SKRIPSI KEVIN ANGGA SAPUTRA F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SKRIPSI KEVIN ANGGA SAPUTRA F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR"

Transkripsi

1 MODIFIKASI PATI WALUR (Amorphophallus campanulatus var. Sylvestris) DENGAN HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) SERTA KARAKTERISTISASI SIFAT FISIKO-KIMIA DAN SIFAT FUNGSIONALNYA SKRIPSI KEVIN ANGGA SAPUTRA F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 WALUR (Amorphophallus campanulatus var. Sylvestris) STARCH MODIFICATION BY HEAT MOISTURE TREATMENT AND CHARACTERIZATION OF ITS PHYSICO-CHEMICAL AND FUNCTIONAL PROPERTIES OF MODIFIED WALUR STARCH Kevin Angga Saputra, Elvira Syamsir, and Eko Hari Purnomo Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor 16002, West Java, Indonesia Phone: , ABSTRACT Walur is one of Indonesia s indigenous tuber. Walur contains significant amount of carbohydrate. However, native starch extracted from walur has limited application due to its heat unstability. Therefore modification is needed to increase heat stability of walur starch. The starch is modified through Heat Moisture Treatment (HMT). The objective of this research is to study the influence of temperature and time on walur stach charactheristics. Native walur starch with moisture content of 17% is heated at 100 o C and 110 o C in dry air oven for 6, 8, and 10 hours in closed container. The modified starch is analyzed for it pasting behaviour, swelling power, solubility, gel texture characteristics, freeze-thaw stability, starch granule morphology, starch birefringence, and starch melting characteristic. The results shows that HMT decreases peak viscosity, breakdown viscosity, swelling power and solubility, gel strength and elasticity, and melting enthalpy of starch. Modified walur starch has higher onset temperature (T o ), peak temperature (T p ), and final temperature (T c ).HMT increases heat stability of walur starch without significantly changes its birefringence property and granule morphology. It is also found that HMT increase syneresis of walur starch gel. Keywords: heat-moisture treatment, walur starch, starch modification.

3 KEVIN ANGGA SAPUTRA. F Modifikasi Pati Walur (Amorphophallus campanulatus var. Sylvestris) dengan Heat Moisture Treatment (HMT) serta Karakteristisasi Sifat Fisiko-Kimia dan Sifat Fungsionalnya. Di bawah bimbingan Elvira Syamsir dan Eko Hari Purnomo RINGKASAN Spesies Amorphophallus campanulatus (suweg dan walur) mengandung kadar pati yang tinggi yaitu sekitar 77% dan poliosa 14,2%. Selama ini, suweg sudah banyak dibudidayakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan pangan sumber karbohidrat, sedangkan walur merupakan tanaman liar di hutan yang belum dimanfaatkan, mengandung serat kasar dan rasanya sangat gatal akibat tingginya kadar kalsium oksalat, sehingga sampai saat ini walur tidak memiliki nilai ekonomi, bahkan oleh petani pembudidaya iles-iles atau porang dianggap sebagai hama. Pati umbi walur memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pengganti terigu. Modifikasi secara fisik yaitu heat-moisture treatment (HMT) dipilih karena proses modifikasi yang hanya melibatkan panas sehingga menghasilkan pati yang lebih aman. Modifikasi HMT dilakukan menggunakan oven udara kering. Untuk mendukung aplikasinya, perlu diketahui pengaruh proses HMT terhadap karakteristik fisikokimia dan fungsional pati termodifikasi yang dihasilkan. Untuk mengetahui waktu pemanasan yang sesuai pada modifikasi HMT dengan oven udara kering, dilakukan penelitian pendahuluan dengan pengujian penetrasi panas dan penentuan waktu HMT. Dari hasil penelitian pendahulan tersebut diketahui bahwa pemanasan selama 3 jam cukup memberi waktu untuk titik terdingin pada wadah aluminium yang digunakan untuk mencapai suhu yang diinginkan dan pemanasan selama 6 jam cukup untuk memberikan perubahan profil amilograf yang diinginkan. Modifikasi HMT kemudian dilakukan pada suhu 100 o C dan 110 o C serta waktu pemanasan 6 jam, 8 jam, dan 10 jam. Modifikasi HMT dengan menggunakan oven udara kering mampu merubah profil pasting, kapasitas pembengkakan, karakteristik tekstur gel, kestabilan terhadap sineresis, dan karakteristik termal pelelehan granula pati walur. Modifikasi HMT mampu meningkatkan suhu pasting dan menurunkan viskositas puncak (VP), viskositas breakdown (VBD), dan viskositas balik (VB) pada pati walur. Pati walur hasil modifikasi HMT juga menunjukkan penurunan kapasitas pembengkakan jika dibandingkan dengan pati kontrol. Selain itu, pati walur HMT juga menunjukkan kenaikan nilai kekerasan gel, dan penurunan nilai elastisitas, nilai kohesifitas, dan nilai kelengketan pada gel pati walur. Pada akhirnya, HMT pada pati walur cenderung menurunkan kestabilan terhadap sineresis. Kata kunci: pati walur, HMT, modifikasi pati

4 MODIFIKASI PATI WALUR (Amorphophallus campanulatus var. Sylvestris) DENGAN HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) SERTA KARAKTERISTISASI SIFAT FISIKO-KIMIA DAN SIFAT FUNGSIONALNYA SKRIPSI Sebagai Salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Oleh KEVIN ANGGA SAPUTRA F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

5 Judul : Modifikasi Pati Walur (Amorphophallus campanulatus var. Sylvestris) dengan Heat Moisture Treatment (HMT) serta Karakteristisasi Sifat Fisiko- Kimia dan Sifat Fungsionalnya Nama : Kevin Angga Saputra NRP : F Menyetujui, Mengetahui: Tanggal ujian akhir: 12 Maret 2012

6 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Modifikasi Pati Walur (Amorphophallus campanulatus var. Sylvestris) dengan Heat Moisture Treatment (HMT) serta Karakteristisasi Sifat Fisiko-Kimia dan Sifat Fungsionalnya adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Maret 2012 Yang membuat pernyataan Kevin Angga Saputra F

7 Hak cipta milik Kevin Angga Saputra, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya.

8 BIODATA PENULIS Kevin Angga Saputra, lahir di Jakarta, 26 Juli 1989 dari ayah Jo Joyoatmo dan ibu Ang Lan Hoa, sebagai putera pertama dari dua bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2007 dari SMAK3 BPK PENABUR Jakarta dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur SPMB. Penulis memilih Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti program perkuliahan penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan termasuk menjadi asisten praktikum mata kuliah kimia dasar dari tahun 2008 hingga 2009 dan mata kuliah praktikum teknik pangan pada tahun Penulis juga memperoleh beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) dari Dirjen. Pendidikan Tinggi Negeri Republik Indonesia. Penulis juga pernah menghadiri beberapa training dan seminar diantaranya sebagai oral presenter pada Go Organic Seminar di Bangkok pada tahun 2009, sebagai panitia acara training HACCP yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB pada tahun 2009, dan sebagai peserta pada Seminar Pangan dan Gizi Nasional pada tahun Pada tahun 2008, penulis tampil sebagai moderator pada acara National Student Paper Competition yang juga diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB. Penulis juga aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler antara lain dengan menjadi staf bidang external and competition Dept. tahun 2010 IPB Debating Community, pengajar responsi kimia PMK periode tahun 2008 hingga 2010, pengajar responsi kalkulus PMK periode tahun 2009, anggota tim penyuluh Ksatria Peduli Pangan, Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB tahun 2010, dan sebagai anggota paduan suara natal CIVA IPB pada tahun Prestasi di bidang akademik dan entrepreneur yang pernah diraih penulis antara lain sebagai partisipan 8 th TRUST by DANONE: International Business Game yang diselenggarakan oleh Danone group, medali emas presentasi poster dan medali perunggu untuk presentasi oral pada ajang Pekan Ilmiah Mahasiswa, Universitas Brawijaya, Malang pada tahun 2009, Semi-finalis IPB Art Contest cabang seriosa pada tahun 2011, dan sebagai finalis POLYU Innovation and Entrepreneurship Global Student Competition, sebuah kompetisi ide bisnis skala internasional yang diadakan oleh The Hong Kong POLYTECHNIC UNIVERSITY, Hong Kong pada tahun 2011.

9 KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan ke hadapan Tuhan yang Maha Kuasa atas Karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul Modifikasi Pati Walur (Amorphophallus campanulatus var. Sylvestris) dengan Heat Moisture Treatment (HMT) serta Karakteristisasi Sifat Fisiko-Kimia dan Sifat Fungsionalnya berhasil diselesaikan. Dengan telah diselesaikannya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Keluarga tercinta, Papa, Mama, dan Adik penulis, Alvin, atas doa, harapan, dan perhatian yang diberikan kepada penulis. 2. Ibu Elvira Syamsir dan Bapak Eko Hari Purnomo selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, nasihat, teguran, dan motivasi dalam pembuatan skripsi ini. 3. Bapak Asep W. Permana selaku pembimbing lapang yang memberikan banyak masukan selama penelitian berlangsung. 4. Bapak Azis Boing Sitanggang atas kesediaannya sebagai dosen penguji serta saran yang diberikan dalam proses pembuatan skripsi ini. 5. Segenap staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah membekali penulis dengan ilmu dan pengetahuan yang sangat berharga. 6. Seluruh teknisi laboratorium atas dukungan yang diberikan, Pak, Wahid, Pak Gatot, Pak Yahya, Ibu Rubiah, Ibu Antin, Pak Ilyas, Pak Jun, Mas Edi, Mbak Ira, Mas Imam, Mbak Vera, dan Mas Aldi. 7. Segenap teknisi Balai Besar Pasca Panen, Pak Adom, Pak Idris, Pak Asep, Pak Bambang, dan nama-nama lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. 8. Teman-teman Responsi Kopelkhu, Kak Esther, Bang Kris, Bayu, Marissa, Amel, Priskila, Yesua dan keluarga besar PF FATETA serta PMK IPB. 9. Teman-teman semasa penelitian, William, Marissa, Dimas, Ichank, Ratih, Rozak, Mbak Mus, Dati, Mas Akili, Kak Dede, Adi, Anisa, Eddy, Phom, Bew, Beam, Peace, dan Ton. 10. Angel, Micha, Manaz, Yesua, Ferdi, Eddy, Marissa, Dimas, Septi, Anisa, Adi, Aaya, Priskila, Fitri, Mbak Widi, Niko, dan Elizabeth atas dukungan dan perhatian yang diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi berlangsung. 11. Seluruh rekan-rekan ITP 43, 44, dan 45 khususnya yang tergabung di dalam tim Kapangan dan HIMITEPA 2010 dan Teman-teman satu bimbingan, Mbak Widi, Pak Azis, dan Kak Prita. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat kepada semua yang membaca dan menggunakannya. Bogor, Maret 2012 Penulis ii

10 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR...ii DAFTAR ISI...iii DAFTAR TABEL...iv DAFTAR GAMBAR...v DAFTAR LAMPIRAN...vi I. PENDAHULUAN...1 II. TINJAUAN PUSTAKA...3 A. Walur (Amorphophallus campanulatus var. sylvestris)...3 B. Pati...4 C.Modifikasi Pati...6 III. METODE PENELITIAN...10 A. Bahan dan Alat...10 B. Metode Penelitian...10 C. Metode Analisis...13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...20 A. Karakteristik Pati Walur Alami...20 B. Modifikasi Pati Walur dengan Heat-Moisture Treatment...22 C. Karakteristik Pati Walur HMT...25 D. Evaluasi Pengaruh Faktor Proses dan Penentuan Kondisi HMT Terpilih...38 V. SIMPULAN DAN SARAN...41 DAFTAR PUSTAKA...42 LAMPIRAN...48 iii

11 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Data proksimat umbi walur dan suweg...3 Tabel 2. Struktur dan komposisi beberapa granula pati...4 Tabel 3. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati...6 Tabel 4. Data fisikokimia umbi walur dan pati walur...21 Tabel 5. Derajat putih pati walur kontrol dan HMT kadar air 17%...26 Tabel 6. Karakteristik pasta pati walur kontrol dan modifikasi HMT kadar air 17%...29 Tabel 7. Hasil analisis kapasitas pembengkakan pati walur alami dan modifikasi HMT pada kadar air 17% dengan menggunakan t test dan ANOVA...31 Tabel 8. Hasil analisis kelarutan pati walur alami dan modifikasi HMT pada kadar air 17% dengan menggunakan t test dan ANOVA...32 Tabel 9. Hasil analisis karakteristik tekstur gel pati walur alami dan modifikasi HMT pada kadar air 17% dengan menggunakan t test dan ANOVA...32 Tabel 10. Evaluasi pengaruh faktor proses untuk menentukan kondisi HMT terpilih...38 Tabel 11. Profil pelelehan granula pati walur kontrol dan HMT kadar air 17%...39 iv

12 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Diagram alir proses ekstraksi pati walur...11 Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan pati walur termodifikasi...12 Gambar 3. Diagram alir analisis pati walur...13 Gambar 4.Posisi termokopel dalam wadah HMT...23 Gambar 5. Data profil penetrasi panas pati sagu kadar air 17%...24 Gambar 6. Data RVA pati sagu HMT selama 3 jam dan 6 jam...25 Gambar 7. Granula pati walur dan termodifikasi HMT dengan kadar air 17% dilihat dengan mikroskop cahaya terpolarisasi pada perbesaran 1000x...27 Gambar 8. Grafik pengaruh HMT terhadap profil pasting pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17% selama pemanasan pada suhu 100 o C...28 Gambar 9. Grafik pengaruh HMT terhadap profil pasting pati walur kontrol dan modifikasipada kadar air 17% selama pemanasan pada suhu 110 o C...28 Gambar 10. Grafik pengaruh HMT terhadap kapasitas pembengkakan pati walur kontrol dan modifikasi HMT dan modifikasi pada kadar air 17%...33 Gambar 11.Grafik pengaruh HMT terhadap kelarutan pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17%...33 Gambar 12. Grafik pengaruh HMT terhadap kekerasan gel pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17%...35 Gambar 13. Grafik pengaruh HMT terhadap elastisitas gel pati walur kontrol dan modfikasi pada kadar air 17%...35 Gambar 14. Grafik pengaruh HMT terhadap kohesifitas gel pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17%...36 Gambar 15. Grafik pengaruh HMT terhadap kelengketan gel pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17%...36 Gambar 16. Grafik pengaruh HMT terhadap freeze-thaw stability pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17%...37 Gambar 17. Grafik pengaruh HMT terhadap karakteristik termal pelelehan granula pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17%...39 Gambar 18. Granula pati walur alami dan termodifikasi dengan kadar air 17% pada beberapa perbesaran dilihat menggunakan Scanning Electrone Microscope...40 v

13 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Diagram alir proses ekstraksi pati walur...49 Lampiran 2 Diagram alir proses pembuatan pati walur termodifikasi HMT...50 Lampiran 3. Data rendemen ekstraksi pati walur...51 Lampiran 4. Karakteristik fisikokimia pati walur...52 Lampiran 5. Kadar air pra-hmt...53 Lampiran 6. Karakteritik pasta pati walur alami dan modifikasi HMT kadar air 17%...54 Lampiran 7. Kapasitas pembengkakan dan kelarutan pati kontrol dan pati walur HMT pada kadar air 17%...55 A. Kapasitas pembengkakan pati walur kontrol dan pati walur HMT pada kadar air 17%...55 B. Kelarutan pati walur alami dan pati walur HMT pada kadar air 17%...56 Lampiran 8. Karakteristik tekstur gel pati walur kontrol dan pati walur HMT pada kadar air 17%...57 Lampiran 9. Freeze-thaw stability pati walur kontrol dan pati walur HMT pada kadar air 17%...58 Lampiran 10. Analisis t test dan ANOVA pada karakteristik pasting gel pati walur kontrol dan pati walur HMT kadar air 17%...59 A. Lampiran data t test...60 B. Lampiran data ANOVA...61 Lampiran 11. Analisis t test dan ANOVA pada kapasitas pembengkakan granula dan kelarutan pati walur kontrol dan pati walur HMT kadar air 17%...64 A. Lampiran data t test...64 B. Lampiran data ANOVA...65 Lampiran 12. Analisis t test dan ANOVA pada karakteristik tekstur gel pati walur kontrol dan pati walur HMT kadar air 17%...68 A. Lampiran data t test...68 B. Lampiran data ANOVA...69 vi

14 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan pangan dan gizi mengalami perkembangan yang sangat cepat dan kompleks. Perkembangan lingkungan global, seperti global climate change dan meningkatnya harga minyak dunia, telah mendorong kompetisi penggunaan hasil pertanian untuk pangan (food), bahan energi (fuel), dan pakan ternak (feed) yang makin tajam. Di samping itu, ketergantungan yang tinggi terhadap bahan pangan tertentu dikhawatirkan akan mengancam ketahanan pangan dan gizi nasional. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah pangan dan gizi ini dengan pengembangan sumber karbohidrat non beras dan non terigu. Pengembangan umbi-umbian dapat memberikan kontribusi dalam mengatasi masalah ketergantungan yang tinggi akan beras dan terigu tersebut. Pengembangan umbi-umbian memerlukan sentuhan teknologi untuk menghasilkan produk antara berupa tepung yang lebih awet, mudah diolah untuk menghasilkan berbagai produk, serta untuk menjamin kontinuitas pasokan. Pengembangan tepung dari umbi-umbian, secara strategis sebenarnya juga merupakan upaya melepaskan ketergantungan masyarakat negara miskin dan berkembang, dari pengaruh kapitalisme modern. Sebab tepung gandum, diproduksi oleh negara-negara maju dengan modal yang kuat. Beberapa jenis umbi-umbian asli negeri kita adalah suweg dan walur (Amorphopalus campanulatus), juga iles-iles (Amorphophalus conyak dan Amorphophallus rivieri). Iles-iles pada saat ini sudah banyak dimanfaatkan untuk dibuat konyaku, salah satu produk pangan fungsional. Sementara suweg dan walur yang merupakan kerabat dekatnya masih kurang dikembangkan. Spesies Amorphophallus campanulatus (suweg dan waluh) mengandung kadar pati yang tinggi yaitu sekitar 77% dan poliosa 14,2 (Othsuki, 1968). Secara tradisional, suweg digunakan sebagai sumber karbohidrat oleh masyarakat awam. Namun walur belum dimanfaatkan dan masih merupakan tanaman liar yang tumbuh di hutan. Kendala yang dihadapi dalam penggunaan walur adalah tingginya kadar klasium oksalat dan serat kasar. Namun demikian, Purnomo dan Risfaheri (2010) menyatakan bahwa kadar kalsium oksalat dalam pati walur dapat dikurangi sampai 93.7%. Dengan demikian pemanfaatan pati walur terbuka lebar karena kandungan oksalat yang menjadi kendala dalam pemanfaatan pati walur dapat dikurangi secara signifikan. Pati walur cenderung tidak tahan terhadap panas sehingga sulit untuk digunakan dalam industri pangan yang membutuhkan suhu tinggi selama pengolahan produk pangan. Oleh karena itu dibutuhkan modifikasi pada pati walur untuk membuat pati walur menjadi lebih tahan terhadap panas. Modifikasi dilakukan untuk memperbaiki profil pati alami baik sifat fisikokimia maupun sifat fungsional sehingga penggunaan pati menjadi lebih spesifik. Modifikasi yang dapat dilakukan meliputi modifikasi secara kimia dan secara fisik. Penelitian kali ini menggunakan metode modifikasi secara fisik dengan menggunakan panas dan kelembaban (Heat Moisture Treatment) atau umum disebut sebagai HMT dengan alat pemanas berupa oven. Metode HMT dipilih karena akan meningkatkan ketahanan panas pati hasil modifikasi. Metode modifikasi fisik dipilih karena mudah untuk diterapkan dan tidak mengandung risiko yang besar karena tidak menggunakan bahan kimia sintetik selama proses modifikasi. Sedangkan alasan penggunaan alat pemanas berupa oven agar penerapan di lapangan terutama pada industri kecil dan

