Dengan demikian pada tikus ekor putih, tingkah laku yang bersifat bukan naluriah lebih dominan dibandingkan dengan pada golongan hewan lainnya. Tomaszewska et al. (1989) menyatakan bahwa tingkah laku satwa dapat diklasifikasikan menjadi sepuluh macam yaitu: 1. Tingkah laku makan dan minum dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan hal tersebut (ingestive). 2. Tingkah laku pencarian tempat berteduh (shelter seeking). 3. Tingkah laku penyidikan (investigatory). 4. Tingkah laku kecenderungan untuk berkelompok dan terikat dalam tingkah laku yang sama pada suatu waktu tertentu (allelomimetic). 5. Tingkah laku berselisih, bertengkar, dan menghindar (agonistic). 6. Tingkah laku membuang kotoran, dan kencing (eliminative). 7. Tingkah laku memberi perhatian dari induk ke anak (epimeletic/ care giving). 8. Tingkah laku minta perhatian dari anak ke induk (epimeletic / care soliciting). 9. Tingkah laku seksual atau reproduksi ( sexual or reproduction). 10. Tingkah laku bermain (play).

5 8 Menurut Scott (1969), pola tingkah laku satwa dikelompokkan ke dalam sistem tingkah laku yaitu kumpulan tingkah laku yang memiliki satu fungsi umum antara lain meliputi tingkah laku makan dan minum, tingkah laku sosial agonistik, tingkah laku membersihkan rambut, tingkah laku istirahat, tingkah laku berkelompok, dan tingkah laku melahirkan. Tingkah Laku Makan dan Minum (Ingestif) Tingkah laku makan meliputi semua aktivitas makan dan minum. Tingkah laku makan secara umum meliputi menangkap, makan, mengunyah dan menelan (Frazer, 1980). Menurut Tanudimadja dan Kusumamihardja (1985), tingkah laku makan mencakup konsumsi bahan-bahan yang bermanfaat bagi tubuh satwa dalam wujud padat maupun dalam wujud cair. Tingkah laku makan berhubungan erat dengan anatomi dan fisiologis tiap jenis hewan dan sifat makanannya yang khas. Milton (1981) menyatakan strategi makan berhubungan erat dengan ukuran tubuh, kepala, dan panjang rahang. Makanan dan air merupakan faktor pembatas bagi hidupnya margasatwa, di samping dari segi kuantitas dan kualitas makanan dan air juga harus diperhatikan. Tingkah Laku Sosial Agonistik Tingkah laku sosial merupakan tingkah laku yang melibatkan lebih dari satu individu, yakni pengekspresian diri terhadap individu lain, di antaranya adalah tingkah laku agonistik yang menyangkut tingkah laku mengancam dan mengalah yang khas pada hewan. Tingkah laku agonistik merupakan interaksi sosial antara satwa dan dikategorikan dalam beberapa tingkatan konflik, yaitu dalam memperoleh makanan, pasangan seksual dan perebutan wilayah istirahat dengan melakukan tindakan yang bersifat ancaman, menyerang, dan tingkah laku patuh (Hart, 1985). Tingkah laku agonistik ini merupakan hal yang sangat penting dalam menetapkan dan mempertahankan hubungan dominan-subordinat antartingkatan sosial spesies. Tingkah Laku Membersihkan Rambut (Grooming) Menurut Sellevs (2001), grooming atau membersihkan rambut merupakan suatu aktivitas primata yang bersifat umum. Aktivitas ini dilakukan untuk mempererat hubungan kekeluargaan di antara mereka, dan hewan yang

6 9 dominan seperti jantan akan membersihkan rambut betina dalam rangka kegiatan seksual, Hal ini sejalan dengan pernyataan Kyes (1991) bahwa grooming juga merupakan bentuk tingkah laku seksual. Kebiasaan induk adalah membersihkan rambut anaknya agar bersih dari kotoran yang melekat pada kulitnya. Kegiatan seperti ini sudah dilakukan secara turun temurun untuk memperat hubungan kekeluargaan dan mempertahankan struktur sosial secara bersama-sama. Menurut Chalmers (1979), tingkah laku membersihkan rambut dilakukan dengan tujuan mencari kotoran atau ektoparasit pada tubuh sendiri atau tubuh individu lainnya. Tingkah laku ini tidak hanya sekedar membersihkan badan tetapi juga merupakan sarana menjalin hubungan sosial antarkelompok, meredakan ketegangan, dan berbagai tujuan lainnya. Grooming bukan hanya sebagai sarana membersihkan tubuh tetapi juga berfungsi sosial dan menunjukkan status sosial. Bermain, biasa dilakukan satwa remaja dan anak-anak, dan juga proses dari tingkah laku seks setelah terjadi kopulasi biasanya dilanjutkan dengan grooming oleh betina atau jantan (Eimerl dan De Vore, 1978; Walters dan Seyfarth, 1987; Kinnaird dan Brien, 1995) Tingkah Laku Istirahat Kegiatan istirahat adalah periode tidak aktif dari satwa dalam bentuk apapun (makan, berpindah, dan bersuara). Di dalam periode istirahat terjadi interaksi sosial antara anggota kelompoknya (Chivers, 1977) Dalam tingkah laku istirahat kadang-kadang terdapat tingkah laku merawat diri (grooming). Pada waktu istirahat satwa relatif tidak melakukan banyak gerakan, aktivitas ini meliputi duduk-duduk dan tiduran. Tingkah Laku Berkelompok (allelomimetic) Tingkah laku berkelompok adalah kecenderungan untuk bergerombol dan mempengaruhi untuk bertingkah laku yang sama pada suatu waktu tertentu. Ini merupakan ciri hewan yang tingkat sosialnya tinggi. (Tomaszewska dan Putu,1989). Pola hidup sosial dapat digolongkan menjadi empat kategori berdasarkan sistem kelompok sosialnya yaitu sistem kelompok banyak jantan (multi-male group), sistem kelompok satu jantan (uni-male/one-male/group), sistem kelompok keluarga (family group), dan sistem hidup sendiri, kecuali saat musim

7 10 kawin/mengasuh anak (semi soliter) (Jolly, 1985; Napier dan Napier, 1985; Sterck, 1995). Hidup dalam sistem kelompok sosial, selain karena daya tarik seks juga disebabkan prinsip kekuasaan bersama bahwa hidup dalam kelompok adalah menguntungkan, seperti kewaspadaan terhadap ancaman predator, memperluas kontak dengan lingkungan, meningkatkan sukses reproduksi dan keamanan terhadap individu muda serta penguasaan atas pakan berkualitas yang dibutuhkan individu (Napier dan Napier, 1985). Individu anggota kelompok akan berinteraksi satu dengan yang lain yang mencerminkan adanya hubungan saling memperhatikan ataupun persaingan untuk memperoleh sesuatu. Menurut Seyfarth dan Cheney (1994) hubungan antarindividu di dalam kelompok umumnya terjadi dalam bentuk hubungan induk dan anak, hubungan sesama pasangan, atau antarindividu yang merupakan saingan. Komunikasi antarindividu anggota kelompok sangat berperan dalam segala aktivitas. Komunikasi antarindividu dapat terjadi melalui bau/penciuman (olfactory), sentuhan/kontak (tactile), penglihatan (visual) dan suara (vocal). Komunikasi secara visual umumnya yang paling utama, tetapi di hutan hujan tropis (karena terbatasnya pandangan oleh lingkungan hutan) komunikasi dengan suara adalah yang terpenting (Jolly, 1985; Napier dan Napier, 1985). Tingkah Laku Melahirkan Tingkah laku melahirkan merupakan tabiat dari suatu rangkaian kejadian yang saling berhubungan meliputi tahap sebelum melahirkan, saat melahirkan dan setelah melahirkan (Fraser, 1980). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa proses melahirkan dibagi atas tiga fase. Fase pertama yaitu dilatasi cervix dan tingkah laku yang menyertainya. Fase kedua adalah saat terjadinya dorongan fetus dari uterus ke saluran kelahiran. Fase ketiga adalah lepasnya plasenta setelah proses kelahiran. Tingkah laku menjelang melahirkan. Menurut Fraser (1980) periode menjelang melahirkan saat fetus masih berada di uterus sampai dengan awal terjadinya fase pertama dari proses kelahiran. Ensminger (1962) dan Gillespie (1983) menyatakan bahwa 12 sampai 14 jam menjelang kelahiran, lilin yang melapisi ujung-ujung puting akan mencair dan jatuh yang diikuti dengan menetesnya air susu. Tertutupnya ujung-ujung puting oleh lapisan zat lilin dan mencairnya zat lilin tersebut dapat terjadi 2 sampai 3 kali pada 10 hari sebelum

8 11 melahirkan. Pada saat yang sama otot vulva akan terlihat membengkak dan relaksasi. Blakely dan Bade (1991) melaporkan bahwa semakin dekat ke proses kelahiran urinasi akan sering terjadi yang akan diikuti dengan sikap gelisah. Tingkah laku saat melahirkan. Periode ini ditandai dengan pecahnya allantochorion yang diikuti dengan keluarnya keseluruhan bagian tubuh fetus dan diakhiri dengan keluarnya plasenta (Kilgour dan Dalton, 1984). Pada umumnya proses kelahiran terjadi pada malam hari hingga dini hari (Blakely dan Bade, 1991) Tingkah laku setelah melahirkan. Salah satu ciri yang spesifik dari hewan mamalia adalah turut keluarnya plasenta beberapa saat setelah anak dilahirkan. Pada beberapa jenis hewan seperti pada babi dan sapi yang bersifat plasentophagic, ada kecenderungan untuk memakan plasenta yang telah keluar. Sifat ini adalah salah satu bentuk proteksi induk terhadap anak dari serangan predator, karena apabila tidak dimakan, bau plasenta dan darah akan mengundang predator karnivora untuk mendekat (Hart, 1985). Frazer (1980) menyatakan bahwa beberapa saat setelah dilahirkan tubuh anak akan dijilati oleh induknya hingga menjadi bersih dari lendir yang menempel. Rangsangan jilatan serta kontak fisik yang terjadi mendorong anak untuk mencari puting induk. Kilgour dan Dalton (1984) melaporkan bahwa 30 menit setelah dilahirkan anak akan mulai menyusu ke induknya. Sifat-Sifat Tikus Tikus dapat dikandangkan bersama dalam satu kelompok besar yang terdiri atas jantan dan betina dari berbagai tingkat tanpa terjadinya perkelahian yang berarti. Tikus yang lepas dari kandang umumnya akan kembali ke kandangnya. Tikus dapat produktif untuk berbiak selama lebih dari sembilan bulan atau sampai usia satu tahun. Selama waktu tersebut tikus sudah menghasilkan 7 sampai 10 kali beranak dengan 6 sampai 14 anak pada masing-masing kelahiran. Keterangan lain yang lebih lengkap tentang data biologis tikus dapat dilihat pada Tabel 1. Sesudah satu tahun jumlah anak yang dilahirkan berkurang dan jarak kelahiran semakin jauh sampai tidak berproduksi lagi pada usia 450 sampai 500 hari (Malole dan Pramono, 1989).

9 12 Siklus Reproduksi Tikus Siklus reproduksi biasanya dimulai sekitar umur 77 hari, dimulai antara umur 45 dan 147 hari. Tabel 1 Data biologis Rattus norvegicus Karakteristik biologis 1. Lama hidup 2. Lama produksi ekonomis 3. Lama bunting 4. Kawin sesudah beranak 5. Umur disapih 6. Umur dewasa 7. Umur dikawinkan 8. Siklus kelamin 9. Siklus estrus (berahi) 10. Lama estrus 11. Perkawinan 12. Ovulasi 13. Fertilisasi 14. Implantasi 15. Berat dewasa 16. Berat lahir 17. Jumlah anak Sumber : Baker et al. (1979) Keterangan 2-3 tahun dapat sampai 4 tahun 1 tahun 0 22 hari 1-24 jam 21 hari hari 10 minggu (jantan & Betina) Poliestrus 4-5 hari 9-20 jam Pada saat estrus 8-11 jam sesudah estrus, spontan 7-10 jam 5-6 hari sesudah fertilisasi g jantan; g betina 5-6 g Rata-rata 9 dapat 20 ekor Siklus Berahi Tikus mencapai dewasa kelamin pada umur 50 sampai 60 hari. Vagina mulai terbuka pada umur 35 sampai 90 hari dan testes turun/ keluar pada umur 20 sampai 50 hari. Anak-anak yang sehat dan kuat dihasilkan bila tikus mulai dikawinkan pada umur 65 sampai 110 hari yaitu pada saat betina mencapai bobot badan 250 g dan jantan 300 g. Umur perkawinan pertama tersebut bergantung pada galur tikus dan tingkat pertumbuhannya. Perubahan vagina pada tikus erat hubungannya dengan siklus estrus, dan berbagai penelitian dari cairan sel dan vagina memberikan metode yang dapat diandalkan untuk menentukan estrus (McDonald, 1989 ; Baker et al., 1979) Selama fase estrus, dinding vagina terlihat kering, putih dan buram, tetapi berubah lembab dan berwarna merah muda selama metestrus. Perubahan ini berhubungan dengan proses pertandukan lapisan permukaan vagina selama estrus (Baker et al., 1979). Siklus berahi berlangsung 4 sampai 5 hari dengan lama berahi 12 jam. Setiap siklus mulai pada malam hari. Berahi pada tikus betina tidak banyak dipengaruhi oleh bau pejantan. Seperti pada hewan lain, siklus berahi pada tikus secara kasar dapat dibagi menjadi 4 stadium yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus.

10 13 Proestrus. Stadium ini menandakan datangnya berahi. Fase ini berlangsung sekitar 12 jam. Fase ini merupakan awal perkembangan folikel de Graaf. Folikel tumbuh di bawah pengaruh FSH (McDonald, 1989). Proestrus merupakan periode terjadinya involusi fungsional corpus luteum serta pembengkakan folikel praovulasi. Pada tahap ini terjadi peningkatan vaskularisasi epitel vagina dan penandukan yang terjadi pada beberapa spesies. Peningkatan vaskularisasi ini disebabkan oleh estrogen yang semakin tinggi. Pada preparat ulas vagina terlihat adanya dominasi sel-sel epitel berinti (Toelihere, 1984). Tabel 2 Gambaran sel yang ditemukan pada ulasan vagina tikus ekor putih selama siklus etrus Fase Lama Fase Nalbandov (1990) Hasil usapan vagina Turner dan Smith dan Bagnara (1976) Mangkoewidjoyo (1988) Proestrus 12 jam Sel epitel berinti Sel epitel berinti Sel-sel kecil dengan inti bulat Estrus 12 jam Sel berkornifikasi Sel-sel menanduk Sel epitel mengalami penandukan dan intinya piknotik Metestrus Diestrus 12 jam Leukosit di antara sel berkornifikasi 65 jam Epitel bernukleus dan leukosit Banyak leukosit dengan sedikit selsel menanduk Sel-sel berkornifikasi dan tampak leukosit Leukosit bermigrasi Sel-sel epitel dan leukosit Estrus. Pada stadium ini kopulasi dimungkinkan terjadi. Fase ini berlangsung 12 jam (Smith dan Mangkoewidjoyo, 1988; Ballenger, 2000). Ciri yang khas adalah adanya aktivitas berlari-lari yang sangat tinggi di bawah pengaruh estrogen. Estrus merupakan periode sekresi estrogen yang tinggi. Estrogen dari folikel de Graaf yang matang menyebabkan berbagai perubahan pada saluran reproduksi antara lain uterus tegang, mukosa vagina tumbuh cepat, serta adanya sekresi lendir. Banyak mitosis terjadi di dalam mukosa vagina, dan sel-sel baru menumpuk, sementara lapisan permukaan menjadi skuamosa dan bertanduk. Sel-sel bertanduk ini berkelupas ke dalam lumen vagina. Terdapatnya sel-sel ini bisa dilihat dalam preparat ulas vagina yang digunakan sebagai indikator fase estrus. Metestrus. Metestrus adalah fase segera setelah estrus di mana corpus luteum mulai tumbuh. Corpus luteum merupakan perubahan bentuk dari folikel de Graaf pada tahap akhir yang berubah fungsi setelah mengalami ovulasi.