15 menengah mudah untuk dilakukan karena menggunakan alat pemanas yang murah, mudah untuk didapatkan, dan mudah untuk dioperasikan. Dengan demikian diharapkan penelitian kali ini dapat menambah nilai jual pati walur, dan bermanfaat untuk dikembangkan dalam sektor usaha kecil dan menengah sehingga dapat memajukan perekonomian nasional dan dapat membantu program diversifikasi pangan nasional dengan mengangkat bahan baku pangan asli Indonesia. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh suhu dan waktu proses HMT terhadap karakteristik pati walur termodifikasi Heat Moisture Treatment dengan aplikasi oven udara kering. 2

16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris) Walur (Amorphopallus campanulatus var sylvestris) merupakan tanaman dari famili Araceae. Tanaman walur mempunyai daun tunggal yang terpecah-pecah dan berbatang kasar dengan tangkai daun tegak yang keluar dari umbinya. Tanaman ini berasal dari Asia Tropika dan tersebar di Malaysia, Jawa, Filipina, sampai ke kepulauan Pasifik. Menurut Kriswidarti (1980) seperti yang dikutip oleh Mukhis (2003), tanaman walur dapat tumbuh di daerah dengan ketinggian mencapai 800 meter di atas permukaan laut. Pertumbuhannya membutuhkan suhu antara 25 o C 35 o C dengan curah hujan antara mm/tahun. Ukuran umbi walur bisa mencapai diameter lebar 40 cm. Bentuknya bundar agak pipih. Tinggi umbi bisa mencapai 30 cm. Penelitian oleh Purnomo dan Risfaheri (2010) melaporkan bahwa umbi walur memiliki kadar air sebesar 74.46%, kadar lemak sebesar 3.68%, kadar abu 1.25%, kadar protein 1.64% dan kadar karbohidrat sebesar 18.97% (Tabel 1). Hasil ini tidak berbeda jauh dengan yang dihasilkan oleh umbi iles-iles (Das et al. 2009), umbi yang satu famili dengan umbi walur, namun sudah dimanfaatkan secara meluas oleh masyarakat untuk dikonsumsi. Menurut Kriswidarti (1980) seperti yang dikutip oleh Richana dan Sunarti (2004), terdapat dua varian dari spesies Amorphopallus campanulatus yaitu varian sylvestris dan varian hortensis. Varian sylvestris lebih dikenal dengan nama walur sementara varian hortensis lebih dikenal dengan nama suweg. Selama ini pemanfaatan secara tradisional oleh masyarakat hanya terbatas pada varian hortensis atau suweg dikarenakan tinginya kandungan oksalat pada varian sylvestris atau walur sehingga menyebabkan gatal ketika diolah dan dikonsumsi. Adapun perbandingan komposisi umbi walur dan suweg dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Data proksimat umbi walur dan umbi suweg No. Kadar gizi (%) Walur a Suweg b 1. Kadar air Kadar lemak Kadar protein Kadar abu Kadar karbohidrat a Purnomo et al. (2010) b Das et al. (2009) Komponen lainnya dari umbi walur yang perlu mendapatkan perhatian dalam penanganannya adalah kalsium oksalat. Kristal kalsium oksalat pada umbi walur dapat menyebabkan rasa gatal. Rasa gatal yang merangsang rongga mulut dan kulit disebabkan adanya kristal kecil berbentuk jarum halus yang tersusun oleh kalsium oksalat yang disebut raphide (Bradbury dan Nixon, 1998). Kristal kalsium oksalat merupakan produk buangan dari metabolism sel yang sudah tidak digunakan lagi oleh tanaman (Nugroho, 2000).

17 B. Pati 1. Karakteristik pati Pati merupakan cadangan energi terbesar pada tanaman seperti serealia, kacangkacangan, umbi-umbian, dan tanaman lainnya. Pati ditemukan pada hampir seluruh organ tanaman seperti biji, buah, dan umbi serta umumnya digunakan sebagai sumber energi bagi tanaman pada periode dormansi dan pertumbuhan (Jobling, 2004). Beberapa organ tanaman yang berperan sebagai tempat penyimpanan pati, seperti biji pada tanaman jagung dan padi atau umbi pada tanaman singkong dan ubi jalar, merupakan makanan pokok yang biasa dikonsumsi manusia. Oleh karena itu, pati merupakan sumber energi yang sangat penting karena menyumbangkan sekitar 60-70% energi berupa suplai eksogenous glukosa (Roder et al., 2005). Molekul granula pati memiliki sifat birefringent dan sifat maltosecross. Birefringent adalah sifat granula pati yang dapat merefleksi cahaya terpolarisasi sehingga membentuk bidang biru dan kuning ketika dilihat dengan mikroskop polarisasi (Richana dan Sunarti, 2004). Terbentuknya warna biru dan kuning disebabkan adanya perbedaan indeks refraktif dalam granula pati yang dipengaruhi oleh struktur molekul amilosa pati. Karakteristik ini juga mengindikasikan bahwa molekul pati memiliki pola pengaturan kristanilitas. Granula pati tersusun atas dua tipe polimer glukosa (α glukan) yaitu amilosa dan amilopektin, yang berjumlah sekitar 98-99% berat kering (Tester et al., 2004). Rasio dari dua polisakarida ini sangat bervariasi tergantung pada jenis tanaman sumber patinya. Berdasarkan rasio kandungan amilosa-amilopektin, pati dapat diklasifikasikan sebagai waxy starch yang mengandung amilosa kurang dari 15%, pati normal yang mengandung amilosa sekitar 20-35%, dan pati beramilosa tinggi yang mengandung amilosa dengan kadar di atas 40%. Granula pati dideskripsikan sebagai struktur semikristalin yang terdiri dari struktur kristalin dan amorphous. Bagian amorphous terdiri dari molekul rantai panjang amilopektin, amilosa, dan percabangan amilopektin. Sedangkan rantai pendek amilopektin akan membentuk untaian heliks yang membentuk kristalin (Tester et al., 2004). Secara umum, karakteristik pati alami dari beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Struktur dan komposisi beberapa granula pati Karakteristik pati Jenis pati Walur a Jagung Gandum Kentang Singkong Tipe Umbi akar Serealia Serealia Bentuk granula Bulat, poligonal Bulat, poligonal Bulat, bimodal Umbi batang Oval, spherical Umbi akar Oval, pepat Ukuran granula (µm) Fosfat (% b/b) Protein (% b/b) Lipid (% b/b) Kapasitas produksi dunia (juta ton/tahun) Sumber: Fennema (1996); Purnomo dan Risfaheri (2010) 4

18 Amilosa merupakan sumber polimer linier rantai panjang yang tersusun dari residu glukan yang dihubungkan oleh ikatan α-(1,4) dan ikatan α-(1,6) pada setiap residu glukan. Amilosa memiliki bobot molekul sekitar 5x10 5-1x10 6 Da dengan derajat polimerisasi (Roder et al., 2005). Molekul amilosa bersifat hidrofilik karena mengandung banyak gugus hidroksil pada senyawa polimernya. Struktur dan ukuran amilosa sangat bervariasi tergantung pada sumber patinya. Semakin besar ukurannya, percabangan pada molekul amilosa akan semakin banyak. Untaian heliks amilosa dapat berikatan dengan iodin menghasilkan kompleks dengan warna biru gelap yang menjadi dasar dalam penentuan kadar amilosa. Amilosa juga dapat berikatan dengan molekul lipid internal membentuk kompleks amilosalipid yang dapat membatasi penyerapan air ke dalam granula pati (Putseys et al., 2009). Amilopektin terdiri dari rantai glukosa yang berbobot molekul lebih besar dan lebih bercabang. Amilopektin tersusun dari unit molekul anhidroglukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-(1,4) dengan percabangan pada ikatan α-(1,6) pada setiap residu 20 glukan. Molekul ini memiliki bobot molekul sekitar 10 7 Da dengan derajat polimerisasi 5x10 4-5x10 5. Rata-rata molekul amilopektin memiliki panjang nm dan lebar 15 nm dengan percabangan terdistribusi teratur pada interval 7-10 nm (Roder et al., 2005). Adanya titik percabangan pada molekul amilopektin mengakibatkan kuatnya ikatan linier rantai pendek sehingga membentuk double helix yang menjadi dasar bagi terbentuknya struktur semikristalin pada granula pati (Jobling, 2004). Selain berdasarkan rasio amilosa-amilopektin yang terkandung di dalam granulanya, pati juga dapat diklasifikasikan berdasarkan profil gelatinisasinya. Berdasarkan klasifikasi Scoch dan Maywald (1968) seperti yang dikutip oleh Chansri et al. (2005), terdapat empat tipe profil amilografi pati berdasarkan pengukuran profil gelatinisasi pati oleh brabender. Pati tipe A memiliki kemampuan pengembangan yang besar dan biasanya terdapat pada pati umbiumbian seperti ubi jalar dan singkong ataupun waxy starch. Pati tipe B banyak ditemukan pada serealia, memiliki kemampuan pengembangan yang besar, dan menunjukkan viskositas pasta yang rendah. Pati tipe C memiliki kemampuan pengembangan yang terbatas, tidak menunjukkan viskositas puncak bahkan menunjukkan viskositas konstan ataupun peningkatan viskositas selama pemasakan. Pati jenis ini banyak terdapat pada jenis Leguminaceae dan pati cross bonded. Pati tipe D merupakan tipe pati dengan pengembangan sangat terbatas yang bahkan tidak bisa cukup mengembang untuk memberikan viskositas pasta selama pemasakan. Jenis pati ini umunya ditemukan pada pati dengan kadar amilosa lebih dari 55%. 2. Gelatinisasi pati Pati tersusun atas molekul-molekul yang bersifat hidrofilik, namun granula pati justru bersifat hidrofobik. Hal ini disebabkan karena struktur semikristalin di dalam granula dan adanya ikatan hidrogen yang terbentuk di antara gugus hidroksil di dalam polimer pati. Dalam air dingin, granula pati akan sedikit mengembang tetapi tidak larut air. Jumlah air yang diserap sangat bervariasi tergantung pada kadar air keseimbangannya. Pati dengan kadar air keseimbangan lebih tinggi akan menyerap air lebih banyak. Proses pengembangan ini bersifat dapat balik karena granula akan kembali ke bentuk semula setelah mengalami pengeringan. Penyerapan air akan bertambah besar jika granula pati disuspensikan dlam air berlebih dan dipanaskan. Air akan masuk ke dalam daerah amorphous dalam granula pati dan menyebabkan terjadinya pembengkakan granula. Pembengkakan ini menimbulkan tekanan pada daerah kristalin yang terdiri dari molekul amilopektin dan merusak susunan double helix yang ada. Kerusakan double helix amilopektin dapat mengganggu susunan kristalin bahkan 5

19 dapat menghilangkan kristalinitasnya. Selama pemanasan granula pati akan terus menyerap air sampai granula pecah dan molekul amilosa akan keluar sehingga mengakibatkan ketidakteraturan struktur granula, peningkatan viskositas suspensi pati, dan hilangnya sifat birefringent pati. Perubahan ini dikenal dengan sebutan gelatinisasi pati dan sifatnya tidak dapat balik (Roder et al., 2005). Menurut Fennema (1996), suhu gelatinisasi pati adalah titik suhu saat sifat birefringent pati mulai menghilang dan menurut Roder et al. (2005), suhu gelatinisasi pati adalah suhu saat mulai terjadi perubahan tidak dapat balik. Suhu gelatinisasi tidak selalu tepat pada satu titik tetapi berupa kisaran suhu karena populasi granula pati memiliki ukuran yang bervariasi. Gelatinisasi pati terjadi pada kisaran suhu pemanasan tertentu yang sesuai dengan karakteristik masing-masing pati. Secara umum, kisaran suhu gelatinisasi aneka jenis pati o C. Suhu gelatinisasi dari beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati Sumber pati Suhu gelatinisasi ( o C) Beras Ubi jalar Tapioka Jagung Gandum Walur Sumber: Fennema (1996); Purnomo dan Risfaheri (2010) C. Modifikasi Pati (Heat-Moisture Treatment) Setiap jenis pati memiliki karakteristik yang khas serta sifat fungsional yang berbeda. Oleh karena itu penggunaan pati dalam industri pangan harus disesuaikan dengan karakteristik pati yang akan digunakan. Produsen pangan olahan berbasis pati umumnya menetapkan beberapa kualifikasi tertentu terhadap pati yang akan digunakan. Beberapa persyaratan tersebut antara lain adalah, pati harus tahan terhadap shear yang tinggi yang terjadi selama proses pengolahan dan tahan terhadap ph rendah. Pati juga harus tahan terhadap suhu tinggi agar tahan pada proses sterilisasi ataupun pada suhu rendah agar dapat tahan pada suhu lemari pendingin sehingga dapat diterima dengan baik oleh konsumen. Namun, pati alami biasanya tidak memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan karena memiliki sifat fungsional yang terbatas. Untuk meningkatkan fungsionalitas pati alami maka dilakukan upaya modifikasi. Pati yang telah termodifikasi adalah pati yang telah diubah sifat aslinya, yaitu kimia atau fisiknya sehingga mempunyai karakteristik sesuai dengan yang dikehendaki. Secara garis besar, modifikasi pati dapat dilakukan melalui dua metode yaitu modifikasi secara fisik dan modifikasi secara kimia. Modifikasi pati dengan perlakuan kimia antara lain ikatan silang (crosslink), hidrolisis asam, oksidasi, dekstrinasi, dan konversi asam (Light, 1990). Sedangkan salah satu bentuk modifikasi secara fisik adalah hydrothermal treatment. Menurut Stute (1992) hydrothermal treatment didefinisikan sebagai bentuk modifikasi pati secara fisik yang mengkombinasikan kondisi kelembaban serta pemanasan yang dapat mempengaruhi karakteristik pati tanpa merubah visualisasi granula pati. Perlakuan fisik untuk modifikasi pati cenderung lebih aman karena tidak merusak granula pati serta lebih alami dibandingkan dengan perlakuan kimia (Collado et al., 2001). 6

20 Berdasarkan kondisi perlakuannya, hydrothermal treatment dibedakan menjadi dua yaitu annealing dan Heat Moisture Treatment (HMT). Menurut Genkina et al. (2004), annealing merupakan bentuk modifikasi fisik yang melibatkan proses inkubasi pati pada kadar air berlebih dengan suhu pemanasan di antara suhu transisi gel dan suhu awal gelatinisasi yaitu sekitar o C. Perlakuan pemanasan pati dengan metode annealing dapat meningkatkan stabilitas granula (Hoover dan Vasanthan, 1994) serta dapat meningkatkan suhu gelatinisasi dan mempersempit kisaran suhu gelatinisasi. Menurut Collado dan Corke (1999), Heat Moisture Treatment (HMT) didefinisikan sebagai modifikasi fisik yang melibatkan perlakuan pemanasan pati pada kadar air terbatas (<35% b/b) pada suhu o C, di atas suhu gelatinisasi, selama beberapa waktu yang berkisar antara 15 menit sampai 16 jam. Menurut Kulp dan Lorenz (1981) seperti yang disitasi oleh Olayinka et al. (2006), modifikasi HMT dapat merubah karakteristik pati karena selama proses modifikasi terbentuk kristal baru atau terjadi proses rekristalisasi dan penyempurnaan struktur kristalin pada granula pati. Proses HMT juga dapat meningkatkan asosiasi rantai pati antara amilosa-amilosa dan amilosa-amilopektin pada area amorphous, memisahkan fraksi amilosa dan amilopektin, meningkatkan kekompakan material di dalam granula akibat adanya tekanan dan interaksi serta merubah derajat kristalinitas pati. Perlakuan HMT akan memberikan efek perubahan yang berbeda tergantung pada sumber pati dan kondisi proses yang diterapkan (Olayinka et al., 2006). Pati ubi jalar hasil modifikasi HMT memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap pengadukan (shear stable) dengan kekerasan dan daya adhesi gel yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati alaminya (Collado dan Corke, 1999). Proses HMT dapat meningkatkan freeze-thaw stability, pati singkong (Abraham, 1993), membatasi kapasitas pembengkakan pati dan meningkatkan kualitas gel pada pati beras sehingga lebih dapat diaplikasikan dalam pembuatan mi berbasis pati (Hormdok dan Noomhorm, 2007). 1. Pengaruh kadar air Studi yang dilakukan oleh Adebowale et al. (2005), menunjukaan bahwa modifikasi dengan teknik heat moisture treatment (HMT) dapat mengubah profil gelatinisasi pati sorgum merah, yaitu dapat meningkatkan suhu gelatinisasi, meningkatkan viskositas pasta pati, menurunkan viskositas panas pasta, meningkatkan breakdown, meningkatkan viskositas akhir, dan meningkatkan kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi (meningkatkan set back). Selanjutnya menurut Adebowale et al. (2005), perubahan tersebut sangat bergantung pada pengaturan kadar air modifikasi HMT. Peningkatan kadar air modifikasi tidak memberikan pola akhir yang khas dalam peningkatan suhu gelatinisasi pati sorgum merah. Peningkatan kadar air dari 18% menjadi 21% meningkatkan kenaikan yang terjadi pada suhu gelatinisasi, namun peningkatan kadar air menjadi 24% dan 27% tidak meningkatkan kenaikan suhu gelatinisasi. Selain tidak memberikan pola yang khas terhadap perubahan suhu gelatinisasi, peningkatan kadar air juga tidak memberikan pola yang khas pada viskositas puncak, viskositas pasta panas, breakdown, viskositas akhir, dan set back yang paling rendah bila dibandingkan dengan kadar air 18%, 21%, dan 24%. Pengaruh kadar air modifikasi HMT terhadap profil gelatinisasi diperlihatkan dengan jelas pada modifikasi yang dilakukan terhadap pati biji nangka (Lawal dan Adebowale, 2005). Peningkatan kadar air dari 18% hingga 27% meningkatkan kenaikan suhu gelatinisasi, meningkatkan penurunan puncak viskositas, meningkatkan penurunan viskositas pasta panas, meningkatkan penurunan set back, dan meningkatkan penurunan breakdown. Pati 7

21 termodifikasi dengan profil yang paling mendekati pati dengan tipe C diperoleh dari pati yang dimodifikasi dengan kadar air 27%. Sementara itu menurut Vermeylen et al. (2006), modifikasi HMT pada pati kentang dipengaruhi oleh kadar air dan suhu. Modifikasi yang dilakukan pada kadar air 23% dengan suhu 130 o C menghasilkan pati termodifikasi HMT dengan suhu gelatinisasi tertinggi dan perubahan pola difraksi sinar-x dari tipe B menjadi tipe A. Tipe A dari struktur granula pati merupakan tipe difraksi sinar-x yang dimiliki oleh pati serealia alami. 2. Pengaruh sumber pati Pati dari sumber yang berbeda mempunyai proporsi amilosa/amilopektin yang berbeda pula. Adanya perbedaan proporsi amilosa/amilopektin kemungkinan akan mempengaruhi sensitifitasnya terhadap pengaruh modifikasi dengan HMT. Perbedaan panjang rantai serta perbedaan pengaturan amilosa dan amilopektin di dalam granula pati kemungkinan akan mempengaruhi kemudahan perubahannya pada saat dipanaskan bersama dengan sejumlah air. Menurut Manuel (1996), pati polong-polongan termodifikasi HMT dari berbagai sumber dengan proporsi amilosa/amilopektin yang berbeda mengalami penurunan pelepasan amilosa (amilose leaching), penurunan faktor pembengkakan granula (swelling factor), dan peningkatan suhu pelelehan dengan tingkat yang berbeda. Namun demikian, dari perbedaan yang ada belum terlihat adanya kecenderungan pati dengan proporsi amilosa yang lebih tinggi mempunyai perubahan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang mempunyai proporsi amilosa yang lebih rendah atau sebaliknya (Hoover dan Manuel, 1996). Studi yang dilakukan oleh Widaningrum dan Purwani (2006), menunjukkan bahwa pati jagung dengan kandungan amilopektin lebih tinggi lebih sesitif terhadap perlakuan HMT. Pati jagung dengan kandungan amilosa rendah (17.69%) mengalami pergeseran profil gelatinisasi dari tipe A menjadi tipe C. Sementara itu, pati jagung dengan kandungan amilosa tinggi (46.15%) mengalami pergeseran profil gelatinisasi dari tipe B menjadi tipe C. Studi yang dilakukan oleh Purwani et al. (2006), menunjukkan bahwa teknik HMT dapat menggeser tipe kurva profil gelatinisasi pati sagu dari tipe A menjadi tipe B. Pada pergeseran pola gelatinisasi ini terjadi perubahan beberapa parameter profil gelatinisasi diantaranya peningkatan suhu gelatinisasi, penurunan viskositas breakdown, dan peningkatan viskositas set back. Besarnya perubahan beberapa parameter gelatinisasi tersebut berbeda untuk setiap asal sagu. Sagu Ihur yang mempunyai kandungan amilosa paling rendah mengalami peningkatan suhu gelatinisasi dan penurunan viskositas breakdown yang paling besar. Modifikasi HMT yang dilakukan terhadap pati ubi jalar dengan kandungan amilosa yang berbeda menunjukkan bahwa pati dengan kandungan amilosa lebih rendah lebih mudah mengalami pergeseran profil gelatinisasi dari tipe A menjadi tipe C bila dimodifikasi HMT selama 4 jam dan 8 jam, penambahan waktu modifikasi menjadi 16 jam menghasilkan pati termodifikasi dengan profil gelatinisasi tipe B. 3. Pengaruh suhu dan kadar air Perubahan yang terjadi pada pati yang dimodifikasi HMT disebabkan oleh adanya interaksi antara amilosa dan amilopektin di dalam granula pati dengan air. Inhibisi air ke dalam granula pati dimungkinkan oleh adanya suhu tinggi yang dapat memutuskan ikatan hidrogen antara molekul amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin, maupun amilopektin-amilopektin. Ikatan hidrogen antara molekul tersebut kemudian digantikan oleh ikatan hidrogen dengan air. 8