11 14 Metestrus sebagian besar berada di bawah pengaruh progesteron yang dihasilkan corpus luteum (Guyton, 1994) Stadium ini terjadi kira-kira 10 sampai 14 jam setelah ovulasi berlangsung (Wijono, 1998). Pada preparat ulas vagina terlihat banyak leukosit muncul di dalam lumen vagina bersama sedikit sel-sel bertanduk. Diestrus. Diestrus merupakan periode terakhir dan terlama yaitu 60 sampai 70 jam. Pada periode ini corpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron semakin nyata. Endometrium lebih menebal dan kelenjar membesar (Toelihere, 1984). Pada preparat ulas vagina terlihat leukosit dalam jumlah tinggi dan sel-sel epitel berinti (Smith dan Mangkoewidjoyo, 1988; Nalbandov, 1990). Penentuan Jenis Kelamin Pada hewan yang masih muda antara hewan jantan dan hewan betina dapat dibedakan. Testes mudah terlihat terutama bila tikusnya diangkat sehingga testesnya berpindah dari saluran inguinal ke scrotum. Tikus jantan memiliki papila genitalia dan jarak anogenital yang lebih besar dari pada betina yaitu 5 mm pada umur 7 hari sedangkan yang betina hanya 2,5 mm. Puting susu pada betina sudah terlihat sejak umur 8 sampai 15 hari. Cara yang tepat untuk membedakan jenis kelamin tikus adalah dengan cara mengangkat tikus-tikus dari litter yang sama lalu membandingkan ukuran-ukuran tersebut (Malole dan Pramono, 1989). Sistem Perkawinan Sistem perkawinan atau pengembangbiakan yang dapat diterapkan pada tikus yaitu sistem monogami, poligami, dan sistem koloni. Berhubung perkawinan tikus terjadi di malam hari, untuk memastikan perkawinan dapat diamati kehadiran suatu massa putih yang menyumbat vagina, massa putih tersebut sudah jatuh di lantai di pagi hari, atau memeriksa spermatozoa dalam usapan vagina. Masa kebuntingan tikus berlangsung 21 sampai 23 hari dan sejak 14 hari kebuntingan sudah terlihat adanya perubahan bentuk kelenjar mamae. Tikus jarang menunjukkan bunting semu. Dalam satu litter terdapat 6 sampai 12 anak yang baru dapat melihat dan merambat sesudah berumur satu minggu (Arrington, 1972). Perlakuan kasar, kekurangan bahan untuk pembuatan sarang, dan kandang yang terlalu bising dapat menyebabkan induk makan anak-anaknya. Anak tikus disapih umur 21 hari yaitu kira-kira bobot anak sudah mencapai 40

12 15 sampai 50 g. Bila estrus postpartum tidak dimanfaatkan, tikus betina akan kembali berahi antara 2 dan 4 hari sesudah penyapihan (Arrington,1972). Sistem Pencernaan dan Konsumsi Tikus merupakan hewan pengerat yang mempunyai gigi seri 1/1 dan geraham 3/3 dan hanya gigi seri yang terus tumbuh. Secara umum sistem pencernaan pada tikus hampir sama dengan pada hewan mamalia lainnya. Alat pencernaan dimulai dari mulut, esofagus, usus halus dan terakhir di usus besar. Esofagus memasuki lambung pada bagian curvatura minor bersambung ke lipatan dari bagian peninggian yang membagi lambung menjadi lambung bagian depan dan lambung kelenjar. Lipatan tadi yang membuat tikus tidak dapat muntah. Usus halus terdiri atas duodenum, jejunum dan ileum. Panjang usus halus kira-kira lima kali usus besar. Fungsi penyerapan pada masing-masing usus halus bergantung pada jenis zat makanan yang akan diserap. Glukosa maksimum diserap di jejunum, dan bagian atas ileum, galaktosa di pertengahan dari ketiga usus halus, protein utuh dan albumin diserap di segmen paling ujung dari usus halus, sedangkan lemak diserap di jejunum. Usus besar terdiri atas sekum, kolon dan rektum (Bivin et al., 1979; Olds dan Olds, 1979). Tikus tidak mempunyai kantung empedu. Saluran empedu tiap lobus hati akan berkumpul, menyatu membentuk ductus koledokus, tetapi duktus koledokus ini juga tidak mampu menampung cairan empedu seperti fungsi kantong empedu pada rodensia lainnya (Olds dan Olds, 1979). Jumlah dan jenis bahan pakan yang dikonsumsi satwa berhubungan dengan adaptasi anatomis sistem alat pencernaannya, kualitas dan kuantitas pakan yang dikonsumsi untuk menghasilkan energi (Black, 1983). Tipe dan kualitas bahan pakan dapat mempengaruhi pola tingkah laku makan hewan. Jika makanan yang dikonsumsi lebih banyak mengandung kosentrat waktu makan akan berkurang. Hewan yang lebih banyak menerima makanan yang mudah dicerna, konsumsi pakan akan meningkat, sebab proses digesti berlangsung lebih cepat (Dulphy et al., 1980). Karbohidrat yang terdapat pada buah-buahan, kacang-kacangan, dan sereal sebagian besar terdiri atas gula-gula sederhana dan polisakarida. Kandungan gula dalam buah-buahan sangat bervariasi, mulai yang paling rendah seperti alpukat hingga mencapai lebih dari 20% seperti pisang masak. Sebagian besar gula-gula tersebut terdapat dalam bentuk sukrosa, glukosa dan fruktosa (Haard, 1985).

13 16 Jenis bahan pakan yang mudah larut antara lain adalah gula (mono-, didan trisakarida) dan pati (pati, dekstrin dan glikogen). Bahan tersebut mudah dicerna dan selanjutnya akan diubah menjadi glukosa (Moen, 1973). Sebagian besar pati terdapat dalam biji-bijian dan umbi-umbian, pati kira-kira mengandung 25% amilosa (Whistler et al., 1987). Rasa lapar ditimbulkan oleh kebutuhan fisiologis. Selera makan berhubungan dengan kondisi internal yaitu fisiologis dan psikologis yang akan merangsang atau menghambat rasa lapar pada seekor hewan. Jadi rasa lapar dan selera makan adalah hal yang berhubungan dengan pengaruh tingkat konsumsi pakan dari hewan. Pada saat kadar gula rendah, kondisi ini akan menyebabkan rasa lapar dan merangsang keinginan hewan untuk makan (Arrington, 1972). Sejak diketahui kehidupan satwa harus mendapatkan makanan untuk mempertahankan dirinya dan membantu reproduksi, maka pencaharian makanan merupakan suatu yang penting terutama satwa liar. Satwa liar membutuhkan energi, asam amino, mineral, vitamin, air, dan beberapa asam lemak, tetapi dalam jumlah yang bervariasi antarspesies, kondisi fisiologis dan anatomi yang berbeda (Smuth et al., 1987). Pada prinsipnya sumber makanan satwa liar berasal dari tiga tipe (Sailer, 1985), yaitu: Struktural, bagian tumbuhan termasuk daun, batang, cabang dan materi tumbuhan lainya yang mengandung struktur karbohidrat (selulosa); Bagian reproduksi, yaitu organ tumbuhan seperti tunas bunga, bunga dan buah (matang/mentah) kandungan karbohidrat lebih sedikit dan mudah dicerna; Materi dan hewan, yaitu makanan yang berasal dari hewan baik vertebrata maupun invertebrata. Untuk memenuhi kebutuhan makanan tikus, di Indonesia dipakai makanan ayam petelur (kandungan protein 17%), karena sudah mencukupi bahkan melebihi kebutuhan tikus yang hanya memerlukan 12% protein. Seekor tikus dewasa membutuhkan 5 g makanan dan 10 ml air minum per hari per 100 g berat badan. Tingkat konsumsi ransum dipengaruhi oleh temperatur kandang, kelembaban, kesehatan dan kualitas makanan itu sendiri. Sebagai hewan nokturnal, tikus aktif makan di malam hari (Malole dan Pramono, 1989). Banyak makanan tikus tersusun dari bahan alami yang mudah diperoleh dari sumber komersil. Namun demikian, pakan yang diberikan pada tikus sebaiknya mengandung nutrien dalam komposisi yang tepat. Protein pakan