22 Oleh karena itu, kadar air dan suhu yang diterapkan selama modifikasi kemungkinan akan saling berinteraksi dalam mempengaruhi karakteristik pati termodifikasi yang dihasilkan. Studi yang dilakukan dilakukan oleh Vermeylen et al. (2006) menunjukkan bahwa pati termodifikasi HMT pada kadar air dan suhu yang lebih tinggi mempunyai suhu gelatinisasi yang lebih tinggi, kisaran suhu gelatinisasi yang lebih lebar, dan energi entalpi gelatinisasi yang lebih rendah dibendingkan dengan pati termodifikasi HMT pada kadar air dan suhu yang lebih rendah. Selain itu, pati termodifikasi pada suhu dan kadar air yang lebih tinggi mempunyai ukuran lubang (kekosongan) di pusat granula yang lebih besar dan integritas granula pati termodifikasi pada suhu 130 o C telah hilang sebagian. 4. Pengaruh waktu dan suhu Adanya pengaruh interaksi waktu dan suhu modifikasi HMT terhadap karakteristik pati termodifikasi jagung dilaporkan oleh Ahmad (2009). Modifikasi yang dilakukan pada suhu pemanasan 110 o C selama 6 jam dapat menghasilkan pati termodifikasi dengan karakteristik gelatinisasi tipe C, pati tersebut juga mempunyai kelarutan yang lebih rendah dan kekuatan gel yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi pada waktu dan suhu yang berbeda. Studi yang dilakukan oleh Lestari (2009), menunjukkan bahwa tepung jagung yang dimodifikasi HMT pada berbagai modifikasi suhu dan waktu yang berbeda menghasilkan tepung jagung dengan karakteristik gelatinisasi yang berbeda. Tepung jagung termodifikasi dengan tipe C yaitu tepung yang mempunyai stabilitas panas dan pengadukan tinggi diperoleh dengan kombinasi suhu 110 o C dan waktu 6 jam. Selain itu, tepung tersebut juga mempunyai swelling volume dan amylose leaching yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tepung yang dimodifikasi pada perlakuan lainnya. Studi yang dilakukan oleh Ahmad (2009) tidak menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan stabilitas pati dengan meningkatnya waktu dan suhu modifikasi HMT. Stabilitas panas pasta pati meningkat dengan meningkatnya waktu modifikasi dari 12 jam menjadi 16 jam, namun stabilitas panas tersebut menurun dengan meningkatnya suhu modifikasi dari 110 o C menjadi 120 o C. 5. Pengaruh ph dan waktu Menurut Collado dan Corke (1999), ph dan waktu modifikasi HMT mempengaruhi profil gelatinisasi pari ubi jalar termodifikasi yang dihasilkan. Pati ubi jalar (kandungan amilosa 15.2%) yang dimodifikasi HMT pada ph asal ( ) mempunyai viskositas puncak dan viskositas breakdown yang lebih rendah bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi pada ph basa (ph 10) pada berbagai waktu modifikasi (4 jam, 8 jam, dan 16 jam). Hal ini menunjukkan bahwa kestabilan pati yang dimodifikasi pada ph asal terhadap pemanasan dan pengadukan lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi pada ph basa. Peningkatan waktu modifikasi dari 4 jam menjadi 8 jam dan 16 jam cenderung meningkatkan viskositas breakdown pati ubi jalar termodifikasi baik yang termodifikasi pada ph asal maupun ph basa atau dapat dikatakan bahwa peningkatan waktu modifikasi cenderung menurunkan kestabilan pati terhadap pemanasan dan pengadukan. 9

23 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati walur yang telah melalui proses reduksi kandungan oksalat. Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah akuades, K 2 SO 4, HgO, H 2 SO 4 pekat, H 3 BO 3, indikator metil merah-metil biru, NaOH-Na 2 S 2 O 3, HCl 0.02N, kertas saring Whatman no. 42, kapas, heksana, H 2 SO N, NaOH 0.625N, K 2 SO4 10%, alkohol, HCl 25%, NaOH 25%, larutan Luff Schrool, KI 20%, H 2 SO4 26.5%, Na 2 S 2 O N, indikator pati, amilosa standar, NaOH 1N, asam asetat 1 N, larutan iod, dan minyak. Alat-alat yang digunakan untuk analisis antara lain neraca analitik, Polarized Light Microscope, oven, desikator, labu Kjedahl, alat destilasi, cawan alumunium, cawan porselen, tanur, kondensor, labu soxhlet, ph-meter, Whiteness meter, Hot Plate Magnetic Stirer, Spektrofotometer, Differential Scanning Calorimetry, Scanning Electron Microscope, Rapid Visco-Analyzer, waterbath, sentrifuse,, Texture Analyzer, refrigerator, freezer, dan alat gelas lainnya. B. Metode Penelitian Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan yaitu pembuatan pati walur, karakterisasi pati walur, modifikasi pati walur dengan teknik heat moisture treatment (HMT), dan karakterisasi pati walur modifikasi HMT. 1. Pembuatan pati walur Pembuatan pati walur dilakukan dengan mengacu pada Purnomo et al (2010) dengan modifikasi. Pembuatan pati walur dilakukan dengan dua tahap yaitu ekstraksi pati walur dan reduksi kalsium oksalat. Langkah pertama yang dilakukan adalah pengupasan dan pemarutan umbi walur. Kemudian hasil parutan diperas dengan menggunakan screw presser. Ampas dan hasil perasan dari screw presser kemudian dicampur kembali dan diaduk dengan kecepatan 200 rpm selama 15 menit. Hasil pengadukan kemudian dituang ke dalam wadah berlapis kain saring disertai penambahan air dan didiamkan selama semalam untuk mengekstrak pati walur. Endapan pati kemudian diambil dan dicampurkan dengan HCl 1.2N dengan perbandingan pati dan HCl sebesar 1:5.campuran diaduk dengan kecepatan 180 rpm selama 30 menit untuk mereduksi kandungan HCl pada pati walur. Setelah 30 menit, ditambahkan natrium bikarbonat sebanyak 0.6% dari volume campuran dan pengadukan dilanjutkan selama 5 menit. Setelah lima menit, pengadukan terus dilanjutkan dengan penambahan NaOH 10% b/b untuk menetralkan suspensi pati. Suspensi pati kemudian diendapkan selama semalam, diambil, dikeringkan pada suhu 60 o C selama semalam, dan bongkahan pati yang didapat digiling kemudian disaring dengan saringan 100 mesh. Secara singkat, diagram alir pembuatan pati walur dapat dilihat pada Gambar 1.

24 Gambar 1. Diagram alir proses ekstraksi pati walur 11

25 2. Modifikasi pati walur dengan teknik HMT Sebanyak 500g pati diatur kadar airnya hingga mencapai 17% dengan cara menyemprotkan akuades. Jumlah akuades ditentukan berdasarkan kesetimbangan massa. Formulasi perhitungan kesetimbangan massa sebagai berikut: (100% - KA 1 ) x BP 1 = (100% - KA 2 ) x BP 2 Keterangan: KA 1 = kadar air kondisi awal (%bb) KA 2 = kadar air pati yang diinginkan (%bb) BP 1 = bobot pati pada kondisi awal BP 2 = bobot pati setelah mencapai KA2 Pati basah yang telah mencapai kadar air 17 %b/b selanjutnya diaduk dan ditempatkan di dalam plastik HDPE bertutup. Pati didiamkan dalam refrigerator selama satu malam untuk penyeragaman kadar air. Pati basah tersebut kemudian diberikan perlakuan HMT dengan cara dipanaskan dalam oven pada suhu 100 o C dan 110 o C selama 6 jam, 8 jam, dan 10 jam untuk memperoleh pati modifikasi. Setelah didinginkan, pati walur modifikasi dikeringkan selama semalam pada suhu 40 o C. Proses pembuatan pati walur modifikasi HMT dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan pati walur modifikasi HMT. 12

26 3. Karakterisasi pati walur dan pati walur HMT Pada tahap ini dilakukan beberapa analisis untuk mengetahui karakter seperti sifat fisikokimia pati walur. Analisis yang dilakukan adalah analisis fisik terdiri atas rendemen, densitas kamba, densitas padat, derajat putih, dan bentuk granula pati, analisis kimia terdiri atas analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat), nilai ph, kadar pati, kadar amilosa, dan kadar amilopektin. Selain itu juga dilakukan analisis sifat fisik dan fungsional pati walur HMT. Analisis fisik yang dilakukan adalahpengamatan terhadap bentuk granula pati yang dilihat melalui mikroskop terpolarisasi dan SEM, dan derajat putih. Selanjutnya, analisis sifat fungsional yang dilakukan adalah profil pasting pati, swelling power, kelarutan, karakteristik tekstur gel, freezethaw stability, dan DSC. Gambar 3 menunjukkan analisis yang dilakukan pada pati walur dan pati walur HMT. Gambar 3. Diagram alir analisis karakterisasi pati walur Keterangan : * hanya untuk pati walur kontrol. C. Metode Analisis 1. Rendemen Rendemen pati dinyatakan dalam persen berdasarkan bobot pati terhadap umbi segar. Bobot pati (g) Rendemen % = Bobot umbi segar (g) 100% 2. Densitas Kamba (bulk density) (Wirakartakusumah et al., 1992) Densitas kamba adalah massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu. Densitas kamba ditentukan oleh berat wadah yang diketahui volumenya dan merupakan hasil 13

27 pembagian berat bubuk dengan volume wadah. Sampel dimasukkan ke dalam gelas ukur 25 ml. Isi hingga volumenya mencapai tepat 25 ml lalu ditimbang bobotnya. Derajat Kamba g/ml = bobot sampel (g) volume (ml) 3. Kadar Air metode oven biasa (AOAC, 1995) Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 105 o C selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Cawan ditimbang menggunakan neraca analitik. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan, kemudian cawan serta sampel ditimbang dengan neraca analitik. Cawan berisi sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105 o C selama 1 malam (16 jam). Selanjutnya cawan berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Setelah itu, cawan berisi sampel dikeringkan kembali dalam oven selama menit, lalu ditimbang kembali. Pengeringan diulangi hingga diperoleh bobot konstan (selisih bobot gram). Kadar air (%bb) = a (b c) 100% a Keterangan : a = bobot sampel awal (g) b = bobot sampel dan cawan setelah dikeringkan (g) c = bobot cawan kosong (g) 4. Kadar Abu (AOAC, 1995) Cawan pengabuan dibakar dalam tanur, kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel sebanyak 3-5 gram ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian cawan yang berisi sampel dibakar sampai didapatkan abu berwarna abu-abu atau sampai bobotnya konstan. Cawan yang berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang dengan neraca analitik. Catatan : sebelum masuk tanur, sampel yang ada dalam cawan dibakar dulu pada hot plate sampai asapnya habis. bobot abu Kadar abu (%bk) = bobot sampel x (100% kadar air(%bb)) 100% 5. Kadar Protein Metode Mikro-Kjedahl (AOAC, 1995) Sejumlah kecil sampel (kira-kira mg) ditimbang, dipindahkan ke dalam labu Kjedahl 30 ml. Setelah itu, ditambahkan 1.9 ± 0.1 gram K 2 SO 4, 40 ± 10 mg HgO, dan 2.0 ± 0.1 ml H 2 SO 4 ke dalam labu Kjedahl yang berisi sampel. Jika sampel lebih dari 150 mg, ditambahkan 0.1 ml H 2 SO 4 untuk setiap 10 mg bahan organik di atas 15 mg. Setelah itu, beberapa butir batu didih dimasukkan labu Kjedahl yang berisi sampel kemudian labu Kjedahl yang berisi sampel dan telah dimasukkan batu didih didihkan selama jam sampai cairan menjadi jernih. Setelah cairan jernih, labu Kjedahl yang berisi sampel didinginkan dan ditambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan ke dalamnya, kemudian didinginkan kembali. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu Kjedahl yang isinya sudah dipindahkan ke dalam alat destilasi dicuci dan bilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air, air cucian dipindahkan ke dalam alat destilasi. 14

28 Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H 3 BO 3 dan 2-4 tetes indikator (campuran dua bagian metil merah 0.2% dalam alkohol dan satu bagian metilen blue 0.2% dalam alkohol) diletakan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H 3 BO 3 kemudian di tambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na 2 S 2 O 3 dan dilakukan destilasi sampai tertampung kira-kira 15 ml destilat dalam erlenmeyer. Setelah itu, tabung kondensor dibilas dengan air dan bilasannya ditampung dalam erlenmeyer yang sama. Selanjutnya isi erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml dan kemudian ditritasi dengan HCl 0.02 N yang sudah distandardisasi sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Penentuan protein pun dilakukan untuk blanko. Kadar N % bk = ml HCl ml blanko N HCl mg sampel x (100% kadar air(%bb)) 100% Kadar protein (% bk) = %N x faktor konversi (6.25) 6. Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC, 1995) Sampel yang akan dianalisis ditimbang sebanyak 1-2 gram lalu dimasukkan ke dalam selongsong kertas yang dialasi dengan kapas. Bagian atas selongsong kertas yang telah diisi sampel juga disumbat dengan kapas lalu dikeringkan dalam oven pada suhu tidak lebih dari 80 o C selama lebih kurang satu jam. Selongsong kemudian dimasukkan ke dalam alat Soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak yang berisi batu didih yang telah dikeringkan dan telah diketahui bobotnya. Sampel diekstrak dengan heksana atau pelarut lemak lainnya selama lebih kurang 6 jam. Pelarut kemudian disuling kembali dan hasil ekstraksi lemak dikeringkan dalam oven pengering pada suhu 105 o C. Labu berisi lemak sampel kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang bobotnya. Pengeringan diulangi hingga didapat bobot yang tetap. a b Kadar lemak (%bk) = c x (100% kadar air(%bb)) x 100% Keterangan : a = Bobot labu lemak setelah diekstraksi (g) b = Bobot labu lemak sebelum diekstraksi (g) c = Bobot sampel (g) 7. Kadar Karbohidrat (by diffrence) Kadar karbohidrat dihitung sebagai sisa dari kadar air, abu, lemak dan protein. Kadar karbohidrat ditentukan sebagai berikut : Kadar karbohidrat (%bk) = 100% - (kadar air + kadar abu + kadar lemak + kadar protein) 8. Nilai ph (Apriyantono et al., 1989) Timbang tepat 1 gram sampel, kemudian ditambahkan 20 ml air. Kocok dengan stirrer sampai basah sempurna. Kemudian ditambahkan 50 ml air dan dihomogenkan. Biarkan sampel selama 1 jam. Jangan disaring, biarkan mengendap. Ukur ph supernatan sampel. ph diukur dengan menggunakan ph meter terkalibrasi. 15

29 9. Derajat Putih Pengukuran derajat putih dilakukan dengan menggunakan Whiteness Meter (Kett Electric Laboratory (C-100-3)). Sejumlah contoh dimasukkan ke dalam wadah khusus, dipadatkan, ditutup, kemudian dimasukkan ke dalam tempat pengukuran lalu nilai derajat putih akan keluar pada layar (A). Standar yang digunakan mempunyai nilai derajat putih Bentuk Granula Pati Bentuk dan intensitas birefringence granula pati diamati dengan Polarized Light Microscope (Olympus Optical Co. Ltd, Japan) yang dilengkapi dengan kamera. Suspensi pati disiapkan dengan mencampurkan pati dan aquades, kemudian dikocok. Suspensi diteteskan pada atas gelas objek dan ditutup dengan gelas penutup, preparat kemudian dipasang pada PLM. Pengamatan dilakukan dengan meneruskan cahaya terpolarisasi dengan perbesaran 1000 kali. 11. Kadar Pati Metode Luff Schoorl (AOAC, 1997) a. Pembuatan Larutan Luff Schoorl Sebanyak 25 g CuSO 4.5H 2 O sejauh mungkin bebas besi, dilarutkan dalam 100 ml air, 50 g asam sitrat dilarutkan dalam 50 ml air dan 388 g soda murni (Na 2 CO 3.10H 2 O) dilarutkan dalam ml air mendidih. Larutan asam sitrat dituangkan dalam larutan soda sambil dikocok hati-hati. Selanjutnya, ditambahkan larutan CuSO 4. Sesudah dingin ditambahkan air sampai 1 L. Bila terjadi kekeruhan, didiamkan kemudian disaring. b. Persiapan Contoh Sampel sebanyak 0.1 g ditimbang dalam erlenmeyer 300 ml, dan ditambah 50 ml akuades dan 5 ml HCl 25 %, kemudian dipanaskan pada suhu 100 o C selama 3 jam. Setelah didinginkan, suspensi dinetralkan dengan NaOH 25 % sampai ph 7. Pindahkan secara kuantitatif dalam labu takar 100 ml, kemudian tepatkan sampai tanda tera dengan air destilata. Larutan ini kemudian disaring kembali dengan kertas saring. c. Analisis Contoh Sebanyak 25 ml filtrat dari persiapan contoh ditambah 25 ml larutan Luff- Schoorl dalam erlenmeyer. Dibuat pula perlakuan blanko yaitu 25 ml larutan Luff Schoorl dengan 25 ml akuades. Erlenmeyer dihubungkan dengan pendingin balik, kemudian dididihkan. Pendidihan larutan dipertahankan selama 10 menit. Selanjutnya cepat-cepat didinginkan dan ditambah 15 ml KI 20% dan dengan hati-hati ditambah 25 ml H 2 SO %. Yodium yang dibebaskan dititrasi dengan larutan Na 2 S 2 O N memakai indikator pati sebanyak 2-3 ml. Untuk memperjelas perubahan warna pada akhir titrasi maka sebaiknya pati diberikan pada saat titrasi hampir berakhir. 12, Perhitungan Kadar Pati Dengan mengetahui selisih antara titrasi blanko dan titrasi contoh, kadar gula reduksi setelah inversi (setelah dihidrolisa dengan HCl 25%) dalam bahan dapat dicari dengan menggunakan Tabel. Selisih kadar gula inverse dengan sebelum inverse dikalikan 0.9 merupakan kadar pati dalam bahan. 16

30 Kadar pati(%bk) = mg glukosa x FP x 100 % mg sampel x (100% kadar air(%bb)) x Kadar Amilosa Metode IRRI (Apriyantono et al., 1989) a. Pembuatan Kurva Standar Sebanyak 40 mg amilosa murni dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ke dalam tabung reaksi tersebut ditambah 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Tabung reaksi dipanaskan dalam air mendidih sekitar 10 menit sampai semua amilosa membentuk gel. Setelah didinginkan, campuran tersebut dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu takar 100 ml dan tepatkan dengan air sampai tanda tera. Sebanyak masing-masing 1, 2, 3, 4, dan 5 ml larutan tersebut dipipet ke dalam labu takar 100 ml. Masing-masing labu takar ditambah asam asetat 1 N sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1 ml, kemudian masing-masing ditambah 2 ml larutan iod dan tepatkan dengan air sampai tanda tera. Setelah didiamkan selama 20 menit, larutan tersebut diukur absorbasi dari intensitas warna biru yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Buat kurva standar sebagai hubungan antara kadar amilosa (sumbu x) dengan absorbansi (sumbu y). b. Analisis Contoh Sebanyak 400 mg contoh dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ke dalam tabung reaksi tersebut ditambah 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Tabung reaksi dipanaskan dalam air mendidih sekitar 10 menit untuk menggelatinisasi pati. Setelah didinginkan, campuran tersebut dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu takar 100 ml dan tepatkan dengan air sampai tanda tera. Sebanyak 5 ml dari larutan tersebut dipipet dan dimasukkan ke dalam labu takar. Ke dalam labu takar ditambah 1 ml asam asetat 1 N, lalu ditambah 2 ml larutan iod dan tepatkan dengan air sampai tanda tera. Setelah didiamkan selama 20 menit, larutan tersebut diukur absorbasi dari intensitas warna biru yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. C x V x FP x 100 Kadar amilosa(%bk) = W x (100% kadar air(%bb)) Keterangan : C = Konsentrasi amilosa contoh dari kurva standar (mg/ml) V = Volume akhir contoh (ml) FP = Faktor pengenceran W = Berat contoh (mg) 14. Kadar Amilopektin Metode IRRI (Apriyantono et al., 1989) Pati terdiri dari fraksi amilosa dan amilopektin. Oleh karena itu, kadar amilopektin merupakan selisih antara kadar pati dengan kadar amilosa. Kadar amilopektin (% bk) = Kadar pati (% bk) kadar amilosa (% bk) 15. Profil Pasting Pati dengan Rapid Visco Analyzer (RVA) (modifikasi dari AACC, 2000) Profil amilograf diukur menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA, Model Tecmaster, Newport Scientific, Australia). Sebanyak ± 3.00 g dilarutkan secara langsung pada 17

31 akuades sebanyak ± 25 ml pada canister. Pada pengukurannya digunakan standar dua dimana sampel akan diatur suhu awalnya 50 o C dalam satu menit pertama kemudian dipanaskan sampai suhu 95 o C dalam waktu 7.5 menit dan ditahan pada suhu tersebut selama 5 menit. Setelah itu, suhu sampel didinginkan kembali ke suhu awal 50 o C selama 7.5 menit dan ditahan selama 2 menit. Kecepatan rotasi diatur pada 160 rpm selama proses. Parameter yang dapat diukur antara lain viskositas puncak (VP), viskositas pada akhir waktu ditahan 95 o C atau viskositas pasta panas (VPP), viskositas akhir (VA) pada akhir pendinginan, viskositas breakdown (VBD = VP-VPP), viskositas balik (VB = VA-VPP), temperatur pasta dan suhu pada saat viskositas puncak. 16. Profil Kapasitas Pembengkakan Pati (swelling power) dan Kelarutan (solubility index) (modifikasi dari Adebowale et al., 2005) Pati dengan konsentrasi 1% dipanaskan dengan waterbath dengan suhu 60 o C dan 90 o C selama 30 menit kemudian disentrifusi dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 menit, lalu supernatan dipisahkan dari endapan. Nilai swelling power diukur dengan membagi berat endapan dengan berta pati kering sebelum dipanaskan (g/g). X Y Swelling Power(g g) = W 100% kadar air %bb Keterangan: W = berat sampel (g) Y = berat tabung kosong (g) X = berat tabung dan endapan (g) Kelarutan diukur dengan mengeringkan supernatan hasil pemisahan sampai beratnya konstan. Kelarutan dinyatakan sebagai persen berat pati yang larut dalam air. X Y Kelarutan % = W (100% kadar air(%bb)) 100% Keterangan : W = berat sampel (g) X = berat cawan dan endapan (g) Y = berat cawan kosong (g) 17. Karakteristik Tekstur Gel (modifikasi dari Wattanachant et al., 2002) Kekuatan gel diukur dengan menggunakan alat textur analyzer (TA-XT2). Pati dengan konsentrasi 20% b/v dipanaskan dari suhu 30 o C sampai 95 o C, dan dipertahankan pada suhu 95 o c selama 30 menit, kemudian didinginkan sampai suhu 50 o C. Pasta pati ini dituangkan ke dalam tabung dengan diameter 4 cm dan tinggi 2 cm, kemudian disimpan pada suhu -4 o C selama 16 jam. Gel ditekan dengan kecepatan penetrasi 2 mm/s dan jarak 15 mm. Karakteristik tekstur gel yang diamati meliputi kekerasan gel, elastisitas gel, kohesifitas gel, dan kelengketan gel. 18. Freeze-thaw Stability (modifikasi dari Wattanachant et al., 2002) Pasta pati disiapkan sebesar 8% b/v dalam tabung sentrifuse. Pasta pati yang dihasilkan ditimbang beratnya. Tabung sentrifuse ditutup dengan rapat. Tabung disimpan pada suhu -16 o C selama 16 jam, kemudian di-thawing pada suhu ruang selama 2 jam. Sampel yang telah mendapat perlakuan satu siklus freeze-thaw tersebut disentrifuse pada 3750 rpm selama 18

32 30 menit. Jumlah (volume) air yang terpisah setelah siklus freeze-thaw diukur dan dinyatakan dalam % sineresis. Freeze-thaw dilakukan sebanyak 3 siklus. Sineresis % = Cairan yang dipisahkan g Bobot pasta pati g 100% 19. Karakteristik Termal Pelelehan Granula Pati (DSC) (modifikasi dari Maeda dan Morita, 2000) Sebanyak 2-3 mg sampel pati walur ditimbang hingga tepat pada alumunium pan. Alumunium pan lalu disealed dengan menggunakan SSC-30 (Shimadzu Co. Ltd., Tokyo). Pengukuran DSC dilakukan dengan menggunakan alat DSC-60. Pemanasan dilakukan mulai dari suhu ruang hingga suhu 120 C dengan kecepatan 10 C/menit. Alumunium pan yang kosong digunakan sebagai reference. 20. Morfologi Struktur Granula Pati (Manuel, 1996) Sampel pati sebanyak 2 mg diletakkan dalam circular aluminium stubs yang dilengkapi double sided sticky tape serta dulapisi oleh suatu lapisan tipis (20 nm) yang terbuat dari emas, lalu diperiksa dan difoto dengan SEM JSM 5410LV, JEOL Ltd., Tokyo, Japan pada tegangan 5 kv dengan perbesaran 2000x, 3500x, dan 7500x. 19

33 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Pati Walur Alami Sifat bahan pangan dalam bentuk bubuk dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sebagai partikel dan sebagai kesatuan (bulk). Sifat bulk ditentukan oleh karakteristik fisik dan kimia bahan, ukuran, bentuk geometri bahan, sifat permukaan partikel bahan, dan sistem secara keseluruhan (Wirakartakusumah et al, 1992). Densitas kamba didefinisikan sebagai massa partikel yang menempati unit volume tertentu. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa pati walur mempunyai densitas kamba sebesar gram/ml. Hasil ini dipengaruhi oleh karakteristik pati walur itu sendiri. Data densitas kamba ini diperlukan dalam industri pangan terutama untuk memperkirakan kebutuhan ruang dalam hal penyimpanan, pengemasan, dan pengangkutan dalam distribusi bahan. Terkait dengan hal ini, semakin besar densitas kamba suatu bahan, akan semakin ekonomis bahan tersebut karena memiliki area permukaan yang lebih luas (Fennema, 1996). Sementara itu, selama proses ekstraksi pati dari umbi walur, diketahui bahwa rendemen ekstraksi pati walur berkisar antara %. Rendemen ini tergolong rendah jika dibandingkan dengan rendemen pati hasil ekstraksi dari perruvian carrot ( %) (Matsuguma et al., 2009), tiger nuts (15.3%), ubi jalar (20%), dan taro (10%) (Abo-El-Fetoh et al., 2010). Rendemen yang rendah ini kemungkinan disebabkan adanya proses reduksi oksalat yang dilakukan dengan perendaman menggunakan asam klorida konsentrasi 1.2 N. Perendaman dengan asam klorida akan menghidrolisis pati walur menjadi molekul-molekul yang lebih kecil sehingga rendemen pati yang dihasilkan cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan rendemen pati dari sumber lainnya (Herminiati dan Abbas, 2006). Ini terlihat dari rendemen pati walur sebelum direduksi kandungan oksalatnya yang berkisar antara %. Data rendemen yang dihasilkan memiliki rentang yang besar karena rendemen pengupasan yang bervariasi diakibatkan oleh bentuk dari umbi walur yang berlekuk sehingga sulit untuk dikupas secara manual dan umur dari umbi walur yang didapat sangat bervariasi sehingga kandungan pati yang dihasilkan juga bervariasi. Untuk selanjutnya yang dimaksudkan dengan pati walur kontrol atau pati walur alami adalah pati walur yang telah melalui proses reduksi oksalat. Derajat putih pati walur alami terukur sebesar satuan. Derajat putih pati walur tercatat lebih rendah dibandingkan dengan pati kelapa sawit (83.02%), pati sagu (84.86%), dan pati tapioka (93.53%) (Ridwansyah et al., 2007). Secara visual, pati walur tampak berwarna coklat muda. Pencoklatan ini kemungkinan terjadi karena adanya kandungan senyawa fenol pada umbi walur. Pei-Lang et al. (2006) menyatakan bahwa pencoklatan yang terjadi pada pati sagu terjadi karena adanya senyawa fenol dan polifenol oksidase di dalam batang sagu. Dalam Tabel 4 dapat dilihat perbandingan sifat fisikokimia antara pati walur dengan umbi walur. Tabel 4 menunjukkan bahwa pati walur memiliki kadar air 7,65% bb. Kadar air ini masih berada pada kadar air yang baik, yaitu sekitar 6-16% (Moorthy, 2002). Kandungan air pada bahan berperan penting dalam menentukan karakteristik alir dan untuk menjalankan fungsi mekanis lainnya. Namun demikian, kadar air yang terlalu tinggi akan menyebabkan bahan menjadi lembab dan mudah ditumbuhi oleh mikroba perusak sehingga daya tahan produk selama disimpan akan berkurang (Mboungeng et al, 2008). Tabel 4 juga menunjukkan bahwa pati walur yang dihasilkan memiliki kadar lemak sebesar 0,10%. Kadar lemak ini jauh berkurang dari kadar lemak umbi walur segar yaitu sebesar 3,68%. Hal ini disebabkan oleh proses ekstraksi pati yang melibatkan penyawutan umbi,

34 perendaman dengan air, dan perlakuan dengan asam. Penyawutan umbi memperluas permukaan umbi sehingga pati dan komponen lainnya seperti lemak bisa terekstrak dengan maksimal. Lemak yang terdapat di dalam umbi dan ikut terekstrak bersama pati akan mengambang dikarenakan massa jenis lemak yang lebih rendah dari air, sementara pati akan tenggelam ke dasar wadah karena memiliki massa jenis yang lebih besar dari air. Menurut Fennema (1996), lemak secara alami dapat berikatan dengan granula pati. Perlakuan dengan asam akan menghidrolisis ikatan antara lemak dan pati yang terekstrak. Tabel 4. Data fisikokimia umbi walur dan pati walur Komposisi fisikokimia Walur a Pati walur Rendemen sebelum reduksi oksalat (%) Rendemen setelah reduksi oksalat (%) Densitas kamba (gram/ml) Derajat putih Kadar air (% bb) Kadar lemak (% bk) Kadar protein (% bk) Kadar abu (% bk) Kadar karbohidrat (% bk) Kadar serat kasar (% bk) Kadar pati (% bk) Kadar Amilosa (% bk) Kadar amilopektin (% bk) ph a Purnomo et al. (2010) Kadar protein pati walur tercatat sebesar 3.95% bk lebih tinggi dari kadar protein umbi walur yaitu sebesar 1.64% bk. Hal ini disebabkan proses ekstraksi yang melibatkan perlakuan asam untuk mereduksi kandungan oksalat pada pati walur. Protein yang terekstrak bersama dengan pati ketika pati mendapat perlakuan dengan asam akan tenggelam ke dasar wadah bersama dengan pati (Eromosele et al., 2008). Setelah dikeringkan, maka persen bobot protein yang terkandung di dalam pati akan menjadi semakin besar karena rendemen pati yang dihasilkan jauh lebih kecil dari umbi segar yang digunakan. Hal ini mengakibatkan persen distribusi semakin mengecil sehingga konsentrasi protein di dalam pati walur tampak lebih besar dari kadar protein umbi walur segar. Perbedaan yang besar ini juga mungkin terjadi karena karakteristik fisikokimia pati walur dibandingkan dengan umbi walur hasil penelitian Purnomo et al. (2010) bukan dengan umbi walur yang diekstrak patinya. Pada Tabel 4 juga dapat dilihat bahwa pati walur memiliki kadar abu sebesar 1.75% bk. Kadar abu pati walur ini juga lebih besar dari kadar abu umbi walur. Hal ini disebabkan karena proses ekstraksi yang tidak sempurna sehingga pati yang dihasilkan masih memiliki pengotor yang cukup tinggi (Gunaratne dan Hoover, 2002). Secara singkat, ketidakmurnian pati dapat disebabkan oleh adanya serat dan bahan pengotor (Rahman, 2007; Mboungeng et al, 2008). Kadar pati walur hasil analisis tercatat sebesar 78.21%. Kadar pati ini juga menunjukkan tingkat kemurnian pati yang dihasilkan. Rendahnya kadar pati menunjukkan proses ekstraksi yang kurang sempurna sehingga pati banyak terbuang atau terdapat banyak pengotor pada pati yang dihasilkan (Gunaratne dan Hoover, 2002). Pati sendiri tersusun atas paling sedikit 21

35 tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin, dan bahan antara seperti lipid dan protein (Greenwood, 1976). Rasio antara amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi karakteristik fungsional pati. Oleh karena itu perlu diketahui jumlah kandungan amilosa dan amilopektin dalam pati agar dapat diketahui aplikasi dan kualitas pati yang dihasilkan (Mboungeng et al, 2008). Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa pati walur memiliki kadar amilosa sebesar 19% dan kadar amilopektin sebesar 59.21%. Kadar amilopektin ini ditentukan dari selisih antara kadar pati dan kadar amilosa. Adapun rasio antara amilosa dan amilopektin berbeda dan bervariasi terhadap berbagai sumber pati (Tester et al, 2004). Sementara itu pati walur memiliki ph yang rendah yaitu Menurut Mishra dan Rai (2006) dan Mboungeng et al (2008), rendahnya ph dapat terjadi karena adanya bahan pengotor pada pati yang dihasilkan. Rendahnya nilai ph pati walur juga dapat disebabkan karena adanya perlakuan dengan asam ketika mereduksi kandungan oksalat pada pati walur. B. Modifikasi Pati Walur dengan Heat-Moisture Treatment 1. Pengukuran Penetrasi Panas Wadah Aluminium Penentuan waktu HMT dilakukan untuk menentukan waktu proses HMT menggunakan pati sagu dengan kadar air 17% sebagai pengganti pati walur. Pemilihan pati sagu dikarenakan profil amilografnya berdasarkan pengukuran mirip dengan pati walur yang dihasilkan (kontrol pada Gambar 6,8, dan 9). Karakteristik yang diharapkan tercapai pada penelitian pendahuluan ini adalah perubahan profil amilograf, di mana viskositas puncak, viskositas breakdown, dan viskositas balik menjadi lebih rendah dari pati alaminya. Penentuan waktu HMT dilakukan dengan melakukan uji penetrasi panas dan uji profil amilograf menggunakan RVA untuk menentukan waktu pemanasan HMT. Uji penetrasi panas bertujuan untuk melihat keseragaman penyebaran panas di dalam wadah dengan terisi sampel dan lama waktu tunda yang terjadi sebelum suhu HMT tercapai. Penentuan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu yang diinginkan dapat dilihat dari titik terdingin pada sampel. Titik terdingin merupakan bagian sampel yang memiliki kecepatan peningkatan suhu paling rendah (coldest point). Tercapainya suhu yang diinginkan di titik terdingin dapat menjamin bahwa suhu yang diinginkan sudah tercapai pada titik yang lain di seluruh bagian sampel dan panas telah terdistribusi dengan baik. Salah satu alat yang dapat digunakan untuk uji penetrasi panas adalah termokopel. Termokopel terdiri dari rekorder pencatat suhu dan sensor untuk mendeteksi perubahan suhu yang terjadi. Penempatan sensor termokopel dalam loyang dilakukan secara berbeda-beda tergantung bagian terdingin dari produk. Menurut Winarno (2004) letak titik terdingin dalam kemasan tergantung pada jenis perambatan panasnya, apakah secara konveksi atau konduksi. Produk yang berbentuk padat atau sangat sedikit mengandung air bebas seperti pati memiliki perambatan panas secara konduksi. Dalam proses pindah panas konduksi, panas akan merambat dari dinding kemasan ke pusat kemasan dari segala arah, dengan demikian pusat terdinginnya akan berada di pusat kemasan (Toledo 1991). Pengukuran penetrasi panas dilakukan satu ulangan pada suhu 110 o C. Pengukuran suhu pada termokopel diprogram agar ditampilkan setiap satu menit. Penentuan penetrasi panas dilakukan dengan menempatkan sensor-sensor termokopel pada posisi tertentu yang diduga sebagai titik terdingin pada loyang HMT. Adapun dimensi dari loyang yang digunakan adalah 20 x 8.5 x 2 cm dengan tebal wadah aluminium yang digunakan adalah 0.5 mm untuk 22

36 tutup dan 1 mm untuk wadah. Lima termokopel digunakan untuk pengukuran. Posisi termokopel dapat dilihat pada Gambar 8. Pengujian dilakukan dengan sampel tepung sagu. Sebelum mulai pengukuran penetrasi panas, oven dipanaskan hingga mencapai suhuproses HMT yang diinginkan, yaitu 110 o C. Loyang diisi dengan sampel pati sampai penuh. Pengisian sampel pati harus dilakukan sampai penuh untuk memastikan tidak ada ruang yang dapat memungkinkan terjadinya gelatinisasi parsial selama proses HMT berlangsung. Kedua loyang berisi sampel pati dimasukkan ke dalam oven. Satu untuk pengukuran penetrasi panas, dan yang lainnya sebagai pembanding dalam penentuan profil amilograf. Pengukuran penetrasi panas dimulai saat sampel selesai dimasukkan dan diakhiri ketika termokopel menunjukkan suhu pada titik termokopel menunjukkan suhu target yaitu 110 o C. Data penetrasi panas terlihat pada Gambar cm..... Tc4 Tc1 Tc5 Tc3 Tc2 2cm.. Tc4 Tc1 Tc5 20cm (a). Tc3. Tc2. (b) (c1) (c2) Gambar 4. Posisi termokopel dalam wadah HMT. ( Keterangan: (a) loyang tampak atas, (b) loyang tampak samping, (c1) tampilan loyang yang digunakan untuk HMT, (c2) tampilan uji penetrasi pada loyang HMT, bagian tengah merupakan tempat peletakan termokopel.) 23

37 Tt=110 0 C; t=179menit ( Keterangan: Tc adalah titik tempat pemasangan termokopel dan Tt adalah waktu pada saat suhu 110 o C tercapai pada titik terdingin.) Posisi termokopel di dalam wadah aluminium terlihat dari samping loyang ditampilkan pada gambar. Gambar 5. Data profil penetrasi panas pati sagu kadar air 17%. Berdasarkan data dari rekorder suhu dapat terlihat bahwa hasil pengukuran suhu untuk kelima titik tidak berbeda nyata antara satu dengan yang lain (Gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa perambatan panas pada setiap titik yang diuji tidak berbeda jauh. Perambatan panas yang hampir sama pada setiap titik yang diuji menunjukkan bahwa ukuran loyang yang tidak terlalu besar dan tebal sehingga penyebaran panasnya cukup merata. Berdasarkan profil data penetrasi panas, termokopel pada titik ke-5 (Tc5) mencatat waktu paling lama untuk mencapai suhu target (110 o C) dan termokopel pada titik ke-2 (Tc2) mencatat waktu tersingkat untuk mencapai suhu target (110 o C). Jadi, dapat disimpulkan bahwa titik terdingin ada pada titik termokopel Tc5 yaitu titik di tengah loyang. Adapun waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu target berkisar antara menit. 2. Penentuan Waktu HMT Setelah mendapatkan data tentang penetrasi panas yang terjadi saat proses HMT berlangsung, penelitian dilanjutkan dengan melakukan HMT terhadap pati sagu contoh sampai diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa derajat modifikasi yang telah terjadi cukup untuk memperlihatkan perubahan yang berarti, berdasarkan profil amilograf pati sagu contoh. Proses HMT dilakukan selama 3 jam dan 6 jam terhitung sejak sampel dimasukkan ke dalam oven pada saat pengukuran penetrasi panas. Data profil amilograf hasil HMT dapat dilihat pada Gambar 6. 24