14 17 harus mengandung asam amino esensial yang dibutuhkan tikus. Pakan juga harus mengandung vitamin seperti vitamin A, D, B 12, alfatokoferol, asam linoleat, thiamine, riboflavin, phantotenat, biotin, piridoksin dan kolin (Smith dan Mangkoewidjoyo, 1988). Ada dua jenis pakan yang umum diberikan kepadas tikus laboratorium. Pertama, makanan untuk perkembangbiakan yang mengandung protein dan energi yang cukup untuk fetus selama kebuntingan dan untuk produksi susu selama laktasi. Kedua, pakan untuk pemeliharaan yaitu diet yang distandardisasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan tikus. Kebutuhan hewan akan nutrisi dipengaruhi oleh berbagai hal, misalnya kebutuhan pakan pada masa pertumbuhan berbeda dengan pada masa kebuntingan dan menyusui. Seekor tikus dewasa rata-rata mengkonsumsi sekitar 5 g pakan dan 10 ml air per 100 g berat badan (Malole dan Pramono, 1989) atau 12 sampai 20 g/ekor/hari dan 20 sampai 40 ml air/ekor/hari (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Secara spesifik disebutkan bahwa pada suhu 21 0 C tikus jantan yang berumur 6 bulan akan mengkonsumsi pakan sebanyak 11,8 /100 g BB/hari dan tikus betina berumur 1 tahun mengkonsumsi 5,3 /100 g BB/hari. Menurut National Research Council (1978) bahwa rata-rata pemberian pakan harian untuk tikus Sprague-Dawley selama periode pertumbuhan dan reproduksi mendekati 15 sampai 20 g untuk jantan dan 10 sampai 15 g untuk betina. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa umur, jenis kelamin, dan suhu lingkungan berpengaruh pada konsumsi pakan. Pakan tikus umumya diberikan secara ad libitum dan tikus akan mengatur pola makan untuk menjaga keseimbangan energi. Pembatasan pemberian pakan pada tikus laboratorium akan memperlama umur hidup, walaupun pertumbuhannya sedikit lebih lambat dibandingkan tikus yang diberi pakan ad libitum. Mekanisme biologis dari proses ini pada rodensia belum diketahui dengan pasti. Bila tikus laboratorium mengalami kekurangan nutrien maka tikus dengan sendirinya memilih nutrien yang dibutuhkan jika diberi hubungan atau akses ke pakan yang tersedia. Pada kondisi ketika pakan diberikan dalam jumlah yang sangat terbatas, tikus dapat mengurangi konsumsi energinya, tetapi jika palatabilitas pakan berlebih, tikus dapat meningkatkan penggantian energi. Pembatasan jumlah pakan yang diberikan pada tikus bunting akan menyebabkan perubahan pada konsumsi dan pertumbuhan anak (Malole dan Pramono, 1989).

15 18 Pertumbuhan dan Perkembangan Tubuh Ternak Taylor (1984) mendefinisikan pertumbuhan sebagai peningkatan bobot badan hingga mencapai ukuran dewasa atau bertambahnya unit biokimia baru karena terjadi proses pembelahan sel. Sementara itu Maynard et al., (1983) menyatakan bahwa pertumbuhan adalah peningkatan bobot badan yang berhubungan dengan interval waktu. Selanjutnya Hammond et al., (1984) menyatakan bahwa dalam pertumbuhan ada dua hal yang terjadi yakni kenaikan bobot badan atau komponen tubuh sampai mencapai ukuran dewasa yang disebut pertumbuhan, dan adanya perubahan bentuk konformasi yang disebabkan perbedaan laju pertumbuhan jaringan atau bagian tubuh yang berbeda yang disebut perkembangan. Tiga proses utama yang terjadi selama berlangsungnya pertumbuhan adalah (1) proses dasar pertumbuhan sel yang meliputi perbanyakan sel (hiperplasia) atau produksi sel-sel baru, pembesaran sel (hipertropi) dan pertambahan (akresi) material struktural nonsel (non protoplasmic) seperti deposisi lemak, glikogen, plasma darah dan kartilago, (2) diferensiasi sel-sel induk di dalam embrio menjadi ektoderm, mesoderm dan endoderm, yang selanjutnya akan menghasilkan sel-sel khusus seperti sel-sel syaraf dan epidermal dari ektoderm, sel-sel penyusun saluran pencernaan (gastro intestinal), kelenjar-kelenjar atau glandula sekresinya dari endoderm, dan (3) kontrol pertumbuhan dan diferensiasi yang melibatkan berbagai proses (Williams, 1982). Kurva pertumbuhan yang normal berbentuk sigmoid (Huruf S ). Dari kurva tersebut diketahui pola pertumbuhan hewan sejak periode kelahiran sampai dewasa. Pada tahap awal, pertumbuhan berlangsung lambat, yang kemudian diikuti tahap pertumbuhan yang cepat hingga umur pubertas, dan selanjutnya kecepatan pertumbuhan secara gradual mulai menurun sampai berhenti bila bobot dewasa telah tercapai (Aberle et al., 2001). Menurut Aberle et al., (2001), pada saat kecepatan pertumbuhan mendekati konstan, slope kurve pertumbuhan hampir tidak berubah. Dalam hal ini pertumbuhan otot, tulang dan organ-organ penting lainnya mulai berhenti sementara pertumbuhan lemak mulai dipercepat. Pertumbuhan berlangsung lebih cepat pada waktu muda, pada masa tersebut hewan mampu mengkonsumsi pakan dan menyimpan energi yang banyak, tetapi setelah itu kapasitas energi yang disimpan menjadi terbatas karena kebutuhan untuk pemeliharaan meningkat, mengganti jaringan sel-sel

16 19 yang rusak dan perubahan energi ke arah reproduksi. Setelah berkembang secara penuh otot dan serabut otot mengalami peningkatan ataupun penurunan. Jumlah serat otot yang mengalami penuaan akan berkurang dan ukuran otot menjadi besar (Aberle et al., 2001) Pada hewan besar, pematangan dicapai pada waktu yang lama dibandingkan hewan kecil. Kenaikan ukuran otot terbesar terjadi setelah lahir dan kecepatan peningkatan ukuran akan menurun setelah mendekati dewasa. Hammond et al., (1976) menyatakan bahwa pada saat lahir proporsi bagian kepala, kaki depan, dan kaki belakang sangat besar. Pada perkembangan setelah lahir, proporsi kepala dan kaki depan semakin menurun kemudian diikuti oleh penurunan proporsi leher dan kaki belakang sehingga bagian tubuh yang sangat penting banyak mengalami perkembangan setelah kelahiran seperti bagian pinggang (loin) kemudian pelvis dada dan leher. Pada tingkat awal pertumbuhan embrio, bagian kepala tumbuh cepat yang mengakibatkan ukuran kepala menjadi tidak seimbang dibandingkan dengan ukuran tubuh. Selama tingkat kehidupan fetus selanjutnya, laju pertumbuhan kepala menjadi berkurang dan bagian tubuh lainnya semakin berkembang. Wallace (1948) menyatakan bahwa ada dua gelombang pertumbuhan pada ternak. Gelombang pertumbuhan utama dimulai pada daerah tengkorak (Cranium) dan bergerak ke depan ke daerah muka, kepala dan ke belakang ke daerah pinggang. Gelombang pertumbuhan kedua bergerak dari daerah bawah bagian kaki (metacarpal) dan (metatarsal) bergerak ke jari-jari dan ke atas sepanjang kaki serta batang tubuh ke daerah pinggang. Daerah pinggang merupakan bagian tubuh yang paling akhir mencapai pertumbuhan maksimal. Palsson (1955) menyatakan bahwa untuk melihat tumbuh kembang tubuh hewan, dapat dilakukan dengan pengukuran tubuh pada berbagai umur atau mengambil gambar dengan pembesaran yang tetap. Cara lain adalah penguraian tubuh ternak secara anatomis menjadi komponennya. Komposisi Kimiawi dan Sifat-sifat Daging Secara umum komposisi kimia daging hewan mamalia (domestik) terdiri atas air (75,0%), protein (19,0%), lemak (2,5%), karbohidrat (1,2%), substansi nonprotein soluble (2,3%), dan sedikit vitamin (Lawrie, 1995).