38 pati sagu kontrol, pati sagu HMT 3 jam, pati sagu HMT 6 jam Gambar 6. Data RVA pati sagu HMT selama 3 jam dan 6 jam pada suhu 110 o C dengan kadar air 17%. Berdasarkan data tersebut, dapat terlihat bahwa pati sagu mulai menunjukkan perubahan profil amilograf berupa viskositas puncak, breakdown, dan setback yang lebih rendah dari pati alaminya pada saat HMT dilakukan selama 6 jam. Oleh karena itu waktu 6 jam dipilih sebagai waktu minimum dalam melakukan proses HMT terhadap pati walur pada kadar air 17%. Modifikasi HMT pada pati walur selanjutnya dilakukan selama 6 jam, 8 jam, dan 10 jam. C. Karakteristik Pati Walur HMT Pati walur diberi perlakuan HMT selama 6 jam, 8 jam, dan 10 jam. Pati walur HMT kemudian dianalisis untuk melihat perubahan yang terjadi pada sifat fisik dan fungsionalnya. Adapun analisis yang dilakukan adalah derajat putih, sifat birefringent pati dilihat dengan mikroskop cahaya terpolarisasi, profil pasting pati, profil kapasitas pembengkakan pati dan kelarutan, karakteristik tekstur gel, dan freeze-thaw stability. 1. Derajat Putih Derajat putih merupakan salah satu penilaian mutu suatu bahan pangan berbentuk tepung khususnya yang berasal dari ekstraksi pati. Derajat putih merupakan daya memantulkan cahaya yang mengenai permukaan benda tersebut dibandingkan dengan standar contoh. Rahman (2007) menyatakan bahwa derajat putih sangat dipengaruhi kemurnian proses ekstraksi pati. Ketidakmurnian pati yang terekstrak dapat disebabkan oleh tingginya kandungan serat dan pengotor lainnya sehingga pati terlihat kurang cerah (Rahman 2007; Mboungeng et al. 2008). Tabel 5 menunjukkan HMT tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap derajat putih pada pati modifikasi. 25

39 Tabel 5. Derajat putih pati walur kontrol dan HMT kadar air 17%. Perlakuan Derajat Putih Kontrol ± 0.21 Suhu 100 o C: 6 jam ± jam ± jam ± 0.07 Suhu 110 o C: 6 jam ± jam ± jam ± Bentuk Granula Pati (mikroskop cahaya terpolarisasi) Hasil pengamatan granula pati walur dengan mikroskop cahaya terpolarisasi disajikan pada Gambar 7. Secara mikroskopis, granula pati walur alami berbentuk berbentuk oval dan bersudut banyak (poligonal) dengan permukaan yang halus dan tidak membentuk celah. Pada kondisi alaminya (Gambar 7A.) pati walur masih menunjukkan sifat birefringent. Birefringent adalah sifat granula pati yang dapat merefleksi cahaya terpolarisasi sehingga membentuk bidang biru dan kuning ketika dilihat dengan mikroskop polarisasi (Richana dan Sunarti, 2004). Terbentuknya warna biru dan kuning disebabkan adanya perbedaan indeks refraktif dalam granula pati yang dipengaruhi oleh daerah kristalin dan amorphous pati. Sifat birefringent ini juga dikenal dengan pola maltose cross (pola silang) pada pati yang terjadi akibat perpotongan bidang biru dan kuning (Pinasthi, 2011). Dari hasil pengamatan dengan mikroskop polarisasi dapat diketahui bahwa granula pati pada saat sebelum dan sesudah HMT masih menunjukkan sifat birefringent pada semua sampel yang diamati (Gambar 12.). Hal serupa juga dilaporkan oleh Vermeylen et al. (2006) pada pati kentang dan Pukkahuta et al. (2008) pada pati jagung. Selama proses pemanasan pada HMT berlangsung, penetrasi panas menyebabkan peningkatan derajat ketidakteraturan di dalam granula pati sehingga menurunkan kristalinitas pati (Hoseney, 1998). Intensitas birefringent pati sangat tergantung dari derajat dan orientasi kristal. Semakin lama waktu pemanasan yang diterapkan, semakin besar pula energi panas yang diterima sehingga sifat birefringent granula semakin melemah. 3. Profil Pasting Pati Modifikasi pati walur yang dilakukan pada suhu 100 o C dan 110 o C selama waktu 6 jam, 8 jam, 10 jam menghasilkan pati walur termodifikasi dengan profil amilograf yang berbeda dengan pati walur alaminya. Perubahan yang dihasilkan oleh modifikasi HMT ini dapat dipengaruhi oleh sumber pati dan kondisi modifikasi yang diterapkan (Olayinka et al. 2008; Zavareze dan Dias, 2010). Kurva amilografi pada pati native dan termodifikasi pati walur disajikan dalam Gambar 8 dan 9. Tabel 6 memaparkan perubahan karakteristik pasta pati walur termodifikasi. 26

40 G Gambar 7. Granula pati walur alami dan termodifikasi HMT dengan kadar air 17% dilihat dengan mikroskop cahaya terpolarisasi pada perbesaran 1000x (Keterangan: Kontrol (A); HMT 100 o C selama 6 jam (B); HMT 100 o C selama 8 jam (C); HMT 100 o C selama 10 jam (D); HMT 110 o C selama 6 jam (E); HMT 110 o C selama 8 jam (F); HMT 110 o C selama 10 jam (G).) a. Suhu Pasting (SP) Perlakuan kadar air merubah suhu pasting (SP) pati termodifikasi yang disajikan pada Tabel 6. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan suhu pasting seiring dengan peningkatan waktu dan suhu proses modifikasi pati walur yang diamati. Namun, berdasarkan analisis dengan t-test dan ANOVA didapati bahwa suhu pasting pati walur kontrol dan pati walur modifikasi HMT tidak berbeda nyata. Fenomena serupa juga diamati oleh Varatharajan et al. (2010), Lawal dan Adebowale (2005), dan Watcharatewinkul et al (2009). Kenaikan suhu pasting ini disebabkan oleh pembentukan ulang struktur di dalam granula pati (Lawal dan Adebowale, 2005). Selama proses modifikasi terjadi peningkatan interaksi antara rantai amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin, dan amilopektion-amilopektin. Peningkatan interaksi tersebut turut meningkatkan stabilitas interaksi molekul di dalam granula (Herawati, 2009). Akibatnya, dibutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk memutuskan ikatan tersebut (Zavareze dan Dias, 2010). b. Viskositas Puncak (VP) Viskositas puncak pati walur yang tercatat juga menurun selama modifikasi dilakukan. Penurunan drastis terjadi ketika pati walur diberi perlakuan HMT selama 6 jam. Semakin lama perlakuan HMT diberikan, penurunan viskositas puncak pati walur juga terjadi namun penurunan viskositas puncak antar perlakuan berbeda dengan penurunan viskositas puncak antara pati native dan pati yang diberi perlakuan. Ini dapat terlihat dari hasil analisis sidik ragam yang menunjukkan perbedaan yang signifikan antara viskositas puncak pati 27

41 walur kontrol dan pati walur HMT, namun tidak terdapat perbedaan yang nyata antara pati walur yang diberi perlakuan HMT. Hal ini terjadi karena akibat interaksi antara molekul air, amilosa, dan amilopektin yang terjadi di dalam granula pati melalui ikatan hidrogen. Interaksi yang terjadi antara ketiga molekul menyebabkan penyusunan ulang struktur granula pati. Pada penyusunan ulang ini, ikatan yang terbentuk antara amilosa-amilosa, amilosaamilopektin, dan amilopektin-amilopektin akan semakin kuat sehingga kelarutannya di air akan semakin berkurang (Varatharajan et al., 2010). Hal ini mengakibatkan turunnya viskositas puncak suspensi pati. Kontrol 6 jam 8 jam 10 jam. Gambar 8. Grafik pengaruh HMT terhadap profil pasting pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17% selama pemanasan pada suhu 100 o C. Kontrol 6 jam 8 jam 10 jam. Gambar 9. Grafik pengaruh HMT terhadap profil pasting pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17% selama pemanasan pada suhu 110 o C. 28

42 Tabel 6. Karakteristik pasta pati walur alami dan modifikasi HMT kadar air 17% Perlakuan Karakteristik pasta RVA* VP* (cp) VPS* (cp) VBD* (cp) VBD-R* VA* (cp) VB* (cp) VB-R* SP* ( o C) Kontrol 4324 Ab 2155 Ab 2169 Ab 50 Ab 3704 Aa 1549 Aa 72 Aa 82.1 Aa Suhu 100 o C 6 jam ± Aa ± Ab ± Aa 31 Aa ± Aa ± Aa 86 Aa ± 0.32 Aa 8 jam ± Aa ± Ab ± 2.83 Aa 26 Aa ± Aa ± Aa 72 Aa ± 0.00 Aa 10 jam ± Aa ± Ab ± Aa 26 Aa ± Aa ± Aa 71 Aa ± 0.28 Aa Suhu 110 o C 6 jam ± Aa ± Ab ± Aa 23 Aa ± Aa ± Aa 69 Aa ± 0.85 Aa 8 jam ± Aa ± Ab ± Aa 25 Aa ± Aa ± Aa 69 Aa ± 1.13 Aa 10 jam ± Aa ± Ab ± Aa 27 Aa ± Aa ± Aa 68 Aa ± 0.57 Aa *Keterangan: VP = Viskositas Puncak, VPS = Viskositas Panas, VBD = Viskositas Breakdown, VBD-R = Viskositas Breakdown Relatif, VA = Viskositas Akhir, VB = Viskositas Balik VB-R = Viskositas Balik Relatif, SP = Suhu Pasting. A = hasil uji dengan t test terhadap pengaruh suhu. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata, a,b = hasil uji dengan ANOVA terhadap pengaruh waktu HMT. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata, huruf yang berbeda menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata dengan sampel lain.

43 c. Viskositas Breakdown (VBD) Pengukuran viskositas breakdown bertujuan untuk mengetahui pengaruh modifikasi HMT pada pati walur terhadap kestabilan pati walur selama pemanasan. Menurut Collado et al. (2001), viskositas breakdown menunjukkan derajat kemudahan granula pati terdisintegrasi, dan merupakan indikasi derajat kestabilan granula pati. Dari data yang diperoleh dapat dilihat bahwa viskositas breakdown cenderung menurun selama modifikasi jika dibandingkan dengan kontrol. Selama pemanasan pada suhu 100 o C, viskositas breakdown cenderung menurun seiring dengan waktu pemanasan yang semakin lama. Tingkat penurunan viskositas breakdown ini lebih jelas terlihat dengan menggunakan parameter perubahan relatif viskositas breakdown terhadap viskositas puncak atau dikenal dengan viskositas breakdown relatif (Syamsir, 2012). Pada Tabel 6, telihat bahwa jika dibandingkan dengan kontrol atau pati alaminya, viskositas breakdown relatif pati walur cenderung mengalami penurunan. Penurunan ini ditegaskan dengan analisis t test dan ANOVA yang menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara viskositas breakdown pati walur kontrol dengan sampel pati walur HMT. Hal yang serupa juga dilaporkan oleh Varatharajan et al. (2010), Olayinka et al (2006), dan Watcharatewinkul et al (2009). Hal ini menunjukkan bahwa pati walur hasil HMT lebih stabil terhadap panas. Peningkatan kestabilan pati terhadap panas terjadi akibat pembentukan ulang ikatan-ikatan yang ada di dalam granula pati walur. Pembentukan ulang ini menghasilkan ikatan amilopektin heliks ganda yang lebih banyak terutama di daerah amorphous granula pati. Pembentukan ikatan ini berperan dalam perubahan sifat kristalinitas pati (Adebowale dan Lawal, 2002). Namun, selama pemanasan pada suhu 110 o C, terjadi sedikit peningkatan pada viskositas breakdown seiring dengan waktu pemanasan yang meningkat. Hal ini juga dialami oleh Zavarese et al. (2010). Peningkatan viskositas breakdown selama modifikasi pada suhu 110 o C mungkin terjadi karena pengisian pati pada wadah saat akan melakukan HMT kurang penuh sehingga terdapat rongga di dalam wadah dan air cenderung berkumpul pada rongga tersebut. Akibatnya proses HMT menjadi kurang sempurna. d. Viskositas Balik (VB) Viskositas balik adalah ukuran yang digunakan untuk menentukan kecenderungan retrogradasi pati terkait dengan interaksi dari amilosa dan amilopektin. Menurut Akingbala dan Rooney (1987) seperti yang disitasi oleh Olayinka et al. (2008), pati dengan molekul amilosa dan amilopektin rantai pendek cenderung cepat untuk mengalami retrogradasi. Viskositas balik dari pati walur tercatat meningkat pada perlakuan HMT selama 6 jam. Namun demikian, selama proses HMT terlihat viskositas balik pati walur mengalami penurunan. Proses HMT lebih jauh bahkan menurunkan viskositas balik hingga turun di bawah viskositas balik pati walur kontrol. Jika dilihat dari pengaruh perubahan relatif viskositas balik terhadap viskositas panas, viskositas balik relatif yang dihasilkan tidak terlalu signifikan sehingga dapat dikatakan cenderung tetap jika dibandingkan dengan viskositas balik relatif pada kontrol atau pati walur alami. Hal ini ditegaskan dengan hasil analisis t test dan ANOVA yang menunjukkan bahwa baik viskositas balik maupun viskositas balik relatif dari pati walur kontrol dan pati walur HMT tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%. Penurunan viskositas balik ini diakibatkan oleh penyusunan ulang antar molekul amilosa dan amilopektin yang menyebabkan ikatan antar molekul amilosa dan amilopektin di dalam pati menjadi lebih banyak sehingga pada akhirnya menurunkan kecenderungan untuk mengalami retrogradasi (Zavarese et al., 2010). Hal ini terlihat dari angka viskositas balik yang semakin menurun bahkan lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Kenaikan viskositas balik yang

44 terjadi pada awal proses HMT disebabkan oleh derajat modifikasi yang belum cukup tinggi sehingga pola yang diperlihatkan berbeda dengan pola pati walur HMT lain yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. 4. Profil Kapasitas Pembengkakan Pati dan Kelarutan Hasil modifikasi HMT terhadap pati walur dalam pengaruhnya terhadap profil kapasitas pembengkakan disajikan di dalam Gambar 10 dan Tabel 7. Secara garis besar terlihat bahwa profil kapasitas pembengkakan cenderung mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kontrol. Analisis lanjut dengan menggunakan ANOVA dan t-test menunjukkan bahwa sampel pati walur kontrol berbeda nyata dengan sampel pati. Penurunan profil kapasitas pembengkakan pati juga dilaporkan pada pati kentang dan singkong (Gunaratne dan Hoover, 2002), pati beras (Hormdok dan Noomhorm, 2007), dan pati sorghum (Olayinka et al., 2008). Adapun penurunan disebabkan oleh perubahan sifat kristalinitas pati sehingga mengurangi hidrasi air pada granula pati (Waduge et al., 2006) dan formasi kompleks amilolipid (Waduge et al., 2006). Pada profil kapasitas pembengkakan pati di suhu 60 o C perubahan ini tidak terlalu nampak, perubahan ini mulai terlihat pada profil daya kembang di suhu 90 o C. Perubahan profil kapasitas pembengkakan pati ini juga terkait dengan kenaikan suhu gelatinisasi yang disebabkan oleh proses penyusunan kembali molekul di dalam granula pati, pembentukan kompleks amilo-lipid, degradasi molekul amilopektin, peningkatan interaksi antar molekul di dalam granula, dan perubahan interaksi antara daerah amorphous dan kristalit (Adebowale et al., 2005; Lorlowhakarn dan Naivikul, 2006). Tabel 7. Hasil analisis kapasitas pembengkakan pati walur alami dan modifikasi HMT pada kadar air 17% dengan menggunakan t test dan ANOVA. Kapasitas pembengkakan pati Perlakuan 60 o C 90 o C Kontrol (0 jam) Abab Aa 100 o C 6 jam Aa Aa 8 jam Aa Aa 10 jam Aa Aa 110 o C 6 jam Ba Aa 8 jam Ba Aa 10 jam Ba Aa Keterangan: A,B = hasil uji dengan t test terhadap pengaruh suhu. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata, huruf yang berbeda menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata dengan sampel lain, a,b = hasil uji dengan ANOVA terhadap pengaruh waktu HMT. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata, huruf yang berbeda menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata dengan sampel lain. Kelarutan pati terjadi sebagai akibat dari amilosa yang keluar dari granula selama proses pemanasan dengan air berlebih. Keluarnya amilosa ini menandakan adanya transisi di dalam granula pati dari teratur menjadi tidak teratur ketika pati dipanaskan dengan air berlebih (Tester dan Morrison, 1990 dalam Zavarese dan Dias, 2011). Besarnya kelarutan ini diukur dengan menggunakan indeks kelarutan. Data mengenai indeks kelarutan pati walur ini tersaji dalam Gambar 11 dan Tabel 8. Terlihat bahwa kelarutan dari pati walur HMT cenderung tetap jika dibandingkan dengan kontrol atau pati alaminya. Hal ini ditegaskan dengan analisis 31

45 menggunakan t test dan ANOVA yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara sampel pati walur kontrol dengan sampel pati walur HMT. Hormdok dan Noomhorm (2007) juga menyatakan bahwa tidak ada perubahan berarti yang terjadi pada indeks kelarutan antara pati beras yang diberi perlakuan HMT dengan pati beras kontrol. Tabel 8. Hasil analisis kelarutan pati walur alami dan modifikasi HMT pada kadar air 17% dengan menggunakan t test dan ANOVA. Kelarutan Perlakuan 60 o C 90 o C Kontrol (0 jam) Aa Aa 100 o C 6 jam Aa Aa 8 jam Aa Aa 10 jam Aa Aa 110 o C 6 jam Aa Aa 8 jam Aa Aa 10 jam Aa Aa Keterangan: A = hasil uji dengan t test terhadap pengaruh suhu. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata, a = hasil uji dengan ANOVA terhadap pengaruh waktu HMT. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata. 5. Karakteristik Tekstur Gel Atribut tekstur dari gel tergantung pada jumlah amilosa pada pati, ukuran dan kemudahan deformasi granula pati, dan interaksi antara fase granula dan fase terdispersi (Choi dan Kerr, 2003). Menurut Lee dan Osman (1991), kekuatan gel tergantung dari kemampuan molekul pati untuk berikatan dengan air melalui ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen yang menstabilkan struktur heliks ganda di dalam granula pati akan rusak selama gelatinisasi dan akan digantikan oleh ikatan hidrogen dengan air. Oleh karena itu, kapasitas pembengkakan pati dan kekuatan gel ditentukan oleh derajat kristalinitas molekul-molekul pati (Tester dan Kalkalas, 1996). Hasil pengukuran dengan menggunakan texture analyzer dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil analisis karakteristik tekstur gel pati walur alami dan modifikasi HMT pada kadar air 17% dengan menggunakan t test dan ANOVA. Karakteristik tekstur gel Perlakuan Kekerasan elastisitas kohesifitas Kelengketan Kontrol (0 jam) Aa Aa Aa Aa 100 o C 6 jam Aa Aab Aa Aa 8 jam Aa Aab Aa Aa 10 jam Aa Ab Aa Aa 110 o C 6 jam Aa Aab Aa Aa 8 jam Aa Aab Aa Aa 10 jam Aa Ab Aa Aa Keterangan: A = hasil uji dengan t test terhadap pengaruh suhu. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata, a,b = hasil uji dengan ANOVA terhadap pengaruh waktu HMT. Huruf yang sama menunjukkan antara sampel tidak berbeda nyata, huruf yang berbeda menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata dengan sampel lain. 32

46 kapasitas pembengkakan (gram/gram bk) lama waktu perlakuan HMT (jam) 60C, 100C 60C, 110C 90C, 100C 90C, 110C Gambar 10. Grafik pengaruh HMT terhadap kapasitas pembengkakan pati walur kontrol dan modifikasi HMT pada kadar air 17% ketika dipanaskan dengan air berlebih pada suhu 60 o C dan 90 o C. kelarutan (%) 0,09 0,08 0,07 0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0, lama waktu perlakuan HMT (jam) 60C, 100C 60C, 110C 90C, 100C 90C, 110C Gambar 11. Grafik pengaruh HMT terhadap kelarutan pati walur kontrol dan modifikasi HMT pada kadar air 17% ketika dipanaskan dengan air berlebih pada suhu 60 o C dan 90 o C. Dari Gambar 12 dan Tabel 9 dapat terlihat bahwa pada suhu 100 o C, perlakuan HMT menaikkan kekerasan dari gel yang terbentuk oleh pati walur. Analisis dengan menggunakan t test dan ANOVA menunjukkan bahwa peningkatan antar sampel tidak signifikan atau tidak berbeda nyata. Kenaikan dari kekerasan gel pati juga dilaporkan oleh Hormdok dan Noomhorm (2007) pada pati beras dan Collado dan Corke (1999) pada pati ubi manis. Kenaikan nilai kekerasan ini disebabkan oleh peningkatan ikatan silang antar molekul amilosa di dalam granula pati. Peningkatan ikatan silang ini menyebabkan kapasitas pembengkakan granula pati menurun (Gambar 10) sehingga ikatan hidrogen yang terbentuk antara molekul amilosa yang terlepas ke dalam air (junction zone) menjadi lebih banyak (Liu et al., 2000). Namun demikian, terjadi penurunan nilai kekerasan pada suhu 110 o C pada perlakuan HMT selama 8 jam dan 10 jam. Hal ini terkait dengan urutan selama pengukuran karakteristik tekstur gel. Pengukuran dilangsungkan pada suhu ruang dengan cara menaruh sampel satu-persatu dimulai dari kontrol sampai kepada pati yang mengalami pemanasan HMT selama 10 jam. 33

47 Dengan kata lain, ada kemungkinan terjadi thawing gel pati selama proses menunggu sebelum diukur oleh alat sehingga ada air yang terperangkap dalam gel pati sempat mencair dan keluar dari pati. Hal tersebut akan mengurangi tingkat kekerasan dari pati yang akan diukur. Elastisitas gel digunakan untuk mengetahui kemampuan gel pati untuk kembali pada kondisi semula setelah penekanan pertama (Simi dan Abraham, 2008). Dalam Gambar 13 dan Tabel 9 terlihat bahwa elastisitas pati walur cenderung menurun seiring dengan meningkatnya waktu perlakuan HMT. Hal ini terjadi karena gel pati yang terbentuk akibat perlakuan HMT yang diberikan menjadi lebih kaku dan keras. Kekerasan gel yang meningkat menyebabkan turunnya elastisitas gel pati karena kemampuan gel pati kembali ke kondisi semula menurun setelah penekanan pertama. Kohesifitas merupakan perbandingan relatif antara kerusakan gel pati akibat penekanan yang kedua terhadap kerusakan gel pati akibat penekanan pertama (Simi dan Abraham, 2008). Dari segi sensori, kohesifitas berarti kekuatan dari interaksi internal dalam mempertahankan bentuk produk (Thibodeau, 2009). Grafik pada Gambar 14 dan data pada Tabel 9 menunjukkan bahwa kohesifitas gel pati walur cenderung untuk menurun selama perlakuan HMT jika dibandingkan dengan kontrol atau pati alaminya. Namun, analisis dengan t test dan ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kohesifitas gel pati walur kontrol dan gel pati walur HMT. Penurunan kohesifitas gel pati juga dialami oleh Zavarese et al. (2012) pada pati jagung. Turunnya kohesifitas pati mungkin disebabkan terjadi thawing pada gel pati selama waktu tunggu pengukuran karakteristik tekstur gel berlangsung. Waktu tunggu yang semakin lama memungkinkan air yang terperangkap dalam gel pati mencair dan bahkan keluar dari gel. Selama penekanan pertama, air yang terperangkap dalam gel akan keluar sehingga kekerasan gel pada penekanan kedua akan jauh berkurang. Hal ini mengakibatkan turunnya nilai kohesifitas gel karena nilai kohesifitas merupakan perbandingan antara kekerasan gel pati pada penekanan pertama dengan penekanan kedua. Sementara itu dari grafik yang nampak dalam Gambar 15 dan data pada Tabel 9 diketahui bahwa kelengketan pada pati walur cenderung menurun seiring dengan peningkatan suhu dan waktu perlakuan HMT. Hal serupa juga dialami oleh Zavarese et al. (2012) pada pati jagung. Menurut Thibodeau (2009), nilai kelengketan berarti energi yang dibutuhkan untuk mengunyah makanan dari awal sampai kepada titik di mana makanan bisa ditelan. Sementara itu, secara analisis tekstur, kelengketan merupakan hasil kali antara kekerasan dengan kohesifitas. HMT menurunkan kelengketan gel pati. Hal ini terjadi karena adanya perlakuan HMT menyebabkan gel pati menjadi semakin keras namun semakin rapuh. Hal ini terlihat dari turunnya nilai kohesifitas gel pati dengan semakin lamanya perlakuan HMT yang diberikan. Kenaikan kekerasan pada gel tidak sebanding dengan penurunan kohesifitas dari gel pati walur sehingga kelengketan dari gel pati walur cenderung menurun seiring dengan penurunan sifat kohesifitas gel pati walur. 6. Freeze-thaw Stability Freeze-thaw stability adalah kemampuan gel pati untuk mempertahankan bentuknya tanpa mengalami sineresis ketika diberi perlakuan dengan ditempatkan pada suhu dingin dan suhu kamar secara berulang (Wadchararat et al., 2005). Retrogradasi adalah representasi dari jumlah air yang keluar sebagai akibat dari penyusutan gel pati. Jumlah air yang keluar dari dalam gel pati merupakan hasil dari interaksi ikatan hidrogen inter dan intra-molekuler di antara molekul-molekul amilosa selama penyimpanan beku (Hoover dan Manuel, 1996). Dari grafik yang ditampilkan pada Gambar 17 dapat diketahui bahwa perlakuan HMT yang 34

48 diberikan pati walur cenderung meningkatkan persen sineresis jika dibandingkan dengan kontrol. Kenaikan persen sineresis menandakan pati lebih mudah mengalami sineresis. Kenaikan persen sineresis ini diduga dipengaruhi oleh sifat granula pati HMT. Daya pembengkakan pati yang menurun akibat HMT meningkatkan peluang terjadinya agregasi amilosa dalam matriks gel yang cukup intensif (Syamsir, 2012). Jika dilihat dari profil viskositas balik relatif, penurunan viskositas balik relatif tidak signifikan dan cenderung tetap. Hal ini menandakan bahwa sineresis yang terjadi seharusnya tidak berbeda nyata antara pati walur alami dan pati walur HMT. Perbedaan yang jauh antara sineresis pati walur alami dan pati walur HMT mungkin disebabkan oleh larutnya amilopektin rantai pendek bersama dengan amilosa di dalam suspensi pati yang dipanaskan. Amilopektin rantai pendek diperkirakan sebagai penyebab meningkatnya kecenderungan retrogradasi pada pati walur (Yuan dan Thompson, 1998) kekerasan (g f ) C 110C lama waktu perlakuan HMT (jam) Gambar 12. Grafik pengaruh HMT terhadap kekerasan gel pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17%. 1,2 1,0 elastisitas (sec/sec) 0,8 0,6 0,4 0,2 100C 110C 0, lama waktu perlakuan HMT (jam) Gambar 13. Grafik pengaruh HMT terhadap elastisitas gel pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17%. 35

49 2,0 kohesifitas (sec.g f /sec.g f ) 1,6 1,2 0,8 0,4 100C 110C 0, lama waktu perlakuan HMT (jam) Gambar 14. Grafik pengaruh HMT terhadap kohesifitas pati walur kontrol dan modifikasi HMT pada kadar air 17% kelengketan (g f ) C 110C lama waktu perlakuan HMT (jam) Gambar 15. Grafik pengaruh HMT terhadap kelengketan gel pati walur kontrol dan modifikasi HMT pada kadar air 17%. 36

50 sineresis (%) native umur penyimpanan gel pati walur (hari) Gambar 16. Grafik pengaruh HMT terhadap freeze-thaw stability pati walur kontrol dan modifikasi HMT pada kadar air 17%. Keterangan: kadar air HMT-suhu HMT-waktu HMT. D. Evaluasi Pengaruh Faktor Proses dan Penentuan Kondisi HMT Terpilih Pengaturan kadar air HMT hingga 17% mampu memberikan pati termodifikasi HMT dengan suhu gelatinisasi yang lebih tinggi dan stabilitas termal yang lebih baik terhadap pengaruh pemanasan dan pengadukan. Pemilihan kondisi HMT dilakukan dengan memperhatikan faktorfaktor proses yang diterapkan seperti suhu dan lama waktu pemanasan. Pengaruh tersebut antara lain terlihat dari profil amilograf dan bentuk granula (Pinasthi, 2011). Dalam Tabel 7 terlihat analisis parameter yang diperlukan untuk menentukan kondisi HMT yang akan dipilih untuk uji selanjutnya. Secara garis besar, suhu modifikasi dan lama waktu pemanasan memiliki peran penting untuk mengubah karakteristik pati termodifikasi yang dihasilkan (Tabel 7). Secara umum, HMT adalah modifikasi fisik yang melibatkan kadar air terbatas, umumnya antara 10%-30%, dan pemanasan pada suhu tinggi ( o C), dengan rentang waktu pemanasan antara 15 menit sampai 6 jam (Chung et al., 2009; Maache-Rezzoug et al., 2008). Dengan perlakuan kadar air terbatas (<35%), modifikasi HMT dapat menyebabkan adanya pengaturan kembali molekul amilosa dan amilopektin di dalam granula yang berimplikasi pada terjadinya perubahan sifat fisik dan kimia pati (Herawati, 2009). 37

51 Tabel 10. Evaluasi pengaruh faktor proses untuk menentukan kondisi HMT terpilih Parameter evaluasi yang ingin dicapai Kadar air 17% Suhu 100 C Suhu 110 C 6 jam 8 jam 10 jam 6 jam 8 jam 10 jam Penurunan VP* Penurunan VBD* Penurunan VB* Penurunan VBD-R* Penurunan VB-R* *Keterangan: viskositas puncak (PV), viskositas breakdown (VBD), dan viskositas balik (VB), viskositas breakdown relatif (VBD-R), viskositas balik relatif (VB-R), : parameter yang tercapai. Berdasarkan evaluasi pengaruh faktor proses untuk menentukan kondisi HMT terpilih terlihat bahwa perlakuan dengan kadar air 17% hampir semua menunjukkan penurunan pada parameter VP, VBD, VB, VBD-R, dan VB-R. Pengaruh utama yang ingin dilihat dari proses HMT adalah ketahanan pati terhadap panas. Oleh karena itu, karakteristik utama pati termodifikasi HMT yang diberikan perhatian khusus adalah penurunan R-VBD. Pada tabel 6. dapat dilihat bahwa pati walur HMT pada suhu 110 o C selama 6jam memberikan penurunan R-VBD yang paling signifikan. Oleh karena itu, pati HMT dengan suhu 110 o C selama 6 jam kemudian dipilih untuk dianalisis kembali untuk mengetahui karakteristik fungsional pati yang dihasilkan. 1. Karakteristik Termal Pelelehan Granula Pati HMT mempengaruhi suhu awal pelelehan (T o ), suhu puncak pelelehan (T p ), dan suhu akhir pelelehan (T c ), serta entalpi pelelehan (ΔH) granula pati. Pengaruh yang diberikan tergantung pada kadar air perlakuan, sumber pati, dan kadar amilosa awal pati. dari data yang tersaji lewat Tabel 8. dapat dilihat bahwa nilai T o, T p, dan T c dari pati walur meningkat setelah mendapatkan perlakuan HMT. Hasil yang serupa juga diamati pada pati singkong, kentang, ubi jalar (Gunaratne dan Hoover, 2002) dan pati jagung (Chung et al., 2009). Kenaikan nilai T o, T p, dan T c disebabkan karena perubahan struktur di dalam granula pati yang melibatkan interaksi antara amilosa-amilosa dan interaksi amilo-lipid (Hoover dan Vasanthan, 1994). Setelah proses HMT, interaksi amilosa-amilosa dan amilosa-lipid membuat daerah amorphous pati menjadi lebih mirip dengan struktur daerah kristalin. Sebagai hasilnya, pati modifikasi HMT butuh panas yang lebih untuk membuat pati meleleh. Oleh karena itu nilai T o, T p, dan T c yang terukur pada pati termodifikasi HMT lebih tinggi daripada pati alaminya (Zavarese dan Dias, 2010). Sementara itu, ΔH pati walur yang dimodifikasi HMT tercatat mengalami penurunan jika dibandingkan dengan ΔH pati walur alami. Gunaratne dan Hoover juga melaporkan hal yang sama terjadi pada pati kentang dan singkong, demikian juga Chung et al. (2009) pada pati jagung. Penurunan ΔH pada pati walur hasil HMT terjadi karena gangguan pada ikatan heliks ganda yang berada di daerah kristalin dan non-kristalin di dalam granula pati (Gunaratne dan Hoover, 2002). 38

52 Gambar 17. Grafik pengaruh HMT terhadap karakteristik termal pelelehan granula pati walur kontrol dan modifikasi pada kadar air 17%. Tabel 11. Profil pelelehan granula pati walur kontrol dan HMT kadar air 17%. Perlakuan Perubahan suhu ( C) To Tp Tc Tc-To ΔH (J/g)* Walur kontrol Suhu110 o C 6 jam ± ± ± ± ± Morfologi Granula Struktur morfologi permukaan pati diamati dengan alat Scanning Electron Microscopy (SEM). Struktur morfologi pati walur native dan HMT disajikan pada Gambar 19. Dari gambar yang diperoleh dapat dilihat bahwa struktur permukaan pati cenderung bulat poligonal. Hasil pengamatan dengan Scanning Electron Microscope (SEM) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perubahan yang berarti antara kontrol dengan pati yang telah di HMT. Struktur luar pati cenderung sama pada semua perlakuan. Secara umum, tidak dilaporkan adanya perubahan pada bentuk dan ukuran granula pati pada pati jagung (Hoover dan Manuel, 1996), pati kentang, ubi jalar, singkong (Gunaratne dan Hoover, 2002), dan pati beras (Khunae et al., 2007). Namun demikian, Kawabata et al. (1994) melihat adanya keretakan pada permukaan pati jagung dan beras yang diberi perlakuan HMT bersama dengan munculnya lubang di dalam granula. Perbedaan hasil ini terjadi karena perbedaan kandungan amilosa pada masing-masing sumber pati. Zavarese et al. (2010) juga menemukan pada perlakuan HMT dengan kadar amilosa yang berbeda pada pati beras memberikan hasil yang berbeda. Perlakuan HMT pada pati beras dengan kadar amilosa tinggi dan sedang sedikit mempengaruhi bentuk dan derajat aglomerasi, mengakibatkan granula pati lebih teragregasi dan permukaan granula pati lebih tidak beraturan jika dibandingkan dengan granula pati alaminya. 39

53 A B 2000x 3500x C D 2000x 7500x Gambar 18. Granula walur alami dan termodifikasi dengan kadar air 17% pada beberapa perbesaran dilihat menggunakan Scanning Electron Microscope pada perbesaran 2000x, 3500x, dan 7500x. Pati walur alami (A dan B); HMT pada suhu 110 o C selama 6 jam (C dan D). 40

54 V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Dari hasil penelitian diketahui bahwa proses ekstraksi pati walur memberikan rendemen sebesar %bb. Reduksi oksalat yang dilakukan pada pati walur membuat rendemen eksrtaksi pati berkurang menjadi %bb. Penentuan waktu HMT dilakukan untuk mengetahui waktu minimum yang harus digunakan untuk melakukan proses HMT. Dari penentuan penetrasi panas dalam wadah dan profil amilograf didapat waktu minimum untuk memulai proses HMT yaitu 6 jam. Adapun profil amilograf yang diinginkan adalah suhu pasting yang tinggi dan viskositas pasta pati yang stabil selama pemanasan dicirikan dengan penurunan viskositas breakdown relatif terhadap gel pati kontrol. Modifikasi HMT dengan menggunakan oven udara kering mampu merubah profil pasting, kapasitas pembengkakan, karakteristik tekstur gel, kestabilan terhadap sineresis, dan karakteristik termal pelelehan granula pati walur. Modifikasi HMT mampu meningkatkan suhu pasting dan menurunkan viskositas puncak (VP), viskositas breakdown (VBD), dan viskositas balik (VB) pada pati walur. Pati walur hasil modifikasi HMT juga menunjukkan penurunan kapasitas pembengkakan jika dibandingkan dengan pati kontrol. Selain itu, pati walur HMT juga menunjukkan kenaikan nilai kekerasan gel, dan penurunan nilai elastisitas, nilai kohesifitas, dan nilai kelengketan pada gel pati walur. Pada akhirnya, HMT pada pati walur cenderung menurunkan kestabilan terhadap sineresis. Profil utama yang perlu diperhatikan dalam perlakuan HMT adalah ketahanan pati terhadap panas. Hal ini terlihat dari penurunan viskositas breakdown dan diperjelas dengan penurunan viskositas breakdown relatif. Berdasarkan penurunan viskositas breakdown relatif, pati walur HMT pada suhu 110 o C selama 6 jam menunjukkan penurunan yang paling signifikan jika dibandingkan dengan kontrol. Oleh karena itu, pati walur HMT pada suhu 110 o C selama 6 jam dipilih untuk analisis lanjut pengaruh HMT dengan oven udara kering terhadap karakteristik fungsional pati termodifikasi. Pemanasan dengan menggunakan oven udara kering untuk proses HMT terlihat mampu meningkatkan suhu awal pelelehan (To), suhu puncak pelelehan (Tp), dan suhu akhir pelelehan (Tc) pada granula pati walur. Proses HMT juga sedikit meningkatkan kisaran suhu pelelehan granula dan menurunkan ΔH pelelehan granula pati walur. Tidak ada perbedaan yang berarti pada morfologi granula pati walur setelah melalui proses HMT. B. Saran Beberapa saran yang dapat diberikan untuk tindak lanjut dari hasil penelitian ini antara lain: 1. Penelitian lebih lanjut tentang pengaruh kadar air dalam HMT pati walur. 2. Penelitian lebih lanjut tentang sifat kristalinitas granula pati akibat perlakuan HMT.