17 20 Protein Protein merupakan komponen kimia dalam tubuh yang sangat penting. Protein dibuat dari banyak asam amino yang dirangkai menjadi rantai-rantai oleh ikatan peptida yang menghubungkan gugus amino dengan gugus karboksil pada asam amino berikutnya. Di samping itu protein mengandung karbohidrat (glikoprotein) dan lipid (lipoprotein), rantai asam amino yang lebih kecil disebut peptida atau polipeptida, dan batas antara peptida, polipeptida dan protein tidak jelas (Ganong, 1995). Protein dan beberapa peptida diserap dalam jumlah kecil di saluran pencernaan. Kebanyakan protein yang dimakan dicerna, dan kandungan asam aminonya diserap lebih banyak pada mukosa usus. Protein tubuh dihidrolisis menjadi asam amino dan disintesis ulang. Kecepatan perputaran (turnover) protein endogen rata-rata 80 sampai100 g per hari. Asam amino yang dibentuk dari pemecahan protein endogen identik dengan protein yang berasal dari makanan. Protein ini membentuk suatu depot asam amino umum yang memasok kebutuhan tubuh. Di ginjal, kebanyakan asam amino merupakan asam amino yang difiltrasi yang akan diserap kembali. Selama pertumbuhan keseimbangan antara asam amino dan protein tubuh bergeser ke arah protein tubuh sehingga sintesis lebih besar dari pada pemecahan (Ganong, 1995). Pada semua usia sejumlah kecil protein hilang sebagai rambut, beberapa hilang dalam urine, dan ada sekresi protein yang tidak direabsorbsi di saluran pencernaan sehingga hilang ikut tinja. Kehilangan ini digantikan dengan sintesis dari depot asam amino. Lemak Lemak merupakan salah satu jenis makanan yang banyak digunakan untuk makanan sehari-hari. Hal ini disebabkan fungsinya untuk meningkatkan cita rasa, memperbaiki tekstur, pelarut vitamin, mensintesis hormon, menyusun sel-sel membran dan pembawa flavor, di samping fungsi fisiologis dan sebagai sumber energi (Djojosoebagio dan Piliang, 2002). Asam Lemak Asam Lemak terdiri atas asam lemak jenuh (saturated fatty acid, SFA) dan asam lemak tak jenuh (unsaturated fatty acid, UFA). Asam lemak tak jenuh terdiri atas mono-unsaturated fatty acid (MUFA) dan poly-unsaturated fatty acid (PUFA) atau high unsaturated fatty acid.

18 21 Asam lemak tak jenuh terdiri atas 3 kelompok besar yaitu omega 3, omega 6, dan, omega 9 (tabel 3). Asam linolenat (18:3?3), asam eikosapentaenoat (20:5? 3), dan dokosaeksaenoat (22:6?3) mengandung asam lemak omega 3 yang banyak diperoleh dari makanan. Kelompok asam lemak yang kedua yaitu omega 6 yang tediri atas asam linolenat (18:2?6), dan asam arakidonat (20:4?6), sedangkan omega 9 terdiri atas asam oleat (18:1?9) (Nettleton, 1994). Asam linoleat dan asam linolenat merupakan asam lemak essensial karena tubuh tidak dapat mensintesis kedua asam lemak tersebut. Selain itu kedua asam lemak tersebut dapat dipakai sebagai bahan untuk mensintesis prostaglandin yang mempunyai sifat-sifat hormon serta terlibat dalam banyak fungsi tubuh (Murray et al., 1999 dan Montgomery et al., 1993). Asam oleat bukan asam lemak esensial karena tubuh dapat mensintesis asam tersebut (Murray et al., 1999). Tabel 3 Pengelompokan asam lemak tak jenuh Kelompok Asam lemak Struktur?3?6?9 Asam linolenat Asam eikosanpetaenoat Asam dokosaheksaenoat Asam linoleat Asam arakidonat Asam oleat 18:3?3 20:5?3 22:6?3 18:2?6 20:4?6 18:1?9 Asam lemak omega 3 sangat penting karena bila tidak terdapat dalam diet menimbulkan gejala defisiensi perkembangan dan pertumbuhan, karena tidak dapat disintesis dari asam lemak lain. Asam lemak omega 6 dapat dipakai untuk mensintesis asam arakhidonat suatu intermediat dalam sintesis eikosanoid, suatu kelompok susbtansi regulator dan asam lemak omega 6 juga memperlihatkan kemampuan menyerap air lewat kulit dan integritas kelenjar pituitari. Akan tetapi menurut Muchtadi (2000) mengkonsumsi omega 6 secara berlebihan tanpa diimbangi konsumsi omega 3 dapat menurunkan LDL kolesterol, akan tetapi HDL kolesterol juga dilaporkan ikut mengalami penurunan, keseimbangan antara omega 3 dan omega 6 terganggu, menyebabkan darah mudah menggumpal. Kedua hal ini tidak menguntungkan karena rasio LDL/HDL (Indeks penyakit jantung koroner) yang menurun dan mudahnya darah menggumpal tidak dapat mencegah bahkan dapat memicu terjadinya penyakit jantung koroner.

19 22 Menurut Osman et al., (2001), omega 3 dan omega 6 adalah asam lemak essensial yang berfungsi menyembuhkan dan mencegah penyakit kardiovaskuler, perkembangan saraf pada bayi, kanker dan kontrol glikemik lemak. Selain itu omega 6 dalam bentuk tunggal memiliki sifat negatif yang berkaitan dengan peningkatan produksi eicosanoids (stimulan pertumbuhan tumor pada binatang percobaan). Akan tetapi dengan adanya omega 9 dan omega 3 dalam proporsi yang sesuai akan memiliki potensi memblokir produk senyawa eicosanoids tersebut, omega 9 dapat mencegah stimulasi negatif omega 6. Asam lemak omega 9 dapat mencegah penyakit jantung koroner, memiliki daya perlindungan yang mampu menurunkan LDL kolesterol darah, meningkatkan HDL kolesterol yang lebih besar dibanding omega 3 dan omega 6, lebih stabil dibandingkan dengan PUFA, MUFA dan dapat menurunkan kolesterol (LDL-kolesterol) (Mensink, 1987). Produksi Karkas Karkas adalah bagian tubuh ternak hasil dari suatu pemotongan setelah dikurangi bagian kepala, keempat kaki (mulai dari carpus dan tarsus), kulit, darah, organ dalam (hati, jantung paru-paru, limpa, saluran pencernaan beserta isinya dan saluran reproduksi (Berg dan Butterfield, 1976; Lawrie, 1985). Ternak yang beraktivitas tinggi mengakibatkan cadangan glikogen terbatas. Bila dalam keadaan kekurangan glikogen terus-menerus ternak akan memanfaatkan cadangan energi tubuh sehingga terjadi penurunan bobot badan (Lawrie, 1985; Ockerman, 1995; Fernandez et al., 1996; Aberle et al., 2001). Komposisi karkas memegang peranan penting karena berhubungan dengan jumlah daging, otot, tulang dan lemak yang dihasilkan (Berg dan Butterfield, 1976). Produksi karkas berhubungan dengan bobot badan. Peningkatan bobot badan akan diikuti oleh peningkatan bobot karkas, dan persentase karkas meningkat dengan peningkatan bobot potong (Aberle et al., 2001). Kualitas karkas dan daging akan dipengaruhi oleh bangsa ternak, umur, makanan, dan cara pemeliharaan. Oleh karena itu, untuk memperoleh ternak potong yang mempunyai nilai tinggi, diperlukan suatu penanganan yang baik dan benar, baik sebelum dipotong, saat pemotongan maupun setelah ternak dipotong (Natasasmita, 1978).

20 23 Sifat Fisik dan Komposisi Kimia Daging Metabolisme Glikogen Glikogen merupakan bentuk simpanan glukosa yang terdapat di dalam kebanyakan jaringan tubuh, tetapi sumber utamanya adalah hati dan otot rangka (Ganong, 1995). Glikogen di dalam hati terdapat sekitar 6% dan dalam otot 1% (Mayes, 1999). Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan yang dapat atau pantas digunakan sebagai bahan makanan (Aberle et al., 2001), termasuk di dalamnya jaringan otot, organ-organ seperti hati, limpa, ginjal dan otak, serta jaringan lain yang dapat dimakan (Lawrie, 1995). Faktor yang menentukan kualitas daging segar menurut Soeparno (1994) terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau dan cita rasa serta sari minyak daging (juiceness). Di samping itu lemak intramuskular, susut masak (cooking loss) yaitu berat sampel daging yang hilang selama pemasakan atau pemanasan, retensi cairan dan ph daging, ikut menentukan kualitas daging. Lamanya aktivitas meningkatkan kehilangan bobot hidup, persentase karkas, dan bobot hati, potensi glikolitik meningkat juga menyebabkan pengurasan glikogen yang akan menentukan nilai akhir ph (Fernandez et al., 1996). ph Daging Lawrie (1995) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi laju penurunan ph post mortem dapat dibagi dua, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain adalah suhu lingkungan, penanganan ternak sebelum pemotongan dan suhu penyimpanan daging. Pada saat ternak masih hidup, ph daging berkisar antara 7,2 dan 7,4. Setelah proses pemotongan, ph daging akan menurun akibat proses glikolisis anaerob yang menghasilkan asam laktat (glikogen asam laktat). Proses glikolisis anaerob ini merupakan proses dominan selama 24 sampai 36 jam setelah pemotongan (Aberle et al., 2001). Daya Mengikat Air Daya mengikat air didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk mengikat airnya selama aplikasi daya eksternal seperti pemotongan, pemanasan, atau pengepresan (Aberle et al., 2001).