55 DAFTAR PUSTAKA [AACC] Approved Method of the American Association of Cereal Chemists Method AACC St. Paul, MN. [AOAC] Analysis of the Association of Official Agriculture Chemistry Official Methods of Analysis, 16 th Edition. AOAC International, Gaithersburg, Maryland. [AOAC] Analysis of the Association of Official Agriculture Chemistry Official Methods of Analysis, 16 th Edition. AOAC International, Gaithersburg, Maryland. Abraham, T.E. 1993, Stabilization of paste viscosity of cassava by heat moisture treatment. Starch/Starke, 45: Di dalam Collado, L.S. dan H. Corke Heat moisture treatment effect on sweet potato starch differing in amylose content. Journal of Food Chemistry, 65: Abo-El-Fetoh, S.M., Al-Sayed, H.M.A. dan Nabih, N.M.N Physicochemical properties of starch extracted from different sources and their appication in pudding and white sauce. World Journal of Dairy and Food Sciences. 5 (2): Adebowale, K.O. dan Lawal, O.S Effect of annealing and heat moisture conditioning on the physicochemical characteristics of bambarra groundnut (Voandzeia subterranea) starch. Nahrung-Food, 46: Adebowale, K.O., Afolabi, T.A. dan Olu-Owolabi, B.I Hydrothermal treatments of finger millet (Eleusine coracana) starch. Food Hydrocolloids, 19: Ahmad, L Modifikasi fisik pati jagung dan aplikasinya untuk perbaikan kualitas mi jagung. Tesis. Program Pascasarjana, IPB, Bogor. Akingbala, J.O. dan Rooney, L.W Functional and electrophoretic characterization of succinylated peanut flour protein. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 25: 258. Di dalam Olayinka, O.O., Adebowale, K.O., & Olu-Owolabi, B.I Effect of heat-moisture treatment on physicochemical properties of white sorghum starch. Food Hydrocolloids, 22: Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari, N.L., Yasni, S. dan Budiyanto, S Petunjuk Praktikum Analisis Pangan. IPB Press, Bogor. Bradbury, J. dan Nixon, R The activity of raphides from the edible aroids. Journal of Science food and agriculture 76: Chansri, R., Puttanlek, C., Rungsardthong, V., dan Uttapap, D Characteristics of clear noodles prepared from edible Canna starches. Journal of Food science. 70 :

56 Choi, S.G., dan Kerr, W.L Water mobility and textural properties of native and hydroxypropylated wheat starch gels. Carbohydrate Polymers, 51: 1 8. Chung, H.J., Liu, Q. dan Hoover, R Impact of annealing and heat-moisture treatment on rapidly digestible, slowly digestible and resistant starch levels in native and gelatinized corn, pea and lentil starches. Carbohydrate Polymers, 75: Collado, L.S. dan Corke, H Heat moisture treatment effect on sweet potato starch differing in amylose content. Journal of Food Chemistry, 65: Collado, L.S., Mabesa, L.B., Oates, C.G. dan Corke, H Bihon-type of noodles from heat moisture treated sweet potato starch. Journal of food science, 66(4): Das, D., Mondal, S., Roy, S.K., Maiti, D., Bhunia B., Maiti, T.K. dan Islam, S.S Isolation and characterization of a heteropolysaccharide from the corn of Amorphophallus campanulatus. Carbohydrate Research 344: Eromosele, C.O., Arogundade, L.A., Eromosele, I.C. dan Ademuwiya, O Extractability of African yam bean (Sphenostylis stenocarpa) protein in acid, salt and alkaline aqueous media. Food Hydrocolloids, 22: Fennema, O. R Food chemistry (4 th ed.). New York: Marcel Dekker. Genkina, N.K., Wasserman, L.A. dan Yuryev, V.P., Annealing of starches from potato tubers grown at different environmental temperatures. Effect of heating duration. Carbohydrate Polymers, 56: Greenwood, C.T Starch. In: Pomeranz, Y (ed). Advance in Cereal Science and Technology. American Association of Cereal Chemist, Inc., St. Paul Minesota. Gunaratne, A. dan Hoover, R Effect of heat-moisture treatment on the structure and physicochemical properties of tuber and root starches. Carbohydrate Polymers 49: Herawati, D Modifikasi pati sagu dengan teknik heat moisture treatment (HMT) dan aplikasinya dalam memperbaiki kualitas bihun. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Herminiati, A. dan Abbas, A Pemanfaatan dekstrin dari pati garut sebagai bahan dasar makanan bagi penyandang autis. Prosiding Seminar Nasional Iptek Solusi Kemandirian Bangsa. Yogyakarta. Hoover, R. dan Manuel, H Effect of heat-moisture treatment on the structure and physicochemical properties of legume starches. Food Res. Int. 29: Hoover, R. dan Vasanthan, T The effect of annealing on the pshycochemical properties of the wheat, oat, potato, and lentil starches. Journal of Food Chemistry, 17:

57 Hormdok, R. dan Noomhorm, A Hydrothermal treatment of rice starch for improvement of rice noodle quality. LWT, 40: Hoseney, R.C Principal of Cereal Science and Technology 2nd Edition. American Association of Cereal Chemist Inc., St. Paul, Minnesota, USA. Jobling, S Improving starch for food and industrial applications. LWT, 7: Kawabata, A., Takase, N., Miyoshi, E., Sawayama, W., Kimura, T. dan Kudo, K Microscopic observation and X-ray diffractometry of heat/moisture-treated starch granules. Starch/Stärke, 46: Khunae, P., Tran, T. dan Sirivongpaisal, P Effect of heat-moisture treatment on structural and thermal properties of rice starches differing in amylose content. Starch/Stärke, 59: Lawal, O.S. dan Adebowale, K.O An assessment of changes in thermal and physicochemical parameters of jack bean (Canavalia ensiformis) starch following hydrothermal modifications. European Food Research Technology, 221: Leach, H.W., McCowen, L.D. dan Schoch, T.J Structure of the starch granule. Swelling and solubility patterns of various starches. Cereal Chemistry, 36: 534. Lee, Y.E. dan Osman, E.M Correlation of morphological changes of rice starch granules with rheological properties during heating in excess water. Journal of Korean Agricultural Chemical Society, 34: Lestari, O.A Karakterisasi sifat fisiko-kimia dan evaluasi nilai gizi biologis mi jagung kering disubtitusi tepung jagung termodifikasi. Tesis. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor. Light, J. M Modified food starches: Why, what, where, and how. Cereal Foods World 35:1081. Liu, H., Corke, H. dan Ramsden, L The effect of autoclaving on the acetylation of ae, wx and normal maize starches. Starch/Stärke, 52: Lorlowhakarn, K. dan Naivikul, O Modification of rice flour by heat-moisture treatment (HMT) to produce rice noodles. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 40 (Suppl.): Maache-Rezzoug, Z., Zarguili, I., Loisel, C., Queveau, D. dan Buléon, A Structural modifications and thermal transitions of standard maize starch after DIC hydrothermal treatment. Carbohydrate Polymers, 74: Maeda, T. dan Morita, N Effect of polished-graded flour substitution to commonly milled wheat flour on the properties of dough and bread. Journal of Applied Glycoscience, 47: Manuel, H.J The effect of heat-moisture treatment on the structure and physicochemical of legume starches. Tesis. Department of Biochemistry Memorial University of Newfounland, St. John s Newfoundland, Canada. 44

58 Matsuguma, L.S., Lacerda, L.G., Scnitzler, E., Filho, M.A.S.C., Franco, C.M.L. dan Demiante, I.M Characterization of native and oxidized starches of two varieties of peruvian carrot (Arracacia xanthorrhiza, b.) from two production areas of paraná state, Brazil. Braz. Arch. Biol. Technol. 52 (3): Mboungeng, P.D., Tenin, D., Scher, J. dan Tchiégang, C Physicochemical and functional properties and ame cultivars of Irish potato and cassava starches. Journals of Food Technology 6 (3): Mishra, S. dan Rai, T Morphology and functional properties of corn, potato, and tapioca starches. Food Hydrocolloids 20: Mukhis, F Karakterisasi Fisikokimia Tepung dan Pati Umbi Ganyong (Canna edulis Kerr.) dan Suweg (Amorphopallus campanulatus Bl.) serta Sifat Penerimaan α-amilase Terhadap Pati. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nugroho, A.D Pembuatan dan Karakterisasi Edible Film dari Campuran Tepung Glukomanan Iles-Iles Kuning (Amorphopallus onchophyllus) dan Carboxymethyl Cellulose. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Olayinka, O.O., Adebowale, K.O. dan Olu-Owolabi, B.I Effect of heat moisture treatment on phsycochemical properties of white shorgum starch. Food Hydrocolloids, 22: Othsuki. T Studies of reverse carbohydrate of flour Amorphopallus species with special refference to mannan. Botanical Magazine Tokyo, 8: Pei-Lang, A.T., Mohamed, A.M.D. dan Karim, A.A Sago starch and composition of associated components in palm of different growth stages. Carbohydr. Polymer 63: Pinasthi, W Pengaruh modifikasi heat-moisture treatment (HMT) dengan radiasi microwave terhadap karakteristik sifat fisikokimia dan fungsional tapioka dan maizena. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Pukkahuta, C., Suwannawat, B., Shobsngob, S. dan Varavinit, S Comparative study of pasting and thermal transition characteristics of osmotic pressure and heat-moisture treated corn starch. Carbohydrate Polymers 72: Purnomo, E.H. dan Risfaheri, P Karakterisasi dan produksi tepung dari umbi walur (Amorphopallus campanulatus var. Sylvestris) sebagai sumber pangan substitusi tepung terigu sampai 30%. Jakarta: Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pertanian. Purwani, E.Y., Widaningrum, Tharir, R. dan Muslich Effect of moisture treatment of sago starch on its noodle quality. Indonesian Journals of Agriculture Science 7 (1):

59 Putseys, J.A., Derde, L.J., Lamberts, L., Goesaert, H. dan Delcour, J.A Production of tailor made short chain amylose lipid complexes using varying reaction conditions. Carbohydrate Polymers 78: Rahman, A.M Mempelajari karakteristik kimia dan fisik tapioka dan MOCAF (MOdified CAssava Flour) sebagai penyalut kacang pada produk kacang salut. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Richana, N. dan Sunarti, T.C Karakterisasi sifat fisikokimia tepung umbi dan tepung pati dari umbi ganyong, suweg, ubikelapa, dan gembili. Jurnal Pascapanen 1(1): Ridwansyah, Nasution, M.Z., Sunarti, T.C. dan Fauzi, A.M Karakteristik sifat fisiko-kimia pati kelapa sawit. J. Tek. Ind. Pert. 17 (1): 1-6. Roder,N., Ellis, P.R. dan Butterworth, P.J Starch molecular and nutritional properties: A Review. Advance in Molecular Medicine, 1(1): Simi, C.K. dan Abraham, T.E Physicochemical rheological and thermal properties of Njavara rice (Oryza sativa) starch. Journals of Agriculture and Food Chemistry 56: Stute, R Hydrothermal Modifications of Starches. The Difference between Annealing and Heat Moisture Treatment. Starch/Starke, 44: Syamsir, E Mempelajari fenomena perubahan karakteristik fisikokimia tapioka karena Heat- Moisture Treatment dan model kinetikanya. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Tester, R.F. dan Karkalas, J Swelling and gelatinization of oat starches. Cereal Chemistry, 73: Tester, R.F., Karkalas, J. dan Qi, X Starch composition, fine structure, and architechture: A Review. Journal of Cereal Science, 39: Thibodeau, L It s all about bread. Food online. Brookfield Engineering Laboratory Inc, MA. Toledo, R.T Fundamentals of Food Process Engineering, 2 nd Edition, van Nostrand, Reinhold, New York. Varatharajan, V., Hoover, R., Liu, Q. dan Seetharaman, K The impact of heat-moisture treatment on the molecular structure and physicochemical properties of normal and waxy potato starches. Carbohydrate Polymers, 81: Vermeylen, R., Goderis, B. dan Delcour, J. A An X-ray study of hydrothermally treated potato starch. Carbohydr. Polym. 64: Wadchararat, C., Thongngam, M. dan Naivikul, O., Characterization of pregelatinized and heatmoisture treated rice flour. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 40 (Suppl.):

60 Waduge, R. N., Hoover, R., Vasanthan, T., Gao, J. dan Li, J Effect of annealing on the structure and physicochemical properties of barley starches of varying amylose content. Food Research International, 39: Watcharatewinkul, Y., Puttanlek, C., Rungsardthong, V. dan Uttapap, D Pasting properties of a heat-moisture treated canna starch in relation to its structural characteristics. Carbohydrate Polymers, 75: Wattanachant, S., Muhammad, S.K.S., Hashim, D.M. dan Rahman, R.A Characterization of hydroxypropylated crosslinked sago starch as compared to commercial modified starches. Journals of Science and Technology 24 (3): Widaningrum dan Purwani, E.Y Karakterisasi serta studi pengaruh perlakuan panas annealing dan heat-moisture treatment (HMT) terhadap sifat fisikokimia pati jagung. J Pascapanen 3(2): Winarno F.G Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Wirakartakusumah, M.A., Kamarudin, A. dan Syarif, A.M Sifat Fisik Pangan. Depdikbud PAU Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta. Yavus, Hulya dan Ceyhun B Preparation and Biogradation of Starch/Polycaprolactone Film. Journal of Polymer and the Environment 11 (3): Yuan, R.C. dan Thompson, D.B Freeze thaw stability of three waxy maize starch pastes measured by centrifugation and calorimetry. Cereal Chemistry, 75: Zavareze, E.R. dan Dias, A.R.G Impact of heat-moisture treatment and annealing in starches: a review. Carbohydrate Polymers, doi: /j.carbpol Zavarese, E.R., Pinto, V.Z., Klein, B., Halal, S.L.M.E., Elias, M.C., Prentice-Hernández, C. dan Dias, A.R.G Development of oxidised and heat-moisture treated potato starch film. Food Chemistry, 132: Zavareze, E.R., Storck, C.R., Castro, L.A.S., Schirmer, M.A. dan Dias, A.R.G Effect of heatmoisture treatment on rice starch of varying amylose content. Food Chemistry, 121:

61 LAMPIRAN

62 Lampiran 1. Diagram alir proses ekstraksi pati walur. 49

63 Lampiran 2. Diagram alir proses pembuatan pati walur termodifikasi HMT. 50

64 Lampiran 3. Data rendemen ekstraksi pati walur. hari kerja Jumlah umbi (kg) Bobot umbi kupas (kg) Bobot kulit (kg) Rendemen kupas (%) Bobot pati basah (kg) Rendemen proses ekstraksi (%) Bobot pati kering setelah reduksi oksalat (kg) Rendemen reduksi dan pengeringan (%) * * jumlah Keterangan : * tanpa reduksi oksalat 51

65 Lampiran 4. Karakteristik fisikokimia pati walur. Parameter U1 U2 U3 Rata-rata Densitas kamba (gram/ml) Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar lemak (%) Kadar protein (%) Kadar karbohidrat (%) Metode by difference Kadar pati (% bk) Kadar amilosa (% bk) Kadar amilopektin (% bk) Metode by difference ph

66 Lampiran 5. Kadar air pra-hmt. Perlakuan Kadar air aktual pra-hmt Ulangan Bobot cawan (gram) Bobot sampel (gram) Bobot cawan + sampel kering (gram) Kadar air (% bb) Kontrol Pemanasan suhu 100 o C 6 jam 8 jam 10 jam Pemanasan suhu 110 o C 6 jam 8 jam 10 jam U1 U2 U1 U2 U1 U2 U1 U2 U1 U2 U1 U

67 Lampiran 6. Karakteritik pasta pati walur alami dan modifikasi HMT kadar air 17%. Karakteristik pasta RVA* VP* (cp) VPS* (cp) VBD* (cp) VBD-R* VA* (cp) VB* (cp) VB-R* SP* ( o C) Kontrol Suhu 100 o C 6 jam ± ± ± ± ± ± jam ± ± ± ± ± ± jam ± ± ± ± ± ± 0.28 Suhu 110 o C 6 jam ± ± ± ± ± ± jam ± ± ± ± ± ± jam ± ± ± ± ± ± 0.57 *Keterangan: VP = Viskositas Puncak, VPS = Viskositas Panas, VBD = Viskositas Breakdown, VBD-R = Viskositas Breakdown Relatif, VA = Viskositas Akhir, VB = Viskositas Balik VB-R = Viskositas Balik Relatif, SP = Suhu Pasting 54

68 Lampiran 7. Kapasitas pembengkakan dan kelarutan pati kontrol dan pati walur HMT pada kadar air 17%. A. Kapasitas pembengkakan pati walur kontrol dan pati walur HMT pada kadar air 17%. Perlakuan Kapasitas pembengkakan suhu 60 o C Kapasitas pembengkakan suhu 90 o C U1 U2 U1 U2 Kontrol 2,8713 ± ,8854 ± 0,18 - Pemanasan suhu 100 o C 6 jam 2,6281 ± 0,05 2,7568 ± 0,001 13,3741 ± 0,47 12,7707 ± 0,19 8 jam 2,7031 ± 0,003 2,8196 ± 0,09 13,0925 ± 0,32 13,1207 ± 0,19 10 jam 2,4856 ± 0,18 3,0798 ± 0,01 12,9738 ± 0,24 12,9079 ± 0,31 Pemanasan suhu 110 o C 6 jam 2,7459 ± 0,16 3,2706 ± 0,08 12,7102 ± 0,14 12,1607 ± 0,14 8 jam 2,8544 ± 0,29 3,1627 ± 0,07 12,6806 ± 0,30 12,0317 ± 0,03 10 jam 3,0052 ± 0,08 3,0432 ± 0,01 12,3945 ± 0,04 12,3716 ± 0,07 55

69 B. Kelarutan pati walur alami dan pati walur HMT pada kadar air 17%. Perlakuan Kelarutan suhu 60 o C Kelarutan suhu 90 o C U1 U2 U1 U2 Kontrol 0,0196 ± 0,008-0,0710 ± 0,016 - Pemanasan suhu 100 o C 6 jam 0,0044 ± 0,002 0,0269 ± 0,001 0,0778 ± 0,006 0,0530 ± 0,010 8 jam 0,0109 ± 0,009 0,0269 ± 0,007 0,0699 ± 0,009 0,0773 ± 0, jam 0,0083 ± 0,005 0,0204 ± 0,007 0,0712 ± 0,0002 0,0699 ± 0,016 Pemanasan suhu 110 o C 6 jam 0,0070 ± 0,001 0,0252 ± 0,013 0,0696 ± 0,002 0,0758 ± 0,005 8 jam 0,0064 ± 0,002 0,0246 ± 0,006 0,0727 ± 0,005 0,0645 ± 0, jam 0,0104 ± 0,003 0,0252 ± 0,0005 0,0875 ± 0,003 0,0724 ± 0,002 56

70 Lampiran 8. Karakteristik tekstur gel pati walur kontrol dan pati walur HMT pada kadar air 17%. Perlakuan Kekerasan (gf) Elastisitas Kohesifitas Kelengketan U1 U2 U1 U2 U1 U2 U1 U2 Kontrol 2137,6 ± 311,6-0,985 ± 0,035-0,495 ± 0, ,7 ± Pemanasan suhu 100 o C 6 jam 1233,4 ± 538,2 1622,9 ± 350,8 0,925 ± 0,055 0,815 ± 0,065 0,775 ± 0,095 0,535 ± 0, ,8 ± ± 195,8 8 jam 2335,9 ± 684,1 2174,3 ± 587,9 0,950 ± 0,020 0,895 ± 0,015 0,645 ± 0,035 0,420 ± 0, ,7 ± 359,5 907,3 ± 225,2 10 jam 2216,6 ± 235, ± 398,7 0,635 ± 0,145 0,875 ± 0,005 0,225 ± 0,065 0,590 ± 0, ,05 ± 197,2 1332,6 ± 368,4 Pemanasan suhu 110 o C 6 jam 1877,4 ± 398, ± 1397,1 0,850 ± 0,060 0,750 ± 0,030 0,260 ± 0,170 0,340 ± 0, ,4 ± 215,6 1422,1 ± 673,9 8 jam 1860,6 ± ,2 ± 309,3 0,905 ± 0,065 0,815 ± 0,135 0,665 ± 0,175 0,415 ± 0, ,9 ± 533,1 1027,2 ± 471,6 10 jam 2333,7 ± 1116,6 1316,9 ± 51,1 0,780 ± 0,080 0,845 ± 0,095 0,335 ± 0,065 0,355 ± 0, ,4 ± 525,8 462,7 ±

71 Lampiran 9. Freeze-thaw stability pati walur kontrol dan pati walur HMT pada kadar air 17%. Perlakuan H 1 H 2 H 3 U1 U2 U1 U2 U1 U2 Kontrol 6,1326 ± 0,4-6,8371 ± 0,09-7,3623 ± 0,33 - Pemanasan suhu 100 o C 6 jam 14,1217 ± 3,16 16,3672 ± 0,41 14,8189 ± 2,56 16,8134 ± 0,77 17,8471 ± 2,52 17,3599 ± 0,78 8 jam 14,1056 ± 2,08 15,0516 ± 2,89 17,5444 ± 1,24 16,0757 ± 2,59 17,5663 ± 1,24 16,2227 ± 2,70 10 jam 12,1340 ± 1,43 15,7247 ± 2,57 13,0500 ± 2,31 16,5167 ± 2,71 13,0751 ± 2,30 16,9349 ± 2,35 Pemanasan suhu 110 o C 6 jam 7,2314 ± 1,36 8,7761 ± 2,91 7,3686 ± 1,35 12,2141 ± 1,74 7,8685 ± 0,88 13,9227 ± 1,18 8 jam 10,9233 ± 0,65 8,8512 ± 0,03 11,0239 ± 0,73 10,1188 ± 0,45 11,0585 ± 0,72 11,9047 ± 0,25 10 jam 15,1732 ± 0,68 12,0431 ± 1,02 15,2464 ± 0,60 13,7488 ± 0,97 15,7080 ± 0,79 14,5703 ± 0,65 58