21 24 Air yang terikat di dalam otot dibagi menjadi tiga kompartemen, lapisan pertama adalah air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar empat sampai lima persen sebagai lapisan monomolekuler pertama. Lapisan kedua adalah air, yang terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik. Sekitar empat persen dari lapisan kedua ini akan terikat oleh protein apabila tekanan uap air meningkat. Lapisan ketiga adalah molekul air bebas di antara molekul protein, yang berjumlah kira-kira 10% (Wismer- Pedersen, 1986). Daya mengikat air oleh protein dipengaruhi oleh ph dan jumlah ATP. Pada fase prerigor daya ikat air masih relatif tinggi, akan tetapi secara bertahap menurun seiring dengan penurunan ph dan jumlah ATP jaringan otot (Bendall, 1960). Penurunan ph yang cepat, misalnya karena pemecahan ATP yang cepat, akan meningkatkan kontraksi aktin-miosin dan menurunkan daya mengikat air oleh protein. Menurut Aberle et al., (2001) daya mengikat air dipengaruhi oleh umur, spesies, fungsi otot, dan protein miofibril. Selanjutnya dinyatakan bahwa perubahan daya ikat air berhubungan dengan perubahan ph daging. Wismer-Pedersen (1986) menyatakan selain faktor ph, pelayuan, dan pemasakan, daya mengikat air daging juga dipengaruhi oleh faktor yang menyebabkan perbedaan kemampuan mengikat air di antara otot seperti spesies, umur, fungsi otot serta pakan, transportasi, temperatur, kelembaban, penyimpanan dan pengawetan, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan sebelum pemotongan dan lemak intramuskular.

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

TINGKAH LAKU, REPRODUKSI, DAN KARAKTERISTIK DAGING TIKUS EKOR PUTIH (Maxomys hellwandii) INDYAH WAHYUNI

TINGKAH LAKU, REPRODUKSI, DAN KARAKTERISTIK DAGING TIKUS EKOR PUTIH (Maxomys hellwandii) INDYAH WAHYUNI TINGKAH LAKU, REPRODUKSI, DAN KARAKTERISTIK DAGING TIKUS EKOR PUTIH (Maxomys hellwandii) INDYAH WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 ABSTRAK INDYAH WAHYUNI.Tingkah Laku, Reproduksi,

Lebih terperinci

Gambar 1. Mencit Putih (M. musculus)

Gambar 1. Mencit Putih (M. musculus) TINJAUAN PUSTAKA Mencit (Mus musculus) Mencit (Mus musculus) merupakan hewan mamalia hasil domestikasi dari mencit liar yang paling umum digunakan sebagai hewan percobaan pada laboratorium, yaitu sekitar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum di dalam Kandang Rataan temperatur dan kelembaban di dalam kandang selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Suhu dan Kelembaban Relatif Kandang Selama

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Domba Priangan Domba adalah salah satu hewan yang banyak dipelihara oleh masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang sangat potensial untuk dikembangkan.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%) TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein (FH) Bangsa sapi perah Fries Holland berasal dari North Holland dan West Friesland yaitu dua propinsi yang ada di Belanda. Kedua propinsi tersebut merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang yang lebih banyak sehingga ciri-ciri kambing ini lebih menyerupai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Peranakan Etawa dengan kambing Kacang. Kambing ini memiliki komposisi darah kambing

Lebih terperinci

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Rangsangan seksual libido Berkembang saat pubertas dan setelah dewasa berlangsung terus selama hidup Tergantung pada hormon testosteron

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis ini banyak diternakkan di pesisir pantai utara (Prawirodigdo et al., 2004). Kambing Jawarandu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering (BK) Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok, produksi, dan reproduksi. Ratarata konsumsi

Lebih terperinci

4. ADAPTASI DAN TINGKAH LAKU TIKUS EKOR PUTIH

4. ADAPTASI DAN TINGKAH LAKU TIKUS EKOR PUTIH 4. ADAPTASI DAN TINGKAH LAKU TIKUS EKOR PUTIH Pendahuluan Adaptasi adalah kemampuan bertahan hidup dari suatu individu dalam suatu habitat tertentu. Individu-individu yang dinyatakan bisa beradaptasi bila

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Standar Performa Mingguan Ayam Broiler CP 707

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Standar Performa Mingguan Ayam Broiler CP 707 TINJAUAN PUSTAKA Ayam Broiler Ayam broiler merupakan galur ayam hasil rekayasa teknologi yang memiliki karakteristik ekonomi dan pertumbuhan yang cepat sebagai penghasil daging, konversi ransum rendah,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kemudian dikembangkan di penjuru dunia. Puyuh mulai dikenal dan diternakkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kemudian dikembangkan di penjuru dunia. Puyuh mulai dikenal dan diternakkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Puyuh (Cortunix- cortunix japonica) Puyuh merupakan jenis aves yang tidak dapat terbang, ukuran tubuhnya relatif kecil, berkaki pendek. Puyuh pertama kali diternakkan di Amerika

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Penambahan daun Som Jawa pada ransum menurunkan kandungan serat kasar dan bahan kering ransum, namun meningkatkan protein kasar ransum. Peningkatan protein disebabkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) bagi Provinsi Nusa Tenggara Barat, bahkan telah menjadi lambang bagi provinsi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan Keadaan hewan pada awal penelitian dalam keadaan sehat. Sapi yang dimiliki oleh rumah potong hewan berasal dari feedlot milik sendiri yang sistem pemeriksaan kesehatannya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Madura Sapi Madura termasuk dalam sapi lokal Indonesia, yang berasal dari hasil persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura memiliki

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Subphylum : Vertebrata. : Galiformes

TINJAUAN PUSTAKA. Subphylum : Vertebrata. : Galiformes TINJAUAN PUSTAKA Puyuh Puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang, ukuran tubuh relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang pertama kali diternakkan di Amerika Serikat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Sapi perah yang dipelihara di Indonesia pada umumnya adalah Friesian Holstein (FH) dan Peranakan Friesian Holstein (PFH) (Siregar, 1993). Sapi FH memiliki ciri-ciri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi PT. Purwakarta Agrotechnopreneur Centre (PAC), terletak di desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Berdasarkan data statistik desa setempat, daerah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Kondisi Lingkungan Kelinci dipelihara dalam kandang individu ini ditempatkan dalam kandang besar dengan model atap kandang monitor yang atapnya terbuat dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina.

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Siklus reproduksi adalah perubahan siklus yang terjadi pada sistem reproduksi (ovarium, oviduk, uterus dan vagina) hewan betina dewasa yang tidak hamil, yang memperlihatkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Bangsa domba secara umum diklasifikasikan berdasarkan atas hal-hal tertentu diantaranya berdasarkan perbandingan banyaknya daging atau wol, ada tidaknya tanduk atau berdasarkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tikus

TINJAUAN PUSTAKA Tikus 5 TINJAUAN PUSTAKA Tikus Tikus merupakan salah satu satwa liar yang menjadi hama penting bagi kehidupan manusia baik dalam bidang pertanian, perkebunan, maupun permukiman. Lebih dari 150 spesies tikus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Wonosobo Domba Wonosobo merupakan domba hasil persilangan antara domba Texel yang didatangkan pada tahun 1957 dengan Domba Ekor Tipis dan atau Domba Ekor Gemuk yang secara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Ransum Terhadap Bobot Potong Ayam dan Lemak Abdominal Persentase lemak abdominal ayam perlakuan cenderung didapatkan hasil yang lebih rendah dibandingkan ayam pembanding.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Faktor manajemen lingkungan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi fisiologis ternak akan membuat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN ,8 ton (49,97%) dari total produksi daging (Direktorat Jenderal Peternakan,

I. PENDAHULUAN ,8 ton (49,97%) dari total produksi daging (Direktorat Jenderal Peternakan, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging ayam broiler adalah bahan pangan sumber protein hewani yang berkualitas tinggi karena mengandung asam amino esensial yang lengkap, lemak, vitamin, dan mineral serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak

I. PENDAHULUAN. Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daging merupakan makanan yang kaya akan protein, mineral, vitamin, lemak serta zat yang lain yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Usaha untuk meningkatkan konsumsi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi peranakan Fresian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (Sumber : Damron, 2003)

TINJAUAN PUSTAKA. (Sumber : Damron, 2003) TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kelinci Kelinci merupakan hewan yang mempunyai potensi sebagai penghasil daging yang baik. Hewan ini merupakan herbivore non ruminansia yang mempunyai sistem lambung sederhana

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum Banyaknya pakan yang dikonsumsi akan mempengaruhi kondisi ternak, karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan dapat ditentukan banyaknya zat makanan yang masuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking TINJAUAN PUSTAKA Itik Peking Itik peking adalah itik yang berasal dari daerah China. Setelah mengalami perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking dapat dipelihara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole (PO) Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Populasi sapi PO terbesar berada di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Kandungan Nutrien Daging pada Beberapa Ternak (per 100 gram daging) Protein (g) 21 19, ,5

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Kandungan Nutrien Daging pada Beberapa Ternak (per 100 gram daging) Protein (g) 21 19, ,5 TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Kelinci domestik (Oryctolagus cuniculus) merupakan keturunan dari kelinci liar Eropa yang berasal dari negara sekitar Laut Mediterania dan dibawa ke Inggris pada awal abad 12 (NRC,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Induk Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. energi dan pembentukan jaringan adipose. Lemak merupakan sumber energi

I. PENDAHULUAN. energi dan pembentukan jaringan adipose. Lemak merupakan sumber energi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Lemak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh manusia. Lemak memiliki beberapa fungsi dalam tubuh, yaitu sebagai sumber energi dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi protein hewani, khususnya daging sapi meningkat juga.

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi protein hewani, khususnya daging sapi meningkat juga. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan yang bernilai gizi tinggi sangat dibutuhkan untuk menghasilkan generasi yang cerdas dan sehat. Untuk memenuhi kebutuhan gizi tersebut pangan hewani sangat memegang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Babi Ternak babi memiliki karakteristik yang sama kedudukannya dalam sistematika hewan yaitu: Filum: Chordata, Sub Filum: Vertebrata (bertulang belakang), Marga:

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. semua bagian dari tubuh rusa dapat dimanfaatkan, antara lain daging, ranggah dan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan salah satu contoh rusa yang ada di Indonesia yang memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Hampir

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. hingga diperoleh ayam yang paling cepat tumbuh disebut ayam ras pedaging,

I. TINJAUAN PUSTAKA. hingga diperoleh ayam yang paling cepat tumbuh disebut ayam ras pedaging, I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Ras Pedaging Menurut Indro (2004), ayam ras pedaging merupakan hasil rekayasa genetik dihasilkan dengan cara menyilangkan sanak saudara. Kebanyakan induknya diambil dari Amerika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Puyuh (Coturnix coturnix japonica L.) merupakan salah satu unggas yang dibudidayakan untuk dimanfaatkan produk daging dan telur untuk memenuhi kebutuhan protein hewani

Lebih terperinci

PAPER BIOKIMIA PANGAN

PAPER BIOKIMIA PANGAN PAPER BIOKIMIA PANGAN BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kimia terkait erat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Mulai dari urusan sandang dan pangan, bahan bakar, obat-obatan sampai bahan konstruksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Nutrien

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Nutrien HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Hasil analisa proksimat digunakan sebagai acuan dalam menentukan kualitas nutrien bahan pakan dan dalam menghitung komponen nutrien karena kualitas nutrien bahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk. (2015) kelinci dapat mengubah dan memanfaatkan bahan pakan kualitas rendah

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Konsumsi daging telah dikenal dan menjadi pola hidup masyarakat sejak

PENGANTAR. Latar Belakang. Konsumsi daging telah dikenal dan menjadi pola hidup masyarakat sejak PENGANTAR Latar Belakang Konsumsi daging telah dikenal dan menjadi pola hidup masyarakat sejak lama. Daging merupakan salah satu produk hasil ternak yang memiliki nilai gizi tinggi dan berguna bagi kesehatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Kampung. Ayam kampung merupakan ayam lokal Indonesia yang berasal dari ayam

TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Kampung. Ayam kampung merupakan ayam lokal Indonesia yang berasal dari ayam TINJAUAN PUSTAKA Ayam Kampung Ayam kampung merupakan ayam lokal Indonesia yang berasal dari ayam hutan merah yang berhasil dijinakkan. Akibat dari proses evolusi dan domestikasi maka terciptalah ayam kampung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pesat. Perkembangan tersebut diiringi pula dengan semakin meningkatnya

I. PENDAHULUAN. pesat. Perkembangan tersebut diiringi pula dengan semakin meningkatnya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peternakan di Indonesia saat ini sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan tersebut diiringi pula dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler termasuk ke dalam ordo Galliformes,familyPhasianidae dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler termasuk ke dalam ordo Galliformes,familyPhasianidae dan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Broiler Ayam broiler termasuk ke dalam ordo Galliformes,familyPhasianidae dan spesies Gallusdomesticus. Ayam broiler merupakan ayam tipe pedaging yang lebih muda dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) bukan berasal dari New Zealand, tetapi dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Lokal di Indonesia Menurut Hardjosubroto (1994) bahwa sapi potong asli indonesia adalah sapi-sapi potong yang sejak dulu sudah terdapat di Indonesia, sedangkan sapi lokal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peternakan broiler merupakan salah satu sektor usaha peternakan yang

I. PENDAHULUAN. Peternakan broiler merupakan salah satu sektor usaha peternakan yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peternakan broiler merupakan salah satu sektor usaha peternakan yang berkembang pesat. Pada 2013 populasi broiler di Indonesia mencapai 1.255.288.000 ekor (BPS,

Lebih terperinci

KOMPOSISI PAKAN DAN TUBUH HEWAN

KOMPOSISI PAKAN DAN TUBUH HEWAN 1 KOMPOSISI PAKAN DAN TUBUH HEWAN M.K. Pengantar Ilmu Nutrisi Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB Zat makanan adalah unsur atau senyawa kimia dalam pangan / pakan yang dapat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Gaya hidup modern turut mengubah pola makan masyarakat yang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Gaya hidup modern turut mengubah pola makan masyarakat yang PENDAHULUAN Latar Belakang Gaya hidup modern turut mengubah pola makan masyarakat yang cenderung mengkonsumsi makanan-makanan cepat saji dengan kadar lemak yang tinggi. Keadaan ini menyebabkan munculnya

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat menuntut produksi lebih dan menjangkau banyak konsumen di. sehat, utuh dan halal saat dikonsumsi (Cicilia, 2008). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan masyarakat Indonesia akan gizi menuntut dikembangkannya berbagai industri pangan. Salah satu sektor yang turut berperan penting dalam ketersediaan bahan pangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Masyarakat saat ini mengenal tiga tipe ayam yaitu ayam tipe ringan, tipe medium

TINJAUAN PUSTAKA. Masyarakat saat ini mengenal tiga tipe ayam yaitu ayam tipe ringan, tipe medium II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Jantan Tipe Medium Masyarakat saat ini mengenal tiga tipe ayam yaitu ayam tipe ringan, tipe medium dan tipe berat yang didasarkan pada bobot maksimum yang dapat dicapai (Wahju,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot dan Persentase Komponen Karkas Komponen karkas terdiri dari daging, tulang, dan lemak. Bobot komponen karkas dapat berubah seiring dengan laju pertumbuhan. Definisi pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Boer Jawa (Borja) Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan antara kambing Afrika lokal tipe kaki panjang dengan kambing yang berasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya protein hewani untuk memenuhi kebutuhan gizi, permintaan masyarakat akan produkproduk peternakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Suhu Kandang Selama Lima Minggu Penelitian Pengukuran Suhu ( o C) Pagi Siang Sore 28-32

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Suhu Kandang Selama Lima Minggu Penelitian Pengukuran Suhu ( o C) Pagi Siang Sore 28-32 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Mikro Kandang Kandang Penelitian Kandang penelitian yang digunakan yaitu tipe kandang panggung dengan dinding terbuka. Jarak lantai kandang dengan tanah sekitar

Lebih terperinci

Sistem Pencernaan Manusia

Sistem Pencernaan Manusia Sistem Pencernaan Manusia Manusia memerlukan makanan untuk bertahan hidup. Makanan yang masuk ke dalam tubuh harus melalui serangkaian proses pencernaan agar dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Proses