72 Lampiran 10. Analisis t test dan ANOVA pada karakteristik pasting gel pati walur kontrol dan pati walur HMT kadar air 17%. A. Lampiran data t test 59

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris) Walur (Amorphopallus campanulatus var sylvestris) merupakan tanaman dari famili Araceae. Tanaman walur mempunyai daun tunggal

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati walur yang telah melalui proses reduksi kandungan oksalat. Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umbi Walur (Amorphophallus campanulatus var. sylvetris) Amorphopallus campanulatus merupakan tanaman yang berbatang semu, mempunyai satu daun tunggal yang terpecah-pecah dengan tangkai

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Pati Walur Alami Sifat bahan pangan dalam bentuk bubuk dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sebagai partikel dan sebagai kesatuan (bulk). Sifat bulk ditentukan oleh

Lebih terperinci

Pati ubi kayu (tapioka)

Pati ubi kayu (tapioka) Pengaruh Heat Moisture Treatment (HMT) Pada Karakteristik Fisikokimia Tapioka Lima Varietas Ubi Kayu Berasal dari Daerah Lampung Elvira Syamsir, Purwiyatno Hariyadi, Dedi Fardiaz, Nuri Andarwulan, Feri

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2012 sampai dengan Oktober 2012. Adapun laboratorium yang digunakan selama penelitian antara lain Pilot

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT

METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT III. METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT 3.1.1 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung sukun, dan air distilata. Tepung sukun yang digunakan diperoleh dari Badan Litbang Kehutanan,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi jalar Cilembu dan ubi jalar ungu Ayamurasaki. Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah akuades, K

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat 18 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari sampai Mei 2010 di Laboratorium Pilot Plant Seafast Center IPB, Laboratorium Kimia dan Laboratorium Rekayasa Proses

Lebih terperinci

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g)

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g) Lampiran 1. Metode analisis proksimat a. Analisis kadar air (SNI 01-2891-1992) Kadar air sampel tapioka dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri. Cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Suhu dan Waktu Proses Modifikasi HMT Terhadap Karakteristik Pati jagung Dalam proses modifikasi pati jagung HMT dilakukan pemilihan suhu dan waktu terbaik selama perlakuan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties)

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PATI SAGU DAN AREN HMT 1. Kadar Air Salah satu parameter yang dijadikan standard syarat mutu dari suatu bahan atau produk pangan adalah kadar air. Kadar air merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. Jagung juga mengandung unsur gizi lain yang diperlukan manusia yaitu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengkondisian Grits Jagung Proses pengkondisian grits jagung dilakukan dengan penambahan air dan dengan penambahan Ca(OH) 2. Jenis jagung yang digunakan sebagai bahan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah bubuk susu kedelai bubuk komersial, isolat protein kedelai, glucono delta lactone (GDL), sodium trpolifosfat

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi talas segar yang dibeli di Bogor (Pasar Gunung Batu, Jalan Perumahan Taman Yasmin, Pasar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan adalah tapioka dan maizena. Tapioka yang digunakan berasal dari singkong varietas Manggu yang diperoleh dari petani di Cibungbulan. Maizena

Lebih terperinci

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI 1 Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI Bidang Teknik Invensi Invensi ini berhubungan dengan suatu proses pembuatan mi jagung kering.

Lebih terperinci

Diagram Sifat-sifat Pati

Diagram Sifat-sifat Pati Diagram Sifat-sifat Pati X-ray Crystallography Mempelajari sifat kristalin pati X-ray pattern, obtained when a crystal is irradiated with X-rays. This pattern is distinctive to the crystal structure 3

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penduduk sehingga terjadi masalah hal ketersediaan pangan. Ketergantungan pada

PENDAHULUAN. penduduk sehingga terjadi masalah hal ketersediaan pangan. Ketergantungan pada PENDAHULUAN Latar Belakang Produksi pangan di negara-negara sedang berkembang terus meningkat. Namun demikian peningkatan ini tidak seimbang dengan pertambahan jumlah penduduk sehingga terjadi masalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SAGU B. AREN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SAGU B. AREN II. TINJAUAN PUSTAKA A. SAGU Sagu (Metroxylon sp.) diduga berasal dari Maluku dan Papua. Hingga saat ini belum ada data yang mengungkapkan sejak kapan awal mula sagu ini dikenal. Di wilayah Indonesia bagian

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PATI NATIVE 1. Karakteristik Fisik Sifat bahan pangan berbentuk bubuk dapat digolongkan dalam dua tingkat yaitu bubuk sebagai partikel dan sebagai kesatuan (bulk).

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode

Bab III Bahan dan Metode Bab III Bahan dan Metode A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 di daerah budidaya rumput laut pada dua lokasi perairan Teluk Kupang yaitu di perairan Tablolong

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Mesin dan Biosistem Fakultas

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri Lampung, Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratoriun

Lebih terperinci

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu 40 Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat 1. Kadar air (AOAC 1995, 950.46) Cawan kosong yang bersih dikeringkan dalam oven selama 2 jam dengan suhu 105 o C dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.

Lebih terperinci

Kadar protein (%) = (ml H 2 SO 4 ml blanko) x N x x 6.25 x 100 % bobot awal sampel (g) Keterangan : N = Normalitas H 2 SO 4

Kadar protein (%) = (ml H 2 SO 4 ml blanko) x N x x 6.25 x 100 % bobot awal sampel (g) Keterangan : N = Normalitas H 2 SO 4 LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis. 1. Kadar Air (AOAC, 1999) Sebanyak 3 gram sampel ditimbang dalam cawan alumunium yang telah diketahui bobot keringnya. tersebut selanjutnya dikeringkan dalam oven

Lebih terperinci

LOGO. Karakterisasi Beras Buatan (Artificial Rice) Dari Campuran Tepung Sagu dan Tepung Kacang Hijau. Mitha Fitriyanto

LOGO. Karakterisasi Beras Buatan (Artificial Rice) Dari Campuran Tepung Sagu dan Tepung Kacang Hijau. Mitha Fitriyanto LOGO Karakterisasi Beras Buatan (Artificial Rice) Dari Campuran Tepung Sagu dan Tepung Kacang Hijau Mitha Fitriyanto 1409100010 Pembimbing : Prof.Dr.Surya Rosa Putra, MS Pendahuluan Metodologi Hasil dan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : bahan baku pembuatan pati termoplastis yang terdiri dari tapioka dan onggok hasil produksi masyarakat

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri Lampung dan Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan yaitu umbi garut kultivar creole berumur 10 bulan yang diperoleh dari kebun percobaan Balai Penelitian Biologi dan Genetika Cimanggu

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Rendemen Cookies Ubi Jalar Ungu. 1. Penentuan Nilai Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) :

Lampiran 1. Prosedur Analisis Rendemen Cookies Ubi Jalar Ungu. 1. Penentuan Nilai Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) : Lampiran 1. Prosedur Analisis Rendemen Cookies Ubi Jalar Ungu 1. Penentuan Nilai Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) : Rendemen merupakan persentase perbandingan antara berat produk yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan IV. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Percobaan Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dan penelitian utama dilaksanakan bulan Maret Juni 2017 di Laboratorium Teknologi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN 1. Bahan Bahan baku pembuatan pati terdiri atas tapioka dan pati sagu yang diperoleh dari pengolahan masyarakat secara tradisional dari daerah Cimahpar (Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lebih dari 50% penduduk dunia tergantung pada beras sebagai sumber kalori utama. Di Indonesia, konsumsi dari kelompok padi-padian masih dominan baik di kota maupun di

Lebih terperinci

METODE. Materi. Rancangan

METODE. Materi. Rancangan METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2008, bertempat di laboratorium Pengolahan Pangan Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian,

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratorium Analisis Kimia Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji kecipir yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Sayuran Bandung. Bahan kimia yang diperlukan

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober sampai Februari 2014, dengan

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober sampai Februari 2014, dengan III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober sampai Februari 2014, dengan tahapan kegiatan, yaitu : bahan baku berupa singkong yang dijadikan bubur singkong,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Universitas Muhammadiyah Malang mulai bulan April 2014 sampai Januari 2015.

III. METODOLOGI PENELITIAN. Universitas Muhammadiyah Malang mulai bulan April 2014 sampai Januari 2015. III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Malang mulai bulan April 2014 sampai Januari 2015. 3.2 Alat Alat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 39 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Produksi Kerupuk Terfortifikasi Tepung Belut Bagan alir produksi kerupuk terfortifikasi tepung belut adalah sebagai berikut : Belut 3 Kg dibersihkan dari pengotornya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g 19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Penelitian Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g Kacang hijau (tanpa kulit) ± 1

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat DAFTAR ISI ABSTRAK... i ABSTRACK... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR ISTILAH... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Politeknik

Lebih terperinci

Lampiran 1 Formulir organoleptik

Lampiran 1 Formulir organoleptik LAMPIRA 55 56 Lampiran Formulir organoleptik Formulir Organoleptik (Mutu Hedonik) Ubi Cilembu Panggang ama : o. HP : JK : P / L Petunjuk pengisian:. Isi identitas saudara/i secara lengkap 2. Di hadapan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana.

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Percobaan Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yaitu dengan cara mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana. Rancangan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan 19 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Kimia Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil

Lebih terperinci

METODE PENGUJIAN. 1. Kadar Oksalat (SNI, 1992)

METODE PENGUJIAN. 1. Kadar Oksalat (SNI, 1992) LAMPIRAN 1. Kadar Oksalat (SNI, 1992) METODE PENGUJIAN Sebanyak 5 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer. Untuk pengujianan total oksalat ke dalam Erlenmeyer ditambahkan larutan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Daging Domba Daging domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging domba bagian otot Longissimus thoracis et lumborum.

MATERI DAN METODE. Daging Domba Daging domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging domba bagian otot Longissimus thoracis et lumborum. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-November 2011. Pemeliharaan ternak prapemotongan dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung pipil kering dengan varietas Pioneer 13 dan varietas Srikandi (QPM) serta bahanbahan kimia yang

Lebih terperinci

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Bagian Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan

Lebih terperinci

4. Total Soluble Carbohydrate (Metode Phenol-AsamSulfat)

4. Total Soluble Carbohydrate (Metode Phenol-AsamSulfat) LAMPIRAN Lampiran 1. Karakterisasi Komposisi Mutu Cairan Fermentasi dan Tapioka Asam 1. ph (AOAC, 1995) Sampel sebanyak 2,5 g dilarutkan dalam 25 ml aquades. Pengukuran ph menggunakan alat ph meter yang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Hasil pembuatan pati dari beberapa tanaman menghasilkan massa (g) yaitu ubi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di industri rumah tangga terasi sekaligus sebagai

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di industri rumah tangga terasi sekaligus sebagai 13 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di industri rumah tangga terasi sekaligus sebagai penjual di Kecamatan Menggala, Kabupaten Tulang Bawang dan Laboratorium

Lebih terperinci

PENGARUH PERBANDINGAN GULA MERAH DENGAN SUKROSA DAN PERBANDINGAN TEPUNG JAGUNG, UBI JALAR DENGAN KACANG HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK JENANG

PENGARUH PERBANDINGAN GULA MERAH DENGAN SUKROSA DAN PERBANDINGAN TEPUNG JAGUNG, UBI JALAR DENGAN KACANG HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK JENANG PENGARUH PERBANDINGAN GULA MERAH DENGAN SUKROSA DAN PERBANDINGAN TEPUNG JAGUNG, UBI JALAR DENGAN KACANG HIJAU TERHADAP KARAKTERISTIK JENANG Devy Nur Afiah 123020120 Pembimbing Utama :Dr. Tantan Widiantara,

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan

BAB III MATERI DAN METODE. Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan 13 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016 di Laboratorium Kimia dan Gizi Pangan, Departemen Pertanian, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro,

Lebih terperinci

A. DESKRIPSI KEGIATAN MAGANG

A. DESKRIPSI KEGIATAN MAGANG III. KEGIATAN MAGANG A. DESKRIPSI KEGIATAN MAGANG Kegiatan magang dilaksanakan di sebuah perusahaan snack di wilayah Jabotabek selama empat bulan. Kegiatan magang ini dimulai pada tanggal 10 Maret sampai

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan september 2011 hingga desember 2011, yang bertempat di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Departemen

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph meter,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan-bahan untuk membuat beras analog dan analisis. Bahan yang digunakan untuk pembuatan beras analog

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan-bahan untuk persiapan bahan, bahan untuk pembuatan tepung nanas dan bahan-bahan analisis. Bahan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015 dari survei sampai

MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015 dari survei sampai III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015 dari survei sampai pengambilan sampel di Kelurahan Tuah Karya Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru dan dianalisis

Lebih terperinci

KARAKTERISASI PATI BIJI DURIAN (Durio zibethinus Murr.,) DENGAN HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) Sumarlin Raswen Efendi Rahmayuni

KARAKTERISASI PATI BIJI DURIAN (Durio zibethinus Murr.,) DENGAN HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) Sumarlin Raswen Efendi Rahmayuni KARAKTERISASI PATI BIJI DURIAN (Durio zibethinus Murr.,) DENGAN HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT) Sumarlin Raswen Efendi Rahmayuni alinpeace@gmail.com / 085365042631 Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI)

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI) LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA HIDROLISIS AMILUM (PATI) Di Susun Oleh : Nama praktikan : Ainutajriani Nim : 14 3145 453 048 Kelas Kelompok : 1B : IV Dosen Pembimbing : Sulfiani, S.Si PROGRAM STUDI DIII ANALIS

Lebih terperinci

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS A.1 Pengujian Viskositas (menggunakan viskosimeter) (Jacobs, 1958) Viskositas Saos Tomat Kental diukur dengan menggunakan viskosimeter (Rion Viscotester Model VT-04F). Sebelum

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratoriun Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ubi Kayu Ubi kayu yang sering pula disebut singkong atau ketela pohon merupakan salah satu tanaman penghasil bahan makanan pokok di Indonesia. Tanaman ini tersebar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan 25 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan Januari 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisika Material jurusan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kacang kedelai, kacang tanah, oat, dan wortel yang diperoleh dari daerah Bogor. Bahan kimia yang digunakan

Lebih terperinci

METODE. Bahan dan Alat

METODE. Bahan dan Alat 22 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan September sampai November 2010. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan serta Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. putus, derajat kecerahan, kadar serat kasar dan sifat organoleptik dilaksanakan

BAB III MATERI DAN METODE. putus, derajat kecerahan, kadar serat kasar dan sifat organoleptik dilaksanakan 14 BAB III MATERI DAN METODE 3.1 Materi Penelitian Penelitian substitusi tepung suweg terhadap mie kering ditinjau dari daya putus, derajat kecerahan, kadar serat kasar dan sifat organoleptik dilaksanakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Alat yang digunakan yaitu pengering kabinet, corong saring, beaker glass,

III. METODE PENELITIAN. Alat yang digunakan yaitu pengering kabinet, corong saring, beaker glass, III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Malang. Kegiatan penelitian dimulai pada bulan Februari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Mei 2014 di Laboratorium

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Mei 2014 di Laboratorium BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Mei 2014 di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan 3.1.1 Alat Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan antara lain : oven, autoklap, ph meter, spatula, saringan, shaker waterbath,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan 21 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Fermentasi Onggok Singkong (Termodifikasi)

Lampiran 1. Prosedur Fermentasi Onggok Singkong (Termodifikasi) Lampiran 1. Prosedur Fermentasi Onggok Singkong (Termodifikasi) Diambil 1 kg tepung onggok singkong yang telah lebih dulu dimasukkan dalam plastik transparan lalu dikukus selama 30 menit Disiapkan 1 liter

Lebih terperinci

POLISAKARIDA. Shinta Rosalia Dewi

POLISAKARIDA. Shinta Rosalia Dewi POLISAKARIDA Shinta Rosalia Dewi Polisakarida : polimer hasil polimerisasi dari monosakarida yang berikatan glikosidik Ikatan glikosidik rantai lurus dan rantai bercabang Polisakarida terbagi 2 : Homopolisakarida

Lebih terperinci

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS. A.1. Pengujian Daya Serap Air (Water Absorption Index) (Ganjyal et al., 2006; Shimelis el al., 2006)

LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS. A.1. Pengujian Daya Serap Air (Water Absorption Index) (Ganjyal et al., 2006; Shimelis el al., 2006) LAMPIRAN A PROSEDUR ANALISIS A.1. Pengujian Daya Serap Air (Water Absorption Index) (Ganjyal et al., 2006; Shimelis el al., 2006) Pengujian daya serap air (Water Absorption Index) dilakukan untuk bahan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Lampung Timur, Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri

III. BAHAN DAN METODE. Lampung Timur, Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Lehan Kecamatan Bumi Agung Kabupaten Lampung Timur, Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri Lampung

Lebih terperinci

BAB III. BAHAN DAN METODE

BAB III. BAHAN DAN METODE 10 BAB III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan dari bulan Februari dan berakhir pada bulan Agustus 2011. Proses pembuatan dan pengujian arang aktif dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan metode eksperimental menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial. Sampel yang digunakan berjumlah 24, dengan

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR RISKA FITRIAWATI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER UNIVERSITAS BAKRIE JAKARTA 2016

TUGAS AKHIR RISKA FITRIAWATI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER UNIVERSITAS BAKRIE JAKARTA 2016 PENGOLAHAN PATI RESISTAN TIPE III UMBI GARUT (MARANTHA ARUNDINACEAE L.) MELALUI KOMBINASI METODE MODIFIKASI (FISIK-ENZIMATIS) DAN KARAKTERISASI SIFAT FUNGSIONALNYA TUGAS AKHIR RISKA FITRIAWATI 1122006013

Lebih terperinci

3. MATERI DAN METODE. Gambar 2. Alat Penggilingan Gabah Beras Merah. Gambar 3. Alat Penyosohan Beras Merah

3. MATERI DAN METODE. Gambar 2. Alat Penggilingan Gabah Beras Merah. Gambar 3. Alat Penyosohan Beras Merah 3. MATERI DAN METODE Proses pemanasan dan pengeringan gabah beras merah dilakukan di Laboratorium Rekayasa Pangan. Proses penggilingan dan penyosohan gabah dilakukan di tempat penggilingan daerah Pucang

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) Lampiran 2. Pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.

LAMPIRAN. Lampiran 1. Umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) Lampiran 2. Pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L. LAMPIRAN Lampiran 1. Umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) Lampiran 2. Pati umbi talas (Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott) 47 Lampiran. Oven Lampiran 4. Autoklaf 48 Lampiran 5. Tanur Lampiran

Lebih terperinci

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT

II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT II. METODOLOGI C. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati sagu (Metroxylon sp.) yang diperoleh dari industri pati sagu rakyat di daerah Cimahpar, Bogor. Khamir yang digunakan

Lebih terperinci

LAMPIRAN A A.1 Pengujian Total Padatan Terlarut (SNI yang dimodifikasi*) Dengan pengenceran A.2 Pengujian Viskositas (Jacobs, 1958)

LAMPIRAN A A.1 Pengujian Total Padatan Terlarut (SNI yang dimodifikasi*) Dengan pengenceran A.2 Pengujian Viskositas (Jacobs, 1958) LAMPIRAN A A.1 Pengujian Total Padatan Terlarut (SNI 01-3546-2004 yang dimodifikasi*) Penentuan Total Padatan Terlarut (%Brix) saos tomat kental dilakukan dengan menggunakan Hand-Refraktometer Brix 0-32%*.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah permen jelly pepaya yang terbuat dari pepaya varietas IPB 1 dengan bahan tambahan sukrosa, ekstrak rumput

Lebih terperinci

Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989)

Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989) LAMPIRAN Lampiran 1. Penentuan kadar ADF (Acid Detergent Fiber) (Apriyantono et al., 1989) Pereaksi 1. Larutan ADF Larutkan 20 g setil trimetil amonium bromida dalam 1 liter H 2 SO 4 1 N 2. Aseton Cara

Lebih terperinci

METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Bahan Alat

METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Bahan Alat 18 METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan, yaitu mulai Februari 2011 sampai dengan Juli 2011 di Kampus IPB Darmaga Bogor. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan

Lebih terperinci