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Domba pada umumnya dipelihara sebagai penghasil daging (Edey, 1983). Domba Lokal yang terdapat di Indonesia adalah Domba Ekor Tipis, Priangan dan Domba Ekor Gemuk.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh Analisis terhadap kandungan kolesterol daging, hati dan telur dilakukan saat puyuh berumur 14 minggu, diperlihatkan pada Tabel 5 dan

Lebih terperinci

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VIII VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui peranan ternak babi dalam usaha penyediaan daging. Mengetahui sifat-sifat karakteristik

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. bangsa-bangsa ayam yang memiliki produktifitas tinggi terutama dalam

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. bangsa-bangsa ayam yang memiliki produktifitas tinggi terutama dalam II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Ayam Broiler Ayam broiler merupakan bangsa unggas yang arah kemampuan utamanya adalah untuk menghasilkan daging yang banyak dengan kecepatan pertumbuhan yang sangat pesat. Ayam

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 11 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah anak, rataan bobot lahir, bobot sapih, total bobot lahir, dan jumlah anak sekelahiran pada kelompok domba kontrol dan superovulasi, baik yang tidak diberi dan diberi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Seorang wanita disebut hamil jika sel telur berhasil dibuahi oleh sel sperma. Hasil pembuahan akan menghasilkan zigot, yang lalu berkembang (dengan cara pembelahan sel

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi potong pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi potong merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Ternak babi bila diklasifikasikan termasuk ke dalam kelas Mamalia, ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Ternak babi bila diklasifikasikan termasuk ke dalam kelas Mamalia, ordo BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Babi Babi adalah binatang yang dipelihara dari dahulu, dibudidayakan, dan diternakkan untuk tujuan tertentu utamanya untuk memenuhi kebutuhan akan daging atau

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Pertumbuhan Kelinci

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Pertumbuhan Kelinci TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Kelinci merupakan ternak mamalia yang mempunyai banyak kegunaan. Kelinci dipelihara sebagai penghasil daging, wool, fur, hewan penelitian, hewan tontonan, dan hewan kesenangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. jualnya stabil dan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ayam broiler, tidak

PENDAHULUAN. jualnya stabil dan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ayam broiler, tidak I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ayam lokal merupakan jenis ayam yang banyak dipelihara orang di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Ayam lokal telah mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Hal

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda 3 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda Siklus reproduksi terkait dengan berbagai fenomena, meliputi pubertas dan kematangan seksual, musim kawin, siklus estrus, aktivitas seksual setelah beranak, dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Itik (Anas platyrhynchos)

TINJAUAN PUSTAKA. Itik (Anas platyrhynchos) TINJAUAN PUSTAKA Itik (Anas platyrhynchos) Menurut Achmanu (1997), itik termasuk ke dalam unggas air (waterfowl) yang mempunyai klasifikasi sebagai berikut : kelas Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat

PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Daging ayam merupakan daging yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia karena rasanya disukai dan harganya jauh lebih murah di banding harga daging lainnya. Daging

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Saat ini kebutuhan manusia pada protein hewani semakin. meningkat, yang dapat dilihat dari semakin banyaknya permintaan akan

PENDAHULUAN. Saat ini kebutuhan manusia pada protein hewani semakin. meningkat, yang dapat dilihat dari semakin banyaknya permintaan akan I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini kebutuhan manusia pada protein hewani semakin meningkat, yang dapat dilihat dari semakin banyaknya permintaan akan komoditas ternak, khususnya daging. Fenomena

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan

TINJAUAN PUSTAKA. Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan TINJAUAN PUSTAKA Daging Kerbau Kerbau adalah hewan tergolong memamah biak subkeluarga bovinae dan mempunyaikebiasaan berendam di sungai dan lumpur. Ternak kerbau merupakan salah satu sarana produksi yang

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Indeks Gonad Somatik (IGS) Hasil pengamatan nilai IGS secara keseluruhan berkisar antara,89-3,5% (Gambar 1). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bioflok

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba merupakan salah satu jenis ternak ruminansia yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba merupakan salah satu jenis ternak ruminansia yang banyak 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Ekor Tipis Domba merupakan salah satu jenis ternak ruminansia yang banyak dipelihara sebagai ternak penghasil daging oleh sebagian peternak di Indonesia. Domba didomestikasi

Lebih terperinci

SISTEM REPRODUKSI MANUSIA 2 : MENSTRUASI PARTUS

SISTEM REPRODUKSI MANUSIA 2 : MENSTRUASI PARTUS 1 SISTEM REPRODUKSI MANUSIA 2 : MENSTRUASI PARTUS SMA REGINA PACIS JAKARTA Ms. Evy Anggraeny Proses Menstruasi 2 Ada empat fase 1. Fase menstruasi 2. Fase folikel/proliferasi 3. Fase luteal/ovulasi 4.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Suhu (ºC) Minggu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Suhu (ºC) Minggu HASIL DAN PEMBAHASAN Manajemen Pemeliharaan Komponen utama dalam beternak puyuh baik yang bertujuan produksi hasil maupun pembibitan terdiri atas bibit, pakan serta manajemen. Penelitian ini menggunakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan ternak yang dapat menyediakan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Indonesia selain dari sapi, kerbau dan unggas. Oleh karena itu populasi dan kualitasnya

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM STRUKTUR DAN PERKEMBANGAN HEWAN II

LAPORAN PRAKTIKUM STRUKTUR DAN PERKEMBANGAN HEWAN II VAGINAL SMEAR Oleh : Nama : Nur Amalah NIM : B1J011135 Rombongan : IV Kelompok : 2 Asisten : Andri Prajaka Santo LAPORAN PRAKTIKUM STRUKTUR DAN PERKEMBANGAN HEWAN II KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu pertumbuhan yang cepat, konversi

I. TINJAUAN PUSTAKA. memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu pertumbuhan yang cepat, konversi I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Pedaging Ayam Pedaging adalah istilah untuk menyebutkan strain ayam budidaya teknologi yang memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu pertumbuhan yang cepat,

Lebih terperinci

Karakteristik mutu daging

Karakteristik mutu daging Karakteristik mutu daging Oleh: Elvira Syamsir (Tulisan asli dalam Kulinologi Indonesia edisi Maret 2011) Mutu merupakan gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik dan digunakan konsumen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan hasil perkawinan antara kambing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan hasil perkawinan antara kambing BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Peranakan Ettawa Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan hasil perkawinan antara kambing Kacang dengan kambing Ettawa sehingga mempunyai sifat diantara keduanya (Atabany,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. masyarakat. Permintaan daging broiler saat ini banyak diminati oleh masyarakat

PENDAHULUAN. masyarakat. Permintaan daging broiler saat ini banyak diminati oleh masyarakat I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Broiler merupakan unggas penghasil daging sebagai sumber protein hewani yang memegang peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat. Permintaan daging

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan Perilaku Tikus terhadap Aroma Minyak Atsiri Jahe Dari hasil pengamatan perilaku dalam waktu 4 jam pengamatan, tikus mendatangi sumber air minum dan bahkan sengaja mendatangi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Kandang Penelitian Rataan suhu kandang pada pagi, siang, dan sore hari selama penelitian secara berturut-turut adalah 25,53; 30,41; dan 27,67 C. Suhu kandang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu diklasifikasikan sebagai berikut, Kingdom: Plantae; Subkingdom:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu diklasifikasikan sebagai berikut, Kingdom: Plantae; Subkingdom: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tebu Tebu diklasifikasikan sebagai berikut, Kingdom: Plantae; Subkingdom: Tracheobionta; Super Divisi: Spermatophyta ; Divisi: Magnoliophyta; Kelas: Liliopsida; Sub Kelas: Commelinidae;

Lebih terperinci

lagomorpha. Ordo ini dibedakan menjadi dua famili, yakni Ochtonidae (jenis

lagomorpha. Ordo ini dibedakan menjadi dua famili, yakni Ochtonidae (jenis BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah kelinci Menurut Kartadisatra (2011) kelinci merupakan hewan mamalia dari family Leporidae yang dapat ditemukan di banyak bagian permukaan bumi. Dulunya, hewan ini adalah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang

TINJAUAN PUSTAKA. banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Petelur Ayam petelur adalah ayam yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang dikembangkan pada tipe

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Performa adalah pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan selama penelitian. Performa ayam petelur selama penelitian disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Rataan Performa

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. TINJAUAN PUSTAKA

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA Tikus Putih ( Rattus norvegicus ) Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan

Lebih terperinci